Anda di halaman 1dari 54

MAKALAH KEPERAWATAN PERKEMIHAN

“ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN Dengan


CHROCIC KIDNEY DISEASE STAGE 3”

Fasilitator :

Ika Nur Pratiwi., S.Kep., Ns., M. Kep

Oleh :

1. Ervina Hanif Anugra A. 131411133021


2. Dyah Puddya Haningtyas 131511133002
3. Sagita Wulan Sari 131511133021
4. Ima Matul Khoiriyah 131511133030
5. Fina Ainur Rohmah 131511133032
6. Farida Norma Yulianti 131511133034
7. Luluk Mardianty 131511133115
8. Zulfia Rahmih 131511133116
9. Rian Priambodo 131511133119
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS
FAKULTAS KEPERAWATANUNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2018
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Tujuan 3
1.3. Rumusan Masalah 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4
2.1. Definisi 4
2.2. Etiologi 6
2.3. Faktor Resiko 8
2.4. Manifestasi Klinis ……………………………………………………12
2.5. Patofisiologi 13
2.6. WOC 14
2.7. Pemeriksaan Penunjang 15
2.8. Penatalaksanaan 17
2.9. Komplikasi 21
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN 22
3.1. Asuhan keperawatan umum pada klien dengan CKD stage 3 22
3.2. Asuhan keperawatan kasus pada klien dengan CKD stage 3 37
BAB IV PENUTUP 50
4.1. Kesimpulan 50
4.2. Saran 51
DAFTAR PUSTAKA 52

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Gagal ginjal adalah hilangnya fungsi ginjal. Karena ginjal memiliki
peran vital dalam mempertahankan homeostasis, gagal ginjal menyebabkan
efek sistemik multipel. Semua upaya mencegah gagal ginjal amat penting.
Dengan demikian, gagal ginjal harus diobati secara agresif. Gagal ginjal juga
digolongkan menjadi gagal ginjal akut, yaitu terjadi mendadak dan biasanya
reversibel, atau gagal ginjal kronis, yang terkait dengan hilangnya fungsi ginjal
yang progresif dan ireversibel. Gagal ginjal kronis biasanya muncul setelah
terjadi penyakit atau kerusakan ginjal bertahun-tahun, tetapi bisa juga terjadi
tiba-tiba pada beberapa keadaan. Gagal ginjal kronis tidak diragukan lagi
menyebabkan dialisis ginjal, transplantasi, atau kematian (Corwin, 2009).
The National Kidney Foundation (2013) mendefinisikan gagal ginjal
kronik sebagai adanya kerusakan ginjal, atau menurunnya tingkat fungsi ginjal
untuk jangka waktu tiga bulan atau lebih. Hal ini dapat dibagi lagi menjadi 5
tahap, tergantung pada tingkat keparahan penyakit ginjal dan tingkat
penurunan fungsi ginjal. Tahap 5 Chronic Kidney Disease (CKD) disebut
sabagai stadium akhir penyakit ginjal/gagal ginjal (End Stage Renal Disease /
Enda Reanal Failure).
Menurut world health organization (WHO), data hingga 2015
diperkirakan tingkat presentase dari 2009 sampai 2011 ada sebanyak 36 juta
warga dunia meninggal akibat cronic kidneys disease (CKD). Lebih dari 26
juta orang dewasa di Amerika atau sekitar 17 % dari populasi orang dewasa
terkena CKD (Bomback and Bakris, 2011). Indonesia termasuk negara dengan
tingkat penderita gagal ginjal yang cukup tinggi. Menurut data dari Penefri
(Perhimpunan Nefrologi Indonesia) jumlah penderita gangguan fungsi ginjal
di Indonesia sudah mencapai 100.000 penderita dan disetiap tahunnya
diperkirakan bertambah 2.700 warga Indonesia yang menggalami gangguan
fungsi ginjal. Saat ini ada sekitar 40.000 penduduk Indonesia yang menjalani
hemodialisis atau terapi cuci darah akibat gangguan ginjal. (Penefri, 2014).

1
Menurut Musliha (2010) yang dikutip dari Barbara, Gagal ginjal kronik
adalah gangguan fungsi ginjal yang irreversible dan progresif, sehingga terjadi
penurunan fungsi ginjal sehingga tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan maupun elektrolit dan menimbulkan
uremia. Gagal ginjal kronik merupakan suatu proses patofisiologis dengan
berbagai penyebab yang akan mengakibatkan fungsi nefron dalam tubuh
menurun. Dimana proses ini akan berakhir pada gagal ginjal stadium akhir atau
CKD Stage V, sehingga ini menyebabkan klien akan bergantung pada terapi
fungsi ginjal (dialysis atau transplantasi ginjal) guna menghindari terjadinya
uremia (retensi urea dan menumpuknya nitrogen lain di dalam darah). Menurut
Corwin (2009), gagal ginjal kronik merupakan destruksi struktur ginjal yang
progresif dan terus menerus.
Penyakit CKD merupakan penyakit yang memerlukan perawatan dan
penanganan seumur hidup. Fenomena yang terjadi banyak klien yang keluar
masuk Rumah Sakit untuk melakukan pengobatan dan dialisis. Oleh karena itu
peran perawat sangat penting dalam melakukan asuhan keperawatan pada
pasien , serta diharapkan tidak hanya terhadap keadaan fisik klien tetapi juga
psikologis klien. Gagal ginjal kronik menjadi masalah besar dunia karena sulit
disembuhkan, biaya perawatan dan pengobatannya yang terhitung mahal
(Supriyadi, 2011). Ada beberapa treatment untuk menghadapi kasus gagal
ginjal kronik yaitu transplantasi ginjal dan dua jenis dialisis, yaitu hemodialisis
dan dialisis peritoneum (Corwin, 2009).
Berdasarkan hal tersebut, maka penyakit CKD ini perlu dipelajari
khususnya dalam praktek Asuhan Keperawatan sistem perkemihan. Melalui
makalah ini akan kami bahas tentang chronic kidney disease yang meliputi;
anatomi fisiologi, definisi, etiologi, patofisiologi, WOC, klasifikasi,
manifestasi klinis, pemeriksaan diagnostik, penatalaksanaan, pencegahan,
komplikasi, dan prognosis, serta Asuhan keperawatan pada pasien dengan
CKD.

2
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimanakah konsep teori tentang CKD?
1.2.2 Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan CKD?

1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui konsep teori dari CKD
1.3.2 Mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan CKD

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Gagal ginjal kronis adalah kegagalan fungsi ginjal untuk


mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat
destruksi struktur ginjal yang progresif dengan manifestasi penumpukan sisa
metabolit (toksik uremik) di dalam darah (Muttaqin, 2011).
Sedangkan menurut Smeltzer (2008), gagal ginjal kronis atau penyakit
renal tahap akhir (ERSD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan
irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia
(retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah).
KDOQI (Kidney Disease Outcome Quality
Initiative) merekomendasikan pembagian CKD berdasarkan stadium dari
tingkat penurunan LFG (Laju Filtrasi Glomerolus) tahap 1 sampai dengan
tahap 5. Disini kami akan lebih spesifik menjelaskan tentang CKD tahap 3.
Seseorang dengan penyakit ginjal kronis tahap 3 (CKD) memiliki
kerusakan ginjal sedang. Tahap ini dibagi menjadi dua: penurunan laju filtrasi
glomerulus (GFR) untuk Tahap 3A adalah 45-59 mL/menit dan penurunan
GFR untuk Tahap 3B adalah 30-44 mL/menit. Keadaan ini disebut juga sebagai
insufisiensi ginjal kronis yang menjurus kearah gagal ginjal kronis. Pasien
umumnya masih asimtomatik, tetapi hasil laboratorium yang abnormal terjadi
pada beberapa organ dan hipertensi seringkali ditemukan. Karena fungsi ginjal
menurun, produk limbah dapat menumpuk di dalam darah yang menyebabkan
kondisi yang dikenal sebagai uremia. Pada tahap 3 ini, seseorang lebih
mungkin mengembangkan komplikasi penyakit ginjal seperti tekanan darah
tinggi, anemia (kekurangan sel darah merah) dan penyakit tulang awal
(Thomas et.al, 2008).

4
5
2.2Etiologi
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian
Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi
terbanyak sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%),
hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%) (Roesli, 2008).
2.2.1 Glomerulonefritis
Diperkirakan sekitar 25% menjadi penyebab utama gagal ginjal kronik
(Suwitra, 2006). Glomerulonefritis merupakan proses inflamasi pada
glomeruli dan dapat merusak ginjal secara perlahan. Gagal ginjal kronik
bisa terjadi kemungkinan disebabkan oleh terapi glomerulonefritis yang
agresif (Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, edisi 13)

2.2.2 Diabetes melitus


Gagal ginjal akibat diabetes melitus disebut juga nefropati diabetika.
Berbagai teori seperti peningkatan produk glikosilasi nonenzimatik,
peningkatan jalur poliol, glukotoksisitas, dan protein kinase-C memberikan
kontribusi pada kerusakan ginjal. Terjadi perubahan pada membran basalis
glomerulus yaitu proliferasi dari sel-sel mesangium. Hal ini menyebabkan
glomerulosklerosis dan berkurangnya aliran darah sehingga terjadi
perubahan permeabilitas membran basalis glomerulus yang ditandai
dengan timbulnya albuminuria. Selain itu, akhir-akhir ini penelitian klinis
mendapatkan adanya sklerosis dan gagal ginjal, yang mana dapat
berkontribusi terhadap kematian (Soni, 2005).

6
2.2.3 Hipertensi
Hipertensi merupakan salah satu penyebab utama gagal ginjal kronik yang
di perkirakan sekitar 20% (Suwitra, 2006). Penyakit hipertensi dapat
menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah dimana awal mulanya terjadi
kerusakan vaskuler pembuluh darah, sehingga terjadi perubahan struktur
pada pembuluh darah. Apabila pembuluh darah vasokontriksi, maka akan
terjadi gangguan sirkulasi pada ginjal (Muttaqin, 2009). Menurut Alam dan
Hadibroto (2007) menjelaskan bahwa ginjal bergantung dari sirkulasi darah
untuk menjalankan fungsinya sebagai pembersih darah dari sampah tubuh.
Apabila terjadi gangguan sirkulasi darah maka akan terjadi hipertensi kronik
yang berdampak pada kerusakan ginjal dan fungsinya akan menurun.

7
2.2.4 Polycystic kidney diease
Penyakit ginjal polikistik ditandai dengan kista multiple, bilateral, dan
berekspansi yang lambat laun akan mengganggu dalam menghancurkan
parenkim ginjal normal akibat penekanan, semakin lama ginjal tidak
mampu mempertahankan fungsi ginjal sehingga ginjal akan menjadi rusak.

2.3 Faktor resiko


Berdasarkan Pranandari dan Supadmi 2015 faktor resiko pada gagal ginjal
kronik sebagai berikut:
2.3.1 Usia
Hasil hubungan variabel usia secara statistik dengan kejadian gagal
ginjal kronik mempunyai hubungan yang bermakna antara usia <60
tahun dan >60 tahun. Secara klinik pasien usia >60 tahun mempuyai
risiko 2,2 kali lebih besar mengalami gagal ginjal kronik dibandingkan

8
dengan pasien usia <60 tahun. Hal ini disebabkan karena semakin
bertambah usia, semakin berkurang fungsi ginjal dan berhubungan
dengan penurunan kecepatan ekskresi glomerulus dan memburuknya
fungsi tubulus. Penurunan fungsi ginjal dalam skala kecil merupakan
proses normal bagi setiap manusia seiring bertambahnya usia, namun
tidak menyebabkan kelainan atau menimbulkan gejala karena masih
dalam batas-batas wajar yang dapat ditoleransi ginjal dan tubuh. Namun,
akibat ada beberapa faktor risiko dapat menyebabkan kelainan dimana
penurunan fungsi ginjal terjadi secara cepat atau progresif sehingga
menimbulkan berbagai keluhan dari ringan sampai berat, kondisi ini
disebut gagal ginjal kronik (GGK) atau chronic renal failure (CRF).
Mcclellan dan Flanders (2003) membuktikan bahwa faktor risiko gagal
ginjal salah satunya adalah umur yang lebih tua.
2.3.2 Jenis Kelamin
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel jenis kelamin secara
statistik ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin laki-laki dan
jenis kelamin perempuan dengan kejadian gagal ginjal kronik. Secara
klinik laki-laki mempunyai risiko mengalami gagal ginjal kronik 2 kali
lebih besar daripada perempuan. Hal ini dimungkinkan karena
perempuan lebih memperhatikan kesehatan dan menjaga pola hidup
sehat dibandingkan laki-laki, sehingga laki-laki lebih mudah terkena
gagal ginjal kronik dibandingkan perempuan. Perempuan lebih patuh
dibandingkan laki-laki dalam menggunakan obat karena perempuan
lebih dapat menjaga diri mereka sendiri serta bisa mengatur tentang
pemakaian obat (Morningstar et al., 2002).
2.3.3 Riwayat Penyakit Hipertensi
Hasil analisis crosstab menunjukkan bahwa riwayat penyakit faktor
risiko hipertensi secara statistik ada hubungan yang bermakna dengan
kejadian gagal ginjal kronik (OR=4,044, p<0,05, Cl=1,977-8,271).
Secara klinik pasien dengan riwayat penyakit faktor risiko hipertensi
mempunyai risiko mengalami gagal ginjal kronik 3,2 kali lebih besar
daripada pasien tanpa riwayat penyakit faktor risiko hipertensi.

9
Peningkatan tekanan darah berhubungan dengan kejadian penyakit
ginjal kronik (Hsu et al., 2005). Hipertensi dapat memperberat
kerusakan ginjal telah disepakati yaitu melalui peningkatan tekanan
intraglomeruler yang menimbulkan gangguan struktural dan gangguan
fungsional pada glomerulus. Tekanan intravaskular yang tinggi
dialirkan melalui arteri aferen ke dalam glomerulus, dimana arteri aferen
mengalami konstriksi akibat hipertensi (Susalit, 2003).
2.3.4 Riwayat Penyakit Diabetes Melitus
Hasil analisis crosstab menunjukkan bahwa riwayat penyakit faktor
risiko diabetes melitus secara statistik ada hubungan yang bermakna
dengan kejadian gagal ginjal kronik (OR=5,395, p<0,05, Cl=2,254-
12,916). Secara klinik riwayat penyakit faktor risiko diabetes mellitus
mempunyai risiko terhadap kejadian gagal ginjal kronik 4,1 kali lebih
besar dibandingkan dengan pasien tanpa riwayat penyakit faktor risiko
diabetes melitus. Salah satu akibat dari komplikasi diabetes melitus
adalah penyakit mikrovaskuler, di antaranya nefropati diabetika yang
merupakan penyebab utama gagal ginjal terminal. Berbagai teori
tentang patogenesis nefropati seperti peningkatan produk glikosilasi
dengan proses non-enzimatik yang disebut AGEs (Advanced
Glucosylation End Products), peningkatan reaksi jalur poliol (polyol
pathway), glukotoksisitas, dan protein kinase C memberikan kontribusi
pada kerusakan ginjal. Kelainan glomerulus disebabkan oleh denaturasi
protein karena tingginya kadar glukosa, hiperglikemia, dan hipertensi
intraglomerulus. Kelainan atau perubahan terjadi pada membrane
basalis glomerulus dengan proliferasi dari sel-sel mesangium. Keadaan
ini akan menyebabkan glomerulosklerosis dan berkurangnya aliran
darah,
sehingga terjadi perubahan-perubahan pada permeabilitas membran
basalis glomerulus yang ditandai dengan timbulnya albuminuria (Sue et
al., 2000). Beberapa penelitian lainnya juga mendukung hal ini bahwa
diabetes melitus lebih banyak mengarah pada penyakit-penyakit oklusi
arteri diameter kecil seperti ekstrimitas bawah, gagal

10
ginjal, retinopati, dan saraf kranial atau perifer (Jorgensen, 1994).
2.3.5 Riwayat Penggunaan Obat Analgetika Dan OAINS
Berdasarkan hasil analisis crosstab diketahui bahwa riwayat
penggunaan obat analgetika dan OAINS secara statistik ada hubungan
dengan kejadian gagal ginjal kronik serta faktor risiko penggunaan obat
analgetika dan OAINS lebih kecil dibandingkan faktor risiko yang lain
(OR=0,160, p<0,05, Cl=0,074-0,347). Beberapa
bukti epidemiologi menunjukkan bahwa ada hubungan antara
penggunaan obat analgetik dan OAINS secara berlebihan dengan
kejadian kerusakan ginjal atau nefropati. Nefropati analgetik merupakan
kerusakan nefron akibat penggunaan analgetik. Penggunaan obat
analgetik dan OAINS untuk menghilangkan rasa nyeri dan menekan
radang (bengkak) dengan mekanisme kerja menekan sintesis
prostaglandin. Akibat penghambatan sintesis prostaglandin
menyebabkan vasokonstriksi renal, menurunkan aliran darah ke ginjal,
dan potensial menimbulkan iskemia glomerular. Obat analgetik dan
OAINS juga menginduksi kejadian nefritis interstisial yang selalu
diikuti dengan kerusakan ringan glomerulus dan nefropati yang akan
mempercepat progresifitas kerusakan ginjal, nekrosis papilla, dan
penyakit gagal ginjal kronik. Obat analgetika dan OAINS menyebabkan
nefrosklerosis yang berakibat iskemia glomerular
sehingga menurunkan GFR kompensata dan GFR nonkompensata atau
gagal ginjal kronik yang dalam waktu lama dapat menyebabkan gagal
ginjal terminal (Fored et al., 2003).
2.3.6 Riwayat Merokok
Berdasarkan analisis crosstab, terdapat hubungan antara riwayat
merokok dengan kejadian gagal ginjal kronik (OR=1,987, p<0,05,
Cl=1,017-3,884). Pasien gagal ginjal kronik yang mempunyai riwayat
merokok mempunyai risiko dengan kejadian gagal
ginjal kronik lebih besar 2 kali dibandingkan dengan pasien tanpa
riwayat merokok.

11
Efek merokok fase akut yaitu meningkatkan pacuan simpatis yang akan
berakibat pada peningkatan tekanan darah, takikardi, dan penumpukan
katekolamin dalam sirkulasi. Pada fase akut beberapa pembuluh darah
juga sering mengalami vasokonstriksi misalnya pada pembuluh darah
koroner, sehingga pada perokok akut sering diikuti
dengan peningkatan tahanan pembuluh darah ginjal sehingga terjadi
penurunan laju filtrasi glomerulus dan fraksi filter (Grassi et al., 1994 ;
Orth et al.,2000).
2.3.7 Riwayat Penggunaan Minuman Suplemen Energi
Berdasarkan hasil analisis crosstab, pada pasien gagal ginjal kronik
dengan riwayat penggunaan minuman suplemen mempunyai hubungan
dengan kejadian gagal ginjal kronik. Pasien gagal ginjal kronik yang
mempunyai riwayat penggunaan minuman suplemen energi dengan
kejadian gagal ginjal kronik mempunyai risiko lebih kecil dibandingkan
dengan faktor risiko yang lain (OR=0,450, p<0,05 Cl=0,230-0,880).
Hasil penelitian ini dimungkinkan karena penggunaan minuman
suplemen energi tidak dalam jangka waktu lama dan tidak secara terus-
menerus sehingga tidak menjadi faktor risiko kejadian gagal ginjal
kronik. Beberapa psikostimulan (kafein dan amfetamin) terbukti dapat
mempengaruhi ginjal. Amfetamin dapat mempersempit pembuluh darah
arteri ke ginjal sehingga darah yang menuju ke ginjal berkurang.
Akibatnya, ginjal akan kekurangan asupan makanan dan oksigen.
Keadaan sel ginjal kekurangan oksigen dan makanan akan
menyebabkan sel ginjal mengalami iskemia dan memacu timbulnya
reaksi inflamsi yang dapat berakhir dengan penurunan kemampuan sel
ginjal dalam menyaring darah (Hidayati, 2007).

2.4 Manifestasi Klinis pada CKD stage 3 (National Kidney Center, 2018):
a. Kelelahan
b. Retensi cairan,
c. Pembengkakan (edema) ekstremitas
d. Sesak napas

12
e. Perubahan buang air kecil (berbusa; oranye gelap, coklat, berwarna teh
atau merah jika mengandung darah; dan buang air kecil lebih atau
kurang dari biasanya)
f. Rasa sakit ginjal terasa di punggung mereka
g. Masalah tidur karena kram otot atau restless leg syndrome
h. Kreatinin serum akan lebih tinggi (menunjukkan kurang dari 30% fungsi
ginjal)

2.5 Patofisiologi
Selama gagal ginjal kronik, beberapa nefron termasuk glomeruli dan
tubula masih berfungsi, sedangkan nefron yang lain sudah rusak dan tidak
berfungsi lagi. Nefron yang masih utuh dan berfungsi mengalami hipertrofi dan
menghasilkan filtrate dalam jumlah banyak. Reabsorpsi tubula juga meningkat
walaupun laju filtrasi glomerulus berkurang. Kompensasi nefron yang masih
utuh dapat membuat ginjal mempertahankan fungsinya sampai tiga perempat
nefron rusak. Solut dalam cairan menjadi lebih banyak dari yang dapat
direabsorpsi dan mengakibatkan dieresis osmotic dengan poluria dan haus.
Akhirnya, nefron yang rusak bertambah dan terjadi oliguria akibat sisa
metabolism tidak diekskresikan (Mary Baradero, 2009).
Gagal ginjal kronis dimulai pada fase awal gangguan, keseimbangan
cairan, penanganan garam, serta penimbunan zat-zat sisa masih bervariasi dan
bergantung pada bagian ginjal yang sakit. Sampai fungsi ginjal turun kurang
dari 25% normal, manifestasi klinis gagal ginjal kronik mungkin minimal
karena nefron-nefron sisa yang sehat mengambil alih fungsi nefron yang rusak.
Nefron yang tersisa menigkatkan kecepatan filtrasi, reabsorpsi, dan sekresinya,
serta mengalami hipertrofi. Seiring dengan makin banyaknya nefron yang mati,
maka nefron yang tersisa menghadapi tugas yang semakin berat sehingga
nefron-nefron tersebut ikut rusak dan akhirnya mati. Sebagian dari siklus
kematian ini tampaknya berkaitan dengan tuntutan pada nefron-nefron yang
ada untuk meningkatkan reabsorpsi protein. Pada saat penyusutan progresif
nefron-nefron, terjadi pembentukan jaringan parut dan aliran darah ginjal akan
berkurang yang menyebabkan penurunan fungsi renal (Muttaqin, 2011).

13
infeksi vaskuler zat toksik Obstruksi saluran kemih

2.6 WOC arteriosklerosis tertimbun di ginjal


reaksi antigen Retensi urin batu besar
antibodi dan kasar
suplai darah ginjal turun
menekan
saraf perifer

MK: Gangguan GFR turun


Konsep Diri; nyeri pinggang MK: Nyeri Akut
Penurunan (00132)
Body Image CKD
Fungsi Tubuh

sekresi protein terganggu retensi Na sekresi eritropoitis turun MK:


Ansietas
urokrom total CES naik produksi Hb turun integritas
sindrom uremia kulit
tertimbun di
kulit (00046)
tek. kapiler oksihemoglobin anemia
perpospatemi gangguan perubahan MK: Resiko
naik turun
a keseimbangan warna kulit ketidakefektifan
vol. interstisial naik perfusi jaringan suplai O2 kasar turun MK: Resiko
pruriti asam - basa Cidera
perifer (00228)
s edema
produksi
MK: Kerusakan asam naik (kelebihan Penurunan payah bendungan atrium
integritas kulit volumecairan) Cardiac Output jantung kiri kiri naik
(00046)
as. lambung naik
preload tek. vena pulmonalis
aliran darah suplai O2 jaringan suplai O2
naik turun
MK: Nausea mual, ginjal turun ke otak
muntah beban jantung turun kapiler paru
naik syncope naik
RAA turun metabolisme
Anoreksia anaerob (kehilangan edema paru
hipertrofi retensi Na & H2O kesadaran)
ventrikel kiri naik asam laktat naik MK: Gangguan
MK: MK: Resiko pertukaran gas
- fatigue Ketidakefektifan
Ketidakseimbangan MK: Penurunan MK: Kelebihan
nutrisi kurang dari -nyeri sendi Perfusi Jaringan
Curah Jantung vol. cairan
kebutuhan tubuh Otak
(00026)
(00002)
MK: Intoleransi 14
aktivitas (00092)
2.7 Pemeriksaan penunjang
a. Radiologi
Ditujukan untuk menilai keadaan ginjal dan derajat komplikasi ginjal.
1. Ultrasonografi ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya massa
kista, obtruksi pada saluran perkemihan bagianatas.
2. Biopsi Ginjal dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan untuk
diagnosis histologis.
3. Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal.
4. EKG mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam
basa.
b. Foto Polos Abdomen
Menilai besar dan bentuk ginjal serta adakah batu atau obstruksi lain.
c. Pielografi Intravena
Menilai sistem pelviokalises dan ureter, beresiko terjadi penurunan faal ginjal pada
usia lanjut, diabetes melitus dan nefropati asam urat.
d. USG
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkin ginjal , anatomi sistem
pelviokalises, dan ureter proksimal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi sistem
pelviokalises dan ureter proksimal, kandung kemih dan prostat.
e. Renogram
Menilai fungsi ginjal kanan dan kiri , lokasi gangguan (vaskuler, parenkhim) serta
sisa fungsi ginjal
f. Pemeriksaan Radiologi Jantung
Mencari adanya kardiomegali, efusi perikarditis
g. Pemeriksaan radiologi Tulang
Mencari osteodistrofi (terutama pada falangks /jari) kalsifikasi metatastik
h. Pemeriksaan radiologi Paru
Mencari uremik lung yang disebabkan karena bendungan.
i. Pemeriksaan Pielografi Retrograde
Dilakukan bila dicurigai adanya obstruksi yang reversible

15
j. EKG
Untuk melihat kemungkinan adanya hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia karena gangguan elektrolit (hiperkalemia)
k. Biopsi Ginjal
Dilakukan bila terdapat keraguan dalam diagnostik gagal ginjal kronis atau perlu
untuk mengetahui etiologinya.
l. Pemeriksaan laboratorium menunjang untuk diagnosis gagal ginjal
1) Darah
a) BUN / Kreatin : Meningkat, biasanya meningkat dalam proporsi kadar kreatinin
16 mg/dL diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5)
b) Hitung darah lengkap : Ht : Menurun pada adanya anemia Hb:biasanya kurang
ari 78 g/dL
c) SDM : Waktu hidup menurun pada defisiensi aritropoetin seperti pada azotemia.
d) GDA : pH : Penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2) terjadi karena
kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksresi hydrogen dan amonia atau
hasil akhir katabolisme protein. Bikarbonat menurun, PCO2 menurun .
e) Natrium Serum: Mungkin rendah (bila ginjal “kehabisan Natrium” atas normal
(menunjukan status dilusi hipernatremia).
f) Kalium : Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan perpindahan
seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan. Pada tahap akhir, perubahan
g) EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 MPq atau lebih besar.
h) Magnesium/Fosfat : Meningkat
i) Kalsium : Menurun
j) Protein (khususnya Albumin) : Kadar serum menurun dapat menunjukkan
kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan,
atau penurunan sintesis karena kurang asam amino esensial.
k) Osmolalitas Serum : Lebih besar dari 285 mOsm/kg, sering sama dengan urine.

2) Urin
Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/jam (oliguria atau urine tidak ada
(anuria).

16
Warna : Secara abnormal perubahan urine mungkin disebabkan oleh pus /
nanah, bakteri, lemak, partikel koloid,fosfat, sedimen kotor,
warna kecoklatan menunjukkan adanya darah, miglobin, dan
porfirin.
Berat Jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan kerusakan
ginjal berat).
Osmolalitas : Kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan tubular,
amrasio urine / ureum sering 1:1.

2.8 Penatalaksanaan medis dan keperawatan


Tujuan utama penatalaksanaan pasien GGK adalah untuk mempertahankan
fungsi ginjal yang tersisa dan homeostasis tubuh selama mungkin serta mencegah
atau mengobati komplikasi (Smeltzer, 2001; Rubenstain dkk, 2007). Terapi
konservatif tidak dapat mengobati GGK namun dapat memperlambat progres dari
penyakit ini karena yang dibutuhkan adalah terapi penggantian ginjal baik dengan
dialisis atau transplantasi ginjal.
1) Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal
secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan
dan elektrolit (Sukandar, 2006).
a. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama
gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
b. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan
tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara
status nutrisi dan memelihara status gizi.
c. Kebutuhan cairan

17
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya
jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari
LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).

2) Terapi simtomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera
diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
b. Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan
terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-
hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai
pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief
complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa
mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program
terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler
yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita.

18
h. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu
pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis,
dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala
toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat
pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal
(LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi
elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,
ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang
tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan
Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi
elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah,
dan astenia berat (Sukandar, 2006).
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai
sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya
dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-
kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang
diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14
tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal (Rahardjo, 2006).
b. Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal
Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi
medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65
tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem
kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami
perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV
shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal)
dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai
co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan

19
pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri
(mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006).

c. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi
dan faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
1) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh
(100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-
80% faal ginjal alamiah.
2) Kualitas hidup normal kembali
3) Masa hidup (survival rate) lebih lama
4) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan
dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
5) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi

Menurut Sunarya, penatalaksanaan dari CKD berdasarkan derajat LFG nya, yaitu:

20
2.9 Komplikasi
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan mengalami beberapa
komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare (2001) serta Suwitra (2006)
antara lain adalah :
1. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata bolisme, dan masukan
diit berlebih.
2. Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk sampah
uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin angiotensin
aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum
yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan kadar alumunium
akibat peningkatan nitrogen dan ion anorganik.
6. Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
7. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan.
8. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
9. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.

21
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1Asuhan keperawatan umum

A. Pengkajian
1. Anamnesa
Anamnesa adalah mengetahui kondisi klien dengan cara wawancara atau interview.
Mengetahui kondisi klien untuk saat ini dan masa lalu. Anamnesa mencakup identitas
klien, keluhan utama, riwayat kesehatan sekarang, riwayat kesehatan dahulu, riwayat
kesehatan keluarga, riwayat imunisasi, riwayat kesehatan lingkungan dantempat tinggal.
a. Identitas
Meliputi identitas klien yaitu: nama lengkap, tempat tanggal lahir, jenis kelamin,
agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, suku/bangsa, golongan darah,
tangggal MRS, tanggal pengkajian, no.RM, diagnose medis, alamat.
b. Keluhan utama
Kapan keluhan mulai berkembang, bagaimana terjadinya, apakah secara tiba-tiba
atau berangsur-angsur, apa tindakan yang dilakukan untuk mengurangi keluhan, obat
apa yang digunakan.
Keluhan utama yang didapat biasanya bervariasi, mulai dari urine output sedikit sampai
tidak ada BAK, glisah sampai penurunan kesadaran, tidak selera makan (anoreksia),
mual, muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, napas berbau (ureum), dan gatal pada
kulit.
c. Riwayat kesehatan sekarang (PQRST)
Mengkaji keluhan kesehatan yang dirasakan klien pada saat di anamnesa meliputi
palliative, provocative, quality, quantity, region, radiation, severity scala dan time.
Untuk kasus gagal ginjal kronis, kaji onset penurunan urine output, penurunan
kesadaran, perubahan pola nafas, kelemahan fisik, adanya perubahan kulit, dan
pemenuhan nutrisi. Kaji pula sudah kemana saja klien meminta pertolongan untuk
mengatasi masalahnya dan mendapat pengobatan.
d. Riwayat penyakit dahulu

22
Kaji adanya penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah jantung,
penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign Prostatic Hiperplasia, dan prostektomi. Kaji
adanya riwayat penyakit batu saluran kemih, infeksi system perkemihan yang berulang.
Penyakit diabetes mellitus, dan penyakit hipertensi pada masa sebelumnya yang
menjadi predisposisi penyebab. Penting untuk dikaji mengenai riwayat pemakaian
obat-obatan masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat kemudian
dokumentasikan.

e. Riwayat kesehatan keluarga


Mengkaji ada atau tidak salah satu keluarga yang mengalami penyakit yang sama.
Baaimana pola hidup yang biasa diterapkan dalam keluarga, ada atau tidaknya riwayat
infeksi sistem perkemihan yang berulang dan riwayat alergi, penyait hereditas dan
penyakit menular pada keluarga.
f. Riwayat psikososial
Adanya perubahan fungsi struktur tubuh dan adanya tindakan dialysis akan
menyebabkan enderita mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya perawatan,
banyaknya biaya perawatan dan pengobatan menyebabkan klien mengalami
kecemasan, gangguan konsep diri (gambaran diri) dan gangguan peran pada keluarga.
g. Lingkungan dan tempat tinggal
Mengkaji lingkungan tmpat tinggal klien, mengenai kebersihan lingkungan tempat
tinggal, area lingkungan rumah.
2. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum dan TTV
Keadaan umum: klien lemah dan terlihat sakit berat
Tingkat kesadaran: menurun esuai dengan tingkat uremia dimana dapat mempengaruhi
system saraf pusat
TTV: sering didapatkan adanya perubahan RR meningkat, tekanan darah terjadi
perubahan dari hipertensi ringan sampai berat.
b. Sistem pernapasan

23
Klien bernapas dengan bau uremia didapatkan adanya pernapasa kusmaul. Pola
napas cepat dan dalam merupakan upaya untuk melakukan pembuangan karbon
dioksida yang menumpuk di sirkulasi.
c. Sitem hematologi
Pada kondisi uremia berat tindakan auskultasi akan menemukan adanya friction rub
yang merupakan tanda khas efusi pericardial. Didapatkan tanda dan gejala gagal
jantung kongestif. TD meningkat, akral dingin, CRT > 3 detik, palpitasi, nyeri dada dan
sesak napas, gangguan irama jantung, edem penurunan perfusi perifer sekunder dari
penurunan curah jantung akibat hiperkalemi, dan gangguan kondisi elektrikal otot
ventrikel.
Pada sistem hematologi sering didapatkan adanya anemia. Anemia sebagai akibat
dari penurunan produksi eritropoitin, lesi gastrointestinal uremik, penurunan usia sel
darah merah, dan kehilangan darah, biasanya dari saluran GI, kecenderungan
mengalami perdarahan sekunder dari trombositopenia.
d. Sistem neuromuskuler
Didapatkan penurunan tingkat kesadaran, disfungsi serebral, seperti perubahan
proses berfikir dan disorientasi. Klien sering didapatkan adanya kejang, adanya
neuropati perifer, burning feet syndrome, retless leg syndrome, kram otot, dan nyeri
otot.
e. Sistem kardiovaskuler
Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam atau peningkatan aktivitas system
rennin angiostensin aldosteron. Nyeri dada dan sesak napas akibat perikarditis, efusi
pericardial, penyakit jantung koroner akibat aterosklerosis yang timbul dini, dan gagal
jantung akibat penimbunan cairan dan hipertensi.
f. Sistem Endokrin
Gangguan seksual : libido, fertilisasi dan ereksi menurun pada laki-laki akibat
produksi testosterone dan spermatogenesis yang menurun. Sebab lain juga
dihubungkan dengan metabolic tertentu. Pada wanita timbul gangguan menstruasi,
gangguan ovulasi sampaiamenorea.
Gangguan metabolism glukosa, resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin.
Pada gagal ginjal yang lanjut (klirens kreatinin < 15 ml/menit) terjadi penuruna klirens

24
metabolic insulin menyebabkan waktu paruh hormon aktif memanjang. Keadaan ini
dapat menyebabkan kebutuhan obat penurunan glukosa darah akan berkurang.
Gangguan metabolic lemak, dan gangguan metabolism vitamin D.
g. Sistem Perkemihan
Penurunan urine output < 400 ml/ hari sampai anuri, terjadi penurunan libido berat
h. Sistem pencernaan
Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia, dan diare sekunder dari bau mulut
ammonia, peradangan mukosa mulut, dan ulkus saluran cerna sehingga sering di
dapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan.
i. Sistem Muskuloskeletal
Di dapatkan adanya nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki (memburuk
saat malam hari), kulit gatal, ada/ berulangnya infeksi, pruritus, demam ( sepsis,
dehidrasi ), petekie, area ekimosis pada kulit, fraktur tulang, deposit fosfat kalsium pada
kulit jaringan lunak dan sendi, keterbatasan gerak sendi. Didapatkan adanya kelemahan
fisik secara umum sekunder dari anemia dan penurunan perfusi perifer dari hipertensi.

B. Diganosa keperawatan
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan mekanisme pengaturan melemah
2. Resiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan disfungsi renal
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane kapiler paru
4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan sirkulasi
5. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury
6. Mual berhubungan dengan paparan toksin
7. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan gangguan ketidakseimbangan suplay oksigen

C. Intervensi keperawatan
Diagnosa Tujuan dan Kriteria
No. Intervensi
Keperawatan Hasil
1. Kelebihan NOC: NIC:
volume cairan Fluid balance Fluid Management:
berhubungan Tujuan :

25
dengan Setelah dilakukan 1. Pertahankan intake dan
mekanisme tindakan keperawatan output secara akurat
pengaturan selama 3x24 jam 2. Kolaborasi dalam
melemah kelebihan volume cairan pemberian diuretik
teratasi dengan kriteria: 3. Batasi intake cairan pada
1. Tekanan darah (4) hiponatremi dilusi dengan
2. Nilai nadi radial dan serum Na dengan jumlah
perifer (4) kurang dari 130 mEq/L
3. MAP (4) 4. Atur dalam pemberian
4. CVP (4) produk darah (platelets
5. Keseimbangan intake dan fresh frozen plasma)
dan output dalam 24 5. Monitor status hidrasi
jam (4) (kelembaban membrane
6. Kestabilan berat mukosa, TD ortostatik,
badan (4) dan keadekuatan dinding
7. Serum elektrolit (4) nadi)
8. Hematokrit (4) 6. Monitor hasil
9. Asites (4) laboratorium yang
10. Edema perifer (4) berhubungan dengan
retensi cairan
(peningkatan kegawatan
spesifik, peningkatan
BUN, penurunan
hematokrit, dan
peningkatan osmolalitas
urin)
7. Monitor status
hemodinamik (CVP,
MAP, PAP, dan PCWP)
jika tersedia
8. Monitor tanda vital

26
Hemodialysis Therapy:
1. Timbang BB sebelum dan
sesudah prosedur
2. Observasi terhadap
dehidrasi, kram otot dan
aktivitas kejang
3. Observasi reaksi tranfusi
4. Monitor TD
5. Monitor BUN,Creat, HMT
danelektrolit
6. Monitor CT

Peritoneal Dialysis Therapy:


1. Jelaskan prosedur dan
tujuan
2. Hangatkan cairan dialisis
sebelum instilasi
3. Kaji kepatenan kateter
4. Pelihara catatan volume
inflow/outflow dan
keseimbangan cairan
5. Kosongkan bladder
sebelum insersi peritoneal
kateter
6. Hindari peningkatan stres
mekanik pada kateter
dialisis peritoneal (batuk)
7. Pastikan penanganan
aseptik pada kateter dan
penghubung peritoneal

27
8. Ambil sampel
laboratorium dan periksa
kimia darah (jumlah BUN,
serum kreatinin, serum Na,
K, dan PO4)
9. Cek alat dan cairan sesuai
protokol
10. Kelola perubahan dialysis
(inflow, dwell, dan
outflow) sesuai protokol
11. Ajarkan pasien untuk
memonitor tanda dan
gejala yang mebutuhkan
penatalaksanaan medis
(demam, perdarahan, stres
resipratori, nadi irreguler,
dan nyeri abdomen)
12. Ajarkan prosedur kepada
pasien untuk diterapkan
dialisis di rumah.
13. Monitor TD, nadi, RR,
suhu, dan respon klien
selama dialisis
14. Monitor tanda infeksi
(peritonitis)
2. Resiko NOC: NIC:
ketidakseimba Electrolyte Balance Electrolyte Management
ngan elektrolit Tujuan: 1. Berikan cairan sesuai
berhubungan Setelah dilakukan asuhan resep, jika diperlukan
dengan selama 3x24 jam 2. Pertahankan keakuratan
ketidakseimbangan intake dan output

28
disfungsi elektrolit teratasi dengan 3. Berikan elektrolit
renal kriteria hasil: tambahan sesuai resep jika
1. Peningkatan sodium diperlukan
(4) 4. Konsultasikan dengan
2. Peningkatan dokter tentang pemberian
potassium (4) obat elektrolit-sparing
3. Peningkatan klorida (misalnya spiranolakton),
(4) yang sesuai
5. Berikan diet yang tepat
untuk ketidakseimbangan
elektrolit pasien
6. Anjurkan pasien dan / atau
keluarga pada modifikasi
diet tertentu, sesuai
7. Pantau tingkat serum
potassium dari pasien
yang memakai digitalis
dan diuretik
8. Atasi aritmia jantung
9. Siapkan pasien untuk
dialisis
10. Pantau elektrolit serum
normal
11. Pantau adanya manifestasi
dari ketidakseimbangan
elektrolit
3. Gangguan NOC: NIC:
pertukaran gas Respiration status: Gas Oxygen Therapy
berhubungan Exchange 1. Pertahankan kepatenan
dengan jalan napas
perubahan Tujuan:

29
membran Setelah dilakukan 2. Kelola pemberian oksigen
kapiler paru keperawatan selama 2x24 tambahan sesuai resep
jam klien Gangguan 3. Anjurkan pasien untuk
pertukaran gas teratasi mendapatkan resep
dengan kriteria hasil: oksigen tambahan
1. Tekanan oksigen di sebelum perjalanan udara
darah arteri (PaO2) (4) atau perjalanan ke dataran
2. Tekan karbondioksida tinggi yang sesuai
di darah arteri 4. Konsultasi dengan tenaga
(PaCO2) (4) kesehatan lain mengenai
3. PH arterial (4) penggunaan oksigen
4. Saturasi oksigen (4) tambahan saat aktivitas
5. Keseimbangan perfusi dan/atau tidur
ventilasi (4) 5. Pantau efektivitas terapi
6. Sianosis (4) oksigen (pulse oximetry,
BGA)
6. Observasi tanda pada
oksigen yang disebabkan
hipoventilasi
7. Monitor aliran oksigen
liter
8. Monitor posisi dalam
oksigenasi
9. Monitor tanda-tanda
keracunan oksigen dan
atelektasis
10. Monitor peralatan oksigen
untuk memastikan bahwa
tidak mengganggu pasien
dalam bernapas

30
4. Kerusakan NOC: NIC:
integritas kulit Tissue Integrity : Skin and Pressure Management
berhubungan Mucous membrane Anjurkan klien untuk
dengan menggunakan pakaian yang
gangguan Tujuan : longgar.
sirkulasi Setelah dilakukan 1. Hindari kerutan pada
tindakan keperawatan tempat tidur
selama 3x24 jam 2. Jaga kebersihan kulit agar
kerusakan integritas klien tetap bersih dan kering
teratasi dengan criteria 3. Mobilisasi klien akan
hasil : adanya kemerahan
1. Elastisitas (4) 4. Oleskan lotion atau
2. Hidrasi (4) minyak baby oil pada
3. Perfusi jaringan (4) daerah yang tertekan
4. Integritas kulit (4) 5. Memandikan klien dengan
5. Abnormal pigmentasi sabun dan air hangat
(4) 6. Ajarkan pada keluarga
6. Lesi pada kulit (4) tentang luka dan
7. Lesi membran perawatan luka
mukosa (4) 7. Kolaborasi ahli gizi
pemberian diet TKTP,
vitamin
8. Cegah kontaminasi feses
dan urin
9. Berikan posisi yang
mengurangi tekanan pada
luka.
10. Observasi luka: lokasi,
dimensi, kedalaman luka,
karakteristik warna cairan,

31
granulasi, jaringan
nekrotik, tanda-tanda
infeksi local, formasi
traktus
11. Monitor aktivitas dan
mobilitas klien
12. Monitor status nutrisi
klien
5. Nyeri akut NOC : NIC :
berhubungan Pain Control Pain Management
dengan agen Setelah dilakukan asuhan 1. Tentukan dampak nyeri
injury selama 2x24, nyeri terhadap kualitas hidup
teratasi dengan kriteria klien (misalnya tidur,
hasil: nafsu makan, aktivitas,
1. Kenali awitan nyeri kognitif, suasana hati,
(2) hubungan, kinerja kerja,
2. Jelaskan faktor dan tanggung jawab
penyebab nyeri (2) peran).
3. Gunakan obat 2. Kontrol faktor lingkungan
analgesik dan non yang mungkin
analgesik (2) menyebabkan respon
4. Laporkan nyeri yang ketidaknyamanan klien
terkontrol (misalnya temperature
ruangan, pencahayaan,
suara).
3. Pilih dan terapkan
berbagai cara
(farmakologi,
nonfarmakologi,
interpersonal) untuk
meringankan nyeri.

32
4. Observasi tanda-tanda non
verbal dari
ketidaknyamanan,
terutama pada klien yang
mengalami kesulitan
berkomunikasi.
6. Mual NOC: NIC:
berhubungan Nausea and Vomitting Nausea Management
dengan Control 1. Dorong pasien untuk
paparan toksin Tujuan: memantau mual secara
Setelah dilakukan sendiri
tindakan keperawatan 2. Dorong pasien untuk
selama 2x24 jam mual mempelajari strategi untuk
teratasi dengan kriteria mengelola mual sendiri
hasil: 3. Lakukan penilaian
1. Mengenali awitan lengkap mual, termasuk
mual (4) frekuensi, durasi, tingkat
2. Menjelaskan faktor keparahan, dengan
penyebab (4) menggunakan alat-alat
3. Penggunaan anti seperti jurnal perawatan,
emetik (4) skala analog visual, skala
deskriptif duke dan indeks
rhodes mual dan muntah
(INV) bentuk 2.
4. Identifikasi pengobatan
awal yang pernah
dilakukan
5. Evaluasi dampak mual
pada kualitas hidup.
6. Pastikan bahwa obat
antiemetik yang efektif

33
diberikan untuk mencegah
mual bila memungkinkan.
7. Identifikasi strategi yang
telah berhasil
menghilangkan mual
8. Dorong pasien untuk tidak
mentolerir mual tapi
bersikap tegas dengan
penyedia layanan
kesehatan dalam
memperoleh bantuan
farmakologis dan
nonfarmakologi
9. Promosikan istirahat yang
cukup dan tidur untuk
memfasilitasi bantuan
mual
10. Dorong makan sejumlah
kecil makanan yang
menarik bagi orang mual
11. Bantu untuk mencari dan
memberikan suport
emosional
7. Intoleransi NOC: NIC:
aktivitas Activity Tolerance Activity Therapy
berhubungan Tujuan 1. Kolaborasikan dengan
dengan Setelah dilakukan Tenaga Rehabilitasi
gangguan keperawatan selama 3x24 Medik dalam
ketidakseimba jam pasien bertoleransi merencanakan program
terhadap aktivitas terapi yang tepat.
Kriteria hasil:

34
ngan suplay 1. Saturasi Oksigen saat 2. Bantu klien untuk
oksigen aktivitas (4) mengidentifikasi aktivitas
2. Nadi saat aktivitas (4) yang mampu dilakukan
3. RR saat aktivitas (4) 3. Bantu untuk memilih
4. Tekanan darah sistol aktivitas konsisten yang
dan diastol saat sesuai dengan kemampuan
istirahat (4) fisik, psikologi dan social
5. Mampu melakukan 4. Bantu untuk
aktivitas sehari-hari mengidentifikasi dan
(ADLs) secara mendapatkan sumber yang
mandiri (4) diperlukan untuk aktivitas
yang diinginkan
5. Bantu untuk mendapatkan
alat bantuan aktivitas
seperti kursi roda, krek.
6. Bantu klien untuk
membuat jadwal latihan
diwaktu luang
7. Bantu pasien/keluarga
untuk mengidentifikasi
kekurangan dalam
beraktivitas
8. Sediakan penguatan
positif bagi yang aktif
beraktivitas
9. Bantu pasien untuk
mengembangkan motivasi
diri dan penguatan
10. Observasi adanya
pembatasan klien dalam
melakukan aktivitas.

35
11. Monitor nutrisi dan
sumber energi yang
adekuat
12. Monitor pasien akan
adanya kelelahan fisik dan
emosi secara berlebihan
13. Monitor respon
kardiovaskular terhadap
aktivitas (takikardia,
disritmia, sesak nafas,
diaphoresis, pucat,
perubahan hemodinamik)
14. Monitor pola tidur dan
lamanya tidur/istirahat
pasien
15. Monitor responfisik,
emosi, social dan spiritual.

36
3.2Asuhan keperawatan kasus

Ny. L seorang pensiun pegawai BUMN berusia 60 tahun datang ke RS Ibnu Sina Gresik
poli penyakit dalam dengan keadaan lemas, klien sering merasakan lemas sejak 10 bulan yang
lalu. Ny. L sebelum menjadi pensiun, semasa kerjanya sering mengkonsumsi minuman yang
berenergi. Ny. L sering merasakan lemas ketika ia melakukan beraktivitas maupun tidak, rasa
lemas yang dirasakan terkadang sampai mengganggu aktivitas klien. Rasa lemas yang dirasa klien
akan membaik ketika klien sedang beristirahat. Selain lemas, klien juga sering merasakan mual
muntah 3x dalam sehari yang sudah dirasa sejak 5 bulan yang lalu. Menurut pengkajian Tn. P
mengatakan bahwa ia sering makan namun dalam jumlah sedikit, karena dirasa berat jika klien
makan dalam jumlah yang banyak. Klien tidak pernah mengalami muntah saat mual, karena ketika
mual klien miunum air hangat sehingga dapat meredakan rasa mual tersebut. Ny. L memiliki
riwayat penyakit diabetes mellitus, penyakit ginjal, dan hipertensi sejak 4 tahun yang lalu, dan
pernah dirawat di RS Ibnu Sina tahun 2017, karena penyakit kencing manisnya. Klien mengatakan
bahwa BAB dan BAK klien seperti biasa tidak ada keluhan, warna urin kuning jernih, dan tidak
ada rasa nyeri saat BAK. Hasil pemeriksaan laboratorium kadar kreatinin dan BUN mengalami
peningkatan serta kadar klirens mengalami penurunan, TD= 180/100 mmHg, nadi=110x/menit,
adanya edem pada jari kaki.

A. Pengkajian

1. Data Demografi
- Nama : Ny. L
- Umur : 60 Tahun
- Jenis Kelamin : Perempuan
- Alamat : Gresik
- Status : Sudah menikah
- Pekerjaan : Pensiun BUMN
- Tanggal Pemeriksaan: 18 Mei 2018
2. Keluhan utama: Lemas
3. Riwayat Penyakit

37
- Riwayat penyakit sekarang:
Ny. L datang ke poli penyakit dalam RS Ibnu Sina Gresik tanggal 18 Mei 2018,
dengan keluhan lemas. Klien sering mengalami lemas sejak 10 bulan yang lalu, rasa
lemas yang dirasakan klien datang saat melakukan aktivitas maupun tidak. Keadaan
klien akan membaik ketika klien beristirahat, rasa lemas yang dihadapi klien
terkadang sampai mengganggu aktivitas sehari-harinya. Selain itu klien juga
mengalami mual muntah3x dalam sehari sejak 5 bulan yang lalu namun tidak sampai
muntah, karena rasa mual akan berkurang ketika klien minum air hangat. Nafsu
makan Ny. L baik-baik saja tetapi hanya dalam jumlah sedikit, karena dirasa berat
jika klien makan dalam jumlah yang banyak. Menurut pengkajian klien menyangkal
bahwa dirinya tidak mengalami sesak nafas dan klien mengatakan BAB dan BAK
klien tidak ada keluhan nyeri serta warna urin kuning jernih.
- Riwayat penyakit dahulu:
Klien mengatakan memiliki riwayat Diabetes Mellitus, penyakit ginjal, dan
hipertensi sejak 4 tahun yang lalu. Klien pernah masuk RS Ibnu Sina Gresik tahun
2017, dikarenakan penyakit kencing manis yang dideritanya.
- Riwayat penyakit keluarga:
Klien mengatakan bahwa keluarganya tidak ada yang memiliki penyakit seperti
yang dideritanya sekarang. Klien juga mengatakan bahwa keluarganya tidak ada
yang memiliki penyakit diabetes mellitus dan sesak nafas.
- Riwayat pengobatan:
Ny. L menggunakan terapi insulin untuk pengobatan penyakit Diabetes Mellitus
yang dideritanya. Klien sering kontrol ke Poli penyakit dalam dan rutin minum obat.
- Riwayat sosial:
Ny. L merupakan pensiunan pegawai BUMN, namun sekarang ini klien hanya
melakukan aktivitas sehari-harinya dirumah seperti membaca koran, membersihkan
halaman semampunya, dan memasak sebisanya.
4. Pemeriksaan Fisik
- Keadaan umum: Klien tampah lemas, lemah, dan pucat
- Tanda-tanda vital: TD= 180/100 mmHg, nadi=110x/menit

38
- Atropometri: Terjadi peningkatan BB karena kelebihan cairan, dan adanya edem
pada jari kaki
- Kepala: Rambut kering, konjungtiva ikterus, adanya kotoran dihidung, mukosa bibir
kering, mukosa mulut pucat, dan bibir peca-pecah.
- Leher: Bentuk leher simetris
- Thorax: Pergerakan dada tidak simetris, adanya otot bantu nafas
- Abdomen: Turgor kulit jelek, perut sedikit membuncit
- Ekstramitas: Kelemahan fisik, aktifitas terbatas, terjadi edema pada jari bagian kaki.
- Kulit: Terjadi edema, turgor jelek, uremia

5. Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan Labarorium
1) kadar klirens: Mengalami penurunan
2) Pemeriksaan kadar kreatinin: Mengalami peningkatan
3) Kadar nitrogen urea (BUN): Mengalami peningkatan
B. Analisa Data
Analisa Data Etiologi Diagnosa Kep.
DS: GFR turun Kelebihan Vol.
Keluarga klien Cairan
mengatakan badan GGK
klien sedikit
membengkak Retensi Na
DO:
Adanya edem pada jari Total CES naik
kaki klien
BB klien bertambah Vol. Interstitial naik

Edema (Kelebihan vol. Cairan)

39
DS: GFR turun, GGK retensi Na Gangguan
Klien mengatakan jika Total CES naik Tek. Pertukaran Gas
makan terlalu banyak Kapiler naik
dapat terasa berat Vol. Intestitil naik pre load
DO: naik
Adanya otot bantu Beban jantung naik hipertrovi
nafas ventrikel kiri
TD=180/100 mmHg
Nadi=110x/menit Bendungan atrium kiri naik

Kapiler paru naik

edem paru Gg. pertukaran


gas
DS: Klien mengeluh GFR turun GGK Mual
mual muntah 3x dalam
sehari sejak 10 bulan Sekresi protein terganggu
yang lalu
DO: Sindrom uremia Gg. Keseimbangan
asam basa

Prod as. lambung naik-iritasi


lambung

Gastritis mual. Muntah

Ketidakseimbangan nutrisi
DS: GFR turun GGK Intoleransi
aktivitas

40
Keluarga klien Sekresi eritropotis tutun Hb turun
mengatakan klien
terbatas dalam Oksihemoglobin turun
melakukan aktivitas
sehari-hari Suplai O2 turun
DO:
Klien terlihat lemas, Intoleransi aktivitas
pucat, letih

C. Diagnosa Keperawatan
1) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan mekanisme pengaturan melemah
2) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane kapiler paru
3) Mual berhubungan dengan paparan toksin
4) Intoleransi aktifitas berhubungan dengan gangguan ketidakseimbangan suplay oksigen
D. Intervensi
8. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan mekanisme pengaturan melemah
NOC NIC
Setelah dilakukan tindakan keperawatan Fluid Management:
selama 3x24 jam kelebihan volume cairan 1. Pertahankan intake dan
teratasi dengan kriteria: output secara akurat
1. Terbebas dari edema dan efusi 2. Kolaborasi dalam
2. Bunyi nafas bersih, tidak ada pemberian diuretik
dyspnea/ortopneu 3. Batasi intake cairan pada
3. Terbebas dari distensi vena jugularis hiponatremi dilusi dengan serum
4. Memelihara tekanan vena sentral, Na dengan jumlah kurang dari 130
tekanan kapiler paru, output jantung mEq/L
dan vital sign 4. Atur dalam pemberian
5. Terbebas dari kelelahan dan produk darah (platelets dan fresh
kecemasan frozen plasma)
5. Monitor status hidrasi
(kelembaban membrane mukosa,

41
TD ortostatik, dan keadekuatan
dinding nadi)
6. Monitor hasil
laboratorium yang berhubungan
dengan retensi cairan (peningkatan
kegawatan spesifik, peningkatan
BUN, penurunan hematokrit, dan
peningkatan osmolalitas urin)
7. Monitor status
hemodinamik (CVP, MAP, PAP,
dan PCWP) jika tersedia
8. Monitor tanda vital

Hemodialysis Therapy:
1. Timbang BB sebelum dan
sesudah prosedur
2. Observasi terhadap
dehidrasi, kram otot dan aktivitas
kejang
3. Observasi reaksi tranfusi
4. Monitor TD
5. Monitor BUN,Creat, HMT
danelektrolit
6. Monitor CT

Peritoneal Dialysis Therapy:


1. Jelaskan prosedur dan
tujuan
2. Hangatkan cairan dialisis
sebelum instilasi
3. Kaji kepatenan kateter

42
4. Pelihara catatan volume
inflow/outflow dan keseimbangan
cairan
5. Kosongkan bladder
sebelum insersi peritoneal kateter
6. Hindari peningkatan stres
mekanik pada kateter dialisis
peritoneal (batuk)
7. Pastikan penanganan
aseptik pada kateter dan
penghubung peritoneal
8. Ambil sampel
laboratorium dan periksa kimia
darah (jumlah BUN, serum
kreatinin, serum Na, K, dan PO4)
9. Cek alat dan cairan sesuai
protokol
10. Kelola perubahan dialysis
(inflow, dwell, dan outflow) sesuai
protokol
11. Ajarkan pasien untuk
memonitor tanda dan gejala yang
mebutuhkan penatalaksanaan
medis (demam, perdarahan, stres
resipratori, nadi irreguler, dan
nyeri abdomen)
12. Ajarkan prosedur kepada
pasien untuk diterapkan dialisis di
rumah.

43
13. Monitor TD, nadi, RR,
suhu, dan respon klien selama
dialisis
14. Monitor tanda infeksi (peritonitis)

9. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler paru


NOC NIC
Setelah dilakukan keperawatan selama Oxygen Therapy
2x24 jam klien Gangguan pertukaran 11. Pertahankan kepatenan jalan napas
gas teratasi dengan kriteria hasil: 12. Kelola pemberian oksigen tambahan
1. Klien dapat memperlihatkan sesuai resep
ventilasi dan oksigenasi yang 13. Anjurkan pasien untuk mendapatkan resep
adekuat dengan nilai ABGs oksigen tambahan sebelum perjalanan
normal: udara atau perjalanan ke dataran tinggi
PH : 7,35-7,45 yang sesuai
PO2 : 80-100 mmHg 14. Konsultasi dengan tenaga kesehatan lain
Saturasi O2 : >95% mengenai penggunaan oksigen tambahan
PCO2 : 35-45 mmHg saat aktivitas dan/atau tidur
HCO3 : 22-16 mEq/L 15. Pantau efektivitas terapi oksigen (pulse
BE (kelebihan basa) : -2 sampai oximetry, BGA)
+2 16. Observasi tanda pada oksigen yang
2. Membrane mukosa berwarna disebabkan hipoventilasi
merah muda 17. Monitor aliran oksigen liter
3. Conjunctiva tidak anemis 18. Monitor posisi dalam oksigenasi
4. Akral hangat 19. Monitor tanda-tanda keracunan oksigen
5. TTV dalam batas normal dan atelektasis
20. Monitor peralatan oksigen untuk
memastikan bahwa tidak mengganggu
pasien dalam bernapas

44
6. Mual berhubungan dengan paparan toksin
NOC NIC
Setelah dilakukan tindakan Nausea Management
keperawatan selama 2x24 jam mual 1. Dorong pasien untuk memantau mual
teratasi dengan kriteria hasil: secara sendiri
1. Tidak ada frekuensi mual dan 2. Dorong pasien untuk mempelajari strategi
muntah untuk mengelola mual sendiri
2. Asupan makanan klien adekuat 3. Lakukan penilaian lengkap mual, termasuk
3. Klien tidak mengalami kehilangan frekuensi, durasi, tingkat keparahan, dengan
berat badan menggunakan alat-alat seperti jurnal
perawatan, skala analog visual, skala
deskriptif duke dan indeks rhodes mual dan
muntah (INV) bentuk 2.
4. Identifikasi pengobatan awal yang pernah
dilakukan
5. Evaluasi dampak mual pada kualitas hidup.
6. Pastikan bahwa obat antiemetik yang
efektif diberikan untuk mencegah mual bila
memungkinkan.
7. Identifikasi strategi yang telah berhasil
menghilangkan mual
8. Dorong pasien untuk tidak mentolerir mual
tapi bersikap tegas dengan penyedia layanan
kesehatan dalam memperoleh bantuan
farmakologis dan nonfarmakologi
9. Promosikan istirahat yang cukup dan tidur
untuk memfasilitasi bantuan mual
10. Dorong makan sejumlah kecil makanan
yang menarik bagi orang mual
11. Bantu untuk mencari dan memberikan
suport emosional

45
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan gangguan ketidakseimbangan suplay
oksigen

NOC NIC
Setelah dilakukan keperawatan selama Activity Therapy
3x24 jam pasien bertoleransi terhadap 1. Kolaborasikan dengan Tenaga Rehabilitasi
aktivitas dengan kriteria hasil: Medik dalam merencanakan program terapi
1. Klien dapat berpartisipasi dalam yang tepat.
aktifitas fisik tanpa disertai 2. Bantu klien untuk mengidentifikasi
peningkatan tekanan darah, nadi, aktivitas yang mampu dilakukan
dan RR 3. Bantu untuk memilih aktivitas konsisten
2. Mampu melakukan aktivitas yang sesuai dengan kemampuan fisik,
sehari-hari (ADLs) secara mandiri psikologi dan social
3. Keseimbangan aktifitas dan 4. Bantu untuk mengidentifikasi dan
istirahat mendapatkan sumber yang diperlukan untuk
aktivitas yang diinginkan
5. Bantu untuk mendapatkan alat bantuan
aktivitas seperti kursi roda, krek.
6. Bantu klien untuk membuat jadwal latihan
diwaktu luang
7. Bantu pasien/keluarga untuk
mengidentifikasi kekurangan dalam
beraktivitas
8. Sediakan penguatan positif bagi yang aktif
beraktivitas
9. Bantu pasien untuk mengembangkan
motivasi diri dan penguatan
10. Observasi adanya pembatasan klien dalam
melakukan aktivitas.

46
11. Monitor nutrisi dan sumber energi yang
adekuat
12. Monitor pasien akan adanya kelelahan
fisik dan emosi secara berlebihan
13. Monitor respon kardiovaskular terhadap
aktivitas (takikardia, disritmia, sesak nafas,
diaphoresis, pucat, perubahan hemodinamik)
14. Monitor pola tidur dan lamanya
tidur/istirahat pasien
15. Monitor responfisik, emosi, social dan
spiritual.

E. Implementasi

Hari/Tanggal No. Waktu Implementasi Evaluasi


Diagnosa
Sabtu, 19 Mei 1 07.00 - Mempertahankan intake S : klien mengatakan
2018 dan output yang akurat masih lemas
Input : 1775cc
Output : 400cc O : - masih terdapat
07.15 - Monitor vital sign dan edem pada jari kaki
keadaan umum: klien
compos mentis, GCS 14, - Kesadaran:
TD 160/100 mmHg, compos mentis
RR 26x/menit, - GCS: 14
Nadi: 90x/menit, S: 37°C - TD: 160/100
07.50 - Monitor indikasi mmHg
retensi/kelebihan cairan - RR: 25x/menit
yang ditandai adanya - Nadi:
edema dan ekstremitas 90x/menit
08.05

47
- Mengkaji lokasi dan luas A : masalah teratasi
08.15 edema sebagian
- Posisikan kaki klien P : intervensi
sedikit tinggi dilanjutkan

Sabtu, 19 Mei 2 08.30 - Monitor frekuensi mual S : Klien mengeluh


2018 klien mual muntah 2x dalam
09.15 - Dorong makan sejumlah sehari
kecil makanan yang O : - klien mampu
menarik bagi orang mual menghabiskan ½ porsi
- Promosikan istirahat makanan
yang cukup dan tidur - Klien makan
11.00 untuk memfasilitasi sedikit-sedikit
bantuan mual namun sering
A : mual belum teratasi
P : - tingkatkan nafsu
makan klien, usahakan
makanan habis.
- Pastikan bahwa
obat antiemetik
yang efektif
diberikan untuk
mencegah mual
bila
memungkinkan.
Senin, 19 Mei 3 08.40 - Observasi adanya S : ruang gerak klien
2018 pembatasan klien dalam masih terbatas dalam
melakukan aktivitas melakukan aktifitas
sehari-hari

48
Respon klien : klien O : - klien terlihat
mengatakan lemas untuk lemas, pucat dan letih
08.55 beraktivitas - Edem di jari-
- Membantu klien untuk jari kaki
mengidentifikasi aktifitas A : intoleransi aktifitas
yang mampu dilakukan belum teratasi
Respon klien : klien P : - Bantu untuk
mengatakan tidak mendapatkan alat
mampu beraktifitas bantuan aktivitas
karena lemas seperti kursi roda,
krek.
- Kolaborasikan
dengan Tenaga
Rehabilitasi
Medik dalam
merencanakan
program terapi
yang tepat.

49
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Gagal ginjal kronis adalah kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan metabolism
serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat destruksi struktur ginjal yang progresif dengan
manifestasi penumpukan sisa metabolit (toksik uremik) di dalam darah (Muttaqin, 2011).
Penyebab CKD pada anak usia < 5 tahun paling sering adalah kelainan kongenital misalnya
displasia atau hipoplasia ginjal dan uropati obstruktif. Sedangkan pada usia> 5 tahun sering
disebabkan oleh penyakit yang diturunkan (penyakit ginjal polikistik)dan penyakit didapat
(glomerulonefritis kronis). Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian
Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai
berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%)dan ginjal polikistik
(10%) (Roesli, 2008). Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes
melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, danindividu
dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjaldalam keluarga
(National Kidney Foundation, 2009). Manifestasi klinis menurut (Smeltzer, 2008) terjadi pada
system pernafasan, kardioovaskuler, neurologi, bladder, bowel, integument, dan
musukuloskeletal.
Seseorang dengan penyakit ginjal kronis tahap 3 (CKD) memiliki kerusakan ginjal
sedang. Tahap ini dibagi menjadi dua: penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) untuk Tahap
3A adalah 45-59 mL/menit dan penurunan GFR untuk Tahap 3B adalah 30-44 mL/menit.
Keadaan ini disebut juga sebagai insufisiensi ginjal kronis yang menjurus kearah gagal ginjal
kronis. Pada tahap 3 ini, seseorang lebih mungkin mengembangkan komplikasi penyakit ginjal
seperti tekanan darah tinggi, anemia (kekurangan sel darah merah) dan penyakit tulang awal
(Thomas et.al, 2008).

50
4.2 Saran
Setelah penyajian dari makalah asuhan keperawatan CKD ini, diharapkan perawat
dapat menerapakan pengetahuan dan konsep asuhan keperawatan mereka tentang penyakit
CKD ini untuk bisa di terapkan di tempat bekerja. Semoga makalah yang kami sajikan ini dapat
bermanfaat bagi kita semua dan dapat diaplikasikan sehari-hari kritik dan saran dari teman-
teman sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

51
DAFTAR PUSTAKA

1. Muttaqin dan Sari. (2011). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Salemba
Medika, Jakarta.
2. Smeltzer, S.C., & Bare, B.G. (2008). Textbook of Medical-Surgical Nursing. (11 th ed.),
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
3. Suwitra. K. (2006). Penyakit Ginjal Kronik. Dalam Sudoyo, A.W., dkk., Editor. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi keempat. Penerbit Depertemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Jakarta. Hal. 570-572.
4. Pranandari,Restu dan Supadmi,Woro. 2015.Faktor Risiko Gagal Ginjal Kronik RSUD Wates
Kulon Progo. Yogyakarta: Fakultas Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan
5. Alam, Syamsir dan Hadibroto, Iwan. 2007. Gagal Ginjal. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
6. Muttaqin & Kumala. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Salemba Medika :
Jakarta.
7. Smeltzer, S. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth. Volume 2 Edisi
8. Jakarta : EGC. 2001
8. Sukandar, Enday. 2006. Gagal Ginjal dan Panduan Dialisis. Bandung : PPI FK UNPAD

52

Anda mungkin juga menyukai