Anda di halaman 1dari 14

Disusun sebagai Ujian Tengah Semester (Take Home)

Mata Kuliah Landasan Pedagogik

Dosen :

Dr. Ocih Setiasih, M.Pd

Oleh:

Nama : Hari Abdus Salam


NIM : 1803365
Kelas :B

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN FISIKA

SEKOLAH PASCASARJANA (SPS)

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG

2018
1. Sebagai sebuah disiplin ilmu pengetahuan yang otonom, Pedagogik memiliki
landasan ontologi (objek), landasan epistemology (metode), dan landasan
aksiologi (nilai atau manfaat). Pedagogik juga tidak terlepas dari sumbangan
disiplin ilmu pengetahuan lainnya.
a. Objek, Metode dan Nilai/Manfaat Pedagogik
Kajian Objek Pedagogik :
Menurut Prof. Dr. J. Hoogveld (Belanda) Pedagogy is the study of the
problem to guide children towards a specific purpose, namely that he was later
able to independently accomplish the task of his life. Pedagogic is the science
education of children (Bowwer, 2008). Sedangkan menurut Suwarno istilah
pedagogi berarti pendidikan, yang lebih menekankan kepada praktek, menyangkut
kegiatan mendidik, kegiatan membimbing anak. Adapun Al Ghazali (1990) dalam
kitabnya Ihya Ulumudin mengatakan bahwa Pendidikan adalah proses yang
bertujuan untuk mendekaktan diri kepada sang pencipta. Dapat disimpulkan bahwa
ilmu pedagogik adalah ilmu tentang dasar-dasar mendidik yang sistematis, kritis
dan obyektif yang bertujuan untuk menjadikan manusia mandiri dan mampu
menyelesaikan masalah hidupnya juga dapat mendekatkan diri kepada sang
pencipta.
Objek ilmu pedagogik dibedakan menjadi dua yaitu objek material dan objek
formal. Objek material adalah seseuatu yang dipelajari dalam wujud materinya,
sedangkan objek formal adalah suatu bentuk yang khas atau spesifik dari objek
material yang dipelajari oleh suatu ilmu.
Kajian Epistemologi Pedagogik (Medote)
Dasar epistemologis diperlukan oleh pendidikan agar terciptanya ilmu
pendidikan yang berkembang dan produktif. Inti dasar epistemologis adalah bahwa
dalam menjelaskaan objek formalnya, ilmu pendidikan tidak hanya
mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada teori dan ilmu pendidikan
sebgaai ilmu otonom yang mempunyi objek formil sendiri atau problematika
sendiri sekalipun tidak dapat hanya menggunkan pendekatan kuantitatif atau pun
eksperimental (Campbell & Stanley, 1963). Sehingga untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan perlu dilakukan eksperiment dan observasi diantaranya:
 Isomeristik – penggabungan berbagai disiplin menjadi kebulatan tersendiri
 Sistematik – berurutan, terencana & terarah
 Sinergistik – berdaya lipat/nilai tambah
 Sistemik – menyeluruh/komprehensif
 Inovatif – pembaharuan apa yang ada
 Integratif – terjalin dalam suatu sistem & tidak terpisahkan
Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara
korespondensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis
(Randall & Buchler, dalam Saridewi 2010).

Kajian Aksiologis Pedagogik (Nilai atau Manfaat)


Aksiologi merupakan cabang filsafat yang membahas teori-teori nilai dan
berusaha menggambarkan apa yang dinamakan dengan kebaikan dan perilaku yang
baik. Bagian dari aksiologi adalah etika dan estetika. Etika menunjuk pada kajian
filsafati tentang nilai-nilai moral dan perilaku manusia. Estetika berkaitan dengan
kajian nilai-nilai keindahan dan seni.
Manfaatan teori Aksiologi ilmu pendidikan diperlukan untuk memberikan
dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia
secara beradab. Oleh karena itu nilai ilmu pendidikan tidak hanya bersifat intrinsic
sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu untuk
menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek mmelalui kontrol
terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam
pendidikan.
Dengan demikian ilmu pendidikan tidak bebas menilai mengingat hanya
terdapat batas yang sangat tipis antar pekerjaan ilmu pendidikan dan tugas pendidik
sebagi pedagok. Dalam hal ini relevan sekali untuk memperhatikan pendidikan
sebagai bidang yang sarat nilai seperti dijelaskan oleh Phenix dalam Saridewi
(2010). Itu sebabnya pendidikan memerlukan teknologi pula tetapi pendidikan
bukanlah bagian dari iptek. Namun harus diakui bahwa ilmu pendidikan belum
jauh pertumbuhannya dibandingkan dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu
prilaku. Lebih-lebih di Indonesia. Implikasinya ialah bahwa ilmu pendidikan lebih
dekat kepada ilmu prilaku kepada ilmu-ilmu sosial, dan harus menolak pendirian
lain bahwa di dalam kesatuan ilmu - ilmu terdapat unifikasi satu - satunya metode
ilmiah (KalrPerason dalam Saridewi 2010).
b. Sumbangan dari disiplin ilmu pengetahuan lain (psikologi, sosiologi,
antrofologi, dan sejarah) terhadap Pedagogik
Landasan sosiologis memberikan gagasan-gagasan mendasar yang
digunakan untuk menentukan atau menetapkan kebutuhan, kepentingan, isu-isu,
kekuatan, aspirasi, dan/atau konstruksi masa depan sosial atau masyarakat, yang
harus diakomodasi di dalam teoriteori atau prinsip-prinsip disiplin ilmu pendidikan
dan pendidikan disiplin ilmu pendidikan. Termasuk dalam pengertian ini adalah
kebutuhan, kepentingan, isu-isu, kekuatan, dan/atau aspirasi yang berkembang di
dalam masyarakat atau komunitas pendidikan itu sendiri, juga komunitas disiplin
ilmu yang lain. Landasan ini akan memberikan “signifikansi sosiologis” kepada
disiplin ilmu pendidikan dan pendidikan disiplin ilmu pendidikan, dan pendidikan
itu sendiri sebagai “institusi sosial” yang berikhtiar untuk menyinambungkan
kehidupan sosial/ masyarakat, sekaligus melakukan perubahan-perubahan yang
konstruktif (Dryden, ed., 1956; Dewey, 1964; Kuhn, 2001).
Landasan antropologis/kultural memberikan gagasan-gagasan mendasar
yang digunakan untuk menentukan atau menetapkan pola, struktur, atau sistem
disiplin ilmu pendidikan dan pendidikan disiplin ilmu pendidikan yang sesuai atau
relevan dengan pola-pola kebudayaan atau kompleks sistem perilaku manusia dan
masyarakatnya di mana disiplin ilmu pendidikan dan pendidikan disiplin ilmu
pendidikan itu dibangun dan dikembangkan. Landasan ini selain akan memberikan
“signifikansi antropolois” kepada disiplin ilmu pendidikan dan pendidikan disiplin
ilmu pendidikan, juga memberikan dasar kepada pendidikan sebagai “institusi
budaya” yang berikhtiar untuk menyinambungkan kehidupan kultural masyarakat,
sekaligus melakukan perubahan-perubahan kultural yang konstruktif (Wax,
Diamond, & Gearing, eds., 1971; Pai, 1990).
Landasan psikologis memberikan gagasan-gagasan mendasar yang
digunakan untuk menentukan atau menetapkan cara-cara disiplin ilmu pendidikan
dan pendidikan disiplin ilmu pendidikan membangun dan mengembangkan struktur
pengetahuannya menurut cara-cara manusia membangun dan mengembangkan
pengetahuannya di dalam “struktur entitas-entitas psikologisnya” (personal atau
komunal). Secara epistemologis, konstruksi dari struktur disiplin ilmu pendidikan
dan pendidikan disiplin ilmu pendidikan merupakan jalinan yang mensatu-dunia di
antara dua entitas (realitas dunia sebagai “objek” dan realitas manusiawi sebagai
“subyek”) (Popper, 1959; Suparno, 1997).
Sejarah adalah ilmu yang mempelajari tentang kehidupan dimasa lalu.
Kajian tentang sejarah menjadi sangat penting karena pada hakikatnya guru
bukanlah orang yag serba tahu akan kehidupan dimasa datang. Namun seorang
guru adalah orang yang telah berpengalaman dalam pendidikan sehingga dalam
proses pembelajaran guru bisa belajar dari pengalaman dimasa lalu untuk
dibagiakan pada peserta didik. Melalui kajian terhadap sejarah maka serang guru
dapat mengetahui penyelesaian masalah yang bisa saja terulang didalam kelas atau
bisa melakukan perbaika sistem pembelajaran apabila pembelajaran yang telah lalu
dinilai kurang efektif.
c. Istilah futurologi dikaitkan dengan istilah-istilah riset masa depan (future
research), studi masa depan (future studies), dan riset kebijakan, Futurologi dapat
diartikan sebagai kajian atau studi tentang berbagai kecenderungan yang mungkin
terjadi di masa depan. Kajian futurologi menjadi sangat penting bagi pedagogi
karena melalui kajian ini kita bisa menyiapkan, membangun proses, dan berusaha
mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan masa depan yang memiliki tantangan
global yang belum dapat diprediksi. Apabila kajian tentang futurologi tidak
digunakan maka sudah menjadi barang pasti kompetensi anak-anak akan sangat
jauh tertinggal dan tidak dapat bersaing dengan masyarakat global. Untuk
mengimplementasikan kajian futurology ini dibutuhkanlah sebuah system yang
dapat bertanggung jawab atas perkembangan komppetensi anak, melalui
pendidikan. Pendidikan diharapkan dapat menyiapkan generasi bangsa yang dapat
menghadapi dunia global dan masa akan datang dengan baik.

2. Pedagogik tidak terlepas dari kajian tentang hakikat manusia.


a. Alasannya :
Dalam pedagogik, manusia tidak diperlakukan sebagai sebuah fakta
yang given, tetapi adalah suatu fakta yang sedang merealisasikan dirinya; bukan
hanya realisasi bayi menjadi manusia dewasa, tetapi juga realisasi pencapaian
manusia dan masyarakat paripurna. Manusia dan masyarakat paripurna
memiliki batas-batas akhir yang relatif, karena itu pendidikan adalah pendidikan
seumur hidup. Juga, dengan asumsi ini, pedagogik menempatkan manusia
sebagai seorang tuan dari budayanya, bukan suatu makhluk yang berada dalam
kerangkeng budayanya. Juga dengan cara ini pedagogik menjadi sebuah disiplin
yang otonom.
Di samping manusia sebagai sebuah fakta yang ongoing, manusia juga
suatu fakta multidimensi. Ilmu-ilmu hanya mengungkap dimensi-dimensinya
yang tertentu dan ”objektif”. Psikologi hanya mengungkap dimensi tingkah laku
atau kesadarannya belaka; antropologi budaya hanya mengungkap dimensi
budayanya belaka; antropologi fisik hanya mengungkap dimensi manusia yang
fisik; dan seterusnya. Dimensi rohaniah dan transendental manusia diungkap
oleh filsafat. Ilmu belaka untuk studi manusia tidaklah cukup; begitupun halnya
dengan filsafat belaka. Pedagogi dalam studinya tentang manusia
mengombinasikan kedua pendekatan tersebut untuk menghasilkan suatu sistem
pedagogi yang diharapkan.

b. Manusia adalah sebagai: (a) mahluk pendidikan, (b) dunia manusia adalah
dunia terbuka, (c) manusia adalah makhluk yang belum selesai, (d) manusia
adalah mahluk yang mampu bereksistensi, (e) manusia adalah mahluk
religius

Sejak kelahirannya manusia memang adalah manusia, tetapi ia tidak secara


otomatis menjadi manusia dalam arti dapat memenuhi berbagai aspek hakikat
manusia. Manusia memiliki hak otonom terhadap dirinya dalam memilih segala
sesuatu. Dalam perkembannya manusia harus tetap di didik agar menjadi manusia
seutuhnya, sehingga manusia menjadi subjek pendidikan.
perkembangan manusia bersifat terbuka atau mengandung berbagai kemungkinan.
Manusia berkembang sesuai kodrat dan martabat kemanusiaannya atau mampu
menjadi manusia, sebaliknya mungkin pula ia berkembang ke arah yang kurang
sesuai atau bahkan tidak sesuai dengan kodrat dan martabat kemanusiaannya.
sebagai kesatuan badani-rohani manusia memiliki historisitas dan hidup bertujuan.
Oleh karena itu, eksistensi manusia terpaut dengan masa lalunya (misal ia berada
karena diciptakan Tuhan, lahir ke dunia dalam keadaan tidak berdaya sehingga
memerlukan bantuan orang tuanya atau orang lain, dan seterusnya), serta sekaligus
menjangkau masa depan untuk mencapai tujuan hidupnya. Manusia berada dalam
perjalanan hidup, perkembangan, dan pengembangan diri. la adalah manusia, tetapi
sekaligus "belum selesai" mewujudkan diri sebagai manusia.
c. Implikasi dari pandangan hakikat manusia dalam kaitannya dengan hakikat
pendidikan sebagai “humanisasi” dan bagaimana peran pendidik

Konsep hakikat manusia sebagai kesatuan yang terintegrasi dari badaniyah


dan uhaniyah, mengimplikasikan bahwa sasaran pendidikan bukan aspek
badaniyah saja, bukan pula aspek kejiwaan saja, pun demikian bukan aspek
kemampuan berpikir saja, bukan pula hanya dimensi individualitas atau sosialitas
saja.
Sasaran pendidikan hakikatnya adalah manusia sebagai kesatuan yang
terintegrasi. Jika konsep sasaran pendidikan tidak demikian, pendidikan tidak akan
dapat membantu kita demi mewujudkan manusia seutuhnya.
Implikasinya, pendidikan harus berfungsi untuk mewujudkan berbagai
potensi yang ada pada manusia dalam konteks dimensi keberagaman, moralitas,
individualitas, sosialitas, dan keberbudayaan secara menyeluruh dan terintegrasi.
Dengan kata lain, pendidikan berfungsi untuk memanusiakan manusia.
Peranan seorang pendidik ialah bukan membentuk peserta didik, melainkan
membantu atau memfasilitasi peserta didik untuk mewujudkan dirinya dengan
mengacu kepada semboyan ingarso sung tulodo(menjadi teladan), ing madya
mangun karso (membangkitkan semangat), dan tut wuri handayani (membimbing).

3. Pendidikan hendaknya berlandaskan pada nilai-nilai agama, artinya


pendidikan menjadi sarana agar anak didik semakin mengenal
Khalik/Penciptanya.
a. menurut Al Ghazali (1990) dalam kitabnya Ihya Ulumudin mengatakan bahwa
Pendidikan adalah proses yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada sang
pencipta. Dapat disimpulkan bahwa ilmu pedagogik adalah ilmu tentang dasar-
dasar mendidik yang sistematis, kritis dan obyektif yang bertujuan untuk
menjadikan manusia mandiri dan mampu menyelesaikan masalah hidupnya
juga dapat mendekatkan diri kepada sang pencipta.
Dalam aplikasinya dalam pembelajaran di sekolah bisa terapkan dengan
berbagai macam kegiatan, diantaranya :
a. Membiasakan membaca do’a dan asmaul husna sebelum melakukan
aktifitas belajar.
b. Membiasakan program shalat duha berjamaah.
c. Membiasakan sikap disiplin
d. Menyisipkan materi agama dalam pembelajaran fisika

d. Pengertian “Multikultural” secara luas mencakup pengalaman yang


membentuk persepsi umum terhadap usia, gender, agama, status social
ekonomi, jenis identitas budaya, bahasa, ras, dan berkebutuhan khusus
(Sutarmo, 2007). Dalam pendapat lain dikemukakan, bahwa pendidikan
multikultural adalah strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis
mata pelajaran dengan menggunakan perbedaan-perbedaan kultur yang ada
pada peserta didik, seperti perbedaan etnis, agama, bahasa, gender, kelas
social, ras, kemampuan dan umur agar proses belajar menjadi lebih efektif dan
mudah (Ainul, 2005). Dalam proses pendidikan kita bisa menjelaskan
bagaimana
Menurut (Ningsih, 2011) Agar dalam pembentukan karakter bangsa dapat
berjalan efektif, maka pada materi pembelajaran pembinaan moral yang
berbasis pada pendidikan multikultural terutama dalam implementasinya pada
pendidikan di sekolah hendaknya memperhatikan beberapa hal sebagai
berikutpendidikan di sekolah hendaknya memperhatikan beberapa hal sebagai
berikut, yaitu:
1) Lembaga pendidikan harus mampu mereformasi kurikulum yang berbasis
pada pendidikan multikultural sesuai dengan falsafah negara. Dalam hal
ini perlunya kajian tentang teori kurikulum, mendeteksi penyimpangan
dalam teks, media, dan materi pelajaran, serta penyelidikan sejarah;
2) proses pendidikan dan pengajaran berbasis pada keadilan sosial, di mana
dalam hal ini harus memperhatikan tiga hal pokok penting, yaitu: aktivitas
sosial, demografi, dan kebudayaan dan ras yang mengutamakan budaya
masyarakat;
3) pendidikan multikultural yang berbasis pada kompetensi masyarakat,
dalam hal ini perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut: identitas
etnik, pengurangan prasangka, dan grup budaya etnik;
4) pendidikan multikultural berbasis equity pedagogy (modal ilmu
pendidikan), di mana dalam hal ini harus memperhatikan beberapa hal
sebagai berikut, yaitu suasana sekolah dan kelas, prestasi siswa, serta gaya
budaya dalam pengajaran dan pembelajaran.
4. Terdapat banyak tokoh pendidikan di Indonesia dan dunia.
a. Pemikiran dan konsep utama pendidikan menurut tokoh pendidikan R.D Dewi Sartika, Moh. Syafei, Ibnu Khaldun, dan John
Dewey.
Tokoh Pemikiran dan Konsep Pendidikan
R.D Dewi Sartika Konsep pendidikan yang di kemukakan beliau adalah :
1. Kemampuan kaum perempuan dapat di sejajarkan dengan kaum laki-laki “Nu Bisa Hirup”
2. Perkembangan seseorang tergantung pada pembawaan dan lingkungan
3. Jika anak dididik dengan baik maka akan bisa menyamai orang eropa
4. Konsep tujuan pendidikan yang dikembangkan oleh beliau adalah istilah cageur, bageur, bener,
pinter dan wanter.
Moh. Syafei Dasar pendidikan yang dikembangkannya adalah :
1. kemasyarakatan,
2. keaktifan,
3. kepraktisan, serta
4. berpikir logis dan rasional.
Berkenaan dengan itulah maka isi pendidikan yang dikembangkannya adalah bahan-bahan yang dapat
mengembangkan pikiran, perasaan, dan keterampilan yang dikenal dengan istilah 3 H (Head, Heart and
Hand).
Ibnu Khaldun pendidikan menurut Ibnu Khaldun adalah
“Penerangan ilmu pengetahuan dan keterampilan serta berbagai aspeknya pada karya nyata untuk
memperoleh rizki menuju kepada masyarakat lebih maju sesuai dengan kecenderungan Sebelum manusia
tamyiz, dia sama sekali tidak memiliki pengetahuan dan dianggap sebagian dari binatang.
Ibn Khaldūn memandang bahwa setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah. Ia memaknai fitrah sebagai
potensi-potensi laten yang bertransformasi menjadi aktual setelah mendapat pengaruh dari luar. Dalam hal
ini, iamenyebutkan bahwa: “Jiwa apabila berada dalam fitrahnya yang semula, siap menerima kebajikan
maupun kejahatan yang datang dan melekat padanya”.
John Dewey Jika dilihat dari pemikiran dasar dan tujuan pendidikan John Dewey, penulis menarik kesimpulan secara
umum mengenai dasar atau sumber yang dijadikan pijakan pendidikannya adalah:
1. dasar pokok dari filsafatnya teori evolusi dari Darwin;
2. teori pragmatisme.
3. dalam kejiwaan ia menganut teori
behaviorisme (teori hal tingkah laku) serta berlandaskan pada filsafat pragmatism dan pengalaman yang
merupakan dasar bagi pengetahuan dan kebijakan.

b. Persamaan dan Perbedaan Tokoh Pendidikan R.D Dewi Sartika, Moh. Syafei, Ibnu Khaldun, dan John Dewey.
Tokoh Persamaan Perbedaan

R.D Dewi Sartika Persamaan antara ke empat tokoh ini adalah : Beliau lebih mengutamakan pendidikan pada
1. sikap mereka yang reaktif (kritis) terhadap perempuan yang pada masanya dipandang rendah dan
pola-pola pendidikan pada masa mereka tidak patut untuk mendapat pendidikan yang layak
Moh. Syafei masing-masing. pendidikan yang dikembangkannya adalah bahan-bahan
2. Persamaan itu diantaranya adalah yang dapat mengembangkan pikiran, perasaan, dan
penempatan pengalaman sebagai salah keterampilan yang dikenal dengan istilah 3 H (Head,
sumber dari pengetahuan. Heart and Hand).
Ibnu Khaldun Ibn Khaldūn beranjak dari sikap keagamaan, yakni
berdasarkan pada ajaran dan nilai-nilai Islam yaitu: al-
Qur’an dan Sunnah Nabi Saw. Pemikirannya juga
dipengaruhi oleh para filosof Yunani seperti Plato,
Aristoteles dan lain-lainya. Jadi, dasar pendidikannya
bersifat teosentris, dimana di dalamnya menganut asas-
asas teologis.
John Dewey dasar pendidikan John Dewey bersumber pada
pemikiran rasional dan empiris, yakni filsafat
pragmatisme serta beberapa pemikiran dari para tokoh
filosof sebelumnya dan lainnya yang ada pada saat itu.
Dasar ini bersifat antroposentris, dimana
menggantungkan segala sesuatu
pada kekuatan manusia an sich, tanpa dikaitkan dengan
kemahakuasaan Tuhan.

a. Dasar pendidikan yang dikembangkannya adalah kemasyarakatan ,keaktifan,kepraktisan serta berpikir logis dan rasional.Mendidik
anak agar mampu bekerja secara teratur dan bersungguh-sungguh,menjadi anak yang berwatak baik dan mandiri.Dalam pelajaran
anak diperlakukan sebagai subyek bukan obyek.Guru berperan sebagai manajer belajar menciptakan situasi agar siswa aktif
berbuat

DAFTAR PUSTAKA
 (https://www.selasar.com/jurnal/33811/Pendidikan-Sebagai-Humanisasi ; diakses pada 6/11/2018, 07.30 WIB)
 Sutarno. 2007. Pendidikan Multikultural. Kalimantan Selatan: Dinas Pendidikan dan FKIP Unlam.
 Yaqin, Ainul. 2005. Pendidikan Multikultural; Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar
Media.
 Bahan Belajar Mandiri Landasan Filosis Pendidikan, file UPI direktori

 (http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEDAGOGIK/195009081981011-Y._SUYITNO/TOKOH-
TOKOH_PENDIDIKAN_DUNIA.pdf ; diakses pada 6/11/2018, 07.30 WIB)
 (http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEDAGOGIK/195009081981011-Y._SUYITNO/BUKU_PEDAGOGIK.pdf ; diakses pada
6/11/2018, 07.30 WIB)
 (http://repository.ut.ac.id/4028/1/MKDK4001-M1.pdf ; diakses pada 6/11/2018, 07.30 WIB)
 (http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/198111092005011-
SAEPUL_ANWAR/Artikel%2C_dll/KONSEP_PENDIDIKAN_IBNU_KHALDUN.pdf ; diakses pada 6/11/2018, 07.30 WIB)

 Saiful, Akbar T. 2015. Manusia dan Pendidikan Menurut Pemikiran Ibn Khaldun dan John Dewey. Jurnal Ilmiah DIDAKTIKA. VOL.
15, NO. 2, 222-243

Anda mungkin juga menyukai