Nama : Ny. NK
Usia : 28 th
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Gading - Sumberjo
Agama : Islam
Suku : Jawa
No. RM : 424294
Ruangan : PONEK RSUD Jombang
PLANNING
SUMMARY OF PROBLEM
CLUE AND CUE INITIAL
DATABASE LIST DIAGNOSIS THERAPY MONITORING EDUKASI
DIAGNOSIS
Nama: Ny. NK G2P1001A000 G2P1001A000 G2P1001A000 - NST -MRS - Keluhan Menejelaskan
Usia: 28 thn Uk. 40-41 minggu Uk. 40-41 Uk. 40-41 -Infus Ringer subjektif kepada pasien
- Ny. NK, 28 th minggu + THIU minggu + Laktat 20 tpm pasien tentang diagnosis
Anamnesis: - Kenceng-kenceng + Let kep THIU + Let -Pasang DK - TTV penyakit pasien
Keluhan Utama: - Lendir darah (-) - Post date kep + Post date -Pro SC - Perdarahan dan tindakan yang
Keneng-kenceng - Keluar darah (-) - + - DL post SC akan dilakukan
- Ketuban Oligohidramnio Oligohidramni
RPS: merembes (-) n on + susp
- Pasien kiriman IGD - HPHT: - susp Makrosomia
dengan keluhan 19/11/2018 Makrosomia (TBJ 4100gr)
kenceng-kenceng. - HPL: 26/08/ 2019 (TBJ 4100gr)
- kenceng2 sejak 1 - UK : 40-41 mgg
minggu yang lalu,
semakin sering, R/ Alergi
semakin memberat - As. Mefenamat
pagi ini (kamis) pukul
07.00 . Kenceng – STU:
kenceng dirasa 1x CM a-/i-/c-/d -
dalam 10 menit TD : 120 / 80
dengan durasi 60 dtk. N : 83
- lendir darah (-) RR : 20
- keluar darah (-) T : 36,7
- ketuban merembes (-) BB: 72kg
TB: 160cm
HPHT: 19/11/2018
HPL: 26/08/ 2019 STO :
Uk : 40-41 mgg - TFU 35 cm
- Djj: 153
R/ persalinan: - His: (+) 10.1.60
I : laki-laki/ 9 bln/ - TBJ: 900 / 1500
spontan/ pkm bidan/ gr
3600 / 5 th - Presentasi Janin:
II: hamil ini Letak kepala
- VT: 0 cm /
R/ pernikahan: menikah <50% / H1 / ket
1x, 7 tahun (-)
Panggul:
- Promontorium:
tidak teraba
- Linea terminalis:
tidak teraba
- Spina ishiadica:
tidak menonjol
- Arcus pubis:
tumpul
- Lengkung sakrum:
datar
Pemeriksaan
Penunjang:
USG:
BPD: 9,54 cm
AC: 34 cm
FL: 7,63
HC: 37,35
EFW: 4100 gram
Letak plasenta: corpus
lateral gr III
AFI: 6,2
Letak: Kepala
Landasan Teori
2.1 Postterm
2.1.1 Definisi
Menurut WHO 1977 kehamilan postterm adalah kehamilan yang berlangsung lebih dari 42 minggu (294
hari) yang terhitung sejak hari pertama siklus haid terakhir (HPHT) menurut rumus Naegele dengan siklus
haid rata-rata 28 hari.
Menurut definisi yang dirumuskan oleh American College of Obstetricians and Gynecologists (2004),
kehamilan postterm adalah kehamilan yang berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung sejak
hari pertama siklus haid terakhir (HPHT) (Cunningham et al, 2016).
Masalah yang sering terjadi dalam menegakkan diagnosisi kehamilan postterm adalah penentuan usia
kehamilan berdasarkan HPHT sering kali tidaklah mudah, karena ibu tidak ingat kapan tanggal HPHT yang
pasti, selain itu penentuan saat ovulasi yang pasti juga tidak mudah, terdapat pula faktor-faktor yang
mempengaruh iperhitungan: variasi siklus haid, kesalahan perhitungan oleh ibu dan sebagainya. Dengan
adanya pemeriksaan USG terutama pada trisemester I, usia kehamilan dapat ditentukan lebih tepat ,dengan
penyimpangan hanya lebih atau kurang satu minggu (Rustam, 2017).
2.1.2 Etiologi
Penyebab pasti dan poses terjadinya kehamilan postterm sampai saat ini masih belum diketahui dengan
pasti. Teori-teori yang pernah diajukan untuk menerangkan penyebab terjadinya kehamilan postterm antara
lain (Wiknjosastro, 2014):
a. Teori progesteron.
Berdasarkan teori ini, diduga bahwa terjadinya kehamilan postterm adalah karena masih
berlangsungnya pengaruh progesteron melewati waktu yang semestinya.
b. Teori oksitosin.
Rendahnya pelepasan oksitosin dari neurohipofisis wanita hamil pada usia kehamilan lanjut diduga
sebagai salah satu fakor penyebab terjadinya kehamilan postterm.
c. Teori kortisol/ACTH janin.
Kortisol janin akan mempengaruhi plasenta sehingga produksi progesteron berkurang dan
memperbesar sekresi estrogen. Proses ini selanjutnya berpengaruh terhadap meningkatnya produksi
prostaglandin. Pada kasus-kasus kehamilan dengan cacat bawaan janin seperti anensefalus atau
hipoplasia adrenal, tidak adanya kelenjar hipofisis janin akan menyebabkan kortisol janin tidak
diproduksi dengan baik sehingga kehamilan berlangsung lewat bulan.
d. Teori saraf uterus.
Berdasarkan teori ini, diduga kehamilan postterm terjadi pada keadaan tidak terdapatnya tekanan pada
ganglion servikalis dari pleksus Frankenhauser yang membangkitkan kontraksi uterus, seperti pada
keadaan kelainan letak, tali pusat pendek, dan masih tingginya bagian terbawah janin.
e. Teori heriditer.
Pengaruh herediter terhadap insidensi kehamilan postterm telah dibuktikan pada beberapa penelitian
sebelumnya. Kitska et al (2007) menyatakan dalam hasil penelitiannya bahwa seorang ibu yang
pernah mengami kehamilan postterm akan memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami kehamilan
postterm pada kehamilan berikutnya. Hasil penelitian ini memunculkan kemungkinan bahwa
kehamilan postterm juga dipengaruhi oleh faktor genetik (Hacker, 2014). Mogren (1999) menyatakan
bahwa bilamana seorang ibu mengalami kehamilan postterm saat melahirkan anak perempuan, maka
besar kemungkinan anak perempuannya akan mengalami kehamilan postterm.
2.1.3 Patofisiologi
Pada kehamilan postterm terjadi berbagai perubahan baik pada cairan amnion, plasenta, maupun janin.
Pengetahuan mengenai perubahan-perubahan tersebut dapat dijadikan dasar untuk mengelola kasus persalinan
postterm.
a.Perubahan pada Plasenta.
Disfungsi plasenta merupakan faktor penyebab terjadinya komplikasi pada kehamilan postterm dan
meningkatnya risiko pada janin. Fungsi plasenta mencapai puncaknya pada kehamilan 38 minggu dan
kemudian mulai menurun terutama setelah 42 minggu. Rendahnya fungsi plasenta ini berkaitan dengan
peningkatan kejadian gawat janin dengan risiko 2-4 kali lebih tinggi. Penurunan fungsi plasenta dapat
dibuktikan dengan penurunan kadar estriol dan plasenta laktogen. Perubahan yang terjadi pada plasenta
sebagai berikut.
Penimbunan kalsium. Peningkatan penimbunan kalsium pada plasenta sesuai dengan progresivitas
degenerasi plasenta. Proses degenerasi jaringan plasenta yang terjadi seperti edema, timbunan fibrinoid,
fibrosis, trombosis intervilli, spasme arteri spiralis dan infark villi. Selapot vaskulosinsial menjadi tambah
tebal dan jumlahnya berkurang. Keadaan ini dapat menurunkan metabolisme transport plasenta. Transport
kalsium tudak terganggu tetapi aliran natrium, kalium, glukosa, asam amino, lemak dan gamma globulin
mengalami gangguansehingga janin akan mengalami hambatan pertumbuhan dan penurunan berat janin.
(Cunningham et al, 2016)
b. Oligohidramnion
Pada kehamilan postterm terjadi perubahan kualitas dan kuantitas cairan amnion. Jumlah cairan
amnion mencapai puncak pada usia kehamilan 38 minggu, yaitu sekitar 1000 ml dan menurun menjadi
sekitar 800 ml pada usia kehamilan 40 minggu. Penurunan jumlah cairan amnion berlangsung terus
menjadi sekitar 480 ml, 250 ml, hingga 160 ml pada usia kehamilan 42, 43, dan 44 minggu (Cunningham
et al, 2016).
Penurunan jumlah cairan amnion pada kehamilan postterm berhubungan dengan penurunan produksi
urin janin. Dilaporkan bahwa berdasarkan pemeriksaan Doppler velosimetri, pada kehamilan postterm
terjadi peningkatan hambatan aliran darah (resistance index/RI) arteri renalis janin sehingga dapat
menyebabkan penurunan jumlah urin janin dan pada akhirnya menimbulkan oligohidramnion. (Oz, et al.,
2002) Oleh sebab itu, evaluasi volume cairan amnion pada kasus kehamilan postterm menjadi sangat
penting artinya. Dilaporkan bahwa kematian perinatal meningkat dengan adanya oligohidramnion yang
menyebabkan kompresi tali pusat. Pada persalinan postterm, keadaan ini dapat menyebabkan keadaan
gawat janin saat intra partum (Wiknjosastro, 2014).
Selain perubahan volume, terjadi pula perubahan komposisi cairan amnion sehingga menjadi lebih
kental dan keruh. Hal ini terjadi karena lepasnya vernik kaseosa dan komposisi fosfolipid. Pelepasan
sejumlah badan lamellar dari paru-paru janin akan mengakibatkan perbandingan Lesitin terhadap
Sfingomielin menjadi 4:1 atau lebih besar. Selain itu, adanya pengeluaran mekonium akan mengakibatkan
cairan amnion menjadi hijau atau kuning dan meningkatkan risiko terjadinya aspirasi mekonium
(Cunningham et al, 2016).
Estimasi jumlah cairan amnion dapat diukur dengan pemeriksan USG. Salah satu metode yang cukup
populer adalah pengukuran diameter vertikal dari kantung amnion terbesar pada setiap kuadran dari 4
kuadran uterus. Hasil penjumlahan keempat kuadran tersebut dikenal dengan sebutan indeks cairan
anmion (Amnionic Fluid Index/AFI). Bila nilai AFI telah turun hingga 5 cm atau kurang, maka merupakan
indikasi adanya oligohidramnion (Cunningham et al, 2016).
2.1.4 Diagnosis
Meskipun diagnosis kehamilan postterm berhasil ditegakkan pada 4-19% dari seluruh kehamilan,
sebagian diantaranya kenyataanya tidak terbukti oleh karena kekeliruan dalam menentukan usia kehamilan.
Oleh sebab itu, pada penegakkan diagnosis kehamilan postterm, informasi yang tepat mengenai lamanya
kehamilan menjadi sangat penting. Hal ini disebabkan karena semakin lama janin berada di dalam uterus
maka semakin besar pula risiko bagi janin dan neonatus untuk mengalami morbiditas maupun mortalitas.
Namun sebaliknya, pemberian intervensi/terminasi secara terburu-buru juga bisa memberikan dampak yang
merugikan bagi ibu maupun janin.
a. Riwayat haid
Pada dasarnya, diagnosis kehamilan postterm tidaklah sulit untuk ditegakkan apabila keakuratan
HPHT ibu bisa dipercaya. Diagnosis kehamilan postterm berdasarkan HPHT dapat ditegakkan sesuai
dengan definisi yang dirumuskan oleh American College of Obstetricians and Gynecologists (2004), yaitu
kehamilan yang berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari pertama siklus haid
terakhir (HPHT) (Cunningham et al, 2016).
Permasalahan sering timbul apabila ternyata HPHT ibu tidak akurat atau tidak bisa dipercaya.
Menurut Mochtar et al (2004), jika berdasarkan riwayat haid, diagnosis kehamilan postterm memiliki
tingkat keakuratan hanya ±30 persen. Riwayat haid dapat dipercaya jika telah memenuhi beberapa
kriteria, yaitu: (a) ibu harus yakin betul dengan HPHT-nya; (b) siklus 28 hari dan teratur, (c) tidak minum
pil anti hamil setidaknya 3 bulan terakhir (Wiknjosastro, 2014).
Hasil penelitian Savitz, et al (2002) menunjukkan bahwa usia kehamilan yang ditentukan berdasarkan
HPHT cenderung lebih sering salah didiagnosa sebagai kehamilan postterm dibanding dengan
pemeriksaan USG, terutama akibat ovulasi yang terlambat. Penentuan usia kehamilan dengan HPHT
didasarkan kepada asumsi bahwa kehamilan akan berlangsung selama 280 hari (40 minggu) dari hari
pertama siklus haid yang terakhir. (Cunningham, et al., 2016) Pendekatan ini berpotensi menyebabkan
kesalahan karena sangat bergantung kepada keakuratan tanggal HPHT dan asumsi bahwa ovulasi terjadi
pada hari ke-14 siklus menstruasi. Padahal, ovulasi tidak selalu terjadi pada hari ke-14 siklus karena
adanya variasi durasi fase folikular, yang bisa berlangsung selama 7-21 hari. Oleh sebab itu, pada ibu
yang memiliki siklus 28 hari, masih ada kemungkinan ovulasi terjadi setelah hari ke-14 siklus. Akibatnya,
terjadi kesalahan dalam penentuan usia kehamilan yang seharusnya dihitung mulai dari terjadinya
fertilisasi sampai lahirnya bayi. (Bennett, et al., 2004) Tingkat kesalahan estimasi tanggal perkiraan
persalinan jika berdasarkan HPHT adalah ± 1,37 minggu (Shaver, 2016).
Berdasarkan penilaian kelima variabel yang telah dijelaskan di atas, maka didapatkanlah skor profil biofisik
dari janin yang dinilai kesejahteraanya. Skor profil biofisik yang didapatkan berkisar antara nilai minimal 0 dan
maksimal 10.
Tabel: Penilaian Skor Profil Biofisik (Cunningham, et al., 2016)
Penatalaksanaan kehamilan berdasarkan skor profil biofisik dapat berupa penanganan ekspektatif tanpa
melakukan intervensi apapun sambil melakukan pemeriksaan ulangan. Namun jika didapatkan gambaran
keadaan asfiksia, maka penanganan diberikan secara aktif dengan terminasi kehamilan.
Tabel: Manajemen kehamilan berdasarkan skor profil biofisik (Cunningham, et al., 2016)
Biasanya, kontraksi yang adekuat akan dicapai dengan dosis oksitosin 20 mU/menit. Apabila dengan
pemberian dosis oksitosin 30-40 mU/menit masih tidak didapatkan his yang adakuat, maka indusi tak perlu lagi
dilanjutkan. Pemberian dengan dosis yang lebih besar akan menyebabkan ikatan oksitosin dengan reseptor
vasopresin sehingga akan menimbulkan kontraksi yang tetanik atau hipertonik. Selain itu, dapat juga muncul
efek antidiuretik sehingga zmeningkatkan risiko terhadap keracunan air. Induksi dianggap berhasil kalau
didapatkan kontraksi uterus yang adekuat, yaitu his sekitar 3 kali dalam 10 menit dengan kekuatan sekitar 40
mmHg atau lebih (200 Montevidio). (Cunningham, et al., 2016)
Sebaliknya, Zhang dkk (2004) yang dikutip dari Cunningham et al., (2010) melaporkan bahwa kondisi
oligohidramnion dengan nilai AFI ≤ 5 cm tidak berhubungan dengan kondisi perinatal yang buruk. Begitu juga
dengan Magann dkk (1999) yang tidak menemukan peningkatan risiko komplikasi intrapartum pada kondisi
oligohidramnion. (Cunningham, et al., 2016)
Perlu kita sadari bahwa persalinan adalah saat paling berbahaya bagi janin postterm sehingga setiap
persalinan postterm harus dilakukan pengawasan ketat dan sebaiknya dilaksanakan di Rumah Sakit dengan
pelayanan operatif dan neonatal yang memadai.
Menurut Mochtar, et al (2004) pengelolaan persalinan pada kehamilan postterm mencakup:
a. Pemantauan yang baik terhadap kontraksi uterus dan kesejahteraan janin. Pemakaian alat monitor janin
secara kontinu sangat bermanfaat.
b. Hindari penggunaan obat penenang atau analgetika selama persalinan.
c. Persiapan oksigen dan tindakan seksio sesarea bila sewaktu-waktu terjadi kegawatan janin
d. Cegah terjadinya aspirasi mekonium dengan segera mengusap wajah neonatus dan penghisapan pada
tenggorokan saat kepala lahir dilanjutkan resusitasi sesuai prosedur pada janin dengan cairan ketuban
bercampur mekonium.
e. Pengawasan ketat terhadap neonatus dengan tanda-tanda postmaturitas
Gambar: Skema penatalaksanaan kehamilan postterm. (Cunningham, et al., 2016)
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham, F.G., et al. 2016. Postterm Pregnancy, Antepartum Assessment, In : Williams Obstetrics.
Edisi 23. Mc Graw Hill. New York: 729 – 742. 1095-1108.
2. Wiknjosastro. H., Ilmu Kebidanan, edisi III, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Kehamilan
Lewat Waktu, Jakarta, 2014 hal: 317-320.
3. Rustam, Mochtar. 2017 Sinopsis Obstetri (Obstetri Fisiologi Obstertri Patologi). Edisi 2. EGC. Jakarta.
4. Hacker NF and Moore George, Essensial of Obstetrics and Gynecology, 2nd edition, W.B. Sauders
company,2014, page 316-318
5. Shaver D.C. et al, Clinical Manual Of Obstetrics, 2 nd Edition, Mc Graw International Editions, 2016
page 313-321.
6. Decherney A, Nathan L, Goodwin T,Leufer N, Current Diagnosis and Treatment Obstetrics &
Gynacology 10th edition; McGraw-Hill, 2017 page 187-189
7. Pengurus besar POGI, Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi, bagian 1, Balai penerbit
FKUI, 2014, hal 70-71.
8. Rosa C. 2015. Postdate Pregnancy in: Obstetrics and Gyecology Principles for Practice, McGraw-Hill.
New York, America: 388-395
9. Asrat T.,Quilligan E.J., 2014. Postterm Pregnancy in: Current Therapy in Obstetrics and Gynecology,
edisi 5. WB. Saunders Company. Philadelphia America:321-322
10. Spellacy W.N., 2018.Postdate Pregnancy in:Danforth’s Obstetrics and Gynecology. Edisi 8. Lippincott
Williams and Wilkins. Philadelphia:287-291.
2.2 Oligohidramnion
2.2.1 Definisi Oligohidramnion
Oligohidramnion adalah suatu keadaan dimana air ketuban kurang dari normal, yaitu kurang dari 500 cc.
Definisi lainnya menyebutkan sebagai AFI yang kurang dari 5 cm. Karena VAK tergantung pada usia
kehamilan maka definisi yang lebih tepat adalah AFI yang kurang dari presentil 5 ( lebih kurang AFI yang <6.8
cm saat hamil cukup bulan) (DeCherney. 2013).
2.2.2 Patofisiologi Oligohidramnion
Mekanisme atau patofisiologi terjadinya oligohidramnion dapat dikaitkan dengan adanya sindroma potter dan fenotip
pottern, dimana, Sindroma Potter dan Fenotip Potter adalah suatu keadaan kompleks yang berhubungan dengan
gagal ginjal bawaan dan berhubungan dengan oligohidramnion (cairan ketuban yang sedikit) (Pernol, 2010)..
Fenotip Potter digambarkan sebagai suatu keadaan khas pada bayi baru lahir, dimana cairan ketubannya
sangat sedikit atau tidak ada. Oligohidramnion menyebabkan bayi tidak memiliki bantalan terhadap dinding rahim.
Tekanan dari dinding rahim menyebabkan gambaran wajah yang khas (wajah Potter). Selain itu, karena ruang di
dalam rahim sempit, maka anggota gerak tubuh menjadi abnormal atau mengalami kontraktur dan terpaku pada
posisi abnormal. Oligohidramnion juga menyebabkan terhentinya perkembangan paru-paru (paru-paru hipoplastik),
sehingga pada saat lahir, paru-paru tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Pada sindroma Potter, kelainan yang
utama adalah gagal ginjal bawaan, baik karena kegagalan pembentukan ginjal (agenesis ginjal bilateral) maupun
karena penyakit lain pada ginjal yang menyebabkan ginjal gagal berfungsi. Dalam keadaan normal, ginjal membentuk
cairan ketuban (sebagai air kemih) dan tidak adanya cairan ketuban menyebabkan gambaran yang khas dari
sindroma Potter (Pernol, 2010).
Fetal : Kromosom, Kongenital, Hambatan pertumbuhan janin dalam rahim, Kehamilan postterm dan Premature
ROM (Rupture of amniotic membranes)
Maternal : Dehidrasi, Insufisiensi uteroplasental, Preeklamsia, Diabetes dan Hypoxia kronis
Induksi Obat :Indomethacin and ACE inhibitors
Idiopatik (Cunningham, 2010)
Faktor Resiko Oligohidramnion
Wanita dengan kondisi berikut memiliki insiden oligohidramnion yang tinggi:
Anomali kongenital ( misalnya : agenosis ginjal,sindrom patter ).
Retardasi pertumbuhan intra uterin.
Ketuban pecah dini ( 24-26 minggu ).
Bila ketuban pecah, air ketuban sedikit sekali bahkan tidak ada yang keluar (DeCherney, 2013)
DAFTAR PUSTAKA
1. DeCherney AH, Nathan L, Goodwin TM, Laufer N. Current obstetric & gynecologic diagnosis &
treatment , 9th ed. Philadelphia. Appleton & Lange. 2013.
2. Pernol, ML. Benson & pernol handbook of obstetrics and gynecology. 10th ed. USA. McGraw-Hill
Companies. 2010.
3. Cunningham, FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY. Williams Obstetrics, 23 rd ed.
USA Prentice Hall International Inc. McGraw-Hill Companies. 2010.