Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH

METODOLOGI PENELITIAN

WAWANCARA DAN OBSERVASI

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 13

1. SILVY WAHYU FRADINI ( A1C117023 )


2. YULI ASRIANI (A1C117039)
3. HANNA SALWA PUTRI (A1C1170 )

DOSEN PENGAMPU :

1. Dra. Yusnidar, M.Pd


2. M. Haris Effendi HSB, S.Pd., M.Si., Ph.D

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA

PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS JAMBI

2019
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 latar Belakang


Dalam teknik penggumpulan data dalam penelitian dapat dilakukan dengan interview
(wawancara), kuesioner (angket), observasi (pengamatan), dan penggabungan ketiganya.
Dalam makalah ini, pemateri mengfokuskan pembahasan teknik-teknik yang digunakan
dalam penelitian yaitu wawancara dan observasi.
Kualitas data ditentukan oleh kualitas alat pengambil data atau alat pengukurnya. Jika
alat pengambil datanya cukup relibel dan valid, tentu datanya juga akan relibel dan valid.
Pada umumnya, setiap alat alat atau metode pengambilan data mempunyai panduan
pelaksanaan . panduan ini harus sejak awal dipahami oleh peneliti. Namun bila pengambilan
datanya dilakukan oleh orang lain, peneliti harus mempunyai cara untuk memperoleh
keyakinan bahwa pengalaman data itu telah dilaksanakan menurut prosedur yang seharusnya.
Dalam proses pengambilan data, maka pengumpulan data dapat menggunakan sumber
primer dan sumber sekunder. Sumber primer merupakan sumber data yang langsung
memberikan data kepada pengumpul data, dan suber sekunder merupakan suber yang tidak
langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat
dokumen.
Pada dewasa ini masih banyak dari kalangan mahasiswa maupun masyarakat umum
tentang perbedaan dan penggunaan pengumpulan data dengan cara wawancara dan observasi
meskipun pada umumnya dua kata tersebut tidak asing lagi di telinga kita.
Olehnya itu, penulis dalam makalah ini menarik suatu kesimpulan bahwa perlu adalah
penyelasan yang lebih lanjut tentang teknik pengumpulan data dengan cara wawancara dan
observasi.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah pada makalah ini sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan wawancara?
2. Apa saja hal-hal yang perlu diperhatikan dalam wawancara?
3. Bagaimana bentuk-bentuk wawancara?
4. Bagaiman bentuk-bentuk pertanyaan dalam wawancara?
5. Bagaimana langkah-langkah penyusunan wawancara?
6. Apa saja kelebihan dan kelemahan wawancara?
7. Apa yang dimaksud dengan observasi?
8. Apa tujuan dilakukannya observasi?
9. Bagaimana karakteristik suatu observasi?
10. Apa saja hal-hal yang perlu diperhatikan dalam observasi?
11. Bagaimana metode dalam observasi?
12. Apa saja jenis-jenis observasi?
13. Bagaimana tahapan dalam observasi?
14. Apa saja kelebihan dan kelemahan observasi?

1.3 Tujuan Makalah


Adapun tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut:
1. Dapat mengetahui pengertian wawancara
2. Dapat mengetahui hal-hal apa yang perlu diperhatikan dalam wawancara
3. Dapat mengetahui bentuk-bentuk wawancara
4. Dapat mengetahui bentuk-bentuk pertanyaan dalam wawancara
5. Dapat mengetahui langkah-langkah penyusunan wawancara
6. Dapat mengetahui kelebihan dan kelemahan wawancara
7. Dapat mengetahui pengertian observasi
8. Dapat mengetahui tujuan dilakukannya observasi
9. Dapat mengetahui karakteristik suatu observasi
10.Dapat mengetahui hal-hal yang perlu diperhatikan dalam observasi
11.Dapat mengetahui metode dalam observasi
12.Dapat mengetahui jenis-jenis observasi
13.Dapat mengetahui tahapan dalam observasi
14.Dapat mengetahui kelebihan dan kelemahan observasi
BAB II
PEMBAHASAN

Instrumen pengumpulan data adalah alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh
peneliti dalam kegiatannya mengumpulkan agar kegiatan tersebut menjadi sistematis dan
dipermudah olehnya (Suharsimi,2004). Selanjutnya instrumen yang diartikan sebagai alat
bantu merupakan saran yang dapat diwujudkan dalam benda (Sudaryono,2013).

Pengumpulan data dapat dilakukan dalam berbagai setting, berbagai sumber, dan
berbagai cara. Bila dilihat dari settingnya, data dapat dikumpulkan pada setting alamiah
(Natural setting), pada laboratorium dengan metode eksperimen, dirumah dengan berbagai
responden, pada suatu seminar, diskusi, dijalan dan lain-lain. Bila dilihat dari sumber datanya
maka pengumpulan data dapat menggunakan sumber primer dan sumber sekunder. Sumber
primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data, dan
sumber sekunder adalah sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul
data, mislanya lewat orang lain ataupun lewat dokumen. Selanjutnya bila dilihat dari segi
cara atau teknik pengumpulan data, maka teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan
observasi (pengamatan), interview (wawancara), kuesioner (angket), dokumentasi dan
gabungan keempatnya.

Bermacam-macam teknik pengumpulan data ditunjukkan pada gambar 12.1 berikut.


Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa secara umum terdapat empat macam teknik
pengumpulan data, yaitu observasi, wawancara, dokumentasi dan gabungan/triangulasi.

WAWANCARA

2.1 Pengertian wawancara

Esterberg (2002) mendefinisikan interviewsebagai berikut. “a meeting of two persons to


exchange information and idea through question and responses, resulting in
communication and joint construction of meaning about a particular topic.” Wawancara
merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab,
sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu.

Susan Stainback (1988) mengemukakan bahwa: interviewing provide the reseachers a


means to gain a deeper understanding of how the participant interpret a situasion or
phenomenon than can be gained through observation alone. Jadi dengan wawancara,
maka peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang partisipan dalamm
menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi, dimana hal ini tidak bisa
ditemukan dalam observasi (Sugiyono, 2017).

Menurut Moleong (2005), wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.


Percakapan dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang
mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawban atas
pertanyaan tersebut.

Gorden (dalam Herdiansyah, 2009) mendefinisikan wawancara, “interviewing is


conversation between to people which one person tries to direct conversation to obtain
information for some specific purpose” definisi menurut Gorden tersebut dapat diartikan
bahwa wawancara merupakan percakapan dua orang yang salah satunya bertujuan untuk
menggali dan mendapatkan informasi untuk mendapatkan suatu tujuan tertentu.

Definisi wawancara berikutnya dikemukakan oleh Stewart & Cash (2008) yang
didefinisikan sebagai berikut: An interview is interactional because there is an
exchanging, or sharing of roles, responsibilities, feelings, beliefs, motives and
information. If one person does all of the talking and the other all of the listening, a
speech to an audience of one, not an interview, is talking place. Berdasarkan definisi
menurut Stewart & Cash, wawancara diartikan sebagai interaksi yang didalamnya
terdapat pertukaran atau berbagai aturan, tanggung jawab, perasaan, kepercayaan, motif
dan informasi. Wawancara bukanlah suatu kegiatan dengan konsiddi satu orang
melakukan atau memulai pembicaraan sementara yang lain hanya mendengarkan.

Berdasarkan pengertian menurut para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa wawancara
merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui percakapan dan tanya
jawab, baik langsung maupun tidak langsung dengan responden untuk mencapat tujuan
tertentu. Tujuan wawancara adalah untuk memperoleh informasi secara langsung,
menyelami dunia pikiran dan perasaan seseorang, membuat suatu konstruksi “Sekarang
dan disini “ mengenai orang, merekonstruksi kejadian dan pengalaman yang telah lalu,
dan memproyeksikan suatu kemungkinan yang diharapkan akan terjadi dimasa
mendatang serta untuk memengaruhi situasi tertentu.

2.2 Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam wawancara


Menurut Sukardi (2003) Jika peneliti menetapkan wawancara sebagai teknik untuk
pengambilan data dari responden, maka diajurkan agar mereka memperhatikan hal-hal
penting sebagai berikut:
a) Dalam proses wawancara dengan ressponden, peneliti hendaknya berpenampilan
rapi
b) Peneliti harus dapat bersikap ramah, sopan dan beradaptasi dengan cepat terhadap
kondisi responden
c) Peneliti hendaknya menguasai materi wawancara dan familiar terhadap petunjuk
wawancara yang berisi item-item pertanyaan yang harus diajukan kepada
responden
d) Peneliti hendaknya dapat mengikuti skenario atau petunjuk wawancara secara
fleksibel dan menyesuaikan dengan situsi dan kondisi responden
e) Penenliti hendaknya mampu mencatat jawaban semua responden secara cepat dan
tepat dengan tanpa mengurangi kelancaran dan kewajaran proses wawancara
f) Peneliti hendaknya juga mampu mengulang, dan menerangkan pertanyaan yang
diajukan responden apabila responden belum jelas atau tertarik dengan
pertanyaan yang diajukan sebelumnya
g) Peneliti harus dalam kondisi sehat dan menjiwai terhadap situasi wawancara
h) Pertanyaan hendaknya jelas, tepat dengan bahasa yang sederhana dan mudah
dimengerti
Menurut Margono (2005) syarat penting lain dalam mengemukakan pokok-pokok
yang akan diungkap sebagai berikut:
a) Menghindari kata-kata yang bermakna gandaa
b) Menghindari pertanyaan panjang
c) Mengajukan pertanyaan sekonkret mungkin
d) Mengajukan pertanyaan dalam pengalaman konkret interviewee
e) Menyebut semua alternatif jawaban
f) Menghindari kata-kata canggung yang membuat rasa malu interviewee
g) Menetralkan gaya bahasa bertanya
h) Memproyeksikan gaya pertanyaan yang menyangkut interviewee
i) Menanyakan hal-hal yang positif dan negatif dalam menilai orang ketiga

2.3 Bentuk-bentuk wawancara


Pada umumnya, wawancara pdalam penelitian kualitatif ataupun wawancara lainnya
terdiri atas 3 bentuk, yaitu wawancara terstruktur, wawancara semi-terstruktur,
wawancara tidak terstruktur (Herdiansyah, 2009) berikut penjelasan detailnya.
a. Wawancara terstruktur
Wawancara terstruktur lebih sering digunakan dalam penelitian survei ataupun
penelitian kuantitatif walaupun dalam bebrapa situasi, wawancara terstruktur juga
dilakukan dalam penelitian kualitatif. Wawancara bentuk ini sangat terkesan
seperti interogasi karena sangat kaku dan pertukaran informasi antara peneliti
dengan subject yang diteliti sangat minim. Proses wawancara harus sesuai
mungkin dengan pedoman wawancara (Guideline interview) yang telah
dipersiapkan.
Menurut arikunto (2010) pedoman wawancara terstruktur yaitu pedoman
wawancara yang disusun secara rinci sehingga menyerupai checklist.
Pewawancara tinggal membubuhkan tanda V pada nomor yang sesuai.
Menurut Herdiansyah (2010) Beberapa ciri dari wawancara terstruktur adalah
sebagai berikut:
1) Daftar pertanyaan dan kategori telah disiapkan
Dalam wawancara terstruktur, daftar pertanyaan sudah tertulis dalam
bentuk (Form) pertanyaan beserta kategori jawaban yang telah disediakan.
Biasanya, daalam bentukpedoman wawancara (Guideline interview),
pewawancara hanya tinggal membacakan pertanyaan yang telah tertulis,
sementara terwawancara hanya tinggal menjawab sesuai dengan jawaban
yang disesuaikan sehingga tidak ada jawaban selain jawaban yang
tersedia.
2) Kecepatan wawancara terkendali
Karena jumlah pertanyaan beserta pilihan jawaban sudah tersedia dan
kemungkinan jawaban yang akan diperoleh sudah dapat dipreediksi,
maka waktu dan kecepatan wawancara dapat terkendalil. Pewawancara
atau peneliti dapat melakukan simulasi terlebih dahulu sebelum
melakukan wawancara dan mencatat waktu yang dibutuhkan selama
wawancara tersebut. Selain itu, Terwawancara atau subjek tidak perlu
berpikir panjang untuk menjawab pertanyaan wawancara yang diajukan
karena jawabannya sudah disediakan. Hal tersebut dapat mempersingkat
waktu berpikir bagi subject penelitian, sehingga waktu dan kecepatan
wawancara dapat dikendalikan.
3) Tidak ada fleksibilitas (pertanyaan atau jawaban)
Fleksibilitas terhadap pertanyaan atau jawaban hampir tidak ada.
Pewawancara atau peneliti tidak pelu lagi membuat pertanyaan lain dalam
proses wawancara karena semua pertanyaan yang dibuat sudah
dismulasikan terlebih dahulu dan biasanya sudah fiks ketika turun
kelapangan. Demikian pula dengan jawabannya, tidak ada tambahan
jawaban ketika sudah turun kelapangan.
4) Mengikuti pedomen (dalam urutan pertanyaan, penggunaan kata, tidak
ada improvisasi)
Peddoman wawancara mencakup serangkain pertanyaan beserta
urutannya yang telah diatur dan disesuaikan dengan alur pembicaraan.
Tugas pewawancara hanya membacakan semua pertanyaan berdasarkan
urutan pertanyaannya, termasuk dalam hal penggunaan kata harus seperti
yang tertulis dalam pedoman wawancara dan tidak diperkenankan
melakukan improvisasi. Pewawancara menunjukkan minat, tetapi tetap
menjaga jarak dengan terwawancara.
5) Tujuan wawancara biasanya untuk mendapatkan penjelasan tentang suatu
fenomena
Wawancara terstruktur biasanya digunakan dalam rangka untuk
mendapatkan penjelasan saja dari suatu fenomena atau kejadian dan
bukan untuk tujuan memahami fenomena tersebut. Karena alasan tersebut,
maka biasanya wawancara terstruktur lebih sering digunakan dalam
penelitian survei atau kuantitatif daripada penelitian kualitatif walaupun
wawancara terstruktur juga dapat diterapkan dalam penelitian kualitatif.
Menurut Nursalam (2008) tahapan penyusunan wawancara terstruktur
meliputi:
a) Menyusun pertanyaan
b) Pilot testing
c) Latihan
d) Persiapan
e) Pengulangan (probing)
f) Recording
Menurut Margono (2005) wawancara terstruktur memiliki kelemahan dan
kelebihan yaitu: Kelemahannya, pendekatan ini kaku dilakukan dalam
teknik, ini dapat meningkatkan releabilitas interviu, tetapi dapat
menurunkan kemampuannya mendalami persoalan yang diselidiki.
Kelebihannya, pendekatan ini telah dibakukan. Karena itu, jawabannya
dapat dengan mudah dikelompokkan dan dianalisis.

b. Wawancara semi-terstruktur
Jenis wawancara ini sudah termasuk dalam kategori in-dept interview, dimana
dalam pelaksanaannya lebih bebas bila dibandingkan dengan wawancara
terstruktur. Tujuan dari wawancara jenis ini adalah untuk menemukan
permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak wawancara diminta
pendapat, dan ide-ide nya. Dalam melakukan wawancara, peniliti perlu
mendengarkan secara teliti dan mencatat apa yang dikemukankan oleh informan.
Wawancara semi-struktur lebih tepat jika dilakukan pada penelitian kualitatif
daripada penelitian lainnya.
Menurut Herdiansyah (2010) beberapa ciri dari wawancara semi-terstruktur
dijelaskan sebagai berikut:
1) Pertanyaan terbuka, namun ada batasan tema dan alur pembicaraan
Pertanyaan yang diajukan dalam wawancara semi-terstruktur adalah
pertanyaan terbuka yang berarti bahwa jawaban yang diberikan oleh
terwawancara tidak dibatasi, sehingga subjek dapat lebih bebas
mengemukakan jawaban apapun sepanjang tidak keluar dari konteks
pembicaraan. Akan tetapi, perlu diingat bahwa waalaupun subjek diberi
kebebasan dalam memberikan jawaban, namun tetap dibatasi oleh tema dan
alur pembicaraan agar pembicaraan tidak melebar ke arah yang tidak
diperlukan. Hal ini membutuhkan keahlian dari peneliti untuk tetap berada
dijalur tema yang sesuai dengan tujuan wawancara.
2) Kecepatan wawancara dapat diprediksi
Walaupun ada kebebasan dalam menjawab pertanyaan wawancara, tetapi
kecepatan dan waktu wawancara masih dapat diprediksi. Kontrol waktu dan
kecepatan wawancara ada pada keterampilan terwawancara dalam mengatur
alur dan tema pembicaraan agar tidak melebar ke arah yang tidak diperlukan.
Jika diperlukan, pewawancara dapat membuat catatan kecil yang berfungsi
sebagai pengingat (reminder) alur pembicaraan.
3) Fleksibel, tetapi terkontrol (dalam hal pertanyaan atau jawaban)
Pertanyaan yang diajukan bersifat fleksibel, tergantung situasi kondisi serta
alaur pembicaraan. Demikian pula jawaban yang diberikan oleh
terwawancara dapat lebih fleksibel. Walaupun pertanyaan dan jawaban
bersifat fleksibel, tetapi masih ada kontrol yang dipegang oleh peneliti, yaitu
tema wawancara.
4) Ada pedoman wawancara yang dijadikan patokan dalam alur, urutan, dan
penggunaan kata
Pedoman wawancara diperlukan dalam wawancara semi-terstruktur yang
dijadikan patokan ataupun kontrol dalam hal alur pembicaraan dan untuk
prediksi waktu wawancara. Namun, perlu dibedakan antara pedoman
wawancara terstruktur dengan wawancara semi-terstruktur. Pada pedoman
wawancara semi-terstruktur, isi yang tertulis pada pedoman wawancara hanya
berupa topik-topik pembicaraan saja yang mengacu pada satu tema sentral
yang telah ditetapkan dan disesuaikan dengan tujuan wawancara. Peneliti
bebas berimprovisasi dalam mengajukan pertanyaan yang sesuai dengan
situasi dan alur alamiah yang terjadi asalkan tetap pada topik-topik yang telah
ditentukan. Topik dan tema tersebut dijadikan sebagai kontrol pembicaraan
dalam wawancara semi-terstruktur.
5) Tujuan wawancara adalah untuk memahami suatu fenomena
Tujuan dari wawancara semi-terstruktur adalah untuk memahami suatu
fenomena atau permasalahan tertentu. Karena tujuannya adalah untuk
memahami suatu fenomena, bentuk wawancara semi-terstruktur sangat sesuai
untuk penelitian kualitatif yang esensinya adalah untuk mendapatkan
pemahaman dari suatu fenomena.
c. Wawancara tidak terstruktur
Wawancara tidak terstruktur adalah wawancara yang bebas dimana peneliti tidak
menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan
lengkap dalam pengumpulan datanya. Pedoman wawancara tidak terstruktur yaitu
pedoman wawancara yang hanya memuat garis besar yang akan dinyatakan.
Dalam hal ini kreatifitas pewawancara sangat diperlukan. Wawancara sebagai
pengemudi jawaban responden, jenis ini cocok untuk penelitian kasus.
Dalam wawancara tidak terstruktur, peneliti belum mengetahui secara pasti data
apa yang akan diperoleh, sehingga peneliti lebih banyak mendengarkan apa yang
diceritakan oleh responden. Berdasarkan analisis terhadap setiap jawaban dari
responden tersebut, maka peneliti dapat mengajukan berbagai pertanyaan
berikutnya yang lebih terarah pada suatu tujuan. Dalam melakukan wawancara
peneliti dapat menggunakan cara “berputa-putar baru memukik” artinya pada
awal wawancara, yang dibicarakan adalah hal-hal yang tidak terkait dengan
tujuan, dan bila sudah terbuka kesempatan untuk menanyakan sesuatu yang
menjadi tujuan, maka segera ditanyakan.
Wawancara baik dilakukan dengan face to face maupun yang menggunakan
pesawat telepon, akan selalu terjadi kontak pribadi, oleh karena itu pewawancara
perlu memahami situasi dan kondisi sehingga dapat memilih waktu yang tepat
kapan dan dimana harus melakukan wawancara. Pada saat responden sedang
sibuk kerja, sedang mempunyai masalah berat, sedang mulai istirahat, sedang
tidak sehat, atau sedang marah, maka harus hati-hati dalam melakukan
wawancara, kalau dipaksakan wawancara dalam kondisi seperti itu, maka akan
menghasilkan data yang tidak valid dan akurat.
Bila responden yang akan diwawancarai telah ditentukan orangnya maka
sebaiknya sebelum melakukan wawancara pewawancara minta waktu terlebih
dahulu, kapan dan dimana bisa melakukan wawancara. Dengan cara ini, maka
suasana wawancara akan lebih baik, sehingga data yyang diperoleh akan lebih
lengkap dan valid.
Informasi atau data yang diperoleh dari wawancara sering bias. Bias adalah
menyimpang dari yang seharusnya, sehingga dapat dinyatakan data tersebut
subjektif dan tidak akurat. Kebiasan data ini akan tergantung pada pewawancara,
yang diwawancarai (responden) dan situasi dan kondisi pada saat wawancara.
Menurut Herdiansyah (2010) Wawancara tidak terstruktur hampir mirip dengan
bentuk wawancara semi-terstruktur. Wawancara tidak struktur memiliki ciri-ciri
dibawah ini:
1) Pertanyaannya sangat terbuka, jawabannya lebih luas dan bervariasi
Bentuk pertanyaan yang diajukan sangat terbuka,hampir tidak ada pedoman
yang digunakan sebagai kontrol. Begitupun dengan jawaban dari subjek atau
terwawancara, dapat sangat luas dan bervariasi.
2) Kecepatan wawancara sulit diprediksi
Kecepatan dan waktu wawancara lebih sulit diprediksi karena sangat
bergantung dari alur pembicaraan yang kontrolnya sangat fleksibel dan lunak.
Akhir dari wawancara tidak terstruktur juga terkadang tidak mendapatkan
kesimpulan yang cukup jelas dan mengerucut.
3) Sangat fleksibel (dalam hal pertanyaan dan jawaban)
Pertanyaan yang diajukan oleh pewawancara dan jawaban yang diperoleh dari
subjek atau terwawancara sangat fleksibel. Bahkan, terkesan seperti
perbincangan angalor-ngidul. Jika peneliti yang memilih bentuk wawancara
ini belum berpengalaman atau memiliki jam terbang kurang maka akan
mengalami kendala dalam hal merumuskan tema serta menarik kesimpulan
wawancara.jika peneliti masih belum cukup pengalaman sebaiknya tidak
menggunakan bentuk wawancara tidak terstruktur
4) Pedoman wawancara sangat longgar urutan pertanyaan, penggunaan kata, alur
pembicaraan
Hampir sama dengan wawancara semi-terstruktur, dalam wawan tidak
terstruktur pedoman wawancara tetap masih diperlukan. Hanya saja, dalam
wawancara semi-terstruktur masih terdapat topik-topik yang dibuat sebagai
kontrol alur pembicaraan yang mengacu pada satu tema sentaral, sedangkan
pedoman wawancara tidak terstruktur tidak terdapat topik-topik yang
mengontol alur pembicaraan, tetapi hanya terdapat tema sentral saja yang
digunakan peneliti atau pewawancara sebagai kontrol alur pembicaraan
selama wawancara berlangsung
5) Tujuan wawancara untuk memahami suatu fenomena
Dalam hal tujuan, ada kesamaan dengan wawancara semi-terstruktur, yaitu
untuk memahami suatu fenomena, sehingga bentuk wawancara tidak
terstruktur sesuai untuk digunakan dalam penelitian kualitatif.
2.4 Bentuk-bentuk pertanyaan wawancara
Dalam wawancara, tentu saja tidak terlepas dari serangkaian pertanyaan yang diajukan.
Namun, pertanyaan yang diajukan tesebut tidaak terlepas dari kaidah-kaidah secara
metodologi yang harus diperhatikan. Jika seorang peneliti tidak memahami kaidah dalam
membuat dan mengajukan pertanyaan, maka respon atau jawaban yang diperoleh tidak
akan optimal dan maksimal, atau bahkan sia-sia karena jauh melenceng dari tujuan
wawancara itu sendiri. Untuk mengantisipasi hal tersebut, diperlukan ketelitian dalam
membuat dan mengajukan pertanyaan wawancara.
Berdasarkan sudut pandang metodologi, ada beberapa bentuk pertanyaan wawancara
yang perlu diperhatikan dalam proses wawancara. Stewart & Cash (2008)
menyatakan 3 bentuk pertanyaan dalam bentuk wawancara yang dijelaskan sebagaai
berikut:
a) Pertanyaan terbuka-pertanyaan tertutup
Pertanyaan terbuka adalah pertanyaan yang jawabannya bersikap luas dan
memberikan kebebasan kepada subjek untuk memberikan banyak informasi yang
mendalam. Biasanya, pertanyaan terbuka selalu diawali dengan kata bagaimana
atau mengapa. Terdapat beberapa kelebihan dari pertanyaan terbuka antara lain:
1) Pertanyaan terbuka mampu mendorong terwawancara untuk berbicara
sebanyak dan sebebas yang diinginkan
2) Bagi pewawancara, pertanyaan terbuka dapat memperoleh data yang
mendalam
3) Pertanyaan terbuka dapat mengungkap hal-hal yang bersifat pribadi, seperti
perasaan, pengetahuan, persepsi, dan prasangka dari pewawancara

Disamping beberapa kelebihan dari pertanyaan terbuka, pertanyaan terbuka juga


memiliki kelemahan anatara lain:

1) Karena kedalam data atau informasi yang diperoleh, boleh jadi dalam satu
kali wawancara mungkin hanya akan mengungkap sedikit hal saja
2) Karena kebebasan dalam menjawab tersebut, banyak informasi yang tidak
kita perlukan justru dikemukakan lebih dalam oleh pewawancara
3) Terkadang informasi yang didapat kadang menyulitkan ketika direkam dan
dibuat verbatim wawancara

Dalam mengajukan pertanyaan terbuika, peneliti harus jeli menanggapi jawaban


dari subjek karena sifat pertanyaan ini dapat memancing subjek untuk berbiacara
panjang lebar yang kadang-kadang melenceng dari tema. Jika hal ini terjadi,
peneliti harus dapat mengontrol dan menggiring subjek untuk berbicara dalam
koridor tema yang kita tentukan tanpa subjek merasa terganggu dengan kontrool
dan iringan peneliti. Hal ini membutuhkan keahlian tertentu yang dikategorikan
kedalam seni wawancara.

Lebih spesifik lagi, Stewart & Cash (2008) juga membagi pertanyaan terbuka
menjadi 2 macam pertanyaan, yaitu highly open questions dan moderately open
questions. Highly open questions merupakan pertanyaan terbuka yang (hampir)
tidak ada batasan dalam menjawab. Moderately open questions merupakan
pertanyaan terbuka yang memiliki batasan jawaban, namun tetap memberikan
kebebasan dalam menjawab.

Pertanyaan tertutup merupakan pertanyaan dengan fokus yang sempit dan tidak
memungkinkan terwawancara untuk memberikan informasi yang luas.
Pertanyaan tertutup adalah bentuk pertanyaan yang lebih spesifik dan lebih
konkret, sehingga jawabannya pun spesifik dan konkret.

Seperti pertanyaan terbuka, pertanyaan tertutup memiliki beberapa kelebihan,


antara lain:

1) Memudahkan pewawancara untuk mengontrol panjangnya jawaban


wawancara dan membatasi terwawancara hanya pada jawaban yang
dibutuhkan saja
2) Pertanyaan tertutup membutuhkan usaha yang lebih ringan dan
memungkinkan pewawancara untuk bertanya pertanyaan lainnya
3) Jawaban yang diterima lebih mudah untuk replikasi, ditabulasi dari
wawancara satu kewawancara lainnya

Selanjutnya, selain kelebihannya adapula kekurangan dari pertanyaan tertutup.


Beberapa kekurangannya antara lain:

1) Karema fokus pertanyaannya sempit, seringkali informasi yang didapat


terlalu sempit dan kaku
2) Seringkali pertanyaan tertutup tidak mampu mengungkap alasan dengan
panjang lebar
3) Pertanyaan tertutup juga umumnya tidak mampu mengungkap hal yang
bersifat pribadi

Seperti pertanyaan terbuka, Stewart & Cash (2008) jjuga membagi pertanyaan
tertutup menjadi moderately open questions dan highly open questions.
Moderately open questions merupakan jenis pertanyaan tertutup yang bertujuan
untuk menanyakan hal-hal terbatas dan spesifik, sedangkan highly open
questions merupakan pertanyaan tertutup yang informasi atau jawabannya sangat
spesifik dan biasanya sudah tertera dalam lembar pertanyaan.
b) Pertanyaan primer-pertanyaan sekunder
Setiap wawancara umumnya terdiri atas satu tema utama yang dalam tema
tersebut pasti terdiri atas topik-topik bahasan. Pertanyaan primer merupakan
pertanyaan yang bersifat umum untuk mengungkapkan data berdasarkan tiopik-
topik bahasan dan dapat berdiri sendiri. Pertanyaan primer biasanya masih
bersifat umum dan luas serta belum terlalu spesifik dan praktis, sehingga masih
harus dipersempit dan dispesifikasikan menjadi beberapa sub topik yang lebih
sederhana, spesifik, dan praktis, untuk memudahkan dalam menganalisis hasil
wawancara nanntinya. Spesifikasi dari pertanyaan primer disebut juga sebagai
pertanyaan sekunder. Pertanyaan sekunder merupakan pertanyaan lanjutan dari
pertanyaan primer yang berfungsi untuk memberikan penjelasan lebih lanjut atau
sebagai tambahan informasi yang dibutuhkan. Pertanyaan sekunder juga disebut
dengan istilah probing.
Pertanyaan sekunder dapat berbentuk pertanyaan terbuka-tertutup yang
memungkinkan untuk menggali informasi jika informasi yang diberikan tidak
sempurna, tidak relevan, tidak akurat, atau hanya permukaan saja, sehingga
diperlukan suatu usaha untuk memperjelasnya. Probing tidak selalu harus
dilakukan ketika informasi yang diberikan oleh subjek kurang jelas atau kurang
sempurna. Perlu kejelian dan kesensitivitasan dari peniliti untuk
mempertimbangkan situasi dan kondisi dalam melakukan probing.
c) Pertanyaan netral-pertanyaan mengarahkan
Pertanyaan netral merupakan pertanyaan yang membebaskan terwawancara untuk
menjawab atau memutuskan jawaban tanpa adanya arahan, tekanan, atau
“paksaan” dari pewawancara. Pertanyaan yang diberikan oleh pewawancara tidak
mengandung unsur tertentu, seperti pembelaan, menyalahkan, menekan, ataupun
paksaan, sehingga terwawancara bebas menjawab pertanyaan tersebut dengan
jawaban apapun sesuai dengan jawaban yang dinginkan terwawancara.
Stewart & Cash (2008) mengemukakan dua bentuk pertanyaan netral. Pertama,
pertnyaan netral-terbuka (open-neutral questions) merupakan suatu pertanyaan
yang dikemukaakan oleh pewawancara yang pertanyaan tersebut membebaskan
terwawancara dalam menjawab dengan seluas-luasnya, sedalam-dalamnya, dan
sedetail-detailnya tanpa ada arahan, tekanan, atau pembatasan jawaban dari
pewawancara. Kedua, pertanyaan netral-tertutup (closed-neutral questions)
hampir sama dengan pertanyaan netral-terbuka, yaitu pertanyaan yang
dikemukakan oleh pewawancara yang membebaskan terwawancara dalam
menjawab, tetapi pilihan jawabannya sudah tersedia dan biasnya bersifat bipolar
(terdapat dua pilihan jawaban yang keduanya saling bertentanga), seperti jawaban
“iya” atau “tidak”, “setuju” atau “tidak setuju”, dan lain sebagainya.
Pertanyaan mengarahkann merupakan pertanyaan yang menawarkan jawaban
yang diinginkan atau dikendaki karena pertanyaan yang dibuat, membimbing
terwawancara kepada jawaban yang telah tersedia atau jawaban yang telah
diarahkan oleh pewawancara. Hampir sama dengan pertanyaan netral, pertanyaan
mengarahkan pun memiliki 2 bentuk. Pertama, pertanyaan mengarahkan-terbuka
(open-leading questions) merupakan suatu pertanyaan yang jawabannya akan
diberikan oleh terwawancara sesudah diarahkan oleh pewawancara walaupun
alternatif jawabannya masih bersifat terbuka dan bebas, tetapi arahnya sudah
diarahkan oleh pewawancara. Kedua, pertanyaan mengarahkan-tertutup (closed-
leading questions) merupakan pertanyaan dengan jawaban yang akan diberikan
sudah diarahkan oleh pewawancara, sekaligus alternatif jawabannya pun sudah
tidak lagi terbuka, tetapi sudah diarahkan (biasanya alternatif jawabannya bersifat
dikotomi).
Untuk lebih memudahkan pembaca dalam membedakan pertanyaan netral dan
pertanyaan mengarahkan berikut diberikan contoh dalam tabel.
Tabel 8.1 perbedaan pertanyaan netral dan pertanyaan mengarahkan
PERTANYAAN NETRAL PERTANYAAN MENGARAHKAN

1. Apakah anda menyukai sate Saya rasa anda menyukai sate


padang? padang, bukan?
Dari logat anda, saya berasumsi anda
2. Apakah anda bersal dari jawa
pasti berasal dari jawa tengah, bukan?
tengah?
Tolong ceritakan pengalaman anda
3. Apakah anda pernah
ssaat pertama kali menggunakan
menggunakan narkoba?
narkoba?
Dalam rentang waktu satu bulan
4. Pernahkan anda terlambat tiba
seberapa sering anda terlambat tiba
dikantor?
dikantor?
Walaupun anda tahu melanggar lampu
5. Pernahkan anda melanggar
lalu lintas adalah suatu kesalahan,
lampu lalu lintas ketika sedang
mengapa anda melakukannya?
berkendara?

Untuk membedakan pertanyaan netral terbuka atau tertutup dan pertanyaan


mengarahkan terbuka atau tertutup, tabel dibawah ini menyajikan contoh
sederhana yang dapat dicermati.
Tabel 8.2 perbedaan pertanyaan netral dan pertanyaan mengarahkan terbuka atau
tertutup
Pertanyaan netral Pertanyaan mengarahkan
Terbuka Tertutup Terbuka Tertutup
Bagaimana Apakah Siswa yang Tentunya
pertanyaan
pendapat anda anda setuju kurang anda tidak
mengenaimaraknya dengan mendapatkan setuju
tawuran antar maraknya perhatian dengtgan
sekolah? tawuran orang tua, pendapat
antar sering kali saya yang
sekolah terlibat mengatakan
tawuran. bahwa siswa
Bagaimana yang kurang
pendapat mendapat
anda tentang perhatian
pernyataan orangtua
tersebut? seringkali
terlibat
tawuraan
antar
sekolah,
bukan?

2.5 Langkah-langkah penyusunan wawancara


Menurut Arifin (2011) untuk menyusun pedoman wawancara (interview guide), dapat
mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
a) Merumuskan tujuan wawancara
b) Membuat kisi-kisi atau layout dan pedoman wawancara
c) Menyusun pertanyaan sesuai dengan data yang diperlukan dan bentuk pertanyaan
yang diinginkan. untuk itu, perlu diperhatikan kata-kata yang digunakan, cara
bertanya, dan jangan membuat peserta didik bersikap defensif
d) Melaksanakan uji coba untuk melihat kelemahan-kelemahan pertanyaan yang di
susun, sehingga dapat diperbaiki lagi
e) Melaksanakan wawancara dalam situasi yang sebenarnya

Menurut Linchon dan Guba (1985), proses wawancara dilakukan dalam 5 tahap,
yaitu:
1) Menentukan aktor yang akan diwawancarai
2) Mempersiapkan kegiatan wawancara: sifat pertanyaan, alat bantu,
menyesuaikan waktu dan tempat, membuat janji
3) Menentukan fokus permasalahan, membuat pertanyaan pembuka, dan
mempersiapkan catatan sementara
4) Melaksanakan wawancara sesuai dengan persiapan yang dikerjakan
5) Menutup pertemuan

Hasil-hasil wawancara ini dituangkan dalam suatu ringkasan yang dimulai dari
penjelasan identitas, deskripsi situasi atau konteks, identifikasi masalah, deskripsi
data, unitisasi, dan ditutup oleh pertanyaan-pertanyaan. Setelah dilakukan
wawancara, informasi yang diperoleh diolah dan dikonfirmasikan melalui tahap
triangulasi dan member check. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh masukan
mengenai kesesuaian data yang satu dengan data yang lain.

Berdasarkan langkah-langkah penyusunan wawancara yang telah dijelaskan oleh


para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa ada 7 langkah dalam penggunaan
wawancara untuk mengumpulkan data dalam penelitian:

1) Menetapkan kepada siapa wawancara itu akan dilakukan


2) Menyiapkan pokok-pokokmasalah yang akan menjadii bahan pembicaraan
3) Mengawali atau membuka alur wawancara
4) Melangsungkan alur wawancara
5) Mengkonfirmasikan ikhtisar hasil wawancara dan mengakhirinya
6) Menuliskan hasil wawancara kedalam catatan lapangan
7) Mengidentifikasi tindak lanjut hasil wawancara yang telah diperoleh

2.6 Kelebihan dan kelemahan wawancara


Menurut Nasution (2003) dalam Sudaryono sebagai keuntungan wawancara dikemukakan
antara lain hal-hal yang berikut:
1) Dengan wawancara kita dapat memperoleh keterangan yang sedalam-dalamnya
tentang suatu masalah, khususnya yang berkenaan dengan pribadi seseorang
2) Dengan wawancara peneliti dapat dengan cepat memperoleh informasi yang
diinginkannya
3) Dengan wawancara peneliti dapat memastikan bahwa responlah yang memberi
jawaban. Dalam angket kepastian ini tidak ada
4) Dalam wawancara peneliti dapat berusaha agar pertanyaan yang diajukan dapat
benar-benar dapat dipahamioleh responden
5) Wawancara memungkinkan fleksibilitas dalam cara-cara bertanya. Bila
pertanyaan tidak memuaskan, tidak tepat atau tidak lengkap, pewawancara dapat
mengajukan pertanyaan lain
6) Pewawancara yang sensitif dapat menilai validitas jawaban berdasarkan gerak-
gerik, nada, dan ekspresi tubuh responden
7) Informasi yang diperoleh melalui wawancara akan lebih dipercaya kebenarannya
salah tafsiran dapat diperbaiki sewaktu wawancara dilakukan. Jika perlu
pewawancara dapat lagi mengunjungi responden bila masih perlu penjelasan
8) Dalam wawancara responden lebih bersedia mengungkapkan keterangan-
keterangan yang tidak sudi diberikannya dalam angket tertulis

Menurut Riyanto (2001) dalam Sudaryono wawncara juga mempunyai sejumlah


kelemahan yang perlu diperhatikan agar peneliti sedapat mungkin menghindarinya,
yaitu:

1) Kurang efisien, dilihat dari waktu, tenaga dan biaya.


2) Faktor bahasa, baik dari segi pewawancara maupun responden sangat
mempengaruhi hasil atau data yang diperoleh
3) Dapat menyulitkan dalam pengolahan dan analisis data yang diperoleh
4) Menekan responden agar segera memberikan jawaban dari pertanyaan yang
dilakukan oleh interviewer
5) Diperlukan adanya keahlian atau penguasaan bahasa dari interviewer
6) Memberikan kemungkinan interviewer dengan sengaja memutar balikkan
jawaban. Bahkan memberikan kemungkinan interviewer untuk memalsu jawaban
yang dicatat dalam catatan wawancara atau tidak jujur
7) Apabila interviewer dan responden mempunyai perbedaan yang sangat menyolok
sulit untuk mengadakan komunikasi interpersonal sehingga data yang diperoleh
kurang akurat
8) Jalannya interviewer sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi sekitar yang akan
menghambat dan mempengaruhi jawaban dan data yang diperoleh.

Contoh wawancara terstuktur dalam Jurnal Hidayah (2018):

PENGGUNAAN INSTRUMEN LEMBAR WAWANCARA PENDUKUNG TES


DIAGNOSTIK PENDETEKSI MISKONSEPSI UNTUK ANALISIS PEMAHAMAN
KONSEP BUFFER-HIDROLISIS

Ada beberapa instrumen pendeteksi miskonsepsi yang sering digunakan para peneliti dan
guru untuk mengetahui siswa mengalami miskonsepsi atau tidak (Suparno, 2005) sebagai
berikut : 1) Peta konsep (Concept Maps); 2) Tes Diagnostik multiple choice dengan
reasoning terbuka; 3) Tes Diagnostik tertulis (esai); 4) Wawancara diagnostik; 5) Diskusi
pemecahan masalah dalam kelas; 6) Praktikum dengan tanya jawab. Diantara 6 instrumen
diagnostik lainnya, wawancara berperan penting dalam mendeteksi miskonsepsi pada siswa
karena dengan wawancara dapat mengungkap pemahaman siswa secara mendalam (Gurel, et
al., 2015). Tujuan wawancara menurut Frankel dan Wallen (2000) yaitu untuk menemukan
sesuatu yang ada dalam pikiran seseorang, apa yang mereka pikirkan, dan bagaimana
seseorang. Wells dan Swackhamer (1992) menyatakan bahwa jika kemampuan peneliti
memadai dalam melakukan wawancara, maka wawancara merupakan instrumen yang paling
efektif untuk mengetahui miskonsepsi pada siswa. Wawancara dapat berbentuk wawancara
bebas dan terstruktur. Guru atau peneliti bebas bertanya kepada siswa dan siswa dapat dengan
bebas menjawab dalam wawancara bebas. Urutan atau apa yang akan ditanyakan dalam
wawancara itu tidak dipersiapkan terlebih dahulu. Berbeda dengan wawancara bebas, dalam
wawancara terstruktur pertanyaan sudah disiapkan dan urutannya pun secara garis besar
sudah disusun, sehingga mempermudah pada wawancara berlangsung (Suparno, 2005.

Lembar wawancara yang efektif memiliki beberapa indikator, diantaranya:


1) Keefektifan kalimat pertanyaan
2) Sistematika pertanyaan.
3) Bahasa yang digunakan
4) Pertanyaan bersifat objektif
5) Kesesuaian pertanyaan dengan materi.

Lembar wawancara pendukung tes diagnostik pendeteksi miskonsepsi digunakan setelah


siswa mengerjakan soal two tier test. Guru menggunakan lembar wawancara sebagai panduan
melakukan wawancara dalam rangka mendeteksi miskonsepsi siswa dan menganalisis
pemahaman konsep siswa.

Metode penelitian

Metode pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan metode tes dan wawancara.
Metode tes menggunakan instrumen tes diagnostik multiple choice dengan reasoning terbuka
yang digunakan untuk mengambil data pemahaman konsep siswa. Wawancara menggunakan
lembar wawancara digunakan untuk mendukung analisis pemahaman konsep dan mendeteksi
miskonsepsi siswa. Wawancara ini berfungsi untuk melengkapi dan memperkuat data
hasildari tes tertulis, serta mengungkapkan hal-hal yang tidak terungkap dalam tes tertulis.

Transkrip wawancara dalam jurnal ini sebagai berikut:

Pewawancara : “Komponen umum apa yang menyusun larutan penyangga?”

Afif : “…….mmm asam lemah dan asam konjugasinya”

Pewawancara : “Ada yang lain?”

Afif : “….(bingung)

Pewawancara : “Lalu Dari campuran H2CO3 dan NaHCO3 manakah yang termasuk asam
konjugasi dan manayang asam konjugasi?”

Afif : “H2CO3 (asam lemah), NaHCO3 (asam konjugasi)

Contoh wawancara semi-terstruktur dalam jurnal Pertiwi (ISBN : 978-662-61599-6-0)


ANALISIS PENGETAHUAN KONSEP (K3) LABORATORIUM KIMIA DI MAN 2
KOTA SEMARANG

a. Hasil wawancara guru kimia

Wawancara guru kimia terkait dengan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) laboratorium
kimia di MAN 2 Kota Semarang dilaksanakan di ruang tamu samping lobby sekolah.
Berdasarkan hasil wawancara guru kimia pengertian dari Kesehatan dan Keselamatan Kerja
(K3) laboratorium itu sendiri merupakan Kesehatan upaya yang terencana untuk mencegah
terjadinya musibah kecelakaan ataupun penyakit akibat penyalah gunakan alat maupun bahan
kimia pada saat praktikum.Selain untuk mencegah terjadinya kecelakaan, pelaksanaan
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)akan menimbulkan kondisi dan suasana laboratorium
yang nyaman. Jika suasana laboratorium nyaman, pengguna (guru kimia, pengelola, ataupun
praktikan)akan nyaman dalam bekerja di laboratorium. Hal tersebutakan meningkatkan
semangat dan produktifitas kerja. Akan tetapi di MAN 2 Kota Semarang tidak dapat
menerapkan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) didalam laboratorium kimia dengan
berbagai pertimbangan diantaranya adalah kurangnya dukungan pihak sekolah dalam
menyediakan sarana prasarana laboraorium seperti APD (Alat Pelindung Diri) meliputi jas
laboratorium yang dimiliki setiap siswa, ketersediaan sarung tangan, ketersediaan masker,
tidak adanya ketersediaan laboran kimia, sehingga manajemen dan pengelolaan laboratorium
kimia tidak sepenuhnya terstruktur karena pengelolaan tersebut diampu oleh 3 guru kimia
secara bergantian. Selain itu minimnya pelaksanaan praktikum kimia di MAN 2 Kota
Semarang sehingga siswa tidak terbiasa dengan alat dan bahan kimia yang ada
dilaboratorium, minimnya pengetahuan siswa terhadap nama dan cara penggunaan alat-alat
kimia baik alat gelas maupun non-gelas.

Berdasarkan hasil wawancara guru kimia, pada saat siswa melakukan praktikum tidak
menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) begitu pula guru kimia sebagai pendamping siswa
pada saat praktikum juga tidak menggunakan APD (Alat Pelindung Diri). Hasil wawancara
guru terkait dengan pernyataan diatas bahwa daya dukung pihak sekolah kurang memadai,
contoh : ketersediaan jas laboratorium kimia terbatas sehingga setiap siswa tidak memiliki jas
laboratorium sendiri, kurangnya jadwal praktikum kimia di MAN 2 Kota Semarang sehingga
alat dan bahan kimia serta jas laboratorium yang telah disediakan kurang terjaga
kebersihannya, penyalahgunaan laboratorium kimia sehingga dijadikan sebagai ruang kelas,
hal tersebut akan menghambat pelaksanaan praktikum siswa.
Berdasarkan analisis fakta dapat disimpulkan bahwa di MAN 2 Kota Semarang belum
menerapkan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) didalam laboratorium dengan minimnya
daya dukung pihak sekolah terkait dengan sarana prasarana yang mendukung serta minimnya
pengetahuan siswa terhadap nama dan cara penggunaan alat-alat laboratorium baik alat gelas
maupun non-gelas dan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) itu sendiri.

b. Hasil wawancara siswa

Selain wawancara dengan guru kimia selaku pendamping siswa pada saat praktikum dan
selaku laboran didalam laboratorium kimia MAN 2 Kota Semarang, praktikan juga
mewawancarai beberapa siswa guna untuk mengetahui sejauh mana pemahaman siswa terkait
dengan penerapan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) laboratorium kimia di MAN 2
Kota Semarang. Siswa yang diwawancarai bersifat random yaitu tidak semua siswa
diwawancari, sampel yang digunakan untuk mengambil data hasil wawancara adalah kelasXI
IPA 3, XI IPA 4, XII IPA 4 dan XII IPA 5. Sampel yang diambil hanya siswa yang memilih
jurusan IPA karena didalam jurusan IPA mata pelajaran kimia merupakan mata pelajaran
kimia wajib sehingga akan berhubungan dengan praktikum kimia dan Kesehatan dan
Keselamatan Kerja (K3) laboratorium, walaupun di MAN 2 Kota Semarang ada lintas minat
mata pelajaran kimia disiswa IPS, namun pengetahuan siswa IPS terkait dengan mata
pelajaran kimia tidak sespesifik siswa IPA.

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa siswa kelas XI IPA 3,XI IPA 4, XII IPA 4
dan XII IPA 5 hampir jawaban dari pertanyaan wawancara sama, bahwa siswa tidak mengerti
komponen dan pentingnya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) laboratorium pada saat
melaksanakan praktikum di laboratorium. Alasan mereka mengapa minim akan pengetahuan
tersebut adalah kurang adanya sosialisai atau materi tentang Kesehatan dan Keselamatan
Kerja (K3) laboratorium baik dari segi nama-nama alat-alat laboratorium kimia, cara
penggunaan alat-alat laboratorium kimia, nama-nama bahan kimia, cara mengenal dan
menangani bahaya di dalam laboratorium, dan pengetahuan tentang APD (Alat Pelindung
Diri). Selain itu minimnya pelaksanaan praktikum di dalam pembelajran juga mempengaruhi
siswa terkait dengan pemahaman Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) laboratorium,
sehingga siswa tidak terbiasa dengan laboratorium baik dalam segi alat, bahan maupun
komponen lainnya yang dapat mendukung proses praktikum kimia.
Akan tetapi, ada beberapa siswa yang paham mengenai tata cara menggunakan alat-alat
laboratorium maupun pemahaman tentang nama alat-alat laboratorium. Pengetahuan siswa
mengenai hal tersebut tidak didapat pada saat siswa belajar di MAN 2 Kota Semarang tetapi
pemahaman tersebut didapat pada saat siswa praktikum di Sekolah Menengah Pertama
(SMP).

Contoh wawancara tidak terstuktur dalam jurnal Supriadi (2018):

ANALISIS MODEL MENTAL MAHASISWA PENDIDIKAN KIMIA DALAM


MEMAHAMI JENIS REAKSI KIMIA

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Namun,
data dikumpulkan secara kualitatif dan kuantitatif melalui kuesioner tertulis dan wawancara
tidak terstruktur.

Instrumen penelitian

Dalam mengungkap model mental, harus dimulai dengan pertanyaan yang berkaitan dengan
konsep. Dalam penelitian ini, mahasiswa diberikan 10 soal yang berkaitan dengan video
tentang topik reaksi pembentukan, reaksi penguraian, reaksi pembakaran, reaksi substitusi
tunggal dan reaksi substitusi ganda. Selain itu, mahasiswa juga diminta untuk menjawab soal-
soal tes identifikasi pengetahuan awal yang berisi 19 item soal yang mencakup konsep energi
aktivasi, termokimia, laju reaksi, teori tumbukan, konsep kelarutan, spontanitas reaksi, dan
mekanisme reaksi. Semua konsep tersebut diterapkan dalam menjelaskan proses terjadinya
reaksi kimia. Semua soal, baik tes model mental maupun tes pengetahuan awal sudah
dinyatakan valid oleh dua orang dosen pendidikan kimia Universitas Negeri Malang.

Selanjutnya model mental mahasiswa kemudian dihubungkan dengan tingkat pengetahuan


awal yang dimilikinya. Selain itu, model mental mahasiswa juga dihubungkan dengan
tingkatan semesternya

OBSERVASI

2.7 Definisi Observasi


Observasi berasal dari bahasa Latin yang berarti memperhatikan dan mengikuti.
Memperhatikan dan mengikuti dalam arti mengamati dengan teliti dan sistematis sasaran
prilaku yang dituju (Banister, et al 1994).
Menurut Cartwright & Cartwright mendefinisikan sebagai suatu proses melihat,
mengamati, dan mencermati serta “merekam” prilaku secara sistematis untuk suatu tujuan
tertentu. Observasi ialah suatu kegiatan mencari data yang dapat digunakan untuk
memberikan suatu kesimpulan atau diagnosis.
Menurut Margono (2005) observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara
sistematis terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian
Menurut Sudaryono (2013) observasi yaitu melakukan pengamatan secara langsung
keobjek penelitian untuk melihat dari dekat kegiatan yang dilakukan.
Menurut Arifin (2011) observasi merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan
dengan jalan pengamatan dan pencatatan secara sistematis, logis,objektif dan rasional
mengenai berbagai fenomena, baik dalam situasiyang sebenarnya maupun dalam situasi
buatan untuk mencapai tujuan tertentu.
Menurut Sutrisno Hadi (1986) mengemukakan bahwa observasi merupakan suatu proses
yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari berbagai proses biologis dan psikologis.
Berdasarkan pengertian observasi yang telah dijelaskanoleh para ahli diatas dapat
disimpulkan bahwa observasi merupakan suatu cara yang digunakan untuk melakukan
pengamatan terhadap suatu objek penelitian secara langsung guna memperoleh suatu data
yang akan mendukung hasil dari penelitian tersebut.

2.8 Tujuan Observasi


Menurut Arifin (2011) tujuan utama observasi yaitu:
a) Untuk mengumpulkan data dan informasi mengenai suatu fenomena, baik yang
berupa peristiwa maupun tindakan, baik dalam situasi yang sesungguhnya maupun
dalam situasi buatan
b) Untuk mengukur prilaku, tindakan dan proses atau kegiatan yang sedang dilakukan,
interaksi antara responden dan lingkungan dan faktor-faktor yang dapat diamati
lainnya, terutama kecakapan sosial (social skills)

2.9 Karakteristik Observasi


Menurut Arifin (2011) observasi mempunyai beberapa karakteristik, antara lain:
a) Mempunyai arah dan tujuan yang jelas agar pelaksanaan observasi tidak
menyimpang dari permasalahan, karena itu, dalam pelaksanaannya harus ada
pedoman observasi
b) Bersifat ilmiah, yaitu dilakukan secara sistematis, logis, kritis, objektif, dan rasional
c) Terdapat berbagai aspek-aspek yang akan diobservasi
d) Praktis penggunaannya

2.10 Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam observasi


Menurut Margono (2005) hal-hal yang perlu diperhatikan oleh seorang yang melakukan
observasi (observer) agar penggunaan teknik ini dapat menghimpun data secara efektif
berikut ini:
1) Pemilikan pengetahuan yang cukupmengenai objek yang akan diobservasi
2) Pemahaman tujuan umum dan tujuan khusus penelitian yang dilaksanakannya
3) Penentuan cara dan alat yang dipergunakan dalam mencatat data
Pertimbangan pencatatan langsung ditempat atau setelah observasi haruslah
seksama. Demikian juga alat pencatat data yang anekdotal record, catatan berkala,
check list, rating scale atau mechanical device perlu dipertimbangkan
4) Penentuan kategori pendapatan gejala yang diamati, apakah dengan
mempergunakan skala tertentu atau sekedar mencatat frekuensi munculnya gejala
tanpa klasifikasi tingkatannya. Sehingga perumusan dengan tegas dan jelas ciri-ciri
setiap kategori sangatlah perlu
5) Pengamatan dan pencatatan harus dilakukan secara cermat dan kritis maksudnya
diusahakan agar tidak ada satupun gejala yang lepas dari pengamatan
6) Pencatatan setiap gejala harus dilakukan secara terpisah agar tidak saling
mempengaruhi
7) Pemilikan pengetahuan dan keterampilan terhadap alat dan cara mencatat hasil
observasi
2.11 Metode dalam observasi
Sama halnya seperti wawancara, observasipun memiliki beragam metode yang
disesuaikan dengan tujuan dan sasaran prilaku yang akan diamati. Terdapat 5 metode
observasi yang umum dikenal dan seringkali digunakan dalam penelitian, baik
penelitian kualitatif maupun penelitian kuantitatif. Kelima metode observasi tersebut,
antara lain: anecdotal record, behavioral checklist, participation charts, rating scale,
behavioral tallying and charting. Berikut uraian kelima metode observasi tersebut.
a) Anecdotal Record
Anecdotal record merupakan salah satu metode dalam observasi. Metode yang
digunakan peneliti melakukan observasi dengan hanya membawa kertas
kosong untuk mencatat prilaku yang khas, unik, dan penting yang dilakukan
subjek penelitian. Biasanya, prilaku yang dicatat dengan metode anecdotal
record merupakan prilaku yang memiliki keunikan tersendiri serta hanya
muncul sesekali saja. Dalam metode anecdotal record, observer mencatat
dengan teliti dan merekam prilaku-prilaku yang dianggap penting dan
bermakna sesegera mungkin setelah prilaku tersebut muncul. Catatan tersebut
harus sedetail dan selengkap mungkin sesuai dengan kejadian yang
sebenarnya tanpa mengubah kronologisnya. Dalam metode anecdotal record,
peneliti dalam juga menafsirkan makna dari prilaku yang muncul, menurut
pendapat dan sudut pandang peneliti sepanjang penafsiran makna menurt
peneliti berfungsi sebagai pendukung dari makna yang sebenarnya.
Kelebihan metode anecdotal record:
1) Ketika peneliti memilih metode anecdotal record, pemahaman yang lebih
tepat dan akurat dari tingkah laku unik dan spesifik lebih mudah
didapatkan. Latar belakang munculnya prilaku unik, khas, dan spesifik
dapat dengan mudah diperoleh dan dijelaskan.
2) Dengan diperolehnya latar belakang munculnya prilaku unik dan khas
tersebut akan memudahkan peneliti dalam menarik tema-tema dan
kesimpulan umum dari prilaku yang muncul

Kelemahan metode anecdotal record:

1) Waktu yang dibutuhkan sangat banyak.


2) Sulit diterapkan pada subjek teliti yang banyak atau komunal
3) Membutuhkan kecermatan dan kejelian yang tinggi dari peneliti
4) Peneliti cendrung untuk memisahkan prilaku dari prilaku yang lainnya

Tipe-tipe anecdotal record:

Anecdotal record terbagi menjadi beberapa tipe yang disesuaikan dengan


kebutuhan dan tujuan dari observasi yang dilakukan. Beberapa tipe tersebut
antara lain:

1. Tipe evaluasi
Tipe anecdotal record ini disesuaikan dengan namanya, yaitu evaluasi
yang berarti hasil akhir dari suatu prilaku yang muncul. Biasanya, hasil
akhir tersebut bersifat dikotomi atau lebih tepatnya, menempatkan pada
dua kutub yang berlawanan , misalnya baik-buruk, pantas-tidak pantas,
jujur-tidak jujur, diterima-tidak diterima, sehat-sakit, rajin-malas dan
seterusnya. Prilaku yang dimunculkan oleh subjek penelitian akan di
interpretasikan oleh peneliti dalam bentuk evaluasi.
2. Tipe interpretatif
Pada tipe ini, peneliti melakukan interpretasi suatu prilaku berdasarkan
kecendrungan-kecendrungan atau kemungkinan yang dapat dijadikan
alasan atau sebab akibat yang cukup kuat.
3. Tipe deskripsi umum
Tipe deskripsi umum merupakan tipe anecdotal record yang berisi tentang
catatan prilaku subjek beerta situasinya dalam bentuk pernyataan umum.
4. Tipe deskripsi khusus
Hampir sama dengan tipe deskripsi umum, tetapi lebih bersifat khusus dan
lebih detail, yaitu berisi tentang catatan prilaku subjek beserta situasinya
dalam bentuk pernyataan khusus.

b) Behavioral Checklist
Behavioral checklist atau biasa disebut checklist merupakan suatu metode
dalam observasi yang mampu memberikan keterangan mengenai muncul atau
tidaknya prilaku yang diobservasi dengan memberikan tanda cek (√) jika
prilaku yang diobservasi muncul. Dalam tabel checklist, observer (pengamat)
atau peneliti telah terlebih dahulu mencantumkan atau menuliskan indikator
prilaku yang mungkin dimunculkan oleh observe atau subjek penelitian.
Begitu prilaku yang diobservasi dimunculkan oleh observe, maka observer
langsung memberikan tanda cek (√) pada kolom disamping indikator prilaku
yang dimunculkan teersebut.
Format checklist sangat beragam,tergantung tujuan dan kepentingan
penelitian yang dilakukan. Dibawah ini contoh format checkllist sederhana.
Contoh kasusnya adalah penelitian prilaku agresif anak yang mengalami
attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) dalam kelas.
Observee/subjek :
Observer/peneliti :
Tanggal observasi :
Petunjuk.
Berikanlah cek (√) pada kolom yang tersedia jika prilaku yang tercantum
dalam kolom indikator perilaku, dimunculkan oleh observer/subjek.
NO. INDIKATOR PERILAKU CHECK (√)
1. Mendorong anak lain yang berdiri didepannya ketika √
sedang berbaris
2. Memukul anak lain dengan menggunakan alat √
3. Mencubit anak lain √
4. Memaki dan meledek anak lain ---
5. Merusak buku dan alat tulis anak lain √
6. Memukul-mukul papan tulis ---
7. Mencoret-coret dinding kelas √
8. Berbicara dengan nada keras kepada guru √
9. Membanting pintu kelas ---
10. Menarik pakaian anak lain √

c) Participation Charts
Metode ini merupakansalah satu metode observasi yang hampir mirip dengan
behavioral checklist, yaitu melakukan observasi, merekam atau mencatat
prilaku yang muncul atau tidak muncul dari subjek atau sejumlah subjek yang
dibservasi secara simultan dalam suatu kegiatan atau aktifitas tertentu. Kegitan
atau aktifitas yang umum ditepakan adalah kegiatan atau aktifitas kelompok
atau dilakukan secara bersama-sama yang salah satu tujuan dari metode
participation charts adalah melihat seberapa banyak atau seberapa sering
keterlibatan (partisipasi) atau keaktifan dari setiap subjek yang diobservasi
pada waktu yang sama. Setiap subjek yang diteliti menunjukkan keterlibatan
atau keaktifannya dalam kegiatan tersebut, observer memberikan satu skor
berupa garis (tally).
Untuk lebih mudah pembaca dalam memahami model perticipation chart
berikut contoh format dan penulisannya. Misalnya, peneliti ingin melakukan
observasi pada 8 orang siswa SMA yang sedang berdiskusi kelompok. Prilaku
yang akan diobservasi adalah keaktifan ddalam mengemukakan pendapat,
keaktifan dalam mencatat, dan keaktifan dalam memberi jawaban. Dari ketiga
prilaku tersebut, format dan penulisan model participation chart adalah sebagai
berikut:
Aktivitas : Diskusi kelompok
Waktu : tanggal 1 juli 2008, pukul 11:00-13:30 WIB
observer : Anna
Nama Keaktifan dalam Keaktifan dalam Keaktifan dalam
mengemukakan pendapat mencatat memberikan
jawaban
IIII III IIIII-III
Ariana
III IIIII-II IIIII-III
Romy
IIIII-IIIII-II II
Bonita
IIIII-IIIII-III IIIII-IIIII-II IIIII-I
Dilla
IIIII IIIII
Fredy
IIIII-IIIII II IIIII-II
Winona
II III IIIII
Harumi
IIIII-II IIIII-IIIII-II
Shella

Contoh participation chart yang sudah diberikan merupakan contoh yang


sangat sederhana karena hanya menyajikan kuantitas berupa jumlah partisipasi
subjek yang diteliti. Berikut ini akan disajikan contoh participation chart untuk
melihat partisipasi subjek secara kualitas, disamping kuantitasnya. Misalnya,
dalam situasi diskusi kelompok yang dilakukan oleh 8 orang siswa SMA
diatas, kita ingin mengetahui kualitas partisipasi yang diberikan oleh masing-
masing subjek. Kualitas partisipasi tersebut kita bagi menjadi 4 kriteria yang
berbeda, yaitu relevan, netral, tidak relevan, dan tidak memberikan kontribusi.
Tanggal : 21 oktober 2009
Aktivitas : diskusi kelompok dengan tema “ Menangani kasus kekerasan
disekolah”
Observer : Liony
TABELLLLL

d) Rating Scale
Merupakan salah satu metode observasi yang intinya hampir sama dengan
metode yang sebelumnya telah dibahas, yaitu behavioral checklist atau
paticipant chart, yaitu mencatat perilaku sasaran yang dimunculkan oleh
subjek atau observee. Perbedaannya terletak pada kebutuhan untuk
mengetahui kuantitas dan kualitas dari perilaku yang diteliti. Pada rating scale,
peniliti dapat lebih detail dalam melihat dan menghitung kuantitas atau jumlah
perilaku yang dimunculkan yang disertai dengan kualitas perilakunya tersebut.
Rating scale dilengkapi dengan item yang tertulis dalam bentuk kalimat
disertai dengan pilihan jawaban yang bersifat tingkatan ataupun berupa
kontinum yang memiliki tingkatan dari dua sisi yang berlawanan.
Chartwright & Chartwright (1984) menyatakan bahwa rating scale dapat
digunakan dalam situasi ketika performa yang diobservasi memiliki aspek atau
komponen yang berbeda dan setiap aspek atau komponen tersebut akan dinilai
dalam suatu skala atau dimensi yang berasal dari dua sisi yang berlawanan.
Rating scale juga disebut dengan checklist dengan bentuk yang berbeda
dengan perilaku yang akan diobservasi sudah disusun dan kemungkinan atau
pilihan jawaban telah disediakan untuk mengindikasikan derajat tertentu dari
perilaku yang dimunculkan. Untuk mempermudah pembaca berikut akan
diberikan contoh rating scale.

Cotoh kasus perilaku hidup bersih dan sehat siswa disekolah SMU X
Tanggal :6 Maret 2009
Nama :Nikita (siswa kelas 3)
Observer :Moreno
Deskripsi aktivitas :Perubahan perilaku siswa SMU X setelah mengikuti
seminar dengan tema “perilaku hidup sehat dan bersih”
Petunjuk :Lingkarin salah satu pilihan jawaban dari empat
pilihan keterangan yang tersedia pada bagian sebelah
kanan (T=tidak pernah, K=kadang-kadang, S=selalu,
X=tidak terobservasi) sesuai dengan perilaku yang
dimunculkan

No All item Keterangan


Subjek terlihat membuang sampah pada T K S X
1.
tempat sampah yang telah disediakan
Subjek mencuci tangan sebelum makan T K S X
2.
Subjek menggosok gigi setelah makan T K S X
3.
Subjek tidak jajan disembarang tempat T K S X
4.
Subjek tidak pernah meludah sembarangan T K S X
5.

e) Behavioran tallying dan charting


Salah satu kelebihan dari metode behavioral tallying dan charting adalah
bukan hanya mampu melakukan kuntifikasi atau perhitungan dari perilaku
yang di observasi, tetapi juga mampu mengubah hasil kuantifikasi tersebut
menjadi bentuk grafik. Lebih spesifik lagi, metode ini mampu
menguantifikasikan perilaku yang muncul dalam suatu rentang waktu yang
ditentukan. Misalnya berapa kali seorang pemain basket memasukkan bola
kedalam ring basket dalam waktu satu menit.
Tallying atau perhitungan dapat dilakukan dengan syarat batasan perilaku
yang akan di observasi harus jelas tiap unitnya dan tidak tumpang tindih
dengan perilaku lainnya yang menyebabkan sulitnya perilaku dihitung. Akan
tetapi, perlu diingat bahwa tidak semua perilaku mudah dihitung atau
dikuantifikasikan karena beberapa perilaku tidak memiliki batasan yang jelas
atau tidak dapat dilihat per unitnya karaena perilaku tersebut kompleks dan
tumpang tindih (overlapping) satu sama lain. Contoh dari perilaku tersebut,
misalnya menangis, merenung, mendengarkan musik, dan lain sebagainya.
Ketika seseorang menangis, banyak perilaku yang muncul dan batasannya
saling tumpang tindih. Salah satu cara untuk menguantifikasi perilaku yang
batasan nya tidak jelas diatas adalah dengan menghitung durasi waktunya
setiap perilaku tersebut muncul.

Dari kelima metode observasi yang telah dijelaskan, peneliti harus jeli dalam memilih
metodeobservasi yang disesuaikan dengan tujuan observasi serta batasan perilaku yang telah
ditentukan. Ketepatan memilih salah satu memilih metode observasi harus benar-benar
diperhatikan karena salah atu error dalam observasi dapat terjadi karena peneliti tidak dapat
memilih metode yang sesuai. Ketepatan memilih metode observasi juga menentukan
keakuratan hasil observasi yang didapat. Jika metode yang dipilih tidak sesuai dengan tujuan
observasi, maka hasilnya tidak akan mampu menggambarkan apa yang hendak dicari
walaupun penggunaan metode tersebut benar dan sesuai dengan prosedurnya (Herdiansyah,
2010).

2.12 Jenis-jenis observasi


Dari segi proses teknik pelaksanaannya, observasi dapat dibedakan menjadi participant
observation (observasi berperan serta) dan non participant observation, selanjutnya,
dari segi kerangka kerjanya observasi dibedakan menjadi 2 jenis yaitu observasi
terstruktur dan observasi tak berstruktur.
1) Observasi berdasarkan teknik pelaksanaannya yaitu:
a) Participant observation (observasi berperan serta)
Observasi partisipasi yaitu observasi yang dilakukan dengan cara ikut ambil
bagian atau melibatkan diri dalam situasi objek yang diteliti atau pengamat
ikut serta dalam kegiatan yang sedang berlangsung dan pengamat ikut sebagai
peserta rapat atau peserta pelatihan. Hal yang perlu diperhatikan dalam
observasi, khususnya observasi partisipasi ialah:
 Pencatatan harus dilakukan diluar pengetahuan orang-orang yang sedang
diamati
 Observer harus membina hubungan yang baik (good rapport)

Kelebihan dan kelemahan observasi partispasi adalah sebagai berikut:


Kelebihan observasi partisipasi adalah individu-individu yang diamati tidak
tahu bahwa mereka sedang diobservasi sehingga situasi dan kegiatan akan
berjalan lebih wajar. Adapun kelemahan dari observasi partisipatif, pengamat
harus melakukan dua kegiatan sekaligus, ikut serta dalam kegiatan disamping
melakukan pengamatan.
b) Non participant observation (observasi tak berperan serta)
Observasi tak berpartisipasi yaitu observasi yang dilakukan dengan cara tidak
ikut ambil bagian atau tidak ikut melibatkan diri dalam situasi objek yang
diteliti atau pengamat tidak ikut serta dalam kegiatan penelitian akan tetapi
pengamat hanya berperan mengamati kegiatan. Observasi ini bisa juga
dilakukan melalui perantara baik teknik maupun alat tertentu.
Kelebihan dan kelemahan observasi non partisipasi adalah sebagai berikut:
Kelebihan observasi non observasi adalah pengamat dapat lebih terfokus dan
seksama dalam melakukan pengamatan. Kelemahannya karena peserta tahu
kehadiran pengamat sedang melakukan pengamatan, maka perilaku atau
kegiatan individu-individu yang diamati bisa menjadi kurang wajar atau
dibuat-buat.
2) Observasi dari segi kerangka kerjanya yaitu:
a) Observasi terstruktur
Observasi terstruktur adalah observasi yang mana semua kegiatan observer
telah dirancang secara sistematis atau telah ditetapkan terlebih dahulu tentang
apa yang akan diamati, kapan dan dimana tempatnya. Jadi observasi
terstruktur dilakukan apabila peneliti telah tahu dengan pasti tentang variabel
apa yang akan diamati.
b) Observasi tak terstruktur
Observasi tak terstruktur adalah observasi yang semua kegiatan observer tidak
dipersiapkan secara sistematis tentang apa yang akan diamati, kapan dan
dimana tempatnya. Hal ini dilakukan karena peneliti tidak tahu secara tahu
secara pasti tentang apa yang akan diamati.

Contoh observasi terstruktur dalam jurnal Atrisman (2017):

ANALISIS KEMAMPUAN PSIKOMOTORIK DALAM PRAKTIKUM BIOKIMIA


PERCOBAAN LIPID PADA MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN
KIMIA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONTIANAK

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu teknik observasi terstruktur dan
wawancara terstruktur. Instrumen penelitian yang digunakan yaaitu lembar observasi dan
pedoman wawancara. Teknik pemeriksaan keabsahan data yaitu dilakukan validasi isi lembar
observasi oleh 2 orang validator Dosen FKIP Kimia UMP. Hasil validasi dinyatakan valid
dan layak digunakan sebagai instrumen penelitian dengan kriteria koefesien validasi sangat
tinggi. Teknik analisis data yang diperoleh dari lembar observasi yang sudah dinilai oleh 5
orang observer terhadap masing-masing mahasiswa dijumlah skor total (skor mentah) dan
dibagi jumlah skor keseluruhan (skor maksimal) dan dikalikan 100 % dan selanjutnya
menentukan kategori kemampuan untuk masing-masing mahasiswa berdasarkan skala
kategori kemampuan psikomotorik.

Data hasil penelitian ini, diperoleh dari tahapan-tahapan berikut ini:

a. Deskripsi Persiapan Penelitian


Pada tahap ini, peneliti mengumpulkan berbagai informasi yang akan diperlukan
dalam pelaksanaan penelitian. Informasi tersebut mengenai jadwal perkuliahan
praktikum Biokimia, jumlah subjek penelitian, ketersediaan alat dan bahan yang akan
digunakan pada saat praktikum percobaan lipid penentuan bilangan penyabunan dan
persiapan administrasi untuk mendapatkan surat izin penelitian bahwa peneliti akan
melakukan penelitian di laboratorium terpadu UMP.
b. Pelaksanaan Penelitian Pelaksanaan
penelitian ini, dilakukan pada tanggal 1 Juni 2015 di laboratorium terpadu FKIP
UMP. Pada saat penelitian, peneliti dibantu oleh lima orang observer untuk mengisi
lembar observasi sesuai kemampuan psikomotorik yang dimiliki oleh praktikan,
dimana masing-masing observer dapat menilai 5 sampai 6 orang praktikan pada saat
praktikum sedang berlangsung. Setelah praktikum selesai, selanjutnya peneliti
menganalisis data yang sudah diperoleh, kemudian mendapatkan hasil keseluruhan
kemampuan psikomotorik tiap-tiap mahasiswa.
2.13 Langkah-langkah observasi
Menurut Hasanah (2016) Tahapan atau proses observasi tersebut meliputi pemilihan
(selection), pengubahan (provocation), pencatatan (recording), dan pengkodeaan
(encoding), rangkaian perilaku dan suasana (tests of behavior setting), in situ, dan untuk
tujuan empiris.
a. Pemilihan (selection) menunjukkan bahwa pengamatan ilmiah mengedit dan
memfokuskan pengamatannya secara sengaja atau tidak sengaja. Pemilihan
mempengaruhi apa yang diamati, apa yang dicatat, dan apa yang disimpulkan.
Peneliti dapat menentukan pilihannya atas sejumlah gejala alam, sosial, dan atau
kemanusiaan yang dianggap dapat memberikan informasi sesuai dengan
kebutuhannya. Tentu dalam hal ini peneliti melakukan pemilihan subjek amatan,
dengan melibatkan semua atau sebagian kemampuan indrawiah.
b. Pengubahan (provocation), berarti observasi yang dilakukan bersifat aktif, tidak
hanya dilakukan secara pasif. Peneliti boleh mengubah perilaku atau suasana
tanpa mengganggi kewajaran, kealamiahan (naturalness). Mengubah perilaku
berarti dengan kesengajaan mengundang respon tertentu, misalnya mengubah
perilaku orang lain dengan menggunakan pengaruh teladan atau keteladanan
seseorang pada kondisi tertentu. Bryan & Lindlof (1995: 140) menyebutkan
bahwa Bryan dan Test (1967) pernah melakukan manipulasi dan menstimuli
perilaku subjek penelitian, tanpa mengganggu kewajaran, situasi alamiah
(naturalness). Bryan dan Test (1967) mencoba memberikan perilaku keteladanan
memberikan sumbangan pada kegiatan amal bagi The Salvation Army. Apa yang
dilakukan oleh Bryan dan Test, menunjukkan bahwa aspek keteladanan mampu
mempengaruhi perubahan perilaku atau memprovokasi tindakan seseorang
melakukan apa yang distimulasikan kepadanya.
c. Pencatatan (recording) adalah upaya merekam kejadian-kejadian menggunakan
catatan lapangan, sistem kategori, dan metode-metode lain. Setiap kejadian
hendaknya memerlukan pencatatan. Mengamati tanpa diimbangi dengan
pencatatan mengakibatkan pengamat lupa terhadap apa yang diamatinya.
Kemampuan pengamat lebih lemah dari yang seharusnya diingat, dan
kemampuan ingatan berbeda-beda. Hal ini dapat terjadi karena ada kemungkinan
seseorang lebih tertarik pada fenomena tertentu, dan justru lebih gampang
mengingatnya, daripada harus mengingat-ingat fenomena yang akan diteliti dan
harus diingatnya. Sebaliknya, subjek amatan justru lebih mudah berubah apabila
mengetahui bahwa dia sengan diamati dan dicatat tingkah lakunya (ini berbeda
dengan pengamatan pada benda, atau hewan).
d. Pengkodean (encoding) berarti proses menyederhanakan catatan-catatan melalui
metode reduksi data (Miles dan Huberman, 1984:16). Kegiatan ini dapat
dilakukan dengan menghitung frekuensi bermacam perilaku. Rangkaian perilaku
dan suasana yang ada, menunjukkan bahwa observasi melakukan serangkaian
pengukuran yang berlainan pada perilaku dan suasana. Pengkodean juga dapat
dilakukan untuk menyederhanakan pengamatan yang berlangsung secara cepat.
Penggodean dapat dilakukan menggunakan kata-kata kunci (key words), yang
nantinya disempurnakan menjadi kalimat berita secara utuh, setelah pengamatan
berlangsung.
e. In situ, berarti pengamatan kejadian dalam situasi alamiah (naturalistic),
meskipun tanpa menggunakan manipulasi eksperimental. Mengamati secara in
situ dapat dilihat dari pengamatan perilaku mahasiswa di kelas. Salah satunya
pada saat mengamati mahasiswa yang sedang mengikuti kuliah metodologi
penelitian kualitatif, pada program doktoral di IAIN Walisongo, tanggal 6
Desember 20014. Pengamatan in situ merupakan proses mengamati hal-hal apa
saja yang riil atau nyata, berdasarkan pengalaman riil di tempat kejadian
berlangsung (Santana, 2009: 127). Menurut penulis, observasi yang dimaksudkan
di sini diartikan sebagai seluruh kegiatan atau aktivitas ilmiah empiris, diawali
dengan kegiatan mengamati gejala atau realitas bersifat empiris.

2.14 Kelebihan dan kelemahan observasi


1) Kelebihan observasi
Adapun kelebihan metode observasi (Herdiansyah,2009) adalah sebagai berikut:
a. Data yang dikumpulkan melalui observasi cenderung mempunyai keandalan
yang tinggi karena biasanya peneliti sendiri yang mengamati secara saksama
setiap detail perilaku yang batasan perilaku yang diobservasi sudah ditentukan
sebelumnya. Terkadang, observasi juga dilakukan untuk mengecek validitas dari
data yang telah diperoleh sebelumnya (jika observasi yang dilakukan berulang-
ulang)
b. Dapat melihat langsung apa yang sedang dikerjakan oleh subjek hingga kepada
hal yang detail, pekerjaan-pekerjaan rumit yang kadang-kadang sulit untuk
diterangkan, tetapi dengan menggunakan metode observasi hal tersebut mampu
diungkap
c. Dapat menggambarkan lingkungan fisik dengan lebih detail, misalnya tata letak
ruang peralatan, penerangan, gangguan suara, dan lain-lain.
d. Dapat mengukur tingkat suatu pekerjaan, dalam hal waktu yang dibutuhkan,
untuk menyelesaikan satu unit pekerjaan tertentu.
2) Kelemahan observasi
Disamping kelebihan, metode observasi juga memiliki kelemahan berikut:
a. Pada umumnya, orang yang diamati mereka terganggu atau tidak nyaman,
sehingga akan melakukan pekerjaannya dengan tidak semestinya. Atau karena
diamati, perilakunya tidak alamiah. Bisa saja dilebih-lebihkan (faking good) atau
dikurang-kurangi (faking bad)
b. Suatu perilaku yang dimunculkan pada saat dilakukan observasi terkadang tidak
mempresentasikan perilaku dan kondisi yang sebenarnya. bahkan, perilaku yang
dituju tidak muncul pada saat observasi dilakukan
c. Adanya bias peneliti seperti peneliti yang terlalu baik atau terlalu “pelit” dalam
memberikan penilaian terhadap perilaku yang muncul. Dalam istilah psikologi,
hal ini biasa disebut dengan generousity effect, yaitu kecenderungan dari peneliti
atau observer untuk memberikan penilaian yang baik atau buruk ketika kondisi
atau keadaannya meragukan
d. Orientasi peneliti. Misalnya ketika seorang yang diobservasi berpakaian rapi dan
bertingkah laku sopan, tetapi peneliti juga merupakan orang yang sangat
menjunjung tinggi kerapian dan kesopanan, kecenderungan untuk memberikan
penilaian yang netralakan terganggu. Contoh lainnya, ketika peneliti
mengobservasi dan memberikan penilaian kepada dua orang subjek yang salah
satunya adalah kerabat atau orang yang satu marga atau satu suku bangsa,
sementara subjek lainnya orang yang berbeda suku bangsa, maka kecenderungan
untuk menilai lebih baik kepada subjek yang satu suku bangsa lebih besar. Dalam
istilah psikologi, hal ini disebut sebagai hallo effect.
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

3.2 SARAN

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Zainal. 2011. Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Atrisman. 2017. Analisis Kemampuan Psikomotorik Dalam Praktikum Biokimia Percobaan


Lipid Pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Kimia Universitas
Muhammadiyah Pontianak. Ar-Razi Jurnal Ilmiah, Vol. 5 No. 1, ISSN. 2503-4448.
Kalimantan Barat: Universitas Muhammadiyah Pontianak.
Hasanah, Hasyim. 2016. Teknik-Teknik Observasi (Sebuah Alternatif Metode Pengumpulan
Data Kualitatif Ilmu-Ilmu Sosial). Jurnal at-Taqaddum, Volume 8, Nomor 1,
Semarang: Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Semarang

Herdiansyah, Haris. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta:
Salemba Humanika

Hidayah, Lilatul, U. 2018. Penggunaan Instrumen Lembar Wawancara Pendukung Tes


Diagnostik Pendeteksi Miskonsepsi Untuk Analisis Pemahaman Konsep Buffer-
Hidrolisis. Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 12, No. 1. Semarang: Universitas
Muhammadiyah Semarang

Margono. 2005. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta

Pertiwi, Citra, F. Analisis Pengetahuan Konsep (K3) Laboratorium Kimia Di Man 2 Kota
Semarang. ISBN : 978-662-61599-6-0 Semarang: Universitas Muhammadiyah
Semarang.
Sudaryono. 2013. Pengembangan Instrumen Penelitian Pendidikan. Yogyakarta: Graha Ilmu

Sugiyono. 2017. Metodologi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta

Sukardi. 2012. Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta: PT


Bumi Aksara

Supriadi. 2018. Analisis Model Mental Mahasiswa Pendidikan Kimia Dalam Memahami
Jenis Reaksi Kimia. J. Pijar MIPA, Vol. XIII No.1, ISSN 1907-1744 (Cetak), ISSN
2410-1500 (Online). Indonesia: Universitas Mataram.

Anda mungkin juga menyukai