METODOLOGI PENELITIAN
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 13
DOSEN PENGAMPU :
UNIVERSITAS JAMBI
2019
BAB 1
PENDAHULUAN
Instrumen pengumpulan data adalah alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh
peneliti dalam kegiatannya mengumpulkan agar kegiatan tersebut menjadi sistematis dan
dipermudah olehnya (Suharsimi,2004). Selanjutnya instrumen yang diartikan sebagai alat
bantu merupakan saran yang dapat diwujudkan dalam benda (Sudaryono,2013).
Pengumpulan data dapat dilakukan dalam berbagai setting, berbagai sumber, dan
berbagai cara. Bila dilihat dari settingnya, data dapat dikumpulkan pada setting alamiah
(Natural setting), pada laboratorium dengan metode eksperimen, dirumah dengan berbagai
responden, pada suatu seminar, diskusi, dijalan dan lain-lain. Bila dilihat dari sumber datanya
maka pengumpulan data dapat menggunakan sumber primer dan sumber sekunder. Sumber
primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data, dan
sumber sekunder adalah sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul
data, mislanya lewat orang lain ataupun lewat dokumen. Selanjutnya bila dilihat dari segi
cara atau teknik pengumpulan data, maka teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan
observasi (pengamatan), interview (wawancara), kuesioner (angket), dokumentasi dan
gabungan keempatnya.
WAWANCARA
Definisi wawancara berikutnya dikemukakan oleh Stewart & Cash (2008) yang
didefinisikan sebagai berikut: An interview is interactional because there is an
exchanging, or sharing of roles, responsibilities, feelings, beliefs, motives and
information. If one person does all of the talking and the other all of the listening, a
speech to an audience of one, not an interview, is talking place. Berdasarkan definisi
menurut Stewart & Cash, wawancara diartikan sebagai interaksi yang didalamnya
terdapat pertukaran atau berbagai aturan, tanggung jawab, perasaan, kepercayaan, motif
dan informasi. Wawancara bukanlah suatu kegiatan dengan konsiddi satu orang
melakukan atau memulai pembicaraan sementara yang lain hanya mendengarkan.
Berdasarkan pengertian menurut para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa wawancara
merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui percakapan dan tanya
jawab, baik langsung maupun tidak langsung dengan responden untuk mencapat tujuan
tertentu. Tujuan wawancara adalah untuk memperoleh informasi secara langsung,
menyelami dunia pikiran dan perasaan seseorang, membuat suatu konstruksi “Sekarang
dan disini “ mengenai orang, merekonstruksi kejadian dan pengalaman yang telah lalu,
dan memproyeksikan suatu kemungkinan yang diharapkan akan terjadi dimasa
mendatang serta untuk memengaruhi situasi tertentu.
b. Wawancara semi-terstruktur
Jenis wawancara ini sudah termasuk dalam kategori in-dept interview, dimana
dalam pelaksanaannya lebih bebas bila dibandingkan dengan wawancara
terstruktur. Tujuan dari wawancara jenis ini adalah untuk menemukan
permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak wawancara diminta
pendapat, dan ide-ide nya. Dalam melakukan wawancara, peniliti perlu
mendengarkan secara teliti dan mencatat apa yang dikemukankan oleh informan.
Wawancara semi-struktur lebih tepat jika dilakukan pada penelitian kualitatif
daripada penelitian lainnya.
Menurut Herdiansyah (2010) beberapa ciri dari wawancara semi-terstruktur
dijelaskan sebagai berikut:
1) Pertanyaan terbuka, namun ada batasan tema dan alur pembicaraan
Pertanyaan yang diajukan dalam wawancara semi-terstruktur adalah
pertanyaan terbuka yang berarti bahwa jawaban yang diberikan oleh
terwawancara tidak dibatasi, sehingga subjek dapat lebih bebas
mengemukakan jawaban apapun sepanjang tidak keluar dari konteks
pembicaraan. Akan tetapi, perlu diingat bahwa waalaupun subjek diberi
kebebasan dalam memberikan jawaban, namun tetap dibatasi oleh tema dan
alur pembicaraan agar pembicaraan tidak melebar ke arah yang tidak
diperlukan. Hal ini membutuhkan keahlian dari peneliti untuk tetap berada
dijalur tema yang sesuai dengan tujuan wawancara.
2) Kecepatan wawancara dapat diprediksi
Walaupun ada kebebasan dalam menjawab pertanyaan wawancara, tetapi
kecepatan dan waktu wawancara masih dapat diprediksi. Kontrol waktu dan
kecepatan wawancara ada pada keterampilan terwawancara dalam mengatur
alur dan tema pembicaraan agar tidak melebar ke arah yang tidak diperlukan.
Jika diperlukan, pewawancara dapat membuat catatan kecil yang berfungsi
sebagai pengingat (reminder) alur pembicaraan.
3) Fleksibel, tetapi terkontrol (dalam hal pertanyaan atau jawaban)
Pertanyaan yang diajukan bersifat fleksibel, tergantung situasi kondisi serta
alaur pembicaraan. Demikian pula jawaban yang diberikan oleh
terwawancara dapat lebih fleksibel. Walaupun pertanyaan dan jawaban
bersifat fleksibel, tetapi masih ada kontrol yang dipegang oleh peneliti, yaitu
tema wawancara.
4) Ada pedoman wawancara yang dijadikan patokan dalam alur, urutan, dan
penggunaan kata
Pedoman wawancara diperlukan dalam wawancara semi-terstruktur yang
dijadikan patokan ataupun kontrol dalam hal alur pembicaraan dan untuk
prediksi waktu wawancara. Namun, perlu dibedakan antara pedoman
wawancara terstruktur dengan wawancara semi-terstruktur. Pada pedoman
wawancara semi-terstruktur, isi yang tertulis pada pedoman wawancara hanya
berupa topik-topik pembicaraan saja yang mengacu pada satu tema sentral
yang telah ditetapkan dan disesuaikan dengan tujuan wawancara. Peneliti
bebas berimprovisasi dalam mengajukan pertanyaan yang sesuai dengan
situasi dan alur alamiah yang terjadi asalkan tetap pada topik-topik yang telah
ditentukan. Topik dan tema tersebut dijadikan sebagai kontrol pembicaraan
dalam wawancara semi-terstruktur.
5) Tujuan wawancara adalah untuk memahami suatu fenomena
Tujuan dari wawancara semi-terstruktur adalah untuk memahami suatu
fenomena atau permasalahan tertentu. Karena tujuannya adalah untuk
memahami suatu fenomena, bentuk wawancara semi-terstruktur sangat sesuai
untuk penelitian kualitatif yang esensinya adalah untuk mendapatkan
pemahaman dari suatu fenomena.
c. Wawancara tidak terstruktur
Wawancara tidak terstruktur adalah wawancara yang bebas dimana peneliti tidak
menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan
lengkap dalam pengumpulan datanya. Pedoman wawancara tidak terstruktur yaitu
pedoman wawancara yang hanya memuat garis besar yang akan dinyatakan.
Dalam hal ini kreatifitas pewawancara sangat diperlukan. Wawancara sebagai
pengemudi jawaban responden, jenis ini cocok untuk penelitian kasus.
Dalam wawancara tidak terstruktur, peneliti belum mengetahui secara pasti data
apa yang akan diperoleh, sehingga peneliti lebih banyak mendengarkan apa yang
diceritakan oleh responden. Berdasarkan analisis terhadap setiap jawaban dari
responden tersebut, maka peneliti dapat mengajukan berbagai pertanyaan
berikutnya yang lebih terarah pada suatu tujuan. Dalam melakukan wawancara
peneliti dapat menggunakan cara “berputa-putar baru memukik” artinya pada
awal wawancara, yang dibicarakan adalah hal-hal yang tidak terkait dengan
tujuan, dan bila sudah terbuka kesempatan untuk menanyakan sesuatu yang
menjadi tujuan, maka segera ditanyakan.
Wawancara baik dilakukan dengan face to face maupun yang menggunakan
pesawat telepon, akan selalu terjadi kontak pribadi, oleh karena itu pewawancara
perlu memahami situasi dan kondisi sehingga dapat memilih waktu yang tepat
kapan dan dimana harus melakukan wawancara. Pada saat responden sedang
sibuk kerja, sedang mempunyai masalah berat, sedang mulai istirahat, sedang
tidak sehat, atau sedang marah, maka harus hati-hati dalam melakukan
wawancara, kalau dipaksakan wawancara dalam kondisi seperti itu, maka akan
menghasilkan data yang tidak valid dan akurat.
Bila responden yang akan diwawancarai telah ditentukan orangnya maka
sebaiknya sebelum melakukan wawancara pewawancara minta waktu terlebih
dahulu, kapan dan dimana bisa melakukan wawancara. Dengan cara ini, maka
suasana wawancara akan lebih baik, sehingga data yyang diperoleh akan lebih
lengkap dan valid.
Informasi atau data yang diperoleh dari wawancara sering bias. Bias adalah
menyimpang dari yang seharusnya, sehingga dapat dinyatakan data tersebut
subjektif dan tidak akurat. Kebiasan data ini akan tergantung pada pewawancara,
yang diwawancarai (responden) dan situasi dan kondisi pada saat wawancara.
Menurut Herdiansyah (2010) Wawancara tidak terstruktur hampir mirip dengan
bentuk wawancara semi-terstruktur. Wawancara tidak struktur memiliki ciri-ciri
dibawah ini:
1) Pertanyaannya sangat terbuka, jawabannya lebih luas dan bervariasi
Bentuk pertanyaan yang diajukan sangat terbuka,hampir tidak ada pedoman
yang digunakan sebagai kontrol. Begitupun dengan jawaban dari subjek atau
terwawancara, dapat sangat luas dan bervariasi.
2) Kecepatan wawancara sulit diprediksi
Kecepatan dan waktu wawancara lebih sulit diprediksi karena sangat
bergantung dari alur pembicaraan yang kontrolnya sangat fleksibel dan lunak.
Akhir dari wawancara tidak terstruktur juga terkadang tidak mendapatkan
kesimpulan yang cukup jelas dan mengerucut.
3) Sangat fleksibel (dalam hal pertanyaan dan jawaban)
Pertanyaan yang diajukan oleh pewawancara dan jawaban yang diperoleh dari
subjek atau terwawancara sangat fleksibel. Bahkan, terkesan seperti
perbincangan angalor-ngidul. Jika peneliti yang memilih bentuk wawancara
ini belum berpengalaman atau memiliki jam terbang kurang maka akan
mengalami kendala dalam hal merumuskan tema serta menarik kesimpulan
wawancara.jika peneliti masih belum cukup pengalaman sebaiknya tidak
menggunakan bentuk wawancara tidak terstruktur
4) Pedoman wawancara sangat longgar urutan pertanyaan, penggunaan kata, alur
pembicaraan
Hampir sama dengan wawancara semi-terstruktur, dalam wawan tidak
terstruktur pedoman wawancara tetap masih diperlukan. Hanya saja, dalam
wawancara semi-terstruktur masih terdapat topik-topik yang dibuat sebagai
kontrol alur pembicaraan yang mengacu pada satu tema sentaral, sedangkan
pedoman wawancara tidak terstruktur tidak terdapat topik-topik yang
mengontol alur pembicaraan, tetapi hanya terdapat tema sentral saja yang
digunakan peneliti atau pewawancara sebagai kontrol alur pembicaraan
selama wawancara berlangsung
5) Tujuan wawancara untuk memahami suatu fenomena
Dalam hal tujuan, ada kesamaan dengan wawancara semi-terstruktur, yaitu
untuk memahami suatu fenomena, sehingga bentuk wawancara tidak
terstruktur sesuai untuk digunakan dalam penelitian kualitatif.
2.4 Bentuk-bentuk pertanyaan wawancara
Dalam wawancara, tentu saja tidak terlepas dari serangkaian pertanyaan yang diajukan.
Namun, pertanyaan yang diajukan tesebut tidaak terlepas dari kaidah-kaidah secara
metodologi yang harus diperhatikan. Jika seorang peneliti tidak memahami kaidah dalam
membuat dan mengajukan pertanyaan, maka respon atau jawaban yang diperoleh tidak
akan optimal dan maksimal, atau bahkan sia-sia karena jauh melenceng dari tujuan
wawancara itu sendiri. Untuk mengantisipasi hal tersebut, diperlukan ketelitian dalam
membuat dan mengajukan pertanyaan wawancara.
Berdasarkan sudut pandang metodologi, ada beberapa bentuk pertanyaan wawancara
yang perlu diperhatikan dalam proses wawancara. Stewart & Cash (2008)
menyatakan 3 bentuk pertanyaan dalam bentuk wawancara yang dijelaskan sebagaai
berikut:
a) Pertanyaan terbuka-pertanyaan tertutup
Pertanyaan terbuka adalah pertanyaan yang jawabannya bersikap luas dan
memberikan kebebasan kepada subjek untuk memberikan banyak informasi yang
mendalam. Biasanya, pertanyaan terbuka selalu diawali dengan kata bagaimana
atau mengapa. Terdapat beberapa kelebihan dari pertanyaan terbuka antara lain:
1) Pertanyaan terbuka mampu mendorong terwawancara untuk berbicara
sebanyak dan sebebas yang diinginkan
2) Bagi pewawancara, pertanyaan terbuka dapat memperoleh data yang
mendalam
3) Pertanyaan terbuka dapat mengungkap hal-hal yang bersifat pribadi, seperti
perasaan, pengetahuan, persepsi, dan prasangka dari pewawancara
1) Karena kedalam data atau informasi yang diperoleh, boleh jadi dalam satu
kali wawancara mungkin hanya akan mengungkap sedikit hal saja
2) Karena kebebasan dalam menjawab tersebut, banyak informasi yang tidak
kita perlukan justru dikemukakan lebih dalam oleh pewawancara
3) Terkadang informasi yang didapat kadang menyulitkan ketika direkam dan
dibuat verbatim wawancara
Lebih spesifik lagi, Stewart & Cash (2008) juga membagi pertanyaan terbuka
menjadi 2 macam pertanyaan, yaitu highly open questions dan moderately open
questions. Highly open questions merupakan pertanyaan terbuka yang (hampir)
tidak ada batasan dalam menjawab. Moderately open questions merupakan
pertanyaan terbuka yang memiliki batasan jawaban, namun tetap memberikan
kebebasan dalam menjawab.
Pertanyaan tertutup merupakan pertanyaan dengan fokus yang sempit dan tidak
memungkinkan terwawancara untuk memberikan informasi yang luas.
Pertanyaan tertutup adalah bentuk pertanyaan yang lebih spesifik dan lebih
konkret, sehingga jawabannya pun spesifik dan konkret.
Seperti pertanyaan terbuka, Stewart & Cash (2008) jjuga membagi pertanyaan
tertutup menjadi moderately open questions dan highly open questions.
Moderately open questions merupakan jenis pertanyaan tertutup yang bertujuan
untuk menanyakan hal-hal terbatas dan spesifik, sedangkan highly open
questions merupakan pertanyaan tertutup yang informasi atau jawabannya sangat
spesifik dan biasanya sudah tertera dalam lembar pertanyaan.
b) Pertanyaan primer-pertanyaan sekunder
Setiap wawancara umumnya terdiri atas satu tema utama yang dalam tema
tersebut pasti terdiri atas topik-topik bahasan. Pertanyaan primer merupakan
pertanyaan yang bersifat umum untuk mengungkapkan data berdasarkan tiopik-
topik bahasan dan dapat berdiri sendiri. Pertanyaan primer biasanya masih
bersifat umum dan luas serta belum terlalu spesifik dan praktis, sehingga masih
harus dipersempit dan dispesifikasikan menjadi beberapa sub topik yang lebih
sederhana, spesifik, dan praktis, untuk memudahkan dalam menganalisis hasil
wawancara nanntinya. Spesifikasi dari pertanyaan primer disebut juga sebagai
pertanyaan sekunder. Pertanyaan sekunder merupakan pertanyaan lanjutan dari
pertanyaan primer yang berfungsi untuk memberikan penjelasan lebih lanjut atau
sebagai tambahan informasi yang dibutuhkan. Pertanyaan sekunder juga disebut
dengan istilah probing.
Pertanyaan sekunder dapat berbentuk pertanyaan terbuka-tertutup yang
memungkinkan untuk menggali informasi jika informasi yang diberikan tidak
sempurna, tidak relevan, tidak akurat, atau hanya permukaan saja, sehingga
diperlukan suatu usaha untuk memperjelasnya. Probing tidak selalu harus
dilakukan ketika informasi yang diberikan oleh subjek kurang jelas atau kurang
sempurna. Perlu kejelian dan kesensitivitasan dari peniliti untuk
mempertimbangkan situasi dan kondisi dalam melakukan probing.
c) Pertanyaan netral-pertanyaan mengarahkan
Pertanyaan netral merupakan pertanyaan yang membebaskan terwawancara untuk
menjawab atau memutuskan jawaban tanpa adanya arahan, tekanan, atau
“paksaan” dari pewawancara. Pertanyaan yang diberikan oleh pewawancara tidak
mengandung unsur tertentu, seperti pembelaan, menyalahkan, menekan, ataupun
paksaan, sehingga terwawancara bebas menjawab pertanyaan tersebut dengan
jawaban apapun sesuai dengan jawaban yang dinginkan terwawancara.
Stewart & Cash (2008) mengemukakan dua bentuk pertanyaan netral. Pertama,
pertnyaan netral-terbuka (open-neutral questions) merupakan suatu pertanyaan
yang dikemukaakan oleh pewawancara yang pertanyaan tersebut membebaskan
terwawancara dalam menjawab dengan seluas-luasnya, sedalam-dalamnya, dan
sedetail-detailnya tanpa ada arahan, tekanan, atau pembatasan jawaban dari
pewawancara. Kedua, pertanyaan netral-tertutup (closed-neutral questions)
hampir sama dengan pertanyaan netral-terbuka, yaitu pertanyaan yang
dikemukakan oleh pewawancara yang membebaskan terwawancara dalam
menjawab, tetapi pilihan jawabannya sudah tersedia dan biasnya bersifat bipolar
(terdapat dua pilihan jawaban yang keduanya saling bertentanga), seperti jawaban
“iya” atau “tidak”, “setuju” atau “tidak setuju”, dan lain sebagainya.
Pertanyaan mengarahkann merupakan pertanyaan yang menawarkan jawaban
yang diinginkan atau dikendaki karena pertanyaan yang dibuat, membimbing
terwawancara kepada jawaban yang telah tersedia atau jawaban yang telah
diarahkan oleh pewawancara. Hampir sama dengan pertanyaan netral, pertanyaan
mengarahkan pun memiliki 2 bentuk. Pertama, pertanyaan mengarahkan-terbuka
(open-leading questions) merupakan suatu pertanyaan yang jawabannya akan
diberikan oleh terwawancara sesudah diarahkan oleh pewawancara walaupun
alternatif jawabannya masih bersifat terbuka dan bebas, tetapi arahnya sudah
diarahkan oleh pewawancara. Kedua, pertanyaan mengarahkan-tertutup (closed-
leading questions) merupakan pertanyaan dengan jawaban yang akan diberikan
sudah diarahkan oleh pewawancara, sekaligus alternatif jawabannya pun sudah
tidak lagi terbuka, tetapi sudah diarahkan (biasanya alternatif jawabannya bersifat
dikotomi).
Untuk lebih memudahkan pembaca dalam membedakan pertanyaan netral dan
pertanyaan mengarahkan berikut diberikan contoh dalam tabel.
Tabel 8.1 perbedaan pertanyaan netral dan pertanyaan mengarahkan
PERTANYAAN NETRAL PERTANYAAN MENGARAHKAN
Menurut Linchon dan Guba (1985), proses wawancara dilakukan dalam 5 tahap,
yaitu:
1) Menentukan aktor yang akan diwawancarai
2) Mempersiapkan kegiatan wawancara: sifat pertanyaan, alat bantu,
menyesuaikan waktu dan tempat, membuat janji
3) Menentukan fokus permasalahan, membuat pertanyaan pembuka, dan
mempersiapkan catatan sementara
4) Melaksanakan wawancara sesuai dengan persiapan yang dikerjakan
5) Menutup pertemuan
Hasil-hasil wawancara ini dituangkan dalam suatu ringkasan yang dimulai dari
penjelasan identitas, deskripsi situasi atau konteks, identifikasi masalah, deskripsi
data, unitisasi, dan ditutup oleh pertanyaan-pertanyaan. Setelah dilakukan
wawancara, informasi yang diperoleh diolah dan dikonfirmasikan melalui tahap
triangulasi dan member check. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh masukan
mengenai kesesuaian data yang satu dengan data yang lain.
Ada beberapa instrumen pendeteksi miskonsepsi yang sering digunakan para peneliti dan
guru untuk mengetahui siswa mengalami miskonsepsi atau tidak (Suparno, 2005) sebagai
berikut : 1) Peta konsep (Concept Maps); 2) Tes Diagnostik multiple choice dengan
reasoning terbuka; 3) Tes Diagnostik tertulis (esai); 4) Wawancara diagnostik; 5) Diskusi
pemecahan masalah dalam kelas; 6) Praktikum dengan tanya jawab. Diantara 6 instrumen
diagnostik lainnya, wawancara berperan penting dalam mendeteksi miskonsepsi pada siswa
karena dengan wawancara dapat mengungkap pemahaman siswa secara mendalam (Gurel, et
al., 2015). Tujuan wawancara menurut Frankel dan Wallen (2000) yaitu untuk menemukan
sesuatu yang ada dalam pikiran seseorang, apa yang mereka pikirkan, dan bagaimana
seseorang. Wells dan Swackhamer (1992) menyatakan bahwa jika kemampuan peneliti
memadai dalam melakukan wawancara, maka wawancara merupakan instrumen yang paling
efektif untuk mengetahui miskonsepsi pada siswa. Wawancara dapat berbentuk wawancara
bebas dan terstruktur. Guru atau peneliti bebas bertanya kepada siswa dan siswa dapat dengan
bebas menjawab dalam wawancara bebas. Urutan atau apa yang akan ditanyakan dalam
wawancara itu tidak dipersiapkan terlebih dahulu. Berbeda dengan wawancara bebas, dalam
wawancara terstruktur pertanyaan sudah disiapkan dan urutannya pun secara garis besar
sudah disusun, sehingga mempermudah pada wawancara berlangsung (Suparno, 2005.
Metode penelitian
Metode pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan metode tes dan wawancara.
Metode tes menggunakan instrumen tes diagnostik multiple choice dengan reasoning terbuka
yang digunakan untuk mengambil data pemahaman konsep siswa. Wawancara menggunakan
lembar wawancara digunakan untuk mendukung analisis pemahaman konsep dan mendeteksi
miskonsepsi siswa. Wawancara ini berfungsi untuk melengkapi dan memperkuat data
hasildari tes tertulis, serta mengungkapkan hal-hal yang tidak terungkap dalam tes tertulis.
Afif : “….(bingung)
Pewawancara : “Lalu Dari campuran H2CO3 dan NaHCO3 manakah yang termasuk asam
konjugasi dan manayang asam konjugasi?”
Wawancara guru kimia terkait dengan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) laboratorium
kimia di MAN 2 Kota Semarang dilaksanakan di ruang tamu samping lobby sekolah.
Berdasarkan hasil wawancara guru kimia pengertian dari Kesehatan dan Keselamatan Kerja
(K3) laboratorium itu sendiri merupakan Kesehatan upaya yang terencana untuk mencegah
terjadinya musibah kecelakaan ataupun penyakit akibat penyalah gunakan alat maupun bahan
kimia pada saat praktikum.Selain untuk mencegah terjadinya kecelakaan, pelaksanaan
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)akan menimbulkan kondisi dan suasana laboratorium
yang nyaman. Jika suasana laboratorium nyaman, pengguna (guru kimia, pengelola, ataupun
praktikan)akan nyaman dalam bekerja di laboratorium. Hal tersebutakan meningkatkan
semangat dan produktifitas kerja. Akan tetapi di MAN 2 Kota Semarang tidak dapat
menerapkan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) didalam laboratorium kimia dengan
berbagai pertimbangan diantaranya adalah kurangnya dukungan pihak sekolah dalam
menyediakan sarana prasarana laboraorium seperti APD (Alat Pelindung Diri) meliputi jas
laboratorium yang dimiliki setiap siswa, ketersediaan sarung tangan, ketersediaan masker,
tidak adanya ketersediaan laboran kimia, sehingga manajemen dan pengelolaan laboratorium
kimia tidak sepenuhnya terstruktur karena pengelolaan tersebut diampu oleh 3 guru kimia
secara bergantian. Selain itu minimnya pelaksanaan praktikum kimia di MAN 2 Kota
Semarang sehingga siswa tidak terbiasa dengan alat dan bahan kimia yang ada
dilaboratorium, minimnya pengetahuan siswa terhadap nama dan cara penggunaan alat-alat
kimia baik alat gelas maupun non-gelas.
Berdasarkan hasil wawancara guru kimia, pada saat siswa melakukan praktikum tidak
menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) begitu pula guru kimia sebagai pendamping siswa
pada saat praktikum juga tidak menggunakan APD (Alat Pelindung Diri). Hasil wawancara
guru terkait dengan pernyataan diatas bahwa daya dukung pihak sekolah kurang memadai,
contoh : ketersediaan jas laboratorium kimia terbatas sehingga setiap siswa tidak memiliki jas
laboratorium sendiri, kurangnya jadwal praktikum kimia di MAN 2 Kota Semarang sehingga
alat dan bahan kimia serta jas laboratorium yang telah disediakan kurang terjaga
kebersihannya, penyalahgunaan laboratorium kimia sehingga dijadikan sebagai ruang kelas,
hal tersebut akan menghambat pelaksanaan praktikum siswa.
Berdasarkan analisis fakta dapat disimpulkan bahwa di MAN 2 Kota Semarang belum
menerapkan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) didalam laboratorium dengan minimnya
daya dukung pihak sekolah terkait dengan sarana prasarana yang mendukung serta minimnya
pengetahuan siswa terhadap nama dan cara penggunaan alat-alat laboratorium baik alat gelas
maupun non-gelas dan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) itu sendiri.
Selain wawancara dengan guru kimia selaku pendamping siswa pada saat praktikum dan
selaku laboran didalam laboratorium kimia MAN 2 Kota Semarang, praktikan juga
mewawancarai beberapa siswa guna untuk mengetahui sejauh mana pemahaman siswa terkait
dengan penerapan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) laboratorium kimia di MAN 2
Kota Semarang. Siswa yang diwawancarai bersifat random yaitu tidak semua siswa
diwawancari, sampel yang digunakan untuk mengambil data hasil wawancara adalah kelasXI
IPA 3, XI IPA 4, XII IPA 4 dan XII IPA 5. Sampel yang diambil hanya siswa yang memilih
jurusan IPA karena didalam jurusan IPA mata pelajaran kimia merupakan mata pelajaran
kimia wajib sehingga akan berhubungan dengan praktikum kimia dan Kesehatan dan
Keselamatan Kerja (K3) laboratorium, walaupun di MAN 2 Kota Semarang ada lintas minat
mata pelajaran kimia disiswa IPS, namun pengetahuan siswa IPS terkait dengan mata
pelajaran kimia tidak sespesifik siswa IPA.
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa siswa kelas XI IPA 3,XI IPA 4, XII IPA 4
dan XII IPA 5 hampir jawaban dari pertanyaan wawancara sama, bahwa siswa tidak mengerti
komponen dan pentingnya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) laboratorium pada saat
melaksanakan praktikum di laboratorium. Alasan mereka mengapa minim akan pengetahuan
tersebut adalah kurang adanya sosialisai atau materi tentang Kesehatan dan Keselamatan
Kerja (K3) laboratorium baik dari segi nama-nama alat-alat laboratorium kimia, cara
penggunaan alat-alat laboratorium kimia, nama-nama bahan kimia, cara mengenal dan
menangani bahaya di dalam laboratorium, dan pengetahuan tentang APD (Alat Pelindung
Diri). Selain itu minimnya pelaksanaan praktikum di dalam pembelajran juga mempengaruhi
siswa terkait dengan pemahaman Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) laboratorium,
sehingga siswa tidak terbiasa dengan laboratorium baik dalam segi alat, bahan maupun
komponen lainnya yang dapat mendukung proses praktikum kimia.
Akan tetapi, ada beberapa siswa yang paham mengenai tata cara menggunakan alat-alat
laboratorium maupun pemahaman tentang nama alat-alat laboratorium. Pengetahuan siswa
mengenai hal tersebut tidak didapat pada saat siswa belajar di MAN 2 Kota Semarang tetapi
pemahaman tersebut didapat pada saat siswa praktikum di Sekolah Menengah Pertama
(SMP).
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Namun,
data dikumpulkan secara kualitatif dan kuantitatif melalui kuesioner tertulis dan wawancara
tidak terstruktur.
Instrumen penelitian
Dalam mengungkap model mental, harus dimulai dengan pertanyaan yang berkaitan dengan
konsep. Dalam penelitian ini, mahasiswa diberikan 10 soal yang berkaitan dengan video
tentang topik reaksi pembentukan, reaksi penguraian, reaksi pembakaran, reaksi substitusi
tunggal dan reaksi substitusi ganda. Selain itu, mahasiswa juga diminta untuk menjawab soal-
soal tes identifikasi pengetahuan awal yang berisi 19 item soal yang mencakup konsep energi
aktivasi, termokimia, laju reaksi, teori tumbukan, konsep kelarutan, spontanitas reaksi, dan
mekanisme reaksi. Semua konsep tersebut diterapkan dalam menjelaskan proses terjadinya
reaksi kimia. Semua soal, baik tes model mental maupun tes pengetahuan awal sudah
dinyatakan valid oleh dua orang dosen pendidikan kimia Universitas Negeri Malang.
OBSERVASI
1. Tipe evaluasi
Tipe anecdotal record ini disesuaikan dengan namanya, yaitu evaluasi
yang berarti hasil akhir dari suatu prilaku yang muncul. Biasanya, hasil
akhir tersebut bersifat dikotomi atau lebih tepatnya, menempatkan pada
dua kutub yang berlawanan , misalnya baik-buruk, pantas-tidak pantas,
jujur-tidak jujur, diterima-tidak diterima, sehat-sakit, rajin-malas dan
seterusnya. Prilaku yang dimunculkan oleh subjek penelitian akan di
interpretasikan oleh peneliti dalam bentuk evaluasi.
2. Tipe interpretatif
Pada tipe ini, peneliti melakukan interpretasi suatu prilaku berdasarkan
kecendrungan-kecendrungan atau kemungkinan yang dapat dijadikan
alasan atau sebab akibat yang cukup kuat.
3. Tipe deskripsi umum
Tipe deskripsi umum merupakan tipe anecdotal record yang berisi tentang
catatan prilaku subjek beerta situasinya dalam bentuk pernyataan umum.
4. Tipe deskripsi khusus
Hampir sama dengan tipe deskripsi umum, tetapi lebih bersifat khusus dan
lebih detail, yaitu berisi tentang catatan prilaku subjek beserta situasinya
dalam bentuk pernyataan khusus.
b) Behavioral Checklist
Behavioral checklist atau biasa disebut checklist merupakan suatu metode
dalam observasi yang mampu memberikan keterangan mengenai muncul atau
tidaknya prilaku yang diobservasi dengan memberikan tanda cek (√) jika
prilaku yang diobservasi muncul. Dalam tabel checklist, observer (pengamat)
atau peneliti telah terlebih dahulu mencantumkan atau menuliskan indikator
prilaku yang mungkin dimunculkan oleh observe atau subjek penelitian.
Begitu prilaku yang diobservasi dimunculkan oleh observe, maka observer
langsung memberikan tanda cek (√) pada kolom disamping indikator prilaku
yang dimunculkan teersebut.
Format checklist sangat beragam,tergantung tujuan dan kepentingan
penelitian yang dilakukan. Dibawah ini contoh format checkllist sederhana.
Contoh kasusnya adalah penelitian prilaku agresif anak yang mengalami
attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) dalam kelas.
Observee/subjek :
Observer/peneliti :
Tanggal observasi :
Petunjuk.
Berikanlah cek (√) pada kolom yang tersedia jika prilaku yang tercantum
dalam kolom indikator perilaku, dimunculkan oleh observer/subjek.
NO. INDIKATOR PERILAKU CHECK (√)
1. Mendorong anak lain yang berdiri didepannya ketika √
sedang berbaris
2. Memukul anak lain dengan menggunakan alat √
3. Mencubit anak lain √
4. Memaki dan meledek anak lain ---
5. Merusak buku dan alat tulis anak lain √
6. Memukul-mukul papan tulis ---
7. Mencoret-coret dinding kelas √
8. Berbicara dengan nada keras kepada guru √
9. Membanting pintu kelas ---
10. Menarik pakaian anak lain √
c) Participation Charts
Metode ini merupakansalah satu metode observasi yang hampir mirip dengan
behavioral checklist, yaitu melakukan observasi, merekam atau mencatat
prilaku yang muncul atau tidak muncul dari subjek atau sejumlah subjek yang
dibservasi secara simultan dalam suatu kegiatan atau aktifitas tertentu. Kegitan
atau aktifitas yang umum ditepakan adalah kegiatan atau aktifitas kelompok
atau dilakukan secara bersama-sama yang salah satu tujuan dari metode
participation charts adalah melihat seberapa banyak atau seberapa sering
keterlibatan (partisipasi) atau keaktifan dari setiap subjek yang diobservasi
pada waktu yang sama. Setiap subjek yang diteliti menunjukkan keterlibatan
atau keaktifannya dalam kegiatan tersebut, observer memberikan satu skor
berupa garis (tally).
Untuk lebih mudah pembaca dalam memahami model perticipation chart
berikut contoh format dan penulisannya. Misalnya, peneliti ingin melakukan
observasi pada 8 orang siswa SMA yang sedang berdiskusi kelompok. Prilaku
yang akan diobservasi adalah keaktifan ddalam mengemukakan pendapat,
keaktifan dalam mencatat, dan keaktifan dalam memberi jawaban. Dari ketiga
prilaku tersebut, format dan penulisan model participation chart adalah sebagai
berikut:
Aktivitas : Diskusi kelompok
Waktu : tanggal 1 juli 2008, pukul 11:00-13:30 WIB
observer : Anna
Nama Keaktifan dalam Keaktifan dalam Keaktifan dalam
mengemukakan pendapat mencatat memberikan
jawaban
IIII III IIIII-III
Ariana
III IIIII-II IIIII-III
Romy
IIIII-IIIII-II II
Bonita
IIIII-IIIII-III IIIII-IIIII-II IIIII-I
Dilla
IIIII IIIII
Fredy
IIIII-IIIII II IIIII-II
Winona
II III IIIII
Harumi
IIIII-II IIIII-IIIII-II
Shella
d) Rating Scale
Merupakan salah satu metode observasi yang intinya hampir sama dengan
metode yang sebelumnya telah dibahas, yaitu behavioral checklist atau
paticipant chart, yaitu mencatat perilaku sasaran yang dimunculkan oleh
subjek atau observee. Perbedaannya terletak pada kebutuhan untuk
mengetahui kuantitas dan kualitas dari perilaku yang diteliti. Pada rating scale,
peniliti dapat lebih detail dalam melihat dan menghitung kuantitas atau jumlah
perilaku yang dimunculkan yang disertai dengan kualitas perilakunya tersebut.
Rating scale dilengkapi dengan item yang tertulis dalam bentuk kalimat
disertai dengan pilihan jawaban yang bersifat tingkatan ataupun berupa
kontinum yang memiliki tingkatan dari dua sisi yang berlawanan.
Chartwright & Chartwright (1984) menyatakan bahwa rating scale dapat
digunakan dalam situasi ketika performa yang diobservasi memiliki aspek atau
komponen yang berbeda dan setiap aspek atau komponen tersebut akan dinilai
dalam suatu skala atau dimensi yang berasal dari dua sisi yang berlawanan.
Rating scale juga disebut dengan checklist dengan bentuk yang berbeda
dengan perilaku yang akan diobservasi sudah disusun dan kemungkinan atau
pilihan jawaban telah disediakan untuk mengindikasikan derajat tertentu dari
perilaku yang dimunculkan. Untuk mempermudah pembaca berikut akan
diberikan contoh rating scale.
Cotoh kasus perilaku hidup bersih dan sehat siswa disekolah SMU X
Tanggal :6 Maret 2009
Nama :Nikita (siswa kelas 3)
Observer :Moreno
Deskripsi aktivitas :Perubahan perilaku siswa SMU X setelah mengikuti
seminar dengan tema “perilaku hidup sehat dan bersih”
Petunjuk :Lingkarin salah satu pilihan jawaban dari empat
pilihan keterangan yang tersedia pada bagian sebelah
kanan (T=tidak pernah, K=kadang-kadang, S=selalu,
X=tidak terobservasi) sesuai dengan perilaku yang
dimunculkan
Dari kelima metode observasi yang telah dijelaskan, peneliti harus jeli dalam memilih
metodeobservasi yang disesuaikan dengan tujuan observasi serta batasan perilaku yang telah
ditentukan. Ketepatan memilih salah satu memilih metode observasi harus benar-benar
diperhatikan karena salah atu error dalam observasi dapat terjadi karena peneliti tidak dapat
memilih metode yang sesuai. Ketepatan memilih metode observasi juga menentukan
keakuratan hasil observasi yang didapat. Jika metode yang dipilih tidak sesuai dengan tujuan
observasi, maka hasilnya tidak akan mampu menggambarkan apa yang hendak dicari
walaupun penggunaan metode tersebut benar dan sesuai dengan prosedurnya (Herdiansyah,
2010).
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu teknik observasi terstruktur dan
wawancara terstruktur. Instrumen penelitian yang digunakan yaaitu lembar observasi dan
pedoman wawancara. Teknik pemeriksaan keabsahan data yaitu dilakukan validasi isi lembar
observasi oleh 2 orang validator Dosen FKIP Kimia UMP. Hasil validasi dinyatakan valid
dan layak digunakan sebagai instrumen penelitian dengan kriteria koefesien validasi sangat
tinggi. Teknik analisis data yang diperoleh dari lembar observasi yang sudah dinilai oleh 5
orang observer terhadap masing-masing mahasiswa dijumlah skor total (skor mentah) dan
dibagi jumlah skor keseluruhan (skor maksimal) dan dikalikan 100 % dan selanjutnya
menentukan kategori kemampuan untuk masing-masing mahasiswa berdasarkan skala
kategori kemampuan psikomotorik.
3.1 KESIMPULAN
3.2 SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Herdiansyah, Haris. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta:
Salemba Humanika
Pertiwi, Citra, F. Analisis Pengetahuan Konsep (K3) Laboratorium Kimia Di Man 2 Kota
Semarang. ISBN : 978-662-61599-6-0 Semarang: Universitas Muhammadiyah
Semarang.
Sudaryono. 2013. Pengembangan Instrumen Penelitian Pendidikan. Yogyakarta: Graha Ilmu
Sugiyono. 2017. Metodologi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta
Supriadi. 2018. Analisis Model Mental Mahasiswa Pendidikan Kimia Dalam Memahami
Jenis Reaksi Kimia. J. Pijar MIPA, Vol. XIII No.1, ISSN 1907-1744 (Cetak), ISSN
2410-1500 (Online). Indonesia: Universitas Mataram.