Anda di halaman 1dari 25

Seminar TB

RSU Bethesda Serukam


22-23 Agustus 2019

TUBERKULOSIS EKSTRA PARU


DAN KONDISI KHUSUS
dr. Yohanes Robertus, SpPD
TB EKSTRA PARU
TB EKSTRA PARU : PENDAHULUAN
• Definisi :
– TB yang terjadi pada organ selain paru (kelenjar limfe,
pleura, perikardium, peritoneum, traktus urinarius, dll)
• Klasifikasi :
– TB ekstra paru disertai lesi paru : diklasifikasikan TB paru
– TB milier : diklasifikasikan sebagai TB paru
– TB mengenai beberapa organ ekstra paru : diklasifikasikan
menurut organ yang mengalami proses penyakit terberat
• Epidemiologi :
– ISTC 2014 : 15-20% pada populasi dengan prevalensi
infeksi HIV rendah (lebih besar bila prevalensi HIV tinggi)
– Paling sering : kelenjar limfe, pleura, tulang/sendi
– Paling fatal : meningen, perikardium
WHO Guidelines, Treatment of Tuberculosis, 2010
TB EKSTRA PARU : DIAGNOSIS
• Gejala penyakit : tergantung organ yang terkena (kaku
kuduk pada meningitis, nyeri dada pada pleuritis TB, dll)
• WHO 2010 : dasar diagnosis minimal satu spesimen
dengan konfirmasi Mycobacterium tuberculosis (MTB)
atau secara histologis atau bukti klinis yang konsisten
dengan TB aktif untuk memulai terapi
• ISTC 2014 : semua pasien suspek TB ekstra paru harus
dilakukan pengambilan spesimen untuk mikrobiologis
dan histologis. Xpert MTB/RIF direkomendasikan pada
meningitis TB karena perlu diagnosis cepat
• Pemeriksaan mikroskopis dahak : wajib dilakukan pada
TB ekstra paru untuk memastikan kemungkinan TB paru

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang Penanggulangan Tuberkulosis, 2016


TB EKSTRA PARU : LIMFADENITIS TB
• Terjadi pada > 40% TB
ekstra paru, terutama HIV
• Manifestasi tipikal :
skrofula (pembesaran
kelenjar limfe cervical dan
supraclavicula yang tidak
nyeri, dapat mengalami Skrofuloderma
inflamasi dan terjadi
fistula)
• Diagnosis : FNAB/biopsi
kelenjar limfe, BTA (+)
pada 50% kasus, kultur (+)
pada 70-80% kasus PA : Giant cell (+), MTB (+)
Harrison’s Manual of Medicine, 2009; Tuberculosis Comprehensive Clinical Reference, 2009
TB EKSTRA PARU : PLEURITIS TB
• Manifestasi : cairan
pleura eksudat (kuning
jernih, protein cairan
pleura > 50% dari
protein serum, gula
rendah/normal,
pleiocytosis dengan
dominan sel limfosit)
• ADA (adenosine
deaminase) rendah
mengeksklusi TB
• Diagnosis : biopsi
pleura, kultur (+) pada CXR : efusi pleura pada TB
80% kasus
Harrison’s Manual of Medicine, 2009; Tuberculosis Comprehensive Clinical Reference, 2009
TB EKSTRA PARU : TB TULANG
• Predileksi : vertebra,
coxae, genu
• Manifestasi TB
vertebra : Pott’s
disease (mengenai 
2 tulang belakang
yang berdekatan,
paling sering torakal
bawah/lumbal atas)
• Spondilitis TB dapat
merusak korpus
vertebra dan Gibbus pada Rö vertebra :
menyebabkan abses spondilitis TB wedge
psoas (cold abscess) (Pott’s disease) appearance
Harrison’s Manual of Medicine, 2009; Tuberculosis Comprehensive Clinical Reference, 2009
TB EKSTRA PARU : MENINGITIS TB
• Manifestasi tipikal :
penyakit 1-2
minggu, bisa
mengenai nervus
kranial, sampai
hidrosefalus, koma
• Sequelae neurologis
pada 25% pasien
• Analisa cairan CT scan + kontras : MRI :
serebrospinal : Sylvian fissures dapat dijumpai
limfosit , protein , and basal tuberkuloma
gula . Kultur (+) enhancement, pada beberapa
pada 80% kasus hidrosefalus kasus
Harrison’s Manual of Medicine, 2009; Tuberculosis Comprehensive Clinical Reference, 2009
TB EKSTRA PARU : PERIKARDITIS TB
• Manifestasi : demam CXR : kalsifikasi perikard
akut/subakut, nyeri dada
retrosternal, friction rub,
efusi perikard
• Komplikasi : perikarditis
konstriktiva, bisa fatal

EKG : ST elevasi difus (beda dengan ST elevasi terlokalisir pada STEMI)


Harrison’s Manual of Medicine, 2009; Tuberculosis Comprehensive Clinical Reference, 2009
TB MILIER
• Patofisiologi : penyebaran
hematogen MTB
• Manifestasi : gejala
sistemik, organomegali,
tuberkel koroid di mata

CXR : gambaran TB milier


Harrison’s Manual of Medicine, 2009; Tuberculosis Comprehensive Clinical Reference, 2009
TB EKSTRA PARU : TERAPI
• Regimen terapi TB ekstra paru sama seperti TB paru (2RHZE/4RH)
• Meningitis TB : terapi 9-12 bulan karena risiko disabilitas dan
mortalitas tinggi, etambutol sebaiknya diganti streptomisin
• TB tulang/sendi : terapi 9 bulan karena sulit menilai respon terapi
• Pembedahan berperan pada kondisi tertentu, seperti hidrosefalus
pada meningitis TB, keterlibatan saraf pada TB vertebra, insisi dan
drainase pada limfadenitis TB yang berfluktuasi
• WHO 2017 : kortikosteroid adjuvan direkomendasikan pada
meningitis TB (mortalitas , disabilitas , relaps ) dan
perikarditis TB (mortalitas , perikarditis konstriktiva )
• ISTC 2014 : Terapi empirik tidak boleh ditunda bagi pasien suspek
TB secara klinis dengan kondisi berat atau cepat progresif

WHO Guidelines, Treatment of Tuberculosis, 2010


TB EKSTRA PARU : PEMANTAUAN

• ISTC 2014 : Cara menilai kemajuan pengobatan


pasien TB ekstra paru serupa dengan pasien TB
paru BTA negatif, yaitu dengan pemantauan
kondisi klinis
• Pemantauan kondisi klinis dapat dilihat dari :
– Peningkatan berat badan
– Berkurangnya keluhan
– Dan lain-lain

WHO Guidelines, Treatment of Tuberculosis, 2010


TB PADA KONDISI KHUSUS
FAKTOR RISIKO TB

• Faktor risiko sakit akibat TB :


– Kuman (jumlah kuman, lamanya paparan)
– Individu (usia, daya tahan tubuh)
– Lingkungan (kumuh, sirkulasi kurang baik)
• Faktor risiko meninggal akibat TB :
– Keterlambatan diagnosis
– Terapi tidak adekuat
– Kondisi kesehatan awal yang buruk
– Penyakit penyerta (komorbid)

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang Penanggulangan Tuberkulosis, 2016


FAKTOR RISIKO TB AKTIF
PADA PASIEN YANG TERINFEKSI MTB
FAKTOR RELATIVE RISK
Riwayat infeksi TB (< 1 tahun) 12,9
Lesi fibrotik (sembuh spontan) 2-20
Komorbid atau iatrogenik
Infeksi HIV 21-30 lebih
Penyakit ginjal kronik/hemodialisis 10-25
Terapi imunosupresif 10
Gastrektomi 2-5
Diabetes mellitus 2-4
Merokok 2-3
Malnutrisi, underweight berat 2
Harrison’s Principles of Internal Medicine, 2015
KOMORBID TB
• Semua petugas kesehatan harus mengkaji
komorbid dan faktor-faktor lain yang dapat
mempengaruhi hasil terapi  dapat dirujuk dan
diberi terapi tambahan yang optimal bagi pasien
• Diabetes mellitus (DM)
– DM meningkatkan risiko dan severitas TB
– TB memperburuk kontrol gula pada pasien DM
– TB harus dipikirkan pada pasien DM dan
DM harus dipikirkan pada pasien TB
ISTC (International Standards for Tuberculosis Care), 2014
KOMORBID TB
• Penyakit paru non infeksi
– Meningkatkan risiko TB dan mempersulit terapi, ct : COPD
– Pengkajian klinis dan radiologis dapat saling tumpang tindih
– TB meningkatkan risiko dan salah satu penyumbang COPD
• Defisiensi makronutrien dan mikronutrien
– Sering menjadi penyebab dan konsekuensi dari TB
– Semua pasien TB harus dikaji nutrisinya (BB, TB, IMT)
• Penyakit lain
– Penyakit yang menggunakan terapi imunosupresif seperti
kortikosteroid dapat meningkatkan risiko TB
– Klinisi harus waspada terhadap risiko TB dan gejala TB
ISTC (International Standards for Tuberculosis Care), 2014
KOMORBID TB
• Kehamilan dan menyusui
– Regimen TB standar aman
– Hindari streptomisin (ototoksik bagi janin)
• Penyakit liver (regimen sesuai severitas penyakit)
– 2 obat hepatotoksik : 2RHES/6RH, 9RHE, 6-9RZE
– 1 obat hepatotoksik : 2HES/10HE
– Tanpa obat hepatotoksik : 18-24ES + fluorokuinolon
• Penyakit ginjal (CrCl < 30 mL/min atau dialisis)
– Regimen TB standar (dengan pirazinamid 25 mg/kg dan
etambutol 15 mg/kg, 3x/minggu)
– Hindari streptomisin (bila perlu 15 mg/kg, 3x/minggu)
WHO Guidelines, Treatment of Tuberculosis, 2010; Mandell Principles and Practice of Infectious Diseases, 2009
EFEK SAMPING OAT : PANDUAN
• Kebanyakan pasien TB dapat menyelesaikan
terapi tanpa efek samping yang signifikan
• Jika efek samping minor, obat TB dilanjutkan
dan terapi simptomatik. Jika efek samping
mayor, obat TB harus dihentikan dan dirujuk
untuk penanganan selanjutnya ke RS
• Pemantauan klinis selama terapi sangat penting
dan tidak diperlukan pemantauan laboratorium
• Petugas kesehatan perlu edukasi pasien untuk
mengenali dan melaporkan gejala-gejala yang
mungkin timbul akibat efek samping OAT
WHO Guidelines, Treatment of Tuberculosis, 2010
EFEK SAMPING OAT : MINOR
EFEK SAMPING OBAT TATALAKSANA
Anoreksia, nausea, RHZ Berikan obat dengan snack
nyeri abdomen atau malam hari. Jika tidak
membaik, rujuk
Nyeri sendi Z Paracetamol/NSAID
Neuropati perifer H Piridoksin 50-75 mg, 1x/hari
Mengantuk H Berikan obat malam hari
Sindrom seperti flu R Berikan obat tiap hari
Urin kemerahan R Yakinkan hal ini tidak bahaya

WHO Guidelines, Treatment of Tuberculosis, 2010


EFEK SAMPING OAT : MAYOR
EFEK SAMPING OBAT TATALAKSANA
Ruam kulit +/- pruritus RHZE Stop OAT
Delirium RHZE Stop OAT
Ikterus, hepatitis RHZ Stop OAT
Syok, purpura, AKI R Stop rifampisin
Gangguan penglihatan E Stop etambutol
Gangguan pendengaran S Stop streptomisin
Gangguan keseimbangan S Stop streptomisin
Produksi urin berkurang S Stop streptomisin

WHO Guidelines, Treatment of Tuberculosis, 2010


EFEK SAMPING OAT : REAKSI KULIT
• Pruritus : antihistamin, lanjut OAT
• Pruritus + ruam : stop OAT
• Setelah kulit membaik : OAT dimulai satu per satu
• Regimen alternatif : ikut regimen pada DILI

WHO Guidelines, Treatment of Tuberculosis, 2010; Tuberculosis Comprehensive Clinical Reference, 2009
EFEK SAMPING OAT :
DILI (DRUG
(DRUG INDUCED LIVER INJURY)
INJURY)
• OAT hepatotoksik : rifampisin (R), isoniazid (H), pirazinamid (Z)
• Tatalaksana pasien yang mengalami DILI akibat OAT :
– Stop semua OAT (jika pasien sakit berat, harus diberikan regimen non
hepatotoksik – etambutol (E), streptomisin (S), fluorokuinolon)
– OAT lini pertama dimulai lagi satu per satu setelah DILI membaik
(dianjurkan R dulu karena efek hepatotoksik paling kecil dan obat yang
paling efektif. Setelah stabil 3-7 hari, diberikan H. Jika pasien sudah bisa
mentoleransi RH, dianjurkan untuk menghindari Z)
• Regimen DILI ec OAT :
– DILI ec RIF : 2HES/10HE
– DILI ec INH : 6-9RZE
– DILI ec PZA : 2RHE/7RH
– DILI ec INH/RIF : 18-24ES + fluorokuinolon
WHO Guidelines, Treatment of Tuberculosis, 2010
MANAJEMEN DILI EC OAT

American Thoracic Society, Hepatotoxicity of Antituberculosis Therapy, 2002


TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai