Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dengan bertambahnya angka harapan hidup bangsa Indonesia perhatian masalah

kesehatan beralih dari penyakit infeksi ke penyakit degeratif. Selain penyakit

jantung koroner dan hipertensi, diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu

penyakit degeratif yang saat ini makin bertambah jumlahnya di Indonesia.

Diabetes Melitus (DM) merupakan kelainan metabolik dengan etiologi multifactorial.

penyakit ini ditandai dengan hiperglikemia kronis lan mempengaruhi metabolisme

karbohidrat, protein dan lemak. Penyandang DM akan ditemukan dengan berbagai gejala

seperti poliuria (banyak berkemih), polydipsia (banyakminum), dan polifagia (banyak

makan) dengan penurunan berat badan. DM jangka waktu lama menimbulkan rangkaian

gangguan metabolik yang menyebabkan kelainan patologis makrovaskular dan

mikrovaskular.

Penderita diabetes mellitus rentan terhadap serangkaian komplikasi kronis yang

menyebabkan kematian dan kesakitan prematur. Dari seluruh penderita diabetes mellitus

sebagian penderita tidak pernah mengalami masalah ini tetapi penderita lain dapat

mengalaminya sejak awal, rata-rata gejala terjadi 15 sampai 20 tahun setelah terjadinya

hiperglikemia yang nyata. Penderita diabetes mellitus dapat mengalami beberapa

komplikasi bersama-sama atau terdapat satu masalah yang mendominasi, yang meliputi

kelainan vaskuler, retinopati, nefropati diabetik, neuropati diabetik dan ulkus kaki

diabetik.

Menurut beberapa ahli kira-kira 4% dari penduduk dunia menderita diabetes mellitus

dan 50% dari penderita ini memerlukan perawatan bedah. Dari jumlah penduduk

indonesia yang 200 juta jiwa, prevalensi penderita diabetes mellitus adalah sekitar 1,4 –

1,6%dan sekitar 15% diantaranya berkembang menjadi gangren selama hidupnya.


Penanggulangan gangren diabetik atau sering disebut kaki diabetik ini merupakan bagian

penting dalam klinik diabetes, dan seringkali menimbulkan masalah berupa tindakan

amputasi pada ekstremitas bawah.

Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan masalah yang ditemukan pada

masyarakat baik di negara maju maupun berkembang termasuk Indonesia. Hipertensi

merupakan suatu keadaan meningkatnya tekanan darah sistolik lebih dari sama dengan 140

mmHg dan diastolik lebih dari sama dengan 90 mmHg.Hipertensi

dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu hipertensi primer atau esensial yang

penyebabnya tidak diketahui dan hipertensi sekunder yang dapat disebabkan oleh penyakit

ginjal, penyakit endokrin, penyakit jantung, dan gangguan anak ginjal. Hipertensi

seringkali tidak menimbulkan gejala, sementara tekanan darah yang terus-menerus

tinggidalam jangka waktu lama dapat menimbulkan komplikasi. Oleh karena itu, hipertensi

perlu dideteksi dini yaitu dengan pemeriksaan tekanan darah secara berkala (Sidabutar,

2009). Berdasarkan data dari WHO tahun 2000, menunjukkan sekitar 972 juta orang atau

26,4%

penduduk dunia menderita hipertensi, dengan perbandingan 50,54% pria dan 49,49 %

wanita. Jumlah ini cenderung meningkat tiap tahunnya (Ardiansyah, 2012). Data statistic

dari Nasional Health Foundation di Australia memperlihatkan bahwa sekitar 1.200.000

orang Australia (15% penduduk dewasa di Australia) menderita hipertensi. Besarnya

penderita di negara barat seperti, Inggris, Selandia Baru, dan Eropa Barat juga hampir 2

15% (Maryam, 2008). Di Amerika Serikat 15% ras kulit putih pada usia 18-45 tahun dan

25-30% ras kulit hitam adalah penderita hipertensi (Miswar, 2004).

1.2 Tujuan

Penulisan referat ini dimaksudkan untuk mengumpulkan data yang berkaitan dengan

fitur epidemiologi, faktor predisposisi, penyebab, dan manifestasi klinis untuk kasus

diabetes mellitus dan hipertensi yang bertujuan untuk memberikan informasi latar

belakang diabetes mellitus dan hipertensi.


1.3 Manfaat

Penulisan referat ini diharapkan mampu menambah pengetahuan dan pemahaman

penulis maupun pembaca mengenai diabetes mellitus dan hipertensi beserta patofisiologi

dan penangananannya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

2.1.1 Definisi Diabetes Mellitus

Diabetes melitus adalah suatu keadaan didapatkan peningkatan kadar gula darah yang

kronik sebagai akibat dari gangguan pada metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein

karena kekurangan hormone insulin. Masalah utama pada penderita DM ialah terjadinya

komplikasi, khususnya komplikasi DM kronik yang merupakan penyebab utama kesakitan

dan kematian penderita DM (Surkesda, 2008). DM adalah suatu sindrom kronik gangguan

metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak akibat ketidakcukupan sekresi insulin atau

resistensi insulin pada jaringan yang dituju (Dorland, 2005).

DM adalah penyakit metabolik (kebanyakan herediter) sebagai akibat dari kurangnya

insulin efektif (DM Tipe 2) atau insulin absolut (DM Tipe 1) di dalam tubuh. Pada DM

terdapat tanda-tanda hiperglikemi dan glukosuria, dapat disertai dengan atau tidaknya

gejala klinik akut seperti poliuri, polidipsi, penurunan berat badan, ataupun gejala kronik

seperti gangguan primer pada metabolisme karbohidrat dan sekunder pada metabolisme

lemak dan protein (Tjokroprawiro, 2007).

Penderita DM mengalami gangguan metabolisme dari distribusi gula oleh tubuh

sehingga tubuh tidak bisa memproduksi insulin secara efektif, akibatnya terjadi kelebihan

glukosa di dalam darah (80-110 mg/dl) yang akan menjadi racun bagi tubuh. Sebagian

glukosa yang tertahan dalam darah tersebut melimpah ke sistem urin (Wijayakusuma,

2004).

Kaki diabetik merupakan salah satu komplikasi diabetes mellitus yang

paling ditaku ti, da n merupakan kausa mayor mor biditas, ketidakm ampuan

pada pen de rita dengan diabetes mellitus. Resiko amputasi penderita diabetes

ialah 15 kali dibanding dengan yang non diabetik. Ulkus diabetik maupun

masalah kaki merupakan sebab utama morbiditas, mortalitas, serta kecacatan


penderita diabetes. Dengan adanya neuropati dan atau iskemia maka trauma yang

minimal saja dapat menyebabkan ulkus pada kulit dan gangguan penyembuhan

lukanya hingga dapat membawa kearah amputasi tungkai bawah. Kebanyakan

pende rita datan g ke ru mah sak it sudah dalam ka da an. lanju t sehingga amputasi

tungkai yang berakibat cacatnya penderita seumur hidup merupakan salah satu

tindakan yang dapat diambil.

2.1.2 Definisi Hipertensi

Hipertensi didefinisikan dengan meningkatnya tekanan darah arteri yang persisten.

Peningkatan tekanan darah sistolik pada umumnya >140 mmHg atau tekanan darah

diastolik >90 mmHg (Depkes RI, 2006) kecuali bila tekanan darah sistolik ≥210 mmHg

atau tekanan darah diastolik ≥120 mmHg (Setiawati dan Bustani, 1995).

Klasifikasi tekanan darah oleh Chobanian dkk. (2004) untuk pasien dewasa (usia ≥18

tahun) berdasarkan rata-rata pengukuran dua tekanan darah atau lebih pada dua atau lebih

kunjungan klinis dapat dilihat pada tabel I.


Tabel I. Klasifikasi Hipertensi (Chobanian dkk., 2004)
Klasifikasi tekanan Tekanan darah Tekanan darah
darah sistolik diastolik
(mmHg) (mmHg)
Normal <120 dan <80
Pre pertens 120-139 atau 80-89
Hipertensi tingkat 1 140-159 atau 90-99
Hipertensi tingkat 2 ≥160 atau ≥100
Pasien yang menderita hipertensi, kemungkinan besar juga dapat mengalami krisis

hipertensi. Krisis hipertensi merupakan suatu kelainan klinis ditandai dengan tekanan

darah yang sangat tinggi yaitu tekanan sistolik >180 mmHg atau tekanan distolik >120

mmHg yang kemungkinan dapat menimbulkan atau tanda telah terjadi kerusakan organ.

Krisis hipertensi meliputi hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi. Hipertensi

emergensi yaitu tekanan darah meningkat ekstrim disertai kerusakan organ akut yang

progresif, sehingga tekanan darah harus diturunkan segera (dalam hitungan menit-jam)

untuk mencegah kerusakan organ lebih lanjut. Hipertensi urgensi yaitu tingginya tekanan

darah tanpa adanya kerusakan organ yang progresif sehingga tekanan darah diturunkan

dalam waktu beberapa jam hingga hari pada nilai tekanan darah tingkat I (Depkes RI,

2006).

2.2 Epidemiologi

2.2.1 Epidemiologi Diabetes Mellitus

Jumlah penderita DM diperkirakan mengalami kenaikan di seluruh dunia.

Diabetes mellitus tidak hanya diderita oleh penduduk di negara-negara maju namun di

negara-negara terkembang. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang juga

menunjukkan adanya peningkatan penderita DM. Laporan Riset Kesehatan Dasar

(Riskesdas) Tahun 2007, menunjukkan bahwa prevalensi nasional Penyakit DM

adalah 1,1% berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan gejala. Sebanyak 17 propinsi

mempunyai prevalensi penyakit DM diatas prevalensi nasional, salah satunya Propinsi

SumateraBarat.

Hasil Riskesdas Tahun 2007 memperlihatkan prevalensi nasional DM

(berdasarkan pengukuran gula darah pada penduduk umur diatas 15 tahun di daerah
perkotaan) adalah 5,7%. Sebanyak 13 provinsi mempunyai prevalensi DM diatas

prevalensi nasional. Dari penelitian-penelitian yang dilakukan secara individu

didapatkan persentase kejadian DM cukup tinggi angkanya. Penelitian Rahmawati

(2009) menunjukkan bahwa persentase Penyakit DM Tipe 2 adalah 24,25% pada

pasien binaan FK UI tahun 2006-2008 dengan sebaran menurut riwayat penyakit DM

dalam keluarga sebesa 16,5%.

2.2.2 Epidemiologi Hipertensi

Penderita hipertensi di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 77,9 juta atau 1 dari

3 penduduk pada tahun 2010. Prevalensi hipertensi pada tahun 2030 diperkirakan

meningkat sebanyak 7,2% dari estimasi tahun 2010. Data tahun 2007-2010

menunjukkan bahwa sebanyak 81,5% penderita hipertensi menyadari bahwa bahwa

mereka menderita hipertensi, 74,9% menerima pengobatan dengan 52,5% pasien yang

tekanan darahnya terkontrol (tekanan darah sistolik <140 mmHg dan diastolik <90

mmHg) dan 47,5% pasien yang tekanan darahnya tidak terkontrol. Persentase pria

yang menderita hipertensi lebih tinggi dibanding wanita hingga usia 45 tahun dan

sejak usia 45-64 tahun persentasenya sama, kemudian mulai dari 64 tahun ke atas,

persentase wanita yang menderita hipertensi lebih tinggi dari pria (Go dkk., 2014).

Prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 26,5% pada tahun 2013, tetapi yang

terdiagnosis oleh tenaga kesehatan dan/atau riwayat minum obat hanya sebesar

9,5%. Hal ini menandakan bahwa sebagian besar kasus hipertensi di masyarakat

b
belum terdiagnosis dan terjangkau pelayanan kesehatan (Kemenkes RI, 2013 ).

Profil data kesehatan Indonesia tahun 2011 menyebutkan bahwa hipertensi

merupakan salah satu dari 10 penyakit dengan kasus rawat inap terbanyak di rumah

sakit pada tahun 2010, dengan proporsi kasus 42,38% pria dan 57,62% wanita, serta

4,8% pasien meninggal dunia (Kemenkes RI, 2012).


2.3 Etiopatofisiologi

2.3.1 Etiopatofisiologi Diabetes Mellitus

a). DM Tipe 1 ( DMT 1 = Diabetes Mellitus Tergantung Insulin ): DMT 1

merupakan DM yang tergantung insulin. Pada DMT 1 kelainan terletak pada sel beta

yang bisa idiopatik atau imunologik. Pankreas tidak mampu mensintesis dan

mensekresi insulin dalam kuantitas dan atau kualitas yang cukup, bahkan kadang-

kadang tidak ada sekresi insulin sama sekali. Jadi pada kasus ini terdapat kekurangan

insulin secara absolut (Tjokroprawiro, 2007).

Pada DMT 1 biasanya reseptor insulin di jaringan perifer kuantitas dan

kualitasnya cukup atau normal ( jumlah reseptor insulin DMT 1 antara 30.000- 35.000

) jumlah reseptor insulin pada orang normal ± 35.000. sedang pada DM dengan

obesitas ± 20.000 reseptor insulin (Tjokroprawiro, 2007).

DMT 1, biasanya terdiagnosa sejak usia kanak-kanak. Pada DMT 1 tubuh

penderita hanya sedikit menghasilkan insulin atau bahkan sama sekali tidak

menghasilkan insulin, oleh karena itu untuk bertahan hidup penderita harus

mendapat suntikan insulin setiap harinya. DMT1 tanpa pengaturan harian, pada

kondisi darurat dapat terjadi (Riskesdas, 2007).

b). DM Tipe 2 ( Diabetes Mellitus Tidak Tergantung Insulin =DMT 2): DMT 2

adalah DM tidak tergantung insulin. Pada tipe ini, pada awalnya kelainan terletak

pada jaringan perifer (resistensi insulin) dan kemudian disusul dengan disfungsi

sel beta pankreas (defek sekresi insulin), yaitu sebagai berikut : (Tjokroprawiro,

2007)

1. Sekresi insulin oleh pankreas mungkin cukup atau kurang, sehingga

glukosa yang sudah diabsorbsi masuk ke dalam darah tetapi jumlah

insulin yang efektif belum memadai.

2. Jumlah reseptor di jaringan perifer kurang (antara 20.000-30.000)

pada obesitas jumlah reseptor bahkan hanya 20.000.


3. Kadang-kadang jumlah reseptor cukup, tetapi kualitas reseptor jelek,

sehingga kerja insulin tidak efektif (insulin binding atau afinitas atau

sensitifitas insulin terganggu).

4. Terdapat kelainan di pasca reseptor sehingga proses glikolisis

intraselluler terganggu.

5. Adanya kelainan campuran diantara nomor 1,2,3 dan 4.

DM tipe 2 ini Biasanya terjadi di usia dewasa. Kebanyakan orang tidak

menyadari telah menderita dibetes tipe 2, walaupun keadaannya sudah menjadi

sangat serius. Diabetes tipe 2 sudah menjadi umum di Indonesia, dan angkanya

terus bertambah akibat gaya hidup yang tidak sehat, kegemukan dan malas

berolahraga (Riskesdas, 2007).

Dalam patogenesis ulkus diabetikum ada 3 faktor yang dapat dipandang sebagai
predisposisi kerusakan jaringan pada kaki diabetes, yaitu neuropati, PVD, dan infeksi.
Jarang sekali infeksi sebagai faktor tunggal, tapi seringkali merupakan komplikasi
iskemia maupun neuropati.

DIABETES MELLITUS

Penyakit pembuluh Neuropati otonom Neuropati perifer


darah tepi
Aliran Indera Gerak
Keringat darah raba
Sumbatan Aliran
oksigen, nutrisi,
Resorpsi
antibiotik tulang Kehilangan Atropi
Kult kering ,
rasa sakit
pecah Kerusakan
sendi Kehilangan
Luka sulit
sembuh Trauma bantalan
Kerusakan lemak
kaki
Tumpuan berat
yang baru
Sindrom jari biru INFEKSI ULKUS
Gangren
Gangren mayor
AMPUTASI

Gambar 1. Patogenesis Ulkus diabetikum


2.3.2 Etiopaofisiologi Hipertensi
Hipertensi berdasarkan etiologinya dibagi menjadi dua yaitu hipertensi primer atau

esensial dan hipertensi sekunder.

a. Hipertensi primer

Sekitar 95% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi esensial (primer).

Penyebab hipertensi esensial ini masih belum diketahui, tetapi faktor genetik dan

lingkungan diyakini memegang peranan dalam menyebabkan hipertensi esensial

(Weber dkk., 2014). Faktor genetik dapat menyebabkan kenaikan aktivitas dari

sistem renin-angiotensin-aldosteron dan sistem saraf simpatik serta sensitivitas

garam terhadap tekanan darah. Selain faktor genetik, faktor lingkungan yang

mempengaruhi antara lain yaitu konsumsi garam, obesitas dan gaya hidup yang tidak

sehat (Weber dkk., 2014) serta konsumsi alkohol dan merokok (Mansjoer dkk.,

1999).

Penurunan ekskresi natrium pada keadaan tekanan arteri normal merupakan

peristiwa awal dalam hipertensi esensial. Penurunan ekskresi natrium dapat

menyebabkan meningkatnya volume cairan, curah jantung, dan vasokonstriksi

perifer sehingga tekanan darah meningkat. Faktor lingkungan dapat memodifikasi

ekspresi gen pada peningkatan tekanan. Stres, kegemukan, merokok, aktivitas fisik

yang kurang, dan konsumsi garam dalam jumlah besar dianggap sebagai faktor

eksogen dalam hipertensi (Robbins dkk., 2007).

b. Hipertensi sekunder

Hipertensi sekunder diderita sekitar 5% pasien hipertensi (Weber dkk., 2014).

Hipertensi sekunder disebabkan oleh adanya penyakit komorbid atau penggunaan

obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah. Obat-obat tertentu, baik

secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat

hipertensi. Penghentian penggunaan obat tersebut atau mengobati kondisi

komorbid yang menyertainya merupakan tahap pertama dalam penanganan

hipertensi sekunder (Depkes RI, 2006). Beberapa penyebab hipertensi sekunder


dapat dilihat pada tabel II.

Tabel II. Penyebab hipertensi yang dapat diidentifikasi (Depkes RI,


2006) Penyakit Obat
Penyakit ginjal kronis Kortikosteroid, ACTH
H pera osteron sme pr mer Estrogen asanya p KB engan
kadar
Penyakit renovaskular estrogen tinggi)
S n roma cus ng NSAID, cox-2 in i itor
Phaeochromocytoma Fenilpropanolamin dan analog
Koar tas aorta S os or n an ta rom us
Penyakit tiroid atau paratiroid Eritropoietin
Sibutramin
Antidepresan (terutama venlafaxine)

Tekanan yang dibutuhkan untuk mengalirkan darah melalui sistem sirkulasi

dilakukan oleh aksi memompa dari jantung (cardiac output/CO) dan dukungan dari

arteri (peripheral resistance/PR). Fungsi kerja masing-masing penentu tekanan darah

ini dipengaruhi oleh interaksi dari berbagai faktor yang kompleks. Hipertensi

sesungguhnya merupakan abnormalitas dari faktor-faktor tersebut, yang ditandai

dengan peningkatan curah jantung dan / atau ketahanan periferal.

Tekanan darah merupakan suatu sifat kompleks yang ditentukan oleh interaksi

berbagai faktor seperti faktor genetik dan lingkungan yang mempengaruhi dua

variabel hemodinamik yaitu curah jantung dan resistensi perifer total (Robbins dkk.,

2007). Curah jantung merupakan faktor yang menentukan nilai tekanan darah

sistolik dan resistensi perifer total menentukan nilai tekanan darah diastolik.

Kenaikan tekanan darah dapat terjadi akibat kenaikan curah jantung dan/atau

kenaikan resistensi perifer total (Saseen dan Maclaughlin, 2008).

Ginjal memiliki peranan dalam mengendalikan tekanan darah melalui sistem

renin-angiotensin-aldosteron. Mekanisme pengaturan tekanan darah oleh ginjal

dapat dilihat pada gambar 2.


2.4 Gejala Klinis

2.4.1 Gejala Klinis Diabetes Mellitus

Gejala klinis DM yang klasik : mula-mula polifagi, poliuri, dan polidipsi. Apabila

keadaan ini tidak segera diobati, maka akan timbul gejala Dekompensasi Pankreas, yang

disebut gejala klasik DM, yaitu poliuria, polidipsi, dan polifagi. Ketiga gejala klasik

tersebut diatas disebut pula“TRIAS SINDROM DIABETES AKUT” bahkan apabila tidak
segera diobati dapat disusul dengan mual-muntah dan ketoasidosis diabetik. Gejala kronis

DM yang sering muncul adalah lemah badan, kesemutan, kaku otot, penurunan

kemampuan seksual, gangguan penglihatan yang sering berubah, sakit sendi dan lain-lain

(Tjokroprawiro, 2007 ).

2.4.2 Gejala Klinis Hipertensi

Menurut Elizabeth J. Corwin, sebagian besar tanpa disertai gejala yang mencolok dan

manifestasi klinis timbul setelah mengetahui hipertensi bertahun-tahun berupa:

1. Nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah,

akibat tekanan darah intrakranium.

2. Penglihatan kabur akibat kerusakan retina karena hipertensi.

3. Ayunan langkah tidak mantap karena kerusakan susunan syaraf.

4. Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus.

5. Edema dependen akibat peningkatan tekanan kapiler.

2.5 Diagnosis

2.5.1 Diagnosis Diabetes Mellitus

Menurut Slamet Suyono, evaluasi pasien hipertensi mempunyai tiga tujuan:

1. Mengidentifikasi penyebab hipertensi.

2. Menilai adanya kerusakan organ target dan penyakitkardiovaskuler, beratnya

penyakit, serta respon terhadap pengobatan.

3. Mengidentifikasi adanya faktor risiko kardiovaskuler yang lain atau penyakit

penyerta, yang ikut menentukan prognosis dan ikut menentukan panduan

pengobatan.

Data yang diperlukan untuk evaluasi tersebut diperoleh dengan cara anamnesis,

pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan penunjang.

Peninggian tekanan darah kadang sering merupakan satu-satunya tanda klinis

hipertensi sehingga diperlukan pengukuran tekanan darah yang akurat. Berbagai

faktor yang mempengaruhi hasil pengukuran seperti faktor pasien, faktor alat dan

tempat pengukuran.
Anamnesis yang dilakukan meliputi tingkat hipertensi dan lama menderitanya,

riwayat dan gejala-gejala penyakit yang berkaitan seperti penyakit jantung koroner,

penyakit serebrovaskuler dan lainnya. Apakah terdapat riwayat penyakit dalam

keluarga, gejala yang berkaitan dengan penyakit hipertensi, perubahan aktifitas atau

kebiasaan (seperti merokok, konsumsi makanan, riwayat dan faktor psikososial

lingkungan keluarga, pekerjaan, dan lain-lain). Dalam pemeriksaan fisik dilakukan

pengukuran tekanan darah dua kali atau lebih dengan jarak dua menit, kemudian

diperiksa ulang dengan kontrolateral.

2.5.2 Diagnosis Hipertensi


Dalam menegakan diagnosis hipertensi, diperlukan beberapa tahapan

pemeriksaan yang harus dijalani sebelum menentukan terapi atau

tatalaksana yang akan diambil. Algoritme diagnosis ini diadaptasi

dariCanadian Hypertension Education Program. The Canadian

Recommendation for The Management of Hypertension 2014.

2.6 Tatalaksana

2.6.1 Tatalaksana Diabetes Mellitus


Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir untuk menurunkan

morbiditas dan mortalitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2

target utama, yaitu:

1. Menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal

2. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes.

The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan beberapa parameter


yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan diabetes (Tabel

3).

Tabel 3. Target Penatalaksanaan Diabetes

Parameter Kadar Ideal Yang Diharapkan

Kadar Glukosa Darah Puasa 80 –

Kadar Glukosa Plasma Puasa 90 –

Kadar Glukosa Darah Saat Tidur


100 –
( Bedtime blood glucose)

Kadar Glukosa Plasma Saat Tidur


110 –
( Bedtime plasma glucose)

Kadar Insulin <7 %

Kadar HbA1c <7mg/dl


Kadar Kolesterol HDL >45mg/dl (pria)

Kadar Kolesterol HDL >55mg/dl (wanita)

Kadar Trigliserida <200mg/dl

Tekanan Darah <130/80mmHg

Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam penatalaksanaan diabetes, yang pertama
pendekatan tanpa obat dan yang kedua adalah pendekatan dengan obat. Dalam
penatalaksanaan DM, langkah pertama yang harus dilakukan adalah penatalaksanaan tanpa
obat berupa pengaturan diet dan olah raga. Apabila dengan langkah pertama ini tujuan
penatalaksanaan belum tercapai, dapat dikombinasikan dengan langkah farmakologis berupa

terapi insulin atau terapi obat hipoglikemik oral, atau kombinasi keduanya.
1. Terapi nonfarmakologis
a. Pengaturan Diet: Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan
diabetes. Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang
dalam hal karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik
sebagai berikut:

• Karbohidrat : 60-70%

• Protein : 10-15%
• Lemak : 20-25%
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut
dan kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan
mempertahankan berat badan ideal.
Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin
dan memperbaiki respons sel-sel β terhadap stimulus glukosa. Dalam salah satu
penelitian dilaporkan bahwa penurunan 5% berat badan dapat mengurangi kadar
HbA1c sebanyak 0,6% (HbA1c adalah salah satu parameter status DM), dan setiap
kilogram penurunan berat badan dihubungkan dengan 3-4 bulan tambahan waktu
harapan hidup.
Selain jumlah kalori, pilihan jenis bahan makanan juga sebaiknya
diperhatikan. Masukan kolesterol tetap diperlukan, namun jangan melebihi 300 mg
per hari. Sumber lemak diupayakan yang berasal dari bahan nabati, yang
mengandung lebih banyak asam lemak tak jenuh dibandingkan asam lemak jenuh.
Sebagai sumber protein sebaiknya diperoleh dari ikan, ayam (terutama daging
dada), tahu dan tempe, karena tidak banyak mengandung lemak.
Masukan serat sangat penting bagi penderita diabetes, diusahakan paling tidak
25 g per hari. Disamping akan menolong menghambat penyerapan lemak, makanan
berserat yang tidak dapat dicerna oleh tubuh juga dapat membantu mengatasi rasa
lapar yang kerap dirasakan penderita DM tanpa risiko masukan kalori yang
berlebih. Disamping itu makanan sumber serat seperti sayur dan buah-buahan segar
umumnya kaya akan vitamin dan mineral

b. Olahraga
Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah
tetap normal. Saat ini ada dokter olah raga yang dapat dimintakan nasihatnya untuk
mengatur jenis dan porsi olah raga yang sesuai untuk penderita diabetes.
Prinsipnya, tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan secara
teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan.
Olahraga yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous,
Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance Training) . Sedapat mungkin mencapai
zona sasaran 75-85% denyut nadi maksimal (220-umur), disesuaikan dengan
kemampuan dan kondisi penderita. Beberapa contoh olah raga yang disarankan,
antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan lain sebagainya. Olahraga
aerobik ini paling tidak dilakukan selama total 30-40 menit per hari didahului
dengan pemanasan 5-10 menit dan diakhiri pendinginan antara 5-10 menit. Olah
raga akan memperbanyak jumlah dan meningkatkan aktivitas reseptor insulin
dalam tubuh dan juga meningkatkan penggunaan glukosa.
2. Terapi farmakologis
Apabila penatalaksanaan terapi tanpa obat (pengaturan diet dan olah raga) belum
berhasil mengendalikan kadar glukosa darah penderita, maka perlu dilakukan
langkah berikutnya berupa penatalaksanaan terapi obat, baik dalam bentuk terapi
obat hipoglikemik oral, terapi insulin, atau kombinasi keduanya.
a. Pemicu Sekresi Insulin

1. Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi

insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien

dengan berat badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada

pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia

berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal

dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan

penggunaansulfonilurea kerja panjang.

2. Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,

dengan penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan

ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan

Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah

pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.

b. Penambah sensitivitas terhadap insulin

-Tiazolidindion

c. Penghambat glukoneogenesis

-Metformin: Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa

hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa

perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin

dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum

kreatinin > 1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan

hipoksemia (misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis, renjatan, gagal

jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk

mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan.

d. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)


Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga

mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.

Acarbosetidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang

paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.

e. Insulin
Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:
-insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
-insulin kerja pendek ( short acting insulin)
-insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
-insulin kerja panjang (long acting insulin)

2.6.2 Tatalaksana Hipertensi

Tujuan utama terapi hipertensi adalah menurunkan mortalitas dan morbiditas yang

berhubungan dengan hipertensi serta berkaitan dengan kerusakan organ target (seperti

kardiovaskular, gagal jantung, dan penyakit ginjal). Target tekanan darah adalah <140/90

mmHg untuk hipertensi tanpa komplikasi dan <130/80 mmHg untuk pasien diabetes

melitus dan gagal ginjal kronis (Chobanian dkk., 2004). Terapi hipertensi meliputi :
a. Terapi non farmakologis

Pendekatan nonfarmakologis merupakan penanganan awal sebelum penambahan obat-

obatan hipertensi, disamping perlu diperhatikan oleh seorang yang sedang dalam terapi

obat. Sedangkan pasien hipertensi yang terkontrol, pendekatan nonfarmakologis ini

dapat membantu pengurangan dosis obat pada sebagian penderita. Oleh karena itu,

modifikasi gaya hidup merupakan hal yang penting diperhatikan, karena berperan
dalam keberhasilan penanganan hipertensi. Pendekatan nonfarmakologis dibedakan

menjadi beberapa hal:

1. Menurunkan faktor risiko yang menyebabkan aterosklerosis: Menurut Corwin

berhenti merokok penting untuk mengurangi efek jangka panjang hipertensi

karena asap rokok diketahui menurunkan aliran darah ke berbagai organ dan

dapat meningkatkan beban kerja jantung. Selain itu pengurangan makanan

berlemak dapat menurunkan risiko aterosklerosis.

Penderita hipertensi dianjurkan untuk berhenti merokok dan mengurangi

asupan alkohol. Berdasarkan hasil penelitian eksperimental, sampai pengurangan

sekitar 10 kg berat badan berhubungan langsung dengan penurunan tekanan

darah rata-rata 2-3 mmHg per kg berat badan.

2. Olahraga dan aktifitas fisik

Selain untuk menjaga berat badan tetap normal, olahraga dan aktifitas fisik

teratur bermanfaat untuk mengatur tekanan darah, dan menjaga kebugaran tubuh.

Olahraga seperti jogging, berenang baik dilakukan untuk penderita hipertensi.

Dianjurkan untuk olahraga teratur, minimal 3 kali seminggu, dengan demikian

dapat menurunkan tekanan darah walaupun berat badan belum tentu turun.

Olahraga yang teratur dibuktikan dapat menurunkan tekanan perifer sehingga

dapat menurunkan tekanan darah. Olahraga dapat menimbulkan perasaan santai

dan mengurangi berat badan sehingga dapat menurunkan tekanan darah. Yang

perlu diingat adalah bahwa olahraga saja tidak dapat digunakan sebagai
pengobatan hipertensi.

Menurut Dede Kusmana, beberapa patokan berikut ini perlu dipenuhi sebelum

memutuskan berolahraga, antara lain:

a. Penderita hipertensi sebaiknya dikontrol atau dikendalikan tanpa atau

dengan obat terlebih dahulu tekanan darahnya, sehingga tekanan darah sistolik

tidak melebihi 160 mmHg dan tekanan darah diastolik tidak melebihi 100
mmHg.

b. Alangkah tepat jika sebelum berolahraga terlebih dahulu mendapat

informasi mengenai penyebab hipertensi yang sedang diderita.

c. Sebelum melakukan latihan sebaiknya telah dilakukan uji latih jantung dengan

beban (treadmill/ergometer) agar dapat dinilai reaksi tekanan darah serta

perubahan aktifitas listrik jantung (EKG), sekaligus menilai tingkat kapasitas

fisik.

d. Pada saat uji latih sebaiknya obat yang sedang diminum tetap

diteruskan sehingga dapat diketahui efektifitas obat terhadap kenaikan

beban.

e. Latihan yang diberikan ditujukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh

dan tidak menambah peningkatan darah.

f. Olahraga yang bersifat kompetisi tidak diperbolehkan.

g. Olahraga peningkatan kekuatan tidak diperbolehkan.

h. Secara teratur memeriksakan tekanan darah sebelum dan sesudah latihan.

i. Salah satu dari olahraga hipertensi adalah timbulnya penurunan tekanan

darah sehingga olahraga dapat menjadi salah satu obat hipertensi.

j. Umumnya penderita hipertensi mempunyai kecenderungan ada kaitannya

dengan beban emosi (stres). Oleh karena itu disamping olahraga yang bersifat

fisik dilakukan pula olahraga pengendalian emosi, artinya berusaha mengatasi

ketegangan emosional yang ada.

k. Jika hasil latihan menunjukkan penurunan tekanan darah, maka dosis/takaran


obat yang sedang digunakan sebaiknya dilakukan penyesuaian (pengurangan).

3. Perubahan pola makan

a. Mengurangi asupan garam

Pada hipertensi derajat I, pengurangan asupan garam dan upaya penurunan berat

badan dapat digunakan sebagai langkah awal pengobatan hipertensi. Nasihat

pengurangan asupan garam harus memperhatikan kebiasaan makan pasien,

dengan memperhitungkan jenis makanan tertentu yang banyak mengandung

garam. Pembatasan asupan garam sampai 60 mmol per hari, berarti tidak

menambahkan garam pada waktu makan, memasak tanpa garam, menghindari

makanan yang sudah diasinkan, dan menggunakan mentega yang bebas garam.

Cara tersebut diatas akan sulit dilaksanakan karena akan mengurangi asupan

garam secara ketat dan akan mengurangi kebiasaan makan pasien secara drastis.

b. Diet rendah lemak jenuh

Lemak dalam diet meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis yang berkaitan

dengan kenaikan tekanan darah. Penurunan konsumsi lemak jenuh, terutama

lemak dalam makanan yang bersumber dari hewan dan peningkatan konsumsi

lemak tidak jenuh secukupnya yang berasal dari minyak sayuran, biji-bijian dan

makanan lain yang bersumber dari tanaman dapat menurunkan tekanan darah.

c. Memperbanyak konsumsi sayuran, buah-buahan dan susu rendah lemak.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa beberapa mineral bermanfaat mengatasi

hipertensi. Kalium dibuktikan erat kaitannya dengan penurunan tekanan darah

arteri dan mengurangi risiko terjadinya stroke. Selain itu, mengkonsumsi kalsium

dan magnesium bermanfaat dalam penurunan tekanan darah. Banyak konsumsi

sayursayuran dan buah-buahan mengandung banyak mineral, seperti seledri, kol,

jamur (banyak mengandung kalium), kacang-kacangan (banyak mengandung

magnesium). Sedangkan susu dan produk susu mengandung banyak kalsium.

4. Menghilangkan stress
Stres menjadi masalah bila tuntutan dari lingkungan hampir atau bahkan sudah

melebihi kemampuan kita untuk mengatasinya. Cara untuk menghilangkan stres yaitu

perubahan pola hidup dengan membuat perubahan dalam kehidupan rutin sehari-hari

dapat meringankan beban stres.

c. Penatalaksanaan Farmakologis

Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang dianjurkan


oleh JNC 7:

a. Diuretic, terutama jenis Thiazide (Thiaz) Aldosteron Antagonist (Ald Ant)

b. Beta Blocker (BB)

c. Calcium channel blocker atau Calcium antagonist (CCB)

d. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)

e. Angiotensin II Receptor Blocker atau AT1 Receptor angiotensint/ blocker (ARB).

Tabel 4. Indikasi dan Kontraindikasi Kelas-kelas utama Obat

Antihipertensi Menurut ESH.


Tabel S. Taaa1a-Daaa hlpertcer1 oeourua n‹vnax-at JËû7

.aeaææ

aiou
uinŒ ›i:di1así
}‘ßZì§| l1%l1ak” x
2.7 Komplikasi

Jika DM dibiarkan tidak terkendali, akan menimbulkan komplikasi yang

dapat berakibat fatal. Komplikasi diabetes dapat dicegah, ditunda atau

diperlambat dengan mengontrol kadar gula darah. Mengontrol kadar gula

darah dapat dilakukan dengan terapi misalnya patuh meminum obat

(Sidartawan, 2007).

Komplikasi DM adalah semua penyakit yang timbul sebagai akibat dari

DM, baik sistemik, organ ataupun jaringan tubuh lainya. Proses glikosilasi

(pengaruh gkukosa pada semua jaringan yang mengandung protein) sangat

berpengaruh pada timbulnya komplikasi konis. Akhir-akhir ini AGE

(Advanced Glycosylated Endoproduct) diduga yang bertanggung jawab

atas timbulnya komplikasi kronis. Karena AGE inilah yang merusak

jaringan tubuh terutama yang mengandung protein, dan juga disebabkan

disfungsi endotel dan disfungsi makrofag (Tjokroprawiro, 2007).

Klasifikasi komplikasi DM dibagi menjadi : (Aryono, 2008 )

1. Komplikasi Akut

a. Hipoglikemi

Hipoglikemi merupakan komplikasi yang serius pada pengelolaan

DM Tipe 2 terutama pada penderita DM usia lanjut, pasien dengan

insufisiensi renal, dan pasien dengan kelainan mikro maupun

makroangiopati berat. Upaya untuk mencegah terjadinya

komplikasi diperlukan kendali gula darah yang berat mendekati

normal, sedangkan akibat dari kendali gula darah yang berat resiko

terjadinya hipoglikemi semakin bertambah berat.

Diagnosis hipoglikemi umumnya berdasarkan atas Trias Whipple

yaitu adanya gejala hipoglikemi, dengan darah berkadar gula yang


rendah dan akan membaik bila kadar gula kembali normal setelah

pemberian gula dari luar. disebut gula darah rendah adalah bila

gula darah vena < 60 mg/dl. Penyebab terjadinya hipoglikemi :

- olah raga yang berlebih dari biasanya

- dosis obat diabetes berlebihan

- jadwal makan yang tidak tepat dengan obat diabetes yang

diminum

- menghilangkan atau tidak menghabiskan makan atau snack

- minum alkohol

- tidak pernah kontrol sehingga obat yang diberikan

dosisnya tidak tepat

b. Keto Asidosis Diabetes ( KAD )

Merupakan defisiensi insulin berat dan akut dari suatu perjalanan

penyakit DM. Kriteria diagnosis KAD adalah sebagai berikut :

- Klinis : poliuria, polidipsia, mual dan atau muntah, pernafasan

Kussmaul ( dalam dan frekuen ), lemah, dehidrasi, hipotensi


sampai syok, kesadaran terganggu sampai koma.

- Darah : hiperglikemi lebih dari 300 mg/dl (biasanya melebihi

500 mg/dl). Bikarbornat kurang dari 20 mEq/l dan pH < 7,35

( asidosis metabolik ), ketonemia.

- Urine : glukosuria, ketonuria.

c. Koma Hiperosmoler Non – Ketotik ( K. HONK )

Diagnosis klinis dikenal dengan sebutan tetralogi HONK : 1 yes,

3 no, yaitu :

3. Glukosa > 600 mg/dl ( hiperglikemia YES ) dengan tidak ada

riwayat DM sebelumnya ( NO DM ), bikarbonat > 15 mEq/l,

tidak ada Kussmaul, pH darah normal (NO Asidosis

Metabolik), tidak ada ketonemia atau ketonuria ( NO

ketonemia ).
A. Dehidrasi berat, hipotensi sampai terjadi syok

hipovolemi, didapatkan gejala neurologi.

B. Diagnosis pasti ditegakkan apabila terdapat


gejala klinis ditambah dengan osmoloritas darah >
325-350

mOSM/l.

Faktor pencetus KAD dan HONK:

-injeksi penghentian insulin atau terapi insulin yang tidak

adekuat penderita baru infark miokard akut pemakaian obat

steroid

2. Komplikasi Kronis

Komplikasi kronis pada DM pada umumnya terjadi gangguan

pembuluh darah atau angiopati dan kelainan pada saraf atau

neuropati. Angiopati pada pembuluh darah besar disebut

makroangiopati dan bila kena pembuluh darah kecil disebut

mikroangiopati, sedangkan neuropati bisa merupakan neuropati

perifer maupun neuropati otonom. Pada penelitian UKPDS (United

Kingdom Prospective Diabetes Study) umumnya penderita DM yang

datang berobat 50 % sudah mengalami komplikasi kronis ini.

Manifestasi klinis komplikasi kronis DM pada :

a. Infeksi (furunkel, karbunkel, TBC paru, UTI, mikosis)

(Tjokroprawiro, 2007)

b. Mata (Tjokroprawiro,2007)

- Lensa cembung sewaktu hiperglikemia (miopi–

reversible, tetapi katarak irreversible)


- Retinopati DM = RD (Non – Prolifeverative

Retinopathy, dan Proliferative Retinopathy)

- Glaucoma

- Perdarahan Corpus Vitreum

c. Mulut (Tjokroprawiro, 2007)

- Ludah (kental, mulut kering = Xerostamia Diabetes)

- Gingiva (udematus, merah tua, gingivitis)

- Periodontium (rusak biasanya karena

mikroangiopati periodontitis DM, (semua

menyebabkan gigi mudah goyah – lepas)

d. Traktus Urogenetalis (Tjokroprawiro, 2007 )

- Nefropati Diabetik, Sindrom Kiemmelstiel Wilson,

Pielonefritis, Necrotizing Papillitis, UTI, DNVD

Diabetic Neorogenic Vesical Dysfunction =

Diabetic Bladder (dapat manyebabkan retensio

/inkontinensia).

- Impotensi Diabetik.

e. Saraf ( Sri Murtiwi Aryono, 2008 )

Neuropati Diabetik ( ND ) merupakan gambaran

keluhan dan gambaran gejala fisik dari gangguan fungsi

saraf tepi pada pasien DM setelah disingkirkan

penyebab lainnya.
BAB III

KESIMPULAN

Hipertensi dikenal sebagai penyakit kardiovaskular dimana penderita

memiliki tekanan darah diatas normal. Hipertensi merupakan salah satu faktor

risiko utama penyebab gangguan jantung. Selain mengakibatkan gagal jantung,

hipertensi dapat juga berakibat terjadinya gagal ginjal maupun penyakit

serebrovaskular.

Sasaran pengobatan hipertensi untuk menurunkan morbiditas dan

mortalitas kardiovaskuler dan ginjal. Dengan menurunkan tekanan darah kurang

dari 140/90 mmHg diharapkan komplikasi akibat hipertensi berkurang. Terapi non

farmakologi antara lain mengurangi asupan garam, olah raga, menghentikan rokok

dan mengurangi berat badan, dapat dimulai sebelum atau bersama-sama dengan

obat farmakologi.

Penyakit Diabetes Mellitus disebabkanolehbanyak faktor. Pengaturanpola

makan, terutama konsumsi lemak, karbohidrat danserat cukup akan membantu

dalam mengontrol glukosa darah. Asupan zat gizi mikro, salah satunya vitamin C

terdapat dalammakanan sumber alami, yang berperan sebagai antioksidan akan

menurunkan resistensi insulin melalui perbaikan fungsi endothelial dan

menurunkan stress oksidatif sehingga mencegah berkembangnya kejadian

diabetes tipe 2. Selain menerapkanpola makan sehatjuga dianjurkanbagi

masyarakat untuk melakukan olah raga secara teratur.


DAFTAR PUSTAKA

Albers A. R., Krichavsky M. Z. & Balady G. J., 2006. Stress Testing in Patients
With Diabetes Mellitus Diagnostic and Prognostic Value. Circulation is
availablevol pp.583-592

American Diabetes Association (ADA), 2012. Diagnosis and Classification of


Diabetes Mellitus. Diabetes Care volume 35 Supplement 1 pp. 64-71.
Arimadailiza, 2011, ASUPAN ZAT GIZIDANPENYAKIT DIABETES
MELLITUS, Jurnal Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas, vol. 6(1)
pp: 36-41
Boedisantoso, A. 2005. Komplikasi Akut Diabetes Mellitus. Jakarta: Fakultas
Kedokteran UI.
Chobanian, A. V. 2003. Classification of Blood Pressure dalam The Seventh
Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection,

Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. National Heart,


Lung, and Blood Institute. pp : 3-19.
Cipolle R.J., Strand M.L. and Morley C.., 2012, . Pharmaceutical Care Practice:
The Patient-Centered Approach to Medication Management Services, 3rd
ed., McGraw-Hill Education, United States of America.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006, Pharmaceutical Care untuk
Penyakit Hipertensi, Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik,
Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2013, Riset Kesehatan Dasar
2013, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Dorland, W. A. N, 2002. Dorland’s Illustrated Medical Dictionary (29th ed.).
Hartanto, H. et al. (Alih Bahasa). Jakarta. EGC. h:44:1764.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2016, Hipertensi The Silent Killer,
Pusat Data dan Informasi, 1–8.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014, Infodatin Hipertensi, Jakarta.
Indonesia.
PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di
Indonesia. Jakarta: Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia;
2006.
PERKI, 2015, Pedoman Tatalaksana Hipertensi pada Penyakit Kardiovaskular,
edisi pert., Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia,
Jakarta.
Saseen J. and Maclaughlin E., 2008, Hypertension, Dalam Pharmacotherapy
Handbook 7th Edition, The McGraw-Hill Companies Publisher, Chicago,
United States of America
Suyono S. Diabetes Melitus di Indonesia. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. IV ed.
Jakarta: Pusat penerbitan Ilmu Penyakit dalam FK UI; 2006
20

Anda mungkin juga menyukai