PENDAHULUAN
Menurut Sudiharto (2007) keluarga adalah dua orang atau lebih yang
hidup spiritual dam materiil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan, memiliki
hubungan yang selaras, serasi dan seimbang antara anggota keluarga dan
Keluarga juga merupakan lembaga pertama dan utama bagi anak dalam
pembinaan untuk menjadi manusia dewasa dewasa yang sehat jasmani, rohani dan
sosial. Bagi setiap orang tua, pertumbuhan dan perkembangan anak adalah hal yang
paling penting. Setiap orang tua pasti menginginkan dan mengharapkan anak yang
dilahirkan nanti memiliki tumbuh kembang optimal sehingga menjadi anak yang
menyenangkan, terampil dan pintar yang nantinya menjadi penerus dalam keluarga
tersebut. Namun, tidak semua harapan orang tua memiliki anak yang sehat dan
normal dapat terwujud. Beberapa orang tua justru mendapat anak yang memiliki
Tumbuh kembang anak yang terkendala sendiri juga sering terjadi pada psikis
anak, munculnya penyakit kronis dan neurologis pada anak. Dimana salah satu
penyakit neurologis yang sering kita dengar adalah austis atau anak yang memiliki
kebutuhan khusus karena gangguan pada perkembangannya. Hal ini sesuai dengan
1
pernyataan pada Diagnostic And Statistical Manual Of Mental Disorders fifth
neurodevelopmental disorders.
Autisme berasal dari istilah dalam bahasa Yunani, “aut” berarti diri sendiri,
sedangkan “isme” berarti orientasi atau keadaan. Maka autisme dapat diartikan
sebagai kondisi seseorang yang secara tidak wajar terpusat pada dirinya sendiri;
“autisme” pertama kali diperkenalkan oleh Leo Kanner pada tahun 1943,
selanjutnya ia juga memakai istilah “Early Infantile Autism”, atau dalam bahasa
membedakan dari orang dewasa yang menunjukkan gejala autisme seperti ini.
Autis juga sering dikenal dengan nama Autism Spectrum Disorder. Autism
sosial, komunikasi, dan pola prilaku yang berulang serta gejala-gejala lain yang
berinteraksi dengan orang lain, ekolalia, adanya aktivitas bermain yang repetitif
ditunjukkan dengan penguasaan yang tertunda, rute ingatan yang kuat serta
2
yakni masalah perkembangan yang secara signifikan berdampak pada
Pada beberapa anak, ada faktor pencetus yang dapat menyebabkan autisme
seperti ditinggal oleh orang terdekat secara mendadak, punya adik, sakit berat
ikut berperan pada sebahagian kasus), adanya pengaruh kondisi fisik pada saat
dan rubella), faktor pasca natal yang juga ikut berperan (mencakup infantile spasm,
Gejala autisme timbul sebelum anak mencapai usia 3 tahun. Pada sebagian
anak gejalagangguan perkembangan ini sudah terlihat sejaklahir. Seoerang ibu yang
cermat dapat melihat beberapa keganjalan sebelum anaknya mencapai usia satu
tahun. Yang sangat menonjol adalah tidak adanya kontak mata dan kurangnya
minat untuk berinteraksi dengan orang lain. Berikut ini karakteristik gangguan autis
berdasarkan DSM - V yakni: yang pertama, kesulitan dalam interaksi sosial yang
terwujud dalam kriteria berikut : tidak mampu menjalin interaksi sosial non verbal
seperti kontak mata,ekspresi muka, posisi tubuh, kesulitan bermain dengan teman
sebaya, tidak ada empati dan simpati, kurang mampu mengadakan hubungan sosial
dan emosional dua arah. Yang kedua, kesulitan dalam komunikasi sosial seperti
3
terwujud dalam kriteria berikut: tidak bisa berkomunikasi secara non verbal, bisa
berbicara tapi tidak untuk komunikasi, bahasa aneh dan diulang-ulang stereotip,
cara bermain kurang variatif imajinatif, kurang imitasi sosial sesuai dengan tahap
cara yang sangat khas dan berlebihan, baik intensitas dan fokusnya seperti hanya
terpaku pada suatu kegiatan ritualistic atau rutnitas yang tidak berguna.
adanya dampak terhadap anak autis tersebut, yakni salah satunya bermasalah pada
teman. Minat mereka yang terbatas pada orang lain disekitarnya, sehingga membuat
mereka lebih senang menyendiri atau sangat pemilih dalam bergaul, mereka hanya
memiliki 1 – 2 teman yang dapat memberikan rasa aman kepada mereka dan pada
Dimana dampak terhadap anak autis bukan hanya pada keterampilan sosial
mereka. Masih banyak dampak – dampak lain pada anak autis. Seperti yang ada
Ini adalah foto pertama yang muncul dari keluarga Kologi setelah seorang
4
Serikat. Dikutip dari laman Mirror.co.uk, gambar di tengah adalah Scott Kologi
(16), seorang anak autis, yang didakwa dengan pembunuhan. Di sebelah kirinya
adalah ibunya Linda Kologi (42) dan ayah Steven Kologi (44) yang ditembak mati
Ada juga kakak laki-lakinya Steven Jnr yang dilaporkan berada di rumah pada
saat itu namun berhasil melarikan diri.Seorang wanita tua lainnya, teman keluarga
berusia 70 tahun Mary Schultz, yang diketahui tinggal di rumah keluarga, tewas
saudara laki-laki Scott Steven Jnr dan kakeknya tidak dijadikan sasaran dan selamat
"Kologis sangat peduli, mencintai orang, dan selalu mencari hal yang
tidak menghadiri sekolah umum reguler dan dirawat oleh ibunya. Mirror
dengan empat tuduhan pembunuhan serta satu dakwaan kepemilikan senjata untuk
tujuan yang tidak saha. Beberapa menit setelah mengucapkan selamat Tahun Baru,
5
kantor Kejaksaan Monmouth County, mengumumkan penyelidikan pembunuhan
Dan berikut contoh kasus ke 2 mengenai dampak pada anak yang menderita
autisme
yang membutuhkan perawatan khusus sejak bayi. Saat baru berusia satu tahun, buah
hatinya itu divonis mengalami autisme. Kenyataan itu harus diterima Lusi, setelah
menceritakan, kala itu, Gevin sangat lambat saat melakukan kontak mata dan
anaknya. Namun dia pulang ke rumah dengan murung karena sebagian hatinya
tidak bisa membayangkan seperti apa masa depan buah hatinya itu.
"Saya melihat banyak anak yang punya gangguan perkembangan lain, seperti
di atas kursi roda, menggunakan kaca mata setebal pantat botol. Saya bertanya-
tanya, inikah autis? Saya pulang dan menangis, tak terbayang Gevin nanti seperti
apa," kata Lusi bercerita saat peringatan Autism Awareness Month di Grand
bertemu dengan Ketua Yayasan Autisma Indonesia, Melly Budhiman. Sejak saat
6
itu, pengetahuan tentang penanganan anak autis pun didapatinya. Kini, Gevin telah
duduk di bangku kelas XI salah satu Sekolah Menengah Umum di Jakarta. Sebelas
tahun yang dilalui Gevin hingga kini bisa duduk di bangku SMU pun bukan
perjalanan yang dilalui dengan mudah. Keinginan Lusi untuk memberikan hak
anaknya mendapat pendidikan malah sering kali terjegal di institusi pendidikan itu
sendiri. Dia harus 'nomaden' dalam memasukkan Gevin dari satu sekolah baru ke
sekolah baru lainnya, demi pendidikan sang anak. Dia mengaku sulit menemukan
sekolah di Indonesia yang bersedia menerima murid autisme. Hal ini berbeda ketika
dia sempat tinggal di Jerman. Di Negara Panser itu, anak autis dapat lebih mudah
diterima.
"Banyak sekolah menolak karena begitu mereka menerima anak autis, maka
pembelajaran lebih kepada anak autis dibandingkan yang lainnya," kata Lusi saat
dilakukan karena setiap pekannya perlu waktu khusus untuk melatih anak autis
belajar mengorganisir tugas rumah mereka. Gevin sendiri kerap diberikan tempat
khusus saat ujian. Sebuah ruangan yang hanya berisikan dirinya dan pengawas
diberikan, lantaran konsentrasinya yang sangat mudah terganggu. Tak hanya itu,
penggunaan komputer juga diberikan kepada anaknya, karena tulisan tangan yang
sulit dibaca. Sayangnya, kesempatan yang diberikan oleh sekolah malah sering
menimbulkan kecemburuan dari orang tua murid yang lain. Lusi menilai, banyak
7
"Diskriminasi yang paling sering dirasakan itu di sekolah. Dari segi
pendidikan, sulit sekali anak autis diterima karena citra mereka sebagai trouble
maker," kata Lusi. Citra 'pembuat onar' ini muncul karena beberapa anak autis tak
"Pernah ada anak teman saya didemo oleh orang tua lain yang menghadap
pihak sekolah bilang, 'pilih dia (anak autis, red) atau anak kami'. Ada juga pernah
orang tua anak normal minta sebuah sekolah mengeluarkan anak autis tapi
pelecehan seperti pemukulan ataupun olok-olokan. Dia pun sering kali memberi
penanganan anak autis mengungkapkan, hingga kini masih ada kasus anak autisme
yang dibully oleh teman sekolahnya, ataupun kasus kekerasan yang dialami oleh
"Ada kasus anak autisme yang sudah sekolah hingga duduk di bangku SMK.
Namun tiba-tiba dibully oleh tiga temannya, dipukul, dijotos, bahkan sampai
gendang telinganya pecah. Saking traumanya anak autis itu, ia enggan sekolah
kembali. Padahal potensinya sangat bagus di masa depan. Saat ini memang
(www.cnnindonesia.com)
8
Dari kasus diatas dapat kita simpulkan bahwa dampak anak autis adalah
seringnya dibully teman – teman , dipukul dan lain sebagainya yang dapat memberi
dampak negatif terhadap mental dan fisik anak autis sendiri. Walaupun dari kasus
pertama tidak dikatakan bahwa anak sering mengalami bully, dipukul, dan lain
sebagainya namun, dapat kita ketahui dampak setelah dinyatakan bersalah karena
membunuh keluarga nya adalah pembullyan dari masyarakat sekitar juga atau akan
selalu dicap dan dipanggil sebagai pembunuh. Dimana banyaknya masalah pada
anak mereka membuat para orang tua selalu terganggu atau memiliki banyak beban
pikiran masing – masing. Banyaknya beban pikiran atau permasalahan yang terjadi
dalam kehidupan sehari-hari membuat orang tua menjadi kebingungan dan stres.
Sumber stres pada umumnya meliputi peristiwa yang sangat menekan secara terus-
akan finansial karena kepala rumah tangga sebagai pencari nafkah menjadi korban
bencana (Maryam, 2017). Untuk mengatasi stres yang dialami, setiap keluarga
disebut strategi “coping” (Östlund & Persson, 2014). Hal tersebut didukung oleh
perilaku positif yang digunakan keluarga untuk memecahkan suatu masalah atau
menurut Yani (1997) coping adalah perilaku yang terlihat dan tersembunyi yang
9
Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Rustiana, 2003) coping terdiri atas
strategi yang bersifat kognitif dan behavioral. Strategi tersebut adalah : Pertama,
(Problem Focused Coping). Problem Focused Coping adalah strategi dengan cara
menghadapi masalah dengan cara-cara yang bijaksana. Aspek ini sesuai dengan
wawancara.
“Jadi ya tante, jarang si gitu mau ninggalin mereka, dan hampir gak pernah
gitu, palingan kalau ada sesuatu yang sangat urgent, tapi gitupun tetap tante
pantau dari kamera cctv dirumah. Karena tante tahu, merawat dia bukan lah hal
Aspek perencanaan dapat kita cermati dari wawancara dengan subjek, berikut
kutipan wawancara
“Yahh, tante coba tenangin diri dulu dek, coba menerima keadaan yg ada.
Trus, setelah tante udah tenang, tante coba cari tahu, sebenarnya autis itu
10
apa, dan yaah tante mulai cari tahu juga gimana cara merawat anak autis,
karena kan merawat anak autis gak seperti merawat anak pada umumnya
ya. dan tante ada juga si beberapa kali coba konsultasi ke psikolog gitu.”
(I-10126 – I-10133)
saluran bersaing informasi, dalam rangka untuk lebih berkonsentrasi penuh pada
tantangan dan berusaha menghindari untuk hal yang membuat terganggu oleh
peristiwa lain bahkan membiarkan hal – hal lain terjadi, jika perlu untuk
“Anak tante itu kadang gabisa diduga, bisa tiba-tiba marah karena hal yang
menurut dia gak cocok. Dan ya, dia bakal nunjukkin perilakunya marah gitu,
kayak dia teriak-teriak gitu atau dia kek nangis gak diem, rada gak jelas si
sebenarnya yang dilakuin dek, makanya tante banyak belajar dek” (I-10160
– I-10166)
tepat untuk bertindak, menahan diri, dan tidak bertindak secara gegabah. Pada
dasarnya strategi ini tidak dianggap sebagai suatu strategi menghadapi masalah
yang potensial, tetapi terkadang responnya cukup bermanfaat dan diperlukan untuk
11
“Biasanya sih, tante langsung mencari waktu atau mencari tempat
kadang udah capek banget kan ya. kalau tante bener-bener gak tahan lagi,
tante coba tenangin diri dengan berdoa sama Tuhan.” (I-10206 – I-10210)
yaitu mencari nasehat, bantuan atau informasi. Berikut kutipan wawancara dengan
subjek
“Sebenarnya ada juga sih yang mencibir tante, jadinya tante kayak enggak
percaya diri.. tapi ada juga yang tetap support tante kayak teman dekat tante ini
macam yang sesuai dengan pernyataan subjek dari wawancara. Berikut kutipan
wawancara”
Dan yang kedua, strategi coping untuk mengatasi emosi negatif yang
individu yang ditimbulkan oleh stressor (sumber stres), tanpa berusaha untuk
mengubah suatu situasi yang menjadi sumber stres secara langsung. Dimana
emosional, yaitu mencari dukungan sosial melalui dukungan moral, simpati atau
pengertian. Dimana pernyataan subjek sesuai dengan aspek ini. Berikut kutipan
wawancara
12
“Yah om semangatin tante, bantu handle anak-anak juga. Om selalu ada di
samping tante. Itu sih yang buat tante bisa bertahan sampai sekarang.” (I-
10193 – I-10195)
Dalam menghilangkan stress, bukan hanya dari dukungan moral, simpati atau
dalam hal positif harus memimpin orang itu untuk melanjutkan secara aktif pada
“Cuman ya dibalik itu tante ambil positif nya aja dan ternyata masih banyak
orang yang peduli sama keluarga dan anak tante.” (I-10115- I-10117)
Aspek selanjutnya adalah penerimaan, sesuatu yang penuh dengan stress dan
penting karena kita harus bisa menerima kenyataan mengenai masalah yang terjadi
namun, tidak semua orang tua dapat langsung menerima apa yang sedang terjadi
“Seperti yang tante bilang ya tante enggak bisa menerima keadaan anak
tante yang seperti ini, makanya tante pikir buat jadiin ini sebagai rahasia
keluarga saja dan tante pun jadi agak tertutup sama orang lain.. cuman tante
enggak tahan aja menyimpan semua sendiri, jadi akhirnya tante coba cerita
13
Aspek yang selanjutnya adalah penolakkan, respon yang kadang – kadang
muncul dalam penilaian utama. Hal penolakkan ini sering dinyatakan bahwa
wawancaranya
“Iya tante kayak merasa kenapa mesti harus punya anak kayak begini..” ( I-
10113 – I-10114)
“Yahh, tante lebih terbuka aja pikiran tante, lebih bisa berpikir jernih dan
ya tante mulai bisa nahan emosi tante, kontrol diri tante.” (I-10212 – I-
10214)
dan tante juga berusaha selalu menghargai anak tante sendiri yang
Adapun faktor – faktor yang mempengaruhi coping strategy orangtua yaitu tingkat
stres, kematangan beragama, dukungan sosial dan regulasi diri. Rumeser dan
antara tingkat stres kerja dengan pemilihan strategi coping stress karyawan di Adira
14
Insurance dimana semakin tinggi tingkat stress, maka semakin tinggi coping
responden wanita, dan 5 responden yang tidak mengisi data diri, dengan rentang
Frianty dan Yudiani (2015) membuktikan bahwa salah satu faktor yang
tinggi kematangan beragama yang diperoleh santriwati maka akan semakin tinggi
satu faktor yang mempengaruhi coping strategy seseorang adalah dukungan sosial.
ada hubungan positif dan sangat signifikan antara regulasi diri dengan coping stress
berfokus masalah pada pengurus Ormawa FIP UNY. Hal tersebut berarti bahwa
15
semakin tinggi regulasi diri pada pengurus Ormawa FIP UNY akan semakin tinggi
serta teori yang telah dipaparkan, maka peneliti dengan ini tertarik untuk meneliti
B. Perumusan Masalah
fenomena yang dikaji oleh peneliti. Adapun pertanyaan yang ingin dijawab peneliti
adalah :
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Sesuai dengan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka tujuan yang
ingin dicapai adalah untuk mengetahui orientasi strategi coping yang digunakan
oleh orang tua untuk menghadapi anak mereka yang mengalami gangguan autis,
16
bentuk perilaku coping yang digunakan, dan dampak perilaku coping tersebut bagi
orang tua.
2. Manfaat Praktis
1. Orang tua
Agar orang tua (ayah dan ibu), diharapkan mampu menerima kondisi anak
dan mampu melakukan coping ketika menghadapi permasalahan anak autis untuk
2. Bagi sekolah
sama dalam menghadapi anak autis dan pastinya lebih sabar dan menghargai anak
17