NIM : 1174030040
Kelas : MD 5-A
Mata Kuliah : Kepemimpinan Islam
Dosen : Dr. H. Syamsuddin RS., M.Ag.
Ujian Tengah Semester (UTS)
Adapun syarat-syarat menjadi pemimpin Islam menurut Rivai dan Arifin (2009) adalah:
1) Ash-Shidq, yakni kebenaran dan kesungguhan dalam bersikap, berucap serta berjuang
melaksanakan tugasnya.
2) Al-amanah, atau kepercayaan, yang menjadikan seorang pemimpin memelihara
sebaik-baiknya apa yang diserahkan kepadanya baik dari Allah maupun dari orang-
orang yang dipimpinnya, sehingga tercipta rasa aman bagi semua pihak.
3) Al-Fathanah, yaitu kecerdasan yang melahirkan kemampuan menghadapi dan
menangani persoalan baik yang muncul secara perlahan maupun seketika, berdedikasi
tinggi, dan memiliki cita-cita yang realistik untuk organisasi.
4) At-Tabligh, yaitu penyampaian yang jujur dan bertanggung jawab, atau dapat
diistilahkan dengan keterbukaan atau transparansi, dan berani mengambil keputusan.
5. Khilafah adalah kepemimpinan dengan batas teritori tertentu, yang mengikat secara struktural
setiap warga yang berada di dalamnya, sehingga tidak mengikat orang di luar area tersebut.
Sedangkan imamah adalah kepemimpinan yang melampaui batas teritorial, daerah, negara, dan
lainnya tetapi mengikat secara spiritual dan teologis setiap pribadi yang meyakininya. Adanya
kelompok yang ingin mengembalikan kekhilafahan di masa lalu untuk umat Islam menjadi
tidak tepat guna, karena khalifah bersifat institusional (kenegaraan) dan teritorial.
6. Ada beberapa prinsip-prinsip dalam kepemimpinan Islam, yaitu:
1) Jujur dan Amanah (Ash-Shidqu wal Amanah), yakni benar dan sungguh-sungguh
dalam berucap serta berjuang melaksanakan tugasnya. Selain itu, ungkapan ini
menyiratkan dua hal. Pertama, apabila manusia berkuasa di muka bumi menjadi khalifah,
maka kekuasaan yang diperoleh sebagai sesuatu pendelegasian kewenangan dari Allah
SWT karena Allah sebagai sumber segala kekuasaan. Dengan demikian, kekuasaan yang
dimiliki hanyalah sekedar amanah dari Allah SWT yang bersifat relative, yang kelak harus
dipertanggungjawabkan dihadapan-Nya. Kedua, karena kekuasaan itu pada dasarnya
amanah, maka pelaksanaannya pun memerlukan amanah. Amanah dalam hal ini adalah
sikap penuh pertanggungjawaban, jujur, dan memegang teguh prinsip. Amanah dalam arti
ini sebagai prinsip atau nilai. Prinsip ini telah disebutkan dalam QS. Al-Anfal:7.
اَّلل ياأْ ُم ُرُ ُْك َأ ْن تُ اؤ هدوا ْ َاْل اماَنا ِت ا ا َٰل َأ ْه ِلهاا اوا اذا اح ا َْك ُ ُْت ي ا ْ اَن الَذا ِ َأ ْن ا ْْح ُ َُكوا
ا ذن ذ ا
ِ ِ ِ
اَّلل ِن ِع ذما ي ا ِع ُظ ُ ُْك ِي ِه ۗ ا ذن ذ ا
اَّلل اَك ان ا َِسي ًعا ي ا ِص ًريا ِِبلْ اع ْد ِل ۚ ا ذن ذ ا
ِ ِ
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat”.
3) Musyawarah (Asy-Syuraa), yakni seorang pemimpin Islam harus memilik prinsip selalu
mengedepankan musyawarah dalam memecahkan berbagai masalah persoalan. Islam
memandang musyawarah sebagai salah satu hal yang amat penting bagi kehidupan umat,
bukan saja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melainkan juga dalam kehidupan
berumah tangga dan lainnya. Musyawarah memungkinkan umat, komunitas, anggota
organisasi dan lembaga turut serta dalam proses pembuatan keputusan. Prinsip ini juga
berfungsi mengkikis habis sifat dan kultur otoriter dan absolutism. Hal ini terdapat pada
QS. As-Syuraa:38.
اُه يُ َْ ِف ُق ا
ون او ذ ِاَّل اين ْاس ات اجايُوا ِل ار ِّب ْم او َأقاا ُموا ذ
ْ ُ الص اَل اة او َأ ْم ُر ُ ُْه ُش اور ٰى يايَْنا ُ ْم او ِم ذما ار از ْقنا
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan
mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka”.
4) Egaliter (al-Musawah), yaitu persamaan derajat pada setiap manusia. Setiap manusia
mempunyai derajat yang sama di hadapan Tuhan tanpa membedakan kedudukan,
kekayaan, keturunan, suku, ras, golongan, dan sebagainya, melainkan karena sikap
masing-masing individu. Seorang pemimpin Islam harus memiliki prinsip egaliter, yaitu
persamaan derajat antara satu dengan yang lainnya.