Anda di halaman 1dari 6

Nama : Egi Agustian

NIM : 1174030040
Kelas : MD 5-A
Mata Kuliah : Kepemimpinan Islam
Dosen : Dr. H. Syamsuddin RS., M.Ag.
Ujian Tengah Semester (UTS)

1. Studi tentang kepemimpinan:


a. Memahami tentang teori, model dan system kepemimpinan bagi seseorang. Bukan hanya
karena manusia sudah ditakdirkan untuk menjadi pemimpin dari seluruh makhluk Allah
di muka bumi ini, tetapi juga bahwa manusia dalam mewujudkan keinginan, kebutuhan,
hasrat, dan cita-citanya, sekaligus sebagai manifestasi hakikat manusia sebagai makhluk
social yang berbudaya. Jika tidak memahami hal tersebut diatas, seseorang jika menjadi
pemimpin akan kaku dan tidak tahu apa yang akan dia lakukan sebagai pemimpin.
b. Pemimpin adalah suatu lakon/peran dalam sistem tertentu; karenanya seseorang dalam
peran formal belum tentu memiliki ketrampilan kepemimpinan dan belum tentu mampu
memimpin. Istilah Kepemimpinan pada dasarnya berhubungan dengan ketrampilan,
kecakapan, dan tingkat pengaruh yang dimiliki seseorang; oleh sebab itu kepemimpinan
bisa dimiliki oleh orang yang bukan "pemimpin".
Sedangkan Kepemimpinan adalah sekumpulan dari serangkaian kemampuan dan sifat-
sifat kepribadian, termasuk didalamnya kewibawaan untuk dijadikan sebagai sarana dalam
rangka meyakinkan yang dipimpinnya agar mereka mau dan dapat melaksanakan tugas-
tugas yang dibebankan kepadanya dengan rela, penuh semangat, ada kegembiraan batin,
serta merasa tidak terpaksa (Ngalim Purwanto (1991:26)). Kepemimpinan meliputi (1)
orang yang jadi pemimpin; (2) orang yang dipimpin; (3) Teori kepemimpinan; dan (4)
Model/gaya kepemimpinan.
c. Fakta yang berpengaruh terhadap menariknya menjadi seorang pemimpin adalah: (1)
Kebutuhan untuk dapat hidup secara manusiawi; (2) Hakikat sosial; dan (3) Mempunyai
pengaruh.
2. Pertama, teori sifat (trait theory), Sondang P. Siagian menyebutnya “teori genetis” yang
menjelaskan bahwa seorang pemimpin dianggap memiliki sifat-sifat yang dibawa semenjak
lahir sebagai sesuatu yang diwariskan. Selain itu, teori ini juga sering disebut sebagai teori
bakat, karena dianggap bahwa pemimpin itu dilahirkan bukan dibentuk. Asumsi dasar dari
teori ini menyatakan bahwa kepemimpinan itu memerlukan serangkaian sifat, ciri, atau
perangai tertentu yang menjamin keberhasilan setiap keberhasilan seseorang pemimpin
diletakkan pada kepribadian seseorang (personality) pemimpin itu sendiri. Dalam teori ini, ada
beberapa sifat bawaan bagi setiap manusia yaitu: (1) Intelegensi, yang berkaitan dengan
kecerdasan; (2) Kepribadian, yang berkaitan dengan kemampuan menyesuaikan diri,
keyakinan diri, kreativitas dll; dan (3) Kemampuan, sifat bawaan yang berkaitan dengan
popularitas, kewibawaan, dan keterampilan diri.
Kedua, teori perilaku (behavior theory) yang memiliki dasar pemikiran bahwa
kepemimpinan itu harus dipandang sebagai hubungan diantara orang-orang, bukan sebagai
sifat-sifat atau ciri-ciri seorang individu. Oleh karena itu, keberhasilan seorang pemimpin
sangat ditentukan oleh kemampuan pemimpin itu dengan segenap anggotanya. Dengan kata
lain, teoriini sangat memperhatikan perilaku pemimpin sebagai aksi dan respon kelompok yang
dipimpinnya sebagai reaksi.

3. Dalam matriknya, digambarkan 5 gaya kepemimpinan, yaitu:

a. Gaya kepemimpinan Otokratis pada dasarnya adalah gaya kepemimpinan dimana


pemimpin banyak mempengaruhi atau menentukan perilaku bawahannya. Dalam gaya ini
pemimpin banyak memperhatikan pencapaian tujuan, oleh karena ini gaya ini lebih
banyak menentukan apa yang harus dicapai dan bagaimana mencapainya. Gaya ini
biasanya digunakan oleh Pemimpin yang memiliki status yang tinggi, seorang yang
berkuasa dan memiliki kemampuan untuk membuat keputusan. Gaya kepemimpinan ini
terdapat dua model, ada yang berhaluan keras da nada yang paternalistic. Kepemimpinan
otokratis yang berhaluan keras, menuntut dan memperoleh kepatuhan, kalau tidak, maka
disediakan sanksi tertentu yang diterapakan. Sedangkan pada model paternalistic,
menuntut dan mengharapkan kepatuhan dari para anggotanya hanya saja atas dasar
hubungan, yang sering bersifat pribadi yang diwarnai oleh father knows best,
ketergantungan pribadi bawahan dan berdasarkan pada rewards dan rasa aman.
b. Gaya kepemimpinan birokratis adalah gaya memimpin yang mengacu pada peraturan.
Tanda-tanda yang paling mudah dikenali dari seorang pemimpin yang menerapkan gaya
kepemimpinan birokratis adalah perilaku taat prosedur. Ketaatan ini tidak hanya berlaku
untuk dirinya sebagai atasan namun juga untuk bawahan yang berada dalam
kepemimpinannya. Selain taat prosedur, atasan dengan gaya kepemimpinan birokratis ini
juga lebih banyak mengambil keputusan sesuai prosedur, lebih kaku dan tidak fleksibel.
Karakteristik yang dapat dikenali dapat gaya kepemimpinan birokratif adalah adanya
keputusan yang berpusat pada atasan. Biasanya semua keputusan yang dibuat dan
berkaitan dengan pekerjaan akan ditentukan oleh atasan. Sementara bawahan menjadi
pihak yang wajib menjalankannya. Atasan juga menjadi penentu standar bawahan untuk
melaksanakan tugas. Atasan juga akan memberikan sanksi yang jelas jika bawahan tidak
memiliki kinerja sesuai prosedur standar kerja yang berlaku.
c. Gaya kepemimpinan partisipatif sebetulnya adalah nama lain dari gaya kepemimpinan
demokratis. gaya partisipatif menuntut peran aktif atau partisipasi bawahan dalam
mengambil keputusan. Karena itu setiap kali keputusan diambil, atasan tidak akan
mengambil keputusan secara sepihak tanpa harus berdiskusi lebih dulu dengan bawahan.
Mengingat pentingnya peran bawahan atau anggota dalam kepemimpinan partisipatif,
perwujudan kepemimpinan ini membuat atasan harus lebih proaktif. Mendekati bawahan
dan memastikan langsung mengenai tanggapan karyawan terhadap keputusan yang
diambilnya.
d. Gaya kepemimpinan diplomatis ini ada pada penempatan perspektifnya. Sering sekali
banyak orang melihat dari satu sisi saja yakni sisi keuntungan dirinya. Kemudian jika
dilihat dari segi keuntungan lawanya, khusus dengan kepribadian putih ini saja yang hanya
mampu melihat kedua sisi, secara jelas ! Apa yang menjadi keuntungan baginya dan juga
menguntungkan lawanya Kepasifan serta kesabaran merupakan kelemahan pemimpin
dengan gaya diplomatis ini. Mereka secara umum sangat sabar dan juga tahan menerima
tekanan. Akan tetapi kesabaranya ini dapatsangat keterlaluan. Bisa saja mereka
mendapatkan perlakuan yang yang tidak menyenangkan, tapi para pengikutnya tidak.
Serta sering kali hal tersebut yang membuat seluruh pengikutnya meningkalkan si
pemimpin tersebut.
e. Gaya Free Rein Leader. Pemimpin dengan gaya ini menyerahkan tanggung jawab atas
pelaksana pekerjaan tersebut para bawahannya. Dalam artian pimpinan menginginkan
para bawahan dapat mengendalikan diri mereka sendiri dalam menyelesaikan pekerjaan
tersebut. Para bawahan dituntut untuk memiliki kemampuan (materi soft skill).
4. Kepemimpinan atau leadership dalam bahasa Arab disebut dengan khilafah, imarah, ziamah,
dan imamah . Secara etimologi kepemimpinan berarti gaya memimpin atau kualitas seorang
pemimpin atau tindakan dalam memimpin itu sendiri. Sedangkan secara terminologi ada
beberapa definisi mengenai kepemimpinan (leadership). Pengertian kepemimpinan dalam
perspektif Islam menurut Nawawi (1993 :35) dibagi menjadi dua yaitu pengertian spiritual
Islam dan pengertian empiris. Kepemimpinan menurut pengertian spiritual Islam adalah
kemampuan melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan Allah SWT, baik dilakukan
secara bersama-sama maupun perseorangan, dengan kata lain kepemimpinan adalah
kemampuan mewujudkan semua kehendak Allah SWT yang telah diberitahukan-Nya melalui
Rosul-Nya Muhamad SAW. Sedangkan kepemimpinan menurut pengertian Empiris adalah
kegiatan yang dilakukan oleh manusia dalam kehidupan suatu masyarakat sebagai usaha
mewujudkan kebersamaan (sosialitas). Jadi, secara singkat dapat dibedakan bahwa Khilafah
bersifat fiqhiyah sedangkan Imamah lebih bersifat teologis.

Menurut Hisyam at-Tholib, ada beberapa ciri penting yang menggambarkan


kepemimpinan Islam: (1) Pemimpin dan orang yang dipimpin terikat kesetiaan kepada Allah;
(2) pemimpin melihat tujuan organisasi bukan berdasarkan kepentingan kelompok, tetapi juga
dalam ruang lingkup tujuan Islam yang lebih luas; (3) Pemimpin terikat dengan peraturan Islam,
dan boleh menjadi pemimpin selama ia berpegang kepada perintah syari’at. Waktu
mengendalikan urusannya ia harus patuh pada etika atau adab-adab Islam, khususnya ketika
berurusan dengan golongan oposisi atau orang-orang yang tidak sepaham; dan (4) Pemimpin
menerima kekuasaan sebagai amanat dari Allah disertai oleh tanggung jawab yang besar.

Adapun syarat-syarat menjadi pemimpin Islam menurut Rivai dan Arifin (2009) adalah:
1) Ash-Shidq, yakni kebenaran dan kesungguhan dalam bersikap, berucap serta berjuang
melaksanakan tugasnya.
2) Al-amanah, atau kepercayaan, yang menjadikan seorang pemimpin memelihara
sebaik-baiknya apa yang diserahkan kepadanya baik dari Allah maupun dari orang-
orang yang dipimpinnya, sehingga tercipta rasa aman bagi semua pihak.
3) Al-Fathanah, yaitu kecerdasan yang melahirkan kemampuan menghadapi dan
menangani persoalan baik yang muncul secara perlahan maupun seketika, berdedikasi
tinggi, dan memiliki cita-cita yang realistik untuk organisasi.
4) At-Tabligh, yaitu penyampaian yang jujur dan bertanggung jawab, atau dapat
diistilahkan dengan keterbukaan atau transparansi, dan berani mengambil keputusan.

5. Khilafah adalah kepemimpinan dengan batas teritori tertentu, yang mengikat secara struktural
setiap warga yang berada di dalamnya, sehingga tidak mengikat orang di luar area tersebut.
Sedangkan imamah adalah kepemimpinan yang melampaui batas teritorial, daerah, negara, dan
lainnya tetapi mengikat secara spiritual dan teologis setiap pribadi yang meyakininya. Adanya
kelompok yang ingin mengembalikan kekhilafahan di masa lalu untuk umat Islam menjadi
tidak tepat guna, karena khalifah bersifat institusional (kenegaraan) dan teritorial.
6. Ada beberapa prinsip-prinsip dalam kepemimpinan Islam, yaitu:
1) Jujur dan Amanah (Ash-Shidqu wal Amanah), yakni benar dan sungguh-sungguh
dalam berucap serta berjuang melaksanakan tugasnya. Selain itu, ungkapan ini
menyiratkan dua hal. Pertama, apabila manusia berkuasa di muka bumi menjadi khalifah,
maka kekuasaan yang diperoleh sebagai sesuatu pendelegasian kewenangan dari Allah
SWT karena Allah sebagai sumber segala kekuasaan. Dengan demikian, kekuasaan yang
dimiliki hanyalah sekedar amanah dari Allah SWT yang bersifat relative, yang kelak harus
dipertanggungjawabkan dihadapan-Nya. Kedua, karena kekuasaan itu pada dasarnya
amanah, maka pelaksanaannya pun memerlukan amanah. Amanah dalam hal ini adalah
sikap penuh pertanggungjawaban, jujur, dan memegang teguh prinsip. Amanah dalam arti
ini sebagai prinsip atau nilai. Prinsip ini telah disebutkan dalam QS. Al-Anfal:7.

‫اَي َأُّيه اا ذ ِاَّل اين أ امنُوا اَل ا َُتونُوا ذ ا‬


‫اَّلل او ذالر ُسو ال او ا َُتونُوا َأ اماَنا ِت ُ ُْك او َأن ُ ُْْت تا ْعلا ُم ا‬
‫ون‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad)
dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang
kamu mengetahui”
2) Adil (Al-Adalah), yakni seorang pemimpin Islam haruslah memiliki prinsip untuk
menegakkan keadilan, baik itu adil dalam menetapkan hukum suatu perkara maupun yang
lainnya dn tidak mengikuti hawa nafsu. Hal ini terdapat pada QS. An-Nisa:58.

‫اَّلل ياأْ ُم ُرُ ُْك َأ ْن تُ اؤ هدوا ْ َاْل اماَنا ِت ا ا َٰل َأ ْه ِلهاا اوا اذا اح ا َْك ُ ُْت ي ا ْ اَن الَذا ِ َأ ْن ا ْْح ُ َُكوا‬
‫ا ذن ذ ا‬
ِ ِ ِ
‫اَّلل ِن ِع ذما ي ا ِع ُظ ُ ُْك ِي ِه ۗ ا ذن ذ ا‬
‫اَّلل اَك ان ا َِسي ًعا ي ا ِص ًريا‬ ‫ِِبلْ اع ْد ِل ۚ ا ذن ذ ا‬
ِ ِ
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat”.
3) Musyawarah (Asy-Syuraa), yakni seorang pemimpin Islam harus memilik prinsip selalu
mengedepankan musyawarah dalam memecahkan berbagai masalah persoalan. Islam
memandang musyawarah sebagai salah satu hal yang amat penting bagi kehidupan umat,
bukan saja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melainkan juga dalam kehidupan
berumah tangga dan lainnya. Musyawarah memungkinkan umat, komunitas, anggota
organisasi dan lembaga turut serta dalam proses pembuatan keputusan. Prinsip ini juga
berfungsi mengkikis habis sifat dan kultur otoriter dan absolutism. Hal ini terdapat pada
QS. As-Syuraa:38.

‫اُه يُ َْ ِف ُق ا‬
‫ون‬ ‫او ذ ِاَّل اين ْاس ات اجايُوا ِل ار ِّب ْم او َأقاا ُموا ذ‬
ْ ُ ‫الص اَل اة او َأ ْم ُر ُ ُْه ُش اور ٰى يايَْنا ُ ْم او ِم ذما ار از ْقنا‬
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan
mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka”.
4) Egaliter (al-Musawah), yaitu persamaan derajat pada setiap manusia. Setiap manusia
mempunyai derajat yang sama di hadapan Tuhan tanpa membedakan kedudukan,
kekayaan, keturunan, suku, ras, golongan, dan sebagainya, melainkan karena sikap
masing-masing individu. Seorang pemimpin Islam harus memiliki prinsip egaliter, yaitu
persamaan derajat antara satu dengan yang lainnya.

Anda mungkin juga menyukai