Anda di halaman 1dari 30

KEPERAWATAN BENCANA

RUMAH SAKIT LAPANGAN DAN RUMAH SAKIT RUJUKAN

Fasilitator :
Harmayetty,S.Kp.M.Kes

Disusun Oleh :
SGD 3 / A1 – 2016
1. Nabila Hanin Lubnatsary 131611133011
2. Dita Fajrianti 131611133014
3. Arinda Naimatuz Zahriya 131611133024
4. Yenni Nistyasari 131611133035
5. Seprin Srimentari Lely Darma 131611133046
6. Fitrianti Umayroh Mahardika 131611133047
7. Gita Shella Madjid 131611133049
8. Mudrika Novita Sari 131611133050
9. Galang Hashfiansyah 131611133051
10. Annisa Fitriani Purnamasari 131611133052
11. Rezkisa Dwi Prambudia 131611133117
12. Achmad Ubaidillah Mughni 131611133128
13. Timotius Dwi Kurnianto 131611133134
14. Desti Nayunda Lulu 131611133137

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2019
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas Rahmat


dan Nikmat-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Rumah
Sakit Lapangan dan umah Sakit Rujukan” ini dengan lancar dan tepat pada
waktunya.
Hasil laporan ini disusun khusus untuk memenuhi tugas Keperawatan
Bencana Semester 7 tahun ajaran 2019/2020. Pada kesempatan ini penulis
menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih kepada:
1. Bu Harmayetty,S.Kp.M.Kes selaku Fasilitator Kelompok 3 Keperawatan
Bencana.
2. Semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan makalah ini yang
tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Kami menyadari sebagai manusia kami banyak kekurangan. Oleh karena itu
dengan kerendahan hati, kami mohon pembaca berkenan memberikan kritik dan
saran demi penyempurnaan pembuatan makalah berikutnya. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi kelompok kami.

Surabaya, 28 Agustus 2019

SGD 3
A1/2016

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1


1.1 Latar Belakang .............................................................................................1
1.2 Tujuan ..........................................................................................................5
1.2.1 Tujuan Umum .....................................................................................5
1.2.2 Tujuan Khusus ....................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................6
2.1 Rumah Sakit Lapangan ............................................................................6
2.1.1 Definisi RS Lapangan .........................................................................6
2.1.2 Dasar Hukum RS Lapangan ................................................................6
2.1.3 Syarat Pendirian RS Lapangan ...........................................................8
2.1.4 Jenis RS Lapangan ...........................................................................10
2.1.5 Petugas RS Lapangan .......................................................................11
2.1.6 Sarana dan Prasarana RS Lapangan .................................................14
2.2 Rumah Sakit Rujukan ............................................................................22
2.2.1 Kriteria Pasien Korban Bencana di Rujuk .......................................22
2.2.3 Transportasi Pasien Korban Bencana................................................24
BAB III PENUTUP ..............................................................................................27
3.1 Kesimpulan ................................................................................................27
3.2 Saran ...........................................................................................................27

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................28

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan daerah yang sangat menarik. Menurut posisi
geologi yang dijelaskan oleh BNPB (Badan Nasional Penanggulangan
Bencana) Indonesia pada tahun 2016, selain memiliki wilayah paparan benua
yang luas (Paparan Sunda dan Paparan Sahul), Indonesia juga memiliki
pegunungan lipatan tertinggi di daerah tropika dan bersalju abadi (Pegunungan
Tengah Papua). Selain itu satu-satunya di dunia terdapat laut antar pulau yang
sangat dalam yaitu Laut Banda (lebih dari 5.000 meter), dan laut sangat dalam
antara dua busur kepulauan yaitu palung Weber (lebih dari 7.000 meter). Dua
jalur gunung api besar dunia juga bertemu di Nusantara dan beberapa jalur
pegunungan lipatan dunia pun saling bertemu di Indonesia. Kondisi tersebut
merupakan bagian dari hasil dari proses pertemuan 3 lempeng tektonik besar,
yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan lempeng Pasifik. Aktifitas tektonik
yang terjadi menyebabkan terbentuknya deretan gunungapi (volcanic arc) di
sepanjang pulau Sumatera, Jawa-Bali-Nusa Tenggara, utara Sulawesi-Maluku,
hingga Papua. Deret gunungapi di- Indonesia merupakan bagian dari deret
gunungapi sepanjang Asia-Pasifik yang sering di sebut sebagai Ring of Fire atau
deret sirkum pasifik. Zona atau wilayah yang berada diantara pertemuan
lempeng dan deret gunung api sering di sebut sebagai zona aktif atau dikenal
dengan istilah busur depan (fore arc), di wilayah ini umumnya banyak terdapat
patahan aktif dan sering terjadi gempabumi, misalnya wilayah bagian barat dari
bukit barisan, pesisir selatan Jawa, dan pesisir pantai utara Papua. Sedangkan
zona atau wilayah yang berada disisi setelah deret gunungapi yang bisa dikenal
sebagai busur belakang (back arc) cenderung lebih jarang dijumpai patahan
aktif dan biasanya banyak dijumpai endapan alluvial dan rawa, seperti wilayah
pesisir timur Sumatera, pesisir Utara Jawa, dan pesisir selatan Papua (BNPB,
2016).
Menurut data yang dihimpun dalam Data Informasi Bencana Indonesi
(DIBI)-BNPB, terlihat bahwa dari lebih dari 1.800 kejadian bencana pada

2
periode tahun 2005 hingga 2015 lebih dari 78% (11.648) kejadian bencana
merupakan bencana hidro meteorologi dan hanya sekitar 22% (3.810)
merupakan bencana geologi. Kejadian bencana kelompok hidrometeorologi
berupa kejadian bencana banjir, gelombang ekstrim, kebakaran lahan dan hutan,
kekeringan, dan cuaca esktrim. Sedangkan untuk kelompok bencana geologi
yang sering terjadi adalah gempa bumi, tsunami, letusan gunungapi, dan tanah
longsor. Kecenderungan jumlah kejadian bencana secara total untuk kedua jenis
kelompok yang relatif terus meningkat. Data BNPB Indonesia menyebutkan
bahwa selama tahun 2019 bencana yang terjadi adalah tsunami (2 kejadian)
dengan jumlah korban luka-luka sebanyak 14,059 jiwa, angin puting beliung
(713 kejadian) dengan jumlah korban 138 luka-luka, tanah longsor (548
kejadian) dengan jumlah korban luka-luka sebanyak 93 jiwa dan kerusakan
fasilitas kesehatan sebanyak 3 unit, banjir (535 kejadian) dengan jumlah korban
luka-luka sebanyak 1,052 jiwa dan kerusakan fasilitas kesehatan sebanyak 31
unit, kebakaran hutan dan lahan (122 kejadian), gempa bumi (15 kejadian)
dengan jumlah korban luka-luka sebanyak 142 jiwa dan kerusakan fasilitas
kesehatan sebanyak 52 unit, gelombang pasang atau abrasi (6 kejadian) dengan
jumlah korban luka-luka sebanyak 5 jiwa, dan letusan gunung api (4 kejadian).
Secara geografis Indonesia terletak pada rangkaian cincin api yang
membentang sepanjang lempeng pasifik yang merupakan lempeng tektonik
paling aktif di dunia. Proses gempa melibatkan proses fisika yang tidak biasa
tentang bagaimana materi dan energi berinteraksi selama kondisi ekstrim dari
pecahnya batuan/lempeng bumi. Tsunami merupakan bencana dengan karakter
fast-onset disaster atau jenis bencana dengan proses yang cepat. Tsunami dapat
terjadi bersumber dari lokasi yang dekat (near field) yang waktu penjalarannya
kurang dari 30 menit dari sumber ke garis pantai pantauan dan lokasi yang jauh
(far-field) yang waktu penjalaran ke wilayah pantai pantauan lebih lama dari 30
menit atau sumber tsunami memiliki jarak lebih jauh dari 1000 km. Selain
gempabumi, letusan gunungapi aktif juga dapat memicu terjadinya tsunami.
Salah satu tsunami yang disebabkan oleh meletusnya gunung api adalah
peristiwa tsunami yang terjadi pada Tanggal 27 Agustus 1883 yang disebabkan
oleh meletusnya Gunung api Krakatau (van der Bergh et al., 2003), dimana

3
mengakibatkan 36.000 jiwa meninggal. Gunung api adalah lubang kepundan
atau rekahan dalam kerak bumi tempat keluarnya cairan magma atau gas atau
cairan lainnya ke permukaan bumi. Material yang dierupsikan ke permukaan
bumi umumnya membentuk kerucut terpancung. Gunungapi diklasifikasikan ke
dalam empat sumber erupsi, yaitu erupsi pusat, erupsi samping, erupsi celah dan
erupsi eksentrik. Gunungapi-gunungapi di Kepulauan Indonesia menunjukkan
tingkat letusan yang tinggi, dicirikan dengan material lepas yang dominan
dibandingkan dengan seluruh material vulkanik yang keluar. Ritmann
menghitung angka indeks erupsi gunungapi (IEG) dari Asia sekitar 95%,
Filipina-Minahasa lebih dari 80%, Halmahera lebih dari 90%, Papua New
Guinea lebih dari 90%, Busur Sunda sekitar 99%. Harga tertinggi IEG dalam
sejarah tercatat pada letusan Tambora tahun 1815 (BNPB, 2016).
Menurut Kementerian Kesehatan Indonesia tahun 2008 angka kejadian
bencana di Indonesia terus meningkat sehingga besar kemungkinan kerusakan
fasilitas kesehatan pun meningkat, dengan adanya fasilitas kesehatan yang
rusak tentunya dapat mengganggu pelayanan kesehatan yang seharusnya
diberikan dalam situasi dan kondisi apapun, tidak terkecuali rumah sakit sebagai
fasilitas rujukan bagi penanganan korban bencana. Rumah sakit sebagai salah
satu fasilitas umum sering mengalami gangguan fungsional maupun struktural
akibat bencana internal (mis., kebakaran, gedung runtuh, dan keracunan)
maupun bencana eksternal (mis., kehadiran pasien/korban dalam jumlah yang
besar pada waktu hampir bersamaan) sehingga rumah sakitpun menjadi lumpuh
(kolaps). Selain itu, dalam situasi dan kondisi bencana ataupun. kedaruratan,
diperlukan upaya penguatan rumah sakit agar dapat berfungsi kembali untuk
memberikan jaminan pelayanan rujukan bagi masyarakat yang membutuhkan
pertolongan spesialistik. Salah satu bentuk upaya penguatan pelayanan rujukan
adalah melalui pendirian rumah sakit lapangan (RS lapangan), rumah sakit
lapangan merupakan unit pelayanan yang diciptakan untuk membantu fungsi
pelayanan kesehatan rujukan (rawat jalan, rawat inap, UGD, kamar operasi,
laboratorium, dll) yang dilaksanakan dalam kondisi darurat. Selain itu upaya
yang dilakukan adalah dengan memfasilitasi rumah sakit rujukan sebagai
alternatif. Berdasarkan hal tersebut, Departemen Kesehatan RI saat ini telah

4
menempatkan rumah sakit lapangan di 9 (sembilan) Pusat Penanggulangan
Krisis Regional (y.i., Medan, Palembang, Jakarta, Semarang, Surabaya,
Denpasar, Banjarmasin, Manado, dan Makassar) untuk mempercepat bantuan
kesehatan bila terjadi bencana (MENKES, 2008)\
Maka dari itu, untuk memperdalam konsep rumah sakit lapangan, dalam
makalah ini akan dibahas terkait dengan rumah sakit lapangan, rumah sakit
rujukan, standar pelayanan serta sarana dan prasarana yang sesuai dengan
pedoman di Indonesia.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami rumah sakit lapangan, rumah
sakit rujukan, standar pelayanan serta sarana dan prasarana yang sesuai
dengan pedoman di Indonesia.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui konsep rumah sakit lapangan
2. Mengetahui standar pelayanan rumah sakit lapangan
3. Membahas sarana dan prasarana rumah sakit lapangan dan rumah
sakit rujukan.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Rumah Sakit Lapangan


2.1.1 Definisi RS Lapangan
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 56 Tahun 2014 tentang
klasifikasi dan perizinan rumah sakit, Bab III mengenai bentuk rumah
sakit, Pasal 6 menjelaskan bahwa berdasarkan bentuknya, Rumah Sakit
dibedakan menjadi Rumah Sakit menetap, Rumah Sakit bergerak dan
Rumah Sakit lapangan.
Definisi mengenai RS Lapangan pada pasal 9 ayat (1) Rumah
Sakit lapangan merupakan Rumah Sakit yang didirikan di lokasi tertentu
selama kondisi darurat dalam pelaksanaan kegiatan tertentu yang
berpotensi bencana atau selama masa tanggap darurat bencana.
Sedangkan pada ayat (2) Rumah Sakit lapangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk tenda di ruang terbuka, kontainer,
atau bangunan permanen yang difungsikan sementara sebagai Rumah
Sakit.
Pada pasal 10 dijelaskan Ketentuan mengenai persyaratan dan tata
cara proses perizinan Rumah Sakit bergerak dan Rumah Sakit lapangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9 diatur dengan Peraturan
Menteri.

2.1.2 Dasar Hukum RS Lapangan


1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1992 tentang
Kesehatan.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2004 tentang
Praktek Kedokteran.
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana.
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2008
tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.

6
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2008
tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana.
6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2008
tentang Peran Serta Lembaga Internasional dengan Lembaga Non-
Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana.
7. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
1575/MENKES/PER/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Kesehatan.
8. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
1045/MENKES/PER/XI/2006 tentang Pedoman Organisasi Rumah
Sakit di lingkungan Depkes.
9. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 512/MENKES/PER/IV/2007
tentang Izin Praktek dan Pelaksanaan Praktek Kedokteran.
10. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 269/MENKES/PER/III/2008
tentang Rekam Medis.
11. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 876/MENKES/SK/XI/2006
tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Penanganan Krisis dan
Masalah Kesehatan Lain.
12. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 145/MENKES/SK/I/2007
tentang Pedoman Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan.
13. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
1227/MENKES/SK/XI/2007 tentang Perubahan atas Keputusan
Menteri Kesehatan RI Nomor 679/MENKES/SK/VI/2007 tentang
Organisasi Pusat Penanggulangan Krisis Regional.
14. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
1228/MENKES/SK/XI/2007 tentang Perubahan atas Keputusan
Menteri Kesehatan RI Nomor 783/MENKES/SK/X/2006 tentang
Regionalisasi Pusat Bantuan Penanganan Krisis Kesehatan Akibat
Bencana.

7
2.1.3 Syarat Pendirian RS Lapangan
1. Pengiriman Tim Aju
Sebelum menggerakkan RS lapangan kita perlu mengirimkan
tim aju yang mempunyai pengalaman dan kemampuan dalam
pengelolaan RS lapangan. Jumlah tim aju yang dikirim minimal 3
(tiga) orang terdiri dari tenaga teknis yang mempunyai pengalaman
dalam membangun RS lapangan, tenaga medis dan sanitarian. Tim aju
bertugas untuk melakukan penilaian mengenai lokasi pendirian tenda
dan peralatannya. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam
melakukan penilaian untuk pendirian RS lapangan di lokasi bencana,
antara lain:
a. Keamanan
Lokasi pendirian RS lapangan harus berada di wilayah yang aman
dari bencana susulan, misalnya, tidak berpotensi terkena gempa
susulan atau banjir susulan. Jika bencana berkaitan dengan konflik
maka lokasi RS lapangan harus berada di wilayah yang netral dan
mendapat jaminan keamanan dari kedua pihak yang bertikai.
b. Akses
Dalam penetapan lokasi pendirian RS lapangan, kita harus
memperhitungkan kemudahan akses bagi petugas dan pasien, juga
untuk mobilisasi logistik.
c. Infrastruktur
Apakah terdapat bangunan yang masih layak dan aman
dipergunakan sebagai bagian dari RS lapangan. Jika tidak, apakah
ada lahan dengan permukaan datar dan keras yang dapat digunakan
untuk pendirian RS lapangan. Apakah tersedia prasarana seperti
sumber air bersih dan listrik yang adekuat untuk memenuhi
kebutuhan operasional RS lapangan. Selain itu, perlu pula
dipertimbangkan ketersediaan bahan bakar untuk menghidupkan
genset dan kebutuhan operasional lain.
d. Sistem komunikasi

8
Faktor komunikasi memegang peranan penting baik untuk
keperluan internal rumah sakit maupun untuk hubungan eksternal
terkait dengan pelaporan, koordinasi dan mobilisasi tenaga dan
logistik, dsb.

2. Persiapan Sumber Daya


1) Tenaga Medis dan Non-Medis
Tim inti harus dipersiapkan sejak awal dan terdiri dari unsur
manajerial, klinisi, keperawatan, penunjang medis, sarana, dan
prasarana, biasanya merupakan tim yang melekat pada sistem RS
atau dibentuk oleh suatu institusi atau badan dengan melibatkan
berbagai unsur.
2) Obat dan Perbekalan Kesehatan
Agar penyediaan obat dan perbekalan kesehatan dapat
membantu pelaksanaan pelayanan kesehatan pada saat kejadian
bencana, jenis obat dan perbekalan kesehatan harus sesuai dengan
jenis penyakit dan pedoman pengobatan yang berlaku. (DOEN,
Formularium Rumah Sakit, Standar terapi rumah sakit).
3) Alat Medis, Alat Penunjang Medis dan Alat Non-Medis
Perlengkapan RS lapangan harus memenuhi standar pelayanan,
persyaratan mutu, keamanan, keselamatan, kemanfaatan, dan layak
pakai.

3. Mobilisasi Sumber Daya


1) Mobilisasi Peralatan Medis dan Non-Medis
a. Penggerakan alat medis dan non-medis ke lokasi mengacu pada
hasil assessment (situasi dan kondisi, geografi, transportasi).
b. Kebutuhan bergantung pada jumlah dan jenis kasus korban.
c. Pengiriman berdasarkan efisiensi dan efektivitas.
d. Pengembalian atau pemeriksaan jenis dan jumlah alat
menggunakan format dan berita acara serah terima; bila ada alat
yang hilang merupakan tanggung jawab tim yang bertugas pada
saat itu.

9
2) Mobilisasi Obat dan Pembekalan
a. Jenis dan jumlah sesuai hasil assessment (jenis bencana, jenis
penyakit, jumlah korban berikut usianya) dan pedoman
pengobatan.
b. Jika ada permintaan obat baik dari puskesmas, rumah sakit
daerah, RS swasta atau RS lapangan pemenuhannya akan segera
di distribusikan sesuai dengan kebutuhan dan persediaan yang
ada.
3) Mobilisasi Prasarana
a. Persiapan unit-unit atau kit prasarana (mis, genset dan water
purifier) yang akan dimobilisasi ke lokasi bencana dari gudang
penyimpanan.
b. Penyiapan sarana pengangkut unit-unit atau kit prasarana yang
akan dimobilisasi ke lokasi bencana.
c. Mobilisasi unit-unit atau kit prasarana ke lokasi bencana.
d. Pemasangan dan inisialisasi unit-unit atau kit prasarana di lokasi
bencana.
e. Pemenuhan kebutuhan air dan listrik, RS lamobilisasi prasarana
lapangan dapat bekerja sama dengan penyelenggara lokal.
f. Pemeliharaan unit-unit atau kit prasarana dilakukan secara
berkala selama operasionalisasi RS lapangan.
g. Pengembalian atau pemeriksaan jenis dan jumlah unit-unit atau
kit prasarana menggunakan format dan berita acara serah terima;
bila ada prasarana yang hilang merupakan tanggung jawab tim
yang bertugas pada saat itu.

2.1.4 Jenis RS Lapangan


A. Rumah Sakit Darat
Merujuk pada Pedoman Pengelolaan Rumah Sakit Lapangan
untuk Bencana oleh Kementerian Kesehatan RI (2008), rumah sakit
lapangan digambarkan sebagai fasilitas yang lengkap, terdiri dari tenda
unit gawat darurat, tenda operasi, tenda perawatan, ICU, radiologi,

10
laboratorium, farmasi, gudang, tenda personel, laundry, fasilitas
sterilisasi, dan lainnya. Selain itu terdapat sarana komunikasi,
pembangkit listrik, dapur, toilet/kamar mandi, pembuangan limbah,
dan lainnya. Jadi, merupakan rumah sakit seperti pada umumnya hanya
saja menggunakan tenda (yang sekarang makin berkembang
menggunakan kontainer atau yang lain).

B. Rumah Sakit Apung


Armada terapung yang dapat bergerak (kapal) menjadi sebuah
kebutuhan mendasar untuk perpindahan orang dan barang diatas
permukaan air. Klinik apung secara fisik sama dengan kapal dalam
kaidah secara umum. Yang membedakan adalah fasilitas yang dimiliki
dimana klinik merupakan representasi klinik di darat yang
diimplementasikan dalam bentuk kapal.

C. Petugas RS Lapangan
Untuk mempersiapkan anggota tim RS lapangan baik tenaga
medis maupun non-medis, berikut hal-hal yang perlu diperhatikan:
a. Tenaga yang dimobilisasi bersifat situasional bergantung pada bencana
yang terjadi.
b. Tenaga lokal dapat disiapkan untuk mendukung tim inti yang bertugas.
c. Masa tugas ≤14 hari dan berkesinambungan dengan tim pengganti yang
akan bertugas setelah serah terima dengan tim sebelumnya.
d. Penyediaan tenaga dilaksanakan secara bertahap dan disesuaikan
dengan jenis pelayanan dan waktu yang disediakan.

Pendirian RS lapangan memerlukan tenaga yang sudah terlatih


dalam hal operasionalisasi RS lapangan, yang terdiri dari tenaga medis
dan non-medis yang akan menjadi tim inti RS lapangan. Tim inti harus
dipersiapkan sejak awal dan terdiri dari unsur manajerial, klinisi,
keperawatan, penunjang medis, sarana, dan prasarana, biasanya
merupakan tim yang melekat pada sistem RS atau dibentuk oleh suatu
institusi atau badan dengan melibatkan berbagai unsur.

11
Tenaga medis RS lapangan dibutuhkan untuk memberikan
pelayanan kesehatan yang memang menjadi tujuan pendirian RS
lapangan. Contoh tenaga medis yang terlibat antara lain :
- Dokter umum
- Dokter spesialis bedah
- Dokter spesialis bedah tulang
- Dokter anestesi
- Dokter penyakit dalam
- Dokter spesialis kandungan
- Dokter spesialis anak
- Dokter spesialis jiwa
- Perawat mahir (gawat darurat, kamar bedah, intensif, rawat bedah)
- Perawat anestesi
- Perawat umum
- Radiografer
- Tenaga analisis laboratorium
- Apoteker dan asisten apoteker
- Ahli gizi/dietisien
- Tenaga rekam medis
- Tenaga elektro medik
- Tenaga sanitarian

 Syarat petugas RS lapangan salah satunya adalah perawat yang harus


memiliki kompetensi antara lain :
1. UU No. 38 Tahun 2014 Pasal 18
(1) Perawat yang menjalankan Praktik Keperawatan wajib memiliki
STR.
(2) STR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Konsil
Keperawatan setelah memenuhi persyaratan.
(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. Memiliki ijazah pendidikan tinggi Keperawatan
b. Memiliki Sertifikat Kompetensi atau Sertifikat Profesi
c. Memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental

12
d. Memiliki surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji
profesi
e. Membuat pernyataan mematuhi dan melaksanakan ketentuan
etika profesi
(4) STR berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diregistrasi ulang
setiap 5 (lima) tahun.
(5) Persyaratan untuk Registrasi ulang sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) meliputi:
a. memiliki STR lama
b. Memiliki Sertifikat Kompetensi atau Sertifikat Profesi
c. Memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental
d. Membuat pernyataan mematuhi dan melaksanakan ketentuan
etika profesi;telah mengabdikan diri sebagai tenaga profesi atau
vokasi di bidangnya
e. Memenuhi kecukupan dalam kegiatan pelayanan, pendidikan,
pelatihan, dan/atau kegiatan ilmiah lainnya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) huruf e dan huruf f diatur oleh Konsil
Keperawatan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Registrasi dan
Registrasi ulang diatur dalam peraturan konsil keperawatan.

2. UU No. 38 Tahun 2014 Pasal 19


(1) Perawat yang menjalankan Praktik Keperawatan wajib memiliki
izin.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk
SIPP.
(3) SIPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh
Pemerintah Daerah kabupaten/kota atas rekomendasi pejabat
kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat Perawat
menjalankan praktiknya.

13
(4) Untuk mendapatkan SIPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan (2), Perawat harus melampirkan:
a. Salinan STR yang masih berlaku
b. Rekomendasi dari Organisasi Profesi Perawat
c. Surat pernyataan memiliki tempat praktik atau surat keterangan
dari pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
(5) SIPP masih berlaku apabila:
a. STR masih berlaku
b. Perawat berpraktik di tempat sebagaimana tercantum dalam
SIPP

Selain tenaga medis, tenaga non-medis juga diperlukan untuk


mendukung kelancaran operasionalisasi RS lapangan. Kebersihan
maupun perawatan tenda dan perlengkapan RS lapangan demikian pula
dengan kesehatan dan kesejahteraan anggota tim RS lapangan maupun
penduduk yang berobat menjadi tugas mereka. Tenaga non-medis yang
terlibat antara lain :
 Pengemudi /supir
 Juru masak
 Tenaga administrasi
 Tenaga laundry
 Tenaga teknisi listrik dan mesin
 Tenaga pembantu umum (untuk tenaga gudang, kebersihan, dll.)
 Tenaga keamanan.

A. Sarana dan Prasarana RS Lapangan


Prasarana adalah seluruh benda maupun jaringan atau instalasi
yang membuat suatu sarana yang ada dapat berfungsi sesuai dengan tujuan
yang diharapkan. Beberapa contoh prasarana dalam RS lapangan, antara
lain:
1. Instalasi Air Bersih

14
Dimulai dari sumber air yang diolah melalui alat penjernih air (water
purifier) dengan keluaran berupa air bersih.
2. Instalasi Listrik
Dimulai dari genset RS lapangan melalui jaringan instalasi listrik dan
keluar sebagai arus listrik yang digunakan pada stop kontak dan lampu
penerangan.
3. Instalasi Pengkondisian Udara
Dimulai dari udara yang masuk melalui modul pendingin kemudian
disalurkan ke dalam tenda-tenda RS lapangan berupa udara dingin atau
panas.

 Penjelasan berikut memuat beberapa hal yang perlu diperhatikan


di dalam menyediakan prasarana RS lapangan.
1. Alat Kesehatan (Alkes)
Tata laksana penggunaan alat kesehatan, antara lain:
- Alkes ditempatkan di dalam tenda sesuai dengan jenis pelayanan
yang akan dilaksanakan.
- Semua alkes dirakit, dipasang dan diuji-fungsikan untuk
memastikan kelayakannya.
- Pencatatan dilakukan terhadap semua alat kesehatan yang telah
ditempatkan di semua tenda maupun perpindahan alat tersebut.

2. Prasarana Komunikasi
Perlengkapan dan peralatan radio komunikasi terdiri dari:
- Perangkat Rig, HT, baterei, power supply.
- Antena, dilengkapi penangkal petir sederhana.
- Perangkat Rig dan HT setidaknya dual band (VHF dan UHF).
- Sebaiknya dipilih perangkat yang tahan cuaca (weather-proof).

3. Pembangkit Daya Listrik (Generator Set)


Persyaratan yang perlu diperhatikan untuk pembangkit listrik atau
generator set (genset), antara lain:
- Penempatannya jauh dari tenda pelayanan.

15
- Dilengkapi dengan unit jaringan listrik (panel, kabel, stopkontak,
saklar), dan grounding (sistem pembumian) pada titik-titik
tertentu.
4. Prasarana Penerangan
Persyaratan untuk prasarana penerangan, antara lain:
- Pencahayaan memadai.
- Lampu penerangan selain ditempatkan di dalam tenda pelayanan
juga tersedia di area RS lapangan.

5. Prasarana Air Bersih


Persyaratan untuk prasarana air bersih, antara lain:
- Letak sumber air bersih berdekatan dengan lokasi pendirian RS
lapangan dan terhindar dari pencemaran.
- Penyediaan air bersih dapat memanfaatkan pasokan air dari
PDAM, jika tidak memungkinkan dapat memanfaatkan sumber
air bersih yang ada, misalnya, air sumur, air sungai, dsb.
- Untuk keperluan bedah, bila memungkinkan, air yang telah
diolah dapat disaring kembali dengan catridge filter dan
didesinfeksi dengan menggunakan ultra violet (UV).
- Kebutuhan air minimal 100 liter/pasien/hari (ICRC).
- Sanitarian atau penanggung jawab yang ditunjuk melakukan
pemeriksaan kualitas air secara berkala untuk mengukur kadar
sisa klor (bila menggunakan desinfektan kaporit), pH, dan
kekeruhan pada titik/tempat yang dicurigai rawan kontaminasi.
- Apabila dalam pemeriksaan kualitas air, hasilnya tidak
memenuhi syarat dan terdapat parameter yang menyimpang,
maka harus dilakukan pengolahan.

6. Prasarana Pembuangan Limbah


Persyaratan umum untuk prasarana pembuangan limbah, antara lain:
- Terbuat dari plastik hitam untuk limbah padat rumah
tangga/domestik dan dibuang ke TPA atau dibakar.
- Tempat sampah berpenutup disediakan di sisi luar setiap tenda.

16
- Tempat Pembuangan limbah dengan menggali lubang,
dianjurkan sedalam 1-2 meter dan tidak mencemari lingkungan,
dan jarak dari sumber air 15 meter.
- Untuk pengelolaan limbah medis padat, perlu diperhatikan
beberapa hal berikut:
1) Pemilahan jenis limbah medis padat, di mulai dari sumbernya
dan mencakup limbah infeksius, limbah patologi, limbah
benda tajam, limbah farmasi, serta limbah dengan kandungan
logam berat yang tinggi.
2) Wadah limbah medis padat terbuat dari bahan yang kuat,
cukup ringan, tahan karat, kedap air, dan memiliki permukaan
yang halus di bagian dalamnya sehingga mudah dibersihkan.
Wadah tersebut dilapisi dengan kantong plastik padat warna
kuning (dengan lambang limbah infeksius) yang dapat diikat
rapat untuk menampung limbah medis padat.
3) Di setiap sumber penghasil limbah medis harus tersedia wadah
terpisah untuk limbah padat non-medis.
4) Kantong plastik limbah medis diangkat setiap hari.
5) Lakukan kerja sama dengan rumah sakit terdekat yang
memiliki fasilitas insinerator untuk pemusnahan limbah medis.
- Untuk pengelolaan limbah padat non-medis, beberapa hal yang
perlu diperhatikan, yaitu:
1) Pemilahan limbah padat non-medis dilakukan untuk
memisahkan antara limbah yang dapat dimanfaatkan dengan
limbah yang tidak dapat dimanfaatkan kembali, serta
pemilahan antara limbah basah dan limbah kering.
2) Wadah limbah padat non-medis harus terbuat dari bahan yang
kuat, ringan, tahan karat, kedap air, dan memiliki permukaan
yang mudah dibersihkan serta dilengkapi dengan tutup yang
mudah dibuka dan ditutup.
3) Terdapat sedikitnya 1 wadah untuk setiap kamar atau
disesuaikan kebutuhan.

17
4) Limbah tidak boleh dibiarkan dalam wadahnya melebihi 3 x
24 jam atau apabila 2/3 bagian kantong sudah terisi limbah,
kantong harus diangkut supaya tidak menjadi perindukan
vektor penyakit.Tempat pembuangan akhir limbah padat non-
medis di lokasi pembuangan akhir yang dikelola pemda
setempat.
- Sementara itu, untuk limbah cair, perlu diperhatikan hal-hal
berikut:
1) Tersedia kontainer atau jerigen plastik warna kuning (dengan
lambang limbah infeksius) yang dapat ditutup rapat untuk
menampung limbah medis cair, benda tajam, jarum dan
spuitnya.
2) Limbah medis cair ditampung ke dalam tanki septik dan
didekontaminasi sebelum dibuang ke saluran pembuangan
yang tertutup dan terpisah dari saluran air hujan.
3) Limbah cair yang berasal dari dapur harus dilengkapi
penangkap lemak dan saluran air limbah harus dilengkapi atau
ditutup dengan grill.

7. Prasarana Laundry dan Sterilisasi Persyaratan yang harus dipenuhi


untuk prasarana laundry dan sterilisasi, antara lain:
- Tersedia sumber air bersih untuk pencucian.
- Mesin pencuci harus disiapkan 2 (dua) unit yaitu untuk linen
infeksius dan linen non-infeksius. Mesin pencuci untuk linen
infeksius tidak boleh digunakan untuk linen non-infeksius dan
sebaliknya.
- Tersedia cairan desinfektan dan bak perendam untuk
dekontaminasi linen infeksius.
- Penggunaan detergen dan disinfektan yang ramah lingkungan.
- Dibuat saluran pembuangan limbah pencucian.
- Petugas yang bekerja dalam pengelolaan laundry linen harus
menggunakan pakaian kerja khusus, alat pelindung diri, dan
menjalani pemeriksaan kesehatan secara berkala.

18
8. Prasarana Pelayanan Gizi (Dapur Umum)
Persyaratan yang harus dipenuhi untuk prasarana pelayanangizi
(dapur umum), antara lain:
- Dilengkapi peralatan pengkondisian udara dan sistem
pencahayaan.
- Dilengkapi dengan peralatan masak besar, peralatan masak kecil,
peralatan makan dan khusus untuk pembuatan formula dan
makanan bayi, peralatan kebersihan, alat pencuci dan
refrigerator.

9. Prasarana Toilet dan Kamar Mandi


Persyaratan yang perlu diperhatikan untuk prasarana toilet dan
kamar mandi, antara lain:
- Lokasinya tidak berdekatan langsung dengan dapur, kamar
operasi, dan ruang khusus lainnya; pisahkan toilet pasien dari
toilet personel.
- Tidak menimbulkan genangan air yang dapat menjadi tempat
perindukan nyamuk.
- Bak dan jamban dipasang dengan baik dan dilengkapi dengan
sistem saluran pembuangan.
- Bila dilengkapi shower, sistemnya harus dilengkapi dengan kran.
- Bak penampung air harus mudah dikuras.
- Dilengkapi dengan sistem pencahayaan.
- Memiliki sistem ventilasi pembuangan udara yang berhubungan
langsung dengan udara luar.

 Fasilitas dan sarana prasarana utama/inti yang diperlukan dalam


penanganan bencana atau dalam situasi emergency yang terdiri
dari tiga komponen utama:
1. Umum
a. Pos komando diharapkan dalam ruangan ini terdapat :
- Peta RS
- Peta kota tersebut dan propinsi

19
- Alat komunikasi ( telepon dan radio frekuensi )
- Komputer, printer dan internet
- Televisi
- Nomer-nomer telepon penting (karyawan dan RS terdekat)
- Peta bangunan sekitar untuk pelebaran ruangan
- Buku protap
- Alur sistem komando
b. Humas atau pusat informasi
- Papan tulis utk laporan data korban
- Meja
- Kursi
- Telepon
- Komputer, printer dan internet
- Humas yang mampu berbahasa inggris
c. Dapur umum
d. Gudang logistik untuk penerimaan bantuan; dibedakan dengan
gudang logistik yang sehari-hari .
e. Tempat berkumpulnya relawan ; relawan disini adalah relawan
yang sudah siap untuk masuk tugas di rumah sakit. Yang sudah
tercatat dengan jelas oleh pihak pencatat relawan di rumah sakit
tersebut.
f. Tempat berkumpulnya keluarga pasien; penting dipikirkan agar
tidak lalulalang tidak jelas sehingga membuat situasi rumah sakit
tambah kacau karena banyaknya keluarga pasien di lorong-
lorong rumah sakit.
g. Surge in place atau persediaan bangsal yang ditutup (tidak
dipakai pada saat operasional harian), sebagai contoh :
maksudnya adalah Rumah Sakit yang mempunyai tempat tidur
200 buah, tetapi karena Rumah Sakit itu kebanjiran pasien
maka,pihak Rumah Sakit telah membuat keputusan dengan
membuka bangsal-bangsal yang tertutup untuk dibuka agar
pasien dapat ditempatkan kebangsal tertutup tadi (bangsal

20
tambahan) dengan menggunakan strategi “surging in place”
guna meningkatkan kapasitas lonjakan di Rumah Sakit (the
hospital’s surge capacity).

2. Penanganan Korban
a. Triage
Dengan menempatkan pasien sesuai dengan kondisinya, seperti
merah, kuning, hijau dan hitam.
b. Ruang tindakan
- Ruang tindakan merah jika tidak mampu di terima di ruang
gawat darurat maka penting dicarikan dan disiapkan tempat lain
yang berdekatan dengan ruang gawat darurat, serta alur ke
kamar operasi juga disiapkan agar lebih gampang dan tidak
berjauhan.
- Ruang tindakan kuning diharapkan juga bisa berdekatan dengan
ruang tindakan merah.
- Ruang tindakan hijau jika tidak ada ruangan maka dapat
dialokasikan di lapangan parker.
- Sedangkan untuk yang hitam sedapat mungkin alurnya tidak
melalui ruangan dalam rumah sakit, jadi melalui luar yang
langsung menuju kamar jenazah.
c. Kamar operasi
Peralatan kamar operasi diharapkan selalu dalam keadaan baik
dan siap pakai
- Ruang isolasi
- Ruang perawatan (intensive care, intermediate, bangsal)
- Kamar jenazah

3. Fasilitas Penunjang
a. Sistem supply air bersih
b. Gas medis
c. Cssd
d. Penyimpanan bahan bakar
e. Sistem komunikasi

21
f. Pengolahan limbah
g. Sistem tata udara di critical area.

2.2 Rumah Sakit Rujukan


2.2.1 Kriteria Korban Bencana di Rujuk
Triase (Triage) adalah tindakan untuk
memilah/mengelompokkan korban berdasar beratnya cidera,
kemungkinan untuk hidup, dan keberhasilan tindakan berdasar sumber
daya (SDM dan sarana) yang tersedia. Tujuan triase pada musibah massal
adalah bahwa dengan sumber daya yang minimal dapat menyelamatkan
korban sebanyak mungkin.

 Kebijakan
1. Memilah korban berdasarkan
 Beratnya cidera
 Besarnya kemungkinan untuk hidup
 Fasilitas yang ada / kemungkinan keberhasilan tindakan
2. Triase tidak disertai tindakan
3. Triase dilakukan tidak lebih dari 60 detik/pasien dan setiap
pertolongan harus dilakukan sesegera mungkin.

 Prosedur
1. Penderita datang diterima petugas / paramedis UGD.
2. Diruang triase dilakukan anamnese dan pemeriksaan singkat dan
cepat (selintas) untuk menentukan derajat kegawatannya. Oleh
paramedis yang terlatih / dokter.
3. Namun bila jumlah penderita/korban yang ada lebih dari 50 orang,
maka triase dapat dilakukan di luar ruang triase (di depan gedung
IGD).
4. Penderita dibedakan menurut kegawatnnya dengan memberi kode
warna
a. Segera - Immediate (I)- MERAH

22
Pasien mengalami cedera mengancam jiwa yang kemungkinan
besar dapat hidup bila ditolong segera. Misalnya : Tension
pneumothorax, distress pernafasan (RR< 30x/mnt), perdarahan
internal vasa besar dsb.
b. Tunda-Delayed (II)-KUNING
Pasien memerlukan tindakan defintif tetapi tidak ada ancaman
jiwa segera. Misalnya : Perdarahan laserasi terkontrol, fraktur
tertutup pada ekstrimitas dengan perdarahan terkontrol, luka
bakar <25% luas permukaan tubuh, dsb.
c. Minimal (III)-HIJAU
Pasien mendapat cedera minimal, dapat berjalan dan menolong
diri sendiri atau mencari pertolongan. Misalnya : Laserasi minor,
memar dan lecet, luka bakar superfisial.
d. Expextant (0)-HITAM
Pasien menglami cedera mematikan dan akan meninggal meski
mendapat pertolongan. Misalnya : Luka bakar derajat 3 hampir
diseluruh tubuh, kerusakan organ vital, dsb.
4. Penderita/korban mendapatkan prioritas pelayanan dengan urutan
warna : merah, kuning, hijau, hitam.
5. Penderita/korban kategori triase merah dapat langsung diberikan
pengobatan diruang tindakan IGD. Tetapi bila memerlukan
tindakan medis lebih lanjut, penderita/korban dapat dipindahkan ke
ruang operasi atau dirujuk ke rumah sakit lain.
6. Penderita/korban dengan kategori triase kuning yang memerlukan
tindakan medis lebih lanjut dapat dipindahkan ke ruang observasi
dan menunggu giliran setelah pasien dengan kategori triase merah
selesai ditangani.
7. Penderita/korban dengan kategori triase hijau dapat dipindahkan
ke rawat jalan, atau bila sudah memungkinkan untuk dipulangkan,
maka penderita/korban dapat diperbolehkan untuk pulang.
8. Penderita/korban kategori triase hitam dapat langsung dipindahkan
ke kamar jenazah.

23
2.2.2 Transportasi Pasien Korban Bencana
Kegiatan pencarian dan penyelamatan terutama dilakukan oleh
Tim Rescue (Basarnas, Basarda) dan dapat berasal dari tenaga suka rela
bila dibutuhkan. Tim ini akan:
1. Melokalisasi korban.
2. Memindahkan korban dari daerah berbahaya ke tempat
pengumpulan/penampungan jika diperlukan.
3. Memeriksa status kesehatan korban (triase di tempat kejadian).
4. Memberi pertolongan pertama jika diperlukan.
5. Memindahkan korban ke pos medis lanjutan jika diperlukan.

Hal ini bergantung pada situasi yang dihadapi (gas beracun,


material berbahaya), tim akan menggunakan pakaian pelindung dan
peralatan khusus. Jika tim bekerja di bawah kondisi yang sangat berat,
penggantian anggota tim dengan tim pendukung harus lebih sering
dilakukan.

 Syarat Transfer Korban Bencana ke Rumah Sakit


1. Korban berada dalam keadaan yang paling stabil dan
memungkinkan untuk dievakuasi.
2. Korban telah disiapkan/diberi peralatan yang memadai untuk
transportasi.
3. Fasilitas kesehatan penerima telah diberitahu dan siap menerima
korban.
4. Kendaraan dan pengawalan yang dipergunakan merupakan yang
paling layak.

 Prosedur Transfer Korban Bencana ke Rumah Sakit


Merupakan usaha pengiriman korban bencana ke luar rumah sakit.
Sebagai upaya keselamatan bagi korban bencana dengan prosedur:
1. Mintakan persetujuan medis, persetujuan/permintaan
keluarga/pemimpin negara sebelum proses transfer.
2. Koordinasi dengan RS penerima.
3. Pasien dalam keadaan stabil dan siap untuk transfer.

24
4. Ambulans dengan standar transfer.
5. Tim medis pendamping.

 Transportasi Korban
Koodinator Transportasi mengatur kedatangan dan
keberangkatan serta transportasi yang sesuai. Koordinator
Transportasi bekerjasama dengan Koordinator Medik menentukan
rumah sakit tujuan, agar pasien trauma serius sampai kerumah sakit
yang sesuai dalam periode emas hingga tindakan definitif
dilaksanakan pada saatnya. Ingat untuk tidak membebani RS rujukan
melebihi kemampuannya. Cegah pasien yang kurang serius dikirim ke
RS utama. (Jangan pindahkan bencana ke RS).

 Jalur Untuk Transport Korban


Petugas keamanan bersama petugas medis menetapkan
perimeter sekitar lokasi bencana yang disebut Zona Panas. Ditentukan
jalur yang dinyatakan aman untuk memindahkan korban ke perimeter
kedua atau zona dimana berada Area Tindakan Utama. Tidak
seorangpun diizinkan melewati perimeter Zona Panas untuk
mencegah salah menempatkan atau memindahkan pasien secara tidak
aman tanpa izin. Faktor lain yang mempengaruhi kemantapan Zona

25
Panas antaranya lontaran material, api, jalur listrik, bangunan atau
kendaraan yang tidak stabil atau berbahaya.

 Jejaring Rujukan Antar Fasilitas Kesehatan

Puskesmas RS Swasta <

Tempat Kejadian. RS Tipe C


RS Lapangan.

RSUD RS Swasta >

Algoritma Transfer Antar Fasilitas

Jejaring rujukan antar RS dibuat berdasar kemampuan RS


dalam memberikan pelayanan, baik dari segi kuantitas kemampuan
menerima pasien maupun kualitas pelayanan yang dihubungkan
dengan kemampuan SDM dan kesedian fasilitas medis maupun
perkembangan teknologi.
Evakuasi adalah transportasi yang terutama ditujukan dari RS
lapangan menuju RS rujukan atau transportasi antar RS dikarenakan
adanya bencana yang terjadi pada satu RS dimana pasien harus
dievakuasikan ke RS lain.
Koordinasi dalam pelayanan terutama pelayanan rujukan
diperlukan pemberian informasi keadaan pasien dan pelayanan yang
dibutuhkan sebelum pasien ditransportasikan ke RS tujuan.

26
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Rumah sakit lapangan merupakan satu-satunya cara untuk memberikan
perawatan kesehatan jika rumah sakit – rumah sakit yang ada tidak berfungsi
dengan semestinya. Rumah sakit lapangan digambarkan sebagai fasilitas yang
lengkap, terdiri dari tenda unit gawat darurat, tenda operasi, tenda perawatan,
ICU, radiologi, laboratorium, farmasi, gudang, tenda personel, laundry, fasilitas
sterilisasi dan lainnya. Selain itu terdapat sarana komunikasi, pembangkit
listrik, dapur, toilet/kamar mandi, pembuangan limbah, dan lainnya.
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 228 tahun 2002, menyatakan
bahwa standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan sebagai
patokan dalam melakukan kegiatan. Standar ini dapat ditentukan berdasarkan
kesepakatan propinsi, kabupaten/kota sesuai dengan evidence base. Standar
pelayanan rumah sakit daerah adalah penyelenggaraan pelayanan manajemen
rumah sakit, pelayanan medik, pelayanan penunjang dan pelayanan
keperawatan, baik rawat inap maupun rawat jalan yang minimal harus
diselenggarakan oleh rumah sakit.

3.2 Saran
Dengan mempelajari materi ini mahasiswa keperawatan yang nantinya
menjadi seorang perawat professional agar dapat lebih memahami konsep rumah
sakit lapangan dan dapat bekerja sesuai dengan standar pelayanan yang ada.

27
DAFTAR PUSTAKA

Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2016. Risiko Bencana Indonesia.


Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 2007. Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis


Kesehatan Akibat Bencana. Jakarta: Depkes RI.

DR. dr. Siti Fadillah Supari, S. (2008). Pedoman Pengelolaan Rumah Sakit
Lapangan Untuk Bencana. Menteri Kesehatan RI, 23-28.

Guidelines for the inter- and intrahospital transport of critically ill patients.

Jonathan Warren, MD, FCCM, FCCP; Robert E. Fromm Jr, MD, MPH, MS;
Richard A. Orr, MD; Leo C. Rotello, MD, FCCM, FCCP, FACP; H.
Mathilda Horst, MD, FCCM; American College of Critical Care
Medicine.Critical Care Medicine 2004 Vol. 32, No. 1.

Kemenkes RI. 2012. Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Yang Aman Dalam
Situasi Darurat dan Bencana. Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik
Dan Sarana Kesehatan Direktorat Bina Upaya Kesehatan.

Menteri Kesehatan. 2008. Pedoman Pengelolaan Rumah Sakit Lapangan Untuk


Bencana. Jakarta: Departemen Kesehatan.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 56 Tahun 2014 Tentang


Klasifikasi Dan Perizinan Rumah Sakit.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan.

Warren, J. 2004. Guidelines for the inter- and intrahospital transport of critically ill
patients. Crit Care Med, Vol. 32, No. 1.

28

Anda mungkin juga menyukai