Anda di halaman 1dari 2

2.1.

Etika dalam Pemasaran Pelayanan Kesehatan Pariwisata


Dalam konteks kepariwisataan isu eksploitasi sumber daya menjadi salah satu
yang perlu diatur dalam penyelenggaraan kepariwisataan yang lebih bertanggung jawab,
beretika secara moral berdasarkan nilai dan norma yang berlaku baik secara universal
maupun yang bersifat local.
UNWTO sejak tanggal 1 Oktober 1999 telah mengeluarkan panduan tentang
prinsip-prinsip pelaksanaan kepariwisataan yang lebih bertanggung jawab. Panduan
tersebut dikenal dengan Kode Etik Kepariwisataan Global.
Prinsip-prinsip tersebut ditujukan agar pembangunan kepariwisataan dapat
dilaksanakan berdasarkan norma-norma dan nilai yang berlaku baik yang dibawa oleh
wisatawan maupun norma dan nilai yang berlaku di destinasi pariwisata. Disusunnya
sebuah kode etik kepariwisataan secara global adalah memberikan panduan kepada
seluruh stakeholder pembangunan kepariwisataan serta untuk meyakinkan manfaat dari
kepariwisataan baik secara ekonomi dan social dapat menjangkau dan dinikmati oleh
komunitas dalam arti luas.
Tujuan dibuatnya kode etik kepariwisataan dalam bentuk aturan baku setidaknya
dapat menjembati kesenjangan budaya mungkin saja terdapat antara wisatawan dan
masyarakat yang dikunjungi. Bagi pemerintah dan pengusaha aturan ini berguna dalam
memahami norma serta nilai yang berlaku dalam suatu daerah tertentu agar tidak terjadi
ekses negatif pembangunan kepariwisataan. Tujuan kode etik ini adalah:

 Meletakan nilai dasar moralitas yang berlaku dan dipahami bersama oleh para
stakeholder kepariwisataan
 Membentuk perilaku bertanggung jawab terhadap segala bentuk tindakan yang
berpotensi menimbulkan dampak atau akibat baik secara positif maupun
negatif.
Bagaimana pelaksanaan kode etik ini diterapkan dalam kepariwisataan, Fennell
dan Malloy menyebutkan setidaknya terdapat dua pendekatan yakni pendekatan sukarela
(voluntary mechanism) dan pendekatan berdasakan obligasi (non-voluntary mechanism).
1) Voluntary Mechanism
UNWTO (2002) menyebutkan penerapan kode etik secara sukarela sebagai sebagai
sebuah inisiatif yang tidak dilakukan berdasarkan kewajiban hukum, tetapi secara
sukarela mengikat diri terhadap sebuah aturan tertentu. Contoh dari mekanisme
penerapan aturan tertentu adalah dengan mengikat diri standar tertentu seperti ISO,
ecolabel, dan sertifikasi bidang tertentu. Hal ini tidak saja mengikat diri dalam
sebuah perilaku yang lebih bertanggung jawab, tetapi juga dapat meningkatkan
kredibilitas dan akuntabilitas pihak – pihak yang mengikat diri secara sukarela pada
aturan main tertentu, apalagi standar tersebut telah mendapat pengakuan secara
global. Di Indonesia salah satunya adalah penerapan ISO dan ecolabel pada hotel –
hotel besar.

2) Non-Voluntary Mechanism
Penarapan berdasarkan obligasi merupakan pendekatan otoritatif dan didesain
untuk membatasi dan melarang aktivitas stakeholder [kepariwisataan] dalam
berbagai sektor (Parker, 1999). Penerapan aturan ini adalah hal yang sudah sangat
umum di berbagai negara dimana terdapat kewajiban yang harus dipenuhi baik dari
aspek perizinan dan legalitas dalam menjalankan aktivitas kepariwisataan.

Anda mungkin juga menyukai