Anda di halaman 1dari 73

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Makanan yang memiliki warna yang mencolok ataupun warna yang beraneka

ragam tentunya akan menarik perhatian para konsumen. Namun, warna yang

mencolok tersebut tidak menjamin keamanan pangan tersebut.

Warna-warna yang ada pada makanan yang selama ini kita konsumsi dapat

berasal dari bahan alami maupun bahan buatan manusia. Seringkali ketika seorang

produsen kesulitan untuk menggunakan bahan alami sebagai pewarna makanan, maka

produsen makanan tersebut akan memilih menggunakan pewarna buatan. Alasan lain

produsen makanan menggunakan bahan pewarna buatan dalam produk makanannya

adalah karena lebih mudah, lebih praktis, memiliki lebih banyak pilihan warna, warna

yang lebih mencolok, atau mungkin relatif lebih murah (Kulkarni dkk, 2014).

Sebenarnya penggunaan pewarna buatan pada makanan tidak dilarang. Namun,

peraturan pemerintah telah jelas menyebutkan bahwa penggunaan pewarna sintetik

yang dilarang tidak boleh digunakan dalam makanan. Beberapa contoh peraturan

pemerintah yang mengatur penggunaan zat tambahan pada makanan adalah Peraturan

Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang keamanan, mutu dan gizi pangan,

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor : 722/Menkes/Per/X/88 tentang bahan

tambahan makanan, Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan

Departemen Kesehatan Republik Indonesia Nomor :00386/C/Sk/II/90 tentang

1
perubahan lampiran peraturan menteri kesehatan nomor : 239/Menkes/Per/V/85

tentang zat warna tertentu yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya, dan Peraturan

Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor : 24/M-Ind/Per/5/2006 tentang

pengawasan produksi dan penggunaan bahan berbahaya untuk industri.

Tidak dapat kita pungkiri bahwa saat ini masih banyak produsen makanan yang

menggunakan pewarna sintetik yang telah dilarang untuk mewarnai makanan yang

mereka produksi. Beberapa hal yang dapat menyebabkan penyalahgunaan zat warna

sintetik pada makanan ini beberapa di antaranya adalah oleh karena harga zat warna

sintetik yang lebih murah dan juga mungkin karena kurangnya pengetahuan

masyarakat akan zat warna sintetik ini (Cahyadi, 2008). Beberapa contoh zat pewarna

makanan terlarang yang seringkali tetap digunakan oleh para produsen nakal adalah

Rhodamin B dan Methanil Yellow.

Rhodamin B kerapkali disalahgunakan untuk menggantikan warna merah pada

makanan, sementara Methanil Yellow disalahgunakan untuk menggantikan warna

kuning pada makanan. Kedua zat warna ini dapat memberikan warna mencolok pada

makanan namun penggunaannya telah jelas dilarang dalam makanan.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah melakukan pengawasan dan

pengujian terhadap berbagai tempat di Indonesia. Dari hasil operasi pasar yang

dilakukan BPOM pada bulan Juli 2013, ditemukan 297 sampel makanan positif

mengadung bahan berbahaya (formalin, boraks, Rhodamin B, Methanill Yellow, dan

siklamat yang melebihi batas) dari 1156 sampel makanan yang diteliti (Warta POM,

2013). Sebanyak 15 dari 85 sampel makanan berbuka puasa yang diuji oleh BPOM di

2
bulan puasa menunjukkan hasil positif mengandung bahan berbahaya (Warta POM,

2013).

Pada Bulan Juli-Agustus tahun 2013, BPOM Kota Mataram juga telah melakukan

operasi pasar dengan targetnya adalah Pasar Mandalika, Pasar Kebon Roek, Pasar

Kediri, dan Pasar Gunung Sari. Hasil yang didapatkan adalah ditemukannya 25

sampel tidak layak jual dari 85 sampel yang diteliti. Sampel tersebut dikatakan tidak

layak jual oleh karena tidak memiliki izin edar, telah kadaluwarsa, ataupun

mengandung Rhodamin B dan boraks (Warta POM, 2013).

Secara garis besar, bahan pangan yang seringkali menjadi sasaran

penyalahgunaan Rhodamin adalah kerupuk, terasi, beberapa jenis makanan ringan,

kembang gula, sirup, manisan, dawet, bubur, ikan asap dan cendol (Astuti dkk, 2010).

Terasi rentan menjadi sasaran penyalahgunaan Rhodamin B oleh karena pada

pembuatan terasi juga membutuhkan penambahan zat warna makanan (Suprapti,

2002).

Masyarakat Lombok merupakan masyarakat yang cukup sering menggunakan

terasi dalam kehidupan sehari-harinya. Penggunaan terasi yang cukup sering terutama

pada pembuatan sambal terasi yang merupakan jenis sambal yang cukup disukai di

Lombok.

Warna yang biasanya ditambahkan pada terasi adalah warna cokelat ataupun

merah pada terasi udang, dan warna kehitaman pada terasi ikan (Suprapti, 2002).

Telah banyak penelitian yang membuktikan bahwa terasi sering menjadi sasaran

penyalahgunaan Rhodamin B. salah satu penelitian membuktikan bahwa sekitar 70%

3
sampel terasi yang mereka teliti ternyata positif mengandung Rhodamin B (Astuti

dkk, 2010).

Beberapa data di atas menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat (terutama

produsen makanan) akan bahan berbahaya masih cukup rendah. Seharusnya bahan-

bahan berbahaya tersebut tidak perlu ditemukan lagi pada makanan yang beredar di

pasar. Konsumen-konsumen juga dituntut untuk waspada terhadap bahan-bahan

berbahaya ini.

Efek yang ditimbulkan dari bahan berbahaya ini bukan merupakan efek secara

langsung, melainkan merupakan efek jangka panjang yang akan terus memburuk

terutama bila konsumsi terus dilakukan. Konsumen yang tidak jeli dalam memilih

makanan, terutama bagi para konsumen yang hanya menilai makanan dari

penampilannya tanpa mengamati makanan tersebut tentunya akan menjadi sasaran

empuk bagi para pedagang nakal ini. jika konsumsi terus dilakukan, tentunya dampak

bagi tubuh akan sangat buruk.

Untuk mencegah beredarnya makanan yang mengandung zat warna terlarang di

pasaran, maka pihak produsen sebenarnya merupakan sasaran yang paling tepat untuk

dikerjakan. Edukasi merupakan hal yang sangat penting demi menjaga keamanan

pangan di Indonesia ini. sebelum dapat melakukan edukasi, maka kita harus

mengetahui sasaran edukasi terlebih dahulu.

Penelitian ini akan mencari tempat-tempat yang memiliki presentasi penggunaan

pewarna makanan terlarang yang cukup besar agar nantinya tempat-tempat tersebut

dapat diprioritaskan untuk diedukasi demi tercapainya keamanan pangan di pasaran.

4
Jenis sampel yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah terasi, sementara jenis

pewarna yang akan diteliti pada terasi tersebut adalah Rhodamin B.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, memberikan dasar bagi

peneliti untuk merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

“Berapa banyakkah persentase penggunaan Rhodamin B pada terasi yang beredar

di pasar tradisional se-Kota Mataram?”

1.3 Tujuan penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui presentase penggunaan Rhodamin B

pada terasi yang beredar di pasar-pasar tradisional yang terletak di Kota Mataram.

1.3.2 Tujuan Khusus

Memberikan informasi pada masyarakat mengenai bahaya penggunaan Rhodamin

B pada terasi.

1.4 Manfaat penelitian

1.4.1 Manfaat bagi peneliti

1. Sebagai salah satu acuan untuk sasaran edukasi pada pedagang yang

menggunakan Rhodamin B pada makanan.

1.4.2 Manfaat Bagi Masyarakat

1. Sebagai acuan untuk meningkatkan kewaspadaan di dalam memilih

makanan, terutama terasi yang beredar di masyarakat.

5
2. Memfasilitasi masyarakat untuk mengetahui ciri terasi yang mengandung

Rhodamin B.

1.4.3 Manfaat bagi Pemerintah

1. Sebagai salah satu sumber bagi Pemerintah Kota Mataram untuk

mengetahui tingkat keamanan pangan yang beredar di masyarakat.

2. Dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan bagi Pemerintah Kota

Mataram untuk menentukan kebijakan-kebijakan tertentu yang terkait

dengan keamanan pangan di Kota Mataram.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pasar

Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 70/M-DAG/PER/12/2013 tentang

pedoman penataan dan pembinaan pasar tradisional, pusat perbelanjaan, dan toko

modern menjelaskan bahwa pasar adalah area tempat jual beli barang dengan jumlah

penjual lebih dari satu baik yang disebut sebagai pusat perbelanjaan, pasar tradisionl,

pertokoan, mall, plasa, pusat perdagangan maupun sebutan lainnya (Permendag RI,

2013).

Definisi pasar tradisional menurut Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor

70/M-DAG/PER/12/2013 tentang pedoman penataan dan pembinaan pasar

tradisional, pusat perbelanjaan, dan toko modern adalah pasar yang dibangun dan

dikelola oleh Pemerintah Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik Negara dan Badan

Usaha Milik Daerah termasuk kerjasama dengan swasta berupa tempat usaha yang

berbentuk toko, kios, los, dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil,

menengah, koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil dan melalui proses jual

beli barang dagangan dengan tawar – menawar (Permendag RI, 2013).

Jumlah pasar tradisional dalam suatu daerah, ditentukan oleh pemerintah daerah

setempat. Dengan begitu, maka suatu pasar tradisional tidak dapat begitu saja dibuat

tanpa perijinan dari pemerintah setempat. Di dalam menentukan jumlah pasar

tradisional dalam suatu tempat, pemerintah daerah harus mempertimbangkan tingkat

7
kepadatan dan pertumbuhan penduduk, potensi ekonomi daerah setempat, arus lalu

lintas, keamanan dan kesediaan infrastruktur, pola kehidupan masyarakat setempat,

perkembangan pemukiman baru, dan jam kerja toko modern yang sinergi sehingga

tidak menggeser aktivitas dan perkenomian dari pasar tradisional yang berada di

dekatnya (permendag, 2013).

Demi menjaga kelancaran lalu lintas, maka sebaiknya sebuah pasar tradisional

harus memiliki area parkir yang cukup luas (perda no 5 tahun 2013). Tidak hanya itu,

kebersihan pasar tradisional juga harus diperhatikan demi menjaga kenyamanan

pembeli.

2.2 Terasi

Terasi merupakan hasil pengawetan dari rebon yang sebelumnya telah melalui

proses pengolahan berupa fermentasi, penggilingan atau penumbukan, dan

penjemuran yang memerlukan waktu sekitar 20 hari untuk keseluruhan prosesnya.

Bahan baku yang biasanya digunakan berupa ikan kecil atau udang kecil. Ikan

ataupun udang kecil yang biasa digunakan inilah yang disebut rebon (Suprapti, 2002).

Rebon ini memiliki cangkang yang lunak yang mempermudah pembuatan terasi.

Teraasi yang beredar di pasaran dapat berupa terasi udang ataupun terasi ikan

(Suprapti, 2002).

2.2.1 Kandungan Gizi dalam Terasi

Ikan ataupun udang yang terkandung dalam terasi tentunya yang membuat terasi

memiliki kandungan gizi yang tidak sedikit. Pada terasi udang, dapat ditemukan

8
kadar Yodium yang cukup tinggi yang dapat membantu dalam mencegah penyakit

gondok. Selain itu, terdapat juga kandungan vitamin A dan D. Ikan yang ada pada

terasi juga membuat terasi memiliki nilai gizi seperti misalnya protein hewani. Selain

protein, ikan juga memiliki kandungan mineral seperti misalnya Kalium, Klorida,

Fosfat, Sulfur, Natrium, Magnesium, Kalsium, Besi, Mangan, Zink, dll (Suprapti,

2002).

Terasi dapat digunakan sebagai bumbu pada masakan, sebagai pemantap cita

rasa makanan, dan sebagai pengganti ikan atau udang pada pembuatan produk

kerupuk udang atau ikan (Suprapti, 2002).

2.2.2 Cara Pembuatan Terasi

Proses pembuatan terasi memerlukan beberapa alat-alat berupa timbangan, alat

penghancur, tempat fermentasi, perangkat penjemuran, lumpang alu, bak plastik, kalo

atau rege (alat penyaring yang terbuat dari anyaman bambu), plastic sealer, dan kain

saring. Sementara itu, bahan yang diperlukan untuk membuat terasi adalah bahan

baku (dapat berupa udang atau ikan), garam, pewarna, kain saring atau daun pisang,

dan bahan pengemas (Suprapti, 2002). Cara pembuatan terasi dapat melalui cara

tradisional ataupun cara modern. Berikut adalah bagan pembuatan terasi secara

tradisional.

9
1. penyiapan bahan baku (rebon)
2. pembersihan rebon
3. pencucian rebon
4. pengukusan rebon
5. penjemuran rebon hingga setengah kering
6. penumbukan rebon sambil menambahkan garam
7. pemeraman atau fermentasi selama 24 jam
8. penjemuran rebon untuk yang kedua kali
9. rebon ditumbuk kembali
10. pemeraman kembali selama 24 jam
11. rebon dijemur kembali
12. rebon ditumbuk kembali
13. pemeraman kembali selama 4-7 hari hingga mengeluarkan bau
khas terasi
14. pencetakan, pemotongan dan pengemasan terasi
15.
(Suprapti, 2002)
Gambar 2.1. langkah pembuatan terasi secara tradisional

Kekurangan pembuatan terasi secara tradisional ini adalah adanya resiko

terjadinya pembusukan jika bahan baku tidak dapat dikeringkan secara sempurna

dalam waktu 1 hari oleh karena sebelumnya bahan baku yang telah dicuci langsun

dijemur tanpa adanya penambahan garam. Selain itu, penumbukan bahan baku yang

dilakukan dalam kondisi setengah kering akan membuat bahan baku tersebut sulit

dihancurkan.

10
Cara kedua yang dapat digunakan adalah cara modern. Berikut adalah bagan

pembuatan terasi secara modern.

1. Penyiapan rebon
2. Pembersihan rebon
3. Pencucian rebon
4. Penggilingan rebon sambil menambahkan garam
5. Pemanasan dengan mendidih selama 5 menit
6. Pemeraman atau fermentasi selama kurang lebih 7 hari
7. Penjemuran hingga setengah kering
8. Penumbukan hingga liat
9. Penjemuran kembali hingga ¾ kering
10. Penumbukan dengan cara diuleni dan dibanting-banting
11. Pemeraman kembali selama kurang lebih 7 hari hingga
timbul bau khas terasi
12. Pemotongan dan pengemasan terasi

(Suprapti, 2002)
Gambar 2.2 Langkah pembuatan terasi secara modern

Cara modern ini memiliki keunggulan dibandingkan dengan cara tradisional.

Dalam cara modern ini penjemuran dilakukan setelah bahan baku ditambah garam,

sehingga jika bahan baku tidak kering dalam satu hari, maka kemungkinan untuk

terjadinya pembusukan menjadi jauh lebih kecil. Hal ini disebabkan karena

penambahan garam selain berfungsi untuk menambah cita rasa juga berfungsi sebagai

11
pengawet. Selain itu, garam juga berfungsi untuk membuat proses penghancuran

menjadi lebih mudah (Suprapti, 2002).

2.3 Zat Warna Makanan

Zat warna adalah bahan yang digunakan untuk memberi warna dan atau

memperbaiki warna bahan atau barang (permenkes no. 239/Men.Kes/Per/V/85).

Terdapat dua jenis zat warna yang dapat digunakan pada makanan, yaitu zat warna

alami dan zat warna sintetis (Cahyadi, 2008).

2.3.1 Zat Warna Alami

Zat warna alami biasanya berasal dari tumbuh-tumbuhan. Tanpa kita sadari,

sayur-sayuran yang sering kita konsumsi sehari-hari pun memiliki zat warna alami

yang sebenarnya dapat kita manfaatkan untuk mewarnai makanan lain, misalnya

adalah untuk mewarnai kue, mie, dan sebagainya.

Zat warna alami tentunya lebih aman untuk kesehatan dibandingkan dengan zat

warna sintetis. Beberapa contoh zat warna alami yang cukup sering digunakan untuk

pembuatan makanan adalah klorofil (zat hijau daun), karoten (warna oranye, dapat

ditemui pada makanan bewarna oranye seperti wortel), dan antosianin. Contoh zat

warna alami lain yang mungkin kurang dikenal adalah annatto, saffron, paprika, kulit

anggur, zinc oxide, caramel, beetroot, cochineal, dan turmeric (Kulkarni dkk, 2014).

12
2.3.2 Zat Warna Sintetis

Zat warna sintetis merupakan zat warna yang bukan berasal dari tumbuh-

tumbuhan ataupun hewan, melainkan hasil produksi kimia dari manusia. Saat ini,

sudah sangat banyak produsen makanan yang beralih ke pewarna sintetis oleh karena

lebih banyak tersedia di pasaran, lebih murah, dan lebih banyak pilihan/variasi warna

(Kulkarni dkk, 2014). Sebenarnya, zat warna sintentis memiliki efek yang tidak baik

bagi kesehatan jika digunakan secara berlebihan. Oleh sebab itu, penggunaan

pewarna sintetis juga memiliki batasan tertentu.

Oleh karena maraknya penggunaan pewarna sintetis pada makanan saat ini, maka

penggunaan pewarna sintetispun diatur dalam peraturan pemerintah. Telah banyak

penelitian dilakukan untuk menentukan pewarna sintetis yang aman untuk kesehatan

ataupun justru yang berbahaya untuk kesehatan. Pemerintahpun telah menentukan di

dalam undang-undang ataupun peraturan pemerintah mengenai zat pewarna yang

dilarang digunakan dalam makanan. Namun, sangat disayangkan bahwa saat ini

masih saja banyak produsen makanan tak bertanggungjawab yang tetap menggunakan

zat pewarna terlarang tersebut hanya karena lebih mengutamakan keuntungan dalam

bisnisnya.

Beberapa zat warna terlarang memiliki harga relatif lebih murah dibandingkan

dengan zat warna yang diperbolehkan. Selain itu, zat warna terlarang juga terkadang

memiliki warna yang lebih mencolok dibandingkan dengan zat warna lain sehingga

mungkin terlihat lebih menarik bagi beberapa orang. Hal ini sangat disayangkan oleh

13
karena zat warna terlarang sebenarnya memiliki efek yang sangat buruk bagi

kesehatan tubuh.

2.4 Peraturan Pemerintah

2.4.1 Definisi

Terdapat beberapa peraturan pemerintah yang berisi tentang penggunaan bahan

pewarna terlarang pada makanan. Di dalam peraturan-peraturan tersebut telah jelas

disebutkan bahwa Rhodamin B termasuk dalam salah satu bahan pewarna yang

dilarang penggunaanya dalam makanan.

Sebelum kita beranjak ke beberapa peraturan terkait Rhodamin B tersebut, ada

baiknya kita mengetahui terlebih dahulu definisi dari makanan dan bahan tambahan

pangan yang akan kita bahas kemudian. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

nomor 28 Tahun 2004 tentang keamanan, mutu, dan gizi pangan menyatakan bahwa

pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang

diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau

minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku

pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau

pembuatan makanan atau minuman (PP RI No 28 tahun 2004).

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 239/Men.Kes/Per/V/85 tentang zat

warna tertentu, yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya adalah bahan yang

digunakan untuk memberi warna dan atau memperbaiki warna bahan atau barang

(Permenkes Nomor 239/Men.Kes/Per/V/85).

14
2.4.2 Bahan pewarna makanan terlarang dan tidak terlarang menurut

peraturan pemerintah

Pada Peraturan Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor : 722/Menkes/Per/X/88

tentang bahan tambahan makanan, telah disebutkan daftar nama-nama zat warna

sintetis yang boleh digunakan pada makanan. Daftar nama Bahan Tambahan Pangan

(BTP) tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 2.1. Daftar Nama Zat Warna yang diizinkan Penggunaanya dalam Makanan

No Nama BTP Jenis/bahan makanan ADI


(mg/kgbb)
1 Biru Berlian es krim dan sejenisnya, kapri kalengan, ercis 0-12.5
kalengan, acar ketimun dalam botol, jem dan
jeli, saus, apel kalengan, dan makanan lain.
2 Coklat HT Minuman ringan, makanan cair, makanan lain 0-1.5

3 Eritrosin es krim dan sejenisnya, buah peer kalengan, 0-0.1


buah prem (plum) kalengan, jem dan jeli, saus
apel kalengan, udang kalengan, udang beku,
yoghurt beraroma dan produk yang dipanaskan
setelah fermentasi, irisan daging olahan, dan
makanan lain
4 Hijau FCF es krim dan sejenisnya, buah pir kalengan, ercis 0-25
kalengan, acar ketimun dalam botol, jem dan
jeli, saus apel kalengan, marmalad, dll.

15
Lanjutan Tabel 2.1

No Nama BTP Jenis/ Bahan Makanan ADI


(mg/kgbb)
5 Hijau S Lihat Coklat HT 0-1.5

6 Indigotin es krim dan sejenisnya, jem dan jeli, saus apel 0-5
kalengan, yoghurt beraroma dan produk yang
dipanaskan setelah fermentasi, dan makanan
lain
8 Kuning FCF lihat coklat ht, es krim dan sejenisnya, acar 0-4
ketacar ketimun dalam botol, yoghurt
beraroma dan produk yang dipanaskan setelah
fermentasi, jem dan jeli, saus apel kalengan,
marmalade, dan udang kalengan
9 Kuning Es krim dan sejenisnya, Makanan lain 0-5
Kuinolin
10 Merah Alura Lihat Coklat HT 0-7

11 Ponceau 4R Lihat Kuning kuinolon, Minuman Ringan dan 0-4

makanan cair, Yoghurt beraroma dan produk

yang dipanaskan setelah fermentasi, Buah pir

kalengan

Buah prem (Plum) kalengan, Jem dan Jeli,

Udang kalengan, dan Udang Beku

16
Lanjutan Tabel 2.1
No Nama BTP Jenis/ Bahan Makanan ADI

(mg/kgbb)

12 Tartrazin Lihat Coklat HT, Es krim dan sejenisnya, 0-7.5

Yoghurt beraroma dan produk yang

dipanaskan setelah fermentasi, Buah pir

kalengan, ercis kalengan, Acar ketimun

dalam botol, Marmalade, Jem dan Jeli,

Saus apel kalengan, dan Udang kalengan

Sumber: Permenkes RI No: 722/Menkes/Per/X/88; PerKBPOM tahun 2013

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa Rhodamin B tidak termasuk dari salah satu

zat pewarna sintetis yang diperbolehkan dalam makanan. Rhodamin B biasanya

digunakan untuk mewarnai bahan tekstil, dan bukan makanan. Pelarangan

penggunaan Rhodamin B tidak hanya diatur dalam satu buah peraturan, melainkan

diatur oleh lebih dari dua buah peraturan.

Beberapa peraturan yang mengatakan bahwa Rhodamin B merupakan zat

pewarna terlarang adalah: Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat Dan

Makanan Departemen Kesehatan Republik Indonesia Nomor :00386/C/Sk/II/90

tentang tentang perubahan lampiran peraturan menteri kesehatan nomor :

239/Menkes/Per/V/85 tentang Zat Warna tertentu yang dinyatakan sebagai bahan

berbahaya, Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor : 24/M-

Ind/Per/5/2006 tentang Pengawasan Produksi Dan Penggunaan Bahan Berbahaya

17
untuk Industri tentang pengawasan produksi dan penggunaan bahan berbahaya untuk

industri, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang

keamanan, mutu dan gizi pangan, dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor :239/Men.Kes/Per/V/85 tentang zat warna tertentu yang dinyatakan

sebagai bahan berbahaya.

Keempat peraturan di atas telah menjelaskan bahwa Rhodamin B merupakan

salah satu bahan tambahan makanan atau zat warna yang tidak boleh digunakan

dalam makanan. Jika keempat peraturan ini dirangkum, maka kita akan mendapatkan

berbagai jenis zat warna dan bahan tambahan makanan lain yang juga dilarang

penggunaannya pada makanan. Daftar nama zat terlarang tersebut dapat dilihat pada

tabel di bawah ini.

Tabel 2.2 Daftar Nama Zat Warna Terlarang dalam Makanan


NO NAMA NOMOR INDEKS
WARNA (C. I. No.)
1. Auramine (C.I Basic Yellow 2) 41000
2. Alkanet 75520
3. Butter Yellow (C.I. Solvent Yellow 2) 11020
4. Black 7984 (Food Vlack 2) 27755
5. Burn Unber (Pigment Brown 7) 77491
6. Chrysoidine (C.I. Basic Orange 2) 11270
7. Chrysoine S (C.I Food Yellow 8) 14270
8. Citrus Red No. 2 12156
9. Chocolate Brown FB (Food Brown 2) -
10. Fast Red E (C. I Food Red 4) 16045
11. Fast Yellow AB (C. I Food Yellow 2) 13015

18
Lanjutan tabel 2.2
NO NAMA NOMOR INDEKS
WARNA (C. I. No.)
12. Guinea Green B (C. I Acid Green No. 3) 42085
24. Ponceau 3R (Acid Red 1) 16155
25. Ponceau SX (C. I Food Red 1) 14700
26. Ponceau 6R (C. I Food Red 8) 16290
27. Rhodamin B (C. I Food Red 15) 45170
28. Sudan I (C. I Solvent Yellow 14) 12055
29. Scarlet GN (Food Red 2) 14815
30. Violet 6 B 42640
33. Kuning Metanil 587-98-4

Sumber: SK Dirjenpom RI No :00386/C/Sk/II/90; Permenindustri No: 24/M-

Ind/Per/5/2006; PP RI No 28 Tahun 2004; Permenkes RI No

:239/Men.Kes/Per/V/85

Bukan hanya menyebutkan daftar zat warna terlarang, namun PP-No.-28-Th-

2004 pasal 23c juga menyatakan bahwa setiap orang dilarang mengedarkan pangan

yang mengandung bahan yang dilarang digunakan dalam kegiatan atau proses

produksi pangan; (menurut penjelasan, yang dimaksud bahan terlarang adalah boraks,

formalin, Rhodamin B, dan Methanil Yellow).

Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penjelasan di atas adalah bahwa

Rhodamin B merupakan zat pewarna yang dilarang penggunaannya dalam makanan.

Hal ini telah diatur dalam berbagai peraturan. Oleh karena itu, seseorang yang

19
melanggar peraturan ini tentunya dapat dikenakan hukuman sesuai dengan yang telah

disepakati.

2.5. Rhodamin B

Rhodamin B dapat disebut juga C.I. Basic Violet 10, CI 45170, Ethanaminium,

N-(9-(2-carboxyphenyl)-6-(diethylamino)-3H-xanthen-3-ylidene)-N-e- thyl-,

chloride, C.I. Food Red 15, atau D&C Red # 19 (EFSA, 2005).

Rhodamin B memiliki berbentuk kristal padat atau serbuk berwarna hijau

kemerahan-ungu yang tidak berbau. Rumus molekul Rhodamin B adalah

C28H31ClN2O3. Rhodamin B memiliki berat molekul 479,01 dengan titik leburnya

adalah 329 F (165 ○C). Sifat senyawa ini adalah sangat mudah larut dalam air,

alkohol dan eter, namun sukar larut dalam Larutan HCl dan NaOH (BPOM, 2011).

(EFSA,2005)

Gambar 2.3 struktur Rhodamin B

2.5.1. Metabolisme Rhodamin B dalam Tubuh

Rhodamin B terutama dimetabolisme oleh hati saat masuk ke dalam tubuh.

Ketika Rhodamin B masuk ke dalam tubuh secara oral, tentunya Rhodamin B akan

melewati berbagai proses dalam traktus gastrointestinal, sama seperti makanan pada

umumnya (Webb dan Hansen, 1961). Traktus gastrointestinal memiliki kemampuan

20
yang baik dalam mengabsorpsi Rhodamin B. Sayangnya, kemampuan untuk

mengeskresikan Rhodamin B sangat kecil. Hanya sekitar 3-5% Rhodamin B yang

dapat ditemukan dalam urin atau feses dalam bentuk yang tidak diubah (Webb dan

Hansen, 1961). Sekitar 30% dari sampel Rhodamin b yang diinkubasi dengan

mikroflora sekal dapat dikonversi menjadi 2 bentuk metabolit fluorescent (EFSA,

2005).

Rhodamin B (tetraetil-3 ', 6'-diaminofluoran) akan mengalami de- etilasi menjadi

beberapa bentuk metabolit, yaitu 3 ', 6'-diaminofluoran, dan N, N'-dietil-3', 6'-

diaminofluoran ketika dicerna,. Bentuk metabolit lain adalah bentuk monoethylated

dari Rhodamin B. Rhodamin B tidak dapat dihancurkan lagi oleh tubuh dan tidak

dapat mengalami metabolisme lain lagi selain de-etilasi (Webb dan Hansen,

1961).Metabolit lain dari Rhodamin B yang dapat ditemukan adalah acyl-type-

Rhodamin B-glucoronide. Metabolisme ini ditemukan di bili (Braakman dkk, 1989).

2.5.2. Efek Rhodamin B bagi Tubuh

Rhodamin B dapat memberikan efek jangka pendek maupun jangka panjang bagi

tubuh. Efek jangka pendek Rhodamin B jika terkena kulit ataupun mata adalah

terjadinya iritasi pada area yang terkena. Namun pada saluran pencernaan, Rhodamin

B tidak memberikan efek jangka pendek yang signifikan (BPOM, 2011). Bila terjadi

keracunan akut pada Rhodamin B, efeknya pada saluran cerna adalah juga

mengiritasi saluran cerna tersebut. Jika ditelan secara berlebihan, maka Rhodamin B

dapat menyebabkan urin menjadi bewarna merah atau pink (BPOM, 2011).

21
Rhodamin B juga mengandung logam berat, sehingga Rhodamin B dapat

menimbulkan efek jangka pendek lain yaitu keracunan akut, nyeri perut, muntah,

diare, sakit kepala, pusing serta hipersalivasi. Efek jangka pendek lain yang dapat

ditimbulkan Rhodamin B adalah penurunan kualitas belajar, penurunan konsentrasi

berpikir, reaksi alergi, atau mungkin penurunan energi (Slamet dalam Putri dkk,

2012).

Telah cukup banyak penelitian dilakukan untuk mengetahui dampak jangka

panjang Rhodamin B bagi tubuh. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa

Rhodamin B memiliki dampak yang tidak baik bagi ginjal, hati, sistem saraf pusat,

sistem reproduksi, dan mungkin masih banyak lagi. Penelitian yang dilakukan oleh

Rina Febrina dan teman-temannya di Universitas Udayana menunjukkan bahwa

pemberian Rhodamin B dapat meperpanjang siklus estrus mencit (Febrina dkk,

2011).

Rhodamin B ternyata juga mengandung beberapa unsur logam berat seperti

misalnya timbal dan arsen. Kedua unsur inilah yang berperan cukup kuat dalam

mengganggu proses-proses tubuh terkait hormon, terutama terkait hormon steroid.

Timbal yang terkandung di dalam Rhodamin B akan menjadi inhibitor yang kuat

dalam proses steroidogenesis pada ginjal dan ovarium, menghambat sintesis

progesterone, 17-hydroxyprogesterone, 17,20-dihydroxyprogesterone,

deoxycorticosterone, corticosterone and 21-deoxycortisol (Georgescu dkk, 2011).

Hal ini tentunya akan menyebabkan gangguan pada beberapa fungsi reproduksi

dan bahkan jika dikonsumsi dalam jangka panjang akan menyebabkan infertilitas atau

22
mandul. Tidak hanya itu, arsen yang juga terkandung dalam Rhodamin B juga

memiliki kontribusi dalam inhibisi aktivasi glucocorticoid receptor-mediated gene

(Georgescu dkk, 2011).

Rhodamin B dapat menyebabkan gangguan pada sistem reproduksi bukan hanya

karena Rhodamin B memiliki kandungan logam berat, namun juga akibat stress

oksidan yang dapat dibentuk oleh Rhodamin B itu sendiri ( Maryanti dkk, 2014).

Rhodamin B dapat dikatalisasi oleh cahaya dan membentuk singlet oxygen. Bentukan

ini setelah mengalami beberapa proses, akan memicu pembentukan radikal bebas.

Kadar radikal bebas yang berlebihan ini akan memicu kerusakan oosit dan sel

granulosa di dalam folikel ovarium. Hal ini juga akan sangat menggangu sistem

reproduksi (terutama wanita), bahkan jika terus dibiarkan akan menyebabkan

infertilitas ( Maryanti dkk, 2014).

Sebuah penelitian mengenai toksisitas Rhodamin B menunjukkan bahwa

Rhodamin B dapat menyebabkan penurunan jumlah folikel primer, sekunder, dan

folikel De graff pada mencit (Maryanti dkk, 2014). Tidak hanya itu, penelitian

tersebut juga menunjukkan bahwa Rhodamin B dapat menurunkan tingkat ketebalan

dari endometrium. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena penurunan kadar 17 β-

estradiol akibat penuruanan jumlah folikel yang dipicu oleh stress oksidan. Rhodamin

B menyebabkan ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidannya. Rhodamin B

akan mengindukasi sitokrom P450 dan menyebabkan penurunan enzim antioksidan.

Penelitian lain juga menunjukkan bahwa Rhodamin B bukan hanya dapat

mengganggu keseimbangan hormon, namun juga dapat meningkatkan apoptosis pada

23
sel hipotalamus. Apoptosis diregulasi oleh beberapa protein. Protein ini terdiri dari

protein proapoptosis (misalnya Bax) dan protein antiapoptosis (misalnya Bcl-2).

Rhodamin B menyebabkan peningkatan secara nyata terhadap kadar Bax yang

merupakan protein proapoptosis (sulistina dkk, 2014). Hal inilah yang dapat

berkontribusi dalam menyebabkan peningkatan apoptosis sel-sel pada hipotalamus.

Rhodamin B juga menyebabkan penurunan yang cukup berarti pada kadar FSH

dan LH serum (sulistina dkk, 2014). Penelitian ini menunjukkan bahwa hipotalamus

cukup sensitif terhadap Rhodamin B. Rhodamin B dapat menembus sel dan

terakumulasi dalam mitokondria sehingga menyebabkan gangguan rantai respirasi

pada mitokondria tersebut.

Mitokondria sangat berperan penting dalam metabolisme sel, regulasi apoptosis,

dan masih banyak lagi. Ketika rantai respirasi ini terganggu, maka akan terjadi

peningkatan kadar stres oksidan sehingga akan memicu jalur apoptosis. Hal lain yang

mungkin terjadi akibat terganggunya rantai respirasi ini adalah apoptosis sel neuronal.

Selain itu, Rhodamin B diduga dapat berdampak kepada sel basofilik dalam

adenohipofisis. Sel inilah yang mensekresi FSH dan LH. Ketika hal ini terus

berlanjut, maka akan terjadi hiposekresi FSH dan LH sehingga tentunya akan

membuat gangguan pada sistem reproduksi (sulistina dkk, 2014).

Efek lain Rhodamin B yang telah diteliti adalah efek Rhodamin B terhadap

ginjal. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa Rhodamin B dapat menyebabkan

kerusakan glomerulus pada ginjal mencit (Mayori dkk, 2013). Tidak hanya itu,

24
Rhodamin juga dapat menyebabkan penyempitan ruang kapsula bowman, hipertrofi

tubulus, dan nekrosis tubulus (Mayori dkk, 2013).

Penyempitan ruang bowman mungkin disebabkan oleh adanya peradangan yang

terjadi pada glomerulus ataupun adanya proliferasi dari epitel kapsula bowman.

Berbagai macam gangguan yang terjadi pada unit fungsional ginjal ini tentunya akan

menyebabkan gangguan pada fungsi ginjal, seperti misalnya gangguan pada fungsi

filtrasi dan reabsorpsi ginjal. Penelitian yang dilakukan oleh Mayori dan teman-

temannya juga menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis Rhodamin B yang

diberikan, maka akan semakin tinggi tingkat kerusakan komponen penyusun ginjal

(Mayori dkk, 2013).

Beberapa sumber juga mengatakan bahwa Rhodamin B memiliki efek terhadap

retardasi mental, dan hemolisis pada sel darah merah, namun penjelasan lebih lanjut

masih belum dipaparkan (Kulkarni dkk, 2014). Selain itu, ternyata Rhodamin B juga

memiliki sifat genotoksik dan karsinogenik (EFSA, 2005).

2.5.3. Mengidentifikasi makanan dan minuman dengan Rhodamin B secara

visual

Kita sebagai konsumen yang cerdas, harus mampu membedakan makanan yang

mencurigakan mengandung Rhodamin B dengan makanan yang aman atau tidak

mengandung Rhodamin B. Sebagai masyarakat awam, tentunya kita tidak perlu

melakukan uji analisa lab pada tiap makanan berwarna merah yang berpotensi

menggunakan Rhodamin B. Hal yang setidaknya harus mampu kita lakukan adalah

25
bisa membedakan secara kasat mata atau secara visual rupa makanan yang

kemungkinan besar memiliki kandungan Rhodamin B di dalamnya.

BPOM telah meminta masyarakat untuk menjadi konsumen cerdas dalam

memilih makanan akan dikonsumsi. Makanan yang mengandung Rhodamin B akan

bewarna merah/pink mencolok, pewarnaannya tidak merata (terdapat beberapa bintik

merah di permukaan makanan yang menunjukkan bahwa penyebaran warna tersebut

tidak merata), rasa agak pahit bila dikonsumsi. Biasanya, produk yang mengandung

Rhodamin B tidak mencamtumkan kode, label, merek, atau ijin edar dari BPOM.

Makanan memiliki sertifikasi dari BPOM setidaknya tentu lebih terjamin tidak

mengandung bahan berbahaya dibandingkan dengan makanan tanpa kode, merek,

ataupun label (Pemerintah Kabupaten Bangka Barat, 2014)

Masyarakat diharapkan dapat lebih cerdas dalam memilih makanan yang aman

dengan mengetahui ciri-ciri makanan dengan Rhodamin B tersebut. Jika ragu pada

makanan yang akan dibeli, sebaiknya tidak usah membeli makanan tersebut. Tempat

yang mahal dan bermerek tidak menjamin bahwa makanan yang dijual di tempat

tersebut merupakan makanan yang aman dan tidak mengandung zat berbahaya, begitu

pula sebaliknya, tempat yang tidak mewah belum tentu menjual makanan yang

mengadung zat berbahaya.

26
2.5.4. Mengidentifikasi makanan dan minuman dengan Rhodamin B dengan

metode laboratorium

Metode-metode yang lebih akurat harus dilakukan untuk memastikan apakah

suatu makanan dan minuman tersebut mengandung Rhodamin B ataukah tidak.

Metode yang cukup sering digunakan untuk mengidentifikasi Rhodamin B adalah

metode kromatografi. Kromatografi merupakan metode pemisahan yang

mendistribusikan komponen yang dipisahkannya di antara dua fasa (Underwood,

2002).

Kromatografi ini dapat menggunakan kromatografi lapis tipis. (Silahi dan

Rahman, 2011). Teknik lain yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan

kertas saring (Utami, 2013). Jika ingin teknik yang lebih instan, maka peneliti dapat

menggunakan metode yang sering digunakan BPOM untuk memeriksa jajanan atau

makanan di pasaran, yaitu dengan Rapid Test Kit (warta POM, 2013).

Deteksi Rhodamin B dengan menggunakan kertas saring dilakukan dengan cara

terlebih dahulu membuat ekstrasi sample dan membuat ekstrasi tersebut menjadi

asam dengan menambahkan larutan asam asetat. Setelah dipanaskan, cairan tersebut

diteteskan ke dalam kertas saring. Kertas saring kemudian dimasukkan ke dalam

gelas berisi air dan dibiarkan hingga air merembes ke kertas saring tersebut. (utami,

2013).

Metode kromatografi yang lebih sederhana dibandingkan dengan kromatografi

lapis tipis dilakukan dengan melibatkan benang wol yang direndam dengan eter dan

juga melibatkan kertas kromatografi. Hasil akhir pengujian diuji dengan

27
spektofotometer untuk melihat panjang gelombang. Setelah itu dilakukan berbagai

perhitungan dan dibandingkan dengan baku standar tertentu (Utami, 2013). Di lain

sisi, kromatografi lapis tipis menggunakan plat tipis dalam pengerjaannya. Hasil akhir

dari kromatografi lapis tipis juga diuji dengan spektofotometer (Silalhi dan Rahman,

2011).

Rapid test kit merupakan metode yang lebih sederhana dibandingkan dengan

metode lain oleh karena kita hanya tinggal menambahkan air mendidih ataupun air

biasa ke dalam sampel dan mencampurkannya dengan reagen-reagen yang telah

disediakan. Selanjutnya penguji hanya tinggal mengamati perubahan warna. Metode

ini yang sering digunakan oleh BPOM saat melakukan operasi pasar (Warta POM,

2013).

Prisip kerja dari test kit tergantung dengan tempat produksi test kit tersebut, salah

satu prinsip yang dapat digunakan adalah terbentuknya perubahan warna pada hasil

uji yang awalnya bewarna merah, lalu berubah menjadi bewarna ungu oleh karena

terjadinya reaksi reaksi antara Rhodamin B dengan Zn-tiosianat (Zn(CNS)2) yang

berperan sebagai reagen. Reaksi antara kedua zat ini akan membentuk senyawa

kompleks Zn-tiosianat-Rhodamin B ((RB)2Zn(CNS)4) (Garcia dalam Prabowo dkk,

2013).

2.6. Kajian penelitian terdahulu

Berikut disajikan beberapa daftar penelitian terdahulu yang juga melakukan

penelitian mengenai uji kandungan Rhodamin B pada makanan.

28
Tabel 2.3 Tabel Daftar Kajian Terdahulu

No Peneliti Judul Penelitian Metodologi penelitian Hasil penelitian


1 Jansen Analisis Penelitian ini bersifat Sebanyak l0 %
Silalahi dan Rhodamin B analisis kualitatif. Metode sampel jajanan
Fathur pada pengambilan sampel yang mengandung
Rahman Jajanan Anak digunakan adalah Rodamin
Sekolah Dasar randorn sampling. Jenis uji B.
di Kabupaten yang digunakan adalah
Labuhan Batu menggunakan kromatografi
Selatano lapis tipis dan
Sumatera Utara spektrofotometri. Sampel
diambil dari 20 Sekolah
Dasar di Kabupaten
Labuhan Batu Selatan.
2 Wahyu Utami Analisis Metode penelitian adalah Hasil penelitian
dan Andi Rhodamin B metode deskriptif. Sampel menunjukkan
Suhendi dalam Jajanan diuji dengan menggunakan bahwa 41 sampel
Pasar teknik serapan benang wol, yang diperiksa,
dengan Metode kromatografi lapis tipis didapatkan 15
Kromatografi (KLT). sampel
Lapis Tipis mengandung
Rhodamin B

29
Lanjutan Tabel 2.3

No Peneliti Judul Penelitian Metodologi Penelitian Hasil Penelitian


3 Sherly Analisis Zat Metode penelitian yang Hasil penelitian
Dawile, Pewarna digunakan adalah metode menunjukkan
Fatimawali, Rhodamin B deskriptif laboratorium. didapat satu dari 10
Frenly pada Kerupuk Sampel diuji dengan sampel yang telah
Wehantouw yang menggunakan serapan diperiksan
Beredar di Kota benang wol, dilanjutkan sebanyak 1 kali
Manado dengan kromatografi lapis positif
tipis (KLT) dan mengandung
spektrofotometri UV-Vis. Rhodamin B
Sampel diambil di 4 dengan kadar nilai
pasar di Kota Manado rata-rata
sebesar 0,2815722
yaitu Pasar Tuminting,
μg/ml. sepuluh
Pasar Paal 2, Pasar 45 dan

Pasar Bersehati 45.

4 Permatasari Identification of Metode penelitian adalah 50% sampel positif


A, The Substance deskriptif laboratorik. mengandung
Susantiningsi Dye Rodamine B Sampel diuji menggunakan Rhodamin B
h T, in The Snacks teknik kromatografi kertas
Kurniawaty E. That is Marketed dan spektrofotometri
in Traditional cahaya. Sebanyak 30
MarketIn Bandar sampel diambil dari dua
Lampung City pasar di Kota Bandar
Lampung.

30
Lanjutan Tabel 2.3
No Peneliti Judul Penelitian Metodologi Penelitian Hasil
Penelitian
5 Lestari Keberadaan Metode penelitian adalah 1 sampel
Rhodamin B dengan menggunakan studi (6,3%) terasi
pada Terasi survey analitik dengan bermerek dan 9
Bermerek dan rancangan sampel (47,4%)
Tidak Bermerek cross sectional. Sampel terasi terasi tidak
yang Diproduksi yang diambil sebanyak bermerek positif
dan Beredar di 35 sampel yang terdiri dari mengandung
Kota Tegal Jawa lima sampel terasi produksi Rhodamin B
Tengah bermerek, empat sampel
produksi tidak bermerek,
sebelas sampel terasi beredar
bermerek. dan lima belas
sampel terasi beredar tidak
bermerek. Metode uji sampel
adalah secara kualitatif
dengan menggunakan teknik
kromatografi lapis tipis

31
Lanjutan Tabel 2.3

No Peneliti Judul Metodologi Penelitian Hasil


Penelitian Penelitian
6 Rahayu Astuti, Penggunaan Jenis penelitian adalah Sebagian besar
Wulandari Zat Warna “Explanatory Research” sampel terasi
Meikawati, Siti “Rhodamin B” dengan metode survey. Metode (70%)
Sumarginingsih Pada Terasi penelitian yang digunakan mengandung
Berdasarkan adalah dengan pendekatan Rhodamin B.
Pengetahuan & belah lintang (Cross
Sikap Sectional). Sampel yang
Produsen diambil sebanyak 30 sampel
Terasi di dan diuji di “Balai Besar POM
Desa Bonang Semarang”. Sampel diambil di
Kecamatan desa Bonang,
Lasem Kecamatan Lasem, Kabupaten
Kabupaten Rembang.
Rembang
7 Kamalatul Uji Kandungan Pengambilan sampel Didapatkan 2
Khorriyah Rhodamin B menggunakan metode dari 8 sampel
Total Mikroba purposive sampling. Sampel terasi positif
dan Bakteri diambil pada pasar Kamal, mengandung
Coliform pada pasar Bangkalan, pasar Tanah Rhodamin B.
Terasi yang Merah, pasar. Uji Rhodamin B
Beredar di dilakukan secara kualitatif dan
Kabupaten kuantitatif dan juga dilakukan
Bangkalan penentuan total bakteri
Coliform pada terasi.

32
Berdasarkan data pada tabel di atas, maka dapat disimpulkan bahwa belum ada

penelitian mengenai uji kandungan Rhodamin B secara kualitatif pada terasi di pasar

se kota Mataram dengan menggunakan metode consecutive sampling pada

pengambilan sampel dan juga menggunakan rapid kit test pada metode uji Rhodamin

B.

33
2.7.Kerangka Teori

Maraknya penggunaan
pewarna makanan

Penggunaan pewarna sintetis


Peraturan pemerintah

Efek buruk bagi


tubuh
Penggunaan pewarna terlarang
Kurangnya pengetahuan /Rhodamin B
Kurangnya kesadaran

Jangka panjang Jangka pendek

Terasi di pasar

penyuluhan dari pemerintah Tes uji zat warna terlarang

kuantitatif kualitatif

Peningkatan kesadaran dan


kewaspadaan masyarakat dan
pedagang Rapid
spektofotometri kromatografi
Test Kit

Gambar 2.4. Kerangka Teori

34
2.8. Kerangka Konsep Penelitian

Pewarna makanan sintetis

Status keamanan makanan

Dampak pada Jenis pendeteksian


tubuh Rhodamin B

Efek jangka panjang Efek jangka pendek

KETERANGAN:

= diteliti

= tidak diteliti

Gambar 2.5. Kerangka Konsep Penelitian

35
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilakukan menggunakan metode observasional dengan rancangan

cross sectional, karena penelitian ini semua pengukuran variabel yang diteliti

dilakukan hanya satu kali dan pada waktu yang sama tanpa periode follow up

(Dahlan, 2013). Penelitian ini menggunakan data hasil laboratorium berupa

kandungan Rhodamin B yang terdapat pada terasi yang di jual di pasar tradisional se-

Kota Mataram.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di pasar-pasar tradisional se-Kota Mataram dan

Laboratorium Biokimia Fakultas Teknologi Pangan Universitas Mataram. Penelitian

ini diadakan pada bulan Agustus 2015.

3.3 Populasi dan sampel

3.3.1 Populasi

Populasi penelitian kali ini adalah semua terasi di pasar tradisional yang terletak

di Kota Mataram.

3.3.2 Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah terasi yang terdapat di Pasar tradisional yang

berada di Kota Mataram yang memenuhi kriteria inklusi penelitian. Pengambilan

sampel untuk uji laboratorium adalah terasi yang diduga mengandung Rhodamin B

36
dengan penampakan warna merah atau kecoklatan yang tidak merata. Sampel terasi

yang diambil sebanyak 1 sampel pada tiap pedagang. Sampel diambil dengan cara

membeli terasi tersebut dari masing-masing penjual.

3.3.3 Besar Sampel

Pada penelitian ini, perhitungan besar sampel menggunakan rumus besar sampel

deskriptif kategorik yang didapatkan dari buku karangan Sopiyudin Dahlan tentang

besar sampel dan cara pengambilan sampel, yaitu:

𝑧𝛼 2 . 𝑃. 𝑄
𝑛=
𝑑2

Keterangan:

Z = deviat baku alfa

P = proporsi katagori variable yang diteliti

Q = 1-P

D = presisi

Telah ditentukan bahwa deviat baku alfa yang akan digunakan adalah 1.96.

Proporsi yang digunakan diambil dari kepustakaan, yaitu dari penelitian yang

dilakukan oleh Kamalatul Khorriyah didapatkan 25%, sehingga Q= 1- 0.25= 0.75.

presisi yang digunakan adalah 10 %.

Jika dimasukkan dalam perhitungan, maka hasil yang didapat adalah:

1.962 𝑥0.25𝑥0.75
𝑛= = 72.03
0.12

37
Jadi, jumlah sampel minimal yang diperlukan adalah berkisar 72 sampel.

3.3.4 Cara pengambilan sampel

Oleh karena peneliti tidak mendapatkan sampling frame yang pasti mengenai

jumlah pedagang terasi di pasar di Kota Mataram, maka peneliti memilih teknik

pengambilan sampel non probability. Jenis metode non probability yang digunakan

pada penelitian kali ini adalah consecutive sampling, yaitu semua sampel yang ada

dan memenuhi kriteria penelitian dimasukkan ke dalam penelitian sampai jumlah

sampel penelitian terpenuhi. Agar sampel yang diambil dapat mewakili seluruh pasar

yang ada di Kota Mataram, maka peneliti mengambil sampel berdasarkan kelompok-

kelompok pasar yang akan ditentukan oleh peneliti. Kelompok pasar ditentukan oleh

peneliti berdasarkan omsetnya per bulan. Data mengenai omset pasar didapatkan dari

Dinas Pasar.

Total jumlah pasar adalah 17 pasar. Peneliti kemudian mencari rata-rata dari

omset semua pasar. Setelah itu, pasar kemudian dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

pasar besar dan pasar kecil. Pasar besar adalah pasar dengan omset per bulan berada

di atas rata-rata dan pasar kecil adalah pasar dengan omset per bulan berada di bawah

rata-rata. Total akhir didapatkan 5 pasar dengan besar dan 12 pasar kecil.

Setelah pembagian kelompok pasar ditentukan, peneliti kemudian melakukan

pembagian kuota pengambilan sampel pada tiap pasar agar sesuai dengan jumlah

sampel minimal yang telah ditentukan. Pasar besar akan memiliki kuota pengambilan

sampel yang lebih banyak dibandingkan dengan pasar kecil. Dalam penelitian ini,

akan diambil 6 sampel pada tiap pasar besar dan 4 sampel pada tiap pasar kecil.

38
Langkah terakhir merupakan langkah pengambilan sampel dengan ketentuan-

ketentuan yang telah ditetapkan pada tahap-tahap sebelumnya. Sampel terasi yang

diambil adalah sampel yang secara visual dicurigai mengandung Rhodamin B.

Selanjutnya peneliti membeli terasi-terasi tersebut kemudian dikumpulkan. Setelah

semua sampel terkumpul, sampel kemudian dibawa ke laboratorium. Pengujian

dilakukan langsung oleh pihak peneliti. Setelah didapatkan hasil pengujian, maka

hasil-hasil tersebut kemudian dikumpulkan dan diolah dengan SPSS untuk ditulis

dalam laporan hasil penelitian.

3.4 Kriteria Penelitian

3.4.1 Kriteria Inklusi

Terasi yang akan dijadikan objek penelitian adalah terasi yang memenuhi kriteria

berikut:

1. Terasi bewarna dengan warna merah atau kehitaman

2. Terasi dengan penyebaran warna tidak merata

3.5 Variabel Penelitian

3.5.1 Variabel bebas

Variabel bebas penelitian ini adalah penggunaan Rhodamin B.

3.5.2 Variabel terikat

Variabel terikat penelitian ini adalah hasil pemeriksaan kualitatif dari Rhodamin

B.

39
3.6 Definisi Operasional

3.6.1 Rhodamin B adalah pewarna sintetis yang berbentuk padat, kristal ataupun

beberntuk serbuk berwarna hijau kemerahan-ungu yang tidak berbau (BPOM,

2011).

3.6.2 Uji kualtitatif Rhodamin B dapat menggunakan metode kromatografi, kertas

saring, ataupun rapid test kit (Silahi dan Rahman, 2011; Utami, 2013; warta

POM, 2013). Metode Hasil uji kualitatif dikatakan positif jika warna cairan

uji berubah menjadi ungu (Garcia dalam Prabowo dkk, 2013)

3.7 Instrument penelitian

Alat yang dibutuhkan untuk analisa laboratorium adalah tes kit. Tahapan yang

dilakukan untuk analisa sampel adalah:

3.7.1 Persiapan peralatan dan reaksi

Alat dan bahan:

1. Sampel terasi yang dicurigai

2. Tes kit

3. Air

4. Reagen A dan B

5. Tabung reaksi

40
3.7.2 Cara kerja

Berikut adalah cara kerja untuk menganalisa Rhodamin B dalam makanan

dengan menggunakan tes kit:

1. Mengambil satu sendok teh bahan makanan yang akan diuji, lalu mencacah atau

mengirisnya menjadi bagian kecil-kecil.

2. Menambahkan air mendidih sebanyak dua sendok makan (10 ml) lalu

mengaduknya agar Rhodamin B yang ada pada makanan tertarik ke dalam fase

air. Membiarkan cairan uji menjadi dingin.

3. Memasukkan satu tetes reagen A dan reagen B dan 4 tetes reagen B2 ke botol uji

atau tabung reaksi. Kemudian mengocok selama 1 menit agar tercampur rata.

4. Memasukkan satu sendok makan atau sekitar 5 ml cairan uji (airnya saja) ke

dalam botol atau tabung reaksi yang telah berisi campuran reagen. Kocok

sebentar dan diamkan campuran sekitar 10-20 menit.

5. Bila warna cairan uji berubah menjadi ungu, maka cairan positif mengandung

Rhodamin B

3.8. Pengolahan data

Data yang terkumpul tentang hasil pemeriksaan yang dilakukan, yaitu hasil

pemeriksaan tentang kandungan rhodamin akan dimasukkan ke dalam tabel atau

grafik yang dibuat sesuai tujuan penelitian.

41
3.9. Kerangka Alur Penelitian

Terasi di pasar

Analisis visual

Pengambilan sampel yang dicurigai mengandung


Rhodamin B

Analisis kualitatif keberadaan Rhodamin B pada


sampel

Dokumentasi hasil pengujian

Pengolahan data dengan SPSS

Penyajian data

Gambar 2.6 Kerangka Alur Penelitian

42
3.10 Rencana Penelitian

Berikut adalah rencana penelitian yang akan dilakukan:

Tabel 3.1 Rencana Penelitian Rencana Kegiatan

Maret April Mei Juni Juli Agt Sept Okt


2015 2015 2015 2015 2015 2015 2015 2015
Penyusunan X X X X
proposal dan
pembuatan
Ethical
clearance
Pelaksanaan X X
penelitian
Pengolahan X X
data
Analisis data X X
Penyusunan X
Laporan

43
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil penelitian

4.1.1 Karasteristik subjek penelitian

Mataram merupakan kawasan yang memiliki perkembangan aktivitas

perdagangan yang tidak kalah pesat dengan kota-kota lain. Aktivitas perdagangan ini

dapat terjadi di pasar modern ataupun pasar tradisional. Menurut data yang diperoleh

dari Dinas Pasar Kota Mataram, jumlah pasar yang ada di Mataram adalah 19 pasar.

Dua pasar diantaranya hanya menjual ternak atau hewan, sementara 17 pasar lainnya

menjual berbagai macam kelontong, kebutuhan rumah tangga, dan lain-lain.

Terasi merupakan salah satu produk yang cukup banyak dicari oleh masyarakat.

Warna terasi yang merah dapat menjadi kesempatan bagi beberapa oknum untuk

berbuat curang dengan cara menambahkan pewarna merah yang berbahaya

(Rhodamin B) untuk dikonsumsi.

Penelitian kali ini meneliti mengenai jumlah penggunaan Rhodamin B pada

terasi di pasar se Kota Mataram. Terasi yang dijadikan sampel adalah terasi yang

secara kasat mata dicurigai mengandung Rhodamin B, yaitu terasi dengan warna

merah dan pewarnaan yang tidak merata (Pemerintah Kabupaten Bangka Barat,

2014).

Populasi penelitian ini adalan terasi pada pasar Se Kota Mataram. Pasar yang

dijadikan tempat penelitian adalah 17 pasar yang menjual kebutuhan kelontong dll.

44
Agar pengambilan sampel lebih proposional, maka pasar dibagi menjadi kelompok

pasar besar dan kelompok pasar kecil. Pengelompokan pasar didasarkan pada omset

pasar per bulan.

Pasar besar adalah pasar yang memiliki omset pasar per bulan lebih besar omset

rata-rata keseluruhan pasar di Kota Mataram, yaitu Rp. 16.982.382, sementara pasar

kecil adalah pasar dengan omset per bulan lebih kecil dari Rp. 16.982.382. Sampel

acak yang diambil dari pasar besar berjumlah 6 sampel, sementara untuk pasar kecil

akan diambil 4 sampel.

Pasar yang temasuk ke dalam kelompok pasar besar adalah Pasar Mandalika,

Pasar Cakra, Pasar Kebon Roek, Pasar Dasan Agung, dan Pasar Pagesangan. Pasar

yang termasuk ke dalam kelompok pasar kecil adalah Pasar Karang Sukun, Pasar

Karang Medain, Pasar Karang Lelede, Pasar Cemara, Pasar Perumnas, Pasar Pagutan,

Pasar Karang Seraya, Pasar Sindu, Pasar Abian Tubuh, Pasar Rembiga, Pasar

Sayang-Sayang, dan Pasar Ampenan. Total sampel minimal yang diambil adalah 72

sampel.

Berdasarkan informasi yang didapatkan dari pedagang, setiap pedagang terasi

mengambil terasi dari pasar induk, yaitu Pasar Mandalika. Sementara itu, pedagang

terasi yang beroperasi di Pasar Mandalika mendapatkan terasi tersebut dari luar

pulau, namun terdapat juga pedagang yang mengaku membuat terasi tersebut sendiri.

45
Berikut tabel distribusi Pasar menurut kecamatan:

Tabel 4.1. Distribusi Pasar Menurut Kecamatan

Nama Kecamatan Nama Pasar Pada Jumlah Persen Total


Kecamatan
Sandubaya Pasar Mandalika 1 5.88
Cakra Pasar Cakra, Pasar Karang 6 35.29
Lelede, Pasar Sindu, Pasar
Sayang-Sayang, Pasar Abian
Tubuh, Pasar Karang Seraya
Mataram Pasar Pagesangan, Pasar 4 23.52
Pagutan, Pasar Karang Sukun,
Pasar Karang Medain
Selaparang Pasar Rembiga, Pasar Dasan 3 17.64
Agung, Pasar Cemara
Ampenan Pasar Kebon Roek, Pasar 2 11.76
Ampenan/ACC
Sekarbela Pasar Perumnas 1 5.88

4.1.2. Hasil Pemeriksaan Terasi berdasarkan Analitik Deskriptif

Berikut disajikan tabel hasil penelitian kualitatif kandungan Rhodamin B pada

terasi di pasar tradisional se-Kota Mataram.

46
Tabel 4.2. Hasil Penelitian Kualitatif

Nama Pasar Katagori Jumlah Sampel Sampel Sampel


Pasar Yang Diambil Positif Negatif
Pasar Abian Tubuh pasar kecil 4 1 3
Pasar Ampenan/ACC pasar kecil 4 1 3
Pasar Cakra pasar besar 6 0 6
Pasar Cemara pasar kecil 4 1 3
Pasar Dasan Agung pasar besar 6 0 6
Pasar Karang Lelede pasar kecil 4 0 4
Pasar Karang Medain pasar kecil 4 0 4
Pasar Karang Seraya pasar kecil 4 0 4
Pasar Karang Sukun pasar kecil 4 1 3
Pasar Kebon Roek pasar besar 6 2 4
Pasar Mandalika pasar besar 6 2 4
Pasar Pagesangan pasar besar 6 1 5
Pasar Pagutan pasar kecil 4 1 3
Pasar Perumnas pasar kecil 4 0 4
Pasar Rembiga pasar kecil 4 0 4
Pasar Sayang-Sayang pasar kecil 4 0 4
Pasar Sindu pasar kecil 4 2 2

Sesuai dengan tabel di atas, hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 12

sampel acak terasi ternyata positif mengandung Rhodamin B. Besar kecilnya pasar

ternyata tidak mempengaruhi banyaknya terasi yang positif mengandung Rhodamin

B. Terasi yang positif ditemukan pada Pasar Abian Tubuh, Pasar Ampenan/ACC,

47
Pasar Cemara, Pasar Karang Sukun, Pasar Kebon Roek, Pasar Mandalika, Pasar

Pagesangan, Pasar Pagutan, dan Pasar Sindu.

Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa belum tentu hanya terasi yang berada

di pasar-pasar inilah yang mengandung Rhodamin B oleh karena sampel yang

diambil hanyalah sampel acak dan bukan semua terasi yang ada di pasar tersebut,

namun setidaknya hasil penelitian ini diharapkan dapat mewakili kemungkinan

banyak terasi yang positif Rhodamin B di pasar yang ada di Kota Mataram.

Jika digambarkan dalam bentuk grafik, maka akan terlihat seperti berikut

Gambar 4.1. Grafik Data Hasil Penelitian

4.2. Pembahasan

Rhodamin B merupakan zat warna yang tidak diijinkan digunakan pada makanan

(SK Dirjenpom RI No :00386/C/Sk/II/90; Permenindustri No: 24/M-Ind/Per/5/2006;

PP RI No 28 Tahun 2004; Permenkes RI No :239/Men.Kes/Per/V/85). Peraturan

perundang-undangan telah jelas menyebutkan bahwa keberadaan Rhodamin B dalam

makanan tidak dibenarkan berapapun kadarnya.

48
Dari hasil penelitian terhadap 17 pasar di Mataram, ditemukan adanya

penggunaan Rhodamin B pada terasi-terasi yang beredar di pasar. Pasar-pasar yang

ditemukan positif memiliki terasi yang mengandung Rhodamin B berada pada

kecamatan Sandubaya, Mataram, Selaparang, Ampenan, dan Cakra.

Dari keseluruhan sampel yang berjumlah 78 sampel, ditemukan 12 sampel

(sekitar 15.38%) yang positif mengandung Rhodamin B. Dari hasil penelitian, dapat

diambil kesimpulan bahwa beberapa pedagang masih saja menggunakan Rhodamin

B.

Ketika ditanya, hampir seluruh pedagang mengaku bahwa terasi yang mereka

jual berasal dari terasi di Pasar Mandalika. Namun, walaupun terasi yang ada di

pasar-pasar di Kota Mataram sebagian besar berasal dari Pasar Mandalika, hal ini

tidak berarti sumber penggunaan Rhodamin B tersebut berasal dari Pasar Mandalika.

Menurut BPOM, beberapa pedagang tidak jarang mengolah kembali terasi yang

hampir rusak karena sudah terlalu lama tidak laku terjual. Saat pedagang-pedagang

tersebut mengolah kembali terasinya, terdapat kemungkinan pedagang tersebut

menambahkan Rhodamin B untuk membuat warna terasi kembali menarik (BPOM,

2015).

BPOM sendiri telah melaksanakan program untuk menjaga keamanan makanan

di pasar dari zat-zat berbahaya, salah satunya adalah Rhodamin B. Program yang

mulai digalakkan pada 27 Juni 2013 ini ini disebut Program Pasar Aman dari Zat

Berbahaya (BPOM, 2013).

49
Program ini terutama ditujukan pada pasar-pasar besar di Kota Mataram terlebih

dahulu, yaitu Pasar Mandalika, Pasar Pagesangan, Pasar ACC Ampenan dan Pasar

Dasan Agung (BPOM, 2013). Walaupun telah diberikan penyuluhan, ternyata masih

ada saja penggunaan Rhodamin B pada terasi di pasar, hal ini menunjukkan bahwa

kesadaran para pedagang masih kurang.

Warna merah mencolok tidak menjamin terasi tersebut mengandung Rhodamin

B. Hal ini terbukti dari hasil dari penelitian ini yang menunjukkan bahwa terasi

dengan warna merah mencolok ternyata negatif Rhodamin B. Hal ini mungkin

disebabkan oleh karena penggunaan pewarna makanan yang terlalu banyak. Dari

pengamatan di lapangan yang dilakukan peneliti, ternyata agak sulit bagi masyarakat

awam untuk melihat adanya penyebaran warna yang tidak merata (gumpalan warna)

sebagai pertanda adanya Rhodamin B.

BPOM mengatakan bahwa gumpalan warna yang sulit dilihat pada terasi yang

mengandung Rhodamin B kemungkinan disebabkan oleh karena penggunaan

Rhodamin B yang tidak terlalu banyak (BPOM, 2015). Oleh sebab itu, semua terasi

yang bewarna merah dapat dicurigai mengandung Rhodamin B, sehingga semua

terasi merah tersebut dijadikan sampel acak penelitian.

Rhodamin B merupakan zat pewarna yang memiliki dampak buruk jika

dikonsumsi. Efek yang ditimbulkan lebih mengarah kepada efek jangka panjang,

walaupun juga terdapat efek jangka pendek. Rhodamin B dapat menyebabkan

menurunnya kualitas belajar, penurunan konsentrasi berpikir, reaksi alergi, atau

mungkin penurunan energi (Slamet dalam Putri dkk, 2012).

50
Efek lain yang dapat ditimbulkan pada penggunaan jangka panjang Rhodamin B

adalah gangguan pada fungsi reproduksi Rhodamin B ( Maryanti dkk, 2014). Selain

itu, Rhodamin B juga dapat menyebabkan kerusakan ginjal, hemolisis darah, dan

retardasi mental (Mayori dkk, 2013; Kulkarni dkk, 2014).

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, beberapa peneliti pernah melakukan

penelitian mengenai keberadaan Rhodamin B pada terasi. Terdapat kekurangan dan

kelebihan penelitian kali ini jika dibandingkan dengan penelitian lainnya. Penelitian

ini menggunakan studi analitik deskriptif dengan teknik ujinya adalah menggunakan

Rapid Test Kit.

Prinsip uji Rapid Test Kit adalah adalah terbentuknya perubahan warna pada

hasil uji menjadi bewarna ungu.. Perubahan warna ini dapat terjadi salah satunya oleh

karena reaksi antara Rhodamin B dengan Zn-tiosianat (Zn(CNS)2) yang berperan

sebagai reagen. Sampel yang telah diambil di pasar kemudian dibawa ke laboratorium

untuk diujikan dengan test kit tersebut.

Terdapat beberapa cara dalam menghilangkan Rhodamin B. Namun, kebanyakan

cara yang diteliti adalah menggunakan metode-metode yang hanya dapat diterapkan

di laboratorium dan hanya efektif menghilangkan Rhodamin B dalam fase cair. Cara

yang dapat digunakan untuk mendegradasi, mengabsorpsi, atau menghilangkan

Rhodamin B terutama dalam fase cair adalah dengan menggunakan bahan kimia

ataupun dengan menggunakan bahan alami dari tumbuhan. Walaupun menggunakan

bahan alami, tetap saja beberapa proses yang diperlukan untuk menghilangkan

51
Rhodamin B tersebut membutuhkan metode-metode yang hanya dapat dilakukan di

laboratorium.

Bahan alami yang dapat digunakan untuk mengabsorpsi Rhodamin B dalam

cairan misalnya adalah bubuk kopi (Shen dan Gondal, 2013). Cara lain yang dapat

dilakukan adalah dengan membuat semacam Activated Carbon dari beberapa jenis

tumbuhan tertentu, misalnya adalah Thespusia populinia, hyacinth, Cynodon

dactylon, dan minyak pohon palem (Hema dan Arivoli, 2009; Lalitha dan Sangeetha,

2008; Venkatraman dkk, 2014; Auta, 2014). Tumbuhan lain yang dapat digunakan

adalah Raphia hookerie (Inyinbor dkk, 2014). Selain melalu bahan alami, dapat juga

digunakan bahan kimia untuk menghilangkan Rhodamin B dalam cairan, misalnya

adalah dengan menggunakan TiO2 (Lee dkk, 2013).

Rahayu Astuti dan teman-temannya juga pernah melakukan penelitian mengenai

kandungan Rhodamin B pada terasi di Desa Bonang Kecamatan Lasem

Kabupaten Rembang (Astuti dkk, 2010). Hasil yang didapatkan dari penelitian ini

adalah sebesar 70% sampel terasi positif mengandung Rhodamin B. Jika

dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahayu Astuti dan teman-

temannya ini, tentu saja penggunaan Rhodamin B jauh lebih sedikit di Mataram.

Namun, jika dibandingkan oleh penelitian Astuti, lingkup penelitian kali ini terhitung

lebih luas. Penelitian kali ini menggunakan 78 sampel, sementara penelitian Astuti

menggunakan 30 sampel. Teknik uji yang digunakan kemungkinan sama. Penelitan

kali ini menggunakan teknik uji rapid test kit yang biasanya digunakan oleh BPOM,

sementara pada penelitian Astuti juga meminta bantuan BPOM untuk mengujinya.

52
Walaupun tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai teknik ujinya, namun kemungkinan

teknik ujinya adalah sama.

Terdapat juga penelitian lain yang meneliti mengenai kandungan Rhodamin B

pada terasi. Salah satu contohnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Lestari.

Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan di Kota Tegal Jawa Tengah. Hasil

dari penelitian Lestari ini adalah didapatkan 1 sampel terasi bermerek dan 9 sampel

terasi tidak bermerek yang positif Rhodamin B, atau sekitar 10 sampel dari 35 sampel

(28.57%) yang positif Rhodamin B (Lestari, 2010). jika dibandingkan dengan

penelitian kali ini, penelitian Lestari memiliki jumlah sampel yang lebih sedikit.

Namun, kelebihan dari penelitian Lestari adalah teknik uji yang lebih akurat jika

dibandingkan dengan Rapid Test Kit, yaitu dengan menggunakan teknik

Kromatografi Lapis Tipis. Jika dibandingkan dengan penelitian kali ini, maka

penelitian kali ini memiliki jumlah sampel positif yang lebih sedikit.

Penelitian lain yang meneliti tentang Rhodamin B dalam terasi adalah penelitian

yang dilakukan oleh Kamalatul Khorriyah. Kamalatul Khorriyah melakukan

penelitian untuk menguji kandungan Rhodamin B pada terasi di Kabupaten

Bangkalan dengan menggunakan teknik rapid test kit, yaitu teknik yang sama yang

juga digunakan pada penelitian kali ini. Hanya saja, jumlah sampel yang digunakan

jauh lebih sedikit dibandingkan penelitian kali ini. Penelitian oleh Kamalatul

Khorriyah hanya menggunakan 8 sampel. Jumlah persen sampel yang positif

Rhodamin B lebih banyak dibandingkan penelitian kali ini, yaitu 25% (Khorriyah,

2014).

53
Masih adanya penggunaan Rhodamin B pada terasi di pasar-pasar yang ada di

Kota Mataram ini mungkin disebabkan oleh karena program dari BPOM yang kurang

efektif, peredaran Rhodamin B yang masih mudah didapatkan, kurangnya kesadaran

dari masyarakat, kurangnya pengetahuan dari masyarakat, ataupun mungkin karena

belum adanya sanksi yang tegas terhadap pihak pengguna Rhodamin B.

54
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini, didapatkan 15.38% sampel terasi positif mengandung

Rhodamin B. Jumlah sampel positif ini lebih sedikit jika dibandingkan dengan

beberapa penelitian lain di luar Kota Mataram yang juga meneliti mengenai

kandungan Rhodamin B dalam terasi. Namun, walaupun lebih sedikit dibandingkan

dengan penelitian lain, penggunaan Rhodamin B pada terasi tetap harus diwaspadai.

Terasi yang bewarna merah mencolok belum tentu mengandung Rhodamin B, begitu

pula sebaliknya, terasi yang warnanya bukan merah mencolok belum tentu tidak

mengandung Rhodamin B.

5.2. Saran

Hal yang dapat dijadikan saran adalah sebagai berikut:

1. Pemerintah sebaiknya lebih sering mengadakan penyuluhan terkait

zat-zat berbahaya pada makanan yang ditujukan pada produsen

maupun konsumen makanan.

2. Pemerintah sebaiknya memberikan sanksi khusus bagi para pelanggar

yang sebelumnya telah diperingatkan.

3. Pemerintah sebaiknya lebih rutin lagi dalam melaksanakan

pemeriksaan terkait zat-zat berbahaya pada makanan

4. Pemerintah sebaiknya membatasi dan memperketat penjualan zat-zat

yang sering disalahgunakan dalam makanan.

55
5. Konsumen sebaiknya lebih waspada dan mulai belajar untuk

mengetahui ciri umum makanan yang mengandung Rhodamin B agar

terhindar dari efek jangka panjang Rhodamin B pada tubuh.

6. Untuk peneliti selanjutnya yang ingin melanjutkan penelitian ini,

sebaiknya dilakukan uji kuantitatif kadar Rhodamin B pada makanan.

56
DAFTAR PUSTAKA

Astuti, R., Meikawati, W. dan Sumarginingsih, S. (2010), ‘Jurnal Kesehatan


Masyarakat Indonesia’, Penggunaan Zat Warna “Rhodamin B” Pada
Terasi Berdasarkan Pengetahuan & Sikap Produsen Terasi di Desa
Bonang Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang [internet], 6(2), 21-29.
Avaible From:
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=4663&val=431
[diakses tanggal 21 April 2015]
Auta. M. (2012). ‘Journal of Engineering Research and Studies’. Fixed Bed
Adsorption Studies of Rhodamine B Dye Using Oil Palm Empty Fruits
Bunch Activated Carbon [internet]. 3(3), 1-4. Avaible at:
http://www.technicaljournalsonline.com/jers/VOL%20III/JERS%20VOL
%20III%20ISSUE%20III%20JULY%20SEPTEMBER%202012/ARTICL
E%202%20JULY%20SEPT%202012.pdf [diakses tanggal 10 Oktober
2015]
Badan Pengawas Obat dan Makanan. (2013), ‘Warta POM’, Hasil Temuan
Pengawasan Pangan Selama Ramadhan 2013 Mencapai Rp 6,9 M, Juli-
Agustus. Avaible at: http://www.pom.go.id/ppid/2014/warta_pom/3_JUL-
AGT.pdf ( diakses tanggal 25 Desember 2014)
Badan Pengawas Obat dan Makanan. (2013), Aksi Pasar Aman Dari Bahan
Berbahaya di Kota Mataram. Avaible at :
http://www.pom.go.id/new/index.php/view/berita/3846/Aksi-Pasar-Aman-
Dari-Bahan-Berbahaya-di-Kota-Mataram.html (diakses tanggal 25
Agustus 2015)
BPOM. (2011), Rhodamin B [internet. Avaible From:
http://ik.pom.go.id/v2014/katalog/Rodamin%20B.pdf [diakses tanggal
21 Mei 2015]

57
Braakman, I. dkk. (1989).’The Journal of Pharmacology and Experimental
Therapeutic’. Zonal Compartmentation of Perfused Rat Liver: Plasma
Reappearance of Rhodamine B Explained [internet]. 249(3), 869-873.
Avaible from:
http://dspace.library.uu.nl/bitstream/handle/1874/5122/6306.pdf?sequence
=2 (diakses tanggal 22 Oktober 2015)
Cahyadi, W. (2008) Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan ed 2.
Sinar Grafika Offset: Jakarta.
Dahlan, S. (2013) Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel. Salemba Medika:
Jakarta.
Dawile, S., Fatimawali, dan Wehantouw, F. (2013), ‘Jurnal Ilmiah Farmasi’, Analisis
Zat Pewarna Rhodamin B pada Kerupuk yang Beredar di Kota Manado
[internet], 2(3), 86-90. Avaible From:
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/pharmacon/article/viewFile/2386/19
20 [diakses tanggal 8 maret 2015]
Day, RA. dan Underwood, AL. (2002) Analisis Kimia Kuantitatif ed 6. Jakarta:
Erlangga.
EFSA. (2014), ‘The EFSA Journal’, Opinion of the Scientific Panel on Food
Additives, Flavourings, Processing Aids and Materials in Contact with
Food on a request from the Commission to Review the toxicology of a
number of dyes illegally present in food in the EU [internet], 263, 1-71.
Avaible From: http://www.efsa.europa.eu/en/scdocs/doc/263.pdf
[diakses tanggal 5 Februari 2015]
Febrina,Rina dkk. (2013),’Jurnal Biologi’, Pengaruh Pemberian Rhodamin B
Terhadap Siklus Estrus Mencit (Mus Musculus L.) Betina [internet], 17(1),
21–23. Avaible From:
http://ojs.unud.ac.id/index.php/BIO/article/download/8328/6205 [diakses
tanggal 25 December 2014]

58
Georgescu,Bogdan dkk. (2011), ‘Scientific Papers: Animal Science and
Biotechnologies’, Heavy Metals Acting As Endocrine Disrupters
[internet], 44(2), 89–93. Avaible From: http://www.usab-
tm.ro/utilizatori/ZOOTEHNIE/file/REVISTA%202011/vol%2044/2/BIO
CHIM/Georgescu.pdf [diakses tanggal 30 Januari 2015]
Harwanti. (2014) Bahan Tambahan Pada Pangan Dan Bahayanya (Formalin, Boraks
Dan Pewarna Buatan). Avaible at :
http://portal.bangkabaratkab.go.id/id/informasi/bahan-tambahan-pada-
pangan-dan-bahayanya-formalin-boraks-dan-pewarna-buatan (diakses
tanggal 25 Desember 2014)
Hema, M. dan Arivoli, S. (2009). ‘Indian Journal of Chemical Technology’,
Rhodamine B absorption by Activated Carbon: Kinetic and Equilibrium
Studies [internet]. 16(1), 38-45. Avaible at:
http://nopr.niscair.res.in/bitstream/123456789/3211/1/IJCT%2016(1)%20
38-45.pdf [diakses tanggal 10 Oktober 2015]
Indonesia. Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan (2013) Peraturan Kepala
Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor
37 Tahun 2013 Tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan
Tambahan Pangan Pewarna. Jakarta: Kantor BPOM RI. Avaible
at:
http://jdih.pom.go.id/showpdf.php?u=Cwz64Bj9OPinOJI%2Bk
4%2BRloz%2FFtdUIuPm7dPnQTWo5xo%3D (diakses tanggal
10 Oktober 2015)
Indonesia. Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (1990) Keputusan
Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen
Kesehatan Republik Indonesia nomor :00386/C/Sk/Ii/90 tentang
Perubahan Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan Nomor :
239/Menkes/Per/V/85 tentang Zat Warna Tertentu yang Dinyatakan
Sebagai Bahan Berbahaya. Jakarta: Kantor Pemerintah Indonesia.

59
Avaible at:
http://www.pom.go.id/pom/hukum_perundangan/pdf/SK_Dirjenpom_003
86.pdf (diakses tanggal 24 Januari 2015)
Indonesia. Menteri Kesehatan Republik Indonesia (1985) Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor :239/Men.Kes/Per/V/85 tentang Zat
Warna Tertentu yang Dinyatakan Sebagai Bahan Berbahaya. Jakarta:
Kantor Pemerintah Indonesia. Avaible at:
https://agus34drajat.files.wordpress.com/2010/10/permenkesrino-239_zat-
warna-berbahaya.pdf (diakses tanggal 24 Januari 2015)
Indonesia. Menteri Kesehatan Republik Indonesia (1988) Lampiran I Peraturan
Menteri Kesehatan RI nomor : 722/Menkes/Per/X/88 tentang Bahan
Tambahan Makanan. Jakarta: Kantor Pemerintah Indonesia. Avaible at:
http://rulebook-
jica.ekon.go.id/pdfs/070_722_MENKES_PER_IX_1988_i_Lamp1%265.p
df (diakses tanggal 24 Januari 2015)
Indonesia. Menteri Perdagangan Republik Indonesia (2013) Peraturan Menteri
Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 70/M-Dag/Per/12/2013
tentang Pedoman Pembinaan dan Penataan Pasar Tradisional, Pusat
Perbelanjaan dan Toko Modern. Jakarta: Kantor Pemerintah Indonesia.
Avaible at: http://www.kemendag.go.id/files/regulasi/2013/12/12/70m-
dagper122013-id-1387441243.pdf (diakses tanggal 8 Maret 2015)
Indonesia. Menteri Perindustrian Republik Indonesia (2006) Peraturan Menteri
Perindustrian Republik Indonesia Nomor : 24/M-Ind/Per/5/2006 tentang
Pengawasan Produksi dan Penggunaan Bahan Berbahaya untuk Industri.
Jakarta: Kantor Pemerintah Indonesia. Avaible at:
http://hukum.unsrat.ac.id/men/menindustri_24_2006.pdf (diakses
tanggal 24 Januari 2015)
Indonesia. Menteri Perindustrian Republik Indonesia (2006) Peraturan Menteri
Perindustrian Republik Indonesia Nomor : 24/M-Ind/Per/5/2006 tentang

60
Pengawasan Produksi dan Penggunaan Bahan Berbahaya untuk Industri.
Jakarta: Kantor Pemerintah Indonesia. Avaible at:
http://hukum.unsrat.ac.id/men/menindustri_24_2006.pdf (diakses
tanggal 24 Januari 2015)
Indonesia. Pemerintah Kabupaten Sumenep (2013) Peraturan Daerah Kabupaten
Sumenep Nomor : 5 Tahun 2013 Tentang Perlindungan, Pemberdayaan
Pasar Tradisional Dan Penataan Pasar Modern. Jakarta: Kantor
Kabupaten Daerah Sumenep. Avaible at:
http://www.sumenep.go.id/data/perda/Perda%20No.%205%20th%202013
%20ttg%20Pasar%20tradsional%20%26%20Modern.pdf (diakses tanggal
8 Maret 2015)
Inyinbor, A. dkk. (2014). ‘Covenant Journal of Physical and Life Sciences’,
Adsorption of Rhodamine B from Aqueous Solution Using Treated
Epicarp of Raphia Hookerie [internet]. 2(2), 83-101. Avaible at:
http://journals.covenantuniversity.edu.ng/cjls/published/December2014/In
yinbor.pdf [diakses tanggal 10 Oktober 2015]
Khorriyah, K.(2014) Uji Kandungan Rhodamin B Total Mikroba dan Bakteri
Coliform pada Terasi yang Beredar di Kabupaten Bangkalan . Avaible at:
http://pta.trunojoyo.ac.id/welcome/detail/100331100066# (diakses
tanggal 25 April 2014)
Kulkarni,J. dkk. (2014), ‘ International Journal Of Research –Granthaalayah’,
Synthetic Food Colors - Are They Safe? [internet], 1-5. Avaible From
http://granthaalayah.com/Composition_of_colours/Articles/06_IJRG14_C
C11_20.pdf [diakses tanggal 5 Februari 2015]
Lalitha, P. dan Sangeetha, N.S. (2008). ‘Oriental Journal of Chemistry’, Experimental
Investigation of the Adsorption Of Rhodamine-B from Aqueous Solution
onto Activated Carbon from Water Hyacinth [internet], 24(3), 1-6.
Avaible at: http://orientjchem.org/dnload/P-LALITHA-and-S-NITHYA-

61
SANGEETHA/OJCV024I03P983-988.pdf [diakses tanggal 10 Oktober
2015]
Lee, H. dkk. (2013). ‘Chemistry Central Journal’. Rapid Destruction of The
Rhodamine B Using Tio2 Photocatalyst In The Liquid Phase Plasma
[internet]. 7(156), 1-5. Avaible at:
http://journal.chemistrycentral.com/content/pdf/1752-153X-7-156.pdf
Lestari (2010), Keberadaan Rhodamin B pada Terasi Bermerek dan Tidak Bermerek
yang Diproduksi dan Beredar di Kota Tegal Jawa Tengah [internet],
Avaible From: http://eprints.undip.ac.id/31406/1/3798.pdf [diakses
tanggal 28April 2015]
Maryanti, SA. dkk. (2014), ‘Cukurova Medical Journal’, Rodamine B Triggers
Ovarian Toxicity Through Oxidative Stress [internet], 39(3), 451–457.
Avaible From:
http://dergipark.ulakbim.gov.tr/cukmedj/article/download/5000047260/50
00044591 [diakses tanggal 25 Desember 2014]
Mayori, R. dkk. (2014), ‘Jurnal Biologi Universitas Andalas’, Pengaruh Pemberian
Rhodamin B Terhadap Struktur Histologis Ginjal Mencit Putih (Mus
musculus L.) [internet], 2(1), 43-49. Avaible From: http://jurnalsain-
unand.com/FilesJurnal/658653546Riska%20Mayori%20final%2043-
49.pdf [diakses tanggal 25 Desember 2014]
Prabowo, IE., Supriyanto, G., Raharjo, Y. (2013), ‘Jurnal Universitas Airlangga’,
Sensor Kimia Bentuk Stik Menggunakan Reagen Zn(Cns)2 untuk
Mendeteksi Rhodamin B dalam Sampel Makanan [internet], 1(1), 1-15.
Avaible from:
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/MINI%20JURNAL%20fix.pdf (diakses
tanggal 28 Mei 2015).
Putri, NKL., Suriani, NL., Yulihastuti, DA (2012), ‘Jurnal Biologi’, Penentuan Jenis
dan Kadar Zat Pewarna Merah pada Makanan yang Beredar di Sekolah
Dasar di Kelurahan Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten

62
Badung – Bali [internet],16(2), 48-51. Avaible From:
http://journal.ubaya.ac.id/index.php/jimus/article/download/465/440
[diakses tanggal 22 Mei 2015]
Shen, K. dan Gondal, M.A. (2013), ‘Journal of Saudi Chemical Society’, Removal Of
Hazardous Rhodamine Dye from Water by Adsorption onto Exhausted
Coffee Ground [internet], 2013, 1-8. Avaible from: http://ac.els-
cdn.com/S131961031300118X/1-s2.0-S131961031300118X-
main.pdf?_tid=1c6290c0-6778-11e5-93b3-
00000aacb362&acdnat=1443620307_570fa160c0ce12d964bb29811fb4fb
65 [diakses tanggal 10 Oktober 2015]
Silalahi, J. dan Rahman, F. (2011), ‘Journal Indonesian Medical Association’,
Analisis Rhodamin B pada Jajanan Anak Sekolah Dasar di Kabupaten
Labuhan Batu Selatano Sumatera Utara [internet], 61(7), 293-298.
Avaible From:
http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/download/10
09/1011 [diakses tanggal 22 Januari 2015]
Sulistina,DR. dkk. (2014), ‘Asian Pacific Journal of Reproduction’, Rodamine B
increases hypothalamic cell apoptosis and disrupts hormonal balance in
rats [internet], 3(3), 180-183. Avaible From:
http://www.apjr.net/Issues/201403/PDF/3.PDF.pdf [diakses tanggal 25
Desember 2014]
Suprapti, M. (2002) Membuat Terasi. Kanisius: Yogyakarta.
Supraptini (2011), Laporan Hasil Penelitian Kualitas Bahan Makanan di Pasar
Tradisional di Beberapa Kota Di Indonesia ( Kota Sragen Di Jateng Dan
Gianyar Bali) [internet], Avaible From:
http://km.ristek.go.id/assets/files/468.pdf [diakses tanggal 24 Mei 2015]
Utami, N. (2013), ‘Unnes Journal of Public Health’, Uji Sensitivitas Kertas Saring
untuk Identifikasi Pewarna Rhodamin B pada Makanan Jajanan
[internet], 2(2), 1-9. Avaible From:

63
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph/article/view/2995/2770
[diakses tanggal 4 April 2015]
Utami, W. dan Suhendi, A. (2009), ‘Jurnal Penelitian Sains & Teknologi’, Analisis
Rhodamin B dalam Jajanan Pasar dengan Metode Kromatografi Lapis
Tipis [internet], 10(2), 148-155. Avaible From:
http://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/123456789/442/6.%20
WAHYU%20UTAMI%20c.pdf [diakses tanggal 8 Maret 2015]
UU Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. Jakarta:
Kantor Pemerintah Indonesia. Avaible at:
http://www.litbang.depkes.go.id/sites/download/regulasi/pp/PP-No.-28-
Th-2004.pdf (diakses tanggal 24 Januari 2015)
Venkatraman, B.R. dkk. (2012). ‘Der Chemica Sinica’, Removal of Rhodamine B Dye
from Aqueous Solution Using The Acid Activated Cynodon Dactylon
Carbon [internet]. 3(1), 99-113. Avaible at:
http://pelagiaresearchlibrary.com/der-chemica-sinica/vol3-iss1/DCS-2012-
3-1-99-113.pdf (diakses tanggal 10 Oktober 2015)
Webb, J dan Hansen, W. (1961).’Elsevier’. Studies of the metabolism of Rhodamine
B [internet]. 3(1), 86-95. Avaible at:
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/0041008X61900126
(diakses tanggal 22 Oktober 2015)

64
Lampiran 1

Surat Ijin Ethical Clearence

65
Lampiran 2

Surat Ijin dan Pernyataan Telah Menyelesaikan Penelitian di Laboratorium Biokimia


Fatepa

66
Lampiran 3

Surat Ijin Kegiatan Penelitian Bapeda

67
Lampiran 4

Data Pasar dan Omset Pasar

Nama Pasar Jumlah Pedagang


Laki-Laki Perempuan Total Omset Per Bulan
(Rupiah)
Pasar Karang Seraya 10 134 144 5400000
Pasar Perumnas 15 134 149 3375000
Pasar Karang Medain 27 27 81000
Pasar Karang Sukun 18 167 185 4162500
Pasar Cemara 37 213 250 9000000
Pasar Ampenan/ACC 25 234 259 11655000
Pasar Pagutan 26 236 262 7860000
Pasar Abian Tubuh 18 167 185 9000000
Pasar Sayang-Sayang 74 420 494 14295000
Pasar Sindu 54 218 272 12240000
Pasar Kebon Roek 210 633 843 34830000
Pasar Dasan Agung 79 320 399 17625000
Pasar Rembiga 6 49 55 660000
Pasar Pagesangan 147 442 589 35340000
Pasar Karang Lelede 10 141 151 14295000
Pasar Cakra 145 337 482 21735000
Pasar Mandalika 529 1236 1765 87147000
Total 6511 288700500

68
Lampiran 5

Hasil Analisis Kualitatif Rhodamin B pada Terasi

Nama Pasar Katagori Pasar Hasil Analisa kualitatif


Pasar Abian Tubuh pasar kecil -
-
-
+
Pasar Ampenan/ACC pasar kecil +
-
-
-
Pasar Cakra pasar besar -
-
-
-
-
-
Pasar Cemara pasar kecil -
+
-
-
Pasar Dasan Agung pasar besar -
-
-
-
-
-

69
Lanjutan Lampiran 5

Nama Pasar Katagori Pasar Hasil Analisa kualitatif


Pasar Karang Lelede pasar kecil -
-
-
-
Pasar Karang Medain pasar kecil -
-
-
-
Pasar Karang Seraya pasar kecil -
-
-
-
Pasar Karang Sukun pasar kecil -
-
+
-
Pasar Kebon Roek pasar besar +
+
-
-
-
-

70
Lanjutan Lampiran 5

Nama Pasar Katagori Pasar Hasil Analisa kualitatif


Pasar Mandalika pasar besar -
-
+
+
-
-
Pasar Pagesangan pasar besar +
-
-
-
-
-
Pasar Pagutan pasar kecil -
+
-
-
Pasar Perumnas pasar kecil -
-
-
-
Pasar Rembiga pasar kecil -
-
-
-

71
Lanjutan Lampiran 5

Nama Pasar Katagori Pasar Hasil Analisa kualitatif


Pasar Sayang-Sayang pasar kecil -
-
-
-
Pasar Sindu pasar kecil +
-
+
-

72
Lampiran 6

Foto-Foto Penelitian

Proses pengambilan sampel terasi dari pasar

Pengaumpulan sampel terasi dari pasar

Proses pengujian sampel


73

Anda mungkin juga menyukai