Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

PERILAKU TUHAN, PERILAKU MANUSIA, DAN SIFAT-SIFAT TUHAN


MATA KULIAH ILMU KALAM
Dosen Pengampu: Dr.Hi. Gunawan M.Pd.I

Disusun oleh: Kelompok 8/ kelas B

NAMA NPM

Hendi Rusmawan 1701010124

Indriyani 1701010041

Miftahudin 1701010228

Niken Ayu Pramudita 1701010152

Reno Hidayat 1701010072

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)


JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
IAIN METRO LAMPUNG
T.A 2019 M/1441 H

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis ucapakan atas kehadirat Allah SWT,


yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga saya dapat
menyelesaikan tugas Makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya.
Makalah ini di susun untuk dapat menyelesaikan Mata Kuliah ilmu kalam
serta dapat memahami materi yang telah di sampaikan kepada Mahasiswa/i
Institut Agama Islam Negeri ( IAIN ) Metro dan sebagai salah satu syarat untuk
dapat menyelesaikan Mata Kuliah ilmu kalam pada semester ini.
Adapun dalam menyelesaikan tugas Makalah ini, penulis tidak terlepas
dari bantuan dan bimbingan serta petunjuk dari pihak lain, oleh karena itu dalam
kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis sampaikan ucapan terima
kasih dan penghormatan yang setinggi-tingginya , kepada yang terhormat :
1. Dr. Hi. Gunawan M.Pd.I yang telah membimbing penulis sekaligus Dosen
pada Mata kuliah ilmu kalam
2. Rekan-rekan Mahasiswa IAIN Metro yang dapat bekerja sama dalam proses
pembuatan Makalah Presentasi ini.
Semoga Makalah Presentasi ini dapat berguna bagi penulis khususnya dan dapat
di jadikan sebagai bahan referensi bagi pembaca, Insya’Allah Allahumma Amin.

Metro, 02 september 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................ 1
C. Tujuan pembuatan Makalah ......................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Perilaku tuhan............................................................................... 2
B. Perilaku manusia .......................................................................... 7
C. Sifat-sifat tuhan .......................................................................... 13
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................ 19
B. Saran ........................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Persoalan kalam lain yang menjadi bahan perdebatan di antra aliran-aliran
kalam adalah masalah perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Masalah ini
muncul sebagai buntut dari perdebatan ulama kalam mengenai iman. Ketika sibuk
menyoroti siapa yang masih di anggap beriman dan siapa yang kafir di antara
pelaku tahkim, para ulama kalam kemudian mencari jawaban atas pertanyaan siap
sebenarnya yang mengeluarkan perbuatan manusia apakah Allah sendiri, atau
manusia sendiri ? atau kerjasama antara keduanya. Masalah ini kemudian
memunculkan aliran kalam fatalis (predestination) yang di wakili oleh Qadariyah
dan free will yang di wakili Qadariyah dan Mu’tazilah, sedangkan aliran
asy’ariyah dan Maturidiyah mengambil sikap pertengahan. Persoalan ini
kemudian meluas lagi dengan mempermasalahkan apakah Tuhan memiliki
kewajiban-kewajiban tertentu atau tidak? Apakah perbuatan Tuhan itu tidak
terbatas pada hal-hal yang baik-baik saja, tetapi juga mencakup kepada hal-hal
yang buruk?

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perbandingan perbuatan tuhan antar aliran?
2. Bagaimana perbandingan perbuatan manusia antar aliran?
3. Apa saja sifat-sifat tuhan?

C. Tujuan pembuatan makalah


1. Untuk mengetahui bagaimana perbandingan perbuatan tuhan antar aliran
2. Untuk mengethui bagaimana perbandingan perbuatan manusia antar
aliran
3. Untuk mengetahui apa saja sifat-sifat tuhan?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perbuatan tuhan

Semua aliran dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa Tuhan


melakukan perbuatan di sini dipandang sebagai konsekuensi logis dari dzat yang
memiliki kemampuan untuk melakukannya.
1. Aliran mu’tazillah
Aliran Mu’tazilah, sebagai aliran kalam yang bercorak rasional,
berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan
baik. Namun, ini tidak berarti bahwa Tuhan tidak mampu melakukan perbuatan
buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk karena Ia mengetahui keburukan
dari perbuatan buruk itu. Di dalam Al Quran pun jelas dikatakan bahwa Tuhan
tidaklah berbuat zalim1. Ayat-ayat Al-Quran yang dijadikan dalil
oleh Mu’tazilah untuk mendukung pendapatnya di atas adalah surat Al-
Anbiya[21]: 23, dan surat Ar-Rum [30]: 8)
Qadi Abd Al-Jabar, seorang tokoh Mu’tazilah mengatakan bahwa ayat
tersebut memberi petunjuk bahwa Tuhan hanya berbuat yang baik dan Mahasuci
dari perbuatan buruk. Dengan demikian, Tuhan tidak perlu ditanya. Ia
menambahkan bahwa seseorang yang dikenal baik, apabila secara nyata berbuat
baik, tidak perlu ditanya mengapa ia melakukan perbuatan baik itu?2 Adapun ayat
yang kedua, menurut Al-Jabbar, mengandung petunjuk bahwa Tuhan tidak pernah
dan tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Andaikata Tuhan
melakukan perbuatan buruk, pernyataan bahwa Ia menciptakan langit dan bumi
serta segala isinya dengan hak, tentulah tidak benar atau merupakan berita
bohong.
Dasar pemikiran tersebut serta konsep tentang keadilan Tuhan yang
berjalan sejajar dengan faham adanya batasan-batasan bagi kekuasaan dan
kehendak Tuhan, mendorong kelompok Mu’tazilah untuk berpendapat bahwa

1
M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam: pemikiran kalam (Jakarta: perkasa jakarta, 1990).hlm 89
2
M. Yunan Yusuf. Hlm 90

2
Tuhan mempunyai kewajiban terhadap manusia. Kewajiban-kewajiban itu dapat
disimpulkan dalam satu ha1, yaitu kewajiban berbuat baik bagi manusia. Faham
kewajiban Tuhan berbuat baik, bahkan yang terbaik (ash-shalah wa al-
ashlah) mengonsekuensikan aliran Mu’tazillah memunculkan faham kewajiban
Allah berikut ini :
a. Kewajiban Tidak Memberikan Beban di Luar Kemampuan Manusia
Memberi beban di luar kemampuan manusia (taklif ma la yutaq) adalah
bertentangan dengan faham berbuat baik dan terbaik. Hal im bertentangan dengan
faham mereka tentang keadilan Tuhan. Tuhan akan bersifat tidak adil kalau Ia
memberi beban yang terlalu berat kepada manusia.
b. Kewajiban Mengirimkan Rasul
Bagi aliran Mu’tazilah, dengan kepercayaan bahwa akal dapat mengetahui
hal-hal gaib, pengiriman rasul tidaklah begitu penting. Namun mereka
memasukkan pengiriman rasul kepada umat manusia menjadi salah satu
kewajiban Tuhan. Argumentasi mereka adalah kondisi akal yang tidak dapat
mengetahui setiap apa, yang harus diketahui manusia tentang Tuhan dan alam
gaib. Oleh karena itu, Tuhan berkewajiban berbuat yang baik dan terbaik bagi
manusia dengan cara mengirim rasul. Tanpa rasul, manusia tidak akan
memperoleh hidup baik dan terbaik di dunia dan di akhirat nanti.
c. Kewajiban Menepati Janji (al-Wa’d) dan Ancaman (al-Wa’id)
Janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan
aliran Mu’tazillah. Hal ini erat hubungannya dengan dasar keduanya, yaitu
keadilan. Tuhan akan bersifat tidak adil jika tidak menepati janji untuk memberi
pahala kepada orang yang berbuat baik; dan menjalankan ancaman bagi orang
yang berbuat jahat. Selanjutnya keadaan tidak menepati janji dan tidak
menjalankan ancaman bertentangan dengan maslahat dan kepentingan manusia.
Oleh karena itu adalah wajib bagi Tuhan.3

3
Harun Nasution, Encyclopedia islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992).hlm 129-133

3
2. Aliran Asy’ariah
Menurut aliran Asy'ariyah, faham kewajiban Tuhan berbuat baik dan
terbaik bagi manusia (ash-shalah wa al-ashlah), sebagaimana dikatakan
aliran Mu’tazillah, tidak dapat diterima karena bertentangan dengan faham
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Hal ini ditegaskan Al-Ghazali ketika
mengatakan bahwa Tuhan tidak berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi
manusia. Dengan demikian, aliran Asy'ariyah tidak menerima faham Tuhan
mempunyai kewajiban. Tuhan dapat berbuat sekehendak hati-Nva terhadap
makhluk. Sebagaimana dikatakan Al-Ghazali, perbuatan-perbuatan Tuhan bersifat
tidak wajib (ja'iz) dan tidak satu pun darinya yang mempunyai sifat wajib.4
Karena percaya pada kekuasaan mutlak Tuhan dan berpendapat bahwa
Tuhan tak mempunyai kewajiban apa-apa, aliran Asy'ariyah menerima faham
pemberian beban di luar kemampuan manusia. Al-Asya'ari sendiri, dengan tegas
mengatakan dalam Al-Luma, bahwa Tuhan dapat meletakkan beban yang tak
dapat dipikul pada manusia. AI-Ghazali pun mengatakan hal ini dalam Al-Iqtisad.
Walaupun pengiriman rasul mempunyai arti penting dalam teologi,
aliran Asy'ariyah menolaknya sebagai kewajiban Tuhan. Hal itu bertentangan
dengan keyakinan mereka bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa
terhadap manusia. Faham ini dapat membawa akibat yang tidak baik. Sekiranya
Tuhan tidak mengutus rasul kepada umat manusia, hidup manusia akan
mengalami kekacauan. Tanpa wahyu, manusia tidak dapat membedakan
perbuatan baik dari perbuatan buruk. Ia akan berbuat apa saja yang
dikehendakinya. Namun, sesuai dengan faham Asy'ariyah tentang kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan, hal ini tak menjadi permasalahan bagi teologi mereka.
Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya. Kalau Tuhan menghendaki
manusia hidup dalam masyarakat kacau. Tuhan dalam faham aliran ini tidak
berbuat untuk kepentingan manusia.
Karena tidak mengakui kewajiban Tuhan, aliran Asy'ariyah berpendapat bahwa
Tuhan tidak mempunyai kewajiban menepati janji dan menjalankan ancaman
yang tersebut Al-Qur'an dan Hadis.

4
Harun Nasution.hlm 129- 130

4
Di sini timbul persoalan bagi Asy'ariyah karena dalam Al-Quran dikatakan
dengan tegas bahwa siapa yang berbuat jahat akan masuk neraka. Untuk
mengatasi ini, kata-kata Arab "man, alladzina" dan sebagainya yang
menggambarkan arti siapa, diberi interpretasi oleh As-Asy'ari, "bukan semua
orang tetapi sebagian." Dengan demikian kata siapa dalam ayat "Barang siapa
menelan harta anak yatim piatu dengan Cara tidak adil, maka ia sebenarnya
menelan api masuk ke dalam perutnya,” mengandung arti bukan seluruh, tetapi
sebagian orang yang berbuat demikian. Dengan kata lain, yang diancam akan
mendapat hukuman bukanlah semua orang, tetapi sebagian orang yang, menelan
harta anak yatim piatu. Adapun yang sebagian lagi akan terlepas dari ancaman
atas dasar kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Dengan interpretasi
demikianlah, Al-Asy'ari mengatasi persoalan wajibnya Tuhan menepati janji dan
menjalankan ancaman.5
3. Aliran maturidiyah
Mengenai perbuatan Allah ini, terdapat perbedaan pandangan
antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara, yang juga memberikan
batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, berpendapat bahwa perbuatan
Tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja. Dengan demikian, Tuhan
mempunyai kewajiban melakukan yang baik bagi manusia. Demikian juga
pengiriman rasul dipandang Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban Tuhan.
Adapun Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan yang sama
dengan Asy'ariyahmengenai faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban.
Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Badzawi, Tuhan pasti menepati janji-Nya,
seperti memberi upah kepada orang yang berbuat baik, walaupun Tuhan mungkin
saja membatalkan ancaman bagi orang yang berdosa besar. Adapun
pandangan Maturidiyah Bukhara tentang pengiriman rasul, sesuai dengan faham
mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, tidaklah bersifat wajib
dan hanya bersifat mungkin saja.
Aliran Sumarkand memberi batasan pada kekuasaan dan kehendak mutlak
Tuhan sehingga mereka menerima faham adanya kewajiban-kewajiban bagi

5
Harun Nasution.hal 133

5
Tuhan, sekurang-kurangnya kewajiban menepati janji tentang pemberian upah
dan pemberian hukuman.
Mengenai memberikan beban kepada manusia di luar batas
kemampuannya (taklif ma la yutaq), aliran Maturidiyah Bukhara menerimanya.
Tuhan, kata Al-Bazdawi, tidaklah mustahil meletakkan kewajiban-kewajiban
yang tak dapat dipikulnya atas diri manusia. Sebaliknya aliran Maturidiyah
Samarkand mengambil posisi yang dekat dengan Mu’tazillah. Menurut Syarh al-
Fiqh Al-Akbar, Al-Maturidi tidak setuju dengan pendapat aliran Asy’ariyah dalam
hal ini karena Al-Quran mengatakan bahwa Tuhan tidak membebani manusia
dengan kewajiban-kewajiban yang tak terpikul. Pemberian beban yang tak
terpikul memang dapat sejalan dengan faham golongan Samarkand bahwa
manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya dan bukan
Tuhan.
Adapun mengenai pengiriman rasul, aliran Maturidiyah golongan
Bukhara, sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak
Tuhan, mempunyai faham yang sama dengan aliran Asy’ariyah. Pengiriman rasul
menurut mereka, tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin. Sementara
itu, pendapat aliran Maturidiyah Samarkand tentang persoalan ini dapat diketahui
dari keterangan Al-Bayadi. Dalam Isyarat Al-Maram, Al-Bayadi menjelaskan
bahwa keumuman Maturidiyah sefaham dengan Mu’tazillah mengenai wajibnya
pengiriman rasul.
Mengenai kewajiban Tuhan memenuhi janji dan ancaman-Nya,
aliran Maturidiyah Bukhara tidak sefaham dengan aliran Asy'ariyah. Menurut
mereka, sebagaimana dijelaskan oleh Bazdawi, tidak mungkin Tuhan melanggar
janji-Nya untuk memberi upah kepada orang yang berbuat baik. Akan tetapi, bisa
saja Tuhan membatalkan ancaman untuk memberi hukuman kepada orang yang
berbuat jahat. Nasib orang yang berdosa besar ditentukan oleh kehendak mutlak
Tuhan. Jika Tuhan berkehendak untuk memberi ampunan kepadanya, Tuhan akan
memasukkannya ke dalam surga; dan jika Ia berkehendak untuk memberikan
hukuman kepadanya, Tuhan memasukkannya ke dalam neraka untuk sementara
atau selama-lamanya. Bukan tidak mungkin bila Tuhan memberi ampunan kepada

6
seseorang, tetapi tidak memberi ampunan kepada orang lain sungguhpun dosanya
sama.
Uraian Al-Bazdawi ini mengandung arti bahwa Tuhan wajib menepati janji
untuk memberi upah kepada yang berbuat baik. Dengan demikian, Tuhan
mempunyai kewajiban terhadap manusia. Pendapat ini berlawanan dengan
pendapatnya yang dijelaskan sebelumnya bahwa Tuhan sekali-kali tidak
mempunyai kewajiban apa-apa terhadap manusia. Menurut aliran Asy'ariyah,
sebagaimana diketahui, Tuhan boleh saja melanggar janji-janji-Nya. Sebaliknya,
menurut Maturidiyah golongan Bukhara, Tuhan tidak mungkin melanggar janji
untuk memberi upah kepada orang yang berbuat baik. Golongan
Samarkand dalam hal ini mempunyai pendapat yang sama dengan
kaum Mu’tazillah bahwa upah dan hukuman Tuhan pasti terjadi kelak.6

B. Perbuatan Manusia
1. Aliran Jabariyah
Tampaknya ada perbedaan pandangan antara Jabariyah
ekstrim dan Jabariyah moderat dalam masalah perbuatan manusia. Jabariyah
ekstrim berpendapat bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan
yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas
dirinya. Misalnya, kalau seseorang mencuri, perbuatan mencuri itu bukanlah
terjadi atas kehendak sendiri, tetapi timbul karena qada dan qadar Tuhan yang
menghendaki demikian. Bahkan, Jahm bin Shafwan, salah seorang
tokoh Jabariyah ekstrim, mengatakan bahwa manusia tidak mampu berbuat apa-
apa. la tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak
mempunyai pilihan.
Adapun, Jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan menciptakan
perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia
mempunyai peranan di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia
mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan
kasab (acquisition). Menurut faham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh

6
Harun Nasution.hlm 34

7
Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula
menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia itu memperoleh perbuatan yang
diciptakan Tuhan.7
2. Aliran Qadariyah
Aliran Qadariyah menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia
dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk
melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik
maupun berbuat jahat. Karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan
yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan
yang diperbuatnya. Dalam kaitan ini, bila seseorang diberi ganjaran baik dengan
balasan surga kelak di akhirat dan diberi ganjaran siksa dengan balasan neraka
kelak di akhirat, semua itu berdasarkan pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh
takdir Tuhan. Sungguh tidak pantas, manusia menerima siksaan atau tindakan
salah yang dilakukan bukan atas keinginan dan kemampuannya sendiri.
Faham takdir dalam pandangan Qadariyah bukanlah dalam pengertian
takdir yang umum dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu faham yang
mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Menurut
bangsa Arab, dalam perbuatan-perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut
nasib yang telah ditentukan semenjak ajal terhadap dirinya. Adapun dalam
faham Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya untuk
alam semesta beserta seluruh isinya, semenjak ajal, yaitu hukum yang dalam
istilah Al-Quran adalah sunatullah.
Aliran Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat
menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan. Doktrin-
doktrin ini mempunyai tempat pijakan dalam doktrin Islam sendiri. Banyak ayat
Al-Quran yang mendukung pendapat im, misalnya dalam surat Al-Kahfi [18]: 29:

7 Harun Nasution. Hal 522

8
ِ َ‫لظلمين‬ َّ َّٰ ‫شا ٓ َءِفَ ۡليَ ۡكفُ ۡۚۡرِإنَّآِأ َ ۡعت َ ۡدنَاِل‬ َ ‫شا ٓ َءِفَ ۡليُ ۡؤم‬
َ ِ‫نِو َمن‬ َّ ‫َوقُلِِ ۡٱل َحقِِم‬
َ ِ‫نِرب ُك ۡۖۡمِ َف َمن‬
َِ‫ِوإنِيَ ۡستَغيثُواْ ِيُغَاثُواْ ِب َما ٓ ٖء ِ َِك ۡٱل ُمهۡ لِ ِيَ ۡشويِ ۡٱل ُو ُجو ِۚۡه‬ َ ‫س َرادقُ َه ۚۡا‬ َ ‫َاراِأ َ َحا‬
ُ ِ ‫ط ِبه ۡم‬ ً ‫ن‬
ِ ِ٢٩ِ‫سا ٓ َء ۡتِ ُم ۡرتَفَقًا‬
َ ‫ابِ َو‬ َ ‫ب ۡئ‬
َّ ‫سِٱل‬
ُِ ‫ش َر‬
Artinya:
Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka
barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang
ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang
orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka
meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang
mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan
tempat istirahat yang paling jelek. (Q.S Al-Kahfi:29)
3. Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah memandang manusiamempunyai daya yang besar dan
bebas. Oleh karena itu, Mu’tazilah menganut faham Qadariyah atau free
will. Menurut AI-Juba'i dan Abd Al-Jabbra, manusialah yang menciptakan
perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang berbuat baik dan buruk.
Kepatuhan dan ketaatan seseorang kepada Tuhan adalah atas kehendak dan
kemauannya sendiri. Daya (al-istitha’ah) untuk mewujudkan kehendak terdapat
dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan.
Perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan pada diri manusia, tetapi
manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatannya. Lantas bagaimana dengan
daya? Apakah diciptakan Tuhan untuk manusia, atau berasal dari manusia
sendiri? Mu’tazilah dengan tegas menyatakan bahwa daya juga berasal dari
manusia. Daya yang terdapat pada diri manusia adalah tempat terciptanya
perbuatan. Jadi, Tuhan tidak dilibatkan dalam perbuatan manusia.
Aliran Mu’tazilah mengecam keras faham yang mengatakan bahwa Tuhanlah
yang menciptakan perbuatan. Bagaimana mungkin, dalam satu perbuatan akan ada
dua daya yang menentukan?

9
Dengan faham ini, aliran Mu’tazilah mengaku Tuhan sebagai pencipta
awal, sedangkan manusia berperan sebagai pihak yang berkreasi untuk mengubah
bentuknya.8 Meskipun berpendapat bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan
manusia dan tidak pula menentukannya, kalangan Mu’tazilah tidak mengingkari
ilmu azali Allah yang mengetahui segala apa yang akan terjadi dan diperbuat
manusia. Pendapat inilah yang membedakannya dari penganut Qadariyah murni.9
Untuk membela fahamnya, aliran Mu’tazilah mengungkapkan ayat
berikut:

ِ ۡ َِِ‫سنَ ِ ُك َّلِش َۡيءٍ ِ َخلَقَ ۖۡهِۥُِ َو َبدَأَِخ َۡلق‬


َِ َّٰ ‫ٱلن‬
ِ ِ٧ِ‫سنِِمنِطي ٖن‬ ِٓ ‫ٱلَّذ‬
َ ‫يِأ َ ۡح‬
Artinya:
Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang
memulai penciptaan manusia dari tanah. (Q.S. As-Sajdah [32]: 7)
Yang dimaksud dengan ahsana pada ayat di atas, adalah semua perbuatan
Tuhan adalah baik. Dengan demikian, perbuatan manusia bukanlah perbuatan
Tuhan, karena di antara perbuatan manusia terdapat perbuatan jahat.10 Dalil ini
dikemukakan untuk mempertegas bahwa manusia akan mendapat balasan atas
perbuatannya. Sekiranya perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan, balasan dari
Tuhan tidak akan ada artinya.
Di samping argumentasi naqliah di atas, aliran Mu’tazilah mengemukakan
argumentasi rasional berikut ini:
a. Kalau Allah menciptakan perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri
tidak mempunyai perbuatan, batallahtaklif syar’i. Hal ini karena syariat
adalah ungkapan perintah dan larangan yang merupakan
thalab. Pemenuhan thalab tidak terlepas dari kemampuan, kebebasan,
dan pilihan.
b. Kalau manusia tidak bebas untuk melakukan perbuatannya, runtuhlah
teori pahala dan hukuman yang muncul dari konsep faham al-wa'd wa al-

8
Muhammad Imarah, aL-mu’tazillah wa musykliah Al- humiyyah Al-Insaniyyah (kairo: Asy-
Syura, 1998).hal. 80-81
9
Irfan Abd Al-Hamid, Dirasat fi Al-Firaq wa al-aqa’id al-islamiyyah (Baghdad: Mathba’ah
As’ad, 1998).hal 278
10
Harun Nasution, Encyclopedia islam Indonesia.hal. 105

10
wa’id (janjidan ancaman). Hal ini karena perbuatan itu menjadi tidak
dapat disandarkan kepadanya secara mutlak sehingga berkonsekuensi
pujian atau celaan.
c. Kalau manusia tidak mempunyai kebebasan dan pilihan, pengutusan para
nabi tidak ada gunanya sama sekali. Bukankah tujuan pengutusan itu
adalah dakwah dan dakwah harus dibarengi kebebasan pilihan?
Konsekuensi lain dari faham di atas, Mu’tazilah berpendapat bahwa
manusia terlibat dalam penentuan ajal karena ajal itu ada dua macam, pertama,
adalah al-ajal ath-thabi'i. Ajal inilah yang dipandang Mu'tazilah sebagai
kekuasaan mutlak Tuhan untuk menentukannya. Adapun jenis yang kedua adalah
ajal yang dibikin manusia itu sendiri, misalnya membunuh seseorang, atau bunuh
diri di tiang gantungan, atau minum racun. Ajal yang ini dapat dipercepat dan
diperlambat.11
4. Aliran Asy'ariyah
Dalam faham Asy'ari, manusia ditempatkan pada posisi yang lemah. Ia
diibaratkan anak kecil yang tidak memiliki pilihan dalam hidupnya. Oleh karena
itu, aliran ini lebih dekat dengan faham Jabariyah daripada dengan
faham Mu’tazilah. Untuk menjelaskan dasar pijakannya, Asy'ari, pendiri
aliran Asy’ariyah,memakai teori al-kasb (acquisition, perolehan). Teori al-kasb
Asy'ari dapat dijelaskan sebagai berikut. Segala sesuatu terjadi dengan
perantaraan daya yang diciptakan, sehingga menjadi perolehan
bagi muktasib yang memperoleh kasab untuk melakukan perbuatan. Sebagai
konsekuensi dari teori kasb ini, manusia kehilangan keaktifan, sehingga manusia
bersikap pasif dalam perbuatanperbuatannya.

Argumen yang diajukan oleh Al-Asy'ari untuk membela keyakinannya adalah


firman Allah:

ِ ِ٩٦ِ َ‫ِو َماِت َعۡ َملُون‬


َ ‫ٱّللُِ َخلَقَ ُك ۡم‬
َِّ ‫ِ َِو‬
Artinya:

11
Muhammad Imarah, aL-mu’tazillah wa musykliah Al- humiyyah Al-Insaniyyah.hal. 81

11
Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat
itu" (Q.S. Ash-Shaffat [37]: 96)
Wa ma ta'malun pada ayat di atas diartikan Al-Asy'ari dengan apa yang
kamu perbuat dan bukan apa yang kamu buat. Dengan demikian, ayat ini
mengandung arti Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatanmu. Dengan
kata lain, dalam faham Asy'ari, yang mewujudkan kasb atau perbuatan manusia
sebenarnya adalah Tuhan sendiri.
Pada prinsipnya, aliran Asy'ariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia
diciptakan Allah, sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek untuk
mewujudkannya. Allah menciptakan perbuatan untuk manusia dan menciptakan
pula –pada diri manusia– daya untuk melahirkan perbuatan tersebut. Jadi,
perbuatan di sini adalah ciptaan Allah dan merupakan kasb (perolehan) bagi
manusia. Dengan demikian kasb mempunyai pengertian penyertaan perbuatan
dengan daya manusia yang baru. Ini berimplikasi bahwa perbuatan manusia
dibarengi oleh daya kehendaknya, dan bukan atas daya kehendaknya.
5. Aliran Maturidiyah
Ada perbedaan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah
Bukhara mengenai perbuatan manusia. Kelompok pertama lebih dekat dengan
faham Mutazilah, sedangkan kelompok kedua lebih dekat dengan
faham Asy'ariyah. Kehendak dan daya berbuat pada diri manusia, menurut
Maturidiyah Samarkand, adalah kehendak dan daya manusia dalam arti kata
sebenarnya, dan bukan dalam arti kiasan. Perbedaannya dengan Mu’tazilah adalah
bahwa daya untuk berbuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama
dengan perbuatannya. Daya yang demikian porsinya lebih kecil daripada daya
yang terdapat dalam faham Mutazilah. Olehkarena itu, manusia dalam faham Al-
Maturidi, tidaklah sebebas manusia dalam Mutazilah.
Maturidiyah Bukhara dalam banyak hal sependapat dengan Maturidiyah
Samarkand Hanya saja golongan ini memberikan tambahan dalam masalah daya.
Menurutnya untuk perwujudan perbuatan, perlu ada dua daya. Manusia tidak
mempunyai daya untuk melakukan perbuatan, hanya Tuhanlah yang dapat

12
mencipta, dan manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan
Tuhan baginya.

C. Sifat-sifat Tuhan
Sifat-sifat yang wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah SWT termasuk dalam aqidah
yang 50 atau disebut dengan sifat yang 50. Yang termasuk aqoidul khomsina
(aqidah yg 50) adalah :

1. 20 sifat yang wajib bagi Allah


2. 20 sifat yang mustahil bagi Allah
3. 4 sifat yang wajib bagi rasul
4. 4 sifat yang mustahil bagi rasul
5. 1 sifat yang jaiz bagi Allah
6. 1 sifat yang Jaiz bagi rasul
Pendapat aliran – aliran kalam mengenai sifat- sifat Tuhan
a. Mu’tazilah
Jadi menurut Mu’tazilah Tuhan itu Esa, tidak mempunyai sifat-sifat
sebagaimana pendapat golongan lain. Apa yang dipandang sifat dalam pendapat
golongan, bagi Mu’tazillah tidak lain adalah Zat Allah sendiri.
Untuk menyucikan keesaan Tuhan, golongan Mu’tazillah menafi’kan sifat-sifat
bagi Tuhan. Dengan cara demikian, golongan Mu’tazilah mengklaim dirinya
sebagai golongan Ahlut tauhid Wal ‘Adil. Allah itu benar-benar Esa tanpa
ditambah apa-apa.
Kaum mu’tazilah mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan
mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Definisi mereka tentang
Tuhan, sebagaimana dijelaskan oleh al-asy’ari, bersifat negatif. Tuhan tidak
mempunyai pengetahuan, tidak mempunyai kekuasaan, tidak mempunyai hajat
dan sebagainya. Ini tidak berarti bahwa Tuhan bagi mereka tidak mengetahui,
tidak berkuasa, tidak hidup dan sebagainya. Tuhan tetap mengetahui,
berkuasa,dan sebagainya, tetapi mengetahui, berkuasa, dan sebagainya tersebut

13
bukanlah sifat dalam arti kata sebenarnya. Artinya tuhan mengetahui dengan
pengetahuan dan pengetahuan itu adalah tuhan itu sendiri.12
Pandangan tokoh-tokoh mu’tazilah tentang sifat-sifat Tuhan :
 An –Nazhzham menfikan pengetahuan, kekuasaan, pendengaran, melihat
dan qadim dengan dirinya sendiri, bukan dengan kekuasaan,
perkehidupan, penglihatan dan keqadiman. Demikian pula dengan sifat-
sifat Allah yang lain. An –Nazhzham mengatakan bahwa jika ditetapkan
bahwa Allah itu adalah dzat yang tahu, berkuasa, hidup, mendengar,
melihat, dan qadim yang ditetapkan sebenarnya adalah dzat-Nya (bukan
sifat-Nya).
 Menurut Abu al-Huzail esensi pengetahuan Allah adalah Allah sendiri.
Demikian pula kekuasaan, pendengaran, penglihatan, dan kebijaksanaan,
dan sifat-sifat yang lain. Ia berkata aku nyatakan Allah “bersifat” tahu,
artinya aku nyatakan bahwa pada-Nya terdapat pengetahuan dan
pengetahuan itu adalah dzat-Nya.
 Arti “Tuhan mengetahui dengan esensinya” kata al-Jubba’i, ialah untuk
mengetahui, Tuhan tidak berhajat kepada suatu sifat dalam bentuk
pengetahuan atau keadaan mengetahui. Sebaliknya Abu hasyim
berpendapat bahwa arti “Tuhan mengetahui melalui esensinya”, ialah
Tuhan mempunyai keadaan mengetahui.13
b. Asy’ariyah
Kaum Asy’ariyah berlawanan dengan Mu’tazilah di atas. Mereka
dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat. Menurut al-Asy’ari
sendiri tidak dapat di ingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat karena perbuatan-
perbuatanya, disamping menyatakan Tuhan mengetahui, menghendaki, berkuasa,
dan sebagainya juga menyatakan bahwa Tuhan mempunyai pengetahuan,
kemauan, dan daya.
Dan menurut al- Baghdadi, terdapat konsesus di kalangan kaum asy’ariah
bahwa daya, pengetahuan, hayat, kemauan, pendengaran, penglihatan dan sabda

12
M. Akmal, Tauhid Ilmu Kalam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000).
13
Abbas dan Sirajudin, I’tiqad Ahlusunnah Wal Jama’ah (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2002).

14
Tuhan adalah kekal. Sifat –sifat ini kata al- ghazali, tidaklah sama dengan,
malahan lain dari, esensi Tuhan, tetapi berwujud dalam esensi itu sendiri.Uraian –
uraian ini juga membawa paham banyak yang kekal, dan untuk mengatasinya
kaum Asy’ariah mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah Tuhan, tetapi tidak
pula lain dari Tuhan.
Asy’ari mendasarkan pendapatnya kepada apa yang dilihatnya pada
manusia dan sifatnya. Atau dengan sebutan lain, Asy’ariyah mengharuskan
berlakunya soal-soal kemanusiaan pada Tuhan, atau mengharuskan berlakunya
hukum yang berlaku pada alam lahir dan alam ghaib. Sifat-sifat zat Tuhan
semuanya azali, oleh karenanya tidak mungkin iradah-Nya baru (hadis) seperti
yang dikatakan Muktazilah. Golongan Asy’ariyah mempersamakan Tuhan dengan
manusia dalam soal sifat dikarenakan menurut mereka sifat-sifat Tuhan bukanlah
zat-Nya, bukan pula lain dari zat-nya.
Jika diamati lebih cermat, kontradiksi pernyataan di atas nampak jelas
sekali. “bukan zat-Nya” berarti sifat-sifat itu bukan zat-Nya, akan tetapi “bukan
lain dari zat-Nya” berarti sifat-sifat itu menjadi satu dengan zat-Nya (hakikat zat).
Dari pendapat asy’ariyah yang demikian ini terlihat seolah-olah mereka menerima
pandangan Muktazilah, tetapi sebenarnya tidak demikian, golongan Asy’ariyah
tetap menolak pandangan Muktazilah, sebab mereka memiliki penafsiran terhadap
perkataan “bukan lain zat” dengan mengatakan bahwa sifat-sifat itu tidak bisa
lepas dari zat-Nya.14
c. Maturidiah
Tampaknya paham al-Maturidi tentang makna sifat Tuhan cenderung
mendekati paham Mu’tzilah, perbedannya al-Maturidi mengakui adanya sifat-sifat
Tuhan, sedangkan mu’tazilah menolak adanya sifat tuhan. Aliran ini mengatakan
bahwa pembicaraan tentang sifat harus didasarkan atas pengakuan bahwa Tuhan
mempunyai sifat-sifat-Nya sejak zaman azaly, tanpa pemisahan antara sifat-sifat
zat, seperti qadrat dan sifat-sifat yang berhubungan dengan Af’al seperti
menciptakan, menghidupkan dan lain-lain. Sifat-sifat tersebut menurut golongan
maturidiyah tidak boleh diperbincangkan apakah hakikat zat atau bukan.

14
Rosihin Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2006).

15
Sementara itu Kaum Maturidiyah golongan bukhara, karena juga
mempertahankan kekuasaan mutlak Tuhan, berpendapat bahwa Tuhan
mempunyai sifa-sifat. Persoalan banyak yang kekal, mereka selesaikan dengan
mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan kekal melalui kekekalan sifat-sifat itu sendiri,
juga dengan mengatakan bahwa Tuhan bersama-sama sifat-Nya kekal.
Sedangkan kaum Maturidiyah golongan Samarkand dalam hal ini kelihatanya
tidak sepaham dengan Mu’tazilah karena al- Matuiridi mengatakan bahwa sifat
bukanlah Tuhan tetapi pula tidak lain dari Tuhan.15
Aliran Maturidiyah mengatakan bahwa pembicaraan tentang sifat harus
didasarkan atas pengakuan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat-Nya sejak zaman
azaly, tanpa pemisahan antara sifat-sifat zat, seperti qadrat dan sifat-sifat yang
berhubungan dengan Af’al seperti menciptakan, menghidupkan dan lain-lain.
Sifat-sifat tersebut menurut golongan Maturidiyah tidak boleh diperbincangkan
apakah hakikat zat atau bukan. Akan tetapi di kemudian hari, aliran ini membelok
ke Asy’ariyah dengan mengatakan bahwa apa yang dimaksud dengan perkataan
“tidak berbeda dari zat” ialah bahwa sifat-sifat itu tetap ada pada zat dan tidak
bisa lepas dari padanya. Tetapi dari pandangannya ini sebenarnya masih
menyisakan persoalan, yaitu jika sifat-sifat itu bukan hakikat zat, tidak pula
berbeda dengan zat, lalu apa sebenarnya sifat-sifat itu? Menanggapi pertanyaan ini
golongan maturidiyah menjawab bahwa “sifat-sifat itu sifat Tuhan, tidak lebih
dari itu”.
Melihat jawaban yang demikian sebenarnya Maturidiyah belum bisa
menyelesaikan kontradiksi yang sedang berlangsung. Mereka justru membelok
kepada golongan para filosof dan Muktazilah, dengan mengatakan bahwa tidak
dapat dipersamakan antara Tuhan dengan manusia dan sifat Tuhan adalah hakikat
zat-Nya. Selain itu mereka juga bisa membelok ke aliran salaf dengan pengakuan
bahwa madzhab itu lebih selamat, dikarenakan pembahasan sifat Tuhan akan
menyeret kita kepada bid’ah, seperti yang dilakukan oleh kalangan Muktazilah
dan Asy’ariyah. Kendati demikian, sikap Maturidiyah terhadap Muktazilah lebih

15
Pstaniannawawi, “pemikiran aliran-aliran kalam,” Blogspot.com, 2013,
http://pstannawawi.blogspot.com/2013/06/pemikiran-aliran-aliran-kalam-mengenai.html.

16
lunak. Penetapan sifat-sifat untuk Tuhan, baginya tidak berarti tasybih
(menyerupakan) antara Tuhan dengan manusia, dan mereka (Muktazilah) yang
mengingkari sifat-sifat dengan alasan karena mensucikan Tuhan tidak perlu
disebut dan dituduh Muktazilah, dan tidak pula kafir, meskipun pengingkaran sifat
lebih berbahaya dari pada menetapkannya, sebab bisa menjadikan Tuhan sebagai
suatu gambaran fikiran yang kosong.
Dalam membicarakan sifat-sifat Tuhan menurut Maturidy, harus
menggunakan cara tasybih dan tanzil bersama-sama. Sifat-sifat Tuhan itu qadim
dan tidak bisa diterangkan kecuali menggunakan kata-kata yang biasa dipakai
untuk lingkungan manusia, yang berarti mempersamakn (tasybih). Akan tetapi
dalam pada itu harus dipakai jalan tanzil untuk meniadakan setiap persamaan
antara sifat Tuhan dengan sifat manusia. Karena itu tidak perlu ditanyakan,
bagaimana sifat ilmu dan qodrat Tuhan itu, sebab pertanyaan ini masih
memaksakan adanya persamaan. Prinsip inilah yang menjadi pegangan Ibn
Rusyd.16
d. Syiah Rafidhah
Sebagian besar tokoh Syiah Rafidhah menolak bahwa Allah senantiasa
bersifat tahu, mereka menilai bahwa pengetahuan itu bersifat baru, tidak qadim,
sebagian besar dari mereka berpendapat bahwa Allah tidak tahu terhadap sesuatu
sebelum kemunculannya.Makna Allah berkehendak menurut mereka adalah
bahwa Allah mengeluarkan gerakan, ketika gerakan itu muncul, ia bersifat tahu
terhadap sesuatu itu, mereka berpendapat pula bahwa Allah tidak bersifat tahu
terhadap sesuatu yang tidak ada.
Mayoritas tokoh Rafidhah menyifati tuhannya dengan bada (perubahan)
mereka beranggapan bahwa tuhan mengalami banyak perubahan, sebagian mereka
mengatakan bahwa Allah terkadang memerintahkan sesuatu lalu mengubahnya.
Terkadang pula ia menghendaki melakukan sesuatu lalu mengurungkannya karena
ada perubahan pada diri-Nya, perubahan itu bukan arti nasak tetapi dalam arti

16
“perbedaan aliran mengenai sifat tuhan,” diakses 2 September 2019,
http://www.refensimaklah.com/2012/12/perbedaan-aliran-mengenai-sifat-tuhan.html.

17
bahwa pada waktu yang pertama ia tidak tahu apa yang bakal terjadi pada waktu
yang kedua.17
e. Musyabihah (Karramiyah)

Kaum Musyabbihah artinya kaum yang menyerupakan. Kaum


Musyabbihah digelari kaum Musybih (menyerupakan) karena mereka
menyerupakan Tuhan dengan makhluk-Nya. Mereka mengatakan bahwa tuhan
adalah bertangan, bermuka, berkaki, bertubuh seperti manusia.Kalau sekiranya
kaum muslimin memegangi teguh prinsip tidak adanya persamaan antara Tuhan
dengan makhluknya, tentulah tidak timbul persoalan sifat dan tidak timbul
segolongan muslimin yang memegangi lahir nash-nash ayat atau hadist
mutasyabihat, seperti golongan musyabbihah atau Karramiyah. Dengan demikian
mereka mirip golongan agama-agama lain yang mempercayai Tuhan bertubuh dan
nampak dalam bentuk manusia.
Aliran kepercayaan ini sering disebut dengan aliran antropomorfisme,
yakni kepercayaan bahwa Tuhan bisa mewujud sebagaimana manusia. Aliran ini,
dalam merumuskan pemahamannya hanya menafsirkan ayat-ayat mengenai Zat,
Sifat-Sifat Allah dan perbuatan-Nya hanya berdasarkan makna harfiyahnya saja,
sehingga pemahamannya mempercayai bahwa Allah memiliki jisim, sebagaimana
yang pernah diulas pada pembahasan di atas. Tetapi aliran musyabihah yang
memegangi lahiriyah ayat-ayat tersebut merupakan golongan kecil dalam Islam.
Hal ini karena memang pada awalnya kaum muslimin memiliki pemahaman
teologi yang antropomorfis.

BAB III
PENUTUP

17
Rosihin Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam.hal 168

18
A. Kesimpulan
Dan dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam berpendapat
dan pemaparannya dalam pembahasan mengenai perilaku tuhan dan perilaku
manusia setiap aliran mempunyai pandangan atau pendapat mengenai hal tersebut.
Begitu pula pendapat aliran-aliran kalam mengenai sifat-sifat tuhan setiap aliran
mempunyai pendapat masing-masing yang berbeda anatara pendapat aliran satu
dengan yang lainnya.
Sifat-sifat yang wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah SWT termasuk dalam
aqidah yang 50 atau disebut dengan sifat yang 50. Yang termasuk aqoidul
khomsina (aqidah yg 50) adalah :

1. 20 sifat yang wajib bagi Allah


2. 20 sifat yang mustahil bagi Allah
3. 4 sifat yang wajib bagi rasul
4. 4 sifat yang mustahil bagi rasul
5. 1 sifat yang jaiz bagi Allah
6. 1 sifat yang Jaiz bagi rasul

B. Saran
Alangkah lebih baiknya jika mahasiswa atau pembaca dapat mengambil
pelajaran dan tentunya dapat membedakan mana yang positif dan negatif dari
setiap pendapat aliran-aliran diatas, dan tentunya dpat memertimbangkan yang
baik untuk diambil pembelajarannya.

DAFTAR PUSTAKA

19
Abbas, dan Sirajudin. I’tiqad Ahlusunnah Wal Jama’ah. Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2002.
Harun Nasution. Encyclopedia islam Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1992.
Irfan Abd Al-Hamid. Dirasat fi Al-Firaq wa al-aqa’id al-islamiyyah. Baghdad:
Mathba’ah As’ad, 1998.
M. Akmal. Tauhid Ilmu Kalam. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000.
M. Yunan Yusuf. Alam Pikiran Islam: pemikiran kalam. Jakarta: perkasa jakarta,
1990.
Muhammad Imarah. aL-mu’tazillah wa musykliah Al- humiyyah Al-Insaniyyah.
kairo: Asy-Syura, 1998.
“perbedaan aliran mengenai sifat tuhan.” Diakses 2 September 2019.
http://www.refensimaklah.com/2012/12/perbedaan-aliran-mengenai-sifat-
tuhan.html.
Pstaniannawawi. “pemikiran aliran-aliran kalam.” Blogspot.com, 2013.
http://pstannawawi.blogspot.com/2013/06/pemikiran-aliran-aliran-kalam-
mengenai.html.
Rosihin Anwar, dan Abdul Rozak. Ilmu Kalam. Bandung: CV. Pustaka Setia,
2006.

20

Anda mungkin juga menyukai