Anda di halaman 1dari 8

HUMANISME SEBAGAI PRINSIP PENDIDIKAN MENURUT DRIYARKARA

Prof. Dr. Sastrapratedja, SJ

Setiap bangsa, setiap masyarakat, setiap kebudayaan membutuhkan suatu


pembaharuan, agar dapat bertahan hidup. Demikian juga dengan pendidikan,
membutuhkan suatu renaissance atau menurut filsuf M. Heidegger, suatu
geistige renewal.(1) Bagaimana hal ini dapat dilakukan? Menurut pendapat saya
kita harus kembali kepada Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila seraya menatap
ke depan menghadapi tantangan jaman. Dalam Pembukaan UUD 1945 itu
pendidikan itu merupakan salah satu tujuan dibentuknya Pemerintah Negara
Indonesia dan dirumuskan sebagai “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Pancasila
sebagai Dasar Negara harus pula melandasi pendidikan. Hanya bangsa yang
cerdas yang akan mampu menghadapi tantangan jaman dan globalisasi.
Pembukaan UUD itu merumuskan tujuan pendidikan yang melampaui sekat-
sekat agama, suku dan ras, menempatkan pendidikan dalam kehidupan bangsa,
bukan golongan dan kelompok apapun. Yang harus menjadi cerdas adalah
kehidupan bangsa dalam segala dimensinya, politik, kultural dan ekonomi. Lebih
lanjut pendidikan harus berlandaskan Pancasila.

Dalam konteks itulah kita membaca kembali karya-karya Prof. Dr. N. Driyarkara,
yang dapat dirumuskan dalam empat prinsip pendidikan ialah: humanisme,
humanisasi, humaniora dan humanitas.

A. Humanisme Sebagai Filsafat Pendidikan

Humanisme memiliki bermacam-macam arti.Tetapi disini dengan humanisme


dimaksudkan suatu visi yang melihat manusia sebagai yang bermartabat dan
luhur. Driyarkara tidak bertitik tolak dari cogito ergo sum Descartes dan tidak
pula dari definisi filsafat Yunani Kuno animal rationale, melainkan manusia
sebagai “berada-di-dunia”. Manusia hanya menjadi manusia dengan berinteraksi
dengan sesamanya dan dengan alam semesta. Manusia mengubah relasi
alamiahnya dengan sesamanya menjadi komunitas yang disebut bangsa dan
negara. Selanjutnya manusia mengubah dunianya, memberi arti-arti pada
dunianya, sehingga terintegrasi dengan dirinya menjadi dunia manusia,
terutama melalui ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam konteks inilah
“negara” dan “bangsa” dilihat sebagai ciptaan budaya. Karena hal itu merupakan
proses, maka Driyarkara mengatakan: manusia “menegara”. Tidak hanya itu,
manusia mengorganisir dunianya melalui simbolisasi sehingga mengubah khaos
menjadi kosmos yang layak dihuni. Manusia mengatasi keterbatasan dirinya
melalui penciptaan ilmu dan teknologi serta simbol-simbol. Dengan demikian ia
mengatasi kecemasan fundamentalnya. Sebagaimana Nietzsche mengatakan
ilmu pengetahuan dan teknologi adalah manifestasi will to power, kehendak
untuk berkuasa. Kehendak untuk berkuasa bila tidak terkendali akan
menciptakan malapetaka, sebut saja kerusakan alam oleh Lapindo, pemanasan
bumi, deforestasi, pencemaran udara dan laut. Oleh karena itu, manusia
membutuhkan pendidikan agar dengan cerdas dapat merawat dirinya dan
dunianya. Maka humanisme klasik yang menekankan “pengendalian-diri” dan
“penguasaan-diri” tidak bertentangan dengan humanisme kontemporer. Gairah,
emosi, kecenderungan tidak harus direpresi, tetapi diatur dan dikendalikan
sehingga bisa diekspresikan dengan baik, bahkan dengan indah dalam
kesantunan dan kesenian. Mesu budi, mesu salira, dalam asketisme Jawa tetap
relevan dalam budaya konsumeristik dan hedonistik. Perlu diingat bahwa
asketisme tidak menghapus kebebasan, tetapi memberi makna pada kebebasan
sebagai aktualisasi eksistensinya.

Pendidikan oleh humanisme dilihat sebagai penyempurnaan diri manusia, maka


juga merupakan proses pemberadaban. Driyarkara membedakan dua fase
perkembangan diri manusia. Tahap pertama disebut hominisasi, yaitu proses
perkembangan “menjadi manusia” yang mencapai kedewasaan fisik dan
psikologis. Sesudah itu perkembangan meningkat menjadi humanisasi. Dalam
proses ini pendidikan menjadi aktivitas yang menentukan yang oleh Driyarkara
dianggap sebagai proses fundamental, karena keluar dari hakekat manusia
sendiri. “Bagaimanapun juga, humanismus atau humanisme selalu berarti
perkembangan yang lebih tinggi, diatas tingkat minimal. Tingkat yang minimal
itulah yang kita sebut hominisasi, sedang tingkat yang lebih sempurna kita beri
nama humanisasi.” (Karya Lengkap: 368-369).

B. Humanisasi Sebagai Proses Pendidikan

Kalau humanisme merupakan visi menyeluruh tentang pendidikan, visi itu harus
dikonkritkan dalam suatu kegiatan. Visi humanisme itu melihat pendidikan
bertujuan menyempurnakan kemanusiaan. Tujuan itu harus dicapai melalui
proses yang manusiawi pula, yaitu humanisasi, yang dengan sendirinya
mengimplikasikan hominisasi. “Manusia tidak hanya harus menjadi homo
(manusia): dia juga harus menjadi homo yang human, artinya berkebudayaan
lebih tinggi. Ini juga memuat perhalusan.” (Karya Lengkap: 371). Itulah
pendidikan. Apakah implikasi dari pendidikan sebagai hominisasi dan
humanisasi itu?

Mendidik adalah suatu tindakan yang fundamental, yang bukan perbuatan


dangkal. Maka perbuatan itu didasari oleh kehendak, yang melahirkan cinta dari
pendidik kepada “subjek-yang-sedang menjadi”.
Pendidikan harus bersifat dialogis, suatu relasi antara subjek dengan subjek.
Menurut Paulo Freire pendidikan adalah relasi subjek dengan subjek yang
bersama-sama menangani dunia dan menamai dunia. “Menangani dunia” artinya
mengolah dan merawat dunia; “menamai dunia” artinya memberi arti-arti pada
dunianya dan mengintegrasikannya dengan dirinya. Segala persoalan ekologis
dewasa ini disebabkan karena manusia mengubah atau memanfaatkan dunia
tanpa merawatnya. Manusia dikuasai oleh teknologi, bukan menguasai teknologi,
yaitu menjadikan segala bentuk teknologi mempunyai arti bagi dirinya.
Pendidikan mencakup pendidikan nilai. “Mendidik berarti memasukkan anak ke
dalam alam nilai-nilai, atau juga memasukkan dunia nilai-nilai ke dalam jiwa
anak.” (Karya Lengkap: 408). Oleh karena itu pendidikan tidak pernah netral.
Orientasi dalam pendidikan nilai itu adalah nilai-nilai Pancasila:
a. Nilai pertama ialah bahwa pendidikan haruslah memperlakukan manusia
dengan hormat, karena menurut keyakinan religius manusia adalah makhluk
ciptaan Tuhan yang tertinggi di antara ciptaan lain di dunia.
b. Nilai kedua ialah bahwa pendidikan harus bersifat manusiawi. lni
mengandung berbagai asumsi dan implikasi. Dasar dari setiap perlakuan yang
manusiawi adalah perlakuan terhadap manusia sebagai pribadi (persona) atau
sebagai subjek. Inilah maksud dari istilah “manusia seutuhnya”, artinya manusia
sebagai subjek. Ia tidak boleh diciutkan menjadi objek atau alat guna mencapai
tujuan tertentu, tetapi justru ia menjadi tujuan.
c. Nilai ketiga adalah nasionalisme, mencintai tanah air. Ini berarti menempatkan
kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan diri atau kelompok yang
sempit. Terkandung pula nilai kesatuan yang mengatasi fragmentasi.
d. Nilai keempat adalah demokratis. Demokrasi mengandaikan bahwa ada
penghargaan terhadap manusia yang sama. Setiap warga negara memiliki hak
untuk ikut serta menentukan kebijakan-kebijakan yang menentukan nasibnya.
Pengembangan demokrasi haruslah dimulai sedini mungkin, khususnya dalam
pendidikan. Kendala budaya untuk mengembangkan demokrasi yang menjadi
masalah dalam setiap pembangunan politik adalah bagaimana menciptakan etos
yang akan mendorong kemandirian individu dan membantu setiap warga negara
untuk melihat dirinya sebagai partisipan politik.
e. Nilai kelima adalah keadilan sosial. Pendidikan sebagai jalur pengembangan
diri manusia haruslah menjadi pendidikan untuk keadilan, “education for
justice” dan sekaligus menjadi perwujudan dari keadilan sosial. Keadilan sosial
merupakan dorongan permanen dalam sejarah bangsa manusia. Manusia hanya
dapat merealisir dirinya sebagai manusia kalau haknya yang fundamental, ialah
keadilan sosial tercapai. Keadilan sosial bukan hanya soal keutamaan yang
dimiliki oleh individu, tetapi keadilan sosial adalah soal penciptaan tatanan yang
mencakup bidang sosial, politik dan ekonomis.
4. Pendidikan mencakup pendidikan politik. Agar tercipta suatu kehidupan
politik yang manusiawi, maka pendidikan harus mencakup pendidikan politik.
Ini ditekankan Driyarkara dalam berbagai pembahasan, seperti tentang
kesosialan manusia, kemerdekaan, Pancasila, kepribadian nasional (Karya
Lengkap, 57-97; 321-345; 599-646; 651-704; 831-959). Pendidikan politik pada
dasarnya bertujuan memberdayakan (empowering) warganegara agar mampu
berpartisipasi secara konstruktif dalam membangun kehidupan bernegara dan
berbangsa. Dengan perkataan lain tujuan pendidikan politik adalah menciptakan
di kalangan warganegara nilai-nilai politik yang akhirnya menjadi budaya politik.
Pendidikan politik merupakan sosialisasi nilai-nilai dasar dalam kehidupan
bernegara dan berbangsa. Maka tiga proses saling berkaitan: pendidikan politik,
budaya politik dan sosialisasi.
Cakupan pendidikan politik dapat digambarkan sebagai berikut:

Pendidikan HAM/
kewarganegaraanPartisipasi sebagai warganegara

yang efektif Mempertahankan dan

memperkuat demokrasi Membangun identitas nasional


dan budaya politik Indonesia Pengembangan kemampuan dasar

(Political literacy)Belajar menjadi

Indonesia

Pembentukan Negara Republik Indonesia dan pembangunan bangsa (nation-


building) merupakan proses yang belum selesai, maka masyarakat Indonesia
terus menerus “belajar menjadi Indonesia”. Driyarkara mengatakan kita
“menegara”. Proses tersebut oleh Clifford Geertz disebut sebagai “integrative
revolution“. Negara dan Bangsa Indonesia terdiri dari kesatuan kelompok-
kelompok etnis, yang berbeda satu sama lain dalam bahasa, agama, adat istiadat
dan berbagai sistem simbol. Kelompok-kelompok itu memperluas ikatan
primordialnya dan mengikatkan diri pada komunitas yang lebih besar
lingkupnya yaitu Negara dan Bangsa Indonesia. Terbentuknya Negara dan
Bangsa Indonesia membawa serta institusi, nilai-nilai, hak dan kewajiban serta
wawasan yang baru. Masyarakat Indonesia yang majemuk itu harus difasilitasi
untuk mengenal semuanya. Itu dapat disebut sebagai pendidikan politik.
Masyarakat perlu belajar bagaimana menjadikan dirinya tidak hanya
mengetahui apa itu artinya negara dan bangsa tetapi juga efektif dalam
kehidupan publik melalui pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai baru yang
dapat disebut “political literacy“. Pembentukan Negara dan Bangsa Indonesia
serta keanggotaan didalamnya membawa serta suatu perubahan identitas baru,
yang disebut identitas nasional. Identitas nasional bukan hanya ekspresi politis,
tetapi juga suatu sistem representasi budaya, dimana warganegara
berpartisipasi dalam realitas nyata dan di dalam idea bangsa. Dengan demikian
pembentukan identitas diri bangsa mencakup sosialisasi nilai-nilai Pancasila
menjadi karakter bangsa, yang mampu menghargai perbedaan keyakinan,
manusiawi dan santun, mencintai tanah airnya dan berempati kepada sesama,
demokratis, dan adil. Unsur ketiga dari pendidikan politik adalah pendidikan
demokrasi. Ada tiga pengertian dari demokrasi. Pertama, demokrasi merupakan
suatu sistem pemerintahan dimana rakyat berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan yang akan menentukan hidup mereka. Dalam kebanyakan negara
modern hal ini dilakukan melalui perwakilan. Untuk itu dibutuhkan berbagai
prosedur. Demokrasi dalam arti ini adalah prosedur untuk mewujudkan sistem
pemerintahan yang demokratis (persamaan, akuntabilitas, checks and balances
dll). Prosedur itu misalnya pemilihan umum dan syarat-syaratnya, penyampaian
suara atau pendapat konstituen atau rakyat. Akhirnya demokrasi juga
merupakan suatu budaya. Demokrasi sebagai budaya menyebar ke berbagai
institusi: keluarga, lembaga pendidikan, organisasi, partai politik. Semuanya
menuntut agar setiap anggota ikut menentukan institusi atau organisasi
tersebut. Mengandaikan dihormatinya HAM, pendidikan HAM dan hak-hak sipil
menjadi penting karena (1) HAM itu melekat dalam diri manusia sebagai
manusia; (2) hak-hak sipil melekat dalam statusnya sebagai warganegara; (3)
negara bertugas melindungi dan membantu perwujudan hak-hak warganya.
Pendidikan HAM dan hak-hak sipil merupakan bagian dari pendidikan politik.
C. Humaniora Sebagai Sarana Menghumanisasikan Pengajaran
1. Arti humaniora
Humaniora disini dimaksudkan dalam dua arti; yaitu pertama, sekumpulan ilmu-
ilmu kemanusiaan seperti filsafat, sejarah, ilmu-ilmu bahasa. Kedua, cara
pengajaran yang mencoba mengangkat unsur-unsur pemanusiaan dalam
pengajaran. Driyarkara merumuskan dalam 13 dalil diikuti penjelasan (Karya
Lengkap, 420-465). Gagasan itu kami tuangkan dalam skema sebagai berikut dan
kami pilih dalil X sampai XIII:

Mata pelajaran Fungsi humanisasi


1. Mata pelajaran pada umumnya
Membantu manusia muda menyelami dunianya, sehingga membantu menjadi
manusia
2. Mata pelajaran kebudayaan
Membantu manusia muda dalam memasuki alam kebudayaan (dalam arti
filosofis di atas)
3. Mata pelajaran sosial
Membantu manusia muda untuk melihat dunianya sebagai Mit-Welt dan dirinya
sebagai Mit-Sein
4. Mata pelajaran eksakta
Membantu manusia muda dalam proses penyelaman dan penguasaan alam
jasmani
Dasar pemikiran Driyarkara sejalan dengan pemikiran filsuf kontemporer J.
Habermas. Ia menyatakan bahwa jenis-jenis ilmu pengetahuan memiliki dasar
antropologis yang disebut kepentingan manusia. Pertama, manusia memiliki
kepentingan teknis yaitu menguasai lingkungannya. Itu melahirkan ilmu-ilmu
alam. Driyarkara menyebut ilmu-ilmu eksakta yang bertujuan menyelami dan
menguasai dunia fisik. Di Indonesia dirasakan betapa sulit mengajarkan ilmu
fisika dan matematika, karena kesadaran antropologis sebagai manusia yang
berada dan berpartisipasi dalam alam semesta kurang dihayati. Manusia
menurut Driyarkara, hanya menjadi manusia dengan “mendunia atau
menduniakan material, termasuk dirinya”. (Karya Lengkap, 719). Kedua,
manusia memiliki kepentingan praktis (dari kata praxis, hubungan antar
manusia atau kepentingan komunikasi; baik antar manusia sekarang, maupun
antara manusia masa kini dengan manusia lalu melalui interpretasi atau
hermeneutika teks, yang menjadikan teks kontemporer dengan kita sekarang).
Ketiga, manusia memiliki kepentingan untuk bebas dari segala belenggu yang
mengikatnya melalui pemikiran kritis. Driyarkara menyebut pendidikan atau
kebudayaan sebagai liberalisasi (Karya Lengkap, 705-730) atau pemerdekaan.
Dengan demikian Driyarkara selalu berusaha melihat dasar antropologi
pendidikan. Tidak hanya pendidik perlu melihatnya, tetapi juga peserta didik
perlu menyadarinya melalui refleksi. Semuanya itu dilaksanakan dari fenomena
kepada esensi atau dari esensi kepada fenomena.

2. Humanisasi pengajaran mengimplikasikan pengembangan rasionalitas


manusia secara utuh. Pada masa sekarang yang ditekankan adalah rasionalitas
instrumental termasuk pembaharuan pendidikan yang memberi perhatian
kepada administrasi, teknologi pendidikan dan efisiensi sebagai kriteria
perubahan dan kemajuan. Tuntutan administratif yang tidak meningkatkan
kualitas pendidikan semakin hari semakin banyak. Pengajaran melalui
humaniora akan menekankan penajaman rasionalitas manusia seperti terungkap
misalnya dalam suatu pernyataan dan didalamnya telah termuat prinsip-prinsip
etis yang harus dieksplisitasikan dan dipelihara. Hal ini dengan seksama
dilakukan oleh Bernard Lonergan(2) yang telah saya kemukakan dalam berbagai
kesempatan:
Belajar pada akhirnya adalah belajar menjadi dirinya sendiri. Belajar adalah
suatu yang kita lakukan dalam diri kita dan bagi diri kita dalam kebebasan yang
disadari. Ada empat imperatif etis pendidikan.

a. “Be attentive“. Perhatian (attention) adalah tindakan sadar untuk


memperhatikan apa yang ada di sana. Ini berarti mengamati realita sebagaimana
adanya. Menangkap pengalaman kita secara jernih dan tepat. Kata Lonergan:
“Lihatlah dari dekat, sehingga kamu bisa belajar” (cognitional self-
appropriation).
b. “Be intelligent“. Perintah ini menyuruh kita untuk memahami pola
pengalaman kita atau keseluruhan hidup kita dalam konteks sekeliling kita,
sehingga menjadi bermakna. Dalam praktek, ini berarti menggenggam
keseluruhan tanpa terhalang oleh detail. “Pahamilah secara penuh, sehingga
kamu bisa belajar” (metaphysical self-appropriation).
c. “Be reasonable“. Ini mengimplikasikan mencapai suatu evaluasi tertentu
tentang apa yang perlu kita putuskan melalui suatu penilaian kritis dari pilihan-
pilihan yang terjadi. “Tafsirkanlah secara hati-hati, sehingga kamu dapat belajar”
(hermeneutical self-appropriation).
d. “Be responsible“. Perintah terakhir ini menyempurnakan gerak dari imperatif
lainnya. Sementara tanggung jawab atas tindakan seseorang merupakan hakekat
martabat manusia, tetapi hal ini pada akhirnya terorientasi pada dan
disempurnakan pada tanggung jawab kita pada orang lain. “Bertindaklah secara
benar, agar kamu bisa belajar (ethical self-appropriation)”. Di sini apropriasi-diri
adalah proses mengintegrasikan pengetahuan bagi perkembangan sosial.
3. Pendidikan yang memanusiawikan akan:
a. Membantu siswa mengembangkan gambaran-diri yang positif atau rasa harga-
diri, bahwa dirinya layak, penting, diterima dan mampu. Semuanya ini
merupakan prakondisi untuk menumbuhkan kepercayaan akan kemampuannya
untuk menghayati hidup yang berkualitas dan bermakna.
b. Mengembangkan inteligensi emosional dan kemampuannya untuk empati,
ugahari dan penguasaan-diri.
c. Mengembangkan keutamaan intelektual, kemampuan kritis dan reflektif,
penilaian yang sehat, imaginasi kreatif, dan kepekaan akan nilai.
D. Humanitas Integral Sebagai Tujuan Akhir Pendidikan
Humanisme sebagai visi pendidikan yang dikembangkan Driyarkara pada
akhirnya bermuara pada kemanusiaan integral atau utuh yang terus menerus
harus disempurnakan. Inilah humanisme baru yang bercirikan:

1. Memiliki kepekaan budaya (cultural sensibility) yang diwujudkan dalam


menghargai pluralisme dan multikulturalisme.
2. Memperhatikan tantangan sejarah (historically attentive) yang terus berubah.
3. Mampu memprakarsai berbagai terobosan dan inovasi serta menemukan
makna baru dalam berbagai dimensi kehidupan (philosophically creative).
4. Memiliki keunggulan akademik dan sekaligus memiliki kepedulian kepada
keadilan dan ketidakadilan (academic excellence and sensitivity to justice and
injustice).(3)
Universitas yang sudah berusia lebih dari satu millenium, ataupun institusi
pendidikan lainnya merupakan tempat bagi pembangunan humanisme baru,
dimana manusia mengalami transformasi eksistensinya, sumber dinamisme dan
kreativitas baru dan pertanyaan radikal.(4)

Catatan:

(1) Alan Milchman and Alan Rosenberg, “Martin Heidegger and the University as
a Site for the Transformation of Human Existence”, The Review of Politics 59
(Winter 1997), No. 1, 78-79.
(2) Permasalahan ini dikemukakan oleh Alison Mearns Benders, “Renewing the
Identity of Catholic Colleges: Implementing Lonergan’s Method in Education”,
Teaching Theology and Religion, 10 (2007), No. 4, 215-222. Mengenai kajian
lebih lanjut B. Lonergan, Insight. A Study of Human Understanding. San
Francisco: Harper & Row, 1978. B. Lonergan, Method in Theology. New York:
Seabury Press, 1979.
(3) Lihat, Jeffrey Centeno, “Learning-to-Be: Reflections on Bernard Lonergan’s
Transcendental Philosophy of Education”, http://www.metanexus.net.
(4) Alan Milchman and Alan Rosenberg, “Martin Heidegger and the University as
a Site for the Transformation of Human Existence”, The Review of Politics 59
(Winter 1997), No. 1, 78-79.
Daftar Kepustakaan

Driyarkara, N., Karya Lengkap Driyarkara. Esai-Esai Filsafat Pemikir yang


Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. Penyunting: A. Sudiarja, G. Budi
Subanar, St. Sunardi, T. Sarkim. Jakarta: Gramedia, 2006.

Nemiroff, G.H., Reconstructing Education Toward a Pedagogy of Critical


Humanism. New York: Bergin & Garvey, 1992.

Nussbaum, M.C., Cultivating Humanity. A Classical Defense of Reform in Liberal


Education. Cambridge: Harvard University Press, 2000.

Sastrapratedja, M., Pendidikan sebagai Humanisasi. Yogyakarta: Penerbitan


Universitas Sanata Dharma, 2001.

_____, “Pendidikan Humaniora untuk Membangun Humanisme Baru”. (artikel


yang akan terbit dalam Festschrift untuk Prof. Dr. H.A.R. Tilaar).

_____, “Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Pendidikan Politik”. Ceramah di


Lemhanas, 16 April 2012.
Veugelers, Wiel, Education and Humanism. Linking Autonomy and Humanity.
Rotterdam: Sense Publishers, 2010.

Wear, Delese and Bickel, Janet, Educating for Professionalism. Creating Culture of
Humanism in Medical Education. Iowa: University of Iowa Press, 2000.

Anda mungkin juga menyukai