Anda di halaman 1dari 10

METODE MEMAHAMI SUNNAH

Edi Safri
Guru Besar Hadis dan Ilmu Hadis Fakultas Ushuluddin
IAIN Imam Bonjol Padang

Abstrak. Metode Memahami Sunnah. Fiqh al-hadis merupakan aspek kajian


hadis yang sangat penting untuk memahami pesan-pesan Rasul secara tepat dan
benar. Adakalanya sunnah/hadis dapat dipahami langsung dari makna zahirnya,
namun adakalanya pemahaman yang tepat dan benar baru didapatkan setelah
menggunakan metode-metode dan pendekatan-pendekatan tertentu. Dalam
kajian fiqh al-hadis ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan, antara
lain: Memahami hadis berdasarkan Isyarat al-Qur’an, memahami hadis-hadis
mukhltalif, tanawwu’ ibadah, kajian subtantif filosofis serta memahami sarana
yang tujuan penyampaian suatu hadis.

Kata kunci : Manhaj, Fiqh al-Hadis, Isyarat al-Qur’an, Mukhtalif al-Hadis,


Tanawwu’ Ibadah

‫ﻓﻘﻪ اﳊﺪﻳﺚ ﻋﻠﻢ ﻣﻦ ﻋﻠﻮم اﳊﺪﻳﺚ اﻟﺬى ﳓﺘﺎج اﻟﻴﻪ ﻟﻔﻬﻢ ﻣﻌﺎﱏ اﻻﺣﺎدﻳﺚ اﻟﻨﺒﻮﻳﺔ ﻓﻬﻤﺎ‬
‫ وﻫﺬا اﻟﻌﻠﻢ ﻣﻬﻤﺎ ﺟﺪّا ﻟﺘﺠﻨﺐ اﻷﺧﻄﺎء ﰲ اﻟﻔﻬﻢ ﳍﺎ ﻣﻦ ﻧﺎﺣﻴﺔ وﰲ ﻣﻮاﺟﻬﺔ‬.‫ﺻﺤﻴﺤﺎ‬
‫ وﻫﻨﺎك اﳌﻨﺎﻫﺞ اﳋﺎﺻﺔ ﰲ‬.
‫ واﻟﺜﺎﻧﻴﺔ‬،‫ اﳌﻨﻬﺞ اﻟﺬى ﻗﺎم ﻋﻠﻰ اﺳﺎس اﻟﻔﻬﻢ ﻟﻼﺷﺎرات اﻟﻘﺮآﻧﻴﺔ‬: ‫ﻓﻬﻢ اﻻﺣﺎدﻳﺚ اﻻوﱃ‬
‫ واﻟﺜﺎﻟﺜﺔ اﳌﻨﻬﺞ ﰲ ﻓﻬﻢ اﻻﺣﺎدﻳﺚ اﳌﺘﻨﻮﻋﺔ ﰲ‬،‫اﳌﻨﻬﺞ ﰲ ﻓﻬﻢ اﻻﺣﺎدﻳﺚ اﳌﺨﺘﻠﻔﺔ ﻇﺎﻫﺮا‬
‫ ﻓﻔﻰ ﻫﺬا اﳌﻨﻬﺞ ﺳﻌﻰ اﻟﺒﺎﺣﺚ ﻟﻔﻬﻢ‬.‫ ﻣﻨﻬﺞ اﻟﻔﻬﻢ اﳌﻌﻨﻮى ﻟﻼﺣﺎدﻳﺚ‬: ‫ واﻟﺮاﺑﻌﺔ‬،‫اﻟﻌﺒﺎدة‬
‫اﳊﺪﻳﺚ ﺑﺎﻟﻨﻈﺮ اﱃ ﻟﺐّ اﳌﺴﺄﻟﺔ او اﻟﺪراﺳﺔ اﻟﻴﻪ دراﺳﺔ ﻓﻠﺴﻔﻴﺔ او اﳌﻼﺣﻈﺔ إﱃ اﻣﻜﺎﻧﻴﺔ‬
.‫وﺟﻮد اﳌﻌﺎﱏ اﻷﺧﺮى اﶈﺘﻤﻠﺔ ﻓﻴﻪ‬
،‫ اﻻﺣﺎدﻳﺚ اﻟﻤﺨﺘﻠﻔﺔ‬،‫ اﻻﺷﺎرات اﻟﻘﺮآﻧﻴﺔ‬،‫ ﻓﻘﻪ اﻟﺤﺪﻳﺚ‬،‫ اﻟﻤﻨﻬﺞ‬: ‫اﻟﻤﻔﺮدات‬
‫اﻻﺣﺎدﻳﺚ اﻟﻤﺘﻨﻮﻋﺔ ﻓﻲ اﻟﻌﺒﺎدة‬

DUA ASPEK POKOK KAJIAN ajaran Islam setelah al-Quran ialah:


HADIS / SUNNAH1 Pertama kajian terkait aspek vali-
Dua aspek pokok kajian hadis ditas atau keshahihan hadis dan;
dalam kedudukannya sebagai sumber Kedua, kajian terkait aspek
pemahaman kandungan maknanya.
1
Istilah sunnah dalam tulisan ini dipakai
Aspek pertama merupakan ranah
dalam arti yang sama dengan istilah hadis kajian Ilmu Dirayah Hadits, dan lebih
sebagaimana dipakai oleh jumhur ulama. khusus lagi kajian Ilmu Takhrij al-
Oleh karena itu adakalnya disebut hadis dan Hadits yang tujuannya adalah untuk
adakalanya disebut sunnah.

1
2 JURNAL ULUNNUHA, Volume 3, Nomor 1, Maret 2014, hlm. 1-10

mengetahui adakah suatu hadis atau dipertanggungjawabkan asal usulnya


sunnah itu termasuk kategori maqbul, (la ashla lahu), alias mawdhu’. Oleh
dapat diterima dan dijadikan hujjah karena itu sebelum berhujjah dengan
(berkualitas shahih atau minimal suatu hadis maka yang pertama sekali
hasan) ataukah termasuk kelompok harus diteliti adalah validitas atau
mardud, ditolak dan tidak dapat kesahihannya. Dengan arti, hanya
dijadikan hujjah (dha’if atau bahkan hadis shahih dan minimal hasan yang
mawdhu’).(Muhammad ‘Ajjaj al- boleh dijadikan hujjah. Hadis dha’if
Khatib, 1981 :19,25) apalagi maudhu’ tidak boleh
dijadikan hujjah sebagaimana yang
Aspek kedua merupakan ranah
diperpegangi oleh jumhur ulama.
kajian Fiqh al-Hadits (metode pema-
haman hadis) dengan seperangkat Aspek kedua sebenarnya
cabang ilmu hadis terkait di merupakan kajian lanjutan dari aspek
dalamnya, yang tujuan bahasannya pertama, namun arti pentingnya juga
ialah bagaimana agar kita dapat tidak kalah dibanding aspek pertama.
memahami makna hadis atau sunnah Sebab, setelah diketahui hadis-hadis
Rasul dengan baik, tepat dan benar. tersebut shahih, lalu persoalan
berikutnya ialah bagaimana harusnya
Kajian aspek pertama me-
memahami pesan-pesan Rasul yang
miliki arti penting karena sedemikian
terkandung di dalam matannya
banyaknya hadis-hadis yang
dengan baik, tepat dan benar. Sebab,
tersimpan dalam kitab-kitab hadis
keliru atau salah memahami hadis
sumber asli (al-mashdar al-ashliy),
akan berakibat salah pula memahami
hanya hadis-hadis yang terdapat
ajaran agama yang dikandungnya
dalam Kitab al-Shahihayn (Shahih al-
(baca: paham dan keyakinan yang
Bukhari dan Shahih Muslim) lah yang
oleh jumhur ulama dipandang sebagai dihasilkan) dan selanjutnya akan
salah pulalah bentuk pengamalannya.
hadis-hadis yang diakui ke
Aspek kedua ini merupakan ranah
shahihannya dan tidak perlu dikaji
kajian Ilmu Fiqh al-Hadits, yakni
ulang. Sedangkan yang terdapat
ilmu yang mengantarkan kita
dalam kitab-kitab selain Kitab al-
bagaimana harusnya memahami
Shahihayn, selain memuat hadis
makna atau memahami maksud yang
shahih dan hasan, juga terdapat
dituju oleh Raulullah yang ter-
banyak hadis dha’if di dalamnya.
kandung dalam matan hadis dengan
Apalagi bila hadis-hadis tersebut
baik dan benar.(Abu Yaser al-Hasan
bukan bersumber dari kitab-kitab
al-‘Ilmiy, 1994: 14)
hadis sumber asli (al-mashdar ghayr
al-ashliy), seperti berasal dari kitab Harus diakui bahwa persoalan
sejarah, kitab tafsir, kitab fiqh, kitab inilah yang banyak dijumpai di
tasawuf dan berbagai cabang ilmu tengah-tengah masyarakat kita
lainnya, di dalamnya banyak dite- sekarang ini. Seperti sering kita
mukan riayat-riwayat Israiliyyat dan dengar para da’i atau muballigh
hadis-hadis yang tidak dapat menyampaikan hadis dengan
Edi Safri, Metode Memahami Sunnah 3

pemahaman yang keliru dan tersalah harus jeli memperhatikan mana yang
bahkan kadangkala saling berten- merupakan tujuan (maqashid) yang
tangan yang cenderung membingung- tidak akan berubah dan dan mana
kan masyarakat. yang merupakan sarana untuk
mencapai tujuan (wasilah) dalam
PROBLEMATIKA suatu hadis. Selain itu, hadis sebagai
PEMAHAMAN HADIS / SUNNAH sumber ajaran agama sampai ke akhir
Pada prinsipnya hadis atau zaman maka maknanya juga harus
sunnah harus dipahami sesuai makna dikembangkan seiring dengan per-
zhahir atau makna mutabadir-nya, kembangan dan kemajuan masya-
yakni makna yang cepat ditangkap rakat. Oleh karena itu untuk dapat
atau makna yang umum dikenal dan memahami hadis dengan baik, tepat
dipahami dari suatu lafaz atau kalimat dan benar perlu diperhatikan metode-
bila diucapkan. Seperti hadis Rasul metode pemahaman hadis yang
ketika beliau menjelaskan hukum air diwariskan para ulama
laut ketika ditanya sahabat, di mana
beliau menjawab: METODE PEMAHAMAN
HADIS/SUNNAH
‫ رواﻩ اﳉـﻤﺎﻋﺔ‬. ‫ﻫﻮ اﻟﻄﻬﻮر ﻣـﺎؤﻩ و اﳊـﻞ ﻣـﻴـﺘـﺘـﻪ‬ 1. Memahami Hadis Berdasarkan
Laut itu suci airnya dan halal Isyarat al-Quran
bangkainya.( 3Muhammad ibn Ismail Hadis sesuai fungsi utamanya sebagai
al-Kahlaniy al-Shan’aniy, tth.:14-15) penjelas (mubayyin) bagi al-Quran
maka hadis tidak boleh menyalahi al-
Dari hadis di atas dapat Quran, dengan arti bahwa makna
dipahami bahwa air laut itu suci lagi yang dipahami dari suatu hadis tidak
mensucikan dan bangkai (ikan) yang boleh berbenturan atau menyalahi,
hidup didalamnya halal meskipun apalagi bertentangan dengan apa
didapat sudah dalam keadaan mati yang sudah ditetapkan oleh ayat al-
(selama layak dikonsumsi) tanpa Quran. Akan tetapi persoalannya
harus disembelih dahulu. tidaklah sesederhana itu karena di
Itulah makna zhahir atau kalangan ulama terdapat perbedaan
makna mutabadir yang dipahami dari pandangan dalam memahami makna
hadis di atas, dan tidak ada persoalan “menyalahi al-Quran” (mukhalif li al-
dengan makna yang dipahami Quran) tersebut dalam kaitannya
tersebut. Akan tetapi problemanya dengan kewenangan hadis untuk men-
ialah bahwa ternyata tidak selamanya takhshish-kan ayat al-Quran. Misal
makna zhahir suatu hadis dapat hadis berikut:
diperpegangi karena adakalanya
makna zhahir tersebut tampak
‫ﻋﻦ اﻟﱪأ اﺑﻦ ﻋﺎذب و اﰉ ﻫـﺮﻳـﺮ ة رﺿﻰ اﷲ‬
menyalahi zhahir al-Quran, atau : ‫ﻋﻨﻬﻤﺎ ان اﻟﻨﱮ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﻗﺎ ل‬
bertentangan dengan hadis lain ‫اﳌـﺴﻠﻢ ﻳﺬﺑـﺢ ﻋـﻠﻰ اﺳـﻢ اﻟﻠـﻪ ﺳـﻤﻰ او ﻟـﻢ‬
(mukhtalif), atau tidak sejalan dengan
prinsip-prinsip pokok ajaran agama. . ‫ﻳـﺴـﻢ‬
Atau dalam matan hadis terdapat Hadis dari al-Barra’ ibn al-‘Azib dan
kata-kata gharib yang memiliki Abu Hurairah ra, bahwa Nabi SAW.
makna tersendiri. Demikian pula Bersabda, “Orang muslim menyem-
4 JURNAL ULUNNUHA, Volume 3, Nomor 1, Maret 2014, hlm. 1-10

belih atas nama Allah baik ia sebut dikecualikan berlakunya (berdasarkan


(nama Allah) ketika menyemblihnya hadis) bagi orang Islam. Sembelihan
atau tidak ia sebut”.(Rif’at Fawziy orang Islam halal meskipun tidak
‘Abdul Muthalib, 1981 : 291) menyebut nama Allah karena yang
diutamakan dalam hal ini adalah
Ulama Ahnaf, demikian juga
akidah islamiyah yang dianutnya.
ulama Malikiyyah menolak hadis ini
karena mereka nilainya menyalahi Perbedaan cara pandang
ayat al-Quran surat al-An’am ayat antara ulama Ahnaf dan Malikiyyah
121: di satu pihak dengan ulama
Syafi’iyyah di pihak lain dalam
‫وﻻ ﺗﺄﻛﻠﻮا ﳑـﺎ ﱂ ﻳﺬﻛـﺮ اﺳـﻢ اﻟﻠـﻪ ﻋﻠﻴـﻪ و اﻧـﻪ‬ memahami hadis-hadis seperti ini
‫ﻟﻔﺴـﻖ‬ menjadi penyebab berbedanya fatwa
fiqh dalam banyak hal di antara
Jangan kamu memakan binatang- mereka.
binatang yang tidak disebut nama
Allah ketika menyembelihnya, 2. Memahami hadis-hadis
sesungguhnya perbuatan demikian mukhtalif
adalah suatu kefasiqan. Hadis-hadis mukhtalif ialah
hadis-hadis yang secara zhahir
Ulama Ahnaf, demikian juga tampak mengandung makna saling
Malikiyyah menyangsikan kesha- berentangan dengan hadis lain, pada
hihan hadis ini karena menurut hal maksud yang dituju sebenarnya
mereka tidak mungkin Rasulullah tidaklah bertentangan karena tidak
akan menyampaikan hadis yang mungkin suatu hadis shahih akan
menyalahi bahkan bertentangan benar-benar bertentangan dengan
dengan al-Quran yang sudah jelas dan hadis shahih lainnya. Untuk mema-
tegas maknanya, sebab hal itu haminya, perlu diperhatikan metode
menyalahi fungsi hadis sebagai pemahaman/penyelesaian hadis-hadis
penjelas al-Quran (al-bayan la mukhtalif yang diwariskan oleh para
yukhalif al-mubayyan) dan itu tidak ulama.
mungkin datang dari Rasulullah.5 Jadi
sembelihan yang tidak menyebut a. Dengan mencermati redaksi matan.
nama Allah ketika menyembelihnya Terlebih dahulu hendaklah dicer-
hukumnya haram meskipun yang mati redaksi matan hadis itu
menyembelihnya orang Islam sendiri karena adakalanya makna
sekalipun, beramal dengan ayat al- zhahir yang tampak bertentangan
Quran di atas. itu hanyalah dari segi bahasa,
seperti di satu pihak datang dengan
Tetapi oleh Imam al-Syafi’iy redaksi (kata-kata) yang bersifat
dan di kalangan ulama Syafi’iyyah umum dan yang lain datang
hadis ini dinilai shahih dan dipahami dengan redaksi (kata-kata) yang
sebagai pen-takhshish bagi ayat yang bermakna khusus. Bila demikian
dipandang umum baik muslim halnya maka pemahamannya
maupun ahl al-kitab. Menurut ulama sesuai kaidah ushul ialah bahwa
Syafi’iyyah, larangan memakan dalil umum di-takhshih-kan
sembelihan yang tidak disebut nama berlakunya dengan dalil yang
Allah dalam ayat di-takhshih-kan atau khusus.
Edi Safri, Metode Memahami Sunnah 5

b. Dengan pemahaman kontekstual ini tampak bertentangan dengan


hadis Ibnu Umar berikiut:
Adakalanya hadis-hadis yang tam-
pak saling bertentangan tersebut :‫ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋـﻤـﺮ رﺿﻰ اﻟﻠـﻪ ﻋﻨﻬـﻤﺎ ﻗﺎل‬
sebenarnya masing-masing memi-
liki konteks yang berbeda. Oleh
‫رﻗـﻴـﺖ ﻋﻠﻰ ﺑﻴﺖ أﺧﱴ ﺣﻔﺼـﺔ ﻓـﺮأﻳﺖ‬
karena itu untuk memahaminya ‫رﺳـﻮل اﻟﻠـﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠـﻪ ﻋﻠﻴـﻪ وﺳﻠـﻢ ﻗﺎﻋـﺪا‬
perlu diperhatikan konteksnya . ‫ﳊـﺎﺟـﺘﻪ ﻣﺴﺘﻘﺒـﻞ اﻟـﺸﺎم ﻣﺴﺘﺪﺑـﺮ اﻟﻘﺒـﻠﺔ‬
masing-masing, dan apabila
masing-masingnya dipahami ‫رواﻩ ﻣﺴـﻠﻢ‬
sesuai konteksnya maka akan Hadis dari Ibnu ‘Umar ra., ia
dtemukanlah pemahaman yang berkata, “ Aku pernah naik ke
tepat, terhindar dari pertentangan atap rumah saudara perempuanku
makna satu dan lainnya. Hafshah, lantas akupun melihat
Konteks yang dimaksud Rasulullah SAW., sedang duduk
ialah peristiwa atau situasi dan buang hajat dengan posisi
kondisi yang melatarbelakngi menghadap ke Syams dan
munculnya hadis tersebut yang membelakangi kiblat. Hadis
lazim disebut dengan sabab wurud riwayat Muslim.
al-hadits. Contoh:
Hadis pertama kata al-
Di satu pihak ditemukan Syafi’iy, muncul ketika Rasulullah
hadis di mana Rasulullah mela- bersama sahabat melihat banyak
rang kita buang hajat menghadap orang buang hajat dengan
atau membelakangi kiblat: bebasnya di padang pasir, tanpa
‫ ﻋﻦ اﻟﻨﱮ ﺻﻠﻰ اﻟﻠـﻪ ﻋﻠﻴـﻪ‬، ‫ﻋﻨﻦ اﰉ ﻫـﺮﻳـﺮة‬ ada pendinding atau pembatasnya,
sementara sebahagian umat me-
‫ إذا ﺟﻠـﺲ اﺣـﺪﻛﻢ ﻋﻠﻰ‬:‫و ﺳﻠـﻢ ﻗﺎل‬ ngerjakan shalat dengan meng-
،‫ﺣـﺎﺟﺘـﻪ ﻓﻼ ﻳﺴﺘﻘﺒـﻞ اﻟﻘﺒـﻠﺔ وﻻ ﻳﺴﺘـﺪ ﺑﺮﻫﺎ‬ hadap ke arah kiblat sehingga
‫رواﻩ ﻣﺴـﻠﻢ‬ sangat mengganggu orang-orang
yang shalat. Oleh karena itu
Hadis dari Abu Hurairah, dari Rasulullah melarang bagi yang
Nabi SW. Beliau bersabda, hendak buang hajat janganlah
“Apabila seseo rang kamu hendak menghadap ke kiblat atau
buang hajat maka janganlah ia membelakanginya.
mengambil posisi mengha dap Sementara dari hadis kedua
atau membelakangi kiblat. Hadis dapat dipahami bahwa kondisinya
riwayat Muslim. berbeda dengan hadis pertama
Berdasarkan makna zhahir karena seperti dikisahkan oleh Ibn
hadis ini akan lahir kesimpulan ‘Umar bahwa Rasulullah buang
pemahaman bahwa terlarang hajat dengan posisi membelakangi
(haram) hukumnya bagi seseorang kiblat bukan di tempat terbuka
buang hajat dengan posisi melainkan di tempat khusus yang
menghadap atau membelakangi terdinding dari pandangan orang
kiblat. Akan tetapi makna zhahir sekitarnya, hanya saja tidak
beratap. Kesimpulan pemahaman
6 JURNAL ULUNNUHA, Volume 3, Nomor 1, Maret 2014, hlm. 1-10

yang dapat diambil ialah bahwa Hadis ini tampak


terlarang buang hajat dengan posisi bertentangan dengan hadis dari
menghadap atau membelakangi Jabir ibn Muth’im:
kiblat manakala di lakukan di
tempat terbuka/tanpa pendinding ‫ﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ اﺑﻦ ﻣﻄﻌـﻢ أن اﻟﻨﱮ ﺻﻠﻰ اﻟﻠـﻪ‬
(sesuai konteks hadis pertama) dan ‫ ﻳﺎ ﺑﲎ ﻋﺒﺪ ﻣﻨﺎف ﻣﻦ‬: ‫ﻋﻠﻴـﻪ و ﺳﻠـﻢ ﻗﺎل‬
tidaklah terlarang bilamana buang ‫وﱃ ﻣﻨـﻜﻢ ﻣﻦ اﻣـﺮ اﻟـﻨﺎس ﺷﻴـﺌﺎ ﻓﻼ ﳝﻨﻌﻦ‬
hajat tersebut di tempat tertutup
atau terdinding dari panangan ‫اﺣﺪ ا ﻃ ﺎف ﺬا اﻟﺒﻴﺖ و ﺻﻠﻰ اي ﺳـﺎﻋﺔ‬
orang sekitar sebagaimana dalam ‫ رواﻩ اﻟﺸﺎﻓﻌﻰ‬,‫ﺷ ـﺄ ﻣﻦ ﻟ ﻴﻞ او ـﺎر‬
hadis kedua.
Hadis dari Jabir ibn Muth’im,
c. Dengan pemahaman tematis bahwa Rasulullah SAW bersabda,
korelatif (mawdhu’iy) “Wahai Bani Abdi Manaf, siapa
Boleh jadi hadis-hadis yang di antara kalian yang menjadi
tampak saling bertentangan pemimpin, maka sekali-kali
tersebut hanyalah sebagian dari janganlah ia melarang seseorang
hadis-hadis yang terkait dalam mengerjakan tawaf atau
satu tema (masalah) yang sama, mengerjakan shalat di Baitullah
yang satu dengan lainnya memiliki ini kapanpun ia mau, baik malam
korelasi saling menjelaskan duduk maupun siang hari. Hadis riwayat
masalah sebenarnya. Oleh karena al-Syafi’iy.
itu dalam memahaminya hadis- Zhahir hadis pertama
hadis tersebut harus dikaji dengan melarang sama sekali mengerjakan
memperhatikan keterkaitannya shalat sesudah shalat Ashar hingga
dengan hadis lain sehingga matahari terbenam dan sesudah
pertentangan yang semula tampak shalat Subuh hingga matahari
dapat dihindarkan. Contoh, terkait terbit, sementara dalam hadis
waktu-waktu terlarang mengerja- kedua tidak ada larangan sama
kan shalat, ditemukan hadis-hadis sekali untk seseorang mengejakan
berikut: shalat kapan saja ia mau malam
‫ﻋﻦ اﰉ ﻫـﺮﻳـﺮة ان رﺳـﻮل اﻟﻠـﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠـﻪ‬ maupun siang. Pertanyaan yang
muncul ialah apakah semua shalat
‫ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﻧـﻬﻰ ﻋﻦ اﻟﺼـﻼة ﺑﻌـﺪ اﻟﻌـﺼـﺮ‬ terlarang mengerjakannnya pada
‫ﺣﱴ ﺗﻐـﺮب اﻟﺸﻤـﺲ و ﻋﻦ اﻟﺼـﻼة ﺑﻌـﺪ‬ dua waktu yang disebut pada hadis
‫رواﻩ اﻟﺸـﺎﻓﻌﻰ‬، ‫اﻟﺼـﺒـﺢ ﺣﱴ ﺗﻄـﻠﻊ اﻟﺸﻤـﺲ‬ pertama? Ataukah hanya shalat-
shalat tertentu saja?.
Hadis dari Abu Hurairah, bahwa Pertama sekali dapat
Rasulullah SAW. Melarang shalat dipahami dari isyarat hadis-hadis
setelah shalat ‘Ashar sampai di atas bahwa shalat yang dilarang
matahari terbenam dan sesudah tentulah shalat sunat, bukan salat
shalat Subuh hingga matahari wajib, sebab dalam hadis petama
terbit. Hadis riwayat al-Syafi’i. Rasul melarang seseorang
mengerjakan shalat sesudah ia
mengerjakan shalat Ashar atau
Edi Safri, Metode Memahami Sunnah 7

sesudah shalat Subuh. Lalu, Shalat dua rakaat apa pula ini ya
apakah semua shalat sunat Qays?, Aku jelaskan bahwa aku
terlarang mengerjakannya pada tadi tidak sempat mengerjakan
dua waktu tersebut?. Dalam shalat sunat fajar dua rakaat
masalah ini ada hadis lain terkait sebelum Subuh. Rasul hanya diam
yang membantu kita dalam saja mendengar penjelasanku.
memahaminya: Hadis riwayat al-Syafi’iy.
Hadis Umm Salamah yang Shalat sunat dua rakaat
menceritakan bahwa suatu ketika sesudah shalat Zuhur dan shalat
Rasulullah pulang setelah Ashar, sunat fajar adalah salat sunat
lantas beliau langsung salat dua muakkad yang dipentingkan oleh
rakaat. Melihat hal itu Umm Rasulullah. Dengan dua hadis
Salamah heran dan berkata, “Ya terakhir dapat dipahami bahwa
Rasulallah, engkau shalat dua larangan shalat sesudah shalat
rakaat yang tak pernah aku melihat Ashar dan sesudah shalat Subuh
sebelumnya?. Rasul menjawab: hanyalah untuk salat-salat sunat
yang ghayru muakkad. Meskipun
‫اﱏ ﻛﻨﺖ أﺻﻠﻰ رﻛﻌﺘﲔ ﺑﻌـﺪاﻟﻈـﻬـﺮ و أﻧﻪ‬ demikian, ulama hanya
‫ﻗـﺪم ﻋﻠﻰ وﻓـﺪ ﺑﲎ ﲤـﻴﻢ أو ﺻـﺪﻗﺔ ﻓﺸﻐﻠﻮﱏ‬ membolehkan hal itu bagi orang-
‫ رواﻩ اﻟـﺸﺎﻓﻌﻰ‬. ‫ ﻓﻬـﻤﺎ ﻫﺘﺎن اﻟﺮﻛﻌﺘﺎن‬،‫ﻋﻨـﻬﺎ‬ orang yang memang telah
membiasakan mengerjakan shalat-
Sesungguhnya aku sebelum ini shalat sunat muakkad tersebut
senantiasa mengerjakan shalat sehingga bila suatu ketika tidak
sunat dua rakaat sesudah shalat sempat melaksanakan di
Zuhur. Tapi tadi aku disibukkan waktunya, boleh ia bayarkan
oleh urusan Bani Tamim dan setelah shalat ‘Ashar (untuk
urusan shadaqah sehingga tidak rawatib ba’da zuhur) dan setelah
sempat melakukannya. Shalat dua subuh (untuk salat sunat fajar).
rakaat ini adalah shalat sunat dua
rakaat sesudah Zohor (yang tidak d. Dengan pendekatan takwil, tarjih
sempat dikerjakan pada dan nasakh.
waktunya). Selanjutnya (bilamana
cara-cara di atas tidak dapat
Hadis Qays, yang
dilakukan) penyelesaian hadis-
mengerjakan shalat sunat dua
hadis mukhtalif dapat dilakukan
rakaat sesudah shalat Subuh yang
dengan pendekatan takwil, yakni
disaksikan oleh Rasulullah.
dengan menakwilkan salah satu di
Selesai ia mengerjakan shalat
antara dua hadis yang tampak
Rasulullah bertanya:
bertentangan tersebut dari makna
‫ﻣﺎ ﻫـﺘﺎن اﻟﺮﻛﻌـﺘـﺎن ﻳﺎ ﻗـﻴﺲ ؟ ﻓـﻘـﻠـﺖ اﱏ ﱂ‬ zhahir kepada makna lain yang
‫ ﻓﺴﻜـﺖ ﻋﲎ‬،‫اﻛـﻦ ﺻﻠﻴـﺖ رﻛﻌﱵ اﻟﻔﺠـﺮ‬ lebih sejalan dengan hadis yang
lainnya dengan catatan makna
‫ رواﻩ‬. ‫رﺳـﻮ ل اﻟﻠـﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠـﻪ ﻋﻠﻴـﻪ وﺳﻠـﻢ‬ yang ditakwilkan harus masih
‫اﻟـﺸﺎﻓﻌﻰ‬ memiliki benang merah dengan
makna zhahir atau makna asalnya.
8 JURNAL ULUNNUHA, Volume 3, Nomor 1, Maret 2014, hlm. 1-10

Apabila tidak mungkin pula saja yang dipilih oleh seseorang untuk
dengan cara takwil dalam rangka diamalkannya maka hal itu boleh dan
menemukan pengompromian ibadahnya sah. Hanya saja kita
maknanya, maka selanjutnya dituntut untuk mengutamakan mana
diterapkan lah pendekatan tarjih yang lebih afdhal untuk dipilih dan
atau nasakh. Sebagaimana diamalkan. Untuk itu pertim-
diketahui dengan pendekatan bangannya adalah dengan memilih
tarjih maka hadis yang dipandang mana di antaranya yang lebih banyak
lebih kuat (rajih) lah yang dipakai atau yang lebih sering diamalkan
sementara yang lemah (marjuh) Rasulullah dan shahabat karena
tidak diamalkan. Atau, bilamana Rasululah dan sahabat biasanya
ada indikasi telah terjadi nasakh, mengamalkan ibadah dalam
maka diselesaikan dengan bentuknya yang utama, kecuali dalam
pendekatan nasakh, yakni dengan hal-hal tertentu.
mengamalkan hadis yang datang
4. Pemahaman hadis substantif
kemudian (nasikh) dan
filosofis
meninggalkan hadis yang datang Ini adalah bentuk pemahaman
lebih dahulu (mansukh). hadis yang bertujuan untuk lebih
mengembangkan makna yang
3. Memahami Hadis-Hadis dikandung hadis. Dengan metode ini
tanawwu’ al-‘Ibadah si pengkaji tidak mencukupkan
Hadis-hadis tanawwu’ al- makna zhahir hadis akan tetapi lebih
‘ibadah ialah hadis-hadis yang jauh ingin menemukan makna yang
menerangkan praktek ibadah tertentu lebih substansial (mendasar) dengan
yang dilakukan atau diajarkan melakukan pembahasan secara
Rasulullah, akan tetapi antara yang filosofis. Dengan menemukan makna
satu dengan yang lain terdapat hadis yang substansial tersebut,
perbedaan versi sehingga selanjutnya maknanya dapat
menggambarkan adanya keberagaman
dikembangkan sesuai cakupan makna
ajaran dalam pelaksanan ibadah yang dijangkaunya. Contoh hadis:
tersebut. Perbedaan atau keberagaman
dimaksud adakalanya menyangkut ‫ﲰﻌﺖ‬: ‫ﻋﻦ أﰉ ﺑـﻜﺮة رﺿﻰ اﻟﻠـﻪ ﻋﻨـﻪ ﻗﺎل‬
tatacara pelaksanaan seperti riwayat- ‫ ﻻ‬: ‫ر ﺳـﻮل اﻟﻠـﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠـﻪ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠـﻢ ﻳﻘﻮل‬
riwayat yang menggambarkan perihal
mengangkat tangan ketika takbiratul ‫ ﻣﺘﻔﻖ‬.‫ﳛـﻜـﻢ اﺣـﺪﻛـﻢ ﺑﲔ اﺛﻨـﲔ وﻫﻮ ﻏﻀـﺒﺎن‬
ihram. Adakalanya pula menyangkut ‫ﻋﻠﻴـﻪ‬
bacaan yang dibaca seperti
beragamnya do’a iftitah, atau Hadis dari Abu Bakrah ra., ia
beragamnya jenis bacaan tasyahhud berkata, Aku dengar Rasulullah
yang boleh dibaca. SAW., bersabda, “Janganlah
seseorang kamu menghukum /
Menanggapi hadis-hadis memutus perkara di antara dua orang
tanawwu’ al-‘ibadah ini, yang yang bersengketa sedang ia dalam
pertama sekali harus diperhatikan keadaan marah. Hadis muttafaq
adalah keshahihan hadis-hadis ‘alaih.
tersebut. Apabila semuanya sama-
sama shahih maka itu berarti mana
Edi Safri, Metode Memahami Sunnah 9

Makna zhahir hadis di atas mencapai tujuan tersebut. Contoh,


menunjukkan terlarang (haram) hadis tentang bersiwak:
seseorang hakim memutus perkara
bilamana ia dalam keadaan marah ‫ﻋﻦ اﰉ ﻫـﺮﻳـﺮة رﺿﻰ اﻟﻠـﻪ ﻋـﻨـﻪ ﻋﻦ اﻟﻨﱮ ﺻﻠﻰ‬
sesuai makna asal ghadhban adalah ‫ ﻟﻮﻻ ان أﺷﻖ ﻋﻠﻰ‬: ‫اﻟﻠـﻪ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ اﻧﻪ ﻗﺎل‬
marah. Pemahaman substantif ‫ رواﻩ‬. ‫اﻣﺘ ـﻰ ﻷﻣ ـﺮﻢ ﺑﺎﻟﺴـﻮاك ﻣـﻊ ﻛـﻞ ﺻـﻼة‬
filosofis memandang makna yang
lebih mendasar dari hadis di atas ‫ﻣﺎﻟﻚ و اﲪـﺪ‬
adalah larangan memutus perkara Hadis dari Abu Hurairah ra.,
bagi hakim bilamana ia berada dalam bahwasanya Rasulullah SAW.
kondisi mental yang tidak stabil Bersabda: Kalaulah tidak akan
sehingga tidak bisa berfikir dengan memberatkan atas umatku, niscaya
tenang dan objektif. Ghadhban atau aku suruh mereka bersiwak setiap
marah hanyalah salah satu bentuk kali berwudhu’(hendak shalat). Hadis
manifestasi kondisi mental yang tidak riwayat Imam Malik dan Ahmad.
stabil, yakni dipengaruhi oleh emosi
marah. Makna yang lebih luas dari Siwak adalah sejenis kayu
hadis di atas ialah larangan bagi yang agak lembut, yang digunakan
hakim memutus perkara bilamana ia oleh orang-orang di zaman Rasulullah
dalam keadaan mental yang tidak dahulu untuk menggosok gigi
stabil, baik karena emosi marah, atau sehingga bersiwak dipahami sebagai
larut kesedihan, atau pikirannya menggosok gigi dengan
terganggu karena dipengaruhi oleh menggunakan kayu siwak. Pertanyaan
hal-hal lain yang menyebabkannya yang muncul ialah apakah yang
tidak dapat berpikir secara objektif, dimaksud oleh Rasulullah dalam
maka semua terlarang mengadili dan pesan beliau dalam hadis di atas
memutus perkara. adalah bersiwak,yakni menggosok
gigi dengan menggunakan kayu siwak
5. Membedakan mana yang sarana tersebut ataukah yang dituju
dan mana tujuan sebenarnya ialah himbauan kepada
Dalam rangka pengembangan umat agar setiap kali berwuduk
makna hadis, diperlukan kejelian membiasakan diri membersihkan gigi
dalam memahami kandungan dan mulut sehingga terbebas dari
maknanya seperti mampu aroma/bau yang tidak sedap dan
membedakan mana-mana yang demi menjaga kebersihan mulut itu
merupakan maqashid (tujuan) yang sendiri. Kita yakin yang terakhir
sifatnya tetap dan mana-mana yang inilah sebenarnya yang dituju
merupakan wasilah (sarana atau alat) (maksud) hadis, sedang pengunaan
untuk mencapai tujuan. Hal-hal yang kayu siwak hanyalah sebagai alat
merupakan wasilah ini sifatnya tidak untuk mencapai tujuan tersebut.
tetap, bisa berubah dan bisa Dengan memandang siwak hanyalah
dikembangkan mengikuti kemajuan sebagai alat (sarana) maka sekarang
zaman. Hikmahnya adalah bahwa banyak sarana yang lebih efektif yang
umat Islam dapat memilih mana dapat kita gunakan untuk mencapai
sarana yang lebih efektif untuk tujuan tersebut selama terbuat dari
bahan-bahan yang halal. Kita pun
10 JURNAL ULUNNUHA, Volume 3, Nomor 1, Maret 2014, hlm. 1-10

yakni bahwa dengan menggunakan efektif tersebut juga termasuk


sarana baru yang lebih baik/lebih pengamalan sunnah Nabi SAW.

REFERENSI
Muhammad ibn Ismail al-Kahlaniy
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul
al-Shan’aniy, Subul al-Salam,
al-Hadits, ‘Ulumuh wa
Dahlan, Bandung, tth., jilid I,
Mushthalahuh, Dar al-Fikr,
Beirut, 1981 Rif’at Fawziy ‘Abdul Muthalib,
Tawtsiq al-Sunnah fiy al-
Abu Yaser al-Hasan al-‘Ilmiy, Fiqh
Qarn al-Tsaniy al-Hijriy
al-Sunnah al-Nabawiyah
Ususuh wa Ittijahatuh,
Dirayat wa Tanzila, Disertasi
Maktabah al-Khanijiy, Mesir,
Doktor, Al-Azhar, 1994
cet. I, 1981
(naskah tidak diterbitkan

Anda mungkin juga menyukai