Anda di halaman 1dari 27

ASUHAN KEPERAWATAN

“INTRA OPERATIF BPH”

Disusun Oleh:
1. Derri Anggara (PO.71.20.4.16.004)
2. Erlina Rosida (PO.71.20.4.16.007)
3. Lenny Alfiani (PO.71.20.4.16.018)
4. Yudha Pratama (PO.71.20.4.16.038)

Dosen Pembimbing:
Eva Susanti, S.Kep., Ners, M.Kep

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG
D-IV KEPERAWATAN 2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunianya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
ini sebagaimana mestinya makalah ini yang merupakan salah satu syarat mengikuti
mata kuliah Keperawatan Perioperatif. Dengan segala kerendahan hati penulis
mengharapkan terima kasih yang sebesar– besarnya kepada tim penulis, semua rekan-
rekan yang ikut membantu demi terwujudnya makalah ini.

Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca dan khususnya bagi penulis sendiri. Saran dan kritik yang membangun untuk
kesempurnaan penulisan ini sangat kami harapkan.

Palembang, Agustus 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... i

DAFTAR ISI ..................................................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1

A. Latar Belakang ....................................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .................................................................................................................. 1

C. Tujuan .................................................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................... 2

A. Definisi ................................................................................................................................... 2

B. Etiologi ................................................................................................................................... 3

C. Klasifikasi BPH ..................................................................................................................... 3

D. Manifestasi Klinis .................................................................................................................. 4

E. Patofisiologi ........................................................................................................................... 6

F. Pemeriksaan Diagnostik......................................................................................................... 6

G. Penatalaksanaan ..................................................................................................................... 8

H. Komplikasi ........................................................................................................................... 10

BAB III PROSEDUR INTRA OPERATIF ................................................................................. 12

BAB IV ASUHAN KEPERAWATAN DALAM FASE INTRA OPERATIF ........................... 16

BAB V PENUTUP ....................................................................................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 24

ii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Masalah yang sering di alami seorang pria usia lanjut yang berhubungan dengan
sistem perkemihan adalah Benign Prostatic Hyperlasia (BPH). Prostat adalah organ
perkemihan yang sering mengalami neoplasma : Benigna atau Maligna.

Pada kondisi ini, sebagai seorang perawat akan sering diperhadapkan dengan masalah
keperawatan yang terkait dengan kasus BPH terutama yang berhubungan dengan
tindakan pembedahan. Oleh karena itu perawat perlu memiliki pengetahuan yang cukup
untuk menangani klien BPH khususnya dalam asuhan keperawatan perioperatif (pra
bedah, intra bedah, dan pasca bedah).

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari BPH ?
2. Apa etiologi dari BPH ?
3. Apa klasifikasi BPH ?
4. Apa manifestasi klinis BPH ?
5. Bagaimana patofisiologi dari BPH ?
6. Apa pemeriksaan penunjang dari BPH ?
7. Apa penatalaksanaan dari BPH ?
8. Apa saja komplikasi dari BPH ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari BPH ?
2. Untuk mengetahui etiologi dari BPH ?
3. Untuk mengetahui klasifikasi dari BPH ?
4. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari BPH ?
5. Untuk mengetahui bagaimana patofisiologi dari BPH ?
6. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari BPH ?
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari BPH ?
8. Untuk mengetahui apa saja komplikasi dari BPH ?

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Prostat merupakan organ penting sistem reproduksi pada pada laki-laki. Posisi
prostat terletak pada bagian perut bawah, yaitu di bawah kandung kemih dan
mengelilingi saluran kemih. Prostat berfungsi untuk memproduksi enzim air mani dan
melarutkan sperma yang dihasilkan oleh testis yang terletak di dalam kantung zakar agar
sperma tetap sehat.
Hipertrofi prostat jinak (benign prostatic hyperthropy; BPH) merupakan kondisi
yang belum diketahui penyebabnya, ditandai oleh meningktnya ukuran zona dalam
(kelenjar periuretra) dari kelenjar prostat.
benigna prostat hipertrofi adalah pembesaran progresif pada kelenjar prostat
(secara umum pada pria lebih dari 50 tahun) yang menyebabkan berbagai derajat
obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius.
Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat,
disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat meliputi
jaringan kelenjar / jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars
prostatika .
Jadi dapat disimpulkan bahwa benign prostat hipertrofi adalah pembesaran pada
kelenjar prostat, ditandai dengan meningkatnya ukuran kelenjar periuretra yang
disebabkan karena hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat yang biasanya
terjadi pada pria berusia lebih dari 50 tahun.

2
B. Etiologi
Penyebab BPH belum jelas namun terdapat faktor resiko umur dan hormon
enstrogen (Mansjoer, 2000). Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti
penyebab terjadinya hiperflasia prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa
hiperflasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar Dehidrotesteron (DHT) dan
proses aging (menjadi tua).

Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat


adalah:
1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan
estrogen pada usia lanjut.
2. Peranan dari growth factor sebagai pemicu pertumbuhan stoma kelenjar
prostat.
3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang
mati.
4. Teori sel stem menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem
sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi
kelenjar prostat menjadi berlebihan.
Penyebab BPH tidak diketahui, tapi tampaknya terdapat kaitan dengan perubahan
derajat hormon yang dialami dalam proses lansia.

C. Klasifikasi BPH
Menurut Rumahorbo (2000), terdapat empat derajat pembesaran kelenjar prostat yaitu
sebagai berikut :
1. Derajat rektal
Derajat rektal digunakan sebagai ukuran dari pembesaran kelenjar prostat ke arah
rektum. Rectal toucher dikatakan normal jika batas atas teraba konsistensi elastis,
dapat digerakkan, tidak ada nyeri bila ditekan dan permukaannya rata. Tetapi rectal
toucher pada hipertropi prostat didapatkan batas atas teraba menonjol lebih dari 1 cm
dan berat prostat diatas 35 gram. Ukuran dari pembesaran kelenjar prostat dapat
menentekun derajat rectal yaitu sebagai berikut :
a) Derajat 0 : ukuran pembesaran prostat 0-1 cm

3
b) Derajat I : ukuran pembesaran prostat 1-2 cm
c) Derajat II : ukuran pembesaran prostat 2-3 cm
d) Derajat III : ukuran pembesaran prostat 3-4 cm
e) Derajat IV : ukuran pembesaran prostat lebih dari 4 cm
2. Derajat klinik
Derajat klinik berdasarkan kepada residual urine yang terjadi. Klien disuruh BAK
sampai selesai dan puas, kemudian dilakukan kateterisasi. Urine yang keluar dari
kateter tersebut sisa urine atau residual urine. Residual urine dibagi beberapa derajat
yaitu sebagai berikut :
a) Normal sisa urine adalah nol
b) Derajat I sisa urine 0-50 ml
c) Derajat II sisa urine 50-100 ml
d) Derajat III sisa urine 100-150 ml
e) Derajat IV telah terjadi retensi total atau klien tidak dapat BAK sama sekali. Bila
kandung kemih telah pennuh dan klien merasa kesakitan, maka urine akan keluar
secara menetes dan periodik, hal ini disebut over flow incotinencia. Pada derajat
ini telah terdapat sisa urine sehingga dapat terjadi infeksi atau cystitis, nocturia
semakin bertambah dan kadang-kadang terjadi hematuria.
3. Derajat intra vesikal
Derajat ini dapat ditentukan degan mempergunakan foto rontgen atau cystogram,
penendoscopy. Bila lobus medialis melewati muara uretra, berarti telah sampai pada
derajat intra vesikal. Gejala yang timbul pada stadium ini adalah sisa urine sudah
mencapai 100-150 ml, kemungkinan terjadi infeksi semakin hebat ditandai dengan
peningkatan suhu tubuh, menggigil dan nyeri di daerah pinggang serta kemungkinan
telah terjadi pyelitis dan trabekulasi bertambah.
4. Derajat intra uretral
Derajat ini dapat ditentukan dengan menggunakan penendoscopy untuk melihat
sampai seberapa jauh lobus lateralis menonjol keluar lumen uretra. Pada stadium ini
sudah terjadi retensio urine total.
D. Manifestasi Klinis
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah.
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinari Tract Symptoms (LUTS)
terdiri atas gejala iritatif dan gejala obstruktif.

4
Gejala iritatif yaitu sering miksi (frekuensi) terbangun untuk miksi pada malam
hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang sangat mendesak (urgensi), dan nyeri pada
saat miksi (disuria).
Gejala obstruktif meliputi: pancaran lemak, rasa tidak tuntas sehabis miksi, kalau
miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan (straining) anyang-anyangen
(intermittency) dan waktu miksi yang memanjang yang akhirnya menjadi retensi urine
dan inkontinensia karena overflow.
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan saluran kemih sebelah bawah,
beberapa ahli urology membuat sistem scoring yang secara subyektif dapat diisi dan
dihitung sendiri oleh pasien.
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas.
Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas, berupa gejala
obstruksi antara lain: nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari
hidronefrosis), yang selanjutnya dapat menjadi gagal ginjal dapat ditemukan uremia,
peningkatan tekanan darah, perikarditis, foetoruremik dan neuropati perifer.
3. Gejala di luar saluran kemih.
Pasien yang berobat ke dokter biasanya mengeluh adanya hernia inguinalis dan
hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi
sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal.
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih sebelah bawah,
beberapa ahli/organisasi urologi membuat sistem skoring yang secara subyektif dapat
diisi dan dihitung sendiri oleh klien. Sistem skoring yang dianjurkan oleh WHO adalah
skor Internasional gejala prostat atau Internaional Prostatic Symptom Score ( I-PSS ).
Dari skor I-PSS itu dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu:
Ringan : skor 0-7
Sedang : skor 8-19
Berat : skor 20-35
Derajat berat gejala klinik dibagi menjadi 4 gradasi berdasarkan penemuan pada colok
dubur dan sisa volume urine, seperti bagan dibawah :
Derajat Colok dubur Sisa vol. Urine

I Penonjolan prostat, batas atas < 50 ml


mudah diraba

5
II Penonjolan prostat jelas, batas atas 50-100ml
dapat dicapai
III Batas atas prostat tidak bisa > 100 ml
diraba
IV Retensi urine total

E. Patofisiologi
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan seiring dengan
bertambahnya usia sehingga terjadi perubahan keseimbangan hormonal yaitu terjadi
reduksi testosteron menjadi Dehidrotestosteron dalam sel prostat yang kemudian menjadi
faktor terjadinya penetrasi DHT ke dalam inti sel. Hal ini dapat menyebabkan inskripsi
pada RNA sehingga menyebabkan terjadinya sintesis protein yang kemudian menjadi
hiperplasia kelenjar prostat (Mansjoer, 2000).
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, maka akan terjadi
penyempitan lumen uretra prostatika dan akan menghambat aliran urine. Keadaan ini
menyebabkan peningkatan tekanan intra vesikel. Untuk dapat mengeluarkan urine buli-
buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan tersebut, sehingga akan terjadi
resistensi pada buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan
meregang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut
fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya
mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi
retensi urine (Mansjoer, 2000).

F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi buli-buli: ada/ tidaknya penonjolan perut di daerah supra pubik (buli-buli
penuh / kosong ).
b. Palpasi buli-buli: Tekanan didaerah supra pubik menimbulkan rangsangan ingin
kencing bila buli-buli berisi atau penuh.Terasa massa yang kontraktil dan
“Ballottement”.
c. Perkusi: Buli-buli yang penuh berisi urin memberi suara redup.
2. Colok dubur.

6
Pemeriksaan colok dubur dapat memberi kesan keadaan tonus sfingter anus, mukosa
rektum, kelainan lain seperti benjolan di dalam rektum dan prostat. Pada perabaan
melalui colok dubur harus di perhatikan konsistensi prostat (pada pembesaran prostat
jinak konsistensinya kenyal), adakah asimetris adakah nodul pada prostat , apa batas
atas dapat diraba. Dengan colok dubur besarnya prostat dibedakan :
a. Grade 1 : Perkiraan beratnya sampai dengan 20 gram.
b. Grade 2 : Perkiraan beratnya antara 20-40 gram.
c. Grade 3 : Perkiraan beratnya lebih dari 40 gram.
3. Laboratorium
a. Darah lengkap sebagai data dasar keadaan umum penderita.
b. Gula darah dimak sudkan untuk mencari kemungkinan adanya penyakit diabetus
militus yang dapat menimbulkan kelainan persarafan pada buli-buli (buli-buli
nerogen).
c. Faal ginjal (BUN, kreatinin serum) diperiksa untuk mengetahui kemungkinan
adanya penyulit yang mengenai saluran kemih bagian atas.
d. Analisis urine diperiksa untuk melihat adanya sel leukosit, bakteri, dan infeksi atau
inflamasi pada saluran kemih.
e. Pemeriksaan kultur urine berguna dalam mencari jenis kuman yang menyebadkan
infeksi dan sekligus menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa anti
mikroba yang diujikan.
4. Flowmetri
Flowmetri adalah alat kusus untuk mengukur pancaran urin dengan satuan ml/detik.
Penderita dengan sindroma protalisme perlu di periksa dengan flowmetri sebelum dan
sesudah terapi.
Penilaian:
Fmak <10ml/detik ------- obstruktif
Fmak 10-15ml/detik ------- borderline
Fmak >15ml/detik ------- nonobstruktif
5. Radiologi
a. Foto polos abdomen, dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran
ginjal atau buli-buli, adanya batu atau kalkulosa prostat dan kadang kadang dapat
menunjukkan bayangan buli-buli yang penuh terisi urine, yang merupakan tanda
dari suatu retensi urine.

7
b. Pielografi intra vena, dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis,
dan hidroureter, fish hook appearance ( gambaran ureter berkelok kelok di vesikula
) inclentasi pada dasar buli-buli, divertikel, residu urine atau filling defect
divesikula.
c. Ultrasonografi (USG), dapat dilakukan secara transabdominal atau trasrektal
(trasrektal ultrasonografi = TRUS) Selain untuk mengetahui pembesaran prostat <
pemeriksaan USG dapatpula menentukan volume buli-buli, meng ukur sisa urine
dan keadaan patologi lain seperti divertikel, tumor dan batu .Dengan TRUS dapat
diukur besar prostat untuk menentukan jenis terapi yang tepat. Perkiraan besar
prostat dapat pula dilakukan dengan USG suprapubik.
d. Cystoscopy (sistoskopi) pemeriksaan dengan alat yang disebut dengan cystoscop.
Pemeriksaan ini untuk memberi gambaran kemungkinan tumor dalam kandung
kemih atau sumber perdarahan dari atas bila darah datang dari muara ureter, atau
batu radiolusen didalam vesika. Selain itu dapat juga memberi keterangan
mengenahi besarprostat dengan mengukur panjang uretra pars prostatika dan
melihat penonjalan prostat kedalam uretra.
6. Kateterisasi
Mengukur “rest urine “ Yaitu mengukur jumlah sisa urine setelah miksi sepontan
dengan cara kateterisasi. Sisa urine lebih dari 100 cc biasanya dianggap sebagai batas
indikasi untuk melakukan intervensi pada hiper tropi prostat.
G. Penatalaksanaan
1. Observasi
Yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3 – 6 bulan kemudian setiap tahun
tergantung keadaan klien
2. Terapi Medikamentosa
Terapi ini diindikasikan pada BPH dengan keluhan ringan, sedang, dan berat
tanpa disertai penyulit. Obat yang digunakan berasal dari: phitoterapi
(misalnya: Hipoxis rosperi, Serenoa repens, dll), gelombang alfa blocker dan
golongan supresor androgen.
3. Pembedahan
Indikasi pembedahan pada BPH adalah :
a. Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut.
b. Klien dengan residual urin  100 ml.

8
c. Klien dengan penyulit.
d. Terapi medikamentosa tidak berhasil.
e. Flowmetri menunjukkan pola obstruktif.
Pembedahan dapat dilakukan dengan :
1) Prostatektomi Supra pubis
Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. Yaitu suatu
insisi yang dibuat kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat dari atas.
a) Prostatektomi Perineal
Adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Cara ini lebih
praktis dibanding cara yang lain, dan sangat berguna untuk biopsi terbuka.
Lebih jauh lagi inkontinensia, impotensi, atau cedera rectal dapat mungkin
terjadi dari cara ini. Kerugian lain adalah kemungkinan kerusakan pada rectum
dan spingter eksternal serta bidang operatif terbatas.
b) Prostatektomi retropubik.
Adalah insisi abdomen lebih rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara
arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih.
Keuntungannya adalah periode pemulihan lebih singkat serta kerusakan spingter
kandung kemih lebih sedikit.
2) Insisi Prostat Transuretral ( TUIP ).
Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan instrumen
melalui uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat
untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi kontriksi uretral.
Cara ini diindikasikan ketika kelenjar prostat berukuran kecil ( 30 gram/kurang )
dan efektif dalam mengobati banyak kasus BPH. Cara ini dapat dilakukan di klinik
rawat jalan dan mempunyai angka komplikasi lebih rendah di banding cara
lainnya.
3) TURP (TransUretral Reseksi Prostat)
TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra
menggunakan resektroskop, dimana resektroskop merupakan endoskop dengan
tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang dilengkapi dengan alat pemotong
dan counter yang disambungkan dengan arus listrik. Tindakan ini memerlukan
pembiusan umum maupun spinal dan merupakan tindakan invasive yang masih
dianggap aman dan tingkat morbiditas minimal.

9
TURP merupakan operasi tertutup tanpa insisi serta tidak mempunyai efek
merugikan terhadap potensi kesembuhan. Operasi ini dilakukan pada prostat yang
mengalami pembesaran antara 30-60 gram, kemudian dilakukan reseksi. Cairan
irigasi digunakan secara terus-menerus dengan cairan isotonis selama prosedur.
Setelah dilakukan reseksi, penyembuhan terjadi dengan granulasi dan reepitelisasi
uretra pars prostatika (Anonim,FK UI, 1995).
Setelah dilakukan TURP, dipasang kateter Foley tiga saluran no. 24 yang
dilengkapi balon 30 ml, untuk memperlancar pembuangan gumpalan darah dari
kandung kemih. Irigasi kanding kemih yang konstan dilakukan setelah 24 jam bila
tidak keluar bekuan darah lagi. Kemudian kateter dibilas tiap 4 jam sampai cairan
jernih. Kateter dingkat setelah 3-5 hari setelah operasi dan pasien harus sudah
dapat berkemih dengan lancar.

4. Alternatif lain (misalnya: Kriyoterapi, Hipertermia, Termoterapi, Terapi


Ultrasonik.

H. Komplikasi
1. Retensi urine akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi
2. Infeksi saluran kemih
3. Involusi kontraksi kandung kemih
4. Refluk kandung kemih
5. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus berlanjut maka
suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urin yang akan mengakibatkan
tekanan intravesika meningkat
6. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi

10
7. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat terbentuk batu
endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan iritasi. Batu tersebut dapat
pula menimbulkan sistisis, dan bila terjadi refluk dapat mengakibatkan pielonefritis.
8. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada waktu miksi
pasien harus mengedan.

11
BAB III
PROSEDUR INTRA OPERATIF
A. Peran Perawat Pada Fase Intra Operatif
1. Pemeliharaan Keselamatan
a. Atur posisi pasien
1) Kesejajaran fungsional
2) Pemajanan area pembedahan
3) Mempertahankan posisi sepanjang prosedur operasi
b. Memasang alat grounding ke pasien
c. Memberikan dukungan fisik
d. Memastikan bahwa jumlah spongs, jarum dan instrumen tepat
2. Pematauan Fisiologis
a. Memperhitungkan efek dari hilangnya atau masuknya cairan secara
berlebihan pada pasien
b. Membedakan data kardiopumonal yang normal dengan yang abnormal
c. Melaporkan perubahan-perubahan pada nadi, pernafasan, suhu tubuh dan
tekanan darah pasien.
3. Dukungan Psikologis (sebelum induksi dan jika pasien sadar)
a. Memberikan dukungan emosional pada pasien
b. Berdiri dekat dan menyentuh pasien selama prosedur dan induksi
c. Terus mengkaji status emosional pasien
d. Mengkomunikasikan status emosional pasien ke anggota tim perawatan
kesehatan lain yang sesuai
4. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Memberikan keselamatan untuk pasien
b. Mempertahankan lingkungan aseptik dan terkontrol
c. Secara efektif mengelola sumber daya manusia.

B. Prinsip-Prinsip Operatif
1. Prinsip kesehatan dan baju operasi
a. Kesehatan yang baik sangat penting untuk setiap orang dalam ruang operasi.
Sehingga keadaan pilek, sakit tenggorok, infeksi kulit, merupakan sumber
organisme patogenik yang harus dilaporkan;
b. Hanya baju ruang operasi yang bersih dan dibenarkan oleh institusi yang
diperbolehkan, tidak dapat dipakai di luar ruang operasi;
c. Masker dipakai sepanjang waktu di ruang operasi yang meminimalkan
kontaminasi melalui udara, menutup seluruh hidung dan mulut, tetapi tidak
mengganggu pernafasan, bicara atau penglihatan, menyatu dan nyaman;

12
d. Tutup kepala secara menyeluruh menutup rambut (kepala dan garis leher
termasuk cambang) sehingga helai rambut, jepitan rambut, penjepit, ketombe
dan debu tidak jatuh ke dalam daerah steril;
e. Sepatu sebaiknya nyaman dan menyangga. Bakiak, sepatu tenis, sandal dan
bot tidak diperbolehkan sebab tidak aman dan sulit dibersihkan. Sepatu
dibungkus dengan penutup sepatu sekali pakai atau kanvas;
f. Bahaya kesehatan dikontrol dengan pemantauan internal dari ruang operasi
meliputi analisis sampel dari sapuan terhadap agens infeksius dan toksik.
Selain itu, kebijakan dan prosedur keselamatan untuk laser dan radiasi di
ruang operasi telah ditegakkan.
2. Prinsip Asepsis Perioperatif
a. Pencegahan komplikasi pasien, termasuk melindungi pasien dari operasi;
b. Ruang operasi terletak di bagian rumah sakit yang bebas dari bahay seperti
partikel, debu, polutan lain yang mengkontaminasi, radiasi, dan kebisingan;
c. Bahaya listrik, alat konduktifitas, pintu keluar darurat yang bebas hambatan,
dan gudang peralatan dan gas-gas anesthesia diperiksa secara periodik.

C. Protokol
1. Intra operatif
Hanya personel yang telah melakukan scrub dan memakai pakaian operasi yang
boleh menyentuh benda-benda steril.

D. Peraturan Dasar Asepsis Bedah


1. Umum
a. Permukaan atau benda steril dapat bersentuhan dengan permukaan atau
benda lain yang steril dan tetap steril; kontak dengan benda tidak steril pada
beberapa titik membuat area steril terkontaminasi
b. Jika terdapat keraguan tentang sterilitas pada perlengkapan atau area, maka
dianggap tidak steril atau terkontaminasi
c. Apapun yang steril untuk satu pasien hanya dapat digunakan untuk pasien
ini. Perlengkapan steril yang tidak digunakan harus dibuang atau disterilkan
kembali jika akan digunakan kembali.
2. Personal
a. Personel yang scrub tetap dalam area prosedur bedah, jika personel scrub
meninggalkan ruang operasi, status sterilnya hilang. Untuk kembali kepada
pembedahan, orang ini harus mengikuti lagi prosedur scrub, pemakaian
gown dan sarung tangan

13
b. Hanya sebagian kecil dari tubuh individu scrub dianggap steril; dari bagian
depan pinggang sampai daerah bahu, lengan bawah dan sarung tangan
(tangan harus berada di depan antara bahu dan garis pinggang
c. Suatu pelindung khusus yang menutupi gaun dipakai, yang memperluas area
steril
d. Perawat instrumentasi dan semua personel yang tidak scrub tetap berada
pada jarak aman untuk menghindari kontaminasi di area steril
3. Penutup/Draping
a. Selama menutup meja atau pasien, penutup steril dipegang dengan baik di
atas permukaan yang akan ditutup dan diposisikan dari depan ke belakang
b. Hanya bagian atas dari pasien atau meja yang ditutupi dianggap steril;
penutup yang menggantung melewati pinggir meja adalah tidak steril
c. Penutup steril tetap dijaga dalam posisinya dengan menggunakan penjepit
atau perekat agar tidak berubah selama prosedur bedah
d. Robekan atau bolongan akan memberikan akses ke permukaan yang tidak
steril di bawahnya, menjadikan area ini tidak steril. Penutup yang demikian
harus diganti.
4. Pelayanan Peralatan Steril
a. Rak peralatan dibungkus atau dikemas sedemikian rupa sehingga mudah
untuk dibuka tanpa resiko mengkontaminasi lainnya
b. Peralatan steril, termasuk larutan, disorongkan ke bidang steril atau
diberikan ke orang yang berscrub sedemikian rupa sehingga kesterilan
benda atau cairan tetap terjaga
c. Tepian pembungkus yang membungkus peralatan steril atau bagian bibir
botol terluar yang mengandung larutan tidak dianggap steril
d. Lengan tidak steril perawatan instrumentasi tidak boleh menjulur di atas area
steril. Artikel steril akan dijatuhkan ke atas bidang steril, dengan jarak yang
wajar dari pinggir area steril.
5. Larutan
Larutan steril dituangkan dari tempat yang cukup tinggi untuk mencegah
sentuhan yang tidak disengaja pada basin atau mangkuk wadah steril, tetapi
tidak terlalu tinggi sehingga menyebabkan cipratan (bila permukaan steril
menjadi basah, maka dianggap terkontaminasi).

E. Posisi Pasien Di Meja Operasi


Posisi pasien di meja operasi bergantung pada prosedur operasi yang akan
dilakukan, juga pada kondisi fisik pasien. Faktor-faktor yang perlu
dipertimbangkan adalah sebagai berikut.

14
1. Pasien harus dalam posisi senyaman mungkin, apakah ia tertidur atau sadar
2. Area operatif harus terpajan secara adekuat
3. Pasokan vaskuler tidak boleh terbendung akibat posisi yang salah atau tekanan
yang tidak tepat pada bagian
4. Pernapasan pasien harus bebas dari gangguan tekanan lengan pada dada atau
kontriksi pada leher dan dada yang disebabkan oleh gaun
5. Saraf harus dilindungi dari tekanan yang tidak perlu
6. Tindak kewaspadaan untuk keselamatan pasien harus diobservasi, terutama
pada pasien yang kurus, lansia atau obesitas
7. Pasien membutuhkan restrain tidak keras sebelum induksi, untuk berjaga-jaga
bila pasien melawan.

15
BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN DALAM FASE INTRA OPERATIF
1. Pengkajian
A. Gunakan data dari pasien dan catatan pasien untuk mengidentifikasi variabel
yang dapat mempengaruhi perawatan dan yang berguna sebagai pedoman untuk
mengembangkan rencana perawatan pasien individual;
B. Identifikasi pasien
C. Validasi data yang dibutuhkan dengan pasien
D. Telaah catatan pasien terhadap adanya :
a) Informed yang benar dengan tanda tangan pasien
b) Kelengkapan catatan riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik
c) Hasil pemeriksaan diagnostic
d) Kelengkapan riwayat dan pengkajian kesehatan
e) Checklist pra-operatif
Lengkapi pengkajian keperawatan praoperatif segera
1) Status fisiologi
Misalnya : tingkat sehat-sakit, tingkat kesadaran
2) Status psikososial
Misalnya : ekspresi kekhawatiran, tingkat ansietas, masalah komunikasi verbal,
mekanisme koping
3) Status fisik
Misalnya : tempat operasi, kondisi kulit dan efektifitas persiapan, pencukuran,
atau obat penghilang rambut, sendi tidak bergerak.
2. Diagnosa Keperawatan
A. Resiko jatuh berhubungan dengan anastesi narkotik
B. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif pembedahan.

16
3. Rencana Keperawatan

N Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional


o
1 Resiko jatuh Setelah a. Berikan petunjuk a.Ketidak
berhubungan dilakukan sederhana dan seimbangan
dengan anastesi tindakan singkat pada proses pemikiran
narkotik keperawatan akan membuat
pasien tentang
ditandai dengan selama ± 45 pasien merasa
posisi saat
Do : menit resiko kesulitan dalam
operasi
a. klien di bius jatuh dapat memahami
dengan diminimalisir petunjuk yang
anastesi dengan kriteria panjang
b. klien klien tidak jatuh b. Bantalan
mengalami diperlukan untuk
penurunan b. Siapkan melindungi
kekuatan peralatan dan bagian-bagian
ekstremitas bantalan untuk tubuh yang
bagian bawah posisi yang menonjol untuk
c. mobilitas dibutuhkan mencegah
terbatas sesuai prosedur terjadinya
Ds : - operasi dan penekanan saraf

kebutuhan c Mencegah

spesifik klien terjadinya

c.Letakkan eletroda perlukaan

penetral akibat alat

(bantalan elektronik
elektrokauter)
yang meliputi
seluruh massa
otot-otot yang
paling besar dan

17
yakinkan bahwa
bantalan berada

18
pada posisi yang
baik
d. Stabilkan baik
kereta pasien
maupun meja
d. Kereta atau
operasi pada
meja yang tidak
waktu
stabil dapat
memindahkan
terpisah,
pasien ke dan
menyebabkan
dari meja operasi
pasien terjatuh
2. Resiko infeksi Setelah a. Pertahankan a. Sebagai
b.d prosedur dilakukan APD (masker pelindung diri
invasif asuhan dan topi)
keperawatan b. Lakukan
b. Meminimalisir
diharapkan scrubbing
infeksi dan
klien tidak
untuk menjaga
terjadi infeksi
kesterilan
dengan kriteria
c. Lakukan c. untuk menjaga
hasil :
gaunning kesterilan
Tidak ada tanda
d. untuk menjaga
tanda infeksi d. Lakukan
(rubor, kalor,
dubor, tumor,
fungsio laesa)
gloving kesterilan
e. Lakukan aseptik e. untuk menjaga
area operasi kesterilan
f. Lakukan f. untuk menjaga
drapping kesterilan

g. Pertahankan g. untuk menjaga


prinsip steril kesterilan

19
4. Intervensi Keperawatan

A. Berikan asuhan keperawatan berdasarkan pada prioritas kebutuhan pasien;

1) Atur dan jaga agar peralatan suction berfungsi dengan baik

2) Atur peralatan pemantauan invasive

3) Bantu saat pemasangan jalur (arteri, CVP, IV)

4) Lakukan tindakan kenyamanan fisik yang sesuai bagi pasien

5) Posisikan pasien dengan tepat untuk prosedur anesthesia dan pembedahan,


pertahankan kelurusan tubuh sesuai fungsi
6) Ikuti tahapan dalam prosedur bedah
 Lakukan scrub/bersihan dengan terampil
 Berespon terhadap kebutuhan pasien dengan mengantisipasi peralatan
dan bahan apa yang dibutuhkan sebelum dimintaIkuti prosedur yang
telah ditetapkan. Sebagai contoh :
a. Perawatan dan pemakaian darah dan komponen darah
b. Perawatan dan penanganan spesimen, jaringan dan kultur
c. Persiapan kulit antiseptic
d. Pemakaian gown operasi sendiri, membantu ahli bedah
menggunakan gown
e. Membuka dan menutup sarung tangan
f. Menghitung : kasa, instrumen, jarum, khusus
g. Teknik aseptik
h. Penatalaksanaan kateter urine
i. Penatalaksanaan drainage/balutan
 Komunikasikan situasi yang merugikan pada ahli bedah, ahli
anesthesia, atau perawat yang bertanggung jawab, atau bertindak yang
tepat untuk mengontrol atau menangani situasi
 Gunakan peralatan secara bijaksana untuk menghemat biaya
 Bantu ahli bedah dan ahli anesthesi untuk menerapkan rencana
perawatan mereka.
20
B. Bertindak sebagai advokat pasien
1) Berikan privasi fisik
2) Jaga kerahasiaan
3) Berikan keselamatan dan kenyamanan fisik
C. Informasikan pasien mengenai pengalaman intraoperatif
1) Jelaskan segala stimulasi sensori yang akan dialami pasien
2) Gunakan ketrampilan komunikasi yang umum, mendasar untuk
menurunkan ansietas pasien . Sebagai contoh :
 Sentuhan
 Kontak mata
 Tenangkan pasien bahwa anda akan hadir di ruang operasi
 Penenangan verbal yang realistik
D. Koordinasikan aktivitas bagi personel lain yang terlibat dalam perawatan pasien;
1) X-ray, laboratorium, unit perawatan intensif, unit keperawatan bedah
2) Teknisi : gips, petugas laboratorium, dll
3) Farnakologi
4) Personel ruang operasi tambahan dan staf nonprofesional.
E. Operasionalkan dan atasi semua masalah peralatan yang umumnya
digunakan di ruang operasi dan tugaskan layanan khusus (termasuk
autoklaf)
F. Ikut serta dalam konferensi perawatan pasien
G. Dokumentasikan semua observasi dan tindakan yang sesuai dalam format
yang dibutuhkan, termasuk catatan pasien
H. Komunikasikan baik verbal dan tertulis, dengan staf ruang pemulihan dan
staf keperawatan bedah rawat jalan (yang terkait) mengenai status
kesehatan pasien saat pemindahan dari ruang operasi.

5. Evaluasi
A. Mengevaluasi kondisi pasien dengan cepat sebelum dikeluarkan dari ruang
operasi, contoh :
1) Kondisi respiratori : bernafas dengan mudah (mandiri atau dibantu)
21
2) Kondisi kulit : warna baik, tidak ada abrasi, luka bakar, memar
3) Fungsi selang invasif : IV, drain, kateter, NGT(tidak ada kekakuan atau
obstruksi, berfungsi secara normal)
4) Letak bantalan grounding : kondisi baik
5) balutan : adekuat untuk drainage, terpasang dengan baik, tidak
terlalu ketat, dst
B. Ikut serta dalam mengidentifikasi praktik perawatan pasien yang tidak aman
dan menanganinya dengan baik
C. Ikut serta dalam mengevaluasi keamanan lingkungan, contoh : peralatan,
kebersihan
D. Melaporkan dan mendokumentasikan segala perilaku dan masalah yang
merugikan
E. Menunjukkan pemahaman tentang prinsip asepsis dan praktik keperawatan
teknis
F. Mengenali tanggung gugat legal dari keperawatan perioperatif

22
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jadi dapat disimpulkan bahwa benign prostat hipertrofi adalah pembesaran pada kelenjar
prostat, ditandai dengan meningkatnya ukuran kelenjar periuretra yang disebabkan karena
hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat yang biasanya terjadi pada pria berusia lebih
dari 50 tahun.

23
DAFTAR PUSTAKA
Mustadiarto. 2011. Askep Perioperatif Bph.
https://dokumen.tips/download/link/askep-perioperatif-bph-. (22 Agustus 2019)
Mahummad A., 2008., Benigna Prostate Hiperplasia., http://ababar.blogspot
.com/2008/12/benigna-prostate-hyperplasia.html. (22 Agustus 2019)
Subhan. 2011. Asuhan keperawatan Benign Prostat Hiperplasia (Bph).
http://ahmadfirmanismail.blogspot.com/2012/06/askep-benigne-prostat-hiperplasia-
bph.html?m=1. (22 Agustus 2019)
Yuliantika, Mutiara. 2013. Makalah BPH.
https://id.scribd.com/doc/177076928/Makalah-BPH. (22 Agustus 2019)

24

Anda mungkin juga menyukai