Anda di halaman 1dari 40

OVERVIEW PAJAK PENGHASILAN

KELOMPOK 2

MANAJEMEN PERPAJAKAN

Oleh :

1. Wilda Sofia Rini 12030119210001


2. Bani Laras Rahayu 12030119210003

PROGRAM STUDI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
kekuatan-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah PAJAK PENGHASILAN (PPh).

Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam
penulisan makalah ini terdapat. Untuk itu, penulis berharap adanya kritik, saran dan usulan
demi perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna
tanpa sarana yang membangun. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada
kita sekalian.

Semarang, 29 Agustus 2019

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pajak Penghasilan (PPh) berlaku sejak
januari 1984. Undang-undang ini telah beberapa kali mengalami perubahan dan terakhir
kali diubah dengan undang-undang Nomor 36 Tahun 2008.
Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh) mengatur pengenaan Pajak Penghasilan
terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya
dalam tahun pajak. Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau
memperoleh penghasilan, dalam unddang-undang PPh disebut wajib pajak.
Undang-Undang PPh menganut asas Materiil, artinya penentuan mengenai pajak
yang terutang tidak tergantung kepada surat ketetapan pajak.Oleh karena itu dalam
makalah ini kelompok kami menjabarkan tentang hal-hal yang berkaitan dengan pajak
penghasilan dimana didalamnya termuat beberapa bahasan yaitu mengenai subjek pajak
yang dikenakan dalam pajak penghasilan, objek pajak penghasilan serta mekanisme
pemajakan dan pemungutan pajak penghasilan

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu:
1. Apa itu subjek pajak dan wajib pajak?
2. Siapa saja yang termasuk subjek pajak dalam Pajak Penghasilan?
3. Apa sajakah yang termasuk dalam objek pajak dalam pajak penghasilan?
4. Bagaimanakah Mekanisme Pemajakan dan Perhitungan Rumus Umum PPh?

1.3 Tujuan Pembahasan


Penulisan makalah ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui pengertian dari subjek pajak dan wajib pajak
2. Mengetahui siapa saja yang termasuk dalam subjek pajak dalam pajak penghasilan
3. Mengetahui apa saja yang termasuk dalam objek pajak PPh
4. Mengetahui jenis-jenis PPH dan perhitungan PPH

BAB II

3
PEMBAHASAN
1. Skema Overviw Pajak

Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam suatu tahun pajak.
2. Subjek Pajak Penghasilan dan Pengecualiannya
1.1. Yang menjadi Subjek Pajak, menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Pajak
Penghasilan adalah:
a. Orang pribadi dan warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan
menggantikan yang berhak; dan
b. Badan; dan
c. Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Menurut Pasal 2 ayat (2) Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam
negeri dan subjek pajak luar negeri.
Pasal 2 ayat (3) mengatakan bahwa subjek pajak dalam negeri adalah:
a. Orang Pribadi Bertempat tinggal/ berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam
12 bulan; atau Dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai
niat bertempat tinggal di Indonesia.
b. Badan yang Didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit
tertentu badan pemerintah yang memenuhi kriteria:

4
1. Pembentukannya berdasarkan peraturan perundangan.
2. Pembiayaan bersumber APBN/ APBD.
3. Penerimaannya dimasukkan dalam APBN/ APBD.
4. Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.
c. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
Menurut Pasal 2 ayat (4) subjek pajak luar negeri adalah:
a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia/ berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 hari dalam 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; dan
b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia/ berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 hari dalam 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau kegiatan melalui
BUT di Indonesia.
Menurut Pasal 2 ayat (5), Bentuk Usaha Tetap adalah bentuk usaha yang
dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia. orang
pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12
bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat
berupa:
a. Tempat kedudukan manajemen;
b. Cabang perusahaan;
c. Kantor perwakilan;
d. Gedung kantor;
e. Pabrik;
f. Bengkel;
g. Gudang;
h. Ruang untuk promosi dan penjualan;
i. Pertambangan dan penggalian sumber alam;
j. Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
k. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
l. Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;

5
m. Pemberian jasa, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
n. Orang atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
o. Agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan
berkedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung
risiko di Indonesia; dan
p. Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan
kegiatan usaha melalui internet.
1.2.Pengecualian Subjek Pajak Penghasilan
a. Badan Perwakilan negara asing;
b. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatic, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain
dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang
bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat
bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau
memperoleh penghasilan lain dari luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta
negara yang bersangkutan memberikan perlakukan timbal balik;
c. Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan, dengan syarat:
1) Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;
2) Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah
yang dananya berasal dari iuran para anggota ;
3) pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga negara
Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain
untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
3. Objek Pajak Penghasilan dan Pengecualiannya
1.3. Objek Pajak Penghasilan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan,
yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan ekonomis
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia yang
dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak
yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:

6
1. Penggantian atau imbalan berkenan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi,
bonus, gratifikasi, uang pension, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-Undang ini;
2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
3. Laba usaha
4. Keuntungan karena pekerjaan atau karena pengalihan harta termasuk:
a. Keuntungn karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan dan
badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
b. Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu,
atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya;
c. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, pengambilalihan usaha, reorganisasi dengan nama dan
dalam bentuk apa pun;
d. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau
sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis
keturuanan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan,
badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada
hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan
diantara pihak-pihak yang bersangutan; dan
e. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan
dalam perusahaan pertambangan;
5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya
dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang;
7. Dividen dengan nama dalam bentuk apa pun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi
8. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

7
10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah
tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
12. Keuntungan selisih kurs mata uang asing;
13. Selisih lebih karena penilaian kembali aset;
14. Premi Asuransi
15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang
terdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerja bebas;
16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenai
pajak;
17. Penghasilan dari usaha yang berbasis syariah;
18. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang
mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
19. Surplus Bank Indonesia
1.4. Penghasilan yang Dikecualikan sebagai Objek Penghasilan
Pengecualian objek pajak diatur dalam Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Pajak
Penghasilan, yaitu:
1. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil
zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah
dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan
keagamaan yang bersifat wajib bagi pemeluk agama yang diakui di
Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang
berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah;
2. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial
termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha
mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan; sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan diantara pihak-pihak yang
bersangkutan;
3. Warisan;

8
4. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) huruf b UU PPh sebagai pengganti saham
atau sebagai pengganti penyertaan modal;
5. Pengganti atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenaikan kenikmatan
dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib
Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang
menggunakan norma perhitungan khusus (deemed profit) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15;
6. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi beasiswa;
7. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagi Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau
badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang
didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
a. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
b. Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik
daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang
memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari
jumlah modal disetor.
8. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja
maupun pegawai;
9. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pension dalam bidang-
bidang tertentu yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan;
10. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan,
firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi
kolektif;
11. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa
bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan
usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha
tersebut:

9
a. Merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan
kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan; atau
b. Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
12. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur
lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
13. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang
bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan
pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya,
yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan
pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu
paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan; dan
14. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
4. Beban-beban yang Boleh dijadikan Sebagai Pengurang Penghasilan
Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Pajak Penghasilan, besarnya Penghasilan kena
Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan
penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan, termasuk:
1. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha,
antara lain:
a. Biaya pembelian bahan;
b. Biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium,
bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang;
c. Bunga, sewa, dan royalti;
d. Biaya perjalanan;
e. Biaya pengolahan limbah;
f. Premi asuransi;
g. Biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
menteri keuangan;
h. Biaya administrasi; dan

10
i. Pajak kecuali Pajak Penghasilan;
2. Penyusutan atau pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi
atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan
Pasal 11A UU Pajak Penghasilan;
3. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh menteri
keuangan;
4. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan
dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan;
5. Kerugian selisih kurs mata uang asing;
6. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
7. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
8. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:
a. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
b. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada
Direktorat Jenderal Pajak; dan
c. Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan negeri atau instansi
pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis
mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur
yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau
khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan
untuk jumlah utang tertentu;
d. Syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan
piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf k UU PPh;
Yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan
menteri keuangan; (PMK No. 57/PMK.03/2010)
9. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya
diatur dengan Peraturan Pemerintah;
10. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di
Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
11. Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah;

11
12. Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan peraturan
pemerintah;
13. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah. (PP No. 93 tahun 2010)
5. Beban yang Tidak Boleh Dijadikan sebagai Pengurang Penghasilan
Berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang Pajak Penghasilan, untuk menentukan besarnya
Penghasilan Kena pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usahan tetap tidak
boleh dikurangkan:
1. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk
dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan
pembagian sisa hasil usaha koperasi;
2. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang
saham, sekutu, atau anggota;
3. Pembetukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:
a. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang
menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan
pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang;
b. Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang
dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
c. Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjaminan Simpanan;
d. Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
e. Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
f. Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah
industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yang ketentuan dan syarat-
syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan menteri Keuangan; (PMK
No. 81/PMK.03/2009)
4. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna,
dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh Wajib pajak orang pribadi, kecuali jika
dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi
Wajib Pajak yang bersangkutan;
penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan
dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman
bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan
kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan

12
yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri keuangan; (PMK No.
83/.03/2009)
5. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau
kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan yang dilakukan;
6. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m
serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh
lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;
7. Pajak Penghasilan;
8. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan ntuk kepentingan pribadi Wajib pajak
atau orang yang menjadi tanggungannya;
9. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;
10. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa
denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang undangan di bidang
perpajakan.
6. Rekonsiliasi Laba Fiskal dengan Laba Komersial
Penyesuaian fiskal diperlukan karena terdapat beberapa perbedaan antara prinsip
pembukuan menurut laporan keuangan secara fiskal dengan laporan keuangan secara
konvensional. Hal ini disebabkan karena secara konvensional diatur oleh PSAK dan
secara fiskal diatur oleh UU Pajak Penghasilan dan peraturan pelaksanaannya.
1. Penyesuaian Fiskal Positif sesuai dengan UU PPh Pasal 9:
a. Penyesuaian fiskal positif akan mengakibatkan jumlah penghasilan menjadi
lebih besar sehingga menaikkan pajak terutang, pada umumnya timbul akibat
biaya-biaya yang secara komersial diakui, tetapi tdak secara fiskal.
b. Penyesuaian fiskal positif itu dikelompokkan dalam beberapa bagian, yaitu:
1) Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pemegang
saham, sekutu, atau anggota;

13
Termasuk dalam katagori ini adalah pemberian deviden terselubung yang
dapat berupa premi asuransi jiwa pemegang saham, pembayaran listrik dan
telepon rumah pemegang saham, biaya pemeliharaan kendaraan pribadi
pemegang saham, pembayaran PBB rumah pribadi pemegang saham,
sekutu, atau anggota.
2) Pembentukan dan pemupukan dana cadangan;
Pembentukan dan pemupukan dana cadangan dalam penyesuain fiskal tidak
termasuk pemupukan cadangan bagi usaha perbankan dan asuransi, sewa
guna usaha dengan pihak opsi, dan cadangan biaya reklamasi bagi usaha
pertambangan.
3) Penggantian atau imbalan pekerjaan atau jasa dalam bentuk natura dan
kenikmatan;
4) Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham
atau pihak yang memiliki hubungan istimewa sehubungan dengan
pekerjaan;
5) Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan;
Termasuk dalam katagori ini adalah pemberian beasiswa yang tidak
memiliki ikatan dengan perusahaan;
6) Pajak penghasilan;
7) Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau CV yang
modalnya tidak terbagi atas saham;
8) Sanksi administrasi di bidang perpajakan;
9) Selisih penyusutan komersial di atas penyusutan fiskal;
Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta
berwujud ditetapkan sebagai berikut:

Tarif Penyusutan
Kelompok Harta Masa sebagaimana
Berwujud Manfaat dimaksud dalam
Ayat (1) Ayat (2)
Bukan
Bangunan:
Kelompok 1 4 tahun 25% 50%
Kelompok 2 8 tahun 12,50% 25%
Kelompok 3 16 tahun 6,25% 12,50%
Kelompok 4 20 tahun 5% 10%
Bangunan:

14
Permanen 20 tahun 5%
Tidak Permanen 10 tahun

10) Selisih penyusutan komersial di atas amortisasi fiskal;


Untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif amortisasi ditetapkan
sebagai berikut:
Tarif Amortisasi
Kelompok Harta Tak Masa berdasarkan metode
Berwujud Manfaat Garis
Saldo Menurun
Lurus
Kelompok 1 4 tahun 25% 50%
Kelompok 2 8 tahun 12,50% 25%
Kelompok 3 16 tahun 6,25% 12,50%
Kelompok 4 20 tahun 5% 10%

11) Biaya yang ditangguhkan pengakuannya;


12) Penyesuaian fiskal positif lainnya.
Contoh pengeluaran yang termasuk kelompok ini adalah:
i. Perjalanan dinas pegawai tanpa disertai bukti-bukti;
ii. Pembagian bonus, tantiem, gratifikasi, maupun jasa produksi yang
dibebankan pada laba ditahan;
iii. PPh ditanggung perusahaan atas sewa rumah yang ditempati pegawai;
iv. Biaya penelitian dan pengembangan yang dilakukan di luar negeri;
v. Pajak masukan untuk perolehan BKP/JKP sesuai dengan Pasal UU
PPh;
vi. Biaya entertaiment yang tidak dibuatkan daftar nominative;
vii. Biaya promosi yang tidak didukung bukti;
viii. Kerugian pengalihan harta yang tidak digunakan untuk usaha;
ix. Macam-macam biaya yang tidak didukung oleh bukti-bukti;
2. Penyesuaian Fiskal Negatif
a. Penyesuaian fiskal negatif mengakibatkan jumlah penghasilan menjadi lebih
kecil sehingga menurunkan pajak terutang.
b. Penyesuaian fiskal negatif dikelompokkan menjadi:
1) Selisih penyusutan komersial di bawah penyusutan fiskal;
2) Selisih amortisasi komersial di bawah penyusutan fiskal;
3) Penghasilan yang ditangguhkan pengakuannya;
4) Penyesuaian fiskal positif lainnya.

15
3. Beda Permanen dan Temporer
a. Beda Permanen
Timbul sebagai akibat adanya perbedaan pengakuan antara fiskal dan
pembukuan yang tidak akan terpulihkan di masa yang akan datang. Contoh
deductible expenses, Objek PPh Final.
b. Beda Temporer
Menurut PSAK 46 Revisi 2015, Beda Temporer adalah perbedaan antara
jumlah tercatat aset atau liabilitas dalam laporan posisi keuangan dengan dasar
pengenaan pajaknya. Perbedaan temporer dapat berupa:
1) Perbedaan temporer kena pajak yaitu perbedaan temporer yang
menimbulkan jumlah kena pajak dalam penentuan laba kena pajak (Rugi
pajak) periode masa depan ketika jumlah tercatat aset atau liabilitas
dipulihkan atau diselesaikan; atau
2) Perbedaan temporer dapat dikurangkan yaitu perbedaan temporer yang
menimbulkan jumlah yang dapat dikurangkan dalam penentuan laba kena
pajak (rugi pajak) periode masa depan ketika jumlah tercatat aset atau
liabilitas dipulihkan atau diselesaikan
Format Rekonsiliasi Fiskal
Laba menurut Laporan Keuangan Komersial xxx
Ditambah Koreksi Positif :
Pengeluaran yang tidak dapat dikurangkan xxx
Pengeluaran berkaitan penghasilan bukan objek pajak xxx
Pengeluaran berkaitan penghasilan objek pajak final xxx
Beda Perhitungan akuntansi komersial dgn peraturan pajak xxx

Jumlah Koreksi Positif xxx

Dikurangi Koreksi Negatif :


Penghasilan bukan objek pajak xxx
Penghasilan yang merupakan objek pajak final xxx
Beda Perhitungan akuntansi komersial dgn peraturan pajak xxx

Jumlah Koreksi Negatif xxx

16
Laba/Rugi Fiskal xxx
Kompensasi Kerugian xxx

Penghasilan Kena Pajak xxx


PPh Terutang xxx
Laba Setelah Pajak xxx

7. Perhitungan Pajak Penghasilan Akhir Tahun


Bagi Wajib Pajak Dalam Negeri dan BUT, pada akhir tahun dilakukan perhitungan
pajak terutang untuk tahun bersangkutan. Pajak yang terutang dikurangi dengan kredit
pajak untuk tahun pajak yang bersangutan, baik pajak yang telah dipotong oleh pihak
lain maupun pajak yang disetor sendiri, akan menghasilkan kurang bayar atau lebih
bayar.
1. Kompensasi Kerugian
Apabila penghasilan broto setelah dikurangi dengan pengurangan yang
diperkenankan diperoleh kerugian, kerugian tersebut dapat dikompensasikan
dengan penghasilan neto atau laba fiskal selama lima tahun berturut-turut, dimulai
sejak tahun berikutnya sesudah tahun terjadinya kerugian tersebut. Misalnya, Wajib
Pajak ABC mengalami kerugian fiskal tahun pajak 2011. Kerugian tersebut dapat
dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal tahun 2012, 2013,2014,
2015 dan 2016. Apabila setelah kerugian tersebut dikompensasikan, sisa kerugian
tersebut tidak dapat lagi dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal
tahun 2017 atau sesudahnya.
WP Orang Pribadi
Beban pajak terutang 115.450.000
Kredit pajak
Pemotongan oleh pemberi
(15.850.000)
kerja (PPh 21)
Pemungutan oleh pihak
(3.250.000)
lain (PPh 22)
Pemotongan atas
penerimaan penggunaan (5.650.000)
aset (PPh 23)

17
Kredit pajak luar negeri
(16.525.000)
(PPh 24)
Pembayaran sendiri
(23.825.000)
angsuran pajak (PPh 25)
Total kredit pajak (65.100.000)
Pajak kurang (lebih) bayar Rp 50.350.000,00
2. Tarif Pajak
a. Tarif Pajak Penghasilan WP Badan Dalam Negeri dan BUT
Sejak Januari 2010, tarif pajak penghasilan WP Badan Dalam Negeri dan BUT
adalah 25%.
b. Tarif Pajak Penghasilan Orang Pribadi Dalam Negeri
Tarif Pajak yang ditetapkan atas Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak Orang
Pribadi Dalam Negeri adalah sebagai berikut:
Tarif Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000 5%
Di atas Rp 50.000.000 s/d Rp 250.000.000 15%
Di atas Rp 250.000.000 s/d Rp 500.000.000 25%
Di atas Rp 500.000.000 30%

Untuk keperluan penerapan tarif pajak atas penghasilan Kena Pajak, jumlah
Penghasilan Kena Pajak dibulatkan dahulu ke bawah dalam ribuan rupiah penuh.
Misalnya Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 231.450.990. Untuk penerapan tarif
dibulatkan ke bawah menjadi Rp 231.450.000.
8. JENIS-JENIS PAJAK PENGHASILAN
1. PPh Pasal 21
Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan
kegiatan.
Pemotong PPh Pasal 21 Menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER - 32/PJ/2015.

18
Tarif PTKP terbaru selama setahun untuk perhitungan PPh Pasal 21 menurut
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122/PMK.010/2015 adalah sebagai berikut:
 Rp 36.000.000,- untuk diri Wajib Pajak orang pribadi dan istri yang
penghasilannya digabung dengan penghasilan suami.
 Rp 3.000.000,- tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
 Rp 3.000.000,- tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga
semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan
sepenuhnya, paling banyak 3 rang untuk setiap keluarga.

Kasus Karyawan Berpenghasilan Tetap dan Menerima Bonus Tahunan


Budiyanta pada tahun 2016 bekerja di PT Aman Bahagia dengan gaji sebulan Rp
8.000.000,00 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp. 200.000,00. Budiyanta
menikah tetapi belum mempunyai anak. Pada bulan Oktober 2013 menerima bonus
tahunan sebesar Rp 20.000.000,00.
Penghitungan PPh Pasal 21 atas Gaji

Gaji setahun 12 x 8.000.000 = 96.000.000

Penghasilan bruto setahun 96.000.000


Pengurangan :

Biaya Jabatan 5% x 96.000.000 = (4.800.000)

Iuran Pensiun 12 200.000 (2.400.000)

Penghasilan Neto setahun 88.800.000


PTKP setahun :

- untuk diri sendiri (36.000.000)

- tambahan WP kawin (3.000.000)

Penghasilan Kena Pajak setahun 49.800.000


PPh Pasal 21 setahun

5% x 49.800.000 = 2.490.000

PPh 21 Setahun 2.490.000

PPh 21 Perbulan 2.490.000 / 12 = 207.500

19
Penghitungan PPh Pasal 21 atas Gaji dan Bonus

Gaji setahun 12 x 8.000.000 = 96.000.000

Bonus 20.000.000
Penghasilan bruto setahun
(I) 116.000.000
Pengurangan :

Biaya Jabatan 5% x 116.000.000 = (5.800.000)

Iuran Pensiun 12 200.000 (2.400.000)


Penghasilan Neto setahun
Gaji + Bonus (I - II) 107.800.000
PTKP setahun :

- untuk diri sendiri (36.000.000)

- tambahan WP kawin (3.000.000)

Penghasilan Kena Pajak setahun 68.800.000


PPh Pasal 21 setahun atas Gaji + Bonus
:

5% x 50000000 = 2.500.000

15% x 18.800.000 2.820.000

PPh 21 Setahun 5.320.000

PPh 21 Perbulan 5.320.000 / 12 = 443.333

dibulatkan 443.000

PPh 21 atas Bonus

PPh 21 atas Gaji dan Bonus 5.320.000

PPh 21 atas Gaji 2.490.000

2.830.000
PPh 21 atas Bonus
perbulan 2.830.000 / 12 235.833
Dibulatkan 235.000

20
2. PPh Pasal 22
Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh Ps. 22) adalah salah satu bentuk pemotongan dan
pemungutan Pajak Penghasilan yang dilakukan oleh pihak lain terhadap Wajib Pajak.
Pengenaan PPh Pasal 22 dikenakan terhadap kegiatan perdagangan barang. Titik
pengenaannya ada yang dilakukan pada saat penjualan atau pada saat pembelian.
Berdasarkan PMK Nomor 16/PMK.010/2016 Pasal 1 disebutkan pihak-pihak yang
ditunjuk untuk melakukan pemungutan PPh pasal 22, yaitu:
1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan cukai, atas impor b arang
ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam
yang dilakukan oleh eksportir, kecuali yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang
terikat dalam perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan dan Kontrak
Karya;
2. Bendahara Pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) baik di tingkat
pusat maupun di tingkat Daerah, yang melakukan pembayaran atas
pembelian barang.
3. Bendahara Pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang
yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP).
4. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar
yang diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), berkenaan dengan
pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan
mekanisme pembayaran langsung (LS).
5. Badan Usaha tertentu meliputi:
a. Badan Usaha Milik Negara, yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian
besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung
yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
b. Badan Usaha Milik Negara yang dilakukan restrukturisasi oleh Pemerintah
setelah berlakunya Peraturan Menteri ini, dan restrukturisasi tersebut
dilakukan melalui pengalihan saham milik negara kepada Badan Usaha Milik
Negara lainnya.
c. Badan usaha tertentu yang dimiliki secara langsung oleh Badan Usaha Milik
Negara, meliputi PT Pupuk Sriwidjaja Palembang, PT Petrokimia Gresik, PT
Pupuk Kujang, PT Pupuk Kalimantan Timur, PT Pupuk Iskandar Muda, PT
Telekomunikasi Selular, PT Indonesia Power, PT Pembangkitan Jawa-Bali,

21
PT Semen Padang, PT Semen Tonasa, PT Elnusa Tbk, PT Krakatau
Wajatama, PT Rajawali Nusindo, PT Wijaya Karya Beton Tbk, PT Kimia
Farma Apotek, PT Kimia Farma Trading & Distribution, PT Badak Natural
Gas Liquefaction, PT Tambang Timah, PT Terminal Petikemas Surabaya, PT
Indonesia Comnets Plus, PT Bank Syariah Mandiri, PT Bank BRI Syariah,
dan PT Bank BNI Syariah, berkenaan dengan pembayaran atas pembelian
barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usahanya
6. Badan Usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas,
industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil
produksinya kepada distributor di dalam negeri.
7. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan
importir umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam
negeri.
8. Industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan,
pertanian, peternakan, dan perikanan, atas pembelian bahan-bahan berupa hasil
kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan yang belum melalui
proses industri manufaktur, untuk keperluan industrinya atau ekspornya.
9. Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas
penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas.
10. Industri atau badan usaha yang melakukan pembelian komoditas tambang
batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, dari badan atau orang pribadi
pemegang izin usaha pertambangan.
11. Badan usaha yang memproduksi emas batangan, termasuk badan usaha yang
memproduksi emas batangan melalui pihak ketiga, atas penjualan emas batangan
di dalam negeri.
Berdasarkan PMK Nomor 16/PMK.010/2016 Pasal 3 Pemungutan PPh Pasal 22
tidak dilakukan atas transaksi-transaksi berikut:
1. Diberikan Pengecualian dengan Diterbitkannya Surat Keterangan Bebas PPh oleh
Direktur Jenderal Pajak
b) Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan,
c) Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau PPN, terdiri
dari:

22
 Barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di
Indonesia berdasarkan asas timbal balik,
 Barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang
bertugas di Indonesia dan tidak memegang paspor Indonesia yang diakui
dan terdaftar dalam peraturan menteri keuangan yang mengatur tentang tata
cara pemberian pembebasan bea masuk dan cukai atas impor barang untuk
keperluan badan internasional beserta para pejabatanya yang bertugas di
Indonesia,
 Barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial,
kebudayaan atau untuk kepentingan penanggulangan bencana,
 Barang untuk keperluan museum, kebun binatang, konservasi alam dan
tempat lain semacam itu yang terbuka untuk umum,
 Barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan,
 Barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat
lainnya,
 Peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah,
 Barang pindahan,
 Barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan
barang kiriman sampai batas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan kepabeanan,
 Barang yang diimpor oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang
ditujukan untuk kepentingan umum,
 Persenjataan, amunisi, dan perlengkapan militer, termasuk suku cadang
yang diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara,
 Barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi
keperluan pertahanan dan keamanan negara,
 Vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan Imunisasi Nasional
(PIN),
 Buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama,
 Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau, kapal angkutan
penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal
tongkang, dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran atau alat

23
keselamatan manusia yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan
Pelayaran Niaga Nasional atau perusahaan penangkapan ikan nasional,
 Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau
alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan
yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga
Nasional,
 Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk pembuatan, perbaikan
atau pemeliharaan serta prasarana yang diimpor dan digunakan oleh PT
Kereta Api Indonesia,
 Peralatan yang digunakan untuk penyediaan data batas dan foto udara
wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh Kementerian
Pertahanan atau Tentara Nasional Indonesia untuk mendukung pertahanan
nasional.
d) Impor sementara, jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk
diekspor kembali, contohnya adalah barang pameran, setelah pameran selesai
maka barang-barang pameran tersebut harus diekspor kembali.
e) Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor
kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang
telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang
telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai.
Dasar Pengenaan dan Tarif PPh Pasal 22 sesuai dengan PMK Nomor
16/PMK.010/2016 Pasal 2 adalah sebagai berikut:
1. Besarnya pungutan PPh Pasal 22 dipungut atas kegiatan impor barang adalah:
a) Barang tertentu sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan
bagian tidak terpisahkan sebesar 10% dari Nilai Impor.
b) Barang-barang tertentu yang tercantum dalam Lampiran II sebesar 7,5% dari
Nilai.
c) Impor yang menggunakan Angka Pengenal Impor (APl), sebesar 2,5% dari
nilai impor, kecuali atas impor kedelai, gandum dan tepung terigu sebesar
0,5% dari nilai impor;
d) Impor yang tidak menggunakan API, sebesar 7,5% dari nilai impor,

24
e) Impor yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga
jual lelang.
2. Ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam,
sesuai uraian barang dan pos tarif /Harmonized System (HS) sebagaimana
tercantum dalam Lampiran III ini, oleh eksportir kecuali yang dilakukan oleh
Wajib Pajak yang terikat dalam perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan
dan Kontrak Karya, sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari nilai ekspor
sebagaimana tercantum dalam Pemberitahuan Ekspor Barang.
3. Pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf e, sebesar 1,5% (satu koma
lima persen) dari harga pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
4. PPh Pasal 22 atas Penjualan Bahan Bakar Minyak, Gas dan Pelumas
a) Bahan Bakar Minyak sebesar:
 0,25% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk penjualan kepada
SPBU Pertamina,
 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk penjualan kepada SPBU
bukan Pertamina dan Non SPBU,
 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak
b) Bahan Bakar Gas sebesar 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN,
c) Pelumas sebesar 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN.
5. PPh Pasal 22 atas Penjualan oleh Badan Usaha Industri Tertentu
a) Atas penjualan kertas di dalam negeri sebesar 0,10% dari dasar pengenaan
pajak (DPP) Pajak Pertambahan Nilai (PPN),
b) Atas penjualan semua jenis semen di dalam negeri sebesar 0,25% dari DPP
PPN,
c) Atas penjualan semua jenis kendaraan bermotor beroda dua atau lebih di
dalam negeri sebesar 0,45% dari DPP PPN,
d) Atas penjualan baja di dalam negeri sebesar 0,30% dari DPP PPN.
e) Atas penjualan semua jenis obat sebesar 0,30% dari dasar pengenaan pajak
(DPP) Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
6. PPH Pasal 22 atas Penjualan Kendaraan Bermotor di Dalam Negeri oleh Agen
Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM) dan Importir
sebesar 0,45% dari DPP

25
7. Tarif PPh Pasal 22 atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau
ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor
kehutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan dari pedagang pengumpul
adalah sebesar 0,25% dari harga pembelian tidak termasuk PPN, bersifat tidak
final.
8. Atas pembelian batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, dari badan
atau orang pribadi pemegang izin usaha pertambangan oleh industri atau badan
usaha sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari harga pembelian tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai.
9. Atas penjualan emas batangan oleh badan usaha yang memproduksi emas
batangan, termasuk badan usaha yang memproduksi emas batangan melalui pihak
ketiga, sebesar 0,45% (nol koma empat puluh lima persen) dari harga jual emas
batangan.
10. Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea
Masuk yaitu Cost Insurance and Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan
pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan kepabeanan di bidang impor.

Kasus Pembelian Barang dan/atau bahan-bahan dalam negeri oleh BUMN


tertentu untuk keperluan kegiatan usahanya.
PT Truckindo menjual truck khusus pengangkut sampah kepada Bendaharawan Dinas
Kebersihan Pemerintah Kota Jakarta Barat Senilai Rp 100.000.000 tidak termasuk
PPN.
Pembahasan
Harga Truck tanpa PPN Rp100.000.000
PPN (10%) Rp10.000.000
Harga Jual Termasuk PPN Rp110.000.000
PPN dipungut oleh bendaharawan
(10/110 x Rp 100.000.000) (Rp10.000.000)
Dasar Pengenaan PPh Pasal 22 Rp100.000.000
PPh Pasal 22 (1,5 x Rp 100.000.000) (Rp1.500.000)
Pembayaran yang diterima PT Truckindo Rp98.500.000

Bendaharawan Dinas Kebersihan Pemerintah Kota Jakarta Barat wajib menyetorkan


PPh Pasal 22 yang dipungut tersebut ke Bank paling lambat hari yang sama dengan
pelaksanaan pembayaran dengan menggunakan SSP. SSP tersebut ditandatangani oleh

26
bendaharawan tetapi nama dan NPWP-nya tertulis atas nama PT Truckindo serta
tanpa membuat bukti potongan/pungutan khusus.
Kasus Impor Barang Luar Negeri
WP dengan API melakukan impor dengan nilai Cpst USD 1.000, Insurance USD 50,
Freight USD 200, Bea Masuk 20% dengan nilai kurs Menteri Keuangan = Rp 8.000
per dolar

Nilai Cost $1.000 x Rp8.000 = Rp8.000.000


Insurance $50 x Rp8.000 = Rp400.000
Freight $200 x Rp8.000 = Rp1.600.000
Nilai CIF = Rp10.000.000
Bea Masuk 20% = Rp2.000.000
Nilai Impor = Rp12.000.000

Perusahaan sudah memiliki API


PPh Pasal 22
= 2,50% x Rp12.000.000 = Rp300.000

Jika Perusahaan tidak memiliki API


PPh Pasal 22
= 7,50% x Rp12.000.000 = Rp900.000

3. PPh Pasal 23
Menurut UU Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008, Pajak Penghasilan pasal 23
adalah pajak yang dikenakan pada penghasilan atas modal, penyerahan jasa, atau
hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21. Umumnya
penghasilan jenis ini terjadi saat adanya transaksi antara dua pihak. Pihak
yang menerima penghasilan atau penjual atau pemberi jasa akan dikenakan PPh pasal
23. Pihak pemberi penghasilan atau pembeli atau penerima jasa akan memotong dan
melaporkan PPh pasal 23 tersebut kepada kantor pajak.
Tarif yang dikenakan nilai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atau jumlah bruto dari
penghasilan. Ada dua jenis tarif yang dikenakan pada penghasilan yaitu 15% dan 2%,
tergantung dari objeknya. Berikut ini adalah daftar tarif dan objek PPh Pasal 23:
1. Tarif 15% dari jumlah bruto atas:
a. Dividen, kecuali pembagian dividen kepada orang pribadi dikenakan
final, bunga dan royalti;
b. Hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh pasal 21;

27
2. Tarif 2% dari jumlah bruto atas sewa dan penghasilan lain yang berkaitan
dengan penggunaan harta kecuali sewa tanah dan/atau bangunan.
3. Tarif 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi dan jasa konsultan.
4. Tarif 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa lainnya adalah yang diuraikan
dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 141PMK.03/2015 dan efektif mulai
berlaku pada tanggal 24 Agustus 2015. Berikut ini adalah daftar jasa lainnya
tersebut:
 Penilai (appraisal);
 Aktuaris;
 Akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;
 Hukum;
 Arsitektur;
 Perencanaan kota dan arsitektur landscape;
 Perancang (design);
 Pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas)
kecuali yang dilakukan oleh Badan Usaha Tetap (BUT);
 Penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan minyak dan gas bumi
(migas);
 Penambangan dan jasa penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan
minyak dan gas bumi (migas);
 Penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;
 Penebangan hutan;
 Pengolahan limbah;
 Penyedia tenaga kerja dan/atau tenaga ahli (outsourcing services);
 Perantara dan/atau keagenan;
 Bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan Bursa Efek,
Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) dan Kliring Penjaminan Efek Indonesia
(KPEI);
 Kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh KSEI;
 Pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara;
 Mixing film;
 Pembuatan sarana promosi film, iklan, poster, foto, slide, klise, banner, pamphlet,
baliho dan folder;
 Jasa sehubungan dengan software atau hardware atau sistem komputer, termasuk
perawatan, pemeliharaan dan perbaikan.
 Pembuatan dan/atau pengelolaan website;
 Internet termasuk sambungannya;
 Penyimpanan, pengolahan dan/atau penyaluran data, informasi, dan/atau program;
 Instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC dan/atau TV
Kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang
konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
 Perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC
dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya

28
di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha
konstruksi;
 Perawatan kendaraan dan/atau alat transportasi darat.
 Maklon;
 Penyelidikan dan keamanan;
 Penyelenggara kegiatan atau event organizer;
 Penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media massa, media luar ruang atau
media lain untuk penyampaian informasi, dan/atau jasa periklanan;
 Pembasmian hama;
 Kebersihan atau cleaning service;
 Sedot septic tank;
 Pemeliharaan kolam;
 Katering atau tata boga;
 Freight forwarding;
 Logistik;
 Pengurusan dokumen;
 Pengepakan;
 Loading dan unloading;
 Laboratorium dan/atau pengujian kecuali yang dilakukan oleh lembaga atau
institusi pendidikan dalam rangka penelitian akademis;
 Pengelolaan parkir;
 Penyondiran tanah;
 Penyiapan dan/atau pengolahan lahan;
 Pembibitan dan/atau penanaman bibit;
 Pemeliharaan tanaman;
 Permanenan;
 Pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan dan/atau
perhutanan;
 Dekorasi;
 Pencetakan/penerbitan;
 Penerjemahan;
 Pengangkutan/ekspedisi kecuali yang telah diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang
Pajak Penghasilan;
 Pelayanan pelabuhan;
 Pengangkutan melalui jalur pipa;
 Pengelolaan penitipan anak;
 Pelatihan dan/atau kursus;
 Pengiriman dan pengisian uang ke ATM;
 Sertifikasi;
 Survey;
 Tester;
 Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya dibebankan pada APBN
(Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) atau APBD (Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah).

Bagi Wajib Pajak yang tidak ber-NPWP akan dipotong 100% lebih tinggi dari tarif
PPh Pasal 23. Jumlah bruto adalah seluruh jumlah penghasilan yang dibayarkan,

29
disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan
pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap,
atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri
atau bentuk usaha tetap, tidak termasuk:
 Pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak
penyedia tenaga kerja kepada tenaga kerja yang melakukan pekerjaan,
berdasarkan kontrak dengan pengguna jasa;
 Pembayaran atas pengadaan/pembelian barang atau material (dibuktikan dengan
faktur pembelian);
 Pembayaran kepada pihak kedua (sebagai perantara) untuk selanjutnya
dibayarkan kepada pihak ketiga (dibuktikan dengan faktur tagihan pihak ketiga
disertai dengan perjanjian tertulis);
 Pembayaran penggantian biaya (reimbursement) yaitu penggantian pembayaran
sebesar jumlah yang nyata-nyata telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada
pihak ketiga (dibuktikan dengan faktur tagihan atau bukti pembayaran yang
telah dibayarkan kepada pihak ketiga).
Jumlah bruto tersebut tidak berlaku:
 Atas penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa katering;
 Dalam hal penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa, telah
dikenakan pajak yang bersifat final.
Pemotongan PPh 23 dikecualikan atas:
1. Penghasilan yang dibayar atau berulang kepada bank;
2. Sewa yang dibayar atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan
hak opsi;
3. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, BUMN/BUMD, dari penyertaan
modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia
dengan syarat:
a. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan;
b. Bagi perseroan terbatas, BUMN/BUMB, kepemilikan saham pada badan
yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari
jumlah modal yang disetor;

30
c. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan,
perkumpulan, firma dan kongsi termasuk pemegang unit penyertaan kontrak
investasi kolektif.
d. SHU koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
e. Penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada badan usaha atas jasa
keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan.
Contoh Perhitungan PPh Pasal 23
PT. Maju Makmur Mandiri pada tanggal 1 September 2015 melakukan pembayaran
atas sewa mobil yang disewanya dari CV. SB Rent sebesar Rp. 40 Juta untuk sewa
mobil selama 4 bulan (September 2015 s/d Desember 2015). Kedua perusahaan baik
PT. MMM maupun CV. SB Rent telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
(PKP). Bagaimana Jurnal untuk kedua perusahaan tersebut?
Pembahasan
Untuk contoh soal di atas maka PT. MMM harus memotoh PPh pasal 23 dengan tarif
2% dari pembayaran persewaan mobil tersebut, dan pemotongan pajak oleh PT.
MMM tersebut merupakan kredit pajak bagi CV. SB Rent.
Sebaliknya bagi CV. SB Rent wajib memungut PPN sebesar 10% yang merupakan
Pajak Masukan bagi PT. MMM.
PPh Pasal 23 = 2% x Rp. 40.000.000,-
= Rp. 800.000,-
PT. MMM
01 - 09 - 15 Sewa Dibayar Dimuka Rp. 40.000.000,-
PPN Masukan Rp. 4.000.000,-
Utang PPh Pasal 23 Rp. 800.000,-
Kas Rp. 43.200.000,-
(Jurnal pembayaran sewa mobil Sep - Des 2015)

30 - 09 - 15 Beban Sewa Rp. 10.000.000,-


Sewa Dibayar Dimuka Rp. 10.000.000,-
(Jurnal penyesuaian pengakuan beban sewa)

CV. SB Rent
01 - 09 - 15 Kas Rp. 43.200.000,-
UM PPh Pasal 23 Rp. 800.000,-
PPN Keluaran Rp. 4.000.000,-

31
Pendapatan Sewa Diterima Dimuka Rp. 40.000.000,-
(Jurnal penerimaan pembayaran sewa mobil Sep - Des 2015)

30 - 09 - 15 Pendapatan Sewa Diterima Dimuka Rp. 10.000.000,-


Pendapatan Sewa Rp. 10.000.000,-
(Jurnal penyesuaian pengakuan pendapatan sewa)

5. PPh Pasal 24
Pajak Penghasilan Pasal 24 (PPh Pasal 24) pada dasarnya adalah sebuah peraturan
yang mengatur hak wajib pajak untuk memanfaatkan kredit pajak mereka di luar
negeri, untuk mengurangi nilai pajak terhutang yang dimiliki di Indonesia. Sehingga,
jumlah pajak yang harus dibayar di Indonesia dapatdikurangi dengan jumlah pajak
yang telah mereka bayar di luar negeri, asalkan nilai kredit pajak di luar negeri tidak
melebihi hutang pajak yang ingin dibayar di Indonesia.
Sumber penghasilan kena pajak yang dapat digunakan untuk memotong hutang pajak
Indonesia adalah sebagai berikut:
1. pendapatan dari saham dan surat berharga lainnya, serta keuntungan dari
pengalihan saham dan surat berharga lainnya;
2. penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa yang berkaitan dengan
penggunaan harta-benda bergerak;
3. penghasilan berupa sewa yang berkaitan dengan penggunaan harta-benda tidak
bergerak;
4. penghasilan berupa imbalan yang berhubungan dengan jasa, pekerjaan, dan
kegiatan;
5. pendapatan dari Bentuk Usaha Tetap (BUT) di luar negeri;
6. penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda
keikutsertaan dalam pembiayaan atau pemanfaatan di sebuah perusahaan
pertambangan;
7. keuntungan dari pengalihan aset tetap;
8. Keuntungan dari pengalihan aset yang merupakan bagian dari suatu bentuk
usaha tetap (BUT).
Jika nilai pajak di luar negeri yang telah Anda gunakan sebagai kredit pajak di
Indonesia, telah berkurang atau dikembalikan kepada Anda, sehingga nilai kredit
Anda kurang untuk menutup pajak terhutang Anda di sini, maka Anda harus
membayar jumlah terhutang tersebut ke kantor pelayanan pajak Indonesia.

32
6. PPh Pasal 25
Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh Pasal 25) adalah pembayaran Pajak Penghasilan
secara angsuran. Tujuannya adalah untuk meringankan beban Wajib Pajak,
mengingat pajak yang terutang harus dilunasi dalam waktu satu tahun. Pembayaran ini
harus dilakukan sendiri dan tidak bisa diwakilkan. Besarnya angsuran PPh Pasal 25
dalam tahun berjalan (tahun pajak berikutnya setelah tahun yang dilaporkan di SPT
tahunan PPh) dihitung sebesar PPh yang terutang pajak tahun lalu, yang dikurangi
dengan:
 Pajak penghasilan yang dipotong sesuai pasal 21 (yaitu sesuai tarif pasal 17 ayat
(1) bagi pemilik NPWP dan tambahan 20% bagi yang tidak memiliki NPWP)
dan pasal 23 (15% berdasarkan dividen, bunga, royalti, dan hadiah - serta 2%
berdasarkan sewa dan penghasilan lain serta imbalan jasa) - serta pajak penghasilan
yang dipungut sesuai pasal 22 (pungutan 100% bagi yang tidak memiliki NPWP);
 Pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan
sesuai pasal 24; lalu dibagi 12 atau total bulan dalam pajak masa setahun.
Terdapat dua (2) jenis pembayaran angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh Pasal
25) untuk Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP), yaitu:
 Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WP – OPPT), yaitu yang
melakukan usaha penjualan barang, baik grosir maupun eceran, serta jasa – dengan
satu atau lebih tempat usaha. PPh 25 bagi OPPT = 0.75% x omzet bulanan tiap
masing-masing tempat usaha.
 Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (WP – OPSPT), yaitu
pekerja bebas atau karyawan, yang tidak memiliki usaha sendiri. PPh 25 bagi
OPSPT = Penghasilan Kena Pajak (PKP) x Tarif PPh 17 ayat (1) huruf a UU PPh
(12 bulan).
Pembayaran angsuran PPh 25 untuk Wajib Pajak Badan yaitu = Penghasilan Kena
Pajak (PKP) x 25% (Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b UU PPh).

7. PPh Pasal 26
Pajak Penghasilan (PPh) pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/dipotong atas
penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
(WP) luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia
Pemotongan PPh 26
33
Pemotongan PPh 26 wajib dilakukan oleh:
1. Badan Pemerintah
2. Subjek Pajak dalam negeri;
3. Penyelenggara Kegiatan;
4. BUT
5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT di Indonesia
Tarif dan Objek PPh 26
1. 20% (final) dari jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak Luar Negeri berupa:
a. dividen
b. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan
jaminan pengembalian utang;
c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehungan dengan penggunaan harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan;
e. hadiah dan penghargaan;
f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
g. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya;
h. keuntungan karena pembebasan utang.
Contoh Perhitungan PPh Pasal 26
Jane adalah atlet Singapura. Dalam bulan Mei 2007 mengikuti perlombaan lari
marathon di Indonesia, dan merebut hadiah sebesar US$20.000. Kurs untuk US$1
pada saat itu adalah Rp8.500.
PPh Pasal 26 yang dipotong oleh penyelenggara kegiatan di Indonesia adalah:
20% x US$20.000 x Rp8.500 = Rp 34.000.000

2. Tarif 20% dari penghasilan neto berupa :


a. penghasilan dan penjualan harta di Indonesia
b. premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung maupun melalui
pialang kepada perusahaan asuransi di luar negeri.
Contoh Perhitungan PPh Pasal 26
PT. Ananda merupakan perusahaan persewaan gedung kantor. Pada tahun 2007
mengasuransikan bangunan bertingkat ke perusahaan asuransi di Luar Negeri Bulding
Life Inc. Premi yang dibayar oleh PT Ananda kepada Buliding Life Inc. sebesar Rp
1.000.000.000

34
PPh pasal 26 yang dipotong oleh PT. Ananda adalah:
20% x 50% x Rp 1.000.000.000 = Rp 100.000.000
Keterangan:
- Penghasilan neto = perkiraan penghasilan neto x penghasilan
- besarnya perkiraan penghasilan neto adalah 50% dari jumlah premi yang dibayar
(penghasilan bruto)
3. Tarif 20% dari penghasilan kena pajak setelah dikurangi Pajak dari suatu BUT di
Indonesia yang penghasilan atau bagian labanya tidak ditanamkan kembali di
Indonesia. Jika penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, atas
penghasilan tersebut tidak dipotong PPh pasal 26.
Contoh Perhitungan PPh Pasal 26
Suatu bentuk usaha tetap di Indonesia memperoleh Penghasilan Kena Pajak sebesar
Rp 17.500.000.
PPh pasal 26 dihitung sebagai berikut:
Penghasilan Kena Pajak Rp 17.500.000.000
PPh terhutang:
25% x Rp 17.500.000 Rp 4.375.000.000 (-)
Penghasilan setelah dikurangi pajak Rp 13.125.000.000
PPh Pasal 26 yang terhutang:
20% x Rp 13.125.000.000 Rp 2.625.000.000
4. Tarif Berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara
Indonesia dengan negara pihak pada persetujuan.

8. PPh Pasal 29
PPh Pasal 29 merupakan sisa pembayaran pajak yang masih harus dibayarkan.
Contoh Perhitungan Pelunasan PPh Pasal 29 Wajib Orang Pribadi
Si A adalah pengusaha restoran (UMKM) di Jakarta yang tergolong sebagai Wajib
Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu dan menggunakan pencatatan dalam
perhitungan besarnya PPh.
 Jumlah peredaran usaha (omzed) selama setahun adalah Rp 510.500.000
 PPh pasal 25 (WP OPPT) yang sudah dilunasi (0,75 x Rp 510.500.000) adalah
Rp 3.828.750,-
 Setelah dihitung PPh yang terhutang selama setahun adalah Rp 10.975.750

35
 PPh Pasal 29 yang harus dilunasi oleh si A adalah sebesar:
Rp 10.975.750 – Rp 3.828.750 = Rp 7.147.000,-
Contoh Perhitungan Pelunasan PPh Pasal 29 Wajib Pajak Badan
Koperasi Unit Desa A, setelah menghitung PPh terhutang tahun pajak 2010 diketahui
PPh terutang setahun sebesar Rp 12.000.000,-
 Angsuran PPh pasal 25 selama tahun 2010 (12 bulan) sebesar: Rp 781.250 x 12 =
Rp 9.375.000
PPh pasal 29 yang harus dilunasi oleh KUD A adalah sebesar: PPh yang terhutang –
angsuran PPh Pasal 25 Rp 12.000.000 – Rp 9.375.000 = Rp 2.625.000

9. PPh Pasal 4 ayat (2)


Menurut UU PPh No. 36 Tahun 2008, pajak jenis ini termasuk PPh yang bersifat final.
Istilah 'final' di sini berarti bahwa, jenis pajak ini harus diselesaikan / lunas dalam
masa pajak yang sama seperti mereka diterima, dan tidak perlu dilaporkan lagi pada
akhir tahun pajak. Pajak penghasilan pasal 4 ayat (2) dikenakan pada jenis tertentu
dari penghasilan / pendapatan, dan berupa:
 bunga dari deposito dan jenis-jenis tabungan, bunga dari obligasi dan obligasi
negara, dan bunga dari tabungan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota
masing-masing;
 hadiah berupa lotere / undian;
 transaksi saham dan surat berharga lainnya, transaksi derivatif perdagangan di
bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan ibukota mitra perusahaan
yang diterima oleh perusahaan modal usaha;
 transaksi atas pengalihan aset dalam bentuk tanah dan/atau bangunan, usaha
jasa konstruksi, usaha real estate, dan sewa atas tanah dan / atau bangunan; dan
 pendapatan tertentu lainnya, sebagaimana diatur dalam atau sesuai dengan
Peraturan Pemerintah.
Ketika pajak final dikenakan atas transaksi antara perusahaan dan seorang individu,
dimana perusahaan bertindak sebagai penerima penghasilan tersebut, maka
perusahaan wajib menyelesaikan pajak ini saja. Dalam kasus transaksi yang terjadi
antara dua perusahaan, maka pembayar harus mengumpulkan dan menyelesaikan
pajak bukan penerima.

36
Ada beberapa jenis penghasilan yang dikenakan dengan pemotongan pajak final
PPh Pasal 4 Ayat 2. Masing-masing penghasilan memiliki tarif yang berbeda dan
diatur dalam Peraturan Pemerintah. Di bawah ini berbagai objek pajak dengan tarif
masing-masing sesuai dengan peraturan:
 Bunga deposito dan jenis-jenis tabungan, Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan
diskon jasa giro, tarif sebesar 20% sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 123 tahun 2015 dan turunannya Keputusan Menteri Keuangan
nomor 26/PMK.010/2016.
 Bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota masing-masing,
dengan tarif sebesar 10% sebagaimana diatur dalam Pasal 17 (7) dan turunannya
Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 2009.
 Bunga dari kewajiban, dengan berbagai tarif dari 0% sampai 20%. Penjelasan
lebih lanjut dapat ditemukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 100 TAHUN
2013.
 Dividen yang diterima oleh Indonesia Wajib Pajak orang pribadi, tarif sebesar
10% sebagaimana diatur dalam Pasal 17 (2c).
 Hadiah lotere / undian, tarif sebesar 25% sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 132 tahun 2000.
 Transaksi derivatif dalam bentuk berjangka panjang yang diperdagangkan di
bursa, dengan tarif sebesar 2,5% sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 31 Tahun 2011.
 Transaksi penjualan saham pendiri, dan saham non-founder (bukan
pendiri), tarif sebesar 0,5% dan 0,1% masing-masing, sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 1997, yang derivatif-nya berupa turunan
Menteri Keuangan No 282/KMK.04/1997, yang SE-15/PJ.42/1997 dan SE-
06/PJ.4/1997.
 Jasa konstruksi, dengan berbagai tarif dari 2% sampai 6%. Penjelasan lebih
lanjut dapat ditemukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009.
 Sewa atas tanah dan / atau bangunan, dengan tarif 10% sebagaimana diatur
dalam turunannya Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 2002.
 Pengalihan hak atas tanah dan / atau bangunan (termasuk usaha real
estate), tarif sebesar 5% sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
71 tahun 2008.

37
 Transaksi penjualan saham atau pengalihan ibukota mitra perusahaan yang
diterima oleh modal usaha, dengan tarif 0,1% sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 4 tahun 1995.
Contoh Perhitungan PPh Pasal 4 ayat (2)
Pada tanggal 1 September 2015 PT. MMM membayar sewa gedung untuk gudang
penyimpanan produknya kepada PT. Estate Prima sebesar Rp. 150 juta untuk masa 3
tahun (periode 1-09-15 s/d 31-10-18). Bagaimana pencatatan dari kedua perusahaan
tersebut dala mencatat transaksi sewa gudang tersebut dengan asumsi kedua
perusahaan sudah PKP?
Pembahasan
Besarnya tarif untuk sewa bangunan pada PPh Pasal 4 ayat (2) ini adalah 10%. Karena
sewa gedung / bangunan merupakan objek PPh Pasal 4 (2) maka pemotongan pajak
yang dilakukan oleh PT. MMM bersifat Final, sehingga bagi PT. Estate Prima
pemotongan tersebut bukanlah uang muka PPh tetapi pelunasan PPh yang diakui
sebagai beban PPh Final. Pada akhir periode beban PPh Final tersebut tidak dapat
dibebankan sebagai biaya fiskal (Non deductable expense).
PPh Pasal 4 ayat (2) = 10% x Rp. 150.000.000,-
= Rp. 15.000.000,-
PT. Estate Prima
01 - 09 - 15 Kas Rp. 150.000.000,-
Beban PPh Final Pasal 4 (2) Rp. 15.000.000,-
PPNKeluaran Rp. 15.000.000,-
Pendapatan Sewa Diterima Dimuka Rp. 150.000.000,-
(Jurnal penerimaan pembayaran sewa gudang)

38
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan pada sorang pribadi maupun badan
atas penghasilan yang diperolehnya pada periode tahun pajak, Pajak Penghasilan Pasal 21
adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran
lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan,
jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri.
Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupun luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
Jadi jika orang pribadi atau badan telah memenuhi syarat subjektif (telah
memenuhi syarat sebagai subjek pajak) dan telah memenuhi syaraat objektif (telah
menerima atau memperoleh penghasilan), maka orang pribadi atau badan tersebut otomatis
menjadi wajib pajak.

39
REFERENSI

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 16/PMK.10/2016 tentang


Perubahan Kelima atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 tentang
Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas
Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122/PMK.010/2015 tentang Penyesuaian Besarnya


Penghasilan Tidak Kena Pajak.

Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER-32/PJ/2015 tentang Pedoman Teknis Tata
Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau
Pajak Penghasilan Pasal 26 sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang
Pribadi.

Priantara, Diaz. 2013. Perpajakan Indonesia, Edisi 2. Jakarta: Mitra Wacana Media

PSAK 46 Revisi 2015 tentang Pajak Penghasilan.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat


atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

40

Anda mungkin juga menyukai