Anda di halaman 1dari 8

STUDI KASUS :PLAGIARISME DALAM PENELITIAN

DISUSUN OLEH:

Yuli Mauliza NRP. 0231164000111

Dosen Pembimbing:
Dr. Suyanto, ST, MT.

DEPARTEMEN TEKNIK FISIKA


FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
2019
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Jumlah perguruan tinggi di Indonesia setiap tahun terus bertambah seiring dengan meningkatnya
kebutuhan akan sumber daya manusia yang berkualitas. Hal ini tentunya berdampak positif terhadap
kemajuan dunia pendidikan nasional, dimana semakin banyak sarjana dan kaum intelektual yang
dihasilkan oleh lembaga pendidikan tinggi di Indonesia. Salah satu dampak positifnya adalah semakin
banyak lapangan pekerjaan yang kini sudah diisi oleh lulusan perguruan tinggi dalam negeri, dimana
sebelumnya masih ditempati oleh tenaga kerja asing [1].
Pada perguruan tinggi mahasiswa dilatih untuk menghasilkan sebuah karya ilmiah untuk
mengembangkan sebuah ilmu pengetahuan yang diperoleh selama mengikuti proses belajar mengajar.
“karya ilmiah adalah suatu tulisan yang membahas suatu masalah, pembahasan itu dilakukan
berdasarkan penyelidikan, pengamatan, penumpulan data yang didapat dari sutau penelitian, baik
penelitian lapangan, tes laboratorium ataupun kajian pustaka. Maka dalam memaparkan dan
menganalisis datanya harus idasarkan pemikiran ilmiah”. Dari pengertian karya ilmiah tersebut dapat
disimpulkan bahwa karya ilmiah merupakan hasil penelitian ilmiah yang dilaporkan atau diterbitkan
dalam bentuk tertulis oleh seseorang atau beberapa orang yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya [2].
Dalam penulisan karya ilmiah sering terjadinya plagiarisme. Hal dapat saja terjadi karena
ketidaksengajaan ataupun disengaja. Oleh karena itu perlu diketahui apa pengertian plagiarisme dan
apa saja yang termasuk ke dalam plagiarisme dan potensi untuk terjadinya plagiarisme. Plagiarisme
tentunya adalah tindakan tercela dan termasuk perbuatan “mencuri” yang merugikan orang lain dan
mementingkan diri sendiri. Biasanya plagiarisme terjadi karena orang yang melakukan penelitiannya
adalah orang yang tidak cerdas, tidak kreatif, dan malas belajar serta menggampangkan sesuatu dalam
melaksanakan penelitian [3].

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
a. Apa yang dimaksud dengan plagiarisme?
b. Apa faktor yang menyebabkan terjadinya plagiarisme?
c. Bagaimana menghindari plagiarisme?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Plagiarisme
Menurut Peraturan Menteri Pendidikan RI Nomor 17 Tahun 2010 dikatakan bahwa plagiat adalah
perbuatan sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai
untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh karya dan atau karya ilmiah pihak
lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya, tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai.
Sementara itu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) Plagiat adalah pengambilan karangan
(pendapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat) sendiri.
Menurut Oxford American Dictionary dalam Clabaugh (2001) plagiarisme adalah “to take and use
another person’s ideas or writing or inventions as one’s own” atau mengambil dan menggunakan
gagasan, tulisan atau penemuan orang lain sebagai miliknya sendiri [1].
Pada umumnya, perguruan tinggi, lembaga riset and lembaga akademik lainnya di negara maju
mempunyai kebijakan yang detil tentang pencegahan dan penanganan plagiarism. Dalam kebijakan
tersebut pada umumnya diuraikan pula batasan dan definisi plagiarism. Dalam banyak definisi
tentang plagiarism, isu sentralnya adalah pada penggunaan karya orang/pihak lain secara tidak etis
(unethical) karena tidak memberikan atribusi dan kredit kepada orang/pihak yang mempunyai karya
tersebut. Selain masalah etika, isu sentral plagiarism adalah masalah academic dishonesty (ketidak-
jujuran akademik).
Beberapa definisi plagiarism, selain menyentuh aspek etika, kejujuran dan integritas, juga
mengurai secara lebih detil tentang item-item yang potensial diplagiasi. WAME, misalnya,
melengkapi definisinya dengan menekankan bahwa plagiasi itu dapat dilakukan dengan mengambil
gagasan atau kata-kata dari abstrak, proposal penelitian, baik yang dipublikasikan maupun tidak, baik
yang tercetak maupun elektronik.7 Definisi lain bahwa elemen-elemen dalam suatu karya ilmiah,
seperti teks, dataset, tabel, gambar, research instrument, dan lain-lain, juga dapat menjadi sasaran
plagiasi [4].
2.2 Kasus-kasus plagiarisme di Indonesia
Pelanggaran kode etik ilmu pengetahuan di Indonesia sudah mengkhawatirkan karena tidak hanya
dilakukan mahasiswa atau peneliti pemula saja, melainkan juga peneliti setingkat doktor. Kasus
pelanggaran kode etik yang paling sering terjadi adalah penjiplakan karya orang lain atau plagiarisme
[1].
Salah satu contoh kasus yang cukup menonjol adalah kasus dosen Universitas Indonesia (UI)
yang terbukti menjiplak skripsi mahasiswa S1-nya untuk dijadikan tulisan di sebuah jurnal ilmu
pengetahuan. Hal ini memang sarana mencari kredit untuk kenaikan pangkat. Universitas Indonesia
telah menindak ketiga orang pengajar tetapnya karena kasus plagiat tersebut [1].
Sementara itu pada 25 Maret 2000, Universitas Gadjah Mada (UGM) mencabut gelar doctor
Ipong S Azhar. Disertasinya yang diterbitkan menjadi buku berjudul "Radikalisme Petani Masa Order
Baru: Kasus Sengketa Tanah Jenggawah" pada pertengahan 1999 ternyata menjiplak karya peneliti
LIPI bernama Mochammad Nurhasim. Selanjutnya pada 8 Februari 2010, Prof Anak Agung Banyu
Perwita, dosen Jurusan Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan mengundurkan diri
dari jabatannya sebagai dosen akibat skandal plagiarisme. Artikelnya di sebuah surat kabar harian
Jakarta post (16/11/2009) berjudul "RI as a New Middle Power?" menjiplak karya tulis ilmiah milik
Carl Ungerer, "The Middle Power Concept in Australian Foregin Policy" di Australian Journal of
Politics and Histroy : Volume 53 Number 4, pada 2007. Masih pada tahun 2010, tepatnya pada 15
April 2010, reputasi Institut Teknologi Bandung (ITB) tercoreng setelah alumninya, Dr. M.
Zuliansyah, melakukan plagiarisme. Makalahnya berjudul "3D Topological Relations for 3D Spatial
Analysis" terbukti menjiplak makalah berjudul "On 3D Topological Relationship" karya Siyka
Zlatanova yang diterbitkan di jurnal IEEE. Kemudian pada tahun 2011, tepatnya pada 24 Agustus
2011 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyatakan Guru Besar Universitas
Riau (UNRI) Prof Dr. Isjoni Ishaq Msi terbukti melakukan plagiarisme dalam membuat buku judul
"Sejarah Maritim". Buku dimaksud merupakan jiplakan dari Buku Budaya Bahari Karya Mayor
Jenderal (Marinir) Joko Pramono pada 2005. Pada tahun 2012, pada 17 April 2012, Universitas
Lampung (Unila) memastikan telah memecat calon guru besar FKIP berinisial BS yang diduga
melakukan plagiat karya ilmiah keputusan itu diambil setelah tim verifikasi berhasil membuktikan
pelanggaran kode etik dosen tersebut [5].
Kasus-kasus di atas merupakan kasus yang terekspos ke media massa, yang mencerminkan bahwa
plagiarisme bisa dilakukan oleh siapa saja dalam kalangan akademik dan masyarakat seperti tokoh
masyarakat, mahasiswa maupun pendidik. Akibat dari tindakan plagiarisme sangat berat, baik secara
moral maupun akademis. Plagiarisme memberikan banyak kerugian, bukan saja bagi si penulis
yang karyanya dijiplak, tetapi juga menyebabkan kurangnya kreativitas dan menyebabkan
terbentuknya mental yang buruk bagi mereka yang melakukannya. Plagiarisme menyebabkan
rendahnya kreativitas pada pelakunya dan menunjukkan kemalasan pelakunya dalam mencari
ide-ide baru dalam penulisan karya ilmiahnya.

2.3 Aspek Hukum Plagiarisme di Indonesia

Ketertinggalan Indonesia dalam publikasi karya-karya ilmiah/akademik dari negara lain adalah
karena pemerintah masih berkutat pada aspek kuantitas/jumlah atas hasil karya yang dipublikasikan,
terutama pada tingkat internasional. Pendekatan dalam mencegah tindakan plagiasi dalam
keterdesakan waktu menjadi masalah krusial dalam produksi karya-karya ilmiah dosen. Perbuatan
tercela yang dinilai melanggar etika keilmuan tersebut mengancam keberlangsungan dan eksistensi
para ilmuwan yang secara otomatis berdampak pula pada ancaman kemandegan pengembangan ilmu
yang selama ini ditekuni oleh ilmuwan yang bersangkutan.
Sebagai bentuk perlindungan hukum, pemerintah dalam hal ini DIKTI telah mengeluarkan
berbagai kebijakan yang bersifat antisipatf. Secara khusus, pemerintah juga telah menerbitkan
Peraturam Menteri Pendidikan Nasional Nomor 17 Tahun 2010 tentang pencegahan dan
penanggulangan plagiasi di Perguruan Tinggi. Meskipun demikian masih terdapat silang pendapat
terkait bentuk sanksi yang sesuai tanpa mengancam potensi penulisan bidang karya akademik.
Maraknya sanksi pemecatan terhadap plagiator berpotensi menjadi bumerang bagi perguruan tinggi
khususnya dan pemerintah secara umum mengingat masih rendahnya minat, etos, motivasi dosen
dalam melakukan dharma penelitian dengan beragam alasan. Dorongan idealisme untuk menjunjung
tinggi etika ilmuwan, ambisi untuk mengejar ketertinggalan tingkat publikasi karya ilmiah pada
tingkat Internasional tanpa diiringi dengan upaya untuk memupuk etos meneliti secara memadai serta
ancaman pemecatan pelaku plagiasi secara empirik semakin melemahkan etos dan minat dosen untuk
meneliti.
Di Indonesia, terdapat norma dalam peraturan perundang-undangan terkait pencegahan dan
penanggulangan plagiasi mulai dari landasan konstitusional (UUD 1945) sampai dengan peraturan
perundang-undangan yang paling khusus. Alinea ke-4 pembukaan UUD 1945 tercantum
mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai dasar pembentukan Pemerintahan Negara Indonesia.
Hasil analisis atas inventarisasi perundang-undangan terkait plagiarisme menunjukkan 2 (dua) hal
kontens pengaturannya yang meliputi proses pengembangan ilmu pengetahuan sivitas akademika dan
pengenaaan sanksi atas cara/proses pengembangan tersebut.Proses pengembangan ilmu pengetahuan
diwujudkan dalam bentuk pengaturan norma kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan
otonomi keilmuan. Konten pengaturan yang lain adalah menyangkut pengenaan sanksi atas proses
pengembangan ilmu pengetahuan oleh sivitas akademika yang dilakukan dengan cara menjiplak karya
orang lain.
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan
Pemerintah Nomor 37 tahun 2009 tentang Dosen serta Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2010
tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Perguruan Tinggi mengatur tentang kebebasan akademik,
kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan sebagai dasar pelaksanaan kegiatan akademik
dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan. Terkait dengan pengaturan/ pembatasan otonomi
keilmuan, ketiga nomra tersebut mengatur secara berbeda-beda. Undang-undang Nomor 20 tahun
2003, membatasi otonomi keilmuan sebagai kebebasan dan kemandirian perguruan tinggi dalam
mengelola kegiatan Tri Dharma (pendidikan, pengabdian kepada masyarakat dan penelitian), PP
Nomor 37 tahun 2009 membatasi otonomi keilmuan sebagai kebebasan dan kemandirian sivitas
akademika dalam pengembangan keilmuan sedangkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2010
membatasi otonomi keilmuan sebagai kebebasan dan kemandirian suatu cabang keilmuan yang khas
dan unik. Norma yang pertama menekankan kebebasan dan kemandirian pada aspek
kelembagaan/institusi, norma yang kedua menekankan pada aspek pelaku secara perorangan (sivitas
akademika) dan norma yang ketiga menekankan pada asepk bidang ilmu itu sendiri. Berdasakran
analisis tersebut berarti terjadi inkonsistensi pembatasan otonomi keilmua diantara masing-masing
norma. Meski 2 (dua) norma yang terakhir merupakan lex operandum (peraturan pelaksanaan), kedua
norma tersebut seharusnya tetap megacu pada norma yang pertama yang memiliki kedudukan lebih
tinggi sesuai dengan teori stuffen bau. Meskipun Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2010 juga
memuat kewajiban pimpinan perguruan tinggi agar mengupayakan dan menjamin agar setiap anggota
civitas akademika melaksanakan otonomi keilmuan secara bertanggung jawab sesuai peraturan
perundang-undangan maupun etika dan norma/kaedah keilmuan. Undang-Undang Nomor 20 tahun
2003 dan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2014 tentang Pendidikan Tinggi secara eksplisit mengatur
tentang sanksi pencabutan gelar apabila karya ilmiah sebagai syarat meraih gelar tersebut ternyata
terbukti hasil plagiat. Undang-undang 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen secara umum mengatur
tentang pemberian sanksi terhadap dosen yang diangkat oleh pemerintah apabila melakukan
pelanggaran kewajiban profesionalismenya meskipun tidak secara tegas mengatur tentang tindak
plagiasi. Undang-undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta menyatakan bahwa dengan tetap
mencamtumkan nama penciptanya penggunaan hasil karya cipta untuk kepentingan pendidikan tidak
termasuk pelanggaran Hak Cipta.
Berkaitan dengan pengembangan keilmuan, Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor
17 tahun 2010 juga mengaturnya, akan hal tersebut direduksi menejadi kebebasan akademik dan
otonomi keilmuan tanpa menyertakan kebebasan mimbar akademik. Padahal terdeteksinya tindakan
plagiasi baru bisa terungkap saat terjadi pemimbaran pendapat, gagasan, ungkapan akademik. Dengan
demikian, Permendiknas tersebut secara nyata telah menyimpang dari norma yang ada diatasnya.
Sebaliknya, Permendiknas ini memperluas sasaran pemberlakuan norma pencegahan dan
penanggulangan plagiarisme yang menambahkan unsur tenaga kependidikan. Padahal semua
peraturan perundang-undangan diluar Permen tersebut hanya berlaku untuk sivitas akademika yang
terdiri atas dosen dan mahasiswa. Perluasan ini mengakibatkan terjadinya ketidakpastian hukum.
Mengacu pada teori Stufenbau (Syaharani, 2009), sistem hukum haketnya merupakan sistem hieraskis
yang terususun dari peringkat tertendah hingga peringkat yang tertinggi. Hukum yang lebih rendah
harus berdasar, bersumber dan tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tiinggi, maka
hukum yang,lebih rendah itu menjadi batal atau hilang daya berlakunya. Sebaliknya hukum yang
lebih tinggi (Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003) merupakan dasar dan sumber dari hukum yang
lebih rendah (PERMENDIKNAS Nomor 17 Tahun 2010). Semakin tinggi kedudukan hukum dalam
peringkatnya semakin abstrak dan umum sifat norma yang dikandungnya dan semakin rendah
peringkatnya semakin nyata dan operasional sifat norma yang dikandungnya. Khusus berkaitan
dengan norma pencegahan dan penanggulangan plagiasi, maka Permen Nomor 17 tahun 2010 adalah
norma yang paling operasional [1].

2.4 Faktor-faktor Penyebab Plagiarisme


Plagiat biasanya disebabkan oleh faktor-faktor berikut [6]:
a. Faktor Budaya
b. Kurang memiliki pengetahuan tentang penulisan karya ilmiah serta masalah plagiarisme
c. Ingin mencari jalan pintas dalam mencapai prestasi
d. Tekanan waktu yang sempit dalam menyelesaikan tugas
e. Malas
f. Fasiltasi dunia maya
g. Belum adanya sanksi yang memadai bagi plagiator
h. Proses hukum kasus plagiasi terlalu panjang dan melelahkan sehingga menyebabkan apatisme
i. Plagiasi dianggap lumrah oleh sebagian kalangan

2.5 Pencegahan terhadap Plagiarisme


Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 17 Tahun 2010 tentang pencegahan dan
penangulangan plagiat di perguruan tinggi mengamanahkan poin penting yang dapat dijadikan
rujukan dalam pengembangan kebijakan pencegahan plagiarism. Salah satu poin penting itu adalah
berupa publikasi karya ilmiah secara terbuka (open access) sehingga dapat diakses secara mudah
melalui infrastruktur yang telah ditentukan. Karya ilmiah yang dikelola dan disimpan secara tertutup
akan membuat nyaman pihak-pihak yang memplagiasinya karena akan sulit terekspos ke publik.
Selain mewajibkan open access, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional ini juga menggariskan
beberapa sanksi yang dianggap sebagai langkah pencegahan plagiarisme [4].
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

a. Plagiarisme adalah mengambil atau mengutip karya orang lain tanpa menyebutkan sumbernya
dan menganggapnya sebagai milik sendiri.

b. Plagiarisme dalam penelitian disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya Kurang memiliki
pengetahuan tentang penulisan karya ilmiah serta masalah plagiarisme , kurangnya akses
sumber perpustakaan, serta belum adanya sanksi yang memadai terhadap plagiasi.

c. Untuk menghindari tindak plagiarisme, seorang penulis harus memiliki ide penelitian sebagai
hal pokok yang tidak dimiliki oleh penulis lain. Ide penelitian bisa berangkat dari
permasalahan penelitian, dengan cara mengamati secara kritis, analitis, dan skeptis.
DAFTAR PUSTAKA

[1] M. S. F. Dra. Sukaesih, “Permasalahan Plagiarisme Dalam Penelitian Kualitatif di Indonesia,”


J. Polit. Indones., vol. 3, no. 1, pp. 210–218.
[2] D. W. Pramita Lidya Yanuarista, Hari Wahyono, “Analisis Plagiarisme dalam Penulisan
Skripsi Mahasiswa Program Studi S1 Pendidikan Ekonomi Pembangunan Tahun 2010 -2014
Universitas Negeri Malang,” vol. 8, pp. 1–14, 2015.
[3] H. Wijaya, “Plagiarisme dalam penelitian,” no. January 2016, 2017.
[4] F. Harliansyah, “Plagiarism dalam Karya atau Publikasi Ilmiah dan Langkah Strategis
Pencegahannya Faizuddin Harliansyah,” vol. 9, no. 1, 2017.
[5] H. Magdalena and H. Santoso, “Studi Faktor Penilaian Plagiat Menggunakan Analytical
Hierarchy Process : Sebuah Studi Kasus Kualitatif,” no. January, 2017.
[6] H. Soetanto, “Memahami plagiarisme akademik.”

Anda mungkin juga menyukai