Anda di halaman 1dari 19

POMR (Problem Oriented Medical Record)

Nama : Ny. NK
Usia : 28 th
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Gading - Sumberjo
Agama : Islam
Suku : Jawa
No. RM : 424294
Ruangan : PONEK RSUD Jombang

PLANNING
SUMMARY OF PROBLEM
CLUE AND CUE INITIAL
DATABASE LIST DIAGNOSIS THERAPY MONITORING EDUKASI
DIAGNOSIS
Nama: Ny. NK G2P1001A000 G2P1001A000 G2P1001A000 - NST -MRS - Keluhan Menejelaskan
Usia: 28 thn Uk. 40-41 minggu Uk. 40-41 Uk. 40-41 -Infus Ringer subjektif kepada pasien
- Ny. NK, 28 th minggu + THIU minggu + Laktat 20 tpm pasien tentang diagnosis
Anamnesis: - Kenceng-kenceng + Let kep THIU + Let -Pasang DK - TTV penyakit pasien
Keluhan Utama: - Lendir darah (-) - Post date kep + Post date -Pro SC - Perdarahan dan tindakan yang
Keneng-kenceng - Keluar darah (-) - + - DL post SC akan dilakukan
- Ketuban Oligohidramnio Oligohidramni
RPS: merembes (-) n on + susp
- Pasien kiriman IGD - HPHT: - susp Makrosomia
dengan keluhan 19/11/2018 Makrosomia (TBJ 4100gr)
kenceng-kenceng. - HPL: 26/08/ 2019 (TBJ 4100gr)
- kenceng2 sejak 1 - UK : 40-41 mgg
minggu yang lalu,
semakin sering, R/ Alergi
semakin memberat - As. Mefenamat
pagi ini (kamis) pukul
07.00 . Kenceng – STU:
kenceng dirasa 1x CM a-/i-/c-/d -
dalam 10 menit TD : 120 / 80
dengan durasi 60 dtk. N : 83
- lendir darah (-) RR : 20
- keluar darah (-) T : 36,7
- ketuban merembes (-) BB: 72kg
TB: 160cm
HPHT: 19/11/2018
HPL: 26/08/ 2019 STO :
Uk : 40-41 mgg - TFU 35 cm
- Djj: 153
R/ persalinan: - His: (+) 10.1.60
I : laki-laki/ 9 bln/ - TBJ: 900 / 1500
spontan/ pkm bidan/ gr
3600 / 5 th - Presentasi Janin:
II: hamil ini Letak kepala
- VT: 0 cm /
R/ pernikahan: menikah <50% / H1 / ket
1x, 7 tahun (-)

R/ KB : implant 3 tahun Leopold:


LI : Bokong, TFU
R/ANC : di bidan 5x, 35cm
ke Sp.OG 4x. USG 4x. L2 : Punggung
L3 : Kepala,
R/mens : teratur, siklus masuk PAP
28 hari, lama 7hari, L4 : Kepala,
menarche 13th masuk PAP,
Divergen,
RPD:
HT (-), DM (-), asma Panggul:
(-), - Promontorium
: tidak teraba
R/ Alergi Obat: - Linea
- As. Mefenamat terminalis:
tidak teraba
Pemeriksaan Fisik: - Spina
STU: ishiadica:
CM a-/i-/c-/d - tidak menonjol
TD : 120 / 80 - Arcus pubis:
N : 83 tumpul
RR : 20 - Lengkung
T : 36,7 sakrum: datar
BB: 72kg
TB: 160cm Pemeriksaan
Penunjang:
STO :
- TFU 35 cm USG:
- Djj: 153 BPD: 9,54 cm
- His: (+) 10.1.60 AC: 34 cm
- TBJ: 900 / 1500 gr FL: 7,63
- Presentasi Janin: HC: 37,35
Letak kepala EFW: 4100 gram
- VT: 0 cm / <50% / Letak plasenta:
H1 / ket (-) corpus lateral gr III
AFI: 6,2
Leopold: Letak: Kepala
LI : Bokong, TFU 35cm
L2 : Punggung
L3 : Kepala, masuk
PAP
L4 : Kepala, masuk
PAP, Divergen,

Panggul:
- Promontorium:
tidak teraba
- Linea terminalis:
tidak teraba
- Spina ishiadica:
tidak menonjol
- Arcus pubis:
tumpul
- Lengkung sakrum:
datar

Pemeriksaan
Penunjang:

USG:
BPD: 9,54 cm
AC: 34 cm
FL: 7,63
HC: 37,35
EFW: 4100 gram
Letak plasenta: corpus
lateral gr III
AFI: 6,2
Letak: Kepala
Landasan Teori

2.1 Postterm
2.1.1 Definisi
Menurut WHO 1977 kehamilan postterm adalah kehamilan yang berlangsung lebih dari 42 minggu (294
hari) yang terhitung sejak hari pertama siklus haid terakhir (HPHT) menurut rumus Naegele dengan siklus
haid rata-rata 28 hari.
Menurut definisi yang dirumuskan oleh American College of Obstetricians and Gynecologists (2004),
kehamilan postterm adalah kehamilan yang berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung sejak
hari pertama siklus haid terakhir (HPHT) (Cunningham et al, 2016).
Masalah yang sering terjadi dalam menegakkan diagnosisi kehamilan postterm adalah penentuan usia
kehamilan berdasarkan HPHT sering kali tidaklah mudah, karena ibu tidak ingat kapan tanggal HPHT yang
pasti, selain itu penentuan saat ovulasi yang pasti juga tidak mudah, terdapat pula faktor-faktor yang
mempengaruh iperhitungan: variasi siklus haid, kesalahan perhitungan oleh ibu dan sebagainya. Dengan
adanya pemeriksaan USG terutama pada trisemester I, usia kehamilan dapat ditentukan lebih tepat ,dengan
penyimpangan hanya lebih atau kurang satu minggu (Rustam, 2017).
2.1.2 Etiologi
Penyebab pasti dan poses terjadinya kehamilan postterm sampai saat ini masih belum diketahui dengan
pasti. Teori-teori yang pernah diajukan untuk menerangkan penyebab terjadinya kehamilan postterm antara
lain (Wiknjosastro, 2014):
a. Teori progesteron.
Berdasarkan teori ini, diduga bahwa terjadinya kehamilan postterm adalah karena masih
berlangsungnya pengaruh progesteron melewati waktu yang semestinya.
b. Teori oksitosin.
Rendahnya pelepasan oksitosin dari neurohipofisis wanita hamil pada usia kehamilan lanjut diduga
sebagai salah satu fakor penyebab terjadinya kehamilan postterm.
c. Teori kortisol/ACTH janin.
Kortisol janin akan mempengaruhi plasenta sehingga produksi progesteron berkurang dan
memperbesar sekresi estrogen. Proses ini selanjutnya berpengaruh terhadap meningkatnya produksi
prostaglandin. Pada kasus-kasus kehamilan dengan cacat bawaan janin seperti anensefalus atau
hipoplasia adrenal, tidak adanya kelenjar hipofisis janin akan menyebabkan kortisol janin tidak
diproduksi dengan baik sehingga kehamilan berlangsung lewat bulan.
d. Teori saraf uterus.
Berdasarkan teori ini, diduga kehamilan postterm terjadi pada keadaan tidak terdapatnya tekanan pada
ganglion servikalis dari pleksus Frankenhauser yang membangkitkan kontraksi uterus, seperti pada
keadaan kelainan letak, tali pusat pendek, dan masih tingginya bagian terbawah janin.
e. Teori heriditer.
Pengaruh herediter terhadap insidensi kehamilan postterm telah dibuktikan pada beberapa penelitian
sebelumnya. Kitska et al (2007) menyatakan dalam hasil penelitiannya bahwa seorang ibu yang
pernah mengami kehamilan postterm akan memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami kehamilan
postterm pada kehamilan berikutnya. Hasil penelitian ini memunculkan kemungkinan bahwa
kehamilan postterm juga dipengaruhi oleh faktor genetik (Hacker, 2014). Mogren (1999) menyatakan
bahwa bilamana seorang ibu mengalami kehamilan postterm saat melahirkan anak perempuan, maka
besar kemungkinan anak perempuannya akan mengalami kehamilan postterm.
2.1.3 Patofisiologi
Pada kehamilan postterm terjadi berbagai perubahan baik pada cairan amnion, plasenta, maupun janin.
Pengetahuan mengenai perubahan-perubahan tersebut dapat dijadikan dasar untuk mengelola kasus persalinan
postterm.
a.Perubahan pada Plasenta.
Disfungsi plasenta merupakan faktor penyebab terjadinya komplikasi pada kehamilan postterm dan
meningkatnya risiko pada janin. Fungsi plasenta mencapai puncaknya pada kehamilan 38 minggu dan
kemudian mulai menurun terutama setelah 42 minggu. Rendahnya fungsi plasenta ini berkaitan dengan
peningkatan kejadian gawat janin dengan risiko 2-4 kali lebih tinggi. Penurunan fungsi plasenta dapat
dibuktikan dengan penurunan kadar estriol dan plasenta laktogen. Perubahan yang terjadi pada plasenta
sebagai berikut.
Penimbunan kalsium. Peningkatan penimbunan kalsium pada plasenta sesuai dengan progresivitas
degenerasi plasenta. Proses degenerasi jaringan plasenta yang terjadi seperti edema, timbunan fibrinoid,
fibrosis, trombosis intervilli, spasme arteri spiralis dan infark villi. Selapot vaskulosinsial menjadi tambah
tebal dan jumlahnya berkurang. Keadaan ini dapat menurunkan metabolisme transport plasenta. Transport
kalsium tudak terganggu tetapi aliran natrium, kalium, glukosa, asam amino, lemak dan gamma globulin
mengalami gangguansehingga janin akan mengalami hambatan pertumbuhan dan penurunan berat janin.
(Cunningham et al, 2016)

b. Oligohidramnion
Pada kehamilan postterm terjadi perubahan kualitas dan kuantitas cairan amnion. Jumlah cairan
amnion mencapai puncak pada usia kehamilan 38 minggu, yaitu sekitar 1000 ml dan menurun menjadi
sekitar 800 ml pada usia kehamilan 40 minggu. Penurunan jumlah cairan amnion berlangsung terus
menjadi sekitar 480 ml, 250 ml, hingga 160 ml pada usia kehamilan 42, 43, dan 44 minggu (Cunningham
et al, 2016).
Penurunan jumlah cairan amnion pada kehamilan postterm berhubungan dengan penurunan produksi
urin janin. Dilaporkan bahwa berdasarkan pemeriksaan Doppler velosimetri, pada kehamilan postterm
terjadi peningkatan hambatan aliran darah (resistance index/RI) arteri renalis janin sehingga dapat
menyebabkan penurunan jumlah urin janin dan pada akhirnya menimbulkan oligohidramnion. (Oz, et al.,
2002) Oleh sebab itu, evaluasi volume cairan amnion pada kasus kehamilan postterm menjadi sangat
penting artinya. Dilaporkan bahwa kematian perinatal meningkat dengan adanya oligohidramnion yang
menyebabkan kompresi tali pusat. Pada persalinan postterm, keadaan ini dapat menyebabkan keadaan
gawat janin saat intra partum (Wiknjosastro, 2014).
Selain perubahan volume, terjadi pula perubahan komposisi cairan amnion sehingga menjadi lebih
kental dan keruh. Hal ini terjadi karena lepasnya vernik kaseosa dan komposisi fosfolipid. Pelepasan
sejumlah badan lamellar dari paru-paru janin akan mengakibatkan perbandingan Lesitin terhadap
Sfingomielin menjadi 4:1 atau lebih besar. Selain itu, adanya pengeluaran mekonium akan mengakibatkan
cairan amnion menjadi hijau atau kuning dan meningkatkan risiko terjadinya aspirasi mekonium
(Cunningham et al, 2016).
Estimasi jumlah cairan amnion dapat diukur dengan pemeriksan USG. Salah satu metode yang cukup
populer adalah pengukuran diameter vertikal dari kantung amnion terbesar pada setiap kuadran dari 4
kuadran uterus. Hasil penjumlahan keempat kuadran tersebut dikenal dengan sebutan indeks cairan
anmion (Amnionic Fluid Index/AFI). Bila nilai AFI telah turun hingga 5 cm atau kurang, maka merupakan
indikasi adanya oligohidramnion (Cunningham et al, 2016).

c. Perubahan pada janin


Berat janin. Bila terjadi perubahan anatomik yang besar pada plasenta, maka terjadi penurunan berat
janin. Namun, seringkali pula plasenta masih dapat berfungsi dengan baik sehingga berat janin bertmbah
terus sesuai bertambahnya umur kehamilan. Risiko persalinan bayi dengan berat lebih dari 4000 gram
pada kehamilan postterm meningkat 2-4 kali lebih besar.
Selain risiko pertambahan berat badan yang berlebihan, janin pada kehamilan postterm juga
mengalami berbagai perubahan fisik khas disertai dengan gangguan pertumbuhan dan dehidrasi yang
disebut dengan sindrom postmaturitas. Perubahan-perubahan tersebut antara lain; penurunan jumlah
lemak subkutaneus, kulit menjadi keriput, dan hilangnya vernik kaseosa dan lanugo. Keadaan ini
menyebabkan kulit janin berhubungan langsung dengan cairan amnion. Perubahan lainnya yaitu; rambut
panjang, kuku panjang, serta warna kulit kehijauan atau kekuningan karena terpapar mekonium. Namun
demikian, Tidak seluruh neonatus kehamilan postterm menunjukkan tanda postmaturitas tergantung fungsi
plasenta. Umumnya didapat sekitar 12-20 % neonatus dengan tanda postmaturitas pada kehamilan
postterm. Tanda postterm dibagi dalam 3 stadium (Wiknjosastro, 2014):
a) Stadium 1: Kulitkehilanganvernikskaseosadanmaserasiberupakulitkering, rapuh,
danmudahmengelupas.
b) Stadium 2: Gejala di atasdisertaipewarnaanmekoniumpadakulit.
c) Stadium 3: Pewarnaankekuninganpada kuku, kulit, dantalipusat.

2.1.4 Diagnosis
Meskipun diagnosis kehamilan postterm berhasil ditegakkan pada 4-19% dari seluruh kehamilan,
sebagian diantaranya kenyataanya tidak terbukti oleh karena kekeliruan dalam menentukan usia kehamilan.
Oleh sebab itu, pada penegakkan diagnosis kehamilan postterm, informasi yang tepat mengenai lamanya
kehamilan menjadi sangat penting. Hal ini disebabkan karena semakin lama janin berada di dalam uterus
maka semakin besar pula risiko bagi janin dan neonatus untuk mengalami morbiditas maupun mortalitas.
Namun sebaliknya, pemberian intervensi/terminasi secara terburu-buru juga bisa memberikan dampak yang
merugikan bagi ibu maupun janin.

a. Riwayat haid
Pada dasarnya, diagnosis kehamilan postterm tidaklah sulit untuk ditegakkan apabila keakuratan
HPHT ibu bisa dipercaya. Diagnosis kehamilan postterm berdasarkan HPHT dapat ditegakkan sesuai
dengan definisi yang dirumuskan oleh American College of Obstetricians and Gynecologists (2004), yaitu
kehamilan yang berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari pertama siklus haid
terakhir (HPHT) (Cunningham et al, 2016).
Permasalahan sering timbul apabila ternyata HPHT ibu tidak akurat atau tidak bisa dipercaya.
Menurut Mochtar et al (2004), jika berdasarkan riwayat haid, diagnosis kehamilan postterm memiliki
tingkat keakuratan hanya ±30 persen. Riwayat haid dapat dipercaya jika telah memenuhi beberapa
kriteria, yaitu: (a) ibu harus yakin betul dengan HPHT-nya; (b) siklus 28 hari dan teratur, (c) tidak minum
pil anti hamil setidaknya 3 bulan terakhir (Wiknjosastro, 2014).
Hasil penelitian Savitz, et al (2002) menunjukkan bahwa usia kehamilan yang ditentukan berdasarkan
HPHT cenderung lebih sering salah didiagnosa sebagai kehamilan postterm dibanding dengan
pemeriksaan USG, terutama akibat ovulasi yang terlambat. Penentuan usia kehamilan dengan HPHT
didasarkan kepada asumsi bahwa kehamilan akan berlangsung selama 280 hari (40 minggu) dari hari
pertama siklus haid yang terakhir. (Cunningham, et al., 2016) Pendekatan ini berpotensi menyebabkan
kesalahan karena sangat bergantung kepada keakuratan tanggal HPHT dan asumsi bahwa ovulasi terjadi
pada hari ke-14 siklus menstruasi. Padahal, ovulasi tidak selalu terjadi pada hari ke-14 siklus karena
adanya variasi durasi fase folikular, yang bisa berlangsung selama 7-21 hari. Oleh sebab itu, pada ibu
yang memiliki siklus 28 hari, masih ada kemungkinan ovulasi terjadi setelah hari ke-14 siklus. Akibatnya,
terjadi kesalahan dalam penentuan usia kehamilan yang seharusnya dihitung mulai dari terjadinya
fertilisasi sampai lahirnya bayi. (Bennett, et al., 2004) Tingkat kesalahan estimasi tanggal perkiraan
persalinan jika berdasarkan HPHT adalah ± 1,37 minggu (Shaver, 2016).

b. Riwayat pemeriksaan antenatal


Teskehamilan. Bila pasien melakukan pemeriksaan tesimunologik sesudah terlambat haid 2 minggu,
maka dapat diperkirakan keamilan telah berlangsung 6 minggu.
Gerak janin. Gerak janin pada umumnya dirasakan ibu pada umur kehamilan 18-20 minggu. Pada
primigravida dirasakan sekitar umur kehamilan 18 minggu, sedangkan pada multigravida pada 16 minggu.
Keadaan klinis yang ditemukan ialah gerakan janin yang jarang, yaitu secara subyektif kurang dari 7
kali/20 menit, atau secara obyektif dengan CTG kurang dari 10 kali/20 menit.
Denyut Jantung Janin (DJJ). Dengan stetoskop Laennec DJJ dapat didengar mulai umur kehamilan
18-20 minggu, sedangakan dengan Doppler dapat terdengar pada usia kehamilan 10-12 minggu.
Pernoll, et al (2007) menyatakan bahwa kehamilan dapat dinyatakan sebagai kehamilan postterm bila
didapat 3 atau lebih dari 4 kriteria hasil pemeriksaan sebagai berikut:
a) Telah lewat 36 minggu sejak test kehamilan positif
b) Telah lewat 24 minggu sejak dirasakan gerak janin pertama kali
c) Telah lewat 32 minggu sejak DJJ pertama terdengar dengan Doppler
d) Telah lewat 22 minggu sejak terdengarnya DJJ pertama kali dengan stetoskop Laennec.
c. Tinggi Fundus Uteri
Dalam trisemester pertama pemeriksaan tinggi fundus uteri serial dalam sentimeter (cm) dapat
bermanfaat bila dilakukan pemeriksaan secara berulang setiap bulan. Lebih dari 20 minggu, tinggi fundus
uteri dapat menentukan umur kehamilan secara kasar (Decherney, 2017).
2.1.5 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Penggunaan pemeriksaan USG untuk menentukan usia kehamilan telah banyak menggantikan metode
HPHT dalam mempertajam diagnosa kehamilan postterm. Beberapa penelitian terdahulu telah
membuktikan bahwa penentuan usia kehamilan melalui pemeriksaan USG memiliki tingkat keakuratan
yang lebih tinggi dibanding dengan metode HPHT.
Semakin awal pemeriksaan USG dilakukan, maka usia kehamilan yang didapatkan akan semakin akurat
sehingga kesalahan dalam mendiagnosa kehamilan postterm akan semakin rendah. Tingkat kesalahan
estimasi tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan pemeriksaan USG trimester I (crown-rump length)
adalah ± 4 hari dari taksiran persalinan. (Cohn, et al., 2010) Pada usia kehamilan antara 16-26 minggu,
ukuran diameter biparietal (biparietal diameter/BPD) dan panjang femur (femur length/FL) memberikan
ketepatan ± 7 hari dari taksiran persalinan (Wiknjosastro, 2014).
Pemeriksaan usia kehamilan berdasarkan USG pada trimester III menurut hasil penelitian Cohn, et al
(2010) memiliki tingkat keakuratan yang lebih rendah dibanding metode HPHT maupun USG trimester I
dan II. Pemeriksaan sesaat setelah trisemester III dapat dipakai untuk menentukan berat janin, keadaan air
ketuban ataupun keadaan plasenta yang berkaitan dengan kehamilan postterm, tetapi sukar untuk
menentukan usia kehamilan. Ukuran-ukuran biometri janin pada trimester III memiliki tingkat variabilitas
yang tinggi sehingga tingkat kesalahan estimasi usia kehamilan pada trimester ini juga menjadi tinggi.
Tingkat kesalahan estimasi tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan pemeriksaan USG trimester III
bahkan bisa mencapai ± 3,6 minggu. Keakuratan penghitungan usia kehamilan pada trimester III saat ini
sebenarnya dapat ditingkatkan dengan melakukan pemeriksaan MRI terhadap profil air ketuban (Decherney,
2017).
b. Pemeriksaan laboratorium
a) Sitologi cairan amnion. Pengecatan nile blue sulphate dapat melihat sel lemak dalam cairan amnion.
Apabila jumlah sel yang mengandung lemak melebihi 10%, maka kehamilan diperkirakan sudah
berusia 36 minggu dan apabila jumlahnya mencapai 50% atau lebih, maka usia kehamilan 39 minggu
atau lebih.
b) Tromboplastin cairan amnion (ATCA). Hasil penelitian terdahulu berhasil membuktikan bahwa
cairan amnion mempercepat waktu pembekuan darah. Aktivitas ini meningkat dengan bertambahnya
usia kehamilan. Pada usia kehamilan 41-42 minggu, ACTA berkisar antara 45-65 detik sedangkan
pada usia kehamilan >42 minggu, didapatkan ACTA <45 detik. Bila didapatkan ACTA antara 42-46
detik, ini menunjukkan bahwa kehaminan sudah postterm.
c) Perbandingan kadar lesitin-spingomielin (L/S). Perbandingan kadar L/S pada usia kehamilan sekitar
22-28 minggu adalah sama (1:1). Pada usia kehamilan ±32 minggu, perbandingannya menjadi 1,2:1
dan pada kehamilan genap bulan menjadi 2:1. Pemeriksaan ini tidak dapat dipakai untuk menentukan
kehamilan postterm tetapi hanya digunakan untuk menentukan apakan janin cukup usia/matang
untuk dilahirkan.
d) Sitologi vagina. Pemeriksaan sitologi vagina (indekskariopiknotik> 20%) mempunyai sensitivitas.
Perlu diingat bahwa kematangan serviks tidak dapat dipakai untuk menentukan usia gestasi
(Wiknjosastro, 2014).
2.1.5 Terapi
Sampai saat ini pengelolaanya masih belum memuaskan dan masih banyak perbedaan pendapat. Masalah
yang sering dihadapi pada pengelolaan kehamilan postterm antara lain karena pada beberapa penderita, usia
kehamilan tidak selalu dapat ditentukan dengan tepat sehingga janin bisa saja belum matur sebagaimana
yang diperkirakan. Selain itu, saat usia kehamilan mencapai 42 minggu, pada ±70% penderita didapatkan
serviks belum matang/unfavourable dengan skor Bishop rendah sehingga tingkat keberhasilan induksi
menjadi rendah. Oleh karena itu, setelah diagnosis kehamilan postterm ditegakkan, permasalahan yang harus
dipecahkan selanjutnya adalah apakah dilakukan pengelolaan secara aktif dengan induksi ataukah sebaliknya
dilakukan pengelolaan secara ekspektatif dengan pemantauan terhadap kesejahteraan janin, baik secara
biofisik maupun biokimia sampai persalinan berlangsung dengan spontan atau timbul indikasi untuk
mengakhiri kehamilan (Wiknjosastro, 2014). Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam pengambilan
keputusan tindakan adalah kepastian usia kehamilan, pemeriksaan serviks, perkiraan berat janin, keinginan
pasien dan riwayat obstetrik dahulu.

a. Pemantanauan kesejahteraan janin


Manning dkk (1980) telah mengajukan pemakaian kombinasi dari 5 variabel biofisik untuk menilai
kesejahteraan janin dan menyatakan bahwa kombinasi ini memberikan hasil yang lebih akurat dibandingkan
pemakaian salah satu variabel saja. Secara umum, tes ini membutuhkan waktu sekitar 30-60 menit. Variabel
yang digunakan dalam penilaian profil biofisik adalah; (a) tes tanpa beban (non-stress test/NST), (b) gerak
nafas janin, (c) gerakan janin, (d) tonus janin, dan (e) volume cairan amnion. Setiap variabel diberikan skor 2
bila normal dan skor 0 bila abnormal. Oleh sebab itu, seorang janin sehat akan memiliki skor 10 pada
pemeriksaan profil biofisiknya. (Cunningham, et al., 2016)

1) Tes Tanpa Beban (Non-Stress Test/NST)


Denyut jantung janin secara normal meningkat maupun menurun sebagai akibat pengaruh dari
sistem saraf simpatis-parasimpatis yang impulsnya berasal dari batang otak. Menurut hipotesis, denyut
jantung janin yang tidak berada dalam keadaan asidosis akibat hipoksia ataupun depresi saraf akan
mengalami akselerasi sementara sebagai respon terhadap gerakan janin. Adanya akselerasi ini
dipegaruhi oleh usia kehamilan. Menurut hasil penelitian, besarnya tingkat akselerasi denyut jantung
akibat gerakan janin akan meningkat seiring dengan peningkatan usia kehamilan. (Cunningham, et al.,
2016)
Penggunaan NST memiliki tujuan yang berbeda dengan tes beban kontraksi (contraction stress
test/oxytocin stress test/OST). Secara sederhana, NST adalah tes untuk mengetahui kondisi janin
sedangkan OST digunakan untuk menilai fungsi uteroplasenta. Sampai saat ini, NST adalah tes utama
yang paling sering digunakan untuk menilai kesejahteraan janin. (Cunningham, et al., 2016)
2) Pemeriksaan gerakan nafas janin (fetal breathing)
Salah satu fenomena menarik dari gerakan pernafasan janin adalah gerakan dinding dada yang
paradoks (paradoxical chest wall movement). Pada janin, ketika proses inspirasi, dinding dada secara
paradoks mengempis sedangkan dinding perut mengembung. Hal ini berkebalikan dengan proses
inspirasi yang terjadi pada neonatus dan orang dewasa. Gerakan ini dihubungkan dengan kemungkinan
adanya gerakan janin untuk mengeluarkan debris cairan amnion yang menyerupai gerakan pada saat
batuk. (Cunningham, et al., 2016)
Beberapa peneliti telah mencoba melakukan penelitian mengenai adanya keterkaitan antara gerakan
nafas janin melalui pemeriksaan USG dengan proses evaluasi kesejahteraan janin. Oleh karena gerakan
nafas janin terjadi secara episodik, maka interpretasi hasil tes pada saat tidak ditemukan gerakan nafas
menjadi tidak dapat dipercaya. Patrick dkk (1980) melakukan penelitian observasi selama 24 jam
menggunakan ultrasonografi real time untuk mendapatkan gambaran karakteristik gerakan nafas janin
selama 10 minggu terakhir kehamilan. Hasilnya menunjukkan bahwa pada janin normal pun bisa saja
tidak ditemukan gerakan nafas bahkan sampai 122 menit lamanya. Penelitian ini mengindikasikan
bahwa untuk dapat mendiagnosis tidak ditemukannya gerakan nafas membutuhkan waktu observasi
yang panjang. Oleh sebab itu, untuk menilai kesejahteraan janin, pemeriksaan gerakan nafas sering
digabungkan dengan pemeriksaan lain, misalnya pemeriksaan denyut jantung janin. (Cunningham, et al.,
2016)
3) Pemeriksaan gerakan janin (fetal movements)
Aktivitas pasif janin tanpa rangsangan sebenarnya sudah mulai ada sejak minggu ke-7 dan akan
menjadi lebih kompleks serta terkoordinasi pada akhir kehamilan. Bahkan setelah minggu ke-8 usia
kehamilan, gerakan janin tidak pernah berhenti dengan waktu lebih dari 13 menit. Namun demikian, ibu
hamil baru bisa merasakan pergerakan janin pertama kali sekitar usia kehamilan 18-20 minggu. Mula-
mula gerakannya jarang, lemah, dan terkadang tidak dapat dibedakan dengan sensasi abdomen lainnya
seperti gerakan usus. (Cunningham, et al., 2016)
Antara minggu ke-20 sampai ke-30, gerakan tubuh umum menjadi lebih teratur dan janin mulai
memperlihatkan siklus istirahat-aktivitas. Pada trimester ketiga, pematangan gerakan janin terus
berlanjut sampai sekitar 36 minggu, saat sikap tubuh normal telah terbentuk pada 80% janin.
(Cunningham, et al., 2016)
Pergerakan rata-rata harian janin selama kehamilan bervariasi. Pada umur kehamilan 20 minggu,
pergerakan janin rata-rata adalah sekitar 200 gerakan per 12 jam. Pergerakan janin mencapai nilai
maksimal sekitar minggu ke-32 kehamilan, yaitu ± 500 gerakan per 12 jam. Setelah itu, pergerakan
menjadi kurang dirasakan setelah minggu ke-36 karena janin tumbuh dan volume cairan amnion
berkurang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berkurangnya aktivitas pada kehamilan aterm mungkin
juga disebabkan oleh pertambahan waktu tidur janin seiring dengan makin maturnya janin. Keadaan ini
merupakan hal yang terjadi secara fisiologis pada trimester ke- tiga. (Cunningham, et al., 2016)
4) Pemeriksaan tonus janin
Tonus janin dengan pemeriksaan USG diketahui sebagai gerakan ekstensi ekstremitas atau tubuh
janin, yang dilanjutkan dengan gerakan kembali ke posisi fleksi. Tonus janin dapat juga dinilai dengan
melihat gerakan jari-jari tangan yang membuka (ekstensi) dan kembali ke posisi mengepal. Dalam
keadaan normal, gerakan tersebut terlihat sedikitnya sekali dalam 30 menit pemeriksaan. Tonus janin
juga dianggap normal apabila jari-jari tangan terlihat mengepal terus selama 30 menit pemeriksaan.
a. Pemeriksaan volume cairan amnion
Pemeriksaan volume cairan amnion telah menjadi bagian dari pemeriksaan antepartum pada
kehamilan yang memiliki risiko kematian janin. Pelaksanaan tes ini didasari pada pemikiran bahwa
penurunan perfusi uteroplasenta akan menurunkan aliran darah ginjal janin, menurunkan produksi
urin janin, dan pada akhirnya akan menimbulkan oligohidramnion. (Oz, et al., 2002; Cunningham,
et al., 2010)
Estimasi volume cairan amnion dapat dilakukan dengan pemeriksaan USG dengan cara menilai indeks
cairan amnion (amniotic fluid index/AFI). Penilaian dengan indeks ini dilakukan dengan cara menambahkan
ukuran kedalaman dari setiap kantung vertikal terbesar pada tiap kuadran uterus. Bila nilai AFI telah turun
hingga 5 cm atau kurang, maka merupakan indikasi adanya oligohidramnion. (Cunningham, et al., 2016)
Metode lain adalah dengan cara mengukur salah satu kantung cairan amnion vertikal yang terbesar (single
deepest pocket). Menurut pemeriksaan ini, volume cairan amnion dikatakan berkurang bila didapatkan ukuran
kantong ≤ 2 cm. (Cunningham, et al., 2016)

Gambar: Amniotic Fluid Index (Cunningham, et al., 2016)

Berdasarkan penilaian kelima variabel yang telah dijelaskan di atas, maka didapatkanlah skor profil biofisik
dari janin yang dinilai kesejahteraanya. Skor profil biofisik yang didapatkan berkisar antara nilai minimal 0 dan
maksimal 10.
Tabel: Penilaian Skor Profil Biofisik (Cunningham, et al., 2016)
Penatalaksanaan kehamilan berdasarkan skor profil biofisik dapat berupa penanganan ekspektatif tanpa
melakukan intervensi apapun sambil melakukan pemeriksaan ulangan. Namun jika didapatkan gambaran
keadaan asfiksia, maka penanganan diberikan secara aktif dengan terminasi kehamilan.
Tabel: Manajemen kehamilan berdasarkan skor profil biofisik (Cunningham, et al., 2016)

Pengeloloaan secara ekpetatif dipertahankan selama 1 minggu dengan pemantauan secara


berkala. Apabila timbul suatu masalah seperti kegawatan janin dapat dilakukan pengelolaan aktif.
1. Induksi persalinan
Kehamilan postterm merupakan keadaan klinis yang sering menjadi indikasi untuk pelaksanaan induksi
persalinan dengan pertimbangan kondisi bayi yang cukup baik atau optimal. Induksi persalinan menjadi salah
satu prosedur medis yang paling sering dilakukan di Amerika Serikat dengan proporsi yang meningkat dari 9%
pada tahun 1989 menjadi 19% di tahun 1998. (Heimstad, 2007)
Induksi persalinan adalah suatu tindakan terhadap ibu hamil yang belum inpartu, baik secara tindakan atau
medisinal, untuk merangsang timbulnya kontraksi uterus. Pematangan serviks adalah tindakan farmakologik
atau cara lain untuk memperlunak atau meningkatkan dilatasi serviks dengan tujuan untuk meningkatkan
keberhasilan induksi persalinan. Tindakan induksi persalinan ini adalah untuk keselamatan ibu dan anak, tetapi
walaupun dilakukan dengan terencana dan hati-hati, kemungkinan untuk menimbulkan risiko terhadap ibu dan
janin tetap ada. (Heimstad, 2007)
Kemungkinan keberhasilan induksi persalinan ditentukan oleh beberapa keadaan sebelum dilakukan
induksi, salah satunya dari kematangan serviks (favorable). Penilainan kematangan serviks ini dapat dilakukan
dengan menggunakan skor Bishop. Skor ini dinilai berdasarkan lima faktor yang didapatkan dari pemeriksaan
dalam dan akan digunakan untuk memperkirakan keberhasilan induksi persalainan. Lima faktor yang diperiksa
adalah (1) dilatasi serviks, (2) penipisan serviks/effacement, (3) konsistensi serviks, (4) posisi serviks, dan (5)
station dari bagian terbawah janin.

Tabel :Pelviks skor menurut Bishop. (Cunningham, et al., 2016)


Skor Bishop >8 memberikan kemungkinan keberhasilan induksi persalinan yang tinggi. Sementara itu, skor
Bishop ≤4 biasanya menunjukkan keadaan serviks yang belum matang (unfavorable) sehingga membutuhkan
pematangan serviks yang bisa dilakukan secara farmakologis (prostaglandin, nitrit oksida) ataupun teknik
(kateter transervikal, dilator higroskopis, stripping). (Cunningham, et al., 2016)
Pada kehamilan postterm, harus diperhatikan nilai oematangan serviks (Skor Bishop) karena akan
mempengaruhi tindakan induksi. Apabila skor bishop > 5 maka di induksi dengan infus oksitosin,tetapi bila
skor bishop ≤ 5 maka diberikan misoprostol 25 µg per vaginam. Dievaluasi 6 jam kemudian, apabila skor
bishop sudah >5 maka dilanjutkan infus oksitosin, namun apabila setelah 6 jam masih sama atau ≤ 5 maka
dilanjutkan misoprostol dengan cara pemberian yang sama. Bila dalam 6 jam kemudian belum inpartu maka
dilanjutkan infus oksitosin.
Oksitosin adalah zat yang paling sering digunakan untuk induksi persalinan dalam bidang obstetri.
(Heimstad, 2007) Oksitosin mempunyai efek yang poten terhadap otot polos uterus dan kelenjar mammae.
Kepekaan terhadap oksitosin meningkat pada saat persalinan. Induksi persalinan dengan oksitosin yang
diberikan melalui infus secara titrasi ternyata efektif dan banyak dipakai. Titrasi ini biasanya dilakukan dengan
cara memberikan 10-20 unit oksitosin (10.000-20.000 mU) yang dilarutkan dalam 1000 cc larutan Ringer
laktat. Rejimen ini akan menghasilkan kadar oksitosin 10-20 mU/mL. (Cunningham, et al., 2016) Terdapat
berbagai macam metode induksi dengan menggunakan drip oksitosin, baik yang menggunakan dosis rendah
maupun dosis tinggi.
Tabel :Rejimen drip induksi dengan oksitosin. (Cunningham, et al., 2016)

Biasanya, kontraksi yang adekuat akan dicapai dengan dosis oksitosin 20 mU/menit. Apabila dengan
pemberian dosis oksitosin 30-40 mU/menit masih tidak didapatkan his yang adakuat, maka indusi tak perlu lagi
dilanjutkan. Pemberian dengan dosis yang lebih besar akan menyebabkan ikatan oksitosin dengan reseptor
vasopresin sehingga akan menimbulkan kontraksi yang tetanik atau hipertonik. Selain itu, dapat juga muncul
efek antidiuretik sehingga zmeningkatkan risiko terhadap keracunan air. Induksi dianggap berhasil kalau
didapatkan kontraksi uterus yang adekuat, yaitu his sekitar 3 kali dalam 10 menit dengan kekuatan sekitar 40
mmHg atau lebih (200 Montevidio). (Cunningham, et al., 2016)

2. Penatalaksanaan Kehamilan Postterm dengan Oligohidramnion


Penatalaksanaan kasus oligohidramnion pada kehamilan postterm tergantung pada situasi klinik pasien yang
bersangkutan. Pada tahap awal, harus dilakukan evaluasi terhadap anomali janin dan gangguan pertumbuhan.
Pada kehamilan postterm yang diperberat dengan komplikasi oligohidramnion harus dilakukan pengawasan
ketat karena tingginya risiko morbiditas janin. (Heimstad, 2007)
Hasil dari kehamilan dengan oligohidramnion intrapartum menurut beberapa penelitian memiliki hasil yang
berbeda-beda. Chauhan dkk (1999) yang dikutip dari (Cunningham, et al., 2016), melakukan penelitian
terhadap lebih dari 10.500 ibu hamil yang memiliki nilai AFI intrapartum <5 cm dibandingkan dengan kontrol
yang memiliki nilai AFI >5 cm. Menurut hasil penelitian didapatkan bahwa risiko seksio sesarea atas indikasi
gawat janin pada kelompok oligohidramnion lebih tinggi 2 kali lipat. Selain itu, risiko janin dengan skor
APGAR 5 menit dibawah 7 pada kelompok ini lebih tinggi 5 kali lipat. Hasil penelitian Divon dkk (1995) yang
dikutip dari Cunningham et al, (2010) juga menyatakan bahwa hanya ibu paturien postterm yang memiliki nilai
AFI ≤5 cm yang mengalami deselerasi denyut jantung janin dan aspirasi mekonium. (Cunningham, et al., 2016)

Sebaliknya, Zhang dkk (2004) yang dikutip dari Cunningham et al., (2010) melaporkan bahwa kondisi
oligohidramnion dengan nilai AFI ≤ 5 cm tidak berhubungan dengan kondisi perinatal yang buruk. Begitu juga
dengan Magann dkk (1999) yang tidak menemukan peningkatan risiko komplikasi intrapartum pada kondisi
oligohidramnion. (Cunningham, et al., 2016)
Perlu kita sadari bahwa persalinan adalah saat paling berbahaya bagi janin postterm sehingga setiap
persalinan postterm harus dilakukan pengawasan ketat dan sebaiknya dilaksanakan di Rumah Sakit dengan
pelayanan operatif dan neonatal yang memadai.
Menurut Mochtar, et al (2004) pengelolaan persalinan pada kehamilan postterm mencakup:
a. Pemantauan yang baik terhadap kontraksi uterus dan kesejahteraan janin. Pemakaian alat monitor janin
secara kontinu sangat bermanfaat.
b. Hindari penggunaan obat penenang atau analgetika selama persalinan.
c. Persiapan oksigen dan tindakan seksio sesarea bila sewaktu-waktu terjadi kegawatan janin
d. Cegah terjadinya aspirasi mekonium dengan segera mengusap wajah neonatus dan penghisapan pada
tenggorokan saat kepala lahir dilanjutkan resusitasi sesuai prosedur pada janin dengan cairan ketuban
bercampur mekonium.
e. Pengawasan ketat terhadap neonatus dengan tanda-tanda postmaturitas
Gambar: Skema penatalaksanaan kehamilan postterm. (Cunningham, et al., 2016)

DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham, F.G., et al. 2016. Postterm Pregnancy, Antepartum Assessment, In : Williams Obstetrics.
Edisi 23. Mc Graw Hill. New York: 729 – 742. 1095-1108.
2. Wiknjosastro. H., Ilmu Kebidanan, edisi III, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Kehamilan
Lewat Waktu, Jakarta, 2014 hal: 317-320.
3. Rustam, Mochtar. 2017 Sinopsis Obstetri (Obstetri Fisiologi Obstertri Patologi). Edisi 2. EGC. Jakarta.
4. Hacker NF and Moore George, Essensial of Obstetrics and Gynecology, 2nd edition, W.B. Sauders
company,2014, page 316-318
5. Shaver D.C. et al, Clinical Manual Of Obstetrics, 2 nd Edition, Mc Graw International Editions, 2016
page 313-321.
6. Decherney A, Nathan L, Goodwin T,Leufer N, Current Diagnosis and Treatment Obstetrics &
Gynacology 10th edition; McGraw-Hill, 2017 page 187-189
7. Pengurus besar POGI, Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi, bagian 1, Balai penerbit
FKUI, 2014, hal 70-71.
8. Rosa C. 2015. Postdate Pregnancy in: Obstetrics and Gyecology Principles for Practice, McGraw-Hill.
New York, America: 388-395
9. Asrat T.,Quilligan E.J., 2014. Postterm Pregnancy in: Current Therapy in Obstetrics and Gynecology,
edisi 5. WB. Saunders Company. Philadelphia America:321-322
10. Spellacy W.N., 2018.Postdate Pregnancy in:Danforth’s Obstetrics and Gynecology. Edisi 8. Lippincott
Williams and Wilkins. Philadelphia:287-291.
2.2 Oligohidramnion
2.2.1 Definisi Oligohidramnion
Oligohidramnion adalah suatu keadaan dimana air ketuban kurang dari normal, yaitu kurang dari 500 cc.
Definisi lainnya menyebutkan sebagai AFI yang kurang dari 5 cm. Karena VAK tergantung pada usia
kehamilan maka definisi yang lebih tepat adalah AFI yang kurang dari presentil 5 ( lebih kurang AFI yang <6.8
cm saat hamil cukup bulan) (DeCherney. 2013).
2.2.2 Patofisiologi Oligohidramnion
Mekanisme atau patofisiologi terjadinya oligohidramnion dapat dikaitkan dengan adanya sindroma potter dan fenotip
pottern, dimana, Sindroma Potter dan Fenotip Potter adalah suatu keadaan kompleks yang berhubungan dengan
gagal ginjal bawaan dan berhubungan dengan oligohidramnion (cairan ketuban yang sedikit) (Pernol, 2010)..
Fenotip Potter digambarkan sebagai suatu keadaan khas pada bayi baru lahir, dimana cairan ketubannya
sangat sedikit atau tidak ada. Oligohidramnion menyebabkan bayi tidak memiliki bantalan terhadap dinding rahim.
Tekanan dari dinding rahim menyebabkan gambaran wajah yang khas (wajah Potter). Selain itu, karena ruang di
dalam rahim sempit, maka anggota gerak tubuh menjadi abnormal atau mengalami kontraktur dan terpaku pada
posisi abnormal. Oligohidramnion juga menyebabkan terhentinya perkembangan paru-paru (paru-paru hipoplastik),
sehingga pada saat lahir, paru-paru tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Pada sindroma Potter, kelainan yang
utama adalah gagal ginjal bawaan, baik karena kegagalan pembentukan ginjal (agenesis ginjal bilateral) maupun
karena penyakit lain pada ginjal yang menyebabkan ginjal gagal berfungsi. Dalam keadaan normal, ginjal membentuk
cairan ketuban (sebagai air kemih) dan tidak adanya cairan ketuban menyebabkan gambaran yang khas dari
sindroma Potter (Pernol, 2010).

Gejala Sindroma Potter berupa :


 Wajah Potter (kedua mata terpisah jauh, terdapat lipatan epikantus, pangkal hidung yang lebar, telinga yang
rendah dan dagu yang tertarik ke belakang).
 Tidak terbentuk air kemih
 Gawat pernafasan (Pernol, 2010).

2.2.3 Etiologi Oligohidramnion


Penyebab oligohydramnion tidak dapat dipahami sepenuhnya. Mayoritas wanita hamil yang mengalami tidak tahu
pasti apa penyebabnya. Penyebab oligohydramnion yang telah terdeteksi adalah cacat bawaan janin dan bocornya
kantung/ membran cairan ketuban yang mengelilingi janin dalam rahim. Sekitar 7% bayi dari wanita yang mengalami
oligohydramnion mengalami cacat bawaan, seperti gangguan ginjal dan saluran kemih karena jumlah urin yang
diproduksi janin berkurang. Masalah kesehatan lain yang juga telah dihubungkan dengan oligohidramnion adalah
tekanan darah tinggi, diabetes, SLE, dan masalah pada plasenta. Serangkaian pengobatan yang dilakukan untuk
menangani tekanan darah tinggi, yang dikenal dengan nama angiotensin-converting enxyme inhibitor (mis captopril),
dapat merusak ginjal janin dan menyebabkan oligohydramnion parah dan kematian janin. Wanita yang memiliki
penyakit tekanan darah tinggi yang kronis seharusnya berkonsultasi terlebih dahulu dengan ahli kesehatan sebelum
merencanakan kehamilan untuk memastikan bahwa tekanan darah mereka tetap terawasi baik dan pengobatan yang
mereka lalui adalah aman selama kehamilan mereka (Pernol, 2010).

 Fetal : Kromosom, Kongenital, Hambatan pertumbuhan janin dalam rahim, Kehamilan postterm dan Premature
ROM (Rupture of amniotic membranes)
 Maternal : Dehidrasi, Insufisiensi uteroplasental, Preeklamsia, Diabetes dan Hypoxia kronis
 Induksi Obat :Indomethacin and ACE inhibitors
 Idiopatik (Cunningham, 2010)
Faktor Resiko Oligohidramnion
Wanita dengan kondisi berikut memiliki insiden oligohidramnion yang tinggi:
 Anomali kongenital ( misalnya : agenosis ginjal,sindrom patter ).
 Retardasi pertumbuhan intra uterin.
 Ketuban pecah dini ( 24-26 minggu ).

 Sindrom pasca maturitas (DeCherney, 2013)

Manifestasi Klinis Oligohidramnion


 Uterus tampak lebih kecil dari usia kehamilan dan tidak ada ballotement.
 Ibu merasa nyeri di perut pada setiap pergerakan anak.
 Sering berakhir dengan partus prematurus.
 Bunyi jantung anak sudah terdengar mulai bulan kelima dan terdengar lebih jelas.
 Persalinan lebih lama dari biasanya.
 Sewaktu his akan sakit sekali.

 Bila ketuban pecah, air ketuban sedikit sekali bahkan tidak ada yang keluar (DeCherney, 2013)

2.2.4 Diagnosis dan Pemeriksaan Oligohidramnion


Pemeriksaan dengan USG dapat mendiagnosa apakah cairan ketuban terlalu sedikit atau terlalu banyak.
Umumnya para dokter akan mengukur ketinggian cairan dalam 4 kuadran di dalam rahim dan
menjumlahkannya. Metode ini dikenal dengan nama Amniotic Fluid Index (AFI). Jika ketinggian amniotic fluid
(cairan ketuban) yang di ukur kurang dari 5 cm, calon ibu tersebut didiagnosa mengalami oligohydramnion.
Jika jumlah cairan tersebut lebih dari 25 cm, ia di diagnosa mengalami poluhydramnion (Cunningham, 2010)
2.2.5 Penatalaksanaan Oligohidramnion
Sebenarnya air ketuban tidak akan habis selama kehamilan masih normal dan janin masih hidup. Bahkan air
ketuban akan tetap diproduksi, meskipun sudah pecah berhari-hari. Walau sebagian berasal dari kencing janin,
air ketuban berbeda dari air seni biasa, baunya sangat khas. Ini yang menjadi petunjuk bagi ibu hamil untuk
membedakan apakah yang keluar itu air ketuban atau air seni.
Supaya volume cairan ketuban kembali normal, dokter umumnya menganjurkan ibu hamil untuk
menjalani pola hidup sehat, terutama makan dengan asupan gizi berimbang. Pendapat bahwa satu-satunya cara
untuk memperbanyak cairan ketuban adalah dengan memperbanyak porsi dan frekuensi minum adalah ”salah
kaprah”. Tidak benar bahwa kurangnya air ketuban membuat janin tidak bisa lahir normal sehingga mesti
dioperasi sesar. Bagaimanapun, melahirkan dengan cara operasi sesar merupakan pilihan terakhir pada kasus
kekurangan air ketuban. Meskipun ketuban pecah sebelum waktunya, tetap harus diusahakan persalinan
pervaginam dengan cara induksi yang baik dan benar.
Studi baru-baru ini menyarankan bahwa para wanita dengan kehamilan normal tetapi mengalami
oligohydramnion dimasa-masa terakhir kehamilannya kemungkinan tidak perlu menjalani treatment khusus,
dan bayi mereka cenderung lahir denga sehat. Akan tetapi wanita tersebut harus mengalami pemantauan terus-
menerus. Dokter mungkin akan merekomendasikan untuk menjalani pemeriksaan USG setiap minggu bahkan
lebih sering untuk mengamati apakah jumlah cairan ketuban terus berkurang. Jika indikasi berkurangnya cairan
ketuban tersebut terus berlangsung, dokter mungkin akan merekomendasikan persalinan lebih awal dengan
bantuan induksi untuk mencegah komplikasi selama persalinan dan kelahiran. Sekitar 40-50% kasus
oligohydramnion berlangsung hingga persalinan tanpa treatment sama sekali. Selain pemeriksaan USG, dokter
mungkin akan merekomendasikan tes terhadap kondisi janin, seperti tes rekam kontraksi untuk mengganti
kondisi stress tidaknya janin, dengan cara merekam denyut jantung janin. Tes ini dapat memberi informasi
penting untuk dokter jika janin dalam rahim mengalami kesulitan. Dalam kasus demikian, dokter cenderung
untuk merekomendasikan persalinan lebih awal untuk mencegah timbulnya masalah lebih serius. Janin yang
tidak berkembang sempurna dalam rahim ibu yang mengalami oligohydramnion beresiko tinggi untuk
mengalami komplikasi selama persalinan, seperti asphyxia (kekurangan oksigen), baik sebelum atau sesudah
kelahiran. Ibu dengan kondisi janin seperti ini akan dimonitor ketat bahkan kadang-kadang harus tinggal di
rumah sakit.
Jika wanita mengalami oligohydramnion di saat-saat hampir bersalin, dokter mungkin akan melakukan
tindakan untuk memasukan laruran salin melalui leher rahim kedalam rahim. Cara ini mungkin mengurangi
komplikasi selama persalinan dan kelahiran juga menghindari persalinan lewat operasi caesar. Studi
menunjukan bahwa pendekatan ini sangat berarti pada saat dilakukan monitor terhadap denyut jantung janin
yang menunjukan adanya kesulitan. Beberapa studi juga menganjurkan para wanita dengan oligohydramnion
dapatmembantu meningkatkan jumlah cairan ketubannya dengan minum banyak air. Juga banyak dokter
menganjurkan untuk mengurangi aktivitas fisik bahkan melakukan bedrest (Cunningham, 2010).

DAFTAR PUSTAKA

1. DeCherney AH, Nathan L, Goodwin TM, Laufer N. Current obstetric & gynecologic diagnosis &
treatment , 9th ed. Philadelphia. Appleton & Lange. 2013.
2. Pernol, ML. Benson & pernol handbook of obstetrics and gynecology. 10th ed. USA. McGraw-Hill
Companies. 2010.
3. Cunningham, FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY. Williams Obstetrics, 23 rd ed.
USA Prentice Hall International Inc. McGraw-Hill Companies. 2010.

Anda mungkin juga menyukai