Asmaraman Sukowati atau Kho Ping Hoo (juga dieja Kho Ping Ho, Hanzi: 許平和;
pinyin: Xǔ Pínghé, lahir di Sragen, Jawa Tengah, 17 Agustus 1926 – meninggal 22 Juli
1994 pada umur 67 tahun) adalah penulis cersil (cerita silat) yang sangat populer di
Indonesia. Kho Ping Hoo dikenal luas karena kontribusinya bagi literatur fiksi silat
Indonesia, khususnya yang bertemakan Tionghoa Indonesia yang tidak dapat diabaikan.
Selama 30 tahun ia telah menulis sedikitnya 120 judul cerita. Walaupun menulis cerita-
cerita silat berlatar Tiongkok, penulis yang produktif ini tidak bisa membaca dan
menulis dalam bahasa Mandarin. Ia banyak mendapat inspirasi dari film-film silat Hong
Kong dan Taiwan. Karena tidak bisa berbahasa Mandarin, Kho Ping Hoo tidak memiliki
akses ke sumber-sumber sejarah negeri Tiongkok berbahasa Tionghoa, sehingga banyak
fakta historis dan geografis Tiongkok dalam ceritanya tidak sesuai dengan kenyataan
yang sebenarnya. Dari sebab itu, karya Kho Ping Hoo akan membingungkan bagi yang
mengerti sastra atau sejarah Tiongkok yang sebenarnya.
Selain karya-karya yang termuat di artikel ini, masih terdapat karya-karya Asmaraman
S. Kho Ping Hoo lain yang merupakan karangan-karangan lepas (satu judul/kisah tamat)
baik berlatar belakang Tionghoa maupun Jawa seperti serial Pecut Sakti Bajrakirana
dan serial Badai Laut Selatan yang berlatarbelakang masa Kesultanan Mataram Islam
dan zaman Airlangga.
Beberapa sinetron yang ditayangkan televisi Indonesia juga memiliki kemiripan cerita
dengan novel Kho Ping Hoo. Beberapa di antaranya adalah sinetron serial Angling
Dharma yang mirip dengan alur cerita Bu Kek Siansu dan sinetron serial Misteri
Gunung Merapi yang mirip dengan Alap-alap Laut Kidul (Lindu Aji) dan Bagus Sajiwo.
Padahal dalam cerita asalnya, Misteri Gunung Merapi lebih bernuansa daerah Sumatra
dengan Gunung Sorik Marapi-nya. Tidak diketahui apakah ini merupakan kebetulan
ataukah bukan.
“Siapa bilang hidup lebih senang dari pada mati?
Siapa bilang mati harus diantar susah hati?
Samua berasal dari tiada.
Dan kembali kepada tiada
Bila musimnya tiba?
Bukankah mati hanya pulang ke asalnya?”
“Kalau tidak ada kejahatan di dunia ini, mana mungkin ada kebaikan? Siapa
mau bicara kebaikan kalau tidak ada kejahatan? Siapa bisa mengatakan baik
kalau tidak ada buruk dan mana di dunia ini ada orang berbudi kalau tidak ada
orang jahat? Kejahatan merupakan imbangan dari pada kebajikan seperti Im
(positif) menjadi imbangan dari pada yang (negatif) kalau salah satu tidak ada
mana mungkin dunia bisa berputar dan matahari bisa terbit dan tenggelam?”
"Kedukaan tidak dapat dilupakan. Yang dapat dilupakan itu tentu akan teringat
kembali. Kita tidak mungkin dapat lari dari duka, karena yang berduka itu
adalah kita sendiri, batin kita sendiri. Bagaimana mungkin kita dapat lari dari diri
kita sendiri? Duka bukan sesuatu yang terpisah dari kita. Duka adalah suatu
kenyataan yang harus kita hadapi, kalau kita ingin agar kita dapat bebas
seluruhnya daripada duka, bukan bebas dari duka yang ini atau yang itu. Duka
adalah suatu keadaan dari batin kita sendiri, disebabkan oleh pikiran kita
sendiri, ditimbulkan oleh perasaan iba diri yang berlebihan."
Perbuatan buruk jahat memang seperti penyakit menular mudah sekali menular
kepada orang lain. Sebaliknya, perbuatan baik sukar sekali menjadi contoh dan
tak banyak orang mau mengikutinya. Hal ini adalah karena perbuatan buruk itu
hampir selalu didorong oleh pamrih demi kesenangan pribadi. Justeru
kesenangan pribadi inilah yang menarik hati setiap orang maka berbondong-
bondong mereka mengikuti contoh ini demi menikmati kesenangan itu.
Sebaliknya, perbuatan baik hampir selalu meniadakan atau mengurangi
keinginan menyenangkan diri pribadi yang berarti bahwa untuk melakukan
perbuatan baik orang hampir selalu menderita rugi, baik rugi lahir maupun rugi
batin. Maka sudah barang tentu jarang ada yang mau melakukannya.
Ho Hak Kin Houw Ti, Lek Heng Houw Jin, Ti Thi Kin Houw Yong! (Suka belajar
berarti mendekati pengetahuan, menjalankan ilmu pengetahuan berarti
mendekati welas asih dan tahu malu berarti mendekati kejantanan!”)
Bukti kekuasaan Tuhan memang kadang-kadang amat aneh, ganjil, dan sukar
dimengerti. Kadang-kadang bahkan nampak tidak adil!
Misalnya, seorang yang berwatak jahat hidup dalam keadaan senang dan
makmur, sebaliknya seorang yang berwatak baik hidup sengsara.
Ada pula seorang yang hidupnya penuh dosa selalu sehat, sebaliknya orang
yang hidup saleh bahkan menderita penyakit berat. Terlontarlah kata-kata “tidak
adil” dari mulut mereka yang masih belum kuat iman dan kepercayaannya
terhadap Tuhan dan kekuasaannya.
Akan tetapi tidak demikian sikap orang budiman, atau seorang yang memang
menaruh kepercayaan akan keadilan Tuhan secara mutlak.
Dia ini bahkan akan menerima segala apa yang oleh manusia dianggap
“sengsara” atau “menderita” dengan hati tenang dan penuh penyerahan
sebulatnya kepada Yang Maha Kuasa, menerima lahir batin dengan penuh
kepercayaan dan keyakinan bahwa segala apa yang menimpa dirinya itu
adalah kehendak Tuhan yang tak dapat diubah pula oleh siapapun juga, dan
bahwa di balik semua hal yang menimpa dirinya itu terdapat sesuatu yang adil
dan baik. Bahagialah orang yang menerima kemalangan sebagai orang
menghadapi ujian, tahan uji, kuat dan akhirnya lulus!
Kasihan mereka yang lemah hati, yang tidak kuat menghadapi kemalangan,
sehingga kepercayaan menjadi luntur, watak yang baik menjadi buruk, dan
kemalangan menyeretnya ke dalam penyelewengan yang akan
menghancurkan hidupnya sendiri!
Tun Hek Ki Jiak Phak, Kong He Ki Jiak Kak, Huk He Ki Jiak Tak
Berlakulah sopan jujur seperti balok,
Berwataklah sunyi agung seperti jurang dalam,
Dan bersikaplah seperti air keruh.
Siok Ling Tok I Ci, Cing Ci Ji Jing, Siok Ling An I Kiu, Tong Ci Ji Seng! (Siapa
bisa bersikap seperti air keruh lama-lama menjadi jernih, siapa bisa berlaku
sabar, lambat laun memetik buahnya.
“Mati di antar tangis, lahir disambut tawa. Tapi bagaimanakah sikap orang
bijaksana?”
“Kurangi Tangis dan Perbanyaklah Tawa!”
Kou Kuncu Put Kho-i Put Siu-sin. Su siu-sin Put kho-i Put Su-jin. Su Su-jin Put-
kho-i Ti-jin. Su Ti-jin, Put Kho-i Put Ti Thian!
Seorang Budiman seharusnya menyempurnakan diri (batin dan pikiran) pribadi.
Untuk dapat menyempurnakan diri pribadi, tak dapat tiada harus mencinta dan
berbakti kepada ayah bunda. Untuk dapat mencinta dan berbakti kepada ayah
bunda, tak dapat tiada harus mengetahui tentang perikemanusiaan.
Dan untuk dapat mengetahui tentang perikemanusiaan, tak dapat tiada ia harus
mengetahui tentang KETUHANAN.
Alangkah buruk nasib! Aku dipaksa tinggal di tubuh hina. Dikurung dalam
segala kerendahan jasmani! Diliputi oleh segala kepanasan hawa nafsu!
Hanya satu hiburan bagiku : Akan tiba masanya aku pergi, meninggalkan
semua keburukkan ini. Dan kembali ke tempat asal, kembali ke tempat suci!
Iman yang lemah dikuasai hati, hati yang kotor dikuasai pikiran dan pikiran yang
picik dikuasai oleh mata.
Kalau mata sudah silau dan buta karena cahaya harta benda, wanita &
kekuasaan, apakah lagi yang pantang dilakukan?”
Pemimpin negara yang baik selalu memberi contoh dengan perbuatan, bukan
sekedar mengeluarkan perintah saja. Rakyat di manapun juga tidak mudah
ditipu dengan slogan kosong, melainkan memperhatikan cara hidup para
pemimpinnya. Kalau ingin rakyat bekerja keras, para pemimpin harus bekerja
keras. Kalau ingin rakyat berhemat, para pemimpin harus lebih dulu berhemat.
Pemimpin menjadi contoh dan selalu dicontoh rakyat karena itu kalau para
pemimpinnya melakukan penyelewengan, korupsi, kolusi, nepotisme
bagaimana dapat mengharapkan rakyat tertib dan jujur?
Perasaan hati memang condong untuk berubah setiap waktu. Karena itu, tidak
mungkin hal itu dalam satu keadaan terus menerus tanpa perubahan. Duka
tidak dapat mengekang hati terlalu lama, apalagi suka. Sebentar saja perasaan
itu sudah terganti oleh perasaan lain. Karena itu, tidak keliru kalau ada yang
mengatakan bahwa pada saat suka menduduki hati, duka sudah antri di
belakangnya dan demikian sebaliknya. Suka dan duka lewat bagaikan angin
lalu, semua akan terlena oleh Sang Waktu.
Duka timbul dari kenangan masa lalu, dan rasa khawatir atau takut timbul dari
bayangan masa depan. Kalau kita hanya menghadapi masa kini, saat ini
dengan penuh penerimaan, kepasrahan, kesabaran dan ketawakalan kepada
kekuasaan Tuhan Yang Maha Kasih, maka segala macam kedukaan dan
kegelisahan pasti dapat dilenyapkan oleh kekuasaan Tuhan.
Segala kehendak Tuhan pun jadilah! Tidak ada kekuasaan lain yang mampu
mengubahnya. Kalau sudah pasrah seperti itu, maka kejadian apa pun yang
menimpa diri kita, akan kita hadapi tanpa mengeluh karena kita tahu bahwa
kejadian itu sudahlah wajar dan semestinya. Bukan berarti bahwa kita
menerima saja segala sesuatu dengan tidak berusaha, sama sekali bukan. Kita
berusaha sekuat tenaga namun dengan landasan kepasrahan kepada
kekuasaan Tuhan. Dengan iman yang kokoh kuat, mudah saja bagi, kita untuk
melandasi semua daya upaya kita dengan kepasrahan yang mutlak dan
lengkap. Dan Tuhan Maha Bijaksana, Maha Murah. Tuhan lebih dari mengerti
apa yang terbaik untuk kita, walaupun bagi pikiran kita yang tidak sempurna
akan nampak tidak baikl Dan Tuhan mengasihi orang yang pasrah dengan
sepenuh jiwa raganya kepada kekuasaanNya.
Kebaktian timbul dari kasih sayang. Kalau kebaktian tidak timbul dari kasih
sayang, maka sangat boleh jadi kebaktian itu palsu adanya. Ada kebaktian
sebagai balas budi, ada pula kebaktian terhadap orang tua atau guru sebagai
pelaksana kewajiban, atau bahkan ada yang agar supaya dikatakan orang
bahwa dia seorang yang berbakti, murid atau anak yang berbakti. Akan tetapi
semua itu palsu adanya. Kebaktian yang sesungguh-nya timbul dari kasih
sayang. Kalau ada kasih sayang di hati, otomatis ada ke-baktian itu terhadap
orang yang dikasihi.
Seorang anak yang benar-benar memiliki kasih sayang kepada orang tuanya,
dia akan menjadi seorang anak yang benar-benar berbakti. Kebaktian tidak
dapat, diukur dengan benda atau harta, melainkan tercurah melalui sikap dan
perbuatan, dan pembelaan.
Nafsu itu sifatnya seperti api. Kalau dibiarkan berkobar makin lama semakin
menjadi besar. segala apa dilalapnya, tidak pernah mengenal puas, bahkan
makin banyak yang dimakannya, makin lapar dan hauslah dia. Dan sudah
menjadi sifat nafsu, kalau dituruti lambat atau cepat dia akan menjadi bosan
dengan yang sudah didapatkannya dan selalu haus akan "makanan" yang baru.
Cinta merupakan suatu perasaan teramat kuat mempengaruhi diri setiap orang
manusia. Cinta dapat mendatangkan perasaan berbahagia, namun Cinta dapat
pula mendatangkan perasaan sengsara. Kalau dua hati bertemu dan saling
bertaut dalam ikatan benang-benang Cinta itu kadang dapat kusut dan ruwet.
Namun sebaliknya, kalau Cinta tidak terbalas, dapat mendatangkan
penderitaan batin yang hebat. Kekecewaan dan kehampaan akan membuat
seseorang merasa sebagai manusia paling sengsara di dunia ini.
Cinta selalu diboncengi nafsu sehingga sifatnya menjadi tamak. Cinta seperti ini
selalu menghendaki balasan- selalu menghendaki keuntungan bagi diri sendiri.
Menghendaki agar yang diCinta itu membalas Cintanya, menghendaki agar dia
dapat memiliki dan memiliki yang dicinta. Cinta seperti ini mendatangkan rasa
senang bagaikan orang minum anggur yang dapat memabukkan dan membuat
dirinya lupa daratan. Akan tetapi Cinta seperti ini, yang diboncengi nafsu
asmara, sebaliknya dapat pula mendatangkan kekecewaan dan duka. Kalau
yang diCinta itu tidak membalas dengan Cinta, kalau yang diCinta itu
memalingkan muka kepada orang lain, kalau yang diCinta itu tidak
menyenangkan hatinya, tidak suka dikuasai dan dimilikinya, tidak mau pula
menguasai dan memilikinya, maka datanglah kekecewaan dan duka.
Ada Cinta yang murni, tidak diboncengi nafsu. Cinta seperti ini bagaikan sinar
matahari yang tidak memilih siapa yang akan dilimpahi cahayanya. Cinta
seperti ini tidak menuntut balasan, Cinta seperti ini tidak memilih sasaran dan
Cinta seperti ini tidak pernah mendatangkan kesenangan maupun kesusahan,
tidak pernah mendatangkan kepuasan maupun kekecewaan. Cinta seperti ini
seperti matahari yang menyinarkan cahayanya kepada siapapun juga,
menghidupkan, menyehatkan tanpa menuntut balas apa pun dan dari siapa
pun. seperti bunga menyiarkan keharuman memberikan keindahan kepada
siapapun juga tanpa menuntut balas apa pun dari siapa pun. Cinta seperti ini
adalah suatu keadaan, bukan suatu perbuatan yang lahir dari hati akal pikiran.
Akan tetapi yang kita bicarakan adalah Cinta yang pertama tadi, Cinta yang ada
karena bekerjanya hati akal pikiran, karena tertariknya panca indera. Manusia
tidak ada yang terbebas dari Cinta seperti ini. Akan tetapi manusia yang sudah
menyadari dan tahu macam apa Cinta yang menguasai hatinya, yang waspada
dan maklum bahwa Cintanya itu bergelimang nafsu, tidak akan terlalu dalam
terperosok. tidak akan terlalu kuat terikat sehingga akibatnya tidak terlalu parah.
sesungguhnyalah bahwa Cinta seperti ini membuahkan kesenangan ataupun
kesusahan, kepuasan atau kekecewaan dan siapa yang sudah tahu benar akan
hal ini, kalau harus memetik dan memakan buahnya, tidaklah terkejut benar.
Nenek bilang aku harus membuka mata dan waspada melihat segala di
sekelilingku dan juga apa yang terjadi di dalam dan di luar diriku. Yang ada
hanya pengamatan. Dari pengamatan ini timbul pengertian, lalu penyerahan
terhadap kekuasaan mutlak dari. Tuhan Yang Maha Kasih."
Kita adalah oran-orang munafik! Ini pun suatu kebodohan besar karena kita
tidak sadar bahwa kita adalah orang-orang munafik, selalu berpura-pura, tidak
ada kesatuan antara ucapan, pikiran, dan perbuatan! Kita menutupi kekotoran
diri dengan bermacam cara. Kekotoran badan kita tertutup dengan pakaian
bersih, perbuatan kalau kita ditutupi dengan alasan-alasan bersih, demi ini dan
demi itu. Seorang bijaksana tidak akan membiarkan kepicikan pikiran
menguasai dirinya, tidak membiarkan si-aku merajalela karena selagi si-aku
merajalela, maka segala perbuatan pasti berpamrih demi kepentingan aku. Si-
aku ini dapat membesar menjadi milikku, keluargaku, kelompokku, bangsaku,
agamaku dan selanjutnya. Seorang bijaksana akan selalu waspada akan si-aku
dalam dirinya karena pikiran dan nafsu yang mencipta si-aku itulah satu-
satunya musuh berbahaya selama hidupnya. Bukankah demikian keadaannya,
sahabatku Hek-bin Hwesio?"
"Mata batin baru dapat terbuka kalau batin itu sendiri bebas dari segala bentuk
kotoran, dan batin bersih dan bebas kalau di situ sudah tidak ada lagi
penonjolan si-aku dengan segala dendam kebenciannya, iri hatinya,
kecewaannya, harapan-harapannya kekuasaannya, dan segala macam
kepentingan diri sendiri.
Nah, marilah mulai detik ini kita buang jauh-jauh segala rasa dendam dan
kebencian, seolah-olah semua itu telah mati dan kita hidup baru dengan segala
kebersihan dan kebebas-batin!"
Hidup adalah belajar. Belajar adalah hidup. Mempelajari isi kehidupan ini tidak
seperti mempelajari suatu ilmu pengetahuan yang harus dihafaldan ulang-
ulang. Hidup bukanlah suatu perulangan sehari-hari. Hidup seperti sungai
mengalir, seperti awan berger diangkasa, setiap saat berubah, setiap detik
berbeda. Tidak mungkin mengambarkan kehidupan sebagai sesuatu yang mati,
sesuatu yang mandek. Mempelajari hidup berlaku selama hidup sendiri.
Dengan membuka mata. Dengan pengamatan yang penuh kewaspadaan,
penuh perhatian. Bukan dengan menjiplak pelajaran yang sudah ada, karena
penjiplakan adalah pemaksaan dan karenanya palsu, betapapun baik
nampaknya. Dan yang palsu itu, betapapun indah kelihatannya, tetap saja
palsu dan karenanya tidak wajar lagi, tidak bersih lagi Kebaikan tidak mungkin
dapat dipelajari, tidak mungkin dapat dihafalkan. Kebaikan yang dipelajari dan
dihafalkan, hanyalah suatu kemunafikan suatu kepalsuan karena kebaikan perti
itu pasti berpamrih.Dan pamrih ingin baik, dan kalau yang ingin baik itu si-aku,
sudah pasti karena si-aku melihat suatu keuntungan dalam kebaikan itu! Si-aku
ini tidak mungkin dapat bernuat tanpa pamrih demi keuntungan diri sendiri,
betapapun kadang-kadang pamrih itu diselundupkan, disusupkan,
disembunyikan dan diberi pakaian dan sebutan macam-macam. Tetap saja
pamrih, tetap saja akhirnya demi kepeningan si-aku. Amat cerdiklah si-aku ini
sengga kadang-kadang Sang pamrih dapat disulap sedemikian rupa sehingga
titak nampak sebagai pamrih lagi. Akan rapi, disulap bagaimanapun juga, tetap
perbuatan yang didorong oleh si-a¬ku, sudah pasti berpamrih. Perbuatan baru
bebas dari si-aku, bersih dari pamrih, kalau perbuatan itu didasari cinta kasih,
didorong bukan oleh nafsu, pikiran atau si-aku, melainkan terdorong oleh
getaran perasaan yang tersentuh, oleh iba hati, oleh keharuan dan cinta kasih,
dan cinta kasih bukan lagi cinta kalau sudah ada si-aku bercokol di situ, karena
yang disangka cinta kasih itu hanyalah cinta kasih birahi semata, cinta nafsu
yang selalu mengharapkan balas jasa demi kepentingan, kebaikan kesenangan
diri sendiri pada akhirnya.
Jalan kehidupan kita ini penuh liku-liku, penuh perubahan dan kadang-kadang
terjadi hal-hal yang menimpa diri kita yang kelihatan amat janggal, amat sukar
dimengerti sebab-sebabnya. Jalan yang ditempuh oleh Tuhan sungguh penuh
rahasia, gaib, kadang-kadang begitu jauhnya tak terjangkau oleh alam pikiran
dan akal kita. Ada kalanya terjadi peristiwa yang menurut pertimbangan dan
perhitungan akal kita, nampak janggal, bahkan nampak tidak adil! Akal pikiran
kita melihat betapa seseorang yang kita anggap jahat dan patut dikutuk, bahkan
hidup penuh kemuliaan, berkedudukan tinggi, terhormat, kaya raya, sehat dan
selamat.
Sebaliknya, akal pikiran kita melihat betapa seseorang seseorang yang kita
anggap baik dan patut dipuji, hidupnya serba kekurangan dan sengsara,
tertindas, terhina, miskin dan papa! Kita melihat pembesar yang hidupnya
penuh korupsi, makmur dan nampak senang, sebaliknya pembesar yang
hidupnya jujur dan adil, nampak hidup serba kekurangan dan sama sekali tidak
makmur. Kita melihat orang yang kita nilai baik hidup berpenyakitan sebaliknya
orang yang kita lihat dan kita nilai buruk dan kotor, hidup sehat!
Apalagi biasanya kita menilai diri kita ini sudah cukup baik, sudah cukup
mentaati hukum agama, sudah cukup berusaha menjadi orang yang baik, akan
tetapi kita merasa be¬tapa hidup kita selalu sengsara! ini menimbulkan
kekecewaan dan penasaran!
Kita lupa bahwa jalan pikiran hanyalah mendasarkan semua itu dengan nilai
kebendaan, nilai kesenangan nafsu badani yang hanya sementara sifatnya.
Kita tidak tahu bahwa di dalam batin orang yang kelihatan kaya raya dan
senang, belum tentu berbahaya sebaliknya di dalam batin seorang petani
miskin, belum tentu sengsara. Pikiran kita hanya merupakan gudang
pengetahuan dan pengalaman. Pikiran akalnya tidak mungkin dapat
menjangkau dan mengerti jalan yang diambil Tuhan. Kita tidak mempunyai
kekuasaan apa pun atas diri kita sendiri sekalipun. Jalan satu-satunya hanyalah
menyerahkan segalanya kepada-Nya. Apa pun yang kehendaki-Nya, pasti baik
dan benar, walaupun bagi akal pikiran kita kadang-kadang dianggap buruk dan
salah. Hanya orang yang mampu menerima segala suatu sebagai kehendak
Tuhan, menerima segala apa sebagai suatu kenyataan yang wajar, sebagai
apa adanya, tanpa keluhan, tanpa protes, tanpa penasaran atau kekecewaan,
hanya orang seperti inilah yang dapat tersentuh sinar Kasih, dan dapat
merasakan apa yang kita sebut-sebut sebagai kebahagiaan!
Memang, ikatan mendatangkan derita sengsara batin karena tidak ada yang
abadi di dunia ini. Setiap pertemuan pasti berakhir dengan perpisahan dan
kalau hati terikat, maka perpisahan itu akan mendatangkan rasa sengsara dan
duka.
Pikiran, badan dan perasaan melalui lima indera merupakan persekutuan yang
selalu menyeret kita ke arah kemaksiatan atau perbuatan yang tidak sehat,
bahkan kadang kala perbuatan jahat yang merugikan orang lain. Gairah nafsu
bukan datang dari luar, melainkan dari dalam. Sebagai contohnya, gairah nafsu
berahi. Mata melihat wanita cantik. Kalau pikiran tidak mencampuri dan
mengotori, maka tidak akan terjadi se¬suatu. Namun, biasanya, pikiran
mencampuri, si-aku membayangkan kalau wanita itu menjadi miliknya, kalau
wanita itu, dikuasainya, dan sebagainya, maka, timbullah gairah nafsu birahi.
Pikir yang membayangkan ini merupakan cermin dari pengalaman melalui
badan pula dengan perantaraan lima indera, perasaa nikmat dan enak
mendatangkan mgata dan bayangan.Kalau nafsu sudah menguasai batin,
maka kita melakukan segalanya untuk memuaskan tuntutan nafsu dan kadang-
kadang kita menjadi sedemikian buta sehingga tidak segan melakukan
perbuatan yang kotor, seperti melacur, berjina, atau bahkan memperkosa!
Kita lupa bahwa kita, manusia ini, pribadi-pribadi ini, bukanlah binatang! Kita
bukanlah tubuh ini! Kita bukan pula pikiran ini, bukan perasaan panca indera ini,
bahkan bukan kesadaran ini! Semua ini, tubuh, pikiran, perasaan, kesadaran ini
hanya merupakan hal-hal yang sementara saja, yang akhirnya akan hancur
lenyap begitu "rumah" ini menjadi tua atau rusak dan tidak terpakai lagi! Seperti
juga rumah membutuhkan perlengkapan, perapian, penerangan dan
sebagainya, tubuh juga membutuhkan perlengkapan, seperti pikiran, perasaan,
kesadaran. Kalau tubuh ini tertidur, atau pingsan, maka semua itu pun berhenti
berfungsi. Pikiran, perasaan, kesadaran, kesemuanya itu pun berhenti bekerja.
Seperti tubuh, mereka itu pun nya alat! Jelaslah bahwa kita ini bukan mereka!
Namun, sudah menjadi kebiasaan kita tidak waspada akan kenyataan ini. Kita
terlalu terikat kepada darah daging (tubuh) kita ini, terlalu mencandu kepada
panca-indera, hati akan kenikmatan dan keenakan, terlalu bergantung kepada
pikiran sehingga kita lupa akan keadaan kita yang sesungguhnya! Kalau semua
ikatan itu sudah dapa kita hancurkan, kalau si-aku sudah berhenti merajalela
sehingga hidup kita bukan sepenuhnya merupakan penghambaan kepada
nafsu-nafsu belaka, hanya mengejar kenikmatan, kesenangan dan keenakan
saja, barulah mungkin terdapat suatu keadaan yang sama sekali berbeda.
Berhentinya pikiran mendatangkan keheningan dan di dalam keheningan inilah
mungkin sekali kita akan me¬masuki dimensi lain dari kehidupan inil menyentuh
lingkaran cahaya Illahi yang tak pernah sedetikpun meninggaik kita. Tanpa
adanya cengkeraman pikiran perasaan dan kesadaran panca indera maka si-
aku pun runtuh dan tanpa adanya si-aku yang penuh keinginan ini, maka kita
akan mengenal apa arti cinta kasih. Bukan cinta kasih antara aku dan engkau
yang saling mengharapkan imbalan demi kesenangan diri pribadi, bukan cinta
kasih jual belidi pasar, tak pernah mengharapkan imbalan, tak pernah
berpamrih. Membiarkan diri penuh dengan cinta kasih ini, berarti membiarkan
diri dipenuhi cahaya Illahi, membiarkan diri bersatu dengan Tuhan!
Adakah yang lebih kejam daripada manusia? Manusia, kalau sudah dilanda
rasa takut, kalau sudah dikuasai nafsu mengejar sesuatu, menjadi jauh lebih
kejam daripada binatang yang bagaimana buas sekalipun! Binatang, betapapun
liar dan buasnya, tidak mempunyai pikiran jahat. Kebuasan dan keliaran
mereka hanya naluri untuk melindungi dirinya. Kalau ada binatang buas
membunuh binatang lain, hal itu dilakukan tanpa benci, melainkan karena dia
harus melakukannya untuk mempertahankan hidupnya, mengisi perutnya, atau
membela dirinya. Akan tetapi manusia membunuh demi menyenangkan dirinya,
atau demi mencapai sesuatu yang dianggap akan mendatangkan kesenangan
bagi dirinya.
"Samadhi berarti memasuki keheningan jiwa raga. Buang semua pamrih dan
tujuan, biarkan diri kosong dan curahkan semua kesadaran kepada penyerahan
diri lahir batin kepada Tuhan, Kekuasaan yang terdapat di luar dan di dalam
dirimu. Kosong tenang hening……… "
"Tenaga sakti dari pusar selalu dihamburkan keluar melalui sembilan lubang
dalam tubuh kita. Karena itu, perlu kita melatih diri untuk menutup lubang-
lubang itu dari dalam. Sekarang kita melatih diri untuk menutup lubang yang
paling bawah, lubang dubur. Tarik napas sedalam mungkin, sampai
sepenuhnya, lalu tahan sekuatnya, tanpa paksaan, sesudah itu, keluarkan
napas perlahan-lahan dan pada saat keluarkan napas, tutuplah lubang dubur,
pertahankan dan tutup terus sampai napas habis dikeluarkan, lalu tahan dalam
keadaan tanpa napas, lubang dubur terus ditutup rapat-rapat. Setelah bernapas
kembali, baru buka lubang dubur dan ulangi seperti tadi. Cukup tujuh kali setiap
kali latihan."
Kehidupan ini akan terisi penuh konflik kalau kita membiarkan diri kita
dicengkeram oleh pikiran yang sudah bergelimang nafsu. Nafsu selalu
melahiran keinginan-keinginan akan hal-hal buruk! Yang baik dan
menyenangkan hanyalah apa yang diinginkan itu! Mempunyai ini, ingin yang itu
sehingga yang ini nampak tidak ada daya tariknya; Mendapatkan yang itu,
menginginkan yang ini, dan demikian selanjutnya. Hanya orang yang
menyerahkan segala-galanya kepada kekuasaan Tuhan sajalah yang akan
dapat menerima apa yang ada tanpa penilaian! Apa pun yang datang menimpa
dirinya, apa pun yang didapatkan; dari hasil usahanya, dianggapnya sebagai
suatu anugerah dari Tuhan, sebagai suatu kemurahan dari Tuhan sehingga
diterima dengan hati penuh keikhlasan, penuh penyerahan diri dan penuh
ketawakalan. Biasanya, setiap mulut mengatakan bahwa dia ber-Tuhan, bahwa
dia percaya kepada Tuhan. Akan tetapi buktinya? Kalau orang benar-benar ber-
Tuhan hanya mulut saja yang mengakuinya, melainkan jauh di lubuk hatinya,
didalam dasar batinnya, harus ada kepercayaan itu. Kepercayaan yang
mendalam ini yang akan mendatangkan peyerahan, keikhlasan, dan kalau apa
pun yang menimpa diri dianggap sebagai pelaksanaan kehendak Tuhan, maka
senyum ini takkan pernah meninggalkan mulut. Yang ada hanya rasa terima
kasih dan syukur Tuhan Yang Maha Kasih. Dan kalau sudah begitu penderitaan
lain tidak ada lagidan penderitaan batin tidak ada lagi dan penderitaan lahir pun
tidak meninggalkan bekas, seperti awan lalu. Kepercayaan yang mendalam ini
yang akan mendatangkan kekuasaan Tuhan bekerja di luar dan di dalam diri
karena kekuasaan Tuhan meliputi seluruh alam, yang bergerak maupun yang
tidak bergerak, yang paling kecil sampai yang paling besar, paling rendah
sampai paling tinggi, yang paling dalam dan paling luar, pendeknya tidak ada
apa pun di alam mayapada ini yang tidak diliputi kekuasaan Tuhan Yang Maha
Kasih! Dan kalau kekuasaan Tuhan yang bekerja, maka segalanya akan wajai
dan sempurna! Yang menimbulkan baik buruk, suka duka dan segala macam
per¬tentangan adalah penilaian yang timbul dari nafsu.
Dan hanya kekuasaan Tuhan ini sajalah yang akan mampu menundukkan
nafsu sehingga menjadi jinak dan berman faat bagi kehidupan manusia, bukan
lagi sebagai perusak, melainkan sebagai pem-I bantu dan alat
mempertahankan hidup.
Kebaikan adalah suatu keadaan batin, keadaan batin yang bersih dari pada
pengaruh nafsu daya rendah. Keadaan batin, yaitu akal pikiran yang
sepenuhnya digerakkan oleh jiwa, dibimbing kekuasaan Tuhan Yang Maha
Kasih! Belajar baik atau melatih kebaikan hanya akan membuahkan
kemunafikan, karena kebaikan itu timbul dari keinginan. Ingin Baik! Dan
keinginan baik ini tentu timbul pula ari keadaan. Seperti Hong San. Setelah dia
hidup bergelimang kejahatan, dia mendapat kenyataan bahwa hidup secara itu
tidak mendatangkan keuntungan, bahkan membuat dia selalu gagal dan
sengsara. Kegagalan hidup dan kesengsaraan yang diakibatkan oleh perbuatan
jahatnya itulah yang menimbulkan keinginan di dalam hatinya, ingin menjadi
orang baik!
Tentu saja pamrihnya adalah agar akibat perbuatan baik itu membuat dia
berhasil dan senang dalam hidupnya. Jadi, kebaikan itu bukanlah sasaran
mutlak, melainkan hanya akan dipergunakan sebagai suatu cara untuk
mencapai tujuannya, yaitu kesenangan. Sasaran dari nafsu hanyalah satu,
yaitu kesenangan.!
Usaha seperti itu, yaitu belajar menjadi baik, berlatih menjadi baik, jelas masih
merupakan hasil karya nafsu, karena sasarannya adalah kesenangan sebagai
akibat kebaikannya. Kalaupun orang menjadi baik karena itu, maka
kebaikannya hanya merupakan kemunafikan belaka. Kebaikan seperti itu hanya
polesan, mudah luntur. Karena yang diutamakan sasarannya, yaitu
kesenangan, maka kebaikan yang hanya menjadi cadar itu dapat saja dengan
mudah diganti dengan kebalikannya, yaitu kejahatan, asalkan sasarannya lebih
cepat dapat dicapai, yaitu kesenangan.
Apakah kalau begitu kita tidak perlu belajar menjadi orang baik? Siapa
sesungguhnya yang mengajukan pertanyaan seperti itu? Siapa yang ingin
belajar menajdi orang baik? Tentu saja pikiaran, dan pikiran kita telah
bergelimang nafsu, telah dicengkeram oleh nafsu daya rendah.
Dengan keadaan seperti itu, apapun yang diusahakan pikiran selalu hanya
demi kepentingan diri pribadi. Dan ini memang menjadi tugas dari pikiaran.
Pikiran merupakan satu di antara alat yang membantu manusia agar hidupnya
di dunia dapat dipertahankan dpat diatur. Demikian pula dengan daya-daya
rendah yang menyertai jiwa dalam kehidupannya sebagai manusia di dunia ini.
Dayadaya rendah itu memang disertakan kepada kita sebagai alat, sebagai
pembantu.
Tanpa adanya nafsu-nafsu itu, kita tidak akan hidup sebagai manusia. Akan
tetapi, kalau sampai nafsu-nafsu yang semula ditugaskan menjadi pembantu
kita itu dibiarkan meliar dan menjadi majikan, mencengkeram dan menguasai
hati dan akal pikiran, maka kita akan diseret dan yang kita kejar hanyalah
kesenangan-kesenangan duniawi yang membuat kita mabok dan tidak pantang
melakukan hal-hal yang amat buruk. Lalu bagaimana daya kita? Kita hidup
membutuhkan nafsu, akan tetapi nafsu juga yang menyeret kita ke dalam
kegelapan. Kitapun tidak dapat mengendalikan nafsu, karena kita yang ingin
mengendalikan inipun dikemudikan nafsu!
Tidak ada kekuasaan di dunia ini yang akan dapat menguasai nafsu kecuali
kekuasaan Sang Maha Pencipta. Tuhan yang mencipta semua itu, dan hanya
Tuhan pula yang akan dapat mengatur dan membereskan keadaan yang
menyimpang dari kebenaran itu. Kini manusia hanya tinggal menyerah! Kita
menyerah sepenuhnya dengan tawakal dan ikhlas kepada Tuhan Yang Maha
Kuas, batin dan lahir. Batinnya menyerah kepada Tuhan sebagai dasar yang
kokoh, lahirnya kita berusaha dan berikhtiar agar selalu melalui jalan hidup
yang benar. Dengan demikian terdapat keseimbangan lahir dan batin. Doa dan
kerja! Yang dua ini harus selalu jalan bersama. Hidup bagaikan naik perahu.
Doa merupakan kemudinya, kerja merupakan pendayungnya. Tanpa kemudi
perahu akan tersesat. Tanpa pendayung, perahu takkan maju. Tanpa
kerjasama antara keduanya, perahu akan ditelan ombak.
Nafsu daya rendah adalah setan yang selalu mempengaruhi hati akal pikiran
kita. Nafsu daya rendah yang diikut-sertakan kepada kita ketika kita dilahirkan
sebagai manusia, pada hakekatnya diberikan sebagai anugerah, agar dapat
membantu kita dalam kehidupan kita sebagai manusia di dunia. Akan tetapi,
daya rendah berusaha sekuatnya untuk menguasai kita, menjadi nafsu yang
mencengkeram dan memutar balikkan keadaan sehingga bukan lagi kita
menjadi majikan dan daya rendah menjadi hamba atau alat, sebaliknya kita
yang menjadi budak, diperalat oleh nafsu.
Setan ini memang licik bukan main sehingga akal pikiran kita dibikin buta.
Kadang kesadaran dalam diri, hati nurani kita, memperingatkan kita akan suatu
perbuatan yang tidak baik, tidak benar. Namun nafsu daya rendah yang
memperoleh keuntungan dari perbuatan itu, yaitu untuk melampiaskan
kehendak nafsu, dengan cerdiknya menjadi pokrol untuk membela perbuatan
itu, untuk membenarkan perbuatan itu. Bisikan-bisikan berupa alasan-alasan
yang nampaknya tepat dan kuat dihembuskan nafsu ke dalam pertimbangan
kita bahwa perbuatan itu benar atau tidak salah, atau kesalahan terpaksa dan
sebagainya lagi. Tidak ada seorangpun manusia yang benar-benar TIDAK
TAHU, bahwa perbuatannya jahat dan tidak benar, namun dia tidak memiliki
kemampuan dan kekuatan untuk mencegah perbuatannya sendiri! Demikian
kuatnya nafsu mencengkeram kita. Setiap pencuri pasti tahu bahwa mencuri itu
tidak baik. Setiap pembunuh pasti tahu bahwa membunuh itu berdosa besar,
dan masih banyak macam kejahatan di dunia ini yang dilakukan orang, dan
semua orang yang melakukannya pasti tahu bahwa perbuatannya itu tidak baik,
tidak benar atau berdosa, namun tetap saja dilakukannya! Kenapa demikian?
Karena nafsu telah mencengkeram seluruh dirinya, hati akal pikirannya,
sehingga suara hati nurani menjadi lemah, tenggelam ke dalam suara setan
yang membela dan membenarkan perbuatan itu dengan seribu satu macam
alasan.
Setiap orang pasti merasakan hal ini. Penyesalan selalu datang kalau akibat
buruk datang menimpa. Dan setan membisikkan lagi cara-cara untuk
menyelamatkan diri, dengan cara apapun juga.! Banyak di antara kita yang
mendengar bisikan hati nuraninya sendiri dan menyesali perbuatannya, ingin
menaklukkan nafsu-nafsunya. Namun selalu saja gagal. Mengapa demikian?
Karena YANG INGIN menaklukkan nafsu itu bukan lain adalah NAFSU ITU
SENDIRI! Yang ingin bertobat karena perbuatan dosa adalah si pembuat dosa
itu sendiri, dengan dasar bahwa perbuatannya itu mendatangkan malapetaka
bagi dirinya dan dia ingin terbebas dari malapetaka itu. Perbuatan dosa itu
dilakukan karena dorongan nafsu ingin senang, dan penyesalan, lalu keinginan
bertobat itupun didorong nafsu yang ingin senang karena terhindar dari akibat
yang tidak menyenangkan.! Lingkaran setan ini terjadi setiap hari dan setiap
saat dalam diri kita. Maka, terjadilah pengulangan. Hari ini berbuat salah, besok
menyesal dan
bertobat. Besok lalu berbuat salah lagi, bertobat dan menyesal lagi. Demikian
seterusnya karena lingkaran setan itu berputar terus. Nafsu tidak mungkin
dimatikan, tidak mungkin dibuang dari diri kita, karena kalau hal itu dilakukan,
kita akan mati, atau kita tidak akan menjadi manusia lagi. Nafsu daya rendah
mutlak perlu bagi kehidupan kita, seperti api pada motor, seperti kuda pada
kereta. Segala kemajuan hidup duniawi adalah karena jasa nafsu yang bekerja
sama dengan hati akal pikiran. Namun, segala macam kejahatan yang kita
lakukan pun akibat dorongan nafsu daya rendah.
Lalu kalau begitu bagaimana? Nafsu penting bagi kehidupan kita, akan tetapi
nafsu juga menyeret kita ke dalam perbuatan dosa! Hidup ini baru sesuai
dengan kodratnya kalau nafsu menjadi alat kita, bukan kita menjadi alat nafsu.
Nafsu harus kembali kepada tempat, kedudukan dan fungsinya yang semula,
yaitu menjadi budak atau alat kita! Tapi bagaimana? Kalau usaha kita
menundukkan nafsu juga merupakan usaha nafsu, lalu siapa yang akan dapat
mengembalikan nafsu pada tempatnya semula? Hanya Yang Menciptakannya!
Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan dapat mengatur itu, membebaskan
kita dari cengkeraman nafsu. Dan kekuasaan Tuhan bekerja kalau kita
menyerah dengan seluruh jiwa raga kita, menyerah dengan penuh keikhlasan,
ketawakalan, kesabaran. Tuhan Maha Pencipta, Maha Kuasa dan Maha
Bijaksana. Tuhan mengetahui apa yang yang terbaik untuk kita. Tuhan
mengetahui apa yang berada di dalam lubuk hati kita. Kalau kita menyerah
dengan seluruh jiwa raga kita, maka kekuasaan Tuhan akan bekerja mutlak!
Dan tidak ada hal yang tidak mungkin bagi kekuasaan Tuhan.
Menyerah! Kata yang sederhana, mudah diucapkan dan mudah dimengerti.
Namun, tidaklah begitu mudah untuk dilaksanakan. Kalau penyerahan itu masih
merupakan penyerahan dari hati akal pikiran, maka di situ terkandung nafsu
dan penyerahan seperti itu sudah pasti berpamrih pula! Menyerah agar begini
agar begitu, pendeknya agar mendapatkan keuntungan atau kesenangan, agar
menghindarkan kerugian atau kesusahan. Ini bukan penyerahan namanya,
melainkan usaha nafsu untuk mendapatkan sesuatu, dan penyerahan hanya
dijadikan alat atau cara saja. Dan kalau nafsu yang berusaha, maka pasti
syaitan yang datang. Penyerahan dalam hal ini adalah penyerahan tanpa
pamrih tertentu. Penyerahan berarti mati di depan Tuhan, dan kekuasaan
Tuhan yang membangkitkan kita kembali. Sebagai manusia lain, bukan pula
budak syaitan nafsu, melainkan hamba Tuhan! Kalau sudah begini, maka tidak
ada masalah lagi, karena apapun yang terjadi pada diri kita, sudah dikehendaki
Tuhan dan tidak perlu dipermasalahkan lagi. Tidak akan ada keluhan keluar
dari batin kita, yang ada hanyalah puji syukur kepadaNya.
Penyesalan yang dirasakan Lai Kun hanya penyesalan karena kini dia
merasakan akibat dari perbuatannya, yang menimbulkan perasaan takut.
Penyesalan macam ini seperti orang yang memberi kompres dingin kepada
luka untuk menghilangkan rasa nyeri akibat luka itu, tanpa dapat
menyembuhkan luka itu sendiri.
Lai Kun tidak berani mengakui kesalahannya terhadap siapapun, terhadap
isterinya tidak, apalagi terhadap Coa Liu Hwa ibu Cin Cin. Dia menyimpannya
sebagai rahasia pribadinya, dan justru inilah yang membuat dia selalu merasa
gelisah. Andaikata di depan Liu Hwa dia berani berterus terang mengakui
kesalahannya, dengan siap menanggung segala akibat daripada perbuatannya,
bertanggung jawab, maka tentu kegelisahannya tidak akan ada lagi.
Kalau tubuh terasa nyaman dan hati akal pikiran tidak dibebani persoalan,
maka akan timbul perasaan bahagia yang membuat orang condong untuk
bersenandung! Demikianlah agaknya yang mendorong orang untuk
bersenandung di waktu mandi. Keseimbangan rasa nyaman tubuh dan rasa
tenang batin ini mendatangkan keseimbangan yang membuat hidup di saat itu
terasa nikmat.
Cita-cita adalah kata yang halus dan indah yang artinya tidak lain hanyalah
keinginan! Dan keinginan manusia tidak pernah ada batasnya, makin diberi
semakin mekar berkembang, karena keinginan adalah ulah nafsu daya rendah.
Keinginan adalah pengejaran akan sesuatu yang belum dimilikinya. Pengejaran
seperti ini biasanya hanya mempunyai dua akibat. Kalau tercapai, sebentar saja
apa yang dikejarnya mati-matian itu akan membosankan dan sama sekali tidak
mendatangkan kebahagiaan seperti yang dibayangkan semula dan kalau tidak
tercapai, timbullah kekecewaan dan kedukaan.
Sesuatu yang belum dimilikinya yang dikejar-kejar, selalu dibayangkan sebagai
sesuatu yang amat indah, sesuatu yang akan mendatangkan kebahagiaan.
Akan tetapi setelah sesuatu itu dapat dimiliki, maka memudarlah bayangan-
bayangan yang muluk akan keindahan dan kebahagiaan itu, karena nafsu daya
rendah sudah mendorong lagi kepada kita untuk mengejar sesuatu yang lain,
yang belum kita miliki.
Karena itu, berbahagialah orang yang dapat menikmati apa yang telah
dimilikinya. Tidak terseret nafsu daya rendah yang tiada putusnya menarik kita
untuk selalu mengejar sesuatu yang belum kita miliki, membuat kita menjadi
angkara murka dan tidak pernah merasa puas dengan apa yang ada. Kalau
sudah begini, hiduppun merupakan penderitaan, kekecewaan, kebosanan,
yang takkan berhenti. Orang yang kaya raya, yang sebelum kaya
membayangkan betapa akan bahagianya setelah dia dapat menjadi kaya, mulai
menderita karena kekayaannya. Bermacam masalah yang meresahkan,
membingungkan dan menyedihkan timbul karena adanya kekayaan yang
berlimpah.
Orang yang berpendidikan tinggi, yang berpengetahuanpun tidak sebahagia
seperti yang dibayangkan ketika dia sedang mengejar ilmu pengetahuan itu.
Dia seperti terhimpit oleh ilmu pengetahuannya sendiri. Demikian pula orang
yang berkedudukan. Tadinya kedudukan dianggap sebagai sarana utama untuk
mencapai kebahagiaan, akan tetapi setelah kedudukan diperolehnya, justeru
kedudukannya itulah yang menjadi penghalang bagi kebahagiaannya. Kita
terbelenggu oleh apa yang kita kejar, karena kita diperhamba oleh apa yang
kita kejar sendiri.
Cinta kasih asmara memang aneh. Jelas jauh bedanya antara cinta antara
kakak beradik dengan cinta antara seorang wanita dan seorang pria. Cinta
antara pria dan wanita adalah cinta asmara, cinta yang mengandung berahi
satu kepada yang lain, berbeda dengan cinta seorang adik wanita terhadap
kakak prianya yang jauh dari perasaan berahi. Hal ini memang sudah
merupakan pembawaan, merupakan anugerah dari Tuhan yang disertakan
kepada setiap orang manusia, pria maupun wanita. Nafsu atau gairah berahi
memang ada pada setiap orang, bahkan pada setiap mahluk, karena nafsu
berahi itu mutlak penting bagi kelangsungan hidup setiap mahluk itu sendiri.
Nafsu berahi yang mendorong dua mahluk berlainan jenis untuk saling tertarik,
saling mendekati, kemudian,saling mencinta. Nafsu berahi mendorong seorang
pria dan seorang wanita untuk bersatu sehingga dari persatuan ini terlahir
keturunan dan perkembangan-biakan pun tidak akan terputus.
Tidak demikian dengan cinta antara pria dari wanita yang menjadi saudara
kandung. Kalaupun timbul gairah berahi di antara keduanya, maka jelas bahwa
hal itu tidaklah wajar bagi manusia, tidak semestinya dan kalau dilanggar tentu
akan menimbulkan akibat-akibat yang tidak baik.
Nafsu, dalam bentuk apapun juga, kalau sudah menguasai manusia, tentu akan
menyeret manusia ke dalam perbuatan-perbuatan yang tidak wajar dan tidak
benar. Di samping semua daya rendah yang menimbulkan nafsu, pada
manusia disertakan pula akal budi. Akal budi inilah yang membuat kita dapat
mengerti mana yang benar mana yang salah, mana yang baik mana yang
buruk. Akal budi ini yang membuat manusia menjadi mahluk yang paling tinggi
derajatnya di antara segala mahluk di dunia ini, juga menjadi mahluk yang
paling kuat dan paling kuasa.
Tanpa akal budi, manusia akan menjadi mahluk yang paling lemah, kita tidak
akan menang melawan seekor kucing sekalipun, karena kucing masih memiliki
taring dan kuku tajam. Apalagi melawan binatang yang lebih kuat dan lebih
besar. Kitapun tanpa akal budi akan mudah sakit dan mati karena kita tidak
akan mempunyai tempat dan pakaian untuk berlindung. Akal budi bekerja sama
dengan nafsu daya rendah yang menjadi pendorongnya, memungkinkan kita
membuat segala macam benda keperluan hidup kita di dunia ini,
memungkinkan kita menikmati hidup ini. Akal budi pula yang membuat kita
dapat membedakan segala sesuatu, mempertimbangkan segala sesuatu, dan
akal budi yang melahirkan Ilmu-Ilmu, peradaban, kebudayaan dan lain
sebagainya yang menjadi isi kehidupan manusia.
NAFSU
Seseorang boleh saja memiliki kepandaian tinggi, dan dapat menandingi dan
mengalahkan musuh yang bagaimana kuatpun. Akan tetapi, musuh yang paling
berbahaya bukan lain adalah dirinya sendiri, nafsu yang berada di dalam dirinya
sendiri. Betapapun kuatnya seseorang, belum tentu dia akan mampu
menandingi nafsunya sendiri. Betapa banyaknya sudah contoh yang terjadi di
dalam sejarah, betapa orang-orang yang kuat dan terkenal bijaksana, akhirnya
jatuh oleh nafsunya sendiri. Kalau nafsu sudah memperbudak manusia, maka
manusia itu akan menjadi permainan nafsu, akan melakukan apa saja demi
pemuasan nafsu sehingga segala pertimbangan akal sehat tidak akan mampu
menghalanginya.
Kita tidak mungkin mematikan nafsu. Tanpa adanya nafsu, kita tidak akan
menjadi manusia, bahkan tidak mungkin dapat hidup. Nafsu sudah
diikutsertakan kita ketika kita lahir, dan nafsu merupakan peserta yang teramat
penting bagi kehidupan manusia. Nafsu yang membuat kita mengenal enak dan
tidak enak, senang dan susah, baik dan buruk, dan selanjutnya. Nafsu yang
membuat mata kita mengenal keindahan, telinga kita mengenal kemerduan,
hidung kita mengenal keharuman, mulut mengenal kelezatan dan sebagainya.
Nafsu yang merupakan pendorong sehingga hati akal pikiran kita dapat
membuat segala macam kemajuan demi kenyamanan hidup. Tanpa adanya
nafsu, kita tidak dapat menikmati makanan dan mungkin kita tidak mau makan
sehingga kelaparan. Tanpa adanya nafsu, kita tidak akan melakukan
perbaikanperbaikan dan mungkin kita masih akan tinggal di goa-goa dan jaman
kita masih tetap jaman batu. Bahkan tanpa abanya nafsu berahi, pria dan
wanita tidak akan saling tertarik, tidak akan saling berhubungan, sehingga
mahluk manusia tidak akan berkembang biak lagi.! Jelas, nafsu mutlak perlu
bagi kehidupan kita!
Akan tetapi, nafsu pula yang menyeret kita ke lembah kesengsaraan, nafsu
pula yang mendorong kita melakukan kejahatan, yaitu kalau nafsu yang tadinya
diciptakan dan diikutsertakan kita untuk menjadi peserta dan menjadi pelayan,
berbalik menjadi majikan yang memperhamba kita! Kalau nafsu sudah
mencengkeram kita, memperbudak kita maka keadaan menjadi berbalik sama
sekali. Nafsu mendorong kita menjadi budak yang selalu haus akan
kesenangan, dan demi mengejar kesenangan itu kita menghalalkan segala
cara. Nafsu mengejar kesenangan melalui uang menghalalkan segala cara
pencarian uang melalui korupsi, penipuan, pencurian, perampokan dan
sebagainya. Nafsu mengejar kesenangan melalui kedudukan menghalalkan
segala cara pengejaran kedudukan melalui perbuatan kekerasaan,
pengkhianatan, permusuhan, pembunuhan, perang dan sebagainya. Nafsu
mengejar kesenangan melalui berahi menghalalkan segala cara pengejarannya
melalui perjinahan, pelacuran, perkosaan dan sebagainya.
Sejak dahulu kala, manusia berusaha untuk menanggulangi perbudakan oleh
nafsu ini melalui pelajaran, pendidikan budi pekerti, agama, ilmu pengetahuan.
Manusia berusaha untuk menyadarkan diri betapa buruknya keadaan kita kalau
diperbudak oleh nafsu. Namun, melihat kenyataan yang ada, daya upaya
manusia itu tidak banyak hasilnya. Manusia tetap menjadi budak nafsu, sampai
sekarang. Bahkan setelah manusia memperoleh kemajuan pesat sekali dalam
ilmu pengetahuan, tetap saja manusia tidak berdaya mengatasi nafsunya
sendiri. Ilmu pengetahuan sama sekali tidak berdaya mengendalikan nafsu. Hal
ini memang tidak aneh. Ilmu pengetahuan dapat maju karena adanya nafsu
dalam hati akal pikiran.
Mengharapkan pengertian dan pengetahuan untuk menalukkan nafsu,
merupakan harapan hampa. Pengetahuan tidak mungkin dapat menundukkan
nafsu. Hal ini banyak buktinya kalau kita membuka mata dengan waspada,
melihat kenyataan dalam kehidupan ini, dalam diri sendiri maupun kehidupan
manusia di sekeliling kita. Baru cengkeraman nafsu yang amat kecil saja,
misalnya merokok, sudah sedemikian kuatnya sehingga tidak dapat ditaklukkan
oleh pengetahuan. Semua perokok tahu dan mengerti bahwa merokok itu tidak
baik untuk kesehatan dan sebagainya, namun mereka tetap tidak berdaya,
tidak mampu menghentikan kebiasaan merokok! Bahkan hati akal pikiran yang
sudah dicengkeram nafsu muncul sebagai pembela untuk membenarkan
kebiasaan merokok itu dengan bisikan-bisikan bahwa merokok itu baik.
agar nampak jantan, untuk menenangkan pikiran, untuk mencari ilham, untuk
pergaulan dan segala macam pembelaan lagi. Coba kita bertanya kepada
semua pencuri di dunia ini. Adakah seorang pencuri yang tidak tahu bahwa
mencuri itu jahat? Semua pencuri tahu dan mengerti!
Akan tetapi, mereka tetap saja mencuri! Karena pengetahuan itu tidak dapat
menundukkan nafsu yang mendorongnya untuk mencuri demi memperoleh
kesenangan melalui uang! Demikian pula para koruptor. Adakah seorangpun di
antara para koruptor yang tidak tahu bahwa korupsi itu tidak baik? Semua
koruptor tahu dan mengerti! Akan tetapi tetap saja mereka melanjutkan
perbuatan korupsi itu. Dan hati akal pikiran, gudang pengetahuan dan
pengertian itu, yang sudah dikuasai nafsu, bahkan menjadi pokrol, membela
perbuatan korupsi itu sendiri dengan bisikan bahwa mereka melakukan korupsi
untuk menghidupi anak bini, bahwa semua orang juga melakukannya, bahwa
atasannya berkorupsi lebih banyak lagi dan sebagainya! Dalam setiap
perbuatan yang sebetulnya dimengerti bahwa itu tidak baik, selalu saja pikiran
muncul sebagai pembelanya, untuk membenarkan perbuatan jahat itu, atau
setidaknya, mengurangi keburukannya!
Sekarang kita dihadapkan kepada keadaan yang amat sulit. Nafsu mutlak perlu
bagi kehidupan kita. Kita mutlak membutuhkan nafsu untuk kelangsungan hidup
di dunia ini. Akan tetapi nafsu pula yang menyeret kita ke dalam lembah
kejahatan, menyeret kita untuk melakukan penyelewengan! Lalu apa yang
dapat kita lakukan? Hati akal pikiran kita tidak berdaya, karena semua
pengetahuan tidak dapat menundukkan nafsu yang merajalela Apa yang dapat
kita lakukan agar nafsu kembali kepada tugas dan kedudukannya semula, yaitu
menjadi peserta dan pelayan kita dalam kehidupan ini? Apa yang dapat kita
lakukan? Pertanyaan ini sudah bergema sepanjang jaman. Banyak orang pergi
bertapa, menyiksa diri, melakukan segala macam tapabrata, semua ini
merupakan usaha untuk menanggulangi nafsu, yaitu setan yang berada di
dalam diri kita sendiri. Namun, hampir tidak ada yang berhasil. Lalu apa yang
dapat kita lakukan?
Jawaban yang tepat kiranya hanyalah bahwa kita seyogianya tidak melakukan
apa-apa! Karena apapun yang kita lakukan, kelakuan itu masih dikemudikan
oleh nafsu keinginan. Ingin bebas dari nafsu! Siapa yang ingin itu? Itupun masih
pikiran yang bergelimang nafsu. Menginginkan sesuatu, walaupun keinginan itu
merupakan keinginan bebas dari pada keinginan sekalipun!
Tuhan Maha Pencipta! Tuhan maha Kuasa! Tuhan Maha Kasih! Kekuasaan
Tuhan pula yang menciptakan adanya nafsu yang diikut-sertakan kita. Karena
itu, tidak ada kekuasaan lain di dunia ini yang akan mampu menundukkan
nafsu, kecuali kekuasaan Tuhan! Kita tidak perlu melakukan apapun. Kita
hanya menyerah, kita hanya pasrah kepada Tuhan, dengan penuh kesabaran,
keikhlasan, ketawakalan! Kita tidak perlu berusaha apapun untuk menundukkan
nafsu, karena usaha apapun dari kita itu bahkan memperkuat nafsu, karena
usaha itu sendiripun merupakan ulah nafsu. Kita menyerah mutlak kepada
Tuhan dengan penuh keimanan dan kepasrahan. Penyerahan ini merupakan
kuncinya, agar kekuasaan Tuhan selalu membimbing kita. Kekuasaan Tuhan
bekerja membimbing kita setelah nafsu tidak lagi membimbing dan menguasai
kita. Nafsu menjadi alat untuk hidup, namun kekuasaan Tuhan yang akan
menjadi kendali, menjadi penuntun, dalam segala yang kita perbuat.
Cinta Kasih
bahwa cinta kasih bukan berarti menuntut kesenangan hati kita sendiri dari
orang yang kita cinta, merupakan ucapan yang teramat penting untuk ditelaah
oleh kita semua. Bukan hanya menyangkut cinta kasih pada umumnya yang
dianggap hanya merupakan perasaan timbal balik antar insan berlawanan jenis,
antara pria dan wanita, melainkan juga mencakup cinta kasih antara orang tua
dan anak, timbal balik. Betapa sering terjadi konflik atau pertentangan batin
antara orang tua dan anak, padahal kedua pihak berani bersumpah saling
mencinta.!
Kalau benar ada cinta kasih di antara orang tua dan anak secara timbal balik
bagaimana mungkin sampai terjadi konflik batin antara mereka?
Konflik batin antara yang tua dan yang muda menimbulkan suatu celah atau
jurang pemisah antara orang tua dengan anaknya sendiri. Yang tua
menganggap anak mereka bandel dan murtad, mengecewakan dan tidak
mentaati orang tua, sedangkan yang muda menganggap orang tua mereka itu
kuno, kolot, terlalu mengekang, terlalu menggurui, menjadi penghalang
kesenangan, dan sebagainya. Maka terjadilah konflik yang menghancurkan
sendi-sendi cinta kasih di antara mereka.
Mengapa begitu? Kalau, kita singkirkan dulu perasaan keakuan, mementingan
diri sendiri, dan menarik diri sebagai orang luar, bukan anak bukan orang tua,
lalu menjenguk isi hati kedua pihak, mungkin akan nampak jelas bagi kita
mengapa terjadi konflik seperti itu.
Konflik terjadi karena bentrokan kepentingan, bentrokan selera, bentrokan
pandangan hidup.
Kedua pihak, baik orang tua maupun anak, lupa bahwa alam pikiran yang tua
dan yang muda berbeda jauh. Yang tua lupa bahwa kebiasaan hidup ini
mengalami perubahan dan kukuh berpegang kepada nilai-nilai yang sudah
dianggap mapan, nilai-nilai lama, tanpa memperdulikan adanya perubahan
nilai.
Penilaian selalu berubah mengikuti perkembangan jaman. Orang tua selalu
mengandalkan pengalaman sebagai senjata untuk memamerkan kelebihannya
kepada si anak, lupa bahwa pengalaman itu adalah pengalaman dahulu dan
kalau dia tidak mau mengikuti perkembangan jaman, dia bahkan akan
ketinggalan dan sama sekali tidak berpengalaman dalam hal-hal baru yang
terjadi dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya, si anak juga lupa bahwa
orang tuanya adalah orang-orang yang pandangan hidupnya terikat masa lalu.
Dari bentrokan ini timbullah konflik. Jarang terdapat orang tua yang tidak
mengikatkan diri kepada masa lalu, melainkan arif mengikuti perkembangan
jaman sehingga waspada terhadap perubahan nilai-nilai, seperti jarangnya
anak yang mau memaklumi keadaan orang tuanya, lupa bahwa dengan cara
mereka sendiri, orang tuanya sebetulnya bermaksud baik bagi dirinya, hanya
caranya saja yang menimbulkan konflik.
Semua pertentangan itu akan lenyap kalau orang tua mencinta dengan tulus,
dalam arti kata bukan mencinta dengan pamrih kepentingan dan kesenangan
hati sendiri. Mencinta berarti membahagiakan yang dicinta, bukan menuntut
sesuatu dari yang dicinta.!
Cinta yang menuntut balas, yang berpamrih, adalah cinta nafsu, yang
mempergunakan cinta demi mencapai kesenangan hati sendiri, dan cinta
macam ini pasti menimbulkan konflik batin.
Cinta kepada anak berarti memberi kebebasan kepada anak, seperti
membiarkan tunas tumbuh menjadi pohon, bebas terkena sinar matahari dan
tersiram hujan, dan orang tua hanya mengamati, menjaga-tanpa mengatur,
tanpa memaksakan kehendak. Orang tua turun tangan .hanya kalau melihat
perkembangan pertumbuhan itu tidak benar atau terancam, seperti orang
menjaga tanaman dan membersihkannya dari ulat, memberi pupuk, mencabut
rumput liar, akan tetapi tidak mencampuri pertumbuhan itu sendiri. Cinta kasih
bukan berarti mengikat!
Dilain pihak, anak-anak harus selalu menyadari sepenuhnya bahwa dengan
cara apapun, orang tua tetap menyayang anak-anak, baik cara itu dianggap
benar atau keliru, dan dasar kesadaran ini harus menjadi pengingat bahwa
mereka sepatutnya berterima kasih dan tidak menyakiti hati orang tuanya.
Kalau kepada orang tua sendiri tidak menyayang, bagaimana mungkin dapat
menyayang orang lain? Ibu adalah manusia yang paling besar kasihnya
terhadap dirinya, sesudah itu baru ayah. Kalau kepada ayah ibu tidak dapat
menaruh hati kasih sayang, maka cinta kasih kepada orang lain tentu saja patut
di ragukan.!
Memang tidak mudah bagi orang tua maupun anaknya untuk mengatasi nafsu
sendiri yang menimbulkan kekecewaan, kemarahan sehingga si orang tua tidak
menyumpahi anaknya dan si anak tidak menyumpahi orang tua. Dalam
keadaan dicengkeram nafsu amarah, manusia dapat melakukan apa saja.
Namun, kesukaran itu pasti akan mudah diatasi kalau kita menyerahkan diri
kepada Tuhan, kalau kita pasrah dan mohon bimbingan kekuasaan Tuhan.
Karena hanya kekuasaan Tuhan jualah yang akan mampu menundukkan
nafsu-nafsu daya rendah yang menyesatkan kita.
Manusia saling bermusuhan dan hal ini berlangsung terus, agaknya sejak
manusia-manusia pertama diciptakan sampai sekarang! Manusia saling
bermusuhan, saling berlomba dan berebut kekuasaan, berebutan harta.
Mengapa demikian? Semua ini adalah pengaruh iblis, pengaruh setan yang
hendak menguasai manusia. Iblis mempergunakan daya-daya rendah yang ada
pada diri manusia untuk menyeret manusia agar menyeleweng dari jalan hidup
seperti yang dikehendaki Tuhan Maha Pencipta.
Mungkin timbul pertanyaan: Apa dan bagaimana yang dikehendaki Tuhan itu
dan bagaimana kita dapat menentukan bahwa itu adalah kehendak Tuhan?
Menjawab pertanyaan seperti ini hanya mengandalkan pikiran adalah tidak
mungkin, atau jawaban itu hanya akan menimbulkan perdebatan dan
pertentangan belaka. Untuk menjawab pertanyaan di atas, menimbulkan
pertanyaan lain tentang ada dan tidaknya Tuhan! Inipun bukan suatu
pertanyaan untuk dijawab oleh otak kita. Ada atau tidaknya Tuhan merupakan
kepercayaan atau ketidak percayaan saja, karena tidak mungkin membuktikan
keberadaan Tuhan melalui panca-indera.
Namun kekuasaan Tuhan dapat dibuktikan. Seluruh jagad mayapada beserta
semua isinya ini, jelas ada, dapat dilihat, didengar dan dicium. Kalau ada, tentu
ada yang mengadakannya! Nah, Yang Mengadakan inilah yang kita sebut
Tuhan! Kekuasaan Tuhan nampak jelas di mana-mana, bahkan dalam diri kita
sendiri. Dari setiap helai bulu di tubuh kita, rambut dan kuku, semua itu tumbuh
tanpa kita tumbuhkan. Jadi, ADA yang menumbuhkan, dan inilah kekuasaan
Tuhan!
Kemampuan lalat dan burung terbang di udara, kemampuan ikan hidup di air,
cacing di dalam tanah, semua itu karena kekuasaan Tuhan yang mengaturnya.
Dan kekuasaan itu kita namakan HIDUP atau kehidupan.
Lalu, bagaimana kita dapat menentukan bahwa semua itu merupakan
kekuasaan Tuhan?
Siapakah Tuhan? Pria atau wanita? Satu ataukah banyak? Dimana tempat
tinggalnya? Semua pertanyaan otak atau pikiran ini sama sekali tidak tepat
untuk dijawab. Nama bagi Yang Maha Kuasa atau Maha Pencipta itu hanyalah
sebutan yang kita pakai saja menurut bahasa masingmasing.
Kekuasaan Tuhan berada di manapun juga, dan kekuasaanNya bekerja melalui
sinar matahari, udara, air, api, tanah sehingga memberi kehidupan. Pikiran
tidak mungkin mengukur kebesaran Tuhan! Tidak mungkin dapat
membayangkan. Kita ini merupakan satu di antara mahluk ciptaan Tuhan.
Walaupun merupakan mahluk yang paling lengkap dan sempurna, berikut hati
dan pikiran, dilengkapi akal budi, namun tetap saja serba terbatas. Mata kitapun
terbatas, tidak dapat melihat benda yang lebih lembut daripada ukuran mata.
Pendengaran, penciuman, juga hati akal pikiran, semua terbatas. Bagaimana
mungkin yang serba terbatas ini mengukur YANG TIDAK TERBATAS?
Pikiran ini hanyalah gudang yang isinya hanya tumpukan pengalaman. Kita
hanya dapat mengenal hal-hal atau sesuatu yang pernah kita kenal, kita
ketahui. Kalau kita disuruh mencari seseorang, tentu pikiran mencari-cari dalam
gudang itu dan mencari-cari bayangan orang itu.
Kalau kita pernah bertemu dengannya, pernah mengenalnya atau mengetahui
bagaimana rupanya, siapa namanya, tentu kita dapat mencarinya.
Akan tetapi bagaimana kita dapat mencari seseorang yang sama sekali tidak
kita ketahui, tak pernah kita kenal, baik rupanya, namanya atau tempat
tinggalnya? Tidak mungkin, bukan? Baru mencari orang yang tidak kita kenal
saja, tidak mungkin. Bagaimana pikiran ini, yang hanya merupakan gudang
benda-benda lapuk, dapat menemukan atau mencari Tuhan? Yang akan kita
temukan tentulah Tuhan yang sudah terbentuk dalam pikiran kita, gambaran
yang kita dapat tentang Tuhan, dan jelas bahwa yang kita temukan itu hanyalah
sebuah bayangan belaka dari angan-angan kita sendiri. Baru membayangkan
bentuk udara, bentuk api, atau bentuk air saja sudah tidak mungkin bagi kita.
Yang dapat kita bayangkan adalah bentuk air dalam wadahnya, bentuk api
dalam nyalanya, bentuk udara dalam tekanannya. Apalagi membayangkan
bentuk Yang Maha Pencipta, yang menciptakan semua itu! Tidak mungkin!
Disini letaknya peran dari iman. Tuhan hanya dapat disentuh dengan iman!
Dengan kesadaran bahwa Tuhan itu Ada karena kekuasaannya ada dan
terbukti. Dan kalau sudah begitu, keimanan membawa kita kepada
kepercayaan akan wahyu Tuhan yang dilimpahkan kepada manusia melalui
manusia pula, manusia yang sudah dipilihnya, untuk memimpin manusia agar
menjauhi kejahatan dan melakukan kebajikan. Melakukan kebaikan dalam
kerukunan bersama antar manusia untuk mempertahankan keberadaan
manusia. Dan kebaikan inilah yang kita terima sebagai kehendak Tuhan!
Atau, kalau ada manusia dilahirkan di tempat di mana belum ada peradaban,
belum ada pengertian tentang wahyu dinamakan agama, tetap saja manusia
memiliki kesadaran akan adanya kekuatan yang berada di luar batas
kemampuannya. Manusia, dari pengalamannya, akan mengakui adanya
kekuasaan yang lebih tinggi, di luar jangkauan akal pikiran manusia, kekuasaan
yang akan menghukum manusia melalui bencana alam dan sebagainya.
Memang tak dapat disangkal bahwa tidak ada kesenangan tanpa kesusahan.
Apa yang tadinya menyenangkan, dapat menjadi membosankan bahkan
menyusahkan. Seorang hartawan lambat laun tidak lagi dapat merasakan
kenikmatan hartanya, melainkan menderita karena hartanya, takut berkurang,
takut lenyap, takut ditinggalkan.
Hidup harus berani sendiri, karena segala sebab akibat berada dalam diri
sendiri, segala tanggung-jawab juga harus dipikul sendiri. Hidup tidak dapat
digantungkan kepada siapapun juga. Akhirnya, kalau nyawa sudah mening
galkan badan, setiap orang manusia juga harus bersendirian, sendiri
menghadapi maut, tidak ditemani siapapun juga.
Karena itu, di waktu masih hidup, harus berani bersunyi diri, berhening-hening
karena hanya dalam keheningan lahir batin inilah dapat ditemukan apa yang
selalu dicari-cari orang, yakni kebahagiaan. Keheningan berarti kebahagiaan,
keheningan yang kosong tanpa di isi ingatan apapun sehingga kenangan tidak
sempat masuk sehingga hati akal pikiran dijauhkan dari kenangan pahit
maupun manis.
Berada di atas suka dan duka, tidak dipengaruhi suka duka dan segala
perasaan lain, di situlah letaknya kebahagiaan.
Kebahagiaan selalu sudah berada di dalam dan di luar diri kita dan hanya orang
yang berada dalam keheningan dapat merasakan itu. Biasanya, hidup kita
bergelimang nafsu daya rendah yang menimbulkan segala macam perasaan,
dan dalam keadaan seperti itu, kebahagiaanpun tidak tampak bayang annya. Ia
begitu dekat, namun begitu jauh! Dekat melebihi mata sendiri, namun kalau
jauh tak tampak bayangannya. Sudah ada dan menjadi satu diri, namun masih
dicari-cari, semua ini akibat ulah nafsu daya rendah manusia yang selalu
berusaha menguasai diri.
Hanya orang yang berada dalam ke heninganlah yang berdekatan dengan
Tuhan Yang Maha Kasih, kesadaran dirinya selalu dipenuhi kekuasaan Tuhan,
bahkan setiap detak jantung menyebut Nama. Tuhan dengan penuh
kepasrahan, penuh penyerahan, tunduk dan taat akan, segala kehendakNya!
Malapetaka
Malapetaka dapat menimpa siapapun juga di dalam kehidupan di dunia ini.
Tidak pandang bulu! Seorang manusia yang paling berkuasa sekalipun, tidak
kebal terhadap malapetaka dan maut, kalau memang Tuhan sudah
menghendaki. Tiada kekuatan apapun di dunia dan akhirat yang mampu
mengubah kehendak Tuhan. Kehendak Tuhanpun terjadilah. Manusia hanya
dapat menerima, tawakal, dengan penuh keikhlasan menyerahkan diri lahir
batin sepenuhnya kepada kekuasaan Tuhan. Hanya inilah satu-satunya jalan.
Hanya Tuhan yang dapat menentukan jalan hidup ini, seperti Tuhan pula yang
menentukan dan mengatur segala sesuatu yang hidup dan mati, yang nampak
dan tidak nampak. Tuhan mendahului yang paling dulu, mengakhiri yang paling
akhir, di sebelah dalam yang paling dalam dan di sebelah luar yang paling luar!
Tak terjangkau oleh akal pikiran. Kalau segala gerakan badan dan batin diatur
oleh kekuasaan Tuhan, barulah sempurna dan benar dan hal ini mungkin saja
dapat dicapai dengan penyerahan diri penuh keikhlasan dan kerendahan hati.
Sebaliknya, segala gerakan badan dan batin yang diatur oleh akal pikiran selalu
ditunggangi nafsu-nafsu dan akibatnya seperti yang kita lihat di sekeliling kita.
Konflik dan pertentangan, perebutan, masing-masing menonjolkan kepentingan
aku sendiri dan tak dapat dihindarkan lagi, bentrokan-bentrokan dan
kekerasanpun terjadilah, di mana-mana!
Akal pikiran dan segala macam nafsu memang sungguh amat kita perlukan
dalam kehidupan ini. Akal pikiran dan nafsu adalah alat-alat yang sangat
benguna bagi kita untuk mempertahankan hidup di dunia ini. Karena mereka itu
hanya alat, maka haruslah dapat kita manfaatkan, kita peralat demi
kepentingan dan kebutuhan diri dalam kehidupan di dunia. Akan tetapi apa
kenyataannya? Kita malah yang diperalat oleh mereka! Kita diperalat,
diperhamba oleh akal pikiran dan nafsu, maka rusaklah ketenteraman hidup,
lenyaplah kebahagiaan hidup. Akal pikiran dan nafsu hanya ingin ini, ingin itu.
ingin lebih, ingin enak dan segala macam keinginan. Dan untuk mengejar
terlaksananya keinginan itu, kita diperalat untuk mendapatkannya sehingga
timbullah segala macam perbuatan kekerasan dan kemaksiatan. Kalaupun rasa
kemanusiaan kita, hati nurani kita sewaktu-waktu menyadari akan hal ini, hati
nurani kita itu sedemikian lemahnya sehingga tidak mampu menanggulangi
kekuatan daya rendah dari nafsu-nafsu dan akal pikir, dan kita tetap
dicengkeram dan dikuasai, dipengaruhi. Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang
akan mampu menalukkan kegarangan daya-daya rendah itu, menjinakkannya
dan mengembalikan fungsinya sebagai alat, sebagai harta, bukan lagi sebagai
majikan.
MENGEJAR KEHORMATAN
Semua orang mengejar kehormatan ini! Semua orang bertingkah dan berharap
agar mereka mendapat penghormatan dari orang lain.
Semakin dihormat, semakin banggalah rasa hati ini, semakin merasa betapa
dirinya ini „besar‟. Pengejaran kehormatan ini sesungguhnya bukan lain
hanyalah ketinggian hati, keinginan nafsu yang hendak mengangkat diri sendiri
setinggi mungkin, yang menilai diri sendiri yang paling besar dan paling tinggi,
paling hebat. Karena itu setiap, kali rasa diri besar ini terlanggar, akan marahlah
si-aku. Sama juga dengan pengejaran harta benda yang dianggap akan
merdatangkan kebahagiaan, demikian pula pengejaran terhadap kehormatan di
dasari anggapan bahwa kehormatan akan mendatangkan kebahagiaan melalui
kebanggaan. Padahal, kebahagiaan tidak mungkin dicapai melalui kesenangan
berharta besar atau melalui kebanggaan berkedudukan tinggi. Segala macam
bentuk kesenangan bukanlah makanan jiwa. melainkan sekedar permainan
nafsu belaka dan biasanya, nafsu selalu mengejar yang lebih sehingga
kesenangan yang dinikmati itu dalam waktu singkat saja sudah terasa hambar
karena keinginan mengejar yang lebih. Dan akibatnya maka muncullah
kekecewaan dan penyesalan kalau yang dikejar itu tidak tercapai, atau
kebosanan kalaupun tercapai karena kenyataan tidaklah sesenang yang
dibayangkan selagi dalam pengejaran. Kesenangan jelas bukan kebahagiaan.
Dan semua orang mengejar kebahagitan. Apakah sesungguhnya kebahagiaan?
Demikian timbul pertanyaan abadi sejak dahulu. Semua orang mengejar
kebahagiaan! Dan makin dikejar semakin tak nampak! Maka penting sekali
mempelajari apa sesungguhnya kebahagiaan yang dikejar oleh setiap orang
manusia ini. Apakah hanya sebuah kata? Kata kosong belaka ?
Kebahagiaan jelas bukan kedukaan karena justeru di dalam penderitaan
dukalah manusia merindukan kebahagiaan kebahagian bukan pula kesenangan
karena semua orang yang merasakan kesenangan akhirnya mengakui bahwa
kesenangan hanyalah sekelumit dan sementara saja sifatnya. Kalau kedukaan
bukan kebahagiaan, dan kesenangan juga bukan kebahagiaan, lalu apa?
Apakah kebahagiaan yang didambakan seluruh manusia di dunia ini? Tidak
mungkinkah dirasakan orang selagi dia masih hidup? Apakah kebahagiaan
hanya bagian orang yang sudah mati dan hanya terdapat di akhirat? Semua
pertanyaan ini timbul dan tak seorangpun yang mampu menggambarkan
bagaimana sesungguhnya kebahagiaan itu. Bagaimana rasanya dan
bagaimana keadaan seseorang yang benar-benar berbahagia! Agaknya
pertanyaan yang sudah diajukan manusia sejak ribuan tahun yang lalu ini
takkan pernah dapat dijawab. Bagaimana mungkin menjawabnya kalau bahagia
merupakan suatu keadaan yang tak tengambarkan? Suatu keadaan tabir batin
yang hanya dapat dirasakan oleh yang bersingkutan? Sekali dibicarakan atau
diceritakan, maka cerita atau penggambaran itu tidak mungkin sama dengan
yang digambarkan!
Bahagia bukan duka bukan suka. Kalau ada duka, tidak ada bahagia, kalau ada
suka tidak ada bahagia. Jelas bahwa bahagia berada di atas suka duka.
Merupakan anugerah Tuhan, dan hanya Tuban yang akan dapat menjadikan
seseorang berbahagia. Tak mungkin dicapai melalui usaha akal pikiran karena
kebagiaan berada di atas akal pikiran yang menjadi sumber suka dan duka.
Dan karena itu merupakan ciptaan Tuhan, pekerjaan Tuhan, maka manusia tak
mungkin dapat mencampuri. Seperti halnya kelahiran dan kematian. Kita hanya
dapat PASRAH, menyerah kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Bijaksana,
yang akan mengatur segalanya ! Hanya pasrah, penuh keiklasan dan
ketawakalan. Betapapun juga, manusia hanyalah ciptaan, dan kekuasaan
berada di tangan Sang Pencipta!
Sudah lajim bahwa kita suka sekali, membicarakan keburukan orang lain, suka
sekali mempergunjingkan aib orang lain, bahkan suka mentertawakan
penderitaan orang lain. Nafsu setan menguasai batin kita sehingga seolah kita
selalu merasa iri kalau melihat orang lain serba lebih dari kita, dan merasa
senang kalau melihat orang lain lebih sengsara dari pada kita. Nafsu daya
rendah yang mencengkeram batin kita membuat kita diperbudak nafsu
sehingga kita lupa segalanya. Jiwa murni yang datang dari Tuhan seperti
tertutup oleh selubung nafsu daya rendah yang menguasai kita. Susah kalau
sudah begitu, nafsu setanlah yang mengendalikan semua tingkah laku kita,
bahkan mencengkeram hati dan akal pikiran kita, seluruh pancaindra kitapun
dikuasainya sehingga apapun yang kita pikirkan, ucapan, lakukan, semua
hanya mempunyai satu pamrih, yaitu menyenangkan si aku. dan si aku itu
yalah nafsu setan itulah! Nafsu setan yang sudah mencengkeram segalanya,
seluruh diri kita lahir batin. Kalau "aku" yang sesungguhnya adalah jiwa, setetes
air dari samudera yang menjadi pusat, secercah sinar dari matahari yang
menjadi pusat, sebagian kecil dari kekuasaan Tuhan, maka setelah
bergelimang nafsu setanlah, yang mengaku-aku. Tidak ada kekuasaan yang
akan mampu mengusir setan itu dari kita, karena sesungguhnya, hidup
manusia ini tidak akan dapat bertahan tanpa adanya nafsu yang menjadi
pelengkap bahkan menjadi pelayan dan alat penting bagi kita hidup di dunia ini.
Karena daya-daya rendah itu merupakan berkah dan kasih sayang Tuhan
kepada kita, melengkapi kita dengan alat-alat itu yang akan dapat membuat kita
hidup berbahagia, maka kalau daya-daya rendah itu menjadi nafsu yang tidak
terkendalikan lagi bahkan mengendalikan kita, maka hanya kekuasaan Tuhan
pula yang akan mampu menolong kita. Hanya kekuasaan Tuhan yang akan
mampu membebaskan kita dari daya pengaruh setan sehingga bukan kita
manusia yang diperhamba, melainkan daya-daya rendah itu yang menjadi
hamba, menjadi alat.
Duka dan takut timbul dari pikiran yang mengenang masa lalu dan
membayangkan masa depan. Kalau kita membayangkan apa yang telah terjadi,
apa yang telah lewat atau peristiwa masa lalu, membanding-bandingkan dan
merasa betapa kita kehilangan, bahwa kita dirugikan, akan timbul duka, baik
dari iba diri, kecewa atau kesepian. Demikian pula dengan rasa khawatir atau
takut, selalu timbul kalau kita membayangkan masa depan, yang dihubungkan
dengan saat ini, lalu kita merasa bahwa keadaan kita akan tidak enak, tidak
baik atau merugikan dan membahayakan kita. Tidak akan timbul duka dan takut
kalau kita hidup saat demi saat, menganggap yang sudah terjadi itu wajar saja
dan sesuatu yang sudah dikehendaki Tuhan, membiarkannya lalu seperti
hembusan angin tanpa bekas, sebagai sesuatu yang sudah lewat dan sudah
mati, kalau kita tidak membayangkan hal yang belum terjadi, menganggap
bahwa masa depan hanya kelanjutan dari saat ini, masa depan adalah saat ini
juga kalau saatnya tiba, maka tidak perlu dibayangkan. Yang ada hanya
berikhtiar sebaik mungkin dalam kehidupan ini, dalam bekerja, dalam
berhubungan dengan manusia lain, hubungan dengan masyarakat, dengan
pemerintah. Berikhtiar sebaik mungkin berarti bekerja sebaik mungkin, dengan
didasari penyerahan diri kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Tugas kita hanyalah
mengerjakan segala pemberian Tuhan berupa seluruh anggauta badan
termasuk hati akal pikiran, memanfaatkannya untuk hidup sebaik mungkin, dan
dengan dasar penyerahan kepada Tuhan berarti bahwa apapun yang kita
lakukan adalah suatu persembahan kepadaNya. Kalau sudah begini,
penyerahan itu seperti menggerakkan kekuasaan Tuhan yang akan
membimbing kita sehingga nafsu kita sendiri tidak akan merajalela
memperhamba kita, sehingga apapun yang kita lakukan tentu baik dan benar,
tidak menyeleweng!
“Manusia memang bersifat sombong, suka dipuji pantang dicela. Cela siapa
saja dan kau akan menghadapi orang yang membenci dan merasa sakit hati
kepadamu, sebaliknya pujilah siapa saja dan kau akan menghadapi seorang
yang ramah tamah dan baik, yang selalu berusaha agar hatimu senang dan kau
bisa lebih memuji mujinya lagi!”
seperti anak itik yang takut air ! Akan tetapi lebih baik seperti anak itik takut air
dari pada menjadi seperti anak ayam tenggelam di sungai!"
Perumpamaan anak itik takut air adalah sikap orang yang merendah, tidak tahu
akan kepandaian sendiri maka takut-takut seperti anak itik takut air padahal
pandai sekali renang ! Sebaliknya anak ayam mati di sungai menyindirkan sifat
seorang sombong yang tidak insaf akan kepandaian sendiri yang terbatas
sehingga ia akan tenggelam dalam kesombongannya sendiri.
PORNO
Memanglah, kecabulan atau yang dinamakan porno merupakan hal yang amat
relatip sekali. Apa dan bagaimanakah porno itu? Apakah porno itu identik
dengan tubuh telanjang? Apakah porno itu berarti terbukanya tanpa ditutupi
anggauta rahasia pria atau wanita, termasuk buah dada wanita? Itukah porno?
Ataukah juga penulisan tentang hal-hal seksuil, hubungan sanggama dan yang
menyangkut dengan hal itu? Lalu sampai di manakah batas-batas
kepornoannya? Hal ini agaknya menjadi masalah yang selalu diributkan karena
memang tidak mungkin orang menemukan batas-batas tertentu, tidak mungkin
menggariskan antara porno dan tidak, seperti juga menggariskan tentang
kegilaan dan kewarasan seseorang.
Kecabulan bukan terletak dalam kenyataan di luar. Kecabulan terletak di dalam
batin masing-masing. Cabulkah atau pornokah kalau ada seorang wanita mandi
di sungai bertelanjang bulat? Pornokah wanita itu dan pornokah yang
melihatnya? Tergantung dari si wanita dan si pemandang sen-diri. Wanita
mandi telanjang di sungai itu adalah suatu kenyataan, dan kalau si wanita
mandi karena tidak ada tempat lain baginya untuk mandi, kalau ia mandi karena
kebutuhan akan mandi tanpa mempunyai dasar untuk memamerkan tubuh
telan-jangnya itu untuk menarik perhatian orang, untuk menimbulkan gairah pria
yang memandangnya, maka ia sama sekali tidak porno ! Sebaliknya kalau ia
mandi telanjang itu dengan kesengajaan untuk menimbulkan gairah pada pria
yang melihatnya, maka jelaslah bahwa perbuatannya itu porno! Di lain fihak,
kalau ada pria yang melihat ia mandi, melihat tanpa adanya pikiran yang
membayang-bayangkan hal lain dari pada yang ada, maka diapun sama sekali
tidak porno walaupun boleh jadi dia akan melihat wanita mandi itu. Sebaliknya
kalau di waktu dia memandang tubuh wanita telanjang itu dia membayangkan
kemesraan-kemesraan seperti misalnya dia bermain cinta dengan wanita itu
sehingga timbullah napsu berahi, maka tentu saja dia itu porno! Contoh ini
dapat saja ditrapkan dengan pelukis dan penonton lukisan, pengarang dan
pembaca karangan, dan sebagainya. Bukan gambar atau cerita yang
menentukan porno tidaknya, melainkan batin si pelaku itu sendirilah, baik dia itu
pencipta keadaan itu maupun si pemandang keadaan. Dan tentu saja, kalau
diteliti mudah saja terasa apakah si pencipta keadaan itu menciptakan sesuatu
dengan dasar batin porno ataukah tidak. Seorang wanita mandi telanjang bulat
belum tentu porno, akan tetapi kalau wanita in dengan pakaian lengkap
bersikap memancing gairah dengan menyingkap sedikit gaun memperlihatkan
betis saja, ia sudah porno.
"Sang Bijaksana mengajarkan bahwa sebelum mengatur orang lain, harus lebih
dulu dapat mengatur diri sendiri. Seorang ayah takkan mungkin dapat mendidik
anak-anaknya kalau dia sendiri tidak terdidik, karena dia menjadi contoh dari
pada anak-anaknya. Seorang pembesar harus mencuci bersih kedua
tangannya sendiri terlebih dahulu sebelum dia ingin melihat anak buahnya
bersih. Kalau penguasa yang di atas korup, mana mungkin bawahannya jujur
dart tidak korup? Akan tetapi, kalau atasannya bersih, tentu dia akan berani
bertindak terhadap bawahannya yang kotor."
alangkah akan senangnya kalau keadaan pemerintahan dapat seperti itu.
Sayang, kaum atasan hanya menuntut agar bawahannya bersih, dan hal ini
sama sekali tidak mungkin selama dia sendiri masih kotor. Bawahan
mencontoh atasan, dan pula, atasan yang kotor mana akan ditaati oleh
bawahannya? Sungguh sayang...!"
Betapa palsunya kita manusia ini! Kita selalu ingin senang, ingin enak sendiri.
Sewaktu muda, kita mengumbar nafsu angkara sesuka hati, tanpa
memperdulikan apakah tindakan-tindakan kita itu merugikan orang lain ataukah
tidak. Hidup kita dipenuhi dengan tindakan-tindakan yang merugikan orang lain
dan bergelimang dengan dosa. Se-telah kita menjelang tua, barulah kita ingin
merobah jalan hidup, bukan karena penyesalan dan karena kesadaran bahwa
jalan hidup kita yang lalu itu kotor dan tidak benar, melainkan terdorong rasa
takut akan akibat perbuatan-perbuatan itu, takut kalau-kalau setelah mati kita
akan tersiksa dan terhukum, akan tidak kebagian tempat yang baik dan
menyenangkan. Betapa palsunya ini. Di wak-tu muda mengejar kesenangan
sampai lupa diri, di waktu tua masih saja mengejar kesenangan yang
diharapkannya akan didapatkan di "sana" kelak. Apa bedanya ini?
Yang terpenting sekali adalah sekarang ini ! Saat ini! Setiap saat kita harus
sadar dan mawas diri. Perbuatan tidak dapat dinilai dan dibanding-bandingkan.
Manusia hidup berhak untuk menge-cap dan menikmati kesenangan hidup.
Bukan ber-arti kita harus sejak muda hidup sebagai pertapa dan pantang akan
segala kesenangan, menjauhi se-gala kesenangan! Sama sekali tidak, karena
inipun pada hakekatnya hanyalah mengejar kesenangan yang lain lagi, yang
kita namakan kebahagiaan batin dan sebagainya. Akan tetapi, yang penting kita
harus selalu mengamati semua gerak-gerik badan dan batin kita penuh
kewaspadaan. Hanya perbuatan yang didasari cinta kasih sajalah yang murni
dan tidak dapat dinilai baik atau buruk. Dan perbuatan yang didasari cinta kasih
sudah pasti tidak akan merugikan orang lain baik lahir maupun batinnya.
Karena cinta kasih itu berarti bebas dari kebencian, iri hati, cemburu,
pementingan diri pribadi.
Baik hanya sebuah kata sebutan, hanya sebuah pendapat. Maka kalau kita
INGIN baik, berarti kita ingin disebut baik, dan di balik "keadaan baik" ini tentu
mengandung pamrih untuk mendapatkan sesuatu, pahala anugerah maupun
imbalan jasa dari "kebaikan" itu sendiri. Dan jelas ini bukan baik lagi namanya,
melainkan kemunafikan, kepu-ra-puraan karena "kebaikan" itu hanya dilakukan
secara palsu, untuk memperoleh pamrih yang ter-sembunyi di baliknya. Karena
itu, bagi orang yang memiliki cinta kasih dalam hatinya, dalam setiap
perbuatannya yang disinari cinta kasih, tidak ada istilah baik atau buruk. Dia
tidak akan menilai, tidak akan tahu apakah yang dilakukannya itu baik atau
buruk, dan penilaian orang lain tidak akan mempengaruhinya. Cinta kasih itu
indah, cinta kasih itu sederhana, seperti indah dan sederhana-nya bunga
mawar yang harum semerbak, seperti indah dan sederhananya sinar matahari
pagi. Ke-sederhanaan bukanlah hidup bercawat di puncak bukit memamerkan
"kesederhanaannya" kepada setiap orang yang datang untuk memujanya.
Kese-derhanaan berarti kewajaran tanpa pamrih, tanpa kepalsuan, tidak dibuat-
buat, hanya didasari cinta kasih.
Rasa takut bukan datang dari luar, melainkan dari dalam batin kita. sendiri.
Rasa takut timbul dari permainan pikiran sendiri yang membayangkan hal-hal
yang mengerikan. Kalau kita menghadapi segala sesuatu tanpa bayangan
pikiran akan hal-hal yang belum ada ini, maka rasa takut tidak akan muncul.
Umpamanya, kita duduk seorang diri di dalam kamar dalam suasana yang
sunyi. Pikiran kita teringat akan cerita orang tentang adanya setan dalam
kamar, tentang hal-hal yang mengerikan lain, maka pikiran itu lalu
membayangkan hal-hal yang tidak ada. Dalam keadaan seperti itu, suara
seekor tikus melanggar sesuatu saja sudah cukup untuk menimbulkan
bayangan dalam pikiran ten-tang munculnya setan yang menakutkan. Timbul-
lah rasa takut dan rasa takut ini membuat orang tidak waspada sehingga ada
bayangan sedikit saja lalu bisa kelihatan seperti setan oleh mata kita yang
sudah terselubung rasa takut. Kewaspadaan yang menyeluruh, perhatian yang
menyeluruh ter-hadap apapun yang terjadi di depan kita, akan meniadakan
rasa takut itu.
Telah banyak sekali terbukti dengan peristiwa-peristiwa yang aneh dan luar
biasa yang mengantar manusia kepada kematiannya atau sebaliknya yang
menghindarkan manusia dari pada ancaman maut yang nampaknya sudah tak
mungkin dapat dielakkan lagi. Banyak sekali orang yang tewas dalam keadaan
yang tidak tersangka-sangka sama sekali, bahkan dalam keadaan jasmani
yang nampaknya segar-bugar dan sehat, banyak pula yang mati secara
mendadak oleh kejadian-kejadian yang aneh dalam kecelakaan-kecelakaan
maupun bencana-bencana alam. Akan tetapi sebaliknya, banyak pula orang
yang terancam bahaya maut, yang nampaknya sudah tidak mungkin dapat
dielakkan lagi, secara aneh pula terhindar dari kematian. Orang yang
menderita sakit yang sudah terlalu parah, da-pat saja sembuh secara aneh dan
kebetulan, atau orang yang sudah dianggap tidak ada harapan lagi untuk
ditolong kemudian ternyata dapat terhindar dari maut hanya karena hal-hal
yang "kebetulan'' dan sederhana. Semua ini merupakan sesuatu yang mujijat,
yang aneh dan yang diliputi rahasia yang sudah terlalu sering diselidiki orang
dan hendak ditembusnya.
Segala hal yang belum dimengerti selalu menimbulkan berbagai pendapat,
rekaan, dan dipandang sebagai hal yang mujijat dan aneh. Padahal, segala
sesuatu yang terjadi di dalam alam ini adalah WAJAR, dan setiap peristiwa itu
tentu ada yang menyebabkannya. Hidup dan mati merupakan rangkaian yang
tak terpisahkan, merupakan suatu pertumbuhan yang wajar. Kerusakan jasmani
karena usia tua yang berakhir dengan kematian adalah lumrah dan dapat
dimengerti dengan adanya ke-majuan dalam ilmu tentang itu. Akan tetapi,
karena manusia selalu dikuasai oleh pikiran yang menciptakan "aku", maka si
aku inilah yang mencari-cari ke mana dia akan pergi setelah jasmaninya
berhenti hidup, setelah tubuhnya mati. Dan bayangan bahwa "aku" akan hilang
begitu saja membuatnya merasa ngeri dan takut.
Kalau memang sudah tiba saatnya sang maut datang menjemputnya, walaupun
kita bersembunyi di dalam lubang semut, tetap saja nyawa kita akan direnggut.
Sebaliknya kalau memang belum tiba saatnya mati, ada saja yang menjadi
penolong diri.
Karena ketidakpengertian tentang rahasia saat ke-matian, kita lalu dengan
mudah saja memakai isti-lah nasib dan takdir! Padahal, setiap peristiwa, juga
kematian, tentu terjadi karena suatu sebab tertentu. Dan sebab-sebab itu
terkumpul karena ulah kita sendiri. Oleh karena itu, dari pada men-cari-cari akal
untuk mengungkapkan rahasia yang tidak mungkin dipecahkan selama kita
masih hidup ini, lebih bermanfaat kalau kita selagi hidup menjaga diri,
mengurangi hal-hal yang dapat menjadi bertambah banyaknya sebab-sebab
yang dapat mengakibatkan kematian.
Menurut perhitungan dan pendapat umum, orang yang dihanyutkan ombak di
tengah lautan seperti yang dialami oleh Pek Lian, tentu dianggap sudah tidak
ada harapan lagi untuk selamat. Namun, ternyata Pek Lian belum mati! Ketika
dara perkasa ini siuman dan membuka matanya, ia mendapatkan dirinya sudah
berada di atas perahu. Seorang nelayan tua dengan caping lebar, nampak
sedang mendayung perahunya perlahan-lahan.
Manusia pada umumnya memiliki watak welas asih (belas kasihan), penuh
pertimbangan, suka akan keadilan, menentang kelaliman. Akan tetapi di
samping watak-watak yang baik ini, terdapat pula watak yang sadis, yang
senang melihat penderitaan orang lain dan merasa iri hati kalau melihat orang
lain bersuka ria. Sifat-sifat yang bertentangan ini disebabkan oleh konflik batin
yang ditimbulkan oleh pikiran yang menciptakan si aku yang selalu ingin
senang dan selalu mencari dan mengejar ke-senangan, atau keadaan lain yang
lebih menye-nangkan dari pada keadaan sekarang yang telah dirasakan dan
dimilikinya.
Watak seseorang dibentuk oleh kebiasaan-kebiasaan. Dan kebiasaan lahir dari
ketidakwaspadaan. Kebiasaan membuat seseorang menjadi seperti robot, yang
bergerak karena kebiasaan itu sendiri, dan kebiasaan dihidupkan oleh
keinginan untuk senang. Kebiasaan ini dapat dihentikan seketika dengan
kewaspadaan. Waspada meman-dang kenyataan, mengerti dan sadar akan
kekeliruan sendiri dan kewaspadaan ini, kesadaran ini ber-arti tindakan seketika
pula, yang menghentikan kebiasaan itu. Tanpa ini, maka pengertian itu palsu
adanya, bukan kewaspadaan, melainkan permainan si aku yang enggan
melepaskan kese-nangan sehingga dalam melihat kesalahan atau kekeliruan
sendiri, si aku lalu mencari seribu satu macam alasan untuk membela diri dan
memperta-hankan kebiasaan itu! Semua ini dapat kita lihat dengan jelas apa
bila kita mau membuka mata dan mengamati diri sendiri lahir batin.
Setiap orang manusia di dunia ini tentu pernah mengalami dorongan hasrat
untuk mengejar dan memperoleh kemuliaan hidup ini. Hampir semua orang
dicengkeram hasrat ini, keinginan untuk memperoleh kemuliaan hidup yang
dianggapnya sebagai sumber dari pada kesenangan ! Dan ke-muliaan hidup ini
mereka lihat bersembunyi di dalam beberapa hal. Dalam kedudukan dan
kehormatan. Dalam harta benda. Dalam kekuasaan. Inilah sebabnya mengapa
kita semua seakan-akan berebut dan berlomba untuk memperolehnya, kalau
perlu dengan cara apapun juga, dengan jegal-jegalan, dengan pukul-pukulan,
dan saling gasak, saling bermusuhan dan saling bunuh. Kita selalu
mementingkan tujuan sehingga muncullah cara-cara yang sesat. Kita seolah-
olah menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Yang menjadi langkah-
langkah dalam hidup kita, penuh dengan kepalsuan seperti sekarang ini, tidak
wajar lagi karena setiap langkah hidup, setiap kelakuan dan perbuatan kita,
hanya merupakan jembatan untuk dapat membawa kita ke arah tujuan yang
kita kejar-kejar.
Memang banyaklah "cara" untuk menggerakkan manusia menuju kepada cita-
cita. Dalam hal peperangan, caranya hanyalah kekerasan, kekejaman, saling
bunuh dan memperebutkan kemenangan. Jadi, kemenangan itulah tujuannya.
Akan tetapi tentu saja bukan tujuan terakhir karena kemenangan itu hanyalah
merupakan "jembatan" saja untuk mencapai yang diidam-idamkan, yaitu
kedudukan-kehormatan, kemuliaan, harta benda. Para pimpinan yang
berambisi pandai sekali membangkitkan semangat rakyat dengan berbagai
cara. Ada yang membangkitkannya melalui kepahlawanan, patriot atau
pejuang, rela berkorban nyawa! Ada pula yang membangkitkan semangat
melalui janji-janji muluk, kedudukan, kehormatan, kemuliaan atau harta benda.
Apapun tujuannya, kalau caranya adalah saling bunuh dengan kejam, sudah
dapat dipastikan bahwa tujuannya itupun hanya merupa-kan pementingan diri
sendiri, pemuas kehausan nafsu sendiri belaka, mencari sesuatu yang diang-
gap akan mendatangkan kesenangan hidup, seperti kedudukan, kemuliaan,
kehormatan dan harta benda!
Keindahan terdapat di setiap tempat dan di setiap saat bagi mata yang
waspada dengan batin yang kosong dari pada segala kesibukan pengejaran
kesenangan. Keindahan menggetarkan jiwa yang bersih dari pada segala
kesibukan senang susah, puas kecewa dan segala perasaan yang timbul
karena pertentangan antara dua keadaan. Di setiap pucuk daun, di setiap sudut
awan, di setiap ba-tang rumput, di setiap tetes air, di dalam setiap helai rambut
kita, di mana-mana terdapat keagungan, keindahan dan kemujijatan itu. Namun
sayang, mata kita telah menjadi buta, dibutakan oleh pikiran yang selalu
mengejar-ngejar kesenangan sehingga bertemulah pikiran dengan kesusahan,
kekecewaan, iri hati, kebencian, permusuhan, pemuasan nafsu dan
sebagainya. Batin menjadi lelah dan lumpuh oleh hempasan-hempasan
perasaan itu dan mata menjadi buta, tidak dapat lagi melihat keindahan,
keagungan dan kemujijatan yang amat besar itu.
Cinta kasih adalah sesuatu yang hanya dapat dirasakan. Bukan sesuatu yang
dapat dipikirkan. Cinta kasih tidak terpengaruh oleh pikiran, karenanya tidak
pernah membuat perhitungan untung rugi. Segala perbuatan kita manusia
sekarang ini penuh dengan perhitungan untung rugi, oleh kare-na itu, pamrih
memperoleh keuntungan menjauhi kerugian ini membuat setiap perbuatan kita
palsu dan pura-pura, menyembunyikan pamrih. Hanya cinta kasih sajalah satu-
satunya yang masih mem-beri harapan. Perbuatan yang didasari cinta kasih
adalah perbuatan yang bebas dari pada pamrih mencari keuntungan atau
kesenangan. Hidup tanpa adanya cinta kasih sama dengan mati, karena hidup
menjadi hampa, membuat manusia tiada bedanya dengan sebuah robot. Dan
cinta kasih ini baru nampak, baru muncul, sinarnya baru terang memenuhi hati
yang tidak lagi dipenuhi keinginan-keinginan.
Akan tetapi, asmara tidak selamanya mendatangkan kebahagiaan! Asmara
antara pria dan wanita membutuhkan sambutan dari kedua pihak! Kalau hanya
sepihak yang mencinta sedangkan pihak lain tidak, maka asmara
mendatangkan seng-sara, kekecewaan, patah hati! Bahkan sambutan kedua
pihak sajapun belum cukup. Banyak terjadi dua orang muda yang saling
mencinta, yang ber-sumpah disaksikan Langit dan Bumi bahwa mereka akan
saling mencinta sampai selamanya, kemudian bercerai kasih, bahkan cinta
mereka berobah menjadi benci! Cinta asmara seperti itu mengenal pula
cemburu, mengenal kebosanan, karena cinta as-mara seperti itu mengandung
nafsu dan nafsu sela-lu didampingi oleh kebosanan.
"Sependek suka
sepanjang duka
sejumput manis
setumpuk pahit
ada gelap ada terang
ada senang ada susah
yang tidak mengejar kesenangan
takkan bertemu kesusahan !"
Tangis dan tawa sama2 menggerakkan muka, kenapa tidak memilih tawa dari
pada tangis? Tangis itu tidak sehat dan membuat wajah kelihatan buruk,
sebaliknya orang berwajah jelekpun akan menjadi menarik kalau tertawa, juga
menyehatkan. Ha-ha-ha-ha!
untuk dapat hidup kita harus makan dan untuk kebutuhan itu, Tuhan telah
menyediakan tanah, air, udara, bahkan bibit tanaman pangan untuk kita. Akan
tetapi, untuk dapat mempertahankan hidup dengan makan, kita harus
mengolah tanah, menanam, memelihara, memetik hasilnya. Bahkan setelah itu,
tugas kita belum selesai. Kita masih harus memasaknya dan kalau sudah
menjadi masakan terhidang di depan kita, kita masih harus mengunyah dan
menelannya! Kalau kita diam saja, Tuhan tidak akan melakukan semua itu
untuk kita! Dan kita diberi pula akal budi sehingga kita dapat mengerti
bagaimana cara yang terbaik untuk mendapatkan makanan, yaitu dengan
bekerja, bukan dengan jalan mencuri atau merampok misalnya. Dalam
pelaksanaannya itulah menjadi tugas kita. Tuhan tiada hentinya bekerja.
Kitapun harus bekerja. Bukankah segala sesuatu di alam mayapada ini, baik
yang bergerak maupun yang tidak hidup tumbuh dan bekerja ? Pohonpun tiada
hentinya bekerja, akarnya, daunnya, kembang dan buahnya
"Kalau anda merasa benar dan sayapun merasa benar sehingga kita saling
bermusuhan, maka jelaslah bahwa kita berdua sama-sama tidak benar!
Kebenaran tak dapat diperebutkan, tidak dapat dimonopoli seseorang.
Kebenaran yang dibela dengan kekerasan sehingga bermusuhan, jelas bukan
kebenaran lagi."
benar adalah apabila tindak kita tidak didasari pamrih demi kepentingan dan
keuntungan diri pribadi. Yang penting itu pamrihnya, bukan perbuatannya.
Betapapun baik dan indah nampaknya suatu perbuatan, kalau didasari pamrih
yang mementingkan diri pribadi, maka perbuatan itu palsu adanya
"Cinta adalah suatu keadaan yang mulia dan suci, Sin Wan. Cinta adalah sifat
dari Tuhan Yang Maha Kasih. Akan tetapi, kita manusia merupakan mahluk
yang lemah terhadap nafsu-nafsu kita sendiri. Cinta kita selalu diboncengi
nafsu, dan nafsu inilah yang mendatangkan perasaan cemburu, benci dan
sebagainya. Nafsu sifatnya selalu mementingkan diri sendiri, menyenangkan
diri sendiri. Oleh karena cinta kita diboncengi nafsu, maka biar orang yang kita
cinta, kalau melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan atau merugikan kita,
maka dapat saja berubah menjadi benci dan dapat menimbulkan cemburu.
Nafsu membuat kita ingin memiliki dan menguasai orang yang kita cinta
seluruhnya, sehingga sekali saja terdapat kecenderungan kekasih kita kepada
orang lain, timbullah cemburu. Nafsu membuat kita ingin memperalat orang
yang kita cinta itu sebagai sumber kesenangan diri kita sendiri."
"Segala macam nafsu yang berada pada kita merupakan anugerah pula dari
Tuhan kepada kita, Sin Wan. Nafsu-nafsu itulah peserta jiwa dalam badan,
untuk kepentingan kehidupan di dunia ini. Nafsu merupakan alat, merupakan
pelengkap, merupakan pembantu yang teramat penting. Dalam hal perjodohan,
nafsu bekerja sebagai berahi yang menimbulkan perasaan saling suka dan
saling tertarik. mungkin melalui keindahan bentuk wajah dan tubuh yang
menyenangkan dan cocok, mungkin melalui sikap dan prilaku yang sesuai
dengan selera. Pendeknya nafsu berahi selalu ada di dalam cinta antara pria
dan wanita yang ingin hidup bersama. Akan tetapi, karena nafsu mendatangkan
pula cemburu yang mungkin menimbulkan kebencian, maka kita harus ingat
bahwa sekali nafsu berahi yang menjadi majikan, yang menguasai kita,
keutuhan perjodohan terancam retak. Nafsu berahi juga mendatangkan bosan."
"Lalu bagaimana kita dapat menguasai nafsu kita sendiri, locianpwe? Dapatkah
dikuasai dengan samadhi, dengan latihan pernapasan, dengan bertapa?"
Kakek itu tersenyum dan menggeleng kepala. "Semua usaha itu juga masih
berada dalam lingkungan atau ruang pekerjaan akal budi, pada hal akal budi
kita sudah dicengkeram nafsu. Usaha itu juga terbimbing oleh nafsu. Karena
kita melihat kerugian yang diakibatkan oleh pengaruh nafsu, maka kita ingin
menguasai nafsu. Siapa yang rugi? Kita si akal budi, dan siapa yang ingin
menguasai nafsu. Juga kita sendiri, si akal budi yang sudah bergelimang nafsu.
Jadi, nafsu menguasai nafsu, menguasai hasilnya tentu masih nafsu pula,
hanya berbeda nama, akan tetapi pada hakekatnya sama, yaitu nafsu yang
ingin menyenangkan diri sendiri, ingin menjauhkan diri dari kesusahan, ingin ini
dan ingin itu yang pamrihnya pementingan diri. Usaha itu hanya akan
mendatangkan hal yang nampaknya berhasil, namun pada luarnya saja. Kalau
sekali waktu kebutuhan mendesak, nafsu yang nampaknya dapat "ditidurkan"
melalui semua usaha itu, akan bangun kembali bahkan lebih kuat dari pada
yang sudah!
Satu-satunya kekuasaan yang akan mampu mengatur nafsu dan mendudukkan
kembali nafsu di tempat yang sebenarnya sebagai abdi-abdi jiwa dalam
kehidupan manusia, hanyalah kekuasaan Sang Pencipta, yang menciptakan
nafsu itu. Karena itu, kita hanya dapat menyerahkan diri kepada Tuhan Maha
Kasih, penyerahan total yang penuh kesabaran, ketawakalan dan keikhlasan.
Kekuasaan Tuhan yang akan bekerja dalam diri kita. Nafsu-nafsu, termasuk
nafsu berahi, akan tetap bekerja, namun sebagai pembantu yang setia, bukan
sebagai majikan yang kejam."
Perjodohan adalah suatu segi kehidupan yang paling rumit! Bercampurnya dua
orang manusia yang berbeda watak dan selera, berbeda keturunan, untuk
hidup bersama selamanya, dalam sebuah pernikahan, dimaksudkan untuk
bersama-sama membangun keluarga, terutama sekali bersama-sama merawat
dan mendidik anak-anak yang lahir dari pernikahan itu. Dan mempertahankan
kebersamaan selama puluhan tahun antara kedua orang manusia ini
membutuhkan kepribadian yang luhur dan kesadaran serta kebijaksanaan yang
tinggi. Apakah cukup dengan cinta kasih saja? Memang itulah dasarnya, akan
tetapi tidak cukup dengan itu, Sin Wan. Di samping kasih sayang, harus pula
terdapat kebijaksanaan, kesetiaan, bertanggung jawab dan memenuhi
kewajiban masing-masing. Kewajiban sebagai seorang suami atau isteri
kemudian kewajiban sebagai seorang ayah atau ibu. Dan semua itu baru akan
berjalan mulus kalau didasari penyerahan kepada Tuhan sehingga kekuasaan
Tuhan yang akan menjadi penuntun dan pembimbing."
Duka itu hanya permainan pikiran saja, Sin Wan. Pikiran yang sudah
dicengkeram nafsu hanya memikirkan kesenangan bagi diri sendiri. Nafsu
selalu mengejar kesenangan, selalu menjauhi ketidak senangan. Kesenangan
itu tersembunyi di mana-mana, kadang mengenakan jubah bersih, seperti
musang berbulu ayam. Nafsu mendorong kita untuk menonjolkan diri dan
penonjolan diri inipun bukan lain hanyalah kesenangan. Kita menginginkan
kekayaan, kedudukan, kepandaian, ke mashuran melalui perbuatan baik atau
melalui karya-karya mengagumkan, semua itupun menjadi tempat
persembunyian kesenangan. Dan kalau pengejaran kesenangan itu gagal,
maka datanglah kecewa, nelangsa dan iba diri yang membawa duka. Engkau
merasakan kesenangan dalam hubungan kasihmu, merasakan kesenangan
dalam hubungan baikmu dengan teman-temanmu tua itu. Ketika mereka
memisahkan diri menjauhimu,engkau kehilangan kesenangan itu dan menjadi
kecewa, iba diri dan berduka. Engkau menyiksa diri dan menjadi cengeng dan
itu suatu perbuatan yang sama sekali keliru."
tidak ada hubungannya sama sekali antara peristiwa yang terjadi di luar diri
dengan keadaan batin yang berduka. Peristiwa itu suatu kenyataan, suatu
kejadian yang wajar saja sebagai akibat dari suatu sebab tertentu. Adapun
duka di hati itu adalah karena ulah nafsu dalam pikiran sendiri. Suatu peristiwa
terjadi. Titik. Apakah hal itu menimbulkan duka atau tidak, tergantung dari cara
engkau menerima dan menghadapinya! Kalau engkau kini hendak berusaha
melenyapkan duka itu, coba renungkan, siapakah engkau yang kini hendak
menghilangkan duka? Bukankah itu juga engkau yang berduka sekarang ini?
Keinginan untuk tidak berduka sama saja dengan si duka itu sendiri. Setelah
melihat bahwa duka mendatangKan kesengsaraan, maka pikiran kini mencari
jalan untuk melepaskan diri dari ketidak senangan itu, tentu saja agar menjadi
senang! Engkau terseret dalam lingkaran setan kalau begitu
Harta dan kedudukan merupakan dua kesenangan yang amat kuat daya
pengaruhnya terhadap manusia. Demi mengejar kedudukan dan harta,
manusia lupa diri dan tidak segan melakukan perbuatan apapun juga.
Membunuh, merampok, menipu, berkhianat, apa saja akan dilakukan demi
mendapatkan harta atau kedudukan yang diinginkannya. Kalau sudah begini,
manusia kehilangan harga dirinya sebagai manusia, sebagai mahluk yang
mendapatkan anugerah paling besar dari Sang Pencipta. Manusia sudah
menjadi budak, menjadi hamba dari kesenangan, hamba dari nafsunya sendiri.
Manusia lupa bahwa menghambakan diri, bertekuk lutut kepada nafsu
merupakan sumber segala malapetaka dalam kehidupan, sumber sengketa,
sumber derita sengsara.
Harta kekayaan yang tadinya dibayangkan sebagai sumber segala
kesenangan, akhirnya hanya menjadi sumber kegelisahan, takut akan
kehilangan, sumber sengketa dan perebutan, dan kesenangan yang dihasilkan
oleh adanya harta hanya menjadi kesenangan palsu yang membosankan.
Pengejaran terhadap harta dan kedudukan membutakan hati merusak
pertimbangan, membuat kita tidak sadar bahwa kita telah melakukan hal-hal
yang amat tidak baik, jahat atau merugikan orang yang pada akhirnya akan
membuahkan buah yang pahit, yang harus kita makan sendiri. Kita terkadang
silau oleh tujuan, buta akan cara yang kita pergunakan untuk pengajaran
mencapai tujuan itu. Bagaimana mungkin cara yang kotor bisa menghasilkan
sesuatu yang bersih? Tujuan merupakan akibat, merupakan hasil daripada
caranya. Cara tidak terpisah dari hasilnya.
Nafsu itu seperti api, selalu mencari bahan bakar, tak pernah berhenti selama
ada yang dilahapnya. Yang sudah dibakar, ditinggalkannya menjadi abu, tak
dihiraukannya lagi karena selalu disibukkan mencari bahan bakar baru. Kalau
kita sudah dikuasai nafsu, kita selalu mengejar sesuatu yang belum kita miliki.
Yang sudah kita miliki terlupa, tidak lagi nampak keindahannya, tidak lagi
menyenangkan, bahkan ada kalanya membosankan. Yang nampak indah
menarik dan dianggap menjadi sumber kesenangan hanyalah yang belum
diperoleh, seperti api yang selalu tertarik kepada sesuatu yang belum
dijamahnya.
Nafsu membuat segala sesuatu hanya nampak indah menyenangkan bagi yang
belum memiliki! Akan tetapi yang sudah memiliki, menjadi bosan dan yang
dimiliki itu segera kehilangan daya tariknya. Hanya mereka yang tidak kaya saja
yang menganggap bahwa kaya raya itu amat membahagiakan, sebaliknya,
yang sudah kaya raya kehilangan apa yang digambarkan oleh yang belum kaya
itu.
Hanya yang tidak memiliki kedudukan menganggap bahwa yang berpangkat
tinggi itu senang dan bahagia, namun seringkali dia tersiksa justeru oleh
kedudukannya itu. Orang yang tinggal di kota rindu kepada gunung, sebaliknya
yang tinggal di gunung rindu kepada kota!
Demikianlah bekerjanya nafsu, mendorong kita untuk tidak merasa puas
dengan keadaan yang ada, selalu haus akan hal yang belum kita miliki. Ini
memang wajar. Nafsu memang amat berguna bagi kehidupan kita. Nafsu yang
membuat kita maju dan bertumbuh, membuat kita "hidup". Namun, kalau dia
menjadi alat, menjadi hamba kita.
Kalau terjadi sebaliknya, kita yang diperhamba, celakalah! Kita akan menjadi
robot, dan kita kehilangan pertimbangan, mau saja dituntun melakukan
perbuatan yang jahat atau tidak benar hanya untuk memuaskan nafsu
mendapatkan hal-hal yang kita inginkan. Seperti api yanq terus menjalar
mencari bahan bakar baru, melupakan dan meninggalkan yang lama.
Dia seorang yang sadar akan romantika kehidupan. Hidup memang merupakan
perjuangan, di mana tantangan datang dari segala penjuru dan di segala saat.
Bahaya dan tantangan berdatangan, dan justeru itulah romantika kehidupan.
Betapa akan hampa dan haramnya penghidupan ini tanpa adanya tantangan!
Betapa akan membosankan siang hari tanpa adanya malam! Rasa manispun
akan memuakkan tanpa adanya rasa pahit dan lain-iain. Hidup adalah
perjuangan menghadapi semua tantangan.
Melarikan diri dari tantangan hidup berarti sudah tigaperempat mati. Kita harus
menghadapi kenyataan yang ada, berani menghadapi tantangan yang datang
menimpa. Menghadapi tantangan, menanggulangi atau mengatasi tantangan,
itu seni kehidupan!
Kita harus mempergunakan segala daya yang ada pada kita, setiap anggauta
jasmani, hati akal pikiran, untuk menanggulangi segala masalah kehidupan,
persoalan lahiriah dah mengatasinya, memenangkannya. Mengenai batiniah,
kerohanian, kita serahkan saja kepada Tuhan! Percaya, menyerah dengan
sabar, ikhlas, tawakal. Rohani adalah kuasa Tuhan, akan tetapi urusan jasmani
adalah tugas kewajiban kita sendiri.
Nafsu adalah angkara murka, pementingan diri sendiri yang tanpa batas.
Segala daya upaya dalam kehidupan diarahkan demi menyenangkan si aku,
atau nafsu. Namun, nafsu tak pernah puas, kesenangan yang diperoleh segera
terganti kebosanan dan dengan liar mencari kesenangan lain yang belum
diperolehnya. Hati akal pikiran sudah pula digelimangi nafsu sehingga hati dan
pikiran selalu membela kepentingan nafsu dengan mengajukan berbagai dalih
dan alasan untuk membenarkan tindakan yang didorong nafsu. Pengaruh nafsu
selalu menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan, dan tujuan itu tiada
lain pasti sesuatu yang dianggap menyenangkan si aku. Nafsu bagaikan api
berkobar, makin diberi umpan semakin besar nyalanya dan semakin tamak
ingin melahap segala yang ada.
Nafsu yang timbul dari daya rendah disertakan manusia sejak lahir bukan
merupakan kutukan. Sebaliknya malah, nafsu merupakan anugerah dari Tuhan
Maha Pengasih yang amat mengasihi manusia sebagai ciptaanNya. Nafsu
mutlak perlu bagi kita dalam kehidupan di dunia ini. Tanpa adanya nafsu kita
tidak akan hidup seperti sekarang ini, bahkan mungkin saja manusia tidak akan
dapat berkembang biak seperti sekarang.
Nafsu yang bekerja sama dengan hati akal pikiran membuat manusia dapat
membuat segala benda yang dibutuhkan dalam hidup ini, dapat membuat
kehidupan menjadi menyenangkan. Nafsu yang berada di panca indra yang
membuat kita dapat merasakan segala kenikmatan hidup. Yang dinamakan
kemajuan di bidang apa saja adalah hasil dorongan nafsu pada hati akal pikiran
manusia.
Mata kita dapat menikmati penglihatan indah, hidung kita dapat menikmati
penciuman harum, telinga kita dapat menikmati pendengaran merdu, dan
selanjutnya. Tanpa adanya nafsu yang menimbulkan gairah, sukar
membayangkan bagaimana kehidupan ini. Kosong, hampa dan tidak menarik.
Kasih sayang Tuhan terbukti dengan diikutsertakan nafsu kepada kita.
Seperti api, kalau kecil dan terkendali, nafsu amatlah bermanfaat bagi
kehidupan. Sebaliknya, kalau membesar dan tidak terkendali, segalanya akan
terbakar habis! Jadi masalahnya, nafsu harus terkendali lalu bagaimana kita
dapat mengendalikannya? Pertanyaan ini selalu diajukan manusia sejak
sejarah tercatat, dan sampai kinipun manusia masih selalu berusaha dengan
segala macam cara untuk menguasai atau mengendalikan, nafsunya sendiri.
Melalui tuntunan agama, melalui keprihatinan, pertapaan, penyiksaan diri dan
segala macam cara lagi ditempuh manusia demi untuk dapat menguasai dan
mengendalikan nafsu.
Namun betapa pahitnya kenyataan itu, ialah bahwa jarang sekali ada manusia
yang berhasil dalam usahanya itu. Ada yang sudah bertapa di tempat sunyi
sampai bertahun-tahun, tetap saja tidak mampu mengendalikan nafsunya.
Ketika berada di puncak gunung yang sunyi, nampaknya seolah dia berhasil
menidurkan nafsunya. Akan tetapi begitu ia turun gunung, nafsunya bergejolak,
bahkan menjadi semakin liar, lebih kuat dari pada sebelum dia bertapa.
Mengapa demikian?
Semua usaha hati akal pikiran untuk mengendalikan nafsu, sebagian besar
gagal karena hati akal pikiran juga sudah digelimangi nafsu. Jadi,
menggunakan hati akal pikiran untuk menguasai nafsu! Tidak aneh kalau gagal!
Pengetahuan dan pengertian hati akal pikiran saja tidak mungkin dapat
mengalahkan nafsu. Semua orang yang melakukan perbuatan tidak baik tentu
tahu dan mengerti bahwa perbuatannya itu tidak baik, namun tetap saja mereka
melakukannya dan mengulanginya. Kadang sesal datang setelah berbuat,
namun begitu nafsu datang mendorong, tidak ada kekuatan dalam diri untuk
menahannya, bahkan akal pikiran dan hatipun tidak berdaya, bahkan menjadi
pembela dari perbuatan yang terdorong nafsu.
Kita dihadapkan pada jalan buntu. Kita tidak dapat hidup tanpa nafsu, akan
tetapi kitapun terseret ke dalam dosa oleh nafsu, dan kita tidak berdaya untuk
mengendalikan lalu bagaimana? Hanya ada satu pemecahannya, yaitu
mengembalikannya kepada Sang Maha Pencipta. Tuhan yang menciptakan
nafsu, maka hanya Tuhan yang akan dapat mengembalikan nafsu kepada
kedudukan dan tugasnya yang semula, yaitu menjadi peserta dan pelayan bagi
manusia hidup di dunia, bukan sebagai majikan. Hanya Tuhan Yang Maha
Kuasa yang akan mampu mengembalikan api nafsu itu menjadi api kecil yang
terkendali sehingga amat bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Oleh karena itu, hanya dengan penyerahan yang tulus ikhlas, penuh kesabaran
dan ketawakalan, kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, maka
segalanya akan kembali teratur, sesuai dengan kehendak Tuhan, terjadi
karena, kuasa Tuhan. Tidak ada cara atau jalan lain! Hati akal pikiran yang
merupakan alat seperti juga anggauta tubuh lainnya, kita pergunakan untuk
keperluan lahiriah, bekerja dan sebagainya. Adapun urusan rohaniah kita
menyerah kepada kekuasaan Tuhan.
Sudah menjadi pendapat umum bahwa cemburu merupakan hal yang wajar
bagi orang yang sedang jatuh cinta. Bahkan ada yang begitu yakin berpendapat
bahwa cemburu adalah kembangnya cinta, bahwa cemburu merupakan
pertanda adanya cinta! Kalau pendapat ini dibenarkan, berarti bahwa di dalam
cinta terkandung cemburu, atau cemburu sama dengan cinta!
Kalau kita mau membuka mata melihat kenyataan, akan nampaklah bahwa apa
vang dinamakan cinta itu, kalau disamakan dengan cemburu, maka cinta itu
bukanlah cinta! Cemburu timbul karena nafsu karena cemburu mendatangkan
kemarahan, kebencian, kekecewaan yang berakhir dengan penderitaan.
Bukanlah cinta kalau mendatangkan kesengsaraan atau penderitaan. Hanya
ulah nafsu yang menyeret kita ke dalam jurang penderitaan.
Cemburu pasti timbul kalau terdapat ikatan. Apakah ikatan itu membelenggu
kita kepada benda, kepercayaan, kepada cita-cita, gagasan, ataukah kepada
seseorang. Ikatan membuat kita merasa berarti, membuat kita merasa memiliki.
Kita tidak ingin kehilangan yang kita miliki itu, yang telah mengikat kuat dalam
hati kita.
Kalau kita merasa mencinta seseorang kita terikat kepada orang itu dan kita
tidak ingin kehilangan. Kita akan merasa sedih, merasa khawatir kalau-kalau
orang yang kita miliki itu direnggut lepas dari diri kita, membuat kita tidak berarti
karena tidak memiliki apa-apa lagi. Kekhawatiran inilah yang menimbulkan
cemburu! Khawatir akan kehilangan orang yang membuat dirinya berarti. Yang
beginikah yang dianggap sama dengan cinta?
Kalau cinta itu bersifat memiliki, menguasai, ikatan lalu mendatangkan
kekhawatiran kalau kehilangan, maka cinta seperti itu bukan lain adalah cinta
nafsu belaka. Kalau cinta nafsu, tentu saja tiada bedanya dengan buah nafsu
lainnya seperti ketakutan, kemarahan, kebencian, keinginan untuk senang
sendiri, termasuk pula cemburu.
Kalau cinta kasih, bukan nafsu, bagaikan cahaya terang, maka cemburu adalah
kegelapan. Kalau ada cahaya terang, maka tidak ada kegelapan. Kalau ada
cinta kasih, tidak ada cemburu. Kalau ada cemburu, jelas nafsu yang
memegang peran, walaupun nafsu itu diberi pakaian indah yang disebut cinta!
Renungan tentang cinta dilakukan orang sepanjang masa, sejak jaman nenek
moyang kita dahulu sampai kini. Namun, adakah manusia yang pernah
menemukan jawabnya yang tepat. Banyak memang pendapat orang tentang
cinta, akan tetapi apakah pendapat itu sudah dapat membuat kita mengenal
cinta? Kalau mendatangkan cemburu yang disusul kebencian dan permusuhan,
apakah itu cinta? Kalau mendatangkan kesenangan disusul kesusahan, apakah
itu cinta? Ingin memiliki dan dimiliki sendiri, itukah cinta? Menjadi pembangkit,
penyalur dan pemuasan berahi, itukah cinta? Membela dengan
mempertaruhkan nyawa, membunuh atau dibunuh seperti dalam perang
membela tanah air, itukah cinta? Mengorbankan diri untuk anak cucu, itukah
cinta? Ataukah cinta mencakup kesemuanya? Apakah cinta merupakan
kebalikan dari benci? Apakah benar bahwa cemburu menjadi kembangnya
cinta?
Kalau dilanjutkan, masih ada satu macam pertanyaan yang tak terjawab
mengenai cinta. Bagaimana mungkin hati yang tidak pernah mengenal cinta,
dapat mencari apa sebenarnya cinta itu? Hati akal pikiran ini hanya mampu
menemukan sesuatu yang pernah dikenalnya, pernah dialaminya, dapat
menemukan hal yang telah lalu.
Yang mendatangkan cemburu, mendatangkan suka dan duka, mendatangkan
kebencian dan permusuhan, yang memuaskan berahi, yang membelenggu
dalam ikatan, jelas bukanlah CINTA, melainkan nafsu. Nafsu selalu
menimbulkan keinginan untuk mendapatkan kesenangan dan menjauhi ketidak-
senangan. Nafsu selalu mempermainkan manusia, mengombang-ambingkan
manusia antara suka dan duka, puas dan kecewa.
Nafsu membuat kita mencinta seseorang karena daya tarik yang khas, yang
sesuai dengan keinginan nafsu. Kita mencinta orang karena kecantikannya
atau ketampanannya, karena kekayaannya, kedudukannya, kepintarannya dan
sebagainya. Kalau yang menjadi daya tarik itu sudah luntur, maka cinta kitapun
ikut luntur karena ikatan itu mengendur. Cinta yang didorong nafsu membuat
kita ingin memiliki sendiri yang kita cinta, baik itu berupa benda, binatang
peliharaan, tanaman, atau orang. Kalau ini dilanggar, kita cemburu, kita marah,
kita benci. Kalau kita berhasil memiliki, timbullah rangkaian yang mendatangkan
penderitaan pula.
Memiliki berarti menjaga dan kehilangan! Memiliki dapat menimbulkan
kebosanan. Cantik dan indah hanya terasa sebelum didapatkan, atau paling
banyak terasa untuk jangka waktu yang pendek saja. Sesudah itu, cantik dan
indah mulai luntur kalau tidak membosankan malah. Betapa banyaknya
pasangan yang cantik dan tampan cekcok atau bercerai. Betapa banyaknya
pasangan yang kaya raya, tidak cocok dan menderita.
Cinta yang kita puja-puja pada umumnya hanyalah permainan nafsu belaka.
Cinta kita berpamrih seperti menjadi sifat nafsu, dan permainan nafsu tak dapat
tiada menyeret kita ke dalam permainan suka duka, yang lebih banyak dukanya
dari pada sukanya. Kita mencinta untuk mendapatkan sesuatu. Cinta kita
merupakan cinta jual-beli dan setiap jual-beli selalu mendambakan keuntungan.
Selama nafsu pamrih masih ada, cinta tidak akan ada. Kalau nafsu dan pamrih
sudah tidak ada, apakah cinta akan ada? Tak dapat kita mengharapkan cinta,
tidak dapat kita mengundang cinta. Cinta akan datang menghampiri kita seperti
air suci mengisi cawan yang sudah kosong dan bersih!
Sebernarnya, setiap saat dan detik terdapat keindahan dari suasana yang wajar
ini. Hanya karena kita terlalu di ombang ambingkan pikiran kita sendiri yang
mengadakan banyak persoalan maka keindahan yang ada itu tidak nampak
lagi. Pikiran kita selalu sibuk dengan berbagai macam persoalan kehidupan
sehari-hari, dari urusan pekerjaan, mencari uang, persoalan rumah tangga,
konflik-konflik dalam keluarga atau antar teman, pengangguran, kejahatan, dan
bahkan perang. Pikiran kita sudah menjadi gudang dari segala macam
permasalahan yang memusingkan sehingga kita sudah lupa betapa indahnya
alam di sekeliling kita, betapa Maha Murahnya Tuhan terhadap kita semua.
Segala keperluan hidup manusia telah terbentang luas di depan kita, Kita
tinggal mengolah dan memetik saja. Akan tetapi semua keindahan itu tidak
akan terasa lagi kalau kita menjadi hamba nafsu yang menyeret kita ke dalam
konflikk dan pertentangan, saling membenci, saling bermusuhan dan bahkan
saling membunuh.
Alangkah akan bahagianya hidup ini apabila kita manusia tidak saling
bermusuhan, melainkan bersatu padu untuk membangun dengan sarana yang
tersedia lengkap. Membangun demi kesejahteraan kita bersama. Hidup
tenteram penuh kedamaian, saling tolong dan salin bantu dalam mengahdapi
kesukaran yang bagaimanapun macamnya dan dari manapun datangnya.
Kesukaran yang dibagi akan menjadi ringan dan bukan merupakan kesukaran
lagi. Sedangkan kelebihan dan kesenangan yang dibagi tidak akan menjadi
berkurang. Hdiup dalam suasana seperti itu akan melenyapkan segala macam
kesusahan dan yang terdengar dari mulut kita hanyalah Puji Syukur dan terima
kasih kepada Tuhan Maha Pencipta, tidak lagi terdengar keluh kesah seperti
yang kita dengar setiap saat pada masa kini.
“Manusia sejak dilahirkan sudah menghadapi berbagai tantangan. Kita tidak
mungkin dapat melarikan diri dari tantangan-tantangan itu. Makin melarikan diri
dari tantangan, semakin banyak rasa khawatir timbul.
Tantangan tidak harus di hadapi dengan rasa khawatir, melainkan harus di
hadapi dengan berani. Tantangan harus di anggap sebagai suatu kewajaran
dalam hidup dan kita harus menghadapinya dengan gembira dan mengatasi
setiap tantangan yang datang“
Suatu kekeliruan besar telah kita perbuat, sejak sejarah kehidupan manusia
dimulai sampai sekarang, yaitu menjadi peminta-minta. Mungkin caranya yang
berubah dan berbeda-beda, namun pada hakekatnya, tetap saja kita meminta-
minta, mengemis. Kepada Tuhan, kepada para dewa, kepada arwah leluhur,
bahkan kepada setan dan iblis kita selalu menadahkan tangan untuk minta-
minta, untuk memohon sesuatu! Yang kita lakukan dalam sembahyang, selalu
berisi penuh permintaan, permohonan! Dan dalam keadaan memohon sesuatu,
masih kita sogok lagi dengan perbuatan yang dianggap baik, seperti beramal,
memberi sedekah, menolong orang, semua itu untuk memperkuat doa kita agar
permohonan kita terkabul! Kalau permintaan dengan segala macam bentuk
sogokan itu ditujukan kepada para dewa, kepada arwah atau kepada segala
macam setan dan iblis, masih dapat dimengerti, karena mereka memang
mungkin masih membutuhkan sogokan.
Akan tetapi kalau segala macam permintaan itu ditujukan kepada Tuhan Maha
Pencipta, sungguh hal ini patut kita renungkan bersama.
Tuhan Maha Kuasa, Maha Adil, Maha Kasih! Tuhan telah menciptakan Segala
sesuatu dalam keadaan sempurna! Kitapun diciptakan ke dunia ini dalam
keadaan yang sempurna, disertai segala macam alat yang paling lengkap untuk
dapat hidup. Setiap helai rambut, Setiap lubang pori-pori, kuku, gigi, setiap
lekukan jari, bulu mata, alis, Panca indera, hati akal pikiran, lengkap dengan
segala macam yang ada pada diri kita luar dalam, semua itu mempunyai daya
guna untuk dapat kita pergunakan demi kepentingan kehidupan di dunia ini.
Sudah diberi sejak lahir secara lengkap. Berkah Tuhan juga, berlimpahan. Kita
diberi tanah, udara, panas matahari, air, semua yang diperlukan untuk
kehidupan tanam-tanaman yang akan menjadi makanan kita, sampai ke benih
segala macam tumbuh-tumbuhan, jutaan macam banyaknya. Ada pula jutaan
macam binatang yang dagingnya dapat pula menjadi makanan kita. Segala
sudah tersedia, TINGGAL MENGERJAKAN saja. NamUn, kita masih saja
minta-minta! Sepatutnya, dalam sembahyang, kita berbakti, kita memuja, kita
bersyukur, berterima kasih, karena segalanya telah disediakan Tuhan untuk
kita. Kita hanya tinggal mengerjakan segala yang ada pada kita, mengerjakan
anggauta badan kita, hati akal pikiran kita, demi mencukupi kebutuhan hidup
kita. Demikian Maha Kasih Tuhan sehingga dalam segala macam tumbuh-
tumbuhan itu telah terdapat yang bisa mengenyangkan, yang bisa menguatkan,
bahkan ada pula yang dapat menyembuhkan kita kalau kita terserang penyakit.
Hidup ini berarti gerak. Siapa tidak menggerakkan dirinya untuk bekerja, tentu
akan terjadi gangguan pada dirinya. Bekerja, mempergunakan segala sarana
yang telah diberikan Tuhan untuk kita, berarti kita tidak menyia-nyiakan
pemberian Tuhan, berarti bahwa kita telah berdosa. Mengerjakan segala
sarana yang telah diberikan Tuhan kepada kita berarti berbakti dan memuja ke
pada Sang Maha Pencipta. Karena itu, tidak ada gunanya memohon tanpa
bekerja. Kalau kita lapar, kita harus mencari makanan sendiri, bukan minta
makanan kepada Tuhan!
Demikianlah pula kalau kita sakit, kita harus berusaha mencari obatnya. Segala
apapun yang kita butuhkan, harus kita cari sendiri. Itulah kewajiban manusia
dalam kehidupan di dunia ini. Berikhtiar agar hidup ini terpenuhi semua
kebutuhannya, kemudian berikhtiar agar hidup ini terisi oleh manfaat bagi
manusia lain. Ikhtiar adalah wajib, dan tanpa mau berikhtiar, hanya memohon
dan mengandalkan kepada Tuhan saja, sama dengan mempersekutukan
Tuhan, membebani Tuhan dengan segala pekerjaan demi keenakan kita!
Betapa besar dosanya kalau sikap ini kita pertahankan!
Sembahyang kepada Tuhan merupakan wajib, yaitu kewajiban kita untuk
berbakti, bersyukur dan berterima kasih. Tuhan Maha Tahu Tidak usah kita
minta, Tuhan sudah Tahu apa yang kita butuhkan, dan sudah disediakan
segalanya, pasti akan kita dapatkan dengan jalan berikhtiar, dengan landasan
iman dan kepasrahan kepada Tuhan yang menentukan segalanya. Puji syukur
kepada Tuhan. Dan kalaupun ada suatu permohonan suatu permintaan, maka
sepatutnya kalau satu-satunya permohonan kita adalah mohon ampun atas
segala kesalahan kita yang lalu. Dengan penyerahan kepadaNya, pasrah,
tawakal, ikhlas, sabar, maka kita akan mendapatkan bimbinganNya. Bukan
dengan cara minta-minta, apa lagi menyogok. Perbuatan baik yang dilakukan
dengan sengaja untuk mendapatkan balas jasa, bukan perbuatan baik lagi
namanya, melainkan kepalsuan. Sama seperti kalau kita berbuat baik terhadap
seorang pembesar dengan harap an agar kelak pembesar itu akan memberi
suatu kemudahan bagi kita! Perbuatan baik seperti itu bukan lain hanyalah
perbuatan menyogok, menyuap
Andaikata setan dan iblis dapat dilihat, maka dia tidak akan ditakuti manusia
lagi. Mahluk yang paling buas dan besarpun, asalkan dia dapat dilihat, mudah
ditalukkan oleh manusia. Setan dan iblispun, kalau terlihat, tentu akan dapat
ditalukkan manusia. Rasa takut timbul karena ulah permainan pikiran. Pikiran
membayangkan dan mengkhayalkan yang seram-seram, yang mengerikan, dan
timbullah rasa takut. Takut adalah permainan pikiran membayangkan hal yang
belum ada, yang belum terjadi. Orang takut terkena penyakit karena dia belum
sakit. Kalau dia sudah terkena penyakit, dia tidak takut lagi kepada penyakit itu,
yang ditakuti adalah akibat lain yang belum terjadi, misalnya takut kalau-kalau
sakitnya itu akan membuatnya mati, takut kalau kelak mati dia akan tersiksa
dan sebagainya dan selanjutnya.
Sejak lahir sampai mati, kita tidak dapat mengatur atau menguasai kehidupan
kita sendiri.
Kita dilahirkan begitu saja di luar kehendak kita, kemudian selama hidup
kitapun tidak tahu apa akan terjadi dengan hidup kita, kemudian kematian
datang tanpa dapat kita tolak atau minta. Mati atau hidup sepenuhnya berada di
tangan Tuhan, dalam kekuasaanNya. Kalau Tuhan menghendaki kita mati,
tidak ada tempat persembunyian bagi kita untuk menghindarkan diri. Biar kita
bersembunyi ke lubang semut, maut tetap akan datang men jemput.
Sebaliknya, apa bila Tuhan belum menghendaki kita mati, biarpun dihujani
seribu batang anak panah, kita akan terhindar dari pada maut. Betapa
banyaknya manusia, yang diakuinya maupun tidak, merasa takut akan
kematian.
Pada lahirnya boleh membual dan berlagak tidak takut mati, namun jauh di
sebelah dalam, lubuk hatinya, dia merasa ngeri dan takut! Mengapa takut akan
sesuatu sudah pasti terjadi, akan sesuatu yang tidak mungkin terelakkan lagi,
sesuatu yang akan menimpa setiap orang di dunia ini, tidak perduli tua ataupun
muda, kaya ataupun miskin, pandai atau bodoh? Kenapa takut menghadap
sesuatu yang tidak dapat kita ketahui keadaannya, sesuatu yang tidak kita
kenal?
Sesungguhnya, kita tidak mungkin takut kepada suatu keadaan yang tidak kita
ketahui. Yang kita takuti adalah suatu keadaan yang kita ketahui melalui
kepercayaan, dongeng dan penuturan tentang keadaan sesudah mati. Yang
kita takuti adalah kenyataan bahwa kalau kita mati, kita meninggalkan semua
yang kita sukai dan cintai. Meninggalkan harta benda, meninggalkan keluarga
meninggalkan segala macam kesenangan hidup di dunia ini.
Berbahagialah orang yang menyerah kepada Tuhan secara menyeluruh, lahir
batin, pasrah dengan penuh keikhlasan dan ketawakalan. Baginya, kematian
bukanlah suatu akhiran, melainkan suatu kelanjutan dari pada kehidupan di
dunia ini. Dan, baik hidup di dunia ataupun kelanjutannya yang dinamakan mati,
selama kita menyerah kepada Tuhan, Sang Maha Pencipta yang menguasai
dan memiliki seluruh alam beserta isinya, berarti yang memiliki dan menguasai
diri kita, maka tidak ada rasa takut terhadap kehidupan maupun kematian .
Menyerah kepada Tuhan sama sekali bukan berarti acuh, pasip, ataupun
mandeg. Sama sekali bukan! Itu bukan pasrah namanya kalau kita hanya
menyerahkan segalanya kepada Tuhan tanpa mau berusaha sesuatu! Tuhan
telah melahirkan kita dengan alat yang paling sempuma dan lengkap, tangan
kaki, hati akal pikiran, semua itu tentu untuk dimanfaatkan, dikerjakan sekuat
kemampuan masing-masing, demi kesejahteraan hidup di dunia ini, demi
kelangsungan hidup dan penjagaan diri. Bekerja! Itu lah hidup, karena hidup
berarti gerak, dan gerakan kita berarti bekerja.
Namun semua pekerjaan, usaha dan ikhtiar kita itu dilandasi kepasrahan
mutlak kepada Tuhan, karena hanya Tuhan yang dapat menentukan, apa yang
akan kita alami dalam kehidupan ini maupun dalam kelanjutannya setelah kita
meninggalkan dunia. Kalau sudah begitu, apa lagi yang perlu ditakuti? Adakah
yang lebih membahagiakan bagi setetes air dari pada kembali ke samudera
tempat dia berasal?
semua aliran dan ajaran kebatinan, bahkan ajaran agama, merupakan ajaran
yang baik, menjadi penuntun bagi manusia agar hidup bermanfaat bagi
kemanusiaan, bagi dunia, agar hidup sebagai orang yang selalu membela
kebenaran, keadilan dan menumbuhkan cinta kasih di antara manusia.
Tidak ada ajaran agama atau aliran kebatinan yang mengajarkan orang untuk
berbuat jahat dan kejam.
Namun, ajaran tetap merupakan ajaran, sesuatu yang mati . Yang hidup dan
yang menentukan adalah manusianya, penganut ajaran itu. Baik dan buruknya
bukan terletak di da lam ajaran itu, melainkan di dalam pelaksanaannya dalam
kehidupan, di dalam langkah hidup dan perbuatannya.
Betapa pun suci teorinya, kalau prakteknya kotor, maka perbuatan atau praktek
itu hanya akan menodai dan mengotori teorinya. Betapa banyaknya terjadi
pertentangan agama, pertentangan aliran. Sesungguhnya, bukan ajaran-ajaran
itu yang bertentangan, karena tidak ada ajaran yang menganjurkan manusia
saling bertentangan, melainkan ulah si manusia sendirilah yang
mempertentangkannya. Ajaran aliran dan keagamaan diada kan untuk manusia
di dunia tanpa pilih bulu. Kalau ajaran itu sudah dimonopoli, menjadi milikku,
milik golongan atau kelompokku, milik bangsaku, maka timbullah pertentangan
antara milikku dan milikmu , agamaku dan agamamu . Apapun diperebutkan
oleh kita manusia ini. Kebenaran diperebutkan, bahkan Tuhan diperebutkan!
Aliran Hoat-kauw mempunyai ajaran agar manusia menaati hukum dan
keadilan. Akan tetapi, bagaimana kenyataannya? Manusia tetap manusia
dengan segala macam nafsu daya rendah yang menguasai dirinya.
Kenyataannya, seperti yang dilihat Seng Gun, hukum itu hanya berlaku bagi
mereka yang kalah, mereka yang berada di bawah. Mereka itulah yang harus
menaati hukum. Bagi yang menang dan yang berkuasa? Merekalah hukum!
Merekalah pembuataan penggaris hukum! Merekalah yang benar dan apapun
yang mereka lakukan adalah adil dan benar. Mereka adalah penegak hukum,
yaitu menegakkan hukum agar ditaati bawahan. Merekalah lambang hukum,
kebenaran dan keadilan. Yang salah adalah orang lain, terutama orang
bawahan. Sesungguhnya, kalau kita mau melihat keadaan sebagaimana
adanya, hukum rimbalah yang berlaku di mana-mana. Yang kuat dia
menang, yang menang dia berkuasa, yang berkuasa dia benar dan baik! Tentu
saja hukum rimba ini diselubungi berbagai macam peraturan yang nampaknya
beradab dan baik sehingga tidak nampak lagi. Karena yang kuasa selalu benar,
maka di dunia ini manusia saling berlumba memperebutkan kekuasaan.
Dalam keluarga, di antara teman, dalam masyarakat, dalam perkumpulan,
dalam pemerintahan. Di mana saja orang memperebutkan kekuasaan karena
kekuasaan sumber kesenangan.' kekuasaan memungkinkan orang
memperoleh apapun yang dikehendaki nya.
"Betapa indahnya sangkar emas penuh makanan, burung akan tetap berusaha
meloloskan diri. Setelah burung terbang bebas, lepas dari sangkarnya,
pantaskah ditangisi?"
Perbuatan baik yang dilakukan dengan pamrih meraih sesuatu hasil dari
perbuatan itu, adalah perbuatan palsu, hanya merupakan suatu cara
mendapatkan sesuatu. Perbuatan apapun itu, dinilai baik ataupun buruk, kalau
dilakukan karena digerakkan pamrih memperoleh hasil sesuatu, adalah palsu!
Munafik, topeng kebaikan untuk mendapatkan keuntungan, sama seperti
harimau bertopeng domba, tidak lebih baik dari pada harimau tanpa topeng.
Dan ajaran-ajaran kebaikan itu seringkali menjadi topeng domba bagi harimau-
harimau yang berkeliaran."
"Lihatlah bulan, bintang, matahari, awan dan seluruh alam ini. Mereka semua
bergerak, mereka semua bekerja, dan memang demikianlah keharusan dan
keadaan mereka. Tidak baik tidak buruk, tidak benar tidak salah, dan itu adalah
karena mereka itu wajar. Bunga mawar berduri dan harum, itulah kewajaran.
Bunga anggrek indah dan tidak harum, itulah kewajaran. Wajar itulah indah,
wajar itulah kenyataan, wajar itulah To (Jalan, atau Kekuasaan Mutlak).
Seyogianya kita menjadi manusia wajar."
Kita semua lupa bahwa menilai dan menghakimi perbuatan orang lain memang
mudah saja, karena kita tidak terlibat di dalamnya. Semua perbuatan yang tidak
benar selalu merupakan ulah nafsu daya rendah yang menguasai diri. Orang
yang terlibat di dalamnya, yaitu orang yang dicengkeram nafsu daya rendah,
didorong untuk melakukan perbuatan yang pada dasarnya hanya untuk
memenuhi kehendak nafsu daya rendah, yaitu untuk memuaskan dan
menyenangkan nafsu.
Nafsu selalu menggoda kita dengan bayangan-bayangan kesenangan dalam
bentuk apapun juga, Dan tidak perduli kita ini seorang kaya ataupun miskin, tua
ataupun muda, pria ataupun wanita, terpelajar atau buta huruf, pandai dan
bodoh, semua dipermainkan nafsu daya rendah. Kalau kita melihat orang lain
yang melakukan, dengan mudah kita dapat menilai dan dapat melihat
kesalahan yang dilakukan orang lain.
Akan tetapi, kalau kita sendiri yang terlibat, kalau kita sendiri yang dicengkeram
nafsu, tidak mungkin kita dapat menerapkan penilaian seperti kalau kita melihat
orang lain.
Pengertian dalam pertimbangan akal pikiran kita dapat dtpergunakan untuk
orang lain, akan tetapi. bagaimana kalau kita sendiri yang terlibat? Bagaimana
kalau kita yang didorong nafsu melakukan suatu perbuatan yang pada
dasarnya hanya mengejar kesenangan, mengejar cita-cita menghalalkan
segala cara? Dapatkan pengertian kita, ilmu pengetahuan kita, kepandaian dan
kebijaksanaan kita, mencegah dan menundukkan nafsu kita yang mendorong-
dorong kita melakukan kesalahan itu?
Sukar sekali! Banyak contohnya. Kita tahu dan mengerti benar bahwa nafsu
yang mendorong kita untuk marah-marah, memukul atau memaki. adalah tidak
benar. Kita mengerti benar. Akan tetapi mampukah pengertian kita itu
mengendalikan kemarahan kita?
Semua pencuri di dunia ini tentu tahu dan mengerti benar bahwa mencuri
adalah perbuatan yang tidak baik, berdosa, akan tetapi kalau nafsu sudah
menguasai diri, mampukah pengertian itu mencegahnya untuk mencuri?
Buktinya, mereka semua itu tetap saja mencuri walaupun mereka semua
mengerti bahwa mencuri itu berdosa. Demikian pula dengan korupsi, dengan
Segala macam bentuk kejahatan yang dilakukan orang di dunia ini. Mereka
semua bukan orang bodoh, mereka semua TAHU dan MENGERTI bahwa
perbuatan jahat itu berdosa, namun pengetahuan dan pengertian itu tidak
menolong, karena nafsu telah mencengkeram diri. Bahkan nafsu daya rendah
sudah meresap sampai ke tulang sumsum, sampai ke dalam hati akal pikiran
sehingga hati akal pikiran yang tahu dan mengerti bahwa perbuatan itu salah,
bahkan menjadi pembela dari pada perbuatan itu sendiri. Hati akal pikiran
membisikkan kepada seorang koruptor misalnya bahwa semua orang juga
melakukan korupsi, bahwa upahnya tidak cukup, bahwa dia membutuhkan
uang itu untuk keluarganya, bahwa korupsinya hanya kecil dibandingkan para
koruptor lainnya dan sebagainya.
Pikiran yang bergelimang nafsu ini tidak mungkin mengendalikan nafsu sendiri,
kalau membela memang pandai!.
Banyak sudah diusahakan manusia untuk menguasai nafsu, untuk
mengendalikan nafsu. Banyak sekali pelajaran-pelajaran dalam semua agama
yang menjanjikan pahala bagi yang berkelakuan baik dan mengancamkan
hukuman bagi yang berkelakuan jahat. Namun mengapa kejahatan cenderung
meningkat? Karena jahat itu berarti mengejar kesenangan, dan nafsu dalam diri
manusia memang selalu menjanjikan kesenangan bagi manusia. Semua
perbuatan yang mengandung pamrih kesenangan, baik kesenangan itu berupa
harta, kedudukan, nama baik, pujian, janji-janji muluk, adalah ulah yang
didorong nafsu daya rendah, nafsu yang telah menguasai kita lahir batin.
Lahirnya menguasai pancaindera, batin nya menguasai hati akal pikiran.
Pelajaran-pelajaran itu mungkin menolong, akan tetapi hanya untuk sementara
saja, hanya seperti tambalan saja, menutup untuk sementara. Hanya seperti
sekam yang ditaburkan pada api. Nampaknya apinya padam, namun
sesungguhnya masih membara di sebelah dalam dan sewaktu-waktu kalau
mendapat angin akan bernyala lagi, bahkan mungkin lebih besar nyalanya dari
pada sebelum ditutup sekam. Walaupun mungkin ada yang berhasil namun
hanya jarang sekali. Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan?
Membuang atau membunuh nafsu? Tidak mungkin, karena justeru nafsu daya
rendah ini yang menghidupkan manusia. Nafsu adalah alat hidup, peserta hidup
dan pelengkap kita. Tanpa adanya nafsu, pancaindera kita tidak akan dapat
merasakan apa itu indah dan buruk, lezat dan tidak lezat, enak dan tidak enak,
merdu atau tidak, harum atau tidak, dan sebagainya. Tanpa adanya nafsu,
pikiranpun akan terhenti, tidak akan ada kemajuan lahiriah dalam kehidupan ini,
bahkan tanpa adanya nafsu berahi, perkembangbiakan manusiapun akan
terhenti. Nafsu mutlak perlu bagi kita, akan tetapi nafsupun mutlak
membahayakan dan menyeret kita ke dalam perbuatan-perbuatan yang hanya
akan mengacaukan kehidupan di antara manusia, perbuatan yang merusak dan
pada umumnya kita namakan jahat. Nafsu adalah peserta, adalah hamba kita
yang amat kita perlukan, akan tetapi kalau hamba ini sudah menjadi majikan
kita, celakalah kita. Kita akan diseret dan di permainkan!
Mencari uang atau nafkah merupakan keharusan dalam kehidupan di dunia ini,
akan tetapi kalau nafsu menjadi majikan, maka kita tidak segan-segan untuk
menipu, merampok, mencuri, korupsi bahkan membunuh memperebutkan
harta, Gairah berahi merupakan kebutuhan dalam hidup karena nafsu inilah
yang membuat kita mau melakukan hubungan antara lawan kelamin, akan
tetapi kalau nafsu yang menjadi majikan, kita tidak segan-segan untuk berjina,
melacur, bahkan memperkosa! Seperti yang dilakukan Seng Gun, bukan dia
tidak mengerti atau tidak tahu bahwa perbuatannya itu jahat dan keji.
Dia tahu! Akan tetapi, dorongan nafsunya tidak akan hilang atau terhenti karena
pengetahuannya itu. Nafsu mutlak perlu, akan tetapi nafsu juga mutlak
berbahaya. Lalu bagaimana?
Hanya dengan mengembalikannya kepada Sang Maha Pencipta, yang
Mencipta kita, Mencipta nafsu-nafsu kita, Mencipta segala sesuatu yang
nampak dan tidak nampak oleh mata kita, yang Mengadakan segala sesuatu
yang ada, mengembalikan dengan arti menyerah dengan segala kepasrahan,
keikhlasan, ke tawakalan. Hanya dengan pasrah sebulat bulatnya inilah, di
mana kehendak si aku atau nafsu melalui akal pikiran tidak bekerja giat lagi,
maka Kekuasaan Tuhan akan bekerja! Hanya Kekuasaan Tuhan jualah yang
akan dapat mengembalikan nafsu pada fungsi aselinya, yaitu menjadi peserta
kita, menjadi pelayan kita demi kepentingan hidup berjasmani di dalam dunia
ini. Seng Gun adalah seorang manusia yang sepenuhnya dikuasai nafsu daya
rendah.
Budi kesusilaan memang ada pula di dalam hatinya, menjadi peserta, namun
budi kesusilaan itu tertutup oleh nafsunya sehingga seolah menjadi hamba
nafsu.
"Dengan matahari timbullah terang, tanpa matahari jadilah gelap, terang dan
gelap tiada bedanya yang satu mengandung yang lain yang lain ada karena
yang satu!"
"Lagu yang indah bukan lagu, suling yang merdu bukan suling!"
Lagu hanyalah lagu suling hanyalah suling, kalau ditambah yang indah dan
merdu, maka lagu dan suling itu sudah bukan aselinya lagi, melainkan menjadi
bayangan sesuai dengan selera yang menyebutnya. Sebutan indah dan buruk
keduanya tidak menerangkan sifat sesungguhnya dari yang disebut, karena
indah dan buruk hanyalah penilaian, dan setiap penilaian tentu didasari
perasaan suka dan tidak suka pribadi, dan suka atau tidak suka inipun didasari
menyenangkan atau tidak menyenangkan. Kalau menyenangkan,
mendatangkan rasa suka, dan kalau suka, sudah tentu akan nampak indah
dan baik. Karena itulah, maka lagu yang indah bukan lagu, suling yang merdu
bukan yangkim, melainkan gambaran dari si penilai!”
"Han Lin, segala macam jalan atau cara untuk mengendalikah nafsu adalah
ulah nafsu itu sendiri juga, karena cara didorong oleh suatu keinginan mencapai
sesuatu dan ini hanyalah ulah nafsu yang pandai mengubah bentuk dan ragam.
Usaha untuk melenyapkan duka tidak ada bedanya dengan duka itu sendiri,
keduanya bersumber kepada si-aku yang menjadi duka karena terkenang akan
sesuatu dan si-aku pula yang menginginkan agar tidak berduka. Karena itu,
usaha apapun yang bersumber dari aku, tidak akan dapat berhasil dengan
sempurna."
"Kalau -begitu, apa yang dapat kita lakukan?
"Apapun yang engkau lakukan atau tidak lakukan, kalau itu bersumber dari si-
aku, akan sama saja palsunya dan sia-sianya. Bersikaplah wajar-wajar saja,
Han Lin dan jangan menentang segala yang kaulakukan sendiri. Kalau engkau
dilanda duka, bedukalah, kenapa mesti dipersoalkan lagi? Selama manusia
masih hidup di dalam jasmani ini, manusia tidak akan terlepas dari segala
macam perasaan susah senang puas kecewa dan sebagainya lagi. Akan tetapi,
yang penting adalah menyadari akan semua itu, mengamati setiap gejolak
nafsu yang menguasai hati akal pikiran dan yang mengemudikan semua gerak
gerik kita. Menyadari sepenuhnya bahwa semua itu adalah ulah si-aku, yaitu
nafsu yang mengaku-aku. Yang berduka itu adalah hati dan pikiranmu. Seperti
juga yang marah, yang kecewa, yang iri, yang diserang penyakit, semua itu
hanyalah alat-alat atau anggauta tubuh mu. Kesadaran yang sepenuhnya ini
akan membuat kita yakin bahwa. semua itu hanyalah permainan nafsu belaka.
Bahkan kalau kematian tiba, yang mati adalah tubuh jasmani belaka. Selama
nafsu daya rendah menguasai hati akal pikiran, maka di dalam kehidupan ini
kita akan selalu menjadi permainannya, dan semua yang kita lakukan
dikemudikan oleh nafsu daya rendah. Bahkan usaha kita untuk mengendalikan
atau menguasai nafsu juga datang dari nafsu daya rendah, karenanya, biarpun
kita mengerti akan suatu perbuatan yang tidak benar, kita tetap saja tidak
mampu menghentikan perbuatan itu."
"Suhu, kalau begitu alangkah celakanya hidup ini, kita dibiarkan menjadi
korban, dicengkeram dan diperhamba nafsu tanpa kita mampu membebaskan
diri !"
"Tidak, Han Lin. Di samping nafsu daya rendah yang diikutsertakan dalam
kehidupan kita, masih terdapat sesuatu yang berkat Kasih Sang Maha
Pencipta, disertakan pula kepada kita. Sesuatu yang biarpun nampak tipis dan
hampir tak nampak, namun selalu ada dan tidak pernah meninggalkan
manusia, sesuatu yang menjadi bukti dan saksi betapa Tuhan Maha Kasih dan
Maha Pengampun. Sesuatu ini yang menjadi tali yang tak pernah terputuskan,
yang menghubungkan manusia kepada Tuhan Sang Maha Pencipta. Tinggal
terserah kepada manusia sendiri apakah akan mengabaikanNya dan menyerah
kepada nafsu, atau memperkuat ikatan yang akan menghubungkan manusia
dengan kekuasaan Tuhan yang selalu bersemayam di dalam dan luar diri
setiap orang manusia itu."
"Lalu bagaimana caranya agar ikatan itu dapat diperkuat, suhu?"
"Usaha manusia tidak akan membawa hasil. Hanya Kekuasaan Tuhan sajalah
yang akan mampu mengaturnya, dan kalau Kekuasaan Tuhan sudah bekerja,
maka dengan sendirinya nafsu daya rendah akan kembali ke tempat mereka
semula, menjadi hamba yang baik, bukan menjadi majikan yang kejam. Dan
agar Kekuasaan Tuhan dapat bekerja, maka semua daya kerja hati akal pikiran
haruslah berhenti. Kalau kita hidup selaras dengan To, maka To yang akan
bekerja mengatur segalanyadan apapun yang diatur oleh To sudah pasti
sempurna. Kekuasaan Tuhan bekerja dengan sempurna, Maha Murah', Maha
Kasih, Maha Adil , Maha Pengampun dan.Maha Kuasa Satu-satu nya yang
dapat kita kerjakan hanyalah menyerah, dengan penuh keikhlasan, penuh
kepasrahan, penuh ketawakalan."
"Akan tetapi , suhu. Bukankah menyerah inipun merupakan suatu usaha. dari
hati akal pikiran?"
"Bukan, Han Lin. Usaha selalu mengandung pamrih uncuk mendapatkan
sesuatu. Akan tetapi menyerah dengan kepasrahan tidak mengandung usaha
apapun, dan tidak menginginkan apapun, karena kalau ada keinginan
mendapatkan sesuatu, itu bukan pasrah namanya. Pasrah dalam arti kata yang
sesungguhnya sama dengan mati, seperti orang yang dalam tidur, apapun yang
akan tiba menimpa dirinya, terserah kepada Tuhan. Andai kata pada saat itu
Tuhan hendak mencabut nyawanya, diapun akan menyerah tanpa membantah,
ikhlas, pasrah, tawakal."
"Kalau begitu, bukankah kita lalu menjadi malas dan hanya menyerahkan
segalanya kepada Tuhan saja, suhu?"
"Sama sekali tidak, Han. Lin. Itu namanya bukan menyerah dengan
kepasrahan, keikhlasan dan ketawakalan, melain kan ingin mempersekutu
Tuhan, bahkan ingin enaknya sendiri saja. Tuhan telah menciptakan kita
lengkap dengan segala alat yang ada pada diri kita, dan semua itu diciptakan
bukan percuma, melainkan diciptakan untuk dipergunakan, untuk dimanfaatkan.
Kalau tidak kita pergunakan, tidak kita manfaatkan, itu berdosa namanya, dan
penggunaannya, pemanfaatannya haruslah untuk kebaikan, baik bagi diri
sendiri maupun bagi orang lain, selaras dengan To, berarti membantu
pekerjaan Kekuasaan Tuhan. Segala sesuatu yang diciptakan Tuhan di alam
maya pada ini bekerja, bergerak yang berarti bekerja. Bahkan bintang matahari
dan bulanpun bekerja bergerak tiada hentinya. Kita yang dlberi perlengkapan
yang sempurna, tentu saja harus bekerja, berusaha demi memenuhi semua
keperluan dan kebutuhan hidup di dunia. Kita harus makan agar tidak mati
kelaparan, kita membutuhkan pakaian agar tidak mati kedinginan, kita
membutuhkan tempat tinggal untuk berlindung dari binatang buas, angin dan
panas atau hujan. Untuk memenuhi kebutuhan itu, tentu saja kita harus
mencari, harus berusaha dan bekerja! Namun, semua pekerjaan itu barulah
benar kalau didasari kepasrahan, didasari penyerahan kepada Tuhan sehingga
apapun yang kita lakukan, akan sejalan dengan To."
bahwa keterikatan itulah justeru yang menjadi penyebab terutama dari duka?
Mempunyai namun tidak memiliki, itulah seyogianya. Secara lahiriah kita boleh
mempunyai apapun juga, namun secara batiniah kita tidak memiliki apa-apa.
Hanya orang yang tidak diperbudak nafsu-nafsunya saja yang akan dapat
selalu ingat dan waspada, tidak menuruti bisikan atau perintah nafsu-nafsunya
sendiri.
Cinta memang sesuatu yang rahasia dan ajaib. Dari manakah asalnya dan apa
penyebabnya? Cinta jelas bukan sex, karena binatang agaknya tidak mengenal
cinta, kecuali induk kepada anaknya, namun binatang mengenal sex. Dari
manakah datangnya? Memang, pertama kali orang jatuh cinta setelah melihat
lawan jenisnya. Akan tetapi, inipun belum benar, karena bukankah orang buta
juga dapat jatuh cinta?
Tentu saja pengenalan pertama melalui pancaindranya, ini berarti bahwa cinta
ada hubungannya dengan jasmani, cinta timbul dari daya tarik alami antara
lawan jenis, kemudian diperkuat oleh nafsu berahi. Sukar membayangkan kita
dapat mencinta kekasih kita yang sekarang kalau andaikata hidungnya
mendadak lenyap atau cacat lain yang membuat wajahnya menjadi
mengerikan. Itu menandakan bahwa dalam cinta terkandung nafsu yang tertarik
oleh keindahan tubuh. Sukar pula membayangkan kita dapat mencinta
seseorang yang tidak lagi dapat berhubungan badan sebagai suami isteri!
Inipun menandakan bahwa di dalam cinta terkandung nafsu berahi. Semua ini
sudah wajar karena memang sudah kita bawa serta ketika lahir. Namun, di
antara banyak wanita cantik, di antara banyak pria tampan, mengapa ada
seorang yang tertentu yang kita cinta? Kenapa kita tidak mencinta semua
wanita cantik atau semua pria tampan? Di sini menunjukkan bahwa di dalam
cinta ada pengaruh batiniah, bukan sekadar badaniah, yang mungkin sekali
berujut dengan persamaan selera, persamaan watak, prilaku dan sebagainya
lagi. Maka, tidak mengherankan kalau ada pria tampan jatuh cinta kepada
wanita yang tidak cantik, sebaliknya banyak wanita cantik jatuh hati kepada pria
yang tidak tampan. Demikian banyak lika-liku cinta sehingga tiada bosan-
bosannya kita membicarakannya.
Bagaimanapun juga, bukankah hidup ini cinta juga? Entah itu cinta kepada
kekasih kepada sahabat, kepada sanak keluarga, kepada tanaman, benda atau
hewan atau lingkungan, bahkan cinta ke pada diri sendiri atau makanan! Cinta
menimbulkan gairah untuk hidup, untuk melanjutkan hidup. Kalau orang tidak
mempunyai perasaan cinta lagi kepada apapun juga, maka sama halnya orang
itu sudah mati !
Kehidupan manusia di dunia ini tidak ada yang abadi, keadaannyapun tidak
menentu. Seperti berputarnya roda, maka setiap orang manusia itu kadang
berada di atas, kadang di bawah.
Kadang tertawa bahagia, kadang menangis sedih. Kemujuran dan kemalangan
silih berganti melanda kehidupan. Dan semua ini sudah wajar, seperti wajarnya
atas dan bawah, kanan dan kiri, terang dan gelap dan sebagainya lagi keadaan
yang berlawanan. Seseorang tidak mungkin mengenal senang kalau dia tidak
pernah mengenal susah, tidak pernah mengenal enak kalau tidak pernah
mengenal tidak enak. Mana mungkin mengenal rasa manis kalau tidak ada rasa
lain yang berlawanan?
Hidup merupakan perjuangan. Perjuangan menghadapi segala macam
tantangan dan tentangan.
Justeru tantangan-tantangan inilah yang meramaikan hidup, memberi warna
dan menjadi romantika kehidupan. Bayangkan, alangkah monoton, tanpa irama
dan menimbulkan jenuh kalau kehidupan ini berjalan mulus tanpa adanya
halangan dan rintangan sedikitpun. Orang akan menjadi malas dan tidak
bergairah. Bagaimana muaknya kalau setiap saat kita hanya makan yang
manis melulu, tanpa adanya rasa lain seperti pahit getir asin masam sebagai
imbangannya.
Betapa membosankan kalau segala sesuatu dapat dicapai secara mudah,
tanpa kesukaran, tanpa halangan. Karena itu, bahagialah orang yang dapat
menghagai kesulitan seperti menghargai kemudahan, dapat mengambil hikmah
dari kesengsaraan serta melihat racun dalam kesenangan.
Bukankah yang enak-enak itu biasanya mendatangkan penyakit dan obat itu
hampir selalu terasa pahit?
“Kalau engkau dapat menangis selagi bersuka, dan dapat tertawa selagi
berduka, berarti engkau sudah menemukan kunci kehidupanmu”
Cemburu timbul apa bila kita menganggap orang yang kita cinta sebagai milik
kita. Seperti kalau kita memiliki suatu benda yang indah dan kita sayang, maka
kita selalu cemburu dan tidak ingin orang lain memilikinya, menjaganya agar
benda itu selalu menjadi milik kita. Benarkah bahwa tanpa cemburu bukalah
cinta namanya? Ataukah sebaliknya, kalau ada cemburu maka bukanlah cinta
sejati? Yang jelas, cemburu adalah sakitnya hati yang merasa miliknya diambil
orang. Cinta yang sifatnya memiliki dan dimiliki, tentu mengandung cemburu.
Padahal, cinta berarti kepercayaan mutlak kepada yang dicinta. Kalau dua
orang sudah saling mencinta, tentu ada kepercayaan yang tulus. Karena cinta
tidak mungkin bertepuk tangan sebelah. Kalau ada keraguan, ketidak
percayaan, maka percuma saja orang mengaku cinta. Dan cemburu merupakan
racun yang amat berbahaya bagi kehidupan suami isteri.
Karena itu :
Kiong- hi, kiong- hi, thiam-hok-siu ( Selamat, Selamat, panjang usia banyak
rezeki
“Cinta kasih tidak akan dapat terujud apabila lima macam penonjolan diri ini
berkuasa :
Loba, ialah ketamakan, Selalu merasa kurang,
Moha, gla hormat, selalu Merasa benar sendiri,
Murka, Mudah marah dan hanya Membenci,
Himsa, suka menyiksa dan membunuh,
Matsarya, iri hati dan suka mencela Orang lain.
Betapa indah dan agungnya cinta ksih, tanpa cinta kasih, hidup menjadi kering
dan gersang!“
Seperti biasanya terjadi di dalam jaman apa pun dan di mana pun, peraturan
dan hukum hanya diterapkan untuk mengendalikan rakyat kecil belaka,
sedangkan orang-orang besar biasanya atau sebagian besar adalah kebal
terhadap hukum. Andaikata peristiwa pembunuhan, pembakaran rumah dan
penculikan gadis itu dilakukan oleh rakyat biasa, tentu hukum akan
mengejarnya sampai dia ditangkap dan dihukum sesuai dengan kejahatannya.
Akan tetapi, kalau pembesar yang berkuasa melakukan sesuatu, biasanya
peristiwa itu lewat begitu saja, karena pemegang hukum adalah para pembesar
belaka. Rakyat hanya bisa merasa penasaran akan tetapi lambat laun
peristiwa-peristiwa yang menyakitkan hati itu terlupa juga.
Betapa banyaknya manusia di dunia ini yang seperti Empu Tunjungpetak ini.
Memaksa diri untuk kelihatan sederhana dan rendah hati, bersikap halus dan
sabar, akan tetapi sayang, semua itu hanya seperti kedok belaka karena di
sebelah dalamnya, batinnya penuh dengan perasaan angkuh dan sombong,
merasa pintar sendiri, merasa yang paling suci, paling bersih, paling pandai,
paling sakti.
Kita lupa bahwa kerendahan hati, atau kesederhanaan atau kebajikan,
bukankah terletak di pakaian sederhana, bukan pula di sikap sederhana atau
halus, bukan pula dalam tata hidup yang sederhana melainkan jauh mendalam
di dalam batin kita msing-masing! Pakaian, sikap, tata hidup yang kesemuanya
nampak di luar hidup yang kesemuanya nampak di luar itu hanya untuk pamer
dan untuk dinilai orang lain belaka, dan semua itu tidak ada gunanya karena
palsu! Yang penting adalah pengertian diri sendiri, karena kitalah yang mengerti
dan mengenal diri kita sendiri, kepalsuan-kepalsuan dalam diri kita. Dan kita
pula yang dapat merobah diri sendiri. Seorang pertapa di puncak gunung yang
sunyi, yang hanya berpakaian sehelai cawat, yang tinggalnya di bawah pohon,
yang kelihatannya saja seperti seorang yang paling sederhana, belum tentu
memiliki batin sederhana dan semua kesederhanaan yang disengaja, yang
dipergunakan hanya sebagai cara untuk mendapatkan sesuatu, bukanlah
kesederhanaan namanya! Kesederhanaan adalah palsu dan dibuat-buat. Kalau
batin sudah tidak mengejar apa pun juga, dialah namanya orang sederhana!
"Duka timbul dari akal pikiran yang mengenang masa lalu. Kita teringat akan
masa lalu yang penuh kesenangan, maka setelah kita dipisahkan dari
kesenangan ini, timbullah iba diri yang menjadikan duka. Kalau kita senantiasa
memandang saat ini, tidak mengenang masa lalu, maka segala apapun yang
telah terjadi kita sadari bahwa hal ituudah dikehendaki Hyang Widhi dan tidak
mungkin dapat diubah pula. Dengan kesadaran seperti itu, hanya memandang
saat ini, kita akan menghadapi segala sesuatu dengan tabah dan semua
ingatan ditujukan untuk menanggulangi keadaan saat ini. Iba diri tiada
kesempatan untuk masuk ke dalam batin dan kita terhindar dari kedukaan yang
berlarut-larut sehingga sampai membunuh diri seperti halnya Mbok Rondo
Gati."
"Kakang, kalau begitu, lalu apa artinya hidup ini? Apa tujuan dari pada
kehidupan ini? Apa maksudnya kita dihidupkan sebagai manusia di dunia ini?"
Jayawijaya tersenyum lebar mendengar pertanyaan ini dan memandang
kepada Retno Wilis dengan mata bersinar lembut dan penuh ketenangan dan
kesabaran.
"Diajeng Retno Wilis, sudah seringkali aku mendengar pertanyaan ini diajukan
orang. Sebelum kita mencari jawaban atas pertanyaan apa tujuan dari pada
kehidupan ini, mari kita mengamati keadaan diri kita sebagai manusia yang
dilahirkan di dunia melalui ayah-bunda kita. Ingat, kita ini dilahirkan, di luar
kehendak kita. Tidak ada manusia di dunia ini yang minta dilahirkan. Jadi
kelahiran kita ini bukan kehendak kita, melainkan kehendak Sang Hyang Widhi!
Karena kita dilahirkan di luar kehendak kita, maka tentu saja bagi kita tidak ada
tujuan apapun dalam kehidupan ini. Kita dilahirkan atas kehendak Yang Maha
Kuasa, maka Dialah yang berkehendak dan bertujuan! Bukan kita. Kita hanya
tinggal hidup saja, tidak menguasai apapun. Bahkan kita tidak menguasai
rambut kita sendiri. Tidak ada selembarpun rambut di tubuh kita yang kita
kuasai sehingga kita tidak dapat mengatur pertumbuhannya.
Kita tidak memiliki apa-apa, bahkan yang menempel di tubuh kita-pun bukan
milik kita. Seluruh diri kita ini ada yang Memiliki, ada yang Menguasai.
Berhentinya kehidupan kita terserah kepada Yang Memiliki dan Yang
Menguasai itulah.
Hanya, ketika kita dilahirkan, diciptakan di dunia ini sebagai manusia hidup, kita
disertai tanggung jawab, disertai kewajiban-kewajiban untuk menghadapi
segala kenyataan dan mengatasinya, seperti yang telah kukatakan tadi. Kita
harus menghadapi segala tantangan dan mengatasinya, itulah kenyataan
hidup. Perut kita lapar dan kalau tidak diisi kita akan mati kelaparan, maka
sudah menjadi kewajiban kita untuk mengisinya, dan untuk dapat mengisinya
sudah menjadi kewajiban kita untuk mencari makanan pengisi perut itu.
Demikian pula dengan hal-hal lain. Dan Gusti Yang Maha Kasih telah
menciptakan kita secara sempurna. Untuk dapat memenuhi kewajiban itu kita
telah disertai segala macam alat. Setiap anggauta tubuh kita ini bermanfaat,
berguna untuk mempertahankan hidup. Demikianlah kehendak Hyang Widhi.
Kita tidak dapat menentang kehendakNya. Karena itu, satu-satunya cara hidup
yang baik adalah menyerah kepada kekuasaanNya, menyerah kepada
kehendakNya. Apapun yang terjadi kepada kita, kita harus mengucap syukur
karena berkahNya berlimpah-limpah setiap saat tanpa henti, walaupun berkah
itu terkadang terselubung dan bersembunyi di balik peristiwa yang bagi hati
akal pikiran kita terasa tidak enak atau tidak menguntungkan. Segala kehendak
Hyang Widhi atas-diri kita adalah baik dan benar dan kita tidak dapat
menilainya melalui pertimbangan hati akal pikiran kita, karena semua penilaian
hati akal pikiran bersifat mementingkan diri sendiri, mementingkan kesenangan
dan keuntungan diri sendiri.
Sudah jamak kalau seorang pemuda tertarik melihat seorang pemudi cantik
jelita atau sebaliknya seorang pemudi tertarik melihat seorang pemuda gagah
dan tampan. Akan tetapi tertarik tidaklah sama dengan cinta kasih. Dalam cinta
kasih terkumpul semua perasaan yang bermacam sifatnya. Menyayang,
tertarik, terharu, kasihan, malu, menghormati dan lain-lain tergantung dari sifat
masing-masing. Biasanya seorang pria tertarik oleh wanita karena cantik
moleknya, karena tutur bahasanya, atau karena gerak-geriknya. Akan tetapi
dalam cinta kasih, ada sesuatu yang mengatasi semua ini, sesuatu yang
mendorong orang untuk mencinta, sesuatu yang sudah mencakup semua
perasaan di atas, sedemikian rupa pengaruh perasan sesuatu ini sehingga
kadang-kadang membutakan orang karena dalam pandang matanya, si “dia” itu
selalu tampak baiknya saja sehingga banyak orang tertipu dan terjerumus.
Alangkah menyedihkan kalau melihat seseorang yang baru saja keluar dari
kelenteng setelah mendengarkan atau membaca kitab-kitab pelajaran tentang
cinta kasih antara sesama, begitu keluar dari kelenteng serta merta membuka
mulut memaki orang atau memukul karena sesuatu hal yang merugikan.
Alangkah menyedihkan mendengar seseorang bicara panjang lebar tentang
cinta kasih sesama manusia, akan tetapi di dalam rumahnya sendiri selalu ribut
dengan anak isteri atau saudara-saudaranya!
Ah, kalau saja manusia bisa menyesuaikan kelakuan dengan isi pelajaran kitab-
kitab suci, tidak usah seratus persen, baru sepuluh persen saja, kiranya dunia
ini akan aman, tidak muncul oknum-oknum yang angkara murka, ingin menjajah
dan menguasai orang lain, ingin enaknya sendiri saja tanpa memperdulikan
orang lain, tidak segan-segan mengorbankan kepentingan bangsa atau negara
lain demi kesenangan bangsa dan negara sendiri.
Inilah kiranya yang membuat Nabi Locu selalu mencela adanya pelajaran-
pelajaran kebatinan, karena agaknya sudah dapat melihat bahwa yang penting
adalah si manusia. Sebelum manusia kembali kepada asalnya, yaitu seperti
watak anak-anak, putih bersih dan suci, biarpun dilolohi (diberi makan) seribu
satu macam pelajaran kebatinan, tetap akan menyeleweng dan makin tersesat.
”....... mau tahu kekuasaan Tuhan?" Kakek itu melanjutkan uraiannya dengan
mata setengah berkatup. "Lihatlah di sekelilingmu ...... pasir, batu, rumput,
kembang, awan, matahari ..... dan apa saja yang dapat kaulihat. Alangkah
hebatnya, alangkah indahnya semua itu. Semua itu sudah terang ada dan
semua yang ada tadinya dari tiada, karena itu yang ada tentu ada yang
Mengadakan! Dia yang Mengadakan inilah Yang Maha Kuasa. Betapa gaibnya
kembang-kembang itu, dengan warna tertentu, bentuk tertentu, lihat burung-
burung terbang bersayap, ikan-ikan berenang di dalam air, semua sudah
sempurna semenjak tercipta. Itulah Kuasa Tuhan!"
Hui-kiam Koai-sian berhenti sebentar, menarik napas panjang, wajahnya
berseri. "Mau tahu akan kemurahan hati Tuhan? Lihat, semua yang tampak di
dunia ini diberikan kepada kita! Setiap benda di dunia ini ada gunanya, hanya
terserah kepada kemampuan kita untuk menyelidiki apa kegunaan tiap benda
itu. Dan semua itu diberikan kepada kita tanpa minta balasan! Tidak, memilih
dulu. Bangsa apapun juga, mahluk apapun juga, yang jahat maupun yang baik,
semua disamakan, semua mendapat bagian, semua diberi anugerah itu.......”
“Si kaya memeras si miskin, si kuat menindas si lemah. Nafsu jahat menguasai
manusia, hukum negara diinjak-injak, yang berwajib silau oleh harta dunia
melupakan tugas, pembesar-pembesar tidak merupakan pimpinan bijaksana
hanya berusaha mati-matian membesarkan kesenangan pribadi melupakan
rakyat.
“Mengalah hanya bertingkat tiga,” kata kakek tua itu masih tersenyum,
“pertama berdasarkan kesabaran,
ke dua berdasarkan anggapan bahwa orang telah mendesak karena terburu
nafsu, dan
ke tiga berdasarkan anggapan bahwa orang melakukan karena kebodohannya.
Kalau sudah mencapai tingkat ke empat, berarti orang itu memang berwatak
jahat dan suka mencelakakan sesamanya
Sajak To-tek-keng:
“Yang terlembut,
dapat menembus yang terkeras.
Yang tak berujud,
dapat memasuki benda berujud
Karena ini diketahui bahwa,
tidak bertindak ada gunanya.
Mengajar tanpa berkata.
Berguna tanpa bertindak.
Di kolong langit jarang yang mencapainya!”
“Dunia ini merupakan tempat ujian bagi manusia, juga tempat hukuman. Siapa
tidak kuat pasti tergoda dan melakukan perbuatan-perbuatan sesat. Makin
besar penyelewengannya makin besar pula hukumannya. Namun betapapun
besar penyelewengannya, asal orang itu dapat sadar, insaf, dan bertobat
kembali ke jalan benar, dia boleh dibilang manusia berbahagia. Kasihanilah
orang yang tidak menyadari kesalahan sendiri dan terus membuta dan tidak
tahu bahwa dia menindak ke jalan sesat, menganggap diri sendiri baik dan
menimpakan semua kesalahan kepada orang-orang lain.
Ada nasehat-nasehat kuno yang menyatakan bahwa rakyat jelata akan tunduk
dan menurut apabila perut mereka kenyang, maka kenyangkanlah dulu rakyat
jelata jika menghendaki Negara tenteram dan aman
Sajak Cu Si Cen :
Tiap hari cawanku penuh arak wangi,
Duduk di taman bunga kecil indah sunyi,
Tiap hari aku bernyanyi dan menari gembira ria.
Lempar jauh-jauh segala susah dan duka,
Yang lalu hanya mimpi kosong belaka.
Lihatlah! Orang-orang besar mati menjadi tanah hampa,
Tidak sibuk lagi memperebutkan kedudukan dan nama!
Karenanya, bersenang-senanglah selagi kau bisa!
Sajak Wu Yen :
Nasib, kau makhluk penuh senda-gurau
Tak perduli kutuk tangis, tak hiraukan puji syukur!
Kadang-kadang di sini, kadang kala di sana, naik turun,
Mendatangkan senyum menimbulkan air mata!
Tiong San
Sungguh! Awan tak mungkin dihindarkan
namun ... awan gelap hanya rintangan
yang akan lenyap oleh tiupan angin
gelap sebentar,
hujan badai boleh menggelegar!
Sesudah lewat,
bulan muncul lagi berseri segar!
matahari akan terbit lagi,
hangat dan terang!
Cinta asmara memang sesuatu yang ajaib. Bukan monopoli pria ganteng dan
wanita jelita saja. Juga cinta asmara bukan didatangkan karena ketampanan
atau kecantikan belaka.
Bukan pula karena harta kekayaan. Bahkan lebih sering dan lebih kuat cinta
asmara yang dibangkitkan oleh persamaan watak dan kebaikan pribudi ini
biasanya lebih kuat dan lebih awet, sebaliknya, yang dibangkitkan oleh
keelokan wajah dan banyaknya harta benda, kadang kala malah rapuh.
Memang tidak mengherankan. Kecantikan dan ketampanan wajah hanyalah
setipis kulit, tidak menembus batin. Maka, yang tadinya nampak cantik atau
tampan, setelah timbul pertikaian karena keburukan watak, maka yang cantik
atau tampan itu nampak buruk seperti setan! Demikian pula harta kekayaan,
hanya menempel di luar kulit belaka. Betapa banyaknya orang yang menikah
dengan hartawan, akhirnya menderita batinnya dan harta kekayaan yang
tadinya diidamkan, kehilangan daya tariknya, bahkan kehilangan daya
hiburnya. Sebaliknya, suami isteri miskin yang tidak cantik tidak tampan
sekalipun, dapat hidup berbahagia dan saling mencinta karena mereka
memang memiliki cinta yang murni, cinta yang mendatangkan perasaan belas
kasihan, mendatangkan kemesraan, mendatangkan perasaan tenang dan
aman tenteram, ada ikatan batin yang mendalam.
Akan tetapi tentu saja terdapat perbedaan pendapat dan pandangan tentang
cara pelaksanaan untuk menyumbangkan tenaga demi tercapainya
ketenteraman kehidupan rakyat itu.
Namun jelas tujuannya sama, hanya caranya yang berbeda! Mungkin pihak
Coa Leng Si, menenteramkan rakyat paling baik dengan cara membantu
pemerintah, meniadakan pemberontakan dan pengacauan agar kehidupan
menjadi tenteram dan damai. Sebaliknya, pihak Cu Goan Ciang beranggapan
bahwa yang menjadi sumber atau biang keladi pergolakan jaman adalah
adanya pemerintahan penjajah Mongol, oleh karena itu, satu-satunya cara
adalah menumbangkan kekuasaan penjajah.
Kita semua selalu tersilaukan oleh gemilangnya tujuan atau cita-cita. Semua
cita-cita nampak indah gemilang, membuat kita berebut dan berlomba untuk
mendapatkannya.
Cita-cita bagaikan nyala api lilin yang indah menarik, membuat banyak binatang
malam tertarik dan mereka beterbangan, berlomba mencapai sinar yang terang
itu untuk jatuh terbakar dan mati. Kitapun sering terpukau oleh keindahan cita-
cita sehingga kita menjadi mabok dan lupa, kita tidak segan menggunakan
segala macam cara untuk mencapai cita-cita itu. Kita lupa bahwa tujuan atau
cita-cita hanyalah suatu khayalan, suatu gambaran dari keadaan yang belum
ada, sedangkan cara untuk mencapainya inilah yang nyata, yang berhubungan
langsung dengan kehidupan kita. Cara inilah yang paling penting bukan
tujuannya! Bagaimana mungkin cara yang salah dapat membawa kita kepada
tujuan yang benar? Bagaimana mungkin kita dapat mencapai sesuatu yang
baik kalau kita mengejarnya dengan cara yang jahat?
Kita seperti telah dibikin buta karena silau oleh cemerlang dan indahnya cita-
cita. Bahkan banyak terjadi dalam sejarah betapa manusia mengadakan perang
dengan tujuan untuk mencapai perdamaian! Betapa aneh, gila dan suatu
lelucon yang tidak lucu! Perang terjadi karena satu pihak hendak memaksakan
kehendaknya, karena kedua pihak hendak mencari kemenangan. Bagaimana
mungkin terjadi kedamaian antara yang menang dan yang kalah? Bagaimana
mungkin kita dapat berdamai dengan orang lain yang baru saja kita pukul
hidungnya, atau dengan orang yang baru saja menghajar kita sampai babak
belur? Perdamaian yang timbul antara yang kalah dan yang menang
merupakan perdamaian paksaan, karena yang kalah terpaksa menaati
kehendak yang menang.
Mungkin karena merasa kalah, pada lahirnya dia terpaksa mau mengulurkan
tangan untuk bersalaman akan tetapi jelas bahwa dalam batinnya, dendam dan
penasaran yang ada!
Tujuan menghalalkan segala cara, demikianlah kalau kita terbuai dan
tersilaukan cemerlangnya tujuan. Cita-cita menimbulkan pengejaran dan justeru
pengejaran inilah yang menjadi sarang dari kekuasaan dan pengaruh daya-
daya rendah yang menciptakan nafsu. Kalau kita tidak waspada, nafsu
menguasai batin dan kitapun menjadi lupa diri, lupa bahwa diri ini majikan
nafsu, bukan nafsu majikan diri. Banyak sekali contohnya dalam kehidupan ini,
di mana kita silau oleh tujuan sehingga membiarkan diri diperhamba nafsu,
mengejar tujuan dengan cara apapun. Mencari uang untuk memenuhi
kebutuhan hidup memang mutlak perlu, kalau kita mau hidup sebagai orang
normal.
Akan tetapi, tujuan mencari uang dapat mengobarkan nafsu sehingga kita
menggunakan cara apa saja dalam pengejaran kita terhadap uang. Terjadilah
penipuan, pencurian atau perampokan, korupsi dan sebagainya. Hubungan sex
merupakan suatu kewajaran, bahkan mutlak perlu bagi kehidupan dan
kelangsungan perkembang biakan manusia.
Akan tetapi, kalau kita sudah mengejar-ngejarnya sebagai suatu tujuan, kita
dapat lupa diri dan segala carapun kita lakukan demi memperolehnya.
Terjadilah pelacuran, perjinaan, perkosaan dan sebagainya. Demikian pula,
orang memperebutkan kedudukan, nama besar dengan saling hantam, saling
jegal, saling bunuh. Bahkan demikian gilanya kita sudah, sehingga untuk tujuan
terakhir yang suci dan luhur, seperti keinginan kembali kepada Tuhan,
keinginan masuk Sorga sekalipun, kadang diperebutkan dan dipertentangkan!
Kalau sudah begitu, tanpa kita sadari akan kemunafikan kita sendiri, kita
bahkan tidak malu untuk memperebutkan Tuhan! Semua berkah Tuhan
untukku, bukan untukmu dan bukan untuk mereka. Tuhanku sendirilah yang
benar, Tuhan kalian dan mereka adalah palsu, dan sebagainya lagi. Dan
perang saling membunuh antara manusiapun terjadilah, saling bunuh dengan
nama Tuhan, seolah mereka itu masing-masing merasa sebagai suruhan
Tuhan untuk membunuh orang lain. Kita tidak menyadari akan hal ini. Akan
tetapi kalau kita mau berhenti sejenak, merenungkan semuanya, orang seperti
itu terjadi setiap hari, setiap saat dalam hati kita. Bukan hanya perang antar
negara, bukan hanya perang antar kelompok dan antar agama, melainkan
perang di dalam batin kita sendiri. Konflik terjadi setiap saat, bentrokan
kepentingan daya-daya rendah yang saling berebutan untuk menguasai diri kita
sebagai manusia.
Daya-daya rendah yang membonceng kita itu memang ingin mencari
kesempurnaan dan kenikmatan melalui jasmani kita, dan kita tidak sadar bahwa
pembonceng-pembonceng itu berebutan untuk menjadi maling dan bahkan
menjadi majikan, merajalela dalam batin kita, menguasai kita sepenuhnya!
Apakah kalau begitu kita tidak perlu mempunyai cita-cita dan membuang cita-
cita?
Pendapat ini sempit sekali. Namun, kalau kita sudah dapat mengerti benar apa
sebenarnya cita-cita itu, maka pertanyaan itu tidak akan timbul. Apakah
seorang murid akan berhasil menjadi sarjana hanya karena dia memiliki cita-
cita untuk menjadi sarjana? Bukankah yang mengantarkan dia menjadi seorang
sarjana itu adalah CARA-nya, yaitu ketekunan dan kesungguhannya untuk
belajar? Dapatkah seseorang menjadi pedagang yang sukses hanya karena
cita-citanya? Ataukah yang membuat dia berhasil itu karena ketekunan dan
kesungguhan dalam pekerjaan itu? Jadi, yang penting bukan cita-citanya,
melainkan caranya. Kalau kita menjadi pelajar, kita belajar dengan tekun dan
rajin, bersungguhsungguh, dan tanpa kita cita-citakan sekalipun, kita pasti akan
berhasil lulus dalam pelajaran itu. Demikian pula dengan pekerjaan dan
sebagainya lagi.
Tidak mungkin mencapai perdamaian atau ketenteraman dengan jalan
berperang. Justeru perang itu meniadakan kedamaian. Kalau kita ingin damai?
Mudah saja, jangan berperang! Jangan bermusuhan! Kalau tidak berperang
otomatis perdamaian ada. Tentu akan timbul bantahan dan sanggahan.
Bagaimana kalau pihak sana yang menyerang?
Pihak sana yang memulai. Pihak sana yang salah, dan sebagainya lagi. Selalu
“pihak sana” yang salah, dan “pihak kita” yang benar. Justeru di sini letaknya
pertentangan yang menimbulkan permusuhan. Pertentangan pendapat.
Bentrokan kepentingan, bentrokan kebutuhan. Pada hal, yang menjadi
kuncinya bukanlah mengubah pihak sana, melainkan mengubah pihak sini.
Keluhan dan pertanyaan yang setiap saat mengusik hati
dan pikiran kita dengan pertanyaanpertanyaan, “kenapa engkau begitu tidak
begini, kenapa engkau dan dia, begini tidak seperti yang kuharapkan dan
kukehendaki?”
seyogyanya diubah sedemikian rupa sehingga pertanyaan itu menjadi, “kenapa
aku selalu begini, mau menang sendiri, pemarah, pencemburu, pengiri,
penakut?” dan dengan demikian kita dapat melihat kekurangan dan kesalahan
diri sendiri. Kita yang harus berubah! Dan perubahan ini, kalau terjadi dengan
sungguh-sungguh, bukan dibuat-buat, bukan palsu, pasti akan mendatangkan
perubahan pula kepada orang lain yang kita hadapi! Bukan kosong belaka
petuah yang mengatakan, “hadapi kebencian orang kepada kita dengan kasih
sayang kepada orang itu.” Kalau kasih sayang kita sungguh-sungguh, maka
kebencian yang berkobar di hati orang itu pasti akan padam!
Berusaha, berikhtiar sebaiknya dan semampu kita, merupakan wajib.
Bagaimana akhir usaha itu? Kita serahkan saja kepada Tuhan Maha Pengasih!
Tuhan Maha Adil! Kalau bibit yang ditanam itu baik, cara menanamnya dan
memeliharanya juga baik, besar sekali harapannya akan tumbuh dengan baik
dan menghasilkan bunga dan buah yang baik pula. Tujuan memperoleh hasil
panen yang baik tanpa bekerja keras dan tekun, tidak ada gunanya sama
sekali, sebaliknya dengan bekerja keras dan tekun hampir dapat dipastikan
mendatangkan hasil panen yang baik.
Debat Tiga Orang Pendeta (Ceng In Hosiang, Kwan In Su, dan Im Yang Tosu)
Setelah orang ke tiga itu duduk bersila di atas batu yang dipilihnya, Ti Gi Cinjin
mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai penghormatan ke dua orang
itu lalu berkata dengan lembut.
"Selamat berjumpa, Saudara-saudara!” Betapa bahagianya bertemu dengan
sahabat-sahabat lama yang datang dari jauh!
"Omitohud, Tiong Gi Cinjin! Pedangmu masih tajam, ucapanmu masih
mengandung aturan kemanusiaan, tentu kau memperoleh kemajuan pesat.
Pinceng (aku) merasa kagum sekali!" kata Thong Leng Losu sambil membalas
penghormatan itu.
"Siancai! Apakah segala macam aturan yang dibuat manusia dapat merubah
cara hidup manusia menjadi baik! Pinto (aku) tahu bahwa pribadi Tiong Cinjin
memang sudah baik, akan tetapi kebaikannya bukan karena adanya aturan."
kata Louw Keng Tojin sambil tersenyum.
"Saudara Thong Leng Losu dan saudara Louw Keng Tojin, aku mengenal jiwi
(Anda Berdua) sebagai orang-orang baik dan selalu berusaha untuk
menjadikan orang-orang menjadi baik degan ajaran-ajaran agamamu. Akan
tetapi mari kita lihat, bagaimana keadaan dunia ini? Padahal, semua manusia di
empat penjuru sesungguhnya adalah saudara sendiri, mengapa terjadi perang
perebutan kekuasaan yang mengorbankan nyawa banyak orang? Beginilah
kalau manusia tidak menaati peraturan. Kalau semua rakyat mengikuti dan
menaati pelajaran agama kami dan mengutamakan bakti, anak-anak berbakti
kepada orang tuanya, rakyat berbakti kepada rajanya, tentu tidak akan terjadi
semua pertentangan dan keributan kekuasaan ini."
"Ha-ha-ha, Tiong Gi Cinjin, agamamu lalu menekankan agar manusia menaati
peraturan. Akan tetapi apa kenyataannya, makin banyak peraturan, semakin
banyak terjadi kekacauan! Peraturan dibuat oleh manusia, seperti juga senjata
dibuat manusia dengan maksud baik, akan tetapi justeru senjata itu
dipergunakan manusia untuk kepentingan dan keuntungan pribadi masing-
masing. Peraturan juga demikian, kenyataannya, peraturan dijadikan senjata
bagi manusia untuk kepentingan dan keuntungan masing-masing. Tahukah dan
sadarkah engkau, Tiong Gi Cinjin, bahwa dosa dilakukan manusia justeru
karena adanya peraturan? Dosa adalah pelanggaran, dan justeru peraturan itu
menimbulkan pelanggaran! Kalau tidak ada peraturan, tidak akan ada
pelanggaran atas dosa!"
"Omitohud! Pendapat Tiong Gi Ci dan Louw Keng Tojin itu semua baik mungkin
tidak akan berhasil mengamankan dunia dan mendatangkan kedamaian
kehidupan manusia! Semua usaha itu hanya mendatangkan sengsara dan
duka. Saat Buddha telah menemukan cara sempurna untuk membebaskan
manusia dari duka. Manusia tidak mungkin dapat terbebani dari duka selama
dia belum melaksanakan apa yang disabdakan oleh Sang Buddha. Empat
Kenyataan yang disadari benar bahwa terdapat adanya Duka, sebab dari Duka,
menghentikan Duka, dan Jalan untuk menghentikan Duka. untuk itu Sang
Buddha telah menemukan dengan Jalan Utama, Lima Petunjuk, Se¬puluh
Larangan, Sepuluh Jalan Kebaikan, dan lain-lain. Kalau semua manusia
mentaati semua petunjuk Sang Buddha, manusia akan terbebas dari Sengsara
dan duka."
Petunjuk-petunjuk dan upacara-upacara saja tidak akan menolong, Thong Leng
Losu. Harus ada peraturan yang melaksanakan, harus ada hukum, yaitu hukum
siapa yang melanggar peraturan. Kalau peraturan hukum dilaksanakan dengan
baik dan sebagaimana mestinya, akan terdapat ketertiban." kata Tiong Gi Cinjin
mempertahankan teorinya berdasarkan pelajaran dari Agama Khong-kauw
yang dianutnya.
"Ha-ha-ha, kalian berdua hanya bicara tentang peraturan. Manusia tidak akan
dapat membuat kehidupan menjadi baik, dengan mengadakan peraturan yang
bagimanapun. Lihatlah, matahari bulan dan Bintang tidak diatur manusia
namun selalu berjalan dengan tertib. Burung-burung terbangan di udara, ikan-
ikan berenang dalam air, mereka itu tidak mempunyai akal pikiran seperti
manusia, namun tidak kekurangan makan, tidak mengerti sengsara karena
mereka semua itu hidup sesuai dengan To. Alam mengatur segala sesuatu
dengan tertib, akan tetapi aturan perbuatan manusia malah menimbulkan
kekacauan. Biarkanlah Alam bekerja tanpa campur tangan manusia, karena
Alam bekerja tanpa tujuan tanpa pamrih tidak seperti manusia yang
mementingkan tujuannya daripada caranya." kata Lou Keng Tojin
mempertahankan teori agamanya.
Tiga orang itu mulai berdebat, mula-mula mereka mempertahankan teori
kebenaran agama masing-masing. Akan tetapi perdebatan itu mendatangkan
suasana panas yang mempengaruhi hati akal pikiran mereka sehingga akhirnya
mereka saling mencela! Yang beragama buddha dicela karena dikatakan
menyembah benda mati berupa arca. Tiong Gi Cinjin yang pendeta Agama
Khong-kauw dicela karena hanya mengurus soal manusia dan duniawi. Louw
Keng Tojin dicela karena agamanya hanya mengurus hal-hal yang tidak nyata,
mengkhayal dan seperti mimpi, sama sekali tidak mempedulikan urusan
manusia hidup di dunia.
Perdebatan yang dimulai memamerkan kebaikan dan kebenaran masing-
masing berlanjut kepada saling mencela sehingga akhirnya tiga orang itu turun
dari atas batu, berdiri dengan muka merah mata bersinar penuh kemarahan!
"Hemmm, kalian mencela pelajar Agama Khong-kauw kami, hal itu berarti
kalian menentang kami dan siapa yang menentang kami berarti musuh kami
teriak Tiong Gi Cinjin yang sudah hilangan kesabarannya. Dia mencabut
pedangnya dan tampak sinar hijau ber kelebat, lalu sinar itu menyambar-
nyambar kearah batu yang tadi diduduki Tiong Gi Cinjin. Hanya terdengar
sedikit suara, akan tetapi ketika sinar hijau itu kembali ke tangan Tiong Gi
Cinjin, batu itu runtuh dan berantakan, telah terpotong-potong seperti mentimun
dirajang pisau yang amat tajam!
"Ha-ha-ha, permainan kanak-kanak macam itu tidak ada artinya!" terdengar
Louw Keng Tojin berkata. Dia lalu melempar kebutannya ke atas dan tiba-tiba
bagaikan benda hidup, kebutan itu melayang turun ke arah batu yang tadi
diduduki dan kebutan itu menyambar cepat. Terdengar ledakan keras dan batu
itu terpukul bulu kebutan pecah berhamburan dan kebutan itu sudah "terbang"
kembali ke tangan Louw Keng Tojin memang pendeta To ini selain lihai ilmu
silatnya, juga mahir ilmu sihir.
"Omitohud, kalian telah melanggar larangan membunuh dalam agama kami.
Menghancurkan batu-batu itu sama dengan membunuh. Sungguh tidak
memiliki belas kasihan." kata Thong Leng Losu dan hwesio tinggi besar ini
menghampiri lima buah batu yang sudah pecah berantakan itu, memungutinya
dan dia menempel-nempelkan pecahan batu-batu itu sehingga melekat kembali
dan menjadi utuh. Inilah hasil tenaga sakti yang amat hebat!
Kini tiga orang yang lelah berdebat sengit tadi, berdiri saling berhadapan.
Mereka semua adalah pendeta-pendeta yang sudah mempelajari agama
masing-masing secara mendalam, hafal akan semua pelajaran dalam kitab-
kitab suci mereka. Mereka siap untuk membela agama masing-masing dengan
mati-matian, kalau perlu berkorban nyawa! Akan tetapi mereka masih dapat
menenangkan diri tidak membiarkan diri hanyut oleh nafsu amarah karena
maklum bahwa itu ditentang atau dilarang oleh agama mereka masing-masing.
Karena mereka sama-sama menahan diri, tidak mau mendahului melakukan
serangan, maka mereka bertiga hanya berdiri saling berhadapan dengan muka
merah. Thong Leng Losu sudah siap dengan tongkatnya dari baja biru. Tiong
Cinjin juga sudah memegang pedangnya dan Louw Keng Tojin memegang
kebutannya. Di dalam hati mereka terjadi konflik sendiri, sebagian terdorong
penasaran dan marah hendak menyerang lawan, sebagian lagi menaati pelajar
agama masing-masing tidak mau melakukannya.
Tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi! Datangnya dari bawah puncak dan
suara itu terdengar tenang dan sayup-sayup, namun dapat terdengar jelas
semua kata-katanya.
Biarpun suara nyanyian itu terdengar lebih sayup-sayup, akan tetapi tiga orang
yang berilmu tinggi itu dapat merasakan getarannya yang kuat dan penuh
kewibawaan lembut mengusap perasaan hati mereka, menghapus kemarahan
dari hati. Tahulah mereka bertiga bahwa akan muncul seorang manusia yang
luar biasa dan seperti dengan sendirinya mereka tunduk dan menanti dengan
sikap hormat.
Kemudian tampaklah Thai Kek Siansu melangkah ke puncak itu, memandang
mereka bertiga, tersenyum lalu menghampiri, berdiri berhadapan dengan
mereka sehingga mereka berempat kini menduduki titik-titik segi empat.
"Ho-ho, tiga manusia utama memperebutkan Kebenaran! Kebenaran yang
dapat diperebutkan jelas bukan kebenaran lagi namanya. Kebenaran yang
dapat diperebutkan adalah kebenaran yang mempunyai lawan, yaitu
ketidakbenaran. Padahal, Kebenaran tertinggi tidak mepunyai lawan. Segala
sesuatu tercakup dalamnya!"
Thai Kek Siansu lalu duduk bersila begitu saja di atas tanah berumput.
Anehnya tanpa dia mengatakan sesuatu, tiga orang itu otomatis lalu duduk
bersila di atas tanah seperti yang dilakukan Thai Kek Siansu! Tiga orang itu
mengenal kakek itu dan mereka bertiga merangkapkan kedua tangan depan
dada sambil mengucapkan salam hampir bersamaan.
"Selamat datang, Thai Kek Siansu!"
Thai Kek Siansu membalas salam mereka dengan ucapan lembut, "Selamat
berjumpa, Sam-wi Suhu (Ketiga Guru) dari Sam Kauw (Tiga Agama)!"
Mereka berempat duduk bersila tiga orang pertama memandang kepada Thai
Kek Siansu yang menundukkan mukanya sambil tersenyum dan kedua
mukanya terpejam. Kemudian, bagaikan orang bermimpi, dia kembali
menyanyikan syair yang amat terkenal di antara para tokoh agama dan para
sastrawan di Zaman itu. Syair itu adalah karya Sikong Tu (837 - 908), seorang
penduduk Daerah Yong-ji di Propinsi Shan-si. Dalam usia muda dia sudah lulus
ujian negara. Ketika orang Chao menyerang ibukota Kerajaan Tang dia
mengungsi. Dalam usia lima puluh lima tahun dia mengundurkan diri bertapa.
Ketika Dinasti Tang jatuh, dia menolak pemberian pangkat oleh Kaisar Dinasti
yang baru. Thai Kek Siansu menyanyikan syair itu dengan suara lembut.
"Dia tinggal dalam keheningan, dalam kesederhanaan;
Ilham adalah lembut sekali, cepat menghilang.
Dia minum dari Sumber Keselarasan Agung,
Terbang bersama burung bangau terpencil di atas.
Lembut seperti desahan napas angin lalu
Yang semilir menyentuh baju panjangmu.
Atau desir pohon-pohon bambu yang tinggi
Yang keindahannya selalu engkau rindukan.
Kalau kebetulan bertemu, agaknya mudah dicapai
Pada saat engkau hampir, Dia mundur,
Dan ketika engkau menjangkau merangkapnya,
Dia menggelincir dari tanganmu hilang!"
Setelah Thai Kek Siansu menghentikan nyanyiannya, suasana sejenak menjadi
hening, akan tetapi segera terisi oleh suara alami yang terdengar demikian
menghanyutkan perasaan. Desir angin antara batu-batu air yang memancur
menimpa batu, diselingi bunyi burun burung yang melayang lewat puncak. Akan
tetapi semua suara dari luar di yang tidak mampu menghilangkan suara
keheningan dalam diri yang tidak pernah berhenti akan tetapi hanya dapat
didengar orang yang benar-benar tidak lagi mempengaruhi kebisingan hati akal
pikiran, suara itu terdengar di telinga yang paling dalam. Orang yang
mendengarnya mungkin tidak sama daya penangkapnya dengan orang lain.
Ada yang mengatakan seperti gemersiknya angin bergurau dengan daun-daun,
atau seperti gelora air lautan yang dahsyat, atau seperti ombak
berkejaran.Telinga luar tidak mempengaruhi pendengaran itu, biar telinga
ditutup, tetap saja suara itu berbunyi. Suara keheningan, suara kehidupan,
membahagiakan manusia yang dapat mendengarnya
Thong Leng Losu pendeta Buddha dari Tibet itu tak sabar lagi untuk tinggal
diam. "Omitohud, Thai Kek Siansu, kebetulan sekali engkau datang pada saat
kami bertiga sedang mengadakan pertemuan. Kami bertiga ingin membahas
tentang keadaan rakyat jelata dan kerajaan yang silih berganti, selalu terjadi
perebutan kekuasaan yang menyengsarakan rakyat. Kami memperbincangkan
semua itu dan juga agama kami masing-masing, bagaimana kami akan dapat
menanggulangi semua itu dan mendatang kedamaian dan kesejahteraan bagi
manusia, khususnya bangsa kita yang terpecah belah oleh perebutan
kekuasaan. Mohon petunjuk dari Siansu yang telah kami dengar akan
kebijaksanaannya."
Thai Kek Siansu menghela napas panjang dan mengelus jenggotnya, namun
mulutnya tersenyum, senyum penuh pengertian dan kesabaran.
"Tiga orang sahabatku yang baik, untuk dapat mengerti tentang kehidupan
mengapa kita harus mendengar petunjuk orang lain? Kita bersama adalah
manusia, kehidupan ini sama-sama kita alami. Siapa yang berhak memberi
petunjuk dan kepada siapa? Kita tidak membutuhkan petunjuk orang lain,
karena apa pun juga yang kita percaya dan lakukan, kalau menurut petunjuk
orang lain, adalah palsu. Bagaimana kalau petunjuk itu salah. Maka, karena kita
berempat sama-sama mengalami kehidupan ini, apakah tidak lebih baik kalau
kita sama-sama pula mengamati dan mempelajarinya?"
Tiong Gi Cinjin berkata, "Tak dapat dibantah kebenaran ucapan Siansu Itu.
Akan tetapi untuk melakukan penyelidikan kami bertiga yang tadi tidak
mendapatkan kesepakatan, perlu seorang yang tidak berpihak untuk membuka
jalan dan kami harap Thai Kek Siansu yang suka memulai dengan pengamatan
dan penyelidikan ini, agar kami bertiga tidak saing bertumbukan."
Thong Leng Losu dan Louw Keng Cinjin mengangguk-angguk dan menyatakan
setuju.
Louw Keng Tojin berkata, "Thai Kek Siansu, mari kita bicara dan menyelidiki
tentang Agama lebih dulu. Tadi kami bertiga berselisih paham mengenai
kebenaran dalam Agama dan karena kami Mempertahankan kebenaran dalam
Agama kami masing-masing, maka terjadi salah faham. Sekarang, bagaimana
kita dapat melihat kenyataannya, siapa di antara kami bertiga yang benar?"
"Sam-wi (Anda Bertiga) berdebat tentang Kebenaran? Kebenaran yang
diperdebatkan bukanlah kebenaran lagi karena Dia ditinjau dengan pandangan
yang dan terselubung tirai penilaian agama masing-masing. Mari kita amati
tanpa tirai itu. Apakah sebenarnya Agama itu Yang dapat dibuktikan, Agama
ada pelajaran untuk menuntun manusia arah jalan hidup yang baik. Bukan
demikian? Semua Agama mengajar kebaikan dan tidak ada sebuah pun Agama
yang mengajarkan agar umatnya melakukan tindakan jahat. Intinya ada agar
manusia di waktu hidupnya berbuat kebaikan menjauhi kejahatan sampai akhir
hayatnya. Akan tetapi Agama juga memiliki sejarah dan upacara-upacara
masing-masing yang tentu saja diakui benarannya secara mutlak oleh umat
Sayang sekali, seperti yang Sam-wi perlibatkan tadi, Sam-wi tidak melihat
kesamaan intinya atau apinya, yaitu hidup dalam kebaikan, melainkan Sam-wi
bersitegang membela upacaranya yang berbeda. Mengapa Sam-wi tidak
menggunakan persamaan intinya itu untuk diajarkan kepada umat masing-
masing sehingga semua pemeluk agama yang berbeda itu dapat hidup
berdampingan secara rukun karena sama-sama memperjuangkan kebaikan
dalam kehidupan manusia di dunia
"Omitohud! Biarpun ucapan Siansu membuka mata kami untuk melihat
kebenaran, akan tetapi bagaimana dengan kenyataan yang dapat disaksikan
betapa umat beragama lain, misalnya ada orang beragama To tetapi menjadi
seorang penipu dengan ilmu sihirnya?" kata Thong Leng Losu.
"Siancai! Enak saja Hwesio ini mencela orang lain! Pinto juga melihat banyak
sekali orang beragama Khong-kauw yang menjadi penjahat!" seru Louw Keng
Tojin membela agamanya.
"Bukan hanya itu, siapa yang tidak tahu berapa banyaknya orang beragama
Budha yang menjadi pembunuh?"
Suasana menjadi tegang, akan tetapi suara tawa Thai Kek Siansu seolah dapat
mendatangkan suasana dingin karena suara itu lembut sekali.
"Mari kita lihat dan pertimbangkan, Sam-wi. Kalau seorang beragama To kauw
menipu, jelas dia itu bukan orang beragama To-kauw, melainkan seorang
penipu yang mengaku beragama To! karena kalau dia benar-benar seorang
agama To, dia tidak berani menipu dilarang oleh agamanya itu! Juga kalau ada
penjahat mengaku beragama Khong kauw, dia adalah seorang penjahat juga
hanya mengaku-aku saja dan bukan orang Khong-kauw sejati. Kalau dia benar-
benar beragama Khong-kauw, tidak akan berani berbuat jahat karen hal itu
dilarang oleh agamanya. Demikian pula, seorang pembunuh mengaku agama
Buddha, sebetulnya dia hanya palsu dan mengaku-aku saja karena kalu dia
benar seorang Buddhis, sudah pasti dia tidak berani membunuh karena itu
dilarang keras oleh agamanya! Nah, kiranya sudah jelas. Bukanlah agama yang
tidak benar, melainkan orangnya Tidak perlu dan tidak benarlah kalau Agama
saling menyalahkan, karena tidak ada agama yang benar atau salah menurut
pandangan orang-orang yang pecah belah melalui agama. Agama adalah
Kebenaran itu sendiri karena datang dari Kebenaran Yang Satu."
Tiga orang pendeta itu termenung, Tiong Gi Cinjin menghela napas lalu
berkata. "Siansu, aku mulai melihat kebanaran dalam keterangan ini. Akan
tetapi mengapa hampir seluruh rakyat mengaku beragama, dan semua agama
mengajarkan kebaikan agar kita hidup melakukan kebaikan dan menjauhi
kejahatan, Akan tetapi kenyataannya, mengapa selalu terjadi perang,
permusuhan, kejahatan dan kekacauan yang menyengsarakan rakyat?"
Thong Leng Losu dan Louw Keng Tojin juga tertarik oleh pertanyaan ini dan
mereka bertiga memandang kepada Thai Kek Siansu dengan penuh perhatian.
"Pertanyaan yang baik sekali dan hal ini patut kita pertanyakan dan kita
renungkan. Mengapa demikian? Kenyataan¬nya adalah bahwa umat beragama
sekarang ini hanya mementingkan sejarah dan upacara masin-masing yang
saling berbeda, dan jarang yang mendapatkan Api atu inti Agama masing-
masing yang sesungguhnya sama dan hanya satu. Apakah inti dari semua
pelajaran itu?" kata Thai Kek Siansu.
"Inti semua pelajaran tentu saja menurut pelajaran agama masing-masing yang
menuntun manusia untuk berbuat kebaikan!" kata Tiong Gi Cinjin dan seorang
pendeta lainnya mengangguk menyetujui.
"Kalau sudah diakui bahwa semua pelajaran Agama adalah sama, yaitu
mengajarkan agar semua umatnya berbuat kebaikan, mengapa di antara
Agama masih ada saling menyalahkan dan membenarkan pihak sendiri? Kita
mulai dengan Kebenaran. Apakah Kebenaran itu? apakah yang dinamakan
Kebaikan itu? Kalau ada yang disebut kebenaran, tentu ada kesalahan. Kalau
ada kebaikan, tentu ada kejahatan. Baik dan benar untuk sefihak, mungkin saja
jahat dan salah untuk pihak lain. Karena itu, kebaikan yang dilakukan menurut
hati akal pikiran, sesungguhnya bukan kebaikan lagi, melainkan perbuatan
yang dilakukan dengan pamrih mendapat imbalan. Imbalan itu supaya
kesenangan atau keuntungan untuk si pelaku perbuatan, bentuknya macam-
macam. Pamrih itu bisa berupa imbalan jasa dan balasan, atau puji dan
sanjungan, atau perasaan bangga diri, atau imbalan yang dijanjikan berupa
kemuliaan dan kesenangan di akhir kehidupan. Pamrih apa pun juga, pada
hakekat sama, yaitu melakukan sesuatu dengan pamrih agar mendapat
imbalan sesuatu yang menyenangkan dan menguntung Maka, perbuatan
kebaikan seperti hanya merupakan jual beli belaka, sama sekali bukan
kebaikan lagi karena kalau imbalannya ditiadakan, maka perbuatan baik itu pun
belum tentu dilakukan. Semua mengajarkan perbuatan baik, akan tetapi disertai
janji-janji yang menyenangkan sebagai upahnya sehinngga perbuatan-
perbuatan baik itu menjadi palsu, didasari keinginan untuk akhirnya
mendapatkan kesenangan atau keuntungan. Karena inilah maka terjadi
perebedaan, yaitu memperebutkan hak memperoleh segala macam hadiah
yang dijanjikan itu."
Kita semua tahu betapa bahayanya dendam. Dendam yang tertanam di dalam
batin kita bukan hanya mendatangkan kebencian dan permusuhan, bahkan
dapat meluas menjadi dendam golongan dan dendam antara bangsa sehingga
dunia ini penuh dengan perang, bunuh-membunuh, semua itu dibakar oleh api
dendam.
Dari manakah datangnya dendam? Bagaimana terjadinya? Seseorang
melempar sesuatu yang mengenai tubuh kita menimbulkan nyeri badan dan
kitapun marah, mendendam dan ingin membalas. Atau seseorang melempar
kata-kata yang menyinggung perasaan dan menimbulkan nyeri di hati sehingga
kitapun marah dan dendam, ingin membalas.
Jelaslah bahwa dendam timbul karena kita merasa disakiti, dirugikan, baik lahir
maupun batin. Kita sejak kecil membangun sebuah “aku” dari diri kita, yang kita
agungkan sehingga si-aku yang makin lama makin kita bangun menjadi kokoh
kuat dan merasa selalu benar sendiri, baik sendiri dan seterusnya. Kalau si-aku
ini sampai tersinggung, dibahayakan keagungannya, maka marahlah kita. Kita
bela si-aku ini mati-matian karena kita merasa bahwa tanpa gambaran si-aku,
kita ini bukan apa-apa. Kalau si-aku disinggung kita melawan, karena kalau
tidak, si-aku menjadi tidak dipentingkan lagi, tidak diagungkan lagi.
Pangagungan si-aku inilah yang menjadi sumber terjadinya dendam. Milik kita
diambil orang, kita merasa dirugikan. Iba hati tergadap si-aku membuat kita
ingin membalas, dan dendam ini melahirkan kekerasan dan kekejaman.
Orang yang biasanya tidak tega mambunuh seekor lalat pun, kalau sudah
dibakar api dendam aka tega menyiksa musuhnya dengan sadis sekali.
Dapat kita menghadapi segala sesuatu tanpa si-aku ikut campur? Menerima
segala sesuatu sebagai suatu kenyataan, dengan penuh kewaspadaan kita
mengamati kalau ada orang mencela kita, dapatkah kita mendengarkan dia
sambil mengamati diri sendiri tanpa adanya si-aku yang tersinggung? Mungkin
saja kita memang patut dicela karena suatu kesalahan. Kalau ada orang
menginjak kaki kita, dapatkah kita menghadapi peristiwa ini dengan dengan
mata terbuka penuh kewaspadaan tanpa si-aku mencampuri sehingga kita
akan dapat melihat terjadinya peristiwa itu dalam keadaan yang sebenarnya?
Akan nampak oleh kita bahwa orang itu melakukannya tanpa sengaja,dan
bahwa di tempat yang penuh sesak itu besar sekali kemungkinan salah injak.
Pembukaan mata penuh kewaspadaan tanpa adanya campur tangan si-aku si
bayangan congkak itu, akan melahirkan kebijaksanaan dan tindakan yang
sehat. Bukan tindakan terdorong oleh emosi karena si-aku tersinggung
keagungannya. Kalau ada orang yang mengambil milik kita. Kembali si-aku
yang telah mengikatkan diri dengan milik kita yang membelenggu si-aku,
kekayaan, kedudukan, nama besar, isteri tercinta, anak-anak tersayang,
keluarga,dan sebagainya, merasa kehilangan. Si-aku yang dipisahkan dari
miliknya ini menimbulkan iba diri, menimbulkan duka, dan menimbukan dendam
kepada orang yang memisahkan si-aku dari miliknya.
Semua peristiwa yang terjadi di dalam diri ini, tidaklah patut untuk kita pelajari
dengan seksama, dengan cara mengamati diri setiap detik? Karena,
permusuhan dan kekacauan dan permusuhan di dalam hati masing-masing.
Perang di dunia hanyalah pengluasan perang dalam batin kita sendiri.
Kekuasaan Tuhan nampak di mana-mana, memberi kehidupan dan
kebahagiaan kepada apa dan siapa saja yang dapat menerimanya. Berkah
Tuhan berIimpahan, tak pernah kurang, kepada semua mahluk, baik yang
bergerak maupun yang tidak bergerak. Selalu ada tersedia untuk menyambung
kehidupan atau untuk menikmati kehidupan.
Air, hawa udara, sinar matahari, tak pernah habishabisnya menghidupi semua
yang ada di permukaan bumi ini. Kekuasaan Tuhan berada di dalam mata kita
yang membuat kita dapat melihat segala sesuatu yang nampak.
Kekuasaan Tuhan terdapat di dalam pemandangan alam semesta yang amat
indahnya. Kita tinggal membuka mata melihatnya untuk dapat menikmati
semua itu.
Namun sungguh sayang. Kadangkala kita tidak melihat semua keindahan
itu.'Butakah kita? Mata badan kita tidak buta, akan tetapi mata batin kita yang
buta.
Batin kita dipenuhi segala macam persoalan, disibukkan segala macam
masalah yang dibuat oleh pikiran kita sendiri sehingga biarpun mata kita
terbuka, kita tidak dapat melihat betapa Kekuasaan Tuhan bekerja dan hasilnya
terbentang luas di depan mata kita.
Lihatlah awan yang berarak di seputar puncak itu. Betapa ajaibnya. Lihatlah
ujung-ujung ranting penuh daun itu yang menari-nari ditiup angin. Betapa
menakjubkan. Rasakanlah mengalirnya hawa sejuk segar itu ke dalam paru
paru kita. Betapa nikmat dan segarnya.
Dengarlah kicau burung, dendang percik air sungai, bisikan rumput ilalang
digerakkan angin. Betapa merdunya. Namun semua itu lenyap, lewat begitu
saia di depan mata, di depan telinga, di depan panca indera kita yanq secang
sibuk sendiri oleh hati akal pikiran yang menumpuk masalah. Berbahagialah
orang yang dapat menikmati itu semua.
Hidup adalah berkah. hidup adalah nikmat, hidup adalah bahagia.
Hampir semua orang di dunia ini mengejar-ngejar atau mencari kebahagian
dengan berbagai cara, bahkan ada cara menyiksa diri untuk mencari
kebahagiaan! Pada hal, kalau kita simak, mengapa kita mencari kebahagiaan?
Mengapa kita mendambakan, membutunkan kebahagiaan? Jawabannya hanya
satu, Yakni bahwa kita mencari kebahagiaan karena kita MERASA tidak
berbahagia Bukankah demikian halnya ? Kita mendambakan kebahagiaan
karena kita merasa tidak berbahagia.
Kebahagiaan adalah suatu keadaan hati perasaan. Kalau dalam keadaan tidak
berbahagia kita mencari ke bahagiaan, mungkinkah kita akan dapat
nenemukannya?
Tidakkah yang lebih penting kita menyelidiki, apa yang menyebabkan kita tidak
berbahagia itu ? Kalau sebab yang membuat kita tidak berbahagia itu tidak ada
lagi, Perlukah kita mencari kebahagiaan? Tentu saja tidak perlu lagi, kita tidak
butuh bahagia lagi karena kita SUDAH berbahagia!
Sama halnya dengan kesehatan. Dalam keadaan sakit mengejar-ngejar
kesehatan jelas tidak mungkin .
Kesehatan adalah suatu keadaan badan. Kalau sebab yang membuat kita sakit
atau tidak sehat itu sudah hilang, kita tidak membutuhkan kesehatan lagi
karena kita sudah sehat! Akan tetapi seperti juaa kesehatan, kebahagiaan tidak
dirasakan oleh kita, Kalau kita sehat, apakah kita merasa sehat ? Kita baru
merasa membutuhkan kesehatan begitu kita sakit .
Demikian pula dengan kebahagiaan. Kita tidak merasakan betapa Tuhan
menciptakan kita dengan sempurna, betapa kebahagiaan sudah ada pada diri
kita, namun kita baru merasakan kalau ada sesuatu yang mengganggu
sehingga kita merasa tidak berbahagia. Terpujilah Tuhan Maha Kasih.
BerkahNya sudah berlimpahan. Tinggal kita mampu untuk menerimanya atau
tidak! .
Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, baik maupun buruk, manis maupun
pahit bagi manusia, sesungguhnya bukan lain adalah akibat-akibat daripada
sebab-sebab yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Nafsu merajalela dalam diri
manusia, menanggulangi kelemahan manusia sehingga manusia menjadi
boneka-boneka atau hamba-hamba nafsu yang hidup semata-mata untuk
melampiaskan dorongan nafsu. Nafsu membuat manusia menjadi makhluk
yang paling mementingkan pribadi (egois) dan yang selama hidupnya
bersandar kepada sifat ini sehingga tanpa disadarinya setiap pikiran, setiap
perbuatan, setiap ucapan selalu merupakan penonjolan daripada sifat egoistik
ini. Mari kita renungkan dan bersiap-siap mengenal kelemahan kita sendiri.
Pandangan baik dan buruk, adil dan tidak, semua dipengaruhi watak kita yang
egoistik. Biarpun orang sekampung menganggap seorang itu jahat, kalau si
orang itu selalu baik terhadap anda, dapatkah anda menganggap orang itu
jahat? Sebaiknya, andaikata orang se kampung menganggap seseorang itu
baik, kalau si orang Itu menjadi musuh anda, dapatkah anda menganggapnya
seorang baik? Demikian pula tentang anggapan tentang adil atau tidak. Kalau
adil untuk kita, maka kita anggap adil-lah! Atau lebih tepat, kalau
MENGUNTUNGKAN kIta, maka kita anggap adil. Kalau MERUGIKAN, maka itu
tidak adil namanya! Memang kita (manusia) adalah makhluk-makhluk yang
amat lemah, badut-badut yang selalu menimbulkan lelucon yang hambar.
Hari hujan, Bibi penjual makanan mengeluh, Paman tani bersorak. Yang
seorang menganggapnya buruk dan tidak adil, yang lain menganggapnya baik
dan adil, sesuai dengan sifat-sifat egoisme masing-masing. Baik atau tidakkah
hari hujan? Adil atau tidakkah? Tidak baik tidak buruk. Hujan ya hujan! Wajar
dan sudah semestinya begitu. Berbahagialah dia yang dapat menerima segala
sesuatu yang terjadi atas dirinya SEBAGAI SUATU KEWAJARAN!
"Manusia hidup lemah dan lemas sesudah mati menjadi kaku dan keras segala
benda tumbuh lemah dan lemas sesudah mati kering dan getas!
Maka itu :
kaku dan keras adalah teman kematian lemah dan lemas adalah teman
kehidupan!
Inilah sebabnya :
senjata keras mudah menjadi rusak kayu keras mudah menjadi patah!
Maka dari itu :
Kaku dan keras menduduki tempat bawah lemah dan lemas menduduki tempat
atas!"
Sumber segala macam perasaan, malu, senang, sedih, marah, duka timbul dari
pikiran yang mengenang-ngenangkan masa lalu dan membayangkan masa
depan.
Mengenangkan masa lalu menimbulkan duka, kemarahan atau rasa malu.
Membayangkan masa depan menimbulkan rasa takut atau khawatir. Karena itu,
tidak ada gunanya mengenangkan masa lalu dan membayangkan masa depan.
Yang terpenting adalah masa kini, sekarang, saat ini. Hidup adalah saat demi
saat yang kita hadapi, seperti apa adanya, kesunyataannya. Kalau kita
menghadapi segala sesuatu yang datang pada saat ini dengan penuh
kewaspadaan, dengan mawas diri dan dengan penuh kepasrahan kepada
Tuhan di samping tindakan kita yang keluar secara spontan, maka kita akan
dapat menanggulangi setiap masalah yang timbul. Suka dukanya sebab dari
timbulnya pikiran yang mengunyah-ngunyah permasalahan. Kita harus berani
menghadapi segala permasalahan yang timbul dengan penuh ketabahan, tidak
melarikan diri, melainkan menghadapinya dan mengatasinya.
Itulah seni kehidupan. Menghadapi kenyataan dan mengatasinya! Kenyataan
hidup adalah suatu kewajaran, tidak baik maupun untuk selama si-aku tidak
muncul dan menilai-nilai, membanding-bandingkan, menyesuaikan dengan
kepentingan diri sendiri, dengan dasar diuntungkan atau dirugikan,
disenangkan atau tidak disenangkan.
Kalau kita hanyut dalam ulah si-aku yang bukan lain adalah nafsu yang
mengaku-aku, maka kita akan terombang-ambing di antara suka dan duka, di
mana kenyataannya, lebih banyak duka ketimbang suka.
"Hi Nouw Al Lok Ci Di Hoat, Wi Ci Tiong. Hoat si Kai Tiong Ciat, Wi Ci Hoo.
Tiong Ya Cia, Thian He Ci Tai Pun Ya. Hoo Ya Cia, Thian He Ci Tat Too Ya. Ti
Tiong Hoo, Thian Tee Wi Yan, Dan Dut Yok Yan."
artinya :
"Sebelum timbul Senang, Marah, Duka dan Gembira, keadaan itu disebut
Dalam Imbangan Jejak (Seimbang) Apabila pelbagai perasaan itu timbul namun
mengenal batas, keadaan itu disebut Keselarasan. Keseimbangan Jejak ini
adalah Pokok Terbesar dunia. Keselarasan adalah Jalan Utama sesuai dengan
Kekuasaan Tuhan. Apabila Keseimbangan Jejak dan Keselarasan dapat
dilaksanakan dengan sempurna, kebesaran abadi akan meliputi seluruh langit
dan bumi."
Dalam jaman apapun, wanita selalu terancam oleh bujuk rayu pria. Oleh karena
itu, para pria, terutama para gadis remaja dan mulai dewasa, haruslah waspada
sekali, pandai menjaga diri, kehormatan dan harga dirinya. Tentu saja tidak
semua pria berwatak seperti srigala kelaparan, namun banyak sekali pria yang
tampak baik-baik, sopan santun dan terhormat, bagaikan srigala berbulu domba
siap untuk menerkam bila diberi kesempatan. Dengan mempergunakan segal
macam daya, pamer harta, bujuk rayu, sumpah palsu pria-pria macam itu selalu
mengintai para gadis yang dipilihnya Sedikit saja gadis itu lengah, terkulai oleh
bujuk rayu dan sumpah palsu, sila oleh pamer kekayaan, pria srigala itu akan
menerkamnya. Maka hancurlah martabat, harga diri dan kehormatan gadis itu!
Masih mending kalau pria bertanggung jawab dan menikahinya sebagai
isterinya yang sah. Akan tetapi, tidak jarang terdapat pria yang benar-benar
berwatak srigala.
Setelah calon korban jatuh oleh rayuannya, srigala itu akan menggerogoti
daging korbannya sekenyang dan sepuasnya, kemudian meninggalkan pergi
bangkai korban itu begitu saja, tergeletak di tepi jalan sampai membusuk.
Betapa ngerinya kalau sudah begitu. Karena itu, wahai para gadis, waspadalah
dan perkuatkan imanmu, hargailah diri dan kehormatanmu sendiri, jangan
mabok oleh bujuk rayu gombal, jangan silau oleh pameran harta, jangan tertipu
oleh sumpah setia sampai mati, jangan secara murah menyerahkan diri dan
kehormatanmu sebelum kamu dinikahi sebagai isteri. Dan Wahai para pria
pada umumnya dan para pemuda khususnya.
Waspadalah, jangan membiarkan nafsu daya rendah menguasai dirimu
sehingga kamu lupa diri dan menodai seorang gadis, apalagi kalau ia pacar dan
calon isterimu.
Ingatlah bahwa menikmati sejenak itu dapat mengakibatkan penyesalan
seumur hidup!
Jangan terpikat dan minum anggur yang digunakan iblis karena anggur yang
rasanya nikmat itu mengandung racun yang amat berbahaya sekali!. Akan
tetapi kalau hal itumemang telah terjadi karena kamu tidak dapat mengalahkan
nafsumu sendiri, bersikaplah jantan. Bertanggung jawablah!
Karena meninggalkan seorang gadis yang telah kamu nodai merupakan
perbuatan yang amat terkutuk dan yang akan menghantui dirimu selama hidup.
Raja Pedang
Teka Teki
ada orang yang segala-galanya besar sendiri, siapa itu?"
"Orang yang besar sendiri?" kata Beng San. "Kau inilah, atau aku, pendek nya
setiap orang!"
"Siapa main-main? Kaulah orang yang besar sendiri, juga aku dan setiap orang
tentu besar sendiri. Kalau kau tidak besar sendiri, siapa yang
membesarkanmu? Apa ada yang meniup lubang hidungmu sambil menyumpal
lain lubang di tubuhmu supaya kau melembung dan membesar?"
Thian (Tuhan) membuat seluruh anggota tubuh kita lengan sempurna. Akan
tetapi mengapa Thian membuat hidung kita dengan dua lubangnya menghadap
ke bawah. Hayo kalau kau memang pintar, jawablah!”
Apa sebabnya orang mati sebelum dimasukkan peti mati selalu dimandikan
lebih dahulu! Nah, pikirlah baik-baik, karena kau sendiri kelak juga akan mati
dan dimandikan orang."
Orang mati. Sebelum dimasukkan peti mati selalu dimandikan lebih dahulu
karena DIA TIDAK BISA MANDI SENDIRI! Kalau dia bisa mandi sendiri, tentu
tidak dimandikan orang, dan dengan begitu dia belum mati. Nah, betul tidak?"
“Mengenal keadaan orang lain adalah bijaksana, mengenal keadaan diri sendiri
adalah waspada. Mengalahkan orang lain adalah kuat, menaklukkan diri sendiri
adalah gagah perkasa, Puas dan mengenal batas berarti kaya raya,
memaksakan kehendak sendiri berarti nekat.
Tahu diri dan tahu kewajiban akan berlangsung, mati tidak tersesat berarti
panjang umur.”
Kebahagiaan seperti bayangan serasa tergenggam di jari tanpa bekas kau lari
tak dikejar mendekati dikejar kau menjauhi memang kau bayanganku tak
pernah berpisah dariku bagaimana orang dapat mengejar bayangan sendiri?
Kebahagiaan adalah keadaan, memang ada, yaitu sudah ada dalam diri setiap
mahluk, setiap yang mengejarnya dia tersesat jauh karena memang tidak dapat
dan tidak semestinya dikejar. Kebahagiaan adalah keadaan jiwa seseorang
yang sudah sadar akan keadaan hidupnya, yang sadar bahwa ada yang
menghidupkannya. Kebahagiaan adalah keadaan jiwa seseorang yang tenang
tenteram damai dan tahu bahwa segala sesuatu yang menimpa dirinya adalah
kehendak Tuhan. Oleh karena itu ia dapat menerima dengan hati Ikhlas, tak
dapat kecewa, tak dapat berduka, adanya hanya puas dan dapat menikmati
kekuasaan Tuhan yang dilimpahkan atas dirinya, baik kekuasaan yang
mendatangkan rasa tidak enak ataupun yang sebaliknya bagi badan dan
pikiran. Hanya manusia yang sadar akan kekuasaan Tuhan, dapat menerima
segala yang terjadi atas dirinya dengan penuh penyerahan, dengan tunduk, taat
dan menganggap segala peristiwa, baik yang dianggap menyenangkan atau
menyusahkan oleh badan dan pikiran serta perasaannya, sebagai berkah
Tuhan, manusia seperti itulah yang berhasil menemukan kebahagiaan yang
memang sudah berada dalam dirinya. Karena menghadapi keadaan yang
bagaimanapun juga, ia akan tetap tenang, tenteram dan menerima dengan hati
tulus ikhlas, dan kepercayaannya akan kekuasaan Tuhan takkan tergoyah.
"Nafsu adalah pelengkap yang lahir bersama hidup itu sendiri. Tubuh manusia
kalau boleh diumpamakan sebuah kereta yang lengkap, maka nafsu adalah
kuda-kudanya yang dipasang di depan kereta. Si kereta tidak akan dapat
bergerak maju sendiri tanpa tarikan tenaga kuda-kuda nafsu itu. Kuda-kuda
nafsunya memang liar dan binal, kalau dibiarkan saja kuda-kuda itu tentu meliar
dan membedal semauaya sendiri, tentu ada bahayanya kuda-kuda itu, akan
menjerumuskan keretanya ke dalam jurang kesengsaraan hidup, mungkin
berikut kusirnya sekali karena kereta itu juga ada kusirnya, yaitu si aku yang
sejati, jiwa yang menguasai seluruh kereta. Kalau kusir itu pandai
mengendalikan kuda-kuda liar itu dengan tali-temali berupa kesadaran, maka
kuda-kuda nafsu yang liar dan binal itu dapat dipergunakan tenaganya untuk
menarik maju si kereta menuju ke jalan yang benar, sesuai dengan kehendak
alam, segala sesuatu harus bergerak maju, namun kemajuan yang lurus dan
benar, karena siapa yang maju dalam keadaan menyeleweng pasti akan
hancur ke dalam jurang kesengsaraan.
Kemesraan
Memang sesungguhnyalah, amatlah tidak baik kalau suami isteri melupakan
kemesraan masa lalunya. Tinggal di rumah saja bertahun-tahun, hidup sebagai
alat-alat mati, segalanya Sudah teratur dan selalu begitu-begitu tanpa
perubahan, setiap hari terulang kembali tanpa muncul hal-hal baru, tanpa
melihat hal-hal baru, akan mudah mendatangkan rasa bosan. Tanpa disadari
akan membuat suami isteri itu merasa bahwa mereka terikat oleh beban rumah
tangga yang membuat mereka tunduk terbungkuk-bungkuk, menyeret mereka
menjadi hamba daripada keseragaman yang mereka ciptakan sendiri,
memaksa mereka menjadi sebagian daripada bangunan mesin rumah tangga
yang mereka bentuk sendiri.
Tubuh ini milik dunia, dan sudah menjadi sifat dunia selalu menghendaki yang
baru mengubur yang lama. Oleh karena tubuh ini milik dunia maka tubuh ini
pun seperti halnya dunia, menghendaki pula hal-hal yang baru, selalu rindu dan
mencari sesuatu yang baru. Demikian pula dengan suami isteri, karena mereka
hanya manusia-manusia yang bertubuh, dengan sendirinya mereka pun
membutuhkan hal-hal yang baru untuk mempertahankan kebahagiaan rumah
tangganya. Mereka sendirilah yang harus menciptakan hal-hal baru ini, harus
pandai mencari suasana yang baru karena hal ini akan membangkitkan gairah
hidup, akan menambah terang cahaya kebahagiaan rumah tangga, akan
memperbaru atau mempertebal kasih mesra di antara mereka sendiri (dalam
bahasa Jawa disebut ambangun trisno). Suami isteri harus pandai memilih
saat-saat di mana mereka dapat memisahkan diri daripada keseragaman tiap
hari itu, berdua saja untuk sementara memisahkan diri daripada suasana
sehari-hari yang selalu begitu-begitu saja sehingga membosankan.
Musuh yang bagaimana lihai dan jahatpun masih tak berarti jika dibandingkan
dengan musuh tersembunyi yang berada dalam hatimu sendiri. Dan musuh itu
paling berbahaya jika orang berada dalam puncak kekuasaan atau
kekayaannya. Kekuasaan dan kekayaan membuat musuh dalam dirimu itu
bangun dan menjatuhkan. Biasanya kalau orang dalam keadaan sengsara dan
tertindas, ia akan ingat kepada Tuhan dan berlaku baik sebagaimana layaknya
seorang manusia karena musuh dalam dirinya itu tak berdaya dan tinggal
sembunyi. Tapi kalau orang itu sudah mempunyai kekuasaan dan menjadi
kaya, maka bangunlah musuh tak terlihat itu dan membuat ia lupa asegala, lalu
menjadi jahat
Biasanya, apa bila kita menghadapi rasa takut dalam bentuk apapun juga, kita
tidak berani menghadapinya secara langsung. Kita selalu mencari jalan keluar,
kita selalu ingin melarikan diri dari perasaan takut ini, ingin mencari hiburan
untuk menyelimuti rasa takut itu, untuk menjauhinya. Kita lupa bahwa rasa takut
itu berada dalam batin kita, tidak mungkin kita jauhi, dan tidak mungkin kita lari
dari depannya. Memang bisa kita lari menjauhi, namun hal itu hanya
nampaknya saja, dan hanya untuk sementara saja kita terhibur dan seolah-olah
kehilangan rasa takut. Padahal, rasa takut itu masih menyelinap di lubuk hati
dan setiap saat akan muncul kembali apa bila hiburannya lenyap. Misalnya
orang yang takut sendirian di malam hari, takut bayangan setan dan
sebagainya. Kita selalu hendak lari dari rasa takut ini, dengan jalan
mendengarkan bunyi-bunyian, mencari teman, atau bernyanyi-nyanyi sendiri,
dengan maksud untuk "mengusir" rasa takut. Namun, semua itu percuma saja
karena biarpun kelihatannya dapat menolong, sesungguhnya rasa takut itu
seperti api hanya disekap atau ditutup saja, seperti api dalam sekam. Kalau
penutupnya sudah tidak ada, api itu, yalah rasa takut, akan berkobar lagi,
karena rasa takut itu MASIH ADA.
Rasa takut adalah fakta, dan mana mungkin kita menghilangkan fakta itu
dengan hiburan-hiburan hampa itu? Faktanya itu yang harus lenyap dulu,
karena rasa takut sebagai fakta (kenyataan) keadaan kita itu sebenarnya timbul
karena angan-angan kosong belaka, karena pi-kiran kita sendiri yang
menbayangkan hal-hal yang belum terjadi. Orang yang takut bersen-dirian
dalam gelap di malam hari, tentu mem bayangkan setan-setan dan iblis iblis
dan lain kengcrian lagi, membayangkan haI-hal yang sebenarnya tidak ada
pada saat itu! Orang yang takut sakit tcntulah orang yang belum sakit, yang
membayangkan penyakit itu. Bagaimana kalau dia sudah sakit? Sudah pasti dia
tidak takut akan sakit lagi yang sudah menjadi fakta, melainkan takut akan mati
yang dibayangkan oleh si sakit. Demikian selanjutnya.
Dengan membuka mata, maka akan 'tampaklah segala-galanya oleh kita, akan
tampaklah bahwa rasa takut itu timbul karena angan-angan, karena pikiran
membayangkan atau mengingat-ingat hal-hal yang belum terjadi. Melihat
kenyataan inilah yang menghilangkan rasa takut. Bukan DIHILANGKAN, bukan
DITUTUPI, melainkan hilang sendiri karena kita melihat kenyataan tentang rasa
takut itu sendiri. Karena itu, setiap saat kita dihinggapi rasa takut dalam bentuk
apapun juga, apa bila kita membuka mata mengamati rasa takut itu sendiri
dengan penuh perhatian, maka kita akan dapat melihat kenyataan dari sebab-
sebab timbul-nya rasa takut, melihat kenyataan bahwa rasa takut adalah
hampa dan abstrak, dan penglihatan ini yang akan dengan sendirinya meniada-
kan rasa takut.
Pengikatan diri terhadap apapun juga di dunia ini tentu akan menimbulkan
duka. Cinta kita terhadap manusia lain atau terhadap benda sebenarnya
hanyalah kesenangan yang kita nikmati dari manusia atau benda yang kita
cinta itu. Cinta macam ini bersifat memiliki dan mengandung pengikatan. Oleh
karena itu, apa bila kita mengikatkan diri kepada sesuatu baik manusia atau
benda, yang kita sukai, seolah-olah ikatan itu menumbuhkan akar di dalam
batin, maka setiap kali kita dipisahkan dari apa yang kita cintai itu, terjebollah
akarnya dan hal ini tentu saja menyakitkan batin dan menimbulkan duka.
Pengikatan diri menimbulkan rasa iba diri apa bila perpisahan datang,
sedangkan perpisahan tidak mungkin dapat dielakkan lagi di dunia ini karena
segala sesuatu adalah tidak kekal adanya. Dan betapa banyaknya kita
"mengikatkan diri" dengan keduniawian, dengan keluarga, sahabat, harta
benda, kedudukan, nama besar, dan seribu satu macam hal-hal yang
mendatangkan kenangan bagi kita sehingga hidup kita penuh dengan halhal
yang menimbulkan duka karena sewaktuwaktu kita tentu akan berpisah dengan
semua itu. Pengikatan diri inipun menimbulkan rasa takut akan kematian,
perpisahan yang mutlak karena saat kita mati kita akan berpisah dari semua
yang kita sayang itu. Karena itu yang terutama dan terpenting adalah: Dapatkah
kita hidup tanpa pengikatan dengan apapun juga, tanpa bersandar kepada
apapun juga, secara batiniah?
Perasaan cinta yang terkandung dalam hati seorang pria terhadap seorang
wanita atau sebaliknya, memang merupakan suatu "permainan” yang amat
hebat, aneh, dan berkuasa sekali dalam kebidupan manusia! Semenjak sejarah
berkembang, persoalan "cinta" ini telah menjadi bahan inspirasi dari para
sasterawan dan seniman. Betapa banyaknya cerita-cerita dan sajak-sajak indah
tentang cinta ditulis, dipanggungkan, dan dinyanyikan para seniman. Kisah-
kisah cinta selalu mengandung segi segi kehidupan manusia yang penuh
dengan romantika, kebahagian dan kedukaan, suka duka dan manis pahit yang
membumbui kehidupan manusia. Kisah cinta bisa terjadi sedemikian
bahagianya sampai mengharukan hati dan memancing keluarnya air mata,
akan tetapi sebaliknya juga dapat terjadi sedemikian menyedihkannya sampai
menghancurknu perasaan dan memancing air mata pula. Dapat mengangkat
seseorang ke sorga yang paling tinggi namun dapat pula menjerumuskan
seorang ke neraka yang paling rendah! Hampir sebagian banyak dari usia
manusia dikuasai oleh apa yang dinamakan cinta ini, cinta antara pria dan
wanita!
Akan tetapi, sungguh menyedihkan betapa jarang ada manusia yang sungguh-
sungguh mengenal cinta! Walaupun setiap mulut pernah menyebut cinta,
namun benarkah cinta yang kita dengung-denguugkan dalam cerita-cerita,
dalam sajak-sajak, dalam nyanyian-nyanyian itu? Ataukah itu hanyalah
namanya saja cinta akau tetapi di dalamnya mengandung pengejaran akan
kesenangan? Baik kesenangan itu berupa ingin menguasai, ingin memiliki,
ingin melampiaskan nafsu berahi, yang pada hakekatnya hanyalah pengejaran
kesenangan untuk diri pribadi?
Betapa indahnya cinta! Indah dan suci! Tanpa cinta, tanaman takkan berbunga,
pohon takakan berbuah, kembang kehilangan harumnya, kicau burung
kehilangan merdunya, matahari kehilangan sinarnya! Namun, betapa
bahayanya nafsu pengejaran kesenangan, nafsu pementingan diri yang kita
namakan cinta itu! Berbahaya dan kalau sudah mencengkeram kita, dia
mempermainkan kita dan mampu menyeret kita menjadi permainan antara
kesenangan dan penderitaan! Mampu membangkitkan cemburu dan benci.
Bahkan tidak jarang seorang korban menjadi gila, atau membunuh diri sebagai
korban "cinta" seperti itu. Atau membunuh saingannya, atau menyeretnya
menjadi orang yang kehilangan kesusilaan, kehilangan pedoman hidup,
kehilangan segala-galanya!
Susah senang, puas kecewa, itulah isinya kehidupan manusia! Baik susah
maupun senang, puas maupun kecewa, adalah akibat dari adanya keinginan!
Makin banyak keinginan seseorang, makin banyak pula dia diombang-
ambingkan antara susah, senang, puas kecewa. Kalau tercapai apa yang
diinginkannya tentu puas dan senang. Kalau tidak tercapai apa yang diinginkan,
tentu kecewa dan susah akan tetapi baik senang maupun susah, hanyalah
sementara saja, selewat saja! Yang tercapai keinginannya dan senang, hanya
sebentar saja senang karena kembali dia akan dicengkeram oleh keinginan lain
yang lebih besar atau dianggap lebih menarik dan begitu dia dicengkeram oleh
keinginan baru ini berarti dia membuka kemungkinan untuk mengalami susah
atau senang yang baru lagi, puas atau kecewa yang berikutnya lagi!
Sebaliknya, yang tidak tercapai keinginannya dan menjadi susah kecewa,
itupun hanya sebentar saja karena diapun dapat menghibur hatinya dengan
harapan baru untuk memperoleh senang dari keinginan yang baru lagi. Tidak
ada kesenangan maupun kesusahan yang abadi, semua itu hanya lewat
sekelebatan saja, berselang-seling, ganti berganti seperti siang dan malam.
Akan tetapi yang penting, dapatkah kita hidup terbebas dari cengkeraman nafsu
keinginan yang menyeret kita dalam permainan gelombang susah senang,
puas kecewa ini? Kita dapat melibat perubahan setiap saat dari susah senang
sebagai akibat keinginan itu dalam diri kita sendiri setiap hari, setiap saat!
KEBAJIKAN atau kebaikan tabiat atau kelakuan adalah suatu sifat, suatu
kewajaran yang terjadi atau dilakukan tanpa unsur kesengajaan oleh si pelaku.
Kalau kebajikan dilakukan dengan sengaja disertai kesadaran dari pelaku
bahwa dia melakukan kebajikan, maka tak dapat disangkal lagi, perbuatan baik
atau kebajikannya itu dilakukan dengan adanya pamrih tersembunyi di balik
perbuatan itu.
Bermacam-macam dan bertingkat-tingkat adanya pamrih yang tersembunyi ini,
ada pamrih untuk keuntungan lahiriah, ada pula pamrih keuntungan batiniah.
Akan tetapi tetap saja sama, karena pamrih yang tersembunyi dalam setiap
perbuatan itu pada hakekatnya hanyalah keinginan untuk memperoleh
kesenangan lahir maupun kesenangan batin.
Bahkan ada pamrih tersembunyi dalam perbuatan baik yang tidak disadari lagi
oleh yang berbuat, pamrih yang mengendap di bawah sadar.
Dan setiap perbuatan betapapun baiknya setiap kebajikan, yang dilakukan
dengan kesadaran bahwa hal itu adalah kebajikan dan dengan demikian
mengandung pamrih, adalah suatu kepalsuan. Bukan baik karena memang
pada dasarnya dan sewajarnya memang baik, melainkan kebaikan yang dibuat-
buat, seperti pemulas untuk menutupi ying buruk. Kebajikan tidak mungkin
dapat dipelajari, dalam arti kata dilatih, atau ditiru-tiru dari anjuran kitab-kitab
atau guru-guru.
Karena kebajikan yang hanya dilakukan untuk meniru-niru atau menyesuaikan
diri dengan suatu pelajaran, adalah kebajikan pura-pura atau palsu, munapafik
adanya. Kalau di dalam hati masih ada rasa benci, lalu dalam perbuatan,
katakata siikap dan lain-lain memperlihatkan keramahan dan kebaikan budi,
bukankah itu palsu namanya ?
Kalau begitu, bagaimanakah yang dinamakan kebajikan atau kebaikan itu:
Kalau kelakuan itu adalah suatu sifat, suatu kewajaran, tidak disadari lagi
sebagai suatu kebajikan oleh yang melakukannya, kalau tidak terdapat
kebencian lagi di dalam hati, maka terdapatlah cinta kasih di dalam perbuatan.
Dan dengan cinta kasih, maka setiap perbuatan adalah bajik !.
Kebaikan yang timbul karena latihan, hanyalah tiru-tiru dan palsu.Kebaikan
seperti ini mudah sekali luntur, mudah goyah dan mudah berubah, bagaikan
pakaian saja kalau tertimpa panas dan hujan, akan luntur dan lapuk,
memperlihatkan apa yang tersembunyi di baliknya. Terutama sekali dalam
keadaan dikecewaan, maka timbullah dendam, penasaran, yang meengundang
kebencian. Dan kalau sudah di cengkeram oleh kebencian, maka semua latihan
kebaikan itu pun akan terlupakan.
Tidaklah aneh apabila manusia selalu menganggap bahwa hal yang tidak
dimilikinya itu sebagai hal yang paling indah dan akan mendatangkan
kebahagiaan kalau dapat diraihnya. Perbandingan mendatangkan iri hati,
mendatangkan keinginan untuk memperoleh segala sesuatu yang tidak
dimilikinya.
Karena itulah semua manusia di dunia ini hanya saling pandang dan saling
mengiri, menganggap bahwa! keadaan orang lain lebih senang dari pada
keadaan dirinya sendiri, sedangkan kesenangan itu tentu selalu dianggap dapat
dicapai melalui keadaan yang belum dimilikinya.
Karena itu bermacam-macam anggapan timbul sebagai jalan menuju ke arah
kebahagiaan, ada yang menganggap bahwa jalan itu melalui harta kejayaan,
ada yang menganggap melalui kedudukan, kekuasaan, nama besar,
kepintaran, kehormatan, kesehatan, isteri cantik, suami ganteng, banyak anak,
atau tidak punya anak, dan masih banyak lagi. Inilah sebabnya maka yang
memiliki satu lebih di antara semua syarat itu, namun masih merasa tidak
bahagia karena syarat lain yang dianggap paling tepat tidak dimilikinya.
Kesenangan, segala macam bentuk kesenangan, hanya akan nampak sebagai
kebahagiaan selama kesenangan itu belum dimiliki.
Akan tetapi sekali kesenangan yang diidamkan itu telah dimilikinya,maka akan
ternyatalah bahwa kesenangan itu sama sekali tidak seindah yang didambakan
semula, dan sama sekali tidak dapat mendatangkan kebahagiaan. Inilah
sebabnya mengapa manusia selalu saling pandang dan saling mengiri.
Dapatkah kita hidup tanpa membanding-bandingkan, tanpa menginginkan
sesuatu yang tidak ada pada kita? Dapatkah kita membuka mata dan
memandang apa adanya tanpa dihalangi oleh bayangan-bayangan harapan
dan keinginan, sehingga kita dapat menemukan keindahan dan kebahagiaan
yang sudah ada dalam segala sesuatu, dalam apa adanya?
Pertanyaan, ini takkan dapat dijawab kecuali kalau kita menghayatinya dalam
kehidupan sehari-hari membuka mata dan telinga, hidup dalam saat ini secara
wajar, tanpa memandang ke depan tanpa menengok ke belakang.
Bukan hidup di alam kenangan hari-hari kemarin dan bukan pula hidup di alam
khayal dari hari-hari esok. melainkan hidup sungguh-sungguh dalam hari ini,
saat ini, detik demi detik!.
Cinta ............
dari manakah anda datang
tiba - tiba saja
melalui mata memandang
cinta memenuhi hati
mencipta sorga teramat indah
mengintai di balik senyum si dia
menyelinap di dalam gairah membara ......
Cinta ............
ke manakah anda pergi
membawa segala keindahan mimpi
melempar hati ke dasar neraka
penuh kecewa dan duka nestapa
hilanglah semua harapan lenyaplah segala gairah
yang ada hanya pedih merana .........
Beng Han teringat betapa bahagia hidupnya beberapa saat yang lalu, ketika dia
masih dekat dengan sumoinya, dengan dara yang di cintainya. Dan tiba-tiba
saja, dalam waktu sedetik semenjak dia tahu bahwa Kui Eng tida mencintanya,
seakanakan hancurlah segala-galanya dan kehidupan berubah menjadi derita
dan siksa hati.
Mengapa demikian? Mengapa cinta hanya menjadi semacam permainan antara
suka dan duka? Antara sorga dan neraka? Dan lebih banyak dukanya dari pada
sukanya yang dibawa oleh cinta? Mengapa cinta tidak dapat kekal?
Mengapa selalu timbul saja konflik bahkan sampai dengan perpecahan di
antara orang-orang yang tadinya mengaku saling mencinta. Mengapa pula cinta
menghancurkan hati orang yang tidak menerima balasan cinta, mendatangkan
derita batin bagi orang yang mencinta sefihak saja?
Mengapa?
Kita sudah terlalu mengotori kata "cinta" dengan berbagai penafsiran sehingga
cinta yang sejati menjadi suram dan tidak nampak lagi. Yang biasa menempel
di bibir kita sebagai cinta kasih, sebagai cinta suci dan sebagainya, yang
menjadi kembang bibir di antara pria dan wanita, di antara sahabat, di antara
orang tua dan anak, di antara manusia dengan Tuhannya, antara manusia
dengan para dewanya, antara manusia dengan kebangsaannya, negaranya,
dan sebagainya, kata "cinta" yang kita obral dau yang dengan mudah sekali kita
ucapkan itu, sesmgguhnya patut kita selidiki lagi apakah semua itu benar-benar
cinta!
Tidak mungkin menyelidiki pernyataan cinta orang lain, akan tetapi sudah jelas
bahwa kita dapat menyelidiki pernyataan cinta kita sendiri dan mari kita sama
menjenguk dan menyelami!
Si suami berkata kepada isterinya, atau isteri kepadi suaminya, "Aku cinta
padamu", akan tetapi di dalam pernyataan cinta ini biasanya terkandung sebab
dan pamrih.
Aku cinta padamu karena engkaupun cinta padaku, atau aku cinta padamu
karena engkau memuaskan hatiku, melayaniku, menyenangkan hatiku. Jadi
pada hakekatnya, cinta macam ini adalah suatu jual beli saja. Kita membeli
dengan cinta untuk mendapatkan kesenangan! Marilah, kita bersikap jujur dan
meneliti diri sendiri. Tidakkah demikian keadaannya? Dan kalam pada suatu
waktu, si dia yang kita cinta karena pelayanannya itu, baik sex, sikap manis,
uang, atau apa saja, menolak untuk memberi pelayanan itu, maka kitapun
menjadi marah! Dan cintapun kabur entah ke mana! Cinta seperti itu sifatnya
hanya merupakan jembatan untuk penyeberangan kita ke arah kesenangan!
Cinta seperti itu membuat kita ingin menguasai, memiliki, dimiliki, memberi,
diberi, dan terutama sekali mengikat dia yang kita cinta itu kepada kita, menjadi
milik kita dengan hak penuh dan tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun
juga! Dan kalau pada suatu waktu dia yang kita cinta itu bermanis-manis
dengan pria atau wanita lain, marahlah kita, dan perceraianpun terjadilah, cinta
kita seperti itu hanya merupakan api yang dihidupkan dengan bahan bakar
berupa kesenangan untuk diri kita sendiri. Api itu masih bernyala selama bahan
bakarnya masih ada. Kita masih mencinta selama dia yang kita cinta itu masih
mendatangkan kesenangan, akan tetapi kalau bahan bakar itu habis, cintapun
padamlah, bahkan kadang-kadang, sebagai akibat akibat cemburu dan
sebagainya, "cinta" kita itu malah bisa saja berubah menjadi "benci"! Apakah
yang demikian itu benar-benar cinta sejati?
Sama halnya dengan cinta kita terhadap sahabat. Sahabat yang sudah seribu
kali melakukan hal yang menyenangkan hati kita, kita cinta, akan tetapi satu kali
saja dia melakukan hal tidak menyenangkan, maka cinta kita luntur, mungkin
berubah menjadi benci. Cinta antara sahabat macam inipun pada dasarnya
hanyalah digerakkan oleh nafsu ingin menyenangkan diri kita sendiri saja.
Demikian pula pengakuan cinta kita terhadap orang tua atau anak, terhadap
Tuhan, pada dewa, terhadap bangsa, negara dan sebagainya. Pernahkah kita
meneropong apa yang menjadi dasar dari pada perasaan cinta kita itu? Apa
bila dibaliknya bersembunyi pamrih atau sebab karena kita ingin senang, baik
kesenangan lahir maupun kesenangan batin, maka itu hanyalah jual beli saja
dan karenanya palsu adanya.
Dan sudahlah pasti bahwa cinta yang seperti itu hanya mendatangkan konflik,
seperti kesenangan macam apapun, mendatangkan puas kecewa, suka duka,
tawa dan tangis. Karena cinta seperti itu pada hakekatnya hanyalah pengejaran
kesenangan belaka, dan seperti setiap bentuk pengejaran kesenangan, kalau
terdapat membosankan dan kalau tidak terdapat menimbulkan kecewa.
Cinta bukanlah sex semata, Cinta bukanlah kewajiban beiaka, Cinta bukanlah
pengorbanan saja. Cinta bukanlah ini atau itu. Cinta tidak mungkin dapat
digambarkan karena yang dapat digambarkan itu hanyalah benda mati, Cinta
adalah hidup. Yang mengatakan bahwa cinta itu begitu atau begini hanya
merupakan orang-orang yang sombong, dan pernyataan itu hanya merupakan
pendapat-pendapat belaka Cinta bukanlah pendapat, karena setiap muncul
pendapat, sudah pasti ada pendapat lain yang akan menentangnya.
Cinta seperti kebenaran. Tak dapat dimiliki, tidak dapat dipupuk, tidak dapat
dipelajari, akan tetapi meliputi seluruh alam mayapada. Kita dapit mengenal
apa yang BUKAN cinta, dan kalau yang BUKAN cinta itu kita buang semua,
tiada yang ketinggalan, maka barulah terbuka kemungkinan kita mengenal apa
yang kita namakan CINTA KASIH. Benci bukan cinta, cemburu bukan cinta,
keinginan menyenangkan diri sendiri bukan cinta. Jelas bahwa kemarahan, iri
hati, dengki, tamak, permusuhan, semua ini merupakan awan - awan gelap
yang menutupi dai menyembunyikan sinar dari cinta kasih.
Bukan berarti bahwa kita harus menolak kesenangan. Sama sekali tidak!
Kesenangan adalah wajar. Akan tetapi yang berbahaya adalah PENGEJARAN
terhadap kesenangan itulah!
Kesenangan akan muncul sepenuhnya, dengan indahnya, tanpa pengejaran, di
mana ada cinta kasih, dan mungkin sudah tidak tepat pula dinamakan
kesenangan. Tanpa cinta kasih, sex merupakan alat pemuas nafsu berahi
belaka dan pengejarannya mendatangkan hal-hal yang kotor dan jahat.
Akan tetapi, segala sesuatu, juga sex berubah menjadi lain sama sekali dalam
sinar cinta kasih. Segala sesuatu yang kita lakukan akan bersih dan indah,
karena sudah bebas dari pamrih menyenangkan diri yang bukan lain hanyalah
pelampiasan nafsu-nafsu belaka, yang kasar dan yang halus, yang badaniah
dan yang rohaniah.
Begitulah kita manusia selalu melemparkan sepala kegagalan yang kita hadapi
kepada NASIB! Semenjak kecil kita dilolohi kata "nasib" ini sehingga kita selalu
mengatakan bahwa nasib kita sedang mujur, nasib kita sedang buruk dan
sebagainya. Apakah "nasib" itu? Ada yang menghubungkannya dengan
"kehendak Tuhan". Jadi kehendak Tuhankah bahwa kita harus celaka atau kita
harus beruntung? Jadi kita ini apa? Benda-benda mati? Kita selalu
menggunakan kata "nasib" untuk menghibur, untuk menutupi penyesalan kita,
kekecewaan kita, juga untuk menutupi iri hati kita. Kita tidak berani membuka
mata memandang kelemahan kita sendiri, hati yang penuh dengan kecewa dan
iri ini.
Kecewa kalau kita rugi dan iri kalau melihat orang lain untung. Lalu kita
menutupinya dengan kata-kata "sudah nasibku" atau "sudah nasib dia". Seperti
keadaan Beng Han itu. Nasibkah yang menentukan sampai dia kecewa?
Nasibkah yang membuat dia berduka? Betapa menggelikan, namun sungguh,
kalau kita mau membuka mata, kita sendiri setiap saat bermain-main dengan
kata nasib ini, baik melalui mulut ataupun hanya dibisikkan di dalam hati saja.
Dan ketahyulan yang dungu dan picik ini kita pelihara semenjak kita kecil
sampai akhirnya kita tunduk dan menghambakan diri kepada
NASIB! Seolah olah kita tidak kuasa atas diri kita sendiri, atas kelakuan kita
sendiri, melainkan diatur oleh nasib. Padahal, seperti dapat kita lihat dari
keadaan Beng Han, Tidak ada permainan nasib di situ, yang ada hanyalah
permainan dirinya sendiri. Dia mengharapkan sesuatu, mengharapkan cinta Kui
Eng harapannya tidak tercapai, dia kecewa dan berduka. Eh, kenapa dia
mengatakan nasibnya buruk? Kalau dia tidak mengejar sesuatu, dia tidak akan
kecewa, dan tidak akan ada pula yang dinamakan nasib buruk. Jadi nasib
berada di tangan kita sendiri!
Memang, seluruh manusia di dunia mendambakan kebahagiaan, mengejar
kebahagiaan dan sudah tentu semua itu takkan ada hasilnya. Kebahagiaan
tidak dapat dikejar, tidak dapat ditangkap lalu disimpan sebagai milik kita.
Bahkan kebahagiaan tidak dapat dirasakan, dikunyah-kunyah dan dinikmati
seperti kalau kita menikmati kesenangan. Yang biasanya kita anggap
kebahagiaan itu tak lain hanyalah kesenangan belaka, dan kesenangan itu
hanya selewat saja dan segera tempatnya digantikan oleh kesusahan karena
senang dan susah adalah saudara kembar yang tak terpisahkan. Kebahagiaan
tidak dapat dikenang, diingat-ingat, seperti kesenangan. Kesenangan adalah
buatan pikiran yang mengingat-ingat dan mengenang sesuatu, suatu
pengalaman, baru pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain.
Pengalaman yang menyenangkan ini dikenang, diingat-ingat, digambarkan,
dibayangkan sebagai suatu kesenangan yang lalu dikejar dan dicari. Memang
tidak mustahil kita dapat mengejar dan menangkap kesenangan ini, lalu kita
nikmati, akan tetapi setelah terdapat, tentu akan timbul kebosanan karena
keinginan sudah mendesak lagi untuk mencari yang lebih nikmat dari pada itu.
Dan kesenangan juga menimbulkan rasa takut, takut akan kehilangan yang
menyenangkan itu.
Kesenangan menimbulkan kedukaan, yaitu duka kalau sampai kehilangan yang
menyenangkan itu. Kesenangan yang dikejar-kejar juga menimbulkan kecewa,
yaitu kalau tidak terdapat yang dikejar, atau kalau yang dikejar itu ternyata tidak
begitu menyenangkan seperti ketika dibayangkan, dan selanjutnya.
Pendeknya, kesenangan hanyalah barang hampa yang hanya indah
nampaknya sebelum terpegang, selagi dikejar-kejar, akan tetapi setelah dapat,
tidak begitu indah lagi karena kita selalu membanding-banding, kita selalu
dipermainkan oleh pikiran kita yang tidak puas akan yang begini akan tetapi
selalu menghendaki yang begitu, yaitu yang tidak ada!
Kebahagiaan adalah keadaan di mana tidak terdapat rasa takut, tidak terdapat
duka, tidak terdapat rasa kecewa, tidak terdapat keinginan mengejar. Seperti
cinta kasih, maka kebahagiaan hanya pada saat ini, terdapat apa adanya dan
bukan merupakan suatu hasil dari pemikiran! Kebahagiaan sudah memenuhi
jagat raya bagi siapa yang tidak membutuhkan apa-apa, tidak mengejar apa-
apa, tidak mencari apa-apa. Kebahagiaan ada pada setiap saat, akan tetapi
begitu hal itu dianggap sebagai sesuatu yang menyenangkan dan ingin
dipertahankan, ingin dinikmati lagi, maka itu bukanlah kebahagiaan lagi
namanya, melainkan kesenangan dan dengan munculnya kesenangan yang
diciptakan oleh pikiran itu maka lahir pulalah kecewa, takut, dan duka!
Cinta yang didasari keinginan untuk kesenangan diri sendiri, tak dapat
dihindarkan lagi pasti mendatangkan duka, mendatangkan kecewa,
mendatangkan cemburu dan mendatangkan sengsara. Karena pada
hakekatnva cinta seperti itu hanyalah KEINGINAN UNTUK SENANG atau
pengejaran kesenangan untuk diri sendiri belakaKita selalu ingin dicinta, ingin
orang yang menyenangkan hati kita itu menjadi milik kita pribadi ingin agar
orang itu selalu menyenangkan hati kita.Oleh karena inilah maka cinta seperti
itu sering kali berakhir dengan kegagalan dan derita bagi diri sendiri. Cinta
seperti itu selalu disertai harapan harapan dan kalau harapannya ini tidak
tercapai, sudah tentu saja mendatangkan kekecewaan dan kedukaan! Dan
jangan dikira bahwa kalau yang diinginkan atau diharapkan itu tercapai akan
mendatangkan kebahagiaan yang sesungguhnya!
Mungkin mendatangkan kelegaan dan kepuasan sementara saja, seketika saja,
selama sehari dua hari, sebulan dua bulan, atau setahun dua tahun Namun
kepuasan seperti itu mudah sekali goyah dan di sebelah sana, dekat sekali,
sudah menanti kekecewaan-kekecewaan dan kedukaan yang sekali waktu
akan menggantikan kedudukan kesenangan itu!
Kita selalu INGIN agar orang mencinta kita, agar orang baik kepada kita. Akan
tetapi, mengapa kita tidak pernah membuka mata dan menyelidiki diri sendiri.
Apakah kita mencinta orang lain? Apakah kita sudah baik kepadi orang lain?
Inilah yang penting! Bukan agar orang- orang mencinta dan baik kepada kita!
Harapan agar semua orang atau seseorang tertentu mencinta dan baik kepada
kita hanyalah menimbulkan kekecewaan dan penderitaan belaka. Akan tetapi
mempelajari diri sendiri MENGAPA kita tidak mencinta dan tidak baik kepada
orang lain, itulah yang penting. Kalau kita mempunyai cinta kasih dan belas
kasih kepada semua orang, maka cukuplah itu! Cinta dan kebaikan bukanlah
cinta dan kebaikan namanya kalau mengharapkan ganjaran, mengha-spkan
imbalan. Bukan cinta dan bukan keba-kan namanya yang mengharapkan
ganjaran, baik dari orang lain maupun dariTuhan! Itu hanya merupakan
penjilatan atau penyogokan belaka, merupakan akal untuk memperoleh
sesuatu ang menyenangkan kita, bukan? Kalau kita sudah mencinta dan baik
kepada semua orang, maka tidak menjadi persoalan lagi apakah orang-orang
itu baik kepada kita ataukah tidak, cinta kepada kita ataukah tidak. Itu adalah
persoalan mereka, bukan persoalan kita.
Cinta kasih tidak menimbulkan duka! Kalau ada duka, kalau ada kecewa, kalau
ada cemburu, kalau ada benci, jelas itu bukanlah cinta kasih namanya,
melainkan cinta yang didasarkan atas nafsu ingin senang untuk diri pribadi. Ini
jelas dan mudah sekali nampak oleh siapa saja yang mau membuka mata
melihat kenyataan! Selama masih ada "aku yang ingin senang" maka tidaklah
mungkin ada cinta kasih! Karena sesungguhnya si aku inilah yang menjadi
penghalang timbulnya cinta kasih. Karena kalau yang mencinta itu adalah si
aku, jelaslah bahwa si aku hanya dapat mencinta segala sesuatu yang
menyenangkan dan menguntungkan si aku, sebaliknya si aku pasti akan
membenci segala sesuatu yang menyusahkan dan merugikan si aku. Jadi,
selama menyenangkan dan menguntungkan, dicinta, akan tetapi sekali waktu
menyusahkan dan merugikan, lalu dibenci! Cinta seperti itu hanyalah
permainan nafsu yang amat dangkal, hari ini bisa cinta, besok bisa saja menjadi
benci karena hari ini menyenangkan dan menguntungkan, akan tetapi besok
menyusahkan dan merugikan.
Tidak demikiankah adanya "cinta kasih" yang kita dengungdengungkan selama
ini? Tidak demikiankah "cinta kasih" yang ada pada batin kita, terhadap isteri
atau suami kita, terhadap anak-anak kita, terhadap keluarga dan sahabat kita?
Dan kewaspadaan atau kesadaran akan hal ini, kesadaran yang sedalam-
dalamnya, membawa pengertian dan pengertian inilah yang akan
mendatangkan perobahan, karena selama kita belum berubah, sudah pasti
hidup kita akan selalu dikelilingi oleh kecewa, cemburu, duka, sengsara, benci
dan sebagainya.
Ah, betapa kita selalu melontarkan segala sesuatu kepada "nasib"! Mengapa
kita tidak membuka mata memandang diri sendiri, bercermin dan menjenguk
diri sendiri sampai sedalam-dalamnya, mengamati diri sendiri setiap saat?
Segala sesuatu yang terjadi kepada kita berpokok pangkal kepada diri kita
sendiri, sumbernya berada di dalam diri kita sendiri! Susah senang adalah
permainan pikiran kita sendiri, ditimbulkan oleh pikiran sendiri. Kita menjadi
permainan pikiran sendiri Segala sesuatu yang kita lakukan timbul dari pikiran,
si aku, dan kemudian pikiran pula yang menyesal, kecewa, berduka. Lalu
pikiran pula yang melemparkan kesemuanya itu, pertanggungan jawab itu,
kepada sang nasib!
Nasib buruk! Dan kita masih saja melanjutkan kesesatan dan penyelewengan
kita, dan kalau terjadi akibat buruk, mudah saja, melemparkan kepada nasib!
Betapa kita selalu buta, atau membutakan mata?
Agaknya setiap orang manusia tentu dapat merasakan apa yang dirasakan oleh
Gin San di saat itu. Memang terdapat pertautan batin yang kuat sekali antara
kampung halaman, tanah tumpah darah, dengan seseorang. Tanah tumpah
darah, di mana darah ibu tertumpah ketika dia terlahir, memiliki daya tarik yang
mengikat. Betapapun buruk dan miskinnya dusun itu, namun bagi Gin San yang
terlahir di situ dan masa kecilnya berada di dusun itu, agaknya tidak ada tempat
yang lebih indah mengesankan dari pada dusun tempat kelahirannya itu. Ada
semacam daya tarik yang kuat, yang membuat seseorang selalu terkenang dan
ingin sekali-kali berkunjung ke tempat di mana dia terlahir dan bermain-main di
waktu dia masih kecil.
Hal seperti ini timbul karena di dalam kehidupan kita lebih banyak dukanya dari
pada senangnya. Makin tua usia kita, makin banyaklah masalah-masalah yang
meruwetkan dan mengeruhkan batin, dan makin terkenanglah kita dengan
penuh kerinduan hati akan masa kanak-kanak kita, karena memang masa
kanak-kanak merupakan masa terindah dalam kehidupan manusia. Kanak-
kanak hidup dengan polos, jujur, dan wajar. Kanak-kanak tidak pernah
menyimpan dendam, tidak pernah menyimpan suka duka di dalam pikirannya,
tidak pernah menginginkan yang tidak ada, tidak pernah bercita-cita dan kanak-
kanak selalu menikmati hidupnya, dalam keadaan bagaimanapun juga! Itulah
sebabnya mengapa kanak-kanak adalah mahluk yang suci murni, bersih, dan
hidupnya penuh bahagia, bahkan dalam tangispun, seperti dalam tawanya,
terkandung kewajaran yang murni. Namun, sungguh sayang sekali, makin tua
kita, makin kotorlah kita, penuh dengan ambisi, penuh dengan keinginan
memperoleh hal-hal yang tidak kita miliki, penuh dengan cita-cita yang abstrak
dan belum ada, sehingga APA YANG ADA tidak pernah dapat kita nikmati. Kita
gandrung dan mengejar-ngejar kebahagiaan, sama sekali buta akan kenyataan
bahwa sesungguhnya PENGEJARAN itu sendirilah yang tidak memungkinkan
adanya kebahagiaan! Lihatlah sekelompok anak-anak yang bermainmain,
begitu riang gembira, begitu wajar. Kita akan terpesona, akan kagum, dan akan
terheran-heran mengapa sekelompok anak-anak yang bermain-main di dalam
lumpur dapat segembira itu! Dan kita selalu tenggelam di dalam kemuraman! Ini
salah, itu salah, ini tidak enak, itu tidak menyenangkan. Mengapa? Karena hati
dan pikiran kita PENUH DENGAN KEINGINAN, itulah! Hari hujan, ingin terang,
mengeluh. Hari terang, ingin hujan, mengeluh juga. Tidak dapatkah kita
mengakhiri kegilaan yang terdorong oleh keinginan yang tiada habisnya ini dan
hidup dalam arti kata yang sedalam-dalamnya, hidup menikmati saat ini detik
demi detik yang kesemuanya itu sudah mengandung keindahan yang luar
biasa?
Dipandang secara sepintas lalu, apa yang dilakukan oleh Gin San itu memang
baik, yaitu membagi-bagi uang kepada penduduk dusun miskin, sungguhpun
uang itu didapatnya dengan cara yang tidak patut pula. Akan tetapi, betapa
bodohnya anggapan kita pada umumnya bahwa HARTA dapat membuat
manusia hidup BAHAGIA. Sungguh melantur sekali nggapan seperti itu.
Bahkan, tidak selamanya harta mendatangkan kebaikan, kalau tidak dapat
dikatakan bahwa lebih banyak mendatangkan kejahatan! Uang emas yang
disebar oleh Gin San di antara penduduk dusun miskin itu, memang
mendatangkan kegirangan besar, akan tetapi tidak dapat secara tergesa
dikatakan bahwa hal itu mendatangkan kebaikan. Yang sudah jelas saja, begitu
masing-masing menemukan uang emas di dalam rumah, timbullah kecurigaan,
timbullah kekhawatiran kalau kalau penemuan yang menguntungkan itu sampai
ditahui orang lain! Masing-masing merahasiakannya, dan dengan kenyataan ini
saja sudah terbukti betapa harta yang ditemukan itu seketika melenyapkan
kejujuran dan kegotong-royongan di antara mereka yang semula selalu
nampak. Selain itu, juga masing-masing diliputi rasa takut, khawatir kalau-kalau
harta yang mereka temukan itu sampai hilang dicuri orang, sehingga mereka
harus menjaganya, bahkan ada yang tidak dapat tidur karena khawatir kalau-
kalau uang emas itu akan diambil orang.
Harta benda, kedudukan, nama besar, bukanlah hal yang buruk. Akan tetapi
kalau kita sudah melekatkan diri, menyamakan diri dengan mereka, kalau kita
sudah mengejar-ngejar mereka, timbullah kesengsaraan dalam kehidupan.
Pengejarannya itulah yang jahat. Orang yang mengejar harta benda mungkin
saja menjadi mata gelap, melakukan korupsi penipuan,kecurangan dan
sebagainya lagi. Orang yang mengejar kedudukan dan nama besar, mungkin
saja menjadi kejam, mendorong ke samping atau kalau perlu menjegal dan
merobohkan saingannya, cara busuk apapun akan ditempuhnya demi untuk
memperoleh kedudukan dan nama besar yang dikejar-kejarnya itu. Dan setelah
semua itu terdapat kita melekat kepadanya dan timbullah kekhawatiran, rasa
takut kalau-kalau yang sudah terdapat itu akan hilang dari kita! Semua itu
begini jelas, dapat kita lihat setiap hari dalam kehidupan kita, di sekeliling kita,
dalam badan kita sendiri!
Matahari terbenam!
Peristiwa biasa saja yang setiap hari, setiap senja dapat dilihat oleh setiap
manusia di jagad ini. Namun, betapa manusia pada umumnya sibuk dengan
segala macam kesenangan dunia, dengan segala macam pengejaran nafsu
sehingga manusia seakan-akan buta terhadap segala keindahan alam yang
berada di depan mata itu! Betapa sedikitnya manusia yang masih dapat
menikmati keindahan mata. hari terbenam di senja hari, matahari timbul di pagi
hari, awan-awan putih berarak di langit biru, pohon-pohon, daun-daun dan
bunga-bunga. Semua keindahan itu lewat begitu saja, atau dilewati oleh mata
begitu saja, bahkan tidak pernah nampak lagi karena sang mata mencari cari
dan mengejar hal-hal yang tidak ada menurutkan dorongan nafsu yang timbul
dari pikiran yang selalu mengejar hal-hal yang tidak atau belum ada. Karena
sejak pagi sampai malam manusia selalu mengejar hal-hal yang tidak atau
belum ada inilah maka manusia tidak lagi dapat melihat, tidak lagi dapat
menikmati keindahan dari pada hal-hal yang ADA di depan hidung sendiri!
Mengapa kita tidak pernah membuka semua panca indera, memandang segala
yang ada tanpa mengejar hal-hal yang belum ada? Mengapa kita tidak pernah
memperhatikan yang INI, yang BEGINI, akan tetapi selalu menjangkau yang
ITU, yang BEGITU? Padahal segala keindahan, segala kebahagiaan berada
dengan yang INI atau yang ADA, bukan terletak dalam yang ITU atau yang
DIBAYANGKAN. Bahagia adalah sekarang, saat ini. Kalau kebahagiaan itu kita
pindahkan kepada nanti dan kelak, maka hal itu hanya merupakan kesenangan
yang dibayangbayangkan, yang diharap-harapkan, dan bersama dengan
kesenangan itu pasti muncul nafsu keinginan bersama rangkaiannya yang tak
kunjung pisah, yaitu kekecewaan, konflik dan kedukaan atau kesengsaraan
karena di dalam pengejaran untuk mendapatkan kesenangan yang dibayang-
bayangkan itulah lahirnya penyelewengan dan kemaksiatan.
Mengapa dia tidak berduka? Mengapa dia dapat mengecap keindahan?
Apakah duka ilu? Apakah keindahan itu? Adakah keindahan dalam duka?
Adakah duka dalam keindahan Tak mungkin! Duka hanya berada dalam fikiran,
dalam ingatan, dalam kenangan! Duka pasti timbul kalau pikiran mengukur dan
membandingkan, kalau pikiran beranggapan bahwa keadaan tidaklah seperti
yang dikehendakinya sehingga mengecewakan dan timbullah duka. Kalau
pikiran tidak sibuk, tidak bekerja, seperti keadaan dirinya beberapa detik yang
laku tadi, maka keindahan terasa sedemikian nyata meresap ke dalam diri lahir
batin, ke jantung kalbu, terasa sampai ke ujung- ujung rambut. Akan tetapi
begitu pikiran bekerja, sibuk mengingat akan kematian gurunya, betapa
ditinggal seorang diri oleh seorang yang dihormati dan dikasihinya, mengingat
betapa kematian gurunya karena luka pukulan orang, lenyap pulalah segala
keindahan agung tadi!
Demikian pula dengan halnya Pek I Nikouw. Dia berduka melihat orang lain
menggunakan kekerasan, tanpa menyadari bahwa tanggapannya terhadap
kekerasan orang lain itupun merupakan kekerasan yang tidak ada bedanya!
Mungkin, seperti yang kita lakukan kalau kita menghadapi kekerasan orang lain
dengan ke kerasan pula, Pek I Nikouw akan beranggapan bahwa dia
mempergunakan kekerasan demi membela kebenaran! Inilah senjata kita yang
selalu kita pergunakan untuk membela diri sendiri, untuk mcmbenarkan diri
sendiri, untuk mencarialasan mengapa kita melawan, mengapa kita
menggunakan kekerasan. Kita selalu beranggapan bahwa kita marah, kita
keras, karena kita membela kebenaran! Kita sama sekali tidak mau
memandang diri sendiri sehingga nampak jelas bahwa MARAH, BENCI,
BERKERAS itu sendiri sudah TIDAK BENAR! Namun kita pakai untuk membela
kebenaran! Kebenaran siapa? Tentu saja kebenaran kita sendiri yang boleh
saja kita selimuti dengan umum kebenaran agama, bangsa, golongan dan lain-
lain lagi yang hanya merupakan pengluasan saja dari pada kebenaran UNTUK
AKU. Kita lupa bahwa kalau kita sudah menentukan suatu kebenaran untuk diri
sendiri sendiri, maka sudah tentu fihak lawan kitapun memiliki ketentuan suatu
kebenaran untuk dirinya sendiri. Maka terjadilah perang kebenaran, perebutan
kebenaran dan sudah jelas dapat kita lihat bersama bahwa kebenaran yang
diperebutkan itu sesungguhnya BUKANLAH KEBENARAN ADANYA.
Semenjak sejarah dicatat manusia, selalu manusia berenang dalam lautan
kekerasan. Kita menyamakan diri dengan hal-hal yang kita anggap lebih tinggi
dari pada kita.
Melihat diri kita sendiri yang tidak berarti, yang tidak abadi, maka kita suka
melekatkan diri kepada yang kita anggap lebih besar, seperti bangsa, agama,
partai, golongan, keluarga, dan lain-lain di mana kita mengharapkan akan dapat
"membonceng" untuk mengisi kekosongan dan kedangkalan diri kita sendiri.
Maka terjadilah perpindahan kekerasan. Kalau tadinya kita memberatkan "aku"
masing masing dan menjadimarah, membenci dan sebagainya kalau aku
diganggu, makakini terjadi perpindahan atau bahkan pengluasan si "aku" yang
menjadi "negaraku, bangsaku, agamaku, partaiku, golonganku" sehingga
marahlah kita kalau semua itu diganggu. Bahkan ada yang mengesampingkan
dirinya sendiri, seperti para pendeta dan pertapa, tidak akan marah kalau
dirinya diganggu, akan tetapi awas, jangan mengganggu agamanya atau
golongannya, karena kalau itu diganggu, dia akan marah dan menggunakan
kekerasan! Padahal, golonganku, partai ku, bangsaku dan sebagainya itu
hanya merupakan pengluasan dari pada si aku itu juga!
Dapatkah kita hidup bebas dari segala ikatan, segala pelekatan, segala
penyamaan diri bebas dari si aku dengansegala bentuknja dan pengluasannya
yang penuh dengan pengajaran kesenangan sehingga menimbulkan kebenaran
sendiri-sendiri dan akibatnya menimbulkan konflik dan pertentangan?
”Memang demikian keadaan kita pada umumnya. Kita suka sekali untuk
menggambarkan diri sendiri sebagai yang terbaik, yang terbersih, yang paling
suci! Kita tidak pernah memandang diri sendiri seperti apa adanya diri kita ini,
berikut kemarahan kita, kedengkian kita, kebencian kita. Ambisi-ambisi kita,
keinginan keinginan kita yang tak kunjung habis, pamrih-pamrih kita, rasa iri
dan takut, akan tetapi kita hanya membayangkan suatu gambaran yang muluk
tentang diri kita.
Kita ingin menonjolkan kebaikan kita, kita ingin dikebut orang baik! Sungguh
merupakan suatu kebutaan yang menyedihkan. Tindakan yang kita lakukan
dengan pamrih agar kita disebut baik, bukanlah tindakan baik lagi namanya,
melainkan suatu kepalsuan, suatu tindakan yang merupakan sarana untuk
mencapai "gelar" kebaikan. Apa lagi kebaikan yang ditonjol-tonjolkan,
perbuatan yang ditonjol-tonjolkan sebagai perbuatan baik agar kita dicap
sebagai manusia baik, jelas merupakan tindakan yang kotor dan munafik, dan
di balik semua kepalsuan itu tersembunyi keinginan untuk memperoleh
kesenangan! Dalam hal ini yang dianggap kesenangan adalah "menjadi orang
baik" itulah! Maka berebutlah kita untuk "menjadi orang baik" karena hal itu
mendatangkan perasaan senang dan bangga!"
Kenyataan ini mungkin sekali akan menimbulkan pertanyaan bagi sebagian
orang, yaitu. Setelah melihat kenyataan menyedihkan dalam kehidupan
manusia di dunia ini yang penuh dengan kebencian, permusuhan dan
kesengsaraan, lalu apakah yang harus kita lakukan kalau kita tidak boleh
melakukan kebaikan dengan disadari bahwa yang kita lakukan itu adulah
kebaikan?
Kita sudah melihat jelas kepalsuan akan tindakan yang disadari sebagai
tindakan baik, karena di situ terkandung unsur kesengajaan untuk berbuat baik
dan menjadi orang baik. Segala macam tindakan dalam bentuk apapun juga,
tindakan yang dinilai baik atau tidak baik, adalah tindakan yang mengandung
kepalsuan apabila tindakan itu keluar dari
pikiran yang menilai, memilih dan yang selalu menujukan semua hal demi
keuntungan diri sendiri, keuntungan lahir maupun keuntungan batin. Pikiran
merupakan dasar dari semua perbuatan palsu, yang bersumber kepada
kepentingan diri pribadi. Tindakan seperti itu jelas akan menimbulkan konflik,
baik konflik dalam batin sendiri maupun konflik keluar, antara manusia,
kemudian antara kelompok, antara suku, antara bangsa. Karena anggapan baik
yang berdasarkan penilaian sendiri itu sudah pasti bukan kebaikan lagi,
melainkan "menguntungkan diri sendiri" dan kebaikan macam itu sudah pasti
akan bertemu dengan kebalikannya, yaitu penilaian orang lain, Yang kita
anggap baik itu belum tentu dianggap baik oleh orang lain, mungkin saja
dianggap jahat dan buruk! Demikian pula, yang dianggap baik oleh orang lain
belum tentu kita terima sebagai suatu kebaikan. Ini sudah jelas dan merupakan
kenyataan yang dapat kita lihat sehari hari dalam kehidupan kita!
Lalu apa yang harus kita lakukan untuk merobah keadaan kehidupan yang
kacau dan penuh pertentangan di dalam dunia ini? APAPUN yang kita lakukan
dengan pamrih, tidak akan dapat merobah keadaan, bahkan malah menambah
kekacauan karena tindakan kita itupun berpamrih dan mengakibatkan kekalutan
dan pertentangan pula. Inilah yang menyebabkan timbulnya pemberontakan-
pemberontakan, revolusi revolusi yang tak kunjung padam selama dunia
berkembang. Keadaan seperti apa adanya tidak mungkin dapat berobah
selama diri sendiri belum berobah! Keadaan seperti apa adanya tidak mungkin
DI-robah, akan tetapi keadaan itu akan mempunyai arti yang lain sama sekali
apabila diri sendiri sudah berubah! Jadi pertanyaan: Apa yang harus kita
lakukan itu hanya dapat dijawab dengan : Kita tidak harus melakukan apa-apa!
Kita tidak dapat merobah keadaan apa adanya, juga perobahan dalam diri
sendiri tidak dapat kita robah!
Perobahan batin tidak dapat DIROBAH melainkan akan berobah sewajarnya
apa bila kita sadar, mengerti dan waspada!. Bukan kita, atau sesuatu di atas
batin, yang waspada terhadap batin, melainkan batin itu sendiri waspada
terhadap gerak-geriknya sendiri, terhadap tindakan-tindakannya sendiri lahir
batin, terhadap kesibukannya sendiri setiap saat, memandang, mengamati,
waspada, penuh perhatian, tanpa ingin apa-apa, tanpa ingin merobah, tanpa
ingin menjadi baik, tanpa menyalahkan atau membenarkan.
Mengapa semua orang baik-baik di dunia ini bernasib malang dan orang orang
jahat bahkan bernasib baik dan hidup makmur dan bahagia?
Pendapat seperti apa yang saat itu mengganggu pikiran Sian Lun merupakan
semacam "penyakit" yang dimiliki oleh hampir semua orang di dunia ini. Kita
sudah terbiasa semenjak kecil untuk memandang diri sendiri sebagai yang
terbaik, yang terbersih, yang terpandai dan yang paling sebagainya lagi. Diri
sendiri itu dapat diperluas meniadi keluarga sendiri, kelompok sendiri, suku
sendiri, bangsa sendiri. Karena pandangan ini, maka setiap kali ada
kemalangan atau malapetaka menimpa diri kita, maka kita memperbesar iba
diri dengan keluhan mengapa orang "sebaik" kita ini tertimpa kemalangan,
malapetaka dan sebagainya lagi! Dan hal ini merupakan satu di antara sebab
sebab yang menimbulkan rasa penasaran, dendam, ketidakpuasan dan
kebencian. Selama hidup aku tidak pernah menipu atau merugikan orang,
kenapa sekarang aku ditipu dan dirugikan orang? Selama hidup aku suka
menolong orang dan aku hidup sebagai orang yang baik hati, mengapa nasibku
selalu malang dan sengsara? Selama hidup aku baik terhadap orang lain,
mengapa tidak ada orang yang baik kepadaku? Demikianlah kita selalu
mengeluh dengan hati penasaran! Kalau kita membuka mata memandang diri
sendiri, kiranya kita akan mendapat kenyataan bahwa "penyakit" macam itu
juga ada pada kita! Tidaklah demikian haInva?
Mengapa kita selalu ingin menonjolkan diri sebagai yang terbaik? Mengapa
pula kita mengharapkan suatu imbalan atau hadiah bagi semua tindakan yang
kita anggap baik itu? Tidak, aku tidak minta imbalan atas kebaikanku, bantah
seseorang mungkin. Akan tetapi, kalau sekali waktu tertimpa kemalangan lalui
"mengeluh" mengapa dia yang baik itu tertimpa kemalangan, bukankah hal ini
sama saja dengan mengharapkan imbalan, agar KEBAIKANNYA iiu
menjauhkan segala kemalangan. Apakah kebaikan yang mengandung pamrih
memperoleh imbalan itu kebaikan namanya? Bukankah itu merupakan suatu
kemunafikan yang menyulap suatu daya upaya memperoleh keuntungan
menjadi suatu kebaikan? Mengapa kita selalu cenderung menganggap bahwa
setiap kemalangan tidak patut dijatuhkan kepada kita, sebaliknya setiap
keberuntungan memang sudah tepat menjadi milik kita? Pendapat ini hanya
mengundang datangnya sesal dan kecewa, yang menuntun kepada rasa
penasaran, kebencian, dan kesengsaraan batin.
Yang dinamakan KEBAIKAN itu bukan lagi kebaikan kalau sudah kita sadari
sebagai kebaikan! Misalnya ada seorang kelaparan, kita lalu memberinya
makan. Kalau perbuatan ini kita lakukan karena dorongan iba hati terhadap
orang yang kelaparan itu, maka inilah perbuatan wajar, perbuatan yang
mengandung cinta kasih. Akan tetapi kalau kita menyadari bahwa itu adalah
perbuatan baik, dan demi "kebaikan" itu kita lalu menolongnya, sadar bahwa
kita telah melakukan kebaikan, maka kebaikan macam ini adalah kebaikan
yang condong berpamrih. Macam-macamlah pamrihnya itu, mungkin untuk
mencari pujian dari orang lain, mungkin untuk menerima syukur dan terima
kasih dari yang ditolong, mungkin untuk memuaskan perasaan sendiri yang
telah "berbuat baik", bahkan mungkin lebih luas dan tinggi lagi yaitu
mengharapkan agar kebaikannya itu dicatat di "sana" sebagai tabungan untuk
kelak diambil kalau sudah mati atau di raktu perlu. Perbuatan yang oleh umum
dianggap baik itu lenyap sifat kebaikannya kalau di waktu melakukannya kita
sadari sebagai kebaikan. Hanva orang lainlah yang menilai. Kita sendiri hanya
beibuat dengan dasar cinta kasih yang dapat berbentuk belas kasih atau iba
hati.
Segala macam peristiwa yang menimpa diri kita hanyalah merupakan akibat
dari segala macam perbuatan kita. Peristiwa yang menimpa diri kita merupakan
pemetikan buah dari pohon perbuatan yang kita tanam sendiri, dan ini terjadi
tanpa kita sadari. Semua perbuatan kita atau pohon yang kita tanam sehari-
hari, hanja dapat bersih dan sehat apabila kita mau waspada setiap saat,
waspada dengan membuka mata memandang diri sendiri, pikiran sendiri
perbuatan sendiri sehingga kita dapat waspada dan sadar setiap saat dan
dengan kewaspadaan ini kita pasti akan dapat menyingkirkan semua perbuatan
yang tidak benar yang berarti kita menghindarkan penanaman pohon yang
jahat, yang kelak sudah pasti tanpa kita sadari atau minta, akan menghasilkan
buah yang jahat pula yang harus kita petik sendiri.
Oleh karena itu, setiap kali datang kemalangan atau malapetaka menimpa diri
kita, dari pada kita mengeluh dan merasa penasaran mengapa kita yang "begini
baik" tertimpa mala petaka yang "begitu buruk", adalah jauh lebih bermanfaat
apabila kita merenung dan meneliti diri sendiri dan selalu waspada terhadap
segala apa yang terjadi, haik di sebelah dalam maupun di luar diri kita, tanpa
menamakan peristiwa itu sebagai yang baik ataupun yang buruk, tanpa
menyesal kepada Tuhan, kepada musia lain. maupun kepada setan atau
kepada alam. Kita meneliti diri sendiri setiap saat karena diri pribadi adalah
SUMBER dari terjadinya segala sesuatu atas diri kita itu.
Memang mudah bagi kita untuk mencela Ling Ling sebagai seorang dara yang
hijau dan tidak berpengalaman dan bodoh, mau saja ditipu oleh bujuk rayu
ketua Pek-lian-kauw sehingga dia mati-matian membela perkumpulan itu!
Sebaiknya kalau kita menilai diri kita sendiri. Bukankah kita semua ini juga tidak
banyak bedanya dengan keadaan Ling Ling?! Sampai sekarangpun, peristiwa
yang menimpa diri Ling Ling itu masih terus berulang dan tanpa kita sadari, kita
sendiri juga menjadi korban Semua kelompok, semua perkumpulan, semua
partai di dunia ini dalam perjuangannya tentu selalu mengangkat diri sebagai
pembela rakyat.! Semua pemimpin golongan selalu mendengung-dengungkan
perjuangan demi membela rakyat jelata, dengan kata kata penuh semangat dan
amat menarik sehingga kita semua percaya secara membuta dan membantu
serta membela usaha golongan itu, membela usaha partai itu,! berjuang
menurut apa yang mereka gariskan secara mati-matian dan fanatik. Padahal,
hampir selalu dan hal ini dapat dibuktikan dari sejarah, para pemimpin
kelompok, golongan atau partai itu pada hakekatnya hanya mengejar sukses
bagi diri mereka sendiri saja yang pada saat pengejarannya selalu
menggunakan nama demi rakyat, demi negara dan sehagainya lagi. Buktinya?
Sudah terlalu banyak, sudah terlalu sering, namun baru disadari setelah
terlambat. Betapa banyaknya golongan atau partai yang gagal dalam
perjuangannya, menjadi pecundang, menjadi buronan, yang pertama-tama
menjadi korban adalah para pengikut yang tadinya tidak tahu apa-apa itulah.
Dan para pemimpinnya? Para pimpinan dari partai yang kalah dan gagal itu?
Sudah berbondong-bondong berlumba untuk menyelamatkan diri, melarikan diri
sambil membawa harta benda yang berhasil mereka kumpulkan! Kita semua
sudah melihat sendiri kenyataan ini dan telah terjadi pula di seluruh pelosok
dunia. Dan bagaimana seandainya gotongan atau partai yang kita bela karena
kita terkena bujukan itu memperoleh kemenangan dan jaya? Tak perlu kita
berpura-pura, dapat kita lihat pula betapa yang jaya hanyalah beberapa gelintir
orang yang tadinya menjadi pimpinan itulah. Sedangkan para pengikut yang
tadinya membela perjuangan itu secara mati-matian? Dilupakan sudah! Para
pengikut yang tidak tahu apa-apa itu hanya diperlukan di waktu terjadi
perebutan, di waktu terjadi pertentangan, di waktu terjadi perang dan
permusuhan. Kalau kalah? Para pengikut ini mati konyol lebih dulu. Kalau
menang? Para pengikut ini hanya menjadi penonton dari mereka yang mabok
kemenangan dan hanya menggigit jari, atau kalau kebagianpun hanya sisanya
Bagaimana dengan para pemimpin yang pandai membujuk? Kalau kalah
mereka berlomba melarikan diri. Kalau menang mereka berlomba pula
memperkaya diri!
Semenjak sejarah dicatat orang, manusia di dunia ini sudah sejak dahulu kala
berusaha untuk menghindarkan kesengsaraan hidup dan mencari kebahagiaan
hidup. Manusia melihat kenyataan betapa kehidupan penuh dengan duka dan
sengsara, dan melihat pula bahwa yang mendatangkan kedukaan itu adalah
perbuatan perbuatan yang dinamakan jahat. Oleh karena itu, manusia
berusaha menentang kejahatan dengan pelajaran-pelajaran tentang kebaikan,
melalui berbagai macam agama, tradisi dan kebudayaan. Namun, kenyataan
pahit membuktikan bahwa sampai kini, usaha itu masih berjalan terus dan
nampaknya tidak banyak mendatangkan hasil baik! Kejahatan masih
merajalela, kalau tidak mau dikatakan makin menjadi-jadi, permusuhan,
kebencian, pertentangan, baik antara pribadi, antara golongan, maupun antara
bangsa bukan mereda bahkan makin meluas. Usaha ribuan tahun telah gagal.
Manusia, sampai saat ini, masih menderita duka sengsara, masih menghayati
kehidupan di dunia yang penuh kebencian dan permusuhan!
Kebaikan tidak mungkin dapat dipelajari! Kebahagiaan tidak mungkin dapat
dipupuk, cinta kasih tidak mungkin dapat dilatih. Kebaikan dalam setiap
tindakan dengan sendirinya ada, apabila kejahatan telah bersih dari dalam diri,
dari dalam batin, bukan kebaikan yang dibuat, melainkan kebaikan yang wajar,
seperti kebersihan yang ada setelah kekotoran lenyap. Seribu satu macam
pelajaran tentang kebaikan, laksaan bait ujar-ujar tentang kebaikan hidup,
tentang bagaimana kita harus mennjadi orang baik, hanya merupakan teori-tori
kosong belaka, pelajaran yang mati dan kenyataannya semua pelajaran itu
hanya menjadi alat untuk membanggakan diri sebagal orang yang pandai, alat
untuk berdebat dengan orang lain tentang kebajikan dan sebagainya, alat
pemanis bibir agar dianggap sebagai orang bijaksana dan pandai! Yang penting
bukanlah menghafal segala macam kata mutiara, kata suci tentang filsafat dan
kebatinan, melainkan membuka mata dengan penuh kewaspadaan mengenal
diri pribadi. Semua pelajaran tentang kebatinan, kata-kata muluk yang dirangkai
indah, semua itu seperti pakaian yang indah dan bersih belaka. Apa artinya
pakaian indah bersih dipakai oleh badan kita yang kotor! Mengenal diri sendiri
berarti membuka mata memandang dan melihat kekotoran diri sendiri
mengenal segala kebencian, iri hati, dengki, kesombongan, kegelisahan,
kekecewaan dan sebagainya yang memenuhi batin kita sendiri. Selama semua
ini masih memenuhi batin kita, mana mungkin kita mau bicara tentang
kebajikan, tentang kebahagiaan, tentang cinta kasih.
Berbuat baik bukan sebagai hasil latihan adalah suatu kewajaran, dan hal ini
baru mungkin apabila ada landasan cinta kasih. Kalau sudah begini, keindahan
dan kebahaginan hidup tidak perlu lagi dikejar-kejar! Karena di dalamnya sudah
terdapat keindahan, sudah terdapat kebahagiaan! Cinta kasih dan kebahagiaan
tidak dapat dipisah-pisahkan, demikian pula dengan apa yang dinamakan
kebaikan. Tanpa adanya cinta kasih, di mana mungkin ada kebaikan? Tanpa
adanya cinta kasih, di mana mungkin ada kebahagiaan? Kebaikan tanpa cinta
kasih adalah kebaikan buatan yang dibaliknya bersembunyi pamrih
memperoleh ganjaran atau imbalan, dan karenanya bukan lagi kebaikan
namanya, melainkan suatu cara dari usaha memperoleh keuntungan berupa
ganjaran atau imbalan itulah. Perbuatan baik dengan dasar cinta kasih adalah
perbuatan wajar yang oleh yang berbuat sendiri tidak disadari sebagai suatu
kebaikan! Di dalam perbuatan seperti ini terkandung keindahan dan
kebahagiaan. Kebahagiaan tanpa cinta kasih hanya merupakan kesenangan
belaka, kesenangan badaniah maupun batiniah yang diikuti oleh kebosanan,
kekecewaan, kekhawatiran dan keinginan untuk memperoleh lebih banyak lagi,
yang menyeret kita ke dalam lingkaran setan dari senang dan susah.
Yang kita sebut Thian, Tuhan Yang Maha Kuasa itu mutiak
Maha Ada dan Maha Benar. Kalau orang-oraog saling
membicarakan dan mempertentangkan maka akan timbul
bentrokan dan perselisihan. Hal ini terjadi karena
mempertentangkan itu adalah hati akal pikiran kita yang
sudah diperalat nafsu. Hati akal pikiran kita terlalu kecil
sekali untuk dapat mengukur Keberadaan, Kebesaran, dan
KebenaranNya. Hati-akal-pikiran hanya akan membentuk
aku yang selalu minta dibenarkan, aku yang selalu merasa
pintar, selalu merasa benar sendiri, paling mengerti. Si-aku
yang sesungguhnya bukan lain adalah nafsu, kuasa ibiis.
Bagaimana mungkin kebenaran hendak diperebutkan?
Memperebutkan kebenaran itu sendiri sudah jelas tidak
benar! Semua agama mengajarkan manusia untuk hidup
baik dan bermanfaat bagi dunia dan manusia dan semua
agama itu benar adanya karena merupakan wahyu dari
Tuhan untuk membimbing manusia agar tidak tersesatdan
agar tidak melakukan kejahatan. Tentu saja ketika wahyu
diturunkan, manusia menerimanya disesuaikan dengan
jamannya, kebudayaan bangsanya pada waktu itu, dengan
tradisinya dan segalanya. Hal ini tentu akan membuat
wahyu-wahyu itu tampak berbeda pada lahirnya.
Pakaiannya saja yang berbeda, bahasanya, dan setelah
lewat ratusan atau ribuan tahun mungkin pula terjadi
perubahan-perubahan dalam bahasa dan penafsirannya.
Kenapa mesti dicari perbedaannya? Kenapa mesti
dipertentangkan? Kenapa mesti membenarkan agama
sendiri dan menyalahkan agama yang lain? Tuhan hanya
satu. Bahkan satu di antara jutaan ciptaanNya, yaitu
matahari, manfaatnya untuk semua manusia di permukaan
bumi, apalagi Tuhan sendiri! Tuhan Yang Maha Esa adalah
Tuhan semua manusia, tak perduli berbangsa atau
beragama apapun, bahkan Tuhan semua mahluk, yang
tampak maupun yang tidak tampak, yang bergerak maupun
yang tidak bergerak! Lihatiah sebintik lumut. Begitu kecil tak
berarti, namun Kekuasaan Tuhan berada dalam dirinya,
karena itu ia hidup!"
"Setelah mengenal keindahan dengan sendirinya mengenal
keburukan,
setelah tahu akan kebaikan dengan sendirinya tahu pula
akan keJahatan.
Sesungguhnya ada dan tiada saling melahirkan
sukar dan mudah saling melengkapi
panjang dan pendek saling mengadakan
tinggi dan rendah saling menunjang
sunyi dan suara saling mengisi dahulu
kemudian saling menyusul.
Itulah sebabnya para bijaksana bekerja tanpa pamrih
mengajar tanpa bicara.
Segala terjadi tanpa dia mendorongnya tumbuh tanpa dia
ingin memilikinya berbuat tanpa dia menjadi sandarannya.
Walau berjasa dia tidak menuntut Justeru tidak menuntut
maka takkan musna”.
Sejumlah bebek dan kambing bercampur baur menjadi satu dalam kandang.
Yang bisa dihitung hanya seluruh kepala yang jumlahnya 88, dan seluruh kaki
yang jumlahnya 246. Pertanyaannya ialah: berapakah jumlah bebek dan
berapa pula jumlah kambingnya?
“Jawabannya begini : Kedua macam binatang itu berbaur dalam kandang. Kaki
kambing berjumlah empat, sedangkan kaki bebek berjumlah dua. Seluruh
binatang itu kakinya ada dua ratus empat puluh enam dan kepalanya delapan
puluh delapan, bukan? Nah, andaikata binatang itu kesemuanya kambing,
maka kakinya akan berjumlah delapan puluh delapan kali empat, yaitu tiga
ratus lima puluh dua. Pada hal jumlah kakinya hanya dua ratus empat puluh
enam, jadi selisihnya 352-246 sebanyak 106. Nah, selisih ini dibagi selisih
antara kaki kedua binatang, yaitu 106:2 = 53. Nah, karena perumpamaan tadi
kita ambil dari kambing, maka yang 53 ini adalah bebeknya. Dan tentu saja
kambingnya adalah 88-53 = 35. Atau kalau ambil perhitungan dari bebek,
andaikata semua bintang itu bebek, maka kepala yang 88 itu dikalikan 2, jadi
176. Nah, selisihnya jadi 246-176 = 70. Karena dihitung dari perumpamaan
bebek, maka selisih yang 70 itu dibagi 2, sama dengan 35 dan itulah jumlah
kambing.”
KEBAJIKAN atau kebaikan tabiat atau kelakuan adalah suatu sifat, suatu
kewajaran yang terjadi atau dilakukan tanpa unsur kesengajaan oleh si pelaku.
Kalau kebajikan dilakukan dengan sengaja disertai kesadaran dari pelaku
bahwa dia melakukan kebajikan, maka tak dapat disangkal lagi, perbuatan baik
atau kebajikannya itu dilakukan dengan adanya pamrih tersembunyi di balik
perbuatan itu.
Bermacam-macam dan bertingkat-tingkat adanya pamrih yang tersembunyi ini,
ada pamrih untuk keuntungan lahiriah, ada pula pamrih keuntungan batiniah.
Akan tetapi tetap saja sama, karena pamrih yang tersembunyi dalam setiap
perbuatan itu pada hakekatnya hanyalah keinginan untuk memperoleh
kesenangan lahir maupun kesenangan batin.
Bahkan ada pamrih tersembunyi dalam perbuatan baik yang tidak disadari lagi
oleh yang berbuat, pamrih yang mengendap di bawah sadar.
Dan setiap perbuatan betapapun baiknya setiap kebajikan, yang dilakukan
dengan kesadaran bahwa hal itu adalah kebajikan dan dengan demikian
mengandung pamrih, adalah suatu kepalsuan. Bukan baik karena memang
pada dasarnya dan sewajarnya memang baik, melainkan kebaikan yang dibuat-
buat, seperti pemulas untuk menutupi ying buruk. Kebajikan tidak mungkin
dapat dipelajari, dalam arti kata dilatih, atau ditiru-tiru dari anjuran kitab-kitab
atau guru-guru.
Karena kebajikan yang hanya dilakukan untuk meniru-niru atau menyesuaikan
diri dengan suatu pelajaran, adalah kebajikan pura-pura atau palsu, munapafik
adanya. Kalau di dalam hati masih ada rasa benci, lalu dalam perbuatan, kata-
kata sikap dan lain-lain memperlihatkan keramahan dan kebaikan budi,
bukankah itu palsu namanya?
Kalau begitu, bagaimanakah yang dinamakan kebajikan atau kebaikan itu:
Kalau kelakuan itu adalah suatu sifat, suatu kewajaran, tidak disadari lagi
sebagai suatu kebajikan oleh yang melakukannya, kalau tidak terdapat
kebencian lagi di dalam hati, maka terdapatlah cinta kasih di dalam perbuatan.
Dan dengan cinta kasih, maka setiap perbuatan adalah bajik!.
Kebaikan yang timbul karena latihan, hanyalah tiru-tiru dan palsu.Kebaikan
seperti ini mudah sekali luntur, mudah goyah dan mudah berubah, bagaikan
pakaian saja kalau tertimpa panas dan hujan, akan luntur dan lapuk,
memperlihatkan apa yang tersembunyi di baliknya. Terutama sekali dalam
keadaan dikecewaan, maka timbullah dendam, penasaran, yang mengundang
kebencian. Dan kalau sudah di cengkeram oleh kebencian, maka semua latihan
kebaikan itu pun akan terlupakan.
Tidaklah aneh apabila manusia selalu menganggap bahwa hal yang tidak
dimilikinya itu sebagai hal yang paling indah dan akan mendatangkan
kebahagiaan kalau dapat diraihnya. Perbandingan mendatangkan iri hati,
mendatangkan keinginan untuk memperoleh segala sesuatu yang tidak
dimilikinya.
Karena itulah semua manusia di dunia ini hanya saling pandang dan saling
mengiri, menganggap bahwa! keadaan orang lain lebih senang dari pada
keadaan dirinya sendiri, sedangkan kesenangan itu tentu selalu dianggap dapat
dicapai melalui keadaan yang belum dimilikinya.
Karena itu bermacam-macam anggapan timbul sebagai jalan menuju ke arah
kebahagiaan, ada yang menganggap bahwa jalan itu melalui harta kejayaan,
ada yang menganggap melalui kedudukan, kekuasaan, nama besar,
kepintaran, kehormatan, kesehatan, isteri cantik, suami ganteng, banyak anak,
atau tidak punya anak, dan masih banyak lagi. Inilah sebabnya maka yang
memiliki satu lebih di antara semua syarat itu, namun masih merasa tidak
bahagia karena syarat lain yang dianggap paling tepat tidak dimilikinya.
Kesenangan, segala macam bentuk kesenangan, hanya akan nampak sebagai
kebahagiaan selama kesenangan itu belum dimiliki.
Akan tetapi sekali kesenangan yang diidamkan itu telah dimilikinya,maka akan
ternyatalah bahwa kesenangan itu sama sekali tidak seindah yang didambakan
semula, dan sama sekali tidak dapat mendatangkan kebahagiaan. Inilah
sebabnya mengapa manusia selalu saling pandang dan saling mengiri.
Dapatkah kita hidup tanpa membanding-bandingkan, tanpa menginginkan
sesuatu yang tidak ada pada kita? Dapatkah kita membuka mata dan
memandang apa adanya tanpa dihalangi oleh bayangan-bayangan harapan
dan keinginan, sehingga kita dapat menemukan keindahan dan kebahagiaan
yang sudah ada dalam segala sesuatu, dalam apa adanya?
Pertanyaan, ini takkan dapat dijawab kecuali kalau kita menghayatinya dalam
kehidupan sehari-hari membuka mata dan telinga, hidup dalam saat ini secara
wajar, tanpa memandang ke depan tanpa menengok ke belakang.
Bukan hidup di alam kenangan hari-hari kemarin dan bukan pula hidup di alam
khayal dari hari-hari esok. melainkan hidup sungguh-sungguh dalam hari ini,
saat ini, detik demi detik!.
Beng Han teringat betapa bahagia hidupnya beberapa saat yang lalu, ketika dia
masih dekat dengan sumoinya, dengan dara yang di cintainya. Dan tiba-tiba
saja, dalam waktu sedetik semenjak dia tahu bahwa Kui Eng tida mencintanya,
seakanakan hancurlah segala-galanya dan kehidupan berubah menjadi derita
dan siksa hati.
Mengapa demikian? Mengapa cinta hanya menjadi semacam permainan antara
suka dan duka? Antara sorga dan neraka? Dan lebih banyak dukanya dari pada
sukanya yang dibawa oleh cinta? Mengapa cinta tidak dapat kekal?
Mengapa selalu timbul saja konflik bahkan sampai dengan perpecahan di
antara orang-orang yang tadinya mengaku saling mencinta. Mengapa pula cinta
menghancurkan hati orang yang tidak menerima balasan cinta, mendatangkan
derita batin bagi orang yang mencinta sefihak saja?
Mengapa?
Kita sudah terlalu mengotori kata "cinta" dengan berbagai penafsiran sehingga
cinta yang sejati menjadi suram dan tidak nampak lagi. Yang biasa menempel
di bibir kita sebagai cinta kasih, sebagai cinta suci dan sebagainya, yang
menjadi kembang bibir di antara pria dan wanita, di antara sahabat, di antara
orang tua dan anak, di antara manusia dengan Tuhannya, antara manusia
dengan para dewanya, antara manusia dengan kebangsaannya, negaranya,
dan sebagainya, kata "cinta" yang kita obral dau yang dengan mudah sekali kita
ucapkan itu, sesmgguhnya patut kita selidiki lagi apakah semua itu benar-benar
cinta!
Tidak mungkin menyelidiki pernyataan cinta orang lain, akan tetapi sudah jelas
bahwa kita dapat menyelidiki pernyataan cinta kita sendiri dan mari kita sama
menjenguk dan menyelami!
Si suami berkata kepada isterinya, atau isteri kepadi suaminya, "Aku cinta
padamu", akan tetapi di dalam pernyataan cinta ini biasanya terkandung sebab
dan pamrih.
Aku cinta padamu karena engkaupun cinta padaku, atau aku cinta padamu
karena engkau memuaskan hatiku, melayaniku, menyenangkan hatiku. Jadi
pada hakekatnya, cinta macam ini adalah suatu jual beli saja. Kita membeli
dengan cinta untuk mendapatkan kesenangan! Marilah, kita bersikap jujur dan
meneliti diri sendiri. Tidakkah demikian keadaannya? Dan kalam pada suatu
waktu, si dia yang kita cinta karena pelayanannya itu, baik sex, sikap manis,
uang, atau apa saja, menolak untuk memberi pelayanan itu, maka kitapun
menjadi marah! Dan cintapun kabur entah ke mana! Cinta seperti itu sifatnya
hanya merupakan jembatan untuk penyeberangan kita ke arah kesenangan!
Cinta seperti itu membuat kita ingin menguasai, memiliki, dimiliki, memberi,
diberi, dan terutama sekali mengikat dia yang kita cinta itu kepada kita, menjadi
milik kita dengan hak penuh dan tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun
juga! Dan kalau pada suatu waktu dia yang kita cinta itu bermanis-manis
dengan pria atau wanita lain, marahlah kita, dan perceraianpun terjadilah, cinta
kita seperti itu hanya merupakan api yang dihidupkan dengan bahan bakar
berupa kesenangan untuk diri kita sendiri. Api itu masih bernyala selama bahan
bakarnya masih ada. Kita masih mencinta selama dia yang kita cinta itu masih
mendatangkan kesenangan, akan tetapi kalau bahan bakar itu habis, cintapun
padamlah, bahkan kadang-kadang, sebagai akibat akibat cemburu dan
sebagainya, "cinta" kita itu malah bisa saja berubah menjadi "benci"! Apakah
yang demikian itu benar-benar cinta sejati?
Sama halnya dengan cinta kita terhadap sahabat. Sahabat yang sudah seribu
kali melakukan hal yang menyenangkan hati kita, kita cinta, akan tetapi satu kali
saja dia melakukan hal tidak menyenangkan, maka cinta kita luntur, mungkin
berubah menjadi benci. Cinta antara sahabat macam inipun pada dasarnya
hanyalah digerakkan oleh nafsu ingin menyenangkan diri kita sendiri saja.
Demikian pula pengakuan cinta kita terhadap orang tua atau anak, terhadap
Tuhan, pada dewa, terhadap bangsa, negara dan sebagainya. Pernahkah kita
meneropong apa yang menjadi dasar dari pada perasaan cinta kita itu? Apa
bila dibaliknya bersembunyi pamrih atau sebab karena kita ingin senang, baik
kesenangan lahir maupun kesenangan batin, maka itu hanyalah jual beli saja
dan karenanya palsu adanya.
Dan sudahlah pasti bahwa cinta yang seperti itu hanya mendatangkan konflik,
seperti kesenangan macam apapun, mendatangkan puas kecewa, suka duka,
tawa dan tangis. Karena cinta seperti itu pada hakekatnya hanyalah pengejaran
kesenangan belaka, dan seperti setiap bentuk pengejaran kesenangan, kalau
terdapat membosankan dan kalau tidak terdapat menimbulkan kecewa.
Cinta bukanlah sex semata, Cinta bukanlah kewajiban belaka, Cinta bukanlah
pengorbanan saja. Cinta bukanlah ini atau itu. Cinta tidak mungkin dapat
digambarkan karena yang dapat digambarkan itu hanyalah benda mati, Cinta
adalah hidup. Yang mengatakan bahwa cinta itu begitu atau begini hanya
merupakan orang-orang yang sombong, dan pernyataan itu hanya merupakan
pendapat-pendapat belaka Cinta bukanlah pendapat, karena setiap muncul
pendapat, sudah pasti ada pendapat lain yang akan menentangnya.
Cinta seperti kebenaran. Tak dapat dimiliki, tidak dapat dipupuk, tidak dapat
dipelajari, akan tetapi meliputi seluruh alam mayapada. Kita dapit mengenal
apa yang BUKAN cinta, dan kalau yang BUKAN cinta itu kita buang semua,
tiada yang ketinggalan, maka barulah terbuka kemungkinan kita mengenal apa
yang kita namakan CINTA KASIH. Benci bukan cinta, cemburu bukan cinta,
keinginan menyenangkan diri sendiri bukan cinta. Jelas bahwa kemarahan, iri
hati, dengki, tamak, permusuhan, semua ini merupakan awan-awan gelap yang
menutupi dai menyembunyikan sinar dari cinta kasih.
Bukan berarti bahwa kita harus menolak kesenangan. Sama sekali tidak!
Kesenangan adalah wajar. Akan tetapi yang berbahaya adalah PENGEJARAN
terhadap kesenangan itulah!
Kesenangan akan muncul sepenuhnya, dengan indahnya, tanpa pengejaran, di
mana ada cinta kasih, dan mungkin sudah tidak tepat pula dinamakan
kesenangan. Tanpa cinta kasih, sex merupakan alat pemuas nafsu berahi
belaka dan pengejarannya mendatangkan hal-hal yang kotor dan jahat.
Akan tetapi, segala sesuatu, juga sex berubah menjadi lain sama sekali dalam
sinar cinta kasih. Segala sesuatu yang kita lakukan akan bersih dan indah,
karena sudah bebas dari pamrih menyenangkan diri yang bukan lain hanyalah
pelampiasan nafsu-nafsu belaka, yang kasar dan yang halus, yang badaniah
dan yang rohaniah.
Beng Han teringat akan adiknya dan dia merasa girang bahwa Beng Lian telah
mendapatkan seorang calon suami seperti Yap Yu Tek yang gagah perkasa.
Diam-diam dia berdoa semoga nasib adiknya itu lebih baik dari pada nasibnya!
Begitulah kita manusia selalu melemparkan sepala kegagalan yang kita hadapi
kepada NASIB! Semenjak kecil kita dilolohi kata "nasib" ini sehingga kita selalu
mengatakan bahwa nasib kita sedang mujur, nasib kita sedang buruk dan
sebagainya. Apakah "nasib" itu? Ada yang menghubungkannya dengan
"kehendak Tuhan". Jadi kehendak Tuhankah bahwa kita harus celaka atau kita
harus beruntung? Jadi kita ini apa? Benda-benda mati? Kita selalu
menggunakan kata "nasib" untuk menghibur, untuk menutupi penyesalan kita,
kekecewaan kita, juga untuk menutupi iri hati kita. Kita tidak berani membuka
mata memandang kelemahan kita sendiri, hati yang penuh dengan kecewa dan
iri ini.
Kecewa kalau kita rugi dan iri kalau melihat orang lain untung. Lalu kita
menutupinya dengan kata-kata "sudah nasibku" atau "sudah nasib dia". Seperti
keadaan Beng Han itu. Nasibkah yang menentukan sampai dia kecewa?
Nasibkah yang membuat dia berduka? Betapa menggelikan, namun sungguh,
kalau kita mau membuka mata, kita sendiri setiap saat bermain-main dengan
kata nasib ini, baik melalui mulut ataupun hanya dibisikkan di dalam hati saja.
Dan ketahyulan yang dungu dan picik ini kita pelihara semenjak kita kecil
sampai akhirnya kita tunduk dan menghambakan diri kepada
NASIB! Seolah olah kita tidak kuasa atas diri kita sendiri, atas kelakuan kita
sendiri, melainkan diatur oleh nasib. Padahal, seperti dapat kita lihat dari
keadaan Beng Han, Tidak ada permainan nasib di situ, yang ada hanyalah
permainan dirinya sendiri. Dia mengharapkan sesuatu, mengharapkan cinta Kui
Eng harapannya tidak tercapai, dia kecewa dan berduka. Eh, kenapa dia
mengatakan nasibnya buruk? Kalau dia tidak mengejar sesuatu, dia tidak akan
kecewa, dan tidak akan ada pula yang dinamakan nasib buruk. Jadi nasib
berada di tangan kita sendiri!
Cinta yang didasari keinginan untuk kesenangan diri sendiri, tak dapat
dihindarkan lagi pasti mendatangkan duka, mendatangkan kecewa,
mendatangkan cemburu dan mendatangkan sengsara. Karena pada
hakekatnva cinta seperti itu hanyalah KEINGINAN UNTUK SENANG atau
pengejaran kesenangan untuk diri sendiri belakaKita selalu ingin dicinta, ingin
orang yang menyenangkan hati kita itu menjadi milik kita pribadi ingin agar
orang itu selalu menyenangkan hati kita.Oleh karena inilah maka cinta seperti
itu sering kali berakhir dengan kegagalan dan derita bagi diri sendiri. Cinta
seperti itu selalu disertai harapan harapan dan kalau harapannya ini tidak
tercapai, sudah tentu saja mendatangkan kekecewaan dan kedukaan! Dan
jangan dikira bahwa kalau yang diinginkan atau diharapkan itu tercapai akan
mendatangkan kebahagiaan yang sesungguhnya!
Mungkin mendatangkan kelegaan dan kepuasan sementara saja, seketika saja,
selama sehari dua hari, sebulan dua bulan, atau setahun dua tahun Namun
kepuasan seperti itu mudah sekali goyah dan di sebelah sana, dekat sekali,
sudah menanti kekecewaan-kekecewaan dan kedukaan yang sekali waktu
akan menggantikan kedudukan kesenangan itu!
Maka, timbul pertanyaan yang amat besar dan yang amat menarik untuk kita
selidiki. Apakah benar-benar Kui Eng mencinta Min Tek? Kalau benar gadis ini
mencinta Min Tek, apakah dia akan merasa sengsara melihat bahwa Min Tek
telah mempunyai seorang tunangan, bahwa Min Tek akan hidup bahagia
dengan tunangannya itu?
Kita selalu INGIN agar orang mencinta kita, agar orang baik kepada kita. Akan
tetapi, mengapa kita tidak pernah membuka mata dan menyelidiki diri sendiri.
Apakah kita mencinta orang lain? Apakah kita sudah baik kepadi orang lain?
Inilah yang penting! Bukan agar orang- orang mencinta dan baik kepada kita!
Harapan agar semua orang atau seseorang tertentu mencinta dan baik kepada
kita hanyalah menimbulkan kekecewaan dan penderitaan belaka. Akan tetapi
mempelajari diri sendiri MENGAPA kita tidak mencinta dan tidak baik kepada
orang lain, itulah yang penting. Kalau kita mempunyai cinta kasih dan belas
kasih kepada semua orang, maka cukuplah itu! Cinta dan kebaikan bukanlah
cinta dan kebaikan namanya kalau mengharapkan ganjaran, mengha-spkan
imbalan. Bukan cinta dan bukan keba-kan namanya yang mengharapkan
ganjaran, baik dari orang lain maupun dariTuhan! Itu hanya merupakan
penjilatan atau penyogokan belaka, merupakan akal untuk memperoleh
sesuatu ang menyenangkan kita, bukan? Kalau kita sudah mencinta dan baik
kepada semua orang, maka tidak menjadi persoalan lagi apakah orang-orang
itu baik kepada kita ataukah tidak, cinta kepada kita ataukah tidak. Itu adalah
persoalan mereka, bukan persoalan kita.
Cinta kasih tidak menimbulkan duka! Kalau ada duka, kalau ada kecewa, kalau
ada cemburu, kalau ada benci, jelas itu bukanlah cinta kasih namanya,
melainkan cinta yang didasarkan atas nafsu ingin senang untuk diri pribadi. Ini
jelas dan mudah sekali nampak oleh siapa saja yang mau membuka mata
melihat kenyataan! Selama masih ada "aku yang ingin senang" maka tidaklah
mungkin ada cinta kasih! Karena sesungguhnya si aku inilah yang menjadi
penghalang timbulnya cinta kasih. Karena kalau yang mencinta itu adalah si
aku, jelaslah bahwa si aku hanya dapat mencinta segala sesuatu yang
menyenangkan dan menguntungkan si aku, sebaliknya si aku pasti akan
membenci segala sesuatu yang menyusahkan dan merugikan si aku. Jadi,
selama menyenangkan dan menguntungkan, dicinta, akan tetapi sekali waktu
menyusahkan dan merugikan, lalu dibenci! Cinta seperti itu hanyalah
permainan nafsu yang amat dangkal, hari ini bisa cinta, besok bisa saja menjadi
benci karena hari ini menyenangkan dan menguntungkan, akan tetapi besok
menyusahkan dan merugikan.
Tidak demikiankah adanya "cinta kasih" yang kita dengungdengungkan selama
ini? Tidak demikiankah "cinta kasih" yang ada pada batin kita, terhadap isteri
atau suami kita, terhadap anak-anak kita, terhadap keluarga dan sahabat kita?
Dan kewaspadaan atau kesadaran akan hal ini, kesadaran yang sedalam-
dalamnya, membawa pengertian dan pengertian inilah yang akan
mendatangkan perobahan, karena selama kita belum berubah, sudah pasti
hidup kita akan selalu dikelilingi oleh kecewa, cemburu, duka, sengsara, benci
dan sebagainya.
Cemburu adalah suatu bentuk nafsu yang amat menyiksa hati, menggelapkan
pikiran dan meracuni batin. Orang bilang bahwa cemburu datang karena
adanya cinta! Bahkan yang berpendapat bahwa bukanlah cinta kalau tiada
cemburu!
Benarkah ini? Ataukah pandangan seperti itu justeru amat menyesalkan?
Mungkinkah cinta itu disamakan dengan cemburu yang mengakibatkan
kemarahan dan kebencian?
Kalau begitu tidak ada bedanya antara cinta kasih dan kebencian! Tidak
mungkin sama sekali ini! Cinta kasih bukanlah kebencian, cinta kasih bukanlah
kemarahan dan cinta kasih sama sekali bukanlah cemburu! Dari mana
datangnya cemburu? Kita dapat menyelidikinya dengan mudah kalau kita mau
membuka mata dan mengenal diri sendiri.
Cemburu adalah iri hati Cemburu timbul dari kesenangan kita yang diganggu
orang. Kita menginginkan sesuatu, atau seseorang yang amat menyenangkan
kita, untuk diri kita sendiri saja, untuk menjadi milik kita menjadi hak kita, dan
berada di bawah kekuasaan kita seorang saja. Maka kalau orang yang kita
senangi itu, atau yang mendatangkan kesenangan pada diri kita, menoleh
kepada orang lain, timbullah rasa kecewa dan marah yang dinamakan
cemburu, dan sebagai akibatnya timbul pula kebencian, baik terhadap orang
yang merampas dia yang menyenangkan kita maupun terhadap si dia sendiri
yang mengecewakanhati kita karena menoleh kepada orang lain. Kita ingin
menguasai orang itu sepenuhnya, menjadi milik kita sendiri, memonopolinya,
mengurungnya. Dan itukah yang dinamakan cinta kasih?
Cemburu jelas ditimbulkan karena kesenangan kita terganggu! Dan cinta kasih
sama sekali bebas dari pada keinginan menyenangkan diri sendir! Cemburu
mendatangkan permusuhan dan konflik. Cinta kasih sama sekali bebas dari
permusuhan dan konflik dalam bentuk apapun juga! Cemburu menimbulkan
duka dan sengsara. Cinta adalah kebahagiaan!
Bukan berarti bahwa cinta adalah kebalikan dari cemburu atau benci. Cinta
adalah cinta! Akan tetapi jelas bahwa cemburu dan benci bukanlah cinta!
Agaknya setiap orang manusia tentu dapat merasakan apa yang dirasakan oleh
Gin San di saat itu. Memang terdapat pertautan batin yang kuat sekali antara
kampung halaman, tanah tumpah darah, dengan seseorang. Tanah tumpah
darah, di mana darah ibu tertumpah ketika dia terlahir, memiliki daya tarik yang
mengikat. Betapapun buruk dan miskinnya dusun itu, namun bagi Gin San yang
terlahir di situ dan masa kecilnya berada di dusun itu, agaknya tidak ada tempat
yang lebih indah mengesankan dari pada dusun tempat kelahirannya itu. Ada
semacam daya tarik yang kuat, yang membuat seseorang selalu terkenang dan
ingin sekali-kali berkunjung ke tempat di mana dia terlahir dan bermain-main di
waktu dia masih kecil.
Hal seperti ini timbul karena di dalam kehidupan kita lebih banyak dukanya dari
pada senangnya. Makin tua usia kita, makin banyaklah masalah-masalah yang
meruwetkan dan mengeruhkan batin, dan makin terkenanglah kita dengan
penuh kerinduan hati akan masa kanak-kanak kita, karena memang masa
kanak-kanak merupakan masa terindah dalam kehidupan manusia. Kanak-
kanak hidup dengan polos, jujur, dan wajar. Kanak-kanak tidak pernah
menyimpan dendam, tidak pernah menyimpan suka duka di dalam pikirannya,
tidak pernah menginginkan yang tidak ada, tidak pernah bercita-cita dan kanak-
kanak selalu menikmati hidupnya, dalam keadaan bagaimanapun juga! Itulah
sebabnya mengapa kanak-kanak adalah mahluk yang suci murni, bersih, dan
hidupnya penuh bahagia, bahkan dalam tangispun, seperti dalam tawanya,
terkandung kewajaran yang murni. Namun, sungguh sayang sekali, makin tua
kita, makin kotorlah kita, penuh dengan ambisi, penuh dengan keinginan
memperoleh hal-hal yang tidak kita miliki, penuh dengan cita-cita yang abstrak
dan belum ada, sehingga APA YANG ADA tidak pernah dapat kita nikmati. Kita
gandrung dan mengejar-ngejar kebahagiaan, sama sekali buta akan kenyataan
bahwa sesungguhnya PENGEJARAN itu sendirilah yang tidak memungkinkan
adanya kebahagiaan! Lihatlah sekelompok anak-anak yang bermainmain,
begitu riang gembira, begitu wajar. Kita akan terpesona, akan kagum, dan akan
terheran-heran mengapa sekelompok anak-anak yang bermain-main di dalam
lumpur dapat segembira itu! Dan kita selalu tenggelam di dalam kemuraman! Ini
salah, itu salah, ini tidak enak, itu tidak menyenangkan. Mengapa? Karena hati
dan pikiran kita PENUH DENGAN KEINGINAN, itulah! Hari hujan, ingin terang,
mengeluh. Hari terang, ingin hujan, mengeluh juga. Tidak dapatkah kita
mengakhiri kegilaan yang terdorong oleh keinginan yang tiada habisnya ini dan
hidup dalam arti kata yang sedalam-dalamnya, hidup menikmati saat ini detik
demi detik yang kesemuanya itu sudah mengandung keindahan yang luar
biasa?
Malampun tibalah. Dan malam itu, sebaliknya dari malam tadi seperti apa yang
terjadi di kota Cin-lok-bun, di dalam dusun yang miskin itu terjadi hal yang luar
biasa pula, akan tetapi kejadian yang sama sekali tidak menirrbulkan
kemarahan dan kedukaan, sungguhpun juga menimbulkan kegemparan. Malam
itu, dalam setiap rumah di dusun itu, terjatuh beberapa keping uang emas! Dan
pada keesokan harinya, gegerlah penduduk dusun yang menemukan uang
emas di dalam rumah mereka masing-masing. Mereka terkejut dan girang,
tentu saja tidak banyak cakap, dan diam-diam mereka melakukan sembahyang
untuk menghaturkan terima kasih kepada Yang Maha Murah.
Tentu saja yang melakukan perbuatan itu adalah Gin San. Memang dia telah
mencuri uang emas dari kota Cin-lok bun dengan maksud untuk membagi-
baginya kepada para penduduk dusun di mana dia terlahir, kepada para
tetangga ayah bundanya yang telah tewas, para tetangga yang tentu saja
sudah tidak mengenalnya lagi. Sekantung besar uang emas itu habislah dibagi-
bagikan secara diam-diam itu dan pada keesokan harinya, dia telah memasuki
pula kota Cin-lokbun dengan wajah berseri dan tanpa kantung di pundaknya.
Dipandang secara sepintas lalu, apa yang dilakukan oleh Gin San itu memang
baik, yaitu membagi-bagi uang kepada penduduk dusun miskin, sungguhpun
uang itu didapatnya dengan cara yang tidak patut pula. Akan tetapi, betapa
bodohnya anggapan kita pada umumnya bahwa HARTA dapat membuat
manusia hidup BAHAGIA. Sungguh melantur sekali nggapan seperti itu.
Bahkan, tidak selamanya harta mendatangkan kebaikan, kalau tidak dapat
dikatakan bahwa lebih banyak mendatangkan kejahatan! Uang emas yang
disebar oleh Gin San di antara penduduk dusun miskin itu, memang
mendatangkan kegirangan besar, akan tetapi tidak dapat secara tergesa
dikatakan bahwa hal itu mendatangkan kebaikan. Yang sudah jelas saja, begitu
masing-masing menemukan uang emas di dalam rumah, timbullah kecurigaan,
timbullah kekhawatiran kalau kalau penemuan yang menguntungkan itu sampai
ditahui orang lain! Masing-masing merahasiakannya, dan dengan kenyataan ini
saja sudah terbukti betapa harta yang ditemukan itu seketika melenyapkan
kejujuran dan kegotong-royongan di antara mereka yang semula selalu
nampak. Selain itu, juga masing-masing diliputi rasa takut, khawatir kalau-kalau
harta yang mereka temukan itu sampai hilang dicuri orang, sehingga mereka
harus menjaganya, bahkan ada yang tidak dapat tidur karena khawatir kalau-
kalau uang emas itu akan diambil orang.
Harta benda, kedudukan, nama besar, bukanlah hal yang buruk. Akan tetapi
kalau kita sudah melekatkan diri, menyamakan diri dengan mereka, kalau kita
sudah mengejar-ngejar mereka, timbullah kesengsaraan dalam kehidupan.
Pengejarannya itulah yang jahat. Orang yang mengejar harta benda mungkin
saja menjadi mata gelap, melakukan korupsi penipuan,kecurangan dan
sebagainya lagi. Orang yang mengejar kedudukan dan nama besar, mungkin
saja menjadi kejam, mendorong ke samping atau kalau perlu menjegal dan
merobohkan saingannya, cara busuk apapun akan ditempuhnya demi untuk
memperoleh kedudukan dan nama besar yang dikejar-kejarnya itu. Dan setelah
semua itu terdapat kita melekat kepadanya dan timbullah kekhawatiran, rasa
takut kalau-kalau yang sudah terdapat itu akan hilang dari kita! Semua itu
begini jelas, dapat kita lihat setiap hari dalam kehidupan kita, di sekeliling kita,
dalam badan kita sendiri!
Peristiwa biasa saja yang setiap hari, setiap senja dapat dilihat oleh setiap
manusia di jagad ini. Namun, betapa manusia pada umumnya sibuk dengan
segala macam kesenangan dunia, dengan segala macam pengejaran nafsu
sehingga manusia seakan-akan buta terhadap segala keindahan alam yang
berada di depan mata itu! Betapa sedikitnya manusia yang masih dapat
menikmati keindahan mata. hari terbenam di senja hari, matahari timbul di pagi
hari, awan-awan putih berarak di langit biru, pohon-pohon, daun-daun dan
bunga-bunga. Semua keindahan itu lewat begitu saja, atau dilewati oleh mata
begitu saja, bahkan tidak pernah nampak lagi karena sang mata mencari cari
dan mengejar hal-hal yang tidak ada menurutkan dorongan nafsu yang timbul
dari pikiran yang selalu mengejar hal-hal yang tidak atau belum ada. Karena
sejak pagi sampai malam manusia selalu mengejar hal-hal yang tidak atau
belum ada inilah maka manusia tidak lagi dapat melihat, tidak lagi dapat
menikmati keindahan dari pada hal-hal yang ADA di depan hidung sendiri!
Mengapa kita tidak pernah membuka semua panca indera, memandang segala
yang ada tanpa mengejar hal-hal yang belum ada? Mengapa kita tidak pernah
memperhatikan yang INI, yang BEGINI, akan tetapi selalu menjangkau yang
ITU, yang BEGITU? Padahal segala keindahan, segala kebahagiaan berada
dengan yang INI atau yang ADA, bukan terletak dalam yang ITU atau yang
DIBAYANGKAN. Bahagia adalah sekarang, saat ini. Kalau kebahagiaan itu kita
pindahkan kepada nanti dan kelak, maka hal itu hanya merupakan kesenangan
yang dibayangbayangkan, yang diharap-harapkan, dan bersama dengan
kesenangan itu pasti muncul nafsu keinginan bersama rangkaiannya yang tak
kunjung pisah, yaitu kekecewaan, konflik dan kedukaan atau kesengsaraan
karena di dalam pengejaran untuk mendapatkan kesenangan yang dibayang-
bayangkan itulah lahirnya penyelewengan dan kemaksiatan.
Mungkin, seperti yang kita lakukan kalau kita menghadapi kekerasan orang lain
dengan ke kerasan pula, Pek I Nikouw akan beranggapan bahwa dia
mempergunakan kekerasan demi membela kebenaran! Inilah senjata kita yang
selalu kita pergunakan untuk membela diri sendiri, untuk mcmbenarkan diri
sendiri, untuk mencarialasan mengapa kita melawan, mengapa kita
menggunakan kekerasan. Kita selalu beranggapan bahwa kita marah, kita
keras, karena kita membela kebenaran! Kita sama sekali tidak mau
memandang diri sendiri sehingga nampak jelas bahwa MARAH, BENCI,
BERKERAS itu sendiri sudah TIDAK BENAR! Namun kita pakai untuk membela
kebenaran! Kebenaran siapa? Tentu saja kebenaran kita sendiri yang boleh
saja kita selimuti dengan umum kebenaran agama, bangsa, golongan dan lain-
lain lagi yang hanya merupakan pengluasan saja dari pada kebenaran UNTUK
AKU. Kita lupa bahwa kalau kita sudah menentukan suatu kebenaran untuk diri
sendiri sendiri, maka sudah tentu fihak lawan kitapun memiliki ketentuan suatu
kebenaran untuk dirinya sendiri. Maka terjadilah perang kebenaran, perebutan
kebenaran dan sudah jelas dapat kita lihat bersama bahwa kebenaran yang
diperebutkan itu sesungguhnya BUKANLAH KEBENARAN ADANYA.
Semenjak sejarah dicatat manusia, selalu manusia berenang dalam lautan
kekerasan. Kita menyamakan diri dengan hal-hal yang kita anggap lebih tinggi
dari pada kita.
Melihat diri kita sendiri yang tidak berarti, yang tidak abadi, maka kita suka
melekatkan diri kepada yang kita anggap lebih besar, seperti bangsa, agama,
partai, golongan, keluarga, dan lain-lain di mana kita mengharapkan akan dapat
"membonceng" untuk mengisi kekosongan dan kedangkalan diri kita sendiri.
Maka terjadilah perpindahan kekerasan. Kalau tadinya kita memberatkan "aku"
masing masing dan menjadimarah, membenci dan sebagainya kalau aku
diganggu, makakini terjadi perpindahan atau bahkan pengluasan si "aku" yang
menjadi "negaraku, bangsaku, agamaku, partaiku, golonganku" sehingga
marahlah kita kalau semua itu diganggu. Bahkan ada yang mengesampingkan
dirinya sendiri, seperti para pendeta dan pertapa, tidak akan marah kalau
dirinya diganggu, akan tetapi awas, jangan mengganggu agamanya atau
golongannya, karena kalau itu diganggu, dia akan marah dan menggunakan
kekerasan! Padahal, golonganku, partai ku, bangsaku dan sebagainya itu
hanya merupakan pengluasan dari pada si aku itu juga!
Dapatkah kita hidup bebas dari segala ikatan, segala pelekatan, segala
penyamaan diri bebas dari si aku dengansegala bentuknja dan pengluasannya
yang penuh dengan pengajaran kesenangan sehingga menimbulkan kebenaran
sendiri-sendiri dan akibatnya menimbulkan konflik dan pertentangan?
Mengapa semua orang baik-baik di dunia ini terbunuh oleh orang-orang jahat?
Mengapa semua orang baik-baik di dunia ini bernasib malang dan orang orang
jahat bahkan bernasib baik dan hidup makmur dan bahagia?
Pendapat seperti apa yang saat itu mengganggu pikiran Sian Lun merupakan
semacam "penyakit" yang dimiliki oleh hampir semua orang di dunia ini. Kita
sudah terbiasa semenjak kecil untuk memandang diri sendiri sebagai yang
terbaik, yang terbersih, yang terpandai dan yang paling sebagainya lagi. Diri
sendiri itu dapat diperluas meniadi keluarga sendiri, kelompok sendiri, suku
sendiri, bangsa sendiri. Karena pandangan ini, maka setiap kali ada
kemalangan atau malapetaka menimpa diri kita, maka kita memperbesar iba
diri dengan keluhan mengapa orang "sebaik" kita ini tertimpa kemalangan,
malapetaka dan sebagainya lagi! Dan hal ini merupakan satu di antara sebab
sebab yang menimbulkan rasa penasaran, dendam, ketidakpuasan dan
kebencian. Selama hidup aku tidak pernah menipu atau merugikan orang,
kenapa sekarang aku ditipu dan dirugikan orang? Selama hidup aku suka
menolong orang dan aku hidup sebagai orang yang baik hati, mengapa nasibku
selalu malang dan sengsara? Selama hidup aku baik terhadap orang lain,
mengapa tidak ada orang yang baik kepadaku? Demikianlah kita selalu
mengeluh dengan hati penasaran! Kalau kita membuka mata memandang diri
sendiri, kiranya kita akan mendapat kenyataan bahwa "penyakit" macam itu
juga ada pada kita! Tidaklah demikian haInva?
Mengapa kita selalu ingin menonjolkan diri sebagai yang terbaik? Mengapa
pula kita mengharapkan suatu imbalan atau hadiah bagi semua tindakan yang
kita anggap baik itu? Tidak, aku tidak minta imbalan atas kebaikanku, bantah
seseorang mungkin. Akan tetapi, kalau sekali waktu tertimpa kemalangan lalui
"mengeluh" mengapa dia yang baik itu tertimpa kemalangan, bukankah hal ini
sama saja dengan mengharapkan imbalan, agar KEBAIKANNYA iiu
menjauhkan segala kemalangan. Apakah kebaikan yang mengandung pamrih
memperoleh imbalan itu kebaikan namanya? Bukankah itu merupakan suatu
kemunafikan yang menyulap suatu daya upaya memperoleh keuntungan
menjadi suatu kebaikan? Mengapa kita selalu cenderung menganggap bahwa
setiap kemalangan tidak patut dijatuhkan kepada kita, sebaliknya setiap
keberuntungan memang sudah tepat menjadi milik kita? Pendapat ini hanya
mengundang datangnya sesal dan kecewa, yang menuntun kepada rasa
penasaran, kebencian, dan kesengsaraan batin.
Yang dinamakan KEBAIKAN itu bukan lagi kebaikan kalau sudah kita sadari
sebagai kebaikan! Misalnya ada seorang kelaparan, kita lalu memberinya
makan. Kalau perbuatan ini kita lakukan karena dorongan iba hati terhadap
orang yang kelaparan itu, maka inilah perbuatan wajar, perbuatan yang
mengandung cinta kasih. Akan tetapi kalau kita menyadari bahwa itu adalah
perbuatan baik, dan demi "kebaikan" itu kita lalu menolongnya, sadar bahwa
kita telah melakukan kebaikan, maka kebaikan macam ini adalah kebaikan
yang condong berpamrih. Macam-macamlah pamrihnya itu, mungkin untuk
mencari pujian dari orang lain, mungkin untuk menerima syukur dan terima
kasih dari yang ditolong, mungkin untuk memuaskan perasaan sendiri yang
telah "berbuat baik", bahkan mungkin lebih luas dan tinggi lagi yaitu
mengharapkan agar kebaikannya itu dicatat di "sana" sebagai tabungan untuk
kelak diambil kalau sudah mati atau di raktu perlu. Perbuatan yang oleh umum
dianggap baik itu lenyap sifat kebaikannya kalau di waktu melakukannya kita
sadari sebagai kebaikan. Hanva orang lainlah yang menilai. Kita sendiri hanya
beibuat dengan dasar cinta kasih yang dapat berbentuk belas kasih atau iba
hati.
Segala macam peristiwa yang menimpa diri kita hanyalah merupakan akibat
dari segala macam perbuatan kita. Peristiwa yang menimpa diri kita merupakan
pemetikan buah dari pohon perbuatan yang kita tanam sendiri, dan ini terjadi
tanpa kita sadari. Semua perbuatan kita atau pohon yang kita tanam sehari-
hari, hanja dapat bersih dan sehat apabila kita mau waspada setiap saat,
waspada dengan membuka mata memandang diri sendiri, pikiran sendiri
perbuatan sendiri sehingga kita dapat waspada dan sadar setiap saat dan
dengan kewaspadaan ini kita pasti akan dapat menyingkirkan semua perbuatan
yang tidak benar yang berarti kita menghindarkan penanaman pohon yang
jahat, yang kelak sudah pasti tanpa kita sadari atau minta, akan menghasilkan
buah yang jahat pula yang harus kita petik sendiri.
Oleh karena itu, setiap kali datang kemalangan atau malapetaka menimpa diri
kita, dari pada kita mengeluh dan merasa penasaran mengapa kita yang "begini
baik" tertimpa mala petaka yang "begitu buruk", adalah jauh lebih bermanfaat
apabila kita merenung dan meneliti diri sendiri dan selalu waspada terhadap
segala apa yang terjadi, haik di sebelah dalam maupun di luar diri kita, tanpa
menamakan peristiwa itu sebagai yang baik ataupun yang buruk, tanpa
menyesal kepada Tuhan, kepada musia lain. maupun kepada setan atau
kepada alam. Kita meneliti diri sendiri setiap saat karena diri pribadi adalah
SUMBER dari terjadinya segala sesuatu atas diri kita itu.
Memang mudah bagi kita untuk mencela Ling Ling sebagai seorang dara yang
hijau dan tidak berpengalaman dan bodoh, mau saja ditipu oleh bujuk rayu
ketua Pek-lian-kauw sehingga dia mati-matian membela perkumpulan itu!
Sebaiknya kalau kita menilai diri kita sendiri. Bukankah kita semua ini juga tidak
banyak bedanya dengan keadaan Ling Ling?! Sampai sekarangpun, peristiwa
yang menimpa diri Ling Ling itu masih terus berulang dan tanpa kita sadari, kita
sendiri juga menjadi korban Semua kelompok, semua perkumpulan, semua
partai di dunia ini dalam perjuangannya tentu selalu mengangkat diri sebagai
pembela rakyat.! Semua pemimpin golongan selalu mendengung-dengungkan
perjuangan demi membela rakyat jelata, dengan kata kata penuh semangat dan
amat menarik sehingga kita semua percaya secara membuta dan membantu
serta membela usaha golongan itu, membela usaha partai itu,! berjuang
menurut apa yang mereka gariskan secara mati-matian dan fanatik. Padahal,
hampir selalu dan hal ini dapat dibuktikan dari sejarah, para pemimpin
kelompok, golongan atau partai itu pada hakekatnya hanya mengejar sukses
bagi diri mereka sendiri saja yang pada saat pengejarannya selalu
menggunakan nama demi rakyat, demi negara dan sehagainya lagi. Buktinya?
Sudah terlalu banyak, sudah terlalu sering, namun baru disadari setelah
terlambat. Betapa banyaknya golongan atau partai yang gagal dalam
perjuangannya, menjadi pecundang, menjadi buronan, yang pertama-tama
menjadi korban adalah para pengikut yang tadinya tidak tahu apa-apa itulah.
Dan para pemimpinnya? Para pimpinan dari partai yang kalah dan gagal itu?
Sudah berbondong-bondong berlumba untuk menyelamatkan diri, melarikan diri
sambil membawa harta benda yang berhasil mereka kumpulkan! Kita semua
sudah melihat sendiri kenyataan ini dan telah terjadi pula di seluruh pelosok
dunia. Dan bagaimana seandainya gotongan atau partai yang kita bela karena
kita terkena bujukan itu memperoleh kemenangan dan jaya? Tak perlu kita
berpura-pura, dapat kita lihat pula betapa yang jaya hanyalah beberapa gelintir
orang yang tadinya menjadi pimpinan itulah. Sedangkan para pengikut yang
tadinya membela perjuangan itu secara mati-matian? Dilupakan sudah! Para
pengikut yang tidak tahu apa-apa itu hanya diperlukan di waktu terjadi
perebutan, di waktu terjadi pertentangan, di waktu terjadi perang dan
permusuhan. Kalau kalah? Para pengikut ini mati konyol lebih dulu. Kalau
menang? Para pengikut ini hanya menjadi penonton dari mereka yang mabok
kemenangan dan hanya menggigit jari, atau kalau kebagianpun hanya sisanya
Bagaimana dengan para pemimpin yang pandai membujuk? Kalau kalah
mereka berlomba melarikan diri. Kalau menang mereka berlomba pula
memperkaya diri!
Yang dipaparkan di sini bukan sekedar pendapat penuh sentimen belaka,
melainkan kenyataan yang tak dapat ditutup-tutupi lagi. Demikian pula Ling
Ling. Dara ini, seperti juga kita, telah terpikat oleh segala slogan dan bujuk rayu
sehingga dia percaya bahwa apa yang diperbuatnya itu adalah tindakan yang
benar dan gagah perkasa, bahwa dia membantu dan membela perkumpulan
yang patriotik! Inilah sebabnya mengapa ketika golongannya bertemu dengan
pasukan pemerintah dan pasukan itu hendak menangkap orang-orang Pek-lian-
kauw yang dianggap pemberontak, dia telah mengamuk dan merobohkan
banyak perajurit, mengobrak-abrik pasukan itu dengan mengandalkan kedua
tangan dan kakinya yang ampuh!
Semenjak sejarah dicatat orang, manusia di dunia ini sudah sejak dahulu kala
berusaha untuk menghindarkan kesengsaraan hidup dan mencari kebahagiaan
hidup. Manusia melihat kenyataan betapa kehidupan penuh dengan duka dan
sengsara, dan melihat pula bahwa yang mendatangkan kedukaan itu adalah
perbuatan perbuatan yang dinamakan jahat. Oleh karena itu, manusia
berusaha menentang kejahatan dengan pelajaran-pelajaran tentang kebaikan,
melalui berbagai macam agama, tradisi dan kebudayaan. Namun, kenyataan
pahit membuktikan bahwa sampai kini, usaha itu masih berjalan terus dan
nampaknya tidak banyak mendatangkan hasil baik! Kejahatan masih
merajalela, kalau tidak mau dikatakan makin menjadi-jadi, permusuhan,
kebencian, pertentangan, baik antara pribadi, antara golongan, maupun antara
bangsa bukan mereda bahkan makin meluas. Usaha ribuan tahun telah gagal.
Manusia, sampai saat ini, masih menderita duka sengsara, masih menghayati
kehidupan di dunia yang penuh kebencian dan permusuhan!
Kebaikan tidak mungkin dapat dipelajari! Kebahagiaan tidak mungkin dapat
dipupuk, cinta kasih tidak mungkin dapat dilatih. Kebaikan dalam setiap
tindakan dengan sendirinya ada, apabila kejahatan telah bersih dari dalam diri,
dari dalam batin, bukan kebaikan yang dibuat, melainkan kebaikan yang wajar,
seperti kebersihan yang ada setelah kekotoran lenyap. Seribu satu macam
pelajaran tentang kebaikan, laksaan bait ujar-ujar tentang kebaikan hidup,
tentang bagaimana kita harus mennjadi orang baik, hanya merupakan teori-tori
kosong belaka, pelajaran yang mati dan kenyataannya semua pelajaran itu
hanya menjadi alat untuk membanggakan diri sebagal orang yang pandai, alat
untuk berdebat dengan orang lain tentang kebajikan dan sebagainya, alat
pemanis bibir agar dianggap sebagai orang bijaksana dan pandai! Yang penting
bukanlah menghafal segala macam kata mutiara, kata suci tentang filsafat dan
kebatinan, melainkan membuka mata dengan penuh kewaspadaan mengenal
diri pribadi. Semua pelajaran tentang kebatinan, kata-kata muluk yang dirangkai
indah, semua itu seperti pakaian yang indah dan bersih belaka. Apa artinya
pakaian indah bersih dipakai oleh badan kita yang kotor! Mengenal diri sendiri
berarti membuka mata memandang dan melihat kekotoran diri sendiri
mengenal segala kebencian, iri hati, dengki, kesombongan, kegelisahan,
kekecewaan dan sebagainya yang memenuhi batin kita sendiri. Selama semua
ini masih memenuhi batin kita, mana mungkin kita mau bicara tentang
kebajikan, tentang kebahagiaan, tentang cinta kasih.
Berbuat baik bukan sebagai hasil latihan adalah suatu kewajaran, dan hal ini
baru mungkin apabila ada landasan cinta kasih. Kalau sudah begini, keindahan
dan kebahaginan hidup tidak perlu lagi dikejar-kejar! Karena di dalamnya sudah
terdapat keindahan, sudah terdapat kebahagiaan! Cinta kasih dan kebahagiaan
tidak dapat dipisah-pisahkan, demikian pula dengan apa yang dinamakan
kebaikan. Tanpa adanya cinta kasih, di mana mungkin ada kebaikan? Tanpa
adanya cinta kasih, di mana mungkin ada kebahagiaan? Kebaikan tanpa cinta
kasih adalah kebaikan buatan yang dibaliknya bersembunyi pamrih
memperoleh ganjaran atau imbalan, dan karenanya bukan lagi kebaikan
namanya, melainkan suatu cara dari usaha memperoleh keuntungan berupa
ganjaran atau imbalan itulah. Perbuatan baik dengan dasar cinta kasih adalah
perbuatan wajar yang oleh yang berbuat sendiri tidak disadari sebagai suatu
kebaikan! Di dalam perbuatan seperti ini terkandung keindahan dan
kebahagiaan. Kebahagiaan tanpa cinta kasih hanya merupakan kesenangan
belaka, kesenangan badaniah maupun batiniah yang diikuti oleh kebosanan,
kekecewaan, kekhawatiran dan keinginan untuk memperoleh lebih banyak lagi,
yang menyeret kita ke dalam lingkaran setan dari senang dan susah.
Dari sinilah timbulnya nafsu, baik nafsu berahi maupun nafsu apapun juga. Dari
pikiran yang mengingat-ingat, yang membayangkan hal-hal yang
menyenangkan atau dianggap menyenangkan, yang nikmat dan sebagainya.
Pikiran yang membayang-bayangkan ini mengharapkan kesenangan, maka
timbullah keinginan untuk mengalami apa yang dibayangkannya sebagai
kesenangan yang nikmat itu. Apabila seorang pria melihat wanita cantik atau
seorang wanita melihat pria tampan lalu merasa tertarik dan suka, hal ini adalah
wajar dan biasa karena memang terdapat daya tarik antara kedua jenis kelamin
ini. Akan tetapi begitu pikiran masuk dan membayangkan hal-hal yang
dianggapnya menyenangkan, jika pikiran membayangkan betapa akan
senangnya kalau bercinta dengan pria atau wanita yang menarik hatinya itu,
maka timbullah keinginan memiliki, timbullah nafsu berahi yang tidak wajar lagi,
buatan pikiran yang ingin menikmati kesenangan. Melihat bunga indah harum
merasa suka, itu sudah wajar. Akan tetapi begitu pikiran masuk dan
membayangkan betapa akan senangnya kalau dapat memiliki kembang itu
untuk dirinya sendiri, maka timbullah keinginan untuk memetiknya, dan
pengejaran keinginan ini pelaksanaannya sering kali mendatangkan perbuatan
maksiat. Mungkin kembang milik orang lain itu akan dipetiknya!
Memang kita manusia di dunia ini selalu mengejar kesenangan. Kita hanya
memandang ke depan, meraih kesenangan sebanyak mungkin. Dan
pengejaran kesenangan ini sering kali. dan sudah pasti, menimbulkan
perbuatan-perbuatan yang keras dan kejam, tidak memperdulikan orang lain,
bahkan kadang-kadang tidak segan mencelakakan orang lain demi tercapainya
kesenangan yang dikejar-kejarnya. Semua tanaman tentu berkembang dan
berbuah dan semua perbuatan kita sudah pasti mendatangkan akibat.
Tanaman yang baik pasti mengeluarkan kembang dan buah yang baik pula,
sebaliknya perbuatan buruk sudah tentu akan menghasilkan atau
mengakibatkan hal bal yang buruk pula. Ini adalah suatu kenyataan yang wajar.
Namun, kita tidak pernah mengihgat atau memikirkan hal itu, karena mata kita
telah dibutakan oleh sinar kesenangan yang menyilaukan, sehingga kita tidak
dapat melihat kesengsaraan yang bersembunyi di balik sinar kesenangan yang
kita kejar-kejar itu. Biasanya, setelah kesengsaraan yang bersembunyi di balik
sinar kesenangan dan menanti saat baik itu menerjang dan mencengkeram
kita, barulah kita sadar, namun apakah artinya kesadaran yang sudah
terlambat! Adalah jauh lebih baik kalau kita selalu waspada setiap saat,
sehingga mata kita tidak dibutakan oleh sinar kesenangan dan kita dapat
melihat segala yang tersembunyi di balik semua itu. Ini bukan beiarti bahwa kita
harus menolak atau memantang semua kesenangan, sama sekali bukan.
Bukan suatu anjuran untuk kita hidup sebagai pertapa di puncak gunung,
karena bertapa itupun suaru pengejaran kesenangan, sungguhpun
kesenangannya telah bersalin rupa menjadi agung dan disebut ketenangan,
kedamaian, kesucian dan sebagainya. Tidak, bukan memantang apapun,
melainkan waspada dan memandang dengan penuh perhatian sehingga kita
memasuki segala sesuatu dengan mata terbuka, bukan degan membuta!
Biasanya, kita makan atau minum sesuatu tanpa melihat apakah makanan atau
minuman itu tidak merusak kesehatan kita, karena mata kita hanya mengejar
keenakan atau kesenangan yang didapat dari makanan atau minuman itu.
Seperti seorang pemabok, dia hanya ingat akan kesenangan yang didapat dari
minuman kerasnya, sama sekali tidak ingat lagi akan bahayanya bagi
kesehatan. Dengan membuka mata penuh kewaspadaan, maka bahaya itu
akan nampak jelas, dan kalau sudah nampak jelas, apakah kita mau lagi makan
atau minum benda yang merusak kesehatan itu. Demikian pula dengan
kesenangan-kesenangan lainnya. Kita silau oleh sinar kesenangan yang kita
nikmati, sehingga kita tidak lagi melihat bahaya yang tersembunyi di balik
kesenangan itu. Tidak demikiankah kenyataan dalam kehidupan kita sehari-
hari, di mana kita selalu membuta karena mengejar kesenangan dan
kenikmatan sehingga timbullah bermacam-macam penderitaan dan
kesengsaraan? Ada orang bilang itulah romantika kehidupan! Sesungguhnya
romantika yang kita buat sendiri!
Dan di dalam romantika itu, celakanya, lebih banyak susahnya dari pada
senangnya!
Ada bermacam-macam pengertian. Ada orang yang mengerti bahwa mabok-
mabokan itu tidak baik, namun tetap saja dia minum-minum sampai mabok. Hal
ini terjadi karena dia telah terbiasa, tubuhnya telah ketagihan dan mencandu,
dan pengertian yang dimilikinya hanyalah pengertian arti kata.kata belaka.
Pengertian teori belaka. Pengertian semacam ini hanya menjadi pengetahuan
mati yang biasanya dipergunakan untuk berdebat, akan tetapi tanpa ada
penghayatan dalam kehidupan sehari-hari. Ada pula pengertian yang hanya
ditumpuk, membuat dia menjadi orang yang pintar dan serba tahu, namun ini
juga hanya merupakan pengetahuan belaka yang kadang-kadang dijadikan
kebanggaan diri, tanpa ada penghayatan dalam hidup. Pengertian yang
sesungguhnya bukan hanya teidapat dalam sel-sel otak belaka, melainkan
bersatu dalam tindakan karena sudah menjadi kecerdasan Pengertian dapat
dibangkitkan melalui pengamatan dengan penuh kewaspadaan, penuh
perhatian, terhadap diri sendiri dan keadaan sekeliling, tanpa penilaian baik
buruk, benar salah. Biasanya, jarang sekali kita sadar akan diri sendiri,
biasanya kita bergerak dalam hidup seperti robot. Selagi makan, pikiran
melayang entah ke mana, demikian pula selagi kita mandi, menggosok gigi,
dan sebagainya. Dapatkah kita hidup saat demi saat, menghayati apa yang
sedang kita, lakukan, sedang kita ucapkan, sedang kita pikirkan, mengamatinya
dengan penuh perhatian dan kewaspadaan?
Kita hidup dikelilingi seribu satu macam kesenangan, Hanya batin yang cerdas
dan sehat sajalah yang mampu untuk melihat kesenangan apa yang tidak
merusak, baik merusak diri sendiri atau orang lain, lahir dan batin. Menuruti hati
mengejar kesenangan dengan membuta berarti momasuki lembah yang akan
menuntun ke arah kekecewaan, kebosanan dan akhirnya penderitaan. Tidak
ada kesenangan yang abadi di dunia ini, semua kesenangan berakhir dengan
kebosanan, kekecewaan, dan rasa takut akan kehilangan kesenangan itu.
"Tahu akan kebodoban sendiri adalah waspada, tidak tahu mengaku tahu
adalah sebuah penyakit, yang mengenal kenyataan ini berarti sehat!, Sang
Bijaksana berpikiran sehat, melihat penyelewengan seperti apa adanya,
karenanya takkan pernah sakit”.
Siancai...!
"Di empat penjuru lautan, semua manusia adalah saudara," akan tetapi apa
gunanya ujar-ujar yang hanya menjadi kata-kata hampa ini kalau sehari-hari
tampak kenyataan hidup yang berlawanan?
Dalam kenyataannya, yang dianggap "saudara" hanyalah orang-orang yang
menguntungkan mereka, yang segolongan, sealiran kepercayaan,
seperkumpulan, sesuku, dan sebangsa!
Apa artinya menghafal ujar-ujar itu kalau kita melihat bahwa si pembesar dijilat,
si hartawan dihormat, si pandai dipuji, sedangkan si kecil ditekan, si miskin
dihina dan si bodoh dimaki?
Kalau kita berbuat kebaikan agar dipuji, baikkah itu? Kalau kita berbuat
kebaikan agar dibalas dengan bunganya, baikkah itu? Kalau kita berbuat
kebaikan agar jangan dihukum, baikkah itu? Yang dua pertama dasarnya
menginginkan sesuatu, yang terakhir dasarnya takut. Ketiganya palsu! Segala
sesuatu, termasuk perbuatan, haruslah wajar dan aseli.
Yang aseli dan wajar itu selalu benar dan indah. Kalau diperkosa, dirubah
dengan paksa, maka akan timbul kepalsuan, pertentangan dan keburukan.
Menginsyafi, dan menyadari akan keburukan diri sendiri berarti merintis jalan ke
arah lenyapnya keburukan itu, dan hanya dengan tidak adanya keburukan
maka keindahan tercipta.
Perbuatan buruk timbul dari rasa sayang diri. Mengusahakan agar dirinya baik
dengan jalan pengekangan, tapa brata, menyiksa diri, dan lain sebagainya
takkan membawa hasil, karena usaha ini pun merupakan kembang dari rasa
sayang diri, jadi tiada bedanya dengan keburukan. Di mana-mana ada
keburukan, di sana kebenaran, kebaikan atau keindahan takkan muncul. Yang
terpenting adalah mengenal diri pribadi, mengenal sifat-sifatnya, keburukan-
keburukannya, cacat-cacatnya, menginsyafi, menyadari dengan kesungguhan
bukan pura-pura, dan keburukan akan tiada! Kalau keburukan tiada, dengan
sendirinya yang ada hanyalah kebenaran, dan keindahan.
MENGEJAR KESENANGAN
––––––––––––––––––––––––
Sesungguhnyalah bahwa suka dan duka, puas dan kecewa, menang dan kalah,
hanyalah sebuah keadaan dengan dua muka, keduanya tidak dapat saling
dipisahkan dan siapa mengejar yang satu sudah pasti akan bertemu dengan
yang lain. Pengalaman akan suka, puas, dan menang akan dihidupkan oleh
ingatan dan mendorong orang untuk terus mengejarnya, untuk mengalaminya
kembali sehingga untuk selamanya orang hidup dalam mengejar ingatan
mengejar bayangan. Sebaliknya, pengalaman akan duka, kecewa, dan kalah
yang dihidupkan oleh ingatan mendorong orang untuk selalu menjauhinya, tidak
tahu bahwa pengejaran akan bayangan suka menimbulkan duka, akan
bayangan puas menimbulkan kecewa dan akan bayangan menang
menimbulkan kalah karena keduanya itu tak dapat dipisahkan. Maka terjadilah
perlombaan antar manusia dalam mengejar kesukaan menjauhkan kedukaan,
bukan hanya saling berlomba, juga saling mendorong, saling menjegal, saling
memukul, bahkan saling membunuh untuk memperebutkan bayangan ingatan!
Hidup akan selalu terasa bahagia dan nikmat apabila kita dapat menerima dan
menghadapi segala sesuatu sebagaimana adanya, hidup dalam tiap detik yang
dilaluinya, tidak terapung dalam keriangan masa lalu atau tenggelam dalam
harapan masa datang. Hidup adalah saat ini, sekarang ini, bukan kemarin dan
bukan esok. Pikiran selalu mempermainkan kita, membentuk kenangan-
kenangan masa lalu dengan segala suka-dukanya, membuat kita selalu
mengejar kenangan, suka dan menjauhi kenangan duka, menciptakan corak
dan bentuk hidup sekarang dan yang akan datang sehingga kita dibuatnya
hidup seperti dalam kurungan yang dibuat oleh pikiran kita sendiri. Hidup
seperti itu membuat segala langkah kita tidak wajar lagi, melainkan langkah-
langkah kita sudah ditentukan dan diatur berdasarkan pengalaman lalu,
berdasarkan pengetahuan dan kepercayaan yang sudah terbentuk dalam
pikiran kita. Keadaan seperti itu tidak memungkinkan kita bebas, tidak
memungkinkan kita mempergunakan mata dan telinga seperti sewajarnya. Apa
yang terpandang, apa yang terdengar, ditutup oleh pendapat dan prasangka,
oleh penilaian yang kesemuanya adalah pekerjaan pikiran, sehingga mata dan
telinga kita tidak dapat melihat atau mendengar keadaan sebenamya dari yang
dipandang dan didengar! Kalau kita memandang sesuatu, yang kita pandang
sesungguhnya bukanlah itu atau dia, melainkan itu atau dia seperti yang
terbayang dalam ingatan kita!
Demikian pula dengan makanan. Kalau kita menghadapi sesuatu, dalam hal
makanan seperti pada saat itu, tanpa campur tangan si pikiran yang selalu
dapat saja menciptakan kenang-kenangan akan makanan yang lezat-lezat,
maka tidak ada lagi penilaian apakah makanan yang kita hadapi itu mahal atau
murah, berharga atau tidak, dan tanpa adanya gangguan pikiran ini, semua
makanan, apapun juga macamnya, asal itu memenuhi syarat sebagai makanan
pengusir lapar dan penguat tubuh, akan terasa enak!
Segala bentuk penonjolan yang biasa disebut hasil atau kemajuan pribadi
seseorang, selalu menimbulkan persoalan-persoalan yang lebih meyusahkan
daripada menyenangkan. Orang yang berhasil memperoleh sesuatu yang
dicita-citakan, biasanya hasil itu tidaklah senikmat ketika dibayangkannya dan
ketika belum tercapai tangan, sedangkan hasil atau kemajuan itu yang sudah
jelas menimbulkan iri kepada orang lain sehingga terciptalah pertentangan dan
permusuhan! Karena itu, segala bentuk cita-cita, sesungguhnya hanyalah
lamunan orang yang tidak mau menghadapi keadaan sekarang, orang yang
ingin lari dari kenyataan saat ini dan bersembunyi di balik lamunan yang
dibentuk oleh pikiran, membangun istana awang-awang yang disebutnya cita-
cita! Karena cita-cita ini hanya merupakan istana asap di awang-awang, maka
apabila sudah tercapai, akan membuyar dan mengecewakan sehingga
memaksa si orang yang selalu merasa enggan melihat dan menghadapi
kenyataan "saat ini" untuk melamun lagi, dipermainkan pikiran yang pandai
sekali mengkhayalkan bayangan-bayangan indah masa depan.
Karena itu, berbahagialah orang yang selalu sadar dan dengan penuh
kewaspadaan menghadapi "saat ini" dengan pikiran bebas dari segala ingatan
masa lalu harapan masa depan dan menghadapi segala apa yang ada saat ini
sebagaimana adanya, dengan kewajaran yang tidak dibuat-buat atau
dipaksakan, tanpa rencana dan tanpa pendapat, tanpa penilaian, sehingga apa
pun yang dihadapinya merupakan sebuah pengalaman yang baru! Sudah tentu
saja yang dimaksudkan adalah hal-hal mengenai urusan batin, bukan hal-hal
lahir seperti pekerjaan dan lain-lain yang sudah semestinya dipergunakan akal
budi dan pikiran supaya dapat dikerjakan dengan baik dan lancar. Akan tetapi
mengenai hubungan antara manusia yang menyangkut rasa dan batin, jika
tidak kosong bebas, maka hubungan itu sudah tentu menimbulkan
pertentangan karena di sebelah dalam kita sudah terjadi pertentangan yang
ditimbulkan oleh pikiran. Melihat dan mendengar sesuatu dengan pikiran bebas
dari segala ikatan, penilaian, pendapat, mengawasi dengan penuh
kewaspadaan terhadap sesuatu di saat ini dan terhadap tanggapan kita sendiri
akan sesuatu itu, dengan demikian kita belajar mengenal diri sendiri. Mengenal
diri sendiri adalah langkah pertama ke arah kebijaksanaan.
Demikianlah yang dilakukan oleh kita, manusia! Kita selalu mencari sebab dan
alasan untuk menghibur diri di waktu kita merasa telah melakukan sesuatu
yang kita anggap salah. Mencari sebab-sebab yang kalau perlu dipaksakan,
untuk menutupi kesalahan kita, bahkan untuk menyulap kesalahan itu berubah
menjadi sesuatu yang tidak salah lagi! Ada saja alasannya untuk menutupi
sesuatu yang hitam pada diri kita, dengan warna putih. Hal ini terjadi karena
kita tidak mau menghadapi kenyataan, tidak mau mengenal diri pribadi, tidak
mau mengakui betapa segala kotoran berada dalam diri kita sehingga kita
dapat membuang semua kotoran itu. Tidak, kita bukan melakukan hal itu,
sebaliknya kita menutupi kotoran itu dengan segala akal kita. Tentu saja,
dengan demikian, segala macam kotoran masih tertimbun dalam diri kita,
biarpun kotoran itu tidak tampak, ditutupi oleh segala macam akal yang
membuat kita kelihatan bersih! Kebersihan tidak tercapai dengan menutupi
kekotoran, dan kotoran diri sendiri hanya dapat dilenyapkan setelah kita
melihatnya dengan mata terbuka dan dengan bebas, karena tanpa kebebasan
tak mungkin kita dapat melihat kenyataan dalam diri kita sendiri, tak mungkin
kita dapat mengenal diri sendiri.
"Aku tidak membutuhkan harta karena apa saja yang bisa didapatkan dengan
harta, dapat pula kuperoleh asal aku menghendakinya. Akan tetapi harta yang
amat besar itu perlu untuk mencapai suatu tingkat kedudukan tinggi, danpula,
yang amat menarik hati adalah kitab pusaka ilmu kesaktian simpanan yang
dirahasiakan manusia sakti The Hoo!"
Memang demikianlah, seperti Siang-tok Mo-li itulah isi pikiran sebagian besar
manusia di dunia ini. Betapa menyedihkan! Manusia diombang-ambingkan oleh
keinginan, dan membagi-bagi keinginan itu sebagai keinginan baik, keinginan
luhur, keinginan suci dan sebagainya. Padahal, apakah perbedaan antara
keinginan yang ini dengan keinginan yang itu? Apakah perbedaan antara
keinginan menjadi pandai, menjadi kaya, menjadi mulia dan lain?lain? Bahkan,
apakah bedanya antara keinginan duniawi dan keinginan batiniah? Tetap sama,
keduanya keinginan juga yang terdorong oleh hati tidak puas akan keadaan
sekarang dan menginginkan keadaan lain yang belum terlaksana, atau
terdorong oleh rasa takut akan masa depan, takut akan sesuatu yang tidak
disukainya.
Kita lupa bahwa keinginan melahirkan kekecewaan apabila tidak tercapai.
Apakah akan mendatangkan kepuasan mutlak apabila tercapai? Biasanya
tidak! Keinginan yang tercapai akan terasa hampa, tidaklah seindah dan
senikmat kalau belum tercapai, kalau masih menjadi angan-angan, karena
pikiran yang selalu terbetot untuk mencari sesuatu yang belum ada, selalu akan
tertarik pula untuk menjangkau yang baru lagi. Keadaan sekarang dianggap
sudah lama dan membosankan, selalu ingin yang baru, lupa bahwa yang baru
itu kalau sudah tercapai tangan, akan membosankan pula dan menjadi barang
lama juga! Demikianlah, kita akan terperosok ke dalam lingkaran setan, terus
beringin, terus menjangkau dan hidup menjadi hamba keinginan!
Ada sebagian orang yang menganggap bahwa adanya keinginan itulah yang
membuat manusia hidup menjadi maju!
Apakah yang dimaksudkan dengan kemajuan? Apakah adanya pertentangan
antar manusia, perang, kelaparan di sana-sini, permusuhan, dendam, iri dan
benci-membenci ini termasuk kemajuan? Apakah setiap perbuatan, setiap
pekerjaan yang dilakukan, harus didasari keinginan? Apakah kalau orang
menanam jagung tanpa mengharapkan apa-apa, melakukan demi cintanya
kepada pekerjaan itu saja, maka hasilnya akan berkurang? Apakah benar
bahwa kemajuan lahir karena keinginan? Keinginan membuat manusia menjadi
hamba, terikat, dan hidupnya seperti boneka yang digerakkan oleh benang-
benang nafsu keinginan. Tidak ada kebebasan dalam arti kata yang
selengkapnya. Dan selama hidup kita dicengkeram sepenuhnya setiap saat
oleh keinginan, maka pertentangan antar manusia tentu saja takkan pernah
berhenti karena keinginan mutlak dikuasai oleh si aku, demi aku, punyaku dan
selamanya kitabergerak demi aku masing-masing, damai dan tenteram antara
manusia takkan pernah terujud! Pertentangan, persaingan, perebutan untuk
aku masing-masing akan terus berlangsung, baik antara perorangan, antara
kelompok, antara ras, antara bangsa!
Betapa menyedihkan. Bilakah manusia sadar sepenuhnya akan hal ini? Bukan
hanya untuk mengetahui, karena pengetahuan hanyalah pengekoran belaka,
mengekor yang sudah ada, yang sudah lalu. Setiap orang pencuri TAHU bahwa
mencuri adalah tidak baik. Setiap orang penjudi TAHU bahwa berjudi adalah
tidak baik. Namun dia tetap mencuri, dia tetap berjudi. Akan tetapi sekali dia
MENGERTI, dalam arti kata mengerti sampai ke akarnya, mengenal diri dan
keadaan dirinya sendiri, maka pengertian ini akan menghapus semua itu
sehingga lenyap tanpa bekas!
KEJAM
–––––––––
Kejamkah Lima Datuk kaum sesat itu? Tentu saja kejam sekali. Akan tetapi
marilah kita menyelidiki keadaan kita manusia hidup ini. Bukankah kita ini
dengan cara masing-masing, menurutkan pendapat masing-masing, juga
merupakan orang-orang yang kejam? Mari kita tengok di sekeliling kita.
Bukankah hidup manusia ini penuh dengan segala macam kejahatan?
Pembunuhan terjadi di mana-mana. Ada pembunuhan karena perkelahian,
karena perampokan, karena kebencian, karena permusuhan, karena iri dan
sebagainya. Banyak pula pembunuhan masal karena perang.
Perang antar bangsa yang pada hakekatnya mencerminkan perang dan
pertentangan antar kelompok, antar perorangan, dan akhirnya bersumber pada
pertentangan dalam diri kita masing-masing! Tidak kejamkah kita kalau kita
mengiri kepada atasan dan menghina kepada bawahan? Kalau kita suka
kepada yang baik dan jijik terhadap yang buruk, termasuk manusia? Tidak
kejamkah kita kalau milik kita berlimpah dan berlebihan dan hati kita tidak
terusik sama sekali melihat sesama manusia kurang makan kurang pakaian
dan tiada tempat tinggal seperti kaum jembel dan gelandangan? Tidak
kejamkah kita kalau untuk sebuah kedudukan saja kita sampai hati untuk saling
jegal, saling fitnah, saling benci, dan saling bunuh?
Kalau kita mau belajar mengalihkan pandangan kita ke dalam diri sendiri, mau
mengenal keadaan hati dan pikiran sendiri secara jujur, akan tampaklah bahwa
selain kejam, kita pun munafik-munafik besar. Mulut bicara tentang saling kasih
antar manusia, namun mata memandang penuh iri dan benci, tangan dikepal
siap saling hantam, hanya untuk memperebutkan uang, kedudukannya, nama
dan juga memperebutkan... kebenaran bukan lain hanyalah kebenaran diri
sendiri masing-masing dan karenanya menjadi kebenaran palsu.
Mari kita ingat betapa kejamnya kita ini! Digigit seekor nyamuk ingin membunuh
semua nyamuk, berdasarkan dendam dan kebencian. Berdasarkan jijik dan
takut terkena penyakit, kalau bisa semua lalat dibasmi! Berdasarkan nafsu
makan enak yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kesehatan, kita
membunuh segala binatang untuk kita makan bangkainya. Tidak kejamkah
kita? Apakah alasan bahwa "semua itu sudah umum" dapat dipakai untuk
menghapus kekejaman ini?
Dapatkah kita berusaha menghapus kekejaman? Dengan ilmu apa pun tidak
dapat! Karena keadaan bebas dari kekejaman bukanlah keadaan yang dibuat
dan diusahakan. Orang tidak akan mungkin dapat berhasil kalau dia berusaha
menjadi orang baik! Usaha menjadi baik hanya menjadikan orang munafik yang
merasa diri baik, dan segala usaha dan keinginan selalu mengandung pamrih
atau tujuan yang kesemuanya bersumber kepada keuntungan lahir maupun
batin bagi diri pribadi. Kekejaman akan terhapus apabila kita mengerti sampai
ke akarnya mengapa kita kejam, apabila kita mengenal keadaan diri kita
pribadi, mengenal gerak pikiran dan hati kita pribadi.
Marilah kita bersama mulai dari detik ini juga. Karena hidup adalah dari detik ke
detik. Hidup adalah sekarang ini. Perubahan adalah saat ini, bukan ingin
mengubah namun perubahan yang terjadi dengan sendirinya setelah kita
membuka mata, waspada penuh kesadaran mengenai keadaan kita lahir batin,
keadaan sekeliling kita. Apa kemarin? Sudah lalu! Hanya menimbulkan
kenangan yang mengeruhkan pikiran. Apa besok? Bukan urusan kita! Hanya
menimbulkan bayangan khayal yang melahirkan kekhawatiran dan ketakutan.
Yang panting sekarang, saat ini!
Langit di atas bumi di bawah mengapit ketidakadilan
perut lapar minta makan minta kepada siapa?
ayah bunda pun belum makan semua kelaparan!
minta kepada si bangsawan, digigit anjing penjaga
minta kepada Si kaya, diberi maki dan pukulan!
(Nyanyian Seorang Pe-minta2)
"Di empat penjuru lautan, semua manusia adalah saudara," akan tetapi apa
gunanya ujar-ujar yang hanya menjadi kata-kata hampa ini kalau sehari-hari
tampak kenyataan hidup yang berlawanan?
Dalam kenyataannya, yang dianggap "saudara" hanyalah orang-orang yang
menguntungkan mereka, yang segolongan, sealiran kepercayaan,
seperkumpulan, sesuku, dan sebangsa!
Apa artinya menghafal ujar-ujar itu kalau kita melihat bahwa si pembesar dijilat,
si hartawan dihormat, si pandai dipuji, sedangkan si kecil ditekan, si miskin
dihina dan si bodoh dimaki?
Makin banyaknya tentang pelajaran tentang kebaikan dan contoh-contoh
manusia budiman, makin banyaklah timbul orang-orang munafik yang ingin
disebut baik, ingin dirinya dianggap seperti manusia budiman. Kita selalu
melupakan bahwa kebaikan bukanlah sesuatu yang dapat dipelajari!
Melakukan kebaikan untuk mentaati pelajaran adalah kelakuan yang palsu,
dipaksakan, dan berpamrih (mengandung keinginan tertentu demi diri pribadi),
karenanya munafik!
Kebaikan sejati, keluar dari dalam hati, tanpa paksaan, tanpa kekhawatiran,
tanpa keinginan di baliknya, tanpa pamrih, bahkan tanpa disadari bahwa kita
berbuat baik!
Dapatkah rasa kasihan dipelajari dan dilatih? Dapatkah kita mempelajari rasa
haru? Dapatkah orang belajar mencinta? Kalau dipelajari maka palsulah itu!
Yang aseli dan wajar itu selalu benar dan indah. Kalau diperkosa, dirubah
dengan paksa, maka akan timbul kepalsuan, pertentangan dan keburukan.
Menginsyafi, dan menyadari akan keburukan diri sendiri berarti merintis jalan ke
arah lenyapnya keburukan itu, dan hanya dengan tidak adanya keburukan
maka keindahan tercipta.
Perbuatan buruk timbul dari rasa sayang diri. Mengusahakan agar dirinya baik
dengan jalan pengekangan, tapa brata, menyiksa diri, dan lain sebagainya
takkan membawa hasil, karena usaha ini pun merupakan kembang dari rasa
sayang diri, jadi tiada bedanya dengan keburukan. Di mana-mana ada
keburukan, di sana kebenaran, kebaikan atau keindahan takkan muncul. Yang
terpenting adalah rnengenal diri pribadi, mengenal sifat-sifatnya, keburukan-
keburukannya, cacat-cacatnya, menginsyafi, menyadari dengan kesungguhan
bukan pura-pura, dan keburukan akan tiada! Kalau keburukan tiada, dengan
sendirinya yang ada hanyalah kebenaran, dan keindahan.
Demikianlah hidup! Alangkah bedanya keadaan hati dan pikiran mereka berdua
malam tadi dan pagi ini! Seperti siang dan malam. Kebalikannya! Dan memang
sesungguhnyalah bahwa suka dan duka, puas dan kecewa, menang dan kalah,
hanyalah sebuah benda dengan dua muka, keduanya tidak dapat saling
dipisahkan dan siapa mengejar yang satu sudah pasti akan bertemu dengan
yang lain. Pengalaman akan suka, puas, dan menang akan dihidupkan oleh
ingatan dan mendorong orang untuk terus mengejarnya, untuk mengalaminya
kembali sehingga untuk selamanya orang hidup dalam mengejar ingatan
mengejar bayangan. Sebaliknya, pengalaman akan duka, kecewa, dan kalah
yang dihidupkan oleh ingatan mendorong orang untuk selalu menjauhinya, tidak
tahu bahwa pengejaran akan bayangan suka menimbulkan duka, akan
bayangan puas menimbulkan kecewa dan akan bayangan menang
menimbulkan kalah karena keduanya itu tak dapat dipisahkan. Maka terjadilah
perlumbaan antar manusia dalam mengejar kesukaan menjauhkan kedukaan,
bukan hanya saling berlumba, juga saling mendorong, saling menjegal, saling
memukul, bahkan saling membunuh untuk memperebutkan bayangan ingatan!
Hidup akan selalu terasa bahagia dan nikmat apabila kita dapat menerima dan
menghadapi segala sesuatu sebagaimana adanya, hidup dalam tiap detik yang
dilaluinya, tidak terapung dalam keriangan masa lalu atau tenggelam dalam
harapan masa datang. Hidup adalah saat ini, sekarang ini, bukan kemarin dan
bukan esok. Pikiran selalu mempermainkan kita, membentuk kenangan-
kenangan masa lalu dengan segala suka-dukanya, membuat kita selalu
mengejar kenangan, suka dan menjauhi kenangan duka, menciptakan corak
dan bentuk hidup sekarang dan yang akan datang sehingga kita dibuatnya
hidup seperti dalam kurungan yang dibuat oleh pikiran kita sendiri. Hidup
seperti itu membuat segala langkah kita tidak wajar lagi, melainkan langkah-
langkah kita sudah ditentukan dan diatur berdasarkan pengalaman lalu,
berdasarkan pengetahuan dan kepercayaan yang sudah terbentuk dalam
pikiran kita. Keadaan seperti itu tidak memungkinkan kita bebas, tidak
memungkinkan kita mempergunakan mata dan telinga seperti sewajarnya. Apa
yang terpandang, apa yang terdengar, ditutup oleh pendapat dan prasangka,
oleh penilaian yang kesemuanya adalah pekerjaan pikiran, sehingga mata dan
telinga kita tidak dapat melihat atau mendengar keadaan sebenamya dari yang
dipandang dan didengar! Kalau kita memandang sesuatu, yang kita pandang
sesungguhnya bukanlah itu atau dia, melainkan itu atau dia seperti yang
terbayang dalam ingatan kita!
Demikian pula dengan makanan. Kalau kita menghadapi sesuatu, dalam hal
makanan seperti pada saat itu, tanpa campur tangan si pikiran yang selalu
dapat saja menciptakan kenang-kenangan akan makanan yang lezat-lezat,
maka tidak ada lagi penilaian apakah makanan yang kita hadapi itu mahal atau
murah, berharga atau tidak, dan tanpa adanya gangguan pikiran ini, semua
makanan, apapun juga macamnya, asal itu memenuhi syarat sebagai makanan
pengusir lapar dan penguat tubuh, akan terasa enak!
Segala bentuk penonjolan yang biasa disebut hasil atau kemajuan pribadi
seseorang, selalu menimbulkan persoalan-persoalan yang lebih meyusahkan
daripada menyenangkan. Orang yang berhasil memperoleh sesuatu yang
dicita-citakan, biasanya hasil itu tidaklah senikmat ketika dibayangkannya dan
ketika belum tercapai tangan, sedangkan hasil atau kemajuan itu yang sudah
jelas menimbulkan iri kepada orang lain sehingga terciptalah pertentangan dan
permusuhan! Karena itu, segala bentuk cita-cita, sesungguhnya hanyalah
lamunan orang yang tidak mau menghadapi keadaan sekarang, orang yang
ingin lari dari kenyataan saat ini dan bersembunyi di balik lamunan yang
dibentuk oleh pikiran, membangun istana awang-awang yang disebutnya cita-
cita! Karena cita-cita ini hanya merupakan istana asap di awang-awang, maka
apabila sudah tercapai, akan membuyar dan mengecewakan sehingga
memaksa si orang yang selalu merasa enggan melihat dan menghadapi
kenyataan "saat ini" untuk melamun lagi, dipermainkan pikiran yang pandai
sekali mengkhayalkan bayangan-bayangan indah masa depan.
Karena itu, berbahagialah orang yang selalu sadar dan dengan penuh
kewaspadaan menghadapi "saat ini" dengan pikiran bebas dari segala ingatan
masa lalu harapan masa depan dan menghadapi segala apa yang ada saat ini
sebagaimana adanya, dengan kewajaran yang tidak dibuat-buat atau
dipaksakan, tanpa rencana dan tanpa pendapat, tanpa penilaian, sehingga apa
pun yang dihadapinya merupakan sebuah pengalaman yang baru! Sudah tentu
saja yang dimaksudkan adalah hal-hal mengenai urusan batin, bukan hal-hal
lahir seperti pekerjaan dan lain-lain yang sudah semestinya dipergunakan akal
budi dan pikiran supaya dapat dikerjakan dengan baik dan lancar. Akan tetapi
mengenai hubungan antara manusia yang menyangkut rasa dan batin, jika
tidak kosong bebas, maka hubungan itu sudah tentu menimbulkan
pertentangan karena di sebelah dalam kita sudah terjadi pertentangan yang
ditimbulkan oleh pikiran. Melihat dan mendengar sesuatu dengan pikiran bebas
dari segala ikatan, penilaian, pendapat, mengawasi dengan penuh
kewaspadaan terhadap sesuatu di saat ini dan terhadap tanggapan kita sendiri
akan sesuatu itu, dengan demikian kita belajar mengenal diri sendiri. Mengenal
diri sendiri adalah langkah pertama ke arah kebijaksanaan.
Demikianlah yang dilakukan oleh kita, manusia! Kita selalu mencari sebab dan
alasan untuk menghibur diri di waktu kita merasa telah melakukan sesuatu
yang kita anggap salah. Mencari sebab-sebab yang kalau perlu dipaksakan,
untuk menutupi kesalahan kita, bahkan untuk menyulap kesalahan itu berubah
menjadi sesuatu yang tidak salah lagi! Ada saja alasannya untuk menutupi
sesuatu yang hitam pada diri kita, dengan warna putih. Hal ini terjadi karena
kita tidak mau menghadapi kenyataan, tidak mau mengenal diri pribadi, tidak
mau mengakui betapa segala kotoran berada dalam diri kita sehingga kita
dapat membuang semua kotoran itu. Tidak, kita bukan melakukan hal itu,
sebaliknya kita menutupi kotoran itu dengan segala akal kita. Tentu saja,
dengan demikian, segala macam kotoran masih tertimbun dalam diri kita,
biarpun kotoran itu tidak tampak, ditutupi oleh segala macam akal yang
membuat kita kelihatan bersih! Kebersihan tidak tercapai dengan menutupi
kekotoran, dan kotoran diri sendiri hanya dapat dilenyapkan setelah kita
melihatnya dengan mata terbuka dan dengan bebas, karena tanpa kebebasan
tak mungkin kita dapat melihat kenyataan dalam diri kita sendiri, tak mungkin
kita dapat mengenal diri sendiri.
Huh, betapa banyaknya di dunia ini orang-orang yang berkuasa dan ingin
berkuasa dengan mengatasnamakan rakyat. Dunia penuh dengan manusia-
manusia yang mencuri dan membonceng nama rakyat demi kepentingan diri
pribadi. Sungguh tak tahu malu manusia-manusia seperti itu. Sejarah telah
menunjukkan betapa kekuasaan-kekuasaan jatuh bangun di dunia ini, dan
semua kekuasaan itu, pada saat bangkit, pada saat berusaha merenggut
kekuasaan, selalu mempergunakan nama rakyat jelata! Demi rakyat! Pencinta
rakyat! Dan masih banyak lagi nama-nama yang dipakai untuk tercapainya cita-
cita mereka. Pemerintah yang sekararang ini, pada waktu memperebutkan
kekuasaan juga mempergunakan nama rakyat untuk memperoleh dukungan.
Sebaliknya, pemerintah lama sebelumnya juga selalu membonceng kepada
nama rakyat. Dengan sendirinya rakyat menjadi pecah belah, karena yang
mendukung dianggap rakyat sedangkan yang tidak mendukung tentu saja
dianggap musuh! Dan musuh ini tentu saja dianggap rakyat oleh pihak lawan.
Dengan sendirinya rakyat yang menjadi korban, menjadi bingung dijadikan
permainan penguasa sekarang.
Hendak dibawa ke manakah rakyat ini? Apakah selama dunia berkembang
rakyat hanya akan menjadi permainan belaka demi pemuasan nafsu ambisi
beberapa gelintir manusia yang menamakan diri sebagai pemimpin-pemimpin
rakyat ?
Pernahkah ditemui mereka yang tadinya menggunakan nama rakyat dalam
perjuangan, setelah berhasil dalam perjuangannya, benar-benar ingat kepada
rakyat jelata? Ataukah mereka itu lalu lupa karena mabok akan kemenangan,
mabok akan kedudukan dan kemuliaan, seperti pemetik buah lupa akan bangku
yang diinjaknya untuk mengambil buah setelah buah itu terdapat olehnya?
Rakyat hanya dianggap sebagai bangku tempat berpijak, atau sebagai batu
loncatan, atau sebagai boneka-boneka!
"Aku tidak membutuhkan harta karena apa saja yang bisa didapatkan dengan
harta, dapat pula kuperoleh asal aku menghendakinya. Akan tetapi harta yang
amat besar itu perlu untuk mencapai suatu tingkat kedudukan tinggi, dan pula,
yang amat menarik hati adalah kitab pusaka ilmu kesaktian simpanan yang
dirahasiakan manusia sakti The Hoo!"
Memang demikianlah, seperti Siang-tok Mo-li itulah isi pikiran sebagian besar
manusia di dunia ini.
Betapa menyedihkan! Manusia diombang-ambingkan oleh keinginan, dan
membagi-bagi keinginan itu sebagai keinginan baik, keinginan luhur, keinginan
suci dan sebagainya. Padahal, apakah perbedaan antara keinginan yang ini
dengan keinginan yang itu? Apakah perbedaan antara keinginan menjadi
pandai, menjadi kaya, menjadi mulia dan lain-lain? Bahkan, apakah bedanya
antara keinginan duniawi dan keinginan batiniah? Tetap sama, keduanya
keinginan juga yang terdorong oleh hati tidak puas akan keadaan sekarang dan
menginginkan keadaan lain yang belum terlaksana, atau terdorong oleh rasa
takut akan masa depan, takut akan sesuatu yang tidak disukainya.
Kita lupa bahwa keinginan melahirkan kekecewaan apabila tidak tercapai.
Apakah akan mendatangkan kepuasan mutlak apabila tercapai? Biasanya
tidak! Keinginan yang tercapai akan terasa hampa, tidaklah seindah dan
senikmat kalau belum tercapai, kalau masih menjadi angan-angan, karena
pikiran yang selalu terbetot untuk mencari sesuatu yang belum ada, selalu akan
tertarik pula untuk menjangkau yang baru lagi. Keadaan sekarang dianggap
sudah lama dan membosankan, selalu ingin yang baru, lupa bahwa yang baru
itu kalau sudah tercapai tangan, akan membosankan pula dan menjadi barang
lama juga! Demikianlah, kita akan terperosok ke dalam lingkaran setan, terus
beringin, terus menjangkau dan hidup menjadi hamba keinginan!
Ada sebagian orang yang menganggap bahwa adanya keinginan itulah yang
membuat manusia hidup menjadi maju!
Apakah yang dimaksudkan dengan kemajuan? Apakah adanya pertentangan
antar manusia, perang, kelaparan di sana-sini, permusuhan, dendam, iri dan
benci-membenci ini termasuk kemajuan? Apakah setiap perbuatan, setiap
pekerjaan yang dilakukan, harus didasari keinginan? Apakah kalau orang
menanam jagung tanpa mengharapkan apa-apa, melakukan demi cintanya
kepada pekerjaan itu saja, maka hasilnya akan berkurang? Apakah benar
bahwa kemajuan lahir karena keinginan? Keinginan membuat manusia menjadi
hamba, terikat, dan hidupnya seperti boneka yang digerakkan oleh benang-
benang nafsu keinginan. Tidak ada kebebasan dalam arti kata yang
selengkapnya. Dan selama hidup kita dicengkeram sepenuhnya setiap saat
oleh keinginan, maka pertentangan antar manusia tentu saja takkan pernah
berhenti karena keinginan mutlak dikuasai oleh si aku, demi aku, punyaku dan
selamanya kitabergerak demi aku masing-masing, damai dan tenteram antara
manusia takkan pernah terujud! Pertentangan, persaingan, perebutan untuk
aku masing-masing akan terus berlangsung, baik antara perorangan, antara
kelompok, antara ras, antara bangsa!
Betapa menyedihkan. Bilakah manusia sadar sepenuhnya akan hal ini? Bukan
hanya untuk mengetahui, karena pengetahuan hanyalah pengekoran belaka,
mengekor yang sudah ada, yang sudah lalu. Setiap orang pencuri TAHU bahwa
mencuri adalah tidak baik. Setiap orang penjudi TAHU bahwa berjudi adalah
tidak baik. Namun dia tetap mencuri, dia tetap berjudi. Akan tetapi sekali dia
MENGERTI, dalam arti kata mengerti sampai ke akarnya, mengenal diri dan
keadaan dirinya sendiri, maka pengertian ini akan menghapus semua itu
sehingga lenyap tanpa bekas!
KEJAM
Kejamkah Lima Datuk kaum sesat itu? Tentu saja kejam sekali. Akan tetapi
marilah kita menyelidiki keadaan kita manusia hidup ini. Bukankah kita ini
dengan cara masing-masing, menurutkan pendapat masing-masing, juga
merupakan orang-orang yang kejam? Mari kita tengok di sekeliling kita.
Bukankah hidup manusia ini penuh dengan segala macam kejahatan?
Pembunuhan terjadi di mana-mana. Ada pembunuhan karena perkelahian,
karena perampokan, karena kebencian, karena permusuhan, karena iri dan
sebagainya. Banyak pula pembunuhan masal karena perang.
Perang antar bangsa yang pada hakekatnya mencerminkan perang dan
pertentangan antar kelompok, antar perorangan, dan akhirnya bersumber pada
pertentangan dalam diri kita masing-masing! Tidak kejamkah kita kalau kita
mengiri kepada atasan dan menghina kepada bawahan? Kalau kita suka
kepada yang baik dan jijik terhadap yang buruk, termasuk manusia? Tidak
kejamkah kita kalau milik kita berlimpah dan berlebihan dan hati kita tidak
terusik sama sekali melihat sesama manusia kurang makan kurang pakaian
dan tiada tempat tinggal seperti kaum jembel dan gelandangan? Tidak
kejamkah kita kalau untuk sebuah kedudukan saja kita sampai hati untuk saling
jegal, saling fitnah, saling benci, dan saling bunuh?
Kalau kita mau belajar mengalihkan pandangan kita ke dalam diri sendiri, mau
mengenal keadaan hati dan pikiran sendiri secara jujur, akan tampaklah bahwa
selain kejam, kita pun munafik-munafik besar. Mulut bicara tentang saling kasih
antar manusia, namun mata memandang penuh iri dan benci, tangan dikepal
siap saling hantam, hanya untuk memperebutkan uang, kedudukannya, nama
dan juga memperebutkan... kebenaran bukan lain hanyalah kebenaran diri
sendiri masing-masing dan karenanya menjadi kebenaran palsu.
Mari kita ingat betapa kejamnya kita ini! Digigit seekor nyamuk ingin membunuh
semua nyamuk, berdasarkan dendam dan kebencian. Berdasarkan jijik dan
takut terkena penyakit, kalau bisa semua lalat dibasmi! Berdasarkan nafsu
makan enak yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kesehatan, kita
membunuh segala binatang untuk kita makan bangkainya. Tidak kejamkah
kita? Apakah alasan bahwa "semua itu sudah umum" dapat dipakai untuk
menghapus kekejaman ini?
Dapatkah kita berusaha menghapus kekejaman? Dengan ilmu apa pun tidak
dapat! Karena keadaan bebas dari kekejaman bukanlah keadaan yang dibuat
dan diusahakan. Orang tidak akan mungkin dapat berhasil kalau dia berusaha
menjadi orang baik! Usaha menjadi baik hanya menjadikan orang munafik yang
merasa diri baik, dan segala usaha dan keinginan selalu mengandung pamrih
atau tujuan yang kesemuanya bersumber kepada keuntungan lahir maupun
batin bagi diri pribadi. Kekejaman akan terhapus apabila kita mengerti sampai
ke akarnya mengapa kita kejam, apabila kita mengenal keadaan diri kita
pribadi, mengenal gerak pikiran dan hati kita pribadi.
Marilah kita bersama mulai dari detik ini juga. Karena hidup adalah dari detik ke
detik. Hidup adalah sekarang ini. Perubahan adalah saat ini, bukan ingin
mengubah namun perubahan yang terjadi dengan sendirinya setelah kita
membuka mata, waspada penuh kesadaran mengenai keadaan kita lahir batin,
keadaan sekeliling kita. Apa kemarin? Sudah lalu! Hanya menimbulkan
kenangan yang mengeruhkan pikiran. Apa besok? Bukan urusan kita! Hanya
menimbulkan bayangan khayal yang melahirkan kekhawatiran dan ketakutan.
Yang panting sekarang, saat ini!
Dalam hidup, tidak boleh mengikatkan diri kepada sesuatu, baik itu orang lain
berupa orang tua, keluarga, kekasih dan lain-lain maupun kepada benda,
nama, kedudukan dan lain-lain. Karena mengikatkan diri berarti membiarkan
sesuatu itu, keluarga, benda, dan lain-lain, berakar di dalam dirinya. Dan
apabila tiba saatnya setuatu yang berakar itu tercabut, akar itu akan
menimbulkan kerusakan dan penderitaan! Jelas!
"Kalau kita melakukan suatu perbuatan dan ada pamrihnya, bukankah si pamrih
itu yang penting, bukan si perbuatan? Padahal kita harus tahu apa pamrih itu!
Apakah sebenarnya pamrih itu? Bukankah pamrih itu adalah keinginan untuk
menguntungkan diri sendiri, baik lahiriah maupun batiniah? Dengan pamrih,
maka perbuatan itu adalah munafik, pura-pura, hanya dijadikan jembatan untuk
memperoleh yang diinginkannya. Katakanlah perbuatan menolong. Kalau
menolong dengan ada pamrih, apakah itu menolong namanya? Kalau yang
dipamrihkan, yang diinginkan untuk didapat itu tidak ada, apakah masih mau
menolong? Hati-hati orang muda, jangan kita tertipu oleh pikiran kita yang
pandai sekali memabokkan kita dengan segala macam ujar-ujar dan pelajaran
yang kita kenal dari kitab-kitab. Bukalah mata dan mengenal dirimu sendiri,
mengenal segala gerak hati dan pikiranmu, bukan hanya mengenal wajahmu,
dan engkau akan dapat melihat betapa segala macam kepalsuan diciptakan
oleh pikiran. Pikiran memperkuat si aku, dan sekali kita dikuasai oleh ini, segala
macam gerakan dalam hidup ini ditujukan demi keuntungan si aku, sehingga
seperti perbuatan mereka tadi, seringkali menimbulkan kekerasan dan
pertentangan."
"Sekali kita mengalahkan nafsu, maka nafsu itu harus setiap kali kita kalahkan.
Sekali kita menekan, harus setiap kali kita menekannya kembali. Nafsu yang
ditekan, seperti kuda yang dipasangi kendali, harus selalu dikendalikan. Nafsu
yang ditekan, seperti api dalam sekam, setiap kali dapat berkobar kembali.
Tidak ada gunanya melarikan diri dari nafsu, tiada gunanya pula menekannya.
Yang penting kita menghadapinya, mengawasinya, dan mengerti akan nafsu
keinginan kita, mengawasinya tanpa menyetujui, tanpa menentang, hanya
mengawasi saja tanpa memikirkannya. Karena sekali pikiran masuk, sekali kita
menyetujui, menentang atau mengambil kesimpulan maka terciptalah si aku
yang mengawasi si nafsu dan timbul pertentangan! Akan tetapi tanpa adanya si
aku dan si nafsu, yang ada hanya pengawasan itu sendiri dan di sana tidak
akan ada lagi nafsu keinginan!"
Mengapa kita selalu memandang rendah kepada orang biasa dan memandang
tinggi kepada orang yang dianggap pandai atau berkedudukan tinggi?
Bukankah kenyataan hidup yang membelenggu cara hidup kita ini merupakan
pelajaran yang membuka mata dan berharga sekali untuk dimengerti? Kalau
kita membuka mata, orang muda, maka setiap lembar daun kering yang rontok,
setiap ekor burung, hembusan angin, senyum seorang anak--anak, setitik air
mata seorang wanita, semua itu dapat merupakan guru bagi kita! Hidup berarti
berhubungan dengan sesuatu, baik mahluk hidup maupun benda mati. Kalau
membuka mata terhadap hubungan kita dengan semua yang kita hadapi setiap
hari, dan kita membuka mata terhadap tanggapan kita akan hubungan kita
dengan semua itu setiap saat, maka kita akan mengenal diri sendiri. Dan
mengenal diri sendiri merupakan langkah pertama kepada kebijaksanaan,
orang muda."
"Ha-ha-ha, orang muda. Bahagia, seperti juga cinta, tidak mempunyai jalan
atau cara! Bahagia tidak dapat dikejar. Pengejaran bahagia menciptakan
bermacam jalan atau cara ini, dan pengejaran adalah kelanjutan dari nafsu
keinginan memiliki sesuatu, dalam hal ini memiliki kebahagiaan! Dan seperti
telah kita bicarakan tadi, nafsu keinginan menimbulkan iri-dengki-kecewa-benci!
Kalau kita mengejar kebahagiaan, berarti kita menggunakan nafsu untuk
mengenal bahagia. Mungkinkah ini? Jangan kau menanyakan cara untuk
berbahagia, sebaiknya kaucari dalam dirimu sendiri, apa yang membuat
engkau tidak berbahagia. Setelah mengerti apa yang membuat engkau
terbebas dari penyebab tidak berbahagia, maka perlukah kau mencari lagi
kebahagiaan?"
Mereka merasa yakin bahwa kalau mereka berhasil menguasai bokor emas,
tentu mereka menjadi orang yang terkuat, terpandai, dan terkaya di dunia ini,
dan tentu me-reka tidak akan kekurangan apa-apa lagi, dan karenanya dapat
hidup bahagia!
Betapa tersesatnya pendapat seperti ini, dan betapa menyedihkan bahwa kita
semua ini, disadari maupun tidak, kita hidup dalam cengkeraman tujuan dan
cita-cita seperti para datuk itu! Kita mengharapkan sesuatu, selalu
mengharapkan, menginginkan sesuatu yang kita beri nama cita-cita muluk!
Padahal, mengapa kita harus bercita-cita? Mengapa kita harus mengharap dan
beringin? Bukankah pengharapan dan keinginan ini menjadi penyebab dari
kekecewaan dan kekhawatiran? Kita mengejar sesuatu yang kita namakan cita-
cita, dan hati kita selalu diliputi kekhawatiran kalau-kalau kita gagal! Dan kalau
sampai ga-gal, kita akan dirundung kecewa,merasa sengsara. Padahal, kalau
kita berhasil menguasai apa yang kita kejar dan kita namakan cita-cita itu,
benarkah kita akan menemukan bahagia? Berhasilnya cita-cita yang kita kejar
itu, benarkah akan membebaskan kita dari duka dan kecewa, dari bosan dan
dari khawatir? Biasanya, sesuatu yang amat diinginkan, kalau sudah
tergenggam tangan, hanya akan mendatangkan kepuasan sejenak saja,
kemudian kita menjadi bosan dan kita mengejar yang lain lagi sehingga cita-cita
menjadi lingkaran setan yang tiada putusnya, yang mencengkeram se-lama
hidup kita dan membuat hidup kita tak pernah bebas dan tenang!
Mengenangkan kedua orang dara itu, dia merasa kasihan kepada Hwi Sian dan
Bi Kiok. Mengapa dua orang dara itu begitu bodoh dan jatuh cinta kepadanya?
Benarkah bahwa mereka mencintanya? Mengapa ketika dia berterus terang
menyatakan bahwa dia suka akan tetapi tidak cinta, ketika ternyata bahwa dia
tidak membalas cinta mereka, kedua orang dara itu menjadi marah dan ber-
duka? Apakah cinta itu menuntut balasan? Cintakah atau nafsu berahikah itu
yang mendorong pria dan wanita saling mendekat dan masing-masing
mencurah-kan perasaannya dengan tuntutan yang menjadi dasar, tuntutan itu
saling memi-liki, saling menguasai, dan saling menye-nangkan dan
disenangkan?
Kalau ada tun-tutan seperti itu, sudah pasti sekali ter-cipta kecewa, duka,
cemburu dan benci. Benarkah bahwa cinta menimbulkan se-mua kesengsaraan
ini? Kalau begitu, bu-kanlah cinta namanya, yang menimbulkan kecewa, duka,
cemburu, benci dan iri adalah pikiran, ingatan. Kalau pikiran memasuki hati,
semuanya menjadi keruh dan rusak, karena pikiran memperkuat si aku
sehingga segala gerak tubuh, segala gerak hati dan pikiran selalu ditujukan
demi kepentingan dan kesenangan si aku. Maka cinta pun menjadi bukan cinta
lagi karena di situ terkandung tuntutan supa-ya aku dicinta, aku diperhatikan,
aku dipuaskan, engkau menjadi milikku, aku menggantungkan semua harapan
akan kepuasan dan kenikmatan hidup kepada-mu. Selama engkau melayani
segala ke-butuhanku lahir batin, selama engkau memuaskan aku, selama
engkau menye-nangkan aku, selama engkau menjadi milikku pribadi, mulut ini
tak segan-segan menyatakan "aku cinta padamu".
Akan tetapi kalau engkau mengingkari semua tuntunanku itu, kalau engkau
tidak mau melayani kebutuhan lahir batin dariku, kalau engkau mengecewakan
aku, kalau engkau tidak menyenangkan aku, kalau engkau melepaskan diri
dariku dan lari kepada orang lain, cintaku berubah men-jadi cemburu dan benci!
Seperti biasa, para atasan tidur di dalam tenda sedangkan para perajurit
menggeletak begitu saja di atas tanah. Hal ini sudah lajim terjadi di manapun
juga, yang tinggi selalu enak dan bekerja ringan, yang rendah selalu
kekurangan dan bekerja paling berat!
Biasanya hanya orang lain sajalah yang menganggap seseorang itu bahagia.
Orang yang tidak mempunyai uang akan menganggap bahwa si pemilik uang
berbahagia. Orang yang sedang sakit menganggap bahwa si sehat itu
berbahagia. Orang yang sedang cekcok dengan isterinya menganggap bahwa
suami isteri yang rukun itu berbahagia. Dan demikian selanjutnya. Akan tetapi
benarkah bahwa semua itu dapat dijadikan ukuran seseorang apakah dia hidup
bahagia atau tidak?
Selama orang masih memiliki keinginan untuk mendapatkan sesuatu,
mungkinkah dia berbahagia? Selama orang masih melakukan perbandingan,
tentu akan timbul iri dan kecewa yang melahirkan pertentangan-pertentangan
dalam batin yang kemudian meledak keluar. Mungkinkah orang berbahagia
kalau masih ada pertentangan, baik lahir maupun batin?
Bahagia tidak terletak pada harta, kedudukan, kewarasan, kesenangan,
kehormatan. Bahagia haruslah lengkap dan bulat, tidak terpecah-pecah.
Bahagia tidak mungkin dapat dikejar dan dijangkau, tidak mungkin dapat dicari
dan dipaksakan untuk memiliki! Bahagia adalah suatu keadaan yang datang
sendiri tanpa dipanggil, tanpa dikehendaki, tanpa dirasakan! Bahagia tidak
mengenal susah senang, suka duka, puas kecewa dan segala macam keadaan
berkebalikan yang memenuhi kehidupan manusia dan karenanya
mendatangkan segala pertentangan itu. Kebahagiaan berada di atas segala itu.
Demikianlah, maka hanya menjadi harapan dan mimpi setiap orang saja jika
kita bicara tentang bahagia yang seolah-olah ada dan nampak namun selalu
hampa kalau diraih. Semua orang mencari jalan menuju kebahagiaan, seolah-
olah kebahagiaan merupakan suatu tujuan yang tertentu dan mati sehingga kita
tersesat tanpa obor, seperti orang yang mencari sumbernya angin, mencari
ujungnya piring!
Cinta Kasih
Cinta Kasih tak dapat juga diraba, tak dapat dikejar. tak dapat dimiliki atau
digenggam, tak dapat dilatih atau dipelihara. Cinta Kasih tidak mempunyai
sasaran seperti benci, duka, marah, iri dan lain-lain. Cinta Kasih yang sudah
mempunyai sasaran bukanlah cinta kasih lagi namanya. Sasaran (obyect)
timbul karena adanya aku/ego, dan "aku/ego" tak mungkin mencinta, karena
kalau ada aku yang mencinta, cinta itu hanya menjadi alat untuk mencapai
sesuatu demi keuntungan lahir maupun batin dari si aku ini. Cinta Kasih, Tao,
Tuhan, Kebenaran dan sebagainya sudah ada, akan tetapi menjadi tidak ada
atau tidak dimengerti karena terselubung oleh asap nafsu keinginan yang
dibuat oleh si aku, asap yang membuat mata kita menjadi buta. Dalam keadaan
seperti buta itu hendak mencari dan mengerti Kebenaran, mengerti Cinta Kasih,
mengerti Tuhan, tentu saja tidak mungkin. Segala macam asap itu yang berupa
kebencian, kemarahan, kekerasan, kekejaman, iri hati, kedukaan, keinginan,
semua ini harus lenyap dulu, barulah mata akan menjadi terang untuk dapat
melihat Cinta Kasih. Barulah Cahaya itu akan cemerlang dan tampak. Segala
macam bentuk nafsu tidak dapat dilenyapkan dengan paksaan, dengan
kemauan, karena hal itu akan sama halnya dengan api dalam sekam, memang
tidak bernyala lagi, namun masih ada membara dan sewaktu-waktu akan
bernyala lagi kalau mendapatkan angin dan bahan bakarnya! Untuk bebas dari
itu semua, kita harus menghadapinya langsung, mengenalnya,
memperhatikannya dari awal sampai akhir, mengenal sampai ke akar-akarnya
segala nafsu itu, berarti kita harus MENGENAL DIRI SENDIRI berikut segala
macam nafsu yang bukan lain adalah si aku atau si pikiran.
Demikianlah keadaan hati dan pikiran seseorang yang tidak pernah mengenal
diri sendiri, sehingga dia seolah-olah buta akan gerak-gerik lahir batinnya, tidak
sadar akan watak-wataknya sendiri. Karena tidak mengenal diri sendiri inilah
yang menimbulkan segala perbuatan yang merugikan orang lain dan diri
sendiri, perbuatan yang oleh umum dianggap jahat. Tidak ada perbuatan jahat
yang disadari sebagai perbuatan jahat oleh orang yang tidak pernah mengenal
dirinya sendiri, semua perbuatannya itu, apapun juga penilaian umum, tentu
dianggapnya benar karena dia mempunyai alasan-alasannya yang tentu saja
berdasarkan kepentingan diri pribadi.
Orang yang tidak mengenal diri sendiri akan sepenuhnya berada dalam
cengkeraman si aku yang selalu mengejar kesenangan, dikuasai oleh si aku
tanpa disadarinya. Sebaliknya, dengan pengenalan diri sendiri setiap saat,
gerak-gerik dan segala akal bulus si aku dapat diawasi dengan jelas sehingga
si aku tidak sempat lagi mengeluarkan segala siasat dan tipu muslihatnya.
Karena kita mementingkan cita-cita yang merupakan khayal karena belum ada,
maka kita tidak mengacuhkan caranya, tidak memandang lagi kepada keadaan
sebagaimana adanya. Kita memandang kepada masa depan, yaitu cita-cita,
tidak pernah memperhatikan sekarang, saat ini. Maka terjadilah
penyelewengan, terjadilah penggunaan cara-cara yang tidak sehat, semua
demi mencapai cita-cita. Bahkan ada pendapat yang amat menyesatkan bahwa
"cita-cita menghalalkan segala cara". Betapa menyesatkan pendapat seperti itu.
Kita lupa bahwa cara dan cita-cita tidak ada bedanya. Kalau caranya buruk,
mana mungkin cita-cita atau tujuannya baik?
Semenjak kecil, kita manusia telah digembleng dan dibentuk oleh tradisi, oleh
agama, oleh kebudayaan dan oleh peradaban untuk menjadi permainan
daripada kepercayaan-kepercayaan dan karena itu kita hidup tidak bebas lagi.
Jalan pikiran kita tidak lagi bebas karena sudah digariskan dan ditentukan oleh
kepercayaan yang ditanamkan kepada kita sejak kecil, sesuai dengan
masyarakat dan lingkungan masing-masing. Oleh karena itu, kita tidak
mengenal hidup seperti apa kenyataannya, melainkan memandang hidup
melalui tirai yang berupa kepercayaan, ketahyulan, kebiasaan yang membentuk
pendapat-pendapat. Kesemuanya ini diperkuat oleh makin membesarnya si aku
yang juga diciptakan oleh pikiran menurut bentukan keadaan dan pendidikan
kita.
Demikian palsu adanya hidup kita sehingga segala sesuatu yang kita lakukan
tidaklah wajar lagi, melainkan sebagai pengulangan belaka dari kebiasaan kita.
Segala yang kita lakukan bersumber kepada si aku, sehingga setiap perbuatan
kita adalah palsu dan tidak wajar. Namun, kita tidak sadar akan hal ini, dan
semua kepalsuan itu telah kita terima sebagai cara hidup kita yang wajar!
Kepalsuan dianggap kewajaran, itulah pelajaran kebudayaan kita.
Para pendeta Jubah Merah itu pun hidup sebagai benda-benda mati yang
hanya bergerak menurut garis yang sudah ditentukan lebih dulu. Mereka tidak
mau menyelidiki dan mempelajari lagi apa yang mereka lakukan itu, karena
yang terpenting bagi mereka, seperti bagi kita pada umumnya, adalah tujuan
daripada perbuatan mereka.
Perbuatannya sendiri menjadi tidak penting, karena semua perhatian ditujukan
untuk mencapai tujuan. Upacara sembahyang mereka lakukan bukan semata
demi sembahyang itu sendiri, melainkan bagi tercapainya yang mereka tuju
sebagai hasil dari sembahyang itu. Mereka menghadapi "perjuangan"
menumbangkan Pemerintah Tibet, maka mereka melakukan upacara
pengorbanan dan sembahyang dengan segala kesungguhan hati, bukan demi
upacara itu sendiri, melainkan demi terkabulnya harapan dan cita-cita mereka.
Sembahyang, pengorbanan, dan segala upacara itu hanya menjadi cara atau
jembatan belaka untuk memperoleh yang mereka kehendaki, yaitu
kemenangan dalam "perjuangan" itu, melalui berkah para dewa yang mereka
sembah-sembah.
Kalau kita mempunyai kepercayaan lain, tentu akan mencela mereka dan
mengatakan bahwa mereka tahyul, dan sebagainya. Kita lupa bahwa kita
sendiri pun sesungguhnya tidak jauh bedanya dengan mereka! Mari kita
membalikkan pandangan mata kita untuk memandang dan meneliti, untuk
mengenal keadaan diri sendiri! Kalau kita bersembahyang baik kepada Tuhan,
kepada Nabi, kepada Dewa, atau kepada apa saja yang kita puja sebagai
kepercayaan kita masing-masing, kepercayaan yang dibentuk oleh keadaan
sekeliling atau oleh keadaan keluarga, kelompok, atau bangsa kita masing-
masing, apa yang terucapkan oleh mulut atau hati kita? Mari kita menengok diri
sendiri. Bukankah kita memohon kepada Tuhan atau Dewa atau Nabi dengan
kata-kata masing-masing, "Ya Tuhan berkahilah SAYA, lindungilah SAYA,
ampunilah SAYA, bimbinglah SAYA," atau di dalam kelompok kita berdoa, "Ya
Tuhan lindungilah KAMI, berilah kemenangan dalam perang kepada KAMI,
ampunilah dosa-dosa KAMI", dan selanjutnya lagi. Dengan demikian, bukankah
seluruh doa dan upacaranya itu semata-mata ditujukan demi kepentingan
SAYA, atau KAMI, atau si aku ini! Dengan demikian, apakah ini disebut
pemujaan kepada Tuhan atau apa pun yang kita sembah? Ataukah hanya
merupakan pemujaan kepada diri sendiri semata-mata? Dengan cara demikian,
Tuhan tidak dipentingkan lagi, karena yang penting adalah aku, untukku,
bagiku, demi aku, dan seterusnya. Bahkan seolah-olah nama Tuhan hanya kita
peralat demi tercapainya segala keinginan kita, keinginan lahir maupun
keinginan batin, keinginan memperoleh kedudukan dan kemuliaan di dunia
maupun keinginan memperoleh kedudukan dan kemuliaan di alam baka!
Bukankah semua ini merupakan kepurapuraan dan kemunafikan yang palsu?
Segala macam perbuatan yang dicap sebagai perbuatan baik maupun
perbuatan buruk oleh masyarakat kita dan kebudayaannya, segala macam
perbuatan itu adalah munafik dan palsu selama di dasarnya terkandung pamrih
untuk kepentingan atau kesenangan diri pribadi!
Ini sudah jelas dan nyata, bukan? Perbuatan barulah benar kalau digerakkan
oleh CINTA KASIH dan cinta kasih bukanlah pamrih dalam bentuk apapun juga.
Cinta kasih akan menghilang selama di situ terdapat pamrih! Dan tanpa cinta
kasih tidak mungkin ada kebenaran, tidak mungkin ada kebaikan. Kebaikan
tidak mungkin dapat dilatih, yang dilatih hanyalah yang palsu, yang berpamrih
karena melatih kebaikan itu pun sudah merupakan suatu pamrih yang
berselubung halus.
Oleh karena itu, marilah kita belajar mengenal diri sendiri dan melihat segala
kepalsuan, kemunafikan, keburukan, yang berjejal penuh di dalam hati dan
pikiran kita. Dengan memandang dan mengerti, semua itu akan runtuh dan
lenyap, dan setelah bebas dari semua itu, baru sinar cinta kasih akan timbul.
Ibarat matahari yang sinarnya takkan menimbulkan penerangan karena tertutup
awan, demikian pula cinta kasih tidak bersinar karena tertutup oleh awan hitam
yang bersumber kepada si aku! Di mana ada si aku, tentu timbul pertentangan
dan permusuhan. Karena itu, di mana ada si aku, tidak mungkin ada cinta
kasih.
Hampir pada umumnya manusia memiliki kesukaan yang sama atau mirip
dengan kesukaan Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li! Hal ini dapat kita selidiki
sendiri, karena merupakan kenyataan. Hampir semua orang, secara berbeda
tentunya, ada yang terang-terangan ada pula yang sembunyi-sembunyi, ada
yang kasar ada pula yang halus, suka menonton berlangsungnya kecabulan,
baik itu berupa tontonan atau mendengar penuturan orang maupun membaca.
Kalau toh ada yang menyangkal, penyangkalan itu timbul dari penekanan
kemauan yang didasari oleh pengetahuan bahwa hal itu adalah tidak baik,
maka terjadilah penyangkalan bahwa dia tidak suka melihat atau mendengar
itu. Namun kenyataannya, rasa suka itu ada! Dicobanya dilenyapkan dengan
keyakinan atas dasar pelajaran, kesusilaan, agama dan lain-lain bahwa hal itu
tidak baik dan tidak seharusnya dilakukan! Namun, cara demikian tidak akan
melenyapkan kesukaan itu. Seperti api, kesukaan itu belum padam! Hanya
ditutup saja. Bersembunyi di balik pelejaran-pelajaran tentang kesusilaan dan
sebagainya tidak akan ada gunanya. Lari dari kenyataan ini tidak ada gunanya.
Yang penting adalah menghadapinya sebagai suatu kenyataan!
Menghadapinya, mendekatinya dan memandangnya penuh kewaspadaan.
Pandangan penuh kewaspadaan tanpa mencelanya, tanpa menerima atau
menolaknya, akan menimbulkan pengertian akan segala hal-ihwal mengenai
kesukaan aneh ini. Dari manakah timbulnya rasa suka melihat kecabulan?
Sesungguhnya, kecabulan bukan berada di luar diri kita! Tidak ada kecabulan
dalam hubungan kelamin (sex). Cabulkah kalau kita melihat binatang, terutama
yang kecil sedang mengadakan hubungan kelamin? Kiranya tidak! Akan tetapi
mengapa kalau melihat binatang yang besar, terutama manusia, melakukan
hubungan sex, lalu timbul istilah cabul? Barangkali karena melihat binatang
besar terutama manusia melakukan hubungen sex mempunyai daya rangsang
yang merangsang gairah dan nafsu berahi kita! Inilah sebabnya mengapa
timbul istilah cabul. Yaitu pemandangan yang merangsang gairah nafsu berahi
dianggap cabul!
Padahal, tidak ada peristiwa apapun di dunia ini yang merangsang gairah nafsu
berahi. Hubungan sex adalah sesuatu yang wajar dan sama sekali tidak
merangsang gairah nafsu berahi. Yang merangsang adalah PIKIRAN KITA
SENDIRI! Pikiran kitalah yang menambah penglihatan itu dengan bayangan-
bayangan yang mendatangkan kenikmatan lahir batin kita, mengenang kembali
semua pengalaman sex kita, atau bagi yang belum pernah mengalaminya
secara badaniah, tentu membayangkan pengalaman yang pernah dibacanya,
dilihatnya, atau didengarnya dari orang lain. Permainan pikiran kita sendiri
itulah yang merangsang dan membangkitkan gairah berahi kita sendiri.
Dan bagi orang-orang berwatak cabul, perbuatan menonton kecabulan itu yang
menimbulkan semacam kenikmatan tertentu, menjadi suatu kebiasaan yang
telah mencandu sehingga sukar untuk dihentikan kembali dan telah menjadi
sesuatu yang dicari-cari.
Kenyataan itu hanya dapat terlihat oleh siapa saja yang mau membuka mata
mempelajari dan mengenal diri pribadi, sehingga akan tampaklah bahwa segala
hal yang oleh umum dianggap yang buruk-buruk, seperti kecabulan,
kemaksiatan, kepalsuan, kemunafikan, kemarahan, kebencian, iri hati dan
segalanya itu tidak terletak di tempat jauh di luar kita, melainkan terletak di
dalam diri kita sendiri! Dan semua itu pasti timbul karena kita selalu mengejar
kesenangan dalam bentuk apapun juga, kesenangan lahir maupun kesenangan
batin. Pengejaran kesenangan menjadi sumber daripada semua kesengsaraan
hidup yang timbul karena pertentangan dan kedukaan. Bukan KESENANGAN
yang merusak hidup, melainkan PENGEJARAN kesenangan!
Apapun juga yang terjadi di dunia inipun terjadilah, tanpa manusia dapat
mencampurinya, mendorongnya atau mencegahnya. Apapun juga yang terjadi
di dalam kehidupan manusia, yang menimpa diri manusia, adalah suatu fakta,
suatu peristiwa yang terjadi, dan apabila kita menghadapi setiap macam
peristiwa yang terjadi kepada kita atau di sekeliling kita sebagai apa adanya,
tanpa mencari kambing hitamnya, tanpa menyalahkan siapapun, hanya
menghadapinya dengan tenang dan waspada, maka akan terbuka semua
rahasia, tidak ada rahasia lagi karena kita akan dapat melihat sejelas-jelasnya
peristiwa itu berikut segala sesuatu yang ada hubungannya dengan peristiwa
itu, sebab-sebabnya dan lain sebagainya. Semua duka dan sengsara tidak ada
hubungannya dengan segala peristiwa yang terjadi, melainkan bersumber di
dalam diri pribadi.
Akan tetapi, kita biasanya menghadapi setiap peristiwa tanpa kebebasan ini,
kita selalu mencari sasaran untuk menimpakan kesalahan, baik kepada orang
lain, kepada diri sendiri, kepada hari dan nasib peruntungan! Kalau kita
menghadapi setiap peristiwa yang betapa hebatnya menimpa kita dengan batin
yang bebas, dengan awas dan memandangnya sebagai satu hal yang terjadi
apa adanya, tanpa menyalahkan atau membenarkan, maka tidak akan timbul
penyesalan karena kesemuanya sudah nampak jelas sehingga tidak ada lagi
hal yang dibuat penasaran. Duka dan dendam timbul karena kita tidak dapat
menghadapi setiap peristiwa sebagai apa adanya, dan kebebasan ini sama
sekali bukan merupakan sikap masa bodoh, bahkan sebaliknya merupakan
keadaan yang penuh kewaspadaan setiap saat!
Kalau kita bicara tentang sebab akibat, maka segala akibat apapun yang terjadi
di dalam dunia menimpa diri kita adalah disebabkan oleh diri kita sendiri. Oleh
karena itu seorang bijaksana tidak akan memandang akibat, melainkan selalu
waspada dan sadar akan segala gerak-gerik dari setiap pikiran dan perbuatan
dirinya sendiri lahir batin karena dari setiap pikiran dan badan itulah yang
menjadi sebab dari semua akibat, yang penting adalah mengenal diri pribadi
sehingga setiap detik kita dapat waspada akan semua pikiran dan sikap kita,
baik gerak tubuh maupun kata-kata. Yang penting adalah caranya, bukan
tujuannya, karena tujuan tidak Akan jauh dari caranya, atau akibat tidak
berbeda dengan sebabnya! Kalau caranya benar, maka akibat atau tujuan dari
cara itu bukan merupakan persoalan lagi. Dan cara itu, cara hidup atau setiap
gerak-gerik hati pikiran dan kata-kata perbuatan kita saat demi saat barulah
benar apabila terbebas dari segala macam bentuk kekotoran yang timbul dari
nafsu keinginian pribadi, dan kekotoran ini lenyap oleh kesadaran dan
pengertian yang timbul pula dari pengawasan kita, pengenalan kita terhadap
diri sendiri setiap saat.
Cara yang tidak benar pasti akan menjadi sebab terjadinya akibat yang tidak
benar pula, ini sudah pasti, sungguhpun cara itu sudah terlupa oleh kita, sudah
tersembunyi di alam bawah sadar. Akan tetapi, pengertian ini bukan berarti
bahwa kita lalu sengaja menggunakan cara yang benar untuk memperoleh
akibat yang benar, kalau demikian maka cara itu sudah menjadi tidak benar
karena mengandung pamrih keuntungan pribadi sehingga menjadi palsu. Kalau
demikian, maka hanya akan terbentuk lingkaran setan belaka, yaitu sebab
menimbulkan akibat, dan akibat menjadi sebab pula dari akibat yang lain lagi!
Inilah apa yang dinamakan hukum karma, tanpa kita buat sendiri dengan
merangkaikan kemarin memasuki hari ini untuk sampai kepada esok hari! Dan
ini akan berulang terus dan kita terseret di dalamnya! Oleh karena itu, yang
penting adalah saat ini, sekarang ini! Setiap saat awas terhadap diri sendiri,
bukan dalam arti kata menekan atau mengendalikan, hanya waspada tanpa
pamrih, tanpa apa-apa, hanya waspada saja. Kewaspadaan setiap saat ini
yang akan bekerja sendiri, tanpa pamrih dari si aku.
Setiap kali bencana menimpa diri kita, keluarga kita, kita akan merasa tidak
adil. Kematian orang yang kita kasihi, malapetaka yang menimpa membuat kita
menjadi miskin, dan sebagainya, membuat kita merasa prihatin dan sengsara.
Kita tidak membuka mata bahwa mala petaka itu setiap saat memang ada,
menimpa kepada siapapun juga dan selalu akan terasa ada kesengsaraan dan
kedukaan selama tidak terjadi perobahan hebat di dalam batin kita. Karena
kesengsaraan dan kedukaan itu timbul dari dalam pikiran kita sendiri!
Segala macam bentuk setan hanya ada kalau DIADAKAN oleh pikiran kita
sendiri. Banyak memang pengakuan orang-orang yang pernah melihat setan,
akan tetapi sudah pasti sekali bahwa yang dilihatnya itu tentulah setan-setan
seperti yang pernah dikenalnya, yaitu melalui pendengaran cerita, melalui
gambar-gambar atau dongeng-dongeng orang tua, pendeknya tentu yang
dilihatnya itu adalah gambaran yang sudah ada di dalam ingatannya! Pikiran
dapat mempengaruhi semua anggauta badan, terutama sekali mata dan
telinga. Kalau pikiran sudah mencekam kita dengan gambaran-gambaran
tentang setan-setan yang menakutkan dan mengerikan, maka melihat
bayangan pohonpun sudah dapat menciptakan gambaran setan itu, mendengar
suara burung malampun sudah dapat menciptakan gambaran yang dicetak oleh
pikiran kita sendiri. Karena itu, kita harus awas dan sadar terhadap tipu
muslihat yang dilakukan oleh sang pikiran yang lincah dan cerdik seperti
monyet itu.
Bahagia hanya dapat dirasakan oleh orang yang bebas dari segala ikatan, baik
ikatan lahir maupun ikatan batin. Bukan berarti bahwa kita harus acuh atau
tidak perduli, sama sekali tidak. Bahkan sebaliknya, orang yang bebas dari
segala ikatan memperhatikan apapun yang terjadi di luar dan dalam dirinya
tidak dapat memilih-milih dan pilih kasih. Orang yang bebas dari ikatan adalah
orang yang sendirian, bukan berarti mengasingkan diri. Ikatan hanya
memperbudak diri.
Hukum karma merupakan sebab dan akibat yang saling membelit, merupakan
mata rantai atau lingkaran setan yang tiada habisnya jika kita melibatkan diri ke
dalamnya. Suatu peristiwa yang oleh kita dianggap sebab tentu menimbulkan
akibat, dan kalau kita terseret di dalamnya, akibat inipun menjadi sebab dari
akibat lain pula yang akan datang! Sebab dan akibat bersambung terus tak ada
habisnya, seperti masa lalu bersambung ke masa kini memasuki masa depan,
terus bersambung karena kita sendiri yang menyambungnya! Kita sendiri yang
menghubungkannya. Suatu peristiwa adalah suatu peristiwa, apakah dia
menjadi sebab ataukah akibat, tergantung dari kita yang menilainya. Segala
sesuatu tentu saja menjadi ada kalau kita mengadakannya, menjadi persoalan
atau problem kalau kita mempersoalkannya. Betapa akan bahagianya kalau
kita dapat menghadapi setiap peristiwa apapun, menyenangkan atau
sebaliknya, seperti apa adanya dan selesai pada saat itu juga! Bukan sebab,
bukan pula akibat, melainkan hanya suatu peristiwa, suatu kejadian, suatu
kewajaran yang tidak meninggalkan bekas apa-apa.
"Memang demikianlah pendirian kita. Kita menganggap diri sendiri benar. Akan
tetapi sayangnya, orang lainpun, termasuk orang-orang yang kita musuhi, juga
menganggap mereka benar. Siapakah yang benar kalau kedua fihak sudah
merasakan kebenaran masing-masing? Kita semua hanya terseret oleh
kekacauan dunia yang melahirkah semua perbuatan yang jahat, isteriku. Tidak
mungkin kejahatan di dunia ini dapat dibasmi dengan kekerasan, karena sebab-
sebab timbulnya kejahatan itu masih ada. Seribu macam kejahatan boleh
dibasmi, akan tetapi seribu macam kejahatan yang lain lagi akan timbul, seperti
halnya penyakit. Penyakit yang sudah timbul dapat diobati dan disembuhkah,
namun penyakit-penyakit lain akan bermunculan dan perang terhadap penyakit
tidak akan pernah habis, seperti juga perang terhadep kejahatan. Tidak,
isteriku, kejahatan tidak akan pernah habis selama kejahatan itu dapat
memasuki hati siapapun juga. Yang hari ini baik, mungkin besok menjadi jahat,
sebaliknya yang hari ini jahat, besok mungkin menjadi baik. Kejahatan seperti
penyakit, orang yang melakukan kejahatan seperti orang yang sedang sakit,
tentu saja orang sakit bisa sembuh, sebaliknya, yang waraspun sewaktu-waktu
bisa saja jatuh sakit!"
"Karya seni adalah suatu karya yang mengandung keindahan keadaan dan
macamnya tidak bisa ditentukan oleh manusia, segi-segi keindahannyapun
tidak bisa ditentukan dan digariskan, karena kalau sudah digariskan itu bukan
seni namanya. Kalau karya seni ditentukan sifatnya, maka yang menentukan itu
adalah orang-orang yang mempunyai kecondongan suka atau tidak suka dan
memang penilaian tergantung sepenuhnya kepada rasa suka dan tidak suka
itu. Alam merupakan seniman yang maha besar dan satu di antara karya
seninya adalah hujan. Apakah semua orang menyukai hujan atau
membencinya? Belum tentu! Tergantung dari untung rugi yang diakibatkah oleh
hujan tadi bukan? Nah, karya senipun demikian. Yang jelas, jika mengandung
keindahan yang dapat dinikmati oleh segolongan orang, itulah seni.
Nyanyianmu tadi banyak yang menikmatinya dan bagi yang menikmatinya tentu
dianggap baik, akan tetapi bagi orang lain mungkin saja dianggap bukan seni
bahkan merusak."
Judi merupakan permainan yang dengan amat jelasnya menggambarkan watak
masyarakat, watak manusia pembentuk masyarakat. Hanya satu sifat yong
menonjol, yang dapat dilihat jelas dalam perjudian akan tetapi agak tersamar
dan tersembunyi di dalam kehidupan sehari-hari, sungguhpun sifat yang
tersembunyi itu bukan berarti lemah, yaitu sifat SERAKAH, ingin memenuhi
nafsu keinginan. Seperti juga di dalam perjudian, kita hidup sehari-hari
mengejar keinginan kita yang dapat saja berupa harta benda, kedudukan, nama
besar, atau keinginan yang lebih tinggi lagi menurut pandangan kita, seperti
kedamaian, ketenteraman, keabadian, nirwana atau sorga. Di dalam setiap
pengejaran keinginan, kepuasan hanya berlaku sementara saja, karena makin
dituruti, keinginan makin membesar dan meluas, makin haus sehingga apa
yang diperoleh masih selalu kurang dan tidak mencukupi. Celakanya di dalam
kenyataan hidup ini, demi mengejar keinginan yang sebutannya diperhalus dan
diperindah menjadi cita-cita atau ambisi dan sebagainya, demi mencapai apa
yang diinginkan itu, kita main sikut-sikutan, jegal-jegalan dan gontok-gontokan
antara manusia, antara bangsa, bahkan antara saudara sendiri! Kenyataan
pahit ini hampir tidak tampak lagi, namun bagi siapa yang mau membuka mata
melihat kenyataan, peristiwa menyedihkan itu terjadi setiap saat, setiap hari, di
mana saja di bagian dunia ini, dan dekat sekali di sekeliling kita, bahkan di
dalam diri kita sendiri!
Kita manusia hidup memang selalu menjadi permainan suka dan duka apabila
kita masih terbelenggu oleh segala ikatan. Selama batin kita masih belum
bebas dari rasa takut akan kesunyian, kita selalu mencari sandaran dan kita
mengikatkan diri dengan segala yang anggap akan mendatangkan kesenangan
abadi. Kita selalu mengejar kesenangan dan menuntut kesenangan dari segala
sesuatu sehingga kita mengikatkan diri dengan isteri, dengan keluarga, dengan
kedudukan, dengan harta, dengan nama dan sebagainya. Pengikatan diri
dengan semua ini dasarnya karena diri pribadi yang selalu menonjolkan
pencarian kesenangan baik kesenangan duniawi maupun kesenangan rohani.
Kalau sewaktu-waktu kita diharuskan terpisah dengan semua itu, tentu saja
menimbulkan duka dan sengsara yang sama artinya dengan kekecewaan
karena kesenangan kita dirampas.
Sesungguhnya bahwa suka maupun duka bersumber kepada hati dan pikiran
kita sendiri, tergantung dari bagaimana kita menanggapi dan menghadapi
semua yang terjadi pada diri kita. Kebanyakan orang menganggap bahwa
kesenangan juga berarti kebahagiaan dan sumbernya terletak di harta,
kedudukan, nama dan sebagainya. Betapa bodohnya anggapan seperti itu,
betapa dangkalnya. Di manakah letak kekayaan? Apakah di kantong baju, di
peti uang dan harta benda? Bukan, melainkan di dalam hati dan pikiran sendiri.
Biarpun orang memiliki lima buah gunung emas, apabila dia masih merasa
kurang maka dia adalah miskin dan akan terus mengejar kekayaan dengan
tamaknya. Orang yang mengantongi uang satu juta adalah orang miskin
apabila dia menginginkan barang yang lebih dari jumlah itu harganya. Orang
tidak akan mampu menikmati, tidak akan mampu melihat keindahan, dari
apapun yang berada di dalam tangannya, betapapun tinggi nilai benda itu,
apabila dia menginginkan barang yang lain daripada yang telah dimilikinya. Dan
orang yang selalu diperhamba oleh nafsu keinginannya, takkan pernah merasa
cukup dan takkan pernah dapat mengerti apa yang dinamakan keindahan, apa
yang dinamakan kebahagiaan hidup.
Sebaliknya, orang yang sudah bebas batinnya dari semua ikatan, menghadapi
kehidupan dengan segala macam peristiwanya dengan hati terbuka, dengan
perasaan lapang, dengan gembira dan tidak pernah dia tenggelam di dalam
duka maupun suka. Bagi dia, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini
mengandung hikmah kehidupan yang luar biasa, yang indah dan wajar
sehingga dia tidak lagi mengenal apa artinya kecewa, karena dia tidak
mengejar apa-apa, tidak mengharapkan apa-apa. Keadaan demikian ini
membuat dia bebas dari suka duka, bebas dari arus lingkaran setan yang
membuat manusia yang belum bebas dan belum sadar dalam bidupnya selalu
jatuh bangun di antara suka dan duka. Akan tetapi betapa menyedihkan karena
kebanyakan dari kita menerima keadaan hidup seperti ini! Kita menerimanya
sebagai hal yang "sudah semestinya". Hidup yang penuh dengan duka
nestapa, kesengsaraan, pertentangan dan permusuhan, benci dan iri hati,
segala macam kepalsuan di segala lapangan dan dalam segala macam bentuk
perang, pembunuhan dan kelaparan, di antara semua kengerian ini dan hanya
kadang-kadang saja ada kesenangan yang hanya lewat bagaikan sinar kilat
sekali-kali, dan kita sudah menerima kehidupan macam ini sebagai hal yang
semestinya! Kita selalu mengejar kesenangan, dengan suka rela
menghambakan diri kepada pemuasan kesenangan sungguhpun kita tahu
bahwa di balik dari semua kesenangan itu terdapat kesusahan yang mengintai
dan siap menerkam korbannya, yaitu kita!
Tidak ada kekuasaan apapun di dunia ini dapat merubah semua kesengsaraan
kehidupan yang bersumber di dalam diri pribadi, kecuali KITA SENDIRI. Bukan
kita yang mengusahakan perobahannya. Kita tidak akan dapat merubah diri
sendiri, akan tetapi dengan kewaspadaan dan kesadaran, dengan mengenal
diri sendiri luar dalam, dengan pengawasan dan pengamatan setiap saat, akan
timbul pengertian dan kesadaran, dan pengertian ini tanpa diusahakan, dengan
sendirinya akan menghalau semua perintang dan penghalang dari perobahan.
Pengertian yang mendalam inilah yang penting, bukan segala macam
pengetahuan mati tentang filsafat atau kebatinan manapun, karena
pengetahuan-pengetahuan itu hanya akan menjadi slogan mati, klise-klise
lapuk yang hanya akan diulang-ulang oleh mulut, bahkan diperalat untuk
membanggakan diri belaka.
Dunia penuh dengan kekejaman dan kekerasan yang dilakukan oleh manusia.
Selama sejarah berkembang, dapat diikuti kenyataan betapa makin lama
manusia bukan makin baik, melainkan makin jahat dan permusuhan,
kebencian, bunuh-membunuh dan perang makin memenuhi dunia. Mengapa
demikian? Mengapa manusia selalu dirundung dendam, kebencian,
permusuhan dan kekerasan sepanjang masa? Banyak sudah muncul orang-
orang bijaksana yang kemudian didewa-dewakan dan dipuja-puja, manusia-
manusia yang menyebarkan segala macam pelajaran bagi manusia agar
manusia insyaf akan kejahatannya dan kembali ke jalan benar. Namun agaknya
semua itu kalau kita mau melihat kenyataan sekarang ini, semua itu sia-sia
belaka. Semua orang bicara tentang kasih sesama manusia namun apa yang
dibicarakan itu hanya merupakan pemanis mulut belaka, sedangkan hatinya
penuh kebencian kepada sesama manusia, tentu saja manusia yang merugikan
dirinya. Seluruh dunia bicara tentang perdamaian, bicara tentang menjauhkan
perang, akan tetapi diam-diam angkatan bersenjata di masing-masing
negaranya dipupuk dan perkuat! Wajah berseri dan mulut tersenyum, akan
tetapi diam-diam kedua tangan dikepal, siap untuk melakukan kekerasan!
Tidakkah demikian keadaan dunia semenjak dahulu sampai sekarang?
Dunia dan keadaannya tidak timbul begitu saja, melainkan akibat dari keadaan
kita semua. Kitalah yang bertanggung jawab sampai adanya dunia macam
sekarang ini, di mana kekerasan merajalela, di mana kebencian menguasai hati
semua orang, di mana pengejaran keuntungan diri pribadi yang menjadi
sumber semua gerakan manusia, di mana kebenaran diperebutkan, saling
membela kebenaran sendiri masing-masing. Kita lupa bahwa kebenaran yang
diperebutkan itu bukanlah kebenaran lagi, palsu dan hanya mendatangkan
lebih banyak permusuhan lagi.
Kita selalu menujukan mata dan telinga kita keluar, mencari-cari segala yang
dapat menguntungkan dan menyenangkan, memuaskan hati dan jasmani kita.
Pengejaran akan kesenangan lahir batin membutakan mata kita sehingga kita
sama sekali tidak pernah mau memandang diri kita sendiri, memandang diri kita
seperti apa adanya, dengan segala kepalsuan kita, dengan segala keburukan
dan cacat serta kekotoran kita. Kita tidak pernah menggunakan telinga untuk
mendengarkan bisikan-bisikan hati kita sendiri, suara-suara pikiran kita sendiri,
dan tidak mau mengikuti gerak-gerak diri kita sendiri lahir batin. Hanya
penglihatan akan kenyataan tentang keadaan diri kita yang kotor sajalah yang
akan mendatangkan perobahan, yang akan melenyapkan kekotoran itu. Hanya
kalau kita dapat melihat sendiri betapa kebencian mencengkeram hati dan
pikiran kita, maka kita akan mengerti tentang kebencian ini dan akan sadar dan
selalu waspada. Kesadaran dan kewaspadaan akan kebencian yang
mencengkeram kita inilah yang akan melenyapkan kebencian itu sendiri, tanpa
terdorong keinginan untuk melenyapkannya, melainkan hanya mengamati dan
mengertinya sampai ke akar-akarnya. Mengenai kekotoran orang lain hanya
akan menambah kekotoran diri sendiri, sebaliknya hanya dengan mengenal
kekotoran sendiri maka akan terjadi perobahan pada diri kita.
Berbahagialah orang yang melakukan segala sesuatu dalam hidup ini dengan
perasaan kasih di hatinya. Dan pekerjaan apapun yang dilakukan orang,
perbuatan apapun yang dilakukannya, apabila berdasarkan cinta kasih, maka
perbuatan itu tentu benar adanya! Sayang sekali bahwa kita pada umumnya
sudah tidak lagi mengenal cinta kasih dalam segala perbuatan kita. Perbuatan
kita selalu didorong oleh kepentingan diri pribadi lahir batin, demi keuntungan,
demi kesenangan, demi kebencian, iri hati, pamrih dan lain-lainnya. Kalau saja
kita dapat melakukan pekerjaan kita dengan cinta kasih di hati! Bukan demi
penghasilannya! Kalau saja kita dapat melakukan segala sesuatu dengan kasih
di hati! Betapa akan indahnya hidup ini, betapa akan bahagianya hidup ini.
"Binatang tidak akan menyerang manusia kalau tidak diganggu atau lapar.
Binatang merupakan mahluk yang lebih baik daripada manusia! Manusia
adalah mahluk paling jahat dan kejam di permukaan bumi ini. Tidak ada
binatang yang membunuh untuk kesenangan, atau membunuh karena
permusuhan dan kebencian. Binatang membunuh untuk dapat hidup,
membunuh karena dorongan perut lapar. Akan tetapi manusia membunuh apa
saja di dunia ini untuk mencari kesenangan, bahkan membunuh sesama
manusia untuk mencari kesenangan dalam kemenangan, membunuh karena
permusuhan dan kebencian. Phahh!"
IM-YANG
Memang belas kasihan adalah getaran yang mendekatkan hati kepada cinta
kasih. Di mana ada belas kasihan, berlarianlah iblis-iblis kemarahan,
kebencian, iri hati dan lain-lain sehingga memungkinkan terujudnya cinta kasih.
Dan hati yang penuh dengan cinta kasih, selalu ada belas kasihan. Keduanya
itu tak terpisahkan.
PENYUAPAN/PENYOGOKAN
Dari manakah timbulnya peristiwa-peristiwa penyuapan dan penyogokan yang
telah menjalar di seluruh dunia ini? Suap dan sogok dalam bentuk apapun juga,
bentuk harta benda, kedudukan, nama besar, wanita, kehormatan dan
sebagainya terjadi di seluruh dunia dan agaknya telah ada semenjak sejarah
berkembang.
Semua ini terjadi karena manusia memegang kekuasaan dan karena manusia
itu selalu memiliki kelemahan, yaitu menjadi hamba dari nafsu-nafsu
keinginannya, maka manusia yang memegang kekuasaan melihat bahwa
kekuasaannya itu merupakan alat yang amat berguna untuk mencapai apa
yang diinginkannya!
Dipergunakanlah kekuasaannya untuk memaksakan kehendaknya kepada
orang lain, yaitu demi terlaksananya apa yang diinginkan dan dibutuhkannya.
Padahal, selama manusia mengejar keinginan, maka tidak akan ada habisnya
kebutuhan hidupnya. Dan untuk memenuhi ini, manusia tidak segan-segan
melakukan apapun juga sehingga timbullah pencurian, perampokan, penipuan,
pemerasan dan termasuk penyuapan dan penyogokan yang menjadi akibat dari
pemerasan.
Oleh karena itu, segala tindak korup di dunia ini tidak akan dapat dihentikan
oleh apapun juga selama manusia menjadi hamba dari nafsu-nafsu
keinginannya sendiri. Selama manusia belum mengenal diri pribadi dan tidak
sadar bahwa dirinyalah sumber segala kebusukan. Dunia akan menjadi sebuah
tempat yang berbeda sekali apabila kita sudah tidak lagi dikejar atau mengejar
kebutuhan! Sandang pangan dan tempat tinggal memang merupakan
keperluan mutlak bagi manusia hidup, namun sayang, bukan yang tiga itulah
sesungguhnya yang dikejar-kejar, yang menjadi kebutuhan kita, melainkan
kesenangan, kepuasan yang tidak ada ukurannya lagi akan besar dan
banyaknya.
Maka bahagialah mereka yang TIDAK MEMBUTUHKAN APA-APA. Bukan
berarti menolak dan memantang segala sesuatu, melainkan tidak mencari dan
tidak akan mengejar. Kalau ada, boleh, kalau tidakpun tidak akan mengejar,
karena pengejaran ini yang menimbulkan segala macam bentuk kejahatan di
dunia.
Daya tarik yang saling mempengaruhi pria dan wanita adalah suatu kewajaran
dan pembawaan dalam diri manusia, seperti terdapat pada mahluk apapun di
permukaan bumi ini. Daya tarik ini menimbulkan rasa suka, rasa cinta antara
pria dan wanita, membuat masing-masing ingin saling mendekati, saling
sentuh, saling belai dan saling berkasih mesra, sedekat mungkin sehingga
menimbulkan keinginan untuk bersatu badan dan hati. Hal ini sudah wajar,
sudah benar, dan sudah merupakan sifat alamiah yang ada pada diri manusia.
Hubungan kelamin seperti yang lajimnya dikenal dengan sebutan sex bukanlah
hal yang kotor, bukanlah suatu hal yang menjijikkan atau memalukan.
Sebaliknya malah, sex merupakan hal yang amat indah, yang suci, asalkan
timbul dari naluri yang wajar, timbul dari gairah yang memang ada dalam diri
manusia, timbul dari rasa cinta antara pria dan wanita karena daya tarik
alamiah itu. Hubungan sex adalah suatu hal yang terhormat, suatu kenikmatan
hidup yang patut dan layak dialami oleh setiap orang manusia, asal saja
dilakukan dengan wajar dan dengan mata terbuka, dengan penuh kesadaran
dan BUKAN DALAM KEADAAN DIMABOK NAFSU sehingga menjadi
perbuatan membuta den menjadi hamba daripada nafsu berahi belaka. Kalau
sudah begini, maka berobahlah sifatnya hubungan kelamin, menjadi kotor dan
najis, menjadi sumber dari kenikmatan palsu yang membawa kepada jurang
kedukaan den kesengsaraan lahir batin.
Kenikmatan hubungan kelamin adalah suatu kurnia hidup, suatu keindahan
hihup, merupakan bagian dari kehidupan dan cinta kasih, tidak terpisah-pisah.
Sex bukanlah yang mutlak terpenting dalam hidup, bukan pula hal yang
diremehkan. Akan tetapi, seperti segala sesuatu dalam hidup, apabila sex
sudah merupakan suatu kebutuhan yang dicari-cari, yang dikejar-kejar, maka
hal itu akan hanya membawa kita ke dalam jurang kesesatan langkah yang
akhirnya akan menghancurkan kita sendiri. Sia-sia belaka mereka yang
mencari kesucian dengan menjauhi dan menganggap hubungan sex sebagai
suatu pantangan, lalu bertapa, atau menyendiri, akan tetapi di dalam hatinya
tersiksa karena digerogoti oleh nafsunya sendiri! Nafsu apapun bukan harus
dipantang, bukan harus ditekan, melainkan semestinya dipandang, dimengerti!
Bagaikan api, nafsu bukan harus ditutup karena api itu tidak akan padam,
seperti api dalam sekam yang sewaktu-waktu akan membakar pula. Api nafsu
itu semestinya dipandang dan dari pandangan ini timbul kewaspadaan, timbul
kesadaran, dan api itu akan menjadi nikmat dan manfaat hidup, bukan
merusak.
Hubungan kelamin yang merupakan sesuatu yang amat indah dan murni, di
mana manusia kehilangan akunya, akan berobah menjadi nafsu berahi yang
membakar dan memperbudak jika pengalaman ini disimpan di dalam ingatan!
Dengan mengingat-ingat, mengenangkan kenikmatan dalam hubungan atau
pengalaman itu, timbullah nafsu berahi yang mendesak dan menggelora batin,
yang membuat kita menjadi hambanya dan mulailah kita mengejar dan
mencari, ingin mengalami lagi kenikmatan itu dan dengan demikian,
kenikmatan ini menjadi satu di antara kepentingan-kepentingan hidup yang
dikejar-kejar untuk didapatkan, maka mulailah pula langkah-langkah sesat kita
ambil demi untuk memperolehnya!
Maka sudah jelaslah bahwa hubungan kelamin baru benar apabila dilakukan
oleh sepasang manusia yang saling mencinta sebagai puncak daripada kasih
mesra yang saling ditujukan sebagai tanda bersatunya badan dan hati. Apabila
hubungan ini dilakukan oleh sepasang manusia tanpa dasar cinta kasih, maka
itu hanyalah dorongan nafsu berahi belaka dan tidak dapat dihindarkan lagi
tentu akan mengakibatkan duka dan kesengsaraan, penyesalan dan
kekecewaan.
Di manapun, bilamanapun, siapapun dapat saja mengalami hal-hal yang
berhubungan dengan asmara antara pria dan wanita, dan siapapun juga yang
belum sadar akan diri sendiri, belum mengenal diri pribadi dan segala
kelemahannya, betapapun cintanya dia, betapapun terpelajarnya dia dapat saja
menjadi korban yang amat lemah dari cengkeraman nafsu berahi.
Betapa banyaknya di dunia ini terjadi peristiwa seperti yang dialami oleh
Yalima. Betapa banyaknya gadis-gadis di dunia ini yang terbujuk oleh nafsu
berahi, mengadakan hubungan kelamin di luar pernikahan dan mengandung!
Lebih celaka lagi, betapa banyaknya akibat-akibat yang amat mengerikan dan
hebat terjadi sebagai lanjutan dari peristiwa ini. Bunuh diri, pengguguran,
pembunuhan dan sebagainya! Betapa lemah dan piciknya manusia!
Salahkah Yalima dan gadis-gadis seperti dia itu? Berdosakah mereka?
Siapakah yang bersalah kalau terjadi hal seperi itu? Si gadiskah? Si
pemudakah? Atau keadaan? Pergaulan? Pendidikan?
Tidak ada gunanya menyalahkan siapapun juga, karena kalau diusut,
semuanya salah! Memang kehidupan manusia, cara hidup manusia seperti
yang kita hayati selama ribuan tahun ini salah dan palsu adanya! Kita hidup
seperti mesin, kita hidup seperti alat-alat mati, kita hidup hanya menurut garis-
garis yang telah ditentukan oleh manusia-manusia lain, manusia-manusia
terdahulu yang merupakan tradisi, ketahyulan, hukum-hukum yang mati dan
kaku. Kita hidup dituntun, dibimbing, dikurung dan dipaksa untuk menyesuaikan
diri dengan contoh-contoh dan pola-pola yang telah dibangun oleh "peradaban"
sejak ribuan tahun. Peradaban yang sesungguhnya tidak beradab! Segala
sesuatu dalam hidup, baik buruknya dipandang dari segi hukum dan ketentuan
umum, sehingga segalanya palsu adanya! Kesopanan dipandang dari pakaian
dan sikap yang sesungguhnyapun hanya pakaian yang tak nampak, dan ini
sudah menjadi pendapat umum yang mati. Padahal kesopanan letaknya di
dalam batin, bukan di dasi atau sepatu! Demikian pula, kebenaran, kebajikan,
budi dan lain-lain ditukar dari pendapat umum yang hanya memperhatikan
lahiriah belaka! Padahal sumbernya adalah di dalam batin, dan hanya diri
sendirilah yang dapat mengerti apakah kesopanan yang dilakukan itu, apakah
kebajikan dan lain sebagainya yang dilakukan itu palsu belaka, pura-pura
belaka, ataukah wajar! Kalau wajar dan tulus, tanpa pamrih, tanpa diikat oleh
aturan-aturan lahiriah, itu barulah benar!
Hukum pula yang menentukan bahwa hubungan kelamin baru benar kalau
dilakukan setelah pria dan wanita itu menikah! Atau baru benar kalau dilakukan
oleh orang-orang yang berjual beli dan sudah disyahkan pemerintah! Benarkah
demikian? Kalau kita mau membuka mata batin, mau mempelajari diri sendiri,
menjenguk hati dan pikiran sendiri, memandangnya dengan bebas, kiranya
akan terlihat bahwa tidak benarlah demikian itu. Biarpun sudah disyahkan oleh
hukum pernikahan, biarpun sudah disebut suami isteri oleh umum, kalau
hubungan itu dilakukan tanpa adanya cinta kasih, melainkan hanya sebagai alat
untuk mencari kepuasan dan kesenangan diri pribadi belaka, maka hubungan
kelamin macam itu pun kotor dan palsu adanya! Sama saja dengan perbuatan
menolong orang lain yang oleh pandangan umum disebut baik, akan tetapi
kalau di dalam batinnya pertolongan itu dilakukan dengan pamrih, dilakukan
sebagai alat untuk mencari pujian, untuk mencari balas jasa, maka
"pertolongan" macam itupun kotor dan palsu adanya! Jadi yang mutlak menjadi
mutu setiap perbuatan adalah dasarnya, dasar batiniahnya.
Pengarang tidak hendak mengatakan bahwa perbuatan Yalima dan Kwee
Tiong itu benar! Sama sekali tidak! Hanya hendak mengajak pembaca untuk
membuka mata melihat segala kepalsuan dalam hidup, termasuk kepalsuan
dalam urusan hubungan sex! Kwee Tiong dan Yalima patut dikasihani. Mereka
berdua hanyalah menjadi akibat dari keadaan hidup kita sejak dahulu sampai
sekarang. Mereka berdua belum mengerti, dan pengertian ini, baik bagi yang
muda maupun bagi yang tua, hanya terdapat kalau kita sudah mengenal diri
sendiri setiap saat! Pengenalan diri sendiri mendatangkan kewaspadaan dan
kewaspadaan ini menghentikan segala perbuatan yang tidak benar!
Kita tidak berhak membenarkan atau menyalahkan Yalima dan Kwee Tiong!
Setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia, menjadi tanggung jawab si
manusia itu sendiri, setiap buah dari pohon yang ditanam akan dipetik oleh
tangan si penanam itu sendiri. Yang pasti, segala macam bentuk kesenangan
yang dicari-cari, dikejar-kejar, dinikmati dan mendatangkan kepuasan
sementara, sudah pasti disertai oleh kedukaan karena suka duka merupakan
saudara kembar yang tak terpisahkan!
Sejak sejarah berkembang sampai kini, hati wanita memang amat lemah
terhadap sikap manis dan bujuk rayu pria. Memang sudah menjadi naluri wanita
dan segala jenis mahluk betina untuk memancing perhatian dan pujian dari
lawan jenisnya, untuk memperkuat daya tariknya terhadap golongan jantan dan
akan banggalah hatinya kalau golongan jantan terpikat oleh kecantikannya.
Pada umumnya wanita haus akan pujian pria, hal ini wajar sungguhpun kaum
wanita suka menyembunyikannya, bahkan kadang-kadang berdalih marah-
marah kalau dipuji, sungguhpun di dalam hatinyat pujian dari mulut dan
pandang mata pria merupakan peristiwa yang paling mengesankan di dalam
hatinya.
Kebencian dan rasa takut didatangkan oleh pikiran yang membayangkan hal-
hal yang mengerikan dan tidak menyenangkan yang telah atau akan menimpa
diri kita. Iri hati, keinginan, ambisi, gairah datang karena pikiran membayangkan
hal-hal yang menyenangkan dan yang telah atau akan kita alami. Segala
macam nafsu datang dari pikiran yang membayang-bayangkan hal-hal yang
telah lalu dan yang akan datang sehingga kehidupan kita sepenuhnya
dipermainkan dan dikuasai oleh kesibukan pikiran, membuat kita tidak mampu
melihat keadaan sesungguhnya dan kenyataan dari saat sekarang ini. Oleh
karena itu, seorang bijaksana akan selalu waspada terhadap pikirannya sendiri,
karena pikiran yang sesungguhnya amat penting bagi fungsi hidup sehari-hari
sebagai alat untuk mengingat dan mencatat, juga amatlah jahat kalau
dipergunakan tidak pada tempatnya, yaitu dipergunakan untuk menguasai
kehidupan seluruhnya dengan pembentukan si aku. Si aku adalah pikiran itu
sendiri yang selalu mengejar kesenangan dan menyingkir dari yang tidak
menyenangkan. Maka batin menjadi ajang perang dari kenyataan seperti apa
adanya dan bayangan-bayangan pikiran yang selalu menginginkan hal-hal yang
lain daripada kenyataan yang ada! Maka datanglah konflik batin yang tentu
akan tercetus keluar menjadi konflik lahir. Kalau kita mau membuka mata
melihat kenyataan konflik ini nampak di dalam kehidupan kita sehari-hari, dari
konflik kecil antar manusia sampai konflik besar antar bangsa berupa perang!
Pengejaran Ambisi
Kembali merupakan bukti yang nyata betapa semenjak sejarah tercatat orang,
semua pertikaian, semua permusuhan dan semua peperangan terjadi sebagai
akibat daripada pengejaran ambisi dan cita-cita, baik perorangan maupun
kelompok yang sesungguhnya sama saja, karena kelompok hanyalah
merupakan sekumpulan orang-orang lemah yang tidak percaya kepada diri
sendiri lalu menggantungkan kepercayaan mereka kepada beberapa gelintir
orang dan mengeoper ambisi beberapa gelintir orang itu sebagai tujuan cita-cita
mereka sendiri. Betapa banyak terjadi sejak dahulu. Raja demi raja
ditumbangkan dari kekuasaannya oleh raja lain yang pada gilirannya selalu
terancam akan digulingkan pula oleh kekuasaan lain yang ingin mencapai apa
yang dicita-citakannya, apa yang diinginkannya dan yang dinamakan cita-cita
atau ambisi.
Cita-cita atau ambisi bukan lain hanyalah keinginan kita akan sesuatu yang
tidak ada, sesuatu yang lain daripada yang ada sekarang, yang lain daripada
apa yang berada di tangan kita, lain daripada apa yang kita miliki, yang kita
anggap jauh lebih bagus dan lebih menyenangkan daripada yang ada
sekarang. Dengan pandangan seperti ini, mata yang ditujukan kepada hal-hal
yang belum ada, yang dianggap lebih menyenangkan, tentu saja yang ada
sekarang tampak sama sekali tidak menyenangkan, atau bahkan tidak nampak
sama sekali. Jelaslah bahwa cita-cita atau ambisi itu hanyalah pengejaran
kesenangan belaka, kesenangan yang dibayang-bayangkan akan membuatnya
bahagia. Padahal kalau yang dinamakan cita-cita itu tercapai, kepuasan hanya
dirasakan sebentar saja karena mata sudah mulai lagi memandang jauh,
bercita-cita yang lain lagi, mengejar kesenangan yang lain lagi, yang dianggap
lebih daripada yang telah diperolehnya itu.
Demikianlah, hidup lalu menjadi gelanggang pengejaran cita-cita yang
akibatnya hanya dua, yaitu kalau tidak tercapai menjadikan kecewa dan putus
asa, kalau tereapai menjadikan bosan dan mengejar yang lain lagi. Dan lebih
celaka lagi, pengejaran-pengajaran demi tercapainya cita-cita atau ambisi yang
pada hakekatnya hanyalah kesenangan terselubung itu, seringkali dilakukan
dengan cara bagaimana saja, kadang-kadang kotor dan kejam bukan main,
demi untuk memperoleh yang dicita-cita atau dikejarnya.
Betapapun cara pengejaran keinginan itu diperhalus, dijaga agar tidak
menyeleweng daripada kebenaran, tetap saja di dalamnya mengandung unsur
untuk kepentingan diri pribadi, dan karena setiap orang mengejar keinginan
masing-masing, maka tentu saja tidak mungkin dapat dlielakkan lagi terjadilah
bentrokan-bentrokan, sikut-sikutan, jegal-jegalan demi untuk memperoleh apa
yang diinginkan.
Seperti sekelompok kanak-kanak memperebutkan layang-layang yang putus
talinya. Apapun akan mereka lakukan demi memperoleh layang-layang itu.
Oleh karena cita-cita inilah maka timbul perbuatan-perbuatan yang rendah,
timbul perang dan permusuhan dan timbul cara-cara yang kotor dan keji, timbul
pegangan kejam bahwa cita-cita atau tujuan menghalalkan segala cara! Dan
kalau sudah begitu, celakalah manusia.
Memang demikianlah adanya "kesetiaan" yang didengung-dengungkan
manusia di seluruh dunia itu! Apakah sesungguhnya kesetiaan itu? Apakah
artinya kalau orang bersetia dan berani mengorbankan nyawanya demi untuk
rajanya, untuk negaranya, untuk agamanya dan lain-lain? Apakah artinya itu?
Kalau kita mau membuka mata dan menjenguk keadaan batin sendiri akan
nampaklah dengan nyata bahwa sesungguhnya sebutan kesetiaan itu
merupakan sebutan lain saja penonjolan diri pribadi, atau dapat juga dilihat
bahwa yang mendorong "kesetiaan" itu hanyalah keinginan menonjolkan diri
sendiri dan kesetiaan itu hanya merupakan suatu cara untuk memperoleh
keuntungan diri pribadi, biarpun keuntungan itu bukan berupa benda lagi,
melainkan dalam bentuk "nama besar" atau "nama baik", kepahlawanan, dan
sebagainya lagi.
"Hanya orang yang sudah tidak ingin mengejar kesenangan sajalah yang dapat
menikmati kesenangan yang sesungguhnya! Hanya orang yang sudah tidak
ingin mengejar kebahagiaan sajalah yang benar-benar bahagia. Orang yang
tidak puas saja yang mengejar kesenangan yang dianggapnya akan mengisi
kekosongannya, akan memuaskannya. Akan tetapi setelah yang dikejarnya
terdapat, ketidakpuasan itu tetap akan menghantuinya, dirinya akan selalu
penuh ketidakpuasan dan hidupnya menjadi sengsara selalu."
"Akan tetapi, apakah kita lalu harus memantang kesenangan dan menjauhi
kepuasan?"
"Sama sekali bukan, Bukan memantang kesenangan, bukan menolak
kesenangan, melainkan TIDAK MENGEJAR, tidak memanjakan dan tidak
memusuhi. Kalau sudah begitu, barulah segala saat dalam hidup merupakan
kesenangan karena htdupnya adalah kesenangan itu sendiri! Bukan menjauhi
kepuasan, melainkan tidak menginginkan kepuasan karena kalau sudah
demikian, barulah setiap saat merasa puas karena hidupnya adalah kepuasan
itu sendiri!"
"Akan tetapi, kalau tidak mempunyai keinginan apa-apa lagi, bukankah itu sama
saja dengan mati?"
"Nah, itulah! Mati dalam hidup! Jasmaninya memang hidup dan baru benar-
benar hidup kalau semua keinginan yang timbul dari si aku yang selalu
mengejar keenakan dan kesenangan itu telah mati.
Cita-Cita
"Andaikata orang bodoh itu mengenal diri sendiri dan melihat kebodohannya,
dia sudah bukan orang bodoh lagi! Sebaliknya, orang bodoh yang tidak melihat
kebodohannya dan merasa diri pintar, dialah sebodoh-bodohnya orang.
Demikian pula, andaikata orang tidak baik itu mengenal diri sendiri dan melihat
ketidakbaikannya, maka pengertian ini menimbulkan kesadaran dan dia bukan
orang tidak baik lagi dan dia tidak perlu mencari untuk menjadi orang baik lagi!
Sebaliknya, dalam keadaan tidak baik lalu mengejar untuk menjadi orang baik,
pengejarannya itu akan menimbulkan banyak ketidakbaikan, mungkin dia akan
pura-pura berbuat baik, mungkin dia akan menggunakan kekerasan,
kedudukan, harta benda, untuk dapat disebut orang baik dan di dalam semua
kebaikan yang dilakukan oleh orang tidak baik terkandung ketidakbaikan yang
paling jahat!
Kita sudah terbiasa menganggap bahwa cita-cita mendatangkan kemajuan,
anggapan kuno yang sudah mendarah daging dan kita terima begitu saja tanpa
penyelidikan akan kebenarannya. Mendatangkan kemajuan? Kemajuan yang
bagaimanakah? Kita bercita-cita menjadi seorang berkedudukan tinggi dan
dalam mengejar cita-cita itu, sudah hampir dapat dipastikan terjadi perebutan,
terjadi penyogokan, terjadi kekerasan, bahkan mungkin kita harus menginjak
orang lain sebagai batu loncatan dan setelah kita berhasil mencapai cita-cita
itu, memperoleh kedudukan tinggi, apakah itu kemajuan namanya?"
"Jangan mencari contoh anggapan atau pandangan orang lain! Mari kita selidiki
bersama, jangan hanya menyandarkan kepada pandanganku atau pandangan
siapapun juga. Tidak perlu kita berpegang kepada pelajaran mati, harus bercita-
citakah, atau tidak haruskah, atau harus puas atau tidak puaskah? Apa sih
artinya harus ini atau tidak harus itu? Kalau puas ya puas saja, kalau tidak puas
ya tidak puas saja, jangan dipaksakan menjadi sebaliknya karena hal itu
menimbulkan pertentangan batin dan kepalsuan belaka. Mengapa kita tidak
puas dengan keadaan saat ini? Sekali tidak puas, sampai matipun kita selalu
akan tidak puas, bukan? Keadaan setiap saat berubah, akan tetapi
ketidakpuasan yang timbul karena mengejar keadaan yang lain itu tidak akan
pernah berubah dan akan menekan kita selama hidup. Tidak ada yang tidak
membolehkan orang mencari kemajuan, akan tetapi harus dimengerti lebih
dulu, apa sih kemajuan yang kita cari-cari itu?
Kalau tanpa cita-cita, bukankan hal itu berarti menjadi orang biasa saja ?
”Apa salahnya menjadi orang biasa? Kenapa semua orang ingin menjadi orang
yang LUAR BIASA? Justeru inilah yang menjadi sebab dan sumber timbulnya
segala malapetaka di dunia, segala permusuhan dari perorangan sampai
kepada kelompok dan bangsa. Ingin menjadi luar biasa, lain daripada yang lain,
paling hebat, paling jempol, haus akan pujian. Padahal semua itu kosong
belaka, hanya angin yang akan memenuhi kepala menjadi besar dan tolol! Kita
semua takut untuk menjadi orang yang dianggap tidak ada artinya! Padahal kita
baru dipandang kalau kita sudah dapat mengalahkan orang lain,
memperlihatkan kekuatan dan kekuasaan kita. Tidak anehlah kalau pendidikan
macam ini membentuk kita menjadi manusia-manusia yang kejam, yang hanya
mementingkan kesenangan diri pribadi. Ya, itulah cita-cita dan pengejarannya!
Cita-cita yang diagung-agungkan itu bukan lain hanyalah keinginan untuk
menyenangkan diri pribadi. Kesenangan, cita-cita, kedudukan, kekayaan,
kemulyaan, dan sebagainya tidaklah buruk, akan tetapi PENGEJARANNYA,
itulah yang amat jahat! Kekayaan, misalnya, tidak buruk, akan tetapi
pengejarannya, mengejar kekayaan itulah yang menciptakan pelbagai
perbuatan jahat yang kejam. Karena pengejaran ini yang membutakan mata
batin, dalam mengejar sesuatu yang kita inginkan untuk menyenangkan diri,
yang diselimuti dengan nama indah cita-cita, kita menjadi buta dan melakukan
apa saja demi tercapainya cita-cita itu. Bukankah demikian yang kita lihat di
sekitar kita setiap hari?"
Keindahan
Betapa indahnya alam! Betapa indahnya susunan tubuh kita sendiri! Betapa
indah dan juga ajaibnya keadaan diri kita sendiri dan di sekeliling kita. Akan
tetapi sayang kita seperti buta terhadap itu semua. Kita tidak pernah membuka
mata menikmati semua keindahan dan keajaiban itu, melainkan menerawang
jauh, menginginkan hal-hal yang tidak terjangkau oleh kita. Kalau kita tinggal di
tepi laut, pemandangan laut tidak lagi menarik perhatian kita karena perhatian
kita diterbangkan oleh pikiran yang menginginkan pemandangan di gunung-
gunung. Sebaliknya kalau kita tinggal di gunung, kita menganggap bahwa
pemandangan di laut yang jauh dari kita itu lebih indah.
Betapa bahagianya manusia yang selalu membuka mata memandang penuh
perhatian akan segala sesuatu di dalam dan di luar dirinya sendiri. Dialah yang
akan melihat segala keindahan dan keajaiban itu. Dialah yang akan
menyaksikan kekuasaan Tuhan yang penuh berlimpah dengan berkah, dengan
keindahan, dengan keajaiban, dengan CINTA KASIH!
NASIB
Bernasib malang? Benarkah NASIB yang membuat Liong Si Kwi seperti itu?
Benarkah NASIB yang membuat lengannya buntung, hidupnya terasa merana,
perutnya terisi kandungan anak tanpa ayah? Betapa mudahnya kita
melontarkan segala peristiwa yang menimpa diri kita kepada nasib! Nasib baik,
nasib baik dan sebagainya! Tidak ada sesuatu terjadi tanpa sebab, dan sebab
itu sama sekali bukanlah nasib! Sebab itu pada hakekatnya SUDAH PASTI
timbul dari hasil perbuatan kita sendiri, perbuatan termasuk sikap, kata-kata,
pikiran dan sebagainya. Sumber dari segala sesuatu yang terjadi pada diri kita
terletak di dalam diri kita sendiri! Akan tetapi, kita tidak pernah mau
memandang diri sendiri, dan kita lebih condong untuk mencari kambing hitam
pada diri orang lain, pada keadaan di luar diri, atau kalau sudah kehabisan
calon kambing hitam, kita lalu meraih NASIB dan menjadikannya sebagai
kambing hitam! Kapankah kita mau membuka mata memandang diri sendiri di
mana terdapat sumber segala rahasia hidup ini?
Betapa banyaknya manusia yang tidak kuat menghadapi penderitaan hidup dan
selalu mencari jalan pelarian untuk menjauhkan diri atau membebaskan diri dari
penderitaan hidup itu. Banyak macam cara pelarian ini, di antaranya yang
terburuk dan paling mengerikan adalah bunuh diri! Ada yang bersembunyi di
balik hiburan-hiburan, kesenangan-kesenangan yang dicari-cari, atau
menggantungkan kepercayaan kepada sesuatu. Kita tidak sadar bahwa semua
bentuk pelarian itu adalah sia-sia belaka. Mengapa sia-sia? Karena apa yang
kita namakan penderitaan hidup itu sesungguhnya tak lain tak bukan adalah
permainan pikiran kita sendiri! Pikiran kita selalu melekat kepada masa lalu,
kepada hal-hal yang telah terjadi, kepada hal-hal yang akan terjadi! Pelekatan
pikiran ini tentu saja menimbulkan sesal, duka, dan khawatir. Kita tidak pernah
mau menghadapi setiap peristiwa sebagai sesuatu yang wajar, menghadapi
langsung, mempelajarinya setiap saat, dengan penuh perhatian tanpa
menyalahkan sana-sini, tanpa rasa iba kepada diri sendiri. Kita hanya dapat
bebas dari semua penderitaan kalau kita menghadapinya secara langsung apa
yang kita anggap penderitaan itu! Kalau kita menghadapinya langsung,
memandang dan mengamatinya secara langsung, melihat apa adanya,
kewajarannya sebagai suatu fakta, maka sudah pasti bahwa penderitaannya
akan lenyap. Kita akan bebas dari penderititan karena penderitaan itu adatah
PENDAPAT PIKIRAN yang terdorong oleh kekecewaan, iba diri dan
sebagainya.
Segala sesuatu yang terdapat di alam ini memang telah mempunyai ketertiban
sendiri. Bukan ketertiban terpisah-pisah dan terpecah-pecah, melainkan
ketertiban yang menyelimuti seluruh alam semesta. Segalanya bergerak
dengan tertib seolah-olah diatur dengan tenaga tak nampak. Lihatlah keluar,
awan berarak di angkasa, berlapis-lapis ada yang ke kanan ada yang ke kiri
gerakan mereka, mendung berkumpul di tempat-tempat tertentu digerakkan
angin besar sebelum turun hujan. Perjalanan dunia, bulan, bintang, kekuasaan
matahari dan kegunaan sinarnya. Tumbuhnya pohon-pohon dengan batangnya,
akar-akarnya, daunnya, bunganya, buahnya. Rontoknya daun menguning
menjadi satu di antara pupuk menyuburkan tanah. Kemudian lihatlah ke dalam,
lihatlah diri kita sendiri. Setiap bagian tubuh kita mengandung keajaiban yang
amat besar, dari pertumbuhan setiap helai rambut di tubuh kita sampai pada
denyut jantung, peredaran darah, pemapasan, otak, hati dan segala ini yang
membuat kita hidup, bergerak, mengerti, memandang, mendengar dan
sebagainya. Betapa ada api panas yang terus-menerus bernyala atau membara
dalam diri kita di waktu kita masih hidup. Segala keajaiban ini lewat begitu saja
bagi mata kita yang seperti buta, tidak memperhatikannya, tidak
memperdulikannya, dan kita mengalihkan pandangan mata kepada hal-hal
ajaib lain yang kita anggap menguntungkan kita, mistik, dan sebagainya!
Kehidupan manusia selalu berubah. Hidup adalah gerakan seperti air sungai
mengalir yang selalu baru dan berubah. Hari ini boleh jadi berduka, besok
belum tentu demikian. Hari ini menangis, besok mungkin tertawa. Hari ini
melakukan kejahatan, besok mungkin melakukan kebaikan. Sebaliknya
kesenangan hari ini mungkin berubah menjadi kesusahan di hari esok dan
selanjutnya. Oleh karena itu, kelirulah menilai hidup dan keadaan seseorang
dari perbuatan atau keadaannya di masa lalu! Dan tidak benar pula mengukur
baik buruknya seseorang dari SATU perbuatan saja!
Kita manusia lupa bahwa segala sesuatu di dunia ini sudah dalam keadaan
tertib, dan sudah tertib dengan sendirinya, sempurna segala-galanya. Karena
manusia berakal budi, maka manusia senantiasa mempunyai kecondongan
untuk membantu jalannya kekuasaan alam, membantu kelancarannya. Dan
karena semenjak jutaan tahun bantuan-bantuan manusia ini makin
berkembang, maka manusiapun telah menjadi terbiasa karenanya, dan
manusia merasa kehilangan tanpa adanya bantuan-bantuan itu. Dan mungkin
sekali, karena terbisa oleh bantuan-bantuan dari luar ini, jasmani manusia
kehilangan kepekaannya, kehilangan kecerdasannya, bahkan mungkin juga
daya ketertiban yang ajaib itu bahkan berkurang sehingga manusia akan
merasa tidak berdaya tanpa adanya bantuan-bantuan luar yang sudah biasa
diterimanya itu. Kita dapat melihat bukti adanya ketertiban alamiah yang amat
dahsyat dan ajaib itu dalam kehidupan binatang-binatang hutan yang masih
jauh dari "peradaban" manusia. Kelahiran di antara binatang-binatang itu terjadi
di mana-mana, dan tentu saja di dunia mereka itu tidak mengenal adanya
bantuan dari luar! Namun, semua kelahiran berjalan lancar dan sempurna!
Hanya binating-binatang yang sudah dekat dengan manusia saja, yang biasa
menerima bantuan-bantuan dari manusia, akan merasa kehilangan dan
mungkin akan terancam bahaya kegagalan apabila mereka terlepas daripada
bantuan manusia yang sudah biasa mereka terima turun-temurun itu.
Nafsu
Memang demikianlah nafsu. Seperti api. Makin diberi umpan dan bahan bakar,
makin berkobar. Seperti babi yang rakus. Makin diberi makan, makin kurang!
Segala macam bentuk nafsu keinginan selalu demikian, makin dituruti
keinginan itu, makin banyak yang didapatnya makin serakah. Seorang yang gila
uang, makin banyak mendapat uang, makin serakahlah dia, tidak akan ada
puasnya seolah-olah makin diberi minum makin haus. Seorang yang gila
kekuasaan, gila kedudukan, gila nama dan sebagainya juga demikian. Makin
dikejar nafsu keinginannya, makin banyak yang didapatkannya, makin
kuranglah dia merasa! Sama pula dengan semua itu, nafsu berahipun
demikian. Karena makin banyak dialami dalam pemuasannya, makin
bertumpuk kenangan di dalam ingatan, makin kuat pula pendorong yang
membuat orang ingin mengulanginya kembali, bahkan ingin mendapatkannya
lebih banyak lagi.
Manusia selalu berubah. Tidak ada kedukaan yang abadi seperti juga tidak ada
kesenangan yang kekal. Juga manusia tidak selalu baik atau selalu jahat,
dalam diri manusia terdapat unsur kebaikan dan unsur kejahatan ini. Sekali
waktu kejahatannya menonjol, ada kalanya kebaikannya nampak. Mengapa
demikian? Karena sesungguhnya, pikiran kita sendirilah yang menentukan,
yang menguasai seluruh kehidupan, sehingga kita diombang-ambingkan antara
susah dan senang, baik dan jahat, indah dan buruk, yang timbul dari pikiran
yang menilai-nilai, membanding-bandingkan semua merupakan permainan dari
pikiran kita sendiri yang selalu mengejar kesenangan dan menolak kesusahan.
Karena perbandingan dan penilaian ini, maka terciptalah sifat-sifat kebaikan,
susah senang, baik jahat, dan sebagainya. Dan sifat-sifat kebaikan inilah yang
menimbulkan adanya kebaikan tunggal, kebalikan abadi yang menguasai dan
menyengsarakan kehidupan, yaitu kebalikan antara cinta dan benci. Yang
menyenangkan atau dianggap menyenangkan kita cinta, sebaliknya yang kita
anggap menyusahkan kita benci. Maka terjadilah pertentangan, permusuhan
kelompok, bangsa, dan perang! Dapatkah kita terbebas dari cengkeraman
pikiran yang menilai dan membandingkan? Mungkin dapat kalau kita bebas dari
keinginan untuk mengejar kesenangan. Segala macam KEINGINAN, dalam
bentuk apapun juga, adalah MENYESATKAN. Ingin baik, ingin bebas, ingin
suka, ingin damai dan sebagainya, pada hakekatnya adalah INGIN SENANG!
Betapapun tinggi dan mulianya nampaknya yang diinginkan itu, tetap saja itu
merupakan keinginan untuk mencapai kesenangan, baik kesenangan batin
maupun kesenangan lahir. Dan setiap pengejaran kesenangan, dalam bentuk
apapun juga, pasti mendatangkan konflik dan ada yang menghalangi, ada yang
merintangi, timbullah kekerasan dan pertentangan, timbullah rasa benci dan
permusuhan. Betapa banyaknya hal ini terjadi di sekeliling kita! Betapa
memang demikianlah hidup ini.
Contohnya, seorang pendeta bertapa untuk mencari kedamaian. Ini merupakan
suatu keinginan, ingin mencapai kedamaian. INGIN SENANG! Karena kalau
dalam keadaan damai, dianggapnya akan senang. Karena itu, setiap ada
gangguan dalam pertapaannya, dia akan menentang si pengganggu ini dan
terjadilah permusuhan. Dengan sendirinya kedamaian yang dicari-cari itupun
hancur lebur! Betapa banyaknya hal ini dilihat dalam kehidupan kita sekarang
ini! Bangsa-bangsa berteriak-teriak mencari perdamaian, INGIN DAMAI, yang
berarti ingin senang pula! Bukan enggan perang, melainkan ingin damai, ingin
senang. Maka, dalam mengejar perdamaian ini, kalau perlu dengan jalan
perang! Dan kalau sudah perang, mana ada perdamaian? Padahal,
perdamaian tidak perlu dikejar, tidak perlu dicari. Hentikan perang, jangan
berperang, maka tanpa dicari sudah ada kedamaian itu! Demikian pula dalam
kehidupan kita sehari-hari. Kita terlalu banyak MENGINGINKAN hal-hal yang
tidak ada. Kita tidak mau membuka mata akan kehidupan kita sehari-hari, tidak
mau memandang keadaan kita setiap saat, lahir batin. Kita INGIN sabar,
padahal kita pemarah. Sama seperti ingin damai tapi dalam keadaan perang
tadi. Kalau kita mengenal diri sendiri, melihat kemarahan sendiri, penglihatan ini
menyandarkan dan menghentikan marah itu. Kalau sudah tidak ada marah
perlukah belajar sabar lagi?
Kita manusia sebagai perorangan, sebagai kelompok, sebagai bangsa,
agaknya lupa bahwa segala sumber peristiwa berada di dalam diri kita sendiri.
Kuncinya berada dalam diri kita sendiri. Akan tetapi kita selalu mencari ke luar.
Kita tidak mau mempelajari diri sendiri dalam hubungannya dengan kehidupan.
Kehidupan adalah kita, kitalah pokoknya, kitalah, ujung pangkalnya, kitalah
dasarnya, kitalah sebab akibatnya. Kita lebih suka mempelajari orang lain,
mencari-cari kesalahan orang lain dan mencari kesenangan untuk diri sendiri
belaka selama hidup. Maka tidaklah aneh kalau selama hidup kita diombang-
ambingkan oleh gelombang kehidupan penuh suka-duka, jauh lebih banyak
dukanya dari pada sukanya. Maukah kita menyadari semua ini dan mulai
meneliti diri sendiri. Bercermin sepanjang hari setiap saat? Bercermin lahir
batin? Kapan dimulai? SEKARANG JUGA!
Sang waktu berlalu terus tanpa memperdulikan segala sesuatu yang terjadi di
dunia ini. Matahari timbul tenggelam setiap hari tanpa memperdulikan segala
yang terjadi, bebas tanpa ikatan, melalui jalan kehidupan dengan wajar. Itulah
ABADI! Apapun yang terjadi atas dirinya, ada maupun tidak ada, begini maupun
begitu, tidak mempengaruhinya. Tidak ada kemarin, tidak ada esok, yang ada
hanya SEKARANG. Dan sekaranglah abadi!
Tidak pernah ada persoalan atau masalah yang timbul dari pikiran, yang ada
hanyalah soal-soal yang wajar seperti perut lapar, tubuh lelah, panasnya
matahari, dinginnya hawa malam, hujan, bahaya-bahaya yang muncul dari
alam, dan segala masalah yang langsung dihadapinya dan langsung diatasinya
pula. Tidak ada masalah yang timbul dari pikiran, seperti dalam kehidupan
masyarakat manusia, yang berisi kecewa, iri, benci, dendam, dan sebagainya
yang kesemuanya menuntun kepada penderitaan dan kedukaan hidup.
Tak dapat disangkal pula bahwa manusia merupakan makluk yang paling
pandai di antara semua makluk hidup dan sudah telah memperoleh kemajuan
yang amat hebat dalam soal kebendaan, soal jasmaniah, soal lahiriah.
Kemajuan-kenajuan pesat yang mentakjubkan telah dicapai oleh manusia
dengan segala keajaiban tehnik. Akan tetapi, sungguh sayang, kemajuan
jasmaniah ini tidak disertai kemajuan rohaniah, kemajuan lahiriah tidak
diimbangi kemajuan batiniah. Bahkan sebaliknya malah! Justeru kemajuan-
kemajuan yang dicapai dalam bidang lahiriah ini seolah-olah menjadi
penghambat kemajuan batiniah, bahkan telah membuat manusia mundur dalam
bidang rohani. Kalau kita bandingkan betapa beberapa ratus tahun yang lalu
manusia masih mempergunakan gerobak yang ditarik kuda dan kini manusia
mempergunakan kendaraan-kendaraan bermesin yang hebat-hebat, bahkan
dapat terbang dengan kecepatan melebihi suara, jelaslah bahwa manusia telah
memperoleh kemajuan yang amat hebat di bidang kebendaan di banding
lahiriah. Akan tetapi, kalau kita bandingkan pula keadaan batiniah manusia
ketika masih berkendaraan gerobak dengan batin manusia sekarang, jelas pula
nampak bahwa di bidang ini kita mengalami kemunduran hebat! Kejahatan
makin merajalela. Permusuhan antara manusia makin menghebat. Perang
makin mengganas. Bunuh-membunuh makin menguasai seluruh negara di
bagian dunia manapun juga. Mengapa demikian? Apakah justeru kemajuan
lahiriah itu yang menyeret manusia mundur dalam bidang batiniah? Apakah
kemajuan di bidang kebendaan itu telah mendatangkan kebahagiaan kepada
manusia? Kita dapat membuka mata melihat kenyataan dan jawabannya jelas:
Tidak! Kemajuan di bidang kebendaan jelas tidak mendatangkan kebahagiaan.
Bukan berarti bahwa kita tidak semestinya maju dalam bidang kebendaan.
Sama sekali tidak! Akan tetapi kita tidak pernah mau meneliti dan menyelidiki
tentang kehidupan batiniah kita. Kita terlampau dibuai oleh kemajuan lahir yang
kesemuanya ditujukan kepada pencapaian kesenangan yang sebanyak dan
sebesar mungkin! Kita lupa bahwa makin dikejar, kesenangan itu makin
mencengkeram kita, makin membuat kita haus. Nafsu tak pernah dapat
dipuaskan, karena sekali dituruti, akan terus menyeret kita untuk mendapatkan
yang lebih banyak dan lebih besar lagi. Dan justeru pengejaran kesenangan
inilah yang menjerumuskan kita ke dalam segala bentuk kejahatan!
Seluruh kehidupan kita telah dikuasai dan dipengaruhi oleh hasrat yang satu,
yaitu ingin senang! Hasrat ingin senang ini sampai-sampai menyelinap ke
dalam soal-soal yang kita namakan bidang rohaniah, sehingga sebagian besar
dari kita memasuki suatu agama, suatu partai, suatu golongan, suatu kelompok
kebatinan, hanya terdorong oleh hasrat INGIN SENANG inilah! Marilah kita
membuka mata meneliti dan mengamati diri sendiri. Tidaklah di balik semua
usaha kerohanian kita itu tersembunyi hasrat itu yang terselubung? Hasrat ingin
menjadi orang baik, ingin bebas, ingin menjadi saleh, yang kesemuanya
merupakan bentuk terselubung dari hasrat INGIN SENANG. Dan selama
terdapat pamrih ingin senang, berarti semua tindakan yang berpamrih
mementingkan diri sendiri sudah pasti akan mendatangkan konflik. Karena
itulah muncullah agamaKu, negaraKu, partaiKu, keluargaKu, kelompokKu,
TuhanKu, dan selanjutnya yang semuanya hanya berdasarkan kepada
kesenanganKu, oleh karena itu kalau kesenanganku sampai diganggut aku
menjadi marah, benci, dan siap untuk membunuh atau dibunuh! Perang! Ingin
senang! Apakah hidup ini lalu harus menjauhi kesenangan, menolak
kesenangan lalu hidup bertapa di gunung-gunung, di guha-guha, atau
mengasingkan diri di biara-biara. Sama sekali tidak demikian! Kita lupa bahwa
menjauhi kesenangan seperti itu, bertapa dan sebagainya, pada hakekatnya
juga masih MENCARI KESENANGAN dalam bentuk lain, menginginkan
kesenangan yang kita anggap lebih luhur! Segala macam bentuk pencarian,
segala bentuk daya upaya, pada hakekatnya terdorong oleh rasa ingin senang
itu, bukan? Baik kesenangan itu kita tingkat-tingkatkan sebagai kesenangan
rendah, sedang atau tinggi atau luhur, tetap saja pada dasarnya kita ingin
senang! Dan selama ada KEINGINAN untuk senang, maka sudah pasti timbul
konflik, timbul pertentangan, karena keinginan yang dihalangi menimbulkan
marah dan kebencian, keinginan yang tidak tercapai menimbulkan kekecewaan
dan kedukaan, sebaliknya keinginan yang tercapai tidak akan mendatangkan
kepuasan abadi, melainkan mendatangkan kepuasan sesaat saja yang
kemudian ditelan oleh keinginan yang lebih besar lagi.
Kesenangan bukanlah hal yang jahat atau buruk. Manusia hidup berhak untuk
senang! Kita mempunyai panca indra yang dapat merasakan kesenangan itu,
dapat menikmati apa yang dinamakan kesenangan itu sehingga mata kita dapat
menikmati keindahan setangkai bunga, telinga kita dapat menikmati kicau
burung, hidung kita dapat menikmati keharuman bunga, mulut kita dapat
menikmati asin, manis, gurih, dan sebagainya lagi. Anugerah sudah berlimpah!
Akan tetapi, segala kesenangan yang sebenarnya bukan kesenangan,
melainkan kebahagiaan hidup ini, akan berubah menjadi kesenangan yang
ingin kita ulang-ulangi, ingin kita peroleh sebanyak dan sebesar mungkin kalau
kita MENYIMPAN pengalaman yang nikmat itu ke dalam ingatan! Maka lahirlah
keinginan untuk senang, dan muncullah pengejaran kesenangan! Semua ini
dapat kita sadari sepenuhnya kalau kita waspada dan mau mengamati diri
sendiri setiap saat tanpa penilaian, tanpa usaha mengubah, hanya mengamati
saja penuh pengertian, penuh kewaspadaan, yaitu diri sendiri mengamati diri
sendiri.
Ikatan selalu menimbulkan duka. Kita hidup terbelenggu ketat oleh ikatan-ikatan
sehingga merupakan hal yang teramat sukar untuk dapat bebas. Kita terikat
dan menyamakan diri atau menyatukan diri dengah isteri atau suami kita,
dengan keluarga kita, kekayaan kita, kesenangan-kesenangan kita, nama kita,
negara kita dan sebagainya. Dan sudah pasti bahwa kalau sewaktu-waktu kita
harus berpisah dari semua itu, timbullah duka. Bagaimanakah terjadinya ikatan
itu? Mengapa kita suka sekali untuk mengikatkan diri secara sadar maupun
tidak kepada semua itu?
Ikatan timbul apabila kita menikmati suatu kesenangan dan menyimpan
kesenangan itu di dalam ingatan, lalu ingin seterusnya memiliki kesenangan itu.
Kita mengalami kesenangan dalam hubungan dengan suami atau isteri, dengan
keluarga, dengan kekayaan dan sebagainya sehingga kita ingin memiliki
mereka itu untuk selamanya, tidak mau terpisah lagi. Padahal, tiada yang kekal
di dunia ini dan perpisahan pasti tiba, dan timbullah rasa takut, kekhawatiran
akan kehilangan, kemudian timbullah duka kalau kehilangan. Timbul pula rasa
takut akan kematian, yaitu perpisahan terakhir di mana kita harus melepaskan
semua yang telah mengikut kita itu!
Dapatkah kita hidup dengan mempunyai segala sesuatu secara lahiriah saja
akan tetapi tidak memiliki sesuatu secara batiniah? Punyaku, suara lahiriah.
Akan tetapi batin tidak memiliki apa-apa, bebas dan memberi kepada yang
menjadi punya kita itu, tidak terikat. Bukan berarti acuh tak acuh, sebaliknya
malah. Cinta kasih akan menjadi kotor dan palsu kalau disertai ikatan memiliki
ini, karena ikatan ini timbul dari kesenangan yang kita dapat dari orang atau
barang yang kita cinta itu! Ikatan berarti bahwa kita hanya ingin memperalat
yang kita cinta itu demi kesenangan kita sendiri. Ikatan timbul dari pengejaran
kesenangan dan seperti kita ketahui bersama, pengejaran kesenangan
menimbulkan konflik, permusuhan, kekecewaan, kebosanan kebencian dan
sebagainya. Kalau sudah tidak ada lagi keinginan mengejar kesenangan, maka
baru ada kemungkinan batin bebas dari ikatan! Dan kalau batin bebas dari
ikatan, baru nampak sinar cinta kasih yang sejati.
Hok Boan sendiri tidak banyak bertanya karena hati orang ini masih diliputi rasa
menyesal dan duka atas terjadinya peristiwa yang susul menyusul ini, yang
menimpa dirinya dan keluarganya. Sama sekali dia tidak ingat lagi betapa tadi
dia telah menendang monyet betina yang sudah terluka itu! Memang begitulah
watak seorang yang selalu mementingkan diri sendiri belaka. Yang diperhatikan
selalu hanyalah kepahitan-kepahitan yang menimpa dirinya, yang diprihatinkan
hanyalah kesusahan yang diderita oleh diri sendiri dan keluarganya. Orang
seperti ini sama sekali tidak pernah mau melihat penderitaan orang lain,
sehingga hatinya menjadi kejam. Yang dicari hanya hal-hal yang dapat
menyenangkan diri sendiri dan keluarganya, maka dalam mengusahakan
kesenangan dan keselamatan bagi diri sendiri dan keluarganya, dia tidak
segan-segan untuk melakukan apa saja, kalau perlu menyusahkan orang lain
dengan perbuatan-perbuatannya yang kejam. Akan tetapi, jelaslah bahwa
orang yang selalu mengejar kesenangan untuk diri sendiri itu adalah orang
yang hidupnya selalu kecewa dan sengsara. Karena orang demikian itu selalu
merasa kasihan kepada diri sendiri, selalu mengeluh, selalu menganggap
bahwa di dunia ini dia seoranglah yang paling celaka, paling sengsara, paling
patut dikasihani. Dengan demikian, menghadapi halangan sedikit saja dalam
hidup, dia akan merasa sengsara sekali! Patut dikasihani orang seperti itu,
karena dia belum mengerti, belum sadar bahwa sesungguhnya dia telah
dicengkeram oleh batinnya sendiri, oleh pikirannya sendiri, dikuasai dan
dipermainkan oleh nafsu-nafsunya sendiri yang timbul dari permainan pikiran.
"Terima kasih... terima kasih...!" Dan sejak saat dia menerima buntalan dan
pisau itu, maka lenyaplah seluruh rasa tak senang di dalam hatinya terhadap
Kui Hok Boan dan Siong Bu, lenyaplah seluruh anggapan bahwa mereka itu
jahat kepadanya, bahkan kini berganti dengan anggapan bahwa mereka itu
baik sekali kepadanya!
Tidak anehlah apa yang dirasakan oleh hati Sin Liong itu. Demikianlah adanya
kita semua ini! Kita sudah terbiasa sejak kecil untuk terombang-ambing di
antara pendapat yang menjadi hasil dari PENILAIAN. Kita memandang segala
sesuatu dengan penilaian, maka muncullah pendapat baik dan buruk, baik dan
jahat, dan sebagainya. Segala macam kebalikan-kebalikan di dunia ini
mempermainkan kita, membentuk pendapat-pendapat yang tidak lain hanya
akan mendatangkan konflik saja dalam batin. Penilailan ini selalu tentu didasari
oleh pengukuran atau pertimbangan yang merupakan kesibukan yang
bersumber kepada kepentingan diri pribadi. Kita mengukur sesuatu, atau
seseorang, dengan dasar menguntungkan atau merugikan diri kita sendiri.
Kalau menguntungkan lahir atau batin, kalau menyenangkan hati, maka
keluarlah pendapat kita bahwa orang itu adalah baik! Sebaliknya kalau
merugikan lahir atau batin, kalau tidak menyenangkan hati, maka pendapat kita
terhadap orang itu tentu buruk! Jadi jelaslah bahwa baik ataupun buruk itu
hanya merupakan pendapat yang didasari oleh kepentingan si aku yang ingin
memperoleh kesenangan selalu! Dan sudah jelas pula bahwa pendapat
demikian ini adalah palsu dan tidak benar! Pendapat ini hanya merupakan
penilaian yang bertiraikan kepentingan pribadi kita, dan tentu hanya akan
mendatangkan pertentangan batin belaka. Betapapun jahat seseorang menurut
pendapat umum, kalau dia itu baik kepada kita, menyenangkan kita, maka kita
akan menganggap dia itu baik! Sebaliknya, dunia boleh menganggap
seseorang itu amat baik, akan tetapi kalau dia tidak baik kepada kita, kalau dia
tidak menyenangkan kita, maka tak mungkin kita menganggapnya baik, dan
kita pasti akan menganggap dia jahat! Begitulah kenyataannya! Maka dapatkah
kita memandang segala sesuatu tanpa penilaian? Memandang segala sesuatu,
memandang orang lain, seperti apa adanya, seperti keadaannya yang
sesungguhnya tanpa menilai yang didasarkan menyenangkan kita atau tidak?
Karena hanya dengan memandang sesuatu seperti itu sajalah yang
membebaskan kita dari penilaian, dan setelah kita terbebas dari penilaian,
maka kita bebas pula dari rasa suka atau tidak suka. Seni memandang seperti
ini merupakan seni tersendiri yang hanya nampaknya saja sukar akan tetapi
tidaklah sukar apabila kita memiliki perhatian sepenuhnya dan kalau kita sadar
benar-benar bahwa sudah semestinya terjadi perubahan dalam kehidupan kita
yang banyak sengsaranya daripada bahagianya ini.
"Penasaran selalu timbul kepada fihak yang merasa dirugikan, akan tetapi
orang bijaksana memandang persoalan sebagaimana kenyataannya tanpa
dipengaruhi oleh rugi untung bagi dirinya sendiri.
Memang, rasa takut itu hanya timbul dari bayangan yang dipantulkan oleh
pikiran kita sendiri. Kita tidak mungkin dapat takut akan sesuatu yang tidak kita
kenal. Kita hanya takut akan sesuatu yang telah kita kenal, baik kita kenal
melalui pengalaman kita sendiri, maupun melalui pengalaman lain orang yang
kita dengar atau baca dalam buku. Orang yang takut setan tentu pernah
mengenal setan itu melalui cerita orang atau dongeng dalam buku. Dia
membayangkan setan itu dalam benaknya dan membayangkan betapa akan
ngerinya kalau dia bertemu setan itu. Maka terpantullah bayangan-bayangan
setan yang menakutkannya ketika dia berada seorang diri di tempat sunyi, dan
terjadilah rasa takut. Orang yang tidak pernah mendengar tentang setan takkan
mungkin takut terhadap setan. Orang yang tidak pernah mendengar tentang
siksa neraka tentu tidak akan takut terhadap neraka. Dan selanjutnya lagi. Jadi
rasa takut timbul dari kenangan masa lalu yang dihubungkan dengan
kemungkinan masa depan. Kita pernah membaca tentang setan sehingga
terbentuk bayangan setan dalam benak kita. Lalu kita khawatir kalau-kalau kita
akan diganggu setan, maka timbullah rasa takut. Kita pernah melakukan
sesuatu di masa lampau, perbuatan yang tidak patut dan memalukan, dan kita
khawatir kalau-kalau di masa depan akan ada orang mengetahui perbuatan itu,
maka timbullah rasa takut. Jelaslah bahwa rasa takut timbul kalau kita
membayang-bayangkan sesuatu yang tidak enak bagi kita! Dan segala yang
dibayangkan itu pastilah sesuatu yang belum atau yang tidak ada! Yang
merasa takut akan wabah tentulah dia yang belum terkena penyakit itu, dia
membayangkan betapa bahaya dan ngerinya kalau terkena penyakit wabah itu,
maka takutlah dia. Kalau dia sudah benar-benar terkena penyakit itu? Tentu
saja hilang pula rasa takut terhadap penyakit itu, akan tetapi rasa takut yang
berikutnya yaitu takut kalau-kalau akan mati! Dan demikian selanjutnya.
Dengan membuka mata memandang semua ini, timbullah pengertian bahwa
yang menyebabkan rasa takut adalah pikiran kita, pikiran yang membayangkan
hal yang lalu, yaitu ingatan-ingatan, kemudian membayangkan hal yang
mendatang, yang kita kira mungkin akan terjadi menimpa diri kita. Oleh karena
itu kalau kita terbebas dari masa lalu, terbebas dari segala macam ingatan
masa lalu dan kepercayaan dan ketahyulan yang termasuk hal-hal masa
lampau, apakah ada lagi rasa takut di dalam batin kita? Kalau kita tidak
mengenangkan soal-soal yang berhubungan dengan setan umpamanya, maka
kiranya andaikata ada setan muncul pada suatu waktu di depan kita, tanpa
kenangan masa lalu tentang setan, kita akan memandang dan timbullah
keinginan tahu untuk menyelidiki, seperti kalau kita tiba-tiba melihat seekor
kupu-kupu yang aneh dan belum pernah kita lihat! Hidup penuh dengan rasa
takut, kekhawatiran, hampir di semua lapangan. Setelah mengerti akan semua
itu, tidak mungkinkah bagi kita untuk hidup tanpa rasa takut sama sekali?
Memang, betapa banyaknya manusia di dunia ini yang suka sekali, bahkan
merindukan dan mengejar-ngejar, hal-hal yang bersifat mistik, yang penuh
rahasia, pendeknya yang lain daripada yang kita lihat sehari-hari dalam
kehidupan kita di dunia ini! Kita manusia pada umumnya menghendaki hal-hal
yang aneh, ajaib, yang tidak lumrah, dan semua ini timbul karena kita telah
menjadi seperti buta, kita tidak lagi dapat melihat betapa di dalam kehidupan
ini, sudah terdapat keajaiban-keajaiban yang amat hebat, sudah terjadi berkah
berlimpahan dan kekuasaan cinta kasih memenuhi alam. Kita seperti tidak
melihat lagi keindahan dan keajaiban yang terjadi di waktu kita bernapas, di
waktu jantung kita berdenyut, di waktu rambut dan kuku kita bertumbuh tanpa
terasa, di waktu seluruh anggauta tubuh kita hidup. Kita tidak lagi dapat
menikmati atau melihat keajaiban dan cinta kasih yang terkandung dalam sinar
matahari, bulan dan bintang, dalam keharuman bunga-bunga, warna-warni
yang tertangkap oleh mata, suara-suara yang memasuki telinga, keajaiban dan
cinta kasih yang terkandung dalam setiap tarikan napas kita! Kita sudah buta
akan semua itu, dibutakan oleh keinginan mengejar segala macam
kesenangan, termasuk kesenangan untuk bertemu dengan keajaiban-keajaiban
baru dan lain berupa mistik-mistik dan keanehan dan untuk itu kita tidak segan-
segan untuk pergi bertapa, menyiksa diri, berpantang, dan sebagainya lagi.
Seperti hampir dapat kita saksikan sampai hari ini, kekasaran dan keanehan
sikap itu tidaklah wajar, melainkan disengaja dan dibuat-buat karena pada
dasarnya semua sikap itu terdorong oleh keinginan untuk menonjolkan diri agar
menjadi perhatian orang lain! Betapa kita ini, orang-orang dewasa, orang-orang
tua, masih saja seperti kanak-kanak, yaitu mempunyai kecenderungan ingin
menjadi pusat perhatian orang, ingin menonjolkan, ingin "lain daripada yang
lain" sehingga muncullah sikap bermacam-macam.
Ada pula di antara mereka yang datang hanya dengan mengenakan cawat
saja, bertubuh kurus kering karena kurang makan atau berpuasa. Sepintas lalu
orang akan merasa segan karena menganggap dia itu seorang pertapa
sederhana yang menjauhkan diri dari segala urusan dunia! Akan tetapi,
kehadirannya di situ saja membuktikan bahwa dia sama sekali tidaklah
sederhana! Kesederhanaan cawat dan tubuh kurus itu tak lain tak bukan hanya
merupakan suatu kesengajaan yang di "pasang" agar menarik perhatian
belaka. Kesederhanaan yang berteriak lantang, "lihatlah aku ini, lihatlah
kesederhanaanku! Hebat, bukan?"
Memang demikianlah keadaan di dunia ini. Manusia, dengan akal budi dan
pikirannya yang membuat manusia menganggap bahwa dia merupakan mahluk
teragung, terpandai, dan terbaik di dunia ini, kadang-kadang melakukan
kekejaman-kekejaman yang luar biasa mengerikan, kekejaman-kekejaman
yang tidak akan dilakukan oleh mahluk lainnya. Kekejaman yang telah
merupakan semacam "kebudayaan" atau yang sering kali dinamakan "olah
raga" sehingga telah menjadi suatu kebiasaan yang dianggap sopan dan baik,
menjadi bukti akan keunggulan manusia di antara segala mahluk. Manusia
memburu dan mengejar mahluk-mahluk lain, binatang-binatang di dalam hutan,
membunuh mereka, kadang-kadang membunuh untuk memenuhi kebutuhan
yang sesungguhnya lebih condong kepada kebutuhan selera daripada
kebutuhan perut, akan tetapi lebih sering lagi membunuh binatang-binatang itu
hanya untuk kesenangan belaka, setelah dibunuh binatang-binatang itu,
bangkainya ditinggalkan begitu saja! Manusia menikmati kesenangan dari
membunuh! Dan membunuh semacam ini, karena kebudayaan, karena
kebiasaan, sudah bukan dianggap membunuh lagi. Membunuh dianggap
kesenian, kebudayaan, olah raga! Dan bukan manusia-manusia pedusunan
atau pegunungan yang menganggap demikian, yang memiliki kebudayaan
macam itu, sama sekali bukan. Penghuni dusun atau gunung memang banyak
yang memburu binatang, akan tetapi bukan untuk kesenangan membunuh,
melainkan sebagai nafkah hidup. Yang menganggap pembunuhan sebagai
kebudayaan justeru adalah manusia-manusia terpelajar, manusia-manusia kota
yang mempropagandakan prikemanusiaan, yang bicara muluk-muluk tentang
kerohanian, dan sebagainya. Betapa menyedihkan kenyataan ini bagi mereka
yang mau membuka mata melihat kenyataan dan mengenal keadaan diri
sendiri lahir batin!
Mimpi adalah kelanjutannya dari keadaan batin kita di siang harinya, baik siang
hari tadi, kemarin atau beberapa tahun yang lalu. Keadaan sehari-hari yang
menggores kalbu, yang mendatangkan kesan, terukir dalam-dalam di batin kita
dan batin yang membutuhkan ketenangan dan pengosongan dari isinya yang
padat itu, mencari penyelesaiannya sendiri dalam bentuk mimpi.
CEMBURU
Cemburu adalah suatu di antara perasaan-perasaan manusia yang amat aneh
dan amat kuatnya mencengkeram batin manusia. Banyak orang mengira,
bahkan berpendapat bahwa cemburu adalah tanda cinta, bahkan cemburu tidak
terpisahkan dari cinta! Benarkah perkiraan atau pendapat demikian itu? Kalau
kita tanggapi dengan perkiraan atau pendapat yang lain, maka akan terjadi
pertentangan pendapat yang ribuan macam banyaknya dan tiada habisnya,
pula tidak ada gunanya. Sebaliknya kalau kita masing-masing menghadapi
perasaan cemburu itu sendiri apabila ia timbul, mengamatinya dengan penuh
kewaspadaan sehingga kita dapat menyelidikinya, mempelajarinya dan
mengerti dengan sepenuhnya akan susunan cemburu, bagaimana munculnya,
apa sebabnya dan apa pula akibatnya. Karena hanya pengertian yang
mendalam, yang timbul dari pengamatan waspada ini sajalah yang akan
menciptakan perubahan sehingga kita tidak lagi disentuh oleh racun cemburu.
Dengan memandang kepada diri sendiri, kita bersama dapat melakukan
penyelidikan apakah sebenarnya cemburu itu sehingga bukan hanya menjadi
semacam pengetahuan teoritis yang hampa. Pengetahuan seperti itu tidak akan
melenyapkan cemburu.
Kita semua, tentu saja yang sudah pernah mengalaminya, tahu belaka apakah
akibat dari perasaan cemburu ini. Cemburu menimbulkan derita batin, merasa
sengsara, nelangsa, kecewa, berduka, kesepian, murung dan banyak pula yang
menjadi marah dan dicengkeram kebencian sehingga menimbulkan tindakan-
tindakan kekerasan. Oleh karena itu, kita semua tahu betapa buruknya akibat
dari cemburu, dan tentu saja sebaiknya kalau kita tidak pernah lagi disentuh
oleh racun cemburu ini.
Dari manakah timbulnya cemburu? Hendaknya jangan tergesa-gesa menjawab
dari cinta! Cemburu mendatangkan penderitaan dan kekerasan, oleh karena itu
amatlah tidak tepat kalau menghubungkan cemburu dengan cinta kasih!
Bukanlah cinta kasih kalau mendatangkan kedukaan dan kebencuan! Cemburu
muncul KARENA KITA TAKUT KEHILANGAN APA YANG MENDATANGKAN
KESENANGAN KEPADA KITA! Cemburu baru timbul kalau kita merasa adanya
bahaya bahwa sesuatu yang kita anggap milik kita yang kita pergi, baik itu
merupakan benda, sahabat atau pacar atau suami atau isteri, akan terpisah
dari kita dan menjadi milik orang lain. Jadi cemburu datang karena kita ingin
mempertahankan sesuatu atau sesuatu yang mendatangkan kesenangan
kepada kita itu dan yang ingin kita monopoli atau miliki sendiri saja itu.
Cemburu adalah kekecewaan dan kemarahan yang timbul karena PUNYAKU
diganggu, karena milikKU diambil orang lain, atau, lebih tepat karena takut atau
khawatir milikKU diambil orang lain. Jadi cemburu bersumber dari si aku yang
ingin senang sendiri, dan barang atau orang yang kita "cinta" itu menjadi
sumber atau alat dari mana kita memperoleh kesenangan, maka kalau sumber
atau alat itu diambil orang lain, kita menjadi sedih, marah atau cemburu
namanya.
Cinta kasih tidak ada sangkut-pautnya dengan cemburu. Cinta kasih bukan
berarti aku ingin senang, aku ingin mengusai, justeru aku ingin senang dan aku
ingin menguasai ini meniadakan cinta kasih! Cinta kasih tidak dapat
dipaksakan, cinta kasih tidak mungkin dapat diikat. Kalau kita sayang kepada
sebuah benda, tentu kita akan merawatnya baik-baik, menjaganya dengan hati-
hati agar tidak rusak atau pecah, bukan? Dan kita melakukan semua itu karena
benda tadi mendatangkan rasa senang kepada kita. Demikian pula kepada
seorang pacar. Rasa senang itulah yang membuat kita menjaganya, agar dia
tidak sampai dipisahkan dari kita, karena hal itu berarti bahwa kita kehilangan
itu! Padahal, kalau bisa dinamakan keinginan, kiranya satu-satunya keinginan
dari seorang yang mencinta adalah ingin melihat orang yang kita cinta itu
berbahagia! Akan tetapi pengejaran kesenangan membuat kita berpendapat
bahwa orang yang kita cinta itu HANYA BISA BERBAHAGIA kalau menjadi
milik kita! Betapa picik pendapat seperti ini, bukan?
Sungguh kasihan sekali Sun Eng. Dara remaja yang telah dibutakan oleh
nafsunya sendiri itu dengan mudah tunduk dan menyerah, percaya akan
bujukan manis seorang pria. Dia tidak tahu bahwa pria macam Auw-kongcu ini
hanya mengutamakan pemuasan birahi belaka. Bagi pria macam ini, seperti
kebanyakan pria di dunia ini, cinta adalah hubungan kelamin, cinta adalah
pemuasan nafsu berahi! Jadi cinta bagi mereka ini, bukti cinta adalah
penyerahan diri seorang gadis kepadanya! Kalau tidak mau menyerahkan diri,
berarti tidak cinta! Betapa banyaknya gadis-gadis yang menyerahkan diri
sebelum resmi menjadi isteri, sehingga mengandung dan membawa akibat-
akibat yang amat menyedihkan. Tentu saja ada pula pria yang bertanggung
jawab, namun hal ini tidak banyak dan lebih banyak yang melarikan atau
menjauhkan diri karena memang cintanya hanya terletak dalam pemuasaan
nafstu berahi belaka. Dan gadis-gadis yang dungu itu tidak mau membuka mata
melihat kenyataan bahwa dalam hubungan di luar nikah ini, yang terancam
adalah si wanita. Terancam keadaan jasmani dan keadaan rohaninya,
terancam lahir batinnya. Tentu saja hal ini ada hubungannya dengan
kebudayaan masyarakat setempat.
Karena itu, betapa pentingnya untuk mempelajari dengan sesungguhnya apa
yang oleh kita dinamakan cinta itu! Cinta yang hanya mengejar pemuasan
nafsu berahi belaka, adakah itu yang dinamakan cinta? Dan yang amat
menyedihkan, betapapun kita selubungi dengan berbagai istilah muluk, namun
pada dasarnya banyak di antara kita, juga para wanita, yang mempunyai
anggapan bahwa hubungan kelamin adalah tanda cinta! Itu saja! Ini bukanlah
berarti bahwa kita menentang hubungan kelamin, bukan berarti kita
menganggap bahwa cinta menolak hubungan kelamin. Sama sekali bukan, dan
kita TIDAK BERPENDAPAT APA-APA, hanya mengajak kita semua untuk
menyelami, untuk menyelidiki secara mendalam akan apa yang dinamakan
cinta oleh kita semua itu. Cinta kasih tidak bersifat merusak, baik merusak
badan maupun batin. Maka setelah melakukan hubungan badan lalu
meninggalkannya dan merusak batinnya, jelas bahwa di situ sama sekali tidak
terkandung cinta kasih, dan sepenuhnya hanya terisi oleh nafsu berahi belaka.
Mengapa orang-orang muda buta terhadap hal yang gamblang ini?
Nafsu bagaikan api. Kalau dapat dikendalikan, maka bagaikan api, nafsu
amatlah berguna bagi manusia, bahkan manusia tidak mangkin dapat hidup
tanpa nafsu. Nafsu menyusup dan menjadi satu dengan panca indera,
bergelimang dalam hati dan akal pikiran. Manusia tidak akan dapat mengalami
kemajuan dalam keduniawian tanpa bekerjanya nafsu yang menyusup ke
dalam hati dan akal pikiran. Namun, seperti juga api, kalau nafsu tidak
terkendali, kalau nafsu tidak lagi menjadi pelayan melainkan menjadi majikan,
celakalah kita! Kita akan diseretnya, bagaikan api yang tidak terkendali, semua
akan dilahapnya dan akan semakin berkobar. Kita akan terseret ke dalam
perbuatan tanpa pantangan lagi demi mengejar kesenangan. Makanan nafsu
adalah kesenangan. Di mana ada kesenangan, nafsu bangkit dan menjadi amat
kuatnya. Makin kuat nafsu merajalela, semakin lemahlah jiwa. Dan tidak ada
kekuatan di dunia lni yang akan mampu meredakan nafsu kecuali kekuasaan
Tuhan! Kepada Tuhan saja kita dapat memohon dan menyerah, mohon
pertolongan dan bimbingan. Tanpa bimbingan Tuhan, setiap perbuatan
yangbagaimana nampak baik pun pada dasarnya bergelimang nafsu, pada
dasarnya pasti berpamrih demi keuntungan dan kesenangan diri sendiri, karena
ke sanalah arah tujuan semua nafsu.
Bagi orang yang sadar akan dirinya sendiri, orang yang mengenal dirinya
sendiri, akan melihat bahwa dirinya sendiri juga kotor, juga lemah, seperti
orang-orang lain sehingga dia tidak mungkin bisa mencela orang lain yang
melakukan penyelewengan akibat kelemahannya. Kehidupan manusia tidak
mungkin dapat tetap selalu, melainkan berubah setiap saat. Orang yang
melakukan penyelewengan dalam kehidupannya sama halnya dengan orang
yang sedang dihinggapi suatu penyakit. Hanya saja, bukan badannya yang
sakit, melainkan batinnya. Dan orang yang sakit itu tidak selamanya sakit, tentu
bisa sembuh. Sebaliknya, orang yang sedang waras belum tentu selamanya
sehat, tentu bisa sakit sewaktu-waktu. Oleh karena itu, orang yang sadar tidak
akan mengejek atau mencela orang yang sedang menderita sakit batinnya dan
melakukan perbuatan yang menyeleweng, sebaliknya malah akan merasa
kasihan. Sudah sepatutnyalah kalau kita mengulurkan tangan kepada yang
sedang sakit, agar dia sembuh kembali. Mengejek atau mencela orang yang
sedang sakit batinnya sama saja dengan mendorong orang yang sedang
terjeblos dalam lumpur! Setiap orangpun tentu akan melihat pada dirinya sendiri
bahwa diapun pernah melakukan dosa, melakukan penyelewengan, atau
pernah menderita sakit batin seperti itu. Oleh karena itu, orang yang mencela
atau mengejek orang lain yang sedang sesat, sedang sakit batinnya, adalah
orang yang tak tahu diri, dan orang seperti ini akan selalu merasa dirinya bersih
walaupun pada suatu waktu dia bengelimang lumpur. Sebaliknya, orang yang
setiap saat mau waspada membuka mata, memperhatikan dirinya sendiri lahir
batin, akan terbuka mata hatinya dan akan dapat melihat lebih mendalam akan
segala peristiwa dalam kehidupan ini.
Memang, kalau kita mau membuka mata dan melihat apa adanya, akan
nampak oleh kita betapa kita ini hidup di alam kepalsuan! Sikap kita, senyum
kita, ucapan-ucapan kita, semua itu terkendali, semua itu munafik dan palsu,
tidak sewajarnya, semua itu "demi kesopanan". Sopankah sikap yang dibuat-
buat itu? Kalau kita bicara dengan orang lain, terutama kalau kita bicara dengan
orang yang lebih tinggi kedudukannya daripada kita, atau lebih kaya, atau lebih
pintar menurut anggapan kita, maka otomatis muncullah kepalsuan kita,
senyum kita, pandang mata kita, kata-kata kita, semua itu "disesuaikan" dalam
pertemuan itu dan kita menjadi manusia lain, yang berbeda dengan pembantu
kita, dengan keluarga kita dan sebagainya! Sopan santun pura-pura dan palsu!
Beginikah kebudayaan kita? Beginikah peradaban kita? Betapa menyedihkan
kalau kita namakan kebudayaan, peradaban itu hanya merupakan kepintaran
berpura-pura belaka, pandai bermanis selagi perasaan sepahit-pahitnya,
pandai menghormat dan bersikap sopan selagi hati menghina dan membenci!
Dan kita telah terdidik semenjak kecil untuk berpura-pura seperti itu! Semenjak
kecil kita dijejali pelajaran-pelajaran bagaimana harus bersikap sebagai
seorang sopan, sebagai seorang berbudaya, terpelajar dan sebagainya! Kita
tidak pernah diperkenalkan kepada apa yang dinamakan kesopanan itu, dalam
arti kata menyelami, mendalami, mengerti dan menghayati, bukan sekedar
sikap lahiriah yang pura-pura belaka! Kalau sudah ada rasa hormat dalam batin
kita terhadap sesamanya, rasa hormat yang timbul bukan karena pura-pura,
bukan karena penjilatan, melainkan rasa hormat yang dengan sendirinya
muncul di mana terdapat cinta kasih terhadap sesama, kalau sudah ada rasa
cinta seperti itu di dalam batin kita, maka segala kepura-puraan itu, segala
kesopanan hampa, segala kemunafikan, akan sirna dan hubungan antara
manusia akan menjadi lain sama sekali! Kalau segala kepalsuan itu sudah tidak
ada, dan kalau hubungan antara manusia didasari cinta kasih, maka barulah
akan benar-benar ada hubungan itu! Sebaliknya, hubungan seperti adanya
sekarang ini, hanyalah hubungan semu belaka, hubungan antara dua
gambaran dari aku dan engkau yang keduanya palsu, tidak sewajarnya, tidak
seadanya, dan dalam hubungan seperti itu, tentu saja muncul pertentangan-
pertentangan.
Keadaan seperti yang dialami oleh Han Houw ini bukanlah dongeng kosong
belaka. Kiranya setiap orangpun akan dapat memperoleh pengalaman seperti
itu, kalau saja dia memang percaya penuh dan tekun. Orang yang
mengosongkan pikirannya dengan jalan mengulang-ulang sesuatu yang
disebutnya dengan penuh pujaan akan berada dalam keadaan tersihir atau
terpesona. Suara sendiri yang diulang-ulang itu mendatangkan pengaruh yang
amat kuat menyihir diri-sendiri dan mengikat seluruh perhatian sendiri sehingga
dirinya dalam keadaan "kosong" sungguhpun kekosongan yang dipaksakan.
Dalam keadaan seperti ini, maka sesuatu yang dipujanya, yang diharapkan dan
dipercayanya, tidak mengherankan kalau benar-benar muncul di depannya,
merupakan bayangan yang bukan lain adalah pemantulan dari dalam batinnya
sendiri. Orang yang memuja Sang Buddha mungkin saja bertemu dengan
bayangan yang sesungguhnya merupakan pemantulan dari dalam hatinya,
karena kepercayaan yang penuh, karena pemujaan yang tulus ikhlas ini
membentuk bayangan atau gambaran di dalam batin. Bayangan apapun yang
nampak oleh manusia, baik bayangan yang dinamakan setan maupun
bayangan dewa, nabi dan sebagainya, adalah bayangan yang terpantul dari
dalam batin sendiri yang membentuk dan menyimpan gambaran bayangan itu.
Hal ini amat jelas dan mudah dimengerti. Seseorang yang mengaku pernah
melihat setan umpamanya, pasti melihat setan seperti yang pernah
didengarnya dari dongeng, dari buku dan dari cerita orang lain, atau dari
khayalnya sendiri tentang setan. Demikian pula, seseorang yang mengaku
pernah "bertemu" dengan orang suci atau nabi, sudah pasti yang ditemuinya itu
adalah orang suci atau nabi dari agamanya, atau dari kepercayaannya, seperti
yang pernah didengarnya dari dongeng, atau dilihatnya dalam gambar, dan
sebagainya lagi. Namun kita, yang haus hal-hal yang aneh, yang haus akan
sesuatu yang dapat dijadikan pegangan, merasa sayang dan enggan
melepaskan kepercayaan ini dan tidak mau atau tidak berani melihat kenyataan
ini!
Keinginan akan sesuatu, betapapun "sesuatu" itu dapat diberi sebutan luhur,
suci, tinggi, sempurna dan sebagainya, tetap saja merupakan suatu keinginan
yang timbul dari pikiran atau si aku yang ingin senang, ingin selamat, ingin
terjamin dan tercapai keinginannya, baik keinginan dalam bentuk keenakan
badan maupun keenakan batin! Keinginan tetap merupakan keinginan dan
keinginan ini lahir bermacam hal yang menjadi sumber segala konflik.
Keinginan berpusat pada pementingan diri, penonjolan si aku dan karenanya
merupakan pengasingan diri yang picik. Semenjak kecil sampai tua, kita selalu
diperhamba oleh keinginan-keinginan kita. Yang berbeda hanyalah obyek dari
keinginan-keinginan kita, kalau masih muda tentu keinginannya ditujukan
kepada benda-benda duniawi untuk menyenangkan jasmani, setelah tua dan
bosan dengan semua kesenangan duniawi atau kenikmatan jasmani lalu
berpindah kepada tujuan yang dinamakannya lebih tinggi, yaitu benda-benda
rohani untuk menyenangkan batin, untuk menenteramkan batin, untuk
keselamatan jiwa. Namun, pada hakekatnya sama, yaitu si aku yang senang,
ingin tenteram, ingin enak dan ingin terjamin! Dan selama batin dipenuhi
keinginan ini, padahal keinginan ini hidup di alam khayal, sedangkan hidup ini
berada di alam nyata maka kita akan terbuai terus oleh keinginan-keinginan itu
yang melahirkan bermacam-macam khayal. Yang akan kita jumpai hanyalah
bayangan-bayangan khayal kita sendiri belaka dan kita tidak akan pernah dapat
bersua dengan kenyataan yang suci murni!
Seorang tua akan mengatakan, "Aku tidak butuh lagi dengan kesenangan
dunia, aku ingin ketenangan batin, aku ingin kesempurnaan jiwa, aku tidak
butuh apa-apa lagi!" kata-katanya demikian, akan tetapi sebenarnya pada
dasarnya, keinginan itu masih menebal di dalam batin, yang berubah hanyalah
tujuan keinginan itu saja. Kalau dulu yang dikejar adalah uang, kedudukan,
kemuliaan, kesenangan jasmani, sekarang yang dikejar adalah kesenangan
rohani atau apa yang dinamakan "yang lebih tinggi". Hasilnyapun akan sama
saja! Di waktu mengejar uang, kedudukan dan sebagainya itu dia selalu
bertemu dengan konflik, permusuhan, kepalsuan, kekecewaan, dan
keserakahan yang tak kunjung habis, sekarangpun dia akan bertemu dengan
semua itu! Karena yang dikejar adalah bayangannya sendiri!
Oleh karena itu, pertanyaan yang amat gawat dan penting perlu kita ajukan
kepada diri sendiri masing-masing, yaitu : Dapatkah kita hidup bebas, dari
segala macam keinginan? Dapatkah kita menghadapi apa adanya tanpa
menginginkan hal-hal atau benda-benda yang tidak atau belum ada? Segala
sesuatu sudah ada pada apa adanya, namun mata kita seolah-olah buta, tidak
melihat akan semua itu karena mata kita selalu ditujukan kepada hal-hal atau
benda-benda yang tidak ada, kepada khayal-khayal kita, kepada gambaran-
gambaran dari keinginan kita! Sama butanya dengan seorang penduduk
pegunungan yang tidak dapat melihat keindahan di pegunungan karena dia
gandrung akan bayangan keindahan lautan, dan sebaliknya seorang penduduk
tepi laut yang tidak dapat melihat keindahan pemandangan tepi laut karena dia
gandrung akan bayangan keindahan pemandangan di pegunungan! Sama
butanya seperti seorang pemilik apel yang tidak dapat menikmati kelezatan
buah apel itu karena dia membayangkan kenikmatan buah jeruk, dan pemilik
jeruk yang tidak dapat menikmati kelezatan buah jeruknya karena dia
membayangkan kelezatan buah apel! Kita hidup dibuai lamunan, dibuai khayal
belaka sehingga keadaan nyata tak nampak lagi, tak dapat dinikmati lagi, dan
inilah yang menyebabkan mengapa kita selalu mengeluh dan mengatakan
bahwa hidup adalah penuh derita dan kesengsaraan! Maka, dapatkah kita
bebas dari segala macam keinginan itu dan hidup dalam saat ini, saat demi
saat, menghadapi apa adanya dari saat ke saat penuh kewaspadaan?
Pagi hari itu, seperti biasa, sudah mulai nampak beberapa orang tamu yang
datang melakukan sembahyang. Bermacam-macam keperluan pribadi masing-
masing yang datang bersembahyang. Ada yang bermaksud untuk minta
sesuatu, agar sesuatu yang mereka citakan akan segera terkabul, di antaranya
ingin mempunyai anak, ingin segera memperoleh jodoh, ingin agar
dagangannya laris, ingin agar mendapatkan kenaikan pangkat, ingin agar
ujiannya lulus, dan sebagainya. Ada pula yang datang dengan wajah berseri
untuk membayar kaul seperti yang dijanjikan. Banyak di antara mereka para
peminta-minta ini yang dalam permintaannya selalu diberikuti janji-janji kepada
yang mereka minta, janji-janji bahwa kalau sampai permintaan mereka berhasil,
mereka akan melakukan ini atau itu, pendeknya melakukan sesuatu untuk
menyenangkan yang diminta, sebagai semacam imbalan!
Memang demikianlah keadaan hidup kita semenjak kuno dahulu sampai pada
jaman modern sekarang ini! Segala macam hubungan kita dengan apapun dan
dengan siapapun, selalu didasari jual beli, rugi untung seperti itulah! Tidak ada
lagi sinar cinta kasih di dalam batin kita, yang ada hanyalah perhitungan jual
beli seperti itu. Kita bersikap baik kepada sesama manusia hanya dengan dasar
jual beli pula, kita baik sebagai pemberian sesuatu untuk memperoleh kebaikan
pula yang lebih besar daripada yang kita berikan sehingga hal itu akan
menguntungkan! Kita menyembah seseorang atau sesuatu yang kita anggap
lebih tinggi hanya dengan dasar keuntungan ini pula! Kita menyembah-
nyembah sesuatu yang baik atau yang kita anggap baik kepada kita, dan kita
mengutuk atau membenci sesuatu yang kita anggap tidak baik kepada kita!
Inilah kenyataannya dalam kehidupan kita yang serba palsu ini. Sinar matahari
itu memberkati dan menghidupkan bagi siapanpun juga, tanpa memilih apakah
yang menerima itu baik atau buruk, tinggi atau rendah, agung atau hina! Juga
sinar matahari itu mendatangkan panas terhadap siapapun juga, dari raja
sampai pengemis tanpa pandang bulu! Akan tetapi, kita kehilangan sinar cinta
kasih itu! Kita hanya suka dan cinta kepada orang-orang tertentu saja, yang
menyenangkan kita, yang kita anggap baik kepada kita. Sebaliknya kita
membenci kepada orang-orang tertentu yang kita anggap merugikan lahir atau
batin kepada kita.
Betapa sebagian besar dari kita ini selalu bersikap seperti Kui Hok Boan! Kita
selalu menyesali nasib, menyalahkan segala peristiwa yang kita anggap buruk
kepada sang "nasib". Mengapa kita begitu buta, tidak pernah mau membuka
mata untuk memandang dan melihat kenyataan bahwa semua sebab dari
segala "nasib" berada pada diri kita sendiri? Kitalah sumber segala penyakit,
kitalah sumber segala duka, sumber segala kesengsaraan! Dan hal ini baru
dapat nampak kalau kita memandang diri sendiri setiap saat tanpa
membenarkan atau menyalahkan, tanpa pendapat atau kesimpulan, tanpa
pamrih!
Segala peristiwa yang terjadi adalah serangkaian yang sambung-menyambung,
seperti lingkaran setan dan semua pendapat dan penilaian merupakan hasil
pekerjaan dari pikiran kita sendiri. Pikiran membentuk sang aku yang selalu
ingin senang, ingin enak, ingin baik, ingin benar!
Kita membenci seseorang. Mengapa? Demikian pikiran bekerja. Karena orang
itu jahat, karena orang itu merugikan aku, baik merugikan secara lahiriah
maupun batiniah. Pendeknya, orang itu merugikan aku, tidak menyenangkan
aku, maka aku membencinya. Kebencian ini adalah buatan pikiran yang menilai
dengan dasar untung rugi bagi sang aku, dan kebencian ini menimbulkan
serangkaian perbuatan kekerasan, seperti memaki orang itu atau memukulnya
dan sebagainya, pendeknya untuk melampiaskan dendam dan kebencian kita
terhadap orang itu.
Apakah perbuatan ini dapat menghilangkan kebencian tadi? Tidak sama sekali
tentunya, bahkan perbuatan ini akan menimbulkan serangkaian akibat-akibat
lain yang berupa kekerasan-kekerasan. Ada kalanya, kita merasa menyesal
karena kita ingat, baik melalui orang lain ataupun diri sendiri, bahwa kebencian
adalah tidak baik. Kini kita membalik pandangan kita kepada diri sendiri.
Tadinya, kita menujukan pandangan kita kepada orang lain, pandangan dengan
penuh penilaian pikiran, pertimbangan untung rugi sehingga menimbulkan
kebencian. Kini, setelah kita memandang kepada diri sendiri, kita memandang
pula dengan penilaian pikiran. Ada kalanya pikiran menganggap bahwa
kebencian ini tidak baik, dan harus disingkirkan, dilenyapkan. Di lain saat
pikiran membela diri sendiri, perbuatannya sendiri, menganggap bahwa
kebencian kita itu tepat dan benar karena memang orang itu jahat dan layak
dibenci, dan sebagainya. Jelaslah, bahwa yang menimbang, yang menilai ini,
juga masih si pikiran atau sang aku itu tadi. Yang menilai ini tidak ada bedanya
dengan yang menilai orang yang dianggap jahat tadi, yang menilai kebencian
baik atau buruk inipun adalah sang kebencian itu sendiri, tiada bedanya dengan
si pikiran itulah. Dengan demikian, pikiran kadang-kadang berubah menjadi ini
dan menjadi itu, namun kesemuanya itu merupakan lingkaran setan yang masih
terjadi dalam lingkungan pikiran. Dengan demikian, kebencian itu akan tetap
ada, bahkan makin diperkuat, makin diperbesar karena dipupuk oleh pikiran
sendiri yang menilai-nilai.
Dapatkah kita memandang tanpa penilaian? Baik memandang kepada orang
yang kita lalu nilai sebagai jahat itu, maupun memandang kepada kebencian
kita yang kita nilai pula sebagai benar atau salah itu? Kalau kita dapat
memandang tanpa ada sesuatu yang memandang, tanpa ada sesuatu yang
menilai, melainkan memandang dengan penuh kewaspadaan dan kesadaran,
tanpa ada yang waspada atau sadar, karena kalau ada berarti akan timbul pula
penilaian-penilaian, maka dengan sendirinya kebencian itupun akan kehilangan
tenaganya, akan lenyap dengan sendirinya karena tidak ada lagi pemupukan.
Kita sadar bahwa ada kebencian dalam hati kita, akan tetapi kita tidak menilai,
tidak membenarkan atau menyalahkan, kita pandang saja! Kita dalam hal ini,
adalah sang pikiran itu, dan kebencian adalah sang pikiran itu pula. Biarkan
pikiran memandang pikiran sendiri, tanpa ada kesatuan lain yang menilai atau
menimbang, tanpa ada sesuatu yang membenarkan atau menyalahkan.
Kita semua rindu akan kasih sayang. Kita semua menghendaki agar semua
orang di dunia ini suka dan cinta kepada kita! Kita haus akan cinta kasih! Dari
manakah datangnya kehausan ini? Mengapa kita dahaga akan cinta kasih
orang lain terhadap diri kita.
Kita tidak pernah mau sadar melihat kenyataan bahwa yang terpenting
daripada segala keinginan dicinta orang itu adalah pertanyaan : apakah KITA
suka atau mencinta kepada SEMUA orang? Sesungguhnya di sinilah letak
sumber daripada segalanya. Tanpa adanya cinta kasih dalam batin kita sendiri
terhadap semua orang dan segala sesuatu, kita akan selalu haus akan cinta
kasih lain orang! Akan tetapi apabila hati ini penuh cinta kasih, maka kita tidak
lagi akan kehausan. Karena batin tidak ada cinta kasih inilah maka kita selalu
dahaga akan cinta kasih terhadap diri kita, seperti sumur kering merindukan air.
Kalau sumur itu penuh air, dia tidak akan lagi rindu akan air, bahkan airnya
yang berlimpah-limpah itu menghilangkan dahaga SIAPA SAJA!
Sungguh sayang, kita tidak pernah mengamati apakah ada cinta kasih dalam
diri kita terhadap sesama manusia atau sesama hidup. Sebaliknya malah, kita
selalu mengamati apakah ada cinta kasih dari orang lain untuk kita! Kalau ada
maka kita merasa senang dan kalau tidak, kita merasa sebaliknya. Kita baru
dapat bicara tentang cinta kasih kalau batin ini sudah kosong dan bersih
daripada kebencian, iri hati dan pementingan diri sendiri. Selama semua ini ada
di dalam batin, jangan harap akan ada sinar cinta kasih dalam diri kita. Dan
kalau semua itu sudah bersih, lalu ada cinta kasih di dalam hati, jelaslah bahwa
kita tidak MENGHARAPKAN lagi cinta kasih orang lain terhadap kita, bahkan
kita TIDAK MENGHARAPKAN APA-APA LAGI! Hati yang penuh cinta kasih
tidak mengharapkan apa-apa lagi, seperti cawan yang penuh anggur tidak
menghendaki apa-apa lagi. Tidak ada lagi rasa takut, tidak ada lagi rasa
khawatir tidak akan dicinta orang, tidak ada lagi rasa takut akan dibenci orang.
Yang takut tidak dicinta, yang takut dibenci, adalah si aku, yaitu pikiran yang
mengaung-ngaungkan si aku, yang memupuk iba diri. Akan tetapi, kalau hati
penuh dengan cinta kasih, tidak ada lagi si aku yang ingin ini dan itu.
senang atau susah bukan didatangkan dari luar, melainkan tergantung dari
keadaan batin kita sendiri, sungguhpun keadaan itupun dipengaruhi oleh
keadaan luar. Senang atau susah masih berada dalam daerah terbatas, daerah
terkurung dari kesibukan si aku. Si aku merasa diuntungkan, maka senanglah
batin. Si aku merasa dirugikan, maka susahlah batin. Batin seperti ini berada
dalam cengkeraman si aku yang bukan lain adalah pikiran itu sendiri. Pikiran
mencatat segala pengalaman, baik yang senang maupun yang susah, dan
pikiran menciptakan si aku, yaitu gambaran tentang diri sendiri, sebagai
penikmat kesenangan maupun si penderita kesusahan. Timbullah keinginan
untok mengulang atau melanjutkan kesenangan dan menjauhkan kesusahan.
Keinginan inilah yang menciptakan lingkaran setan, yang menyeret kita di
antara gelombang-gelombang kesenangan dan kesusahan sehingga keadaan
kehidupan kita menjadi seperti sekarang ini. Setiap manusia berlumba untuk
memperoleh kesenangan, dan demi kesenangan yang dikejar inilah maka
terjadi perebutan persaingan, permusuhan, iri hati, kebencian dan sebagainya.
Pengejaran kesenangan memisah-misahkan antara manusia, memupuk dan
memperkuat si aku.
Keadaan bahagia sama sekali tidak dapat disamakan dengan kesenangan,
walaupun kita pada umumnya menganggap bahwa kesenangan adalah
kebahagiaan! Kebahagiaan berada di atas senang dan susah, sama sekali
tidak tersentuh oleh keduanya itu. Keadaan bahagia adalah lenyapnya si aku,
lenyaplah keinginan mengejar kesenangan dan menghindari kesusahan yang
hanya merupakan kesibukan pikiran belaka yang terpengaruh oleh masa lalu,
kenangan lalu, pengalaman lalu, ingin mengulang yang menyenangkan dan
menjauhi kesusahag. Keadaan bahagia tak dapat diulang-ulang, merupakan
sesuatu yang selalu baru. Keadaan bahagia baru mungkin ada kalau terdapat
cinta kasih! Cinta kasih baru nampak sinarnya kalau batin dalam keadaan
hening dalam arti kata tidak dipengaruhi oleh kesibukan pikiran atau si aku
yang selalu ingin senang!
PENYESALAN
Sudah menjadi kebiasaan kita pada umumnya, untuk selalu menilai perbuatan-
perbuatan kita yang sudah lalu, menimbulkan penyesalan, rasa takut, dan
sebagainya. Bahkan telah kita terima sebagai sesuatu yang benar dan mutlak
penting bahwa penyesalan akan penguatan yang lampau dapat menyadarkan
kita dan membuat kita tidak lagi melakukan perbuatan yang kita anggap keliru
dan yang mendatangkan penyesalan itu. Akan tetapi, benarkah ini? Beharkah
bahwa penyesalan dapat membersihkan kita dari perbuatan sesat di masa
mendatang?
Penyesalan selalu datang kalau perbuatan itu SUDAH dilakukan. Dan
biasanya, seperti yang dapat kita lihat setiap hari, di sekeliling kita, dalam
kehidupan masyarakat, dalam kehidupan kita sendiri, penyesalanpun akan
makin lama makin menipis dan kemudian hilang. Sementara itu, perbuatan kita
masih saja penuh dengan kesesatan! Kemudian, setelah menilai dan
mengingat, timbul penyesalan kembali. Perbuatan sesat dan penyesalan hanya
susul-menyusul belaka, seperti dalam lingkaran setan yang tiada putus-
putusnya! Seperti kalau kita makan makanan yang pedas, yang terasa enak
segar di mulut namun sesungguhnya tidak baik bagi perut. Ketika makan
amatlah enaknya sehingga kita yang terlalu mementingkan keenakan itu tidak
lagi ingat kepada perut kita sendiri. Baru setelah perut kita sakit melilit-lilit, kita
merasa menyesal dan sadar bahwa terlalu banyak makanan pedas itu tidak
baik untuk perut. Namun, penyesalan ini dalam sedikit waktu sudah terlupa lagi
kalau kita menghadapi makanan pedas yang segar enak bagi mulut itu!
Kenyataannya demikianlah! Pengejaran kesenangan membuat kita buta dan
baru setelah kesenangan itu terdapat lalu timbul hal-hal yang tidak
menyenangkan, seperti segala macam kesenangan yang memiliki muka ganda
sehingga senang dan susah tak terpisahkan, lalu timbul penyesalan! Jadi
penyesalan itu pada hakekatnya timbul karena akibat dari kesenangan itu
mendatangkan kesusahan kepada kita! Jadi bukanlah si perbuatan sesat itu
sendiri yang kita sesalkan, melainkan si akibat yang buruk dari perbuatan yang
mendatangkan kesenangan itu!
Semua ini akan nampak jelas sekali kalau kita waspada terhadap segala gerak-
gerik lahir batin kita sendiri, kalau kita waspada terhadap segala sesuatu yang
bergerak dalam pikiran kita. Kewaspadaan inilah kesadaran dan kesadaran
inilah pengertian, dan pengertian melahirkan perbuatan yang spontan,
perbuatan yang tidak lagi dikendalikan oleh pertimbangan dan penilaian pikiran.
Karena perbuatan yang dikendalikan oleh pikiran, oleh si aku, sudah pasti
perbuatan itu berdasarkan untung rugi bagi si aku, dan perbuatan seperti ini
sudah pasti menimbulkan konflik yang kemudian berakhir dengan kedukaan,
termasuk penyesalan yang tiada gunanya itu. Kewaspadaan setiap saat
terhadap diri sendirilah yang akan melenyapkan perbuatan-perbuatan sesat
yang hanya terjadi dan hanya dilakukan dalam keadaan TIDAK SADAR. Bukan
penyesalan yang melenyapkan kesesatan-kesesatan itu!
Yang amat penting untuk kita sadari adalah bahwa kewaspadaan setiap saat
terhadap diri sendiri lahir batin ini haruslah tidak dikendalikan oleh si aku! Jadi
yang ada hanyalah pengamatan saja, kewaspadaan saja, kesadaran akan diri
sendiri tanpa ada aku yang mengamati, tanpa ada aku yang waspada dan
sadar! Karena kalau ada si aku yang mengatur dan mengendalikan semua
kewaspadaan dalam pengamatan itu, maka itu hanya permainan pikiran atau si
aku yang tentu mengandung pamrih dalam pengamatan itu, pamrih untuk
sesuatu, untuk mencapai sesuatu, entah yang sesuatu itu dinamai kesenangan,
kedamaian, kesucian dan sebagainya. Dan semua tindakan dari pikiran atau si
aku yang selalu mengejar kesenangan pastilah menimbulkan konflik dan
kesengsaraan.
Tidaklah mengherankan keadaan Sun Eng ini. Apa yang dia lakukan semua itu
menurut jalan pikirannya adalah pengorbanan untuk Lie Seng, untuk keluarga
Cin-ling-pai. Padahal, pada hakekatnya, sama sekali tidaklah demikian. Pada
dasarnya, semua yang dilakukannya itu timbul dari rasa iba diri, timbul dari rasa
sayang diri, dan semua itu untuk menyenangkan hatinya sendiri. Sebaliknya,
dia melakukan itu dengan dasar agar dia dihargai, agar dia dikagumi, agar dia
tidak dipandang rendah lagi karena penyelewengan yang pernah dilakukannya.
Semua ini dilakukannya demi dirinya sendiri, yang oleh pikirannya sendiri
"disulap" menjadi perbuatan "baik" demi orang lain. Bahkan jalan pikiran yang
palsu membuat dia tadinya condong beranggapan bahwa pengorbanan yang
dilakukannya adalah suci.
Karena pikirannya mendorong dia selalu memandang kepada tujuan saja, dan
semua tujuan ini sudah pasti menuju kepada kesenangan diri pribadi,
sungguhpun boleh saja mengenakan pakaian lain sehingga kelihatan seolah-
olah demi kesenangan atau kebahagiaan orang lain, maka mata menjadi buta
tidak melihat lagi yang terpenting daripada segala gerakan hidup, yaitu
tindakannya itu sendiri atau cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan itu.
Tujuan membutakan mata terhadap cara. Tujuan bahkan kadang-kadang
menghalalkan segala cara! Tujuan adalah nafsu keinginan memperoleh
sesuatu. Dan kalau cara yang dipergunakan tidak benar, mana mungkin
akhirnya benar? Tidak mungkin menanam rumput keluar padi! Tidak mungkin
cara yang tidak benar menghasilkan sesuatu yang benar.
Hanya kalau batin tidak lagi dibutakan oleh tujuan yang pada hakekatnya
hanyalah nafsu keinginan memperoleh kesenangan, maka batin menjadi
waspada akan segala tindakan, akan segala cara hidup yang ditempuhnya
setiap saat. Dan kewaspadaan ini tentu melahirkan tindakan yang benar. Dan
tindakan benar adalah tindakan wajar tanpa didorong oleh nafsu keinginan
memperoleh hasil atau kesenangan atau keuntungan dari tindakan itu.
Seperti itulah macamnya "cinta" yang berada dalam batin kita! Kita
menganggap bahwa perasaan semacam itu adalah cinta kasih yang murni,
cinta terhadap anak diwujudkan dengan keÂinginan melihat anak itu
berbahagia SESUAI dengan keinginan kita! Kita selalu hendak mengatur
kehidupan anak kita menurut selera kita, menurut penÂdapat kita, menurut
pandangan kita. Kita merasa yakin bahwa anak kita akan berbahagia kalau dia
itu menurut kehendak kita melakukan ini, tidak melakukan itu. Semenjak anak
kita masih kecil, kita ingin mengaturnya, membentuknya seperti kita membentuk
boneka dari lilin atau lempung. Tanpa kita sadari sendiri, kita telah menyiksa
anak-anak kita sendiri dengan bentukan-bentukan itu. Kita ingin melihat anak
kita yang masih kecil itu bersikap sopan santun, cerdik, pintar, tahu aturan,
pendiam dan sebagainya lagi, pendeknya kita ingin melihat anak kila menjadi
"anak tauladan" seperti yang kita cita-citakan dan gambarkan.
Oleh karena itu, sejak dia masih kecil, kita tekan dan didik dia supaya cocok
dengan bentuk gambaran kita. Kita lupa, tidak sadar bahwa semua ini sama
sekali bukanlah tindakan cinta kasih, sama sekali bukan terdorong oleh cinta
kita kepada anak kita itu, melainkan terdorong oleh cinta kepada diri sendiri!
Kita ingin mempergunakan anak kita sendiri sebagai jembatan untuk menikmati
kesenangan berupa kebanggaan! Kitalah yang akan berbangga melihat anak
kita begini dan begitu sesuai dengan kehendak kita! Kita akan senang sekali!
Sama sekali kita tidak perduli apakah anak itupun senang bersikap yang kita
gariskan itu. Sudah tentu saja dia tidak senang! Setiap orang anak ingin bebas,
ingin bergembira-ria, ingin berloncatan, berteriak-teriak, bermain-main sesuka
hatinya, bersama kawan-kawan sebaya. Tidak ada seorangpun anak kecil yang
normal akan merasa suka menjadi "anak tauladan" seperti yang digariskan
orang tua, duduk diam seperti patung di depan orang-orang tua yang sedang
mengobrol, duduk deÂngan sopan, bicara lemah lembut, tertawapun "diatur",
bernyanyi kalau disuruh nyanyi seperti yang telah diajarkan oleh orang tua di
rumah sehingga orang-orang tua lain akan merasa kagum! Tidak mungkin
seorang anak suka bersikap seperti itu. Dia ingin bebas gembira. Namun apa
daya, orang tua "yang amat mencintanya" itu mengajarkan lain, menghendaki
lain.
Bukan hanya terhadap anak kita yang masih kecil kita ingin mengatur, ingin
membentuk, ingin agar anak itu hidup sesuai dengan kehendak kita,
menurutkan garis yang kita buat untuk anak itu. Bahkan setelah anak itu
dewasa sekalipun, selama kita masih dapat menguasainya, kita akan selalu
membuat anak kita sebagai jembatan untuk mendapatkan kebanggaan dan
kesenangan. Semua ini mungkin tidak kita rasakan lagi, tidak kita insyafi lagi
karena kita tidak sadar akan kenyataan hidup ini. Kita akan menganggap,
bahwa semua itu kita lakukan demi cinta kita kepada anak kita itu! Inilah alasan
yang paling kuat, merupakan alasan tradisional yang dipakai oleh kita orang-
orang tua yang selalu merasa benar dalam hal apapun juga! Bahkan kalau
anak kita sudah dewasa, dalam menentukan jodohpun kita selalu mau ikut
campur, berdiri terdepan untuk melakukan pemilihan, untuk menerima atau
menolak pilihan anak kita berdasarkan penilaian kita, pendapat kita, selera kita
sendiri. Selera dan pandangan anak kita, sejak dia kecil, tidak kita perhatikan!
Kita selalu menganggap bahwa selera dan keinginan anak kita itu salah belaka.
Semua sikap hidup ini harus kita amati, harus kita pandang sejujurnya, harus
kita sadari. Kita sudah tidak merasa keliru lagi karena kita sendiripun
diperlakukan demikian oleh orang tua kita semenjak kita masih kecil. Setiap
orang tua akan senang sekali kalau anaknya menjadi seorang "anak penurut"
dan setiap orang tua akan membenci anak yang "tidak penurut", maka kitapun
melanjutkan saja tradisi ini, sikap yang sudah mendarah daging selama ribuan
tahun ini. Maka, perlu kita mengenal diri sendiri, meneliti diri sendiri.
SESUNGGUHNYAKAH KITA MENCINTA ANAK KITA? Ataukah yang kita
namakan cinta itu sesungguhnya bukan lain adalah cinta terhadap diri sendiri,
atau keinginan kita untuk memperoleh kesenangan, kepuasan, kebanggaan
melalui anak-anak kita itu? Sehingga kalau anak kita menurut dan
menyenangkan hati kita, kita bilang cinta dan memuji-mujinya, sebaliknya kalau
dia tidak menurut kita dan menyusahkan hati kita maka kita lalu membencinya,
kita mengutuk dan memakinya sebagai anak tidak berbakti, anak durhaka, dan
sebagainya lagi? Mungkinkah ada cinta kalau kita masih mementingkan diri
sendiri, mencari kesenangan untuk diri sendiri? Nah, marilah para orang tua,
kita mawas diri, kita membuka lebar mata kita, memandang yang palsu sebagai
yang palsu tanpa memperdulikan apa kata tradisi dan apa kata pendapat
umum! Karena urusan ini adalah urusan kita sendiri, kita dengan anak kita,
tidak ada hubungannya sama sekali dengan pandangan si A, si B, atau si
Umum sekalipun! Dan kalau kita benar-benar mencinta anak kita, kita akan
berhenti memperlakukan dia sebagai jembatan untuk mencari kepuasan bagi
diri kita. Dan cinta kasih yang demikian ini akan menciptakan tindakan-
tindakannya sendiri, dan cinta kasih sudah merupakan pendidikan yang
terutama.
Mengapa kita begitu terbiasa sejak kecil untuk menyimpan segala hal yang
terjadi di masa lalu? Mengapa kita selalu mengingat-ingat perbuatan orang lain
yang merugikan kita sehingga menimbulkan kebencian? Mengapa kita tidak
mau menghapus semua itu, semua ingatan tentang hal-hal yang terjadi di masa
lalu, menguburnya dan tidak pernah membongkarnya lagi, melainkan
menujukan seluruh pandang mata kita, seluruh hati dan pikiran kita, seluruh
keadaan diri kita lahir batin kepada apa yang terjadi SAAT INI saja? Mengapa
kehidupan kita saat demi saat begitu tergantung kepada apa yang telah terjadi
di masa lalu, yang mempengaruhi setiap gerak-gerik kita, setiap sikap kita
terhadap orang lain? Mengapa kita menilai setiap orang lain dari perbuatan-
perbuatannya yang lalu? Apakah keadaan manusia itu dapat ditentukan dari
satu kali perbuatannya di masa lalu? Mengapa ada benci di dalam hati kita?
Mengapa kita mengotori diri sendiri dengan segala macam kebencian,
permusuhan, iri hati dan sebagainya itu? Mengapa kita tidak mau mendobrak
dan memberontak terÂhadap semua ikatan masa lalu itu dan hidup BARU saat
demi saat? Semua pertanyaan ini kiranya teramat penting untuk kita renungkan
dan ajukan kepada diri sendiri!
Seorang Pemuda duduk bersila di depan makam kekasihnya itu sampai dua
hari dua malam, tak pernah dia meninggalkan tempat itu. Kadang-kadang
timbul dalam hatinya untuk duduk terus di tempat itu sampai mati! Makin
dikenang segala kebaikan kekasihnya, segala pengorbanannya, makin tertusuk
rasa hatinya dan berkali-kali dia menangis seperti anak kecil di tempat yang
sunyi itu. Wajahnya sudah pucat sekali dan tubuhnya kurus dan lemah,
pandang matanya kosong dan sayu, pakaiannya kusut dan rambutnya awut-
awutan. Keadaan pemuda ini sungguh amat menyedihkan. Dia telah putus asa,
tidak melihat lagi sinar dalam kehidupannya yang dianggapnya gelap pekat
tanpa harapan. Semangat dan gairah hidupnya telah lenyap terbawa pergi
kekasihnya.
"Omitohud... mengapa ada orang merusak diri sendiri seperti ini? Membunuh
diri perlahan-lahan dengan membiarkan gelombang duka menyeretnya berlarut-
larut...! Orang muda, apakah dengan membiarkan gelombang duka
menghanyutkanmu ini kau mengharapkan yang mati akan dapat bangkit
kembali?"
Suara itu halus dan karena dikeluarkan dengan penuh perasaan maka
mengandung getaran kuat dan mampu menembus dinding samadhi menyentuh
kesadaran si pemuda.
Pemuda ini membuka mata dan mengangkat muka memandang hwesio tua itu
dan alisnya herkerut. "Hwesio, pergilah, tak perlu kau berkhotbah di sini!"
katanya dengan marah. Tidak biasanya pemuda ini bersikap seperti itu, akan
tetapi dia tidak perduli apapun juga lagi. Dia sudah lupa diri, yang teringat
hanyalah kedukaannya dan ini membuat dia kasar dan tidak bersahabat
kepada siapapun juga.
Hwesio tua itu tersenyum akan tetapi pandangan matanya penuh rasa iba.
"Orang muda, pinceng tidak berkhotbah, pinceng merasa kasihan kepadamu,
maka pinceng hendak mengingatkan bahwa tindakanmu yang terbuai oleh duka
ini sungguh tidak tepat. Berduka atas kematian seseorang merupakan suatu
kebodohan, dan tindakan menyeleweng daripada kebenaran."
Pandang mata Lie Seng berapi karena marahnya ketika dia menatap wajah
yang ramah itu. Dengan suara berat dan kesal dia menjawab, "Bicara memang
enak saja! Engkau tidak merasakan, maka engkau mudah saja mencela! Aku
telah kehilangan cahaya hidupku, kehilangan semua kebahagiaan dan
harapanku, maka perlu apa aku memperdulikan diri sendiri? Kalau aku harus
mati, akan kuterima dengan rela! Pergilah, hwesio!"
Seorang ibu ditinggal mati anak tunggalnya. Siapapun tahu bahwa cinta kasih
seorang ibu kepada anak tunggalnya adalah cinta kasih yang paling murni di
antara segala macam cinta kasih di dunia ini. Maka berdukalah wanita itu dan
diapun pergi menghadap Sang Buddha, memohon kepada Buddha untuk
menghidupkan kembali anak tunggalnya. Dengan tenang Sang Buddha lalu
menyuruh wanita itu untuk minta segenggam gandum dari sebuah keluarga
yang belum pernah mengalami kematian, karena hanya itulah obatnya yang
dapat menghidupkan anaknya yang mati. Ibu itu berkelana, akan tetapi biarpun
dia akan pergi mengelilingi dunia, di mana ada keluarga yang belum pernah
kematian anggauta keluarganya? Akhirnya dia kembali kepada Sang Buddha
dan insaf.
Kematian adalah suatu hal yang wajar bagi kehidupan. Ada hidup ada mati.
Mengapa kematian harus didukakan benar? Bukankah kita semua akhirnya
akan mati pula? Apakah kedukaanmu itu akan dapat menghidupkannya
kembali?"
"Duka tidak dapat dihilangkan melalui hiburan, tidak pula dapat dihilangkan
melalui pelarian, orang muda. Yang penting kita membuka mata melihat
kenyataan, jangan membiarkan duka membutakan mata batin. Penglihatan
yang terang dengan pengamatan yang waspada akan mendatangkan
pengertian, dan hanya pengertian mendalam dan kesadaran yang akan
meniadakan duka yang tiada guna dan melemahkan lahir batin itu."
Betapa banyaknya di antara kita yang seperti Lie Seng itu! Melarikan diri sendiri
dari kenyataan hidup! Melarikan diri dari kepahitan hidup! Lalu mengejar-ngejar
kemanisan hidup! Padahal, pelarian dari yang pahit dan pengejaran yang manis
itu tidak ada bedanya sama sekali. Melarikan diri dari yang pahit lalu berlindung
kepada sesuatu itu berarti juga mengejar kemanisan yang diharapkan bisa
didapatkan dari tempat berlindung itu. Dan selama pengejaran akan sesuatu
yang dianggap manis dan menyenangkan ini terjadi, maka kita akan terus
menerus terseret ke dalam lingkaran setan yang tiada habisnya. Pelarian tidak
akan melenyapkan duka, pelarian tidak akan melenyapkan kegelisahan dan
rasa takut. Mungkin saja dapat mendatangkan hiburan sesaat, namun duka itu,
rasa takut itu, tidak akan lenyap, hanya untuk sementara waktu terselubung
saja oleh hiburan yang didatangkan oleh pelarian. Setiap saat akan muncul
kembali!
Kita semua mengenal apa penyesalan itu, apa kekecewaan itu, dan apa rasa
takut serta kedukaan itu. Mengapa kita selalu harus mencari hiburan di mana
kita dapat berlindung untuk melarikan diri dari hal-hal yang tidak enak itu?
Mengapa kita tidak pernah berani menghadapi semua itu, menghadapi mereka
di waktu mereka itu timbul, menghadapinya dengan langsung, memandangnya
dan menanggulanginya di saat mereka muncul sehingga mereka itu akan
lenyap di saat itu juga dan takkan pernah muncul kembali? Penanggulangan ini
bukan berarti mengusahakan agar mereka lenyap, sama sekali bukan.
Melainkan menghadapi duka pada saat itu menyerang kita, memandang dan
menyelaminya secara langsung, mengenal luar dalam apa sebenarnya duka
itu! Akan tetapi sayang, kita selalu ingin senang, maka begitu timbul sesuatu
yang tidak menyenangkan menurut anggapan kita, kita lalu melarikan diri.
Betapa banyaknya orang tua yang tanpa mereka sadari sendiri telah melakukan
tindakan-tindakan yang sama sekali menyimpang daripada cinta kasih dan
kebenaran. Kita selalu ingin menyatakan cinta kasih kita kepada anak-anak kita
dengan jalan mengatur sedemikian rupa untuk anak-anak kita, bukan hanya
mengatur pendidikannya, pemeliharaannya, akan tetapi juga kita ingin
mengatur masa depannya, mengatur kesukaannya, bahkan mengatur jodoh
mereka! Kita beranggapan bahwa kalau anak-anak kita itu menurut kepada kita,
mereka pasti akan hidup berbahagia, seolah-olah kehidupan merupakan garis
tertentu yang sudah mati, yang dapat diatur sedemikian rupa menuju kepada
kebahagiaan! Seolah-olah apa yang kita anggap baik den menyenangkan tentu
akan baik dan menyenangkan pula bagi anak-anak kita! Kita lupa bahwa
kehidupan itu selalu berubah, bahwa alam-pikiran dan selera manusia itupun
berkembang dan mengalami perubahan-perubahan. Apa yang kita sendiri
senangi di waktu kita masih kanak-kanak akan menjadi membosankan di kala
kita sudah dewasa, dan apa yang menyenangkan kita di waktu kita dewasa
mungkin akan menjadi memuakkan di waktu kita telah tua. Oleh karena itu,
benarkah itu kalau kita memakai ukuran mata kita untuk mengatur kehidupan
anak-anak kita yang lebih muda dan mempunyai selera lain sama sekali dari
kita? Benarkah kita mencinta anak-anak kita kalau kita hanya ingin mereka itu
menurut kepada kita, yang pada hakekatnya menunjukkan bahwa
sesungguhnya kita ingin senang sendiri. Ingin melihat anak-anak kita menuruti
kemauan hati kita? Cinta adalah demi si anak, demi perasaan hati si anak,
sekarang, bukan kelak! Bukan masa depan, melainkan saat demi saat! Maukah
kita sebagai orang tua yang bijaksana memberi kebebasan seluasnya kepada
anak-anak kita, dengan memberi petunjuk-petunjuk, bukan mendikte,
melainkan memberi petunjuk dan menjaga, membuka mata batin mereka kalau
mereka itu tanpa mereka sadari menyeleweng, dengan penuh kasih sayang
dan demi kebahagiaan mereka saat demi saat? Hal ini hanya mungkin
dilakukan kalau sudah tidak ada keinginan dalam hati kita untuk menikmati
kesenangan diri sendiri melalui anak kita!
Dengan celaan dia akan dapat melihat kekurangan dirinya sendiri dan dapat
bersikap waspada, sebaliknya, sanjungan akan membuat orang mabuk dan
lupa akan kewaspadaan, membuat orang menjadi lengah.
Pagi yang amat cerah dan indah! Matahari, sesuatu yang perkasa adil dan
murah hati, juga amat indahnya, muncul di permukaan bumi mengusir segala
kegelapan dan datang membawa keriangan dan kesegaran kepada semua
yang berada di permukaan bumi, memandikan segala sesuatu dengan
cahayanya yang keemasan dan yang menjadi sumber tenaga dari segala
sesuatu yang tidak nampak. Cahaya matahari seolah-olah membangkitkan
semua yang tadinya penuh ketakutan dan kekhawatiran tenggelam dalam
kegelapan malam, mendatangkan kembali semangat hidup pada tumbuh-
tumbuhan, pohon-pohon besar, binatang-binatang dari yang kecil sampai yang
paling besar, yang beterbangan di udara maupun yang berjalan dan merayap di
atas bumi.
Matahari pagi yang demikian indahnya, cahaya keemasan yang menerobos di
antara gumpalan-gumpalan awan yang berarak bebas teratur rapi di atas langit,
embun-embun pagi yang berkilauan di ujung daun-daun, kicau burung gembira,
semua itu seolah-olah mengingatkan kita bahwa kegelapan dan kesunyian dan
keseraman yang timbul bersama datangnya malam bukanlah peristiwa yang
abadi, melainkan hanya sementara saja. Demikian pula sebaliknya, kecerahan
dan keriangan yang datang bersama matahari pagi itu pun akan terganti oleh
sang malam yang membawa kegelapan.
Baik buruknya siang dan malam timbul dari penilaian kita. Kalau kita sudah
menilai bahwa yang siang itu baik dan yang malam buruk, maka kita akan
terseret ke dalam lingkaran baik dan buruk, senang dan susah. Sebaliknya,
kalau kita menghadapi siang dan malam, atau segala sesuatu yang terjadi di
dunia ini tanpa penilaian, maka tidak akan timbul pula baik buruk itu. Dan bukan
tidak mungkin bahwa kita akan menemukan keindahan dalam kegelapan dan
kesunyian malam itu!
Pagi hari yang amat cerah dan indah itu selalu mendatangkan keriangan pada
semua mahluk, kecuali manusia!
Manusia terlalu diperbudak oleh perasaan yang timbul karena terlalu
menonjolkan keakuannya. Manusia terlalu mudah mengeluh, juga terlampau
mudah mabuk. Di waktu menghadapi peristiwa yang tidak menyenangkan,
manusia mengeluh seolah-olah dialah orang yang paling sengsara di dunia ini,
dan di waktu menikmati peristiwa yang menyenangkan, manusia menjadi
mabuk dan lupa diri!
AMBISI
Memang demikianlah, ambisi atau cita-cita selalu nampak indah cemerlang,
jauh lebih indah daripada apa adanya saat kita mengejar cita-cita itu! Dan telah
menjadi pendapat umum yang menyesatkan bahwa kita manusia hidup HARUS
bercita-cita, karena kalau tidak ada cita-cita, kita akan mati, tidak berdaya cipta,
dan tidak akan maju!
Benarkah demikian? Tidak sehat dan tidak cerdaslah namanya kalau kita
hanya menerima pendapat begini atau begitu tanpa menyelidikinya dalam
kehidupan kita sehari-hari. Sebaliknya kalau kita menyelidiki, apakah
sesungguhnya ambisi atau cita-cita itu?
Cita-cita adalah bayangan akan sesuatu yang belum ada, akan sesuatu yang
kita anggap akan lebih baik, lebih menyenangkan daripada keadaan yang ada
sekarang ini. Cita-cita adalah bayangan suatu keadaan yang lebih
menyenangkan. Bukankah demikian? Jadi, cita-cita adalah pengejaran, atau
keinginan akan sesuatu yang dianggap akan lebih menyenangkan dari pada
keadaan sekarang ini. Ada yang bercita-cita untuk menjadi kaya raya, atau
setidaknya jauh lebih kaya daripada keadaannya sekarang, berarti dia ini
mengejar-ngejar harta kekayaan yang dianggapnya akan mendatangkan
kesenangan dalam hidupnya. Ada pula yang bercita-cita untuk memperoleh
kedudukan yang lebih tinggi daripada sekarang, tentu saja cita-cita itu muncul
karena dianggap bahwa hal itu akan mendatangkan kesenangan dalam
hidupnya. Pendapat umum mengatakan demikian, dan kita menerima saja
sebagai sesuatu yang sudah pasti! Padahal, apakah kekayaan dan kedudukan
itu pasti mendatangkan kesenangan? Memang, mendatangkan kesenangan,
akan tetapi juga kesusahan sebagai tandingannya. Yang jelas, tidak akan
mendatangkan kebahagiaan! Dan seperti dapat dilihat dari bukti sehari-hari,
yang dikejar-kejar yang masih merupakan ambisi atau cita-cita itu hanyalah
merupakan kesenangan yang pada kenyataannya tidaklah seindah dan
sekemilau seperti yang dikejarnya. Setelah yang dikejarnya itu terdapat, maka
apa yang didapat itu hanya mendatangkan kesenangan sepintas saja, lalu
membosankan, karena mata kita sudah melihat lagi jauh ke depan, kepada
yang kita anggap lebih menyenangkan lagi, yang merupakan penyakit yang
takkan habis sebelum kita mati, yaitu penyakit mengejar sesuatu yang kita
anggap lebih menyenangkan. Dan pengejaran atau penyakit ini membuat kita
tidak pernah dapat merasakan keindahan saat ini, tidak pernah dapat
menikmati keadaan saat ini. Kita hanya menikmati bayangan-bayangan indah
dari cita-cita atau ambisi itu saja.
(Dhammapada)
Sungguh patut disayangkan bahwa kita ini semenjak kecil biasanya hanya
memperoleh petunjuk-petunjuk saja, bagaimana untuk dapat menjadi seorang
yang baik, yang benar, yang sabar dan sebagainya. Seolah-olah kebaikan itu
dapat dipelajari! Seolah-olah kebenaran itu mempunyai garis tertentu! Seolah-
olah kesabaran itu dapat dibuat! Biasanya, kalau kita mendendam, kalau kita
membenci, kalau kita marah, kita dinasihati untuk bersabar.
Kita dinasihati untuk mengendalikan diri, mengendalikan kemarahan itu,
menekannya dengan kesabaran, dengan mengingat bahwa kemarahan itu tidak
baik, kesabaran itu baik dan sebagainya. Kita diajar untuk menjauhi
kemarahan, kebencian dan lain-lain itu seperti menjauhi penyakit, dan kita
dipaksa untuk berpaling kepada kesabaran, cinta kasih antara sesama,
kebaikan dan sebagainya. Semua ini membuat kita seperti sekarang ini, penuh
dengan teori-teori tentang kebajikan, kebaikan, teori-teori kosong yang sama
sekali tidak kita hayati dalam kehidupan, karena penghayatan dalam kehidupan
melalui teori-teori ini hanya merupakan peniruan belaka, dan setiap bentuk
peniruan tentu mendatangkan kepalsuan dalam tindakan itu karena di balik itu
sudah pasti mengandung pamrih. Sejak kecil kita diajarkan untuk menjadi orang
baik sehingga kita selalu ingin disebut baik, kita mempunyai anggapan baik itu
searah dengan senang, atau baik itu mendatangkan senang di hati. Maka
"perbuatan baik" yang kita lakukan itu, jika kita mau membuka mata mengenal
diri sendiri, bukan lain hanyalah merupakan suatu daya upaya atau jembatan
bagi kita untuk memperoleh hasil yang menyenangkan itu tadi saja.
Hasil yang dianggap akan mendatangkan kesenangan dari perbuatan baik, dan
hasil yang menyenangkan itu bisa saja berupa kesenangan bagi lahir maupun
batin. Mungkin bersembunyi di bawah sadar, namun karena pendidikan budi
pekerti yang diberikan kepada kita semenjak kecil, maka kita selalu berbuat
baik dengan harapan agar memperoleh buah dari perbuatan itu yang tentu saja
akan menguntungkan atau menyenangkan kita lahir batin.
Bisa saja kita menyangkal bahwa hal ini tidak benar, akan tetapi setiap
perbuatan yang kita anggap sebagai perbuatan kebaikan, yang kita lakukan
dengan unsur kesengajaan untuk berbuat baik, sudah pasti mengandung
pamrih, biar pamrih itu bersembunyi di bawah sadar sekalipun! Maka, yang
penting adalah mengenal apakah perbuatan tidak baik itu! Kita tahu dan
mengenal tindakan-tindakan palsu dan tidak baik itu, kita mengenal dan sudah
mengalami betapa nafsu-nafsu seperti marah, benci, dendam, iri, serakah itu
mendatangkan hal-hal yang amat buruk. Untuk dapat terbebas daripada
dendam, bukanlah hanya sekedar belajar sabar! Memang, dengan kesabaran
atau mengendalian diri, kemarahan dapat saja berhenti, nampaknya lenyap dan
padam, akan tetapi sesungguhnya, api kemarahan itu masih belum padam,
hanya tertutup oleh kesabaran yang dipaksakan menurut ajaran-ajaran itu tadi.
Seperti api dalam sekam. Sekali waktu api itu akan berkobar lagi, mungkin lebih
hebat, untuk dikendalikan dan ditutup lagi oleh kesabaran, dan lain kali
berkobar lagi, ditutup lagi, maka kita pun terseret ke dalam lingkaran setan
seperti keadaan hidup kita sekarang ini!
Mengapa kita harus lari dari kenyataan kalau sekali waktu amarah atau benci
datang? Mengapa kita harus menyembunyikan diri ke balik pelajaran kesabaran
untuk melarikan diri dari kemarahan? Mengapa kita tidak berani menghadapi
kenyataan itu bahwa kita marah? Mari kita mencoba untuk menghadapinya,
setiap kali kemarahan timbul, setiap kali kebencian, iri hati, dan sebagainya
datang ke dalam batin kita. Kita hadapi semua itu, kita amati, kita pandang, kita
pelajari tanpa melarikan diri, tanpa ingin sabar, ingin baik dan sebagainya lagi!
Dengan pengamatan ini, dengan kewaspadaan ini, dengan perhatian ini, maka
kita akan awas, dan sadar, kita akan melihat bahwa kemarahan dan kita
tidaklah berbeda, maka tidaklah mungkin melarikan diri dari kemarahan yang
sesungguhnya adalah diri kita sendiri, pikiran kita sendiri, si aku itu sendiri. Kita
hadapi saja, amati saja, pandang saja, dan akan terjadilah sesuatu yang luar
biasa, yang tak dapat diteorikan, hanya dapat dihayati, dilakukan pada saat
semua itu timbul!
Manusia sejak kecil telah terdidik untuk menjangkau yang lebih, yang dianggap
lebih menyenangkan daripada apa yang sudah ada! Oleh karena inilah,
semenjak kecil manusia tanpa disadari telah terdidik untuk tidak menghargai
apa yang telah dimilikinya dan matanya selalu tertuju ke luar, kepada apa yang
belum ada, yang belum dimilikinya. Selalu ingin lebih pandai, ingin lebih besar,
ingin lebih tinggi, lebih kaya, lebih senang, lebih bahagia, dan segala yang
"lebih" lagi. Semua keinginan ini menciptakan perasaan kurang puas dan tidak
dapat menikmati apa yang ada, dan semua keinginan ini dihias dengan
sebutan-sebutan indah seperti cita-cita, kemajuan dan sebagainya. Padahal,
menginginkan sesuatu yang belum ada dan yang dimilikinya ini merupakan
pangkal segala macam perbuatan jahat, korupsi, dan sebagainya, karena
dorongan keinginan untuk memperoleh sesuatu yang belum dimilikinya itu
membutakan mata batin sehingga tidak segan-segan lagi untuk melakukan
pelanggaran apapun demi memperoleh yang diidam-idamkannya.
Memang demikianlah keadaan kita manusia dalam dunia ini. Kita selain ingin
merasa lebih tinggi daripada orang lain, lebih pandai, lebih tampan, lebih kuat,
lebih berkuasa dan segala macam lebih lagi. Dari manakah timbulnya
ketinggian hati atau kecongkakan, keangkuhan dan kesombongan itu? Kita
selalu menciptakan suatu gambaran tentang diri sendiri, gambaran yang
diambil dari segi baik dan segi lebihnya saja, dan untuk mempertahankan
gambaran inilah maka kita bersikap angkuh kepada orang lain yang kita anggap
lebih rendah. Kalau kita menginginkan untuk memiliki gambaran diri yang
sedemikian tingginya karena kita melihat kenyataan kita yang rendah, seperti
para pembantu pembesar itu. Kenyataannya sehari-hari, mereka itu menjadi
bawahan, dan kenyataan itu membuka mata bahwa mereka itu jauh lebih redah
daripada atasan mereka. Oleh karena itu timbul keinginan untuk memiliki
gambaran diri yang tinggi, dan hal ini menimbulkan sikap yang congkak seolah-
olah dia sudah menjadi seorang yang tinggi kedudukannya seperti yang
digambar-gambarkannya itu. Setiap orang ingin menonjolkan diri agar dianggap
paling tinggi paling pandai, dan segala macam "paling" lagi. Dan semua ini
tentu saja menimbulkan konflik, baik konflik dalam batin sendiri antara
kenyataan dan penggambaran, juga konflik keluar menghadapi orang lain.
Gambaran diri ini pasti timbul kalau tidak waspada, tidak sadar. Sebaliknya,
kalau kita mau membuka mata dan waspada setiap saat akan diri sendiri,
menghadapi kenyataannya tanpa memejamkan mata, melihat segala
kekurangan dan kekotoran diri sendiri, maka akan nampaklah oleh kita bahwa
yang ingin menonjolkan diri itu, yang menciptakan gambaran diri yang tinggi-
tinggi itu, bukan lain adalah juga si aku, si pikiran yang menimbulkan segala
kekotoran itulah! Penglihatan yang jelas ini akan menimbulkan pengertian dan
ini adalah kesadaran sehingga kitapun terbebaslah dari cengkeraman si aku
yang ingin menonjolkan diri itu dan lenyap pula segala kecongkakan dan
kesombongan yang menguasai diri kita.
Ayat To-tik-khing
"Kata-kata bijasana tidak berbunga
kata-kata berbunga tidak bijaksana
sang budiman tidak melawan
yang melawan tidak budiman
sang arif bijaksana tidak terpelajar
yang terpelajar tidak arif bijaksana!"
Dapatkah dendam, sakit hati, perasaan marah, kebencian, iri hati, keserakahan,
rasa takut, dan sebagainya dapat lenyap dari batin, dengan jalan melarikan diri
dari semua itu atau dengan jalan menekannya? Hal ini penting sekali bagi kita
untuk menyelidikinya dan mempelajarinya karena dalam kehidupan kita setiap
hari tentu ada saja satu di antara nafsu-nafsu itu muncul di dalam hati kita.
Mungkinkah kita terbebas dari semua nafsu itu dengan daya upaya kita?
Dari mana timbulnya nafsu-nafsu seperti dendam, kebencian, marah, iri,
serakah, takut dan sebagainya itu? Semua itu timbul dari adanya pikiran yang
membentuk si aku dengan keinginannya untuk mengejar kesenangan dan
menjauhi kesusahan. Karena si aku ini merasa diganggu, dirugikan baik lahir
maupun batin, maka timbullah kemarahan, kebencian dan sebagainya. Karena
si aku ini ingin mengejar kesenangan, maka lahirlah keserakahan, iri hati dan
sebagainya.
Setelah muncul kemarahan, dari pengalaman atau dari penuturan orang lain, si
aku melihat bahwa kemarahan itu tidak akan menguntungkan. Maka timbullah
keinginan lain lagi, yaitu keinginan untuk melenyapkan kemarahan!
Jelas bahwa yang marah dan yang ingin bebas dari kemarahan itu masih yang
itu-itu juga, masih si aku yang ingin senang karena ingin bebas dari kemarahan
itupun pada hakekatnya hanya si aku ingin senang, menganggap bahwa bebas
marah itu senang atau menyenangkan! Jadi, si marah adalah aku sendiri, dia
yang ingin bebas marahpun aku sendiri. Bermacam daya upaya dilakukannya
oleh kita untuk bebas dari kemarahan atau kebencian dan sebagainya.
Ada yang melarikan diri dari kenyataan itu dengan cara menghibur diri, minum
arak sampai mabuk, bersenang-senang sampai mabuk atau mengasingkan diri
di tempat sunyi. Ada pula yang mempergunakan kekuatan kemauan untuk
menghimpit dan menekan kemarahan yang timbul itu, pendeknya, segala
macam daya upaya dilakukan orang untuk membebaskan diri daripada
kenyataan, yaitu amarah itu.
Bagaimana hasilnya? Memang nampaknya berhasil, nampak dari luar memang
berhasil. Yang marah itu tidak marah lagi oleh penekanan kemauan atau oleh
hiburan. Akan tetapi, tak mungkin melenyapkan penyakit dengan hanya
menggosok-gosok agar nyerinya berkurang atau lenyap. Karena penyakitnya
masih ada, maka rasa nyeri itupun tentu akan timbul kembali! Demikian pula
dengan kemarahan, kebencian dan sebagainya. Memang dengan penekanan
atau hiburan, kemarahan itu seolah-olah pada lahirnya sudah lenyap, api
kemarahan itu seolah-olah sudah padam. Akan tetapi sesungguhnya tidaklah
demikian! Api itu masih membara, seperti api dalam sekam, di luarnya tidak
nampak bernyala namun di sebelah dalamnya membara masih ada dan
sewaktu-waktu akan berkobar lagi. Karena itulah, tercipta lingkaran setan pada
diri kita. Marah, disabarkan atau ditekan lagi, marah lagi, ditekan lagi dan
seterusnya selama kita hidup!
Mengapa kita tidak hadapi secara langsung segala yang timbul itu? Di waktu
timbul marah, timbul benci, timbul iri, timbul takut dan sebagainya. Mengapa,
kita lari? Mengapa kita tidak menanggulanginya secara langsung,
mengamatinya, menyelidiki dan mempelajarinya secara langsung? Mengapa
kita tidak membuka mata dan waspada, penuh kesadaran akan semua itu?
Kalau marah timbul dan kita membuka mata penuh kewaspdaan,
mengamatinya tanpa ada akal bulus si aku yang ingin merubah, ingin sabar dan
sebagainya seperti itu, kalau yang ada hanya kewaspdaan saja, pengamatan
saja, maka apakah akan terjadi dengan kemarahan yang timbul itu? Cobalah!
Segala pengertian itu tanpa guna kalau tidak disertai penghayatan! Pengertian
berarti penghayatan! Tanpa penghayatan maka pengertian itu hanya menjadi
pengetahuan kosong belaka, hanya akan menjadi teori-teori usang yang
pantasnya hanya disimpan di lemari lapuk untuk hiasan belaka, tidak ada
manfaatnya bagi kehidupan. Nah, kalau ada timbul marah, benci, takut dan
sebagainya, kita hadapi dan kita buka mata mengamatinya dengan penuh
perhatian, penuh kewaspadaan dan kesadaran.
Kemarahan dan dendam timbul karena adanya sang pikiran, si aku yang
tersinggung atau dirugikan. Kalau tidak ada si aku yang merasa dirugikan,
apakah ada kemarahan itu? Hanya pengamatan dengan penuh kewaspadaan
yang akan mendatangkan pengertian yang berarti penghayatan pula,
melahirkan tanggapan-tanggapan spontan seketika.
Dan pengertian dari pengamatan ini yang akan meniadakan marah atau
dendam. Dan tidak adanya marah atau dendam mendekatkan kita kepada
kebebasan dan cinta kasih. Dan kalau sudah begitu tidak perlu lagi belajar
sabar!
Namun, diapun maklum bahwa dia harus dapat mengekang nafsu seperti yang
telah diajarkan oleh Hong San Hwesio kepadanya. Memang pengekangan
nafsu, pengendalian diri, tekanan, tekanan dan sekali lagi tekanan demikianlah
yang selama ini diajarkan dan ditekankan kepada kita!
Justeru pelajaran inilah yang menimbulkan konflik-konflik dalam batin kita,
antara kenyataan dan angan-angan seperti yang kita kehendaki. Kenyataannya
kita serakah, akan tetapi angan-angannya, yang dijejalkan kepada kita adalah
agar kita tidak serakah, dan demikian seterusnya. Jadi sumber penyakitnya
tidak diobati dan dilenyapkan, hanya rasa nyeri yang timbul dari penyakit itu
saja yang kita usahakan untuk diringankan atau dilenyapkan. Maka tentu saja
akan selalu timbul pula. Dan sumber penyakitnya itu berada pada si aku yang
selalu ingin senang dan ingin menjauhi susah.
Betapa menyedihkan melihat bahwa yang kita sebut-sebut cinta itu hampir
selalu, atau sebagian besar, berakhir dengan kedukaan! Kalau ada seorang
muda dan seorang mudi saling jatuh cinta, terdapat suatu daya tarik yang amat
kuat di antara mereka. Daya tarik ini antara lain diciptakan oleh kecocokan
selera, akan kecantikan atau ketampanan wajah, kecocokan watak masing-
masing, lalu dipupuk dan diperkuat oleh pergaulan yang semakin akrab.
Semua ini menciptakan daya tarik yang mendorong mereka untuk selalu saling
berdekatan karena kehadiran masing-masing merupakan hal yang
menyenangkan. Tentu saja semua itu didasari lebih dulu oleh daya tarik antar
kelamin yang sudah terbawa semenjak lahir. Kemudian, mereka merasa saling
jatuh cinta! Sayangnya, rasa cinta ini selalu ditunggangi oleh nafsu ingin
menyenangkan diri belaka sehingga timbullah nafsu ingin menguasai, ingin
memiliki, dan yang paling kuat adalah nafsu sex. Setelah demikian, mulailah
bermunculan perangkap-perangkap yang akan menjebak kita ke dalam
kedukaan, melalui hubungan cinta kasih yang sebenarnya amat suci itu.
Dua orang muda-mudi saling mencinta dan penunggangan nafsu ingin
menguasai, itulah yang menimbulkan duka kalau mereka berdua berhalangan
menjadi suami isteri, atau kalau yang disebut "cinta" mereka itu "gagal" di
tengah jalan. Cinta gagal ini, atau lebih jelas hubungan yang terputus ini
mendatangkan patah hati yang berarti kedukaan dan kesengsaraan. Apakah
kalau mereka sampai dapat menjadi suami isteri lalu cinta mereka itu menjadi
kekal dan apakah hal itu dapat mendatangkan kebahagiaan? Dapat kita lihat
kepahitan yang nyata di sekeliling kita! Betapa banyaknya terjadi perceraian
antara suami isteri yang katanya dulu sangat saling mencinta, bahkan yang
sudah mempunyai anak-anak! Perceraian yang timbul karena cemburu, karena
penyelewengan, karena percekcokan, pendeknya karena KEKECEWAAN
masing-masing dalam hubungan antara mereka itu. Lalu ke manakah larinya
"cinta" yang mereka ikrarkan bersama dahulu? Lalu ke mana lenyapnya
sumpah di antara mereka ketika mereka masih saling "mencinta"? Seolah-olah
cinta hanyalah sesuatu yang bersifat sementara saja! Yang bersifat sementara
ini sesungguhnya hanyalah KESENANGAN. Hanya mereka yang menikah atas
dasar "mengejar kesenangan" sajalah yang akan gagal dalam pernikahan
mereka, karena kesenangan yang dikejar itu selalu akan jalan bersama dengan
kesusahan, kepuasan dengan kekecewaan. Mengejar kesenangan berarti ingin
selalu memperoleh kesenangan, sehingga kalau dalam pernikahan itu muncul
hal yang tidak menyenangkan, maka pernikahan itupun gagal. Dan itu masih
kita beri kedok yang kita namakam "cinta"! Betapa menyedihkan dan betapa
pahit kenyataan hidup ini.
PUISI
Makin jauh matahari tenggelam, makin remang-remang cuaca dan keremangan
itu seperti mendatangkan suatu keheningan yang baru, keheningan yang ajaib
menyelimuti seluruh permukaan bumi. Pohon-pohon mulai menyembunyikan
diri, menarik diri dari penonjolan di waktu siang, membuat persiapan untuk
tenggelam dalam kegelapan yang segera akan tiba. Sebatang pohon yang-liu
yang tinggi nampak di kejauhan, terpencil dan merupakan sesuatu yang hitam
menentang keindahan warna-warni itu, dengan cabang-cabangnya yang
melengkung indah dan halus, seolah-olah menunduk dan menghormati
suasana yang hening, sedikitpun tidak bergerak, tidak seperti pada saat-saat
lain di mana pohon yang-liu itu merupakan pohon yang paling luwes menari-
nari lemah gemulai tertiup angin berdesir.
Beberapa burung merupakan kelompok terbang mendatang dari selatan,
seolah-olah merupakan seekor mahluk besar
yang bergerak sambil mengeluarkan bunyi bercicit-cicit nyaring karena
gerakannya yang seirama. Anehnya gerakan terbang dan bunyi bercicit itu tidak
mengganggu keheningan, bahkan merupakan bagian dari keheningan yang
maha mendalam itu, sehingga terdapat perpaduan yang aneh antara yang
hening dan yang bising, yang diam dan bergerak.
Keadaan tadi yang diam dan hening seperti keadaan mati mengandung gerah
dan bunyi yang menjadi pertanda hidup itu, sehingga di dalam kematian itu
terkandung kehidupan dan di dalam kehidupan itupun terkandung kematian,
keduanya tak terpisahkan lagi.
Memang mengejutkan kalau melihat sikap datuk Tung-hai-sian dan para murid
datuk-datuk yang lain itu. Mereka begitu kasar, akan tetapi juga blak-blakan
mengucapkan segala hal yang terkandung di dalam hati mereka, tanpa
mempedulikan tata susila dan kesopanan lagi. Bagi mereka, kesopanan adalah
sesuatu yang palsu, kepura-puraan dan kemunafikan yang menggelikan.
Pandangan mereka itu bagaikan bumi dan langit, sama sekali menjadi
kebalikan dari pandangan golongan yang menamakan diri mereka golongan
bersih atau kaum pendekar. Mereka ini mengutamakan kesusilaan, kesopanan
dan kebudayaan. Kehormatan bagi seorang pendekar lebih berharga daripada
nyawanya sendiri. Nama baik didahulukan, nama baik pribadi yang
mengembang menjadi nama baik keluarga dan mungkin dikembangkan lagi
menjadi nama baik golongan.
Manakah yang benar di antara dua pandangan ini? Keduanya mengandung
kebenaran dan kekeliruan, seperti pada umumnya segala hal di dunia ini. Sekali
dinilai, maka akan nampaklah kebenarannya, baik buruknya, untung ruginya
dan sebagainya lagi. Yang penting bagi kita adalah membuka mata, waspada
sehingga mengenal apa yang menjadi kenyataan, apa yang palsu di dalam
segala hal.
Karena kewaspadaan ini akan menimbulkan kesadaran dan pengertian yang
selanjutnya akan mendatangkan tindakan seketika, yaitu melepaskan yang
palsu itu, seperti kalau kita melihat dan mengerti bahwa yang kita genggam
adalah kotoran dan kita melepaskan kotoran itu tanpa dipikirkan lagi!
Semenjak kecil, kita diajar oleh orang tua, oleh guru, oleh masyarakat di
sekeliling kita, untuk bersopan-sopan untuk bersusila. Kita diperkenalkan
kepada hal-hal yang dianggap tidak sopan dan tidak bersusila, hal-hal yang
dianggap sopan dan bersusila. Ditekankan kepada kita sampai mendalam
sekali bahwa yang tidak sopan itu tidak baik dan yang sopan itu baik, dan
sebagainya. Ditekankan pula bahwa hidup haruslah baik dan sebagainya.
Tekanan-tekanan inilah yang mendorong kita untuk menjadi baik! Untuk
dianggap baik! Dan keinginan baik inilah yang melahirkan kepalsuan,
kemunafikan, sehingga kita pandai sekali berpura-pura, lain mulut lain di hati.
Kita terdorong oleh keinginan agar "menjadi orang baik" termasuk orang sopan,
bersuslia dan sebagainya, sehingga kita melakukan hal-hal yang palsu,
berpura-pura berlawanan dengan isi batin sendiri, hanya demi agar dianggap
sebagai orang baik. Maka timbullah sikap manis di mulut pahit di hati,
penghormatan-penghormatan yang sifatnya menjilat-jilat, dan kepalsuan-
kepalsuan dalam hampir setiap gerak-gerik kita dalam kehidupan sehari-hari.
Kalau kita mau membuka mata dengan waspada dan memandang dengan
sewajarnya dan sejujurnya kepada diri sendiri, akan nampaklah semua
kepalsuan ini. Sikap dan ucapan kita terhadap isteri atau suami, terhadap
pacar, terhadap anak atau orang tua, terhadap sahabat, terhadap orang-orang
lain. Bahkan sikap kita dalam sembahyang misalnya, terhadap Tuhan! Kita ini
orang-orang munafik. Beranikah kita melihat kenyataan ini?
Melihat kenyataan ini bukan berarti bahwa kita harus hidup bebas semau gue,
seperti golongan para datuk, boleh bersikap dan bicara sesuka hatinya,
bersikap kasar dan keras sekali terhadap orang lain. Sama sekali bukan
demikian! Melainkan melihat kenyataan akan kepalsuan kita agar kita tidak
palsu lagi, agar kita bebas dari sikap pura-pura itu. Agar kalau kita menghormat
seseorang, maka penghormatan itu datang dari lubuk hati, agar kalau mulut kita
tersenyum, agar kalau kita mengucapkan kata-kata sayang kepada isteri atau
suami, pacar atau anak, batin juga penuh dengan kasih sayang itu! Belajar
hidup dalam keadaan utuh! Betapa indahnya ini! Utuh dalam arti kata
SATUNYA HATI, KATA DAN PERBUATAN! Betapa akan indahnya! Bebas dari
kepalsuan dan kepura-puraan.
Dapatkah... atau lebih tepat lagi, maukah kita mulai sekarang juga, saat ini
juga? Kehidupan akan mengalami perubahan yang luar biasa hebatnya dan ini
hanya dapat dibuktikan dengan penghayatan, bukan dengan teori belaka!
PERJUDIAN
Semenjak jaman purba sampai sekarang, perjudian merupakan semacam
penyakit yang amat berbahaya bagi manusia.
Ada pula yang menganggap perjudian sebagai permainan, sebagai
kesenangan atau iseng-iseng saja yang sama sekali tidak membahayakan.
Akan tetapi, segala macam kesenangan yang dapat menyesatkan manusia
selalu dimulai dengan iseng-iseng. Dari iseng-iseng ini lalu lambat laun menjadi
kebiasaan yang tak mudah dilepaskan... Oleh karena dalam kesenangan
berjudi ini terdapat permainan dengan harapan-harapan sendiri, dan ada
hubungannya dengan keuntungan berupa uang secara langsung, maka besar
sekali pengaruh dan kekuatannya untuk membuat orang menjadi mabok dan
lupa segala.
Perjudian merupakan permainan dari pengumbaran nafsu manusia yang paling
besar, yaitu nafsu tamak ingin memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.
Orang yang kalah berjudi selalu akan berusaha untuk mengejar kekalahannya
itu dengan bayangan-bayangan kemenangan sebesarnya sehingga
kekalahannya dapat diraihnya kembali.
Orang yang sedang menang berjudi selalu akan berusaha untuk menambah
kemenangannya itu sebanyak mungkin. Dan di dalam perjudian ini, ketamakan
dan kebesaran si aku dikembangbiakkan menjadi amat luas. Di antara teman
baik, saling membayar makanan dalam jumlah agak besarpun akan dilakukan
dengan senang hati dan rela, namun di dalam perjudian, biarpun jumlah sedikit
saja sudah cukup untuk membuat dua orang teman baik itu menjadi cekcok dan
bentrok, tidak mau saling mengalah. Judi memupuk iri hati dan kekejaman,
memperkuat dan memperbesar si aku, memupuk nafsu ingin menang sendiri.
Betapa banyaknya sudah contoh-contoh dalam kehidupan masyarakat,
keluarga-keluarga yang berantakan karena kepala keluarganya kegilaan judi.
Orang-orang yang tadinya hidup jujur dan setia, dapat berubah menjadi curang
dan jahat setelah dia menjadi penjudi, tentu saja kalau dia sudah menjadi
korban dan menderita kalah terus-menerus.
Memang mengerikan sekali akibat seorang yang gila judi. Dan hal ini bukan
dongeng belaka. Bahkan banyak sudah terjadi orang rela menjual isterinya,
anaknya dan siapa saja. Mau mempergunakan uang siapa saja, untuk berjudi.
Banyak pula yang berusaha mengelak, berusaha melepaskan kebiasaan
berjudi, namun tidak dapat. Timbul pertanyaan besar dalam benak para penjudi
yang sudah melihat akan bahayanya perjudian dan ingin melepaskannya
namun tidak mampu, yaitu : Bagaimanakah caranya agar terbebas dari
penyakit judi ini? Hendaknya diketahui benar bahwa kegemaran berjudi bukan
datang dari luar, melainkan dari diri sendiri, dari dalam batin. Timbul karena
adanya harapan dan keinginan untuk menangkan banyak uang, untuk
memperoleh uang secara mudah, untuk dapat memperoleh kembali kekalahan-
kekalahan yang lalu. Judi hari ini adalah kelanjutan dari judi kemarin dan yang
lalu. Sekali batin telah waspada dan sadar, maka batin akan dapat membikin
putus tali lingkaran setan itu. Melepaskan ingatan akan kalan dan menang.
Kalau terdapat pikiran bahwa akan berjudi sekali lahi, sekali lagi saja lalu
berhenti, maka dia tidak akan dapat berhenti! Begitu melihat kepalsuannya lalu
berhenti! Sampai di situ, sekarang juga, saat ini juga, dan tidak mengingatnya
lagi, atau menatapnyam, mengamati diri sendiri penuh kewaspadaan, maka
kebiasaan itupun akan terhentilah. Bukan melarikan diri dari kebiasaan.
Melarikan diri percuma saja karena kebiasaan itu dapat dilakukan di manapun
juga. Yang penting, terbebas dari kebiasaan ini, dengan jalan menghadapinya
dengan penuh kewaspadaan, mengamatinya sehingga nampak seluruhnya,
latar belakangnya, sebab-sebabnya.
MENGEJAR KEPUASAN
Hampir semua manusia di dunia ini selalu haus akan kepuasan, selalu
mengejar-ngejar sesuatu yang dibayangkannya sebagai hal yang
menyenangkan. Pengejaran akan sesuatu yang menyenangkan ini, kalau
berhasil, memang dapat mendatangkan kepuasan. Akan tetapi, apakah artinya
kepuasan?
Dapat kita rasakan sendiri bahwa kepuasan hanya terasa selewat saja.
Pengejaran akan sesuatu, baik "sesuatu" itu merupakan benda ataupun
gagasan, sudah pasti disebabkan karena si pengejar, yaitu si aku atau pikiran
yang membayangkan, membayangkan adanya kesenangan yang didapat pada
sesuatu yang dikejar-kejar itu. Kepuasan adalah terpenuhinya keinginan itu, lalu
dilanjutkan dengan kenikmatan kesenangan yang didapat itu. Namun, seperti
juga kepuasan yang hanya dapat dinikmati sejenak saja, demikianpun
kesenangan ini tidaklah bertahan lama. Segera tempatnya diduduki oleh
kebosanan akan sesuatu yang tadinya dikejar-kejar itu, dan pikiran yang tak
pernah mengenal puas akan membayangkan kesenangan dalam pengejaran
sesuatu yang lain lagi, yang dianggap lebih berharga, lebih nikmat, lebih
berbobot dan sebagainya. Sesuatu yang pertama tadi, yang dikejar-kejarnya
setengah mati, kalau perlu berebutan dengan orang lain, akan menjadi sesuatu
yang sama sekali tidak menarik.
Bukan karena sesuatu yang pertama itu telah merosot atau berubah mutu dan
nilainya, melainkan si aku yang tidak memberinya nilai lagi, karena si aku telah
tertarik oleh sesuatu yang ke dua.
Dan kitapun terseret dan hanyut oleh keinginan yang tiada akan habisnya
selama kita masih hidup. Mata ini tidak pernah memandang apa yang ada di
dalam jangkauan kita, melainkan selalu memandang jauh ke depan. Yang
berada di tangan takkan pernah dapat dinikmatinya dan yang dianggap indah,
menyenangkan dan nikmat selalu adalah yang berada jauh di depan, yang
belum terjangkau. Dan semua ini disebut dengan kata-kata indah, yaitu cita-
cita! Ada pula yang menamakan kemajuan.
Padahal, keindahan itu terdapat dalam keadaan sekarang ini, yang berada di
depan kita, yang kita rasakan setiap saat. Karena tidak pernah mengamati yang
"ini", selalu mencari-cari dan memandang kepada yang "itu", maka hanya yang
begitu sajalah yang indah, sedangkan yang begini sama sekali tidak nampak
lagi. Kita sudah demikian mabuk oleh cita-cita, oleh angan-angan kosong, oleh
gambaran-gambaran yang kita buat sendiri, sehingga kehidupan kita tidak
pernah bersentuhan dengan kenyataan. Kita keenakan bermimpi
membayangkan yang indah-indah, yaitu yang belum ada dan dengan demikian
kita seolah-olah buta akan keindahan yang terkandung di dalam apa yang
sudah ada.
Inilah sebabnya mengapa kita selalu menganggap bahwa buah mangga di
kebun orang lain nampak lebih nikmat daripada buah mangga di kebun sendiri,
bunga mawar di kebun orang lain nampak lebih indah dan harum daripada
bunga mawar di kebun sendiri. Dapatkah kita hidup tanpa membanding-
bandingkan, tanpa membentuk gambaran gagasan khayal, sehingga tidak
timbul iri hati dan tidak mengejar-ngejar bayangan yang kita namakan cita-cita
dan ambisi? Dapatkah kita menikmati kehidupan sekarang ini, yang sudah ada
ini, dalam keadaan bagaimanapun juga?
Susah dan sengsara itu BARU MUNCUL kalau kita membandingkan keadaan
kita dengan orang lain. Sebutan kaya miskin, pintar bodoh, makmur sengsara,
dan perbandingan ini jelas menimbulkan iba diri dan penyesalan, di samping
menimbulkan pula kebanggaan dan ketinggian hati. Dapatkah kita hidup saat
demi saat, mencurahkan seluruh perhatian kita terhadap sekarang ini, apa yang
ada ini?
KEDUDUKAN/KEMULIAAN
Dan biasanya, kemuliaan dan kekayaan suka menyeret manusia ke dalam
lembah nafsu yang tak mengenal puas. Kesenangan selalu mendatangkan, di
samping kepuasan sesaat saja, juga keserakahan dan kehausan akan
kesenangan yang lebih besar dan lebih besar lagi. Makin kita memanjakan
nafsu mengejar kesenangan, makin dalam lagi kita terperosok ke dalam lembah
kehausan ini. Makin dituruti, nafsu menjadi semakin kuat menguasai kita
sehingga kita sudah bukan menjadi manusia lagi, melainkan menjadi hamba
nafsu yang hidup hanya sekedar menjadi permainan nafsu belaka.
Sudah jelaslah bahwa menuruti nafsu saja membuat kita menjadi manusia yang
tiada guna, menjadi hamba nafsu yang akhirnya akan menyeret kita ke lembah
kehancuran, baik jasmani maupun rohani. Bukan hanya terdapat dalam
pelajaran kitab-kitab suci ataupun filsafat-filsafat belaka yang kesemuanya itu
hanya teori belaka, akan tetapi dapat kita saksikan dan hayati sendiri dalam
kehidupan kita sehari-hari. Akan tetapi, bagalmana pengekangan nafsu-nafsu
seperti yang dianjurkan oleh hampir semua pelajaran kebatinan?
Siapakah yang mengekang atau mengendalikan nafsu? Yang mengendalikan
adalah aku yang melihat bahwa menuruti nafsu adalah buruk, maka aku ingin
agar dapat menguasai dan mengendalikan nafsu, agar menjadi baik. Aku
melihat bahwa menuruti nafsu membawa kepada kesengsaraan, maka aku
ingin mengendalikan nafsu, menguasainya agar tidak terjerumus, agar
memperoleh keamanan dan keselamatan yang berarti aku akan menikmati
keadaan yang menyenangkan.
Kalau kita mau mendalami hal ini, akan nampaklah bahwa nafsu adalah kita
sendiri, pikirkan kita sendiri, nafsu adalah si aku yang ingin senang, sedangkan
yang ingin mengendalikan nafau adalah aku pula, maka tidak ada bedanya
antara nafsu dan yang ingin mengendalikan nafsu! Semua itu adalah
permainan si aku yang ingin senang selalu. Terjadilah konflik antara keadaaan
aku yang ingin memuaskan nafsu dan aku yang ingin mengendalikan dan
menguasai nafsu. Dan hal ini malah akan menjadi pupuk bagi nafsu itu sendiri.
Mengendalikan saja tidak akan mematikan nafsu, hanya akan menyeilmuti saja
untuk sementara. Dan di dalam konflik pengekangan ini, kita membuang energi
yang amat besar dan amat banyak. Akibatnya, nafsu tidak akan lenyap dan kita
kehilangan energi dan menjadi tumpul, lemah.
Yang terpenting adalah pengamatan terhadap diri sendiri, terhadap nafsu kalau
timbul, terdapat keinginan-keinginan untuk menguasainya, keinginan untuk
begini dan begitu yang kesemuanya tentu menuju ke arah satu, yaitu ingin
bebas, ingin aman, ingin selamat, yang sebenarnya hanyalah topeng-topeng
halus dari satu keinginan, yaitu keinginan untuk senang. Pengamatan yang
dilakukan oleh si pengamat, masih sama saja, berada dalam satu lingkaran
setan, karena si pengamat adalah si aku pula, si nafsu untuk memperoleh
keadaan yang lebih menyenangkan juga. Jadi, yang ada hanyalah pengamatan
saja, tanpa aku si pengamat. Dalam pengamatan ini terdapat kewaspadaan dan
kesadaran yang menimbulkan pengertian yang mendalam. Dan hanya
pengertian mendalam inilah yang akan menimbulkan tindakan yang
mendatangkan perubahan.
RASA TAKUT
Rasa takut memang selalu mempengaruhi kehidupan manusia. Hampir seluruh
manusia di dunia ini hidup dalam cengkeraman rasa takut yang dapat juga
dinamakan kekhawatiran, kegelisahan, dan sebagainya. Pendeknya, rasa takut
akan sesuatu. Tentu saja perasaan ini mempengaruhi kehidupannya, karena
setiap tindakan yang didasari oleh rasa takut tentu merupakan suatu tindakan
yang tidak wajar dan palsu. Dapatkah kita hidup bebas dari rasa takut? Apakah
sesungguhnya perasaan takut akan sesuatu ini? Kalau kita mau mengamatinya
dengan waspada, maka kita akan dapat melihatnya bahwa rasa takut timbul
dari permainan pikiran kita sendiri yang membayangkan sesuatu yang tidak
ada, sesuatu yang belum tiba, sesuatu yang dibayangkan akan ada dan akan
menyusahkan diri kita. Kalau tidak ada pikiran yang membayang-bayangkan
keadaan yang belum ada ini, maka rasa takutpun tidak akan ada. Orang yang
takut akan penyakit menular yang sedang mengamuk tentu belum terkena
penyakit itu, orang yang takut akan kehilangan pekerjaan tentu belum
kehilangan pekerjaan, orang yang takut akan kematian tentu belum mati.
Demikian pula, orang yang takut akan setan tentu belum bertemu dengan yang
ditakutinya itu. Maka dari itu, apabila menghadapi setiap persoalan, setiap
peristiwa, kita membuka mata dengan waspada tanpa membayangkan hal-hal
yang belum terjadi, tindakan kita tentu akan lebih tepat. Seperti halnya Thian
Sin, ketika menghadapi segala penglihatan dan pendengaran itu, dia tidak
membayangkan hal-hal yang mengerikan, melainkan dengan waspada dia
mengamati, maka dia terbebas dari rasa takut dan dapat menanggulangi
keadaan yang bagaimanapun juga.
Ada yang mengatakan bahwa kita takut setan karena kita tidak mengertinya,
karena kita tidak mengenalnya.Benarkah itu?
Kalau kita mau menyelidiki, maka rasa takut akan setan itu sama sekali bukan
timbul karena kita tidak mengenalnya.
Orang yang tidak pernah mengenal setan, yang tidak pernah mendengar cerita
tentang setan, anak-anak yang belum pernah mendengar sama sekali tentang
setan, tidak mungkin akan takut! Sebaliknya, yang kita takuti adalah karena kita
sudah tahu tentang setan, sudah mendengar tentang setan, bahwa setan itu
menakutkan, mengerikan, menyeramkan dan sebagainya. Maka, takutlah kita,
karena pikiran kita membayangkan hal-hal yang menakutkan itu!
Sederhana sekali, bukan? Maka sekali lagi, dapatkah kita hidup bebas dari rasa
takut?
Kita melihat betapa kita dipermainkan oleh suka duka, lebih banyak dukanya
daripada sukanya, lebih banyak susahnya daripada senangnya.
Kesenangan-kesenangan yang mula-mula menggembirakan hati, makin lama
menjadi semakin hambar tanpa arti. Kita mencari yang lebih! Semua
kesenangan kita jangkau, akan tetapi setelah terdapat lalu kehilangan artinya,
menjadi hambar dan kembali kita terbenam ke dalam kekosongan. Dan kita
teringat bahwa pada suatu saat semua ini akan berakhir, tanpa arti sama sekali,
seolah-olah kita ini hanya seperti angin lalu, hidup ini seperti segumpal awan
yang melayang di angkasa kemudian lenyap untuk digantikan oleh gumpalan-
gumpalan awan lainnya.
Rasa kesepian ini mengundang rasa takut, khawatir akan masa depan kita,
akan hari kemudian kita, baik hari kemudian ketika kita masih hidup maupun
sesudah mati. Kita takut menghadapi kekosongan ini dan kita selalu berdaya
upaya untuk mencari sesuatu yang ada isinya, untuk dapat menghibur hati kita.
Kita takut berhadapan dengan rasa kesepian, maka kitapun lari ke apa saja
yang kiranya dapat menghibur kita, dapat mengusir rasa kesepian itu, yang
dapat membuat kita lupa akan rasa kesepian yang menakutkan. Namun,
pelarian diri, hiburan-hiburan itu hanya membuat kita lupa sebentar saja dan
rasa kesepian akan datang lagi menekan hati, membuat kita gelisah dan tidak
dapat tidur, dan kalau sudah tidur terisi oleh mimpi-mimpi buruk.
Apapun yang kita lakukan untuk mengusir rasa takut dan kesepian, akhirnya
hanya akan memperkuat benih rasa takut dan kesepian itu sendiri yang akan
terus mengejar-ngejar kita. Dan kita tidak mungkin selalu memenuhi diri dengan
hiburan-hiburan untuk melupakannya. Sekali waktu kita pasti berada seorang
diri dalam batin, walaupun banyak orang mengelilingi kita, dan rasa kesepian itu
akan semakin mencekik, mendatangkan rasa nelangsa, merasa sengsara dan
iba diri.
Rasa kesepian ini pasti timbul secara menakutkan kalau kita membayang-
bayangkan masa depan kita, membayangkan masa tua di mana kita takkan
banyak berguna lagi bagi dunia, di mana kita tidak akan dibutuhkan lagi oleh
orang lain, ketika tidak ada orang yang mengacuhkan kita, tidak ada orang
yang memperhatikan dan mencinta kita lagi.
Rasa takut dan kesepian timbul kalau kita membayangkan betapa kita akhirnya
akan terpisah dari semua yang kita senangi, kita akan bersendirian! Sendirian!
Tidak ada siapa-siapa yang mempedulikan kita, tidak ada siapapun yang
mencinta kita!
Kalau kita mau waspada, kalau kita mau menghadapi rasa kesepian yang
mendatangkan rasa takut itu, menghadapinya dengan terbuka, tanpa melarikan
diri melainkan kalau kita menyelidiki dengan penuh kewaspadaan, membuka
mata memandangnya dengan cermat, maka akan nampaklah bagaimana rasa
takut itu, bagaimana kepalanya dan bagaimana ekornya. Rasa takut akan
kesepian timbul dari bayangan yang kita ciptakan sejak kecil, bayangan berupa
si aku yang selalu ingin ada dan berkuasa. Si aku inilah yang merasa ngeri
kalau-kalau dia tidak ada lagi, kalau-kalau dia lenyap dari keadaannya. Dan si
aku ini hanyalah bayangan belaka, ciptaan dari pikiran yang ingin mengulang
pengalaman yang menyenangkan dan menjauhi pengalaman yang tidak
menyenangkan.
Kalau kita tidak melarikan diri, kalau kita menghadapi rasa kesepian yang
mendatangkan rasa takut itu, rasa iba diri itu, kalau kita menghadapinya dan
memandangnya tanpa berusaha untuk menekan atau mengendalikan, tanpa
mengutuk dan membelanya, melainkan mengamatinya saja penuh
kewaspadaan, maka pengamatan yang waspada penuh perhatian itu sendiri
yang akan menghentikan rasa takut dan rasa kesepian ini. Asalkan kita tidak
terkecoh oleh si aku yang licik itu, asalkan yang mengamati bukanlah si aku itu
pula, karena kalau yang mengamati itu adalah si aku, maka akan timbullah pula
keinginan agar rasa takut itu lenyap! Dan keinginan dari si aku inilah justeru
yang memperkuat adanya rasa takut itu sendiri, karena rasa takut rasa
kesepian itu bukan lain adalah si aku itu juga!
Dan kalau rasa takut akan kesepian itu sudah tidak ada lagi, maka berada
sendirian bukan lagi merupakan kesepian, melainkan keheningan. Dan
keheningan bukanlah rasa kesepian. Keheningan merupakan sesuatu yang
amat mendalam, yang amat luas, yang mencakup seluruh alam, di mana
getaran cinta kasih mencapai puncaknya, di mana sinar cinta kasih bercahaya
tanpa halangan sesuatupun.
Cabul? Mudah saja orang mempergunakan kata ini untuk dijadikan dalih
penutup kemunafikannya. Semacam keranjang sampah untuk mencoba
mengalihkan pandangan sendiri terhadap kekotoran sendiri yang masih
mengeram di dalam batin. Kecabulan bukanlah terletak di luar, bukan melekat
di dalam kata maupun perbuatan, melainkan di dalam lubuk hati. Cabulkah
orang melukis wanita telanjang? Jangan dinilai dari lukisannya melainkan
dijenguk dasar lubuk hati si pelukis yang kadang-kadang memang ternyata di
dalam lukisannya. Kalau di waktu melukis batinnya membayangkan kecabulan,
maka cabullah pelukis itu. Cabulkah orang yang menonton gambar wanita
telanjang?
Tergantung pula dari keadaan batin si penonton gambar itu. Baru cabul
namanya kalau di waktu menonton dia menggambarkan hal-hal yang cabul
tentunya. Seorang mahasiswa kedokteran yang sedang mempelajari ilmu
anatomi dan memandang gambar orang telanjang, belajar dengan tekun, tentu
tidak melihat kecabulan apapun. Kecabulan timbul dari pikiran. Pikiran yang
mengenang-ngenang pengalaman-pengalaman yang nikmat, baik pengalaman
sendiri maupun pengalaman orang lain lewat buku-buku dan cerita-cerita,
pikiran membayang-bayangkan semua kenikmatan itu sehingga timbullah
keinginan, timbullah nafsu berahi tanpa adanya cinta kasih, dan nafsu berahi
tanpa cinta kasih inilah kecabulan! Keinginan untuk memperoleh kenikmatan
inilah yang menciptakan berbagai macam akal, demi mencapai kenikmatan
sebanyak mungkin seperti yang dibayang-bayangkan oleh pikiran, oleh si "aku"
yang selalu ingin menyelam ke dalam kesenangan. Dan pengejaran
kesenangan ini menimbulkan segala macam cara dan inilah sumber kecabulan!
Juga kekerasan, juga kemaksiatan, juga kejahatan.
Jadi jelaslah bahwa sex itu sendiri bukanlah sesuatu yang cabul. Cabul
tidaknya sesuatu itu tergantung dari dasar batin orang yang menonjolkannya
atau juga dasar batin orang yang memandangnya.
Di antara segala perbuatan di dunia ini, satu-satunya yang membuat kita
merasa bebas, satu-satunya yang melenyapkan perasaan si aku untuk sesaat,
hanyalah sex itulah! Di sini tidak lagi terdapat si aku yang menikmati. Seluruh
diri lahir batin lebur menjadi satu dengan kenikmatan itu sendiri. Dan keadaan
seperti itu, keadaan tanpa aku inilah yang merupakan kenikmatan tertinggi dan
membuat sex menjadi sesuatu yang teramat penting dan terpenting di dalam
kehidupan, membuat orang mendewa-dewakannya. Dan karenanya sex
menjadi suatu kesenangan, dan setelah menjadi kesenangan lalu menciptakan
pengejarannya. Maka terjadilah hal-hal yang amat buruk.
Kemurungan pasti sekali waktu hinggap di dalam perasaan hati kita. Agaknya di
dunia ini, semenjak jaman dahulu sampai sekarang tidak ada manusia yang
dapat bebas daripada kemurungan atau kedukaan atau kekecewaan hati.
Selalu saja ada persoalan yang mendatangkan kedukaan, kekecewaan dan
kesengsaraan, dan kalau sudah datang perasaan duka ini, kita merasa
sengsara, kita merasa prihatin, kita menderita batin, seolah-olah hati kita
berdarah. Dan tidak jarang kita lalu melarikan diri dari semua derita ini,
menghibur diri dengan bermacam kesenangan, atau melarikan diri sama sekali
dengan membunuh diri. Atau membunuh diri secara batiniah, yaitu dengan
jalan bertapa dan meninggalkan semua keramaian dunia yang sama saja
artinya dengan hidup akan tetapi sudah mati. Semua ini hanyalah bentuk-
bentuk pelarian belaka.
"Pengakuan salah tanpa penghayatan dalam hidup tidak ada artinya sama
sekali! Penyesalan di mulut dan di hati tidak ada gunanya. Yang penting adalah
membuka mata melihat bahwa setiap kita melakukan sesuatu yang jahat,
dalam arti kata merugikan orang lain lahir maupun batin, maka pada saat itu
kita tidak memiliki kewaspadaan, kesadaran kita menjadi buta oleh nafsu. Oleh
karena itu, kita harus waspada setiap saat, terutama sekali waspada terhadap
diri sendiri lahir batin. Hanya dengan kewaspadaan dan kesadaran terhadap diri
sendiri lahir batin sajalah kita tidak akan bertindak membabi-buta menurutkan
nafsu-nafsu kita. Kebencian terhadap orang lain merupakan pangkal segala
permusuhan dan kekacauan di dunia ini. Kita harus dapat menghalau
kebencian ini jauh-jauh dari batin kita, baik terhadap orang yang kite anggap
jahat maupun tidak. Selama masih ada kebencian di dalam batin, bukan
kebencian terhadap seseorang tertentu, melainkan kebencian terhadap
siapapun juga, maka tak mungkin dia dapat menjadi seorang pendekar dalam
arti yang seluas-luasnya!"
Hanya penakut sajalah yang dapat bersikap kejam, karena seorang penakut itu
selalu khawatir akan keselamaten dirinya maka dia condong untuk meniadakan
ancaman bagi dirinya. Biarpun tidak akan diakuinya sendiri, namun jelas bahwa
di sudut hatinya, seorang yang kejam selalu dibayangi oleh rasa takut yang
hebat.
RASA TAKUT
Apakah rasa takut itu? Dan dari mana timbulnya? Rasa takut tidak terpisah dari
pada batin, karena rasa takut adalah keadaan batin itu sendiri pada saat itu.
Rasa takut timbul karena ingatan membayangkan sesuatu yang akan amat
tidak menyenangkan diri. Rasa takut tidak pernah terpisah dari bayangan yang
diciptakan oleh pikiran yang mengingat-ingat hal-hal yang lalu dan bayangkan
hal-hal yang mungkin terjadi di masa depan. Rasa takut sudah pasti merupakan
pengintaian atau penjengukan masa depan yang dibayangkan itu, atau rasa
takut itu tentu takut akan sesuatu yang tidak ada atau belum ada! Yang takut
akan setan belum melihat setan itu sendiri, takutnya timbul karena pikiran
membayangkan kemungkinan munculnya setan.
Demikian pula yang takut akan bencana tentu belum tertimpa bencana itu, takut
akan kematian tentu karena hal yang ditakutkan itu belum ada maka timbullah
bayangan-bayangan yang mengerikan. Orang yang tidak membayangkan setan
tak mungkin takut akan setan, yang tidak membayangkan kematian tak
mungkin takut kematian dan sebagainya.
Hal ini merupakan kenyatan yang dapat kita selidiki sendiri. Jadi jelaslah bahwa
rasa takut adalah bayangan pikiran yang dipengaruhi oleh pengalaman masa
lalu, baik pengalaman sendiri maupun pengalaman orang lain, kemudian pikiran
menciptakan kemungkinan-kemungkinan yang tidak menguntungkan diri.
Timbullah rasa takut. Dan rasa takut ini sama sekali tidak ada manfaatnya bagi
hidup. Bahkan rasa takut ini membuat kita kehilangan kewaspadaan, segala
tindakan kita terpengaruh olehnya. Biasanya kita menghadapi rasa takut
sebagai sesuatu yang terpisah dari pada batin kita. Kita ingin menghindari rasa
takut, maka muncullah hiburan-hiburan untuk melupakan hal-hal yang
mendatangkan rasa takut itu. Akan tetapi hal ini hanya merupakan pelarian
yang sia-sia belaka. Rasa takut akan setan umpamanya, tidak mungkin lenyap
hanya dengan melarikan diri dari rasa takut, dengan jalan menghiburnya,
mencari teman, pergi ke tempat ramai dan sebagainya. Lain saat rasa takut itu
akan muncul lagi setiap kali pikiran kita membayangkan tentang kengerian-
kengerian bertemu setan. Mengapa tidak kita hadapi saja rasa takut itu? Kita
amati saja kalau rasa takut itu sewaktu-waktu muncul dan ini merupakan
sesuatu yang teramat menarik dan teramat berharga untuk diselami dan
dihayati sendiri. Kalau rasa takut muncul, baik rasa takut akan setan, rasa takut
akan bencana, malapetaka, maupun rasa takut akan kematian, mengapa tidak
kita hadapi saja rasa takut itu tanpa ingin melarikan diri darinya? Hadapi saja,
amati saja penuh perhatian sehingga kita dapat melihat dengan sepenuhnya,
dapat mengerti sepenuhnya, apa sesungguhnya rasa takut itu sehingga bukan
kita yang menghindarkan diri dari rasa takut melainkan rasa takut itu sendiri
yang lenyap dari lubuk hati kita?
Mengapa kita tidak membebaskan diri saja dari rasa takut yang dapat
menimbulkan berbagai macam akibat dalam sikap dan tindakan dalam hidup
kita?
Karena itu, dapatkah kita bebas daripada ikatan? Sehingga dengan bebas dari
ikatan kita tidak akan tercekam rasa takut, bahkan tidak lagi terpengaruh oleh
perpisahan dan kehilangan, sehingga tidak akan menderita kesengsaraan,
kekecewaan dan kedukaan sewaktu masih hidup?
Kita semua tahu bahwa kematian tak dapat dihindarkan. Berarti bahwa
perpisahan dengan apa dan siapapun juga tidak mungkin dapat pula dielakkan.
Sekali waktu pasti terjadi perpisahan itu, entah kita yang ditinggalkan
ataukah kita yang meninggalkan. Karena sudah pasti terjadi perpisahan ini,
maka sebelum terjadi perpisahan
jalan satu-satunya untuk menghindarkan duka dan rasa takut adalah
kebebasan. Bebas dari ikatan. Kalau sesuatu telah mengikat kita, maka
sesuatu itu akan berakar dalam hati dan kalau tiba saatnya perpisahan, sesuatu
itu dicabut, sudah tentu hati kita akan terluka, akar itu akan jebol dan hati kita
akan pecah berdarah.
Bebas dari ikatan bukan berarti lalu meninggalkan semua itu selagi masih hidup
atau lalu acuh tak acuh, atau meninggalkan keluarga dan harta milik,
meninggalkan dunia ramai dan lari ke puncak gunung atau ke tepi laut yang
sunyi untuk hidup menyendiri dan bertapa. Ikatan yang dimaksudkan adalah
ikatan batin. Melarikan diri hanya melepaskan ikatan lahir saja. Apa gunanya
menyingkir di puncak gunung kalau hati masih terikat? Hanya sengsara yang
akan dirasakan!
Bebas dari ikatan berarti tidak memiliki apa-apa secara batiniah. Secara lahiriah
memang kita memiliki isteri, suami, anak-anak, keluarga, harta benda,
kedudukan, nama dan sebagainya lagi, akan tetapi secara batiniah kita berdiri
sendiri, tidak terikat oleh apapun juga. Bukan berarti acuh tidak acuh, bukan
berarti tidak mencinta.
Justeru cinta kasih sama sekali bukan ikatan! Ikatan ini hanyalah nafsu ingin
senang, kesenangan untuk diri sendirt tentunya. Karena ingin senang, maka
segala yang menyenangkan diri sendiri ingin dimiliki selamanya, dan timbullah
ikatan.
Bebas dari ikatan ini berarti mati dalam hidup. Dan kalau selagi hidup sudah
bebas dari ikatan, maka kematian bukan apa-apa. Karena tidak memiliki apa-
apa maka tidak akan kehilangan apapun. Orang yang berduka karena
kehilangan adalah orang yang merasa memiliki yang hilang itu, terbelenggu
oleh ikatan batin yang erat. Padahal, di dalam kehidupan ini tiada apapun yang
langgeng, segala sesuatu yang kita punyai hanyalah untuk sementara saja,
atau seperti juga berang titipan yang sewaktu-waktu akan diambil kembali oleh
Sang Pemilik Abadi.
Yang bebas dari ikatan ini, yang tidak memiliki apa-apa ini, tidak membutuhkan
apapun, karena segalanya sudah ada padanya, bagaikan sebuah guci yang
sudah penuh, dapat menikmati kehidupan ini, dapat menikmati segala seuatu
tanpa keinginan memilikinya. Karena tidak memiliki apa-apa maka dunia ini
sudah menjdadi miliknya. Dan hanya yang bebas dari ikatan ini yang mengenal
apa itu sesungguhnya yang dinamakan cinta kasih.
Tidak semua orang dapat bebas dari ikatan. Bahkan banyak orang-orang yang
dianggap dan merasa dirinya pandai, maju dan sebagainya, masih terbelenggu
oleh ikatan-ikatan. Seperti juga nenek Yelu Kim, biarpun ia pandai dan
berkedudukan tinggi, namun ia belum mampu membebaskan diri dari ikatan
sehingga timbul rasa takut akan kematian yang pada hakekatnya takut
kehilangan segala yang mengikatnya itu.
Cinta asmara adalah cinta nafsu yang selalu bersyarat dan berpamrih. Cinta
seperti ini muncul setelah adanya suatu daya tarik yang menyenangkan, baik
itu melalui ketampanan atau kecantikan wajah, kelembutan, keramahan,
bahkan dapat melalui kedudukan, kemuliaan, kemewahan, atau kepintaran.
Ada sesuatu yang ingin diraih dan dinikmati. Kalau pada suatu waktu terjadi
sebaliknya, sesuatu yang tidak menyenangkan lagi, bahkan menyusahkan atau
mengecewakan, maka cinta seperti ini mungkin saja akan berubah menjadi
kebencian! Kita dengan mudah saja bersumpah cinta, sehidup semati, senasib
sependeritaan, dan semua itu dapat terjadi selama si dia yang dicinta
memenuhi syarat. Sekali saja syarat itu dilanggar, maka cinta berubah menjadi
benci, dan kebahagiaan berubah menjadi kesengsaraan.
Banyak sudah terjadi peristiwa yang membuktikan betapa fananya cinta itu.
Suami isteri yang tadinya bersumpah saling cinta akhirnya bercerai setelah
setiap hari cekcok. Sahabat yang tadinya saling mencinta dan saling setia
akhirnya saling bermusuhan. Orang tua yang tadinya bersumpah mencinta
anaknya, akhirnya menyumpahi anak itu. Semua ini terjadi karena syarat cinta
itu dilanggar, pamrih dalam bercinta tidak terpenuhi. Terjadi konflik-konflik yang
dapat menjalar dan berkembang menjadi konflik antar bangsa dan antar
negara. Sumbernya adalah konflik dalam diri pribadi kita masing-masing.
Selama hati akal pikiran dikuasai nafsu daya redah, maka si-aku semakin
menonjol, semakin berkembang kuat. Si-aku adalah nafsu yang menguasai hati
akal pikiran, si aku adalah keinginankeinginan.
Selama si aku merajalela, maka terjadilah bentrokan-bentrokan antar keinginan,
antar kepentingan diri masing-masing dan timbullah pertikaian dan
permusuhan.
Hanya cinta kasih Tuhan sajalah yang maha benar dan maha suci, tidak ada
kebalikannya karena tunggal! Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan
mampu membebaskan batin dari cengkeraman nafsu daya rendah dan
mengembalikan nafsu-nafsu ke dalam kedudukannya yang semestinya, yaitu
menjadi alat pelengkap kehidupan manusia, menjadi abdi, bukan majikan.
Kalau sudah begitu, hanya kekuasaan Tuhan yang akan menjadi kemudi,
bukan lagi nafsu daya rendah, dan barulah apa yang dinamakan cinta kasih
tidak akan mendatangkan sengsara!
Cinta asmara yang condong kepada pemuasan nafsu diri pribadi selalu
menimbulkan lebih banyak duka daripada suka. Cinta seperti ini selalu
menuntut balasan, cinta seperti ini selalu ingin menguasai, ingin memiliki, ingin
dimiliki! Ingin menyenangkan dan disenangkan, memuaskan dan dipuaskan.
Banyak sekali yang dituntut oleh cinta seperti ini dan satu saja di antara
tuntutan-tuntutannya itu tidak terlaksana atau tercapai, maka hal ini sudah
cukup untuk menghancurkan cinta itu! Dan akibatnya hanyalah kegagalan dan
kedukaan. Cinta seperti ini mengikat, membuat kita lekat kepada yang kita cinta
dan sekali waktu kalau saatnya tiba untuk perpisahan, hati kita menjadi luka
dan timbul pula duka.
Cinta yang tidak terbalas menimbulkan duka. Cinta yang dihantui keraguan
menimbulkan cemburu dan duka. Seperti segala macam nafsu yang
meramaikan hidup ini, maka cinta seperti ini bersumber kepada keakuan,
kepada keinginan menyenangkan diri sendiri dan orang yang dicintanya itu
dengan sendirinya hanya menjadi alat, menjadi prabot atau sarana untuk
menyenangkan dan memuaskan diri sendiri. Inilah sebabnya mengapa cinta
seperti ini mudah berobah menjadi benci kalau dirinya sudah tidak disenangkan
atau dipuaskan lagi. Ini kenyataan yang terjadi dalam hidup kita, dalam kisah
cinta mencinta.
Akan tetapi, benarkah itu patut dinamakan cinta kalau hanya menimbulkan
duka? Benarkah itu namanya cinta kalau dapat berobah menjadi benci?
Benarkah itu cinta kasih kalau hanya sarat dengan beban berupa cemburu,
nafsu berahi, ingin menguasai dan pementingan diri sendiri? Sudah jelas
bukan! Cinta kasih tidak mungkin menimbulkan hal-hal yang buruk. Cinta kasih
itu suci, murni, baik dan benar, wajar tidak dibuat-buat, tanpa pamrih!
Orang lalu mempersoalkan, menjadikannya sebagai bahan tanya jawab,
mencari-cari apakah sesungguhnya Cinta Kasih itu! Dan semua pendapat,
semua jawaban, tidak benar atau dapat disanggah, dapat dibantah dan didebat,
karena semua pendapat itu selalu mengandung pementingan diri sendiri.
Pendapat datang dari satu sumber yang tentu saja tergantung sepenuhnya dari
keadaan sumber itu sendiri. Cinta Kasih terlalu lembut, terlalu tinggi, terlalu luas
dan terlalu rumit bagi otak kita yang lemah ini. Membicarakan Cinta Kasih
seperti membicarakan Tuhan, membicarakan kekuasaan Alam Semesta. Tidak
terbatas! Tidak terjangkau oleh akal budi, perasaan dan pikiran.
Yang dapat kita selidiki dan mengerti hanyalah YANG BUKAN CINTA KASIH.
Nafsu berahi bukanlah cinta kasih, walaupun nafsu berahi merupakan sesuatu
yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan ini sendiri.
Kalau kita menyingkirkan semua hal yang menjadikan Bukan Cinta Kasih,
mungkin saja kita dapat melihat berkelebatnya Cinta Kasih. Cinta Kasih tidak
mungkin dapat dipelajari, dipupuk maupun dikejar dicari. Seperti juga cahaya
terang yang tidak dapat menembus rumah yang daun pintu dan jendelanya
tertutup rapat-rapat. Bukalah semua penutup itu dan cahaya terang itu akan
masuk. Seperti juga sinar lampu yang menjadi suram karena bola lampunya
tertutup kotoran dan debu. Bersihkan semua kotoran itu, singkirkan debu dan
kotoran, maka sinar lampu itu akan menjadi terang. Lenyapnya cemburu, iri
hati, keinginan menyenangkan diri sendiri, keinginan ingin menguasai, ingin
memiliki, lenyapnya ikatan, sama artinya dengan lenyapnya kotoran dan debu
yang menempel pada bola lampu, dan sinar cinta kasih akan bercahaya terang.
Membiarkan pintu dan jendela terbuka sama dengan membiarkan diri sendiri
terbuka, tanpa pamrih, wajar, peka, kosong dan cahaya terang cinta kasih,
seperti cahaya matahari, akan masuk dan nampak.
KEAJAIBAN
Keajaiban merupakan akibat dari penyihiran diri sendiri melalui kepercayaan
yang mutlak.
Sudah menjadi kelemahan kita manusia pada umumnya untuk merasa tertarik
kepada hal-hal yang aneh-aneh, peristiwa-peristiwa yang tak masuk akal dan
penuh rahasia, keajaiban-keajaiban dan kemujijatan-kemujijatan. Kita selalu
merasa haus akan hal-hal yang baru, yang aneh, yang tidak kita mengerti.
Kita begitu mendambakan hal-hal baru sehingga kita sudah melupakan hal-hal
lain yang terjadi di sekeliling kita, yang kita anggap lapuk dan lama, tidak
menarik lagi. Padahal segala macam keajaiban dan kemujijatan terjadi di
sekitar kita, bahkan di dalam diri kita sendiri. Tumbuhnya setiap helai rambut di
kepala dan bulu di kulit kita merupakan keajaiban dan kemujijatan yang besar,
detik jantung kita yang mengatur peredaran darah di seluruh tubuh kita,
kembang-kempisnya paru-paru kita yang menghidupkan, bekerjanya seluruh
anggauta tubuh kita, panca indera kita, be-kerjanya otak kita yang membuat
kita dapat bicara, mendengar, melihat dan berpikir.
Bukankah semua itu merupakan sesuatu yang amat indah, sesuatu yang amat
ajaib dan mujijat, di mana sepenuhnya terdapat suatu kekuatan gaib yang
sungguh maha kuasa? Kemudian, segala yang nampak di luar diri kita.
Gunung-gunung raksasa, tumbuh-tumbuhan dengan aneka warna, bunga, dan
aneka rasa buahnya, segala mahluk hidup yang bergerak dengan segala
macam bentuk, corak dan sifatnya, lalu awan berarak di angkasa, menciptakan
hujan, hawa udara yang menghidupkan, sinar matahari, air, bumi, langit dan
segala isi alam ini. Bukankah semua itu merupakan keajaiban yang amat
hebat?
Namun kita sudah tidak menghargai semua itu lagi, kita sudah buta akan
keajaiban itu, kita menggapnya biasa saja sehingga melihat orang menginjak
bara api saja kita kagum setengah mati! Padahal, apa sih anehnya menginjak
bara api itu kalau dibandingkan dengan tumbuhnya sehelai rambut kepala atau
kuku jari kita? Keajaiban atau sesuatu yang kita anggap aneh adalah karena
kita belum mengerti. Karena tidak mengerti, tidak tahu bagaimana proses
terjadinya, maka kita lalu menganggapnya aneh, ajaib dan menimbulkan khayal
yang bukan-bukan. Akan tetapi, sekali orang sudah mengerti, hal yang tadinya
dianggap ajaib itupun menjadi biasa dan terlupakan, tidak menarik lagi, seperti
tidak menariknya melihat segala keajaiban yang terjadi sehari-hari di sekeliling
kita. Kita memandang selalu jauh ke depan, mencari-cari yang baru. Kita ini
mahkluk pembosan. Tertarik akan hal-hal baru memang merupakan suatu sifat
yang baik, seperti kanak-kanak yang selalu ingin tahu. Akan tetapi sifat ini
harus merupakan dorongan untuk menyelidiki sesuatu bukan menerima segala
sesuatu begitu saja sehingga men-ciptakan watak tahyul. Ketahyulan adalah
suatu kebodohan, menerima sesuatu dengan keyakinan padahal kita tidak
mengerti, dan hal ini terjadi karena kita suka akan sensasi.
Menerima sesuatu dengan kata "percaya" maupun dengan kata "tidak percaya"
adalah perbuatan bodoh dan tidak bijak-sana, karena menerima sesuatu
dengan kata seperti itu berarti bahwa kita belum atau tidak mengerti.
Sebaiknya kalau kita menghadapi sesuatu yang tidak kita mengerti itu dengan
waspada, membuka mata dan telinga, dan menyelami sendiri, menyelidiki
sendiri sehingga kita mengerti. Karena kalau kita sudah mengerti, tidak ada lagi
istilah percaya atau tidak percaya.
Menurut ajaran Sian-su itu, nafsu itu akan meliar dan kalau diberi penyaluran
sewajarnya tanpa ada perbuatan paksa, akhirnya nafsu itu akan habis sendiri
kekuatannya dan tidak lagi mencengkeram jasmani kita sehingga jasmani kita
cukup memenuhi syarat untuk menjadi jasmani yang bersih dan dihuni oleh jiwa
yang bersih pula dan yang kelak akan diterima menjadi kesayangan Dewa
Kematian.
Tentu saja pelajaran yang diberikan ini merupakan pelajaran palsu yang amat
berbahaya dan sama sekali tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Yang jelas
dapat dinyatakan adalah bahwa nafsu keinginan dalam bentuk apapun juga
timbul dari pada si aku yang ingin senang, dan nafsu ini bersifat seperti api
yang apabila diberi hati, apabila dituruti akan seperti api yang diberi bahan
bakar. Makin banyak diberi bahan bakar, makin bernyala dan makin menjadi,
makin membesar dan tidak akan padam lagi. Mengendalikan nafsupun tidak
akan ada gunanya. Mematikan nafsu dengan kekerasan kemauanpun percuma
karena yang mematikan dengan kekerasan itu adalah kemauan si aku pula
yang ingin senang, yang menganggap bahwa kalau dapat mematikan nafsu itu
akan lebih senang dari pada kalau dikuasai nafsu.
Sering kali terjadi konflik dalam batin sendiri.
Di satu pihak keinginan atau nafsu itu timbul, di lain pihak keinginan untuk
mematikanpun timbul. Konflik ini merupakan api dalam sekam yang nampaknya
saja padam, namun sesungguhnya masih membara dan sewaktu-waktu akan
dapat berkobar lagi kalau penutupnya kurang kuat atau terbuka. Nafsu itu
sendiri merupakan enersi yang hebat.
Nafsu itu sendiri amat penting bagi kehidupan. Hanya cara penggunaannya
yang menentukan apakah ia merusak ataukah mendatangkan manfaat. Dan
cara yang baik dan benar ini timbul dengan sendiri melalui kewaspadaan dan
kesadaran dari pengamatan diri pribadi. Pengamatan diri pribadi akan
menimbulkan kebijaksanaan dan dengan sendirinya timbul ketertiban yang
tidak diatur lagi oleh si aku yang ingin senang. Pengamatan diri pibadi ini dapat
terjadi setiap saat, yang berarti ada perhatian dan waspada sepenuhnya
terhadap gerak-gerik kita, baik gerak-gerik hati, pikiran, kata-kata maupun
perbuatan. Bukan mengamati sambil menilai karena penilaian itu juga
merupakan hasil pekerjaan si aku! Jadi, kita harus sungguh-sungguh waspada
akan segala kepalsuan yang terjadi setiap saat, bukan hanya kepalsuan yang
terjadi di luar diri, melainkan terutama sekali kepalsuankepalsuan yang terjadi di
dalam batin kita sendiri. Dengan umpan kesenangan dalam pemuasan nafsu
berahi ini, Sian-su berhasil menarik minat banyak orang untuk menjadi pengikut
perkumpulan agamanya.
MENGEJAR KESENANGAN
Satu di antara kelemahan kita adalah pengejaran terhadap apa yang kita
namakan kehormatan. Di dalamnya terkandung bangga diri dan bangga diri
adalah sesuatu yang menyenangkan. Karena itu, pengejaran terhadap
kehormatan bukan lain hanyalah pengejaran terhadap kesenangan walaupun
sifatnya lebih dalam daripada kesenangan badan.
Pengejaran terhadap kesenangan sama saja, baik pengejaran terhadap
kesenangan badan maupun batin. Kita mengejarnya, kalau sudah dapat kita
hendak mempertahankannya.
Di dalam gerak pengejaran dan penguasaan atau ingin mempertahankan ini
jelas terdapat kekerasan. Di waktu mengejar dan ingin memperoleh, kita siap
untuk mengenyahkan segala perintang dan saingan.
Di waktu mempertahankan, kita menentang segala pihak yang ingin
menghilangkannya dari tangan kita. Betapapun menyenangkan adanya sesuatu
itu, baik bagi badan maupun batin, selalu berakhir dengan kebosanan dan
kekecewaan.
Bukan barang mustahil bahwa apa yang hari ini menyenangkan, hari esok
malah menyusahkan! Dan kita membiarkan diri terombang-ambing di antara
senang dan susah, seperti sebuah biduk yang dihempaskan oleh badai,
dipermainkan gulungan ombak ke kanan kiri dan selalu terancam kehancuran
setiap detik.
Alangkah bahagianya batin yang tidak lagi dapat diombang-ambingkan senang
dan sudah, seperti sebongkah batu karang yang kokoh kuat tidak pernah
berobah walaupun ada badai dan ombak menggunung.
Atau lebih elok lagi, seperti ikan yang berenang dan meluncur di antara ombak-
ombak itu tanpa terancam kehancuran, bahkan dapat menikmati hempasan
gelombang yang bagaimanapun juga.
ASMARA
Asmara memang merupakan suatu kekuasaan yang amat jahil dan suka
menggoda hati manusia! Demikian kuatnya asmara sehingga tidak ada
seorangpun manusia yang kebal atau dapat melawan kekuasaannya. Tanpa
pandang bulu, kaya atau miskin, pintar atau bodoh, dari segala lapisan, setelah
melampaui masa remaja, asmara mulai mengintai dan mencari korban di antara
manusia. Dan sekali orang terkena panah asmara, dia akan menjadi seperti
linglung dan terjadilah perobahan besar-besaran dalam dirinya.
Hebatnya, asmara dapat mendatangkan sorga pada seseorang sehingga
batinnya merasa bergembira, segalanya nampak indah, hidup penuh arti yang
menyenangkan. Di lain saat, asmara dapat meruntuhkan kesemuanya itu dan
menyulap sorga berobah menjadi neraka, penuh derita batin, penuh
kekecewaan, penuh sengsara. Lebih mengherankan lagi, manusia amat jinak
dan suka sekali menjadi korban asmara yang jahil!
GOLONGAN
Memang amat menyedihkan melihat betapa manusia telah dipecah-pecah dan
dipisah-pisahkan oleh segala macam golongan. Karena berpisah dan menjadi
anggauta dari masing-masing golongan, tentu saja kepentingan masing-masing
membuat mereka itu kadang-kadang saling bentrok dan setiap golongan
membenarkan golongannya sendiri. Tidak ada manusia dilahirkan jahat! Setiap
keadaan sudah pasti mengundang sebab dan kalau ada orang yang menjadi
sesat dan melakukan hal-hal yang merugikan orang lain dan yang lajimnya
disebut jahat, maka keadaannya itu bukanlah terbawa dari kelahiran, melainkan
diakibatkan oleh sebab-sebab tertentu. Bahkan orang yang dilahirkan dalam
keadaan cacat sekalipun, sudah pasti ada sebab-sebab yang terjadi sebelum
dia dilahirkan, sehingga keadaannya ketika dilahirkan itupun menjadi akibat dari
suatu sebab.
Banyaklah sebab yang menjadikan manusia seperti yang banyak kita lihat
sekarang ini. Pada umumnya dinamakan jahat karena merugikan orang lain,
berwatak buruk dan kejam dan sebagainya. Kebencian, keserakahan,
pengejaran kesenangan, dendam iri hati, rasa takut, semua ini dapat
membentuk watak yang kejam dan ganas. Dan setiap orang manusia tentu
pernah atau akan merasakan itu. Hubungannya erat sekali dengan kesenangan
dan sekali orang melakukannya, tanpa adanya kesadaran, maka akan menjadi
berlarut-larut dan menjadi semacam kebiasaan yang mendarah daging atau
yang membuat orang mencandu dan condong untuk mengulang-ulang lagi.
Orang yang baru tersesat disebut penjahat dan dibenci, dimaki, dihindari. Ini
yang akhirnya membuat mereka ini merasa terancam dan merekapun lalu
memilih teman, berkelompok dan terjadilah penggolongan. Mereka dinamakan
kaum sesat, golongan hitam atau kotor. Tentu saja golongan ini membalas
kebencian yang dilontarkan oleh para pendekar kepada mereka. Mereka
menganggap para pendekar sebagai golongan lawan yang mengancam
keselamatan mereka dan sebagai balasan, merekapun menamakan golongan
para pendekar itu sebagai golongan sombong, golongan besar kepala, bahkan
ada yang menamakannya kaum munafik!
Kita condong beranggapan bahwa segala kenikmatan yang dapat kita rasakan
dalam kehidupan ini haruslah diadakan dan sarananya berada di luar diri kita.
Kalau mau makan enak haruslah membeli masakan-masakan yang mahal
harganya, kalau mau tidur nyenyak haruslah berada di dalam kamar yang
lengkap dan dengan perabot serba halus dan mahal, dan sebagainya.
Pendeknya syarat mutlak untuk menikmati hidup adalah adanya benda-benda
berharga yang hanya bisa didapatkan dengan uang. Akan tetapi, benarkah
demikian adanya? Kita melihat petani sederhana yang sehabis bekerja keras di
ladang dapat menikmati makanannya yang sederhana, dengan kenikmatan
yang tidak dibuat-buat. Mengapa demikian? Karena badannya sehat dan
batinnya tenteram, karena dia sehat lahir batin.
Kesehatannya bekerja dengan wajar, membuat perutnya lapar setelah dia
kelelahan dan ini menciptakan selera dan nafsu makan yang membuat apa saja
menjadi nikmat terasa olehnya. Kita melihat petani yang sama pada waktunya
akan dapat tidur nyenyak, hanya bertilamkan tikar atau bahkan rumput saja,
juga hal ini dapat terjadi karena dia sehat lahir batinnya. Sebaliknya, kitapun
dapat melihat orang yang kaya raya tanpa banyak kerja menjadi malas, makan
tidak terasa enak biarpun menghadapi hidangan yang mahal-mahal dan banyak
macamnya. Kita melihat orang kaya yang sama gelisah di atas tempat tidurnya
yang empuk dan bertilamkan sutera di dalam sebuah kamar seperti istana,
sukar dapat memejamkan mata dan tidak dapat lagi menikmati rasanya tidur
nyenyak.
Jelaslah bahwa sumber kenikmatan hidup berada di dalam diri kita sendiri lahir
batin. Kalau lahir batin kita sehat kita akan dapat menikmati hidup. Badan sehat
berarti tidak ada gangguan penyakit. Batin sehat berarti tidak ada gangguan
pikiran. Namun sungguh teramat sayang. Kita lebih senang MENGOBATI
gangguan lahir batin itu daripada MENJAGANYA. Kita hidup tidak sehat, makan
minum tanpa ingat akan kesehatan, setiap hari ada gangguan kesehatan badan
yang kita atasi dengan pengobatan-pengobatan. Lalu kita membiarkan hati dan
pikiran terganggu setiap hari, yang ingin kita atasi pula dengan hiburan-hiburan!
Hidup kita adalah urusan kita sendiri, tidak ada sangkut-pautnya dengan orang
lain, dengan siapapun juga. Hidup dan mati kita adalah urusan kita, kita sendiri
yang akan menanggung, kita sendiri yang berhak menikmati, kita sendiri pula
yang akan menderita, kita sendiri yang membuat kehidupan kita sendirt ini
menjadi sorga atau neraka! Kita hidup ini berarti kita sendirian, walaupun
secara lahiriah kita saling bergantung dan saling bersandar dengan orang-
orang lain. Akan tetapi kehidupan kita adalah urusan kita sendiri. Kita harus
berani menghadapi kenyataan ini, ialah bahwa kita ini sendirian! Bukan berarti
kita kesepian! Sekali kita bergantung kepada orang lain secara batiniah, akan
muncullah rasa kesepian itu kalau kita berpisah dari orang kepada siapa kita
bergantung atau bersandar! Dan perpisahan selalu menjadi akhir daripada
pertemuan. Ketergantungan kepada orang lain ini yang menimbulkan rasa takut
dan rasa kesepian, rasa sengsara. Juga ketergantungan kepada benda,
kepada ajaran-ajaran, gagasan, kelompok dan sebagainya. Ketergantungan
berarti suatu ikatan. Secara lahiriah, sebagai manusia yang hidup di dalam
masyarakat seperti sekarang ini, tentu saja kita mempunyai hak untuk
mempunyai yang dilindungi oleh hukum. Akan tetapi, lahiriah boleh saja kita
mempunyai sesuatu, mempunyai isteri, anak, keluarga, sahabat, harta benda,
kedudukan dan sebagainya. Namun, sekali kita memilikinya secara batiniah,
kita akan terikat. Apa yang kita miliki secara batiniah itu akan mengakar di
dalam hati sehingga kalau sewaktu-waktu dicabut, hati ini akan terluka dan
menderita! Bukan berarti bahwa acuh tak acuh terhadap segala yang kita
punyai termasuk anak isteri dan keluarga. Cinta kasih akan mendatangkan
perhatian, rasa sayang, iba hati, namun cinta bukan berarti ikatan batin.
Sebaliknya, kalau batin terikat, yang mengikat itu adalah nafsu ingin senang,
nafsu ini yang ingin memiliki secara batiniah, ingin menguasai, dan dari sini
timbullah benih-benih penderitaan.
Betapa kita selalu ingin memiliki ini dan itu, bahkan ingin memiliki segala-
galanya yang menyenangkan hati kita! Keinginan memiliki ini tidak ada
batasnya, dan nafsu keinginan memiliki inilah yang mendorong kita ke arah
perbuatan-perbuatan yang kadang-kadang menjurus ke arah kejahatan.
Padahal, apakah yang dapat kita miliki sesungguhnya? Apakah yang abadi di
dunia ini? Bahkan tubuh kita sendiripun tidak dapat kita miliki selamanya!
Semuanya akan musnah pada saatnya. Karena itu, keinginan memiliki sudah
pasti menjadi sumber segala derita.
"Setiap perbuatan yang didorong oleh nafsu dan pamrih, tentu mengikatkan diri
kita kepada karma. Karma adalah hukum rangkaian sebab-akibat. Harus
diketahui bahwa sebabnya berada di telapak tangan kita sendiri. Jadi, terputus
atau bersambungnya karmapun berada di tangan kita sendiri. Dendam-
mendendam, hutang-pihutang budi atau dendam, menciptakan mata rantai
karma yang amat kuat. Kalau setiap tindakan atau perbuatan kita dilandasi
cinta kasih yang berarti wajar tanpa pamrih, perbuatan itu akan habis sampai di
situ saja, bukan merupakan akibat maupun sebab, tanpa dipengaruhi karma.
Pamrih timbul karena kita mengharapkan jasa bagi kita dan kutuk bagi orang
lain yang merugikan diri kita. Maka, murid-muridku, hiduplah bebas dari
dendam dan hutang-pihutang budi, dan kalian akan bebas dari karma."
Kita semua ini haus akan kehormatan, haus akan penonjolan diri, bahkan watak
ini sudah mendarah daging sehingga tidak terasa lagi oleh kita. Lihatlah betapa
banyaknya orang yang dengan nada suara penuh kebanggaan menceritakan
betapa kakeknya dahulu adalah seorang maling terbesar, seorang jagoan
terbesar, seorang penjudi terbesar dan sebagainya? Mereka ini bercerita
dengan nada suara sama bangganya dengan mereka yang menceritakan
betapa kakek mereka dahulunya seorang yang paling terhormat, terkaya atau
tertinggi kedudukannya. Juga, hampir semua orang menceritakan dengan
bangga bahwa anaknya adalah yang paling nakal, paling bandel, dan
sebagainya, sama bangganya dengan mereka yang menceritakan dengan
suara malu-malu dan rendah hati bahwa anak mereka adalah yang paling
patuh, paling pintar dan sebagainya. Kita sudah berwatak ingin menonjolkan
diri, diri sendiri atau perkembangan dari diri sendiri yang menjadi anakku,
keluargaku, bangsaku dan selanjutnya.
Memang ada gerakan tiada hentinya dalam batin manusia, seperti lautan.
Kadang-kadang manusia dapat bersikap lembut, terkadang ganas dan kejam,
dan selama ini ia sudah melihat betapa banyaknya manusia melakukan
kekejaman-kekejaman dan kebuasan yang lebih mengerikan daripada
kebuasan lautan!
Rakyat tertekan lagi. Lalu muncul lagi golongan baru yang kembali mengulang
sejarah usang. Mereka yang baru muncul ini, seperti dahulu, seperti mereka
yang kini berkuasa, akan menggandeng rakyat untuk menentang mereka yang
kini berkuasa, menuduh pemerintah lalim dan kembali semboyan usang demi
rakyat, demi keadilan dan kebenaran, terulang lagi!
Berbahagialah rakyat kalau ada sekelompok pemimpin yang berjuang dengan
dasar demi rakyat secara murni, bukan demi rakyat sebagai semboyan dan
slogan kosong belaka. Kalau ada sekelompok pemimpin seperti itu, yang tidak
mementingkan diri pribadi, tidak hanya mendahulukan kemuliaan, kekayaan
dan kesenangan diri pribadi, melainkan para pemimpin yang benar-benar
berjuang dan berusaha demi kepentingan rakyat, maka negara itu pasti akan
makmur dan rakyat pasti akan hidup dengan tenteram dan makmur.
Memang menggelikan sekali ulah nenek iblis itu. Akan tetapi, kalau kita mau
membuka mata melihat kenyataan hidup ini, akan nampaklah oleh kita bah-wa
kenyataan hidup sehari-hari di antara kita tidaklah banyak bedanya dengan si-
kap nenek Kiu-bwe Coa-li itu. Kitapun sudah terbiasa sejak kecil untuk meng-
gantungkan diri pada nasib! Dan setiap ada peristiwa merugikan menimpa diri
kita, kita lalu menyalahkan kepada nasib. Nasib buruk, sial, bintang gelap, dan
se-bagainya kita lontarkan sebagai ungkapan kekecewaan hati. Mari kita sama
mem-buka mata dan mengamati kenyataan ini. Tidak demikianlah kebiasaan
kita sehari-hari? Kita selalu mencari kambing hitam keluar, menimpakan semua
kesalahan ke-luar diri kita dan mencari-cari alasan dari luar, lalu kalau tidak
menemukan lain orang atau barang sebagai penyebab datangnya kegagalan
atau kerugian, kita masih melontarkan sebabnya kepada nasib!
Seorang yang gagal dalam ujian akan mencari-cari alasan keluar, menyalahkan
gurunya yang dikatakan tidak adil, menyalahkan sistim pelajarannya, menyalah-
kan teman-teman dan kalau tiada alasan menimpakan kesalahan kepada orang
lain lalu melontarkannya kepada nasib. Nasib buruk katanya! Seorang yang
gagal dan kalah dalam pertandingan olah raga dan lain-lain akan mencari-cari
alasan di luar dirinya, menyalahkan lapangannya yang dikatakan buruk, licin
dan sebagainya, menyalahkan alat permainan yang dikatakannya tidak
memenuhi syarat dan sebagai-nya, atau ada pula yang menyalahkan keadaan
kesehatannya atau juga melontarkannya kepada nasib! Seorang
yang da-gangannya tidak laku dan gagal dalam u-sahanya akan selalu mencari
kesalahan pada tempatnya, para pembelinya, atau juga kepada nasib. Seorang
pengarang yang hasil karangannya tidak mendapat sambutan, tidak dibaca
orang akan menyalahkan para pembaca yang dikatakan-nya tolol dan bodoh
tidak mengenal karangan yang bermutu dan yang baik, atau juga
melontarkannya kepada nasib.
Bukankah semua ini merupakan suatu sikap yang amat buruk, suatu kelucuan
yang konyol dan tidak lucu? Bukankah si-kap seperti itu merupakan suatu
kebodohan dan menjadi penghalang besar daripa-da kemajuan diri pribadi?
Kalau saja mereka itu mau menyelidiki dan mencari alasan-alasan kegagalan
itu dalam diri sendiri, pasti akan mereka temukan sebab-sebab kegagalan
semua itu. Sebabnya terletak dalam diri sendiri! Segala sesuatu yang terjadi di
dunia ini berputar pada suatu sumber yang berada di dalam diri sendiri. Dan
sikap mencari segala se-bab pada diri sendiri merupakan suatu kebijaksanaan
yang amat besar dan amat berguna bagi kehidupan manusia, karena dengan
cara demikian, kita masing-masing akan dapat melihat dan menemukan
kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangan pada diri sendiri dan hanya
kalau kita sudah menemukan kesalahan-kesalahan kepada diri sendiri inilah
maka akan dapat terjadi perbaikan-perbaikan dan pembetulan-pembetulan.
Nasib ber-ada di dalam telapak tangan kita sendiri karena segala sebab dan
semua akibat berada di telapak tangan kita sendiri.
Bukan hanya kegagalan, bahkan segala peristiwa, seyogianya ditelusur dari
dalam diri sendiri. Kalau ada orang membenci kita, biasanya kita menjadi
marah, kita membiarkan pikiran berceloteh, mengagungkan diri sendiri
sedemikian tingginya. "Mengapa dia benci kepadaku? Kurang bagaimanakah
aku? Aku selalu baik, selalu ramah, selalu memberi, akan tetapi mengapa dia
benci kepadaku? Dasar dia orang dengki, iri, jahat...!" Demikianlah celoteh
pikiran yang selalu mengangkat dan mengagung-agungkan diri sendiri.
Dengan cara membiarkan pikiran berceloteh macam itu, kita akan mandeg,
bahkan mundur, dan kita tidak akan mampu melihat kenyataan, melihat
kesalahan sendiri dan kita hanya akan menambah kebencian di antara
manusia. Akan tetapi, kalau kita selalu waspada terhadap diri sendiri,
mengamati diri sendiri tanpa menilai, tanpa mencela atau memuji, akan
nampaklah segalanya itu, akan jelaslah bagi kita mengapa ada orang
membenci kita dan sebagainya. Dan kewaspadaan ini, pengamatan ini
sekaligus menimbulkan kesadaran yang melahirkan tindakan nyata pula,
mendatangkan keberanian untuk merobah kesalahan sondiri.
Demikian besarlah "aku"nya Ratu I-blis yang selalu mementingkan diri sen-diri
saja. Demi menyelamatkan nyawa bayinya, ia tidak segan-segan untuk mem-
bunuh lain bayi secara kejam sekali! A-kan tetapi, penyakit seperti yang men-
cengkeram batin Ratu Iblis inipun agak-nya diderita oleh kita semua pada
umumnya. Keakuan yang amat kuat menceng-keram batin kita masing-masing
sehingga demi kepentingan sang aku, kita tidak segan-segan melakukan apa
saja, kalau perlu merugikan orang lain. Kalau orang dengan mati-matian,
dengan memperta-ruhkan
nyawa, membela negara, agama, keluarga atau harta dan apapun juga, maka
yang dibela dan dipentingkan itu se-sungguhnya adalah aku-nya. Negara-Ku
yang kubela, agama-Ku yang kubela, keluarga-Ku, harta-Ku dan selanjutnya.
Bu-kan negara yang penting, bukan agama-nya dan sebagainya, melainkan
AKU-nya. Negara orang lain?
Masa bodoh kalau mau dijajah orang lain! Masa bodoh kalau mau dihina, asal
jangan agama-Ku. Demikian selanjutnya, yang menunjukkan bahwa semua itu
hanyalah merupakan perluasan daripada si aku belaka. Si aku yang penting.
Milikku!
Demikian pula dengan Ratu Iblis itu. Ia melindungi bayi, bukan bayi pada
umumnya, melainkan bayi-NYA, dengan cara membunuh bayi lain! Demikian
pula terjadi di seluruh dunia. Untuk membela agama-NYA, orang rela
menyerang agama lain. Untuk membela bangsa-NYA, orang rela membunuhi
bangsa lain. Untuk membela keluarga-NYA, orang rela menghan-curkan
keluarga lain.
Ada kekuasaan rahasia yang mujijat, yang mengatur segala sesuatu di alam
mayapada ini. Kekuasaan mutlak yang tak dapat dilawan oleh siapa atau oleh
apapun juga. Kekuasaan tertinggi yang meliputi seluruh jagat raya. Kekuasaan
ini tidak dapat dipercaya atau tidak dipercaya lagi, karena terjadi dan dapat kita
dengar, cium, lihat, dan rasakan sendiri, menjadi kenyataan yang terjadi di
sekeliling kita, bahkan di dalam diri kita.
Kekuasaan yang mengatur arah angin, mengatur alam semesta, perederan
bintang-bintang, kekuasaan yang memberi kehidupan di angkasa, di atas bumi,
di dalam air, dari makhluk-makhluk hidup bergerak yang paling kecil tak dapat
dilihat mata sampai kepada makhluk yang paling besar. Kekuasaan yang
menciptakan ketertiban dalam kehidupan di bagian tanah paling dalam, di dasar
laut yang paling dalam, ataupun di angkasa yang paling tinggi.
Kekuasaan yang membuat jantung kita berdenyut di luar kemampuan kita untuk
mengaturnya, kekuasaan yang membuat kuku dan setiap helai rambut
bartumbuh di luar kekuasaan kita untuk mengaturnya, kekuasaan yang
menciptakan kelahiran dan kematian!
Satu di antara hal-hal yang tidak dapat dikuasai oleh kita adalah kematian.
Kalau memang sudah tiba saatnya, ke manapun juga kita bersembunyi, maut
tentu akan datang menjemput. Sebaliknya, kalau memang belum semestinya
kita mati, seribu ancaman mautpun akan luput. Siapapun adanya Dia yang
mengatur semua itu, disebut dengan apapun juga menurut istilah dan
kebiasaan dari bangsa, bahasa, dan agama masing-masing, namun kita
manusia tidak mungkin dapat menyangkal akan adanya kenyataan itu, bahwa
kekuasaan rahasia yang mujihat itu memang ada terjadi di sekitar kita, di alam
dan bahkan di dalam diri kita sendiri. Pikiran kita terlalu dangkal untuk dapat
menyelidiki tentang ada atau tidaknya Pengatur itu yang terlalu agung dan
tinggi bagi kita, namun, pikiran dan tubuh kita dengan jelas dapat melihat
adanya kenyataan akan kekuasaan yang mujijat itu. Di sini tidak ada masalah
percaya atau tidak percaya, karena kita dapat melihatnya, merasakannya,
segalanya terjadi pada diri kita sendiri masing-masing.
Tangis timbul dari perasaan-perasaan hati yang dilanda iba diri. Dan, iba diri ini
timbul dari kekecewaan dan kedukaan. Semua ini muncul dari pikiran yang
mengenangkan masa lalu, mengenangkan semua pengalaman pahit, semua
pengalaman yang mengecewakan dan tidak menyenangkan hati. Pikiran
mengunyah-ngunyah kembali semua hal busuk yang mengecewakan diri, dan
hal ini menimbulkan rasa iba diri. Pikiran yang mengenang-ngenang hal-hal
yang mengecewakan dan tidak menyenangkan itu seolah-olah berobah menjadi
tangan yang mencengkeram dan meremas-remas hati sendiri sehingga air
matapun bercucuran keluar. Kalau sudah begitu, kesadaran akan
kenyataanpun menjadi kabur dan pikiran yang menguasai perasaan itupun
membayangkan bahwa dirinya merupakan orang yang paling sengsara, paling
menderita di dalam dunia ini.
Dengan demikian nampaklah dengan jelas bahwa duka timbul karena pikiran
yang mengunyah-ngunyah semua pengalaman yang dianggap tidak
menyenangkan. Andaikata pikiran tidak mengenang-ngenang kembali semua
yang telah terjadi itu, adakah duka? Hal ini hanya dapat kita ketahui dengan
mempelajari diri sendiri dan mengamati diri sendiri.
Tidak akan ada duka kalau pikiran tidak mengunyah-ngunyah masa lalu, tidak
akan ada rasa takut kalau pikiran tidak bermain-main dengan masa lalu dan
masa depan.
Segala peristiwa yang terjadi di dunia ini, tentu bersebab. Akan tetapi, pikiran
kita yang dipenuhi oleh kesibukan memikirkan masa lalu dan masa depan,
membuat kita seringkali tidak dapat melihat bahwa segala macam sebab
daripada peristiwa yang menimpa diri kita dapat dipisahkan dari sikap dan
perbuatan kita sendiri sebelum peristiwa itu terjadi. Mungkinkah bagi kita
manusia-manusia lemah ini, membiarkan segala macam peristiwa yang
menimpa kita lewat begitu saja tanpa meninggalkan bekas sehingga pikiran kita
tidak akan mengenang dan mengunyah-ngunyahnya kembali sebagai sesuatu
yang menimbulkan duka dalam hati? Dapatkah seluruh perhatian kita tertuju
kepada saat ini, saat demi saat, tanpa harus berpaling ke belakang, kepada
masa lalu atau menjenguk ke depan, kepada masa yang akan datang? Terikat
kepada masa lalu adalah duka, terikat kepada masa depan menimbulkan takut.
Hidup adalah saat ini sepenuhnya! Alangkah indahnya, alangkah bahagianya!
Bukan berarti tidak perduli, bukan berarti masa bodohm melainkan justeru
waspada karna bukankah hidup adalah SEKARANG INI?
Sekarang ini, saat demi saat, adalah hidup. Masa lalu telah lewat, telah mati.
Masa depan hanya khayal, belum ada.
Hampir semua orang tua, baik disadari maupun tidak, melakukan hal yang
sama seperti dilakukan Bin Mo To itu. Orang-orang tua selalu ingin mengatur
anak-anaknya, mengambil keputusan mengenai anak-anaknya dalam hal apa
saja, dari pendidikan sampai kepada perjodohan dan pekerjaan. Mereka,
orang-orang tua yang berbuat di luar kesadarannya ini, menganggap bahwa
apa yang baik baginya tentulah baik bagi anaknya pula. Apa yang dianggapnya
menyenangkan baginya tentu menyenangkan anaknya pula. Karena inilah
banyak sekali terjadi orang tua memilihkan pendidikan sekolah, agama, bahkan
calon jodoh untuk anaknya, bukan hanya memilihkan makanan dan pakaian,
bahkan kalau perlu orang-orang tua ini mempergunakan kekuasaannya sebagai
orang tua, dengan memaksa anak-anak mereka mentaati kehendak mereka.
Tentu saja dengan anggapan bahwa pemilihan mereka itu sudah baik dan
benar! Mereka, orang-orang tua kurang pikir ini, hampir tidak ada atau sedikit
sekali memperhatikan selera anak mereka, pilihan anak mereka, mencari
kesalahan-kesalahan dalam pilihan anak-anak mereka dan menonjolkan
kebaikan-kebaikan mereka sendiri, membujuk si anak, baik dengan halus
maupun keras.
Akibatnya, si anak yang terpaksa mentaati karena takut, karena tergantung,
diam-diam merasa tersiksa karena harus mempelajari pelajaran-pelajaran yang
tidak disukai, menganut agama-agama yang tidak cocok dengan hati nuraninya,
melakukan pekerjaan-pekerjaan yang tidak cocok dengan dirinya, bahkan hidup
berdua dengan jodoh-jodoh yang sama sekali tidak dicintanya. Demi orang tua!
Dan siapa yang senang dan lega? Si orang tua itulah! Dengan demikian,
sebenarnya orang-orang tua ini hanya mencari kesenangan diri sendiri belaka,
mencari kepuasan diri sendiri belaka, dengan melalui anak-anak mereka!
Orang-orang tua yang bijaksana tidak akan memperhitungkan selera diri
sendiri, melainkan mementingkan selera anak-anaknya, tentu saja bukan
berarti melepaskan pengawasan dan pengarahan, melainkan dengan dasar
membahagiakan si anak, bukan si diri sendiri!
Bukan tidak mungkin selera anaknya bertolak belakang dengan selera diri
sendiri, namun demi cinta kasih terhadap anaknya, harus berani
mengesampingkan selera dan pendapat diri pribadi.
Juga pendapat Bin Mo To tentang mementingkan tujuan merupakan penyakit
yang banyak menghinggapi batin kita.
Cara apapun yang dilakukan, dianggap baik kalau saja cara itu dipergunakan
untuk TUJUAN BAIK. Betapa kita terlalu sering ditipu oleh istilah "tujuan baik"
ini sehingga kita terjebak ke dalam perbuatan-perbuatan yang sama sekali tidak
baik atau bersih, dengan alasan bahwa perbuatan itu merupakan cara untuk
mencapai tujuan baik tadi! Bagi orang yang dihinggapi penyakit ini, maka
pegangannya adalah : Tujuan menghalalkan segala cara!
Sepintas lalu kita mudah terbujuk dan tertipu oleh tujuan baik, cita-cita mulia,
dan sebagainya lagi. Maka terjadilah di dunia ini sebuah perang yang dianggap
suatu cara terbaik untuk mencegah terjadinya perang, sebuah perang yang
dianggap cara terbaik untuk mencapai perdamaian dan sebagainya lagi. Betapa
menyesatkan! Mungkinkah kita dapat hidup damai dengan seseorang dengan
cara memukuli dan menaklukkan orang itu? Mungkin saja perdamaian di satu
pihak, yaitu pihak yang menang, akan tetapi yang dipukul dan ditaklukkan itu
hanya mau berdamai karena terpaksa, karena kalah, karena takut. Akan tetapi
berilah yang kalah itu suatu kesempatan, suatu ketika maka dia akan
memberontak dan membalas dendam!
Tidaklah mungkin sama sekali tujuan baik dicapai dengan cara yang buruk!
Kalau caranya kotor, maka yang tercapai tentulah kotor pula. Tujuan hanya
suatu gambaran yang kita buat, jadi bukan kenyataan dan sama sekali tidak
ada sangkut paut atau hubungannya dengan perbuatan yang kita lakukan
dalam kehidupan. Yang terpenting sekali adalah CARA itulah! Cara ini
menentukan segalanya, karena cara berarti perbuatan kita sekarang ini, saat
ini! Kalau cara ini didikte oleh tujuan, maka cara ini menjadi palsu! Akan tetapi
kalau cara atau perbuatan ini tanpa tujuan dan didasari cinta kasih, maka itulah
cara hidup yang benar! Tanpa tujuan tertentu, berarti TANPA PAMRIH. Dan
hanya cinta kasih sajalah yang menciptakan perbuatan tanpa tujuan, tanpa
pamrih.
MENGEJAR KEBAHAGIAAN
Kalau batin sudah tidak mengejar-ngejar, tidak mencari-cari apa yang berada di
luar jangkauan kita, maka batin itu a-kan menjadi tenteram dan kita dapat
menerima segala sesuatu sebagai hal yang wajar, tanpa mengeluh sedikitpun
juga, bahkan dengan senyum tulus ikhlas kare-na kewaspadaan membuat kita
mengerti bahwa segala itu merupakan suatu kenya-taan dan kenyataan itu
mengandung ke-indahan. Segala sesuatu di dunia ini mengandung keindahan
bagi batin yang tidak mencari apa-apa. Baik hujan, maupun panas, dihadapi
dengan senyum dan dipandang sebagai suatu keindahan, tanpa keluhan
karena tidak ada yang perlu dikeluhkan, karena tidak ada penyesalan dalam
batin, karena tidak ada hal-hal yang bertentangan dengan yang dicari, karena
memang tidak ada yang dicari-cari! Dalam keadaan inilah kita mungkin sekali
akan merasakan dan mengerti apa sesungguhnya hakekat kebahagiaan itu.
Tidak mencari kesenangan ini sama sekali bukan berarti bahwa kita menolak
kesenangan! Orang-orang yang menolak kesenangan, mengasingkan diri di
puncak bukit, mengharamkan segala hal yang mendatangkan rasa enak dan
nikmat, sesungguhnya adalah orang-orang yang MENCARI KESENANGAN,
dalam bentuk lain! Memang, dalam mencari kesenangan, orang seringkali lupa
diri, dan bahkan mau bersusah payah menyiksa diri, dalam mengejar
kesenangan yang dinamakan cita-cita. Dan andaikata yang dikejar dengan cara
menyiksa diri itu tercapai, maka yang didapatkannya itupun hanyalah suatu
bentuk kepuasan, suatu bentuk kesenangan perasaan belaka yang ekornya
dapat berupa kekecewaan dan kebosanan pula. Perasaan enak, nyaman,
nikmat yang dinamakan kesenangan adalah suatu anugerah hidup. Tubuh dan
perasaan kita dibekali alat-alat penangkap rasa senang ini, dan kita berhak
menikmati kesenangan dalam hidup ini. Kesenangan adalah berkah dan sama
sekali tidak berbahaya. Yang berbahaya adalah PENGEJARAN itulah,
PENCARIAN itulah, karena dalam mengejar inilah timbulnya segala macam
perbuatan yang merugikan orang lain, yang pada umumnya disebut jahat.
Pengejaran kesenangan yang berbentuk kedudukan dan kemuliaan, seperti
yang terjadi pada Raja dan Ratu Iblis, menimbulkan perang dan permusuhan,
bunuh-bunuhan antara manusia. Pengejaran kesenangan dalam bentuk harta
benda menimbulkan perbuatan-perbuatan curang, korupsi, penipuan,
perampokan, pencurian dan sebagainya. Pengejaran terhadap kesenangan
dalam bentuk nafsu berahi menimbulkan perkosaan, pclacuran, dan
sebagainya dan segala macam perbuatan yang pada umumnya merugikan dan
dianggap jahat, kalau ditelusur, sudah pasti dasarnya adalah pengejaran
kesenangan itu.
Akan tetapi, orang yang tidak mengejar kesenangan, menganggap segala hal
yang terjadi merupakan suatu kewajaran dan di dalam kewajaran ini, di mana
tidak terdapat keluhan, tidak terdapat kekecewaan karena tidak ada
pengejaran, terkandunglah kesenangan yang lain lagi! Kenikmatan karena
memang cita rasa menganggapnya enak, bukan kenikmatan karena
tercapainya suatu pengejaran. Bagi orang yang tidak mengejar, memper-oleh
minuman apapun akan terasa nikmat, baik itu berupa air jernih belaka maupun
minuman yang mahal harganya. Kenikmatan terdapat pula di dalam nasi sam-
bal maupun dalam nasi beserta masakan yang mahal bagi mereka yang tidak
me-ngejar.
Bukan berarti pula bahwa orang yang tidak mengejar kesenangan lalu menjadi
lumpuh semangat dan duduk menganggur! Sama sekali tidak demikian! Akan
tetapi, orang bahagia seperti ini, kalau bekerja, bukan bermaksud mengejar
uang, melainkan melakukan suatu pekerjaan yang ber-manfaat dan yang
sesuai dengan minat-nya sehingga di dalam pekerjaan itu sen-diri dia sudah
mengecap kenikmatan! U-ang sebagai upah atau hasil pekerjaannya hanya
merupakan akibat saja dalam du-nia yang kesemuanya sudah diukur dengan
uang ini. Akan tetapi uang bukan menjadi tujuan utama untuk dikejar me-lalui
pekerjaan. Kalau pekerjaan itu dila-kukan sebagai cara untuk mencari uang,
maka akan timbul hal-hal yang buruk dan curang, pekerjaan itu mungkin
menjadi kotor, pegawai berkorupsi, pedagang menipu dan memalsu,
manipulasi, penyelundupan, dan sebagainya lagi keburukan yang terdapat
dalam pekerjaan dan perdagangan.
Sejak ribuan tahun yang lalu, para cerdik pandai, para cendekiawan, para
budiman sudah berusaha mati-matian untuk mencari cara yang baik agar
manusia dapat hidup benar dan besar. Berbagai macam cara hidup telah
diciptakan ma-nusia dengan berbagai paham (isme), ber-bagai garis hidup
telah dipaksakan kepada manusia. Akan tetapi, kalau kita sekarang menengok
keadaan di seluruh dunia, semua cara itu ternyata tidak menolong, tidak dapat
membebaskan manusia daripada kesengsaraan, daripada kemurkaan,
ketamakan, ketakutan, kebencian dan permusuhan. Ternyata segala macam
kedudukan tinggi, kehidupan mewah, ilmu pengetahuan yang tinggi-tinggi, tidak
mampu memperbaiki kehidupan batin manusia, tidak mampu mengusir
kesengsaraan manusia, tidak mampu mendatangkan KEBAHAGIAAN dalam
batin manusia. Tidak ada paham (isme) apapun, tidak ada cara apapun, yang
akan dapat merobah batin manusia kecuali dirinya sendiri. Dan perubahan itu
baru bisa terjadi kalau kita mau mengenal diri sendiri, mengamati diri sendiri
dan lika-liku kehidupan kita setiap hari dengan penuh perhatian, penuh
kewaspadaan. Pengamatan yang mendalam setiap saat akan membuka mata
kita bahwa kita sendirilah sumber segala derita, kita sendirilah pencipta
kesengsaraan, kita sendiri yang menjauhkan diri dari kebahagiaan, menjauhkan
diri dari Tuhan! Tuhan dengan segala berkahNya berlimpahan tidak pernah
sedetikpun menjauhi kita. Adalah kita yang setiap saat, demi pengejaran
kesenangan, menjauhi Tuhan dan setelah akibat pengejaran itu
menjerumuskan kita ke dalam lembah kesengsaraan, kita berteriak-teriak
mengeluh kenapa Tuhan meninggalkan kita!
Orang bahagia akan selalu menerima segala hal yang terjadi sebagai suatu
kenyataan hidup tanpa menilai hal itu sebagai baik atau buruk. Tidak mengeluh,
tidak menyalahkan siapapun, melainkan membuka mata dengan waspada akan
gerak-gerik "monyet putih" yang bercokol di dalam pikiran kita.
Segala peristiwa yang terjadi di dunia ini, adalah fakta-fakta yang tak dapat
diubah lagi oleh apa dan siapapun juga. Peristiwa yang terjadi adalah suatu hal
yang sudah nyata, wajar, dan tidak baik maupun buruk. Yang terjadi pun
terjadilah! Kitalah yang menempelkan sebutan baik atau buruk pada peristiwa
yang terjadi, sesuai dengan penilaian kita yang didasari oleh kepentingan diri
pribadi. Dan sekali kita menilai, sekali kita memberi sebutan baik atau buruk,
maka muncullah sebutan baik buruk, kita senang kalau peristiwa itu baik
(menguntungkan) dan kita kecewa kalau peristiwa itu buruk (merugikan).
Kecewa, marah, duka dan sebagainya itu berada di dalam CARA MENERIMA
KENYATAAN yang berupa peristiwa itu, bukan terletak pada kenyataan itu
sendiri. Dan oleh karena penilaian kita didasari kepentingan diri, maka apa
yang kita anggap baik hari ini, belum tentu kita anggap baik pada keesokan
harinya, dan sebaliknya. Apa yang kita tangisi hari ini, mungkin besok akan kita
tertawakan, dan apa yang mendatangkan tawa hari ini kepada kita, mungkin
akan mendatangkan tangis pada keesokan harinya. Semua itu tergantung dari
keadaan hati kita ketika menghadapi kenyataan itu.
Kalau kita mau menghadapi segala macam peristiwa dalam hidup ini sebagai
suatu kenyataan, suatu fakta yang wajar, maka kita akan menerimanya dengan
hati lapang, dengan penuh kewaspadaan tanpa menilai baik buruknya. Dengan
demikian, batin kita akan tetap tenang dan jernih, dan tindakan kita sebagai
tanggapan terhadap peristiwa itu bukan lagi dikuasai oleh emosi, oleh nafsu,
melainkan didasari kecerdasan dan akal budi yang sehat. Dan kewaspadaanlah
yang akan membuka mata kita bahwa sesungguhnya, segala peristiwa yang
terjadi hanyalah suatu akibat dari suatu sebab. Sebab-sebab itu dapat berantai
panjang, namun pusatnya atau sebab utama dan pertamanya, akan selalu kita
dapatkan di dalam diri sendiri! Kalau sudah begini, tidak mungkin akan ada lagi
keluhan, apa pun yang terjadi menimpa diri. Jangankan hanya urusan yang
tidak langsung mengenai diri, bahkan datangnya penyakit dan kematian
sekalipun merupakan suatu kewajaran yang tidak dinilai sebagai baik ataupun
buruk. Dan kalau sudah begini, apakah masih ada masalah dalam kehidupan?
Kalau batin sudah bebas dari ikatan apapun juga, kematian pun hanya
merupakan suatu kewajaran yang tidak mendatangkan perasaan was-was atau
takut sama sekali.
Selama hampir lima tahun Han Siong mempelajari kitab-kitab suci agama dan
filsafat, dan karena dia memang mempunyai kecerdikan yang lebih daripada
kecerdikan anak-anak seusianya, maka ucapan suhunya itu membuat dia
mengerutkan alisnya. Dari sikap dan kata-kata ketua kuil itu, jelaslah bahwa
ketua kuil itu merendahkan dua orang hukuman itu, menekankan bahwa
mereka berdua adalah orang-orang berdosa yang kotor, sebaliknya para
hwesio adalah orang-orang yang bersih dan suci! Hal ini sama sekali tidak
cocok dengan isi pelajaran agama dan filsafat. Bukankah anggapan bahwa diri
sendiri bersih merupakan suatu anggapan yang kotor? Di situ tersembunyi
suatu kesombongan dan ketinggian hati yang sama sekali berlawanan dengan
pelajaran agama!
Memang demikianlah kenyataannya dalam diri kita manusia di dunia ini. Kita
yang beragama selalu kejangkitan penyakit yang sama, yaitu menganggap diri
sendiri bersih dan baik, menganggap diri sendiri sebagai kekasih-kekasih
Tuhan akan tetapi memandang orang atau golongan lain seperti melihat orang-
orang yang kotor penuh dosa dan dikutuk atau dimusuhi Tuhan! Betapa
kotornya pandangan seperti ini dan jelas bukan pandangan yang bersih.
Kekuasaan Tuhan yang nampak di dunia ini sama sekali tidak pernah
membeda-bedakan antara manusia, dari bangsa atau golongan atau agama
apapun juga! Kasih Tuhan nampak di mana-mana, merata dan sudah tersedia
bagi manusia yang tinggal menikmatinya saja asal kita mau menyadari akan hal
itu. Lihatlah sinar matahari yang hangat, menghidupkan, nyaman dan menjadi
sumber kehidupan segala sesuatu yang nampak di permukaan bumi. Bukankah
sinar matahari itu satu di antara kekuasaan dan kasih sayang Tuhan? Dan
apakah sinar matahari itu, seperti anugerah-anugerah yang lain, membeda-
bedakan? Sama sekali tidak. Baik seseorang itu pendeta yang katanya suci,
maupun dia seorang yang dianggap paling jahat, akan menerima sinar matahari
yang sama. Hanya bedanya, orang yang mau membuka matanya dan sadar
akan semua yang berada di luar dirinya, akan dapat menikmati sepenuhnya
kalau matahari pagi yang hangat dan sehat memancarkan cahayanya, dan
akan berteduh dengan penuh pengertian kalau matahari menyengat terlampau
keras. Sebaliknya, orang yang pikirannya selalu keruh dan sibuk, akan lengah
dan tidak mampu menikmati keindahan dan kegunaan matahari pagi, kemudian
akan mengeluh dan mengomel kalau matahari terlalu terik. Jelaslah, bagi
kekuasaan Tuhan, bagi alam, tidak ada bedanya di antara manusia karena di
situ tidak terdapat penilaian. Hanya penilaian yang menimbulkan pembedaan,
karena penilaian ini didasari oleh aku yang merasakan diuntungkan atau
dirugikan. Kalau diuntungkan, maka penilaian tentu sa ja condong ke arah baik
sedangkan kalau dirugikan, dinilai buruk. Jelas bahwa penilaian bersumber
kepada keakuan yang selalu mengejar kesenangan
Yang sering kita namakan bisikan iblis yang suka membujuk manusia untuk
melakukan perbuatan yang tidak sepatutnya, sesungguhnya adalah bisikan dari
pikiran kita sendiri. Pikiran yang menyimpan kenang-kenangan senang dan
susah, membentuk Si Aku yang selalu ingin mengejar kesenangan dan
menjauhi ketidaksenangan. Selain pandai menyimpan kenangan masa lalu,
juga Si Aku suka membayang-bayangkan kesenangan yang khayal, dua hal
inilah yang mendorong orang melakukan sesuatu yang tidak patut. Keinginan
untuk mencapai dan memperoleh hal-hal menyenangkan yang dibayangkan
itulah yang menjerumuskan kita ke dalam perbuatan-perbuatan sesat.
Keinginan memperoleh kesenangan ini besar sekali kemungkinannya
melahirkan cara-cara pengejaran yang jahat. Pengejaran kesenangan yang
berupa uang dapat mendorong orang melakukan korupsi, penipuan, pencurian,
pemerasan dan sebagainya lagi. Pengejaran kesenangan yang berupa
kedudukan dapat mendorong orang untuk saling jegal, saling hantam dan
mungkin saling bunuh dan menimbulkan perang. Pengejaran kesenangan yang
berupa sex dapat mendorong orang untuk melacur, berjina, memperkosa dan
sebagainya lagi.
Kalau memang sudah tiba saatnya nyawa harus meninggalkan raga, biarpun
kita bersembunyi ke dalam lubang semut, tetap saja maut akan datang
menjemput, tepat pada saatnya dan dengan cara yang bagaimana aneh pun.
Sebaliknya, kalau memang belum saatnya kita mati, biarpun sudah terancam
seribu satu bahaya maut, ada saja "kebetulan" yang seribu satu macamnya
yang akan membuat kita terluput daripada kematian. Seorang perajurit yang
sejak mudanya menjadi perajurit, hidup di medan perang dan setiap saat
terancam bahaya maut, dapat keluar tanpa lecet sedikit pun sampai hari
pensiunnya. Akan tetapi begitu dia pulang ke kampung, baru saja dia terkena
penyakit dan dalam satu dua hari saja meninggal dunia! Banyak pula orang
yang sudah menderita sakit yang berat, sampai bertahun-tahun tidak juga mati
walaupun dia sudah merasa bosan dengan penderitaan penyakitnya dan minta
mati. Sebaliknya, ada pula orang yang hari ini masih nampak segar bugar dan
tertawa-tawa, besok secara tiba-tiba saja meninggal dunia!
Karena itu, biarpun nampaknya ajaib dan luar biasa aneh, kalau mengingat
akan hal-hal di atas, tidaklah aneh kalau laki-laki buntung lengan kirinya tadi,
yang terjungkal dari tempat setinggi seribu kaki, tidak menjadi mati karena
memang belum saatnya. Hanya perkataan "belum saatnya" itulah yang dapat
kita keluarkan karena kita tidak dapat menembus rahasia di balik itu semua.
Masalah sex dan hubungan antara pria dan wanita, terutama sekali antara
muda mudi, sejak dahulu menjadi bahan perdebatan, pergunjingan, penulisan
yang tak kunjung habis, dan membikin pusing kebanyakan orang tua, terutama
yang mempunyai anak gadis. Ada yang condong untuk menggunakan tangan
besi berupa pelajaran-pelajaran tentang dosa, tentang kesusilaan, dan
sebagainya untuk mengekang anak-anak mereka agar jangan sampai
tergelincir oleh godaan nafsu dalam diri sendiri, nafsu yang mulai bangkit
semenjak tubuh mereka menjadi dewasa. Ada pula yang acuh saja, bahkan
kurang perhatian dan masa bodoh sikapnya. Akan tetapi kedua-duanya, kalau
sampai terjadi anak gadis mereka mengandung sebelum menikah, menjadi
kelabakan, berduka, menyesal, marah-marah dan sebagainya lagi karena
dorongan emosi yang timbul oleh perasaan dirugikan.
Mengekang dengan jalan kekerasan seperti mengurung seorang gadis di dalam
kamarnya atau dalam rumah saja, sudah bukan jamannya lagi sekarang. Akan
tetapi membiarkan seorang gadis begitu saja dalam kebebasan dalam keadaan
yang kurang kuat sehingga mudah ia tergoda dan tergelincir, tentu saja bukan
suatu sikap yang baik dari orang tua. Lalu apa yang harus dilakukan orang tua
menghadapi pergaulan yang makin modern dan bebas dari anak-anaknya?
Orang tua yang mempunyai anak laki-laki khawatir kalau-kalau anak mereka
menghamili seorang gadis sehingga terpaksa mereka harus mengambil gadis
itu sebagai mantu, cocok ataukah tidak, sudah waktunya anak mereka menikah
ataukah belum. Sebaliknya, orang tua yang mempunyai anak gadis selalu
khawatir kalau anaknya itu tergoda dan tergelincir menjadi hamil dan seribu
satu usaha dilakukan orang-orang tua setelah gadis itu hamil, di antaranya cara
yang tidak terpuji, yaitu dengan mencoba untuk menggugurkan kandungan itu!
Setiap orang anak memiliki dunianya sendiri, kehidupannya sendiri, selera dan
jalan pikiran, pandang hidupnya masing-masing. Namun semua ini tidak
terpisah sama sekali dari pengaruh lingkungan, terutama lingkungan
keluarganya. Sudah sepatutnya kalau anak yang lahir di dunia karena ulah
ayah bundanya, memperoleh cinta kasih yang murni dari ayah bundanya,
karena HANYA KASIH SAYANG inilah merupakan pendidikan yang paling
benar. Dengan adanya kasih sayang, hubungan antara anak dan orang tua
menjadi akrab, dan keakraban ini yang membuat si anak menjadikan orang
tuanya sebagai sumber segala pertanyaan, sumber segala perlindungan.
Dengan dasar cinta kasih, anak akan menerima keterangan-keterangan tentang
kehidupan dari orang tuanya, dan sejak kecil akan memiliki dasar yang kuat,
tidak pernah merasa terkekang dan merasa bebas dan bertanggung jawab
akan segala perbuatan yang dilakukannya sendiri. Rasa tanggung jawab ini
meniadakan penyesalan atas suatu perbuatan yang dilakukannya. Apalagi
kalau tidak ada tuntutan dari orang tua yang merasa dirugikan, merasa
dicemarkan namanya, dan sebagainya lagi, tuntutan-tuntutan dan kemarahan-
kemarahan atau kedukaan-kedukaan orang tua yang kesemuanya hanya
bersumber dari rasa keakuan si orang tua yang merasa terganggu dan
dirugikan! Namun, kasih sayang melenyapkan sifat-sifat seperti itu. Anak akan
memasuki kehidupan dalam masa apapun juga dengan mata terbuka dan jiwa
bebas kalau anak itu memperoleh cinta kasih sejak kecilnya. Jiwanya tidak
terkekang, tidak tertekan, terbuka dan tidak dihantui kesalahan ini dan itu yang
membuatnya menjadi pengecut dan tidak berani mempertanggung-jawabkan
segala akibat daripada perbuatannya sendiri.
Orang tua yang benar-benar mencintai anak-anaknya, tidak pernah merasa
khawatir anaknya akan melakukan hal-hal yang dianggapnya tidak patut tentu
saja dasarnya takut kalau si anak mencemarkan nama dan kehormatan orang
tua. Dengan dasar cinta kasih murni, maka tidak ada persoalan yang tak dapat
di atasi atau dipecahkan, tidak ada persoalan yang menimbulkan amarah, duka
atau penyesalan. Cinta kasih bersinar terang dan sinarnya mengusir segala
kegelapan pikiran, mencuci segala yang tadinya dianggap kotor.
Waktu memang memiliki kekuasaan atas diri kita manusia secara mutlak.
Hampir seluruh hidup ini kita isi dengan hal-hal yang ada hubungannya dengan
waktu, atau yang dikuasai waktu. Kita memisah-misahkan waktu lampau, waktu
ini, dan waktu mendatang dan dengan pemisahan-pemisahan inilah maka
timbul segala macam persoalan di dalam kehidupan kita. Hampir seluruh
perasaan yang menguasai batin dan menimbulkan emosi lahir dari waktu yang
mengisi seluruh ingatan kita. Perasaan duka timbul dari waktu karena pikiran
mengingat-ingat hal yang telah lalu, membandingkannya dengan waktu kini dan
membayangkan keadaan waktu mendatang. Karena pikiran mengunyah-
ngunyah hal yang telah lampau, mengingat-ingatnya kembali, timbullah duka.
Karena pikiran membayang-bayangkan hal yang mungkin terjadi di masa
depan, timbullah rasa takut, harapan-harapan yang kemudian menimbulkan
kekecewaan-kekecewaan atau kepuasan-kepuasan sejenak. Karena pikiran
membayangkan hal-hal yang menimpa diri kita, yang merasa dirugikan lahir
atau batin oleh orang lain, timbullah rasa marah, dendam dan kebencian. Batin
kita diombang-ambingkan antara masa lampau, masa kini dan masa,
mendatang, dicengkeram oleh waktu!
Melihat kenyataan-kenyataan yang dapat kita rasakan sendiri hal ini merupakan
sesuatu kenyataan yang tak terpisahkandari kehidupan kita masing-masing,
timbullah suatu pertanyaan yang amat penting: Dapatkah kita hidup terlepas
dari cengkeraman waktu? Tentu saja yang dimaksudkan di sini adalah
kehidupan batiniah. Kehidupan lahir tentu saja tidak dapat dipisahkan dari
waktu. Masuk sekolah, kantor, naik kendaraan umum, dan sebagainya memang
harus menurutkan jadwal waktu. Akan tetapi dapatkah batin bebas dari
cengkeraman waktu bebas dari pengenangan kembali hal yang lalu, bebas dari
harapan-harapan masa mendatang, dan hidup saat demi saat, detik demi detik,
hidup SEKARANG ini? Kalau dapat, jelas bahwa kita akan bebas pula dari
duka, kebencian, ketakutan. Mungkinkah bagi kita untuk memutuskan ikatan
dengan masa lalu? Menghabiskan sampai di sini saja segala urusan yang telah
lalu? Dan tidak membayang-bayangkan, tidak mengharapkan, hal-hal yang
belum terjadi? Hidup dan menikmati hidup saat demi saat, menghadapi dengan
penuh kewaspadaan dan kesadaran akan segala yang terjadi saat demi saat,
seperti apa adanya? Ini merupakan suatu seni hidup yang amat tinggi dan
indah. Mari kita coba saja! Bukan dihalangi oleh tanggapan-tanggapan baha hal
itu sukar, tidak mungkin dan sebagainya. Kita lakukan saja sekarang dan kita
lihat bagaimana perkembangannya.
Siapa yang memiliki dia akan menjaga yang dimilikinya dari kehilangan. Yang
memiliki sajalah yang akan kehilangan! Yang tidak memiliki apa-apa takkan
kehilangan apa-apa. Dan dia pun melihat kenyataan bahwa hanya orang yang
tidak memiliki apa-apa, dalam arti kata batinnya tidak terikat oleh apa pun,
maka hanya dia itulah yang sesungguhnya penuh dengan segala sesuatu! Dan
orang yang batinnya kosong, yang jiwanya kosong, memang haus untuk
memiliki sesuatu atau dimiliki seseorang, dia membutuhkan sesuatu yang
disenanginya untuk memenuhi kekosongan jiwanya
Memang banyak kenyataan aneh di dunia ini. Mengapa orang INGIN MEMILIKI
benda-benda yang dapat dinikmati dengan penglihatan, pendengaran atau
penciuman misalnya? Mengapa kita ingin memiliki bunga yang indah dan
harum itu? Padahal, tanpa kita miliki sekalipun, dapat saja kita menikmati
keindahan dan keharumannya! Mengapa kita ingin memiliki burung yang
nyanyiannya demikian merdu? Bukankah tanpa memiliki sekalipun, kita sudah
dapat menikmati kemerduan suara burung itu? Kita ingin memiliki segala-
galanya! Bukan hanya memiliki benda-benda, bahkan memiliki manusia lain.
Isteri atau suami, anak-anak, keluarga menjadi milik kita yang kita kuasai, milik
yang dapat menimbulkan kesenangan dan kebanggaan hati kita. Bahkan kita
ingin memiliki nama besar, kedudukan, kehormatan. Si Aku tak pernah puas,
terus membesar dan berkembang. Badanku keluargaku, hartaku, namaku,
kedudukanku, terus membesar sampai ke bangsaku, agamaku dan selanjutnya.
Karena melihat betapa si aku ini sebenarnya bukan apa-apa, hanya seonggok
daging hidup Yang menanti saatnya kematian tiba dan kalau sudah mati segala
miliknya itu terpisah dari "aku", maka si aku haus untuk mengikatkan diri
dengan apa saja, untuk mengisi kekosongan dan kekecilannya, untuk tempat
bergantung sesudah mati agar diingat terus, agar "hidup" terus!
Hati atau batin yang gelisah dan tidak tenteram selalu menjadi akibat dari
sibuknya pikiran! Kalau pikiran tenang dan hening seperti air telaga yang tidak
diusik, maka batin akan menjadi hening dan bebas dari segala macam
perasaan pula. Akan tetapi sekali pikiran kacau dan keruh seperti air yang
diaduk sehingga semua lumpur dan kotoran dari dasar yang tadinya
mengendap itu timbul dan mengeruhkan, keheningan air pun lenyap. Jadi yang
penting bukanlah menekan kesibukan pikiran karena penekanan ini pun
merupakan kesibukan lain lagi dari pikiran itu sendiri. Yang penting adalah
menyelami dan mempelajari, mengamati kesibukan pikiran sendiri, bukan
pengamatan dengan pamrih mendiamkan pikiran, melainkan pengamatan yang
timbul dari kewaspadaan. Tanpa penekanan dan perlawanan, tanpa adanya si
aku yang menekan atau mengamati, tanpa adanya aku yang ingin melihat
pikiran menjadi tenang, maka bagaikan kehabisan setrum, pikiran akan menjadi
diam dengan sendirinya, bukan DIBIKIN diam.
Kehidupan kita seolah-olah sejak kecil sampai tua sampai mati, dipenuhi
dengan berbagai macam masalah dan persoalan. Masing-masing dari kita
mempunyai masalah sendiri, menghadapi persoalan tertentu sendiri-sendiri,
suka duka selalu menyelang-nyeling, susah senang menjadi pakaian sehari-
hari. Semua ini bukan lain ditimbulkan oleh pikiran atau si aku karena si aku
adalah bentukan pikiran kita sendiri. Ingin ini, ingin itu, mengapa begini,
mengapa tidak begitu seperti yang kita inginkan, mengapa harapan kita menjadi
hampa, mengapa keinginan kita tidak terlaksana, mengapa orang lain senang
dan kita susah, orang lain pandai dan kita bodoh, orang lain kaya dan kita
miskin, dan sebagainya. Perang atau konflik terjadi di dalam diri kita masing-
masing, konflik antara kenyataan dan keinginan lain, konflik antara keadaan
seperti adanya dengan keadaan seperti yang kita kehendaki. Konflik dalam diri
setiap manusia ini menjalar menjadi konflik antara kelompok, golongan, bahkan
antara bangsa dan menjadi perang yang mengguncang dunia.
Semua pertikaian atau konflik antara dua orang selalu timbul karena pikiran
masing-masing, karena si aku yang selalu ingin disenangkan walaupun jarang
sekali ingin menyenangkan, selalu ingin dikasihani walaupun jarang
mengasihani. Masing-masing memperebutkan kebenaran sendiri, dan
kebenaran yang diperebutkan itu sudah pasti kebenaran yang didasari ingin
senang sendiri. Keduanya memperebutkan kebenaran sendiri-sendiri yang
berbeda, bahkan berlawanan.
Tradisi usarig dan kebiasaan lama kadang-kadang merupakan kebijaksanaan
pada suatu masa atau kurun waktu tertentu dan kalau selalu dipertahankan,
maka akan menimbulkan konflik karena segala sesuatu akan berubah dengan
berubahnya waktu. Mengekor saja kepada kebiasaan atau tradisi lama tanpa
pertimbangan yang bijaksana, merupakan suatu kebodohan.
Semenjak ribuan tahun, di Tiongkok terdapat suatu anggapan yang sudah
berakar di dalam hati setiap keluarga, merupakan tradisi yang amat kokoh kuat,
yaitu bahwa setiap keluarga HARUS mempunyai keturunan laki-laki! Mungkin
sekali anggapan ini terdorong oleh kedua keadaan. Pertama, seorang anak
laki-laki dianggap akan dapat membantu keluarga orang tuanya di sawah
karena pada waktu itu, sebagian besar rakyat hidup sebagai petani yang
miskin. Kebutuhan akan tenaga bantuan inilah yang mendorong mereka
beranggapan bahwa kalau mempunyai anak laki-laki berarti memperoleh
tenaga bantuan yang amat baik dan dapat dipercaya, dan berarti meringankan
beban keluarga. Dan ke dua, anak laki-laki akan melanjutkan tradisi nenek
moyang, akan melanjutkan keturunan marga mereka masing-masing, dan akan
memelihara abu nenek moyang.
Jelasnya, seorang anak laki-laki akan dapat melanjutkan silsilah keluarga,
melanjutkan riwayat marga itu. Sebaliknya, anak perempuan hanya menjadi
beban sejak kecil, merupakan mahluk lemah yang tenaganya tak dapat banyak
diharapkan di waktu anak itu menjadi dewasa, bahkan mengundang datangnya
gangguan yang datang dari orang-orang muda, dan akhirnya anak itu hanya
akan diboyong oleh orang lain, membantu rumah tangga keluarga lain! Yang
dianggap lebih celaka lagi begitu menikah, seorang anak perempuan telah
berganti she (nama marga) yang berarti telah menjadi anggauta keluarga
marga baru itu, dan marganya sendiri sudah terlepas darinya.
Tentu saja pendapat yang menjadi tradisi seperti ini merupakan suatu pendapat
yang seluruhnya berdasarkan kepentingan si aku, dalam hal ini kepentingan si
orang tua sendiri. Dan pendapat yang berdasarkan kepentingan diri sendiri
selalu mendatangkan tindakan-tindakan yang jahat. Demikian pula dengan
tradisi tentang anak laki-laki ini, menimbulkan banyak tindakan yang sesat di
kalangan orang-orang tua. Banyak yang menganggap keluarga mereka sial
kalau mempunyai anak perempuan, bahkan bukan merupakan dongeng belaka
kalau ada keluarga yang anaknya terlahir perempuan melulu, tanpa ada yang
laki-laki, memperlakukan anak-anak mereka dengan kejam, bahkan ada yang
membunuh anak yang ke sekian dan terlahir perempuan, atau menjual anak itu
kepada keluarga lain untuk dijadikan budak, selir, atau bahkan pelacur!
Sungguh menyedihkah akibat dari suatu kebiasaan yang turun-temurun
dilakukan orang tanpa mempergunakan pertimbangan kebijaksanaan lagi.
Tentu saja karena si aku adalah bentukan pikiran kita sendiri. Ingin ini, ingin itu,
mengapa begini, mengapa tidak begitu seperti yang kita inginkan, mengapa
harapan kita menjadi hampa, mengapa keinginan kita tidak terlaksana,
mengapa orang lain senang dan kita susah, orang lain pandai dan kita bodoh,
orang lain kaya dan kita miskin, dan sebagainya. Perang atau konflik terjadi di
dalam diri kita masing-masing, konflik antara kenyataan dan keinginan lain,
konflik antara keadaan seperti adanya dengan keadaan seperti yang kita
kehendaki. Konflik dalam diri setiap manusia ini menjalar menjadi konflik antata
kelompok, golongan, bahkan antara bangsa dan menjadi perang yang
mengguncang dunia.
Semua pertikaian atau konflik antara dua orang selalu timbul karena pikiran
masing-masing, karena si aku yang selalu ingin disenangkan walaupun jarang
sekali ingin menyenangkan, selalu ingin dikasihani walaupun jarang
mengasihani. Masing-masing memperebutkan kebenaran sendiri, dan
kebenaran yang diperebutkan.
Jadi yang penting bukanlah menekan kesibukan pikiran karena penekanan ini
pun merupakan kesibukan lain lagi dari pikiran itu sendiri. Yang penting adalah
menyelami dan mempelajari, mengamati kesibukan pikiran sendiri, bukan
pengamatan dengan pamrih mendiamkan pikiran, melainkan pengamatan yang
timbul dari kewaspadaan. Tanpa penekanan dan perlawanan, tanpa adanya si
aku yang menekan atau mengamati, tanpa adanya aku yang ingin melihat
pikiran menjadi tenang, maka bagaikan kehabisan setrum, pikiran akan menjadi
diam dengan sendirinya, bukan DIBIKIN diam.
Kehidupan kita seolah-olah sejak kecil sampai tua sampai mati, dipenuhi
dengan berbagai macam masalah dan persoalan. Masing-masing dari kita
mempunyai masalah sendiri, menghadapi persoalan tertentu sendiri-sendiri,
suka duka selalu menyelang-nyeling, susah senang menjadi pakaian sehari-
hari. Semua ini bukan lain ditimbulkan oleh pikiran atau si aku olah jantungnya
ditusuk-tusuk dan sejak tadi ia sudah menahan kemarahannya yang makin
berkobar. Kini, mendengar suaminya melibatkannya, dan melihat betapa ayah
mertuanya itu menanggapinya secara acuh saja, ia tidak tahan lagi.
Tiada sesuatu yang abadi di dalam kehidupan ini! Perubahan terjadi setiap
saat, seperti matahari yang tiba-tiba tertutup awan hitam sehingga dunia
menjadi gelap. Hujan yang deras pun tiba-tiba dapat terhenti dan langit kembali
menjadi terang. Bahkan perubahan yang paling hebat dapat saja setiap saat
terjadi dengan tiba-tiba, yaitu kalau kematian datang menjemput. Orang yang
selalu waspada akan memiliki kebijaksanaan untuk menerima segala sesuatu
yang terjadi sebagai suatu kewajaran, sebagai suatu hal yang sudah
semestinya terjadi, karena itu tidak akan mengguncangkan batinnya. Bahkan
kematian pun yang datang menjemput akan diterima dengan iklas, pasrah dan
mulut tersenyum karena maklum bahwa dia tidak berdaya, tidak berkuasa,
hanya menjadi anak wayang saja yang harus tunduk dan patuh terhadap
peraturan yang dijalankan oleh Sang Sutradara! Dijadikan pemegang peran apa
pun tidak penting, biar dijadikan raja atau pengemis, orang kaya atau orang
miskin, pintar atau bodoh, sehat atau berpenyakitan. Tidak mengeluh kalau
memegang peran rendah, tidak berlebihan gaya kalau memegang peran mulia,
karena yang penting adalah menghayati peran itu, memainkan peran yang
dipegangnya sebaik mungkin. Memegang peran apa pun juga, baik yang
menang atau yang kalah, yang tinggi atau yang rendah, yang kaya atau miskin,
pintar atau bodoh, kesemuanya itu hanya untuk sementara saja dan semua
akan berakhir sama, yaitu tamatnya cerita atau kematian. Karena maklum
bahwa segala sesuatu, yang baik maupun yang buruk, tidak abadi, bahwa
kehidupan sebagai roda, maka tidak akan mengeluh selagi berada di bawah
dan tidak akan sombong selagi berada di atas. Demikianlah seorang yang
bijaksana.
Agama To pernah mengajarkan bahwa sebelum ada sesuatu, yang ada
hanyalah Kosong, adan kosong sama dengan Tiada. Disebut Tiada atau
Kosong karena keadaan itu tidak dapat diselami oleh pikiran manusia yang
berisi, isi yang terbentuk dari ingatan-ingatan tentang pengalaman masa lalu,
yang hanya dapat dicatat oleh pikiran berupa ingatan. Akan tetapi, jauh
sebelum itu, otak tak mampu mencatatnya.
Segala sesuatu yang ada, segala sesuatu yang terjadi, sudah pasti mempunyai
sebab. Segala sesuatu hanya merupakan akibat belaka dari sebab-sebab
tertentu. Dan selama ingatan masih mampu mencatat, selama pikiran masih
mampu meraba, orang dapat mnelihat sebab-sebabnya. Akan tetapi sebab dan
akibat itu berkait-kaitan, tiada putusnya dan ingatan tidak mungkin dapat
menelusuri sampai pada bagian yang tanpa batas. Dan kalau sudah begini,
maka manusia tidak tahu lagi dan tidak dapat melihat sebab-sebab yang tidak
dilihatnya, tidak dimengertinya. Karena itulah, otak yang kehilangan akal dan
kehilangan ukuran lalu melahirkan kata Nasib, menyerahkan Kehendak Tuhan,
atau bahkan tidak mau tahu karena tidak melihat sebabnya, hanya
mementingkan akibatnya dan mencari kesalahan kepada siapa saja secara
membabi-buta!
Kalimat yang harus diingatnya itu membuatnya sadar bahwa segala bintang
diangkasa itu pun terjadi dan tercipta bukan tanpa sebab. Alangkah banyaknya
rahasia di alam mayapada ini, dan betapa besar kekuasaan Sang Pencipta.
Penuh rahasia gaib yang tak mungkin di buka oleh pikiran manusia yang
sesungguhnya amatlah dangkal, rapuh, dan penuh sesak sehingga
membuatnya menjadi kotor. Ketika dia melihat jutaan bintang itu, nampak
olehnya keindahan yang selama ini belum pernah dilihatnya, merasakan
kebahagiaan yang belum pernah menyentuh batinnya.
Betapa indahnya hari ini, dan betapa bahagianya manusia dapat melihat,
mendengar, mencium, meraba dan merasakan semua keindahan yang seolah-
olah dilimpahkan untuk manusia.
Menikmati keindahan tinggal membuka mata memandang,
menikmati keharuman tinggal membuka hidung mencium,
menikmati kemerduan tinggal membuka telinga mendengar. Betapa
bahagianya hidup ini.
Hidup ini adalah kebahagiaan itu sendiri karena hidup adalah anugerah,
hidup adalah cinta kasih.
"Yang merasa dirinya pintar adalah tolol!" Tentu saja, karena perasaan
demikian itu sesungguhnya hanya merupakan suatu kecongkakan belaka,
merajalelanya si aku yang ingin mengangkat diri setinggi-tingginya, sebesar-
besarnya, yang paling besar, yang tak dapat lenyap, yang abadi dan banyak
macam "yang ter" lagi. Perasaan ini hanya timbul dari pikiran yang bukan lain
adalah si aku sendiri. Orang yang merasa dirinya pintar adalah orang-orang
bodoh yang mudah bersikap sombong, congkak, tinggi hati, merasa benar
sendiri, menang sendiri, meremehkan orang lain. Tentu saja orang macam itu
adalah tolol sekali. Kemudian kalimat lanjutannya yang menjadi kebalikan,
"yang merasa dirinya bodoh adalah waspada." Bukan pintar, melainkan
waspada.
Memang sesungguhnya, kalau orang mengamati diri sendiri dan merasa betapa
dirinya, seperti semua manusia lain, sebenarnya hanyalah mahluk-mahluk yang
banyak sekali kekurangan dan kelemahannya, maka dia adalah seorang
waspada. Kewaspadaan itu sendiri yang akan mengadakan perobahan pada
dirinya, menghilangkan segala macam kebodohan dalam bentuk keangkuhan,
ketinggian hati dan sebagainya dan kewaspadaan ini yang melenyapkan
kebodohannya. Bukan berarti lalu menjadi pintar, karena kalau dia merasa
pintar, berarti dia terjeblos kedalam kebodohan yang akan membuatnya tolol!
"Merasa" dalam hal ini berbeda dengan "mengaku". Mengaku diri bodoh saja
tidak ada artinya. Pengakuan itu bahkan berselubung untuk menyembunyikan
pamrih yang sesungguhnya, yaitu agar dianggap orang yang "waspada", agar
dianggap orang yang tahu akan kebodohannya dan karena itu waspada dan
berisi. Bukan pengakuan yang ditujukan kepada orang lain, melainkan
perasaan yang merupakan pengakuan terhadap diri sendiri, bukan sekedar
mengaku, melainkan yakin karena melihat sendiri kebodohannya.
Itu adalah batiniahnya, sedangkan secara lahiriah, orang yang merasa pintar
tentu akan mengabaikan segala macam pendapat dan pengertian orang lain,
sehingga orang seperti ini tidak akan mampu menambah pengertiannya
sehingga seperti katak dalam tempurung dan tenggelam ke dalam
kebodohannya. Sebaliknya, orang yang merasa dirinya bodoh, tentu akan
selalu haus akan pelajaran, selalu ingin tahu dan ingin menambah
pengetahuannya, mendengarkan pendapat dan buah pikiran orang lain
sehingga muncul kewaspadaannya dan tentu dia tidak bodoh kalau sudah mau
belajar setiap saat!
MENCARI KEBAHAGIAAN
Betapa banyaknya keinginan itu terlontar dari lubuk hati manusia, baik melalui
mulut ataupun hanya dipendam saja. Keinginan untuk mencari kebahagiaan!
Mencari kebahagiaan! Semua orang rindu akan kebahagiaan. Semua orang
ingin mencari kebahagiaan, seolah-oleh kebahagiaan adalah sesuatu yang
dapat di cari, dapat ditemukan dan digenggam agar tidak pergi lagi! Su Kiat
mengira bahwa baginya, kebahagiaan adalah diri Hui Lian, kehadiran Hui Lian
karena ia MEMBUTUHKAN kehadiran Hui Lian YANG MENYENANGKAN
hatinya. Orang lain mungkin bukan itu, melainkan harta bendalah sumber
kebahagiaannya karena dia membutuhkannya, karena hanya harta benda yang
dapat menyenangkan hatinya. Ada pula yang mengejar kebahagiaan melalui
kedudukan, atau nama besar, atau benda atau keadaan bagaimanapun juga,
semata-mata karena dia membutuhkannya, karena dianggapnya bahwa itulah
yang akan menyenangkan dirinya, hatinya, selamanya!
Akan tetapi, apakah kebahagiaan itu sama dengan kesenangan? Apakah orang
yang senang hatinya itu berbahagia? Apakah kesenangan itu dapat dinikmati
selamanya? Hal ini dapat kita pelajari dengan mengamati diri sendiri,
mengamati kesenangan-kesenangan kita, yang kita cari dan kejar-kejar itu.
Betapa banyaknya macam kesenangan atau benda atau keadaan yang
mendatangkan kesenangan. Namun, betapa rapuhnya kesenangan itu sendiri,
seperti gelembung-gelembung sabun yang indah beraneka warna, mempesona
kanak-kanak yang mengejar-ngejarnya, namun setelah terpegang, gelembung
itu pun meletus dan lenyap, terganti kekecewaan. Betapa benda atau orang
ataupun keadaan, yang tadinya kita kejar-kejar, kita anggap sebagai sumber
kesenangan, bahkan mendatangkan kekecewaan, kebosanan, bahkan
kejengkelan! Adakah kesenangan yang abadi?
Jelas bukan! Yang kita sebut kebahagiaan jelas bukanlah kesenangan!
Kesenangan dapat kita gambarkan, dapat kita cari dan perebutkan, namun
kesenangan memiliki muka yang banyak sekali, seperti sepotong dadu yang
mempunyai banyak permukaan, dan permukaan yang lain itu sama sekali tidak
menyenangkan!
Kita semua mengejar kebahagiaan secara membuta, mengira bahwa
kebahagiaan terletak disini, di sana, dan kita mengejar tanpa mengetahui apa
sebenarnya kebahagiaan itu! Mungkinkah orang mencari sesuatu yang tidak
dikenalnya, sesuatu yang tidak diketahuinya? Kebahagiaan tidak mungkin
dikenal, karena kebahagiaan adalah sesuatu yang hidup, sedangkan
pengenalan hanyalah melalui sesuatu penggambaran yang mati. Kesenangan
adalah penggambaran yang mati, sesuatu yang telah kita kenal, melalui
pengalaman, maka dapat kita kejar. Kebahagiaan yang terasa lalu dikenal
melalui pengalaman, bukanlah kebahagiaan lagi, melainkan menjadi
kesenangan dan seperti biasa kita ingin mengulang kesenangan.
Kita tidak dapat mengenal kebahagiaan, tidak dapat menggenggam
kebahagiaan. Akan tetapi kita mengenal dan mengerti akan ketidak-bahagiaan
karena kita semua mengalaminya, merasakannya. Justeru karena tidak
bahagia inilah maka kita mengejar kebahagiaan. Kita ingin lari dari ketidak-
kebahagiaan dan mencari kebahagiaan. Mengapa kita tidak menghadapi saja
ketidak-bahagiaan ini, bukan hanya merasakan lalu mencoba lari, melainkan
menyelaminya, mengamatinya dengan seksama dan teliti sehingga akan
nampak benar oleh kita bahwa kita tidak berbeda, tidak terpisah dari ketidak-
bahagiaan itu sendiri. Ketidak-bahagiaan itu adalah kita sendiri, pikiran kita
yang selalu mencari senang menjauhi susah, selalu mengejar keuntungan
menghindarkan kerugian, selalu ingin, ingin dan ingin lagi! Hanya pengamatan
terhadap diri sendiri inilah, yang akan membuat kita waspada dan mengerti,
yang akan menghentikan ketidak-bahagiaan itu sendiri merajalela di dalam
batin.
Dan kalau sudah tidak ada lagi ketidak-bahagiaan ini di dalam diri kita, apakah
kita masih mengejar kebahagiaan? Kiranya tidak, karena tanpa adanya ketidak-
bahagiaan, maka kita tidak butuh kebahagiaan lagi, justeru karena kebahagiaan
sudah ada pada kita, menyinar sepenuhnya tidak terhalang oleh awan ketidak-
bahagiaan, seperti matahari yang terbebas daripada halangan awan yang
menggelapkan.
Tuhan Maha Kasih! Kita dilahirkan dalam keadaan lengkap selengkap-
lengkapnya. Bukan hanya kelengkapan pada diri kita lahir batin yang lengkap,
bahkan yang berada di luar diri kita, yang berada di alam mayapada ini, yang
nampak maupun yang tidak nampak, semua itu melengkapi hidup kita, seolah-
olah diciptakan untuk memenuhi kebutuhan hidup kita. Matahari, bulan, bintang,
angin, air tanah dan segenap tumbuh-tumbuhannya, bahkan segala logam dan
minyak di dalam tanah, semua itu bermanfaat bagi kehidupan kita, bukan hanya
bermanfaat, bahkan menghidupkan! Kasih Tuhan inilah kebahagiaan, bagi
mereka yang mampu menerimanya, dan mau menerimanya. Akan tetapi
kebahagiaan akan sirna seperti sinar matahari tertutup mendung kalau muncul
ketidak-bahagiaan di dalam batin kita, yang sesungguhnya muncul karena sang
aku yang ingin ini dan itu tiada hentinya, diantaranya ingin bahagia pula!
Sudah menjadi pendapat umum bahwa cinta antara pria dan wanita harus
dibuktikan dengan sex. Akan tetapi, tepatkah pendapat ini? Memang harus
diakui bahwa hubungan sex HARUS didasari cinta kasih, karena kalau tidak
demikian, maka hubungan sex menjadi semacam pengejaran kenikmatan
belaka, menjadi pemuasan dan pemanjaan nafsu berahi belaka. Hubungan sex
tanpa cinta kasih seperti itu terjadi di dalam pelacuran, dalam perkosaan, dan
jelaslah bahwa hubungan semacam itu hanya akan menimbulkan duka sebagai
imbalan daripada kesenangan yang diperoleh darinya. Hubungan sex tanpa
cinta kasih menjadi suatu hubungan yang kotor. Sebaliknya, hubungan sex
yang dilandasi cinta kasih merupakan sesuatu yang indah dan bersih,
merupakan pencurahan kasih sayang antara dua orang manusia yang saling
mencinta, dan hubungan seperti ini menjadi sarana penciptaan manusla baru
yang sempurna. Jelaslah bahwa sex bukanlah cinta! Ada cinta kasih yang sama
sekali tidak mengandung gairah sex, misalnya cinta kasih antara saudara,
antara anak dan orang tua, antara sahabat.
Nafsu berahi, seperti segala nafsu yang selalu silih berganti menguasai diri
manusia seperti kita ini, selalu ditimbulkan oleh ingatan. Pikiran mengingat-
ingat, membayangkan segala hal yang pernah dialami atau didengar dari orang
lain, segala hal yang menyenangkan dan nikmat. Ingatan inilah bayangan-
bayangan yang diciptakan oleh pikiran inilah sesungguhnya yang menimbulkan
gairah nafsu! Untuk membebaskan diri dari perbudakan nafsu, kita diajar untuk
mengekang dan mengendalikan nafsu! Bagaimana mungkin akan berhasil
kalau yang mengendalikan itu pun pikiran kita sendiri? Nafsu merupakan hasil
pemikiran dan keinginan mengendalikan juga timbul dari pikiran setelah melihat
akibat nafsu yang merugikan, dan pada hakekatnya, pengendalian itu pun
didorong oleh keinginan pula, keinginan untuk bebas dari nafsu. Kalau
dikendalikan maka akan terjadi lingkaran setan. Nafsu timbul dikendalikan, tidur
sebentar, bangkit lagi dikendalikan lagi, demikian tiada habisnya sampai kita
mati!
Setelah tahu bahwa sumber nafsu adalah pikiran, mengapa kita tidak
melenyapkan sumbernya saja? Bukan berarti mematikan pikiran, karena pikiran
memang penting bagi hidup, melainkan mempergunakan pikiran untuk hal-hal
yang bermanfaat dan membiarkan pikiran bersih dari ingatan-ingatan tentang
hal-hal yang akan menimbulkan gairah nafsu, menimbulkan dendam, duka, iri,
dan sebagainya. Bukan timbul dari keinginan membersihkan pikiran, melainkan
membiarkan pikiran bersih sendiri dengan pengamatan penuh kewaspadaan
terhadap pikiran sendiri, terhadap nafsu yang timbul dalam pikiran.
Pengamatan saja tanpa usaha pengekangan, tanpa usaha merobah, tanpa
menilai. Pengamatan ini yang akan menimbulkan suatu kesadaran, yang akan
mendatangkan perobahan. Pengamatan dengan waspada akan membebaskan
pikiran menyeleweng, perhatian setiap saat terhadap segala yang terjadi di
dalam dan luar diri akan mendatangkan kesegaran baru.
Duka selalu ditimbulkan oleh ikatan batin. Ikatan batin dengan keluarga,
dengan orang yang dicinta, dengan harta benda, dengan kedudukan,dengan
ketenaran, dengan kepandaian, dan dengan apa saja. Ikatan menimbulkan rasa
takut pula, takut akan kehilangan dan setelah tiba saatnya ketika kehilangan
sesuatu yang mengikat batin kita, timbullah duka. Tentu saja kita yang hidup di
dalam masyarakat, tidak mungkin bebas sama sekali daripada segala macam
kewajiban dengan keluarga, dengan masyarakat dan sarana-sarana hidup
bermasyarakat. Namun, semua itu hanyalah urusan lahiriah, oleh karena itu
ikatannya pun seharusnya lahiriah, bukan batiniah. Pada lahirnya, memang kita
berkeluarga dan kita mempunyai keluarga, bekerja untuk kepentingan keluarga,
membinanya, mendidik anak-anak dan sebagainya lagi. Akan tetapi, sekali
batin kita terikat, maka timbullah rasa takut, takut akan masa depan keluarga,
takut akan kehilangan dan takut akan masa depan, takut tidak akan memenuhi
kebutuhan keluarga. Dan kalau semua yang kita takutkan itu terjadi, timbullah
duka karena kehilangan. Ini bukan berarti bahwa kita harus acuh terhadap
keluarga atau segala hal yang kita punyai, sama sekali tidak! Cinta kasih bukan
berarti harus ada ikatan batin! Lahiriah kita boleh mempunyai apa saja, namun
batin seharusnya bebas, batin tidak memiliki apa-apa! Mempunyai namun tidak
memiliki! Lahiriah mempunyai, batiniah tidak memiliki atau bebas. Cinta kasih
yang menimbulkan semua perbuatan seperti memelihara, membimbing dan
sebagainya, bukan ikatan! Kalau batin terikat oleh sesuatu, maka yang sesuatu
itu melekat dan berakar di dalam hati, tentu saja sekali waktu tiba saatnya
harus berpisah, sesuatu itu seperti dicaput dan akarnya akan membuat hati
berdarah dan terluka! Sekali lagi, bukan berarti acuh dan masa bodoh, bukan
berarti tidak mencinta kalau tidak ada ikatan. Sebaliknya malah, cinta kasih
tidak membutuhkan ikatan. Yang membutuhkan ikatan hanyalah si Aku,
hanyalah nafsu, dan si-aku akan merasa takut dan kosong kalau tidak memiliki
sesuatu. Memiliki sesuatu ini menambah "isi" dan arti dari si-aku, membesarkan
si-aku
Keinginan manusia untuk memperbesar dirinya menambah semua kemuliaan
dan kesenangan dirinya, merupakan penyakit yang tak pernah sembuh sampai
manusia mati. Keinginan untuk menjadi lebih daripada keadaan sekarang,
merupakan nafsu yang menghanyutkan, makin dituruti semakin membesar dan
semakin tamak. Seperti orang kehausan minum-minuman yang terlampau
manis, makin banyak minum menjadi semakin haus. Sekali membiarkan nafsu
mencengkeram batin, nafsu keinginan memperoleh segala yang belum
dimilikinya, maka penyakit itu akan mendarah daging dan terus
mencengkeramnya sampai akhir hayat! Kecuali kalau ada kesadaran yang
timbul dari pengamatan waspada sehingga kita melihat akan kenyataan diri
sendiri, dan kesadaran ini akan secara seketika membuang jauh-jauh nafsu
keinginan atau penyakit itu. Bukan berarti kita lalu menjadi mati semangat atau
lumpuh, bukan berarti menjadi bosa hidup dan seperti patung atau seperti
pohon saja, menerima segala sesuatu tanpa ikhtiar. Ikhtiar untuk memelihara
diri adalah wajib, menjaga diri, menempatkan diri, sebaiknya, mencari
kebutuhan hidup ini, sandang pangan sewajarnya. Menikmati kesenangan
hidup adalah hak kita, karena kita diperlengkapi alat-alat yang sempurna untuk
menikmati hidup melalui panca indrya kita. Akan tetapi, ini bukan berarti kita
mengejar kesenangan itu, bukan berarti kita dicengkeram penyakit nafsu
keinginan mengejar segala keadaan yang belum kita miliki.
Nafsu keinginan mengejar kesenangan ini dapat saja bersembunyi di balik kata-
kata yang muluk dan indah, misalnya gagasan-gagasan, cita-cita, harapan-
harapan yang dapat saja kita pulas sehingga warnanya menjadi putih dan
menamakannya cita-cita mulia, ide-ide sempurna, dan sebagainya. Namun,
kesemuanya itu tidak ada bedanya dengan ambisi, keinginan untuk mencapai
suatu keadaan atau memperoleh sesuatu yang kita anggap akan lebih
menyenangkan daripada yang ada sekarang ini! Penyakit ini, yaitu nafsu
keinginan mengejar sesuatu, dapat saja menimbulkan penyelewengan-
penyelewengan. Kalau yang dikejar itu kesenangan melalui uang, maka dapat
menimbulkan pencurian, penipuan, kecurangan, korupsi dan sebagainya lagi.
Kalau yang dikejar itu pahala batiniah, maka akan muncul kemunafikan,
kepura-puraan. Kalau yang dikejar itu kedudukan, akan timbul persaingan.
Kalau yang di kejar itu kesenangan melalui sex, akan timbul pelacuran,
perkosaan, perjinaan dan sebagainya.
Gejala yang nampak pada orang yang dihinggapi penyakit itu adlaah
kekecewaan yang terus menerus karena dia tidak akan pernah merasa puas.
Kepuasan yang dirasakannya hanyalah sekelumit, selewatnya seperti angin lalu
saja karena kepuasan sekelumit itu segera sirna lagi di buru penyakit yang ingin
mengejar labih lagi. Orang yang berpenyakit seperti ini akan selalu mengejar
yang tidak ada, sehingga tidak akan mampu menikmati apa yang ada. Pandang
mata batinnya tak pernah ditujukan untuk mengamati keindahan apa yang ada,
melainkan menerawang selalu ke arah bayangan apa yang dinginkannya, yang
selalu membesar, membengkak, dan menjauh. Berbahagialah orang yang
bebas dari penyakit ini, dan hidup di saat ini, menikmati apa yang ada dengan
segala kewajarannya.
-
Cinta memang sesuatu yang aneh. Cinta dapat melanda hati siapapun juga,
pria atau wanita, tua atau muda, kaya atau miskin, pintar atau bodoh, bahkan
seorang wanita yang dicap sebagai wanita pengobral cinta, seorang pelacur
tidak terluput dari serangan cinta. Cinta yang lain daripada yang dijualnya untuk
,mencari uang, atau karena terpaksa, atau karena kebutuhan jasmani maupun
batin. Cinta yang satu ini lain lagi. Cinta yang satu ini meniadakan kepentingan
diri pribadi, melainkan mementingkan kepentingan orang yang dicintanya.
Seorang pelacur adalah seorang yang sedang menderita sakit, seperti para
penyeleweng dan pelanggar hukum dan susila lainnya, seperti pencuri,
penjahat dan sebagainya. Sedang sakit. Bukan badannya yang sakit,
melainkan batinnya. Dan orang yang sakit, baik sakit badan maupun sakit batin,
dapat sembuh, dapat pula kambuh, tergantung dari pemeliharaan batin itu
selanjutnya. Karena itu, mencemooh dan merendahkan orang yang sedang
dilanda sakit, baik badan maupun batinnya, adalah suatu perbuatan yag tidak
patut dan tidak terpuji. Seyogianya mengulurkan tangan, memberi jalan keluar,
memberi pengobatan. Harus selalu diingat bahwa yang sakit, baik sakit badan
maupun batin dapat sembuh sama sekali, sebaliknya yang sedang sehat, baik
badan maupun batinnya, sekali waktu dapat saja jatuh sakit!
Seperti juga penyakit badan, maka penyakit batin timbul dari berbagai macam
sebab dan keadaan. Mungkin juga seperti badan yang lemah, batin dapat pula
lemah sehingga mudah terserang penyakit. Olahraga menguatkan badan
sehingga tak mudah diserang penyakit, juga olah batin menguatkan batin
sehingga tidak mudah diserang penyakit pula. Olah batin adalah perenungan
tentang kehidupan, tentang kebenaran, tentang kemanusiaan, tentang Tuhan
Maha Kasih! Berbahagialah orang yang dapat menjaga kesehatan badan dan
batinnya, karena keduanya haruslah seimbang. Kalau sampai sakit salah satu,
maka yang lain akan terpengaruh dan kebahagiaan tak mungkin dapat
dirasakan lagi.
Hidup dan mati adalah suatu rangkaian, suatu proses, suatu rahasia besar
yang tidak dikuasai dan tidak pula dimengerti manusia. Kita hanya tinggal
menerima saja. Jangankan mati, hidup pun manusia tidak dapat menguasai diri
sendiri. Berdetaknya jantung, pertumbuhan badan, rambut dan kuku dan
seluruh anggauta tubuh, sama sekali terjadi di luar kekuasaan kita! Kita ini
diadakan dan hanya menerima apa adanya saja! Ketika kita lahir, dijadikan apa
pun, laki-laki atau wanita, dilahirkan oleh ibu yang mana pun, keluarga kaya
atau miskin, berkedudukan tinggi atau rakyat biasa, kita dilahirkan dengan
tubuh dan wajah yang dianggap oleh umum bagus atau tidak, semua itu terjadi
di luar kehendak dan kekuasaan kita. Kita ini diadakan, dan ada yang
mengadakan, melalui orang tua kita sebagai proses kelahiran manusia baru.
Kita tidak menguasai diri kita sendiri, baik hidupnya maupun matinya! Kita
diadakan oleh Yang Maha Pencipta, dan kita ditiadakan melalui kematian oleh
Dia pula! Kalau Dia masih menghendaki kita hidup, biar dikelilingi seribu
macam ancaman bahaya, dengan satu dan lain cara kita akan terlepas dan
selamat. Sebaliknya, kalau Dia menghendaki mati, biar kita bersembunyi di
dalam benteng baja atau ke dalam lubang semut sekalipun, tetap saja maut
akan datang menjemput!
Nampaknya menjadi suatu kenyataan yang tak dapat disangkal pula bahwa
kehidupan kita sebagai manusia ini penuh dengan duka! Kalau kita susun
dalam ingatan dan melihat kenyataan, hidup ini hanya menjadi panggung
sandiwara di atas mana kita masing-masing sebagai pemegang peran kadang-
kadans tertawa dan kadang-kadang menangis, Namun, betapa sedikitnya tawa
dan betapa banyaknya tangis! Betapa hidup penuh dengan kecewa,
kepusingan, kesusahen, ketakutan, konflik-konflik batin dan konflik lahir, dan
hanya diseling sedikit saja kegembiraan seperti selingan kilat di antara awan
gelap. Apakah ini menjadi kenyataan dari tanda yang dibawa seorang bayi yang
sedang lahir? Bayi, calon manusia itu, terlahir dalam keadaan menangis,
seolah-olah dia merasa menyesal karena dilahirkan, karena harus memasuki
suatu alam yang penuh derita! Dan betapa tenang wajah seorang yang putus
nyawanya! Bahkan kebanyakan si mati itu tersenyum dalam kematiannya,
seolah-olah wajah itu membayangkan suatu kelegaan bahwa dia telah terbebas
dari alam yang penuh derita itu!
Dari manakah timbulnya derita ini? Mengapa kita dihantui oleh rasa kecewa,
sesal, khawatir, pusing dan susah? Kalau kita mau mengamati diri sendiri, akan
nampaklah bahwa semua perasaan ini datang dari pikiran kita sendiri. Dari si
aku yang bersemayam dalam pikiran, yang mempunyai seribu satu macam
keinginan untuk mencapai kesenangan seperti yang diharapkan dan dikejar.
Kalau keinginan itu tidak terpenuhi, maka timbullah kecewa. Kalau kepentingan
diri terancam, maka timbullah rasa takut dan khawatir. Kalau semua ini
menumpuk, timbul iba diri yang membuat hati merasa merana, trenyuh, sakit
dan duka. Lalu biasanya kita lari dari derita ini. Kita ingin pula menghindari
derita kedukaan, lalu kita mengelak dan menjauhkan diri, kadang kita lari
bersembunyi ke balik hiburan-hiburan yang menyenangkan untuk sekedar
melupakan kesusahan. Namun, pelarian dari kenyataan ini hanya membentuk
suatu lingkaran setan. Mendapat hiburan, lupa sebentar akan kedukaan itu,
namun setelah hiburan memudar, kedukaan itupun akan nampak kembali,
menghantui perasaan. Tak mungkin kita lari dari duka karena duka itu adalah
kita sendiri! Pikiran sendiri!
Yang tepat adalah menghadapi duka itu, menghadapi kenyataan. Mengamati,
mempelajari, tanpa menentang atau lari, mengamati dengan pasrah dan tanpa
berbuat apa pun, pasrah kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Kita amati duka itu,
bukan sebagai suatu keadaan yang terpisah dari diri sendiri, melainkan sebagai
keadaan diri sendiri dengan segala lika-liku pikiran. Dan landasan dari
pengamatan ini adalah kepasrahan yang tulus ikhlas, mengembalikan
kesemuanya itu kepada kekuasaan Tuhan karena hanya Tuhanlah yang kuasa
membebaskan kita dari segala derita. Kekuasaan Tuhan adalah Sinar Illahi
yang juga kita namakan Cinta kasih, keadaan batin di mana tidak ada lagi
segala macam nafsu keinginan menyenangkan diri pribadi, tidak ada lagi ulah
pikiran yang menimbulkan rasa kecewa, takut, benci dan sebagainya.
Lahir dan mati merupakan awal dan akhir dari kehidupan seperti yang kita kenal
ini. Kita hanya tahu akan kehidupan ini, tanpa mengetahui keadaan sebelum
terlahir dan sesudah mati. Yang jelas, seorang bayi, bangsa apapun juga, kaya
atau miskin, mulia maupun papa, dari 'keluarga yang bagaimanapun juga,
seorang bayi begitu terlahir di dalam dunia ini, dia langsung menangis! Tangis
adalah peluapan duka, dalam bahasa dari bangsa manapun juga. Begitu
memasuki alam dunia, manusia menangis. Awal kehidupan disambut tangis,
seolah-olah bayi calon manusia itu merasa menyesal, merasa berduka bahwa
dia telah dilahirkan di dalam suatu kehidupan yang penuh duka! Dan di dalam
kenyataannya, hidup ini memang lebih banyak mengandung duka daripada
suka. Kemudian, setelah manusia mati, hampir dapat dipastikan bahwa pada
wajah si mati terdapat suatu kedamaian, wajah itu, membayangkan kelegaan,
kebebasan, bahkan juga kebahagiaan, seolah-olah si mati merasa lega karena
telah terlepas daripada kehidupan yang banyak duka ini!
Manusia menyambut kelahiran bayi yang menangis sedih dengan gembira.
Apakah ini menjadi tanda bahwa manusia merasa gembira melihat datangnya
seorang rekan baru dalam kehidupan penuh derita ini, seperti sekumpulan
orang dalamn penjara menyambut datangnya seorang narapidana yang baru?
Dan manusia mengantar kematian seseorang dengan tangis sedih walaupun
wajah si mati nampak demikian penuh ketenangan dan kedamaian. Apakah ini
pun menjadi tanda bahwa manusia merasa berduka melihat seseorang bebas
sedangkan mereka sendiri masih berada di dalam kehidupan yang penuh
derita, seperti sekumpulan orang dalam penjara yang melihat seorang rekannya
dibebaskan sedangkan mereka masih harus mendekam di dalam penjara.
Hidup ini penuh duka yang timbul dari segala perasaan kecewa, iri hati, dengki,
ketakutan, kekerasan, dan iba diri. Kesenangan hanya muncul seperti kilat di
antara mendung gelap, hanya sekali-kali saja. Setiap jengkal kesenangan
selalu diikuti oleh sedepa kesusahan. Namun, tanpa adanya pikiran yang
menimbang-nimbang, membayang-bayangkan, mengingat-ingat, tanpa adanya
si aku yang menilai, membandingkan, merasakan, apakah duka atau suka itu?
Dalam keadaan tidur, atau pingsan, selagi pikiran tidak bekerja, kita memasuki
suatu alam yang tidak mengenal suka duka! Mimpi mengandung suka itu ada?
Dalam keadaaan tidur, atau pingsan, selagi pikiran tidak bekerja, kita memasuki
suatu alam ke dalam alam tanpa suka tanpa duka. Ini membuktikan bahwa
suka duka hanya permainan pikiran belaka, permainan si aku yang selalu
mengada-ada!
Segala macam duka, benci, takut dan sebagainya adalah perasaan yang
muncul sebagai kembangnya pikiran. Pikiranlah yang menjadi biangkeladi
segala macam emosi dan sentimen di dalam batin kita. Pikiran mengenang
masa lalu, membayangkan masa depan, pikiran yang menimbang-nimbang dan
menilai-nilai untung rugi terhadap diri kita, menciptakan segala macam
perasaan itu. Bahkan, duka dan pikiran bukan dua hal yang berlainan! Duka
adalah pikiran itulah. Yang merasa punya diri, yang merasa ada aku, juga
pikiran itu dan iba diri timbul pula dari permainan pikiran. Iblis itidak berada jauh
dari diri kita, bersarang di dalam pikiran setiap saat membisikkan bermacam
kata-kata berbisa, dari yang manis merayu, sampai yang mencaci maki dan
menusuk perasaan. Betapa pun duka atau benci atau takutnya seseorang
apabila pikirannya tidak bekerja lagi, dalam tidur, dalam pingsan seperti Hay
Hay, maka semua bentuk perasaan duka, benci, takut dan sebagainya itu akan
lenyap pula! Oleh karena itu, tidak ada artinya untuk mengalahkan duka, benci
atau takut, selama pikiran masih menjadi bisikan iblis. Kalau yang berusaha
mengalahkan duka itu pikiran, maka yang muncul hanyalah pelarian, hiburan,
dan semua ini kosong dan sia-sia belaka, karena duka ialah pikiran itu sendiri!
Bagaimana mungkin pikiran melarikan diri dari dirinya sendiri?
Yang penting adalah melepaskan belenggu ikatan pikiran ikatan si aku,
membebaskan diri dari semua permainan pikiran yang menyenangkan masa
lalu dan membayangkan masa depan. Bukan aku yang membebaskan, karena
yang mengaku sebagai "aku yang berusaha membebaskan" bukan lain adalah
pikiran pula, dalam bentuk lain. Pikiran memang lihai dan lincah, bagaikan Sun
Go Kong (Si Raja Monyet} dalan dongeng See-yuki. Lalu tlmbul pertanyaan,
yaitu bagaimana lalu caranya untuk membebaskan diri dari pikiran ini?
Pertanyaan ini pun masih sekali tiga uang, sama saja, karena yang bertanya itu
juga si aku atau pikiran yang mempunyai pamrih untuk bebas dari pikiran agar
tidak ada duka lagi! Setiap gerakan dari pikiran sudah pasti berpamrih, karena
pusatnya adalah si aku yang ingin senang!
Jadi : Tidak ada pamrih membebaskan diri, namun sadar akan bekerjanya
pikiran kita sendiri yang menjadi sumber dari segala perasaan. Dan tidak
terdapat cara untuk membebaskan pikiran, karena pikiran adalah aku atau kita
sendiri! Akan tetapi, dengan sepenuh kewaspadaan mengamati diri, mengamati
apa yang terjadi di dalam dan di luar diri, di dalam pikiran, mengamati diri ketika
timbul duka, benci, takut. Pengamatan inilah yang amat penting. Pengamatan
tanpa pamrih, pengamatan tanpa ada si aku yang mengamati karena kalau
demikian, tentu si aku akan menilai dan mengubah, mencela dan memuji. Yang
ada hanya PENGAMATAN saja, dengan penuh kewaspadaan, dengan penuh
perhatian, dengan menyeluruh, namun sedikit pun tidak ada pamrih mengubah
atau boleh disebut secara pasip saja.
Membiarkan diri muram dan bersedih, menyesali hal-hal yang telah lalu,
sungguh tidak ada gunanya sama sekali! Itu merupakan suatu kebodohan
besar! Menyadari kekeliruan atau kesalahan yang telah dilakukan dalam hidup
adalah suatu kebijaksanaan! Waspada akan diri sendiri sehingga setiap saat
dapat melihat kesalahan diri sendiri, kelemahan dan keburukan diri sendiri,
adalah kebijaksanaan yang mutlak perlu kita miliki. Akan tetapi, kesadaran ini
membuat gerakan spontan, sekaligus dalam kesadaran ini lalu dibarengi
tindakan menghentikan kesalahan atau kekeliruan itu. Bukan lalu menyesali
dan membenamkan diri dalam duka! Sikap seperti tiu sungguh tidak ada
gunanya, tidak ada artinya sama sekali, baik bagi diri sendiri maupun bagi
orang lain, bagi seluruh isi alam mayapada maupun penciptanya, yaitu Sang
Maha Pencipta!
Cinta kita bergelimang nafsu. Karena itu selalu mendatangkan suka duka, puas
kecewa, nikmat sengsara. Cinta kita menumbuhkan ikatan, mencjptakan
belenggu. Cinta kita seperti jual beli di pasar. Kita membeli dengan
pengorbanan diri, kesetiaan, penyerahan, untuk mendapatkan yang lebih
menguntungkan, lebih menyenangkan, yaitu kesetiaannya, pengorbanannya,
penyerahan dirinya, kesenangan-kesenangan yang kita nikmati darinya. Kalau
semua itu tidak terdapat oleh kita sebagai "imbalan", maka cinta kitapun
menguap ke udara dan tidak berbekas lagi, bahkan kadang kala berubah
menjadi benci. Cinta kita selalu menyembunyikan pamrih demi kesenangan diri
sendiri. Adakah cinta tanpa pamrih? Adakah cinta yang tidak mengandung
pengajaran kepentingan diri sendiri? Adakah cinta yang tidak menimbulkan
ikatan, yang memberi kebebasan? Dapatkah kita manusia memiliki cinta kasih
seperti jtu?
Kesenangan hanyalah muka yang lain dari kesusahan, ada suka tentu ada
duka, ada puas tentu ada kecewa. Kesenangan hanya merupakan permainan
perasaan yang dikuasai nafsu. Adapun kebahagiaan bukanlah keadaan badan,
melainkan keadaan jiwa! Keadaan jiwa yang bebas dari pada cengkraman
nafsu. Jiwa yang tidak lagi terbungkus dan tertutup nafsu, jiwa yang sudah
terbuka, sudah bersatu dengan Tuhan! Dan hanya kekuasaan Tuhan saja lah
yang akan mampu membersihkan jiwa dari kurungan nafsu! lkhtiar manusia
melalui pikiran dan akal budi tidak mungkin menundukkan nafsu, karena pikiran
dan akal budipun sudah bergelimang nafsu. Tidak mungkin nafsu
menundukkan nafsu. Hanya kekuasaan Tuhan yang akan mampu
membersihkan jjwa yang bergelimang nafsu, atau jiwa yang tertutup oleh
kekuasaan gelap, kekuasaan nafsu yang memikat manusia dengan segala
macam bentuk kesenangan badani atau kesenangan pikiran dan hati.
Panca indera, pikiran, hati dan akal budi hanyalah alat pelengkap hidupnya
jiwa dalam badan. Namun sungguh sayang, karena badan diperalat nafsu dan
daya rendah, maka jiwa seperti tertutup dan terbungkus. Bagaimana mungkin
kita membersihkan jiwa kita, betapa mungkin kita menundukkan nafsu kalau
"kita" ini sudah bergelimang dengan nafsu? Hanya kekuasaan Tuhan yang
akan mampu membersihkan jiwa kita, dan satu-satunya ikhtiar yang dapat kita
lakukan hanyalah menyerah kepada Tuhan Yang Maha Kasih! Penyerahan
yang berarti keimanan yang mutlak, penyerahan total, dengan penuh
kesabaran, keikhlasan dan ketawakalan.
Duka timbul dari pikiran yang penuh dengan perasaan iba diri. Pikiran
mengenang masa lalu yang penuh dengan kegagalan, membayangkan masa
depan yang penuh kesuraman, maka pikiran atau si aku merasa iba kepada diri
sendiri, merasa nelangsa dan sengsara. Maka datanglah rasa duka, duka
menghilangkan kewaspadaan, melenyapkan arti hidup. Hidup bukanlah
sekedar membiarkan diri diseret ke dalam lamunan, membiarkan diri
dipermainkan pikiran! Hidup adalah kenyataan apa yang ada, tidak perduli
kenyataan itu menyenangkan atau menyusahkan. Yang senang , atau yang
susah itu adalah pikiran, si-aku yang selalu menghendaki keenakan dan
menghindarkan ketidak enakan. Kenyataan hidup adalah seperti apa adanya,
dan menerima kenyataan apa adanya inilah seni paling indah, paling agung dan
paling murni dari kehidupan. Menerima kenyataan seperti apa adanya, tanpa
menilai! Tanpa mengeluh Melainkan menyerahkan kepada Tuhan! Tuhan Maha
Kuasa, Maha Bijaksana, Maha Kasih! Hanya Tuhan yang akan mampu
membimbing kita, lahir maupun batin. Kewajiban kita dalam hidup hanyalah
untuk mempergunakan segala alat yang ada pada tubuh ini sebagaimana
mestinya. Panca-indera untuk bekerja seperti yang telah ditentukan dalam
tugas masing-masing, termasuk pikiran yang sesungguhnya merupakan alat
untuk berpikir, untuk bekerja, untuk dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat,
baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Pikiran bukan alat untuk menyeret
kita ke dalam lamunan kosong tentang suka duka. Kita tidak mungkin dapat
membersihkan pikiran yang bergelimang dengan daya-daya rendah, pikiran
yang penuh nafsu, pikiran yang penuh dengan keinginan untuk mengejar enak
sendiri. Tak mungkin, karena "kita" yang ingin membersihkan ini juga pikiran itu
sendiri! Dan selalu keinginan pikiran hanya bersumber pada satu pamrih, yaitu
mengejar keenakan untuk diri sendiri. Dapat saja pikiran menciptakan akal
bermacam-macam seperti sebutan muluk-muluk, bertapa, mengasingkan diri,
mengheningkan cipta dan segala macam cara lagi untuk membersihkan batin.
Namun, semua itu adalah pekerjaan pikiran, pekerjaan si-aku, usaha dari nafsu
pula karena pikiran itu sendiri bergelimang nafsu, dikemudikan nafsu. Di balik
semua usaha itu terdapat satu pamrih, yaitu sifat dari nafsu, ialah untuk
mengejar keenakan bagi diri sendiri! Karena itu, tidak mungkin kita
membersihkan pikiran, tidak mungkin nafsu mengendalikan atau mengalahkan
nafsu. Semua ini hanya akal-akalan saja, akalnya si akal-pikir!
Satu-satunya kenyataan adalah bahwa yang dapat merubah segalanya itu,
yang dapat membersihkan jiwa dari cengkeraman nafsu, yang dapat
menempatkan semua alat tubuh luar dalam kepada kedudukan dan tugas
mereka masing-masing secara utuh dan benar, hanyalah KEKUASAAN
TUHAN! Dan kekuasaan Tuhan akan bekerja kalau si -aku, yaitu hati dan akal
pikiran kita tidak bekerja! Dan kekuasaan Tuhan akan bekerja kalau kita
menyerah kepadaNya, menyerah dengan penuh ketawakalan, kepasrahan dan
keiklasan, menyerah dengan kesabaran. Kehendak Tuhanpun jadilah! Itu satu-
satunya kenyataan yang mutlak. Dalam kepasrahan lahir batin ini, kita akan
menerima semua kenyataan hidup sebagai kehendak Tuhan, dan karenanya
kita menghadapinya tanpa keluhan, tanpa celaan. Bukan berarti kita lalu acuh
dan mandeg. Sama sekali tidak! Kita pergunakan semua alat tubuh luar dalam
untuk berusaha! Tuhan yang akan memberi bimbingan dan tuntunan. Kalau
sudah begini, apapun yang terjadi, tidak menimbulkan penasaran atau keluhan,
apa lagi duka. Selain ingat dan waspada. Ingat kepada Tuhan dan
kekuasaanNya yang mutlak, menyerah, dan waspada terhadap setiap gerak
langkah kita dalam hidup, waspada terhadap pikiran kita, terhadap ucapan kita,
terhadap perbuatan kita, seperti kewaspadaan seorang yang memegang
kemudi kendaraan. Dan Tuhan Maha Kasih!
Pagi itu cerah dan pemandangan alam amatlah indahnya. Matahari pagi sudah
tersenyum lembut di atas puncak, sinarnya juga lembut dan hangat di antara
kesejukan semilir angin gunung. Bau rumput dan daun cemara yang khas
sungguh nyaman dan harum menyenangkan, keharuman yang lembut,
membuat hidung terasa segar dan lega. Kicau burung-burung yang sudah sibuk
sejak matahari timbul tadi, seperti ribuan karyawan yang siap melaksanakan
tugas pekerjaan sehari-hari di pagi itu, memulai pekerjaan dengan semangat
berkobar dan hati penuh kebahagiaan, merupakan suara yang merdu dan
gembira, menjadi santapan pagi yang amat sehat bagi telinga. Betapa
nikmatnya hidup kalau pada suatu saat, tiga di antara alat panca indriya kita,
yaitu mata hidung dan telinga, menikmati keindahan bersama-sama. Mata
menikmati pemandangan alam yang mentakjubkan, penuh pesona dan penuh
kegaiban. Hidung menghirup udara yang amat sejuk segar, jernih bersih,
dengan keharuman yang khas alami, membuat napas yang dihisap itu penuh
tenaga mujijat dari alam, memenuhi rongga dada bahkan terus sampai ke
bawah pusar, menyehatkan dan membahagiakan. Telinga pada saat yang
sama mendengarkan suara yang penuh kedamaian, penuh ketentraman, penuh
kewajaran dan keindahan. Betapa nikmatnya hidup! Dalam keadaan seperti itu,
hati dan akal pikiran berhenti berceloteh dan segala sesuatu nampak indah.
Suara angin bermain dengan daun-daun cemara, suara air gemercik di antara
batu-batu, kicau burung, kokok ayam hutan, semua itu merupakan
pendengaran yang seolah-olah bunyi-bunyian merdu dari sorga! Bau tanah
bermandikan embun saja sudah demikian sedap dan harumnya, masuk ke
rongga dada melalui hidung, demikian harum menyegarkan! Dan melihat kupu-
kupu berwarna-warni beterbangan di antara bunga-bunga, melihat burung-
burung berloncatan dari dahan ke dahan, bahkan melihat embun sebutir
bergantung pada ujung daun, berkilauan tercuci sinar matahari pagi, sudah
merupakan penglihatan yang indahnya sukar dilukiskan!
Sayang, sungguh sayang sekali bahwa sejak kecil kita sudah dijejali
kesenangan-kesenangan pemuas nafsu sehingga kita menjadi mabuk.
Kesenangan badani yang semu, yang hanya merupakan pelampiasan dari
pada hasrat nafsu, membuat kita mabok dan tidak lagi dapat melihat segala
keindahan, tidak dapat mendengarkan segala kemerduan dan tidak lagi mampu
menghirup segala kesedapan yang segar. Kita terbuai oleh kesenangan
tuntutan nafsu. Hati dan akal pikiran kita selalu berceloteh dan sibuk dengan
urusan pengejaran kesenangan nafsu. Kalaupun kadang-kadang kita dapat
merasakan keagungan dan keindahan itu, segera hati dan akal pikiran datang
mengacau dan seketika lenyaplah semua keindahan itu karena batin telah
disibukkan kembali dengan urusan kesenangan diri, kesenangan dari
pelampiasan nafsu keinginan!
Perbuatan yang dianggap baik oleh pelakunya, apa lagi dianggap sebagai budi
oleh pelakunya, bukanlah perbuatan baik lagi, melainkan suatu cara untuk
memperoleh sesuatu. Kalau kita menolong orang lalu kita menganggap bahwa
pertolongan yang kita berikan itu sebagai budi, bukankah itu sama saja dengan
menghutangkan sesuatu untuk kelak ditagih dan diharuskan membayar kembali
berikut bunganya? Baik buruk hanya penilaian, dan penilajan selalu didasari
kepentingan pribadi. Kalau segala sesuatu yang kita lakukan didasari cinta
kasih, maka tidak ada pamrih lain, tidak ada lagi yang dinamakan budi dan
dendam! Budi maupun dendam hanyalah ikatan, perhitungan untung rugi dari
hati akal pikiran yang bergelimang nafsu.
Penyesalan tidak ada gunanya! Perbuatan yang dilakukan melalui pemikiran,
selalu ditunggangi nafsu pementingan diri sendiri karena pikiran adalah si-aku
yang sudah bergelimang nafsu. Yang penting adalah kewaspadaan
pengamatan terhadap diri sendiri lahir batin karena pengamatan sepenuhnya
tanpa si-aku yang mengamati ini menimbulkan kesadaran. Tidak mungkin kita
mengubah sifat dan watak kita melalui pemikiran, karena pemikiran tak
mungkin dapat lepas dari pengaruh nafsu daya rendah. Setiap orang mudah
saja menyadari dan mengetahui bahwa perbuatannya tidak benar, namun
setiap kali memikiran berniat mengubahnya, setiap perbuatan itu diulang dan
pikiran yang berniat mengubah tadipun menipis dan lenyap. Tidak mungkin
pikiran dapat mencuci kekotoran perbuatan karena justeru perbuatan itu sudah
dikendalikan oleh pikiran, dan pikiran itu bergelimang nafsu. Bagaimana
mungkin mencuci bersih sesuatu yang kotor dengan menggunakan air yang
kotor pula?
Yang dapat membersihkan batin, yaitu hati dan akal pikiran, hanyalah kekuatan
Tuhan! Kita yang merasa bergelimang kekotoran, yang sudah dikuasai oleh
nafsu daya rendah, hanya tinggal menyerah kepada kekuasaan Tuhan! Biarkan
kekuasaan Tuhan yang mencuci kotoran itu, biarkan kekuasaan Tuhan yang
membimbing dan membersihkan batin kita. Kalau batin sudah bersih, maka
terbukalah jendela dan pintu batin kita untuk menerima masuknya sinar cinta
kasih. Kalau sudah begitu, maka setiap perbuatan kita diterangi oleh sinar cinta
kasih. Lalu ke mana perginya nafsu daya rendah? Tidak pergi! Masih ada dan
masih penting bagi kehidupan kita. Namun, nafsu daya rendah tidak lagi
menjadi majikan, melainkan menjadi alat, menjadi pelayan untuk kepentingan
hidup di dunia ini. Bukan lagi menjadi liar, karena kalau nafsu daya rendah yang
memegang kemudi, kita akan disesatkan ke arah pengejaran kesenangan
nafsu sehingga menghalalkan segala cara, melakukan segala yang sifatnya
merusak dan yang pada umumnya disebut jahat.
Yang terbujur itu adalah sesosok mayat, alat yang di waktu hidupnya dijadikan
perebutan antara daya-daya rendah yang menguasai seluruh anggauta badan.
Tubuh yang semestinya menjadi alat bagi kehidupan jiwa yang mendiaminya,
akhirnya menjadi budak nafsu. Bahkan pikiran yang menjadi kusir pemegang
kendali juga telah dikuasai kuda-kuda nafsu. Badan bagaikan kereta. Baik
kereta badan, kuda-kuda nafsu, kusir dan kendalinya, semua semestinya
menjadi hamba dan alat yang melayani jiwa. Tanpa adanya kuda-kuda nafsu,
maka kereta badan takkan dapat bergerak maju. Tanpa adanya kusir pikiran
dan kendalinya, segalanya akan kacau dan rusak arahnya. Akan tetapi kalau
kuda-kuda nafsu itu tidak terkendali lagi, dan menjadi liar, maka nafsu akan
kabur sesukanya dan kalau sampai terjerumus ke dalam jurang, segalanya ikut
menderita. Bukan hanya keretanya, juga penghuni kereta, Sang Jiwa.
Sebaliknya, kalau jiwa yang menjadi majikannya, dan semua alat itu hanya
menjadi hambanya, barulah jiwa itu dapat menjadi seorang manusia yang
seutuhnya. Hanya kalau jiwa ini dapat bersatu dengan sumbernya, yaitu Tuhan
Yang Maha Kuasa, Allah Yang Maha Kasih, maka jiwa akan mendapatkan
kembali kekuasaannya atas semua hambanya, yaitu jasmani.
Ada seorang janda yang hidup berdua saja dengan seorang puteranya yang
baru berusia lima tahun. Janda itu beribadat dan saleh, tak pernah menyimpang
dari jalan kebenaran sehingga terkenal sebagai seorang janda yang berbudi
baik. Puteranya juga lucu dan mungil sehingga biarpun janda itu hanya hidup
berdua, ia cukup bahagia. Akan tetapi, pada suatu hari, puteranya jatuh sakit
dan usaha apa pun yang dilakukan janda itu untuk menyembuhkan puteranya,
gagal.
Anak itu meninggal dunia! Hancur luluh perasaan hati janda itu. Ratap
tangisnya terhadap Tuhan untuk minta pertolongan sejak puteranya jatuh sakit,
kini berubah menjadi ratap tangis penyesalan.
Bahkan demikian hebat kedukaannya sehingga ia berani menegur Tuhan
dalam tangisnya, mengapap Tuhan begitu kejam, mengambir satu-satunya
anak, satu-satunya pelipur hatinya, teman hidupnya. Mengapa Tuhan
membalas semua kebaktiannya dengan siksaan. Dalam tangisnya, ia
mengatakan bahwa Tuhan tidak adil!
Saking sedihnya, ia jatuh pingsan. Para tetangga mengangkatnya dan
merebahkan tubuhnya di atas pembaringan. Tak jauh dari jenazah puteranya.
Dan dalam pingsannya itu, semangat janda yang dilanda penasaran itu
melayang naik mencari Tuhan! Ia bertelat untuk menghadap Tuhan untuk
memprotes kematian puteranya! Dan semangatnya yang melayang-layang itu
bertemu dengan malaikat yang diutus Tuhan menjemputnya.
“Janda saleh, hendak kemanakah engkau?” tanya malaikat.
“Aku ingin mencari Tuhan. Aku ingin menghadap Tuhan!” jawabnya.
“Mengapa?”
“Aku ingin memprotes, ingin menyatakan penasaran hatiku. Sejak kecil aku
selalu beribadat, tak penah lupa sembahyang dan memuji nama Tuhan, tidak
pernah melakukan kejahatan karena aku takut kepada Tuhan, selalu ingin
menyenangkan Tuhan dengan perbuatan yang baik. Akan tetapi, ketika masih
muda dan mempunyai anak seorang, Tuhan mengambil suamiku. Hal itu masih
kuterima dengan penuh ketawakalan, aku menyerah atas kehendak Tuhan. Aku
hidup menjanda dengan puteraku yang kuanggap sebagai anugerah Tuhan.
Aku selalu berterima kasih dan menjaga diri agar jangan sampai membikin
marah Tuhan dengan perbuatan yang mengandung dosa. Akan tetapi,
mengapa kini Tuhan mengambil puteraku? Mengapa Tuhan begitu kejam
terhadap aku? Nah, aku akan menghadap Tuhan dan memprotes! Mengapa
kehidupan orangorang yangberdosa bahkan jauh lebih beruntung daripada
kehidupanku, seorang yangselallu memuja Tuhan?”
Malaikat itu membiarkan sang janda bicara sampai habis, mengeluarkan semua
isi hatinya yang penuh duka dan penasaran. Kemudian, malaikat itu
membimbingnya ke atas awan, lalu berkata dengan lembut.
“Janda yang saleh. Sebelum kaulanjutkan protesmu kepada Tuhan, kami ingin
memperlihatkan sesuatu. Nah, kau tengoklah disana itu!” Sang malaikat
menunujuk ke arah langit biru di barat.
Sang janda melihat ke arah langit yang ditunjuk dari atas gumpalan awan putih
itu dan ia pun melihat pemandangan yang mengherankan. Ia melihat kehidupan
di dunia ramai! Dilihatnya seorang pemuda yang tampan dan gagah sedang
melakukan perbuatan yang mengerikan.
Pemuda itu dengan bengis dan kejamnya menyerang orang-orang, membunuh
dan merampok, bahkan memperkosa. Pemuda itu demikian garang dan
demikian jahat, bagaikan iblis sendiri sehingga sang janda tidak sanggup lagi
menyaksikan kekejaman-kekejaman yang luar biasa itu dan ia memalingkan
mukanya, tidak sudi melihat lagi.
“Betapa kejamnya! Betapa jahatnya! Kenapa aku yang sudah menderita duka
ini di haruskan menyaksikan perbuatan yang demikian kejam dan jahat?
Siapakah pemuda yang jahat itu?”
“Ketahuilah olehmu, janda yang baik budi. Pemuda itu adalah puteramu, kalau
dia dibiarkan menjadi dewasa kelak.”
Wanita itu terbelalak dan menutup mulut dengan tangan seolah hendak
menjaga agar ia jangan menjerit, membalik dan memandang lagi ke arah
pemuda itu yang masih mengamuk itu. “Ya Tuhan!
Ampunilah hamba Ya Tuhan ….. jangan ….. jangan …..! Hentikanlah
perbuatannya ….. !” Dan ia pun menangis tersedu-sedu, menutupi mukanya
dengan kedua tangan.
“Lihatlah kenyataan, janda yang baik dan sadarilah mengapa kini Tuhan
menghendaki ankmu mati dalam usia kecil. Karena engkau, ibunya, seorang
wanita yang saleh dan baik budi, maka Tuhan tidak menghendaki engkau
tersiksa kelak oleh perbuatan anakmu. Nah, sekarang bagaimana?
Apakah engkau masih menghendaki agar anakmu dihidupkan kembali dan
dibiarkan menjadi dewasa?”
“Tidak …. tidak …….! Biarlah dia mati sekarang, aku …. aku rela ….., jangan
sampai dia menjadi jahat seperti itu ….”
(Semua peristiwa yang terjadi pada diri setiap manusia, merupakan suatu
kenyataan, suatu kebenaran, suatu keputusan Tuhan yang Maha Adil, Maha
Bijaksana, Maha Kasih. Manusia wajb berikhtiar dengan cara yang benar untuk
mempertahankan hidupnya, bahkan untuk menikmati hidupnya.
Namun, hasil atau gagalnya ikhtiar itu, hanya Tuhan yang menentukannya.
Apapun yang terjadi adalah kehendak Tuhan! Kalau kita anggap peristiwa yang
menimpa kita menyenangkan, kita patut bersyukur atas kasih sayang Tuhan.
Kalau kita anggap menyusahkan, kita tidak perlu mengeluh, melainkan
menerimanya dengan penuh kesadaran bahwa apa yang terjadi sudah
kehendak Tuhan dan pasti ada sebabnya, bahkan ada hikmahnya. Mungkin
merupakan hukuman atau buah dari pohon yang ditanamnya sendiri. Mungkin
merupakan cobaan atau ujian. Tidak ada manfaatnya mengeluh, sebaliknya
harus bersyukur dan menyerah kepada Tuhan Maha Kasih!)
Betapa nikmat dan indahnya hidup ini apabila pikiran tidak dilanda prahara! Hay
Hay berjalan-jalan di pegunungan yang sunyi itu, menikmati keindahan alam
senja. Matahari condong ke barat, meninggalkan cahaya kemerahan yang amat
indah di langit barat. Langit seperti di sepuh emas, ada warna emas, biru dan
putih perak yang indah dilatarbelakangi warna merah redup. Pada saat itu,
pikirannya kosong, tidak terisi ingatan apapun, tidak muncul kenangan apapun,
tidak timbul pendapat dan penilaian. Kelima alat jasmaninya bekerja dengan
sepenuhnya. Matanya memandang semua yang terbentang di depannya tanpa
menilai. Tidak ada sebutan indah dalam pikiran, namun yang nampak
mendatangkan perasaan yang tak dapat dilukiskan bagaimana. Mungkin itulah
perasaan damai dan tenteram, semua yang nampak ditelan dalam ingatan.
Telinganya menangkap suara burung yang berkelompok beterbangan kembali
ke sarang mereka, nyanyian katak diperairan yang berdendang menyambut
datangnya malam. Hidungnya menyambut semua ganda yang segar dari
pohon-pohon, rumput dan tanah, diselingi keharuman kembang di sana-sini,
menghirup udara yang memenuhi dadanya sepenuh-penuhnya sampai ke
ujung pusar.
Seorang wanita kematian anak tunggalnya. Siapapun tahu bahwa cinta kasih
seorang ibu kepada anak tunggalnya adalah cinta kasih yang paling murni di
antara segala macam cinta kasih di dunia ini. Maka berdukalah wanita itu dan
diapun pergi menghadap Sang Buddha, memohon kepada Buddha untuk
menghidupkan kembali anak tunggalnya. Dengan tenang Sang Buddha lalu
menyuruh wanita itu untuk minta segenggam gandum dari sebuah keluarga
yang belum pernah mengalami kematian, karena hanya itulah obatnya yang
dapat menghidupkan anaknya yang mati. Ibu itu berkelana, akan tetapi biarpun
dia akan pergi mengelilingi dunia, di mana ada keluarga yang belum pernah
kematian anggauta keluarganya? Akhirnya dia kembali kepada Sang Buddha
dan insafkan. Kematian adalah suatu hal yang wajar bagi kehidupan. Ada hidup
ada mati. Mengapa kematian harus didukakan benar? Bukankah kita semua
akhirnya akan mati pula? Engkau dan pincengpun tidak akan terluput dari
kematian. Mengapa kini ada yang mati engkau menyiksa diri dengan
kedukaan? Apakah kedukaanmu itu akan dapat menghidupkannya kembali,
orang muda?"
Percakapan Si mata Keranjang dengan Bu Beng Lojin tentang Kebahagiaan.
“Bu Beng Lojin (Orang Tua Tanpa Nama)? Itukah sebutan untuk kakek?” Hay
Hay bertanya.
“Heh-heh-heh-heh, tidak ada sebutan apa-apa. Dan tempat tinggalku adalah di
mana tubuh ini berada. Rumahku alam ini, atap rumahku langit, lantaiku bumi,
dindingku empat penjuru, heh-heh.
Adakah yang lebih indah daripada alam ini? Adakah lauk yang lebih lezat dari
pada lapar? Adakah tempat tidur yang lebih enak daripada kantuk? Adakah
yang lebih kaya daripada yang tidak menginginkan apa-apa?”
Hay Hay memandang kagum. Mungkin kakek ini seorang yang memiliki jasmani
yang lemah, akan tetapi dia tidak melihat jiwa dan semangat yang lemah!
“Kakek yang bijaksana, saya merasa beruntung sekali dapat bertemu dan
bercakap-cakap dengan kakek di sini. Nama saya Hay Hay dan juga seperti
kakek, saya tidak mempunyai rumah tinggal yang tetap. Setelah berjumpa
denganmu, saya yakin akan menemukan jawaban dari banyak pertanyaan
tentang kehidupan yang selama ini mengganggu hatiku. Kakek yang baik,
maukan kakek menerangkan, apakah bahagia itu dan bagaimana saya bisa
memperolehnya?”
Kakek itu terkekeh-kekeh, seolah pertanyaan Hay Hay itu terdengar lucu sekali.
“Heh-heh-heh, mari kita duduk, orang muda. Mari kita bicara. Angin bicara pada
pohon dan daun, burung-burung bicara, alam bicara, akan tetapi siapa mau
mendengarkannya? Kulihat engkau bersungguh untuk mengetahui, marilah kita
sama-sama menyelidikinya. Mari kita renungkan dan bicarakan, apa sih artinya
bahagia itu? Orang muda, pernahkah engkau berbahagia?”
Hay Hay termenung, mengingat-ingat. Baru-baru saja ini ketika dia berada di
samping Kui Hong, melakukan perjalanan bersama gadis yang dicintanya,
bercakap dan bergurau, dia merasa berbahagia sekali! Akan tetapi ketika
perjodohan itu tak disetujui keluarga Kui Hong dan dia terpaksa meninggalkan
gadis itu, dia merasa berduka sekali. Akan tetapi, kedukaan itu pun lewat begitu
saja dan kini sudah hampir tak berbekas. Banyak suka duka seperti itu
dialaminya sepanjang hidupnya, susah senang silih berganti mengisi hidupnya.
Akan tetapi bahagia?
“Entahlah, Kek. Pernah aku merasa seperti berbahagia, akan tetapi di lain saat
perasaan itu lenyap berganti duka dan sengsara. Aku tidak tahu apakah itu
perasaan bahagia ataukah bukan?
“Yang berganti duka adalah suka, orang muda. Yang berganti susah adalah
senang. Senang susah memang menjadi bagian daripada isi kehidupan ini,
yang satu tak terpisahkan dari yang lain, sambung menyambung dan susul
menyusul, seperti siang dan malam, terang dan gelap, atas dan bawah, langit
dan bumi. Kalau ada yang satu, pasti ada yang lain. Bagaimana orang akan
dapat mengenal suka kalau dia tidak mengenal duka dan demikian sebaliknya.
Adanya yang satu memang untuk melengkapi yang lain, bahkan yang satu
menciptakan yang lain. Sejak kita masih kanak-kanak, sejak pikiran kita
bekerja, kita sudah mengalami suka duka, senang susah itu yang ditandai
dengan tawa dan tangis!”
“Engkau benar, Kakek yang mulia. Yang kurasakan itu hanyalah kesenangan
dan kesusahan, kepuasan dan kekecewaan. Akan tetapi, apakah kebahagiaan
itu, Kek?”
Kakek itu tersenyum memperlihatkan mulut ompongnya yang nampak bersih
dan sehat. "Orang muda, kalau kita belum pernah bertemu dengan seseorang,
bagaimana mungkin kita mengenalnya? Kalau kita belum pernah makan garam,
bagaimana mungkin kita mengetahui rasanya? Kalau kita belum pernah
berbahagia, bagaimana kita dapat menceritakan apakah kebahagiaan itu?
Seperti kita pernah alami, yang kita rasakan hanyalah senang dan susah, dan
kedua perasaan itu baru timbul setelah kita menilai. Suatu peristiwa tidaklah
disebut Susah atau senang sebelum kita menilainya. Susah atau senangnya
tergantung dari hasil penilaian. Bukankah demikian? Karena itu, senang dan
susah bukanlah suatu kenyataan, melainkan hasil penilaian pikiran. Pikiran
bergelimang nafsu, maka dengan sendirinya penilaiannya didasari kepentingan
diri pribadi. Yang menguntungkan menimbulkan senang, yang merugikan
menimbulkan susah. Jelas bahwa penilaian adalah palsu, dan hasilnya, susah
senang pun hanya bayangan palsu belaka."
"Maaf, Kek. Maukah engkau menjelaskan tentang palsunya susah senang yang
timbul karena penilaian palsu sebagai hasil kerja pikiran bergelimang nafsu?"
"Contohnya hujan, orang muda. Hujan itu suatu peristiwa, tidak ada kaitannya
dengan susah senang. Hujan itu suatu kenyataan, suatu kewajaran, suatu bukti
kekuasaan Tuhan. Akan tetapi kita menilainya. Kalau di waktu kita menilai itu
kita membutuhkan air hujan, maka hal itu dianggap menguntungkan dan
karenanya kita menjadi senang dengan turunnya hujan. Akan tetapi kalau di
lain saat kita terganggu oleh turunnya hujan, penilaian kita sudah berbalik, kita
dirugikan dan kita menjadi susah. Kalau pada hujan pertama kita menganggap
hujan itu baik dan menyenangkan, di lain kali kita menganggap hujan itu buruk
dan menyusahkan. Nah, nampak sekali kepalsuan penilaian itu, bukan?"
Hay Hay mengangguk-angguk, mengerti, "Kita sudah menyelidiki tentang
senang-susah yang hanya menjadi akibat daripada penilaian yang didasari
nafsu kepentingan diri pribadi. Jadi kesenangan bukanlah kebahagiaan. Lalu
apakah kebahagiaan itu, Kek?"
"Nah, itulah. Bagaimana menceritakan tentang asinnya garam kepada orang
yang tidak pernah makan garam? Semua orang agaknya mencari-cari
kebahagiaan, heh-heh-heh."
"Benar, Kek. Semua orang haus akan kebahagiaan."
"Engkau juga, orang muda?"
"Tentu saja, Kek. Siapa orangnya yang tidak ingin berbahagia dalam
hidupnya.?"
"Di sanalah letak rahasianya, orang muda. Kebahagiaan tidak akan mungkin
ada bagi orang yang mencari dan mengejarnya!"
"Ehh? Kenapa begitu, Kek?"
"Karena keinginan memperoleh kebahagiaan itu sendiri adalah nafsu, dan
selama nafsu menguasai hati dan akal pikiran, maka yang dikejar itu tiada lain
hanyalah kesenangan, yang menyenangkan, dan kita tahu tadi bahwa pengejar
kesenangan sudah pasti akan bertemu pula dengan kesusahan, saudara
kembarnya."
"Kalau begitu, lalu bagaimana kita dapat memperoleh kebahagiaan, Kek?"
"Ho-ho-heh-heh," kakek itu tertawa. "Pertanyaanmu itu bukankah mengandung
keinginan untuk mengejar kebahagiaan pula?"
Hay Hay menjadi bengong dan bingung. "Habis, lalu apa yang harus kita
lakukan, Kek?"
"Tidak ada yang harus melakukan apa-apa. Mari kita simak dengan teliti, orang
muda. Sekarang jawab sejujurnya, mengapa kita mencari kebahagiaan?
Mengapa engkau menginginkan kebahagiaan?"
Ditanya demikian, Hay Hay termenung. Ya, mengapa? Sukarnya mencari
jawaban! Mengapa dia mendambakan kebahagiaan? Tiba-tiba wajahnya
berseri dan dia menjawab, "Karena aku merasa tidak berbahagia, Kek! Kukira
semua orang juga demikian. Mereka tidak berbahagia, maka mendambakan
kebahagiaan!"
"Tepat sekali. Memang agaknya demikianlah, jawaban itu jujur dan sewajarnya.
Kita selalu mencari kebahagiaan, tentu saja yang menjadi sebabnya adalah
karena kita tidak berbahagia, atau lebih tepat karena kita MERASA tidak
bahagia! Nah, dalam keadaan tidak berbahagia kita mengejar kebahagiaan,
bagaimana mungkin itu? Keadaan tidak berbahagia merupakan kenyataan apa
yang ada, sedangkan kebahagiaan masih merupakan khayalan, harapan.
Bagaimana mungkin yang kotor ingin bersih? Bagaimana mungkin yang sakit
ingin sehat? Yang penting, bukankah lebih tepat kalau kita mencari sebab
penyakit itu, mencari penyebab yang membuat kita tidak sehat, dan
menyembuhkan penyakit itu? Demikian pula, lebih tepat kalau kita menyelidiki,
APA yang menyebabkan kita tidak merasa berbahagia. Kalau penyebab itu
sudah lenyap, kalau kita sudah tidak sakit lagi, apakah kita membutuhkan
kesehatan? Demikian pula kalau tidak ada sesuatu yang menyebabkan kita
TIDAK berbahagia apakah kita butuh lagi kebahagiaan? Yang mencari air
minum adalah mereka yang haus, yang tidak haus tentu tidak butuh air minum."
Hay Hay memandang wajah kakek itu dengan sinar mata berseri dan wajahnya
penuh senyum maklum. "Jelas sekali, Kek. Yang tidak merasa lagi bahwa dia
tidak bahagia, tentu tidak kebahagiaan, karena DIA SUDAH BERBAHAGIA!"
"Nah, jadi yang merasa tidak berbahagia, kemudian yang mengejar-ngejar
kebahagiaan, bukan lain adalah hati akal pikiran yang bergelimang nafsu, yang
menamakan diri sendiri si-aku yang mengaku-aku.”
"Kalau begitu, Kek. Kebahagiaan itu sudah ada pada kita. Akan tetapi karena
kita tidak merasakannya? Kenapa kita tidak merasa berbahagia walaupun tidak
ada apa-apa yang mengganggu?"
"Itulah kelemahan kita manusia. Dalam keadaan sehat tanpa ada gangguan
penyakit, jarang ada orang yang menyadari kesehatannya dan kalau dia
terganggu penyakit, barulah dia membayangkan betapa senang dan indahnya
kalau dia sehat. Demikian pula dengan kebahagiaan. Kalau ada sesuatu yang
terjadi, yang membuat dia merana dan merasa tidak berbahagia, dia menjadi
haus akan kebahagiaan! Selama hati akal pikiran masih bergelimang nafsu, kita
akan selalu haus akan sesuatu yang lebih, dan tidak pernah merasa puas
dengan yang ada. Pengejaran akan sesuatu yang lebih, yang ada. Pengejaran
akan sesuatu yang lebih, yang dianggap akan membahagiakan itulah
penghancur kebahagiaan. itu sendiri."
"Aih, kalau begitu, biang keladinya adalah nafsu, Kek. Pantas saja para cerdik
pandai bertapa dan mengasingkan diri untuk mengendalikan nafsu, untuk
memerangi nafsunya sendiri."
"Siapa yang berhasil? Bagaimana mungkin hati akal pikiran yang bergelimang
nafsu ini dapat melakukan usaha untuk membersihkan diri sendiri dari
gelimangan nafsu? Kita hanya akan terseret dalam lingkaran setan, orang
muda. Hasil usaha dari nafsu tentu saja juga masih mementingkan diri sendiri,
berpamrih, dan bahkan akan memperkuat cengkeraman nafsu. Kita sebagai
manusia hidup tak mungkin melenyapkan nafsu. Kita membutuhkan nafsu
untuk hidup.
Tanpa adanya nafsu, kita tidak akan menjadi manusia."
"Wah, wah! Kalau begini bagaimana, Kek? Nafsu mencelakakan kita, akan
tetapi kita tidak dapat hidup tanpa nafsu! Lalu bagaimana?"
"Nafsu laksana api, orang muda. Kalau menjadi pelayan, dia akan amat
berguna, sebaliknya kalau menjadi majikan, dia akan berbahaya. Nafsu itu
pelayan yang setia dan majikan yang kejam. Nafsu adalah alat, harus kita
peralat, maka akan nampak kegunaannya. Akan tetapi, sekali dia yang
memperalat kita, akan binasalah kita. Jadi, nafsu harus kita pertahankan
sebagai pelayan, jangan sampai menjadi majikan."
"Tapi, bukankah usaha kita adalah usaha hati akal pikiran yang bergelimang
nafsu? Lain siapa yang akan mampu mempertahankan agar nafsu menjadi alat
atau pelayan?"
"Kita, memang lemah. Biarpun kita waspada dan menyadari tetap saja kita tidak
akan kuat melawan desakan nafsu kita sendiri. Oleh karena itu, satu-satunya
kekuasaan yang akan mampu mengembalikan nafsu kepada tugasnya semula,
hanyalah Sang Maha Pencipta! Hanya kekuasaan Tuhan yang mampu, karena
kekuasaan Tuhan pula yang menciptakan nafsu sebagai alat manusia hidup di
dunia."
"Tuhankah yang menciptakan nafsu yang membuat manusia menyeleweng dan
menjadi jahat?"
Kakek itu tertawa. "Ha-ha-ho-ho, kau kira siapa ? Segala yang ada di alam
mayapada ini, yang nampak maupun yang tidak nampak, dari yang terkecil
sampai terbesar, dari yang terlembut sampai yang terkasar, segala ini adalah
ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa!"
"Tapi mengapa Tuhan menciptakan yang buruk dan jahat?"
"Hushh, kita yang mengatakan buruk dan jahat karena kita tidak tahu, dan
pengetahuan kita hanya pengetahuan si-aku yang selalu ingin senang dan ingin
enak. Bagaimana kita mengetahui atau mengerti akan kehendak Tuhan?"
"Lalu bagaimana harus kita lakukan agar kekuasaan Tuhan mengendalikan
nafsu kita dan mengembalikannya kepada tugasnya yang benar?"
"Kita justeru tidak melakukan apa-apa! Kalau kita melakukan apa-apa, berarti
kita tidak pasrah kepada Tuhan! Kita menyerah saja, dengan penuh kesabaran,
keikhlasan dan ketawakalan, dengan iman. Kalau sudah begitu, kalau kita
sudah menyerah, dengan sebulatnya, maka segala yang menimpa diri kita, kita
terima sebagai sesuatu yang dikehendaki Tuhan, dan tidak akan ada keluhan
keluar dari batin kita. Yang ada hanya penyerahan mutlak dan puja-puji bagi
Tuhan Maha Kasih, puji syukur yang tiada berkeputusan. Kalau sudah begitu,
kita tidak butuh kebahagiaan lagi. Bimbingan Tuhan itulah kebahagiaan, cinta
kasih Tuhan itulah kebahagiaan, cahaya Tuhan itulah kebahagiaan, jauh di atas
senang susah, tak dapat dinilai, tak dapat digambarkan."
Pada saat itu, terdengar teriakan dari bawah puncak. Akan tetapi karena Hay
Hay masih penasaran mendengar ucapan terakhir tadi, dia mengejar dengan
pertanyaan.
"Kakek yang baik, kalau kita hanya pasrah saja, tidak melakukan usaha apa
pun, benarkah itu?"
"Ho-bo-ho, itu pemalas namanya. Dan orang seperti itu berdosa besar, hendak
memperalat kekuasaan Tuhan! Tentu saja tidak. Kita manusia ini hidup,
bergerak, serba sempurna dan lengkap dengan jasmani, hati dan akal pikiran.
Kita harus berusaha, berikhtiar sekuat tenaga. Namun, semua usaha kita itu
berlandaskan penyerahan kepada kekuasaan Tuhan! Jelaskan?"
Suatu hari sepasang suami istri melakukan perjalan ke suatu tempat, namun
mereka hanya memiliki seekor kuda. Si suami mendesak agar isterinya naik
kuda sendirian, dan dia yang menuntun kuda.
Di tengah perjalanan, mereka bertemu seorang laki-laki setengah tua. Melihat
suami isteri itu, laki-laki tadi mengomel, mengatakan betapa isteri itu tidak tahu
diri, tidak kasihan kepada suami, enak-enak nongkrong di atas kuda sedangkan
suaminya berjalan sampai bermandi peluh.
Nah, mendengar omelan itu, sang isteri segera turun dan mendengar agar
suaminya saja yang kini menunggang kuda. Sang isteri kini yang berjalan
menuntun kuda. Tak lama kemudian mereka berpapasan dengan seorang
wanita setengah tua yang menggeleng-geleng kepala melihat suami isteri itu,
lalu mencela betapa kejamnya suami itu membiarkan isterinya berjalan kaki
sedangkan dia sendiri enak-enak menunggang kuda dan mengatakan betapa
tidak pantasnya sikap suami itu.
Mendengar ini, sang suami lalu menarik isterinya ke atas punggung kuda dan
mereka berdua kini berboncengan, seperti kita tadi. Akan tetapi kembali mereka
bertemu seorang kakek tua yang menyumpah-nyumpah dan dengan marah
menegur mereka sebagai suami isteri yang berhati kejam, membiarkan kuda
mereka tersiksa menanggung beban dua orang. Mendengar celaan terakhir ini,
suami lsteri itu menjadi jengkel. Mereka turun dan mencari bambu, mengikat
empat buah kaki kuda itu, lalu memikul kuda mereka dengan kaki ke atas dan
tubuh di bawah.
Mereka tidak perduli lagi walaupun di sepanjang jalan mereka disoraki dan
ditertawakan orang!"
Kehidupan manusia di dunia ini teramat janggal, teramat tidak adil. Si kaya
memiliki makanan, pakaian dan rumah yang berlebihan. Sedangkan si miskin
yang tinggal di sebelah rumahnya, demikian melaratnya sehingga untuk makan
saja tidak cukup! Malaskah si miskin itu?
Sama sekali tidak. Bahkan mereka bekerja keras siang malam untuk sekedar
bertahan hidup. Menyedihkan memang. Apalagi melihat si kaya membeli
barang-barang mewah yang tidak perlu. Padahal, uang yang dihamburkan itu
dapat menghidupi banyak keluarga miskin.
Lebih menyedihkan lagi kalau banyak sekali uang dihamburkan untuk membeli
senjata untuk mempertahankan diri. Padahal, uang untuk membeli senjata itu
akan menghidupkan suatu bangsa yang sedang dilanda kemiskinan.
Alangkah baiknya kalau dalam kehidupan ini manusia saling menolong, bangsa
saling menolong sehingga tidak akan terjadi permusuhan. Alangkah indahnya
kalau sinar kasih menyelimuti kehidupan kita, bukan permusuhan, dendam dan
kebencian!
Tentu karena manusia hanya melihat segi lahiriahnya saja! Tuhan Maha Adil!
Hanya jalan yang di tempuh Tuhan untuk menentukan sesuatu itu rahasia
besar bagi kita, tidak terjangkau oleh akal pikiran kita.
Bagi kita hanya ada satu sikap. Yaitu, berikhtiar sekuat dan sebaik mungkin,
akan tetapi menerima kenyataan dan keadaan dengan pasrah dan menguatkan
iman kita bahwa apa yang Tuhan kehendaki semua terjadilah!
Dan semua itu terjadi dengan benar dan adil. Mengapa terjadi begini atau
mengapa terjadi begitu, berada di luar kekuasaan kita. Hukum Karma tidak
akan pernah menyimpang seujung rambutpun.
Dan kita harus menerimanya penuh kepasrahan, ikhlas dan dengan iman yang
kuat akan kekuasaan, kebesaran dan kebenaran Tuhan!
Kalau kita melihat ke atas, yang nampak hanyalah orang-orang yang lebih
tinggi kedudukannya dari pada kita, lebih kaya, lebih senang dan sebagainya,
pendeknya serba lebih dari pada kita.
Akan tetapi sekali kita menunduk, melihat ke bawah, ternyata masih banyak
sekali orang yang lebih rendah dari pada kita, lebih miskin, lebih sengsara dan
barulah kita menyadari bahwa keadaan kita masih lebih baik daripada keadaan
banyak orang!
Sajak itu sendiri sudah menjelaskan artinya. Dinasihatkan di situ agar kita tidak
menuruti kehendak nafsu yang ingin memiliki sepenuhnya, menguasai
sepenuhnya, yang akhirnya tak pernah puas dan tergelincir oleh tindakan
sendiri. Lebih baik berhenti pada saatnya atau mengenal batas.
Segala sesuatu yang dipaksakan untuk diperolehnya, yang diperoleh itu tidak
akan bertahan lama, akan membosankan. Harta kekayaan yang berlebihan
hanya akan menimbulkan iri hati dan mendatangkan maling untuk mencurinya.
Kalau orang menjadi angkuh karena kemewahan dan kemuliaan, harta benda
atau kedudukan tinggi, hal itu akhirnya akan mendatangkan bencana pada diri
sendiri.
Kalau merasa sudah menyelesaikan tugas dengan baik, tentu namanya
menjadi harum dan dia boleh mengundurkan diri untuk menyatukan diri dengan
Tuhan. Jalan itulah yang ditempuh oleh Langit dan Bumi, yang bersikap selaras
dengan kehendak Tuhan.”
Mengajar orang-orang agar supaya menjadi baik budi amatlah sukarnya. Akan
tetapi mengajari orang-orang itu untuk berbudi buruk dan memperoleh
kesenangan, maka sebentar saja semua orang akan suka dan menurut.
Artinya :
Batin manusia seperti yang telah ada padanya sejak lahir memiliki Watak Aseli
yang sifatnya tenteram, lurus dan seimbang.
Akan tetapi apabila batin diguncangkan oleh perasaan seperti suka dan duka,
senang dan marah, maka keseimbangannya dapat menjadi goyah dan miring
dan kalau demikian halnya, maka dia akan meninggalkan Tao atau Jalan
Kebenaran atau Hukum Alam.
Akan tetapi manusia disertai pula oleh nafsu-nafsu yang saling berebut untuk
menguasainya, maka tidak dapat dielakkan lagi berbagai macam guncangan itu
akan menerjangnya dalam kehidupan, seperti sebuah biduk tak terbebas dari
guncangan ombak.
Akan tetapi kalau dia sedang diguncang nafsu, namun dapat mengendalikan
perasaan itu, maka akan terciptalah keselarasan.
ujar-ujar itu mengajarkan kepada orang untuk melakukan segala sesuatu tanpa
pamrih untuk keuntungan atau kesenangan diri pribadi karena perbuatan
apapun yang berpamrih untuk diri sendiri, maka perbuatan itu tidaklah timbul
dari hati sanubari yang bersih, melainkan dipakai sebagai alat untuk mencapai
kesenangan diri sendiri.
Tengoklah keatas dan engkau akan melihat betapa banyaknya orang yang
lebih pandai, lebih kaya dan lebih segala-galanya dari pada engkau dan engkau
boleh berkata pada dirimu sendiri: enyahlah keangkuhan dan kesombongan!
Tengoklah ke bawah dan engkau akan melihat betapa banyaknya orang yang
lebih bodoh, lebih miskin dan lebih menderita daripada engkau dan engkau
boleh berkata pada dirimu sendiri:
pergilah keputus-asaan dan kerendah-dirian!
Dengan menengok ke atas dan ke bawah itu, engkau akan selalu merasa
bersyukur atas segala karunia Tuhan kepadamu, engkau akan selalu rendah
hati dan tidak rendah diri. Engkau akan menjadi seorang manusia yang jauh
lebih gagah perkasa kalau engkau mampu menguasai nafsu-nafsu sendiri dari
pada kalau engkau mengalahkan seratus orang lawan!”
Benarlah kata orang bijaksana jaman dahulu bahwa kalau kita sedang ditimpa
kesengsaraan dalam kehidupan ini, sebaiknya kita menundukkan kepala dan
memandang ke bawah. Di sana masih terdapat banyak sekali orang yang
keadaannya lebih payah dari pada keadaan kita!
Sebelum timbul rasa senang, marah, duka dan suka, maka hati, akal pikiran
berada dalam Keadaan Seimbang.
Apabila dapat mengendalikan bermacam perasaan itu, hati, akal pikiran berada
Keadaan Selaras.
Keadaan Seimbang itu adalah Pokok Terbesar dari dunia. Sedangkan Keadaan
Selaras adalah Jalan Utama dari dunia.”
Perasaan susah, senang, marah, benci dan sebagainya adalah ulah nafsu.
Kalau seseorang belum dikuasai nafsu-nafsu ini, maka dia adalah seorang
yang berimbang atau lurus, tidak miring. Akan tetapi begitu nafsu
menguasainya dan perasaan-perasaan itu memasukinya, maka
pertimbangannya menjadi miring. Manusia menjadi jahat kalau sudah dikuasai
nafsu. Akan tetapi kalau dia dapat mengendalikannya, maka diapun akan tetap
menjadi majikan dari nafsunya dan keadaannya menjadi selaras.
Nafsu telah berada dalam diri manusia sejak dia lahir di dunia. Nafsu inilah
yang membuat manusia dapat hidup di dunia. Nafsu inilah yang membuat
manusia hidup seperti sekarang ini, memperoleh kemajuan, ada gairah hidup
dan semangat. Nafsu menjadi peserta manusia yang teramat penting sehingga
manusia dapat hidup di dunia dengan bahagia. Nafsu menjadi hamba yang
amat baik. Akan tetapi jangan sekali-kali membiarkan nafsu merajalela. Kalau
begitu halnya, nafsu memperbudak kita, membelenggu kita dan membuat kita
menuruti segala kehendaknya. Nafsu akan menjadi majikan dan kalau dia
menjadi majikan, dia menjadi majikan yang menyeret kita ke dalam
kehancuran.
Jadi jelaslah bahwa pikiran, ingatan, yang menjadi penggoda manusia. Segala
perbuatan diawali dengan pemikiran yang bergelimang nafsu sehingga lahirlah
perbuatan-perbuatan yang hanya mementingkan diri mencari kesenangan
sendiri saja. Demi mencapai kesenangan yang dikehendaki, orang tidak segan
melakukan segala macam kejahatan yang merugikan orang lain.
Kita melihat tadi bahwa cinta manusia mengandung pamrih, minta imbalan. Aku
mencinta dia karena cinta kepadaku. Atau lebih jelas lagi, kau mencinta dia
karena dia menyenangkan hatiku. Semua ini terjadi karena manusia telah
dikuasai oleh nafsunya sendiri. Nafsu yang mengaku-aku menjadi si-aku, selalu
minta disenangkan. Kalau disenangkan aku menyayang, kalau tidak
disenangkan aku tidak menyayang. Aku menyayang benda karena benda itu
menyenangkan, aku menyayang binatang peliharaan karena binatang itu patuh
dan menyenangkan. Maka terjadilah: mencinta yang menyenangkan dan
membenci yang tidak menyenangkan.”
“Agaknya cinta kasih kita sudah dihabiskan untuk mencintai diri sendiri. Tidak
ada sisanya lagi bagi orang lain.”
“Lalu, bagaimana usaha kita agar dapat mencinta dengan tulus ikhlas dan
murni?”
“Orang muda, siapa namamu? Dari mana kau datang dan hendak ke mana?”
Dia memandang pedang yang tadi oleh Goan Ciang dikeluarkan dan diletakkan
di atas lantai. “Dan untuk apa engkau membawa-bawa pedang tanpa sarung
itu?” Pedang itu memang hanya dibuntal kain butut oleh Goan Ciang dan selalu
dia selipkan di pinggang, disembunyikan di balik bajunya.
“Kalau ada perajurit keamanan melihatmu, tentu engkau akan ditangkap karena
membawa pedang ini.” Goan Ciang menarik napas panjang. Dia seorang
pelarian, seorang buruan. Tidak perlu mencari penyakit dengan
memperkenalkan nama lengkapnya, akan tetapi diapun tidak tega untuk
membohongi kakek yang telah begitu baik membagi makan malamnya dengan
dia.
“Kek, namaku....biasa orang memanggilku Siauw Cu (Cu Kecil) dan aku datang
ah, terus terang saja aku hana bisa bilang bahwa aku datang dari belakang dan
ingin pergi ke depan!” Melihat kakek itu tertawa, dia cepat menyambung, “Aku,
tidak
mempermainkanmu, kek. Memang aku tidak mempunyai tempat tinggal, tidak
mempunyai tujuan perjalanan. Pedang ini adalah kawanku satu-satunya, untuk
membela diri kalau diserang orang jahat.”
“Hemm, namamu Siauw Cu dan engkau hidup sebatang kara di dunia ini, tidak
mempunyai tempat tinggal, tidak memiliki tujuan. Engkau jelas bukan anggota
kaipang (perkumpulan pengemis) walaupun pakaianmu tambal-tambal. Aku
yakin engkau tidak pernah mengemis.”
“Mengemis? Ihh, aku tidak sudi mengemis, kakek yang baik. Mengemis adalah
pekerjaan yang hina!”
“Ha-ha-ha, jangan katakan bahwa engkau mencari nafkah dengan bekerja?
Apa sih pekerjaanmu?”
Siauw Cu menggeleng kepalanya. “Aku memang tidak bekerja, kek, aku
menganggur dan aku menyusahkan hatiku.”
“Engkau tidak bekerja, dan mengemis tidak sudi, Lalu apa yang kaumakan
setiap hari? Mencuri?”
“Lebih baik mencuri daripada mengemis!”
“Heh-heh-heh, itu kan alasan seorang pencuri. Kalau seorang pengemis tentu
akan mengatakan bahwa mengemis lebih baik daripada mencuri. Apa salahnya
mengemis makanan kalau kita lapar dan tidak mampu membeli? Setidaknya,
mengemis berarti mengetuk hati nurani manusia lain agar menaruh iba kepada
sesamanya.”
“Akan tetapi, sekali mengemis akan membuat orang menjadi malas bekerja dan
hanya mengandalkan pemberian orang saja, bahkan dia lalu mengemis bukan
untuk keperluan makan, melainkan untuk mengumpulkan harta.”
“Heh-heh-heh, yang demikian bukan pengemis namanya, melainkan penipu.
Sudahlah, jangan bicara tentang pengemis, kalau mereka tersinggung, semua
penghuni kuil ini akan keluar dan memaki atau mengeroyokmu. Aku ingin
bertanya, kenapa engkau tadi menghela napas dan mengeluh panjang pendek?
Engkau kelihatan seperti orang yang bersusah hati. Kenapa?”
Goan Ciang termenung. Sejak kecil, dia memang lebih banyak mengenal susah
daripada senang. “Siapa yang takkan susah hatinya melihat semua penderitaan
yang mewarnai kehidupan manusia ini, kek? Di mana-mana aku melihat
kesengsaraan manusia!”
“Heh-heh-heh, maksudmu kemiskinan dan penyakit, usia tua dan kematian?”
“Bukan itu saja, juga kekecewaan-kekecewaan, harapan-harapan hampa,
keputus-asaan.
Aku sendiri sejak kecil belum pernah menikmati kebahagiaan. Yang kukenal
hanya penderitaan, duka nestapa, kekecewaan, dan kesusahan belaka.
Apakah memang kehidupan ini berarti penderitaan dan kesusahan, kek?”
“Heii, orang muda. Jawab terus terang, apakah engkau pernah merasakan apa
yang dinamakan kesenangan itu? Pernahkah engkau senang sejak kecil
sampai sekarang?”
“Kalau itu tentu saja pernah, kek. Akan tetapi, kesenangan sekelumit yang
disusul kesusahan segunung.”
“Heh-heh-heh, itulah sebabnya! Karena engkau pernah merasakan senang,
maka engkau merasakan susah. Coba andaikata engkau selama hidupmu
belum pernah merasakan senang, tidak mengenal senang, aku yakin engkau
tidak pula mengenal susah. Mengejar kesenangan sama dengan mengejar
kesusahan. Coba pikir, engkau tadi makan minum bersamaku, senang atau
tidak?”
“Ya, tentu....senang, kek.”
“Nah, coba kalau sebelum makan minum engkau tidak merasakan susahnya
dan derita perut lapar, apa engkau akan dapat menikmati senangnya makan?
Kalau hendak menikmati enaknya minum, haruslah lebih dahulu menderita
tidak enaknya haus.
Kesenangan merupakan pengalaman, kenangan, dan kita ingin memilikinya
secara abadi, sehingga kalau kesenangan itu lepas dari tangan, kita bertemu
kesusahan. Senang dan susah sama saja, itu hanya permainan pikiran yang
bergelimang nafsu. Nafsu membentuk si-aku yang ingin senang, tidak mau
susah, lupa bahwa adanya senang karena adanya susah, adanya siang karena
adanya malam. Itulah perimbangannya, yang satu mengadakan yang lain.”
“Tapi, kek. Bukankah semua orang juga begitu? Siapa yang mau susah?
Bahkan senangpun kalau berekor susah, aku tidak mau. Aku ingin bahagia
selamanya, akan tetapi sejak kecil aku tidak pernah merasakan kebahagiaan.”
Kakek itu memandang penuh perhatian dan Goan Ciang menambahkan kayu
pada api unggun sehingga nyala api membesar. “Orang muda, dalam
pertanyaanmu sudah terdapat jawabannya. Aku melihat bahwa engkau bukan
seorang yang tepat untuk mencapai kebahagiaan, melainkan seorang yang
memiliki kemauan besar, memiliki bakat besar untuk mendapatkan kesenangan
yang sebanyak-banyaknya. Berbakat untuk menjadi orang besar dengan
kekuasaan yang tak terbatas!”
“Maksudmu bagaimana, kek?”
Kakek itu tersenyum dan menggeleng kepala. “Aku tidak dapat mengatakan
lebih dari itu, aku hanya membaca tanda-tanda pada wajahnya. Akan tetapi
kembali tentang kebahagiaan, engkau sendiri tadi mengaku bahwa sejak kecil
engkau belum pernah merasakan kebahagiaan. Nah, dengan begitu berarti
engkau tidak mengenal kebahagiaan
dan tidak tahu apa itu kebahagiaan, bukankah begitu?”
“Justru, karena itu aku sedang mencarinya, kek. Aku mendambakan
kebahagiaan, aku ingin menemukan kebahagiaan.”
“Heh-heh-heh, lucunya! Siauw Cu, aku mempunyai seorang kenalan, namanya
Akong.
Nah, dapatkah engkau mencarinya untukku? Engkau belum mengenalnya,
belum mengetahui di mana dia dan tidak mengenal ciri-cirinya, hanya tahu
bahwa namanya Akong. Dapatkah engkau menemukannya untukku?”
“Wah, jelas tidak mungkin, kek! Andaikan aku bertemu seorang yang namanya
Akong sekalipun, aku tidak tahu apakah itu Akong yang benar ataukah Akong
yang lain.”
“Bagus! Begitu pula dengan kebahagiaan. Kalau engkau belum pernah
mengenalnya bagaimana engkau dapat menemukannya? Andaikata engkau
bertemu dengan sesuatu yang kaunamakan kebahagiaan sekalipun, engkau
tidak tahu apakah itu kebahagiaan yang asli ataukah yang palsu, seperti Akong
tadi! Mengertikah engkau, Siauw Cu?
Orang tidak mungkin mencari sesuatu dan menemukan sesuatu yang belum
pernah dikenalnya. Kalau engkau mencari kesenangan, yaitu pengalaman
menyenangkan hati seperti yang pernah kaualami atau yang pernah dialami
orang lain dan yang engkau dengar orang lain menceritakannya kepadamu.
Dan mencari kesenangan, seperti kita bicarakan tadi, sama dengan mencari
kesusahan karena keduanya kait-mengait dan tak terpisahkan.”
Siauw Cu mengerutkan alisnya. Belum pernah dia mendengarkan pendapat
seperti itu. Belum pernah dia bercakap-cakap dengan orang lain seperti yang
dilakukannya pada malam hari sunyi di depan kuil kosong itu. Ia takjub, juga
tidak mengerti. Apa yang diucapkan kakek itu hanya samar-samar saja dapat
ditangkap hatinya, namun segera menjadi kabur pula.
“Kakek yang baik, aku telah memberitahu namaku. Bolehkah aku mengetahui
nama kakek yang bijaksana?”
“Bijaksana? Heh-heh-heh, aku sama sekali tidak bijaksana, sama seperti
engkau dan orang lain. Kalau makan enak perut kenyang harus senang, heh-
heh-heh! Kalau orang-orang menyebutmu Siauw Cu, maka orang-orang
menyebut aku Pek Mau Lokai (Pengemis Tua Berambut Putih). Engkau boleh
sebut aku Lo-kai (Jembel Tua) saja.”
Akan tetapi Siauw Cu adalah seorang pemuda yang pandai membawa diri. Dia
tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang luar biasa, dan bukan
mustahil kakek seperti ini memiliki ilmu kepandaian tinggi. “Pek-mau locianpwe
(Orang Tua Gagah Berambut Putih), aku hanya ingin bertanya dan akupun
mengharap locianpwe akan menjawab sejujurnya.”
“Heh-heh-heh, tanyalah, orang muda.” Kata kakek itu, tidak kikuk disebut
locianpwe.
“Apakah locianpwe tidak seperti aku, tidak mendambakan dan tidak mencari
kebahagiaan?”
Wajah yang keriputan dibungkus rambut putih itu berseri, matanya bersinar-
sinar, mulutnya tersenyum lebar sehingga kelihatan bahwa mulutnya tidak
bergigi lagi, seperti mulut bayi yang belum tumbuh gigi. “Heh-heh-heh, aku tidak
butuh kebahagiaan, orang muda. Untuk apa kebahagiaan? Tidak bisa dimakan,
tidak bisa dipakai. Untuk apa? Aku adalah aku, seperti inilah, dan aku tidak
ingin menjadi yang lain, tidak ingin menjadi apa-apa, tidak ingin apaapa. Kalau
aku tua, tualah, kalau miskin, miskinlah, kalau sakit, sakitlah, kenapa harus
mengeluh dan tidak menerima kenyataan? Kalau lapar, cari makan, kalau sakit,
cari obat, itu saja. Aku tidak butuh bahagia. Nah, sekarang ini perutku kenyang,
tubuh terasa nyaman, mataku mengantuk. Aku tidak ingin apa-apa, tidak butuh
bahagia, hanya butuh tidur!” Setelah berkata demikian, kakek yang tadinya
duduk bersila itu lalu merebahkan tubuhnya, miring dan dalam beberapa detik
saja dia sudah tidur pulas!
Siauw Cu tercengang, lalu tertegun, merenung, memandang kepada kakek
yang tidur nyenyak itu, lalu menambahkan kayu pada perapian dan termenung
memandang api yang merah. Pandang matanya kosong menerawang,
menembus nyala api. Dia menemukan sesuatu, menemukan kenyataan pada
diri kakek itu. Itulah bahagia! Itukah? Keadaan tidak ingin apa-apa, ituka yang
dinamakan bahagia? Akan tetapi, bagaimana mungkin hidup tidak ingin apa-
apa, seperti kakek itu? Menerima keadaan begitu saja? Mungkin bisa dilakukan
seorang yang sudah tua seperti kakek itu. Akan tetapi dia? Dia masih muda, dia
ingin memperoleh kemajuan dalam segala bidang! Dia bercita-cita. Dia ingin
mengusir penjajah Mongol. Dia ingin memimpin rakyat membebaskan diri dari
belenggu penjajahan. Dia ingin menjadi pemimpin besar rakyat jelata, ingin
mencapai kekuasaan tertinggi! Dia sudah cukup menderita kekurangan,
penghinaan, kerendahan. Dia ingin berkecukupan, berlebihan, dihormati dan
disembah, dia ingin kedudukan setinggi-tingginya.
Salahkah itu? Dia menoleh dan melihat betapa kakek itu tersenyum pada
tidurnya.
“Engkau boleh puas dengan keadaanmu, kek. Akan tetapi aku belum puas
dengan keadaanku. Kalau sudah tercapai cita-citaku, barulah aku akan merasa
puas dan bahagia.
Ya, puas dengan keadaannya itulah bahagia dan aku tidak berbahagia karena
aku belum puas dengan keadaan diriku!”
Cu Goan Ciang masih diombang-ambingkan pikirannya sendiri, tidak tahu
bahwa hati akah pikiran itu sudah dikuasai nafsu daya rendah. Oleh karena itu,
apapun yang kita pikirkan selalu mempunyai satu tujuan, yaitu demi keenakan
dan kesenangan diri pribadi. Dengan selimu dan kedok apapun, berselubung
apapun yang menjadi tujuan pemikiran adalah keenakan dan kesenangan diri
pribadi. Baik kesenangan dan keenakan diri jasmani maupun keenakan dan
kesenangan diri bagian dalam, y aitu batin. Orang yang haus akan kebahagiaan
adalah jelas merupakan orang yang tidak berbahagia.
Kenyataannya bahwa kita ingin berbahagia menunjukkan bahwa kita tidak
berbahagia. Ini merupakan fakta. Nah, dalam keadaan tidak berbahagia,
bagaimana mungkin dapat menemukan bahagia? Yang tidak berbahagia itu
bukan lain adalah yang mendambakan kebahagiaan itu juga. Dalam keadaan
sakit, bagaimana mungkin tubuh mendambakan kesehatan? Yang terpenting
bukan mencaricari kesehatan, melainkan menghilangkan penyebab sakit,
apakah kita butuh akan kesehatan lagi. Demikian pula dengan kebahagiaan.
Yang terpenting adalah mengamati, mempelajari, dan meyakinkan mengapa
kita tidak berbahagia! Kalau penyebab yang mendatangkan ketidak-bahagiaan
itu lenyap, apakah kita butuh lagi kepada kebahagiaan? Tentu saja tidak butuh!
Orang yang tidak sakit tidak butuh kesehatan karena memang sudh sehat.
Orang yang tidak „tak berbahagia‟ tidak membutuhkan kebahagiaan lagi karena
sesungguhnya dialah orang berbahagia! Seperti juga kesehatan, kita tidak
pernah menyadari kebahagiaan.
Kalau kita sehat, kita lupa bahwa kita sehat, kita tidak dapat menikmatinya.
Demikian pula kalau kita berbahagia, kita lupa atau tidak tahu bahwa
kebahagiaan tak pernah meninggalkan kita. Kalau kita sakit, baru kita rindu
kesehatan, kalau kita sengsara baru kita mendambakan kebahagiaan! Pada
hal, kebahagiaan, seperti Tuhan dan kekuasaanNya, tidak pernah
meninggalkan kita sedetikpun. Kitalah yang meninggalkan Dia!
Nafsu daya rendah telah mencengkeram kita lahir batin sehingga nafsu yang
diikutsertakan kepada kita dan yang semula dijadikan pembantu dan alat kita
dalam kehidupan ini, berbalik memperalat kita sehingga kita diperhamba. Nafsu
mencengkeram kita dan mendorong kita untuk selalu mengejar-ngejar
keenakan dan kesenangan diri lahir batin. Hidup kita hanya diseret ke satu
arah, satu arah mencapai tujuan, yaitu keenakan dan kesenangan! Dan untuk
mencapai tujuan ini, kita menghalalkan segala cara karena sudah lupa diri, lupa
bahwa kita ini manusia, mahluk tersayang yang mendapat anugerah Tuhan
secara berlimpah-limpah. Kita melupakan Tuhan, hanya menyebut nama Tuhan
dalam mulut saja, itupun kita lakukan kalau kita sedang ditimpa kesengsaraan!
Kesengsaraan yang menimpa diri kita karena akibat ulah kita sendiri, membuat
kita ingat kepada Tuhan, ingat untuk minta tolong, untuk minta dibebaskan dari
kesengsaraan! Dalam keadaan menderita, baru kita menjerit-jerit minta ampun
kepada Tuhan! Permintaan ampun seperti itu biasanya tidak ada gunanya,
karena kita minta ampun dalam keadaan menderita, dengan satu tujuan
terselubung, yaitu terlepas dari kesengsaraan! Permintaan ampun seperti itu
hanya suatu cara untuk memperoleh keenakan dan kesenangan karena bebas
dari derita. Kalau sudah terbebas dari derita, maka kitapun sudah lupa lagi
kepada Tuhan! Itulah ulah nafsu yang sudah mencengkeram hati akal pikiran,
sehingga apapun yang kita lakukan menuruti dorongan hati akah pikiran yang
masih bergelimang nafsu yang selalu berpamrih demi kesenangan diri.
Bebas dari cengkeraman nafsu berarti selalu berada dalam bimbingan
kekuasaan Tuhan. Apapun yang kita lakukan merupakan suatu kebaktian
kepadanya karena tidak ada saat di mana kita lupa kepadanya, seolah setiap
denyut jantung, setiap gerakan, setiap hembusan napas merupakan pujian dan
pujaan kepadanya.
Hampir tidak ada manusia di dunia ini, kecuali mungkin para nabi atau
manusia-manusia pilihan Tuhan, manusia-manusia tertentu saja, yang dapat
bertahan untuk hidup bebas, dalam arti kata hidup di antara orang-orang lain, di
antara benda-benda yang menjadi kepunyaannya, namun batinnya bebas dari
semua itu, bebas dari kemelekatan. Nafsu-nafsu daya rendah sudah
diikutsertakan kepada manusia sejak dia lahir, dan nafsu-nafsu inilah yang
membentuk keakuan, membentuk ego yang selalu membutuhkan sesuatu di
luar dirinya untuk dapat melekat. Padahal, justeru kemelekatan inilah yang
melahirkan duka. Isteriku, anakku, keluargaku, hartaku, namaku, semua yang
diembel-embeli dengan AKU inilah yang mendatangkan pertentangan,
permusuhan, dan berakhir dengan kedukaan. Manusia yang bijaksana me-
nyadari bahwa dia tidak memiliki apa-apa, semua yang berada di alam semesta
ini mutlak adalah milik Tuhan, Sang Pencipta Maha Pemilik. Bahkan dirinya,
jiwanya, adalah milik Tuhan. Memang dia boleh jadi mempunyai banyak hal,
mempunyai keluarga, mempunyai harta, mempunyai nama. Akan tetapi
mempunyai untuk sementara saja dan akhirnya tentu akan dipisahkan darinya.
Bukan MEMILIKI. Dia tidak kuasa sedikitpun akan apa yang dipunyainya,
termasuk badan dan jiwanya. Kalau YANG MEMILIKI berkenan mengambilnya,
dia tidak akan mampu menolak karena sesungguhnya dia bukan sang pemilik.
Yang ngaku-aku memiliki itu hanhyalah nafsudaya rendah, yang senantiasa
menginginkan yang nikmat dan yang menyenangkan. Kesadaran akan ini
semua akan membuat manusia waspada dan tidak terlalu tenggelam dalam
duka apabila ditinggal mati seseorang yang dicintanya. Sadar bahwa orang
yang dicintanya itu bukanlah miliknya, seperti juga dirinya sendiri bukan
miliknya. Maka, apabila. YANG MAHA MEMILIKI mengambilnya, dia akan
menyerahkan dengan segala keikhlasan hati. Kesadaran ini akan banyak
mengurangi,bahkan menghapus, penderitaan karena kedukaan.
Sesal kemudian memang tiada gunanya sama sekali. Penyesalan tidak akan
mengubah seseorang dari wataknya yang sesat, karena penyesalan biasanya
datang setelah akibat perbuatan itu menimbulkan kerugian bagi dirinya,
kerugian lahir maupun batin. Jadi yang disesalkan bukanlah perbuatan
sesatnya, melainkan akibatnya yang merugikan. Andaikata tidak ada akibat
yang merugikan, penyesalan pun tidak akan ada, dan biasanya, kalau akibat
yang merugikan itu sudah mereda dan tidak begitu terasa lagi, maka
pengulanganperbuatan sesat itupun terjadilah! Yang penting bukan penyesalan,
melainkan pengamatan setiap detik terhadap diri sendiri, setiap detik pada
pengamatan apa yang kita pikirkan, ucapkan, lakukan.
Pengamatan diri sendiri ini harus terjadi tanpa adanya "aku" yang mengamati,
karena kalau terdapat sang aku, tentu pengamatan ini akan menilai dan
pengamatan itu pun akan menjadi miring dengan adanya pendapat-pendapat
baik dan buruk, benar dan salah. Padahal, setiap penilaian adalah palsu karena
si penilai tentu akan mendasari setiap penilaian dengan perhitungan untung
rugi bagi diri sendiri. Jadi, tidak ada "aku" yang mengamati, melainkan yang
ada hanyalah pengamatan itu saja, perhatian sepenuhnya tanpa penilaian dari
sang aku.
Pengamatan inilah yang akan mengubah! Perubahan seketika pada saat itu
juga, tanpa penyesalan, tanpa pamrih.
Memang, di bagian mana pun di dunia ini, orang-orang yang suka bertindak
sewenang-wenang, yang suka mempergunakan kekerasan untuk menekan
orang lain, selalu memiliki watak pengecut dan beraninya hanyalah kepada
orang-orang yang lebih lemah dari padanya. Sekali bertemu yang lebih kuat
atau lebih tinggi kedudukannya, maka akan nampaklah wataknya yang aseli
dan dia akan berubah dari singa buas menjadi seekor domba yang mengembik,
menjadi seorang penjilat yang tidak mengenal malu.
Banyak orang tua yang menyayang puteranya dengan hati penuh kebanggaan,
dan kebanggaan ini sendiri sudah menunjukkan, adanya pementingan diri
sendiri, menuruti senangnga hati sendiri. Dan cinta kasih yang sudah dilumuri
oleh kepentingan diri sendiri itu tiada bedanya dengan kesenangan terhadap
benda yang dianggap menyenangkan dan berharga, dan sayang seperti itu
condong untuk mudah luntur, yakni apabila yang disayangnya itu tidak lagi
mendatangkan kesenangan bagi dirinya! Dan sayang hanya kerena perasaan
bangga dan senang ini condong untuk membuat orang tua memanjakan
puteranya. Kalau sudah begini, maka orang tua meracuni pertumbuhan watak
puteranya karena kemanjaan itu hanya membesarkan si-aku yang selalu harus
dituruti kehendaknya. Keinginannya untuk bersenang sendiri tanpa
memperdulikan orang lain.
Memanjakan anak, menyanjung dan memuji-mujinya menumbuhkan perasaan
tinggi hati kepada jiwa anak, yang akan merasa bahwa dirinya amat baik, amat
pandai, seperti yang dipuji-puji selalu oleh orang tuanya, dan si anak akan
terbiasa oleh gambaran tentang dirinya sendiri yang terlalu tinggi.
Cinta kasih kepada anak memang membiarkan anak tumbuh wajar dan bebas,
seperti penggembala yang mengamati domba-dombanya, dibiarkan doma-
domba itu berkeliaran di padang rumput, tanpa batas. Hanya mengamati dari
belakang, tutwuri handayani, turun tangan kalau melihat dombanya
menyeleweng, bukan demi diri sendiri melainkan demi si domba agar jangan
sampai tersesat, jangan sampai merusak tanaman orang, dan jangan sampai
makan benda beracun. Perasaan sayang dan mesra terhadap yang dikasihi
bukanlah tumbuh dari kenginan untuk senang sendiri. Dan pendidikan terbaik
adalah perasaan cinta kasih itu sendiri, karena perasaan ini akan terasa oleh si
anak, terasa dalam setiap ucapan orang tua, setiap gerak-gerik orang tua, baik
kalau sedang memberi nasihat atau sedang memberi peringatan dan larangan.
Cinta asmara, memang sesuatu yang aneh, teramat indah teramat luas untuk
dipelajari dan diselidiki sehingga semenjak laksaan tahun yang lalu selalu
menjadi bahan penulisan para cerdik pandai, para sastrawan dan seniman.
Agaknya tak mungkin manusia hidup tanpa cinta. Hidup tanpa cinta bagaikan
pohon tanpa bunga dan pohon itupun takkan berbuah, tanpa keindahan tanpa
keharuman. Cinta asmara merupakan suatu kewajaran alamiah, agaknya
diperuntukkan sarana perkembangbiakan agar manusia pria dan wanita saling
tertarik, saling mendekati, melakukan hubungan badaniah yang merupakan
puncak dari cinta asmara sehingga mereka akan beranak dan manusia tidak
akan sama melainkan bersambung terus oleh keturunan demi keturunan,
generasi demi generasi.
Cinta asmara mengandung kemesraan yang paling mendalam,keharuan yang
paling halus, mengandung pula pengenyahan kepentingan diri sendiri sehingga
berani berkorban nyawa kalau perlu akan tetapi juga di suatu merupakan
penonjolan ke-aku-an yang paling besar karena di situ terdapat pula keinginan
menguasai, memiliki, memonopoli. Ingin memiliki dan dimiliki, menyenangkan
dan disenangkan. Sayang bahwa sebagian besar dari kita menitik beratkan
kepada kesenangan dan kenikmatannya, sehingga berani mengambil peran
terbesar dan terpenting. Kalau begini, maka kekecewaan dalam hal ini akan
membuat cinta asmara menjadi suatu penderitaan, kekecewaan, cemburu,
bahkan tidak aneh lagi kalau cinta asmara berbalik menjadi kebencian.
Betapa indah dan anehnya cinta kasih, suatu masalah yang patut kita
renungkan, kita amati dan kita pelajari setiap saat, dengan mengamati diri
sendiri dan setiap orang manusia, tak peduli pangkatnya. Raja diraja sampai
kepada pengemis yang paling miskin, berekuk lutut terhadap satu ini, ialah cinta
kasih. Kalau cinta asmara sudah menguasai batin, baik raja diraja maupun
pengemis, akan bertekuk lutut menjadi boneka. Dipermainkan perasaan ini
dapat membuatnya menangis air mata darah, dapat pula membuatnya tertawa
kegirangan sampai lewat batas. Cinta asmara dapat membuat seorang pria
kasar menjadi lemah lembut seperti sutera, sebaliknya dapat membuat seorang
pria yang sopan santun dan lembut berubah menjadi kasar dan keras seperti
baja. Banyak pula terjadi betapa pria gagah perkasa yang takkan gentar
menghadapi pengeroyokan puluhan orang musuh, akan gemetar bertekuk lutut
di depan kaki wanita yang dicintainya, tak tahan menghadapi kerling matanya,
atau senyumannya, atau bahkan tangisnya!
Orang yang berjasa mendapat imbalan, hal itu sudah semestinya dan
sepatutnya, demikian anggapan kita pada umumnya. Justeru karena pendapat
inilah, maka kita semua terjerumus ke dalam perbuatan yang selalu berpamrih
untuk mendapatkan imbalan. Semua perbuatan kita itu kita perhitungkan
untung ruginya seperti berdagang. Apa artinya sebuah pertolongan kalau,
pertolongan itu dilakukan dengan harapan memperoleh imbalan? Apakah
artinya sebuah kebaikan kalau dibaliknya terkandung harapan memperoleh
balasan?! Perbuatan itu bukan lagi baik, bukan lagi pertolongan, melainkan
suatu alasan untuk mendapatkan sesuatu. Kalau tidak akan ada imbalan,
mungkin pelakunya akan mundur. Perbuatan yang seutuhnya adalah perbuatan
yang dilakukan tanpa pamrih bagi dirinya sendiri, tanpa pamrih memperoleh
sesuatu sebagai buah dari perbuatannya itulah. Bahkan mengharapkan
imbalan dari Tuhan atas perbuatannya yang "baik" pun merupakan pamrih dan
karenanya menodai perbuatan itu sendiri. Perbuatan baik muncul dari hati
sanubari, digerakkan oleh perasaan iba melihat orang lain sengsara, merasa
penasaran melihat perlakuan yang tidak adil dan sebagainya lagi. Bukan oleh
pamrih untuk kesenangan diri sendiri yang akan memperoleh buah dari hasil
perbuatannya. Imbalan ini justeru melahirkan munafik-munafik dipermukaan
bumi.
Bagi orang yang lemah dan menjadi budak nafsunya. memang selalu berlaku
pegangan bahwa yang terpenting adalah tujuan, dan tujuan menghalalkan
segala cara.
Kita sendiri memang seringkali lupa akan hal ini. Kita mengagungkan tujuan
dengan sebutan cita-cita yang muluk-muluk, yang kita kejar-kejar. Padahal,
dalam pengejaran tujuan inilah letak bahayanya, yaitu dalam caranya. Cara
atau jalan untuk mengejar cita-cita ini kadang berbahaya sekali. Kita terbius
oleh gemerlapnya tujuan sehingga untuk mendapatkannya, kita lupa bahwa
cara yang kita pergunakan tidak benar. Padahal, bukan tujuannya yang menjadi
ciri baik buruknya perbuatan, melainkan cara itu sendiri. Kalau cara yang
dipergunakan itu buruk, bagaimana mungkin dapat mencapai tujuan yang baik?
Gemerlapnya tujuan memang condong untuk membuat kita lupa akan cara kita
yang kita pergunakan. Misalnya, demi untuk tujuan memberi kehidupan mewah
kepada anak isteri, kita melakukan korupsi atau mencuri. Demi untuk
tercapainya tujuan menjadi, sarjana kita melakukan sogokan dan suapan atau
membeli ijazah. Tujuan itu tentu sifatnya menyenangkan dan menyenangkan itu
mendorong nafsu untuk mendapatkannya. Segala nafsu itu wajar saja, akan
tetapi kalau kita sudah diperbudaknya, celakalah kita, Nafsu mencari
keuntungan itu wajar saja, akan tetapi kalau kita diperbudak, kita bisa saja
menipu atau mencuri. Nafsu sex itu wajar saja, akan tetapi kalau kita
diperbudak, kita bisa saja melacur memperkosa dan sebagainya lagi. Demikian
dengan mengejar kedudukan, harta benda, nama dan pengejaran apa saja
yang menjadi cita-cfta dapat menyelewengkan kita. Betapa baik dan muliapun
tujuan yang hendak kita capai, bisa saja melahirkan cara pengejaran yang
menyeleweng.
Demikian pula dengan Jin Kui. Demi tercapainya segala cita-citanya, demi
terlaksananya tujuannya, maka dia pun menghalalkan segala cara. Cara yang
curang dianggapnya cerdik dan benar. Cara yang kejam dianggapnya gagah!.
Pikiran yang sudah bergelimang nafsu selalu menjadi pembela dari semua
perbuatan yang dilakukan manusia. Biarpun hati akal pikiran mengerti dan tahu
bahwa perbuatan itu tidak benar, akan tetapi nafsu dalam pikiran membuat
pikiran menjadi pembela dan berusaha membenarkan perbuatan itu, melawan
hati nuraninya sendiri. Setiap orang manusia tahu mana yang benar dan mana
yang tidak benar.
Adakah di dunia ini pencuri yang tidak tahu bahwa perbuatan mencuri adalah
tidak benar? Semua pencuri tentu telah mengetahuinya. Akan tetapi tetap saja
dia mencuri dan pikirannya yang sudah bergelimang nafsu membenarkan
perbuatannya mencuri Itu dengan segala macam dalih. Pengertian dan
pengetahuan tidak dapat melawan nafsu, kalau nafsu sudah mencengkeram
hati akal pikiran. Nafsu merupakan hamba yang amat penting dan amat baik,
akan tetapi menjadi majikan yang amat jahat.
Akan tetapi siapa yang dapat menjadikan nafsu sebagai hamba yang baik dan
mengekangnya agar tidak menjadi majikan? Hanya kekuasaan Tuhan sajalah
yang akan mampu. Kita dengan hati akal pikiran kita tidak akan mampu
menguasai nafsu. Jalan satu-satunya hanya menyerah dan pasrah kepada
Tuhan dengan segenap ketawakalan dan kepercayaan. Hanya itu yang dapat
kita lakukan dan jika Tuhan menghendaki, maka kitalah yang akan menjadi
majikan atas nafsu kita sendiri, menjadikannya hamba yang baik. pembantu
datam kehidupan yang amat berguna.
Bukan menjadi majikan yang merajalela dan yang mendorong kita melakukan
segala macam perbuatan yang tersesat.
“Hidup ini sendiri akan menjadi masalah kalau kita menerimanya sebagai
masalah. Peristiwa apa pun yang terjadi pada diri kita merupakan suatu
kenyataan yang tidak dapat diubah pula. Kenyataan apa adanya itu adalah
suatu kewajaran. Biasanya, nafsu yang mengaku-aku dan selalu mementingkan
diri sendiri, mengejar kesenangan sendiri, itulah yang menimbulkan penilaian
terhadap apa yang terjadi, lalu timbul apa yang disebut menyenangkan atau
menyusahkan. Kalau merugikan, lalu dianggap sebagai suatu masalah yang
menimbulkan rasa khawatir, takut, penasaran, kecewa, benci atau duka.”
“Misalnya hujan lebat turun. Peristiwa yang menimpa kita ini adalah satu
kenyataan yang tak dapat diubah oleh siapa pun juga. Baikkah atau burukkah
peristiwa ini? Menjadi masalah ataukah suatu kewajaran? Tergantung
bagaimana kita menerimanya. Kalau kita terima sebagai hal yang merugikan
kita, timbullah kekecewaan dan kedukaan. Kalau kita terima sebagai kenyataan
apa adanya, suatu kewajaran, maka akan timbullah kebijaksanaan dalam batin
kita sehingga kita dapat mengatasinya, misalnya dengan berteduh, bahkan
dapat memanfaatkan peristiwa itu membuat bendungan menyalurkan airnya
dan sebagainya. Demikian sebaliknya kalau hari panas sekali. Kita dapat
berlindung dari sengatan sinar matahari dan dapat memanfaatkan sinar yang
panas itu untuk menjemur dan sebagainya, bukan menerimanya sebagai suatu
masalah yang menimbulkan nafsu marah, kecewa, penasaran, takut yang
mendatangkan duka. Mengertikah engkau?"
Jadi, apa pun yang menimpa diri kita, dari yang paling menyenangkan sampai
yang paling tidak menyenangkan, seperti penyakit dan kematian, adalah suatu
hal yang wajar dan tidak dapat diubah lagi, suatu kenyataan sehingga kita
harus menerimanya tanpa menjadikannya suatu masalah. Begitukah? Akan
tetapi bagaimana mungkin manusia dapat hidup tanpa dipengaruhi segala
macam perasaan, terutama susah senang itu? Manusia hidup tanpa perasaan
menjadi seperti mati!”
“Bukan demikian, Manusia hidup memang tidak mungkin mematikan atau
menghilangkan nafsu. Nafsu menjadi peserta manusia dalam hidupnya di alam
fana ini. Yang terpenting adalah keseimbangan, menjaga agar nafsu jangan
memperhamba kita, melainkan menjadi peserta dan pembantu kita. Ada
pelajaran dari Guru Besar Khong Cu yang bijaksana dalam Kitab Tiong Yong,
begini bunyinya: HI NOU AI LOK CI BI HOAT, WI CI TIONG. HOAT JI KAI
TIONG CIAT, WI CI HO. Artinya: Sebelum perasaan Girang Marah Duka dan
Suka timbul, batin berada dalam keadaan Tegak Lurus. Apabila berbagai
perasaan itu timbul namun mengenal batas (dapat mengendalikan), batin
berada dalam keadaan selaras (seimbang).”
Kepekaan panca indera kita menjadi tumpul oleh kebiasaan yang diulang-
ulang. Mata ini tidak lagi dapat menikmati keindahan yang setiap saat
dilihatnya. Telinga ini tidak lagi dapat menikmati kemerduan suara yang setiap
saat didengarnya. Hidung pun tidak lagi dapat menikmati keharuman yang
setiap saat diciumnya dan mulut pun tidak dapat menikmati kelezatan yang
setiap saat dimakannya! Hal ini adalah karena segala macam kesenangan itu
akan berubah menjadi kebosanan setelah terus-menerus dialami. Karena
itulah, maka dia yang dapat menikmati segala sesuatu hanyalah orang yang
belum memiliki segala sesuatu itu. Berbahagialah orang yang dapat menjaga
semua kepekaan panca inderanya dengan menerima segala sesuatu sebagai
hal yang baru. Baru setiap hari, baru setiap saat, karena yang baru itu selalu
menyenangkan.
Biarpun setiap saat mengucapkan terima kasih dengan suara lantang, biarpun
setiap hari menyalakan dupa berlutut di depan meja sembahyang dan memberi
korban yang serba mewah untuk menyembah Tuhan, seperti yang dilakukan
setiap orang untuk menyatakan terima kasih mereka kepada Tuhan, apakah hal
ini sudah tepat dan benar? Mengapa kita selalu bersukur, berterima kasih dan
berdoa sukur kepada Tuhan setiap kali kita menerima anugerah, menerima
berkat yang berlimpah, menerima hal-hal yang kita anggap menguntungkan
dan menyenangkan? Mengapa kita bersungut-sungut dan tidak mengucap
sukur kepada Tuhan yang kita anggap tidak memberkati kita kalau kita
mengalami hal yang kita anggap merugikan dan tidak menyenangkan? Totiang,
mohon penjelasan akan semua ini dan mohon petunjuk, apa yang sepatutnya
kita sebagai manusia bertindak untuk menyatakan rasa sukur dan terima kasih
kita kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.”
Thian Bong Sianjin tertawa. “Pangeran, untuk menyelidiki hal ini jangan kita
hanya menerima pendapat seseorang karena kalau pendapat itu keliru, kita
semua ikut keliru. Hidup ini adalah pengalaman kita semua, maka untuk
menyadari akan kebenaran, kita dapat belajar dengan membuka mata melihat
kehidupan itu sendiri, tanpa menilai, tanpa pendapat, hanya melihat dan
merasakan. Mari kita menyelidiki bersama tentang apa yang engkau katakan
tadi. Segala macam perbuatan kalau mengandung pamrih bagi diri sendiri,
sudah pasti perbuatan itu palsu adanya dan hanya merupakan cara untuk
mendapatkan pamrihnya itu. Ada pamrih yang terkandung dalam perbuatan
yang disebut baik, seperti ingin dipuji, ingin mendapatkan imbalan jasa, ingin
dibalas, dan masih banyak lagi keinginan yang tersembunyi di balik perbuatan
itu, semua bermaksud untuk menguntungkan dan menyenangkan dirinya
sendiri. Jelas bahwa perbuatan pamrih itu tidak benar. Perbuatan tanpa pamrih
adalah perbuatan yang spontan, akan tetapi perbuatan ini pun ada dua macam.
Perbuatan spontan yang didasari rasa benci, sudah pasti tidak benar karena
mengandung kekejaman dan permusuhan. Sebaliknya, segala macam
perbuatan yang didasari Kasih sudah pasti baik dan benar! Nah, Kasih dari
Tuhan yang kita terima berlimpah setiap saat, apakah kita hanya menjadi
manusia-manusia yang hanya bisa minta dan menerima saja, tanpa pernah
memberi? Lalu kalau Kasih dari Tuhan diujudkan dengan berkat-berkat yang
berlimpahan, apakah yang dapat kita lakukan untuk menyatakan bahwa kita
benar-benar berterima kasih kepadaNya? Tuhan Maha Kuasa, tentu saja tidak
membutuhkan pemberian apa pun dari siapa juga, akan tetapi sebagai rasa
sukur dan terima kasih kita, kita dapat membantu Tuhan dengan menyalurkan
berkat-berkatnya yang diberikan kepada kita kepada orang lain! Kita diberkati
kekuatan yang lebih, mari kita salurkan berkat itu kepada orang lain, untuk
menolong orang yang lemah dan membutuhkan pertolongan. Kita diberkati
harta benda yang lebih, mari kita salurkan itu kepada orang lain, menolong
orang yang membutuhkan karena miskin. Kita diberkati pengetahuan dan
pengertian, mari kita salurkan berkat itu kepada orang lain yang tidak
mengetahui dan kurang mengerti. Kita diberkati kedudukan dan kekuasaan
tinggi, mari kita salurkan berkat itu untuk melindungi rakyat yang tidak
berkedudukan yang tidak memiliki kekuasaan. Dengan demikian, tidak sia-
sialah semua berkat berlimpahan yang kita terima dari Tuhan dan
berbahagialah orang yang menjadi alat Tuhan, yang dipakai oleh Tuhan untuk
menyalurkan berkat-berkatnya. Lihatlah, semua mahluk di dunia ini, baik
bergerak maupun yang tidak bergerak, semua merupakan penyalur berkat
Tuhan. Pohon-pohon memberikan bunga, buah, daun, bahkan kayunya untuk
manusia dan binatang. Binatang-binatang juga menyalurkan berkat Tuhan
dengan memberikan segala yang ada padanya demi kesejahteraan manusia.
Lihat angin, air, api, bahkan matahari dan bulan, mereka semua itu menjadi
penyalur berkat Tuhan yang mutlak pentingnya bagi manusia. Lalu sekarang
pertanyaannya yang harus kita tujukan kepada hati kita masing-masing, kita
yang telah menerima sekian banyaknya berkat dari Tuhan secara berlimpah
melalui segala benda dan mahluk ciptaanNya di muka bumi ini, apakah yang
telah kita lakukan untuk menyatakan terima kasih kita kepada Tuhan dengan
jalan menyalurkan berkatnya yang berlimpahan itu kepada pihak lain? Berkat
dari Tuhan kita terima melalui manusia, hewan maupun tanaman. Tidakkah
sudah sepatutnya kalau kita menyatakan terima kasih dan puji sukur kita juga
melalui uluran kasih kepada sesama manusia, hewan, dan tanaman?”
Sesungguhnya, kalau dikaji benar, cinta atau kasih itu sama sekali tidaklah
aneh. Kita manusia sendiri dengan hati akal pikiran kita yang mengada-ada ini
yang membuat cinta menjadi aneh, terkadang membahagiakan terkadang
menyengsarakan. Sesungguhnya, cinta adalah perasaan yang luhur dan suci
murni, cinta dirasakan oleh seluruh mahluk hidup, baik yang bergerak maupun
yang tidak. Bukan hanya manusia mengenal cinta. Hewan pun mengenal cinta.
Bahkan tanaman mengenal tangan-tangan manusia yang merawatnya dengan
cinta. Hidup ini sendiri cinta! Tanpa cinta hidup ini tidak ada artinya. Cinta
memang banyak ragamnya, ada cinta atau kasih terhadap Tuhan, kasih
terhadap sesama manusia, kasih terhadap sanak keluarga, kasih terhadap
negara dan bangsa, juga kasih terhadap sesama hidup seperti hewan dan
tanaman. Namun pada hakekatnya hanya ada dua macam Kasih. Kasih murni
bercahaya dan hidup apabila jiwa diterangi Sinar Illahi atau Kasih Tuhan
sehingga hati kita dipenuhi oleh Kasih. Buahnya adalah perbuatan atau
tindakan tanpa pamrih untuk diri sendiri, yang hanya didorong rasa belas kasih,
membuat orang yang memiliki Kasih ini siap berkorban, tanpa mementingkan
diri sendiri, tanpa mengharapkan imbalan jasa, dan bukan timbul dari hati akal
pikiran yang dikendalikan nafsu. Yang ke dua adalah cinta atau kasih yang
didorong oleh nafsu keinginan kita untuk kepentingan dan kesenangan atau
keuntungan diri kita sendiri. Cinta seperti ini penuh dengan pamrih, walaupun
terselubung ketat. Ingin dipuji, ingin diberi imbalan jasa, baik itu imbalan lahir
maupun batin, pendeknya, cinta seperti ini bersumber demi kesenangan
pribadi.
Cinta karena dorongan nafsu daya rendah inilah yang dapat mendatangkan
kesenangan ataupun kesusahan. Memang selalu demikian sifat nafsu atau si-
aku. Kalau diuntungkan senang kalau dirugikan susah. Dalam hubungan cinta
antara pria dan wanita juga demikian. Cinta nafsu ini selalu mendatangkan
sengsara kalau tidak tercapai atau gagal, sebaliknya akan mendatangkan
kebahagiaan kalau berhasil baik.
Sesungguhnya kalau kita renungkan benar-benar, tanda-tanda kedua macam
cinta itu mudah dikenal. Cinta murni atau Kasih sejati dapat dikenal sebagai
berikut.
Kasih sejati terhadap Tuhan yang kita kenal melalui kitab-kitab suci ialah
ketaatan dan penyerahan diri tanpa pamrih apa pun. Cinta terhadap negara dan
bangsa berupa perjuangan mempertahankan kesejahteraan dan martabat
negara dan bangsa dengan rela berkorban dan tanpa pamrih apa pun untuk diri
sendiri. Cinta terhadap sesama manusia didasari belas kasih dan rela
berkorban demi kebahagiaan yang dikasihi.
Sebaliknya ciri cinta nafsu adalah: Kasih terhadap Tuhan didasari ketakutan
akan hukuman, penuh pamrih mendapat imbalan sekarang di waktu hidup
ataupun kelak sesudah mati yang pada hakekatnya hanya pementingan diri
mencari keenakan dan menolak ketidak-enakan diri sendiri. Cinta terhadap
negara dan bangsa yang didasari nafsu berupa ambisi pribadi dan
perjuangannya sesungguhnya untuk mencapai ambisinya sehingga apabila
perjuangan itu berhasil, dirinyalah yang akan menikmati dan mabok
kemenangan, lupa akan kepentingan nusa dan bangsa. Cinta terhadap sesama
manusia juga merupakan cinta terhadap diri sendiri, mencinta dengan harapan
imbalan yang lebih besar seperti orang berjual-beli. Beli dengan cinta
mengharapkan memperoleh kesenangan. Maka kalau kesenangan itu tidak
diperoleh, cintanya pun entah lari ke mana!
"Ada beberapa tanda yang menunjukkan seseorang itu berakal," ujar kakek
berpakaian putih seperti seorang guru memberikan keterangan pada murid-
muridnya. "Yang pertama, bersikap lemah lembut. Kedua, tahu diri. Ketiga, tahu
di mana tempat membuka rahasia dan cara membukanya. Keempat, pandai
berlaku hormat. Kelima, mampu memelihara rahasia diri sendiri dan orang lain.
Keenam, mampu menguasai lidah dengan tidak mengeluarkan kata-kata yang
menimbulkan bahaya. Dan yang terakhir, tak menjawab lebih dari yang
ditanyakan orang. Itulah tanda-tanda yang harus ada pada orang yang berakal.
Jelas?!"
Kewajiban manusia yang pertama menurut Mustika Manik Hasta Aksara adalah
mangesti manembah Gusti Wujud Hawa ingkang Maha Suci. Itu artinya bahwa setiap
manusia wajib menyembah dan beriba-dah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kewajiban manusia yang kedua adalah manembah lan tuhu tresna maring Bapa-Ibu
kang sejati. Yang dimaksud Bapa dan Ibu sejati adalah matahari dan bumi. Namun,
jangan salah men-gerti. Manembah yang dimaksud bukan mewajibkan manusia untuk
menyembah dalam arti memuja dan mengharapkan perlindungan dari kedua benda itu.
Ki-ta tahu bahwa matahari dan bumi pun ciptaan Tuhan. Kita harus mencintainya
karena matahari dan bumi adalah sumber kehidupan di antara sumber-sumber
kehidupan lainnya
Lalu, kewajiban manusia yang ketiga adalah manembah lan ngabekti maring Nyang
Sari Tri Murti. Nyang Sari Tri Murti adalah angin, air, dan api. Manusia juga tak akan
bisa hidup tanpa ketiga unsur itu. Sementara, kewajiban manusia yang keempat adalah
manembah mituhu patuh ing reh maring Rahso Suci diri pribadi. Rahso adalah sesuatu
yang lebih lembut dari nurani dan lebih halus dari perasaan. Rahso akan selalu
mendampingi hidup seseorang selama orang itu masih hidup. Rahso banyak membantu
kehidupan manusia dalam bentuk firasat, petunjuk yang muncul dari diri sendiri, atau
hal-hal semacam itu. Oleh karenanya, manusia wajib berterima kasih kepada rahso-nya
mas-ing-masing
Kewajiban manusia yang nomer lima menurut Mustika Manik Hasta Aksara adalah
manembah angraketi lan bekti maring Pancakarsa lan Nawaksara. Pancakarsa adalah
panca indera kita, yang tak lain indera penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecap,
dan perasa. Bisa dibayangkan, andai manusia tak memiliki salah satu saja dari lima
indera itu, dia akan menjadi manusia cacat, yang tentu saja akan memiliki lebih banyak
ke-kurangan jika dibanding dengan manusia yang tak ca-cat secara lahir. Sedangkan
yang dimaksud dengan Nawaksara adalah sembilan unsur kehidupan lainnya yang
menjadi teman manusia hidup.
Manembah lan tuhu tresna maring Bapa lan Ibu kang kinarya lantaran tumitah. Di sini
sudah jelas pen-gertiannya. Tanpa ayah dan Ibu, kita berdua ini tak akan pernah ada.
Ayah dan ibu adalah lantaran atau perantara atau asal muasal keberadaan kita sebagai
manusia. Oleh karena itu, kita dan manusia-manusia lainnya wajib berbakti kepada
kedua orangtua.
Kewajiban manusia yang ketujuh dan kedela-pan adalah manembah mituhu maring
Sang Guru dan Sang Nara Bawana. Kalau manusia berbakti dan me-nuruti perintah
gurunya, itu sudah merupakan keharusan. Begitu juga dengan menuruti aturan yang
telah ditetapkan oleh Sang Nara Bawana atau seseorang yang menjadi penguasa negara
di mana manusia itu tinggal.
Jangan melawan badai, jika kau tak mampu. Dan jangan melawan arus jika kau
tak memiliki pegangan.
Seorang manusia seharusnya jangan menyombongkan diri hingga
membuatnya mencelakakan diri sendiri. Seorang manusia seharusnya jangan
bertindak tanpa pertimbangan, hingga tindakannya menjadi sia-sia belaka.
Bukan mendapatkan yang terbaik, justru akan mencelakakan diri sendiri.
Tak dapat disangkal pula bahwa segala macam perbuatan jahat seperti
pencurian, penjambretan, pencopetan, bahkan perampokan, timbul dari
keadaan yang dicengkeram kemiskinan. Orang-orang yang sudah tersudut
karena tidak memiliki pekerjaan, atau orang-orang pemalas yang tidak suka
bekerja dan ingin mencari uang mudah, atau orang-orang yang tidak merasa
puas dengan keadaannya, condong untuk mudah terbujuk dan menjadi pelaku-
pelaku kejahatan.
Hal ini bukan berarti bahwa orang kaya raya tidak mau melakukan kejahatan.
Setidaknya, tidak mau melakukan pencurian.
Akan tetapi orang kaya raya sekalipun, kalau batinnya memang tamak dan
tidak puas dengan keadaannya dan selalu ingin lebih dari pada yang
dimilikinya, condong pula untuk melakukan kejahatan yang lain bentuknya akan
tetapi sama saja sifatnya, yaitu demi kesenangan sendiri tanpa memperdulikan
bahwa perbuatannya itu merugikan orang lain. Mereka itu melepas uang panas
dengan bunga tinggi, menindas para petani dan buruh, mempermainkan
perdagangan demi keuntungan mereka, bermanipulasi dan korupsi, dan
sebagainya.
Uang atau harta benda memang merupakan sarana hidup, satu di antara
persyaratan untuk hidup bahagia, dan mencari uang bahkan merupakan suatu
keharusan yang mutlak kalau kita ingin mempunyai sandang pangan dan papan
yang cukup. Akan tetapi pengejarannya terhadap uang itulah yang amat
berbahaya.
Pengejaran yang dilakukan karena kebutuhan masih tidak begitu berbahaya,
akan tetapi pengejaran yang didorong oleh kelobaan, oleh nafsu ingin meraih
keadaan yang dianggap lebih baik dari pada keadaan yang ada sekarang, amat
berbahaya dan condong untuk menjerumuskan kita ke dalam perbuatan jahat,
merugikan orang lain. Seperti orang yang mengejar-ngejar sesuatu di depan
sana, matanya hanya tertuju kepada yang dikejarnya sehingga kalau ada orang
lain berada di depannya, dianggap penghalang dan dilompati, bahkan mungkin
ditendangnya untuk dapat mencapai apa yang dikejarnya.
Pengejaran inilah yang perlu kita amati pada diri sendiri, pengejaran uang
menimbulkan pencurian, penipuan, korupsi dan sebagainya. Pengejaran
kedudukan menimbulkan jegal-jegalan, perkelahian bahkan perang. Pengejaran
kesenangan sex menimbulkan pelacuran, perjinahan. Kesenangan apapun juga
bentuknya di dunia ini, kalau sudah menguasai kita, dapat saja menjadi
pendorong agar kita mengejar-ngejar, menjadi suatu tujuan dan biasanya,
tujuan menghalalkan segala cara bagi orang-orang yang sudah buta akan
kesadaran.
Kita hidup berhak untuk menikmati kesenangan, akan tetapi justeru pengejaran
akan keadaan yang lebih dari pada sekarang itulah yang melenyapkan
kesenangan yang ada pada saat ini. Mata kita selalu tertuju ke depan, kepada
kesenangan-kesenangan yang belum ada, kepada bayangan-bayangan
sehingga kita tidak melihat lagi keindahan apa yang ada pada kita.
Duka adalah iba diri. Merasa iba kepada diri sendiri, merasa kehilangan,
kecewa. Dan semua ini timbul dari aku yang merasa kehilangan, aku yang
merasa kesepian, aku yang merasa menjadi orang paling sengsara di dunia.
Aku adalah suatu gambaran yang dibuat oleh batin tentang diri sendiri, dibentuk
oleh pengalaman-pengalaman masa lampau. Aku penuh dengan harapan-
harapan memperoleh kesenangan seperti yang pernah dialaminya, atau seperti
yang pernah didengarnya, pernah dibacanya dan diketahuinya. Aku penuh
dengan keinginan akan merasakan dan menikmati kembali segala hal yang
menyenangkan, penuh dengan rasa takut kalau-kalau tidak akan memperoleh
lagi semua kesenangan itu, takut kalau-kalau ditinggalkan oleh hal-hal yang
menyenangkan.
Aku yang selalu haus akan kesenangan ini menciptakan ikatan-ikatan,
belenggu-belenggu dan rantai-rantai emas yang dianggapnya membahagiakan,
namun yang berakhir dengan kedukaan. Ikatan dengan orang lain karena orang
lain itu menyenangkan aku, ikatan dengan benda, dengan nama, dengan
gagasan-gagasan.
Sekali ikatan ini menguasai aku, maka yang ada hanyalah duka dan sengsara.
Ikatan ini sama dengan candu, sekali terikat sukar untuk dilepaskan, karena
akan menimbulkan perasaan duka dan sengsara.
Semakin besar si aku menonjol, semakin banyak pula ikatan-ikatan terbentuk,
dan semakin banyak pula duka mengelilingi batin. Bebasnya batin dari ikatan
berarti runtuhnya singgasana sang aku, bersamaan dengan lenyapnya pula
duka.
Semua ini jelas sekali nampak, akan tetapi betapa sukarnya terbebas dari pada
ikatan! Betapa sukarnya meniadakan gambaran tentang diri sendiri dalam
bentuk aku yang makin hari makin kita bentuk dan perkuat!
Tangis merupakan suatu peristiwa amat penting dari kehidupan, bahkan air
mata tidak terpisahkan dari kehidupan seorang manusia. Kebohongan besarlah
kalau seorang mengatakan bahwa dia tidak pernah menangis! Setidaknya,
tentu dia pernah menangis dalam hatinya. Dan tentu dia banyak menangis pula
di waktu masih kecil, setiap hari menangis entah berapa kali.
Bahkan menurut penyelidikan para cendekiawan, tangis merupakan suatu
keharusan bagi manusia karena tangis merupakan obat yang amat mujarab,
merupakan suatu pelepasan segala ganjalan, pelampiasan segala kekecewaan
dan kemarahan. Tanpa tangis, mungkin usia manusia menjadi lebih pendek
dari pada kepanjangan usia pada umumnya seperti sekarang ini.
Tangis bukan hanya menjadi tanda kedukaan hatinya, bahkan kegembiraan
yang besar, manusia menitikkan air mata seperti orang menangis.
Kegembiraan besar mendatangkan keharuan yang membuat orang menangis
pula. Agaknya hanya dalam suara tangis sajalah, terdapat suatu kesungguhan,
suatu kewajaran, walaupun tentu saja ada tangis yang dibuat-buat. Betapapun
juga, tangis tidaklah sepalsu tawa.
Suara pertama dari manusia adalah tangis. Begitu terlahir, manusia dari bangsa
apapun juga, mengeluarkan suara pertama itu, ialah menangis.
Dan suara ini adalah suara kemanusiaan, suara suci karena dikeluarkan dari
mulut manusia sebagai gerakan pertama kali, keluar tanpa dikehendaki, suara
yang sama sekali tidak mengandung emosi, atau pamrih. Karena itu, suara
yang wajar ini dikenal oleh seluruh manusia di dunia tanpa membedakan
bangsa dan bahasa, menjadi satu-satunya suara yang amat dekat dengan
manusia berbangsa apapun juga.
Dari suara tangis, kita tidak akan mampu membedakan apakah tangis itu keluar
dari mulut seorang berbangsa ini atau itu. Kelahiran manusia diiringi tangis,
tangisnya sendiri. Kematiannyapun diiringi tangis, tangis mereka yang
ditinggalkan. Kehidupan itu sendiri, antara lahir dan mati, penuh dengan
selingan tangis!
Sesungguhnya, tangis merupakan sesuatu yang tak terpisahkan dari hidup, dan
tangis merupakan pertanda dari keadaan batin yang macam-macam pula.
Tangis duka didasari oleh rasa iba diri, seperti yang dilakukan oleh Sheila dan
Seng Bu ketika keduanya teringat akan keadaan diri mereka masing-masing.
Ada pula tangis haru yang didasari oleh rasa iba terhadap orang lain. Ada
tangis karena kegembiraan yang besar. Tangis karena kemarahan. Tangis
merupakan pencerminan keadaan batin yang diusik emosi.
Demikian dekatnya tangis dengan kehidupan kita sehingga tangis inipun mudah
sekali menular. Berada di antara banyak orang yang sedang menangis,
sukarlah bagi kita menahan diri agar tidak ikut menitikkan air mata.
Kita dapat melihat cinta kasih seperti itu, cinta kasih Tuhan melalui sinar
matahari, melalui harumnya bunga, melalui tanah, air, hawa, udara. Biar ada
manusia yang mengutuk dan membenci alam dan semua kekuasaan Tuhan,
namun tetap saja semua itu diberikan dengan rela, kepada siapa saja tanpa
pilih kasih, kepada mereka yang membenci sekalipun. Orang yang sejahat-
jahatnya sekalipun, yang segala tindakannya berlawanan dengan kebaikan,
akan tetap memperoleh hawa udara, memperoleh sinar matahari, dapat
menikmati keharuman bunga, sama seperti orang yang paling baik, paling saleh
sekalipun.
Akan tetapi, seperti Ong Siu Coan, kita selalu ingin untung, lahir maupun batin,
oleh karena itu berbondong-bondong orang lari ke agama dengan dasar ingin
untung itulah. Ingin memperoleh hiburan batin karena pahitnya kehidupan, ingin
memperoleh jaminan keadaan yang enak menyenangkan setelah mati kelak,
ingin memperoleh berkah sebanyaknya.
Lenyapkanlah janji-janji pahala dan hadiah ini dari agama, dan para munafik itu
tentu akan mundur meninggalkannya dan yang tinggal hanyalah mereka yang
benar-benar sadar dan waspada akan segala kekotoran yang memenuhi batin
sendiri, karena hanya mereka inilah yang akan dapat berobah. Orang yang
sadar akan kekotoran diri sendiri sajalah yang akan dapat berobah menjadi
bersih, tanpa ada usaha membersihkan, karena usaha membersihkan ini akan
menumpuk pamrih dan menciptakan kemunafikan.
Semenjak ribuan tahun, semua pelajaran kerohanian ini tersebar di antara
seluruh manusia di dunia. Akan tetapi, bagaimana hasilnya? Manusia tetap saja
hidup dalam lembah kesengsaraan, hidup dalam neraka dunia yang penuh
dengan kebencian, iri hati, dengki, kemurkaan, permusuhan sehingga cinta
kasih makin muram kehilangan sinarnya karena tertutup oleh segala macam
hawa nafsu angkara yang merupakan debu-debu kotor hitam tebal itu.
Permusuhan terjadi bukan hanya antara perorangan, bukan hanya antara suku
dan antara kelompok, bahkan meluas menjadi antara bangsa, antara negara
sehingga timbullah perang yang amat kejam, pembunuhan dan pembantaian
semena-mena yang lebih biadab dari pada perbuatan golongan yang dianggap
masih liar dan buas sekalipun! Jelaslah di sini bahwa manusianya yang
menentukan, bukan agamanya. Dan jelaslah bahwa yang dapat merobah
manusia adalah diri sendiri masing-masing, dengan pengenalan diri sendiri
sehingga nampak segala kekotoran yang membutakan mata hati, yang
menulikan telinga hati.
Kesenangan hidup merupakan berkah bagi setiap orang manusia yang terlahir
di dunia ini. Semua setelah diberikan kepada manusia. Pada mata sudah
terdapat selera pandangan yang mengenakkan hati, demikian pula pada semua
panca indra.
Dalam kita sudah diberi selera untuk menikmati apa yang terasa enak oleh
mulut kita. Segala yang nampak enak itu, termasuk pula sex yang juga
merupakan berkah bagi setiap orang manusia dan sudah menjadi hak setiap
orang manusia untuk menikmatinya, sudah terbawa sejak kita lahir.
Menikmati itu disebut kesenangan. Dan memang semua itu sudah benar dan
sudah menjadi hak kita utuk menikmati kesenangan yang datang kepada kita.
Akan tetapi, berkah ini segera dapat berubah menjadi suatu bahaya yang amat
besar, yang akan mungkin melahirkan malapetaka dan sengsara seperti
sebuah kutukan! Yaitu pengejaran.
Pengejaran akan yang enak-enak itulah yang merupakan bahaya paling besar
di dalam kehidupan kita. Kenikmatan hidup memang sudah wajar dan menjadi
hak kita untuk dapat menikmatinya.
Akan tetapi, kalau kita mengejarnya, didorong oleh si-aku yang ingin
mengulang dan mengulang lagi, maka kita lalu menjadi hamba nafsu.
Kesenangan lalu menjadi cita-cita yang selalu kita kejar, menjadi tujuan pokok
dalam kehidupan kita.
Dan kalau sudah demikian halnya, maka terjadilah penyelewengan-
penyelewengan dalam kehidupan ini. Demi mengejar kesenangan yang
menjadi sasaran tujuan, maka kadang-kadang kita menggunakan segala cara.
Sex merupakan anugerah kenikmatan hidup, akan tetapi begitu dikejar-kejar,
lalu timbullah perjinahan, perkosaan, pelacuran dan sebagainya. Harta benda
merupakan anugerah kenikmatan hidup, namun pengejaran terhadap harta
menimbulkan korupsi, pencurian, penipuan dan sebagainya lagi.
Oleh karena itu, seorang bijaksana tidak akan mengejar kesenangan dalam
bentuk apapun juga. Hal ini sama sekali bukan berarti bahwa seorang bijaksana
HARUS MENINGGALKAN atau MENJAUHI KESENANGAN. Sama sekali tidak
demikian. Bukan menolak karena memang sudah menjadi haknya untuk
menikmati kesenangan, melainkan TIDAK MENGEJAR!
Menikmati apa yang ada, itu berarti tidak mengejar sesuatu. Pengejaran selalu
menimbulkan kekecewaan dan perasaan tidak puas terhadap apa yang ada,
karena pengejaran ini dapat diselimuti dengan kata-kata halus seperti cita-cita,
tujuan, harapan, ambisi dan sebagainya lagi. Dan kalau kita mau membuka
mata dengan penuh kewaspadaan, mengamati segala yang menimpa diri kita
TANPA MENILAI SEBAGAI BAlK MAUPUN BURUK, akan ternyatalah oleh kita
bahwa di dalam segala sesuatu itu terkandung keindahan yang tak dapat
dilukiskan dengan kata-kata lagi!
Di dalam apa saja! Dalam sakit, dalam kelaparan, dalam malapetaka, dalam
kematian! Terdapat keajaiban dan kekuasaan yang menggerakkan seluruh isi
alam mayapada ini. Dan kita ini hanya merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari itu semua. Sekali kita memisahkan diri dan semua itu karena dorongan
sang aku yang ingin senang sendiri, maka berarti kita telah memasuki neraka
selagi masih hidup.
Orang tidak boleh merasa puas dengan hidupnya, orang harus selalu mencari
kemajuan, demikian nasihat nenek moyang kita sejak jaman kuno dahulu.
Dalam arti kata, orang harus selalu mengejar sesuatu, bercita-cita, bertujuan,
berambisi, mencari sesuatu yang dianggap sebagai kemajuan! Orang harus
mencari kemajuan!
KEMAJUAN! Apakah ini? Menurut umum, kemajuan adalah keadaan yang lebih
baik dari pada keadaan kita sekarang. Dengan demikian, kita harus SELALU
MENCARI kemajuan. Karena kemajuan itu tidak mungkin ada batasnya,
bukan?
Dengan demikian, kita akan mencari terus sampai mati, mencari YANG LEBIH.
Dan ini dianjurkan oleh setiap pemerintah, setiap guru, setiap orang tua.
Kita lupa bahwa mencari yang lebih baik itu, berarti tidak puas dengan keadaan
yang ada saat ini! Dan kalau kita sudah membiarkan diri dijangkiti penyakit
mencari ini, maka selama hidup kita tidak akan dapat bahagia, tidak mungkin
dapat menikmati kehidupan ini. Karena yang dapat dinikmati adalah „SAAT INI‟,
hanya saat inilah yang dapat kita nikmati! Bukan esok atau lusa!
Sekali kita terseret oleh arus mencari kemajuan, sampai matipun kita akan
mencari kemajuan terus, tanpa dapat menikmati kehidupan saat kita hidup.
Menikmati hidup adalah saat ini, sekarang ini, detik demi detik, bukan esok atau
lusa yang hanya berupa khayalan belaka.
Apakah kalau tidak mencari kemajuan, bukan berarti bahwa kita menjadi
mandeg, menjadi statis, menjadi apatis (acuh)? Sama sekali tidak! Tanpa
mencari kemajuan, tanpa mengejar sesuatu yang menjadi tujuan atau cita-cita,
maka yang ada hanyalah perbuatan yang dilakukan dengan dasar kebutuhan
hidup.
Tanpa adanya si-aku yang mengejar sesuatu, maka di dalam setiap pekerjaan
kita akan merasakan suara kenikmatan dan kesenangan besar, karena tanpa
adanya aku yang bercita-cita mengejar kemajuan, di dalam pekerjaan itu
terdapat cinta kasih terhadap pekerjaan itu. Dan pekerjaan yang dilakukan
dengan cinta kasih ini tentu saja membawa perbaikan-perbaikan.
Banyak ahli filsafat dan para bijaksana yang mengatakan bahwa pada
dasarnya, semua orang itu mempunyai sifat atau watak yang baik. Bagaikan
kertas putih yang masih kosong, maka sejak anak-anak, orang telah dibentuk
oleh yang mengisi kertas putih. Namun, betapapun kotornya kertas itu dicorat-
coret, pada dasamya masih ada putihnya dan kadang kadang sifat kebaikan
dan kebersihan ini muncul.
Benar tidaknya pendapat para ahli filsafat ini terserah kepada penilaian kita
sendiri. Yang jelas saja, semua orang ini, kita semua, condong untuk
melakukan kebaikan kepada orang yang mendatangkan kesan baik kepada
kita.
Kebanyakan dari kita bersikap dan berbuat baik kepada orang yang
menyenangkan kita, dan yang menyenangkan ini berarti yang menguntungkan,
baik batiniah maupun lahiriah. Dengan demikian, maka segala kebaikan seperti
itu adalah perbuatan munafik belaka, yang pada bakekatnya hanya untuk
menyenangkan diri sendiri saja melalui lain orang. Bukankah demikian?
Untuk dapat melihat ini, kita harus berani menghancurkan lebih dulu bayangan
tentang diri kita sendiri yang kita bentuk dan bangun sejak kecil, bayangan yang
nampak demikian baiknya, bahkan yang terbaik dan terbersih, dan entah „ter‟
apalagi. Barulah akan nampak betapa munafiknya kita, betapa kotornya batin
kita selama ini.
Dan hanya kita sendirilah yang mampu mengubahnya. Bagaimana caranya?
Tidak ada caranya, yang terpenting, kalau kita waspada dan melihat kekotoran
menempel pada diri kita, apa yang akan kita lakukan? Kecerdasan akal budi
tentu akan menggerakkan tangan untuk membersihkannya dan menghentikan
segala kegiatan yang menimbulkan kekotoran itu.
Orang tua yang bijaksana tidak akan memilih-milih anak mereka, siapa yang
harus dicinta dan siapa yang kurang dicinta, bahkan siapa yang harus dibenci!
Namanya bukan cinta kasih, melainkan cinta diri sendiri. Anak yang
menyenangkan diri dicinta, yang tidak menyenangkan dibenci. Berarti cinta
model sui-poa (alat hitung), model mesin hitung, cinta model dagang dengan
dasar untung rugi.
Orang tua yang membeda-bedakan anaknya sebetulnya hanya mencinta diri
sendiri, mencari kesenangan diri pribadi melalui anak-anaknya. Cinta kepada
anaknya sama saja dengan cintanya kepada anjing peliharaannya, kalau anjing
itu mengenal budi, kalau anjing itu tahu membalas budi dan menyenangkan,
maka tetap dicinta.
Kalau tidak, anjing itu akan dipukul atau bahkan diusir! Sama saja dengan
mencinta barang-barang mati, yang baik dan berharga, dicinta....... yang buruk
dan tidak berharga, dibuang! Apakah yang begini cinta kasih orang tua
terhadap anak-anaknya? Mudah-mudahan tidak, dan kalau toh ada yang
demikian, mudah-mudahan dapat menyadarinya dan segera mengubahnya.
Kitab suci Dharmapada, yaitu kitab suci Agama Buddha, pasal limabelas yang
mengajarkan tentang kebahagiaan :
1. Kita hidup bahagia bila tak membenci seorangpun di tengah-tengah
orang-orang yang membenci. Kita hidup bebas dari kebencian di
antara orang-orang yang membenci.
2. Kita hidup bahagia bila bebas dari penyakit di antara orang-orang
yang sakit. Kita hidup bebas dari penyakit di antara orang-orang yang
sakit.
3. Kita hidup bahagia bila bebas dari keserakahan di antara orang-orang
yang serakah. Kita hidup bebas dari keserakahan di antara orang-
orang yang serakah.
4. Kita hidup bahagia, bila tidak terikat oleh kemilikan. Kita akan hidup
bahagia laksana dewa-dewa yang memancarkan cahaya.
5. Kemenangan memabokkan si pembenci, yang kalah menderita
kesedihan. Dia yang tak lagi memikirkan kemenangan dan kekalahan,
senantiasa tenang dan bahagia.
6. Tiada api melebihi nafsu, tiada penyakit melebihi kebencian, tiada
penderitaan melebihi cengkeraman badani, tiada kebahagiaan
melebihi Nirwana.
7. Keserakahanlah penyakit yang paling berbahaya, mengejar keinginan
penderitaan yang paling besar. Bagi yang mengerti akan kenyataan
ini, Nirwana-lah kebahagiaan tertinggi.
8. Kesehatanlah anugerah terbesar, puas akan apa adanya-lah
kekayaan terbesar. Keyakinan adalah hubungan terbaik, dan
Nirwanalah kebahagiaan tertinggi.
9. Setelah menikmati kesucian dan ketenangan, terbebaslah dan
belenggu takut dari dosa. Setelah demikian barulah dapat meneguk
kebahagiaan hidup di dalam Dharma.
10. Memandang Para Bijaksana adalah baik, bergaul dengan mereka
membahagiakan. Yang tidak bergaul dengan si dungu akan
senantiasa berbahagia.
11. Yang bergaul dengan orang-orang dungu seperti bergaul dengan
musuh, menyebabkan derita. Bergaul dengan orang bijaksana seperti
sanak saudara menyebabkan kebahagiaan.
12. Karena itu, seperti bulan bergerak mengikuti garis peredarannya,
hendaknya orang mengikuti para bijaksana yang berpemandangan
luas, terdidik, sabar dan taat kepada peraturan Para Bijaksana
sehingga patut untuk diikutinya.
Kita selalu condong untuk mencari enak saja, dalam segala perkara, dalam
segala macam persoalan, bahkan di dalam keagamaan sekalipun! Pikiran kita
sudah terbiasa sejak kecil, oleh pendidikan, oleh lingkungan, oleh masyarakat
dan cara hidup masyarakat kita, untuk selalu mempergunakan perhitungan
untung-rugi dalam segala macam hal.
Dalam hubungan antara manusia, dalam agama sekalipun, bahkan dalam
hubungan antara negara dan bangsa, kita selalu mendasarinya dengan
perhitungan untung-rugi yang menguntungkan adalah sahabat kita, yang
merugikan adalah musuh kita. Karena kebiasaan menghadapi segala sesuatu
dengan untung-rugi inilah maka di dalam agama sekalipun, kita memasukinya
dengan perhitungan. Diampuni dosanya dan kelak mendapatkan sorga
merupakan janji muluk yang diberikan oleh hampir semua agama, dan hal ini
memang amat menarik hati orang.
Siapakah yang tidak ingin diampuni dosanya, bebas dari siksa kelak dan
memperoleh sorga yang digambarkan sebagai keadaan, yang amat enak?
Apalagi kalau syarat memperolehnya hanyalah kepercayaan. Alangkah
mudahnya. Hanya percaya, habis perkara, dan pahala-pahala itupun datanglah!
Benarkah semudah itu untuk percaya?
Kita tidak menyadari rupanya bahwa „percaya di mulut‟ jauh sekali bedanya
dengan „percaya di hati‟. Dan kebanyakan dari kita condong untuk percaya di
mulut saja.
Setiap orang mengatakan bahwa dia percaya kepada Tuhan! Benarkah itu?
Benarkah kita percaya kepada Tuhan dari lubuk hati kita, ataukah pengakuan
itu hanya sebatas bibir dan lidah saja? Karena, kalau orang percaya kepada
Tuhan, setiap saat dia akan merasa adanya Tuhan, dan karena itu, diapun tidak
akan pernah menyeleweng semenitpun.
Akan tetapi biasanya, kita hanya ingat dan percaya kepada Tuhan kalau kita
membutuhkan pengampunan-Nya, membutuhkan pertolongan-Nya, dan kita
sama sekali melupakannya kalau kita tidak membutuhkan itu. Karena itu, kata
„percaya‟ tidaklah semudah yang kita kira.
Cemburu adalah suatu dorongan perasaan yang amat berbahaya, baik bagi
orang lain, terutama sekali bagi diri sendiri. Cemburu menggelapkan pikiran,
melenyapkan kesadaran, menimbulkan dendam, sakit hati dan kebencian.
Cemburu dapat membuat seorang manusia berubah kejam penuh dengan
kebencian.
Cinta asmara antara pria dan wanita tak mungkin sepihak, harus datang dari
kedua pihak. Dan kalau orang yang kita cinta itu kemudian menoleh kepada
orang lain, hal itu berarti bahwa ia tidak cinta sesungguhnya kepada kita!
Padahal, didalam cinta tercakup kesetiaan, dalam arti kata tidak mau menyakiti
hati orang yang kita cinta, kemesraan, dan selalu ada dorongan untuk
menyenangkan dan membahagiakan hati orang yang kita cinta. Dan kalau
sudah terdapat kenyataan bahwa orang yang kita cinta itu menoleh kepada
orang lain, berarti tidak cinta kepada kita, apa gunanya timbul cemburu yang
mendatangkan kebencian?
Kalau kita benar-benar mencinta, kita tidak mengharapkan apa-apa lagi! Cinta
kasih yang murni tidak mendatangkan cemburu, tidak memperbesar si aku,
tidak mengejar kesenangan belaka, tidak ingin memiliki atau dimiliki dengan arti
kata mengikat, tidak ingin mengekang orang yang kita cinta.
Cinta kasih adalah kebahagiaan. Dan kebahagiaan berubah menjadi
kesenangan kalau sudah mengikat. Dan kesenangan ini hanya merupakan
wajah lain saja dari kesusahan. Suka duka tak terpisahkan.
Perasaan kesepian ini seringkali melanda batin kita, tak perduli bagaimana
keadaan kita, tak peduli kita berada di tengah banyak orang atau keluarga, tak
perduli kita berada dalam keadaan yang kaya raya atau berkecukupan, maupun
dalam kedudukan tinggi dan kemuliaan.
Perasaan sepi menggerogoti batin, apalagi kalau kita merasa tidak dicinta
seorangpun. Perasaan kesepian dan sendirian inilah yang mendorong kita
untuk mengikatkan diri kepada sesuatu atau seseorang sebagai sumber-
sumber kesenangan.
Kita mengikatkan diri sebagai anggauta suatu kelompok, golongan,
persahabatan, atau kita mengikatkan diri dengan suatu aliran, dengan benda-
benda, dengan sumber-sumber kesenangan yang lain. Dan kita takut dan
merasa ngeri kalau harus meninggalkan semua itu, karena kita membayangkan
betapa hidup ini akan terasa kosong dan sepi!
Ngeri akan perasaan sepi dan bersendirian inilah agaknya yang membuat
orang takut akan kematian. Bukankah kalau sudah mati, kita kehilangan segala-
galanya dan berada dalam keadaan kesepian dan menghadapi segala sesuatu
sendirian saja? Karena inilah maka kita berusaha mencari pegangan, mencari
kepercayaan sebagai sesuatu yang akan menemani kita, akan menjadi bekal
dalam menghadapi kematian atau kesepian dan kesendirian itu.
Ngeri timbul dan rasa takut yang selalu menghantui batin kita. Kita haus akan
cinta kasih, haus akan cinta orang lain terhadap kita, perhatian dan keramahan
orang-orang lain terhadap diri kita, dan hal ini menunjukkan bahwa kita sendiri
kering, tidak memiliki cinta kasih!
Orang yang tidak memiliki cinta kasih, bagaikan sebuah cawan yang kering dan
kosong, selalu haus akan isi. Sebaliknya, batin yang penuh dengan cinta kasih
bagaikan cawan yang penuh air, terus diisi oleh air yang mengalir masuk,
sehingga bukan saja air itu dapat membasahi dan memenuhi cawan itu sendiri,
melainkan juga dapat meluap dan membasahi dan mengisi cawan lain.
Orang yang batinnya penuh dengan sinar cinta kasih, tidak mengharapkan cinta
kasih orang lain terhadap dirinya lagi, bagaikan sebuah ruangan tidak lagi
membutuhkan cahaya karena dirinya telah menjadi cahaya yang dapat
menerangi ruangan-ruangan lain.
Hidup harus berani bersendirian, bukan dalam arti kata kesepian dan merasa
ditinggalkan seorang diri, melainkan bersendirian, berdikari, bebas tidak
bersandar atau bergantung kepada gagasan, benda, atau orang lain. Hanya
dalam keadaan bebas tidak terikat inilah, pikiran tidak merajalela, mengendap
dan si-aku pun tidak menonjolkan diri, sehingga kini dapat waspada setiap saat.
Hanya dalan keadaan bebas inilah, cinta kasih dapat memenuhi relung-relung
batin kita dengan sinarnya. Hanya dalam keadaan bebas dari segala ikatan
inilah, Sinar Illahi dapat menyentuh batin kita, dan kita menjadi waspada akan
apa yang dinamakan kekuasaan, kemurahan dan cinta kasih Tuhan Yang Maha
Kasih!
Segala macam perbuatan dalam bentuk apapun merupakan pencerminan
keadaan batin. Kalau batin kita bebas sehingga penuh dengan sinar cinta kasih,
maka perbuatan yang akan dilakukan oleh badan kita, dengan sendirinya
berdasarkan cinta kasih.
Batin yang bebas dan penuh cinta kasih tidak mengenal kebencian, iri hati,
dendam, permusuhan, dengki. Si aku yang menjadi sumber dan segala macam
perasaan dan nafsu itu telah tiada.
Kenapa begitu banyak manusia di dunia ini yang merasa patah hati, yang
berduka karena cinta? Mengapa cinta kasih kita ini hanya mendatangkan
kebahagiaan sebentar, lalu berubah menjadi kekecewaan dan kedukaan?
Mengapa? Pertanyaan ini amat penting untuk diselidiki, dan yang dapat
melakukan penyelidikan secara tepat hanyalah mereka yang terlanda derita
patah hati atau karena cinta gagal ini.
Kenapa cinta harus gagal? Kata „gagal‟ ini saja sudah menunjukkan habisnya
suatu „keinginan‟, dan karena keinginan itu tidak tercapai maka dinamakan
gagal. Akan tetapi, haruskah cinta berdampingan dengan suatu keinginan?
Biasanya, kalau orang jatuh cinta, maka dia ingin agar orang yang dicintanya itu
membalas cintanya, kemudian menjadi miliknya! Kalau sudah begini, tentu saja
timbul kemungkinan lain, yaitu kegagalan!
Dan segala macam bentuk pengejaran untuk memenuhi apa yang diinginkan,
selalu membuahkan kebosanan dan kekecewaan kalau gagal. Siapakah yang
memiliki keinginan itu? Aku! Bagaimana terciptanya aku? Karena kesenangan,
pengalaman yang menyenangkan bersarang di dalam ingatan, akan muncullah
keinginan untuk mengulang kesenangan itu kembali.
Aku adalah keinginan untuk senang, aku adalah takut untuk mengalami hal-hal
yang tidak menyenangkan. Aku dan keinginan tidak pernah terpisah, karena
kalau tidak ada keinginan, tidak ada rasa takut, akupun tidak pernah ada.
Kita sendiri yang membuat cinta kasih menjadi sesuatu yang menyenangkan,
menjadi suatu alat untuk menyenangkan diri sendiri. Inilah sebabnya mengapa
banyak terjadi kedukaan dalam cinta. Padahal, cinta yang mendatangkan duka
itu bukan lagi cinta namanya, melainkan kesenangan. Kita kehilangan sumber
kesenangan itu, maka kecewalah kita, dukalah kita.
Kuburan itu sunyi sekali. Malam itu terang bulan. Dunia nampak indah bukan
main bermandikan cahaya bulan purnama. Segala sesuatu nampak keemasan
dan kehijauan. Tiada awan menghalang bulan.
Keindahan yang penuh rahasia, keindahan yang membuat setiap orang kalau
keluar rumah menjadi termenung. Namun Lian Hong tidak melihat keindahan
itu. Ia sedang tenggelam ke dalam kedukaan, tenggelam ke dalam lautan air
mata. Ia sedang menangis di depan kuburan orang tuanya!
Duka adalah hasil permainan pikiran yang mengingat-ingat hal yang telah lalu.
Seperti rasa takut yang menjadi permainan pikiran mengingat dan
membayangkan hal yang belum datang, duka juga merupakan permainan
pikiran belaka.
Pikiran mengingat-ingat dan mengunyah kembali keadaan yang lalu,
menimbulkan iba diri dan pikiran membayangkan betapa sengsaranya diri.
Pikiran seperti mengubah diri menjadi tangan jari-jari kejam meremas hati,
maka keluarlah tangis dan keluh kesah.