Anda di halaman 1dari 466

Kumpulan Kata-Kata Mutiara, Syair-Syair dan Wejangan-

Wejangan dalam Novel Silat Karya Kho Ping Hoo

Asmaraman Sukowati atau Kho Ping Hoo (juga dieja Kho Ping Ho, Hanzi: 許平和;
pinyin: Xǔ Pínghé, lahir di Sragen, Jawa Tengah, 17 Agustus 1926 – meninggal 22 Juli
1994 pada umur 67 tahun) adalah penulis cersil (cerita silat) yang sangat populer di
Indonesia. Kho Ping Hoo dikenal luas karena kontribusinya bagi literatur fiksi silat
Indonesia, khususnya yang bertemakan Tionghoa Indonesia yang tidak dapat diabaikan.
Selama 30 tahun ia telah menulis sedikitnya 120 judul cerita. Walaupun menulis cerita-
cerita silat berlatar Tiongkok, penulis yang produktif ini tidak bisa membaca dan
menulis dalam bahasa Mandarin. Ia banyak mendapat inspirasi dari film-film silat Hong
Kong dan Taiwan. Karena tidak bisa berbahasa Mandarin, Kho Ping Hoo tidak memiliki
akses ke sumber-sumber sejarah negeri Tiongkok berbahasa Tionghoa, sehingga banyak
fakta historis dan geografis Tiongkok dalam ceritanya tidak sesuai dengan kenyataan
yang sebenarnya. Dari sebab itu, karya Kho Ping Hoo akan membingungkan bagi yang
mengerti sastra atau sejarah Tiongkok yang sebenarnya.
Selain karya-karya yang termuat di artikel ini, masih terdapat karya-karya Asmaraman
S. Kho Ping Hoo lain yang merupakan karangan-karangan lepas (satu judul/kisah tamat)
baik berlatar belakang Tionghoa maupun Jawa seperti serial Pecut Sakti Bajrakirana
dan serial Badai Laut Selatan yang berlatarbelakang masa Kesultanan Mataram Islam
dan zaman Airlangga.
Beberapa sinetron yang ditayangkan televisi Indonesia juga memiliki kemiripan cerita
dengan novel Kho Ping Hoo. Beberapa di antaranya adalah sinetron serial Angling
Dharma yang mirip dengan alur cerita Bu Kek Siansu dan sinetron serial Misteri
Gunung Merapi yang mirip dengan Alap-alap Laut Kidul (Lindu Aji) dan Bagus Sajiwo.
Padahal dalam cerita asalnya, Misteri Gunung Merapi lebih bernuansa daerah Sumatra
dengan Gunung Sorik Marapi-nya. Tidak diketahui apakah ini merupakan kebetulan
ataukah bukan.
“Siapa bilang hidup lebih senang dari pada mati?
Siapa bilang mati harus diantar susah hati?
Samua berasal dari tiada.
Dan kembali kepada tiada
Bila musimnya tiba?
Bukankah mati hanya pulang ke asalnya?”

Kalau kau menarik gendewa,


sampai sepenuh-penuh lengkungnya,
kau akan menyesal
mengapa tak kau hentikan pada waktunya.

Kalau kau mengasah pedangmu


seruncing-runcingnya,
ujung pedang itu takkan
dapat bertahan lama.

Kalau emas permata memenuhi rumahmu,


kau akan repot dan bingung
untuk menjaga semua itu.

Menyombongkan harta dan


mengagulkan kedudukan,
berarti menyebar benih keruntuhan.

Mengasolah setelah tugas selesai,


sesuai dengan jalan Thian-to
(Hukum Alam)!”

“Kalau tidak ada kejahatan di dunia ini, mana mungkin ada kebaikan? Siapa
mau bicara kebaikan kalau tidak ada kejahatan? Siapa bisa mengatakan baik
kalau tidak ada buruk dan mana di dunia ini ada orang berbudi kalau tidak ada
orang jahat? Kejahatan merupakan imbangan dari pada kebajikan seperti Im
(positif) menjadi imbangan dari pada yang (negatif) kalau salah satu tidak ada
mana mungkin dunia bisa berputar dan matahari bisa terbit dan tenggelam?”

"Mempergunakan kepandaian untuk menghina orang, sungguh tak patut sekali.


Menangkan orang lain hanya memiliki tenaga besar, menangkan diri sendiri
barulah betul-betul patut disebut kuat!"
“Seekor kerbau gemuk memimpin negara
mana negara bisa kuat dan rakyat bisa bahagia?
Akan tetapi srigala lebih jahat lagi.
Tak saja rakyat diabaikan, bahkan dicekik mati.
Negara kacau, selalu timbul pengkhianatan bangsa.
Penasaran……! Penasaran…….!
Sayang sekali Antasari menjadi korban.
Penasaran…..! Penasaran…….!”

“Inilah namanya memanggang daging dengan api bernyala, matang dan


gosong luarnya, sedangkan di sebelah dalamnya masih mentah! Demikian pula
hasilnya kalau orang memberi pelajaran terlalu dalam kepada seorang pemuda
yang masih hijau dan kurang wawasan! Akibatnya menjadi seorang pemuda
berlagak ahli filsafat padahal masih mentah! Pengetahuan mendalam tanpa
pengalaman matang seperti mangkok berkembang tanpa isi. Apa gunanya?
Hanya untuk pameran belaka!
Kau bermimpi dalam sadar. Jalan Tuhan memang luar biasa dan tak dapat di
mengerti oleh manusia dan memang sudah menjadi kewajiban manusia untuk
menyerahkan seluruh hasil dan keputusan kepada Tuhan dengan penuh iman
dan kepercayaan. Akan tetapi jangan kau lupa bahwa manusia juga berhak
untuk berikhtiar, untuk berusaha demi kebenaran, keadilan, dan kebaikan.
Penyerahan secara membuta tanpa disertai ikhtiar, itu bahkan berarti
penghinaan namanya! Kau dilahirkan bertanah air, berbangsa, bukankah itu
kehendak Tuhan pula? Kalau kau tidak dapat membela tanah air dan bangsa,
membiarkan tanah air dan bangsa dihina dan diinjak-injak oleh kaki orang lain,
patutkah kau disebut seorang anak bangsa?

"Hutan sungai tetap murni tak berubah


apabila tiada tangan kotor orang menjamah,
mengapa tempat tinggal orang kacau belaka!
Mengapa mereka saling bunuh tiada habisnya?
Katakan manusia berakal budi
katakan manusia mahluk tertinggi
aku lebih kagum melihat burung dan kelinci.
Katakan dusun kota indah dan damai,
aku lebih cinta hutan dan sungai!"

"Kedukaan tidak dapat dilupakan. Yang dapat dilupakan itu tentu akan teringat
kembali. Kita tidak mungkin dapat lari dari duka, karena yang berduka itu
adalah kita sendiri, batin kita sendiri. Bagaimana mungkin kita dapat lari dari diri
kita sendiri? Duka bukan sesuatu yang terpisah dari kita. Duka adalah suatu
kenyataan yang harus kita hadapi, kalau kita ingin agar kita dapat bebas
seluruhnya daripada duka, bukan bebas dari duka yang ini atau yang itu. Duka
adalah suatu keadaan dari batin kita sendiri, disebabkan oleh pikiran kita
sendiri, ditimbulkan oleh perasaan iba diri yang berlebihan."

"Lalu bagaimana kita harus berbuat agar terlepas daripada duka?"


"Duka adalah kita, maka tidak mungkin kita, yang terdiri dari darah dan daging
dan pikiran ini, yang menginginkan ini dan itu, termasuk keinginan bebas dari
duka, dapat membebaskan diri sendiri dari duka. Kita harus menghadapi duka
itu, menerimanya sementara memuji atau mencelanya, menerimanya sebagai
suatu kewajaran, mengamatinya dengan penuh kewaspadaan dan terutama
sekali, kita menyerahkan segalanya kepada Thian! Sikap menyerah dengan
penuh kepercayaan akan kekuasaan Thian inilah yang akan memberi kekuatan
ke¬pada kita untuk menerima kenyataan seperti apa adanya, termasuk
menerima apa yang kita namakan duka seperti sesuatu yang nyata dalam diri
kita. Tanpa mengeluh, tanpa menolak, tanpa mengejar. Kekuasaan Thian akan
membuka mata kita, mendatangkan kewaspadaan bahwa duka dan suka itu
sama, saja! Itu hanya merupakan permainan si-aku, pikiran yang selalu
mendambakan kesenangan dan menjauhi kesusahan. Pikiran kita selalu
dijadikan medan perang antara pencarian kesenangan dan penghindaran
kesusahan, maka kita terombang-ambing antara susah senang, suka duka
yang tiada hentinya sepanjang hidup!

Perbuatan buruk jahat memang seperti penyakit menular mudah sekali menular
kepada orang lain. Sebaliknya, perbuatan baik sukar sekali menjadi contoh dan
tak banyak orang mau mengikutinya. Hal ini adalah karena perbuatan buruk itu
hampir selalu didorong oleh pamrih demi kesenangan pribadi. Justeru
kesenangan pribadi inilah yang menarik hati setiap orang maka berbondong-
bondong mereka mengikuti contoh ini demi menikmati kesenangan itu.
Sebaliknya, perbuatan baik hampir selalu meniadakan atau mengurangi
keinginan menyenangkan diri pribadi yang berarti bahwa untuk melakukan
perbuatan baik orang hampir selalu menderita rugi, baik rugi lahir maupun rugi
batin. Maka sudah barang tentu jarang ada yang mau melakukannya.

Ho Hak Kin Houw Ti, Lek Heng Houw Jin, Ti Thi Kin Houw Yong! (Suka belajar
berarti mendekati pengetahuan, menjalankan ilmu pengetahuan berarti
mendekati welas asih dan tahu malu berarti mendekati kejantanan!”)

Manusia manakah yang tahu akan ketentuan nasibnya? Siapakah yang


mengerti akan rahasia besar nasib manusia yang hanya dipegang dan
ditentukan oleh Tangan Tuhan Yang Maha Kuasa sendiri?

Bukti kekuasaan Tuhan memang kadang-kadang amat aneh, ganjil, dan sukar
dimengerti. Kadang-kadang bahkan nampak tidak adil!
Misalnya, seorang yang berwatak jahat hidup dalam keadaan senang dan
makmur, sebaliknya seorang yang berwatak baik hidup sengsara.
Ada pula seorang yang hidupnya penuh dosa selalu sehat, sebaliknya orang
yang hidup saleh bahkan menderita penyakit berat. Terlontarlah kata-kata “tidak
adil” dari mulut mereka yang masih belum kuat iman dan kepercayaannya
terhadap Tuhan dan kekuasaannya.

Akan tetapi tidak demikian sikap orang budiman, atau seorang yang memang
menaruh kepercayaan akan keadilan Tuhan secara mutlak.
Dia ini bahkan akan menerima segala apa yang oleh manusia dianggap
“sengsara” atau “menderita” dengan hati tenang dan penuh penyerahan
sebulatnya kepada Yang Maha Kuasa, menerima lahir batin dengan penuh
kepercayaan dan keyakinan bahwa segala apa yang menimpa dirinya itu
adalah kehendak Tuhan yang tak dapat diubah pula oleh siapapun juga, dan
bahwa di balik semua hal yang menimpa dirinya itu terdapat sesuatu yang adil
dan baik. Bahagialah orang yang menerima kemalangan sebagai orang
menghadapi ujian, tahan uji, kuat dan akhirnya lulus!

Kasihan mereka yang lemah hati, yang tidak kuat menghadapi kemalangan,
sehingga kepercayaan menjadi luntur, watak yang baik menjadi buruk, dan
kemalangan menyeretnya ke dalam penyelewengan yang akan
menghancurkan hidupnya sendiri!

Tun Hek Ki Jiak Phak, Kong He Ki Jiak Kak, Huk He Ki Jiak Tak
Berlakulah sopan jujur seperti balok,
Berwataklah sunyi agung seperti jurang dalam,
Dan bersikaplah seperti air keruh.

Siok Ling Tok I Ci, Cing Ci Ji Jing, Siok Ling An I Kiu, Tong Ci Ji Seng! (Siapa
bisa bersikap seperti air keruh lama-lama menjadi jernih, siapa bisa berlaku
sabar, lambat laun memetik buahnya.

“Mati di antar tangis, lahir disambut tawa. Tapi bagaimanakah sikap orang
bijaksana?”
“Kurangi Tangis dan Perbanyaklah Tawa!”

Seng-cia-cu-seng-ya. Ji-to-cu-to-ya, artinya: kesempurnaan hati suci murni


harus dicapai sendiri dengan penyempurnaan watak pribadi. Jalan kebenaran
yang menjadi sifat setiap orang harus diajukan dalam perbuatan sendiri

Kou Kuncu Put Kho-i Put Siu-sin. Su siu-sin Put kho-i Put Su-jin. Su Su-jin Put-
kho-i Ti-jin. Su Ti-jin, Put Kho-i Put Ti Thian!
Seorang Budiman seharusnya menyempurnakan diri (batin dan pikiran) pribadi.
Untuk dapat menyempurnakan diri pribadi, tak dapat tiada harus mencinta dan
berbakti kepada ayah bunda. Untuk dapat mencinta dan berbakti kepada ayah
bunda, tak dapat tiada harus mengetahui tentang perikemanusiaan.
Dan untuk dapat mengetahui tentang perikemanusiaan, tak dapat tiada ia harus
mengetahui tentang KETUHANAN.

Alangkah buruk nasib! Aku dipaksa tinggal di tubuh hina. Dikurung dalam
segala kerendahan jasmani! Diliputi oleh segala kepanasan hawa nafsu!
Hanya satu hiburan bagiku : Akan tiba masanya aku pergi, meninggalkan
semua keburukkan ini. Dan kembali ke tempat asal, kembali ke tempat suci!

Pok-hian-houw-in, Bok-hian-houw-bi, Koh-kuncu-sin-ki-tok-ha! (Tidak ada yang


lebih jelas dari pada yang tersembunyi, dan tak ada yang lebih tegas dari pada
yang paling lembut. Maka seorang budiman selalu berhati-hati terhadap hal
yang tersembunyi.

Iman yang lemah dikuasai hati, hati yang kotor dikuasai pikiran dan pikiran yang
picik dikuasai oleh mata.
Kalau mata sudah silau dan buta karena cahaya harta benda, wanita &
kekuasaan, apakah lagi yang pantang dilakukan?”

manusia dihormat oleh sesamanya bukan karena keputihan rambutnya (usia


tua), melainkan karena keputihan hatinya (budiman).”

Pemimpin negara yang baik selalu memberi contoh dengan perbuatan, bukan
sekedar mengeluarkan perintah saja. Rakyat di manapun juga tidak mudah
ditipu dengan slogan kosong, melainkan memperhatikan cara hidup para
pemimpinnya. Kalau ingin rakyat bekerja keras, para pemimpin harus bekerja
keras. Kalau ingin rakyat berhemat, para pemimpin harus lebih dulu berhemat.
Pemimpin menjadi contoh dan selalu dicontoh rakyat karena itu kalau para
pemimpinnya melakukan penyelewengan, korupsi, kolusi, nepotisme
bagaimana dapat mengharapkan rakyat tertib dan jujur?

Nasib berada di tangan Tuhan dan di-tentukan oleh kekuasaan Tuhan.


Memang benar. Akan tetapi baik buruknya nasib tergantung dari si manusia
sendiri. Manusia diberi peralatan selengkapnya untuk berusaha memperbaiki
keadaan dirinya. Tidak mempergunakan segala daya yang ada padanya berarti
menyia-nyiakan pemberian anugerah dari Tuhan berupa kehidupan sempurna
itu.
Nasib yang menimpa seseorang pasti ada sebabnya dan sebab itu berada di
tangan si manusia sendiri. Setiap orang akan memetik buah dari hasil
tanamannya sendiri. Karena itu, orang yang mengerti benar akan nikmat ini,
selalu menanam bibit yang baik, yaitu melakukan semua perbuatan yang baik
sehingga buahnya kelak pun baik. Sebaliknya, kalau tertimpa suatu peristiwa,
menyenangkan atau menyusahkan, tidak akan menyesal karena maklum
bahwa semua itu adalah hasil tanaman-nya sendiri. Wajarlah kalau yang
bersalah menerima hukumannya.
Mengapa menyesal? Penyesalan yang perlu kita miliki adalah bertaubat atas
kesalahannya dan tidak akan mengulang kembali. Tidak akan menanam bibit
yang buruk lagi, melainkan menanam bibit yang baik-baik saja tanpa pamrih,
yaitu pamrih untuk kesenangan diri sendiri. Pamrih adalah harapan
mendapatkan sesuatu, dan hanya orang yang mengharapkan mendapat
sesuatu sajalah yang akan merasa kecewa. Kecewa kalau yang diharapkan itu
tidak tercapai, kemudian menjadi bosan dan tidak puas kalau harapan itu
terpenuhi, karena yang diharapkan itu kemudian setelah tercapai tidaklah
seindah seperti yang dibayangkan semula.
Duka datang bersama perasaan iba diri. Aku ditinggal, aku kehilangan, aku
kesepian, aku dirugikan dan semua kenangan mengenai aku yang dirugikan
itulah yang mendatangkan rasa iba diri dan menjurus kepada kedukaan. Duka
ini dapat pula memperbesar rasa benci terhadap sesuatu yang rnenjadi
penyebab datangnya kerugian itu.

Perasaan hati memang condong untuk berubah setiap waktu. Karena itu, tidak
mungkin hal itu dalam satu keadaan terus menerus tanpa perubahan. Duka
tidak dapat mengekang hati terlalu lama, apalagi suka. Sebentar saja perasaan
itu sudah terganti oleh perasaan lain. Karena itu, tidak keliru kalau ada yang
mengatakan bahwa pada saat suka menduduki hati, duka sudah antri di
belakangnya dan demikian sebaliknya. Suka dan duka lewat bagaikan angin
lalu, semua akan terlena oleh Sang Waktu.

"Orang yang melakukan sesuatu dengan kesadaran bahwa dia melakukan


kebaikan, maka dia terjerumus ke dalam kepalsuan dan timbullah pamrih dalam
batinnya untuk mendapatkan imbalan dari perbuatannya itu. Kalau ada
perbuatan yang disebut baik, maka hal ini akan mendorong orang untuk
menjadi munafik, untuk berbuat yang baik-baik dengan menyembunyikan
pamrih untuk 'kesenangan' diri pribadi.
Mungkin pamrih itu berupa keinginan agar dianggap atau disebut baik oleh
orang lain, keinginan untuk mendapatkan imbalan jasa dari yang ditolongnya,
atau bahkan keinginari untuk mendapatkan berkah atau pahala cari Tuhan
karena perbuatan baik kita.
Semua keinginan itu, adalah pamrih yang tersembunyi dan apa pun macamnya
pamrih itu, tiada lain hanya demi kesenangan diri pribadi. Jadi perbuatannya itu
hanya merupakan cara untuk memperoleh apa yang diinginkan. Bukankah
perbuatan begitu palsu adanya dan munafik?"
"Kalau begitu perbuatan yang baik itu bagaimana, Totiang?"
"Tidak ada perbuatan baik bagi si pelaku bijaksana. Yang ada hanyalah per-
buatan yang benar dan ini dianggapnya sebagai suatu kewajiban dalam hidup.
Hidup haruslah ada kasih sayang di antara manusia dan dari kasih sayang
inilah timbul perasaan iba yang mendorong kita berbuat benar dan membantu
siapa yang berada dalam kesukaran. Perbuatan yang didorong oleh kasih ini
sama sekali tidak berpamrih, bahkan si pelaku tidak menya-dari bahwa
perbuatannya itu baik atau ti-dak. Dia hanya yakin bahwa apa yang
dilakukannya itu adalah benar karena menurutkan dorongan kasih sayang
antara manusia."
"Kakau begitu, kita tidak perlu membalas kebaikan orang kepada kita, Totiang?"
"Hutang budi sama saja dengan hutang dendam. Keduanya menuntut balasan.
Balas budi atau balas dendam. Ini dapat terjadi pada hati yang tidak me-ngenal
kasih sayang. Bagi orang yang mengenal kasih sayang, tidak ada me-lepas
budi atau hutang budi, tidak ada melepas hutang yang menimbulkan den-dam
dan tidak ada pula dendam."
"Akan tetapi, Totiang, bagaimana mungkin kita hidup terbebas dari budi dan
dendam?"
"Terserah kepada pribadi masing-ma-sing akan membiarkan dirinya terbebas
ataukah tidak. Akan tetapi siapa masih terbelenggu budi dan dendam, pastilah
dia akan mengalami duka sengsara.
Kedua perasaan itu, budi dan dendam, adalah racun yang menggelapkan mata
hati."
"Mengapa begitu, Totiang?"
"Contohnya. Orang yang berhutang budi pada seseorang dan ingin membalas
budi itu, tentu menganggap orang yang dihutangi budi itu seorang yang benar
dan baik walaupun semua orang menganggap dia seorang yang jahat.
Sebaliknya, orang yang mendendam kepada seseorang dan ingin membalas
dendam itu, tentu menganggap orang yang hutang dendam itu seorang yang
salah dan jahat walaupun semua orang menganggap dia seorang yang
budiman.

Duka timbul dari kenangan masa lalu, dan rasa khawatir atau takut timbul dari
bayangan masa depan. Kalau kita hanya menghadapi masa kini, saat ini
dengan penuh penerimaan, kepasrahan, kesabaran dan ketawakalan kepada
kekuasaan Tuhan Yang Maha Kasih, maka segala macam kedukaan dan
kegelisahan pasti dapat dilenyapkan oleh kekuasaan Tuhan.
Segala kehendak Tuhan pun jadilah! Tidak ada kekuasaan lain yang mampu
mengubahnya. Kalau sudah pasrah seperti itu, maka kejadian apa pun yang
menimpa diri kita, akan kita hadapi tanpa mengeluh karena kita tahu bahwa
kejadian itu sudahlah wajar dan semestinya. Bukan berarti bahwa kita
menerima saja segala sesuatu dengan tidak berusaha, sama sekali bukan. Kita
berusaha sekuat tenaga namun dengan landasan kepasrahan kepada
kekuasaan Tuhan. Dengan iman yang kokoh kuat, mudah saja bagi, kita untuk
melandasi semua daya upaya kita dengan kepasrahan yang mutlak dan
lengkap. Dan Tuhan Maha Bijaksana, Maha Murah. Tuhan lebih dari mengerti
apa yang terbaik untuk kita, walaupun bagi pikiran kita yang tidak sempurna
akan nampak tidak baikl Dan Tuhan mengasihi orang yang pasrah dengan
sepenuh jiwa raganya kepada kekuasaanNya.

Kebaktian timbul dari kasih sayang. Kalau kebaktian tidak timbul dari kasih
sayang, maka sangat boleh jadi kebaktian itu palsu adanya. Ada kebaktian
sebagai balas budi, ada pula kebaktian terhadap orang tua atau guru sebagai
pelaksana kewajiban, atau bahkan ada yang agar supaya dikatakan orang
bahwa dia seorang yang berbakti, murid atau anak yang berbakti. Akan tetapi
semua itu palsu adanya. Kebaktian yang sesungguh-nya timbul dari kasih
sayang. Kalau ada kasih sayang di hati, otomatis ada ke-baktian itu terhadap
orang yang dikasihi.
Seorang anak yang benar-benar memiliki kasih sayang kepada orang tuanya,
dia akan menjadi seorang anak yang benar-benar berbakti. Kebaktian tidak
dapat, diukur dengan benda atau harta, melainkan tercurah melalui sikap dan
perbuatan, dan pembelaan.

Nafsu itu sifatnya seperti api. Kalau dibiarkan berkobar makin lama semakin
menjadi besar. segala apa dilalapnya, tidak pernah mengenal puas, bahkan
makin banyak yang dimakannya, makin lapar dan hauslah dia. Dan sudah
menjadi sifat nafsu, kalau dituruti lambat atau cepat dia akan menjadi bosan
dengan yang sudah didapatkannya dan selalu haus akan "makanan" yang baru.

Cinta merupakan suatu perasaan teramat kuat mempengaruhi diri setiap orang
manusia. Cinta dapat mendatangkan perasaan berbahagia, namun Cinta dapat
pula mendatangkan perasaan sengsara. Kalau dua hati bertemu dan saling
bertaut dalam ikatan benang-benang Cinta itu kadang dapat kusut dan ruwet.
Namun sebaliknya, kalau Cinta tidak terbalas, dapat mendatangkan
penderitaan batin yang hebat. Kekecewaan dan kehampaan akan membuat
seseorang merasa sebagai manusia paling sengsara di dunia ini.

Cinta selalu diboncengi nafsu sehingga sifatnya menjadi tamak. Cinta seperti ini
selalu menghendaki balasan- selalu menghendaki keuntungan bagi diri sendiri.
Menghendaki agar yang diCinta itu membalas Cintanya, menghendaki agar dia
dapat memiliki dan memiliki yang dicinta. Cinta seperti ini mendatangkan rasa
senang bagaikan orang minum anggur yang dapat memabukkan dan membuat
dirinya lupa daratan. Akan tetapi Cinta seperti ini, yang diboncengi nafsu
asmara, sebaliknya dapat pula mendatangkan kekecewaan dan duka. Kalau
yang diCinta itu tidak membalas dengan Cinta, kalau yang diCinta itu
memalingkan muka kepada orang lain, kalau yang diCinta itu tidak
menyenangkan hatinya, tidak suka dikuasai dan dimilikinya, tidak mau pula
menguasai dan memilikinya, maka datanglah kekecewaan dan duka.
Ada Cinta yang murni, tidak diboncengi nafsu. Cinta seperti ini bagaikan sinar
matahari yang tidak memilih siapa yang akan dilimpahi cahayanya. Cinta
seperti ini tidak menuntut balasan, Cinta seperti ini tidak memilih sasaran dan
Cinta seperti ini tidak pernah mendatangkan kesenangan maupun kesusahan,
tidak pernah mendatangkan kepuasan maupun kekecewaan. Cinta seperti ini
seperti matahari yang menyinarkan cahayanya kepada siapapun juga,
menghidupkan, menyehatkan tanpa menuntut balas apa pun dan dari siapa
pun. seperti bunga menyiarkan keharuman memberikan keindahan kepada
siapapun juga tanpa menuntut balas apa pun dari siapa pun. Cinta seperti ini
adalah suatu keadaan, bukan suatu perbuatan yang lahir dari hati akal pikiran.
Akan tetapi yang kita bicarakan adalah Cinta yang pertama tadi, Cinta yang ada
karena bekerjanya hati akal pikiran, karena tertariknya panca indera. Manusia
tidak ada yang terbebas dari Cinta seperti ini. Akan tetapi manusia yang sudah
menyadari dan tahu macam apa Cinta yang menguasai hatinya, yang waspada
dan maklum bahwa Cintanya itu bergelimang nafsu, tidak akan terlalu dalam
terperosok. tidak akan terlalu kuat terikat sehingga akibatnya tidak terlalu parah.
sesungguhnyalah bahwa Cinta seperti ini membuahkan kesenangan ataupun
kesusahan, kepuasan atau kekecewaan dan siapa yang sudah tahu benar akan
hal ini, kalau harus memetik dan memakan buahnya, tidaklah terkejut benar.

Manusia dipermainkan suka dan duka sebagai akibat permainan nafsu.


Manusia selalu mementingkan diri sendiri, selalu mementingkan "si aku" yang
dianggapnya sebagai diri sejati. Padahal, yang mengaku aku itu bukan lain
adalah nafsu. Nafsu daya rendah selalu berebutan untuk menguasai manusia
dan mengaku diri sebagai Aku-nya manusia itu. Dan menjadi sifat nafsu daya
rendah untuk mementingkan diri sendiri. Dari pementingan diri sendiri inilah
timbul segala macam perasaan suka duka. Kalau terjangkau apa yang
diinginkan datanglah suka, kalau tidak terjangkau datanglah duka. Bukan
berarti bahwa manusia harus menjauhi nafsu atau meniadakan nafsu. Tanpa
nafsu manusia tak mungkin dapat merasakan kenikmatan hidup, bahkan tanpa
nafsu manusia tidak akan dapat hidup. Segala macam penemuan manusia
yang membawa kepada kemajuan lahiriah ini adalah berkat dorongan nafsu.
Akan tetapi manusia bijaksana akan selalu menjadi majikan dari nafsu-
nafsunya. Setiap kali nafsu menyimpang dari fungsinya dan hendak
mencengkeram akan menjadikan manusia sebagai budak, manusia bijaksana
akan selalu dapat melihat bahwa apa yang dia pikirkan, katakan dan perbuat itu
bukanlah dilakukan oleh dirinya yang sejati, melainkan oleh nafsu. Dengan
kewaspadaan ini, manusia akan dapat mengembalikan kedudukannya sebagai
majikan dan menarik kembali nafsu yang menguasai itu menjadi pembantu atau
alat.
Manusia sendiri tidak akan mungkin atau akan teramat sukar untuk dapat
menguasai nafsu-nafsunya. Yang dapat menundukkan nafsu adalah
Kekuasaan Tuhan. Karena itu tiada jalan lain bagi manusia untuk meniadakan
nafsu yang suka mengaku-aku dan menariknya menjadi pembantu hanyalah
penyerahan diri kepada Tuhan dengan segala kepasrahan, keihlasan dan
ketawakalan. Kalau sudah begitu, maka Tuhan dengan Kekuasaan-Nya yang
tidak terbatas akan meletakkan nafsu-nafsu di tempat masing-masing
sebagaimana mestinya.
Mengapa nafsu demikian kuat dan besar kekuasaannya atas diri manusia lahir
dan batin? Karena nafsu selalu menarik manusia kepada kesenangan duniawi
yang gemerlapan, tampak indah dan menyenangkan, mendatangkan kepuasan
jasmani. Dengan kesenangan ini manusia terpikat, terbujuk dan akhirnya
menyerah menjadi bulan-bulanan dan permainan nafsu itu sendiri. Dan kalau
nafsu sudah menguasai diri, bukan hanya tindakan kita saja yang menyeleweng
dari kebenaran, bahkan hati akal pikiran kitapun sudah bergelimang nafsu
sehingga hati dan pikiran bahkan membenarkan perbuatan yang didorong
nafsu itu. Maka sukarlah bagi manusia untuk menyadari kesalahan sendiri,
karena hati akal pikirannya selalu membenarkan.
Contoh yang sederhana adalah manusia yang melakukan korupsi. Dia tahu
benar bahwa perbuatan itu tidak benar. Akan tetapi kalau dia melakukannya
lalu hati akal pikirannya membelanya dengan bisikan-bisikan lembut dan
menghibur, misalnya, "tidak apa-apa, toh semua orang melakukannya" atau
"engkau melakukan karena terpaksa oleh keadaan, maka itu bukan dosa" dan
"yang kau lakukan hanya kecil saja, lihat orang lain melakukannya dengan
jumlah yang lebih besar lagi". Pendeknya, hati akal pikiran selalu membela
perbuatan yang tidak benar itu menjadi perbuatan yang dianggap benar!
Maka, seorang manusia bijaksana akan selalu berhati-hati dan waspada,
sehingga dia akan dapat merasakan bahwa perbuatan itu bukan kehendak
dirinya yang sejati melainkan dilakukan karena bujukan iblis nafsu, dan bahwa
bisikan-bisikan membela itu bukan datang dari nuraninya, melainkan dari iblis
nafsu yang sama.

Nenek bilang aku harus membuka mata dan waspada melihat segala di
sekelilingku dan juga apa yang terjadi di dalam dan di luar diriku. Yang ada
hanya pengamatan. Dari pengamatan ini timbul pengertian, lalu penyerahan
terhadap kekuasaan mutlak dari. Tuhan Yang Maha Kasih."

Cemburu merupakan satu di antara nafsu-nafsu yang dapat menghancurkan


manusia itu sendiri dan orang-orang lain. Cemburu merupakan akibat daripada
penonjolan si-aku merasa dirugikan, dihina, miliknya, yaitu orang yang
dicintainya, diambil oran-orang yang dicintainya, berpaling kepada orang lain.
Si-aku merasa diabaikan, merasa dikecilkan dan diremehkan maka timbullah
cemburu yang disusul dengan kemarahan dan dendam kebencian!
Api cemburu bisa bernyala besar sekali dan membakar segalanya. Api cemburu
dapat mendatangkan kebakaran dalam batin, dan kalu cemburu sudah
beranakkan dendam kebencian, maka mata akan menjadi buta dan segala
pertmbangan akan lumpuh. Yang ada hanya nafsu membalas, membikin
sengsara orang yang dibencinya itu. kalau sudah begini, muncullah perbuatan-
perbuatan yang kejam dan tidak berprikemanusian, perbuatan yang hanya
merupakan pelampiasan nafsu amarah dan dendam kebencian.
Kepandaian, kekayaan besar, kedudukan tinggi, tidak akan melindungi manusia
daripada nafsu-nafsu ini, bahkan seringkali kelebihan-kelebihan itu
memperbesar nyala nafsu. Satu-satunya pemadam nafsu apa pun hanyalah
kesadaran, kewaspadaan yang akan memungkinkan datangnya sinar cinta
kasih dan kebijaksanaan.
Sadar dan waspada akan segala hal yang terjadi di dalam dan di luar lahir
batin, waspada akan semua gerak-gerik lahir batin, gerakan jasmani, gerakan
panca indera, gerakan hati dan pikiran. Tidak lengah sebentar pun sehingga
apabila pikiran berceloteh lalu menghidupkan si-aku yang semakin menjadi-jadi
dan merajalela sehingga membangkitkan nafsu-nafsu, maka hal oni pun akan
berada dalm pengamatan yang penuh kesadaran dan kewaspadaan.

Pikiran ini membentuk si-aku dibesar-besarkan, dipentingkan sedemikian rupa


sehingga kalau diabaikan timbul perasaan iri hati dan kecewa. Ki ta sudah
sedemikian egois, setiap saat selalu mementingkan diri pribadi sehingga segala
hal-hal yang menyenang¬kan dan baik hendak kita monopoli, sedapat mungkin
segalanya itu diperuntukkan diri sendiri. Bahkan Tuhan Yang Maha Adil pun,
ingin kita monopoli agar keadilan-Nya hanya untuk kita, demi kepentingan dan
kesenangan kita, demikian pula kasih sayang dari Yang Maha Kasih ingin kita
monopoli. Karena se¬tiap perorangan memiliki sikap mementingkan diri sendiri
masing-masing, maka tidaklah mengherankan apabila dunia im penuh dengan
permusuhan pribadi, permusuhan antara keluarga, antara golongan, antar suku
dan antar bangsa. Bertabrakanlah kepentingan masing-masing dan
menimbulkan konflik.

Segala bentuk permusuhan timbul karena kebodohan! Kalau permusuhan


timbul antara kedua kelompok yang beragama, .jika hal itu tentu dikarenakan
kefanatikan dan kefanatikan adalah kebodohan!
Apakah maksud kita memasuki suatu agama? Bukan lain untuk meninggal
segala macam kejahatan dan mengambil jalan bersih dalam hidup kita. Kita
dapat memulai hidup baru,mengalami jalan kehidupan yang bersih kalau
meninggalkan semua kotoran dari perbuatan kita di masa lalu! Perbuatan kotor
itu termasuk perbuatan yang dasari nafsu, termasuk kebencian, sekarang, dua
kelompok orang beragama saling bermusuhan dan saling membenci. Bukankah
ini berarti bahwa kita tidak meninggalkan jalan kotor, melainkan meninggalkan
jalan baru yang bersih kembali ke jalan kotor? Mungkin tidak menyadari akan
hal ini, mengingat bahwa apa yang kita lakukan ini benar dengan alasan-alasan
dan pembelaan pun juga untuk membenarkan yang salah ini, untuk
membersihkan yang kotor ini. Namun, jelas bahwa kebencian dan permusuhan
adalah jalan kotor yang salah. Kita, dalam bakaran nafsu pementingan diri
sendiri yang meluas menjadi kentingan kelompok, agama dan lain-lain, menjadi
buta dan lupa bahwa inti ajaran agama kita masing-masing adalah mencari
kedamaian dan meninggalkan segala bentuk pertentangan! Dan kita, dengan
nafsu kita, bahkan menyeret agama ke dalam kebencian dan permusuhan. Hal
inilah yang perlu kita sadari, kita harus membuka mata melihat kenyataan dan
berani melihat kesalahan dalam diri sendiri, bukan selalu membuka mata
melihat kesalahan orang lain, mencari-cari kesalahan orang lain.
"Siancai ! Saudara-saudaraku penganut Agama To, apakah kalian sudah
mendengar semua kebenaran yang keluar dari mulut Hek-bin Hwesio tadi?”
Kalau sudah mendengar dan mengerti, kerjakanlah! Buang semua pertikaian
dan permusuhan, lenyapkan kebencian dari daam batin, dan kalau ada
persoalan dengan pihak lain, rundingkanlah dengan damai, dengan
musyawarah seperti yang sepatutnya dilakukan orang-orang beragama yang
taat kepada ajaran agamanya!"

Kita adalah oran-orang munafik! Ini pun suatu kebodohan besar karena kita
tidak sadar bahwa kita adalah orang-orang munafik, selalu berpura-pura, tidak
ada kesatuan antara ucapan, pikiran, dan perbuatan! Kita menutupi kekotoran
diri dengan bermacam cara. Kekotoran badan kita tertutup dengan pakaian
bersih, perbuatan kalau kita ditutupi dengan alasan-alasan bersih, demi ini dan
demi itu. Seorang bijaksana tidak akan membiarkan kepicikan pikiran
menguasai dirinya, tidak membiarkan si-aku merajalela karena selagi si-aku
merajalela, maka segala perbuatan pasti berpamrih demi kepentingan aku. Si-
aku ini dapat membesar menjadi milikku, keluargaku, kelompokku, bangsaku,
agamaku dan selanjutnya. Seorang bijaksana akan selalu waspada akan si-aku
dalam dirinya karena pikiran dan nafsu yang mencipta si-aku itulah satu-
satunya musuh berbahaya selama hidupnya. Bukankah demikian keadaannya,
sahabatku Hek-bin Hwesio?"

“Saudara-saudaraku dari Siauw-Iim-pai, indahkah kalian mendengar kata-kata


yang keluar dari mulut Pek I Tojin tadi? Kita harus menyadari bahwa selama
kita membiarkan si-aku merajalela, maka hidup kita akan penuh keinginan.
Kalau Keinginan-keinginan si-aku dari diri kita masing-masing itu kita kejar
dalam pelaksanaan, maka akan terjadi bentrokan antara keinginan-keinginan
yang saling bertentangan. Dan bentrokan ini menimbulkan permusuhan,
dendam dan kebencian. Apakah kalian sebagai penganut Agama Buddha yang
menuntun kita arah jalan terang dan kasih sayang, mau membiarkan diri kita
berlepotan kotoran berupa benci, dendam dan permushhan?"

Pelaksanaan inilah perbuatan, inilah kehidupan, sedangkan cita-cita dan tujuan


itu hanyalah khayalan belaka. Yang harus diperhatikan justeru pelaksan ini,
justeru cara yang melahirkan perbuatan ini. Apapun tujuannya betapa luhur
cita-citanya, kalau dilaksanakan dengan cara yang tidak benar, akhirnya akan
melahirkan hal yang tidak benar pula! Nah, sekarang kalian sudah melihat
bahwa tujuan kalian sama, mengapa tidak mencari persamaan pula dalam cara
melaksanakannya?"

"Mata batin baru dapat terbuka kalau batin itu sendiri bebas dari segala bentuk
kotoran, dan batin bersih dan bebas kalau di situ sudah tidak ada lagi
penonjolan si-aku dengan segala dendam kebenciannya, iri hatinya,
kecewaannya, harapan-harapannya kekuasaannya, dan segala macam
kepentingan diri sendiri.
Nah, marilah mulai detik ini kita buang jauh-jauh segala rasa dendam dan
kebencian, seolah-olah semua itu telah mati dan kita hidup baru dengan segala
kebersihan dan kebebas-batin!"

Hidup adalah belajar. Belajar adalah hidup. Mempelajari isi kehidupan ini tidak
seperti mempelajari suatu ilmu pengetahuan yang harus dihafaldan ulang-
ulang. Hidup bukanlah suatu perulangan sehari-hari. Hidup seperti sungai
mengalir, seperti awan berger diangkasa, setiap saat berubah, setiap detik
berbeda. Tidak mungkin mengambarkan kehidupan sebagai sesuatu yang mati,
sesuatu yang mandek. Mempelajari hidup berlaku selama hidup sendiri.
Dengan membuka mata. Dengan pengamatan yang penuh kewaspadaan,
penuh perhatian. Bukan dengan menjiplak pelajaran yang sudah ada, karena
penjiplakan adalah pemaksaan dan karenanya palsu, betapapun baik
nampaknya. Dan yang palsu itu, betapapun indah kelihatannya, tetap saja
palsu dan karenanya tidak wajar lagi, tidak bersih lagi Kebaikan tidak mungkin
dapat dipelajari, tidak mungkin dapat dihafalkan. Kebaikan yang dipelajari dan
dihafalkan, hanyalah suatu kemunafikan suatu kepalsuan karena kebaikan perti
itu pasti berpamrih.Dan pamrih ingin baik, dan kalau yang ingin baik itu si-aku,
sudah pasti karena si-aku melihat suatu keuntungan dalam kebaikan itu! Si-aku
ini tidak mungkin dapat bernuat tanpa pamrih demi keuntungan diri sendiri,
betapapun kadang-kadang pamrih itu diselundupkan, disusupkan,
disembunyikan dan diberi pakaian dan sebutan macam-macam. Tetap saja
pamrih, tetap saja akhirnya demi kepeningan si-aku. Amat cerdiklah si-aku ini
sengga kadang-kadang Sang pamrih dapat disulap sedemikian rupa sehingga
titak nampak sebagai pamrih lagi. Akan rapi, disulap bagaimanapun juga, tetap
perbuatan yang didorong oleh si-a¬ku, sudah pasti berpamrih. Perbuatan baru
bebas dari si-aku, bersih dari pamrih, kalau perbuatan itu didasari cinta kasih,
didorong bukan oleh nafsu, pikiran atau si-aku, melainkan terdorong oleh
getaran perasaan yang tersentuh, oleh iba hati, oleh keharuan dan cinta kasih,
dan cinta kasih bukan lagi cinta kalau sudah ada si-aku bercokol di situ, karena
yang disangka cinta kasih itu hanyalah cinta kasih birahi semata, cinta nafsu
yang selalu mengharapkan balas jasa demi kepentingan, kebaikan kesenangan
diri sendiri pada akhirnya.
Jalan kehidupan kita ini penuh liku-liku, penuh perubahan dan kadang-kadang
terjadi hal-hal yang menimpa diri kita yang kelihatan amat janggal, amat sukar
dimengerti sebab-sebabnya. Jalan yang ditempuh oleh Tuhan sungguh penuh
rahasia, gaib, kadang-kadang begitu jauhnya tak terjangkau oleh alam pikiran
dan akal kita. Ada kalanya terjadi peristiwa yang menurut pertimbangan dan
perhitungan akal kita, nampak janggal, bahkan nampak tidak adil! Akal pikiran
kita melihat betapa seseorang yang kita anggap jahat dan patut dikutuk, bahkan
hidup penuh kemuliaan, berkedudukan tinggi, terhormat, kaya raya, sehat dan
selamat.
Sebaliknya, akal pikiran kita melihat betapa seseorang seseorang yang kita
anggap baik dan patut dipuji, hidupnya serba kekurangan dan sengsara,
tertindas, terhina, miskin dan papa! Kita melihat pembesar yang hidupnya
penuh korupsi, makmur dan nampak senang, sebaliknya pembesar yang
hidupnya jujur dan adil, nampak hidup serba kekurangan dan sama sekali tidak
makmur. Kita melihat orang yang kita nilai baik hidup berpenyakitan sebaliknya
orang yang kita lihat dan kita nilai buruk dan kotor, hidup sehat!
Apalagi biasanya kita menilai diri kita ini sudah cukup baik, sudah cukup
mentaati hukum agama, sudah cukup berusaha menjadi orang yang baik, akan
tetapi kita merasa be¬tapa hidup kita selalu sengsara! ini menimbulkan
kekecewaan dan penasaran!
Kita lupa bahwa jalan pikiran hanyalah mendasarkan semua itu dengan nilai
kebendaan, nilai kesenangan nafsu badani yang hanya sementara sifatnya.
Kita tidak tahu bahwa di dalam batin orang yang kelihatan kaya raya dan
senang, belum tentu berbahaya sebaliknya di dalam batin seorang petani
miskin, belum tentu sengsara. Pikiran kita hanya merupakan gudang
pengetahuan dan pengalaman. Pikiran akalnya tidak mungkin dapat
menjangkau dan mengerti jalan yang diambil Tuhan. Kita tidak mempunyai
kekuasaan apa pun atas diri kita sendiri sekalipun. Jalan satu-satunya hanyalah
menyerahkan segalanya kepada-Nya. Apa pun yang kehendaki-Nya, pasti baik
dan benar, walaupun bagi akal pikiran kita kadang-kadang dianggap buruk dan
salah. Hanya orang yang mampu menerima segala suatu sebagai kehendak
Tuhan, menerima segala apa sebagai suatu kenyataan yang wajar, sebagai
apa adanya, tanpa keluhan, tanpa protes, tanpa penasaran atau kekecewaan,
hanya orang seperti inilah yang dapat tersentuh sinar Kasih, dan dapat
merasakan apa yang kita sebut-sebut sebagai kebahagiaan!

Memang, ikatan mendatangkan derita sengsara batin karena tidak ada yang
abadi di dunia ini. Setiap pertemuan pasti berakhir dengan perpisahan dan
kalau hati terikat, maka perpisahan itu akan mendatangkan rasa sengsara dan
duka.

Pikiran, badan dan perasaan melalui lima indera merupakan persekutuan yang
selalu menyeret kita ke arah kemaksiatan atau perbuatan yang tidak sehat,
bahkan kadang kala perbuatan jahat yang merugikan orang lain. Gairah nafsu
bukan datang dari luar, melainkan dari dalam. Sebagai contohnya, gairah nafsu
berahi. Mata melihat wanita cantik. Kalau pikiran tidak mencampuri dan
mengotori, maka tidak akan terjadi se¬suatu. Namun, biasanya, pikiran
mencampuri, si-aku membayangkan kalau wanita itu menjadi miliknya, kalau
wanita itu, dikuasainya, dan sebagainya, maka, timbullah gairah nafsu birahi.
Pikir yang membayangkan ini merupakan cermin dari pengalaman melalui
badan pula dengan perantaraan lima indera, perasaa nikmat dan enak
mendatangkan mgata dan bayangan.Kalau nafsu sudah menguasai batin,
maka kita melakukan segalanya untuk memuaskan tuntutan nafsu dan kadang-
kadang kita menjadi sedemikian buta sehingga tidak segan melakukan
perbuatan yang kotor, seperti melacur, berjina, atau bahkan memperkosa!
Kita lupa bahwa kita, manusia ini, pribadi-pribadi ini, bukanlah binatang! Kita
bukanlah tubuh ini! Kita bukan pula pikiran ini, bukan perasaan panca indera ini,
bahkan bukan kesadaran ini! Semua ini, tubuh, pikiran, perasaan, kesadaran ini
hanya merupakan hal-hal yang sementara saja, yang akhirnya akan hancur
lenyap begitu "rumah" ini menjadi tua atau rusak dan tidak terpakai lagi! Seperti
juga rumah membutuhkan perlengkapan, perapian, penerangan dan
sebagainya, tubuh juga membutuhkan perlengkapan, seperti pikiran, perasaan,
kesadaran. Kalau tubuh ini tertidur, atau pingsan, maka semua itu pun berhenti
berfungsi. Pikiran, perasaan, kesadaran, kesemuanya itu pun berhenti bekerja.
Seperti tubuh, mereka itu pun nya alat! Jelaslah bahwa kita ini bukan mereka!
Namun, sudah menjadi kebiasaan kita tidak waspada akan kenyataan ini. Kita
terlalu terikat kepada darah daging (tubuh) kita ini, terlalu mencandu kepada
panca-indera, hati akan kenikmatan dan keenakan, terlalu bergantung kepada
pikiran sehingga kita lupa akan keadaan kita yang sesungguhnya! Kalau semua
ikatan itu sudah dapa kita hancurkan, kalau si-aku sudah berhenti merajalela
sehingga hidup kita bukan sepenuhnya merupakan penghambaan kepada
nafsu-nafsu belaka, hanya mengejar kenikmatan, kesenangan dan keenakan
saja, barulah mungkin terdapat suatu keadaan yang sama sekali berbeda.
Berhentinya pikiran mendatangkan keheningan dan di dalam keheningan inilah
mungkin sekali kita akan me¬masuki dimensi lain dari kehidupan inil menyentuh
lingkaran cahaya Illahi yang tak pernah sedetikpun meninggaik kita. Tanpa
adanya cengkeraman pikiran perasaan dan kesadaran panca indera maka si-
aku pun runtuh dan tanpa adanya si-aku yang penuh keinginan ini, maka kita
akan mengenal apa arti cinta kasih. Bukan cinta kasih antara aku dan engkau
yang saling mengharapkan imbalan demi kesenangan diri pribadi, bukan cinta
kasih jual belidi pasar, tak pernah mengharapkan imbalan, tak pernah
berpamrih. Membiarkan diri penuh dengan cinta kasih ini, berarti membiarkan
diri dipenuhi cahaya Illahi, membiarkan diri bersatu dengan Tuhan!

Adakah yang lebih kejam daripada manusia? Manusia, kalau sudah dilanda
rasa takut, kalau sudah dikuasai nafsu mengejar sesuatu, menjadi jauh lebih
kejam daripada binatang yang bagaimana buas sekalipun! Binatang, betapapun
liar dan buasnya, tidak mempunyai pikiran jahat. Kebuasan dan keliaran
mereka hanya naluri untuk melindungi dirinya. Kalau ada binatang buas
membunuh binatang lain, hal itu dilakukan tanpa benci, melainkan karena dia
harus melakukannya untuk mempertahankan hidupnya, mengisi perutnya, atau
membela dirinya. Akan tetapi manusia membunuh demi menyenangkan dirinya,
atau demi mencapai sesuatu yang dianggap akan mendatangkan kesenangan
bagi dirinya.

Kadang-kadang memang amat mengherankan kalau kita menemui seorang


yang hidup sebagai seorang penjahat besar, yang sudah terbiasa melakukan
segala macam kekejaman, dapat men punyai perasaan sayang yang amat
besar terhadap seseorang. Perasaan sayang yang amat mengharukan karena
sungguh bertolak belakang dengan wataknya. Seorang perampok besar yang
biasanya membunuh orang lain dengan mata tanpa berkedip, dapat saja
memiliki kasih sayang yang amat besar terhadap isterinya atau anaknya atau
orang lain sehingga untuk orang itu dia mau berkorban apa pun juga, terhadap
orang itu dia bersikap amat lembut dan mengalah. Ini membuktikan bahwa
didalam diri setiap manusia itu terdapat dua sifat, yaitu sifat baik dan sifat
buruk. Diri manusia merupakan sumber daripada kebaikan dan keburukan yang
bermunculan silih berganti dan seperti berlumba menguasai batin manusia
yang melahirkan perbuatan-perbuatan baik maupun buruk. Padahal,
sesungguhnya dasar dari semua ciptaan Tuhan adalah sempurna, karena
Tuhan adalah Maha Sempurna, tidak ada seorang pun bayi yang jahat!
Pandang mata dan senyum tawa seorang bayi, bahkan tangisnya, adalah suci.
Baru setelah pengertian pikiran menguasainya, akal budi dan pikiran ini yang
memberi pupuk kepada si-akunya dan mulailah muncul sifat-sifat yang buruk
itu. Hanya seorang manusia yang mengenal benar semua sifat jahatnya ini,
yang secara seketika membersihkan diri dari semua sifat yang buruk, dia
seolah-olah membersihkan kaca-kaca jendela yang kotor berdebu dan yang
menghalangi masuknya sinar matahari, dan barulah dia menjadi pulih kembali
seperti se¬orang bayi, bersih, wajar dan suci. Se¬lama tindakan pembersihan
diri ini tidak dilakukan secara seketika, maka segala usaha lain takkan ada
gunanya. Menutup-nutupi kekotoran tidak akan mendatangkan kejernihan, satu-
satunya jalan hanyalah membuang kotoran-kotoran itu seketika.

"Siapakah aku ini?


aku bukanlah tubuh yang rapuh ini
aku bukanlah pikiran yang kacau ini
aku bukanlah perasaan yang berubah-ubah ini
aku bukanlah akal budi yang curang ini
semua itu hanyalah alat bagiku
sangkar rumah tempat tinggalku sementara
semua itu akan menjadi tua
lalu lemah tak berdaya
lalu mati, kembali pada debu hampa!
Siapakah aku ini?
Sepercik api yang merindukan Matahari
Setetes air yang merindukan samudera

Kelopak Cinta takkan berbunga


oleh sekadar tarikan daya
kemilaunya emas permata
mulianya kedudukan dan nama
tampan dan cantiknya rupa
halusnya tutur sapa
baiknya budi bahasa!
Cinta adalah sinar matahari
harumnya bunga setaman-sari
embun lembut di pagi hari
Cinta itu Keindahan
Cinta itu Kebenaran
Cinta itu Kenyataan
Cinta itu TUHAN!!!

"Samadhi berarti memasuki keheningan jiwa raga. Buang semua pamrih dan
tujuan, biarkan diri kosong dan curahkan semua kesadaran kepada penyerahan
diri lahir batin kepada Tuhan, Kekuasaan yang terdapat di luar dan di dalam
dirimu. Kosong tenang hening……… "

"Tenaga sakti dari pusar selalu dihamburkan keluar melalui sembilan lubang
dalam tubuh kita. Karena itu, perlu kita melatih diri untuk menutup lubang-
lubang itu dari dalam. Sekarang kita melatih diri untuk menutup lubang yang
paling bawah, lubang dubur. Tarik napas sedalam mungkin, sampai
sepenuhnya, lalu tahan sekuatnya, tanpa paksaan, sesudah itu, keluarkan
napas perlahan-lahan dan pada saat keluarkan napas, tutuplah lubang dubur,
pertahankan dan tutup terus sampai napas habis dikeluarkan, lalu tahan dalam
keadaan tanpa napas, lubang dubur terus ditutup rapat-rapat. Setelah bernapas
kembali, baru buka lubang dubur dan ulangi seperti tadi. Cukup tujuh kali setiap
kali latihan."

Kehidupan ini akan terisi penuh konflik kalau kita membiarkan diri kita
dicengkeram oleh pikiran yang sudah bergelimang nafsu. Nafsu selalu
melahiran keinginan-keinginan akan hal-hal buruk! Yang baik dan
menyenangkan hanyalah apa yang diinginkan itu! Mempunyai ini, ingin yang itu
sehingga yang ini nampak tidak ada daya tariknya; Mendapatkan yang itu,
menginginkan yang ini, dan demikian selanjutnya. Hanya orang yang
menyerahkan segala-galanya kepada kekuasaan Tuhan sajalah yang akan
dapat menerima apa yang ada tanpa penilaian! Apa pun yang datang menimpa
dirinya, apa pun yang didapatkan; dari hasil usahanya, dianggapnya sebagai
suatu anugerah dari Tuhan, sebagai suatu kemurahan dari Tuhan sehingga
diterima dengan hati penuh keikhlasan, penuh penyerahan diri dan penuh
ketawakalan. Biasanya, setiap mulut mengatakan bahwa dia ber-Tuhan, bahwa
dia percaya kepada Tuhan. Akan tetapi buktinya? Kalau orang benar-benar ber-
Tuhan hanya mulut saja yang mengakuinya, melainkan jauh di lubuk hatinya,
didalam dasar batinnya, harus ada kepercayaan itu. Kepercayaan yang
mendalam ini yang akan mendatangkan peyerahan, keikhlasan, dan kalau apa
pun yang menimpa diri dianggap sebagai pelaksanaan kehendak Tuhan, maka
senyum ini takkan pernah meninggalkan mulut. Yang ada hanya rasa terima
kasih dan syukur Tuhan Yang Maha Kasih. Dan kalau sudah begitu penderitaan
lain tidak ada lagidan penderitaan batin tidak ada lagi dan penderitaan lahir pun
tidak meninggalkan bekas, seperti awan lalu. Kepercayaan yang mendalam ini
yang akan mendatangkan kekuasaan Tuhan bekerja di luar dan di dalam diri
karena kekuasaan Tuhan meliputi seluruh alam, yang bergerak maupun yang
tidak bergerak, yang paling kecil sampai yang paling besar, paling rendah
sampai paling tinggi, yang paling dalam dan paling luar, pendeknya tidak ada
apa pun di alam mayapada ini yang tidak diliputi kekuasaan Tuhan Yang Maha
Kasih! Dan kalau kekuasaan Tuhan yang bekerja, maka segalanya akan wajai
dan sempurna! Yang menimbulkan baik buruk, suka duka dan segala macam
per¬tentangan adalah penilaian yang timbul dari nafsu.
Dan hanya kekuasaan Tuhan ini sajalah yang akan mampu menundukkan
nafsu sehingga menjadi jinak dan berman faat bagi kehidupan manusia, bukan
lagi sebagai perusak, melainkan sebagai pem-I bantu dan alat
mempertahankan hidup.

Betapapun pandainya seseorang, betapapun tinggi ilmunya, pada saat nafsu


mencengkeram dan menguasainya, maka akan hilanglah semua
pertimbangannya, lenyap semua kebijaksanaannya. Yang ada hanyalah
menyalanya nafsu jalang yang menuntut pemuasan melalui kemenangan dan
tercapainya keinginan.
Nafsu memang terbawa sejak lahir dan nafsu merupakan alat yang amat
dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupannya dunia ini. Karena itu, usaha
manusia yang melihat betapa berbahayanya nafsu, bermacam-macam. Ada
yang berusaha menundukkan nafsu melalui tapa, melalui latihan-latihan
pernapasan, samadhi, melalui penyiksaan diri, pengurangan makanan dan
sebagainya lagi. Namun, semua, itu masih tidak keluar dari lingkaran nafsu,
karena semua usaha itu mengandung suatu keinginan. Hasilnya hanya
pengurangan saja, itu pun hanya sementara. Merupakan pengekangan saja
terhadap nafsu.
Pengekangan ini buka berarti sudah dapat menguasai nafsu sepenuhnya.
Usaha melenyapkan nafsu Tidak mungkin! Nafsu tak mungkin dilenyapkan dari
kehidupan kita, karena kehidupan ini ada karena nafsu, bagaikan nyala api
membutuhkan bahan bakar. Melenyapkan nafsu berarti melenyapkap keadaan
badan dan berarti mati! Selama masih hidup, manusia tidak mungkin dapat
meninggalkan nafsu. Nafsu itu suatu keperluan untuk hidup. Namun, kalau
nafsu dibiarkan menguasai batin, maka dia akan menyeret kita ke dalam
penyelewengan. Nafsu adalah anugerah Tuhan, ciptaan Tuhan dan satu-
satunya yang dapat mengatur agar nafsu dapat sesuai dengan kehidupan kita,
dapat menjadi alat yang baik dan bukan menjadi majikan yang merajalela, yang
dapat menundukkannya hanyalah kekuasaan Tuhan!
Dan kekuasaan Tuhan dalam diri akan bekerja dengan sempurna kalau kita
dengan sungguh-sungguh menyerahkan diri kepada Tuhan, menyerahkan diri
de¬ngan ikhlas, dengan penuh ketawakal. Kalau kita membiasakan diri setiap
saat teringat akan kekuasaan Tuhan, maka kita pun akan terbimbing oleh
kekuasaan yang maha hebat itu. Dan nafsu-nafsu akan menyingkir dan
menduduki tempat masing-masing dengan teratur. Tanpa kekuasaan Tuhan,
betapapun kita berusaha, maka hasilnya pun hanya akan tipis sekali dan hanya
untuk sementara karena usaha kita itu pun hanya di dalam lingkungan akal
budi, dan pikiran padahal pikiran dan akal budi sudah bergelimangan dengan
nafsu!

Seorang pemuda meninggalkan kampungnya sampai bertahun-tahun dan dia


berhasil menjadi seorang yang kaya raya.
Pada suatu hari, dia pulang ke kampungnya dan sengaja mengenakan pakaian
biasa, pakaian petani sederhana seperti ketika dia berangkat dan dikunjungilah
seorang sahabatnya. Sahabat ini menerimanya dengan acuh, bahkan sikapnya
menghina seolah kedatangannya itu hanya mengganggu saja, dan ada
kecurigaan kalau-kalau dia datang untuk berhutang!
Sikap sahabatnya ini membuat dia penasaran dan dia pun pergi. Beberapa hari
kemudian dia datang kembali, sekarang mengenakan pakaian indah dan serba
mahal, serba baru. Seketika sikap sahabatnya itu berubah. Dia diterima dengan
ramah, dipersilakan duduk dan dijamu hidangan yang enak! Pemuda itu lalu
menanggalkan baju dan sepatunya, menggantungkan baju di kursi, menaruh
sepatu di meja dan dia pun dengan sikap hormat mempersilakan baju dan
sepatu itu untuk makan minum. Sahabatnya menegur sikapnya yang aneh ini
dan dia menjawab, "Bukankah yang kauhormat itu pakaian dan sepatuku?
Bukan diriku yang kausuguh hidangan, melainkan pa kaian dan sepatuku
inilah!"

Penghormatan yang kita lakukan ini, yang disebut kebiasaan umum,


sesungguhnya hanyalah merupakan pemujaan terhadap benda, kekuasaan
kedudukan mulia, kecantikan, kepandaian dan sebagainya. Bukan manusianya
yang dihormati, melainkan yang melekat pada si manusia pada saat itu.
Seorang pembesar dihormat sampai berlebihan karena kedudukannya yang
tinggi, kekuasaannya yang besar, karena si penghormat ini memiliki pamrih,
karena si penghormat ini dikuasai oleh daya rendah dan nafsu. Namun, begitu
si pembesar kehilangan kedudukan dan kekuasaannya, maka penghormatan
itu pun akan lenyap dengan sendirinya!
Karena itu, bagi seorang bijaksana, tidak akan silau oleh segala kelebihan
lahiriah itu, tidak akan menjilat dan memuja orang yang kebetulan memiliki
kelebihan lahiriah. Juga dia tidak akan mabuk oleh kelebihan lahiriah kalau
kebetulan dia yang memiliki, karena semua itu hanya sementara saja, tidak
abadi. Kasih sayang antar manusia bukan kasih sayang yang terdorong oleh
kelebihan lahiriah, melainkan kasih sayang antara manusia itu sendiri. Jauh
lebih baik miskin lahiriah namun kaya batiniah daripada miskin batiniah kaya
lahiriah, walaupun tentu saja sebaiknya adalah kaya akan kedua-duanya.
Dalam arti kata, secara lahiriah, dia memiliki kedudukan yang baik dan
kehidupan yang serba cukup, juga secara batiniah dia memiliki kasih sayang
terhadap semua manusia, berbudi baik dan selalu mentaati petunjuk Tuhan.
Segala yang nampak gemerlapan, seperti kepandaian, kecantikan, kekayaan
atau kedudukan, semua itu dapat lenyap. Pemujaan terhadap semua itu hanya
menunjukkan ketamakan karena dorongan nafsu. Pemujaan dari orang lain,
terhadap diri kita yang sedang ada kelebihan lahiriah adalah palsu. Pemujaan
dan penjilatan itu sewaktuk-waktu dapat berubah menjadi kebencian. Oleh
karena itu, siapa berpegang kepada kelebihan lahiriah untuk mendapatkan
kebahagiaan, takkan pernah berhasil. Yang didapatkan melalui nafsu hanyalah
kesenangan, dan kesenangan adalah saudara kembar kesusahan yang setiap
waktu akan menggantikan kedudukan saudara kembarnya.
Manusia itu sama, dalam arti kata sama-sama sempurna sebagai ciptaan
Tuhan, sama-sama menerima berkah berlimpah dari Yang Maha Kasih. Yang
berbeda itu hanyalah pakaian, termasuk kebudayaan, tradisi, agama, pangkat
kedudukan, harta, kulit dan sebagainya. kalau kulit pembungkus tubuh dan
daging sudah rusak habis oleh kematian, apa yang tinggal? Kerangka dan
tengkorak. Sama pula, tidak ada lagi yang cantik atau yang buruk, yang kaya
atau yang miskin. Yang tinggal berbeda mungkin hanya bentuk nisan
kuburannya!

Memang demikianlah keadaan hidup ini. Kita selalu diombang-ambingkan


senang dan susah. Senang kalau bertemu dan berkumpul, lalu susah kalau
berpisah. Senang kalau mendapatkan, susah kalau kehilangan. Senang susah
menjadi dua hal bertentangan yang silih berganti mencengkeram dan
mempermainkan kita. Dan kita selalu menghendaki senang dan menolak
susah. Bagaimana mungkin? Senang dan susah merupakan dua muka yang
tak dapat dipisahkan, seperti dua permukaan dari satu mata uang yang sama.
Kalau kita mengejar senang, tentu akan bertemu susah pula. Bahkan adanya
senang karena ada susah dan sebaliknya. Kalau tidak ada senang, bagaimana
tahu akan susah. Kalau tidak ada susah pun tidak mungkin mengenal senang.
Seperti terang di gelap, seperti siang dan malam.
Biasanya, kalau ada kesadaran pada kita sehingga kita berusaha untuk
mengatasi kesusahan, maka yang ingin kita atasi, yang ingin kita tiadakan atau
h ilangkan, tentu hanya susah itu saja. sebaliknya, senang ingin tetap kita
rangkap dan kita miliki! Padahal keadaan seperti ini tidak mungkin. Keinginan
ini pun timbul karena ingin senang, dengan cara ingin terlepas dari susah. Jadi
yang masih sama saja! Bahkan susah itu sudah membuat ancang-ancang
hendak menerka begitu kita menginginkan senang!
Susah dan senang bukan suatu keadaan, melainkan buatan hati dan pikir
belaka. Merupakan kerjasama antara hati dan akal pikiran. Pikiran yang
bergelimang nafsu yang timbul dari dayanya rendah selalu ingin mengulang
segala pengalaman yang mengenakkan dan Menghindari segala pengalaman
yang tidak enak. Kalau bertemu pengalaman yang mengenakkan, yang
menguntungkan, maka hati pun senanglah. Kalau pikiran bertemu peristiwa
yang dianggap tidak kuak dan merugikan, maka hati pun susah.
Enak atau tidak enak ini timbul dari an daya-daya rendah. Suatu pengalaman
yang mengenakkan selalu dikejar oleh pikiran, ingin diulang sampai menjadi
suatu kebiasaan. Segala yang menyerangkan ingin dijadikan miliknya. Dari
kemilikan ini, makin besarlah rasanya.si aku, makin berarti. Kemilikan ini yang
memupuk dan membesarkan aku. Karena itu, kalau terpisah dari yang
dimilikinya, yang mengenakkan dan menyenang¬kan atau menguntungkan, hati
terasa sakit.
Peristiwa yang terjadi di dunia ini tidaklah baik ataupun buruk. Baik buruknya
hanya merupakan pendapat saja dari hati dan pikiran yang disesuaikan dengan
kebutuhannya. Suatu peristiwa yang saja dapat saja mendatangkan penilaian
yang saling bertentangan bagi satu orang karena tergantung dari keadaan hati
dan pikirannya. Seseorang menjadi sahabat baik kita karena kita menganggap
dia mengenakkan hati, menguntungkan atau menyenangkan. Kalau dia pergi
atau merasa susah, merasa kehilangan kita selalu ingin agar dia dekat dengan
kita. Akan tetapi, suatu ketika dia melakukan sesuatu yang merugikan kita tidak
mengenakkan hati kita, dan diapun menjadi tidak menyenangkan! Kalau pergi
kita merasa senang! Padahal, sebel itu kalau dia pergi kita merasa susah! Jelah
bahwa senang dan susah adalah keada hati yang timbul dari pertimbangan pikir
yang selalumengejar enak dan menghindarkan yang tidak enak.
Semua itu wajar. Hidup memang sudah disertai daya-daya rendah yang
menjadi alat untuk mempertahankan hidup. Kalau daya-daya rendah itu tetap
berfungsi menjadi alat, maka hidup pun baiklah. Yang gawat adalah kalau
daya-daya rendah demikian kuatnya sehingga menjadi penguasa dan
memperalat kita. Hidup kita seolah-olah hanya untuk mengejar pemuasan nafsu
belaka. Pengejaran pemuasan nafsu Inilah yang menimbulkan perbuatan-
perbuatan yang menimpang dari kebenaran. Bukan lagi hawa nafsu yang
menjadi kuda dan kendalinya dan di tangan kita, melainkan kita yang menjadi
kuda, dikendalikan nafsu!
Banyak daya upaya manusia untuk mengembalikan fungsi nafsu daya-daya
rendah ini di tempatnya semula, yaitu sebagai hamba, sebagai alat dan daya
upaya ini dilakukan melalui bermacam-macam agama, melalui ancaman
hukuman dan harapan-harapan. Bahkan ada yang sengaja menjauhkan diri dari
keramaian dunia, bertapa di tempat-tempat sunyi agar daya-daya rendah tidak
mendapatkan sasaran, agar nafsu-nafsu dalam diri tidak dapat hidup subur
karena tidak adanya pupuk. Ada pula usaha melalui nasihat-nasihat, petuah.
Namun, betapa sedikitnya hasil yang diperoleh dari semua usaha itu. Nafsu
tetap merajalela di antara manusia. Manusia pada umum masih saja
diperbudak nafsu daya-daya rendah sehingga perbuatan-perbuat sesat, jahat
dan menyeleweng daripada kebenaran terjadi di seluruh dunia.
Selama usaha untuk menalukkan nafsu ini timbul dari hati dan akal pikiran
maka selalu akan gagal. Karena hati dan akal pikiran sudah bergelimang
dengan daya-daya rendah, sehingga apa pun yang dilakukan hati dan akal
pikiran, selama berpamrih pula. Hati dan akal pikiran sudah mengerti bahwa
perbuatan yang dilakukan itu tidak benar, namun hanya dan akal pikiran sendiri
tidak berada karena memang sudah diperhamba oleh nafsu, sudah dipegang
oleh nafsu semua kendalinya.
Hanya Tuhan yang akan mampu mengubah segalanyal Tuhan Maha Pencipta
Tuhan pula yang menciptakan semua yang berada dalam diri manusia, Tuhan
pula yang menganugerahkan nafsu sebag alat untuk hidup. Maka kalau alat itu
merajalela dan mengubah kedudukannya menjadi penguasa, hanya Tuhan
yang menciptakannya saja yang akan dapat fnengubahnya. Oleh karena itu,
satu-satunya usaha yang dapat ditempuh oleh kita hanyalah menyerah kepada
Tuhan! Menyerah dengan pasrah, menyerah dengan Ikhlas, dengan sabar dan
tawakal. Kita membiarkan pintu hati terbuka dan sekali cahaya Tuhan masuk,
maka kekuasaan luhan yang akan membersihkan semua kekotoran dalam batin
kita, kekuasaan Tuhan yang akan mengadakan perombakan, menaruh
segalanya di tempatnya yang benar, dan mengadakan pembaharuan. Kalau
sudah begitu, maka kekuasaan Tuhan yang akan memegang kendali dan
memberi bimbingan.

Segala kekacauan yang terjadi dunia ini sesungguhnya hanya merupakan


akibat belaka dari ulah manusia sendiri. Yang merasakan kekacauan adalah
manusia sendiri pula. Perang terjadi karena ulah manusia. Setiap perbuatan
manusia hampir selalu didorong oleh nafsu daya rendah sehingga dengan
sendirinya mendatangkan akibat yang menyengsarakan manusia sendiri.
Perang merupakan konflik antara manusia karena didorong nafsu daya rendah
masingmasing, hingga timbul bentrokan kepentingan diri sendiri dan tentu saja
terjadi perang untuk mempertahankan kebenaran masing-masing. Kebenaran
masing-masing adalah kebenaran yang dilandasi kepentingan diri sendiri.
Kesadaran akan kelemahan dan kesalahan diri sendiri hanya terdapat kalau
kita mau mawas diri tanpa penilaian, melihat keadaan diri sendiri, mengamati
pikiran sendiri, karena pikiran yang menimbulkan perbuatan dan ucapan. Kalau
kita mau melakukan pengamatan diri sendiri setiap saat, akan nampaklah
betapa suara setan menguasai pikiran dan hati kita, membujuk merayu dan
menipu, menyeret kita ke dalam kesesatan melalui kesenangan-kesenangan
panca-indra kita yang lemah karena bergelimang nafsu. Demikian lemah dan
kotornya hati dan akal pikiran kita sehingga biarpun kita sudah sadar akan
kesalahan dan kesesatan diri sendiri, namun kita tetap tidak kuasa, tidak
mampu untuk menghentikan penyelewengan kita yang sudah kita sadari itu!
Satu-satunya jalan hanyalah menyerah kepada Tuhan Yang Maha Kasih,
menyerah dengnn penuh keikhlasan dan ketawakalan, memohon kemuruhan
Tuhan karena hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan mampu
membersihkan kita dan mampu membebaskan jiwa kita dari cengkeraman
nafsu daya rendah.
Nafsu menyeret kita ke dalam kesenangan, membuat kita mabok dan lupa diri!
Kita lupa sama sekali karena telah mabok kesenangan, bahwa semua
kesenangan bagaikan gelembung-gelembung yang beterbangan di udara.
Nampak indah menarik, seperti gelembung-gelembung air sabun. Namun,
hanya selewat saja, untuk disusul oleh pecahnya gelembung-gelembung itu
yang mendatangkan percikan-percikan air sabun yang pahit dan getir!
Bagaikan langit dengan bumi perbedaan antara menikmati keadaan seadanya
dan mengejar kenikmatan yang belum ada. Yang pertama, yaitu menikmati
kehidupan berarti mensyukuri apa saja yang kita dapatkan dalam kehidupan ini!
Selama hal yang kita alami dalam hidup ini merupakan rangkaian romantika
kehidupann dan kalau kita menghadapinya dengan perasaan syukur, dengan
perasaan seyakinnya bahwa kesemuanya itu adalah kehendak dan karenanya
berkah dari Tuhan , maka apapun yang ada akan mendatangkan perasaan
nikmat dan bahagia dalam hati sanubari kita!
Sebaliknya, pengejaran kesenangan timbul karena kita tidak puas dengan
keadaan yang nyata, seadanya, dan pikiran kita membayangkan hal-hal yang
belum ada. Hal-hal yang belum ada. Inilah yang kita namakan kesenangan!
Tidak puas dengan apa adanya dan membayangkan hal-hal yang belum ada ini
menciptakan gelembung-gelembung itu. Kalau sudah begini maka terjadilah
kebalikan yang menyedihkan. Semestinya, menurut kodrat, manusia menjadi
majikan, menunggang kuda nafsu agar dapat melakukan perjalanan hidup,
Sesuai kodrat. Namun, kalau Sudah terjadi sebaliknya, kuda menunggangi
majikan nafsu menunggangi manusia, akan celakalah!
Fungsi atau tugas hati akal pikir adalah untuk membantu manusia
menanggulangi segala bentuk kesukaran dalam kehidupan, mendatangkan
kecerdikan akal sehingga manusia dapat melindungi dirinya dari bahaya dan
dapat bekerja untuk kelangsungan hidupnya. Namun, hati akal pikiran yang
sudah di cengkeram nafsu, sudah bergelimang nafsu, menjadi alat daya-daya
rendah sehingga menyimpang dari pada tugasnya. Bukan jadi alat yang baik
dan bermanfaat, melainkan sebaliknya menjadi penggoda dengan bayangan-
bayangan yang memikat hingga menyeret kita untuk mengejar Bayangan-
bayangan itu. Dan kalau kita sudah terseret mengejar bayangan kesenangan,
kita lupa diri, hati nurani kita tertutup dan segala hal mungkin kita lakukan untuk
memperoleh apa yang kita kejar-kejar itu. Pengejaran kesenangan harta
kekayaan memungkinkan kita lakukan korupsi, penipuan, pencurian,
perampokan dan
sebegainya untuk memperoleh harta yang kita kejar-kejar. Pengejaran
kesenangan sex memungkinkan kita melakukan perjinaan, pelacuran,
perkosaan dan sebagainya untuk memperoleh kesenangan yang kita kejar-
kejar, kesenangan yang kita bayangkan dapat datangkan oleh kekuasaan,
kedudukan, memungkinkan kita untuk berebutan sehingga terjadi pertentangan,
persaingan bahkan perang!
Lalu, apakah kita harus menjauhkan dari dari kesenangan? Menjauhkan diri
PENGEJARAN KESENANGAN, memang benar. Akan tetapi bukan berarti
menjauhkan diri dari kenikmatan kehidupan dengan segala romantikanya Ini.
Kita dilahirkan dengan segala perlengkapan yang memungkinkan kita
menikmati kehidupan, bukan menjauhi kenikmatan kehidupan. Buktinya, telinga
kita dapat nikmati bunyi-bunyian merdu, mata kita dapat menikmati penglihatan-
penglihatan yang Indah, hidung kita dapat menikmati keharumankeharuman
yang sedap, mulut kita dapat menikmati rasa asin manis, masam dan
sebagalinya dalam makanan. Kita hendak menikmati semua itu, karena itulah
berkah Tuhan! Kita berhak menikmati apa yang ada setiap saat, setiap detik.
Bahkan setiap tarikan napas akan terasa nikmat sekali kalau kita ingat bahwa
setiap tarikan napas merupakan berkah Tuhan! Apa saja yang ada merupakan
sumber kenikmatan bagi orang mensyukuri kehendak Tuhan karena dalam
segala hal, kalau Tuhan menghendaki, terdapat berkah dan kenikmatan!

Kebaikan adalah suatu keadaan batin, keadaan batin yang bersih dari pada
pengaruh nafsu daya rendah. Keadaan batin, yaitu akal pikiran yang
sepenuhnya digerakkan oleh jiwa, dibimbing kekuasaan Tuhan Yang Maha
Kasih! Belajar baik atau melatih kebaikan hanya akan membuahkan
kemunafikan, karena kebaikan itu timbul dari keinginan. Ingin Baik! Dan
keinginan baik ini tentu timbul pula ari keadaan. Seperti Hong San. Setelah dia
hidup bergelimang kejahatan, dia mendapat kenyataan bahwa hidup secara itu
tidak mendatangkan keuntungan, bahkan membuat dia selalu gagal dan
sengsara. Kegagalan hidup dan kesengsaraan yang diakibatkan oleh perbuatan
jahatnya itulah yang menimbulkan keinginan di dalam hatinya, ingin menjadi
orang baik!
Tentu saja pamrihnya adalah agar akibat perbuatan baik itu membuat dia
berhasil dan senang dalam hidupnya. Jadi, kebaikan itu bukanlah sasaran
mutlak, melainkan hanya akan dipergunakan sebagai suatu cara untuk
mencapai tujuannya, yaitu kesenangan. Sasaran dari nafsu hanyalah satu,
yaitu kesenangan.!
Usaha seperti itu, yaitu belajar menjadi baik, berlatih menjadi baik, jelas masih
merupakan hasil karya nafsu, karena sasarannya adalah kesenangan sebagai
akibat kebaikannya. Kalaupun orang menjadi baik karena itu, maka
kebaikannya hanya merupakan kemunafikan belaka. Kebaikan seperti itu hanya
polesan, mudah luntur. Karena yang diutamakan sasarannya, yaitu
kesenangan, maka kebaikan yang hanya menjadi cadar itu dapat saja dengan
mudah diganti dengan kebalikannya, yaitu kejahatan, asalkan sasarannya lebih
cepat dapat dicapai, yaitu kesenangan.
Apakah kalau begitu kita tidak perlu belajar menjadi orang baik? Siapa
sesungguhnya yang mengajukan pertanyaan seperti itu? Siapa yang ingin
belajar menajdi orang baik? Tentu saja pikiaran, dan pikiran kita telah
bergelimang nafsu, telah dicengkeram oleh nafsu daya rendah.
Dengan keadaan seperti itu, apapun yang diusahakan pikiran selalu hanya
demi kepentingan diri pribadi. Dan ini memang menjadi tugas dari pikiaran.
Pikiran merupakan satu di antara alat yang membantu manusia agar hidupnya
di dunia dapat dipertahankan dpat diatur. Demikian pula dengan daya-daya
rendah yang menyertai jiwa dalam kehidupannya sebagai manusia di dunia ini.
Dayadaya rendah itu memang disertakan kepada kita sebagai alat, sebagai
pembantu.
Tanpa adanya nafsu-nafsu itu, kita tidak akan hidup sebagai manusia. Akan
tetapi, kalau sampai nafsu-nafsu yang semula ditugaskan menjadi pembantu
kita itu dibiarkan meliar dan menjadi majikan, mencengkeram dan menguasai
hati dan akal pikiran, maka kita akan diseret dan yang kita kejar hanyalah
kesenangan-kesenangan duniawi yang membuat kita mabok dan tidak pantang
melakukan hal-hal yang amat buruk. Lalu bagaimana daya kita? Kita hidup
membutuhkan nafsu, akan tetapi nafsu juga yang menyeret kita ke dalam
kegelapan. Kitapun tidak dapat mengendalikan nafsu, karena kita yang ingin
mengendalikan inipun dikemudikan nafsu!
Tidak ada kekuasaan di dunia ini yang akan dapat menguasai nafsu kecuali
kekuasaan Sang Maha Pencipta. Tuhan yang mencipta semua itu, dan hanya
Tuhan pula yang akan dapat mengatur dan membereskan keadaan yang
menyimpang dari kebenaran itu. Kini manusia hanya tinggal menyerah! Kita
menyerah sepenuhnya dengan tawakal dan ikhlas kepada Tuhan Yang Maha
Kuas, batin dan lahir. Batinnya menyerah kepada Tuhan sebagai dasar yang
kokoh, lahirnya kita berusaha dan berikhtiar agar selalu melalui jalan hidup
yang benar. Dengan demikian terdapat keseimbangan lahir dan batin. Doa dan
kerja! Yang dua ini harus selalu jalan bersama. Hidup bagaikan naik perahu.
Doa merupakan kemudinya, kerja merupakan pendayungnya. Tanpa kemudi
perahu akan tersesat. Tanpa pendayung, perahu takkan maju. Tanpa
kerjasama antara keduanya, perahu akan ditelan ombak.

Nafsu daya rendah adalah setan yang selalu mempengaruhi hati akal pikiran
kita. Nafsu daya rendah yang diikut-sertakan kepada kita ketika kita dilahirkan
sebagai manusia, pada hakekatnya diberikan sebagai anugerah, agar dapat
membantu kita dalam kehidupan kita sebagai manusia di dunia. Akan tetapi,
daya rendah berusaha sekuatnya untuk menguasai kita, menjadi nafsu yang
mencengkeram dan memutar balikkan keadaan sehingga bukan lagi kita
menjadi majikan dan daya rendah menjadi hamba atau alat, sebaliknya kita
yang menjadi budak, diperalat oleh nafsu.
Setan ini memang licik bukan main sehingga akal pikiran kita dibikin buta.
Kadang kesadaran dalam diri, hati nurani kita, memperingatkan kita akan suatu
perbuatan yang tidak baik, tidak benar. Namun nafsu daya rendah yang
memperoleh keuntungan dari perbuatan itu, yaitu untuk melampiaskan
kehendak nafsu, dengan cerdiknya menjadi pokrol untuk membela perbuatan
itu, untuk membenarkan perbuatan itu. Bisikan-bisikan berupa alasan-alasan
yang nampaknya tepat dan kuat dihembuskan nafsu ke dalam pertimbangan
kita bahwa perbuatan itu benar atau tidak salah, atau kesalahan terpaksa dan
sebagainya lagi. Tidak ada seorangpun manusia yang benar-benar TIDAK
TAHU, bahwa perbuatannya jahat dan tidak benar, namun dia tidak memiliki
kemampuan dan kekuatan untuk mencegah perbuatannya sendiri! Demikian
kuatnya nafsu mencengkeram kita. Setiap pencuri pasti tahu bahwa mencuri itu
tidak baik. Setiap pembunuh pasti tahu bahwa membunuh itu berdosa besar,
dan masih banyak macam kejahatan di dunia ini yang dilakukan orang, dan
semua orang yang melakukannya pasti tahu bahwa perbuatannya itu tidak baik,
tidak benar atau berdosa, namun tetap saja dilakukannya! Kenapa demikian?
Karena nafsu telah mencengkeram seluruh dirinya, hati akal pikirannya,
sehingga suara hati nurani menjadi lemah, tenggelam ke dalam suara setan
yang membela dan membenarkan perbuatan itu dengan seribu satu macam
alasan.
Setiap orang pasti merasakan hal ini. Penyesalan selalu datang kalau akibat
buruk datang menimpa. Dan setan membisikkan lagi cara-cara untuk
menyelamatkan diri, dengan cara apapun juga.! Banyak di antara kita yang
mendengar bisikan hati nuraninya sendiri dan menyesali perbuatannya, ingin
menaklukkan nafsu-nafsunya. Namun selalu saja gagal. Mengapa demikian?
Karena YANG INGIN menaklukkan nafsu itu bukan lain adalah NAFSU ITU
SENDIRI! Yang ingin bertobat karena perbuatan dosa adalah si pembuat dosa
itu sendiri, dengan dasar bahwa perbuatannya itu mendatangkan malapetaka
bagi dirinya dan dia ingin terbebas dari malapetaka itu. Perbuatan dosa itu
dilakukan karena dorongan nafsu ingin senang, dan penyesalan, lalu keinginan
bertobat itupun didorong nafsu yang ingin senang karena terhindar dari akibat
yang tidak menyenangkan.! Lingkaran setan ini terjadi setiap hari dan setiap
saat dalam diri kita. Maka, terjadilah pengulangan. Hari ini berbuat salah, besok
menyesal dan
bertobat. Besok lalu berbuat salah lagi, bertobat dan menyesal lagi. Demikian
seterusnya karena lingkaran setan itu berputar terus. Nafsu tidak mungkin
dimatikan, tidak mungkin dibuang dari diri kita, karena kalau hal itu dilakukan,
kita akan mati, atau kita tidak akan menjadi manusia lagi. Nafsu daya rendah
mutlak perlu bagi kehidupan kita, seperti api pada motor, seperti kuda pada
kereta. Segala kemajuan hidup duniawi adalah karena jasa nafsu yang bekerja
sama dengan hati akal pikiran. Namun, segala macam kejahatan yang kita
lakukan pun akibat dorongan nafsu daya rendah.
Lalu kalau begitu bagaimana? Nafsu penting bagi kehidupan kita, akan tetapi
nafsu juga menyeret kita ke dalam perbuatan dosa! Hidup ini baru sesuai
dengan kodratnya kalau nafsu menjadi alat kita, bukan kita menjadi alat nafsu.
Nafsu harus kembali kepada tempat, kedudukan dan fungsinya yang semula,
yaitu menjadi budak atau alat kita! Tapi bagaimana? Kalau usaha kita
menundukkan nafsu juga merupakan usaha nafsu, lalu siapa yang akan dapat
mengembalikan nafsu pada tempatnya semula? Hanya Yang Menciptakannya!
Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan dapat mengatur itu, membebaskan
kita dari cengkeraman nafsu. Dan kekuasaan Tuhan bekerja kalau kita
menyerah dengan seluruh jiwa raga kita, menyerah dengan penuh keikhlasan,
ketawakalan, kesabaran. Tuhan Maha Pencipta, Maha Kuasa dan Maha
Bijaksana. Tuhan mengetahui apa yang yang terbaik untuk kita. Tuhan
mengetahui apa yang berada di dalam lubuk hati kita. Kalau kita menyerah
dengan seluruh jiwa raga kita, maka kekuasaan Tuhan akan bekerja mutlak!
Dan tidak ada hal yang tidak mungkin bagi kekuasaan Tuhan.
Menyerah! Kata yang sederhana, mudah diucapkan dan mudah dimengerti.
Namun, tidaklah begitu mudah untuk dilaksanakan. Kalau penyerahan itu masih
merupakan penyerahan dari hati akal pikiran, maka di situ terkandung nafsu
dan penyerahan seperti itu sudah pasti berpamrih pula! Menyerah agar begini
agar begitu, pendeknya agar mendapatkan keuntungan atau kesenangan, agar
menghindarkan kerugian atau kesusahan. Ini bukan penyerahan namanya,
melainkan usaha nafsu untuk mendapatkan sesuatu, dan penyerahan hanya
dijadikan alat atau cara saja. Dan kalau nafsu yang berusaha, maka pasti
syaitan yang datang. Penyerahan dalam hal ini adalah penyerahan tanpa
pamrih tertentu. Penyerahan berarti mati di depan Tuhan, dan kekuasaan
Tuhan yang membangkitkan kita kembali. Sebagai manusia lain, bukan pula
budak syaitan nafsu, melainkan hamba Tuhan! Kalau sudah begini, maka tidak
ada masalah lagi, karena apapun yang terjadi pada diri kita, sudah dikehendaki
Tuhan dan tidak perlu dipermasalahkan lagi. Tidak akan ada keluhan keluar
dari batin kita, yang ada hanyalah puji syukur kepadaNya.
Penyesalan yang dirasakan Lai Kun hanya penyesalan karena kini dia
merasakan akibat dari perbuatannya, yang menimbulkan perasaan takut.
Penyesalan macam ini seperti orang yang memberi kompres dingin kepada
luka untuk menghilangkan rasa nyeri akibat luka itu, tanpa dapat
menyembuhkan luka itu sendiri.
Lai Kun tidak berani mengakui kesalahannya terhadap siapapun, terhadap
isterinya tidak, apalagi terhadap Coa Liu Hwa ibu Cin Cin. Dia menyimpannya
sebagai rahasia pribadinya, dan justru inilah yang membuat dia selalu merasa
gelisah. Andaikata di depan Liu Hwa dia berani berterus terang mengakui
kesalahannya, dengan siap menanggung segala akibat daripada perbuatannya,
bertanggung jawab, maka tentu kegelisahannya tidak akan ada lagi.

Kalau tubuh terasa nyaman dan hati akal pikiran tidak dibebani persoalan,
maka akan timbul perasaan bahagia yang membuat orang condong untuk
bersenandung! Demikianlah agaknya yang mendorong orang untuk
bersenandung di waktu mandi. Keseimbangan rasa nyaman tubuh dan rasa
tenang batin ini mendatangkan keseimbangan yang membuat hidup di saat itu
terasa nikmat.

Cita-cita adalah kata yang halus dan indah yang artinya tidak lain hanyalah
keinginan! Dan keinginan manusia tidak pernah ada batasnya, makin diberi
semakin mekar berkembang, karena keinginan adalah ulah nafsu daya rendah.
Keinginan adalah pengejaran akan sesuatu yang belum dimilikinya. Pengejaran
seperti ini biasanya hanya mempunyai dua akibat. Kalau tercapai, sebentar saja
apa yang dikejarnya mati-matian itu akan membosankan dan sama sekali tidak
mendatangkan kebahagiaan seperti yang dibayangkan semula dan kalau tidak
tercapai, timbullah kekecewaan dan kedukaan.
Sesuatu yang belum dimilikinya yang dikejar-kejar, selalu dibayangkan sebagai
sesuatu yang amat indah, sesuatu yang akan mendatangkan kebahagiaan.
Akan tetapi setelah sesuatu itu dapat dimiliki, maka memudarlah bayangan-
bayangan yang muluk akan keindahan dan kebahagiaan itu, karena nafsu daya
rendah sudah mendorong lagi kepada kita untuk mengejar sesuatu yang lain,
yang belum kita miliki.

Karena itu, berbahagialah orang yang dapat menikmati apa yang telah
dimilikinya. Tidak terseret nafsu daya rendah yang tiada putusnya menarik kita
untuk selalu mengejar sesuatu yang belum kita miliki, membuat kita menjadi
angkara murka dan tidak pernah merasa puas dengan apa yang ada. Kalau
sudah begini, hiduppun merupakan penderitaan, kekecewaan, kebosanan,
yang takkan berhenti. Orang yang kaya raya, yang sebelum kaya
membayangkan betapa akan bahagianya setelah dia dapat menjadi kaya, mulai
menderita karena kekayaannya. Bermacam masalah yang meresahkan,
membingungkan dan menyedihkan timbul karena adanya kekayaan yang
berlimpah.
Orang yang berpendidikan tinggi, yang berpengetahuanpun tidak sebahagia
seperti yang dibayangkan ketika dia sedang mengejar ilmu pengetahuan itu.
Dia seperti terhimpit oleh ilmu pengetahuannya sendiri. Demikian pula orang
yang berkedudukan. Tadinya kedudukan dianggap sebagai sarana utama untuk
mencapai kebahagiaan, akan tetapi setelah kedudukan diperolehnya, justeru
kedudukannya itulah yang menjadi penghalang bagi kebahagiaannya. Kita
terbelenggu oleh apa yang kita kejar, karena kita diperhamba oleh apa yang
kita kejar sendiri.

Cinta mendatangkan khayalan yang muluk-muluk dan indah-indah. Padahal,


pada hakekatnya cinta asmara adalah Nafsu yang terselubung pakaian yang
svrba indah dan halus sehingga tampak bersih dan mengharukan. Cinta adalah
Nafsu sex yang wajar, dan seperti biasanya nafsu selalu berpamrih.
Pamrihnya adalah kesenangan bagi dirinya sendiri, nafsu adalah aku yang ingin
memiliki, ingin senang sendiri. Kalau kita meneliti kepada diri sendiri,
mengamati dengan waspada "cinta" kita yang kita anggap suci dan mulia, maka
akan tampaklah bahwa di balik semua kehalusan dan keindahan itu
bersembunyi nafsu yang mengerikan. Kita mencinta pacar kita, bahkan isteri
kita. Akan tetapi cinta kita itu berpamrih untuk kesenangan diri kita sendiri.
Kalau si pacar atau isteri itu tidak mencinta kita, tidak melayani kita dengan
baik, kalau tidak setia, ke manakah larinya cinta kita yang kita dengung-
dengungkan itu? Bukan hanya akan lenyap, bahkan mungkin berganti benci!
Cinta kita itu hanya seperti jual beli di pasar saja. Kita beli dengan cinta kita,
akan tetapi kita minta balasan yang lebih lagi. Memang sebuah kenyataan yang
pahit sekali.
Cinta asmara yang sejak dahulu dipuja-puja semua orang, sehingga nuncul
istilah-istilah cinta suci, cinta murni dan sebagainya, setelah diamati benar-
benar, ternyata hanyalah harimau berbulu domba! Cinta asmara tidak lain
hanyalah gairah berahi, tidak lain hanyalah nafsu sex yang berpakaian indah.
Apakah kalau begitu kita harus meniadakan cinta jelmaan nafsu sex ini? Tentu
saja tidak, karena hal Itu tidak mungkin.
Sejak kita lahir, kita telah disertai nafsu nafsu, di antaranya nafsu sex. Akan
tetapi nafsu ini hanyalah peserta, hanya pelayan, untuk melengkapi hidup ini
karena tanpa adanya nafsu sex, manusia tidak akan berkembang biak. Kita
dapat mempergunakan nafsu sex ini pada tempatnya yang wajar, misalnya
dalam hubungan suami isteri. Akan tetapi kalau kita lengah, dan nafsu sex ini
menguasai kita, mencengkeram hati akal pikiran kita, maka nafsu sex dapat
menjerumuskan kita ke dalam perbuatan-perbuatan yang sesat, seperti
misalnya pelacuran, perjinahan, perkosaan.
Seperti dengan nafsu-nafsu lain, nafsu sex merupakan peserta yang teramat
penting bagi kehidupan, akan tetapi di lain pihak dia juga dapat menjerumuskan
kita ke dalam malapetaka kalau kita sampai dicengkeramnya. Lalu bagaimana
baiknya? Nafsu itu lawan akan tetapi juga kawan.
Nafsu itu kawan kalau kita mampu mengendalikannya, dan menjadi lawan
kalau kita dikuasainya. Jadi jalan keluarnya, kita hanya dapat
mengendalikannya. Akan tetapi mampukah kita? Mengendalikan nafsu apapun
merupakan pekerjaan yang teramat sukar sekali, bahkan hampir tidak mungkin.
Kalau kita hanya mempergunakan hati akal pikiran saja untuk mengendalikan,
kebanyakan kita akan gagal karena hati-akalpikiran sendiri sudah bergelimang
nafsu sehingga bukannya mengendalikan nafsu, bahkan membela dan
membenarkan nafsu. Semua pencuri di seluruh dunia ini tahu belaka bahwa
mencuri itu tidak baik, akan tetapi mereka tidak dapat menghentikan perbuatan
mereka karena hati akal pikiran mereka bahkan membela perbuatan mencuri itu
dengan berbagai dalih. Karena terpaksa, karena ingin menghidupi keluarga,
dan sebagainya lagi.
Satu-satunya jalan untuk dapat menguasai nafsu sendiri hanyalah datang dari
Tangan Tuhan. Kita serahkan segalanya kepada Tuhan dan mohon
bimbinganNya dan atas kehendakNya sajalah nafsu dalam diri kita dapat kita
kuasai.
Hati akal pikiran, yaitu kesatuan dari aku, hanya mengamati saja sambil pasrah
kepada Kekuasaan Tuhan. Si aku tidak bergerak lagi, yang ada hanyalah
Kewaspadaan, yaituwaspada dalam mengamati diri sendiri luar dalam, dengan
mawas diri.
Dalam menghadapi segala kepalsuan sebagai ulah nafsu ini, ada satu
pegangan hagi batin untuk memperkuat diri.
Pegangan itu ialah Kewajiban. Kalau kita memegang teguh dan melaksanakan
kewajiban dalam kehidupan, maka batin kita kuat menghadapi segala godaan
dan serangan yang datangnya dari nafsu kital sendiri. Kewajiban itu ada di
segala waktu. Kewajiban sebagai seorang anak, kewajiban sebagai seorang
sahabat, kewajiban sebagai seorang kekasih, sebagai seorang suami atau
isteri, sebagai se-orang ayah atau ibu, dan seterusnya.
Memenuhi semua kewajiban sambil menyerahkan diri kepada Kekuasaan
Tuhan akan membuat kita menjadi manusiai seutuhnya, menjadi manusia yang
selalu memenuhi kewajiban, kewajiban sebagai manusia, sebagai warga
negara dan bangsa.

Cinta kasih asmara memang aneh. Jelas jauh bedanya antara cinta antara
kakak beradik dengan cinta antara seorang wanita dan seorang pria. Cinta
antara pria dan wanita adalah cinta asmara, cinta yang mengandung berahi
satu kepada yang lain, berbeda dengan cinta seorang adik wanita terhadap
kakak prianya yang jauh dari perasaan berahi. Hal ini memang sudah
merupakan pembawaan, merupakan anugerah dari Tuhan yang disertakan
kepada setiap orang manusia, pria maupun wanita. Nafsu atau gairah berahi
memang ada pada setiap orang, bahkan pada setiap mahluk, karena nafsu
berahi itu mutlak penting bagi kelangsungan hidup setiap mahluk itu sendiri.
Nafsu berahi yang mendorong dua mahluk berlainan jenis untuk saling tertarik,
saling mendekati, kemudian,saling mencinta. Nafsu berahi mendorong seorang
pria dan seorang wanita untuk bersatu sehingga dari persatuan ini terlahir
keturunan dan perkembangan-biakan pun tidak akan terputus.
Tidak demikian dengan cinta antara pria dari wanita yang menjadi saudara
kandung. Kalaupun timbul gairah berahi di antara keduanya, maka jelas bahwa
hal itu tidaklah wajar bagi manusia, tidak semestinya dan kalau dilanggar tentu
akan menimbulkan akibat-akibat yang tidak baik.
Nafsu, dalam bentuk apapun juga, kalau sudah menguasai manusia, tentu akan
menyeret manusia ke dalam perbuatan-perbuatan yang tidak wajar dan tidak
benar. Di samping semua daya rendah yang menimbulkan nafsu, pada
manusia disertakan pula akal budi. Akal budi inilah yang membuat kita dapat
mengerti mana yang benar mana yang salah, mana yang baik mana yang
buruk. Akal budi ini yang membuat manusia menjadi mahluk yang paling tinggi
derajatnya di antara segala mahluk di dunia ini, juga menjadi mahluk yang
paling kuat dan paling kuasa.
Tanpa akal budi, manusia akan menjadi mahluk yang paling lemah, kita tidak
akan menang melawan seekor kucing sekalipun, karena kucing masih memiliki
taring dan kuku tajam. Apalagi melawan binatang yang lebih kuat dan lebih
besar. Kitapun tanpa akal budi akan mudah sakit dan mati karena kita tidak
akan mempunyai tempat dan pakaian untuk berlindung. Akal budi bekerja sama
dengan nafsu daya rendah yang menjadi pendorongnya, memungkinkan kita
membuat segala macam benda keperluan hidup kita di dunia ini,
memungkinkan kita menikmati hidup ini. Akal budi pula yang membuat kita
dapat membedakan segala sesuatu, mempertimbangkan segala sesuatu, dan
akal budi yang melahirkan Ilmu-Ilmu, peradaban, kebudayaan dan lain
sebagainya yang menjadi isi kehidupan manusia.

NAFSU
Seseorang boleh saja memiliki kepandaian tinggi, dan dapat menandingi dan
mengalahkan musuh yang bagaimana kuatpun. Akan tetapi, musuh yang paling
berbahaya bukan lain adalah dirinya sendiri, nafsu yang berada di dalam dirinya
sendiri. Betapapun kuatnya seseorang, belum tentu dia akan mampu
menandingi nafsunya sendiri. Betapa banyaknya sudah contoh yang terjadi di
dalam sejarah, betapa orang-orang yang kuat dan terkenal bijaksana, akhirnya
jatuh oleh nafsunya sendiri. Kalau nafsu sudah memperbudak manusia, maka
manusia itu akan menjadi permainan nafsu, akan melakukan apa saja demi
pemuasan nafsu sehingga segala pertimbangan akal sehat tidak akan mampu
menghalanginya.
Kita tidak mungkin mematikan nafsu. Tanpa adanya nafsu, kita tidak akan
menjadi manusia, bahkan tidak mungkin dapat hidup. Nafsu sudah
diikutsertakan kita ketika kita lahir, dan nafsu merupakan peserta yang teramat
penting bagi kehidupan manusia. Nafsu yang membuat kita mengenal enak dan
tidak enak, senang dan susah, baik dan buruk, dan selanjutnya. Nafsu yang
membuat mata kita mengenal keindahan, telinga kita mengenal kemerduan,
hidung kita mengenal keharuman, mulut mengenal kelezatan dan sebagainya.
Nafsu yang merupakan pendorong sehingga hati akal pikiran kita dapat
membuat segala macam kemajuan demi kenyamanan hidup. Tanpa adanya
nafsu, kita tidak dapat menikmati makanan dan mungkin kita tidak mau makan
sehingga kelaparan. Tanpa adanya nafsu, kita tidak akan melakukan
perbaikanperbaikan dan mungkin kita masih akan tinggal di goa-goa dan jaman
kita masih tetap jaman batu. Bahkan tanpa abanya nafsu berahi, pria dan
wanita tidak akan saling tertarik, tidak akan saling berhubungan, sehingga
mahluk manusia tidak akan berkembang biak lagi.! Jelas, nafsu mutlak perlu
bagi kehidupan kita!
Akan tetapi, nafsu pula yang menyeret kita ke lembah kesengsaraan, nafsu
pula yang mendorong kita melakukan kejahatan, yaitu kalau nafsu yang tadinya
diciptakan dan diikutsertakan kita untuk menjadi peserta dan menjadi pelayan,
berbalik menjadi majikan yang memperhamba kita! Kalau nafsu sudah
mencengkeram kita, memperbudak kita maka keadaan menjadi berbalik sama
sekali. Nafsu mendorong kita menjadi budak yang selalu haus akan
kesenangan, dan demi mengejar kesenangan itu kita menghalalkan segala
cara. Nafsu mengejar kesenangan melalui uang menghalalkan segala cara
pencarian uang melalui korupsi, penipuan, pencurian, perampokan dan
sebagainya. Nafsu mengejar kesenangan melalui kedudukan menghalalkan
segala cara pengejaran kedudukan melalui perbuatan kekerasaan,
pengkhianatan, permusuhan, pembunuhan, perang dan sebagainya. Nafsu
mengejar kesenangan melalui berahi menghalalkan segala cara pengejarannya
melalui perjinahan, pelacuran, perkosaan dan sebagainya.
Sejak dahulu kala, manusia berusaha untuk menanggulangi perbudakan oleh
nafsu ini melalui pelajaran, pendidikan budi pekerti, agama, ilmu pengetahuan.
Manusia berusaha untuk menyadarkan diri betapa buruknya keadaan kita kalau
diperbudak oleh nafsu. Namun, melihat kenyataan yang ada, daya upaya
manusia itu tidak banyak hasilnya. Manusia tetap menjadi budak nafsu, sampai
sekarang. Bahkan setelah manusia memperoleh kemajuan pesat sekali dalam
ilmu pengetahuan, tetap saja manusia tidak berdaya mengatasi nafsunya
sendiri. Ilmu pengetahuan sama sekali tidak berdaya mengendalikan nafsu. Hal
ini memang tidak aneh. Ilmu pengetahuan dapat maju karena adanya nafsu
dalam hati akal pikiran.
Mengharapkan pengertian dan pengetahuan untuk menalukkan nafsu,
merupakan harapan hampa. Pengetahuan tidak mungkin dapat menundukkan
nafsu. Hal ini banyak buktinya kalau kita membuka mata dengan waspada,
melihat kenyataan dalam kehidupan ini, dalam diri sendiri maupun kehidupan
manusia di sekeliling kita. Baru cengkeraman nafsu yang amat kecil saja,
misalnya merokok, sudah sedemikian kuatnya sehingga tidak dapat ditaklukkan
oleh pengetahuan. Semua perokok tahu dan mengerti bahwa merokok itu tidak
baik untuk kesehatan dan sebagainya, namun mereka tetap tidak berdaya,
tidak mampu menghentikan kebiasaan merokok! Bahkan hati akal pikiran yang
sudah dicengkeram nafsu muncul sebagai pembela untuk membenarkan
kebiasaan merokok itu dengan bisikan-bisikan bahwa merokok itu baik.
agar nampak jantan, untuk menenangkan pikiran, untuk mencari ilham, untuk
pergaulan dan segala macam pembelaan lagi. Coba kita bertanya kepada
semua pencuri di dunia ini. Adakah seorang pencuri yang tidak tahu bahwa
mencuri itu jahat? Semua pencuri tahu dan mengerti!
Akan tetapi, mereka tetap saja mencuri! Karena pengetahuan itu tidak dapat
menundukkan nafsu yang mendorongnya untuk mencuri demi memperoleh
kesenangan melalui uang! Demikian pula para koruptor. Adakah seorangpun di
antara para koruptor yang tidak tahu bahwa korupsi itu tidak baik? Semua
koruptor tahu dan mengerti! Akan tetapi tetap saja mereka melanjutkan
perbuatan korupsi itu. Dan hati akal pikiran, gudang pengetahuan dan
pengertian itu, yang sudah dikuasai nafsu, bahkan menjadi pokrol, membela
perbuatan korupsi itu sendiri dengan bisikan bahwa mereka melakukan korupsi
untuk menghidupi anak bini, bahwa semua orang juga melakukannya, bahwa
atasannya berkorupsi lebih banyak lagi dan sebagainya! Dalam setiap
perbuatan yang sebetulnya dimengerti bahwa itu tidak baik, selalu saja pikiran
muncul sebagai pembelanya, untuk membenarkan perbuatan jahat itu, atau
setidaknya, mengurangi keburukannya!
Sekarang kita dihadapkan kepada keadaan yang amat sulit. Nafsu mutlak perlu
bagi kehidupan kita. Kita mutlak membutuhkan nafsu untuk kelangsungan hidup
di dunia ini. Akan tetapi nafsu pula yang menyeret kita ke dalam lembah
kejahatan, menyeret kita untuk melakukan penyelewengan! Lalu apa yang
dapat kita lakukan? Hati akal pikiran kita tidak berdaya, karena semua
pengetahuan tidak dapat menundukkan nafsu yang merajalela Apa yang dapat
kita lakukan agar nafsu kembali kepada tugas dan kedudukannya semula, yaitu
menjadi peserta dan pelayan kita dalam kehidupan ini? Apa yang dapat kita
lakukan? Pertanyaan ini sudah bergema sepanjang jaman. Banyak orang pergi
bertapa, menyiksa diri, melakukan segala macam tapabrata, semua ini
merupakan usaha untuk menanggulangi nafsu, yaitu setan yang berada di
dalam diri kita sendiri. Namun, hampir tidak ada yang berhasil. Lalu apa yang
dapat kita lakukan?
Jawaban yang tepat kiranya hanyalah bahwa kita seyogianya tidak melakukan
apa-apa! Karena apapun yang kita lakukan, kelakuan itu masih dikemudikan
oleh nafsu keinginan. Ingin bebas dari nafsu! Siapa yang ingin itu? Itupun masih
pikiran yang bergelimang nafsu. Menginginkan sesuatu, walaupun keinginan itu
merupakan keinginan bebas dari pada keinginan sekalipun!
Tuhan Maha Pencipta! Tuhan maha Kuasa! Tuhan Maha Kasih! Kekuasaan
Tuhan pula yang menciptakan adanya nafsu yang diikut-sertakan kita. Karena
itu, tidak ada kekuasaan lain di dunia ini yang akan mampu menundukkan
nafsu, kecuali kekuasaan Tuhan! Kita tidak perlu melakukan apapun. Kita
hanya menyerah, kita hanya pasrah kepada Tuhan, dengan penuh kesabaran,
keikhlasan, ketawakalan! Kita tidak perlu berusaha apapun untuk menundukkan
nafsu, karena usaha apapun dari kita itu bahkan memperkuat nafsu, karena
usaha itu sendiripun merupakan ulah nafsu. Kita menyerah mutlak kepada
Tuhan dengan penuh keimanan dan kepasrahan. Penyerahan ini merupakan
kuncinya, agar kekuasaan Tuhan selalu membimbing kita. Kekuasaan Tuhan
bekerja membimbing kita setelah nafsu tidak lagi membimbing dan menguasai
kita. Nafsu menjadi alat untuk hidup, namun kekuasaan Tuhan yang akan
menjadi kendali, menjadi penuntun, dalam segala yang kita perbuat.

Cinta Kasih

bahwa cinta kasih bukan berarti menuntut kesenangan hati kita sendiri dari
orang yang kita cinta, merupakan ucapan yang teramat penting untuk ditelaah
oleh kita semua. Bukan hanya menyangkut cinta kasih pada umumnya yang
dianggap hanya merupakan perasaan timbal balik antar insan berlawanan jenis,
antara pria dan wanita, melainkan juga mencakup cinta kasih antara orang tua
dan anak, timbal balik. Betapa sering terjadi konflik atau pertentangan batin
antara orang tua dan anak, padahal kedua pihak berani bersumpah saling
mencinta.!
Kalau benar ada cinta kasih di antara orang tua dan anak secara timbal balik
bagaimana mungkin sampai terjadi konflik batin antara mereka?
Konflik batin antara yang tua dan yang muda menimbulkan suatu celah atau
jurang pemisah antara orang tua dengan anaknya sendiri. Yang tua
menganggap anak mereka bandel dan murtad, mengecewakan dan tidak
mentaati orang tua, sedangkan yang muda menganggap orang tua mereka itu
kuno, kolot, terlalu mengekang, terlalu menggurui, menjadi penghalang
kesenangan, dan sebagainya. Maka terjadilah konflik yang menghancurkan
sendi-sendi cinta kasih di antara mereka.
Mengapa begitu? Kalau, kita singkirkan dulu perasaan keakuan, mementingan
diri sendiri, dan menarik diri sebagai orang luar, bukan anak bukan orang tua,
lalu menjenguk isi hati kedua pihak, mungkin akan nampak jelas bagi kita
mengapa terjadi konflik seperti itu.
Konflik terjadi karena bentrokan kepentingan, bentrokan selera, bentrokan
pandangan hidup.
Kedua pihak, baik orang tua maupun anak, lupa bahwa alam pikiran yang tua
dan yang muda berbeda jauh. Yang tua lupa bahwa kebiasaan hidup ini
mengalami perubahan dan kukuh berpegang kepada nilai-nilai yang sudah
dianggap mapan, nilai-nilai lama, tanpa memperdulikan adanya perubahan
nilai.
Penilaian selalu berubah mengikuti perkembangan jaman. Orang tua selalu
mengandalkan pengalaman sebagai senjata untuk memamerkan kelebihannya
kepada si anak, lupa bahwa pengalaman itu adalah pengalaman dahulu dan
kalau dia tidak mau mengikuti perkembangan jaman, dia bahkan akan
ketinggalan dan sama sekali tidak berpengalaman dalam hal-hal baru yang
terjadi dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya, si anak juga lupa bahwa
orang tuanya adalah orang-orang yang pandangan hidupnya terikat masa lalu.
Dari bentrokan ini timbullah konflik. Jarang terdapat orang tua yang tidak
mengikatkan diri kepada masa lalu, melainkan arif mengikuti perkembangan
jaman sehingga waspada terhadap perubahan nilai-nilai, seperti jarangnya
anak yang mau memaklumi keadaan orang tuanya, lupa bahwa dengan cara
mereka sendiri, orang tuanya sebetulnya bermaksud baik bagi dirinya, hanya
caranya saja yang menimbulkan konflik.
Semua pertentangan itu akan lenyap kalau orang tua mencinta dengan tulus,
dalam arti kata bukan mencinta dengan pamrih kepentingan dan kesenangan
hati sendiri. Mencinta berarti membahagiakan yang dicinta, bukan menuntut
sesuatu dari yang dicinta.!
Cinta yang menuntut balas, yang berpamrih, adalah cinta nafsu, yang
mempergunakan cinta demi mencapai kesenangan hati sendiri, dan cinta
macam ini pasti menimbulkan konflik batin.
Cinta kepada anak berarti memberi kebebasan kepada anak, seperti
membiarkan tunas tumbuh menjadi pohon, bebas terkena sinar matahari dan
tersiram hujan, dan orang tua hanya mengamati, menjaga-tanpa mengatur,
tanpa memaksakan kehendak. Orang tua turun tangan .hanya kalau melihat
perkembangan pertumbuhan itu tidak benar atau terancam, seperti orang
menjaga tanaman dan membersihkannya dari ulat, memberi pupuk, mencabut
rumput liar, akan tetapi tidak mencampuri pertumbuhan itu sendiri. Cinta kasih
bukan berarti mengikat!
Dilain pihak, anak-anak harus selalu menyadari sepenuhnya bahwa dengan
cara apapun, orang tua tetap menyayang anak-anak, baik cara itu dianggap
benar atau keliru, dan dasar kesadaran ini harus menjadi pengingat bahwa
mereka sepatutnya berterima kasih dan tidak menyakiti hati orang tuanya.
Kalau kepada orang tua sendiri tidak menyayang, bagaimana mungkin dapat
menyayang orang lain? Ibu adalah manusia yang paling besar kasihnya
terhadap dirinya, sesudah itu baru ayah. Kalau kepada ayah ibu tidak dapat
menaruh hati kasih sayang, maka cinta kasih kepada orang lain tentu saja patut
di ragukan.!
Memang tidak mudah bagi orang tua maupun anaknya untuk mengatasi nafsu
sendiri yang menimbulkan kekecewaan, kemarahan sehingga si orang tua tidak
menyumpahi anaknya dan si anak tidak menyumpahi orang tua. Dalam
keadaan dicengkeram nafsu amarah, manusia dapat melakukan apa saja.
Namun, kesukaran itu pasti akan mudah diatasi kalau kita menyerahkan diri
kepada Tuhan, kalau kita pasrah dan mohon bimbingan kekuasaan Tuhan.
Karena hanya kekuasaan Tuhan jualah yang akan mampu menundukkan
nafsu-nafsu daya rendah yang menyesatkan kita.
Manusia saling bermusuhan dan hal ini berlangsung terus, agaknya sejak
manusia-manusia pertama diciptakan sampai sekarang! Manusia saling
bermusuhan, saling berlomba dan berebut kekuasaan, berebutan harta.
Mengapa demikian? Semua ini adalah pengaruh iblis, pengaruh setan yang
hendak menguasai manusia. Iblis mempergunakan daya-daya rendah yang ada
pada diri manusia untuk menyeret manusia agar menyeleweng dari jalan hidup
seperti yang dikehendaki Tuhan Maha Pencipta.
Mungkin timbul pertanyaan: Apa dan bagaimana yang dikehendaki Tuhan itu
dan bagaimana kita dapat menentukan bahwa itu adalah kehendak Tuhan?
Menjawab pertanyaan seperti ini hanya mengandalkan pikiran adalah tidak
mungkin, atau jawaban itu hanya akan menimbulkan perdebatan dan
pertentangan belaka. Untuk menjawab pertanyaan di atas, menimbulkan
pertanyaan lain tentang ada dan tidaknya Tuhan! Inipun bukan suatu
pertanyaan untuk dijawab oleh otak kita. Ada atau tidaknya Tuhan merupakan
kepercayaan atau ketidak percayaan saja, karena tidak mungkin membuktikan
keberadaan Tuhan melalui panca-indera.
Namun kekuasaan Tuhan dapat dibuktikan. Seluruh jagad mayapada beserta
semua isinya ini, jelas ada, dapat dilihat, didengar dan dicium. Kalau ada, tentu
ada yang mengadakannya! Nah, Yang Mengadakan inilah yang kita sebut
Tuhan! Kekuasaan Tuhan nampak jelas di mana-mana, bahkan dalam diri kita
sendiri. Dari setiap helai bulu di tubuh kita, rambut dan kuku, semua itu tumbuh
tanpa kita tumbuhkan. Jadi, ADA yang menumbuhkan, dan inilah kekuasaan
Tuhan!
Kemampuan lalat dan burung terbang di udara, kemampuan ikan hidup di air,
cacing di dalam tanah, semua itu karena kekuasaan Tuhan yang mengaturnya.
Dan kekuasaan itu kita namakan HIDUP atau kehidupan.
Lalu, bagaimana kita dapat menentukan bahwa semua itu merupakan
kekuasaan Tuhan?
Siapakah Tuhan? Pria atau wanita? Satu ataukah banyak? Dimana tempat
tinggalnya? Semua pertanyaan otak atau pikiran ini sama sekali tidak tepat
untuk dijawab. Nama bagi Yang Maha Kuasa atau Maha Pencipta itu hanyalah
sebutan yang kita pakai saja menurut bahasa masingmasing.
Kekuasaan Tuhan berada di manapun juga, dan kekuasaanNya bekerja melalui
sinar matahari, udara, air, api, tanah sehingga memberi kehidupan. Pikiran
tidak mungkin mengukur kebesaran Tuhan! Tidak mungkin dapat
membayangkan. Kita ini merupakan satu di antara mahluk ciptaan Tuhan.
Walaupun merupakan mahluk yang paling lengkap dan sempurna, berikut hati
dan pikiran, dilengkapi akal budi, namun tetap saja serba terbatas. Mata kitapun
terbatas, tidak dapat melihat benda yang lebih lembut daripada ukuran mata.
Pendengaran, penciuman, juga hati akal pikiran, semua terbatas. Bagaimana
mungkin yang serba terbatas ini mengukur YANG TIDAK TERBATAS?
Pikiran ini hanyalah gudang yang isinya hanya tumpukan pengalaman. Kita
hanya dapat mengenal hal-hal atau sesuatu yang pernah kita kenal, kita
ketahui. Kalau kita disuruh mencari seseorang, tentu pikiran mencari-cari dalam
gudang itu dan mencari-cari bayangan orang itu.
Kalau kita pernah bertemu dengannya, pernah mengenalnya atau mengetahui
bagaimana rupanya, siapa namanya, tentu kita dapat mencarinya.
Akan tetapi bagaimana kita dapat mencari seseorang yang sama sekali tidak
kita ketahui, tak pernah kita kenal, baik rupanya, namanya atau tempat
tinggalnya? Tidak mungkin, bukan? Baru mencari orang yang tidak kita kenal
saja, tidak mungkin. Bagaimana pikiran ini, yang hanya merupakan gudang
benda-benda lapuk, dapat menemukan atau mencari Tuhan? Yang akan kita
temukan tentulah Tuhan yang sudah terbentuk dalam pikiran kita, gambaran
yang kita dapat tentang Tuhan, dan jelas bahwa yang kita temukan itu hanyalah
sebuah bayangan belaka dari angan-angan kita sendiri. Baru membayangkan
bentuk udara, bentuk api, atau bentuk air saja sudah tidak mungkin bagi kita.
Yang dapat kita bayangkan adalah bentuk air dalam wadahnya, bentuk api
dalam nyalanya, bentuk udara dalam tekanannya. Apalagi membayangkan
bentuk Yang Maha Pencipta, yang menciptakan semua itu! Tidak mungkin!
Disini letaknya peran dari iman. Tuhan hanya dapat disentuh dengan iman!
Dengan kesadaran bahwa Tuhan itu Ada karena kekuasaannya ada dan
terbukti. Dan kalau sudah begitu, keimanan membawa kita kepada
kepercayaan akan wahyu Tuhan yang dilimpahkan kepada manusia melalui
manusia pula, manusia yang sudah dipilihnya, untuk memimpin manusia agar
menjauhi kejahatan dan melakukan kebajikan. Melakukan kebaikan dalam
kerukunan bersama antar manusia untuk mempertahankan keberadaan
manusia. Dan kebaikan inilah yang kita terima sebagai kehendak Tuhan!

Atau, kalau ada manusia dilahirkan di tempat di mana belum ada peradaban,
belum ada pengertian tentang wahyu dinamakan agama, tetap saja manusia
memiliki kesadaran akan adanya kekuatan yang berada di luar batas
kemampuannya. Manusia, dari pengalamannya, akan mengakui adanya
kekuasaan yang lebih tinggi, di luar jangkauan akal pikiran manusia, kekuasaan
yang akan menghukum manusia melalui bencana alam dan sebagainya.

Memang tak dapat disangkal bahwa tidak ada kesenangan tanpa kesusahan.
Apa yang tadinya menyenangkan, dapat menjadi membosankan bahkan
menyusahkan. Seorang hartawan lambat laun tidak lagi dapat merasakan
kenikmatan hartanya, melainkan menderita karena hartanya, takut berkurang,
takut lenyap, takut ditinggalkan.

Hidup harus berani sendiri, karena segala sebab akibat berada dalam diri
sendiri, segala tanggung-jawab juga harus dipikul sendiri. Hidup tidak dapat
digantungkan kepada siapapun juga. Akhirnya, kalau nyawa sudah mening
galkan badan, setiap orang manusia juga harus bersendirian, sendiri
menghadapi maut, tidak ditemani siapapun juga.
Karena itu, di waktu masih hidup, harus berani bersunyi diri, berhening-hening
karena hanya dalam keheningan lahir batin inilah dapat ditemukan apa yang
selalu dicari-cari orang, yakni kebahagiaan. Keheningan berarti kebahagiaan,
keheningan yang kosong tanpa di isi ingatan apapun sehingga kenangan tidak
sempat masuk sehingga hati akal pikiran dijauhkan dari kenangan pahit
maupun manis.
Berada di atas suka dan duka, tidak dipengaruhi suka duka dan segala
perasaan lain, di situlah letaknya kebahagiaan.
Kebahagiaan selalu sudah berada di dalam dan di luar diri kita dan hanya orang
yang berada dalam keheningan dapat merasakan itu. Biasanya, hidup kita
bergelimang nafsu daya rendah yang menimbulkan segala macam perasaan,
dan dalam keadaan seperti itu, kebahagiaanpun tidak tampak bayang annya. Ia
begitu dekat, namun begitu jauh! Dekat melebihi mata sendiri, namun kalau
jauh tak tampak bayangannya. Sudah ada dan menjadi satu diri, namun masih
dicari-cari, semua ini akibat ulah nafsu daya rendah manusia yang selalu
berusaha menguasai diri.
Hanya orang yang berada dalam ke heninganlah yang berdekatan dengan
Tuhan Yang Maha Kasih, kesadaran dirinya selalu dipenuhi kekuasaan Tuhan,
bahkan setiap detak jantung menyebut Nama. Tuhan dengan penuh
kepasrahan, penuh penyerahan, tunduk dan taat akan, segala kehendakNya!

Malapetaka
Malapetaka dapat menimpa siapapun juga di dalam kehidupan di dunia ini.
Tidak pandang bulu! Seorang manusia yang paling berkuasa sekalipun, tidak
kebal terhadap malapetaka dan maut, kalau memang Tuhan sudah
menghendaki. Tiada kekuatan apapun di dunia dan akhirat yang mampu
mengubah kehendak Tuhan. Kehendak Tuhanpun terjadilah. Manusia hanya
dapat menerima, tawakal, dengan penuh keikhlasan menyerahkan diri lahir
batin sepenuhnya kepada kekuasaan Tuhan. Hanya inilah satu-satunya jalan.
Hanya Tuhan yang dapat menentukan jalan hidup ini, seperti Tuhan pula yang
menentukan dan mengatur segala sesuatu yang hidup dan mati, yang nampak
dan tidak nampak. Tuhan mendahului yang paling dulu, mengakhiri yang paling
akhir, di sebelah dalam yang paling dalam dan di sebelah luar yang paling luar!
Tak terjangkau oleh akal pikiran. Kalau segala gerakan badan dan batin diatur
oleh kekuasaan Tuhan, barulah sempurna dan benar dan hal ini mungkin saja
dapat dicapai dengan penyerahan diri penuh keikhlasan dan kerendahan hati.
Sebaliknya, segala gerakan badan dan batin yang diatur oleh akal pikiran selalu
ditunggangi nafsu-nafsu dan akibatnya seperti yang kita lihat di sekeliling kita.
Konflik dan pertentangan, perebutan, masing-masing menonjolkan kepentingan
aku sendiri dan tak dapat dihindarkan lagi, bentrokan-bentrokan dan
kekerasanpun terjadilah, di mana-mana!
Akal pikiran dan segala macam nafsu memang sungguh amat kita perlukan
dalam kehidupan ini. Akal pikiran dan nafsu adalah alat-alat yang sangat
benguna bagi kita untuk mempertahankan hidup di dunia ini. Karena mereka itu
hanya alat, maka haruslah dapat kita manfaatkan, kita peralat demi
kepentingan dan kebutuhan diri dalam kehidupan di dunia. Akan tetapi apa
kenyataannya? Kita malah yang diperalat oleh mereka! Kita diperalat,
diperhamba oleh akal pikiran dan nafsu, maka rusaklah ketenteraman hidup,
lenyaplah kebahagiaan hidup. Akal pikiran dan nafsu hanya ingin ini, ingin itu.
ingin lebih, ingin enak dan segala macam keinginan. Dan untuk mengejar
terlaksananya keinginan itu, kita diperalat untuk mendapatkannya sehingga
timbullah segala macam perbuatan kekerasan dan kemaksiatan. Kalaupun rasa
kemanusiaan kita, hati nurani kita sewaktu-waktu menyadari akan hal ini, hati
nurani kita itu sedemikian lemahnya sehingga tidak mampu menanggulangi
kekuatan daya rendah dari nafsu-nafsu dan akal pikir, dan kita tetap
dicengkeram dan dikuasai, dipengaruhi. Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang
akan mampu menalukkan kegarangan daya-daya rendah itu, menjinakkannya
dan mengembalikan fungsinya sebagai alat, sebagai harta, bukan lagi sebagai
majikan.

MENGEJAR KEHORMATAN

Semua orang mengejar kehormatan ini! Semua orang bertingkah dan berharap
agar mereka mendapat penghormatan dari orang lain.
Semakin dihormat, semakin banggalah rasa hati ini, semakin merasa betapa
dirinya ini „besar‟. Pengejaran kehormatan ini sesungguhnya bukan lain
hanyalah ketinggian hati, keinginan nafsu yang hendak mengangkat diri sendiri
setinggi mungkin, yang menilai diri sendiri yang paling besar dan paling tinggi,
paling hebat. Karena itu setiap, kali rasa diri besar ini terlanggar, akan marahlah
si-aku. Sama juga dengan pengejaran harta benda yang dianggap akan
merdatangkan kebahagiaan, demikian pula pengejaran terhadap kehormatan di
dasari anggapan bahwa kehormatan akan mendatangkan kebahagiaan melalui
kebanggaan. Padahal, kebahagiaan tidak mungkin dicapai melalui kesenangan
berharta besar atau melalui kebanggaan berkedudukan tinggi. Segala macam
bentuk kesenangan bukanlah makanan jiwa. melainkan sekedar permainan
nafsu belaka dan biasanya, nafsu selalu mengejar yang lebih sehingga
kesenangan yang dinikmati itu dalam waktu singkat saja sudah terasa hambar
karena keinginan mengejar yang lebih. Dan akibatnya maka muncullah
kekecewaan dan penyesalan kalau yang dikejar itu tidak tercapai, atau
kebosanan kalaupun tercapai karena kenyataan tidaklah sesenang yang
dibayangkan selagi dalam pengejaran. Kesenangan jelas bukan kebahagiaan.
Dan semua orang mengejar kebahagitan. Apakah sesungguhnya kebahagiaan?
Demikian timbul pertanyaan abadi sejak dahulu. Semua orang mengejar
kebahagiaan! Dan makin dikejar semakin tak nampak! Maka penting sekali
mempelajari apa sesungguhnya kebahagiaan yang dikejar oleh setiap orang
manusia ini. Apakah hanya sebuah kata? Kata kosong belaka ?
Kebahagiaan jelas bukan kedukaan karena justeru di dalam penderitaan
dukalah manusia merindukan kebahagiaan kebahagian bukan pula kesenangan
karena semua orang yang merasakan kesenangan akhirnya mengakui bahwa
kesenangan hanyalah sekelumit dan sementara saja sifatnya. Kalau kedukaan
bukan kebahagiaan, dan kesenangan juga bukan kebahagiaan, lalu apa?
Apakah kebahagiaan yang didambakan seluruh manusia di dunia ini? Tidak
mungkinkah dirasakan orang selagi dia masih hidup? Apakah kebahagiaan
hanya bagian orang yang sudah mati dan hanya terdapat di akhirat? Semua
pertanyaan ini timbul dan tak seorangpun yang mampu menggambarkan
bagaimana sesungguhnya kebahagiaan itu. Bagaimana rasanya dan
bagaimana keadaan seseorang yang benar-benar berbahagia! Agaknya
pertanyaan yang sudah diajukan manusia sejak ribuan tahun yang lalu ini
takkan pernah dapat dijawab. Bagaimana mungkin menjawabnya kalau bahagia
merupakan suatu keadaan yang tak tengambarkan? Suatu keadaan tabir batin
yang hanya dapat dirasakan oleh yang bersingkutan? Sekali dibicarakan atau
diceritakan, maka cerita atau penggambaran itu tidak mungkin sama dengan
yang digambarkan!
Bahagia bukan duka bukan suka. Kalau ada duka, tidak ada bahagia, kalau ada
suka tidak ada bahagia. Jelas bahwa bahagia berada di atas suka duka.
Merupakan anugerah Tuhan, dan hanya Tuban yang akan dapat menjadikan
seseorang berbahagia. Tak mungkin dicapai melalui usaha akal pikiran karena
kebagiaan berada di atas akal pikiran yang menjadi sumber suka dan duka.
Dan karena itu merupakan ciptaan Tuhan, pekerjaan Tuhan, maka manusia tak
mungkin dapat mencampuri. Seperti halnya kelahiran dan kematian. Kita hanya
dapat PASRAH, menyerah kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Bijaksana,
yang akan mengatur segalanya ! Hanya pasrah, penuh keiklasan dan
ketawakalan. Betapapun juga, manusia hanyalah ciptaan, dan kekuasaan
berada di tangan Sang Pencipta!

Sudah lajim bahwa kita suka sekali, membicarakan keburukan orang lain, suka
sekali mempergunjingkan aib orang lain, bahkan suka mentertawakan
penderitaan orang lain. Nafsu setan menguasai batin kita sehingga seolah kita
selalu merasa iri kalau melihat orang lain serba lebih dari kita, dan merasa
senang kalau melihat orang lain lebih sengsara dari pada kita. Nafsu daya
rendah yang mencengkeram batin kita membuat kita diperbudak nafsu
sehingga kita lupa segalanya. Jiwa murni yang datang dari Tuhan seperti
tertutup oleh selubung nafsu daya rendah yang menguasai kita. Susah kalau
sudah begitu, nafsu setanlah yang mengendalikan semua tingkah laku kita,
bahkan mencengkeram hati dan akal pikiran kita, seluruh pancaindra kitapun
dikuasainya sehingga apapun yang kita pikirkan, ucapan, lakukan, semua
hanya mempunyai satu pamrih, yaitu menyenangkan si aku. dan si aku itu
yalah nafsu setan itulah! Nafsu setan yang sudah mencengkeram segalanya,
seluruh diri kita lahir batin. Kalau "aku" yang sesungguhnya adalah jiwa, setetes
air dari samudera yang menjadi pusat, secercah sinar dari matahari yang
menjadi pusat, sebagian kecil dari kekuasaan Tuhan, maka setelah
bergelimang nafsu setanlah, yang mengaku-aku. Tidak ada kekuasaan yang
akan mampu mengusir setan itu dari kita, karena sesungguhnya, hidup
manusia ini tidak akan dapat bertahan tanpa adanya nafsu yang menjadi
pelengkap bahkan menjadi pelayan dan alat penting bagi kita hidup di dunia ini.
Karena daya-daya rendah itu merupakan berkah dan kasih sayang Tuhan
kepada kita, melengkapi kita dengan alat-alat itu yang akan dapat membuat kita
hidup berbahagia, maka kalau daya-daya rendah itu menjadi nafsu yang tidak
terkendalikan lagi bahkan mengendalikan kita, maka hanya kekuasaan Tuhan
pula yang akan mampu menolong kita. Hanya kekuasaan Tuhan yang akan
mampu membebaskan kita dari daya pengaruh setan sehingga bukan kita
manusia yang diperhamba, melainkan daya-daya rendah itu yang menjadi
hamba, menjadi alat.

Di dalam setiap masyarakat yang bergotong-royong, seorang anggauta


masyarakat itu suka atau tidak suka terbawa untuk bersikap gotong-royong
pula. Sebaliknya dalam suatu masyarakat yang bersikap acuh dan
mementingkan diri sendiri masing-masing, para anggautanya tentu bersikap
demikian pula. Oleh karena inilah maka para bijaksana jaman dahulu selalu
menganjurkan kepada para anak cucu dan murid agar memilih, sahabat dalam
pergaulan mereka. Bersahabat dengan orang pandai, sedikit banyak tentu akan
menambah pengertiannya. Bersahabat dengan orang saleh, sedikit banyak
tentu akan memperbaiki kelakuannya. Bersahabat dengan orang kaya juga
sedikit banyak tentu akan menambah rejekinya. Akan tetapi bersahabat dengan
orang jahat, mudah sekali kita terbawa dan terjerumus ke dalam jurang
kesesatan. Bagaimana mungkin kita akan minum teh saja kalau semua sahabat
kita minum arak bermabuk-mabukan. Sebaliknya, kalau semua sahabat minum
teh, kita merasa sungkan untuk mabuk-mabukan seorang diri saja!”

Di bagian manapun di dunia ini, setiap kelompok manusia, baik yang


dinamakan sudah beradab, setengah beradab, atau masih biadab, membentuk
masyarakat, kemudian masyarakat yang membentuk pemerintah atau kepala
suku dengan para pembantunya Pemerintah atau kepala suku bagi yang belum
mempunyai pemerintahan, lalu mengadakan hukum-hukum. Hukum diadakan
dengan maksud menegakkan keadilan, membenarkan yang benar dan
menyalahkan yang salah untuk kemudian dihukum sesuai dengan peraturan.
Memang, niat itu baik sekali, terutama untuk menghapus hukum rimba, yaitu
yang kuasa dan yang kuat selalu menang dan selalu benar. Hukum pada
hakekatnya diadakan orang untuk melindungi mereka yang lemah, mereka
yang tidak mampu melindungi diri sendiri, hukum diadakan untuk melindungi
mereka yang akan dijadikan korban kesewenang-wenangan dari mereka yang
berkuasa dan kuat. Akan tetapi sungguh menyedihkan kalau dilihat betapa di
bagian manapun di dunia ini, hukum bahkan menjadi alat bagi yang kuasa dan
yang kuat untuk membenarkan diri sendiri secara sah. Kalau sebelum adanya
hukum, mereka itu selain menang dan benar karena kekuasaan dan kekuatan,
setelah adanya hukum, mereka menang dan benar menurut hukum. Bahkan
yang dapat dihukum hanyalah yang berada di bawah, dan yang mengeterapkan
hukum tentulah pihak atasan. Kalau yang bawah hendak mengeterapkan
hukum kepada pihak atasan, itu namanya bukan menegakkan hukum,
melainkan pemberontakan! Begitulah kenyataannya yang terjadi di seluruh
dunia, secara tertelubung maupun terang-terangan. Ada hukum ataupun tidak,
yang kuasa dan yang kuat tetap saja menang dan benar, tiada bedanya dengan
hukum yang berlaku di rimba. Hanya binatang-binatang seperti harimau, singa,
gajah, banteng, beruang, mereka yang kuat-kuat, atau yang besar-besar, atau
yang bergerombolan seperti srigala, mereka sajalah yang selalu menang dan
benar. Kelenci? Kijang? Tikus? Mereka yang kecil-kecil? Aah. hanya menjadi
"makanan" yang besar-besar.

Duka dan takut timbul dari pikiran yang mengenang masa lalu dan
membayangkan masa depan. Kalau kita membayangkan apa yang telah terjadi,
apa yang telah lewat atau peristiwa masa lalu, membanding-bandingkan dan
merasa betapa kita kehilangan, bahwa kita dirugikan, akan timbul duka, baik
dari iba diri, kecewa atau kesepian. Demikian pula dengan rasa khawatir atau
takut, selalu timbul kalau kita membayangkan masa depan, yang dihubungkan
dengan saat ini, lalu kita merasa bahwa keadaan kita akan tidak enak, tidak
baik atau merugikan dan membahayakan kita. Tidak akan timbul duka dan takut
kalau kita hidup saat demi saat, menganggap yang sudah terjadi itu wajar saja
dan sesuatu yang sudah dikehendaki Tuhan, membiarkannya lalu seperti
hembusan angin tanpa bekas, sebagai sesuatu yang sudah lewat dan sudah
mati, kalau kita tidak membayangkan hal yang belum terjadi, menganggap
bahwa masa depan hanya kelanjutan dari saat ini, masa depan adalah saat ini
juga kalau saatnya tiba, maka tidak perlu dibayangkan. Yang ada hanya
berikhtiar sebaik mungkin dalam kehidupan ini, dalam bekerja, dalam
berhubungan dengan manusia lain, hubungan dengan masyarakat, dengan
pemerintah. Berikhtiar sebaik mungkin berarti bekerja sebaik mungkin, dengan
didasari penyerahan diri kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Tugas kita hanyalah
mengerjakan segala pemberian Tuhan berupa seluruh anggauta badan
termasuk hati akal pikiran, memanfaatkannya untuk hidup sebaik mungkin, dan
dengan dasar penyerahan kepada Tuhan berarti bahwa apapun yang kita
lakukan adalah suatu persembahan kepadaNya. Kalau sudah begini,
penyerahan itu seperti menggerakkan kekuasaan Tuhan yang akan
membimbing kita sehingga nafsu kita sendiri tidak akan merajalela
memperhamba kita, sehingga apapun yang kita lakukan tentu baik dan benar,
tidak menyeleweng!

Kalau bapaknya penjahat, bagaimana mengharapkan anaknya menjadi baik?


Kalau para pejabat tinggi korup, bagaimana mungkin mengharapkan para
pejabat rendahan akan bersikap jujur? Dan pembesar tinggi yang menjadi
pengawas sendiri bertindak korup, bagaimana mungkin dia berani meindak
bawahannya yang juga melakukan Korup seperti dia sendiri, dalam ukuran
lebih kecil? Kalau yang di atasan jujur, sudah, pasti yang di bawahan tidak
berani curang karena yang di atasnya tentu akan menghantamnya

“Manusia memang bersifat sombong, suka dipuji pantang dicela. Cela siapa
saja dan kau akan menghadapi orang yang membenci dan merasa sakit hati
kepadamu, sebaliknya pujilah siapa saja dan kau akan menghadapi seorang
yang ramah tamah dan baik, yang selalu berusaha agar hatimu senang dan kau
bisa lebih memuji mujinya lagi!”

seperti anak itik yang takut air ! Akan tetapi lebih baik seperti anak itik takut air
dari pada menjadi seperti anak ayam tenggelam di sungai!"
Perumpamaan anak itik takut air adalah sikap orang yang merendah, tidak tahu
akan kepandaian sendiri maka takut-takut seperti anak itik takut air padahal
pandai sekali renang ! Sebaliknya anak ayam mati di sungai menyindirkan sifat
seorang sombong yang tidak insaf akan kepandaian sendiri yang terbatas
sehingga ia akan tenggelam dalam kesombongannya sendiri.

PORNO
Memanglah, kecabulan atau yang dinamakan porno merupakan hal yang amat
relatip sekali. Apa dan bagaimanakah porno itu? Apakah porno itu identik
dengan tubuh telanjang? Apakah porno itu berarti terbukanya tanpa ditutupi
anggauta rahasia pria atau wanita, termasuk buah dada wanita? Itukah porno?
Ataukah juga penulisan tentang hal-hal seksuil, hubungan sanggama dan yang
menyangkut dengan hal itu? Lalu sampai di manakah batas-batas
kepornoannya? Hal ini agaknya menjadi masalah yang selalu diributkan karena
memang tidak mungkin orang menemukan batas-batas tertentu, tidak mungkin
menggariskan antara porno dan tidak, seperti juga menggariskan tentang
kegilaan dan kewarasan seseorang.
Kecabulan bukan terletak dalam kenyataan di luar. Kecabulan terletak di dalam
batin masing-masing. Cabulkah atau pornokah kalau ada seorang wanita mandi
di sungai bertelanjang bulat? Pornokah wanita itu dan pornokah yang
melihatnya? Tergantung dari si wanita dan si pemandang sen-diri. Wanita
mandi telanjang di sungai itu adalah suatu kenyataan, dan kalau si wanita
mandi karena tidak ada tempat lain baginya untuk mandi, kalau ia mandi karena
kebutuhan akan mandi tanpa mempunyai dasar untuk memamerkan tubuh
telan-jangnya itu untuk menarik perhatian orang, untuk menimbulkan gairah pria
yang memandangnya, maka ia sama sekali tidak porno ! Sebaliknya kalau ia
mandi telanjang itu dengan kesengajaan untuk menimbulkan gairah pada pria
yang melihatnya, maka jelaslah bahwa perbuatannya itu porno! Di lain fihak,
kalau ada pria yang melihat ia mandi, melihat tanpa adanya pikiran yang
membayang-bayangkan hal lain dari pada yang ada, maka diapun sama sekali
tidak porno walaupun boleh jadi dia akan melihat wanita mandi itu. Sebaliknya
kalau di waktu dia memandang tubuh wanita telanjang itu dia membayangkan
kemesraan-kemesraan seperti misalnya dia bermain cinta dengan wanita itu
sehingga timbullah napsu berahi, maka tentu saja dia itu porno! Contoh ini
dapat saja ditrapkan dengan pelukis dan penonton lukisan, pengarang dan
pembaca karangan, dan sebagainya. Bukan gambar atau cerita yang
menentukan porno tidaknya, melainkan batin si pelaku itu sendirilah, baik dia itu
pencipta keadaan itu maupun si pemandang keadaan. Dan tentu saja, kalau
diteliti mudah saja terasa apakah si pencipta keadaan itu menciptakan sesuatu
dengan dasar batin porno ataukah tidak. Seorang wanita mandi telanjang bulat
belum tentu porno, akan tetapi kalau wanita in dengan pakaian lengkap
bersikap memancing gairah dengan menyingkap sedikit gaun memperlihatkan
betis saja, ia sudah porno.

"Sang Bijaksana mengajarkan bahwa sebelum mengatur orang lain, harus lebih
dulu dapat mengatur diri sendiri. Seorang ayah takkan mungkin dapat mendidik
anak-anaknya kalau dia sendiri tidak terdidik, karena dia menjadi contoh dari
pada anak-anaknya. Seorang pembesar harus mencuci bersih kedua
tangannya sendiri terlebih dahulu sebelum dia ingin melihat anak buahnya
bersih. Kalau penguasa yang di atas korup, mana mungkin bawahannya jujur
dart tidak korup? Akan tetapi, kalau atasannya bersih, tentu dia akan berani
bertindak terhadap bawahannya yang kotor."
alangkah akan senangnya kalau keadaan pemerintahan dapat seperti itu.
Sayang, kaum atasan hanya menuntut agar bawahannya bersih, dan hal ini
sama sekali tidak mungkin selama dia sendiri masih kotor. Bawahan
mencontoh atasan, dan pula, atasan yang kotor mana akan ditaati oleh
bawahannya? Sungguh sayang...!"

sungguh banyak terdapat pelajaran yang dapat diambil berdasarkan kenyataan


hidup. Memang tak dapat dipungkiri kebenaran pribahasa yang me-ngatakan
bahwa "guru kencing berdiri, murid ken-cing berlari". Kebaikan seorang guru
belum tentu dapat ditauladani muridnya dengan mudah, namun keburukan
seorang guru akan dapat diikutinya de-ngan amat cepatnya. Guru dalam hal ini
dapat di-perluas menjadi orang tua atau juga kepala suatu kelompok atau
seorang pemimpin. Betapapun ke-rasnya seorang ayah melarang anaknya
berjudi, kalau dia sendiri seorang penjudi, maka dia tidak akan berhasil.
Betapapun kerasnya seorang atas-an melarang bawahannya agar tidak
korupsi, kalau dia sendiri tukang korup maka usahanya akan sia-sia. Bawahan
selalu condong mencontoh atasan, seperti murid condong mencontoh guru dan
anak mencontoh orang tua. Menekan anak, atau murid, atau bawahan untuk
meniadi baik, tanpa si orang tua, guru atau atasan lebih dulu membereskan
dirinya, tidak akan ada gunanya !
Namun, kekuasaan selalu digandeng oleh kesewenang- wenangan. Orang tua,
atau guru, atau pemimpin yang merasa berkuasa, selalu membenarkan dirinya
sendiri. Orang tua bilang, berjudi untuk dia tidak apa-apa, akan tetapi tidak
boleh untuk anak-anak. Guru mengatakan, tidak sopan sedikit untuk guru tidak
mengapa, akan tetapi tidak boleh untuk murid. Atasan bilang, penyalahgunaan
wewenang untuk atasan adalah wajar, tapi tidak boleh untuk bawahan !
Seorang kaisar merupakan batang sebuah pohon. Kalau batang itu sehat, ca-
bang ranting dan daunnya juga tentu sehat. Akan tetapi kalau batangnya sakit,
jangan mengharapkan cabangnya, rantingnya dan daun-daunnya akan tumbuh
sehat.
"Langit biru tinggi nian
apa gerangan yang berada di atasmu?
Telaga biru betapa dalam
apa gerangan yang berada di bawahmu?
Adakah yang tertinggi?
Adakah yang paling dalam?
Aku tak tahu... !"

"Memancing tanpa umpan


karena tidak butuh ikan
hanya memancing ketenangan
untuk menikmati kebahagiaan.
Apa artinya pintar
kalau hanya untuk menipu?
Apa artinya kuat
kalau hanya untuk menindas?
Lebih baik bodoh
lebih baik lemah!"

Betapa palsunya kita manusia ini! Kita selalu ingin senang, ingin enak sendiri.
Sewaktu muda, kita mengumbar nafsu angkara sesuka hati, tanpa
memperdulikan apakah tindakan-tindakan kita itu merugikan orang lain ataukah
tidak. Hidup kita dipenuhi dengan tindakan-tindakan yang merugikan orang lain
dan bergelimang dengan dosa. Se-telah kita menjelang tua, barulah kita ingin
merobah jalan hidup, bukan karena penyesalan dan karena kesadaran bahwa
jalan hidup kita yang lalu itu kotor dan tidak benar, melainkan terdorong rasa
takut akan akibat perbuatan-perbuatan itu, takut kalau-kalau setelah mati kita
akan tersiksa dan terhukum, akan tidak kebagian tempat yang baik dan
menyenangkan. Betapa palsunya ini. Di wak-tu muda mengejar kesenangan
sampai lupa diri, di waktu tua masih saja mengejar kesenangan yang
diharapkannya akan didapatkan di "sana" kelak. Apa bedanya ini?
Yang terpenting sekali adalah sekarang ini ! Saat ini! Setiap saat kita harus
sadar dan mawas diri. Perbuatan tidak dapat dinilai dan dibanding-bandingkan.
Manusia hidup berhak untuk menge-cap dan menikmati kesenangan hidup.
Bukan ber-arti kita harus sejak muda hidup sebagai pertapa dan pantang akan
segala kesenangan, menjauhi se-gala kesenangan! Sama sekali tidak, karena
inipun pada hakekatnya hanyalah mengejar kesenangan yang lain lagi, yang
kita namakan kebahagiaan batin dan sebagainya. Akan tetapi, yang penting kita
harus selalu mengamati semua gerak-gerik badan dan batin kita penuh
kewaspadaan. Hanya perbuatan yang didasari cinta kasih sajalah yang murni
dan tidak dapat dinilai baik atau buruk. Dan perbuatan yang didasari cinta kasih
sudah pasti tidak akan merugikan orang lain baik lahir maupun batinnya.
Karena cinta kasih itu berarti bebas dari kebencian, iri hati, cemburu,
pementingan diri pribadi.
Baik hanya sebuah kata sebutan, hanya sebuah pendapat. Maka kalau kita
INGIN baik, berarti kita ingin disebut baik, dan di balik "keadaan baik" ini tentu
mengandung pamrih untuk mendapatkan sesuatu, pahala anugerah maupun
imbalan jasa dari "kebaikan" itu sendiri. Dan jelas ini bukan baik lagi namanya,
melainkan kemunafikan, kepu-ra-puraan karena "kebaikan" itu hanya dilakukan
secara palsu, untuk memperoleh pamrih yang ter-sembunyi di baliknya. Karena
itu, bagi orang yang memiliki cinta kasih dalam hatinya, dalam setiap
perbuatannya yang disinari cinta kasih, tidak ada istilah baik atau buruk. Dia
tidak akan menilai, tidak akan tahu apakah yang dilakukannya itu baik atau
buruk, dan penilaian orang lain tidak akan mempengaruhinya. Cinta kasih itu
indah, cinta kasih itu sederhana, seperti indah dan sederhana-nya bunga
mawar yang harum semerbak, seperti indah dan sederhananya sinar matahari
pagi. Ke-sederhanaan bukanlah hidup bercawat di puncak bukit memamerkan
"kesederhanaannya" kepada setiap orang yang datang untuk memujanya.
Kese-derhanaan berarti kewajaran tanpa pamrih, tanpa kepalsuan, tidak dibuat-
buat, hanya didasari cinta kasih.

Rakyat di manapun juga di dunia ini mengharapkan kemakmuran dalam hidup.


Makmur dalam arti kata lahir batin. Makmur lahiriah adalah murahnya sandang
pangan sehingga nilai tenaga ma-nusia dihargai dan cucuran keringat dari
pekerja mendatangkan hasil yang lebih dari cukup untuk keperluan hidup yang
pokok. Makmur batiniah adalah hidup dalam suasana aman tenteram bebas
tanpa adanya penindasan dari yang kuat terhadap yang lemah, dari yang
berkuasa terhadap rakyat jelata, merasa terjamin keselamatan dan kebebasan
dirinya lahir batin. Dan kemakmuran seperti itu tidak mungkin terlaksana kalau
pemerintahnya ti-dak baik. Pemerintah yang baik adalah pemerintah yang
dikemudikan oleh alat pemerintah yang cakap dan sehat lahir batin. Karena alat
pemerintah merupakan kelompok bertingkat, maka sudah ba-rang tentu tingkat
yang tertinggi haruslah benar dan bersih. Dalam sebuah kerajaan, kalau sang
raja tidak bersih dan korup, mana mungkin mengharap-kan para pejabat dan
pembantunya bersih? Seba-liknya kalau sang raja benar-benar bersih dan
sehat, tentu dia akan mampu untuk menegur, memecat atau menghukum para
pembantunya yang menyeleweng dan korup, lalu memilih pembantu-pembantu
puncak yang jujur dan bersih agar para pembantu puncak ini dapat pula
membersihkan ba-wahan-bawahannya. Karena, kalau bukan atasan-nya
sendiri, siapa lagi di antara rakyat yang berani menentang kekuasaan orang
yang sedang diberi kursi kekuasaan? Rakyat tidak akan berani menentang
lurahnya yang korup. Yang dapat menentangnya hanyalah atasan sang lurah
itu, yaitu camat atau bupati misalnya. Dan sang bupatipun kalau menyeleweng
hanya dapat ditentang oleh atasannya pula. Jadi jelaslah bahwa sang atasan
yang duduk paling tinggi dan memegang Kekuasaan paling besar yang harus
lebih dulu bersih, dalam hal sebuah kerajaan adalah sang raja sendiri.
Sayanglah bahwa kebanyakan raja bersikap keras menekan justeru terhadap
rakyatnya, bukan terhadap para pembantunya. Para pembantu itu hanya
menurut atasan. Kalau atasannya korup, maka para pembantunya juga
mendukung keko-rupan itu atau penyelewengan itu. Kalau atasan-nya jujur dan
bersih, para pembantunya akhirnya terpaksa akan mendukung kejujuran dan
kebersih-an itu. Ini sudah menjadi watak manusia pada umumnya yang ingin
bermuka-muka kepada atasan.
Raja juga seorang manusia. Dan manusia itu lemah terhadap kesenangan.
Oleh karena itu, banyak raja yang jatuh hanya karena mengejar ke-senangan
sehingga melupakan kewajibannya yang besar, yaitu mengatur pemerintahan
yang bersih agar kemakmuran mungkin dapat dinikmati oleh rakyat jelata.
Rakyat jelata yang selalu diam itu amatlah awas. Kalau ada raja yang bertindak
bi-jaksana dan membersihkan para pembantunya dari penyelewengan, maka
sudah dapat dipastikan bah-wa rakyat pada umumnya akan setuju sepenuhnya.
Yang dimaksudkan dengan rakyat di sini adalah rakyat jelata yang tidak ada
sangkut-pautnya de-ngan segala perbuatan korupsi. Tentu saja tindakan raja
yang membersihkan para pembantunya dari tindakan korupsi itu akan ditentang
oleh mereka yang sudah biasa melakukan perbuatan itu, sudah biasa
menyalahgunakan kedudukannya untuk me-meras dan memperoleh hasil-hasil
yang tidak wa-jar dari rakyat. Akan tetapi mereka ini tidak masuk hitungan
rakyat, bahkan menjadi penjegal kemak-muran rakyat!
Tak dapat disangkal bahwa ada sebagian rakyat yang sengaja
mempergunakan uang untuk menyo-gok para pejabat. Hal ini dilakukan bukan
karena paksaan pejabat itu lagi, melainkan karena si pe-nyogok itu mempunyai
pamrih lain, yaitu dengan jalan menyogok dia akan memperoleh kesempatan
dan wewenang yang akan mendatangkan hasil yang lebih besar lagi.
Penyogokannya itu sama dengan memberi umpan untuk mendapatkan ikan.
Akan tetapi, hal ini hanya merupakan akibat atau lan-jutan dari pada
penyelewengan si pejabat. Karena kalau raja sudah berhasil membersihkan
seluruh pembantunya dari pada watak menyeleweng, maka para pejabat yang
sudah bersih itu sendiri yang akan menindak dan menghukum orang-orang
yang membujuk dan hendak menyogoknya dengan uang. Dengan demikian,
maka segalanyapun akan beres dan bersih. Atasan ditindak oleh atasannya,
atasan menindak bawahan dan bawahan yang menjadi petugas dan pelaksana
menindak rakyat yang hendak menyeret mereka ke dalam penyelewengan.
Tentu saja hal ini tidaklah semudah dibicara-kan. Untuk dapat berhasil
membutuhkan suasana dan keadaan yang dapat menimbulkan gairah dan
semangat untuk kebersihan itu. Dan rakyat sudah pasti akan mendukung
sekuat tenaga. Rakyat selalu mengidamkan kemakmuran dan kesejahteraan.

Rasa takut bukan datang dari luar, melainkan dari dalam batin kita. sendiri.
Rasa takut timbul dari permainan pikiran sendiri yang membayangkan hal-hal
yang mengerikan. Kalau kita menghadapi segala sesuatu tanpa bayangan
pikiran akan hal-hal yang belum ada ini, maka rasa takut tidak akan muncul.
Umpamanya, kita duduk seorang diri di dalam kamar dalam suasana yang
sunyi. Pikiran kita teringat akan cerita orang tentang adanya setan dalam
kamar, tentang hal-hal yang mengerikan lain, maka pikiran itu lalu
membayangkan hal-hal yang tidak ada. Dalam keadaan seperti itu, suara
seekor tikus melanggar sesuatu saja sudah cukup untuk menimbulkan
bayangan dalam pikiran ten-tang munculnya setan yang menakutkan. Timbul-
lah rasa takut dan rasa takut ini membuat orang tidak waspada sehingga ada
bayangan sedikit saja lalu bisa kelihatan seperti setan oleh mata kita yang
sudah terselubung rasa takut. Kewaspadaan yang menyeluruh, perhatian yang
menyeluruh ter-hadap apapun yang terjadi di depan kita, akan meniadakan
rasa takut itu.

Telah banyak sekali terbukti dengan peristiwa-peristiwa yang aneh dan luar
biasa yang mengantar manusia kepada kematiannya atau sebaliknya yang
menghindarkan manusia dari pada ancaman maut yang nampaknya sudah tak
mungkin dapat dielakkan lagi. Banyak sekali orang yang tewas dalam keadaan
yang tidak tersangka-sangka sama sekali, bahkan dalam keadaan jasmani
yang nampaknya segar-bugar dan sehat, banyak pula yang mati secara
mendadak oleh kejadian-kejadian yang aneh dalam kecelakaan-kecelakaan
maupun bencana-bencana alam. Akan tetapi sebaliknya, banyak pula orang
yang terancam bahaya maut, yang nampaknya sudah tidak mungkin dapat
dielakkan lagi, secara aneh pula terhindar dari kematian. Orang yang
menderita sakit yang sudah terlalu parah, da-pat saja sembuh secara aneh dan
kebetulan, atau orang yang sudah dianggap tidak ada harapan lagi untuk
ditolong kemudian ternyata dapat terhindar dari maut hanya karena hal-hal
yang "kebetulan'' dan sederhana. Semua ini merupakan sesuatu yang mujijat,
yang aneh dan yang diliputi rahasia yang sudah terlalu sering diselidiki orang
dan hendak ditembusnya.
Segala hal yang belum dimengerti selalu menimbulkan berbagai pendapat,
rekaan, dan dipandang sebagai hal yang mujijat dan aneh. Padahal, segala
sesuatu yang terjadi di dalam alam ini adalah WAJAR, dan setiap peristiwa itu
tentu ada yang menyebabkannya. Hidup dan mati merupakan rangkaian yang
tak terpisahkan, merupakan suatu pertumbuhan yang wajar. Kerusakan jasmani
karena usia tua yang berakhir dengan kematian adalah lumrah dan dapat
dimengerti dengan adanya ke-majuan dalam ilmu tentang itu. Akan tetapi,
karena manusia selalu dikuasai oleh pikiran yang menciptakan "aku", maka si
aku inilah yang mencari-cari ke mana dia akan pergi setelah jasmaninya
berhenti hidup, setelah tubuhnya mati. Dan bayangan bahwa "aku" akan hilang
begitu saja membuatnya merasa ngeri dan takut.
Kalau memang sudah tiba saatnya sang maut datang menjemputnya, walaupun
kita bersembunyi di dalam lubang semut, tetap saja nyawa kita akan direnggut.
Sebaliknya kalau memang belum tiba saatnya mati, ada saja yang menjadi
penolong diri.
Karena ketidakpengertian tentang rahasia saat ke-matian, kita lalu dengan
mudah saja memakai isti-lah nasib dan takdir! Padahal, setiap peristiwa, juga
kematian, tentu terjadi karena suatu sebab tertentu. Dan sebab-sebab itu
terkumpul karena ulah kita sendiri. Oleh karena itu, dari pada men-cari-cari akal
untuk mengungkapkan rahasia yang tidak mungkin dipecahkan selama kita
masih hidup ini, lebih bermanfaat kalau kita selagi hidup menjaga diri,
mengurangi hal-hal yang dapat menjadi bertambah banyaknya sebab-sebab
yang dapat mengakibatkan kematian.
Menurut perhitungan dan pendapat umum, orang yang dihanyutkan ombak di
tengah lautan seperti yang dialami oleh Pek Lian, tentu dianggap sudah tidak
ada harapan lagi untuk selamat. Namun, ternyata Pek Lian belum mati! Ketika
dara perkasa ini siuman dan membuka matanya, ia mendapatkan dirinya sudah
berada di atas perahu. Seorang nelayan tua dengan caping lebar, nampak
sedang mendayung perahunya perlahan-lahan.

Manusia pada umumnya memiliki watak welas asih (belas kasihan), penuh
pertimbangan, suka akan keadilan, menentang kelaliman. Akan tetapi di
samping watak-watak yang baik ini, terdapat pula watak yang sadis, yang
senang melihat penderitaan orang lain dan merasa iri hati kalau melihat orang
lain bersuka ria. Sifat-sifat yang bertentangan ini disebabkan oleh konflik batin
yang ditimbulkan oleh pikiran yang menciptakan si aku yang selalu ingin
senang dan selalu mencari dan mengejar ke-senangan, atau keadaan lain yang
lebih menye-nangkan dari pada keadaan sekarang yang telah dirasakan dan
dimilikinya.
Watak seseorang dibentuk oleh kebiasaan-kebiasaan. Dan kebiasaan lahir dari
ketidakwaspadaan. Kebiasaan membuat seseorang menjadi seperti robot, yang
bergerak karena kebiasaan itu sendiri, dan kebiasaan dihidupkan oleh
keinginan untuk senang. Kebiasaan ini dapat dihentikan seketika dengan
kewaspadaan. Waspada meman-dang kenyataan, mengerti dan sadar akan
kekeliruan sendiri dan kewaspadaan ini, kesadaran ini ber-arti tindakan seketika
pula, yang menghentikan kebiasaan itu. Tanpa ini, maka pengertian itu palsu
adanya, bukan kewaspadaan, melainkan permainan si aku yang enggan
melepaskan kese-nangan sehingga dalam melihat kesalahan atau kekeliruan
sendiri, si aku lalu mencari seribu satu macam alasan untuk membela diri dan
memperta-hankan kebiasaan itu! Semua ini dapat kita lihat dengan jelas apa
bila kita mau membuka mata dan mengamati diri sendiri lahir batin.

Setiap orang manusia di dunia ini tentu pernah mengalami dorongan hasrat
untuk mengejar dan memperoleh kemuliaan hidup ini. Hampir semua orang
dicengkeram hasrat ini, keinginan untuk memperoleh kemuliaan hidup yang
dianggapnya sebagai sumber dari pada kesenangan ! Dan ke-muliaan hidup ini
mereka lihat bersembunyi di dalam beberapa hal. Dalam kedudukan dan
kehormatan. Dalam harta benda. Dalam kekuasaan. Inilah sebabnya mengapa
kita semua seakan-akan berebut dan berlomba untuk memperolehnya, kalau
perlu dengan cara apapun juga, dengan jegal-jegalan, dengan pukul-pukulan,
dan saling gasak, saling bermusuhan dan saling bunuh. Kita selalu
mementingkan tujuan sehingga muncullah cara-cara yang sesat. Kita seolah-
olah menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Yang menjadi langkah-
langkah dalam hidup kita, penuh dengan kepalsuan seperti sekarang ini, tidak
wajar lagi karena setiap langkah hidup, setiap kelakuan dan perbuatan kita,
hanya merupakan jembatan untuk dapat membawa kita ke arah tujuan yang
kita kejar-kejar.
Memang banyaklah "cara" untuk menggerakkan manusia menuju kepada cita-
cita. Dalam hal peperangan, caranya hanyalah kekerasan, kekejaman, saling
bunuh dan memperebutkan kemenangan. Jadi, kemenangan itulah tujuannya.
Akan tetapi tentu saja bukan tujuan terakhir karena kemenangan itu hanyalah
merupakan "jembatan" saja untuk mencapai yang diidam-idamkan, yaitu
kedudukan-kehormatan, kemuliaan, harta benda. Para pimpinan yang
berambisi pandai sekali membangkitkan semangat rakyat dengan berbagai
cara. Ada yang membangkitkannya melalui kepahlawanan, patriot atau
pejuang, rela berkorban nyawa! Ada pula yang membangkitkan semangat
melalui janji-janji muluk, kedudukan, kehormatan, kemuliaan atau harta benda.
Apapun tujuannya, kalau caranya adalah saling bunuh dengan kejam, sudah
dapat dipastikan bahwa tujuannya itupun hanya merupa-kan pementingan diri
sendiri, pemuas kehausan nafsu sendiri belaka, mencari sesuatu yang diang-
gap akan mendatangkan kesenangan hidup, seperti kedudukan, kemuliaan,
kehormatan dan harta benda!

Keindahan terdapat di setiap tempat dan di setiap saat bagi mata yang
waspada dengan batin yang kosong dari pada segala kesibukan pengejaran
kesenangan. Keindahan menggetarkan jiwa yang bersih dari pada segala
kesibukan senang susah, puas kecewa dan segala perasaan yang timbul
karena pertentangan antara dua keadaan. Di setiap pucuk daun, di setiap sudut
awan, di setiap ba-tang rumput, di setiap tetes air, di dalam setiap helai rambut
kita, di mana-mana terdapat keagungan, keindahan dan kemujijatan itu. Namun
sayang, mata kita telah menjadi buta, dibutakan oleh pikiran yang selalu
mengejar-ngejar kesenangan sehingga bertemulah pikiran dengan kesusahan,
kekecewaan, iri hati, kebencian, permusuhan, pemuasan nafsu dan
sebagainya. Batin menjadi lelah dan lumpuh oleh hempasan-hempasan
perasaan itu dan mata menjadi buta, tidak dapat lagi melihat keindahan,
keagungan dan kemujijatan yang amat besar itu.

Cinta kasih adalah sesuatu yang hanya dapat dirasakan. Bukan sesuatu yang
dapat dipikirkan. Cinta kasih tidak terpengaruh oleh pikiran, karenanya tidak
pernah membuat perhitungan untung rugi. Segala perbuatan kita manusia
sekarang ini penuh dengan perhitungan untung rugi, oleh kare-na itu, pamrih
memperoleh keuntungan menjauhi kerugian ini membuat setiap perbuatan kita
palsu dan pura-pura, menyembunyikan pamrih. Hanya cinta kasih sajalah satu-
satunya yang masih mem-beri harapan. Perbuatan yang didasari cinta kasih
adalah perbuatan yang bebas dari pada pamrih mencari keuntungan atau
kesenangan. Hidup tanpa adanya cinta kasih sama dengan mati, karena hidup
menjadi hampa, membuat manusia tiada bedanya dengan sebuah robot. Dan
cinta kasih ini baru nampak, baru muncul, sinarnya baru terang memenuhi hati
yang tidak lagi dipenuhi keinginan-keinginan.
Akan tetapi, asmara tidak selamanya mendatangkan kebahagiaan! Asmara
antara pria dan wanita membutuhkan sambutan dari kedua pihak! Kalau hanya
sepihak yang mencinta sedangkan pihak lain tidak, maka asmara
mendatangkan seng-sara, kekecewaan, patah hati! Bahkan sambutan kedua
pihak sajapun belum cukup. Banyak terjadi dua orang muda yang saling
mencinta, yang ber-sumpah disaksikan Langit dan Bumi bahwa mereka akan
saling mencinta sampai selamanya, kemudian bercerai kasih, bahkan cinta
mereka berobah menjadi benci! Cinta asmara seperti itu mengenal pula
cemburu, mengenal kebosanan, karena cinta as-mara seperti itu mengandung
nafsu dan nafsu sela-lu didampingi oleh kebosanan.

"Dia tinggal dalam keheningan, dalam kesederhanaan;


Ilham adalah lembut sekali, cepat menghilang.
Dia minum dari Sumber Keselarasan Agung,
Terbang bersama burung bangau terpencil di atas.
Lembut seperti desahan napas angin lalu
Yang semilir menyentuh baju panjangmu.
Atau desir pohon-pohon bambu yang tinggi
Yang keindahannya selalu engkau rindukan.
Kalau kebetulan bertemu, agaknya mudah dicapai
Pada saat engkau hampir, Dia mundur,
Dan ketika engkau menjangkau merangkapnya,
Dia menggelincir dari tanganmu hilang!"

Intinya adalah Api Suci


yang selalu membakar dan menerangi
Mengapa yang dipersoalkan asap
dan abunya
yang hanya mengaburkan
pandangan mata?"

"Langit dan Bumi itu Abadi


karena mereka tidak hidup untuk diri sendiri.
Inilah sebabnya orang bijaksana
membelakangkan dirinya karena itu dirinya tampil ke depan
Dia mengesampingkan dirinya
karena itu dirinya menjadi utuh.
Karena dia tidak mempunyai kehendak Pribadi
maka pribadinya menjadi sempurna."
Kesombongan merupakan penyakit yang selalu menyeret kita ke alam pikiran
sesat. Nafsu daya rendah yang mencengkeram hati dan akal pikiran kita
mendorong kita untuk merasa bahwa kita ini yang paling pandai, paling benar,
paling baik dan paling segala! Kalau kita pandai, kita membanggakan pikiran
kita, kalau kita kuat, kita membanggakan tubuh kita. Kita selalu lupa bahwa kita
ini hanya alat!
Seluruh tubuh dan hati akal pikiran ini hanya untuk hidup sebagai manusia, alat
yang semula dimaksudkan untuk mengabdi kepada jiwa yang menjadi penghuni
diri kita. Akan tetapi sayang, alat-alat itu kemudian digelimangi nafsu daya
rendah sehingga kita dibawa menyeleweng.
Alat-alat yang seharusnya dipergunakan oleh jiwa, diambil alih oleh nafsu,
diperalat oleh nafsu sehingga apapun yang dilakukan tubuh dan hati akal
pikiran, selalu ditujukan untuk memuaskan nafsu daya rendah. Nafsu daya
rendah atau setan selalu mengejar kesenangan, memperalat dan
menyelewengkan kita sehingga membawa pula kita kepada kesombongan diri,
kebencian, iri hati, ketakutan, kemurkaan, dan sebagainya.
Kalau kita melakukan sesuatu, kita menjadi bangga dan menganggap bahwa
kita yang pandai! Kita lupa bahwa kepandaian yang berada di dalam kepala kita
itu hanya alat-alat belaka, terdiri dari sel-sel otak, darah dan syaraf. Ada sedikit
saja kerusakan pada alat itu, ada satu saja syaraf lembut itu yang putus, maka
akan sirnalah semua kepandaian yang kita banggakan semula!
Demikianpun kekuatan pada tubuh. Kita membanggakan tubuh kita yang kuat.
Padahal, tubuhpun hanya alat dan ada sedikit saja kerusakan pada tubuh,
kekuatan yang dibanggakan itupun sirna. Jelas bahwa kita pandai karena kita
diberi kepandaian, kita kuat karena diberi kekuatan!
Kita lupa bahwa ADA yang memberi! Setan membisikkan kesombongan
kepada kita sehingga kita lupa kepada SANG PEMBERI. Orang. yang sadar
akan hal inl, tidak akan berani memuji diri sendiri yang hanya alat, melainkan
memuji kepada SANG PEMBERI yang telah memberi semua itu kepada kita
sebagai alat, memuji kepada SANG PEMBERI atau Tuhan Yang Maha Kasih,
Allah Yang Maha Esa!

"Sependek suka
sepanjang duka
sejumput manis
setumpuk pahit
ada gelap ada terang
ada senang ada susah
yang tidak mengejar kesenangan
takkan bertemu kesusahan !"

Tangis dan tawa sama2 menggerakkan muka, kenapa tidak memilih tawa dari
pada tangis? Tangis itu tidak sehat dan membuat wajah kelihatan buruk,
sebaliknya orang berwajah jelekpun akan menjadi menarik kalau tertawa, juga
menyehatkan. Ha-ha-ha-ha!

untuk dapat hidup kita harus makan dan untuk kebutuhan itu, Tuhan telah
menyediakan tanah, air, udara, bahkan bibit tanaman pangan untuk kita. Akan
tetapi, untuk dapat mempertahankan hidup dengan makan, kita harus
mengolah tanah, menanam, memelihara, memetik hasilnya. Bahkan setelah itu,
tugas kita belum selesai. Kita masih harus memasaknya dan kalau sudah
menjadi masakan terhidang di depan kita, kita masih harus mengunyah dan
menelannya! Kalau kita diam saja, Tuhan tidak akan melakukan semua itu
untuk kita! Dan kita diberi pula akal budi sehingga kita dapat mengerti
bagaimana cara yang terbaik untuk mendapatkan makanan, yaitu dengan
bekerja, bukan dengan jalan mencuri atau merampok misalnya. Dalam
pelaksanaannya itulah menjadi tugas kita. Tuhan tiada hentinya bekerja.
Kitapun harus bekerja. Bukankah segala sesuatu di alam mayapada ini, baik
yang bergerak maupun yang tidak hidup tumbuh dan bekerja ? Pohonpun tiada
hentinya bekerja, akarnya, daunnya, kembang dan buahnya

"Seorang bijaksana memperhitungkan dengan matang sebelum bertindak.


Seorang pendekar menaruh kehormatan lebih tinggi dari pada nyawa. Seorang
gagah memegang janjinya sampai mati dan selamanya takkan menyesali
perbuatannya!"

"Kalau anda merasa benar dan sayapun merasa benar sehingga kita saling
bermusuhan, maka jelaslah bahwa kita berdua sama-sama tidak benar!
Kebenaran tak dapat diperebutkan, tidak dapat dimonopoli seseorang.
Kebenaran yang dibela dengan kekerasan sehingga bermusuhan, jelas bukan
kebenaran lagi."

benar adalah apabila tindak kita tidak didasari pamrih demi kepentingan dan
keuntungan diri pribadi. Yang penting itu pamrihnya, bukan perbuatannya.
Betapapun baik dan indah nampaknya suatu perbuatan, kalau didasari pamrih
yang mementingkan diri pribadi, maka perbuatan itu palsu adanya

"Cinta adalah suatu keadaan yang mulia dan suci, Sin Wan. Cinta adalah sifat
dari Tuhan Yang Maha Kasih. Akan tetapi, kita manusia merupakan mahluk
yang lemah terhadap nafsu-nafsu kita sendiri. Cinta kita selalu diboncengi
nafsu, dan nafsu inilah yang mendatangkan perasaan cemburu, benci dan
sebagainya. Nafsu sifatnya selalu mementingkan diri sendiri, menyenangkan
diri sendiri. Oleh karena cinta kita diboncengi nafsu, maka biar orang yang kita
cinta, kalau melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan atau merugikan kita,
maka dapat saja berubah menjadi benci dan dapat menimbulkan cemburu.
Nafsu membuat kita ingin memiliki dan menguasai orang yang kita cinta
seluruhnya, sehingga sekali saja terdapat kecenderungan kekasih kita kepada
orang lain, timbullah cemburu. Nafsu membuat kita ingin memperalat orang
yang kita cinta itu sebagai sumber kesenangan diri kita sendiri."

Nafsu memang berbahaya kalau ia menguasai kita, kalau ia menjadi majikan


yang kejam kalau ia memperalat kita. Akan tetapi sebaliknya, tanpa nafsu kita
tidak mungkin dapat hidup. Nafsu yang membonceng dalam cinta antara pria
dan wanita merupakan suatu keharusan, karena nafsu yang menimbulkan daya
tarik antar kelamin, nafsu pula yang memungkinkan manusia berkembang biak.
Kalau pernikahan dilakukan tanpa adanya nafsu berahi, suami isteri akan hidup
bersama seperti kakak beradik dan tidak akan ada anak, terlahir dan
perkembangan biakan manusia akan terhenti."

"Segala macam nafsu yang berada pada kita merupakan anugerah pula dari
Tuhan kepada kita, Sin Wan. Nafsu-nafsu itulah peserta jiwa dalam badan,
untuk kepentingan kehidupan di dunia ini. Nafsu merupakan alat, merupakan
pelengkap, merupakan pembantu yang teramat penting. Dalam hal perjodohan,
nafsu bekerja sebagai berahi yang menimbulkan perasaan saling suka dan
saling tertarik. mungkin melalui keindahan bentuk wajah dan tubuh yang
menyenangkan dan cocok, mungkin melalui sikap dan prilaku yang sesuai
dengan selera. Pendeknya nafsu berahi selalu ada di dalam cinta antara pria
dan wanita yang ingin hidup bersama. Akan tetapi, karena nafsu mendatangkan
pula cemburu yang mungkin menimbulkan kebencian, maka kita harus ingat
bahwa sekali nafsu berahi yang menjadi majikan, yang menguasai kita,
keutuhan perjodohan terancam retak. Nafsu berahi juga mendatangkan bosan."
"Lalu bagaimana kita dapat menguasai nafsu kita sendiri, locianpwe? Dapatkah
dikuasai dengan samadhi, dengan latihan pernapasan, dengan bertapa?"
Kakek itu tersenyum dan menggeleng kepala. "Semua usaha itu juga masih
berada dalam lingkungan atau ruang pekerjaan akal budi, pada hal akal budi
kita sudah dicengkeram nafsu. Usaha itu juga terbimbing oleh nafsu. Karena
kita melihat kerugian yang diakibatkan oleh pengaruh nafsu, maka kita ingin
menguasai nafsu. Siapa yang rugi? Kita si akal budi, dan siapa yang ingin
menguasai nafsu. Juga kita sendiri, si akal budi yang sudah bergelimang nafsu.
Jadi, nafsu menguasai nafsu, menguasai hasilnya tentu masih nafsu pula,
hanya berbeda nama, akan tetapi pada hakekatnya sama, yaitu nafsu yang
ingin menyenangkan diri sendiri, ingin menjauhkan diri dari kesusahan, ingin ini
dan ingin itu yang pamrihnya pementingan diri. Usaha itu hanya akan
mendatangkan hal yang nampaknya berhasil, namun pada luarnya saja. Kalau
sekali waktu kebutuhan mendesak, nafsu yang nampaknya dapat "ditidurkan"
melalui semua usaha itu, akan bangun kembali bahkan lebih kuat dari pada
yang sudah!
Satu-satunya kekuasaan yang akan mampu mengatur nafsu dan mendudukkan
kembali nafsu di tempat yang sebenarnya sebagai abdi-abdi jiwa dalam
kehidupan manusia, hanyalah kekuasaan Sang Pencipta, yang menciptakan
nafsu itu. Karena itu, kita hanya dapat menyerahkan diri kepada Tuhan Maha
Kasih, penyerahan total yang penuh kesabaran, ketawakalan dan keikhlasan.
Kekuasaan Tuhan yang akan bekerja dalam diri kita. Nafsu-nafsu, termasuk
nafsu berahi, akan tetap bekerja, namun sebagai pembantu yang setia, bukan
sebagai majikan yang kejam."

Perjodohan adalah suatu segi kehidupan yang paling rumit! Bercampurnya dua
orang manusia yang berbeda watak dan selera, berbeda keturunan, untuk
hidup bersama selamanya, dalam sebuah pernikahan, dimaksudkan untuk
bersama-sama membangun keluarga, terutama sekali bersama-sama merawat
dan mendidik anak-anak yang lahir dari pernikahan itu. Dan mempertahankan
kebersamaan selama puluhan tahun antara kedua orang manusia ini
membutuhkan kepribadian yang luhur dan kesadaran serta kebijaksanaan yang
tinggi. Apakah cukup dengan cinta kasih saja? Memang itulah dasarnya, akan
tetapi tidak cukup dengan itu, Sin Wan. Di samping kasih sayang, harus pula
terdapat kebijaksanaan, kesetiaan, bertanggung jawab dan memenuhi
kewajiban masing-masing. Kewajiban sebagai seorang suami atau isteri
kemudian kewajiban sebagai seorang ayah atau ibu. Dan semua itu baru akan
berjalan mulus kalau didasari penyerahan kepada Tuhan sehingga kekuasaan
Tuhan yang akan menjadi penuntun dan pembimbing."

Hidup merupakan perjuangan menghadapi setiap tantangan. Tidak lari dari


kenyataan, melainkan menghadapi tantangan dan berusaha
menanggulanginya, mengatasinya, itulah seni kehidupan! Didasari penyerahan
kepada Yang Maha Kuasa, maka segala sesuatu dapat dihadapinya dengan
tabah. Segala hal hanya dapat terjadi atas kehendak Tuhan! Sesal dan duka
tiada gunanya. Berusaha sedapat mungkin, akan tetapi menyerahkan
keputusan terakhir kepada Tuhan Maha Pengasih.

sepatutnya engkau bersyukur karena telah merasakan banyak kekecewaan dan


kepahitan. Itulah pengalaman terbaik dalam kehidupan ini. Bagaikan orang
berlayar di samudera, betapa akan menjemukan kalau lautan itu selalu tenang
saja, tak pernah bergelombang. Justeru menempuh gelombang itulah yang
membuat kita sadar bahwa kita ini hidup! Engkau harus berani menghadapinya
dan mengatasinya. Jangan sembunyi dalam kecengengan. Manusia hidup
matang dalam tempaan pengalaman hidup yang serba pahit. Orang akan
menjadi besar oleh gemblengan kepahitan hidup, sebaliknya orang akan
menjadi dungu dan malas oleh maboknya kemanisan hidup. Kesusahan dan
keprihatinan membuat orang bijaksana, sebaliknya kesenangan dan
kemakmuran membuat orang menjadi tumpul dan lengah."

Duka itu hanya permainan pikiran saja, Sin Wan. Pikiran yang sudah
dicengkeram nafsu hanya memikirkan kesenangan bagi diri sendiri. Nafsu
selalu mengejar kesenangan, selalu menjauhi ketidak senangan. Kesenangan
itu tersembunyi di mana-mana, kadang mengenakan jubah bersih, seperti
musang berbulu ayam. Nafsu mendorong kita untuk menonjolkan diri dan
penonjolan diri inipun bukan lain hanyalah kesenangan. Kita menginginkan
kekayaan, kedudukan, kepandaian, ke mashuran melalui perbuatan baik atau
melalui karya-karya mengagumkan, semua itupun menjadi tempat
persembunyian kesenangan. Dan kalau pengejaran kesenangan itu gagal,
maka datanglah kecewa, nelangsa dan iba diri yang membawa duka. Engkau
merasakan kesenangan dalam hubungan kasihmu, merasakan kesenangan
dalam hubungan baikmu dengan teman-temanmu tua itu. Ketika mereka
memisahkan diri menjauhimu,engkau kehilangan kesenangan itu dan menjadi
kecewa, iba diri dan berduka. Engkau menyiksa diri dan menjadi cengeng dan
itu suatu perbuatan yang sama sekali keliru."

tidak ada hubungannya sama sekali antara peristiwa yang terjadi di luar diri
dengan keadaan batin yang berduka. Peristiwa itu suatu kenyataan, suatu
kejadian yang wajar saja sebagai akibat dari suatu sebab tertentu. Adapun
duka di hati itu adalah karena ulah nafsu dalam pikiran sendiri. Suatu peristiwa
terjadi. Titik. Apakah hal itu menimbulkan duka atau tidak, tergantung dari cara
engkau menerima dan menghadapinya! Kalau engkau kini hendak berusaha
melenyapkan duka itu, coba renungkan, siapakah engkau yang kini hendak
menghilangkan duka? Bukankah itu juga engkau yang berduka sekarang ini?
Keinginan untuk tidak berduka sama saja dengan si duka itu sendiri. Setelah
melihat bahwa duka mendatangKan kesengsaraan, maka pikiran kini mencari
jalan untuk melepaskan diri dari ketidak senangan itu, tentu saja agar menjadi
senang! Engkau terseret dalam lingkaran setan kalau begitu

Harta dan kedudukan merupakan dua kesenangan yang amat kuat daya
pengaruhnya terhadap manusia. Demi mengejar kedudukan dan harta,
manusia lupa diri dan tidak segan melakukan perbuatan apapun juga.
Membunuh, merampok, menipu, berkhianat, apa saja akan dilakukan demi
mendapatkan harta atau kedudukan yang diinginkannya. Kalau sudah begini,
manusia kehilangan harga dirinya sebagai manusia, sebagai mahluk yang
mendapatkan anugerah paling besar dari Sang Pencipta. Manusia sudah
menjadi budak, menjadi hamba dari kesenangan, hamba dari nafsunya sendiri.
Manusia lupa bahwa menghambakan diri, bertekuk lutut kepada nafsu
merupakan sumber segala malapetaka dalam kehidupan, sumber sengketa,
sumber derita sengsara.
Harta kekayaan yang tadinya dibayangkan sebagai sumber segala
kesenangan, akhirnya hanya menjadi sumber kegelisahan, takut akan
kehilangan, sumber sengketa dan perebutan, dan kesenangan yang dihasilkan
oleh adanya harta hanya menjadi kesenangan palsu yang membosankan.
Pengejaran terhadap harta dan kedudukan membutakan hati merusak
pertimbangan, membuat kita tidak sadar bahwa kita telah melakukan hal-hal
yang amat tidak baik, jahat atau merugikan orang yang pada akhirnya akan
membuahkan buah yang pahit, yang harus kita makan sendiri. Kita terkadang
silau oleh tujuan, buta akan cara yang kita pergunakan untuk pengajaran
mencapai tujuan itu. Bagaimana mungkin cara yang kotor bisa menghasilkan
sesuatu yang bersih? Tujuan merupakan akibat, merupakan hasil daripada
caranya. Cara tidak terpisah dari hasilnya.

Nafsu itu seperti api, selalu mencari bahan bakar, tak pernah berhenti selama
ada yang dilahapnya. Yang sudah dibakar, ditinggalkannya menjadi abu, tak
dihiraukannya lagi karena selalu disibukkan mencari bahan bakar baru. Kalau
kita sudah dikuasai nafsu, kita selalu mengejar sesuatu yang belum kita miliki.
Yang sudah kita miliki terlupa, tidak lagi nampak keindahannya, tidak lagi
menyenangkan, bahkan ada kalanya membosankan. Yang nampak indah
menarik dan dianggap menjadi sumber kesenangan hanyalah yang belum
diperoleh, seperti api yang selalu tertarik kepada sesuatu yang belum
dijamahnya.
Nafsu membuat segala sesuatu hanya nampak indah menyenangkan bagi yang
belum memiliki! Akan tetapi yang sudah memiliki, menjadi bosan dan yang
dimiliki itu segera kehilangan daya tariknya. Hanya mereka yang tidak kaya saja
yang menganggap bahwa kaya raya itu amat membahagiakan, sebaliknya,
yang sudah kaya raya kehilangan apa yang digambarkan oleh yang belum kaya
itu.
Hanya yang tidak memiliki kedudukan menganggap bahwa yang berpangkat
tinggi itu senang dan bahagia, namun seringkali dia tersiksa justeru oleh
kedudukannya itu. Orang yang tinggal di kota rindu kepada gunung, sebaliknya
yang tinggal di gunung rindu kepada kota!
Demikianlah bekerjanya nafsu, mendorong kita untuk tidak merasa puas
dengan keadaan yang ada, selalu haus akan hal yang belum kita miliki. Ini
memang wajar. Nafsu memang amat berguna bagi kehidupan kita. Nafsu yang
membuat kita maju dan bertumbuh, membuat kita "hidup". Namun, kalau dia
menjadi alat, menjadi hamba kita.
Kalau terjadi sebaliknya, kita yang diperhamba, celakalah! Kita akan menjadi
robot, dan kita kehilangan pertimbangan, mau saja dituntun melakukan
perbuatan yang jahat atau tidak benar hanya untuk memuaskan nafsu
mendapatkan hal-hal yang kita inginkan. Seperti api yanq terus menjalar
mencari bahan bakar baru, melupakan dan meninggalkan yang lama.

Dia seorang yang sadar akan romantika kehidupan. Hidup memang merupakan
perjuangan, di mana tantangan datang dari segala penjuru dan di segala saat.
Bahaya dan tantangan berdatangan, dan justeru itulah romantika kehidupan.
Betapa akan hampa dan haramnya penghidupan ini tanpa adanya tantangan!
Betapa akan membosankan siang hari tanpa adanya malam! Rasa manispun
akan memuakkan tanpa adanya rasa pahit dan lain-iain. Hidup adalah
perjuangan menghadapi semua tantangan.
Melarikan diri dari tantangan hidup berarti sudah tigaperempat mati. Kita harus
menghadapi kenyataan yang ada, berani menghadapi tantangan yang datang
menimpa. Menghadapi tantangan, menanggulangi atau mengatasi tantangan,
itu seni kehidupan!
Kita harus mempergunakan segala daya yang ada pada kita, setiap anggauta
jasmani, hati akal pikiran, untuk menanggulangi segala masalah kehidupan,
persoalan lahiriah dah mengatasinya, memenangkannya. Mengenai batiniah,
kerohanian, kita serahkan saja kepada Tuhan! Percaya, menyerah dengan
sabar, ikhlas, tawakal. Rohani adalah kuasa Tuhan, akan tetapi urusan jasmani
adalah tugas kewajiban kita sendiri.

Nafsu adalah angkara murka, pementingan diri sendiri yang tanpa batas.
Segala daya upaya dalam kehidupan diarahkan demi menyenangkan si aku,
atau nafsu. Namun, nafsu tak pernah puas, kesenangan yang diperoleh segera
terganti kebosanan dan dengan liar mencari kesenangan lain yang belum
diperolehnya. Hati akal pikiran sudah pula digelimangi nafsu sehingga hati dan
pikiran selalu membela kepentingan nafsu dengan mengajukan berbagai dalih
dan alasan untuk membenarkan tindakan yang didorong nafsu. Pengaruh nafsu
selalu menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan, dan tujuan itu tiada
lain pasti sesuatu yang dianggap menyenangkan si aku. Nafsu bagaikan api
berkobar, makin diberi umpan semakin besar nyalanya dan semakin tamak
ingin melahap segala yang ada.
Nafsu yang timbul dari daya rendah disertakan manusia sejak lahir bukan
merupakan kutukan. Sebaliknya malah, nafsu merupakan anugerah dari Tuhan
Maha Pengasih yang amat mengasihi manusia sebagai ciptaanNya. Nafsu
mutlak perlu bagi kita dalam kehidupan di dunia ini. Tanpa adanya nafsu kita
tidak akan hidup seperti sekarang ini, bahkan mungkin saja manusia tidak akan
dapat berkembang biak seperti sekarang.
Nafsu yang bekerja sama dengan hati akal pikiran membuat manusia dapat
membuat segala benda yang dibutuhkan dalam hidup ini, dapat membuat
kehidupan menjadi menyenangkan. Nafsu yang berada di panca indra yang
membuat kita dapat merasakan segala kenikmatan hidup. Yang dinamakan
kemajuan di bidang apa saja adalah hasil dorongan nafsu pada hati akal pikiran
manusia.
Mata kita dapat menikmati penglihatan indah, hidung kita dapat menikmati
penciuman harum, telinga kita dapat menikmati pendengaran merdu, dan
selanjutnya. Tanpa adanya nafsu yang menimbulkan gairah, sukar
membayangkan bagaimana kehidupan ini. Kosong, hampa dan tidak menarik.
Kasih sayang Tuhan terbukti dengan diikutsertakan nafsu kepada kita.
Seperti api, kalau kecil dan terkendali, nafsu amatlah bermanfaat bagi
kehidupan. Sebaliknya, kalau membesar dan tidak terkendali, segalanya akan
terbakar habis! Jadi masalahnya, nafsu harus terkendali lalu bagaimana kita
dapat mengendalikannya? Pertanyaan ini selalu diajukan manusia sejak
sejarah tercatat, dan sampai kinipun manusia masih selalu berusaha dengan
segala macam cara untuk menguasai atau mengendalikan, nafsunya sendiri.
Melalui tuntunan agama, melalui keprihatinan, pertapaan, penyiksaan diri dan
segala macam cara lagi ditempuh manusia demi untuk dapat menguasai dan
mengendalikan nafsu.
Namun betapa pahitnya kenyataan itu, ialah bahwa jarang sekali ada manusia
yang berhasil dalam usahanya itu. Ada yang sudah bertapa di tempat sunyi
sampai bertahun-tahun, tetap saja tidak mampu mengendalikan nafsunya.
Ketika berada di puncak gunung yang sunyi, nampaknya seolah dia berhasil
menidurkan nafsunya. Akan tetapi begitu ia turun gunung, nafsunya bergejolak,
bahkan menjadi semakin liar, lebih kuat dari pada sebelum dia bertapa.
Mengapa demikian?
Semua usaha hati akal pikiran untuk mengendalikan nafsu, sebagian besar
gagal karena hati akal pikiran juga sudah digelimangi nafsu. Jadi,
menggunakan hati akal pikiran untuk menguasai nafsu! Tidak aneh kalau gagal!
Pengetahuan dan pengertian hati akal pikiran saja tidak mungkin dapat
mengalahkan nafsu. Semua orang yang melakukan perbuatan tidak baik tentu
tahu dan mengerti bahwa perbuatannya itu tidak baik, namun tetap saja mereka
melakukannya dan mengulanginya. Kadang sesal datang setelah berbuat,
namun begitu nafsu datang mendorong, tidak ada kekuatan dalam diri untuk
menahannya, bahkan akal pikiran dan hatipun tidak berdaya, bahkan menjadi
pembela dari perbuatan yang terdorong nafsu.
Kita dihadapkan pada jalan buntu. Kita tidak dapat hidup tanpa nafsu, akan
tetapi kitapun terseret ke dalam dosa oleh nafsu, dan kita tidak berdaya untuk
mengendalikan lalu bagaimana? Hanya ada satu pemecahannya, yaitu
mengembalikannya kepada Sang Maha Pencipta. Tuhan yang menciptakan
nafsu, maka hanya Tuhan yang akan dapat mengembalikan nafsu kepada
kedudukan dan tugasnya yang semula, yaitu menjadi peserta dan pelayan bagi
manusia hidup di dunia, bukan sebagai majikan. Hanya Tuhan Yang Maha
Kuasa yang akan mampu mengembalikan api nafsu itu menjadi api kecil yang
terkendali sehingga amat bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Oleh karena itu, hanya dengan penyerahan yang tulus ikhlas, penuh kesabaran
dan ketawakalan, kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, maka
segalanya akan kembali teratur, sesuai dengan kehendak Tuhan, terjadi
karena, kuasa Tuhan. Tidak ada cara atau jalan lain! Hati akal pikiran yang
merupakan alat seperti juga anggauta tubuh lainnya, kita pergunakan untuk
keperluan lahiriah, bekerja dan sebagainya. Adapun urusan rohaniah kita
menyerah kepada kekuasaan Tuhan.

Sudah menjadi pendapat umum bahwa cemburu merupakan hal yang wajar
bagi orang yang sedang jatuh cinta. Bahkan ada yang begitu yakin berpendapat
bahwa cemburu adalah kembangnya cinta, bahwa cemburu merupakan
pertanda adanya cinta! Kalau pendapat ini dibenarkan, berarti bahwa di dalam
cinta terkandung cemburu, atau cemburu sama dengan cinta!
Kalau kita mau membuka mata melihat kenyataan, akan nampaklah bahwa apa
vang dinamakan cinta itu, kalau disamakan dengan cemburu, maka cinta itu
bukanlah cinta! Cemburu timbul karena nafsu karena cemburu mendatangkan
kemarahan, kebencian, kekecewaan yang berakhir dengan penderitaan.
Bukanlah cinta kalau mendatangkan kesengsaraan atau penderitaan. Hanya
ulah nafsu yang menyeret kita ke dalam jurang penderitaan.
Cemburu pasti timbul kalau terdapat ikatan. Apakah ikatan itu membelenggu
kita kepada benda, kepercayaan, kepada cita-cita, gagasan, ataukah kepada
seseorang. Ikatan membuat kita merasa berarti, membuat kita merasa memiliki.
Kita tidak ingin kehilangan yang kita miliki itu, yang telah mengikat kuat dalam
hati kita.
Kalau kita merasa mencinta seseorang kita terikat kepada orang itu dan kita
tidak ingin kehilangan. Kita akan merasa sedih, merasa khawatir kalau-kalau
orang yang kita miliki itu direnggut lepas dari diri kita, membuat kita tidak berarti
karena tidak memiliki apa-apa lagi. Kekhawatiran inilah yang menimbulkan
cemburu! Khawatir akan kehilangan orang yang membuat dirinya berarti. Yang
beginikah yang dianggap sama dengan cinta?
Kalau cinta itu bersifat memiliki, menguasai, ikatan lalu mendatangkan
kekhawatiran kalau kehilangan, maka cinta seperti itu bukan lain adalah cinta
nafsu belaka. Kalau cinta nafsu, tentu saja tiada bedanya dengan buah nafsu
lainnya seperti ketakutan, kemarahan, kebencian, keinginan untuk senang
sendiri, termasuk pula cemburu.
Kalau cinta kasih, bukan nafsu, bagaikan cahaya terang, maka cemburu adalah
kegelapan. Kalau ada cahaya terang, maka tidak ada kegelapan. Kalau ada
cinta kasih, tidak ada cemburu. Kalau ada cemburu, jelas nafsu yang
memegang peran, walaupun nafsu itu diberi pakaian indah yang disebut cinta!

Renungan tentang cinta dilakukan orang sepanjang masa, sejak jaman nenek
moyang kita dahulu sampai kini. Namun, adakah manusia yang pernah
menemukan jawabnya yang tepat. Banyak memang pendapat orang tentang
cinta, akan tetapi apakah pendapat itu sudah dapat membuat kita mengenal
cinta? Kalau mendatangkan cemburu yang disusul kebencian dan permusuhan,
apakah itu cinta? Kalau mendatangkan kesenangan disusul kesusahan, apakah
itu cinta? Ingin memiliki dan dimiliki sendiri, itukah cinta? Menjadi pembangkit,
penyalur dan pemuasan berahi, itukah cinta? Membela dengan
mempertaruhkan nyawa, membunuh atau dibunuh seperti dalam perang
membela tanah air, itukah cinta? Mengorbankan diri untuk anak cucu, itukah
cinta? Ataukah cinta mencakup kesemuanya? Apakah cinta merupakan
kebalikan dari benci? Apakah benar bahwa cemburu menjadi kembangnya
cinta?
Kalau dilanjutkan, masih ada satu macam pertanyaan yang tak terjawab
mengenai cinta. Bagaimana mungkin hati yang tidak pernah mengenal cinta,
dapat mencari apa sebenarnya cinta itu? Hati akal pikiran ini hanya mampu
menemukan sesuatu yang pernah dikenalnya, pernah dialaminya, dapat
menemukan hal yang telah lalu.
Yang mendatangkan cemburu, mendatangkan suka dan duka, mendatangkan
kebencian dan permusuhan, yang memuaskan berahi, yang membelenggu
dalam ikatan, jelas bukanlah CINTA, melainkan nafsu. Nafsu selalu
menimbulkan keinginan untuk mendapatkan kesenangan dan menjauhi ketidak-
senangan. Nafsu selalu mempermainkan manusia, mengombang-ambingkan
manusia antara suka dan duka, puas dan kecewa.
Nafsu membuat kita mencinta seseorang karena daya tarik yang khas, yang
sesuai dengan keinginan nafsu. Kita mencinta orang karena kecantikannya
atau ketampanannya, karena kekayaannya, kedudukannya, kepintarannya dan
sebagainya. Kalau yang menjadi daya tarik itu sudah luntur, maka cinta kitapun
ikut luntur karena ikatan itu mengendur. Cinta yang didorong nafsu membuat
kita ingin memiliki sendiri yang kita cinta, baik itu berupa benda, binatang
peliharaan, tanaman, atau orang. Kalau ini dilanggar, kita cemburu, kita marah,
kita benci. Kalau kita berhasil memiliki, timbullah rangkaian yang mendatangkan
penderitaan pula.
Memiliki berarti menjaga dan kehilangan! Memiliki dapat menimbulkan
kebosanan. Cantik dan indah hanya terasa sebelum didapatkan, atau paling
banyak terasa untuk jangka waktu yang pendek saja. Sesudah itu, cantik dan
indah mulai luntur kalau tidak membosankan malah. Betapa banyaknya
pasangan yang cantik dan tampan cekcok atau bercerai. Betapa banyaknya
pasangan yang kaya raya, tidak cocok dan menderita.
Cinta yang kita puja-puja pada umumnya hanyalah permainan nafsu belaka.
Cinta kita berpamrih seperti menjadi sifat nafsu, dan permainan nafsu tak dapat
tiada menyeret kita ke dalam permainan suka duka, yang lebih banyak dukanya
dari pada sukanya. Kita mencinta untuk mendapatkan sesuatu. Cinta kita
merupakan cinta jual-beli dan setiap jual-beli selalu mendambakan keuntungan.
Selama nafsu pamrih masih ada, cinta tidak akan ada. Kalau nafsu dan pamrih
sudah tidak ada, apakah cinta akan ada? Tak dapat kita mengharapkan cinta,
tidak dapat kita mengundang cinta. Cinta akan datang menghampiri kita seperti
air suci mengisi cawan yang sudah kosong dan bersih!

Kedudukan mendatangkan kekuasaan. dan setiap orang manusia


mendambakan kekuasaan ini! Seorang pejabat ingin berkuasa terhadap
bawahannya, seorang ayah ingin berkuasa terhadap anak-anaknya, seorang
ibupun demikian bahkan kalau mungkin ingin berkuasa terhadap suaminya,
seorang anak ingin berkuasa terhadap adik-adiknya atau teman-temannya.
Kekuasaan mendatangkan nikmat karena dengan kekuasaan itu orang bisa
mendapatkan segala yang di kehendakinya. Oleh karena itu, wajar jika
seseorang memegangi kedudukannya kuat-kuat, dan akan melakukan segala
daya untuk tetap menguasainya. Kalau perlu dengan taruhan nyawa. Orang-
orang saling berebutan sehingga terjadi bentrokan, bahkan perang. Ketika
sedang memperebutkan kekuasaan, orang mencari pendukung dengan
sumpah bahwa kalau ia mendapatkan kekuasaan itu, dia akan menjadi
penguasa yang adil dan yang melindungi kepentingan orang terbanyak. Akan
tetapi sungguh sayang sekali, hanya dapat di hitung dengan jari saja penguasa
yang benar-benar memegang janjinya itu. Biasanya, kalau kekuasaan sudah
berada di tangannya, maka kekuasaan itu akan dipergunakan demi
kepentingan diri sendiri, lalu kepentingan keluarganya, lalu kepentingan
kelompoknya dan melupakan kepentingan orang terbanyak, yaitu rakyat jelata.
Dan kekuasaannya di perebutkan kembali, demikian seterusnya. Alangkah
baiknya kalau penguasa mendapatkan kekuasaanya bukan karena
memperebutkannya, kalau penguasa tetap memegang kekuasannya bukan
karena menang berebut, melainkan dikehendaki oleh orang terbanyak atau
rakyat jelata!.

Semua orang memperebutkan kekuasaan dan dalam perebutan ini manusia


menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan. Karena ingin sekali menjadi
mantu Perdana Menteri dan mendapatkan kekuasaan, Lai Seng tidak segan-
segan melakukan perbuatan yang keji terhadap seorang gadis. bahkan
manusia tidak segan untuk membunuh sesamanya demi mendapatkan
kekuasaan itu.
Mengapa kekuasaan diperebutkan sampai sedemikan oleh manusia?
Kekuasaan menjamin kehidupan yang penuh dengan kesenangan dan
kemenangan. Siapa berkuasa dia akan menang dan akan dibenarkan dalam
segala hal, dan siapa berkuasa diapun dapat hidup berenang di dalam
kemuliaan, kekayaan dan juga kehormatan. Semua itu sebenarnya hanya
mempunyai satu tujuan, yaitu kesenangan!.
Makanan nafsu, karena nafsu haus akan kesenangan. Maka, nafsu menguasai
manusia untuk mengejar kesenangan sebanyak mungkin. Makin banyak yang
di reguk, nafsu menjadi semakin haus. Dan untuk mendapatkan kesenangan
yang di reguknya, nafsu membuat manusia lupa akan kemanusiaannya, lupa
diri dan lupa bahwa sebetulnya hidup yang diberikan kepadanya bukanlah
untuk menjadi budak nafsu. Manusia tidak lagi menggunakan perikemanusiaan
sebagai penuntun jalan hidup, melainkan menggunakan perikebinatangan atau
hokum rimba.
Bagi binatang, siapa kuat dia menang dan siapa menang dia berkuasa dan
siapa berkuasa dia berhak melakukan apa saja dan tidak bisa di salahkan.
Yang menyalahkan akan di hantam dengan kekuasaannya. Sebetulnya,
perikebinatangan atau hokum rimba ini hanya berlaku bagi binantang yang
tidak memiliki akal budi seperti manusia. Akan tetapi ternyata perekebinatangan
telah dipergunakan oleh manusia di seluruh dunia sebagai jalan hidupnya.
Kalau kita mau membuka mata melihat kehidupan di kanan kiri kita, maka akan
nampaklah bahwa hokum rimba berlaku di mana-mana. Baik di dalam rumah
sendiri maupun di luar rumah. Yang lebih tinggi kedudukannya, lebih besar
kekuasaannya. Siapakah yang mampu menyalahkan seorang kaisar? Kaisar
tidak pernah bersalah dan kaisar tempat kebenaran, tempat penentu hokum.
Seorang pembesar akan di himpit dan di kalahkan oleh atasannya dan
demikian seterusnya. Persis keadaan seperti di dalam rumah sendiri. Ayah
paling berkuasa, menghardik ibu. Ibu menjewer anaknya yang sulung dan si
sulung menampar adiknya yang melampiaskan kejengkelannya kepada adiknya
lagi sampai kepada si bungsu. Dan si bungsu mempergunakan kekuasaannya
memaki pembantu rumah tangga yang karena tidak mempunyai sasaran
kemarahan lalu memukul anjing peliharaan keluarga. Demikianlah, yang atas
menghimpit ke bawah sesuai dengan hukum rimba.
Kebahagiaan adalah keadaan jiwa yang tidak terganggu oleh nafsu-nafsu
melalui hati akal pikiran. Jiwa yang tenang, tentram dan diam. Kebahagiaan
adalah keadaan tidak apa-apa, seprti keadaan air telaga yang diam tanpa
keriput sedikitpun juga karena terganggu angin. Kalau begitu, kebahagiaan itu
sudah ada pada setiap manusia, bilamana hatinya dalam keadaan hening
tenang, seperti orang sedang tidur nyenyak tanpa gangguan mimpi. Kalau
nafsu akal pikiran datang mengusik maka orang akan merasa tidak bahagia.
Akan tetapi bila pengganggunya itu menghilang, kebahagiaan akan selalu ada.
Maka, tidak mungkin bahagia itu dicari karena memang selalu sudah ada !
Hanya tertutup oleh ulah nafsu akal pikiran, akan makin nampaklah
kebahagiaan itu. Petani itu tidak butuh bahagia karena dia sudah berbahagia !
Dengan upah kecil dan keadaan miskinsekalipun, bahagia tidak pernah
meninggalkan bathin manusia selama manusia dapat menerimanya tanpa
menimbulkan gelombang yang akan mengganggukebahagiaannya. Dengan
sepotong tembaga orang dapatsaja berbahagia. Sebaliknya dengan memiliki
segunung emasbelum tentu orang itu berbahagia !.

Sebernarnya, setiap saat dan detik terdapat keindahan dari suasana yang wajar
ini. Hanya karena kita terlalu di ombang ambingkan pikiran kita sendiri yang
mengadakan banyak persoalan maka keindahan yang ada itu tidak nampak
lagi. Pikiran kita selalu sibuk dengan berbagai macam persoalan kehidupan
sehari-hari, dari urusan pekerjaan, mencari uang, persoalan rumah tangga,
konflik-konflik dalam keluarga atau antar teman, pengangguran, kejahatan, dan
bahkan perang. Pikiran kita sudah menjadi gudang dari segala macam
permasalahan yang memusingkan sehingga kita sudah lupa betapa indahnya
alam di sekeliling kita, betapa Maha Murahnya Tuhan terhadap kita semua.
Segala keperluan hidup manusia telah terbentang luas di depan kita, Kita
tinggal mengolah dan memetik saja. Akan tetapi semua keindahan itu tidak
akan terasa lagi kalau kita menjadi hamba nafsu yang menyeret kita ke dalam
konflikk dan pertentangan, saling membenci, saling bermusuhan dan bahkan
saling membunuh.
Alangkah akan bahagianya hidup ini apabila kita manusia tidak saling
bermusuhan, melainkan bersatu padu untuk membangun dengan sarana yang
tersedia lengkap. Membangun demi kesejahteraan kita bersama. Hidup
tenteram penuh kedamaian, saling tolong dan salin bantu dalam mengahdapi
kesukaran yang bagaimanapun macamnya dan dari manapun datangnya.
Kesukaran yang dibagi akan menjadi ringan dan bukan merupakan kesukaran
lagi. Sedangkan kelebihan dan kesenangan yang dibagi tidak akan menjadi
berkurang. Hdiup dalam suasana seperti itu akan melenyapkan segala macam
kesusahan dan yang terdengar dari mulut kita hanyalah Puji Syukur dan terima
kasih kepada Tuhan Maha Pencipta, tidak lagi terdengar keluh kesah seperti
yang kita dengar setiap saat pada masa kini.
“Manusia sejak dilahirkan sudah menghadapi berbagai tantangan. Kita tidak
mungkin dapat melarikan diri dari tantangan-tantangan itu. Makin melarikan diri
dari tantangan, semakin banyak rasa khawatir timbul.
Tantangan tidak harus di hadapi dengan rasa khawatir, melainkan harus di
hadapi dengan berani. Tantangan harus di anggap sebagai suatu kewajaran
dalam hidup dan kita harus menghadapinya dengan gembira dan mengatasi
setiap tantangan yang datang“

“Kata-kata yang jujur tidak bagus,


Kata-kata yang bagus tidak jujur.
Orang yang cerdik tidak banyak bicara,
Orang yang banyak bicara tidak cerdik.
Orang yang tahu tidak sombong,
Orang yang sombong tidak tahu.
Orang bijaksana tidak menyimpan,
Dia menyumbang sehabis-habisnya.
Tapi semakin menjadi kaya,
Dia memberi sehabis-habisnya
Tapi semakin berlebihan.
Jalan yang di tempuh langit
Menguntungkan, tidak merugikan
Jalan yang di tempuh orang bijaksana
Memberi, tidak merebut“

Suatu kekeliruan besar telah kita perbuat, sejak sejarah kehidupan manusia
dimulai sampai sekarang, yaitu menjadi peminta-minta. Mungkin caranya yang
berubah dan berbeda-beda, namun pada hakekatnya, tetap saja kita meminta-
minta, mengemis. Kepada Tuhan, kepada para dewa, kepada arwah leluhur,
bahkan kepada setan dan iblis kita selalu menadahkan tangan untuk minta-
minta, untuk memohon sesuatu! Yang kita lakukan dalam sembahyang, selalu
berisi penuh permintaan, permohonan! Dan dalam keadaan memohon sesuatu,
masih kita sogok lagi dengan perbuatan yang dianggap baik, seperti beramal,
memberi sedekah, menolong orang, semua itu untuk memperkuat doa kita agar
permohonan kita terkabul! Kalau permintaan dengan segala macam bentuk
sogokan itu ditujukan kepada para dewa, kepada arwah atau kepada segala
macam setan dan iblis, masih dapat dimengerti, karena mereka memang
mungkin masih membutuhkan sogokan.
Akan tetapi kalau segala macam permintaan itu ditujukan kepada Tuhan Maha
Pencipta, sungguh hal ini patut kita renungkan bersama.
Tuhan Maha Kuasa, Maha Adil, Maha Kasih! Tuhan telah menciptakan Segala
sesuatu dalam keadaan sempurna! Kitapun diciptakan ke dunia ini dalam
keadaan yang sempurna, disertai segala macam alat yang paling lengkap untuk
dapat hidup. Setiap helai rambut, Setiap lubang pori-pori, kuku, gigi, setiap
lekukan jari, bulu mata, alis, Panca indera, hati akal pikiran, lengkap dengan
segala macam yang ada pada diri kita luar dalam, semua itu mempunyai daya
guna untuk dapat kita pergunakan demi kepentingan kehidupan di dunia ini.
Sudah diberi sejak lahir secara lengkap. Berkah Tuhan juga, berlimpahan. Kita
diberi tanah, udara, panas matahari, air, semua yang diperlukan untuk
kehidupan tanam-tanaman yang akan menjadi makanan kita, sampai ke benih
segala macam tumbuh-tumbuhan, jutaan macam banyaknya. Ada pula jutaan
macam binatang yang dagingnya dapat pula menjadi makanan kita. Segala
sudah tersedia, TINGGAL MENGERJAKAN saja. NamUn, kita masih saja
minta-minta! Sepatutnya, dalam sembahyang, kita berbakti, kita memuja, kita
bersyukur, berterima kasih, karena segalanya telah disediakan Tuhan untuk
kita. Kita hanya tinggal mengerjakan segala yang ada pada kita, mengerjakan
anggauta badan kita, hati akal pikiran kita, demi mencukupi kebutuhan hidup
kita. Demikian Maha Kasih Tuhan sehingga dalam segala macam tumbuh-
tumbuhan itu telah terdapat yang bisa mengenyangkan, yang bisa menguatkan,
bahkan ada pula yang dapat menyembuhkan kita kalau kita terserang penyakit.
Hidup ini berarti gerak. Siapa tidak menggerakkan dirinya untuk bekerja, tentu
akan terjadi gangguan pada dirinya. Bekerja, mempergunakan segala sarana
yang telah diberikan Tuhan untuk kita, berarti kita tidak menyia-nyiakan
pemberian Tuhan, berarti bahwa kita telah berdosa. Mengerjakan segala
sarana yang telah diberikan Tuhan kepada kita berarti berbakti dan memuja ke
pada Sang Maha Pencipta. Karena itu, tidak ada gunanya memohon tanpa
bekerja. Kalau kita lapar, kita harus mencari makanan sendiri, bukan minta
makanan kepada Tuhan!
Demikianlah pula kalau kita sakit, kita harus berusaha mencari obatnya. Segala
apapun yang kita butuhkan, harus kita cari sendiri. Itulah kewajiban manusia
dalam kehidupan di dunia ini. Berikhtiar agar hidup ini terpenuhi semua
kebutuhannya, kemudian berikhtiar agar hidup ini terisi oleh manfaat bagi
manusia lain. Ikhtiar adalah wajib, dan tanpa mau berikhtiar, hanya memohon
dan mengandalkan kepada Tuhan saja, sama dengan mempersekutukan
Tuhan, membebani Tuhan dengan segala pekerjaan demi keenakan kita!
Betapa besar dosanya kalau sikap ini kita pertahankan!
Sembahyang kepada Tuhan merupakan wajib, yaitu kewajiban kita untuk
berbakti, bersyukur dan berterima kasih. Tuhan Maha Tahu Tidak usah kita
minta, Tuhan sudah Tahu apa yang kita butuhkan, dan sudah disediakan
segalanya, pasti akan kita dapatkan dengan jalan berikhtiar, dengan landasan
iman dan kepasrahan kepada Tuhan yang menentukan segalanya. Puji syukur
kepada Tuhan. Dan kalaupun ada suatu permohonan suatu permintaan, maka
sepatutnya kalau satu-satunya permohonan kita adalah mohon ampun atas
segala kesalahan kita yang lalu. Dengan penyerahan kepadaNya, pasrah,
tawakal, ikhlas, sabar, maka kita akan mendapatkan bimbinganNya. Bukan
dengan cara minta-minta, apa lagi menyogok. Perbuatan baik yang dilakukan
dengan sengaja untuk mendapatkan balas jasa, bukan perbuatan baik lagi
namanya, melainkan kepalsuan. Sama seperti kalau kita berbuat baik terhadap
seorang pembesar dengan harap an agar kelak pembesar itu akan memberi
suatu kemudahan bagi kita! Perbuatan baik seperti itu bukan lain hanyalah
perbuatan menyogok, menyuap
Andaikata setan dan iblis dapat dilihat, maka dia tidak akan ditakuti manusia
lagi. Mahluk yang paling buas dan besarpun, asalkan dia dapat dilihat, mudah
ditalukkan oleh manusia. Setan dan iblispun, kalau terlihat, tentu akan dapat
ditalukkan manusia. Rasa takut timbul karena ulah permainan pikiran. Pikiran
membayangkan dan mengkhayalkan yang seram-seram, yang mengerikan, dan
timbullah rasa takut. Takut adalah permainan pikiran membayangkan hal yang
belum ada, yang belum terjadi. Orang takut terkena penyakit karena dia belum
sakit. Kalau dia sudah terkena penyakit, dia tidak takut lagi kepada penyakit itu,
yang ditakuti adalah akibat lain yang belum terjadi, misalnya takut kalau-kalau
sakitnya itu akan membuatnya mati, takut kalau kelak mati dia akan tersiksa
dan sebagainya dan selanjutnya.

Pada umumnya, penghuni dusun Libun merasa cukup. Memang


sesungguhnya, kaya atau miskin tak dapat diukur dari isi saku atau harta milik.
Betapapun besar dan banyak harta milik yang dipunyai seseorang, kalau dia
masih merasa kurang atau belum cukup, sama saja artinya dengan seorang
yang miskin dan dia tidak akan dapat menikmati apa yang telah dimilikinya.
Sebaliknya, biarpun seseorang hidup sederhana, namun kalau dia sudah
merasa cukup, sama saja halnya dengan seorang kaya raya dan dia dapat
menikmati apa yang telah dimilikinya. Jadi letak ukurannya bukan di saku atau
di gudang harta, melainkan di dalam hatinya. Seperti para penduduk dusun
Libun. Karena mereka tinggal di dusun sederhana, maka kebutuhan hidup
merekapun tidak banyak, sekedar sandang, pangan dan papan yang
sederhana cukuplah. Tidak terdapat banyak godaan terhadap mereka, seperti
dalam kota di mana terdapat toko-toko yang men jual barang-barang mewah
dan indah, rumah-rumah makan dengan masakan yang mahal, dan
rumahrumah indah, juga tontonantontonan yang kesemuanya itu membutuhkan
uang banyak sehingga tentu saja kehidupan di kota mendatangkan banyak
keinginan dan kebutuhan. Berbahagialah manusia yang dap menikmati apa
yang ada, menikmati apa yang dimilikinya. Namun, selama kita masih
dicengkeram nafsu, kita takkan pernah dapat menikmati apa yang kita miliki
karena kita selalu menjangkau yang belum kita miliki, yang kita anggap akan
lebih indah dari pada apa yang telah kita miliki. Sifat nafsu adalah selalu
mencari yang lebih dan hanya sejenak saja menikmati apa yang kita dapatkan
lalu terganti kebosanan karena kita sudah mengejar yang kita anggap lebih
menyenangkan lagi. Dan untuk dapat menjadi manusia berbahagia seperti itu,
satu-satunya jalan keluar hanyalah dengan penyerahan kepada Tuhan Yang
Maha Kasih Kalau kita menyerahkan diri kepada Tuhan, kita tidak akan
mengeluh dan selalu akan bersukur kepa da Tuhan, dalam keadaan apapun
kita berada. Kalau segala peristiwa kita sambut sebagai sesuatu yang telah
dikehendaki Tuhan, kita tidak akan mengeluh lagi, karena kita yakin bahwa
semua kehendak Tuhan pasti terjadi, dan apapun yang ditimpakan kepada kita
pasti memillki hikmah karena Tuhan mengetahui apa yang terbaik untuk kita.
Kewajiban kita dalam hidup ini hanyalah mempergunakan atau memanfaatkan
semua anggauta tubuh ini termasuk hati akal pikiran kita untuk kesejahteraan
hidup ini, dari diri pribadi sampai lingkungan yang makin meluas, keluarga
masyarakat, bangsa, dan seluruh manusia. Semua usaha itu didasari
penyerahan dan keyakinan bahwa semua hasil usaha kita, baik yang bagi kita
menyenangkan maupun menyusahkan, terjadi atas kehen dak dan bimbingan
Tuhan. Karena itu, hanya puji syukurlah yang keluar dari hati dan mulut kita
kepada Tuhan Maha Pengasih.

Sejak lahir sampai mati, kita tidak dapat mengatur atau menguasai kehidupan
kita sendiri.
Kita dilahirkan begitu saja di luar kehendak kita, kemudian selama hidup
kitapun tidak tahu apa akan terjadi dengan hidup kita, kemudian kematian
datang tanpa dapat kita tolak atau minta. Mati atau hidup sepenuhnya berada di
tangan Tuhan, dalam kekuasaanNya. Kalau Tuhan menghendaki kita mati,
tidak ada tempat persembunyian bagi kita untuk menghindarkan diri. Biar kita
bersembunyi ke lubang semut, maut tetap akan datang men jemput.
Sebaliknya, apa bila Tuhan belum menghendaki kita mati, biarpun dihujani
seribu batang anak panah, kita akan terhindar dari pada maut. Betapa
banyaknya manusia, yang diakuinya maupun tidak, merasa takut akan
kematian.
Pada lahirnya boleh membual dan berlagak tidak takut mati, namun jauh di
sebelah dalam, lubuk hatinya, dia merasa ngeri dan takut! Mengapa takut akan
sesuatu sudah pasti terjadi, akan sesuatu yang tidak mungkin terelakkan lagi,
sesuatu yang akan menimpa setiap orang di dunia ini, tidak perduli tua ataupun
muda, kaya ataupun miskin, pandai atau bodoh? Kenapa takut menghadap
sesuatu yang tidak dapat kita ketahui keadaannya, sesuatu yang tidak kita
kenal?
Sesungguhnya, kita tidak mungkin takut kepada suatu keadaan yang tidak kita
ketahui. Yang kita takuti adalah suatu keadaan yang kita ketahui melalui
kepercayaan, dongeng dan penuturan tentang keadaan sesudah mati. Yang
kita takuti adalah kenyataan bahwa kalau kita mati, kita meninggalkan semua
yang kita sukai dan cintai. Meninggalkan harta benda, meninggalkan keluarga
meninggalkan segala macam kesenangan hidup di dunia ini.
Berbahagialah orang yang menyerah kepada Tuhan secara menyeluruh, lahir
batin, pasrah dengan penuh keikhlasan dan ketawakalan. Baginya, kematian
bukanlah suatu akhiran, melainkan suatu kelanjutan dari pada kehidupan di
dunia ini. Dan, baik hidup di dunia ataupun kelanjutannya yang dinamakan mati,
selama kita menyerah kepada Tuhan, Sang Maha Pencipta yang menguasai
dan memiliki seluruh alam beserta isinya, berarti yang memiliki dan menguasai
diri kita, maka tidak ada rasa takut terhadap kehidupan maupun kematian .
Menyerah kepada Tuhan sama sekali bukan berarti acuh, pasip, ataupun
mandeg. Sama sekali bukan! Itu bukan pasrah namanya kalau kita hanya
menyerahkan segalanya kepada Tuhan tanpa mau berusaha sesuatu! Tuhan
telah melahirkan kita dengan alat yang paling sempuma dan lengkap, tangan
kaki, hati akal pikiran, semua itu tentu untuk dimanfaatkan, dikerjakan sekuat
kemampuan masing-masing, demi kesejahteraan hidup di dunia ini, demi
kelangsungan hidup dan penjagaan diri. Bekerja! Itu lah hidup, karena hidup
berarti gerak, dan gerakan kita berarti bekerja.
Namun semua pekerjaan, usaha dan ikhtiar kita itu dilandasi kepasrahan
mutlak kepada Tuhan, karena hanya Tuhan yang dapat menentukan, apa yang
akan kita alami dalam kehidupan ini maupun dalam kelanjutannya setelah kita
meninggalkan dunia. Kalau sudah begitu, apa lagi yang perlu ditakuti? Adakah
yang lebih membahagiakan bagi setetes air dari pada kembali ke samudera
tempat dia berasal?

Dendam kebencian memang membuat orang kehilangan pertimbangan lagi.


Dendam kebencian merupakan nafsu yang selalu hanya ingin mendapat
kepuasan, dan kepuasan dari nafsu dendam hanyalah membalas dan
mencelakai orang yang dibenci dan didendamnya. Dendam timbul karena
adanya aku yang merasa dirugikan. Aku dipukul balas memukul, aku di benci
balas membenci, bahkan biasanya, pembalasan harus lebih berat, lebih hebat
dari pada penyebab dendam. Maka tImbullah dendam mendendam, balas
membalas yang tiada berkesudahan, kebencian yang mendarah-daging dan
terjadilah perang, pembunuhan, pembantaian dan segala macam kekejaman
yang tidak layak dilakukan oleh manusia, mahluk yang katanya paling
sempurna dan tinggi derajatnya itu. Mata kita selalu ditujukan kepada orang
lain, menilai perbuatan orang lain sehingga segala kesalahan orang lain,
betapapun kecil pun, akan nampak oleh kita. Kalau saja kita suka membalikkan
pandangan kita, mengamati diri sendiri, akan nampak bahwa kita ini tidaklah
lebih baik dari pada orang lain yang kita anggap jahat atau buruk itu.
Pengamatan ini akan menyadarkan kita bahwa kitapun bukan manusia
sempurna, bahwa kitapun tidak lepas dari pada dosa. Kalau ki ta sudah merasa
kotor, maka melihat orang lain kotor, tentu kita tidak akan memandang jijik.
Kalau kita sudah melihat jelas bahwa kita sendiri penuh dosa , maka melihat
orang lain berdosa, tentu akan mudah sekali bagi kita untuk memaafkan orang
lain. Kita tidaklah lebih baik dari orang lain, dan dunia ini menjadi kacau balau
bukan hanya karena ulah orang lain, melainkan karena ulah kita bersama! Kita
sendiri, masing-masing dari kita ikut bertanggung jawab. Hanya orang yang
suka mengamati diri sendiri, hanya orang yang tahu bahwa diri nya kotor timbul
usaha dalam dirinya untuk membersihkan diri dari kekotoran itu. Sebaliknya,
orang yang hanya melihat kekotoran pada diri orang lain dan merasa diri nya
sendiri bersih, orang seperti ini tidak akan pernah mau mela kukan usaha
membersihkan dirinya dari kekotoran dan diluar kesadarannya, dia terus
menumpuk kekotoran dalam dirinya sendiri. Kalau ada orang memukul kita lalu
kita membalas dan memukulnya, lalu apa bedanya antara kita dan orang itu?
Kalau ada orang membunuh, lalu kita balas membunuh, berarti kita semua
sama-sama menjadi pembunuh Kalau orang menipu kita dan kita balas menipu,
kita sama-sama menipu. Dendam membuat kita lupa diri, kehilangan
pertimbangan, kehilangan keseimbangan dan tidak tahu membedakan lagi
mana benar dan mana tidak benar. Waktu bergerak seperti siput. Kalau kita
perhatikan, merangkak lambat sekali, akan tetapi kalau tidak kita perhatikan,
tahu-tahu sudah jauh! Kalau kita tidak memperhatikan, bertahun tahun lewat
seperti beberapa hari saja rasanya, sebaliknya kalau kita menanti sesuatu dan
selalu memperhati kan waktu, beberapa jam rasanya seperti beberapa tahun.
Sejak jaman dahulu, orang selalu bertanya-tanya tentang kenyataan ini, yaitu
bahwa betapa banyaknya manusia yang semasa hidupnya nampak begitu baik
hati, dermawan, suka menolong sesamanya, juga beribadat, namun kenyataan
nya tertimpa malapetaka, bahkan banyak juga yang tewas secara
menyedihkan, baik melalui kecalakaan mengerikan, bencana alam, atau juga
dibunuh orang. Banyak orang yang hidupnya nampak baik dan saleh, semua
orang menganggap dia seorang budiman, namun hidupnya miskin,
berpenyakitan, dan tertimpa malapetaka pula sehingga mengalami kematian
yang menyedihkan, Sebaliknya, banyak pula orang yang pada umumnya
dianggap jahat, kejam, kikir, tidak pernah suka menolong sesamanya, bahkan
mengingkari Tuhan, namun hidupnya nampak bergelimang kekayaan, selalu
nampak senang dan bahkan berumur panjang! Kenyataan ini merupakan satu
di antara rahasia-rahasia kehidupan yang tidak dapat dimengerti manusia,
Banyak yang mencoba untuk mengungkap rahasia ini dengan berbagai teori
dan dalih.
Ada yang menganggap 'bahwa hal itu merupakan hukum karma atau hukum
sebab akibat atau hukum menanggung akibat perbuatan sendiri, memetik buah
dari pohon yang ditanamnya sendiri. Tanaman pohon ini mungkin dilakukan
dalam kehidupan masa lalu, atau ditanam oleh orang tua, nenek moyang dan
seianjutnya, Ada pula yang berpendapat bahwa semua keadaan yang tidak
menyenangkan itu adalah perbuatan setan yang selalu berusaha untuk
menyengsarakan manusia.
Namun, semua itu hanyalah anggapan dan perkiraan belaka yang tidak dapat
dibuktikan kebenarannya. Hati akal pikiran manusia terlalu terbatas untuk dapat
mengungkap pekerjaan Tuhan yang maha besar dan maha rumit. Ada orang
berpendapat bahwa segala yang menyengsarakan manusia, termasuk
pekerjaan setan yang selalu ingin menyengsarakan manusia. Benarkah ini?
Ada pula yang beranggapan bahwa hal ini tidak mungkin karena bukankah
penyakit disebabkan kuman-kuman, dan kuman adalah mahluk hidup yang
berarti ciptaan Tuhan pula?
Kalau Tuhan Maha Pencipta, berarti bahwa semua kuman dan apa saja yang
dapat menyebabkan manusia sakit, baik itu hewan maupun tanaman, adalah
ciptaan Tuhan. Berarti bahwa semua yang menimpa manusia dapat terjadi
kalau sudah dikehendaki Tuhan. Benarkah ini? Tidak ada yang akan dapat
menjawab, karena semua jawabanpun, seperti semua perkiraan tadi, hanya
merupakan pendapat belaka, hanya perkiraan dan tidak akan dapat dibuktikan.
Pengertian manusia amat terbatas, terbatas untuk melayani dan mencukup
kebutuhan manusia hidup di dunia saja, karena itu, alat berupa hati akal pikiran
tidak dapat kita pergunakan untuk menguak dan menjenguk rahasia yang lebih
dari pada kebutuhan kita. Pendapat kita, betapapun indah mengemukakannya,
betapa kuat alasan-alasannya, tetap saja hanya berupa pendapat. Dan
pendapat itu sudah pasti dilandasi. perhitungan untung rugi, Kita pernah
mengutuk binatang ular, terutama yang berbisa, sebagai mahluk yang paling
jahat, bahkan alat setan, kita kutuk dan kita menasihati anak cucu kita untuk
memusuhinya/ membunuhnya setiap kali melihatnya. Akan tetapi, setelah kini
diketahui kegunaan bisa ular, untuk menqobatan, bahkan mungkin dapat
menyelamatkan nyawa manusia, setelah kini daging ular dimasak dan dimakan,
kulit ular dibuat dompet, tas dan sebagainya, masihkah kita mengumpat dan
mengutuk binatang itu? Semua pendapat memang tak lepas dari pada
perhitungan untung rugi bagi kita. Hujanpun dianggap baik alau
menguntungkan dan buruk kalau merugikan., demikin pula panasnya matahari
dan segala saja yang berhubungan dengan kehidupan kita.

semua aliran dan ajaran kebatinan, bahkan ajaran agama, merupakan ajaran
yang baik, menjadi penuntun bagi manusia agar hidup bermanfaat bagi
kemanusiaan, bagi dunia, agar hidup sebagai orang yang selalu membela
kebenaran, keadilan dan menumbuhkan cinta kasih di antara manusia.
Tidak ada ajaran agama atau aliran kebatinan yang mengajarkan orang untuk
berbuat jahat dan kejam.
Namun, ajaran tetap merupakan ajaran, sesuatu yang mati . Yang hidup dan
yang menentukan adalah manusianya, penganut ajaran itu. Baik dan buruknya
bukan terletak di da lam ajaran itu, melainkan di dalam pelaksanaannya dalam
kehidupan, di dalam langkah hidup dan perbuatannya.
Betapa pun suci teorinya, kalau prakteknya kotor, maka perbuatan atau praktek
itu hanya akan menodai dan mengotori teorinya. Betapa banyaknya terjadi
pertentangan agama, pertentangan aliran. Sesungguhnya, bukan ajaran-ajaran
itu yang bertentangan, karena tidak ada ajaran yang menganjurkan manusia
saling bertentangan, melainkan ulah si manusia sendirilah yang
mempertentangkannya. Ajaran aliran dan keagamaan diada kan untuk manusia
di dunia tanpa pilih bulu. Kalau ajaran itu sudah dimonopoli, menjadi milikku,
milik golongan atau kelompokku, milik bangsaku, maka timbullah pertentangan
antara milikku dan milikmu , agamaku dan agamamu . Apapun diperebutkan
oleh kita manusia ini. Kebenaran diperebutkan, bahkan Tuhan diperebutkan!
Aliran Hoat-kauw mempunyai ajaran agar manusia menaati hukum dan
keadilan. Akan tetapi, bagaimana kenyataannya? Manusia tetap manusia
dengan segala macam nafsu daya rendah yang menguasai dirinya.
Kenyataannya, seperti yang dilihat Seng Gun, hukum itu hanya berlaku bagi
mereka yang kalah, mereka yang berada di bawah. Mereka itulah yang harus
menaati hukum. Bagi yang menang dan yang berkuasa? Merekalah hukum!
Merekalah pembuataan penggaris hukum! Merekalah yang benar dan apapun
yang mereka lakukan adalah adil dan benar. Mereka adalah penegak hukum,
yaitu menegakkan hukum agar ditaati bawahan. Merekalah lambang hukum,
kebenaran dan keadilan. Yang salah adalah orang lain, terutama orang
bawahan. Sesungguhnya, kalau kita mau melihat keadaan sebagaimana
adanya, hukum rimbalah yang berlaku di mana-mana. Yang kuat dia
menang, yang menang dia berkuasa, yang berkuasa dia benar dan baik! Tentu
saja hukum rimba ini diselubungi berbagai macam peraturan yang nampaknya
beradab dan baik sehingga tidak nampak lagi. Karena yang kuasa selalu benar,
maka di dunia ini manusia saling berlumba memperebutkan kekuasaan.
Dalam keluarga, di antara teman, dalam masyarakat, dalam perkumpulan,
dalam pemerintahan. Di mana saja orang memperebutkan kekuasaan karena
kekuasaan sumber kesenangan.' kekuasaan memungkinkan orang
memperoleh apapun yang dikehendaki nya.

"Tahukah engkau dengan sesungguhnya bahwa segala sesuatu adalah sama


saja?"
"Tahukah engkau apa yang engkau tidak tahu?"
"Kalau begitu, Manusia Sempurna tidak tahu akan baik dan buruk?"
"Manusia Sempurna adalah mahluk suci. Bahkan andaikata lautan mendidih,
dia tidak akan merasa kepanasan. Apa bila sungai-sungai membeku, dia tidak
akan merasa kedinginan. Apa bila gunung-gunung dibelah halilintar, dan lautan-
lautan diamuk badai, dia tidak akan gemetar ketakutan. Maka, dia seolah
mendaki awan-awan di langit, menggembala matahari dan bulan di depannya,
dan melewati batas-batas dari keberadaan duniawi. Mati' dan hidup tidak lagi
menguasai dia. Sama sekali dia ti dak lagi memperdulikan untung atau rugi."

"Betapa indahnya sangkar emas penuh makanan, burung akan tetap berusaha
meloloskan diri. Setelah burung terbang bebas, lepas dari sangkarnya,
pantaskah ditangisi?"

Kalau orang menjalani hidup ini disesuaikan dengan ajaran-ajaran itu,


melakukan perbuatan yang sesuai dengan petunjuk ajaran, maka kebaikan
yang dilakukan dengan kesadaran bahwa itu adalah kebaikan bukanlah
kebaikan lagi namanya! Perbuatan seperti itu palsu, anakku, karena perbuatan
seperti itu hanya merupakan suatu cara untuk mencapai sesuatu, bukan
merupakan suatu keadaan yang wajar, yang dengan sendirinya sudah
merupakan suatu keadaan tanpa membutuhkan cara untuk mencapainya lagi

Perbuatan baik yang dilakukan dengan pamrih meraih sesuatu hasil dari
perbuatan itu, adalah perbuatan palsu, hanya merupakan suatu cara
mendapatkan sesuatu. Perbuatan apapun itu, dinilai baik ataupun buruk, kalau
dilakukan karena digerakkan pamrih memperoleh hasil sesuatu, adalah palsu!
Munafik, topeng kebaikan untuk mendapatkan keuntungan, sama seperti
harimau bertopeng domba, tidak lebih baik dari pada harimau tanpa topeng.
Dan ajaran-ajaran kebaikan itu seringkali menjadi topeng domba bagi harimau-
harimau yang berkeliaran."

"Lihatlah bulan, bintang, matahari, awan dan seluruh alam ini. Mereka semua
bergerak, mereka semua bekerja, dan memang demikianlah keharusan dan
keadaan mereka. Tidak baik tidak buruk, tidak benar tidak salah, dan itu adalah
karena mereka itu wajar. Bunga mawar berduri dan harum, itulah kewajaran.
Bunga anggrek indah dan tidak harum, itulah kewajaran. Wajar itulah indah,
wajar itulah kenyataan, wajar itulah To (Jalan, atau Kekuasaan Mutlak).
Seyogianya kita menjadi manusia wajar."

Kita semua lupa bahwa menilai dan menghakimi perbuatan orang lain memang
mudah saja, karena kita tidak terlibat di dalamnya. Semua perbuatan yang tidak
benar selalu merupakan ulah nafsu daya rendah yang menguasai diri. Orang
yang terlibat di dalamnya, yaitu orang yang dicengkeram nafsu daya rendah,
didorong untuk melakukan perbuatan yang pada dasarnya hanya untuk
memenuhi kehendak nafsu daya rendah, yaitu untuk memuaskan dan
menyenangkan nafsu.
Nafsu selalu menggoda kita dengan bayangan-bayangan kesenangan dalam
bentuk apapun juga, Dan tidak perduli kita ini seorang kaya ataupun miskin, tua
ataupun muda, pria ataupun wanita, terpelajar atau buta huruf, pandai dan
bodoh, semua dipermainkan nafsu daya rendah. Kalau kita melihat orang lain
yang melakukan, dengan mudah kita dapat menilai dan dapat melihat
kesalahan yang dilakukan orang lain.
Akan tetapi, kalau kita sendiri yang terlibat, kalau kita sendiri yang dicengkeram
nafsu, tidak mungkin kita dapat menerapkan penilaian seperti kalau kita melihat
orang lain.
Pengertian dalam pertimbangan akal pikiran kita dapat dtpergunakan untuk
orang lain, akan tetapi. bagaimana kalau kita sendiri yang terlibat? Bagaimana
kalau kita yang didorong nafsu melakukan suatu perbuatan yang pada
dasarnya hanya mengejar kesenangan, mengejar cita-cita menghalalkan
segala cara? Dapatkan pengertian kita, ilmu pengetahuan kita, kepandaian dan
kebijaksanaan kita, mencegah dan menundukkan nafsu kita yang mendorong-
dorong kita melakukan kesalahan itu?
Sukar sekali! Banyak contohnya. Kita tahu dan mengerti benar bahwa nafsu
yang mendorong kita untuk marah-marah, memukul atau memaki. adalah tidak
benar. Kita mengerti benar. Akan tetapi mampukah pengertian kita itu
mengendalikan kemarahan kita?
Semua pencuri di dunia ini tentu tahu dan mengerti benar bahwa mencuri
adalah perbuatan yang tidak baik, berdosa, akan tetapi kalau nafsu sudah
menguasai diri, mampukah pengertian itu mencegahnya untuk mencuri?
Buktinya, mereka semua itu tetap saja mencuri walaupun mereka semua
mengerti bahwa mencuri itu berdosa. Demikian pula dengan korupsi, dengan
Segala macam bentuk kejahatan yang dilakukan orang di dunia ini. Mereka
semua bukan orang bodoh, mereka semua TAHU dan MENGERTI bahwa
perbuatan jahat itu berdosa, namun pengetahuan dan pengertian itu tidak
menolong, karena nafsu telah mencengkeram diri. Bahkan nafsu daya rendah
sudah meresap sampai ke tulang sumsum, sampai ke dalam hati akal pikiran
sehingga hati akal pikiran yang tahu dan mengerti bahwa perbuatan itu salah,
bahkan menjadi pembela dari pada perbuatan itu sendiri. Hati akal pikiran
membisikkan kepada seorang koruptor misalnya bahwa semua orang juga
melakukan korupsi, bahwa upahnya tidak cukup, bahwa dia membutuhkan
uang itu untuk keluarganya, bahwa korupsinya hanya kecil dibandingkan para
koruptor lainnya dan sebagainya.
Pikiran yang bergelimang nafsu ini tidak mungkin mengendalikan nafsu sendiri,
kalau membela memang pandai!.
Banyak sudah diusahakan manusia untuk menguasai nafsu, untuk
mengendalikan nafsu. Banyak sekali pelajaran-pelajaran dalam semua agama
yang menjanjikan pahala bagi yang berkelakuan baik dan mengancamkan
hukuman bagi yang berkelakuan jahat. Namun mengapa kejahatan cenderung
meningkat? Karena jahat itu berarti mengejar kesenangan, dan nafsu dalam diri
manusia memang selalu menjanjikan kesenangan bagi manusia. Semua
perbuatan yang mengandung pamrih kesenangan, baik kesenangan itu berupa
harta, kedudukan, nama baik, pujian, janji-janji muluk, adalah ulah yang
didorong nafsu daya rendah, nafsu yang telah menguasai kita lahir batin.
Lahirnya menguasai pancaindera, batin nya menguasai hati akal pikiran.
Pelajaran-pelajaran itu mungkin menolong, akan tetapi hanya untuk sementara
saja, hanya seperti tambalan saja, menutup untuk sementara. Hanya seperti
sekam yang ditaburkan pada api. Nampaknya apinya padam, namun
sesungguhnya masih membara di sebelah dalam dan sewaktu-waktu kalau
mendapat angin akan bernyala lagi, bahkan mungkin lebih besar nyalanya dari
pada sebelum ditutup sekam. Walaupun mungkin ada yang berhasil namun
hanya jarang sekali. Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan?
Membuang atau membunuh nafsu? Tidak mungkin, karena justeru nafsu daya
rendah ini yang menghidupkan manusia. Nafsu adalah alat hidup, peserta hidup
dan pelengkap kita. Tanpa adanya nafsu, pancaindera kita tidak akan dapat
merasakan apa itu indah dan buruk, lezat dan tidak lezat, enak dan tidak enak,
merdu atau tidak, harum atau tidak, dan sebagainya. Tanpa adanya nafsu,
pikiranpun akan terhenti, tidak akan ada kemajuan lahiriah dalam kehidupan ini,
bahkan tanpa adanya nafsu berahi, perkembangbiakan manusiapun akan
terhenti. Nafsu mutlak perlu bagi kita, akan tetapi nafsupun mutlak
membahayakan dan menyeret kita ke dalam perbuatan-perbuatan yang hanya
akan mengacaukan kehidupan di antara manusia, perbuatan yang merusak dan
pada umumnya kita namakan jahat. Nafsu adalah peserta, adalah hamba kita
yang amat kita perlukan, akan tetapi kalau hamba ini sudah menjadi majikan
kita, celakalah kita. Kita akan diseret dan di permainkan!
Mencari uang atau nafkah merupakan keharusan dalam kehidupan di dunia ini,
akan tetapi kalau nafsu menjadi majikan, maka kita tidak segan-segan untuk
menipu, merampok, mencuri, korupsi bahkan membunuh memperebutkan
harta, Gairah berahi merupakan kebutuhan dalam hidup karena nafsu inilah
yang membuat kita mau melakukan hubungan antara lawan kelamin, akan
tetapi kalau nafsu yang menjadi majikan, kita tidak segan-segan untuk berjina,
melacur, bahkan memperkosa! Seperti yang dilakukan Seng Gun, bukan dia
tidak mengerti atau tidak tahu bahwa perbuatannya itu jahat dan keji.
Dia tahu! Akan tetapi, dorongan nafsunya tidak akan hilang atau terhenti karena
pengetahuannya itu. Nafsu mutlak perlu, akan tetapi nafsu juga mutlak
berbahaya. Lalu bagaimana?
Hanya dengan mengembalikannya kepada Sang Maha Pencipta, yang
Mencipta kita, Mencipta nafsu-nafsu kita, Mencipta segala sesuatu yang
nampak dan tidak nampak oleh mata kita, yang Mengadakan segala sesuatu
yang ada, mengembalikan dengan arti menyerah dengan segala kepasrahan,
keikhlasan, ke tawakalan. Hanya dengan pasrah sebulat bulatnya inilah, di
mana kehendak si aku atau nafsu melalui akal pikiran tidak bekerja giat lagi,
maka Kekuasaan Tuhan akan bekerja! Hanya Kekuasaan Tuhan jualah yang
akan dapat mengembalikan nafsu pada fungsi aselinya, yaitu menjadi peserta
kita, menjadi pelayan kita demi kepentingan hidup berjasmani di dalam dunia
ini. Seng Gun adalah seorang manusia yang sepenuhnya dikuasai nafsu daya
rendah.
Budi kesusilaan memang ada pula di dalam hatinya, menjadi peserta, namun
budi kesusilaan itu tertutup oleh nafsunya sehingga seolah menjadi hamba
nafsu.

"Dengan matahari timbullah terang, tanpa matahari jadilah gelap, terang dan
gelap tiada bedanya yang satu mengandung yang lain yang lain ada karena
yang satu!"

"Lagu yang indah bukan lagu, suling yang merdu bukan suling!"

Lagu hanyalah lagu suling hanyalah suling, kalau ditambah yang indah dan
merdu, maka lagu dan suling itu sudah bukan aselinya lagi, melainkan menjadi
bayangan sesuai dengan selera yang menyebutnya. Sebutan indah dan buruk
keduanya tidak menerangkan sifat sesungguhnya dari yang disebut, karena
indah dan buruk hanyalah penilaian, dan setiap penilaian tentu didasari
perasaan suka dan tidak suka pribadi, dan suka atau tidak suka inipun didasari
menyenangkan atau tidak menyenangkan. Kalau menyenangkan,
mendatangkan rasa suka, dan kalau suka, sudah tentu akan nampak indah
dan baik. Karena itulah, maka lagu yang indah bukan lagu, suling yang merdu
bukan yangkim, melainkan gambaran dari si penilai!”

"Han Lin, segala macam jalan atau cara untuk mengendalikah nafsu adalah
ulah nafsu itu sendiri juga, karena cara didorong oleh suatu keinginan mencapai
sesuatu dan ini hanyalah ulah nafsu yang pandai mengubah bentuk dan ragam.
Usaha untuk melenyapkan duka tidak ada bedanya dengan duka itu sendiri,
keduanya bersumber kepada si-aku yang menjadi duka karena terkenang akan
sesuatu dan si-aku pula yang menginginkan agar tidak berduka. Karena itu,
usaha apapun yang bersumber dari aku, tidak akan dapat berhasil dengan
sempurna."
"Kalau -begitu, apa yang dapat kita lakukan?
"Apapun yang engkau lakukan atau tidak lakukan, kalau itu bersumber dari si-
aku, akan sama saja palsunya dan sia-sianya. Bersikaplah wajar-wajar saja,
Han Lin dan jangan menentang segala yang kaulakukan sendiri. Kalau engkau
dilanda duka, bedukalah, kenapa mesti dipersoalkan lagi? Selama manusia
masih hidup di dalam jasmani ini, manusia tidak akan terlepas dari segala
macam perasaan susah senang puas kecewa dan sebagainya lagi. Akan tetapi,
yang penting adalah menyadari akan semua itu, mengamati setiap gejolak
nafsu yang menguasai hati akal pikiran dan yang mengemudikan semua gerak
gerik kita. Menyadari sepenuhnya bahwa semua itu adalah ulah si-aku, yaitu
nafsu yang mengaku-aku. Yang berduka itu adalah hati dan pikiranmu. Seperti
juga yang marah, yang kecewa, yang iri, yang diserang penyakit, semua itu
hanyalah alat-alat atau anggauta tubuh mu. Kesadaran yang sepenuhnya ini
akan membuat kita yakin bahwa. semua itu hanyalah permainan nafsu belaka.
Bahkan kalau kematian tiba, yang mati adalah tubuh jasmani belaka. Selama
nafsu daya rendah menguasai hati akal pikiran, maka di dalam kehidupan ini
kita akan selalu menjadi permainannya, dan semua yang kita lakukan
dikemudikan oleh nafsu daya rendah. Bahkan usaha kita untuk mengendalikan
atau menguasai nafsu juga datang dari nafsu daya rendah, karenanya, biarpun
kita mengerti akan suatu perbuatan yang tidak benar, kita tetap saja tidak
mampu menghentikan perbuatan itu."

"Suhu, kalau begitu alangkah celakanya hidup ini, kita dibiarkan menjadi
korban, dicengkeram dan diperhamba nafsu tanpa kita mampu membebaskan
diri !"
"Tidak, Han Lin. Di samping nafsu daya rendah yang diikutsertakan dalam
kehidupan kita, masih terdapat sesuatu yang berkat Kasih Sang Maha
Pencipta, disertakan pula kepada kita. Sesuatu yang biarpun nampak tipis dan
hampir tak nampak, namun selalu ada dan tidak pernah meninggalkan
manusia, sesuatu yang menjadi bukti dan saksi betapa Tuhan Maha Kasih dan
Maha Pengampun. Sesuatu ini yang menjadi tali yang tak pernah terputuskan,
yang menghubungkan manusia kepada Tuhan Sang Maha Pencipta. Tinggal
terserah kepada manusia sendiri apakah akan mengabaikanNya dan menyerah
kepada nafsu, atau memperkuat ikatan yang akan menghubungkan manusia
dengan kekuasaan Tuhan yang selalu bersemayam di dalam dan luar diri
setiap orang manusia itu."
"Lalu bagaimana caranya agar ikatan itu dapat diperkuat, suhu?"

"Usaha manusia tidak akan membawa hasil. Hanya Kekuasaan Tuhan sajalah
yang akan mampu mengaturnya, dan kalau Kekuasaan Tuhan sudah bekerja,
maka dengan sendirinya nafsu daya rendah akan kembali ke tempat mereka
semula, menjadi hamba yang baik, bukan menjadi majikan yang kejam. Dan
agar Kekuasaan Tuhan dapat bekerja, maka semua daya kerja hati akal pikiran
haruslah berhenti. Kalau kita hidup selaras dengan To, maka To yang akan
bekerja mengatur segalanyadan apapun yang diatur oleh To sudah pasti
sempurna. Kekuasaan Tuhan bekerja dengan sempurna, Maha Murah', Maha
Kasih, Maha Adil , Maha Pengampun dan.Maha Kuasa Satu-satu nya yang
dapat kita kerjakan hanyalah menyerah, dengan penuh keikhlasan, penuh
kepasrahan, penuh ketawakalan."
"Akan tetapi , suhu. Bukankah menyerah inipun merupakan suatu usaha. dari
hati akal pikiran?"
"Bukan, Han Lin. Usaha selalu mengandung pamrih uncuk mendapatkan
sesuatu. Akan tetapi menyerah dengan kepasrahan tidak mengandung usaha
apapun, dan tidak menginginkan apapun, karena kalau ada keinginan
mendapatkan sesuatu, itu bukan pasrah namanya. Pasrah dalam arti kata yang
sesungguhnya sama dengan mati, seperti orang yang dalam tidur, apapun yang
akan tiba menimpa dirinya, terserah kepada Tuhan. Andai kata pada saat itu
Tuhan hendak mencabut nyawanya, diapun akan menyerah tanpa membantah,
ikhlas, pasrah, tawakal."
"Kalau begitu, bukankah kita lalu menjadi malas dan hanya menyerahkan
segalanya kepada Tuhan saja, suhu?"
"Sama sekali tidak, Han. Lin. Itu namanya bukan menyerah dengan
kepasrahan, keikhlasan dan ketawakalan, melain kan ingin mempersekutu
Tuhan, bahkan ingin enaknya sendiri saja. Tuhan telah menciptakan kita
lengkap dengan segala alat yang ada pada diri kita, dan semua itu diciptakan
bukan percuma, melainkan diciptakan untuk dipergunakan, untuk dimanfaatkan.
Kalau tidak kita pergunakan, tidak kita manfaatkan, itu berdosa namanya, dan
penggunaannya, pemanfaatannya haruslah untuk kebaikan, baik bagi diri
sendiri maupun bagi orang lain, selaras dengan To, berarti membantu
pekerjaan Kekuasaan Tuhan. Segala sesuatu yang diciptakan Tuhan di alam
maya pada ini bekerja, bergerak yang berarti bekerja. Bahkan bintang matahari
dan bulanpun bekerja bergerak tiada hentinya. Kita yang dlberi perlengkapan
yang sempurna, tentu saja harus bekerja, berusaha demi memenuhi semua
keperluan dan kebutuhan hidup di dunia. Kita harus makan agar tidak mati
kelaparan, kita membutuhkan pakaian agar tidak mati kedinginan, kita
membutuhkan tempat tinggal untuk berlindung dari binatang buas, angin dan
panas atau hujan. Untuk memenuhi kebutuhan itu, tentu saja kita harus
mencari, harus berusaha dan bekerja! Namun, semua pekerjaan itu barulah
benar kalau didasari kepasrahan, didasari penyerahan kepada Tuhan sehingga
apapun yang kita lakukan, akan sejalan dengan To."

bahwa keterikatan itulah justeru yang menjadi penyebab terutama dari duka?
Mempunyai namun tidak memiliki, itulah seyogianya. Secara lahiriah kita boleh
mempunyai apapun juga, namun secara batiniah kita tidak memiliki apa-apa.

Mengunjungi kuburan orang tua yang telah meninggal hanya merupakan


kewajiban untuk menjaga agar kuburan mereka itu bersih dan terawat, bukan
sebagai bukti kebaktian. Kebaktian terhadap orang tua yang sesungguhnya
bukan terletak kepada pemeliharaan kuburan, melainkan dalam tingkah laku
kita sehari-hari, Kelakuan yang baik akan mengangkat nama baik orang tua,
sebaliknya kelakuan buruk akan menodai nama orang tua, walaupun orang tua
sudah meninggal,"

Hanya orang yang tidak diperbudak nafsu-nafsunya saja yang akan dapat
selalu ingat dan waspada, tidak menuruti bisikan atau perintah nafsu-nafsunya
sendiri.

"Segala macam ilmu kepandaian didapat dari anugerah Tuhan melalui


pengalaman, dan pengalaman manusia baru terjadi setelah manusia berada di
antara Langit dan Bumi. Jadi, guru kita adalah Langit dan Bumi, yang memberi
kita segala macam pengalaman hidup."

Penyesalan yang selalu kasep datangnya. Penyesalan menyusul setiap kali


perbuatan mendatangkan akibat yang buruk. Kalau tidak berakibat buruk,
betapapun jeleknya perbuatan itu tidak akan mendatangkan penyesalan. asal
tidak ada gunanya, karena sesal hanya menunjukkan kekecewaan dari tidak
tercapainya keinginan. Penyesalan tidak mendidik dan tidak menyadarkan.
Apakah artinya kesadaran setelah perbuatan dilakukan? Perbuatan itu akan
terulang kembali dan penyesalannyapun akan terulang kembali. Akan tetapi
bagi orang yang waspada akan tindakannya sendiri setiap saat, bagi orang
yang selalu bersandar kepada kekuasaan Tuhan, kesadaran akan datang"
sebelum dia berbuat, sehingga tidak menimbulkan penyesalan yang sudah
terlambat.

Cinta memang sesuatu yang rahasia dan ajaib. Dari manakah asalnya dan apa
penyebabnya? Cinta jelas bukan sex, karena binatang agaknya tidak mengenal
cinta, kecuali induk kepada anaknya, namun binatang mengenal sex. Dari
manakah datangnya? Memang, pertama kali orang jatuh cinta setelah melihat
lawan jenisnya. Akan tetapi, inipun belum benar, karena bukankah orang buta
juga dapat jatuh cinta?
Tentu saja pengenalan pertama melalui pancaindranya, ini berarti bahwa cinta
ada hubungannya dengan jasmani, cinta timbul dari daya tarik alami antara
lawan jenis, kemudian diperkuat oleh nafsu berahi. Sukar membayangkan kita
dapat mencinta kekasih kita yang sekarang kalau andaikata hidungnya
mendadak lenyap atau cacat lain yang membuat wajahnya menjadi
mengerikan. Itu menandakan bahwa dalam cinta terkandung nafsu yang tertarik
oleh keindahan tubuh. Sukar pula membayangkan kita dapat mencinta
seseorang yang tidak lagi dapat berhubungan badan sebagai suami isteri!
Inipun menandakan bahwa di dalam cinta terkandung nafsu berahi. Semua ini
sudah wajar karena memang sudah kita bawa serta ketika lahir. Namun, di
antara banyak wanita cantik, di antara banyak pria tampan, mengapa ada
seorang yang tertentu yang kita cinta? Kenapa kita tidak mencinta semua
wanita cantik atau semua pria tampan? Di sini menunjukkan bahwa di dalam
cinta ada pengaruh batiniah, bukan sekadar badaniah, yang mungkin sekali
berujut dengan persamaan selera, persamaan watak, prilaku dan sebagainya
lagi. Maka, tidak mengherankan kalau ada pria tampan jatuh cinta kepada
wanita yang tidak cantik, sebaliknya banyak wanita cantik jatuh hati kepada pria
yang tidak tampan. Demikian banyak lika-liku cinta sehingga tiada bosan-
bosannya kita membicarakannya.
Bagaimanapun juga, bukankah hidup ini cinta juga? Entah itu cinta kepada
kekasih kepada sahabat, kepada sanak keluarga, kepada tanaman, benda atau
hewan atau lingkungan, bahkan cinta ke pada diri sendiri atau makanan! Cinta
menimbulkan gairah untuk hidup, untuk melanjutkan hidup. Kalau orang tidak
mempunyai perasaan cinta lagi kepada apapun juga, maka sama halnya orang
itu sudah mati !

Kehidupan manusia di dunia ini tidak ada yang abadi, keadaannyapun tidak
menentu. Seperti berputarnya roda, maka setiap orang manusia itu kadang
berada di atas, kadang di bawah.
Kadang tertawa bahagia, kadang menangis sedih. Kemujuran dan kemalangan
silih berganti melanda kehidupan. Dan semua ini sudah wajar, seperti wajarnya
atas dan bawah, kanan dan kiri, terang dan gelap dan sebagainya lagi keadaan
yang berlawanan. Seseorang tidak mungkin mengenal senang kalau dia tidak
pernah mengenal susah, tidak pernah mengenal enak kalau tidak pernah
mengenal tidak enak. Mana mungkin mengenal rasa manis kalau tidak ada rasa
lain yang berlawanan?
Hidup merupakan perjuangan. Perjuangan menghadapi segala macam
tantangan dan tentangan.
Justeru tantangan-tantangan inilah yang meramaikan hidup, memberi warna
dan menjadi romantika kehidupan. Bayangkan, alangkah monoton, tanpa irama
dan menimbulkan jenuh kalau kehidupan ini berjalan mulus tanpa adanya
halangan dan rintangan sedikitpun. Orang akan menjadi malas dan tidak
bergairah. Bagaimana muaknya kalau setiap saat kita hanya makan yang
manis melulu, tanpa adanya rasa lain seperti pahit getir asin masam sebagai
imbangannya.
Betapa membosankan kalau segala sesuatu dapat dicapai secara mudah,
tanpa kesukaran, tanpa halangan. Karena itu, bahagialah orang yang dapat
menghagai kesulitan seperti menghargai kemudahan, dapat mengambil hikmah
dari kesengsaraan serta melihat racun dalam kesenangan.
Bukankah yang enak-enak itu biasanya mendatangkan penyakit dan obat itu
hampir selalu terasa pahit?

“Kalau engkau dapat menangis selagi bersuka, dan dapat tertawa selagi
berduka, berarti engkau sudah menemukan kunci kehidupanmu”
Cemburu timbul apa bila kita menganggap orang yang kita cinta sebagai milik
kita. Seperti kalau kita memiliki suatu benda yang indah dan kita sayang, maka
kita selalu cemburu dan tidak ingin orang lain memilikinya, menjaganya agar
benda itu selalu menjadi milik kita. Benarkah bahwa tanpa cemburu bukalah
cinta namanya? Ataukah sebaliknya, kalau ada cemburu maka bukanlah cinta
sejati? Yang jelas, cemburu adalah sakitnya hati yang merasa miliknya diambil
orang. Cinta yang sifatnya memiliki dan dimiliki, tentu mengandung cemburu.
Padahal, cinta berarti kepercayaan mutlak kepada yang dicinta. Kalau dua
orang sudah saling mencinta, tentu ada kepercayaan yang tulus. Karena cinta
tidak mungkin bertepuk tangan sebelah. Kalau ada keraguan, ketidak
percayaan, maka percuma saja orang mengaku cinta. Dan cemburu merupakan
racun yang amat berbahaya bagi kehidupan suami isteri.

“Langit dan bumi itu abadi


sebabnya Langit dan Bumi abadi
adalah karena mereka tidak hidup
untuk diri sendiri karena itu abadi!
Inilah sebabnya orang bijaksana
Membelakangi dirinya
Karena itu dirinya tampil terdepan
ia tidak menghiraukan dirinya.
Karenanya dirinya menjadi seutuhnya
Orang bijaksana tidak mempunyai keinginan pribadi
Maka dia dapat menyempurnakan dirinya.”

Saat ini, tidak semua orang hendak menonjolkan diri, memperebutkan


kekuasaan sehingga terjadilah persaingan. Para gubernur juga hendak
memperebutkan kekuasaan dan mereka itupun jatuh bangun. Memang
manusia akan mengalami pasang surut, jatuh bangun, akhirnya lenyap.
Langit dan Bumi dikatakan abadi karena Langit dan Bumi tidak berkehendakm
akan tetapi selaras dengan To, selaras dengan kehendak Tuhan, karena itu
abadi. Jadi merusak itu adalah “keinginan pribadi” karena keinginan pribadi ini
adalah keinginan jasmani berupa nafsu-nafsu indera. Ingin senang sendiri, ingin
berkuasa sendiri, ingin baik sendiri, ingin ini ingin itu semua untuk memuaskan
nafsu daya rendah.
Hanya manusia bijaksana yang dapat menyesuaikan diri dengan alam, tidak
mementingkan diri, tidak menonjolkan diri. Justeru inilah yang membuatnya
menjadi seorang bijaksana, seorang manusia seutuhnya!

“Pada hakekatnya manusia hidup di dunia haruslah melaksanakan kedua


kodrat ini, paman,” kata pula Han Lin. “Pertama, melaksanakan tugas
kewajiban kita dengan semestinya. Kaisar tahu kewajiban sebagai Kaisar,
bawahan tahu kewajibannya sebagai bawahan, orang tua tahu kewajibannya
sebagai orang tahu, anak tahu kewajibannya sebagai anak. Kalau semua orang
melaksanakan kewajibannya dan tahu bahwa tugas kewajiban haruslah
dilaksanakan dengan sebaiknya, kemudian kedua menyerahkan segalanya
kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.
Kepercayaan dan kepasrahan kepada Tuhan haruslah dibarengi dengan usaha
dan ikhtiar. Ikhtiar saja tanpa ingat kepada Tuhan akan menimbulkan perbuatan
yang menyimpang dari kebenaran, sebaliknya ingat saja kepada Tuhan tanpa
melakukan apa-apa juga tidak akan menolong dirinya.”

“Ada waktu senang dan waktu duka


demikian orang berkata
Namun bagiku
hayo gembira selalu !
Apa senang ? Apa duka ?
Belenggu baja pengikat jiwa!
Semangat boleh bercita cita !
Namun gembira makanan jiwa !”

“Nama dan tubuh, manakah yang lebih dekat?


Tubuh dan barang, manakah yang lebih berharga?
Mendapat dan kehilangan, mana lebih merugikan?

Karena itu :

Terlalu kikir pasti mengakibatkan


pemborosan besar,
Banyak menimbun pasti mengakibatkan
kehilangan besar!
Yang tahu akan cukup takkan sampai
pada kehinaan.
Yang tahu takkan sampai pada bahaya.
Dia akan dapat bertahan lama!”

Kiong- hi, kiong- hi, thiam-hok-siu ( Selamat, Selamat, panjang usia banyak
rezeki

“Cinta kasih tidak akan dapat terujud apabila lima macam penonjolan diri ini
berkuasa :
Loba, ialah ketamakan, Selalu merasa kurang,
Moha, gla hormat, selalu Merasa benar sendiri,
Murka, Mudah marah dan hanya Membenci,
Himsa, suka menyiksa dan membunuh,
Matsarya, iri hati dan suka mencela Orang lain.
Betapa indah dan agungnya cinta ksih, tanpa cinta kasih, hidup menjadi kering
dan gersang!“

Seperti biasanya terjadi di dalam jaman apa pun dan di mana pun, peraturan
dan hukum hanya diterapkan untuk mengendalikan rakyat kecil belaka,
sedangkan orang-orang besar biasanya atau sebagian besar adalah kebal
terhadap hukum. Andaikata peristiwa pembunuhan, pembakaran rumah dan
penculikan gadis itu dilakukan oleh rakyat biasa, tentu hukum akan
mengejarnya sampai dia ditangkap dan dihukum sesuai dengan kejahatannya.
Akan tetapi, kalau pembesar yang berkuasa melakukan sesuatu, biasanya
peristiwa itu lewat begitu saja, karena pemegang hukum adalah para pembesar
belaka. Rakyat hanya bisa merasa penasaran akan tetapi lambat laun
peristiwa-peristiwa yang menyakitkan hati itu terlupa juga.

Beginilah dongeng yang mengandung arti amat baik itu.


Pada suatu hari Yudistira melihat empat orang adik-adiknya telah tewas di tepi
sebuah sumber air, mati setelah minum air beracum itu. Tentu saja Yudistira
berduka sekali, dan tiba-tiba di amendengar suara tanpa rupa, yaitu suara
setan penjaga mata air atau sumber air itu.
“Heh, Yudistira, aku akan menghidupkan lagi seorang di antara saudara-
saudaramu ini jika engkau dapat menjawab pertanyaan-pertanyaanku dengan
tepat.“
Yudistira dengan tenang menjawab, “Ajukanlah pertanyaanmu, Yakso (sebutan
untuk bangsa raksasa atau setan), aku akan mencoba untuk menjawabnya. “
“Apakah yang lebih berat daripada bumi? Apakah yang lebih tinggi daripada
langit?
Apakah yang lebih cepat daripada angin? Apakah yang lebih baik daripada
binatang?“
“Ibu lebih berat daripada bumi. Ayah lebih tinggi daripada langit. Jiwa lebih
cepat daripada angin. Pikiran lebih baik daripada binatang. “Jawab Yudistira
tanpa berpikir lagi karena jawaban-jawabannya bukanlah berdasarkan hasil
pemikiran, melainkan merupakan jawaban langsung karena melihat kenyataan.
“Siapakah teman terbaik dalam perjalanan? Siapakah teman terbaik di dalam
rumah? Siapakah teman terbaik di waktu sakit? Siapakah teman terbaik di
waktu mati?“
“Kafilah adalah teman terbaik dalam perjalanan. Isteri adalah teman terbaik di
dalam rumah. Tabib adalah teman terbaik di waktu sakit, dan kedermawaan
adalah teman terbaik di waktu mati.“
“Musuh apa yang paling sukar dikalahkan? Penyakit apa yang sukar
disembuhkan? Orang apakah yang disebut baik? Orang apa pula yang disebut
tidak baik?“
“Wahai, raja yang arif bijaksana! Apakah yang dinamakan buta? Apakah yang
artinya sombong? Apakah yang dimaksudkan dengan terlambat? Dan apa pula
penderitaan itu?“
“Yang sesungguhnya bisa adalah buta akhlak. Kecongkaan merasa diri pandai
adalah yang dinamakan orang sombong. Tidak mengenal diri saat ini juga
adalah suatu keterlambatan, dan kebodohan adalah penderitaan yang paling
besar.“
“Apakah yang disebut ketetapan hati? Apakah keberanian itu? Apakah
kedermawaan itu? Dan apakah sebenarnya yang dinamakan seorang
Brahmana sejati?“
“Pelaksanaan kebenaran dalam hidup adalah ketetapan hati. Menyadari
keburukan diri pribadi lahir batin adalah kedermawaan sesungguhnya. Dan
pertanyaanmu yang terakhir itu memerlukan jawaban yang agak panjang,
Yakso.“
“Duhai, sang raja yang budiman, jawablah dan hamba akan mendengarkan!“
Suara yang tanpa rupa itu terdengar menggetar.
“Brahmana yang sejati bukan terletak dalam keturunan atau asal usulnya,
bukan pula karena dia pandai membaca kitab-kitab Weda, bukan pula karena
kepandaiannya, bukan pula karena nama besar dalam riwayatnya. Brahmana
sejati adalah yang mengutamakan hidup hidup dalam kebenaran, yaitu
kebaikan. Selama hidupnya belum bercacat, dan dia tidak akan bercacat pula.
Orang yang tidak dapat melenyapkan hawa nafsu sendiri, biar pun dia mengaku
seorang yang cerdik pandai, sesungguhnya dia hanyalah seorang gila dan
sama sekali tidak patut disebut seorang Brahmana sejati. Dia tidak pantas
disebut Brahmana biar pun dia hafal akan isi semua kitab Weda utama yang
empat jumlahnya, hafal diluar kepala, apabila munafik dan bertindak durjana di
dalam hidupnya, dan orang begini derajatnya tidak lebih tinggi daripada
seorang sudra!
Dia yang bersih lahir batinnya, batinnya selalu hening dan lahirnya selalu
mengatasi nafsu-nafsunya, dialah Brahmana sejati, Yakso!“
Mendengar semua jawaban ini, sang Yakso menjadi kagum dan tunduk, maka
diberilah kesempatan kepada Yudistra untuk memilih siapa di antara
saudaranya yang harus dihidupkan kembali.
Saudara kandung Yudistra adalah Bima dan Arjuna. Sedangkan yang dua lagi,
Nakula dan sadewa adalah saudara tiri, satu ayah lain ibu. Kalau menurutkan
kepentingan di aku pribadi, sudah tentu dia akan memilih seorang di antara adik
kandungnya.
Akan tetapi Yudis tira adalah seorang manusia yang sudah tipis atau bersih dari
cengkaraman keaku-annya. Dia lebih mementingkan keadilan daripada
kesenangan pribadi, maka yang dipilihnya adalah seorang di antara dua orang
adik tirinya!
Sang Yakso mengerti akan isi hati Yudistira, maka dia menjadi makin kagum
dan tunduk, dan dihidupkan keempat adiknya yang telah mati keracunan itu!

Betapa banyaknya manusia di dunia ini yang seperti Empu Tunjungpetak ini.
Memaksa diri untuk kelihatan sederhana dan rendah hati, bersikap halus dan
sabar, akan tetapi sayang, semua itu hanya seperti kedok belaka karena di
sebelah dalamnya, batinnya penuh dengan perasaan angkuh dan sombong,
merasa pintar sendiri, merasa yang paling suci, paling bersih, paling pandai,
paling sakti.
Kita lupa bahwa kerendahan hati, atau kesederhanaan atau kebajikan,
bukankah terletak di pakaian sederhana, bukan pula di sikap sederhana atau
halus, bukan pula dalam tata hidup yang sederhana melainkan jauh mendalam
di dalam batin kita msing-masing! Pakaian, sikap, tata hidup yang kesemuanya
nampak di luar hidup yang kesemuanya nampak di luar itu hanya untuk pamer
dan untuk dinilai orang lain belaka, dan semua itu tidak ada gunanya karena
palsu! Yang penting adalah pengertian diri sendiri, karena kitalah yang mengerti
dan mengenal diri kita sendiri, kepalsuan-kepalsuan dalam diri kita. Dan kita
pula yang dapat merobah diri sendiri. Seorang pertapa di puncak gunung yang
sunyi, yang hanya berpakaian sehelai cawat, yang tinggalnya di bawah pohon,
yang kelihatannya saja seperti seorang yang paling sederhana, belum tentu
memiliki batin sederhana dan semua kesederhanaan yang disengaja, yang
dipergunakan hanya sebagai cara untuk mendapatkan sesuatu, bukanlah
kesederhanaan namanya! Kesederhanaan adalah palsu dan dibuat-buat. Kalau
batin sudah tidak mengejar apa pun juga, dialah namanya orang sederhana!

"Rumangsane mung nalongso


Susah sajeroning urip
Sakabehing kang tinuju
Olehe namun kuciwo
Sing dioyak-oyak teko luput
Luwih becik s ing narimo
Opo paringing Hyang Widhi"

Arti tembang itu adalah :


Rasanya hanya nelangsa,
susah dalam kehidupan,
semua yang diharapkan,
hanya mendapat kecewa,
yang dikejar-kejar tak dapat,
lebih baik yang menerima,
apa yang diberikan Hyang Widhi.

"Karena kedukaan menggelapkan hati akal pikirannya. Kemilikan


mendatangkan kemelekatan, dan inilah yang menjadi akar dari kedukaan.
Memiliki sesuatu, baik yang dimilikinya itu berupa harta, kedudukan, atau anak,
menimbulkan kemelekatan dan kalau sudah melekat, sekali dipisahkan tentu
akan menimbulkan luka dihati. Padahal, memiliki tidak akan lepas dan pada
perpisahan dengan yang dimilikinya. Akan tiba saatnya dia harus meninggalkan
atau ditinggalkan oleh yang dimiliki, dan kalau hal ini terjadi, timbullah duka
yang menggelapkan hati akal pikiran. Karena itu, orang yang bijaksana boleh
mempunyai namun tidak memiliki."
"Yang kumaksudkan, mempunyai itu hanya lahiriah saja. Aku mempunyai harta,
aku mempunyai kedudukan, aku mempunyai anak. Mempunyai ini hanya
lahiriah dan kita bersikap dan berbuat sesuatu terhadap apa yang kita punyai
secara wajar dan sesuai dengan kewajiban kita. Akan tetapi tidak memiliki,
karena memiliki ini berarti melekatkan yang kita punyai itu ke dalam batin,
menjadi satu dengan kita, dan kemilikan itu menguasai diri kita lahir batin.
Mempunyai itu dengan kesadaran bahwa yang dipunyai itu hanyalah titipan
saja, bukan miliknya. Yang memiliki hanya Hyang Widhi, dan kita ini hanya
dititipi saja. Kita harus menjaga sebaiknya apa yang dititipkan kepadakita, dan
kita harus rela apabila yangdititipkan kepada kita itu sewaktu-waktu diambil
kembali oleh yang menitipkan, diambil kembali oleh Yang Memiliki."

"Duka timbul dari akal pikiran yang mengenang masa lalu. Kita teringat akan
masa lalu yang penuh kesenangan, maka setelah kita dipisahkan dari
kesenangan ini, timbullah iba diri yang menjadikan duka. Kalau kita senantiasa
memandang saat ini, tidak mengenang masa lalu, maka segala apapun yang
telah terjadi kita sadari bahwa hal ituudah dikehendaki Hyang Widhi dan tidak
mungkin dapat diubah pula. Dengan kesadaran seperti itu, hanya memandang
saat ini, kita akan menghadapi segala sesuatu dengan tabah dan semua
ingatan ditujukan untuk menanggulangi keadaan saat ini. Iba diri tiada
kesempatan untuk masuk ke dalam batin dan kita terhindar dari kedukaan yang
berlarut-larut sehingga sampai membunuh diri seperti halnya Mbok Rondo
Gati."

"Kakang, kalau begitu, lalu apa artinya hidup ini? Apa tujuan dari pada
kehidupan ini? Apa maksudnya kita dihidupkan sebagai manusia di dunia ini?"
Jayawijaya tersenyum lebar mendengar pertanyaan ini dan memandang
kepada Retno Wilis dengan mata bersinar lembut dan penuh ketenangan dan
kesabaran.
"Diajeng Retno Wilis, sudah seringkali aku mendengar pertanyaan ini diajukan
orang. Sebelum kita mencari jawaban atas pertanyaan apa tujuan dari pada
kehidupan ini, mari kita mengamati keadaan diri kita sebagai manusia yang
dilahirkan di dunia melalui ayah-bunda kita. Ingat, kita ini dilahirkan, di luar
kehendak kita. Tidak ada manusia di dunia ini yang minta dilahirkan. Jadi
kelahiran kita ini bukan kehendak kita, melainkan kehendak Sang Hyang Widhi!
Karena kita dilahirkan di luar kehendak kita, maka tentu saja bagi kita tidak ada
tujuan apapun dalam kehidupan ini. Kita dilahirkan atas kehendak Yang Maha
Kuasa, maka Dialah yang berkehendak dan bertujuan! Bukan kita. Kita hanya
tinggal hidup saja, tidak menguasai apapun. Bahkan kita tidak menguasai
rambut kita sendiri. Tidak ada selembarpun rambut di tubuh kita yang kita
kuasai sehingga kita tidak dapat mengatur pertumbuhannya.
Kita tidak memiliki apa-apa, bahkan yang menempel di tubuh kita-pun bukan
milik kita. Seluruh diri kita ini ada yang Memiliki, ada yang Menguasai.
Berhentinya kehidupan kita terserah kepada Yang Memiliki dan Yang
Menguasai itulah.
Hanya, ketika kita dilahirkan, diciptakan di dunia ini sebagai manusia hidup, kita
disertai tanggung jawab, disertai kewajiban-kewajiban untuk menghadapi
segala kenyataan dan mengatasinya, seperti yang telah kukatakan tadi. Kita
harus menghadapi segala tantangan dan mengatasinya, itulah kenyataan
hidup. Perut kita lapar dan kalau tidak diisi kita akan mati kelaparan, maka
sudah menjadi kewajiban kita untuk mengisinya, dan untuk dapat mengisinya
sudah menjadi kewajiban kita untuk mencari makanan pengisi perut itu.
Demikian pula dengan hal-hal lain. Dan Gusti Yang Maha Kasih telah
menciptakan kita secara sempurna. Untuk dapat memenuhi kewajiban itu kita
telah disertai segala macam alat. Setiap anggauta tubuh kita ini bermanfaat,
berguna untuk mempertahankan hidup. Demikianlah kehendak Hyang Widhi.
Kita tidak dapat menentang kehendakNya. Karena itu, satu-satunya cara hidup
yang baik adalah menyerah kepada kekuasaanNya, menyerah kepada
kehendakNya. Apapun yang terjadi kepada kita, kita harus mengucap syukur
karena berkahNya berlimpah-limpah setiap saat tanpa henti, walaupun berkah
itu terkadang terselubung dan bersembunyi di balik peristiwa yang bagi hati
akal pikiran kita terasa tidak enak atau tidak menguntungkan. Segala kehendak
Hyang Widhi atas-diri kita adalah baik dan benar dan kita tidak dapat
menilainya melalui pertimbangan hati akal pikiran kita, karena semua penilaian
hati akal pikiran bersifat mementingkan diri sendiri, mementingkan kesenangan
dan keuntungan diri sendiri.

Sudah jamak kalau seorang pemuda tertarik melihat seorang pemudi cantik
jelita atau sebaliknya seorang pemudi tertarik melihat seorang pemuda gagah
dan tampan. Akan tetapi tertarik tidaklah sama dengan cinta kasih. Dalam cinta
kasih terkumpul semua perasaan yang bermacam sifatnya. Menyayang,
tertarik, terharu, kasihan, malu, menghormati dan lain-lain tergantung dari sifat
masing-masing. Biasanya seorang pria tertarik oleh wanita karena cantik
moleknya, karena tutur bahasanya, atau karena gerak-geriknya. Akan tetapi
dalam cinta kasih, ada sesuatu yang mengatasi semua ini, sesuatu yang
mendorong orang untuk mencinta, sesuatu yang sudah mencakup semua
perasaan di atas, sedemikian rupa pengaruh perasan sesuatu ini sehingga
kadang-kadang membutakan orang karena dalam pandang matanya, si “dia” itu
selalu tampak baiknya saja sehingga banyak orang tertipu dan terjerumus.

“Warna-warna indah dapat membutakan mata (hati)


Suara-suara merdu dapat menulikan telinga (hati)
Rasa-rasa nikmat dapat merusak perasaan (hati)
Memburu (nafsu) dapat membuat orang menjadi buas.
Barang yang sukar diperoleh (harta benda) dapat membuat orang menjadi
curang
Karena itu, seorang kuncu (budiman) mengutamakan kebutuhan Sang Perut,
tak pernah memperdulikan penglihatan Sang Mata.
Dan dia memilih yang benar membuang yang sesat.”

”Langit dan bumi itu abadi


Karena hidup bukan untuk diri sendiri
Seorang kuncu menaruh diri paling belakang
karenanya menjadi paling depan
Karena ia menyampingkan diri sendiri
maka ia selamat terpelihara
Karena tidak mementingkan diri pribadi
maka ia dapat menyempurnakan pribadinya.”

“Kalau tidak hendak menolong, janganlah menolong. Melakukan kebaikan


disertai pamrih, disertai harapan untuk menerima balasan, bukanlah kebaikan
lagi namanya, melainkan penipuan, malah pemerasan! Melakukan perbuatan
yang bersifat kebajikan haruslah berdasarkan perasaan hati yang bersih,
berdasarkan prikemanusiaan yang mewajibkan setiap manusia berlaku baik.
Haruslah digerakkan oleh perasaan kasihan yang sewajarnya, kasih sayang
antara manusia. Dengan demikian barulah perbuatan baik itu benar-benar baik
dan bersih. Janganlah mengharapkan balasan keuntungan duniawi, bahkan
dengan mengharapkan syukur dan terima kasih saja dari yang ditolong, sudah
lenyaplah sifat murni dari kebaikan itu, sudah minta DIBELI dengan terima
kasih!

Ujar-ujar Sang Buddha (yang terdapat di dalam kitab suci Dham-ma-pa-da) :


“Usirlah benci, marah, dan nafsu dari pikiranmu,
Jangan hadapi kejahatan dengan kejahatan pula,
Melainkan kalahkan kejahatan dengan kebajikan,
Hadapi kemarahan dengan cinta kasih,
hadapi kejahatan dengan kebajikan,
hadapi ketamakan dengan kedermawanan,
hadapi kebohongan dengan kebenaran.
Karena orang yang dikuasai kebencian dan
kemarahan lalu menyiksa orang lain,
sebetulnya hanyalah akan menyiksa diri sendiri.”

Alangkah menyedihkan kalau melihat seseorang yang baru saja keluar dari
kelenteng setelah mendengarkan atau membaca kitab-kitab pelajaran tentang
cinta kasih antara sesama, begitu keluar dari kelenteng serta merta membuka
mulut memaki orang atau memukul karena sesuatu hal yang merugikan.
Alangkah menyedihkan mendengar seseorang bicara panjang lebar tentang
cinta kasih sesama manusia, akan tetapi di dalam rumahnya sendiri selalu ribut
dengan anak isteri atau saudara-saudaranya!
Ah, kalau saja manusia bisa menyesuaikan kelakuan dengan isi pelajaran kitab-
kitab suci, tidak usah seratus persen, baru sepuluh persen saja, kiranya dunia
ini akan aman, tidak muncul oknum-oknum yang angkara murka, ingin menjajah
dan menguasai orang lain, ingin enaknya sendiri saja tanpa memperdulikan
orang lain, tidak segan-segan mengorbankan kepentingan bangsa atau negara
lain demi kesenangan bangsa dan negara sendiri.
Inilah kiranya yang membuat Nabi Locu selalu mencela adanya pelajaran-
pelajaran kebatinan, karena agaknya sudah dapat melihat bahwa yang penting
adalah si manusia. Sebelum manusia kembali kepada asalnya, yaitu seperti
watak anak-anak, putih bersih dan suci, biarpun dilolohi (diberi makan) seribu
satu macam pelajaran kebatinan, tetap akan menyeleweng dan makin tersesat.

“Biarpun sangkar diselaput emas


Sangkar tetap mengurung!
Biarpun belenggu dihias mutiara
Belenggu tetap mengikat
Patahkan belenggu!
Hancurkan sangkar!
Biar darah rakyat bagai api membakar!
Biarpun belenggu mutiara
Biarpun sangkarnya emas
Enyahkan segera!
Kami ingin bebas!”

Nyanyian Ciu-ong Mo-kai :


"Melihat pengemis mabok
malas berkeliaran
sungguh membuat orang
jadi penasaran!
Mengejar cita-cita
itulah tugas seorang perkasa!
Warisan nenek moyang
takkan terbuang sia-sia.
Bumi kuinjak, langit kuraih
demi terlaksana cita-cita!"

Nasehat Pek Sin Niang-niang kepada Cia Han sin :


"Memang, cinta adalah hal yang amat pelik, amat ruwet dan penuh rahasia.
Semenjak jaman dahulu, cinta menjadi bahan tulisan para sasterawan, bahkan
menjadi sebab-sebab permusuhan, pertengkaran, ya ...... malah pernah cinta
menimbulkan perang besar! Bagi orang orang muda, cinta kasih bisa membikin
orang sebahagia-bahagianya, bisa membikin orang sesengsara-sengsaranya,
bisa menciptakan sorga dan bisa menciptakan neraka. Karenanya, cinta
kadang-kadang dipuji puji ada kalanya dimaki-maki.
Padahal, Yang Maha Kuasa menurunkan cinta kasih di hati manusia bukan
sekali-kali untuk dijadikan alat atau sebab perusak. Cinta kasih antara dua jenis
muda menimbulkan daya tarik satu kepada yang lain, mempersatukan mereka
dan dari sinilah timbulnya kembang biak sesuatu makhluk. Cinta kasih antara
sesama manusia pada umumnya mempertebal prikemanusiaan, menimbulkan
setia kawan, welas asih, dan membangkitkan pribadi-pribadi suci. Akan tetapi,
sayang seribu kali sayang .... setelah bersemayam di dalam hati manusia, cinta
kasih yang suci murni telah dikotori oleh pengaruh nafsu ......"

Perdebatan antara Hui-kiam Koai-siandengan Pak-thian-tok Bhok Hong tentang


Tuhan

"Pak-thian-tok, semenjak muda kita sama-sama berkelana di dunia, sama-sama


melihat dan mengalami bermacam hal. Semenjak itu kau selalu mengambil
jalan sesat, sudah beberapa kali aku menentangmu, memberi peringatan dan
nasihat. Akan tetapi sampai sekarang kau bukannya berubah. Malah makin
jauh tersesat. Bhok Hong, apakah kau tidak takut akan kemurkaan Tuhan?
Apakah kau tidak mengenal Tuhan?"
Han Sin makin tertarik. Orang-orang tua ini agaknya tidak hanya mengadu ilmu
kepandaian silat, agaknya hendak berdebat pula tentang kebatinan dan tentang
pengetahuan-pengetahuan yang dalam. Filsafat-filsafat hidup, ini kesukaannya.
Maka ia mendengarkan dengan penuh perhatian sambil diam-diam menduga-
duga siapa gerangan kakek di depan Pak-thian-tok Bhok Hong itu.
Kakek itu sudah tua sekali, pakaiannya sederhana dari kain putih yang kasar,
rambutnya tak terurus, akan tetapi bersih dan penuh uban seperti jenggotnya,
panjang terurai ke belakang. Di dekat tempat ia duduk bersila terdapat
sebatang tongkat buruk sekali.
Menghadapi celaan kakek itu, Pak-thian-tok Bhok Hong tertawa bergelak, suara
ketawanya nyaring sekali sampai Han Sin merasa betapa pohon yang
disentuhnya tergetar!
"Ha ha ha ha! Hui-kiam Koai-sian! Kau bicara tentang Tuhan? Ha ha ha! Khong
Cu sendiri orang yang kalian orang-orang Han anggap sebagai nabi atau guru
besar kebatinan, dia jarang sekali menyebut-nyebut tentang Tuhan! Kurasa
Khong Cu sendiri juga tidak mau tahu tentang Tuhan!"
"Kau keliru, Pak-thian-tok. Justeru karena Nabi Khong Cu amat mengenal
Tuhan, amat tebal imannya sehingga beliau menjadi amat setia dan taat
kepada Tuhan, maka semua pelajaran yang beliau ajarkan adalah sesuai
dengan Ketuhanan ........”
"Koai-sian! Kau kira aku ini orang macam apa? Apa kaukira aku belum pernah
membaca kitab-kitabnya?
Khong Cu hanya mengajarkan tata susila hidup, mengajarkan prikemanusiaan,
bukan Ketuhanan. Pernahkah Khong Cu menyebut-nyebut tentang sabda
Tuhan, tentang kegaiban Tuhan? Itu tandanya dia tidak mau mengenal Tuhan!"
"Kembali kau keliru, Pak-thian-tok. Ketuhanan merupakan dasar kepercayaan,
merupakan iman dan pegangan bagi manusia bahwa di alam semesta ini, ada
kekuasaan Tertinggi yang mengatur dan menentukan segala sesuatu,
kekuasaan tertinggi Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi, yang tak terselami
alam pikiran manusia. Ketuhanan ialah iman pada Yang Maha Kuasa. Karena
imannya sudah penuh dan ketaatan dan kesetiannya terhadap Tuhan sudah
mutlak, maka Nabi Khong Cu mengajarkan tata susila hidup dan
prikemanusiaan pada umat manusia."
"Apa kataku tadi? Dia hanya mengajarkan prikemanusiaan dan jangan kau
campur-campur tentang prikemanusiaan itu dengan Ketuhanan," bantah Bhok
Hong.
"Diumpamakan pohon, Ketuhanan adalah akar dan batangnya, prikemanusiaan
adalah cabang-cabang, ranting-ranting dan daun-daunnya. Bagaimana tidak
harus dicampurkan? Karena memang tidak bisa dipisahkan satu dari yang
lainnya. Ketuhanan merupakan iman kepercayaannya, adapun prikemanusiaan
merupakan jalannya atau cara membuktikan adanya iman itu. Prikemanusiaan
dan tata susila hidup bukan lain adalah prikebajikan, yang berarti pula hukum
yang ditentukan oleh Tuhan. Ketuhanan tanpa prikemanusiaan takkan berarti
karena tanpa bukti perbuatan yang nyata, sebaliknya prikemanusiaan tanpa
Ketuhanan dapat menyeleweng karena tidak berdasar pada sumber atau
pokoknya. Karena itu, Nabi Khong Cu mengajarkan tentang mempertebal tata
susila hidup dan prikemanusiaan, karena kebiasaankebiasaan baik akan
mendatangkan watak yang baik, dan semua ini sebetulnya hanyalah jalan untuk
mendekatkan orang kepada Tuhannya."
"Ha ha ha, Koai-sian, kau memang tukang omong! Omong kosong belaka! Kau
sebut-sebut nama Tuhan itu berarti bahwa manusialah yang menciptakan
sebutan Tuhan! Tuhan itu apa sih? Tak dapat kuraba, tak dapat kulihat, tak
dapat kedengarkan suaranya. Mana ada Tuhan? Kalau benar ada, Hui-kiam
Koai-sian, coba kau keluarkan, biar kulihat dan kuraba dia!"
Hui-kiam Koai-sian tersenyum sabar. Han Sin yang mendengarkan di balik
pohon menjadi makin tertarik. Hebat "perang tanding" kebatinan ini, pikirnya.
"Tak salah kata-katamu tadi bahwa sebutan Tuhan, seperti juga sebutan lain
yang diucapkan oleh bibir, adalah ciptaan manusia. Demikian pula sebutan
untuk Yang Maha Kuasa yang diucapkan oleh manusia-manusia berbangsa lain
dengan bahasa mereka yang berbeda. Namun, seperti juga langit dan bumi,
disebut apapun juga oleh bahasa apapun di dunia ini, kenyataannya tetap ada
langit dan bumi itu. Demikian pula Tuhan, biarpun ada seribu satu macam
sebutan di dunia ini sesuai dengan bahasa masing-masing, sebetulnya
hanyalah Satu, yaitu Yang Maha Kuasa.”
”Sekarang, kalau memang betul Tuhan itu ada, kau keluarkan biar kulihat dia,
Koai-sian." Bhok Hong menantang, mengejek.
"Bicara dengan seorang yang berwatak curang memang harus siap
menghadapi segala macam tipu muslihat omongan, Pak-thian-tok. Kukatakan
tadi bahwa Ketuhanan adalah soal iman, tinggal percaya atau tidak."
"Buktikan! Buktikan kalau memang ada, jangan putar balik omongan!"
"Sabarlah, tentu saja aku bisa buktikan, akan tetapi ada syaratnya."
"Bagaimana, teruskan!" Bhok Hong menantang.
"Pak-thian-tok Bhok Hong, aku tidak berani mengatakan bahwa kau seorang
yang tidak mempunyai pikiran. Kau tentu mempunyai pikiran, bukan?"
"Tentu saja! Bahkan pikiranku lebih terang dari pada pikiranmu!"
"Tentu ....., tentu .....! Dan kaupun tentu mempunyai nyawa, ataukah .....
barangkali kau sudah tidak bernyawa lagi ......?"
"Setan! Kalau aku tidak bernyawa tentu aku mampus. Tentu saja aku
mempunyai nyawa!"
"Nah, begitulah, Pak-thian-tok. Aku sudah membuktikan kepadamu tentang
adanya Tuhan, apakah kau masih tidak mengerti?"
Bhok Hong melengak heran. "Mana dia, Tuhanmu itu? Apa maksudmu?"
Hui-kiam Koai-sian mengelus-elus jenggotnya yang putih. "Kau tadi minta aku
mengeluarkan Tuhan. Aku akan dapat mengeluarkan Tuhan untuk kaulihat dan
raba. Pak-thian-tok, asal saja kaupun bisa mengeluarkan pikiran dan nyawamu
untuk kulihat dan kuraba! Bukankah kau mengaku bahwa aku mempunyai
pikiran dan nyawa? Nah, akupun mengaku bahwa aku mempunyai Tuhan. Kau
keluarkanlah pikiran dan nyawamu, dan aku akan mengeluarkan Tuhanku.
Bagaimana?"
Pak-thian-tok tak dapat menjawab. "Itu ..... hal itu ..... ah, kau telah menipu dan
menjebakku!"
Hui-kiam Koai-sian menggeleng kepala. "Tidak sama sekali. Kau harus
mengakui bahwa memang ada hal-hal yang tidak kelihatan, tidak dapat diraba
oleh panca indera, namun yang dapat dirasa oleh hati kita. Dan rasa itulah yang
mengenal adanya pikiran dan nyawa atau hal-hal lain yang tidak mempunyai
wujud yang dapat dilihat atau dirasa oleh panca indera."

”....... mau tahu kekuasaan Tuhan?" Kakek itu melanjutkan uraiannya dengan
mata setengah berkatup. "Lihatlah di sekelilingmu ...... pasir, batu, rumput,
kembang, awan, matahari ..... dan apa saja yang dapat kaulihat. Alangkah
hebatnya, alangkah indahnya semua itu. Semua itu sudah terang ada dan
semua yang ada tadinya dari tiada, karena itu yang ada tentu ada yang
Mengadakan! Dia yang Mengadakan inilah Yang Maha Kuasa. Betapa gaibnya
kembang-kembang itu, dengan warna tertentu, bentuk tertentu, lihat burung-
burung terbang bersayap, ikan-ikan berenang di dalam air, semua sudah
sempurna semenjak tercipta. Itulah Kuasa Tuhan!"
Hui-kiam Koai-sian berhenti sebentar, menarik napas panjang, wajahnya
berseri. "Mau tahu akan kemurahan hati Tuhan? Lihat, semua yang tampak di
dunia ini diberikan kepada kita! Setiap benda di dunia ini ada gunanya, hanya
terserah kepada kemampuan kita untuk menyelidiki apa kegunaan tiap benda
itu. Dan semua itu diberikan kepada kita tanpa minta balasan! Tidak, memilih
dulu. Bangsa apapun juga, mahluk apapun juga, yang jahat maupun yang baik,
semua disamakan, semua mendapat bagian, semua diberi anugerah itu.......”

Keluhan Pangeran Yong Tee tentang kenyataan pahit dalam kehidupan


manusia :
Manusia selalu mengejar kebahagiaan, mengkhayalkan kebahagiaan hidup
yang disangkanya pasti akan tiba apa bila maksud hati tercapai. Namun khayal
tetap khayal, membuyar setiap kali di jangkau. Maksud hati boleh terlaksana,
cita-cita boleh tercapai, namun kebahagiaan? Kiranya bukan di situ letaknya,
bukan dalam terlaksananya maksud hati, bukan pula dalam tercapainya cita-
cita. Mengapa? Karena maksud hati tiada putusnya, cita-cita tiada habisnya.
Terlaksana yang satu, timbul kedua. Tercapainya yang ini, belum pula yang itu,
dan begitu seterusnya. Nafsu angkara murka inilah yang selalu menguasai hati
manusia yang haus akan kebahagiaan. Padahal tidak perlu dihauskan, karena
sudah berada dalam diri sendiri, sudah bersatu dengan diri, hanya tidak terasa
bagi yang belum sadar.
Menurutkan kemauan nafsu angkara murka sama halnya dengan mengisi
lubang yang tak berdasar, tidak akan pernah tamat. Bahkan makin dituruti,
makin terasa kekurangannya, makin diberi minum, makin haus. Aneh tapi
nyata. Sekali lagi, menuruti nafsu sama dengan menambah kehausan bagi
yang haus, makin diberi makin kurang!
Kalau demikian halnya, pada hakekatnya, apakah gerangan kebahagiaan? Di
mana letaknya?
Dibilang jauh, amatlah jauh karena dicari sekeliling dunia takkan jumpa.
Dibilang dekat, teramat dekat karena sudah ada pada diri setiap orang. Soalnya
timbul karena "dicari" itulah, menjadi sulit dan jauh karena timbul setelah
"dicari"! Inilah rahasianya. Tidak dicari dia sudah ada, kalau dicari dia
menghilang. Itulah kebahagiaan!
Tuhan bersifat Adil dan Kasih. Manusia lahir sudah membawa bahagia. Ingin
melihat tinggal membuka mata, ingin mendengar tinggal membuka telinga,
semua serba menyenangkan dan karenanya serba bahagia, penuh berkah
berlimpahan. Ingin petik tinggal tanam, ingin tanam tinggal cangkul. Tanah
tersedia, tangan tersedia, air tersedia. Bayangkan kalau Tuhan
meniadakan air, atau tanah, atau tangan atau hawa! Semua takkan jadi
sempurna. Tuhan Maha Sempurna Maha Kasih dan Maha Adil. Semua lengkap
bagi manusia.
Akan tetapi, kenapa tetap tidak bahagia? Karena DICARI itulah. Manusia
mencari YANG TIDAK ADA! Ada ini mencari itu yang tidak ada, sudah ada itu
mencari ini yang tidak ada. Memberi makan nafsu, makin diberi makan makin
lapar! Karena itu akibatnya, bahagia lenyap bersembunyi, dilenyapkan atau
disembunyikan oleh diri sendiri yang menghamba pada NAFSU.
Demikianlah dunia selalu berputar dengan segala persoalannya. Demikian pula
Pangeran Yong Tee di dalam taman bunganya yang serba indah namun tidak
kelihatan indah baginya itu. Baru saja dia berhasil menghancurkan
pemberontak Mongol. Kini beristirahat setelah berhasil usahanya. Semestinya
bahagia, semestinya senang. Namun, taman indah tidak kelihatan indah,
kesenangan perjuangan tidak menyenangkan hati. Kenapa? Karena pangeran
inipun mencari YANG TIDAK ADA, yaitu mencari kehadiran Hoa-ji
disampingnya. Menjadi permainan cinta yang amat aneh.

Syair Seorang Sastrawan :


“Segala macam penyakit timbul,
obat-obat yang dibutuhkan,
hingga membikin kaya orang dagang obat saja!
Sesudah sakit mencari obat,
sebelum sakit tak mau menjaga diri,
diobati juga apa artinya?
Lebih baik menjaga diri sebelum sakit,
ini sama sempurnanya dengan berpikir masak dulu sebelum berbuat!”

“Si kaya memeras si miskin, si kuat menindas si lemah. Nafsu jahat menguasai
manusia, hukum negara diinjak-injak, yang berwajib silau oleh harta dunia
melupakan tugas, pembesar-pembesar tidak merupakan pimpinan bijaksana
hanya berusaha mati-matian membesarkan kesenangan pribadi melupakan
rakyat.

Nyanyian yang merupakan keluhan para budak yang hidupnya tertindas


“Wahai, Himalaya yang tinggi.
Ahoi, Yalu-cangpo yang panjang.
Dapatkah kalian memberi jawaban?
Kedua tanganku kuat bekerja berat.
Tapi tiada seperseratus hasilnya.
Menjadi bagianku!
Aku punya mulut.
Tak dapat mengeluarkan suara hati.
Telingaku disusur tuli.
Mataku disusur buta.
Aku punya nyawa.
Tak lebih berharga seekor domba!
Wahai, Himalaya sembunyikan aku
dipuncak-puncakmu!
Ahoi, Yalu-cangpo, lenyapkan aku
di muaramu!”
Sudah jamak di dunia ini bahwa segala keadaan adalah dwipura. Ada tinggi
ada rendah, ada besar ada kecil, ada baik ada buruk. Bukan hanya jamak,
memang sudah seharusnya demikian menurut hukum Im-Yang. Tidak ada Im,
mana bisa ada Yang? Tidak ada sebutan tinggi, mana bisa muncul sebutan
rendah?
Kalau manusia tidak mengenal apa itu artinya buruk, mana bisa mengenal pula
artinya baik? Dua sifat bertentangan, Im dan Yang inilah yang menghidupkan
sesuatu yang menjadi sumber dari pada pengertian kita sehingga timbullah
pengertian untuk mengenal, membedakan, dan karenanya panca indera kita
dapat dipergunakan.
Demikian pula kehidupan di kalangan para pendeta Lama. Sungguhpun mereka
itu semenjak kecil dijejali ajaran-ajaran agama yang selalu mengutamakan
kebaikan melulu, namun dasar manusia ada yang baik tentu ada yang buruk.
Kalau semua manusia baik, dunia tidak sekacau sekarang ini, tentu berubah
menjadi taman sorgaloka.
Bukan hanya terdapat perbedaan-perbedaan, malah di antara pendeta-pendeta
yang sudah tinggi tingkatnya, timbul bermacam aliran. Memang banyak
terdapat pendeta-pendeta Lama yang betul-betul penganut agama yang amat
saleh, beribadat dan taat sehingga merupakan orang-orang alim yang
menyucikan diri.
Akan tetapi, tidak kurang-kurang pula banyaknya yang tersesat, menyeleweng
dari ajaran agama atau lebih tegas menyelewengkan agama menjadi ilmu-ilmu
setan atau ilmu-ilmu hitam. Malah banyak diantaranya yang begitu rendah
sampai mau menjadi penjilat-penjilat para bangsawan untuk dapat mengecap
kenikmatan duniawi sepuas-puasnya dan sekenyang-kenyangnya.

“Mengalah hanya bertingkat tiga,” kata kakek tua itu masih tersenyum,
“pertama berdasarkan kesabaran,
ke dua berdasarkan anggapan bahwa orang telah mendesak karena terburu
nafsu, dan
ke tiga berdasarkan anggapan bahwa orang melakukan karena kebodohannya.
Kalau sudah mencapai tingkat ke empat, berarti orang itu memang berwatak
jahat dan suka mencelakakan sesamanya

Sajak To-tek-keng:
“Yang terlembut,
dapat menembus yang terkeras.
Yang tak berujud,
dapat memasuki benda berujud
Karena ini diketahui bahwa,
tidak bertindak ada gunanya.
Mengajar tanpa berkata.
Berguna tanpa bertindak.
Di kolong langit jarang yang mencapainya!”

“Dunia ini merupakan tempat ujian bagi manusia, juga tempat hukuman. Siapa
tidak kuat pasti tergoda dan melakukan perbuatan-perbuatan sesat. Makin
besar penyelewengannya makin besar pula hukumannya. Namun betapapun
besar penyelewengannya, asal orang itu dapat sadar, insaf, dan bertobat
kembali ke jalan benar, dia boleh dibilang manusia berbahagia. Kasihanilah
orang yang tidak menyadari kesalahan sendiri dan terus membuta dan tidak
tahu bahwa dia menindak ke jalan sesat, menganggap diri sendiri baik dan
menimpakan semua kesalahan kepada orang-orang lain.

Ada nasehat-nasehat kuno yang menyatakan bahwa rakyat jelata akan tunduk
dan menurut apabila perut mereka kenyang, maka kenyangkanlah dulu rakyat
jelata jika menghendaki Negara tenteram dan aman

Sajak Cu Si Cen :
Tiap hari cawanku penuh arak wangi,
Duduk di taman bunga kecil indah sunyi,
Tiap hari aku bernyanyi dan menari gembira ria.
Lempar jauh-jauh segala susah dan duka,
Yang lalu hanya mimpi kosong belaka.
Lihatlah! Orang-orang besar mati menjadi tanah hampa,
Tidak sibuk lagi memperebutkan kedudukan dan nama!
Karenanya, bersenang-senanglah selagi kau bisa!

Sajak Wu Yen :
Nasib, kau makhluk penuh senda-gurau
Tak perduli kutuk tangis, tak hiraukan puji syukur!
Kadang-kadang di sini, kadang kala di sana, naik turun,
Mendatangkan senyum menimbulkan air mata!

syair yang dibuat oleh Su Tung Po,


Mengapa mengejar-ngejar nama besar tak berharga,
yang hanya terletak di atas tanduk seekor siput?
Mengapa mencari-cari keuntungan,
yang pada hakekatnya amat kecil hingga dapat ditimbang di atas kepala lalat?
Semua itu tiada gunanya!
Segala sesuatu sudah ditentukan oleh sang nasib
Siapa beruntung, siapa sengsara!
Menteri durna memukul tambur
Raja monyet menari-nari
Rakyat kecil peluh mengucur
Menteri dan monyet senyum berseri

Syair Leng Hwa


Bulan indah, begitu tinggi dan mulia
kau menerangi seluruh permukaan dunia
ratu malam yang megah, cantik jelita
menyaingi matahari
raja siang yang jaya!
namun .... sekali terbang lalu
awan dan mega yang terang
menjadi gelap, kau tak berdaya ....!

Tiong San
Sungguh! Awan tak mungkin dihindarkan
namun ... awan gelap hanya rintangan
yang akan lenyap oleh tiupan angin
gelap sebentar,
hujan badai boleh menggelegar!
Sesudah lewat,
bulan muncul lagi berseri segar!
matahari akan terbit lagi,
hangat dan terang!

Cerita tentang pakaian yang bisa makan minum :


“Ada seorang kakek pergi mengunjungi seorang sahabatnya di kota lain.
Karena menganggap bahwa sahabatnya itu telah lama dikenalnya hingga tak
perlu menggunakan peradatan lagi. Kakek itu mengenakan pakaian yang sudah
lama dan buruk. Ketika ia sampai di rumah sahabatnya, ternyata ia diterima
dengan dingin sekali dan agaknya sahabat itu tidak suka menerima
kedatangannya.
Jangankan hidangan-hidangan lezat, secawan airpun tidak dikeluarkan oleh
sahabatnya itu untuk disuguhkan padanya. Kakek ini pulang dengan hati sakit
dan perih.
Beberapa bulan kemudian ia mendapat rezeki besar hingga dapat membeli
pakaian sutera, sepatu baru dan baju luar yang tebal dari bulu yang mahal. Ia
teringat akan sahabatnya itu. Lalu ia pergi mengunjunginya lagi, tapi kali ini ia
mengenakan pakaian yang serba indah dan mahal itu.
Dan bagaimanakah sikap sahabatnya?
Ah, ia buru-buru menyambutnya, memberinya kursi terbesar dan cepat
memanggil semua anaknya untuk memberi hormat kepada tamu agung ini.
Lalu ia keluarkan hidangan-hidangan yang paling lezat dan dipersilahkan kakek
itu makan. Kakek itu lalu tanggalkan baju luarnya yang indah, dan sambil
pegang-pegang baju itu dengan tangan kirinya lalu mengambil sayur dalam
mangkok.
Lalu ia tuangkan sayur itu ke dalam saku baju sambil berkata dengan hormat
sekali meniru-niru suara sahabatnya, “Silahkan saudara baju bulu yang
terhormat makan sayur!”
Kemudian ia ambil pula secawan arak dan tuangkan arak itu ke dalam saku
baju itu sambil berkata lagi.
“Silahkan saudara pakaian yang mahal minum arak!”
Tentu saja sahabatnya heran melihat kelakuan ini dan menegurnya. Maka
dengan wajah bersungguh-sungguh kakek itu berkata kepada sahabatnya.
“Dulu ketika aku datang dalam pakaian buruk, jangankan sayur dan arak , air
putih secawanpun tidak kau keluarkan. Sekarang aku datang dalam pakaian
mewah dan indah, kau menyambutku begini hormat dan mengeluarkan sayur
serta arak, maka bukankah yang kau jamu ini pakaianku dan bukan aku?”
“Nah setelah berkata demikian, kakek yang telah puas menyindir dan
membalas sakit hatinya itu lalu meninggalkan sahabatnya yang berdiri dengan
wajah kemerah-merahan karena malu.”

Sebagai contoh untuk memudahkan penjelasan tentang perbedaan tenaga


kasar dan tenaga lemas adalah seperti berikut.
Kalau kita melemparkan sebuah benda yang berat ke atas udara dan kemudian
benda itu kembali menimpa ke arah tangan kita, maka ada dua jalan bagi kita
untuk menerima kembali jatuhnya benda itu dengan tenaga kasar dan tenaga
lemas. Dengan tenaga kasar, yakni berarti bahwa kita menggunakan kekuatan
kita untuk menerima benda itu begitu saja dengan mengandalkan kekuatan
urat-urat di lengan kita sehingga akibatnya kalau tenaga kita lebih besar dari
pada luncuran benda yang jatuh itu, maka benda tersebut akan dapat kita
terima dengan mudah dan enak. Akan tetapi sebaliknya apabila tenaga
luncuran benda yang jatuh itu lebih besar dari pada tenaga tangan kita banyak
bahayanya tangan kita akan tertimpa sampai patah tulangnya atau keseleo dan
benda itu akan terlepas dari tangan kita.
Adapun penggunaan tenaga lemas ialah apabila kita menerima benda yang
meluncur dari atas itu dengan ringan tanpa menggunakan tenaga besar atau
kasar. Akan tetapi dengan tenaga lemas dan lemah kita menyambutnya dan
menuruti luncurannya dari atas itu ke bawah kemudian dengan hanya sedikit
tenaga saja kita mendorong benda itu ke samping untuk mematahkan tenaga
luncurannya yang menimpa itu kemudian dengan gaya yang baik, yakni
seakan-akan merupakan kemudi bagi tenaga luncur yang seperti raksasa itu.
Kita bisa mendorong benda itu ke samping terus kembali ke atas, seakan-akan
benda itu jatuh melalui sebuah pipa yang di bagian bawah dibengkokkan dan
membelok ke atas lagi.
Kebaikan tidak mungkin dilatih. Tidak mungkin mengajar seseorang untuk
menjadi baik. Kebaikan yang dilatih, dipelajari dan disengaja, jelas bukanlah
kebaikan lagi namanya.
Kebaikan yang dilakukan karena perhitungan hati akal pikiran hanyalah
pekerjaan nafsu yang menjadikan perbuatan baik itu sebagai sarana, sebagai
cara untuk memperoleh sesuatu. Hasil dari kebaikan yang disengaja itu
mungkin balas jasa, atau nama baik, atau bahkan imbalan di alam baka kelak.
Dan kebaikan seperti ini adalah palsu, hanya dilakukan orang yang munafik
seperti Lurah Koa. Dia melakukan kebaikan terhadap Siauw Cu karena ingin
memamerkan “kebaikannya”, ingin dipuji.
Kebaikan adalah suatu sifat dari seseorang, seperti harum setangkai bunga,
seperti kicau seekor burung, sifat dari seseorang yang tidak dikuasai nafsu
pada saat melakukannya.
Kalau hati terisi kasih sayang, maka akan muncul kebaikan dalam semua
perbuatannya terhadap orang yang dikasihi. Andai kata Lurah Koa merasa iba
kepada Siauw Cu atau kepada siapa saja tanpa perhitungan, maka dorongan
atau landasan iba kasih ini dengan sendirinya menjadikan perbuatannya
terhadap Siauw Cu baik, tanpa dibuat menjadi baik, tanpa disengaja dan tanpa
disadari bahwa dia melakukan sesuatu yang baik.

Badan, pikiran, dan jiwa merupakan tiga kesatuan yang menghidupkan


manusia di permukaan bumi ini dan ketiganya membutuhkan “makanan” agar
dapat menjadi sempurna. Makanan bagi badan tentu saja kebutuhan hidup
termasuk pangan, sandang, dan papan berikut segala keperluan dalam
kehidupan jasmani. Makanan bagi hati akal pikiran adalah pelajaran segala
macam ilmu agar kehidupan ini dapat terisi oleh pekerjaan dan perbuatan yang
bermanfaat bagi kehidupan dalam memenuhi segala kebutuhan. Adapun
makanan bagi jiwa adalah kebaktian kepada Tuhan Sang Maha Pencipta.

Cinta asmara memang sesuatu yang ajaib. Bukan monopoli pria ganteng dan
wanita jelita saja. Juga cinta asmara bukan didatangkan karena ketampanan
atau kecantikan belaka.
Bukan pula karena harta kekayaan. Bahkan lebih sering dan lebih kuat cinta
asmara yang dibangkitkan oleh persamaan watak dan kebaikan pribudi ini
biasanya lebih kuat dan lebih awet, sebaliknya, yang dibangkitkan oleh
keelokan wajah dan banyaknya harta benda, kadang kala malah rapuh.
Memang tidak mengherankan. Kecantikan dan ketampanan wajah hanyalah
setipis kulit, tidak menembus batin. Maka, yang tadinya nampak cantik atau
tampan, setelah timbul pertikaian karena keburukan watak, maka yang cantik
atau tampan itu nampak buruk seperti setan! Demikian pula harta kekayaan,
hanya menempel di luar kulit belaka. Betapa banyaknya orang yang menikah
dengan hartawan, akhirnya menderita batinnya dan harta kekayaan yang
tadinya diidamkan, kehilangan daya tariknya, bahkan kehilangan daya
hiburnya. Sebaliknya, suami isteri miskin yang tidak cantik tidak tampan
sekalipun, dapat hidup berbahagia dan saling mencinta karena mereka
memang memiliki cinta yang murni, cinta yang mendatangkan perasaan belas
kasihan, mendatangkan kemesraan, mendatangkan perasaan tenang dan
aman tenteram, ada ikatan batin yang mendalam.

Akan tetapi tentu saja terdapat perbedaan pendapat dan pandangan tentang
cara pelaksanaan untuk menyumbangkan tenaga demi tercapainya
ketenteraman kehidupan rakyat itu.
Namun jelas tujuannya sama, hanya caranya yang berbeda! Mungkin pihak
Coa Leng Si, menenteramkan rakyat paling baik dengan cara membantu
pemerintah, meniadakan pemberontakan dan pengacauan agar kehidupan
menjadi tenteram dan damai. Sebaliknya, pihak Cu Goan Ciang beranggapan
bahwa yang menjadi sumber atau biang keladi pergolakan jaman adalah
adanya pemerintahan penjajah Mongol, oleh karena itu, satu-satunya cara
adalah menumbangkan kekuasaan penjajah.
Kita semua selalu tersilaukan oleh gemilangnya tujuan atau cita-cita. Semua
cita-cita nampak indah gemilang, membuat kita berebut dan berlomba untuk
mendapatkannya.
Cita-cita bagaikan nyala api lilin yang indah menarik, membuat banyak binatang
malam tertarik dan mereka beterbangan, berlomba mencapai sinar yang terang
itu untuk jatuh terbakar dan mati. Kitapun sering terpukau oleh keindahan cita-
cita sehingga kita menjadi mabok dan lupa, kita tidak segan menggunakan
segala macam cara untuk mencapai cita-cita itu. Kita lupa bahwa tujuan atau
cita-cita hanyalah suatu khayalan, suatu gambaran dari keadaan yang belum
ada, sedangkan cara untuk mencapainya inilah yang nyata, yang berhubungan
langsung dengan kehidupan kita. Cara inilah yang paling penting bukan
tujuannya! Bagaimana mungkin cara yang salah dapat membawa kita kepada
tujuan yang benar? Bagaimana mungkin kita dapat mencapai sesuatu yang
baik kalau kita mengejarnya dengan cara yang jahat?
Kita seperti telah dibikin buta karena silau oleh cemerlang dan indahnya cita-
cita. Bahkan banyak terjadi dalam sejarah betapa manusia mengadakan perang
dengan tujuan untuk mencapai perdamaian! Betapa aneh, gila dan suatu
lelucon yang tidak lucu! Perang terjadi karena satu pihak hendak memaksakan
kehendaknya, karena kedua pihak hendak mencari kemenangan. Bagaimana
mungkin terjadi kedamaian antara yang menang dan yang kalah? Bagaimana
mungkin kita dapat berdamai dengan orang lain yang baru saja kita pukul
hidungnya, atau dengan orang yang baru saja menghajar kita sampai babak
belur? Perdamaian yang timbul antara yang kalah dan yang menang
merupakan perdamaian paksaan, karena yang kalah terpaksa menaati
kehendak yang menang.
Mungkin karena merasa kalah, pada lahirnya dia terpaksa mau mengulurkan
tangan untuk bersalaman akan tetapi jelas bahwa dalam batinnya, dendam dan
penasaran yang ada!
Tujuan menghalalkan segala cara, demikianlah kalau kita terbuai dan
tersilaukan cemerlangnya tujuan. Cita-cita menimbulkan pengejaran dan justeru
pengejaran inilah yang menjadi sarang dari kekuasaan dan pengaruh daya-
daya rendah yang menciptakan nafsu. Kalau kita tidak waspada, nafsu
menguasai batin dan kitapun menjadi lupa diri, lupa bahwa diri ini majikan
nafsu, bukan nafsu majikan diri. Banyak sekali contohnya dalam kehidupan ini,
di mana kita silau oleh tujuan sehingga membiarkan diri diperhamba nafsu,
mengejar tujuan dengan cara apapun. Mencari uang untuk memenuhi
kebutuhan hidup memang mutlak perlu, kalau kita mau hidup sebagai orang
normal.
Akan tetapi, tujuan mencari uang dapat mengobarkan nafsu sehingga kita
menggunakan cara apa saja dalam pengejaran kita terhadap uang. Terjadilah
penipuan, pencurian atau perampokan, korupsi dan sebagainya. Hubungan sex
merupakan suatu kewajaran, bahkan mutlak perlu bagi kehidupan dan
kelangsungan perkembang biakan manusia.
Akan tetapi, kalau kita sudah mengejar-ngejarnya sebagai suatu tujuan, kita
dapat lupa diri dan segala carapun kita lakukan demi memperolehnya.
Terjadilah pelacuran, perjinaan, perkosaan dan sebagainya. Demikian pula,
orang memperebutkan kedudukan, nama besar dengan saling hantam, saling
jegal, saling bunuh. Bahkan demikian gilanya kita sudah, sehingga untuk tujuan
terakhir yang suci dan luhur, seperti keinginan kembali kepada Tuhan,
keinginan masuk Sorga sekalipun, kadang diperebutkan dan dipertentangkan!
Kalau sudah begitu, tanpa kita sadari akan kemunafikan kita sendiri, kita
bahkan tidak malu untuk memperebutkan Tuhan! Semua berkah Tuhan
untukku, bukan untukmu dan bukan untuk mereka. Tuhanku sendirilah yang
benar, Tuhan kalian dan mereka adalah palsu, dan sebagainya lagi. Dan
perang saling membunuh antara manusiapun terjadilah, saling bunuh dengan
nama Tuhan, seolah mereka itu masing-masing merasa sebagai suruhan
Tuhan untuk membunuh orang lain. Kita tidak menyadari akan hal ini. Akan
tetapi kalau kita mau berhenti sejenak, merenungkan semuanya, orang seperti
itu terjadi setiap hari, setiap saat dalam hati kita. Bukan hanya perang antar
negara, bukan hanya perang antar kelompok dan antar agama, melainkan
perang di dalam batin kita sendiri. Konflik terjadi setiap saat, bentrokan
kepentingan daya-daya rendah yang saling berebutan untuk menguasai diri kita
sebagai manusia.
Daya-daya rendah yang membonceng kita itu memang ingin mencari
kesempurnaan dan kenikmatan melalui jasmani kita, dan kita tidak sadar bahwa
pembonceng-pembonceng itu berebutan untuk menjadi maling dan bahkan
menjadi majikan, merajalela dalam batin kita, menguasai kita sepenuhnya!
Apakah kalau begitu kita tidak perlu mempunyai cita-cita dan membuang cita-
cita?
Pendapat ini sempit sekali. Namun, kalau kita sudah dapat mengerti benar apa
sebenarnya cita-cita itu, maka pertanyaan itu tidak akan timbul. Apakah
seorang murid akan berhasil menjadi sarjana hanya karena dia memiliki cita-
cita untuk menjadi sarjana? Bukankah yang mengantarkan dia menjadi seorang
sarjana itu adalah CARA-nya, yaitu ketekunan dan kesungguhannya untuk
belajar? Dapatkah seseorang menjadi pedagang yang sukses hanya karena
cita-citanya? Ataukah yang membuat dia berhasil itu karena ketekunan dan
kesungguhan dalam pekerjaan itu? Jadi, yang penting bukan cita-citanya,
melainkan caranya. Kalau kita menjadi pelajar, kita belajar dengan tekun dan
rajin, bersungguhsungguh, dan tanpa kita cita-citakan sekalipun, kita pasti akan
berhasil lulus dalam pelajaran itu. Demikian pula dengan pekerjaan dan
sebagainya lagi.
Tidak mungkin mencapai perdamaian atau ketenteraman dengan jalan
berperang. Justeru perang itu meniadakan kedamaian. Kalau kita ingin damai?
Mudah saja, jangan berperang! Jangan bermusuhan! Kalau tidak berperang
otomatis perdamaian ada. Tentu akan timbul bantahan dan sanggahan.
Bagaimana kalau pihak sana yang menyerang?
Pihak sana yang memulai. Pihak sana yang salah, dan sebagainya lagi. Selalu
“pihak sana” yang salah, dan “pihak kita” yang benar. Justeru di sini letaknya
pertentangan yang menimbulkan permusuhan. Pertentangan pendapat.
Bentrokan kepentingan, bentrokan kebutuhan. Pada hal, yang menjadi
kuncinya bukanlah mengubah pihak sana, melainkan mengubah pihak sini.
Keluhan dan pertanyaan yang setiap saat mengusik hati
dan pikiran kita dengan pertanyaanpertanyaan, “kenapa engkau begitu tidak
begini, kenapa engkau dan dia, begini tidak seperti yang kuharapkan dan
kukehendaki?”
seyogyanya diubah sedemikian rupa sehingga pertanyaan itu menjadi, “kenapa
aku selalu begini, mau menang sendiri, pemarah, pencemburu, pengiri,
penakut?” dan dengan demikian kita dapat melihat kekurangan dan kesalahan
diri sendiri. Kita yang harus berubah! Dan perubahan ini, kalau terjadi dengan
sungguh-sungguh, bukan dibuat-buat, bukan palsu, pasti akan mendatangkan
perubahan pula kepada orang lain yang kita hadapi! Bukan kosong belaka
petuah yang mengatakan, “hadapi kebencian orang kepada kita dengan kasih
sayang kepada orang itu.” Kalau kasih sayang kita sungguh-sungguh, maka
kebencian yang berkobar di hati orang itu pasti akan padam!
Berusaha, berikhtiar sebaiknya dan semampu kita, merupakan wajib.
Bagaimana akhir usaha itu? Kita serahkan saja kepada Tuhan Maha Pengasih!
Tuhan Maha Adil! Kalau bibit yang ditanam itu baik, cara menanamnya dan
memeliharanya juga baik, besar sekali harapannya akan tumbuh dengan baik
dan menghasilkan bunga dan buah yang baik pula. Tujuan memperoleh hasil
panen yang baik tanpa bekerja keras dan tekun, tidak ada gunanya sama
sekali, sebaliknya dengan bekerja keras dan tekun hampir dapat dipastikan
mendatangkan hasil panen yang baik.

"Intinya adalah Api Suci


yang selalu membakar dan menerangi
Mengapa yang dipersoalkan asap
dan abunya
yang hanya mengaburkan
pandangan mata?"
"Dia tinggal dalam keheningan, dalam kesederhanaan;
Ilham adalah lembut sekali, cepat menghilang.
Dia minum dari Sumber Keselarasan Agung,
Terbang bersama burung bangau terpencil di atas.
Lembut seperti desahan napas angin lalu
Yang semilir menyentuh baju panjangmu.
Atau desir pohon-pohon bambu yang tinggi
Yang keindahannya selalu engkau rindukan.
Kalau kebetulan bertemu, agaknya mudah dicapai
Pada saat engkau hampir, Dia mundur,
Dan ketika engkau menjangkau merangkapnya,
Dia menggelincir dari tanganmu hilang!"

Debat Tiga Orang Pendeta (Ceng In Hosiang, Kwan In Su, dan Im Yang Tosu)

Setelah orang ke tiga itu duduk bersila di atas batu yang dipilihnya, Ti Gi Cinjin
mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai penghormatan ke dua orang
itu lalu berkata dengan lembut.
"Selamat berjumpa, Saudara-saudara!” Betapa bahagianya bertemu dengan
sahabat-sahabat lama yang datang dari jauh!
"Omitohud, Tiong Gi Cinjin! Pedangmu masih tajam, ucapanmu masih
mengandung aturan kemanusiaan, tentu kau memperoleh kemajuan pesat.
Pinceng (aku) merasa kagum sekali!" kata Thong Leng Losu sambil membalas
penghormatan itu.
"Siancai! Apakah segala macam aturan yang dibuat manusia dapat merubah
cara hidup manusia menjadi baik! Pinto (aku) tahu bahwa pribadi Tiong Cinjin
memang sudah baik, akan tetapi kebaikannya bukan karena adanya aturan."
kata Louw Keng Tojin sambil tersenyum.
"Saudara Thong Leng Losu dan saudara Louw Keng Tojin, aku mengenal jiwi
(Anda Berdua) sebagai orang-orang baik dan selalu berusaha untuk
menjadikan orang-orang menjadi baik degan ajaran-ajaran agamamu. Akan
tetapi mari kita lihat, bagaimana keadaan dunia ini? Padahal, semua manusia di
empat penjuru sesungguhnya adalah saudara sendiri, mengapa terjadi perang
perebutan kekuasaan yang mengorbankan nyawa banyak orang? Beginilah
kalau manusia tidak menaati peraturan. Kalau semua rakyat mengikuti dan
menaati pelajaran agama kami dan mengutamakan bakti, anak-anak berbakti
kepada orang tuanya, rakyat berbakti kepada rajanya, tentu tidak akan terjadi
semua pertentangan dan keributan kekuasaan ini."
"Ha-ha-ha, Tiong Gi Cinjin, agamamu lalu menekankan agar manusia menaati
peraturan. Akan tetapi apa kenyataannya, makin banyak peraturan, semakin
banyak terjadi kekacauan! Peraturan dibuat oleh manusia, seperti juga senjata
dibuat manusia dengan maksud baik, akan tetapi justeru senjata itu
dipergunakan manusia untuk kepentingan dan keuntungan pribadi masing-
masing. Peraturan juga demikian, kenyataannya, peraturan dijadikan senjata
bagi manusia untuk kepentingan dan keuntungan masing-masing. Tahukah dan
sadarkah engkau, Tiong Gi Cinjin, bahwa dosa dilakukan manusia justeru
karena adanya peraturan? Dosa adalah pelanggaran, dan justeru peraturan itu
menimbulkan pelanggaran! Kalau tidak ada peraturan, tidak akan ada
pelanggaran atas dosa!"
"Omitohud! Pendapat Tiong Gi Ci dan Louw Keng Tojin itu semua baik mungkin
tidak akan berhasil mengamankan dunia dan mendatangkan kedamaian
kehidupan manusia! Semua usaha itu hanya mendatangkan sengsara dan
duka. Saat Buddha telah menemukan cara sempurna untuk membebaskan
manusia dari duka. Manusia tidak mungkin dapat terbebani dari duka selama
dia belum melaksanakan apa yang disabdakan oleh Sang Buddha. Empat
Kenyataan yang disadari benar bahwa terdapat adanya Duka, sebab dari Duka,
menghentikan Duka, dan Jalan untuk menghentikan Duka. untuk itu Sang
Buddha telah menemukan dengan Jalan Utama, Lima Petunjuk, Se¬puluh
Larangan, Sepuluh Jalan Kebaikan, dan lain-lain. Kalau semua manusia
mentaati semua petunjuk Sang Buddha, manusia akan terbebas dari Sengsara
dan duka."
Petunjuk-petunjuk dan upacara-upacara saja tidak akan menolong, Thong Leng
Losu. Harus ada peraturan yang melaksanakan, harus ada hukum, yaitu hukum
siapa yang melanggar peraturan. Kalau peraturan hukum dilaksanakan dengan
baik dan sebagaimana mestinya, akan terdapat ketertiban." kata Tiong Gi Cinjin
mempertahankan teorinya berdasarkan pelajaran dari Agama Khong-kauw
yang dianutnya.
"Ha-ha-ha, kalian berdua hanya bicara tentang peraturan. Manusia tidak akan
dapat membuat kehidupan menjadi baik, dengan mengadakan peraturan yang
bagimanapun. Lihatlah, matahari bulan dan Bintang tidak diatur manusia
namun selalu berjalan dengan tertib. Burung-burung terbangan di udara, ikan-
ikan berenang dalam air, mereka itu tidak mempunyai akal pikiran seperti
manusia, namun tidak kekurangan makan, tidak mengerti sengsara karena
mereka semua itu hidup sesuai dengan To. Alam mengatur segala sesuatu
dengan tertib, akan tetapi aturan perbuatan manusia malah menimbulkan
kekacauan. Biarkanlah Alam bekerja tanpa campur tangan manusia, karena
Alam bekerja tanpa tujuan tanpa pamrih tidak seperti manusia yang
mementingkan tujuannya daripada caranya." kata Lou Keng Tojin
mempertahankan teori agamanya.
Tiga orang itu mulai berdebat, mula-mula mereka mempertahankan teori
kebenaran agama masing-masing. Akan tetapi perdebatan itu mendatangkan
suasana panas yang mempengaruhi hati akal pikiran mereka sehingga akhirnya
mereka saling mencela! Yang beragama buddha dicela karena dikatakan
menyembah benda mati berupa arca. Tiong Gi Cinjin yang pendeta Agama
Khong-kauw dicela karena hanya mengurus soal manusia dan duniawi. Louw
Keng Tojin dicela karena agamanya hanya mengurus hal-hal yang tidak nyata,
mengkhayal dan seperti mimpi, sama sekali tidak mempedulikan urusan
manusia hidup di dunia.
Perdebatan yang dimulai memamerkan kebaikan dan kebenaran masing-
masing berlanjut kepada saling mencela sehingga akhirnya tiga orang itu turun
dari atas batu, berdiri dengan muka merah mata bersinar penuh kemarahan!
"Hemmm, kalian mencela pelajar Agama Khong-kauw kami, hal itu berarti
kalian menentang kami dan siapa yang menentang kami berarti musuh kami
teriak Tiong Gi Cinjin yang sudah hilangan kesabarannya. Dia mencabut
pedangnya dan tampak sinar hijau ber kelebat, lalu sinar itu menyambar-
nyambar kearah batu yang tadi diduduki Tiong Gi Cinjin. Hanya terdengar
sedikit suara, akan tetapi ketika sinar hijau itu kembali ke tangan Tiong Gi
Cinjin, batu itu runtuh dan berantakan, telah terpotong-potong seperti mentimun
dirajang pisau yang amat tajam!
"Ha-ha-ha, permainan kanak-kanak macam itu tidak ada artinya!" terdengar
Louw Keng Tojin berkata. Dia lalu melempar kebutannya ke atas dan tiba-tiba
bagaikan benda hidup, kebutan itu melayang turun ke arah batu yang tadi
diduduki dan kebutan itu menyambar cepat. Terdengar ledakan keras dan batu
itu terpukul bulu kebutan pecah berhamburan dan kebutan itu sudah "terbang"
kembali ke tangan Louw Keng Tojin memang pendeta To ini selain lihai ilmu
silatnya, juga mahir ilmu sihir.
"Omitohud, kalian telah melanggar larangan membunuh dalam agama kami.
Menghancurkan batu-batu itu sama dengan membunuh. Sungguh tidak
memiliki belas kasihan." kata Thong Leng Losu dan hwesio tinggi besar ini
menghampiri lima buah batu yang sudah pecah berantakan itu, memungutinya
dan dia menempel-nempelkan pecahan batu-batu itu sehingga melekat kembali
dan menjadi utuh. Inilah hasil tenaga sakti yang amat hebat!
Kini tiga orang yang lelah berdebat sengit tadi, berdiri saling berhadapan.
Mereka semua adalah pendeta-pendeta yang sudah mempelajari agama
masing-masing secara mendalam, hafal akan semua pelajaran dalam kitab-
kitab suci mereka. Mereka siap untuk membela agama masing-masing dengan
mati-matian, kalau perlu berkorban nyawa! Akan tetapi mereka masih dapat
menenangkan diri tidak membiarkan diri hanyut oleh nafsu amarah karena
maklum bahwa itu ditentang atau dilarang oleh agama mereka masing-masing.
Karena mereka sama-sama menahan diri, tidak mau mendahului melakukan
serangan, maka mereka bertiga hanya berdiri saling berhadapan dengan muka
merah. Thong Leng Losu sudah siap dengan tongkatnya dari baja biru. Tiong
Cinjin juga sudah memegang pedangnya dan Louw Keng Tojin memegang
kebutannya. Di dalam hati mereka terjadi konflik sendiri, sebagian terdorong
penasaran dan marah hendak menyerang lawan, sebagian lagi menaati pelajar
agama masing-masing tidak mau melakukannya.
Tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi! Datangnya dari bawah puncak dan
suara itu terdengar tenang dan sayup-sayup, namun dapat terdengar jelas
semua kata-katanya.

"Intinya adalah Api Suci


yang selalu membakar dan menerangi
Mengapa yang dipersoalkan asap
dan abunya
yang hanya mengaburkan
pandangan mata?"

Biarpun suara nyanyian itu terdengar lebih sayup-sayup, akan tetapi tiga orang
yang berilmu tinggi itu dapat merasakan getarannya yang kuat dan penuh
kewibawaan lembut mengusap perasaan hati mereka, menghapus kemarahan
dari hati. Tahulah mereka bertiga bahwa akan muncul seorang manusia yang
luar biasa dan seperti dengan sendirinya mereka tunduk dan menanti dengan
sikap hormat.
Kemudian tampaklah Thai Kek Siansu melangkah ke puncak itu, memandang
mereka bertiga, tersenyum lalu menghampiri, berdiri berhadapan dengan
mereka sehingga mereka berempat kini menduduki titik-titik segi empat.
"Ho-ho, tiga manusia utama memperebutkan Kebenaran! Kebenaran yang
dapat diperebutkan jelas bukan kebenaran lagi namanya. Kebenaran yang
dapat diperebutkan adalah kebenaran yang mempunyai lawan, yaitu
ketidakbenaran. Padahal, Kebenaran tertinggi tidak mepunyai lawan. Segala
sesuatu tercakup dalamnya!"
Thai Kek Siansu lalu duduk bersila begitu saja di atas tanah berumput.
Anehnya tanpa dia mengatakan sesuatu, tiga orang itu otomatis lalu duduk
bersila di atas tanah seperti yang dilakukan Thai Kek Siansu! Tiga orang itu
mengenal kakek itu dan mereka bertiga merangkapkan kedua tangan depan
dada sambil mengucapkan salam hampir bersamaan.
"Selamat datang, Thai Kek Siansu!"
Thai Kek Siansu membalas salam mereka dengan ucapan lembut, "Selamat
berjumpa, Sam-wi Suhu (Ketiga Guru) dari Sam Kauw (Tiga Agama)!"
Mereka berempat duduk bersila tiga orang pertama memandang kepada Thai
Kek Siansu yang menundukkan mukanya sambil tersenyum dan kedua
mukanya terpejam. Kemudian, bagaikan orang bermimpi, dia kembali
menyanyikan syair yang amat terkenal di antara para tokoh agama dan para
sastrawan di Zaman itu. Syair itu adalah karya Sikong Tu (837 - 908), seorang
penduduk Daerah Yong-ji di Propinsi Shan-si. Dalam usia muda dia sudah lulus
ujian negara. Ketika orang Chao menyerang ibukota Kerajaan Tang dia
mengungsi. Dalam usia lima puluh lima tahun dia mengundurkan diri bertapa.
Ketika Dinasti Tang jatuh, dia menolak pemberian pangkat oleh Kaisar Dinasti
yang baru. Thai Kek Siansu menyanyikan syair itu dengan suara lembut.
"Dia tinggal dalam keheningan, dalam kesederhanaan;
Ilham adalah lembut sekali, cepat menghilang.
Dia minum dari Sumber Keselarasan Agung,
Terbang bersama burung bangau terpencil di atas.
Lembut seperti desahan napas angin lalu
Yang semilir menyentuh baju panjangmu.
Atau desir pohon-pohon bambu yang tinggi
Yang keindahannya selalu engkau rindukan.
Kalau kebetulan bertemu, agaknya mudah dicapai
Pada saat engkau hampir, Dia mundur,
Dan ketika engkau menjangkau merangkapnya,
Dia menggelincir dari tanganmu hilang!"
Setelah Thai Kek Siansu menghentikan nyanyiannya, suasana sejenak menjadi
hening, akan tetapi segera terisi oleh suara alami yang terdengar demikian
menghanyutkan perasaan. Desir angin antara batu-batu air yang memancur
menimpa batu, diselingi bunyi burun burung yang melayang lewat puncak. Akan
tetapi semua suara dari luar di yang tidak mampu menghilangkan suara
keheningan dalam diri yang tidak pernah berhenti akan tetapi hanya dapat
didengar orang yang benar-benar tidak lagi mempengaruhi kebisingan hati akal
pikiran, suara itu terdengar di telinga yang paling dalam. Orang yang
mendengarnya mungkin tidak sama daya penangkapnya dengan orang lain.
Ada yang mengatakan seperti gemersiknya angin bergurau dengan daun-daun,
atau seperti gelora air lautan yang dahsyat, atau seperti ombak
berkejaran.Telinga luar tidak mempengaruhi pendengaran itu, biar telinga
ditutup, tetap saja suara itu berbunyi. Suara keheningan, suara kehidupan,
membahagiakan manusia yang dapat mendengarnya
Thong Leng Losu pendeta Buddha dari Tibet itu tak sabar lagi untuk tinggal
diam. "Omitohud, Thai Kek Siansu, kebetulan sekali engkau datang pada saat
kami bertiga sedang mengadakan pertemuan. Kami bertiga ingin membahas
tentang keadaan rakyat jelata dan kerajaan yang silih berganti, selalu terjadi
perebutan kekuasaan yang menyengsarakan rakyat. Kami memperbincangkan
semua itu dan juga agama kami masing-masing, bagaimana kami akan dapat
menanggulangi semua itu dan mendatang kedamaian dan kesejahteraan bagi
manusia, khususnya bangsa kita yang terpecah belah oleh perebutan
kekuasaan. Mohon petunjuk dari Siansu yang telah kami dengar akan
kebijaksanaannya."
Thai Kek Siansu menghela napas panjang dan mengelus jenggotnya, namun
mulutnya tersenyum, senyum penuh pengertian dan kesabaran.
"Tiga orang sahabatku yang baik, untuk dapat mengerti tentang kehidupan
mengapa kita harus mendengar petunjuk orang lain? Kita bersama adalah
manusia, kehidupan ini sama-sama kita alami. Siapa yang berhak memberi
petunjuk dan kepada siapa? Kita tidak membutuhkan petunjuk orang lain,
karena apa pun juga yang kita percaya dan lakukan, kalau menurut petunjuk
orang lain, adalah palsu. Bagaimana kalau petunjuk itu salah. Maka, karena kita
berempat sama-sama mengalami kehidupan ini, apakah tidak lebih baik kalau
kita sama-sama pula mengamati dan mempelajarinya?"
Tiong Gi Cinjin berkata, "Tak dapat dibantah kebenaran ucapan Siansu Itu.
Akan tetapi untuk melakukan penyelidikan kami bertiga yang tadi tidak
mendapatkan kesepakatan, perlu seorang yang tidak berpihak untuk membuka
jalan dan kami harap Thai Kek Siansu yang suka memulai dengan pengamatan
dan penyelidikan ini, agar kami bertiga tidak saing bertumbukan."
Thong Leng Losu dan Louw Keng Cinjin mengangguk-angguk dan menyatakan
setuju.
Louw Keng Tojin berkata, "Thai Kek Siansu, mari kita bicara dan menyelidiki
tentang Agama lebih dulu. Tadi kami bertiga berselisih paham mengenai
kebenaran dalam Agama dan karena kami Mempertahankan kebenaran dalam
Agama kami masing-masing, maka terjadi salah faham. Sekarang, bagaimana
kita dapat melihat kenyataannya, siapa di antara kami bertiga yang benar?"
"Sam-wi (Anda Bertiga) berdebat tentang Kebenaran? Kebenaran yang
diperdebatkan bukanlah kebenaran lagi karena Dia ditinjau dengan pandangan
yang dan terselubung tirai penilaian agama masing-masing. Mari kita amati
tanpa tirai itu. Apakah sebenarnya Agama itu Yang dapat dibuktikan, Agama
ada pelajaran untuk menuntun manusia arah jalan hidup yang baik. Bukan
demikian? Semua Agama mengajar kebaikan dan tidak ada sebuah pun Agama
yang mengajarkan agar umatnya melakukan tindakan jahat. Intinya ada agar
manusia di waktu hidupnya berbuat kebaikan menjauhi kejahatan sampai akhir
hayatnya. Akan tetapi Agama juga memiliki sejarah dan upacara-upacara
masing-masing yang tentu saja diakui benarannya secara mutlak oleh umat
Sayang sekali, seperti yang Sam-wi perlibatkan tadi, Sam-wi tidak melihat
kesamaan intinya atau apinya, yaitu hidup dalam kebaikan, melainkan Sam-wi
bersitegang membela upacaranya yang berbeda. Mengapa Sam-wi tidak
menggunakan persamaan intinya itu untuk diajarkan kepada umat masing-
masing sehingga semua pemeluk agama yang berbeda itu dapat hidup
berdampingan secara rukun karena sama-sama memperjuangkan kebaikan
dalam kehidupan manusia di dunia
"Omitohud! Biarpun ucapan Siansu membuka mata kami untuk melihat
kebenaran, akan tetapi bagaimana dengan kenyataan yang dapat disaksikan
betapa umat beragama lain, misalnya ada orang beragama To tetapi menjadi
seorang penipu dengan ilmu sihirnya?" kata Thong Leng Losu.
"Siancai! Enak saja Hwesio ini mencela orang lain! Pinto juga melihat banyak
sekali orang beragama Khong-kauw yang menjadi penjahat!" seru Louw Keng
Tojin membela agamanya.
"Bukan hanya itu, siapa yang tidak tahu berapa banyaknya orang beragama
Budha yang menjadi pembunuh?"
Suasana menjadi tegang, akan tetapi suara tawa Thai Kek Siansu seolah dapat
mendatangkan suasana dingin karena suara itu lembut sekali.
"Mari kita lihat dan pertimbangkan, Sam-wi. Kalau seorang beragama To kauw
menipu, jelas dia itu bukan orang beragama To-kauw, melainkan seorang
penipu yang mengaku beragama To! karena kalau dia benar-benar seorang
agama To, dia tidak berani menipu dilarang oleh agamanya itu! Juga kalau ada
penjahat mengaku beragama Khong kauw, dia adalah seorang penjahat juga
hanya mengaku-aku saja dan bukan orang Khong-kauw sejati. Kalau dia benar-
benar beragama Khong-kauw, tidak akan berani berbuat jahat karen hal itu
dilarang oleh agamanya. Demikian pula, seorang pembunuh mengaku agama
Buddha, sebetulnya dia hanya palsu dan mengaku-aku saja karena kalu dia
benar seorang Buddhis, sudah pasti dia tidak berani membunuh karena itu
dilarang keras oleh agamanya! Nah, kiranya sudah jelas. Bukanlah agama yang
tidak benar, melainkan orangnya Tidak perlu dan tidak benarlah kalau Agama
saling menyalahkan, karena tidak ada agama yang benar atau salah menurut
pandangan orang-orang yang pecah belah melalui agama. Agama adalah
Kebenaran itu sendiri karena datang dari Kebenaran Yang Satu."
Tiga orang pendeta itu termenung, Tiong Gi Cinjin menghela napas lalu
berkata. "Siansu, aku mulai melihat kebanaran dalam keterangan ini. Akan
tetapi mengapa hampir seluruh rakyat mengaku beragama, dan semua agama
mengajarkan kebaikan agar kita hidup melakukan kebaikan dan menjauhi
kejahatan, Akan tetapi kenyataannya, mengapa selalu terjadi perang,
permusuhan, kejahatan dan kekacauan yang menyengsarakan rakyat?"
Thong Leng Losu dan Louw Keng Tojin juga tertarik oleh pertanyaan ini dan
mereka bertiga memandang kepada Thai Kek Siansu dengan penuh perhatian.
"Pertanyaan yang baik sekali dan hal ini patut kita pertanyakan dan kita
renungkan. Mengapa demikian? Kenyataan¬nya adalah bahwa umat beragama
sekarang ini hanya mementingkan sejarah dan upacara masin-masing yang
saling berbeda, dan jarang yang mendapatkan Api atu inti Agama masing-
masing yang sesungguhnya sama dan hanya satu. Apakah inti dari semua
pelajaran itu?" kata Thai Kek Siansu.
"Inti semua pelajaran tentu saja menurut pelajaran agama masing-masing yang
menuntun manusia untuk berbuat kebaikan!" kata Tiong Gi Cinjin dan seorang
pendeta lainnya mengangguk menyetujui.

"Kalau sudah diakui bahwa semua pelajaran Agama adalah sama, yaitu
mengajarkan agar semua umatnya berbuat kebaikan, mengapa di antara
Agama masih ada saling menyalahkan dan membenarkan pihak sendiri? Kita
mulai dengan Kebenaran. Apakah Kebenaran itu? apakah yang dinamakan
Kebaikan itu? Kalau ada yang disebut kebenaran, tentu ada kesalahan. Kalau
ada kebaikan, tentu ada kejahatan. Baik dan benar untuk sefihak, mungkin saja
jahat dan salah untuk pihak lain. Karena itu, kebaikan yang dilakukan menurut
hati akal pikiran, sesungguhnya bukan kebaikan lagi, melainkan perbuatan
yang dilakukan dengan pamrih mendapat imbalan. Imbalan itu supaya
kesenangan atau keuntungan untuk si pelaku perbuatan, bentuknya macam-
macam. Pamrih itu bisa berupa imbalan jasa dan balasan, atau puji dan
sanjungan, atau perasaan bangga diri, atau imbalan yang dijanjikan berupa
kemuliaan dan kesenangan di akhir kehidupan. Pamrih apa pun juga, pada
hakekat sama, yaitu melakukan sesuatu dengan pamrih agar mendapat
imbalan sesuatu yang menyenangkan dan menguntung Maka, perbuatan
kebaikan seperti hanya merupakan jual beli belaka, sama sekali bukan
kebaikan lagi karena kalau imbalannya ditiadakan, maka perbuatan baik itu pun
belum tentu dilakukan. Semua mengajarkan perbuatan baik, akan tetapi disertai
janji-janji yang menyenangkan sebagai upahnya sehinngga perbuatan-
perbuatan baik itu menjadi palsu, didasari keinginan untuk akhirnya
mendapatkan kesenangan atau keuntungan. Karena inilah maka terjadi
perebedaan, yaitu memperebutkan hak memperoleh segala macam hadiah
yang dijanjikan itu."
Kita semua tahu betapa bahayanya dendam. Dendam yang tertanam di dalam
batin kita bukan hanya mendatangkan kebencian dan permusuhan, bahkan
dapat meluas menjadi dendam golongan dan dendam antara bangsa sehingga
dunia ini penuh dengan perang, bunuh-membunuh, semua itu dibakar oleh api
dendam.
Dari manakah datangnya dendam? Bagaimana terjadinya? Seseorang
melempar sesuatu yang mengenai tubuh kita menimbulkan nyeri badan dan
kitapun marah, mendendam dan ingin membalas. Atau seseorang melempar
kata-kata yang menyinggung perasaan dan menimbulkan nyeri di hati sehingga
kitapun marah dan dendam, ingin membalas.
Jelaslah bahwa dendam timbul karena kita merasa disakiti, dirugikan, baik lahir
maupun batin. Kita sejak kecil membangun sebuah “aku” dari diri kita, yang kita
agungkan sehingga si-aku yang makin lama makin kita bangun menjadi kokoh
kuat dan merasa selalu benar sendiri, baik sendiri dan seterusnya. Kalau si-aku
ini sampai tersinggung, dibahayakan keagungannya, maka marahlah kita. Kita
bela si-aku ini mati-matian karena kita merasa bahwa tanpa gambaran si-aku,
kita ini bukan apa-apa. Kalau si-aku disinggung kita melawan, karena kalau
tidak, si-aku menjadi tidak dipentingkan lagi, tidak diagungkan lagi.
Pangagungan si-aku inilah yang menjadi sumber terjadinya dendam. Milik kita
diambil orang, kita merasa dirugikan. Iba hati tergadap si-aku membuat kita
ingin membalas, dan dendam ini melahirkan kekerasan dan kekejaman.
Orang yang biasanya tidak tega mambunuh seekor lalat pun, kalau sudah
dibakar api dendam aka tega menyiksa musuhnya dengan sadis sekali.
Dapat kita menghadapi segala sesuatu tanpa si-aku ikut campur? Menerima
segala sesuatu sebagai suatu kenyataan, dengan penuh kewaspadaan kita
mengamati kalau ada orang mencela kita, dapatkah kita mendengarkan dia
sambil mengamati diri sendiri tanpa adanya si-aku yang tersinggung? Mungkin
saja kita memang patut dicela karena suatu kesalahan. Kalau ada orang
menginjak kaki kita, dapatkah kita menghadapi peristiwa ini dengan dengan
mata terbuka penuh kewaspadaan tanpa si-aku mencampuri sehingga kita
akan dapat melihat terjadinya peristiwa itu dalam keadaan yang sebenarnya?
Akan nampak oleh kita bahwa orang itu melakukannya tanpa sengaja,dan
bahwa di tempat yang penuh sesak itu besar sekali kemungkinan salah injak.
Pembukaan mata penuh kewaspadaan tanpa adanya campur tangan si-aku si
bayangan congkak itu, akan melahirkan kebijaksanaan dan tindakan yang
sehat. Bukan tindakan terdorong oleh emosi karena si-aku tersinggung
keagungannya. Kalau ada orang yang mengambil milik kita. Kembali si-aku
yang telah mengikatkan diri dengan milik kita yang membelenggu si-aku,
kekayaan, kedudukan, nama besar, isteri tercinta, anak-anak tersayang,
keluarga,dan sebagainya, merasa kehilangan. Si-aku yang dipisahkan dari
miliknya ini menimbulkan iba diri, menimbulkan duka, dan menimbukan dendam
kepada orang yang memisahkan si-aku dari miliknya.
Semua peristiwa yang terjadi di dalam diri ini, tidaklah patut untuk kita pelajari
dengan seksama, dengan cara mengamati diri setiap detik? Karena,
permusuhan dan kekacauan dan permusuhan di dalam hati masing-masing.
Perang di dunia hanyalah pengluasan perang dalam batin kita sendiri.
Kekuasaan Tuhan nampak di mana-mana, memberi kehidupan dan
kebahagiaan kepada apa dan siapa saja yang dapat menerimanya. Berkah
Tuhan berIimpahan, tak pernah kurang, kepada semua mahluk, baik yang
bergerak maupun yang tidak bergerak. Selalu ada tersedia untuk menyambung
kehidupan atau untuk menikmati kehidupan.
Air, hawa udara, sinar matahari, tak pernah habishabisnya menghidupi semua
yang ada di permukaan bumi ini. Kekuasaan Tuhan berada di dalam mata kita
yang membuat kita dapat melihat segala sesuatu yang nampak.
Kekuasaan Tuhan terdapat di dalam pemandangan alam semesta yang amat
indahnya. Kita tinggal membuka mata melihatnya untuk dapat menikmati
semua itu.
Namun sungguh sayang. Kadangkala kita tidak melihat semua keindahan
itu.'Butakah kita? Mata badan kita tidak buta, akan tetapi mata batin kita yang
buta.
Batin kita dipenuhi segala macam persoalan, disibukkan segala macam
masalah yang dibuat oleh pikiran kita sendiri sehingga biarpun mata kita
terbuka, kita tidak dapat melihat betapa Kekuasaan Tuhan bekerja dan hasilnya
terbentang luas di depan mata kita.
Lihatlah awan yang berarak di seputar puncak itu. Betapa ajaibnya. Lihatlah
ujung-ujung ranting penuh daun itu yang menari-nari ditiup angin. Betapa
menakjubkan. Rasakanlah mengalirnya hawa sejuk segar itu ke dalam paru
paru kita. Betapa nikmat dan segarnya.
Dengarlah kicau burung, dendang percik air sungai, bisikan rumput ilalang
digerakkan angin. Betapa merdunya. Namun semua itu lenyap, lewat begitu
saia di depan mata, di depan telinga, di depan panca indera kita yanq secang
sibuk sendiri oleh hati akal pikiran yang menumpuk masalah. Berbahagialah
orang yang dapat menikmati itu semua.
Hidup adalah berkah. hidup adalah nikmat, hidup adalah bahagia.
Hampir semua orang di dunia ini mengejar-ngejar atau mencari kebahagian
dengan berbagai cara, bahkan ada cara menyiksa diri untuk mencari
kebahagiaan! Pada hal, kalau kita simak, mengapa kita mencari kebahagiaan?
Mengapa kita mendambakan, membutunkan kebahagiaan? Jawabannya hanya
satu, Yakni bahwa kita mencari kebahagiaan karena kita MERASA tidak
berbahagia Bukankah demikian halnya ? Kita mendambakan kebahagiaan
karena kita merasa tidak berbahagia.
Kebahagiaan adalah suatu keadaan hati perasaan. Kalau dalam keadaan tidak
berbahagia kita mencari ke bahagiaan, mungkinkah kita akan dapat
nenemukannya?
Tidakkah yang lebih penting kita menyelidiki, apa yang menyebabkan kita tidak
berbahagia itu ? Kalau sebab yang membuat kita tidak berbahagia itu tidak ada
lagi, Perlukah kita mencari kebahagiaan? Tentu saja tidak perlu lagi, kita tidak
butuh bahagia lagi karena kita SUDAH berbahagia!
Sama halnya dengan kesehatan. Dalam keadaan sakit mengejar-ngejar
kesehatan jelas tidak mungkin .
Kesehatan adalah suatu keadaan badan. Kalau sebab yang membuat kita sakit
atau tidak sehat itu sudah hilang, kita tidak membutuhkan kesehatan lagi
karena kita sudah sehat! Akan tetapi seperti juaa kesehatan, kebahagiaan tidak
dirasakan oleh kita, Kalau kita sehat, apakah kita merasa sehat ? Kita baru
merasa membutuhkan kesehatan begitu kita sakit .
Demikian pula dengan kebahagiaan. Kita tidak merasakan betapa Tuhan
menciptakan kita dengan sempurna, betapa kebahagiaan sudah ada pada diri
kita, namun kita baru merasakan kalau ada sesuatu yang mengganggu
sehingga kita merasa tidak berbahagia. Terpujilah Tuhan Maha Kasih.
BerkahNya sudah berlimpahan. Tinggal kita mampu untuk menerimanya atau
tidak! .

Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, baik maupun buruk, manis maupun
pahit bagi manusia, sesungguhnya bukan lain adalah akibat-akibat daripada
sebab-sebab yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Nafsu merajalela dalam diri
manusia, menanggulangi kelemahan manusia sehingga manusia menjadi
boneka-boneka atau hamba-hamba nafsu yang hidup semata-mata untuk
melampiaskan dorongan nafsu. Nafsu membuat manusia menjadi makhluk
yang paling mementingkan pribadi (egois) dan yang selama hidupnya
bersandar kepada sifat ini sehingga tanpa disadarinya setiap pikiran, setiap
perbuatan, setiap ucapan selalu merupakan penonjolan daripada sifat egoistik
ini. Mari kita renungkan dan bersiap-siap mengenal kelemahan kita sendiri.
Pandangan baik dan buruk, adil dan tidak, semua dipengaruhi watak kita yang
egoistik. Biarpun orang sekampung menganggap seorang itu jahat, kalau si
orang itu selalu baik terhadap anda, dapatkah anda menganggap orang itu
jahat? Sebaiknya, andaikata orang se kampung menganggap seseorang itu
baik, kalau si orang Itu menjadi musuh anda, dapatkah anda menganggapnya
seorang baik? Demikian pula tentang anggapan tentang adil atau tidak. Kalau
adil untuk kita, maka kita anggap adil-lah! Atau lebih tepat, kalau
MENGUNTUNGKAN kIta, maka kita anggap adil. Kalau MERUGIKAN, maka itu
tidak adil namanya! Memang kita (manusia) adalah makhluk-makhluk yang
amat lemah, badut-badut yang selalu menimbulkan lelucon yang hambar.
Hari hujan, Bibi penjual makanan mengeluh, Paman tani bersorak. Yang
seorang menganggapnya buruk dan tidak adil, yang lain menganggapnya baik
dan adil, sesuai dengan sifat-sifat egoisme masing-masing. Baik atau tidakkah
hari hujan? Adil atau tidakkah? Tidak baik tidak buruk. Hujan ya hujan! Wajar
dan sudah semestinya begitu. Berbahagialah dia yang dapat menerima segala
sesuatu yang terjadi atas dirinya SEBAGAI SUATU KEWAJARAN!

ujar-ujar dalam kitab To-tek-kong dari Nabi Locu


“Di bawah pemerintah yang baik
Rakyat tidak merasa diperintah
Di bawah pemerintah yang kurang baik
Rakyat mendekati dan memujanya
Di bawah pemerintah yang buruk
Rakyat takut dan menghinanya
Siapa yang kurang menaruh kepercayaan
Tidak akan mendapat kepercayaan
Waspadalah dengan kata-katamu yang berharga
Supaya setelah engkau berjasa dan hasilnya nyata
Rakyat akan berkata: kami sendirilah yang membuatnya”

ujar-ujar dalam To-tek-khing ayat 33 :


“Mengerti akan orang lain adalah bijaksana,
mengerti akan diri sendiri adalah waspada.
Menaklukkan orang adalah berjaya,
menaklukkan diri sendiri adalah perkasa.
Mengetahui batas kecukupan berarti kaya,
berbuat dengan paksaan berarti nekat.
Siapa yang tidak meninggalkan kedudukannya akan berlangsung,
mati tanpa tersesat berarti panjang usia.”

"Manusia hidup lemah dan lemas sesudah mati menjadi kaku dan keras segala
benda tumbuh lemah dan lemas sesudah mati kering dan getas!
Maka itu :
kaku dan keras adalah teman kematian lemah dan lemas adalah teman
kehidupan!
Inilah sebabnya :
senjata keras mudah menjadi rusak kayu keras mudah menjadi patah!
Maka dari itu :
Kaku dan keras menduduki tempat bawah lemah dan lemas menduduki tempat
atas!"

"Apa artinya kematian dibandingkan dengan kehormatan? Seorang budiman


dapat mempertahankan kehormatannya sampai akhir, namun tidak dapat
mempertahankan kehidupannya. Mati terhormat jauh lebih sempurna dari pada
hidup terhina."

"Mengerti akan orang lain adalah bijaksana,


mengerti diri sendiri adalah waspada.
Menaklukkan orang lain adalah berjaya,
menaklukkan diri sendiri adalah kuat perkasa.
Mengetahui batas kecukupan berarti kaya,
tidak mengenal cukup berarti murka.
Enggan meninggalkan kedudukan akan terbelenggu,
mati tanpa tersesat berarti panjang usia."

Sumber segala macam perasaan, malu, senang, sedih, marah, duka timbul dari
pikiran yang mengenang-ngenangkan masa lalu dan membayangkan masa
depan.
Mengenangkan masa lalu menimbulkan duka, kemarahan atau rasa malu.
Membayangkan masa depan menimbulkan rasa takut atau khawatir. Karena itu,
tidak ada gunanya mengenangkan masa lalu dan membayangkan masa depan.
Yang terpenting adalah masa kini, sekarang, saat ini. Hidup adalah saat demi
saat yang kita hadapi, seperti apa adanya, kesunyataannya. Kalau kita
menghadapi segala sesuatu yang datang pada saat ini dengan penuh
kewaspadaan, dengan mawas diri dan dengan penuh kepasrahan kepada
Tuhan di samping tindakan kita yang keluar secara spontan, maka kita akan
dapat menanggulangi setiap masalah yang timbul. Suka dukanya sebab dari
timbulnya pikiran yang mengunyah-ngunyah permasalahan. Kita harus berani
menghadapi segala permasalahan yang timbul dengan penuh ketabahan, tidak
melarikan diri, melainkan menghadapinya dan mengatasinya.
Itulah seni kehidupan. Menghadapi kenyataan dan mengatasinya! Kenyataan
hidup adalah suatu kewajaran, tidak baik maupun untuk selama si-aku tidak
muncul dan menilai-nilai, membanding-bandingkan, menyesuaikan dengan
kepentingan diri sendiri, dengan dasar diuntungkan atau dirugikan,
disenangkan atau tidak disenangkan.
Kalau kita hanyut dalam ulah si-aku yang bukan lain adalah nafsu yang
mengaku-aku, maka kita akan terombang-ambing di antara suka dan duka, di
mana kenyataannya, lebih banyak duka ketimbang suka.

"Hi Nouw Al Lok Ci Di Hoat, Wi Ci Tiong. Hoat si Kai Tiong Ciat, Wi Ci Hoo.
Tiong Ya Cia, Thian He Ci Tai Pun Ya. Hoo Ya Cia, Thian He Ci Tat Too Ya. Ti
Tiong Hoo, Thian Tee Wi Yan, Dan Dut Yok Yan."
artinya :
"Sebelum timbul Senang, Marah, Duka dan Gembira, keadaan itu disebut
Dalam Imbangan Jejak (Seimbang) Apabila pelbagai perasaan itu timbul namun
mengenal batas, keadaan itu disebut Keselarasan. Keseimbangan Jejak ini
adalah Pokok Terbesar dunia. Keselarasan adalah Jalan Utama sesuai dengan
Kekuasaan Tuhan. Apabila Keseimbangan Jejak dan Keselarasan dapat
dilaksanakan dengan sempurna, kebesaran abadi akan meliputi seluruh langit
dan bumi."

Dalam jaman apapun, wanita selalu terancam oleh bujuk rayu pria. Oleh karena
itu, para pria, terutama para gadis remaja dan mulai dewasa, haruslah waspada
sekali, pandai menjaga diri, kehormatan dan harga dirinya. Tentu saja tidak
semua pria berwatak seperti srigala kelaparan, namun banyak sekali pria yang
tampak baik-baik, sopan santun dan terhormat, bagaikan srigala berbulu domba
siap untuk menerkam bila diberi kesempatan. Dengan mempergunakan segal
macam daya, pamer harta, bujuk rayu, sumpah palsu pria-pria macam itu selalu
mengintai para gadis yang dipilihnya Sedikit saja gadis itu lengah, terkulai oleh
bujuk rayu dan sumpah palsu, sila oleh pamer kekayaan, pria srigala itu akan
menerkamnya. Maka hancurlah martabat, harga diri dan kehormatan gadis itu!
Masih mending kalau pria bertanggung jawab dan menikahinya sebagai
isterinya yang sah. Akan tetapi, tidak jarang terdapat pria yang benar-benar
berwatak srigala.
Setelah calon korban jatuh oleh rayuannya, srigala itu akan menggerogoti
daging korbannya sekenyang dan sepuasnya, kemudian meninggalkan pergi
bangkai korban itu begitu saja, tergeletak di tepi jalan sampai membusuk.
Betapa ngerinya kalau sudah begitu. Karena itu, wahai para gadis, waspadalah
dan perkuatkan imanmu, hargailah diri dan kehormatanmu sendiri, jangan
mabok oleh bujuk rayu gombal, jangan silau oleh pameran harta, jangan tertipu
oleh sumpah setia sampai mati, jangan secara murah menyerahkan diri dan
kehormatanmu sebelum kamu dinikahi sebagai isteri. Dan Wahai para pria
pada umumnya dan para pemuda khususnya.
Waspadalah, jangan membiarkan nafsu daya rendah menguasai dirimu
sehingga kamu lupa diri dan menodai seorang gadis, apalagi kalau ia pacar dan
calon isterimu.
Ingatlah bahwa menikmati sejenak itu dapat mengakibatkan penyesalan
seumur hidup!
Jangan terpikat dan minum anggur yang digunakan iblis karena anggur yang
rasanya nikmat itu mengandung racun yang amat berbahaya sekali!. Akan
tetapi kalau hal itumemang telah terjadi karena kamu tidak dapat mengalahkan
nafsumu sendiri, bersikaplah jantan. Bertanggung jawablah!
Karena meninggalkan seorang gadis yang telah kamu nodai merupakan
perbuatan yang amat terkutuk dan yang akan menghantui dirimu selama hidup.

Raja Pedang

rakyat amat menderita oleh musim kering. Sawah-sawah kering merekah,


pecah-pecah tak mungkin dapat ditanami. Sungai-sungai kecil kehilangan
sumbernya, telaga-telaga kelihatan dasarnya, pohon-pohon kehilangan
daunnya. Manusia dan binatang kurus-kurus kekurangan makanan, setiap hari
banyak orang dan binatang mati kelaparan. Rakyat menjerit, ratap tangisnya
membubung ke angkasa, bersambat kepada Tuhan. Setiap hari orang
bersembahyang, minta hujan minta perlindungan, minta-minta dengan ratap
tangis yang tak berdaya. Di lain tempat, pun di kota-kota besar, para pembesar
dan hartawan berpesta pora, berlumba menghamburkan arak dan gandum,
berlebih-lebihan sampai membusuk gandum mereka di gudang, bersenang-
senang, seujung-rambut pun tak pernah teringat kepada Tuhan! Sayang, Tuhan
hanya dijadikan tempat pelarian bagi mereka yang menderita.
Sayang, Tuhan hanya diingat oleh manusia setelah mereka itu membutuhkan
pertolongan dari kesengsaraan duniawi. Lebih patut disayangkan pula, di dalam
keadaan menderita, orang mengeluh mengapa Tuhan meninggalkannya, lupa
sama sekali bahwa Tuhan tak pernah meninggalkan manusia, sebaliknya
manusia jualah yang meninggalkan Tuhan sampai jauh, sampai tersesat dan
akhirnya mereka kehilangan Tuhan.

Heh perut berhentilah merengek!


Tidak malukah kau kepada kaki?
Yang bekerja keras tak pernah mengeluh
Kau tiada guna, tak pernah bekerja,
Kerjamu hanya merengek minta diisi

Teka Teki
ada orang yang segala-galanya besar sendiri, siapa itu?"
"Orang yang besar sendiri?" kata Beng San. "Kau inilah, atau aku, pendek nya
setiap orang!"
"Siapa main-main? Kaulah orang yang besar sendiri, juga aku dan setiap orang
tentu besar sendiri. Kalau kau tidak besar sendiri, siapa yang
membesarkanmu? Apa ada yang meniup lubang hidungmu sambil menyumpal
lain lubang di tubuhmu supaya kau melembung dan membesar?"

Thian (Tuhan) membuat seluruh anggota tubuh kita lengan sempurna. Akan
tetapi mengapa Thian membuat hidung kita dengan dua lubangnya menghadap
ke bawah. Hayo kalau kau memang pintar, jawablah!”

Apa sebabnya orang mati sebelum dimasukkan peti mati selalu dimandikan
lebih dahulu! Nah, pikirlah baik-baik, karena kau sendiri kelak juga akan mati
dan dimandikan orang."
Orang mati. Sebelum dimasukkan peti mati selalu dimandikan lebih dahulu
karena DIA TIDAK BISA MANDI SENDIRI! Kalau dia bisa mandi sendiri, tentu
tidak dimandikan orang, dan dengan begitu dia belum mati. Nah, betul tidak?"

penderitaan hidup merupakan gemblengan yang paling baik untuk seseorang,


merupakan latihan rohani yang amat berharga.

Manusia boleh berdaya upaya, namun Tuhanlah yang berkuasa. Sudah


menjadi hak, bahkan menjadi kewajiban manusia untuk berusaha dan berdaya
upaya ke arah kemajuan, ke arah perbaikan dan ke arah keadaan
sebagaimana yang ia kehendaki dan inginkan. Namun tak dapat disangkal pula
bahwa pada akhirnya, kekuasaan Tuhan yang akan menentukan bagaimana
jadinya dengan segala daya upaya itu. Oleh karena itulah maka para bijaksana,
para ahli pikir dan ahli filsafat menganjurkan agar dalam setiap gerak, setiap
langkah dan daya upaya, seyogyanya manusia menyerahkan penentuan
terakhir kepada Yang Maha Kuasa. Apabila hati sudah betul-betul dapat
menyerah terhadap segala keputusan Tuhan Yang Maha Kuasa, apabila hati
sudah betul-betul sadar penuh keyakinan bahwasanya segala apa ini, baik
maupun buruk dalam penilaiannya, terjadi karena kehendak Yang Maha
Penentu, maka ia takkan terlalu merasa sengsara apabila yang dikehendaki
dan diinginkannya tidak terkabul. Sudah terlalu banyak sebetulnya contoh-
contoh untuk kebenaran di atas tadi terjadi di dunia sepanjang masa. Tak usah
kita mencari contoh jauh-jauh, kita kenangkan kembali pengalaman hidup diri
kita sendiri. Sudah betapa seringnya terjadi dalam hidup kita hal-hal yang sama
sekali berlawanan dengan apa yang kita inginkan?
Berlawanan sama sekali dengan apa yang kita kehendaki? Padahal sudah
mati-matian kita berusaha untuk menjuruskan hal itu agar terjadi seperti
keinginan kita? Tidakkah sudah terlalu sering kita merasa kecewa? Ini keliru, ini
salah! Kita harus dapat menerima segala kejadian sebagai hal yang sudah
semestinya begitu, betapapun pahit bagi kita. Sedapat mungkin, kita harus
menerima pahit getir sebagai gemblengan batin, dan mencari-cari dalam diri
sendiri kesalahan apakah yang kita lakukan tanpa kita sadari sehingga hal yang
tidak kita kehendaki itu terjadi. Karena, segala akibat itu pasti bersebab dan
sebab-sebab ini kalau tidak terlihat di luar, harus kita cari mendalam, mencari
tak usah jauh-jauh, tapi dalam diri kita sendiri. Apabila kita benar-benar sudah
menyerahkan diri sebulatnya kepada kekuasaan Yang Maha Esa, sudah dapat
dipastikan bahwa kita akan mampu mencari kesalahan sendiri itu, kesalahan
yang dilakukan tanpa kita sendiri menyadari bahwa kita telah bertindak salah.

Syair dalam To-tek-keng


Kata-kata jujur tak enak didengar,
kata-kata enak didengar tidak jujur.
Orang yang mengerti tidak mau cekcok.
yang suka cekcok tidak mengerti.
Orang yang tahu tidak sombong
yang sombong tidaklah tahu.
Orang bijaksana tidak kikir,
ia menyumbang sehabis-habisnya
namun ia makin menjadi kaya.
la memberi sehabis-habisnya,
namun ia makin berlebihan.
Jalan yang ditempuh langit
selalu menguntungkan, tidak pernah merugikan.
Jalan yang ditempuh. orang bijaksana selalu memberi,
tidak pernah merebut.

Di waktu hidup, manusia lemah dan lemas,


kalau mati menjadi kaku dan keras.
Segala benda hidup di waktu tumbuh lemah dan lemas
kalau mati menjadi kering dan getas (mudah patah)
Maka dari itu;
KAKU KERAS adalah teman kematian,
LEMAH LEMAS adalah teman kehidupan.
Inilah sebabnya maka senjata keras mudah menjadi rusak
Pohon kayu keras mudah menjadi tumbang dan patah.

Oleh karena itu :


Yang kuat keras akan tumbang menduduki tempat bawah,
yang lemah dan lemas akan terus bersemi di tempat yang atas.

“Mengenal keadaan orang lain adalah bijaksana, mengenal keadaan diri sendiri
adalah waspada. Mengalahkan orang lain adalah kuat, menaklukkan diri sendiri
adalah gagah perkasa, Puas dan mengenal batas berarti kaya raya,
memaksakan kehendak sendiri berarti nekat.
Tahu diri dan tahu kewajiban akan berlangsung, mati tidak tersesat berarti
panjang umur.”

Sudah menjadi kenyataan semenjak dunia berkembang, di dalam hidup


menderita sengsara, manusia akan mencari Tuhan karena sudah kehabisan
akal dan tidak berdaya untuk memperbaiki hidupnya yang penuh penderitaan
itu. Berpalinglah manusia yang menderita sengsara, mencari-cari Kekuasaan
Tertinggi yang tadinya terlupa olehnya dikala ia tidak berada dalam penderitaan
hidup. Sebaliknya, diwaktu menikmati hidup penuh kesenangan dan
kecukupan, manusia sama sekali lupa akan Tuhannya, lupa bahwa segala
kesenangan yang dapat ia rasa pada hakekatnya adalah rahmat dari Tuhan.
Manusia dalam mabuk kesenangan menjadi sombong, mabuk kemenangan
dan kemuliaan duniawi, merasa seakan-akan semua hasil gemilang itu adalah
hasil kepandaiannya sendiri. Manusia yang sedang ditimpa kesengsaraan suka
mencari kesalahan sendiri yang menyebabkan ia menderita, suka mengakui
kesalahannya dan bertobat, berjanji takkan mengulangi perbuatannya yang
sesat. Sebaliknya, di dalam mabuk kemuliaan, manusia hanya bisa
menyalahkan orang lain mengira bahwa dirinya sendiri yang benar dan karena
kebenarannya itulah maka ia dapat hidup dalam kemuliaan.
Alangkah bodohnya manusia, alangkah pelupa dan mudah mabuk oleh
kesenangan duniawi! Lupa sudah bahwa segala apa yang dipisah-pisahkan
manusia dan diberi istilah kesenangan atau kesengsaraan itu adalah sesuatu
yang sifatnya sementara belaka. Baik kesenangan dan kesengsaraan yang
sebetulnya bukanlah merupakan sifat dari sesuatu keadaan, melainkan lebih
merupakan pendapat menurut selera seorang, takkan abadi dan tidak
merupakan hal yang sementara terasa, malahan umurnya amat pendek,
sependek umur manusia di dunia ini.
Baik mereka yang mabuk kemenangan di waktu usahanya berhasil gemilang,
maupun mereka yang putus asa dan nelangsa di waktu mengalami derita
kekalahan, mereka ini adalah manusia-manusia yang bodoh dan, mau
membiarkan dirinya diombang-ambingkan dan dipermainkan oleh perasaannya
sendiri. Bahagialah orang yang selalu berpegang kepada kebenaran, yang
selalu waspada akan langkah hidupnya sendiri agar tidak menyeleweng dari
kebenaran, dan dalam pada itu selalu mendasarkan segala sesuatu yang
menimpa dirinya, baik itu menyenangkan badan maupun sebaliknya, sebagai
kehendak daripada Tuhan seru sekalian alam, Tuhan yang menentukan
segalanya, yang tak dapat diubah oleh kekuasaan manapun juga di dunia ini.
Jika diadakan perbandingan, jauh lebih bahagia mereka yang tertimpa
kesengsaraan hidup dan membuat mereka berpaling mencari Tuhannya,
daripada mereka yang hidup bergelimang dalam kemewahan dan membuat
mereka lupa akan Tuhannya.

Kebahagiaan seperti bayangan serasa tergenggam di jari tanpa bekas kau lari
tak dikejar mendekati dikejar kau menjauhi memang kau bayanganku tak
pernah berpisah dariku bagaimana orang dapat mengejar bayangan sendiri?

Kebahagiaan adalah keadaan, memang ada, yaitu sudah ada dalam diri setiap
mahluk, setiap yang mengejarnya dia tersesat jauh karena memang tidak dapat
dan tidak semestinya dikejar. Kebahagiaan adalah keadaan jiwa seseorang
yang sudah sadar akan keadaan hidupnya, yang sadar bahwa ada yang
menghidupkannya. Kebahagiaan adalah keadaan jiwa seseorang yang tenang
tenteram damai dan tahu bahwa segala sesuatu yang menimpa dirinya adalah
kehendak Tuhan. Oleh karena itu ia dapat menerima dengan hati Ikhlas, tak
dapat kecewa, tak dapat berduka, adanya hanya puas dan dapat menikmati
kekuasaan Tuhan yang dilimpahkan atas dirinya, baik kekuasaan yang
mendatangkan rasa tidak enak ataupun yang sebaliknya bagi badan dan
pikiran. Hanya manusia yang sadar akan kekuasaan Tuhan, dapat menerima
segala yang terjadi atas dirinya dengan penuh penyerahan, dengan tunduk, taat
dan menganggap segala peristiwa, baik yang dianggap menyenangkan atau
menyusahkan oleh badan dan pikiran serta perasaannya, sebagai berkah
Tuhan, manusia seperti itulah yang berhasil menemukan kebahagiaan yang
memang sudah berada dalam dirinya. Karena menghadapi keadaan yang
bagaimanapun juga, ia akan tetap tenang, tenteram dan menerima dengan hati
tulus ikhlas, dan kepercayaannya akan kekuasaan Tuhan takkan tergoyah.

Dan kebahagiaan tidak mungkin dicapai dengan melalui perbuatan jahat. Di


samping penyerahan akan kekuasaan Tuhan, juga setiap tindakan dalam hidup
haruslah menjauhi kejahatan dan memupuk kebaikan sebanyak mungkin. Inilah
yang dinamakan menyesuaikan diri dengan sifat alam. Adakah alam pernah
menuntun sesuatu demi kesenangannya sendiri? Tidak pernah, alam dan
segala isinya selalu memberi kebaikan kepada siapa saja tanpa pernah minta
dan menuntut. Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang, tiada yang dikecualikan,
berkah-Nya melimpah-limpah seperti aliran Sungai Kuning yang tak pernah
kering, akan tetapi, pernahkah Tuhan menuntut dan minta sesuatu dari kita?
Alam merupakan cermin kecil dari sifat Maha Pengasih dan Penyayang itu.
Lihatlah pohon berbuah itu, Locianpwe. Tanpa diminta ia memberikan segala-
galanya, batangnya, daunnya, bunganya, buahnya kepada siapa saja yang
membutuhkan.
Ia memberikan dengan segala keikhlasan tanpa diminta, segala kenikmatan
kepada yang dapat menikmatinya. Akan tetapi, pernahkah pohon itu minta
sesuatu, menuntut sesuatu dari siapapun juga? Ah, alangkah akan indahnya
dunia ini kalau manusia dapat memetik pelajaran dari sikap pohon buah itu, di
mana manusia hanya mengenal pemupukan kebaikan dari sifat alam tanpa
menuntut kesenangan bagi diri sendiri."

"Dia yang dapat menahan kemarahan, seperti seorang menahan kaburnya


kereta, dialah patut disebut seorang kusir sejati.
Kalahkan amarah dengan kasih, tundukkan kejahatan dengan kebajikan,
kerakusan dengan kerelaan, dan kebohongan dengan kebenaran."

"Sudah menjadi kehendak alam agaknya bahwa manusia ini hidupnya


dipengaruhi dan dibimbing oleh rasa. Rasa menimbulkan kehendak dan
kehendak melahirkan perbuatan. Jadi setiap perbuatan adalah pelaksanaan
daripada kehendak yang akan menuruti dorongan rasa. Rasa ini halus sekali
dan karenanya sering sekali dipermainkan oleh nafsu. Nafsu inilah
pokokpangkal segala peristiwa di dunia, karena nafsulah yang mendorong
segala sesuatu di dunia ini sehingga dapat berputar. Nafsu ini besar kecilnya
tergantung kepada fihak ke"aku"an yang ada pada diri setiap manusia. Orang
yang selalu memikirkan diri sendiri, orang yang selalu mementingkan diri
pribadi, dialah seorang hamba nafsu dan sering sekali melakukan perbuatan
yang menyeleweng daripada kebenaran."

Ada orang-orang bertapa dan sengaja berusaha untuk membunuh nafsunya


sendiri. Sudah tentu bagi orang-orang yang melakukan hal demikian usaha ini
benar. Akan tetapi bagi aku pribadi, usaha seperti itu bukanlah merupakan jalan
untuk mencapai kesempurnaan. Nafsu tidak boleh dibunuh. karena seperti telah
kukatakan tadi, nafsu adalah pendorong hidup, pendorong segala di dunia ini
sehingga dapat berputar dan berjalan sebagaimana mestinya menurut hukum
alam. Tanpa adanya nafsu, dunia akan sunyi, akhirnya segala akan mati dan
diam tidak berputar lagi. Karena itulah maka kuanggap keliru ada yang
berusaha mencari kesempurnaan dengan jalan membunuh nafsu-nafsunya
sendiri."

"Nafsu adalah pelengkap yang lahir bersama hidup itu sendiri. Tubuh manusia
kalau boleh diumpamakan sebuah kereta yang lengkap, maka nafsu adalah
kuda-kudanya yang dipasang di depan kereta. Si kereta tidak akan dapat
bergerak maju sendiri tanpa tarikan tenaga kuda-kuda nafsu itu. Kuda-kuda
nafsunya memang liar dan binal, kalau dibiarkan saja kuda-kuda itu tentu meliar
dan membedal semauaya sendiri, tentu ada bahayanya kuda-kuda itu, akan
menjerumuskan keretanya ke dalam jurang kesengsaraan hidup, mungkin
berikut kusirnya sekali karena kereta itu juga ada kusirnya, yaitu si aku yang
sejati, jiwa yang menguasai seluruh kereta. Kalau kusir itu pandai
mengendalikan kuda-kuda liar itu dengan tali-temali berupa kesadaran, maka
kuda-kuda nafsu yang liar dan binal itu dapat dipergunakan tenaganya untuk
menarik maju si kereta menuju ke jalan yang benar, sesuai dengan kehendak
alam, segala sesuatu harus bergerak maju, namun kemajuan yang lurus dan
benar, karena siapa yang maju dalam keadaan menyeleweng pasti akan
hancur ke dalam jurang kesengsaraan.

Kemesraan
Memang sesungguhnyalah, amatlah tidak baik kalau suami isteri melupakan
kemesraan masa lalunya. Tinggal di rumah saja bertahun-tahun, hidup sebagai
alat-alat mati, segalanya Sudah teratur dan selalu begitu-begitu tanpa
perubahan, setiap hari terulang kembali tanpa muncul hal-hal baru, tanpa
melihat hal-hal baru, akan mudah mendatangkan rasa bosan. Tanpa disadari
akan membuat suami isteri itu merasa bahwa mereka terikat oleh beban rumah
tangga yang membuat mereka tunduk terbungkuk-bungkuk, menyeret mereka
menjadi hamba daripada keseragaman yang mereka ciptakan sendiri,
memaksa mereka menjadi sebagian daripada bangunan mesin rumah tangga
yang mereka bentuk sendiri.
Tubuh ini milik dunia, dan sudah menjadi sifat dunia selalu menghendaki yang
baru mengubur yang lama. Oleh karena tubuh ini milik dunia maka tubuh ini
pun seperti halnya dunia, menghendaki pula hal-hal yang baru, selalu rindu dan
mencari sesuatu yang baru. Demikian pula dengan suami isteri, karena mereka
hanya manusia-manusia yang bertubuh, dengan sendirinya mereka pun
membutuhkan hal-hal yang baru untuk mempertahankan kebahagiaan rumah
tangganya. Mereka sendirilah yang harus menciptakan hal-hal baru ini, harus
pandai mencari suasana yang baru karena hal ini akan membangkitkan gairah
hidup, akan menambah terang cahaya kebahagiaan rumah tangga, akan
memperbaru atau mempertebal kasih mesra di antara mereka sendiri (dalam
bahasa Jawa disebut ambangun trisno). Suami isteri harus pandai memilih
saat-saat di mana mereka dapat memisahkan diri daripada keseragaman tiap
hari itu, berdua saja untuk sementara memisahkan diri daripada suasana
sehari-hari yang selalu begitu-begitu saja sehingga membosankan.

"Kemenangan melahirkan kesombongan menimbulkan benci permusuhan


hidup tak tenteram lagi. Kekalahan melahirkan penasaran menimbulkan
dendam memupuk pembalasan hidup tak tenteram lagi. Yang melempar jauh-
jauh kemenangan maupun kekalahan dialah orang bahagia. Yang dikagumi dan
dikehendaki para bijak budiman adalah kemenangan batin!"
"Mengenal keadaan orang lain memang bijaksana mengenal diri sendiri barulah
waspada. Mengalahkan orang lain memang kuat badannya mengalahkan diri
sendiri barulah kuat batinnya."

Sayang, amat terlambat dia insyaf. Di Waktu muda dahulu, kedudukan,


kekuasaan, kekuatan, dan harta benda membuat dia takabur. Membuatnya
sewenang-wenang, seakan-akan tidak ada kekuasaan di dunia ini yang dapat
melawannya, yang dapat mengadili perbuatan-perbuatannya. la lupa pada
waktu itu bahwa di atas segala kekuasaan yang tampak di dunia ini, masih ADA
kekuasan tertinggi, kekuasaan Tuhan yang tak terlawan, yang maha adil dan
yang takkan membiarkan kejahatan lewat tanpa hukuman. Setiap perbuatan
merupakan sebab dan setiap sebab mempunyai akibat. Nasib di tangan
Tuhan? Betul, karena Tuhanlah yang mengatur lancarnya akibat-akibat ini
seadil-adilnya maka Maha Adilkah DIA.
Nasib di tangan manusia sendiri? Juga betul, karena sesungguhnya, si manusia
itu sendirilah yang menjadi sebab dari akibat yang disebut kemudian sebagai
nasib! Perbuatan baik tentu berakibat baik, sebaliknya perbuatan busuk pasti
berakibat buruk, maka baik buruknya akibat atau nasib sesungguhnya adalah di
tangan si manusia itu sendiri. Jangan terlalu keras ketawa gembira mereka
yang berbuat kejahatan tapi belum menerima hukuman dari Tuhan, karena
yakinlah, bahwa akibat perbuatanmu pasti tiba! Tuhan Maha Adil!

Musuh yang bagaimana lihai dan jahatpun masih tak berarti jika dibandingkan
dengan musuh tersembunyi yang berada dalam hatimu sendiri. Dan musuh itu
paling berbahaya jika orang berada dalam puncak kekuasaan atau
kekayaannya. Kekuasaan dan kekayaan membuat musuh dalam dirimu itu
bangun dan menjatuhkan. Biasanya kalau orang dalam keadaan sengsara dan
tertindas, ia akan ingat kepada Tuhan dan berlaku baik sebagaimana layaknya
seorang manusia karena musuh dalam dirinya itu tak berdaya dan tinggal
sembunyi. Tapi kalau orang itu sudah mempunyai kekuasaan dan menjadi
kaya, maka bangunlah musuh tak terlihat itu dan membuat ia lupa asegala, lalu
menjadi jahat

Perang memang merupakan malapetaka yang mengerikan dan menyedihkan.


Malapetaka yang telah terjadi semenjak sejarah berkembang sampai pada
jaman ini dan pasti akan selalu terulang kembali di seluruh dunia selama
manusia belum menyadari bahwa perang adalah akibat dari keadaan diri kita
pribadi. Perang yang terjadi di sudut dunia yang lain, biarpun amat jauh dari
tempat kita tinggal, tidak terlepas dari keadaan kita sebagai manusia karena
sesungguhnya keadaan kitalah yang menimbulkan perang, di manapun
malapetaka itu terjadi.
Apakah yang menimbulkan perang? Perang adalah konflik, perang adalah
pertentangan antara dua kelompok atau lebih, yaitu kelom pok yang dapat saja
merupakan bangsa, kelompok suku, kelompok agama, kelompok aliran
kepercayaan, kelompok aliran politik, atau kelompok-kelompok yang mengekor
dan dipengaruhi oleh para pemimpin yang mempergunakan kelompok itu untuk
mencapai cita-cita atau tujuannya.
Konflik terjadi karena masing-masing kelompok mempertahankan
kebenarannya. Dan kebenaran yang dipertahankan sesungguhnya hanyalah
pengejaran terhadap sesuatu yang menyenangkan diri pribadi belaka. Konflik
antara kelompok ini mencerminkan konflik antar manusia dan konflik antar
manusia terjadi karena adanya konflik dalam batin setiap manusia. Dan seperti
telah kita ketahui tadi, konflik terjadi apabila kita mengejar sesuatu yang kita
anggap menyenangkan, yang kita selimuti dengan kata indah dan megah.
Kebenaran!
Apakah sesungguhnya sesuatu yang kita kejar-kejar itu? Sesuatu yang kita
kejar tentu saja adalah sesuatu yang belum ada, yang belum terjadi, yang
belum berada di dalam tangan kita. Kita selalu mengejar sesuatu yang lain dari
pada yang telah ada. Kita selalu ingin yang BEGITU, karena kita tidak
menghargai lagi yang BEGINI. Yang begitu adalah ambisi, adalah tujuan.
Sebaliknya yang begini adalah fakta hidup, keadaan kita yang nyata.
Pengejaran akan yang begitu tentu saja membuat yang begini menjadi hilang
artinya, hilang keindahannya. Dan PENGEJARAN itulah yang menimbulkan
konflik antara yang begini dan yang begitu. Pengejaran itulah, yang
menimbulkan konflik, tidak hanya konflik dalam batin sendiri, melainkan
mencuat ke luar menjadi konflik antar manusia dan me besar lagi menjadi
konflik antar kelompok, antar. Pengejaran akan sesuatu yang dianggap lebih
menyenangkan dari pada yang sudah ada yang kita anggap kebenaran,
mengakibatkan bentrokan terjadi, masing-masing pibak mempertahankan
"kebenaran" sendiri-sendiri dan terjadilah perang! Jadi, sumber dari segala
bencana, termasuk perang, berada di dalam diri sendiri! Kita dapat melihat ini
dengan jelas, seperti juga melihat bahwa sumber dari segala keindahan dan
kebahagiaan juga sudah berada di dalam diri sendiri!
Apapun yang dikejarnya, baik berupa harta benda, kedudukan, kemuliaan,
nama besar, kehormatan, dan sebagainya, sesungguhnya berdasarkan pada
keinginan untuk menyenangkan diri pribadi. Harta benda, kedudukan,
kemuliaan, nama besar dan sebagainya itu tidaklah buruk dan keadaannya
merupakan suatu kewajaran, akan tetapi PENGEJARANNYA terhadap semua
itulah yang berbahaya, yang menimbulkan perang!

Biasanya, apa bila kita menghadapi rasa takut dalam bentuk apapun juga, kita
tidak berani menghadapinya secara langsung. Kita selalu mencari jalan keluar,
kita selalu ingin melarikan diri dari perasaan takut ini, ingin mencari hiburan
untuk menyelimuti rasa takut itu, untuk menjauhinya. Kita lupa bahwa rasa takut
itu berada dalam batin kita, tidak mungkin kita jauhi, dan tidak mungkin kita lari
dari depannya. Memang bisa kita lari menjauhi, namun hal itu hanya
nampaknya saja, dan hanya untuk sementara saja kita terhibur dan seolah-olah
kehilangan rasa takut. Padahal, rasa takut itu masih menyelinap di lubuk hati
dan setiap saat akan muncul kembali apa bila hiburannya lenyap. Misalnya
orang yang takut sendirian di malam hari, takut bayangan setan dan
sebagainya. Kita selalu hendak lari dari rasa takut ini, dengan jalan
mendengarkan bunyi-bunyian, mencari teman, atau bernyanyi-nyanyi sendiri,
dengan maksud untuk "mengusir" rasa takut. Namun, semua itu percuma saja
karena biarpun kelihatannya dapat menolong, sesungguhnya rasa takut itu
seperti api hanya disekap atau ditutup saja, seperti api dalam sekam. Kalau
penutupnya sudah tidak ada, api itu, yalah rasa takut, akan berkobar lagi,
karena rasa takut itu MASIH ADA.
Rasa takut adalah fakta, dan mana mungkin kita menghilangkan fakta itu
dengan hiburan-hiburan hampa itu? Faktanya itu yang harus lenyap dulu,
karena rasa takut sebagai fakta (kenyataan) keadaan kita itu sebenarnya timbul
karena angan-angan kosong belaka, karena pi-kiran kita sendiri yang
menbayangkan hal-hal yang belum terjadi. Orang yang takut bersen-dirian
dalam gelap di malam hari, tentu mem bayangkan setan-setan dan iblis iblis
dan lain kengcrian lagi, membayangkan haI-hal yang sebenarnya tidak ada
pada saat itu! Orang yang takut sakit tcntulah orang yang belum sakit, yang
membayangkan penyakit itu. Bagaimana kalau dia sudah sakit? Sudah pasti dia
tidak takut akan sakit lagi yang sudah menjadi fakta, melainkan takut akan mati
yang dibayangkan oleh si sakit. Demikian selanjutnya.

Dengan membuka mata, maka akan 'tampaklah segala-galanya oleh kita, akan
tampaklah bahwa rasa takut itu timbul karena angan-angan, karena pikiran
membayangkan atau mengingat-ingat hal-hal yang belum terjadi. Melihat
kenyataan inilah yang menghilangkan rasa takut. Bukan DIHILANGKAN, bukan
DITUTUPI, melainkan hilang sendiri karena kita melihat kenyataan tentang rasa
takut itu sendiri. Karena itu, setiap saat kita dihinggapi rasa takut dalam bentuk
apapun juga, apa bila kita membuka mata mengamati rasa takut itu sendiri
dengan penuh perhatian, maka kita akan dapat melihat kenyataan dari sebab-
sebab timbul-nya rasa takut, melihat kenyataan bahwa rasa takut adalah
hampa dan abstrak, dan penglihatan ini yang akan dengan sendirinya meniada-
kan rasa takut.

Pengikatan diri terhadap apapun juga di dunia ini tentu akan menimbulkan
duka. Cinta kita terhadap manusia lain atau terhadap benda sebenarnya
hanyalah kesenangan yang kita nikmati dari manusia atau benda yang kita
cinta itu. Cinta macam ini bersifat memiliki dan mengandung pengikatan. Oleh
karena itu, apa bila kita mengikatkan diri kepada sesuatu baik manusia atau
benda, yang kita sukai, seolah-olah ikatan itu menumbuhkan akar di dalam
batin, maka setiap kali kita dipisahkan dari apa yang kita cintai itu, terjebollah
akarnya dan hal ini tentu saja menyakitkan batin dan menimbulkan duka.
Pengikatan diri menimbulkan rasa iba diri apa bila perpisahan datang,
sedangkan perpisahan tidak mungkin dapat dielakkan lagi di dunia ini karena
segala sesuatu adalah tidak kekal adanya. Dan betapa banyaknya kita
"mengikatkan diri" dengan keduniawian, dengan keluarga, sahabat, harta
benda, kedudukan, nama besar, dan seribu satu macam hal-hal yang
mendatangkan kenangan bagi kita sehingga hidup kita penuh dengan halhal
yang menimbulkan duka karena sewaktuwaktu kita tentu akan berpisah dengan
semua itu. Pengikatan diri inipun menimbulkan rasa takut akan kematian,
perpisahan yang mutlak karena saat kita mati kita akan berpisah dari semua
yang kita sayang itu. Karena itu yang terutama dan terpenting adalah: Dapatkah
kita hidup tanpa pengikatan dengan apapun juga, tanpa bersandar kepada
apapun juga, secara batiniah?

Yang dinamakan pemimpin adalah orang-orang yang memegang kedudukan


tinggi dan yang memimpin rakyat kearah kemakmuran bersama. Akan tetapi
pembesar adalah orang-orang yang memperebutkan kedudukan tinggi hanya
untuk memperbesar perut sendiri, memperbesar kekuasaan dan memperbesar
kekayaan pribadi saja. Mereka ini selalu mementingkan diri sendiri, mengejar
kesenangan sebanyak-banyaknya. Kesenangan dalam bentuk apapun, baik itu
kedudukan, harta benda dan sebagainya, bukan merupakan hal buruk dan
jahat. Akan tetapi, kalau sudah dikejar-kejar, maka dalam PENGEJARANNYA
inilah timbul kejahatan-kejahatan, karena demi untuk mencapai yang dikejar-
kejarnya, manusia tidak segan-segan untuk melakukan perbuatan busuk
macam apapun juga. Pengejaran akan kedudukan menimbulkan kejahatan dan
kecurangan terhadap lawan yang memperebutkan kedudukan, pengejaran
terhadap kekayaan antara lain menimbulkan korupsi yang kian merajalela.

Perasaan cinta yang terkandung dalam hati seorang pria terhadap seorang
wanita atau sebaliknya, memang merupakan suatu "permainan” yang amat
hebat, aneh, dan berkuasa sekali dalam kebidupan manusia! Semenjak sejarah
berkembang, persoalan "cinta" ini telah menjadi bahan inspirasi dari para
sasterawan dan seniman. Betapa banyaknya cerita-cerita dan sajak-sajak indah
tentang cinta ditulis, dipanggungkan, dan dinyanyikan para seniman. Kisah-
kisah cinta selalu mengandung segi segi kehidupan manusia yang penuh
dengan romantika, kebahagian dan kedukaan, suka duka dan manis pahit yang
membumbui kehidupan manusia. Kisah cinta bisa terjadi sedemikian
bahagianya sampai mengharukan hati dan memancing keluarnya air mata,
akan tetapi sebaliknya juga dapat terjadi sedemikian menyedihkannya sampai
menghancurknu perasaan dan memancing air mata pula. Dapat mengangkat
seseorang ke sorga yang paling tinggi namun dapat pula menjerumuskan
seorang ke neraka yang paling rendah! Hampir sebagian banyak dari usia
manusia dikuasai oleh apa yang dinamakan cinta ini, cinta antara pria dan
wanita!
Akan tetapi, sungguh menyedihkan betapa jarang ada manusia yang sungguh-
sungguh mengenal cinta! Walaupun setiap mulut pernah menyebut cinta,
namun benarkah cinta yang kita dengung-denguugkan dalam cerita-cerita,
dalam sajak-sajak, dalam nyanyian-nyanyian itu? Ataukah itu hanyalah
namanya saja cinta akau tetapi di dalamnya mengandung pengejaran akan
kesenangan? Baik kesenangan itu berupa ingin menguasai, ingin memiliki,
ingin melampiaskan nafsu berahi, yang pada hakekatnya hanyalah pengejaran
kesenangan untuk diri pribadi?
Betapa indahnya cinta! Indah dan suci! Tanpa cinta, tanaman takkan berbunga,
pohon takakan berbuah, kembang kehilangan harumnya, kicau burung
kehilangan merdunya, matahari kehilangan sinarnya! Namun, betapa
bahayanya nafsu pengejaran kesenangan, nafsu pementingan diri yang kita
namakan cinta itu! Berbahaya dan kalau sudah mencengkeram kita, dia
mempermainkan kita dan mampu menyeret kita menjadi permainan antara
kesenangan dan penderitaan! Mampu membangkitkan cemburu dan benci.
Bahkan tidak jarang seorang korban menjadi gila, atau membunuh diri sebagai
korban "cinta" seperti itu. Atau membunuh saingannya, atau menyeretnya
menjadi orang yang kehilangan kesusilaan, kehilangan pedoman hidup,
kehilangan segala-galanya!

Susah senang, puas kecewa, itulah isinya kehidupan manusia! Baik susah
maupun senang, puas maupun kecewa, adalah akibat dari adanya keinginan!
Makin banyak keinginan seseorang, makin banyak pula dia diombang-
ambingkan antara susah, senang, puas kecewa. Kalau tercapai apa yang
diinginkannya tentu puas dan senang. Kalau tidak tercapai apa yang diinginkan,
tentu kecewa dan susah akan tetapi baik senang maupun susah, hanyalah
sementara saja, selewat saja! Yang tercapai keinginannya dan senang, hanya
sebentar saja senang karena kembali dia akan dicengkeram oleh keinginan lain
yang lebih besar atau dianggap lebih menarik dan begitu dia dicengkeram oleh
keinginan baru ini berarti dia membuka kemungkinan untuk mengalami susah
atau senang yang baru lagi, puas atau kecewa yang berikutnya lagi!
Sebaliknya, yang tidak tercapai keinginannya dan menjadi susah kecewa,
itupun hanya sebentar saja karena diapun dapat menghibur hatinya dengan
harapan baru untuk memperoleh senang dari keinginan yang baru lagi. Tidak
ada kesenangan maupun kesusahan yang abadi, semua itu hanya lewat
sekelebatan saja, berselang-seling, ganti berganti seperti siang dan malam.
Akan tetapi yang penting, dapatkah kita hidup terbebas dari cengkeraman nafsu
keinginan yang menyeret kita dalam permainan gelombang susah senang,
puas kecewa ini? Kita dapat melibat perubahan setiap saat dari susah senang
sebagai akibat keinginan itu dalam diri kita sendiri setiap hari, setiap saat!

KEBAJIKAN atau kebaikan tabiat atau kelakuan adalah suatu sifat, suatu
kewajaran yang terjadi atau dilakukan tanpa unsur kesengajaan oleh si pelaku.
Kalau kebajikan dilakukan dengan sengaja disertai kesadaran dari pelaku
bahwa dia melakukan kebajikan, maka tak dapat disangkal lagi, perbuatan baik
atau kebajikannya itu dilakukan dengan adanya pamrih tersembunyi di balik
perbuatan itu.
Bermacam-macam dan bertingkat-tingkat adanya pamrih yang tersembunyi ini,
ada pamrih untuk keuntungan lahiriah, ada pula pamrih keuntungan batiniah.
Akan tetapi tetap saja sama, karena pamrih yang tersembunyi dalam setiap
perbuatan itu pada hakekatnya hanyalah keinginan untuk memperoleh
kesenangan lahir maupun kesenangan batin.
Bahkan ada pamrih tersembunyi dalam perbuatan baik yang tidak disadari lagi
oleh yang berbuat, pamrih yang mengendap di bawah sadar.
Dan setiap perbuatan betapapun baiknya setiap kebajikan, yang dilakukan
dengan kesadaran bahwa hal itu adalah kebajikan dan dengan demikian
mengandung pamrih, adalah suatu kepalsuan. Bukan baik karena memang
pada dasarnya dan sewajarnya memang baik, melainkan kebaikan yang dibuat-
buat, seperti pemulas untuk menutupi ying buruk. Kebajikan tidak mungkin
dapat dipelajari, dalam arti kata dilatih, atau ditiru-tiru dari anjuran kitab-kitab
atau guru-guru.
Karena kebajikan yang hanya dilakukan untuk meniru-niru atau menyesuaikan
diri dengan suatu pelajaran, adalah kebajikan pura-pura atau palsu, munapafik
adanya. Kalau di dalam hati masih ada rasa benci, lalu dalam perbuatan,
katakata siikap dan lain-lain memperlihatkan keramahan dan kebaikan budi,
bukankah itu palsu namanya ?
Kalau begitu, bagaimanakah yang dinamakan kebajikan atau kebaikan itu:
Kalau kelakuan itu adalah suatu sifat, suatu kewajaran, tidak disadari lagi
sebagai suatu kebajikan oleh yang melakukannya, kalau tidak terdapat
kebencian lagi di dalam hati, maka terdapatlah cinta kasih di dalam perbuatan.
Dan dengan cinta kasih, maka setiap perbuatan adalah bajik !.
Kebaikan yang timbul karena latihan, hanyalah tiru-tiru dan palsu.Kebaikan
seperti ini mudah sekali luntur, mudah goyah dan mudah berubah, bagaikan
pakaian saja kalau tertimpa panas dan hujan, akan luntur dan lapuk,
memperlihatkan apa yang tersembunyi di baliknya. Terutama sekali dalam
keadaan dikecewaan, maka timbullah dendam, penasaran, yang meengundang
kebencian. Dan kalau sudah di cengkeram oleh kebencian, maka semua latihan
kebaikan itu pun akan terlupakan.

Tidaklah aneh apabila manusia selalu menganggap bahwa hal yang tidak
dimilikinya itu sebagai hal yang paling indah dan akan mendatangkan
kebahagiaan kalau dapat diraihnya. Perbandingan mendatangkan iri hati,
mendatangkan keinginan untuk memperoleh segala sesuatu yang tidak
dimilikinya.
Karena itulah semua manusia di dunia ini hanya saling pandang dan saling
mengiri, menganggap bahwa! keadaan orang lain lebih senang dari pada
keadaan dirinya sendiri, sedangkan kesenangan itu tentu selalu dianggap dapat
dicapai melalui keadaan yang belum dimilikinya.
Karena itu bermacam-macam anggapan timbul sebagai jalan menuju ke arah
kebahagiaan, ada yang menganggap bahwa jalan itu melalui harta kejayaan,
ada yang menganggap melalui kedudukan, kekuasaan, nama besar,
kepintaran, kehormatan, kesehatan, isteri cantik, suami ganteng, banyak anak,
atau tidak punya anak, dan masih banyak lagi. Inilah sebabnya maka yang
memiliki satu lebih di antara semua syarat itu, namun masih merasa tidak
bahagia karena syarat lain yang dianggap paling tepat tidak dimilikinya.
Kesenangan, segala macam bentuk kesenangan, hanya akan nampak sebagai
kebahagiaan selama kesenangan itu belum dimiliki.
Akan tetapi sekali kesenangan yang diidamkan itu telah dimilikinya,maka akan
ternyatalah bahwa kesenangan itu sama sekali tidak seindah yang didambakan
semula, dan sama sekali tidak dapat mendatangkan kebahagiaan. Inilah
sebabnya mengapa manusia selalu saling pandang dan saling mengiri.
Dapatkah kita hidup tanpa membanding-bandingkan, tanpa menginginkan
sesuatu yang tidak ada pada kita? Dapatkah kita membuka mata dan
memandang apa adanya tanpa dihalangi oleh bayangan-bayangan harapan
dan keinginan, sehingga kita dapat menemukan keindahan dan kebahagiaan
yang sudah ada dalam segala sesuatu, dalam apa adanya?
Pertanyaan, ini takkan dapat dijawab kecuali kalau kita menghayatinya dalam
kehidupan sehari-hari membuka mata dan telinga, hidup dalam saat ini secara
wajar, tanpa memandang ke depan tanpa menengok ke belakang.
Bukan hidup di alam kenangan hari-hari kemarin dan bukan pula hidup di alam
khayal dari hari-hari esok. melainkan hidup sungguh-sungguh dalam hari ini,
saat ini, detik demi detik!.

Memang demikianlah selalu keadaan hidup dalam kebudayaan dan masyarakat


kita. Yang di atas selalu memarahi dan menekan, menginjak yang di bawah.
Bongciangkun yang dimaki oleh orang yang lebih tinggi kedudukanya, tidak
berani membalas ke atas lalu meluapkan kemendongkolannya ke bawah,
kepada anak buahnya. Nanti, tentu saja, si anak buah yang mendapat
kemarahan dari atasannya ini dan tidak berani membalas, akan melampiaskan
kemarahannya kepada yang lebih bawah lagi, mungkin pembantunya, mungkin
kepada isterinya atau kepada anaknya!
Kebudayaan kita memberi contoh betapa yang di atas menginjak yang di
bawah, sehingga hukum yang didengungkan sebagai alat antuk menjadi cermin
keadilan bagi semua orang tanpa pandang tingkat, ternyata hanya menjadi alat
bagi mereka yang berada diatas untuk menginjak yang di bawah ''berdasarkan
hukum". Oleh adanya kenyataan seperti ini. anehkah itu kalau semenjak kecil,
manusia dididik oleh keadaan untuk berlumba memperebutkan kedudukan
setinggi mungkin? Lebih baik menginjak daripada diinjak, lebih baik menekan
daripada ditekan, demikianlan agaknya yang menjadi pedoman hidup semua
orang. Betapa menyedihkan jadinya kehidupan di dunia kita ini .

Cinta ............
dari manakah anda datang
tiba - tiba saja
melalui mata memandang
cinta memenuhi hati
mencipta sorga teramat indah
mengintai di balik senyum si dia
menyelinap di dalam gairah membara ......
Cinta ............
ke manakah anda pergi
membawa segala keindahan mimpi
melempar hati ke dasar neraka
penuh kecewa dan duka nestapa
hilanglah semua harapan lenyaplah segala gairah
yang ada hanya pedih merana .........
Beng Han teringat betapa bahagia hidupnya beberapa saat yang lalu, ketika dia
masih dekat dengan sumoinya, dengan dara yang di cintainya. Dan tiba-tiba
saja, dalam waktu sedetik semenjak dia tahu bahwa Kui Eng tida mencintanya,
seakanakan hancurlah segala-galanya dan kehidupan berubah menjadi derita
dan siksa hati.
Mengapa demikian? Mengapa cinta hanya menjadi semacam permainan antara
suka dan duka? Antara sorga dan neraka? Dan lebih banyak dukanya dari pada
sukanya yang dibawa oleh cinta? Mengapa cinta tidak dapat kekal?
Mengapa selalu timbul saja konflik bahkan sampai dengan perpecahan di
antara orang-orang yang tadinya mengaku saling mencinta. Mengapa pula cinta
menghancurkan hati orang yang tidak menerima balasan cinta, mendatangkan
derita batin bagi orang yang mencinta sefihak saja?
Mengapa?
Kita sudah terlalu mengotori kata "cinta" dengan berbagai penafsiran sehingga
cinta yang sejati menjadi suram dan tidak nampak lagi. Yang biasa menempel
di bibir kita sebagai cinta kasih, sebagai cinta suci dan sebagainya, yang
menjadi kembang bibir di antara pria dan wanita, di antara sahabat, di antara
orang tua dan anak, di antara manusia dengan Tuhannya, antara manusia
dengan para dewanya, antara manusia dengan kebangsaannya, negaranya,
dan sebagainya, kata "cinta" yang kita obral dau yang dengan mudah sekali kita
ucapkan itu, sesmgguhnya patut kita selidiki lagi apakah semua itu benar-benar
cinta!

Tidak mungkin menyelidiki pernyataan cinta orang lain, akan tetapi sudah jelas
bahwa kita dapat menyelidiki pernyataan cinta kita sendiri dan mari kita sama
menjenguk dan menyelami!
Si suami berkata kepada isterinya, atau isteri kepadi suaminya, "Aku cinta
padamu", akan tetapi di dalam pernyataan cinta ini biasanya terkandung sebab
dan pamrih.
Aku cinta padamu karena engkaupun cinta padaku, atau aku cinta padamu
karena engkau memuaskan hatiku, melayaniku, menyenangkan hatiku. Jadi
pada hakekatnya, cinta macam ini adalah suatu jual beli saja. Kita membeli
dengan cinta untuk mendapatkan kesenangan! Marilah, kita bersikap jujur dan
meneliti diri sendiri. Tidakkah demikian keadaannya? Dan kalam pada suatu
waktu, si dia yang kita cinta karena pelayanannya itu, baik sex, sikap manis,
uang, atau apa saja, menolak untuk memberi pelayanan itu, maka kitapun
menjadi marah! Dan cintapun kabur entah ke mana! Cinta seperti itu sifatnya
hanya merupakan jembatan untuk penyeberangan kita ke arah kesenangan!
Cinta seperti itu membuat kita ingin menguasai, memiliki, dimiliki, memberi,
diberi, dan terutama sekali mengikat dia yang kita cinta itu kepada kita, menjadi
milik kita dengan hak penuh dan tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun
juga! Dan kalau pada suatu waktu dia yang kita cinta itu bermanis-manis
dengan pria atau wanita lain, marahlah kita, dan perceraianpun terjadilah, cinta
kita seperti itu hanya merupakan api yang dihidupkan dengan bahan bakar
berupa kesenangan untuk diri kita sendiri. Api itu masih bernyala selama bahan
bakarnya masih ada. Kita masih mencinta selama dia yang kita cinta itu masih
mendatangkan kesenangan, akan tetapi kalau bahan bakar itu habis, cintapun
padamlah, bahkan kadang-kadang, sebagai akibat akibat cemburu dan
sebagainya, "cinta" kita itu malah bisa saja berubah menjadi "benci"! Apakah
yang demikian itu benar-benar cinta sejati?
Sama halnya dengan cinta kita terhadap sahabat. Sahabat yang sudah seribu
kali melakukan hal yang menyenangkan hati kita, kita cinta, akan tetapi satu kali
saja dia melakukan hal tidak menyenangkan, maka cinta kita luntur, mungkin
berubah menjadi benci. Cinta antara sahabat macam inipun pada dasarnya
hanyalah digerakkan oleh nafsu ingin menyenangkan diri kita sendiri saja.
Demikian pula pengakuan cinta kita terhadap orang tua atau anak, terhadap
Tuhan, pada dewa, terhadap bangsa, negara dan sebagainya. Pernahkah kita
meneropong apa yang menjadi dasar dari pada perasaan cinta kita itu? Apa
bila dibaliknya bersembunyi pamrih atau sebab karena kita ingin senang, baik
kesenangan lahir maupun kesenangan batin, maka itu hanyalah jual beli saja
dan karenanya palsu adanya.
Dan sudahlah pasti bahwa cinta yang seperti itu hanya mendatangkan konflik,
seperti kesenangan macam apapun, mendatangkan puas kecewa, suka duka,
tawa dan tangis. Karena cinta seperti itu pada hakekatnya hanyalah pengejaran
kesenangan belaka, dan seperti setiap bentuk pengejaran kesenangan, kalau
terdapat membosankan dan kalau tidak terdapat menimbulkan kecewa.
Cinta bukanlah sex semata, Cinta bukanlah kewajiban beiaka, Cinta bukanlah
pengorbanan saja. Cinta bukanlah ini atau itu. Cinta tidak mungkin dapat
digambarkan karena yang dapat digambarkan itu hanyalah benda mati, Cinta
adalah hidup. Yang mengatakan bahwa cinta itu begitu atau begini hanya
merupakan orang-orang yang sombong, dan pernyataan itu hanya merupakan
pendapat-pendapat belaka Cinta bukanlah pendapat, karena setiap muncul
pendapat, sudah pasti ada pendapat lain yang akan menentangnya.
Cinta seperti kebenaran. Tak dapat dimiliki, tidak dapat dipupuk, tidak dapat
dipelajari, akan tetapi meliputi seluruh alam mayapada. Kita dapit mengenal
apa yang BUKAN cinta, dan kalau yang BUKAN cinta itu kita buang semua,
tiada yang ketinggalan, maka barulah terbuka kemungkinan kita mengenal apa
yang kita namakan CINTA KASIH. Benci bukan cinta, cemburu bukan cinta,
keinginan menyenangkan diri sendiri bukan cinta. Jelas bahwa kemarahan, iri
hati, dengki, tamak, permusuhan, semua ini merupakan awan - awan gelap
yang menutupi dai menyembunyikan sinar dari cinta kasih.
Bukan berarti bahwa kita harus menolak kesenangan. Sama sekali tidak!
Kesenangan adalah wajar. Akan tetapi yang berbahaya adalah PENGEJARAN
terhadap kesenangan itulah!
Kesenangan akan muncul sepenuhnya, dengan indahnya, tanpa pengejaran, di
mana ada cinta kasih, dan mungkin sudah tidak tepat pula dinamakan
kesenangan. Tanpa cinta kasih, sex merupakan alat pemuas nafsu berahi
belaka dan pengejarannya mendatangkan hal-hal yang kotor dan jahat.
Akan tetapi, segala sesuatu, juga sex berubah menjadi lain sama sekali dalam
sinar cinta kasih. Segala sesuatu yang kita lakukan akan bersih dan indah,
karena sudah bebas dari pamrih menyenangkan diri yang bukan lain hanyalah
pelampiasan nafsu-nafsu belaka, yang kasar dan yang halus, yang badaniah
dan yang rohaniah.

Begitulah kita manusia selalu melemparkan sepala kegagalan yang kita hadapi
kepada NASIB! Semenjak kecil kita dilolohi kata "nasib" ini sehingga kita selalu
mengatakan bahwa nasib kita sedang mujur, nasib kita sedang buruk dan
sebagainya. Apakah "nasib" itu? Ada yang menghubungkannya dengan
"kehendak Tuhan". Jadi kehendak Tuhankah bahwa kita harus celaka atau kita
harus beruntung? Jadi kita ini apa? Benda-benda mati? Kita selalu
menggunakan kata "nasib" untuk menghibur, untuk menutupi penyesalan kita,
kekecewaan kita, juga untuk menutupi iri hati kita. Kita tidak berani membuka
mata memandang kelemahan kita sendiri, hati yang penuh dengan kecewa dan
iri ini.
Kecewa kalau kita rugi dan iri kalau melihat orang lain untung. Lalu kita
menutupinya dengan kata-kata "sudah nasibku" atau "sudah nasib dia". Seperti
keadaan Beng Han itu. Nasibkah yang menentukan sampai dia kecewa?
Nasibkah yang membuat dia berduka? Betapa menggelikan, namun sungguh,
kalau kita mau membuka mata, kita sendiri setiap saat bermain-main dengan
kata nasib ini, baik melalui mulut ataupun hanya dibisikkan di dalam hati saja.
Dan ketahyulan yang dungu dan picik ini kita pelihara semenjak kita kecil
sampai akhirnya kita tunduk dan menghambakan diri kepada
NASIB! Seolah olah kita tidak kuasa atas diri kita sendiri, atas kelakuan kita
sendiri, melainkan diatur oleh nasib. Padahal, seperti dapat kita lihat dari
keadaan Beng Han, Tidak ada permainan nasib di situ, yang ada hanyalah
permainan dirinya sendiri. Dia mengharapkan sesuatu, mengharapkan cinta Kui
Eng harapannya tidak tercapai, dia kecewa dan berduka. Eh, kenapa dia
mengatakan nasibnya buruk? Kalau dia tidak mengejar sesuatu, dia tidak akan
kecewa, dan tidak akan ada pula yang dinamakan nasib buruk. Jadi nasib
berada di tangan kita sendiri!
Memang, seluruh manusia di dunia mendambakan kebahagiaan, mengejar
kebahagiaan dan sudah tentu semua itu takkan ada hasilnya. Kebahagiaan
tidak dapat dikejar, tidak dapat ditangkap lalu disimpan sebagai milik kita.
Bahkan kebahagiaan tidak dapat dirasakan, dikunyah-kunyah dan dinikmati
seperti kalau kita menikmati kesenangan. Yang biasanya kita anggap
kebahagiaan itu tak lain hanyalah kesenangan belaka, dan kesenangan itu
hanya selewat saja dan segera tempatnya digantikan oleh kesusahan karena
senang dan susah adalah saudara kembar yang tak terpisahkan. Kebahagiaan
tidak dapat dikenang, diingat-ingat, seperti kesenangan. Kesenangan adalah
buatan pikiran yang mengingat-ingat dan mengenang sesuatu, suatu
pengalaman, baru pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain.
Pengalaman yang menyenangkan ini dikenang, diingat-ingat, digambarkan,
dibayangkan sebagai suatu kesenangan yang lalu dikejar dan dicari. Memang
tidak mustahil kita dapat mengejar dan menangkap kesenangan ini, lalu kita
nikmati, akan tetapi setelah terdapat, tentu akan timbul kebosanan karena
keinginan sudah mendesak lagi untuk mencari yang lebih nikmat dari pada itu.
Dan kesenangan juga menimbulkan rasa takut, takut akan kehilangan yang
menyenangkan itu.
Kesenangan menimbulkan kedukaan, yaitu duka kalau sampai kehilangan yang
menyenangkan itu. Kesenangan yang dikejar-kejar juga menimbulkan kecewa,
yaitu kalau tidak terdapat yang dikejar, atau kalau yang dikejar itu ternyata tidak
begitu menyenangkan seperti ketika dibayangkan, dan selanjutnya.
Pendeknya, kesenangan hanyalah barang hampa yang hanya indah
nampaknya sebelum terpegang, selagi dikejar-kejar, akan tetapi setelah dapat,
tidak begitu indah lagi karena kita selalu membanding-banding, kita selalu
dipermainkan oleh pikiran kita yang tidak puas akan yang begini akan tetapi
selalu menghendaki yang begitu, yaitu yang tidak ada!
Kebahagiaan adalah keadaan di mana tidak terdapat rasa takut, tidak terdapat
duka, tidak terdapat rasa kecewa, tidak terdapat keinginan mengejar. Seperti
cinta kasih, maka kebahagiaan hanya pada saat ini, terdapat apa adanya dan
bukan merupakan suatu hasil dari pemikiran! Kebahagiaan sudah memenuhi
jagat raya bagi siapa yang tidak membutuhkan apa-apa, tidak mengejar apa-
apa, tidak mencari apa-apa. Kebahagiaan ada pada setiap saat, akan tetapi
begitu hal itu dianggap sebagai sesuatu yang menyenangkan dan ingin
dipertahankan, ingin dinikmati lagi, maka itu bukanlah kebahagiaan lagi
namanya, melainkan kesenangan dan dengan munculnya kesenangan yang
diciptakan oleh pikiran itu maka lahir pulalah kecewa, takut, dan duka!

Cinta yang didasari keinginan untuk kesenangan diri sendiri, tak dapat
dihindarkan lagi pasti mendatangkan duka, mendatangkan kecewa,
mendatangkan cemburu dan mendatangkan sengsara. Karena pada
hakekatnva cinta seperti itu hanyalah KEINGINAN UNTUK SENANG atau
pengejaran kesenangan untuk diri sendiri belakaKita selalu ingin dicinta, ingin
orang yang menyenangkan hati kita itu menjadi milik kita pribadi ingin agar
orang itu selalu menyenangkan hati kita.Oleh karena inilah maka cinta seperti
itu sering kali berakhir dengan kegagalan dan derita bagi diri sendiri. Cinta
seperti itu selalu disertai harapan harapan dan kalau harapannya ini tidak
tercapai, sudah tentu saja mendatangkan kekecewaan dan kedukaan! Dan
jangan dikira bahwa kalau yang diinginkan atau diharapkan itu tercapai akan
mendatangkan kebahagiaan yang sesungguhnya!
Mungkin mendatangkan kelegaan dan kepuasan sementara saja, seketika saja,
selama sehari dua hari, sebulan dua bulan, atau setahun dua tahun Namun
kepuasan seperti itu mudah sekali goyah dan di sebelah sana, dekat sekali,
sudah menanti kekecewaan-kekecewaan dan kedukaan yang sekali waktu
akan menggantikan kedudukan kesenangan itu!
Kita selalu INGIN agar orang mencinta kita, agar orang baik kepada kita. Akan
tetapi, mengapa kita tidak pernah membuka mata dan menyelidiki diri sendiri.
Apakah kita mencinta orang lain? Apakah kita sudah baik kepadi orang lain?
Inilah yang penting! Bukan agar orang- orang mencinta dan baik kepada kita!
Harapan agar semua orang atau seseorang tertentu mencinta dan baik kepada
kita hanyalah menimbulkan kekecewaan dan penderitaan belaka. Akan tetapi
mempelajari diri sendiri MENGAPA kita tidak mencinta dan tidak baik kepada
orang lain, itulah yang penting. Kalau kita mempunyai cinta kasih dan belas
kasih kepada semua orang, maka cukuplah itu! Cinta dan kebaikan bukanlah
cinta dan kebaikan namanya kalau mengharapkan ganjaran, mengha-spkan
imbalan. Bukan cinta dan bukan keba-kan namanya yang mengharapkan
ganjaran, baik dari orang lain maupun dariTuhan! Itu hanya merupakan
penjilatan atau penyogokan belaka, merupakan akal untuk memperoleh
sesuatu ang menyenangkan kita, bukan? Kalau kita sudah mencinta dan baik
kepada semua orang, maka tidak menjadi persoalan lagi apakah orang-orang
itu baik kepada kita ataukah tidak, cinta kepada kita ataukah tidak. Itu adalah
persoalan mereka, bukan persoalan kita.
Cinta kasih tidak menimbulkan duka! Kalau ada duka, kalau ada kecewa, kalau
ada cemburu, kalau ada benci, jelas itu bukanlah cinta kasih namanya,
melainkan cinta yang didasarkan atas nafsu ingin senang untuk diri pribadi. Ini
jelas dan mudah sekali nampak oleh siapa saja yang mau membuka mata
melihat kenyataan! Selama masih ada "aku yang ingin senang" maka tidaklah
mungkin ada cinta kasih! Karena sesungguhnya si aku inilah yang menjadi
penghalang timbulnya cinta kasih. Karena kalau yang mencinta itu adalah si
aku, jelaslah bahwa si aku hanya dapat mencinta segala sesuatu yang
menyenangkan dan menguntungkan si aku, sebaliknya si aku pasti akan
membenci segala sesuatu yang menyusahkan dan merugikan si aku. Jadi,
selama menyenangkan dan menguntungkan, dicinta, akan tetapi sekali waktu
menyusahkan dan merugikan, lalu dibenci! Cinta seperti itu hanyalah
permainan nafsu yang amat dangkal, hari ini bisa cinta, besok bisa saja menjadi
benci karena hari ini menyenangkan dan menguntungkan, akan tetapi besok
menyusahkan dan merugikan.
Tidak demikiankah adanya "cinta kasih" yang kita dengungdengungkan selama
ini? Tidak demikiankah "cinta kasih" yang ada pada batin kita, terhadap isteri
atau suami kita, terhadap anak-anak kita, terhadap keluarga dan sahabat kita?
Dan kewaspadaan atau kesadaran akan hal ini, kesadaran yang sedalam-
dalamnya, membawa pengertian dan pengertian inilah yang akan
mendatangkan perobahan, karena selama kita belum berubah, sudah pasti
hidup kita akan selalu dikelilingi oleh kecewa, cemburu, duka, sengsara, benci
dan sebagainya.

Ah, betapa kita selalu melontarkan segala sesuatu kepada "nasib"! Mengapa
kita tidak membuka mata memandang diri sendiri, bercermin dan menjenguk
diri sendiri sampai sedalam-dalamnya, mengamati diri sendiri setiap saat?
Segala sesuatu yang terjadi kepada kita berpokok pangkal kepada diri kita
sendiri, sumbernya berada di dalam diri kita sendiri! Susah senang adalah
permainan pikiran kita sendiri, ditimbulkan oleh pikiran sendiri. Kita menjadi
permainan pikiran sendiri Segala sesuatu yang kita lakukan timbul dari pikiran,
si aku, dan kemudian pikiran pula yang menyesal, kecewa, berduka. Lalu
pikiran pula yang melemparkan kesemuanya itu, pertanggungan jawab itu,
kepada sang nasib!
Nasib buruk! Dan kita masih saja melanjutkan kesesatan dan penyelewengan
kita, dan kalau terjadi akibat buruk, mudah saja, melemparkan kepada nasib!
Betapa kita selalu buta, atau membutakan mata?

Tanpa disengajanya, bahkan tanpa disadarinya Gin San memang telah


mengatakan kata yang merupakan kunci rahasia dari segala kebijaksanaan,
kunci dari segala pintu menuju ke arah kebijaksanaan. "Aku tidak tahu" betapa
indahnya keadaan orang yang tidak tahu, kosong dan bersih, dan keadaan
tidak tahu ini mendorong orang untuk menyelidiki segala sesuatu dengan penuh
perhatian. Keadaan tidak tahu inilah pangkal segala-galanya! Akan tetapi,
betapa sukarnya bagi kita untuk mengaku terus terang bahwa kita tidak tahu.
Tidak tahu apa-apa! Betapa sukar mulut ini berkata: Aku tidak tahu! Kita selalu
merasa bahwa kita ini tahu segala-galanya, makin banyak yang kita ketahui,
makin banyak pengetahuan bertumpuk di dalam otak, kita merasa betapa kita
ini makin pandai. Padahal, hanya batin yang tumpul dan picik dan sombong
sajalah yang membuat mulut berkata: "Aku tahu" Apakah gerangan yang kita
ketahui? Yang kita ketahui hanyalah hal-hal yang mati! Hal-hal yang sudah
tertentu, hal-hal mati yang tidak akan berubah sajalah yang dapat kita ketahui.
Dan perasaan "aku tahu" ini membuat kita selain menjadi kepala besar dan
sombong, juga membuat kita berhenti menyelidik, dan perasaan "aku tahu" ini
mendatangkan macam pertentangan.
Dua orang berkelahi karena mereka itu keduanya merasa tabu, merasa benar.
Dua kelompok bangsa bertempur, perang, karena mereka itu masing-masing
merasa tahu, merasa benar. Coba andaikata kedua fihak merasa tidak tahu,
tentu tidak merasa benar sendiri. Coba kedua fihak itu mengesampingkan
pengetahuan mereka masing-masing akan kebenaran, dengan batin kosong
keduanya membuka mata memandang kenyataan, sama-sama mempelajari
fakta yang mereka hadapi, yaitu permusuhan yang timbul di antara mereka,
maka sudah pasti kedua fihak itu akan waspada dan sadar akan kekeliruan dan
kepicikan mereka masing-masing yang berdasarkan pendapat "aku tahu" tadi.
Demikian pula tiga orang kakek tadi, karena mereka masing-masing
berpendapat bahwa mereka itu tahu, dan jawaban atau pendapat mereka akan
masalah yang mereka hadapi atau teka-teki itu, yang menurut mereka adalah
benar, maka mereka itu mempertahankan kebenaran mereka sendiri-sendiri,
padahal tiga macam jawaban yang mereka anggap benar itu saling
bertentangan! Coba andaikata mereka bertiga itu berbatin kosong seperti yang
terkandung dalam jawaban Gin San, yaitu masing-masing benar-benar TIDAK
TAHU, maka kiranya ketiganya akan dapat sama-sama melakukan
penyelidikan dan membuka mata penuh kewaspadaan!
Dalam kehidupan kita sehari-hari dapat kita lihat betapa bentrokan- bentrokan,
pertentangan-pertentangan, semua ditimbulkan oleh pikiran bahwa "akulah
yang tahu", "akulah yang benar". Pengetahuan adalah catatan dari ingatan
akan hal-hal yang lalu, yang mati. Tentu saja penting bagi kita untuk memiliki
pengetahuan tentang hal-hal lahiriah, ilmupengetahuan yang ada hubungannya
dengan jasmaniah. Akan tetapi, dapatkah kita menyelidiki hal-hal yang baru, hal
hal yang tidak dapat diraba dengan pikiran, memakai alat pengetahuan mati
itu? Hal ini jelas tidak mungkin. Hanya dalam keadaan "tidak tahu” itu sajalah
kita dapat memulai dengan penyelidikan kita akan tahu hal-hal yang baru. Buku
tulis yang kosong bersih barulah berguna untuk ditulisi sesuatu yang baru, akan
tetapi buku tulis yang kotor dan penuh dengan tulisan-tulisan malang-melintang
tidak ada gunanya lagi.

Lepas dari pada pandangan dan pendapat-pendapat yang terikat oleh


kepercayaan-kepercayaan, tradisi-tradisi, dan peraturan-peraturan agama yang
kaku dan sempit, tak dapat disangkal lagi bahwa menyempurnakan jenazah
manusia dengan jalan membakarnya merupakan cara yang paling baik.
Pertama, jelas bahwa yang mati tidak lagi mengganggu yang hidup dengan
penggunaan tanah yang menimbulkan tempat-tempat yang dianggap angker
sehingga tanah itu dapat dimanfaatkan oleh yang hidup.
Ke dua, keluarga yang masih hidup tidak lagi terikat oleh kewajiban merawat
kuburan dan mengunjunginya setiap waktu yang telah ditentukan oleh tradisi.
Ke tiga, dengan cara pembakaran ini maka semua penyakit yang mungkin
masih melekat pada jenazah dan yang mungkin menimbulkan bahaya
penularan, dapat dibasmi habis oleh api.

Agaknya setiap orang manusia tentu dapat merasakan apa yang dirasakan oleh
Gin San di saat itu. Memang terdapat pertautan batin yang kuat sekali antara
kampung halaman, tanah tumpah darah, dengan seseorang. Tanah tumpah
darah, di mana darah ibu tertumpah ketika dia terlahir, memiliki daya tarik yang
mengikat. Betapapun buruk dan miskinnya dusun itu, namun bagi Gin San yang
terlahir di situ dan masa kecilnya berada di dusun itu, agaknya tidak ada tempat
yang lebih indah mengesankan dari pada dusun tempat kelahirannya itu. Ada
semacam daya tarik yang kuat, yang membuat seseorang selalu terkenang dan
ingin sekali-kali berkunjung ke tempat di mana dia terlahir dan bermain-main di
waktu dia masih kecil.
Hal seperti ini timbul karena di dalam kehidupan kita lebih banyak dukanya dari
pada senangnya. Makin tua usia kita, makin banyaklah masalah-masalah yang
meruwetkan dan mengeruhkan batin, dan makin terkenanglah kita dengan
penuh kerinduan hati akan masa kanak-kanak kita, karena memang masa
kanak-kanak merupakan masa terindah dalam kehidupan manusia. Kanak-
kanak hidup dengan polos, jujur, dan wajar. Kanak-kanak tidak pernah
menyimpan dendam, tidak pernah menyimpan suka duka di dalam pikirannya,
tidak pernah menginginkan yang tidak ada, tidak pernah bercita-cita dan kanak-
kanak selalu menikmati hidupnya, dalam keadaan bagaimanapun juga! Itulah
sebabnya mengapa kanak-kanak adalah mahluk yang suci murni, bersih, dan
hidupnya penuh bahagia, bahkan dalam tangispun, seperti dalam tawanya,
terkandung kewajaran yang murni. Namun, sungguh sayang sekali, makin tua
kita, makin kotorlah kita, penuh dengan ambisi, penuh dengan keinginan
memperoleh hal-hal yang tidak kita miliki, penuh dengan cita-cita yang abstrak
dan belum ada, sehingga APA YANG ADA tidak pernah dapat kita nikmati. Kita
gandrung dan mengejar-ngejar kebahagiaan, sama sekali buta akan kenyataan
bahwa sesungguhnya PENGEJARAN itu sendirilah yang tidak memungkinkan
adanya kebahagiaan! Lihatlah sekelompok anak-anak yang bermainmain,
begitu riang gembira, begitu wajar. Kita akan terpesona, akan kagum, dan akan
terheran-heran mengapa sekelompok anak-anak yang bermain-main di dalam
lumpur dapat segembira itu! Dan kita selalu tenggelam di dalam kemuraman! Ini
salah, itu salah, ini tidak enak, itu tidak menyenangkan. Mengapa? Karena hati
dan pikiran kita PENUH DENGAN KEINGINAN, itulah! Hari hujan, ingin terang,
mengeluh. Hari terang, ingin hujan, mengeluh juga. Tidak dapatkah kita
mengakhiri kegilaan yang terdorong oleh keinginan yang tiada habisnya ini dan
hidup dalam arti kata yang sedalam-dalamnya, hidup menikmati saat ini detik
demi detik yang kesemuanya itu sudah mengandung keindahan yang luar
biasa?

Dipandang secara sepintas lalu, apa yang dilakukan oleh Gin San itu memang
baik, yaitu membagi-bagi uang kepada penduduk dusun miskin, sungguhpun
uang itu didapatnya dengan cara yang tidak patut pula. Akan tetapi, betapa
bodohnya anggapan kita pada umumnya bahwa HARTA dapat membuat
manusia hidup BAHAGIA. Sungguh melantur sekali nggapan seperti itu.
Bahkan, tidak selamanya harta mendatangkan kebaikan, kalau tidak dapat
dikatakan bahwa lebih banyak mendatangkan kejahatan! Uang emas yang
disebar oleh Gin San di antara penduduk dusun miskin itu, memang
mendatangkan kegirangan besar, akan tetapi tidak dapat secara tergesa
dikatakan bahwa hal itu mendatangkan kebaikan. Yang sudah jelas saja, begitu
masing-masing menemukan uang emas di dalam rumah, timbullah kecurigaan,
timbullah kekhawatiran kalau kalau penemuan yang menguntungkan itu sampai
ditahui orang lain! Masing-masing merahasiakannya, dan dengan kenyataan ini
saja sudah terbukti betapa harta yang ditemukan itu seketika melenyapkan
kejujuran dan kegotong-royongan di antara mereka yang semula selalu
nampak. Selain itu, juga masing-masing diliputi rasa takut, khawatir kalau-kalau
harta yang mereka temukan itu sampai hilang dicuri orang, sehingga mereka
harus menjaganya, bahkan ada yang tidak dapat tidur karena khawatir kalau-
kalau uang emas itu akan diambil orang.
Harta benda, kedudukan, nama besar, bukanlah hal yang buruk. Akan tetapi
kalau kita sudah melekatkan diri, menyamakan diri dengan mereka, kalau kita
sudah mengejar-ngejar mereka, timbullah kesengsaraan dalam kehidupan.
Pengejarannya itulah yang jahat. Orang yang mengejar harta benda mungkin
saja menjadi mata gelap, melakukan korupsi penipuan,kecurangan dan
sebagainya lagi. Orang yang mengejar kedudukan dan nama besar, mungkin
saja menjadi kejam, mendorong ke samping atau kalau perlu menjegal dan
merobohkan saingannya, cara busuk apapun akan ditempuhnya demi untuk
memperoleh kedudukan dan nama besar yang dikejar-kejarnya itu. Dan setelah
semua itu terdapat kita melekat kepadanya dan timbullah kekhawatiran, rasa
takut kalau-kalau yang sudah terdapat itu akan hilang dari kita! Semua itu
begini jelas, dapat kita lihat setiap hari dalam kehidupan kita, di sekeliling kita,
dalam badan kita sendiri!

Matahari terbenam!
Peristiwa biasa saja yang setiap hari, setiap senja dapat dilihat oleh setiap
manusia di jagad ini. Namun, betapa manusia pada umumnya sibuk dengan
segala macam kesenangan dunia, dengan segala macam pengejaran nafsu
sehingga manusia seakan-akan buta terhadap segala keindahan alam yang
berada di depan mata itu! Betapa sedikitnya manusia yang masih dapat
menikmati keindahan mata. hari terbenam di senja hari, matahari timbul di pagi
hari, awan-awan putih berarak di langit biru, pohon-pohon, daun-daun dan
bunga-bunga. Semua keindahan itu lewat begitu saja, atau dilewati oleh mata
begitu saja, bahkan tidak pernah nampak lagi karena sang mata mencari cari
dan mengejar hal-hal yang tidak ada menurutkan dorongan nafsu yang timbul
dari pikiran yang selalu mengejar hal-hal yang tidak atau belum ada. Karena
sejak pagi sampai malam manusia selalu mengejar hal-hal yang tidak atau
belum ada inilah maka manusia tidak lagi dapat melihat, tidak lagi dapat
menikmati keindahan dari pada hal-hal yang ADA di depan hidung sendiri!
Mengapa kita tidak pernah membuka semua panca indera, memandang segala
yang ada tanpa mengejar hal-hal yang belum ada? Mengapa kita tidak pernah
memperhatikan yang INI, yang BEGINI, akan tetapi selalu menjangkau yang
ITU, yang BEGITU? Padahal segala keindahan, segala kebahagiaan berada
dengan yang INI atau yang ADA, bukan terletak dalam yang ITU atau yang
DIBAYANGKAN. Bahagia adalah sekarang, saat ini. Kalau kebahagiaan itu kita
pindahkan kepada nanti dan kelak, maka hal itu hanya merupakan kesenangan
yang dibayangbayangkan, yang diharap-harapkan, dan bersama dengan
kesenangan itu pasti muncul nafsu keinginan bersama rangkaiannya yang tak
kunjung pisah, yaitu kekecewaan, konflik dan kedukaan atau kesengsaraan
karena di dalam pengejaran untuk mendapatkan kesenangan yang dibayang-
bayangkan itulah lahirnya penyelewengan dan kemaksiatan.
Mengapa dia tidak berduka? Mengapa dia dapat mengecap keindahan?
Apakah duka ilu? Apakah keindahan itu? Adakah keindahan dalam duka?
Adakah duka dalam keindahan Tak mungkin! Duka hanya berada dalam fikiran,
dalam ingatan, dalam kenangan! Duka pasti timbul kalau pikiran mengukur dan
membandingkan, kalau pikiran beranggapan bahwa keadaan tidaklah seperti
yang dikehendakinya sehingga mengecewakan dan timbullah duka. Kalau
pikiran tidak sibuk, tidak bekerja, seperti keadaan dirinya beberapa detik yang
laku tadi, maka keindahan terasa sedemikian nyata meresap ke dalam diri lahir
batin, ke jantung kalbu, terasa sampai ke ujung- ujung rambut. Akan tetapi
begitu pikiran bekerja, sibuk mengingat akan kematian gurunya, betapa
ditinggal seorang diri oleh seorang yang dihormati dan dikasihinya, mengingat
betapa kematian gurunya karena luka pukulan orang, lenyap pulalah segala
keindahan agung tadi!

Memang sesungguhnya amat menyedihkan melihat kenyataan betapa


kekerasan tak pernah meninggalkan manusia, atau lebih tepat lagi manusia tak
pernah dapat terbebas dari kekerasan, biarpun dia telah memiliki pengetahuan
bertumpuk-tumpuk dan telah mengusahakan sedapat mungkin untuk menjadi
orang baik, menjadi pendeta atau bahkan pertapa! Jelaslah bahwa kebersihan
manusia tidak dapat diukur dari kedudukan, usia, bangsa, agama ataupun
kepercayaan. Apa lagi diukur dari pakaian yang membeda-bedakan manusia
sebagai karyawan, usahawan, seniman, sarjana, pendeta dan sebagainya lagi
itu. Yang menentukan adalah tindakan yang merupakan pelaksanaan dari pada
keadaan batin setiap orang, dan keadaan batin ini hanya diketahui oleh diri
sendiri masing-masing! Oleh karena itu, yang dapat membersihkan batin,
membebaskan batin, hanyalah diri sendiri belaka! Dan pembersihan ini baru
mungkin terjadi apa bila kita masing-masing mengenal diri sendiri, mengenal
diri sendiri yang penuh dengan keinginan, ingin senang, ingin baik, ingin
berhasil, ingin "maju", ingin melebihi orang lain dalam segala-galanya, dan
seribu satu macam keinginan lagi, mengenal diri sendiri yang penuh dengan
kemunafikan, kepalsuan, kebencian, iri hati, permusuhan, rasa takut, dan
sebagainya. Kitalah yang dapat mengenal diri sendiri, dengan mengamatinya
Setiap saat, mengamati gerak-gerik jasmani kita, mengamati gerak-gerik hati
dan pikiran kita. Tanpa mengenal kekotoran yang melekat pada diri sendiri,
mana mungkin timbul pembersihan? Kita selalu menganggap bahwa kita
adalah orang yang paling bersih, paling baik, dan dengan demikian kita
tenggelam ke dalamkepalsuan ini dan yang kotor menjadi tetap kotor, bahkan
menjadi semakin kotor!

Demikian pula dengan halnya Pek I Nikouw. Dia berduka melihat orang lain
menggunakan kekerasan, tanpa menyadari bahwa tanggapannya terhadap
kekerasan orang lain itupun merupakan kekerasan yang tidak ada bedanya!
Mungkin, seperti yang kita lakukan kalau kita menghadapi kekerasan orang lain
dengan ke kerasan pula, Pek I Nikouw akan beranggapan bahwa dia
mempergunakan kekerasan demi membela kebenaran! Inilah senjata kita yang
selalu kita pergunakan untuk membela diri sendiri, untuk mcmbenarkan diri
sendiri, untuk mencarialasan mengapa kita melawan, mengapa kita
menggunakan kekerasan. Kita selalu beranggapan bahwa kita marah, kita
keras, karena kita membela kebenaran! Kita sama sekali tidak mau
memandang diri sendiri sehingga nampak jelas bahwa MARAH, BENCI,
BERKERAS itu sendiri sudah TIDAK BENAR! Namun kita pakai untuk membela
kebenaran! Kebenaran siapa? Tentu saja kebenaran kita sendiri yang boleh
saja kita selimuti dengan umum kebenaran agama, bangsa, golongan dan lain-
lain lagi yang hanya merupakan pengluasan saja dari pada kebenaran UNTUK
AKU. Kita lupa bahwa kalau kita sudah menentukan suatu kebenaran untuk diri
sendiri sendiri, maka sudah tentu fihak lawan kitapun memiliki ketentuan suatu
kebenaran untuk dirinya sendiri. Maka terjadilah perang kebenaran, perebutan
kebenaran dan sudah jelas dapat kita lihat bersama bahwa kebenaran yang
diperebutkan itu sesungguhnya BUKANLAH KEBENARAN ADANYA.
Semenjak sejarah dicatat manusia, selalu manusia berenang dalam lautan
kekerasan. Kita menyamakan diri dengan hal-hal yang kita anggap lebih tinggi
dari pada kita.
Melihat diri kita sendiri yang tidak berarti, yang tidak abadi, maka kita suka
melekatkan diri kepada yang kita anggap lebih besar, seperti bangsa, agama,
partai, golongan, keluarga, dan lain-lain di mana kita mengharapkan akan dapat
"membonceng" untuk mengisi kekosongan dan kedangkalan diri kita sendiri.
Maka terjadilah perpindahan kekerasan. Kalau tadinya kita memberatkan "aku"
masing masing dan menjadimarah, membenci dan sebagainya kalau aku
diganggu, makakini terjadi perpindahan atau bahkan pengluasan si "aku" yang
menjadi "negaraku, bangsaku, agamaku, partaiku, golonganku" sehingga
marahlah kita kalau semua itu diganggu. Bahkan ada yang mengesampingkan
dirinya sendiri, seperti para pendeta dan pertapa, tidak akan marah kalau
dirinya diganggu, akan tetapi awas, jangan mengganggu agamanya atau
golongannya, karena kalau itu diganggu, dia akan marah dan menggunakan
kekerasan! Padahal, golonganku, partai ku, bangsaku dan sebagainya itu
hanya merupakan pengluasan dari pada si aku itu juga!
Dapatkah kita hidup bebas dari segala ikatan, segala pelekatan, segala
penyamaan diri bebas dari si aku dengansegala bentuknja dan pengluasannya
yang penuh dengan pengajaran kesenangan sehingga menimbulkan kebenaran
sendiri-sendiri dan akibatnya menimbulkan konflik dan pertentangan?

Kebesaran dan keagungan alam terdapat di mana-mana, bukan hanya di


pegunungan atau di tepi lautan, bukan hanya di tempat sunyi, melainkan di
manapun kita berada.
Kebesaran dan keagungan alam yang penuh pesona, penuh hikmat, penuh
keajaiban dan mujizat, penuh dengan ketertiban, setertib awan berarak di
angkasa raya, setertib ombak mengalun beriring-iringan, setertib angin
mendesau di antara pohon pohon. Keagungan ini sudah berada di atas
keindahan dan keburukan, di atas sifat menyenangkan atau tidak
menyenangkan dan hanya nampak atau terasa oleh mereka yang tidak
dipengaruhi oleh batin yang menilai dan membanding bandingkan karena
penilaian dan erbandingan itu hanyalah kesibukan pikiran yang berpusat
kepada si aku.
Keindahan yang nampak karena kecocokan selera bukan lagi keindahan,
karena timbul dari perbandingan dan penilaian, dan hasil perbandingan dan
penilaian tentu akan menimbulkan konflik.
Hanya batin yang hening tidak dikotori oleh perbandingan,tidak dikotori oleh
ingatan akan yang baik atau buruk, yang senang atau susah hanya batin yang
benar-benar hening tanpa membandingkan, tanpa pendapat, tanpa kesimpulan,
tanpa pamrih, yang akan benar benar bertemu dengan keagungan dan
kebesaran itu. Sekali batin terjerumus ke dalam perbandingan, tentu akan
mengejar yang menyenangkan dan menjauhi yang tidak menyenangkan,
terseret ke dalam lingkaran setan dari kebalikan kebalikan, indah buruk, senang
susah, baik jahat dan selanjutnya.
Hanya batin yang hening sajalah yang wajar dan akan bertemu, bahkan
menjadi satu dengan KEWAJARAN. Keindahan yang agung, kebahagiaan,
terdapat di dalam batin yang hening yang tidak mengejar apa apa, tidak
kepingin apa-apa.
Pengejaran dan keinginan yaitu keinginan yang berada di luar dari pada
kebutuhan jasmani yang pokok, hanya merupakan permainan dari pikiran atau
si aku yang ingin senang, ingin mengulang apa yang dianggap enak dan
nikmat, dan di dalam pengejaran keinginan untuk senang ini terkandung
kebalikannya, terkandung kekecewaan, rasa takut, kekhawatiran, dan
kesusahan.
Kebahagiaan bukanlah suatu basil usaha, kebahagiaan tidak mungkin dapat
didatangkan melalui daya upaya, tidak mungkin diperoleh melalui pengejaran.
Yang dapat diperoleh melaluipengejaran hanyalah kesenangan, dan setiap
kesenangan itu membawa rangkaiannya, yaitu kekecewaan, kebosanan, dan
kesusahan. Hal ini jelas sekali. Bukan berarti bahwa kita HARUS MENOLAK
KESENANGAN! Sebaliknya, kesenangan mendapatkan keadaan yang lain
sama sekali kalau kita tidak mengejar-ngejarnya. Sesungguhnya, tanpa
pengejaran apapun, yang dinamakan kesenangan itu sudah bukan kesenangan
lagi, melainkan suka cita yang hanya dirasakan saat demi saat, tidak
meninggalkan bekas dalam ingatan, karena sekali meninggalkan bekas, maka
bekas atau guratan itu akan membentuk pengejaran yang ingin mengulangi lagi
apa yang telah dialaminya tadi. Dari situlah timbulnya pengejaran kesenangan!
Maka, pertanyaan yang teramat penting bagi kita, dapatkah kita hidup tanpa
kesankesan yang mencatat dalam pikiran sehingga menimbulkan pengejaran
kesenangan, juga menimbulkan kekhawatiran dan rasa takut? Pertanyaan ini
tak dapat dijawab dengan kata-kata belaka, hanya dapat dijawab dalam
tindakan, dalam penghayatan hidup sehari-hari.

”Memang demikian keadaan kita pada umumnya. Kita suka sekali untuk
menggambarkan diri sendiri sebagai yang terbaik, yang terbersih, yang paling
suci! Kita tidak pernah memandang diri sendiri seperti apa adanya diri kita ini,
berikut kemarahan kita, kedengkian kita, kebencian kita. Ambisi-ambisi kita,
keinginan keinginan kita yang tak kunjung habis, pamrih-pamrih kita, rasa iri
dan takut, akan tetapi kita hanya membayangkan suatu gambaran yang muluk
tentang diri kita.
Kita ingin menonjolkan kebaikan kita, kita ingin dikebut orang baik! Sungguh
merupakan suatu kebutaan yang menyedihkan. Tindakan yang kita lakukan
dengan pamrih agar kita disebut baik, bukanlah tindakan baik lagi namanya,
melainkan suatu kepalsuan, suatu tindakan yang merupakan sarana untuk
mencapai "gelar" kebaikan. Apa lagi kebaikan yang ditonjol-tonjolkan,
perbuatan yang ditonjol-tonjolkan sebagai perbuatan baik agar kita dicap
sebagai manusia baik, jelas merupakan tindakan yang kotor dan munafik, dan
di balik semua kepalsuan itu tersembunyi keinginan untuk memperoleh
kesenangan! Dalam hal ini yang dianggap kesenangan adalah "menjadi orang
baik" itulah! Maka berebutlah kita untuk "menjadi orang baik" karena hal itu
mendatangkan perasaan senang dan bangga!"
Kenyataan ini mungkin sekali akan menimbulkan pertanyaan bagi sebagian
orang, yaitu. Setelah melihat kenyataan menyedihkan dalam kehidupan
manusia di dunia ini yang penuh dengan kebencian, permusuhan dan
kesengsaraan, lalu apakah yang harus kita lakukan kalau kita tidak boleh
melakukan kebaikan dengan disadari bahwa yang kita lakukan itu adulah
kebaikan?
Kita sudah melihat jelas kepalsuan akan tindakan yang disadari sebagai
tindakan baik, karena di situ terkandung unsur kesengajaan untuk berbuat baik
dan menjadi orang baik. Segala macam tindakan dalam bentuk apapun juga,
tindakan yang dinilai baik atau tidak baik, adalah tindakan yang mengandung
kepalsuan apabila tindakan itu keluar dari

pikiran yang menilai, memilih dan yang selalu menujukan semua hal demi
keuntungan diri sendiri, keuntungan lahir maupun keuntungan batin. Pikiran
merupakan dasar dari semua perbuatan palsu, yang bersumber kepada
kepentingan diri pribadi. Tindakan seperti itu jelas akan menimbulkan konflik,
baik konflik dalam batin sendiri maupun konflik keluar, antara manusia,
kemudian antara kelompok, antara suku, antara bangsa. Karena anggapan baik
yang berdasarkan penilaian sendiri itu sudah pasti bukan kebaikan lagi,
melainkan "menguntungkan diri sendiri" dan kebaikan macam itu sudah pasti
akan bertemu dengan kebalikannya, yaitu penilaian orang lain, Yang kita
anggap baik itu belum tentu dianggap baik oleh orang lain, mungkin saja
dianggap jahat dan buruk! Demikian pula, yang dianggap baik oleh orang lain
belum tentu kita terima sebagai suatu kebaikan. Ini sudah jelas dan merupakan
kenyataan yang dapat kita lihat sehari hari dalam kehidupan kita!
Lalu apa yang harus kita lakukan untuk merobah keadaan kehidupan yang
kacau dan penuh pertentangan di dalam dunia ini? APAPUN yang kita lakukan
dengan pamrih, tidak akan dapat merobah keadaan, bahkan malah menambah
kekacauan karena tindakan kita itupun berpamrih dan mengakibatkan kekalutan
dan pertentangan pula. Inilah yang menyebabkan timbulnya pemberontakan-
pemberontakan, revolusi revolusi yang tak kunjung padam selama dunia
berkembang. Keadaan seperti apa adanya tidak mungkin dapat berobah
selama diri sendiri belum berobah! Keadaan seperti apa adanya tidak mungkin
DI-robah, akan tetapi keadaan itu akan mempunyai arti yang lain sama sekali
apabila diri sendiri sudah berubah! Jadi pertanyaan: Apa yang harus kita
lakukan itu hanya dapat dijawab dengan : Kita tidak harus melakukan apa-apa!
Kita tidak dapat merobah keadaan apa adanya, juga perobahan dalam diri
sendiri tidak dapat kita robah!
Perobahan batin tidak dapat DIROBAH melainkan akan berobah sewajarnya
apa bila kita sadar, mengerti dan waspada!. Bukan kita, atau sesuatu di atas
batin, yang waspada terhadap batin, melainkan batin itu sendiri waspada
terhadap gerak-geriknya sendiri, terhadap tindakan-tindakannya sendiri lahir
batin, terhadap kesibukannya sendiri setiap saat, memandang, mengamati,
waspada, penuh perhatian, tanpa ingin apa-apa, tanpa ingin merobah, tanpa
ingin menjadi baik, tanpa menyalahkan atau membenarkan.

Perang, permusuhan, pertentangan terjadi di mana-mana di permukaan bumi


ini. Umum hanya menganggap bahwa perang itu terjadi; antar bangsa, antar
ideologi, antar ras, antar agama, tanpa ada yang. mau membuka mata melihat
kenyataan apakah sebenarnya yang menjadi SEBAB UTAMA dari semua
pertentangan dan perang itu! Seperti jalannya seekor ular, dari leher ke bawah
sampai ke ekornya, hanya mengikuti saja dengan membuta ke mana sang
kepala membawanya! Demikian pula dengan anggauta-anggauta partai,
anggauta-anggauta kelompok ras, anggauta-anggauta perkumpulan agama,
dan keluarga rakyat jelata. Maka jelaslah bahwa yang menentukan adalah sang
kepala! Kalau sang kepala itu merupakan seorang manusia yang masih besar
nafsu-nafsunya, masih mementingkan diri sendiri belaka, mementingkan ambisi
pribadinya, maka jelaslah bahwa segala sepak terjangnya akan didasarkan
kepada pengejaran kesenangan untuk pribadinya, dan untuk ini dia tidak
segan-segan menempuh segala cara, kalau perlu mengenakan jubah
perjuangan rakyat dan negara untuk menutupi ambisi pribadinya yang mengejar
ke senangan dalam bentuk apapun juga. Kesenangan pribadi ini dapat berupa
pengejaran harta benda, pengejaran kedudukan, pengejaran kemuliaan,
pengejaran nama dan sebagainya lagi. Beruntunglah rakyat yang dipimpin oleh
seorang pemimpin yang tidak lagi menjadi hamba dari nafsu nafsu pribadinya,
karena pemimpin seperti itu tentu benar benar memperhatikan kesejahteraan
rakyatnya dan segala tindakannya ditujukan demi untuk mendatangkan
kebahagiaan kepada rakyatnya. Akan tetapi, pemimpin yang mengutamakan
kepentingan nafsu pribadi akan menyeret rakyat ke dalam permusuhan dan
perang, menyeret rakyat ke dalam kematian, bunuh-membunuh, dan
kesengsaraan!
Sudah menjadi kenyataan yang tak dapat dibantah lagi bahwa perang, dengan
dalih apapun juga, hanya mendatangkan kesengsaraan bagi manusia, di
manapun juga di dunia ini! Dalam perang, baik bagi yang kalah maupun bagi
yang menang, pasti muncul kebencian, dendam, bunuh-membunuh, yang akan
berekor panjang sekali, dan yang kesemuanya akan menjerumuskan manusia
ke dalam kesengsaraan belaka. Mungkin ada segelintir manusia yang
menikmati kesenangan akibat menang perang, yaitu para pemimpin yang
berambisi untuk kepentingan pribadi dan yang memperoleh kemenangan dalam
perang, dan di samping beberapa gelintir manusia ini, juga........ iblis sendiri!

Mengapa semua orang baik-baik di dunia ini bernasib malang dan orang orang
jahat bahkan bernasib baik dan hidup makmur dan bahagia?
Pendapat seperti apa yang saat itu mengganggu pikiran Sian Lun merupakan
semacam "penyakit" yang dimiliki oleh hampir semua orang di dunia ini. Kita
sudah terbiasa semenjak kecil untuk memandang diri sendiri sebagai yang
terbaik, yang terbersih, yang terpandai dan yang paling sebagainya lagi. Diri
sendiri itu dapat diperluas meniadi keluarga sendiri, kelompok sendiri, suku
sendiri, bangsa sendiri. Karena pandangan ini, maka setiap kali ada
kemalangan atau malapetaka menimpa diri kita, maka kita memperbesar iba
diri dengan keluhan mengapa orang "sebaik" kita ini tertimpa kemalangan,
malapetaka dan sebagainya lagi! Dan hal ini merupakan satu di antara sebab
sebab yang menimbulkan rasa penasaran, dendam, ketidakpuasan dan
kebencian. Selama hidup aku tidak pernah menipu atau merugikan orang,
kenapa sekarang aku ditipu dan dirugikan orang? Selama hidup aku suka
menolong orang dan aku hidup sebagai orang yang baik hati, mengapa nasibku
selalu malang dan sengsara? Selama hidup aku baik terhadap orang lain,
mengapa tidak ada orang yang baik kepadaku? Demikianlah kita selalu
mengeluh dengan hati penasaran! Kalau kita membuka mata memandang diri
sendiri, kiranya kita akan mendapat kenyataan bahwa "penyakit" macam itu
juga ada pada kita! Tidaklah demikian haInva?
Mengapa kita selalu ingin menonjolkan diri sebagai yang terbaik? Mengapa
pula kita mengharapkan suatu imbalan atau hadiah bagi semua tindakan yang
kita anggap baik itu? Tidak, aku tidak minta imbalan atas kebaikanku, bantah
seseorang mungkin. Akan tetapi, kalau sekali waktu tertimpa kemalangan lalui
"mengeluh" mengapa dia yang baik itu tertimpa kemalangan, bukankah hal ini
sama saja dengan mengharapkan imbalan, agar KEBAIKANNYA iiu
menjauhkan segala kemalangan. Apakah kebaikan yang mengandung pamrih
memperoleh imbalan itu kebaikan namanya? Bukankah itu merupakan suatu
kemunafikan yang menyulap suatu daya upaya memperoleh keuntungan
menjadi suatu kebaikan? Mengapa kita selalu cenderung menganggap bahwa
setiap kemalangan tidak patut dijatuhkan kepada kita, sebaliknya setiap
keberuntungan memang sudah tepat menjadi milik kita? Pendapat ini hanya
mengundang datangnya sesal dan kecewa, yang menuntun kepada rasa
penasaran, kebencian, dan kesengsaraan batin.
Yang dinamakan KEBAIKAN itu bukan lagi kebaikan kalau sudah kita sadari
sebagai kebaikan! Misalnya ada seorang kelaparan, kita lalu memberinya
makan. Kalau perbuatan ini kita lakukan karena dorongan iba hati terhadap
orang yang kelaparan itu, maka inilah perbuatan wajar, perbuatan yang
mengandung cinta kasih. Akan tetapi kalau kita menyadari bahwa itu adalah
perbuatan baik, dan demi "kebaikan" itu kita lalu menolongnya, sadar bahwa
kita telah melakukan kebaikan, maka kebaikan macam ini adalah kebaikan
yang condong berpamrih. Macam-macamlah pamrihnya itu, mungkin untuk
mencari pujian dari orang lain, mungkin untuk menerima syukur dan terima
kasih dari yang ditolong, mungkin untuk memuaskan perasaan sendiri yang
telah "berbuat baik", bahkan mungkin lebih luas dan tinggi lagi yaitu
mengharapkan agar kebaikannya itu dicatat di "sana" sebagai tabungan untuk
kelak diambil kalau sudah mati atau di raktu perlu. Perbuatan yang oleh umum
dianggap baik itu lenyap sifat kebaikannya kalau di waktu melakukannya kita
sadari sebagai kebaikan. Hanva orang lainlah yang menilai. Kita sendiri hanya
beibuat dengan dasar cinta kasih yang dapat berbentuk belas kasih atau iba
hati.
Segala macam peristiwa yang menimpa diri kita hanyalah merupakan akibat
dari segala macam perbuatan kita. Peristiwa yang menimpa diri kita merupakan
pemetikan buah dari pohon perbuatan yang kita tanam sendiri, dan ini terjadi
tanpa kita sadari. Semua perbuatan kita atau pohon yang kita tanam sehari-
hari, hanja dapat bersih dan sehat apabila kita mau waspada setiap saat,
waspada dengan membuka mata memandang diri sendiri, pikiran sendiri
perbuatan sendiri sehingga kita dapat waspada dan sadar setiap saat dan
dengan kewaspadaan ini kita pasti akan dapat menyingkirkan semua perbuatan
yang tidak benar yang berarti kita menghindarkan penanaman pohon yang
jahat, yang kelak sudah pasti tanpa kita sadari atau minta, akan menghasilkan
buah yang jahat pula yang harus kita petik sendiri.
Oleh karena itu, setiap kali datang kemalangan atau malapetaka menimpa diri
kita, dari pada kita mengeluh dan merasa penasaran mengapa kita yang "begini
baik" tertimpa mala petaka yang "begitu buruk", adalah jauh lebih bermanfaat
apabila kita merenung dan meneliti diri sendiri dan selalu waspada terhadap
segala apa yang terjadi, haik di sebelah dalam maupun di luar diri kita, tanpa
menamakan peristiwa itu sebagai yang baik ataupun yang buruk, tanpa
menyesal kepada Tuhan, kepada musia lain. maupun kepada setan atau
kepada alam. Kita meneliti diri sendiri setiap saat karena diri pribadi adalah
SUMBER dari terjadinya segala sesuatu atas diri kita itu.

Memang mudah bagi kita untuk mencela Ling Ling sebagai seorang dara yang
hijau dan tidak berpengalaman dan bodoh, mau saja ditipu oleh bujuk rayu
ketua Pek-lian-kauw sehingga dia mati-matian membela perkumpulan itu!
Sebaiknya kalau kita menilai diri kita sendiri. Bukankah kita semua ini juga tidak
banyak bedanya dengan keadaan Ling Ling?! Sampai sekarangpun, peristiwa
yang menimpa diri Ling Ling itu masih terus berulang dan tanpa kita sadari, kita
sendiri juga menjadi korban Semua kelompok, semua perkumpulan, semua
partai di dunia ini dalam perjuangannya tentu selalu mengangkat diri sebagai
pembela rakyat.! Semua pemimpin golongan selalu mendengung-dengungkan
perjuangan demi membela rakyat jelata, dengan kata kata penuh semangat dan
amat menarik sehingga kita semua percaya secara membuta dan membantu
serta membela usaha golongan itu, membela usaha partai itu,! berjuang
menurut apa yang mereka gariskan secara mati-matian dan fanatik. Padahal,
hampir selalu dan hal ini dapat dibuktikan dari sejarah, para pemimpin
kelompok, golongan atau partai itu pada hakekatnya hanya mengejar sukses
bagi diri mereka sendiri saja yang pada saat pengejarannya selalu
menggunakan nama demi rakyat, demi negara dan sehagainya lagi. Buktinya?
Sudah terlalu banyak, sudah terlalu sering, namun baru disadari setelah
terlambat. Betapa banyaknya golongan atau partai yang gagal dalam
perjuangannya, menjadi pecundang, menjadi buronan, yang pertama-tama
menjadi korban adalah para pengikut yang tadinya tidak tahu apa-apa itulah.
Dan para pemimpinnya? Para pimpinan dari partai yang kalah dan gagal itu?
Sudah berbondong-bondong berlumba untuk menyelamatkan diri, melarikan diri
sambil membawa harta benda yang berhasil mereka kumpulkan! Kita semua
sudah melihat sendiri kenyataan ini dan telah terjadi pula di seluruh pelosok
dunia. Dan bagaimana seandainya gotongan atau partai yang kita bela karena
kita terkena bujukan itu memperoleh kemenangan dan jaya? Tak perlu kita
berpura-pura, dapat kita lihat pula betapa yang jaya hanyalah beberapa gelintir
orang yang tadinya menjadi pimpinan itulah. Sedangkan para pengikut yang
tadinya membela perjuangan itu secara mati-matian? Dilupakan sudah! Para
pengikut yang tidak tahu apa-apa itu hanya diperlukan di waktu terjadi
perebutan, di waktu terjadi pertentangan, di waktu terjadi perang dan
permusuhan. Kalau kalah? Para pengikut ini mati konyol lebih dulu. Kalau
menang? Para pengikut ini hanya menjadi penonton dari mereka yang mabok
kemenangan dan hanya menggigit jari, atau kalau kebagianpun hanya sisanya
Bagaimana dengan para pemimpin yang pandai membujuk? Kalau kalah
mereka berlomba melarikan diri. Kalau menang mereka berlomba pula
memperkaya diri!

Semenjak sejarah dicatat orang, manusia di dunia ini sudah sejak dahulu kala
berusaha untuk menghindarkan kesengsaraan hidup dan mencari kebahagiaan
hidup. Manusia melihat kenyataan betapa kehidupan penuh dengan duka dan
sengsara, dan melihat pula bahwa yang mendatangkan kedukaan itu adalah
perbuatan perbuatan yang dinamakan jahat. Oleh karena itu, manusia
berusaha menentang kejahatan dengan pelajaran-pelajaran tentang kebaikan,
melalui berbagai macam agama, tradisi dan kebudayaan. Namun, kenyataan
pahit membuktikan bahwa sampai kini, usaha itu masih berjalan terus dan
nampaknya tidak banyak mendatangkan hasil baik! Kejahatan masih
merajalela, kalau tidak mau dikatakan makin menjadi-jadi, permusuhan,
kebencian, pertentangan, baik antara pribadi, antara golongan, maupun antara
bangsa bukan mereda bahkan makin meluas. Usaha ribuan tahun telah gagal.
Manusia, sampai saat ini, masih menderita duka sengsara, masih menghayati
kehidupan di dunia yang penuh kebencian dan permusuhan!
Kebaikan tidak mungkin dapat dipelajari! Kebahagiaan tidak mungkin dapat
dipupuk, cinta kasih tidak mungkin dapat dilatih. Kebaikan dalam setiap
tindakan dengan sendirinya ada, apabila kejahatan telah bersih dari dalam diri,
dari dalam batin, bukan kebaikan yang dibuat, melainkan kebaikan yang wajar,
seperti kebersihan yang ada setelah kekotoran lenyap. Seribu satu macam
pelajaran tentang kebaikan, laksaan bait ujar-ujar tentang kebaikan hidup,
tentang bagaimana kita harus mennjadi orang baik, hanya merupakan teori-tori
kosong belaka, pelajaran yang mati dan kenyataannya semua pelajaran itu
hanya menjadi alat untuk membanggakan diri sebagal orang yang pandai, alat
untuk berdebat dengan orang lain tentang kebajikan dan sebagainya, alat
pemanis bibir agar dianggap sebagai orang bijaksana dan pandai! Yang penting
bukanlah menghafal segala macam kata mutiara, kata suci tentang filsafat dan
kebatinan, melainkan membuka mata dengan penuh kewaspadaan mengenal
diri pribadi. Semua pelajaran tentang kebatinan, kata-kata muluk yang dirangkai
indah, semua itu seperti pakaian yang indah dan bersih belaka. Apa artinya
pakaian indah bersih dipakai oleh badan kita yang kotor! Mengenal diri sendiri
berarti membuka mata memandang dan melihat kekotoran diri sendiri
mengenal segala kebencian, iri hati, dengki, kesombongan, kegelisahan,
kekecewaan dan sebagainya yang memenuhi batin kita sendiri. Selama semua
ini masih memenuhi batin kita, mana mungkin kita mau bicara tentang
kebajikan, tentang kebahagiaan, tentang cinta kasih.
Berbuat baik bukan sebagai hasil latihan adalah suatu kewajaran, dan hal ini
baru mungkin apabila ada landasan cinta kasih. Kalau sudah begini, keindahan
dan kebahaginan hidup tidak perlu lagi dikejar-kejar! Karena di dalamnya sudah
terdapat keindahan, sudah terdapat kebahagiaan! Cinta kasih dan kebahagiaan
tidak dapat dipisah-pisahkan, demikian pula dengan apa yang dinamakan
kebaikan. Tanpa adanya cinta kasih, di mana mungkin ada kebaikan? Tanpa
adanya cinta kasih, di mana mungkin ada kebahagiaan? Kebaikan tanpa cinta
kasih adalah kebaikan buatan yang dibaliknya bersembunyi pamrih
memperoleh ganjaran atau imbalan, dan karenanya bukan lagi kebaikan
namanya, melainkan suatu cara dari usaha memperoleh keuntungan berupa
ganjaran atau imbalan itulah. Perbuatan baik dengan dasar cinta kasih adalah
perbuatan wajar yang oleh yang berbuat sendiri tidak disadari sebagai suatu
kebaikan! Di dalam perbuatan seperti ini terkandung keindahan dan
kebahagiaan. Kebahagiaan tanpa cinta kasih hanya merupakan kesenangan
belaka, kesenangan badaniah maupun batiniah yang diikuti oleh kebosanan,
kekecewaan, kekhawatiran dan keinginan untuk memperoleh lebih banyak lagi,
yang menyeret kita ke dalam lingkaran setan dari senang dan susah.

Memang demikianlah kita manusia pada umumnya, selalu hanya memikirkan


kepentingan diri sendiri belaka. Semua perbuatan kita dikendalikan oleh pikiran,
dan pikiran ini mencinta si aku yang paling penting! Semua perbuatan seperti
itu bersumber kepada aku atau kepada orang-orang atau benda benda yang
terikat dengan si aku. Maka yang terpenting adalah keluargaku, suku bangsa
negaraku, agamaku, sahabatku dan selanjutnya lagi, pendeknya milikKu.
Jangan ganggu uangku, keluargaku, agamaku, akan tetapi kalau mengganggu
uang orang lain, keluarga atau agama orang lain, terserah! Hal ini sudah begitu
mendalam mempengaruhi kehidupan kita sehingga dianggap sudah layak dan
benar, sudah menjadi kebudayaan kita! Cinta kita bukan lagi cinta murni antar
manusia, melainkan cinta kepada diri sendiri karena yang kita cinta itu adalah
sumber kesenangan untuk diri kita sendiri. Maka begitu sumber kesenangan itu
diganggu, berarti mengganggu diri kita sendiri lan marahlah kita! Kesenangan
ini menimbulkan ikatan-ikatan, dan ikatan membuat kita memihak Tentu saja
hal ini mendatangkan permusuhan karena masing-masing mempertahankan
sumber kesenangan sendiri-sendiri. Ikatan terhadap sumber kesenangan inilah
yang kita hias dengan kata "cinta"!
Demikian pula dengan Sian Lun. Karena ia menganggap Siang Bwee sebagai
seorang wanita yang amat baik kepadanya, yang telah ia berkorban untuknya,
maka timbullah ikatan dalam batinnya terhadap dara itu. Marahlah ia ketika
mendengar bahwa Siang Bwee direbut orang. Dan dalam keadaan seperti itu,
yang diingat hanyalah menolong Siang Bwee seorang, dan andaikata tidak ada
Ling Ling yang memaksa, kiranya diapun tidak akan perduli mendengar jerit
tangis seorang wanita lain. Seperti juga kita tidak pernah memperdulikan
penderitaan orang lain karena kita menjadi buta oleh perasaan iba diri terhadap
penderitaan sendiri, oleh rasa ke-aku-an yang selalu mengembang dan meluas
itu. Maka timbul pertanyaan kepada diri sendiri. Mungkinkah kita hidup bebas,
dalam arti kata tanpa adannya ikatan dalam batin kita terhadap apa dan
siapapun juga? Kembali, pertanyaan ini tidak membutuhkan jawaban lisan,
karena jawaban kata-kata hanya akan merupakan pendapat-pendapat dan
teori-teori usang yang hanya berguna untuk dipergunakan dalam perbantahan
dan perdebatan yang menyesatkan saja. Jawabannya hanya dapat kita cari
dalam penghayatan, dalam kehidupan kita sehari hari.

Tuhan Maha Kasih! Alam semesta telah diciptakanNya sedemikian sempurna


demikian indahnya dan segala sesuatu yang nampak dan tidak nampak ini
seolah-olah sengaja diciptakan untuk kepentingan manusia! Namun sungguh
sayang sekali, kepribadian kita, Jiwa kita sudah dicengkeram oleh kesibukan
pikiran. Pikiran yang bergelimang dengan daya-daya rendah, membangkitkan
nafsu-nafsu, selalu menguasai diri kita sehingga kita seolah-olah telah menjadi
buta akan segala nikmat itu, segala berkah itu, segala keindahan itu. Sekali-
sekali, kalau keadaan pikiran-pikiran kita tenang, baru kita dapat sedikit
merasakan kenikmatan dalam kehidupan ini, sedikit saja. Seolah-olah kita
hanya kadang-kadang melihat ujung dari kebahagiaan, tanpa pernah mampu
bertemu dan bersatu dengan kebahagiaan itu sendiri. Semua ini adalah karena
hati dan pikiran kita yang tadinya memang disertakan kepada kita sebagal alat
untuk dapat menikmati dan mensyukuri ciptaan dan berkah dari Tuhan, telah
berubah menjadi penyeret kita ke dalam pengejaran kesenangan nafsu belaka.
Mungkinkah bagi kita untuk dapat berbahagia, untuk dapat membebaskan diri
dari cengkeraman nafsu-nafsu yang di timbulkan oleh daya-daya rendah yang
sudan melekat pada hati dan pikiran? Jelas tidak mungkin, karena "kita" yang
hendak melepaskan diri ini pun timbul dari pikiran! "Kita" yang ingin bebas itu
pun sudah bergelimang dengan nafsu sudah berada dalam cengkeraman nafsu
daya rendah, maka segala usana kita untuk bebas pun masih dalam lingkungi
nafsu!
Namun, ada yang lebih berkuasa dari segala nafsu daya rendah. Ialah Sang
Pencipta! Pencipta dari segala yang ada. Tuhan Sang Maha Pencipta! Hanya
Tuhanlah, hanya kekuasaan Tuhanlah yang akan mampu memulihkan keadaan
kita, mampu membebaskan kita dari belenggu nafsu. Ingat dan waspada, itulah
obatnya. Ingat selalu kepada Tuhan, setiap saat dan menyerahkan segalanya
kepada kekuasaan Tuhan! Waspada terhadap setiap gerak gerik badan dan
batin, yaitu hati dan akal pikiran, tanpa ingin mengubahnya Mengapa tanpa
ingin mengubah?
Karena KEINGINAN MENGUBAH ini pun masih merupakan kesibukan dari
pikiran yang mendorong, maka sudah pasti bahwa di balik keinginan mengubah
itu terdapat pamrih! Pamrih untuk memperoleh kesenangan dari perubahan itu!
Akibatnya bukan berubah melainkan bertambah sarat dengan keinginan nafsu.
Hanya Tuhan yang mampu mengubah dan membersihkan! Kekuasaan Tuhan
meliputi segala, yang paling atas dan paling bawah, yang paling dalam dan
paling luar. Dan kita tinggal menyerah, penuh kepasrahan, penuh keikhlasan,
penuh kesabaran dan ketawakalan. Ingat dan waspada selalu. Ingat kepada
Tuhan setiap saat, menyerah total. Dan waspada terhadap gerak-gerik badan,
hati dan akal pikiran seperti kalau dalam perjuangan kita waspada terhadap
gerak-gerik musuh yang amat berbahaya.

Kehidupan manusia, rendah berlindung sepenuhnya


kepada hukum-hukum yang dibuat manusia sendiri. Dan
setiap hukum yang disahkan, membutuhkan pelaksanaan
dan harus ditegakkan oleh alat pemerintah yang
menciptakan hukum. Masih banyak hukum dibuat, makin
banyak pula yang harus ditegakkan dan kehidupan
sepenuhnya berlindung kepada penegakan hukum ini.
Sebaliknya terjadi peristiwa yang membuat penegakan
hukum mengendor terjadilah kekacauan dan keamanan
kehidupan manusia pun terancam parah. Di bawah
penekanan hukum, ketenteraman hanyalah ketenteraman
semu yang setiap saat akan berubah sama sekali kalau,
hukum tidak ditegakkan lagi karena suatu dan lain hal.
Manusia yang sesungguhnya merupakan mahluk yang
paling agung di dunia ini, yang berkebudayaan, beradab
dan bersusila, oleh ikatan-ikatan hukum telah menjadi
seperti sekumpulan hewan liar yang harus selalu
dikendalikan dan dicencang oleh tali-tali dan belenggu
hukum. Kalau tali-tali itu mengendur, terjadilah kekacauan,
yang kuat ingin menang, yang kalah ingin membalas
dendam. Gerakan yang dilakukan oleh Jenghis Khan boleh
jadi merupakan suatu hasil usaha seorang manusia yang
dinilai tinggi sekali oleh bangsanya, oleh mereka yang
diuntungkan oleh gerakan itu sendiri. Akan tetapi, di pihak
lain merupakan kiamat dan neraka bagi mereka yang
dikalahkan, mereka yang kotanya diserbu pasukan Mongol.
Agaknya, keberhasilan seseorang selalu harus didasari
kesusahan orang lain. Keuntungan seseorang didasari
kerugian orang lain. Seperti itulah keadaan kehidupan
masyarakat dan hal seperti ini sudah dianggap wajar.
Seolah-olah hidup ini bagi kita manusia hanya mempunyai
satu tujuan, yaitu: memperebutkan kesenangan! Kalau
sudah diperebutkan, maka yang dikejar harus dapat.
Tujuan harus tercapai, tidak peduli dengan cara apa pun
juga.
Seekor harimau menerkam domba dan membunuhnya,
memakannya untuk kebutuhan hidupnya, kebutuhan mutlak
pengisi perut, dan kita namakan binatang itu buas dan
kejam. Akan tetapi kita menerkam binatang, manusia atau
apa saja bukan karena kebutuhan mutlak untuk hidup,
melainkan untuk memuaskan hati, untuk kesenangan dan
kita namakan ini suatu kepandaian dan kecerdikan!
Manusia saling bunuh dalam perang dan makin banyak
manusia yang dibunuh makin besarlah jasanya sebagai
pahlawan. Semua ini telah menjadi kebijaksanaan umum di
negara manapun juga! Mengagumkan? Atau menyedihkan?
Tergantung pula dari mana kita memandang. Pikir kita
memang licin dan pandai sekali mencari alasan untuk
membenarkan semua itu.

Berbahagialah orang yang dapat menerima apa adanya


sebagai anugerah Tuhan Allah Yang Maha Kuasa. Apa
adanya ini dapat saja berupa wajah dan keadaan diri
sendiri, atau apa saja yang terjadi menimpa diri tanpa
membedakan baik buruk. Orang yang dapat menerima apa
adanya sebagai suatu yang wajar, bagai suatu yang sudah
dikehendaki Tuhan, tidak akan mengeluh. Tidak akan
menyambut gembira kalau dirasa enak dan menyambut
dengan kecewa kalau dirasa tidak enak. Hati dan pikiran
yang bijaksana akan menyambut setiap peristiwa dengan
waspada, mengucapkan syukur dan terima kasih kepada
Tuhan kalau dianggap menguntungkan lahir dan batin,
sebaliknya kalau dianggap merugikan lahir dan batin tidak
mengeluh, tidak mencela siapapun, melainkan meneliti diri
sendiri, mencari kesalahan atau kekeliruan apa gerangan
yang telah dilakukannya. Segala hal yang terjadi, bahkan
yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi, berjalan
dengan wajar. Tuhan Maha Adil! Kita seringkali lupa diri,
lupa bahwa kita ini pembuat dosa dan kesalahan yang
sudah tidak dapat dihitung lagi banyaknya sehingga kalau
ada hal tidak baik menimpa diri kita, kita mengeluh
bagaikan seorang yang tidak pernah merasa bersalah!
Kalau setiap hal yang kita anggap buruk dan merugikan
menimpal diri kita, kita seyogianya meneliti diri, introspeksi
terhadap segala perbuatan kita, dan kita akan merasa
bahwa semua ini sudah sewajarnya dan seadilnya. Kalau
hal buruk itu menimpa diri, hanya ada dua hal, yaitu
sebagai hukuman atas dosa kita atau pun sebagai ujian
terhadap keimanan kita. Kita tidak sepatutnya berkeluh
kesah, bahkan harus memperkuat iman kita terhadap
kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan Maha Kasih,
tidak akan menyiksa manusia. Kita sendirilah, perbuatan
kita sendiri, hati dan akal pikiran kita sendiri, nafsu-nafsu
kita sendiri., yang mendatangkan penyiksaan terhadap diri
kita.
Tang Hu berduka karena hatinya dilanda iri! Timbulnya dari
keinginan hatinya memiliki Siangkoan Leng, lalu dia melihat
betapa keinginannya itu tidak ada harapan, menimbulkan
kecewa dan iba diri yang bersatu menjadi duka. Duka ini
menjadi bertambah menyakitkan karena dia membanding-
bandingkan keadaan dirinya dengan pemuda lain. Rasa iba
diri makin mencekam.
Kesenian yang paling besar dan paling indah dalam
kehidupan kita ini adalah menerima keadaan seperti apa
adanya tanpa menilai, dengan penuh rasa syukur dan
penuh kepasrahan kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Sekali
kesenian hidup ini mendarah daging dalam diri lahir batin,
maka kebahagiaan hidup bukan hanya menjadi istilah
semata.

Nafsu berahi memang sudah ada pada diri setiap manusia,


seperti juga nafsu kesenangan apa pun juga. Setiap
anggauta badan, setiap panca indera memang sudah
digelimangi nafsu. Ini merupakan bukti kasih sayang Tuhan
kepada kita. Sejak lahir kita sudah disertai alat-alat yang
lengkap, bukan saja anggauta badan yang sempurna, hati
dan akal pikiran, akan tetapi juga daya-daya rendah yang
menjadi alat-alat atau pelayan-pelayan kita, dan tanpa
adanya daya-daya rendah yang kemudian disebut nafsu itu,
kita tidak mungkin dapat hidup sebagai manusia.
Bagaimana mungkin kita dapat bebas sama sekali dari
pengaruh daya benda? Kita baru layak menjadi manusia
kalau kita terpenuhi kebutuhan kita akan sandang pangan
papan (pakaian makanan dan perumahan) yang bukan lain
adalah benda. Segala yang nampak meramaikan dunia ini,
buatan atau ciptaan Tuhan melalui akal pikiran manusia,
mengandung daya rendah benda. Nampaknya saja benda
mati bahkan dibuat oleh tangan manusia, namun
sesungguhnya, benda-benda itu yang tercakup dalam
kehidupan modern, dalam bentuk UANG, mempunyai daya
atau pengaruh yang luar biasa besarnya! Tidak ada syaitan
yang lebih berbahaya daripada syaitan daya benda ini!
Daya rendah benda inilah yang terutama sekali
menimbulkan permusuhan, kebencian, pertentangan
bahkan perang! Biarpun daya rendah benda ini diciptakan
Tuhan dan disertakan kepada manusia sebagai alat atau
pelayan dalam kehidupan manusia, untuk memenuhi
kebutuhan hidup manusia, namun kalau sampai pelayan ini
menjadi majikan, maka kita akan diseretnya dan
diperhambanya sehingga kita melakukan segala hal yang
bertentangan dengan kemanusiaan! Banyak kaum
bijaksana menyadari bahaya yang mengancam dari
pengaruh kebendaan ini, maka diusahakan oleh kesadaran
mereka untuk meninggalkan duniawi, untuk mengasingkan
diri menjauhi pengaruh kebendaan, bertapa di puncak
gunung, di dalam gua atau di tepi laut. Namun sia-sia.
Mungkin hanya mengurangi pengaruh daya benda itu,
namun tidak mungkin melenyapkannya. Di tempat sunyi
pun dia masih membutuhkan benda. Selama kedua kakinya
masih menginjak bumi, dia akan membutuhkan daya benda
ini yang memang disertakan kepadanya untuk menjadi alat
atau pelayan agar dia dapat hidup sebagai seorang
manusia.
Selain daya rendah benda, ada daya rendah lain yang
disertakan kepada kita oleh kemurahan Tuhan. Yaitu daya
rendah tumbuh-tumbuhan atau nabati. Daya rendah ini
memasuki kita melalui makanan yang berasal dari tumbuh-
tumbuhan. Orang berusaha mengurangi pengaruh daya
rendah nabati ini dengan cara bertapa, berpuasa. Mungkin
dapat mengurangi, namun tidak mungkin
menghilangkannya. Tanpa nabati yang kita makan, kita
tidak akan dapat hidup dalam badan jasmani yang terdiri
dari darah daging yang membutuhkan sari makanan nabati
itu. Maka, daya rendah nabati merupakan satu di antara
sekian daya rendah yang ada pada diri kita. Memang
menjadi alat atau pelayan, namun kalau kita menibiarkan
daya rendah ini menjadi majikan, kita akan diperbudak pula.
Masih ada pula daya rendah hewani, yang memasuki tubuh
kita melalui makanan daging, juga melalui air yang kita
minum, melalui udara yang kita hisap. Entah berapa
banyaknya mahluk bernyawa termasuk binatang yang tak
nampak pada mata memasuki diri kita melalui makanan,
minuman dan pernapasan, bahkan juga melalui tumbuh-
tumbuhan yang kita makan di mana terkandung hewan
kecil-kecil dan telur-telurnya. Semua ini menjadi daya
rendah hewani yang juga menjadi alat atau pelayan dalam
kehidupan kita. Amat dibutuhkan badan untuk hidup, akan
tetapi, juga amat berbahaya karena daya rendah ini pun
berlumba dengan daya-daya rendah lainnya untuk menjadi
majikan, menguasai kita.
Kita ini bukanlah badan! Kita ini bukanlah daya-daya
rendah. Kita ini bukan hati dan akal pikiran. Semua itu
hanyalah alat, semua itu hanyalah perlengkapan atau juga
pelayan-pelayan. Yang bersemayam di dalam semua alat
itu adalah JIWA! Namun, kalau kita membiarkan daya-daya
rendah itu menjadi majikan, menguasai diri kita, maka hidup
kita diseret oleh daya-daya rendah itu untuk mencari
kesenangan demi kekuasaan daya-daya rendah itu.
Seluruh hati dan akal pikiran kita sudah bergelimang daya-
daya rendah itu, bergelimang nafsu. Oleh karena itu, apa
pun yang kita pikirkan, apa pun yang kita lakukan sebagai
pelaksana pikiran, selalu bergelimang nafsu, selalu
ditujukan untuk kesenangan pribadi, kesenangan jasmani.
Betapapun kadang diselubungi penyamaran yang muluk-
muluk, diberi jubah yang bersih dan suci, namun
sesungguhnya di balik semua penyamaran itu, yang
bercokol adalah daya-daya rendah, syaitan-syaitan itulah
yang pandai menyamar!
Jiwa akan tertutup, seperti tidur dan tidak bergerak karena
seluruh diri telah dikuasai daya-daya rendah. Kesadaran
jiwa kadang-kadang memperingatkan kita akan hal ini, akan
bahaya ini, hati dan akal pikiran bergerak agar kita
memberontak dari pengaruh daya-daya rendah ini. Namun,
karena hati dan akal pikiran kita pun sudah bergelimang
nafsu, maka semua gerakannya pun masih dalam
gelembung nafsu rendah. Hati dan akal pikiran yang sudah
bergelimang nafsu tidak mungkin dapat berhasil membuka
jiwa yang tertutup, menggugah jiwa yang tidur.
Lalu siapa yang dapat? Hanya kekuasaan Tuhan jualah
yang mampu! Hanya Tuhan sajalah, dengan kekuasaannya
yang tidak terbatas, yang meliputi seluruh alam mayapada,
di dalam maupun di luarnya, segala isinya, yang terkecil
sampai yang terbesar. Hanya Tuhan yang akan dapat
membersihkan jiwa dari kabut tebal nafsu daya rendah.
Caranya? Itu adalah pekerjaan Tuhan! Tak terukur oleh
akal pikiran kita. Kalau kita membuka mata, akan
nampaklah seluruh kehidupan manusia ini, seluruh ciptaan
Tuhan melalui manusia. Manusia mengisi dunia dengan
begini banyaknya hasil rekaan akal pikirannya. Padahal,
kekuatan dan kekuasaan yang ada pada hati dan akal
pikiran manusia itu hanya sekelumit terkecil saja dari
kekuatan dan kekuasaan Tuhan. Bandingkan besar dan
luasnya samudera dengan setetes air! Kekuasaan Tuhan
jauh lebih besar daripada samudera itu sedangkan
kekuasaan manusia lebih kecil daripada setetes air itu!
Hanya Tuhan yang akan dapat mengubah keadaan kita,
yang akan dapat membebaskan kita dari perbudakan di
bawah majikan daya-daya rendah nafsu itu. Dan kita hanya
dapat menyerah! Menyerah kepada kekuasaan Tuhan
dengan penuh kesabaran, penuh kepasrahan dan
ketawakalan, penuh keikhlasan. Kekuasaan Tuhan akan
bekerja kalau kita pasrah sepenuhnya, kalau hati dan akal
pikiran kita tidak berubah lagi. Kita harus "mati" kalau ingin
kekuasaan itu "hidup" di dalam kita, kalau ingin merasakan
kebangkitan jiwa kita.

Hidup merupakan suatu masa di mana kita diuji. Tuhan


Yang Maha Kasih melimpahkan kasih sayang dengan
berkah yang melimpah-limpah. Setiap orang manusia, tidak
peduli bangsa apa, kaya atau pun miskin, pintar atau pun
bodoh, telah dilimpahi berkah sehingga setiap orang dapat
menikmati segala apa yang terdapat di alam mayapada ini
melalui panca indera dan perasaannya. Bulan dan jutaan
bintang di langit akan nampak tetap indah di mata siapa
saja, baik di mata seorang raja maupun di mata seorang
pengemis. Bunga mawar akan tetap semerbak harum, baik
bagi penciuman seorang pendeta maupun seorang
penjahat yang penuh dosa. Setiap orang manusia sudah
sepatutnya merasa bahagia, bersyukur setiap saat akan
berkah yang berlimpahan ini dan memuji nama Tuhan.
Setiap orang manusia sudah sepatutnya kembali kepada
sumbernya, yaitu cinta kasih yang menguasai seluruh alam
mayapada, membiarkan diri terbuka sehingga sinar cinta
kasih akan memeranginya. Kalau ada sinar cinta kasih di
dalam dirinya lahir batin, maka segala macam tindakan
yang dilakukannya sudah pasti benar. Tanpa adanya sinar
cinta kasih, yaitu kekuasaan Tuhan, maka apa pun yang
kita lakukan hanya merupakan hasil daripada hati dan akal
pikiran yang dibimbing oleh nafsu-nafsu. Kalau sudah
begini, panca indera kita menjadi tumpul dan hilang
kepekaannya, menjadi seperti buta dan menurut saja
dituntun oleh nafsu yang arahnya hanya satu, yaitu
mengejar kesenangan. Kalau sudah begitu malapetaka
kehidupan berdatangan!

Kiranya di antara segala mahluk di dunia ini, hanya


manusia sajalah yang suka membunuh bukan karena
kebutuhan hidup, melainkan karena kebencian! Seekor
binatang yang paling buas, sekalipun seperti harimau yang
dianggap paling buas di antara semua binatang darat,
hanya membunuh untuk kebutuhan hidupnya, membunuh
untuk menjadi makanannya. Seekor burung rajawali, raja di
antara binatang udara, juga hanya membunuh untuk
mengisi perutnya yang lapar. Demikian pula ikan hiu, raja di
antara binatang air, membunuh untuk keperluan makan.
Dan binatang-binatang itu oleh manusia dikatakan buas
dan kejam! Sekarang kita tengok keadaan kita sendiri.
Manusia yang katanya merupakan mahluk yang paling
utama, yang paling pandai, yang paling agung dan paling
segalanya Apakah ini juga berarti paling jahat dan paling
kejam? Kita membunuh bukan hanya untuk kepentingan
makan, akan tetapi juga kita membunuh untuk kesenangan
hati kita! Kita membunuh untuk main-main. Bahkan kita
membunuh sesama manusia karena kebencian, yang tidak
pernah dilakukan oleh mahluk lain, oleh binatang apa pun.
Kita lebih kejam daripada binatang apa pun di dunia ini!
Inilah kenyataannya dan kita tidak perlu mengelak dari
kenyataan Hanya kita sendiri yang mampu melihat
kenyataan ini, hanya kita sendiri yang mampu mengubah
tindakan kita yang jelas menyimpang daripada kebenaran
ini. Saling
mengiri, saling bersaing, saling membenci, saling
bermusuhan dan saling membunuh! Dapatkah kita
menyadari akan penyelewengan ini dan menghentikannya
sekarang juga? Dapatkah kita MELIHAT ini? Seni hidup
yang paling hakiki adalah kemampuan melihat. kesalahan
diri sendiri, di samping penyerahan diri kepada Tuhan agar
kekuasaan Tuhan yang akan membimbing dan
mengembalikan kekuatan nafsu daya rendah di tempat
masing-masing sebagaimana mestinya, yaitu sebagai
pelayan dalam kenidupan manusia.

"Begini, Lo Koay. Setelah melihat pertemuan antara Lo


Koay dan Bibi Cun aku merasa heran sekali. Apakah orang
tua kalian berdua masih mempunyai gairah berahi maka
kalian begitu mesra dan hendak hidup bersama?"
San Hong terbelalak dan berusaha untuk mengamati wajah
gadis itu. Akan tetapi cuaca terlampau gelap sehingga dia
tidak dapat melihat apa-apa pada muka itu kecuali
bayangannya saja. Dia merasa heran sekali walaupun
sudah mengenal watak Siang Bwee yang terbuka dan tidak
malu malu, akan tetapi pertanyaan yang diajukan kepada
Lo Koay itu sungguh luar biasa. Dia sendiri sebagai
seorang laki-laki saja akan merasa sungkan dan malu
bertanya seperti itu! Akan tetapi gadis itu bertanya dengan
nada suara polos saja, seolah yang di tanyakan itu soal
biasa sehari-hari. Bagaimanapun juga San Hong
mempunyai latar belakang kehidupan dan kebudayaan
yang berbeda dibandingkan Siang Bwee. Lingkungan
hidupnya jauh berbeda. San Hong masih terikat banyak
belenggu kesusilaan dan kesopanan, sedangkan Siang
Bwee lebih bebas dan polos. Pertanyaan yang diajukannya
itu sesungguhnya juga biasa saja baginya, pertanyaan yang
timbul dari hati, bukan bermaksud untuk kurang ajar atau
tidak sopan.
Mendengar pertanyaan ini, dan pendengarannya yang
tajam mendengar napas tertahan lalu agak memburu dari
San Hong, Lo Koay tertawa geli. Dia dapat membayangkan
betapa terkejutnya seorang pemuda biasa seperti San
Hong mendengar gadis yang dicintanya itu mengajukan
pertanyaan seperti itu pada seorang kakek! Akan tetapi dia
sendiri menerima pertanyaan itu dengan gembira, sedikit
pun tidak merasa tersinggung.
"Ha-ha-ha, anak baik. Kaukira kebahagiaan bisa diperoleh
hanya melalui pelepasan gairah berahi saja? Kaukira cinta
kasih adalan cinta berahi? Itu kesalahan banyak orang
sehingga akhirnya mereka kecewa! Siapa yang
menganggap bahwa cinta kasih itu gairah berahi, akan
kecelik dan kecewa oleh nafsu berahi itu sendiri. Segala
macam nafsu tidak membahagiakan, hanya
menyenangkan. Kesenangan bukanlah kebahagiaan
Kesenangan hanya saudara kembar kesusahan. Yang puas
akan kecewa, yang senang akan susah. Orang setua kami
tidak lagi terbelenggu oleh gairah berahi, Siang Bwee. Kami
sudah cukup bahagia kalau melihat bahwa orang yang kita
cinta itu hidup dalam keadaan gembira, tidak menderita
sengsara. Karena itu, kebersamaan merupakan suatu
kebahagiaan pula, baik itu antara saudara, antara sahabat,
atau antara suami isteri."
Mendengar jawaban itu, tahulah kini betapa pentingnya
pertanyaan yang diajukan kekasihnya tadi, walaupun
nampaknya kasar dan tidak sopan. Pertanyaan itu
sesungguhnya merupakan pertanyaan biasa, dan
menyangkut kepentingan kehidupan setiap orang manusia
yang sudah dewasa.
Cinta kasih sudah demikian sarat oleh arti seperti
ditafsirkan semua orang. Kalau bisa digambarkan, kiranya
bukan cinta kasih, karena yang dapat digambarkan
hanyalah sesuatu yang menyenangkan. Dan segala yang
menyenangkan itu menimbulkan nafsu untuk mengejarnya,
untuk mempertahankan dan memilikinya. Yang jelas, kita
hanya dapat mengerti apa yang BUKAN cinta kasih. Yang
mendatangkan sengsara, yang mendatangkan duka, yang
mendatangkan pertentangan, jelas bukan cinta kasih.
Karena itu, gairah berahi bukanlah cinta kasih karena
gairah berahi dapat mendatangkan banyak macam
masalah, dapat mendatangkan kekecewaan dan makin
banyak orang meneguknya, dia akan menjadi semakin
kehausan. Cemburu, iri hati, rasa takut keinginan
menyenangkan diri sendiri bukanlah cinta kasih karena
semua itu dapat mendatangkan duka dan perselisihan.
Segala macam keinginan untuk senang jelas bukanlah cinta
kasih. Keinginan menimbulkan pamrih, dan pamrih jelas
pekerjaan nafsu. Bukan berarti bahwa kita harus
melenyapkan segala nafsu. Hal ini tidak mungkin sekali dan
hanja terdapat dalam angan-angan mereka yang ingin
menemukan kebahagiaan melalui akal pikiran yang sudah
bergelimang nafsu pula!
Ada orang bertapa ke puncak gunung ke gua-gua atau di
tepi samudera, seolah tidak mempedulikan lagi urusan
dunia tidak mempedulikan urusan badani, jarang makan
jarang tidur dan hampir telanjang. Seolah dengan
penyiksaan diri mereka itu dapat mengendalikan nafsu,
menghajar nafsu, memusuhi nafsu dan akhirnya akan
mencapai apa yang mereka idamkan, yaitu kesempurnaan
hidup, kebahagiaan hidup, pendeknya suatu keadaan yang
amat baik atau lebih baik daripada keadaan sehari-hari
kehidupan yang masih dikuasai oleh nafsu. Usaha seperti
itu akan sia-sia belaka dan andaikata ada yang berhasil,
maka tentu dia bukan manusia lagi! Kalau kita masih
menjadi manusia, yaitu manusia yang hidup di dunia ini,
memakai badan jasmani seperti sekarang ini, kita tidak
mungkin ditinggalkan nafsu-nafsu. Karena nafsu-nafsu
inilah bahan bakar kehidupan, mendorong kehidupan.
Segala macam daya rendah yang menjadi nafsu inilah yang
menjadi alat bagi badan kita untuk tetap hidup. Nafsu yang
timbul dari daya kebendaan membuat manusia mampu
menggunakan akal pikirannya untuk membuat segala
macam benda keperluan kehidupan kita. Tanpa adanya
nafsu dari daya rendah kebendaan, kita tidak akan mampu
membuat apa-apa. Nafsu yang timbul dari daya rendah
tumbuh-tumbuhan membual kita dapat makan, terasa enak
sehingga tubuh kita dapat bertumbuh, terpelihara dan
makanan itu menjadi darah daging kita. Daya rendah
hewani juga menghidupkan, melalui daging yang kita
makan, melalui binatang kecil-kecil yang kita telan melalui
sayuran, melalui ai melalui udara, menimbulkan nafsu da
semangat kekuatan kepada kita. Hubungan antar manusia
juga mendatangkan nafsu, membuat kita berkeinginan
untuk berkembang biak, hubungan antara pria dan wanita.
Tuhan Yang Maha Kasih memang sudah memberkahi
manusia dengan berkah yang berlimpahan. Kita dilahirkan
dunia dengan bekal nafsu-nafsu yang sungguhnya amat
penting bagi kehidupai manusia di dunia sebagai alat,
sebagai abdi, untuk menjaga agar tubuh yang di huni jiwa
itu terpelihara, sehat dan jug dapat menikmati segala
macam kesenangan di dunia. Itulah rahmat, berkah yang
berlimpahan. Namun, nafsu merupakan alat yang amat
penting, merupakan abdi yang amat berguna dan baik,
kalau saja tidak dibiarkan merajalela dan mengubah
kedudukannya dari alat menjadi yang memperalat, dari
hamba menjadi majikan! Celakalah hidup ini kalau kita yang
diperalat nafsu, kalau kita yang diperhamba nafsu. Jungkir
balik jadinya! Nafsu yang sudah memperalat manusia, yang
sudah memperhamba manusia, dapat membuat manusia-
manusia menjadi mahluk yang sekejam-kejamnya dan
sejahat-jahatnya. Dan kalau sudah begitu, hidup hanya
berarti siksa dan derita, duka dan sengsara sebagai
imbalan merajalelanya nafsu dan kesenangan.
Sejak kita lahir, kita telah disertai oleh nafsu yang timbul
karena adanya daya-daya rendah, namun ketika kita masih
bayi dan akal pikiran belum menguasai seluruh diri, maka
kita masih dekat sekali dengan kekuasaan Tuhan yang
membimbing kita. Namun, semakin besar, semakin banyak
pengertian kita, semakin dewasa akal pikiran kita, semakin
tergantunglah kita kepada alat-alat kita itu. Akhirnya seluruh
hidup kita dikuasai oleh hati dan akal pikiran yang
digelimangi nafsu daya rendah. Dan beginilah jadinya
kehidupan di dunia ini. Penuh konflik, penuh pertentangan,
kebencian, permusuhan, perang! Semua ini adalah ulah
kita yang telah diperhamba oleh nafsu. Setan yang
memegang kemudi dalam diri kita.
Kalau ada kesadaran akan keadaan ini dalam batin kita,
lalu kita berusaha untuk melepaskan diri dari nafsu, maka
selalu kita menghadapi kegagalan. Betapa banyaknya
contoh di dunia ini. Agama agama berkembang luas dan
setiap pemerintahan negara manapun mengajarkan
kebaikan-kebaikan kepada rakyatnya, agar kembali ke jalan
benar dan jangan terjadi kekacauan, kejahatan dalam
bentuk apapun. Pemerintah negara manapun juga, para
pemimpin negara manapun juga selalu berusaha untuk
mendatangkan ketenteraman dan kemakmuran bagi
kehidupan rakyatnya. Namun, apa hasilnya.
Semua usaha itu hanyalah usaha yang dilakukan oleh hati
dan akal pikiran padahal hati dan akal pikiran itu sejak lama
telah bergelimang nafsu daya rendah. Orang boleh pergi ke
puncak bukit, ke gua-gua, ke tempat sunyi mengasingkan
diri, dengan pamrih untuk membebaskan diri dari nafsu,
untuk memperoleh kembali kepribadiannya yang hilang
sebagai seorang manusia yang ber-Tuhan. Namun, usaha
ini saja sudah berpamrih untuk membebaskan diri dari
kesengsaraan akibat mengamuknya nafsu, pamrih untuk
mendapatkan kebahagiaan, kesenangan. Dan biasanya,
usaha ini tidak berhasil, bahkan mungkin saja kita dibawa
menyeleweng oleh setan ke arah jalan sesat yang penuh
keanehan kekuasaan hitam, kekuasaan setan yang dapat
membuat kita pandai melakukan hal yang aneh-aneh! Dan
kalau sudah begitu, berarti kita terperosok ke dalam lumpur
yang lebih dalam lagi!
Lalu kepada siapakah kita dapat minta tolong? Tidak ada
lain kekuasaan yang dapat menolong kita, dapat
membebaskan kita dari cengkeraman nafsu daya rendah,
selain kekuasaan Tuhan! Kita hanya dapat menyerahkan
diri dengan penuh keikhlasan, ketawakalan dan kesabaran.
Kita hanya dapat mengembalikan kesemuanya itu kepada
Sang Maha Pencipta! Pasrah dan waspada terhadap
keadaan diri sendiri. Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang
akan mampu melepaskan kita dari cengkeraman nafsu,
yang akan dapat memulihkan keadaan seperti semula,
yaitu semua nafsu daya rendah itu menjadi pengikut,
menjadi pelayan, menjadi alat untuk kepentingan hidup
badaniah kita. Bukan menjadi majikan lagi! Dan kalau
sudah begitu, maka kehidupan kita akan dipenuhi cahaya
kekuasaan Tuhan. Kekuasaan Tuhan yang akan
membimbing kita, bukan lagi hati dan akal pikiran. Hati dan
akal pikiran lalu melaksanakan tugas yang semula, yang
sebenarnya yaitu tugas menjaga agar badan kita tetap
pelihara dalam kehidupan ini sehingga nafsu daya rendah
tidak lagi merajalela tidak dapat lagi menimbulkan dengki,
iri, cemburu, benci, takut dan sebegainya yang
mengakibatkan perbuatan-perbuatan yang sesat dan jahat.
Kekuasaan Tuhan memenuhi diri kita dengan Kasih, seperti
yang menjadi sifatNya.

Di dunia ini mana ada orang jahat? Semua orang baik,


hanya karena bodoh maka menyeleweng dari kebenaran.
Kalau sudah sadar tentu kembali ke jalan yang benar. Yang
jahat bukan orangnya tetapi penggodanya. Lempar semua
penggodanya maka manusia takkan tergoda, takkan ada
kejahatan. Buang semua emas, takkan ada lagi maling
emas. Setelah hidup, mengapa banyak mengeluh? Kalau
dengan menangis atau tertawa keadaan tidak bisa berubah,
mengapa tidak memilih tertawa. Dengan tertawa
menyambut yang baik tentu akan terasa lebih nikmat. Dan
dengan tertawa menyambut yang jelek, tentu akan
berkurang penderitaannya.

"Siapa yang menderita? Dia senang! Lebih senang dari


orang lain. Dia tua, apa kau kira orang muda lebih senang
dari pada orang tua. Dia miskin, apa kau kira orang kaya
lebih senang dari pada orang miskin? Dia kurus, apa kau
kira orang gemuk seperti kau ini lebih senang dari pada
orang kurus?”

"Apakah itu baik? Apakah itu jahat? Manusia tidak baik,


juga tidak jahat. Kebaikan yang dipuji orang bukan
kebaikan lagi. Kejahatan yang dicela orang belum tentu
kejahatan. Siapa menciptakan baik dan jahat? Orang!
Siapa menciptakan susah dan senang? Orang. Semua itu
sebetulnya tidak ada. Adanya karena dipaksakan orang,
oleh orang yang memang suka mengada ada! Semua
kosong kelihatannya berisi akan tetapi kosong. Yang
kosong sebetulnya penuh isi. Aneh tapi tidak aneh. Benar
tapi salah juga!

Memang lucu dan aneh, akan tetapi merupakan kenyataan


yang dapat kita lihat sehari-hari dalam kehidupan di
sekeliling kita betapa harta dapat mempermainkan kita
manusia, akan tetapi juga dapat mempersatukan manusia
dengan manusia lain kalau memang kepentingan mereka
bersama menguntungkan!
Maka sesungguhnya bukanlah harta yang berkuasa dan
mempermainkan manusia melainkan batin sendiri yang
dicengkeram oleh ke aku-an dan nafsu ingin memperoleh
keuntungan bagi diri sendiri sebesarnya. Demi memperoleh
keuntungan untuk diri sendiri inilah, kawan dapat menjadi
lawan dan sebaliknya, lawan dapat berubah menjadi
kawan. Hal seperti ini menjadi landasan dari setiap
peristiwa antara manusia di dunia, bahkan dapat meluas
menjadi antar kelompok dan antar bangsa dan Negara!
Saling memperebutkan keuntungan inilah yang
menyebabkan terjadinya perang antara dua bangsa yang
bersahabat, sebaliknya dapat menyebabkan terjadinya
persahabatan antara kedua bangsa yang tadinya
bermusuhan.
Kita tinggal membuka mata melihat saja semua ini terjadi di
sekeliling kita, bahkan di dalam batin kita sendiripun
demikian karena keadaan dunia tidaklah berbeda dari
keadaan di dalam batin kita sendiri. Dari batin manusia
peroranganlah tercetusnya konflik yang dapat melebar dan
meluas menjadi konflik antara manusia dan konflik antara
bangsa.
Dapatkah kita menikmati segala hal yang kita lakukan,
termasuk pergi sekolah, belajar, bekerja di kantor,
berbelanja di pasar, masak di dapur, segala sesuatu itu?
Dapatkah? Hal ini hanya kita sendiri yang mampu
menyelidiki, mampu mempelajari dan mampu
menjawabnya!
Mari kita mengguncang diri, seperti anjing kalau
mengguncang tubuh mengeringkan diri dari air atau
melemparkan kutu-kutu dari badan, mari kita melepaskan
belenggu dari semua ikatan kebiasaan itu! Dan mari kita
melakukan APA SAJA, ketika bekerja, ketika mandi, ketika
makan, ketika kita bicara, bahkan ketika kita termenung,
apa saja yang kita lakukan, pernapasan kita, gerakan kaki
tangan kita, GERAKAN PIKIRAN kita, mari kita lakukan
semua gerakan lahir batin itu dengan penuh KESADARAN,
bukan gerakan robot atau otomatis, melainkan gerakan
dilakukan dengan penuh PENGAMATAN, dengan penuh
kewaspadaan dan penuh kesadaran, penuh perhatian. Mari
kita buka mata dan lihat, kita amati setiap gerak badan dan
batin KITA SENDIRI, dan mari hentikan mengamati orang
lain. Kita MASUK dengan seluruh jiwa raga ke dalam
sesuatu yang kita lakukan! Sejak bangun tidur sampai
pulas, dan bahkan pengamatan itu masih hidup selagi kita
tidur. Mau coba? Marilah!

Tak dapat disangkal pula bahwa segala macam perbuatan


jahat seperti pencurian, penjambretan, pencopetan, bahkan
perampokan, timbul dari keadaan yang dicengkeram
kemiskinan. Orang-orang yang sudah tersudut karena tidak
memiliki pekerjaan, atau orang-orang pemalas yang tidak
suka bekerja dan ingin mencari uang mudah, atau orang-
orang yang tidak merasa puas dengan keadaannya,
condong untruk mudah terbujuk dan menjadi pelaku-pelaku
kejahatan. Hal ini bukan berarti bahwa orang kaya raya
tidak mau melakukan kejahatan. Setidaknya, tidak mau
melakukan pencurian. Akan tetapi orang kaya raya
sekalipun, kalau batinnya memang tamak dan tidak puas
dengan keadaannya dan selalu ingin lebih dari pada yang
dimilikinya, condong pula untuk melakukan kejahatan yang
lain bentuknya akan tetapi sama saja sifatnya, yaitu demi
kesenangan sendiri tanpa memperdulikan bahwa
perbuatannya itu merugikan orang lain. Mereka itu melepas
uang panas dengan bunga tinggi, menindas para petani
dan buruh, mempermainkan perdagangan demi
keuntungan mereka, bermanipulasi dan korupsi, dan
sebagainya. Uang atau harta benda memang merupakan
sarana hidup, satu di antara persyaratan untuk hidup
bahagia dan mencari uang bahkan merupakan suatu
kaharusan yang mutlak kalau kita ingin mempunyai
sandang pangan dan papan yang cukup. Akan tetapi
pengejarannya terhadap uang itulah yang amat berbahaya.
Pengejaran yang dilakukan karena kebutuhan masih tidak
begitu berbahaya, akan tetapi pengejaran yang didorong
oleh kelobaan, oleh nafsu ingin meraih keadaan yang
dianggap lebih baik dari pada keadaan yang ada sekarang,
amat berbahaya dan condong untuk menjerumuskan kita ke
dalam perbuatan jahat, merugikan orang lain. Seperti orang
yang mengejar-ngejar sesuatu di depan sana, matanya
hanya tertuju kepada yang dikejarnya sehingga kalau ada
orang lain berada di depannya, dianggap penghalang dan
dilompati, bahkan mungkin ditendangnya untuk dapat
mencapai apa yang dikejarnya.
Pengejaran inilah yang perlu kita amati pada diri sendiri,
pengejaran uang menimbulkan pencurian, penipuan,
korupsi dan sebagainya. Pengejaran kedudukan
menimbulkan jagaljegalan, perkelahian bahkan perang.
Pengejaran kesenangan sex menimbulkan pelacuran,
perjinahan. Kesenangan apapun juga bentuknya di dunia ini
kalau sudah menguasai kita, dapat saja menjadi pendorong
agar kita mengejar-ngejar, menjadi suatu tujuan dan
biasanya, tujuan menghalalkan segala cara bagi orang-
orang yang sudah buta akan kesadaran. Kita hidup berhak
untuk menikmati kesenangan, akan tetapi justeru
pengejaran akan keadaan yang lebih dari pada sekarang
itulah yang melenyapkan kesenangan yang ada pada saat
ini. Mata kita selalu tertuju ke depan, kepada kesenangan-
kesenangan yang belum ada, kepada bayangan-bayangan
sehingga kita tidak melihat lagi keindahan apa yang ada
pada kita.

karena adanya harapan untuk mencapai hasil inilah maka


timbul segala macam konflik di dalam batin. Adanya
harapan untuk mencapai hasil ini membuat gerak
perbuatan itu sendiri menjadi palsu, setengah-setengah,
tidak sepenuhnya dan membuat perbuatan itu kehilangan
gairahnya, kehilangan mutu dan nikmatnya. Sebaliknya,
kalau setiap perbuatan itu hidup, barulah kita dapat
menikmati setiap perbuatan kita, barulah perbuatan itu
benar dan bersih.

Memang, pengejaran akan hasil baik, dan biasanya hasil


baik ini berlandaskan kepentingan dan kesenangan diri
pribadi, membuat apa yang dilakukan itu seringkali menjadi
berobah sifatnya, dapat menimbulkan penyelewengan-
penyelewengan dan kejahatan dalam pelaksanaannya.
Perbuatan yang ditunggangi pamrih mencapai sesuatu
selalu condong untuk menyeleweng, terdorong oleh
keinginan mencapai hasil yang menyenangkan diri sendiri
itu, kalau perlu boleh saja menyusahkan orang lain

Tangis merupakan suatu peristiwa amat penting dari


kehidupan, bahkan air mata tidak terpisahkan dari
kehidupan seorang manusia. Kebohongan besarlah kalau
seorang mengatakan bahwa dia tidak pernah menangis!
Setidaknya, tentu dia pernah menangis dalam hatinya. Dan
tentu dia banyak menangis pula di waktu masih kecil, setiap
hari menangis entah berapa kali.
Bahkan menurut penyelidikan para cendekiawan, tangis
merupakan suatu keharusan bagi manusia karena tangis
merupakan obat yang amat mujarab, merupakan suatu
pelepasan segala ganjalan, pelampiasan segala
kekecewaan dan kemarahan. Tanpa tangis, mungkin usia
manusia menjadi lebih pendek dari pada kepanjangan usia
pada umumnya seperti sekarang ini.
Tangis bukan hanya menjadi tanda kedukaan hatinya,
bahkan kegembiraan yang besar, manusia menitikkan air
mata seperti orang menangis. Kegembiraan besar
mendatangkan keharuan yang membuat orang menangis
pula. Agaknya hanya dalam suara tangis sajalah terdapat
suatu kesungguhan, suatu kewajaran, walaupun tentu saja
ada tangis yang dibuat-buat.
Betapapun juga, tangis tidaklah sepalsu tawa.
Suara pertama dari manusia adalah tangis. Begitu terlahir,
manusia dari bangsa apapun juga, mengeluarkan suara
pertama itu, ialah menangis. Dan suara ini adalah suara
kemanusiaan, suara suci karena dikeluarkan dari mulut
manusia sebagai gerakan pertama kali, keluar tanpa
dikehendaki, suara yang sama sekali tidak mengandung
emosi, atau pamrih. Karena itu, suara yang wajar ini dikenal
oleh seluruh manusia di dunia tanpa membedakan bangsa
dan bahasa, menjadi satu-satunya suara yang amat dekat
dengan manusia berbangsa apapun juga. Dari suara tangis,
kita tidak akan mampu membedakan apakah tangis itu
keluar dari mulut seorang berbangsa ini atau itu. Kelahiran
manusia diiringi tangis, tangisnya sendiri. Kematiannyapun
diiringi tangis, tangis mereka yang ditinggalkan. Kehidupan
itu sendiri, antara lahir dan mati, penuh dengan selingan
tangis!
Sesungguhnya, tangis merupakan sesuatu yang tak
terpisahkan dari hidup, dan tangis merupakan pertanda dari
keadaan batin yang macam-macam pula. Tangis duka
didasari oleh rasa iba diri, seperti yang dilakukan oleh
Sheila dan Seng Bu ketika keduanya teringat akan keadaan
diri mereka masing-masing. Ada pula tangis haru yang
didasari oleh rasa iba terhadap orang lain.
Ada tangis karena kegembiraan yang besar. Tangis karena
kemarahan. Tangis merupakan pencerminan keadaan batin
yang diusik emosi.
Demikian dekatnya tangis dengan kehidupan kita sehingga
tangis inipun mudah sekali menular. Berada di antara
banyak orang yang sedang menangis, sukarlah bagi kita
menahan diri agar tidak ikut menitikkan air mata.

Bacaan, kalau dilakukan dengan tekun, kalau dilakukan


dengan pencurahan perhatian, merupakan sumber
pengetahuan dan pengertian dan memupuk kebijaksanaan.
Seorang bijaksana akan melihat bahwa segala akibat itu
tentu bersebab, dan kalau diteliti, maka segala akibat yang
menimpa diri sendiri sudah pasti sebabnya bersumber pada
diri sendiri pula.
Kita sudah terbiasa sejak kecil untuk mencari kesalahan di
luar diri sendiri, untuk mencari kambing hitam atau
keranjang sampah. Hal ini sama sekali tidak ada
manfaatnya, bahkan mengeruhkan pikiran, menimbulkan
dendam dan permusuhan, kebencian kepada yang berada
di luar diri. Mengapa kita tidak pernah mau menjenguk ke
dalam diri sendiri untuk mencari sebab dari pada setiap
akibat yang timbul dan yang menimpa diri kita sendiri?
Bukankah hal ini timbul karena kita sudah membuat dan
menciptakan sebuah gambaran tentang diri kita sendiri,
sebuah gambaran yang menjadi raja "aku"? Aku yang
paling baik, paling benar, dan paling patut dikasihani,
menjadikan kita menjadi rendah diri atau tinggi hati, satu di
antara dua. Keakuan yang membuat kita enggan untuk
mencari kesalahan pada diri sendiri.
Kalau kita tertipu seseorang, kita condong untuk
mencurahkan semua perhatian kepada si penipu,
menyalahkannya, menuntutnya, membencinya,
mendendam dan mencari jalan untuk membalasnya berikut
bunganya. Mengapa kita tidak menghentikan pencurahan
keluar itu dan mencari sebabnya dalam diri sendiri? Kalau
kita melakukan hal itu, maka akan nampaklah oleh kita
sebabnya yang terutama adalah pada diri kita, yaitu karena
kita lengah, karena kita bodoh, karena kita lemah, maka
kita sampai tertipu. Pengamatan terhadap diiri sendiri ini
jauh lebih besar manfaatnya, dapat membuat kita sadar
dan menganggap peristiwa itu sebagai suatu pengalaman
berharga, sebagai pelajaran sehingga selanjutnya kita akan
berhati-hati, akan waspada sehingga tidak sampai tertipu
lagi. Pandangan keluar, sebaliknya, mendatangkan emosi,
dendam dan kebencian dan tidak akan menambah
kewaspadaan kita sehingga kelak mungkin saja hal yang
sama terulang lagi karena kelengahan kita sendiri.
Dalam menghadapi setiap peristiwa yang menimpa kita,
demikian kata orang bijaksana, kita tidak menyalahkan
Tuhan tidak mengutuk Setan, melainkan mencari sebab-
musababnya dalam diri kita sendiri!

Kebanyakan dari kita, terutama di dunia modern akhir-akhir


ini, condong untuk menilai seseorang melalui agamanya,
atau kebangsaannya, kesukuannya, kelompoknya,
kedudukannya, pendidikannya, atau bahkan dari
kekayaannya! Karena penilaian seperti itu, tentu saja lalu
bermunculan konflik-konflik antar agama, antar suku, antar
kelompok dan sebagainya. Masing-masing pihak tentu saja
menilai pihak sendiri paling baik dan paling benar,
sedangkan pihak lain yang paling salah dan paling buruk!
Padahal, seperti dapat kita lihat dari kenyataan, bukan dari
teori, baik buruknya seseorang sama sekali tidak
tergantung dari agamanya, kebudayaannya, dan
sebagainya itu. Baik buruknya seseorang tergantung dari
perbuatannya dan batinnya, karena perbuatan itu
mencerminkan keadaan batin. Agama, kebangsaan,
kedudukan dan sebagainya adalah pakaian yang dikenakan
pada seseorang manusia. Betapapun indah dan bersihnya
pakaian itu, kalau manusia yang memakainya kotor dan
buruk, tentu saja akan tetap kotor dan buruk, dan bukan
tidak mungkin bahwa pakaian yang bersih itu akan terbawa
menjadi kotor. Agama hanyalah suatu pelajaran bagi
manusia agar hidup menurut jalur yang benar dan baik,
akan tetapi tentu saja bukan agamanya yang menentukan,
melainkan manusianya sendiri karena dapat saja dia
menyeleweng dari pada jalur itu.
Sayang bahwa banyak yang tidak melihat kenyataan ini.
Kita terlalu mementingkan pakaian-pakaiannya sehingga
melupakan manusia itu sendiri. Banyak pertikaian timbul di
antara manusia karena pakaian itu, karena agama, karena
suku, karena bangsa, karena kedudukan dan kekayaan,
dan semua ini bersumber kepada keakuan yang ingin
senang, ingin benar sendiri.

Betapa banyaknya di antara kita memiliki kebanggaan dan


harapan seperti yang dimiliki Siu Coan itu. Semua agama
mengajarkan agar kita hidup sebagai manusia yang baik,
karena hanya hidup baik ini yang menjadikan kita
bermanfaat bagi dunia, bagi manusia. Akan tetapi kita mau
hidup baik karena di balik itu terdapat harapan dan pamrih
agar kita memperoleh pahala, memperoleh hadiah, baik
hadiah itu dinamakan Sorga atau Nirwana ataukah
kesempurnaan atau segala macam kata kata yang muluk
lagi. Karena adanya ancaman hukum bagi yang berbuat
jahat, dan janji pahala bagi yang berbuat baik, maka kita
condong untuk berbuat baik. Memang inilah tujuannya,
akan tetapi, hal ini pula yang membuat kita menjadi
manusia-manusia palsu, menjadi munafik, menjadi srigala-
srigala berkedok domba, yang berbuat baik dan menjauhi
perbuatan jahat HANYA karena kita ingin memperoleh
pahala dan ingin dijauhkan dari pada hukuman. Kebaikan
yang dilakukan dengan sengaja ini tentu berpamrih, dan
pamrih membuat kita menjadi munafik, membuat perbuatan
kita adalah palsu, karena perbuatan itu bukan perbuatan
baik, melainkan suatu cara bagi kita untuk memperoleh
pahala, cara untuk menghindarkan hukuman!
"Cintailah musuh-musuh" adalah serangkaian kata-kata
yang amat indah dan suci kalau kita dapat menangkap
maknanya. Kalau tidak, tentu akan menimbulkan keraguan
karena di situ terdapat dua kata yang berlawanan, yaitu
"cinta" dan "musuh". Biasanya, cinta berkaitan dengan
sahabat, dan yang berkaitan dengan musuh adalah benci.
Maka, cintailah musuhmu seakan-akan mengandung
makna yang berlawanan atau saling bertolak belakang.
Akan tetapi sesungguhnya pelajaran ini mengandung
makna yang sekaligus menghapuskan benci dari dalam hati
berdasarkan kasih. Bukan berarti suatu waktu kita
mencintai musuh kita dan di lain waktu kita siling
berbunuhan dengan musuh itu! Ini sama sekali tak masuk
akal dan omong kosong. Akan tetapi, kita dapat mencintai
orang yang memusuhi kita! Mungkin banyak orang
memusuhi kita, membenci kita, tidak senang kepada kita,
karena mungkin iri hati, dengki, salah paham dan
sebagainya lagi. Biarlah mereka itu membenci kita, akan
tetapi orang yang memiliki sinar kasih dalam batinnya, tidak
akan membalas kebencian itu, tidak membalas
permusuhan itu, melainkan menghadapi mereka yang
memusuhi kita dengan cinta kasih antara manusia! Tidaklah
ini indah, besar dan mulia sekali? Kita dapat melihat cinta
kasih seperti itu, cinta kasih Tuhan melalui sinar matahari,
melalui harumnya bunga, melalui tanah, air, hawa, udara.
Biar ada manusia yang mengutuk dan membenci alam dan
semua kekuasaan Tuhan, namun tetap saja semua itu
memberikan dengan rela, kepada siapa saja tanpa pilih
kasih, kepada mereka yang membenci sekalipun. Orang
yang sejahat-jahatnya sekalipun, yang segala tindakannya
berlawanan dengan kebaikan, akan tetap memperoleh
hawa udara, memperoleh sinar matahari, dapat menikmati
keharuman bunga, sama seperti orang yang paling baik,
paling saleh sekalipun.

Di dunia ini terdapat banyak sekali agama atau pelajaran


kebatinan yang tujuannya sebenarnya hanya satu, yakni :
menuntun manusia agar hidup dengan bersih, dalam arti
kata tidak saling mengganggu, bahkan saling menolong,
memperbesar nyala api cinta kasih antara manusia dan
melenyapkan kebencian, iri hati, permusuhan dan
sebagainya. Tidak ada satupun di antara agama-agama itu
yang mempunyai tujuan buruk! Namun, baiknya agama
tidak menjamin baiknya manusia. Bahkan manusia
sendirilah yang menentukan apakah agama yang dianutnya
itu benar-benar menjadi obor dan petunjuk kebersihan
hidup ataukah sebaliknya. Manusia yang menentukan
karena manusia adalah kehidupan ini. Agama adalah
agama, tidak baik tidak buruk, suatu pelajaran hidup,
makanan rohani juga obat batin. Baik buruknya tergantung
si pemakai, ialah manusia.
Penggunaan yang benar dari manusia dapat membuat
agama sebagai penyedar batin yang menyeleweng,
sebagai obor penyuluh bagi batin yang menderita,
penuntun bagi manusia yang makin menjauhkan diri dari
pada Alam dan pencipta-Nya. Akan tetapi sebaliknya,
penggunaan yang keliru dari manusia dapat saja membuat
agama menjadi penimbul kemunafikan, menjadi bahan
bentrokan antara agama, menjadi pembangkit
kesombongan dan ketinggian hati karena merasa diri paling
bersih, paling benar dan paling suci. Hal ini bukan sekedar
dongeng, melainkan kenyataan yang dapat kita lihat setiap
hari di sekeliling kita, bahkan di dalam batin kita sendiri.

Kebahagiaan adalah suatu keadaan yang tidak mungkin


dapat digambarkan, bahkan tidak mungkin dapat dicari.
Kalau dicari tidak mungkin akan dapat. Yang dapat dicari
hanyalah kesenangan, dan kesenangan hanyalah
pengulangan dari suatu peristiwa yang dianggap
menyenangkan dan mengenakkan yang pernah dialami
atau pernah didengar dari orang lain.
Akan tetapi kesenangan hanya merupakan suatu peristiwa
singkat yang akan segera berlalu, seperti juga kesusahan
yang menjadi saudara kembarnya. Kita selalu terombang-
ambing antara mencari kesenangan dan menghindari
kesusahan, sehingga dengan demikian, batin kita seperti
selalu bergelombang dan penuh dengan ombak-ombak
kesenangan dan kesusahan. Padahal, kebahagiaan adalah
keheningan dan ketenangan batin yang tidak terlanda oleh
sesuatu yang merangsangnya, seperti samudera yang
tenang dan sedikitpun tidak dikacau ombak, baik itu ombak
kesenangan maupun ombak kesusahan. Jadi,
kebahagiaan, seperti juga kedamaian, seperti juga
keheningan, tidak mungkin bisa dicari atau dikejar. Karena,
kebahagiaan itu baru ada kalau segala kebisingan telah
lenyap, seperti juga samudera kebahagiaan yang tenang itu
baru ada kalau semua ombak susah senang sudah tidak
mengganggu lagi.
Kebahagiaan adalah keadaan hati yang mampu menerima
segala sesuatu seperti apa adanya, tidak terpengaruh oleh
sesuatu. Kebahagiaan sudah ada setiap saat, hanya untuk
dapat merasakannya, segala macam pengaruh harus
meninggalkan batin kita, karena hanya batin yang bebas
sajalah, bebas dalam arti kata seluasnya, bebas tidak
terikat oleh kesenangan atau kesusahan, tidak terikat oleh
apapun juga, yang akan mampu mengerti apa
sesungguhnya yang dinamakan kebahagiaan itu.
Kebahagiaan adalah seperti sinar matahari yang selalu
ada. Kalau tidak nampak, maka sudah pasti bahwa ada
yang menghalangi atau menutupi sinar itu. Kalau
penghalang atau penutupnya lenyap, sudah pasti cahaya
itu akan bersinar dengan cerahnya.
Dalam keadaan gelap karena cahaya itu teraling, percuma
sajalah mencari-cari cahaya itu, karena tidak mungkin akan
bertemu. Dan segala macam penghalang itu berada di
dalam batin kita sendiri!
Orang yang selalu ingin mengejar kesenangan, dan orang
yang selalu ingin menghindarkan kesusahan, takkan
pernah dapat mengenal apa sebenarnya kebahagiaan.
Bukan berarti bahwa kita tidak boleh menikmati
kesenangan atau meninggalkan keduniawian lalu bertapa di
puncak gunung. Menikmati kesenangan adalah hak kita
sebagai manusia hidup, karena kita telah diberi panca
indera sebagai alat untuk menikmati kesenangan dalam
hidup ini.
Namun, senang susah itu baru timbul apa bila ada
perbandingan dalam hati. Kalau kita menerima segala
sesuatu sebagai apa adanya, sebagai suatu kewajaran,
maka tidak ada lagi sebutan senang susah itu, tidak tercipta
ombak-ombak senang susah yang saling bertentangan.

Pahlawan! Sungguh merupakan suatu sebutan yang muluk


dan terhormat, bahkan mungkin diidamkan oleh semua
orang. Siapa yang tidak ingin menjadi orang yang disebut
pahlawan, atau setidaknya menjadi keluarga pahlawan?
Seorang pahlawan adalah seorang yang sudah dianggap
berjasa untuk negara dan bangsa, seorang yang
perbuatannya patut dijadikan teladan dan dihormati semua
orang, dari pembesar yang paling tinggi sampai rakyat yang
paling rendah. Akan tetapi, apa dan siapakah
sesungguhnya pahlawan? Pahlawan hanyalah seorang
yang dianggap menonjol dan berjasa bagi suatu pihak,
suatu golongan, suatu kelompok, atau suatu bangsa.
Seorang yang dianggap pahlawan besar bagi suatu
bangsa, belum tentu dianggap pahlawan pula oleh bangsa
lain, apa lagi kalau bangsa lain ini kebetulan menjadi lawan
bangsa yang pertama. Pahlawan dari suatu bangsa
mungkin akan dianggap penjahat besar oleh bangsa yang
menjadi musuhnya. Dan bukankah pahlawan itu hanya
merupakan suatu sebutan saja, yang diberikan untuk
merangsang semangat semua orang yang tenaganya
dibutuhkan untuk suatu perjuangan? Setelah meninggal
dunia, makamnya lalu dibikin bagus, dihormati setahun
sekali hanya untuk waktu beberapa menit saja, kemudian
ditinggalkan dan dilupakan lagi, bersunyi sepi terlupakan di
antara kuburan-kuburan lain. Atau keluarganya mungkin
akan menerima sekedar sumbangan. Bukankah semua ini
hanya merupakan semacam piala atau medali saja bagi
orang untuk merangsang orang-orang lain? Dan orang
yang berjuang demi mencari sebutan pahlawan atau
keuntungan lain, baik keuntungan benda atau batin, kiranya
hanya orang-orang pengejar keuntungan saja namanya.
Seorang pahlawan yang sesungguhnya pahlawan adalah
orang yang melakukan sesuatu demi pengabdiannya akan
sesuatu yang diagungkan, dimuliakan, tanpa
mengharapkan jasa. Berjuta pahlawan di dunia ini, yaitu
mereka yang meninggalkan harta benda, keluarga, untuk
berjuang membela negara dan bangsa, tanpa pamrih,
kemudian gugur tanpa ada yang mengenalnya. Mati begitu
saja, tidak diberi cap pahlawan, tidak dihormati setiap tahun
beberapa menit lamanya, tidak memperoleh tunjangan
terhadap keluarganya yang ditinggalkan.
Mereka itulah pahlawan dalam arti yang seluas-luasnya.
Semoga damai abadilah bagi mereka itu!
"Hati akal pikiran memang merupakan anugerah khusus
bagi manusia karena tan pa itu kita akan hidup tiada
bedanya dengan hewan. Hati akal pikiran memang perlu
dipergunakan untuk menimba ilmu pengetahuan lewat
pengalaman dan pelajaran karena kehidupan manusia di
dunia ini secara lahlriah membutuhkan ilmu pengetahuan.
Akan tetapi kalau ilmu pengetahuan atau kalau hati akal
pikiran kita pergunakan untuk melawan daya pe-ngaruh
nafsu, kita akan kecelik! Coba kumpulkan seluruh maling di
dunia ini , dan tanya, apakah ada seorang saja di antara
mereka yang tidak tahu atau tidak mengerti bahwa
perbuatan mencuri itu adalah perbuatan jahat dan tidak
baik? Semua, tidak terkecuali, tentu mengerti melalui hati
akal pikirannya. Akan tetapi, pengetahuan dan pengertian
melalui hati akal pikiran itu tidak dapat menghentikan
perbuatan mencuri itu! Sebaliknya malah. Hati akal pikiran
yang sudah menjadi sarang bagi nafsu daya rendah itu
bahkan menjadi pem-bela perbuatan mencuri itu dengan
membisikkan berbagai alasan. Aku terpaksa melakukan ini,
demi keluargaku, orang lain juga melakukan malah lebih
besar daripada aku. Demikian hati akal pikiran membisiki
sehingga semua maling tidak merasa menyesal, tidak
bertobat malah semakin menjadi-jadi."

Kalau begitu, apakah yang harus dilakukan nianusia untuk


tidak melakukan kesesatan?
"Apapun yang diusahakan untuk mengubah, semua usaha
itu masih dalam lingkungan hati akal pikiran, masih dalam
lingkaran kekuasaan nafsu daya rendah yang selalu
menginginkan sesuatu yang lebih baik! Pamrih-pamrih ini
yang menjebak kita sehingga terjadi lingkaran setan. Ingin
lebih baik, iogin lebih menyenangkan, ingin ini ingin itu yang
akhirnya menyeret kita ke dalam kesesatan-kesesatan baru
yang lain lagi. Tidak ada usaha hati akal pikiran yang akan
berhasil.
Hanya ada satu saja kekuatan yang akan mampu
menundukkan nafsu daya rendah. Kekuatan itu bukan lain
adalah Kekuasa-an Yang Maha Kasih. Dengan kekuasaan
inilah kita akan dapat menalukkan natsu setan yang
bagaimana licik dan jahat-pun! Kekuasaan ini akan
memberi kekuatan kepada kita, akan menuntun kita.
Kekuatan ini muncul kalau kita menyerah kepada Yang
Maha Kuasa secara mutiak. Kalau hati sanubari kita kosong
dan terbuka, Kekuasaan Mutiak itu akan masuk,
membangkitkan jiwa kita, memberinya kekuatan dan nafsu-
nafsu daya rendah akan kembali menduduki tugasnya
semula, yaitu menjadi pelayan kita, menjadi hamba kita,
bukan menjadi majikan kita."

Sorga atau harta benda memang tidak ada bedanya kalau


keduanya itu dibayangkan sebagai sesuatu yang akan
mendatangkan kesenangan lalu dikejar-kejar. Yang
menginginkan kesenangan dan mengejar-ngejarnya adalah
nafsu daya rendah. Memang sifat nafsu itu demikian,
mencari kesenangan. Coba kita bertanya kepada diri
sendiri. Andaikata sorga itu dibayangkan sebagai sesuatu
tempat yang tidak enak, tidak menyenangkan, bahkan
menyakitkan, apakah kita masih akan mengejarnya?
Kurasa tidak akan ada seorangpun manusia mengejarnya!
Kalau kita membayangkan kesenangan, apapun bentuknya,
jelas bah-wa itu ulah, nafsu duniawi dan kedagingan,
karena segala macam bentuk kesenangan adalah bentuk
keenakan yang dapat dirasakan 'jasmani selagi berada di
dunia. Dan selama ada kesenangan, disitu pasti ada pula
kesusahan, saudara kembarnya yang tak terpisahkan."

Yang kita sebut Thian, Tuhan Yang Maha Kuasa itu mutiak
Maha Ada dan Maha Benar. Kalau orang-oraog saling
membicarakan dan mempertentangkan maka akan timbul
bentrokan dan perselisihan. Hal ini terjadi karena
mempertentangkan itu adalah hati akal pikiran kita yang
sudah diperalat nafsu. Hati akal pikiran kita terlalu kecil
sekali untuk dapat mengukur Keberadaan, Kebesaran, dan
KebenaranNya. Hati-akal-pikiran hanya akan membentuk
aku yang selalu minta dibenarkan, aku yang selalu merasa
pintar, selalu merasa benar sendiri, paling mengerti. Si-aku
yang sesungguhnya bukan lain adalah nafsu, kuasa ibiis.
Bagaimana mungkin kebenaran hendak diperebutkan?
Memperebutkan kebenaran itu sendiri sudah jelas tidak
benar! Semua agama mengajarkan manusia untuk hidup
baik dan bermanfaat bagi dunia dan manusia dan semua
agama itu benar adanya karena merupakan wahyu dari
Tuhan untuk membimbing manusia agar tidak tersesatdan
agar tidak melakukan kejahatan. Tentu saja ketika wahyu
diturunkan, manusia menerimanya disesuaikan dengan
jamannya, kebudayaan bangsanya pada waktu itu, dengan
tradisinya dan segalanya. Hal ini tentu akan membuat
wahyu-wahyu itu tampak berbeda pada lahirnya.
Pakaiannya saja yang berbeda, bahasanya, dan setelah
lewat ratusan atau ribuan tahun mungkin pula terjadi
perubahan-perubahan dalam bahasa dan penafsirannya.
Kenapa mesti dicari perbedaannya? Kenapa mesti
dipertentangkan? Kenapa mesti membenarkan agama
sendiri dan menyalahkan agama yang lain? Tuhan hanya
satu. Bahkan satu di antara jutaan ciptaanNya, yaitu
matahari, manfaatnya untuk semua manusia di permukaan
bumi, apalagi Tuhan sendiri! Tuhan Yang Maha Esa adalah
Tuhan semua manusia, tak perduli berbangsa atau
beragama apapun, bahkan Tuhan semua mahluk, yang
tampak maupun yang tidak tampak, yang bergerak maupun
yang tidak bergerak! Lihatiah sebintik lumut. Begitu kecil tak
berarti, namun Kekuasaan Tuhan berada dalam dirinya,
karena itu ia hidup!"
"Setelah mengenal keindahan dengan sendirinya mengenal
keburukan,
setelah tahu akan kebaikan dengan sendirinya tahu pula
akan keJahatan.
Sesungguhnya ada dan tiada saling melahirkan
sukar dan mudah saling melengkapi
panjang dan pendek saling mengadakan
tinggi dan rendah saling menunjang
sunyi dan suara saling mengisi dahulu
kemudian saling menyusul.
Itulah sebabnya para bijaksana bekerja tanpa pamrih
mengajar tanpa bicara.
Segala terjadi tanpa dia mendorongnya tumbuh tanpa dia
ingin memilikinya berbuat tanpa dia menjadi sandarannya.
Walau berjasa dia tidak menuntut Justeru tidak menuntut
maka takkan musna”.

kebajikan dalam kehidupan tidak mungkin dilatih, tidak


mungkin dipupuk, tidak mungkin dicari. Yang mungkin kita
lakukan adalah mengenal semua keburukan yang ada pada
kita, dalam batin kita. Yang dapat kita lakukan adalah
meniadakan semua keburukan itu, melenyapkan semua
kotoran yang mengeruhkan batin, antara lain kemarahan,
kebencian, iri hati, pementingan diri pribadi, pengejaran
kesenangan karena semua itu mendatangkan duka. Kalau
sudah tidak ada marah dalam hati, tak perlu belajar sabar
lagi, karena keadaan tidak marah itulah kesabaran. Kalau
sudah tidak ada duka dalam batin tidak perlu lagi mencari
kebahagiaan karena keadaan tanpa duka itulah
kebahagiaan.
Yang penting bukanlah menyesal dan bertobat setelah
menderita akibat dari perbuatan sesat kita. Yang penting
adalah pengamatan dengan waspada terhadap diri sendiri
lahir batin setiap saat. Setiap perbuatan hanya merupakan
pencerminan dari keadaan batin. Kalau batin bebas dari
kebencian tidak mungkin kita melakukan kekejaman. Kalau
batin penuh cinta kasih, segala perbuatan yang kita lakukan
sudah pasti baik dan benar!

"Bersabarlah, bersabarlah, bersabarlah !" Demikian nasihat


ini berdengung dalam telinga kita sejak kita kecil kalau kita
sedang marah. Dengan demikian kita meletakkan arti
kesabaran sebagai kebalikan dari kemarahan, sebagai
lawan. Dan kita terumbang-ambing antara kesabaran dan
kemarahan, terjadi konflik yang tiada hentinya. Kita marah,
disabar-sabarkan, marah lagi, disabarkan lagi dan perang
itu terjadi terus menerus sampai kita tua-dan mati.
Kesabaran tidak mungkin diusahakan atau dilatih, kalau
diusahakan, maka kesabaran seperti itu hanya merupakan
kesabaran semu atau kesabaran palsu saja, dan
kemarahan yang disabarkan hanya seperti api dalam
sekam, nampaknya saja tidak ada, namun sebenarnya
belum lenyap dan sewaktu-waktu akan berkobar kembali.
Kesabaran suatu keadaan batin di mana kemarahan sudah
tidak ada lagi! Akan tetapi, bagaimana untuk
mengusahakan agar kemarahan tidak ada lagi, agar dapat
melenyapkan kemarahan? Tidak mungkin lenyap kalau kita
sengaja hendak melenyapkannya karena sama saja
dengan kesabaran yang diusahakan tadi. Kesabaran itu
tiada bedanya, sama saja sumbernya. Sumbernya dari
pikiran, dari si-aku. Si-aku merasa tersinggung, merasa
dirugikan, maka timbul kemarahan. Kemudian, si-aku
melihat bahwa kemarahan merugikan, tidak baik, lalu si-aku
ingin sabar agar tenang, agar sehat, agar baik dan
sebagainya. Kalau kemarahan datang, kita amati saja
dengan seluruh perhatian kita, dengan seluruh
kewaspadaan. Dan kesadaranpun akan tercipta, dan
kemarahan akan lenyap dengan sendirinya bukan karena
diusahakan supaya lenyap. Api kemarahan akan padam
dengan sendirinya kehabisan bahan bakar, bukan ditutupi
dengan sekam dan masih membara di dalam.

Dendam merupakan api beracun yang selalu bernyala di


dalam batin, dengan bahan bakar pikiran yang mengingat-
ingat dan membayangkan peristiwa yang menimpa kita,
merugikan kita, baik diri kita sendiri maupun keluarga kita,
teman, golongan, bahkan bangsa kita yang sesungguhnya
hanyalah pemekaran dari pada si-aku. Si-aku dirugikan,
dikecilkan, dihina, disakiti, demikianlah pikiran berbisik-bisik
membakar sehingga timbullah nyala api dendam. Dendam
karena merasa dirugikan ini menimbulkan kebencian dan
kekejaman, ingin melihat orang yang dibencinya itu tertimpa
bencana, baik yang dilakukan oleh kita sendiri maupun oleh
orang lain. Akan puaslah rasanya hati ini melihat orang
yang kita benci tertimpa malapetaka, tersiksa dan sengsarai
Betapa kejam, sadis dan kotor.
Membaca batin yang sudah diracuni oleh dendam! Namun,
ada pula yang menggantungkan hidupnya, pada dendam
kebencian, seolah-olah itulah satu-satunya tujuan hidupnya.
Kalau sudah begitu, hanya nafsu yang menguasai diri,
membuat kita seperti buta atau lupa bahwa dendam
kebencian itu membuat kita menjadi alat perputaran
lingkaran setan dari balas membalas dan dendam
mendendam, benci membenci dan permusuhan yang tiada
hentinya dan tiada habisnya antara manusia.
Betapa indahnya, betapa bijaksananya, kalau saja saat ini
kita mampu melihat bahwa batin kita membenci seseorang
atau sesuatu, kemudian saat ini pula mengakhiri kebencian
itu, membuangnya jauh-jauh sehingga lenyap sama sekali
tanpa akar tertinggal, tanpa bekas! Seperti orang yang
membuang jauh-jauh sebotol racun yang amat berbahaya
agar jangan dekat dengan kita. Bukannya menekan
kebencian dengan kesabaran, atau dengan usaha untuk
menjadi baik, atau hendak menutup kebencian itu dengan
sikap baik dan cinta kasih karena hal seperti ini akan sia-sia
saja. Sama saja dengan menutup api dengan sekam, sama
saja dengan menyembunyikan pakaian kotor di balik
pakaian indah. Api dalam sekam tetap membara. Baju kotor
di balik pakaian indah tetap saja masih ada dan berbau
busuk, mendatangkan kutu dan penyakit. Yang penting,
menyadari akan adanya kebencian itu dalam batin kita,
sadar sepenuhnya dan menghadapi kebencian yang
sesungguhnya adalah buah dari pikiran kita sendiri,
penonjolan dari si-aku yang merasa dirugikan,
menghadapinya sebagai suatu kenyataan, tanpa ingin
menutupi, tanpa ingin mengubah, melainkan mengamati
dengan penuh kewaspadaan dan membuangnya sebagai
racun yang mengancam diri kita.

Kita biasa saling menghadapkan dendam dan cinta, seolah-


olah cinta adalah lawan dari benci. Inilah sebabnya
mengapa seringkah terjadi orang yang tadinya mengaku
paling mencinta setengah mati, di lain waktu berubah
menjadi saling membenci setengah mati!! Jelaslah bahwa.,
"cinta" dan benci seperti itu pada hakekatnya sama saja,
bersumber sama, yaitu dari nafsu! Nafsu mengejar
kesenangan pribadi, menimbulkan cinta dan benci seperti
itu. Kalau disenangkan, maka cintalah, kalau disusahkan
maka bencilah yang timbul sebagai gantinya. Namun, cinta
yang sesungguhnya jauh lebih besar dari pada itu.
Cinta adalah suci, murni, menjadi sifat dari Tuhan. Tuhan
adalah Cinta, Tuhan adalah Hidup. Tuhan adalah
Kebenaran dan Kenyataan! Kalau dalam batin kita terdapat
cinta, maka segala apapun yang kita lakukan adalah benar
dan baik. Kalau batin kita diterangi sinar cinta kasih, tidak
mungkin ada dendam, tidak mungkin ada kebencian. Cinta
tidak dapat dipelajari, tidak dapat dilatih, tidak dapat dicari.
Cinta datang dengan sendirinya menerangi batin yang
bersih, batin yang kosong dan bebas, batin yang tidak
dipenuhi dengan pengaruh dan kekuasaan si-aku dengan
seribu satu keinginannya. Bagaikan sinar matahari
menerobos masuk ke dalam kamar yang jendela dan
pintunya terbuka, melalui kaca-kaca yang bersih dari
kotoran dan debu, demikian pula cinta kasih menerangi
batin yang kosong dan bersih. Dan batin baru dapat kosong
dan bersih kalau kita mengenal diri sendiri lahir batin,
mengenal kekotoran sendiri, waspada dan sadar sehingga
mulai detik ini pula, membuang semua kotoran dan tidak
membiarkan debu dan kotoran baru memasuki, rongga
batin kita.

Berhadapan dengan orang yang jujur, satu anggukan


kepala atau kesediaan sudah cukup. Namun dengan orang
yang curang hatinya, sumpah atas nama kakek moyang
sampai tujuh turunan pun bukanlah satu jaminan.

Terkadang saat kita sakit, kita sulit mendengar nasihat


orang. Orang yang datang dengan nasihat, tidak jarang kita
tanggapi dengan amarah. Biasanya kita akan berkata,
memang mudah untuk bicara tapi siapa yang bisa
melakukan? Padahal bukankah lebih baik jika nasihat yang
diberikan kita dengar dan renungkan lebih dahulu?
Penghalang terbesar, biasanya adalah kesombongan dan
ego, merasa diri lebih baik dari orang lain, sehingga sulit
menerima nasihat dari orang lain
jin wie cay su, niauw wie sit bong (manusia mati karena
harta, burung mati karena makanan)

Siang hari itu langit di atas kota Cin-yang di Propinsi


Shantung diliputi mendung tebal. Pertanda akan turun
hujan tampak jelas. Orang-orang segera bersiap-siap, yang
berdagang di tepi jalan menggulung tikar dan
menyelamatkan barang dagangan mereka di tempat untuk
berteduh. Toko-toko banyak yang tutup karena biasanya
kalau hujan turun dengan deras maka air hujan yang
terbawa angin akan membasahi barang dagangan dalam
toko. Orang yang berlalu lalang mulai berkurang karena
mereka bergegas pulang agar tidak kehujanan di jalan.
Bukan hanya manusia yang bersiap-siap menghadapi
curahan air hujan di langit. Burung-burung yang
beterbangan pun pulang ke sarang mereka.
Tak lama kemudian, setelah kilat dan guntur menggelegar
di angkasa berulang-ulang, turunlah air hujan bagaikan
dituangkan dari langit.
Seperti juga peristiwa alam yang terjadi di dunia ini, hal
yang sewajarnya itu mendapat tanggapan berbeda-beda.
Orang-orang yang merasa dirugikan oleh turunnya hujan,
seperti para pedagang asongan atau kaki lima dan tukang
binatu, merasa dirugikan oleh turunnya hujan deras. Maka
mereka yang merasa dirugikan ini akan mencaci-maki dan
menganggap bahwa hujan merupakan peristiwa buruk yang
amat merugikan mereka. Sebaliknya, mereka yang merasa
diuntungkan oleh turunnya hujan, seperti para petani yang
membutuhkan air untuk mengairi sawah ladang mereka,
para pedagang payung dan lain-lain, tentu akan bersyukur
dan merasa gembira dengan turunnya hujan dan mereka
menganggap hujan merupakan peristiwa baik yang
menguntungkan. Memang, sejak sejarah tercatat manusia,
apa yang disebut baik atau buruk itu hanya merupakan
pendapat orang-orang. Bagi yang menguntungkan
dianggap baik dan bagi yang merugikan dianggap buruk!
Hujan ya hujan saja, tidak baik tidak buruk, melainkan
sebuah peristiwa alam yang wajar. Orang bijaksana yang
menganggap hujan itu wajar saja, akan dapat berusaha
melalui kecerdikan otak manusia untuk mengatur dan dapat
memanfaatkan segala peristiwa alam yang menimpanya.
Kalau tidak mau kehujanan, pakailah payung atau pergi
mencari tempat berteduh tanpa mengeluh! Kalau datang
hujan lebat, agar tidak menimbulkan banjir, buatlah saluran
air yang baik dan kalau diperlukan, salurkanlah kelebihan
air itu ke tempat yang membutuhkan air. Orang bijaksana
selalu dapat memanfaatkan apa pun yang terjadi di dunia
dan dalam kehidupan mereka, tanpa tenggelam ke dalam
kesedihan dan tanpa mabok dalam kesenangan.

Memang demikianlah watak orang-orang yang selalu hanya


mementingkan diri sendiri. Melihat orang lain lebih
beruntung daripada dirinya, timbul perasaan iri. Sebaliknya
melihat orang lain dalam keadaan lebih payah atau susah
daripada keadaan dirinya, muncul perasaan senang dan
terhibur!

Celakalah orang yang menjadi hamba nafsu sehingga


selalu membenarkan diri sendiri, merasa baik sendiri,
merasa benar sendiri dan segala apa pun di dunia ini harus
bermanfaat dan menguntungkan bagi mereka! Sebaliknya,
berbahagialah orang yang selalu meneliti perbuatannya
sendiri, menganggap bahwa perbuatan mereka merupakan
benih yang mereka tanam dan apa pun yang menimpa
mereka adalah buah dari benih yang mereka tanam sendiri.
Dengan kesadaran seperti ini, orang bijaksana menghadapi
segala keadaan yang menimpa dirinya dengan ikhlas, tidak
menyalahkan orang lain melainkan yakin bahwa semua itu
terjadi karena kesalahannya sendiri. Karma akan terus
mengejar manusia ke mana pun dia pergi dan Karma akan
selalu memaksa orang membayar semua hutangnya yang
terjadi karena perbuatannya sendiri.

“Sicu, cinta kasih tidak pernah mendatangkan senang


maupun susah walaupun cinta kasih tidak pernah terpisah
dari setiap mahluk hidup. Yang dapat mengumbang-
ambingkan manusia antara suka dan duka bukanlah cinta
kasih, melainkan cinta berahi atau cinta nafsu yang tidak
didasari cinta kasih.”
“Bagaimana sifat cinta kasih, Lo-cianpwe, dan
bagaimanakah yang dinamakan cinta kasih sejati itu?”
“Cinta kasih sejati menuntun manusia untuk menyerahkan
diri sepenuhnya dalam Kekuasaan Tuhan karena
Kekuasaan Tuhan itulah ujud cinta kasih sejati. Dituntun
cinta kasih, manusia akan merelakan diri sepenuhnya demi
kesejahteraan dunia dan manusia pada umumnya, lembut
sabar dan tulus setia, tidak mementingkan diri sendiri,
seperti halnya sinar matahari, keharuman bunga,
kemerduan kicau burung, kesejukan angin, keindahan
tamasya alam. Semua itu adalah Kekuasaan Tuhan dan di
situ terkandung cinta kasih. Tanpa pamrih untuk diri pribadi
dan selalu bermanfaat bagi semua mahluk, terutama
manusia. Seluruh alam dan isinya ini dicipta oleh Tuhan
dengan cinta kasih. Cinta kasih bekerja setelah nafsu
mementingkan diri sendiri tidak hadir dalam hati dan akal
pikiran kita. Tindakan yang didasari cinta kasih sudah pasti
benar karena dibimbing oleh Kekuasaan Tuhan,
mendatangkan perasaan iba dan sayang dalam hati
terhadap sesama manusia tanpa pandang bulu. Seperti
sinar matahari, mendatangkan kehidupan dan kenikmatan
kepada siapa saja, seperti keharuman bunga akan tetap
harum ketika dicium siapapun juga tanpa memandang
bangsa, agama, pintar atau bodoh, kaya atau miskin, yang
berkedudukan tinggi atau rakyat jelata yang paling bawah
sekalipun.”

“Cinta berahi mengandung nafsu untuk mencari


kesenangan diri sendiri dan condong untuk menganggap
orang yang dicintanya itu sebagai sumber kesenangan diri
sendiri.”
“Alangkah kotornya, Lo-cianpwe. Kalau begitu, untuk apa
kita membiarkan diri dikuasai cinta berahi semacam itu?
Lebih baik dimatikan saja nafsu berahi seperti itu.
Bukankah begitu, Lo-cianpwe?”
“Siancai......!” Tosu itu tersenyum lebar. “Tidak begitu,
Pouw-sicu. Tidak ada nafsu yang boleh dimatikan! Nafsu-
nafsu memang sudah disertakan kepada manusia sejak
lahir dan nafsu-nafsu itulah yang mendorong dan menjamin
keberadaan dan kelangsungan hidup manusia. Bahkan
nafsu berahi merupakan nafsu yang teramat penting,
terutama untuk jaminan perkembang-biakan manusia di
dunia. Akan tetapi kalau hubungan antara pria dan wanita
hanya dilandasi nafsu berahi saja, tanpa adanya cinta kasih
sejati, maka hal itu akan menghancurkan manusia itu
sendiri. Nafsu berahi tanpa cinta kasih membuat orang
mencari kesenangan sendiri, ingin menguasai, memiliki,
mendatangkan cemburu dan dapat mengubah cintanya
menjadi benci kalau yang dicinta tidak menyenangkannya
lagi! Adapun nafsu berahi yang didasari cinta kasih
membuat orang bersikap menghormati, melindungi,
menyayangi, menaruh iba, menanamkan kewajiban,
kesetiaan dan mendatangkan sikap ringan sama dijinjing,
berat sama dipikul, senang sama dinikmati dan susah sama
ditanggung.”
Sejak jaman dahulu, para manusia yang dipilih Tuhan,
menerima wahyu untuk mengajarkan kebaikan kepada
manusia, sejak yang primitip (kuna) sampai yang paling
modern, selalu menekankan agar manusia waspada dan
berhati-hati terhadap setan yang menguasai diri manusia
melalui nafsu-nafsu manusia sendiri. Namun kenyataannya,
jarang sekali terdapat manusia yang mampu menguasai
atau mengendalikan nafsunya sendiri.
Bermacam usaha yang timbul dari ulah hati akal pikiran
dilakukan untuk mengalahkan nafsu, namun sebagian
besar atau hampir semua usaha itu menemui kegagalan.
Hal ini terjadi karena semua usaha itu dilakukan oleh
pikiran yang selalu mementingkan diri sendiri,
mementingkan si-aku yang selalu mengejar kesenangan
dan tidak menghendaki kesusahan. Maka, usaha untuk
menguasai nafsu itu pun bersumber dari keinginan untuk
kepentingan si aku. Pikiran yang mengaku-aku ini melihat
betapa nafsu dapat menjerumuskannya dan akhirnya
mencelakakannya, maka timbul keinginan untuk
menghentikan hal yang membahayakan itu. Jadi, yang
mendorong menghentikan nafsu itu pun nafsu juga! Nafsu
untuk menyenangkan diri, memetingkan si aku yang bukan
lain adalah pikiran kita sendiri.
Nafsu sudah disertakan oleh Sang Maha Pencipta kepada
kita manusia sejak kita lahir di dunia. Nafsu itu teramat
penting bagi kehidupan. Nafsu membuat kita ingin
menikmati segala sesuatu dalam kehidupan ini melalui
panca indera kita. Nafsu datang tanpa dipelajari karena
memang sudah ada pada diri kita. Setiap orang bayi sudah
memiliki nafsu makan atau minum yang amat diperlukan
bagi hidupnya. Nafsu membuat dia menikmati air susu yang
diminumnya.
Seperti juga nafsu-nafsu lain, nafsu berahi juga sudah
disertakan manusia, menjadi alat atau menjadi peserta,
juga hamba dari manusia. Nafsu ini, seperti nafsu-nafsu
lain, juga teramat penting karena dengan adanya nafsu ini,
maka manusia dapat berkembang biak. Akan tetapi kalau
sampai nafsu yang disertakan oleh Sang Maha Pencipta
kepada kita untuk menjadi hamba kita ini kita biarkan
menguasai dan memperhamba diri kita, maka malapetaka
yang timbul. Nafsu berahi yang mendorong hubungan
suami isteri adalah baik, benar, dan bersih karena sesuai
dengan Kehendak Sang Maha Pencipta. Namun, kalau
nafsu ini menguasai diri manusia, maka muncullah
perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari Kehendak
Tuhan, seperti pelacuran, perjinaan, pemerkosaan, dan
sebagainya.
Segala perbuatan yang disebut jahat di dunia ini, segala
macam kebencian, permusuhan, perang, dan semua
kejahatan umum, semua itu adalah ulah manusia yang
sudah diperhamba oleh nafsu yang menguasai dirinya.
Masalahnya sekarang, bagaimana kita dapat terbebas dari
pengaruh nafsu? Pertanyaan ini menunjukkan bahwa kita
INGIN BEBAS dari nafsu. Lalu siapa yang ingin itu? Yang
ingin itu aku, karena aku tidak mau diperbudak nafsu yang
mendatangkan sengsara. Aku tidak mau sengsara. Aku
ingin hidup tenteram. Aku ingin hidup damai! Aku ingin ini,
aku ingin itu, ingin yang lebih baik, lebih menyenangkan
dari pada yang ada. Si aku yang ingin tenteram ini apakah
berbeda dengan si-aku yang ingin menikmati kesenangan
melalui pemuasan nafsu? Kita dipermainkan oleh pikiran
sendiri, berputar-putar dalam ruangan yang itu juga. Tetap
saja pada dasarnya adalah yang ingin senang. Menuruti
nafsu agar puas berarti mengejar kesenangan.
Menghentikan nafsu agar tenteram juga berarti mencari
kesenangan karena tenteram itu mendatangkan
kesenangan pula.
Lalu bagaimana? Kalau menuruti nafsu salah dan
meniadakan nafsu salah, apa yang harus kita perbuat?
Yang salah adalah keinginan itu sendiri! Keinginan
mendapatkan kesenangan melalui pemuasan nafsu
ataupun keinginan mendapatkan kesenangan melalui
penghentian nafsu. Maka, satu-satunya hal yang dapat
dilakukan manusia adalah tidak menginginkan kesenangan
dalam bentuk apa pun selama keinginan itu timbul dari
pementingan diri sendiri. Kita tidak mungkin dapat
menguasai nafsu. Yang dapat menguasai nafsu itu
hanyalah Sang Maha Pencipta yang menciptakan nafsu
dan memberikan itu kepada kita sebagai pelayan dalam
hidup. Hanya kalau Jiwa kita disinari Kekuasaan Tuhan,
maka Jiwa itu akan dapat melaksanakan tugas semula,
yaitu menjadi Kusir (Sais) dari kendaraan yang berupa
tubuh kita. Hanya dengan bimbingan Kekuasaan Tuhan
sajalah yang akan membuat Jiwa kuat untuk
mengendalikan nafsu-nafsu sehingga dengan sendirinya,
pikiran, ucapan, dan perbuatan kita tidak lagi selalu
ditujukan untuk kepentingan dan kesenangan diri pribadi.
Jiwa yang dibimbing Kekuasaan Tuhan saja yang mampu
membebaskan kita dari perbudakan nafsu atau
membebaskan kita dari kekuasaan setan!

Semua isi alam ini diperuntukkan manusia, bahkan


membantu kehidupan manusia sehingga sudah menjadi
kewajiban kita untuk memeliharanya, untuk
melestarikannya. Air, hawa udara, hewan, tumbuh-
tumbuhan dan lain-lain merupakan kebutuhan hidup kita,
akan tetapi betapa kita, sadar mau pun tidak, mengotori
dan merusaknya. Bahkan semua keindahan itu tidak terasa
lagi karena hati akal pikiran kita dipenuhi harta benda yang
kita puja sebagai sumber kesenangan.
Pengejaran harta benda yang kita puja-puja itu
menimbulkan permusuhan dan segala bentuk kejahatan,
membuat dunia menjadi panas dan manusia menjadi tipis
prikemanusiaannya. Manusia hanya mementingkan apa
yang menempel pada dirinya. Padahal, segala bagian alam
yang berada di luar kita itu seharusnya kita pelihara seperti
kita memelihara anggauta badan kita, karena semua yang
di luar kita itu juga merupakan penunjang dan penyambung
hidup kita.

“Memang sesungguhnya, kita yang tidak mau menjadi alat


setan akan selalu menentang kejahatan. Akan tetapi
kejahatan itu sendiri amat penting bagi kehidupan, karena
merupakan perimbangan keadaan, seperti siang dan
malam tadi, yaitu Im dan Yang. Kalau tidak ada perbuatan
jahat, mana ada perbuatan baik? Justeru kejahatan
merupakan tantangan bagi manusia untuk memacu
kebaikan. Makin hebat kejahatan merajalela, makin tekun
orang memperhatikan pelajaran tentang kebaikan. Makin
liar setan merajalela, manusia semakin bersemangat untuk
mendekatkan diri kepada kepada Tuhan. Makin ganas si
penyakit, makin tekun orang mencari obatnya. Semua itu
memang harus berimbang, Im dan Yang, saling
bertentangan akan tetapi juga saling menunjang.
Kekuasaan Tuhan tampak jelas melalui perimbangan ini,
melalui Im dan Yang. Bahkan segala yang tampak di dunia
ini terjadi karena perpaduan antara Im dan Yang.”

Dalam batin manusiapun Im dan Yang bekerja sepenuhnya.


Baik dan buruk bekerja dalam batin manusia, seolah
manusia itu berbatin setengah malaikat setengah iblis.
Maka setiap orang manusia itu ada baiknya dan ada pula
jahatnya. Kalau dia baik sepenuhnya, maka bukan manusia
namanya, melainkan malaikat. Kalau jahat sepenuhnya,
diapun bukan manusia melainkan iblis. Terkadang baik
dituntun malaikat, terkadang jahat dituntun iblis, itulah
manusia!”
Ada dua kasih sejati yang perlu kita Ketahui. Kasih sejati
dan kasih atau cinta nafsu. Cinta kasih sejati
mengesampingkan kesenangan jasmani kita sendiri dan
mendahulukan kepentingan kebahagiaan orang yang
dicinta. Cinta nafsu hanya mengejar kesenangan bagi diri
sendiri sehingga cinta seperti itu dengan mudah dapat
berubah menjadi benci kalau yang dicinta itu tidak
mendatangkan kesenangan lagi. Sebaliknya, cinta sejati
membuat kita selalu merasa kasihan kepada orang yang
dicinta, ingin membahagiakan orang itu, ikut prihatin kalau
melihat orang itu berduka dan ikut bahagia kalau melihat
orang itu bersuka. Karena sifatnya hanya mengejar
kesenangan jasmani, maka cinta nafsu selalu
mementingkan si-aku, kalau aku disenangkan, aku cinta,
sebaliknya kalau aku disusahkan, aku benci.

Segala perbuatan jahat merupakan buah dari kekuasaan


nafsu yang telah memperbudak manusia. Nafsu adalah
Setan yang selalu menggoda manusia dengan pikatan
berupa kesenangan dan kenikmatan, dan kalau sampai kita
ter-seret ke dalam lembah dosa dan melakukan kejahatan,
bukanlah kesalahan Setan. Memang sudah menjadi tugas
kewajiban Setan untuk menggoda manusia. Bukanlah
Setan namanya kalau tidak jahat dan tidak menggoda
manusia. Memang pekerjaannyalah di dunia ini untuk
membujuk sebanyak mungkin manusia agar masuk ke
dalam kerajaan kegelapan.
Kalau sampai kita dikuasai dan melakukan kejahatan,
semua itu dapat terjadi hanya karena kita lemah, hanya
karena kita mau dikuasai, hanya karena kita tidak tahan uji
dan tidak mampu menolak semua bujukan untuk
mendapatkan kesenangan dan kenikmatan jasmani. Hanya
orang yang teguh beriman kepada Thian (Tuhan) saja yang
akan mendapat kekuatan dari Tuhan sehingga memiliki
kemampuan untuk tetap tegar dan tidak terpikat oleh
semua bujukan Setan yang serba menyenangkan.

“Ha-ha-ha-ha! Mati diantar tangis, lahir disambut tawa! Ha-


ha-ha, manusia memang buta. Thio-ma, apakah hal ini
tidak terbalik? Bukankah seharusnya mati diantar tawa dan
lahir disambut tangis? Lihat, bayi menangis ketika
dilahirkan, pertanda dia memasuki alam yang penuh
pertentangan! Yang mati itu tampak tersenyum dan tenang,
pertanda ia memasuki alam yang penuh kedamaian!”

Cinta kasih dalam batin merupakan pohon yang akan


memberikan bunga dan buah. Bunga dan buahnya itulah
yang akan memberikan kebahagiaan kepada orang lain.
Bunga dan buah itu adalah segala macam sikap dan
perbuatan yang baik kepada siapa saja. Setiap orang
memiliki kemampuan masing-masing. Aku dapat menolong
orang dengan pengobatan. Engkau dapat menolong
dengan kepandaianmu, membela yang tertindas
menentang kejahatan, itu pun membahagiakan orang. Yang
berharta dapat menolong mereka yang hidupnya melarat
dan serba kekurangan. Yang pandai dapat memberi
penerangan kepada mereka yang tidak mengerti. Yang kuat
dapat menolong mereka yang lemah, dan demikian
seterusnya. Setiap orang pasti mempunyai sesuatu untuk
membahagiakan orang lain dan semua perbuatan itu
merupakan buah dari cinta kasih yang tumbuh subur dalam
hati-sanubari.”
“Kalau ada orang yang tidak memiliki harta karena dia
sendiri miskin, tidak mempunyai tenaga karena dia sendiri
lemah, tidak memiliki kepandaian karena dia sendiri bodoh,
lalu orang seperti dia itu dapat melakukan perbuatan baik
apakah? Biarpun andaikata ada pohon cinta kasih dalam
hatinya, buah apakah yang dihasilkan pohon itu kalau dia
tidak memiliki apa-apa untuk dibagikan kepada orang lain?

Setiap orang, biarpun serba tidak mampu, masih dapat


melakukan sesuatu demi kebahagiaan orang lain, yaitu
sikap yang ramah dan manis budi! Senyum ramah,
pandang mata yang tulus, ucapan yang lemah lembut,
bukankah sikap ini dapat menyenangkan dan
membahagiakan hati siapa saja? Jangan dikira bahwa
sikap ini tidak ada harganya! Bahkan jauh lebih berharga
daripada harta dan pertolongan apapun juga. Bayangkan,
andaikata ada orang memberimu harta benda yang amat
besar akan tetapi dia memberimu dengan sikap yang
memandang rendah, menghina atau marah atau andaikata
ada yang menolongmu dengan apa saja namun sikapnya
menghina seperti itu, bagaimana tanggapanmu?”

Manusia dipenuhi pengaruh nafsu daya rendah yang


melahirkan dan memelihara si-aku yang selalu mengejar
kesenangan. Kalau si-aku disenangkan, timbul cinta, kalau
disusahkan, timbul benci. Si-aku tidak mungkin dapat
mengadakan cinta kasih yang sejati, bukan cinta nafsu.
Hanya Tuhan yang dapat memberi karunia sehingga cinta
kasih dapat bersemayam di hati. Karena itu, satu-satunya
jalan hanyalah apabila kita saling mendekatkan diri
seutuhnya kepadaNya. Kita ini manusia biasa, lemah dan
tidak berdaya, selalu menjadi permainan nafsu daya
rendah. Akan tetapi kalau kita selalu mendekatkan diri dan
berserah diri kepada Tuhan, maka dia akan memberi
bimbingan kepada kita untuk dapat menguasai nafsu-nafsu
kita sendiri.
Hati dan pikiranmu sesungguhnya adalah satu. Jika kau
merasa hidup ini sepi. Sesungguhnya itu hanya permainan
dan suasana hati. Lingkunganmu adalah duniamu. Kau
hadir di dunia ini bersama empat saudaramu. Suatu saat
kau kembali lagi pada Sang Pencipta, juga sendiri. Jika kau
berada di kuburan, maka ingat-ingatlah mati. Karena
kematian itu pasti akan datang pada setiap orang. Tidak
perduli apakah dia orang berpangkat, hartawan, atau
gembel sekali pun. Tidak seorang pun yang dapat
menunda-nunda kematiannya, walau barang sedetik pun.
Musuh yang paling hebat datang dari diri sendiri, yaitu dari
hawa nafsumu. Kebanyakan manusia jadi celaka dan tidak
berguna karena terlalu menuruti hawa nafsu!"

Pemerintah mengadakan larangan-larangan, mengadakan


peraturan dan hukum. Namun para pejabat tidak
memegang teguh hukum yang diadakan. Mereka menerima
uang sogokan dan peraturan itu dapat diubah, bahkan
diputar-balikkan. Karena itu, rakyat memandang ringan
peraturan karena dengan uang, segala peraturan dapat
dilanggar. Hal ini menimbulkan penyakit parah pada rakyat
dan pada para pejabat. Rakyat mengabaikan peraturan dan
suka menyogok atau menyuap para pejabat, dan para
pejabat suka menerima uang sogokan dan
mengesampingkan peraturan. Kekacauan pun timbullah!

“Semua pamrih itu membuat perbuatan menjadi palsu,


segala macam pamrih itu tidak benar kalau ditujukan untuk
menyenangkan diri sendiri dan baru benar kalau pamrih itu
untuk membahagiakan orang lain.”
“Akan tetapi semua pamrih untuk mendapatkan keuntungan
duniawi memang tidak benar, sebaliknya kalau pamrih itu
untuk mendapatkan berkat Thian dan untuk Sorga, apakah
itu tidak benar?”
“Giok-ko, sudah kukatakan tadi bahwa semua pamrih untuk
kesenangan diri sendiri itu tidak benar. Apa bedanya
pamrih duniawi dan pamrih sorgawi? Pamrih harta
dasarnya menyenangkan diri sendiri, dan pamrih berkat
atau sorga itu bukankah dasarnya juga untuk
menyenangkan diri sendiri? Ingat bahwa sorga
digambarkan sebagai tempat yang amat menyenangkan,
bukan? Jadi jelas, yang dikejar itu adaah kesenangan,
walaupun kesenangan itu diperhalus dengan sebutan
sorga!”
“Wah, semakin dalam wawasanmu, Ceng-moi! Mendengar
pendapatmu tadi, aku mengerti sekarang dan memang apa
yang kaukatakan itu benar. Kalau Sorga itu digambarkan
sebagai tempat yang tidak menyenangkan sebaliknya
Neraka digambarkan sebagai tempat menyenangkan, maka
orang yang berpamrih tentu berbuat baik untuk
mendapatkan Neraka! Atau kalau Sorga itu tidak ada, maka
belum tentu orang yang berpamrih itu mau berbuat
kebaikan! Engkau benar sekali, Ceng-moi. Akan tetapi aku
menjadi penasaran sekali. Kalau begitu, apa yang
mendorongmu mengobati orang dan menolong orang kalau
engkau tidak mempunyai pamrih?”
“Yang mendasari perbuatanku adalah Cinta Kasih, Giok-ko.
Cinta Kasih terhadap sesama manusia. Cinta Kasih ini yang
menghapus semua kebencian nafsu, cinta kasih ini yang
menumbuhkan perasaan tanggung jawab dan kewajiban
untuk menolong sesama manusia yang membutuhkan
pertolongan. Perbuatan yang didorong cinta kasih
merupakan kewajiban dalam penghidupan ini, maka tanpa
pamrih. Cinta kasih membuat setiap perbuatan tidak
bermaksud untuk kesenangan diri pribadi

cinta kasih dalam batin merupakan pohon yang akan


memberikan bunga dan buah. Bunga dan buahnya itulah
yang akan memberikan kebahagiaan kepada orang lain.
Bunga dan buah itu adalah segala macam sikap dan
perbuatan yang baik kepada siapa saja. Setiap orang
memiliki kemampuan masing-masing.

Kalau ada orang yang tidak memiliki harta karena dia


sendiri miskin, tidak mempunyai tenaga karena dia sendiri
lemah, tidak memiliki kepandaian karena dia sendiri bodoh,
lalu orang seperti dia itu dapat melakukan perbuatan baik
apakah? Biarpun andaikata ada pohon cinta kasih dalam
hatinya, buah apakah yang dihasilkan pohon itu kalau dia
tidak memiliki apa-apa untuk dibagikan kepada orang lain?”
“Engkau agaknya lupa, Giok-ko, bahwa setiap orang,
biarpun serba tidak mampu seperti yang kausebutkan tadi,
masih dapat melakukan sesuatu demi kebahagiaan orang
lain, yaitu sikap yang ramah dan manis budi! Senyum
ramah, pandang mata yang tulus, ucapan yang lemah
lembut, bukankah sikap ini dapat menyenangkan dan
membahagiakan hati siapa saja? Jangan dikira bahwa
sikap ini tidak ada harganya! Bahkan jauh lebih berharga
daripada harta dan pertolongan apapun juga. Bayangkan,
Twako, andaikata ada orang memberimu harta benda yang
amat besar akan tetapi dia memberimu dengan sikap yang
memandang rendah, menghina atau marah atau andaikata
ada yang menolongmu dengan apa saja namun sikapnya
menghina seperti itu, bagaimana tanggapanmu?”
Nah, berarti bahwa sikap yang manis budi itu amat
berharga, Twako. Jadi, bagi siapa saja, kaya atau miskin,
pintar atau bodoh, kuat atau lemah, dapat saja memberikan
sesuatu yang amat berharga dan dapat membahagiakan
orang lain, yaitu sikap yang manis budi, ramah dan sopan

Kalau ada cinta kasih dalam hati, maka semua perbuatan


kita terhadap sesama kita tentu baik dan benar. Cinta kasih
mendatangkan belas kasih dan menyadarkan kita bahwa
apa yang kita lakukan itu merupakan kewajiban hidup.
Bukan kita yang memiliki harta benda, kepandaian,
kekuatan dan segala kelebihan lain. Semua itu milik Thian
(Tuhan) yang diberikan kepada kita sebagai berkatNya.
Maka, seyogianya kita bersyukur kepada Thian atas
berkatNya dan rasa syukur itu kita buktikan dengan
menyalurkan berkat itu kepada mereka yang
membutuhkan: Berbahagialah orang yang dipilih oleh
Tuhan untuk menyalurkan berkatNya

“Hidup haruslah menjadi orang yang baik dan benar karena


orang yang benar itu kekasih Thian (Tuhan), biarpun miskin
dan bodoh, kalau benar akan merasakan kebahagiaan
hidup. Sebaliknya, apa artinya kaya raya dan pandai
berkedudukan tinggi kalau tidak benar? Dia akan menderita
kesengsaraan batin dan menjadi kekasih setan!”
Ia pernah bertanya, “Ayah, bagaimana sih orang yang
hidupnya benar dan yang tidak benar itu?”
“Orang yang hidupnya benar adalah orang yang memiliki
rasa kasih sayang terhadap sesama manusia, dan hidup
sesuai dengan kehendak Tuhan. Miskin dan bodoh tidak
menghalangi kebahagiaan hidup orang yang benar.
Sebaliknya, pintar, kaya dan berkedudukan tinggi tidak
menolong kesengsaraan hidup orang yang tidak benar.”

Segala bentuk kesenangan yang dapat kita rasakan melalui


indera kita, merupakan anugerah Tuhan kepada kita.
Dengan adanya nafsu dalam diri kita yang telah disertakan
kita sejak lahir, mendatangkan kenikmatan bagi kita.
Demikian besar kasih Tuhan kepada kita. Nafsu yang
terkandung dalam penglihatan mata membuat kita dapat
menikmati pemandangan yang indah-indah, bentuk dan
warna yang menyenangkan hati kita.
Melalui pendengaran telinga, nafsu mendatangkan
kenikmatan kepada kita kalau kita mendengar suara-suara
merdu yang sesuai dengan selera kita. Demikian pula,
melalui penciuman hidung, kita dapat menikmati
keharuman. Melalui mulut, kita dapat menikmati makanan
dan selanjutnya.
Namun, justeru kenikmatan-kenikmatan yang kita rasakan
melalui anggauta-anggauta badan kita ini yang sering kali
menjerumuskan kita. Nafsu yang menimbulkan kenikmatan
dalam kehidupan, yang semestinya menjadi peserta dan
pelayan kita, kalau terlalu dibiarkan dan dimanja, dapat
merajalela dan berbalik akan memperbudak kita. Kalau
sudah demikian, akan celakalah kita.
Keinginan memperoleh kenikmatan-kenikmatan itu
membuat kita selalu mengejar dan dalam pengejaran itu,
seringkali terjadilah pelanggaran-pelanggaran,
menghalalkan segala cara untuk mencapai apa yang amat
diinginkan. Padahal, kalau sesuatu yang kita kejar, yang
kita anggap akan mendatangkan kesenangan itu, telah
terdapat, maka biasanya hanya akan mendatangkan
kebosanan, cepat atau lambat. Nafsu mendorong kita untuk
mencari yang lain lagi, yang kita anggap akan lebih
menyenangkan daripada apa yang telah kita dapatkan.
Demikianlah, kita menjadi budak pengejar kesenangan
yang tak pernah mengenal puas sampai akhirnya kita
terjatuh sendiri karena pelanggaran yang kita lakuan dalam
pengejaran itu.
Berbahagialah orang yang selalu merasa puas dengan apa
yang diperoleh dari hasil usahanya dan mensyukuri
perolehan itu sebagai berkat dari Tuhan, kemudian dapat
menyalurkan berkat dari Tuhan itu untuk sebagian diberikan
kepada orang-orang lain yang membutuhkan. Penyalur
berkat Tuhan berupa kepandaian, kekuatan, ataupun
kelebihan materi, adalah orang-orang yang mengagungkan
namanya sehingga orang-orang yang menerima penyaluran
berkat itu juga akan memuja dan mengagungkan nama
Tuhan.

Seperti sudah lajim terjadi, baik di kota-kota daerah atau di


ibu kota (kota raja), para hartawan selalu berhubungan
dekat dan akrab dengan para pembesar atau pejabat tinggi.
Dua golongan masyarakat ini memang saling
membutuhkan dan saling bantu.
Si Pembesar membantu dengan kekuasaan jabatan yang
dipegangnya, sebaliknya Si Hartawan membantu dengan
harta yang dimilikinya. Kerja sama ini mendatangkan
keuntungan kedua pihak. Yang kaya menjadi semakin kaya
dan Sang Pembesar pun memperoleh hasil yang ribuan kali
lipat besarnya daripada gajinya yang dia dapatkan dari
pemerintah.
Demikian pula dengan Hartawan Bong. Perusahaannya,
yaitu berdagang rempah-rempah menjadi semakin besar
karena dengan perlindungan pembesar yang berwenang,
dia memiliki monopoli atas bermacam-macam rempah-
rempah terpenting sehingga dia dapat mengendalikan
harga hasil bumi itu dan memperoleh keuntungan yang
berlipat ganda. Tentu saja sebagian keuntungan itu lari ke
dalam kantung pembesar yang melindunginya.
Siapa yang menderita rugi? Tentu saja pertama adalah
rakyat kecil, terutama para petani yang menanam rempah-
rempah itu karena harganya ditekan serendah-rendahnya
oleh Hartawan Bong sebagai pembeli tunggalnya.

aku melihat betapa semua orang agaknya beragama. Akan


tetapi mengapa kejahatan merajalela dan bahkan mereka
yang sudah mengenakan jubah pendeta, mengaku sebagai
ahli agama, masih suka melakukan perbuatan jahat?”
Kini wajah Bu-beng-cu bersinar dan tampak bersemangat
setelah Siang Lan bicara tentang agama.
“Hwe-thian Mo-li, jangan heran melihat gejala seperti itu.
Yang jahat itu bukanlah agamanya, melainkan manusianya.
Kalau ada seorang manusia mengaku beragama dan dia
melakukan perbuatan jahat, maka dia itu bukanlah seorang
beragama, melainkan seorang penjahat yang mengaku-aku
beragama. Agamanya hanya dipergunakan sebagai kedok
untuk menutupi perbuatannya. Kalau dia benar seorang
beragama, pasti dia tidak mau dan tidak berani melakukan
kejahatan karena hal itu dilarang oleh semua agama.
“Demikian pula kalau ada seorang pendeta agama
melakukan perbuatan jahat, dia hanya seorang manusia
yang palsu dan menggunakan pakaian pendeta dan
agamanya sebagai kedok belaka. Agama merupakan
pelajaran agar manusia menjadi baik dan benar, namun
pelajaran itu tidak ada artinya sama sekali kalau tidak
dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Api atau inti
semua agama itu terbukti dalam sikap dan perbuatan
sehari-hari, adapun semua upacaranya itu kalau tidak
terbukti apinya, hanya menjadi asap dan abu yang
menggelapkan mata dan mengotori keadaan

“Paman, karena demikian banyaknya terdapat orang yang


beragama akan tetapi melakukan perbuatan jahat yang
dilarang agamanya, apakah tidak lebih baik kalau manusia
tidak beragama saja?”
Bu-beng-cu tertawa.
“Bukan begitu, Nona. Agama merupakan obor bagi
manusia yang hidup di dunia ini, dunia yang bagaikan
sebuah lorong yang gelap. Obor itu akan menerangi lorong
sehingga kita dapat melihat ke arah mana kita melangkah,
karena ada jalan menuju kepada Thian (Tuhan) yang
menjadi Sumber kita, akan tetapi juga ada jalan yang
membawa kita ke jurang dosa dan kehancuran.
“Agama sebagai obor itu memang amat penting dan setiap
orang seyogianya memegang obor masing-masing agar
jangan salah jalan. Akan tetapi, apakah artinya obor
bernyala di tangan kalau kita tidak mau melangkah ke arah
jalan kebenaran. Apa artinya semua pelajaran keagamaan
kita pelajari dan kita hafalkan kalau tidak kita laksanakan
dalam hidup ini? Jadi, agama baru bermanfaat kalau kita
amalkan sesuai dengan ajarannya.
“Sebaliknya, kalau orang tidak beragama, bagaikan
berjalan dalam lorong gelap tanpa mempunyai obor
penerangan, dia sudah tersesat atau jatuh tersandung.
Memiliki obor tanpa melangkah atau tidak memegang obor
penerangan sama sekali, sama buruknya. Yang benar
adalah membawa obor yang menerangi jalan hidup sambil
melangkah atau memiliki agama sambil mengamalkan
pelajaran agamanya.”
“Ah, kalau aku tidak keliru berpendapat, seorang penjahat
yang beragama itu lebih sesat dibandingkan seorang
penjahat yang tidak beragama. Betulkah itu, Paman?”
“Dua-duanya jelas tidak betul karena melakukan kejahatan.
Akan tetapi dosa orang yang beragama namun jahat lebih
buruk lagi karena dia mencemarkan kebersihan agama itu
sendiri.

Pemuda mana yang akan mau menerima jodoh seorang


gadis yang bukan perawan lagi? Ah, betapa tololnya dan
tidak adilnya laki-laki! Ia bukan perawan lagi bukan karena
kesalahannya, bukan karena kehendaknya, melainkan
karena terpaksa! Orang bernasib buru sepertinya bukannya
dikasihani, malah dihina, direndahkan, dan diejek!

Bagaimana sebaliknya kalau pria? Berapa banyaknya laki-


laki yang ketika menikah bukan perjaka lagi, dan hal itu pun
terjadi karena dia sengaja, karena kesalahannya, bukan
karena ada yang memaksa, akan tetapi kalau laki-laki tidak
ada yang menghina atau menyalahkannya! Betapa tidak
adilnya ini.
apa yang diajarkan Guru Besar Khong Cu dalam Kitab
Tiong-yong Pasal 21 ayat 12:

Ada sembilan syarat untuk dapat memimpin negara dan


bangsa, yaitu: 1. Memperbaiki diri sendiri lahir batin. 2.
Menghargai orang-orang bijaksana dan pandai. 3. Mencinta
sanak saudara dan keluarga. 4. Menghargai pejabat-
pejabat tinggi. 5. Tenggang rasa terhadap para pejabat
biasa. 6. Mencinta rakyat seperti anak sendiri. 7.
Mengkaryakan sebanyak mungkin ahli pembangunan. 8.
Ramah tamah terhadap para tamu negara. 9. Mengikat
hubungan baik dengan negara lain.”

Sekarang bukan jamannya lagi untuk menjejali rakyat


dengan slogan-slogan, dengan pelajaran-pelajaran, dengan
hukum-hukum kalau semua itu hanya omongan kosong
belaka dan tidak dilaksanakan dengan tertib dari yang
paling atas sampai yang paling bawah. Rakyat tidak butuh
nasihat tentang kebaikan lagi, melainkan membutuhkan
TAULADAN, membutuhkan CONTOH dari mereka yang
mengeluarkan slogan, pelajaran, dan nasihat itu.

“Para pimpinan negara merupakan Bapak bagi rakyat dan


menjadi suri tauladan. Apa artinya Sang Bapak
menasihatkan anak-anaknya untuk hidup sederhana dan
hemat kalau Si Bapak sendiri hidupnya serba mewah, royal
dan menghamburkan uang? Akan tetapi rakyat sebagai
anak melihat Pemimpinnya sebagai bapaknya hidup
sederhana, tidak usah disuruh lagi mereka tentu akan hidup
sederhana pula! Jadilah tauladan, jangan hanya penasihat
tanpa tanggung jawab.

“Kalau seorang pejabat tinggi bertangan bersih, para


bawahannya otomatis tidak berani bertangan kotor karena
atasannya yang bertangan bersih tentu akan menindaknya.
Sang bawahan ini setelah dia sendiri mencontoh atasan
bertangan bersih, tentu akan menjaga agar bawahannya
sendiri juga bertangan bersih. Demikian pula seterusnya,
terus dari atas memberi contoh dan menindak bawahan
sehingga petugas yang paling bawah pun disegani rakyat
karena bertangan bersih.

“Otomatis rakyat pun akan patuh dan taat karena semua


yang dikerjakan pemerintah demi kesejahteraan rakyat,
termasuk diri dan keluarga mereka sendiri yang juga
sebagian dari rakyat. Akan tetapi kalau atasannya
bertangan kotor, bagaimana mungkin dia dapat mencegah
bawahannya bermain kotor pula? Bahkan dia akan
dijadikan tauladan, tauladan berbuat buruk dan korupsi,
oleh bawahannya tanpa dia berani menegur karena dia
sendiri bertangan kotor, kemudian bawahannya juga
“bertoleransi” kepada bawahannya lagi, demikian terus
menurun menjadi budaya korupsi yang turun menurun
sampai rakyat menjadi terbiasa dengan keadaan semacam
itu.

Sejumlah bebek dan kambing bercampur baur menjadi satu dalam kandang.
Yang bisa dihitung hanya seluruh kepala yang jumlahnya 88, dan seluruh kaki
yang jumlahnya 246. Pertanyaannya ialah: berapakah jumlah bebek dan
berapa pula jumlah kambingnya?
“Jawabannya begini : Kedua macam binatang itu berbaur dalam kandang. Kaki
kambing berjumlah empat, sedangkan kaki bebek berjumlah dua. Seluruh
binatang itu kakinya ada dua ratus empat puluh enam dan kepalanya delapan
puluh delapan, bukan? Nah, andaikata binatang itu kesemuanya kambing,
maka kakinya akan berjumlah delapan puluh delapan kali empat, yaitu tiga
ratus lima puluh dua. Pada hal jumlah kakinya hanya dua ratus empat puluh
enam, jadi selisihnya 352-246 sebanyak 106. Nah, selisih ini dibagi selisih
antara kaki kedua binatang, yaitu 106:2 = 53. Nah, karena perumpamaan tadi
kita ambil dari kambing, maka yang 53 ini adalah bebeknya. Dan tentu saja
kambingnya adalah 88-53 = 35. Atau kalau ambil perhitungan dari bebek,
andaikata semua bintang itu bebek, maka kepala yang 88 itu dikalikan 2, jadi
176. Nah, selisihnya jadi 246-176 = 70. Karena dihitung dari perumpamaan
bebek, maka selisih yang 70 itu dibagi 2, sama dengan 35 dan itulah jumlah
kambing.”

Kwan Bu hanya menghela napas panjang. Segala


pengalaman hidupnya sendiri dan keadaan hidup orang lain
yang telah dihadapinya, menjadi pelajaran yang amat baik,
keadaan-keadaan yang dapat dilihat dan didengar.
sesungguhnya mengandung kebenaran-kebenaran dan
pembukaan-pembukaan rahasia akan kehidupan. Giok Lan
semenjak kecil hidup berenang dalam laut kemewahan,
namun gadis ini mengeluh dan merasa sengsara karena
tidak mengenal kasih sayang ibu kandung. Dia sendiri,
semenjak kecil kenyang akan kasih sayang ibunya, akan
tetapi seperti halnya Giok Lan tak dapat menikmati segala
kecukupannya, ia pun tidak dapat menikmati kenyataan ini
dan selalu merasa sengsara karena hidup sebagai orang
miskin dan merasa nelangsa karena dicap sebagai anak
haram yang hina! Di manakah rahasianya kebahagiaan
dalam limpahan harta benda. Dalam cinta, juga bukan,
buktinya Bi Hwa tersiksa hatinya oleh cinta, dan dia sendiri
pun telah merasai pahitnya cinta, Segala sesuatu yang
terjadi dan yang menimpa diri, apa bila merugikan diterima
dengan kecewa dan berduka, sebaliknya apa bila
menguntungkan diterima dengan puas dan gembira,
Padahal, setiap manusia pasti akan mengalami hal-hal
yang bertentangan ini, kadang-kadang merugikan dan
kadang-kadang menguntungkan. Tak mungkin selalu
menguntungkan lahir ataupun batin,
Jadi, di manakah letaknya bahagia? Selama manusia
masih terseret ke lingkaran yang tiada putusnya ini, masih
menarik garis perbedaan antara rugi dan untung, tidak akan
ada bahagia sejati baginya! Bahagia yang abadi dan sejati
hanya akan dinikmati oleh mereka yang telah dapat
menghapus garis pemisah antara untung dan rugi, antara
susah dan senang, antara puas dan kecewa, Betapa hal ini
dapat dilaksanakan? Dapat, dan syaratnya adalah
penyerahan! Penyerahan mutlak dan bulat dengan penuh
kesukaran bahwasannya segala sesuatu, baik maupun
buruk, yang dianggap menguntungkan atau merugikan,
yang menimpa kepada manusia, adalah hal yang wajar dan
sudah semestinya demikian! Kesadaran yang
mendatangkan keyakinan ini akan menciptakan kebulatan
penyerahan kepada kekuasaan Tuhan, dan barang siapa
sudah berhasil menyerahkan diri sepenuhnya kepada
Tuhan,dialah orang-orang yang benar bahagia!

“Banyak sekali! Di antaranya, menjauhkan diri dari dunia


ramai, tidak mencampuri urusan dunia berarti menjauhkan
diri daripada perbuatan yang merugikan orang lain,"
“Ah, pendapat itu tersesat, koko. Perbuatan tetap
perbuatan, baik dan buruknya tergantung si pembuat. Kalau
perbuatan dihentikan sama sekali, apa gunanya bagi
manusia dan dunia? Seperti sebuah pisau, kalau
dipergunakan untuk kebaikan tentu bermanfaat, kalau
dipergunakan untuk keburukan menimbulkan kejahatan,
terserah kepada dia yang menggunakan atau si pembuat,
Akan tetapi kalau dibuang begitu saja sampai hancur
berkarat, apa gunanya? Apanya gunanya dibikin pisau itu?
Apa gunanya manusia dilahirkan kalau hanya untuk
diasingkan tanpa ada manfaatnya sama sekali? Apa
gunanya orang mengasingkan diri sendiri maupun untuk
orang lain?"

“Wah, kalau pendapatmu seperti itu, berarti kau menyerang


kaum pertapa yang suci, moi-moi! Setidaknya,
mengasingkan diri sambil bertapa seperti itu dapat
menjauhkan segala godaan nafsu..?
“Picik lagi pendapat ini. Nafsu tak dapat terpisah dari badan
yang kita bawa ke manapun juga badan kita pergi.
Perbuatan dan sifat pengecut kalau kita melarikan diri dari
pada hal-hal yang dianggap godaan nafsu. hal di luar itu
sudah wajar, menggoda atau tidak tergantung kita sendiri.
Biarpun menjauhkan segala macam benda di dunia ini,
kalau kita masih menjadi hamba nafsu. ke manapun kita
pergi kita tidak akan terbebas daripada godaannya, dari
pada cengkeramannyai. Sebaliknya, biarpun kita dikelilingi
bleh segala macam maksiat, kalau kita sudah dapat
menguasai nafsu kita sendiri, kita akan tetap aman dan tak
mungkin dapat tergoda. Sesungguhnya bukanlah perbuatan
maksiat yang tampak itu yang menjatuhkan seseorang,
melainkan nafsunya sendiri, Dan orang tak mungkin dapat
melarikan diri dari nafsu, melainkan harus
menundukkannya dan mengendalikannya, seperti orang
menundukkan dan mengendalikan seekor kuda liar,
sehingga kuda yang tadinya binal dan berbahaya itu
berubah menjadi kuda yang jinak dan berguna bagi
kemajuan duniawi,”

“Kita belum selesai, koko, Coba kemukakan lagi kebaikan


daripada bertapa mengasingkan diri dari dunia ramai."
“Tentang menjauhkan godaan nafsu sudah kau bantah.
Sekarang kebaikan lainnya. Dengan menjauhkan diri dari
pergaulan ramai, orang terhindar daripada bahaya
penularan maksiat. Pergaulan dapat menyeret manusia ke
dalam lembah kesesatan sehingga kalau menyendiri di
tempat sunyi, bahaya itu tidak ada dan si pertapa akan
tetap bersih. Bagaimana pendapatmu?"
“Tidak begitu! Memang harus diakuibbahwa pergaulan
mempunyai pengaruh yang besar, akan tetapi pengaruh ini
hanya dapat menyeret orang yang memang hatinya lemah!
Yang penting adalah dasar pribadinya sendiri. kotoran tetap
kotor biar dicampurkan dengan segudang mutiara, tetap
merupakan kotoran. Sebaliknya, mutiara tetap mutiara, biar
dicampurkan dengan segudang kotoran. tetap merupakan
mutiara! Dasar pribadi yang kuat menjadi landasan,
ditambah dengan kebijaksanaan sebagai manusia sadar
yang tentu saja tidak akan menggauli golongan yang kotor!
Biarpun tinggal di dunia ramai, di antara banyak orang
jahat, namun dia yang batinnya bersih tetap waspada
akanbsetiap perbuatannya. Sebaliknya, biar tinggal seorang
diri di puncak gunung, kalau hatinya kotor tetap saja akan
bergelimang dengan pikiran dan perbuatan kotor!"
“Wah, kau terlalu keras terhadap orang-orang yang biasa
bertapa moi-moi!"
“Keliru, koko, bukan terhadap orang pertapa, melainkan
terhadap orang yang munafik, yang ingin dianggap bersih
namun sesungguhnya, batinnya sekotor isi perutnya!"

KEBAJIKAN atau kebaikan tabiat atau kelakuan adalah suatu sifat, suatu
kewajaran yang terjadi atau dilakukan tanpa unsur kesengajaan oleh si pelaku.
Kalau kebajikan dilakukan dengan sengaja disertai kesadaran dari pelaku
bahwa dia melakukan kebajikan, maka tak dapat disangkal lagi, perbuatan baik
atau kebajikannya itu dilakukan dengan adanya pamrih tersembunyi di balik
perbuatan itu.
Bermacam-macam dan bertingkat-tingkat adanya pamrih yang tersembunyi ini,
ada pamrih untuk keuntungan lahiriah, ada pula pamrih keuntungan batiniah.
Akan tetapi tetap saja sama, karena pamrih yang tersembunyi dalam setiap
perbuatan itu pada hakekatnya hanyalah keinginan untuk memperoleh
kesenangan lahir maupun kesenangan batin.
Bahkan ada pamrih tersembunyi dalam perbuatan baik yang tidak disadari lagi
oleh yang berbuat, pamrih yang mengendap di bawah sadar.
Dan setiap perbuatan betapapun baiknya setiap kebajikan, yang dilakukan
dengan kesadaran bahwa hal itu adalah kebajikan dan dengan demikian
mengandung pamrih, adalah suatu kepalsuan. Bukan baik karena memang
pada dasarnya dan sewajarnya memang baik, melainkan kebaikan yang dibuat-
buat, seperti pemulas untuk menutupi ying buruk. Kebajikan tidak mungkin
dapat dipelajari, dalam arti kata dilatih, atau ditiru-tiru dari anjuran kitab-kitab
atau guru-guru.
Karena kebajikan yang hanya dilakukan untuk meniru-niru atau menyesuaikan
diri dengan suatu pelajaran, adalah kebajikan pura-pura atau palsu, munapafik
adanya. Kalau di dalam hati masih ada rasa benci, lalu dalam perbuatan, kata-
kata sikap dan lain-lain memperlihatkan keramahan dan kebaikan budi,
bukankah itu palsu namanya?
Kalau begitu, bagaimanakah yang dinamakan kebajikan atau kebaikan itu:
Kalau kelakuan itu adalah suatu sifat, suatu kewajaran, tidak disadari lagi
sebagai suatu kebajikan oleh yang melakukannya, kalau tidak terdapat
kebencian lagi di dalam hati, maka terdapatlah cinta kasih di dalam perbuatan.
Dan dengan cinta kasih, maka setiap perbuatan adalah bajik!.
Kebaikan yang timbul karena latihan, hanyalah tiru-tiru dan palsu.Kebaikan
seperti ini mudah sekali luntur, mudah goyah dan mudah berubah, bagaikan
pakaian saja kalau tertimpa panas dan hujan, akan luntur dan lapuk,
memperlihatkan apa yang tersembunyi di baliknya. Terutama sekali dalam
keadaan dikecewaan, maka timbullah dendam, penasaran, yang mengundang
kebencian. Dan kalau sudah di cengkeram oleh kebencian, maka semua latihan
kebaikan itu pun akan terlupakan.

Tidaklah aneh apabila manusia selalu menganggap bahwa hal yang tidak
dimilikinya itu sebagai hal yang paling indah dan akan mendatangkan
kebahagiaan kalau dapat diraihnya. Perbandingan mendatangkan iri hati,
mendatangkan keinginan untuk memperoleh segala sesuatu yang tidak
dimilikinya.
Karena itulah semua manusia di dunia ini hanya saling pandang dan saling
mengiri, menganggap bahwa! keadaan orang lain lebih senang dari pada
keadaan dirinya sendiri, sedangkan kesenangan itu tentu selalu dianggap dapat
dicapai melalui keadaan yang belum dimilikinya.
Karena itu bermacam-macam anggapan timbul sebagai jalan menuju ke arah
kebahagiaan, ada yang menganggap bahwa jalan itu melalui harta kejayaan,
ada yang menganggap melalui kedudukan, kekuasaan, nama besar,
kepintaran, kehormatan, kesehatan, isteri cantik, suami ganteng, banyak anak,
atau tidak punya anak, dan masih banyak lagi. Inilah sebabnya maka yang
memiliki satu lebih di antara semua syarat itu, namun masih merasa tidak
bahagia karena syarat lain yang dianggap paling tepat tidak dimilikinya.
Kesenangan, segala macam bentuk kesenangan, hanya akan nampak sebagai
kebahagiaan selama kesenangan itu belum dimiliki.
Akan tetapi sekali kesenangan yang diidamkan itu telah dimilikinya,maka akan
ternyatalah bahwa kesenangan itu sama sekali tidak seindah yang didambakan
semula, dan sama sekali tidak dapat mendatangkan kebahagiaan. Inilah
sebabnya mengapa manusia selalu saling pandang dan saling mengiri.
Dapatkah kita hidup tanpa membanding-bandingkan, tanpa menginginkan
sesuatu yang tidak ada pada kita? Dapatkah kita membuka mata dan
memandang apa adanya tanpa dihalangi oleh bayangan-bayangan harapan
dan keinginan, sehingga kita dapat menemukan keindahan dan kebahagiaan
yang sudah ada dalam segala sesuatu, dalam apa adanya?
Pertanyaan, ini takkan dapat dijawab kecuali kalau kita menghayatinya dalam
kehidupan sehari-hari membuka mata dan telinga, hidup dalam saat ini secara
wajar, tanpa memandang ke depan tanpa menengok ke belakang.
Bukan hidup di alam kenangan hari-hari kemarin dan bukan pula hidup di alam
khayal dari hari-hari esok. melainkan hidup sungguh-sungguh dalam hari ini,
saat ini, detik demi detik!.
Beng Han teringat betapa bahagia hidupnya beberapa saat yang lalu, ketika dia
masih dekat dengan sumoinya, dengan dara yang di cintainya. Dan tiba-tiba
saja, dalam waktu sedetik semenjak dia tahu bahwa Kui Eng tida mencintanya,
seakanakan hancurlah segala-galanya dan kehidupan berubah menjadi derita
dan siksa hati.
Mengapa demikian? Mengapa cinta hanya menjadi semacam permainan antara
suka dan duka? Antara sorga dan neraka? Dan lebih banyak dukanya dari pada
sukanya yang dibawa oleh cinta? Mengapa cinta tidak dapat kekal?
Mengapa selalu timbul saja konflik bahkan sampai dengan perpecahan di
antara orang-orang yang tadinya mengaku saling mencinta. Mengapa pula cinta
menghancurkan hati orang yang tidak menerima balasan cinta, mendatangkan
derita batin bagi orang yang mencinta sefihak saja?
Mengapa?
Kita sudah terlalu mengotori kata "cinta" dengan berbagai penafsiran sehingga
cinta yang sejati menjadi suram dan tidak nampak lagi. Yang biasa menempel
di bibir kita sebagai cinta kasih, sebagai cinta suci dan sebagainya, yang
menjadi kembang bibir di antara pria dan wanita, di antara sahabat, di antara
orang tua dan anak, di antara manusia dengan Tuhannya, antara manusia
dengan para dewanya, antara manusia dengan kebangsaannya, negaranya,
dan sebagainya, kata "cinta" yang kita obral dau yang dengan mudah sekali kita
ucapkan itu, sesmgguhnya patut kita selidiki lagi apakah semua itu benar-benar
cinta!
Tidak mungkin menyelidiki pernyataan cinta orang lain, akan tetapi sudah jelas
bahwa kita dapat menyelidiki pernyataan cinta kita sendiri dan mari kita sama
menjenguk dan menyelami!
Si suami berkata kepada isterinya, atau isteri kepadi suaminya, "Aku cinta
padamu", akan tetapi di dalam pernyataan cinta ini biasanya terkandung sebab
dan pamrih.
Aku cinta padamu karena engkaupun cinta padaku, atau aku cinta padamu
karena engkau memuaskan hatiku, melayaniku, menyenangkan hatiku. Jadi
pada hakekatnya, cinta macam ini adalah suatu jual beli saja. Kita membeli
dengan cinta untuk mendapatkan kesenangan! Marilah, kita bersikap jujur dan
meneliti diri sendiri. Tidakkah demikian keadaannya? Dan kalam pada suatu
waktu, si dia yang kita cinta karena pelayanannya itu, baik sex, sikap manis,
uang, atau apa saja, menolak untuk memberi pelayanan itu, maka kitapun
menjadi marah! Dan cintapun kabur entah ke mana! Cinta seperti itu sifatnya
hanya merupakan jembatan untuk penyeberangan kita ke arah kesenangan!
Cinta seperti itu membuat kita ingin menguasai, memiliki, dimiliki, memberi,
diberi, dan terutama sekali mengikat dia yang kita cinta itu kepada kita, menjadi
milik kita dengan hak penuh dan tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun
juga! Dan kalau pada suatu waktu dia yang kita cinta itu bermanis-manis
dengan pria atau wanita lain, marahlah kita, dan perceraianpun terjadilah, cinta
kita seperti itu hanya merupakan api yang dihidupkan dengan bahan bakar
berupa kesenangan untuk diri kita sendiri. Api itu masih bernyala selama bahan
bakarnya masih ada. Kita masih mencinta selama dia yang kita cinta itu masih
mendatangkan kesenangan, akan tetapi kalau bahan bakar itu habis, cintapun
padamlah, bahkan kadang-kadang, sebagai akibat akibat cemburu dan
sebagainya, "cinta" kita itu malah bisa saja berubah menjadi "benci"! Apakah
yang demikian itu benar-benar cinta sejati?
Sama halnya dengan cinta kita terhadap sahabat. Sahabat yang sudah seribu
kali melakukan hal yang menyenangkan hati kita, kita cinta, akan tetapi satu kali
saja dia melakukan hal tidak menyenangkan, maka cinta kita luntur, mungkin
berubah menjadi benci. Cinta antara sahabat macam inipun pada dasarnya
hanyalah digerakkan oleh nafsu ingin menyenangkan diri kita sendiri saja.
Demikian pula pengakuan cinta kita terhadap orang tua atau anak, terhadap
Tuhan, pada dewa, terhadap bangsa, negara dan sebagainya. Pernahkah kita
meneropong apa yang menjadi dasar dari pada perasaan cinta kita itu? Apa
bila dibaliknya bersembunyi pamrih atau sebab karena kita ingin senang, baik
kesenangan lahir maupun kesenangan batin, maka itu hanyalah jual beli saja
dan karenanya palsu adanya.
Dan sudahlah pasti bahwa cinta yang seperti itu hanya mendatangkan konflik,
seperti kesenangan macam apapun, mendatangkan puas kecewa, suka duka,
tawa dan tangis. Karena cinta seperti itu pada hakekatnya hanyalah pengejaran
kesenangan belaka, dan seperti setiap bentuk pengejaran kesenangan, kalau
terdapat membosankan dan kalau tidak terdapat menimbulkan kecewa.
Cinta bukanlah sex semata, Cinta bukanlah kewajiban belaka, Cinta bukanlah
pengorbanan saja. Cinta bukanlah ini atau itu. Cinta tidak mungkin dapat
digambarkan karena yang dapat digambarkan itu hanyalah benda mati, Cinta
adalah hidup. Yang mengatakan bahwa cinta itu begitu atau begini hanya
merupakan orang-orang yang sombong, dan pernyataan itu hanya merupakan
pendapat-pendapat belaka Cinta bukanlah pendapat, karena setiap muncul
pendapat, sudah pasti ada pendapat lain yang akan menentangnya.
Cinta seperti kebenaran. Tak dapat dimiliki, tidak dapat dipupuk, tidak dapat
dipelajari, akan tetapi meliputi seluruh alam mayapada. Kita dapit mengenal
apa yang BUKAN cinta, dan kalau yang BUKAN cinta itu kita buang semua,
tiada yang ketinggalan, maka barulah terbuka kemungkinan kita mengenal apa
yang kita namakan CINTA KASIH. Benci bukan cinta, cemburu bukan cinta,
keinginan menyenangkan diri sendiri bukan cinta. Jelas bahwa kemarahan, iri
hati, dengki, tamak, permusuhan, semua ini merupakan awan-awan gelap yang
menutupi dai menyembunyikan sinar dari cinta kasih.
Bukan berarti bahwa kita harus menolak kesenangan. Sama sekali tidak!
Kesenangan adalah wajar. Akan tetapi yang berbahaya adalah PENGEJARAN
terhadap kesenangan itulah!
Kesenangan akan muncul sepenuhnya, dengan indahnya, tanpa pengejaran, di
mana ada cinta kasih, dan mungkin sudah tidak tepat pula dinamakan
kesenangan. Tanpa cinta kasih, sex merupakan alat pemuas nafsu berahi
belaka dan pengejarannya mendatangkan hal-hal yang kotor dan jahat.
Akan tetapi, segala sesuatu, juga sex berubah menjadi lain sama sekali dalam
sinar cinta kasih. Segala sesuatu yang kita lakukan akan bersih dan indah,
karena sudah bebas dari pamrih menyenangkan diri yang bukan lain hanyalah
pelampiasan nafsu-nafsu belaka, yang kasar dan yang halus, yang badaniah
dan yang rohaniah.

Beng Han teringat akan adiknya dan dia merasa girang bahwa Beng Lian telah
mendapatkan seorang calon suami seperti Yap Yu Tek yang gagah perkasa.
Diam-diam dia berdoa semoga nasib adiknya itu lebih baik dari pada nasibnya!
Begitulah kita manusia selalu melemparkan sepala kegagalan yang kita hadapi
kepada NASIB! Semenjak kecil kita dilolohi kata "nasib" ini sehingga kita selalu
mengatakan bahwa nasib kita sedang mujur, nasib kita sedang buruk dan
sebagainya. Apakah "nasib" itu? Ada yang menghubungkannya dengan
"kehendak Tuhan". Jadi kehendak Tuhankah bahwa kita harus celaka atau kita
harus beruntung? Jadi kita ini apa? Benda-benda mati? Kita selalu
menggunakan kata "nasib" untuk menghibur, untuk menutupi penyesalan kita,
kekecewaan kita, juga untuk menutupi iri hati kita. Kita tidak berani membuka
mata memandang kelemahan kita sendiri, hati yang penuh dengan kecewa dan
iri ini.
Kecewa kalau kita rugi dan iri kalau melihat orang lain untung. Lalu kita
menutupinya dengan kata-kata "sudah nasibku" atau "sudah nasib dia". Seperti
keadaan Beng Han itu. Nasibkah yang menentukan sampai dia kecewa?
Nasibkah yang membuat dia berduka? Betapa menggelikan, namun sungguh,
kalau kita mau membuka mata, kita sendiri setiap saat bermain-main dengan
kata nasib ini, baik melalui mulut ataupun hanya dibisikkan di dalam hati saja.
Dan ketahyulan yang dungu dan picik ini kita pelihara semenjak kita kecil
sampai akhirnya kita tunduk dan menghambakan diri kepada
NASIB! Seolah olah kita tidak kuasa atas diri kita sendiri, atas kelakuan kita
sendiri, melainkan diatur oleh nasib. Padahal, seperti dapat kita lihat dari
keadaan Beng Han, Tidak ada permainan nasib di situ, yang ada hanyalah
permainan dirinya sendiri. Dia mengharapkan sesuatu, mengharapkan cinta Kui
Eng harapannya tidak tercapai, dia kecewa dan berduka. Eh, kenapa dia
mengatakan nasibnya buruk? Kalau dia tidak mengejar sesuatu, dia tidak akan
kecewa, dan tidak akan ada pula yang dinamakan nasib buruk. Jadi nasib
berada di tangan kita sendiri!

Cinta yang didasari keinginan untuk kesenangan diri sendiri, tak dapat
dihindarkan lagi pasti mendatangkan duka, mendatangkan kecewa,
mendatangkan cemburu dan mendatangkan sengsara. Karena pada
hakekatnva cinta seperti itu hanyalah KEINGINAN UNTUK SENANG atau
pengejaran kesenangan untuk diri sendiri belakaKita selalu ingin dicinta, ingin
orang yang menyenangkan hati kita itu menjadi milik kita pribadi ingin agar
orang itu selalu menyenangkan hati kita.Oleh karena inilah maka cinta seperti
itu sering kali berakhir dengan kegagalan dan derita bagi diri sendiri. Cinta
seperti itu selalu disertai harapan harapan dan kalau harapannya ini tidak
tercapai, sudah tentu saja mendatangkan kekecewaan dan kedukaan! Dan
jangan dikira bahwa kalau yang diinginkan atau diharapkan itu tercapai akan
mendatangkan kebahagiaan yang sesungguhnya!
Mungkin mendatangkan kelegaan dan kepuasan sementara saja, seketika saja,
selama sehari dua hari, sebulan dua bulan, atau setahun dua tahun Namun
kepuasan seperti itu mudah sekali goyah dan di sebelah sana, dekat sekali,
sudah menanti kekecewaan-kekecewaan dan kedukaan yang sekali waktu
akan menggantikan kedudukan kesenangan itu!
Maka, timbul pertanyaan yang amat besar dan yang amat menarik untuk kita
selidiki. Apakah benar-benar Kui Eng mencinta Min Tek? Kalau benar gadis ini
mencinta Min Tek, apakah dia akan merasa sengsara melihat bahwa Min Tek
telah mempunyai seorang tunangan, bahwa Min Tek akan hidup bahagia
dengan tunangannya itu?
Kita selalu INGIN agar orang mencinta kita, agar orang baik kepada kita. Akan
tetapi, mengapa kita tidak pernah membuka mata dan menyelidiki diri sendiri.
Apakah kita mencinta orang lain? Apakah kita sudah baik kepadi orang lain?
Inilah yang penting! Bukan agar orang- orang mencinta dan baik kepada kita!
Harapan agar semua orang atau seseorang tertentu mencinta dan baik kepada
kita hanyalah menimbulkan kekecewaan dan penderitaan belaka. Akan tetapi
mempelajari diri sendiri MENGAPA kita tidak mencinta dan tidak baik kepada
orang lain, itulah yang penting. Kalau kita mempunyai cinta kasih dan belas
kasih kepada semua orang, maka cukuplah itu! Cinta dan kebaikan bukanlah
cinta dan kebaikan namanya kalau mengharapkan ganjaran, mengha-spkan
imbalan. Bukan cinta dan bukan keba-kan namanya yang mengharapkan
ganjaran, baik dari orang lain maupun dariTuhan! Itu hanya merupakan
penjilatan atau penyogokan belaka, merupakan akal untuk memperoleh
sesuatu ang menyenangkan kita, bukan? Kalau kita sudah mencinta dan baik
kepada semua orang, maka tidak menjadi persoalan lagi apakah orang-orang
itu baik kepada kita ataukah tidak, cinta kepada kita ataukah tidak. Itu adalah
persoalan mereka, bukan persoalan kita.
Cinta kasih tidak menimbulkan duka! Kalau ada duka, kalau ada kecewa, kalau
ada cemburu, kalau ada benci, jelas itu bukanlah cinta kasih namanya,
melainkan cinta yang didasarkan atas nafsu ingin senang untuk diri pribadi. Ini
jelas dan mudah sekali nampak oleh siapa saja yang mau membuka mata
melihat kenyataan! Selama masih ada "aku yang ingin senang" maka tidaklah
mungkin ada cinta kasih! Karena sesungguhnya si aku inilah yang menjadi
penghalang timbulnya cinta kasih. Karena kalau yang mencinta itu adalah si
aku, jelaslah bahwa si aku hanya dapat mencinta segala sesuatu yang
menyenangkan dan menguntungkan si aku, sebaliknya si aku pasti akan
membenci segala sesuatu yang menyusahkan dan merugikan si aku. Jadi,
selama menyenangkan dan menguntungkan, dicinta, akan tetapi sekali waktu
menyusahkan dan merugikan, lalu dibenci! Cinta seperti itu hanyalah
permainan nafsu yang amat dangkal, hari ini bisa cinta, besok bisa saja menjadi
benci karena hari ini menyenangkan dan menguntungkan, akan tetapi besok
menyusahkan dan merugikan.
Tidak demikiankah adanya "cinta kasih" yang kita dengungdengungkan selama
ini? Tidak demikiankah "cinta kasih" yang ada pada batin kita, terhadap isteri
atau suami kita, terhadap anak-anak kita, terhadap keluarga dan sahabat kita?
Dan kewaspadaan atau kesadaran akan hal ini, kesadaran yang sedalam-
dalamnya, membawa pengertian dan pengertian inilah yang akan
mendatangkan perobahan, karena selama kita belum berubah, sudah pasti
hidup kita akan selalu dikelilingi oleh kecewa, cemburu, duka, sengsara, benci
dan sebagainya.

Im-yang-pai merupakan sebuah perkumpulan yang besar dan pusat mereka


yang berada di lereng Pegunungan Taihang-san juga amat luas. Sebenarnya,
perkumpulan itu didirikan oleh para pemeluk Agama Im-yang-kauw, suatu
agama tua yang tidak berapa banyak pengikutnya. Akan tetapi karena agama
itu erat sekali hubungannya dengan ilmu kebatinan dan ilmu silat, maka
perkumpulan itu menjadi sebuah perkumpulan yang amat kuat dan di dalamnya
terdapat tokoh-tokoh berilmu tinggi yang sekaligus juga menjadi tokoh-tokoh
Agama Im-yang-kauw. Bangunan-bangunan besar yang dikelilingi dinding yang
berwarna putih dan tinggi sudah nampak dari kaki Gunung Tai-hang-san,
merupakan kompleks kuil yang amat luas, memiliki perkebunan sayur sendiri,
bangunan-bangunan untuk para anggautanya, pendeknya merupakan
semacam perkampungan besar di mana tinggal tidak kurang dari seratus orang
anggauta Im-yang-pai. Memang banyak pula para penganut Im-yang-kauw
yang tidak masuk menjadi anggauta Im-yang-pai, yaitu mereka yang tidak suka
akan ilmu silat, karena Im-yang-pai adalah perkumpulan dari ahli-ahli silat di
mana diajarkan Ilmu-ilmu silat yang khas dari Im-yang-pai.
Im-yang-kauw adalah satu di antara aliran-aliran kebatinan yang banyak
terdapat di Tiongkok, sebadai peninggalan jaman dahulu, di jaman Kerajaan
Han (abad ke dua dan pertama sebelum Masehi). Sesungguhnya, aliran-aliran
itu merupakan perpecahan-perpecahan dari agama-agama besar seperti
Agama Hud-kauw (Buddhisme), Kong-hu-cu (Confucianisme), Taoisme dan
agama-agama yang datang dari See-thian (negara barat, yaitu India).
Perpecahan-perpecahan ini menjadi banyak, sampai belasan macam yang
membentuk aliran-aliran sendiri sesuai dengan selera kepentingan mereka.
Akan tetapi yang terbesar adalah enam macam aliran, yang merupakan
perpecahan dari agama-agama besar Buddhisme, Confucianisme, dan
Taoisme, yaitu; Aliran kebatinan atau Agama Ju yang sesungguhnya adalah
penerus pelajaran-pelajaran dari Nabi Khong Cu. Aliran ini mendukung adanya
kekuasaan feodal, menganggap kaisar sebagai Cinbeng Thian-cu (Putera
Tuhan) dan segi-segi kehidupan diatur dengan lee (aturan) yang dijiwai dengan
jin (perikemanusiaan) dan gi (keadilan). Inilah aliran pertama.
Aliran ke dua menamakan dirinya aliran Mo yang menganggap Mo Ti sebagai
nabinya. Aliran ini menganjurkan cinta kasih antar manusia dan
menggantungkan segala kepada nasib karena mereka percaya bahwa segala
sesuatu telah ditentukan oleh Langit atau Tuhan. Mereka menentang segala
macam pesta dan upacara yang memboroskan, menentang perang kecuali
kalau untuk mempertahankan diri. Mereka adalah penganjur-penganjur apa
yang mereka namakan cinta semesta.
Aliran ke tiga adalah aliran kebatinan Tao yang menganggap Lo-cu sebagai
nabinya. Aliran ini menganjurkan penyatuan diri manusia dengan Tao (Jalan)
yang sukar diartikan secara jelas karena memang "tidak dapat diuraikan"
menurut faham mereka. Tao yang menggerakkan segalagalanya, maka faham
Tao ini menentang segala usaha manusia yang dianggap merusak dan
menyelewengkan pengaruh dan daya kerja Tao! Aliran Tao inilah yang banyak
dimasuki segala macam ilmu kebatinan dari yang klenik sampai yang dianggap
setinggi-tingginya, banyak mempunyai pertapa-pertapa dan banyak pula
menciptakan bermacam-macam latihan samadhi, yoga dan pernapasan Banyak
ilmu silat bercampur dengan ilmu kebatinan dari aliran Tao ini sehingga
melahirkan jagoan-jagoan ilmu silat yang memiliki kepandaian amat hebat dan
mentakjubkan.
Aliran ke empat adalah aliran Beng (Ming). Aliran ini pandai memainkan kata-
kata, dan kadang-kadang memiliki pelajaran yang aneh-aneh, yang menjurus
ke arah klenik dan sihir.
Sudah terkenal sejak dahulu betapa dalam aliran Beng ini terdapit ucapun
"kuda hitam bukanlah kuda", "anjing putih adalah hiram", "kura-kura lebih
panjang dari pada ular", dan sebagainya lagi yang membingungkan
pendengarnya. Akan tetapi, akhir-akhir ini para pengikutnya banyak yang
menyeleweng dan memenuhi golongan sesat di dunia kangouw, sungguhpun
harus diakui bahwa mereka itu banyak yang lihai sekali.
Aliran ke lima adalah aliran Hoat, aliran yang mendasarkan kebudayaan
dengan mencontoh raja-raja bijaksana di jaman dahulu. Aliran ini
mementingkan Hoat (hukum) yang harus diterapkan kepada semua manusia
tanpa pengecualian. Aliran ini sangat keras terhadap semua anggautanya yang
harus tunduk kepada hukum-hukum yang telah ditentukan. Lebih baik
kehilangan kaki tangan, atau bahkan nyawa sekalipun dari pada harus
melanggar hukum yang telah ditentukan dan telah disetujui sendiri! Aliran ini
banyak yang menjadipanglima-panglima perang dan mereka benar-benar amat
menjunjung disiplin, taat, dan keras.
Kemudian aliran ke enam adalah aliran Im Yang! Aliran inilah yang kemudian
menjadi Im yang-kauw. Aliran Im Yang ini mulai muncul antara abad ke empat
dan awal abad ke tiga sebelum Masehi, dipeluk dan diikuti oleh orang-orang
yang memiliki kecerdasan tinggi karena mengandung filsafat yang pelik dan
rumit. Garis besar pelajaran dari aliran Im-yangkauw ini adalah bahwa segala
isi semesta, baik yang nampak maupun yang tidak adalah hasil perpaduan dari
dua unsur berlawanan yang disebut Im dan Yang. Tanpa adanya unsur Im
Yang tidak akan ada bentuk apapun di dunia ini. Untuk memudahkan para
pelajarnya, maka Im Yang digambarkan sebagai lingkaran bundar yang dibagi
dua, yang hitam adalah Im dan yang putih adalah Yang. Seperti inilah gambar
itu.
Seluruh semesta ini terjadi karena pengaruh Im Yang. Luasnya pengaruh Im
Yang sampai memenuhi angkasa dengan semua bintangnya, juga menyusup
sampai ke dalam kehidupan seekor semut atau kutu yang tak nampak oleh
mata. Kekuasaan Im Yang dapat pula dikenal dalam diri manusia, bahkan
menurut kepercayaan mereka, tubuh manusia adalah jagad kecil yang terkenal
dengan sebutan Jim Sin It Siauw Thian Te (Manusia adalah Gambar dari Bumi
Langit ). Oleh karena yang rnengatur keseimbangan kehidupan adalah unsur
Im Yang, maka apabila Im Yang di dalam tubuh kita tidak selaras, kita jatuh
sakit. Apabila Im Yang yang menguasai alam tidak selaras, timbullah berbagai
malapetaka dan bencana alam. Segala sesuatu akan binasa tanpa perputaran
Im Yang. Demikian besar kekuasan Im Yang ini sehingga di dalam kitab Ya
Keng yang diciptakan oleh Nabi Khong Cu terdapat pernyataan, It Im It Yang Wi
Ci To (Satu Im dan satu Yang itulah yang boleh disebut To)
Kaum penganut Im-yang-kauw mempelajari tentang ilmu alam dan mereka
mendapatkan kenyataan tentang Ngo-heng (Lima Anasir-Elemen) yang mereka
bagi-bagi menjadi ke lompok Swi (air), Ho (Api), Bhok (Kayu), Kim (Logam) dan
Thio (Tanah). Dari penyelidikan mereka tentang Im Yang dan Ngo-heng maka
terciptalah ilmu-ilmu yang mujijat, ilmu yang hendak membuka tabir rahasia
alam. Jalannya kekuasaan dan ketertiban alam, peredaran bintang-bintang,
bahkan dari pengetahuan itu mereka dapat pula menciptakan ilmu pengobatan
yang amat luar biasa karena berdasarkan keyakinan bahwa kesehatan manusia
merupakan ketertiban yang diantar oleh perimbangan Im Yang dan dihidupkan
oleh Ngo-heng, karena unsur unsur Ngo-heng itu saling membinasakan (untuk
pengobatan) dan saling menghidupkan (untuk menjaga kesehatan). Akan
terlalu panjanglah kalau mau diuraikan tentang Im Yang dan Ngo-heng, sama
panjangnya kalau kita bicara tentang kekuasaan dan rahasia yang meliputi
seluruh alam dan isinya. Demikianlah sekedar penjelasan tentang aliran-aliran
yang ada pada waktu dahulu.

Betapa menyedihkan kenyataan tentang agama ini di dalam dunia kita, di


antara manusia seperti yang dapat kita saksikan sekarang ini! Betapa manusia
saling bertengkar, saling membenci, saling bermusuhan karena agama! Bahkan
betapa manusia sampai tega untuk saling membunuh demi agama!
Sungguh merupakan suatu kenyataan yang amat pahit. Agama apapun juga
melarang kita untuk membenci, melarang kita bermusuhan, namun demi agama
kita saling benci, saling bermusuhan dan saling bunuh! Sesungguhnya, semua
agama di dunia ini adalah untuk manusia, akan tetapi kenyataannya sekarang
ini, manusia sudah merosot sedemikian rendahnya sehingga tidak ada
harganya lagi sehingga sekarang keadaannya menjadi terbalik, bukan agama
untuk manusia melainkan manusia untuk agama! Demi agama, manusia saling
bunuh! Mengapa demikian? Karena manusia tidak mau mengenal diri sendiri,
karena manusia hanya memandang agama, bukan memandang manusia,
karena faktor manusia dilupakan, karena bukan manusia lagi yang penting
melainkan agama! Demikian pula dengan harta benda, kedudukan, politik dan
sebagainya. Manusianya menjadi tidak penting. Politiklah yang penting,
partailah yang penting kedudukanlah atau hartalah yang penting. Kalau sudah
begitu, manusia saling bermusuhan saling bunuh untuk memperebutkan
kemenangan politik, partai, kelompok, ras, bangsa, kedudukan dan harta, atau
juga memperebutkan kemenangan dan "kebenaran" agama masing masing
Penyesalan memang selalu mengikuti kesenangan. Keduanya itu merupakan
saudara kembar yang tak terpisahkan. Kesadaran selalu muncul setelah lupa
diri dalam gelombang nafsu, seperti sinar matahari baru muncul setelah badai
mereda. Gelombang nafsu selain menggulung mereka yang lemah, yang tidak
waspada terhadap diri sendiri sehingga kewaspadaan dan perhatian tidak ada
pada saat itu, membuat mereka lupa dan lemah, menjadi hamba nafsu.
Penyesalan terlambat muncul akan tetapi setelah lewat waktu yang lama,
penyesalan inipun lenyap dan biasanya muncul kerinduan akan pengalaman
yang telah dinikmatinya sebagai pemuasan nafsu. Dengan demikian manusia
dipermainkan oleh batinnya sendiri dan menjadi hamba nafsu secara berulang-
ulang, terus-menerus selama tidak terdapat kewaspadaan terhadap diri sendiri
setiap saat, selama tidak mengenal diri sendiri setiap saat.

Cemburu adalah suatu bentuk nafsu yang amat menyiksa hati, menggelapkan
pikiran dan meracuni batin. Orang bilang bahwa cemburu datang karena
adanya cinta! Bahkan yang berpendapat bahwa bukanlah cinta kalau tiada
cemburu!
Benarkah ini? Ataukah pandangan seperti itu justeru amat menyesalkan?
Mungkinkah cinta itu disamakan dengan cemburu yang mengakibatkan
kemarahan dan kebencian?
Kalau begitu tidak ada bedanya antara cinta kasih dan kebencian! Tidak
mungkin sama sekali ini! Cinta kasih bukanlah kebencian, cinta kasih bukanlah
kemarahan dan cinta kasih sama sekali bukanlah cemburu! Dari mana
datangnya cemburu? Kita dapat menyelidikinya dengan mudah kalau kita mau
membuka mata dan mengenal diri sendiri.
Cemburu adalah iri hati Cemburu timbul dari kesenangan kita yang diganggu
orang. Kita menginginkan sesuatu, atau seseorang yang amat menyenangkan
kita, untuk diri kita sendiri saja, untuk menjadi milik kita menjadi hak kita, dan
berada di bawah kekuasaan kita seorang saja. Maka kalau orang yang kita
senangi itu, atau yang mendatangkan kesenangan pada diri kita, menoleh
kepada orang lain, timbullah rasa kecewa dan marah yang dinamakan
cemburu, dan sebagai akibatnya timbul pula kebencian, baik terhadap orang
yang merampas dia yang menyenangkan kita maupun terhadap si dia sendiri
yang mengecewakanhati kita karena menoleh kepada orang lain. Kita ingin
menguasai orang itu sepenuhnya, menjadi milik kita sendiri, memonopolinya,
mengurungnya. Dan itukah yang dinamakan cinta kasih?
Cemburu jelas ditimbulkan karena kesenangan kita terganggu! Dan cinta kasih
sama sekali bebas dari pada keinginan menyenangkan diri sendir! Cemburu
mendatangkan permusuhan dan konflik. Cinta kasih sama sekali bebas dari
permusuhan dan konflik dalam bentuk apapun juga! Cemburu menimbulkan
duka dan sengsara. Cinta adalah kebahagiaan!
Bukan berarti bahwa cinta adalah kebalikan dari cemburu atau benci. Cinta
adalah cinta! Akan tetapi jelas bahwa cemburu dan benci bukanlah cinta!

Lepas dari pada pandangan dan pendapat-pendapat yang terikat oleh


kepercayaan-kepercayaan, tradisi-tradisi, dan peraturan-peraturan agama yang
kaku dan sempit, tak dapat disangkal lagi bahwa menyempurnakan jenazah
manusia dengan jalan membakarnya merupakan cara yang paling baik.
Pertama, jelas bahwa yang mati tidak lagi mengganggu yang hidup dengan
penggunaan tanah yang menimbulkan tempat-tempat yang dianggap angker
sehingga tanah itu dapat dimanfaatkan oleh yang hidup.
Ke dua, keluarga yang masih hidup tidak lagi terikat oleh kewajiban merawat
kuburan dan mengunjunginya setiap waktu yang telah ditentukan oleh tradisi.
Ke tiga, dengan cara pembakaran ini maka semua penyakit yang mungkin
masih melekat pada jenazah dan yang mungkin menimbulkan bahaya
penularan, dapat dibasmi habis oleh api.

Agaknya setiap orang manusia tentu dapat merasakan apa yang dirasakan oleh
Gin San di saat itu. Memang terdapat pertautan batin yang kuat sekali antara
kampung halaman, tanah tumpah darah, dengan seseorang. Tanah tumpah
darah, di mana darah ibu tertumpah ketika dia terlahir, memiliki daya tarik yang
mengikat. Betapapun buruk dan miskinnya dusun itu, namun bagi Gin San yang
terlahir di situ dan masa kecilnya berada di dusun itu, agaknya tidak ada tempat
yang lebih indah mengesankan dari pada dusun tempat kelahirannya itu. Ada
semacam daya tarik yang kuat, yang membuat seseorang selalu terkenang dan
ingin sekali-kali berkunjung ke tempat di mana dia terlahir dan bermain-main di
waktu dia masih kecil.
Hal seperti ini timbul karena di dalam kehidupan kita lebih banyak dukanya dari
pada senangnya. Makin tua usia kita, makin banyaklah masalah-masalah yang
meruwetkan dan mengeruhkan batin, dan makin terkenanglah kita dengan
penuh kerinduan hati akan masa kanak-kanak kita, karena memang masa
kanak-kanak merupakan masa terindah dalam kehidupan manusia. Kanak-
kanak hidup dengan polos, jujur, dan wajar. Kanak-kanak tidak pernah
menyimpan dendam, tidak pernah menyimpan suka duka di dalam pikirannya,
tidak pernah menginginkan yang tidak ada, tidak pernah bercita-cita dan kanak-
kanak selalu menikmati hidupnya, dalam keadaan bagaimanapun juga! Itulah
sebabnya mengapa kanak-kanak adalah mahluk yang suci murni, bersih, dan
hidupnya penuh bahagia, bahkan dalam tangispun, seperti dalam tawanya,
terkandung kewajaran yang murni. Namun, sungguh sayang sekali, makin tua
kita, makin kotorlah kita, penuh dengan ambisi, penuh dengan keinginan
memperoleh hal-hal yang tidak kita miliki, penuh dengan cita-cita yang abstrak
dan belum ada, sehingga APA YANG ADA tidak pernah dapat kita nikmati. Kita
gandrung dan mengejar-ngejar kebahagiaan, sama sekali buta akan kenyataan
bahwa sesungguhnya PENGEJARAN itu sendirilah yang tidak memungkinkan
adanya kebahagiaan! Lihatlah sekelompok anak-anak yang bermainmain,
begitu riang gembira, begitu wajar. Kita akan terpesona, akan kagum, dan akan
terheran-heran mengapa sekelompok anak-anak yang bermain-main di dalam
lumpur dapat segembira itu! Dan kita selalu tenggelam di dalam kemuraman! Ini
salah, itu salah, ini tidak enak, itu tidak menyenangkan. Mengapa? Karena hati
dan pikiran kita PENUH DENGAN KEINGINAN, itulah! Hari hujan, ingin terang,
mengeluh. Hari terang, ingin hujan, mengeluh juga. Tidak dapatkah kita
mengakhiri kegilaan yang terdorong oleh keinginan yang tiada habisnya ini dan
hidup dalam arti kata yang sedalam-dalamnya, hidup menikmati saat ini detik
demi detik yang kesemuanya itu sudah mengandung keindahan yang luar
biasa?
Malampun tibalah. Dan malam itu, sebaliknya dari malam tadi seperti apa yang
terjadi di kota Cin-lok-bun, di dalam dusun yang miskin itu terjadi hal yang luar
biasa pula, akan tetapi kejadian yang sama sekali tidak menirrbulkan
kemarahan dan kedukaan, sungguhpun juga menimbulkan kegemparan. Malam
itu, dalam setiap rumah di dusun itu, terjatuh beberapa keping uang emas! Dan
pada keesokan harinya, gegerlah penduduk dusun yang menemukan uang
emas di dalam rumah mereka masing-masing. Mereka terkejut dan girang,
tentu saja tidak banyak cakap, dan diam-diam mereka melakukan sembahyang
untuk menghaturkan terima kasih kepada Yang Maha Murah.
Tentu saja yang melakukan perbuatan itu adalah Gin San. Memang dia telah
mencuri uang emas dari kota Cin-lok bun dengan maksud untuk membagi-
baginya kepada para penduduk dusun di mana dia terlahir, kepada para
tetangga ayah bundanya yang telah tewas, para tetangga yang tentu saja
sudah tidak mengenalnya lagi. Sekantung besar uang emas itu habislah dibagi-
bagikan secara diam-diam itu dan pada keesokan harinya, dia telah memasuki
pula kota Cin-lokbun dengan wajah berseri dan tanpa kantung di pundaknya.
Dipandang secara sepintas lalu, apa yang dilakukan oleh Gin San itu memang
baik, yaitu membagi-bagi uang kepada penduduk dusun miskin, sungguhpun
uang itu didapatnya dengan cara yang tidak patut pula. Akan tetapi, betapa
bodohnya anggapan kita pada umumnya bahwa HARTA dapat membuat
manusia hidup BAHAGIA. Sungguh melantur sekali nggapan seperti itu.
Bahkan, tidak selamanya harta mendatangkan kebaikan, kalau tidak dapat
dikatakan bahwa lebih banyak mendatangkan kejahatan! Uang emas yang
disebar oleh Gin San di antara penduduk dusun miskin itu, memang
mendatangkan kegirangan besar, akan tetapi tidak dapat secara tergesa
dikatakan bahwa hal itu mendatangkan kebaikan. Yang sudah jelas saja, begitu
masing-masing menemukan uang emas di dalam rumah, timbullah kecurigaan,
timbullah kekhawatiran kalau kalau penemuan yang menguntungkan itu sampai
ditahui orang lain! Masing-masing merahasiakannya, dan dengan kenyataan ini
saja sudah terbukti betapa harta yang ditemukan itu seketika melenyapkan
kejujuran dan kegotong-royongan di antara mereka yang semula selalu
nampak. Selain itu, juga masing-masing diliputi rasa takut, khawatir kalau-kalau
harta yang mereka temukan itu sampai hilang dicuri orang, sehingga mereka
harus menjaganya, bahkan ada yang tidak dapat tidur karena khawatir kalau-
kalau uang emas itu akan diambil orang.
Harta benda, kedudukan, nama besar, bukanlah hal yang buruk. Akan tetapi
kalau kita sudah melekatkan diri, menyamakan diri dengan mereka, kalau kita
sudah mengejar-ngejar mereka, timbullah kesengsaraan dalam kehidupan.
Pengejarannya itulah yang jahat. Orang yang mengejar harta benda mungkin
saja menjadi mata gelap, melakukan korupsi penipuan,kecurangan dan
sebagainya lagi. Orang yang mengejar kedudukan dan nama besar, mungkin
saja menjadi kejam, mendorong ke samping atau kalau perlu menjegal dan
merobohkan saingannya, cara busuk apapun akan ditempuhnya demi untuk
memperoleh kedudukan dan nama besar yang dikejar-kejarnya itu. Dan setelah
semua itu terdapat kita melekat kepadanya dan timbullah kekhawatiran, rasa
takut kalau-kalau yang sudah terdapat itu akan hilang dari kita! Semua itu
begini jelas, dapat kita lihat setiap hari dalam kehidupan kita, di sekeliling kita,
dalam badan kita sendiri!

Kebaikan kaunamakan kepada perbuatanmu itu, namun sesungguhnya itu


hanyalah suatu cara untuk mendapatkan nama baik, jadi hanya pura-pura dan
palsu belaka. Apakah artinya nama baik? Selagi hidup, semua mahluk memang
berbeda, akan tetapi dalam kematian mereka semua sama juga. Selagi hidup
mereka itu bisa pintar atau bodoh, mulia atau hina, namun dalam kematian,
mereka semua sama sama berbau, membusuk, hancur dan lenyap. Dalam
kelahiran mereka sama, dalam kematianpun tiada bedanya, jadi kita semua ini
sama sama pintar, sama-sama bodoh, sama-sama mulia dan sama sama hina.
Ada yang usianya hanya sampai sepuluh tahun, ada yang mencapai seratus
tahun, namun kesemuanya akhirnya mati juga. Orang suci yang agung mati
seperti juga si dungu yang jahat. Di waktu hidup dinamakan raja-raja agung
Yao dan Shun, namun setelah mati mereka itu hanyalah tulang-tulang
membusuk. Di waktu hidup dinamakan raja-raja lalim Chieh dan Chou, namun
setelah mati, mereka juga hanya tulang-tulang membusuk. Dan tulang-tulang
membusuk dimanapun sama saja, siapa yang dapat mengenal dan
membedakan mereka?"

Peristiwa biasa saja yang setiap hari, setiap senja dapat dilihat oleh setiap
manusia di jagad ini. Namun, betapa manusia pada umumnya sibuk dengan
segala macam kesenangan dunia, dengan segala macam pengejaran nafsu
sehingga manusia seakan-akan buta terhadap segala keindahan alam yang
berada di depan mata itu! Betapa sedikitnya manusia yang masih dapat
menikmati keindahan mata. hari terbenam di senja hari, matahari timbul di pagi
hari, awan-awan putih berarak di langit biru, pohon-pohon, daun-daun dan
bunga-bunga. Semua keindahan itu lewat begitu saja, atau dilewati oleh mata
begitu saja, bahkan tidak pernah nampak lagi karena sang mata mencari cari
dan mengejar hal-hal yang tidak ada menurutkan dorongan nafsu yang timbul
dari pikiran yang selalu mengejar hal-hal yang tidak atau belum ada. Karena
sejak pagi sampai malam manusia selalu mengejar hal-hal yang tidak atau
belum ada inilah maka manusia tidak lagi dapat melihat, tidak lagi dapat
menikmati keindahan dari pada hal-hal yang ADA di depan hidung sendiri!
Mengapa kita tidak pernah membuka semua panca indera, memandang segala
yang ada tanpa mengejar hal-hal yang belum ada? Mengapa kita tidak pernah
memperhatikan yang INI, yang BEGINI, akan tetapi selalu menjangkau yang
ITU, yang BEGITU? Padahal segala keindahan, segala kebahagiaan berada
dengan yang INI atau yang ADA, bukan terletak dalam yang ITU atau yang
DIBAYANGKAN. Bahagia adalah sekarang, saat ini. Kalau kebahagiaan itu kita
pindahkan kepada nanti dan kelak, maka hal itu hanya merupakan kesenangan
yang dibayangbayangkan, yang diharap-harapkan, dan bersama dengan
kesenangan itu pasti muncul nafsu keinginan bersama rangkaiannya yang tak
kunjung pisah, yaitu kekecewaan, konflik dan kedukaan atau kesengsaraan
karena di dalam pengejaran untuk mendapatkan kesenangan yang dibayang-
bayangkan itulah lahirnya penyelewengan dan kemaksiatan.

Memang sesungguhnya amat menyedihkan melihat kenyataan betapa


kekerasan tak pernah meninggalkan manusia, atau lebih tepat lagi manusia tak
pernah dapat terbebas dari kekerasan, biarpun dia telah memiliki pengetahuan
bertumpuk-tumpuk dan telah mengusahakan sedapat mungkin untuk menjadi
orang baik, menjadi pendeta atau bahkan pertapa! Jelaslah bahwa kebersihan
manusia tidak dapat diukur dari kedudukan, usia, bangsa, agama ataupun
kepercayaan. Apa lagi diukur dari pakaian yang membeda-bedakan manusia
sebagai karyawan, usahawan, seniman, sarjana, pendeta dan sebagainya lagi
itu. Yang menentukan adalah tindakan yang merupakan pelaksanaan dari pada
keadaan batin setiap orang, dan keadaan batin ini hanya diketahui oleh diri
sendiri masing-masing! Oleh karena itu, yang dapat membersihkan batin,
membebaskan batin, hanyalah diri sendiri belaka! Dan pembersihan ini baru
mungkin terjadi apa bila kita masing-masing mengenal diri sendiri, mengenal
diri sendiri yang penuh dengan keinginan, ingin senang, ingin baik, ingin
berhasil, ingin "maju", ingin melebihi orang lain dalam segala-galanya, dan
seribu satu macam keinginan lagi, mengenal diri sendiri yang penuh dengan
kemunafikan, kepalsuan, kebencian, iri hati, permusuhan, rasa takut, dan
sebagainya. Kitalah yang dapat mengenal diri sendiri, dengan mengamatinya
Setiap saat, mengamati gerak-gerik jasmani kita, mengamati gerak-gerik hati
dan pikiran kita. Tanpa mengenal kekotoran yang melekat pada diri sendiri,
mana mungkin timbul pembersihan? Kita selalu menganggap bahwa kita
adalah orang yang paling bersih, paling baik, dan dengan demikian kita
tenggelam ke dalamkepalsuan ini dan yang kotor menjadi tetap kotor, bahkan
menjadi semakin kotor!

Mungkin, seperti yang kita lakukan kalau kita menghadapi kekerasan orang lain
dengan ke kerasan pula, Pek I Nikouw akan beranggapan bahwa dia
mempergunakan kekerasan demi membela kebenaran! Inilah senjata kita yang
selalu kita pergunakan untuk membela diri sendiri, untuk mcmbenarkan diri
sendiri, untuk mencarialasan mengapa kita melawan, mengapa kita
menggunakan kekerasan. Kita selalu beranggapan bahwa kita marah, kita
keras, karena kita membela kebenaran! Kita sama sekali tidak mau
memandang diri sendiri sehingga nampak jelas bahwa MARAH, BENCI,
BERKERAS itu sendiri sudah TIDAK BENAR! Namun kita pakai untuk membela
kebenaran! Kebenaran siapa? Tentu saja kebenaran kita sendiri yang boleh
saja kita selimuti dengan umum kebenaran agama, bangsa, golongan dan lain-
lain lagi yang hanya merupakan pengluasan saja dari pada kebenaran UNTUK
AKU. Kita lupa bahwa kalau kita sudah menentukan suatu kebenaran untuk diri
sendiri sendiri, maka sudah tentu fihak lawan kitapun memiliki ketentuan suatu
kebenaran untuk dirinya sendiri. Maka terjadilah perang kebenaran, perebutan
kebenaran dan sudah jelas dapat kita lihat bersama bahwa kebenaran yang
diperebutkan itu sesungguhnya BUKANLAH KEBENARAN ADANYA.
Semenjak sejarah dicatat manusia, selalu manusia berenang dalam lautan
kekerasan. Kita menyamakan diri dengan hal-hal yang kita anggap lebih tinggi
dari pada kita.
Melihat diri kita sendiri yang tidak berarti, yang tidak abadi, maka kita suka
melekatkan diri kepada yang kita anggap lebih besar, seperti bangsa, agama,
partai, golongan, keluarga, dan lain-lain di mana kita mengharapkan akan dapat
"membonceng" untuk mengisi kekosongan dan kedangkalan diri kita sendiri.
Maka terjadilah perpindahan kekerasan. Kalau tadinya kita memberatkan "aku"
masing masing dan menjadimarah, membenci dan sebagainya kalau aku
diganggu, makakini terjadi perpindahan atau bahkan pengluasan si "aku" yang
menjadi "negaraku, bangsaku, agamaku, partaiku, golonganku" sehingga
marahlah kita kalau semua itu diganggu. Bahkan ada yang mengesampingkan
dirinya sendiri, seperti para pendeta dan pertapa, tidak akan marah kalau
dirinya diganggu, akan tetapi awas, jangan mengganggu agamanya atau
golongannya, karena kalau itu diganggu, dia akan marah dan menggunakan
kekerasan! Padahal, golonganku, partai ku, bangsaku dan sebagainya itu
hanya merupakan pengluasan dari pada si aku itu juga!
Dapatkah kita hidup bebas dari segala ikatan, segala pelekatan, segala
penyamaan diri bebas dari si aku dengansegala bentuknja dan pengluasannya
yang penuh dengan pengajaran kesenangan sehingga menimbulkan kebenaran
sendiri-sendiri dan akibatnya menimbulkan konflik dan pertentangan?

Kebesaran dan keagungan alam terdapat di mana-mana, bukan hanya di


pegunungan atau di tepi lautan, bukan hanya di tempat sunyi, melainkan di
manapun kita berada.
Kebesaran dan keagungan alam yang penuh pesona, penuh hikmat, penuh
keajaiban dan mujizat, penuh dengan ketertiban, setertib awan berarak di
angkasa raya, setertib ombak mengalun beriring-iringan, setertib angin
mendesau di antara pohon pohon. Keagungan ini sudah berada di atas
keindahan dan keburukan, di atas sifat menyenangkan atau tidak
menyenangkan dan hanya nampak atau terasa oleh mereka yang tidak
dipengaruhi oleh batin yang menilai dan membanding bandingkan karena
penilaian dan erbandingan itu hanyalah kesibukan pikiran yang berpusat
kepada si aku.
Keindahan yang nampak karena kecocokan selera bukan lagi keindahan,
karena timbul dari perbandingan dan penilaian, dan hasil perbandingan dan
penilaian tentu akan menimbulkan konflik.
Hanya batin yang hening tidak dikotori oleh perbandingan,tidak dikotori oleh
ingatan akan yang baik atau buruk, yang senang atau susah hanya batin yang
benar-benar hening tanpa membandingkan, tanpa pendapat, tanpa kesimpulan,
tanpa pamrih, yang akan benar benar bertemu dengan keagungan dan
kebesaran itu. Sekali batin terjerumus ke dalam perbandingan, tentu akan
mengejar yang menyenangkan dan menjauhi yang tidak menyenangkan,
terseret ke dalam lingkaran setan dari kebalikan kebalikan, indah buruk, senang
susah, baik jahat dan selanjutnya.
Hanya batin yang hening sajalah yang wajar dan akan bertemu, bahkan
menjadi satu dengan KEWAJARAN. Keindahan yang agung, kebahagiaan,
terdapat di dalam batin yang hening yang tidak mengejar apa apa, tidak
kepingin apa-apa.
Pengejaran dan keinginan yaitu keinginan yang berada di luar dari pada
kebutuhan jasmani yang pokok, hanya merupakan permainan dari pikiran atau
si aku yang ingin senang, ingin mengulang apa yang dianggap enak dan
nikmat, dan di dalam pengejaran keinginan untuk senang ini terkandung
kebalikannya, terkandung kekecewaan, rasa takut, kekhawatiran, dan
kesusahan.
Kebahagiaan bukanlah suatu basil usaha, kebahagiaan tidak mungkin dapat
didatangkan melalui daya upaya, tidak mungkin diperoleh melalui pengejaran.
Yang dapat diperoleh melaluipengejaran hanyalah kesenangan, dan setiap
kesenangan itu membawa rangkaiannya, yaitu kekecewaan, kebosanan, dan
kesusahan. Hal ini jelas sekali. Bukan berarti bahwa kita HARUS MENOLAK
KESENANGAN! Sebaliknya, kesenangan mendapatkan keadaan yang lain
sama sekali kalau kita tidak mengejar-ngejarnya. Sesungguhnya, tanpa
pengejaran apapun, yang dinamakan kesenangan itu sudah bukan kesenangan
lagi, melainkan suka cita yang hanya dirasakan saat demi saat, tidak
meninggalkan bekas dalam ingatan, karena sekali meninggalkan bekas, maka
bekas atau guratan itu akan membentuk pengejaran yang ingin mengulangi lagi
apa yang telah dialaminya tadi. Dari situlah timbulnya pengejaran kesenangan!
Maka, pertanyaan yang teramat penting bagi kita, dapatkah kita hidup tanpa
kesankesan yang mencatat dalam pikiran sehingga menimbulkan pengejaran
kesenangan, juga menimbulkan kekhawatiran dan rasa takut? Pertanyaan ini
tak dapat dijawab dengan kata-kata belaka, hanya dapat dijawab dalam
tindakan, dalam penghayatan hidup sehari-hari.

MEMANG demikianlah. Sejarah telah mencatat betapa banyak sekali "orang


besar" yang jatuh karena wanita! Sesungguhnyakah bahwa wanita yang
menjatuhkan mereka? Amat tidak adil kalau kita menuduh dan menyalahkan
wanita saja! Persoalannya terletak lebih mendalam lagi. Menurut catatan
sejarah, jatuhnya "orang-orang besar" itu disebabkan karena tergila-gila kepada
wanita, ada pula yang tergila-gila akan kekuasaan, akan harta benda, dan
sebagainya. Jadi bukan semata-mata wanita saja yang menyebabkannya.
Tergantung sepenuhnya dari kelemahan si "orang besar" itu sendiri. Ada yang
lemah terhadap kekayaan, ada yang lemah terhadap kekuasaan, ada pula yang
lemah menghadapi wanita cantik. Dan sesungguhnya kesemuanya itu
bersumber kepada kelemahan diri sendiri. Batin yang selalu mengenangkan hal
hal yang dianggap paling menyenangkan, akan mengejar ngejarnya dan
akhirnya menjadi hamba dari pada hal yang dianggap paling menyenangkan
itu. Jadi, kalau ada orang besar atau apapun mudah tergoda atau tergila-gila
kepada wanita sehingga lenyap kewaspadaannya, bukan wanitalah yang
bersalah, melainkan dirinya sendiri yang memuja-muja kesenangan bergaul
dengan wanita itu. Pemujaan ini yang memelihara dan memperbesar nafsu
keinginan yang membuatnya haus dan mengejar-ngejar pemuasan. Dan
setelah kita menjadi hamba dari satu di antara nafsu-nafsu yang mengejar-
ngejar apa yang di inginkan itu, maka kita kehilangan kewaspadaan, kita
menjadi seperti buta dan tindakan kita didorong oleh nafsu yang memperbudak
kita itu.
Demikianlah persoalan yang sebenarnya. Biar kita dikurung oleh ribuan orang
wanita cantik, kalau batin kita jernih dan kita tidak membayangkan hal-hal yang
menimbulkan nafsu berahi, tentu tidak akan timbul apa pun juga. Sebaliknya,
biarpun kita dijauhkan dari wanita, berada di puncak gunung, dalam hutan dan
tidak pernah bertemu wanita, namun kalau batin kita penuh dengan bayangan
tentang hubungan dengan wanita yang mendatangkan sesuatu yang kita
anggap nikmat dan menyenangkan, maka kita tetap akan dikejar kejar nafsu
berahi! Di dalam diri kitalah terletak sumber segala hal, yang baik maupun yang
buruk!

Kakek ini tersenyum, kelihatan bangga menerima pertanyaan itu dan


memperoleh kesempatan untuk menerangkannya. "Lihiap tentu tahu bahwa
bunga teratai merupakan bunga yang dianggap keramat dalam Agama Budda
bahkan Kwan im Pouwsat digambarkan duduk di atas teratai putih. Teratai
adalah lambang kesucian, karena biarpun bunga itu hidup di atas air berlumpur
yang kotor, namun bunganya tetap putih bersih! Bunga itu kami pakai sebagai
nama perkumpulan kami untuk menggambarkan bahwa biarpun keadaan dunia
ini sudah kotor dengan banyaknya orang-orang yang berhati busuk, apa lagi
kaum pembesar yang kotor dan menindas rakyat, namun kami bersih seperti
bunga teratai putih!"
”Memang demikian keadaan kita pada umumnya. Kita suka sekali untuk
menggambarkan diri sendiri sebagai yang terbaik, yang terbersih, yang paling
suci! Kita tidak pernah memandang diri sendiri seperti apa adanya diri kita ini,
berikut kemarahan kita, kedengkian kita, kebencian kita. Ambisi-ambisi kita,
keinginan keinginan kita yang tak kunjung habis, pamrih-pamrih kita, rasa iri
dan takut, akan tetapi kita hanya membayangkan suatu gambaran yang muluk
tentang diri kita.
Kita ingin menonjolkan kebaikan kita, kita ingin dikebut orang baik! Sungguh
merupakan suatu kebutaan yang menyedihkan. Tindakan yang kita lakukan
dengan pamrih agar kita disebut baik, bukanlah tindakan baik lagi namanya,
melainkan suatu kepalsuan, suatu tindakan yang merupakan sarana untuk
mencapai "gelar" kebaikan. Apa lagi kebaikan yang ditonjol-tonjolkan,
perbuatan yang ditonjol-tonjolkan sebagai perbuatan baik agar kita dicap
sebagai manusia baik, jelas merupakan tindakan yang kotor dan munafik, dan
di balik semua kepalsuan itu tersembunyi keinginan untuk memperoleh
kesenangan! Dalam hal ini yang dianggap kesenangan adalah "menjadi orang
baik" itulah! Maka berebutlah kita untuk "menjadi orang baik" karena hal itu
mendatangkan perasaan senang dan bangga!"
Kenyataan ini mungkin sekali akan menimbulkan pertanyaan bagi sebagian
orang, yaitu. Setelah melihat kenyataan menyedihkan dalam kehidupan
manusia di dunia ini yang penuh dengan kebencian, permusuhan dan
kesengsaraan, lalu apakah yang harus kita lakukan kalau kita tidak boleh
melakukan kebaikan dengan disadari bahwa yang kita lakukan itu adulah
kebaikan?
Kita sudah melihat jelas kepalsuan akan tindakan yang disadari sebagai
tindakan baik, karena di situ terkandung unsur kesengajaan untuk berbuat baik
dan menjadi orang baik. Segala macam tindakan dalam bentuk apapun juga,
tindakan yang dinilai baik atau tidak baik, adalah tindakan yang mengandung
kepalsuan apabila tindakan itu keluar dari pikiran yang menilai, memilih dan
yang selalu menujukan semua hal demi keuntungan diri sendiri, keuntungan
lahir maupun keuntungan batin. Pikiran merupakan dasar dari semua perbuatan
palsu, yang bersumber kepada kepentingan diri pribadi. Tindakan seperti itu
jelas akan menimbulkan konflik, baik konflik dalam batin sendiri maupun konflik
keluar, antara manusia, kemudian antara kelompok, antara suku, antara
bangsa. Karena anggapan baik yang berdasarkan penilaian sendiri itu sudah
pasti bukan kebaikan lagi, melainkan "menguntungkan diri sendiri" dan
kebaikan macam itu sudah pasti akan bertemu dengan kebalikannya, yaitu
penilaian orang lain, Yang kita anggap baik itu belum tentu dianggap baik oleh
orang lain, mungkin saja dianggap jahat dan buruk! Demikian pula, yang
dianggap baik oleh orang lain belum tentu kita terima sebagai suatu kebaikan.
Ini sudah jelas dan merupakan kenyataan yang dapat kita lihat sehari hari
dalam kehidupan kita!
Lalu apa yang harus kita lakukan untuk merobah keadaan kehidupan yang
kacau dan penuh pertentangan di dalam dunia ini? APAPUN yang kita lakukan
dengan pamrih, tidak akan dapat merobah keadaan, bahkan malah menambah
kekacauan karena tindakan kita itupun berpamrih dan mengakibatkan kekalutan
dan pertentangan pula. Inilah yang menyebabkan timbulnya pemberontakan-
pemberontakan, revolusi revolusi yang tak kunjung padam selama dunia
berkembang. Keadaan seperti apa adanya tidak mungkin dapat berobah
selama diri sendiri belum berobah! Keadaan seperti apa adanya tidak mungkin
DI-robah, akan tetapi keadaan itu akan mempunyai arti yang lain sama sekali
apabila diri sendiri sudah berubah! Jadi pertanyaan: Apa yang harus kita
lakukan itu hanya dapat dijawab dengan : Kita tidak harus melakukan apa-apa!
Kita tidak dapat merobah keadaan apa adanya, juga perobahan dalam diri
sendiri tidak dapat kita robah!
Perobahan batin tidak dapat DIROBAH melainkan akan berobah sewajarnya
apa bila kita sadar, mengerti dan waspada!. Bukan kita, atau sesuatu di atas
batin, yang waspada terhadap batin, melainkan batin itu sendiri waspada
terhadap gerak-geriknya sendiri, terhadap tindakan-tindakannya sendiri lahir
batin, terhadap kesibukannya sendiri setiap saat, memandang, mengamati,
waspada, penuh perhatian, tanpa ingin apa-apa, tanpa ingin merobah, tanpa
ingin menjadi baik, tanpa menyalahkan atau membenarkan.
Ling Ling adalah seorang dara yang jujur dan belum dapat membedakan
kepalsuan, maka mendengar keterangan ketua Pek lian kai itu dia memandang
kagum dan hatinya mulai tertarik. Kiranya Pek-lian-kauw adalah perkumpulan
orang orang gagah, pikirnya. Hatinya mulai terasa tidak enak karena dia
memusuhi ketua Im-yang kauw yang agaknya menjadi sahabat dari Pek-lian-
kauw.

Perang, permusuhan, pertentangan terjadi di mana-mana di permukaan bumi


ini. Umum hanya menganggap bahwa perang itu terjadi; antar bangsa, antar
ideologi, antar ras, antar agama, tanpa ada yang. mau membuka mata melihat
kenyataan apakah sebenarnya yang menjadi SEBAB UTAMA dari semua
pertentangan dan perang itu! Seperti jalannya seekor ular, dari leher ke bawah
sampai ke ekornya, hanya mengikuti saja dengan membuta ke mana sang
kepala membawanya! Demikian pula dengan anggauta-anggauta partai,
anggauta-anggauta kelompok ras, anggauta-anggauta perkumpulan agama,
dan keluarga rakyat jelata. Maka jelaslah bahwa yang menentukan adalah sang
kepala! Kalau sang kepala itu merupakan seorang manusia yang masih besar
nafsu-nafsunya, masih mementingkan diri sendiri belaka, mementingkan ambisi
pribadinya, maka jelaslah bahwa segala sepak terjangnya akan didasarkan
kepada pengejaran kesenangan untuk pribadinya, dan untuk ini dia tidak
segan-segan menempuh segala cara, kalau perlu mengenakan jubah
perjuangan rakyat dan negara untuk menutupi ambisi pribadinya yang mengejar
ke senangan dalam bentuk apapun juga. Kesenangan pribadi ini dapat berupa
pengejaran harta benda, pengejaran kedudukan, pengejaran kemuliaan,
pengejaran nama dan sebagainya lagi. Beruntunglah rakyat yang dipimpin oleh
seorang pemimpin yang tidak lagi menjadi hamba dari nafsu nafsu pribadinya,
karena pemimpin seperti itu tentu benar benar memperhatikan kesejahteraan
rakyatnya dan segala tindakannya ditujukan demi untuk mendatangkan
kebahagiaan kepada rakyatnya. Akan tetapi, pemimpin yang mengutamakan
kepentingan nafsu pribadi akan menyeret rakyat ke dalam permusuhan dan
perang, menyeret rakyat ke dalam kematian, bunuh-membunuh, dan
kesengsaraan!
Sudah menjadi kenyataan yang tak dapat dibantah lagi bahwa perang, dengan
dalih apapun juga, hanya mendatangkan kesengsaraan bagi manusia, di
manapun juga di dunia ini! Dalam perang, baik bagi yang kalah maupun bagi
yang menang, pasti muncul kebencian, dendam, bunuh-membunuh, yang akan
berekor panjang sekali, dan yang kesemuanya akan menjerumuskan manusia
ke dalam kesengsaraan belaka. Mungkin ada segelintir manusia yang
menikmati kesenangan akibat menang perang, yaitu para pemimpin yang
berambisi untuk kepentingan pribadi dan yang memperoleh kemenangan dalam
perang, dan di samping beberapa gelintir manusia ini, juga........ iblis sendiri!

Mengapa semua orang baik-baik di dunia ini terbunuh oleh orang-orang jahat?
Mengapa semua orang baik-baik di dunia ini bernasib malang dan orang orang
jahat bahkan bernasib baik dan hidup makmur dan bahagia?
Pendapat seperti apa yang saat itu mengganggu pikiran Sian Lun merupakan
semacam "penyakit" yang dimiliki oleh hampir semua orang di dunia ini. Kita
sudah terbiasa semenjak kecil untuk memandang diri sendiri sebagai yang
terbaik, yang terbersih, yang terpandai dan yang paling sebagainya lagi. Diri
sendiri itu dapat diperluas meniadi keluarga sendiri, kelompok sendiri, suku
sendiri, bangsa sendiri. Karena pandangan ini, maka setiap kali ada
kemalangan atau malapetaka menimpa diri kita, maka kita memperbesar iba
diri dengan keluhan mengapa orang "sebaik" kita ini tertimpa kemalangan,
malapetaka dan sebagainya lagi! Dan hal ini merupakan satu di antara sebab
sebab yang menimbulkan rasa penasaran, dendam, ketidakpuasan dan
kebencian. Selama hidup aku tidak pernah menipu atau merugikan orang,
kenapa sekarang aku ditipu dan dirugikan orang? Selama hidup aku suka
menolong orang dan aku hidup sebagai orang yang baik hati, mengapa nasibku
selalu malang dan sengsara? Selama hidup aku baik terhadap orang lain,
mengapa tidak ada orang yang baik kepadaku? Demikianlah kita selalu
mengeluh dengan hati penasaran! Kalau kita membuka mata memandang diri
sendiri, kiranya kita akan mendapat kenyataan bahwa "penyakit" macam itu
juga ada pada kita! Tidaklah demikian haInva?
Mengapa kita selalu ingin menonjolkan diri sebagai yang terbaik? Mengapa
pula kita mengharapkan suatu imbalan atau hadiah bagi semua tindakan yang
kita anggap baik itu? Tidak, aku tidak minta imbalan atas kebaikanku, bantah
seseorang mungkin. Akan tetapi, kalau sekali waktu tertimpa kemalangan lalui
"mengeluh" mengapa dia yang baik itu tertimpa kemalangan, bukankah hal ini
sama saja dengan mengharapkan imbalan, agar KEBAIKANNYA iiu
menjauhkan segala kemalangan. Apakah kebaikan yang mengandung pamrih
memperoleh imbalan itu kebaikan namanya? Bukankah itu merupakan suatu
kemunafikan yang menyulap suatu daya upaya memperoleh keuntungan
menjadi suatu kebaikan? Mengapa kita selalu cenderung menganggap bahwa
setiap kemalangan tidak patut dijatuhkan kepada kita, sebaliknya setiap
keberuntungan memang sudah tepat menjadi milik kita? Pendapat ini hanya
mengundang datangnya sesal dan kecewa, yang menuntun kepada rasa
penasaran, kebencian, dan kesengsaraan batin.
Yang dinamakan KEBAIKAN itu bukan lagi kebaikan kalau sudah kita sadari
sebagai kebaikan! Misalnya ada seorang kelaparan, kita lalu memberinya
makan. Kalau perbuatan ini kita lakukan karena dorongan iba hati terhadap
orang yang kelaparan itu, maka inilah perbuatan wajar, perbuatan yang
mengandung cinta kasih. Akan tetapi kalau kita menyadari bahwa itu adalah
perbuatan baik, dan demi "kebaikan" itu kita lalu menolongnya, sadar bahwa
kita telah melakukan kebaikan, maka kebaikan macam ini adalah kebaikan
yang condong berpamrih. Macam-macamlah pamrihnya itu, mungkin untuk
mencari pujian dari orang lain, mungkin untuk menerima syukur dan terima
kasih dari yang ditolong, mungkin untuk memuaskan perasaan sendiri yang
telah "berbuat baik", bahkan mungkin lebih luas dan tinggi lagi yaitu
mengharapkan agar kebaikannya itu dicatat di "sana" sebagai tabungan untuk
kelak diambil kalau sudah mati atau di raktu perlu. Perbuatan yang oleh umum
dianggap baik itu lenyap sifat kebaikannya kalau di waktu melakukannya kita
sadari sebagai kebaikan. Hanva orang lainlah yang menilai. Kita sendiri hanya
beibuat dengan dasar cinta kasih yang dapat berbentuk belas kasih atau iba
hati.
Segala macam peristiwa yang menimpa diri kita hanyalah merupakan akibat
dari segala macam perbuatan kita. Peristiwa yang menimpa diri kita merupakan
pemetikan buah dari pohon perbuatan yang kita tanam sendiri, dan ini terjadi
tanpa kita sadari. Semua perbuatan kita atau pohon yang kita tanam sehari-
hari, hanja dapat bersih dan sehat apabila kita mau waspada setiap saat,
waspada dengan membuka mata memandang diri sendiri, pikiran sendiri
perbuatan sendiri sehingga kita dapat waspada dan sadar setiap saat dan
dengan kewaspadaan ini kita pasti akan dapat menyingkirkan semua perbuatan
yang tidak benar yang berarti kita menghindarkan penanaman pohon yang
jahat, yang kelak sudah pasti tanpa kita sadari atau minta, akan menghasilkan
buah yang jahat pula yang harus kita petik sendiri.
Oleh karena itu, setiap kali datang kemalangan atau malapetaka menimpa diri
kita, dari pada kita mengeluh dan merasa penasaran mengapa kita yang "begini
baik" tertimpa mala petaka yang "begitu buruk", adalah jauh lebih bermanfaat
apabila kita merenung dan meneliti diri sendiri dan selalu waspada terhadap
segala apa yang terjadi, haik di sebelah dalam maupun di luar diri kita, tanpa
menamakan peristiwa itu sebagai yang baik ataupun yang buruk, tanpa
menyesal kepada Tuhan, kepada musia lain. maupun kepada setan atau
kepada alam. Kita meneliti diri sendiri setiap saat karena diri pribadi adalah
SUMBER dari terjadinya segala sesuatu atas diri kita itu.

Memang mudah bagi kita untuk mencela Ling Ling sebagai seorang dara yang
hijau dan tidak berpengalaman dan bodoh, mau saja ditipu oleh bujuk rayu
ketua Pek-lian-kauw sehingga dia mati-matian membela perkumpulan itu!
Sebaiknya kalau kita menilai diri kita sendiri. Bukankah kita semua ini juga tidak
banyak bedanya dengan keadaan Ling Ling?! Sampai sekarangpun, peristiwa
yang menimpa diri Ling Ling itu masih terus berulang dan tanpa kita sadari, kita
sendiri juga menjadi korban Semua kelompok, semua perkumpulan, semua
partai di dunia ini dalam perjuangannya tentu selalu mengangkat diri sebagai
pembela rakyat.! Semua pemimpin golongan selalu mendengung-dengungkan
perjuangan demi membela rakyat jelata, dengan kata kata penuh semangat dan
amat menarik sehingga kita semua percaya secara membuta dan membantu
serta membela usaha golongan itu, membela usaha partai itu,! berjuang
menurut apa yang mereka gariskan secara mati-matian dan fanatik. Padahal,
hampir selalu dan hal ini dapat dibuktikan dari sejarah, para pemimpin
kelompok, golongan atau partai itu pada hakekatnya hanya mengejar sukses
bagi diri mereka sendiri saja yang pada saat pengejarannya selalu
menggunakan nama demi rakyat, demi negara dan sehagainya lagi. Buktinya?
Sudah terlalu banyak, sudah terlalu sering, namun baru disadari setelah
terlambat. Betapa banyaknya golongan atau partai yang gagal dalam
perjuangannya, menjadi pecundang, menjadi buronan, yang pertama-tama
menjadi korban adalah para pengikut yang tadinya tidak tahu apa-apa itulah.
Dan para pemimpinnya? Para pimpinan dari partai yang kalah dan gagal itu?
Sudah berbondong-bondong berlumba untuk menyelamatkan diri, melarikan diri
sambil membawa harta benda yang berhasil mereka kumpulkan! Kita semua
sudah melihat sendiri kenyataan ini dan telah terjadi pula di seluruh pelosok
dunia. Dan bagaimana seandainya gotongan atau partai yang kita bela karena
kita terkena bujukan itu memperoleh kemenangan dan jaya? Tak perlu kita
berpura-pura, dapat kita lihat pula betapa yang jaya hanyalah beberapa gelintir
orang yang tadinya menjadi pimpinan itulah. Sedangkan para pengikut yang
tadinya membela perjuangan itu secara mati-matian? Dilupakan sudah! Para
pengikut yang tidak tahu apa-apa itu hanya diperlukan di waktu terjadi
perebutan, di waktu terjadi pertentangan, di waktu terjadi perang dan
permusuhan. Kalau kalah? Para pengikut ini mati konyol lebih dulu. Kalau
menang? Para pengikut ini hanya menjadi penonton dari mereka yang mabok
kemenangan dan hanya menggigit jari, atau kalau kebagianpun hanya sisanya
Bagaimana dengan para pemimpin yang pandai membujuk? Kalau kalah
mereka berlomba melarikan diri. Kalau menang mereka berlomba pula
memperkaya diri!
Yang dipaparkan di sini bukan sekedar pendapat penuh sentimen belaka,
melainkan kenyataan yang tak dapat ditutup-tutupi lagi. Demikian pula Ling
Ling. Dara ini, seperti juga kita, telah terpikat oleh segala slogan dan bujuk rayu
sehingga dia percaya bahwa apa yang diperbuatnya itu adalah tindakan yang
benar dan gagah perkasa, bahwa dia membantu dan membela perkumpulan
yang patriotik! Inilah sebabnya mengapa ketika golongannya bertemu dengan
pasukan pemerintah dan pasukan itu hendak menangkap orang-orang Pek-lian-
kauw yang dianggap pemberontak, dia telah mengamuk dan merobohkan
banyak perajurit, mengobrak-abrik pasukan itu dengan mengandalkan kedua
tangan dan kakinya yang ampuh!

Semenjak sejarah dicatat orang, manusia di dunia ini sudah sejak dahulu kala
berusaha untuk menghindarkan kesengsaraan hidup dan mencari kebahagiaan
hidup. Manusia melihat kenyataan betapa kehidupan penuh dengan duka dan
sengsara, dan melihat pula bahwa yang mendatangkan kedukaan itu adalah
perbuatan perbuatan yang dinamakan jahat. Oleh karena itu, manusia
berusaha menentang kejahatan dengan pelajaran-pelajaran tentang kebaikan,
melalui berbagai macam agama, tradisi dan kebudayaan. Namun, kenyataan
pahit membuktikan bahwa sampai kini, usaha itu masih berjalan terus dan
nampaknya tidak banyak mendatangkan hasil baik! Kejahatan masih
merajalela, kalau tidak mau dikatakan makin menjadi-jadi, permusuhan,
kebencian, pertentangan, baik antara pribadi, antara golongan, maupun antara
bangsa bukan mereda bahkan makin meluas. Usaha ribuan tahun telah gagal.
Manusia, sampai saat ini, masih menderita duka sengsara, masih menghayati
kehidupan di dunia yang penuh kebencian dan permusuhan!
Kebaikan tidak mungkin dapat dipelajari! Kebahagiaan tidak mungkin dapat
dipupuk, cinta kasih tidak mungkin dapat dilatih. Kebaikan dalam setiap
tindakan dengan sendirinya ada, apabila kejahatan telah bersih dari dalam diri,
dari dalam batin, bukan kebaikan yang dibuat, melainkan kebaikan yang wajar,
seperti kebersihan yang ada setelah kekotoran lenyap. Seribu satu macam
pelajaran tentang kebaikan, laksaan bait ujar-ujar tentang kebaikan hidup,
tentang bagaimana kita harus mennjadi orang baik, hanya merupakan teori-tori
kosong belaka, pelajaran yang mati dan kenyataannya semua pelajaran itu
hanya menjadi alat untuk membanggakan diri sebagal orang yang pandai, alat
untuk berdebat dengan orang lain tentang kebajikan dan sebagainya, alat
pemanis bibir agar dianggap sebagai orang bijaksana dan pandai! Yang penting
bukanlah menghafal segala macam kata mutiara, kata suci tentang filsafat dan
kebatinan, melainkan membuka mata dengan penuh kewaspadaan mengenal
diri pribadi. Semua pelajaran tentang kebatinan, kata-kata muluk yang dirangkai
indah, semua itu seperti pakaian yang indah dan bersih belaka. Apa artinya
pakaian indah bersih dipakai oleh badan kita yang kotor! Mengenal diri sendiri
berarti membuka mata memandang dan melihat kekotoran diri sendiri
mengenal segala kebencian, iri hati, dengki, kesombongan, kegelisahan,
kekecewaan dan sebagainya yang memenuhi batin kita sendiri. Selama semua
ini masih memenuhi batin kita, mana mungkin kita mau bicara tentang
kebajikan, tentang kebahagiaan, tentang cinta kasih.
Berbuat baik bukan sebagai hasil latihan adalah suatu kewajaran, dan hal ini
baru mungkin apabila ada landasan cinta kasih. Kalau sudah begini, keindahan
dan kebahaginan hidup tidak perlu lagi dikejar-kejar! Karena di dalamnya sudah
terdapat keindahan, sudah terdapat kebahagiaan! Cinta kasih dan kebahagiaan
tidak dapat dipisah-pisahkan, demikian pula dengan apa yang dinamakan
kebaikan. Tanpa adanya cinta kasih, di mana mungkin ada kebaikan? Tanpa
adanya cinta kasih, di mana mungkin ada kebahagiaan? Kebaikan tanpa cinta
kasih adalah kebaikan buatan yang dibaliknya bersembunyi pamrih
memperoleh ganjaran atau imbalan, dan karenanya bukan lagi kebaikan
namanya, melainkan suatu cara dari usaha memperoleh keuntungan berupa
ganjaran atau imbalan itulah. Perbuatan baik dengan dasar cinta kasih adalah
perbuatan wajar yang oleh yang berbuat sendiri tidak disadari sebagai suatu
kebaikan! Di dalam perbuatan seperti ini terkandung keindahan dan
kebahagiaan. Kebahagiaan tanpa cinta kasih hanya merupakan kesenangan
belaka, kesenangan badaniah maupun batiniah yang diikuti oleh kebosanan,
kekecewaan, kekhawatiran dan keinginan untuk memperoleh lebih banyak lagi,
yang menyeret kita ke dalam lingkaran setan dari senang dan susah.

Dari sinilah timbulnya nafsu, baik nafsu berahi maupun nafsu apapun juga. Dari
pikiran yang mengingat-ingat, yang membayangkan hal-hal yang
menyenangkan atau dianggap menyenangkan, yang nikmat dan sebagainya.
Pikiran yang membayang-bayangkan ini mengharapkan kesenangan, maka
timbullah keinginan untuk mengalami apa yang dibayangkannya sebagai
kesenangan yang nikmat itu. Apabila seorang pria melihat wanita cantik atau
seorang wanita melihat pria tampan lalu merasa tertarik dan suka, hal ini adalah
wajar dan biasa karena memang terdapat daya tarik antara kedua jenis kelamin
ini. Akan tetapi begitu pikiran masuk dan membayangkan hal-hal yang
dianggapnya menyenangkan, jika pikiran membayangkan betapa akan
senangnya kalau bercinta dengan pria atau wanita yang menarik hatinya itu,
maka timbullah keinginan memiliki, timbullah nafsu berahi yang tidak wajar lagi,
buatan pikiran yang ingin menikmati kesenangan. Melihat bunga indah harum
merasa suka, itu sudah wajar. Akan tetapi begitu pikiran masuk dan
membayangkan betapa akan senangnya kalau dapat memiliki kembang itu
untuk dirinya sendiri, maka timbullah keinginan untuk memetiknya, dan
pengejaran keinginan ini pelaksanaannya sering kali mendatangkan perbuatan
maksiat. Mungkin kembang milik orang lain itu akan dipetiknya!

Dalam keadaan kacau, makin banyak bermunculan orang-orang seperti ini.


Mereka ini sudah kehilangan rasa malunya, bahkan mereka itu berjalan di
samping perajurit-perajurit Tibet dengan dada dibusungkan, seolah-olah
pengkhianatan dan penjilatan mereka itu merupakan suatu keberanian yang
patut dibanggakan! Mereka ini bahkan lebih ganas dari pada para perajurit
musuh itu sendiri! Mereka menggunakan kesempatan ini untuk mendapatkan
keuntungan lahir dan batin, menjadi petunjuk bagi para perajurit yang berpesta-
pora itu untuk menunjukkan di mana para perajurit itu bisa mendapatkan gadis-
gadis muda dan cantik. Tentu saja mereka sendiripun mendapatkan bagian.
Orang orang seperti ini tinggal mendatangi sebuah keluarga yang sudah
setengah mati ketakutan itu, mengancam akan melaporkan mereka sebagai
mata mata kalau tidak mau menyerahkan anak gadisnya, atau sejumlah uang
atau perhiasan, kepada orang orang yang mempergunakan kesempatan untuk
melampiaskan nafsu-nafsu jahat mereka itu.
Peristiwa-peristiwa seperti itu bukanlah dongeng kosong belaka. Dapat dilihat
terjadi di manapun di bagian dunia ini, dari jaman dahulu sampai sekarang di
jaman modern. Manusia telah begitu diperhamba oleh nafsu-nafsu keinginan
mengejar kesenangan, dan di dalam pengejaran ini timbullah kekerasan
kekerasan dan kekejian-kekejian, tidak memperdulikan kesengsaraan orang
lain, perasaan cinta kasih antar manusia lenyap sama sekali. Nafsu-nafsu
keinginan menyesak di dalam dada dan menanti kesempatan. Maka begitu
terdapat kesempatan, pecahlah semua bendungan dan nafsu-nafsu ini
merajalela, menyeret manusia ke dalam segala perbuatan biadab yang amat
keji!
Hukum rimba selalu masih mencengkeram batin manusia, baik di jaman dahulu
maupun di jaman sekarang ini. Siapa kuat dia menang dan siapa menang dia
berkuasa, kemudian siapa berkuasa dia MESTI BENAR ! Demikianlah maka
terjadi penindasan-penindasan, menggunakan hak kekuasaan untuk bersikap
dan bertindak sewenang-wenang, menindas yang lemah dan tidak berdaya.
Kenyataan seperti ini terjadi di mana-mana di seluruh dunia ini dan siapakah
yang dapat menyangkal kebenarannya? Segala cara yang ditempuh manusia
telah mengalami kegagalan sama sekali! Tidak akan ada cara apapun, tidak
akan ada orang lain yang dapat merobah keadaan ini yang disebabkan oleh
KITA SENDIRI. Kita semua bertanggung jawab akan terciptanya "peradaban"
dan "kebudayaan" yang bejat seperti ini. Kita semua yang harus
menanggulangi, bukan dengan jalan merobah keadaan yang disebabkan oleh
kita sendiri, bukan dengan cara merobah orang lain, melainkan dengan satu-
satunya cara, yaitu: ADANYA PEROBAHAN PADA DIRI SENDIRI! Kita ini
penyebab semua itu, penyebab kebencian, persaingan, permusuhan, iri hati,
perbedaan suku dan bangsa, perang. Oleh karena itu, selama kita tidak
berobah, maka keadaan yang menjadi akibat dari pada sikap batin dan
perbuatan kita itu tak mungkin dapat berobah pula! Perebahan diri sendiri
hanya mungkin terjadi kalau kita mengenal diri sendiri, dan pengenalan diri
sendiri, kepalsuan sendiri, kemunafikan sendiri, kekotoran sendiri, ini baru
terlaksana kalau kita membuka mata, mengamati diri sendiri lahir batin setiap
saat!

BERBAGAI macam agama memenuhi dunia ini, dipeluk oleh manusia.


Semenjak ribuan lahun yang lalu manusia sudah mengenal agama, dan di
jaman ini kiranya tidak ada orang yang tidak memeluk sesuatu agama,
kepercayaan, atau aliran tertentu. Akan tetapi mengapa dunia masih begini
kalut, mengapa perang masih selalu merajalela dan berkobar, mengapa cinta
kasih antar manusia masih jauh dari kenyataan hidup sehari-hari, mengapa
kebencian, pertentangan, permusuhan masih selalu memenuhi kehidupan kita
ini? Kalau kita mau membuka mata melihat keadaan seperti apa adanya, kalau
kita mau mengenal diri sendiri, maka akan nampaklah nyata bahwa semua itu
adalah karena semua agama, kepercayaan dan aliran atau isme apapun juga
hanya menjadi semacam tempat pelarian saja bagi kita. Kita ini mau enaknya
saja, hanya mau memperoleh hiburan, jaminan, kepuasan kesenangan, dari
agama-agama, kepercayaan, aliran yang kita anut. Kita mau enaknya saja,
tanpa menghayati isinya atau intinya. Kita tidak memperoleh apinya, hanya
mengejar abu dan asapnya saja. Orang yang betul-betul beragama, bukan
hanya mengaku beragama, tidak akan mengenal kebencian, tidak akan
mengenal permusuhan Sayang, kita ini hanya pandai mengaku saja bahwa kita
beragama, padahal, agama tidak mungkin terpisahkan dari kehidupan sehari-
hari. Agama dalam arti yang sebenarnya adalah hidup benar, hidup bajik, hidup
bersih! Dan ini baru menjadi kenyataan kalau batin kita penuh dengan sinar
cinta kasih! Tanpa adanya sinar cinta kasih dalam batin, maka semua yang kita
lakukan adalah pura pura dan palsu belaka. Tidakkah kita dapat melihat
kenyataan semua ini kalau kita membuka mata?

Memang kita manusia di dunia ini selalu mengejar kesenangan. Kita hanya
memandang ke depan, meraih kesenangan sebanyak mungkin. Dan
pengejaran kesenangan ini sering kali. dan sudah pasti, menimbulkan
perbuatan-perbuatan yang keras dan kejam, tidak memperdulikan orang lain,
bahkan kadang-kadang tidak segan mencelakakan orang lain demi tercapainya
kesenangan yang dikejar-kejarnya. Semua tanaman tentu berkembang dan
berbuah dan semua perbuatan kita sudah pasti mendatangkan akibat.
Tanaman yang baik pasti mengeluarkan kembang dan buah yang baik pula,
sebaliknya perbuatan buruk sudah tentu akan menghasilkan atau
mengakibatkan hal bal yang buruk pula. Ini adalah suatu kenyataan yang wajar.
Namun, kita tidak pernah mengihgat atau memikirkan hal itu, karena mata kita
telah dibutakan oleh sinar kesenangan yang menyilaukan, sehingga kita tidak
dapat melihat kesengsaraan yang bersembunyi di balik sinar kesenangan yang
kita kejar-kejar itu. Biasanya, setelah kesengsaraan yang bersembunyi di balik
sinar kesenangan dan menanti saat baik itu menerjang dan mencengkeram
kita, barulah kita sadar, namun apakah artinya kesadaran yang sudah
terlambat! Adalah jauh lebih baik kalau kita selalu waspada setiap saat,
sehingga mata kita tidak dibutakan oleh sinar kesenangan dan kita dapat
melihat segala yang tersembunyi di balik semua itu. Ini bukan beiarti bahwa kita
harus menolak atau memantang semua kesenangan, sama sekali bukan.
Bukan suatu anjuran untuk kita hidup sebagai pertapa di puncak gunung,
karena bertapa itupun suaru pengejaran kesenangan, sungguhpun
kesenangannya telah bersalin rupa menjadi agung dan disebut ketenangan,
kedamaian, kesucian dan sebagainya. Tidak, bukan memantang apapun,
melainkan waspada dan memandang dengan penuh perhatian sehingga kita
memasuki segala sesuatu dengan mata terbuka, bukan degan membuta!
Biasanya, kita makan atau minum sesuatu tanpa melihat apakah makanan atau
minuman itu tidak merusak kesehatan kita, karena mata kita hanya mengejar
keenakan atau kesenangan yang didapat dari makanan atau minuman itu.
Seperti seorang pemabok, dia hanya ingat akan kesenangan yang didapat dari
minuman kerasnya, sama sekali tidak ingat lagi akan bahayanya bagi
kesehatan. Dengan membuka mata penuh kewaspadaan, maka bahaya itu
akan nampak jelas, dan kalau sudah nampak jelas, apakah kita mau lagi makan
atau minum benda yang merusak kesehatan itu. Demikian pula dengan
kesenangan-kesenangan lainnya. Kita silau oleh sinar kesenangan yang kita
nikmati, sehingga kita tidak lagi melihat bahaya yang tersembunyi di balik
kesenangan itu. Tidak demikiankah kenyataan dalam kehidupan kita sehari-
hari, di mana kita selalu membuta karena mengejar kesenangan dan
kenikmatan sehingga timbullah bermacam-macam penderitaan dan
kesengsaraan? Ada orang bilang itulah romantika kehidupan! Sesungguhnya
romantika yang kita buat sendiri!
Dan di dalam romantika itu, celakanya, lebih banyak susahnya dari pada
senangnya!
Ada bermacam-macam pengertian. Ada orang yang mengerti bahwa mabok-
mabokan itu tidak baik, namun tetap saja dia minum-minum sampai mabok. Hal
ini terjadi karena dia telah terbiasa, tubuhnya telah ketagihan dan mencandu,
dan pengertian yang dimilikinya hanyalah pengertian arti kata.kata belaka.
Pengertian teori belaka. Pengertian semacam ini hanya menjadi pengetahuan
mati yang biasanya dipergunakan untuk berdebat, akan tetapi tanpa ada
penghayatan dalam kehidupan sehari-hari. Ada pula pengertian yang hanya
ditumpuk, membuat dia menjadi orang yang pintar dan serba tahu, namun ini
juga hanya merupakan pengetahuan belaka yang kadang-kadang dijadikan
kebanggaan diri, tanpa ada penghayatan dalam hidup. Pengertian yang
sesungguhnya bukan hanya teidapat dalam sel-sel otak belaka, melainkan
bersatu dalam tindakan karena sudah menjadi kecerdasan Pengertian dapat
dibangkitkan melalui pengamatan dengan penuh kewaspadaan, penuh
perhatian, terhadap diri sendiri dan keadaan sekeliling, tanpa penilaian baik
buruk, benar salah. Biasanya, jarang sekali kita sadar akan diri sendiri,
biasanya kita bergerak dalam hidup seperti robot. Selagi makan, pikiran
melayang entah ke mana, demikian pula selagi kita mandi, menggosok gigi,
dan sebagainya. Dapatkah kita hidup saat demi saat, menghayati apa yang
sedang kita, lakukan, sedang kita ucapkan, sedang kita pikirkan, mengamatinya
dengan penuh perhatian dan kewaspadaan?

Kita hidup dikelilingi seribu satu macam kesenangan, Hanya batin yang cerdas
dan sehat sajalah yang mampu untuk melihat kesenangan apa yang tidak
merusak, baik merusak diri sendiri atau orang lain, lahir dan batin. Menuruti hati
mengejar kesenangan dengan membuta berarti momasuki lembah yang akan
menuntun ke arah kekecewaan, kebosanan dan akhirnya penderitaan. Tidak
ada kesenangan yang abadi di dunia ini, semua kesenangan berakhir dengan
kebosanan, kekecewaan, dan rasa takut akan kehilangan kesenangan itu.

Langit di atas bumi di bawah mengapit ketidakadilan


perut lapar minta makan minta kepada siapa?
ayah bunda pun belum makan semua kelaparan!
minta kepada si bangsawan, digigit anjing penjaga
minta kepada Si kaya, diberi maki dan pukulan!
(Nyanyian Seorang Pe-minta2)

"Tahu akan kebodoban sendiri adalah waspada, tidak tahu mengaku tahu
adalah sebuah penyakit, yang mengenal kenyataan ini berarti sehat!, Sang
Bijaksana berpikiran sehat, melihat penyelewengan seperti apa adanya,
karenanya takkan pernah sakit”.
Siancai...!

"Langit di atas bumi di bawah


tahu akan kebodohan sendiri
mengapit ketidakadilan adalah waspada!
perut lapar minta makan
tidak tahu mengaku tahu
minta kepada siapa
adalah sebuah penyakit!
ayah sendiri pun belum makan
yang mengenal kenyataan ini
semua kelaparan
berarti sehat."

KASIH SESAMA MANUSIA


––––––––––––––––––––––

"Di empat penjuru lautan, semua manusia adalah saudara," akan tetapi apa
gunanya ujar-ujar yang hanya menjadi kata-kata hampa ini kalau sehari-hari
tampak kenyataan hidup yang berlawanan?
Dalam kenyataannya, yang dianggap "saudara" hanyalah orang-orang yang
menguntungkan mereka, yang segolongan, sealiran kepercayaan,
seperkumpulan, sesuku, dan sebangsa!
Apa artinya menghafal ujar-ujar itu kalau kita melihat bahwa si pembesar dijilat,
si hartawan dihormat, si pandai dipuji, sedangkan si kecil ditekan, si miskin
dihina dan si bodoh dimaki?

Makin banyaknya pelajaran tentang kebaikan dan contoh-contoh manusia


budiman, makin banyaklah timbul orang-orang munafik yang ingin disebut baik,
ingin dirinya dianggap seperti manusia budiman. Kita selalu melupakan bahwa
kebaikan bukanlah sesuatu yang dapat dipelajari!
Melakukan kebaikan untuk mentaati pelajaran adalah kelakuan yang palsu,
dipaksakan, dan berpamrih (mengandung keinginan tertentu demi diri pribadi),
karenanya munafik!
Kebaikan sejati, keluar dari dalam hati, tanpa paksaan, tanpa kekhawatiran,
tanpa keinginan di baliknya, tanpa pamrih, bahkan tanpa disadari bahwa kita
berbuat baik!
Dapatkah rasa kasihan dipelajari dan dilatih? Dapatkah kita mempelajari rasa
haru? Dapatkah orang belajar mencinta? Kalau dipelajari maka palsulah itu!

Kalau kita berbuat kebaikan agar dipuji, baikkah itu? Kalau kita berbuat
kebaikan agar dibalas dengan bunganya, baikkah itu? Kalau kita berbuat
kebaikan agar jangan dihukum, baikkah itu? Yang dua pertama dasarnya
menginginkan sesuatu, yang terakhir dasarnya takut. Ketiganya palsu! Segala
sesuatu, termasuk perbuatan, haruslah wajar dan aseli.

Yang aseli dan wajar itu selalu benar dan indah. Kalau diperkosa, dirubah
dengan paksa, maka akan timbul kepalsuan, pertentangan dan keburukan.
Menginsyafi, dan menyadari akan keburukan diri sendiri berarti merintis jalan ke
arah lenyapnya keburukan itu, dan hanya dengan tidak adanya keburukan
maka keindahan tercipta.
Perbuatan buruk timbul dari rasa sayang diri. Mengusahakan agar dirinya baik
dengan jalan pengekangan, tapa brata, menyiksa diri, dan lain sebagainya
takkan membawa hasil, karena usaha ini pun merupakan kembang dari rasa
sayang diri, jadi tiada bedanya dengan keburukan. Di mana-mana ada
keburukan, di sana kebenaran, kebaikan atau keindahan takkan muncul. Yang
terpenting adalah mengenal diri pribadi, mengenal sifat-sifatnya, keburukan-
keburukannya, cacat-cacatnya, menginsyafi, menyadari dengan kesungguhan
bukan pura-pura, dan keburukan akan tiada! Kalau keburukan tiada, dengan
sendirinya yang ada hanyalah kebenaran, dan keindahan.

MENGEJAR KESENANGAN
––––––––––––––––––––––––

Sesungguhnyalah bahwa suka dan duka, puas dan kecewa, menang dan kalah,
hanyalah sebuah keadaan dengan dua muka, keduanya tidak dapat saling
dipisahkan dan siapa mengejar yang satu sudah pasti akan bertemu dengan
yang lain. Pengalaman akan suka, puas, dan menang akan dihidupkan oleh
ingatan dan mendorong orang untuk terus mengejarnya, untuk mengalaminya
kembali sehingga untuk selamanya orang hidup dalam mengejar ingatan
mengejar bayangan. Sebaliknya, pengalaman akan duka, kecewa, dan kalah
yang dihidupkan oleh ingatan mendorong orang untuk selalu menjauhinya, tidak
tahu bahwa pengejaran akan bayangan suka menimbulkan duka, akan
bayangan puas menimbulkan kecewa dan akan bayangan menang
menimbulkan kalah karena keduanya itu tak dapat dipisahkan. Maka terjadilah
perlombaan antar manusia dalam mengejar kesukaan menjauhkan kedukaan,
bukan hanya saling berlomba, juga saling mendorong, saling menjegal, saling
memukul, bahkan saling membunuh untuk memperebutkan bayangan ingatan!

Makin kuat manusia, makin kejamlah dia, makin sewenang-wenang karena


merasa berkuasa. Kalau begitu, apakah lebih baik menjadi orang lemah dan
tidak memiliki kepandaian? Orang yang lemah hanya akan menjadi injakan
yang kuat. Orang lemah mengalah karena tidak dapat melawan, dan yang
demikian itu bukan mengalah namanya, melainkan pengecut.
Yang kuat kejam, yang lemah pengecut! Pengecut demikian, kalau diberi
kekuatan, diberi kekuasaan, tentu akan berubah menjadi orang kejam juga. Si
kuat kejam dan si lemah pengecut tiada bedanya, keduanya adalah orang-
orang yang belum mengenal dirinya, belum mengenal keadaan sebenarnya.

Hidup akan selalu terasa bahagia dan nikmat apabila kita dapat menerima dan
menghadapi segala sesuatu sebagaimana adanya, hidup dalam tiap detik yang
dilaluinya, tidak terapung dalam keriangan masa lalu atau tenggelam dalam
harapan masa datang. Hidup adalah saat ini, sekarang ini, bukan kemarin dan
bukan esok. Pikiran selalu mempermainkan kita, membentuk kenangan-
kenangan masa lalu dengan segala suka-dukanya, membuat kita selalu
mengejar kenangan, suka dan menjauhi kenangan duka, menciptakan corak
dan bentuk hidup sekarang dan yang akan datang sehingga kita dibuatnya
hidup seperti dalam kurungan yang dibuat oleh pikiran kita sendiri. Hidup
seperti itu membuat segala langkah kita tidak wajar lagi, melainkan langkah-
langkah kita sudah ditentukan dan diatur berdasarkan pengalaman lalu,
berdasarkan pengetahuan dan kepercayaan yang sudah terbentuk dalam
pikiran kita. Keadaan seperti itu tidak memungkinkan kita bebas, tidak
memungkinkan kita mempergunakan mata dan telinga seperti sewajarnya. Apa
yang terpandang, apa yang terdengar, ditutup oleh pendapat dan prasangka,
oleh penilaian yang kesemuanya adalah pekerjaan pikiran, sehingga mata dan
telinga kita tidak dapat melihat atau mendengar keadaan sebenamya dari yang
dipandang dan didengar! Kalau kita memandang sesuatu, yang kita pandang
sesungguhnya bukanlah itu atau dia, melainkan itu atau dia seperti yang
terbayang dalam ingatan kita!
Demikian pula dengan makanan. Kalau kita menghadapi sesuatu, dalam hal
makanan seperti pada saat itu, tanpa campur tangan si pikiran yang selalu
dapat saja menciptakan kenang-kenangan akan makanan yang lezat-lezat,
maka tidak ada lagi penilaian apakah makanan yang kita hadapi itu mahal atau
murah, berharga atau tidak, dan tanpa adanya gangguan pikiran ini, semua
makanan, apapun juga macamnya, asal itu memenuhi syarat sebagai makanan
pengusir lapar dan penguat tubuh, akan terasa enak!

Segala bentuk penonjolan yang biasa disebut hasil atau kemajuan pribadi
seseorang, selalu menimbulkan persoalan-persoalan yang lebih meyusahkan
daripada menyenangkan. Orang yang berhasil memperoleh sesuatu yang
dicita-citakan, biasanya hasil itu tidaklah senikmat ketika dibayangkannya dan
ketika belum tercapai tangan, sedangkan hasil atau kemajuan itu yang sudah
jelas menimbulkan iri kepada orang lain sehingga terciptalah pertentangan dan
permusuhan! Karena itu, segala bentuk cita-cita, sesungguhnya hanyalah
lamunan orang yang tidak mau menghadapi keadaan sekarang, orang yang
ingin lari dari kenyataan saat ini dan bersembunyi di balik lamunan yang
dibentuk oleh pikiran, membangun istana awang-awang yang disebutnya cita-
cita! Karena cita-cita ini hanya merupakan istana asap di awang-awang, maka
apabila sudah tercapai, akan membuyar dan mengecewakan sehingga
memaksa si orang yang selalu merasa enggan melihat dan menghadapi
kenyataan "saat ini" untuk melamun lagi, dipermainkan pikiran yang pandai
sekali mengkhayalkan bayangan-bayangan indah masa depan.

Karena itu, berbahagialah orang yang selalu sadar dan dengan penuh
kewaspadaan menghadapi "saat ini" dengan pikiran bebas dari segala ingatan
masa lalu harapan masa depan dan menghadapi segala apa yang ada saat ini
sebagaimana adanya, dengan kewajaran yang tidak dibuat-buat atau
dipaksakan, tanpa rencana dan tanpa pendapat, tanpa penilaian, sehingga apa
pun yang dihadapinya merupakan sebuah pengalaman yang baru! Sudah tentu
saja yang dimaksudkan adalah hal-hal mengenai urusan batin, bukan hal-hal
lahir seperti pekerjaan dan lain-lain yang sudah semestinya dipergunakan akal
budi dan pikiran supaya dapat dikerjakan dengan baik dan lancar. Akan tetapi
mengenai hubungan antara manusia yang menyangkut rasa dan batin, jika
tidak kosong bebas, maka hubungan itu sudah tentu menimbulkan
pertentangan karena di sebelah dalam kita sudah terjadi pertentangan yang
ditimbulkan oleh pikiran. Melihat dan mendengar sesuatu dengan pikiran bebas
dari segala ikatan, penilaian, pendapat, mengawasi dengan penuh
kewaspadaan terhadap sesuatu di saat ini dan terhadap tanggapan kita sendiri
akan sesuatu itu, dengan demikian kita belajar mengenal diri sendiri. Mengenal
diri sendiri adalah langkah pertama ke arah kebijaksanaan.

Demikianlah yang dilakukan oleh kita, manusia! Kita selalu mencari sebab dan
alasan untuk menghibur diri di waktu kita merasa telah melakukan sesuatu
yang kita anggap salah. Mencari sebab-sebab yang kalau perlu dipaksakan,
untuk menutupi kesalahan kita, bahkan untuk menyulap kesalahan itu berubah
menjadi sesuatu yang tidak salah lagi! Ada saja alasannya untuk menutupi
sesuatu yang hitam pada diri kita, dengan warna putih. Hal ini terjadi karena
kita tidak mau menghadapi kenyataan, tidak mau mengenal diri pribadi, tidak
mau mengakui betapa segala kotoran berada dalam diri kita sehingga kita
dapat membuang semua kotoran itu. Tidak, kita bukan melakukan hal itu,
sebaliknya kita menutupi kotoran itu dengan segala akal kita. Tentu saja,
dengan demikian, segala macam kotoran masih tertimbun dalam diri kita,
biarpun kotoran itu tidak tampak, ditutupi oleh segala macam akal yang
membuat kita kelihatan bersih! Kebersihan tidak tercapai dengan menutupi
kekotoran, dan kotoran diri sendiri hanya dapat dilenyapkan setelah kita
melihatnya dengan mata terbuka dan dengan bebas, karena tanpa kebebasan
tak mungkin kita dapat melihat kenyataan dalam diri kita sendiri, tak mungkin
kita dapat mengenal diri sendiri.

Ayat 30 & 81 kitab To-tik-keng

"Mengerti akan orang lain adalah bijaksana


mengerti akan diri sendiri adalah waspada
mengalahkan orang lain adalah kuat
mengalahkan diri sendiri lebih gagah perkasa!
Kata-kata yang benar tidaklah manis
kata-kata yang manis belum tentu benar
yang baik tidak akan berbantah
yang berbantah belum tentu baik!"

Mengatasnamakan RAKYAT untuk mencapai tujuan.

Betapa banyaknya di dunia ini orang-orang yang mencuri dan membonceng


nama rakyat demi kepentingan diri pribadi. Sungguh tak tahu malu manusia-
manusia seperti itu. Sejarah telah menunjukkan betapa kekuasaan-kekuasaan
jatuh bangun di dunia ini, dan semua kekuasaan itu, pada saat bangkit, pada
saat berusaha merenggut kekuasaan, selalu mempergunakan nama rakyat
jelata! Demi rakyat! Pencinta rakyat! Dan masih banyak lagi nama-nama yang
dipakai untuk tercapainya cita-cita mereka. Pemerintah yang sekararang ini, di
bawah kekuasaan Kaisar Yung Lo, pada waktu memperebutkan tahta kerajaan
dengan keponakannya sendiri, pada waktu perang saudara, juga
mempergunakan nama rakyat untuk memperoleh dukungan. Sebaliknya,
pemerintah lama sebelumnya juga selalu membonceng kepada nama rakyat.
Dengan sendirinya rakyat menjadi pecah belah, karena yang mendukung
dianggap rakyat sedangkan yang tidak mendukung tentu saja dianggap musuh!
Dan musuh ini tentu saja dianggap rakyat oleh pihak lawan. Dengan sendirinya
rakyat yang menjadi korban, menjadi bingung dijadikan permainan orang-orang
seperti Loan Khi Tosu dan para pimpinan Pek-lian-kauw. Setelah kini Yung Lo
menang dan menjadi kaisar, timbul penentangnya, yang paling hebat adalah
Pek lian kauw yang kembali menggunakan nama rakyat sebagai dasar
perjuangannya! Hendak dibawa ke manakah rakyat ini? Apakah selama dunia
berkembang rakyat hanya akan menjadi permainan belaka demi pemuasan
nafsu ambisi beberapa gelintir manusia yang menamakan diri sebagai
pemimpin-pemimpin rakyat ?
Pernahkah ditemui mereka yang tadinya menggunakan nama rakyat dalam
perjuangan, setelah berhasil dalam perjuangannya, benar-benar ingat kepada
rakyat jelata? Ataukah mereka itu lalu lupa karena mabok akan kemenangan,
mabok akan kedudukan dan kemuliaan, seperti pemetik buah lupa akan bangku
yang diinjaknya untuk mengambil buah setelah buah itu terdapat olehnya?
Rakyat hanya dianggap sebagai bangku tempat berpijak, atau sebagai batu
loncatan, atau sebagai boneka-boneka!

"Aku tidak membutuhkan harta karena apa saja yang bisa didapatkan dengan
harta, dapat pula kuperoleh asal aku menghendakinya. Akan tetapi harta yang
amat besar itu perlu untuk mencapai suatu tingkat kedudukan tinggi, danpula,
yang amat menarik hati adalah kitab pusaka ilmu kesaktian simpanan yang
dirahasiakan manusia sakti The Hoo!"

Memang demikianlah, seperti Siang-tok Mo-li itulah isi pikiran sebagian besar
manusia di dunia ini. Betapa menyedihkan! Manusia diombang-ambingkan oleh
keinginan, dan membagi-bagi keinginan itu sebagai keinginan baik, keinginan
luhur, keinginan suci dan sebagainya. Padahal, apakah perbedaan antara
keinginan yang ini dengan keinginan yang itu? Apakah perbedaan antara
keinginan menjadi pandai, menjadi kaya, menjadi mulia dan lain?lain? Bahkan,
apakah bedanya antara keinginan duniawi dan keinginan batiniah? Tetap sama,
keduanya keinginan juga yang terdorong oleh hati tidak puas akan keadaan
sekarang dan menginginkan keadaan lain yang belum terlaksana, atau
terdorong oleh rasa takut akan masa depan, takut akan sesuatu yang tidak
disukainya.
Kita lupa bahwa keinginan melahirkan kekecewaan apabila tidak tercapai.
Apakah akan mendatangkan kepuasan mutlak apabila tercapai? Biasanya
tidak! Keinginan yang tercapai akan terasa hampa, tidaklah seindah dan
senikmat kalau belum tercapai, kalau masih menjadi angan-angan, karena
pikiran yang selalu terbetot untuk mencari sesuatu yang belum ada, selalu akan
tertarik pula untuk menjangkau yang baru lagi. Keadaan sekarang dianggap
sudah lama dan membosankan, selalu ingin yang baru, lupa bahwa yang baru
itu kalau sudah tercapai tangan, akan membosankan pula dan menjadi barang
lama juga! Demikianlah, kita akan terperosok ke dalam lingkaran setan, terus
beringin, terus menjangkau dan hidup menjadi hamba keinginan!
Ada sebagian orang yang menganggap bahwa adanya keinginan itulah yang
membuat manusia hidup menjadi maju!
Apakah yang dimaksudkan dengan kemajuan? Apakah adanya pertentangan
antar manusia, perang, kelaparan di sana-sini, permusuhan, dendam, iri dan
benci-membenci ini termasuk kemajuan? Apakah setiap perbuatan, setiap
pekerjaan yang dilakukan, harus didasari keinginan? Apakah kalau orang
menanam jagung tanpa mengharapkan apa-apa, melakukan demi cintanya
kepada pekerjaan itu saja, maka hasilnya akan berkurang? Apakah benar
bahwa kemajuan lahir karena keinginan? Keinginan membuat manusia menjadi
hamba, terikat, dan hidupnya seperti boneka yang digerakkan oleh benang-
benang nafsu keinginan. Tidak ada kebebasan dalam arti kata yang
selengkapnya. Dan selama hidup kita dicengkeram sepenuhnya setiap saat
oleh keinginan, maka pertentangan antar manusia tentu saja takkan pernah
berhenti karena keinginan mutlak dikuasai oleh si aku, demi aku, punyaku dan
selamanya kitabergerak demi aku masing-masing, damai dan tenteram antara
manusia takkan pernah terujud! Pertentangan, persaingan, perebutan untuk
aku masing-masing akan terus berlangsung, baik antara perorangan, antara
kelompok, antara ras, antara bangsa!

Betapa menyedihkan. Bilakah manusia sadar sepenuhnya akan hal ini? Bukan
hanya untuk mengetahui, karena pengetahuan hanyalah pengekoran belaka,
mengekor yang sudah ada, yang sudah lalu. Setiap orang pencuri TAHU bahwa
mencuri adalah tidak baik. Setiap orang penjudi TAHU bahwa berjudi adalah
tidak baik. Namun dia tetap mencuri, dia tetap berjudi. Akan tetapi sekali dia
MENGERTI, dalam arti kata mengerti sampai ke akarnya, mengenal diri dan
keadaan dirinya sendiri, maka pengertian ini akan menghapus semua itu
sehingga lenyap tanpa bekas!

KEJAM
–––––––––

Kejamkah Lima Datuk kaum sesat itu? Tentu saja kejam sekali. Akan tetapi
marilah kita menyelidiki keadaan kita manusia hidup ini. Bukankah kita ini
dengan cara masing-masing, menurutkan pendapat masing-masing, juga
merupakan orang-orang yang kejam? Mari kita tengok di sekeliling kita.
Bukankah hidup manusia ini penuh dengan segala macam kejahatan?
Pembunuhan terjadi di mana-mana. Ada pembunuhan karena perkelahian,
karena perampokan, karena kebencian, karena permusuhan, karena iri dan
sebagainya. Banyak pula pembunuhan masal karena perang.
Perang antar bangsa yang pada hakekatnya mencerminkan perang dan
pertentangan antar kelompok, antar perorangan, dan akhirnya bersumber pada
pertentangan dalam diri kita masing-masing! Tidak kejamkah kita kalau kita
mengiri kepada atasan dan menghina kepada bawahan? Kalau kita suka
kepada yang baik dan jijik terhadap yang buruk, termasuk manusia? Tidak
kejamkah kita kalau milik kita berlimpah dan berlebihan dan hati kita tidak
terusik sama sekali melihat sesama manusia kurang makan kurang pakaian
dan tiada tempat tinggal seperti kaum jembel dan gelandangan? Tidak
kejamkah kita kalau untuk sebuah kedudukan saja kita sampai hati untuk saling
jegal, saling fitnah, saling benci, dan saling bunuh?

Kalau kita mau belajar mengalihkan pandangan kita ke dalam diri sendiri, mau
mengenal keadaan hati dan pikiran sendiri secara jujur, akan tampaklah bahwa
selain kejam, kita pun munafik-munafik besar. Mulut bicara tentang saling kasih
antar manusia, namun mata memandang penuh iri dan benci, tangan dikepal
siap saling hantam, hanya untuk memperebutkan uang, kedudukannya, nama
dan juga memperebutkan... kebenaran bukan lain hanyalah kebenaran diri
sendiri masing-masing dan karenanya menjadi kebenaran palsu.
Mari kita ingat betapa kejamnya kita ini! Digigit seekor nyamuk ingin membunuh
semua nyamuk, berdasarkan dendam dan kebencian. Berdasarkan jijik dan
takut terkena penyakit, kalau bisa semua lalat dibasmi! Berdasarkan nafsu
makan enak yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kesehatan, kita
membunuh segala binatang untuk kita makan bangkainya. Tidak kejamkah
kita? Apakah alasan bahwa "semua itu sudah umum" dapat dipakai untuk
menghapus kekejaman ini?
Dapatkah kita berusaha menghapus kekejaman? Dengan ilmu apa pun tidak
dapat! Karena keadaan bebas dari kekejaman bukanlah keadaan yang dibuat
dan diusahakan. Orang tidak akan mungkin dapat berhasil kalau dia berusaha
menjadi orang baik! Usaha menjadi baik hanya menjadikan orang munafik yang
merasa diri baik, dan segala usaha dan keinginan selalu mengandung pamrih
atau tujuan yang kesemuanya bersumber kepada keuntungan lahir maupun
batin bagi diri pribadi. Kekejaman akan terhapus apabila kita mengerti sampai
ke akarnya mengapa kita kejam, apabila kita mengenal keadaan diri kita
pribadi, mengenal gerak pikiran dan hati kita pribadi.
Marilah kita bersama mulai dari detik ini juga. Karena hidup adalah dari detik ke
detik. Hidup adalah sekarang ini. Perubahan adalah saat ini, bukan ingin
mengubah namun perubahan yang terjadi dengan sendirinya setelah kita
membuka mata, waspada penuh kesadaran mengenai keadaan kita lahir batin,
keadaan sekeliling kita. Apa kemarin? Sudah lalu! Hanya menimbulkan
kenangan yang mengeruhkan pikiran. Apa besok? Bukan urusan kita! Hanya
menimbulkan bayangan khayal yang melahirkan kekhawatiran dan ketakutan.
Yang panting sekarang, saat ini!
Langit di atas bumi di bawah mengapit ketidakadilan
perut lapar minta makan minta kepada siapa?
ayah bunda pun belum makan semua kelaparan!
minta kepada si bangsawan, digigit anjing penjaga
minta kepada Si kaya, diberi maki dan pukulan!
(Nyanyian Seorang Pe-minta2)

"Tahu akan kebodoban sendiri


adalah waspada,
tidak tahu mengaku tahu
adalah sebuah penyakit,
yang mengenal kenyataan ini
berarti sehat!
Sang Bijaksana berpikiran sehat
melihat penyelewengan
seperti apa adanya
karenanya takkan pernah sakit.
Siancai...!

"Langit di atas bumi di bawah


tahu akan kebodohan sendiri
mengapit ketidakadilan
adalah waspada!
perut lapar minta makan
tidak tahu mengaku tahu
minta kepada siapa
adalah sebuah penyakit!
ayah sendiri pun belum makan
yang mengenal kenyataan ini
semua kelaparan
berarti sehat."

"Di empat penjuru lautan, semua manusia adalah saudara," akan tetapi apa
gunanya ujar-ujar yang hanya menjadi kata-kata hampa ini kalau sehari-hari
tampak kenyataan hidup yang berlawanan?
Dalam kenyataannya, yang dianggap "saudara" hanyalah orang-orang yang
menguntungkan mereka, yang segolongan, sealiran kepercayaan,
seperkumpulan, sesuku, dan sebangsa!
Apa artinya menghafal ujar-ujar itu kalau kita melihat bahwa si pembesar dijilat,
si hartawan dihormat, si pandai dipuji, sedangkan si kecil ditekan, si miskin
dihina dan si bodoh dimaki?
Makin banyaknya tentang pelajaran tentang kebaikan dan contoh-contoh
manusia budiman, makin banyaklah timbul orang-orang munafik yang ingin
disebut baik, ingin dirinya dianggap seperti manusia budiman. Kita selalu
melupakan bahwa kebaikan bukanlah sesuatu yang dapat dipelajari!
Melakukan kebaikan untuk mentaati pelajaran adalah kelakuan yang palsu,
dipaksakan, dan berpamrih (mengandung keinginan tertentu demi diri pribadi),
karenanya munafik!
Kebaikan sejati, keluar dari dalam hati, tanpa paksaan, tanpa kekhawatiran,
tanpa keinginan di baliknya, tanpa pamrih, bahkan tanpa disadari bahwa kita
berbuat baik!
Dapatkah rasa kasihan dipelajari dan dilatih? Dapatkah kita mempelajari rasa
haru? Dapatkah orang belajar mencinta? Kalau dipelajari maka palsulah itu!

Kalau kita berbuat kebaikan agar dipuji, baikkah itu?


Kalau kita berbuat kebaikan agar dibalas, baikkah itu?
Kalau kita berbuat kebaikan agar jangan dihukum, baikkah itu?
Yang dua pertama dasarnya menginginkan sesuatu, yang terakhir dasarnya
takut. Ketiganya palsu! Segala sesuatu, termasuk perbuatan, haruslah wajar
dan asli.

Yang aseli dan wajar itu selalu benar dan indah. Kalau diperkosa, dirubah
dengan paksa, maka akan timbul kepalsuan, pertentangan dan keburukan.
Menginsyafi, dan menyadari akan keburukan diri sendiri berarti merintis jalan ke
arah lenyapnya keburukan itu, dan hanya dengan tidak adanya keburukan
maka keindahan tercipta.
Perbuatan buruk timbul dari rasa sayang diri. Mengusahakan agar dirinya baik
dengan jalan pengekangan, tapa brata, menyiksa diri, dan lain sebagainya
takkan membawa hasil, karena usaha ini pun merupakan kembang dari rasa
sayang diri, jadi tiada bedanya dengan keburukan. Di mana-mana ada
keburukan, di sana kebenaran, kebaikan atau keindahan takkan muncul. Yang
terpenting adalah rnengenal diri pribadi, mengenal sifat-sifatnya, keburukan-
keburukannya, cacat-cacatnya, menginsyafi, menyadari dengan kesungguhan
bukan pura-pura, dan keburukan akan tiada! Kalau keburukan tiada, dengan
sendirinya yang ada hanyalah kebenaran, dan keindahan.

Demikianlah hidup! Alangkah bedanya keadaan hati dan pikiran mereka berdua
malam tadi dan pagi ini! Seperti siang dan malam. Kebalikannya! Dan memang
sesungguhnyalah bahwa suka dan duka, puas dan kecewa, menang dan kalah,
hanyalah sebuah benda dengan dua muka, keduanya tidak dapat saling
dipisahkan dan siapa mengejar yang satu sudah pasti akan bertemu dengan
yang lain. Pengalaman akan suka, puas, dan menang akan dihidupkan oleh
ingatan dan mendorong orang untuk terus mengejarnya, untuk mengalaminya
kembali sehingga untuk selamanya orang hidup dalam mengejar ingatan
mengejar bayangan. Sebaliknya, pengalaman akan duka, kecewa, dan kalah
yang dihidupkan oleh ingatan mendorong orang untuk selalu menjauhinya, tidak
tahu bahwa pengejaran akan bayangan suka menimbulkan duka, akan
bayangan puas menimbulkan kecewa dan akan bayangan menang
menimbulkan kalah karena keduanya itu tak dapat dipisahkan. Maka terjadilah
perlumbaan antar manusia dalam mengejar kesukaan menjauhkan kedukaan,
bukan hanya saling berlumba, juga saling mendorong, saling menjegal, saling
memukul, bahkan saling membunuh untuk memperebutkan bayangan ingatan!

Makin kuat manusia, makin kejamlah dia, makin sewenang-wenang karena


merasa berkuasa. Kalau begitu, apakah lebih baik menjadi orang lemah dan
tidak memiliki kepandaian? Orang yang lemah hanya akan menjadi injakan
yang kuat. Orang lemah mengalah karena tidak dapat melawan, dan yang
demikian itu bukan mengalah namanya, melainkan pengecut.
Yang kuat kejam, yang lemah pengecut! Pengecut demikian, kalau diberi
kekuatan, diberi kekuasaan, tentu akan berubah menjadi orang kejam juga. Si
kuat kejam dan si lemah pengecut tiada bedanya, keduanya adalah orang-
orang yang belum mengenal dirinya, belum mengenal keadaan sebenarnya.

Hidup akan selalu terasa bahagia dan nikmat apabila kita dapat menerima dan
menghadapi segala sesuatu sebagaimana adanya, hidup dalam tiap detik yang
dilaluinya, tidak terapung dalam keriangan masa lalu atau tenggelam dalam
harapan masa datang. Hidup adalah saat ini, sekarang ini, bukan kemarin dan
bukan esok. Pikiran selalu mempermainkan kita, membentuk kenangan-
kenangan masa lalu dengan segala suka-dukanya, membuat kita selalu
mengejar kenangan, suka dan menjauhi kenangan duka, menciptakan corak
dan bentuk hidup sekarang dan yang akan datang sehingga kita dibuatnya
hidup seperti dalam kurungan yang dibuat oleh pikiran kita sendiri. Hidup
seperti itu membuat segala langkah kita tidak wajar lagi, melainkan langkah-
langkah kita sudah ditentukan dan diatur berdasarkan pengalaman lalu,
berdasarkan pengetahuan dan kepercayaan yang sudah terbentuk dalam
pikiran kita. Keadaan seperti itu tidak memungkinkan kita bebas, tidak
memungkinkan kita mempergunakan mata dan telinga seperti sewajarnya. Apa
yang terpandang, apa yang terdengar, ditutup oleh pendapat dan prasangka,
oleh penilaian yang kesemuanya adalah pekerjaan pikiran, sehingga mata dan
telinga kita tidak dapat melihat atau mendengar keadaan sebenamya dari yang
dipandang dan didengar! Kalau kita memandang sesuatu, yang kita pandang
sesungguhnya bukanlah itu atau dia, melainkan itu atau dia seperti yang
terbayang dalam ingatan kita!
Demikian pula dengan makanan. Kalau kita menghadapi sesuatu, dalam hal
makanan seperti pada saat itu, tanpa campur tangan si pikiran yang selalu
dapat saja menciptakan kenang-kenangan akan makanan yang lezat-lezat,
maka tidak ada lagi penilaian apakah makanan yang kita hadapi itu mahal atau
murah, berharga atau tidak, dan tanpa adanya gangguan pikiran ini, semua
makanan, apapun juga macamnya, asal itu memenuhi syarat sebagai makanan
pengusir lapar dan penguat tubuh, akan terasa enak!

Segala bentuk penonjolan yang biasa disebut hasil atau kemajuan pribadi
seseorang, selalu menimbulkan persoalan-persoalan yang lebih meyusahkan
daripada menyenangkan. Orang yang berhasil memperoleh sesuatu yang
dicita-citakan, biasanya hasil itu tidaklah senikmat ketika dibayangkannya dan
ketika belum tercapai tangan, sedangkan hasil atau kemajuan itu yang sudah
jelas menimbulkan iri kepada orang lain sehingga terciptalah pertentangan dan
permusuhan! Karena itu, segala bentuk cita-cita, sesungguhnya hanyalah
lamunan orang yang tidak mau menghadapi keadaan sekarang, orang yang
ingin lari dari kenyataan saat ini dan bersembunyi di balik lamunan yang
dibentuk oleh pikiran, membangun istana awang-awang yang disebutnya cita-
cita! Karena cita-cita ini hanya merupakan istana asap di awang-awang, maka
apabila sudah tercapai, akan membuyar dan mengecewakan sehingga
memaksa si orang yang selalu merasa enggan melihat dan menghadapi
kenyataan "saat ini" untuk melamun lagi, dipermainkan pikiran yang pandai
sekali mengkhayalkan bayangan-bayangan indah masa depan.

Karena itu, berbahagialah orang yang selalu sadar dan dengan penuh
kewaspadaan menghadapi "saat ini" dengan pikiran bebas dari segala ingatan
masa lalu harapan masa depan dan menghadapi segala apa yang ada saat ini
sebagaimana adanya, dengan kewajaran yang tidak dibuat-buat atau
dipaksakan, tanpa rencana dan tanpa pendapat, tanpa penilaian, sehingga apa
pun yang dihadapinya merupakan sebuah pengalaman yang baru! Sudah tentu
saja yang dimaksudkan adalah hal-hal mengenai urusan batin, bukan hal-hal
lahir seperti pekerjaan dan lain-lain yang sudah semestinya dipergunakan akal
budi dan pikiran supaya dapat dikerjakan dengan baik dan lancar. Akan tetapi
mengenai hubungan antara manusia yang menyangkut rasa dan batin, jika
tidak kosong bebas, maka hubungan itu sudah tentu menimbulkan
pertentangan karena di sebelah dalam kita sudah terjadi pertentangan yang
ditimbulkan oleh pikiran. Melihat dan mendengar sesuatu dengan pikiran bebas
dari segala ikatan, penilaian, pendapat, mengawasi dengan penuh
kewaspadaan terhadap sesuatu di saat ini dan terhadap tanggapan kita sendiri
akan sesuatu itu, dengan demikian kita belajar mengenal diri sendiri. Mengenal
diri sendiri adalah langkah pertama ke arah kebijaksanaan.

Demikianlah yang dilakukan oleh kita, manusia! Kita selalu mencari sebab dan
alasan untuk menghibur diri di waktu kita merasa telah melakukan sesuatu
yang kita anggap salah. Mencari sebab-sebab yang kalau perlu dipaksakan,
untuk menutupi kesalahan kita, bahkan untuk menyulap kesalahan itu berubah
menjadi sesuatu yang tidak salah lagi! Ada saja alasannya untuk menutupi
sesuatu yang hitam pada diri kita, dengan warna putih. Hal ini terjadi karena
kita tidak mau menghadapi kenyataan, tidak mau mengenal diri pribadi, tidak
mau mengakui betapa segala kotoran berada dalam diri kita sehingga kita
dapat membuang semua kotoran itu. Tidak, kita bukan melakukan hal itu,
sebaliknya kita menutupi kotoran itu dengan segala akal kita. Tentu saja,
dengan demikian, segala macam kotoran masih tertimbun dalam diri kita,
biarpun kotoran itu tidak tampak, ditutupi oleh segala macam akal yang
membuat kita kelihatan bersih! Kebersihan tidak tercapai dengan menutupi
kekotoran, dan kotoran diri sendiri hanya dapat dilenyapkan setelah kita
melihatnya dengan mata terbuka dan dengan bebas, karena tanpa kebebasan
tak mungkin kita dapat melihat kenyataan dalam diri kita sendiri, tak mungkin
kita dapat mengenal diri sendiri.

"Mengerti akan orang lain adalah bijaksana


mengerti akan diri sendiri adalah waspada
mengalahkan orang lain adalah kuat
mengalahkan diri sendiri lebih gagah perkasa!
Kata-kata yang benar tidaklah manis
kata-kata yang manis belum tentu benar
yang baik tidak akan berbantah
yang berbantah belum tentu baik!"
(Ayat 30 Kitab To)

Huh, betapa banyaknya di dunia ini orang-orang yang berkuasa dan ingin
berkuasa dengan mengatasnamakan rakyat. Dunia penuh dengan manusia-
manusia yang mencuri dan membonceng nama rakyat demi kepentingan diri
pribadi. Sungguh tak tahu malu manusia-manusia seperti itu. Sejarah telah
menunjukkan betapa kekuasaan-kekuasaan jatuh bangun di dunia ini, dan
semua kekuasaan itu, pada saat bangkit, pada saat berusaha merenggut
kekuasaan, selalu mempergunakan nama rakyat jelata! Demi rakyat! Pencinta
rakyat! Dan masih banyak lagi nama-nama yang dipakai untuk tercapainya cita-
cita mereka. Pemerintah yang sekararang ini, pada waktu memperebutkan
kekuasaan juga mempergunakan nama rakyat untuk memperoleh dukungan.
Sebaliknya, pemerintah lama sebelumnya juga selalu membonceng kepada
nama rakyat. Dengan sendirinya rakyat menjadi pecah belah, karena yang
mendukung dianggap rakyat sedangkan yang tidak mendukung tentu saja
dianggap musuh! Dan musuh ini tentu saja dianggap rakyat oleh pihak lawan.
Dengan sendirinya rakyat yang menjadi korban, menjadi bingung dijadikan
permainan penguasa sekarang.
Hendak dibawa ke manakah rakyat ini? Apakah selama dunia berkembang
rakyat hanya akan menjadi permainan belaka demi pemuasan nafsu ambisi
beberapa gelintir manusia yang menamakan diri sebagai pemimpin-pemimpin
rakyat ?
Pernahkah ditemui mereka yang tadinya menggunakan nama rakyat dalam
perjuangan, setelah berhasil dalam perjuangannya, benar-benar ingat kepada
rakyat jelata? Ataukah mereka itu lalu lupa karena mabok akan kemenangan,
mabok akan kedudukan dan kemuliaan, seperti pemetik buah lupa akan bangku
yang diinjaknya untuk mengambil buah setelah buah itu terdapat olehnya?
Rakyat hanya dianggap sebagai bangku tempat berpijak, atau sebagai batu
loncatan, atau sebagai boneka-boneka!

"Aku tidak membutuhkan harta karena apa saja yang bisa didapatkan dengan
harta, dapat pula kuperoleh asal aku menghendakinya. Akan tetapi harta yang
amat besar itu perlu untuk mencapai suatu tingkat kedudukan tinggi, dan pula,
yang amat menarik hati adalah kitab pusaka ilmu kesaktian simpanan yang
dirahasiakan manusia sakti The Hoo!"

Memang demikianlah, seperti Siang-tok Mo-li itulah isi pikiran sebagian besar
manusia di dunia ini.
Betapa menyedihkan! Manusia diombang-ambingkan oleh keinginan, dan
membagi-bagi keinginan itu sebagai keinginan baik, keinginan luhur, keinginan
suci dan sebagainya. Padahal, apakah perbedaan antara keinginan yang ini
dengan keinginan yang itu? Apakah perbedaan antara keinginan menjadi
pandai, menjadi kaya, menjadi mulia dan lain-lain? Bahkan, apakah bedanya
antara keinginan duniawi dan keinginan batiniah? Tetap sama, keduanya
keinginan juga yang terdorong oleh hati tidak puas akan keadaan sekarang dan
menginginkan keadaan lain yang belum terlaksana, atau terdorong oleh rasa
takut akan masa depan, takut akan sesuatu yang tidak disukainya.
Kita lupa bahwa keinginan melahirkan kekecewaan apabila tidak tercapai.
Apakah akan mendatangkan kepuasan mutlak apabila tercapai? Biasanya
tidak! Keinginan yang tercapai akan terasa hampa, tidaklah seindah dan
senikmat kalau belum tercapai, kalau masih menjadi angan-angan, karena
pikiran yang selalu terbetot untuk mencari sesuatu yang belum ada, selalu akan
tertarik pula untuk menjangkau yang baru lagi. Keadaan sekarang dianggap
sudah lama dan membosankan, selalu ingin yang baru, lupa bahwa yang baru
itu kalau sudah tercapai tangan, akan membosankan pula dan menjadi barang
lama juga! Demikianlah, kita akan terperosok ke dalam lingkaran setan, terus
beringin, terus menjangkau dan hidup menjadi hamba keinginan!
Ada sebagian orang yang menganggap bahwa adanya keinginan itulah yang
membuat manusia hidup menjadi maju!
Apakah yang dimaksudkan dengan kemajuan? Apakah adanya pertentangan
antar manusia, perang, kelaparan di sana-sini, permusuhan, dendam, iri dan
benci-membenci ini termasuk kemajuan? Apakah setiap perbuatan, setiap
pekerjaan yang dilakukan, harus didasari keinginan? Apakah kalau orang
menanam jagung tanpa mengharapkan apa-apa, melakukan demi cintanya
kepada pekerjaan itu saja, maka hasilnya akan berkurang? Apakah benar
bahwa kemajuan lahir karena keinginan? Keinginan membuat manusia menjadi
hamba, terikat, dan hidupnya seperti boneka yang digerakkan oleh benang-
benang nafsu keinginan. Tidak ada kebebasan dalam arti kata yang
selengkapnya. Dan selama hidup kita dicengkeram sepenuhnya setiap saat
oleh keinginan, maka pertentangan antar manusia tentu saja takkan pernah
berhenti karena keinginan mutlak dikuasai oleh si aku, demi aku, punyaku dan
selamanya kitabergerak demi aku masing-masing, damai dan tenteram antara
manusia takkan pernah terujud! Pertentangan, persaingan, perebutan untuk
aku masing-masing akan terus berlangsung, baik antara perorangan, antara
kelompok, antara ras, antara bangsa!

Betapa menyedihkan. Bilakah manusia sadar sepenuhnya akan hal ini? Bukan
hanya untuk mengetahui, karena pengetahuan hanyalah pengekoran belaka,
mengekor yang sudah ada, yang sudah lalu. Setiap orang pencuri TAHU bahwa
mencuri adalah tidak baik. Setiap orang penjudi TAHU bahwa berjudi adalah
tidak baik. Namun dia tetap mencuri, dia tetap berjudi. Akan tetapi sekali dia
MENGERTI, dalam arti kata mengerti sampai ke akarnya, mengenal diri dan
keadaan dirinya sendiri, maka pengertian ini akan menghapus semua itu
sehingga lenyap tanpa bekas!

KEJAM
Kejamkah Lima Datuk kaum sesat itu? Tentu saja kejam sekali. Akan tetapi
marilah kita menyelidiki keadaan kita manusia hidup ini. Bukankah kita ini
dengan cara masing-masing, menurutkan pendapat masing-masing, juga
merupakan orang-orang yang kejam? Mari kita tengok di sekeliling kita.
Bukankah hidup manusia ini penuh dengan segala macam kejahatan?
Pembunuhan terjadi di mana-mana. Ada pembunuhan karena perkelahian,
karena perampokan, karena kebencian, karena permusuhan, karena iri dan
sebagainya. Banyak pula pembunuhan masal karena perang.
Perang antar bangsa yang pada hakekatnya mencerminkan perang dan
pertentangan antar kelompok, antar perorangan, dan akhirnya bersumber pada
pertentangan dalam diri kita masing-masing! Tidak kejamkah kita kalau kita
mengiri kepada atasan dan menghina kepada bawahan? Kalau kita suka
kepada yang baik dan jijik terhadap yang buruk, termasuk manusia? Tidak
kejamkah kita kalau milik kita berlimpah dan berlebihan dan hati kita tidak
terusik sama sekali melihat sesama manusia kurang makan kurang pakaian
dan tiada tempat tinggal seperti kaum jembel dan gelandangan? Tidak
kejamkah kita kalau untuk sebuah kedudukan saja kita sampai hati untuk saling
jegal, saling fitnah, saling benci, dan saling bunuh?

Kalau kita mau belajar mengalihkan pandangan kita ke dalam diri sendiri, mau
mengenal keadaan hati dan pikiran sendiri secara jujur, akan tampaklah bahwa
selain kejam, kita pun munafik-munafik besar. Mulut bicara tentang saling kasih
antar manusia, namun mata memandang penuh iri dan benci, tangan dikepal
siap saling hantam, hanya untuk memperebutkan uang, kedudukannya, nama
dan juga memperebutkan... kebenaran bukan lain hanyalah kebenaran diri
sendiri masing-masing dan karenanya menjadi kebenaran palsu.
Mari kita ingat betapa kejamnya kita ini! Digigit seekor nyamuk ingin membunuh
semua nyamuk, berdasarkan dendam dan kebencian. Berdasarkan jijik dan
takut terkena penyakit, kalau bisa semua lalat dibasmi! Berdasarkan nafsu
makan enak yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kesehatan, kita
membunuh segala binatang untuk kita makan bangkainya. Tidak kejamkah
kita? Apakah alasan bahwa "semua itu sudah umum" dapat dipakai untuk
menghapus kekejaman ini?
Dapatkah kita berusaha menghapus kekejaman? Dengan ilmu apa pun tidak
dapat! Karena keadaan bebas dari kekejaman bukanlah keadaan yang dibuat
dan diusahakan. Orang tidak akan mungkin dapat berhasil kalau dia berusaha
menjadi orang baik! Usaha menjadi baik hanya menjadikan orang munafik yang
merasa diri baik, dan segala usaha dan keinginan selalu mengandung pamrih
atau tujuan yang kesemuanya bersumber kepada keuntungan lahir maupun
batin bagi diri pribadi. Kekejaman akan terhapus apabila kita mengerti sampai
ke akarnya mengapa kita kejam, apabila kita mengenal keadaan diri kita
pribadi, mengenal gerak pikiran dan hati kita pribadi.
Marilah kita bersama mulai dari detik ini juga. Karena hidup adalah dari detik ke
detik. Hidup adalah sekarang ini. Perubahan adalah saat ini, bukan ingin
mengubah namun perubahan yang terjadi dengan sendirinya setelah kita
membuka mata, waspada penuh kesadaran mengenai keadaan kita lahir batin,
keadaan sekeliling kita. Apa kemarin? Sudah lalu! Hanya menimbulkan
kenangan yang mengeruhkan pikiran. Apa besok? Bukan urusan kita! Hanya
menimbulkan bayangan khayal yang melahirkan kekhawatiran dan ketakutan.
Yang panting sekarang, saat ini!

"Berani hidup mengapa takut mati?


siapa bilang hidup senang dan mati sengsara?
Lihat mereka semua hidup dan mati!
si bangsawan, si hartawan
si rakyat, si miskin
yang kuat, yang lemah,
yang mulia, yang hina.
Mereka semua telah mati,
sedang mati
dan akan mati,
dalam kematian tiada bedanya
menjadi bangkai kotor membusuk!
Yang hidup, yang mati,
yang lahir silih berganti,
tetapi "aku" tetap berkuasa!
di antara mati dan hidup
aku tetap mempermainkan manusia,
ha-ha-ha-ha!"

Dalam hidup, tidak boleh mengikatkan diri kepada sesuatu, baik itu orang lain
berupa orang tua, keluarga, kekasih dan lain-lain maupun kepada benda,
nama, kedudukan dan lain-lain. Karena mengikatkan diri berarti membiarkan
sesuatu itu, keluarga, benda, dan lain-lain, berakar di dalam dirinya. Dan
apabila tiba saatnya setuatu yang berakar itu tercabut, akar itu akan
menimbulkan kerusakan dan penderitaan! Jelas!

"Baik dan buruknya keinginan hanya tergantung Si Penilai, padahal sebetulnya


sama saja. Keinginan tetap keinginan, merupakan hasrat dari seorang untuk
memperoleh sesuatu. Keinginan yang bersembmyi di balik sebuah perbuatan
dinamakan pamrih dan perbuatan itu akan menjadi perbuatan palsu kalau
berpamrih."

"Kalau kita melakukan suatu perbuatan dan ada pamrihnya, bukankah si pamrih
itu yang penting, bukan si perbuatan? Padahal kita harus tahu apa pamrih itu!
Apakah sebenarnya pamrih itu? Bukankah pamrih itu adalah keinginan untuk
menguntungkan diri sendiri, baik lahiriah maupun batiniah? Dengan pamrih,
maka perbuatan itu adalah munafik, pura-pura, hanya dijadikan jembatan untuk
memperoleh yang diinginkannya. Katakanlah perbuatan menolong. Kalau
menolong dengan ada pamrih, apakah itu menolong namanya? Kalau yang
dipamrihkan, yang diinginkan untuk didapat itu tidak ada, apakah masih mau
menolong? Hati-hati orang muda, jangan kita tertipu oleh pikiran kita yang
pandai sekali memabokkan kita dengan segala macam ujar-ujar dan pelajaran
yang kita kenal dari kitab-kitab. Bukalah mata dan mengenal dirimu sendiri,
mengenal segala gerak hati dan pikiranmu, bukan hanya mengenal wajahmu,
dan engkau akan dapat melihat betapa segala macam kepalsuan diciptakan
oleh pikiran. Pikiran memperkuat si aku, dan sekali kita dikuasai oleh ini, segala
macam gerakan dalam hidup ini ditujukan demi keuntungan si aku, sehingga
seperti perbuatan mereka tadi, seringkali menimbulkan kekerasan dan
pertentangan."

"Sekali kita mengalahkan nafsu, maka nafsu itu harus setiap kali kita kalahkan.
Sekali kita menekan, harus setiap kali kita menekannya kembali. Nafsu yang
ditekan, seperti kuda yang dipasangi kendali, harus selalu dikendalikan. Nafsu
yang ditekan, seperti api dalam sekam, setiap kali dapat berkobar kembali.
Tidak ada gunanya melarikan diri dari nafsu, tiada gunanya pula menekannya.
Yang penting kita menghadapinya, mengawasinya, dan mengerti akan nafsu
keinginan kita, mengawasinya tanpa menyetujui, tanpa menentang, hanya
mengawasi saja tanpa memikirkannya. Karena sekali pikiran masuk, sekali kita
menyetujui, menentang atau mengambil kesimpulan maka terciptalah si aku
yang mengawasi si nafsu dan timbul pertentangan! Akan tetapi tanpa adanya si
aku dan si nafsu, yang ada hanya pengawasan itu sendiri dan di sana tidak
akan ada lagi nafsu keinginan!"

Mengapa kita selalu memandang rendah kepada orang biasa dan memandang
tinggi kepada orang yang dianggap pandai atau berkedudukan tinggi?
Bukankah kenyataan hidup yang membelenggu cara hidup kita ini merupakan
pelajaran yang membuka mata dan berharga sekali untuk dimengerti? Kalau
kita membuka mata, orang muda, maka setiap lembar daun kering yang rontok,
setiap ekor burung, hembusan angin, senyum seorang anak--anak, setitik air
mata seorang wanita, semua itu dapat merupakan guru bagi kita! Hidup berarti
berhubungan dengan sesuatu, baik mahluk hidup maupun benda mati. Kalau
membuka mata terhadap hubungan kita dengan semua yang kita hadapi setiap
hari, dan kita membuka mata terhadap tanggapan kita akan hubungan kita
dengan semua itu setiap saat, maka kita akan mengenal diri sendiri. Dan
mengenal diri sendiri merupakan langkah pertama kepada kebijaksanaan,
orang muda."

"Ha-ha-ha, orang muda. Bahagia, seperti juga cinta, tidak mempunyai jalan
atau cara! Bahagia tidak dapat dikejar. Pengejaran bahagia menciptakan
bermacam jalan atau cara ini, dan pengejaran adalah kelanjutan dari nafsu
keinginan memiliki sesuatu, dalam hal ini memiliki kebahagiaan! Dan seperti
telah kita bicarakan tadi, nafsu keinginan menimbulkan iri-dengki-kecewa-benci!
Kalau kita mengejar kebahagiaan, berarti kita menggunakan nafsu untuk
mengenal bahagia. Mungkinkah ini? Jangan kau menanyakan cara untuk
berbahagia, sebaiknya kaucari dalam dirimu sendiri, apa yang membuat
engkau tidak berbahagia. Setelah mengerti apa yang membuat engkau
terbebas dari penyebab tidak berbahagia, maka perlukah kau mencari lagi
kebahagiaan?"

Mereka merasa yakin bahwa kalau mereka berhasil menguasai bokor emas,
tentu mereka menjadi orang yang terkuat, terpandai, dan terkaya di dunia ini,
dan tentu me-reka tidak akan kekurangan apa-apa lagi, dan karenanya dapat
hidup bahagia!
Betapa tersesatnya pendapat seperti ini, dan betapa menyedihkan bahwa kita
semua ini, disadari maupun tidak, kita hidup dalam cengkeraman tujuan dan
cita-cita seperti para datuk itu! Kita mengharapkan sesuatu, selalu
mengharapkan, menginginkan sesuatu yang kita beri nama cita-cita muluk!
Padahal, mengapa kita harus bercita-cita? Mengapa kita harus mengharap dan
beringin? Bukankah pengharapan dan keinginan ini menjadi penyebab dari
kekecewaan dan kekhawatiran? Kita mengejar sesuatu yang kita namakan cita-
cita, dan hati kita selalu diliputi kekhawatiran kalau-kalau kita gagal! Dan kalau
sampai ga-gal, kita akan dirundung kecewa,merasa sengsara. Padahal, kalau
kita berhasil menguasai apa yang kita kejar dan kita namakan cita-cita itu,
benarkah kita akan menemukan bahagia? Berhasilnya cita-cita yang kita kejar
itu, benarkah akan membebaskan kita dari duka dan kecewa, dari bosan dan
dari khawatir? Biasanya, sesuatu yang amat diinginkan, kalau sudah
tergenggam tangan, hanya akan mendatangkan kepuasan sejenak saja,
kemudian kita menjadi bosan dan kita mengejar yang lain lagi sehingga cita-cita
menjadi lingkaran setan yang tiada putusnya, yang mencengkeram se-lama
hidup kita dan membuat hidup kita tak pernah bebas dan tenang!

Pengejaran cita-cita menandakan bahwa kita tidak dapat menghadapi dan


mengerti keadaan apa adanya, dan sekali kita tidak merasa puas dengan
keadaan apa adanya, maka selamanya kita takkan pernah merasa puas, apa
dan bagaimana pun keadaan kita. Sekali kita dicengke-ram oleh pengejaran
cita-cita, maka hidup hanya merupakan derita karena kita tak pernah dapat
melihat dan me-nikmati saat sekarang, saat demi saat di mana kita
sesungguhnya hidup, karena mata kita hanya ditujukan jauh ke depan, kepada
esok, lusa, dan masa depan, se-hingga saat ini, sekarang, tidak ada arti-nya
lagi. Padahal saat ini atau sekarang inilah kita hidup!

Mengenangkan kedua orang dara itu, dia merasa kasihan kepada Hwi Sian dan
Bi Kiok. Mengapa dua orang dara itu begitu bodoh dan jatuh cinta kepadanya?
Benarkah bahwa mereka mencintanya? Mengapa ketika dia berterus terang
menyatakan bahwa dia suka akan tetapi tidak cinta, ketika ternyata bahwa dia
tidak membalas cinta mereka, kedua orang dara itu menjadi marah dan ber-
duka? Apakah cinta itu menuntut balasan? Cintakah atau nafsu berahikah itu
yang mendorong pria dan wanita saling mendekat dan masing-masing
mencurah-kan perasaannya dengan tuntutan yang menjadi dasar, tuntutan itu
saling memi-liki, saling menguasai, dan saling menye-nangkan dan
disenangkan?
Kalau ada tun-tutan seperti itu, sudah pasti sekali ter-cipta kecewa, duka,
cemburu dan benci. Benarkah bahwa cinta menimbulkan se-mua kesengsaraan
ini? Kalau begitu, bu-kanlah cinta namanya, yang menimbulkan kecewa, duka,
cemburu, benci dan iri adalah pikiran, ingatan. Kalau pikiran memasuki hati,
semuanya menjadi keruh dan rusak, karena pikiran memperkuat si aku
sehingga segala gerak tubuh, segala gerak hati dan pikiran selalu ditujukan
demi kepentingan dan kesenangan si aku. Maka cinta pun menjadi bukan cinta
lagi karena di situ terkandung tuntutan supa-ya aku dicinta, aku diperhatikan,
aku dipuaskan, engkau menjadi milikku, aku menggantungkan semua harapan
akan kepuasan dan kenikmatan hidup kepada-mu. Selama engkau melayani
segala ke-butuhanku lahir batin, selama engkau memuaskan aku, selama
engkau menye-nangkan aku, selama engkau menjadi milikku pribadi, mulut ini
tak segan-segan menyatakan "aku cinta padamu".
Akan tetapi kalau engkau mengingkari semua tuntunanku itu, kalau engkau
tidak mau melayani kebutuhan lahir batin dariku, kalau engkau mengecewakan
aku, kalau engkau tidak menyenangkan aku, kalau engkau melepaskan diri
dariku dan lari kepada orang lain, cintaku berubah men-jadi cemburu dan benci!

Seperti biasa, para atasan tidur di dalam tenda sedangkan para perajurit
menggeletak begitu saja di atas tanah. Hal ini sudah lajim terjadi di manapun
juga, yang tinggi selalu enak dan bekerja ringan, yang rendah selalu
kekurangan dan bekerja paling berat!

Apakah Itu ‘BAHAGIA’?

"Bahagia? Apakah itu bahagia? Adakah keadaan yang disebut bahagia?


Ataukah itu hanya merupakan sebutan saja, merupakan bentukan khayal yang
timbul karena keinginan manusia terlepas dari kesengsaraan? Siapakah yang
membayangkan bahwa ada keadaan bahagia di dalam hidup? Tentu hanya
orang-orang yang sengsara! Orang?orang yang sengsara dan menderita
menciptakan khayal yang berlawanan dan berlainan daripada keadaan
hidupnya sendiri, menciptakan khayalan keadaah hidup yang sebaliknya dan
yang disebutnya bahagia! Maka hanya orang?orang yang sengsara sajalah,
yang merasa bahwa dia tidak bahagia, yang merindukan kebahagiaan! Orang
yang tidak merasa menderita sengsara, apakah dia merasa adanya bahagia
itu? Tentu tidak, karena sekali dia bahagia, itu bukaniah kebahagiaan lagi
namanya! Kebahagiaan yang dirasakan berarti "kesenangan" dan sekali
kesenangan dirasakan, maka kesenangan akan membuatnya menjadi pecandu
dan setiap kali dia akan selalu mengejar kesenangan serupa untuk diulang
kembali!"

"Cinta adalah Kehidupan, tanpa cinta hidup sama dengan mati


Cinta adalah Cahaya, tanpa cinta hidup gelap gulita
Cinta adalah Suci, tanpa cinta hidup bergelimang dosa
Hanya orang bijaksana saja mengenal Cinta
si dungu hanya mengejar nafsu!"
(Nyanyian cinta seorang sastrawan di jaman Kerajaan Han)

Biasanya hanya orang lain sajalah yang menganggap seseorang itu bahagia.
Orang yang tidak mempunyai uang akan menganggap bahwa si pemilik uang
berbahagia. Orang yang sedang sakit menganggap bahwa si sehat itu
berbahagia. Orang yang sedang cekcok dengan isterinya menganggap bahwa
suami isteri yang rukun itu berbahagia. Dan demikian selanjutnya. Akan tetapi
benarkah bahwa semua itu dapat dijadikan ukuran seseorang apakah dia hidup
bahagia atau tidak?
Selama orang masih memiliki keinginan untuk mendapatkan sesuatu,
mungkinkah dia berbahagia? Selama orang masih melakukan perbandingan,
tentu akan timbul iri dan kecewa yang melahirkan pertentangan-pertentangan
dalam batin yang kemudian meledak keluar. Mungkinkah orang berbahagia
kalau masih ada pertentangan, baik lahir maupun batin?
Bahagia tidak terletak pada harta, kedudukan, kewarasan, kesenangan,
kehormatan. Bahagia haruslah lengkap dan bulat, tidak terpecah-pecah.
Bahagia tidak mungkin dapat dikejar dan dijangkau, tidak mungkin dapat dicari
dan dipaksakan untuk memiliki! Bahagia adalah suatu keadaan yang datang
sendiri tanpa dipanggil, tanpa dikehendaki, tanpa dirasakan! Bahagia tidak
mengenal susah senang, suka duka, puas kecewa dan segala macam keadaan
berkebalikan yang memenuhi kehidupan manusia dan karenanya
mendatangkan segala pertentangan itu. Kebahagiaan berada di atas segala itu.
Demikianlah, maka hanya menjadi harapan dan mimpi setiap orang saja jika
kita bicara tentang bahagia yang seolah-olah ada dan nampak namun selalu
hampa kalau diraih. Semua orang mencari jalan menuju kebahagiaan, seolah-
olah kebahagiaan merupakan suatu tujuan yang tertentu dan mati sehingga kita
tersesat tanpa obor, seperti orang yang mencari sumbernya angin, mencari
ujungnya piring!

Memang demikianlah hidup! Manusia, hampir tidak disadarinya lagi karena


telah menjadi tradisi dan kebiasaan, hidup dalam suasana kepalsuan. Mata
manusia seolah-olah buta akan kenyataan, dibutakan oleh nafsu keinginan
mementingkan diri pribadi. Kita hidup tanpa membuka mata, dituntun oleh nafsu
keinginan kita yang membentuk si aku sehingga setiap gerak, setiap perbuatan,
dan setiap sikap selalu mencerminkan kekuasaan si aku yang hendak menang
sendiri. Bahkan dalam cinta, si aku berkuasa sehingga cinta menjadi sebutan
hampa, menjadi kepalsuan yang diselubungi kata-kata mutiara yang serba
indah! Seorang pendekar besar seperti Cia Keng Hong, kini merasa berduka.
Karena apa? Kalau dia ditanya, tentu dia mengatakan bahwa dia berduka
karena puterinya! Tentu dia akan menjawab bahwa karena puterinya memilih
anak datuk sesat sebagai kekasih dan calon suami, maka dia berduka!
Benarkah demikian? Benarkah dia berduka demi Giok Keng? Tidakkah
sesungguhnya dia berduka demi dirinya sendiri?
Berduka karena keinginan hatinya sendiri tidak terpenuhi. Karena puterinya
memilih seorang pria yang tidak berkenan di hatinya? Benarkah dia sebagai
seorang bapak mencinta anaknya kalau dia ingin memaksakan kehendak
hatinya agar ditaati anaknya! Cintakah itu kalau tadi dia sampai hampir
membunuh anaknya? Dan kini dia berduka, menangis, kecewa! Bukankah
kecewa dan berduka karena nafsu keinginan di hatinya tidak tercapai?
Sebenarnya bukan menangisi Giok Keng, melainkan menangisi dirinya sendiri?
Semua ini dapat kita lihat dengan mata dan hati terbuka sebagai suatu
kenyataan. Akan tetapi, betapa kita hidup bergelimang kepalsuan sehingga
kenyataan ini pun sukar diterima! Betapa pandainya si aku ini bersandiwara
sehingga setiap perbuatan yang sesungguhnya demi si aku dapat disulap
seolah-olah bukan demikian. Betapa kita telah dicengkeram sepenuhnya oleh si
lapuk tua "aku" yang bukan lain adalah pikiran kita, pikiran gudang pengalaman
masa lalu, sehingga mata kita tertutup oleh bayangan masa lalu, tidak dapat
lagi menikmati kenyataan yang baru karena segala sesuatu diukur dengan
perbandingan masa lalu, enak tidak enak, senang tidak senang bagi si aku!
Demikian menebalnya pemupukan si aku ini sehingga setiap sesuatu yang
nampak maupun yang tidak nampak, segala apa di dunia ini, dari debu sampai
kepada sebutan Tuhan, ditujukan semata-mata demi si aku, demi kepentingan
aku. Demikian pula cinta, juga demi aku!

Cinta Kasih

Cinta Kasih tak dapat juga diraba, tak dapat dikejar. tak dapat dimiliki atau
digenggam, tak dapat dilatih atau dipelihara. Cinta Kasih tidak mempunyai
sasaran seperti benci, duka, marah, iri dan lain-lain. Cinta Kasih yang sudah
mempunyai sasaran bukanlah cinta kasih lagi namanya. Sasaran (obyect)
timbul karena adanya aku/ego, dan "aku/ego" tak mungkin mencinta, karena
kalau ada aku yang mencinta, cinta itu hanya menjadi alat untuk mencapai
sesuatu demi keuntungan lahir maupun batin dari si aku ini. Cinta Kasih, Tao,
Tuhan, Kebenaran dan sebagainya sudah ada, akan tetapi menjadi tidak ada
atau tidak dimengerti karena terselubung oleh asap nafsu keinginan yang
dibuat oleh si aku, asap yang membuat mata kita menjadi buta. Dalam keadaan
seperti buta itu hendak mencari dan mengerti Kebenaran, mengerti Cinta Kasih,
mengerti Tuhan, tentu saja tidak mungkin. Segala macam asap itu yang berupa
kebencian, kemarahan, kekerasan, kekejaman, iri hati, kedukaan, keinginan,
semua ini harus lenyap dulu, barulah mata akan menjadi terang untuk dapat
melihat Cinta Kasih. Barulah Cahaya itu akan cemerlang dan tampak. Segala
macam bentuk nafsu tidak dapat dilenyapkan dengan paksaan, dengan
kemauan, karena hal itu akan sama halnya dengan api dalam sekam, memang
tidak bernyala lagi, namun masih ada membara dan sewaktu-waktu akan
bernyala lagi kalau mendapatkan angin dan bahan bakarnya! Untuk bebas dari
itu semua, kita harus menghadapinya langsung, mengenalnya,
memperhatikannya dari awal sampai akhir, mengenal sampai ke akar-akarnya
segala nafsu itu, berarti kita harus MENGENAL DIRI SENDIRI berikut segala
macam nafsu yang bukan lain adalah si aku atau si pikiran.

Memang demikianlah kehidupan manusia, seperti Lauw Kim In itu. Kita


manusia dibikin mabok oleh pikiran kita sendiri, oleh kenangan yang melahirkan
keinginan. Kita melihat, mendengar atau merasakan sesuatu yang
menyenangkan, lalu kita ingin hal itu berlangsung terus atau berulang kembali,
kita takut kehilangan itu sehingga kita mati-matian membelanya atau
mencarinya kalau yang menyenangkan itu meninggalkan kita. Dalam membela
atau mencari ini, kita tidak segan-segan untuk merobohkan siapa saja yang
menghalang di tengah jalan.
Dan celakanya, kita menganggap bahwa yang menyenangkan itu adalah
kebahagian! Kita lupa bahwa kesenangan tidak akan terpisah dari kekecewaan,
kekhawatiran dan kedudukan. Bukan berarti bahwa kita tidak harus menikmati
kesenangan, melainkan bodohlah kalau kita mengikatkan diri kepada
kesenangan yang berarti kita menghambakan diri kepada nafsu kesenangan.
Hanya dia yang bebas dari segala ikatan lahir maupun batin, dialah yang benar-
benar bidup, karena bagi dia yang bebas dari segala ikatan tidak membutuhkan
apa-apa lagi, tidak membutuhkan kebahagiaan karena sudah bahagia!

"Kebajikan tidak memilih kedudukan maupun keadaan harta seseorang, bahkan


biasanya, makin tinggi kedudukan seseorang dan makin banyak jumlah harta
seseorang, makin jauhlah dia dari kebajikan. Orang yang tidak pernah
merasakan kemiskinan, betapa mungkin menaruh rasa belas kasihan kepada
orang miskin? Orang yang tidak pernah merasakan kelaparan, betapa mungkin
merasa iba kepada orang kelaparan?

Demikianlah keadaan hati dan pikiran seseorang yang tidak pernah mengenal
diri sendiri, sehingga dia seolah-olah buta akan gerak-gerik lahir batinnya, tidak
sadar akan watak-wataknya sendiri. Karena tidak mengenal diri sendiri inilah
yang menimbulkan segala perbuatan yang merugikan orang lain dan diri
sendiri, perbuatan yang oleh umum dianggap jahat. Tidak ada perbuatan jahat
yang disadari sebagai perbuatan jahat oleh orang yang tidak pernah mengenal
dirinya sendiri, semua perbuatannya itu, apapun juga penilaian umum, tentu
dianggapnya benar karena dia mempunyai alasan-alasannya yang tentu saja
berdasarkan kepentingan diri pribadi.
Orang yang tidak mengenal diri sendiri akan sepenuhnya berada dalam
cengkeraman si aku yang selalu mengejar kesenangan, dikuasai oleh si aku
tanpa disadarinya. Sebaliknya, dengan pengenalan diri sendiri setiap saat,
gerak-gerik dan segala akal bulus si aku dapat diawasi dengan jelas sehingga
si aku tidak sempat lagi mengeluarkan segala siasat dan tipu muslihatnya.

Demikianlah memang keadaan manusia pada umumnya. Semenjak kecil, kita


dididik dan digembleng oleh tradisi dan kebudayaan, dibina oleh cara
pendidikan yang sudah diakui dan dibenarkan oleh masyarakat, untuk bercita-
cita, untuk mengejar sesuatu, untuk berambisi dan menujukan mata kita jauh ke
depan untuk menjangkau dan meraih sesuatu yang kita kehendaki dan yang
belum terdapat oleh kita. Hal ini sudah dibenarkan oleh kita sehingga setiap
manusia, sejak kecil, bergulat dan berjuang untuk mencapai cita-cita masing-
masing sehingga terjadilah saling dorong, saling jegal, saling berebut dan
bersaing, karena cita-cita semua manusia pada hakekatnya tentu sama, yaitu
untuk mencari kesenangan bagi diri pribadi. Cita-cita boleh diberi nama yang
muluk-muluk, yang bersih-bersih, bahkan yang megah-megah, namun semua
itu hanyalah kulit yang membungkus isi yang sama, yaitu : mengejar sesuatu
yang menyenangkan diri sendiri, baik lahir maupun batin!
Kalau kita mau membuka mata, jelas tampak dalam penghidupan sehari-hari
betapa cita-cita atau keinginan mencapai sesuatu mendatangkan kepalsuan-
kepalsuan, pertentangan dan kejahatan di dalam hubungan antara manusia.
Sekelompok anak-anak pun, kalau melakukan suatu permainan di mana
terdapat kemenangan, setiap orang anak memperebutkan kemenangan itu dan
sudah pasti akan terjadi persaingan, perebutan yang segera diikuti dengan
pertentangan dan pertengkaran. Mengapa demikian? Karena dengan adanya
cita-cita yang dikejar, mata ditujukan kepada cita-cita itu dan cita-cita itulah
yang penting lagi! Cita-cita itu saja yang dianggap akan mendatangkan nikmat,
permainannya tidak terasa lagi, seluruh gairah didorong oleh pengejaran akan
cita-cita dalam permainan itu, ialah kemenangan.

Karena kita mementingkan cita-cita yang merupakan khayal karena belum ada,
maka kita tidak mengacuhkan caranya, tidak memandang lagi kepada keadaan
sebagaimana adanya. Kita memandang kepada masa depan, yaitu cita-cita,
tidak pernah memperhatikan sekarang, saat ini. Maka terjadilah
penyelewengan, terjadilah penggunaan cara-cara yang tidak sehat, semua
demi mencapai cita-cita. Bahkan ada pendapat yang amat menyesatkan bahwa
"cita-cita menghalalkan segala cara". Betapa menyesatkan pendapat seperti itu.
Kita lupa bahwa cara dan cita-cita tidak ada bedanya. Kalau caranya buruk,
mana mungkin cita-cita atau tujuannya baik?

Demikian pula dengan para pimpinan Pek-lian-kauw. Demi mengejar cita-cita


mereka, cita-cita pribadi yang diselimuti dengan sebutan cita-cita rakyat,
bangsa, dan lain sebagainya, terjadilah permainan-permainan kotor. Nama
rakyat dicatut, nama negara, bangsa, agama, bahkan kadang-kadang nama
Tuhan pun dipergunakan orang tanpa segan-segan lagi, semua demi mencapai
cita-citanya. Tentu ada yang membantah bahwa cita-cita tidak selamanya
buruk, banyak terdapat cita-cita yang baik. Baik maupun buruk tetap saja cita-
cita, tetap saja keinginan yang disusul dengan pengejaran dan di dalam
pengejarannya inilah terjadi penyelewengan dan kekerasan, dan terjadilah
bentrokan dan pertentangan. Karena cita-cita menghidupkan dan
membesarkan si "aku" dan penonjolan si "aku" dan si "kamu" tentu saja
memperbesar pula bentrokan-bentrokan. Yang baik bagi aku belum tentu baik
bagi kamu, dan demikian sebaliknya.
Mengapa pula kita dibius oleh cita-cita dan keinginan memperoleh sesuatu
yang belum ada? Mengapa kita menujukan mata kita jauh ke depan, ke masa
depan yang abstrak? Mengapa kita tidak menghayati hidup di saat ini? Hidup di
saat ini berarti menujukan seluruh perhatian kepada saat ini, saat demi saat
tanpa diganggu oleh bayangan masa
depan yang menyesatkan. Kalau kita melakukan segala sesuatu di saat ini
dengan kasih di hati, apakah perlunya kita bercita-cita? Kalau kita
memperhatikan setiap dari langkah-langkah hidup kita, segala akan tampak
oleh kita, sebaliknya kalau mata kita ditujukan jauh ke depan, banyak
bahayanya kaki kita yang akan tersandung. Apa perlunya kita memandang
"sana" yang bukan lain hanyalah kelanjutan dari "sini"? Mengapa kita
menginginkan yang "begitu" dan tidak menghayati yang "begini"? Yang "begitu"
adalah khayal, sedangkan yang "begini", saat ini, barulah nyata dan hidup!

Semenjak kecil, kita manusia telah digembleng dan dibentuk oleh tradisi, oleh
agama, oleh kebudayaan dan oleh peradaban untuk menjadi permainan
daripada kepercayaan-kepercayaan dan karena itu kita hidup tidak bebas lagi.
Jalan pikiran kita tidak lagi bebas karena sudah digariskan dan ditentukan oleh
kepercayaan yang ditanamkan kepada kita sejak kecil, sesuai dengan
masyarakat dan lingkungan masing-masing. Oleh karena itu, kita tidak
mengenal hidup seperti apa kenyataannya, melainkan memandang hidup
melalui tirai yang berupa kepercayaan, ketahyulan, kebiasaan yang membentuk
pendapat-pendapat. Kesemuanya ini diperkuat oleh makin membesarnya si aku
yang juga diciptakan oleh pikiran menurut bentukan keadaan dan pendidikan
kita.
Demikian palsu adanya hidup kita sehingga segala sesuatu yang kita lakukan
tidaklah wajar lagi, melainkan sebagai pengulangan belaka dari kebiasaan kita.
Segala yang kita lakukan bersumber kepada si aku, sehingga setiap perbuatan
kita adalah palsu dan tidak wajar. Namun, kita tidak sadar akan hal ini, dan
semua kepalsuan itu telah kita terima sebagai cara hidup kita yang wajar!
Kepalsuan dianggap kewajaran, itulah pelajaran kebudayaan kita.

Para pendeta Jubah Merah itu pun hidup sebagai benda-benda mati yang
hanya bergerak menurut garis yang sudah ditentukan lebih dulu. Mereka tidak
mau menyelidiki dan mempelajari lagi apa yang mereka lakukan itu, karena
yang terpenting bagi mereka, seperti bagi kita pada umumnya, adalah tujuan
daripada perbuatan mereka.
Perbuatannya sendiri menjadi tidak penting, karena semua perhatian ditujukan
untuk mencapai tujuan. Upacara sembahyang mereka lakukan bukan semata
demi sembahyang itu sendiri, melainkan bagi tercapainya yang mereka tuju
sebagai hasil dari sembahyang itu. Mereka menghadapi "perjuangan"
menumbangkan Pemerintah Tibet, maka mereka melakukan upacara
pengorbanan dan sembahyang dengan segala kesungguhan hati, bukan demi
upacara itu sendiri, melainkan demi terkabulnya harapan dan cita-cita mereka.
Sembahyang, pengorbanan, dan segala upacara itu hanya menjadi cara atau
jembatan belaka untuk memperoleh yang mereka kehendaki, yaitu
kemenangan dalam "perjuangan" itu, melalui berkah para dewa yang mereka
sembah-sembah.
Kalau kita mempunyai kepercayaan lain, tentu akan mencela mereka dan
mengatakan bahwa mereka tahyul, dan sebagainya. Kita lupa bahwa kita
sendiri pun sesungguhnya tidak jauh bedanya dengan mereka! Mari kita
membalikkan pandangan mata kita untuk memandang dan meneliti, untuk
mengenal keadaan diri sendiri! Kalau kita bersembahyang baik kepada Tuhan,
kepada Nabi, kepada Dewa, atau kepada apa saja yang kita puja sebagai
kepercayaan kita masing-masing, kepercayaan yang dibentuk oleh keadaan
sekeliling atau oleh keadaan keluarga, kelompok, atau bangsa kita masing-
masing, apa yang terucapkan oleh mulut atau hati kita? Mari kita menengok diri
sendiri. Bukankah kita memohon kepada Tuhan atau Dewa atau Nabi dengan
kata-kata masing-masing, "Ya Tuhan berkahilah SAYA, lindungilah SAYA,
ampunilah SAYA, bimbinglah SAYA," atau di dalam kelompok kita berdoa, "Ya
Tuhan lindungilah KAMI, berilah kemenangan dalam perang kepada KAMI,
ampunilah dosa-dosa KAMI", dan selanjutnya lagi. Dengan demikian, bukankah
seluruh doa dan upacaranya itu semata-mata ditujukan demi kepentingan
SAYA, atau KAMI, atau si aku ini! Dengan demikian, apakah ini disebut
pemujaan kepada Tuhan atau apa pun yang kita sembah? Ataukah hanya
merupakan pemujaan kepada diri sendiri semata-mata? Dengan cara demikian,
Tuhan tidak dipentingkan lagi, karena yang penting adalah aku, untukku,
bagiku, demi aku, dan seterusnya. Bahkan seolah-olah nama Tuhan hanya kita
peralat demi tercapainya segala keinginan kita, keinginan lahir maupun
keinginan batin, keinginan memperoleh kedudukan dan kemuliaan di dunia
maupun keinginan memperoleh kedudukan dan kemuliaan di alam baka!
Bukankah semua ini merupakan kepurapuraan dan kemunafikan yang palsu?
Segala macam perbuatan yang dicap sebagai perbuatan baik maupun
perbuatan buruk oleh masyarakat kita dan kebudayaannya, segala macam
perbuatan itu adalah munafik dan palsu selama di dasarnya terkandung pamrih
untuk kepentingan atau kesenangan diri pribadi!

Ini sudah jelas dan nyata, bukan? Perbuatan barulah benar kalau digerakkan
oleh CINTA KASIH dan cinta kasih bukanlah pamrih dalam bentuk apapun juga.
Cinta kasih akan menghilang selama di situ terdapat pamrih! Dan tanpa cinta
kasih tidak mungkin ada kebenaran, tidak mungkin ada kebaikan. Kebaikan
tidak mungkin dapat dilatih, yang dilatih hanyalah yang palsu, yang berpamrih
karena melatih kebaikan itu pun sudah merupakan suatu pamrih yang
berselubung halus.
Oleh karena itu, marilah kita belajar mengenal diri sendiri dan melihat segala
kepalsuan, kemunafikan, keburukan, yang berjejal penuh di dalam hati dan
pikiran kita. Dengan memandang dan mengerti, semua itu akan runtuh dan
lenyap, dan setelah bebas dari semua itu, baru sinar cinta kasih akan timbul.
Ibarat matahari yang sinarnya takkan menimbulkan penerangan karena tertutup
awan, demikian pula cinta kasih tidak bersinar karena tertutup oleh awan hitam
yang bersumber kepada si aku! Di mana ada si aku, tentu timbul pertentangan
dan permusuhan. Karena itu, di mana ada si aku, tidak mungkin ada cinta
kasih.
Hampir pada umumnya manusia memiliki kesukaan yang sama atau mirip
dengan kesukaan Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li! Hal ini dapat kita selidiki
sendiri, karena merupakan kenyataan. Hampir semua orang, secara berbeda
tentunya, ada yang terang-terangan ada pula yang sembunyi-sembunyi, ada
yang kasar ada pula yang halus, suka menonton berlangsungnya kecabulan,
baik itu berupa tontonan atau mendengar penuturan orang maupun membaca.
Kalau toh ada yang menyangkal, penyangkalan itu timbul dari penekanan
kemauan yang didasari oleh pengetahuan bahwa hal itu adalah tidak baik,
maka terjadilah penyangkalan bahwa dia tidak suka melihat atau mendengar
itu. Namun kenyataannya, rasa suka itu ada! Dicobanya dilenyapkan dengan
keyakinan atas dasar pelajaran, kesusilaan, agama dan lain-lain bahwa hal itu
tidak baik dan tidak seharusnya dilakukan! Namun, cara demikian tidak akan
melenyapkan kesukaan itu. Seperti api, kesukaan itu belum padam! Hanya
ditutup saja. Bersembunyi di balik pelejaran-pelajaran tentang kesusilaan dan
sebagainya tidak akan ada gunanya. Lari dari kenyataan ini tidak ada gunanya.
Yang penting adalah menghadapinya sebagai suatu kenyataan!
Menghadapinya, mendekatinya dan memandangnya penuh kewaspadaan.
Pandangan penuh kewaspadaan tanpa mencelanya, tanpa menerima atau
menolaknya, akan menimbulkan pengertian akan segala hal-ihwal mengenai
kesukaan aneh ini. Dari manakah timbulnya rasa suka melihat kecabulan?
Sesungguhnya, kecabulan bukan berada di luar diri kita! Tidak ada kecabulan
dalam hubungan kelamin (sex). Cabulkah kalau kita melihat binatang, terutama
yang kecil sedang mengadakan hubungan kelamin? Kiranya tidak! Akan tetapi
mengapa kalau melihat binatang yang besar, terutama manusia, melakukan
hubungan sex, lalu timbul istilah cabul? Barangkali karena melihat binatang
besar terutama manusia melakukan hubungen sex mempunyai daya rangsang
yang merangsang gairah dan nafsu berahi kita! Inilah sebabnya mengapa
timbul istilah cabul. Yaitu pemandangan yang merangsang gairah nafsu berahi
dianggap cabul!
Padahal, tidak ada peristiwa apapun di dunia ini yang merangsang gairah nafsu
berahi. Hubungan sex adalah sesuatu yang wajar dan sama sekali tidak
merangsang gairah nafsu berahi. Yang merangsang adalah PIKIRAN KITA
SENDIRI! Pikiran kitalah yang menambah penglihatan itu dengan bayangan-
bayangan yang mendatangkan kenikmatan lahir batin kita, mengenang kembali
semua pengalaman sex kita, atau bagi yang belum pernah mengalaminya
secara badaniah, tentu membayangkan pengalaman yang pernah dibacanya,
dilihatnya, atau didengarnya dari orang lain. Permainan pikiran kita sendiri
itulah yang merangsang dan membangkitkan gairah berahi kita sendiri.
Dan bagi orang-orang berwatak cabul, perbuatan menonton kecabulan itu yang
menimbulkan semacam kenikmatan tertentu, menjadi suatu kebiasaan yang
telah mencandu sehingga sukar untuk dihentikan kembali dan telah menjadi
sesuatu yang dicari-cari.
Kenyataan itu hanya dapat terlihat oleh siapa saja yang mau membuka mata
mempelajari dan mengenal diri pribadi, sehingga akan tampaklah bahwa segala
hal yang oleh umum dianggap yang buruk-buruk, seperti kecabulan,
kemaksiatan, kepalsuan, kemunafikan, kemarahan, kebencian, iri hati dan
segalanya itu tidak terletak di tempat jauh di luar kita, melainkan terletak di
dalam diri kita sendiri! Dan semua itu pasti timbul karena kita selalu mengejar
kesenangan dalam bentuk apapun juga, kesenangan lahir maupun kesenangan
batin. Pengejaran kesenangan menjadi sumber daripada semua kesengsaraan
hidup yang timbul karena pertentangan dan kedukaan. Bukan KESENANGAN
yang merusak hidup, melainkan PENGEJARAN kesenangan!

Hubungan merupakan inti dari kehidupan


Hidup berarti berhubungan, baik berhubungan antara manusia dengan
manusia, antara manusia dengan benda, atau manusia dengan pikirannya,
dengan nafsu-nafsunya. Hubungan antara manusia menjadi tidak wajar lagi,
menjadi tidak bersih lagi, dan pasti akan mendatangkan pertentangan,
mendatahgkan permusuhan dan mendatangkan kesengsaraan, kekecewaan
dan penderitaan apabila di dalam hubungan ini dimasuki niat penggunaan.
Hubungan yang bagaimana dekatpun, seperti hubungan antara pria dan wanita,
antara suami dan isteri, akan menjadi sumber pertentangan apabila di situ
terdapat keinginan untuk saling mempergunakan demi kesenangan diri pribadi.
Sikap kepada manusia lain, baik manusia lain itu berbentuk suami, isteri, anak,
orang tua, atau sahabat akan merupakan sikap yang palsu apabila sikap itu
timbul karena suatu keinginan demi kepentingan dan kesenangan diri sendiri.
Dan sikap palsu ini, seperti semua kepalsuan yang tentu saja tidak wajar, selalu
akan mendatangkan hal-hal bertentangan dan mendatangkan duka.

"Sikap, nama, harta dan kedudukan


bukanlah ukuran jiwa seorang manusia,
semua itu hanya kulit belaka
yang tidak dapat menentukan nilai isi.
Betapa banyaknya berkeliaran di dunia
hartawan yang jiwanya miskin
pembesar yang jiwanya kecil
dan pendeta yang menumpuk dosa!"

Apapun juga yang terjadi di dunia inipun terjadilah, tanpa manusia dapat
mencampurinya, mendorongnya atau mencegahnya. Apapun juga yang terjadi
di dalam kehidupan manusia, yang menimpa diri manusia, adalah suatu fakta,
suatu peristiwa yang terjadi, dan apabila kita menghadapi setiap macam
peristiwa yang terjadi kepada kita atau di sekeliling kita sebagai apa adanya,
tanpa mencari kambing hitamnya, tanpa menyalahkan siapapun, hanya
menghadapinya dengan tenang dan waspada, maka akan terbuka semua
rahasia, tidak ada rahasia lagi karena kita akan dapat melihat sejelas-jelasnya
peristiwa itu berikut segala sesuatu yang ada hubungannya dengan peristiwa
itu, sebab-sebabnya dan lain sebagainya. Semua duka dan sengsara tidak ada
hubungannya dengan segala peristiwa yang terjadi, melainkan bersumber di
dalam diri pribadi.
Akan tetapi, kita biasanya menghadapi setiap peristiwa tanpa kebebasan ini,
kita selalu mencari sasaran untuk menimpakan kesalahan, baik kepada orang
lain, kepada diri sendiri, kepada hari dan nasib peruntungan! Kalau kita
menghadapi setiap peristiwa yang betapa hebatnya menimpa kita dengan batin
yang bebas, dengan awas dan memandangnya sebagai satu hal yang terjadi
apa adanya, tanpa menyalahkan atau membenarkan, maka tidak akan timbul
penyesalan karena kesemuanya sudah nampak jelas sehingga tidak ada lagi
hal yang dibuat penasaran. Duka dan dendam timbul karena kita tidak dapat
menghadapi setiap peristiwa sebagai apa adanya, dan kebebasan ini sama
sekali bukan merupakan sikap masa bodoh, bahkan sebaliknya merupakan
keadaan yang penuh kewaspadaan setiap saat!

Kalau kita bicara tentang sebab akibat, maka segala akibat apapun yang terjadi
di dalam dunia menimpa diri kita adalah disebabkan oleh diri kita sendiri. Oleh
karena itu seorang bijaksana tidak akan memandang akibat, melainkan selalu
waspada dan sadar akan segala gerak-gerik dari setiap pikiran dan perbuatan
dirinya sendiri lahir batin karena dari setiap pikiran dan badan itulah yang
menjadi sebab dari semua akibat, yang penting adalah mengenal diri pribadi
sehingga setiap detik kita dapat waspada akan semua pikiran dan sikap kita,
baik gerak tubuh maupun kata-kata. Yang penting adalah caranya, bukan
tujuannya, karena tujuan tidak Akan jauh dari caranya, atau akibat tidak
berbeda dengan sebabnya! Kalau caranya benar, maka akibat atau tujuan dari
cara itu bukan merupakan persoalan lagi. Dan cara itu, cara hidup atau setiap
gerak-gerik hati pikiran dan kata-kata perbuatan kita saat demi saat barulah
benar apabila terbebas dari segala macam bentuk kekotoran yang timbul dari
nafsu keinginian pribadi, dan kekotoran ini lenyap oleh kesadaran dan
pengertian yang timbul pula dari pengawasan kita, pengenalan kita terhadap
diri sendiri setiap saat.
Cara yang tidak benar pasti akan menjadi sebab terjadinya akibat yang tidak
benar pula, ini sudah pasti, sungguhpun cara itu sudah terlupa oleh kita, sudah
tersembunyi di alam bawah sadar. Akan tetapi, pengertian ini bukan berarti
bahwa kita lalu sengaja menggunakan cara yang benar untuk memperoleh
akibat yang benar, kalau demikian maka cara itu sudah menjadi tidak benar
karena mengandung pamrih keuntungan pribadi sehingga menjadi palsu. Kalau
demikian, maka hanya akan terbentuk lingkaran setan belaka, yaitu sebab
menimbulkan akibat, dan akibat menjadi sebab pula dari akibat yang lain lagi!
Inilah apa yang dinamakan hukum karma, tanpa kita buat sendiri dengan
merangkaikan kemarin memasuki hari ini untuk sampai kepada esok hari! Dan
ini akan berulang terus dan kita terseret di dalamnya! Oleh karena itu, yang
penting adalah saat ini, sekarang ini! Setiap saat awas terhadap diri sendiri,
bukan dalam arti kata menekan atau mengendalikan, hanya waspada tanpa
pamrih, tanpa apa-apa, hanya waspada saja. Kewaspadaan setiap saat ini
yang akan bekerja sendiri, tanpa pamrih dari si aku.
Setiap kali bencana menimpa diri kita, keluarga kita, kita akan merasa tidak
adil. Kematian orang yang kita kasihi, malapetaka yang menimpa membuat kita
menjadi miskin, dan sebagainya, membuat kita merasa prihatin dan sengsara.
Kita tidak membuka mata bahwa mala petaka itu setiap saat memang ada,
menimpa kepada siapapun juga dan selalu akan terasa ada kesengsaraan dan
kedukaan selama tidak terjadi perobahan hebat di dalam batin kita. Karena
kesengsaraan dan kedukaan itu timbul dari dalam pikiran kita sendiri!

Kesengsaraan akan SELALU ada selama kita menonjol-nonjolkan diri pribadi,


karena segala bentuk kesengsaraan adalah buatan kita sendiri, buatan pikiran
kita sendiri! Kesengsaraan bukanlah suatu keadaan, melainkan suatu
bayangan yang direka-reka oleh pikiran. Kesengsaraan timbul dari perasaan
iba diri, yaitu merasa kasihan kepada diri sendiri, merasa betapa dirinya paling
celaka. Apabila kita bebas dari penonjolan keakuan, bebas dari perasan iba diri,
maka segala macam peristiwa yang terjadi atas diri kita, dapat kita hadapi
dengan wajar dan BUKAN lagi merupakan kesengsaraan. Yang sengsara itu
bukap KEADAANNYA melainkan hatinya, dan ini merupakan permainan pikiran
kita sendiri. Orang akan berduka kalau sang pikiran mengenangkan segala
sesuatu tentang dirinya yang ditinggalkan kesenangan dan ditimbuni
ketidaksenangan, meremas-remas hati, dan perasaannya sendiri dengan rasa
iba hati, kasihan kepada diri sendiri, kepada orang atau benda yang kita
sayang, dan merasa sengsara.

Segala macam bentuk setan hanya ada kalau DIADAKAN oleh pikiran kita
sendiri. Banyak memang pengakuan orang-orang yang pernah melihat setan,
akan tetapi sudah pasti sekali bahwa yang dilihatnya itu tentulah setan-setan
seperti yang pernah dikenalnya, yaitu melalui pendengaran cerita, melalui
gambar-gambar atau dongeng-dongeng orang tua, pendeknya tentu yang
dilihatnya itu adalah gambaran yang sudah ada di dalam ingatannya! Pikiran
dapat mempengaruhi semua anggauta badan, terutama sekali mata dan
telinga. Kalau pikiran sudah mencekam kita dengan gambaran-gambaran
tentang setan-setan yang menakutkan dan mengerikan, maka melihat
bayangan pohonpun sudah dapat menciptakan gambaran setan itu, mendengar
suara burung malampun sudah dapat menciptakan gambaran yang dicetak oleh
pikiran kita sendiri. Karena itu, kita harus awas dan sadar terhadap tipu
muslihat yang dilakukan oleh sang pikiran yang lincah dan cerdik seperti
monyet itu.

Bahagia hanya dapat dirasakan oleh orang yang bebas dari segala ikatan, baik
ikatan lahir maupun ikatan batin. Bukan berarti bahwa kita harus acuh atau
tidak perduli, sama sekali tidak. Bahkan sebaliknya, orang yang bebas dari
segala ikatan memperhatikan apapun yang terjadi di luar dan dalam dirinya
tidak dapat memilih-milih dan pilih kasih. Orang yang bebas dari ikatan adalah
orang yang sendirian, bukan berarti mengasingkan diri. Ikatan hanya
memperbudak diri.

Hukum karma merupakan sebab dan akibat yang saling membelit, merupakan
mata rantai atau lingkaran setan yang tiada habisnya jika kita melibatkan diri ke
dalamnya. Suatu peristiwa yang oleh kita dianggap sebab tentu menimbulkan
akibat, dan kalau kita terseret di dalamnya, akibat inipun menjadi sebab dari
akibat lain pula yang akan datang! Sebab dan akibat bersambung terus tak ada
habisnya, seperti masa lalu bersambung ke masa kini memasuki masa depan,
terus bersambung karena kita sendiri yang menyambungnya! Kita sendiri yang
menghubungkannya. Suatu peristiwa adalah suatu peristiwa, apakah dia
menjadi sebab ataukah akibat, tergantung dari kita yang menilainya. Segala
sesuatu tentu saja menjadi ada kalau kita mengadakannya, menjadi persoalan
atau problem kalau kita mempersoalkannya. Betapa akan bahagianya kalau
kita dapat menghadapi setiap peristiwa apapun, menyenangkan atau
sebaliknya, seperti apa adanya dan selesai pada saat itu juga! Bukan sebab,
bukan pula akibat, melainkan hanya suatu peristiwa, suatu kejadian, suatu
kewajaran yang tidak meninggalkan bekas apa-apa.

"Memang demikianlah pendirian kita. Kita menganggap diri sendiri benar. Akan
tetapi sayangnya, orang lainpun, termasuk orang-orang yang kita musuhi, juga
menganggap mereka benar. Siapakah yang benar kalau kedua fihak sudah
merasakan kebenaran masing-masing? Kita semua hanya terseret oleh
kekacauan dunia yang melahirkah semua perbuatan yang jahat, isteriku. Tidak
mungkin kejahatan di dunia ini dapat dibasmi dengan kekerasan, karena sebab-
sebab timbulnya kejahatan itu masih ada. Seribu macam kejahatan boleh
dibasmi, akan tetapi seribu macam kejahatan yang lain lagi akan timbul, seperti
halnya penyakit. Penyakit yang sudah timbul dapat diobati dan disembuhkah,
namun penyakit-penyakit lain akan bermunculan dan perang terhadap penyakit
tidak akan pernah habis, seperti juga perang terhadep kejahatan. Tidak,
isteriku, kejahatan tidak akan pernah habis selama kejahatan itu dapat
memasuki hati siapapun juga. Yang hari ini baik, mungkin besok menjadi jahat,
sebaliknya yang hari ini jahat, besok mungkin menjadi baik. Kejahatan seperti
penyakit, orang yang melakukan kejahatan seperti orang yang sedang sakit,
tentu saja orang sakit bisa sembuh, sebaliknya, yang waraspun sewaktu-waktu
bisa saja jatuh sakit!"

"Mengapa tidak, isteriku? Kejahatan hanya suatu penyelewengan, bukan milik


orang-orang tertentu, seperti juga penyakit, siapapun bisa saja terkena kalau
tidak waspada. Siapapun bisa menyeleweng dari kebenaran kalau terdorong
oleh sebab-sebab dari kejahatan."

Hidup! Betapa penuh rahasia,


manusia tenggelam timbul
dalam permainannya,
terhimpit di antara suka dan duka,
matang mengeriput di antara tangis dan tawa.
Selalu mengejar kesenangan
selalu menghindari ketidak-senangan
menimbulkan perbandingan dan pilihan
oleh dwi unsur (im-yang)
manusia dipermainkan.
Mengapa suka?
mengapa duka?
mengapa mengejar kepuasan?
mengapa menghindari kekecewaan?
Hadapilah semua ini dengan kewaspadaan wajar dan murni,
tidak menolak tidak menerima
hanya memandang apa adanya!
Bebas dari pengalaman dan pengetahuan
tidak mencari tidak menyimpan di dalam apa adanya,
kenyataan mengandung keindahan, cinta kasih, kebenaran!

"Trak-tak, trak-tak, trak-tak-tak


Kiang-shi kota tersayang
hidup malam dan siang
Kiang-shi di waktu siang
orang-orang berdagang
saling catut dan kemplang
bahkan di waktu malam
berdagang kesenangan
Kiang-shi sebagai sorga
juga mirip neraka
pusat suka dan duka
panggung tangis dan tawa!"

"Isteri anda di rumah cerewet dan marah?


jangan khawatir, pergilah kepada
rumah merah terpencil di belakang kuil,
di sana kerling dan senyum manis dijual murah,
besok pagi ciuman mesra mengiring,
anda pulang dengan saku
dan tulang punggung kering!"

"Anda ingin menjadi jutawan?


Pergilah ke Hok-po-koan!
Kalau bintang anda terang
dalam semalam anda menjadi hartawan!
Kalau bintang anda gelap?
Dalam semalam
Menjadi jembel kelaparan!"

"Akan tetapi hati-hatilah


jangan main gila di Hok-po-koan!
Salah-salah leher bisa putus
disambar sinar pedang setan
belum lagi kalau ketahuan
oleh Lima Bayangan!"

"Ahhh, kalau saja semua orang berpendapat seperti engkau, alangkah


menghiburnya pendapat itu. Akan tetapi, orang muda, tidak banyak yang sudi
menganggap aku seorang seniman. Apalagi mereka yang duduk di tempat
tinggi, mereka yang menganggap diri mereka kaum cendekiawan, kaum
sasterawan, dan para sarjana dan siucai. Mereka memandang rendah orang-
orang macam kami, bahkan menganggap kami merusak seni, menganggap
kami seniman kampungan, picisan dan rendah, yang katanya hanya menjual
kesenian belaka, seorang pengemis yang mencari sesuai nasi dengan menjual
suara..."
"Itu hanya pendapat orang-orang yang kepalanya besar akan tetapi berisi angin
kosong belaka, orang-orang yang menganggap diri sendiri sepandai-pandainya
orang dan sebersih-bersihnya orang. Orang-orang macam inilah yang amat
berbahaya, mereka ini adalah orang-orang sombong dan tinggi hati dan tidak
ada yang lebih bodoh daripada mereka yang menganggap dirinya sendiri
pandai. Tidak ada orang yang lebih kotor daripada mereka yang menganggap
dirinya sendiri bersih."

"Karya seni adalah suatu karya yang mengandung keindahan keadaan dan
macamnya tidak bisa ditentukan oleh manusia, segi-segi keindahannyapun
tidak bisa ditentukan dan digariskan, karena kalau sudah digariskan itu bukan
seni namanya. Kalau karya seni ditentukan sifatnya, maka yang menentukan itu
adalah orang-orang yang mempunyai kecondongan suka atau tidak suka dan
memang penilaian tergantung sepenuhnya kepada rasa suka dan tidak suka
itu. Alam merupakan seniman yang maha besar dan satu di antara karya
seninya adalah hujan. Apakah semua orang menyukai hujan atau
membencinya? Belum tentu! Tergantung dari untung rugi yang diakibatkah oleh
hujan tadi bukan? Nah, karya senipun demikian. Yang jelas, jika mengandung
keindahan yang dapat dinikmati oleh segolongan orang, itulah seni.
Nyanyianmu tadi banyak yang menikmatinya dan bagi yang menikmatinya tentu
dianggap baik, akan tetapi bagi orang lain mungkin saja dianggap bukan seni
bahkan merusak."
Judi merupakan permainan yang dengan amat jelasnya menggambarkan watak
masyarakat, watak manusia pembentuk masyarakat. Hanya satu sifat yong
menonjol, yang dapat dilihat jelas dalam perjudian akan tetapi agak tersamar
dan tersembunyi di dalam kehidupan sehari-hari, sungguhpun sifat yang
tersembunyi itu bukan berarti lemah, yaitu sifat SERAKAH, ingin memenuhi
nafsu keinginan. Seperti juga di dalam perjudian, kita hidup sehari-hari
mengejar keinginan kita yang dapat saja berupa harta benda, kedudukan, nama
besar, atau keinginan yang lebih tinggi lagi menurut pandangan kita, seperti
kedamaian, ketenteraman, keabadian, nirwana atau sorga. Di dalam setiap
pengejaran keinginan, kepuasan hanya berlaku sementara saja, karena makin
dituruti, keinginan makin membesar dan meluas, makin haus sehingga apa
yang diperoleh masih selalu kurang dan tidak mencukupi. Celakanya di dalam
kenyataan hidup ini, demi mengejar keinginan yang sebutannya diperhalus dan
diperindah menjadi cita-cita atau ambisi dan sebagainya, demi mencapai apa
yang diinginkan itu, kita main sikut-sikutan, jegal-jegalan dan gontok-gontokan
antara manusia, antara bangsa, bahkan antara saudara sendiri! Kenyataan
pahit ini hampir tidak tampak lagi, namun bagi siapa yang mau membuka mata
melihat kenyataan, peristiwa menyedihkan itu terjadi setiap saat, setiap hari, di
mana saja di bagian dunia ini, dan dekat sekali di sekeliling kita, bahkan di
dalam diri kita sendiri!

SUKA DAN DUKA

Kita manusia hidup memang selalu menjadi permainan suka dan duka apabila
kita masih terbelenggu oleh segala ikatan. Selama batin kita masih belum
bebas dari rasa takut akan kesunyian, kita selalu mencari sandaran dan kita
mengikatkan diri dengan segala yang anggap akan mendatangkan kesenangan
abadi. Kita selalu mengejar kesenangan dan menuntut kesenangan dari segala
sesuatu sehingga kita mengikatkan diri dengan isteri, dengan keluarga, dengan
kedudukan, dengan harta, dengan nama dan sebagainya. Pengikatan diri
dengan semua ini dasarnya karena diri pribadi yang selalu menonjolkan
pencarian kesenangan baik kesenangan duniawi maupun kesenangan rohani.
Kalau sewaktu-waktu kita diharuskan terpisah dengan semua itu, tentu saja
menimbulkan duka dan sengsara yang sama artinya dengan kekecewaan
karena kesenangan kita dirampas.
Sesungguhnya bahwa suka maupun duka bersumber kepada hati dan pikiran
kita sendiri, tergantung dari bagaimana kita menanggapi dan menghadapi
semua yang terjadi pada diri kita. Kebanyakan orang menganggap bahwa
kesenangan juga berarti kebahagiaan dan sumbernya terletak di harta,
kedudukan, nama dan sebagainya. Betapa bodohnya anggapan seperti itu,
betapa dangkalnya. Di manakah letak kekayaan? Apakah di kantong baju, di
peti uang dan harta benda? Bukan, melainkan di dalam hati dan pikiran sendiri.
Biarpun orang memiliki lima buah gunung emas, apabila dia masih merasa
kurang maka dia adalah miskin dan akan terus mengejar kekayaan dengan
tamaknya. Orang yang mengantongi uang satu juta adalah orang miskin
apabila dia menginginkan barang yang lebih dari jumlah itu harganya. Orang
tidak akan mampu menikmati, tidak akan mampu melihat keindahan, dari
apapun yang berada di dalam tangannya, betapapun tinggi nilai benda itu,
apabila dia menginginkan barang yang lain daripada yang telah dimilikinya. Dan
orang yang selalu diperhamba oleh nafsu keinginannya, takkan pernah merasa
cukup dan takkan pernah dapat mengerti apa yang dinamakan keindahan, apa
yang dinamakan kebahagiaan hidup.
Sebaliknya, orang yang sudah bebas batinnya dari semua ikatan, menghadapi
kehidupan dengan segala macam peristiwanya dengan hati terbuka, dengan
perasaan lapang, dengan gembira dan tidak pernah dia tenggelam di dalam
duka maupun suka. Bagi dia, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini
mengandung hikmah kehidupan yang luar biasa, yang indah dan wajar
sehingga dia tidak lagi mengenal apa artinya kecewa, karena dia tidak
mengejar apa-apa, tidak mengharapkan apa-apa. Keadaan demikian ini
membuat dia bebas dari suka duka, bebas dari arus lingkaran setan yang
membuat manusia yang belum bebas dan belum sadar dalam bidupnya selalu
jatuh bangun di antara suka dan duka. Akan tetapi betapa menyedihkan karena
kebanyakan dari kita menerima keadaan hidup seperti ini! Kita menerimanya
sebagai hal yang "sudah semestinya". Hidup yang penuh dengan duka
nestapa, kesengsaraan, pertentangan dan permusuhan, benci dan iri hati,
segala macam kepalsuan di segala lapangan dan dalam segala macam bentuk
perang, pembunuhan dan kelaparan, di antara semua kengerian ini dan hanya
kadang-kadang saja ada kesenangan yang hanya lewat bagaikan sinar kilat
sekali-kali, dan kita sudah menerima kehidupan macam ini sebagai hal yang
semestinya! Kita selalu mengejar kesenangan, dengan suka rela
menghambakan diri kepada pemuasan kesenangan sungguhpun kita tahu
bahwa di balik dari semua kesenangan itu terdapat kesusahan yang mengintai
dan siap menerkam korbannya, yaitu kita!
Tidak ada kekuasaan apapun di dunia ini dapat merubah semua kesengsaraan
kehidupan yang bersumber di dalam diri pribadi, kecuali KITA SENDIRI. Bukan
kita yang mengusahakan perobahannya. Kita tidak akan dapat merubah diri
sendiri, akan tetapi dengan kewaspadaan dan kesadaran, dengan mengenal
diri sendiri luar dalam, dengan pengawasan dan pengamatan setiap saat, akan
timbul pengertian dan kesadaran, dan pengertian ini tanpa diusahakan, dengan
sendirinya akan menghalau semua perintang dan penghalang dari perobahan.
Pengertian yang mendalam inilah yang penting, bukan segala macam
pengetahuan mati tentang filsafat atau kebatinan manapun, karena
pengetahuan-pengetahuan itu hanya akan menjadi slogan mati, klise-klise
lapuk yang hanya akan diulang-ulang oleh mulut, bahkan diperalat untuk
membanggakan diri belaka.

Dunia penuh dengan kekejaman dan kekerasan yang dilakukan oleh manusia.
Selama sejarah berkembang, dapat diikuti kenyataan betapa makin lama
manusia bukan makin baik, melainkan makin jahat dan permusuhan,
kebencian, bunuh-membunuh dan perang makin memenuhi dunia. Mengapa
demikian? Mengapa manusia selalu dirundung dendam, kebencian,
permusuhan dan kekerasan sepanjang masa? Banyak sudah muncul orang-
orang bijaksana yang kemudian didewa-dewakan dan dipuja-puja, manusia-
manusia yang menyebarkan segala macam pelajaran bagi manusia agar
manusia insyaf akan kejahatannya dan kembali ke jalan benar. Namun agaknya
semua itu kalau kita mau melihat kenyataan sekarang ini, semua itu sia-sia
belaka. Semua orang bicara tentang kasih sesama manusia namun apa yang
dibicarakan itu hanya merupakan pemanis mulut belaka, sedangkan hatinya
penuh kebencian kepada sesama manusia, tentu saja manusia yang merugikan
dirinya. Seluruh dunia bicara tentang perdamaian, bicara tentang menjauhkan
perang, akan tetapi diam-diam angkatan bersenjata di masing-masing
negaranya dipupuk dan perkuat! Wajah berseri dan mulut tersenyum, akan
tetapi diam-diam kedua tangan dikepal, siap untuk melakukan kekerasan!
Tidakkah demikian keadaan dunia semenjak dahulu sampai sekarang?
Dunia dan keadaannya tidak timbul begitu saja, melainkan akibat dari keadaan
kita semua. Kitalah yang bertanggung jawab sampai adanya dunia macam
sekarang ini, di mana kekerasan merajalela, di mana kebencian menguasai hati
semua orang, di mana pengejaran keuntungan diri pribadi yang menjadi
sumber semua gerakan manusia, di mana kebenaran diperebutkan, saling
membela kebenaran sendiri masing-masing. Kita lupa bahwa kebenaran yang
diperebutkan itu bukanlah kebenaran lagi, palsu dan hanya mendatangkan
lebih banyak permusuhan lagi.
Kita selalu menujukan mata dan telinga kita keluar, mencari-cari segala yang
dapat menguntungkan dan menyenangkan, memuaskan hati dan jasmani kita.
Pengejaran akan kesenangan lahir batin membutakan mata kita sehingga kita
sama sekali tidak pernah mau memandang diri kita sendiri, memandang diri kita
seperti apa adanya, dengan segala kepalsuan kita, dengan segala keburukan
dan cacat serta kekotoran kita. Kita tidak pernah menggunakan telinga untuk
mendengarkan bisikan-bisikan hati kita sendiri, suara-suara pikiran kita sendiri,
dan tidak mau mengikuti gerak-gerak diri kita sendiri lahir batin. Hanya
penglihatan akan kenyataan tentang keadaan diri kita yang kotor sajalah yang
akan mendatangkan perobahan, yang akan melenyapkan kekotoran itu. Hanya
kalau kita dapat melihat sendiri betapa kebencian mencengkeram hati dan
pikiran kita, maka kita akan mengerti tentang kebencian ini dan akan sadar dan
selalu waspada. Kesadaran dan kewaspadaan akan kebencian yang
mencengkeram kita inilah yang akan melenyapkan kebencian itu sendiri, tanpa
terdorong keinginan untuk melenyapkannya, melainkan hanya mengamati dan
mengertinya sampai ke akar-akarnya. Mengenai kekotoran orang lain hanya
akan menambah kekotoran diri sendiri, sebaliknya hanya dengan mengenal
kekotoran sendiri maka akan terjadi perobahan pada diri kita.

Berbahagialah orang yang melakukan segala sesuatu dalam hidup ini dengan
perasaan kasih di hatinya. Dan pekerjaan apapun yang dilakukan orang,
perbuatan apapun yang dilakukannya, apabila berdasarkan cinta kasih, maka
perbuatan itu tentu benar adanya! Sayang sekali bahwa kita pada umumnya
sudah tidak lagi mengenal cinta kasih dalam segala perbuatan kita. Perbuatan
kita selalu didorong oleh kepentingan diri pribadi lahir batin, demi keuntungan,
demi kesenangan, demi kebencian, iri hati, pamrih dan lain-lainnya. Kalau saja
kita dapat melakukan pekerjaan kita dengan cinta kasih di hati! Bukan demi
penghasilannya! Kalau saja kita dapat melakukan segala sesuatu dengan kasih
di hati! Betapa akan indahnya hidup ini, betapa akan bahagianya hidup ini.

"Binatang tidak akan menyerang manusia kalau tidak diganggu atau lapar.
Binatang merupakan mahluk yang lebih baik daripada manusia! Manusia
adalah mahluk paling jahat dan kejam di permukaan bumi ini. Tidak ada
binatang yang membunuh untuk kesenangan, atau membunuh karena
permusuhan dan kebencian. Binatang membunuh untuk dapat hidup,
membunuh karena dorongan perut lapar. Akan tetapi manusia membunuh apa
saja di dunia ini untuk mencari kesenangan, bahkan membunuh sesama
manusia untuk mencari kesenangan dalam kemenangan, membunuh karena
permusuhan dan kebencian. Phahh!"

Semenjak sejarah berkembang, tidak perduli di negara manapun di bagian dari


dunia ini, terdapat banyak sekali pembesar-pembesar seperti Ciang-tikoan ini.
Terutama sekali di waktu pusat pemerintahan sedang kalut dan pengawasan
dari atasan kurang ketat, maka para pembesar setempat lalu mempergunakan
kekuasaannya untuk bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat jelata.
Segala sesuatu kebutuhan rakyat yang harus terlebih dulu mendapatkan ijin
dari pera pembesar, pasti dipersulit sedemikian rupa, sehingga rakyat yang
membutuhkan ijin itu secara terpaksa harus mengeluarkan sebagian miliknya
untuk "memberi hadiah" atau istilah umumnya sogokan atau suapan kalau dia
menghendaki pekerjaannya dapat lancar dan ijin yang dibutuhkannya dapat
diberi oleh pembesar yang berwenang. Tentu saja ada pembesar-pembesar
yang betul-betul merupakan pemimpin rakyat, pelindung rakyat yang bijaksana
dan menunaikan tugas kewajibannya dengan baik, yang berhati bersih dan
tidak menyalahgunakan kekuasaan dan kedudukannya, akan tetapi sayang,
pembesar seperti ini hanya dapat dihitung dengan jari tangan saja!

IM-YANG

Kita manusia tidak menyadari bahwa hidup pasti merupakan medan


pertentangan antara susah dan senang, lebih banyak dukanya daripada
sukanya, lebih banyak kecewanya daripada puasnya, karena tanpa kita sadari
sendiri, kita memang telah mengikatkan diri dengan lingkaran setan yang
berupa sebab akibat dan im-yang (atau dewi unsur), yang dapat juga disebut
kebalikan-kebalikan. Kita selalu menghendaki yang satu tapi menolak yang lain,
kita selalu mengejar kesenangan namun menghindari kesusahan, mencari-cari
kepuasan menolak kekecewaan dan sebagainya. Padahal, suka duka, senang
susah, puas kecewa tidaklah pernah terpisah-pisah, seperti sebuah tangan
yang mempunyai dua permukaan, yaitu telapak tangan dan punggung tangan.
Mencari yang satu sudah pasti akan bertemu dengan yang lain. Sudah menjadi
kebiasaan kita sejak kecil, menjadi suatu hal yang kita terima sebagai sudah
semestinya dan seharusnya, yaitu bahwa di dalam segala gerak perbuatan kita,
selalu didasari atas pamrih demi kepentingan, kepuasan, kesenangan diri
pribadi. Dan setiap perbuatan yang didasari pamrih seperti itu adalah palsu,
hanyalah suatu alat belaka untuk mencapai keinginan kita, dan perbuatan
seperti itu, betapapun baik kelihatannya, sudah pasti menimbulkan konflik,
pertentangan lahir dan batin. Mari kita tengok diri sendiri, mari kita perhatikan
diri kita sendiri, bukan orang lain. Kita lihat saja segala gerak tubuh, gerak
pikiran, dan gerak mulut atau kata-kata kita. Tidakkah kesemuanya itu
mengandung kepalsuan belaka? Sikap kita bersopan-santun kepada tamu
misalnya, kalau kita mau memandang diri sendiri secara bebas, kita akan
melihat bahwa kesopanan kita itu bukan timbul dari kasih atau keakraban,
melainkan merupakan bentuk penjilatan karena tamu itu lebih tinggi atau lebih
kaya atau lebih pintar, atau bentuk perendahan diri karena takut, dan
sebagainya. Kalau kita melakukan sesuatu demi orang lain sekalipun, di situ
tersembunyi pamrih, agar kita dipuja, agar kita menjadi orang baik, agar kita
kelak menerima balas jasa.
Tidak dapatkah kita hidup dengan wajar, apa adanya, tanpa segala kepalsuan
ini? Tidak dapatkah kita melakukan segala macam gerak tanpa dasar
kepentingan diri pribadi? Hal ini hanya mungkin apabila terdapat CINTA KASIH
di dalam diri kita! Dengan cinta kasih, segala apapun yang kita lakukan, yang
kita pikirkan, yang kita ucapkan, adalah BENAR, karena CINTA KASIH adalah
KEBENARAN. Tanpa cinta kasih, matahari akan kehilangan sinarnya, tumbuh-
tumbuhan akan kehilangan warnanya, bunga-bunga akan kehilangan
harumnya, dunia akan kehilangan keindahannya. Dengan adanya cinta kasih,
kita tidak membutuhkan lagi kebahagiaan karena CINTA KASIH adalah
KEBAHAGIAAN!
Namun sayang! Yang kita miliki bukanlah cinta kasih yang murni, yang suci,
yang sejati, yang tidak ada kebalikannya, melainkan kita hanya mengenal cinta
terhadap seseorang atau sesuatu benda hidup atau benda mati, suatu yang
abstrak dan yang kita puja-puja. Cinta kasih macam ini sesungguhnya bukanlah
cinta kasih, melainkan hanya alat untuk menyenangkan diri pribadi, untuk
mencari kepuasan seksuil, kepuasan lahirlah, kepuasan hiburan, atau juga
kepuasan batiniah yang seaungguhnya hanya morupakan harapan-harapan
untuk masa depan belaka! Tentu saja cinta kasih macam ini, yang
sesungguhnya bukan cinta kasih melainkan nafsu-nafsu keinginan untuk
kesenangan diri pribadi belaka, cinta kasih macam ini mengandung dwi unsur,
yaitu senang dan susah, puas dan kecewa, dan karenanya mendatangkan
pertentangan yang tiada habis-habisnya. Sebab dan akibat adalah suatu
lingkaran setan yang tiada putus-putusnya, akibat dapat menjadi suatu sebab
untuk akibat berikutnya, dan si sebab itupun dapat menjadi akibat dari sebab
sebelumnya. Celakalah kita kalau mengikatkan diri terjebak dalam lingkaran
setan ini. Sebab akibat berada di dalam tangan kita sendiri! Kitalah yang
menentukan apakah sebab akibat itu akan berlarut-larut ataukah akan habis
sampai di situ saja! Kalau kita menghadapi setiap peristiwa dalam hidup kita
dan menyelesaikannya setiap saat, setiap detik peristiwa itu timbul, dan
menghabiskannya sampai di situ saja, tanpa mengingat yang lalu dan tanpa
membayangkan masa depan, maka sebab akibat sebagai rantai akan pecah
berantakan dan lenyap!
Marilah kita belajar untuk mengenal diri sendiri, setiap saat, dengan
memandang penuh kewaspadaan dan kesadaran terhadep diri sendiri, setiap
saat pula, dengan perhatian sepenuhnya tercurah pada setiap gerak perbuatan,
kata-kata dan pikiran kita sendiri tanpa campur tangan. Dengan perhatian
setiap saat, perhatian sepenuhnya, yang timbul dari pengertian yang
mendalam, maka pandang mata kita akan menembus sampai sedalamnya,
pengertian kita akan bangkit dan kita akan bebas dari segala ikatan karena kita
mengerti bagaimana bahayanya ikatan-ikatan itu, dan kebebasan diri dari
segala ikatan memungkinkan kita mengenal apa artinya CINTA KASIH tadi.
Bukan cinta kasih terhadap sesuatu, atau terhadap semua, yang ada hanya
cinta kasih saja. Cinta terhadap seseorang, terhadap semua orang, terhadap
alam, kemesraan, semua itu tidak terpisah-pisah dan sudah tercakup di
dalamnya.

Memang belas kasihan adalah getaran yang mendekatkan hati kepada cinta
kasih. Di mana ada belas kasihan, berlarianlah iblis-iblis kemarahan,
kebencian, iri hati dan lain-lain sehingga memungkinkan terujudnya cinta kasih.
Dan hati yang penuh dengan cinta kasih, selalu ada belas kasihan. Keduanya
itu tak terpisahkan.

PENYUAPAN/PENYOGOKAN
Dari manakah timbulnya peristiwa-peristiwa penyuapan dan penyogokan yang
telah menjalar di seluruh dunia ini? Suap dan sogok dalam bentuk apapun juga,
bentuk harta benda, kedudukan, nama besar, wanita, kehormatan dan
sebagainya terjadi di seluruh dunia dan agaknya telah ada semenjak sejarah
berkembang.
Semua ini terjadi karena manusia memegang kekuasaan dan karena manusia
itu selalu memiliki kelemahan, yaitu menjadi hamba dari nafsu-nafsu
keinginannya, maka manusia yang memegang kekuasaan melihat bahwa
kekuasaannya itu merupakan alat yang amat berguna untuk mencapai apa
yang diinginkannya!
Dipergunakanlah kekuasaannya untuk memaksakan kehendaknya kepada
orang lain, yaitu demi terlaksananya apa yang diinginkan dan dibutuhkannya.
Padahal, selama manusia mengejar keinginan, maka tidak akan ada habisnya
kebutuhan hidupnya. Dan untuk memenuhi ini, manusia tidak segan-segan
melakukan apapun juga sehingga timbullah pencurian, perampokan, penipuan,
pemerasan dan termasuk penyuapan dan penyogokan yang menjadi akibat dari
pemerasan.
Oleh karena itu, segala tindak korup di dunia ini tidak akan dapat dihentikan
oleh apapun juga selama manusia menjadi hamba dari nafsu-nafsu
keinginannya sendiri. Selama manusia belum mengenal diri pribadi dan tidak
sadar bahwa dirinyalah sumber segala kebusukan. Dunia akan menjadi sebuah
tempat yang berbeda sekali apabila kita sudah tidak lagi dikejar atau mengejar
kebutuhan! Sandang pangan dan tempat tinggal memang merupakan
keperluan mutlak bagi manusia hidup, namun sayang, bukan yang tiga itulah
sesungguhnya yang dikejar-kejar, yang menjadi kebutuhan kita, melainkan
kesenangan, kepuasan yang tidak ada ukurannya lagi akan besar dan
banyaknya.
Maka bahagialah mereka yang TIDAK MEMBUTUHKAN APA-APA. Bukan
berarti menolak dan memantang segala sesuatu, melainkan tidak mencari dan
tidak akan mengejar. Kalau ada, boleh, kalau tidakpun tidak akan mengejar,
karena pengejaran ini yang menimbulkan segala macam bentuk kejahatan di
dunia.

SEX (Hubungan Kelamin)

Daya tarik yang saling mempengaruhi pria dan wanita adalah suatu kewajaran
dan pembawaan dalam diri manusia, seperti terdapat pada mahluk apapun di
permukaan bumi ini. Daya tarik ini menimbulkan rasa suka, rasa cinta antara
pria dan wanita, membuat masing-masing ingin saling mendekati, saling
sentuh, saling belai dan saling berkasih mesra, sedekat mungkin sehingga
menimbulkan keinginan untuk bersatu badan dan hati. Hal ini sudah wajar,
sudah benar, dan sudah merupakan sifat alamiah yang ada pada diri manusia.
Hubungan kelamin seperti yang lajimnya dikenal dengan sebutan sex bukanlah
hal yang kotor, bukanlah suatu hal yang menjijikkan atau memalukan.
Sebaliknya malah, sex merupakan hal yang amat indah, yang suci, asalkan
timbul dari naluri yang wajar, timbul dari gairah yang memang ada dalam diri
manusia, timbul dari rasa cinta antara pria dan wanita karena daya tarik
alamiah itu. Hubungan sex adalah suatu hal yang terhormat, suatu kenikmatan
hidup yang patut dan layak dialami oleh setiap orang manusia, asal saja
dilakukan dengan wajar dan dengan mata terbuka, dengan penuh kesadaran
dan BUKAN DALAM KEADAAN DIMABOK NAFSU sehingga menjadi
perbuatan membuta den menjadi hamba daripada nafsu berahi belaka. Kalau
sudah begini, maka berobahlah sifatnya hubungan kelamin, menjadi kotor dan
najis, menjadi sumber dari kenikmatan palsu yang membawa kepada jurang
kedukaan den kesengsaraan lahir batin.
Kenikmatan hubungan kelamin adalah suatu kurnia hidup, suatu keindahan
hihup, merupakan bagian dari kehidupan dan cinta kasih, tidak terpisah-pisah.
Sex bukanlah yang mutlak terpenting dalam hidup, bukan pula hal yang
diremehkan. Akan tetapi, seperti segala sesuatu dalam hidup, apabila sex
sudah merupakan suatu kebutuhan yang dicari-cari, yang dikejar-kejar, maka
hal itu akan hanya membawa kita ke dalam jurang kesesatan langkah yang
akhirnya akan menghancurkan kita sendiri. Sia-sia belaka mereka yang
mencari kesucian dengan menjauhi dan menganggap hubungan sex sebagai
suatu pantangan, lalu bertapa, atau menyendiri, akan tetapi di dalam hatinya
tersiksa karena digerogoti oleh nafsunya sendiri! Nafsu apapun bukan harus
dipantang, bukan harus ditekan, melainkan semestinya dipandang, dimengerti!
Bagaikan api, nafsu bukan harus ditutup karena api itu tidak akan padam,
seperti api dalam sekam yang sewaktu-waktu akan membakar pula. Api nafsu
itu semestinya dipandang dan dari pandangan ini timbul kewaspadaan, timbul
kesadaran, dan api itu akan menjadi nikmat dan manfaat hidup, bukan
merusak.
Hubungan kelamin yang merupakan sesuatu yang amat indah dan murni, di
mana manusia kehilangan akunya, akan berobah menjadi nafsu berahi yang
membakar dan memperbudak jika pengalaman ini disimpan di dalam ingatan!
Dengan mengingat-ingat, mengenangkan kenikmatan dalam hubungan atau
pengalaman itu, timbullah nafsu berahi yang mendesak dan menggelora batin,
yang membuat kita menjadi hambanya dan mulailah kita mengejar dan
mencari, ingin mengalami lagi kenikmatan itu dan dengan demikian,
kenikmatan ini menjadi satu di antara kepentingan-kepentingan hidup yang
dikejar-kejar untuk didapatkan, maka mulailah pula langkah-langkah sesat kita
ambil demi untuk memperolehnya!
Maka sudah jelaslah bahwa hubungan kelamin baru benar apabila dilakukan
oleh sepasang manusia yang saling mencinta sebagai puncak daripada kasih
mesra yang saling ditujukan sebagai tanda bersatunya badan dan hati. Apabila
hubungan ini dilakukan oleh sepasang manusia tanpa dasar cinta kasih, maka
itu hanyalah dorongan nafsu berahi belaka dan tidak dapat dihindarkan lagi
tentu akan mengakibatkan duka dan kesengsaraan, penyesalan dan
kekecewaan.
Di manapun, bilamanapun, siapapun dapat saja mengalami hal-hal yang
berhubungan dengan asmara antara pria dan wanita, dan siapapun juga yang
belum sadar akan diri sendiri, belum mengenal diri pribadi dan segala
kelemahannya, betapapun cintanya dia, betapapun terpelajarnya dia dapat saja
menjadi korban yang amat lemah dari cengkeraman nafsu berahi.

Betapa banyaknya di dunia ini terjadi peristiwa seperti yang dialami oleh
Yalima. Betapa banyaknya gadis-gadis di dunia ini yang terbujuk oleh nafsu
berahi, mengadakan hubungan kelamin di luar pernikahan dan mengandung!
Lebih celaka lagi, betapa banyaknya akibat-akibat yang amat mengerikan dan
hebat terjadi sebagai lanjutan dari peristiwa ini. Bunuh diri, pengguguran,
pembunuhan dan sebagainya! Betapa lemah dan piciknya manusia!
Salahkah Yalima dan gadis-gadis seperti dia itu? Berdosakah mereka?
Siapakah yang bersalah kalau terjadi hal seperi itu? Si gadiskah? Si
pemudakah? Atau keadaan? Pergaulan? Pendidikan?
Tidak ada gunanya menyalahkan siapapun juga, karena kalau diusut,
semuanya salah! Memang kehidupan manusia, cara hidup manusia seperti
yang kita hayati selama ribuan tahun ini salah dan palsu adanya! Kita hidup
seperti mesin, kita hidup seperti alat-alat mati, kita hidup hanya menurut garis-
garis yang telah ditentukan oleh manusia-manusia lain, manusia-manusia
terdahulu yang merupakan tradisi, ketahyulan, hukum-hukum yang mati dan
kaku. Kita hidup dituntun, dibimbing, dikurung dan dipaksa untuk menyesuaikan
diri dengan contoh-contoh dan pola-pola yang telah dibangun oleh "peradaban"
sejak ribuan tahun. Peradaban yang sesungguhnya tidak beradab! Segala
sesuatu dalam hidup, baik buruknya dipandang dari segi hukum dan ketentuan
umum, sehingga segalanya palsu adanya! Kesopanan dipandang dari pakaian
dan sikap yang sesungguhnyapun hanya pakaian yang tak nampak, dan ini
sudah menjadi pendapat umum yang mati. Padahal kesopanan letaknya di
dalam batin, bukan di dasi atau sepatu! Demikian pula, kebenaran, kebajikan,
budi dan lain-lain ditukar dari pendapat umum yang hanya memperhatikan
lahiriah belaka! Padahal sumbernya adalah di dalam batin, dan hanya diri
sendirilah yang dapat mengerti apakah kesopanan yang dilakukan itu, apakah
kebajikan dan lain sebagainya yang dilakukan itu palsu belaka, pura-pura
belaka, ataukah wajar! Kalau wajar dan tulus, tanpa pamrih, tanpa diikat oleh
aturan-aturan lahiriah, itu barulah benar!
Hukum pula yang menentukan bahwa hubungan kelamin baru benar kalau
dilakukan setelah pria dan wanita itu menikah! Atau baru benar kalau dilakukan
oleh orang-orang yang berjual beli dan sudah disyahkan pemerintah! Benarkah
demikian? Kalau kita mau membuka mata batin, mau mempelajari diri sendiri,
menjenguk hati dan pikiran sendiri, memandangnya dengan bebas, kiranya
akan terlihat bahwa tidak benarlah demikian itu. Biarpun sudah disyahkan oleh
hukum pernikahan, biarpun sudah disebut suami isteri oleh umum, kalau
hubungan itu dilakukan tanpa adanya cinta kasih, melainkan hanya sebagai alat
untuk mencari kepuasan dan kesenangan diri pribadi belaka, maka hubungan
kelamin macam itu pun kotor dan palsu adanya! Sama saja dengan perbuatan
menolong orang lain yang oleh pandangan umum disebut baik, akan tetapi
kalau di dalam batinnya pertolongan itu dilakukan dengan pamrih, dilakukan
sebagai alat untuk mencari pujian, untuk mencari balas jasa, maka
"pertolongan" macam itupun kotor dan palsu adanya! Jadi yang mutlak menjadi
mutu setiap perbuatan adalah dasarnya, dasar batiniahnya.
Pengarang tidak hendak mengatakan bahwa perbuatan Yalima dan Kwee
Tiong itu benar! Sama sekali tidak! Hanya hendak mengajak pembaca untuk
membuka mata melihat segala kepalsuan dalam hidup, termasuk kepalsuan
dalam urusan hubungan sex! Kwee Tiong dan Yalima patut dikasihani. Mereka
berdua hanyalah menjadi akibat dari keadaan hidup kita sejak dahulu sampai
sekarang. Mereka berdua belum mengerti, dan pengertian ini, baik bagi yang
muda maupun bagi yang tua, hanya terdapat kalau kita sudah mengenal diri
sendiri setiap saat! Pengenalan diri sendiri mendatangkan kewaspadaan dan
kewaspadaan ini menghentikan segala perbuatan yang tidak benar!
Kita tidak berhak membenarkan atau menyalahkan Yalima dan Kwee Tiong!
Setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia, menjadi tanggung jawab si
manusia itu sendiri, setiap buah dari pohon yang ditanam akan dipetik oleh
tangan si penanam itu sendiri. Yang pasti, segala macam bentuk kesenangan
yang dicari-cari, dikejar-kejar, dinikmati dan mendatangkan kepuasan
sementara, sudah pasti disertai oleh kedukaan karena suka duka merupakan
saudara kembar yang tak terpisahkan!

Sejak sejarah berkembang sampai kini, hati wanita memang amat lemah
terhadap sikap manis dan bujuk rayu pria. Memang sudah menjadi naluri wanita
dan segala jenis mahluk betina untuk memancing perhatian dan pujian dari
lawan jenisnya, untuk memperkuat daya tariknya terhadap golongan jantan dan
akan banggalah hatinya kalau golongan jantan terpikat oleh kecantikannya.
Pada umumnya wanita haus akan pujian pria, hal ini wajar sungguhpun kaum
wanita suka menyembunyikannya, bahkan kadang-kadang berdalih marah-
marah kalau dipuji, sungguhpun di dalam hatinyat pujian dari mulut dan
pandang mata pria merupakan peristiwa yang paling mengesankan di dalam
hatinya.

Demikianlah, derita batin yang menimpa seseorang sungguh tidak sepadan


dengan kenikmatan dari kesenangan yang dialaminya! Memang benar bahwa
senang itu hanya selewat saja, namun susahnya lebih lama terderita! Maka,
orang yang sudah sadar dan waspada akan segala gerak-geriknya sendiri,
tidak mudah terjebak dan terpikat oleh kesenangan yang hanya merupakan
bayangan pikiran belaka. Pikiran yang mengingat-ingat segala kesenangan
seolah-olah mengunyah-ngunyahnya sehingga menimbulkan nafsu keinginan
untuk mengejar kesenangan itu. Namun, siapa yang telah waspada akan hal
ini, akan dapat melihat betapa palsunya semua itu dan pengertian akan
kepalsuan inilah yang akan menjadi pengrobah dari seluruh jalan hidupnya.

Kebencian dan rasa takut didatangkan oleh pikiran yang membayangkan hal-
hal yang mengerikan dan tidak menyenangkan yang telah atau akan menimpa
diri kita. Iri hati, keinginan, ambisi, gairah datang karena pikiran membayangkan
hal-hal yang menyenangkan dan yang telah atau akan kita alami. Segala
macam nafsu datang dari pikiran yang membayang-bayangkan hal-hal yang
telah lalu dan yang akan datang sehingga kehidupan kita sepenuhnya
dipermainkan dan dikuasai oleh kesibukan pikiran, membuat kita tidak mampu
melihat keadaan sesungguhnya dan kenyataan dari saat sekarang ini. Oleh
karena itu, seorang bijaksana akan selalu waspada terhadap pikirannya sendiri,
karena pikiran yang sesungguhnya amat penting bagi fungsi hidup sehari-hari
sebagai alat untuk mengingat dan mencatat, juga amatlah jahat kalau
dipergunakan tidak pada tempatnya, yaitu dipergunakan untuk menguasai
kehidupan seluruhnya dengan pembentukan si aku. Si aku adalah pikiran itu
sendiri yang selalu mengejar kesenangan dan menyingkir dari yang tidak
menyenangkan. Maka batin menjadi ajang perang dari kenyataan seperti apa
adanya dan bayangan-bayangan pikiran yang selalu menginginkan hal-hal yang
lain daripada kenyataan yang ada! Maka datanglah konflik batin yang tentu
akan tercetus keluar menjadi konflik lahir. Kalau kita mau membuka mata
melihat kenyataan konflik ini nampak di dalam kehidupan kita sehari-hari, dari
konflik kecil antar manusia sampai konflik besar antar bangsa berupa perang!

Pengejaran Ambisi
Kembali merupakan bukti yang nyata betapa semenjak sejarah tercatat orang,
semua pertikaian, semua permusuhan dan semua peperangan terjadi sebagai
akibat daripada pengejaran ambisi dan cita-cita, baik perorangan maupun
kelompok yang sesungguhnya sama saja, karena kelompok hanyalah
merupakan sekumpulan orang-orang lemah yang tidak percaya kepada diri
sendiri lalu menggantungkan kepercayaan mereka kepada beberapa gelintir
orang dan mengeoper ambisi beberapa gelintir orang itu sebagai tujuan cita-cita
mereka sendiri. Betapa banyak terjadi sejak dahulu. Raja demi raja
ditumbangkan dari kekuasaannya oleh raja lain yang pada gilirannya selalu
terancam akan digulingkan pula oleh kekuasaan lain yang ingin mencapai apa
yang dicita-citakannya, apa yang diinginkannya dan yang dinamakan cita-cita
atau ambisi.
Cita-cita atau ambisi bukan lain hanyalah keinginan kita akan sesuatu yang
tidak ada, sesuatu yang lain daripada yang ada sekarang, yang lain daripada
apa yang berada di tangan kita, lain daripada apa yang kita miliki, yang kita
anggap jauh lebih bagus dan lebih menyenangkan daripada yang ada
sekarang. Dengan pandangan seperti ini, mata yang ditujukan kepada hal-hal
yang belum ada, yang dianggap lebih menyenangkan, tentu saja yang ada
sekarang tampak sama sekali tidak menyenangkan, atau bahkan tidak nampak
sama sekali. Jelaslah bahwa cita-cita atau ambisi itu hanyalah pengejaran
kesenangan belaka, kesenangan yang dibayang-bayangkan akan membuatnya
bahagia. Padahal kalau yang dinamakan cita-cita itu tercapai, kepuasan hanya
dirasakan sebentar saja karena mata sudah mulai lagi memandang jauh,
bercita-cita yang lain lagi, mengejar kesenangan yang lain lagi, yang dianggap
lebih daripada yang telah diperolehnya itu.
Demikianlah, hidup lalu menjadi gelanggang pengejaran cita-cita yang
akibatnya hanya dua, yaitu kalau tidak tercapai menjadikan kecewa dan putus
asa, kalau tereapai menjadikan bosan dan mengejar yang lain lagi. Dan lebih
celaka lagi, pengejaran-pengajaran demi tercapainya cita-cita atau ambisi yang
pada hakekatnya hanyalah kesenangan terselubung itu, seringkali dilakukan
dengan cara bagaimana saja, kadang-kadang kotor dan kejam bukan main,
demi untuk memperoleh yang dicita-cita atau dikejarnya.
Betapapun cara pengejaran keinginan itu diperhalus, dijaga agar tidak
menyeleweng daripada kebenaran, tetap saja di dalamnya mengandung unsur
untuk kepentingan diri pribadi, dan karena setiap orang mengejar keinginan
masing-masing, maka tentu saja tidak mungkin dapat dlielakkan lagi terjadilah
bentrokan-bentrokan, sikut-sikutan, jegal-jegalan demi untuk memperoleh apa
yang diinginkan.
Seperti sekelompok kanak-kanak memperebutkan layang-layang yang putus
talinya. Apapun akan mereka lakukan demi memperoleh layang-layang itu.
Oleh karena cita-cita inilah maka timbul perbuatan-perbuatan yang rendah,
timbul perang dan permusuhan dan timbul cara-cara yang kotor dan keji, timbul
pegangan kejam bahwa cita-cita atau tujuan menghalalkan segala cara! Dan
kalau sudah begitu, celakalah manusia.
Memang demikianlah adanya "kesetiaan" yang didengung-dengungkan
manusia di seluruh dunia itu! Apakah sesungguhnya kesetiaan itu? Apakah
artinya kalau orang bersetia dan berani mengorbankan nyawanya demi untuk
rajanya, untuk negaranya, untuk agamanya dan lain-lain? Apakah artinya itu?
Kalau kita mau membuka mata dan menjenguk keadaan batin sendiri akan
nampaklah dengan nyata bahwa sesungguhnya sebutan kesetiaan itu
merupakan sebutan lain saja penonjolan diri pribadi, atau dapat juga dilihat
bahwa yang mendorong "kesetiaan" itu hanyalah keinginan menonjolkan diri
sendiri dan kesetiaan itu hanya merupakan suatu cara untuk memperoleh
keuntungan diri pribadi, biarpun keuntungan itu bukan berupa benda lagi,
melainkan dalam bentuk "nama besar" atau "nama baik", kepahlawanan, dan
sebagainya lagi.

"Hanya orang yang sudah tidak ingin mengejar kesenangan sajalah yang dapat
menikmati kesenangan yang sesungguhnya! Hanya orang yang sudah tidak
ingin mengejar kebahagiaan sajalah yang benar-benar bahagia. Orang yang
tidak puas saja yang mengejar kesenangan yang dianggapnya akan mengisi
kekosongannya, akan memuaskannya. Akan tetapi setelah yang dikejarnya
terdapat, ketidakpuasan itu tetap akan menghantuinya, dirinya akan selalu
penuh ketidakpuasan dan hidupnya menjadi sengsara selalu."

"Akan tetapi, apakah kita lalu harus memantang kesenangan dan menjauhi
kepuasan?"
"Sama sekali bukan, Bukan memantang kesenangan, bukan menolak
kesenangan, melainkan TIDAK MENGEJAR, tidak memanjakan dan tidak
memusuhi. Kalau sudah begitu, barulah segala saat dalam hidup merupakan
kesenangan karena htdupnya adalah kesenangan itu sendiri! Bukan menjauhi
kepuasan, melainkan tidak menginginkan kepuasan karena kalau sudah
demikian, barulah setiap saat merasa puas karena hidupnya adalah kepuasan
itu sendiri!"

"Akan tetapi, kalau tidak mempunyai keinginan apa-apa lagi, bukankah itu sama
saja dengan mati?"
"Nah, itulah! Mati dalam hidup! Jasmaninya memang hidup dan baru benar-
benar hidup kalau semua keinginan yang timbul dari si aku yang selalu
mengejar keenakan dan kesenangan itu telah mati.

Cita-Cita

Apakah artinya cita-cita? Bukankah cita-cita hanya merupakan bayangan yang


tidak ada, merupakan sesuatu yang dianggap lebih indah daripada kenyataan
yang ada, merupakan bayangan khayal, yang dikejar-kejar oleh manusia yang
ingin mencapainya? Bukankah cita-cita itu sesuatu yang telah digambarkan,
merupakan bayang-bayang yang dipuja-puja sebagai teladan untuk dicapainya
dengan cara bagaimana pun."
“Cita-cita adalah sesuatu yang amat baik, yang menjadi arah tujuan hidup.
Tanpa cita-cita yang tinggi, hidup akan menyeleweng."

"Benarkah demikian? Apakah tidak sebaliknya? Apakah bukan justeru karena


mengejar cita-cita itu maka manusia saling gempur, saling jegal, saling hantam
demi mencapai cita-citanya masing-masing? Apakah bukan cita-cita yang
menimbulkan perbuatan-perbuatan kejam, keras, dan pengejarannya membuat
kita menyeleweng daripada kebenaran? Cita-cita adalah suatu contoh yang
sudah digambarkan lebih dulu, dan kalau kita memaksa diri menjangkaunya,
mengekornya, bukankah kita menjadi manusia-manusia yang paling munafik
dan palsu? Kita bercita-cita menjadi orang baik, akan tetapi kalau memang kita
tidak baik, maka kita akhirnya menjadi orang baik yang palsu, baik pura-pura
hanya untuk memenuhi gambaran contoh yang dicita-citakan itu belaka!"

"Andaikata orang bodoh itu mengenal diri sendiri dan melihat kebodohannya,
dia sudah bukan orang bodoh lagi! Sebaliknya, orang bodoh yang tidak melihat
kebodohannya dan merasa diri pintar, dialah sebodoh-bodohnya orang.
Demikian pula, andaikata orang tidak baik itu mengenal diri sendiri dan melihat
ketidakbaikannya, maka pengertian ini menimbulkan kesadaran dan dia bukan
orang tidak baik lagi dan dia tidak perlu mencari untuk menjadi orang baik lagi!
Sebaliknya, dalam keadaan tidak baik lalu mengejar untuk menjadi orang baik,
pengejarannya itu akan menimbulkan banyak ketidakbaikan, mungkin dia akan
pura-pura berbuat baik, mungkin dia akan menggunakan kekerasan,
kedudukan, harta benda, untuk dapat disebut orang baik dan di dalam semua
kebaikan yang dilakukan oleh orang tidak baik terkandung ketidakbaikan yang
paling jahat!
Kita sudah terbiasa menganggap bahwa cita-cita mendatangkan kemajuan,
anggapan kuno yang sudah mendarah daging dan kita terima begitu saja tanpa
penyelidikan akan kebenarannya. Mendatangkan kemajuan? Kemajuan yang
bagaimanakah? Kita bercita-cita menjadi seorang berkedudukan tinggi dan
dalam mengejar cita-cita itu, sudah hampir dapat dipastikan terjadi perebutan,
terjadi penyogokan, terjadi kekerasan, bahkan mungkin kita harus menginjak
orang lain sebagai batu loncatan dan setelah kita berhasil mencapai cita-cita
itu, memperoleh kedudukan tinggi, apakah itu kemajuan namanya?"

"Jangan mencari contoh anggapan atau pandangan orang lain! Mari kita selidiki
bersama, jangan hanya menyandarkan kepada pandanganku atau pandangan
siapapun juga. Tidak perlu kita berpegang kepada pelajaran mati, harus bercita-
citakah, atau tidak haruskah, atau harus puas atau tidak puaskah? Apa sih
artinya harus ini atau tidak harus itu? Kalau puas ya puas saja, kalau tidak puas
ya tidak puas saja, jangan dipaksakan menjadi sebaliknya karena hal itu
menimbulkan pertentangan batin dan kepalsuan belaka. Mengapa kita tidak
puas dengan keadaan saat ini? Sekali tidak puas, sampai matipun kita selalu
akan tidak puas, bukan? Keadaan setiap saat berubah, akan tetapi
ketidakpuasan yang timbul karena mengejar keadaan yang lain itu tidak akan
pernah berubah dan akan menekan kita selama hidup. Tidak ada yang tidak
membolehkan orang mencari kemajuan, akan tetapi harus dimengerti lebih
dulu, apa sih kemajuan yang kita cari-cari itu?
Kalau tanpa cita-cita, bukankan hal itu berarti menjadi orang biasa saja ?

”Apa salahnya menjadi orang biasa? Kenapa semua orang ingin menjadi orang
yang LUAR BIASA? Justeru inilah yang menjadi sebab dan sumber timbulnya
segala malapetaka di dunia, segala permusuhan dari perorangan sampai
kepada kelompok dan bangsa. Ingin menjadi luar biasa, lain daripada yang lain,
paling hebat, paling jempol, haus akan pujian. Padahal semua itu kosong
belaka, hanya angin yang akan memenuhi kepala menjadi besar dan tolol! Kita
semua takut untuk menjadi orang yang dianggap tidak ada artinya! Padahal kita
baru dipandang kalau kita sudah dapat mengalahkan orang lain,
memperlihatkan kekuatan dan kekuasaan kita. Tidak anehlah kalau pendidikan
macam ini membentuk kita menjadi manusia-manusia yang kejam, yang hanya
mementingkan kesenangan diri pribadi. Ya, itulah cita-cita dan pengejarannya!
Cita-cita yang diagung-agungkan itu bukan lain hanyalah keinginan untuk
menyenangkan diri pribadi. Kesenangan, cita-cita, kedudukan, kekayaan,
kemulyaan, dan sebagainya tidaklah buruk, akan tetapi PENGEJARANNYA,
itulah yang amat jahat! Kekayaan, misalnya, tidak buruk, akan tetapi
pengejarannya, mengejar kekayaan itulah yang menciptakan pelbagai
perbuatan jahat yang kejam. Karena pengejaran ini yang membutakan mata
batin, dalam mengejar sesuatu yang kita inginkan untuk menyenangkan diri,
yang diselimuti dengan nama indah cita-cita, kita menjadi buta dan melakukan
apa saja demi tercapainya cita-cita itu. Bukankah demikian yang kita lihat di
sekitar kita setiap hari?"

Coba perhatikan kata-kata kebanyakan orang :


”Saya ingin dia menjadi orang yang baik! Nah, jawabannya telah terdapat di
situ, bukan? Dia yang INGIN dia menjadi orang baik.
”semua orang tua bilang cinta kepada anak-anaknya dan mereka INGIN anak-
anaknya menjadi orang begitu atau begini. Coba teliti yang benar. Bukankah
keinginan itu didorong oleh hati yang ingin menyenangkan diri sendiri? Ingin
senang MELALUI anaknya ?!
Anda akan senang kalau anak anda menjadi begini atau begitu menurut yang
anda inginkan. Bukankah begitu? Maka, kalau si anak tidak menaati, lalu
dimaki, dibenci, bahkan hampir dibunuh! Bukan demi cita-cita, bukan demi
kehormatan, bukan pula sama sekali demi cinta, melainkan demi
menyenangkan diri anda sendiri. Karena si anak menolak, berarti tidak
menyenangkan, dan berubahlah cinta itu menjadi benci dan kekejaman,
sehingga rela hampir membunuh anak.

(Wejangan eyang Asmaraman pada cerita PKH-DM)

Keindahan
Betapa indahnya alam! Betapa indahnya susunan tubuh kita sendiri! Betapa
indah dan juga ajaibnya keadaan diri kita sendiri dan di sekeliling kita. Akan
tetapi sayang kita seperti buta terhadap itu semua. Kita tidak pernah membuka
mata menikmati semua keindahan dan keajaiban itu, melainkan menerawang
jauh, menginginkan hal-hal yang tidak terjangkau oleh kita. Kalau kita tinggal di
tepi laut, pemandangan laut tidak lagi menarik perhatian kita karena perhatian
kita diterbangkan oleh pikiran yang menginginkan pemandangan di gunung-
gunung. Sebaliknya kalau kita tinggal di gunung, kita menganggap bahwa
pemandangan di laut yang jauh dari kita itu lebih indah.
Betapa bahagianya manusia yang selalu membuka mata memandang penuh
perhatian akan segala sesuatu di dalam dan di luar dirinya sendiri. Dialah yang
akan melihat segala keindahan dan keajaiban itu. Dialah yang akan
menyaksikan kekuasaan Tuhan yang penuh berlimpah dengan berkah, dengan
keindahan, dengan keajaiban, dengan CINTA KASIH!

NASIB
Bernasib malang? Benarkah NASIB yang membuat Liong Si Kwi seperti itu?
Benarkah NASIB yang membuat lengannya buntung, hidupnya terasa merana,
perutnya terisi kandungan anak tanpa ayah? Betapa mudahnya kita
melontarkan segala peristiwa yang menimpa diri kita kepada nasib! Nasib baik,
nasib baik dan sebagainya! Tidak ada sesuatu terjadi tanpa sebab, dan sebab
itu sama sekali bukanlah nasib! Sebab itu pada hakekatnya SUDAH PASTI
timbul dari hasil perbuatan kita sendiri, perbuatan termasuk sikap, kata-kata,
pikiran dan sebagainya. Sumber dari segala sesuatu yang terjadi pada diri kita
terletak di dalam diri kita sendiri! Akan tetapi, kita tidak pernah mau
memandang diri sendiri, dan kita lebih condong untuk mencari kambing hitam
pada diri orang lain, pada keadaan di luar diri, atau kalau sudah kehabisan
calon kambing hitam, kita lalu meraih NASIB dan menjadikannya sebagai
kambing hitam! Kapankah kita mau membuka mata memandang diri sendiri di
mana terdapat sumber segala rahasia hidup ini?

Betapa banyaknya manusia yang tidak kuat menghadapi penderitaan hidup dan
selalu mencari jalan pelarian untuk menjauhkan diri atau membebaskan diri dari
penderitaan hidup itu. Banyak macam cara pelarian ini, di antaranya yang
terburuk dan paling mengerikan adalah bunuh diri! Ada yang bersembunyi di
balik hiburan-hiburan, kesenangan-kesenangan yang dicari-cari, atau
menggantungkan kepercayaan kepada sesuatu. Kita tidak sadar bahwa semua
bentuk pelarian itu adalah sia-sia belaka. Mengapa sia-sia? Karena apa yang
kita namakan penderitaan hidup itu sesungguhnya tak lain tak bukan adalah
permainan pikiran kita sendiri! Pikiran kita selalu melekat kepada masa lalu,
kepada hal-hal yang telah terjadi, kepada hal-hal yang akan terjadi! Pelekatan
pikiran ini tentu saja menimbulkan sesal, duka, dan khawatir. Kita tidak pernah
mau menghadapi setiap peristiwa sebagai sesuatu yang wajar, menghadapi
langsung, mempelajarinya setiap saat, dengan penuh perhatian tanpa
menyalahkan sana-sini, tanpa rasa iba kepada diri sendiri. Kita hanya dapat
bebas dari semua penderitaan kalau kita menghadapinya secara langsung apa
yang kita anggap penderitaan itu! Kalau kita menghadapinya langsung,
memandang dan mengamatinya secara langsung, melihat apa adanya,
kewajarannya sebagai suatu fakta, maka sudah pasti bahwa penderitaannya
akan lenyap. Kita akan bebas dari penderititan karena penderitaan itu adatah
PENDAPAT PIKIRAN yang terdorong oleh kekecewaan, iba diri dan
sebagainya.

Segala sesuatu yang terdapat di alam ini memang telah mempunyai ketertiban
sendiri. Bukan ketertiban terpisah-pisah dan terpecah-pecah, melainkan
ketertiban yang menyelimuti seluruh alam semesta. Segalanya bergerak
dengan tertib seolah-olah diatur dengan tenaga tak nampak. Lihatlah keluar,
awan berarak di angkasa, berlapis-lapis ada yang ke kanan ada yang ke kiri
gerakan mereka, mendung berkumpul di tempat-tempat tertentu digerakkan
angin besar sebelum turun hujan. Perjalanan dunia, bulan, bintang, kekuasaan
matahari dan kegunaan sinarnya. Tumbuhnya pohon-pohon dengan batangnya,
akar-akarnya, daunnya, bunganya, buahnya. Rontoknya daun menguning
menjadi satu di antara pupuk menyuburkan tanah. Kemudian lihatlah ke dalam,
lihatlah diri kita sendiri. Setiap bagian tubuh kita mengandung keajaiban yang
amat besar, dari pertumbuhan setiap helai rambut di tubuh kita sampai pada
denyut jantung, peredaran darah, pemapasan, otak, hati dan segala ini yang
membuat kita hidup, bergerak, mengerti, memandang, mendengar dan
sebagainya. Betapa ada api panas yang terus-menerus bernyala atau membara
dalam diri kita di waktu kita masih hidup. Segala keajaiban ini lewat begitu saja
bagi mata kita yang seperti buta, tidak memperhatikannya, tidak
memperdulikannya, dan kita mengalihkan pandangan mata kepada hal-hal
ajaib lain yang kita anggap menguntungkan kita, mistik, dan sebagainya!

Kehidupan manusia selalu berubah. Hidup adalah gerakan seperti air sungai
mengalir yang selalu baru dan berubah. Hari ini boleh jadi berduka, besok
belum tentu demikian. Hari ini menangis, besok mungkin tertawa. Hari ini
melakukan kejahatan, besok mungkin melakukan kebaikan. Sebaliknya
kesenangan hari ini mungkin berubah menjadi kesusahan di hari esok dan
selanjutnya. Oleh karena itu, kelirulah menilai hidup dan keadaan seseorang
dari perbuatan atau keadaannya di masa lalu! Dan tidak benar pula mengukur
baik buruknya seseorang dari SATU perbuatan saja!

Kita manusia lupa bahwa segala sesuatu di dunia ini sudah dalam keadaan
tertib, dan sudah tertib dengan sendirinya, sempurna segala-galanya. Karena
manusia berakal budi, maka manusia senantiasa mempunyai kecondongan
untuk membantu jalannya kekuasaan alam, membantu kelancarannya. Dan
karena semenjak jutaan tahun bantuan-bantuan manusia ini makin
berkembang, maka manusiapun telah menjadi terbiasa karenanya, dan
manusia merasa kehilangan tanpa adanya bantuan-bantuan itu. Dan mungkin
sekali, karena terbisa oleh bantuan-bantuan dari luar ini, jasmani manusia
kehilangan kepekaannya, kehilangan kecerdasannya, bahkan mungkin juga
daya ketertiban yang ajaib itu bahkan berkurang sehingga manusia akan
merasa tidak berdaya tanpa adanya bantuan-bantuan luar yang sudah biasa
diterimanya itu. Kita dapat melihat bukti adanya ketertiban alamiah yang amat
dahsyat dan ajaib itu dalam kehidupan binatang-binatang hutan yang masih
jauh dari "peradaban" manusia. Kelahiran di antara binatang-binatang itu terjadi
di mana-mana, dan tentu saja di dunia mereka itu tidak mengenal adanya
bantuan dari luar! Namun, semua kelahiran berjalan lancar dan sempurna!
Hanya binating-binatang yang sudah dekat dengan manusia saja, yang biasa
menerima bantuan-bantuan dari manusia, akan merasa kehilangan dan
mungkin akan terancam bahaya kegagalan apabila mereka terlepas daripada
bantuan manusia yang sudah biasa mereka terima turun-temurun itu.

Nafsu
Memang demikianlah nafsu. Seperti api. Makin diberi umpan dan bahan bakar,
makin berkobar. Seperti babi yang rakus. Makin diberi makan, makin kurang!
Segala macam bentuk nafsu keinginan selalu demikian, makin dituruti
keinginan itu, makin banyak yang didapatnya makin serakah. Seorang yang gila
uang, makin banyak mendapat uang, makin serakahlah dia, tidak akan ada
puasnya seolah-olah makin diberi minum makin haus. Seorang yang gila
kekuasaan, gila kedudukan, gila nama dan sebagainya juga demikian. Makin
dikejar nafsu keinginannya, makin banyak yang didapatkannya, makin
kuranglah dia merasa! Sama pula dengan semua itu, nafsu berahipun
demikian. Karena makin banyak dialami dalam pemuasannya, makin
bertumpuk kenangan di dalam ingatan, makin kuat pula pendorong yang
membuat orang ingin mengulanginya kembali, bahkan ingin mendapatkannya
lebih banyak lagi.

Manusia selalu berubah. Tidak ada kedukaan yang abadi seperti juga tidak ada
kesenangan yang kekal. Juga manusia tidak selalu baik atau selalu jahat,
dalam diri manusia terdapat unsur kebaikan dan unsur kejahatan ini. Sekali
waktu kejahatannya menonjol, ada kalanya kebaikannya nampak. Mengapa
demikian? Karena sesungguhnya, pikiran kita sendirilah yang menentukan,
yang menguasai seluruh kehidupan, sehingga kita diombang-ambingkan antara
susah dan senang, baik dan jahat, indah dan buruk, yang timbul dari pikiran
yang menilai-nilai, membanding-bandingkan semua merupakan permainan dari
pikiran kita sendiri yang selalu mengejar kesenangan dan menolak kesusahan.
Karena perbandingan dan penilaian ini, maka terciptalah sifat-sifat kebaikan,
susah senang, baik jahat, dan sebagainya. Dan sifat-sifat kebaikan inilah yang
menimbulkan adanya kebaikan tunggal, kebalikan abadi yang menguasai dan
menyengsarakan kehidupan, yaitu kebalikan antara cinta dan benci. Yang
menyenangkan atau dianggap menyenangkan kita cinta, sebaliknya yang kita
anggap menyusahkan kita benci. Maka terjadilah pertentangan, permusuhan
kelompok, bangsa, dan perang! Dapatkah kita terbebas dari cengkeraman
pikiran yang menilai dan membandingkan? Mungkin dapat kalau kita bebas dari
keinginan untuk mengejar kesenangan. Segala macam KEINGINAN, dalam
bentuk apapun juga, adalah MENYESATKAN. Ingin baik, ingin bebas, ingin
suka, ingin damai dan sebagainya, pada hakekatnya adalah INGIN SENANG!
Betapapun tinggi dan mulianya nampaknya yang diinginkan itu, tetap saja itu
merupakan keinginan untuk mencapai kesenangan, baik kesenangan batin
maupun kesenangan lahir. Dan setiap pengejaran kesenangan, dalam bentuk
apapun juga, pasti mendatangkan konflik dan ada yang menghalangi, ada yang
merintangi, timbullah kekerasan dan pertentangan, timbullah rasa benci dan
permusuhan. Betapa banyaknya hal ini terjadi di sekeliling kita! Betapa
memang demikianlah hidup ini.
Contohnya, seorang pendeta bertapa untuk mencari kedamaian. Ini merupakan
suatu keinginan, ingin mencapai kedamaian. INGIN SENANG! Karena kalau
dalam keadaan damai, dianggapnya akan senang. Karena itu, setiap ada
gangguan dalam pertapaannya, dia akan menentang si pengganggu ini dan
terjadilah permusuhan. Dengan sendirinya kedamaian yang dicari-cari itupun
hancur lebur! Betapa banyaknya hal ini dilihat dalam kehidupan kita sekarang
ini! Bangsa-bangsa berteriak-teriak mencari perdamaian, INGIN DAMAI, yang
berarti ingin senang pula! Bukan enggan perang, melainkan ingin damai, ingin
senang. Maka, dalam mengejar perdamaian ini, kalau perlu dengan jalan
perang! Dan kalau sudah perang, mana ada perdamaian? Padahal,
perdamaian tidak perlu dikejar, tidak perlu dicari. Hentikan perang, jangan
berperang, maka tanpa dicari sudah ada kedamaian itu! Demikian pula dalam
kehidupan kita sehari-hari. Kita terlalu banyak MENGINGINKAN hal-hal yang
tidak ada. Kita tidak mau membuka mata akan kehidupan kita sehari-hari, tidak
mau memandang keadaan kita setiap saat, lahir batin. Kita INGIN sabar,
padahal kita pemarah. Sama seperti ingin damai tapi dalam keadaan perang
tadi. Kalau kita mengenal diri sendiri, melihat kemarahan sendiri, penglihatan ini
menyandarkan dan menghentikan marah itu. Kalau sudah tidak ada marah
perlukah belajar sabar lagi?
Kita manusia sebagai perorangan, sebagai kelompok, sebagai bangsa,
agaknya lupa bahwa segala sumber peristiwa berada di dalam diri kita sendiri.
Kuncinya berada dalam diri kita sendiri. Akan tetapi kita selalu mencari ke luar.
Kita tidak mau mempelajari diri sendiri dalam hubungannya dengan kehidupan.
Kehidupan adalah kita, kitalah pokoknya, kitalah, ujung pangkalnya, kitalah
dasarnya, kitalah sebab akibatnya. Kita lebih suka mempelajari orang lain,
mencari-cari kesalahan orang lain dan mencari kesenangan untuk diri sendiri
belaka selama hidup. Maka tidaklah aneh kalau selama hidup kita diombang-
ambingkan oleh gelombang kehidupan penuh suka-duka, jauh lebih banyak
dukanya dari pada sukanya. Maukah kita menyadari semua ini dan mulai
meneliti diri sendiri. Bercermin sepanjang hari setiap saat? Bercermin lahir
batin? Kapan dimulai? SEKARANG JUGA!
Sang waktu berlalu terus tanpa memperdulikan segala sesuatu yang terjadi di
dunia ini. Matahari timbul tenggelam setiap hari tanpa memperdulikan segala
yang terjadi, bebas tanpa ikatan, melalui jalan kehidupan dengan wajar. Itulah
ABADI! Apapun yang terjadi atas dirinya, ada maupun tidak ada, begini maupun
begitu, tidak mempengaruhinya. Tidak ada kemarin, tidak ada esok, yang ada
hanya SEKARANG. Dan sekaranglah abadi!

Tidak pernah ada persoalan atau masalah yang timbul dari pikiran, yang ada
hanyalah soal-soal yang wajar seperti perut lapar, tubuh lelah, panasnya
matahari, dinginnya hawa malam, hujan, bahaya-bahaya yang muncul dari
alam, dan segala masalah yang langsung dihadapinya dan langsung diatasinya
pula. Tidak ada masalah yang timbul dari pikiran, seperti dalam kehidupan
masyarakat manusia, yang berisi kecewa, iri, benci, dendam, dan sebagainya
yang kesemuanya menuntun kepada penderitaan dan kedukaan hidup.
Tak dapat disangkal pula bahwa manusia merupakan makluk yang paling
pandai di antara semua makluk hidup dan sudah telah memperoleh kemajuan
yang amat hebat dalam soal kebendaan, soal jasmaniah, soal lahiriah.
Kemajuan-kenajuan pesat yang mentakjubkan telah dicapai oleh manusia
dengan segala keajaiban tehnik. Akan tetapi, sungguh sayang, kemajuan
jasmaniah ini tidak disertai kemajuan rohaniah, kemajuan lahiriah tidak
diimbangi kemajuan batiniah. Bahkan sebaliknya malah! Justeru kemajuan-
kemajuan yang dicapai dalam bidang lahiriah ini seolah-olah menjadi
penghambat kemajuan batiniah, bahkan telah membuat manusia mundur dalam
bidang rohani. Kalau kita bandingkan betapa beberapa ratus tahun yang lalu
manusia masih mempergunakan gerobak yang ditarik kuda dan kini manusia
mempergunakan kendaraan-kendaraan bermesin yang hebat-hebat, bahkan
dapat terbang dengan kecepatan melebihi suara, jelaslah bahwa manusia telah
memperoleh kemajuan yang amat hebat di bidang kebendaan di banding
lahiriah. Akan tetapi, kalau kita bandingkan pula keadaan batiniah manusia
ketika masih berkendaraan gerobak dengan batin manusia sekarang, jelas pula
nampak bahwa di bidang ini kita mengalami kemunduran hebat! Kejahatan
makin merajalela. Permusuhan antara manusia makin menghebat. Perang
makin mengganas. Bunuh-membunuh makin menguasai seluruh negara di
bagian dunia manapun juga. Mengapa demikian? Apakah justeru kemajuan
lahiriah itu yang menyeret manusia mundur dalam bidang batiniah? Apakah
kemajuan di bidang kebendaan itu telah mendatangkan kebahagiaan kepada
manusia? Kita dapat membuka mata melihat kenyataan dan jawabannya jelas:
Tidak! Kemajuan di bidang kebendaan jelas tidak mendatangkan kebahagiaan.
Bukan berarti bahwa kita tidak semestinya maju dalam bidang kebendaan.
Sama sekali tidak! Akan tetapi kita tidak pernah mau meneliti dan menyelidiki
tentang kehidupan batiniah kita. Kita terlampau dibuai oleh kemajuan lahir yang
kesemuanya ditujukan kepada pencapaian kesenangan yang sebanyak dan
sebesar mungkin! Kita lupa bahwa makin dikejar, kesenangan itu makin
mencengkeram kita, makin membuat kita haus. Nafsu tak pernah dapat
dipuaskan, karena sekali dituruti, akan terus menyeret kita untuk mendapatkan
yang lebih banyak dan lebih besar lagi. Dan justeru pengejaran kesenangan
inilah yang menjerumuskan kita ke dalam segala bentuk kejahatan!
Seluruh kehidupan kita telah dikuasai dan dipengaruhi oleh hasrat yang satu,
yaitu ingin senang! Hasrat ingin senang ini sampai-sampai menyelinap ke
dalam soal-soal yang kita namakan bidang rohaniah, sehingga sebagian besar
dari kita memasuki suatu agama, suatu partai, suatu golongan, suatu kelompok
kebatinan, hanya terdorong oleh hasrat INGIN SENANG inilah! Marilah kita
membuka mata meneliti dan mengamati diri sendiri. Tidaklah di balik semua
usaha kerohanian kita itu tersembunyi hasrat itu yang terselubung? Hasrat ingin
menjadi orang baik, ingin bebas, ingin menjadi saleh, yang kesemuanya
merupakan bentuk terselubung dari hasrat INGIN SENANG. Dan selama
terdapat pamrih ingin senang, berarti semua tindakan yang berpamrih
mementingkan diri sendiri sudah pasti akan mendatangkan konflik. Karena
itulah muncullah agamaKu, negaraKu, partaiKu, keluargaKu, kelompokKu,
TuhanKu, dan selanjutnya yang semuanya hanya berdasarkan kepada
kesenanganKu, oleh karena itu kalau kesenanganku sampai diganggut aku
menjadi marah, benci, dan siap untuk membunuh atau dibunuh! Perang! Ingin
senang! Apakah hidup ini lalu harus menjauhi kesenangan, menolak
kesenangan lalu hidup bertapa di gunung-gunung, di guha-guha, atau
mengasingkan diri di biara-biara. Sama sekali tidak demikian! Kita lupa bahwa
menjauhi kesenangan seperti itu, bertapa dan sebagainya, pada hakekatnya
juga masih MENCARI KESENANGAN dalam bentuk lain, menginginkan
kesenangan yang kita anggap lebih luhur! Segala macam bentuk pencarian,
segala bentuk daya upaya, pada hakekatnya terdorong oleh rasa ingin senang
itu, bukan? Baik kesenangan itu kita tingkat-tingkatkan sebagai kesenangan
rendah, sedang atau tinggi atau luhur, tetap saja pada dasarnya kita ingin
senang! Dan selama ada KEINGINAN untuk senang, maka sudah pasti timbul
konflik, timbul pertentangan, karena keinginan yang dihalangi menimbulkan
marah dan kebencian, keinginan yang tidak tercapai menimbulkan kekecewaan
dan kedukaan, sebaliknya keinginan yang tercapai tidak akan mendatangkan
kepuasan abadi, melainkan mendatangkan kepuasan sesaat saja yang
kemudian ditelan oleh keinginan yang lebih besar lagi.
Kesenangan bukanlah hal yang jahat atau buruk. Manusia hidup berhak untuk
senang! Kita mempunyai panca indra yang dapat merasakan kesenangan itu,
dapat menikmati apa yang dinamakan kesenangan itu sehingga mata kita dapat
menikmati keindahan setangkai bunga, telinga kita dapat menikmati kicau
burung, hidung kita dapat menikmati keharuman bunga, mulut kita dapat
menikmati asin, manis, gurih, dan sebagainya lagi. Anugerah sudah berlimpah!
Akan tetapi, segala kesenangan yang sebenarnya bukan kesenangan,
melainkan kebahagiaan hidup ini, akan berubah menjadi kesenangan yang
ingin kita ulang-ulangi, ingin kita peroleh sebanyak dan sebesar mungkin kalau
kita MENYIMPAN pengalaman yang nikmat itu ke dalam ingatan! Maka lahirlah
keinginan untuk senang, dan muncullah pengejaran kesenangan! Semua ini
dapat kita sadari sepenuhnya kalau kita waspada dan mau mengamati diri
sendiri setiap saat tanpa penilaian, tanpa usaha mengubah, hanya mengamati
saja penuh pengertian, penuh kewaspadaan, yaitu diri sendiri mengamati diri
sendiri.

Ikatan selalu menimbulkan duka. Kita hidup terbelenggu ketat oleh ikatan-ikatan
sehingga merupakan hal yang teramat sukar untuk dapat bebas. Kita terikat
dan menyamakan diri atau menyatukan diri dengah isteri atau suami kita,
dengan keluarga kita, kekayaan kita, kesenangan-kesenangan kita, nama kita,
negara kita dan sebagainya. Dan sudah pasti bahwa kalau sewaktu-waktu kita
harus berpisah dari semua itu, timbullah duka. Bagaimanakah terjadinya ikatan
itu? Mengapa kita suka sekali untuk mengikatkan diri secara sadar maupun
tidak kepada semua itu?
Ikatan timbul apabila kita menikmati suatu kesenangan dan menyimpan
kesenangan itu di dalam ingatan, lalu ingin seterusnya memiliki kesenangan itu.
Kita mengalami kesenangan dalam hubungan dengan suami atau isteri, dengan
keluarga, dengan kekayaan dan sebagainya sehingga kita ingin memiliki
mereka itu untuk selamanya, tidak mau terpisah lagi. Padahal, tiada yang kekal
di dunia ini dan perpisahan pasti tiba, dan timbullah rasa takut, kekhawatiran
akan kehilangan, kemudian timbullah duka kalau kehilangan. Timbul pula rasa
takut akan kematian, yaitu perpisahan terakhir di mana kita harus melepaskan
semua yang telah mengikut kita itu!
Dapatkah kita hidup dengan mempunyai segala sesuatu secara lahiriah saja
akan tetapi tidak memiliki sesuatu secara batiniah? Punyaku, suara lahiriah.
Akan tetapi batin tidak memiliki apa-apa, bebas dan memberi kepada yang
menjadi punya kita itu, tidak terikat. Bukan berarti acuh tak acuh, sebaliknya
malah. Cinta kasih akan menjadi kotor dan palsu kalau disertai ikatan memiliki
ini, karena ikatan ini timbul dari kesenangan yang kita dapat dari orang atau
barang yang kita cinta itu! Ikatan berarti bahwa kita hanya ingin memperalat
yang kita cinta itu demi kesenangan kita sendiri. Ikatan timbul dari pengejaran
kesenangan dan seperti kita ketahui bersama, pengejaran kesenangan
menimbulkan konflik, permusuhan, kekecewaan, kebosanan kebencian dan
sebagainya. Kalau sudah tidak ada lagi keinginan mengejar kesenangan, maka
baru ada kemungkinan batin bebas dari ikatan! Dan kalau batin bebas dari
ikatan, baru nampak sinar cinta kasih yang sejati.

Hok Boan sendiri tidak banyak bertanya karena hati orang ini masih diliputi rasa
menyesal dan duka atas terjadinya peristiwa yang susul menyusul ini, yang
menimpa dirinya dan keluarganya. Sama sekali dia tidak ingat lagi betapa tadi
dia telah menendang monyet betina yang sudah terluka itu! Memang begitulah
watak seorang yang selalu mementingkan diri sendiri belaka. Yang diperhatikan
selalu hanyalah kepahitan-kepahitan yang menimpa dirinya, yang diprihatinkan
hanyalah kesusahan yang diderita oleh diri sendiri dan keluarganya. Orang
seperti ini sama sekali tidak pernah mau melihat penderitaan orang lain,
sehingga hatinya menjadi kejam. Yang dicari hanya hal-hal yang dapat
menyenangkan diri sendiri dan keluarganya, maka dalam mengusahakan
kesenangan dan keselamatan bagi diri sendiri dan keluarganya, dia tidak
segan-segan untuk melakukan apa saja, kalau perlu menyusahkan orang lain
dengan perbuatan-perbuatannya yang kejam. Akan tetapi, jelaslah bahwa
orang yang selalu mengejar kesenangan untuk diri sendiri itu adalah orang
yang hidupnya selalu kecewa dan sengsara. Karena orang demikian itu selalu
merasa kasihan kepada diri sendiri, selalu mengeluh, selalu menganggap
bahwa di dunia ini dia seoranglah yang paling celaka, paling sengsara, paling
patut dikasihani. Dengan demikian, menghadapi halangan sedikit saja dalam
hidup, dia akan merasa sengsara sekali! Patut dikasihani orang seperti itu,
karena dia belum mengerti, belum sadar bahwa sesungguhnya dia telah
dicengkeram oleh batinnya sendiri, oleh pikirannya sendiri, dikuasai dan
dipermainkan oleh nafsu-nafsunya sendiri yang timbul dari permainan pikiran.

"Terima kasih... terima kasih...!" Dan sejak saat dia menerima buntalan dan
pisau itu, maka lenyaplah seluruh rasa tak senang di dalam hatinya terhadap
Kui Hok Boan dan Siong Bu, lenyaplah seluruh anggapan bahwa mereka itu
jahat kepadanya, bahkan kini berganti dengan anggapan bahwa mereka itu
baik sekali kepadanya!
Tidak anehlah apa yang dirasakan oleh hati Sin Liong itu. Demikianlah adanya
kita semua ini! Kita sudah terbiasa sejak kecil untuk terombang-ambing di
antara pendapat yang menjadi hasil dari PENILAIAN. Kita memandang segala
sesuatu dengan penilaian, maka muncullah pendapat baik dan buruk, baik dan
jahat, dan sebagainya. Segala macam kebalikan-kebalikan di dunia ini
mempermainkan kita, membentuk pendapat-pendapat yang tidak lain hanya
akan mendatangkan konflik saja dalam batin. Penilailan ini selalu tentu didasari
oleh pengukuran atau pertimbangan yang merupakan kesibukan yang
bersumber kepada kepentingan diri pribadi. Kita mengukur sesuatu, atau
seseorang, dengan dasar menguntungkan atau merugikan diri kita sendiri.
Kalau menguntungkan lahir atau batin, kalau menyenangkan hati, maka
keluarlah pendapat kita bahwa orang itu adalah baik! Sebaliknya kalau
merugikan lahir atau batin, kalau tidak menyenangkan hati, maka pendapat kita
terhadap orang itu tentu buruk! Jadi jelaslah bahwa baik ataupun buruk itu
hanya merupakan pendapat yang didasari oleh kepentingan si aku yang ingin
memperoleh kesenangan selalu! Dan sudah jelas pula bahwa pendapat
demikian ini adalah palsu dan tidak benar! Pendapat ini hanya merupakan
penilaian yang bertiraikan kepentingan pribadi kita, dan tentu hanya akan
mendatangkan pertentangan batin belaka. Betapapun jahat seseorang menurut
pendapat umum, kalau dia itu baik kepada kita, menyenangkan kita, maka kita
akan menganggap dia itu baik! Sebaliknya, dunia boleh menganggap
seseorang itu amat baik, akan tetapi kalau dia tidak baik kepada kita, kalau dia
tidak menyenangkan kita, maka tak mungkin kita menganggapnya baik, dan
kita pasti akan menganggap dia jahat! Begitulah kenyataannya! Maka dapatkah
kita memandang segala sesuatu tanpa penilaian? Memandang segala sesuatu,
memandang orang lain, seperti apa adanya, seperti keadaannya yang
sesungguhnya tanpa menilai yang didasarkan menyenangkan kita atau tidak?
Karena hanya dengan memandang sesuatu seperti itu sajalah yang
membebaskan kita dari penilaian, dan setelah kita terbebas dari penilaian,
maka kita bebas pula dari rasa suka atau tidak suka. Seni memandang seperti
ini merupakan seni tersendiri yang hanya nampaknya saja sukar akan tetapi
tidaklah sukar apabila kita memiliki perhatian sepenuhnya dan kalau kita sadar
benar-benar bahwa sudah semestinya terjadi perubahan dalam kehidupan kita
yang banyak sengsaranya daripada bahagianya ini.

"Penasaran selalu timbul kepada fihak yang merasa dirugikan, akan tetapi
orang bijaksana memandang persoalan sebagaimana kenyataannya tanpa
dipengaruhi oleh rugi untung bagi dirinya sendiri.

Adakah Persaingan Yang Sehat?


Sudah menjadi penyakit umum di antara manusia untuk saling bersaing di
dalam kehidupan. Penyakit ini memang sudah dipupuk sejak kecil. Di waktu
manusia masih menjadi kanak-kanakpun para orang tua dan gurunya sudah
selalu menekankan agar dia "tidak kalah" dari orang lain, penekanan yang
memupuk jiwa persaingan itulah, yang dilakukan oleh kita semua tanpa kita
sadari bahwa kita telah menanamkan benih-benih yang menimbulkan sengketa
dan kekerasan dalam diri anak-anak kita! Sejak kecil, setiap orang anak telah
dirangsang oleh orang tua, guru-guru, dan masyarakat yang menerima hal itu
sebagai kehormatan dan kebudayaan, untuk menonjolkan dirinya sendiri, agar
tidak kalah oleh siapapun juga. Di dalam kelas saja sudah terdapat penekanan
ini berupa angka-angka tertinggi untuk nilai-nilai kepandaian, pujian bagi yang
pintar dan celaan-celaan bagi yang bodoh, penghormatan-penghormatan bagi
yang kaya dan penghinaan-penghinaan bagi yang miskin, memandang tinggi
bagi yang bdrkedudukan tinggi dan memandang rendah kepada yang
berkedudukan rendah. Inilah, yang membentuk jiwa seseorang sehingga
seperti keadaan kita sekarang ini! Kita bersaing dalam apapun juga. Dalam
perdagangan, dalam perusahaan, dalam kedudukan, dalam olah raga, dalam
semua kehidupan kita. Persaingan ini, dalam bentuk apapun juga, tidak
mungkin tidak menimbulkan kekerasan dan konflik, biarpun dengan seribu
macam alasan kita mau memperhalus persaingan dengan tambahan kata
"sehat". Persaingan sehat! Mana mungkin ini? Persaingan itu sendiri adalah
sama sekali tidak sehat! Keinginan menonjolkan diri agar "tidak kalah" oleh
orang lain ini menimbulkan persaingan, menimbulkan konflik, menimbulkan iri
hati. Iri hati timbul karena perbandingan, kalau kita membanding-bandingkan
diri sendiri dengan orang lain yang lebih pandai, lebih kaya, lebih tinggi
kedudukannya, dan segala macam lebih lagi. Hidup akan menjadi sesuatu yang
lain sama sekali dari pada sekarang ini kalau tidak ada perbandingan, tidak ada
persaingan, tidak ada keinginan menonjolkan diri. Dapatkah kita hidup bebas
dari persaingan? Untuk dapat menjawab pertanyaan ini, kita harus
menghayatinya, bukan hanya sekedar memikirkan dan berteori lalu
berbantahan dengan kata-kata kosong belaka. Penghayatan dapat dilakukan
kalau kita mengenal diri sendiri setiap saat, mengenal iri hati diri sendiri,
mengenal keinginan menonjolkan diri sendiri, mengenal kesukaan diri sendiri
untuk bersaing dan menang!

Betapa banyaknya dapat dilihat, semenjak jaman kuno sampai sekarang,


orang-orang yang bertugas menjadi penjaga dan pelindung keselamatan,
bahkan melakukan pemerasan kepada mereka yang dijaga atau dilindungi
keselamatannya! Justeru penjagaan atau perlindungan itulah yang dijadikan
sebagai jalan untuk melakukan pemerasan. Keadaan seperti ini sungguh amat
mengherankan dan menyedihkan namun kenyataannya memang demikianlah.
Dan kesemuanya itu, seperti juga bentuk kemaksiatan atau kejahatan apapun
juga, didorong oleh keinginan manusia untuk mencari kesenangan sendiri. Jadi
sumbernya adalah pada diri kita sendiri! Kitalah yang harus berubah, bukan
keadaannya, bukan sekeliling kita, bukan masyarakat, bukan dunia, melainkan
kita sendirilah, masing-masing harus berubah seketika! Tanpa adanya
perubahan dalam diri masing-masing jangan mengharapkan keadaan sekeliling
atau masyarakat akan dapat berubah. Biarpun diatur bagaimana juga, selama
diri kita tidak berubah, maka peraturan itu hanya akan menjadi alat baru untuk
saling memperebutkan kesenangan bagi kita sendiri dan karenanya pasti timbul
pelbagai bentuk kemaksiatan dan kejahatan baru. Kalau kita sudah berubah,
maka akan terjadilah perubahan dalam segala hal. Harta, kedudukan,
pendeknya segala macam antar hubungan akan mempunyai arti yang lain
sama sekali.

Memang, rasa takut itu hanya timbul dari bayangan yang dipantulkan oleh
pikiran kita sendiri. Kita tidak mungkin dapat takut akan sesuatu yang tidak kita
kenal. Kita hanya takut akan sesuatu yang telah kita kenal, baik kita kenal
melalui pengalaman kita sendiri, maupun melalui pengalaman lain orang yang
kita dengar atau baca dalam buku. Orang yang takut setan tentu pernah
mengenal setan itu melalui cerita orang atau dongeng dalam buku. Dia
membayangkan setan itu dalam benaknya dan membayangkan betapa akan
ngerinya kalau dia bertemu setan itu. Maka terpantullah bayangan-bayangan
setan yang menakutkannya ketika dia berada seorang diri di tempat sunyi, dan
terjadilah rasa takut. Orang yang tidak pernah mendengar tentang setan takkan
mungkin takut terhadap setan. Orang yang tidak pernah mendengar tentang
siksa neraka tentu tidak akan takut terhadap neraka. Dan selanjutnya lagi. Jadi
rasa takut timbul dari kenangan masa lalu yang dihubungkan dengan
kemungkinan masa depan. Kita pernah membaca tentang setan sehingga
terbentuk bayangan setan dalam benak kita. Lalu kita khawatir kalau-kalau kita
akan diganggu setan, maka timbullah rasa takut. Kita pernah melakukan
sesuatu di masa lampau, perbuatan yang tidak patut dan memalukan, dan kita
khawatir kalau-kalau di masa depan akan ada orang mengetahui perbuatan itu,
maka timbullah rasa takut. Jelaslah bahwa rasa takut timbul kalau kita
membayang-bayangkan sesuatu yang tidak enak bagi kita! Dan segala yang
dibayangkan itu pastilah sesuatu yang belum atau yang tidak ada! Yang
merasa takut akan wabah tentulah dia yang belum terkena penyakit itu, dia
membayangkan betapa bahaya dan ngerinya kalau terkena penyakit wabah itu,
maka takutlah dia. Kalau dia sudah benar-benar terkena penyakit itu? Tentu
saja hilang pula rasa takut terhadap penyakit itu, akan tetapi rasa takut yang
berikutnya yaitu takut kalau-kalau akan mati! Dan demikian selanjutnya.
Dengan membuka mata memandang semua ini, timbullah pengertian bahwa
yang menyebabkan rasa takut adalah pikiran kita, pikiran yang membayangkan
hal yang lalu, yaitu ingatan-ingatan, kemudian membayangkan hal yang
mendatang, yang kita kira mungkin akan terjadi menimpa diri kita. Oleh karena
itu kalau kita terbebas dari masa lalu, terbebas dari segala macam ingatan
masa lalu dan kepercayaan dan ketahyulan yang termasuk hal-hal masa
lampau, apakah ada lagi rasa takut di dalam batin kita? Kalau kita tidak
mengenangkan soal-soal yang berhubungan dengan setan umpamanya, maka
kiranya andaikata ada setan muncul pada suatu waktu di depan kita, tanpa
kenangan masa lalu tentang setan, kita akan memandang dan timbullah
keinginan tahu untuk menyelidiki, seperti kalau kita tiba-tiba melihat seekor
kupu-kupu yang aneh dan belum pernah kita lihat! Hidup penuh dengan rasa
takut, kekhawatiran, hampir di semua lapangan. Setelah mengerti akan semua
itu, tidak mungkinkah bagi kita untuk hidup tanpa rasa takut sama sekali?
Memang, betapa banyaknya manusia di dunia ini yang suka sekali, bahkan
merindukan dan mengejar-ngejar, hal-hal yang bersifat mistik, yang penuh
rahasia, pendeknya yang lain daripada yang kita lihat sehari-hari dalam
kehidupan kita di dunia ini! Kita manusia pada umumnya menghendaki hal-hal
yang aneh, ajaib, yang tidak lumrah, dan semua ini timbul karena kita telah
menjadi seperti buta, kita tidak lagi dapat melihat betapa di dalam kehidupan
ini, sudah terdapat keajaiban-keajaiban yang amat hebat, sudah terjadi berkah
berlimpahan dan kekuasaan cinta kasih memenuhi alam. Kita seperti tidak
melihat lagi keindahan dan keajaiban yang terjadi di waktu kita bernapas, di
waktu jantung kita berdenyut, di waktu rambut dan kuku kita bertumbuh tanpa
terasa, di waktu seluruh anggauta tubuh kita hidup. Kita tidak lagi dapat
menikmati atau melihat keajaiban dan cinta kasih yang terkandung dalam sinar
matahari, bulan dan bintang, dalam keharuman bunga-bunga, warna-warni
yang tertangkap oleh mata, suara-suara yang memasuki telinga, keajaiban dan
cinta kasih yang terkandung dalam setiap tarikan napas kita! Kita sudah buta
akan semua itu, dibutakan oleh keinginan mengejar segala macam
kesenangan, termasuk kesenangan untuk bertemu dengan keajaiban-keajaiban
baru dan lain berupa mistik-mistik dan keanehan dan untuk itu kita tidak segan-
segan untuk pergi bertapa, menyiksa diri, berpantang, dan sebagainya lagi.

Seperti hampir dapat kita saksikan sampai hari ini, kekasaran dan keanehan
sikap itu tidaklah wajar, melainkan disengaja dan dibuat-buat karena pada
dasarnya semua sikap itu terdorong oleh keinginan untuk menonjolkan diri agar
menjadi perhatian orang lain! Betapa kita ini, orang-orang dewasa, orang-orang
tua, masih saja seperti kanak-kanak, yaitu mempunyai kecenderungan ingin
menjadi pusat perhatian orang, ingin menonjolkan, ingin "lain daripada yang
lain" sehingga muncullah sikap bermacam-macam.

Ada pula di antara mereka yang datang hanya dengan mengenakan cawat
saja, bertubuh kurus kering karena kurang makan atau berpuasa. Sepintas lalu
orang akan merasa segan karena menganggap dia itu seorang pertapa
sederhana yang menjauhkan diri dari segala urusan dunia! Akan tetapi,
kehadirannya di situ saja membuktikan bahwa dia sama sekali tidaklah
sederhana! Kesederhanaan cawat dan tubuh kurus itu tak lain tak bukan hanya
merupakan suatu kesengajaan yang di "pasang" agar menarik perhatian
belaka. Kesederhanaan yang berteriak lantang, "lihatlah aku ini, lihatlah
kesederhanaanku! Hebat, bukan?"

Memang demikianlah keadaan di dunia ini. Manusia, dengan akal budi dan
pikirannya yang membuat manusia menganggap bahwa dia merupakan mahluk
teragung, terpandai, dan terbaik di dunia ini, kadang-kadang melakukan
kekejaman-kekejaman yang luar biasa mengerikan, kekejaman-kekejaman
yang tidak akan dilakukan oleh mahluk lainnya. Kekejaman yang telah
merupakan semacam "kebudayaan" atau yang sering kali dinamakan "olah
raga" sehingga telah menjadi suatu kebiasaan yang dianggap sopan dan baik,
menjadi bukti akan keunggulan manusia di antara segala mahluk. Manusia
memburu dan mengejar mahluk-mahluk lain, binatang-binatang di dalam hutan,
membunuh mereka, kadang-kadang membunuh untuk memenuhi kebutuhan
yang sesungguhnya lebih condong kepada kebutuhan selera daripada
kebutuhan perut, akan tetapi lebih sering lagi membunuh binatang-binatang itu
hanya untuk kesenangan belaka, setelah dibunuh binatang-binatang itu,
bangkainya ditinggalkan begitu saja! Manusia menikmati kesenangan dari
membunuh! Dan membunuh semacam ini, karena kebudayaan, karena
kebiasaan, sudah bukan dianggap membunuh lagi. Membunuh dianggap
kesenian, kebudayaan, olah raga! Dan bukan manusia-manusia pedusunan
atau pegunungan yang menganggap demikian, yang memiliki kebudayaan
macam itu, sama sekali bukan. Penghuni dusun atau gunung memang banyak
yang memburu binatang, akan tetapi bukan untuk kesenangan membunuh,
melainkan sebagai nafkah hidup. Yang menganggap pembunuhan sebagai
kebudayaan justeru adalah manusia-manusia terpelajar, manusia-manusia kota
yang mempropagandakan prikemanusiaan, yang bicara muluk-muluk tentang
kerohanian, dan sebagainya. Betapa menyedihkan kenyataan ini bagi mereka
yang mau membuka mata melihat kenyataan dan mengenal keadaan diri
sendiri lahir batin!

Dari manakah datangnya gelora nafsu berahi dan bagaimana terjadinya?


Mengapa demikian sukarnya untuk diusir kalau datang mencengkeram batin
sehingga amat menggelisahkan orang, mendorong-dorong orang untuk
melaksanakan hasrat itu yang mencari pemuasan? Nafsu berahi, seperti nafsu
apapun juga yang dapat meliputi batin, datang dari pikiran kita sendiri, datang
dari ingatan atau kenangan. Memang ada naluri jasmaniah yang bergerak
sesuai dengan kewajaran, yang menggerakkan atau menyentuh berahi demi
kepentingan perkembangan dan pembiakan, mendekatkan jantan dan betina,
pria dan wanita satu sama lain berikut daya tarik masing-masing. Namun,
hasrat yang timbul dari daya tarik jasmaniah ini sungguh tidak sama dengan
nafsu berahi yang menggerogoti batin dari sebelah dalam, karena nafsu berahi
ini, seperti nafsu lain, digerakkan oleh pikiran. Pikiran mencatat sebagai ingatan
hal-hal yang diangap atau dirasakan sebagai hal yang menyenangkan, yang
menimbulkan nikmat, dan ingatan ini yang menghidupkan kembali pengalaman
atau pengalaman orang lain yang dikenal itu, yang dianggap nikmat dan
menyenangkan sehingga selalu timbul keinginan untuk mengulang, atau ikut
mengalami, merasakan sendiri hal yang dibayangkan sebagai hal nikmat
menyenangkan itu. Pikiran menciptakan di aku yang ingin menikmati, ingin
mengulang kesenangan dan menjauhkan penderitaan. Nafsu berahi tidak
mungkin timbul tanpa adanya pikiran yang membayang-bayangkan hal yang
dianggap nikmat menyenangkan itu. Jadi, pikiran yang mengingat-ingat dan
mengenang, membayangkan, merupakan pupuk yang menyuburkan nafsu
berahi.
Tentu saja tidak mungkin untuk menghalau nafsu yang timbul dengan paksaan,
dengan kemauan atau dengan pelarian. Memang dapat berhasil, akan tetapi
hasil ini hanya sementara saja dan nafsu itu akan timbul kembali sewaktu-
waktu, kemudian akan kita usir, datang lagi, usir lagi maka kita terseret ke
dalam konflik yang terus menerus antara kedatangan nafsu dan pengusirannya.
Biasanya kita hanya melakukan satu di antara dua hal apabila nafsu berahi
datang menyerang. Pertama, tunduk dan bertekuk lutut menyerah lalu
membiarkan diri dibawa ke manapun, dibuai nafsu yang menuntut pemuasan,
maka terjadilah perjinaan, permainan cinta dengan cara apapun juga demi
pelampiasan nafsu kita yang pada tingkat terakhir hanya akan mendatangkan
penyesalan dan kekecewaan belaka. Ke dua, setelah kita maklum bahwa
pemuasannya hanya mendatangkan penyesalan, atau setelah kita yakin dari
pelajaran bahwa nafsu itu tidak baik dan sebagainya, kita lalu menolaknya, kita
melarikan diri darinya, atau kita berusaha sedapat mungkin untuk mengusirnya.
Yang pertama akan membuat kita menjadi manusia hamba nafsu yang akhirnya
membuat kita menjadi orang yang lemah lahir batin, sedangkan yang ke dua
akan menyeret kita ke dalam lingkaran setan dari konflik yang terus menerus
Mengapa kita tidak pernah menghadapi nafsu seperti apa adanya,
memandangnya, mengamati nafsu itu yang bukan lain adalah pikiran kita
sendiri, yang bukan lain adalah kita sendiri? Mengapa kita tidak mempelajari diri
sendiri, apa yang terjadi dalam benak kita, dalam hati dan perasaan kita, yang
berhubungan dengan nafsu itu? Mengapa kita hendak melarikan diri? Pelarian
diri tidak mungkin sama sekali, karena betapa mungkin kita lari dari nafsu, yang
sesungguhnya adalah kita sendiri, betapa mungkin kita lari dari diri sendiri?
Siapa yang hendak lari itu? Siapa yang hendak mengusir nafsu itu? Yang
mengusir adalah kita sendiri, yang diusir juga kita sendiri, betapa mungkin?
Pikiran hendak mengusir akibat dari pikiran sendiri! Mengapa kita tidak pernah
mencurahkan perhatian terhadap nafsu ketika ia timbul, memandangnya
dengan penuh kewaspadaan dan kesadaran, tanpa pamrih sedikitpun untuk
mengusir atau untuk melarikan dari padanya, tanpa menolak atau menerima
kehadirannya, melainkan memandang saja, penuh perhatian dan
kewaspadaan? Pengamatan inilah yang akan menciptakan kewaspadaan dan
pengertian! Pengamatan tanpa pamrih inilah yang akan menimbulkan
perubahan, bahkan melenyapkan nafsu tanpa ada yang mengusirnya!

Mimpi adalah kelanjutannya dari keadaan batin kita di siang harinya, baik siang
hari tadi, kemarin atau beberapa tahun yang lalu. Keadaan sehari-hari yang
menggores kalbu, yang mendatangkan kesan, terukir dalam-dalam di batin kita
dan batin yang membutuhkan ketenangan dan pengosongan dari isinya yang
padat itu, mencari penyelesaiannya sendiri dalam bentuk mimpi.

CEMBURU
Cemburu adalah suatu di antara perasaan-perasaan manusia yang amat aneh
dan amat kuatnya mencengkeram batin manusia. Banyak orang mengira,
bahkan berpendapat bahwa cemburu adalah tanda cinta, bahkan cemburu tidak
terpisahkan dari cinta! Benarkah perkiraan atau pendapat demikian itu? Kalau
kita tanggapi dengan perkiraan atau pendapat yang lain, maka akan terjadi
pertentangan pendapat yang ribuan macam banyaknya dan tiada habisnya,
pula tidak ada gunanya. Sebaliknya kalau kita masing-masing menghadapi
perasaan cemburu itu sendiri apabila ia timbul, mengamatinya dengan penuh
kewaspadaan sehingga kita dapat menyelidikinya, mempelajarinya dan
mengerti dengan sepenuhnya akan susunan cemburu, bagaimana munculnya,
apa sebabnya dan apa pula akibatnya. Karena hanya pengertian yang
mendalam, yang timbul dari pengamatan waspada ini sajalah yang akan
menciptakan perubahan sehingga kita tidak lagi disentuh oleh racun cemburu.
Dengan memandang kepada diri sendiri, kita bersama dapat melakukan
penyelidikan apakah sebenarnya cemburu itu sehingga bukan hanya menjadi
semacam pengetahuan teoritis yang hampa. Pengetahuan seperti itu tidak akan
melenyapkan cemburu.
Kita semua, tentu saja yang sudah pernah mengalaminya, tahu belaka apakah
akibat dari perasaan cemburu ini. Cemburu menimbulkan derita batin, merasa
sengsara, nelangsa, kecewa, berduka, kesepian, murung dan banyak pula yang
menjadi marah dan dicengkeram kebencian sehingga menimbulkan tindakan-
tindakan kekerasan. Oleh karena itu, kita semua tahu betapa buruknya akibat
dari cemburu, dan tentu saja sebaiknya kalau kita tidak pernah lagi disentuh
oleh racun cemburu ini.
Dari manakah timbulnya cemburu? Hendaknya jangan tergesa-gesa menjawab
dari cinta! Cemburu mendatangkan penderitaan dan kekerasan, oleh karena itu
amatlah tidak tepat kalau menghubungkan cemburu dengan cinta kasih!
Bukanlah cinta kasih kalau mendatangkan kedukaan dan kebencuan! Cemburu
muncul KARENA KITA TAKUT KEHILANGAN APA YANG MENDATANGKAN
KESENANGAN KEPADA KITA! Cemburu baru timbul kalau kita merasa adanya
bahaya bahwa sesuatu yang kita anggap milik kita yang kita pergi, baik itu
merupakan benda, sahabat atau pacar atau suami atau isteri, akan terpisah
dari kita dan menjadi milik orang lain. Jadi cemburu datang karena kita ingin
mempertahankan sesuatu atau sesuatu yang mendatangkan kesenangan
kepada kita itu dan yang ingin kita monopoli atau miliki sendiri saja itu.
Cemburu adalah kekecewaan dan kemarahan yang timbul karena PUNYAKU
diganggu, karena milikKU diambil orang lain, atau, lebih tepat karena takut atau
khawatir milikKU diambil orang lain. Jadi cemburu bersumber dari si aku yang
ingin senang sendiri, dan barang atau orang yang kita "cinta" itu menjadi
sumber atau alat dari mana kita memperoleh kesenangan, maka kalau sumber
atau alat itu diambil orang lain, kita menjadi sedih, marah atau cemburu
namanya.
Cinta kasih tidak ada sangkut-pautnya dengan cemburu. Cinta kasih bukan
berarti aku ingin senang, aku ingin mengusai, justeru aku ingin senang dan aku
ingin menguasai ini meniadakan cinta kasih! Cinta kasih tidak dapat
dipaksakan, cinta kasih tidak mungkin dapat diikat. Kalau kita sayang kepada
sebuah benda, tentu kita akan merawatnya baik-baik, menjaganya dengan hati-
hati agar tidak rusak atau pecah, bukan? Dan kita melakukan semua itu karena
benda tadi mendatangkan rasa senang kepada kita. Demikian pula kepada
seorang pacar. Rasa senang itulah yang membuat kita menjaganya, agar dia
tidak sampai dipisahkan dari kita, karena hal itu berarti bahwa kita kehilangan
itu! Padahal, kalau bisa dinamakan keinginan, kiranya satu-satunya keinginan
dari seorang yang mencinta adalah ingin melihat orang yang kita cinta itu
berbahagia! Akan tetapi pengejaran kesenangan membuat kita berpendapat
bahwa orang yang kita cinta itu HANYA BISA BERBAHAGIA kalau menjadi
milik kita! Betapa picik pendapat seperti ini, bukan?

Sungguh kasihan sekali Sun Eng. Dara remaja yang telah dibutakan oleh
nafsunya sendiri itu dengan mudah tunduk dan menyerah, percaya akan
bujukan manis seorang pria. Dia tidak tahu bahwa pria macam Auw-kongcu ini
hanya mengutamakan pemuasan birahi belaka. Bagi pria macam ini, seperti
kebanyakan pria di dunia ini, cinta adalah hubungan kelamin, cinta adalah
pemuasan nafsu berahi! Jadi cinta bagi mereka ini, bukti cinta adalah
penyerahan diri seorang gadis kepadanya! Kalau tidak mau menyerahkan diri,
berarti tidak cinta! Betapa banyaknya gadis-gadis yang menyerahkan diri
sebelum resmi menjadi isteri, sehingga mengandung dan membawa akibat-
akibat yang amat menyedihkan. Tentu saja ada pula pria yang bertanggung
jawab, namun hal ini tidak banyak dan lebih banyak yang melarikan atau
menjauhkan diri karena memang cintanya hanya terletak dalam pemuasaan
nafstu berahi belaka. Dan gadis-gadis yang dungu itu tidak mau membuka mata
melihat kenyataan bahwa dalam hubungan di luar nikah ini, yang terancam
adalah si wanita. Terancam keadaan jasmani dan keadaan rohaninya,
terancam lahir batinnya. Tentu saja hal ini ada hubungannya dengan
kebudayaan masyarakat setempat.
Karena itu, betapa pentingnya untuk mempelajari dengan sesungguhnya apa
yang oleh kita dinamakan cinta itu! Cinta yang hanya mengejar pemuasan
nafsu berahi belaka, adakah itu yang dinamakan cinta? Dan yang amat
menyedihkan, betapapun kita selubungi dengan berbagai istilah muluk, namun
pada dasarnya banyak di antara kita, juga para wanita, yang mempunyai
anggapan bahwa hubungan kelamin adalah tanda cinta! Itu saja! Ini bukanlah
berarti bahwa kita menentang hubungan kelamin, bukan berarti kita
menganggap bahwa cinta menolak hubungan kelamin. Sama sekali bukan, dan
kita TIDAK BERPENDAPAT APA-APA, hanya mengajak kita semua untuk
menyelami, untuk menyelidiki secara mendalam akan apa yang dinamakan
cinta oleh kita semua itu. Cinta kasih tidak bersifat merusak, baik merusak
badan maupun batin. Maka setelah melakukan hubungan badan lalu
meninggalkannya dan merusak batinnya, jelas bahwa di situ sama sekali tidak
terkandung cinta kasih, dan sepenuhnya hanya terisi oleh nafsu berahi belaka.
Mengapa orang-orang muda buta terhadap hal yang gamblang ini?

Nafsu bagaikan api. Kalau dapat dikendalikan, maka bagaikan api, nafsu
amatlah berguna bagi manusia, bahkan manusia tidak mangkin dapat hidup
tanpa nafsu. Nafsu menyusup dan menjadi satu dengan panca indera,
bergelimang dalam hati dan akal pikiran. Manusia tidak akan dapat mengalami
kemajuan dalam keduniawian tanpa bekerjanya nafsu yang menyusup ke
dalam hati dan akal pikiran. Namun, seperti juga api, kalau nafsu tidak
terkendali, kalau nafsu tidak lagi menjadi pelayan melainkan menjadi majikan,
celakalah kita! Kita akan diseretnya, bagaikan api yang tidak terkendali, semua
akan dilahapnya dan akan semakin berkobar. Kita akan terseret ke dalam
perbuatan tanpa pantangan lagi demi mengejar kesenangan. Makanan nafsu
adalah kesenangan. Di mana ada kesenangan, nafsu bangkit dan menjadi amat
kuatnya. Makin kuat nafsu merajalela, semakin lemahlah jiwa. Dan tidak ada
kekuatan di dunia lni yang akan mampu meredakan nafsu kecuali kekuasaan
Tuhan! Kepada Tuhan saja kita dapat memohon dan menyerah, mohon
pertolongan dan bimbingan. Tanpa bimbingan Tuhan, setiap perbuatan
yangbagaimana nampak baik pun pada dasarnya bergelimang nafsu, pada
dasarnya pasti berpamrih demi keuntungan dan kesenangan diri sendiri, karena
ke sanalah arah tujuan semua nafsu.

Dendam, sakit hati, kemarahan dan kebencian meracuni kehidupan manusia.


Dari mana timbulnya dendam yang melahirkan kebencian ini? Dendam-
mendendam hanya merupakan rangkaian akibat dari tindakan-tindakan
kekerasan, permusuhan dan kebendan itu pasti selalu timbul karena
pementingan diri sendiri, karena merasa bahwa kesenangan dirinya terganggu
oleh orang atau golongan lain. Jadi jelaslah bahwa di mana ada pengagungan
si aku, di sana pasti timbul tindakan kekerasan yang dianggap sebagai tindakan
pembelaan si aku atau pengejaran cita-cita dan kesenangan untuk si aku.
Mengejar kesenangan seperti yang dicita-citakan untuk diri sendiri tak dapat
tidak menimbulkan tindakan kekerasan terhadap siapa saja yang dianggap
merintangi tercapainya kesenangan yang dicita-citakan itu. Dan semua cita-cita
adalah bayangan kesenangan yang diharapkan akan diperoleh, baik
kesenangan untuk diri sendiri atau untuk keluargaNya, kelompokNya,
bangsaNya dan lain-lain yang kesemuanya hanya merupakan perluasan dan
pembesaran daripada si aku juga.
Dan bagaimana terjadinya si aku, baik dalam keadaan tipis maupun tebal,
dalam batin kita? Si aku tercipta oleh pikiran yang menimbulkan pengalaman
dan ingatan tentang yang menyenangkan dan yang tidak menyenangkan, yang
enak dan tidak enak. Pikiran mengenangkan pengalaman-pengalaman itu,
membayangkan semua itu, sehingga timbullah keinginan untuk mengulang
yang enak dan membuang yang tidak enak. Begitu pikiran bekerja
mengenangkan itu semua, si akupun muncullah. Si aku sebagai pemikir, si aku
sebagai yang ingin mengulang, si aku yang ingin menghindarkan yang tidak
enak. Makin lama si aku ini makin menebal dan akhirnya manusia menjadi
hamba dari nafsu-nafsunya sendiri yang selalu ingin menikmati yang
dianggapnya menyenangkan dan menjauhi yang dianggap tidak
menyenangkan. Dan dalam pergulatan ini terjadilah konflik-konflik di dalam
batin yang mencetus keluar menjadi konflik antara manusia karena masing-
masing hendak memperebutkan kesenangan bagi dirinya sendiri, dan kalau
perlu menyingkirkan orang lain yang menjadi penghalang, dengan kekerasan
tentu saja!
Oleh karena kenyataan itu, maka timbullah pernyataan yang harus kita ajukan
kepada diri kita sendiri, yaitu: Dapatkah kita terbebas dari pikiran yang selalu
mengenangkan yang enak-enak dan yang tidak enak-enak sehingga tidak
timbul si aku yang selalu mengejar-ngejar kesenangan dan karenanya
menimbulkan konflik dan kekerasan? Pertanyaan ini penting sekali bagi
kehidupan kita dan sudah selayaknya kalau diajukan oleh setiap orang manusia
hidup kepada dirinya sendiri! Kalau sudah begitu, barulah hidup ini mempunyai
arti, bukan hanya menjadi ajang kesengsaraan dan penderitaan yang timbul
dari konfilk dan permusuhan setiap hari.

Memang demikianlah! Selama pikiran tidak mengenang dan membayangkan


apa-apa, selama pikiran kosong tidak sibuk dengan ingatan-ingatan masa lalu,
dengan bayangan-bayangan kenikmatan dan kesenangan, maka segala
sesuatu adalah bersih dan wajar. Biarpun kita melihat manusia dengan kelamin
lain dalam keadaan telanjang bulat umpamanya, kalau pikiran ini tidak diisi
dengan bayangan-bayangan kotor, maka keadaan telanjang dari manusia lain
itu sama sekali tidak menimbulkan apa-apa, seperti kalau kini melihat
ketelanjangan seekor kucing saja. Akan tetapi, begitu pikiran kita terisi oleh
bayangan-bayangan yang muncul dari kenangan, bayangan-bayangan yang
dianggap menyenangkan, mendatangkan nikmat, maka mulailah nafsu bangkit,
baik itu merupakan nafsu berahi, nafsu amarah, dan segala macam nafsu lagi.
Jelas bahwa nafsu-nafsu itu diciptakan oleh pikiran yang mengenangkan segala
yang enak-enak dan yang tidak enak, yang menyenangkan dan sebaliknya.
Jadi pikiran yang mengingat-ingat inilah sumber segala konflik batin yang
akhirnya pasti akan tercetus keluar dan menjadi konflik lahir antara manusia.

Bagi orang yang sadar akan dirinya sendiri, orang yang mengenal dirinya
sendiri, akan melihat bahwa dirinya sendiri juga kotor, juga lemah, seperti
orang-orang lain sehingga dia tidak mungkin bisa mencela orang lain yang
melakukan penyelewengan akibat kelemahannya. Kehidupan manusia tidak
mungkin dapat tetap selalu, melainkan berubah setiap saat. Orang yang
melakukan penyelewengan dalam kehidupannya sama halnya dengan orang
yang sedang dihinggapi suatu penyakit. Hanya saja, bukan badannya yang
sakit, melainkan batinnya. Dan orang yang sakit itu tidak selamanya sakit, tentu
bisa sembuh. Sebaliknya, orang yang sedang waras belum tentu selamanya
sehat, tentu bisa sakit sewaktu-waktu. Oleh karena itu, orang yang sadar tidak
akan mengejek atau mencela orang yang sedang menderita sakit batinnya dan
melakukan perbuatan yang menyeleweng, sebaliknya malah akan merasa
kasihan. Sudah sepatutnyalah kalau kita mengulurkan tangan kepada yang
sedang sakit, agar dia sembuh kembali. Mengejek atau mencela orang yang
sedang sakit batinnya sama saja dengan mendorong orang yang sedang
terjeblos dalam lumpur! Setiap orangpun tentu akan melihat pada dirinya sendiri
bahwa diapun pernah melakukan dosa, melakukan penyelewengan, atau
pernah menderita sakit batin seperti itu. Oleh karena itu, orang yang mencela
atau mengejek orang lain yang sedang sesat, sedang sakit batinnya, adalah
orang yang tak tahu diri, dan orang seperti ini akan selalu merasa dirinya bersih
walaupun pada suatu waktu dia bengelimang lumpur. Sebaliknya, orang yang
setiap saat mau waspada membuka mata, memperhatikan dirinya sendiri lahir
batin, akan terbuka mata hatinya dan akan dapat melihat lebih mendalam akan
segala peristiwa dalam kehidupan ini.

Kesenangan atau kenikmatan, yaitu perasaan menikmati kesenangan, adalah


berkah yang dimiliki setiap manusia. Namun, berkah ini berubah menjadi
sumber kesengsaraan kalau kesenangan sudah mencengkeram dan
memperbudak kita. Suatu peristiwa apapun dapat mendatangkan suka cita,
mendatangkan kebahagiaan pada saat itu juga. Akan tetapi kalau pikiran kita
mencatat pengalaman itu, mengingatkan dan menginginkan terulangnya
kembali pengalaman penuh nikmat itu, maka suka cita itu berubah menjadi
kesenangan yang dikejar-kejar dan setelah kita menjadi pengejar kegenangan,
muncullah pelbagai konflik dan terseretlah kita ke dalam kesengsaraan.
Memang selera manusia berbeda-beda, tergantung dari lingkungan hidup dan
pendidikan masing-masing. Setiap orang manusia merasa benar dalam
pengejarannya masing-masing terhadap sesuatu yang dinamakan cita-cita,
yang dianggap benar dan akan mendatangkan kebahagiaan hidup. Seorang
saterawan akan mengejar dan mendewa-dewakan kesusasteraan dan dia
menganggap bahwa kesusasteraan itulah yang paling berharga dalam
kehidupan, yang dianggapnya merupakan satu-satunya sarana menuju
kebahagiaan. Seorang ahli silat akan mengejar-ngejar ilmu sliat dan
menganggap ilmu silat sebagai satu-satunya hal yang terpenting dalam
kehidupan. Seorang hartawan akan mengejar-ngejar harta dan menganggap
bahwa hanya hartalah yang akan dapat membahagiakan kehidupan manusia.
Seorang pembesar akan mengejar kedudukan atau nama yang dianggapnya
terpenting di dunia ini. Seorang pendeta akan mengejar-ngejar kedamaian
batin, dan sebagainya lagi.
Semua pengejaran itu, biar diselimuti dengan nama apapun, yang rendah atau
yang tinggi, yang hina atau yang agung, pada hakekatnya adalah sama saja!
Segala sesuatu yang dikejar-kejar dan diinginkan, atau merupakan suatu hal
yang dianggap akan mendatangkan kesenangan, baik kesenangan lahir
maupun kesenangan batin yang sesungguhnya sama saja, bagi si pengejar!
Dan karena pandangan setiap orang pengejar terhadap kesenangan itu
berbeda-beda, tergantung dari keadaan dirinya yang dibentuk oleh lingkungan
dan pendidikan, maka semua pengejaran kesenangan dalam berbagai bentuk
itu hanyalah merupakan perpecahan. Yang dikejar-kejar itu hanya merupakan
sebagian saja dari kehidupan, sebagian yang dipentingkan. Oleh karena itu,
akhirnya akan mendatangkan kekecewaan karena tanpa yang lain-lain, maka
satu yang dikejarnya itu takkan lengkap! Si pengejar uang, biarpun berhasil
menumpuk uang banyak, namun kalau tidak memiliki kesehatan, akan merasa
kecewa dan sengsara. Si kaya dan sehat, kalau merasa rendah kedudukannya
dan tidak terpandang, akan merasa kecewa juga. Demikianlah, pengejaran
selalu menimbulkan pengejaran akan suatu yang lain dan tidak akan ada
habisnya sebelum kita mati! Kita akan menjadi hamba dari keinginan ini,
selama hidup mengejar-ngejar apa yang kita anggap akan membahagiakan
kehidupan kita, seperti mengejar bayangan sendiri yang takkan mungkin
pernah dapat tertangkap. Pengejaran menunjukkan adanya ketidakpuasan, dan
hati yang tidak puas, mengejar dan memperoleh apapun juga akan tetap tidak
puas dan akan terus mengejar yang lain, yang dianggap lebih menyenangkan
daripada apa yang telah diperoleh atau dimiliki. Beginilah kenyataannya dalam
kehidupan kita sehari-hari.
Oleh karena itu, timbul pertanyaan yang amat penting bagi kita semua, yaitu :
Apakah mungkin bagi kita untuk hidup tanpa mengejar apapun? Bukan berarti
kita lalu tidur pulas atau bermalas-malasan, bukan berarti kita menjadi tidak
perdulian, bukan berarti kita putus asa! Sama sekali bukan! Bahkan sebaliknya!
Dengan bebas dari keinginan mengejar kesenangan, kita benar-benar hidup!
Kita benar-benar waspada akan kehidupan saat demi saat, membuka mata
melihat segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan kita, tidak dibuai oleh
khayal dan bayangan cita-cita yang abstrak. Dan kalau kita sudah tidak ingin
apa-apa yang tidak ada, maka barulah kita dapat waspada terhadap apa yang
ada! Sesungguhnya, kebahagiaan hanya terdapat dalam apa yang ada! Dan
perhatian terhadap apa yang ada setiap saat ini, tanpa membiarkan diri diseret
oleh lingkaran setan berupa kenangan masa lalu dan bayangan atau harapan
masa depan, adalah benar-benar hidup yang sesungguhnya. Hidup adalah
kenyataan setiap saat ini, bukan kenangan masa lalu, bukan pula bayangan
khayal masa depan. Sekali lagi, dapatkah kita hidup tanpa mengejar
kesenangan dalam bentuk apapun? Kalau sudah begitu, mungkin akan nampak
oleh kita bahwa kebahagiaan terdapat di mana-mana, dalam segala waktu dan
keadaan, karena kebahagiaan bukanlah soal di luar diri, melainkan soal batin,
dan mungkin mata kita akan dapat melihat keindahan di mana-mana, dalam
senyum seorang manusia lain, dalam pandang mata isteri, suami, anak atau
siapa saja, dalam lambaian ujung daun, dalam sinar matahari, dalam awan
berarak, dalam air hujan, dalam apa saja!

Memang, kalau kita mau membuka mata dan melihat apa adanya, akan
nampak oleh kita betapa kita ini hidup di alam kepalsuan! Sikap kita, senyum
kita, ucapan-ucapan kita, semua itu terkendali, semua itu munafik dan palsu,
tidak sewajarnya, semua itu "demi kesopanan". Sopankah sikap yang dibuat-
buat itu? Kalau kita bicara dengan orang lain, terutama kalau kita bicara dengan
orang yang lebih tinggi kedudukannya daripada kita, atau lebih kaya, atau lebih
pintar menurut anggapan kita, maka otomatis muncullah kepalsuan kita,
senyum kita, pandang mata kita, kata-kata kita, semua itu "disesuaikan" dalam
pertemuan itu dan kita menjadi manusia lain, yang berbeda dengan pembantu
kita, dengan keluarga kita dan sebagainya! Sopan santun pura-pura dan palsu!
Beginikah kebudayaan kita? Beginikah peradaban kita? Betapa menyedihkan
kalau kita namakan kebudayaan, peradaban itu hanya merupakan kepintaran
berpura-pura belaka, pandai bermanis selagi perasaan sepahit-pahitnya,
pandai menghormat dan bersikap sopan selagi hati menghina dan membenci!
Dan kita telah terdidik semenjak kecil untuk berpura-pura seperti itu! Semenjak
kecil kita dijejali pelajaran-pelajaran bagaimana harus bersikap sebagai
seorang sopan, sebagai seorang berbudaya, terpelajar dan sebagainya! Kita
tidak pernah diperkenalkan kepada apa yang dinamakan kesopanan itu, dalam
arti kata menyelami, mendalami, mengerti dan menghayati, bukan sekedar
sikap lahiriah yang pura-pura belaka! Kalau sudah ada rasa hormat dalam batin
kita terhadap sesamanya, rasa hormat yang timbul bukan karena pura-pura,
bukan karena penjilatan, melainkan rasa hormat yang dengan sendirinya
muncul di mana terdapat cinta kasih terhadap sesama, kalau sudah ada rasa
cinta seperti itu di dalam batin kita, maka segala kepura-puraan itu, segala
kesopanan hampa, segala kemunafikan, akan sirna dan hubungan antara
manusia akan menjadi lain sama sekali! Kalau segala kepalsuan itu sudah tidak
ada, dan kalau hubungan antara manusia didasari cinta kasih, maka barulah
akan benar-benar ada hubungan itu! Sebaliknya, hubungan seperti adanya
sekarang ini, hanyalah hubungan semu belaka, hubungan antara dua
gambaran dari aku dan engkau yang keduanya palsu, tidak sewajarnya, tidak
seadanya, dan dalam hubungan seperti itu, tentu saja muncul pertentangan-
pertentangan.

Kesenangan dan Cinta Kasih


Setiap keinginan untuk menyenangkan diri sendiri SELALU mendatangkan
pertentangan, kebencian dan kesengsaraan! Keinginan untuk menyenangkan
diri sendiri ini dapat saja berselubung dengan pakaian atau istilah yang lebih
tinggi, lebih halus atau lebih mulia, seperti "demi kebahagiaan anak", demi
kemajuan golongan, demi partai, demi agama, atau demi bangsa. Padahal,
semua itu hanya berintikan "demi aku" yang berarti pengejaran keinginan untuk
senang pribadi itulah!Di mana terdapat pamrih menyenangkan diri sendiri, di
situ sudah pasti TIDAK ADA cinta kasih! Pamrih menyenangkan diri pribadi
meniadakan cinta kasih, karena demi untuk mencapai kesenangan itu segala
sesuatu adalah benar atau salah disesuaikan dengan tujuan mencapai
kesenangan itu. Dan siapapun juga orangnya, yang menjadi perintang untuk
mencapai kesenangan bagi diri sendiri, sudah pasti akan ditentang, dibenci dan
dimusuhi. Maka terjadilah pertentangan, permusuhan, kebencian, yang semua
itu merupakan pintu-pintu yang lebar menuju jurang kesengsaraan.Seperti juga
Kui Hok Boan dalam menghadapi perkara itu. Bisa saja dia mengemukakan
alasan bahwa kalau sampai kedua orang puterinya menjadi isteri atau selir
pangeran, tentu dua orang puterinya itu akan berbahagia hidupnya. Seolah-
olah kebahagiaan kedua orang puterinya itu dialah yang menentukan! Dan
kalau dua orang puterinya itu menentang, dia lalu menjadi marah, benci, duka,
kecewa! Inikah yang dinamakan cinta kasih orang tua terhadap anaknya?
Betapa banyaknya orang tua yang baik disadarinya maupun tidak, bertindak
seperti Kui Hok Boan ini, dan toh masih merasa benar selalu. Benarnya sendiri!
Orang tua seperti ini selalu menganggap bahwa dia LEBIH MENGERTI, lebih
berpengalaman, lebih ini dan itu sehingga dia berhak menentukan jalan hidup
anaknya menurut dia, tentu akan berbahagia! Semua diaturnya, dengan alasan
demi anaknya demi kebahagiaan anaknya, akan tetapi kalau si anak menolak
dia menjadi marah dan membenci anaknya! Inikah cinta kasih? Yang setiap
saat berubah menjadi benci kalau keinginannya dibantah? Betapa bodohnya,
betapa butanya! Bukankah orang yang mencinta akan merasa ikut bahagia
kalau melihat orang yang dicintanya itu berbahagia dan ikut berduka kalau
melihat orang yang dicintanya itu sengsara? Cinta yang menuntut kesenangan
untuk diri pribadi sama sekali bukan cinta, melainkan nafsu memuaskan diri
sendiri belaka.
Orang bisa saja, dan semua ini adalah lihainya sang pikiran, lihainya si aku,
menyelubungi pula si aku yang ingin senang sendiri itu dengan istilah yang
muluk-muluk, seperti pengorbanan. Cinta adalah pengorbanan, katanya.
Padahal, orang yang merasa bahwa dia telah berkorban diri demi cinta juga
menginginkan kesenangan melalui pengorbanan itulah, yang menimbulkan
bangga diri merasa suci, dan sebagainya lagi yang tak lain tak bukan juga
merupakan kesenangan, yang dikejar. Dan semua bentuk kesenangan, yang
kasar, yang halus, yang rendah, yang tinggi, selalu pasti dibayangi oleh
kekecewaan, kebosanan dan kedukaan. Orang tua yang bijaksana tidak akan
mengekang anaknya, tidak akan menekan anaknya, tidak akan
mempergunakan anaknya untuk menyenangkan diri sendiri, membanggakan
diri sendiri, tidak akan memperalat si anak untuk mendatangkan kepuasan,
kebanggaan, atau kesenangan bagi diri sendiri. Tidak mengekang, bukanlah
berarti acuh tak acuh, bukan berarti tidak perduli kepada si anak. Sebaliknya
malah. Cinta kasih selalu diikuti perhatian yang menyeluruh! Perhatian terhadap
si anak, bukan terhadap keinginan diri sendiri! Kalau ada keinginan di sini, satu-
satunya keinginan hanyalah melihat anaknya menjadi seorang manusia yang
bahagia, benar dan bajik, di samping pelajaran-pelajaran yang menjadi syarat
dalam kehidupan di dunia ramai. Sungguh patut disayangkan betapa hampir
saja sebagian orang tua hanya ingin melihat anaknya menjadi orang yang
berhasil, dalam arti kata menjadi kaya raya, berkedudukan tinggi, dihormati,
tidak kalah oleh orang-orang lain, dan sebagainya lagi. Padahal, jelas nampak
bahwa kebahagiaan bukan terletak dalam kesemuanya itu.

Hidup terhormat dan mulia?


Segala kehendaknya tentu terlaksana, tentu orang condong mengatakan
bahwa dia telah mendapatkan kemuliaan dan kebahagiaan hidup! Namun
nyatanya tidaklah demikian keadaannya! Memang merupakan kenyataan
seperti terbukti dari catatan sejarah jaman dahulu sampai keadaan hidup di
dalam masyarakat modern sekarang ini, manusia selalu menilai kebahagiaan
hidup manusia dengan ukuran harta benda, kedudukang nama besar, dan lain-
lain nilai yang dianggap menyenangkan jasmani dan perasaan belaka. Sudah
menjadi pendapat umum yang telah diterima bahwa orang yang berhasil
mengumpulkan harta benda disebut "maju", "mulia", senang, bahagia dan
sebagainya. Kalau seorang mengatakan bahwa si Polan kini sudah maju,
sudah mulia hidupnya, sudah senang, dan sebagainya, tidak salah lagi bahwa
yang dimaksudkannya itu adalah bahwa si Polan telah berhasil mengumpulkan
harta benda, telah menjadi kaya, atau disebut pula telah makmur hidupnya!
Bahkan perkumpulan-perkumpulan, baik perkumpulan sosial, budaya, politik,
agama sekalipun, disebut "maju" kalau gedungnya bertambah gagah.
Pendeknya, semua penilaian diukur dari dasar harta benda!
Akan tetapi benarkah kenyataannya demikian, yaitu bahwa manusia akan hidup
bahagia kalau sudah berhasil mengumpulkan banyak harta benda?
Berbahagiakah manusia kalau sudah memiliki kedudukan tinggi?
Berbahagiakah manusia kalau sudah memperoleh kekuasaan besar atas
manusia-manusia lain, kalau sudah tenar namanya, dan sebagainya lagi itu?
Kalau kita mau membuka mata melihat kenyataannya dan tidak membuta
mengikuti dan menerima saja anggapan dan pendapat umum yang sudah lapuk
dan berkarat itu, kita akan melihat keadaan yang sama sekali tidak demikian!
Memang harus diakui bahwa semua kemuliaan duniawi itu, harta benda, nama
besar, kedudukan, kekuasaan, dapat mendatangkan kesenangan, namun,
setiap kesenangan itu selalu tak terpisahkan dari kesusahan. Demikian pula,
semua itu kalau dianggap sebagai sumber kesenangan, maka kenyataannya
menjadi pula sumber kesusahan! Ada yang mengatakan tidak mungkin! Marilah
kita melihat kenyataannya! Harta benda, kedudukan, nama tenar, dan
sebagainya itu hanya menyenangkan nampaknya saja bagi yang belum
memilikinya. Namun bagi yang memilikinya, kesenangannya sudah hambar dan
tidak terasa lagi. Kalau yangbelum memilikinya hanya membayangkan segi
senangnya saja, maka yang memilikinya yang telah bosan dengan segi
senangnya, merasakan pula secara langsung segi kebalikannya, yaitu segi
susahnya. Misalnya yang mempunyai harta bisa saja sewaktu-waktu
kehilangan hartanya itu, yang berkedudukan kehilangan kedudukannya, yang
namanya tenar kehilangan ketenarannya, dan membayangkan semua
kehilangan ini saja sudah merupakan siksaan batin terhadap si pemilik. Hal ini
tentu saja tidak dapat dirasakan oleh mereka yang belum memilikinya, akan
tetapi akan terasa kebenarannya oleh mereka yang telah memilikinya. Memiliki
sesuatu itu, yang nampaknya menyenangkan, merupakan ikatan, dan yang
memiliki selalu akan menjaga miliknya itu, karena hanya yang memilikinya
sajalah yang akan dapat kehilangan!
Apakah dengan kenyataan ini, lalu kita harus menyingkirkan semua milik itu,
menolak harta benda, kedudukan, ketenaran dan sebagainya? Tentu saja tidak!
Melainkan kita harus mengerti dan sadar bahwa semua itu hanya merupakan
semacam pakaian saja bagi manusia, bukan merupakan keperluan mutlak bagi
kehidupan! Sadar dan mengerti pula dengan membuka mata memandang
penuh kewaspadaan bahwa semua itu, kalau sampai menjadi ikatan di mana
kita melekatkan batin, akan berbalik menjadi siksaan karena menimbulkan rasa
takut akan kehilangan, menimbulkan duka kalau semua itu sampai terlepas dari
tangan kita! Pengertian inilah yang akan membebaskan kita dari ikatan,
sehingga biarpun kita memiliki harta benda, memiliki kedudukan, atau memiliki
nama yang tenar, kita tidak akan mabok, tidak akan terikat, mengerti bahwa
semua itu hanyalah sesuatu yang tidak abadi, sesuatu yang fana, yang sekali
waktu dapat saja terlepas dari kita. Pengertian ini yang membebaskan,
sehingga kita tidak terikat oleh semua itu, tidak lagi semua yang dianggap
sumber kesenangan itu berakar di dalam hati sanubari kita. Karena, kalau
sampai berakar segala sumber kesenangan itu dalam batin kita, kemudian
suatu waktu semua itu dicabut, maka akar-akarnya akan tercabut dan membuat
batin kita terluka dan berdarah sehingga timbuilah duka!
Tak mungkin ada kebahagiaan tanpa adanya kebebasan! Bebas bukan berarti
kita lalu menjadi apatis, menjadi lemah, menjadi pessimis, atau menjadi
pemurung yang putus asa. Sama sekali bukan! Bebas berarti tidak terikat oleh
apapun juga! Tentu saja yang dimaksudkan adalah ikatan batin! Sekali kita
terikat, maka muncullah duka.
Kita bisa saja menjadi seorang berharta, bisa saja menjadi seorang
berkedudukan tinggi, menjadi seorang yang tenar namanya. Namun semua itu
kita punyai tanpa kita miliki, atau lebih jelas kita mempunyai semua itu hanya
lahir belaka, tidak mendalam menjadi ikatan batin. Dapatkah kita membebaskan
diri seperti ini? Jawabannya hanya dapat ditemukan di dalam penghayatan,
karena jawaban tanpa penghayatan dalam hidup kita sehari-hari hanya akan
menjadi teori kosong belaka, menjadi bahan perdebatan untuk menonjolkan diri
sebagai orang yang sok tahu!

Si Pembalas Budi dan Si Pendendam


Watak seperti ini merupakan watak umum dari manusia! Agaknya kita akan
cepat-cepat menolak dan membantah kalau kita dikatakan berwatak seperti
Pangeran Ceng Han Houw itu! Akan tetapi maukah kita membuka mata
memandang diri sendiri dengan sejujurnya? Bukankah kita ini merupakan
orang-orang yang ingin membalas budi orang lain namun di samping itu ingin
pula membalas perbuatan orang lain terhadap kita yang kita anggap jahat dan
merugikan? Kita condong untuk membalas kebaikan orang dengan kebaikan
yang lebih besar lagi, menghadapi keramahan orang dengan keramahan yang
lebih besar lagi, namun kitapun ingin membalas kejahatan orang lain dengan
kejahatan yang lebih merugikan lagi! Kalau kita diberi sejengkal kita ingin
membalas sedepa, kalau kita dicubit kita ingin balas memukul. Tidakkah semua
ini digerakkan oleh si aku yang ingin di atas selalu? Karena aku lebih dibaiki
orang, aku ingin memperlihatkan bahwa aku lebih baik lagi dari dia, dari
siapapun juga. Pendeknya, agar dilihat bahwa akulah yang terbaik! Sebaliknya
kalau si aku diganggu, aku pula yang ingin membalas dengan gangguan yang
lebih kejam lagi agar hati yang mendendam, hati ialah si aku itu pula, menjadi
puas. Si aku ingin selalu menang, ingin selalu serba lebih, tidak mau kalah baik,
tidak pula mau kalah berani, biasanya si aku tidak mau menyebut lebih kejam,
melainkan lebih berani!
Inilah sebabnya mengapa di antara suami isteri, di antara saudara, di antara
sahabat baik, sering kali terjadi pertentangan dan percekcokan. Seribu satu kali
kebaikan dari isteri, suami, saudara atau sahabat akan lenyap tanpa bekas oleh
adanya satu kali saja kesalahan! Pikiran ini, si aku ini, selalu mengejar
kesenangan, maka apa yang menyenangkan aku, itulah baik, sebaliknya apa
yang tidak menyenangkan aku, itu adalah buruk!
Kalau setiap perbuatan didasari atas penilaian baik dan buruk yang pada
hakekatnya adalah menyenangkan atau tidak menyenangkan aku, maka
perbuatan yang berpusat pada diri sendiri itu sudah pasti akan menimbulkan
pertentangan! Ini sudah jelas! Setelah kita membuka mata memandang dengan
waspada dan kita dapat melihat semua ini, melihat berarti mengerti, mengerti
berarti bertindak, apakah kita tidak dapat bebas dari penilaian baik buruk yang
menimbulkan tindakan yang mengandung pertentangan ini?
Perjodohan
Demikianlah, pertemuan keluarga yang tadinya diharapkan akan
mendatangkan rasa gembira bahagia itu berubah menjadi suasana yang amat
menyedihkan. Peristiwa semacam ini akan selalu terjadi apabila manusia terlalu
mementingkan diri sendiri masing-masing. Betapa banyaknya orang-orang tua
yang berkeras dengan sikap mereka yang menolak pilihan calon isteri atau
suami dari anak mereka. Tentu saja mereka ini, orang-orang tua ini, merasa
yakin bahwa sikap mereka itu terdorong oleh perasaan ingin membahagiakan
anak, seperti juga Cia Giok Keng yang merasa yakin bahwa puteranya akan
celaka, akan cemar, akan sengsara apabila melanjutkan perjodohannya
dengan Sun Eng yang dianggap tidak patut menjadi isteri puteranya! Namun,
sesungguhnya, di dasar lubuk hati orang-orang tua seperti ini terdapat
perasaan mementingkan diri sendiri yang amat besar! DIA lah yang akan
merasa sengsara, kecewa dan tidak puas kalau perjodohan itu dilanjutkan, DIA
lah yangakan merasa terhina, tercemar, dan malu!
Sesungguhnya, perjodohan adalah urusan antara dua orang yang hendak
menjalaninya, urusan dua orang yang terikat oleh rasa kasih sayang, dan orang
lain sama sekali tidak berhak mencampurinya! Orang-orang tua yang bliaksana,
yang benar-benar mencinta anaknya, tidak akan mementingkan perasaan
hatinya sendiri, tidak akan menuruti seleranya sendiri saja. Namun bukan
berarti bahwa orang tua harus tidak peduli, bersikap masa bodoh, bukan
demikian. Orang tua sudah selayaknya kalau memperingatkan anaknya agar
anaknya jangan salah pilih, agar anaknya itu memilih dengan dasar cinta
kasihnya, bukan hanya dorongan nafsu berahi yang tertarik oleh lahiriah
belaka. Namun, semua ini dilakukan demi si anak, bukan demi kepentingan
perasaan sendiri dan lepas daripada selera sendiri. Dan semua keputusan
terakhir haruslah diberikan kepada si anak yang hendak menjalani perjodohan
itu! Si anaklah yang memilih calon jodohnya, si anak sendiri pula yang kelak
langsung menghadapi segala akibatnya!
Kita sudah condong untuk menganggap bahwa orang yang pernah melakukan
penyelewengan dalam hidup itu adalah orang yang selamanya tidak akan baik!
Kita begitu pendendam terhadap orang lain, sebaliknya begitu murah hati
kepada diri sendiri sehingga semua kesalahan sendiri akan mudah saja
dimaafkan dan bahkan dibela dengan berbagai alasan! Kesalahan diri sendiri
berarti kesalahan keluarga sendiri pula, yang bisa dikembangkan menjadi
kelompok sendiri, teman sendiri, sekaum, sesuku, sebangsa dan sebagainya.
Semua itu bersumber kepada pemusatan kepada si aku. Mengapa kita tidak
ingat bahwa setiap orang manusia di dunia ini sudah pasti pernah melakukan
kesalahan, termasuk diri kita sendiri? Kenapa kita tidak mau membuka, mata
melihat kenyataan bahwa hidup ini adalah suatu gerakan terus menerus,
sehingga kita tidak mungkin bisa menilai kehidupan seseorang dari satu
peristiwa atau satu perbuatan saja? Orang-orang tua yang terlalu
mementingkan dirinya sendiri tidak merasakan ini, dan mereka itu beranggapan
bahwa mereka menoleh atau memilih calon jodoh anaknya demi untuk
kebahagiaan anaknya! Betapa piciknya anggapan seperti ini!
Orang-orang tua yang beranggapan seperti itu agaknya menganggap
kehidupan anaknya itu sebagai sesuatu yang mati, sesuatu yang tidak berubah-
ubah lagi, sesuatu yang sudah dapat dirumuskan dan dipastikan! Maka mereka
ini merasa dapat menentukan bahwa kalau anaknya berjodoh dengan orang ini
kelak akan hidup sengsara dan kalau berjodoh dengan orang itu barulah akan
berbahagia! Betapa picik dan dangkalnya pendapat seperti ini!
Perjodohan, seperti urusan apapun juga di mana terdapat hubungan antar
manusia, seperti persahabatan dan sebagainya, sudahlah tepat dan benar di
mana ada landasan cinta kasih! Dan cinta kasih sama sekali bukanlah
pementingan diri sendiri! Bahkan di mana ada keinginan menyenangkan diri
sendiri, di situ tidak mungkin ada cinta kasih, yang ada hanyalah cinta kepada
diri sendiri untuk mencari kesenangan, dan segala sesuatu di luar dirinya hanya
akan diperalat untuk mencapai kesenangan diri sendiri itulah! Tentu saja hal ini
bukan berarti bahwa orang tua hanya akan memejamkan mata saja. Tidak,
orang tua haruslah mengamati dan memperingatkan, menunjukkan apablia
anaknya memilih dengan membuta, apabila anaknya hanya terbuai oleh nafsu
berahi semata, terbuai oleh kemilaunya emas atau kedudukan atau keelokan
rupa belaka. Namun, apabila orang tua melihat cinta kasih yang
menghubungkan anaknya dengan orang yang dipilihnya, maka orang tua yang
bijaksana akan menyetujui tanpa memasukkan pendapat-pendapatnya sendiri
tentang pilihan anaknya itu!

Keadaan seperti yang dialami oleh Han Houw ini bukanlah dongeng kosong
belaka. Kiranya setiap orangpun akan dapat memperoleh pengalaman seperti
itu, kalau saja dia memang percaya penuh dan tekun. Orang yang
mengosongkan pikirannya dengan jalan mengulang-ulang sesuatu yang
disebutnya dengan penuh pujaan akan berada dalam keadaan tersihir atau
terpesona. Suara sendiri yang diulang-ulang itu mendatangkan pengaruh yang
amat kuat menyihir diri-sendiri dan mengikat seluruh perhatian sendiri sehingga
dirinya dalam keadaan "kosong" sungguhpun kekosongan yang dipaksakan.
Dalam keadaan seperti ini, maka sesuatu yang dipujanya, yang diharapkan dan
dipercayanya, tidak mengherankan kalau benar-benar muncul di depannya,
merupakan bayangan yang bukan lain adalah pemantulan dari dalam batinnya
sendiri. Orang yang memuja Sang Buddha mungkin saja bertemu dengan
bayangan yang sesungguhnya merupakan pemantulan dari dalam hatinya,
karena kepercayaan yang penuh, karena pemujaan yang tulus ikhlas ini
membentuk bayangan atau gambaran di dalam batin. Bayangan apapun yang
nampak oleh manusia, baik bayangan yang dinamakan setan maupun
bayangan dewa, nabi dan sebagainya, adalah bayangan yang terpantul dari
dalam batin sendiri yang membentuk dan menyimpan gambaran bayangan itu.
Hal ini amat jelas dan mudah dimengerti. Seseorang yang mengaku pernah
melihat setan umpamanya, pasti melihat setan seperti yang pernah
didengarnya dari dongeng, dari buku dan dari cerita orang lain, atau dari
khayalnya sendiri tentang setan. Demikian pula, seseorang yang mengaku
pernah "bertemu" dengan orang suci atau nabi, sudah pasti yang ditemuinya itu
adalah orang suci atau nabi dari agamanya, atau dari kepercayaannya, seperti
yang pernah didengarnya dari dongeng, atau dilihatnya dalam gambar, dan
sebagainya lagi. Namun kita, yang haus hal-hal yang aneh, yang haus akan
sesuatu yang dapat dijadikan pegangan, merasa sayang dan enggan
melepaskan kepercayaan ini dan tidak mau atau tidak berani melihat kenyataan
ini!

Keinginan akan sesuatu, betapapun "sesuatu" itu dapat diberi sebutan luhur,
suci, tinggi, sempurna dan sebagainya, tetap saja merupakan suatu keinginan
yang timbul dari pikiran atau si aku yang ingin senang, ingin selamat, ingin
terjamin dan tercapai keinginannya, baik keinginan dalam bentuk keenakan
badan maupun keenakan batin! Keinginan tetap merupakan keinginan dan
keinginan ini lahir bermacam hal yang menjadi sumber segala konflik.
Keinginan berpusat pada pementingan diri, penonjolan si aku dan karenanya
merupakan pengasingan diri yang picik. Semenjak kecil sampai tua, kita selalu
diperhamba oleh keinginan-keinginan kita. Yang berbeda hanyalah obyek dari
keinginan-keinginan kita, kalau masih muda tentu keinginannya ditujukan
kepada benda-benda duniawi untuk menyenangkan jasmani, setelah tua dan
bosan dengan semua kesenangan duniawi atau kenikmatan jasmani lalu
berpindah kepada tujuan yang dinamakannya lebih tinggi, yaitu benda-benda
rohani untuk menyenangkan batin, untuk menenteramkan batin, untuk
keselamatan jiwa. Namun, pada hakekatnya sama, yaitu si aku yang senang,
ingin tenteram, ingin enak dan ingin terjamin! Dan selama batin dipenuhi
keinginan ini, padahal keinginan ini hidup di alam khayal, sedangkan hidup ini
berada di alam nyata maka kita akan terbuai terus oleh keinginan-keinginan itu
yang melahirkan bermacam-macam khayal. Yang akan kita jumpai hanyalah
bayangan-bayangan khayal kita sendiri belaka dan kita tidak akan pernah dapat
bersua dengan kenyataan yang suci murni!
Seorang tua akan mengatakan, "Aku tidak butuh lagi dengan kesenangan
dunia, aku ingin ketenangan batin, aku ingin kesempurnaan jiwa, aku tidak
butuh apa-apa lagi!" kata-katanya demikian, akan tetapi sebenarnya pada
dasarnya, keinginan itu masih menebal di dalam batin, yang berubah hanyalah
tujuan keinginan itu saja. Kalau dulu yang dikejar adalah uang, kedudukan,
kemuliaan, kesenangan jasmani, sekarang yang dikejar adalah kesenangan
rohani atau apa yang dinamakan "yang lebih tinggi". Hasilnyapun akan sama
saja! Di waktu mengejar uang, kedudukan dan sebagainya itu dia selalu
bertemu dengan konflik, permusuhan, kepalsuan, kekecewaan, dan
keserakahan yang tak kunjung habis, sekarangpun dia akan bertemu dengan
semua itu! Karena yang dikejar adalah bayangannya sendiri!
Oleh karena itu, pertanyaan yang amat gawat dan penting perlu kita ajukan
kepada diri sendiri masing-masing, yaitu : Dapatkah kita hidup bebas, dari
segala macam keinginan? Dapatkah kita menghadapi apa adanya tanpa
menginginkan hal-hal atau benda-benda yang tidak atau belum ada? Segala
sesuatu sudah ada pada apa adanya, namun mata kita seolah-olah buta, tidak
melihat akan semua itu karena mata kita selalu ditujukan kepada hal-hal atau
benda-benda yang tidak ada, kepada khayal-khayal kita, kepada gambaran-
gambaran dari keinginan kita! Sama butanya dengan seorang penduduk
pegunungan yang tidak dapat melihat keindahan di pegunungan karena dia
gandrung akan bayangan keindahan lautan, dan sebaliknya seorang penduduk
tepi laut yang tidak dapat melihat keindahan pemandangan tepi laut karena dia
gandrung akan bayangan keindahan pemandangan di pegunungan! Sama
butanya seperti seorang pemilik apel yang tidak dapat menikmati kelezatan
buah apel itu karena dia membayangkan kenikmatan buah jeruk, dan pemilik
jeruk yang tidak dapat menikmati kelezatan buah jeruknya karena dia
membayangkan kelezatan buah apel! Kita hidup dibuai lamunan, dibuai khayal
belaka sehingga keadaan nyata tak nampak lagi, tak dapat dinikmati lagi, dan
inilah yang menyebabkan mengapa kita selalu mengeluh dan mengatakan
bahwa hidup adalah penuh derita dan kesengsaraan! Maka, dapatkah kita
bebas dari segala macam keinginan itu dan hidup dalam saat ini, saat demi
saat, menghadapi apa adanya dari saat ke saat penuh kewaspadaan?

Pagi hari itu, seperti biasa, sudah mulai nampak beberapa orang tamu yang
datang melakukan sembahyang. Bermacam-macam keperluan pribadi masing-
masing yang datang bersembahyang. Ada yang bermaksud untuk minta
sesuatu, agar sesuatu yang mereka citakan akan segera terkabul, di antaranya
ingin mempunyai anak, ingin segera memperoleh jodoh, ingin agar
dagangannya laris, ingin agar mendapatkan kenaikan pangkat, ingin agar
ujiannya lulus, dan sebagainya. Ada pula yang datang dengan wajah berseri
untuk membayar kaul seperti yang dijanjikan. Banyak di antara mereka para
peminta-minta ini yang dalam permintaannya selalu diberikuti janji-janji kepada
yang mereka minta, janji-janji bahwa kalau sampai permintaan mereka berhasil,
mereka akan melakukan ini atau itu, pendeknya melakukan sesuatu untuk
menyenangkan yang diminta, sebagai semacam imbalan!
Memang demikianlah keadaan hidup kita semenjak kuno dahulu sampai pada
jaman modern sekarang ini! Segala macam hubungan kita dengan apapun dan
dengan siapapun, selalu didasari jual beli, rugi untung seperti itulah! Tidak ada
lagi sinar cinta kasih di dalam batin kita, yang ada hanyalah perhitungan jual
beli seperti itu. Kita bersikap baik kepada sesama manusia hanya dengan dasar
jual beli pula, kita baik sebagai pemberian sesuatu untuk memperoleh kebaikan
pula yang lebih besar daripada yang kita berikan sehingga hal itu akan
menguntungkan! Kita menyembah seseorang atau sesuatu yang kita anggap
lebih tinggi hanya dengan dasar keuntungan ini pula! Kita menyembah-
nyembah sesuatu yang baik atau yang kita anggap baik kepada kita, dan kita
mengutuk atau membenci sesuatu yang kita anggap tidak baik kepada kita!
Inilah kenyataannya dalam kehidupan kita yang serba palsu ini. Sinar matahari
itu memberkati dan menghidupkan bagi siapanpun juga, tanpa memilih apakah
yang menerima itu baik atau buruk, tinggi atau rendah, agung atau hina! Juga
sinar matahari itu mendatangkan panas terhadap siapapun juga, dari raja
sampai pengemis tanpa pandang bulu! Akan tetapi, kita kehilangan sinar cinta
kasih itu! Kita hanya suka dan cinta kepada orang-orang tertentu saja, yang
menyenangkan kita, yang kita anggap baik kepada kita. Sebaliknya kita
membenci kepada orang-orang tertentu yang kita anggap merugikan lahir atau
batin kepada kita.
Betapa sebagian besar dari kita ini selalu bersikap seperti Kui Hok Boan! Kita
selalu menyesali nasib, menyalahkan segala peristiwa yang kita anggap buruk
kepada sang "nasib". Mengapa kita begitu buta, tidak pernah mau membuka
mata untuk memandang dan melihat kenyataan bahwa semua sebab dari
segala "nasib" berada pada diri kita sendiri? Kitalah sumber segala penyakit,
kitalah sumber segala duka, sumber segala kesengsaraan! Dan hal ini baru
dapat nampak kalau kita memandang diri sendiri setiap saat tanpa
membenarkan atau menyalahkan, tanpa pendapat atau kesimpulan, tanpa
pamrih!
Segala peristiwa yang terjadi adalah serangkaian yang sambung-menyambung,
seperti lingkaran setan dan semua pendapat dan penilaian merupakan hasil
pekerjaan dari pikiran kita sendiri. Pikiran membentuk sang aku yang selalu
ingin senang, ingin enak, ingin baik, ingin benar!
Kita membenci seseorang. Mengapa? Demikian pikiran bekerja. Karena orang
itu jahat, karena orang itu merugikan aku, baik merugikan secara lahiriah
maupun batiniah. Pendeknya, orang itu merugikan aku, tidak menyenangkan
aku, maka aku membencinya. Kebencian ini adalah buatan pikiran yang menilai
dengan dasar untung rugi bagi sang aku, dan kebencian ini menimbulkan
serangkaian perbuatan kekerasan, seperti memaki orang itu atau memukulnya
dan sebagainya, pendeknya untuk melampiaskan dendam dan kebencian kita
terhadap orang itu.
Apakah perbuatan ini dapat menghilangkan kebencian tadi? Tidak sama sekali
tentunya, bahkan perbuatan ini akan menimbulkan serangkaian akibat-akibat
lain yang berupa kekerasan-kekerasan. Ada kalanya, kita merasa menyesal
karena kita ingat, baik melalui orang lain ataupun diri sendiri, bahwa kebencian
adalah tidak baik. Kini kita membalik pandangan kita kepada diri sendiri.
Tadinya, kita menujukan pandangan kita kepada orang lain, pandangan dengan
penuh penilaian pikiran, pertimbangan untung rugi sehingga menimbulkan
kebencian. Kini, setelah kita memandang kepada diri sendiri, kita memandang
pula dengan penilaian pikiran. Ada kalanya pikiran menganggap bahwa
kebencian ini tidak baik, dan harus disingkirkan, dilenyapkan. Di lain saat
pikiran membela diri sendiri, perbuatannya sendiri, menganggap bahwa
kebencian kita itu tepat dan benar karena memang orang itu jahat dan layak
dibenci, dan sebagainya. Jelaslah, bahwa yang menimbang, yang menilai ini,
juga masih si pikiran atau sang aku itu tadi. Yang menilai ini tidak ada bedanya
dengan yang menilai orang yang dianggap jahat tadi, yang menilai kebencian
baik atau buruk inipun adalah sang kebencian itu sendiri, tiada bedanya dengan
si pikiran itulah. Dengan demikian, pikiran kadang-kadang berubah menjadi ini
dan menjadi itu, namun kesemuanya itu merupakan lingkaran setan yang masih
terjadi dalam lingkungan pikiran. Dengan demikian, kebencian itu akan tetap
ada, bahkan makin diperkuat, makin diperbesar karena dipupuk oleh pikiran
sendiri yang menilai-nilai.
Dapatkah kita memandang tanpa penilaian? Baik memandang kepada orang
yang kita lalu nilai sebagai jahat itu, maupun memandang kepada kebencian
kita yang kita nilai pula sebagai benar atau salah itu? Kalau kita dapat
memandang tanpa ada sesuatu yang memandang, tanpa ada sesuatu yang
menilai, melainkan memandang dengan penuh kewaspadaan dan kesadaran,
tanpa ada yang waspada atau sadar, karena kalau ada berarti akan timbul pula
penilaian-penilaian, maka dengan sendirinya kebencian itupun akan kehilangan
tenaganya, akan lenyap dengan sendirinya karena tidak ada lagi pemupukan.
Kita sadar bahwa ada kebencian dalam hati kita, akan tetapi kita tidak menilai,
tidak membenarkan atau menyalahkan, kita pandang saja! Kita dalam hal ini,
adalah sang pikiran itu, dan kebencian adalah sang pikiran itu pula. Biarkan
pikiran memandang pikiran sendiri, tanpa ada kesatuan lain yang menilai atau
menimbang, tanpa ada sesuatu yang membenarkan atau menyalahkan.

Kita semua rindu akan kasih sayang. Kita semua menghendaki agar semua
orang di dunia ini suka dan cinta kepada kita! Kita haus akan cinta kasih! Dari
manakah datangnya kehausan ini? Mengapa kita dahaga akan cinta kasih
orang lain terhadap diri kita.
Kita tidak pernah mau sadar melihat kenyataan bahwa yang terpenting
daripada segala keinginan dicinta orang itu adalah pertanyaan : apakah KITA
suka atau mencinta kepada SEMUA orang? Sesungguhnya di sinilah letak
sumber daripada segalanya. Tanpa adanya cinta kasih dalam batin kita sendiri
terhadap semua orang dan segala sesuatu, kita akan selalu haus akan cinta
kasih lain orang! Akan tetapi apabila hati ini penuh cinta kasih, maka kita tidak
lagi akan kehausan. Karena batin tidak ada cinta kasih inilah maka kita selalu
dahaga akan cinta kasih terhadap diri kita, seperti sumur kering merindukan air.
Kalau sumur itu penuh air, dia tidak akan lagi rindu akan air, bahkan airnya
yang berlimpah-limpah itu menghilangkan dahaga SIAPA SAJA!
Sungguh sayang, kita tidak pernah mengamati apakah ada cinta kasih dalam
diri kita terhadap sesama manusia atau sesama hidup. Sebaliknya malah, kita
selalu mengamati apakah ada cinta kasih dari orang lain untuk kita! Kalau ada
maka kita merasa senang dan kalau tidak, kita merasa sebaliknya. Kita baru
dapat bicara tentang cinta kasih kalau batin ini sudah kosong dan bersih
daripada kebencian, iri hati dan pementingan diri sendiri. Selama semua ini ada
di dalam batin, jangan harap akan ada sinar cinta kasih dalam diri kita. Dan
kalau semua itu sudah bersih, lalu ada cinta kasih di dalam hati, jelaslah bahwa
kita tidak MENGHARAPKAN lagi cinta kasih orang lain terhadap kita, bahkan
kita TIDAK MENGHARAPKAN APA-APA LAGI! Hati yang penuh cinta kasih
tidak mengharapkan apa-apa lagi, seperti cawan yang penuh anggur tidak
menghendaki apa-apa lagi. Tidak ada lagi rasa takut, tidak ada lagi rasa
khawatir tidak akan dicinta orang, tidak ada lagi rasa takut akan dibenci orang.
Yang takut tidak dicinta, yang takut dibenci, adalah si aku, yaitu pikiran yang
mengaung-ngaungkan si aku, yang memupuk iba diri. Akan tetapi, kalau hati
penuh dengan cinta kasih, tidak ada lagi si aku yang ingin ini dan itu.

senang atau susah bukan didatangkan dari luar, melainkan tergantung dari
keadaan batin kita sendiri, sungguhpun keadaan itupun dipengaruhi oleh
keadaan luar. Senang atau susah masih berada dalam daerah terbatas, daerah
terkurung dari kesibukan si aku. Si aku merasa diuntungkan, maka senanglah
batin. Si aku merasa dirugikan, maka susahlah batin. Batin seperti ini berada
dalam cengkeraman si aku yang bukan lain adalah pikiran itu sendiri. Pikiran
mencatat segala pengalaman, baik yang senang maupun yang susah, dan
pikiran menciptakan si aku, yaitu gambaran tentang diri sendiri, sebagai
penikmat kesenangan maupun si penderita kesusahan. Timbullah keinginan
untok mengulang atau melanjutkan kesenangan dan menjauhkan kesusahan.
Keinginan inilah yang menciptakan lingkaran setan, yang menyeret kita di
antara gelombang-gelombang kesenangan dan kesusahan sehingga keadaan
kehidupan kita menjadi seperti sekarang ini. Setiap manusia berlumba untuk
memperoleh kesenangan, dan demi kesenangan yang dikejar inilah maka
terjadi perebutan persaingan, permusuhan, iri hati, kebencian dan sebagainya.
Pengejaran kesenangan memisah-misahkan antara manusia, memupuk dan
memperkuat si aku.
Keadaan bahagia sama sekali tidak dapat disamakan dengan kesenangan,
walaupun kita pada umumnya menganggap bahwa kesenangan adalah
kebahagiaan! Kebahagiaan berada di atas senang dan susah, sama sekali
tidak tersentuh oleh keduanya itu. Keadaan bahagia adalah lenyapnya si aku,
lenyaplah keinginan mengejar kesenangan dan menghindari kesusahan yang
hanya merupakan kesibukan pikiran belaka yang terpengaruh oleh masa lalu,
kenangan lalu, pengalaman lalu, ingin mengulang yang menyenangkan dan
menjauhi kesusahag. Keadaan bahagia tak dapat diulang-ulang, merupakan
sesuatu yang selalu baru. Keadaan bahagia baru mungkin ada kalau terdapat
cinta kasih! Cinta kasih baru nampak sinarnya kalau batin dalam keadaan
hening dalam arti kata tidak dipengaruhi oleh kesibukan pikiran atau si aku
yang selalu ingin senang!

PENYESALAN
Sudah menjadi kebiasaan kita pada umumnya, untuk selalu menilai perbuatan-
perbuatan kita yang sudah lalu, menimbulkan penyesalan, rasa takut, dan
sebagainya. Bahkan telah kita terima sebagai sesuatu yang benar dan mutlak
penting bahwa penyesalan akan penguatan yang lampau dapat menyadarkan
kita dan membuat kita tidak lagi melakukan perbuatan yang kita anggap keliru
dan yang mendatangkan penyesalan itu. Akan tetapi, benarkah ini? Beharkah
bahwa penyesalan dapat membersihkan kita dari perbuatan sesat di masa
mendatang?
Penyesalan selalu datang kalau perbuatan itu SUDAH dilakukan. Dan
biasanya, seperti yang dapat kita lihat setiap hari, di sekeliling kita, dalam
kehidupan masyarakat, dalam kehidupan kita sendiri, penyesalanpun akan
makin lama makin menipis dan kemudian hilang. Sementara itu, perbuatan kita
masih saja penuh dengan kesesatan! Kemudian, setelah menilai dan
mengingat, timbul penyesalan kembali. Perbuatan sesat dan penyesalan hanya
susul-menyusul belaka, seperti dalam lingkaran setan yang tiada putus-
putusnya! Seperti kalau kita makan makanan yang pedas, yang terasa enak
segar di mulut namun sesungguhnya tidak baik bagi perut. Ketika makan
amatlah enaknya sehingga kita yang terlalu mementingkan keenakan itu tidak
lagi ingat kepada perut kita sendiri. Baru setelah perut kita sakit melilit-lilit, kita
merasa menyesal dan sadar bahwa terlalu banyak makanan pedas itu tidak
baik untuk perut. Namun, penyesalan ini dalam sedikit waktu sudah terlupa lagi
kalau kita menghadapi makanan pedas yang segar enak bagi mulut itu!
Kenyataannya demikianlah! Pengejaran kesenangan membuat kita buta dan
baru setelah kesenangan itu terdapat lalu timbul hal-hal yang tidak
menyenangkan, seperti segala macam kesenangan yang memiliki muka ganda
sehingga senang dan susah tak terpisahkan, lalu timbul penyesalan! Jadi
penyesalan itu pada hakekatnya timbul karena akibat dari kesenangan itu
mendatangkan kesusahan kepada kita! Jadi bukanlah si perbuatan sesat itu
sendiri yang kita sesalkan, melainkan si akibat yang buruk dari perbuatan yang
mendatangkan kesenangan itu!
Semua ini akan nampak jelas sekali kalau kita waspada terhadap segala gerak-
gerik lahir batin kita sendiri, kalau kita waspada terhadap segala sesuatu yang
bergerak dalam pikiran kita. Kewaspadaan inilah kesadaran dan kesadaran
inilah pengertian, dan pengertian melahirkan perbuatan yang spontan,
perbuatan yang tidak lagi dikendalikan oleh pertimbangan dan penilaian pikiran.
Karena perbuatan yang dikendalikan oleh pikiran, oleh si aku, sudah pasti
perbuatan itu berdasarkan untung rugi bagi si aku, dan perbuatan seperti ini
sudah pasti menimbulkan konflik yang kemudian berakhir dengan kedukaan,
termasuk penyesalan yang tiada gunanya itu. Kewaspadaan setiap saat
terhadap diri sendirilah yang akan melenyapkan perbuatan-perbuatan sesat
yang hanya terjadi dan hanya dilakukan dalam keadaan TIDAK SADAR. Bukan
penyesalan yang melenyapkan kesesatan-kesesatan itu!
Yang amat penting untuk kita sadari adalah bahwa kewaspadaan setiap saat
terhadap diri sendiri lahir batin ini haruslah tidak dikendalikan oleh si aku! Jadi
yang ada hanyalah pengamatan saja, kewaspadaan saja, kesadaran akan diri
sendiri tanpa ada aku yang mengamati, tanpa ada aku yang waspada dan
sadar! Karena kalau ada si aku yang mengatur dan mengendalikan semua
kewaspadaan dalam pengamatan itu, maka itu hanya permainan pikiran atau si
aku yang tentu mengandung pamrih dalam pengamatan itu, pamrih untuk
sesuatu, untuk mencapai sesuatu, entah yang sesuatu itu dinamai kesenangan,
kedamaian, kesucian dan sebagainya. Dan semua tindakan dari pikiran atau si
aku yang selalu mengejar kesenangan pastilah menimbulkan konflik dan
kesengsaraan.

Tidaklah mengherankan keadaan Sun Eng ini. Apa yang dia lakukan semua itu
menurut jalan pikirannya adalah pengorbanan untuk Lie Seng, untuk keluarga
Cin-ling-pai. Padahal, pada hakekatnya, sama sekali tidaklah demikian. Pada
dasarnya, semua yang dilakukannya itu timbul dari rasa iba diri, timbul dari rasa
sayang diri, dan semua itu untuk menyenangkan hatinya sendiri. Sebaliknya,
dia melakukan itu dengan dasar agar dia dihargai, agar dia dikagumi, agar dia
tidak dipandang rendah lagi karena penyelewengan yang pernah dilakukannya.
Semua ini dilakukannya demi dirinya sendiri, yang oleh pikirannya sendiri
"disulap" menjadi perbuatan "baik" demi orang lain. Bahkan jalan pikiran yang
palsu membuat dia tadinya condong beranggapan bahwa pengorbanan yang
dilakukannya adalah suci.
Karena pikirannya mendorong dia selalu memandang kepada tujuan saja, dan
semua tujuan ini sudah pasti menuju kepada kesenangan diri pribadi,
sungguhpun boleh saja mengenakan pakaian lain sehingga kelihatan seolah-
olah demi kesenangan atau kebahagiaan orang lain, maka mata menjadi buta
tidak melihat lagi yang terpenting daripada segala gerakan hidup, yaitu
tindakannya itu sendiri atau cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan itu.
Tujuan membutakan mata terhadap cara. Tujuan bahkan kadang-kadang
menghalalkan segala cara! Tujuan adalah nafsu keinginan memperoleh
sesuatu. Dan kalau cara yang dipergunakan tidak benar, mana mungkin
akhirnya benar? Tidak mungkin menanam rumput keluar padi! Tidak mungkin
cara yang tidak benar menghasilkan sesuatu yang benar.
Hanya kalau batin tidak lagi dibutakan oleh tujuan yang pada hakekatnya
hanyalah nafsu keinginan memperoleh kesenangan, maka batin menjadi
waspada akan segala tindakan, akan segala cara hidup yang ditempuhnya
setiap saat. Dan kewaspadaan ini tentu melahirkan tindakan yang benar. Dan
tindakan benar adalah tindakan wajar tanpa didorong oleh nafsu keinginan
memperoleh hasil atau kesenangan atau keuntungan dari tindakan itu.

Seperti itulah macamnya "cinta" yang berada dalam batin kita! Kita
menganggap bahwa perasaan semacam itu adalah cinta kasih yang murni,
cinta terhadap anak diwujudkan dengan keÂinginan melihat anak itu
berbahagia SESUAI dengan keinginan kita! Kita selalu hendak mengatur
kehidupan anak kita menurut selera kita, menurut penÂdapat kita, menurut
pandangan kita. Kita merasa yakin bahwa anak kita akan berbahagia kalau dia
itu menurut kehendak kita melakukan ini, tidak melakukan itu. Semenjak anak
kita masih kecil, kita ingin mengaturnya, membentuknya seperti kita membentuk
boneka dari lilin atau lempung. Tanpa kita sadari sendiri, kita telah menyiksa
anak-anak kita sendiri dengan bentukan-bentukan itu. Kita ingin melihat anak
kita yang masih kecil itu bersikap sopan santun, cerdik, pintar, tahu aturan,
pendiam dan sebagainya lagi, pendeknya kita ingin melihat anak kila menjadi
"anak tauladan" seperti yang kita cita-citakan dan gambarkan.
Oleh karena itu, sejak dia masih kecil, kita tekan dan didik dia supaya cocok
dengan bentuk gambaran kita. Kita lupa, tidak sadar bahwa semua ini sama
sekali bukanlah tindakan cinta kasih, sama sekali bukan terdorong oleh cinta
kita kepada anak kita itu, melainkan terdorong oleh cinta kepada diri sendiri!
Kita ingin mempergunakan anak kita sendiri sebagai jembatan untuk menikmati
kesenangan berupa kebanggaan! Kitalah yang akan berbangga melihat anak
kita begini dan begitu sesuai dengan kehendak kita! Kita akan senang sekali!
Sama sekali kita tidak perduli apakah anak itupun senang bersikap yang kita
gariskan itu. Sudah tentu saja dia tidak senang! Setiap orang anak ingin bebas,
ingin bergembira-ria, ingin berloncatan, berteriak-teriak, bermain-main sesuka
hatinya, bersama kawan-kawan sebaya. Tidak ada seorangpun anak kecil yang
normal akan merasa suka menjadi "anak tauladan" seperti yang digariskan
orang tua, duduk diam seperti patung di depan orang-orang tua yang sedang
mengobrol, duduk deÂngan sopan, bicara lemah lembut, tertawapun "diatur",
bernyanyi kalau disuruh nyanyi seperti yang telah diajarkan oleh orang tua di
rumah sehingga orang-orang tua lain akan merasa kagum! Tidak mungkin
seorang anak suka bersikap seperti itu. Dia ingin bebas gembira. Namun apa
daya, orang tua "yang amat mencintanya" itu mengajarkan lain, menghendaki
lain.
Bukan hanya terhadap anak kita yang masih kecil kita ingin mengatur, ingin
membentuk, ingin agar anak itu hidup sesuai dengan kehendak kita,
menurutkan garis yang kita buat untuk anak itu. Bahkan setelah anak itu
dewasa sekalipun, selama kita masih dapat menguasainya, kita akan selalu
membuat anak kita sebagai jembatan untuk mendapatkan kebanggaan dan
kesenangan. Semua ini mungkin tidak kita rasakan lagi, tidak kita insyafi lagi
karena kita tidak sadar akan kenyataan hidup ini. Kita akan menganggap,
bahwa semua itu kita lakukan demi cinta kita kepada anak kita itu! Inilah alasan
yang paling kuat, merupakan alasan tradisional yang dipakai oleh kita orang-
orang tua yang selalu merasa benar dalam hal apapun juga! Bahkan kalau
anak kita sudah dewasa, dalam menentukan jodohpun kita selalu mau ikut
campur, berdiri terdepan untuk melakukan pemilihan, untuk menerima atau
menolak pilihan anak kita berdasarkan penilaian kita, pendapat kita, selera kita
sendiri. Selera dan pandangan anak kita, sejak dia kecil, tidak kita perhatikan!
Kita selalu menganggap bahwa selera dan keinginan anak kita itu salah belaka.
Semua sikap hidup ini harus kita amati, harus kita pandang sejujurnya, harus
kita sadari. Kita sudah tidak merasa keliru lagi karena kita sendiripun
diperlakukan demikian oleh orang tua kita semenjak kita masih kecil. Setiap
orang tua akan senang sekali kalau anaknya menjadi seorang "anak penurut"
dan setiap orang tua akan membenci anak yang "tidak penurut", maka kitapun
melanjutkan saja tradisi ini, sikap yang sudah mendarah daging selama ribuan
tahun ini. Maka, perlu kita mengenal diri sendiri, meneliti diri sendiri.
SESUNGGUHNYAKAH KITA MENCINTA ANAK KITA? Ataukah yang kita
namakan cinta itu sesungguhnya bukan lain adalah cinta terhadap diri sendiri,
atau keinginan kita untuk memperoleh kesenangan, kepuasan, kebanggaan
melalui anak-anak kita itu? Sehingga kalau anak kita menurut dan
menyenangkan hati kita, kita bilang cinta dan memuji-mujinya, sebaliknya kalau
dia tidak menurut kita dan menyusahkan hati kita maka kita lalu membencinya,
kita mengutuk dan memakinya sebagai anak tidak berbakti, anak durhaka, dan
sebagainya lagi? Mungkinkah ada cinta kalau kita masih mementingkan diri
sendiri, mencari kesenangan untuk diri sendiri? Nah, marilah para orang tua,
kita mawas diri, kita membuka lebar mata kita, memandang yang palsu sebagai
yang palsu tanpa memperdulikan apa kata tradisi dan apa kata pendapat
umum! Karena urusan ini adalah urusan kita sendiri, kita dengan anak kita,
tidak ada hubungannya sama sekali dengan pandangan si A, si B, atau si
Umum sekalipun! Dan kalau kita benar-benar mencinta anak kita, kita akan
berhenti memperlakukan dia sebagai jembatan untuk mencari kepuasan bagi
diri kita. Dan cinta kasih yang demikian ini akan menciptakan tindakan-
tindakannya sendiri, dan cinta kasih sudah merupakan pendidikan yang
terutama.
Mengapa kita begitu terbiasa sejak kecil untuk menyimpan segala hal yang
terjadi di masa lalu? Mengapa kita selalu mengingat-ingat perbuatan orang lain
yang merugikan kita sehingga menimbulkan kebencian? Mengapa kita tidak
mau menghapus semua itu, semua ingatan tentang hal-hal yang terjadi di masa
lalu, menguburnya dan tidak pernah membongkarnya lagi, melainkan
menujukan seluruh pandang mata kita, seluruh hati dan pikiran kita, seluruh
keadaan diri kita lahir batin kepada apa yang terjadi SAAT INI saja? Mengapa
kehidupan kita saat demi saat begitu tergantung kepada apa yang telah terjadi
di masa lalu, yang mempengaruhi setiap gerak-gerik kita, setiap sikap kita
terhadap orang lain? Mengapa kita menilai setiap orang lain dari perbuatan-
perbuatannya yang lalu? Apakah keadaan manusia itu dapat ditentukan dari
satu kali perbuatannya di masa lalu? Mengapa ada benci di dalam hati kita?
Mengapa kita mengotori diri sendiri dengan segala macam kebencian,
permusuhan, iri hati dan sebagainya itu? Mengapa kita tidak mau mendobrak
dan memberontak terÂhadap semua ikatan masa lalu itu dan hidup BARU saat
demi saat? Semua pertanyaan ini kiranya teramat penting untuk kita renungkan
dan ajukan kepada diri sendiri!

Percakapan Seorang Hwesio dengan seorang Pemuda yang ditinggal mati


Kekasihnya.

Seorang Pemuda duduk bersila di depan makam kekasihnya itu sampai dua
hari dua malam, tak pernah dia meninggalkan tempat itu. Kadang-kadang
timbul dalam hatinya untuk duduk terus di tempat itu sampai mati! Makin
dikenang segala kebaikan kekasihnya, segala pengorbanannya, makin tertusuk
rasa hatinya dan berkali-kali dia menangis seperti anak kecil di tempat yang
sunyi itu. Wajahnya sudah pucat sekali dan tubuhnya kurus dan lemah,
pandang matanya kosong dan sayu, pakaiannya kusut dan rambutnya awut-
awutan. Keadaan pemuda ini sungguh amat menyedihkan. Dia telah putus asa,
tidak melihat lagi sinar dalam kehidupannya yang dianggapnya gelap pekat
tanpa harapan. Semangat dan gairah hidupnya telah lenyap terbawa pergi
kekasihnya.

"Omitohud... mengapa ada orang merusak diri sendiri seperti ini? Membunuh
diri perlahan-lahan dengan membiarkan gelombang duka menyeretnya berlarut-
larut...! Orang muda, apakah dengan membiarkan gelombang duka
menghanyutkanmu ini kau mengharapkan yang mati akan dapat bangkit
kembali?"
Suara itu halus dan karena dikeluarkan dengan penuh perasaan maka
mengandung getaran kuat dan mampu menembus dinding samadhi menyentuh
kesadaran si pemuda.
Pemuda ini membuka mata dan mengangkat muka memandang hwesio tua itu
dan alisnya herkerut. "Hwesio, pergilah, tak perlu kau berkhotbah di sini!"
katanya dengan marah. Tidak biasanya pemuda ini bersikap seperti itu, akan
tetapi dia tidak perduli apapun juga lagi. Dia sudah lupa diri, yang teringat
hanyalah kedukaannya dan ini membuat dia kasar dan tidak bersahabat
kepada siapapun juga.
Hwesio tua itu tersenyum akan tetapi pandangan matanya penuh rasa iba.
"Orang muda, pinceng tidak berkhotbah, pinceng merasa kasihan kepadamu,
maka pinceng hendak mengingatkan bahwa tindakanmu yang terbuai oleh duka
ini sungguh tidak tepat. Berduka atas kematian seseorang merupakan suatu
kebodohan, dan tindakan menyeleweng daripada kebenaran."
Pandang mata Lie Seng berapi karena marahnya ketika dia menatap wajah
yang ramah itu. Dengan suara berat dan kesal dia menjawab, "Bicara memang
enak saja! Engkau tidak merasakan, maka engkau mudah saja mencela! Aku
telah kehilangan cahaya hidupku, kehilangan semua kebahagiaan dan
harapanku, maka perlu apa aku memperdulikan diri sendiri? Kalau aku harus
mati, akan kuterima dengan rela! Pergilah, hwesio!"

"Omitohud... kegelapan menguasai batinmu, orang muda. Engkau bilang bahwa


pinceng tidak merasakan maka mudah mencela? Wahai orang muda, siapakah
di dunia ini yang tidak pernah mengalami kematian seseorang yang
dikasihinya? Orang muda, mungkin engkau belum pernah mendengar dongeng
tentang Sang Buddha dalam menghadapi kematian, dan kalau engkau pernah
mendengarnya, biarlah dongeng ini menjadi penyadar bagimu.

Seorang ibu ditinggal mati anak tunggalnya. Siapapun tahu bahwa cinta kasih
seorang ibu kepada anak tunggalnya adalah cinta kasih yang paling murni di
antara segala macam cinta kasih di dunia ini. Maka berdukalah wanita itu dan
diapun pergi menghadap Sang Buddha, memohon kepada Buddha untuk
menghidupkan kembali anak tunggalnya. Dengan tenang Sang Buddha lalu
menyuruh wanita itu untuk minta segenggam gandum dari sebuah keluarga
yang belum pernah mengalami kematian, karena hanya itulah obatnya yang
dapat menghidupkan anaknya yang mati. Ibu itu berkelana, akan tetapi biarpun
dia akan pergi mengelilingi dunia, di mana ada keluarga yang belum pernah
kematian anggauta keluarganya? Akhirnya dia kembali kepada Sang Buddha
dan insaf.

Kematian adalah suatu hal yang wajar bagi kehidupan. Ada hidup ada mati.
Mengapa kematian harus didukakan benar? Bukankah kita semua akhirnya
akan mati pula? Apakah kedukaanmu itu akan dapat menghidupkannya
kembali?"

"Duka tidak dapat dihilangkan melalui hiburan, tidak pula dapat dihilangkan
melalui pelarian, orang muda. Yang penting kita membuka mata melihat
kenyataan, jangan membiarkan duka membutakan mata batin. Penglihatan
yang terang dengan pengamatan yang waspada akan mendatangkan
pengertian, dan hanya pengertian mendalam dan kesadaran yang akan
meniadakan duka yang tiada guna dan melemahkan lahir batin itu."
Betapa banyaknya di antara kita yang seperti Lie Seng itu! Melarikan diri sendiri
dari kenyataan hidup! Melarikan diri dari kepahitan hidup! Lalu mengejar-ngejar
kemanisan hidup! Padahal, pelarian dari yang pahit dan pengejaran yang manis
itu tidak ada bedanya sama sekali. Melarikan diri dari yang pahit lalu berlindung
kepada sesuatu itu berarti juga mengejar kemanisan yang diharapkan bisa
didapatkan dari tempat berlindung itu. Dan selama pengejaran akan sesuatu
yang dianggap manis dan menyenangkan ini terjadi, maka kita akan terus
menerus terseret ke dalam lingkaran setan yang tiada habisnya. Pelarian tidak
akan melenyapkan duka, pelarian tidak akan melenyapkan kegelisahan dan
rasa takut. Mungkin saja dapat mendatangkan hiburan sesaat, namun duka itu,
rasa takut itu, tidak akan lenyap, hanya untuk sementara waktu terselubung
saja oleh hiburan yang didatangkan oleh pelarian. Setiap saat akan muncul
kembali!
Kita semua mengenal apa penyesalan itu, apa kekecewaan itu, dan apa rasa
takut serta kedukaan itu. Mengapa kita selalu harus mencari hiburan di mana
kita dapat berlindung untuk melarikan diri dari hal-hal yang tidak enak itu?
Mengapa kita tidak pernah berani menghadapi semua itu, menghadapi mereka
di waktu mereka itu timbul, menghadapinya dengan langsung, memandangnya
dan menanggulanginya di saat mereka muncul sehingga mereka itu akan
lenyap di saat itu juga dan takkan pernah muncul kembali? Penanggulangan ini
bukan berarti mengusahakan agar mereka lenyap, sama sekali bukan.
Melainkan menghadapi duka pada saat itu menyerang kita, memandang dan
menyelaminya secara langsung, mengenal luar dalam apa sebenarnya duka
itu! Akan tetapi sayang, kita selalu ingin senang, maka begitu timbul sesuatu
yang tidak menyenangkan menurut anggapan kita, kita lalu melarikan diri.

Cinta memang maha indah! Bahkan sudah melampaui kebagusan dan


keburukan, sudah melampaui segala yang dapat diperbandingkan, sudah
melampaui penilaian dan perbandingan itu sendiri! Cinta-mencinta membawa
kita ke dalam suatu keadaan di mana tidak ada lagi baik buruk, susah senang,
dalam keadaan yang mungkin oleh pandangan umum dianggap sengsara, bisa
saja nampak indah oleh adanya cinta. Cinta membawa suasana nampak indah,
di sekeliling kita, di dalam hati kita. Tidak ada lagi pertentangan, tidak ada lagi
kekerasaan, tidak ada lagi susah atau senang. Yang ada hanya perasaan suka
cinta, yang berbeda dengan kesenangan. Kesenangan mempunyai sebab,
mempunyai sesuatu yang menimbulkan kesenangan. Akan tetapi suka cita
adalah perasaan hati yang nyaman dan sejuk tanpa sebab tertentu. Keadaan
ini membuat kita penuh dengan sinar cinta kasih, penuh dengan kebajikan,
dengan belas kasihan, dengan apa yang dinamakan prikemanusiaan. Cinta
adalah kebahagiaan. Manusia dalam cinta adalah manusia yang sesungguhnya
manusia, dan sinar kemanusiaannya cemerlang di waktu itu.
Sayang, biarpun kiranya hampir semua orang pernah memasuki keadaan ajaib
seperti itu, namun nafsu-nafsu kita terlalu besar sehingga menjauhkan cinta
kasih dari batin kita. Hanya sebersit saja sinar cinta kasih menerangi batin, lalu
batin sudah penuh lagi dengan segala kotoran nafsu. Bahkan celakanya, nafsu-
nafsu menggantikan tempat dan memalsukan cinta, membuat cinta kasih yang
suci murni menjadi cinta kasih yang palsu, cinta kasih yang sesungguhnya
hanyalah cinta kepada diri sendiri belaka, keinginan menyenangkan diri sendiri
belaka, seperti yang dapat kita lihat dengan jelas dalam kehidupan kita
sekarang ini. Cinta yang kita hambur-hamburkan sekarang ini melalui mulut
hanyalah semacam pemalsuan untuk menutupi keinginan kita yang
sebenarnya, keinginan untuk mendapatkan kepuasan melalui harta, melalui
sex, melalui apa saja yang dapat menyenangkan diri kita sendiri. Dan orang
yang kita cinta seperti keadaannya sekarang ini hanyalah kita pakai sebagai
alat untuk menyenangkan diri saja. Cinta seperti ini tentu saja menimbulkan
cemburu, menimbulkan benci yang dianggap sebagai kebalikannya. Padahal
cinta kasih tidak mempunyai kebalikan! Cinta kasih bebas dari penilaian baik
buruk, untung rugi, atau susah senang.

Kesenangan Dapat Melumpuhkan Kewaspadaan Batin


Kesenangan, terutama sekali kesenangan yang diperoleh dari pemuasan
gejolak berahi, memang dapat membutakan mata, melumpuhkan kewaspadaan
batin dan menyuramkan kesadaran. Betapa banyaknya tercatat dalam sejarah
betapa orang-orang besar, orang-orang gagah perkasa yang kokoh kuat
batinnya, tidak goyah oleh godaan penawaran harta dan kedudukan mulia,
akhirnya runtuh dan jatuh, hancur seluruh pertahanannya yang kokoh kuat,
karena dilanda oleh godaan berupa kesenangan dan pemuasan berahi ini!
Raja-raja besar terguling dari singgasana mereka, pendeta-pendeta suci runtuh
dari kesuciannya, wanita-wanita setia gugur dari kesetiaannya, semua
dikarenakan godaan kesenangan ini! Akan tetapi, mereka yang terseret oleh
segala macam kesenangan, juga kesenangan yang timbul dari kenikmatan
pemuasan berahi, adalah orang-orang yang berada dalam keadaan tidak sadar!
Orang-orang yang sadar dan waspada setiap saat akan dirinya sendiri, akan
selalu melihat kenyataan sedalam-dalamnya sehingga tidak mudah tergelincir.
Orang yang berada dalam keadaan tidak sadar itu dimabuk oleh bayangan-
bayangan kesenangan sehingga baginya yang nampak hanyalah bayangan
atau gambaran kesenangan itu saja, maka dia mau terjun dengan nekat ke
dalam kesenangan itu tanpa melihat bahwa di balik segala macam kesenangan
itu telah menanti rangkaian yang tak terpisahkan dari kesenangan itu sendiri,
yaitu ketakutan dan kedukaan. Sebaliknya, orang yang selalu waspada akan
melihat kenyataan itu, akan melihat kedukaan dan kesengsaraan yang
tersembunyi di balik sinar menyilaukan dari kesenangan, sehingga dia akan
bertindak bijaksana dan cerdas, tidak memasuki kesenangan dengan mata
terpejam dan secara membuta saja! Hal ini dapat dilihat jelas, kalau kita
menghadapi makanan lezat. Orang yang tidak pernah waspada terhadap
dirinya sendiri, begitu melihat makanan, yang nampak hanyalah kelezatannya
saja dan makanlah dia sepuas-puasnya, dan baru setelah perutnya sakit atau
timbul akibat buruk dari makan enak terlampau banyak itu, dia akan mengeluh
panjang pendek dan menyalahkan si makanan lezat! Sebaliknya, orang yang
waspada setiap saat akan dirinya sendiri dan akan apa saja yang dihadapinya,
melihat juga kelezatan itu akan tetapi di samping itu akan melihat pula akibat-
akibat buruk yang menjadi rangkaian kelezatan itu sehingga tindakannya
menjadi bijaksana, dia tidak terlalu gembul melainkan makan dengan hati-hati.
Dan andaikata dia sampai terkena sakit perut sekalipun dia tidak akan
menyalahkan siapa-siapa, melainkan melihat jelas bahwa kesalahan itu adalah
kesalahannya sendiri! Jelas sekali bedanya, bukan?
Ini bukan berarti bahwa penulis menganjurkan agar kita menolak kesenangan!
Sama sekali tidak menganjurkan apa-apa, juga tidak mencela apa-apa. Hanya
ingin mengajak pembaca untuk mempelajari apa dan bagaimana kesenangan
itu dan selanjutnya terserah! Ada bermacam-macam penangkapan dalam
mempelajari sesuatu. Ada bermacam-macam pengertian. Mengerti arti kata-
katanya saja, seperti biasa orang mengerti dan menikmati filsafat muluk-muluk
dan merasakan kesenangan dalam membicarakannya. Ini adalah pengertian
yang tidak ada arti dan manfaatnya bagi kehidupan, karena pengertian arti
kata-katanya saja ini hanya dipergunakan untuk bahan perdebatan
memperebutkan kemenangan dan kebenaran kosong, seperti kosongnya kata-
kata itu. Ada pula, pengertian teoritis dan pengertian intelek yang diakui oleh
batin, namun hanya sampai di situ saja, tidak disertai penghayatannya dalam
kehidupan sehari-hari. Ada pula pengertian mendalam, mengerti yang disertai
kesadaran dan kewaspadaan, pengertian ini menciptakan tindakan sendiri yang
timbul dari kecerdasan! Untuk memperoleh pengertian yang terakhir inilah kita
belajar! Pengertian yang tidak terpisah daripada tindakan. Bukan mengerti lalu
bertindak untuk mencapai sesuatu. Melainkan mengerti dan bertindak
melepaskan yang palsu, bukan untuk mencari keuntungan dari pelepasan itu,
melainkan karena mengerti bahwa itu palsu.

Setiap pemberontakan, setiap pembaharuan, setiap gerakan untuk


menumbangkan yang lama dan menggantikan dengan yang baru, sudah tentu
saja didasari oleh kelemahan-kelemahan dan cacat-cacat dari yang lama, yang
akan diberontak itu. Dan yang memberontak, yang baru, tentu mengeluarkan
janji-janji yang muluk-muluk. Karena, tidak mungkin pemberontakan dan
pembaharuan dapat berjalan lancar dan berhasil tanpa bantuan rakyat, rakyat
harus diberi janji-janji muluk, menonjolkan kelemahan dan cacat-cacat yang
hendak dirobohkan dan mengemukakan janji-janji dan kebaikan-kebaikan dari
yang memberontak. Semua ini hanya merupakan siasat belaka. Atau mungkin
juga janji-janji itu dikeluarkan dengan hati murni oleh para pimpinan. Akan tetapi
sayang, begitu maksud tercapai sudah, maka mereka yang duduk di kursi
pimpinan menjadi mabuk kemenangan dan sama sekali melupakan atau
sengaja tidak mau ingat lagi akan janji-janji yang telah dikeluarkan ketika
mereka mendorong rakyat untuk memÂbantu gerakan mereka itu. Dan hal
seperti ini terus menerus berulang. Yang berhasil dan menang kemudian
menghadapi lagi golongan baru yang ingin menumbangkannya, dengan janji-
janji yang sama pula, dengan penonjolan-penonjolan kesalahan dari yang
sedang berkuasa, persis seperti ketika pemberontakan atau pergolakan
pertama atau terdahulu itu terjadi. Dan yang menyedihkan sekali, rakyatpun
selalu menurut saja dan dapat saja dimakan propaganda dan dibodohi oleh
janji-janji muluk yang tak kunjung terpenuhi itu!
Kapankah di dunia ini muncul pemimpin-pemimpin yang memimpin rakyat
berdasarkan cinta kasih, kasih sayang dan sama sekali tidak mendasarkannya
untuk memenuhi atau mencapai ambisi pribadi, mengejar-ngejar kemuliaan,
kekayaan dan kesenangan pribadi? Kapankan segala semboyan dan anjuran
tentang hal-hal yang baik itu bukan hanya menjadi semboyan kosong belaka
melainkan dihayati dalam kehidupan sehari-hari oleh mereka yang
mengeluarkan semboyan itu sendiri, oleh para pemimpin rakyat sehingga tanpa
dianjurkan lagi rakyat sudah akan dapat melihatnya dan otomatis akan bersikap
dan berwatak sama dengan para pemimpinnya? Pemimpin sama dengan ayah
dan rakyat sama dengan anak. Setiap perbuatan ayahnya merupakan
pendidikan langsung bagi anak. Sebaliknya apa gunanya seorang ayah
gembar-gembor melarang anaknya melakukan sesuatu kalau dia sendiri
melakukannya? Atau apa gunanya para pemimpin menganjurkan rakyat
melakukan ini atau itu kalau mereka sendiri tidak melakukannya? Yang penting
dalam hidup ini adalah penghayatan, atau kelakuan sehari-hari yang dapat
dilihat, bukan kata-kata kosong yang dapat saja dikeluarkan oleh lidah yang tak
bertulang.

Apakah artinya segala penyesalan setelah terlambat? Apakah gunanya


penyesalan? Penyesalan dianggap benar oleh umum karena penyesalan akan
membuat orang itu sadar kembali. Akan tetapi benarkah demikian? Ataukah
penyesalan sekedar merupakan hiburan saja bagi si pelaku, hiburan untuk
menutupi batinnya yang menderita akibat perbuatannya sendiri? Betapa
seringnya kita menyesal, akan tetapi betapa seringnya pula perbuatan yang
sama kita lakukan dan kita ulang kembali! Orang yang berbatin lemah dan
tumpul selalu berada dalam keadaan tidak waspada dan tidak sadar, sehingga
mudah saja dibuai oleh bayangan kesenangan, dan kalau sudah menghadapi
kesenangannya, maka tidak teringat apa-apa lagi, tidak teringat akan akibatnya.
Orang yang batinnya lemah dan tumpul seperti itu hanya mementingkan
kesenangan. Baru setelah kesenangan yang dinikmatinya itu kemudian
mendatangkan akibat yang tidak menyenangkan, dia merasa menyesal! Coba
andaikata tidak ada akibat yang mendatangkan derita, apakah dia akan
menyesali perbuatannya mengejar kesenangan itu? Tentu saja tidak! Sama
halnya dengan orang makan sambal. Setiap kali habis makan, kepedasan dan
menyesal, menyatakan tobat dan kapok. Akan tetapi lain saat dia sudah makan
sambal lagi! Demikian pula orang yang melakukan penyelewengan, menyesal
dan menangis, bertobat melalui mulut kepada Tuhan. Akan tetapi begitu
berhadapan dengan bayangan kesenangan yang sama, maka diulanglah
perbuatan itu untuk kemudian menyesal dan bertobat kembali. Kalau kita mau
membuka mata melihat kenyataan dalam kehidupan kita sehari-hari, dapatkah
kita menyangkal kenyataan yang benar ini?
Bukanlah penyesalan yang kita perlukan dalam hidup. Yang terpenting adalah
kewaspadaan dan kesadaran yang timbul karena mengamati diri sendiri setiap
saat. Pengamatan inilah yang akan menimbulkan kebijaksanaan dan
kecerdasan, yang akan meniadakan penyelewengan dan kesesatan. Dan kalau
tidak ada penyelewengan dan kesesatan, tidak perlu lagi ada penyesalan dan
bertobat. Kalaupun kecerdasan dan kebijaksanaan yang timbul dari
kewaspadaan melihat bahwa apa yang kita lakukan tidak benar, maka seketika
itu juga kita menghentikan perbuatan tidak benar itu dan habis sampai di situ
saja. Tidak ada penyesalan, juga tidak ada kerinduan terhadap perbuatan yang
lalu itu. Yang lalu sudah mati, sudah habis dan kewaspadaan adalah sekarang,
saat ini, saat demi saat. Hidup adalah saat demi saat, bukan kemarin, bukan
esok. Akan tetapi sekarang. Maka hidup waspada dan sadar adalah sekarang
ini!
Yang teramat penting dalam hidup adalah sekarang ini. Sekarang benar!
Apakah benar itu? Tak dapat diterangkan, karena yang dapat diterangkan
adalah benarnya sendiri, benarnya masing-masing, maka terjadilah perebutan
kebenaran sendiri-sendiri, dan jelas hal ini adalah tidak benar lagi! Akan tetapi,
apapun yang kita lakukan, kalau didasari dengan cinta kasih, maka benarlah
itu! Dan cinta kasih tidak akan ada selama di situ ada si aku yang ingin benar,
ingin senang, ingin baik dan sebagainya!

Betapa banyaknya orang tua yang tanpa mereka sadari sendiri telah melakukan
tindakan-tindakan yang sama sekali menyimpang daripada cinta kasih dan
kebenaran. Kita selalu ingin menyatakan cinta kasih kita kepada anak-anak kita
dengan jalan mengatur sedemikian rupa untuk anak-anak kita, bukan hanya
mengatur pendidikannya, pemeliharaannya, akan tetapi juga kita ingin
mengatur masa depannya, mengatur kesukaannya, bahkan mengatur jodoh
mereka! Kita beranggapan bahwa kalau anak-anak kita itu menurut kepada kita,
mereka pasti akan hidup berbahagia, seolah-olah kehidupan merupakan garis
tertentu yang sudah mati, yang dapat diatur sedemikian rupa menuju kepada
kebahagiaan! Seolah-olah apa yang kita anggap baik den menyenangkan tentu
akan baik dan menyenangkan pula bagi anak-anak kita! Kita lupa bahwa
kehidupan itu selalu berubah, bahwa alam-pikiran dan selera manusia itupun
berkembang dan mengalami perubahan-perubahan. Apa yang kita sendiri
senangi di waktu kita masih kanak-kanak akan menjadi membosankan di kala
kita sudah dewasa, dan apa yang menyenangkan kita di waktu kita dewasa
mungkin akan menjadi memuakkan di waktu kita telah tua. Oleh karena itu,
benarkah itu kalau kita memakai ukuran mata kita untuk mengatur kehidupan
anak-anak kita yang lebih muda dan mempunyai selera lain sama sekali dari
kita? Benarkah kita mencinta anak-anak kita kalau kita hanya ingin mereka itu
menurut kepada kita, yang pada hakekatnya menunjukkan bahwa
sesungguhnya kita ingin senang sendiri. Ingin melihat anak-anak kita menuruti
kemauan hati kita? Cinta adalah demi si anak, demi perasaan hati si anak,
sekarang, bukan kelak! Bukan masa depan, melainkan saat demi saat! Maukah
kita sebagai orang tua yang bijaksana memberi kebebasan seluasnya kepada
anak-anak kita, dengan memberi petunjuk-petunjuk, bukan mendikte,
melainkan memberi petunjuk dan menjaga, membuka mata batin mereka kalau
mereka itu tanpa mereka sadari menyeleweng, dengan penuh kasih sayang
dan demi kebahagiaan mereka saat demi saat? Hal ini hanya mungkin
dilakukan kalau sudah tidak ada keinginan dalam hati kita untuk menikmati
kesenangan diri sendiri melalui anak kita!
Dengan celaan dia akan dapat melihat kekurangan dirinya sendiri dan dapat
bersikap waspada, sebaliknya, sanjungan akan membuat orang mabuk dan
lupa akan kewaspadaan, membuat orang menjadi lengah.

Pagi yang amat cerah dan indah! Matahari, sesuatu yang perkasa adil dan
murah hati, juga amat indahnya, muncul di permukaan bumi mengusir segala
kegelapan dan datang membawa keriangan dan kesegaran kepada semua
yang berada di permukaan bumi, memandikan segala sesuatu dengan
cahayanya yang keemasan dan yang menjadi sumber tenaga dari segala
sesuatu yang tidak nampak. Cahaya matahari seolah-olah membangkitkan
semua yang tadinya penuh ketakutan dan kekhawatiran tenggelam dalam
kegelapan malam, mendatangkan kembali semangat hidup pada tumbuh-
tumbuhan, pohon-pohon besar, binatang-binatang dari yang kecil sampai yang
paling besar, yang beterbangan di udara maupun yang berjalan dan merayap di
atas bumi.
Matahari pagi yang demikian indahnya, cahaya keemasan yang menerobos di
antara gumpalan-gumpalan awan yang berarak bebas teratur rapi di atas langit,
embun-embun pagi yang berkilauan di ujung daun-daun, kicau burung gembira,
semua itu seolah-olah mengingatkan kita bahwa kegelapan dan kesunyian dan
keseraman yang timbul bersama datangnya malam bukanlah peristiwa yang
abadi, melainkan hanya sementara saja. Demikian pula sebaliknya, kecerahan
dan keriangan yang datang bersama matahari pagi itu pun akan terganti oleh
sang malam yang membawa kegelapan.
Baik buruknya siang dan malam timbul dari penilaian kita. Kalau kita sudah
menilai bahwa yang siang itu baik dan yang malam buruk, maka kita akan
terseret ke dalam lingkaran baik dan buruk, senang dan susah. Sebaliknya,
kalau kita menghadapi siang dan malam, atau segala sesuatu yang terjadi di
dunia ini tanpa penilaian, maka tidak akan timbul pula baik buruk itu. Dan bukan
tidak mungkin bahwa kita akan menemukan keindahan dalam kegelapan dan
kesunyian malam itu!
Pagi hari yang amat cerah dan indah itu selalu mendatangkan keriangan pada
semua mahluk, kecuali manusia!
Manusia terlalu diperbudak oleh perasaan yang timbul karena terlalu
menonjolkan keakuannya. Manusia terlalu mudah mengeluh, juga terlampau
mudah mabuk. Di waktu menghadapi peristiwa yang tidak menyenangkan,
manusia mengeluh seolah-olah dialah orang yang paling sengsara di dunia ini,
dan di waktu menikmati peristiwa yang menyenangkan, manusia menjadi
mabuk dan lupa diri!

AMBISI
Memang demikianlah, ambisi atau cita-cita selalu nampak indah cemerlang,
jauh lebih indah daripada apa adanya saat kita mengejar cita-cita itu! Dan telah
menjadi pendapat umum yang menyesatkan bahwa kita manusia hidup HARUS
bercita-cita, karena kalau tidak ada cita-cita, kita akan mati, tidak berdaya cipta,
dan tidak akan maju!
Benarkah demikian? Tidak sehat dan tidak cerdaslah namanya kalau kita
hanya menerima pendapat begini atau begitu tanpa menyelidikinya dalam
kehidupan kita sehari-hari. Sebaliknya kalau kita menyelidiki, apakah
sesungguhnya ambisi atau cita-cita itu?
Cita-cita adalah bayangan akan sesuatu yang belum ada, akan sesuatu yang
kita anggap akan lebih baik, lebih menyenangkan daripada keadaan yang ada
sekarang ini. Cita-cita adalah bayangan suatu keadaan yang lebih
menyenangkan. Bukankah demikian? Jadi, cita-cita adalah pengejaran, atau
keinginan akan sesuatu yang dianggap akan lebih menyenangkan dari pada
keadaan sekarang ini. Ada yang bercita-cita untuk menjadi kaya raya, atau
setidaknya jauh lebih kaya daripada keadaannya sekarang, berarti dia ini
mengejar-ngejar harta kekayaan yang dianggapnya akan mendatangkan
kesenangan dalam hidupnya. Ada pula yang bercita-cita untuk memperoleh
kedudukan yang lebih tinggi daripada sekarang, tentu saja cita-cita itu muncul
karena dianggap bahwa hal itu akan mendatangkan kesenangan dalam
hidupnya. Pendapat umum mengatakan demikian, dan kita menerima saja
sebagai sesuatu yang sudah pasti! Padahal, apakah kekayaan dan kedudukan
itu pasti mendatangkan kesenangan? Memang, mendatangkan kesenangan,
akan tetapi juga kesusahan sebagai tandingannya. Yang jelas, tidak akan
mendatangkan kebahagiaan! Dan seperti dapat dilihat dari bukti sehari-hari,
yang dikejar-kejar yang masih merupakan ambisi atau cita-cita itu hanyalah
merupakan kesenangan yang pada kenyataannya tidaklah seindah dan
sekemilau seperti yang dikejarnya. Setelah yang dikejarnya itu terdapat, maka
apa yang didapat itu hanya mendatangkan kesenangan sepintas saja, lalu
membosankan, karena mata kita sudah melihat lagi jauh ke depan, kepada
yang kita anggap lebih menyenangkan lagi, yang merupakan penyakit yang
takkan habis sebelum kita mati, yaitu penyakit mengejar sesuatu yang kita
anggap lebih menyenangkan. Dan pengejaran atau penyakit ini membuat kita
tidak pernah dapat merasakan keindahan saat ini, tidak pernah dapat
menikmati keadaan saat ini. Kita hanya menikmati bayangan-bayangan indah
dari cita-cita atau ambisi itu saja.

Kemajuan yang dijadikan pendapat umum itu apakah sesungguhnya? Kalau


kita mau meneliti diri sendiri, segala sesuatu telah kita dasarkan kepada
kebendaan, kepada lahiriah belaka sehingga ukuran kata "kemajuan" bagi kita
bukan lain adalah uang dan kedudukan! Majukah seseorang kalau dia sudah
memiliki kedudukan tinggi atau banyak uang? Beginilah memang pendapat
umum, pendapat kita! Bahagiakah seseorang kalau dia sudah berkedudukan
tinggi atau memiliki banyak uang? Kalau kita menyelidiki mereka yang umum
anggap berkedudukan tinggi atau berharta besar, maka jawabannya ternyata
akan berbunyi : TIDAK!
Pengejaran kesenangan sudah pasti mendatangkan perbuatan-perbuatan yang
kejam dan menyeleweng, karena demi pencapaian cita-cita itu kita tidak segan-
segan untuk menyingkirkan siapa juga yang menjadi penghalang. Kita tidak
segan-segan melakukan penyelewengan-penyelewengan, korupsi, kelicikan,
jegal-menjegal, perebutan kursi, apa saja tanpa ada yang diharamkan, demi
mencapai cita-cita atau demi tercapainya yang kita anggap akan
menyenangkan itu.
Dan apakah artinya semua "kemajuan" lahir tanpa disertai kebersihan batin,
tanpa adanya cinta kasih antar manusia dalam batin kita? Dunia sekarang
membuktikannya. Semua "kemajuan" yang serba hebat, tenaga-tenaga yang
serba dahsyat, lebih banyak dipergunakan oleh manusia untuk saling
menghancurkan, saling membunuh. Mari kita sama-sama membuka mata
melihat keadaan yang sebenarnya dari kehidupan kita di dunia. Lihatlah perang
senjata-senjata yang serba dahsyat, serba maut! Lihatlah kepalsuan-kepalsuan
dalam politik. Lihatlah kelicikan-kelicikan dalam perdagangan. Lihatlah
perbedaan-perbedaan antara si kaya dan si miskin. Lihatlah negara ini
berlimpah-ruah, negara itu kelaparan. Lihatlah, lihatlah keadaan dunia pada
umumnya. Apakah kita boleh berbangga hati dan membusungkan dada
mengatakan bahwa kita manusia ini telah "maju"? Betapa menyedihkan!

Pelarian dari duka merupakan hal sia-sia belaka. Hiburan-hiburan untuk


menutupi duka juga merupakan pelarian.
Dengan demikian, mungkin duka akan tidak terasa, akan tetapi hal itu hanya
berlangsung sejenak saja, seperti api dalam sekam. Api duka itu masih belum
padam, hanya tertutup dan masih membara di sebelah dalam. Sewaktu-waktu
akan berkobar lagi. Kalau hiburan itu sudah mereda, maka duka akan muncul
lagi sehingga kita terpaksa sibuk mencari-cari hiburan yang lain lagi. Mengapa
kita harus lari dari kenyataan? Kalau timbul duka atau takut atau kesengsaraan
yang lain lagi, mari kita hadapi dengan penuh kewaspadaan! Mengamati diri
sendiri lahir batin setiap saat dengan penuh kewaspadaan berarti mempelajeri
segala sesuatu tentang kehidupan manusia di dunia ini!

KEMATIAN DAN DUKA


Kematian merupakan suatu peristiwa yang nyata, suatu fakta yang tak dapat
diubah oleh siapapun, suatu hal yang akan menimpa setiap manusia di dunia
ini. Oleh karena peristiwa kematian akan menimpa semua orang, tak peduli dia
itu kaisar maupun pengemis, tak peduli dia itu pendeta maupun penjahat, maka
kita semua tahu bahwa kematian merupakan hal yang wajar. Akan tetapi,
mengapa dalam setiap peristiwa kematian selalu menimbulkan duka?
Duka itu timbul dari perpisahan, dan setiap perpisahan terasa menyakitkan
bilamana di situ terdapat ikatan batin. Ikatan ini tercipta oleh kesenangan atau
sesuatu yang kita anggap menyenangkan, yang enak, sehingga kita tidak ingin
terlepas lagi dari yang menyenangkan itu, seperti juga kita tidak ingin dekat
dengan yang tidak menyenangkan. Dan sekali waktu yang menyenangkan itu
direnggut dari kita, seperti peristiwa kematian, maka kita akan merasa nyeri.
Yang menyenangkan itu telah berakar di dalam hati, maka apabila direnggut
oleh kematian, hati kita akan terobek dan menjadi perih. Sebagian besar
daripada ratap tangis yang ditumpahkan orang dalam peristiwa kematian,
adalah ratap tangis karena iba diri, karena perasaan duka ditinggalkan orang
yang mendatangkan kesenangan dalam hati kita. Di mulut kita mengatakan
kasihan kepada si mati, namun sesungguhnya di lubuk hati, yang ada hanya
rasa kasihan kepada diri kita sendiri yang ditinggalkan, yang kehilangan
sesuatu atau rasa senang di hati. Itulah sebabnya mengapa di dalam setiap
peristiwa kematian timbul duka cita dan ratap tangis, bukan untuk si mati
melainkan karena rasa iba diri dari yang hidup.
Kematian terjadi setiap saat, menimpa siapapun juga. Bahaya yang dapat
menimbulkan kematian berada di sekeliling kita dan setiap saat dapat
merenggut nyawa kita, melalui kuman-kuman penyakit, melalui kecelakaan,
kekerasan dan sebagainya. Mati hanyalah rangkaian dari hidup seperti juga
hidup merupakan rangkaian dari mati.
Tidak ada kehidupan tanpa ada kematian dan tidak akan ada kematian tanpa
kehidupan. Mati yang terjadi sebagai rangkalan dari hidup adalah suatu proses
yang wajar, suatu peristiwa yang sudah semestinya seperti tenggelamnya
matahari di senja hari untuk muncul kembali di pagi hari berikutnya. Akan tetapi,
kebanyakan dari kita merasa takut akan kematian! Kematian terasa sedemikian
mengerikan, menakutkan, penuh rahasia. Mengapa kita merasa ngeri dan takut
menghadapi kematian yang pada suatu saat sudah pasti akan datang kepada
kita itu?
Karena kita tidak mengenalnya! Karena kita tidak tahu apa akan jadinya dengan
kita! Karena kita terikat kuat-kuat kepada segala yang menyenangkan dan yang
enak-enak di dunia kehidupan ini. Karena kita tidak rela berpisah dari segala
yang menyenangkan itu dan kita enggan memasuki sesuatu yang belum kita
ketahui benar apakah akan mendatangkan nikmat atau derita.
Kematian adalah terputusnya semua ikatan kita dengan kehidupan di dunia.
Semakin erat kita terikat secara batinlah kepada hal-hal dan benda-benda yang
ada dalam kehidupan kita, semakin takut dan ngerilah kita menghadapi
perpisahan dengan semua itu. Bukan kematian yang menakutkan, melainkan
perpisahan dengan segalanya itulah! Dengan keluarga yang tercinta, dengan
harta benda, kedudukan, kehormatan, kemuliaan, dan dengan segala hal yang
dianggap menyenangkan dalam hidup. Untuk menginggalkan semua itu, untuk
berpisah dengan semua itu!
Inilah yang membuat kita merasa tidak rela dan berat, dan timbullah kengerian
dan ketakutan.
Tidak dapatkah kita "mati" selagi hidup ini? Dalam arti kata, mati atau bebas
dari segala ikatan batin ini?
Kebebasan dari semua ikatan batin akan membebaskan kita dari rasa takut itu
pula terhadap perpisahan yang berupa kematian dan yang tak mungkin
dielakkan itu. Bukan berarti lalu kita menjadi tidak peduli atau tidak acuh
kepada keluarga, pekerjaan dan sebagainya selagi hidup. Sama sekali bukan!
Melainkan bebas dari ikatan batiniah yang selalu berupa kesenangan itulah.
Kesenangan dan keinginan untuk selalu menikmati kesenangan dari apa yang
kita miliki itulah yang mengikat.
Tanpa kebebasan dari rasa takut akan kematian ini, kita akan selalu mencari-
cari cara atau jalan agar sesudah mati kitapun akan senang dan enak! Kita
akan mencari segala daya upaya untuk mendatangkan rasa terhibur, rasa
terjamin bahwa sesudah mati kita akan tetap menikmati kesenangan. Jadi kita
akan terjerumus semakin dalam lagi ke dalam lingkaran dari pengejaran
kesenangan, kita akan terikat semakin kuat. Mengejar enak dan senang selama
hidup, bahkan sampai kelak sesudah mati di "sana"!

(Dhammapada)

"Tiada yang lebih panas


daripada nafsu"
tiada yang lebih ganas
daripada kebencian
tiada yang lebih menjerat
daripada kebodohan
tiada yang lebih menghanyutkan
daripada keserakahan,
Kesalahan orang lain mudah nampak
kesalahan diri sendiri sukar terlihat
orang menyaring kesalahan orang lain
seperti menampi dedak
namun kesalahannya sendiri disembunyikannya
seperti penipu menyembunyikan dadu lemparannya
terhadap penjudi lainnya."

Segala keadaan kita adalah hasil


dari apa yang telah kita pikirkan
didasarkan atas pilihan kita
dan dibentuk oleh pikiran kita
Jika seseorang bicara atau berbuat
dengan pikiran jahat,
penderitaan akan mengikutinya,
seperti roda gerobak
mengikuti jejak kaki lembu
yang menariknya.
Jika seseorang bicara atau berbuat
dengan pikiran murni
kebahagiaan akan mengikutinya,
seperti bayang-bayang
yang tak pernah meninggalkannya
Dia mencaci maki saya, memukul saya
mengalahkan saya, merampok saya
yang menyimpan pikiran ini
kebencian takkan berakhir
yang tidak menyimpan pikiran ini
dendam kebencian akan berakhir
Karena kebencian tak dapat dipadamkan
oleh kebencian
kebencian hanya musnah
oleh cinta kasih
inilah suatu aturan yang abadi..."

Sungguh patut disayangkan bahwa kita ini semenjak kecil biasanya hanya
memperoleh petunjuk-petunjuk saja, bagaimana untuk dapat menjadi seorang
yang baik, yang benar, yang sabar dan sebagainya. Seolah-olah kebaikan itu
dapat dipelajari! Seolah-olah kebenaran itu mempunyai garis tertentu! Seolah-
olah kesabaran itu dapat dibuat! Biasanya, kalau kita mendendam, kalau kita
membenci, kalau kita marah, kita dinasihati untuk bersabar.
Kita dinasihati untuk mengendalikan diri, mengendalikan kemarahan itu,
menekannya dengan kesabaran, dengan mengingat bahwa kemarahan itu tidak
baik, kesabaran itu baik dan sebagainya. Kita diajar untuk menjauhi
kemarahan, kebencian dan lain-lain itu seperti menjauhi penyakit, dan kita
dipaksa untuk berpaling kepada kesabaran, cinta kasih antara sesama,
kebaikan dan sebagainya. Semua ini membuat kita seperti sekarang ini, penuh
dengan teori-teori tentang kebajikan, kebaikan, teori-teori kosong yang sama
sekali tidak kita hayati dalam kehidupan, karena penghayatan dalam kehidupan
melalui teori-teori ini hanya merupakan peniruan belaka, dan setiap bentuk
peniruan tentu mendatangkan kepalsuan dalam tindakan itu karena di balik itu
sudah pasti mengandung pamrih. Sejak kecil kita diajarkan untuk menjadi orang
baik sehingga kita selalu ingin disebut baik, kita mempunyai anggapan baik itu
searah dengan senang, atau baik itu mendatangkan senang di hati. Maka
"perbuatan baik" yang kita lakukan itu, jika kita mau membuka mata mengenal
diri sendiri, bukan lain hanyalah merupakan suatu daya upaya atau jembatan
bagi kita untuk memperoleh hasil yang menyenangkan itu tadi saja.
Hasil yang dianggap akan mendatangkan kesenangan dari perbuatan baik, dan
hasil yang menyenangkan itu bisa saja berupa kesenangan bagi lahir maupun
batin. Mungkin bersembunyi di bawah sadar, namun karena pendidikan budi
pekerti yang diberikan kepada kita semenjak kecil, maka kita selalu berbuat
baik dengan harapan agar memperoleh buah dari perbuatan itu yang tentu saja
akan menguntungkan atau menyenangkan kita lahir batin.
Bisa saja kita menyangkal bahwa hal ini tidak benar, akan tetapi setiap
perbuatan yang kita anggap sebagai perbuatan kebaikan, yang kita lakukan
dengan unsur kesengajaan untuk berbuat baik, sudah pasti mengandung
pamrih, biar pamrih itu bersembunyi di bawah sadar sekalipun! Maka, yang
penting adalah mengenal apakah perbuatan tidak baik itu! Kita tahu dan
mengenal tindakan-tindakan palsu dan tidak baik itu, kita mengenal dan sudah
mengalami betapa nafsu-nafsu seperti marah, benci, dendam, iri, serakah itu
mendatangkan hal-hal yang amat buruk. Untuk dapat terbebas daripada
dendam, bukanlah hanya sekedar belajar sabar! Memang, dengan kesabaran
atau mengendalian diri, kemarahan dapat saja berhenti, nampaknya lenyap dan
padam, akan tetapi sesungguhnya, api kemarahan itu masih belum padam,
hanya tertutup oleh kesabaran yang dipaksakan menurut ajaran-ajaran itu tadi.
Seperti api dalam sekam. Sekali waktu api itu akan berkobar lagi, mungkin lebih
hebat, untuk dikendalikan dan ditutup lagi oleh kesabaran, dan lain kali
berkobar lagi, ditutup lagi, maka kita pun terseret ke dalam lingkaran setan
seperti keadaan hidup kita sekarang ini!
Mengapa kita harus lari dari kenyataan kalau sekali waktu amarah atau benci
datang? Mengapa kita harus menyembunyikan diri ke balik pelajaran kesabaran
untuk melarikan diri dari kemarahan? Mengapa kita tidak berani menghadapi
kenyataan itu bahwa kita marah? Mari kita mencoba untuk menghadapinya,
setiap kali kemarahan timbul, setiap kali kebencian, iri hati, dan sebagainya
datang ke dalam batin kita. Kita hadapi semua itu, kita amati, kita pandang, kita
pelajari tanpa melarikan diri, tanpa ingin sabar, ingin baik dan sebagainya lagi!
Dengan pengamatan ini, dengan kewaspadaan ini, dengan perhatian ini, maka
kita akan awas, dan sadar, kita akan melihat bahwa kemarahan dan kita
tidaklah berbeda, maka tidaklah mungkin melarikan diri dari kemarahan yang
sesungguhnya adalah diri kita sendiri, pikiran kita sendiri, si aku itu sendiri. Kita
hadapi saja, amati saja, pandang saja, dan akan terjadilah sesuatu yang luar
biasa, yang tak dapat diteorikan, hanya dapat dihayati, dilakukan pada saat
semua itu timbul!

Kemajuan Ilmu Pengetahuan harus diimbangi Kemajuan Bhatin.


Kemajuan ilmu pengetahuan bukannya mendatangkan berkah dalam
kehidupan, bahkan sebaliknya mendatangkan malapetaka apabila tidak disertai
dengan kemajuan di bidang batin. Kemajuan ilmu pengetahuan memberi
kekuasaan yang lebih besar kepada manusia, dan tanpa batin yang bersih
maka kekuasaan itu akan dipergunakan oleh manusia untuk mementingkan diri
sendiri, mengejar kesenangan dan dengan kekuasaannya itu manusia akan
membasmi manusia lain yang menghalang di depan, yang mengganggu
usahanya untuk meraih kesenangan pribadi itu. Hal ini nampak dengan jelas di
mana pun dalam dunia ini. Kemajuan ilmu haruslah disertai kemajuan batin,
kalau tidak, maka kemajuan ilmu itu hanya akan mendatangkan bencana bagi
manusia. Kekuasaan yang berada di dalam tangan manusia yang berbatin
lemah hanya akan dipergunakan untuk mengumbar nafsu-nafsunya tanpa
mempedulikan betapa untuk mencari kesenangan dia mempergunakan
kekuasaan dari ilmu itu untuk mencelakakan orang lain.

Manusia sejak kecil telah terdidik untuk menjangkau yang lebih, yang dianggap
lebih menyenangkan daripada apa yang sudah ada! Oleh karena inilah,
semenjak kecil manusia tanpa disadari telah terdidik untuk tidak menghargai
apa yang telah dimilikinya dan matanya selalu tertuju ke luar, kepada apa yang
belum ada, yang belum dimilikinya. Selalu ingin lebih pandai, ingin lebih besar,
ingin lebih tinggi, lebih kaya, lebih senang, lebih bahagia, dan segala yang
"lebih" lagi. Semua keinginan ini menciptakan perasaan kurang puas dan tidak
dapat menikmati apa yang ada, dan semua keinginan ini dihias dengan
sebutan-sebutan indah seperti cita-cita, kemajuan dan sebagainya. Padahal,
menginginkan sesuatu yang belum ada dan yang dimilikinya ini merupakan
pangkal segala macam perbuatan jahat, korupsi, dan sebagainya, karena
dorongan keinginan untuk memperoleh sesuatu yang belum dimilikinya itu
membutakan mata batin sehingga tidak segan-segan lagi untuk melakukan
pelanggaran apapun demi memperoleh yang diidam-idamkannya.

Terciptanya gelora segala macam nafsu dan gairah.


Dari pikiran! Pikiran mengunyah-ngunyah pengalaman dalam kenangan
memupuk dan bahkan membumbui dengan khayal sehingga pengalaman yang
menyenangkan itu dianggap semakin hebat lagi, mempunyai daya tarik yang
amat kuat sehingga mendorong kita untuk mengulangnya.
Kenikmatan yang pernah dirasakan itu dikunyah-kunyah, terbayang semakin
nikmat dan timbullah keinginan untuk mengalami kembali yang membuat kita
mengejar-ngejar hal yang merupakan bayangan kesenangan hebat itu. Pikiran
adalah sumber segala macam nafsu keinginan, hal ini dapat dilihat dengan
jelas. Pikiran yang membayangkan kembali hal-hal yang lalu, mengenang
kembali hal-hal yang menyenangkan, dan pikiran pula yang membayangkan
hal-hal yang belum ada, dibayangkan sebagai sesuatu yang amat hebat dan
nikmat dan menyenangkan. Pikiran menimbulkan nafsu-nafsu. Pikiran pula
yang membanding-banding, menimbulkan perasan iri. Pikiran pula yang
membayangkan hal-hal yang belum ada, hal-hal buruk yang mungkin menimpa
kita, menimbulkan rasa takut. Dapatkah kita bebas daripada pikiran yang
mengenang-ngenang itu? Bukan berarti kita tidak harus mempergunakan
pikiran.
Pikiran mutlak perlu bagi kehidupan kita akan tetapi pada tempatnya yang
benar, dalam melakukan pekerjaan dan sebagainya. Namun, sekali kita
membiarkan pikiran mengenang-ngenang, membanding-banding, memasuki
hati, merajuk urusan batin, maka akan terjadilah kekacauan dan akan
bangkitlah segala nafsu-nafsu yang menguasai semua tindakan kita.

Memang demikianlah kehidupan manusia di dunia ini. Seperti berputarnya


bumi, seperti beredarnya matahari, sebentar terang sebentar gelap. Hidup ini
nampaknya seolah-olah begitu penuh dengan penderitaan, kekecewaan,
penyesalan, kesengsaraan yang tumpang-tindih. Ada kadang-kadang datang
suka ria, akan tetapi hanya seperti selingan kilat di waktu hujan gelap saja.
Manusia hidup seakan-akan dibayangi oleh duka nestapa selamanya.
Semua hal yang dikejar-kejarnya mati-matian, dengan pengorbanan macam-
macam, bahkan yang kadang-kadang dalam pengejaran itu tidak sungkan-
sungkan untuk memperebutkan dengan orang lain, kalau perlu menjatuhkan
orang lain, mencelakainya, bahkan membunuhnya, setelah terdapat ternyata
tidaklah mendatangkan kebahagiaan seperti yang diharapkan atau
dibayangkannya semula! Si miskin membayangkan bahwa kalau dia memiliki
harta banyak, hidupnya akan menjadi bahagia. Namun si kaya tidak lagi
merasakan kebahagiaan lewat hartanya! Rakyat kecil membayangkan bahwa
kalau dia memiliki kedudukan tinggi, hidupnya akan menjadi bahagia. Namun
para pembesar tidak lagi merasakan kebahagiaan lewat kedudukannya, bahkan
sebaliknya, kebanyakan dari mereka menderita banyak kepusingan karena
kedudukannya yang tinggi! Si orang awam ingin terkenal, akan tetapi mereka
yang terkenal merasa terganggu hidupnya oleh ketenarannya! Demikianlah,
manusia akan selalu sengsara dan tidak bahagia hidupnya selama dia diburu
oleh keinginan untuk memperoleh sesuatu yang belum dimilikinya. Dan
keinginan ini akan terus mengejarnya sampai liang kubur sekalipun, tak pernah
terpuaskan karena keinginan itu merupakan penyakit yang akan terus
mendorongnya mengejar sesuatu yang baru lagi. Kita selalu menginginkan
yang baru, karena yang baru itu menarik dan kita anggap amat menyenangkan.
Kita lupa sama sekali bahwa yang baru ini akan menjadi lapyk dan kita akan
terus mencari yang lebih baru lagi! Menuruti keinginan takkan ada habisnya,
dan tidaklah mungkin bagi kita untuk memiliki segala-galanya di alam
mayapada ini. Hanya dia yang sudah tidak menginginkan apa-apa lagilah maka
segala-galanya ini adalah untuknya! Atau dengan lain kata-kata, hanya orang
yang sudah tidak menginginkan apa-apa lagilah maka dia itu benar-benar
seorang kaya raya lahir batin! Tidak menginginkan apa-apa ini dalam arti kata
tidak mengejar sesuatu yang tidak ada padanya, tidak menghendaki sesuatu
yang tak terjangkau olehnya. Bukan berarti menolak segala sesuatu, bukan
berarti acuh tak acuh, bukan berarti mandeg dan menjadi seperti patung hidup.

Memang demikianlah keadaan kita manusia dalam dunia ini. Kita selain ingin
merasa lebih tinggi daripada orang lain, lebih pandai, lebih tampan, lebih kuat,
lebih berkuasa dan segala macam lebih lagi. Dari manakah timbulnya
ketinggian hati atau kecongkakan, keangkuhan dan kesombongan itu? Kita
selalu menciptakan suatu gambaran tentang diri sendiri, gambaran yang
diambil dari segi baik dan segi lebihnya saja, dan untuk mempertahankan
gambaran inilah maka kita bersikap angkuh kepada orang lain yang kita anggap
lebih rendah. Kalau kita menginginkan untuk memiliki gambaran diri yang
sedemikian tingginya karena kita melihat kenyataan kita yang rendah, seperti
para pembantu pembesar itu. Kenyataannya sehari-hari, mereka itu menjadi
bawahan, dan kenyataan itu membuka mata bahwa mereka itu jauh lebih redah
daripada atasan mereka. Oleh karena itu timbul keinginan untuk memiliki
gambaran diri yang tinggi, dan hal ini menimbulkan sikap yang congkak seolah-
olah dia sudah menjadi seorang yang tinggi kedudukannya seperti yang
digambar-gambarkannya itu. Setiap orang ingin menonjolkan diri agar dianggap
paling tinggi paling pandai, dan segala macam "paling" lagi. Dan semua ini
tentu saja menimbulkan konflik, baik konflik dalam batin sendiri antara
kenyataan dan penggambaran, juga konflik keluar menghadapi orang lain.
Gambaran diri ini pasti timbul kalau tidak waspada, tidak sadar. Sebaliknya,
kalau kita mau membuka mata dan waspada setiap saat akan diri sendiri,
menghadapi kenyataannya tanpa memejamkan mata, melihat segala
kekurangan dan kekotoran diri sendiri, maka akan nampaklah oleh kita bahwa
yang ingin menonjolkan diri itu, yang menciptakan gambaran diri yang tinggi-
tinggi itu, bukan lain adalah juga si aku, si pikiran yang menimbulkan segala
kekotoran itulah! Penglihatan yang jelas ini akan menimbulkan pengertian dan
ini adalah kesadaran sehingga kitapun terbebaslah dari cengkeraman si aku
yang ingin menonjolkan diri itu dan lenyap pula segala kecongkakan dan
kesombongan yang menguasai diri kita.

Ayat To-tik-khing
"Kata-kata bijasana tidak berbunga
kata-kata berbunga tidak bijaksana
sang budiman tidak melawan
yang melawan tidak budiman
sang arif bijaksana tidak terpelajar
yang terpelajar tidak arif bijaksana!"

"Kata-kata yang baik dan dapat dipercaya kebenarannya tidak bersifat


membujuk dan merayu melainkan jujur dan sederhana, dan kata-kata yang
membujuk dan merayu, yang halus memikat, sama sekali tak dapat dipercaya
kebenarannya."
"Yang melawan itu adalah sebangsa orang kasar dan suka mempergunakan
kekerasan, maka hidupnya akan penuh dengan pertentangan dan permusuhan,
maka tentu saja orang begitu bukanlah seorang budiman, karena orang
budiman tahu bahwa kekerasan hanya menimbulkan permusuhan dan
kesengsaraan."
"Keadaan terpelajar berarti menyimpan pelajaran-pelajaran di dalam kepala dan
mengandalkan segala sesuatu yang dihafal belaka tidak membuat orang
menjadi arif dan bijaksana. Keadaan tidak terpelajar berarti bebas dari
pengetahuan, dan hanya orang yang batinnya kosong dari pengetahuan saja
yang dapat mempelajari segala sesatu yang baru dan karenanya arif bijaksana"

Dapatkah dendam, sakit hati, perasaan marah, kebencian, iri hati, keserakahan,
rasa takut, dan sebagainya dapat lenyap dari batin, dengan jalan melarikan diri
dari semua itu atau dengan jalan menekannya? Hal ini penting sekali bagi kita
untuk menyelidikinya dan mempelajarinya karena dalam kehidupan kita setiap
hari tentu ada saja satu di antara nafsu-nafsu itu muncul di dalam hati kita.
Mungkinkah kita terbebas dari semua nafsu itu dengan daya upaya kita?
Dari mana timbulnya nafsu-nafsu seperti dendam, kebencian, marah, iri,
serakah, takut dan sebagainya itu? Semua itu timbul dari adanya pikiran yang
membentuk si aku dengan keinginannya untuk mengejar kesenangan dan
menjauhi kesusahan. Karena si aku ini merasa diganggu, dirugikan baik lahir
maupun batin, maka timbullah kemarahan, kebencian dan sebagainya. Karena
si aku ini ingin mengejar kesenangan, maka lahirlah keserakahan, iri hati dan
sebagainya.
Setelah muncul kemarahan, dari pengalaman atau dari penuturan orang lain, si
aku melihat bahwa kemarahan itu tidak akan menguntungkan. Maka timbullah
keinginan lain lagi, yaitu keinginan untuk melenyapkan kemarahan!
Jelas bahwa yang marah dan yang ingin bebas dari kemarahan itu masih yang
itu-itu juga, masih si aku yang ingin senang karena ingin bebas dari kemarahan
itupun pada hakekatnya hanya si aku ingin senang, menganggap bahwa bebas
marah itu senang atau menyenangkan! Jadi, si marah adalah aku sendiri, dia
yang ingin bebas marahpun aku sendiri. Bermacam daya upaya dilakukannya
oleh kita untuk bebas dari kemarahan atau kebencian dan sebagainya.
Ada yang melarikan diri dari kenyataan itu dengan cara menghibur diri, minum
arak sampai mabuk, bersenang-senang sampai mabuk atau mengasingkan diri
di tempat sunyi. Ada pula yang mempergunakan kekuatan kemauan untuk
menghimpit dan menekan kemarahan yang timbul itu, pendeknya, segala
macam daya upaya dilakukan orang untuk membebaskan diri daripada
kenyataan, yaitu amarah itu.
Bagaimana hasilnya? Memang nampaknya berhasil, nampak dari luar memang
berhasil. Yang marah itu tidak marah lagi oleh penekanan kemauan atau oleh
hiburan. Akan tetapi, tak mungkin melenyapkan penyakit dengan hanya
menggosok-gosok agar nyerinya berkurang atau lenyap. Karena penyakitnya
masih ada, maka rasa nyeri itupun tentu akan timbul kembali! Demikian pula
dengan kemarahan, kebencian dan sebagainya. Memang dengan penekanan
atau hiburan, kemarahan itu seolah-olah pada lahirnya sudah lenyap, api
kemarahan itu seolah-olah sudah padam. Akan tetapi sesungguhnya tidaklah
demikian! Api itu masih membara, seperti api dalam sekam, di luarnya tidak
nampak bernyala namun di sebelah dalamnya membara masih ada dan
sewaktu-waktu akan berkobar lagi. Karena itulah, tercipta lingkaran setan pada
diri kita. Marah, disabarkan atau ditekan lagi, marah lagi, ditekan lagi dan
seterusnya selama kita hidup!
Mengapa kita tidak hadapi secara langsung segala yang timbul itu? Di waktu
timbul marah, timbul benci, timbul iri, timbul takut dan sebagainya. Mengapa,
kita lari? Mengapa kita tidak menanggulanginya secara langsung,
mengamatinya, menyelidiki dan mempelajarinya secara langsung? Mengapa
kita tidak membuka mata dan waspada, penuh kesadaran akan semua itu?
Kalau marah timbul dan kita membuka mata penuh kewaspdaan,
mengamatinya tanpa ada akal bulus si aku yang ingin merubah, ingin sabar dan
sebagainya seperti itu, kalau yang ada hanya kewaspdaan saja, pengamatan
saja, maka apakah akan terjadi dengan kemarahan yang timbul itu? Cobalah!
Segala pengertian itu tanpa guna kalau tidak disertai penghayatan! Pengertian
berarti penghayatan! Tanpa penghayatan maka pengertian itu hanya menjadi
pengetahuan kosong belaka, hanya akan menjadi teori-teori usang yang
pantasnya hanya disimpan di lemari lapuk untuk hiasan belaka, tidak ada
manfaatnya bagi kehidupan. Nah, kalau ada timbul marah, benci, takut dan
sebagainya, kita hadapi dan kita buka mata mengamatinya dengan penuh
perhatian, penuh kewaspadaan dan kesadaran.
Kemarahan dan dendam timbul karena adanya sang pikiran, si aku yang
tersinggung atau dirugikan. Kalau tidak ada si aku yang merasa dirugikan,
apakah ada kemarahan itu? Hanya pengamatan dengan penuh kewaspadaan
yang akan mendatangkan pengertian yang berarti penghayatan pula,
melahirkan tanggapan-tanggapan spontan seketika.
Dan pengertian dari pengamatan ini yang akan meniadakan marah atau
dendam. Dan tidak adanya marah atau dendam mendekatkan kita kepada
kebebasan dan cinta kasih. Dan kalau sudah begitu tidak perlu lagi belajar
sabar!

Namun, diapun maklum bahwa dia harus dapat mengekang nafsu seperti yang
telah diajarkan oleh Hong San Hwesio kepadanya. Memang pengekangan
nafsu, pengendalian diri, tekanan, tekanan dan sekali lagi tekanan demikianlah
yang selama ini diajarkan dan ditekankan kepada kita!
Justeru pelajaran inilah yang menimbulkan konflik-konflik dalam batin kita,
antara kenyataan dan angan-angan seperti yang kita kehendaki. Kenyataannya
kita serakah, akan tetapi angan-angannya, yang dijejalkan kepada kita adalah
agar kita tidak serakah, dan demikian seterusnya. Jadi sumber penyakitnya
tidak diobati dan dilenyapkan, hanya rasa nyeri yang timbul dari penyakit itu
saja yang kita usahakan untuk diringankan atau dilenyapkan. Maka tentu saja
akan selalu timbul pula. Dan sumber penyakitnya itu berada pada si aku yang
selalu ingin senang dan ingin menjauhi susah.

Akan tetapi, teringat akan wejangan-wejangan Hong San Hwesio tentang


berahi, Thian Sin lalu menahan dan menekan dorongan-dorongan berahi ini.
"Berahi merupakan satu di antara kekuatan-kekuatan yang mengandung
tenaga sakti dalam tubuh," demikian antara lain Hong San Hwesio memberi
wejangan. "Kalau engkau dapat mengekangnya, maka hal itu akan menjadi
tenaga sakti dalam tubuhmu. Akan tetapi kalau dituruti, hal itu akan
menghancurkan tenaga sakti. Berahi itu adalah hawa sakti yang ingin keluar,
oleh karena itu kendalikanlah, pertahankanlah sedapat mungkin."
Wejangan seperti itu memang dianggap wajar dan benar karena sudah menjadi
tradisi dan kepercayaan umum bagi agamanya. Dan memang dapat dinyatakan
bahwa dalam wejangan itu terdapat suatu kebenaran bahwa dorongan berahi
itu, yang wajar, yang bukan buatan pikiran yang membayang-bayangkan
kenikmatan, adalah merupakan suatu dorongan hawa sakti, bahkan
pelepasannya tidak luput dari pengaruh kekuatan yang amat mujijat sehingga
pelepasannya merupakan sarana bagi perkembangbiakan semua mahluk hidup
di dunia ini! Sungguh terdapat kemujijatan yang amat ajaib dalam semua ini,
terdapat sesuatu yang amat suci dan gaib dalam hubungan kelamin. Betapa
kekuasaan yang tak terbataslah mengatur semua itu dengan tertib dan indah.
Hubungan itu adalah syarat mutlak untuk perkembangbiakan manusia dan
untuk menuntun manusia ke arah itu setelah mulai dewasa, maka terdapat
gairah-gairah berahi dan di dalam pelaksanaannya itu sendiri terkandung
kenikmatan. Semua ini mendorong manusia untuk condong melakukan
hubungan kelamin dan dengan demikian terjaminlah berlangsungnya
perkembangbiakan manusia. Betapa mujijatnya! Kurang sedikit saja dalam
ketertiban yang sudah diatur sempurna itu, timbul bahaya kehancuran dan
lenyaplah kemanusiaan! Andaikata tidak terdapat kenikmatan, maka manusia
tentu tidak akan terdorong melakukannya dan kelanjutan manusia tentu akan
terancam karenanya. Dorongan itu bahkan sudah ada dalam diri setiap orang,
gairah berahi adalah pembawaan lahir, alamiah.
Manusia sendirilah yang merusak semua keindahan dan kesempurnaan ini,
dengan jalan memelihara kesenangan dan kenikmatannya sehingga hal yang
suci itu, karena sesungguhnya hubungan kelamin merupakan hal yang suci,
berubah menjadi kesenangan yang dikejar-kejar dan dicari-cari hanya untuk
diraih sebagai pelepas nafsu dan untuk mencapai kepuasan belaka! Maka
muncullah hal-hal yang hanya akan mendatangkan sengsara!
Kita memang selalu merusak keindahan dan ketertiban yang alamiah dan
wajar. Setiap manusia sejak lahir sudah mempunyai selera dan gairah untuk
makan. Kekuasaan yang maha sempurna telah mengaturnya sehingga kalau
tubuh membutuhkan makan, timbul selera dan gairah dan perut sendiri
memberontak minta diisi. Dengan demikian, proses makan maupun kebutuhan
lain dari tubuh seperti pernapasan dan sebagainya, merupakan hal wajar dan
untuk memberi dorongan kepada manusia untuk memenuhi tuntutan jasmani
melalui perut ini, manusia telah diberi rasa enak di waktu mengisi perut.
Bukankah hal ini, seperti juga tuntutan berahi yang menjadi sarana pembiakan,
merupakan suatu kewajaran? Bukankah rasa enak dalam makan, rasa nikmat
dalam hubungan kelamin, merupgkan mujijat dan anugerah yang berlimpah?
Namun sayang seperti juga dalam gairah berahi, dalam gairah makanpun juga
kita tidak lagi mementingkan kebutuhan jasmani atau kebutuhan perut,
melainkan mementingkan rasa enak itulah! Kita melupakan artinya yang hakiki,
kita melupakan kepentingannya dan hanya mengejar rasa enak dalam makan,
dan mengejar rasa nikmat dalam hubungan sex. Dan seperti juga dalam
hubungan kelamin yang terjadi karena pengejaran kenikmatan belaka, maka
dalam makan yang terjadi karena pengejaran keenakan belaka,
bermunculanlah akibat-akibat yang menyengsarakan!
Harus kita akui bahwa dalam pelaksanaan gairah itu memang terdapat rasa
enak, terdapat rasa nikmat dan perasaan nikmat itu adalah anugerah yang
terbawa lahir oleh kita semua. Jadi, bukan berarti bahwa kita harus MENOLAK
makan enak atau menolak kenikmatan sex, sama sekali bukan. Keenakan,
kelezatan atau kenikmatannya itu adalah anugerah, kita berhak menikmatinya,
dan sama sekali tidak berbahaya. Yang berbahaya adalah kalau sudah timbul
PENGEJARAN. Pengejaran kesenangan, pengejaran kenikmatan inilah yang
menjadi sumber segala derita, segala konflik dan kesengsaraan.
Thian Sin yang mulai merasakan dorongan-dordngan gairah nafsu berahi itu
teringat akan wejangan Hong San Hwesio, maka diapun cepat-cepat
bersamadhi untuk menghalaunya, untuk menekannya di waktu gairah itu timbul.

Hong San Hwesio TENTANG "CINTA"

Betapa menyedihkan melihat bahwa yang kita sebut-sebut cinta itu hampir
selalu, atau sebagian besar, berakhir dengan kedukaan! Kalau ada seorang
muda dan seorang mudi saling jatuh cinta, terdapat suatu daya tarik yang amat
kuat di antara mereka. Daya tarik ini antara lain diciptakan oleh kecocokan
selera, akan kecantikan atau ketampanan wajah, kecocokan watak masing-
masing, lalu dipupuk dan diperkuat oleh pergaulan yang semakin akrab.
Semua ini menciptakan daya tarik yang mendorong mereka untuk selalu saling
berdekatan karena kehadiran masing-masing merupakan hal yang
menyenangkan. Tentu saja semua itu didasari lebih dulu oleh daya tarik antar
kelamin yang sudah terbawa semenjak lahir. Kemudian, mereka merasa saling
jatuh cinta! Sayangnya, rasa cinta ini selalu ditunggangi oleh nafsu ingin
menyenangkan diri belaka sehingga timbullah nafsu ingin menguasai, ingin
memiliki, dan yang paling kuat adalah nafsu sex. Setelah demikian, mulailah
bermunculan perangkap-perangkap yang akan menjebak kita ke dalam
kedukaan, melalui hubungan cinta kasih yang sebenarnya amat suci itu.
Dua orang muda-mudi saling mencinta dan penunggangan nafsu ingin
menguasai, itulah yang menimbulkan duka kalau mereka berdua berhalangan
menjadi suami isteri, atau kalau yang disebut "cinta" mereka itu "gagal" di
tengah jalan. Cinta gagal ini, atau lebih jelas hubungan yang terputus ini
mendatangkan patah hati yang berarti kedukaan dan kesengsaraan. Apakah
kalau mereka sampai dapat menjadi suami isteri lalu cinta mereka itu menjadi
kekal dan apakah hal itu dapat mendatangkan kebahagiaan? Dapat kita lihat
kepahitan yang nyata di sekeliling kita! Betapa banyaknya terjadi perceraian
antara suami isteri yang katanya dulu sangat saling mencinta, bahkan yang
sudah mempunyai anak-anak! Perceraian yang timbul karena cemburu, karena
penyelewengan, karena percekcokan, pendeknya karena KEKECEWAAN
masing-masing dalam hubungan antara mereka itu. Lalu ke manakah larinya
"cinta" yang mereka ikrarkan bersama dahulu? Lalu ke mana lenyapnya
sumpah di antara mereka ketika mereka masih saling "mencinta"? Seolah-olah
cinta hanyalah sesuatu yang bersifat sementara saja! Yang bersifat sementara
ini sesungguhnya hanyalah KESENANGAN. Hanya mereka yang menikah atas
dasar "mengejar kesenangan" sajalah yang akan gagal dalam pernikahan
mereka, karena kesenangan yang dikejar itu selalu akan jalan bersama dengan
kesusahan, kepuasan dengan kekecewaan. Mengejar kesenangan berarti ingin
selalu memperoleh kesenangan, sehingga kalau dalam pernikahan itu muncul
hal yang tidak menyenangkan, maka pernikahan itupun gagal. Dan itu masih
kita beri kedok yang kita namakam "cinta"! Betapa menyedihkan dan betapa
pahit kenyataan hidup ini.

Memang sesungguhnyalah, kita harus mengakui adanya kenyataan betapa


ulah manusia, yaitu diri sendiri, telah membuat dunia ini menjadi suatu tempat
tinggal yang kotor dan tidak enak ditinggali. Alam yang begitu sejuk, segar dan
bersih seperti yang terdapat di pegunungan atau di dusun-dusun sunyi, segera
berubah menjadi panas, pengap dan kotor setelah penuh oleh manusia.
Banyak memang terdapat mahluk hidup di dunia ini, namun, betapapun nyaring
suara mahluk-mahluk itu, tidak ada yang seperti suara manusia ketika mereka
saling bicara. Suara manusia pada umumnya sudah penuh dengan nafsu,
penuh dengan keinginan mengejar senang, penuh dengan kedukaan, penuh
dengan kemarahan, kebencian! Kalau kita memasuki sebuah pasar yang penuh
manusia, mendengarkan suara, manusia dalam pasar itu, lalu
membandingkannya dengan suara burung-burung dan binatang-binatang di
dalam hutan, akan nampak perbedaan yang teramat besar.
Kita tidak pernah dapat menikmati hidup, tidak pernah dapat menikmati sebuah
tempat. Yang tinggal di kota ingin lari ke gunung, lari dari kebisingan dan
menganggap bahwa keheningan akan lebih menyenangkan. Sebaliknya, kalau
dia sudah tinggal di gunung, diapun masih akan menderita karena merasa
kesepian dan ingin kembali ke kota!
Jarang terdapat orang yang benar-benar dapat menikmati keindahan alam, dan
kalaupun ada, hanya dapat dihitung dengan jari saja agaknya! Kita baru dapat
menikmati keindahan alam apabila kita tidak membanding-bandingkan, apabila
pikiran kita kosong, tidak dipenuhi kesibukan, apabila di dalam pikiran tidak
terdapat gambaran tentang si aku dan tentang apa yang kusenangi dan tidak
kusenangi. Keindahan dan kebahagiaan bukan berada di luar diri kita sendiri,
keindahan dan kebahagiaan hanya terdapat pada jiwa yang bebas, bebas dari
ikatan suka dan tidak suka yang menjadi permainan pikiran, yaitu pencipta si
aku.

PUISI
Makin jauh matahari tenggelam, makin remang-remang cuaca dan keremangan
itu seperti mendatangkan suatu keheningan yang baru, keheningan yang ajaib
menyelimuti seluruh permukaan bumi. Pohon-pohon mulai menyembunyikan
diri, menarik diri dari penonjolan di waktu siang, membuat persiapan untuk
tenggelam dalam kegelapan yang segera akan tiba. Sebatang pohon yang-liu
yang tinggi nampak di kejauhan, terpencil dan merupakan sesuatu yang hitam
menentang keindahan warna-warni itu, dengan cabang-cabangnya yang
melengkung indah dan halus, seolah-olah menunduk dan menghormati
suasana yang hening, sedikitpun tidak bergerak, tidak seperti pada saat-saat
lain di mana pohon yang-liu itu merupakan pohon yang paling luwes menari-
nari lemah gemulai tertiup angin berdesir.
Beberapa burung merupakan kelompok terbang mendatang dari selatan,
seolah-olah merupakan seekor mahluk besar
yang bergerak sambil mengeluarkan bunyi bercicit-cicit nyaring karena
gerakannya yang seirama. Anehnya gerakan terbang dan bunyi bercicit itu tidak
mengganggu keheningan, bahkan merupakan bagian dari keheningan yang
maha mendalam itu, sehingga terdapat perpaduan yang aneh antara yang
hening dan yang bising, yang diam dan bergerak.
Keadaan tadi yang diam dan hening seperti keadaan mati mengandung gerah
dan bunyi yang menjadi pertanda hidup itu, sehingga di dalam kematian itu
terkandung kehidupan dan di dalam kehidupan itupun terkandung kematian,
keduanya tak terpisahkan lagi.

Memang mengejutkan kalau melihat sikap datuk Tung-hai-sian dan para murid
datuk-datuk yang lain itu. Mereka begitu kasar, akan tetapi juga blak-blakan
mengucapkan segala hal yang terkandung di dalam hati mereka, tanpa
mempedulikan tata susila dan kesopanan lagi. Bagi mereka, kesopanan adalah
sesuatu yang palsu, kepura-puraan dan kemunafikan yang menggelikan.
Pandangan mereka itu bagaikan bumi dan langit, sama sekali menjadi
kebalikan dari pandangan golongan yang menamakan diri mereka golongan
bersih atau kaum pendekar. Mereka ini mengutamakan kesusilaan, kesopanan
dan kebudayaan. Kehormatan bagi seorang pendekar lebih berharga daripada
nyawanya sendiri. Nama baik didahulukan, nama baik pribadi yang
mengembang menjadi nama baik keluarga dan mungkin dikembangkan lagi
menjadi nama baik golongan.
Manakah yang benar di antara dua pandangan ini? Keduanya mengandung
kebenaran dan kekeliruan, seperti pada umumnya segala hal di dunia ini. Sekali
dinilai, maka akan nampaklah kebenarannya, baik buruknya, untung ruginya
dan sebagainya lagi. Yang penting bagi kita adalah membuka mata, waspada
sehingga mengenal apa yang menjadi kenyataan, apa yang palsu di dalam
segala hal.
Karena kewaspadaan ini akan menimbulkan kesadaran dan pengertian yang
selanjutnya akan mendatangkan tindakan seketika, yaitu melepaskan yang
palsu itu, seperti kalau kita melihat dan mengerti bahwa yang kita genggam
adalah kotoran dan kita melepaskan kotoran itu tanpa dipikirkan lagi!
Semenjak kecil, kita diajar oleh orang tua, oleh guru, oleh masyarakat di
sekeliling kita, untuk bersopan-sopan untuk bersusila. Kita diperkenalkan
kepada hal-hal yang dianggap tidak sopan dan tidak bersusila, hal-hal yang
dianggap sopan dan bersusila. Ditekankan kepada kita sampai mendalam
sekali bahwa yang tidak sopan itu tidak baik dan yang sopan itu baik, dan
sebagainya. Ditekankan pula bahwa hidup haruslah baik dan sebagainya.
Tekanan-tekanan inilah yang mendorong kita untuk menjadi baik! Untuk
dianggap baik! Dan keinginan baik inilah yang melahirkan kepalsuan,
kemunafikan, sehingga kita pandai sekali berpura-pura, lain mulut lain di hati.
Kita terdorong oleh keinginan agar "menjadi orang baik" termasuk orang sopan,
bersuslia dan sebagainya, sehingga kita melakukan hal-hal yang palsu,
berpura-pura berlawanan dengan isi batin sendiri, hanya demi agar dianggap
sebagai orang baik. Maka timbullah sikap manis di mulut pahit di hati,
penghormatan-penghormatan yang sifatnya menjilat-jilat, dan kepalsuan-
kepalsuan dalam hampir setiap gerak-gerik kita dalam kehidupan sehari-hari.
Kalau kita mau membuka mata dengan waspada dan memandang dengan
sewajarnya dan sejujurnya kepada diri sendiri, akan nampaklah semua
kepalsuan ini. Sikap dan ucapan kita terhadap isteri atau suami, terhadap
pacar, terhadap anak atau orang tua, terhadap sahabat, terhadap orang-orang
lain. Bahkan sikap kita dalam sembahyang misalnya, terhadap Tuhan! Kita ini
orang-orang munafik. Beranikah kita melihat kenyataan ini?
Melihat kenyataan ini bukan berarti bahwa kita harus hidup bebas semau gue,
seperti golongan para datuk, boleh bersikap dan bicara sesuka hatinya,
bersikap kasar dan keras sekali terhadap orang lain. Sama sekali bukan
demikian! Melainkan melihat kenyataan akan kepalsuan kita agar kita tidak
palsu lagi, agar kita bebas dari sikap pura-pura itu. Agar kalau kita menghormat
seseorang, maka penghormatan itu datang dari lubuk hati, agar kalau mulut kita
tersenyum, agar kalau kita mengucapkan kata-kata sayang kepada isteri atau
suami, pacar atau anak, batin juga penuh dengan kasih sayang itu! Belajar
hidup dalam keadaan utuh! Betapa indahnya ini! Utuh dalam arti kata
SATUNYA HATI, KATA DAN PERBUATAN! Betapa akan indahnya! Bebas dari
kepalsuan dan kepura-puraan.
Dapatkah... atau lebih tepat lagi, maukah kita mulai sekarang juga, saat ini
juga? Kehidupan akan mengalami perubahan yang luar biasa hebatnya dan ini
hanya dapat dibuktikan dengan penghayatan, bukan dengan teori belaka!

TINDAKAN TERHADAP PENJAHAT


"Akan tetapi, kalau penjahat-penjahat itu dimanjakan, tentu mereka tidak akan
pernah merasa kapok! Terlalu enak bagi mereka yang jahat dan keji itu
memperoleh pengampunan dan memperoleh perlakuan yang lunak. Tiong-ko
terlalu lemah dan kelemahan hatinya itu sewaktu-waktu bahkan akan
mencelakainya sendiri!"
Lian Hong merasa tidak setuju dalam hatinnya, akan tetapi ia tidak mampu
membantah atau menjawab, maka iapun hanya mendengarkan saja semua
kata-kata Thian Sin yang berusaha membenarkan sikap dan tindakannya.
Pendapat Thian Sin itu mungkin sekali juga merupakan pendapat umum atau
kebanyakan dari kita, yaitu yang berpendapat bahwa tindakan kekejaman
terhadap orang-orang yang bersalah atau yang melakukan kejahatan adalah
tindakan yang benar. Biasanya, tindakan itu kita namakan keadilan! Akan tetapi
benarkah demikian? Benarkah itu kalau kita menyiksa seorang yang kita
namakan penjahat, bahkan kalau kita membunuhnya, maka penyiksaan atau
pembunuhan itu dapat dinamakan keadilan? Sebaiknya kalau kita menyelidiki
dulu persoalan ini sebelum kita memberinya suatu nama seperti keadilan! Kita
selidiki apa perbedaan antara perbuatan kejam dan dianggap adil!
Apakah dasar yang mendorong ke arah tindakan yang kejam, menakuti orang,
menyiksa orang? Atau bahkan membunuh orang? Semua perbuatan kejam itu
tentu mempunyai dasar yang sama, yaitu kebencian. Kebencianlah yang
membuat seorang melakukan tindakan kejam, baik itu dinamakan kejahatan
maupun keadilan. Kebencian di dalam hati ini tentu saja meniadakan cinta
kasih. Siapapun yang melakukan tindakan kejam, baik dia itu dinamakan
penjahat ataupun pendekar, pada dasarnya sama saja, yaitu melampiaskan
kebencian.
Ini bukanlah berarti bahwa kejahatan atau kekejaman yang dilakukan oleh
orang-orang yang kita namakan jahat itu harus didiamkan saja! Sama sekali
tidak demikian. Akan tetapi, alangkah jauh bedanya antara hukuman yang
sifatnya mendidik dan hukuman yang sifatnya membalas dendam! Balas
dendam adalah akibat kebencian yang melahirkan perbuatan-perbuatan kejam
seperti menyiksa dan membunuh. Sebaliknya, hukuman yang sifatnya mendidik
tidak dapat dinamakan kekejaman karena tidak dilakukan dengan hati yang
membenci.
Jeweran pada telinga anak dari seorang ayah dapat merupakan hukuman
mendidik, dapat pula merupakan pelampiasan kebencian. Kalau si ayah itu
marah, jengkel di waktu menjewer, maka perbuatannya itu adalah perbuatan
yang didorong oleh kebencian. Sebaliknya, kalau jeweran itu dilakukan tanpa
kebencian, maka itu adalah perbuatan yang mengandung maksud mendidik,
dan antara dua jeweran yang sama ini terdapat perbedaan bumi langit.
Biasanya, kata keadilan hanya dipergunakan oleh mereka yang dipenuhi
kebencian untuk menuntut balas. Jelaslah bahwa segala macam perbuatan
yang didasari oleh kebencian, maka perbuatan semacam itu sudah pasti kejam
dan jahat.
Sebaliknya, perbuatan apapun yang dilakukan dengan dasar cinta kasih, maka
perbuatan itu pasti benar dan baik.

KESENANGAN DAN KESENGSARAAN


Setiap manusia di dunia ini, baik wanita maupun pria, yang hidup dalam
keadaan normal dan biasa, kecuali mereka yang hidup diperuntukkan menjadi
pendeta atau yang berpantang sanggama, sudah pasti akan sekali waktu
mengalami hubungan pertama dalam hidupnya. Hubungan kelamin antara pria
dan wanita untuk pertama kalinya sudah pasti akan terjadi pada setiap orang,
dengan berbagai cara dan jalan. Dan agaknya sudah diterima oleh umum
sebagai hal yang wajar dan biasa, terutama di dunia timur, bahwa kehilangan
keperjakaan seorang pria bukanlah hal yang aneh dan patut diributkan,
sebaliknya, kehilangan keperawanan seorang wanita dapat menimbulkan
bencana, urusan, permusuhan, pembunuhan, bahkan dapat mempengaruhi
kehidupan wanita itu selanjutnya! Hubungan antara pria dan wanita, hubungan
yang menyangkut kelamin sekalipun, bukanlah merupakan hal yang aneh.
Hubungan itu adalah wajar saja, seperti hubungan antara jantan dan betina
pada semua makhluk, baik makhluk bergerak maupun tidak, baik tanam-
tanaman, binatang-binatang, manusia-manusia. Jodoh dalam bentuk
pertemuan antara Im dan Yang merupakan kewajaran, karena pertemuan
antara jantan dan betina inilah yang menciptakan semua keadaan.
Demikian pula, hubungan kelamin antara pria dan wanita merupakan
kewajaran, bahkan merupakan sarana bagi perkembangan manusia, bagi
kelahiran manusia, oleh karena itu, sungguh sesat kalau menganggap
hubungan itu sebagai sesuatu yang kotor! Sama sekali tidak. Hubungan itu
adalah sesuatu yang suci, sesuatu yang bersih dan indah, sesuatu yang wajar
dan tidak bertentangan hukum alam.
Akan tetapi, segala macam perbuatan di dunia ini, kalau dilakukan dengan
dasar mengejar kesenangan, tentu menimbulkan penyelewengan-
penyelewengan yang dianggap sebagai kejahatan. Dan perbuatan yang
dilakukan dengan pamrih mencari kesenangan, sudah pasti akan
mendatangkan gangguan-gangguan dalam hidup, mendatangkan awal
daripada kesengsaraan. Umpamanya, makan adalah suatu gerakan wajar yang
merupakan kepentingan hidup, kebutuhan jasmani, dan memang segala
kebutuhan jasmani itu pelaksanaannya mengandung kenikmatan. Inilah berkah
berlimpahan yang patut membuat manusia bersyukur. Akan tetapi, kalau dalam
melakukan perbuatan makan ini kita mendasarkannya atas pamrih mengelar
kesenangan, yaitu kenikmatan makan tadi, maka terjadilah penyelewengan.
Kita lalu makan asal enak saja, tanpa mengingat lagi bahwa fungsi makan
sebenarnya adalah untuk syarat hidup, untuk perut. Dan terjadilah akibat-akibat
yang amat mengganggu seperti sakit perut dan sebagainya yang merupakan
awal kesengsaraan! Demikian pula dengan perbuatan sebagai pelaksana
hubungan kelamin antara pria dan wanita.
Gairah yang ada dalam hubungan seksuil adalah wajar. Rasa tertarik antara
pria dan wanita adalah wajar. Rasa nikmat yang didapat dalam hubungan
itupun adalah wajar, merupakan satu di antara berkah yang berlimpahan bagi
manusia. Namung kalau kita melaksanakan perbuatan itu dengan dasar
mengejar kenikmatan, mencari kesenangan, maka kita telah menyalahgunakan
berkah itu. Dan timbullah perbuatan-perbuatan yang merupakan
penyelewengan-penyelewengan hanya demi mencapai kesenangan belaka,
seperti perjinaan-perjinaan dan sebagainya, yang kesemuanya itu dilakukan
hanya karena dorongan nafsu berahi belaka, hanya untuk mencari kenikmatan
belaka.
Dan muncullah akibat-akibat seperti pelanggaran dari norma-norma kesusilaan
manusia yang telah terbentuk.
Akibat-akibat itu bermacam-macam, misalnya, kandungan di luar nikah,
permusuhan karena memperebutkan wanita, permusuhan karena merasa
dilanggar kehormatannya, permusuhan karena perkosaan, penyakit-penyakit
kelamin, dan sebagainya lagi.
Kebijaksanaan sajalah yang dapat menertibkan semua ini. Kebijaksanaan yang
timbul kalau kita berada dalam keadaan waspada dan sadar. Hanya dasar cinta
kasih sajalah yang akan menghalalkan semua perbuatan hubungan seksuil ini.
Dengan cinta kasih, maka segalanyapun baik. Dan cinta kasih itu bukan sekali-
kali berarti hubungan seks! Sungguhpun hubungan seksuil merupakan
sebagian daripada cinta kasih antara pria dan wanita dalam hubungan suami
isteri, suatu pencurahan daripada kasih sayang dan kemesraam. Dan sebagai
manusia tentu saja kita tidak mungkin terlepas daripada norma-norma
kesusilaan, daripada hukum-hukum yang telah diterima oleh masyarakat.
Kalau hukum itu mengatakan bahwa hubungan seksuil antara pria dan wanita
barulah benar kalau dilakukan antara suami dan isteri yang sudah menikah
secara sah, maka sudah tentu kita tidak mungkin dapat melepaskan dari
ketentuan itu. Sebaliknya, andaikata masyarakat kita tidak mengadakan
peraturan itu, tentu saja kitapun terikat oleh hukum tentang pernikahan. Semua
hukum itu hanyalah menjaga ketertiban lahiriah belaka. Akan tetapi yang
terpenting adalah ketertiban menyeluruh yang berpusat kepada batin.
Kenikmatan memiliki kekuatan besar sekali untuk mengikat manusia melalui
kesenangan. Mengingat-ingat dan mengenangkan pengalaman yang nikmat
selalu mendorong manusia untuk mengulang kenikmatan itu.
KARMA
Hampir semua orang bicara tentang karma. Segala sesuatu yang terjadi
menimpa dirinya, yang terjadi berlawanan dengan yang diharapkannya, lalu
dihiburnya dengan pendapat bahwa itu sudah menjadi karmanya atau sudah
nasibnya. Apakah sesungguhnya yang dimaksudkan dengan karma itu?
Menurut penjelasan kitab-kitab tulisan orang jaman dahulu, karma adalah
hukum sebab akibat. Segala akibat mempunyai sebabnya, dan segala macam
perbuatan manusia sudah pasti akan mendatangkan akibat, cepat atau lambat.
Itulah hukum karma. Semua perbuatan baik tentu akan berakibat baik,
perbuatan jahat akan berakibat jahat bagi yang melakukannya. Atau dengan
kata lain, siapa menanam dia akan menuai dan akan makan buah daripada
hasil tanamannya sendiri.
Akan tetapi sungguh sayang. Seperti juga segala macam pelajaran kebatinan
atau filsafat lainnya di dunia ini, pengetahuan tentang hukum karma inipun
hanya menjadi pengetahuan mati belaka, menjadi teori yang hanya dipakai
untuk bahan perdebatan dan membanggakan pengetahuan saja. Orang sudah
tahu bahwa menanam pohon perbuatan jahat akan memetik buah yang buruk,
namun orang tetap saja setiap saat menanam pohon perhuatan yang jahat-
jahat! Jadi jelas bahwa pengetahuan mati tidak ada gunanya. Dunia sudah
penuh dengan segala ajaran ayat-ayat yang suci dan yang menuntun manusia
ke arah jalan baik, namun manusia tetap saja bergelimang kejahatan.
Karma adalah mata rantai yang tiada habisnya. Sebuah sebab menimbulkan
akibat, dan akibat ini berubah menjadi sebab yang mendatangkan akibat lain
lagi. Demikian seterusnya dan kita terbelenggu oleh rantai karma atau sebab
akibat... Putusnya rantai ini adalah pada kita sendiri! Seseorang menghina
saya. Itu dapat saja menjadi sebab yang mengakibatkan saya marah dan
memakinya. Akibat ini, yaitu saya marah dan memakinya, dapat menjadi sebab
lain yang mendatangkan akibat lain lagi, yaitu si orang itu marah-marah dan
mungkin memukul saya. Dan mulai terjadilah lingkaran yang tiada putusnya dari
hukum karma itu, rantai yang sambung-menyambung dan mengikat kita. Akan
tetapi, kalau orang itu menghina saya dan saya hanya mengamati saja penuh
perhatian, penuh kewaspadaan, tidak terjebak dalam permainan si aku, dan
tidak menimbulkan reaksi, maka mata rantai itupun pytus dan tidak
berkelanjutan. Jadi, kesadaran setiap saat, pengamatan setiap saat terhadap
diri sendiri dan terhadap segala sesuatu yang terjadi setiap saat di sekeliling
kita, inilah yang penting. Bukan pengetahuan tentang hukum karma lalu
bersandar kepadanya.
Pengetahuan tentang memetik buah dari perbuatan sendiri inipun dapat
menyesatkan. Dapat mendorong kita untuk melakukan perbuatan baik dengan
pamrih agar kelak dapat memetik buahnya yang baik atau lezat. Kalau sudah
begini, kalau perbuatan yang kita namakan perbuatan baik itu dilakukan dengan
sengaja agar kelak memperoleh hasil yang menyenangkan, apakah perbuatan
itu dapat disebut perbuatan baik lagi? Bukankah itu hanyalah perbuatan palsu,
hanya merupakan suatu usaha untuk memetik sesuatu yang menguntungkan
dan menyenangkan? Tidak ada perbuatan baik yang dilakukan dengan
sengaja, dengan kesadaran bahwa yang dilakukannnya itu adalah baik.
Hanya sinar cinta kasih sajalah yang melahirkan perbuatan baik, perbuatan
yang wajar, tidak disengaja untuk berbaik-baik, melainkan perbuatan yang
didasari oleh cinta kasih. Dan cinta kasih ini selalu menimbulkan rasa belas
kasih kepada sesama. Di mana ada cinta kasih, di situ semua perbuatan yang
dilakukan pasti bersih daripada keinginan untuk memperoleh kesenangan bagi
diri sendiri, baik kesenangan lahir maupun kesenangan batin.

PERJUDIAN
Semenjak jaman purba sampai sekarang, perjudian merupakan semacam
penyakit yang amat berbahaya bagi manusia.
Ada pula yang menganggap perjudian sebagai permainan, sebagai
kesenangan atau iseng-iseng saja yang sama sekali tidak membahayakan.
Akan tetapi, segala macam kesenangan yang dapat menyesatkan manusia
selalu dimulai dengan iseng-iseng. Dari iseng-iseng ini lalu lambat laun menjadi
kebiasaan yang tak mudah dilepaskan... Oleh karena dalam kesenangan
berjudi ini terdapat permainan dengan harapan-harapan sendiri, dan ada
hubungannya dengan keuntungan berupa uang secara langsung, maka besar
sekali pengaruh dan kekuatannya untuk membuat orang menjadi mabok dan
lupa segala.
Perjudian merupakan permainan dari pengumbaran nafsu manusia yang paling
besar, yaitu nafsu tamak ingin memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.
Orang yang kalah berjudi selalu akan berusaha untuk mengejar kekalahannya
itu dengan bayangan-bayangan kemenangan sebesarnya sehingga
kekalahannya dapat diraihnya kembali.
Orang yang sedang menang berjudi selalu akan berusaha untuk menambah
kemenangannya itu sebanyak mungkin. Dan di dalam perjudian ini, ketamakan
dan kebesaran si aku dikembangbiakkan menjadi amat luas. Di antara teman
baik, saling membayar makanan dalam jumlah agak besarpun akan dilakukan
dengan senang hati dan rela, namun di dalam perjudian, biarpun jumlah sedikit
saja sudah cukup untuk membuat dua orang teman baik itu menjadi cekcok dan
bentrok, tidak mau saling mengalah. Judi memupuk iri hati dan kekejaman,
memperkuat dan memperbesar si aku, memupuk nafsu ingin menang sendiri.
Betapa banyaknya sudah contoh-contoh dalam kehidupan masyarakat,
keluarga-keluarga yang berantakan karena kepala keluarganya kegilaan judi.
Orang-orang yang tadinya hidup jujur dan setia, dapat berubah menjadi curang
dan jahat setelah dia menjadi penjudi, tentu saja kalau dia sudah menjadi
korban dan menderita kalah terus-menerus.

Memang mengerikan sekali akibat seorang yang gila judi. Dan hal ini bukan
dongeng belaka. Bahkan banyak sudah terjadi orang rela menjual isterinya,
anaknya dan siapa saja. Mau mempergunakan uang siapa saja, untuk berjudi.
Banyak pula yang berusaha mengelak, berusaha melepaskan kebiasaan
berjudi, namun tidak dapat. Timbul pertanyaan besar dalam benak para penjudi
yang sudah melihat akan bahayanya perjudian dan ingin melepaskannya
namun tidak mampu, yaitu : Bagaimanakah caranya agar terbebas dari
penyakit judi ini? Hendaknya diketahui benar bahwa kegemaran berjudi bukan
datang dari luar, melainkan dari diri sendiri, dari dalam batin. Timbul karena
adanya harapan dan keinginan untuk menangkan banyak uang, untuk
memperoleh uang secara mudah, untuk dapat memperoleh kembali kekalahan-
kekalahan yang lalu. Judi hari ini adalah kelanjutan dari judi kemarin dan yang
lalu. Sekali batin telah waspada dan sadar, maka batin akan dapat membikin
putus tali lingkaran setan itu. Melepaskan ingatan akan kalan dan menang.
Kalau terdapat pikiran bahwa akan berjudi sekali lahi, sekali lagi saja lalu
berhenti, maka dia tidak akan dapat berhenti! Begitu melihat kepalsuannya lalu
berhenti! Sampai di situ, sekarang juga, saat ini juga, dan tidak mengingatnya
lagi, atau menatapnyam, mengamati diri sendiri penuh kewaspadaan, maka
kebiasaan itupun akan terhentilah. Bukan melarikan diri dari kebiasaan.
Melarikan diri percuma saja karena kebiasaan itu dapat dilakukan di manapun
juga. Yang penting, terbebas dari kebiasaan ini, dengan jalan menghadapinya
dengan penuh kewaspadaan, mengamatinya sehingga nampak seluruhnya,
latar belakangnya, sebab-sebabnya.

MENGEJAR KEPUASAN

Hampir semua manusia di dunia ini selalu haus akan kepuasan, selalu
mengejar-ngejar sesuatu yang dibayangkannya sebagai hal yang
menyenangkan. Pengejaran akan sesuatu yang menyenangkan ini, kalau
berhasil, memang dapat mendatangkan kepuasan. Akan tetapi, apakah artinya
kepuasan?
Dapat kita rasakan sendiri bahwa kepuasan hanya terasa selewat saja.
Pengejaran akan sesuatu, baik "sesuatu" itu merupakan benda ataupun
gagasan, sudah pasti disebabkan karena si pengejar, yaitu si aku atau pikiran
yang membayangkan, membayangkan adanya kesenangan yang didapat pada
sesuatu yang dikejar-kejar itu. Kepuasan adalah terpenuhinya keinginan itu, lalu
dilanjutkan dengan kenikmatan kesenangan yang didapat itu. Namun, seperti
juga kepuasan yang hanya dapat dinikmati sejenak saja, demikianpun
kesenangan ini tidaklah bertahan lama. Segera tempatnya diduduki oleh
kebosanan akan sesuatu yang tadinya dikejar-kejar itu, dan pikiran yang tak
pernah mengenal puas akan membayangkan kesenangan dalam pengejaran
sesuatu yang lain lagi, yang dianggap lebih berharga, lebih nikmat, lebih
berbobot dan sebagainya. Sesuatu yang pertama tadi, yang dikejar-kejarnya
setengah mati, kalau perlu berebutan dengan orang lain, akan menjadi sesuatu
yang sama sekali tidak menarik.
Bukan karena sesuatu yang pertama itu telah merosot atau berubah mutu dan
nilainya, melainkan si aku yang tidak memberinya nilai lagi, karena si aku telah
tertarik oleh sesuatu yang ke dua.
Dan kitapun terseret dan hanyut oleh keinginan yang tiada akan habisnya
selama kita masih hidup. Mata ini tidak pernah memandang apa yang ada di
dalam jangkauan kita, melainkan selalu memandang jauh ke depan. Yang
berada di tangan takkan pernah dapat dinikmatinya dan yang dianggap indah,
menyenangkan dan nikmat selalu adalah yang berada jauh di depan, yang
belum terjangkau. Dan semua ini disebut dengan kata-kata indah, yaitu cita-
cita! Ada pula yang menamakan kemajuan.
Padahal, keindahan itu terdapat dalam keadaan sekarang ini, yang berada di
depan kita, yang kita rasakan setiap saat. Karena tidak pernah mengamati yang
"ini", selalu mencari-cari dan memandang kepada yang "itu", maka hanya yang
begitu sajalah yang indah, sedangkan yang begini sama sekali tidak nampak
lagi. Kita sudah demikian mabuk oleh cita-cita, oleh angan-angan kosong, oleh
gambaran-gambaran yang kita buat sendiri, sehingga kehidupan kita tidak
pernah bersentuhan dengan kenyataan. Kita keenakan bermimpi
membayangkan yang indah-indah, yaitu yang belum ada dan dengan demikian
kita seolah-olah buta akan keindahan yang terkandung di dalam apa yang
sudah ada.
Inilah sebabnya mengapa kita selalu menganggap bahwa buah mangga di
kebun orang lain nampak lebih nikmat daripada buah mangga di kebun sendiri,
bunga mawar di kebun orang lain nampak lebih indah dan harum daripada
bunga mawar di kebun sendiri. Dapatkah kita hidup tanpa membanding-
bandingkan, tanpa membentuk gambaran gagasan khayal, sehingga tidak
timbul iri hati dan tidak mengejar-ngejar bayangan yang kita namakan cita-cita
dan ambisi? Dapatkah kita menikmati kehidupan sekarang ini, yang sudah ada
ini, dalam keadaan bagaimanapun juga?
Susah dan sengsara itu BARU MUNCUL kalau kita membandingkan keadaan
kita dengan orang lain. Sebutan kaya miskin, pintar bodoh, makmur sengsara,
dan perbandingan ini jelas menimbulkan iba diri dan penyesalan, di samping
menimbulkan pula kebanggaan dan ketinggian hati. Dapatkah kita hidup saat
demi saat, mencurahkan seluruh perhatian kita terhadap sekarang ini, apa yang
ada ini?

KEDUDUKAN/KEMULIAAN
Dan biasanya, kemuliaan dan kekayaan suka menyeret manusia ke dalam
lembah nafsu yang tak mengenal puas. Kesenangan selalu mendatangkan, di
samping kepuasan sesaat saja, juga keserakahan dan kehausan akan
kesenangan yang lebih besar dan lebih besar lagi. Makin kita memanjakan
nafsu mengejar kesenangan, makin dalam lagi kita terperosok ke dalam lembah
kehausan ini. Makin dituruti, nafsu menjadi semakin kuat menguasai kita
sehingga kita sudah bukan menjadi manusia lagi, melainkan menjadi hamba
nafsu yang hidup hanya sekedar menjadi permainan nafsu belaka.
Sudah jelaslah bahwa menuruti nafsu saja membuat kita menjadi manusia yang
tiada guna, menjadi hamba nafsu yang akhirnya akan menyeret kita ke lembah
kehancuran, baik jasmani maupun rohani. Bukan hanya terdapat dalam
pelajaran kitab-kitab suci ataupun filsafat-filsafat belaka yang kesemuanya itu
hanya teori belaka, akan tetapi dapat kita saksikan dan hayati sendiri dalam
kehidupan kita sehari-hari. Akan tetapi, bagalmana pengekangan nafsu-nafsu
seperti yang dianjurkan oleh hampir semua pelajaran kebatinan?
Siapakah yang mengekang atau mengendalikan nafsu? Yang mengendalikan
adalah aku yang melihat bahwa menuruti nafsu adalah buruk, maka aku ingin
agar dapat menguasai dan mengendalikan nafsu, agar menjadi baik. Aku
melihat bahwa menuruti nafsu membawa kepada kesengsaraan, maka aku
ingin mengendalikan nafsu, menguasainya agar tidak terjerumus, agar
memperoleh keamanan dan keselamatan yang berarti aku akan menikmati
keadaan yang menyenangkan.
Kalau kita mau mendalami hal ini, akan nampaklah bahwa nafsu adalah kita
sendiri, pikirkan kita sendiri, nafsu adalah si aku yang ingin senang, sedangkan
yang ingin mengendalikan nafau adalah aku pula, maka tidak ada bedanya
antara nafsu dan yang ingin mengendalikan nafsu! Semua itu adalah
permainan si aku yang ingin senang selalu. Terjadilah konflik antara keadaaan
aku yang ingin memuaskan nafsu dan aku yang ingin mengendalikan dan
menguasai nafsu. Dan hal ini malah akan menjadi pupuk bagi nafsu itu sendiri.
Mengendalikan saja tidak akan mematikan nafsu, hanya akan menyeilmuti saja
untuk sementara. Dan di dalam konflik pengekangan ini, kita membuang energi
yang amat besar dan amat banyak. Akibatnya, nafsu tidak akan lenyap dan kita
kehilangan energi dan menjadi tumpul, lemah.
Yang terpenting adalah pengamatan terhadap diri sendiri, terhadap nafsu kalau
timbul, terdapat keinginan-keinginan untuk menguasainya, keinginan untuk
begini dan begitu yang kesemuanya tentu menuju ke arah satu, yaitu ingin
bebas, ingin aman, ingin selamat, yang sebenarnya hanyalah topeng-topeng
halus dari satu keinginan, yaitu keinginan untuk senang. Pengamatan yang
dilakukan oleh si pengamat, masih sama saja, berada dalam satu lingkaran
setan, karena si pengamat adalah si aku pula, si nafsu untuk memperoleh
keadaan yang lebih menyenangkan juga. Jadi, yang ada hanyalah pengamatan
saja, tanpa aku si pengamat. Dalam pengamatan ini terdapat kewaspadaan dan
kesadaran yang menimbulkan pengertian yang mendalam. Dan hanya
pengertian mendalam inilah yang akan menimbulkan tindakan yang
mendatangkan perubahan.

PREMAN PENJAGA KEAMANAN


Dan mereka ini yang menjadi semacam "pelindung" dari toko-toko dan rumah-
rumah penduduk. Memang benar bahwa sejak mereka berkuasa, di kota raja
boleh dikatakan tidak ada lagi pencoleng yang berani beroperasi karena
mereka akan berhadapan dengan Hwa-i Kai-pang yang amat kuat. Para
pencuri, pencopet dan pencoleng pergi untuk beroperasi di kota-kota atau
dusun-dusun lain yang jauh dari kota raja. Akan tetapi, tidak adanya kaum
pencoleng itu bukan berarti bahwa kehidupan rakyat di kota raja menjadi aman.
Sama sekali tidak! Karena, para "pelindung" itu sendirilah yang kini menjadi
pengganti para pencoleng itu. Hanya bedanya, kalau para pencoleng itu
melakukan pekerjaan mereka dengan cara mencopet, mencuri atau
menggertak dengan kasar, sebaliknya para "pelindung" itu melakukannya
dengan halus, dengan dalih melindungi, sumbangan dan sebagainya. Namun,
apa bedanya bagi rakyat yang menderita rugi karenanya? Sama saja!
Pelindung yang seharusnya melindungi rakyat dari gangguan luar itu kini malah
menjadi pengganggu sendiri, seperti pagar makan tanaman.
Inilah ciri dan penyalahgunaan kekuasaan dan hal ini terjadi semenjak jaman
kuno sampai sekarang, di seluruh dunia. Kalau toh ada perbedaannya, maka
perbedaan itu hanya terletak pada caranya saja. mungkin kasar, mungkin pula
halus. Namun pada hakekatnya kekuasaan disalahgunakan untuk mencari
kemuliaan diri sendiri, kemakmuran diri sendiri dan kesenangan diri sendiri.
Karena kekuasaan merupakan senjata mutlak untuk memperoleh kesenangan,
maka tidak mengherankan kalau seluruh manusia di dunia ini lalu
memperebutkan kekuasaan, dan perebutan kekuasaan ini melahirkan
permusuhan, dari permusuhan pribadi, sampai permusuhan golongan, antara
saudara, antara suku sampai kepada antara bangsa dan negara! Setelah kita
melihat dengan jelas bahwa kekuasaan itu merusak kehidupan, maka satu-
satunya jalan bagi kita hanyalah melepaskan tangan dan tidak ikut
memperebutkan kekuasaan lagi!

RASA TAKUT
Rasa takut memang selalu mempengaruhi kehidupan manusia. Hampir seluruh
manusia di dunia ini hidup dalam cengkeraman rasa takut yang dapat juga
dinamakan kekhawatiran, kegelisahan, dan sebagainya. Pendeknya, rasa takut
akan sesuatu. Tentu saja perasaan ini mempengaruhi kehidupannya, karena
setiap tindakan yang didasari oleh rasa takut tentu merupakan suatu tindakan
yang tidak wajar dan palsu. Dapatkah kita hidup bebas dari rasa takut? Apakah
sesungguhnya perasaan takut akan sesuatu ini? Kalau kita mau mengamatinya
dengan waspada, maka kita akan dapat melihatnya bahwa rasa takut timbul
dari permainan pikiran kita sendiri yang membayangkan sesuatu yang tidak
ada, sesuatu yang belum tiba, sesuatu yang dibayangkan akan ada dan akan
menyusahkan diri kita. Kalau tidak ada pikiran yang membayang-bayangkan
keadaan yang belum ada ini, maka rasa takutpun tidak akan ada. Orang yang
takut akan penyakit menular yang sedang mengamuk tentu belum terkena
penyakit itu, orang yang takut akan kehilangan pekerjaan tentu belum
kehilangan pekerjaan, orang yang takut akan kematian tentu belum mati.
Demikian pula, orang yang takut akan setan tentu belum bertemu dengan yang
ditakutinya itu. Maka dari itu, apabila menghadapi setiap persoalan, setiap
peristiwa, kita membuka mata dengan waspada tanpa membayangkan hal-hal
yang belum terjadi, tindakan kita tentu akan lebih tepat. Seperti halnya Thian
Sin, ketika menghadapi segala penglihatan dan pendengaran itu, dia tidak
membayangkan hal-hal yang mengerikan, melainkan dengan waspada dia
mengamati, maka dia terbebas dari rasa takut dan dapat menanggulangi
keadaan yang bagaimanapun juga.
Ada yang mengatakan bahwa kita takut setan karena kita tidak mengertinya,
karena kita tidak mengenalnya.Benarkah itu?
Kalau kita mau menyelidiki, maka rasa takut akan setan itu sama sekali bukan
timbul karena kita tidak mengenalnya.
Orang yang tidak pernah mengenal setan, yang tidak pernah mendengar cerita
tentang setan, anak-anak yang belum pernah mendengar sama sekali tentang
setan, tidak mungkin akan takut! Sebaliknya, yang kita takuti adalah karena kita
sudah tahu tentang setan, sudah mendengar tentang setan, bahwa setan itu
menakutkan, mengerikan, menyeramkan dan sebagainya. Maka, takutlah kita,
karena pikiran kita membayangkan hal-hal yang menakutkan itu!
Sederhana sekali, bukan? Maka sekali lagi, dapatkah kita hidup bebas dari rasa
takut?

Kita melihat betapa kita dipermainkan oleh suka duka, lebih banyak dukanya
daripada sukanya, lebih banyak susahnya daripada senangnya.
Kesenangan-kesenangan yang mula-mula menggembirakan hati, makin lama
menjadi semakin hambar tanpa arti. Kita mencari yang lebih! Semua
kesenangan kita jangkau, akan tetapi setelah terdapat lalu kehilangan artinya,
menjadi hambar dan kembali kita terbenam ke dalam kekosongan. Dan kita
teringat bahwa pada suatu saat semua ini akan berakhir, tanpa arti sama sekali,
seolah-olah kita ini hanya seperti angin lalu, hidup ini seperti segumpal awan
yang melayang di angkasa kemudian lenyap untuk digantikan oleh gumpalan-
gumpalan awan lainnya.
Rasa kesepian ini mengundang rasa takut, khawatir akan masa depan kita,
akan hari kemudian kita, baik hari kemudian ketika kita masih hidup maupun
sesudah mati. Kita takut menghadapi kekosongan ini dan kita selalu berdaya
upaya untuk mencari sesuatu yang ada isinya, untuk dapat menghibur hati kita.
Kita takut berhadapan dengan rasa kesepian, maka kitapun lari ke apa saja
yang kiranya dapat menghibur kita, dapat mengusir rasa kesepian itu, yang
dapat membuat kita lupa akan rasa kesepian yang menakutkan. Namun,
pelarian diri, hiburan-hiburan itu hanya membuat kita lupa sebentar saja dan
rasa kesepian akan datang lagi menekan hati, membuat kita gelisah dan tidak
dapat tidur, dan kalau sudah tidur terisi oleh mimpi-mimpi buruk.
Apapun yang kita lakukan untuk mengusir rasa takut dan kesepian, akhirnya
hanya akan memperkuat benih rasa takut dan kesepian itu sendiri yang akan
terus mengejar-ngejar kita. Dan kita tidak mungkin selalu memenuhi diri dengan
hiburan-hiburan untuk melupakannya. Sekali waktu kita pasti berada seorang
diri dalam batin, walaupun banyak orang mengelilingi kita, dan rasa kesepian itu
akan semakin mencekik, mendatangkan rasa nelangsa, merasa sengsara dan
iba diri.
Rasa kesepian ini pasti timbul secara menakutkan kalau kita membayang-
bayangkan masa depan kita, membayangkan masa tua di mana kita takkan
banyak berguna lagi bagi dunia, di mana kita tidak akan dibutuhkan lagi oleh
orang lain, ketika tidak ada orang yang mengacuhkan kita, tidak ada orang
yang memperhatikan dan mencinta kita lagi.
Rasa takut dan kesepian timbul kalau kita membayangkan betapa kita akhirnya
akan terpisah dari semua yang kita senangi, kita akan bersendirian! Sendirian!
Tidak ada siapa-siapa yang mempedulikan kita, tidak ada siapapun yang
mencinta kita!
Kalau kita mau waspada, kalau kita mau menghadapi rasa kesepian yang
mendatangkan rasa takut itu, menghadapinya dengan terbuka, tanpa melarikan
diri melainkan kalau kita menyelidiki dengan penuh kewaspadaan, membuka
mata memandangnya dengan cermat, maka akan nampaklah bagaimana rasa
takut itu, bagaimana kepalanya dan bagaimana ekornya. Rasa takut akan
kesepian timbul dari bayangan yang kita ciptakan sejak kecil, bayangan berupa
si aku yang selalu ingin ada dan berkuasa. Si aku inilah yang merasa ngeri
kalau-kalau dia tidak ada lagi, kalau-kalau dia lenyap dari keadaannya. Dan si
aku ini hanyalah bayangan belaka, ciptaan dari pikiran yang ingin mengulang
pengalaman yang menyenangkan dan menjauhi pengalaman yang tidak
menyenangkan.
Kalau kita tidak melarikan diri, kalau kita menghadapi rasa kesepian yang
mendatangkan rasa takut itu, rasa iba diri itu, kalau kita menghadapinya dan
memandangnya tanpa berusaha untuk menekan atau mengendalikan, tanpa
mengutuk dan membelanya, melainkan mengamatinya saja penuh
kewaspadaan, maka pengamatan yang waspada penuh perhatian itu sendiri
yang akan menghentikan rasa takut dan rasa kesepian ini. Asalkan kita tidak
terkecoh oleh si aku yang licik itu, asalkan yang mengamati bukanlah si aku itu
pula, karena kalau yang mengamati itu adalah si aku, maka akan timbullah pula
keinginan agar rasa takut itu lenyap! Dan keinginan dari si aku inilah justeru
yang memperkuat adanya rasa takut itu sendiri, karena rasa takut rasa
kesepian itu bukan lain adalah si aku itu juga!
Dan kalau rasa takut akan kesepian itu sudah tidak ada lagi, maka berada
sendirian bukan lagi merupakan kesepian, melainkan keheningan. Dan
keheningan bukanlah rasa kesepian. Keheningan merupakan sesuatu yang
amat mendalam, yang amat luas, yang mencakup seluruh alam, di mana
getaran cinta kasih mencapai puncaknya, di mana sinar cinta kasih bercahaya
tanpa halangan sesuatupun.

SENGGAMA/SEX DAN PERBUATAN CABUL


Sanggama, perbuatan yang dilakukan oleh pria dan wanita, adalah sesuatu
yang amat indah, sesuatu yang tidak terelakkan, sesuatu yang wajar, sesuatu
yang mengandung kenikmatan lahir batin, sesuatu yang menjadi hal yang
terutama dalam hubungan antara pria dan wanita di dunia ini. Juga merupakan
suatu perbuatan yang suci, karena di dalamnya terkandung kemujijatan besar,
yaitu perkembangbiakan manusia, penciptaan manusia di dalam rahim ibunya.
Sungguh sayang bahwa sejak ribuan tahun, hal itu malah dianggap sebagai
sesuatu yang harus dirahasiakan, sesuatu yang bahkan dianggap tidak pantas
untuk dibicarakan, terutama sekali kepada anak-anak, kepada calon-calon
manusia yang pada waktunya tidak akan terbebas daripada perbuatan itu pula.
Sementara bahkan ada pandangan orang-orang yang belum mengerti atau
yang munafik, atau yang pura-pura mengerti, bahwa sanggama adalah suatu
hal yang "kotor" untuk dibicarakan. Mengapakah kita tidak berani mengungkap
peristiwa ini, perbuatan ini, bahkan banyak yang menganggapnya sebagai
pantangan dan sebagai pelanggaran susila kalau membicarakannya?
Mengapa? Apakah karena di situlah tersembunyi rahasia kelemahan kita,
sesuatu yang membuat kita tidak berdaya, sesuatu yang menghancurkan
seluruh gambaran dari si "aku"?
Ataukah karena begitu saratnya kata sanggama atau sex dengan hal-hal yang
dianggap memalukan dan tidak pantas maka kata itu, penggambaran tentang
itu dianggap tidak layak dikemukakan kepada kita yang "berbudaya", yang
"sopan" yang "bersusila"? Mengapa kita begitu munafiknya sehingga untuk
membicarakan kita merasa malu, walaupun tidak seorangpun di antara kita
yang tidak melakukannya? Membicarakan malu, akan tetapi melakukannya,
walaupun dengan sembunyi-sembunyi, tidak. Bukankah ini munafik namanya?
Memang, seperti juga orang makan, kalau sanggama dilakukan orang hanya
untuk sekedar mengejar kesenangan belaka, hal itu dapat saja menjadi sesuatu
yang tidak sehat dan buruk. Orang yang memasukkan sesuatu ke dalam
perutnya melalui mulut, kalau hanya terdorong oleh nafsu keinginan belaka,
bukan tidak mungkin "makan" lalu menjadi sesuatu yang buruk dan mungkin
menimbulkan bermacam-macam penyakit. Demikian pula dengan sanggama,
kalau dilakukan hanya untuk menuruti nafsu keinginan, maka yang ada
hanyalah nafsu berahi semata dan hal ini menimbulkan bermacam keburukan
seperti pelacuran, perjinaan, perkosaan dan sebagainya. Akan tetapi, kalau
sanggama dilakukan dengan dasar cinta kasih, sebagai tuntutan lahir batin
yang wajar, maka hubungan sanggama merupakan hubungan puncak yang
paling indah dan suci bagi pria dan wanita yang saling mencinta. Penumpahan
rasa sayang, rasa cinta, rasa bersatu, yang amat agung.
Perbuatan apapun yang dilakukan manusia, termasuk terutama sekali
sanggama, kalau dilakukan dengan dasar cinta kasih, maka perbuatan itu
adalah benar, bersih, sehat, dan indah. Indah sekali! Karena perbuatan antara
dua orang manusia itu dilakukan dengan penuh kesadaran, dengan penuh
kerelaan, tidak terdapat sedikitpun kekerasan, di situ yang ada hanya
kemesraan dan dorongan untuk saling membahagiakan. Saling
membahagiakan! Inilah sanggama yang dilakukan dengan dasar saling
mencinta. Bukan mencari kenikmatan melalui partnernya, sama sekali tidak.
Bahkan kenikmatan itu datang karena membahagiakan partnernya. Inilah
sanggama yang benar karena cinta kasih tidak akan ada selama diri sendiri
ingin senang sendiri. Sayang sekali kalau hal yang teramat penting ini
dilupakan orang.
Sekali lagi perlu kita semua ingat bahwa sanggama hanyalah suci dan bersih
apabila dilakukan orang atas dasar cinta kasih! Tanpa adanya cinta kasih maka
hal itu bisa saja terperosok kepada perbuatan maksiat yang kotor.
Pada hakekatnya, semua pengejaran kesenangan adalah sesuatu yang kotor
karena di situ terkandung kekerasan dalam usaha untuk mencapai apa yang
dikejar, yaitu kesenangan tadi. Jadi, perlulah bagi anak-anak kita untuk
semenjak kecil sudah mengetahui dengan jelas bahwa sanggama adalah
hubungan yang paling mesra antara dua orang laki-laki dan wanita yang saling
mencinta. Saling mencinta! Dan bukan hanya saling tertarik oleh keadaan
lahiriah belaka, seperti wajah cantik atau tampan, kedudukan, kepandaian,
harta benda dan sebagainya. Perlu anak-anak kita mengetahui bahwa
hubungan itu adalah hubungan yang suci, yang mengandung kemujijatan
terciptanya manusia baru dan sumber perkembangbiakan manusia.

Cabul? Mudah saja orang mempergunakan kata ini untuk dijadikan dalih
penutup kemunafikannya. Semacam keranjang sampah untuk mencoba
mengalihkan pandangan sendiri terhadap kekotoran sendiri yang masih
mengeram di dalam batin. Kecabulan bukanlah terletak di luar, bukan melekat
di dalam kata maupun perbuatan, melainkan di dalam lubuk hati. Cabulkah
orang melukis wanita telanjang? Jangan dinilai dari lukisannya melainkan
dijenguk dasar lubuk hati si pelukis yang kadang-kadang memang ternyata di
dalam lukisannya. Kalau di waktu melukis batinnya membayangkan kecabulan,
maka cabullah pelukis itu. Cabulkah orang yang menonton gambar wanita
telanjang?
Tergantung pula dari keadaan batin si penonton gambar itu. Baru cabul
namanya kalau di waktu menonton dia menggambarkan hal-hal yang cabul
tentunya. Seorang mahasiswa kedokteran yang sedang mempelajari ilmu
anatomi dan memandang gambar orang telanjang, belajar dengan tekun, tentu
tidak melihat kecabulan apapun. Kecabulan timbul dari pikiran. Pikiran yang
mengenang-ngenang pengalaman-pengalaman yang nikmat, baik pengalaman
sendiri maupun pengalaman orang lain lewat buku-buku dan cerita-cerita,
pikiran membayang-bayangkan semua kenikmatan itu sehingga timbullah
keinginan, timbullah nafsu berahi tanpa adanya cinta kasih, dan nafsu berahi
tanpa cinta kasih inilah kecabulan! Keinginan untuk memperoleh kenikmatan
inilah yang menciptakan berbagai macam akal, demi mencapai kenikmatan
sebanyak mungkin seperti yang dibayang-bayangkan oleh pikiran, oleh si "aku"
yang selalu ingin menyelam ke dalam kesenangan. Dan pengejaran
kesenangan ini menimbulkan segala macam cara dan inilah sumber kecabulan!
Juga kekerasan, juga kemaksiatan, juga kejahatan.
Jadi jelaslah bahwa sex itu sendiri bukanlah sesuatu yang cabul. Cabul
tidaknya sesuatu itu tergantung dari dasar batin orang yang menonjolkannya
atau juga dasar batin orang yang memandangnya.
Di antara segala perbuatan di dunia ini, satu-satunya yang membuat kita
merasa bebas, satu-satunya yang melenyapkan perasaan si aku untuk sesaat,
hanyalah sex itulah! Di sini tidak lagi terdapat si aku yang menikmati. Seluruh
diri lahir batin lebur menjadi satu dengan kenikmatan itu sendiri. Dan keadaan
seperti itu, keadaan tanpa aku inilah yang merupakan kenikmatan tertinggi dan
membuat sex menjadi sesuatu yang teramat penting dan terpenting di dalam
kehidupan, membuat orang mendewa-dewakannya. Dan karenanya sex
menjadi suatu kesenangan, dan setelah menjadi kesenangan lalu menciptakan
pengejarannya. Maka terjadilah hal-hal yang amat buruk.

setiap pendapat tentu saja didasari oleh perhitungan-perhitungan yang


kesemuanya mengandung kebenaran, akan tetapi betapapun juga, pendapat
akan bertemu dengan pendapat lain dan terjadilah perselisihan dan kalau
sudah begitu, maka keduanya menjadi tidak benar lagi.

Kemurungan pasti sekali waktu hinggap di dalam perasaan hati kita. Agaknya di
dunia ini, semenjak jaman dahulu sampai sekarang tidak ada manusia yang
dapat bebas daripada kemurungan atau kedukaan atau kekecewaan hati.
Selalu saja ada persoalan yang mendatangkan kedukaan, kekecewaan dan
kesengsaraan, dan kalau sudah datang perasaan duka ini, kita merasa
sengsara, kita merasa prihatin, kita menderita batin, seolah-olah hati kita
berdarah. Dan tidak jarang kita lalu melarikan diri dari semua derita ini,
menghibur diri dengan bermacam kesenangan, atau melarikan diri sama sekali
dengan membunuh diri. Atau membunuh diri secara batiniah, yaitu dengan
jalan bertapa dan meninggalkan semua keramaian dunia yang sama saja
artinya dengan hidup akan tetapi sudah mati. Semua ini hanyalah bentuk-
bentuk pelarian belaka.

Kekecewaan, kemurungan atau kedukaan timbul karena batin menginginkan


yang lain daripada kenyataan, batin selalu ingin senang sehingga kalau
kesenangan yang diinginkan itu tidak terjadi, hati menjadi kecewa dan berduka.
Kita tidak tahu bahwa justeru KEINGINAN UNTUK SENANG inilah pencipta
kekecewaan dan kedukaan. Kita menginginkan agar hidup ini manis selalu
baginya. Kita membutakan mata terhadap kenyataan bahwa sekali ada manis,
sudah pasti ada pahit, getir, masam, asin dan sebagainya lagi. Itulah romantika
hidup. Manis, pahit, getir, masam dan lain-lain, itu merupakan suatu kumpulan
yang tak terpisahkan dan yang membentuk apa yang kita namakan kehidupan
ini. Karena kita selalu menginginkan yang manis, maka yang pahit dan getir
terasa tidak enak, mengecewakan dan menyiksa. Padahal, belum tentu yang
manis itu selalu bermanfaat, dan belum tentu kalau yang pahit itu tidak
berguna! Di dalam setiap kenyataan, baik itu diterima sebagai manis atau pahit,
tersembunyi sesuatu, suatu rahasia yang maha ajaib, dan yang hanya akan
nampak oleh dia yang tidak terpengaruh oleh rasanya, baik manis maupun
pahit, yang melihat kenyataan sebagai apa adanya, tanpa menilainya sebagai
baik atau buruk, manis atau pahit. Bukankah yang manis-manis itu sering kali
malah mengganggu kesehatan dan yang pahit-pahit itu biasanya malah baik
bagi kesehatan? Namun, bagaimana juga, kita selalu mengejar-ngejar yang
manis-manis!
Seseorang yang kita cinta merupakan hiburan yang amat kuat di kala kita
dirundung duka nestapa. Hal ini terasa benar oleh Thian Sin. Sekiranya tidak
ada Kim Hong di dekatnya, entah apa yang akan dilakukannya. Mungkin saja
dia akan menjadi nekad dan melakukan hal-hal yang lebih mengerikan lagi.

"Pengakuan salah tanpa penghayatan dalam hidup tidak ada artinya sama
sekali! Penyesalan di mulut dan di hati tidak ada gunanya. Yang penting adalah
membuka mata melihat bahwa setiap kita melakukan sesuatu yang jahat,
dalam arti kata merugikan orang lain lahir maupun batin, maka pada saat itu
kita tidak memiliki kewaspadaan, kesadaran kita menjadi buta oleh nafsu. Oleh
karena itu, kita harus waspada setiap saat, terutama sekali waspada terhadap
diri sendiri lahir batin. Hanya dengan kewaspadaan dan kesadaran terhadap diri
sendiri lahir batin sajalah kita tidak akan bertindak membabi-buta menurutkan
nafsu-nafsu kita. Kebencian terhadap orang lain merupakan pangkal segala
permusuhan dan kekacauan di dunia ini. Kita harus dapat menghalau
kebencian ini jauh-jauh dari batin kita, baik terhadap orang yang kite anggap
jahat maupun tidak. Selama masih ada kebencian di dalam batin, bukan
kebencian terhadap seseorang tertentu, melainkan kebencian terhadap
siapapun juga, maka tak mungkin dia dapat menjadi seorang pendekar dalam
arti yang seluas-luasnya!"

Hanya penakut sajalah yang dapat bersikap kejam, karena seorang penakut itu
selalu khawatir akan keselamaten dirinya maka dia condong untuk meniadakan
ancaman bagi dirinya. Biarpun tidak akan diakuinya sendiri, namun jelas bahwa
di sudut hatinya, seorang yang kejam selalu dibayangi oleh rasa takut yang
hebat.

RASA TAKUT
Apakah rasa takut itu? Dan dari mana timbulnya? Rasa takut tidak terpisah dari
pada batin, karena rasa takut adalah keadaan batin itu sendiri pada saat itu.
Rasa takut timbul karena ingatan membayangkan sesuatu yang akan amat
tidak menyenangkan diri. Rasa takut tidak pernah terpisah dari bayangan yang
diciptakan oleh pikiran yang mengingat-ingat hal-hal yang lalu dan bayangkan
hal-hal yang mungkin terjadi di masa depan. Rasa takut sudah pasti merupakan
pengintaian atau penjengukan masa depan yang dibayangkan itu, atau rasa
takut itu tentu takut akan sesuatu yang tidak ada atau belum ada! Yang takut
akan setan belum melihat setan itu sendiri, takutnya timbul karena pikiran
membayangkan kemungkinan munculnya setan.
Demikian pula yang takut akan bencana tentu belum tertimpa bencana itu, takut
akan kematian tentu karena hal yang ditakutkan itu belum ada maka timbullah
bayangan-bayangan yang mengerikan. Orang yang tidak membayangkan setan
tak mungkin takut akan setan, yang tidak membayangkan kematian tak
mungkin takut kematian dan sebagainya.
Hal ini merupakan kenyatan yang dapat kita selidiki sendiri. Jadi jelaslah bahwa
rasa takut adalah bayangan pikiran yang dipengaruhi oleh pengalaman masa
lalu, baik pengalaman sendiri maupun pengalaman orang lain, kemudian pikiran
menciptakan kemungkinan-kemungkinan yang tidak menguntungkan diri.
Timbullah rasa takut. Dan rasa takut ini sama sekali tidak ada manfaatnya bagi
hidup. Bahkan rasa takut ini membuat kita kehilangan kewaspadaan, segala
tindakan kita terpengaruh olehnya. Biasanya kita menghadapi rasa takut
sebagai sesuatu yang terpisah dari pada batin kita. Kita ingin menghindari rasa
takut, maka muncullah hiburan-hiburan untuk melupakan hal-hal yang
mendatangkan rasa takut itu. Akan tetapi hal ini hanya merupakan pelarian
yang sia-sia belaka. Rasa takut akan setan umpamanya, tidak mungkin lenyap
hanya dengan melarikan diri dari rasa takut, dengan jalan menghiburnya,
mencari teman, pergi ke tempat ramai dan sebagainya. Lain saat rasa takut itu
akan muncul lagi setiap kali pikiran kita membayangkan tentang kengerian-
kengerian bertemu setan. Mengapa tidak kita hadapi saja rasa takut itu? Kita
amati saja kalau rasa takut itu sewaktu-waktu muncul dan ini merupakan
sesuatu yang teramat menarik dan teramat berharga untuk diselami dan
dihayati sendiri. Kalau rasa takut muncul, baik rasa takut akan setan, rasa takut
akan bencana, malapetaka, maupun rasa takut akan kematian, mengapa tidak
kita hadapi saja rasa takut itu tanpa ingin melarikan diri darinya? Hadapi saja,
amati saja penuh perhatian sehingga kita dapat melihat dengan sepenuhnya,
dapat mengerti sepenuhnya, apa sesungguhnya rasa takut itu sehingga bukan
kita yang menghindarkan diri dari rasa takut melainkan rasa takut itu sendiri
yang lenyap dari lubuk hati kita?
Mengapa kita tidak membebaskan diri saja dari rasa takut yang dapat
menimbulkan berbagai macam akibat dalam sikap dan tindakan dalam hidup
kita?

RASA TAKUT AKAN KEMATIAN


Rasa takut akan kematian ini bukan hanya dirasakan oleh nenek Yelu Kim,
melainkan oleh kebanyakan dari kita, tidak perduli tua ataupun muda, kaya
ataupun miskin, tinggi ataupun rendahnya kedudukan. Bahkan rasa takut ini
lebih banyak hinggap dalam batin mereka yang berkedudukan tinggi, yang kaya
raya, yang terkenal dan dipuja. Sesungguhnya, meng-apa timbul rasa takut
akan kematian ini? Benarkah seperti yang dikatakan oleh Yelu Kim bahwa rasa
takut ini akan hilang kalau kita dapat menjenguk keadaan sesudah mati?
Agaknya ini hanya merupakan pendapat kosong belaka. Bagaimana kita dapat
takut akan sesuatu yang tidak kita mengerti? Kita hanya takut akan sesuatu
yang kita mengerti, yaitu kesengsaraan, kehilangan, takut kalau-kalau hal
semacam itu akan terjadi. Kita hanya takut akan hal-hal yang belum terjadi,
karena rasa takut sesungguhnya merupakan akibat permainan pikiran yang
mengkhayalkan hal-hal buruk yang belum ter-jadi, pikiran yang mengada-ada.
Rasa ta-kut timbul karena kita tidak mau kehi-langan hal-hal yang
menyenangkan kita, hal-hal yahg telah mengikat batin kita, seperti kcluarga,
kedudukan, kekayaan, nama besar dan sebagainya. Kita takut kehilangan
semua ini kalau kita mati, ki-ta takut akan merasa kesepian karena tidak
adanya semua yang kita cinta itu, cinta mengandung kesenangan, cinta yang
timbul karena ingin disenangkan.
Jelaslah bahwa rasa takut akan kematian timbul dari ikatan-ikatan itu, ikatan
yang kita adakan karena kesenangan, karena kita ingin selalu memiliki
kesenangan itu. Kita terikat kepada harta benda kita, maka kita takut kalau
kehilangan harta benda itu, terikat kepada keluarga, isteri, suami, anak-anak,
terikat kepada kedudukan, kemuliaan, kepada nama besar, dan kita takut kalau
kehilangan itu semua. Andaikata semua yang kita anggap menyenangkan itu
dapat ikut bersama kita mati, kiranya rasa takut akan kematian itupun tidak
akan pernah ada!

Karena itu, dapatkah kita bebas daripada ikatan? Sehingga dengan bebas dari
ikatan kita tidak akan tercekam rasa takut, bahkan tidak lagi terpengaruh oleh
perpisahan dan kehilangan, sehingga tidak akan menderita kesengsaraan,
kekecewaan dan kedukaan sewaktu masih hidup?
Kita semua tahu bahwa kematian tak dapat dihindarkan. Berarti bahwa
perpisahan dengan apa dan siapapun juga tidak mungkin dapat pula dielakkan.
Sekali waktu pasti terjadi perpisahan itu, entah kita yang ditinggalkan
ataukah kita yang meninggalkan. Karena sudah pasti terjadi perpisahan ini,
maka sebelum terjadi perpisahan
jalan satu-satunya untuk menghindarkan duka dan rasa takut adalah
kebebasan. Bebas dari ikatan. Kalau sesuatu telah mengikat kita, maka
sesuatu itu akan berakar dalam hati dan kalau tiba saatnya perpisahan, sesuatu
itu dicabut, sudah tentu hati kita akan terluka, akar itu akan jebol dan hati kita
akan pecah berdarah.
Bebas dari ikatan bukan berarti lalu meninggalkan semua itu selagi masih hidup
atau lalu acuh tak acuh, atau meninggalkan keluarga dan harta milik,
meninggalkan dunia ramai dan lari ke puncak gunung atau ke tepi laut yang
sunyi untuk hidup menyendiri dan bertapa. Ikatan yang dimaksudkan adalah
ikatan batin. Melarikan diri hanya melepaskan ikatan lahir saja. Apa gunanya
menyingkir di puncak gunung kalau hati masih terikat? Hanya sengsara yang
akan dirasakan!
Bebas dari ikatan berarti tidak memiliki apa-apa secara batiniah. Secara lahiriah
memang kita memiliki isteri, suami, anak-anak, keluarga, harta benda,
kedudukan, nama dan sebagainya lagi, akan tetapi secara batiniah kita berdiri
sendiri, tidak terikat oleh apapun juga. Bukan berarti acuh tidak acuh, bukan
berarti tidak mencinta.
Justeru cinta kasih sama sekali bukan ikatan! Ikatan ini hanyalah nafsu ingin
senang, kesenangan untuk diri sendirt tentunya. Karena ingin senang, maka
segala yang menyenangkan diri sendiri ingin dimiliki selamanya, dan timbullah
ikatan.
Bebas dari ikatan ini berarti mati dalam hidup. Dan kalau selagi hidup sudah
bebas dari ikatan, maka kematian bukan apa-apa. Karena tidak memiliki apa-
apa maka tidak akan kehilangan apapun. Orang yang berduka karena
kehilangan adalah orang yang merasa memiliki yang hilang itu, terbelenggu
oleh ikatan batin yang erat. Padahal, di dalam kehidupan ini tiada apapun yang
langgeng, segala sesuatu yang kita punyai hanyalah untuk sementara saja,
atau seperti juga berang titipan yang sewaktu-waktu akan diambil kembali oleh
Sang Pemilik Abadi.
Yang bebas dari ikatan ini, yang tidak memiliki apa-apa ini, tidak membutuhkan
apapun, karena segalanya sudah ada padanya, bagaikan sebuah guci yang
sudah penuh, dapat menikmati kehidupan ini, dapat menikmati segala seuatu
tanpa keinginan memilikinya. Karena tidak memiliki apa-apa maka dunia ini
sudah menjdadi miliknya. Dan hanya yang bebas dari ikatan ini yang mengenal
apa itu sesungguhnya yang dinamakan cinta kasih.
Tidak semua orang dapat bebas dari ikatan. Bahkan banyak orang-orang yang
dianggap dan merasa dirinya pandai, maju dan sebagainya, masih terbelenggu
oleh ikatan-ikatan. Seperti juga nenek Yelu Kim, biarpun ia pandai dan
berkedudukan tinggi, namun ia belum mampu membebaskan diri dari ikatan
sehingga timbul rasa takut akan kematian yang pada hakekatnya takut
kehilangan segala yang mengikatnya itu.

Cinta asmara adalah cinta nafsu yang selalu bersyarat dan berpamrih. Cinta
seperti ini muncul setelah adanya suatu daya tarik yang menyenangkan, baik
itu melalui ketampanan atau kecantikan wajah, kelembutan, keramahan,
bahkan dapat melalui kedudukan, kemuliaan, kemewahan, atau kepintaran.
Ada sesuatu yang ingin diraih dan dinikmati. Kalau pada suatu waktu terjadi
sebaliknya, sesuatu yang tidak menyenangkan lagi, bahkan menyusahkan atau
mengecewakan, maka cinta seperti ini mungkin saja akan berubah menjadi
kebencian! Kita dengan mudah saja bersumpah cinta, sehidup semati, senasib
sependeritaan, dan semua itu dapat terjadi selama si dia yang dicinta
memenuhi syarat. Sekali saja syarat itu dilanggar, maka cinta berubah menjadi
benci, dan kebahagiaan berubah menjadi kesengsaraan.
Banyak sudah terjadi peristiwa yang membuktikan betapa fananya cinta itu.
Suami isteri yang tadinya bersumpah saling cinta akhirnya bercerai setelah
setiap hari cekcok. Sahabat yang tadinya saling mencinta dan saling setia
akhirnya saling bermusuhan. Orang tua yang tadinya bersumpah mencinta
anaknya, akhirnya menyumpahi anak itu. Semua ini terjadi karena syarat cinta
itu dilanggar, pamrih dalam bercinta tidak terpenuhi. Terjadi konflik-konflik yang
dapat menjalar dan berkembang menjadi konflik antar bangsa dan antar
negara. Sumbernya adalah konflik dalam diri pribadi kita masing-masing.
Selama hati akal pikiran dikuasai nafsu daya redah, maka si-aku semakin
menonjol, semakin berkembang kuat. Si-aku adalah nafsu yang menguasai hati
akal pikiran, si aku adalah keinginankeinginan.
Selama si aku merajalela, maka terjadilah bentrokan-bentrokan antar keinginan,
antar kepentingan diri masing-masing dan timbullah pertikaian dan
permusuhan.
Hanya cinta kasih Tuhan sajalah yang maha benar dan maha suci, tidak ada
kebalikannya karena tunggal! Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan
mampu membebaskan batin dari cengkeraman nafsu daya rendah dan
mengembalikan nafsu-nafsu ke dalam kedudukannya yang semestinya, yaitu
menjadi alat pelengkap kehidupan manusia, menjadi abdi, bukan majikan.
Kalau sudah begitu, hanya kekuasaan Tuhan yang akan menjadi kemudi,
bukan lagi nafsu daya rendah, dan barulah apa yang dinamakan cinta kasih
tidak akan mendatangkan sengsara!

Cinta asmara yang condong kepada pemuasan nafsu diri pribadi selalu
menimbulkan lebih banyak duka daripada suka. Cinta seperti ini selalu
menuntut balasan, cinta seperti ini selalu ingin menguasai, ingin memiliki, ingin
dimiliki! Ingin menyenangkan dan disenangkan, memuaskan dan dipuaskan.
Banyak sekali yang dituntut oleh cinta seperti ini dan satu saja di antara
tuntutan-tuntutannya itu tidak terlaksana atau tercapai, maka hal ini sudah
cukup untuk menghancurkan cinta itu! Dan akibatnya hanyalah kegagalan dan
kedukaan. Cinta seperti ini mengikat, membuat kita lekat kepada yang kita cinta
dan sekali waktu kalau saatnya tiba untuk perpisahan, hati kita menjadi luka
dan timbul pula duka.
Cinta yang tidak terbalas menimbulkan duka. Cinta yang dihantui keraguan
menimbulkan cemburu dan duka. Seperti segala macam nafsu yang
meramaikan hidup ini, maka cinta seperti ini bersumber kepada keakuan,
kepada keinginan menyenangkan diri sendiri dan orang yang dicintanya itu
dengan sendirinya hanya menjadi alat, menjadi prabot atau sarana untuk
menyenangkan dan memuaskan diri sendiri. Inilah sebabnya mengapa cinta
seperti ini mudah berobah menjadi benci kalau dirinya sudah tidak disenangkan
atau dipuaskan lagi. Ini kenyataan yang terjadi dalam hidup kita, dalam kisah
cinta mencinta.
Akan tetapi, benarkah itu patut dinamakan cinta kalau hanya menimbulkan
duka? Benarkah itu namanya cinta kalau dapat berobah menjadi benci?
Benarkah itu cinta kasih kalau hanya sarat dengan beban berupa cemburu,
nafsu berahi, ingin menguasai dan pementingan diri sendiri? Sudah jelas
bukan! Cinta kasih tidak mungkin menimbulkan hal-hal yang buruk. Cinta kasih
itu suci, murni, baik dan benar, wajar tidak dibuat-buat, tanpa pamrih!
Orang lalu mempersoalkan, menjadikannya sebagai bahan tanya jawab,
mencari-cari apakah sesungguhnya Cinta Kasih itu! Dan semua pendapat,
semua jawaban, tidak benar atau dapat disanggah, dapat dibantah dan didebat,
karena semua pendapat itu selalu mengandung pementingan diri sendiri.
Pendapat datang dari satu sumber yang tentu saja tergantung sepenuhnya dari
keadaan sumber itu sendiri. Cinta Kasih terlalu lembut, terlalu tinggi, terlalu luas
dan terlalu rumit bagi otak kita yang lemah ini. Membicarakan Cinta Kasih
seperti membicarakan Tuhan, membicarakan kekuasaan Alam Semesta. Tidak
terbatas! Tidak terjangkau oleh akal budi, perasaan dan pikiran.
Yang dapat kita selidiki dan mengerti hanyalah YANG BUKAN CINTA KASIH.
Nafsu berahi bukanlah cinta kasih, walaupun nafsu berahi merupakan sesuatu
yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan ini sendiri.
Kalau kita menyingkirkan semua hal yang menjadikan Bukan Cinta Kasih,
mungkin saja kita dapat melihat berkelebatnya Cinta Kasih. Cinta Kasih tidak
mungkin dapat dipelajari, dipupuk maupun dikejar dicari. Seperti juga cahaya
terang yang tidak dapat menembus rumah yang daun pintu dan jendelanya
tertutup rapat-rapat. Bukalah semua penutup itu dan cahaya terang itu akan
masuk. Seperti juga sinar lampu yang menjadi suram karena bola lampunya
tertutup kotoran dan debu. Bersihkan semua kotoran itu, singkirkan debu dan
kotoran, maka sinar lampu itu akan menjadi terang. Lenyapnya cemburu, iri
hati, keinginan menyenangkan diri sendiri, keinginan ingin menguasai, ingin
memiliki, lenyapnya ikatan, sama artinya dengan lenyapnya kotoran dan debu
yang menempel pada bola lampu, dan sinar cinta kasih akan bercahaya terang.
Membiarkan pintu dan jendela terbuka sama dengan membiarkan diri sendiri
terbuka, tanpa pamrih, wajar, peka, kosong dan cahaya terang cinta kasih,
seperti cahaya matahari, akan masuk dan nampak.

Cinta asmara memang ajaib. Merasa bahagia kalau bersanding, merasa


tersiksa kalau berpisah. Ingin memiliki dan dimiliki, ingin menyenangkan dan di
senangkan, ingin memanjakan dan dimanjakan. Ada rasa belas kasihan, ada
rasa sayang yang mendalam dan kalau semua keinginan itu terpenuhi, hati
penuh dengan kebahagiaan yang mendalam. Namun, cinta itu pula yang dapat
mendatangkan derita dan siksa.
Kalau cinta tidak terbalas, kalau cinta dikhianati, kalau cinta berubah menjadi
bosan. Maka cinta dapat berubah menjadi benci! Dan semua ini adalah ulah
nafsu. Nafsu bertujuan satu, yakni ingin senang sendiri.
Cinta nafsu selalu menghendaki dirinya senang, maka cinta seperti ini
membutuhkan balasan cinta, kalau tidak, cintanya akan berubah menjadi
kebencian. Dapatkah seseorang mencinta, kalau yang dicinta itu tidak
membalas cintanya dan malah mencinta orang lain?
Dapatkah seseorang mencinta kalau yang dicinta itu tidak menghiraukannya,
bahkan mencibir dan menghinanya? Cinta yang bergelimang nafsu selalu
menghendaki imbalan, jadi cintanya hanya merupakan cara untuk
mendapatkan sesuatu. Jelas, bahwa cinta seperti ini adalah cinta nafsu.
Akan tetapi kita manusia tidak dapat melepaskan diri dari nafsu yang memang
diikut sertakan dalam diri setiap orang manusia. Kalau kita mencinta seseorang,
maka nafsu mendorong kita menuntut sesuatu yang menyenangkan dari orang
yang kita cinta itu, baik yang kita cinta itu kekasih, isteri, anak, sahabat atau
siapapun juga.
Kemanakah, larinya cinta kita kalau isteri kita menyeleweng dengan orang lain?
Ke manakah perginya cinta kita kalau anak kita durhaka dan tidak berbakti
kepada kita. Atau kalau seorang sahabat mengkhianati dan merugikan kita?
Tidak, kita tidak dapat mencinta tanpa pamrih, tidak dapat mencinta demi cinta
itu sendiri. Bahkan bagi kebanyakan dari kita, cinta kita terhadap Tuhan
sekalipun mengandung harapan-harapan dan imbalan.

KEAJAIBAN
Keajaiban merupakan akibat dari penyihiran diri sendiri melalui kepercayaan
yang mutlak.
Sudah menjadi kelemahan kita manusia pada umumnya untuk merasa tertarik
kepada hal-hal yang aneh-aneh, peristiwa-peristiwa yang tak masuk akal dan
penuh rahasia, keajaiban-keajaiban dan kemujijatan-kemujijatan. Kita selalu
merasa haus akan hal-hal yang baru, yang aneh, yang tidak kita mengerti.
Kita begitu mendambakan hal-hal baru sehingga kita sudah melupakan hal-hal
lain yang terjadi di sekeliling kita, yang kita anggap lapuk dan lama, tidak
menarik lagi. Padahal segala macam keajaiban dan kemujijatan terjadi di
sekitar kita, bahkan di dalam diri kita sendiri. Tumbuhnya setiap helai rambut di
kepala dan bulu di kulit kita merupakan keajaiban dan kemujijatan yang besar,
detik jantung kita yang mengatur peredaran darah di seluruh tubuh kita,
kembang-kempisnya paru-paru kita yang menghidupkan, bekerjanya seluruh
anggauta tubuh kita, panca indera kita, be-kerjanya otak kita yang membuat
kita dapat bicara, mendengar, melihat dan berpikir.
Bukankah semua itu merupakan sesuatu yang amat indah, sesuatu yang amat
ajaib dan mujijat, di mana sepenuhnya terdapat suatu kekuatan gaib yang
sungguh maha kuasa? Kemudian, segala yang nampak di luar diri kita.
Gunung-gunung raksasa, tumbuh-tumbuhan dengan aneka warna, bunga, dan
aneka rasa buahnya, segala mahluk hidup yang bergerak dengan segala
macam bentuk, corak dan sifatnya, lalu awan berarak di angkasa, menciptakan
hujan, hawa udara yang menghidupkan, sinar matahari, air, bumi, langit dan
segala isi alam ini. Bukankah semua itu merupakan keajaiban yang amat
hebat?
Namun kita sudah tidak menghargai semua itu lagi, kita sudah buta akan
keajaiban itu, kita menggapnya biasa saja sehingga melihat orang menginjak
bara api saja kita kagum setengah mati! Padahal, apa sih anehnya menginjak
bara api itu kalau dibandingkan dengan tumbuhnya sehelai rambut kepala atau
kuku jari kita? Keajaiban atau sesuatu yang kita anggap aneh adalah karena
kita belum mengerti. Karena tidak mengerti, tidak tahu bagaimana proses
terjadinya, maka kita lalu menganggapnya aneh, ajaib dan menimbulkan khayal
yang bukan-bukan. Akan tetapi, sekali orang sudah mengerti, hal yang tadinya
dianggap ajaib itupun menjadi biasa dan terlupakan, tidak menarik lagi, seperti
tidak menariknya melihat segala keajaiban yang terjadi sehari-hari di sekeliling
kita. Kita memandang selalu jauh ke depan, mencari-cari yang baru. Kita ini
mahkluk pembosan. Tertarik akan hal-hal baru memang merupakan suatu sifat
yang baik, seperti kanak-kanak yang selalu ingin tahu. Akan tetapi sifat ini
harus merupakan dorongan untuk menyelidiki sesuatu bukan menerima segala
sesuatu begitu saja sehingga men-ciptakan watak tahyul. Ketahyulan adalah
suatu kebodohan, menerima sesuatu dengan keyakinan padahal kita tidak
mengerti, dan hal ini terjadi karena kita suka akan sensasi.
Menerima sesuatu dengan kata "percaya" maupun dengan kata "tidak percaya"
adalah perbuatan bodoh dan tidak bijak-sana, karena menerima sesuatu
dengan kata seperti itu berarti bahwa kita belum atau tidak mengerti.
Sebaiknya kalau kita menghadapi sesuatu yang tidak kita mengerti itu dengan
waspada, membuka mata dan telinga, dan menyelami sendiri, menyelidiki
sendiri sehingga kita mengerti. Karena kalau kita sudah mengerti, tidak ada lagi
istilah percaya atau tidak percaya.

Menurut ajaran Sian-su itu, nafsu itu akan meliar dan kalau diberi penyaluran
sewajarnya tanpa ada perbuatan paksa, akhirnya nafsu itu akan habis sendiri
kekuatannya dan tidak lagi mencengkeram jasmani kita sehingga jasmani kita
cukup memenuhi syarat untuk menjadi jasmani yang bersih dan dihuni oleh jiwa
yang bersih pula dan yang kelak akan diterima menjadi kesayangan Dewa
Kematian.
Tentu saja pelajaran yang diberikan ini merupakan pelajaran palsu yang amat
berbahaya dan sama sekali tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Yang jelas
dapat dinyatakan adalah bahwa nafsu keinginan dalam bentuk apapun juga
timbul dari pada si aku yang ingin senang, dan nafsu ini bersifat seperti api
yang apabila diberi hati, apabila dituruti akan seperti api yang diberi bahan
bakar. Makin banyak diberi bahan bakar, makin bernyala dan makin menjadi,
makin membesar dan tidak akan padam lagi. Mengendalikan nafsupun tidak
akan ada gunanya. Mematikan nafsu dengan kekerasan kemauanpun percuma
karena yang mematikan dengan kekerasan itu adalah kemauan si aku pula
yang ingin senang, yang menganggap bahwa kalau dapat mematikan nafsu itu
akan lebih senang dari pada kalau dikuasai nafsu.
Sering kali terjadi konflik dalam batin sendiri.
Di satu pihak keinginan atau nafsu itu timbul, di lain pihak keinginan untuk
mematikanpun timbul. Konflik ini merupakan api dalam sekam yang nampaknya
saja padam, namun sesungguhnya masih membara dan sewaktu-waktu akan
dapat berkobar lagi kalau penutupnya kurang kuat atau terbuka. Nafsu itu
sendiri merupakan enersi yang hebat.
Nafsu itu sendiri amat penting bagi kehidupan. Hanya cara penggunaannya
yang menentukan apakah ia merusak ataukah mendatangkan manfaat. Dan
cara yang baik dan benar ini timbul dengan sendiri melalui kewaspadaan dan
kesadaran dari pengamatan diri pribadi. Pengamatan diri pribadi akan
menimbulkan kebijaksanaan dan dengan sendirinya timbul ketertiban yang
tidak diatur lagi oleh si aku yang ingin senang. Pengamatan diri pibadi ini dapat
terjadi setiap saat, yang berarti ada perhatian dan waspada sepenuhnya
terhadap gerak-gerik kita, baik gerak-gerik hati, pikiran, kata-kata maupun
perbuatan. Bukan mengamati sambil menilai karena penilaian itu juga
merupakan hasil pekerjaan si aku! Jadi, kita harus sungguh-sungguh waspada
akan segala kepalsuan yang terjadi setiap saat, bukan hanya kepalsuan yang
terjadi di luar diri, melainkan terutama sekali kepalsuankepalsuan yang terjadi di
dalam batin kita sendiri. Dengan umpan kesenangan dalam pemuasan nafsu
berahi ini, Sian-su berhasil menarik minat banyak orang untuk menjadi pengikut
perkumpulan agamanya.
MENGEJAR KESENANGAN
Satu di antara kelemahan kita adalah pengejaran terhadap apa yang kita
namakan kehormatan. Di dalamnya terkandung bangga diri dan bangga diri
adalah sesuatu yang menyenangkan. Karena itu, pengejaran terhadap
kehormatan bukan lain hanyalah pengejaran terhadap kesenangan walaupun
sifatnya lebih dalam daripada kesenangan badan.
Pengejaran terhadap kesenangan sama saja, baik pengejaran terhadap
kesenangan badan maupun batin. Kita mengejarnya, kalau sudah dapat kita
hendak mempertahankannya.
Di dalam gerak pengejaran dan penguasaan atau ingin mempertahankan ini
jelas terdapat kekerasan. Di waktu mengejar dan ingin memperoleh, kita siap
untuk mengenyahkan segala perintang dan saingan.
Di waktu mempertahankan, kita menentang segala pihak yang ingin
menghilangkannya dari tangan kita. Betapapun menyenangkan adanya sesuatu
itu, baik bagi badan maupun batin, selalu berakhir dengan kebosanan dan
kekecewaan.
Bukan barang mustahil bahwa apa yang hari ini menyenangkan, hari esok
malah menyusahkan! Dan kita membiarkan diri terombang-ambing di antara
senang dan susah, seperti sebuah biduk yang dihempaskan oleh badai,
dipermainkan gulungan ombak ke kanan kiri dan selalu terancam kehancuran
setiap detik.
Alangkah bahagianya batin yang tidak lagi dapat diombang-ambingkan senang
dan sudah, seperti sebongkah batu karang yang kokoh kuat tidak pernah
berobah walaupun ada badai dan ombak menggunung.
Atau lebih elok lagi, seperti ikan yang berenang dan meluncur di antara ombak-
ombak itu tanpa terancam kehancuran, bahkan dapat menikmati hempasan
gelombang yang bagaimanapun juga.

ASMARA
Asmara memang merupakan suatu kekuasaan yang amat jahil dan suka
menggoda hati manusia! Demikian kuatnya asmara sehingga tidak ada
seorangpun manusia yang kebal atau dapat melawan kekuasaannya. Tanpa
pandang bulu, kaya atau miskin, pintar atau bodoh, dari segala lapisan, setelah
melampaui masa remaja, asmara mulai mengintai dan mencari korban di antara
manusia. Dan sekali orang terkena panah asmara, dia akan menjadi seperti
linglung dan terjadilah perobahan besar-besaran dalam dirinya.
Hebatnya, asmara dapat mendatangkan sorga pada seseorang sehingga
batinnya merasa bergembira, segalanya nampak indah, hidup penuh arti yang
menyenangkan. Di lain saat, asmara dapat meruntuhkan kesemuanya itu dan
menyulap sorga berobah menjadi neraka, penuh derita batin, penuh
kekecewaan, penuh sengsara. Lebih mengherankan lagi, manusia amat jinak
dan suka sekali menjadi korban asmara yang jahil!
GOLONGAN
Memang amat menyedihkan melihat betapa manusia telah dipecah-pecah dan
dipisah-pisahkan oleh segala macam golongan. Karena berpisah dan menjadi
anggauta dari masing-masing golongan, tentu saja kepentingan masing-masing
membuat mereka itu kadang-kadang saling bentrok dan setiap golongan
membenarkan golongannya sendiri. Tidak ada manusia dilahirkan jahat! Setiap
keadaan sudah pasti mengundang sebab dan kalau ada orang yang menjadi
sesat dan melakukan hal-hal yang merugikan orang lain dan yang lajimnya
disebut jahat, maka keadaannya itu bukanlah terbawa dari kelahiran, melainkan
diakibatkan oleh sebab-sebab tertentu. Bahkan orang yang dilahirkan dalam
keadaan cacat sekalipun, sudah pasti ada sebab-sebab yang terjadi sebelum
dia dilahirkan, sehingga keadaannya ketika dilahirkan itupun menjadi akibat dari
suatu sebab.
Banyaklah sebab yang menjadikan manusia seperti yang banyak kita lihat
sekarang ini. Pada umumnya dinamakan jahat karena merugikan orang lain,
berwatak buruk dan kejam dan sebagainya. Kebencian, keserakahan,
pengejaran kesenangan, dendam iri hati, rasa takut, semua ini dapat
membentuk watak yang kejam dan ganas. Dan setiap orang manusia tentu
pernah atau akan merasakan itu. Hubungannya erat sekali dengan kesenangan
dan sekali orang melakukannya, tanpa adanya kesadaran, maka akan menjadi
berlarut-larut dan menjadi semacam kebiasaan yang mendarah daging atau
yang membuat orang mencandu dan condong untuk mengulang-ulang lagi.
Orang yang baru tersesat disebut penjahat dan dibenci, dimaki, dihindari. Ini
yang akhirnya membuat mereka ini merasa terancam dan merekapun lalu
memilih teman, berkelompok dan terjadilah penggolongan. Mereka dinamakan
kaum sesat, golongan hitam atau kotor. Tentu saja golongan ini membalas
kebencian yang dilontarkan oleh para pendekar kepada mereka. Mereka
menganggap para pendekar sebagai golongan lawan yang mengancam
keselamatan mereka dan sebagai balasan, merekapun menamakan golongan
para pendekar itu sebagai golongan sombong, golongan besar kepala, bahkan
ada yang menamakannya kaum munafik!

Kita condong beranggapan bahwa segala kenikmatan yang dapat kita rasakan
dalam kehidupan ini haruslah diadakan dan sarananya berada di luar diri kita.
Kalau mau makan enak haruslah membeli masakan-masakan yang mahal
harganya, kalau mau tidur nyenyak haruslah berada di dalam kamar yang
lengkap dan dengan perabot serba halus dan mahal, dan sebagainya.
Pendeknya syarat mutlak untuk menikmati hidup adalah adanya benda-benda
berharga yang hanya bisa didapatkan dengan uang. Akan tetapi, benarkah
demikian adanya? Kita melihat petani sederhana yang sehabis bekerja keras di
ladang dapat menikmati makanannya yang sederhana, dengan kenikmatan
yang tidak dibuat-buat. Mengapa demikian? Karena badannya sehat dan
batinnya tenteram, karena dia sehat lahir batin.
Kesehatannya bekerja dengan wajar, membuat perutnya lapar setelah dia
kelelahan dan ini menciptakan selera dan nafsu makan yang membuat apa saja
menjadi nikmat terasa olehnya. Kita melihat petani yang sama pada waktunya
akan dapat tidur nyenyak, hanya bertilamkan tikar atau bahkan rumput saja,
juga hal ini dapat terjadi karena dia sehat lahir batinnya. Sebaliknya, kitapun
dapat melihat orang yang kaya raya tanpa banyak kerja menjadi malas, makan
tidak terasa enak biarpun menghadapi hidangan yang mahal-mahal dan banyak
macamnya. Kita melihat orang kaya yang sama gelisah di atas tempat tidurnya
yang empuk dan bertilamkan sutera di dalam sebuah kamar seperti istana,
sukar dapat memejamkan mata dan tidak dapat lagi menikmati rasanya tidur
nyenyak.
Jelaslah bahwa sumber kenikmatan hidup berada di dalam diri kita sendiri lahir
batin. Kalau lahir batin kita sehat kita akan dapat menikmati hidup. Badan sehat
berarti tidak ada gangguan penyakit. Batin sehat berarti tidak ada gangguan
pikiran. Namun sungguh teramat sayang. Kita lebih senang MENGOBATI
gangguan lahir batin itu daripada MENJAGANYA. Kita hidup tidak sehat, makan
minum tanpa ingat akan kesehatan, setiap hari ada gangguan kesehatan badan
yang kita atasi dengan pengobatan-pengobatan. Lalu kita membiarkan hati dan
pikiran terganggu setiap hari, yang ingin kita atasi pula dengan hiburan-hiburan!

Hidup kita adalah urusan kita sendiri, tidak ada sangkut-pautnya dengan orang
lain, dengan siapapun juga. Hidup dan mati kita adalah urusan kita, kita sendiri
yang akan menanggung, kita sendiri yang berhak menikmati, kita sendiri pula
yang akan menderita, kita sendiri yang membuat kehidupan kita sendirt ini
menjadi sorga atau neraka! Kita hidup ini berarti kita sendirian, walaupun
secara lahiriah kita saling bergantung dan saling bersandar dengan orang-
orang lain. Akan tetapi kehidupan kita adalah urusan kita sendiri. Kita harus
berani menghadapi kenyataan ini, ialah bahwa kita ini sendirian! Bukan berarti
kita kesepian! Sekali kita bergantung kepada orang lain secara batiniah, akan
muncullah rasa kesepian itu kalau kita berpisah dari orang kepada siapa kita
bergantung atau bersandar! Dan perpisahan selalu menjadi akhir daripada
pertemuan. Ketergantungan kepada orang lain ini yang menimbulkan rasa takut
dan rasa kesepian, rasa sengsara. Juga ketergantungan kepada benda,
kepada ajaran-ajaran, gagasan, kelompok dan sebagainya. Ketergantungan
berarti suatu ikatan. Secara lahiriah, sebagai manusia yang hidup di dalam
masyarakat seperti sekarang ini, tentu saja kita mempunyai hak untuk
mempunyai yang dilindungi oleh hukum. Akan tetapi, lahiriah boleh saja kita
mempunyai sesuatu, mempunyai isteri, anak, keluarga, sahabat, harta benda,
kedudukan dan sebagainya. Namun, sekali kita memilikinya secara batiniah,
kita akan terikat. Apa yang kita miliki secara batiniah itu akan mengakar di
dalam hati sehingga kalau sewaktu-waktu dicabut, hati ini akan terluka dan
menderita! Bukan berarti bahwa acuh tak acuh terhadap segala yang kita
punyai termasuk anak isteri dan keluarga. Cinta kasih akan mendatangkan
perhatian, rasa sayang, iba hati, namun cinta bukan berarti ikatan batin.
Sebaliknya, kalau batin terikat, yang mengikat itu adalah nafsu ingin senang,
nafsu ini yang ingin memiliki secara batiniah, ingin menguasai, dan dari sini
timbullah benih-benih penderitaan.
Betapa kita selalu ingin memiliki ini dan itu, bahkan ingin memiliki segala-
galanya yang menyenangkan hati kita! Keinginan memiliki ini tidak ada
batasnya, dan nafsu keinginan memiliki inilah yang mendorong kita ke arah
perbuatan-perbuatan yang kadang-kadang menjurus ke arah kejahatan.
Padahal, apakah yang dapat kita miliki sesungguhnya? Apakah yang abadi di
dunia ini? Bahkan tubuh kita sendiripun tidak dapat kita miliki selamanya!
Semuanya akan musnah pada saatnya. Karena itu, keinginan memiliki sudah
pasti menjadi sumber segala derita.

Kepercayaan dari orang penting berarti kekuasaan dan kekuasaan merupakan


milik yang amat berbahaya. Sudah banyak terbukti dalam sejarah sejak jaman
dahulu sampai kini, kebanyakan orang setelah memiliki kekuasaan menjadi
mabok kekuasaan dan menyalahgunakan kekuasaannya. Kekuasaan biasanya
membuat orang menjadi tinggi hati, sombong dan ingin memamerkan
kekuasaannya dan kalau hal ini teriadi, maka timbullah perbuatan sewenang-
wenang dari orang yang mengumbar kekuasaannya. Dan orang-orang yang
mabok kekuasaan ini menunjukkan bahwa dia adalah orang yang lemah
batinnya, hilang perikemanusiaannya, bahkan bukan seperti manusia lagi
melainkan hanya merupakan alat pelampiasan nafsu yang memperhambanya.

"Setiap perbuatan yang didorong oleh nafsu dan pamrih, tentu mengikatkan diri
kita kepada karma. Karma adalah hukum rangkaian sebab-akibat. Harus
diketahui bahwa sebabnya berada di telapak tangan kita sendiri. Jadi, terputus
atau bersambungnya karmapun berada di tangan kita sendiri. Dendam-
mendendam, hutang-pihutang budi atau dendam, menciptakan mata rantai
karma yang amat kuat. Kalau setiap tindakan atau perbuatan kita dilandasi
cinta kasih yang berarti wajar tanpa pamrih, perbuatan itu akan habis sampai di
situ saja, bukan merupakan akibat maupun sebab, tanpa dipengaruhi karma.
Pamrih timbul karena kita mengharapkan jasa bagi kita dan kutuk bagi orang
lain yang merugikan diri kita. Maka, murid-muridku, hiduplah bebas dari
dendam dan hutang-pihutang budi, dan kalian akan bebas dari karma."

Terdapat kecondongan hati kita untuk selalu menutupi kekurangan dan


menonjolkan kelebihan kita. Kita selalu ingin disebut baik. Keinginan seperti ini
selalu timbul karena kenyataan yang kita lihat bahwa keadaan kita adalah
sebaliknya daripada baik. Hanya orang yang berkulit hitam sajalah yang selalu
ingin disebut putih. Hanya orang yang bodoh sajalah yang selalu ingin dianggap
pintar, dan hanya orang yang melihat betapa kotor dirinya sajalah yang selalu
ingin dianggap bersih dan baik. Kita lupa bahwa justeru keinginan-keinginan
untuk dianggap lain daripada kenyataan ini yang seringkali mendorong kita
untuk melakukan hal-hal yang buruk dan bodoh. Kalau kita sadar akan
kekotoran kita, maka kita akan berusaha membersihkannya, bukan dengan
cara menyembunyikan atau menutupinya. Kalau kita sadar bahwa kita bersih,
maka kita akan menjaga agar kebersihan itu tidak ternoda kekotoran, bukan
lalu menjadi tinggi hati dan merasa bersih dan baik sendiri karena perasaan
demikian itu sudah menodai kebersihan itu sendiri. Mengapa kita kadang-
kadang merasa ngeri untuk menghadapi dan melihat kenyataan apa adanya,
betapa buruk dan kotor sekalipun kenyataan itu? Menutupi kenyataan,
melarikan diri dari kenyataan, jelas tidak akan dapat merobah keadaan itu.

Memang, kedukaan, kemarahan yang menimbulkan kebencian, semua itu


muncul dalam batin apabila pikiran mengingat-ingat segala hal yang telah
lewat, menghidupkan segala peristiwa dan pengalaman yang lalu itu dalam
ingatan, memperbesar rasa iba diri melalui penonjolan si aku yang dibikin
susah atau tidak disenangkan. Makin mendalam pikiran mengingat-ingat, makin
berkobarlah nafsu kedukaan dan amarah, membuat kebencian menjadi
semakin subur pula. Kebencian timbul dari ingatan. Kebencian adalah ingatan
itu sendiri yang disalahgunakan oleh si aku. Tanpa adanya ingatan, tanpa
adanya si aku yang mengingat-ingat, takkan ada kebencian.

Kita semua ini haus akan kehormatan, haus akan penonjolan diri, bahkan watak
ini sudah mendarah daging sehingga tidak terasa lagi oleh kita. Lihatlah betapa
banyaknya orang yang dengan nada suara penuh kebanggaan menceritakan
betapa kakeknya dahulu adalah seorang maling terbesar, seorang jagoan
terbesar, seorang penjudi terbesar dan sebagainya? Mereka ini bercerita
dengan nada suara sama bangganya dengan mereka yang menceritakan
betapa kakek mereka dahulunya seorang yang paling terhormat, terkaya atau
tertinggi kedudukannya. Juga, hampir semua orang menceritakan dengan
bangga bahwa anaknya adalah yang paling nakal, paling bandel, dan
sebagainya, sama bangganya dengan mereka yang menceritakan dengan
suara malu-malu dan rendah hati bahwa anak mereka adalah yang paling
patuh, paling pintar dan sebagainya. Kita sudah berwatak ingin menonjolkan
diri, diri sendiri atau perkembangan dari diri sendiri yang menjadi anakku,
keluargaku, bangsaku dan selanjutnya.

"Laut! Hidupmu penuh rahasia


airmu luas tak terjangkau mata
bergerak berobah tiada hentinya
tak berdaya namun penuh kuasa!
Kadang marah liar mengganas
kadang lembut halus dan lemas
kadang riang gembira penuh tawa
kadang meraung menangis penuh duka!
Laut! Penuh segala
kemungkinan rahasia
cermin batin setiap manusia!

Memang ada gerakan tiada hentinya dalam batin manusia, seperti lautan.
Kadang-kadang manusia dapat bersikap lembut, terkadang ganas dan kejam,
dan selama ini ia sudah melihat betapa banyaknya manusia melakukan
kekejaman-kekejaman dan kebuasan yang lebih mengerikan daripada
kebuasan lautan!

Menyedihkan memang kalau kita benar-benar mau membuka mata dengan


waspada dan melihat betapa kepalsuan-kepalsuan semakin tebal menghiasi
kehidupan kita. Tangis kita, tawa kita, kebanyakan merupakan perbuatan yang
palsu dan pura-pura untuk menutupi atau menyembunyikan keadaan yang
sesungguhnya dari batin kita. Dengan dalih demi sopan santun, demi tata susila
dan sebagainya, banyak hati yang sedang berduka memaksa mulut untuk
tersenyum atau sebaliknya batin yang tidak sedang perihatin memaksa mata
untuk menangis. Bahkan setiap hari kita selalu seperti terpaksa untuk berpura-
pura, berpalsu-palsu, bersikap atau berbuat yang berlawanan dengan batin!
Tidak adanya persamaan atau keserasian antara batin dan ucapan, antara
batin, ucapan dan perbuatan, merupakan konflik-konflik yang setiap hari terjadi
dalam diri kita. Kesemuanya itu bahkan seperti sudah menjadi suatu
keharusan, suatu kebiasaan bagi kita. dapat kita selidiki pada diri sendiri.
Kalau kita berhadapan dengan orang lain, kalau kita bersikap manis,
tersenyum, menangis. Benarkah semua itu sesuai dengan suara hati kita?
Ataukah hanya pura-pura saja, sekedar memenuhi syarat umum agar dianggap
sopan, beradab dan sebagainya? Mengapa begini? Tidak dapatkah kita
bersikap wajar dan selalu ada keserasian antara batin, ucapan dan perbuatan?

Pahlawan! Patriot! Dari manakah lahirnya sebutan ini dan apakah


sesungguhnya arti sebutan itu? Pada umumnya, pengertian kata pahlawan
adalah orang yang berjasa terhadap nusa dan bangsa, namanya diagungkan
dan dihormati, dicatat dalam sejarah bahkan kadang-kadang diperingati,
walaupun hanya sekali setahun dan hanya makan waktu beberapa menit saja.
Akan tetapi benarkah demikian? Benarkah bahwa seorang pahlawan itu
dianggap pahlawan oleh seluruh lapisan masyarakat, oleh seluruh bangsa?
Ataukah hanya oleh satu golongan saja, satu kelompok saja karena orang yang
berjasa itu menguntungkan atau membantu golongannya, kelompoknya?
Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa yang dipuja dan diagungkan sebagai
pahlawan hanyalah mereka yang dianggap berjasa terhadap golongan yang
pada saat itu kebetulan menjadi pemenang saja, kebetulan memegang
kekuasaan saja. Bagaimana dengan mereka yang dahulu dianggap berjasa
kepada nusa bangsa oleh golongan lain yang dikalahkan oleh golongan yang
kini berkuasa? Mereka sama sekali tidak dinamakan pahlawan, bahkan
sebaliknya, dicap sebagai "pengkhianat"! Inilah kenyataan pahit yang harus
dapat kita hadapi dengan mata terbuka. Lihatlah keadaan di seluruh dunia.
Bukankah demikian pula? Tokoh-tokoh yang tadinya dianggap pahlawan dan
patriot terbesar sekalipun, kalau sekali waktu yang memegang kekuasaan
adalah pihak yang pernah menjadi lawannya, maka tokoh-tokoh ini lalu dicap
pengkhianat, yang masih hidup lalu ditangkap dan kadang-kadang ada pula
yang dibunuh, yang sudah mati akan diejek dan dihina namanya! Dan ini bukan
terjadi antara bangsa, melainkan di dalam negeri, antara golongan satu bangsa
yang berlainan golongan, berlainan corak pendapat dan gagasannya.
Yang tadinya oleh satu golongan diagungkan sebagai pahlawan, oleh golongan
lain yang menang dan berkuasa sebagai lawan golongan pertama, dicap
pengkhianat dan jahat. Sebaliknya, orang yang oleh golongan pertama tadinya
dicap pengkhianat dan pemberontak, setelah golongan orang itu menang, dia
akan dipuja sebagai pahlawan, patriot dan sebagainya.

Jelaslah bahwa manusia telah menjadi boneka permainan gagasan mereka


sendiri, saling bertentangan, bermusuhan, bunuh-membunuh. Dan seperti
biasa, hanya beberapa gelintir orang saja yang duduk di atas mendalangi
semua itu, mempergunakan nama rakyat, menyanjung dan memuji rakyat di
waktu mereka sedang berjuang untuk merebut kekuasaan dari tangan pihak
lawan yang berkuasa, demi memperoleh dukungan dan bantuan rakyat. Para
pejuang dari golongan manapun, yang sedang berusaha menumbangkan
kekuasaan yang dianggap lalim, selalu menggunakan nama rakyat sebagai
perisai dan senjata untuk mencapai kemenangan. Demi rakyat, untuk rakyat,
demikian semboyan usang yang diulang-ulang sepanjang sejarah. Dan
rakyatpun terbujuk, terpukau, tergugah semangatnya mmbantu para "patriot
yang berjuang demi keadilan dan kebenaran, demi rakyat" itu. Akan tetapi
bagaimanakah kalau perjuangan itu sudah berhasil baik dan selesai? Lagu
lama! Sekelompok orang yang berada di tingkat atas itulah, bersama para
pembantunya, yang akan menikmati hasil kemenangan itu. Mereka akan
berkuasa membagi-bagi kedudukan seperti orang membagi-bagi warisan di
antara mereka. Dan rakyat? Rakyat yang paling menderita, berkorban
menyerahkan harta milik dan darah dalam perjuangan merebut kekuasaan itu?
Lagu lama pula! Rakyat hanya menerima janji-janji sedangkan yang mati akan
diperingati setahun sekali untuk beberapa menit. Tapi, apa yang dapat
dilakukan rakyat terhadap golongan yang berkuasa? Di mana-mana yang
berkuasa itu sama saja. Tidak mau salah, tidak mau kalah, apa pula mengalah.
Yang menentang, walaupun dia dahulu membantu dalam perjuangan, akan
dicap pengacau dan pemberontak. Hal ini dapat dibuktikan dan dilihat dalam
sejarah.

Rakyat tertekan lagi. Lalu muncul lagi golongan baru yang kembali mengulang
sejarah usang. Mereka yang baru muncul ini, seperti dahulu, seperti mereka
yang kini berkuasa, akan menggandeng rakyat untuk menentang mereka yang
kini berkuasa, menuduh pemerintah lalim dan kembali semboyan usang demi
rakyat, demi keadilan dan kebenaran, terulang lagi!
Berbahagialah rakyat kalau ada sekelompok pemimpin yang berjuang dengan
dasar demi rakyat secara murni, bukan demi rakyat sebagai semboyan dan
slogan kosong belaka. Kalau ada sekelompok pemimpin seperti itu, yang tidak
mementingkan diri pribadi, tidak hanya mendahulukan kemuliaan, kekayaan
dan kesenangan diri pribadi, melainkan para pemimpin yang benar-benar
berjuang dan berusaha demi kepentingan rakyat, maka negara itu pasti akan
makmur dan rakyat pasti akan hidup dengan tenteram dan makmur.

Memang menggelikan sekali ulah nenek iblis itu. Akan tetapi, kalau kita mau
membuka mata melihat kenyataan hidup ini, akan nampaklah oleh kita bah-wa
kenyataan hidup sehari-hari di antara kita tidaklah banyak bedanya dengan si-
kap nenek Kiu-bwe Coa-li itu. Kitapun sudah terbiasa sejak kecil untuk meng-
gantungkan diri pada nasib! Dan setiap ada peristiwa merugikan menimpa diri
kita, kita lalu menyalahkan kepada nasib. Nasib buruk, sial, bintang gelap, dan
se-bagainya kita lontarkan sebagai ungkapan kekecewaan hati. Mari kita sama
mem-buka mata dan mengamati kenyataan ini. Tidak demikianlah kebiasaan
kita sehari-hari? Kita selalu mencari kambing hitam keluar, menimpakan semua
kesalahan ke-luar diri kita dan mencari-cari alasan dari luar, lalu kalau tidak
menemukan lain orang atau barang sebagai penyebab datangnya kegagalan
atau kerugian, kita masih melontarkan sebabnya kepada nasib!

Seorang yang gagal dalam ujian akan mencari-cari alasan keluar, menyalahkan
gurunya yang dikatakan tidak adil, menyalahkan sistim pelajarannya, menyalah-
kan teman-teman dan kalau tiada alasan menimpakan kesalahan kepada orang
lain lalu melontarkannya kepada nasib. Nasib buruk katanya! Seorang yang
gagal dan kalah dalam pertandingan olah raga dan lain-lain akan mencari-cari
alasan di luar dirinya, menyalahkan lapangannya yang dikatakan buruk, licin
dan sebagainya, menyalahkan alat permainan yang dikatakannya tidak
memenuhi syarat dan sebagai-nya, atau ada pula yang menyalahkan keadaan
kesehatannya atau juga melontarkannya kepada nasib! Seorang
yang da-gangannya tidak laku dan gagal dalam u-sahanya akan selalu mencari
kesalahan pada tempatnya, para pembelinya, atau juga kepada nasib. Seorang
pengarang yang hasil karangannya tidak mendapat sambutan, tidak dibaca
orang akan menyalahkan para pembaca yang dikatakan-nya tolol dan bodoh
tidak mengenal karangan yang bermutu dan yang baik, atau juga
melontarkannya kepada nasib.
Bukankah semua ini merupakan suatu sikap yang amat buruk, suatu kelucuan
yang konyol dan tidak lucu? Bukankah si-kap seperti itu merupakan suatu
kebodohan dan menjadi penghalang besar daripa-da kemajuan diri pribadi?
Kalau saja mereka itu mau menyelidiki dan mencari alasan-alasan kegagalan
itu dalam diri sendiri, pasti akan mereka temukan sebab-sebab kegagalan
semua itu. Sebabnya terletak dalam diri sendiri! Segala sesuatu yang terjadi di
dunia ini berputar pada suatu sumber yang berada di dalam diri sendiri. Dan
sikap mencari segala se-bab pada diri sendiri merupakan suatu kebijaksanaan
yang amat besar dan amat berguna bagi kehidupan manusia, karena dengan
cara demikian, kita masing-masing akan dapat melihat dan menemukan
kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangan pada diri sendiri dan hanya
kalau kita sudah menemukan kesalahan-kesalahan kepada diri sendiri inilah
maka akan dapat terjadi perbaikan-perbaikan dan pembetulan-pembetulan.
Nasib ber-ada di dalam telapak tangan kita sendiri karena segala sebab dan
semua akibat berada di telapak tangan kita sendiri.
Bukan hanya kegagalan, bahkan segala peristiwa, seyogianya ditelusur dari
dalam diri sendiri. Kalau ada orang membenci kita, biasanya kita menjadi
marah, kita membiarkan pikiran berceloteh, mengagungkan diri sendiri
sedemikian tingginya. "Mengapa dia benci kepadaku? Kurang bagaimanakah
aku? Aku selalu baik, selalu ramah, selalu memberi, akan tetapi mengapa dia
benci kepadaku? Dasar dia orang dengki, iri, jahat...!" Demikianlah celoteh
pikiran yang selalu mengangkat dan mengagung-agungkan diri sendiri.

Dengan cara membiarkan pikiran berceloteh macam itu, kita akan mandeg,
bahkan mundur, dan kita tidak akan mampu melihat kenyataan, melihat
kesalahan sendiri dan kita hanya akan menambah kebencian di antara
manusia. Akan tetapi, kalau kita selalu waspada terhadap diri sendiri,
mengamati diri sendiri tanpa menilai, tanpa mencela atau memuji, akan
nampaklah segalanya itu, akan jelaslah bagi kita mengapa ada orang
membenci kita dan sebagainya. Dan kewaspadaan ini, pengamatan ini
sekaligus menimbulkan kesadaran yang melahirkan tindakan nyata pula,
mendatangkan keberanian untuk merobah kesalahan sondiri.

Demikian besarlah "aku"nya Ratu I-blis yang selalu mementingkan diri sen-diri
saja. Demi menyelamatkan nyawa bayinya, ia tidak segan-segan untuk mem-
bunuh lain bayi secara kejam sekali! A-kan tetapi, penyakit seperti yang men-
cengkeram batin Ratu Iblis inipun agak-nya diderita oleh kita semua pada
umumnya. Keakuan yang amat kuat menceng-keram batin kita masing-masing
sehingga demi kepentingan sang aku, kita tidak segan-segan melakukan apa
saja, kalau perlu merugikan orang lain. Kalau orang dengan mati-matian,
dengan memperta-ruhkan
nyawa, membela negara, agama, keluarga atau harta dan apapun juga, maka
yang dibela dan dipentingkan itu se-sungguhnya adalah aku-nya. Negara-Ku
yang kubela, agama-Ku yang kubela, keluarga-Ku, harta-Ku dan selanjutnya.
Bu-kan negara yang penting, bukan agama-nya dan sebagainya, melainkan
AKU-nya. Negara orang lain?
Masa bodoh kalau mau dijajah orang lain! Masa bodoh kalau mau dihina, asal
jangan agama-Ku. Demikian selanjutnya, yang menunjukkan bahwa semua itu
hanyalah merupakan perluasan daripada si aku belaka. Si aku yang penting.
Milikku!

Demikian pula dengan Ratu Iblis itu. Ia melindungi bayi, bukan bayi pada
umumnya, melainkan bayi-NYA, dengan cara membunuh bayi lain! Demikian
pula terjadi di seluruh dunia. Untuk membela agama-NYA, orang rela
menyerang agama lain. Untuk membela bangsa-NYA, orang rela membunuhi
bangsa lain. Untuk membela keluarga-NYA, orang rela menghan-curkan
keluarga lain.

Ada kekuasaan rahasia yang mujijat, yang mengatur segala sesuatu di alam
mayapada ini. Kekuasaan mutlak yang tak dapat dilawan oleh siapa atau oleh
apapun juga. Kekuasaan tertinggi yang meliputi seluruh jagat raya. Kekuasaan
ini tidak dapat dipercaya atau tidak dipercaya lagi, karena terjadi dan dapat kita
dengar, cium, lihat, dan rasakan sendiri, menjadi kenyataan yang terjadi di
sekeliling kita, bahkan di dalam diri kita.
Kekuasaan yang mengatur arah angin, mengatur alam semesta, perederan
bintang-bintang, kekuasaan yang memberi kehidupan di angkasa, di atas bumi,
di dalam air, dari makhluk-makhluk hidup bergerak yang paling kecil tak dapat
dilihat mata sampai kepada makhluk yang paling besar. Kekuasaan yang
menciptakan ketertiban dalam kehidupan di bagian tanah paling dalam, di dasar
laut yang paling dalam, ataupun di angkasa yang paling tinggi.
Kekuasaan yang membuat jantung kita berdenyut di luar kemampuan kita untuk
mengaturnya, kekuasaan yang membuat kuku dan setiap helai rambut
bartumbuh di luar kekuasaan kita untuk mengaturnya, kekuasaan yang
menciptakan kelahiran dan kematian!

Satu di antara hal-hal yang tidak dapat dikuasai oleh kita adalah kematian.
Kalau memang sudah tiba saatnya, ke manapun juga kita bersembunyi, maut
tentu akan datang menjemput. Sebaliknya, kalau memang belum semestinya
kita mati, seribu ancaman mautpun akan luput. Siapapun adanya Dia yang
mengatur semua itu, disebut dengan apapun juga menurut istilah dan
kebiasaan dari bangsa, bahasa, dan agama masing-masing, namun kita
manusia tidak mungkin dapat menyangkal akan adanya kenyataan itu, bahwa
kekuasaan rahasia yang mujihat itu memang ada terjadi di sekitar kita, di alam
dan bahkan di dalam diri kita sendiri. Pikiran kita terlalu dangkal untuk dapat
menyelidiki tentang ada atau tidaknya Pengatur itu yang terlalu agung dan
tinggi bagi kita, namun, pikiran dan tubuh kita dengan jelas dapat melihat
adanya kenyataan akan kekuasaan yang mujijat itu. Di sini tidak ada masalah
percaya atau tidak percaya, karena kita dapat melihatnya, merasakannya,
segalanya terjadi pada diri kita sendiri masing-masing.

Tangis timbul dari perasaan-perasaan hati yang dilanda iba diri. Dan, iba diri ini
timbul dari kekecewaan dan kedukaan. Semua ini muncul dari pikiran yang
mengenangkan masa lalu, mengenangkan semua pengalaman pahit, semua
pengalaman yang mengecewakan dan tidak menyenangkan hati. Pikiran
mengunyah-ngunyah kembali semua hal busuk yang mengecewakan diri, dan
hal ini menimbulkan rasa iba diri. Pikiran yang mengenang-ngenang hal-hal
yang mengecewakan dan tidak menyenangkan itu seolah-olah berobah menjadi
tangan yang mencengkeram dan meremas-remas hati sendiri sehingga air
matapun bercucuran keluar. Kalau sudah begitu, kesadaran akan
kenyataanpun menjadi kabur dan pikiran yang menguasai perasaan itupun
membayangkan bahwa dirinya merupakan orang yang paling sengsara, paling
menderita di dalam dunia ini.
Dengan demikian nampaklah dengan jelas bahwa duka timbul karena pikiran
yang mengunyah-ngunyah semua pengalaman yang dianggap tidak
menyenangkan. Andaikata pikiran tidak mengenang-ngenang kembali semua
yang telah terjadi itu, adakah duka? Hal ini hanya dapat kita ketahui dengan
mempelajari diri sendiri dan mengamati diri sendiri.
Tidak akan ada duka kalau pikiran tidak mengunyah-ngunyah masa lalu, tidak
akan ada rasa takut kalau pikiran tidak bermain-main dengan masa lalu dan
masa depan.
Segala peristiwa yang terjadi di dunia ini, tentu bersebab. Akan tetapi, pikiran
kita yang dipenuhi oleh kesibukan memikirkan masa lalu dan masa depan,
membuat kita seringkali tidak dapat melihat bahwa segala macam sebab
daripada peristiwa yang menimpa diri kita dapat dipisahkan dari sikap dan
perbuatan kita sendiri sebelum peristiwa itu terjadi. Mungkinkah bagi kita
manusia-manusia lemah ini, membiarkan segala macam peristiwa yang
menimpa kita lewat begitu saja tanpa meninggalkan bekas sehingga pikiran kita
tidak akan mengenang dan mengunyah-ngunyahnya kembali sebagai sesuatu
yang menimbulkan duka dalam hati? Dapatkah seluruh perhatian kita tertuju
kepada saat ini, saat demi saat, tanpa harus berpaling ke belakang, kepada
masa lalu atau menjenguk ke depan, kepada masa yang akan datang? Terikat
kepada masa lalu adalah duka, terikat kepada masa depan menimbulkan takut.
Hidup adalah saat ini sepenuhnya! Alangkah indahnya, alangkah bahagianya!
Bukan berarti tidak perduli, bukan berarti masa bodohm melainkan justeru
waspada karna bukankah hidup adalah SEKARANG INI?
Sekarang ini, saat demi saat, adalah hidup. Masa lalu telah lewat, telah mati.
Masa depan hanya khayal, belum ada.

Hampir semua orang tua, baik disadari maupun tidak, melakukan hal yang
sama seperti dilakukan Bin Mo To itu. Orang-orang tua selalu ingin mengatur
anak-anaknya, mengambil keputusan mengenai anak-anaknya dalam hal apa
saja, dari pendidikan sampai kepada perjodohan dan pekerjaan. Mereka,
orang-orang tua yang berbuat di luar kesadarannya ini, menganggap bahwa
apa yang baik baginya tentulah baik bagi anaknya pula. Apa yang dianggapnya
menyenangkan baginya tentu menyenangkan anaknya pula. Karena inilah
banyak sekali terjadi orang tua memilihkan pendidikan sekolah, agama, bahkan
calon jodoh untuk anaknya, bukan hanya memilihkan makanan dan pakaian,
bahkan kalau perlu orang-orang tua ini mempergunakan kekuasaannya sebagai
orang tua, dengan memaksa anak-anak mereka mentaati kehendak mereka.
Tentu saja dengan anggapan bahwa pemilihan mereka itu sudah baik dan
benar! Mereka, orang-orang tua kurang pikir ini, hampir tidak ada atau sedikit
sekali memperhatikan selera anak mereka, pilihan anak mereka, mencari
kesalahan-kesalahan dalam pilihan anak-anak mereka dan menonjolkan
kebaikan-kebaikan mereka sendiri, membujuk si anak, baik dengan halus
maupun keras.
Akibatnya, si anak yang terpaksa mentaati karena takut, karena tergantung,
diam-diam merasa tersiksa karena harus mempelajari pelajaran-pelajaran yang
tidak disukai, menganut agama-agama yang tidak cocok dengan hati nuraninya,
melakukan pekerjaan-pekerjaan yang tidak cocok dengan dirinya, bahkan hidup
berdua dengan jodoh-jodoh yang sama sekali tidak dicintanya. Demi orang tua!
Dan siapa yang senang dan lega? Si orang tua itulah! Dengan demikian,
sebenarnya orang-orang tua ini hanya mencari kesenangan diri sendiri belaka,
mencari kepuasan diri sendiri belaka, dengan melalui anak-anak mereka!
Orang-orang tua yang bijaksana tidak akan memperhitungkan selera diri
sendiri, melainkan mementingkan selera anak-anaknya, tentu saja bukan
berarti melepaskan pengawasan dan pengarahan, melainkan dengan dasar
membahagiakan si anak, bukan si diri sendiri!
Bukan tidak mungkin selera anaknya bertolak belakang dengan selera diri
sendiri, namun demi cinta kasih terhadap anaknya, harus berani
mengesampingkan selera dan pendapat diri pribadi.
Juga pendapat Bin Mo To tentang mementingkan tujuan merupakan penyakit
yang banyak menghinggapi batin kita.
Cara apapun yang dilakukan, dianggap baik kalau saja cara itu dipergunakan
untuk TUJUAN BAIK. Betapa kita terlalu sering ditipu oleh istilah "tujuan baik"
ini sehingga kita terjebak ke dalam perbuatan-perbuatan yang sama sekali tidak
baik atau bersih, dengan alasan bahwa perbuatan itu merupakan cara untuk
mencapai tujuan baik tadi! Bagi orang yang dihinggapi penyakit ini, maka
pegangannya adalah : Tujuan menghalalkan segala cara!
Sepintas lalu kita mudah terbujuk dan tertipu oleh tujuan baik, cita-cita mulia,
dan sebagainya lagi. Maka terjadilah di dunia ini sebuah perang yang dianggap
suatu cara terbaik untuk mencegah terjadinya perang, sebuah perang yang
dianggap cara terbaik untuk mencapai perdamaian dan sebagainya lagi. Betapa
menyesatkan! Mungkinkah kita dapat hidup damai dengan seseorang dengan
cara memukuli dan menaklukkan orang itu? Mungkin saja perdamaian di satu
pihak, yaitu pihak yang menang, akan tetapi yang dipukul dan ditaklukkan itu
hanya mau berdamai karena terpaksa, karena kalah, karena takut. Akan tetapi
berilah yang kalah itu suatu kesempatan, suatu ketika maka dia akan
memberontak dan membalas dendam!
Tidaklah mungkin sama sekali tujuan baik dicapai dengan cara yang buruk!
Kalau caranya kotor, maka yang tercapai tentulah kotor pula. Tujuan hanya
suatu gambaran yang kita buat, jadi bukan kenyataan dan sama sekali tidak
ada sangkut paut atau hubungannya dengan perbuatan yang kita lakukan
dalam kehidupan. Yang terpenting sekali adalah CARA itulah! Cara ini
menentukan segalanya, karena cara berarti perbuatan kita sekarang ini, saat
ini! Kalau cara ini didikte oleh tujuan, maka cara ini menjadi palsu! Akan tetapi
kalau cara atau perbuatan ini tanpa tujuan dan didasari cinta kasih, maka itulah
cara hidup yang benar! Tanpa tujuan tertentu, berarti TANPA PAMRIH. Dan
hanya cinta kasih sajalah yang menciptakan perbuatan tanpa tujuan, tanpa
pamrih.

MENGEJAR KEBAHAGIAAN

Sesungguhnya, kalau kita mau melihat kenyataan, timbul sebuah pertanyaan.


Dapatkah kebahagiaan dikejar dan
dicari? Sebelum menjawab ini, sebaiknya diselidiki lebih dahulu apakah
sesungguhnya yang dimaksudkan dengan BAHAGIA itu? Apakah kebabagiaan
itu kepuasan hati karena tercapainya sesuatu yang diinginkan? Kalau begini,
bahagia itu terbatas sekali dan hanya berumur beberapa lama saja karena
kepuasan inipun hanya sementara, dan segera berobah dengan kebosan-an.
Apakah bahagia itu kesenangan? Juga tidak, karena kesenangan hanyalah
pemuasan nafsu belaka, rasa nyaman dan enak bagi badan kita dan pikiran,
dan kese-nangan inipun hanya sementara saja, a-mat pendek umurnya, dan
kesenangan biasanya diseling kebosanan dan bahkan mempunyai saudara
kembar, yaitu kesu-sahan, seperti tawa dan tangis yang da-tang silih berganti
seperti datangnya mu-sim. Kalau semua itu bukan, lalu apakah yang
dimaksudkan dengan kebahagiaan?

Bagaimana kita dapat menggambarkan kebahagiaan kalau kita sendiri selalu


berada dalam permainan susah dan senang, kalau kita selalu diombang-
ambingkan gelombang nafsu? Kebahagiaan bukanlah sesuatu yang mati,
bukan sesuatu yang sudah pasti sehingga mudah dicari dan dicapai. Kalau kita
menghentikan segala kesibukan pikiran kita yang mengejar-ngejar kesenangan,
mengejar-ngejar kebaha-giaan itu sendiri, kalau kita sudah tidak terseret lagi ke
dalam tarikan-tarikan susah dan senang yang bertentangan, kalau sudah tidak
ada lagi konflik atau pertentangan dalam batin antara kenyataan yang ada dan
gambaran yang kita ingin-kan, kalau KITA SUDAH TIDAK MENGEJAR APA-
APA, tidak menginginkan apa-apa yang berada di luar jangkauan kita, nah,
mungkin sekali kita akan dapat me-rasakan dan mengerti apa artinya baha-gia
itu.
Jelaslah bahwa yang dapat dikejar dan dicari hanyalah kesenangan dan
kepuasan sementara dari dorongan keinginan kita untuk mendapatkan
kesenangan itu. dengan demikian, kebahagiaan itu tidak mungkin dapat dicari,
tidak mungkin bisa didapatkan melalui pengejaran.
Kita selalu condong untuk mengejar. Karena mengira bahwa kebahagiaan ber-
ada di luar diri, kita mengejar keluar, kita merubah-ubah yang berada di luar.
Maka terjadilah pergolakan-pergolakan, terjadilah revolusi-revolusi, terjadilah
pe-rang. Kita selalu condong untuk membuat keindahan di luar diri. Kita lupa
bahwa sesungguhnya, yang indah itu berada di dalam, yang indah itu timbul
dari dalam, dan bahagia itu adalah urusan batin, urusan di dalam diri kita
sendiri. Tinggal di dalam sebuah gedung memang senang a-kan tetapi belum
tentu bahagia, sebalik-nya tinggal di dalam gubuk mungkin saja merasakan
kebahagiaan. Kebahagiaan tidak berada di dalam gedung indah, tidak berada
dalam makanan lezat, tidak ber-ada dalam kedudukan tinggi atau di antara
tumpukan emas.

Kalau batin sudah tidak mengejar-ngejar, tidak mencari-cari apa yang berada di
luar jangkauan kita, maka batin itu a-kan menjadi tenteram dan kita dapat
menerima segala sesuatu sebagai hal yang wajar, tanpa mengeluh sedikitpun
juga, bahkan dengan senyum tulus ikhlas kare-na kewaspadaan membuat kita
mengerti bahwa segala itu merupakan suatu kenya-taan dan kenyataan itu
mengandung ke-indahan. Segala sesuatu di dunia ini mengandung keindahan
bagi batin yang tidak mencari apa-apa. Baik hujan, maupun panas, dihadapi
dengan senyum dan dipandang sebagai suatu keindahan, tanpa keluhan
karena tidak ada yang perlu dikeluhkan, karena tidak ada penyesalan dalam
batin, karena tidak ada hal-hal yang bertentangan dengan yang dicari, karena
memang tidak ada yang dicari-cari! Dalam keadaan inilah kita mungkin sekali
akan merasakan dan mengerti apa sesungguhnya hakekat kebahagiaan itu.
Tidak mencari kesenangan ini sama sekali bukan berarti bahwa kita menolak
kesenangan! Orang-orang yang menolak kesenangan, mengasingkan diri di
puncak bukit, mengharamkan segala hal yang mendatangkan rasa enak dan
nikmat, sesungguhnya adalah orang-orang yang MENCARI KESENANGAN,
dalam bentuk lain! Memang, dalam mencari kesenangan, orang seringkali lupa
diri, dan bahkan mau bersusah payah menyiksa diri, dalam mengejar
kesenangan yang dinamakan cita-cita. Dan andaikata yang dikejar dengan cara
menyiksa diri itu tercapai, maka yang didapatkannya itupun hanyalah suatu
bentuk kepuasan, suatu bentuk kesenangan perasaan belaka yang ekornya
dapat berupa kekecewaan dan kebosanan pula. Perasaan enak, nyaman,
nikmat yang dinamakan kesenangan adalah suatu anugerah hidup. Tubuh dan
perasaan kita dibekali alat-alat penangkap rasa senang ini, dan kita berhak
menikmati kesenangan dalam hidup ini. Kesenangan adalah berkah dan sama
sekali tidak berbahaya. Yang berbahaya adalah PENGEJARAN itulah,
PENCARIAN itulah, karena dalam mengejar inilah timbulnya segala macam
perbuatan yang merugikan orang lain, yang pada umumnya disebut jahat.
Pengejaran kesenangan yang berbentuk kedudukan dan kemuliaan, seperti
yang terjadi pada Raja dan Ratu Iblis, menimbulkan perang dan permusuhan,
bunuh-bunuhan antara manusia. Pengejaran kesenangan dalam bentuk harta
benda menimbulkan perbuatan-perbuatan curang, korupsi, penipuan,
perampokan, pencurian dan sebagainya. Pengejaran terhadap kesenangan
dalam bentuk nafsu berahi menimbulkan perkosaan, pclacuran, dan
sebagainya dan segala macam perbuatan yang pada umumnya merugikan dan
dianggap jahat, kalau ditelusur, sudah pasti dasarnya adalah pengejaran
kesenangan itu.

Akan tetapi, orang yang tidak mengejar kesenangan, menganggap segala hal
yang terjadi merupakan suatu kewajaran dan di dalam kewajaran ini, di mana
tidak terdapat keluhan, tidak terdapat kekecewaan karena tidak ada
pengejaran, terkandunglah kesenangan yang lain lagi! Kenikmatan karena
memang cita rasa menganggapnya enak, bukan kenikmatan karena
tercapainya suatu pengejaran. Bagi orang yang tidak mengejar, memper-oleh
minuman apapun akan terasa nikmat, baik itu berupa air jernih belaka maupun
minuman yang mahal harganya. Kenikmatan terdapat pula di dalam nasi sam-
bal maupun dalam nasi beserta masakan yang mahal bagi mereka yang tidak
me-ngejar.
Bukan berarti pula bahwa orang yang tidak mengejar kesenangan lalu menjadi
lumpuh semangat dan duduk menganggur! Sama sekali tidak demikian! Akan
tetapi, orang bahagia seperti ini, kalau bekerja, bukan bermaksud mengejar
uang, melainkan melakukan suatu pekerjaan yang ber-manfaat dan yang
sesuai dengan minat-nya sehingga di dalam pekerjaan itu sen-diri dia sudah
mengecap kenikmatan! U-ang sebagai upah atau hasil pekerjaannya hanya
merupakan akibat saja dalam du-nia yang kesemuanya sudah diukur dengan
uang ini. Akan tetapi uang bukan menjadi tujuan utama untuk dikejar me-lalui
pekerjaan. Kalau pekerjaan itu dila-kukan sebagai cara untuk mencari uang,
maka akan timbul hal-hal yang buruk dan curang, pekerjaan itu mungkin
menjadi kotor, pegawai berkorupsi, pedagang menipu dan memalsu,
manipulasi, penyelundupan, dan sebagainya lagi keburukan yang terdapat
dalam pekerjaan dan perdagangan.

Sejak ribuan tahun yang lalu, para cerdik pandai, para cendekiawan, para
budiman sudah berusaha mati-matian untuk mencari cara yang baik agar
manusia dapat hidup benar dan besar. Berbagai macam cara hidup telah
diciptakan ma-nusia dengan berbagai paham (isme), ber-bagai garis hidup
telah dipaksakan kepada manusia. Akan tetapi, kalau kita sekarang menengok
keadaan di seluruh dunia, semua cara itu ternyata tidak menolong, tidak dapat
membebaskan manusia daripada kesengsaraan, daripada kemurkaan,
ketamakan, ketakutan, kebencian dan permusuhan. Ternyata segala macam
kedudukan tinggi, kehidupan mewah, ilmu pengetahuan yang tinggi-tinggi, tidak
mampu memperbaiki kehidupan batin manusia, tidak mampu mengusir
kesengsaraan manusia, tidak mampu mendatangkan KEBAHAGIAAN dalam
batin manusia. Tidak ada paham (isme) apapun, tidak ada cara apapun, yang
akan dapat merobah batin manusia kecuali dirinya sendiri. Dan perubahan itu
baru bisa terjadi kalau kita mau mengenal diri sendiri, mengamati diri sendiri
dan lika-liku kehidupan kita setiap hari dengan penuh perhatian, penuh
kewaspadaan. Pengamatan yang mendalam setiap saat akan membuka mata
kita bahwa kita sendirilah sumber segala derita, kita sendirilah pencipta
kesengsaraan, kita sendiri yang menjauhkan diri dari kebahagiaan, menjauhkan
diri dari Tuhan! Tuhan dengan segala berkahNya berlimpahan tidak pernah
sedetikpun menjauhi kita. Adalah kita yang setiap saat, demi pengejaran
kesenangan, menjauhi Tuhan dan setelah akibat pengejaran itu
menjerumuskan kita ke dalam lembah kesengsaraan, kita berteriak-teriak
mengeluh kenapa Tuhan meninggalkan kita!
Orang bahagia akan selalu menerima segala hal yang terjadi sebagai suatu
kenyataan hidup tanpa menilai hal itu sebagai baik atau buruk. Tidak mengeluh,
tidak menyalahkan siapapun, melainkan membuka mata dengan waspada akan
gerak-gerik "monyet putih" yang bercokol di dalam pikiran kita.

Hidup Baik atau Kebaikan


Hidup baik atau kebaikan tidak mungkin dapat dilatih! Kebaikan bukanlah suatu
hasil usaha atau hasil latihan, tidak mungkin juga dilakukan karena ketaatan
atau karena ingin memperoleh balas jasa. Bukanlah suatu kebaikan kalau
dilakukan dengan kesengajaan untuk menjadi baik, bukan pula kebaikan kalau
dilakukan dengan pamrih apapun juga, bahkan bukan suatu kebaikan namanya
kalau pelakunya menyadari bahwa yang dilakukan itu adalah suatu "kebaikan"!
Kesadaran melakukan kebaikan ini pun jelas menyembunyikan pamrih,
betapapun halus pamrih itu, sedikitnya tentu merupakan kesadaran akan
kebaikan dirinya yang akan membentuk suatu gambar tentang diri sendiri yang
penuh dengan kebaikan! Suatu kesombongan terselubung, dan pamrihnya
ingin mengulang suatu nikmat yang timbul dalam hati karena telah "berbuat
baik"!
Kebaikan adalah suatu keadaan seseorang yang batinnya penuh dengan sinar
cinta kasih. Perbuatan yang didasari cinta kasih pasti benar dan baik, bukan
"kebaikan" lagi namanya, melainkan suatu perbuatan wajar penuh
perikemanusiaan yang berlandaskan cinta kasih. Adapun kebaikan yang
dilakukan orang tanpa dasar cinta kasih, melainkan kebaikan yang dilakukan
karena kesadaran bahwa dia "harus" berbuat baik, maka perbuatan seperti itu,
betapapun baik nampaknya, tiada lain hanyalah kemunafikan, kepalsuan yang
menyembunyikan pamrih untuk diri sendiri, betapa halus pun pamrih itu. Dan
kebaikan seperti ini akan mudah luntur. Sekali pamrihnya tidak terdapat, maka
perbuatan baiknya pun akan berhenti. Kebaikan yang dilakukan dengan
kesadaran seperti itu hanyalah merupakan suatu jalan atau cara untuk
memperoleh suatu tujuan tertentu, dan kebaikan seperti itu tidak ada artinya,
baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain.
Tidak anehlah kalau orang-orang seperti Siangkoan Leng dah Ma Kim Li,
setelah selama tujuh tahun menjadi "orang-orang baik" lalu tiba-tiba saja dapat
kembali menjadi kejam. Kekejaman dalam batin mereka belum lenyap, hanya
ditekan-tekan saja selama itu, "demi sesuatu" yang mereka harapkan dalam hal
ini, mungkin demi anak mereka! Kebaikan itu seperti harum bunga. Bunganya
adalah cinta kasih dan keharuman itulah kebaikan. Cinta kasih selalu akan
menyebarkan kebaikan, tanpa disengaja, karena cinta kasih itu kebaikan,
keduanya tak terpisahkan, seperti matahari dengan cahayanya.

Matahari memandikan permukaan puncak bukit itu dengan cahaya yang


keemasan. Masih nampak sisa-sisa embun pada ujung-ujung daun, pada
kelopak-kelopak bunga, pada puncak-puncak rumput, dan masih terasa
kesejukan pagi yang amat menyegarkan. Bau rumput bermandikan embun
bercampur dengan bau daun-daun kering membusuk, mendatangkan bau khas.
Suara desir angin pagi di antara daun-daun pohon, diseling kicau burung.
Matahari sudah naik agak tinggi, namun kesegaran pagi masih belum terbakar
siang, sinar matahari masih lembut hangat dan ramah. Di bawah puncak,
nampak segala pohon-pohon dan tumbuh-tumbuhan sudah bangun dari tidur
semalam, bergoyang-goyang dan melambai-lambai tertiup angin pagi. Di
angkasa hampak awan yang tenang dalam segala macam bentuk yang aneh-
aneh, dilatarbelakangi langit biru yang makin lama semakin menjadi muda
warnanya menuju keputihan.

Keindahan terdapat di mana-mana, akan tetapi hanya dapat dinikmati hanya


dapat dilihat oleh batin yang tidak disibukkan dan dipenuhi kebisingan pikiran
yang resah. Di dalam batin yang bebas dari kesibukan pikiran, pintu-pintu hati
terbuka sehingga dapat menampung sinar cinta kasih, seperti kamar yang
dibuka daun pintu dan jendelanya, dapat menampung cahaya matahari
sehingga menjadi terang. Hanya batin yang bebas saja yang disinari cahaya
cinta kasih dan dapat menikmati keindahan yang nampak di manapun juga!
Keindahan nampak jelas, terdapat di setiap ujung daun dan bunga, keindahan
terletak pada kewajaran, di mana hati tidak dicampuri dengan segala
kecondongan dan seleranya, keindahan terdapat pada sehelai daun kering
yang melayang turun dari pohonnya, yang menari-nari lepas dengan lenggang-
lenggok bebas, terdapat dalam kicau burung yang mengeluarkan bunyi yang
tak terikat oleh nada dan irama tertentu, bunyi yang bebas dan wajar, tidak
dibuat-buat.
Sayang sekali bahwa keindahan jarang nampak oleh kita. Kepekaan batin kita
sudah menjadi tumpul karena setiap saat dibebani masalah-masalah kehidupan
yang diciptakan oleh pikiran kita sendiri. Sumber keindahan terdapat pada
keadaan batin kita. Batin yang bebas dan penuh cinta kasih, akan melihat
keindahan. keindahan itu yang berada di manapun juga. Sebaliknya batin yang
penuh ikatan, batin yang penuh dengan segala masalah, penuh dengan emosi,
kebencian, kekecewaan, batin seperti itu membuat mata, telinga, hidung dan
semua panca indra, buta dan tumpul akan segala keindahan, bahkan yang
nampak hanyalah yang kita anggap tidak menyenangkan saja. Segala sesuatu
akan nampak buruk dan tidak menyenangkan bagi batin seperti ini.
Tidak ada cara yang tertentu untuk membebaskan batin. Latihan-latihan hanya
akan menciptakan ikatan-ikatan baru saja, dan menjadi beban baru bagi batin.
Akan tetapi kita dapat mengurangi beban batin dengan menghabiskan segala
sesuatu yang menimpa diri kita pada saat itu juga! Menyelesaikan persoalan
yang timbul pada saat itu juga, tanpa menampungnya ke dalam batin. Hal ini
mengurangi beban batin, walaupun tak dapat dikata bahwa dengan demikian
batin sudah menjadi bebas. Menghadapi segala sesuatu yang terjadi pada kita
sebagaimana adanya, sebagai sesuatu kewajaran, tanpa keluhan, dengan
penuh perhatian dan penuh pengamatan, lalu menghabiskannya pada waktu itu
juga, tanpa menyimpan. Mungkinkah kita melakukan ini setiap saat, selama
hidup kita?

Segala peristiwa yang terjadi di dunia ini, adalah fakta-fakta yang tak dapat
diubah lagi oleh apa dan siapapun juga. Peristiwa yang terjadi adalah suatu hal
yang sudah nyata, wajar, dan tidak baik maupun buruk. Yang terjadi pun
terjadilah! Kitalah yang menempelkan sebutan baik atau buruk pada peristiwa
yang terjadi, sesuai dengan penilaian kita yang didasari oleh kepentingan diri
pribadi. Dan sekali kita menilai, sekali kita memberi sebutan baik atau buruk,
maka muncullah sebutan baik buruk, kita senang kalau peristiwa itu baik
(menguntungkan) dan kita kecewa kalau peristiwa itu buruk (merugikan).
Kecewa, marah, duka dan sebagainya itu berada di dalam CARA MENERIMA
KENYATAAN yang berupa peristiwa itu, bukan terletak pada kenyataan itu
sendiri. Dan oleh karena penilaian kita didasari kepentingan diri, maka apa
yang kita anggap baik hari ini, belum tentu kita anggap baik pada keesokan
harinya, dan sebaliknya. Apa yang kita tangisi hari ini, mungkin besok akan kita
tertawakan, dan apa yang mendatangkan tawa hari ini kepada kita, mungkin
akan mendatangkan tangis pada keesokan harinya. Semua itu tergantung dari
keadaan hati kita ketika menghadapi kenyataan itu.
Kalau kita mau menghadapi segala macam peristiwa dalam hidup ini sebagai
suatu kenyataan, suatu fakta yang wajar, maka kita akan menerimanya dengan
hati lapang, dengan penuh kewaspadaan tanpa menilai baik buruknya. Dengan
demikian, batin kita akan tetap tenang dan jernih, dan tindakan kita sebagai
tanggapan terhadap peristiwa itu bukan lagi dikuasai oleh emosi, oleh nafsu,
melainkan didasari kecerdasan dan akal budi yang sehat. Dan kewaspadaanlah
yang akan membuka mata kita bahwa sesungguhnya, segala peristiwa yang
terjadi hanyalah suatu akibat dari suatu sebab. Sebab-sebab itu dapat berantai
panjang, namun pusatnya atau sebab utama dan pertamanya, akan selalu kita
dapatkan di dalam diri sendiri! Kalau sudah begini, tidak mungkin akan ada lagi
keluhan, apa pun yang terjadi menimpa diri. Jangankan hanya urusan yang
tidak langsung mengenai diri, bahkan datangnya penyakit dan kematian
sekalipun merupakan suatu kewajaran yang tidak dinilai sebagai baik ataupun
buruk. Dan kalau sudah begini, apakah masih ada masalah dalam kehidupan?
Kalau batin sudah bebas dari ikatan apapun juga, kematian pun hanya
merupakan suatu kewajaran yang tidak mendatangkan perasaan was-was atau
takut sama sekali.

Selama hampir lima tahun Han Siong mempelajari kitab-kitab suci agama dan
filsafat, dan karena dia memang mempunyai kecerdikan yang lebih daripada
kecerdikan anak-anak seusianya, maka ucapan suhunya itu membuat dia
mengerutkan alisnya. Dari sikap dan kata-kata ketua kuil itu, jelaslah bahwa
ketua kuil itu merendahkan dua orang hukuman itu, menekankan bahwa
mereka berdua adalah orang-orang berdosa yang kotor, sebaliknya para
hwesio adalah orang-orang yang bersih dan suci! Hal ini sama sekali tidak
cocok dengan isi pelajaran agama dan filsafat. Bukankah anggapan bahwa diri
sendiri bersih merupakan suatu anggapan yang kotor? Di situ tersembunyi
suatu kesombongan dan ketinggian hati yang sama sekali berlawanan dengan
pelajaran agama!
Memang demikianlah kenyataannya dalam diri kita manusia di dunia ini. Kita
yang beragama selalu kejangkitan penyakit yang sama, yaitu menganggap diri
sendiri bersih dan baik, menganggap diri sendiri sebagai kekasih-kekasih
Tuhan akan tetapi memandang orang atau golongan lain seperti melihat orang-
orang yang kotor penuh dosa dan dikutuk atau dimusuhi Tuhan! Betapa
kotornya pandangan seperti ini dan jelas bukan pandangan yang bersih.
Kekuasaan Tuhan yang nampak di dunia ini sama sekali tidak pernah
membeda-bedakan antara manusia, dari bangsa atau golongan atau agama
apapun juga! Kasih Tuhan nampak di mana-mana, merata dan sudah tersedia
bagi manusia yang tinggal menikmatinya saja asal kita mau menyadari akan hal
itu. Lihatlah sinar matahari yang hangat, menghidupkan, nyaman dan menjadi
sumber kehidupan segala sesuatu yang nampak di permukaan bumi. Bukankah
sinar matahari itu satu di antara kekuasaan dan kasih sayang Tuhan? Dan
apakah sinar matahari itu, seperti anugerah-anugerah yang lain, membeda-
bedakan? Sama sekali tidak. Baik seseorang itu pendeta yang katanya suci,
maupun dia seorang yang dianggap paling jahat, akan menerima sinar matahari
yang sama. Hanya bedanya, orang yang mau membuka matanya dan sadar
akan semua yang berada di luar dirinya, akan dapat menikmati sepenuhnya
kalau matahari pagi yang hangat dan sehat memancarkan cahayanya, dan
akan berteduh dengan penuh pengertian kalau matahari menyengat terlampau
keras. Sebaliknya, orang yang pikirannya selalu keruh dan sibuk, akan lengah
dan tidak mampu menikmati keindahan dan kegunaan matahari pagi, kemudian
akan mengeluh dan mengomel kalau matahari terlalu terik. Jelaslah, bagi
kekuasaan Tuhan, bagi alam, tidak ada bedanya di antara manusia karena di
situ tidak terdapat penilaian. Hanya penilaian yang menimbulkan pembedaan,
karena penilaian ini didasari oleh aku yang merasakan diuntungkan atau
dirugikan. Kalau diuntungkan, maka penilaian tentu sa ja condong ke arah baik
sedangkan kalau dirugikan, dinilai buruk. Jelas bahwa penilaian bersumber
kepada keakuan yang selalu mengejar kesenangan

Yang sering kita namakan bisikan iblis yang suka membujuk manusia untuk
melakukan perbuatan yang tidak sepatutnya, sesungguhnya adalah bisikan dari
pikiran kita sendiri. Pikiran yang menyimpan kenang-kenangan senang dan
susah, membentuk Si Aku yang selalu ingin mengejar kesenangan dan
menjauhi ketidaksenangan. Selain pandai menyimpan kenangan masa lalu,
juga Si Aku suka membayang-bayangkan kesenangan yang khayal, dua hal
inilah yang mendorong orang melakukan sesuatu yang tidak patut. Keinginan
untuk mencapai dan memperoleh hal-hal menyenangkan yang dibayangkan
itulah yang menjerumuskan kita ke dalam perbuatan-perbuatan sesat.
Keinginan memperoleh kesenangan ini besar sekali kemungkinannya
melahirkan cara-cara pengejaran yang jahat. Pengejaran kesenangan yang
berupa uang dapat mendorong orang melakukan korupsi, penipuan, pencurian,
pemerasan dan sebagainya lagi. Pengejaran kesenangan yang berupa
kedudukan dapat mendorong orang untuk saling jegal, saling hantam dan
mungkin saling bunuh dan menimbulkan perang. Pengejaran kesenangan yang
berupa sex dapat mendorong orang untuk melacur, berjina, memperkosa dan
sebagainya lagi.
Kalau memang sudah tiba saatnya nyawa harus meninggalkan raga, biarpun
kita bersembunyi ke dalam lubang semut, tetap saja maut akan datang
menjemput, tepat pada saatnya dan dengan cara yang bagaimana aneh pun.
Sebaliknya, kalau memang belum saatnya kita mati, biarpun sudah terancam
seribu satu bahaya maut, ada saja "kebetulan" yang seribu satu macamnya
yang akan membuat kita terluput daripada kematian. Seorang perajurit yang
sejak mudanya menjadi perajurit, hidup di medan perang dan setiap saat
terancam bahaya maut, dapat keluar tanpa lecet sedikit pun sampai hari
pensiunnya. Akan tetapi begitu dia pulang ke kampung, baru saja dia terkena
penyakit dan dalam satu dua hari saja meninggal dunia! Banyak pula orang
yang sudah menderita sakit yang berat, sampai bertahun-tahun tidak juga mati
walaupun dia sudah merasa bosan dengan penderitaan penyakitnya dan minta
mati. Sebaliknya, ada pula orang yang hari ini masih nampak segar bugar dan
tertawa-tawa, besok secara tiba-tiba saja meninggal dunia!
Karena itu, biarpun nampaknya ajaib dan luar biasa aneh, kalau mengingat
akan hal-hal di atas, tidaklah aneh kalau laki-laki buntung lengan kirinya tadi,
yang terjungkal dari tempat setinggi seribu kaki, tidak menjadi mati karena
memang belum saatnya. Hanya perkataan "belum saatnya" itulah yang dapat
kita keluarkan karena kita tidak dapat menembus rahasia di balik itu semua.

Masalah sex dan hubungan antara pria dan wanita, terutama sekali antara
muda mudi, sejak dahulu menjadi bahan perdebatan, pergunjingan, penulisan
yang tak kunjung habis, dan membikin pusing kebanyakan orang tua, terutama
yang mempunyai anak gadis. Ada yang condong untuk menggunakan tangan
besi berupa pelajaran-pelajaran tentang dosa, tentang kesusilaan, dan
sebagainya untuk mengekang anak-anak mereka agar jangan sampai
tergelincir oleh godaan nafsu dalam diri sendiri, nafsu yang mulai bangkit
semenjak tubuh mereka menjadi dewasa. Ada pula yang acuh saja, bahkan
kurang perhatian dan masa bodoh sikapnya. Akan tetapi kedua-duanya, kalau
sampai terjadi anak gadis mereka mengandung sebelum menikah, menjadi
kelabakan, berduka, menyesal, marah-marah dan sebagainya lagi karena
dorongan emosi yang timbul oleh perasaan dirugikan.
Mengekang dengan jalan kekerasan seperti mengurung seorang gadis di dalam
kamarnya atau dalam rumah saja, sudah bukan jamannya lagi sekarang. Akan
tetapi membiarkan seorang gadis begitu saja dalam kebebasan dalam keadaan
yang kurang kuat sehingga mudah ia tergoda dan tergelincir, tentu saja bukan
suatu sikap yang baik dari orang tua. Lalu apa yang harus dilakukan orang tua
menghadapi pergaulan yang makin modern dan bebas dari anak-anaknya?
Orang tua yang mempunyai anak laki-laki khawatir kalau-kalau anak mereka
menghamili seorang gadis sehingga terpaksa mereka harus mengambil gadis
itu sebagai mantu, cocok ataukah tidak, sudah waktunya anak mereka menikah
ataukah belum. Sebaliknya, orang tua yang mempunyai anak gadis selalu
khawatir kalau anaknya itu tergoda dan tergelincir menjadi hamil dan seribu
satu usaha dilakukan orang-orang tua setelah gadis itu hamil, di antaranya cara
yang tidak terpuji, yaitu dengan mencoba untuk menggugurkan kandungan itu!
Setiap orang anak memiliki dunianya sendiri, kehidupannya sendiri, selera dan
jalan pikiran, pandang hidupnya masing-masing. Namun semua ini tidak
terpisah sama sekali dari pengaruh lingkungan, terutama lingkungan
keluarganya. Sudah sepatutnya kalau anak yang lahir di dunia karena ulah
ayah bundanya, memperoleh cinta kasih yang murni dari ayah bundanya,
karena HANYA KASIH SAYANG inilah merupakan pendidikan yang paling
benar. Dengan adanya kasih sayang, hubungan antara anak dan orang tua
menjadi akrab, dan keakraban ini yang membuat si anak menjadikan orang
tuanya sebagai sumber segala pertanyaan, sumber segala perlindungan.
Dengan dasar cinta kasih, anak akan menerima keterangan-keterangan tentang
kehidupan dari orang tuanya, dan sejak kecil akan memiliki dasar yang kuat,
tidak pernah merasa terkekang dan merasa bebas dan bertanggung jawab
akan segala perbuatan yang dilakukannya sendiri. Rasa tanggung jawab ini
meniadakan penyesalan atas suatu perbuatan yang dilakukannya. Apalagi
kalau tidak ada tuntutan dari orang tua yang merasa dirugikan, merasa
dicemarkan namanya, dan sebagainya lagi, tuntutan-tuntutan dan kemarahan-
kemarahan atau kedukaan-kedukaan orang tua yang kesemuanya hanya
bersumber dari rasa keakuan si orang tua yang merasa terganggu dan
dirugikan! Namun, kasih sayang melenyapkan sifat-sifat seperti itu. Anak akan
memasuki kehidupan dalam masa apapun juga dengan mata terbuka dan jiwa
bebas kalau anak itu memperoleh cinta kasih sejak kecilnya. Jiwanya tidak
terkekang, tidak tertekan, terbuka dan tidak dihantui kesalahan ini dan itu yang
membuatnya menjadi pengecut dan tidak berani mempertanggung-jawabkan
segala akibat daripada perbuatannya sendiri.
Orang tua yang benar-benar mencintai anak-anaknya, tidak pernah merasa
khawatir anaknya akan melakukan hal-hal yang dianggapnya tidak patut tentu
saja dasarnya takut kalau si anak mencemarkan nama dan kehormatan orang
tua. Dengan dasar cinta kasih murni, maka tidak ada persoalan yang tak dapat
di atasi atau dipecahkan, tidak ada persoalan yang menimbulkan amarah, duka
atau penyesalan. Cinta kasih bersinar terang dan sinarnya mengusir segala
kegelapan pikiran, mencuci segala yang tadinya dianggap kotor.

Waktu memang memiliki kekuasaan atas diri kita manusia secara mutlak.
Hampir seluruh hidup ini kita isi dengan hal-hal yang ada hubungannya dengan
waktu, atau yang dikuasai waktu. Kita memisah-misahkan waktu lampau, waktu
ini, dan waktu mendatang dan dengan pemisahan-pemisahan inilah maka
timbul segala macam persoalan di dalam kehidupan kita. Hampir seluruh
perasaan yang menguasai batin dan menimbulkan emosi lahir dari waktu yang
mengisi seluruh ingatan kita. Perasaan duka timbul dari waktu karena pikiran
mengingat-ingat hal yang telah lalu, membandingkannya dengan waktu kini dan
membayangkan keadaan waktu mendatang. Karena pikiran mengunyah-
ngunyah hal yang telah lampau, mengingat-ingatnya kembali, timbullah duka.
Karena pikiran membayang-bayangkan hal yang mungkin terjadi di masa
depan, timbullah rasa takut, harapan-harapan yang kemudian menimbulkan
kekecewaan-kekecewaan atau kepuasan-kepuasan sejenak. Karena pikiran
membayangkan hal-hal yang menimpa diri kita, yang merasa dirugikan lahir
atau batin oleh orang lain, timbullah rasa marah, dendam dan kebencian. Batin
kita diombang-ambingkan antara masa lampau, masa kini dan masa,
mendatang, dicengkeram oleh waktu!
Melihat kenyataan-kenyataan yang dapat kita rasakan sendiri hal ini merupakan
sesuatu kenyataan yang tak terpisahkandari kehidupan kita masing-masing,
timbullah suatu pertanyaan yang amat penting: Dapatkah kita hidup terlepas
dari cengkeraman waktu? Tentu saja yang dimaksudkan di sini adalah
kehidupan batiniah. Kehidupan lahir tentu saja tidak dapat dipisahkan dari
waktu. Masuk sekolah, kantor, naik kendaraan umum, dan sebagainya memang
harus menurutkan jadwal waktu. Akan tetapi dapatkah batin bebas dari
cengkeraman waktu bebas dari pengenangan kembali hal yang lalu, bebas dari
harapan-harapan masa mendatang, dan hidup saat demi saat, detik demi detik,
hidup SEKARANG ini? Kalau dapat, jelas bahwa kita akan bebas pula dari
duka, kebencian, ketakutan. Mungkinkah bagi kita untuk memutuskan ikatan
dengan masa lalu? Menghabiskan sampai di sini saja segala urusan yang telah
lalu? Dan tidak membayang-bayangkan, tidak mengharapkan, hal-hal yang
belum terjadi? Hidup dan menikmati hidup saat demi saat, menghadapi dengan
penuh kewaspadaan dan kesadaran akan segala yang terjadi saat demi saat,
seperti apa adanya? Ini merupakan suatu seni hidup yang amat tinggi dan
indah. Mari kita coba saja! Bukan dihalangi oleh tanggapan-tanggapan baha hal
itu sukar, tidak mungkin dan sebagainya. Kita lakukan saja sekarang dan kita
lihat bagaimana perkembangannya.

Siapa yang memiliki dia akan menjaga yang dimilikinya dari kehilangan. Yang
memiliki sajalah yang akan kehilangan! Yang tidak memiliki apa-apa takkan
kehilangan apa-apa. Dan dia pun melihat kenyataan bahwa hanya orang yang
tidak memiliki apa-apa, dalam arti kata batinnya tidak terikat oleh apa pun,
maka hanya dia itulah yang sesungguhnya penuh dengan segala sesuatu! Dan
orang yang batinnya kosong, yang jiwanya kosong, memang haus untuk
memiliki sesuatu atau dimiliki seseorang, dia membutuhkan sesuatu yang
disenanginya untuk memenuhi kekosongan jiwanya
Memang banyak kenyataan aneh di dunia ini. Mengapa orang INGIN MEMILIKI
benda-benda yang dapat dinikmati dengan penglihatan, pendengaran atau
penciuman misalnya? Mengapa kita ingin memiliki bunga yang indah dan
harum itu? Padahal, tanpa kita miliki sekalipun, dapat saja kita menikmati
keindahan dan keharumannya! Mengapa kita ingin memiliki burung yang
nyanyiannya demikian merdu? Bukankah tanpa memiliki sekalipun, kita sudah
dapat menikmati kemerduan suara burung itu? Kita ingin memiliki segala-
galanya! Bukan hanya memiliki benda-benda, bahkan memiliki manusia lain.
Isteri atau suami, anak-anak, keluarga menjadi milik kita yang kita kuasai, milik
yang dapat menimbulkan kesenangan dan kebanggaan hati kita. Bahkan kita
ingin memiliki nama besar, kedudukan, kehormatan. Si Aku tak pernah puas,
terus membesar dan berkembang. Badanku keluargaku, hartaku, namaku,
kedudukanku, terus membesar sampai ke bangsaku, agamaku dan selanjutnya.
Karena melihat betapa si aku ini sebenarnya bukan apa-apa, hanya seonggok
daging hidup Yang menanti saatnya kematian tiba dan kalau sudah mati segala
miliknya itu terpisah dari "aku", maka si aku haus untuk mengikatkan diri
dengan apa saja, untuk mengisi kekosongan dan kekecilannya, untuk tempat
bergantung sesudah mati agar diingat terus, agar "hidup" terus!

Hati atau batin yang gelisah dan tidak tenteram selalu menjadi akibat dari
sibuknya pikiran! Kalau pikiran tenang dan hening seperti air telaga yang tidak
diusik, maka batin akan menjadi hening dan bebas dari segala macam
perasaan pula. Akan tetapi sekali pikiran kacau dan keruh seperti air yang
diaduk sehingga semua lumpur dan kotoran dari dasar yang tadinya
mengendap itu timbul dan mengeruhkan, keheningan air pun lenyap. Jadi yang
penting bukanlah menekan kesibukan pikiran karena penekanan ini pun
merupakan kesibukan lain lagi dari pikiran itu sendiri. Yang penting adalah
menyelami dan mempelajari, mengamati kesibukan pikiran sendiri, bukan
pengamatan dengan pamrih mendiamkan pikiran, melainkan pengamatan yang
timbul dari kewaspadaan. Tanpa penekanan dan perlawanan, tanpa adanya si
aku yang menekan atau mengamati, tanpa adanya aku yang ingin melihat
pikiran menjadi tenang, maka bagaikan kehabisan setrum, pikiran akan menjadi
diam dengan sendirinya, bukan DIBIKIN diam.
Kehidupan kita seolah-olah sejak kecil sampai tua sampai mati, dipenuhi
dengan berbagai macam masalah dan persoalan. Masing-masing dari kita
mempunyai masalah sendiri, menghadapi persoalan tertentu sendiri-sendiri,
suka duka selalu menyelang-nyeling, susah senang menjadi pakaian sehari-
hari. Semua ini bukan lain ditimbulkan oleh pikiran atau si aku karena si aku
adalah bentukan pikiran kita sendiri. Ingin ini, ingin itu, mengapa begini,
mengapa tidak begitu seperti yang kita inginkan, mengapa harapan kita menjadi
hampa, mengapa keinginan kita tidak terlaksana, mengapa orang lain senang
dan kita susah, orang lain pandai dan kita bodoh, orang lain kaya dan kita
miskin, dan sebagainya. Perang atau konflik terjadi di dalam diri kita masing-
masing, konflik antara kenyataan dan keinginan lain, konflik antara keadaan
seperti adanya dengan keadaan seperti yang kita kehendaki. Konflik dalam diri
setiap manusia ini menjalar menjadi konflik antara kelompok, golongan, bahkan
antara bangsa dan menjadi perang yang mengguncang dunia.
Semua pertikaian atau konflik antara dua orang selalu timbul karena pikiran
masing-masing, karena si aku yang selalu ingin disenangkan walaupun jarang
sekali ingin menyenangkan, selalu ingin dikasihani walaupun jarang
mengasihani. Masing-masing memperebutkan kebenaran sendiri, dan
kebenaran yang diperebutkan itu sudah pasti kebenaran yang didasari ingin
senang sendiri. Keduanya memperebutkan kebenaran sendiri-sendiri yang
berbeda, bahkan berlawanan.
Tradisi usarig dan kebiasaan lama kadang-kadang merupakan kebijaksanaan
pada suatu masa atau kurun waktu tertentu dan kalau selalu dipertahankan,
maka akan menimbulkan konflik karena segala sesuatu akan berubah dengan
berubahnya waktu. Mengekor saja kepada kebiasaan atau tradisi lama tanpa
pertimbangan yang bijaksana, merupakan suatu kebodohan.
Semenjak ribuan tahun, di Tiongkok terdapat suatu anggapan yang sudah
berakar di dalam hati setiap keluarga, merupakan tradisi yang amat kokoh kuat,
yaitu bahwa setiap keluarga HARUS mempunyai keturunan laki-laki! Mungkin
sekali anggapan ini terdorong oleh kedua keadaan. Pertama, seorang anak
laki-laki dianggap akan dapat membantu keluarga orang tuanya di sawah
karena pada waktu itu, sebagian besar rakyat hidup sebagai petani yang
miskin. Kebutuhan akan tenaga bantuan inilah yang mendorong mereka
beranggapan bahwa kalau mempunyai anak laki-laki berarti memperoleh
tenaga bantuan yang amat baik dan dapat dipercaya, dan berarti meringankan
beban keluarga. Dan ke dua, anak laki-laki akan melanjutkan tradisi nenek
moyang, akan melanjutkan keturunan marga mereka masing-masing, dan akan
memelihara abu nenek moyang.
Jelasnya, seorang anak laki-laki akan dapat melanjutkan silsilah keluarga,
melanjutkan riwayat marga itu. Sebaliknya, anak perempuan hanya menjadi
beban sejak kecil, merupakan mahluk lemah yang tenaganya tak dapat banyak
diharapkan di waktu anak itu menjadi dewasa, bahkan mengundang datangnya
gangguan yang datang dari orang-orang muda, dan akhirnya anak itu hanya
akan diboyong oleh orang lain, membantu rumah tangga keluarga lain! Yang
dianggap lebih celaka lagi begitu menikah, seorang anak perempuan telah
berganti she (nama marga) yang berarti telah menjadi anggauta keluarga
marga baru itu, dan marganya sendiri sudah terlepas darinya.
Tentu saja pendapat yang menjadi tradisi seperti ini merupakan suatu pendapat
yang seluruhnya berdasarkan kepentingan si aku, dalam hal ini kepentingan si
orang tua sendiri. Dan pendapat yang berdasarkan kepentingan diri sendiri
selalu mendatangkan tindakan-tindakan yang jahat. Demikian pula dengan
tradisi tentang anak laki-laki ini, menimbulkan banyak tindakan yang sesat di
kalangan orang-orang tua. Banyak yang menganggap keluarga mereka sial
kalau mempunyai anak perempuan, bahkan bukan merupakan dongeng belaka
kalau ada keluarga yang anaknya terlahir perempuan melulu, tanpa ada yang
laki-laki, memperlakukan anak-anak mereka dengan kejam, bahkan ada yang
membunuh anak yang ke sekian dan terlahir perempuan, atau menjual anak itu
kepada keluarga lain untuk dijadikan budak, selir, atau bahkan pelacur!
Sungguh menyedihkah akibat dari suatu kebiasaan yang turun-temurun
dilakukan orang tanpa mempergunakan pertimbangan kebijaksanaan lagi.
Tentu saja karena si aku adalah bentukan pikiran kita sendiri. Ingin ini, ingin itu,
mengapa begini, mengapa tidak begitu seperti yang kita inginkan, mengapa
harapan kita menjadi hampa, mengapa keinginan kita tidak terlaksana,
mengapa orang lain senang dan kita susah, orang lain pandai dan kita bodoh,
orang lain kaya dan kita miskin, dan sebagainya. Perang atau konflik terjadi di
dalam diri kita masing-masing, konflik antara kenyataan dan keinginan lain,
konflik antara keadaan seperti adanya dengan keadaan seperti yang kita
kehendaki. Konflik dalam diri setiap manusia ini menjalar menjadi konflik antata
kelompok, golongan, bahkan antara bangsa dan menjadi perang yang
mengguncang dunia.
Semua pertikaian atau konflik antara dua orang selalu timbul karena pikiran
masing-masing, karena si aku yang selalu ingin disenangkan walaupun jarang
sekali ingin menyenangkan, selalu ingin dikasihani walaupun jarang
mengasihani. Masing-masing memperebutkan kebenaran sendiri, dan
kebenaran yang diperebutkan.

Jadi yang penting bukanlah menekan kesibukan pikiran karena penekanan ini
pun merupakan kesibukan lain lagi dari pikiran itu sendiri. Yang penting adalah
menyelami dan mempelajari, mengamati kesibukan pikiran sendiri, bukan
pengamatan dengan pamrih mendiamkan pikiran, melainkan pengamatan yang
timbul dari kewaspadaan. Tanpa penekanan dan perlawanan, tanpa adanya si
aku yang menekan atau mengamati, tanpa adanya aku yang ingin melihat
pikiran menjadi tenang, maka bagaikan kehabisan setrum, pikiran akan menjadi
diam dengan sendirinya, bukan DIBIKIN diam.
Kehidupan kita seolah-olah sejak kecil sampai tua sampai mati, dipenuhi
dengan berbagai macam masalah dan persoalan. Masing-masing dari kita
mempunyai masalah sendiri, menghadapi persoalan tertentu sendiri-sendiri,
suka duka selalu menyelang-nyeling, susah senang menjadi pakaian sehari-
hari. Semua ini bukan lain ditimbulkan oleh pikiran atau si aku olah jantungnya
ditusuk-tusuk dan sejak tadi ia sudah menahan kemarahannya yang makin
berkobar. Kini, mendengar suaminya melibatkannya, dan melihat betapa ayah
mertuanya itu menanggapinya secara acuh saja, ia tidak tahan lagi.

Tiada sesuatu yang abadi di dalam kehidupan ini! Perubahan terjadi setiap
saat, seperti matahari yang tiba-tiba tertutup awan hitam sehingga dunia
menjadi gelap. Hujan yang deras pun tiba-tiba dapat terhenti dan langit kembali
menjadi terang. Bahkan perubahan yang paling hebat dapat saja setiap saat
terjadi dengan tiba-tiba, yaitu kalau kematian datang menjemput. Orang yang
selalu waspada akan memiliki kebijaksanaan untuk menerima segala sesuatu
yang terjadi sebagai suatu kewajaran, sebagai suatu hal yang sudah
semestinya terjadi, karena itu tidak akan mengguncangkan batinnya. Bahkan
kematian pun yang datang menjemput akan diterima dengan iklas, pasrah dan
mulut tersenyum karena maklum bahwa dia tidak berdaya, tidak berkuasa,
hanya menjadi anak wayang saja yang harus tunduk dan patuh terhadap
peraturan yang dijalankan oleh Sang Sutradara! Dijadikan pemegang peran apa
pun tidak penting, biar dijadikan raja atau pengemis, orang kaya atau orang
miskin, pintar atau bodoh, sehat atau berpenyakitan. Tidak mengeluh kalau
memegang peran rendah, tidak berlebihan gaya kalau memegang peran mulia,
karena yang penting adalah menghayati peran itu, memainkan peran yang
dipegangnya sebaik mungkin. Memegang peran apa pun juga, baik yang
menang atau yang kalah, yang tinggi atau yang rendah, yang kaya atau miskin,
pintar atau bodoh, kesemuanya itu hanya untuk sementara saja dan semua
akan berakhir sama, yaitu tamatnya cerita atau kematian. Karena maklum
bahwa segala sesuatu, yang baik maupun yang buruk, tidak abadi, bahwa
kehidupan sebagai roda, maka tidak akan mengeluh selagi berada di bawah
dan tidak akan sombong selagi berada di atas. Demikianlah seorang yang
bijaksana.
Agama To pernah mengajarkan bahwa sebelum ada sesuatu, yang ada
hanyalah Kosong, adan kosong sama dengan Tiada. Disebut Tiada atau
Kosong karena keadaan itu tidak dapat diselami oleh pikiran manusia yang
berisi, isi yang terbentuk dari ingatan-ingatan tentang pengalaman masa lalu,
yang hanya dapat dicatat oleh pikiran berupa ingatan. Akan tetapi, jauh
sebelum itu, otak tak mampu mencatatnya.
Segala sesuatu yang ada, segala sesuatu yang terjadi, sudah pasti mempunyai
sebab. Segala sesuatu hanya merupakan akibat belaka dari sebab-sebab
tertentu. Dan selama ingatan masih mampu mencatat, selama pikiran masih
mampu meraba, orang dapat mnelihat sebab-sebabnya. Akan tetapi sebab dan
akibat itu berkait-kaitan, tiada putusnya dan ingatan tidak mungkin dapat
menelusuri sampai pada bagian yang tanpa batas. Dan kalau sudah begini,
maka manusia tidak tahu lagi dan tidak dapat melihat sebab-sebab yang tidak
dilihatnya, tidak dimengertinya. Karena itulah, otak yang kehilangan akal dan
kehilangan ukuran lalu melahirkan kata Nasib, menyerahkan Kehendak Tuhan,
atau bahkan tidak mau tahu karena tidak melihat sebabnya, hanya
mementingkan akibatnya dan mencari kesalahan kepada siapa saja secara
membabi-buta!

Dia mendapat kenyataan bahwa kekecewaan timbul karena adanya harapan.


Mengharapkan untuk memperoleh sesuatu menjadi biang kekecewaan, yaitu
kalau harapan itu tidak terpenuhi seperti yang dilakukannya sejak semalam

Kalimat yang harus diingatnya itu membuatnya sadar bahwa segala bintang
diangkasa itu pun terjadi dan tercipta bukan tanpa sebab. Alangkah banyaknya
rahasia di alam mayapada ini, dan betapa besar kekuasaan Sang Pencipta.
Penuh rahasia gaib yang tak mungkin di buka oleh pikiran manusia yang
sesungguhnya amatlah dangkal, rapuh, dan penuh sesak sehingga
membuatnya menjadi kotor. Ketika dia melihat jutaan bintang itu, nampak
olehnya keindahan yang selama ini belum pernah dilihatnya, merasakan
kebahagiaan yang belum pernah menyentuh batinnya.

Betapa indahnya hari ini, dan betapa bahagianya manusia dapat melihat,
mendengar, mencium, meraba dan merasakan semua keindahan yang seolah-
olah dilimpahkan untuk manusia.
Menikmati keindahan tinggal membuka mata memandang,
menikmati keharuman tinggal membuka hidung mencium,
menikmati kemerduan tinggal membuka telinga mendengar. Betapa
bahagianya hidup ini.
Hidup ini adalah kebahagiaan itu sendiri karena hidup adalah anugerah,
hidup adalah cinta kasih.

"Yang merasa dirinya pintar adalah tolol!" Tentu saja, karena perasaan
demikian itu sesungguhnya hanya merupakan suatu kecongkakan belaka,
merajalelanya si aku yang ingin mengangkat diri setinggi-tingginya, sebesar-
besarnya, yang paling besar, yang tak dapat lenyap, yang abadi dan banyak
macam "yang ter" lagi. Perasaan ini hanya timbul dari pikiran yang bukan lain
adalah si aku sendiri. Orang yang merasa dirinya pintar adalah orang-orang
bodoh yang mudah bersikap sombong, congkak, tinggi hati, merasa benar
sendiri, menang sendiri, meremehkan orang lain. Tentu saja orang macam itu
adalah tolol sekali. Kemudian kalimat lanjutannya yang menjadi kebalikan,
"yang merasa dirinya bodoh adalah waspada." Bukan pintar, melainkan
waspada.
Memang sesungguhnya, kalau orang mengamati diri sendiri dan merasa betapa
dirinya, seperti semua manusia lain, sebenarnya hanyalah mahluk-mahluk yang
banyak sekali kekurangan dan kelemahannya, maka dia adalah seorang
waspada. Kewaspadaan itu sendiri yang akan mengadakan perobahan pada
dirinya, menghilangkan segala macam kebodohan dalam bentuk keangkuhan,
ketinggian hati dan sebagainya dan kewaspadaan ini yang melenyapkan
kebodohannya. Bukan berarti lalu menjadi pintar, karena kalau dia merasa
pintar, berarti dia terjeblos kedalam kebodohan yang akan membuatnya tolol!
"Merasa" dalam hal ini berbeda dengan "mengaku". Mengaku diri bodoh saja
tidak ada artinya. Pengakuan itu bahkan berselubung untuk menyembunyikan
pamrih yang sesungguhnya, yaitu agar dianggap orang yang "waspada", agar
dianggap orang yang tahu akan kebodohannya dan karena itu waspada dan
berisi. Bukan pengakuan yang ditujukan kepada orang lain, melainkan
perasaan yang merupakan pengakuan terhadap diri sendiri, bukan sekedar
mengaku, melainkan yakin karena melihat sendiri kebodohannya.
Itu adalah batiniahnya, sedangkan secara lahiriah, orang yang merasa pintar
tentu akan mengabaikan segala macam pendapat dan pengertian orang lain,
sehingga orang seperti ini tidak akan mampu menambah pengertiannya
sehingga seperti katak dalam tempurung dan tenggelam ke dalam
kebodohannya. Sebaliknya, orang yang merasa dirinya bodoh, tentu akan
selalu haus akan pelajaran, selalu ingin tahu dan ingin menambah
pengetahuannya, mendengarkan pendapat dan buah pikiran orang lain
sehingga muncul kewaspadaannya dan tentu dia tidak bodoh kalau sudah mau
belajar setiap saat!

MENCARI KEBAHAGIAAN
Betapa banyaknya keinginan itu terlontar dari lubuk hati manusia, baik melalui
mulut ataupun hanya dipendam saja. Keinginan untuk mencari kebahagiaan!
Mencari kebahagiaan! Semua orang rindu akan kebahagiaan. Semua orang
ingin mencari kebahagiaan, seolah-oleh kebahagiaan adalah sesuatu yang
dapat di cari, dapat ditemukan dan digenggam agar tidak pergi lagi! Su Kiat
mengira bahwa baginya, kebahagiaan adalah diri Hui Lian, kehadiran Hui Lian
karena ia MEMBUTUHKAN kehadiran Hui Lian YANG MENYENANGKAN
hatinya. Orang lain mungkin bukan itu, melainkan harta bendalah sumber
kebahagiaannya karena dia membutuhkannya, karena hanya harta benda yang
dapat menyenangkan hatinya. Ada pula yang mengejar kebahagiaan melalui
kedudukan, atau nama besar, atau benda atau keadaan bagaimanapun juga,
semata-mata karena dia membutuhkannya, karena dianggapnya bahwa itulah
yang akan menyenangkan dirinya, hatinya, selamanya!
Akan tetapi, apakah kebahagiaan itu sama dengan kesenangan? Apakah orang
yang senang hatinya itu berbahagia? Apakah kesenangan itu dapat dinikmati
selamanya? Hal ini dapat kita pelajari dengan mengamati diri sendiri,
mengamati kesenangan-kesenangan kita, yang kita cari dan kejar-kejar itu.
Betapa banyaknya macam kesenangan atau benda atau keadaan yang
mendatangkan kesenangan. Namun, betapa rapuhnya kesenangan itu sendiri,
seperti gelembung-gelembung sabun yang indah beraneka warna, mempesona
kanak-kanak yang mengejar-ngejarnya, namun setelah terpegang, gelembung
itu pun meletus dan lenyap, terganti kekecewaan. Betapa benda atau orang
ataupun keadaan, yang tadinya kita kejar-kejar, kita anggap sebagai sumber
kesenangan, bahkan mendatangkan kekecewaan, kebosanan, bahkan
kejengkelan! Adakah kesenangan yang abadi?
Jelas bukan! Yang kita sebut kebahagiaan jelas bukanlah kesenangan!
Kesenangan dapat kita gambarkan, dapat kita cari dan perebutkan, namun
kesenangan memiliki muka yang banyak sekali, seperti sepotong dadu yang
mempunyai banyak permukaan, dan permukaan yang lain itu sama sekali tidak
menyenangkan!
Kita semua mengejar kebahagiaan secara membuta, mengira bahwa
kebahagiaan terletak disini, di sana, dan kita mengejar tanpa mengetahui apa
sebenarnya kebahagiaan itu! Mungkinkah orang mencari sesuatu yang tidak
dikenalnya, sesuatu yang tidak diketahuinya? Kebahagiaan tidak mungkin
dikenal, karena kebahagiaan adalah sesuatu yang hidup, sedangkan
pengenalan hanyalah melalui sesuatu penggambaran yang mati. Kesenangan
adalah penggambaran yang mati, sesuatu yang telah kita kenal, melalui
pengalaman, maka dapat kita kejar. Kebahagiaan yang terasa lalu dikenal
melalui pengalaman, bukanlah kebahagiaan lagi, melainkan menjadi
kesenangan dan seperti biasa kita ingin mengulang kesenangan.
Kita tidak dapat mengenal kebahagiaan, tidak dapat menggenggam
kebahagiaan. Akan tetapi kita mengenal dan mengerti akan ketidak-bahagiaan
karena kita semua mengalaminya, merasakannya. Justeru karena tidak
bahagia inilah maka kita mengejar kebahagiaan. Kita ingin lari dari ketidak-
kebahagiaan dan mencari kebahagiaan. Mengapa kita tidak menghadapi saja
ketidak-bahagiaan ini, bukan hanya merasakan lalu mencoba lari, melainkan
menyelaminya, mengamatinya dengan seksama dan teliti sehingga akan
nampak benar oleh kita bahwa kita tidak berbeda, tidak terpisah dari ketidak-
bahagiaan itu sendiri. Ketidak-bahagiaan itu adalah kita sendiri, pikiran kita
yang selalu mencari senang menjauhi susah, selalu mengejar keuntungan
menghindarkan kerugian, selalu ingin, ingin dan ingin lagi! Hanya pengamatan
terhadap diri sendiri inilah, yang akan membuat kita waspada dan mengerti,
yang akan menghentikan ketidak-bahagiaan itu sendiri merajalela di dalam
batin.
Dan kalau sudah tidak ada lagi ketidak-bahagiaan ini di dalam diri kita, apakah
kita masih mengejar kebahagiaan? Kiranya tidak, karena tanpa adanya ketidak-
bahagiaan, maka kita tidak butuh kebahagiaan lagi, justeru karena kebahagiaan
sudah ada pada kita, menyinar sepenuhnya tidak terhalang oleh awan ketidak-
bahagiaan, seperti matahari yang terbebas daripada halangan awan yang
menggelapkan.
Tuhan Maha Kasih! Kita dilahirkan dalam keadaan lengkap selengkap-
lengkapnya. Bukan hanya kelengkapan pada diri kita lahir batin yang lengkap,
bahkan yang berada di luar diri kita, yang berada di alam mayapada ini, yang
nampak maupun yang tidak nampak, semua itu melengkapi hidup kita, seolah-
olah diciptakan untuk memenuhi kebutuhan hidup kita. Matahari, bulan, bintang,
angin, air tanah dan segenap tumbuh-tumbuhannya, bahkan segala logam dan
minyak di dalam tanah, semua itu bermanfaat bagi kehidupan kita, bukan hanya
bermanfaat, bahkan menghidupkan! Kasih Tuhan inilah kebahagiaan, bagi
mereka yang mampu menerimanya, dan mau menerimanya. Akan tetapi
kebahagiaan akan sirna seperti sinar matahari tertutup mendung kalau muncul
ketidak-bahagiaan di dalam batin kita, yang sesungguhnya muncul karena sang
aku yang ingin ini dan itu tiada hentinya, diantaranya ingin bahagia pula!

Sudah menjadi pendapat umum bahwa cinta antara pria dan wanita harus
dibuktikan dengan sex. Akan tetapi, tepatkah pendapat ini? Memang harus
diakui bahwa hubungan sex HARUS didasari cinta kasih, karena kalau tidak
demikian, maka hubungan sex menjadi semacam pengejaran kenikmatan
belaka, menjadi pemuasan dan pemanjaan nafsu berahi belaka. Hubungan sex
tanpa cinta kasih seperti itu terjadi di dalam pelacuran, dalam perkosaan, dan
jelaslah bahwa hubungan semacam itu hanya akan menimbulkan duka sebagai
imbalan daripada kesenangan yang diperoleh darinya. Hubungan sex tanpa
cinta kasih menjadi suatu hubungan yang kotor. Sebaliknya, hubungan sex
yang dilandasi cinta kasih merupakan sesuatu yang indah dan bersih,
merupakan pencurahan kasih sayang antara dua orang manusia yang saling
mencinta, dan hubungan seperti ini menjadi sarana penciptaan manusla baru
yang sempurna. Jelaslah bahwa sex bukanlah cinta! Ada cinta kasih yang sama
sekali tidak mengandung gairah sex, misalnya cinta kasih antara saudara,
antara anak dan orang tua, antara sahabat.

Nafsu berahi, seperti segala nafsu yang selalu silih berganti menguasai diri
manusia seperti kita ini, selalu ditimbulkan oleh ingatan. Pikiran mengingat-
ingat, membayangkan segala hal yang pernah dialami atau didengar dari orang
lain, segala hal yang menyenangkan dan nikmat. Ingatan inilah bayangan-
bayangan yang diciptakan oleh pikiran inilah sesungguhnya yang menimbulkan
gairah nafsu! Untuk membebaskan diri dari perbudakan nafsu, kita diajar untuk
mengekang dan mengendalikan nafsu! Bagaimana mungkin akan berhasil
kalau yang mengendalikan itu pun pikiran kita sendiri? Nafsu merupakan hasil
pemikiran dan keinginan mengendalikan juga timbul dari pikiran setelah melihat
akibat nafsu yang merugikan, dan pada hakekatnya, pengendalian itu pun
didorong oleh keinginan pula, keinginan untuk bebas dari nafsu. Kalau
dikendalikan maka akan terjadi lingkaran setan. Nafsu timbul dikendalikan, tidur
sebentar, bangkit lagi dikendalikan lagi, demikian tiada habisnya sampai kita
mati!
Setelah tahu bahwa sumber nafsu adalah pikiran, mengapa kita tidak
melenyapkan sumbernya saja? Bukan berarti mematikan pikiran, karena pikiran
memang penting bagi hidup, melainkan mempergunakan pikiran untuk hal-hal
yang bermanfaat dan membiarkan pikiran bersih dari ingatan-ingatan tentang
hal-hal yang akan menimbulkan gairah nafsu, menimbulkan dendam, duka, iri,
dan sebagainya. Bukan timbul dari keinginan membersihkan pikiran, melainkan
membiarkan pikiran bersih sendiri dengan pengamatan penuh kewaspadaan
terhadap pikiran sendiri, terhadap nafsu yang timbul dalam pikiran.
Pengamatan saja tanpa usaha pengekangan, tanpa usaha merobah, tanpa
menilai. Pengamatan ini yang akan menimbulkan suatu kesadaran, yang akan
mendatangkan perobahan. Pengamatan dengan waspada akan membebaskan
pikiran menyeleweng, perhatian setiap saat terhadap segala yang terjadi di
dalam dan luar diri akan mendatangkan kesegaran baru.

Duka selalu ditimbulkan oleh ikatan batin. Ikatan batin dengan keluarga,
dengan orang yang dicinta, dengan harta benda, dengan kedudukan,dengan
ketenaran, dengan kepandaian, dan dengan apa saja. Ikatan menimbulkan rasa
takut pula, takut akan kehilangan dan setelah tiba saatnya ketika kehilangan
sesuatu yang mengikat batin kita, timbullah duka. Tentu saja kita yang hidup di
dalam masyarakat, tidak mungkin bebas sama sekali daripada segala macam
kewajiban dengan keluarga, dengan masyarakat dan sarana-sarana hidup
bermasyarakat. Namun, semua itu hanyalah urusan lahiriah, oleh karena itu
ikatannya pun seharusnya lahiriah, bukan batiniah. Pada lahirnya, memang kita
berkeluarga dan kita mempunyai keluarga, bekerja untuk kepentingan keluarga,
membinanya, mendidik anak-anak dan sebagainya lagi. Akan tetapi, sekali
batin kita terikat, maka timbullah rasa takut, takut akan masa depan keluarga,
takut akan kehilangan dan takut akan masa depan, takut tidak akan memenuhi
kebutuhan keluarga. Dan kalau semua yang kita takutkan itu terjadi, timbullah
duka karena kehilangan. Ini bukan berarti bahwa kita harus acuh terhadap
keluarga atau segala hal yang kita punyai, sama sekali tidak! Cinta kasih bukan
berarti harus ada ikatan batin! Lahiriah kita boleh mempunyai apa saja, namun
batin seharusnya bebas, batin tidak memiliki apa-apa! Mempunyai namun tidak
memiliki! Lahiriah mempunyai, batiniah tidak memiliki atau bebas. Cinta kasih
yang menimbulkan semua perbuatan seperti memelihara, membimbing dan
sebagainya, bukan ikatan! Kalau batin terikat oleh sesuatu, maka yang sesuatu
itu melekat dan berakar di dalam hati, tentu saja sekali waktu tiba saatnya
harus berpisah, sesuatu itu seperti dicaput dan akarnya akan membuat hati
berdarah dan terluka! Sekali lagi, bukan berarti acuh dan masa bodoh, bukan
berarti tidak mencinta kalau tidak ada ikatan. Sebaliknya malah, cinta kasih
tidak membutuhkan ikatan. Yang membutuhkan ikatan hanyalah si Aku,
hanyalah nafsu, dan si-aku akan merasa takut dan kosong kalau tidak memiliki
sesuatu. Memiliki sesuatu ini menambah "isi" dan arti dari si-aku, membesarkan
si-aku
Keinginan manusia untuk memperbesar dirinya menambah semua kemuliaan
dan kesenangan dirinya, merupakan penyakit yang tak pernah sembuh sampai
manusia mati. Keinginan untuk menjadi lebih daripada keadaan sekarang,
merupakan nafsu yang menghanyutkan, makin dituruti semakin membesar dan
semakin tamak. Seperti orang kehausan minum-minuman yang terlampau
manis, makin banyak minum menjadi semakin haus. Sekali membiarkan nafsu
mencengkeram batin, nafsu keinginan memperoleh segala yang belum
dimilikinya, maka penyakit itu akan mendarah daging dan terus
mencengkeramnya sampai akhir hayat! Kecuali kalau ada kesadaran yang
timbul dari pengamatan waspada sehingga kita melihat akan kenyataan diri
sendiri, dan kesadaran ini akan secara seketika membuang jauh-jauh nafsu
keinginan atau penyakit itu. Bukan berarti kita lalu menjadi mati semangat atau
lumpuh, bukan berarti menjadi bosa hidup dan seperti patung atau seperti
pohon saja, menerima segala sesuatu tanpa ikhtiar. Ikhtiar untuk memelihara
diri adalah wajib, menjaga diri, menempatkan diri, sebaiknya, mencari
kebutuhan hidup ini, sandang pangan sewajarnya. Menikmati kesenangan
hidup adalah hak kita, karena kita diperlengkapi alat-alat yang sempurna untuk
menikmati hidup melalui panca indrya kita. Akan tetapi, ini bukan berarti kita
mengejar kesenangan itu, bukan berarti kita dicengkeram penyakit nafsu
keinginan mengejar segala keadaan yang belum kita miliki.
Nafsu keinginan mengejar kesenangan ini dapat saja bersembunyi di balik kata-
kata yang muluk dan indah, misalnya gagasan-gagasan, cita-cita, harapan-
harapan yang dapat saja kita pulas sehingga warnanya menjadi putih dan
menamakannya cita-cita mulia, ide-ide sempurna, dan sebagainya. Namun,
kesemuanya itu tidak ada bedanya dengan ambisi, keinginan untuk mencapai
suatu keadaan atau memperoleh sesuatu yang kita anggap akan lebih
menyenangkan daripada yang ada sekarang ini! Penyakit ini, yaitu nafsu
keinginan mengejar sesuatu, dapat saja menimbulkan penyelewengan-
penyelewengan. Kalau yang dikejar itu kesenangan melalui uang, maka dapat
menimbulkan pencurian, penipuan, kecurangan, korupsi dan sebagainya lagi.
Kalau yang dikejar itu pahala batiniah, maka akan muncul kemunafikan,
kepura-puraan. Kalau yang dikejar itu kedudukan, akan timbul persaingan.
Kalau yang di kejar itu kesenangan melalui sex, akan timbul pelacuran,
perkosaan, perjinaan dan sebagainya.
Gejala yang nampak pada orang yang dihinggapi penyakit itu adlaah
kekecewaan yang terus menerus karena dia tidak akan pernah merasa puas.
Kepuasan yang dirasakannya hanyalah sekelumit, selewatnya seperti angin lalu
saja karena kepuasan sekelumit itu segera sirna lagi di buru penyakit yang ingin
mengejar labih lagi. Orang yang berpenyakit seperti ini akan selalu mengejar
yang tidak ada, sehingga tidak akan mampu menikmati apa yang ada. Pandang
mata batinnya tak pernah ditujukan untuk mengamati keindahan apa yang ada,
melainkan menerawang selalu ke arah bayangan apa yang dinginkannya, yang
selalu membesar, membengkak, dan menjauh. Berbahagialah orang yang
bebas dari penyakit ini, dan hidup di saat ini, menikmati apa yang ada dengan
segala kewajarannya.
-
Cinta memang sesuatu yang aneh. Cinta dapat melanda hati siapapun juga,
pria atau wanita, tua atau muda, kaya atau miskin, pintar atau bodoh, bahkan
seorang wanita yang dicap sebagai wanita pengobral cinta, seorang pelacur
tidak terluput dari serangan cinta. Cinta yang lain daripada yang dijualnya untuk
,mencari uang, atau karena terpaksa, atau karena kebutuhan jasmani maupun
batin. Cinta yang satu ini lain lagi. Cinta yang satu ini meniadakan kepentingan
diri pribadi, melainkan mementingkan kepentingan orang yang dicintanya.
Seorang pelacur adalah seorang yang sedang menderita sakit, seperti para
penyeleweng dan pelanggar hukum dan susila lainnya, seperti pencuri,
penjahat dan sebagainya. Sedang sakit. Bukan badannya yang sakit,
melainkan batinnya. Dan orang yang sakit, baik sakit badan maupun sakit batin,
dapat sembuh, dapat pula kambuh, tergantung dari pemeliharaan batin itu
selanjutnya. Karena itu, mencemooh dan merendahkan orang yang sedang
dilanda sakit, baik badan maupun batinnya, adalah suatu perbuatan yag tidak
patut dan tidak terpuji. Seyogianya mengulurkan tangan, memberi jalan keluar,
memberi pengobatan. Harus selalu diingat bahwa yang sakit, baik sakit badan
maupun batin dapat sembuh sama sekali, sebaliknya yang sedang sehat, baik
badan maupun batinnya, sekali waktu dapat saja jatuh sakit!
Seperti juga penyakit badan, maka penyakit batin timbul dari berbagai macam
sebab dan keadaan. Mungkin juga seperti badan yang lemah, batin dapat pula
lemah sehingga mudah terserang penyakit. Olahraga menguatkan badan
sehingga tak mudah diserang penyakit, juga olah batin menguatkan batin
sehingga tidak mudah diserang penyakit pula. Olah batin adalah perenungan
tentang kehidupan, tentang kebenaran, tentang kemanusiaan, tentang Tuhan
Maha Kasih! Berbahagialah orang yang dapat menjaga kesehatan badan dan
batinnya, karena keduanya haruslah seimbang. Kalau sampai sakit salah satu,
maka yang lain akan terpengaruh dan kebahagiaan tak mungkin dapat
dirasakan lagi.

Itulah kalau menginginkan sesuatu yang tidak terjangkau! Akhirnya akan


mencelakakan diri sendiri! Tiba-tiba dia berhenti melangkah. Kisah burung
murai itu, bukankah itu kisah semua manusia? Bukankah setiap orang manusia
itu selalu menginginkan keadaan yang lebih! Lebih indah, lebih enak, lebih
banyak, pendeknya, semua manusia menginginkan yang serba lebih. Saling
berebutan dan bersaing untuk memperoleh yang serba lebih itu, kalau perlu
saling serang, saling menjatuhkan, dengan cara apa saja demi memperoleh
yang serba lebih itu! Seperti si murai bodoh. Karena pengejaran akan yang
serba lebih inilah maka mata menjadi buta dan tidak lagi dapat melihat dan
menikmati YANG ADA! Mata ditujukan jauh ke depan, kepada yang dianggap
serba lebih itu, yang dikejarnya dan tak terjangkau olehnya. Akhirnya hanya
ada dua hal yang terjadi sebagai akibat dari pengejaran itu, setelah dalam
pengejaran itu menimbulkan banyak pertentangan dan permusuhan. Kalau
yang dikejar terdapat, belum tentu akan terasa seindah sebelum didapat,
seindah seperti ketika masih dikejar karena hati ini sudah dipenuhi dengan
pengejaran terhadap yang lain lagi, yang lebih lagi daripada yang sudah
didapat! Dan kalau gagal? Kecewa, menyesal, berduka dan sengsara!
berbahagialah orang yang tidak mengejar apa-apa, tidak menginginkan apa-
apa yang tidak ada padanya! Berbahagialah orang yang membuka mata
melihat apa yang ada padanya saja, melihat keindahan dari apa YANG ADA."
Dia menarik napas panjang lagi dan merasakan benar betapa nikmatnya
menghirup udara bersih seperti itu! Dia mengamati semua yang terbentang luas
di depahnya. Rumput-rumput hijau luas, pohon-pohon tinggi besar, bunga-
bunga, burung-burung yang beterbangan di angkasa yang terhias awan-awan
putih seperti sekelompok domba putih bergerak, sinar matahari pagi menerobos
menembus celah-celah daun pohon. Betapa indah semua itu, indah tak
terlukiskan kata-kata! Dan semua itu tentu takkan nampak oleh mata yang
dibutakan oleh keinginan mendapatkan sesuatu yang tidak ada dan tidak
dimiliki!

Hidup dan mati adalah suatu rangkaian, suatu proses, suatu rahasia besar
yang tidak dikuasai dan tidak pula dimengerti manusia. Kita hanya tinggal
menerima saja. Jangankan mati, hidup pun manusia tidak dapat menguasai diri
sendiri. Berdetaknya jantung, pertumbuhan badan, rambut dan kuku dan
seluruh anggauta tubuh, sama sekali terjadi di luar kekuasaan kita! Kita ini
diadakan dan hanya menerima apa adanya saja! Ketika kita lahir, dijadikan apa
pun, laki-laki atau wanita, dilahirkan oleh ibu yang mana pun, keluarga kaya
atau miskin, berkedudukan tinggi atau rakyat biasa, kita dilahirkan dengan
tubuh dan wajah yang dianggap oleh umum bagus atau tidak, semua itu terjadi
di luar kehendak dan kekuasaan kita. Kita ini diadakan, dan ada yang
mengadakan, melalui orang tua kita sebagai proses kelahiran manusia baru.
Kita tidak menguasai diri kita sendiri, baik hidupnya maupun matinya! Kita
diadakan oleh Yang Maha Pencipta, dan kita ditiadakan melalui kematian oleh
Dia pula! Kalau Dia masih menghendaki kita hidup, biar dikelilingi seribu
macam ancaman bahaya, dengan satu dan lain cara kita akan terlepas dan
selamat. Sebaliknya, kalau Dia menghendaki mati, biar kita bersembunyi di
dalam benteng baja atau ke dalam lubang semut sekalipun, tetap saja maut
akan datang menjemput!

Nampaknya menjadi suatu kenyataan yang tak dapat disangkal pula bahwa
kehidupan kita sebagai manusia ini penuh dengan duka! Kalau kita susun
dalam ingatan dan melihat kenyataan, hidup ini hanya menjadi panggung
sandiwara di atas mana kita masing-masing sebagai pemegang peran kadang-
kadans tertawa dan kadang-kadang menangis, Namun, betapa sedikitnya tawa
dan betapa banyaknya tangis! Betapa hidup penuh dengan kecewa,
kepusingan, kesusahen, ketakutan, konflik-konflik batin dan konflik lahir, dan
hanya diseling sedikit saja kegembiraan seperti selingan kilat di antara awan
gelap. Apakah ini menjadi kenyataan dari tanda yang dibawa seorang bayi yang
sedang lahir? Bayi, calon manusia itu, terlahir dalam keadaan menangis,
seolah-olah dia merasa menyesal karena dilahirkan, karena harus memasuki
suatu alam yang penuh derita! Dan betapa tenang wajah seorang yang putus
nyawanya! Bahkan kebanyakan si mati itu tersenyum dalam kematiannya,
seolah-olah wajah itu membayangkan suatu kelegaan bahwa dia telah terbebas
dari alam yang penuh derita itu!
Dari manakah timbulnya derita ini? Mengapa kita dihantui oleh rasa kecewa,
sesal, khawatir, pusing dan susah? Kalau kita mau mengamati diri sendiri, akan
nampaklah bahwa semua perasaan ini datang dari pikiran kita sendiri. Dari si
aku yang bersemayam dalam pikiran, yang mempunyai seribu satu macam
keinginan untuk mencapai kesenangan seperti yang diharapkan dan dikejar.
Kalau keinginan itu tidak terpenuhi, maka timbullah kecewa. Kalau kepentingan
diri terancam, maka timbullah rasa takut dan khawatir. Kalau semua ini
menumpuk, timbul iba diri yang membuat hati merasa merana, trenyuh, sakit
dan duka. Lalu biasanya kita lari dari derita ini. Kita ingin pula menghindari
derita kedukaan, lalu kita mengelak dan menjauhkan diri, kadang kita lari
bersembunyi ke balik hiburan-hiburan yang menyenangkan untuk sekedar
melupakan kesusahan. Namun, pelarian dari kenyataan ini hanya membentuk
suatu lingkaran setan. Mendapat hiburan, lupa sebentar akan kedukaan itu,
namun setelah hiburan memudar, kedukaan itupun akan nampak kembali,
menghantui perasaan. Tak mungkin kita lari dari duka karena duka itu adalah
kita sendiri! Pikiran sendiri!
Yang tepat adalah menghadapi duka itu, menghadapi kenyataan. Mengamati,
mempelajari, tanpa menentang atau lari, mengamati dengan pasrah dan tanpa
berbuat apa pun, pasrah kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Kita amati duka itu,
bukan sebagai suatu keadaan yang terpisah dari diri sendiri, melainkan sebagai
keadaan diri sendiri dengan segala lika-liku pikiran. Dan landasan dari
pengamatan ini adalah kepasrahan yang tulus ikhlas, mengembalikan
kesemuanya itu kepada kekuasaan Tuhan karena hanya Tuhanlah yang kuasa
membebaskan kita dari segala derita. Kekuasaan Tuhan adalah Sinar Illahi
yang juga kita namakan Cinta kasih, keadaan batin di mana tidak ada lagi
segala macam nafsu keinginan menyenangkan diri pribadi, tidak ada lagi ulah
pikiran yang menimbulkan rasa kecewa, takut, benci dan sebagainya.

Lahir dan mati merupakan awal dan akhir dari kehidupan seperti yang kita kenal
ini. Kita hanya tahu akan kehidupan ini, tanpa mengetahui keadaan sebelum
terlahir dan sesudah mati. Yang jelas, seorang bayi, bangsa apapun juga, kaya
atau miskin, mulia maupun papa, dari 'keluarga yang bagaimanapun juga,
seorang bayi begitu terlahir di dalam dunia ini, dia langsung menangis! Tangis
adalah peluapan duka, dalam bahasa dari bangsa manapun juga. Begitu
memasuki alam dunia, manusia menangis. Awal kehidupan disambut tangis,
seolah-olah bayi calon manusia itu merasa menyesal, merasa berduka bahwa
dia telah dilahirkan di dalam suatu kehidupan yang penuh duka! Dan di dalam
kenyataannya, hidup ini memang lebih banyak mengandung duka daripada
suka. Kemudian, setelah manusia mati, hampir dapat dipastikan bahwa pada
wajah si mati terdapat suatu kedamaian, wajah itu, membayangkan kelegaan,
kebebasan, bahkan juga kebahagiaan, seolah-olah si mati merasa lega karena
telah terlepas daripada kehidupan yang banyak duka ini!
Manusia menyambut kelahiran bayi yang menangis sedih dengan gembira.
Apakah ini menjadi tanda bahwa manusia merasa gembira melihat datangnya
seorang rekan baru dalam kehidupan penuh derita ini, seperti sekumpulan
orang dalamn penjara menyambut datangnya seorang narapidana yang baru?
Dan manusia mengantar kematian seseorang dengan tangis sedih walaupun
wajah si mati nampak demikian penuh ketenangan dan kedamaian. Apakah ini
pun menjadi tanda bahwa manusia merasa berduka melihat seseorang bebas
sedangkan mereka sendiri masih berada di dalam kehidupan yang penuh
derita, seperti sekumpulan orang dalam penjara yang melihat seorang rekannya
dibebaskan sedangkan mereka masih harus mendekam di dalam penjara.
Hidup ini penuh duka yang timbul dari segala perasaan kecewa, iri hati, dengki,
ketakutan, kekerasan, dan iba diri. Kesenangan hanya muncul seperti kilat di
antara mendung gelap, hanya sekali-kali saja. Setiap jengkal kesenangan
selalu diikuti oleh sedepa kesusahan. Namun, tanpa adanya pikiran yang
menimbang-nimbang, membayang-bayangkan, mengingat-ingat, tanpa adanya
si aku yang menilai, membandingkan, merasakan, apakah duka atau suka itu?
Dalam keadaan tidur, atau pingsan, selagi pikiran tidak bekerja, kita memasuki
suatu alam yang tidak mengenal suka duka! Mimpi mengandung suka itu ada?
Dalam keadaaan tidur, atau pingsan, selagi pikiran tidak bekerja, kita memasuki
suatu alam ke dalam alam tanpa suka tanpa duka. Ini membuktikan bahwa
suka duka hanya permainan pikiran belaka, permainan si aku yang selalu
mengada-ada!

Kita manusia hidup bagaikan mendayung perahu di tengah samudera


kehidupan yang luas, penuh dengan ombak mengalun yang menghantam biduk
kita dari kanan kiri! Biduk yang kita dayung di tengah samudera kehidupan itu
dipermainkan ombak senang dan susah silih berganti. Mulut ini sampai lelah
rasanya oleh permainan tawa dan tangis yang saling menyeling tiada hentinya,
walaupun tangis datang lebih banyak daripada tawa sepanjang hidup kita. Kita
selalu mendambakan kesenangan yang membuat kita tertawan, dan kita
menjauhi kesusahan yang mendatangkan tangis. Namun, mungkinkah itu?
Mungkinkah ombak mengalun dari satu sisi saja? Senang dan susah hanyalah
suatu timbal- balik seperti terang dan gelap, seperti siang dan malam. Tidak
mungkin mendapatkan senang saja sepanjang hidup tanpa menemukan susah,
karena senang dan susah merupakan saudara kembar yang tak terpisahkan,
seperti dua permukaan dari satu mata uang yang sama! Kalau sudah
mengetahui ini, maka bijaksanalah orang yang tidak menjadi lupa daratan di
kala senang, dan tidak menjadi putus semangat di kala susah. Dari susah ke
senang, dan sebaliknya, hanya satu langkah saja! Lebih bijaksana lagi kalau
kita mau mengamati dan mempelajari apa sebenarnya susah dan senang itu,
bagaimana munculnya. Sesungguhnya, susah dan senang hanyalah permainan
pikiran belaka, pikiran yang menilai berdasarkan keuntungan dan kepentingan
pribadi. Segala peristiwa yang menguntungkan pribadi, mendatangkan senang,
dan sebaliknya yang merugikan pribadi mendatangkan susah. Kalau pikiran
tidak menimbang-nimbang, menilai, maka segala peristiwa adalah wajar dan
tidak akan menimbulkan susah senang. Berbahagialah dia yang berada di luar
jangkauan susah senang ciptaan pikiran ini. Pengamatan mendalam secara
pasip (tanpa mengubah) bilamana susah atau senang menguasai batin
merupakan langkah pertama ke arah kebebasan.

Segala macam duka, benci, takut dan sebagainya adalah perasaan yang
muncul sebagai kembangnya pikiran. Pikiranlah yang menjadi biangkeladi
segala macam emosi dan sentimen di dalam batin kita. Pikiran mengenang
masa lalu, membayangkan masa depan, pikiran yang menimbang-nimbang dan
menilai-nilai untung rugi terhadap diri kita, menciptakan segala macam
perasaan itu. Bahkan, duka dan pikiran bukan dua hal yang berlainan! Duka
adalah pikiran itulah. Yang merasa punya diri, yang merasa ada aku, juga
pikiran itu dan iba diri timbul pula dari permainan pikiran. Iblis itidak berada jauh
dari diri kita, bersarang di dalam pikiran setiap saat membisikkan bermacam
kata-kata berbisa, dari yang manis merayu, sampai yang mencaci maki dan
menusuk perasaan. Betapa pun duka atau benci atau takutnya seseorang
apabila pikirannya tidak bekerja lagi, dalam tidur, dalam pingsan seperti Hay
Hay, maka semua bentuk perasaan duka, benci, takut dan sebagainya itu akan
lenyap pula! Oleh karena itu, tidak ada artinya untuk mengalahkan duka, benci
atau takut, selama pikiran masih menjadi bisikan iblis. Kalau yang berusaha
mengalahkan duka itu pikiran, maka yang muncul hanyalah pelarian, hiburan,
dan semua ini kosong dan sia-sia belaka, karena duka ialah pikiran itu sendiri!
Bagaimana mungkin pikiran melarikan diri dari dirinya sendiri?
Yang penting adalah melepaskan belenggu ikatan pikiran ikatan si aku,
membebaskan diri dari semua permainan pikiran yang menyenangkan masa
lalu dan membayangkan masa depan. Bukan aku yang membebaskan, karena
yang mengaku sebagai "aku yang berusaha membebaskan" bukan lain adalah
pikiran pula, dalam bentuk lain. Pikiran memang lihai dan lincah, bagaikan Sun
Go Kong (Si Raja Monyet} dalan dongeng See-yuki. Lalu tlmbul pertanyaan,
yaitu bagaimana lalu caranya untuk membebaskan diri dari pikiran ini?
Pertanyaan ini pun masih sekali tiga uang, sama saja, karena yang bertanya itu
juga si aku atau pikiran yang mempunyai pamrih untuk bebas dari pikiran agar
tidak ada duka lagi! Setiap gerakan dari pikiran sudah pasti berpamrih, karena
pusatnya adalah si aku yang ingin senang!
Jadi : Tidak ada pamrih membebaskan diri, namun sadar akan bekerjanya
pikiran kita sendiri yang menjadi sumber dari segala perasaan. Dan tidak
terdapat cara untuk membebaskan pikiran, karena pikiran adalah aku atau kita
sendiri! Akan tetapi, dengan sepenuh kewaspadaan mengamati diri, mengamati
apa yang terjadi di dalam dan di luar diri, di dalam pikiran, mengamati diri ketika
timbul duka, benci, takut. Pengamatan inilah yang amat penting. Pengamatan
tanpa pamrih, pengamatan tanpa ada si aku yang mengamati karena kalau
demikian, tentu si aku akan menilai dan mengubah, mencela dan memuji. Yang
ada hanya PENGAMATAN saja, dengan penuh kewaspadaan, dengan penuh
perhatian, dengan menyeluruh, namun sedikit pun tidak ada pamrih mengubah
atau boleh disebut secara pasip saja.

“Bebas lepas beterbangan


dari taman ke taman
mencari kembang harum jelita
untuk kuhisap sari madunya
setelah puas kumenikmatinya
kutinggalkan kembang layu merana
untuk mencari kembang segar yang baru
Si Kumbang Merah, inilah aku!”

Tiba-tiba dia termenung. Kebebasan inipun terasa membosankan! Orang yang


terikat tentu mendambakan kebebasan seperti dia, aneh sekali, kadang-kadang
mendambakan ikatan! Memang aneh hidup ini! Yang nampak indah
menyenangkan itu hanya segala yang belum didapatkan, belum di miliki, yang
sedang dalam pengejaran. Kalau segala yang tadinya di dambakan itu sudah
berada dalam tangan, lambat laun takkan terasa lagi keindahannya, bahkan
dapat membosankan!
Rahasianya terletak kepada keinginan! Keinginan memiliki sesuatu yang tidak
atau belum dimiliki menciptakan pengejaran! Dan pengejaran untuk
mendapatkan sesuatu yang diinginkan inilah sumber segala konflik, sumber
segala kesengsaraan dalam kehidupan ini. Pengejaran akan sesuatu yang
belum kita miliki, karena itu lalu kita inginkan, membuat mata kita menjadi
seperti buta, tidak lagi melihat apa yang ada pada kita! Mungkinkah kita hidup
tampa membiarkan angan-angan menggambarkan keindahan dan kesenangan
yang belum kita miliki sehingga kita selalu akan di hinggapi penyakit INGIN
mendapatkan segala gambaran angan-angan itu? Tentu saja dapat kalu kita
hidup seutuhnya, sepenuhnya menghayati apa adanya! Kalau pikiran kita di
curahkan sepenuhnya kepada apa adanya, maka pikiran itu tidak mempunyai
waktu luang lagi untuk termenung mengkhayalkan gambaran-gambaran
keindahan yang belum ada. Sekali kita di hinggapi penyakit ingin mendapatkan
sesuatu yang dianggap indahdan lebih menyenangkan, maka penyakit itu tidak
akan pernah meninggalkan kita, kecuali kalau kita menghentikan seketika satu
yang diingikan terdapat, timbul lain keinginanyang dianggap lebih baik dan lebih
menyenagkan lagi, dan kita terus terseret ke dala lingkaran setan. Bukan berarti
kita lalu mandeg, statis, berhenti atau mati, tidak kreatif lagi! Melainkan tidak
menginginkan sesuatu yang tidak kita miliki! Dengan cara menghayati segala
yang ada pada kita sehingga kita akan mampu melihat bahwa dalam segala
sesuatu terdapat keindahan itu!

Membiarkan diri muram dan bersedih, menyesali hal-hal yang telah lalu,
sungguh tidak ada gunanya sama sekali! Itu merupakan suatu kebodohan
besar! Menyadari kekeliruan atau kesalahan yang telah dilakukan dalam hidup
adalah suatu kebijaksanaan! Waspada akan diri sendiri sehingga setiap saat
dapat melihat kesalahan diri sendiri, kelemahan dan keburukan diri sendiri,
adalah kebijaksanaan yang mutlak perlu kita miliki. Akan tetapi, kesadaran ini
membuat gerakan spontan, sekaligus dalam kesadaran ini lalu dibarengi
tindakan menghentikan kesalahan atau kekeliruan itu. Bukan lalu menyesali
dan membenamkan diri dalam duka! Sikap seperti tiu sungguh tidak ada
gunanya, tidak ada artinya sama sekali, baik bagi diri sendiri maupun bagi
orang lain, bagi seluruh isi alam mayapada maupun penciptanya, yaitu Sang
Maha Pencipta!

Cinta kita bergelimang nafsu. Karena itu selalu mendatangkan suka duka, puas
kecewa, nikmat sengsara. Cinta kita menumbuhkan ikatan, mencjptakan
belenggu. Cinta kita seperti jual beli di pasar. Kita membeli dengan
pengorbanan diri, kesetiaan, penyerahan, untuk mendapatkan yang lebih
menguntungkan, lebih menyenangkan, yaitu kesetiaannya, pengorbanannya,
penyerahan dirinya, kesenangan-kesenangan yang kita nikmati darinya. Kalau
semua itu tidak terdapat oleh kita sebagai "imbalan", maka cinta kitapun
menguap ke udara dan tidak berbekas lagi, bahkan kadang kala berubah
menjadi benci. Cinta kita selalu menyembunyikan pamrih demi kesenangan diri
sendiri. Adakah cinta tanpa pamrih? Adakah cinta yang tidak mengandung
pengajaran kepentingan diri sendiri? Adakah cinta yang tidak menimbulkan
ikatan, yang memberi kebebasan? Dapatkah kita manusia memiliki cinta kasih
seperti jtu?

kesenangan bukanlah kebahagiaan. Kesenangan hanya merupakan keadaan


sepintas saja, selewat saja, bahkan ada kesenangan yang umurnya amat
pendek. Setelah saat senang itu lewat, maka muncullah kebosanan dan
kekecewaan. Kesenangan hanya sekedar pemuasan nafsu kejnginan. Setelah
tercapai, maka kepuasan itupun hanya sekelumit dan ! baru terasa bahwa apa
yang dicapainya itu, kesenangan yang diidamkannya itu, tidaklah sebesar
ketika dikejarnya.

Kesenangan hanyalah muka yang lain dari kesusahan, ada suka tentu ada
duka, ada puas tentu ada kecewa. Kesenangan hanya merupakan permainan
perasaan yang dikuasai nafsu. Adapun kebahagiaan bukanlah keadaan badan,
melainkan keadaan jiwa! Keadaan jiwa yang bebas dari pada cengkraman
nafsu. Jiwa yang tidak lagi terbungkus dan tertutup nafsu, jiwa yang sudah
terbuka, sudah bersatu dengan Tuhan! Dan hanya kekuasaan Tuhan saja lah
yang akan mampu membersihkan jiwa dari kurungan nafsu! lkhtiar manusia
melalui pikiran dan akal budi tidak mungkin menundukkan nafsu, karena pikiran
dan akal budipun sudah bergelimang nafsu. Tidak mungkin nafsu
menundukkan nafsu. Hanya kekuasaan Tuhan yang akan mampu
membersihkan jjwa yang bergelimang nafsu, atau jiwa yang tertutup oleh
kekuasaan gelap, kekuasaan nafsu yang memikat manusia dengan segala
macam bentuk kesenangan badani atau kesenangan pikiran dan hati.

Panca indera, pikiran, hati dan akal budi hanyalah alat pelengkap hidupnya
jiwa dalam badan. Namun sungguh sayang, karena badan diperalat nafsu dan
daya rendah, maka jiwa seperti tertutup dan terbungkus. Bagaimana mungkin
kita membersihkan jiwa kita, betapa mungkin kita menundukkan nafsu kalau
"kita" ini sudah bergelimang dengan nafsu? Hanya kekuasaan Tuhan yang
akan mampu membersihkan jiwa kita, dan satu-satunya ikhtiar yang dapat kita
lakukan hanyalah menyerah kepada Tuhan Yang Maha Kasih! Penyerahan
yang berarti keimanan yang mutlak, penyerahan total, dengan penuh
kesabaran, keikhlasan dan ketawakalan.

Duka timbul dari pikiran yang penuh dengan perasaan iba diri. Pikiran
mengenang masa lalu yang penuh dengan kegagalan, membayangkan masa
depan yang penuh kesuraman, maka pikiran atau si aku merasa iba kepada diri
sendiri, merasa nelangsa dan sengsara. Maka datanglah rasa duka, duka
menghilangkan kewaspadaan, melenyapkan arti hidup. Hidup bukanlah
sekedar membiarkan diri diseret ke dalam lamunan, membiarkan diri
dipermainkan pikiran! Hidup adalah kenyataan apa yang ada, tidak perduli
kenyataan itu menyenangkan atau menyusahkan. Yang senang , atau yang
susah itu adalah pikiran, si-aku yang selalu menghendaki keenakan dan
menghindarkan ketidak enakan. Kenyataan hidup adalah seperti apa adanya,
dan menerima kenyataan apa adanya inilah seni paling indah, paling agung dan
paling murni dari kehidupan. Menerima kenyataan seperti apa adanya, tanpa
menilai! Tanpa mengeluh Melainkan menyerahkan kepada Tuhan! Tuhan Maha
Kuasa, Maha Bijaksana, Maha Kasih! Hanya Tuhan yang akan mampu
membimbing kita, lahir maupun batin. Kewajiban kita dalam hidup hanyalah
untuk mempergunakan segala alat yang ada pada tubuh ini sebagaimana
mestinya. Panca-indera untuk bekerja seperti yang telah ditentukan dalam
tugas masing-masing, termasuk pikiran yang sesungguhnya merupakan alat
untuk berpikir, untuk bekerja, untuk dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat,
baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Pikiran bukan alat untuk menyeret
kita ke dalam lamunan kosong tentang suka duka. Kita tidak mungkin dapat
membersihkan pikiran yang bergelimang dengan daya-daya rendah, pikiran
yang penuh nafsu, pikiran yang penuh dengan keinginan untuk mengejar enak
sendiri. Tak mungkin, karena "kita" yang ingin membersihkan ini juga pikiran itu
sendiri! Dan selalu keinginan pikiran hanya bersumber pada satu pamrih, yaitu
mengejar keenakan untuk diri sendiri. Dapat saja pikiran menciptakan akal
bermacam-macam seperti sebutan muluk-muluk, bertapa, mengasingkan diri,
mengheningkan cipta dan segala macam cara lagi untuk membersihkan batin.
Namun, semua itu adalah pekerjaan pikiran, pekerjaan si-aku, usaha dari nafsu
pula karena pikiran itu sendiri bergelimang nafsu, dikemudikan nafsu. Di balik
semua usaha itu terdapat satu pamrih, yaitu sifat dari nafsu, ialah untuk
mengejar keenakan bagi diri sendiri! Karena itu, tidak mungkin kita
membersihkan pikiran, tidak mungkin nafsu mengendalikan atau mengalahkan
nafsu. Semua ini hanya akal-akalan saja, akalnya si akal-pikir!
Satu-satunya kenyataan adalah bahwa yang dapat merubah segalanya itu,
yang dapat membersihkan jiwa dari cengkeraman nafsu, yang dapat
menempatkan semua alat tubuh luar dalam kepada kedudukan dan tugas
mereka masing-masing secara utuh dan benar, hanyalah KEKUASAAN
TUHAN! Dan kekuasaan Tuhan akan bekerja kalau si -aku, yaitu hati dan akal
pikiran kita tidak bekerja! Dan kekuasaan Tuhan akan bekerja kalau kita
menyerah kepadaNya, menyerah dengan penuh ketawakalan, kepasrahan dan
keiklasan, menyerah dengan kesabaran. Kehendak Tuhanpun jadilah! Itu satu-
satunya kenyataan yang mutlak. Dalam kepasrahan lahir batin ini, kita akan
menerima semua kenyataan hidup sebagai kehendak Tuhan, dan karenanya
kita menghadapinya tanpa keluhan, tanpa celaan. Bukan berarti kita lalu acuh
dan mandeg. Sama sekali tidak! Kita pergunakan semua alat tubuh luar dalam
untuk berusaha! Tuhan yang akan memberi bimbingan dan tuntunan. Kalau
sudah begini, apapun yang terjadi, tidak menimbulkan penasaran atau keluhan,
apa lagi duka. Selain ingat dan waspada. Ingat kepada Tuhan dan
kekuasaanNya yang mutlak, menyerah, dan waspada terhadap setiap gerak
langkah kita dalam hidup, waspada terhadap pikiran kita, terhadap ucapan kita,
terhadap perbuatan kita, seperti kewaspadaan seorang yang memegang
kemudi kendaraan. Dan Tuhan Maha Kasih!

hamba dari pada ke-akuan yang menghinggapi hampir seluruh manusia di


permukaan bumi ini. Orang yang sedang tertimpa malapetaka, yang sedang
merasa sengsara, sedang berduka, akan merasa terhibur dan berkurang
kedukaannya kalau ia melihat orang lain, apa lagi yang dekat dengan dia,
tertimpa kemalangan yang lebih besar dari pada kemalangan yang menimpa
dirinya sendiri! Dan orang yang sudah diperbudak ke-akuannya sendiri itu yang
merasa terhibur dan berkurang kedukaannya kalau melihat orang lain tertimpa
kedukaan yang lebih besar, tentu akan merasa tak senang dan iri hati kalau
melihat orang lain memperoleh keuntungan yang lebih besar dari pada
keuntungan yang diperolehnya sendiri. Seperti inilah kelemahan manusia yang
tercengkeram nafsu-nafsunya sendiri. Nafsu selalu mendorong kita untuk
menjadi yang paling baik, paling besar, paling penting dan tidak kalah oleh
orang lain! Berbahagialah orang yang dapat melihat, merasakan, dan
menyadari kelemahan yang ada pada dirinya ini. Karena hanya mereka yang
waspada dan sadar sajalah dapat melihat ulah nafsu yang ada pada diri sendiri.

Pagi itu cerah dan pemandangan alam amatlah indahnya. Matahari pagi sudah
tersenyum lembut di atas puncak, sinarnya juga lembut dan hangat di antara
kesejukan semilir angin gunung. Bau rumput dan daun cemara yang khas
sungguh nyaman dan harum menyenangkan, keharuman yang lembut,
membuat hidung terasa segar dan lega. Kicau burung-burung yang sudah sibuk
sejak matahari timbul tadi, seperti ribuan karyawan yang siap melaksanakan
tugas pekerjaan sehari-hari di pagi itu, memulai pekerjaan dengan semangat
berkobar dan hati penuh kebahagiaan, merupakan suara yang merdu dan
gembira, menjadi santapan pagi yang amat sehat bagi telinga. Betapa
nikmatnya hidup kalau pada suatu saat, tiga di antara alat panca indriya kita,
yaitu mata hidung dan telinga, menikmati keindahan bersama-sama. Mata
menikmati pemandangan alam yang mentakjubkan, penuh pesona dan penuh
kegaiban. Hidung menghirup udara yang amat sejuk segar, jernih bersih,
dengan keharuman yang khas alami, membuat napas yang dihisap itu penuh
tenaga mujijat dari alam, memenuhi rongga dada bahkan terus sampai ke
bawah pusar, menyehatkan dan membahagiakan. Telinga pada saat yang
sama mendengarkan suara yang penuh kedamaian, penuh ketentraman, penuh
kewajaran dan keindahan. Betapa nikmatnya hidup! Dalam keadaan seperti itu,
hati dan akal pikiran berhenti berceloteh dan segala sesuatu nampak indah.
Suara angin bermain dengan daun-daun cemara, suara air gemercik di antara
batu-batu, kicau burung, kokok ayam hutan, semua itu merupakan
pendengaran yang seolah-olah bunyi-bunyian merdu dari sorga! Bau tanah
bermandikan embun saja sudah demikian sedap dan harumnya, masuk ke
rongga dada melalui hidung, demikian harum menyegarkan! Dan melihat kupu-
kupu berwarna-warni beterbangan di antara bunga-bunga, melihat burung-
burung berloncatan dari dahan ke dahan, bahkan melihat embun sebutir
bergantung pada ujung daun, berkilauan tercuci sinar matahari pagi, sudah
merupakan penglihatan yang indahnya sukar dilukiskan!

Sayang, sungguh sayang sekali bahwa sejak kecil kita sudah dijejali
kesenangan-kesenangan pemuas nafsu sehingga kita menjadi mabuk.
Kesenangan badani yang semu, yang hanya merupakan pelampiasan dari
pada hasrat nafsu, membuat kita mabok dan tidak lagi dapat melihat segala
keindahan, tidak dapat mendengarkan segala kemerduan dan tidak lagi mampu
menghirup segala kesedapan yang segar. Kita terbuai oleh kesenangan
tuntutan nafsu. Hati dan akal pikiran kita selalu berceloteh dan sibuk dengan
urusan pengejaran kesenangan nafsu. Kalaupun kadang-kadang kita dapat
merasakan keagungan dan keindahan itu, segera hati dan akal pikiran datang
mengacau dan seketika lenyaplah semua keindahan itu karena batin telah
disibukkan kembali dengan urusan kesenangan diri, kesenangan dari
pelampiasan nafsu keinginan!

Perbuatan yang dianggap baik oleh pelakunya, apa lagi dianggap sebagai budi
oleh pelakunya, bukanlah perbuatan baik lagi, melainkan suatu cara untuk
memperoleh sesuatu. Kalau kita menolong orang lalu kita menganggap bahwa
pertolongan yang kita berikan itu sebagai budi, bukankah itu sama saja dengan
menghutangkan sesuatu untuk kelak ditagih dan diharuskan membayar kembali
berikut bunganya? Baik buruk hanya penilaian, dan penilajan selalu didasari
kepentingan pribadi. Kalau segala sesuatu yang kita lakukan didasari cinta
kasih, maka tidak ada pamrih lain, tidak ada lagi yang dinamakan budi dan
dendam! Budi maupun dendam hanyalah ikatan, perhitungan untung rugi dari
hati akal pikiran yang bergelimang nafsu.
Penyesalan tidak ada gunanya! Perbuatan yang dilakukan melalui pemikiran,
selalu ditunggangi nafsu pementingan diri sendiri karena pikiran adalah si-aku
yang sudah bergelimang nafsu. Yang penting adalah kewaspadaan
pengamatan terhadap diri sendiri lahir batin karena pengamatan sepenuhnya
tanpa si-aku yang mengamati ini menimbulkan kesadaran. Tidak mungkin kita
mengubah sifat dan watak kita melalui pemikiran, karena pemikiran tak
mungkin dapat lepas dari pengaruh nafsu daya rendah. Setiap orang mudah
saja menyadari dan mengetahui bahwa perbuatannya tidak benar, namun
setiap kali memikiran berniat mengubahnya, setiap perbuatan itu diulang dan
pikiran yang berniat mengubah tadipun menipis dan lenyap. Tidak mungkin
pikiran dapat mencuci kekotoran perbuatan karena justeru perbuatan itu sudah
dikendalikan oleh pikiran, dan pikiran itu bergelimang nafsu. Bagaimana
mungkin mencuci bersih sesuatu yang kotor dengan menggunakan air yang
kotor pula?
Yang dapat membersihkan batin, yaitu hati dan akal pikiran, hanyalah kekuatan
Tuhan! Kita yang merasa bergelimang kekotoran, yang sudah dikuasai oleh
nafsu daya rendah, hanya tinggal menyerah kepada kekuasaan Tuhan! Biarkan
kekuasaan Tuhan yang mencuci kotoran itu, biarkan kekuasaan Tuhan yang
membimbing dan membersihkan batin kita. Kalau batin sudah bersih, maka
terbukalah jendela dan pintu batin kita untuk menerima masuknya sinar cinta
kasih. Kalau sudah begitu, maka setiap perbuatan kita diterangi oleh sinar cinta
kasih. Lalu ke mana perginya nafsu daya rendah? Tidak pergi! Masih ada dan
masih penting bagi kehidupan kita. Namun, nafsu daya rendah tidak lagi
menjadi majikan, melainkan menjadi alat, menjadi pelayan untuk kepentingan
hidup di dunia ini. Bukan lagi menjadi liar, karena kalau nafsu daya rendah yang
memegang kemudi, kita akan disesatkan ke arah pengejaran kesenangan
nafsu sehingga menghalalkan segala cara, melakukan segala yang sifatnya
merusak dan yang pada umumnya disebut jahat.

Yang terbujur itu adalah sesosok mayat, alat yang di waktu hidupnya dijadikan
perebutan antara daya-daya rendah yang menguasai seluruh anggauta badan.
Tubuh yang semestinya menjadi alat bagi kehidupan jiwa yang mendiaminya,
akhirnya menjadi budak nafsu. Bahkan pikiran yang menjadi kusir pemegang
kendali juga telah dikuasai kuda-kuda nafsu. Badan bagaikan kereta. Baik
kereta badan, kuda-kuda nafsu, kusir dan kendalinya, semua semestinya
menjadi hamba dan alat yang melayani jiwa. Tanpa adanya kuda-kuda nafsu,
maka kereta badan takkan dapat bergerak maju. Tanpa adanya kusir pikiran
dan kendalinya, segalanya akan kacau dan rusak arahnya. Akan tetapi kalau
kuda-kuda nafsu itu tidak terkendali lagi, dan menjadi liar, maka nafsu akan
kabur sesukanya dan kalau sampai terjerumus ke dalam jurang, segalanya ikut
menderita. Bukan hanya keretanya, juga penghuni kereta, Sang Jiwa.
Sebaliknya, kalau jiwa yang menjadi majikannya, dan semua alat itu hanya
menjadi hambanya, barulah jiwa itu dapat menjadi seorang manusia yang
seutuhnya. Hanya kalau jiwa ini dapat bersatu dengan sumbernya, yaitu Tuhan
Yang Maha Kuasa, Allah Yang Maha Kasih, maka jiwa akan mendapatkan
kembali kekuasaannya atas semua hambanya, yaitu jasmani.

"Beruntunglah orang yang sakit dapat sembuh dari penyakitnya. Sebaliknya,


berhati-hatilah orang yang sehat karena sewaktu-waktu dia dapat saja
dihinggapi suatu penyakit. Saya lebih menghargai orang jahat yang menyadari
kejahatannya lalu bertaubat, dari pada orang baik yang membanggakan dan
menyombongkan kebaikannya sehingga takabur.
Wejangan Song Lo Jin :
Tuhan selalu bekerja, tak pernah berhenti sedetik pun. Dan pekerjaan Tuhan
selalu sempurna, walaupun lika-likunya banyak yang merupakan rahasia bagi
kita, atau belum kita mengerti. Kalau ada bagian pekerjaan Tuhan yang sudah
kita mengerti benar, barulah kita ketahui bahwa hasil pekerjaan Tuhan itu
sempurna, seperti Tuhan adalah Maha Sempurna!

DONGENG SONG-LO-JIN tentang KEBIJAKSANAAN TUHAN

Ada seorang janda yang hidup berdua saja dengan seorang puteranya yang
baru berusia lima tahun. Janda itu beribadat dan saleh, tak pernah menyimpang
dari jalan kebenaran sehingga terkenal sebagai seorang janda yang berbudi
baik. Puteranya juga lucu dan mungil sehingga biarpun janda itu hanya hidup
berdua, ia cukup bahagia. Akan tetapi, pada suatu hari, puteranya jatuh sakit
dan usaha apa pun yang dilakukan janda itu untuk menyembuhkan puteranya,
gagal.
Anak itu meninggal dunia! Hancur luluh perasaan hati janda itu. Ratap
tangisnya terhadap Tuhan untuk minta pertolongan sejak puteranya jatuh sakit,
kini berubah menjadi ratap tangis penyesalan.
Bahkan demikian hebat kedukaannya sehingga ia berani menegur Tuhan
dalam tangisnya, mengapap Tuhan begitu kejam, mengambir satu-satunya
anak, satu-satunya pelipur hatinya, teman hidupnya. Mengapa Tuhan
membalas semua kebaktiannya dengan siksaan. Dalam tangisnya, ia
mengatakan bahwa Tuhan tidak adil!
Saking sedihnya, ia jatuh pingsan. Para tetangga mengangkatnya dan
merebahkan tubuhnya di atas pembaringan. Tak jauh dari jenazah puteranya.
Dan dalam pingsannya itu, semangat janda yang dilanda penasaran itu
melayang naik mencari Tuhan! Ia bertelat untuk menghadap Tuhan untuk
memprotes kematian puteranya! Dan semangatnya yang melayang-layang itu
bertemu dengan malaikat yang diutus Tuhan menjemputnya.
“Janda saleh, hendak kemanakah engkau?” tanya malaikat.
“Aku ingin mencari Tuhan. Aku ingin menghadap Tuhan!” jawabnya.
“Mengapa?”
“Aku ingin memprotes, ingin menyatakan penasaran hatiku. Sejak kecil aku
selalu beribadat, tak penah lupa sembahyang dan memuji nama Tuhan, tidak
pernah melakukan kejahatan karena aku takut kepada Tuhan, selalu ingin
menyenangkan Tuhan dengan perbuatan yang baik. Akan tetapi, ketika masih
muda dan mempunyai anak seorang, Tuhan mengambil suamiku. Hal itu masih
kuterima dengan penuh ketawakalan, aku menyerah atas kehendak Tuhan. Aku
hidup menjanda dengan puteraku yang kuanggap sebagai anugerah Tuhan.
Aku selalu berterima kasih dan menjaga diri agar jangan sampai membikin
marah Tuhan dengan perbuatan yang mengandung dosa. Akan tetapi,
mengapa kini Tuhan mengambil puteraku? Mengapa Tuhan begitu kejam
terhadap aku? Nah, aku akan menghadap Tuhan dan memprotes! Mengapa
kehidupan orangorang yangberdosa bahkan jauh lebih beruntung daripada
kehidupanku, seorang yangselallu memuja Tuhan?”
Malaikat itu membiarkan sang janda bicara sampai habis, mengeluarkan semua
isi hatinya yang penuh duka dan penasaran. Kemudian, malaikat itu
membimbingnya ke atas awan, lalu berkata dengan lembut.
“Janda yang saleh. Sebelum kaulanjutkan protesmu kepada Tuhan, kami ingin
memperlihatkan sesuatu. Nah, kau tengoklah disana itu!” Sang malaikat
menunujuk ke arah langit biru di barat.
Sang janda melihat ke arah langit yang ditunjuk dari atas gumpalan awan putih
itu dan ia pun melihat pemandangan yang mengherankan. Ia melihat kehidupan
di dunia ramai! Dilihatnya seorang pemuda yang tampan dan gagah sedang
melakukan perbuatan yang mengerikan.
Pemuda itu dengan bengis dan kejamnya menyerang orang-orang, membunuh
dan merampok, bahkan memperkosa. Pemuda itu demikian garang dan
demikian jahat, bagaikan iblis sendiri sehingga sang janda tidak sanggup lagi
menyaksikan kekejaman-kekejaman yang luar biasa itu dan ia memalingkan
mukanya, tidak sudi melihat lagi.
“Betapa kejamnya! Betapa jahatnya! Kenapa aku yang sudah menderita duka
ini di haruskan menyaksikan perbuatan yang demikian kejam dan jahat?
Siapakah pemuda yang jahat itu?”
“Ketahuilah olehmu, janda yang baik budi. Pemuda itu adalah puteramu, kalau
dia dibiarkan menjadi dewasa kelak.”
Wanita itu terbelalak dan menutup mulut dengan tangan seolah hendak
menjaga agar ia jangan menjerit, membalik dan memandang lagi ke arah
pemuda itu yang masih mengamuk itu. “Ya Tuhan!
Ampunilah hamba Ya Tuhan ….. jangan ….. jangan …..! Hentikanlah
perbuatannya ….. !” Dan ia pun menangis tersedu-sedu, menutupi mukanya
dengan kedua tangan.
“Lihatlah kenyataan, janda yang baik dan sadarilah mengapa kini Tuhan
menghendaki ankmu mati dalam usia kecil. Karena engkau, ibunya, seorang
wanita yang saleh dan baik budi, maka Tuhan tidak menghendaki engkau
tersiksa kelak oleh perbuatan anakmu. Nah, sekarang bagaimana?
Apakah engkau masih menghendaki agar anakmu dihidupkan kembali dan
dibiarkan menjadi dewasa?”
“Tidak …. tidak …….! Biarlah dia mati sekarang, aku …. aku rela ….., jangan
sampai dia menjadi jahat seperti itu ….”

(Semua peristiwa yang terjadi pada diri setiap manusia, merupakan suatu
kenyataan, suatu kebenaran, suatu keputusan Tuhan yang Maha Adil, Maha
Bijaksana, Maha Kasih. Manusia wajb berikhtiar dengan cara yang benar untuk
mempertahankan hidupnya, bahkan untuk menikmati hidupnya.
Namun, hasil atau gagalnya ikhtiar itu, hanya Tuhan yang menentukannya.
Apapun yang terjadi adalah kehendak Tuhan! Kalau kita anggap peristiwa yang
menimpa kita menyenangkan, kita patut bersyukur atas kasih sayang Tuhan.
Kalau kita anggap menyusahkan, kita tidak perlu mengeluh, melainkan
menerimanya dengan penuh kesadaran bahwa apa yang terjadi sudah
kehendak Tuhan dan pasti ada sebabnya, bahkan ada hikmahnya. Mungkin
merupakan hukuman atau buah dari pohon yang ditanamnya sendiri. Mungkin
merupakan cobaan atau ujian. Tidak ada manfaatnya mengeluh, sebaliknya
harus bersyukur dan menyerah kepada Tuhan Maha Kasih!)

Betapa nikmat dan indahnya hidup ini apabila pikiran tidak dilanda prahara! Hay
Hay berjalan-jalan di pegunungan yang sunyi itu, menikmati keindahan alam
senja. Matahari condong ke barat, meninggalkan cahaya kemerahan yang amat
indah di langit barat. Langit seperti di sepuh emas, ada warna emas, biru dan
putih perak yang indah dilatarbelakangi warna merah redup. Pada saat itu,
pikirannya kosong, tidak terisi ingatan apapun, tidak muncul kenangan apapun,
tidak timbul pendapat dan penilaian. Kelima alat jasmaninya bekerja dengan
sepenuhnya. Matanya memandang semua yang terbentang di depannya tanpa
menilai. Tidak ada sebutan indah dalam pikiran, namun yang nampak
mendatangkan perasaan yang tak dapat dilukiskan bagaimana. Mungkin itulah
perasaan damai dan tenteram, semua yang nampak ditelan dalam ingatan.
Telinganya menangkap suara burung yang berkelompok beterbangan kembali
ke sarang mereka, nyanyian katak diperairan yang berdendang menyambut
datangnya malam. Hidungnya menyambut semua ganda yang segar dari
pohon-pohon, rumput dan tanah, diselingi keharuman kembang di sana-sini,
menghirup udara yang memenuhi dadanya sepenuh-penuhnya sampai ke
ujung pusar.

Dongeng Bu Beng Lojin (Orang Tua Tanpa Nama)


Tentang Basehat Sang Buddha

Seorang wanita kematian anak tunggalnya. Siapapun tahu bahwa cinta kasih
seorang ibu kepada anak tunggalnya adalah cinta kasih yang paling murni di
antara segala macam cinta kasih di dunia ini. Maka berdukalah wanita itu dan
diapun pergi menghadap Sang Buddha, memohon kepada Buddha untuk
menghidupkan kembali anak tunggalnya. Dengan tenang Sang Buddha lalu
menyuruh wanita itu untuk minta segenggam gandum dari sebuah keluarga
yang belum pernah mengalami kematian, karena hanya itulah obatnya yang
dapat menghidupkan anaknya yang mati. Ibu itu berkelana, akan tetapi biarpun
dia akan pergi mengelilingi dunia, di mana ada keluarga yang belum pernah
kematian anggauta keluarganya? Akhirnya dia kembali kepada Sang Buddha
dan insafkan. Kematian adalah suatu hal yang wajar bagi kehidupan. Ada hidup
ada mati. Mengapa kematian harus didukakan benar? Bukankah kita semua
akhirnya akan mati pula? Engkau dan pincengpun tidak akan terluput dari
kematian. Mengapa kini ada yang mati engkau menyiksa diri dengan
kedukaan? Apakah kedukaanmu itu akan dapat menghidupkannya kembali,
orang muda?"
Percakapan Si mata Keranjang dengan Bu Beng Lojin tentang Kebahagiaan.

“Bu Beng Lojin (Orang Tua Tanpa Nama)? Itukah sebutan untuk kakek?” Hay
Hay bertanya.
“Heh-heh-heh-heh, tidak ada sebutan apa-apa. Dan tempat tinggalku adalah di
mana tubuh ini berada. Rumahku alam ini, atap rumahku langit, lantaiku bumi,
dindingku empat penjuru, heh-heh.
Adakah yang lebih indah daripada alam ini? Adakah lauk yang lebih lezat dari
pada lapar? Adakah tempat tidur yang lebih enak daripada kantuk? Adakah
yang lebih kaya daripada yang tidak menginginkan apa-apa?”
Hay Hay memandang kagum. Mungkin kakek ini seorang yang memiliki jasmani
yang lemah, akan tetapi dia tidak melihat jiwa dan semangat yang lemah!
“Kakek yang bijaksana, saya merasa beruntung sekali dapat bertemu dan
bercakap-cakap dengan kakek di sini. Nama saya Hay Hay dan juga seperti
kakek, saya tidak mempunyai rumah tinggal yang tetap. Setelah berjumpa
denganmu, saya yakin akan menemukan jawaban dari banyak pertanyaan
tentang kehidupan yang selama ini mengganggu hatiku. Kakek yang baik,
maukan kakek menerangkan, apakah bahagia itu dan bagaimana saya bisa
memperolehnya?”
Kakek itu terkekeh-kekeh, seolah pertanyaan Hay Hay itu terdengar lucu sekali.
“Heh-heh-heh, mari kita duduk, orang muda. Mari kita bicara. Angin bicara pada
pohon dan daun, burung-burung bicara, alam bicara, akan tetapi siapa mau
mendengarkannya? Kulihat engkau bersungguh untuk mengetahui, marilah kita
sama-sama menyelidikinya. Mari kita renungkan dan bicarakan, apa sih artinya
bahagia itu? Orang muda, pernahkah engkau berbahagia?”
Hay Hay termenung, mengingat-ingat. Baru-baru saja ini ketika dia berada di
samping Kui Hong, melakukan perjalanan bersama gadis yang dicintanya,
bercakap dan bergurau, dia merasa berbahagia sekali! Akan tetapi ketika
perjodohan itu tak disetujui keluarga Kui Hong dan dia terpaksa meninggalkan
gadis itu, dia merasa berduka sekali. Akan tetapi, kedukaan itu pun lewat begitu
saja dan kini sudah hampir tak berbekas. Banyak suka duka seperti itu
dialaminya sepanjang hidupnya, susah senang silih berganti mengisi hidupnya.
Akan tetapi bahagia?
“Entahlah, Kek. Pernah aku merasa seperti berbahagia, akan tetapi di lain saat
perasaan itu lenyap berganti duka dan sengsara. Aku tidak tahu apakah itu
perasaan bahagia ataukah bukan?
“Yang berganti duka adalah suka, orang muda. Yang berganti susah adalah
senang. Senang susah memang menjadi bagian daripada isi kehidupan ini,
yang satu tak terpisahkan dari yang lain, sambung menyambung dan susul
menyusul, seperti siang dan malam, terang dan gelap, atas dan bawah, langit
dan bumi. Kalau ada yang satu, pasti ada yang lain. Bagaimana orang akan
dapat mengenal suka kalau dia tidak mengenal duka dan demikian sebaliknya.
Adanya yang satu memang untuk melengkapi yang lain, bahkan yang satu
menciptakan yang lain. Sejak kita masih kanak-kanak, sejak pikiran kita
bekerja, kita sudah mengalami suka duka, senang susah itu yang ditandai
dengan tawa dan tangis!”
“Engkau benar, Kakek yang mulia. Yang kurasakan itu hanyalah kesenangan
dan kesusahan, kepuasan dan kekecewaan. Akan tetapi, apakah kebahagiaan
itu, Kek?”
Kakek itu tersenyum memperlihatkan mulut ompongnya yang nampak bersih
dan sehat. "Orang muda, kalau kita belum pernah bertemu dengan seseorang,
bagaimana mungkin kita mengenalnya? Kalau kita belum pernah makan garam,
bagaimana mungkin kita mengetahui rasanya? Kalau kita belum pernah
berbahagia, bagaimana kita dapat menceritakan apakah kebahagiaan itu?
Seperti kita pernah alami, yang kita rasakan hanyalah senang dan susah, dan
kedua perasaan itu baru timbul setelah kita menilai. Suatu peristiwa tidaklah
disebut Susah atau senang sebelum kita menilainya. Susah atau senangnya
tergantung dari hasil penilaian. Bukankah demikian? Karena itu, senang dan
susah bukanlah suatu kenyataan, melainkan hasil penilaian pikiran. Pikiran
bergelimang nafsu, maka dengan sendirinya penilaiannya didasari kepentingan
diri pribadi. Yang menguntungkan menimbulkan senang, yang merugikan
menimbulkan susah. Jelas bahwa penilaian adalah palsu, dan hasilnya, susah
senang pun hanya bayangan palsu belaka."
"Maaf, Kek. Maukah engkau menjelaskan tentang palsunya susah senang yang
timbul karena penilaian palsu sebagai hasil kerja pikiran bergelimang nafsu?"
"Contohnya hujan, orang muda. Hujan itu suatu peristiwa, tidak ada kaitannya
dengan susah senang. Hujan itu suatu kenyataan, suatu kewajaran, suatu bukti
kekuasaan Tuhan. Akan tetapi kita menilainya. Kalau di waktu kita menilai itu
kita membutuhkan air hujan, maka hal itu dianggap menguntungkan dan
karenanya kita menjadi senang dengan turunnya hujan. Akan tetapi kalau di
lain saat kita terganggu oleh turunnya hujan, penilaian kita sudah berbalik, kita
dirugikan dan kita menjadi susah. Kalau pada hujan pertama kita menganggap
hujan itu baik dan menyenangkan, di lain kali kita menganggap hujan itu buruk
dan menyusahkan. Nah, nampak sekali kepalsuan penilaian itu, bukan?"
Hay Hay mengangguk-angguk, mengerti, "Kita sudah menyelidiki tentang
senang-susah yang hanya menjadi akibat daripada penilaian yang didasari
nafsu kepentingan diri pribadi. Jadi kesenangan bukanlah kebahagiaan. Lalu
apakah kebahagiaan itu, Kek?"
"Nah, itulah. Bagaimana menceritakan tentang asinnya garam kepada orang
yang tidak pernah makan garam? Semua orang agaknya mencari-cari
kebahagiaan, heh-heh-heh."
"Benar, Kek. Semua orang haus akan kebahagiaan."
"Engkau juga, orang muda?"
"Tentu saja, Kek. Siapa orangnya yang tidak ingin berbahagia dalam
hidupnya.?"
"Di sanalah letak rahasianya, orang muda. Kebahagiaan tidak akan mungkin
ada bagi orang yang mencari dan mengejarnya!"
"Ehh? Kenapa begitu, Kek?"
"Karena keinginan memperoleh kebahagiaan itu sendiri adalah nafsu, dan
selama nafsu menguasai hati dan akal pikiran, maka yang dikejar itu tiada lain
hanyalah kesenangan, yang menyenangkan, dan kita tahu tadi bahwa pengejar
kesenangan sudah pasti akan bertemu pula dengan kesusahan, saudara
kembarnya."
"Kalau begitu, lalu bagaimana kita dapat memperoleh kebahagiaan, Kek?"
"Ho-ho-heh-heh," kakek itu tertawa. "Pertanyaanmu itu bukankah mengandung
keinginan untuk mengejar kebahagiaan pula?"
Hay Hay menjadi bengong dan bingung. "Habis, lalu apa yang harus kita
lakukan, Kek?"
"Tidak ada yang harus melakukan apa-apa. Mari kita simak dengan teliti, orang
muda. Sekarang jawab sejujurnya, mengapa kita mencari kebahagiaan?
Mengapa engkau menginginkan kebahagiaan?"
Ditanya demikian, Hay Hay termenung. Ya, mengapa? Sukarnya mencari
jawaban! Mengapa dia mendambakan kebahagiaan? Tiba-tiba wajahnya
berseri dan dia menjawab, "Karena aku merasa tidak berbahagia, Kek! Kukira
semua orang juga demikian. Mereka tidak berbahagia, maka mendambakan
kebahagiaan!"
"Tepat sekali. Memang agaknya demikianlah, jawaban itu jujur dan sewajarnya.
Kita selalu mencari kebahagiaan, tentu saja yang menjadi sebabnya adalah
karena kita tidak berbahagia, atau lebih tepat karena kita MERASA tidak
bahagia! Nah, dalam keadaan tidak berbahagia kita mengejar kebahagiaan,
bagaimana mungkin itu? Keadaan tidak berbahagia merupakan kenyataan apa
yang ada, sedangkan kebahagiaan masih merupakan khayalan, harapan.
Bagaimana mungkin yang kotor ingin bersih? Bagaimana mungkin yang sakit
ingin sehat? Yang penting, bukankah lebih tepat kalau kita mencari sebab
penyakit itu, mencari penyebab yang membuat kita tidak sehat, dan
menyembuhkan penyakit itu? Demikian pula, lebih tepat kalau kita menyelidiki,
APA yang menyebabkan kita tidak merasa berbahagia. Kalau penyebab itu
sudah lenyap, kalau kita sudah tidak sakit lagi, apakah kita membutuhkan
kesehatan? Demikian pula kalau tidak ada sesuatu yang menyebabkan kita
TIDAK berbahagia apakah kita butuh lagi kebahagiaan? Yang mencari air
minum adalah mereka yang haus, yang tidak haus tentu tidak butuh air minum."
Hay Hay memandang wajah kakek itu dengan sinar mata berseri dan wajahnya
penuh senyum maklum. "Jelas sekali, Kek. Yang tidak merasa lagi bahwa dia
tidak bahagia, tentu tidak kebahagiaan, karena DIA SUDAH BERBAHAGIA!"
"Nah, jadi yang merasa tidak berbahagia, kemudian yang mengejar-ngejar
kebahagiaan, bukan lain adalah hati akal pikiran yang bergelimang nafsu, yang
menamakan diri sendiri si-aku yang mengaku-aku.”
"Kalau begitu, Kek. Kebahagiaan itu sudah ada pada kita. Akan tetapi karena
kita tidak merasakannya? Kenapa kita tidak merasa berbahagia walaupun tidak
ada apa-apa yang mengganggu?"
"Itulah kelemahan kita manusia. Dalam keadaan sehat tanpa ada gangguan
penyakit, jarang ada orang yang menyadari kesehatannya dan kalau dia
terganggu penyakit, barulah dia membayangkan betapa senang dan indahnya
kalau dia sehat. Demikian pula dengan kebahagiaan. Kalau ada sesuatu yang
terjadi, yang membuat dia merana dan merasa tidak berbahagia, dia menjadi
haus akan kebahagiaan! Selama hati akal pikiran masih bergelimang nafsu, kita
akan selalu haus akan sesuatu yang lebih, dan tidak pernah merasa puas
dengan yang ada. Pengejaran akan sesuatu yang lebih, yang ada. Pengejaran
akan sesuatu yang lebih, yang dianggap akan membahagiakan itulah
penghancur kebahagiaan. itu sendiri."
"Aih, kalau begitu, biang keladinya adalah nafsu, Kek. Pantas saja para cerdik
pandai bertapa dan mengasingkan diri untuk mengendalikan nafsu, untuk
memerangi nafsunya sendiri."
"Siapa yang berhasil? Bagaimana mungkin hati akal pikiran yang bergelimang
nafsu ini dapat melakukan usaha untuk membersihkan diri sendiri dari
gelimangan nafsu? Kita hanya akan terseret dalam lingkaran setan, orang
muda. Hasil usaha dari nafsu tentu saja juga masih mementingkan diri sendiri,
berpamrih, dan bahkan akan memperkuat cengkeraman nafsu. Kita sebagai
manusia hidup tak mungkin melenyapkan nafsu. Kita membutuhkan nafsu
untuk hidup.
Tanpa adanya nafsu, kita tidak akan menjadi manusia."
"Wah, wah! Kalau begini bagaimana, Kek? Nafsu mencelakakan kita, akan
tetapi kita tidak dapat hidup tanpa nafsu! Lalu bagaimana?"
"Nafsu laksana api, orang muda. Kalau menjadi pelayan, dia akan amat
berguna, sebaliknya kalau menjadi majikan, dia akan berbahaya. Nafsu itu
pelayan yang setia dan majikan yang kejam. Nafsu adalah alat, harus kita
peralat, maka akan nampak kegunaannya. Akan tetapi, sekali dia yang
memperalat kita, akan binasalah kita. Jadi, nafsu harus kita pertahankan
sebagai pelayan, jangan sampai menjadi majikan."
"Tapi, bukankah usaha kita adalah usaha hati akal pikiran yang bergelimang
nafsu? Lain siapa yang akan mampu mempertahankan agar nafsu menjadi alat
atau pelayan?"
"Kita, memang lemah. Biarpun kita waspada dan menyadari tetap saja kita tidak
akan kuat melawan desakan nafsu kita sendiri. Oleh karena itu, satu-satunya
kekuasaan yang akan mampu mengembalikan nafsu kepada tugasnya semula,
hanyalah Sang Maha Pencipta! Hanya kekuasaan Tuhan yang mampu, karena
kekuasaan Tuhan pula yang menciptakan nafsu sebagai alat manusia hidup di
dunia."
"Tuhankah yang menciptakan nafsu yang membuat manusia menyeleweng dan
menjadi jahat?"
Kakek itu tertawa. "Ha-ha-ho-ho, kau kira siapa ? Segala yang ada di alam
mayapada ini, yang nampak maupun yang tidak nampak, dari yang terkecil
sampai terbesar, dari yang terlembut sampai yang terkasar, segala ini adalah
ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa!"
"Tapi mengapa Tuhan menciptakan yang buruk dan jahat?"
"Hushh, kita yang mengatakan buruk dan jahat karena kita tidak tahu, dan
pengetahuan kita hanya pengetahuan si-aku yang selalu ingin senang dan ingin
enak. Bagaimana kita mengetahui atau mengerti akan kehendak Tuhan?"
"Lalu bagaimana harus kita lakukan agar kekuasaan Tuhan mengendalikan
nafsu kita dan mengembalikannya kepada tugasnya yang benar?"
"Kita justeru tidak melakukan apa-apa! Kalau kita melakukan apa-apa, berarti
kita tidak pasrah kepada Tuhan! Kita menyerah saja, dengan penuh kesabaran,
keikhlasan dan ketawakalan, dengan iman. Kalau sudah begitu, kalau kita
sudah menyerah, dengan sebulatnya, maka segala yang menimpa diri kita, kita
terima sebagai sesuatu yang dikehendaki Tuhan, dan tidak akan ada keluhan
keluar dari batin kita. Yang ada hanya penyerahan mutlak dan puja-puji bagi
Tuhan Maha Kasih, puji syukur yang tiada berkeputusan. Kalau sudah begitu,
kita tidak butuh kebahagiaan lagi. Bimbingan Tuhan itulah kebahagiaan, cinta
kasih Tuhan itulah kebahagiaan, cahaya Tuhan itulah kebahagiaan, jauh di atas
senang susah, tak dapat dinilai, tak dapat digambarkan."
Pada saat itu, terdengar teriakan dari bawah puncak. Akan tetapi karena Hay
Hay masih penasaran mendengar ucapan terakhir tadi, dia mengejar dengan
pertanyaan.
"Kakek yang baik, kalau kita hanya pasrah saja, tidak melakukan usaha apa
pun, benarkah itu?"
"Ho-bo-ho, itu pemalas namanya. Dan orang seperti itu berdosa besar, hendak
memperalat kekuasaan Tuhan! Tentu saja tidak. Kita manusia ini hidup,
bergerak, serba sempurna dan lengkap dengan jasmani, hati dan akal pikiran.
Kita harus berusaha, berikhtiar sekuat tenaga. Namun, semua usaha kita itu
berlandaskan penyerahan kepada kekuasaan Tuhan! Jelaskan?"

Ketidakbahagiaan Suami Buruk Rupa Beristrikan Wanita Muda dan Cantik


Dia dapat membayangkan betapa si buruk rupa ini setiap saat akan dibakar
cemburu, setiap kali isterinya bicara dengan pria lain, bahkan setiap kali
isterinya dipandang pria lain! Dan semakin besar cemburu dan pemarahnya,
isterinya tentu akan semakin berani bersikap genit dan manis kepada pria lain,
walaupun hal itu hanya dilakukan untuk memancing cemburu suaminya!

"Bunga setaman aneka wama


bermandikan cahaya pumama
bersaing cantik indah berseri
berlomba sedap harum mewangi
betapa bahagianya hati ini!
Namun, bagaikan mimpi hampa
tak lama lagi bulan sirna
meninggalkanku dalam gulita
bunga akan habis gugur layu
tinggal aku di sini sepi sendiri.
Wahai ikan-ikan dalam kolam taman
kalian akan tetap gembira dengan teman-teman
tapi... aku? sepi sendiri termenung iri...."

Nafsu merupakan pelengkap dalam kehidupan manusia, bahkan pendorong


dan manusia tidak akan hidup tanpa adanya nafsu. Kenikmatan hidup dapat
datang karena adanya nafsu. Keindahan melalui pandang mata, kemerduan
melalui pendengaran telinga, keharuman melalui penciuman hidung, dan
semua kenikmatan yang dapaf kita rasakan melalui panca indera, melalui
semua anggauta tubuh, melalui hati akal pikiran, semua itu dapat kita nikmati
karena adanya nafsu. Nafsu merupakan anugerah bagi manusia hidup di dunia
ini, merupakan barkah dan bekal hidup. Seperti juga anggauta badan, hati dan
pikiran, nafsu merupakan peserta dan alat yang bertugas mengabdi dan
membantu manusia. Manusia dapat menemukan segala kekuatan dan sarana
yang ada di dunia ini, berkat bekerjanya akal yang didorong nafsu. Kemajuan
lahiriah yang ada sekarang ini, semua berkat bekerjanya nafsu melalui hati akal
pikiran. Dan semua hasil pekerjaan nafsu ditujukan untuk kesejahteraan hidup
manusia, untuk kenikmatan hidup manusia di dunia, yaitu yang lajim disebut
materi, benda. Namun, nafsu yang amat berguna bagi kehidupan kita ini, juga
amat berbahaya karena kalau manusia dikuasainya, maka manusia akan
diseretnya menjadi hamba nafsu yang hidupnya hanya mengejar kenikmatan
dan kesenangan duniawi saja.
Akibatnya, segala cara dilakukan manusia demi meraih kesenangan yang
menjadi tujuan semua nafsu dan terjadilan perbuatan-perbuatan yang
dinamakan jahat, yaitu merugikan orang lain.
Kalau kita tidak waspada dan ingat selalu kepada Sang Maha Pencipta, yang
menciptakan kita, yang menguasai seluruh diri kita luar dalam, yang mengatur
segala yang nampak dan tidak nampak, maka kita akan mudah menjadi korban
kekuatan nafsu. Segala kebutuhan hidup kita ini dilengkapi dengan nafsu yang
akan menimbulkan kenikmatan dalam memenuhi kebutuhan hidup itu. Kita
lapar butuh makan agar bertahan hidup, dan di dalam makan itu kita
dianugerahi nafsu yang mendatangkan kelezatan dalam mengisi perut yang
pada dasarnya dilakukan untuk mempertahankan hidup. Kita mengantuk butuh
tidur, dan di dalam tidur pun kita dianugerahi kenikmatan. Kalau haus butuh
minum dan dalam minum pun tersedia kenikmatan yang didorong oleh nafsu.
Tidak ada kebutuhan yang tidak disertai kenikmatan dalam memenuhinya. Puji
Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang. Demikian besarnya Tuhan
melimpahkan cinta kasih kepada segala cintaan-Nya. Akan tetapi, kalau nafsu
merajalela dan kita yang diperhamba, apa akibatnya?
Kita melupakan kebutuhan inti dari kehidupan ini, yang kita kejar hanyalah
kenikmatan dan kesenangan, hanya kebutuhan nafsu semata. Kita makan
bukan lagi untuk sekedar mempertahankan hidup menghilangkan lapar,
melainkan lebih condong untuk memuaskan nafsu yang mengejar keenakan
sehingga seringkali dapat kita lihat buktinya betapa dalam keadaan lapar sekali
pun, kalau lauknya tidak menyenangkan mulut kita, kita makan sedikit saja,
tidak perduli bahwa mulut kita membutuhkan lebih banyak. Sebaliknya, biarpun
perut sudah kekenyangan, kalau yang kita makan itu kita rasakan enak, dan
memuaskan nafsu, kita makan terlalu banyak sampai akhirnya menderita sakit
perut! Demikian pula dengan semua kebutuhan hidup, termasuk haus, kantuk,
mencari kebutuhan hidup yang lainnya, termasuk pula nafsu sex. Nafsu sex ini
mutlak penting dengan perkembangbiakan manusia. Tanpa adanya nafsu ini,
orang tidak akan suka melakukan, hubungan dan akibatnya, manusia akan
punah seperti yang terjadi pada banyak mahluk lain yang dahulu juga menjadi
penghuni bumi namun kini tidak ada lagi sama sekali.

Nafsu selalu menghendaki agar keinginannya tercapai, dan betapa terselubung


pun keadaan nafsu, diberi pakaian dan sebutan yang indah dan bersih, tetap
saja tujuannya hanya demi kepentingan dirisendiri. Aku tidak perduli melakukan
kejahatan karena aku ingin mendapatkan kesenangan dari hasil kejahatan itu.
Aku harus melakukan kebaikan karena aku ingin mendapatkan kesenangan
dari hasil kebaikan itu. Berlawanan namun tujuannya sama, yaitu ingin
mendapatkan kesenangan dari perbuatan itu. Perbuatan itu tidak utuh,
melainkan dijadikan alat atau cara untuk mencapai titik tujuan, yaitu
kesenangan yang dikejar-kejar.
Nafsu selalu menyelinap ke dalam pamrih dan pamrih yang saling berlawanan
antara manusia menimbulkan bentrokan. Pengejar hasil kebaikan yang satu
bertabrakan dengan pengejar hasil kebaikan yang lain karena terjadi bentrokan
pamrih. Agama yang satu bentrok dengan agama yang lain karena masing-
masing pemeluknya, yaitu manusia, saling mempertahankan “kebaikan”
berpamrih tadi.
Orang menyalahkan keadaan di luar diri, menyalahkan lingkungan, masyarakat
yang dianggap sebagai penyebab penyelewengan dan kesesatan dirinya. Kita
lupa bahwa lingkungan atau masyarakat dibentuk oleh keadaan pribadi-pribadi.
Kalau hendak menyehatkan lingkungan, seharusnya harus menyehatkan
pribadi. Kalau pribadi-pribadi sehat, lingkungan pun otomatis menjadi sehat.
Orang boleh bertapa mengasingkan diri ke tempat-tempat sunyi, menjauhkan
diri dari keramaian, menyiksa diri dengan segala macam cara berusaha untuk
mengendalikan dan meyalahkan nafsunya senndiri. Namun orang lupa bahwa
perbuatan ini pun merupakan suatu usaha yang mengandung pamrih, jadi
masih dalam lingkaran setan, masih terdorong nafsu.
Selama ada dasar "aku ingin" tentu ada nafsu tersembunyi dalam bentuk "agar
berhasil". Dan apapun hasil yang dikejar-kejar itu, dengan pakaian bersih,
dengan istilah mulia seperti sorga, kedamaian, keheningan, keabadian,
kesempurnaan dan lain-lain, tetap saja di dalamnya bersembunyi
“kesenangan”. Karena sorga, kedamaian, keheningan, keabadian dan
sebagainya itu dianggap enak dan menyenangkan maka, kita kejar-kejar
dengan cara memaksa diri berbuat apa yang kita anggap sebagai kebaikan.
Tidak pernah kita bertanya kepada diri sendiri : Andaikata sorga itu tidak,
menyenangkan, kedamaian dan sebagainya itu tidak enak, apakah kita masih
melakukan kebaikan yang kita paksakan itu? Lalu untuk apa?
Kebaikan adalah suatu sifat, suatu keadaan yang wajar, bukan suatu perbuatan
yang disengaja.
Kalau kita sadar bahwa kita berbuat baik, maka di situ pasti terkandung suatu
harap akan pahalanya, walau tersembunyi sekali pun. Matahari merupakan
kebutuhan mutlak semua mahluk, memberi kehidupan ketika melimpahkan
cahayanya, namun dia tidak tahu apakah itu suatu perbuatan baik. Pohon-
pohon memberikan bunga-bunga, harum, buah-buahan segar, kayu dan
kulitnya pun bermanfaat bagi serangga dan manusia, hewan-hewan seperti
sapi, kuda, anjing dan sebagainya, semua melakukan "kebaikan" tanpa sengaja
dan tidak mengharapkan imbalan.
Kita dianugerahi hati akal pikiran yang mengagkat kita menjadi mahluk termulia.
Dengan alat-alat itu kita dapat berbuat lebih banyak bagi alam, jauh lebih
banyak dibandingkan hewan dan tumbuhtumbuhan.
Mestinya begitu. Namun, justeru hati akal pikiran manusia yang menimbulkan
malapetaka di dunia ini, karena nafsu yang menguasainya. Nafsu mutlak
penting bagi kehidupan kita, namun juga mutlak berbahaya karena menyeret
kita ke dalam kesesatan. Lalu bagaimana?
Jalan satu-satunya hanya kembali kepada kekuasaan Tuhan. Menyerah! Hanya
Tuhan yang mampu mengatur dan mengembalikan kita ke alam kewajaran di
mana seluruh anggauta tubuh kita luar dalam termasuk hati akal pikiran
dibersihkan dari pengaruh nafsu dan berfungsi seperti sebelum dikuasai nafsu.
Kalau sudah begitu, manusia akan menjadi manusia seutuhnya, dibimbing dan
dikendalikan oleh jiwa yang bersih dari nafsu. Bahkan nafsu yang tadinya
merajalela dikembalikan kepada fungsinya semula, yaitu alat dari jiwa dalam
jasmani, bukan menjadi majikan.

Dongeng Sepasang Suami Istri yang hanya mempunyai seokor kuda.

Suatu hari sepasang suami istri melakukan perjalan ke suatu tempat, namun
mereka hanya memiliki seekor kuda. Si suami mendesak agar isterinya naik
kuda sendirian, dan dia yang menuntun kuda.
Di tengah perjalanan, mereka bertemu seorang laki-laki setengah tua. Melihat
suami isteri itu, laki-laki tadi mengomel, mengatakan betapa isteri itu tidak tahu
diri, tidak kasihan kepada suami, enak-enak nongkrong di atas kuda sedangkan
suaminya berjalan sampai bermandi peluh.
Nah, mendengar omelan itu, sang isteri segera turun dan mendengar agar
suaminya saja yang kini menunggang kuda. Sang isteri kini yang berjalan
menuntun kuda. Tak lama kemudian mereka berpapasan dengan seorang
wanita setengah tua yang menggeleng-geleng kepala melihat suami isteri itu,
lalu mencela betapa kejamnya suami itu membiarkan isterinya berjalan kaki
sedangkan dia sendiri enak-enak menunggang kuda dan mengatakan betapa
tidak pantasnya sikap suami itu.
Mendengar ini, sang suami lalu menarik isterinya ke atas punggung kuda dan
mereka berdua kini berboncengan, seperti kita tadi. Akan tetapi kembali mereka
bertemu seorang kakek tua yang menyumpah-nyumpah dan dengan marah
menegur mereka sebagai suami isteri yang berhati kejam, membiarkan kuda
mereka tersiksa menanggung beban dua orang. Mendengar celaan terakhir ini,
suami lsteri itu menjadi jengkel. Mereka turun dan mencari bambu, mengikat
empat buah kaki kuda itu, lalu memikul kuda mereka dengan kaki ke atas dan
tubuh di bawah.
Mereka tidak perduli lagi walaupun di sepanjang jalan mereka disoraki dan
ditertawakan orang!"

manusia pada umumnya, memang merupakan mahluk yang amat lemah


menghadapi nafsu-nafsu yang berada di dalam diri kita sendiri. Nafsu-nafsu
dalam diri kita merupakan suatu pembawaan sejak kita lahir, memang
diikutsertakan dengan kita karena kehidupan manusia ini baru mungkin dapat
berkembang selama adanya nafsu. Nafsu yang menimbulkan gairah dan
semangat bagi kita untuk melakukan sesuatu karena nafsu mendatangkan
kenikmatan. Nafsu mendatangkan kenikmatan dalam mulut sehingga kita
bergairah untuk makan, satu diantara sarat untuk kelangsungan hidup. Nafsu
pula yang mendatangkan kenikmatan dalam hubungan badan sehingga kita
bergairah untuk berjodoh, yang merupakan syarat bagi perkembangbiakan
manusia. Dan demikian seterusnya. Tanpa adanya daya nafsu rendah, kita
tidak akan bergairah melakukan apa yang menjadi syarat utama untuk
kelangsungan hidup. Nafsu-nafsu menyelinap dan menjadi gerak pendorong
bagi hati akal dan pikiran sehingga timbul gairah untuk mengerjakan pikiran
demi kenikmatan kehidupan kita, maka nafsu daya rendah telah mendorong
kita untuk menggunakan akal, berpikir untuk membuat segala sesuatu demi
kenikmatan dan kesenangan hidup. Maka manusia dapat membuat segala
macam benda, perabot-perabot hidup, pakaian, rumah dan segala macam
benda yang dibuat melalui akal pikiran untuk mendatangkan kenikmatan dalam
kehidupan.
Puji Tuhan Maha Pengasih! Hanya karena kasih Tuhan sajalah maka manusia
diberi semua itu, diberi peserta-peserta seperti nafsu daya rendah sehingga kita
dapat menikmati kehidupan. Namun, nafsu yang sedianya menjadi peserta
yang amat berguna itu, yang menjadi hamba yang melayani semua kebutuhan
jiwa dalam badan yang berujud manusia ini, terjadi karena daya-daya rendah
yang saling berlomba untuk menguasai kita! Nafsu daya rendah membutuhkan
badan manusia yang dapat menyampaikan dan memuaskan keinginannya, oleh
karena itu, nafsu-nafsu daya rendah berebut untuk menguasai kita agar
manusia saja segala kehendak nafsu. Nafsu yang tadinya menjadi alat kita,
berbalik ingin memperalat kita. Nafsu yang sedianya menjadi hamba kita,
berbalik ingin memperhamba kita. Kita diperhamba melalui kenikmatan dan
kesenangan tadi. Kita di perhamba nafsu melalui benda-benda yang kita buat
sendiri seperti harta kekayaan, uang, dan sebagainya. Melalui makanan,
melalui hubungan seksuil, pendeknya semua daya rendah saling berebut untuk
menguasai kita. Nafsu itu mutlak penting bagi kita, namun juga mutlak
berbahaya.
Seperti api, kalau menjadi alat kita teramat penting, akan tetapi kalau sudah
menjadi liar tak terkendali, akan menghabiskan segala! Akan membakar kita.
Seperti kuda, kalau jinak, menjadi hamba yang amat berguna, sebaliknya kalau
liar, kita dapat dibawa kabur memasuki jurang.
Manusia baru tahu akan bahayanya nafsu dalam diri sendiri setelah merasakan
akibat buruknya.
Memang sifat nafsu itu selalu mengejar kesenangan dan menjauhi kesusahan.
Maka, pengetahuan tentang akibat buruk itu pun datang dari nafsu, dan tentu
saja nafsu berkeinginan pula untuk mengubah yang buruk dan menyusahkan
itu. Dan kitapun terseret ke dalam lingkaran setan yang tiada putusnya. Hati
akal pikiran dipergunakan untuk mengendalikan nafsu, tidak kita sadari bahwa
hati akal pikiran kita sudah bergelimang nafsu, sudah dikuasai nafsu! Maka,
apa pun yang dilakukan menurut hati akal pikiran, sejalan dengan kehendak
nafsu, yaitu mengejar kesenangan, masih tetap dalam ruangan yang sama
dimana nafsu menjadi rajanya. Karena itu, segala macam usaha yang diperbuat
manusia untuk “menjadi orang baik” selalu gagal karena usaha itu pun timbul
dari keinginan nafsu dengan dasar bahwa menjadi orang baik berarti akan
terbebas dari kesusahan dan berada di dalam kenikmatan atau kesenangan,
walaupun mungkin dengan jubah yang lebih halus dan bersih.
Kenyataan terbukti kalau kita melihat keadaan manusia dalam dunia ini. Setiap
orang manusia berusaha melalui segala cara, melalui kebudayaan, melalui
keagamaan, melalui filsafat, pelajaran budi pekerti, melalui pengertian, untuk
menjadi “orang baik” karena melihat betapa ketidakbaikan sebagai manusia
telah mendatangkan berbagai malapetaka. Namun, adakah nampak hasil dari
semua usaha untuk menjadi baik itu? Kalau kita mempelajari sejarah dan
melihat keadaan di dunia ini, kita harus dengan jujur mengakui bahwa semua
usaha itu agaknya belum dapat dibilang berhasil! Dunia masih kacau balau,
kehidupan masih merupakan penderitaan yang berkepanjangan, permusuhan
yang berkepanjangan, permusuhan terjadi di mana-mana, nampak sekali
bahwa nafsulah yang menjadi raja, yang merajalela menguasai hati akal pikiran
semua manusia. Bahkan segala pemenuhan dan hasil buatan manusia,
menjadi alat nafsu untuk mengumbar angkara murka! Kita telah gagal!
Keadaan kita sama benar dengan keadaan Sim Ki Liong. Sebagai manusia,
mula-mula dia diseret oleh dorongan nafsu yang memang ada dalam dirinya
seperti dalam dirinya seperti dalam diri kita, dorongan yang membuat dia
melakukan hal yang tidak patut. Kemudian, akibat perbuatannya yang
mendatangkan kepahitan membuat dia menyesal dan ingin memperbaiki jalan
hidupnya.
Penyesalan yang datang dari akibat pahit, jadi jelas dari nafsu. Keinginan untuk
mengubah cara hidup, juga keinginan nafsu yang hanya ingin mengubah yang
tidak enak menjadi yang enak, melalui istilah yang lebih baik menjadi yang baik!
Tentu saja dia gagal, karena nafsu hanya menuntunnya kejalan di mana dia
akan mendapatkan kesenangan, kenikmatan, dan karena itulah maka Ki Liong
juga gagal. Seperti juga semua orang di dunia ini, dia tahu bahwa dia
melakukan kejahatan dan melalui jalan yang tidak benar, bahwa dia jahat.
Namun, dia tak kuasa menghentikannya. Pencuri manakah di dunia ini yang
tidak tahu bahwa perbuatan mencuri itu tidak baik? Namun, pengetahuan tidak
mempunyai kekuatan untuk mengendalikan nafsu. Biarpun tahu bahwa
perbuatan itu tidak benar dan tidak baik, namun kita tidak mampu mengalahkan
dorongan nafsu dalam diri yang telah mencengkeram kita melalui hati akal
pikiran dan panca-indera kita.
Tahu belum berarti mengerti. Bahkan biarpun mengetahui dan mengerti
sekalipun, belumlah yakin kalau belum merasakan. Namun, kelengkapan dari
tahu, mengerti dan dan merasa pun tidak cukup kuat untuk menguasai gelora
nafsu. Lalu bagaimana nasib kita ini kalau kita ini tidak dapat hidup tanpa nafsu,
namun juga kita dicengkeram oleh nafsu? Bagaimana kita akan mampu
mengalahkan nafsu, atau lebih tepat, bagaimana kita akan dapat
mengendalikan nafsu dalam kedudukannya semula, yaitu menjadi alat dan
hamba, menjadi peserta yang baik dari kita?
Tidak ada caranya! Karena cara ini merupakan jalan dari pikiran pula. Kita,
dengan akal pikiran dan hati, tidak akan mungkin dapat mengalahkan nafsu
kita. Hanya ada Satu yang dapat menguasai nafsu, yaitu Pencipta nafsu itu
sendiri, Sang Maha Pencipta, Maha Kuasa yang menciptakan segala apa pun
di dalam alam mayapada ini. Hanya kekuasaan Tuhan jualah yang mampu
mengendalikan yang bengkok menjadi lurus, yang salah menjadi benar. Karena
itu, satu-satunya yang dapat kita lakukan adalah menyerah! Menyerah lahir
batin, menyerah sepenuhnya, dan penuh keikhlasan dan ketawakalan, sepenuh
iman kita kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Pengampun. Dan
kalau kekuasaan Tuhan sudah bekerja dalam diri kita, maka dengan sendirinya
semua akan berjalan dengan baik dan sewajarnya menurut kodrat masing-
masing.
Menyerah bukan dalam arti kata yang sempit, juga bukan dalam arti kata untuk
mencari enaknya saja. Yang menyerah itu seluruh jiwa raga, sebagai dasar dari
semua tindakan kita dalam hidup.
Hati akal pikiran harus bekerja, bahkan bekerja dengan sepenuhnya, sesuai
dengan kodratnya, sesuai dengan kewajibannya. Hati akal pikiran sudah
diciptakan untuk bekerja membantu manusia, mengatur semua alat tubuh untuk
bekerja, untuk mencukupi kebutuhan hidup di dunia ini.

Kehidupan manusia di dunia ini teramat janggal, teramat tidak adil. Si kaya
memiliki makanan, pakaian dan rumah yang berlebihan. Sedangkan si miskin
yang tinggal di sebelah rumahnya, demikian melaratnya sehingga untuk makan
saja tidak cukup! Malaskah si miskin itu?
Sama sekali tidak. Bahkan mereka bekerja keras siang malam untuk sekedar
bertahan hidup. Menyedihkan memang. Apalagi melihat si kaya membeli
barang-barang mewah yang tidak perlu. Padahal, uang yang dihamburkan itu
dapat menghidupi banyak keluarga miskin.
Lebih menyedihkan lagi kalau banyak sekali uang dihamburkan untuk membeli
senjata untuk mempertahankan diri. Padahal, uang untuk membeli senjata itu
akan menghidupkan suatu bangsa yang sedang dilanda kemiskinan.
Alangkah baiknya kalau dalam kehidupan ini manusia saling menolong, bangsa
saling menolong sehingga tidak akan terjadi permusuhan. Alangkah indahnya
kalau sinar kasih menyelimuti kehidupan kita, bukan permusuhan, dendam dan
kebencian!

Seorang yang tertimpa musibah berturut-turut kadang-kadang menganggap


peristiwa itu keterlaluan seolah Tuhan tidak adil!

Tentu karena manusia hanya melihat segi lahiriahnya saja! Tuhan Maha Adil!
Hanya jalan yang di tempuh Tuhan untuk menentukan sesuatu itu rahasia
besar bagi kita, tidak terjangkau oleh akal pikiran kita.
Bagi kita hanya ada satu sikap. Yaitu, berikhtiar sekuat dan sebaik mungkin,
akan tetapi menerima kenyataan dan keadaan dengan pasrah dan menguatkan
iman kita bahwa apa yang Tuhan kehendaki semua terjadilah!
Dan semua itu terjadi dengan benar dan adil. Mengapa terjadi begini atau
mengapa terjadi begitu, berada di luar kekuasaan kita. Hukum Karma tidak
akan pernah menyimpang seujung rambutpun.
Dan kita harus menerimanya penuh kepasrahan, ikhlas dan dengan iman yang
kuat akan kekuasaan, kebesaran dan kebenaran Tuhan!

Kalau kita melihat ke atas, yang nampak hanyalah orang-orang yang lebih
tinggi kedudukannya dari pada kita, lebih kaya, lebih senang dan sebagainya,
pendeknya serba lebih dari pada kita.
Akan tetapi sekali kita menunduk, melihat ke bawah, ternyata masih banyak
sekali orang yang lebih rendah dari pada kita, lebih miskin, lebih sengsara dan
barulah kita menyadari bahwa keadaan kita masih lebih baik daripada keadaan
banyak orang!

“bacoklah air dengan pedang dan


air akan mengalir terus,
benamkan duka dalam arak dan
kedukaan makin bertambah,
dalam hidup ini, harapan
harapan kita terpenuhi,
kelak, dengan rambut terurai lepas,
kita akan pergi”

“anda bertanya mengapa aku


memilih tinggal di pegunungan.
aku tersenyum tanpa jawab,
hatiku dalam kedalaman,
bunga persik pergi
air mengalir,
terdapat Langit dan Bumi
di luar dunia manusia.”

Sajak itu adalah tulisan pujangga Li Pai (701-762)

Daripada menguasai sampai sepenuhnya


lebih baik berhenti pada saatnya.
Menempa untuk mencapai tajamnya
ketajaman itu takkan bertahan lama.

Ruangan penuh dengan emas dan batu permata


tidak mungkin dapat dijaga.

Angkuh karena mewah dan mulia


dengan sendirinya membawa bencana.

Tugas selesai, nama menyusul, diri mundur


demikianlah jalan yang ditempuh langit.”

(Sajak itu termuat dalam kitab Tao-tek-keng, merupakan ujar-ujar peninggalan


Sang Bijaksana Lo Cu)

Sajak itu sendiri sudah menjelaskan artinya. Dinasihatkan di situ agar kita tidak
menuruti kehendak nafsu yang ingin memiliki sepenuhnya, menguasai
sepenuhnya, yang akhirnya tak pernah puas dan tergelincir oleh tindakan
sendiri. Lebih baik berhenti pada saatnya atau mengenal batas.
Segala sesuatu yang dipaksakan untuk diperolehnya, yang diperoleh itu tidak
akan bertahan lama, akan membosankan. Harta kekayaan yang berlebihan
hanya akan menimbulkan iri hati dan mendatangkan maling untuk mencurinya.
Kalau orang menjadi angkuh karena kemewahan dan kemuliaan, harta benda
atau kedudukan tinggi, hal itu akhirnya akan mendatangkan bencana pada diri
sendiri.
Kalau merasa sudah menyelesaikan tugas dengan baik, tentu namanya
menjadi harum dan dia boleh mengundurkan diri untuk menyatukan diri dengan
Tuhan. Jalan itulah yang ditempuh oleh Langit dan Bumi, yang bersikap selaras
dengan kehendak Tuhan.”

Mengajar orang-orang agar supaya menjadi baik budi amatlah sukarnya. Akan
tetapi mengajari orang-orang itu untuk berbudi buruk dan memperoleh
kesenangan, maka sebentar saja semua orang akan suka dan menurut.

Manusia mencari kebahagiaan ke mana-mana dan dengan segala cara, namun


tidak pernah dapat menemukan kebahagiaan itu. Menurut gurunya,
kebahagiaan tidak bisa ditemukan kalau dicari. Kebahagiaan adalah suatu
keadaan batin yang tidak diganggu oleh gejolaknya nafsu. Selama nafsu masih
bergejolak dalam batin, tidak mungkin manusia dapat berbahagia, karena dia
akan terbentur dengan halangan-halangan dalam mengejar kesenangan seperti
yang dikehendaki oleh nafsu.
Dalam keadaan tidak berbahagia, bagaimana mungkin menemukan
kebahagiaan? Kalau keadaan yang tidak berbahagia itu tidak ada lagi, manusia
tidak lagi membutuhkan kebahagiaan. Kenapa? Karena dia sudah bahagia!
Kebahagiaan itu sudah ada selalu dalam diri manusia sendiri, namun
terselubung oleh bermacam persoalan dan kesukaran yang menjadi akibat dari
menuruti nafsu diri.
Seperti orang yang mencari kesehatan. Bagaimana mungkin akan dapat
mengalami kesehatan kalau tubuhnya sedang sakit? Daripada mencari
kesehatan yang tak mungkin dia temukan, lebih baik meneliti dirinya sendiri
yang sakit, mengusahakan agar penyakit itu lenyap. Kalau dirinya sudah tidak
dihinggapi penyakit lagi, apakah dia butuh mencari kesehatan? Tidak perlu lagi
karena dia sudah sehat!
Manusia biasanya tidak dapat menikmati kesehatan kalau dia sehat. Baru
merindukan kesehatan kalau dia sakit. Demikian pula manusia tidak dapat
menikmati kebahagiaan kalau dia berbahagia. Baru merindukan kebahagiaan
dikala dia sedang tidak berbahagia. Hidup itu sendiri adalah indah, hidup itu
sendiri adalah bahagia. Mengapa repot-repot mencari kebahagiaan dengan
segala cara?

Ujar-ujar dalam kitab Tiong Yong

“Sebelum timbul girang dan marah


sebelum terasa senang dan susah
batin berada dalam keadaan seimbang.

Apa bila perasaan itu timbul


namun dapat mengendalikan batin
berada dalam keadaan keselarasan.
Keseimbangan dasar termulia di dunia
dan keselarasan adalah alan utama di dunia”

“Apabila Keseimbangan dan Keselarasan


dilaksakan dengan sempurna,
maka keberesan abadi meliputi
langit dan bumi,
dan segala mahluk dan benda
terpelihara dengan baik.”

Artinya :
Batin manusia seperti yang telah ada padanya sejak lahir memiliki Watak Aseli
yang sifatnya tenteram, lurus dan seimbang.
Akan tetapi apabila batin diguncangkan oleh perasaan seperti suka dan duka,
senang dan marah, maka keseimbangannya dapat menjadi goyah dan miring
dan kalau demikian halnya, maka dia akan meninggalkan Tao atau Jalan
Kebenaran atau Hukum Alam.
Akan tetapi manusia disertai pula oleh nafsu-nafsu yang saling berebut untuk
menguasainya, maka tidak dapat dielakkan lagi berbagai macam guncangan itu
akan menerjangnya dalam kehidupan, seperti sebuah biduk tak terbebas dari
guncangan ombak.

Akan tetapi kalau dia sedang diguncang nafsu, namun dapat mengendalikan
perasaan itu, maka akan terciptalah keselarasan.

Sudah manusiawi kalau mendapatkan sesuatu yang tidak enak, manusia


berduka, apabila melihat kejadian yang tidak adil, dia marah, akan tetapi kalau
semua itu dapat dia kendalikan, maka segalanya akan selaras dan dia tidak
akan tenggelam ke dalam perasaan itu dan pertimbangannya akan tetap tegak
dan berimbang.
Demikian pula kalau menghadapi sesuatu yang mendatangkan perasaan suka
dan girang, dia tidak akan mabuk dan menjadi bangga, angkuh, serakah dan
selanjutnya.
Demikianlah, apabila Keseimbangan dan Keselarasan dapat dilaksanakan
dengan sempurna, maka langit dan bumi akan menjadi beres dan tenteram,
dan kehidupan di dunia akan penuh kebahagiaan.”

"Mengapa di dunia ini terdapat lebih banyak kejahatan daripada kebaikan,


terdapat demikian banyaknya orang jahat padahal di dunia ini terdapat
pelajaran agama yang demikian indah dan mendalam?”

“Mudah sekali menjawabnya. Karena manusia disertai nafsu-nafsu yang selalu


ingin menguasainya.
Nafsu-nafsu sudah menguasai manusia lahir batin, lebih kuat karena memang
manusia itu lemah sehingga manusia menjadi budak dari nafsunya.
Bahkan pikirannya sudah dikuasai nafsu sehingga biarpun dia tahu bahwa
melakukan perbuatan yang menyimpang dari kebenaran, pikiran yang sudah
dikuasai nafsu itu selalu mencoba untuk membelanya dan membenarkan
tindakannya yang menyimpang dari kebenaran itu.
Maka orang bijaksana jaman dahulu selalu mengingatkan manusia agar
berhati-hati menghadapi musuh dalam selimut, yaitu nafsu-nafsunya sendiri.”
“Begitu semua orang mengenal keindahan
dengan sendirinya muncul kejelekan,
Begitu semua orang tahu apa itu kebaikan
mereka pun tahu apa itu kejahatan…..
Karena itu ada dan tiada saling melahirkan
sukar dan mudah saling melengkapi
panjang dan pendek saling mewujudkan
tinggi atau rendah saling bersandar
bunyi dan suara saling mengimbangi
dahulu dan kemudian saling menyusul……”

“Itulah sebabnya orang suci


bekerja tanpa bertindak
mengejar tanpa berkata.
Maka segala benda
Berkembang tanpa dia mendorongnya
tunbuh tanpa dia mau memilikinya
berbuat tanpa dia menjadi sandarannya.
Walaupun berjasa dia tidak menuntut,
justeru karena tidak menuntut,
maka tidak akan musna.”

(ujar-ujar dalam kitab To-tek-keng)

ujar-ujar itu mengajarkan kepada orang untuk melakukan segala sesuatu tanpa
pamrih untuk keuntungan atau kesenangan diri pribadi karena perbuatan
apapun yang berpamrih untuk diri sendiri, maka perbuatan itu tidaklah timbul
dari hati sanubari yang bersih, melainkan dipakai sebagai alat untuk mencapai
kesenangan diri sendiri.

Percakapan Ceng Lo Jin dengan Sin Kong

“Suhu, maafkan kelancangan teecu (murid). Teecu pernah mempelajari dari


kitab-kitab suci bahwa makanan bernyawa itu tidak baik bagi batin kita, bahkan
menurut ilmu pelajaran pengobatan juga juga makanan bernyawa itu tidak baik
bagi kesehatan tubuh.
Teecu dapat mengerti mengapa suhu sebagai seorang pertapa pantang
makanan bernyawa, akan tetapi yang ingin teecu tanyakan, suhu, apakah kita
dapat terbebas dari makan binatang bernyawa?
Menurut suhu Lok-sian Lo-kai, dalam setiap cawan air jernih bisa terdapat
ratusan atau bahkan ribuan binatang-binatang kecil yang tidak dapat nampak
oleh mata biasa.
Demikian pula dalam tumbuh-tumbuhan seperti daun-daun untuk sayur dan
juga buah-buahan, besar kemungkinan mengandung binatang-binatang kecil
sehingga tak dapat dihindarkan lagi, kita terpaksa makan binatang-binatanag
bernyawa, mau atau tidak.”
Ceng Lojin mengangguk-angguk. “Benar sekali keterangan Lo-kai Lo-jin itu.
Bahkan dalam setiap tarikan napas, ada beberapa banyak binatang-binatang
kecil ikut masuk ke dalam tubuh kita.
Akan tetapi hal itu kita lakukan tanpa disengaja, dan tidak dapat di hindarkan.
Berbeda dengan kalau kita makan daging binatang dan menikmati
kelezatannya. Yang namanya membunuh, apapun alasannya, tetap saja
merupakan pembunuhan dan pembunuhan di dukung oleh kekejaman.”
“Maaf, suhu. Bukan sekali-kali teecu membantah, akan tetapi teecu memajukan
pertanyaan-pertanyaan ini karena ingin tahu dan ingin mengerti benar.
Apakah dengan pendapat bahwa membunuh untuk makan itu jahat dan kejam,
maka binatang pemakan daging seperti harimau, singa, buaya dan lain
binatang buas juga jahat?”
“Sama sekali tidak, Si Kong. Binatang buas itu memang membunuh, akan tetapi
membunuh untuk makan karena dia tidak dapat makan yang lain. Hariamu dan
lain-lain binatang buas itu tidak dapat makan daun, dan kalau tidak ada
binatang buruan lain mereka akan mati kelaparan. Mereka memang ditakdirkan
untuk itu.
Akan tetapi manusia tidak dapat disamakan dengan binatang buas. Manusia
dapat hidup tanpa makan daging binatang.
Jadi, orang-orang yang pantang makan daging binatang itu hanya berusaha
agar mereka tidak terlalu dipengaruhi oleh nafsu binatang yang tentu ikut
masuk bersama dengan daging yang di makannya.
Akan tetapi ini bukanlah menjadi jaminan bahwa orang yang berpantang makan
daging adalah orang-orang baik, dan mereka yang makan daging adalah orang-
orang yang jahat. Seperti kukatakan tadi, pantang makan daging hanya suatu
cara untuk mengurangi pengaruh nafsu binatang. Karena itu, biarpun engkau
sudah menjadi muridku, aku tidak akan melarang engkau makan daging.”

Daun-daun pohon masih basah, rumput-rumput dan ilalang nampak segar


bagaikan kanak-kanak yang baru habis mandi.
Tanah mengeluarkan bau yang sedap, seolah menghaturkan terima kasih
kepada langit yang semalam telah menghujaninya.
Matahari baru muncul di tepi bukit dan langit menjadi lukisan yang paling indah
didunia.
Ada seberkas cahaya biru di antara awan-awan putih, sangat mengesankan
dan penuh mengandung rahasia alam.

Tengoklah keatas dan engkau akan melihat betapa banyaknya orang yang
lebih pandai, lebih kaya dan lebih segala-galanya dari pada engkau dan engkau
boleh berkata pada dirimu sendiri: enyahlah keangkuhan dan kesombongan!
Tengoklah ke bawah dan engkau akan melihat betapa banyaknya orang yang
lebih bodoh, lebih miskin dan lebih menderita daripada engkau dan engkau
boleh berkata pada dirimu sendiri:
pergilah keputus-asaan dan kerendah-dirian!

Dengan menengok ke atas dan ke bawah itu, engkau akan selalu merasa
bersyukur atas segala karunia Tuhan kepadamu, engkau akan selalu rendah
hati dan tidak rendah diri. Engkau akan menjadi seorang manusia yang jauh
lebih gagah perkasa kalau engkau mampu menguasai nafsu-nafsu sendiri dari
pada kalau engkau mengalahkan seratus orang lawan!”

Benarlah kata orang bijaksana jaman dahulu bahwa kalau kita sedang ditimpa
kesengsaraan dalam kehidupan ini, sebaiknya kita menundukkan kepala dan
memandang ke bawah. Di sana masih terdapat banyak sekali orang yang
keadaannya lebih payah dari pada keadaan kita!

Mengapa begitu banyak ketidak-adilan terjadi di dunia ini?


Mengapa para pejabat tidak berusaha untuk menolong rakyatnya yang
menderita?
Kenapa para hartawan segan mengulurkan tangan, mengurangi sedikit harta
mereka untuk menolong mereka yang tertimpa bencana dan kelaparan?

Kalau saja yang memiliki kelebihan bersedia memberi kepada yang


kekurangan, baik kelebihan harta atau ilmu pengetahuan, maka akan ada
pemerataan penghasilan di antara penduduk, tidak ada lagi bahaya kelaparan
dan tidak ada lagi rasa iri dan dendam.

Kemana Kita Mencari Kebahagiaan?

Semua orang di dunia ini mendambakan kebahagiaan, akan tetapi agaknya


jarang ada orang yang menemukan kebahagiaan. Yang dirasakan orang
hanyalah kesenangan, tidak dapat tidak kita pasti akan berhadapan dengan
kesusahan pula. Senang dan susah, puas dan kecewa, gembira dan sedih,
berhutang budi dan dendam, semua itu menjadi isi kehidupan, yang satu tidak
terpisah jauh dari yang lain sehingga manusia dipermainkan oleh perasaannya
sendiri. Kesenangan memang mudah dicari dan ditemukan, dan walaupun tidak
dikehendaki, kesusahan menyusul kesenangan itu, silih berganti.
Apakah kebahagaiaan itu? Ke mana mencarinya? Orang mencari kebahagiaan
dengan berbagai cara. Melalui agama, melalui pertapaan dan penyiksaan diri,
melalui pengetahuan, namun amatlah sukar menemukan orang yang sudah
mendapatkan kebahagiaan yang dicari-cari itu. Tetap saja mereka menjadi
permainan susah dan senang.
Kalau kita renungkan secara mendalam, kita dapat bersama-sama menyelidiki
tentang kebahagiaan itu. Kebahagiaan berada di atas susah dan senang.
Bahkan diwaktu mendapatkan kesusahan, kita masih berbahagia. Bahagia
tidak disentuh dan tidak diubah oleh susah senang yang hanya lewat seperti
lewatnya segumpal awan diangkasa yang cepat lewat dan lenyap.
Kebahagiaan tidak mungkin dapat ditemukan dengan jalan mencarinya.
Kebahagiaan tidak dapat dicari. Makin didambakan dan dicari, makin
menjauhlah dia.
Daripada bersusah payah mencari kebahagiaan, lebih baik orang meneliti
ketidak-bahagiaan. Ketidak-bahagiaan ini dapat terasa oleh setiap orang.
Merasa tidak berbahagia. Kita lalu meneliti dan mengamati diri sendiri, apa
yang menyebabkan kita tidak bahagia? Kalau sebab adanya ketidak-bahagiaan
ini sudah tidak ada lagi, kita tidak membutuhkan bahagia. Kenapa? Karena kita
sudah berbahagia! Berarti bahwa kebahagiaan itu sudah ada dan selalu ada
dalam diri kita. Seperti halnya kesehatan. Kesehatan itu sudah ada pada kita.
Akan tetapi biasanya kita tidak merasakan adanya kesehatan ini, tidak dapat
menikmati. Baru kalau kita jatuh sakit, kita mendambakan kesehatan. Demikian
pula kebahagiaan. Selalu terutup oleh ulahnya nafsu, senang susah, sedih
gembira, dan segala macam perasaan yang didorong oleh nafsu. Karena kita
menjadi budak nafsu kita sendiri, maka kebahagiaan itu tertutup dan tidak
pernah dapat dirasakan. Yang dapat dirasakan hanya kesenangan dan
kesenangan inipun ulah nafsu. Nafsu mendorong kita agar selalu mengejar
kesenangan. Orang yang tidak lagi menjadi budak nafsu, melainkan menjadi
majikan nafsu, mungkin sekali akan dapat merasakan kebahagiaan itu. Nafsu
tidak lagi menyeret kita ke dalam perbuatan yang hanya mengejar kesenangan
sehingga untuk mencapai kesenangan, kita halalkan segala macam cara.
Nafsu merupakan peserta hidup yang amat penting dan berguna, kalau saja
kita yang mengendalikannya. Akan tetapi kalau nafsu menguasai kita, maka
malapetakalah yang akan menimpa diri kita. Tanpa nafsu kita tidak akan dapat
hidup di dunia ini. Nafsu yang mendorong kita untuk hidup layak sebagai
manusia. Akan tetapi dengan nafsu menjadi majikan, kita akan hidup sesat.
Nafsu bagaikan api. Kalau kita dapat menguasainya, maka api itu amat
berguna nagi kehidupan kita. Akan tetapi kalau terjadi sebaliknya, api yang
mengamuk menguasai kita, api itu akan membakar segala yang ada!
Lalu bagaimana caranya untuk menguasai dan mengendalikan nafsu yang
demikian kuatnya? Diri kita sudah menjadi gudang nafsu, maka akan sia-sialah
kalau kita berusaha untuk menundukkannya. Pikiran itu sendiri yang ingin
menguasai nafsu, sudah bergelimang dengan nafsu. Juga ilmu pengetahuan
tidak dapat dipergunakan untuk menguasai nafsu. Lalu bagaimana? Satu-
satunya jalan untuk menguasai nafsu hanya MENYERAH kepada KEKUASAAN
TUHAN! Hanya Tuhanlah yang dapat menundukkan nafsu. Siapa lagi yang
dapat menundukkan nafsu selain YANG MAHA PENCIPTA? Kalau kita
menyerahkan diri dengan penuh keimanan, tawakal dan kepasrahan yang
ikhlas, maka kekuasaan Tuhan akan bekerja dalam diri kita!
Sesungguhnyalah, untuk menjaga agar pohon itu subur dan menghasilkan
bunga dan buah, yang perlu di pelihara dan di jaga adalah akar dan batangnya.
Demikian pula kalau menghendaki anak buah yang yang taat dan jujur,
pemimpinnya lebih dulu harus jujur dan tertib. Seorang pemimpin yang
bijaksana dapat menindak bawahannya yang menyeleweng, sebaliknya
seorang pemimpin yang korup, bagaimana dia dapat menindak bawahannya
yang melakukan penyelewengan?

Hi Nouw Ai Lok Ci Bi Hoat,


Wi Ci Tiong.
Hwat Ji Kai Tiong Ciat,
Wi Ci Ho.
Tiong Ya Cia,
Thian He Ci Tai Pun Ya.
Ho Ya Cia,
Thian He Ci Tat To Ya.

Sebelum timbul rasa senang, marah, duka dan suka, maka hati, akal pikiran
berada dalam Keadaan Seimbang.
Apabila dapat mengendalikan bermacam perasaan itu, hati, akal pikiran berada
Keadaan Selaras.
Keadaan Seimbang itu adalah Pokok Terbesar dari dunia. Sedangkan Keadaan
Selaras adalah Jalan Utama dari dunia.”

Perasaan susah, senang, marah, benci dan sebagainya adalah ulah nafsu.
Kalau seseorang belum dikuasai nafsu-nafsu ini, maka dia adalah seorang
yang berimbang atau lurus, tidak miring. Akan tetapi begitu nafsu
menguasainya dan perasaan-perasaan itu memasukinya, maka
pertimbangannya menjadi miring. Manusia menjadi jahat kalau sudah dikuasai
nafsu. Akan tetapi kalau dia dapat mengendalikannya, maka diapun akan tetap
menjadi majikan dari nafsunya dan keadaannya menjadi selaras.
Nafsu telah berada dalam diri manusia sejak dia lahir di dunia. Nafsu inilah
yang membuat manusia dapat hidup di dunia. Nafsu inilah yang membuat
manusia hidup seperti sekarang ini, memperoleh kemajuan, ada gairah hidup
dan semangat. Nafsu menjadi peserta manusia yang teramat penting sehingga
manusia dapat hidup di dunia dengan bahagia. Nafsu menjadi hamba yang
amat baik. Akan tetapi jangan sekali-kali membiarkan nafsu merajalela. Kalau
begitu halnya, nafsu memperbudak kita, membelenggu kita dan membuat kita
menuruti segala kehendaknya. Nafsu akan menjadi majikan dan kalau dia
menjadi majikan, dia menjadi majikan yang menyeret kita ke dalam
kehancuran.

Jadi jelaslah bahwa pikiran, ingatan, yang menjadi penggoda manusia. Segala
perbuatan diawali dengan pemikiran yang bergelimang nafsu sehingga lahirlah
perbuatan-perbuatan yang hanya mementingkan diri mencari kesenangan
sendiri saja. Demi mencapai kesenangan yang dikehendaki, orang tidak segan
melakukan segala macam kejahatan yang merugikan orang lain.

Kita melihat tadi bahwa cinta manusia mengandung pamrih, minta imbalan. Aku
mencinta dia karena cinta kepadaku. Atau lebih jelas lagi, kau mencinta dia
karena dia menyenangkan hatiku. Semua ini terjadi karena manusia telah
dikuasai oleh nafsunya sendiri. Nafsu yang mengaku-aku menjadi si-aku, selalu
minta disenangkan. Kalau disenangkan aku menyayang, kalau tidak
disenangkan aku tidak menyayang. Aku menyayang benda karena benda itu
menyenangkan, aku menyayang binatang peliharaan karena binatang itu patuh
dan menyenangkan. Maka terjadilah: mencinta yang menyenangkan dan
membenci yang tidak menyenangkan.”

“Tuhan memberikan kehidupan kepada semua ciptaannya tanpa menuntut


imbalan. Cinta kasihnya berlimpahan. Contohnya, sinar matahari
menghidupkan kita dan semua mahluk menerimanya, tidak peduli mahluk atau
orang itu taat atau tidak kepadaNya, tidak peduli orang itu percaya atau tidak
kepadaNya. Bunga mawar itu tetap memberi aroma yang sedap, baik kepada
seorang pendeta maupun kepada seorang penjahat, baik kepada seorang
hartawan maupun kepada seorang pengemis. Masih banyak lagi contohnya
dan itulah Cinta Kasih yang murni

“Agaknya cinta kasih kita sudah dihabiskan untuk mencintai diri sendiri. Tidak
ada sisanya lagi bagi orang lain.”
“Lalu, bagaimana usaha kita agar dapat mencinta dengan tulus ikhlas dan
murni?”

“Tahu dan mengerti tentang kehidupan bukanlah suatu pengetahuan. Setiap


orang hidup yang sudah dewasa akan mengetahui tentang hidup karena dia
sendiri juga hidup.
Dengan membaca buah pikiran cerdik pandai dan budiman, dan terutama
sekali dengan mawas diri, memperhatikan dan mengikuti ulah hati akal pikiran
sendiri akan menimbulkan pengertian itu.
Akan tetapi mengerti itu saja, tidak akan membawa perubahan kepada kita
namun pengamatan yang terus menerus terhadap ulah hati akal pikiran sendiri
yang akan menimbulkan perubahan.”

Cinta asmara memang mendatangkan banyak macam akibat, dapat


membahagiakan seseorang namun dapat pula menyengsarakan seseorang.
Cinta asmara adalah cinta yang diboncengi nafsu. Ingin menyenangkan dan
disenangkan, memiliki dan dimiliki, menguasai dan dikuasai. Kalau semua
keinginan ini dipenuhi maka hatinya mengaku cinta. Dilayani, dimanja, disukai,
betapa menyenangkan semua itu. Akan tetapi begitu muncul kenyataan lain,
tidak lagi dilayani, tidak lagi dimanja, tidak lagi disenangi, maka cinta asmara
pun terbang pergi seperti kabut terkena sinar matahari, dan cinta asmara
berganti dengan kebencian. Kegagalan cinta asmara membuat seseorang
menjadi kecewa, duka dan merasa sengsara sekali. Bagaimana kalau cinta
asmara terpenuhi dan disambut dengan baik? tentu saja mendatangkan
kesenangan besar yang dianggap sebagai bahagia. Akan tetapi betapa
pendeknya usia kebahagiaan itu. Betapa rapuhnya hati yang mengaku cinta.

Cinta asmara memang aneh dapat membuat seseorang merasa bahagia


seperti hidup di sorga, akan tetapi di lain saat dapat membuat orang itu berbalik
merasa sengsara seperti hidup di neraka! Cinta asmara mengandung nafsu
berahi, ingin memiliki dan dimiliki, ingin menyayang dan disayang , ingin
menguasai dan dikuasai, ingin selalu berdekatan, bahkan bersatu dalam dua
badan satu hati. Akan tetapi satu saja di antara keinginan-keinginan itu tidak
terpenuhi, datanglah sengsara dan kasih sayang dapat saja berubah sama
sekali bentuknya menjadi dendam dan benci.
Karena Ingin memiliki dan dimiliki, menguasai dan dikuasai, maka timbullah
cemburu. Cinta asamara adalah semacam kesayangan seperti sayangnya
seseorang kepada sebuah benda yang Indah dan ingin dimilikinya sendiri, tidak
boleh disentuh orang lain. Dan cinta asmara mendatangkan duka kalau tiba
saatnya dipisahkan dari yang dicinta.
Namun, tanpa adanya cinta asmara, hidup akan terasa hambar. Perasaan ini.
sudah merupakan naluri kemanusiaan, di ikut-sertakan semenjak lahir karena
cinta asmara merupakan sarana perkem-bang-biakan manusia. Tanpa cinta
asmara yang mengandung nafsu berahi, bagaimana manusia dapat
berkembang biak, beranak-cucu? Tiada habis-habisnya para cendekiawan,
para filsuf dan pengarang, membicarakan dan menulis tentang cinta asmara,
dan kita tidak juga bosan mendengar atau membacanya. Mengapa demikian?
Karena cinta asmara merupakan bagian dari pada hidup kita.

Kekuasaan, sejak jaman dahulu sampai sekarang, selalu mendatangkan


kekerasan dan penindasan. Hal ini tidaklah mengherankan karena di mana
terdapat para pendukungnya, terdapat pula pihak-pihak yang menentangnya,
terdapat pula pihak-pihak yang merasa iri hati dan ingin merebut kekuasaan itu,
dan pihak yang berkuasa tentu saja berusaha mati-matian untuk
mempertahankan kekuasaannya. Maka, sudah tentu terjadi kekerasan dan
penindasan demi mempertahankan kekuasaan dan dalam perebutan
kekuasaan itu, mereka yang menentang tentu saja memberi cap lalim kepada
penguasa yang ditentangnya. Hal ini terjadi sejak dahulu sampai kini, sejarah
berulang sepanjang masa dan agaknya takkan pernah dapat dirobah selama
kita manusia selalu mengejar kesenangan masing-masing.
Seperti terjadi di jaman apapun dan di manapun di dunia ini, setiap kekuasaan
di samping menghadapi tentangan dan tantangan, tentu mempunyai pula
pendukung dan biasanya, di antara para pendukung dan para penentang inilah
terjadi bentrokan-bentrokan, merupakan dua pihak yang berdiri saling
berhadapan sebagai musuh. Dan kalau para pendukung ini memusatkan
pembelaan mereka pada tokoh penguasa, adalah para penentang itu
memusatkan pembelaan atau bantuan mereka pada tokoh pemberontak. Dan
kalau sudah begitu, rakyatpun ikut terseret, terpecah-belah, saling bermusuhan
sendiri dan negarapun menjadi kacau!

Kesenangan adalah kekuasaan. Kekuasaan memungkinkan nafsu yang


menguasai diri manusia untuk mencapai segala yang dikehendakinya, dan
mencapai segala yang dikehendaki tentu saja mendatangkan kesenangan bagi
diri pribadi. Kekuasaan juga membuat kira merasa bahwa diri kita penting,
berarti, menonjol. Tanpa ada kekuasaan atas siapa saja, baik atas orang-orang
yang berkedudukan lebih rendah dari pada kita, bawahan kita, keluarga kita,
anak-anak kita, tanpa adanya perasaan bahwa kita berkuasa atas mereka,
maka hidup ini akan terasa kosong, tidak ada artinya, sepi dan membosankan.
Seperti juga milik atau kelebihan yang lain pada diri kita, kekuasaan juga
memabokkan, dapat membuat kita lupa diri dan melakukan apapun demi untuk
mempertahankan atau merampas kekuasaan itu. Kekuasaan, seperti kelebihan
lain, mengikat dan membelenggu kita kuat-kuat sehingga orang yang memiliki
kekuasaan tak dapat lagi melepaskan diri, bahkan tidak dapat lagi menikmati
hidup tanpa kekuasaan.
Ada yang begitu kehilangan kekuasaan, orang merasa demikian kosong, tidak
berarti, duka dan sengsara. Ada pula yang mempertahankan kekuasaan
dengan taruhan nyawa. Demikian lemahnya kita kalau sudah dicengkeram dan
dikuasai nafsu sehingga segala yang sesungguhnya hanya menjadi pelengkap
hidup, seperti kekayaan, kedudukan, kekuasaan dan sebagainya, kita jadikan
yang terpenting, lebih penting dari pada nyawa!

“Orang muda, siapa namamu? Dari mana kau datang dan hendak ke mana?”
Dia memandang pedang yang tadi oleh Goan Ciang dikeluarkan dan diletakkan
di atas lantai. “Dan untuk apa engkau membawa-bawa pedang tanpa sarung
itu?” Pedang itu memang hanya dibuntal kain butut oleh Goan Ciang dan selalu
dia selipkan di pinggang, disembunyikan di balik bajunya.
“Kalau ada perajurit keamanan melihatmu, tentu engkau akan ditangkap karena
membawa pedang ini.” Goan Ciang menarik napas panjang. Dia seorang
pelarian, seorang buruan. Tidak perlu mencari penyakit dengan
memperkenalkan nama lengkapnya, akan tetapi diapun tidak tega untuk
membohongi kakek yang telah begitu baik membagi makan malamnya dengan
dia.
“Kek, namaku....biasa orang memanggilku Siauw Cu (Cu Kecil) dan aku datang
ah, terus terang saja aku hana bisa bilang bahwa aku datang dari belakang dan
ingin pergi ke depan!” Melihat kakek itu tertawa, dia cepat menyambung, “Aku,
tidak
mempermainkanmu, kek. Memang aku tidak mempunyai tempat tinggal, tidak
mempunyai tujuan perjalanan. Pedang ini adalah kawanku satu-satunya, untuk
membela diri kalau diserang orang jahat.”
“Hemm, namamu Siauw Cu dan engkau hidup sebatang kara di dunia ini, tidak
mempunyai tempat tinggal, tidak memiliki tujuan. Engkau jelas bukan anggota
kaipang (perkumpulan pengemis) walaupun pakaianmu tambal-tambal. Aku
yakin engkau tidak pernah mengemis.”
“Mengemis? Ihh, aku tidak sudi mengemis, kakek yang baik. Mengemis adalah
pekerjaan yang hina!”
“Ha-ha-ha, jangan katakan bahwa engkau mencari nafkah dengan bekerja?
Apa sih pekerjaanmu?”
Siauw Cu menggeleng kepalanya. “Aku memang tidak bekerja, kek, aku
menganggur dan aku menyusahkan hatiku.”
“Engkau tidak bekerja, dan mengemis tidak sudi, Lalu apa yang kaumakan
setiap hari? Mencuri?”
“Lebih baik mencuri daripada mengemis!”
“Heh-heh-heh, itu kan alasan seorang pencuri. Kalau seorang pengemis tentu
akan mengatakan bahwa mengemis lebih baik daripada mencuri. Apa salahnya
mengemis makanan kalau kita lapar dan tidak mampu membeli? Setidaknya,
mengemis berarti mengetuk hati nurani manusia lain agar menaruh iba kepada
sesamanya.”
“Akan tetapi, sekali mengemis akan membuat orang menjadi malas bekerja dan
hanya mengandalkan pemberian orang saja, bahkan dia lalu mengemis bukan
untuk keperluan makan, melainkan untuk mengumpulkan harta.”
“Heh-heh-heh, yang demikian bukan pengemis namanya, melainkan penipu.
Sudahlah, jangan bicara tentang pengemis, kalau mereka tersinggung, semua
penghuni kuil ini akan keluar dan memaki atau mengeroyokmu. Aku ingin
bertanya, kenapa engkau tadi menghela napas dan mengeluh panjang pendek?
Engkau kelihatan seperti orang yang bersusah hati. Kenapa?”
Goan Ciang termenung. Sejak kecil, dia memang lebih banyak mengenal susah
daripada senang. “Siapa yang takkan susah hatinya melihat semua penderitaan
yang mewarnai kehidupan manusia ini, kek? Di mana-mana aku melihat
kesengsaraan manusia!”
“Heh-heh-heh, maksudmu kemiskinan dan penyakit, usia tua dan kematian?”
“Bukan itu saja, juga kekecewaan-kekecewaan, harapan-harapan hampa,
keputus-asaan.
Aku sendiri sejak kecil belum pernah menikmati kebahagiaan. Yang kukenal
hanya penderitaan, duka nestapa, kekecewaan, dan kesusahan belaka.
Apakah memang kehidupan ini berarti penderitaan dan kesusahan, kek?”
“Heii, orang muda. Jawab terus terang, apakah engkau pernah merasakan apa
yang dinamakan kesenangan itu? Pernahkah engkau senang sejak kecil
sampai sekarang?”
“Kalau itu tentu saja pernah, kek. Akan tetapi, kesenangan sekelumit yang
disusul kesusahan segunung.”
“Heh-heh-heh, itulah sebabnya! Karena engkau pernah merasakan senang,
maka engkau merasakan susah. Coba andaikata engkau selama hidupmu
belum pernah merasakan senang, tidak mengenal senang, aku yakin engkau
tidak pula mengenal susah. Mengejar kesenangan sama dengan mengejar
kesusahan. Coba pikir, engkau tadi makan minum bersamaku, senang atau
tidak?”
“Ya, tentu....senang, kek.”
“Nah, coba kalau sebelum makan minum engkau tidak merasakan susahnya
dan derita perut lapar, apa engkau akan dapat menikmati senangnya makan?
Kalau hendak menikmati enaknya minum, haruslah lebih dahulu menderita
tidak enaknya haus.
Kesenangan merupakan pengalaman, kenangan, dan kita ingin memilikinya
secara abadi, sehingga kalau kesenangan itu lepas dari tangan, kita bertemu
kesusahan. Senang dan susah sama saja, itu hanya permainan pikiran yang
bergelimang nafsu. Nafsu membentuk si-aku yang ingin senang, tidak mau
susah, lupa bahwa adanya senang karena adanya susah, adanya siang karena
adanya malam. Itulah perimbangannya, yang satu mengadakan yang lain.”
“Tapi, kek. Bukankah semua orang juga begitu? Siapa yang mau susah?
Bahkan senangpun kalau berekor susah, aku tidak mau. Aku ingin bahagia
selamanya, akan tetapi sejak kecil aku tidak pernah merasakan kebahagiaan.”
Kakek itu memandang penuh perhatian dan Goan Ciang menambahkan kayu
pada api unggun sehingga nyala api membesar. “Orang muda, dalam
pertanyaanmu sudah terdapat jawabannya. Aku melihat bahwa engkau bukan
seorang yang tepat untuk mencapai kebahagiaan, melainkan seorang yang
memiliki kemauan besar, memiliki bakat besar untuk mendapatkan kesenangan
yang sebanyak-banyaknya. Berbakat untuk menjadi orang besar dengan
kekuasaan yang tak terbatas!”
“Maksudmu bagaimana, kek?”
Kakek itu tersenyum dan menggeleng kepala. “Aku tidak dapat mengatakan
lebih dari itu, aku hanya membaca tanda-tanda pada wajahnya. Akan tetapi
kembali tentang kebahagiaan, engkau sendiri tadi mengaku bahwa sejak kecil
engkau belum pernah merasakan kebahagiaan. Nah, dengan begitu berarti
engkau tidak mengenal kebahagiaan
dan tidak tahu apa itu kebahagiaan, bukankah begitu?”
“Justru, karena itu aku sedang mencarinya, kek. Aku mendambakan
kebahagiaan, aku ingin menemukan kebahagiaan.”
“Heh-heh-heh, lucunya! Siauw Cu, aku mempunyai seorang kenalan, namanya
Akong.
Nah, dapatkah engkau mencarinya untukku? Engkau belum mengenalnya,
belum mengetahui di mana dia dan tidak mengenal ciri-cirinya, hanya tahu
bahwa namanya Akong. Dapatkah engkau menemukannya untukku?”
“Wah, jelas tidak mungkin, kek! Andaikan aku bertemu seorang yang namanya
Akong sekalipun, aku tidak tahu apakah itu Akong yang benar ataukah Akong
yang lain.”
“Bagus! Begitu pula dengan kebahagiaan. Kalau engkau belum pernah
mengenalnya bagaimana engkau dapat menemukannya? Andaikata engkau
bertemu dengan sesuatu yang kaunamakan kebahagiaan sekalipun, engkau
tidak tahu apakah itu kebahagiaan yang asli ataukah yang palsu, seperti Akong
tadi! Mengertikah engkau, Siauw Cu?
Orang tidak mungkin mencari sesuatu dan menemukan sesuatu yang belum
pernah dikenalnya. Kalau engkau mencari kesenangan, yaitu pengalaman
menyenangkan hati seperti yang pernah kaualami atau yang pernah dialami
orang lain dan yang engkau dengar orang lain menceritakannya kepadamu.
Dan mencari kesenangan, seperti kita bicarakan tadi, sama dengan mencari
kesusahan karena keduanya kait-mengait dan tak terpisahkan.”
Siauw Cu mengerutkan alisnya. Belum pernah dia mendengarkan pendapat
seperti itu. Belum pernah dia bercakap-cakap dengan orang lain seperti yang
dilakukannya pada malam hari sunyi di depan kuil kosong itu. Ia takjub, juga
tidak mengerti. Apa yang diucapkan kakek itu hanya samar-samar saja dapat
ditangkap hatinya, namun segera menjadi kabur pula.
“Kakek yang baik, aku telah memberitahu namaku. Bolehkah aku mengetahui
nama kakek yang bijaksana?”
“Bijaksana? Heh-heh-heh, aku sama sekali tidak bijaksana, sama seperti
engkau dan orang lain. Kalau makan enak perut kenyang harus senang, heh-
heh-heh! Kalau orang-orang menyebutmu Siauw Cu, maka orang-orang
menyebut aku Pek Mau Lokai (Pengemis Tua Berambut Putih). Engkau boleh
sebut aku Lo-kai (Jembel Tua) saja.”
Akan tetapi Siauw Cu adalah seorang pemuda yang pandai membawa diri. Dia
tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang luar biasa, dan bukan
mustahil kakek seperti ini memiliki ilmu kepandaian tinggi. “Pek-mau locianpwe
(Orang Tua Gagah Berambut Putih), aku hanya ingin bertanya dan akupun
mengharap locianpwe akan menjawab sejujurnya.”
“Heh-heh-heh, tanyalah, orang muda.” Kata kakek itu, tidak kikuk disebut
locianpwe.
“Apakah locianpwe tidak seperti aku, tidak mendambakan dan tidak mencari
kebahagiaan?”
Wajah yang keriputan dibungkus rambut putih itu berseri, matanya bersinar-
sinar, mulutnya tersenyum lebar sehingga kelihatan bahwa mulutnya tidak
bergigi lagi, seperti mulut bayi yang belum tumbuh gigi. “Heh-heh-heh, aku tidak
butuh kebahagiaan, orang muda. Untuk apa kebahagiaan? Tidak bisa dimakan,
tidak bisa dipakai. Untuk apa? Aku adalah aku, seperti inilah, dan aku tidak
ingin menjadi yang lain, tidak ingin menjadi apa-apa, tidak ingin apaapa. Kalau
aku tua, tualah, kalau miskin, miskinlah, kalau sakit, sakitlah, kenapa harus
mengeluh dan tidak menerima kenyataan? Kalau lapar, cari makan, kalau sakit,
cari obat, itu saja. Aku tidak butuh bahagia. Nah, sekarang ini perutku kenyang,
tubuh terasa nyaman, mataku mengantuk. Aku tidak ingin apa-apa, tidak butuh
bahagia, hanya butuh tidur!” Setelah berkata demikian, kakek yang tadinya
duduk bersila itu lalu merebahkan tubuhnya, miring dan dalam beberapa detik
saja dia sudah tidur pulas!
Siauw Cu tercengang, lalu tertegun, merenung, memandang kepada kakek
yang tidur nyenyak itu, lalu menambahkan kayu pada perapian dan termenung
memandang api yang merah. Pandang matanya kosong menerawang,
menembus nyala api. Dia menemukan sesuatu, menemukan kenyataan pada
diri kakek itu. Itulah bahagia! Itukah? Keadaan tidak ingin apa-apa, ituka yang
dinamakan bahagia? Akan tetapi, bagaimana mungkin hidup tidak ingin apa-
apa, seperti kakek itu? Menerima keadaan begitu saja? Mungkin bisa dilakukan
seorang yang sudah tua seperti kakek itu. Akan tetapi dia? Dia masih muda, dia
ingin memperoleh kemajuan dalam segala bidang! Dia bercita-cita. Dia ingin
mengusir penjajah Mongol. Dia ingin memimpin rakyat membebaskan diri dari
belenggu penjajahan. Dia ingin menjadi pemimpin besar rakyat jelata, ingin
mencapai kekuasaan tertinggi! Dia sudah cukup menderita kekurangan,
penghinaan, kerendahan. Dia ingin berkecukupan, berlebihan, dihormati dan
disembah, dia ingin kedudukan setinggi-tingginya.
Salahkah itu? Dia menoleh dan melihat betapa kakek itu tersenyum pada
tidurnya.
“Engkau boleh puas dengan keadaanmu, kek. Akan tetapi aku belum puas
dengan keadaanku. Kalau sudah tercapai cita-citaku, barulah aku akan merasa
puas dan bahagia.
Ya, puas dengan keadaannya itulah bahagia dan aku tidak berbahagia karena
aku belum puas dengan keadaan diriku!”
Cu Goan Ciang masih diombang-ambingkan pikirannya sendiri, tidak tahu
bahwa hati akah pikiran itu sudah dikuasai nafsu daya rendah. Oleh karena itu,
apapun yang kita pikirkan selalu mempunyai satu tujuan, yaitu demi keenakan
dan kesenangan diri pribadi. Dengan selimu dan kedok apapun, berselubung
apapun yang menjadi tujuan pemikiran adalah keenakan dan kesenangan diri
pribadi. Baik kesenangan dan keenakan diri jasmani maupun keenakan dan
kesenangan diri bagian dalam, y aitu batin. Orang yang haus akan kebahagiaan
adalah jelas merupakan orang yang tidak berbahagia.
Kenyataannya bahwa kita ingin berbahagia menunjukkan bahwa kita tidak
berbahagia. Ini merupakan fakta. Nah, dalam keadaan tidak berbahagia,
bagaimana mungkin dapat menemukan bahagia? Yang tidak berbahagia itu
bukan lain adalah yang mendambakan kebahagiaan itu juga. Dalam keadaan
sakit, bagaimana mungkin tubuh mendambakan kesehatan? Yang terpenting
bukan mencaricari kesehatan, melainkan menghilangkan penyebab sakit,
apakah kita butuh akan kesehatan lagi. Demikian pula dengan kebahagiaan.
Yang terpenting adalah mengamati, mempelajari, dan meyakinkan mengapa
kita tidak berbahagia! Kalau penyebab yang mendatangkan ketidak-bahagiaan
itu lenyap, apakah kita butuh lagi kepada kebahagiaan? Tentu saja tidak butuh!
Orang yang tidak sakit tidak butuh kesehatan karena memang sudh sehat.
Orang yang tidak „tak berbahagia‟ tidak membutuhkan kebahagiaan lagi karena
sesungguhnya dialah orang berbahagia! Seperti juga kesehatan, kita tidak
pernah menyadari kebahagiaan.
Kalau kita sehat, kita lupa bahwa kita sehat, kita tidak dapat menikmatinya.
Demikian pula kalau kita berbahagia, kita lupa atau tidak tahu bahwa
kebahagiaan tak pernah meninggalkan kita. Kalau kita sakit, baru kita rindu
kesehatan, kalau kita sengsara baru kita mendambakan kebahagiaan! Pada
hal, kebahagiaan, seperti Tuhan dan kekuasaanNya, tidak pernah
meninggalkan kita sedetikpun. Kitalah yang meninggalkan Dia!
Nafsu daya rendah telah mencengkeram kita lahir batin sehingga nafsu yang
diikutsertakan kepada kita dan yang semula dijadikan pembantu dan alat kita
dalam kehidupan ini, berbalik memperalat kita sehingga kita diperhamba. Nafsu
mencengkeram kita dan mendorong kita untuk selalu mengejar-ngejar
keenakan dan kesenangan diri lahir batin. Hidup kita hanya diseret ke satu
arah, satu arah mencapai tujuan, yaitu keenakan dan kesenangan! Dan untuk
mencapai tujuan ini, kita menghalalkan segala cara karena sudah lupa diri, lupa
bahwa kita ini manusia, mahluk tersayang yang mendapat anugerah Tuhan
secara berlimpah-limpah. Kita melupakan Tuhan, hanya menyebut nama Tuhan
dalam mulut saja, itupun kita lakukan kalau kita sedang ditimpa kesengsaraan!
Kesengsaraan yang menimpa diri kita karena akibat ulah kita sendiri, membuat
kita ingat kepada Tuhan, ingat untuk minta tolong, untuk minta dibebaskan dari
kesengsaraan! Dalam keadaan menderita, baru kita menjerit-jerit minta ampun
kepada Tuhan! Permintaan ampun seperti itu biasanya tidak ada gunanya,
karena kita minta ampun dalam keadaan menderita, dengan satu tujuan
terselubung, yaitu terlepas dari kesengsaraan! Permintaan ampun seperti itu
hanya suatu cara untuk memperoleh keenakan dan kesenangan karena bebas
dari derita. Kalau sudah terbebas dari derita, maka kitapun sudah lupa lagi
kepada Tuhan! Itulah ulah nafsu yang sudah mencengkeram hati akal pikiran,
sehingga apapun yang kita lakukan menuruti dorongan hati akah pikiran yang
masih bergelimang nafsu yang selalu berpamrih demi kesenangan diri.
Bebas dari cengkeraman nafsu berarti selalu berada dalam bimbingan
kekuasaan Tuhan. Apapun yang kita lakukan merupakan suatu kebaktian
kepadanya karena tidak ada saat di mana kita lupa kepadanya, seolah setiap
denyut jantung, setiap gerakan, setiap hembusan napas merupakan pujian dan
pujaan kepadanya.

Manusia adalah mahluk yang paling sempurna perlengkapannya dan menjadi


mahluk yang memiliki kepandaian dan kekuasaan karena kita disertai hati atau
pikiran. Akan tetapi justeru pikiran kini yang dapat menyeret kita menjadi
mahluk yang paling rapuh dan kejam. Kita mengadakan hukum-hukum, hukum
adat, hukum agama, hukum pemerintah dan hukum-hukum kesusilaan dan lain-
lain. Makin banyak kita manusia mengadakan hukum, makin banyak pula yang
kita langgar sendiri!
Mahluk selain manusia sejak lahir juga disertai nafsu-nafsu karena tanpa
adanya nafsu yang menyertai hidup, makhluk tidak dapat hidup. Di antaranya
selain mendorong untuk terdapat gairah hidup, nafsu juga memberi kenikmatan
Kenikmatan nafsu dalam makan membuat semua mahluk suka makan
sehingga tinggal hidup tidak mati kelaparan. Nafsu dalam hubungan sex
membuat semua mahluk dapat menikmatinya dan mau melakukannya sehingga
semua mahluk dapat berkembang biak dan tidak mus¬nah. Akan tetapi semua
mahluk selain manusia mempergunakan dan melakukan hasrat nafsunya di
bawah pengendalian nalurinya sehingga semua berlangsung apa adanya dan
wajar saja, apalagi karena makhluk mengadakan hukum apa pun maka tidak
terjadi pelanggaran apa pun.
Demikian pula manusia sejak lahir disertai berbagai macam nafsu yang
mendatangkan kenikmatan sehingga menolong manusia mempertahakan
hidupnya. Akan tetapi selain disertai nafsu, manusia juga dikaruniai hati akal
pikiran dan kelebihan ini bahkan seringkah mendorong manusia berbuat
menyimpang dari kewajaran dan batasan hukum-hukum yang mereka adakan
sendiri. Pikiran yang membuat manusia bukan menjadi majikan dari nafsu-
nafsunya sendiri, melainkan menjadi budak yang dikuasai nafsunya sendiri.
Pikiran membayangkan kenikmatan-kenikmatan itu, ingin mengulang lalu
mulailah kita melakukan pengejaran untuk dapat memperoleh kenikmatan yang
ditimbulkan nafsu itu. Dan kalau nafsu sudah menjadi majikan, kita menjadi
budak yang dikuasainya, maka terjadilah perbuatan-perbuatan yang melangga
hukum-hukum yang kita adakan sendiri. Kenikmatan memiliki harta benda yang
dapat memenuhi semua kebutuhan hidup seperti sandang-pangan-papan kita
kejar-kejar dan dalam pengejaran ini muncullah segala macam cara yang
melanggar hukum-hukum kita sendiri seperti mencuri. merampok, menipu,
korupsi, manipulasi, dan sebagainya. Kenikmatan dalam hubungan sex yang
sesungguhny amat indah dan suci karena hal itu m rupakan syarat mutlak untuk
perkembangbiakan manusia, juga merupakan pencurahan yang paling inti dari
kasih sa yang antara suami / isteri, oleh pikiran dibayang-bayangkan seolah
dikunyah-kunyah sehingga membangkitkan gairah untuk mengejarnya.
Pengejaran ini menimbulkan segala cara yang melanggar hukum-hukum yang
diadakan manusi sendiri dan terjadilah perkosaan, perjinahan, pelacuran dan
sebagainya!
Kalau nafsu sudah memperbudak manusia, maka segala pengetahuan tidak
ada artinya. Sejak ribuan tahun yang lalu, Tuhan telah memberi petunjuk
melalui manusia-manusia yang dipilihNya agar menyebarkan pelajaran tentang
hal yang baik sesuai dengan kehendak Tuhan, melaksanakan kebaikan dan
mengharamkan serta menjauhi kejahatan atau perluatan yang melanggar
hukum tadi. akan tetapi kenyataannya, segala pengetahuan yang ditampung
dalam pikiran sama sekali tidak mampu mengendalikan nafsu. Adakah seorang
pun pencuri di dunia ini yang tidak tahu bahwa mencuri itu jahat? Adakah
seorang pun koruptor di dunia ini yang tidak tahu bahwa. korupsi itu jahat?
Semua telah tahu! Setiap orang yang melakukan kejahatan tentu tahu bahwa
apa yang dilakukannya ! tidak baik dan tidak boleh! Akan tapi tetap saja di
mana-mana terjadi tindakan yang jahat itu. Pengetahuannya, hati akal
pikirannya, tidak mampu mengekang gairah nafsunya sendiri. Bahkan sang
pikiran yang suka mengaku-aku sebagai Aku itu membela nafsu dan
membantah pengetahuan tentang hukum dan pelanggarannya itu. Misalnya
seorang pencuri, kalau kesadarannya akan kesalahannya itu muncul, hati akal
pikirannya segera berbisik. "Tidak apa, ini kulakukan karena terpaksa untuk
mencukupi kebutuhan hidup keluargaku." Seorang koruptor melawan
kesadarannya sendiri dengan bisikan pikiran "Tidak apa-apa semua pejabat
juga melakukan itu dan itu lebih banyak lagi!" Dan yang paling menyedihkan
bahkan sang pikiran berbisik "Jangan khawatir, tidak ada orang yaitu tahu, tidak
ada orang melihatnya." Dengan bisikan ini dia lupa bahwa dirinnya juga orang,
akan tetapi sudah tidak di-orangkan sendiri, dan memang benar karena padas
saat itu, orangnya sudah hampir berubah menjadi setan!
Demikian pula halnya dengan dua orang anak manusia bernama Chou Kia Ki
dan Lai Cu Yin itu. Mereka berkecimpung dalam lautan berahi yang
mengasyikkan dan memabukkan. Apakah mereka tidak tahu bahwa perbuatan
mereka itu melanggar hukum kesusilaan? Tentu saja mereka tahu, akan tetapi
gairah nafsu sudah membuat mereka menjadi buta. Mereka menjadi hamba-
hamba kenikmatann nafsu dan kesenangan sehingga menghalalkan segala
cara demi memperoleh kenikmatan itu!
Berbahagialah orang yang menyadari akan kelemahannya dan selalu berserah
diri, mohon bimbingan Tuhan karena hanya Kuasa Tuhan yang akan mampu
meredakan dan mengendalikan nafsu sehingga dia akan selalu ingat kepada
Tuhan dan waspada terhadap setiap langkah dan tindakan dalam hidupnya.

Hampir tidak ada manusia di dunia ini, kecuali mungkin para nabi atau
manusia-manusia pilihan Tuhan, manusia-manusia tertentu saja, yang dapat
bertahan untuk hidup bebas, dalam arti kata hidup di antara orang-orang lain, di
antara benda-benda yang menjadi kepunyaannya, namun batinnya bebas dari
semua itu, bebas dari kemelekatan. Nafsu-nafsu daya rendah sudah
diikutsertakan kepada manusia sejak dia lahir, dan nafsu-nafsu inilah yang
membentuk keakuan, membentuk ego yang selalu membutuhkan sesuatu di
luar dirinya untuk dapat melekat. Padahal, justeru kemelekatan inilah yang
melahirkan duka. Isteriku, anakku, keluargaku, hartaku, namaku, semua yang
diembel-embeli dengan AKU inilah yang mendatangkan pertentangan,
permusuhan, dan berakhir dengan kedukaan. Manusia yang bijaksana me-
nyadari bahwa dia tidak memiliki apa-apa, semua yang berada di alam semesta
ini mutlak adalah milik Tuhan, Sang Pencipta Maha Pemilik. Bahkan dirinya,
jiwanya, adalah milik Tuhan. Memang dia boleh jadi mempunyai banyak hal,
mempunyai keluarga, mempunyai harta, mempunyai nama. Akan tetapi
mempunyai untuk sementara saja dan akhirnya tentu akan dipisahkan darinya.
Bukan MEMILIKI. Dia tidak kuasa sedikitpun akan apa yang dipunyainya,
termasuk badan dan jiwanya. Kalau YANG MEMILIKI berkenan mengambilnya,
dia tidak akan mampu menolak karena sesungguhnya dia bukan sang pemilik.
Yang ngaku-aku memiliki itu hanhyalah nafsudaya rendah, yang senantiasa
menginginkan yang nikmat dan yang menyenangkan. Kesadaran akan ini
semua akan membuat manusia waspada dan tidak terlalu tenggelam dalam
duka apabila ditinggal mati seseorang yang dicintanya. Sadar bahwa orang
yang dicintanya itu bukanlah miliknya, seperti juga dirinya sendiri bukan
miliknya. Maka, apabila. YANG MAHA MEMILIKI mengambilnya, dia akan
menyerahkan dengan segala keikhlasan hati. Kesadaran ini akan banyak
mengurangi,bahkan menghapus, penderitaan karena kedukaan.

pelajaran dalam kitab Tiong Yong dari Guru Besar Khong Cu :


Wi bin wi kok, hiap ci tai cia (berjuang demi rakyat dan negara, itu yang paling
utama
Kun-cu souw ki wi ji neng, Put goan houw ki gwe = Seorang Budiman bertindak
sesuai dengan kedudukannya, dia tidak menginginkan apa-apa bukan menjadi
bagiannya

"Berkedudukan tinggi dia tidak menghina bawahannya. Berkedudukan rendah


dia tidak menjilat-jilat atasannya, memperbaiki diri sendiri dan tidak
mengharapkan mendapat apa-apa dari orang lain. Karena itu, dia tidak pernah
membenci siapa pun. Ke atas dia tidak menuntut Tuhan, ke bawah dia tidak
menyalahkan orang lain."
"Maka dari itu seorang Budiman senantiasa berada dalam keadaan tegak dan
tenteram menanti Thian Beng (Karunia Tuhan). Sebaliknya seorang Siauw-jin
(Manusia berbudi rendah) senantiasa melakukan perbuatan jahat
membahayakan orang lain mendapatkan apa-apa yang bukan menjadi haknya!"

"Ya Tuhan, betapa menyedihkan mendengar cerita tentang perang! Perang


merupakan puncak kekejaman manusia apalagi perang saudara, bunuh
membunuh dalam puncak nafsu kebencian antar bangsa sendiríl Padahal,
manusia adalah mahluk termulia di antara semua mahluk hidup, yang dikaruniai
hati akal pikiran sehingga dapat membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk, diberi kebebasan untuk memilih. Melihat sifat-sifat yang mulia dan paling
baik antara segala mahluk, dapat dimengerti bahwa Yang Maha Kuasa
menghendaki agar manusia menjadi pemimpin dunia menjadi pengatur dunia,
dan hidup sebagai manusia menjadi pembantu kekuasaan Tuhan, menjadi
penyalur berkat dunia seisinya. Akan tetapi celaka, nafsu-nafsu daya rendah
menguasai manusia meracuni hati akal pikiran sehingga jadilah segala macam
bentuk kejahatan dan kekejaman di antara manusia sendiri. Betapa
menyedihkan.....!”
"Suhu, teecu juga yakin bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu di dunia
tentu mempunyai maksud yang baik."
“Tentu saja. Han Lin. Tiada satu ciptaanNya yang tidak ada manfaat semua
yang tampak di dunia ini, hasil ciptaan Tuhan, semua itu bermanfaat. Lihat saja,
adakah sesuatu yang tidak ada manfaatnya bagi yang lain? Bahkan tanah pun
bermanfaat secara mutlak, batubatu, pasir dan semua barang yang disebut
barang mati tak bergerak itu ada manfaatnya. Sarnpah yang dianggap paling
rendah tingkatnya itupun bermanfaat bagl pupuk. Lalu kini yang hidup namun
tak bergerak seperti tumbuh-tumbuhan.
Semua tumbuh-tumbuhan itu berguna bagi yang lain, bahkan menghidupkan!.
Bayangkan saja kalau tidak ada, tumbuh-tumbuhan yang perlu untuk dimakan
manusia, dimakan binatang, dan untuk keseimbangan alam. Kalau ada tumbuh-
tumbuhan yang pada saat sekarang ini belum diketahui manfaatnya hal itu
hanyalah karena manusia belum menemukan manfaatnya, akan tetapi akan
datang saatnya manfaatnya ditemukan. Kemudian mahluk hidup bergerak
seperti binatang. Adakah binatang yang tidak ada manfaatnya? Sedikitnya
bermanfaat sekali bagi manusiai Bahkan ada yang dimanfaatkan air susunya,
kulitnya, dagingnya, tulangnya! Semua ada manfaatnya, Karena itu, alangkah
menyedihkan kalau manusia hidup yang sama sekali tidak ada manfaatnya bagi
manusia atau mahluk lain!
Setiap orang manusia berkewajiban untuk membantu terputarnya
kesejahteraan bagi dunia seisinya. Maka perang merupakan perbuatan yang
amat terkutuk dari segolongan manusia dan sudah pasti sekali Tuhan tidak
menghendakinya.”
"Suhu, mengapa banyak manusia jadi jahat? Mengapa manusia saling rebut
kekuasaan, harta, dan sebagainya?”
"Karena pada umumnya kita manusia selalu mengejar kesenangan dunia, Han
Lin. Apapun yang diperebutkan, baik kekuasaan, harta benda, wanita dan
bahkan memperebutkan kebenaran sekalipun semua yang diperebutkan itu kita
anggap sebagal sumber kesenangan.
Kita selalu Ingin memiliki semua itu, kalau semua itu untuk kita, menjadi milik
klta. Maka terjadilah perebutan yang menimbulkan kekejaman dan bunuh
membunuh karena kebencian. Kita lupa bahwa segala suatu yang terdapat di
dunia ini adalah milik Tuhan! Bahkan diri kita masing-masing ini pun milik
Tuhan! Kalau Sang pemilik hendak mengambil kembali mlliknya, termasuk diri
kita, siapa yang dapat mencegahnya? Keluarga kita, isteri dan anak-anak kita,
semua Itu milik Tuhan. Kita hanya mempunyai, hanya pengakuan saja sebagai
punya kita, akan tetapi pada hakekatnya adalah milik Tuhan semata! Demikian
pula harta benda, kedudukan, dan sebagainya. Semua itu merupakan anugerah
atau pemberian dari Tuhan yag harus kita syukuri dan kita pergunakan sesuai
dengan kehendaknya, yaitu dengan jalan mempergunakan semua anugerah itu
demi kesejahteraan sesama manusia. Kita tidak boleh terikat dengan semua
itu, karena sesungguhnya semua itu hanya dipinjamkan saja kepada kita oleh
Tuhan sebagai pemilik tunggali.”

"Suhu, apa yang Suhu maksudkan dengan mempergunakan semua anugerah


demi kesejahteraan sesama manusia?"
"Han Lin, anugerah Tuhan kepada kita dapat berupa kepandaian, kedudukan
tinggi. tenaga kuat, kekayaan, dan sebagainya. Sepatutnya kita mensyukuri
semua itu dengan cara menjadi penyalur berkat anugerahNya itu Yang
berlebihan kepandaian, menyalurkannya kepada yang membutuhkan
kepandaian, yang berkeduduk tinggi juga menyalurkannya demi kepe tingan
mereka yang perlu dilindungi demikian pula yang kuat menyalurkan
kekuatannya dengan membela yang lemah dan perlu dibela, yang berkelebihan
kekayaan dapat menyalurkannya untuk menbantu mereka yang miskin dan
membutuhkannya, dan selanjutnya. Dengan demikian, maka para penyalur
berkat karunia Tuhan Itu menjadi pembantu-pembantu Tuhan yang baik dan
patut menerima karunia Itu."
"Akan tetapi, Suhu. Banyak orang mengeluh, mengatakan bahwa apa yang
dapat mereka salurkan kepada orang lain kalau mereka sendiri tidak memiliki
kepandaian, kedudukan, atau kekayaan, hidup mereka itu lemah, seperti
misalnya seorang kakek atau nenek yang miskin bodoh?"
Thal Kek Slansu tersenyum lebar sehingga tampak giginya yang masih lengkap
dan putih bersih. Sepasang matanya yang bersinar lembut berseri.
"Pertanyaan itu memang masuk akal. Apakah hanya orang berpangkat, orang
kuat, orang pandai, dan orang kaya saja yang menjadi penyalur berkat Tuhan,
arti menjadi pembantu Tuhan? Tentu saja tidak, Han Lin. Seorang nenek tua
yang tidak terpelajar, lemah, dan miskin sekalipun dapat menyalurkan berkat
Tuhan, yaitu melalui sikap terhadap sesama manusia. Sikap yang tulus, jujur
dan bijak, ramah dan manis budi, merupakan pemberian yang jauh lebih
berharga daripada emas. Apa artinya dapat memberi emas kepada orang lain
akan tetapi pemberian itu disertai sikap yang mengejek, marah, dan menghina?
Akan tetapi tanpa pemberian apa pun Juga, setiap orang akan merasa senang
menerima sikap ramah dan manis budi.
Sikap yang inipun merupakan berkat Tuhan menandakan adanya sentuhan
Kasih dalam hati nenek tua itu."
"Suhu, teecu mohon dijelaskan tentang Kasih yang Suhu maksudkan, yang
menyentuh hati sanubari nenek miskin itu. Mengapa teecu melihat bahwa Kasih
seperti yang Suhu maksudkan itu jarang sekali tampak berada di hati manusia.
Teecu melihat lebih banyak kebencian menghuni hati manusia daripada Kasih.”
'Sesungguhnya demikian, Han Lin Kasih hanya dapat menjadi pengisi batin kita
kalau kita selalu dekat dengan Tuhan. Kasih itu merupakan Sinar Tuhan dan
Sinar itu dapat menyinari batin kita apabila batin kita tidak lagi tertutup dan
digelapkan oleh nafsu-nafsu daya rendah yang mementingkan diri sendir.
Manusia tidak mungkin dapat belajar mengasihi atau belajar baik. Segala
kebaikan itu adalah buah dari Kasih. Kalau Kasih menghuni batin kita, maka
nafsu daya rendah tidak akan berdaya, akan lumpuh dan Kasih itu merupakan
induk yang melahirkan pikiran, ucapan, dan perbuatan yang sudah pasti baik
dan benar, yaitu baik dan benar. bagi orang lain, bukan bagi dirinya sendiri
karena baik dan benar bagi diri sendiri adalah licik dan palsu."
"Suhu, bagaimana kalau ada orang lain melakukan perbuatan jahat kepada kita
yang amat menyakitkan badan dan batin kita?"
“Han Lin, satu di antara buah Kasih lah mengampuni kesalahan orang lain pada
kita. Dengan dasar Kasih, mengampunl merupakan hal yang amat mudah. Dan
mengampuni merupakan kewajiban mutlak dari setiap orang, karena haknya
teah kita terima, yaitu pengampunan bagi kesalahan kita dari Tuhan Maha
Pengasih. Bukankah kita selalu mohon pengampunan dariNya? Bagaimana
Tuhan dapat mengampuni bagi kesalahan kita kalau kita sendiri tidak mau
mengampuni kesalahan orang terhadap kita? Ini namanya mau menang sendiri
dan mau enak sendiri dan itu merupakan kejahatan!”
"Suhu, di dunia ini begitu terdapat orang yang menderita duka nestapa dalam
hidupnya. Selama teecu melakukan perjalanan, lebih banyak menjumpai orang
yang berduka dari yang bersuka. Mengapa dalam kehidupan ini demikian
banyak kedukaan?"
“Han Lin, adanya duka karena suka, seperti adanya susah karena senang.
Keduanya yang berlawanan tidak dapat dipisahkan, seperti siang tidak dapat
dipisahkan dari malam karena keduanya merupakan kembar! Senang atau
susah hanya merupakan pikiran yang dipengaruhi nafsu yang bentuk si-aku
dirugikan, dia susah, Karena segala sesuatu itu tidak langgeng selalu berubah,
maka timbullah susah-senang mempermainkan manusia. Semua perasaan Itu,
susah-senang, kecewa dengan segala macam marah, benci, iri dengki, semua
disebabkan oleh pengaruh nafsu yang menguasai hati akal pikiran sehingga
membuahkan perbuatan jahat”
"Kalau begitu, jika Kasih datang dari Tuhan, maka nafsu itu datang dari Setan
dan kita perlu . membuang semua nafsu, Suhu?"
Thai Kek Siansu tertawa lembut. "He-he , sama sekali tidak demikian, Han Lin.
Nafsu ada pada setiap orang rnanusia sejak dia dilahirkan, maka nafsu juga
merupakan pemberian dari Tuhan agar nafsu melayani kebutuhan manusia
hidup di dunia ini. Tanpa adanya nafsu, manusia tidak dapat hidup di dunia.
Nafsulah yang mendorong manusia sehingga dapat membuat segala sesuatu
yang dibutuhkan dalam kehidupan ini. Nafsu yang membuat manusia dapat
menikmati kehidupan. Tanpa adanya kenikmatan dalam makan yang
dipengaruhi nafsu dalam selera makan, manusia tidak akan suka makan,
demikian dengan nafsu yang mempengaruhi halhal lain. Akan tetapi,
juga nafsu yang mencelakakan manusia, yaitu apabila nafsu daya rendah
berbalik menjadi majikan dan kita manusia menjadi pelayannya. Kalau sudah
begitu, maka manusia berpikir, berbicara, dan bertindak sesuai dengan
dorongan nafsu yang membentuk si-aku dan kegelapan nafsu daya menutupi
jiwa sehingga Sinar Kasih Tuhan tidak dapat meneranginya."
"Kalau begitu, kita perlu mengendalikan nafsu, Suhu?"
Thai Kek Siansu menghela napas panjang. "Sulit sekali bagi kita manusia untuk
mengendalikan nafsu hanya mengandalkan hati akal pikiran saja, Han Lin
Karena hati akal pikiran sendiri fsudah bergelimang nafsu. Satu-satunya
kekuatan yang akan mampu mengendalikan nafsu daya rendah hanyalah
Kekuasaan Tuhan semata. Dan agar Kekuasaan Tuhan dapat bekerja, satu-
satunya kemungkinan adalah apabila kita mendekatkan diri kepadaNya."
"Bagaimana agar Tuhan dekat dengan kita, Suhu?"
"Hanya apabila kita dekat denganNya. Dekat dengan Tuhan berarti memiliki
iman sepenuhnya kepada Tuhan, Iman barulah lengkap apabila kita percaya
berserah diri, pasrah kepadaNya dengan sepenuh dan selengkapnya, dengan
hati yang sabar dan rela menerima apa pun yang terjadi dan datang kepada
kita dengan keyakinan bahwa segala yang terjai di luar kekuasaan kita untuk
mengubahnya itu adalah sesuai dengan ke hendak Tuhan!
Kepasrahan yang mutlak inilah yang mendekatkan kita dengan Tuhan karena
Dia mengasihi orang yang beriman penuh kepasrahan. Kalau sudah gitu,
kekuasaanNya akan menyinari jiwa kita sehingga nafsu daya rendah kembali
bekerja sesuai dengan tugas m ereka, yaitu menjadi pelayan kita."
'Bagaimana teecu harus menjawab kalau ada yang bertanya apakah sikap
pasrah itu tidak membuat kita malas berusaha sehingga tidak akan
mendapatkan kemajuan dalam kehidupan kita?"
"Sikap demikian itu salah sama sekali! Tuhan menciptakan kita manusia
lengkap dengan segala anggauta badan termasuk hati akal pikiran dan naisu-
nafsunya.
Karena itu, sudah semestinya kalau kita pergunakan semua alat pelengkap
anggauta badan itu, kita pergunakan sesuai dengan fungsi masing-masing.
Kekuasaan Tuhan sendiri bekerja tiada hentinya sehingga seluruh alam
semesta dapat berfungsi dengan baik. Itulah yang sebut sejalan dengan Tao
(Jalan), adalah Kekuasaan Tuhan, Kodrat Tuhan.
Siapa menyalahi kodrat, dia membuat dosa yang akan dipikul akibatnya. Kita
butuh makan, haruslah mencari makanan itu, bahkan kalau sudah dapat dan
kita makan, tetap saja kita harus bekerja yaitu mengunyah dan menelan makan.
Sesudah makan memasuki lambung, tentu saja anggauta badan kita berupa
lambung itu bekerja menghancurkan makanan dan setiap tetes darah kita juga
bekerja. Karenanya, kita manusia harus berusaha sekuat tenaga, itu
merupakan kewajiban mutlak, akan tetapi sebagai dasarnya, kita harus pasrah
kepada Tuhan karena bagaimanapun kita berusaha, hasil akhirnya berada di
Tangan Tuhan. Karena itu hasil yang ditentukan Tuhan haruslah kita syukuri,
besar atau kecil, manis atau pun pahit. Karena segala hal yang terjadi telah
ditentukan Tuhan dan apa pun yang terjadi dengan kita, karena itu
keputusanNya, sudah pasti yang terbaik bagi kita."

Tembok besar, laksaan li panjangnya


Megah, kokoh kuat, agung dan jaya
Usaha besar Kaisar nan Mulia!
Lambang kekuatan Negara dan Bangsa!
Kawan-kawan, kau yang tewas dalam usaha
Pengorbananmu takkan sia-sia
Kaulah sebuah di antara jutaan batu
Kecil bentuknya namun besar jasanya
Di dalam tembok kau lenyap tak nampak oleh mata,
Namamu tak pernah disebut-sebut, orang telah lupa,
Namun tembok ini menjadi saksi utama
Bahwa kaulah yang berjasa!

Syair Sang Budiman Beng Cu dalam Kitab Tiong Yong :


"aku bebas,
tak ingin tak harap
tak duka tak suka
tak lebih tak kurang
tak kiri - tak kanan.........
apa kemarin sudah lalu
mengapa sesal - mengapa kecewa
tiada guna.....
sekarang sadar - sekarang ubah
sekarang baru - sekarang benar
sekarang bebas.........
apa kemudian - hanya akibat bukan
urusanku sekarang benar - esokpun benar
mengapa harap - mengapa ingin
apa lamunan - apa impian
tiada guna......
sekarang insaf - sekarang bebas
aku bahagia
karena bebas!
tak sudi aku
terkurung - terbelenggu
biar kurung emas
biar belenggu intan
lebih baik bebas
lepas di udara
terbang melayang
arah tertentu
sabar - yakin - waspada
takkan tersesat
karena bebas!"

"Tidak condong itulah Tiong (tegak lurus)


tidak berubah itulah Yong (seimbang)
Tiong adalah Jalan Kebenaran
Yong adalah hukum alam.”

Hi Nouw Ai Lok Ci Bi Hoat, Wi Ci Tiong


Sebelum timbul perasaan Senang, Marah, Duka dan Girang, keadaan itu
disebut Tiong (tegak lurus tidak miring)

Sesal kemudian memang tiada gunanya sama sekali. Penyesalan tidak akan
mengubah seseorang dari wataknya yang sesat, karena penyesalan biasanya
datang setelah akibat perbuatan itu menimbulkan kerugian bagi dirinya,
kerugian lahir maupun batin. Jadi yang disesalkan bukanlah perbuatan
sesatnya, melainkan akibatnya yang merugikan. Andaikata tidak ada akibat
yang merugikan, penyesalan pun tidak akan ada, dan biasanya, kalau akibat
yang merugikan itu sudah mereda dan tidak begitu terasa lagi, maka
pengulanganperbuatan sesat itupun terjadilah! Yang penting bukan penyesalan,
melainkan pengamatan setiap detik terhadap diri sendiri, setiap detik pada
pengamatan apa yang kita pikirkan, ucapkan, lakukan.
Pengamatan diri sendiri ini harus terjadi tanpa adanya "aku" yang mengamati,
karena kalau terdapat sang aku, tentu pengamatan ini akan menilai dan
pengamatan itu pun akan menjadi miring dengan adanya pendapat-pendapat
baik dan buruk, benar dan salah. Padahal, setiap penilaian adalah palsu karena
si penilai tentu akan mendasari setiap penilaian dengan perhitungan untung
rugi bagi diri sendiri. Jadi, tidak ada "aku" yang mengamati, melainkan yang
ada hanyalah pengamatan itu saja, perhatian sepenuhnya tanpa penilaian dari
sang aku.
Pengamatan inilah yang akan mengubah! Perubahan seketika pada saat itu
juga, tanpa penyesalan, tanpa pamrih.

Memang, di bagian mana pun di dunia ini, orang-orang yang suka bertindak
sewenang-wenang, yang suka mempergunakan kekerasan untuk menekan
orang lain, selalu memiliki watak pengecut dan beraninya hanyalah kepada
orang-orang yang lebih lemah dari padanya. Sekali bertemu yang lebih kuat
atau lebih tinggi kedudukannya, maka akan nampaklah wataknya yang aseli
dan dia akan berubah dari singa buas menjadi seekor domba yang mengembik,
menjadi seorang penjilat yang tidak mengenal malu.

Hidup adalah SEKARANG, bukan kemar in dan bukan esok.


Hidup adalah saat demi saat, saat ini, sekarang, detik demi detik. Mengenang
masa lalu hanya menimbulkan duka, kebencian, kekecewaan. Membayangkan
masa depan hanya menimbulkan rasa kekhawatiran atau khayalan-khayalan
muluk yang akhirnya mendatangkan kecewa kalau tidak terlaksana. Yang
penting adalah SEKARANG, saat ini, detik demi detik. Saat ini selalu waspada,
saat ini selalu sadar, penuh kewaspadaan dan perhatian terhadap segala
sesuatu yang berada di luar dan di dalam diri kita, saat ini bersin, saat ini benar
dan saat ini bahagia. Perlu apa menyesali dan menangisi masa lalu? Perlu apa
pula mengharapkan masa depan? Hanya lamunan dan khayalan kosong
belaka, bukan kenyataan. Apa yang belum terjadi, kita serahkan dengan
sepenuh kepercayaan, sepenuh kepasrahan, kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa. Apa pun yang datang terjadi pada kita, kita terima dengan penuh
kewaspadaan, tanpa penilaian untung rugi. Semua kejadian pasti ada
sebabnya dan semua sebab berada di tangan kita sendiri. Tuhan itu Maha Adil,
kalau tangan kita menanam yang buruk, pasti kita akan memetik buahnya yang
buruk pula. Yang terjadi adalah kenyataan, dan sudah dikehendaki Tuhan,
maka apa pun penilaian kita, manis atau pahit, menyenangkan atau
menyusahkan, kenyataan yang sudah dikehendaki Tuhan itu sudah pasti benar
dan adil karena Tuhan Maha Benar dan Maha Adil!

Banyak orang tua yang menyayang puteranya dengan hati penuh kebanggaan,
dan kebanggaan ini sendiri sudah menunjukkan, adanya pementingan diri
sendiri, menuruti senangnga hati sendiri. Dan cinta kasih yang sudah dilumuri
oleh kepentingan diri sendiri itu tiada bedanya dengan kesenangan terhadap
benda yang dianggap menyenangkan dan berharga, dan sayang seperti itu
condong untuk mudah luntur, yakni apabila yang disayangnya itu tidak lagi
mendatangkan kesenangan bagi dirinya! Dan sayang hanya kerena perasaan
bangga dan senang ini condong untuk membuat orang tua memanjakan
puteranya. Kalau sudah begini, maka orang tua meracuni pertumbuhan watak
puteranya karena kemanjaan itu hanya membesarkan si-aku yang selalu harus
dituruti kehendaknya. Keinginannya untuk bersenang sendiri tanpa
memperdulikan orang lain.
Memanjakan anak, menyanjung dan memuji-mujinya menumbuhkan perasaan
tinggi hati kepada jiwa anak, yang akan merasa bahwa dirinya amat baik, amat
pandai, seperti yang dipuji-puji selalu oleh orang tuanya, dan si anak akan
terbiasa oleh gambaran tentang dirinya sendiri yang terlalu tinggi.
Cinta kasih kepada anak memang membiarkan anak tumbuh wajar dan bebas,
seperti penggembala yang mengamati domba-dombanya, dibiarkan doma-
domba itu berkeliaran di padang rumput, tanpa batas. Hanya mengamati dari
belakang, tutwuri handayani, turun tangan kalau melihat dombanya
menyeleweng, bukan demi diri sendiri melainkan demi si domba agar jangan
sampai tersesat, jangan sampai merusak tanaman orang, dan jangan sampai
makan benda beracun. Perasaan sayang dan mesra terhadap yang dikasihi
bukanlah tumbuh dari kenginan untuk senang sendiri. Dan pendidikan terbaik
adalah perasaan cinta kasih itu sendiri, karena perasaan ini akan terasa oleh si
anak, terasa dalam setiap ucapan orang tua, setiap gerak-gerik orang tua, baik
kalau sedang memberi nasihat atau sedang memberi peringatan dan larangan.

Manusia hidup takkan pernah berbahagia selama dia memandang jauh ke


depan, selama dia mengharapkan hal-hal yang lebih baik daripada keadaannya
saat ini. Pengharapan akan keadaan yang lebih baik itu dengan sendirinya
mendatangkan rasa tidak puas dan kecewa akan keadaan saat ini. Dan dia pun
akan selalu menjadi korban dari keinginannya sendiri, takkan pernah puas
selamanya karena dari keinginannya dia selalu mengharapkan yang lebih baik.
Dan keadaan ini oleh kita sudah dianggap amat baik, dengan istilah cita-cita!
Padahal, kebahagiaan terletak pada saat ini!
Berbahgialah orang yang dapat menikmati saat ini, sekarang, dalam keadaan
bagaimana pun juga, tanpa memandang ke masa depan, tanpa menginginkan
hal yang lain daripada yang ada. Karena hidup adalah saat ini, kebahagiaan
hidup adalah dalam saat ini.

Cinta asmara, memang sesuatu yang aneh, teramat indah teramat luas untuk
dipelajari dan diselidiki sehingga semenjak laksaan tahun yang lalu selalu
menjadi bahan penulisan para cerdik pandai, para sastrawan dan seniman.
Agaknya tak mungkin manusia hidup tanpa cinta. Hidup tanpa cinta bagaikan
pohon tanpa bunga dan pohon itupun takkan berbuah, tanpa keindahan tanpa
keharuman. Cinta asmara merupakan suatu kewajaran alamiah, agaknya
diperuntukkan sarana perkembangbiakan agar manusia pria dan wanita saling
tertarik, saling mendekati, melakukan hubungan badaniah yang merupakan
puncak dari cinta asmara sehingga mereka akan beranak dan manusia tidak
akan sama melainkan bersambung terus oleh keturunan demi keturunan,
generasi demi generasi.
Cinta asmara mengandung kemesraan yang paling mendalam,keharuan yang
paling halus, mengandung pula pengenyahan kepentingan diri sendiri sehingga
berani berkorban nyawa kalau perlu akan tetapi juga di suatu merupakan
penonjolan ke-aku-an yang paling besar karena di situ terdapat pula keinginan
menguasai, memiliki, memonopoli. Ingin memiliki dan dimiliki, menyenangkan
dan disenangkan. Sayang bahwa sebagian besar dari kita menitik beratkan
kepada kesenangan dan kenikmatannya, sehingga berani mengambil peran
terbesar dan terpenting. Kalau begini, maka kekecewaan dalam hal ini akan
membuat cinta asmara menjadi suatu penderitaan, kekecewaan, cemburu,
bahkan tidak aneh lagi kalau cinta asmara berbalik menjadi kebencian.
Betapa indah dan anehnya cinta kasih, suatu masalah yang patut kita
renungkan, kita amati dan kita pelajari setiap saat, dengan mengamati diri
sendiri dan setiap orang manusia, tak peduli pangkatnya. Raja diraja sampai
kepada pengemis yang paling miskin, berekuk lutut terhadap satu ini, ialah cinta
kasih. Kalau cinta asmara sudah menguasai batin, baik raja diraja maupun
pengemis, akan bertekuk lutut menjadi boneka. Dipermainkan perasaan ini
dapat membuatnya menangis air mata darah, dapat pula membuatnya tertawa
kegirangan sampai lewat batas. Cinta asmara dapat membuat seorang pria
kasar menjadi lemah lembut seperti sutera, sebaliknya dapat membuat seorang
pria yang sopan santun dan lembut berubah menjadi kasar dan keras seperti
baja. Banyak pula terjadi betapa pria gagah perkasa yang takkan gentar
menghadapi pengeroyokan puluhan orang musuh, akan gemetar bertekuk lutut
di depan kaki wanita yang dicintainya, tak tahan menghadapi kerling matanya,
atau senyumannya, atau bahkan tangisnya!

Kesenangan bukanlah sesuatu yang buruk ataupun jahat. Segala macam


kesenangan di dunia ini telah menjadi hak kita manusia untuk kita nikmati.
Untuk dapat menikmatinya, Ketika kita lahir telah terbawa oleh kita, segala
sarana untuk dapat menikmati kesenangan. Panca indera kita lengkap
sehingga kita dapat menikmati kesenangan dari pendengaran, penglihatan,
penciuman, makanan dan perabaan. Yang menimbulkan kejahatan dan
penyelewengan adalah pengejarannya, pengejaran terhadap kesenangan yang
muncul dari si-aku yang ingin selalu senang. Pengejaran akan selalu suatu
ujuan menghasilkan segala macam cara! Kekayaan adalah diantara
kesenangan yang telah menjadi hak untuk kita nikmati, namun pengejarannya
menimbulkan korupsi, manipulasi, segala kecurangan dalam perdagangan dan
usaha, pencurian, penipuan, dan segala “cara” sesat lainnya untuk mencapai
tujuanya, yaitu mendapatkan uang yang dianggap mendatangkan kesenangan.
Pengejaran terhadap kesenangan sex menimbulkan penjinahan, perkosaan,
pelacuran. Pengejaan terhadap kesenangan dari kedudukan dan kekuasaan
menimbulkan pertentangan, perusahaan, bahkan perang!
Kesengan sendiri merupakan anugerah bagi kita dan kita hendak
menikmatinya.
Berbahagialah dia yang dapat menikmati segala macam yang ada dan yang
jatuh kepadanya. Pengejaran terhadapat kesenangan menyembunyikan pamrih
terhadap segala perbuatan kita sehingga perbuatan itu menyadi palsu.
Pengejaran ini merupakan suatu penyakit yang akan kambuh terus. Suatu
pengejaran berhasil, akan timbul bosan dan disusul oleh pengejaran yang lain,
demikian terus tiada habisnya. Pengamatan terhadap diri sendiri akan
membuka mata, menimbulkan kewaspadaan dan kesadaran sehingga penyakit
ini pun akan sembuh sama sekali, pengejaran akan terhenti sampai di sini saja.
Bukan berarti MENOLAK kesenangan, melainkan menikmati apa yang ada
tanpa mengotori badan dengan pengejaran.

Orang yang berjasa mendapat imbalan, hal itu sudah semestinya dan
sepatutnya, demikian anggapan kita pada umumnya. Justeru karena pendapat
inilah, maka kita semua terjerumus ke dalam perbuatan yang selalu berpamrih
untuk mendapatkan imbalan. Semua perbuatan kita itu kita perhitungkan
untung ruginya seperti berdagang. Apa artinya sebuah pertolongan kalau,
pertolongan itu dilakukan dengan harapan memperoleh imbalan? Apakah
artinya sebuah kebaikan kalau dibaliknya terkandung harapan memperoleh
balasan?! Perbuatan itu bukan lagi baik, bukan lagi pertolongan, melainkan
suatu alasan untuk mendapatkan sesuatu. Kalau tidak akan ada imbalan,
mungkin pelakunya akan mundur. Perbuatan yang seutuhnya adalah perbuatan
yang dilakukan tanpa pamrih bagi dirinya sendiri, tanpa pamrih memperoleh
sesuatu sebagai buah dari perbuatannya itulah. Bahkan mengharapkan
imbalan dari Tuhan atas perbuatannya yang "baik" pun merupakan pamrih dan
karenanya menodai perbuatan itu sendiri. Perbuatan baik muncul dari hati
sanubari, digerakkan oleh perasaan iba melihat orang lain sengsara, merasa
penasaran melihat perlakuan yang tidak adil dan sebagainya lagi. Bukan oleh
pamrih untuk kesenangan diri sendiri yang akan memperoleh buah dari hasil
perbuatannya. Imbalan ini justeru melahirkan munafik-munafik dipermukaan
bumi.
Bagi orang yang lemah dan menjadi budak nafsunya. memang selalu berlaku
pegangan bahwa yang terpenting adalah tujuan, dan tujuan menghalalkan
segala cara.
Kita sendiri memang seringkali lupa akan hal ini. Kita mengagungkan tujuan
dengan sebutan cita-cita yang muluk-muluk, yang kita kejar-kejar. Padahal,
dalam pengejaran tujuan inilah letak bahayanya, yaitu dalam caranya. Cara
atau jalan untuk mengejar cita-cita ini kadang berbahaya sekali. Kita terbius
oleh gemerlapnya tujuan sehingga untuk mendapatkannya, kita lupa bahwa
cara yang kita pergunakan tidak benar. Padahal, bukan tujuannya yang menjadi
ciri baik buruknya perbuatan, melainkan cara itu sendiri. Kalau cara yang
dipergunakan itu buruk, bagaimana mungkin dapat mencapai tujuan yang baik?
Gemerlapnya tujuan memang condong untuk membuat kita lupa akan cara kita
yang kita pergunakan. Misalnya, demi untuk tujuan memberi kehidupan mewah
kepada anak isteri, kita melakukan korupsi atau mencuri. Demi untuk
tercapainya tujuan menjadi, sarjana kita melakukan sogokan dan suapan atau
membeli ijazah. Tujuan itu tentu sifatnya menyenangkan dan menyenangkan itu
mendorong nafsu untuk mendapatkannya. Segala nafsu itu wajar saja, akan
tetapi kalau kita sudah diperbudaknya, celakalah kita, Nafsu mencari
keuntungan itu wajar saja, akan tetapi kalau kita diperbudak, kita bisa saja
menipu atau mencuri. Nafsu sex itu wajar saja, akan tetapi kalau kita
diperbudak, kita bisa saja melacur memperkosa dan sebagainya lagi. Demikian
dengan mengejar kedudukan, harta benda, nama dan pengejaran apa saja
yang menjadi cita-cfta dapat menyelewengkan kita. Betapa baik dan muliapun
tujuan yang hendak kita capai, bisa saja melahirkan cara pengejaran yang
menyeleweng.
Demikian pula dengan Jin Kui. Demi tercapainya segala cita-citanya, demi
terlaksananya tujuannya, maka dia pun menghalalkan segala cara. Cara yang
curang dianggapnya cerdik dan benar. Cara yang kejam dianggapnya gagah!.

Pikiran yang sudah bergelimang nafsu selalu menjadi pembela dari semua
perbuatan yang dilakukan manusia. Biarpun hati akal pikiran mengerti dan tahu
bahwa perbuatan itu tidak benar, akan tetapi nafsu dalam pikiran membuat
pikiran menjadi pembela dan berusaha membenarkan perbuatan itu, melawan
hati nuraninya sendiri. Setiap orang manusia tahu mana yang benar dan mana
yang tidak benar.
Adakah di dunia ini pencuri yang tidak tahu bahwa perbuatan mencuri adalah
tidak benar? Semua pencuri tentu telah mengetahuinya. Akan tetapi tetap saja
dia mencuri dan pikirannya yang sudah bergelimang nafsu membenarkan
perbuatannya mencuri Itu dengan segala macam dalih. Pengertian dan
pengetahuan tidak dapat melawan nafsu, kalau nafsu sudah mencengkeram
hati akal pikiran. Nafsu merupakan hamba yang amat penting dan amat baik,
akan tetapi menjadi majikan yang amat jahat.
Akan tetapi siapa yang dapat menjadikan nafsu sebagai hamba yang baik dan
mengekangnya agar tidak menjadi majikan? Hanya kekuasaan Tuhan sajalah
yang akan mampu. Kita dengan hati akal pikiran kita tidak akan mampu
menguasai nafsu. Jalan satu-satunya hanya menyerah dan pasrah kepada
Tuhan dengan segenap ketawakalan dan kepercayaan. Hanya itu yang dapat
kita lakukan dan jika Tuhan menghendaki, maka kitalah yang akan menjadi
majikan atas nafsu kita sendiri, menjadikannya hamba yang baik. pembantu
datam kehidupan yang amat berguna.
Bukan menjadi majikan yang merajalela dan yang mendorong kita melakukan
segala macam perbuatan yang tersesat.

“Hidup ini sendiri akan menjadi masalah kalau kita menerimanya sebagai
masalah. Peristiwa apa pun yang terjadi pada diri kita merupakan suatu
kenyataan yang tidak dapat diubah pula. Kenyataan apa adanya itu adalah
suatu kewajaran. Biasanya, nafsu yang mengaku-aku dan selalu mementingkan
diri sendiri, mengejar kesenangan sendiri, itulah yang menimbulkan penilaian
terhadap apa yang terjadi, lalu timbul apa yang disebut menyenangkan atau
menyusahkan. Kalau merugikan, lalu dianggap sebagai suatu masalah yang
menimbulkan rasa khawatir, takut, penasaran, kecewa, benci atau duka.”

“Misalnya hujan lebat turun. Peristiwa yang menimpa kita ini adalah satu
kenyataan yang tak dapat diubah oleh siapa pun juga. Baikkah atau burukkah
peristiwa ini? Menjadi masalah ataukah suatu kewajaran? Tergantung
bagaimana kita menerimanya. Kalau kita terima sebagai hal yang merugikan
kita, timbullah kekecewaan dan kedukaan. Kalau kita terima sebagai kenyataan
apa adanya, suatu kewajaran, maka akan timbullah kebijaksanaan dalam batin
kita sehingga kita dapat mengatasinya, misalnya dengan berteduh, bahkan
dapat memanfaatkan peristiwa itu membuat bendungan menyalurkan airnya
dan sebagainya. Demikian sebaliknya kalau hari panas sekali. Kita dapat
berlindung dari sengatan sinar matahari dan dapat memanfaatkan sinar yang
panas itu untuk menjemur dan sebagainya, bukan menerimanya sebagai suatu
masalah yang menimbulkan nafsu marah, kecewa, penasaran, takut yang
mendatangkan duka. Mengertikah engkau?"

Jadi, apa pun yang menimpa diri kita, dari yang paling menyenangkan sampai
yang paling tidak menyenangkan, seperti penyakit dan kematian, adalah suatu
hal yang wajar dan tidak dapat diubah lagi, suatu kenyataan sehingga kita
harus menerimanya tanpa menjadikannya suatu masalah. Begitukah? Akan
tetapi bagaimana mungkin manusia dapat hidup tanpa dipengaruhi segala
macam perasaan, terutama susah senang itu? Manusia hidup tanpa perasaan
menjadi seperti mati!”
“Bukan demikian, Manusia hidup memang tidak mungkin mematikan atau
menghilangkan nafsu. Nafsu menjadi peserta manusia dalam hidupnya di alam
fana ini. Yang terpenting adalah keseimbangan, menjaga agar nafsu jangan
memperhamba kita, melainkan menjadi peserta dan pembantu kita. Ada
pelajaran dari Guru Besar Khong Cu yang bijaksana dalam Kitab Tiong Yong,
begini bunyinya: HI NOU AI LOK CI BI HOAT, WI CI TIONG. HOAT JI KAI
TIONG CIAT, WI CI HO. Artinya: Sebelum perasaan Girang Marah Duka dan
Suka timbul, batin berada dalam keadaan Tegak Lurus. Apabila berbagai
perasaan itu timbul namun mengenal batas (dapat mengendalikan), batin
berada dalam keadaan selaras (seimbang).”

Yang melanggar kebaktian terhadap Thian adalah orang berdosa. Yang


melanggar kebaktian terhadap orang tua disebut orang durhaka. Dan yang
melanggar kebaktian terhadap bangsa dan negara disebut seorang
pengkhianat

Kepekaan panca indera kita menjadi tumpul oleh kebiasaan yang diulang-
ulang. Mata ini tidak lagi dapat menikmati keindahan yang setiap saat
dilihatnya. Telinga ini tidak lagi dapat menikmati kemerduan suara yang setiap
saat didengarnya. Hidung pun tidak lagi dapat menikmati keharuman yang
setiap saat diciumnya dan mulut pun tidak dapat menikmati kelezatan yang
setiap saat dimakannya! Hal ini adalah karena segala macam kesenangan itu
akan berubah menjadi kebosanan setelah terus-menerus dialami. Karena
itulah, maka dia yang dapat menikmati segala sesuatu hanyalah orang yang
belum memiliki segala sesuatu itu. Berbahagialah orang yang dapat menjaga
semua kepekaan panca inderanya dengan menerima segala sesuatu sebagai
hal yang baru. Baru setiap hari, baru setiap saat, karena yang baru itu selalu
menyenangkan.

Perebutan kekuasaan terjadi di mana-mana. Setiap orang memiliki keinginan


untuk mendapat kekuasaan, baik hal itu terjadi di dalam keluarga, di dalam
masyarakat, perkumpulan, perusahaan, di antara karyawan, sampai ke para
pembesar dan pejabat. Untuk memperebutkan kekuasaan, manusia dapat
bertindak apa saja. Tujuan menghalalkan segala cara! Untuk mencapai tujuan
itu, segala cara licik dan kejam dilakukan orang. Bahkan terjadi saling bunuh
antara saudara, antara bangsa, sampai menjalar kepada perang antar bangsa.
Semua demi memperoleh kekuasaan! Yang menang itu berkuasa, dan yang
berkuasa itu pasti benar dan senang. Jadi, memperebutkan kekuasaan itu pada
hakekatnya untuk mencari kesenangan dan kesenangan biasanya bisa
diperoleh dengan uang. Dengan sendirinya, permusuhan, perang, perebutan
kekuasaan itu tiada lain hanyalah memperebutkan harta karena harta
mendatangkan kesenangan!
Andaikata kekuasaan yang diperebutkan itu tidak mendatangkan uang, adakah
kiranya orang yang memperebutkannya? Kedudukan atau kekuasaan sebagai
pengurus perkumpulan sosial yang biasanya tidak mendatangkan keuntungan
uang, tidak pernah diperebutkan, bahkan dia yang ditunjuk mencari berbagai
alasan untuk menolaknya. Akan tetapi sebuah kedudukan atau kekuasaan yang
akan mendatangkan banyak uang, pasti menjadi rebutan!
Kekuasaan dapat membuat seseorang menjadi gila kekuasaan. Merasa dirinya
paling atas dan biasanya hal ini mendatangkan ketinggian hati dan melahirkan
tindakan sewenang-wenang. Terutama sekali, orang yang memegang
kekuasaan selalu dirubung penjilat-penjilat yang ingin mendapatkan bagian dari
keuntungannya berupa harta. Kenyataan seperti ini terdapat di sepanjang
jaman dan terjadi pada para penguasa, sejak jaman dahulu sampai sekarang.

Biarpun setiap saat mengucapkan terima kasih dengan suara lantang, biarpun
setiap hari menyalakan dupa berlutut di depan meja sembahyang dan memberi
korban yang serba mewah untuk menyembah Tuhan, seperti yang dilakukan
setiap orang untuk menyatakan terima kasih mereka kepada Tuhan, apakah hal
ini sudah tepat dan benar? Mengapa kita selalu bersukur, berterima kasih dan
berdoa sukur kepada Tuhan setiap kali kita menerima anugerah, menerima
berkat yang berlimpah, menerima hal-hal yang kita anggap menguntungkan
dan menyenangkan? Mengapa kita bersungut-sungut dan tidak mengucap
sukur kepada Tuhan yang kita anggap tidak memberkati kita kalau kita
mengalami hal yang kita anggap merugikan dan tidak menyenangkan? Totiang,
mohon penjelasan akan semua ini dan mohon petunjuk, apa yang sepatutnya
kita sebagai manusia bertindak untuk menyatakan rasa sukur dan terima kasih
kita kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.”
Thian Bong Sianjin tertawa. “Pangeran, untuk menyelidiki hal ini jangan kita
hanya menerima pendapat seseorang karena kalau pendapat itu keliru, kita
semua ikut keliru. Hidup ini adalah pengalaman kita semua, maka untuk
menyadari akan kebenaran, kita dapat belajar dengan membuka mata melihat
kehidupan itu sendiri, tanpa menilai, tanpa pendapat, hanya melihat dan
merasakan. Mari kita menyelidiki bersama tentang apa yang engkau katakan
tadi. Segala macam perbuatan kalau mengandung pamrih bagi diri sendiri,
sudah pasti perbuatan itu palsu adanya dan hanya merupakan cara untuk
mendapatkan pamrihnya itu. Ada pamrih yang terkandung dalam perbuatan
yang disebut baik, seperti ingin dipuji, ingin mendapatkan imbalan jasa, ingin
dibalas, dan masih banyak lagi keinginan yang tersembunyi di balik perbuatan
itu, semua bermaksud untuk menguntungkan dan menyenangkan dirinya
sendiri. Jelas bahwa perbuatan pamrih itu tidak benar. Perbuatan tanpa pamrih
adalah perbuatan yang spontan, akan tetapi perbuatan ini pun ada dua macam.
Perbuatan spontan yang didasari rasa benci, sudah pasti tidak benar karena
mengandung kekejaman dan permusuhan. Sebaliknya, segala macam
perbuatan yang didasari Kasih sudah pasti baik dan benar! Nah, Kasih dari
Tuhan yang kita terima berlimpah setiap saat, apakah kita hanya menjadi
manusia-manusia yang hanya bisa minta dan menerima saja, tanpa pernah
memberi? Lalu kalau Kasih dari Tuhan diujudkan dengan berkat-berkat yang
berlimpahan, apakah yang dapat kita lakukan untuk menyatakan bahwa kita
benar-benar berterima kasih kepadaNya? Tuhan Maha Kuasa, tentu saja tidak
membutuhkan pemberian apa pun dari siapa juga, akan tetapi sebagai rasa
sukur dan terima kasih kita, kita dapat membantu Tuhan dengan menyalurkan
berkat-berkatnya yang diberikan kepada kita kepada orang lain! Kita diberkati
kekuatan yang lebih, mari kita salurkan berkat itu kepada orang lain, untuk
menolong orang yang lemah dan membutuhkan pertolongan. Kita diberkati
harta benda yang lebih, mari kita salurkan itu kepada orang lain, menolong
orang yang membutuhkan karena miskin. Kita diberkati pengetahuan dan
pengertian, mari kita salurkan berkat itu kepada orang lain yang tidak
mengetahui dan kurang mengerti. Kita diberkati kedudukan dan kekuasaan
tinggi, mari kita salurkan berkat itu untuk melindungi rakyat yang tidak
berkedudukan yang tidak memiliki kekuasaan. Dengan demikian, tidak sia-
sialah semua berkat berlimpahan yang kita terima dari Tuhan dan
berbahagialah orang yang menjadi alat Tuhan, yang dipakai oleh Tuhan untuk
menyalurkan berkat-berkatnya. Lihatlah, semua mahluk di dunia ini, baik
bergerak maupun yang tidak bergerak, semua merupakan penyalur berkat
Tuhan. Pohon-pohon memberikan bunga, buah, daun, bahkan kayunya untuk
manusia dan binatang. Binatang-binatang juga menyalurkan berkat Tuhan
dengan memberikan segala yang ada padanya demi kesejahteraan manusia.
Lihat angin, air, api, bahkan matahari dan bulan, mereka semua itu menjadi
penyalur berkat Tuhan yang mutlak pentingnya bagi manusia. Lalu sekarang
pertanyaannya yang harus kita tujukan kepada hati kita masing-masing, kita
yang telah menerima sekian banyaknya berkat dari Tuhan secara berlimpah
melalui segala benda dan mahluk ciptaanNya di muka bumi ini, apakah yang
telah kita lakukan untuk menyatakan terima kasih kita kepada Tuhan dengan
jalan menyalurkan berkatnya yang berlimpahan itu kepada pihak lain? Berkat
dari Tuhan kita terima melalui manusia, hewan maupun tanaman. Tidakkah
sudah sepatutnya kalau kita menyatakan terima kasih dan puji sukur kita juga
melalui uluran kasih kepada sesama manusia, hewan, dan tanaman?”

Sesungguhnya, kalau dikaji benar, cinta atau kasih itu sama sekali tidaklah
aneh. Kita manusia sendiri dengan hati akal pikiran kita yang mengada-ada ini
yang membuat cinta menjadi aneh, terkadang membahagiakan terkadang
menyengsarakan. Sesungguhnya, cinta adalah perasaan yang luhur dan suci
murni, cinta dirasakan oleh seluruh mahluk hidup, baik yang bergerak maupun
yang tidak. Bukan hanya manusia mengenal cinta. Hewan pun mengenal cinta.
Bahkan tanaman mengenal tangan-tangan manusia yang merawatnya dengan
cinta. Hidup ini sendiri cinta! Tanpa cinta hidup ini tidak ada artinya. Cinta
memang banyak ragamnya, ada cinta atau kasih terhadap Tuhan, kasih
terhadap sesama manusia, kasih terhadap sanak keluarga, kasih terhadap
negara dan bangsa, juga kasih terhadap sesama hidup seperti hewan dan
tanaman. Namun pada hakekatnya hanya ada dua macam Kasih. Kasih murni
bercahaya dan hidup apabila jiwa diterangi Sinar Illahi atau Kasih Tuhan
sehingga hati kita dipenuhi oleh Kasih. Buahnya adalah perbuatan atau
tindakan tanpa pamrih untuk diri sendiri, yang hanya didorong rasa belas kasih,
membuat orang yang memiliki Kasih ini siap berkorban, tanpa mementingkan
diri sendiri, tanpa mengharapkan imbalan jasa, dan bukan timbul dari hati akal
pikiran yang dikendalikan nafsu. Yang ke dua adalah cinta atau kasih yang
didorong oleh nafsu keinginan kita untuk kepentingan dan kesenangan atau
keuntungan diri kita sendiri. Cinta seperti ini penuh dengan pamrih, walaupun
terselubung ketat. Ingin dipuji, ingin diberi imbalan jasa, baik itu imbalan lahir
maupun batin, pendeknya, cinta seperti ini bersumber demi kesenangan
pribadi.
Cinta karena dorongan nafsu daya rendah inilah yang dapat mendatangkan
kesenangan ataupun kesusahan. Memang selalu demikian sifat nafsu atau si-
aku. Kalau diuntungkan senang kalau dirugikan susah. Dalam hubungan cinta
antara pria dan wanita juga demikian. Cinta nafsu ini selalu mendatangkan
sengsara kalau tidak tercapai atau gagal, sebaliknya akan mendatangkan
kebahagiaan kalau berhasil baik.
Sesungguhnya kalau kita renungkan benar-benar, tanda-tanda kedua macam
cinta itu mudah dikenal. Cinta murni atau Kasih sejati dapat dikenal sebagai
berikut.
Kasih sejati terhadap Tuhan yang kita kenal melalui kitab-kitab suci ialah
ketaatan dan penyerahan diri tanpa pamrih apa pun. Cinta terhadap negara dan
bangsa berupa perjuangan mempertahankan kesejahteraan dan martabat
negara dan bangsa dengan rela berkorban dan tanpa pamrih apa pun untuk diri
sendiri. Cinta terhadap sesama manusia didasari belas kasih dan rela
berkorban demi kebahagiaan yang dikasihi.
Sebaliknya ciri cinta nafsu adalah: Kasih terhadap Tuhan didasari ketakutan
akan hukuman, penuh pamrih mendapat imbalan sekarang di waktu hidup
ataupun kelak sesudah mati yang pada hakekatnya hanya pementingan diri
mencari keenakan dan menolak ketidak-enakan diri sendiri. Cinta terhadap
negara dan bangsa yang didasari nafsu berupa ambisi pribadi dan
perjuangannya sesungguhnya untuk mencapai ambisinya sehingga apabila
perjuangan itu berhasil, dirinyalah yang akan menikmati dan mabok
kemenangan, lupa akan kepentingan nusa dan bangsa. Cinta terhadap sesama
manusia juga merupakan cinta terhadap diri sendiri, mencinta dengan harapan
imbalan yang lebih besar seperti orang berjual-beli. Beli dengan cinta
mengharapkan memperoleh kesenangan. Maka kalau kesenangan itu tidak
diperoleh, cintanya pun entah lari ke mana!

Peribahasa kuno menyatakan bahwa kalau hendak menguji kesetiaan sejati,


lihatlah sikap seorang dalam keadaan sengsara. Banyak sahabat-sahabat yang
tadinya menyanjung-nyanjung kita akan memalingkan muka dan berpura-pura
tidak kenal lagi apabila keadaan kita menjadi sengsara. Demikian pula dengan
cinta kasih. Dapat diukur apabila sepasang merpati berada dalam keadaan
sengsara dan jauh dari kesenangan. Cinta kasih tidak mengenal keadaan, tidak
mengenal kesengsaraan, tetap murni bagaikan emas, biarpun terjatuh di dalam
lumpur kotor, tetap cemerlang dan mengkilap!

"Ada beberapa tanda yang menunjukkan seseorang itu berakal," ujar kakek
berpakaian putih seperti seorang guru memberikan keterangan pada murid-
muridnya. "Yang pertama, bersikap lemah lembut. Kedua, tahu diri. Ketiga, tahu
di mana tempat membuka rahasia dan cara membukanya. Keempat, pandai
berlaku hormat. Kelima, mampu memelihara rahasia diri sendiri dan orang lain.
Keenam, mampu menguasai lidah dengan tidak mengeluarkan kata-kata yang
menimbulkan bahaya. Dan yang terakhir, tak menjawab lebih dari yang
ditanyakan orang. Itulah tanda-tanda yang harus ada pada orang yang berakal.
Jelas?!"

Mustika Manik Hasta Aksara:


Satemene manungsa urip ing alam donya kuwi darbe wajib wolung prakara, yakuwi:
Siji, mangesti manembah Gusti Wujud Hawa (gaib) ingkang Maha Suci Gusti ingkang
Murba Wasesa ing dumadi.
Loro, manembah lan tuhu tresna maring Bapa-Ibu kang sejati;
Bapak - Whanyaning Surya / Kawasa / Angkasa, Ibu - Bumi suci
Telu, manembah lan ngabekti maring Nyang Sari Tri Murti/Sari Tri Tunggal (sari
tetelu); Sari Samirana, Sari Taranggana (Tirta), Sari Agni (Dahana); Sari Tri Murti -
anenggih Sang Nyawa utawa huriping manungsa
Papat, manembah mituhu patuh ing reh maring Rahso Suci diri pribadi-raos Gusti
pandoming Pribadi
Lima, manembah angraketi lan bekti maring Pancakarsa lan Nawaksara; nunggaling
Panca Indriya lan nunggaling babahan Hawa Sanga
Enem, manembah lan tuhu tresna maring Bapa lan Ibu kang kinarya lantaran tumitah
Pitu, manembah ngabekti maring Sang Guru /Whiku Ningrat/Duta Suci/Utusan sipat
Kawasa
Wolu, manembah mituhu ing reh maring Sang Nara Bawana/Bawana Pranata, lan
sakabehing Pangreh Negara/Praja

Kewajiban manusia yang pertama menurut Mustika Manik Hasta Aksara adalah
mangesti manembah Gusti Wujud Hawa ingkang Maha Suci. Itu artinya bahwa setiap
manusia wajib menyembah dan beriba-dah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kewajiban manusia yang kedua adalah manembah lan tuhu tresna maring Bapa-Ibu
kang sejati. Yang dimaksud Bapa dan Ibu sejati adalah matahari dan bumi. Namun,
jangan salah men-gerti. Manembah yang dimaksud bukan mewajibkan manusia untuk
menyembah dalam arti memuja dan mengharapkan perlindungan dari kedua benda itu.
Ki-ta tahu bahwa matahari dan bumi pun ciptaan Tuhan. Kita harus mencintainya
karena matahari dan bumi adalah sumber kehidupan di antara sumber-sumber
kehidupan lainnya
Lalu, kewajiban manusia yang ketiga adalah manembah lan ngabekti maring Nyang
Sari Tri Murti. Nyang Sari Tri Murti adalah angin, air, dan api. Manusia juga tak akan
bisa hidup tanpa ketiga unsur itu. Sementara, kewajiban manusia yang keempat adalah
manembah mituhu patuh ing reh maring Rahso Suci diri pribadi. Rahso adalah sesuatu
yang lebih lembut dari nurani dan lebih halus dari perasaan. Rahso akan selalu
mendampingi hidup seseorang selama orang itu masih hidup. Rahso banyak membantu
kehidupan manusia dalam bentuk firasat, petunjuk yang muncul dari diri sendiri, atau
hal-hal semacam itu. Oleh karenanya, manusia wajib berterima kasih kepada rahso-nya
mas-ing-masing

Kewajiban manusia yang nomer lima menurut Mustika Manik Hasta Aksara adalah
manembah angraketi lan bekti maring Pancakarsa lan Nawaksara. Pancakarsa adalah
panca indera kita, yang tak lain indera penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecap,
dan perasa. Bisa dibayangkan, andai manusia tak memiliki salah satu saja dari lima
indera itu, dia akan menjadi manusia cacat, yang tentu saja akan memiliki lebih banyak
ke-kurangan jika dibanding dengan manusia yang tak ca-cat secara lahir. Sedangkan
yang dimaksud dengan Nawaksara adalah sembilan unsur kehidupan lainnya yang
menjadi teman manusia hidup.
Manembah lan tuhu tresna maring Bapa lan Ibu kang kinarya lantaran tumitah. Di sini
sudah jelas pen-gertiannya. Tanpa ayah dan Ibu, kita berdua ini tak akan pernah ada.
Ayah dan ibu adalah lantaran atau perantara atau asal muasal keberadaan kita sebagai
manusia. Oleh karena itu, kita dan manusia-manusia lainnya wajib berbakti kepada
kedua orangtua.

Kewajiban manusia yang ketujuh dan kedela-pan adalah manembah mituhu maring
Sang Guru dan Sang Nara Bawana. Kalau manusia berbakti dan me-nuruti perintah
gurunya, itu sudah merupakan keharusan. Begitu juga dengan menuruti aturan yang
telah ditetapkan oleh Sang Nara Bawana atau seseorang yang menjadi penguasa negara
di mana manusia itu tinggal.

Jangan melawan badai, jika kau tak mampu. Dan jangan melawan arus jika kau
tak memiliki pegangan.
Seorang manusia seharusnya jangan menyombongkan diri hingga
membuatnya mencelakakan diri sendiri. Seorang manusia seharusnya jangan
bertindak tanpa pertimbangan, hingga tindakannya menjadi sia-sia belaka.
Bukan mendapatkan yang terbaik, justru akan mencelakakan diri sendiri.

Dari mana timbulnya kekhawatiran? Kekhawatiran timbul dari pikiran yang


mengada-ada, membayangkan yang bukan-bukan, membayangkan hal yang
belum terjadi. Seperti seorang yang sehat, kalau ada wabah membayangkan
dirinya terkena wabah penyakit dan diapun khawatirlah.
Kalau dirinya sudah terkena penyakit, maka kekhawatiran terhadap penyakit
itupun, tidak ada lagi. Yang menimbulkan kekhawatiran adalah hal yang belum
terjadi lagi, misalnya khawatir kalau penyakitnya tidak akan sembuh dan
membawanya ke kematian! Demikian selanjutnya.
Berbahagialah orang yang tidak membayangkan apa yang akan terjadi,
melainkan pasrah kepada Kekuasaan Tuhan dan hanya menghadapi apa
adanya saja, soal nanti bagaimana nanti, dan diapun akan terbebas dari
kegelisahan dan kekhawatiran.
Duka timbul dari perasaan iba diri. Karena memikirkan kekasihnya, khawatir
kalau kekasihnya tertimpa malapetaka sehingga dia akan ditinggalkan
kekasihnya, maka timbullah iba diri yang mendatangkan duka dalam hati Cin
Po.
Orang yang berduka di kala kematian orang yang disayang juga berduka
karena iba diri. Dia kehilangan yang tercinta, dia ditinggalkan yang tercinta,
maka timbullah iba diri dan duka.
Berbahagialah orang yang tidak mementingkan diri sendiri, yang tidak selalu
memikirkan dirinya sehingga dapat menerima apa adanya dan bersikap wajar,
karena dia tidak akan dihinggapi iba diri dan bebas dari pada duka. Mengapa
duka kehilangan sesuatu yang dianggap menjadi miliknya?
Kita manusia tidak memiliki apa-apa, bahkan dirinya sendiripun bukan miliknya,
sewaktu-waktu dapat saja lenyap atau mati! Berbahagialah orang yang
batinnya tidak memiliki apa-apa, yang batinnya tidak terikat dengan apapun,
karena hanya batin yang bebas demikianlah yang akan mampu mengenal apa
artinya bahagia.

Kekuasaan memang diperebutkan semua orang. Tanpa disadari lagi setiap


orang memperebutkan kekuasaan, baik kekuasaan itu dimulai dari dalam
rumah sendiri sampai keluar menjadi kekuasaan negara.
Kekuasaan merupakan perkembangan dari si-aku yang ingin dikenal dan
diakui. Si-aku, yaitu angan-angan dan gambaran tentang diri, diagungkan dan
dibesarkan, ingin dikenal sebagai sesuatu yang besar dan karenanya haus
akan kekuasaan. Kekuasaan dianggap sebagai identitas diri. Identitas si-aku.
Disamping itu, juga kekuasaan menjadi sumber dari segala macam
kesenangan. Kekuasaan diperebutkan dan siapa menang dia berkuasa, siapa
berkuasa dia pasti besar karena kekuasaan memang diperalat untuk
membesarkan si-aku. Bahkan hukumpun berada di tangan yang berkuasa.

Tak dapat disangkal pula bahwa segala macam perbuatan jahat seperti
pencurian, penjambretan, pencopetan, bahkan perampokan, timbul dari
keadaan yang dicengkeram kemiskinan. Orang-orang yang sudah tersudut
karena tidak memiliki pekerjaan, atau orang-orang pemalas yang tidak suka
bekerja dan ingin mencari uang mudah, atau orang-orang yang tidak merasa
puas dengan keadaannya, condong untuk mudah terbujuk dan menjadi pelaku-
pelaku kejahatan.
Hal ini bukan berarti bahwa orang kaya raya tidak mau melakukan kejahatan.
Setidaknya, tidak mau melakukan pencurian.
Akan tetapi orang kaya raya sekalipun, kalau batinnya memang tamak dan
tidak puas dengan keadaannya dan selalu ingin lebih dari pada yang
dimilikinya, condong pula untuk melakukan kejahatan yang lain bentuknya akan
tetapi sama saja sifatnya, yaitu demi kesenangan sendiri tanpa memperdulikan
bahwa perbuatannya itu merugikan orang lain. Mereka itu melepas uang panas
dengan bunga tinggi, menindas para petani dan buruh, mempermainkan
perdagangan demi keuntungan mereka, bermanipulasi dan korupsi, dan
sebagainya.
Uang atau harta benda memang merupakan sarana hidup, satu di antara
persyaratan untuk hidup bahagia, dan mencari uang bahkan merupakan suatu
keharusan yang mutlak kalau kita ingin mempunyai sandang pangan dan papan
yang cukup. Akan tetapi pengejarannya terhadap uang itulah yang amat
berbahaya.
Pengejaran yang dilakukan karena kebutuhan masih tidak begitu berbahaya,
akan tetapi pengejaran yang didorong oleh kelobaan, oleh nafsu ingin meraih
keadaan yang dianggap lebih baik dari pada keadaan yang ada sekarang, amat
berbahaya dan condong untuk menjerumuskan kita ke dalam perbuatan jahat,
merugikan orang lain. Seperti orang yang mengejar-ngejar sesuatu di depan
sana, matanya hanya tertuju kepada yang dikejarnya sehingga kalau ada orang
lain berada di depannya, dianggap penghalang dan dilompati, bahkan mungkin
ditendangnya untuk dapat mencapai apa yang dikejarnya.
Pengejaran inilah yang perlu kita amati pada diri sendiri, pengejaran uang
menimbulkan pencurian, penipuan, korupsi dan sebagainya. Pengejaran
kedudukan menimbulkan jegal-jegalan, perkelahian bahkan perang. Pengejaran
kesenangan sex menimbulkan pelacuran, perjinahan. Kesenangan apapun juga
bentuknya di dunia ini, kalau sudah menguasai kita, dapat saja menjadi
pendorong agar kita mengejar-ngejar, menjadi suatu tujuan dan biasanya,
tujuan menghalalkan segala cara bagi orang-orang yang sudah buta akan
kesadaran.
Kita hidup berhak untuk menikmati kesenangan, akan tetapi justeru pengejaran
akan keadaan yang lebih dari pada sekarang itulah yang melenyapkan
kesenangan yang ada pada saat ini. Mata kita selalu tertuju ke depan, kepada
kesenangan-kesenangan yang belum ada, kepada bayangan-bayangan
sehingga kita tidak melihat lagi keindahan apa yang ada pada kita.

Duka adalah iba diri. Merasa iba kepada diri sendiri, merasa kehilangan,
kecewa. Dan semua ini timbul dari aku yang merasa kehilangan, aku yang
merasa kesepian, aku yang merasa menjadi orang paling sengsara di dunia.
Aku adalah suatu gambaran yang dibuat oleh batin tentang diri sendiri, dibentuk
oleh pengalaman-pengalaman masa lampau. Aku penuh dengan harapan-
harapan memperoleh kesenangan seperti yang pernah dialaminya, atau seperti
yang pernah didengarnya, pernah dibacanya dan diketahuinya. Aku penuh
dengan keinginan akan merasakan dan menikmati kembali segala hal yang
menyenangkan, penuh dengan rasa takut kalau-kalau tidak akan memperoleh
lagi semua kesenangan itu, takut kalau-kalau ditinggalkan oleh hal-hal yang
menyenangkan.
Aku yang selalu haus akan kesenangan ini menciptakan ikatan-ikatan,
belenggu-belenggu dan rantai-rantai emas yang dianggapnya membahagiakan,
namun yang berakhir dengan kedukaan. Ikatan dengan orang lain karena orang
lain itu menyenangkan aku, ikatan dengan benda, dengan nama, dengan
gagasan-gagasan.
Sekali ikatan ini menguasai aku, maka yang ada hanyalah duka dan sengsara.
Ikatan ini sama dengan candu, sekali terikat sukar untuk dilepaskan, karena
akan menimbulkan perasaan duka dan sengsara.
Semakin besar si aku menonjol, semakin banyak pula ikatan-ikatan terbentuk,
dan semakin banyak pula duka mengelilingi batin. Bebasnya batin dari ikatan
berarti runtuhnya singgasana sang aku, bersamaan dengan lenyapnya pula
duka.
Semua ini jelas sekali nampak, akan tetapi betapa sukarnya terbebas dari pada
ikatan! Betapa sukarnya meniadakan gambaran tentang diri sendiri dalam
bentuk aku yang makin hari makin kita bentuk dan perkuat!

Tangis merupakan suatu peristiwa amat penting dari kehidupan, bahkan air
mata tidak terpisahkan dari kehidupan seorang manusia. Kebohongan besarlah
kalau seorang mengatakan bahwa dia tidak pernah menangis! Setidaknya,
tentu dia pernah menangis dalam hatinya. Dan tentu dia banyak menangis pula
di waktu masih kecil, setiap hari menangis entah berapa kali.
Bahkan menurut penyelidikan para cendekiawan, tangis merupakan suatu
keharusan bagi manusia karena tangis merupakan obat yang amat mujarab,
merupakan suatu pelepasan segala ganjalan, pelampiasan segala kekecewaan
dan kemarahan. Tanpa tangis, mungkin usia manusia menjadi lebih pendek
dari pada kepanjangan usia pada umumnya seperti sekarang ini.
Tangis bukan hanya menjadi tanda kedukaan hatinya, bahkan kegembiraan
yang besar, manusia menitikkan air mata seperti orang menangis.
Kegembiraan besar mendatangkan keharuan yang membuat orang menangis
pula. Agaknya hanya dalam suara tangis sajalah, terdapat suatu kesungguhan,
suatu kewajaran, walaupun tentu saja ada tangis yang dibuat-buat. Betapapun
juga, tangis tidaklah sepalsu tawa.
Suara pertama dari manusia adalah tangis. Begitu terlahir, manusia dari bangsa
apapun juga, mengeluarkan suara pertama itu, ialah menangis.
Dan suara ini adalah suara kemanusiaan, suara suci karena dikeluarkan dari
mulut manusia sebagai gerakan pertama kali, keluar tanpa dikehendaki, suara
yang sama sekali tidak mengandung emosi, atau pamrih. Karena itu, suara
yang wajar ini dikenal oleh seluruh manusia di dunia tanpa membedakan
bangsa dan bahasa, menjadi satu-satunya suara yang amat dekat dengan
manusia berbangsa apapun juga.
Dari suara tangis, kita tidak akan mampu membedakan apakah tangis itu keluar
dari mulut seorang berbangsa ini atau itu. Kelahiran manusia diiringi tangis,
tangisnya sendiri. Kematiannyapun diiringi tangis, tangis mereka yang
ditinggalkan. Kehidupan itu sendiri, antara lahir dan mati, penuh dengan
selingan tangis!
Sesungguhnya, tangis merupakan sesuatu yang tak terpisahkan dari hidup, dan
tangis merupakan pertanda dari keadaan batin yang macam-macam pula.
Tangis duka didasari oleh rasa iba diri, seperti yang dilakukan oleh Sheila dan
Seng Bu ketika keduanya teringat akan keadaan diri mereka masing-masing.
Ada pula tangis haru yang didasari oleh rasa iba terhadap orang lain. Ada
tangis karena kegembiraan yang besar. Tangis karena kemarahan. Tangis
merupakan pencerminan keadaan batin yang diusik emosi.
Demikian dekatnya tangis dengan kehidupan kita sehingga tangis inipun mudah
sekali menular. Berada di antara banyak orang yang sedang menangis,
sukarlah bagi kita menahan diri agar tidak ikut menitikkan air mata.

“Bacaan, kalau dilakukan dengan tekun, kalau dilakukan dengan pencurahan


perhatian, merupakan sumber pengetahuan dan pengertian dan memupuk
kebijaksanaan. Seorang bijaksana akan melihat bahwa segala akibat itu tentu
bersebab, dan kalau diteliti, maka segala akibat yang menimpa diri sendiri
sudah pasti sebabnya bersumber pada diri sendiri pula.
Kita sudah terbiasa sejak kecil untuk mencari kesalahan di luar diri sendiri,
untuk mencari kambing hitam atau keranjang sampah. Hal ini sama sekali tidak
ada manfaatnya, bahkan mengeruhkan pikiran, menimbulkan dendam dan
permusuhan, kebencian kepada yang berada di luar diri.
Mengapa kita tidak pernah mau menjenguk ke dalam diri sendiri untuk mencari
sebab dari pada setiap akibat yang timbul dan yang menimpa diri kita sendiri?
Bukankah hal ini timbul karena kita sudah membuat dan menciptakan sebuah
gambaran tentang diri kita sendiri, sebuah gambaran yang menjadi raja „aku‟?
Aku yang paling baik, paling benar, dan paling patut dikasihani, menjadikan kita
menjadi rendah diri atau tinggi hati, satu di antara dua. Keakuan yang membuat
kita enggan untuk mencari kesalahan pada diri sendiri.
Kalau kita tertipu seseorang, kita condong untuk mencurahkan semua perhatian
kepada si penipu, menyalahkannya, menuntutnya, membencinya, mendendam
dan mencari jalan untuk membalasnya berikut bunganya. Mengapa kita tidak
menghentikan pencurahan keluar itu dan mencari sebabnya dalam diri sendiri?
Kalau kita melakukan hal itu, maka akan nampaklah oleh kita sebabnya yang
terutama adalah pada diri kita, yaitu karena kita lengah, karena kita bodoh,
karena kita lemah, maka kita sampai tertipu.
Pengamatan terhadap diri sendiri ini jauh lebih besar manfaatnya, dapat
membuat kita sadar dan menganggap peristiwa itu sebagai suatu pengalaman
berharga, sebagai pelajaran sehingga selanjutnya kita akan berhati-hati, akan
waspada sehingga tidak sampai tertipu lagi. Pandangan keluar, sebaliknya,
mendatangkan emosi, dendam dan kebencian, dan tidak akan menambah
kewaspadaan kita sehingga kelak mungkin saja hal yang sama terulang lagi
karena kelengahan kita sendiri.
Dalam menghadapi setiap peristiwa yang menimpa kita, demikian kata orang
bijaksana, kita tidak menyalahkan Tuhan, tidak mengutuk Setan, melainkan
mencari sebab-musababnya dalam diri kita sendiri!

Betapa banyaknya di antara kita memiliki kebanggaan dan harapan seperti


yang dimiliki Siu Coan itu. Semua agama mengajarkan agar kita hidup sebagai
manusia yang baik, karena hanya hidup baik ini yang menjadikan kita
bermanfaat bagi dunia, bagi manusia. Akan tetapi kita mau hidup baik karena di
balik itu terdapat harapan dan pamrih agar kita memperoleh pahala,
memperoleh hadiah, baik hadiah itu dinamakan Sorga atau Nirwana, ataukah
kesempurnaan atau segala macam kata-kata yang muluk lagi.
Karena adanya ancaman hukum bagi yang berbuat jahat, dan janji pahala bagi
yang berbuat baik, maka kita condong untuk berbuat baik. Memang inilah
tujuannya, akan tetapi, hal ini pula yang membuat kita menjadi manusia-
manusia palsu, menjadi munafik, menjadi serigala-serigala berkedok domba,
yang berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat HANYA karena kita ingin
memperoleh pahala dan ingin dijauhkan dari pada hukuman. Kebaikan yang
dilakukan dengan sengaja ini tentu berpamrih, dan pamrih membuat kita
menjadi munafik, membuat perbuatan kita adalah palsu, karena perbuatan itu
bukan perbuatan baik, melainkan suatu cara bagi kita untuk memperoleh
pahala, cara untuk menghindarkan hukuman!
Mungkin banyak orang memusuhi kita, membenci kita, tidak senang kepada
kita, karena mungkin iri hati, dengki, salah paham dan sebagainya lagi. Biarlah
mereka itu membenci kita, akan tetapi orang yang memiliki kasih dalam
batinnya, tidak akan membalas kebencian itu, tidak membalas permusuhan itu,
melainkan menghadapi mereka yang memusuhi kita dengan cinta kasih antara
manusia! Tidaklah ini indah, besar dan mulia sekali?

Kita dapat melihat cinta kasih seperti itu, cinta kasih Tuhan melalui sinar
matahari, melalui harumnya bunga, melalui tanah, air, hawa, udara. Biar ada
manusia yang mengutuk dan membenci alam dan semua kekuasaan Tuhan,
namun tetap saja semua itu diberikan dengan rela, kepada siapa saja tanpa
pilih kasih, kepada mereka yang membenci sekalipun. Orang yang sejahat-
jahatnya sekalipun, yang segala tindakannya berlawanan dengan kebaikan,
akan tetap memperoleh hawa udara, memperoleh sinar matahari, dapat
menikmati keharuman bunga, sama seperti orang yang paling baik, paling saleh
sekalipun.
Akan tetapi, seperti Ong Siu Coan, kita selalu ingin untung, lahir maupun batin,
oleh karena itu berbondong-bondong orang lari ke agama dengan dasar ingin
untung itulah. Ingin memperoleh hiburan batin karena pahitnya kehidupan, ingin
memperoleh jaminan keadaan yang enak menyenangkan setelah mati kelak,
ingin memperoleh berkah sebanyaknya.
Lenyapkanlah janji-janji pahala dan hadiah ini dari agama, dan para munafik itu
tentu akan mundur meninggalkannya dan yang tinggal hanyalah mereka yang
benar-benar sadar dan waspada akan segala kekotoran yang memenuhi batin
sendiri, karena hanya mereka inilah yang akan dapat berobah. Orang yang
sadar akan kekotoran diri sendiri sajalah yang akan dapat berobah menjadi
bersih, tanpa ada usaha membersihkan, karena usaha membersihkan ini akan
menumpuk pamrih dan menciptakan kemunafikan.
Semenjak ribuan tahun, semua pelajaran kerohanian ini tersebar di antara
seluruh manusia di dunia. Akan tetapi, bagaimana hasilnya? Manusia tetap saja
hidup dalam lembah kesengsaraan, hidup dalam neraka dunia yang penuh
dengan kebencian, iri hati, dengki, kemurkaan, permusuhan sehingga cinta
kasih makin muram kehilangan sinarnya karena tertutup oleh segala macam
hawa nafsu angkara yang merupakan debu-debu kotor hitam tebal itu.
Permusuhan terjadi bukan hanya antara perorangan, bukan hanya antara suku
dan antara kelompok, bahkan meluas menjadi antara bangsa, antara negara
sehingga timbullah perang yang amat kejam, pembunuhan dan pembantaian
semena-mena yang lebih biadab dari pada perbuatan golongan yang dianggap
masih liar dan buas sekalipun! Jelaslah di sini bahwa manusianya yang
menentukan, bukan agamanya. Dan jelaslah bahwa yang dapat merobah
manusia adalah diri sendiri masing-masing, dengan pengenalan diri sendiri
sehingga nampak segala kekotoran yang membutakan mata hati, yang
menulikan telinga hati.

Kebahagiaan adalah keadaan hati yang mampu menerima segala sesuatu


seperti apa adanya, tidak terpengaruh oleh sesuatu. Kebahagiaan sudah ada
setiap saat, hanya untuk dapat merasakannya, segala macam pengaruh harus
meninggalkan batin kita, karena hanya batin yang bebas sajalah, bebas dalam
arti kata seluasnya, bebas tidak terikat oleh kesenangan atau kesusahan, tidak
terikat oleh apapun juga, yang akan mampu mengerti apa sesungguhnya yang
dinamakan kebahagiaan itu.
Kebahagiaan adalah seperti sinar matahari yang selalu ada. Kalau tidak
nampak, maka sudah pasti bahwa ada yang menghalangi atau menutupi sinar
itu. Kalau penghalang atau penutupnya lenyap, sudah pasti cahaya itu akan
bersinar dengan cerahnya.
Dalam keadaan gelap karena cahaya itu teraling, percuma sajalah mencari-cari
cahaya itu, karena tidak mungkin akan bertemu. Dan segala macam
penghalang itu berada di dalam batin kita sendiri!
Orang yang selalu ingin mengejar kesenangan, dan orang yang selalu ingin
menghindarkan kesusahan, takkan pernah dapat mengenal apa sebenarnya
kebahagiaan. Bukan berarti bahwa kita tidak boleh menikmati kesenangan atau
meninggalkan keduniawian lalu bertapa di puncak gunung. Menikmati
kesenangan adalah hak kita sebagai manusia hidup, karena kita telah diberi
panca indera sebagai alat untuk menikmati kesenangan dalam hidup ini.
Namun, senang susah itu baru timbul apabila ada perbandingan dalam hati.
Kalau kita menerima segala sesuatu sebagai apa adanya, sebagai suatu
kewajaran, maka tidak ada lagi sebutan senang susah itu, tidak tercipta ombak-
ombak senang susah yang saling bertentangan.

Hidup ini memang merupakan permainan antara susah dan senang.


Agaknya memang sudah semestinya demikian, ada susah tentu ada
senang, seperti alunan ombak samudera, tidak hanya ke kiri atau ke
kanan saja. Ada siang ada malam, ada terang ada gelap, ada
senang ada susah. Tidak ada apa-apa lagi yang perlu dihentikan.
Akan tetapi, kalau kita merenungkan, kita yang diberkahi dengan akal budi ini,
yang dapat mengamati semua itu, apakah memang dilahirkan untuk menjadi
permainan antara susah dan senang ini? Apakah kita ini dilahirkan untuk
menderita susah, menikmati senang hanya sedikit saja, banyak susahnya.
kemudian tua, susah lagi karena lemah, dan mati, begitu saja?
Siapa yang mau membuka mata melihat kenyataan hidup, sesungguhnya tidak
ada yang disebut susah atau senang itu, karena susah atau senang itu
hanyalah permainan pikiran kita sendiri belaka. Kalau siang dan malam ada,
terang dan gelap memang ada. Akan tetapi semua itu tidak ada hubungannya
dengan susah atau senang.
Kalau terang tiba, terlalu terang dan terlalu panas, ada akal budi kita yang
mendatangkan kecerdasan, membuat kita berteduh dan akal budi telah bekerja
sedemikan baiknya sehingga kita mampu membuat es, membuat kipas angin
untuk mengatasi panas. Kalau malam tiba, akal budi kita bekerja lagi sehingga
muncullah penerangan listrik dan sebagainya.
Kalau dingin tiba, kita mempergunakan akal budi kita sehingga kini ada heater,
ada tungku dan segala alat pemanas lain seperti pakaian tebal dan sebagainya.
Kalau hujan lebat turun dan banjir terjadi, kembali akal budi kita membentuk
kecerdasan, membuat kita mencari jalan untuk mengatasi semua itu, dan di sini
sama sekali tidak ada senang atau susah! Jadi apakah senang atau susah
sesungguhnya?
Senang itu jelas. Badan kita terasa enak, pikiran dan hati kita terasa lega dan
puas, dan timbullah keinginan untuk mengulangi semua pengalaman enak ini
yang dinamakan kesenangan. Jadi, pikiran atau ingatan yang mencatat dan
menampung pengalaman ini untuk diusahakan pengulangannya. Dan susah itu
apa? Kebalikannya saja. Kalau badan kita terasa tidak enak, kalau perasaan
dan hati kita merasa kecewa, iba diri dan sebagainya.
Jelaslah, senang dan susah itu hanya permainan batin yang selalu ingin
mengulang kesenangan dan menyingkirkan kesusahan, mengejar-ngejar yang
enak dan melarikan diri dan yang tidak enak!
Bagaimana kalau kita menghadapi segala hal yang terjadi itu tanpa
mengikutkan pikiran yang menciptakan si „aku‟ yang menimbang-nimbang,
menghitung-hitung untung ruginya? Kalau pikiran kita tidak menilai, maka yang
bekerja hanyalah kecerdasan akal budi!
Tidak ada lagi keluhan, tidak ada lagi mabok kesenangan. Dan
kesemuanyapun terjadi dengan wajar. Dan hanya batin yang dapat
menghadapi segala sesuatu tanpa penilaian inilah, yang tidak lagi sarat oleh
beban untung rugi, batin demikian akan dapat mengenal apa artinya hidup yang
sesungguhnya, apa artinya bahagia, apa artinya cinta kasih.
Hanya batin yang tidak dibebani oleh keluhan pikiran yang menilai, yang
mengeluh, maka batin seperti itu yang akan sungguh-sungguh aktif, penuh
perhatian, tidak putus harapan, tidak mencari-cari, tidak mengejar, akan tetapi
tidak mandeg, melainkan hidup sepenuhnya dari detik ke detik, dari saat ke
saat. Awan yang berarak di angkasa itu nampaknya saja mandeg dan mati,
akan tetapi sesungguhnya setiap detik bergerak, berubah, mengikuti keadaan
pada saatnya, tanpa menentang, akan tetapi juga tidak mengekor saja.

Kesenangan hidup merupakan berkah bagi setiap orang manusia yang terlahir
di dunia ini. Semua setelah diberikan kepada manusia. Pada mata sudah
terdapat selera pandangan yang mengenakkan hati, demikian pula pada semua
panca indra.
Dalam kita sudah diberi selera untuk menikmati apa yang terasa enak oleh
mulut kita. Segala yang nampak enak itu, termasuk pula sex yang juga
merupakan berkah bagi setiap orang manusia dan sudah menjadi hak setiap
orang manusia untuk menikmatinya, sudah terbawa sejak kita lahir.
Menikmati itu disebut kesenangan. Dan memang semua itu sudah benar dan
sudah menjadi hak kita utuk menikmati kesenangan yang datang kepada kita.
Akan tetapi, berkah ini segera dapat berubah menjadi suatu bahaya yang amat
besar, yang akan mungkin melahirkan malapetaka dan sengsara seperti
sebuah kutukan! Yaitu pengejaran.
Pengejaran akan yang enak-enak itulah yang merupakan bahaya paling besar
di dalam kehidupan kita. Kenikmatan hidup memang sudah wajar dan menjadi
hak kita untuk dapat menikmatinya.
Akan tetapi, kalau kita mengejarnya, didorong oleh si-aku yang ingin
mengulang dan mengulang lagi, maka kita lalu menjadi hamba nafsu.
Kesenangan lalu menjadi cita-cita yang selalu kita kejar, menjadi tujuan pokok
dalam kehidupan kita.
Dan kalau sudah demikian halnya, maka terjadilah penyelewengan-
penyelewengan dalam kehidupan ini. Demi mengejar kesenangan yang
menjadi sasaran tujuan, maka kadang-kadang kita menggunakan segala cara.
Sex merupakan anugerah kenikmatan hidup, akan tetapi begitu dikejar-kejar,
lalu timbullah perjinahan, perkosaan, pelacuran dan sebagainya. Harta benda
merupakan anugerah kenikmatan hidup, namun pengejaran terhadap harta
menimbulkan korupsi, pencurian, penipuan dan sebagainya lagi.
Oleh karena itu, seorang bijaksana tidak akan mengejar kesenangan dalam
bentuk apapun juga. Hal ini sama sekali bukan berarti bahwa seorang bijaksana
HARUS MENINGGALKAN atau MENJAUHI KESENANGAN. Sama sekali tidak
demikian. Bukan menolak karena memang sudah menjadi haknya untuk
menikmati kesenangan, melainkan TIDAK MENGEJAR!
Menikmati apa yang ada, itu berarti tidak mengejar sesuatu. Pengejaran selalu
menimbulkan kekecewaan dan perasaan tidak puas terhadap apa yang ada,
karena pengejaran ini dapat diselimuti dengan kata-kata halus seperti cita-cita,
tujuan, harapan, ambisi dan sebagainya lagi. Dan kalau kita mau membuka
mata dengan penuh kewaspadaan, mengamati segala yang menimpa diri kita
TANPA MENILAI SEBAGAI BAlK MAUPUN BURUK, akan ternyatalah oleh kita
bahwa di dalam segala sesuatu itu terkandung keindahan yang tak dapat
dilukiskan dengan kata-kata lagi!
Di dalam apa saja! Dalam sakit, dalam kelaparan, dalam malapetaka, dalam
kematian! Terdapat keajaiban dan kekuasaan yang menggerakkan seluruh isi
alam mayapada ini. Dan kita ini hanya merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari itu semua. Sekali kita memisahkan diri dan semua itu karena dorongan
sang aku yang ingin senang sendiri, maka berarti kita telah memasuki neraka
selagi masih hidup.

Orang tidak boleh merasa puas dengan hidupnya, orang harus selalu mencari
kemajuan, demikian nasihat nenek moyang kita sejak jaman kuno dahulu.
Dalam arti kata, orang harus selalu mengejar sesuatu, bercita-cita, bertujuan,
berambisi, mencari sesuatu yang dianggap sebagai kemajuan! Orang harus
mencari kemajuan!
KEMAJUAN! Apakah ini? Menurut umum, kemajuan adalah keadaan yang lebih
baik dari pada keadaan kita sekarang. Dengan demikian, kita harus SELALU
MENCARI kemajuan. Karena kemajuan itu tidak mungkin ada batasnya,
bukan?
Dengan demikian, kita akan mencari terus sampai mati, mencari YANG LEBIH.
Dan ini dianjurkan oleh setiap pemerintah, setiap guru, setiap orang tua.
Kita lupa bahwa mencari yang lebih baik itu, berarti tidak puas dengan keadaan
yang ada saat ini! Dan kalau kita sudah membiarkan diri dijangkiti penyakit
mencari ini, maka selama hidup kita tidak akan dapat bahagia, tidak mungkin
dapat menikmati kehidupan ini. Karena yang dapat dinikmati adalah „SAAT INI‟,
hanya saat inilah yang dapat kita nikmati! Bukan esok atau lusa!
Sekali kita terseret oleh arus mencari kemajuan, sampai matipun kita akan
mencari kemajuan terus, tanpa dapat menikmati kehidupan saat kita hidup.
Menikmati hidup adalah saat ini, sekarang ini, detik demi detik, bukan esok atau
lusa yang hanya berupa khayalan belaka.
Apakah kalau tidak mencari kemajuan, bukan berarti bahwa kita menjadi
mandeg, menjadi statis, menjadi apatis (acuh)? Sama sekali tidak! Tanpa
mencari kemajuan, tanpa mengejar sesuatu yang menjadi tujuan atau cita-cita,
maka yang ada hanyalah perbuatan yang dilakukan dengan dasar kebutuhan
hidup.
Tanpa adanya si-aku yang mengejar sesuatu, maka di dalam setiap pekerjaan
kita akan merasakan suara kenikmatan dan kesenangan besar, karena tanpa
adanya aku yang bercita-cita mengejar kemajuan, di dalam pekerjaan itu
terdapat cinta kasih terhadap pekerjaan itu. Dan pekerjaan yang dilakukan
dengan cinta kasih ini tentu saja membawa perbaikan-perbaikan.

Apapun alasannya, apapun propaganda yang diajukan orang-orang yang


berkepentingan untuk mendorong rakyat untuk berperang, untuk berbunuh-
bunuhan, adalah keji? Dan celakanya, ini merupakan kenyataan pahit sekali
yang terpaksa harus kita telan, mereka yang mempropagandakan perang itu
dengan dalih agama, politik, bangsa, negara, tanah air, bendera, atau apa saja,
mereka yang menjadi pendorong-pendorong perang ini sendiri, tidak pernah
ikut berperang!
Mereka hanya berkaok-kaok senyaring mungkin untuk mendorong rakyat
seperti orang yang menghasut segerombolan serigala, dan apabila keadaan
membahayakan bagi diri mereka, apabila sudah tidak ada lagi harapan menang
bagi mereka, maka beberapa gelintir manusia ini, paling dulu melarikan diri
sambil tidak lupa membawa barang berharga, menyelamatkan diri tanpa
memperdulikan lagi kepada mereka yang tadinya berperang karena mereka
hasut, dan tidak perduli lagi kepada mereka yang sudah mengorbankan nyawa,
harta dan keluarga!
Terkutuklah mereka itu! Dan ini bukan dongeng, bukan pula fitnah, melainkan
dapat kita lihat setiap waktu, dapat kita pelajari dari sejarah, bahkan pada saat
Anda membaca ini, masih terjadi di segala pelosok dunia ini!
Menyedihkan, bukan? Kalau begitu, mengapa kita begini bodoh? Karena
sesungguhnva, kitalah yang bodoh! Kitalah yang membiarkan diri kita menjadi
kerbau kerbau yang dicocok hidungnya dan dituntun ke „rumah jagal‟.
Bagaimana kalau kita semua, seluruh rakyat di dunia ini, tidak lagi mau
mengangkat senjata. Tidak mau berbunuh-bunuhan? Kalau ada para
pembesar, para kepala negara, dan kepala atau komandan balatentara, ingin
perang, biarlah mereka sendiri yang maju.
Jenderal lawan jenderal, kepala negara lawan kepala negara, menteri lawan
menteri. Dan kita, rakyat sedunia, menjadi penonton saja seperti kalau kita
nonton pertandingan tinju. Lucu dan menyenangkan sekali, bukan?

Banyak ahli filsafat dan para bijaksana yang mengatakan bahwa pada
dasarnya, semua orang itu mempunyai sifat atau watak yang baik. Bagaikan
kertas putih yang masih kosong, maka sejak anak-anak, orang telah dibentuk
oleh yang mengisi kertas putih. Namun, betapapun kotornya kertas itu dicorat-
coret, pada dasamya masih ada putihnya dan kadang kadang sifat kebaikan
dan kebersihan ini muncul.
Benar tidaknya pendapat para ahli filsafat ini terserah kepada penilaian kita
sendiri. Yang jelas saja, semua orang ini, kita semua, condong untuk
melakukan kebaikan kepada orang yang mendatangkan kesan baik kepada
kita.
Kebanyakan dari kita bersikap dan berbuat baik kepada orang yang
menyenangkan kita, dan yang menyenangkan ini berarti yang menguntungkan,
baik batiniah maupun lahiriah. Dengan demikian, maka segala kebaikan seperti
itu adalah perbuatan munafik belaka, yang pada bakekatnya hanya untuk
menyenangkan diri sendiri saja melalui lain orang. Bukankah demikian?
Untuk dapat melihat ini, kita harus berani menghancurkan lebih dulu bayangan
tentang diri kita sendiri yang kita bentuk dan bangun sejak kecil, bayangan yang
nampak demikian baiknya, bahkan yang terbaik dan terbersih, dan entah „ter‟
apalagi. Barulah akan nampak betapa munafiknya kita, betapa kotornya batin
kita selama ini.
Dan hanya kita sendirilah yang mampu mengubahnya. Bagaimana caranya?
Tidak ada caranya, yang terpenting, kalau kita waspada dan melihat kekotoran
menempel pada diri kita, apa yang akan kita lakukan? Kecerdasan akal budi
tentu akan menggerakkan tangan untuk membersihkannya dan menghentikan
segala kegiatan yang menimbulkan kekotoran itu.

Demikianlah kita pada umumnya. Mudah saja kita menudingkan telunjuk


kepada orang lain dengan tuduhan kejam, curang, jahat dan sebagainya. Peter
Dull marah-marah dan menganggap perbuatan orang yang membunuh sepuluh
orang anak buahnya itu kejam seperti iblis.
Dia sama sekali tidak ingat kalau dia dan orangnya, entah sudah membunuh
beratus atau berapa ribu orang! Dan dia mengangap bahwa membunuh dengan
pistol atau bedil atau meriam itu tidaklah sekejam membunuh dengan senjata
tajam. Dia sama sekali tidak dapat membayangkan bahwa menyebarkan candu
kepada rakyat yang jutaan banyaknya itu merupakan pembunuhan yang lebih
kejam lagi, membunuh sedikit demi sedikit dengan penyiksaan lahir batin yang
luar biasa kejamnya!
Inilah yang menjadi kesalahan kita semua. Kita terlalu memperhatikan orang-
orang lain, terlalu menilai perbuatan-perbuatan orang lain. Pikiran kita setiap
detik sibuk untuk menilai perbuatan orang lain, untuk membela diri,
membenarkan diri, mencari segala alasan untuk membenarkan diri sendiri,
mencari segala daya upaya untuk menguntungkan diri lahir batin, sehingga kita
lupa akan suatu yang teramat penting dalam kehidupan kita, yaitu:
MENGAMATI DIRI SENDIRI!
Kalau saja kita selalu sadar, selalu waspada untuk mengadakan pengamatan
terhadap diri sendiri, BUKAN AKU mengamati AKU, melainkan ada
kewaspadaan, ada kesadaran dan pengamatan yang selalu melakukan
pengamatan lahir batin dan diri kita detik demi detik. Waspada kalau kita
sedang melamun, kalau sedang bicara, kalau sedang bekerja, mencurahkan
segala tenaga dan perhatian terhadap diri sendiri, apa yang kita lakukan baik
yang terjadi di dalam maupun di luar diri.
Kalau sudah begitu, kita tentu tidak akan lagi menilai orang lain. Juga tidak lagi
menilai diri sendiri, karena segalanya akan sudah nampak dan dimengerti
benar!
Hanya pengamatan ini sajalah yang akan mampu mengubah batin kita secara
menyeluruh dan secara seketika. Perubahan lahir tidak banyak artinya.
Perubahan batiniah yang penting bagi hidup, karena apa yang suka dinamakan
kebahagiaan adalah urusan batin, bukan urusan lahir. Urusan badan adalah
kesenangan, dan dimana ada kesenangan tentu ada kesusahan.
Badan bisa merasakan enak dan tidak enak, panas atau dingin, senang atau
susah. Akan tetapi, pengamatan akan membebaskan batin dan semua
pengalaman badan, sehingga batin akan tetap bebas, tidak bersandar, tidak
bergantung, tidak susah atau senang, tak pernah mengeluh dan tak pernah
bersorak-sorai.
Hanya batin yang seperti inilah yang benar-benar dapat merasakan dan
mengerti apa yang sesungguhnya dinamakan bahagia itu. Hanya yang
beginilah yang mengerti apa yang dinamakan cinta kasih itu.
Kebahagiaan adalah urusan batin, bukan urusan badan. Cinta kasih adalah
urusan batin bukan urusan badan. Kesenangan dan nafsu berahi, itulah urusan
badan, tetapi kesenangan bisa berubah menjadi kesusahan dan cinta berahi
bisa berubah menjadi kebencian!

Orang tua yang bijaksana tidak akan memilih-milih anak mereka, siapa yang
harus dicinta dan siapa yang kurang dicinta, bahkan siapa yang harus dibenci!
Namanya bukan cinta kasih, melainkan cinta diri sendiri. Anak yang
menyenangkan diri dicinta, yang tidak menyenangkan dibenci. Berarti cinta
model sui-poa (alat hitung), model mesin hitung, cinta model dagang dengan
dasar untung rugi.
Orang tua yang membeda-bedakan anaknya sebetulnya hanya mencinta diri
sendiri, mencari kesenangan diri pribadi melalui anak-anaknya. Cinta kepada
anaknya sama saja dengan cintanya kepada anjing peliharaannya, kalau anjing
itu mengenal budi, kalau anjing itu tahu membalas budi dan menyenangkan,
maka tetap dicinta.
Kalau tidak, anjing itu akan dipukul atau bahkan diusir! Sama saja dengan
mencinta barang-barang mati, yang baik dan berharga, dicinta....... yang buruk
dan tidak berharga, dibuang! Apakah yang begini cinta kasih orang tua
terhadap anak-anaknya? Mudah-mudahan tidak, dan kalau toh ada yang
demikian, mudah-mudahan dapat menyadarinya dan segera mengubahnya.

Kitab suci Dharmapada, yaitu kitab suci Agama Buddha, pasal limabelas yang
mengajarkan tentang kebahagiaan :
1. Kita hidup bahagia bila tak membenci seorangpun di tengah-tengah
orang-orang yang membenci. Kita hidup bebas dari kebencian di
antara orang-orang yang membenci.
2. Kita hidup bahagia bila bebas dari penyakit di antara orang-orang
yang sakit. Kita hidup bebas dari penyakit di antara orang-orang yang
sakit.
3. Kita hidup bahagia bila bebas dari keserakahan di antara orang-orang
yang serakah. Kita hidup bebas dari keserakahan di antara orang-
orang yang serakah.
4. Kita hidup bahagia, bila tidak terikat oleh kemilikan. Kita akan hidup
bahagia laksana dewa-dewa yang memancarkan cahaya.
5. Kemenangan memabokkan si pembenci, yang kalah menderita
kesedihan. Dia yang tak lagi memikirkan kemenangan dan kekalahan,
senantiasa tenang dan bahagia.
6. Tiada api melebihi nafsu, tiada penyakit melebihi kebencian, tiada
penderitaan melebihi cengkeraman badani, tiada kebahagiaan
melebihi Nirwana.
7. Keserakahanlah penyakit yang paling berbahaya, mengejar keinginan
penderitaan yang paling besar. Bagi yang mengerti akan kenyataan
ini, Nirwana-lah kebahagiaan tertinggi.
8. Kesehatanlah anugerah terbesar, puas akan apa adanya-lah
kekayaan terbesar. Keyakinan adalah hubungan terbaik, dan
Nirwanalah kebahagiaan tertinggi.
9. Setelah menikmati kesucian dan ketenangan, terbebaslah dan
belenggu takut dari dosa. Setelah demikian barulah dapat meneguk
kebahagiaan hidup di dalam Dharma.
10. Memandang Para Bijaksana adalah baik, bergaul dengan mereka
membahagiakan. Yang tidak bergaul dengan si dungu akan
senantiasa berbahagia.
11. Yang bergaul dengan orang-orang dungu seperti bergaul dengan
musuh, menyebabkan derita. Bergaul dengan orang bijaksana seperti
sanak saudara menyebabkan kebahagiaan.
12. Karena itu, seperti bulan bergerak mengikuti garis peredarannya,
hendaknya orang mengikuti para bijaksana yang berpemandangan
luas, terdidik, sabar dan taat kepada peraturan Para Bijaksana
sehingga patut untuk diikutinya.

Kita selalu condong untuk mencari enak saja, dalam segala perkara, dalam
segala macam persoalan, bahkan di dalam keagamaan sekalipun! Pikiran kita
sudah terbiasa sejak kecil, oleh pendidikan, oleh lingkungan, oleh masyarakat
dan cara hidup masyarakat kita, untuk selalu mempergunakan perhitungan
untung-rugi dalam segala macam hal.
Dalam hubungan antara manusia, dalam agama sekalipun, bahkan dalam
hubungan antara negara dan bangsa, kita selalu mendasarinya dengan
perhitungan untung-rugi yang menguntungkan adalah sahabat kita, yang
merugikan adalah musuh kita. Karena kebiasaan menghadapi segala sesuatu
dengan untung-rugi inilah maka di dalam agama sekalipun, kita memasukinya
dengan perhitungan. Diampuni dosanya dan kelak mendapatkan sorga
merupakan janji muluk yang diberikan oleh hampir semua agama, dan hal ini
memang amat menarik hati orang.
Siapakah yang tidak ingin diampuni dosanya, bebas dari siksa kelak dan
memperoleh sorga yang digambarkan sebagai keadaan, yang amat enak?
Apalagi kalau syarat memperolehnya hanyalah kepercayaan. Alangkah
mudahnya. Hanya percaya, habis perkara, dan pahala-pahala itupun datanglah!
Benarkah semudah itu untuk percaya?
Kita tidak menyadari rupanya bahwa „percaya di mulut‟ jauh sekali bedanya
dengan „percaya di hati‟. Dan kebanyakan dari kita condong untuk percaya di
mulut saja.
Setiap orang mengatakan bahwa dia percaya kepada Tuhan! Benarkah itu?
Benarkah kita percaya kepada Tuhan dari lubuk hati kita, ataukah pengakuan
itu hanya sebatas bibir dan lidah saja? Karena, kalau orang percaya kepada
Tuhan, setiap saat dia akan merasa adanya Tuhan, dan karena itu, diapun tidak
akan pernah menyeleweng semenitpun.
Akan tetapi biasanya, kita hanya ingat dan percaya kepada Tuhan kalau kita
membutuhkan pengampunan-Nya, membutuhkan pertolongan-Nya, dan kita
sama sekali melupakannya kalau kita tidak membutuhkan itu. Karena itu, kata
„percaya‟ tidaklah semudah yang kita kira.

Cemburu adalah suatu dorongan perasaan yang amat berbahaya, baik bagi
orang lain, terutama sekali bagi diri sendiri. Cemburu menggelapkan pikiran,
melenyapkan kesadaran, menimbulkan dendam, sakit hati dan kebencian.
Cemburu dapat membuat seorang manusia berubah kejam penuh dengan
kebencian.
Cinta asmara antara pria dan wanita tak mungkin sepihak, harus datang dari
kedua pihak. Dan kalau orang yang kita cinta itu kemudian menoleh kepada
orang lain, hal itu berarti bahwa ia tidak cinta sesungguhnya kepada kita!
Padahal, didalam cinta tercakup kesetiaan, dalam arti kata tidak mau menyakiti
hati orang yang kita cinta, kemesraan, dan selalu ada dorongan untuk
menyenangkan dan membahagiakan hati orang yang kita cinta. Dan kalau
sudah terdapat kenyataan bahwa orang yang kita cinta itu menoleh kepada
orang lain, berarti tidak cinta kepada kita, apa gunanya timbul cemburu yang
mendatangkan kebencian?
Kalau kita benar-benar mencinta, kita tidak mengharapkan apa-apa lagi! Cinta
kasih yang murni tidak mendatangkan cemburu, tidak memperbesar si aku,
tidak mengejar kesenangan belaka, tidak ingin memiliki atau dimiliki dengan arti
kata mengikat, tidak ingin mengekang orang yang kita cinta.
Cinta kasih adalah kebahagiaan. Dan kebahagiaan berubah menjadi
kesenangan kalau sudah mengikat. Dan kesenangan ini hanya merupakan
wajah lain saja dari kesusahan. Suka duka tak terpisahkan.

Perasaan kesepian ini seringkali melanda batin kita, tak perduli bagaimana
keadaan kita, tak peduli kita berada di tengah banyak orang atau keluarga, tak
perduli kita berada dalam keadaan yang kaya raya atau berkecukupan, maupun
dalam kedudukan tinggi dan kemuliaan.
Perasaan sepi menggerogoti batin, apalagi kalau kita merasa tidak dicinta
seorangpun. Perasaan kesepian dan sendirian inilah yang mendorong kita
untuk mengikatkan diri kepada sesuatu atau seseorang sebagai sumber-
sumber kesenangan.
Kita mengikatkan diri sebagai anggauta suatu kelompok, golongan,
persahabatan, atau kita mengikatkan diri dengan suatu aliran, dengan benda-
benda, dengan sumber-sumber kesenangan yang lain. Dan kita takut dan
merasa ngeri kalau harus meninggalkan semua itu, karena kita membayangkan
betapa hidup ini akan terasa kosong dan sepi!
Ngeri akan perasaan sepi dan bersendirian inilah agaknya yang membuat
orang takut akan kematian. Bukankah kalau sudah mati, kita kehilangan segala-
galanya dan berada dalam keadaan kesepian dan menghadapi segala sesuatu
sendirian saja? Karena inilah maka kita berusaha mencari pegangan, mencari
kepercayaan sebagai sesuatu yang akan menemani kita, akan menjadi bekal
dalam menghadapi kematian atau kesepian dan kesendirian itu.
Ngeri timbul dan rasa takut yang selalu menghantui batin kita. Kita haus akan
cinta kasih, haus akan cinta orang lain terhadap kita, perhatian dan keramahan
orang-orang lain terhadap diri kita, dan hal ini menunjukkan bahwa kita sendiri
kering, tidak memiliki cinta kasih!
Orang yang tidak memiliki cinta kasih, bagaikan sebuah cawan yang kering dan
kosong, selalu haus akan isi. Sebaliknya, batin yang penuh dengan cinta kasih
bagaikan cawan yang penuh air, terus diisi oleh air yang mengalir masuk,
sehingga bukan saja air itu dapat membasahi dan memenuhi cawan itu sendiri,
melainkan juga dapat meluap dan membasahi dan mengisi cawan lain.
Orang yang batinnya penuh dengan sinar cinta kasih, tidak mengharapkan cinta
kasih orang lain terhadap dirinya lagi, bagaikan sebuah ruangan tidak lagi
membutuhkan cahaya karena dirinya telah menjadi cahaya yang dapat
menerangi ruangan-ruangan lain.
Hidup harus berani bersendirian, bukan dalam arti kata kesepian dan merasa
ditinggalkan seorang diri, melainkan bersendirian, berdikari, bebas tidak
bersandar atau bergantung kepada gagasan, benda, atau orang lain. Hanya
dalam keadaan bebas tidak terikat inilah, pikiran tidak merajalela, mengendap
dan si-aku pun tidak menonjolkan diri, sehingga kini dapat waspada setiap saat.
Hanya dalan keadaan bebas inilah, cinta kasih dapat memenuhi relung-relung
batin kita dengan sinarnya. Hanya dalam keadaan bebas dari segala ikatan
inilah, Sinar Illahi dapat menyentuh batin kita, dan kita menjadi waspada akan
apa yang dinamakan kekuasaan, kemurahan dan cinta kasih Tuhan Yang Maha
Kasih!
Segala macam perbuatan dalam bentuk apapun merupakan pencerminan
keadaan batin. Kalau batin kita bebas sehingga penuh dengan sinar cinta kasih,
maka perbuatan yang akan dilakukan oleh badan kita, dengan sendirinya
berdasarkan cinta kasih.
Batin yang bebas dan penuh cinta kasih tidak mengenal kebencian, iri hati,
dendam, permusuhan, dengki. Si aku yang menjadi sumber dan segala macam
perasaan dan nafsu itu telah tiada.

Kenapa begitu banyak manusia di dunia ini yang merasa patah hati, yang
berduka karena cinta? Mengapa cinta kasih kita ini hanya mendatangkan
kebahagiaan sebentar, lalu berubah menjadi kekecewaan dan kedukaan?
Mengapa? Pertanyaan ini amat penting untuk diselidiki, dan yang dapat
melakukan penyelidikan secara tepat hanyalah mereka yang terlanda derita
patah hati atau karena cinta gagal ini.
Kenapa cinta harus gagal? Kata „gagal‟ ini saja sudah menunjukkan habisnya
suatu „keinginan‟, dan karena keinginan itu tidak tercapai maka dinamakan
gagal. Akan tetapi, haruskah cinta berdampingan dengan suatu keinginan?
Biasanya, kalau orang jatuh cinta, maka dia ingin agar orang yang dicintanya itu
membalas cintanya, kemudian menjadi miliknya! Kalau sudah begini, tentu saja
timbul kemungkinan lain, yaitu kegagalan!
Dan segala macam bentuk pengejaran untuk memenuhi apa yang diinginkan,
selalu membuahkan kebosanan dan kekecewaan kalau gagal. Siapakah yang
memiliki keinginan itu? Aku! Bagaimana terciptanya aku? Karena kesenangan,
pengalaman yang menyenangkan bersarang di dalam ingatan, akan muncullah
keinginan untuk mengulang kesenangan itu kembali.
Aku adalah keinginan untuk senang, aku adalah takut untuk mengalami hal-hal
yang tidak menyenangkan. Aku dan keinginan tidak pernah terpisah, karena
kalau tidak ada keinginan, tidak ada rasa takut, akupun tidak pernah ada.
Kita sendiri yang membuat cinta kasih menjadi sesuatu yang menyenangkan,
menjadi suatu alat untuk menyenangkan diri sendiri. Inilah sebabnya mengapa
banyak terjadi kedukaan dalam cinta. Padahal, cinta yang mendatangkan duka
itu bukan lagi cinta namanya, melainkan kesenangan. Kita kehilangan sumber
kesenangan itu, maka kecewalah kita, dukalah kita.
Kuburan itu sunyi sekali. Malam itu terang bulan. Dunia nampak indah bukan
main bermandikan cahaya bulan purnama. Segala sesuatu nampak keemasan
dan kehijauan. Tiada awan menghalang bulan.
Keindahan yang penuh rahasia, keindahan yang membuat setiap orang kalau
keluar rumah menjadi termenung. Namun Lian Hong tidak melihat keindahan
itu. Ia sedang tenggelam ke dalam kedukaan, tenggelam ke dalam lautan air
mata. Ia sedang menangis di depan kuburan orang tuanya!
Duka adalah hasil permainan pikiran yang mengingat-ingat hal yang telah lalu.
Seperti rasa takut yang menjadi permainan pikiran mengingat dan
membayangkan hal yang belum datang, duka juga merupakan permainan
pikiran belaka.
Pikiran mengingat-ingat dan mengunyah kembali keadaan yang lalu,
menimbulkan iba diri dan pikiran membayangkan betapa sengsaranya diri.
Pikiran seperti mengubah diri menjadi tangan jari-jari kejam meremas hati,
maka keluarlah tangis dan keluh kesah.

Anda mungkin juga menyukai