Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH EFUSI PLEURA

Disusun oleh :

Apris Sureni Rahayu (1811020069)


Zulhana Pertiwi (1811020071)
Firli Madani Akbariza (1811020081)
Danu Rekso P (1811020090)
Elsa Wulandari (1811020099)
Alwinar Hikami I (1811020132)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN S1


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2021
BAB 1
A. Latar Belakang
Efusi pleura merupakan akumulasi cairan abnormal pada rongga pleura yang disebabkan
oleh produksi berlebihan cairan ataupun berkurangnya absorpsi. Efusi pleura merupakan
manifestasi penyakit pada pleura yang paling sering dengan etiologi yang bermacam-macam
mulai dari kardiopulmoner, inflamasi, hingga keganasan yang harus segera dievaluasi dan
diterapi. Infeksi pleura (baik efusi parapneumonik maupun empyema) telah ada sejak dulu,
dilaporkan dalam teks-teks medis Yunani Kuno. Diperkirakan 4 juta orang terkena pneumonia
setiap tahunnya, dengan hampir separuhnya terkena efusi parapneumonik. Infeksi pleura
merupakan komplikasi pneumonia, dilaporkan menyerang 65 ribu pasien per tahunnya di AS dan
Inggris (Rosenstengel dan Lee, 2012) dengan perkiraan total belanja kesehatan mencapai USD
$320 juta. Infeksi pleura meningkatkan morbiditas dan mortalitas infeksi paru, dengan angka
mortalitas pada orang dewasa mencapai 20% (Rosenstengel dan Lee, 2012). Insidensinya secara
internasional diperkirakan lebih dari 3000 orang dalam 1 juta populasi tiap tahun. Di Amerika,
dijumpai 1,5 juta kasus efusi pleura setiap tahunnya (Sahn, 2008). Sementara perkiraan
prevalensinya di negara-negara maju lainnya mencapai 320 kasus per 100.000 orang (Sahn,
2006). Sedangkan di Indonesia sendiri, catatan medik Rumah Sakit Dokter Kariadi Semarang,
menunjukkan prevalensi penderita efusi pleura semakin bertambah setiap tahunnya yaitu terdapat
133 penderita pada tahun 2001 (Ariyanti, 2003).
Efusi pleura digolongkan dalam tipe transudat dan eksudat, berdasarkan mekanisme
terbentuknya cairan dan biokimiawi cairan pleura. Transudat timbul karena akibat
ketidakseimbangan antara tekanan onkotik dan tekanan hidrostatik, sementara eksudat timbul
akibat peradangan pleura atau berkurangnya drainase limfatik. Pada beberapa kasus, cairan
pleura yang dihasilkan dapat saja menunjukkan kombinasi sifat transudat dan eksudat(Rubins,
2011).
Langkah awal dalam mencari penyebab efusi adalah dengan menentukan apakah cairan
itu transudat atau eksudat (Yetkinet al, 2006). Jika ternyata hasilnya adalah transudat, maka
kemungkinan penyebabnya relatif lebih sedikit, oleh karenanya tidak perlu dilakukan prosedur
diagnostik yang lebih jauh lagi terhadap cairan pleura tersebut. Namun jika hasilnya adalah
eksudat, ada banyak kemungkinan penyebab yang mendasarinya sehingga pemeriksaan
diagnostik selanjutnya perlu dilakukan (Yataco dan Dweik, 2005)
B. Tujuan
Tujuan umum
1. Mengetahui validitas kadar glukosacairan pleuradalam memprediksi diagnosis efusi pleura
parapneumonik.

Tujuan khusus
1. Mengetahui sensitivitaskadar glukosa cairan pleura dalam diagnosis efusi pleura
parapneumonik.
2. Mengetahui spesifisitas kadar glukosa cairan pleura dalam diagnosis efusi pleura
parapneumonik.
3. Mengetahui nilai prediksi positif kadar glukosa cairan pleura dalam diagnosis efusi pleura
parapneumonik.
4. Mengetahui akurasi kadar glukosa cairan pleura dalam diagnosis efusi pleura parapneumonik.
BAB II
A. Definisi
Pleura adalah membran tipis terdiri dari 2 lapisan yaitu pleura viseralis dan pleura
parietalis. Kedua lapisan ini bersatu di daerah hilus arteri dan mengadakan penetrasi dengan
cabang utama bronkus, arteri dan vena bronkialis, serabut saraf dan pembuluh limfe. Secara
histologi kedua lapisan ini terdiri dari sel mesotelial, jaringan ikat, pembuluh darah kapiler
dan pembuluh getah bening.
Menurut Huda dan Kusuma (2016: 185) efusi pleura adalah pengumpulan cairan dalam
runggga pleura yang terletak diantara permukaan visceral dan parietal, proses terjadinya
penyakit primer jarang terjadi tetapi biasanya merupakan penyakir sekunder terhadap
penyakit lain.
Menurut Wijayaningsih (2013: 31) Efusi pleura adalah penumpukan cairan di dalam
ruang pleura, proses penyakit primer jarang terjadi namun biasanya terjadi sekunder akibat
penyakit lain. Efusi dapat berupa cairan jernih, yang mungkin merupakan transundat,
eksudat, atau dapat berupa darah atau pus.
Menurut Muttaqin (2012: 126) Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat
penumpukan cairan dalam pleura berupa transundat atau eksudat yang diakibatkan terjadinya
ketidakseimbangan antara produksi dan absorpsi di kapiler dan pleura viseralis.

B. Etiologi
Etiologi efusi pleura transudat, antara lain :
a) Penyakit jantung: penyakit jantung kongestif, constrictive pericarditis
b) Atelektasis paru
c) Sindrom nefrotik
d) Sirosis hepatis yang menyebabkan terjadinya hepatic hydrothorax
e) Penyakit endokrin: hipoalbuminemia, myxedema
f) Uropati obstruktif yang menyebabkan terjadinya urinothorax
g) Latrogenik akibat trauma operasi ke spinal torakalis yang menyebabkan bocornya
cairan cerebrospinal ke kavum pleura.
Etiologi efusi pleura eksudat, antara lain:
a) Infeksi paru: pneumonia,tuberkukosis,infeksi jamur, perikarditis
b) Keganasan : kanker payudara, limfoma, leukemia, sarkoma, melanoma
c) Penyakit inflamasi : lupus, pankreatitis, artritis rheumatoid
d) Obstruksi limfatik yang menyebabkan terjadinya chylothorax
e) Peningkatan kolesterol cairan pleura secara kronis: pseudochylothorax
f) Hemothorax
g) Emboli paru

C. Epidemiologi
Data epidemiologi mengenai insidensi pasti efusi pleura pada dasarnya sulit ditentukan
karena efusi pleura hanyalah manifestasi dari penyakit yang mendasarinya. Di Amerika
Serikat, terdapat sekitar 1.5 juta kasus efusi pleura setiap tahunnya.

D. Pathofisiologi

Patofisiologi efusi pleura didasari ketidakseimbangan antara produksi dan absorpsi cairan
di kavum pleura, sehingga menyebabkan akumulasi cairan pleura, baik berupa transudat
maupun eksudat. Keduanya terbentuk melalui mekanisme yang berbeda, meskipun tidak
jarang cairan pleura ditemukan memiliki karakteristik transudat dan eksudat bersamaan

1. Cairan pada Kavum Pleura


Pada dasarnya, kavum pleura sudah mengandung cairan sekitar 0.1 ml/kg sampai 0.3
ml/kg yang berfungsi sebagai pelumas antara permukaan pleura viseral dan parietal.
Cairan pleura ini terus diproduksi oleh sistem vaskular di permukaan pleura parietal dan
diabsorpsi oleh sistem limfatik di permukaan diafragma dan mediastinum dari pleura
parietal secara kontinu sehingga volumenya tetap dalam batas normal tersebut. Walau
demikian, pada efusi pleura, terjadi ketidakseimbangan antara produksi dan absorpsi
cairan ini sehingga terjadi akumulasi cairan pleura.
2. Cairan Pleura Transudat
Cairan pleura transudat terjadi akibat ketidakseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik.
Tekanan hidrostatik sistem vaskular pleura parietal akan mendorong cairan interstisial ke
kavum pleura sehingga terjadi akumulasi cairan transudat yang kadar proteinnya lebih
rendah dari serum. Penyakit yang umum menyebabkan cairan pleura transudat adalah
penyakit jantung kongestif, dan sirosis.
3. Cairan Pleura Eksudat
Cairan pleura eksudat terjadi akibat inflamasi pleura. Inflamasi parenkim/pleura akan
meningkatkan permeabilitas sel mesotel dan kapiler sehingga terjadi akumulasi cairan di
kavum pleura. Selain itu, terganggunya drainase limfatik juga merupakan proses yang
dapat menyebabkan terjadinya cairan pleura eksudat ini. Akibat peningkatan
permeabilitas membran pleura, cairan yang terakumulasi akan memiliki kadar protein
yang lebih tinggi dari serum. Contoh kondisi yang umum menyebabkan cairan pleura
eksudat adalah infeksi dan malignansi.

E. Manifestasi Klinis
Adapun manifestasi klinik dari efusi pleura yaitu :
a) Adanya timbunan cairan mengakibatkan perasaan sakit karena pergesekan, setelah
cairan cukup banyak rasa sakit hilang. Bila cairan banyak, penderita akan sesak
nafas.
b) Adanya gejala penyakita seperti demam, menggigil,dan nyeri dada pleuritis
(pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberculosis), banyak keringat,
batuk, banyak riak.
c) Deviasi trakea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika penumpukan cairan
pleural yang signifikan.
d) Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan, karena
cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan berkurang bergerak dalam
pernafasan, fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati daerah
pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis melengkung
(garis ellis damoiseu).
e) Didapati segi tiga garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani dibagian
atas garis ellis damoiseu. Segitiga grocco-rochfusz, yaitu dareah pekak kkarena
cairan mendorong mediastinum kesisi lain,pada auskulasi daerah ini didapati
vesikuler melemah dengan ronki.
f) Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi pleura.
F. Pathway
G. Penatalaksanaan
Menurut Wijaya & Putri (2013) tujuan umum penatalaksanaan adalah
1. Untuk mencegah penumpukan kembali cairan
2. Menghilangkan ketidaknyamanan serta dyspnea
3. Menghilangkan ketidaknyamanan sertadyspnea

Pengobatan spesifik ditunjukan untuk penyebab dasar, misalnya : gagal jantung


kongestif (CHF), pneumonia, sirosis hepatis.
Tindakan yang dilakukan yaitu :

1. Torakosintesis
a) Untuk membuang cairan pleura
b) Mendapatkan specimen untuk analisis
c) Menghilangkan dispnea
2. Pemasangan selang dada atau drainage.
Hal ini dilakukan jika torakosintesis menimbulkan nyeri, penipisan
3. Obat-obatan
Antibiotik, jika agen penyebab adalah kuman atau bakteri
4. Antibiotik, jika agen penyebab adalah kuman atau bakteri
5. Pemberian nitrogen mustard atau tetrasiklin melalui selang dada
H. Algoritm Penanganan Kekritisannya Pada Masing-Masing Kasus
BAB III
NURSING PROCESS

1. Pengkajian

a. Identitas Pasien
Pada tahap ini meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat rumah, agama atau
kepercayaan, suku bangsa, bahasa yang dipakai, status pendidikan dan
pekerjaan pasien.
b. Keluhan Utama
Biasanya pada pasien dengan efusi pleura didapatkan keluhan berupa : sesak
nafas, rasa berat pada dada, nyeri pleuritik akibat iritasi pleura yang bersifat
tajam dan terlokasilir terutama pada saat batuk dan bernafas serta batuk non
produktif.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dengan effusi pleura biasanya akan diawali dengan adanya tanda -tanda
seperti batuk, sesak nafas, nyeri pleuritik, rasa berat pada dada, berat badan
menurun dan sebagainya.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu ditanyakan apakah pasien pernah menderita penyakit seperti TBC paru,
pneumoni, gagal jantung, trauma, asites dan sebagainya. Hal ini diperlukan
untuk mengetahui kemungkinan adanya faktor predisposisi.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit
penyakit yang disinyalir sebagai penyebab effusi pleura seperti Ca paru, asma,
TB paru dan lain sebagainya.
f. Riwayat Psikososial
Meliputi perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara mengatasinya
serta bagaimana perilaku pasien terhadap tindakan yang dilakukan terhadap
dirinya.
g. Pengkajian Pola Fungsi

1. Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat.


2. Adanya tindakan medis dan perawatan di rumah sakit mempengaruhi
perubahan persepsi tentang kesehatan, tapi kadang juga memunculkan
persepsi yang salah terhadap pemeliharaan kesehatan.
3. Kemungkinan adanya riwayat kebiasaan merokok, minum alcohol dan
penggunaan obat-obatan bias menjadi faktor predisposisi timbulnya
penyakit.
4. Pola nutrisi dan metabolism
5. Dalam pengkajian pola nutrisi dan metabolisme, kita perlu melakukan
pengukuran tinggi badan dan berat badan untuk mengetahui status nutrisi
pasien.
6. Perlu ditanyakan kebiasaan makan dan minum sebelum dan selama MRS
pasien dengan effusi pleura akan mengalami penurunan nafsu makan
akibat dari sesak nafas dan penekanan pada struktur abdomen.
7. Peningkatan metabolisme akan terjadi akibat proses penyakit. pasien
dengan effusi pleura keadaan umumnya lemah.
h. Pola eliminasi
Dalam pengkajian pola eliminasi perlu ditanyakan mengenai kebiasaan
defekasi sebelum dan sesudah MRS. Karena keadaan umum pasien yang
lemah, pasien akan lebih banyak bedrest sehingga akan menimbulkan
konstipasi, selain akibat pencernaan pada struktur abdomen menyebabkan
penurunan peristaltik otot-otot tractus digestivus.
i. Pola aktivitas dan latihan

1) Akibat sesak nafas, kebutuhan O2 jaringan akan kurang terpenuhi.

2) Pasien akan cepat mengalami kelelahan pada aktivitas minimal.

3) Disamping itu pasien juga akan mengurangi aktivitasnya akibat


adanya nyeri dada.
4) Untuk memenuhi kebutuhan ADL nya sebagian kebutuhan pasien
dibantu oleh perawat dan keluarganya.

j. Pola tidur dan istirahat

1) Adanya nyeri dada, sesak nafas dan peningkatan suhu tubuh akan
berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan tidur dan istirahat.

2) Selain itu, akibat perubahan kondisi lingkungan dari lingkungan rumah


yang tenang ke lingkungan rumah sakit, dimana banyak orang yang
mondar - mandir, berisik dan lain sebagainya.

i. Pemeriksaan Fisik

1) Status Kesehatan Umum

Tingkat kesadaran pasien perlu dikaji, bagaimana penampilan pasien


secara umum, ekspresi wajah pasien selama dilakukan anamnesa,
sikap dan perilaku pasien terhadap petugas, bagaimana mood pasien
untuk mengetahui tingkat kecemasan dan ketegangan pasien.

2) Sistem Respirasi

Inspeksi pada pasien efusi pleura bentuk hemithorax yang sakit


mencembung, iga mendatar, ruang antar iga melebar, pergerakan
pernafasan menurun. Pendorongan mediastinum ke arah hemithorax
kontra lateral yang diketahui dari posisi trakhea dan ictus kordis.
Pernapasan cenderung meningkat dan pasien biasanya dyspneu.

a) Fremitus tokal menurun terutama untuk effusi pleura yang


jumlah cairannya > 250 cc. Disamping itu pada palpasi juga
ditemukan pergerakan dinding dada yang tertinggal pada dada
yang sakit.
b) Suara perkusi redup sampai pekak tegantung jumlah cairannya.
Bila cairannya tidak mengisi penuh rongga pleura, maka akan
terdapat batas atas cairan berupa garis lengkung dengan ujung
lateral atas ke medical penderita dalam posisi duduk. Garis ini
disebut garis Ellis-Damoisseaux. Garis ini paling jelas di
bagian depan dada, kurang jelas di punggung.
c) Auskultasi suara nafas menurun sampai menghilang. Pada
posisi duduk cairan makin ke atas makin tipis, dan dibaliknya
ada kompresi atelektasis dari parenkian paru, mungkin saja
akan ditemukan tanda tanda auskultasi dari atelektasis
kompresi di sekitar batas atas cairan.

3) Sistem Cardiovasculer

a) Pada inspeksi perlu diperhatikan letak ictus cordis, normal


berada pada ICS-5 pada linea medio klavikula kiri selebar 1
cm. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya
pembesaran jantung.
b) Palpasi untuk menghitung frekuensi jantung (health rate) harus
diperhatikan kedalaman dan teratur tidaknya denyut jantung,
perlu juga memeriksa adanya thrill yaitu getaran ictuscordis.
c) Perkusi untuk menentukan batas jantung dimana daerah
jantung terdengar pekak. Hal ini bertujuan untuk menentukan
adakah pembesaran jantung atau ventrikel kiri.
d) Auskultasi untuk menentukan suara jantung I dan II tunggal
atau gallop dan adakah bunyi jantung III yang merupakan
gejala payah jantung serta adakah murmur yang menunjukkan
adanya peningkatan arus turbulensi darah.

4) Sistem Pencernaan

a) Pada inspeksi perlu diperhatikan, apakah abdomen membuncit


atau datar, tepi perut menonjol atau tidak, umbilicus menonjol
atau tidak, selain itu juga perlu di inspeksi ada tidaknya
benjolan-benjolan atau massa.

b) Auskultasi untuk mendengarkan suara peristaltik usus dimana


nilai normalnya 5-35 kali per menit.
c) Pada palpasi perlu juga diperhatikan, adakah nyeri tekan
abdomen, adakah massa (tumor, feces), turgor kulit perut untuk
mengetahui derajat hidrasi pasien, apakah hepar teraba.

d) Perkusi abdomen normal tympani, adanya massa padat atau


cairan akan menimbulkan suara pekak (hepar, asites,
vesikaurinarta, tumor).

e) Sistem Neurologis

Pada inspeksi tingkat kesadaran perlu dikaji Disamping itu juga


diperlukan pemeriksaan GCS, apakah composmentis atau
somnolen atau comma. Pemeriksaan refleks patologis dan
refleks fisiologisnya.Selain itu fungsi-fungsi sensoris juga
perlu dikaji seperti pendengaran, penglihatan, penciuman,
perabaan dan pengecapan.

5) Sistem Muskuloskeletal

Pada inspeksi perlu diperhatikan adakah edema peritibial.Selain itu,


palpasi pada kedua ekstremetas untuk mengetahui tingkat perfusi
perifer serta dengan pemerikasaan capillary refiltime. Dengan
inspeksi dan palpasi dilakukan pemeriksaan kekuatan otot kemudian
dibandingkan antara kiri dan kanan.
6) Sistem Integumen

Inspeksi mengenai keadaan umum kulit higiene, warna ada tidaknya


lesi pada kulit, pada pasien dengan efusi biasanya akan tampak
cyanosis akibat adanya kegagalan sistem transport.
2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah keputusan klinis mengenai seseorang,


keluarga atau masyarakat sebagai akibat dari masalah kesehatan atau proses
kehidupan yang aktual ataupun potensial. Diagnosa keperawatan merupakan
dasar dalam penyusunan rencana tindakan asuhan keperawatan (Dinarti &
Mulyanti, 2017).

Adapun dignosa yang diangkat dari masalah sebelum dilakukan


tindakan infasif adalah:

a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambata upaya nafas


(kelemahan otot nafas) (D.0005)
b. Nyeri akut berhubungan denganagen pencedera fisiologis (inflamasi,
iskemia, neoplasma) (D.0077)
c. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidak seimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen (D.0056)
d. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (D.0130)
e. Defisit nutrisi berhubungan dengan kurangnya asupan makanan (D.0019)
f. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi.
(D.0111) (PPNI, 2017).

Adapun dignosa yang diangkat dari masalah setelah dilakukan tindakan


infasif adalah:

a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur operasi)


(D.0077)
b. Risiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif (D.0142)

(PPNI, 2017).

3. Intervensi Keperawatan

Intervensi yang dapat dilaksanakan oleh perawat berdasarkan standard


intervensi keperawatan Indonesia (SIKI)

a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambata upaya nafas.


(D.0005)
1) Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pola
nafas membaik.
2) Kriteria hasil
1. Dyspnea menurun
2. Penggunaan otot bantu nafas menurun
3. Pemanjangan fase ekspirasi menurun
4. Otopnea menurun
5. Pernapasan pursed-lip menurun
6. Frekuensi nafas membaik
3) Intervensi

a) Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman, usaha nafas)


b) Monitor bunyi nafas tambahan (mis. Gurgling, mengi, wheezing ,
ronchi kering)
c) Pertahankan kepatenan jalan nafas head-tilt dan chin-lift (jaw-
thrust jika curiga trauma sevikal)
d) Posisikan semi-fowler atau fowler
e) Berikan oksigen jika perlu
f) Ajarkan teknik batuk efektif
g) Kolaborasi pemberian bronkodilator,ekspektoran, mukolitik, jika
perlu.

b. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis ( inflamasi,


iskemia, neoplasma) (D.0077)
1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri
menurun
2) Kriteria hasil :

1. Keluhan nyeri menurun


2. Melaporkan nyeri terkontrol meningkat
3. Meringis menurun
4. Penggunaan analgetik menurun
5. Tekanan darah membaik
3) Intervensi
a) Identifikasi skala nyeriIdentifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas nyeri.
b) Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
c) Pertimbangan jenis dan sumber nyeri dalam pemiihan strategi
meredakan nyeri
d) Anjurkan tekhnik nonfarmakologi untuk mengurangi rasa nyeri
e) Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

c. Intoleransi aktifitas (D.0056)


1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawaan diharapkan akitifitas
pasien meingkat
2) Kriteria hasil
1. Kemudahan melakukan aktifitas
2. Dyspnea saat beraktifitas menurun
3. Dspnea setelah beraktifitas menurun
4. Perasaan lemah menurun
5. Tekanan darah membaik
6. Frekueni nadi membaik
3) Intervensi
a) Identifkasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan
b) Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan aktifitas
c) Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus (mis. Cahaya,
suara, kunjungan)
d) Anjurkan tirah baring
e) Melakukan aktvitas secara bertahap

d. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (D.0130)


1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharpkan suhu kembali
membaik
2) Kriteria hasil :
1. Mengigil menurun
2. Kulit merah menurun
3. Takikardia menurun
4. Takipnea menurun
5. Tekanan darah membaik
6. Suhu tubuh membaik
3) Intervensi
a) Identifikasi penyebab hipertermia (mis.dehidrasi, terpapar lingkungan
panas, penggunaan incubator)
b) Monitor suhu tubuh
c) Monitor komplikasi akibat hipertermia
d) Sediakan lingkungan yang dingin(atur suhu ruangan)
e) Longgarkan atau lepas pakaian
f) Berikan cairan oral
g) Anjurkan tirah baring

e. Defisit nutrisi berhubungan dengan kurangnya asupan makanan (D.0019)


1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan status nutrisi membaik
2) Kriteria hasil
1. Porsi makanan yang dihabiskan meningkat
2. Berat bada membaik
3. Nafsu makan membaik
4. Indeks masa tubuh (IMT) membaik
5. Frekuensi makan membaik
3) Intervensi
a) Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
b) Monitor asupan makanan
c) Identifikasi perubahan berat badan
d) Monitor berat badan
e) Timbang berat badan
f) Berikan makanan tinggi kalori dan protein
g) Kolaborasi dengan ahl gizi tentang cara meningkatkan asupan makanan
f. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi
(D.0111)
1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan
pengetahuan meningkat
2) Kriteria hasil
1. Perilaku sesuai anjuran menigkat
2. Kemampuan menjelaskan pengetahuan tentang suatu topic
mengingkat
3. Pertanyaan tentang masalah dihadapi menurun
4. Persepsi keliru terhadap masalah menurun
3) Intervensi
a) Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi
b) Sediakan materi dan media pendidikn kesehatan
c) Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan
d) Berikan kesempatan untuk bertanya
e) Jelaskan faktor resiko yang dapat mempengaruhi kesehatan

Adapun intervensi dari diagnosa setelah dilakukan tindakan invasif


tersebut adalah:

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur operasi)


(D.0077)
1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri
menurun
2) Kriteria hasil :
1. keluhan nyeri menurun
2. kemampuan menuntaskan aktifitas meningkat
3. gelisah menurun
4. frekuensi nadi membaik
5. tekanan darah membaik
3) Intervensi
a) Identifikasi respon nyeri non verbal
b) Identifikasi skala nyeri
c) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi , frekuensi, kualitas, intensitas
nyeri
d) Pertimbangan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
e) Anjurkan tekhnik nonfarmakologi untuk mengurangi rasa nyeri
f) Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

2. Risiko infeksi berhubungan dengan efek tindakan invasif. (D.0142)


1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan resiko
infeksi menurun
2) Kriteria hasil :
1. Demam menurun
2. Kebersihan badan meningkat
3. Bengkak menurun
4. Kemerahan menurun
5. Kultur sputum membaik\kultur area luka membaik
3) Intervensi
a) Monitor tanda dan gejala infeksi dan sistemik
b) Batasi jumlah pengunjung
c) Berikan perawatan kulit pada area edema
d) Cuci tangan sesudah atau sebelum kontak dengan pasien
e) Pertahankan tekhnik aseptic
f) Jelaskan tanda dan gejala infeksi
g) Ajarkan mencuci tangan dengan benar
h) Kolaborasi pemberian antibiotic, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA

Boka K. Pleural effusion. Medscape [2018 Dec 28].


https://emedicine.medscape.com/article/299959-overview.

https://id.scribd.com/document/344707489/ALGORITMA-EFUSI

Karkhanis VS, Joshi JM. Pleural effusion: diagnosis, treatment, and management. Open Access

Emerg Med. 2012; 4: 31-52. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4753987/.

Kartika Sari Wijayaningsih.2013.Standar Asuhan Keperawatan: Jakarta.TIM


Krishna R, Rudrappa M. Pleural effusion. Statpearls [Internet].
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448189/.

Morton dkk.(2012). Keperawatan Kritis.Jakarta:EGC.


Muttaqin,A ,(2012). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Pernafasan.Jakarta:Salemba Medika.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. SDKI SLKI SIKI. Jakarta selatan:Dewan Pengurus Pusat PPNI

Anda mungkin juga menyukai