Anda di halaman 1dari 50

TUGAS MATA KULIAH

KEPERAWATAN KRITIS

“HASIL-HASIL PENELITIAN PADA MASALAH


KRITIS BERBAGAI SISTEM”

Disusun oleh:
Kelompok 1
1. Ery Wardhana (P07220419104)
2. Nanik Setiyowati (P07220419115)
3. Nanik Silaturahmi (P07220419116)

Dosen Pembimbing:
Ns. Andi Lis AG, S. Kep., M. Kep

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga penulisan makalah “Hasil-Hasil Penelitian Pada Masalah Kritis
Berbagai Sistem ”dapat kami selesaikan.

Shalawat beriring salam semoga dilimpahkan kepada Baginda Rasulullah


saw, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang istiqamah di jalan-Nya hingga
akhir zaman.

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata ajar
Keperawatan Kritis. Selain itu, agar pembaca dapat memperluas ilmu yang
berkaitan dengan judul laporan, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari
berbagai sumber dan hasil kegiatan yang telah dilakukan.

Kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak terkait, terutama


kepada dosen pembimbing ibu Ns. Andi Lis AG, S.Kep., M. Kep yang telah
memberikan bimbingan dan pengajaran dalam penyelesaian makalah ini.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada
pembaca. Dan kami menyadari masih banyak kekurangan yang mendasar dalam
makalah ini. Oleh karena itu, kami memohon keterbukaan dalam pemberian saran
dan kritik agar lebih baik lagi untuk ke depannya.

Balikpapan, 1 September 2019

Kelompok 1

i
DAFTAR ISI

BAB I ...................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

Latar Belakang .................................................................................................... 1

Rumusan Masalah ............................................................................................... 2

Tujuan .................................................................................................................. 2

Manfaat ................................................................................................................ 3

Sistematika Penulisan .......................................................................................... 3

BAB II .................................................................................................................... 4

TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 4

Definisi ................................................................................................................ 4

Tingkatan dan Hierarki dalam penerapan EBP ................................................... 6

Pengkajian dan Alat dalam EBP ......................................................................... 8

Langkah-langkah dalam EBP .............................................................................. 8

Contoh Hasil Penilitian ..................................................................................... 29

BAB III ................................................................................................................. 44

KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 44

KESIMPULAN ................................................................................................. 44

SARAN ............................................................................................................. 45

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 46

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejarah evidence dimulai pada tahun 1970 ketika Archie Cochrane
menegaskan perlunya mengevaluasi pelayanan kesehatan berdasarkan bukti-
bukti ilmiah (scientific evidence). Sejak itu berbagai istilah digunakan terkait
dengan evidence base, diantaranya evidence base medicine (EBM), evidence
base nursing (EBN), dan evidence base practice (EBP). Evidence Based
Practice (EBP) merupakan upaya untuk mengambil keputusan klinis
berdasarkan sumber yang paling relevan dan valid.
Oleh karena itu EBP merupakan jalan untuk mentransformasikan hasil
penelitian ke dalam praktek sehingga perawat dapat meningkatkan “quality of
care” terhadap pasien. Selain itu implementasi EBP juga akan menurunkan
biaya perawatan yang memberi dampak positif tidak hanya bagi pasien,
perawat, tapi juga bagi institusi pelayanan kesehatan. Sayangnya penggunaan
bukti-bukti riset sebagai dasar dalam pengambilan keputusan klinis seperti
seorang bayi yang masih berada dalam tahap pertumbuhan.
Evidence-Based Practice (EBP), merupakan pendekatan yang dapat
digunakan dalam praktik perawatan kesehatan, yang berdasarkan evidence
atau fakta. Selama ini, khususnya dalam keperawatan, seringkali ditemui
praktik-praktik atau intervensi yang berdasarkan “biasanya juga begitu”.
Sebagai contoh, penerapan kompres dingin dan alkohol bath masih sering
digunakan tidak hanya oleh masyarakat awam tetapi juga oleh petugas
kesehatan, dengan asumsi dapat menurunkan suhu tubuh lebih cepat,
sedangkan penelitian terbaru mengungkapkan bahwa penggunaan kompres
hangat dan teknik tepid sponge meningkatkan efektifitas penggunaan
kompres dalam menurunkan suhu tubuh.
Merubah sikap adalah sesuatu yang sangat sulit, bahkan mungkin hal
yang sia-sia. Orang tidak akan bisa merubah adat orang lain, kecuali orang-
orang di dalamnya yang merubah diri mereka sendiri. Tetapi meningkatkan

1
kesadaran, dan masalah kesehatan di masyarakat, akan meningkatkan
kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan. Tentu pelayanan yang
paling efektif & efisien menjadi tuntutan sekaligus tantangan besar yang
harus di cari problem solving-nya.
Penggunaan evidence base dalam praktek akan menjadi dasar scientific
dalam pengambilan keputusan klinis sehingga intervensi yang diberikan
dapat dipertanggungjawabkan. Sayangnya pendekatan evidence base di
Indonesia belum berkembang termasuk penggunaan hasil riset ke dalam
praktek. Tidak dapat dipungkiri bahwa riset di Indonesia hanya untuk
kebutuhan penyelesaian studi sehingga hanya menjadi tumpukan kertas
semata.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, bagaimana hasil-hasil penelitian
(Evidence Based Practice) pada kasus kritis berbagai sistem?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan dari penulisan makalah ini untuk menjelaskan dan menalaah
hasil-hasil penelitian (Evidence Based Practice) pada kasus kritis
berbagai sistem.
2. Tujuan Khusus
2.1 Mahasiswa mampu mengerti dan memahami Definisi EBP
2.2 Mahasiswa mampu mengerti dan memahami tingkatan dan hierarki
dalam penerapan EBP
2.3 Mahasiswa mampu mengerti dan memahami pengkajian dan alat
dalam EBP
2.4 Mahasiswa mampu mengerti dan memahami langkah-langkah
dalam EBP

2
2.5 Mahasiswa mampu mengerti dan memahami contoh hasil
penelitian menggunakan EBP

D. Manfaat
1. Teoritis
Dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam pengembangan mata ajar
keperawatan kritis khususnya dalam hasil-hasil penelitian.
2. Praktis
Dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk menerapkan hasil-hasil
penelitian dalam kasus kritis berbagai sistem melalui langkah-langkah
yang telah tersedia.

E. Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini dibagi dalam beberapa bab, yaitu:
Bab I : Berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang
belakang, rumusan masalah, tujuan, manfaat dan
sistematika penulisan.
Bab II : Berisi telaah pustaka yang terdiri dari hasil-hasil
penelitian terkait kasus kritis berbagai sistem.
Bab III : Berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
EBP merupakan salah satu perkembangan yang penting pada dekade
ini untuk membantu sebuah profesi, termasuk kedokteran, keperawatan,
sosial, psikologi, public health, konseling dan profesi kesehatan dan sosial
lainnya (Briggs & Rzepnicki, 2004; Brownson et al., 2002; Sackett et al.,
2000).
Menurut (Goode & Piedalue, 1999) : Praktik klinis berdasarkan bukti
melibatkan temuan pengetahuan dari penelitian, review atau tinjauan kritis.
EBP didefinisikan sebagai intervensi dalam perawatan kesehatan yang
berdasarkan pada fakta terbaik yang didapatkan. EBP merupakan proses
yang panjang, adanya fakta dan produk hasil yang membutuhkan evaluasi
berdasarkan hasil penerapan pada praktek lapangan.
EBP merupakan suatu pendekatan pemecahan masalah untuk
pengambilan keputusan dalam organisasi pelayanan kesehatan yang
terintegrasi di dalamnya adalah ilmu pengetahuan atau teori yang ada dengan
pengalaman dan bukti-bukti nyata yang baik (pasien dan praktisi). EBP dapat
dipengaruh oleh faktor internal dan external serta memaksa untuk berpikir
kritis dalam penerapan pelayanan secara bijaksana terhadadap pelayanan
pasien individu, kelompok atau system (newhouse, dearholt, poe, pough, &
white, 2005).
Clinical Based Evidence atau Evidence Based Practice (EBP) adalah
tindakan yang teliti dan bertanggung jawab dengan menggunakan bukti
(berbasis bukti) yang berhubungan dengan keahlian klinis dan nilai-nilai
pasien untuk menuntun pengambilan keputusan dalam proses perawatan
(Titler, 2008). EBP merupakan salah satu perkembangan yang penting pada

4
dekade ini untuk membantu sebuah profesi, termasuk kedokteran,
keperawatan, sosial, psikologi, public health, konseling dan profesi kesehatan
dan sosial lainnya (Briggs & Rzepnicki, 2004; Brownson et al., 2002; Sackett
et al., 2000).
EBP menyebabkan terjadinya perubahan besar pada literatur,
merupakan proses yang panjang dan merupakan aplikasi berdasarkan fakta
terbaik untuk pengembangan dan peningkatan pada praktek lapangan.
Pencetus dalam penggunaan fakta menjadi pedoman pelaksanaan praktek
dalam memutuskan untuk mengintegrasikan keahlian klinikal individu
dengan fakta yang terbaik berdasarkan penelitian sistematik.
Beberapa ahli telah mendefinisikan EBP dalam keperawatan sebagai :
1. Penggabungan bukti yang diperoleh dari hasil penelitian dan praktek klinis
ditambah dengan pilihan dari pasien ke dalam keputusan klinis (Mulhall,
1998).
2. Penggunaan teori dan informasi yang diperoleh berdasarkan hasil
penelitian secara teliti, jelas dan bijaksana dalam pembuatan keputusan
tentang pemberian asuhan keperawatan pada individu atau sekelompok
pasien dan dengan mempertimbangkan kebutuhan dan pilihan dari pasien
tersebut (Ingersoll G, 2000).
Tingkatan evidence disebut juga dengan hierarchy evidence yang
digunakan untuk mengukur kekuatan suatu evidence dari rentang bukti
terbaik sampaidengan bukti yang paling rendah. Tingkatan evidence ini
digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam EBP. Hirarki untuk tingkatan
evidence yang ditetapkan oleh Badan Kesehatan Penelitian dan Kualitas
(AHRQ), sering digunakan dalam keperawatan (Titler, 2010). Adapun level
of evidence tersebut adalah sebagai berikut :

5
B. Tingkatan dan Hierarki dalam penerapan EBP
Hierarki dalam penelitian ilmiah terdapat hieraraki dari tingkat
kepercayaannya yang paling rendah hingga yang paling tingi. Dibawah ini
mulai dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi :
1. Laporan fenomena atau kejadian-kejadian yang kita temuai sehari-hari
2. Studi kasus
3. Studi lapangan atau laporan deskriptif
4. Studi percobaan tanpa penggunaan tekhnik pengambilan sampel secara
acak (random)
5. Studi percobaan yang menggunakan setidaknya ada satu kelompok
pembanding, dan menggunakan sampel secara acak

6
6. Systemic reviews untuk kelompok bijak bestari atau meta-analisa yaitu
pengkajian berbagai penelitian yang ada dengan tingkat kepercayaan
yang tinggi.

Hierarki dalam penerapan Evidence Based Practice

Pada sebagian besar sistem penilaian, skor dikumpulkan dari data yang
dikumpulkan pada hari pertama perawatan di ICU—seperti, Acute
Physiology and Chronic Health Evaluation (APACHE), Simplifi Ed Acute
Physiology Score (SAPS) dan Mortality Prediction Model (MPM).
Sementara sistem penilaian yang lain, skor dikumpulkan secara terus-
menerus setiap hari selama dirawat di ICU dan minimal selama 3 hari
perawatan—seperti, Organ Dysfunction and Infection System (ODIN),
Sequential Organ Failure Assessment (SOFA), Multiple Organ Dysfunction
Score (MODS), Logistic Organ Dysfunction (LOD) model, dan Three-day
Recalibrating ICU Outcomes (TRIOS).
Skor dinilai baik secara subjektif maupun objektif. Skor subjektif
ditetapkan oleh panel ahli yang memilih variabel dan menetapkan bobot

7
untuk setiap variabel berdasarkan pendapat pribadi mereka—seperti,
APACHE II, ODIN dan SOFA. Sementara skor objektif dinilai
menggunakan teknik pemodelan regresi logistik dan penilaian klinis untuk
menentukan rentang dan bobot penilaian—seperti, APACHE III, SAPS II,
MPM II, MODS, skor LOD (LODS) dan TRIOS.

C. Pengkajian dan Alat dalam EBP


Terdapat beberapa kemampuan dasar yang harus dimiliki tenaga
kesehatan professional untuk dapat menerapkan praktek klinis berbasis
bukti, yaitu :
1. Mengindentifikasi gap/kesenjangan antara teori dan praktek
2. Memformulasikan pertanyaan klinis yang relevan,
3. Melakukan pencarian literature yang efisien,
4. Mengaplikasikan peran dari bukti, termasuk tingkatan/hierarki dari bukti
tersebut untuk menentukan tingkat validitasnya
5. Mengaplikasikan temuan literature pada masalah pasien, dan
6. Mengerti dan memahami keterkaitan antara nilai dan budaya pasien dapat
mempengaruhi keseimbangan antara potensial keuntungan dan kerugian
dari pilihan manajemen / terapi (Jette et al., 2003).

D. Langkah-langkah dalam EBP


1) Langkah 1: Kembangkan semangat penelitian. Sebelum memulai
dalam tahapan yang sebenarnya didalam EBP, harus ditumbuhkan
semangat dalam penelitian sehingga klinikan akan lebih nyaman dan
tertarik mengenai pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan perawatan
pasien

2) Langkah 2: Ajukan pertanyaan klinis dalam format PICOT. Pertanyaan


klinis dalam format PICOT untuk menghasilkan evidence yang lebih baik
dan relevan.

8
a) Populasi pasien (P),
b) Intervensi (I),
c) Perbandingan intervensi atau kelompok (C),
d) Hasil / Outcome (O), dan
e) Waktu / Time (T)
Format PICOT menyediakan kerangka kerja yang efisien untuk mencari
database elektronik, yang dirancang untuk mengambil hanya artikel-
artikel yang relevan dengan pertanyaan klinis. Menggunakan skenario
kasus pada waktu respon cepat sebagai contoh, cara untuk membingkai
pertanyaan tentang apakah penggunaan waktu tersebut akan menghasilkan
hasil yang positif akan menjadi: "Di rumah sakit perawatan akut (populasi
pasien), bagaimana memiliki time respon cepat (intervensi) dibandingkan
dengan tidak memiliki time respon cepat (perbandingan) mempengaruhi
jumlah serangan jantung (hasil) selama periode tiga bulan (waktu)? "

3) Langkah 3: Cari bukti terbaik. Mencari bukti untuk menginformasikan


praktek klinis adalah sangat efisien ketika pertanyaan diminta dalam
format PICOT. Jika perawat dalam skenario respon cepat itu hanya
mengetik "Apa dampak dari memiliki time respon cepat?" ke dalam
kolom pencarian dari database, hasilnya akan menjadi ratusan abstrak,
sebagian besar dari mereka tidak relevan. Menggunakan format PICOT
membantu untuk mengidentifikasi kata kunci atau frase yang ketika
masuk berturut-turut dan kemudian digabungkan, memperlancar lokasi
artikel yang relevan dalam database penelitian besar seperti MEDLINE
atau CINAHL. Untuk pertanyaan PICOT pada time respon cepat, frase
kunci pertama untuk dimasukkan ke dalam database akan perawatan akut,
subjek umum yang kemungkinan besar akan mengakibatkan ribuan
kutipan dan abstrak. Istilah kedua akan dicari akan rapid respon time,
diikuti oleh serangan jantung dan istilah yang tersisa dalam pertanyaan
PICOT. Langkah terakhir dari pencarian adalah untuk menggabungkan
hasil pencarian untuk setiap istilah. Metode ini mempersempit hasil untuk
artikel yang berkaitan dengan pertanyaan klinis, sering mengakibatkan

9
kurang dari 20. Hal ini juga membantu untuk menetapkan batas akhir
pencarian, seperti "subyek manusia" atau "English," untuk menghilangkan
studi hewan atau artikel di luar negeri bahasa.
4) Langkah 4: Kritis menilai bukti. Setelah artikel yang dipilih untuk
review, mereka harus cepat dinilai untuk menentukan yang paling relevan,
valid, terpercaya, dan berlaku untuk pertanyaan klinis. Studi-studi ini
adalah "studi kiper." Salah satu alasan perawat khawatir bahwa mereka
tidak punya waktu untuk menerapkan EBP adalah bahwa banyak telah
diajarkan proses mengkritisi melelahkan, termasuk penggunaan berbagai
pertanyaan yang dirancang untuk mengungkapkan setiap elemen dari
sebuah penelitian. Penilaian kritis yang cepat menggunakan tiga
pertanyaan penting untuk mengevaluasi sebuah studi :
a. Apakah hasil penelitian valid? Ini pertanyaan validitas studi berpusat
pada apakah metode penelitian yang cukup ketat untuk membuat
temuan sedekat mungkin dengan kebenaran. Sebagai contoh, apakah
para peneliti secara acak menetapkan mata pelajaran untuk
pengobatan atau kelompok kontrol dan memastikan bahwa mereka
merupakan kunci karakteristik sebelum perawatan? Apakah instrumen
yang valid dan reliabel digunakan untuk mengukur hasil kunci?
b. Apakah hasilnya bisa dikonfirmasi? Untuk studi intervensi,
pertanyaan ini keandalan studi membahas apakah intervensi bekerja,
dampaknya pada hasil, dan kemungkinan memperoleh hasil yang
sama dalam pengaturan praktek dokter sendiri. Untuk studi kualitatif,
ini meliputi penilaian apakah pendekatan penelitian sesuai dengan
tujuan penelitian, bersama dengan mengevaluasi aspek-aspek lain dari
penelitian ini seperti apakah hasilnya bisa dikonfirmasi.
c. Akankah hasil membantu saya merawat pasien saya? Ini pertanyaan
penelitian penerapan mencakup pertimbangan klinis seperti apakah
subyek dalam penelitian ini mirip dengan pasien sendiri, apakah
manfaat lebih besar daripada risiko, kelayakan dan efektivitas biaya,
dan nilai-nilai dan preferensi pasien. Setelah menilai studi masing-
masing, langkah berikutnya adalah untuk mensintesis studi untuk

10
menentukan apakah mereka datang ke kesimpulan yang sama,
sehingga mendukung keputusan EBP atau perubahan.
5) Langkah 5: Mengintegrasikan bukti dengan keahlian klinis dan
preferensi pasien dan nilai-nilai. Bukti penelitian saja tidak cukup untuk
membenarkan perubahan dalam praktek. Keahlian klinis, berdasarkan
penilaian pasien, data laboratorium, dan data dari program manajemen
hasil, serta preferensi dan nilai-nilai pasien adalah komponen penting dari
EBP. Tidak ada formula ajaib untuk bagaimana untuk menimbang
masing-masing elemen; pelaksanaan EBP sangat dipengaruhi oleh
variabel kelembagaan dan klinis. Misalnya, ada tubuh yang kuat dari
bukti yang menunjukkan penurunan kejadian depresi pada pasien luka
bakar jika mereka menerima delapan sesi terapi kognitif-perilaku sebelum
dikeluarkan dari rumah sakit. Anda ingin pasien Anda memiliki terapi ini
dan begitu mereka. Tapi keterbatasan anggaran di rumah sakit Anda
mencegah mempekerjakan terapis untuk menawarkan pengobatan. Defisit
sumber daya ini menghambat pelaksanaan EBP.

6) Langkah 6: Evaluasi hasil keputusan praktek atau perubahan


berdasarkan bukti. Setelah menerapkan EBP, penting untuk memantau
dan mengevaluasi setiap perubahan hasil sehingga efek positif dapat
didukung dan yang negatif diperbaiki. Hanya karena intervensi efektif
dalam uji ketat dikendalikan tidak berarti ia akan bekerja dengan cara
yang sama dalam pengaturan klinis. Pemantauan efek perubahan EBP
pada kualitas perawatan kesehatan dan hasil dapat membantu dokter
melihat kekurangan dalam pelaksanaan dan mengidentifikasi lebih tepat
pasien mana yang paling mungkin untuk mendapatkan keuntungan.
Ketika hasil berbeda dari yang dilaporkan dalam literatur penelitian,
pemantauan dapat membantu menentukan.

7) Langkah 7: Menyebarluaskan hasil EBP. Perawat dapat mencapai hasil


yang indah bagi pasien mereka melalui EBP, tetapi mereka sering gagal
untuk berbagi pengalaman dengan rekan-rekan dan organisasi perawatan

11
kesehatan mereka sendiri atau lainnya. Hal ini menyebabkan perlu
duplikasi usaha, dan melanggengkan pendekatan klinis yang tidak
berdasarkan bukti-bukti. Di antara cara untuk menyebarkan inisiatif
sukses adalah putaran EBP di institusi Anda, presentasi di konferensi
lokal, regional, dan nasional, dan laporan dalam jurnal pereview,
newsletter profesional, dan publikasi untuk khalayak umum. Adapun
hasil-hasil penelitian yang dapat dikemukakan yaitu :
1) APACHE II
Skor APACHE II pertama kali dikembangkan oleh Knaus
dkk., pada tahun 1985 dengan menggunakan tiga komponen penilaian;
acute physiological score (APS), komponen terbesar yang diturunkan
dari 12 pengukuran klinis yang didapatkan dalam 24 jam perawatan di
Instalasi Rawat Inap. Hasil pengukuran yang paling abnormal
dipergunakan untuk menghasilkan komponen APS untuk skor
APACHE II. Jika ada variabel yang tidak diukur maka dianggap
memiliki nilai 0.
Penilaian APACHE II hingga saat ini masih menjadi pilihan
sebagai predictor mortalitas pasien yang dirawat di IRI. Namun, ada
beberapa kendala yang ditemukan pada penilaian APACHE II seperti
biaya yang lebih besar akibat banyak variabel laboratorium yang
diperiksa dan waktu untuk mendapatkan hasil yang cukup lama.
Sistem APACHE II ini dideklarasikan sebagai “gold
standard” untuk evaluasi pasien perawatan intensif, dan merupakan
salah satu sistem penilaian yang sering digunakan pada perawatan
intesif seluruh dunia.

12
Tabel 2.1 Metode APACHE II

2) SAPS II
SAPS II dikembangkan pada tahun 1993 oleh Le Gall dkk.,
yang digunakan untuk menilai tingkat keparahan pasien ICU. Skor
total SAPS II merupakan jumlah skor nilai terburuk untuk setiap
variabel dalam 24 jam pertama masuk unit perawatan intesif/ICU
(Intensive Care Unit). Model ini mencakup 17 variabel; 12 variabel
fisiologis, usia, jenis masuk, dan tiga variabel terkait penyakit. Seperti
sistem penilaian lainnya, skor SAPS II mencatat nilai terburuk dari
variabel yang dipilih, dalam 24 jam pertama setelah masuk. Skor
SAPS II dapat bervariasi antara 0 dan 163 poin (0-116 poin untuk
variabel fisiologis, 0-17 untuk poin usia, 0-30 poin untuk diagnosis
sebelumnya). Probabilitas kematian kemudian dihitung menggunakan
regresi logistik.

13
Tabel 2.2 SAPS II

3) MODS
Pada tahun 1995, dalam sebuah artikel Marshall dkk.,
mengusulkan sistem skoring objektif untuk mengukur tingkat
keparahan disfungsi multipel organ, sebagai hasil dari kondisi kritis
yang dilakukan penilaian terhadap 692 populasi pasien.
MODS merupakan sistem skoring berdasarkan enam
kegagalan organ. Penilaian yang diberikan 0-4 (maksimum 24).
Sistem skoring ini dapat menjadi indikator prognostik bila diterapkan
pada hari pertama masuk ICU, dan bila dinilai berkala menunjukkan
diskriminasi yang sangat baik dan kematian yang tidak hanya
bergantung pada skor masuk, tetapi juga pada lama perawatan ICU,
sehingga mungkin bermanfaat sebagai titik akhir alternatif uji klinis
yang melibatkan pasien sakit kritis.

14
Tabel 2.3 MODS

4) SOFA
Skoring penilaian SOFA menjadi hasil pengembangan dari
pertemuan European Society of Intensive Care pada tahun 1994, yang
kemudian direvisi pada tahun 1996. Pada tahun 1998, skoring
penilaian SOFA kemudian dilakukan evaluasi oleh Vincent dkk.,
terhadap 1449 pasien.
SOFA menilai beratnya disfungsi organ secara berkala pada
pasien sepsis, namun juga dapat diaplikasikan pada pasien non sepsis.
Pada perkembangannya, terdapat hubungan erat antara kegagalan
organ dengan kematian.
Kegagalan organ multipel dan nilai SOFA yang tinggi
dihubungkan dengan tingginya angka kematian. Vosylius dkk.,
menunjukkan bahwa skor berkala/periodik lebih baik pada hasil
diskriminatif dibandingkan dengan skor SOFA non periodik dalam
memprediksi mortalitas.

15
Tabel 2.4 SOFA

5) LODS
Le Gall dkk., awalnya mengusulkan LODS pada tahun 1996,
dimana 12 variabel diuji dan definisi enam kegagalan multipel organ.
Skoring penilaian ini telah diuji dari waktu ke waktu. Perbedaan
antara LODS pada hari ke 3 dan hari ke 1 sangat prediktif dengan
hasil rumah sakit. LODS dirancang untuk menggabungkan
pengukuran keparahan disfungsi multipel organ menjadi skor tunggal.
Tabel 2.5 LODS

6) MPM II
MPM II pertama kali dikembangkan oleh Lemeshow dkk.,
yang merupakan model yang memberikan kemungkinan kematian di
rumah sakit secara langsung. Terdapat empat model penilaian yang
diusulkan: pada saat masuk, 24 jam, 48 jam dan 72 jam setelah masuk.

16
Versi awal dari model ini dirancang untuk memprediksi kematian di
rumah sakit berdasarkan data dari waktu penerimaan dan setelah 24
jam pertama di ICU. Model tambahan kemudian dikembangkan,
termasuk data dari 48 hingga 72 jam setelah masuk ke ICU. Skor
penilaian terdiri dari status kesehatan kronis, diagnosis akut, beberapa
variabel fisiologis dan beberapa variabel lainnya termasuk ventilasi
mekanis. MPM II pada 48 dan 72 jam menggunakan variabel yang
sama seperti MPM II pada 24 jam.

17
7) Sistem ODIN
Pada tahun 1993 Fagon dkk., mengusulkan sistem ODIN
sebagai salah satu skoring penilaian pada pasien ICU. Ini termasuk
data yang direkam dalam 24 jam pertama penerimaan ICU jika ada
atau tidak adanya disfungsi pada enam organ ditambah satu infeksi
dan membedakan prognosis sesuai dengan jenis kegagalan; tingkat
kematian tertinggi ditemukan berhubungan dengan hati diikuti oleh
hematologi dan ginjal disfungsi dan terendah dengan disfungsi
pernapasan dan infeksi. Dengan mempertimbangkan jumlah dan jenis
disfungsi organ, model regresi logistik kemudian digunakan untuk
menghitung probabilitas individu dari kematian yang tergantung pada
bobot statistik yang ditetapkan untuk setiap ODIN (dalam urutan
menurun berikut ini keparahan: Kardiovaskular, ginjal, pernapasan,
neurologis, hematologi, disfungsi hati, dan infeksi).
Tabel 2.7 Sistem ODIN

18
8) TRIOS
Pada tahun 2001, Timsit dkk., mengusulkan skor komposit
TRIOS menggunakan SAPS II dan LODS untuk memprediksi kondisi
kritis selama 72 jam lebih selama dirawat di ICU. Dengan
menggunakan regresi logistik, probabilitas di kematian di rumah sakit
dapat dihitung. Skoring penilaian TRIOS memiliki kualitas statistik
yang sangat baik dan dapat digunakan untuk tujuan penelitian.
Tabel 2.8 TRIOS

9) GCS
Glasgow Coma Scale (GCS) merupakan alat universal untuk
penilaian cepat tingkat kesadaran pasien cedera dan sebagai panduan
untuk tingkat keparahan cedera otak. Beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa ada korelasi yang baik antara GCS dan hasil
neurologis. Pada variabel verbal dan motorik dimodifikasi untuk
membantu evaluasi tingkat kesadaran pada bayi dan anak-anak.

19
Tabel 2.9 Sistem GCS

10) PIC Tools


PIC skor digunakan sebagai alat penilaian untuk mengevaluasi
dan memantau pasien dengan kondisi kritis akibat multipel fraktur
costae. Penilaian merujuk pada nyeri, kapasitas inspirasi, dan batuk.
PIC skor pertama kali dikembangkan oleh rumah sakit Wellspan
York, York, Pennyslavania, USA, yang dipresentasikan pada
pertemuan Peningkatan Kualitas Trauma pada tahun 2014.
Total skor berkisar dari 3 sampai 10, dimana 10 adalah skor
tetrtinggi. Pada variabel nyeri dinilai menggunakan skala 1-3, yang
mana mewakili skor nyeri yang dilaporkan pasien dengan skala

20
subjektif—yaitu, 3 poin jika terkontrol (skor numerik subjektif 0-4), 2
poin jika terkontrol sebagian (skor numerik subjektif 5-7), dan 3 poin
jika tidak dapat terkontrol/parah (skor numerik subjektif 8-1-0).
Kapasitas inspirasi dinilai pada skala 1-4, terkait dengan ‘sasaran’ dan
tingkat ‘waspada’ untuk spirometri berdasarkan normogram prediktif
jenis kelamin untuk usia dan tinggi sebagaimana tersedia dalam
sisipan produk spirometer (sasaran ditetapkann pada 80% dari
kapasitas inspirasi yang diharapkan, tingkat waspada adalah 15 mL/kg
atau maksimum 1500 mL).
Pasien mendapat empat poin jika mampu setidaknya mencapai
sasaran inspirasi volume spirometri, tiga poin jika berada di antara
level sasaran dan waspada, dua poin jika kurang dari volume
peringatan, dan satu poin jika tidak dapat melakukan spirometri
inspirasi. Penilaian terakhir adalah kemampuan batuk, dimana batuk
dinilai secara subjektif oleh tim medis, tiga poin jika kemampuan
batuk kuat, dua poin jika lemah, dan satu poin jika tidak bisa batuk
sama sekali (Witt & Bulger, 2016).
Gambar 2.10 PIC Skor

21
1) Skor total dapat berkisar dari 3 hingga 10, dimana 10 adalah skor
tertinggi.
2) Nyeri dinilai pada skala 1-3, mewakili skor nyeri yang dilaporkan
pasien pada skala 0-10 secara subjektif: 3 poin jika di kontrol
(skala numerik subjektif 0-4), 2 poin jika dikontrol secara
moderat (skala numerik subjektif 5-7), atau 1 poin jika berat
(skala numerik subjektif 8-10).
3) Pasien menerima 4 poin jika mampu mencapai setidaknya volume
spirometri inspirasi maksimal. 3 jika ada antara tingkat sasaran
dan kewaspadaan. 2 jika kurang dari volume waspada, dan 1 jika
tidak dapat melakukan spirometri inspirasi.
4) Batuk dinilai secara subjektif oleh perawat di samping tempat
tidur dan diberi tiga poin jika kuat, dua poin jika lemah, dan satu
poin jika tidak ada.
5) Pasien yang menerima perawatan ICU menjalani penilaian skor
PIC per jam, dan pasien yang menerima perawtan akut menjalani
penilaian setiap 4 jam.
6) Dokter yang bertanggung jawab dan terapis pernafasan diberitahu
jika pasien menerima skor 1 dalam kategori apapun atau skor
keseluruhan ≤ 4 walaupun ada intervensi.

22
Protokol Manajemen FRAKTUR iga

Intervensi dan sistem Penanganan Kontrol Nyeri

Terapi Sistem Pernafasan Tindakan Utama

Analgesia sistemik multimodal


Pengkajian Intake : terapis diberikan saat masuk atau pada
pernafasanmengukur volume saat ekstubasi
spirometri awal, target sasaran
(kapasitas inspirasi 80%) dan , tanpa kontra indikasi
derajat kewaspadaan (15 ml/kg 1. Pengobatan psikoaktif
atau maksimal 1500ml) 2. Gabapentin
1. Pasien ICU dalam waktu 1 jam 3. Acetaminopen (oral/IV)
setelah
Evaluasi masuk dari terapi
bertahap 4. Ketorolac IV atau celloxib
2. Pasien perawatan akut dalam oral pelayanan anastesi
sistem pernafasan Konsultasi
waktu 6jam setelah masuk 5. akut,
PCA jika
atau nyeri
opioidpersistent
oral
nyeri
1. Pasien ICU setiaap 4 jam
dan/atau tidak ada perbaikan
2. Pasien perawatan akut
setiap 6 jam dalam parameter pernafasan
Pertimbangan
setelahpemasangan
6-8 jam kateter neurexial
Perawatan di tempat tidur (ditentukan secara individual)

Penilaian lebih dalam ps.


0
Eleveasi kepala tempat tidur 30 Geriatrik yg mungkin kurang
tanpa kontra indikasi toleran thdp analgesia sistemik
multimodal
Edukasi dan pemberdayaan pasien dan
Latihan nafas : Menggunakan
spirometer intensif/jam, batuk, keluarga
dan lat. Nafas dalam
Tindakan Keperawatan

Mobilisasi setidaknya 3 kali


sehari taanpa kontra indikasi Anjurkan pasien latihan nafas
dengan teknik yang tepat
menggunakan spirometri
Skor PIC ditampilkan dipapan intensif dan batuk dan latihan
tulis dan dalam rekam medis nafas dalam
elektronik.

1. Pasien ICU setiap jam Berikan handout edukasi pada


2. Pasien perawatan akut ps. dan kluarga
setiap 4 jam
Papan skor PIC ditempatkan di
ruang ps. di lokasi yg terlihat,
memungkinkan ps. dan keluarga
untuk memantau kemajuan
23
pasien
Tindakan Utama

Evaluasi berkelanjutan, koordinasi


perawatan, pengganbungan skor PIC
dan volume IS setiap shift

Minimakan cairan intravena jika


memungkinkan

Kelompok Waspada : Total PIC skor ≤ , atau skor 1 poin di setiap kategori PIC, walaupun sudah
diberikan intervensi

Kriteria ICU : Pasien usia ≥ 65 tahun fraktur ≥ 3 tulang iga.

11) Penilaian skala nyeri menggunakan CPOT


CPOT (Critical Care Pain Observation Tool) merupakan
instrumen pengkajian nyeri yang dikembangkan oleh Gelinas dkk.,
pada tahun 2006. Instrumen pengkajian nyeri tersebut terdiri dari 4
item penilaian, setiap item memiliki kategori yang berbeda, yaitu
ekspresi wajah, pergerakan badan, tegangan otot dan keteraturan
dengan ventilator untuk pasien terintubasi dan pasien yang tidak
terintubasi. Jumlah skor yang diperoleh dalam rentang 0-8.

24
Gambar 2.11 CPOT Skor

12) Penilaian skala nyeri menggunakan COMFORT scale


Indikasi: pasien bayi, anak, dan dewasa di ruang rawat intensif
/ kamar operasi / ruang rawat inap yang tidak dapat dinilai
menggunakan Numeric Rating Scale Wong-Baker FACES Pain Scale.
Instruksi: terdapat 9 kategori dengan setiap kategori memiliki skor 1-
5, dengan skor total antara 9 – 45.

25
 Kewaspadaan
 Ketenangan
 Distress pernapasan
 Menangis
 Pergerakan
 Tonus otot
 Tegangan wajah
 Tekanan darah basal
 Denyut jantung basal

COMFORT Scale

Kategori Skor Tanggal / waktu

Kewaspadaan 1 – tidur pulas / nyenyak

2 – tidur kurang nyenyak

3 – gelisah

4 – sadar sepenuhnya dan waspada

5 – hiper alert

Ketenangan 1 – tenang

2 – agak cemas

3 – cemas

4 – sangat cemas

5 – panik

Distress 1 – tidak ada respirasi spontan dan tidak ada

26
pernapasan batuk

2 – respirasi spontan dengan sedikit / tidak ada


respons terhadap ventilasi

3 – kadang-kadang batuk atau terdapat tahanan


terhadap ventilasi

4 – sering batuk, terdapat tahanan / perlawanan


terhadap ventilator

5 – melawan secara aktif terhadap ventilator,


batuk terus-menerus / tersedak

Menangis 1 – bernapas dengan tenang, tidak menangis

2 – terisak-isak

3 – meraung

4 – menangis

5 – berteriak

Pergerakan 1 – tidak ada pergerakan

2 – kedang-kadang bergerak perlahan

3 – sering bergerak perlahan

4 – pergerakan aktif / gelisah

5 – pergrakan aktif termasuk badan dan kepala

Tonus otot 1 – otot relaks sepenuhnya, tidak ada tonus


otot

2 – penurunan tonus otot

27
3 – tonus otot normal

4 – peningkatan tonus otot dan fleksi jari


tangan dan kaki

5 – kekakuan otot ekstrim dan fleksi jari


tangan dan kaki

Tegangan 1 – otot wajah relaks sepenuhnya


wajah
2 – tonus otot wajah normal, tidak terlihat
tegangan otot wajah yang nyata

3 – tegangan beberapa otot wajah terlihat nyata

4 – tegangan hampir di seluruh otot wajah

5 – seluruh otot wajah tegang, meringis

Tekanan darah 1 – tekanan darah di bawah batas normal


basal
2 – tekanan darah berada di batas normal
secara konsisten

3 – peningkatan tekanan darah sesekali ≥15%


di atas batas normal (1-3 kali dalam
observasi selama 2 menit)

4 – seringnya peningkatan tekanan darah ≥15%


di atas batas normal (>3 kali dalam
observasi selama 2 menit)

5 – peningkatan tekanan darah terus-menerus


≥15%

Denyut jantung 1 – denyut jantung di bawah batas normal


basal
2 – denyut jantung berada di batas normal

28
secara konsisten

3 – peningkatan denyut jantung sesekali ≥15%


di atas batas normal (1-3 kali dalam
observasi selama 2 menit)

4 – seringnya peningkatan denyut jantung


≥15% di atas batas normal (>3 kali dalam
observasi selama 2 menit)

5 – peningkatan denyut jantung terus-menerus


≥15%

Skor total

E. Contoh Hasil Penilitian


1. Hasil Penelitian Pertama
Judul Penilitian Sensitivitas dan Spesifisitas Critical Care
Pain Observational Tool (CPOT) sebagai Instrumen Nyeri pada
Pasien Kritis Dewasa Paska Pembedahan dengan Ventilator oleh
Indah Sri Wahyuningsih di Universitas Islam Sultan Agung.
Penelitian ini adalah sebuah studi crossectional dengan total
sampel 40 pasien dewasa paska bedah dengan ventilator.
Responden dilakukan penilaian sebanyak 2 kali yaitu sebelum dan
setelah alih baring. Data dianalisa dengan menggunakan Receiver
Operating Curve (Kurva ROC). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa Instrumen CPOT memiliki nilai sensitivitas sebesar 77%
dan spesifisitas sebesar 40% dengan nilai AUC 55%. Kesimpulan
dari penelitian adalah nilai sensitivitas CPOT lebih tinggi dari nilai

29
spesifisitasnya dan nilai AUC yang cukup baik. Instrumen
penilaian nyeri CPOT secar penilaian klinis merupakan instrumen
yang baik untuk menilai nyeri pada pasien kritis dewasa dengan
ventilator.

1) Metode Penelitian

Metode penelitian ini menggunakan desain crossectional


yang dilakukan dalam satu kali waktu pengambilan data dan
pada subjek penelitian yang berbeda. Total subjek penelitian
dalam penelitian ini sejumlah 40 pasien dewasa dengan rentang
usia 18-80 tahun Kriteria inklusi subjek penelitian dalam

30
penelitian yaitu pasien dewasa berusia ≥18 tahun, kesadaran
dengan GCS 10-12. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini
adalah pasien yang mengalami kelumpuhan seluruh anggota
badan dan mengalalami komplikasi seperti perdarahan, derilium,
mati batang otak.
Instrumen yang dipergunakan sebagai standar baku dalam
penelitian adalah Thermometer Pain Scale (TPS) yang
digunakan untuk menilai nyeri pada pasien dewasa yang
terpasang ventilator. Sebelum melakukan pengambilan data
penelitian, peneliti melakukan proses penerjemahan
instrumen CPOT ke dalam versi bahasa Indonesia oleh pakar
bahasa Inggris.
Peneliti juga melakukan persamaan persepsi kepada calon
enumerator sebelum melakukan pengambilan data dengan
memberikan pengarahan mengenai langkah penilaian pada
instrumen CPOT. Pengarahan berlangsung selama 1 jam dan
diakhiri dengan penilaian bersama pada 1 pasien dengan
ventilator. Penelitian ini melibatkan 2 calon enumerator yang
didapatkan melalui uji interobserver reliability. Uji tersebut
dilakukan antara peneliti dengan calon enumerator 10 calon
subjek penelitian dengan menggunakan instrumen CPOT
yamg dianalisa menggunakan uji Kappa.
Peneliti memilih enumerator 1 untuk membantu
dalam pengambilan data karena memiliki nilai kappa lebih
tinggi dari enumerator 2. Peneliti melakukan uji interrater
agreement dengan enumerator dengan nilai kappa sebesar 0,87.
Pengambilan data penelitian ini dilakukan selama 3 bulan
dengan total subjek penelitian sejumlah 40 pasien kritis
dewasa yang terpasang ventilator dengan karakteristik
subjek penelitian penelitan terbanyak pada usia 41-60 tahun
sebesar 35%, subjek penelitian dengan jenis kelamin

31
terbanyak yaitu laki- laki sebesar 62,5% dan pasien yang
tidak tersedasi sebesar 62,5%.
Pasien dinilai oleh 2 observer yaitu peneliti dan
enumerator yang terpilih sesuai kriteria untuk
pengambilan data penelitian. Pengambilan data dilakukan
secara bersamaan oleh 2 observer, data diambil setelah dilakukan
prosedur alih baring selama 15 menit dengan menggunakan
instrumen TPS dan CPOT. Penilaian dilakukan setelah alih
baring, pasien dinilai dengan menggunakan instrumen TPS dan
instrumen CPOT selama 5 menit. Penilaian tersebut dilakukan
dengan melihat perubahan- perubahan yang ada pada item
masing- masing instrumen.
2) Pembahasan

Data hasil penelitian mencakup demografi dan


karakteristik subjek penelitian penelitian, hasil seleksi subjek
penelitian sesuai kriteria inklusi dan eksklusi, serta prosentase
nilai sensitivitas dan spesifisitas, penjelasan hasil
Demografi Subjek Penelitian

Demografi Subjek penelitian meliputi : usia, jenis


kelamin dan sedasi. Deskripsi demografi dan karakteristik
subjek penelitian tercantum pada Tabe 1

32
Berdasarkan tabel 1 dipaparkan bahwa subjek penelitian terbanyak pada
usia 41-60 tahun sejumlah 14 pasien (35%), jenis kelamin laki- laki
sejumlah 25 pasien (62,5%), dan pasien yang tidak tersedasi 25 subjek
penelitian (62,5%).

3) Kurva Sensitivitas dan Spesifisitas Penilaian


Nyeri CPOT

33
Gambar 1. Kurva ROC Sensitivitas dan
Spesifisitas

Kurva ROC tersebut menunjukkan nilai dari instrumen


CPOT dengan AUC (Area Under Curve) 55%, sensitivitas
77% dan spesifisitas 40%. Titik Potong (Cut off point) pada
skor CPOT adalah ≥ 2. Cut off point didapatkan dari
perpotongan sensitivitas dan spesifisitas pada kurva ROC. Hal
ini berarti pasien yang mempunyai skor CPOT ≥ 2 akan
dideteksi sebagai pasien yang mengalami nyeri.
Nyeri yang dialami pada pasien kritis dengan ventilator
dapat disebabkan oleh berat ringannya penyakit, akibat dari
pemberian terapi dan prosedur keperawatan yang diberikan
kepada pasien. Nyeri yang tidak tertangani dengan baik akan
menyebabkan perubahan respon fisiologis dan psikologis
sehingga pasien menjadi gelisah. Instrumen pengkajian nyeri
pada pasien kritis dengan ventilator diperlukan untuk menilai
nyeri karena pasien tidak mampu melaporkan nyeri secara
verbal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai
sensitivitas dan spesifisitas instrumen CPOT pada pasien
dewasa untuk menilai nyeri pada pasien kritis dewasa yang
terpasang ventilator.
Nilai sensitivitas dan spesifisitas diperlukan untuk
menilai instrumen penilaian nyeri. Nilai sensitivitas dan
spesifisitas CPOT pada penelitian ini yaitu sensitivitas 77%
dan spesifisitas 40% dengan nilai AUC yaitu 55%. Nilai
tersebut secara statistik sangat lemah. Instrumen penilaian
dikatakan memiliki nilai AUC baik jika memiliki nilai AUC
> 70% (Dahlan, 2009), sebaliknya menurut Bland & Altman
(2010) menyatakan nilai AUC dikatakan baik yaitu 50-100%.
Nilai AUC yang tidak bermakna secara statistik dapat

34
bermakna secara klinik sesuai dengan kegunaan dari
instrumen tersebut (Dahlan, 2009). Menurut penilaian klinis
CPOT merupakan instrumen penilaian nyeri yang baik untuk
menilai nyeri pada pasien kritis dengan ventilator. Penelitian
Gelinas et al (2009) menyatakan bahwa CPOT memiliki nilai
sensitivitas 86,1% dan spesifisitas 77,8% dan spesifisitas
untuk menilai nyeri pada pasien kritis dewasa dengan
ventilator paska operasi kardiovaskuler.
Penelitian tersebut menyebutkan bahwa nilai
sensitivitas dan spesifisitas tinggi didapat dengan penilaian
nyeri selama dilakukan prosedur alih baring. Instrumen
penilaian nyeri CPOT memiliki kemampuan psikometrik yang
baik (realibilitas antar pemeriksa dan validitas) untuk
mendeteksi nyeri pada pasien kritis. Hal tersebut dikarenakan
penilaian CPOT berfokus pada indikator psikologis pada
pasien kritis. Penelitian menyimpulkan bahwa indikator
fisiologis tidak bisa dijadikan sebagai indikator tunggal dalam
menilai nyeri, dikarenakan peningkatan indikator fisiologis
dipengaruhi oleh faktor lain seperti penggunaan obat- obatan
(Vazquez et al, 2011).
Penelitian ini menunjukkan bahwa nilai sensitivitas
CPOT lebih tinggi dari nilai spesifisitasnya. Instrumen
penilaian nyeri seharusnya memiliki nilai sensitivitas dan
spesifisitas yang baik untuk menilai rasa nyeri. Nilai
sensitivitas dan spesifisitas berimplikasi pada manajemen
nyeri yang tepat, termasuk juga untuk pemberian dosis
analgetik. Instrumen nyeri yang memiliki nilai sensitivitas
yang tinggi memiliki kemampuan yang baik dalam
mendeteksi nyeri sedangkan instrumen yang memiliki
spesifisitas tinggi mempunyai arti memiliki kemampuan yang
baik dalam mendeteksi tidak adanya nyeri. Perawat
merupakan bagian dari multidisiplin tim dalam manajemen

35
nyeri, mengingat perawat memberikan perawatan selama 24
jam. Pengetahuan dan ketrampilan mengenai nyeri diperlukan
perawat untuk mencapai manajemen nyeri yang efektif.
Peran perawat dalam pengkajian nyeri sebagai bagian
dari manajemen nyeri yaitu dapat melakukan pengkajian
pada pasien yang mampu melaporkan nyeri secara
verbal dan non verbal. Pengetahuan yang dimiliki perawat
diantaranya yaitu pengetahuan tentang penggunaan
instumen pengkajian nyeri, teori nyeri dan fisiologi
nyeri sedangkan keterampilan yang harus dimiliki perawat
diantaranya yaitu kemampuan menggunakan pengkajian
nyeri yang reliabel dan kemampuan untuk
menginterpretasikan nyeri pada pasien yang tidak mampu
melaporkan nyeri secara verbal serta melakukan
pengkajian secara holistik (Lellan, 2006).
Sejalan dengan penelitian kualitatif yang meneliti
mengenai tantangan perawat dalam manjemen nyeri pada
keperawatan kritis menunjukkan bahwa perawat
sebagai decision making memiliki kewajiban dan
bertanggung jawab secara etik dalam manajemen
nyeri melalui pengkajian nyeri dengan menggunakan
instrumen nyeri yang tepat (Subramanian et al, 2012;
Morton & Fontaine, 2013). Sebuah penelitian
menyebutkan bahwa perawat ikut berperan serta dalam
memutuskan manajemen nyeri yang tepat dengan
melakukan tindakan kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian analgetik sesuai dosis yang ditentukan (Cook et al,
2006). Perawat sebagai gardu terdepan harus memiliki
pengetahuan mengenai pengkajian nyeri pada pasien kritis
di ICU.
Apabila perawat mendapatkan pelatihan nyeri
maka perawat akan mampu memberikan intervensi

36
nyeri yang efektif untuk pasien secara komprehensif (Manias
et al, 2002). Jika instrumen pengkajian nyeri yang
digunakan tidak memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitas
yang baik maka nyeri pasien tidak akan tertangani dengan
baik. Instrumen pengkajian nyeri yang sensitif diperlukan
untuk mendeteksi adanya nyeri yang berefek pada penurunan
durasi penggunaan ventilator dan lama rawat di ICU (Payen et
al, 2009).

2. Hasil Penelitian Kedua


Judul Penelitian Perbandingan Proporsi Penilaian dan
Reliabilitas Skala COMFORT dan CPOT dalam Menilai Intensitas
Nyeri pada Pasien yang Menggunakan Ventilasi Mekanik di Instalasi
Perawatan Intensif RSUP H. Adam Malik Medan oleh Taor
Marpaung, Achsanuddin Hanafie, Muhammad Ihsan SMF
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
Tujuan penelitian ini membandingkan proporsi penilaian dan
reliabilitas skala COMFORT dengan CPOT dalam menilai intensitas
nyeri pada pasien yang menggunakan ventilasi mekanik di Instalasi
Perawatan Intensif RSUP Haji Adam Malik, Medan. Penelitian ini
menggunakan desain cross- sectional pada 57 pasien di Instalasi
Perawatan Intensif RSUP Haji Adam Malik Medan pada Maret–April
2016 yang memenuhi kriteria inklusi.
Intensitas nyeri dinilai menggunakan skala COMFORT dan
CPOT oleh 2 penilai yang berbeda pada saat istirahat dan saat
stimulus noxious. Fisher’s exact test, diperoleh nilai p=0,003
(p<0,05). Tidak terdapat perbedaan reliabilitas yang signifikan secara
statistik pada saat stimulus noxious, nilai p = 0,13 (95% IK: - 4–16%;
p>0,05). Simpulan penelitian ini adalah CPOT merupakan instrumen
penilaian nyeri yang lebih tepat dan cermat dibanding dengan skala
COMFORT, namun tidak terdapat perbedaan reliabilitas CPOT

37
dibanding dengan skala COMFORT dalam menilai intensitas nyeri
pada pasien yang menggunakan ventilasi mekanik saat stimulus
noxious.
1) Subjek dan Metode

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional.


Penelitian ini dilakukan di Instalasi Perawatan Intensif general
dan surgical RSUP H. Adam Malik Medan pada bulan Maret–
April 2016, dengan sampel seluruh pasien yang menggunakan
ventilasi mekanik yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak
termasuk kriteria eksklusi. Kriteria inklusi adalah pasien >18
tahun, keluarga menyetujui pasien diikutsertakan dalam
penelitian, dan pasien tersebut menggunakan light sedation
dengan skor richmond agitation sedation scale (RASS) -1 sampai
-2.
Kriteria eksklusi adalah pasien yang menggunakan
pelumpuh otot, pasien dengan paresis ekstremitas atas atau
bawah, dan pasien delirium dengan skor Intensive care
delirium screening checklist (ICDSC) ≥4. Untuk menentukan
besar sampel dilakukan perhitungan sesuai penelitian diagnostik
dan didapatkan jumlah sampel adalah 57 orang.
Setelah mendapatkan persetujuan Komite Etik Penelitian
Bidang Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara / Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan, dilakukan
penandatanganan persetujuan (informed consent) pada keluarga
pasien tentang prosedur yang akan dijalani serta menyatakan
secara tertulis. Setelah pihak keluarga menandatangani
persetujuannya, pasien dengan ventilasi mekanik akan masuk
menjadi sampel apabila memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Cara kerja penelitian adalah sebagai berikut: waktu penilaian
adalah waktu tanpa ada rangsang nyeri saat istirahat dan saat
melakukan penghisapan sekret trakea.

38
Waktu pasien istirahat adalah pukul 8 pagi dan
penghisapan sekret trakea 30 menit setelah waktu istirahat.
Waktu yang telah ditetapkan adalah waktu penilaian pada seluruh
sampel penelitian. Sebelum dilakukan penilaian nyeri, dilakukan
penilaian tingkat sedasi menggunakan RASS dan delirium dengan
ICDSC.
Penilaian dilakukan sebanyak dua kali oleh dua penilai yang
berbeda, pada tindakan noxious dilakukan dua kali untuk dua
penilaian. Tiap-tiap penilai mengukur dengan skala COMFORT
dan CPOT. Penilai merupakan residen yang telah melewati
tahapan kompetensi akademis yang sama, lalu dilatih akan
tiap-tiap indikator skala nyeri sebelum penelitian dimulai. Data
yang diperoleh dari analisis proporsi penilaian diuji dengan
chi-square dan Fisher’s exact tes, serta perbandingan hasil
analisis proporsi reliabilitas diuji dengan difference of proportion
menggunakan perangkat lunak statistical product and service
solution (SPSS) ver.23.
2) Hasil

Karakteristik demografi ditampilkan pada Tabel 1.


Berdasar atas hasil analisis dengan tabel 2 x 2, pada salah satu sel
didapatkan nilai 0, yaitu expected count kurang dari 5 dengan
sebaran data tidak berdistribusi normal sehingga analisis
dilakukan dengan Fisher’s exact test, diperoleh nilai p=0,003
(p<0,05) terdapat perbedaan signifikan secara statistik proporsi
penilaian intensitas nyeri skala COMFORT dibanding dengan
CPOT pada saat istirahat (Tabel 2). Hasil analisis uji chi-square
menggunakan tabel 2x2 tidak dapat dilakukan karena terdapat 2
sel yang bernilai 0. Namun, dari 4 subjek penelitian yang berbeda
penilaiannya, dapat dinyatakan bahwa terdapat perbedaan
proporsi penilaian antara skala COMFORT dan CPOT pada saat
stimulus noxious (Tabel 3).

39
Dengan menggunakan uji difference of proportion diperoleh nilai
p=0,15 (95% IK :-4–13%; p>0,05), tidak terdapat perbedaan reliabilitas
yang signifikan antara skala COMFORT dan CPOT dalam menilai intensitas
nyeri pada saat stimulus noxious.

40
3) Pembahasan

Dalam penelitian ini terdapat jumlah subjek sebanyak


57 pasien. Pada Tabel 1, jumlah sampel laki-laki lebih banyak
dibanding dengan perempuan, usia rata-rata 45,14 tahun.
Pekerjaan subjek penelitian didominasi ibu rumah tangga sebesar
19 (23%) subjek. Pada Tabel 2 ditunjukkan perbandingan
penilaian intensitas nyeri skala COMFORT dibanding dengan
CPOT pada saat istirahat 29 subjek dinilai nyeri dan 28 subjek
diniai tidak nyeri oleh CPOT, sedangkan hanya 8 subjek yang
dinilai dan 49 subjek dinilai tidak nyeri oleh skala COMFORT.
Hasil analisis Fisher’s exact test, terdapat perbedaan proporsi
penilaian nyeri signifikan pada saat istirahat.
Tabel 3 menunjukkan perbandingan penilaian intensitas
nyeri skala COMFORT dibanding dengan CPOT pada saat
stimulus noxious, 57 subjek dinilai nyeri, sedangkan 53 subjek
yang dinilai nyeri dan 4 subjek dinilai tidak nyeri oleh skala
COMFORT. Hasil analisis dengan uji chi-square terdapat
perbedaan proporsi penilaian nyeri signifikan pada saat dilakukan

41
stimulus noxious. Hasil uji psikometri berdasarkan atas Clinical
Practice Guidelines for the Management of Pain, Agitation, and
Delirium in Adult Patients in the Intensive Care Unit
tahun 2013 dinyatakan bahwa CPOT merupakan instrumen
penilaian yang paling valid dan reliabel dalam menilai intensitas
nyeri pada pasien yang tidak dapat berkomunikasi.
Critical-care pain observation tool (CPOT) saat ini
merupakan baku emas penilaian nyeri pada pasien yang tidak
dapat berkomunikasi. Berdasar atas hasil analisis penelitian ini,
skala COMFORT memiliki proporsi penilaian nyeri yang berbeda
dengan CPOT baik saat istirahat maupun saat dilakukan stimulus
noxious.

Reliabilitas suatu alat ukur dapat diketahui dengan menilai


intensitas nyeri oleh dua penilai pada satu kesempatan (interrater
reliability). Tabel 4 menunjukkan interrater reliability CPOT
pada saat dilakukan stimulus noxious, dua penilai menilai dengan
proporsi yang sama, diperoleh nilai indeks reliabilitas =1.
Tabel 5 menunjukkan interrater reliability skala
COMFORT pada saat dilakukan stimulus noxious, dua penilai
menilai dengan proporsi yang berbeda sehingga diperoleh nilai
indeks reliabilitas =0,96. Dengan menggunakan uji difference of
proportion, diperoleh nilai p=0,15 (95% IK: -4–13%; p>0,05).
Tidak terdapat perbedaan proporsi reliabilitas yang signifikan
skala COMFORT dibanding dengan CPOT dalam menilai
intensitas nyeri pada saat stimulus noxious. Hasil penelitian ini

42
berbeda dengan penelitian Vázquez dkk.11 diperoleh nilai
interrater reliability CPOT sebesar 0,79. Interrater reliability
skala COMFORT tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian

Bear dan Ward-Smith12 sebesar 0,85. Penelitian ini


dilakukan pada 55 pasien pediatrik yang menggunakan pipa
endotrakeal.

Dari pembahasan di atas, terdapat perbedaan proporsi


penilaian skala COMFORT dibandingdenganCritical-
carepainobservation tool (CPOT) serta terdapat perbedaan
proporsi reliabilitas skala COMFORT dibanding dengan Critical-
care pain observation tool (CPOT) dalam menilai intensitas nyeri
pada pasien yang menggunakan ventilasi mekanik saat istirahat
dan saat dilakukan stimulus noxious di Instalasi Perawatan
Intensif RSUP Haji Adam Malik, Medan. Terdapat perbedaan
signifikan proporsi penilaian nyeri skala COMFORT dibanding
dengan CPOT dalam menilai intensitas nyeri baik pada saat
istirahat maupun pada saat dilakukan stimulus noxious serta tidak
terdapat perbedaan reliabilitas antara kedua instrumen penilaian
intensitas nyeri pada saat dilakukan stimulus noxious.

43
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan konsep Evidence Based Practice di atas,
dapat disimpulkan bahwa ada 3 faktor yang seacara garis besar menenentukan
tercapainya pelaksanaan praktek keperawatan yang lebih baik yaitu,
penelitian yang dilakukan berdasarkan fenomena yang terjadi di kaitkan
dengan teori yang telah ada, pengalaman klinis terhadap suatu kasus, dan
pengalaman pribadi yang bersumber dari pasien.
Dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut, maka di harapkan
pelaksanaan pemeberian pelayanan kesehatan khususnya pemberian asuhan
keperawatan dapat di tingkatkan terutama dalam hal peningkatan pelayanan
kesehatan atau keperawatan, pengurangan biaya (cost effective) dan
peningkatan kepuasan pasien atas pelayanan yang diberikan. Namun dalam
pelaksanaan penerapan Evidence Based Practice ini sendiri tidaklah mudah,
hambatan utama dalam pelaksanaannya yaitu kurangnya pemahaman dan
kurangnya referensi yang dapat digunakan sebagai pedoman pelaksanaan
penerapan EBP itu sendiri.
Kemudian dari contoh hasil penilitian yang pertama diatas, instrumen
CPOT memiliki nilai sensitivitas yang cukup tinggi dan nilai
sensitivitas rendah yang artinya bahwa nilai tersebut secara statistik lemah
namun untuk penilaian secara klinis sangat bermakna ditunjukkan dengan
nilai AUC (area under curve) cukup baik untuk digunakan sebagai instrumen
penilaian nyeri pada psien kritis paska operasi dengan ventilator.

Hasil penelitian ini merekomendasikan bahwa pasien kritis dewasa


dengan ventilator tetap dinilai nyeri setiap satu jam sekali dan sebelum
melakukan prosedur invasif atau nociseptif. Penelitian ini sebagai dasar untuk
dilakukan penelitian selanjutnya berkaitan dengan cara menilai nyeri pasien

44
sebelum, selama dan setelah dilakukan prosedur invasif atau
nociseptif, meneliti impementasi CPOT pada beberapa kasus dengan
penelitian multisenter.
Kemudian dari contoh hasil penelitian yang kedua diatas dapat
disimpulkan Critical-care pain observation tool (CPOT) merupakan
instrumen penilaian nyeri yang lebih tepat dan cermat dalam menilai
intensitas nyeri dibanding dengan skala COMFORT. Critical-care pain
observation tool (CPOT) memiliki reliabilitas yang sama dibanding dengan
skala COMFORT dalam menilai intensitas nyeri pada pasien yang
menggunakan ventilasi mekanik saat istirahat dan dilakukan stimulus noxious.

SARAN
Dalam pemberian pelayanan kesehatan khususnya asuhan
keperawatan yang baik, serta mengambil keputusan yang bersifat klinis
hendaknya mengacu pada SPO yang dibuat berdasarkan teori-teori dan
penelitian terkini. Evidence Based Practice dapat menjadi panduan dalam
menentukan atau membuat SPO yang memiliki landasan berdasarkan teori,
penelitian, serta pengalaman klinis baik oleh petugas kesehatan maupun
pasien.

45
DAFTAR PUSTAKA
Holleman G, Eliens A, van Vliet M, Achterberg T. Promotion of
evidence-based practice by professional nursing association: literature
review. Journal of Advance Nursing 53(6), 702-709.

Ingersoll G. Evidence-based nursing: what it is and isn’t. Nurs Outlook


2000;48:151-2.Kelee. 2011. Nursing Research & Evidence-Based Practice

Lavin MA, Krieger MM, Meyer GA, et al. Development and evaluation of
evidence-based nursing (EBN) filters and related databases. J Med Libr Assoc
93(1) January 2005.

Cullum N. Users’ guides to the nursing literature: an introduction. Evid


Based Nurs 2000 3:71-72.

Ellen Fineout-Overholt RN, PhD and Linda Johnston RN, PhD. Teaching
EBP: Implementation of Evidence: Moving from Evidence to Action. 2011.

DiCenso A, Cullum N, Ciliska D. Implementing evidence-based nursing:


some misconceptions. Evid Based Nurs 1998 1:38-39.

Alderson, S. M., & Mckechnie, S. R. (2013). Unrecognised , undertreated


, pain in ICU : causes , effects , and how to do better. Open Journal of
Nursing, 3 (March 2013), 108–113. doi:10.4236/ojn.2013.31014

Wahyuningsih, Indah Sri. Sensitivitas dan Spesifisitas Critical Care Pain


Observational Tool (CPOT) sebagai Instrumen Nyeri pada Pasien Kritis Dewasa
Paska Pembedahan dengan Ventilator. Jurnal Keperawatan BSI, Vol. VII No. 1
April 2019.

Americas Association of Critical -Care Nurses. (2013). Assessing pain in


the critically ill adult expected practice and nursing actions. American
Association of Critical -Care Nurses, (Level C), 1–7

Taor Marpaung, Achsanuddin Hanafie, Muhammad Ihsan. Perbandingan


Proporsi Penilaian dan Reliabilitas Skala COMFORT dan CPOT dalam Menilai

46
Intensitas Nyeri pada Pasien yang Menggunakan Ventilasi Mekanik di Instalasi
Perawatan Intensif RSUP H. Adam Malik Medan. (2013). Departemen
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara/Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) H. Adam Malik Medan Departemen
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara/Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) H. Adam Malik Medan

47

Anda mungkin juga menyukai