Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menurut Sudiharto (2007) keluarga adalah dua orang atau lebih yang

dibentuk berdasarkan ikatan perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan

hidup spiritual dam materiil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan, memiliki

hubungan yang selaras, serasi dan seimbang antara anggota keluarga dan

masyarakat serta lingkungannya.

Keluarga juga merupakan lembaga pertama dan utama bagi anak dalam

proses pertumbuhan dan perkembangannya bahkan dalam usaha pendidikan dan

pembinaan untuk menjadi manusia dewasa dewasa yang sehat jasmani, rohani dan

sosial. Bagi setiap orang tua, pertumbuhan dan perkembangan anak adalah hal yang

paling penting. Setiap orang tua pasti menginginkan dan mengharapkan anak yang

dilahirkan nanti memiliki tumbuh kembang optimal sehingga menjadi anak yang

menyenangkan, terampil dan pintar yang nantinya menjadi penerus dalam keluarga

tersebut. Namun, tidak semua harapan orang tua memiliki anak yang sehat dan

normal dapat terwujud. Beberapa orang tua justru mendapat anak yang memiliki

tumbuh kembang terkendala.

Tumbuh kembang anak yang terkendala sendiri juga sering terjadi pada psikis

anak, munculnya penyakit kronis dan neurologis pada anak. Dimana salah satu

penyakit neurologis yang sering kita dengar adalah austis atau anak yang memiliki

kebutuhan khusus karena gangguan pada perkembangannya. Hal ini sesuai dengan

1
pernyataan pada Diagnostic And Statistical Manual Of Mental Disorders fifth

edition (DSM – V) (2013) bahwa autis termasuk kedalam neurologis atau

neurodevelopmental disorders.

Autisme berasal dari istilah dalam bahasa Yunani, “aut” berarti diri sendiri,

sedangkan “isme” berarti orientasi atau keadaan. Maka autisme dapat diartikan

sebagai kondisi seseorang yang secara tidak wajar terpusat pada dirinya sendiri;

kondisi seseorang yang senantiasa berada di dalam dunianya sendiri. Istilah

“autisme” pertama kali diperkenalkan oleh Leo Kanner pada tahun 1943,

selanjutnya ia juga memakai istilah “Early Infantile Autism”, atau dalam bahasa

Indonesianya diterjemahkan sebagai “Autisme masa kanak-kanak” . Hal ini untuk

membedakan dari orang dewasa yang menunjukkan gejala autisme seperti ini.

Autis juga sering dikenal dengan nama Autism Spectrum Disorder. Autism

Spectrum Disorder (ASD) merupakan suatu gangguan perkembangan berspektrum

luas yang ditandai dengan beberapa karakteristik yakni terganggunya interaksi

sosial, komunikasi, dan pola prilaku yang berulang serta gejala-gejala lain yang

bervariasi (American Psychiatric Association, 2009).

Menurut Triantoro Safaria (2005), autisme sebagai ketidakmampuan untuk

berinteraksi dengan orang lain, ekolalia, adanya aktivitas bermain yang repetitif

dan stereotipe, mutism, pembalikkan kalimat , gangguan berbahasa yang

ditunjukkan dengan penguasaan yang tertunda, rute ingatan yang kuat serta

keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan di dalam lingkungannya.

Sedangkan menurut Joko Yuwono (2012) ,berpendapat bahwa autis

2
yakni masalah perkembangan yang secara signifikan berdampak pada

kemampuan komunikasi verbal, non verbal, interaksi

sosial yang umumnya terjadi sebelum umur tiga tahun.

Pada beberapa anak, ada faktor pencetus yang dapat menyebabkan autisme

seperti ditinggal oleh orang terdekat secara mendadak, punya adik, sakit berat

bahkan ada yang gejalanya timbul setelah mendapatkan imunisasi (Budhiman,

1998). Lumbantobing (2001) menambahkan penyebab lain dari autisme karena

adanya hubungan keluarga (keabnormalitasan kromosom terutama fragile X juga

ikut berperan pada sebahagian kasus), adanya pengaruh kondisi fisik pada saat

hamil dan melahirkan (mencakup rubella, sifilis, fenilketonuria, tuberus sklerosis,

fragile X), faktor prenatal (mencakup infeksi congenital seperti cytomegalovirus

dan rubella), faktor pasca natal yang juga ikut berperan (mencakup infantile spasm,

epilepsi mioklonik dan epilepsi lainnya, fenilketonuria, meningitis, ensefalitis.

Gejala autisme timbul sebelum anak mencapai usia 3 tahun. Pada sebagian

anak gejalagangguan perkembangan ini sudah terlihat sejaklahir. Seoerang ibu yang

cermat dapat melihat beberapa keganjalan sebelum anaknya mencapai usia satu

tahun. Yang sangat menonjol adalah tidak adanya kontak mata dan kurangnya

minat untuk berinteraksi dengan orang lain. Berikut ini karakteristik gangguan autis

berdasarkan DSM - V yakni: yang pertama, kesulitan dalam interaksi sosial yang

terwujud dalam kriteria berikut : tidak mampu menjalin interaksi sosial non verbal

seperti kontak mata,ekspresi muka, posisi tubuh, kesulitan bermain dengan teman

sebaya, tidak ada empati dan simpati, kurang mampu mengadakan hubungan sosial

dan emosional dua arah. Yang kedua, kesulitan dalam komunikasi sosial seperti

3
terwujud dalam kriteria berikut: tidak bisa berkomunikasi secara non verbal, bisa

berbicara tapi tidak untuk komunikasi, bahasa aneh dan diulang-ulang stereotip,

cara bermain kurang variatif imajinatif, kurang imitasi sosial sesuai dengan tahap

perkembangannya. Yang ketiga, perilaku atau minat yang imaginasi,berpikir

fleksibel dan bermain imaginative : mempertahankan 1 minat atau lebih dengan

cara yang sangat khas dan berlebihan, baik intensitas dan fokusnya seperti hanya

terpaku pada suatu kegiatan ritualistic atau rutnitas yang tidak berguna.

Berdasarkan karakteristik gangguan autis diatas, dapat diketahui bahwa

adanya dampak terhadap anak autis tersebut, yakni salah satunya bermasalah pada

perkembangan keterampilan sosialnya, sulit berkomunikasi, tidak mampu

memahami aturan – aturan dalam pergaulan, sehingga biasanya tidak mempunyai

teman. Minat mereka yang terbatas pada orang lain disekitarnya, sehingga membuat

mereka lebih senang menyendiri atau sangat pemilih dalam bergaul, mereka hanya

memiliki 1 – 2 teman yang dapat memberikan rasa aman kepada mereka dan pada

umumnya mengalami kesulitan beradaptasi dalam berbagai kelompok yang

dibentuk secara acak atau mendadak (DSM – V, 2013).

Dimana dampak terhadap anak autis bukan hanya pada keterampilan sosial

mereka. Masih banyak dampak – dampak lain pada anak autis. Seperti yang ada

pada kasus dibawah ini

Ini adalah foto pertama yang muncul dari keluarga Kologi setelah seorang

anak laki-laki berusia 16 tahun membunuh ibunya, ayah, dan saudara

perempuannya dalam pembantaian Tahun Baru yang mengejutkan di Amerika

4
Serikat. Dikutip dari laman Mirror.co.uk, gambar di tengah adalah Scott Kologi

(16), seorang anak autis, yang didakwa dengan pembunuhan. Di sebelah kirinya

adalah ibunya Linda Kologi (42) dan ayah Steven Kologi (44) yang ditembak mati

karena menagmuk bersama saudaranya Brittany (18) yang duduk di sebelah

kanannya. Scott diduga menggunakan senapan serbu semi otomatis untuk

membunuh keluarganya di rumah mereka di Long Branch, New Jersey.

Ada juga kakak laki-lakinya Steven Jnr yang dilaporkan berada di rumah pada

saat itu namun berhasil melarikan diri.Seorang wanita tua lainnya, teman keluarga

berusia 70 tahun Mary Schultz, yang diketahui tinggal di rumah keluarga, tewas

ditembak dalam serangan tersebut. Keempat korban dinyatakan tewas di lokasi

kejadian. Menurut Jaksa Penuntut Monmouth County Christopher Gramiccioni,

saudara laki-laki Scott Steven Jnr dan kakeknya tidak dijadikan sasaran dan selamat

dari serangan tanpa cederi.

"Kologis sangat peduli, mencintai orang, dan selalu mencari hal yang

menyenangkan bersama anak-anak mereka," kata Walter Montelione, sepupu Linda

Kologi kepada WCBS-TV.

Scott (16), ditangkap tanpa masalah, menurut petugas penegak hukum .

Tetangga dan teman-teman mengatakan, remaja tersebut berkebutuhan khusus, dia

tidak menghadiri sekolah umum reguler dan dirawat oleh ibunya. Mirror

melaporkan sebelumnya, kemungkinan Scott dia akan dikenai tuduhan berpotensi

dengan empat tuduhan pembunuhan serta satu dakwaan kepemilikan senjata untuk

tujuan yang tidak saha. Beberapa menit setelah mengucapkan selamat Tahun Baru,

5
kantor Kejaksaan Monmouth County, mengumumkan penyelidikan pembunuhan

terhadap insiden tersebut. Pejabat belum mengetahui motif pelaku pembunuhan

massal tersebut. (www.tribunnews.com)

Dan berikut contoh kasus ke 2 mengenai dampak pada anak yang menderita

autisme

Belasan tahun sudah Lusiana Handoko mengasuh Gevin, anak laki-lakinya

yang membutuhkan perawatan khusus sejak bayi. Saat baru berusia satu tahun, buah

hatinya itu divonis mengalami autisme. Kenyataan itu harus diterima Lusi, setelah

dia menanyakan penyebab lambatnya perkembangan sang anak ke dokter. Dia

menceritakan, kala itu, Gevin sangat lambat saat melakukan kontak mata dan

berbicara. Seiring waktu berjalan, Lusi juga menyadari lemahnya perilaku,

komunikasi dan interaksi sosial Gevin.

Beberapa tempat terapi pun didatanginya untuk membantu perkembangan

anaknya. Namun dia pulang ke rumah dengan murung karena sebagian hatinya

tidak bisa membayangkan seperti apa masa depan buah hatinya itu.

"Saya melihat banyak anak yang punya gangguan perkembangan lain, seperti

di atas kursi roda, menggunakan kaca mata setebal pantat botol. Saya bertanya-

tanya, inikah autis? Saya pulang dan menangis, tak terbayang Gevin nanti seperti

apa," kata Lusi bercerita saat peringatan Autism Awareness Month di Grand

Indonesia, Rabu (7/4).

Pertemuan demi pertemuan pun didatanginya, hingga membawa Lusi

bertemu dengan Ketua Yayasan Autisma Indonesia, Melly Budhiman. Sejak saat

6
itu, pengetahuan tentang penanganan anak autis pun didapatinya. Kini, Gevin telah

duduk di bangku kelas XI salah satu Sekolah Menengah Umum di Jakarta. Sebelas

tahun yang dilalui Gevin hingga kini bisa duduk di bangku SMU pun bukan

perjalanan yang dilalui dengan mudah. Keinginan Lusi untuk memberikan hak

anaknya mendapat pendidikan malah sering kali terjegal di institusi pendidikan itu

sendiri. Dia harus 'nomaden' dalam memasukkan Gevin dari satu sekolah baru ke

sekolah baru lainnya, demi pendidikan sang anak. Dia mengaku sulit menemukan

sekolah di Indonesia yang bersedia menerima murid autisme. Hal ini berbeda ketika

dia sempat tinggal di Jerman. Di Negara Panser itu, anak autis dapat lebih mudah

diterima.

"Banyak sekolah menolak karena begitu mereka menerima anak autis, maka

mereka harus menyediakan dukungan pembelajaran dan memberikan akomodasi

pembelajaran lebih kepada anak autis dibandingkan yang lainnya," kata Lusi saat

berbincang dengan CNNIndonesia.com.

Menurutnya, besar kemungkinan, penolakan sekolah-sekolah di sini terpaksa

dilakukan karena setiap pekannya perlu waktu khusus untuk melatih anak autis

belajar mengorganisir tugas rumah mereka. Gevin sendiri kerap diberikan tempat

khusus saat ujian. Sebuah ruangan yang hanya berisikan dirinya dan pengawas

diberikan, lantaran konsentrasinya yang sangat mudah terganggu. Tak hanya itu,

penggunaan komputer juga diberikan kepada anaknya, karena tulisan tangan yang

sulit dibaca. Sayangnya, kesempatan yang diberikan oleh sekolah malah sering

menimbulkan kecemburuan dari orang tua murid yang lain. Lusi menilai, banyak

orang tua yang tidak memahami kondisi anak autis.

7
"Diskriminasi yang paling sering dirasakan itu di sekolah. Dari segi

pendidikan, sulit sekali anak autis diterima karena citra mereka sebagai trouble

maker," kata Lusi. Citra 'pembuat onar' ini muncul karena beberapa anak autis tak

bisa mengendalikan diri.

"Pernah ada anak teman saya didemo oleh orang tua lain yang menghadap

pihak sekolah bilang, 'pilih dia (anak autis, red) atau anak kami'. Ada juga pernah

orang tua anak normal minta sebuah sekolah mengeluarkan anak autis tapi

bersyukur ditolak oleh sekolah itu," kata Lusi.

Meski begitu, Lusi bersyukur bahwa anaknya tak pernah mengalami

pelecehan seperti pemukulan ataupun olok-olokan. Dia pun sering kali memberi

tahu Gevin bahwa tak semua lingkungan dapat menerima kondisinya.

Di sisi lain, Melly, yang sudah mahfum dalam menghadapi situasi

penanganan anak autis mengungkapkan, hingga kini masih ada kasus anak autisme

yang dibully oleh teman sekolahnya, ataupun kasus kekerasan yang dialami oleh

anak-anak autis dari kawan sebayanya.

"Ada kasus anak autisme yang sudah sekolah hingga duduk di bangku SMK.

Namun tiba-tiba dibully oleh tiga temannya, dipukul, dijotos, bahkan sampai

gendang telinganya pecah. Saking traumanya anak autis itu, ia enggan sekolah

kembali. Padahal potensinya sangat bagus di masa depan. Saat ini memang

penerimaan masih rendah, buktinya masih jadi bahan olok-olokan," katanya.

(www.cnnindonesia.com)

8
Dari kasus diatas dapat kita simpulkan bahwa dampak anak autis adalah

seringnya dibully teman – teman , dipukul dan lain sebagainya yang dapat memberi

dampak negatif terhadap mental dan fisik anak autis sendiri. Walaupun dari kasus

pertama tidak dikatakan bahwa anak sering mengalami bully, dipukul, dan lain

sebagainya namun, dapat kita ketahui dampak setelah dinyatakan bersalah karena

membunuh keluarga nya adalah pembullyan dari masyarakat sekitar juga atau akan

selalu dicap dan dipanggil sebagai pembunuh. Dimana banyaknya masalah pada

anak mereka membuat para orang tua selalu terganggu atau memiliki banyak beban

pikiran masing – masing. Banyaknya beban pikiran atau permasalahan yang terjadi

dalam kehidupan sehari-hari membuat orang tua menjadi kebingungan dan stres.

Sumber stres pada umumnya meliputi peristiwa yang sangat menekan secara terus-

menerus, masalah-masalah hubungan jangka panjang, kesepian, dan kekhawatiran

akan finansial karena kepala rumah tangga sebagai pencari nafkah menjadi korban

bencana (Maryam, 2017). Untuk mengatasi stres yang dialami, setiap keluarga

dituntut untuk lebih konsentrasi dalam menyelesaikan berbagai masalah. Dengan

demikian keluarga perlu mengembangkan strategi adaptasi yang memadai yang

disebut strategi “coping” (Östlund & Persson, 2014). Hal tersebut didukung oleh

Friedman (1998), yang mengatakan bahwa “coping” keluarga adalah respon

perilaku positif yang digunakan keluarga untuk memecahkan suatu masalah atau

mengurangi stres yang diakibatkan oleh suatu peristiwa tertentu. Sedangkan

menurut Yani (1997) coping adalah perilaku yang terlihat dan tersembunyi yang

dilakukan seseorang untuk mengurangi atau menghilangkan ketegangan psikologi

dalam kondisi yang penuh stress.

9
Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Rustiana, 2003) coping terdiri atas

strategi yang bersifat kognitif dan behavioral. Strategi tersebut adalah : Pertama,

strategi yang digunakan untuk mengatasi situasi yang menimbulkan stres

(Problem Focused Coping). Problem Focused Coping adalah strategi dengan cara

menyelesaikan masalah yang dihadapi, sehingga individu segera terbebas dari

masalahnya tersebut. Dimana Problem Focused Coping dibagi menjadi 5 aspek

yaitu : , yaitu proses menggunakan strategi untuk mencoba menghilangkan stressor.

Strategi ini meliputi memulai tindakan langsung, meningkatkan usaha, dan

menghadapi masalah dengan cara-cara yang bijaksana. Aspek ini sesuai dengan

pernyataan subjek dalam wawancara peneliti dengan subjek, berikut kutipan

wawancara.

“Jadi ya tante, jarang si gitu mau ninggalin mereka, dan hampir gak pernah

gitu, palingan kalau ada sesuatu yang sangat urgent, tapi gitupun tetap tante

pantau dari kamera cctv dirumah. Karena tante tahu, merawat dia bukan lah hal

yg mudah.” (I-10172 – I-10177)

Aspek selanjutnya adalah perencanaan yaitu, berpikir mengenai bagaimana

menghadapi stresor. Membuat strategi yang akan dilakukan, juga memikirkan

bagaimana cara untuk mengurangi masalah dan bagaimana mengatasi masalah.

Aspek perencanaan dapat kita cermati dari wawancara dengan subjek, berikut

kutipan wawancara

“Yahh, tante coba tenangin diri dulu dek, coba menerima keadaan yg ada.

Trus, setelah tante udah tenang, tante coba cari tahu, sebenarnya autis itu

10
apa, dan yaah tante mulai cari tahu juga gimana cara merawat anak autis,

karena kan merawat anak autis gak seperti merawat anak pada umumnya

ya. dan tante ada juga si beberapa kali coba konsultasi ke psikolog gitu.”

(I-10126 – I-10133)

Aspek ketiga adalah penekanan secara bersaing , dimana individu dapat

menekan keterlibatan dalam kegiatan bersaing atau dapat menekan pengolahan

saluran bersaing informasi, dalam rangka untuk lebih berkonsentrasi penuh pada

tantangan dan berusaha menghindari untuk hal yang membuat terganggu oleh

peristiwa lain bahkan membiarkan hal – hal lain terjadi, jika perlu untuk

menghindari stressor. Berikut kutipan wawancara.

“Anak tante itu kadang gabisa diduga, bisa tiba-tiba marah karena hal yang

menurut dia gak cocok. Dan ya, dia bakal nunjukkin perilakunya marah gitu,

kayak dia teriak-teriak gitu atau dia kek nangis gak diem, rada gak jelas si

sebenarnya yang dilakuin dek, makanya tante banyak belajar dek” (I-10160

– I-10166)

Aspek keempat adalah pengendalian diri, yaitu menunggu kesempatan yang

tepat untuk bertindak, menahan diri, dan tidak bertindak secara gegabah. Pada

dasarnya strategi ini tidak dianggap sebagai suatu strategi menghadapi masalah

yang potensial, tetapi terkadang responnya cukup bermanfaat dan diperlukan untuk

mengatasi tekanan, karena perilaku seseorang yang melakukan strategi

pengendalian diri difokuskan untuk menghadapi tekanan secara efektif. Berikut

kutipan wawancara dengan subjek

11
“Biasanya sih, tante langsung mencari waktu atau mencari tempat

sendirian, terus mencoba menenangkan pikiran karena tante bener-bener

kadang udah capek banget kan ya. kalau tante bener-bener gak tahan lagi,

tante coba tenangin diri dengan berdoa sama Tuhan.” (I-10206 – I-10210)

Aspek kelima adalah mencari dukungan sosial karena alasan instrumental,

yaitu mencari nasehat, bantuan atau informasi. Berikut kutipan wawancara dengan

subjek

“Sebenarnya ada juga sih yang mencibir tante, jadinya tante kayak enggak

percaya diri.. tapi ada juga yang tetap support tante kayak teman dekat tante ini

lah.” (I-10105 – I-10108)

Dimana jenis bantuan yang diberikan lingkungan, keluarga, kerabat bermacam –

macam yang sesuai dengan pernyataan subjek dari wawancara. Berikut kutipan

wawancara”

Dan yang kedua, strategi coping untuk mengatasi emosi negatif yang

menyertainya (Emotion Focused Coping). Strategi ini untuk meredakan emosi

individu yang ditimbulkan oleh stressor (sumber stres), tanpa berusaha untuk

mengubah suatu situasi yang menjadi sumber stres secara langsung. Dimana

Emotion Focused Coping dibagi menjadi 5 aspek yaitu : dukungan sosial

emosional, yaitu mencari dukungan sosial melalui dukungan moral, simpati atau

pengertian. Dimana pernyataan subjek sesuai dengan aspek ini. Berikut kutipan

wawancara

“Yang paling dukung tante, om sih..” (I-10191)

12
“Yah om semangatin tante, bantu handle anak-anak juga. Om selalu ada di

samping tante. Itu sih yang buat tante bisa bertahan sampai sekarang.” (I-

10193 – I-10195)

Dalam menghilangkan stress, bukan hanya dari dukungan moral, simpati atau

pengertian namun, interpretasi positif juga bisa membantu menghilangkan stress

seperti aspek selanjutnya. Interprestasi positif artinya menafsirkan transaksi stres

dalam hal positif harus memimpin orang itu untuk melanjutkan secara aktif pada

masalah – terfokus di tindakkan penanggulangan. Aspek ini sesuai dengan

pernyataan subjek dari wawancara. Berikut kutipan wawancara

“Cuman ya dibalik itu tante ambil positif nya aja dan ternyata masih banyak

orang yang peduli sama keluarga dan anak tante.” (I-10115- I-10117)

Aspek selanjutnya adalah penerimaan, sesuatu yang penuh dengan stress dan

keadaan yang memaksanya untuk mengatasi masalah tersebut. Penerimaan sangat

penting karena kita harus bisa menerima kenyataan mengenai masalah yang terjadi

namun, tidak semua orang tua dapat langsung menerima apa yang sedang terjadi

seperti pernyataan subjek. Berikut kutipan wawancara

“Seperti yang tante bilang ya tante enggak bisa menerima keadaan anak

tante yang seperti ini, makanya tante pikir buat jadiin ini sebagai rahasia

keluarga saja dan tante pun jadi agak tertutup sama orang lain.. cuman tante

enggak tahan aja menyimpan semua sendiri, jadi akhirnya tante coba cerita

sama teman dekat tante.” (I-10091 – I-10097)

13
Aspek yang selanjutnya adalah penolakkan, respon yang kadang – kadang

muncul dalam penilaian utama. Hal penolakkan ini sering dinyatakan bahwa

penolakkan berguna, meminimalkan tekanan dan dengan demikian memfasilitasi

coping atau bisa dikatakan bahwa penolakkan hanya menciptakan masalah

tambahan kecuali stressor menguntungkan dapat diabaikan. Berikut kutipan

wawancaranya

“Iya tante kayak merasa kenapa mesti harus punya anak kayak begini..” ( I-

10113 – I-10114)

Aspek yang terakhir adalah religiusitas, dimana sikap individu dalam

menenangkan dan menyelesaikan masalah secara keagamaan. Aspek ini sesuai

dengan pernyataan subjek dalam wawancara. Berikut kutipan wawancara

“Yahh, tante lebih terbuka aja pikiran tante, lebih bisa berpikir jernih dan

ya tante mulai bisa nahan emosi tante, kontrol diri tante.” (I-10212 – I-

10214)

“Agama mengajarkan tante untuk menghargai apa yang diberikan Tuhan

dan tante juga berusaha selalu menghargai anak tante sendiri yang

menderita autis.” (I-10217 – I-10219)

Coping strategy orangtua dapat dipengaruhi oleh faktor – faktor tertentu.

Adapun faktor – faktor yang mempengaruhi coping strategy orangtua yaitu tingkat

stres, kematangan beragama, dukungan sosial dan regulasi diri. Rumeser dan

Tambuwun (2011) dalam penelitiannya menunjukkan adanya hubungan positif

antara tingkat stres kerja dengan pemilihan strategi coping stress karyawan di Adira

14
Insurance dimana semakin tinggi tingkat stress, maka semakin tinggi coping

strategy seseorang, dan sebaliknya. Penelitian ini melibatkan 30 responden pria, 49

responden wanita, dan 5 responden yang tidak mengisi data diri, dengan rentang

usia antara 19 – 43 tahun, dan rata – rata usia 27,53 tahun.

Frianty dan Yudiani (2015) membuktikan bahwa salah satu faktor yang

dapat mempengaruhi coping strategy adalah kematangan beragama. Penelitian ini

dilakukan pada 50 santriwati yang mukim di Pondok Pesantren Tahfidz Putri Al –

Lathiffiyah Palembang. Hasilnya menunjukkan adanya hubungan antara

kematangan beragama dengan strategi coping pada santriwati. Artinya, semakin

tinggi kematangan beragama yang diperoleh santriwati maka akan semakin tinggi

strategi coping, dan sebaliknya.

Penelitian yang dilakukan Hasan dan Rufaidah (2013) membuktikan salah

satu faktor yang mempengaruhi coping strategy seseorang adalah dukungan sosial.

Penelitian ini melibatkan 30 orang penderita stroke di RSUD Dr. Moewardi

Surakarta, menunjukkan ada hubungan positif yang signifikan antara dukungan

sosial dengan strategi coping pada penderita stroke

Santoso (2015) yang menyatakan bahwa regulasi diri dapat mempengaruhi

coping strategy seseorang. Penelitian ini dilakukan pada 87 mahasiswa fakultas

Ilmu Pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta. Hasilnya menunjukkan bahwa

ada hubungan positif dan sangat signifikan antara regulasi diri dengan coping stress

berfokus masalah pada pengurus Ormawa FIP UNY. Hal tersebut berarti bahwa

15
semakin tinggi regulasi diri pada pengurus Ormawa FIP UNY akan semakin tinggi

pula coping stress berfokus masalahnya, dan sebaliknya.

Sesuai dengan contoh penelitian dan fenomena – fenomena yang terjadi

serta teori yang telah dipaparkan, maka peneliti dengan ini tertarik untuk meneliti

“Coping Strategy Orang Tua dalam Menghadapi Anak Autis”.

B. Perumusan Masalah

Penelitian ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan penelitian mengenai

fenomena yang dikaji oleh peneliti. Adapun pertanyaan yang ingin dijawab peneliti

adalah :

1. Bagaimana penyebab anak dapat menderita autis ?

2. Bagaimana dampak psikologis orangtua karena memiliki anak autis ?

3. Bagaimana coping skill orang tua dari anak autis ?

4. Bagaimana gambaran dari anak autis ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui secara mendalam bagaimana

coping strategy orangtua dalam menghadapi anak autis.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Sesuai dengan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka tujuan yang

ingin dicapai adalah untuk mengetahui orientasi strategi coping yang digunakan

oleh orang tua untuk menghadapi anak mereka yang mengalami gangguan autis,

16
bentuk perilaku coping yang digunakan, dan dampak perilaku coping tersebut bagi

orang tua.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat bagi :

1. Orang tua

Agar orang tua (ayah dan ibu), diharapkan mampu menerima kondisi anak

dan mampu melakukan coping ketika menghadapi permasalahan anak autis untuk

perkembangan yang lebih optimal pada anak.

2. Bagi sekolah

Agar setiap masing masing sekolah mau mempertimbangkan untuk bekerja

sama dalam menghadapi anak autis dan pastinya lebih sabar dan menghargai anak

autis di seluruh dunia.

17

Anda mungkin juga menyukai