Anda di halaman 1dari 10

ONTOLOGI: BEBERAPA ASUMSI DALAM ILMU

DAN BATAS PENJELAJAHAN ILMU

MAKALAH

OLEH
Detia Aulia Oktarina 06012682226003

Mata Kuliah: Filsafat Ilmu


Dosen Pengasuh: 1. Prof. Dr. Mulyadi Eko Purnomo, M.Pd.
2. Ernalida, S.Pd., M.Hum., Ph.D.

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA


PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PEDIDIKAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2022

1
1. Pendahulun

1.1 Latar Belakang

Ontologi merupakan salah satu cabang kajian dalam filsafat ilmu yang
mengkaji hal-hal bersifat metafisika atau sesuatu yang ada. Dalam filsafat ilmu,
ontologi membahas asumsi-asumsi yang melandasi teori-teori pengetahuan. Suatu
teori yang ada berasal dari asumsi-asumsi yang didukung dengan gejala alam atau
kenyataan yang ada. Asumsi dalam ilmu membahas alasan suatu fenomena bisa
terjadi dan bagaimana bisa fenomena tersebut bisa terjadi. Asumsi tersebut
melalui proses pemikiran yang mendalam sehingga bisa menghasilkan suatu tero
yang bisa dikembangkan menjadi metodelogi atau landasan suatu pengetahuan.

Selain asumsi dalam ilmu, ontologi juga membahas batasan penjelajahan


ilmu yang berkembang saat ini. 650 macam cabang ilmu yang ada saat ini
awalnya hanya berasal dari dua cabang ilmu filsafat. Cabang tersebut kemudian
membentuk ranting-ranting yang lebih kecil sehingga membentuk 650 macam
ilmu yang ada saat ini, yang bisa saja belum diketahui secara menyeluruh oleh
orang-orang. Cabang-cabang ini bisa terbentuk karena cabang ilmu utama ini
membentuk batasan-batasannya sehingga bisa mendapatkan spesialisasi yang
lebih spesifik lagi. Meskipun keilmuan-keilmuan tersebut telah terbagi kedalam
spesialisasinya masing-masing, terkadang di beberapa cabang ilmu terjadi
semacam bentrok yang menentang satu sama lain. Hal ini bisa terjadi karena
ketidak tahuan mengenai batasan masing-masing bidang kedisiplinan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Definisi asumsi dalam ilmu?


2. Apa yang menjadi batas penjelajahan ilmu?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mendefinisikan asumsi dalam ilmu.

2. Menjelaskan batas penjelajahan ilmu.

2
2. Pembahasan

2.1 Beberapa Asumsi dalam Ilmu

Ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu Ontos berarti “yang berada”
(being) dan Logos yang berarti “pikiran” (logic) dengan kata lain ontologi
merupakan ilmu yang mempelajari sesuatu “yang ada” atau “berwujud” dan
berdasarkan logika. Kattsoff (dalam Muliadi, 2020) mengemukakan bahwa
ontologi mencari ultimate reality (kenyataan atau keberadaan yang sebenarnya).
Ontologi dalam filsafat membahas tentang prinsip yang paling dasar atau paling
dalam dari sesuatu yang ada. Dalam ontologi seseorang akan menghadapi
pertanyaan bagaimana kita menerangkan hakikat dari segala yang ada ini?
Pertama kali orang dihadapkan pada adanya dua macam kenyataan. Pertama,
kenyataan berupa materi (kebenaran) dan kedua, kenyataan yang berupa rohani
(kejiwaan) dari sinilah muncul berbagai asumsi dari sesuatu yang ada.

Asumsi dalam ilmu merupakan sarana untuk mencari tahu landasan dari
suatu ilmu, dasar dari pemikiran suatu ilmu dan alasan dari asumsi yang telah
dikemukakan tersebut. Banyak ahli yang telah mengungkapkan asumsinya
mengenai apa yang ada di alam semesta ini. Asumsi-asumsi tersebut kemudian
dijadikan sebagai teori dalam pengetahuan. Namun pada kenyataannya teori-teori
tersebut tetaplah suatu asumsi. Misalnya ada seorang ahli yang berpendapat
bahwa bumi ini datar, asumsi ini sempat dipercaya dan digunakan sebagai
landasan pengetahuan mengenai bumi sebelum akhirnya dibantah oleh ahli lain.
Ahli tersebut membantah dengan menunjukan gejala-gejala alam yang ada untuk
mendukung asumsinya yang menyatakan bumi ini bulat yang masih belum
terbantahkan hingga saat ini. Hal ini menunjukan bawa sebenarnya tidak ada ilmu
yang benar-benar pasti.

Suriasumantri (2020) mengemukakan pendapatnya mengenai ilmu ukur


bidang datar (Planimetri). Ia menggambarkan seseorang yang akan membangun
rumah dan arsitek amuba yang juga ingin membangun rumah di bidang datar yang
sama. Bagi amuba bidang datar itu tidak rata dan mulus, melainkan

3
bergelombang, penuh dengan lekukan yang kurang mempesona. Permukaan yang
rata berubah menjadi kumpulan berjuta kurva. Hal ini bisa terjadi karena adanya
skala observasi. Bagi skala observasi manusia bidang datar memang bidang datar
seperti yang kita ketahui tapi bagi amuba bidang datar ini merupakan daerah yang
berbukit-bukit.

Jadi secara mutlak sebenarnya tidak ada yang tau seperti apa bidang datar
itu. Mungkin padang elektron, mungkin bukit meson, mukan cuma zarah debu.
Secara filsafati mungkin ini merupakan masalah besar namun bagi ilmu, masalah
ini didekati secara praktis. Suriasumantri (2020) mungungkapkan bahwa ilmu
merupakan sekadar pengetahuan yang mempunyai kegunaan praktis yang dapat
membantu kehidupan manusia secara pragmatis. Dengan demikian maka untuk
tujuan membangun atap rumah, sekiranya kita asumsiakan bahwa permukaan itu
adalah bidang datar, maka secara pragmatis hal ini dapat dipertanggungjawabkan.
Namun bagi amuba hal ini jelas tidak dapat diterima sebab secara praktis
permukaan datar yang mereka hadapi bukanlah bidang datar melainkan
permukaan yang bergelobang.

Suriasumantri (2020) berpendapat, terdapat hal-hal yang harus


diperhatikan untuk mengembangkan asumsi, yaitu sebagai berikut.

1. Asumsi harus relevan dangan bidang dan tujuan pengkajian keilmuan.


Asumsi harus oprasional dan merupakan dasar dari pengkajian
teoritis. Asumsi bahwa manusia dalam administrasi adalah “manusia
administrasi” kedengarannya memang filsafati namun tidak memiliki
arti apa-apa dalam penyusunan teori-teori administrasi. Asumsi manusia
dalam administrasi yang bersifat oprasional adalah makhluk ekonomis,
makhluk sosial, makhluk aktualisasi diri atau makhluk yang kompleks.
Berdasarkan asumsi-asumsi ini maka dapat dikembangkan berbagai
model, strategi dan praktek administrasi. Asumsi bahwa manusia adalah
manusia administrasi, dalam pengkajian administrasi, akan
menyebabkan kita berhenti disitu. Seperti sebuah lingkaran, setelah
berputar-putar kita kembali ketempat semula.

4
2. Asumsi harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana mestinya” bukan
“bagaimana keadaan yang seharusnya”.
Asumsi yang pertama adalah asumsi yang mendasari telaah ilmiah
sedangkan asumsi yang kedua adalah asumsi yang mendasari telaah
moral. Sekiranya dalam kegiatan ekonomis maka manusia yang
berperan adalah manusia “yang mencari keuntungan sebesar-besarnya
dengan korbanan sekecil-kecilnya” maka itu sajalah yang kita jadikan
sebagai pegangan tidak perlu ditambah dengan sebaiknya begini, atau
seharusnya begitu. Sekiranya asumsi semacam ini dipakai dalam
penyusunan kebijakan (policy) atau strategi, serta penjabaran
pengaturan lainnya, maka hal ini bisa saja dilakukan, asalkan semua itu
membantu kita dalam menganalisis permasalan. Namun pendapat
asumsi yang berdasarkan keadaan yang seharusnya ini seyogyanya tidak
dilakukan dalam analisis teori keilmuan sebab metafisika keilmuan
berdasarkan kenyataan sesungguhnya sebagaimana adanya.
Seorang ilmuan harus benar-benar mengenali asumsi yang dipergunakan
dalam analisis keilomuannya, sebab mempergunakan asumsi yang berbeda, maka
bearti berbeda pula konsep pemikirang yang digunakan. Kita sering menjumpai
suatu asumsi yang mendasari suatu kajian keilmuan tidak bersifat tersurat
melainkan tersirat. Asumsi yang tersirat ini kadang-kadang menyesatkan, sebab
selalu terdapat kemungkinan bahwa kita berbeda penafsiran tentang sesuatu yang
tidak dinyatakan, oleh karena itu untuk pengkajian ilmiah yang lugas lebih baik
dipergunakan asumsi yang tegas. Semua yang belum terucap dianggap belum
diketahui atau belum mendapat kesamaan pendapat. Hal ini tidak ada ruginya,
karena jika asumsi kita benar kita hanya perlu memberi konfirmasi sedangkan jika
memiliki asumsi yang berbeda tinggal dicari pemecahannya.

2.2 Batas Penjelajahan Ilmu

Masalah ontologi ilmu merupakan masalah ruang lingkup wilayah atau


cakupan ilmu, ilmu pengetahuan hanya terbatas pada persoalan alam fisikal saja

5
ataupun menjangkau alam yang lebih luas yang tidak diketahui.(terra incognita).
Biasanya ruang lingkup ilmu pengetahuan hanya terbatas pada pengalaman
empirikal, yakni pada alam material dan natural saja atau yang dapat diketahui
dan difahami oleh akal rasional saja.

Abdullah (2005) mengemukakan bahwa sebenarnya persoalan ontologi


dalam falsafah bukan hanya terbatas pada alam fisikal (alam al-syahadah) saja
bahkan juga mencakup alam metafisika (alam al-ghaib). Bukan hanya pada alam
natural saja bahkan juga alam supranatural. Luasnya cakupan persoalan ontologi
ini juga dikenal sebagai persoalan metafisik. Dari segi semantiknya, istilah
metafisik bermakna beyond or after physics, yaitu diluar atau selepas fisik. Jika
alam fisik menyentuh persoalan realita keberadaan atau yang dapat diketahui
melalui pengalaman empirikal, sebaliknya alam metafisika yang menyentuh
persoalan “di luar atau selepas” realita kebendaan yang tidak dapat diketahui
melalui pengalaman tersebut. Salah satu yang menjadi tema besar dalam persoalan
metafisika ialah seperti masalah ketuhanan, takdir, jiwa atau roh, akal dan jasad,
keabadian dan perubahan, serta asal mula dan akhir sesuatu.

Ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti di


batas pengalaman manusia. Ilmu pengetahuan tidak mempelajari hal ihwal surga
dan neraka sebab surga dan neraka berada diluar jangkauan pengalaman manusia.
Ilmu pengetahuan juga tidak mempelajari sebab musabab kejadian terciptanya
manusia karena hal itu juga berada diluar jangkauan pengalaman manusia. Baik
hal-hal yang terjadi sebelum hidup kita, maupun apa-apa yang terjadi sesudah
kematian kita, semua itu berada di luar penjelajahan ilmu pengetahuan.

Ilmu pengetahuan dibatasi oleh hal-hal yang berada dalam batasan


pengetahuan manusia. Hal ini disebabkan oleh letak ilmu itu sendiri dalam
kehidupan manusia, yakni sebagi alat pembantu manusia dalam mengatasi
masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari. Ilmu diharapkan membantu kita
memerangi penyakit, membangun jembatan, membuat irigasi, membangkitkan
tenaga listrik, mendidik anak, memeratakan pendapatan nasional dan sebagainya.
Persoalan mengenai hari kemudian tidak akan ditanyakan kepada ilmu, melainkan

6
kepada agama, sebab agamalah pengetahuan yang mengkaji masalah-masalah
seperti itu.

Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batasan pengalaman


manusiajuga disebabkan oleh metode yang dipergunkana dalam menyusun yang
telah teruji kebenarannya secara empiris. Sekiranya ilmu memasukan daerah
diluar batas pengalaman empirisnya, maka pembuktiannya tidak bisa dilakukan
secara metodologis. Jika hal ini dilakukan maka akan menghilangkan kesahihan
metode ilmiah.

Ruang penjelajahan keilmuan kita menjadi “kapling-kapling” berbagai


disiplin keilmuan. Kapling ini lama kelamaan semakin sempit sesauai dengan
perkembangan kuantitatif disiplin keilmuan. Jika pada fase permulaan hanya
terdapat ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial maka saat ini terdapat lebih dari 650
cabang keilmuan. Tiap ilmuan harus tahu benar batasan-batasan penjelajahan
cabang keilmuannya masing-masing. Sering kita temui tendensi imperialistik dari
seorang ilmuan yang menuntut disiplin teritorial keilmu lain. Hal ini tentu saja
tidak benar. Cara agar hal ini tidak terjadi adalah peneliti harus mengenal baik-
baik batasan suatu ilmu.

Mengenal batasan-batasan pengetahuan, di samping menunjukkan


disamping kematangan keilmuan dan profesional kita, juga dimaksudkan agar kita
mengenal ilmu-ilmu yang lain. Dengan semakin sempitnya daerah penjelajahaan
suatu bidang keilmuan maka sering kali diperlukan “pandangan” dari disiplin-
disiplin ilmu lain. Saling pandang-memandang ini, atau dalam bahasa protokolnya
pendekatan multi-disipliner, membutuhkan pengetahuan tentang disiplin ilmu
yang berdekatan. Artinya harus jelas bagi semua: di mana disiplin seseorang
berhenti dan di mana disiplin orang lain mulai. Tanpa kejelasan batas-batas
inimaka pendekatan multi-disipliner tidak akan bersifat konstruktif melainkan
berubah menjadi semacam sengketa kapling.

7
2.2.1 Cabang-cabang Ilmu

Ilmu berkembang dengan sangat pesat dan demikian juga jumlah cabang-
cabangnya. Hasrat untuk menspesialisasikan diri dalam satu bidang telaah yang
memungkinkan analisis yang makin cermat dan seksama menyebabkan objek
forma (objek ontologi) dari disiplin keilmuan menjadi semakin terbatas.
Diperkirakan sekarang ini terdapat sekitar 650 cabang keilmuan yang kebanyakan
belum dikenal oleh orang-orang awam.

Pada dasarnya ilmu-ilmu tersebut berkembang dari dua cabang utama


yaitu, filsafat alam yang kemudian menjadi rumpun ilmu-ilmu alam dan filsafat
moral yang kemudian berkembang ke dalam cabang ilmu-ilmu sosial. Ilmu-ilmu
alam tebagi lagi menjadi dua kelompokj, yaitu ilmu alam dan ilmu hayat. Ilmu
alam bertujuan mempelajari zat yang membentuk alam semesta sedangkan alam
kemudian bercabang lagi menjadi fisika (mempelajari massa dan energi), kimia
(mempejajari substansi zat), astronomi (mempelajari benda-benda langit) dan ilmu
bumi (mempelajari bumi).

Tiap-tiap cabang kemudian membentu8k ranting-ranting baru seperti


fisika berkembang menjadi mekanika, hidrodinamika, bunyi, cahaya, panas,
kelistrikan dan magnetisme, fisika nuklir dan kimia fisik. Sampai tahap ini maka
kelompok ilmu ini termasuk kedalam ilmu-ilmu murni. Ilmu-ilmu murni
kemudian berkembang menjadi ilmu-ilmu terapan seperti contoh berikut ini

ILMU MURNI ILMU TERAPAN


Mekanika Mekanika Teknik
Hidrodinamika Teknik Aeronautikal/
Teknik dan Desai Kapal
Bunyi Teknik Akustik
Cahaya & Optik Teknik Iluminasi
Kelistrikan/ Teknik Elektronik/
Magnetisme Teknik Kelistrikan
Fisika Nuklir Teknik Nuklir
8
3. Penutup

Ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu Ontos berarti “yang berada”
(being) dan Logos yang berarti “pikiran” (logic) dengan kata lain ontologi
merupakan ilmu yang mempelajari sesuatu “yang ada” atau “berwujud” dan
berdasarkan logika. Kattsoff (dalam Muliadi, 2020) mengemukakan bahwa
ontologi mencari ultimate reality (kenyataan atau keberadaan yang sebenarnya).
Ontologi dalam filsafat membahas tentang prinsip yang paling dasar atau paling
dalam dari sesuatu yang ada. Ontologi juga membahas asumsi dari ilmu
pengetahuan yang ada serta batasan penjelajahan pengetahuan. Batas penjelajahan
ilmu itu sendiri adalah pengalaman manusia.

9
DAFTAR PUSTAKA

Abdulah, Abdul Rahman. (2005). Wacana Falsafah Ilmu Analisis Konsep-konsep


Asas dan Falsafah Pendidikan Negara. Kuala Lumpur: Sanon Printing
Corporation SDN BHD.
Muliadi. (2020).Filsafat Umum. Bandung: Fakultas Ushuluddin UIN.
Suriasumantri, J. S. (2010). Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.

10

Anda mungkin juga menyukai