Anda di halaman 1dari 36

EVIDENCE BASED PRACTICE DALAM PENATALAKSANAAN

PADA MASALAH KRITIS SISTEM KARDIOVASKULER

Disusun Oleh :

Diana Kurniawati : 182102110


Olga Marantika : 182102111
Risky Nahdirotus S : 182102104
Dimas Aldi Ramadhani : 182102109
Gigih Adi Dharmana : 182102112

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS TEKNOLOGI DAN KESEHATAN
INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN MALANG WIDYA CIPTA HUSADA
TAHUN 2021

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
karunia-Nya, sehingga tugas pembuatan makalah mata kuliah konsep dasar keperawatan
tentang “Evidence Based Practice Dalam Penatalaksanaan Masalah Pada Kasus Kritis
Berbagai Sistem” dapat terselesaikan sesuai batas waktu yang telah ditetapkan.
Pembuatan makalah ini disusun sebagai salah satu wujud tugas kami dalam menempuh
pembelajaran di semester ganjil ini. Didalam penyusunan makalah ini kami mengucapkan
banyak terimakasih atas dukungan moral maupun materi kepada pihak-pihak yang terlibat
terutama kepada semua pihak yang berperan aktif dalam penyusunan makalah ini.
Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca dan penulis khususnya. Kami
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna karena dalam penyusunan kami
masih memiliki banyak kekurangan dan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman. Oleh
sebab itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk bisa
memperbaiki kekurangan di makalah ini.

Kepanjen, 21 September 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i

DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1

A. Latar Belakang...................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..............................................................................................................2
C. Tujuan................................................................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................3

A. Pengertian atau Evidence Based Practice..........................................................................3


B. Tingkat dan hierarki dalam penerapan...............................................................................4
C. Evidence based practice dengan decision making.............................................................5
D. Model Implmentasi Evidence Based Practice....................................................................6
E. Pengkajian dan Alat dalam EBP........................................................................................7
F. Langkah-langkah dalam EBP............................................................................................7
G. Pelaksanaan EBP Pada Keperawatan...............................................................................10
H. Hambatan Pelaksanaan EBP Pada Keperawatan.............................................................11

BAB III PENUTUP..................................................................................................................12

A. Kesimpulan......................................................................................................................12
B. Saran................................................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejarah evidence dimulai pada tahun 1970 ketika Archie Cochrane menegaskan
perlunya mengevaluasi pelayanan kesehatan berdasarkan bukti-bukti ilmiah (scientific
evidence). Sejak itu berbagai istilah digunakan terkait dengan evidence base,
diantaranya evidence base medicine (EBM), evidence base nursing (EBN), dan
evidence base practice (EBP). Evidence Based Practice (EBP) merupakan upaya
untuk mengambil keputusan klinis berdasarkan sumber yang paling relevan dan valid.
Oleh karena itu EBP merupakan jalan untuk mentransformasikan hasil penelitian ke
dalam praktek sehingga perawat dapat meningkatkan “quality of care” terhadap
pasien. Selain itu implementasi EBP juga akan menurunkan biaya perawatan yang
memberi dampak positif tidak hanya bagi pasien, perawat, tapi juga bagi institusi
pelayanan kesehatan. Sayangnya penggunaan bukti-bukti riset sebagai dasar dalam
pengambilan keputusan klinis seperti seorang bayi yang masih berada dalam tahap
pertumbuhan.
Evidence-Based Practice (EBP), merupakan pendekatan yang dapat digunakan
dalam praktik perawatan kesehatan, yang berdasarkan evidence atau fakta. Selama ini,
khususnya dalam keperawatan, seringkali ditemui praktik-praktik atau intervensi yang
berdasarkan “biasanya juga begitu”. Sebagai contoh, penerapan kompres dingin dan
alkohol bath masih sering digunakan tidak hanya oleh masyarakat awam tetapi juga
oleh petugas kesehatan, dengan asumsi dapat menurunkan suhu tubuh lebih cepat,
sedangkan penelitian terbaru mengungkapkan bahwa penggunaan kompres hangat dan
teknik tepid sponge meningkatkan efektifitas penggunaan kompres dalam
menurunkan suhu tubuh.
Jantung adalah organ muskular (berotot) pada rongga toraks yang memompa
darah melalui pembuluh darah pada tubuh. Organ ini terdiri dari 4 ruang, yaitu: 2
atrium dan 2 ventrikel. Jantung juga terbagi menjadi 2 bagian, jantung kanan dan kiri.
Masing-masing bagian memiliki 1 atrium dan 1 ventrikel.
Septum interventricularis adalah sekat antara ventrikel kanan dan kiri. Septum
interatrialis adalah sekat antara atrium kanan dan kiri. Jantung dan pembuluh
darah membentuk sistem organ yaitu: sistem kardiovaskular.

1. Atrium kanan menerima darah deoksigenasi (miskin oksigen) dari tubuh melalui


vena cava superior dan inferior. Atrium kanan kemudian memompa darah ke ventrikel
kanan.
2. Ventrikel kanan menerima darah dari atrium kanan dan memompa darah tersebut ke
trunkus pulmonalis yang mengarah ke Paru.
3. Atrium kiri menerima darah kaya oksigen (teroksigenasi) dari Paru melalui Vena
Pulmoner dan memompa darah melalui ventrikel kiri.
4. Ventrikel kiri menerima darah dari atrium kiri dan kemudian memompa darah dari
Aorta. Jantung kemudian memompa darah melalui sirkulasi sistemik (seluruh tubuh)
dan kembali ke atrium kanan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian atau Evidence Based Practice?
2. Bagaimana tingkat dan hierarki dalam penerapan?
3. Bagaimana evidence based practice dengan decision making?
4. Bagaimana Model Implmentasi Evidence Based Practice?
5. Bagaimana Pengkajian dan Alat dalam EBP?
6. Bagaimana Langkah-langkah dalam EBP?
7. Bagaimana Pelaksanaan EBP Pada Keperawatan?
8. Bagaimana Hambatan Pelaksanaan EBP Pada Keperawatan?

C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini untuk menjelaskan dan menelaah situasi tentang
Evidence Based Practice di tatanan klinis keperawatan.
1. Memahami pengertian atau Evidence Based Practice?
2. Memahami tingkat dan hierarki dalam penerapan?
3. Memahami evidence based practice dengan decision making?
4. Memahami Model Implmentasi Evidence Based Practice?
5. Memahami Pengkajian dan Alat dalam EBP?
6. Memahami Langkah-langkah dalam EBP?
7. Memahami Pelaksanaan EBP Pada Keperawatan?
8. Memahami Hambatan Pelaksanaan EBP Pada Keperawatan?

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
EBP merupakan salah satu perkembangan yang penting pada dekade ini untuk
membantu sebuah profesi, termasuk kedokteran, keperawatan, sosial, psikologi,
public health, konseling dan profesi kesehatan dan sosial lainnya (Briggs &
Rzepnicki, 2004; Brownson et al., 2002; Sackett et al., 2000).
Menurut (Goode & Piedalue, 1999) : Praktik klinis berdasarkan bukti
melibatkan temuan pengetahuan dari penelitian, review atau tinjauan kritis. EBP
didefinisikan sebagai intervensi dalam perawatan kesehatan yang berdasarkan pada
fakta terbaik yang didapatkan. EBP merupakan proses yang panjang, adanya fakta dan
produk hasil yang membutuhkan evaluasi berdasarkan hasil penerapan pada praktek
lapangan.
EBP merupakan suatu pendekatan pemecahan masalah untuk pengambilan
keputusan dalam organisasi pelayanan kesehatan yang terintegrasi di dalamnya adalah
ilmu pengetahuan atau teori yang ada dengan pengalaman dan bukti-bukti nyata yang
baik (pasien dan praktisi). EBP dapat dipengaruh oleh faktor internal dan external
serta memaksa untuk berpikir kritis dalam penerapan pelayanan secara bijaksana
terhadadap pelayanan pasien individu, kelompok atau system (newhouse, dearholt,
poe, pough, & white, 2005).
Clinical Based Evidence atau Evidence Based Practice (EBP) adalah tindakan
yang teliti dan bertanggung jawab dengan menggunakan bukti (berbasis bukti) yang
berhubungan dengan keahlian klinis dan nilai-nilai pasien untuk menuntun
pengambilan keputusan dalam proses perawatan (Titler, 2008). EBP merupakan salah
satu perkembangan yang penting pada dekade ini untuk membantu sebuah profesi,
termasuk kedokteran, keperawatan, sosial, psikologi, public health, konseling dan
profesi kesehatan dan sosial lainnya (Briggs & Rzepnicki, 2004; Brownson et al.,
2002; Sackett et al., 2000).
EBP menyebabkan terjadinya perubahan besar pada literatur, merupakan proses
yang panjang dan merupakan aplikasi berdasarkan fakta terbaik untuk pengembangan
dan peningkatan pada praktek lapangan. Pencetus dalam penggunaan fakta menjadi
pedoman pelaksanaan praktek dalam memutuskan untuk mengintegrasikan keahlian
klinikal individu dengan fakta yang terbaik berdasarkan penelitian sistematik.
Beberapa ahli telah mendefinisikan EBP dalam keperawatan sebagai :
1. Penggabungan bukti yang diperoleh dari hasil penelitian dan praktek klinis
ditambah dengan pilihan dari pasien ke dalam keputusan klinis (Mulhall, 1998).
2. Penggunaan teori dan informasi yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian secara
teliti, jelas dan bijaksana dalam pembuatan keputusan tentang pemberian asuhan
keperawatan pada individu atau sekelompok pasien dan dengan
mempertimbangkan kebutuhan dan pilihan dari pasien tersebut (Ingersoll G,
2000).

B. Tingkatan dan Hierarki dalam penerapan EBP


Tingkatan evidence disebut juga dengan hierarchy evidence yang digunakan
untuk mengukur kekuatan suatu evidence dari rentang bukti terbaik sampaidengan
bukti yang paling rendah. Tingkatan evidence ini digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam EBP. Hirarki untuk tingkatan evidence yang ditetapkan oleh
Badan Kesehatan Penelitian dan Kualitas (AHRQ), sering digunakan dalam
keperawatan (Titler, 2010). Adapun level of evidence tersebut adalah sebagai berikut:
Hierarki dalam penelitian ilmiah terdapat hieraraki dari tingkat kepercayaannya yang
paling rendah hingga yang paling tingi. Dibawah ini mulai dari yang paling rendah
hingga yang paling tinggi :
1. Laporan fenomena atau kejadian-kejadian yang kita temuai sehari-hari
2. Studi kasus
3. Studi lapangan atau laporan deskriptif
4. Studi percobaan tanpa penggunaan tekhnik pengambilan sampel secara acak
(random)
5. Studi percobaan yang menggunakan setidaknya ada satu kelompok pembanding,
dan menggunakan sampel secara acak
6. Systemic reviews untuk kelompok bijak bestari atau meta-analisa yaitu pengkajian
berbagai penelitian yang ada dengan tingkat kepercayaan yang tinggi.
Hierarki dalam penerapan Evidence Based Practice

C. Evidence Based Practice dengan Decision Making


Melnyk & Fineout-Overholt (2011), menggambarkan keterkaitan antara
evidence based practice dengan proses decision making yang digambarkan dalam
kerangka sebagai berikut:

Pengambilan keputusan untuk melakukan perubahan berdasarkan bukti-bukti nyata


atau EBP di pengaruhi oleh tiga factor yaitu, hasil penelitian atau riset termasuk teori-
teori pendukung, pengalaman yang bersifat klinis, serta feedback atau sumber-sumber
dari pengalaman yang dialami oleh pasien.

D. Model Implmentasi Evidence Based Practice


1. Model Settler
Merupakan seperangkat perlengkapan/media penelitian untuk meningkatkan
penerapan Evidence based. 5 langkah dalam Model Settler:
Fase 1 : Persiapan
Fase 2 : Validasi
Fase 3 : Perbandingan evaluasi dan pengambilan keputusan
Fase 4 : Translasi dan aplikasi
Fase 5 : Evaluasi
2. Model IOWA Model of Evidence Based Practice to Promote Quality Care
Model EBP IOWA dikembangkan oleh Marita G. Titler, PhD, RN, FAAN,
Model IOWA diawali dari pemicu/masalah. Pemicu/masalah ini sebagai focus
ataupun focus masalah. Jika masalah mengenai prioritas dari suatu organisasi, tim
segera dibentuk. Tim terdiri dari stakeholders, klinisian, staf perawat, dan tenaga
kesehatan lain yang dirasakan penting untuk dilibatkan dalam EBP. Langkah
selanjutkan adalah mensistesis EBP. Perubahan terjadi dan dilakukan jika terdapat
cukup bukti yang mendukung untuk terjadinya perubahan . kemudian dilakukan
evaluasi dan diikuti dengan diseminasi (Jones & Bartlett, 2004; Bernadette
Mazurek Melnyk, 2011).
3. Model konseptual Rosswurm & Larrabee
Model ini disebut juga dengan model Evidence Based Practice Change yang
terdiri dari 6 langkah yaitu :
Tahap 1 :mengkaji kebutuhan untuk perubahan praktis
Tahap 2 : tentukkan evidence terbaik
Tahap 3 : kritikal analisis evidence
Tahap 4 : design perubahan dalam praktek
Tahap 5 : implementasi dan evaluasi perunbahan
Tahap 6 : integrasikan dan maintain perubahan dalam praktek
Model ini menjelaskan bahwa penerapan Evidence Based Nursing ke lahan
paktek harus memperhatikan latar belakang teori yang ada, kevalidan dan
kereliabilitasan metode yang digunakan, serta penggunaan nomenklatur yang
standar.

E. Pengkajian dan Alat dalam EBP


Terdapat beberapa kemampuan dasar yang harus dimiliki tenaga kesehatan
professional untuk dapat menerapkan praktek klinis berbasis bukti, yaitu :
1. Mengindentifikasi gap/kesenjangan antara teori dan praktek
2. Memformulasikan pertanyaan klinis yang relevan,
3. Melakukan pencarian literature yang efisien,
4. Mengaplikasikan peran dari bukti, termasuk tingkatan/hierarki dari bukti tersebut
untuk menentukan tingkat validitasnya
5. Mengaplikasikan temuan literature pada masalah pasien, dan
6. Mengerti dan memahami keterkaitan antara nilai dan budaya pasien dapat
mempengaruhi keseimbangan antara potensial keuntungan dan kerugian dari
pilihan manajemen/terapi (Jette et al., 2003).

F. Langkah-langkah dalam EBP


1. Langkah 1: Kembangkan semangat penelitian. Sebelum memulai dalam tahapan
yang sebenarnya didalam EBP, harus ditumbuhkan semangat dalam penelitian
sehingga klinikan akan lebih nyaman dan tertarik mengenai pertanyaan-
pertanyaan berkaitan dengan perawatan pasien.
2. Langkah 2: Ajukan pertanyaan klinis dalam format PICOT. Pertanyaan klinis
dalam format PICOT untuk menghasilkan evidence yang lebih baik dan relevan.
a. Populasi pasien (P),
b. Intervensi (I),
c. Perbandingan intervensi atau kelompok (C),
d. Hasil / Outcome (O), dan
e. Waktu / Time (T).
Format PICOT menyediakan kerangka kerja yang efisien untuk mencari database
elektronik, yang dirancang untuk mengambil hanya artikel-artikel yang relevan
dengan pertanyaan klinis. Menggunakan skenario kasus pada waktu respon cepat
sebagai contoh, cara untuk membingkai pertanyaan tentang apakah penggunaan
waktu tersebut akan menghasilkan hasil yang positif akan menjadi: "Di rumah
sakit perawatan akut (populasi pasien), bagaimana memiliki time respon cepat
(intervensi) dibandingkan dengan tidak memiliki time respon cepat
(perbandingan) mempengaruhi jumlah serangan jantung (hasil) selama periode
tiga bulan (waktu)? ".
3. Langkah 3: Cari bukti terbaik. Mencari bukti untuk menginformasikan praktek
klinis adalah sangat efisien ketika pertanyaan diminta dalam format PICOT. Jika
perawat dalam skenario respon cepat itu hanya mengetik "Apa dampak dari
memiliki time respon cepat?" ke dalam kolom pencarian dari database, hasilnya
akan menjadi ratusan abstrak, sebagian besar dari mereka tidak relevan.
Menggunakan format PICOT membantu untuk mengidentifikasi kata kunci atau
frase yang ketika masuk berturut-turut dan kemudian digabungkan, memperlancar
lokasi artikel yang relevan dalam database penelitian besar seperti MEDLINE atau
CINAHL. Untuk pertanyaan PICOT pada time respon cepat, frase kunci pertama
untuk dimasukkan ke dalam database akan perawatan akut, subjek umum yang
kemungkinan besar akan mengakibatkan ribuan kutipan dan abstrak. Istilah kedua
akan dicari akan rapid respon time, diikuti oleh serangan jantung dan istilah yang
tersisa dalam pertanyaan PICOT. Langkah terakhir dari pencarian adalah untuk
menggabungkan hasil pencarian untuk setiap istilah. Metode ini mempersempit
hasil untuk artikel yang berkaitan dengan pertanyaan klinis, sering mengakibatkan
kurang dari 20. Hal ini juga membantu untuk menetapkan batas akhir pencarian,
seperti "subyek manusia" atau "English," untuk menghilangkan studi hewan atau
artikel di luar negeri bahasa.
4. Langkah 4: Kritis menilai bukti. Setelah artikel yang dipilih untuk review, mereka
harus cepat dinilai untuk menentukan yang paling relevan, valid, terpercaya, dan
berlaku untuk pertanyaan klinis. Studi-studi ini adalah "studi kiper." Salah satu
alasan perawat khawatir bahwa mereka tidak punya waktu untuk menerapkan EBP
adalah bahwa banyak telah diajarkan proses mengkritisi melelahkan, termasuk
penggunaan berbagai pertanyaan yang dirancang untuk mengungkapkan setiap
elemen dari sebuah penelitian. Penilaian kritis yang cepat menggunakan tiga
pertanyaan penting untuk mengevaluasi sebuah studi :
a. Apakah hasil penelitian valid? Ini pertanyaan validitas studi berpusat pada
apakah metode penelitian yang cukup ketat untuk membuat temuan sedekat
mungkin dengan kebenaran. Sebagai contoh, apakah para peneliti secara acak
menetapkan mata pelajaran untuk pengobatan atau kelompok kontrol dan
memastikan bahwa mereka merupakan kunci karakteristik sebelum
perawatan? Apakah instrumen yang valid dan reliabel digunakan untuk
mengukur hasil kunci?
b. Apakah hasilnya bisa dikonfirmasi? Untuk studi intervensi, pertanyaan ini
keandalan studi membahas apakah intervensi bekerja, dampaknya pada hasil,
dan kemungkinan memperoleh hasil yang sama dalam pengaturan praktek
dokter sendiri. Untuk studi kualitatif, ini meliputi penilaian apakah pendekatan
penelitian sesuai dengan tujuan penelitian, bersama dengan mengevaluasi
aspek-aspek lain dari penelitian ini seperti apakah hasilnya bisa dikonfirmasi.
c. Akankah hasil membantu saya merawat pasien saya? Ini pertanyaan penelitian
penerapan mencakup pertimbangan klinis seperti apakah subyek dalam
penelitian ini mirip dengan pasien sendiri, apakah manfaat lebih besar
daripada risiko, kelayakan dan efektivitas biaya, dan nilai-nilai dan preferensi
pasien. Setelah menilai studi masing-masing, langkah berikutnya adalah untuk
mensintesis studi untuk menentukan apakah mereka datang ke kesimpulan
yang sama, sehingga mendukung keputusan EBP atau perubahan.
5. Langkah 5: Mengintegrasikan bukti dengan keahlian klinis dan preferensi pasien
dan nilai-nilai. Bukti penelitian saja tidak cukup untuk membenarkan perubahan
dalam praktek. Keahlian klinis, berdasarkan penilaian pasien, data laboratorium,
dan data dari program manajemen hasil, serta preferensi dan nilai-nilai pasien
adalah komponen penting dari EBP. Tidak ada formula ajaib untuk bagaimana
untuk menimbang masing-masing elemen; pelaksanaan EBP sangat dipengaruhi
oleh variabel kelembagaan dan klinis. Misalnya, ada tubuh yang kuat dari bukti
yang menunjukkan penurunan kejadian depresi pada pasien luka bakar jika
mereka menerima delapan sesi terapi kognitif-perilaku sebelum dikeluarkan dari
rumah sakit. Anda ingin pasien Anda memiliki terapi ini dan begitu mereka. Tapi
keterbatasan anggaran di rumah sakit Anda mencegah mempekerjakan terapis
untuk menawarkan pengobatan. Defisit sumber daya ini menghambat pelaksanaan
EBP.
6. Langkah 6: Evaluasi hasil keputusan praktek atau perubahan berdasarkan bukti.
Setelah menerapkan EBP, penting untuk memantau dan mengevaluasi setiap
perubahan hasil sehingga efek positif dapat didukung dan yang negatif diperbaiki.
Hanya karena intervensi efektif dalam uji ketat dikendalikan tidak berarti ia akan
bekerja dengan cara yang sama dalam pengaturan klinis. Pemantauan efek
perubahan EBP pada kualitas perawatan kesehatan dan hasil dapat membantu
dokter melihat kekurangan dalam pelaksanaan dan mengidentifikasi lebih tepat
pasien mana yang paling mungkin untuk mendapatkan keuntungan. Ketika hasil
berbeda dari yang dilaporkan dalam literatur penelitian, pemantauan dapat
membantu menentukan.
7. Langkah 7: Menyebarluaskan hasil EBP. Perawat dapat mencapai hasil yang indah
bagi pasien mereka melalui EBP, tetapi mereka sering gagal untuk berbagi
pengalaman dengan rekan-rekan dan organisasi perawatan kesehatan mereka
sendiri atau lainnya. Hal ini menyebabkan perlu duplikasi usaha, dan
melanggengkan pendekatan klinis yang tidak berdasarkan bukti-bukti. Di antara
cara untuk menyebarkan inisiatif sukses adalah putaran EBP di institusi Anda,
presentasi di konferensi lokal, regional, dan nasional, dan laporan dalam jurnal
peer-review, news letter profesional, dan publikasi untuk khalayak umum.

G. Pelaksanaan EBP Pada Keperawatan


1. Mengakui status atau arah praktek dan yakin bahwa pemberian perawatan
berdasarkan fakta terbaik akan meningkatkan hasil perawatan klien.
2. Implementasi hanya akan sukses bila perawat menggunakan dan mendukung
“pemberian perawatan berdasarkan fakta”.
3. Evaluasi penampilan klinik senantiasa dilakukan perawat dalam penggunaan EBP.
4. Praktek berdasarkan fakta berperan penting dalam perawatan kesehatan.
5. Praktek berdasarkan hasil temuan riset akan meningkatkan kualitas praktek,
penggunaan biaya yang efektif pada pelayanan kesehatan.
6. Penggunaan EBP meningkatkan profesionalisme dan diikuti dengan evaluasi yang
berkelanjutan.
7. Perawat membutuhkan peran dari fakta untuk meningkatkan intuisi, observasi
pada klien dan bagaimana respon terhadap intervensi yang diberikan. Dalam
tindakan diharapkan perawat memperhatikan etnik, sex, usia, kultur dan status
kesehatan

H. Hambatan Pelaksanaan EBP Pada Keperawatan


1. Berkaitan dengan penggunaan waktu.
2. Akses terhadap jurnal dan artikel.
3. Keterampilan untuk mencari.
4. Keterampilan dalam melakukan kritik riset.
5. Kurang paham atau kurang mengerti.
6. Kurangnya kemampuan penguasaan bahasa untuk penggunaan hasil-hasil riset.
7. Salah pengertian tentang proses.
8. Kualitas dari fakta yang ditemukan.
9. Pentingnya pemahaman lebih lanjut tentang bagaimana untuk menggunakan
literatur hasil penemuan untuk intervensi praktek yang terbaik untuk diterapkan
pada klien.
BAB III

PENYAKIT KRITIS

A. Definisi
Sakit kritis merupakan suatu kondisi atau suatu penyakit dimana kematian
adalah sangat mungkin (possible) atau mengancam jiwa (impending).Pasien sakit
kritis adalah pasien yang mengalami disfungsi atau kegagalan dari satu atau lebih
organ/sistem organ yang kelangsungan hidupnya bergantung pada perawatan dan
pemantauan dengan peralatan canggih. Unit rawat intensif (ICU) adalah bagian
khusus di rumah sakit yang menyediakan perawatan dan pengawasan yang intensif,
komprehensif dan berkesinambungan untuk pasien sakit kritis.
B. Congestive Heart Failure (CHF)
1. Definisi
Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung kongestif adalah
ketidakmampuan jantung untuk memompa darah keseluruh jaringan dan keadaan
patofisiologik dimana jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan
darah untuk metabolisme jaringan (Ardiansyah, M, 2017).
CHF adalah sindrom yang ditandai oleh disfungsi salah satu atau kedua paru
dan vena sistemik sehingga asupan oksigen ke jaringan perifer kurang baik pada saat
relaks atau selama stressor berlangsung, yang disebabkan oleh ketidakmampuan
jantung menjalankan fungsinya (HFSA, 2020)
Congestive Heart Failure (CHF) adalah suatu kondisi dimana jantung
mengalami kegagalan dalam memompa darah guna mencukupi kebutuhan sel-sel
tubuh akan nutrien dan oksigen secara adekuat. Hal ini mengakibatkan peregangan
ruang jantung (dilatasi) guna menampung darah lebih banyak untuk dipompakan ke
seluruh tubuh atau mengakibatkan otot jantung kaku dan menebal. Jantung hanya
mampu memompa darah untuk waktu yang singkat dan dinding otot jantung yang
melemah tidak mampu memompa dengan kuat. Sebagai akibatnya, ginjal sering
merespons dengan menahan air dan garam. Hal ini akan mengakibatkan bendungan
cairan dalam beberapa organ tubuh seperti tangan, kaki, paru, atau organ lainnya
sehingga tubuh klien menjadi bengkak (congestive) (Udjianti, 2018).
2. Anatomi Fisiologi
Jantung adalah salah satu organ penting dalam tubuh kita. Fungsi jantung
secara umum adalah bekerja sebagai pompa. Fungsi pompa ini adalah kaitannya
dengan sistem peredaran tubuh sehingga ketika jantung bekerja untuk dan dalam
rangka memompakan darah ke seluruh jaringan tubuh kita. Jantung adalah sebuah
pompa yang memiliki empat bilik. Dua bilik yang terletak di atas disebut Atrium,
dan dua yang di bawah disebut Ventrikel (Tortora, 2012).
Jantung juga dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian kanan yang
bertugas memompa darah ke paru-paru, dan bagian kiri yang bertugas memompa
darah ke seluruh tubuh manusia (Tortora, 2012).

1) Ukuran, Posisi atau letak Jantung Ukuran jantung manusia mendekati ukuran
kepalan tangannya atau deng an ukuran panjang kira-kira 5″ (12 cm) dan lebar sekitar
3,5″ (9 cm). Jantung terletak di belakang tulang sternum, tepatnya di ruang
mediastinum diantara kedua paru-paru dan bersentuhan dengan diafragma.
Bagian atas jantung terletak dibagian bawah sternal notch, 1/3 dari jantung
berada disebelah kanan dari midline sternum, 2/3 nya disebelah kiri dari
midline sternum. Sedangkan bagian apek jantung di interkostal ke-5 atau
tepatnya di bawah puting susu sebelah kiri.

2) Lapisan Pembungkus Jantung


Jantung di bungkus oleh sebuah lapisan yang disebut lapisan perikardium, di
mana lapisan perikardium ini di bagi menjadi 3 lapisan, yaitu :

a) Lapisan fibrosa, yaitu lapisan paling luar pembungkus jantung yang


melindungi jantung ketika jantung mengalami overdistention. Lapisan
fibrosa bersifat sangat keras dan bersentuhan langsung dengan bagian
dinding dalam sternum rongga thorax, disamping itu lapisan fibrosa ini
termasuk penghubung antara jaringan, khususnya pembuluh darah
besar yang menghubungkan dengan lapisan ini (exp: vena cava, aorta,
pulmonal arteri dan vena pulmonal).

b) Lapisan parietal, yaitu bagian dalam dari dinding lapisan fibrosa


c) Lapisan Visceral, lapisan perikardium yang bersentuhan dengan
lapisan luar dari otot jantung atau epikardium
3) Lapisan Otot jantung

Dinding jantung terutama terdiri dari serat-serat otot jantung yang


tersusun secara spiral dan saling berhubungan melalui diskus interkalatus.
Lapisan jantung itu sendiri terdiri dari Perikardium, Miokardium, dan
Endokardium.

Berikut ini penjelasan ketiga lapisan jantung yaitu:

a) Perikardium (Epikardium) Epi berarti “di atas”, cardia berarti


“jantung”, yang mana bagian ini adalah suatu membran tipis di bagian
luar yang membungkus jantung.

b) Miokardium Myo berarti "otot", merupakan lapisan tengah yang terdiri


dari otot jantung, membentuk sebagian besar dinding jantung. Serat-
serat otot ini tersusun secara spiral dan melingkari jantung. Lapisan
otot ini yang akan menerima darah dari arteri koroner.

c) Endokardium Endo berarti "di dalam", adalah lapisan tipis


endothelium, suatu jaringan epitel unik yang melapisi bagian dalam
seluruh sistem sirkulasi peredaran darah

4) Katup jatung terbagi menjadi 2 bagian, yaitu katup yang menghubungkan


antara atrium dengan ventrikel dinamakan katup atrioventrikuler, sedangkan
katup yang menghubungkan sirkulasi sistemik dan sirkulasi pulmonal
dinamakan katup semilunar. Katup atrioventrikuler terdiri dari katup trikuspid
yaitu katup yang menghubungkan antara atrium kanan dengan ventrikel kanan,
katup atrioventrikuler yang lain adalah katup yang menghubungkan antara
atrium kiri dengan ventrikel kiri yang dinamakan dengan katup mitral atau
bicuspid.

Katup semilunar terdiri dari katup pulmonal yaitu katup yang


menghubungkan antara ventrikel kanan dengan pulmonal trunk, katup
semilunar yang lain adalah katup yang menghubungkan antara ventrikel kiri
dengan asendence aorta yaitu katup aorta. Katup berfungsi mencegah aliran
darah balik ke ruang jantung sebelumnya sesaat setelah kontraksi atau sistolik
dan sesaat saat relaksasi atau diastolik. Tiap bagian daun katup jantung diikat
oleh chordae tendinea sehingga pada saat kontraksi daun katup tidak terdorong
masuk keruang sebelumnya yang bertekanan rendah.

5) Ruang Jantung Jantung terdiri dari beberapa ruang jantung yaitu atrium dan
ventrikel yang masing-masing dari ruang jantung 13 tersebut dibagi menjadi
dua yaitu atrium kanan dan kiri, serta ventrikel kiri dan kanan.
a) Atrium Berikut fungsi dari masing-masing atrium jantung yaitu:
(1) Atrium kanan berfungsi sebagai penampungan (reservoir) darah yang
rendah oksigen dari seluruh tubuh. Darah tersebut mengalir melalui vena kava
superior, vena kava inferior, serta sinus koronarius yang berasal dari jantung
sendiri. Kemudian darah dipompakan ke ventrikel kanan dan selanjutnya ke
paru. Atrium kanan menerima darah de-oksigen dari tubuh melalui vena kava
superior (kepala dan tubuh bagian atas) dan inferior vena kava (kaki dan dada
lebih rendah). Simpul sinoatrial mengirimkan impuls yang menyebabkan
jaringan otot jantung dari atrium berkontraksi dengan cara yang terkoordinasi
seperti gelombang. Katup trikuspid yang memisahkan atrium kanan dari
ventrikel kanan, akan terbuka untuk membiarkan darah deoksigen
dikumpulkan di atrium kanan mengalir ke ventrikel kanan
(2) Atrium kiri menerima darah yang kaya oksigen dari kedua paru melalui 4
buah vena pulmonalis. 14 Kemudian darah mengalir ke ventrikel kiri dan
selanjutnya ke seluruh tubuh melalui aorta. Atrium kiri menerima darah
beroksigen dari paru-paru melalui vena paru-paru. Sebagai kontraksi dipicu
oleh node sinoatrial kemajuan melalui atrium, darah melewati katup mitral ke
ventrikel kiri
b) Ventrikel Berikut adalah fungsi ventrikel yaitu :
(1) Ventrikel kanan menerima darah dari atrium kanan dan dipompakan ke
paru-paru melalui arteri pulmonalis. Ventrikel kanan menerima darah
deoksigen sebagai kontrak atrium kanan. Katup paru menuju ke arteri paru
tertutup, memungkinkan untuk mengisi ventrikel dengan darah. Setelah
ventrikel penuh, mereka kontrak. Sebagai kontrak ventrikel kanan, menutup
katup trikuspid dan katup paru terbuka. Penutupan katup trikuspid mencegah
darah dari dukungan ke atrium kanan dan pembukaan katup paru
memungkinkan darah mengalir ke arteri pulmonalis menuju paru-paru.
(2) Ventrikel kiri menerima darah dari atrium kiri dan dipompakan ke seluruh
tubuh melalui aorta. Ventrikel kiri menerima darah yang mengandung oksigen
sebagai kontrak atrium kiri. Darah melewati katup 15 mitral ke ventrikel kiri.
Katup aorta menuju aorta tertutup, memungkinkan untuk mengisi ventrikel
dengan darah. Setelah ventrikel penuh, dan berkontraksi. Sebagai kontrak
ventrikel kiri, menutup katup mitral dan katup aorta terbuka. Penutupan katup
mitral mencegah darah dari dukungan ke atrium kiri dan pembukaan katup
aorta memungkinkan darah mengalir ke aorta dan mengalir ke seluruh tubuh
6) Pembuluh darah besar jantung Ada beberapa pembuluh besar yang perlu
anda ketahui, yaitu:
a) Vena cava superior, yaitu vena besar yang membawa darah kotor dari
bagian atas diafragma menuju atrium kanan.
b) Vena cava inferior, yaitu vena besar yang membawa darah kotor dari
bagian bawah diafragma ke atrium kanan.
c) Sinus Coronary, yaitu vena besar di jantung yang membawa darah
kotor dari jantung sendiri.
d) Pulmonary Trunk, yaitu pembuluh darah besar yang membawa darah
kotor dari ventrikel kanan ke arteri pulmonalis 16
e) Arteri Pulmonalis, dibagi menjadi 2 yaitu kanan dan kiri yang
membawa darah kotor dari pulmonary trunk ke kedua paru-paru.
f) Vena pulmonalis, dibagi menjadi 2 yaitu kanan dan kiri yang
membawa darah bersih dari kedua paru-paru ke atrium kiri.
g) Assending Aorta, yaitu pembuluh darah besar yang membawa darah
bersih dari ventrikel kiri ke arkus aorta ke cabangnya yang bertanggung
jawab dengan organ tubuh bagian atas.
h) Desending Aorta, yaitu bagian aorta yang membawa darah bersih dan
bertanggung jawab dengan organ tubuh bagian bawah.
7) Arteri Koroner Arteri koroner adalah arteri yang bertanggung jawab dengan
jantung sendiri, karena darah bersih yang kaya akan oksigen dan elektrolit
sangat penting sekali agar jantung bisa bekerja sebagaimana fungsinya.
Apabila arteri koroner mengalami pengurangan suplainya ke jantung atau
yang di sebut dengan ischemia, ini akan menyebabkan terganggunya fungsi
jantung sebagaimana mestinya. Apalagi arteri koroner mengalami sumbatan
total atau yang disebut dengan serangan jantung mendadak atau miokardiac
infarction dan bisa menyebabkan kematian. Begitupun 17 apabila otot jantung
dibiarkan dalam keadaan iskemia, ini juga akan berujung dengan serangan
jantung juga atau miokardiac infarction. Arteri koroner adalah cabang pertama
dari sirkulasi sistemik, dimana muara arteri koroner berada dekat dengan
katup aorta atau tepatnya di sinus valsava. Arteri koroner dibagi dua, yaitu: a)
Arteri koroner kanan Arteri koroner kanan bertanggung jawab mensuplai
darah ke atrium kanan, ventrikel kanan, permukaan bawah dan belakang
ventrikel kiri, 90% mensuplai AV Node, dan 55% mensuplai SA Node. b)
Arteri koroner kiri Arteri koroner kiri mempunyai 2 cabang yaitu LAD (Left
Anterior Desenden) dan arteri sirkumflek. Kedua arteri ini melingkari jantung
dalam dua lekuk anatomis eksterna, yaitu sulcus coronary atau sulcus
atrioventrikuler yang melingkari jantung diantara atrium dan ventrikel, yang
kedua yaitu sulcus interventrikuler yang memisahkan kedua ventrikel.
Pertemuan kedua lekuk ini dibagian permukaan posterior jantung yang
merupakan bagian dari jantung yang sangat penting yaitu kruks jantung.
Nodus AV node berada pada titik ini.
8) Siklus Jantung dan sistem peredaran darah jantung Secara umum, siklus
jantung dibagi menjadi 2 bagian besar, yaitu:
a) Sistole atau kontraksi jantung
b) Diastole atau relaksasi atau ekspansi jantung Secara spesific, siklus jantung
dibagi menjadi 5 fase yaitu :
a) Fase Ventrikel Filling Sesaat setelah kedua atrium menerima darah dari
masing-masing cabangnya, dengan demikian akan menyebabkan tekanan di
kedua atrium naik melebihi tekanan di kedua ventrikel. Keadaan ini akan
menyebabkan terbukanya katup atrioventrikular, sehingga darah secara pasif
mengalir ke kedua ventrikel secara cepat karena pada saat ini kedua ventrikel
dalam keadaan relaksasi/diastolic sampai dengan aliran darah pelan seiring
dengan bertambahnya tekanan di kedua ventrikel. Proses ini dinamakan
dengan pengisian ventrikel atau ventrikel filling. Perlu anda ketahui bahwa
60% sampai 90 % total volume darah di kedua ventrikel berasal dari pengisian
ventrikel secara pasif. Dan 10% sampai 40% berasal dari kontraksi kedua
atrium. 19
b) Fase Atrial Contraction Seiring dengan aktifitas listrik jantung yang
menyebabkan kontraksi kedua atrium, dimana setelah terjadi pengisian
ventrikel secara pasif, disusul pengisian ventrikel secara aktif yaitu dengan
adanya kontraksi atrium yang memompakan darah ke ventrikel atau yang kita
kenal dengan “atrial kick”. Dalam grafik elektrokardiogram (EKG) akan
terekam gelombang P. Proses pengisian ventrikel secara keseluruhan tidak
mengeluarkan suara, kecuali terjadi patologi pada jantung yaitu bunyi jantung
3 atau cardiac murmur.
c) Fase Isovolumetric Contraction Pada fase ini, tekanan di kedua ventrikel
berada pada puncak tertinggi tekanan yang melebihi tekanan di kedua atrium
dan sirkulasi sistemik maupun sirkulasi pulmonal. Bersamaan dengan kejadian
ini, terjadi aktivitas listrik jantung di ventrikel yang terekam pada EKG yaitu
komplek QRS atau depolarisasi ventrikel. Keadaan kedua ventrikel ini akan
menyebabkan darah mengalir balik ke atrium yang menyebabkan penutupan
katup atrioventrikuler untuk mencegah aliran balik darah tersebut. Penutupan
katup atrioventrikuler akan mengeluarkan bunyi jantung satu (S1) atau sistolic.
20 Periode waktu antara penutupan katup AV sampai sebelum pembukaan
katup semilunar dimana volume darah di kedua ventrikel tidak berubah dan
semua katup dalam keadaan tertutup, proses ini dinamakan dengan fase
isovolumetrik contraction. c) Fase Ejection Seiring dengan besarnya tekanan
di ventrikel dan proses depolarisasi ventrikel akan menyebabkan kontraksi
kedua ventrikel membuka katup semilunar dan memompa darah dengan cepat
melalui cabangnya masing-masing. Pembukaan katup semilunar tidak
mengeluarkan bunyi. Bersamaan dengan kontraksi ventrikel, kedua atrium
akan di isi oleh masing-masing cabangnya. d) Fase Isovolumetric Relaxation
Setelah kedua ventrikel memompakan darah, maka tekanan di kedua ventrikel
menurun atau relaksasi sementara tekanan di sirkulasi sistemik dan sirkulasi
pulmonal meningkat. Keadaan ini akan menyebabkan aliran darah balik ke
kedua ventrikel, untuk itu katup semilunar akan menutup untuk mencegah
aliran darah balik ke ventrikel. Penutupan katup semilunar akan mengeluarkan
bunyi jantung dua (S2) atau diastolic. 21 Proses relaksasi ventrikel akan
terekam dalam EKG dengan gelombang T, pada saat ini juga aliran darah ke
arteri koroner terjadi. Aliran balik dari sirkulasi sistemik dan pulmonal ke
ventrikel juga di tandai dengan adanya “dicrotic notch”.
(1) Total volume darah yang terisi setelah fase pengisian ventrikel secara pasip
maupun aktif (fase ventrikel filling dan fase atrial contraction) disebut dengan
End Diastolic Volume (EDV)
(2) Total Left ventrikel end diastolic volume (LVEDV) sekitar 120 ml.
(3) Total sisa volume darah di ventrikel kiri setelah kontraksi/sistolic disebut
End SystolicVolume (ESV) sekitar 50 ml.
(4) Perbedaan volume darah di ventrikel kiri antara EDV dengan ESV adalah
70 ml atau yang dikenal dengan stroke volume.
c. Manifestasi Klinis Menurut Wijaya (2013), manifestasi klinis Congestive
Heart Failure (CHF), yaitu :
1) Gagal jantung kiri
a) Sesak Napas atau Dispnue, akibat penimbunan cairan dalam alveoli yang
mengganggu pertukaran gas. 22
b) Batuk, berhubungan dengan gagal ventrikel kiri. Tersering adalah batuk
basah.
c) Mudah lelah. Akibat curah jatung yang kurang sehingga darah tidak sampai
kejaringan dan organ.
d) Kegelisahan dan kecemasan, akibat gangguan oksigenasi, kesakitan saat
bernapas, dan pengetahuan yang kurang tentang penyakit.
e) Orthopnea
f) Paroxismal nocturnal dyspnea
g) Ronchi
2) Gagal jantung kanan
a) Edema, biasa pada kaki dan tumit dan secara bertahap bertambah keatas
tungkai dan paha.
b) Hepatomegali dan nyeri pada kuadran kanan, akibat pembesaran vena di
hepar. Jika tekanan dalam pembuluh portal meningkat dapat menyebabkan
asites.
c) Anoreksia dan mual, akibat pembesaran vena dan stasis vena didalam
rongga abdomen.
d) Nokturia, dieresis sering terjadi pada malam hari karena curah jantung akan
membaik dengan istirahat.
e) Lemah, karena menurunnya curah jantung, gangguan sirkulasi, dan
pembuangan produk sampah katabolisme yang tidak adekuat dari jaringan.
f) Distensi vena junglaris
g) Peningkatan BB
h) Asites

d. Etiologi

Menurut (Ardiansyah,M, 2012) etiologi terjadinya gagal jantung antara lain :


(1) Kelainan otot jantung Gagal jantung paling sering terjadi pada
penderita kelainan otot jantung, yang berdampak pada menurunnya
kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab kelainan funsi otot
mencangkup aterosklerosis koroner, hipertensi arterial, dan penyakit otot
degeneratif atau inflamasi.

(2) Aterosklerosis koroner Kelainan ini mengakibatkan disfungsi


miokardium karena terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terjadi
hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam laktat). Infark miokardium
biasanya mendahului terjadinya gagal jantung.

(3) Hipertensi sistemik atau hipertensi pulmonal Gangguan ini


menyebabkan meningkatnya beban kerja jantung dan pada gilirannya juga
turut mengakibatkan hipertrofi serabut otot jantung. Efek tersebut dapat
dianggap sebagai mekanisme kompensasi, karena akan meningkatkan
kontraktilitas jantung.

(4) Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif Gangguan kesehatan


ini berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung
dapat merusak serabut jantung dan menyebabkan kontraktilitas menurun.

(5) Penyakit jantung yang lain Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat
penyakit jantung yang sebenarnya tidak secara langsung mempengaruhi organ
jantung. Mekanisme yang biasanya terlibat mencangkup gangguan aliran
darah melalui jantung (misalnya stenosis katup semiluner) serta
ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah (misalnya tamponade
perikardium, perikarditas, konstriktif, atau stenosis katup siensi katup AV).

Menurut Wajan Juni Udjianti (2010) etiologi gagal jantung kongestif (CHF)
dikelompokan berdasarkan faktor etiolgi eksterna maupun interna, yaitu:
1) Faktor eksterna (dari luar jantung); hipertensi renal, hipertiroid, dan
anemia kronis/berat. 2) Faktor interna (dari dalam jantung) 25

a) Disfungsi katup: Ventricular Septum Defect (VSD), Atria Septum


Defect (ASD), stenosis mitral, dan insufisiensi mitral.

b) Disritmia: atrial fibrilasi, ventrikel fibrilasi, dan heart block.

c) Kerusakan miokard: kardiomiopati, miokarditis, dan infark miokard.

d) Infeksi: endokarditis bacterial sub-akut Menurut (HFSA, 2010) ada


beberapa penyebab dimana fungsi jantung dapat terganggu. Yang paling
sering menyebabkan kemunduran dari fungsi jantung adalah kerusakan atau
berkurangnya kontraktilitas otot jantung, iskemik akut atau kronik,
meningkatnya resistensi vaskuler dengan hipertensi, atau adanya takiaritmia
seperti atrial fibrilasi (AF). Penyebab dari gagal jantung dapat diklasifikasikan
berdasarkan gagal jantung kiri atau gagal jantung kanan dan gagal low output
atau high output.

Gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh : 27

1) Kelainan otot jantung


Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot
jantung, disebabkan menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi
yang mendasari penyebab kelainan fungsi otot mencakup
aterosklerosis koroner, hipertensi arterial, dan penyakit degeneratif
atau inflamasi.
2) Aterosklerosis koroner
mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya
aliran darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat
penumpukan asam laktat). Infark miokardium (kematian sel jantung)
biasanya mendahului terjadinya gagal jantung. Peradangan dan
penyakit miokardium degeneratif berhubungan dengan gagal
jantung karena kondisi yang secara langsung merusak serabut
jantung menyebabkan kontraktilitas menurun.
3) Hipertensi sistemik atau pulmonal
Meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya
mengakibatkan hipertrofi serabut otot jantung (peningkatan
afterload), mengakibatkan hipertropi serabut otot jantung. Efek
tersebut (hipertropi miokard) dianggap sebagai kompensasi karena
meningkatkan kontraktilitas jantung, karena alasan yg tidak jelas 28
hipertropi otot jantung dapat berfungsi secara normal, akhirnya
terjadi gagal jantung.

5) Peradangan dan penyakit myocardium degeneratif,


berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung
merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun.

6) Penyakit jantung lain


Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang
sebenarnya, yang secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme yang
biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah yang masuk jantung (stenosis
katup semiluner), ketidak mampuan jantung untuk mengisi darah (tamponade,
perikardium, perikarditif konstriktif, atau stenosis AV), peningkatan mendadak after
load.

e. Klasifikasi

Pada Guidelines Heart Failure yang dikeluarkan oleh Heart Failure Society of
America tahun 2010 maka klasifikasi CHF dari New York Heart Association (NYHA) masih
tetap digunakan dengan ditambahkan beberapa kelas baru , yaitu :

KELAS DEFINISI ISTILAH


I Pasien dengan kelainan Disfungsi ventrikel kiri
jantung tetapi tanpa asimptomatik
pembatasan aktivitas fisik
II Pasien dengan kelainan Gagal jantung ringan
jantung yang mengakibatkan
sedikit pembatasan fisik
namun hasil dari aktivitas
tersebut mengakibatkan
kelelahan, pakpitasi dan
dyspneu
III a. Pasien dengan kelainan Gagal jantung sedang
jantung yang menyebabkan
pembatasan aktivitas fisik,
nyaman saat istirahat namun
pada saat melalukan aktivitas
sehari-hari menyebabkan
kelelahan, palpitasi dan
dyspnea
b. Mengalami keterbatasan
aktivitas fisik. Nyaman saat
istirahat namun pada saat
penggunaan tenaga minimal
dapat menyebabkan palpitasi,
kelelahan dan dyspneu
IV Pasien dengan kelainan Gagal jantung berat
jantung yang segala bentuk
aktivitas fisiknya akan
menyebabkan dyspneu,
palpitasi atau kelelahan

Gagal jantung secara umum juga dapat diklasifikasikan menjadi gagal jantung akut
dan gagal jantung kronik.

1) Gagal jantung akut, didefinisikan sebagai serangan cepat dari gejala atau tanda
akibat fungsi jantung yang abnormal. Dapat terjadi dengan atau tanpa adanya 31
penyakit jantung sebelumnya. Disfungsi jantung dapat berupa disfungsi sistolik atau
disfungsi diastolik. Irama jantung yang abnormal, atau ketidakseimbangan preload
dan afterload dan memerlukan pengobatan segera. Gagal jantung akut dapat berupa
serangan baru tanpa ada kelainan jantung sebelumnya atau dekompensasi akut dari
gagal jantung kronis.

2) Gagal jantung kronik, didefinisikan sebagai sindrom klinik yang kompleks yang
disertai keluhan gagal jantung berupa sesak nafas, lelah, baik dalam keadaan istirahat
atau aktivitas, edema serta tanda objektif adanya disfungsi jantung dalam keadaan
istirahat.

f. Patofisiologi

Secara patofisiologi CHF adalah ketidakmampuan jantung untuk menyalurkan darah,


termasuk oksigen yang sesuai dengan kebutuhan metabolisme jaringan pada saat istirahat
atau kerja ringan. Hal tersebut menyebabkan respon sistemik khusus yang bersifat patologik
(selain saraf, hormonal, ginjal dan lainnya) serta adanya tanda dan gejala yang khas.
Congestive Heart Failure (CHF) terjadi karena interaksi kompleks antara faktor-faktor yang
memengaruhi kontraktilitas, after load, preload, atau fungsi lusitropik (fungsi relaksasi)
jantung, dan respons neurohormonal dan hemodinamik yang diperlukan untuk menciptakan
kompensasi sirkulasi. Meskipun 32 konsekuensi hemodinamik CHF berespons terhadap
intervensi farmakologis standar, terdapat interaksi neurohormonal kritis yang efek
gabungannya memperberat dan memperlama sindrom yang ada. Sistem renin angiotensin
aldosteron (RAA): Selain untuk meningkatkan tahanan perifer dan volume darah sirkulasi,
angiotensin dan aldosteron berimplikasi pada perubahan struktural miokardium yang terlihat
pada cedera iskemik dan kardiomiopati hipertropik hipertensif. Perubahan ini meliputi
remodeling miokard dan kematian sarkomer, kehilangan matriks kolagen normal, dan fibrosis
interstisial. Terjadinya miosit dan sarkomer yang tidak dapat mentransmisikan kekuatannya,
dilatasi jantung, dan pembentukan jaringan parut dengan kehilangan komplians miokard
normal turut memberikan gambaran hemodinamik dan simtomatik pada Congestive Heart
Failure (CHF).

Sistem saraf simpatis (SNS): Epinefrin dan norepinefrin menyebabkan peningkatan


tahanan perifer dengan peningkatan kerja jantung, takikardia, peningkatan konsumsi oksigen
oleh miokardium, dan peningkatan risiko aritmia. Katekolamin juga turut menyebabkan
remodeling ventrikel melalui toksisitas langsung terhadap miosit, induksi apoptosis miosit,
dan peningkatan respons autoimun.

Disfungsi ventrikel kiri sistolik

1) Penurunan curah jantung akibat penurunan kontraktilitas, peningkatan afterload,


atau peningkatan preload yang mengakibatkan penurunan fraksi ejeksi dan
peningkatan volume akhir diastolik ventrikel kiri (LVEDV). Ini meningkatkan
tekanan akhir diastolik pada ventrikel kiri (IVEDP) dan menyebabkan kongesti vena
pulmonal dan edema paru.

2) Penurunan kontraktilitas (inotropi) terjadi akibat fungsi miokard yang tidak adekuat
atau tidak terkoordinasi sehingga ventrikel kiri tidak dapat melakukan ejeksi lebih
dari 60% dari volume akhir diastoliknya (LVEDV). lni menyebabkan peningkatan
bertahap LVEDV ( Left Ventricular End-Diastolic Volume) (juga dinamakan preload)
mengakibatkan peningkatan LVEDP dan kongesti vena pulmonalis. Penyebab
penurunan kontraktilitas yang tersering adalah penyakit jantung iskemik, yang tidak
hanya mengakibatkan nekrosis jaringan miokard sesungguhnya, tetapi juga
menyebabkan remodeling ventrikel iskemik. Remodeling iskemik adalah sebuah
proses yang sebagian dimediasi oleh angiotensin II (ANG II) yang menyebabkan
jaringan parut dan disfungsi sarkomer di jantung sekitar daerah cedera iskemik.
Aritmia jantung dan kardiomiopati primer seperti yang disebabkan oleh alkohol,
infeksi, hemakromatosis, hipertiroidisme, toksisitas obat dan amiloidosis juga
menyebabkan penurunan kontraktilitas. Penurunan curah 34 jantung mengakibatkan
kekurangan perfusi pada sirkulasi sistemik dan aktivasi sistem saraf simpatis dan
sistem RAA, menyebabkan peningkatan tahanan perifer dan peningkatan afterload.

3) Peningkatan afterload berarti terdapat peningkatan tahanan terhadap ejeksi LV.


Biasanya disebabkan oleh peningkatan tahanan vaskular perifer yang umum terlihat
pada hipertensi. Bisa juga diakibatkan oleh stenosis katup aorta. Ventrikel kiri
berespon terhadap peningkatan beban kerja ini dengan hipertrofi miokard, suatu
respon yang meningkatkan massa otot ventrikel kiri tetapi pada saat yang sama
meningkatkan kebutuhan perfusi koroner pada ventrikel kiri. Suatu keadaan kelaparan
energi tercipta sehingga berpadu dengan ANG II dan respons neuroendokrin lain,
menyebabkan perubahan buruk dalam miosit, seperti semakin sedikitnya mitokondria
untuk produksi energi, perubahan ekspresi gen dengan produksi protein kontraktil
yang abnormal (aktin, miosin, dan tropomiosin), fibrosis interstisial, dan penurunan
daya tahan hidup miosit. Dengan berjalannya waktu, kontraktilitas mulai menurun
dengan penurunan curah jantung dan fraksi ejeksi, peningkatan LVEDV, dan kongesti
paru.

4) Peningkatan preload berarti peningkatan LVEDV, yang dapat disebabkan langsung


oleh kelebihan volume intravaskular sama seperti yang terlihat pada infus cairan intra
vena atau gagal ginjal. Selain itu, penurunan fraksi ejeksi yang disebabkan oleh
perubahan kontraktilitas atau afterload menyebabkan peningkatan LVEDV sehingga
meningkatkan preload. Pada saat LVEDV meningkat, ia akan meregangkan jantung,
menjadikan sarkomer berada pada posisi mekanis yang tidak menguntungkan
sehingga terjadi penurunan kontraktilitas. Penurunan kontraktilitas ini yang
menyebabkan penurunan fraksi ejeksi, menyebabkan peningkatan LVEDV yang lebih
lanjut, sehingga menciptakan lingkaran setan perburukan Congestive Heart Failure
(CHF).

5) Pasien dapat memasuki lingkaran penurunan kontraktilitas, peningkatan afterload,


dan peningkatan preload akibat berbagai macam alasan (mis., infark miokard [MI],
hipertensi, kelebihan cairan) dan kemudian akhimya mengalami semua keadaan
hemodinamik dan neuro-hormonal. CHF sebagai sebuah mekanisme yang menuju
mekanisme lainnya.

6) Disfungsi ventrikel kiri diastolic

7) Penyebab dari 90% kasus

8) Didefinisikan sebagai kondisi dengan temuan klasik gagal kongestif dengan fungsi
diastolik abnormal tetapi fungsi sistolik normal; disfungsi diastolik mumi akan 36
dicirikan dengan tahanan terhadap pengisian ventrikel dengan peningkatan LVEDP
tanpa peningkatan LVEDV atau penurunan curah jantung. 9) Tahanan terhadap
pengisian ventrikel kiri terjadi akibat relaksasi abnormal (lusitropik) ventrikel kiri dan
dapat disebabkan oleh setiap kondisi yang membuat kaku miokard ventrikel seperti
penyakit jantung iskemik yang menyebabkan jaringan parut, hipertensi yang
mengakibatkan kardiomiopati hipertrofi, kardiomiopati restriktif, penyakit katup atau
penyakit perikardium.

10) Peningkatan denyut jantung menyebabkan waktu pengisian diastolik menjadi


berkurang dan memperberat gejala disfungsi diastolik. Oleh karena itu, intoleransi
terhadap olahraga sudah menjadi umum.

11) Karena penanganan biasanya memerlukan perubahan komplians miokard yang


sesungguhnya, efektivitas obat yang kini tersedia masih sangat terbatas.
Penatalaksanaan terkini paling berhasil dengan penyekat beta yang meningkatkan
fungsi lusitropik, menurunkan denyut jantung, dan mengatasi gejala. Inhibitor ACE
dapat membantu memperbaiki hipertrofi dan membantu perubahan struktural di
tingkat jaringan pada pasien dengan remodeling iskemik atau hipertensi. Sumber :
(Elizabeth, 2009)

g. Penatalaksanaan Medis

Menurut Elizabeth (2009) Penatalaksanaan CHF,yaitu :

1) Penggunaan penyekat beta dan penghambat enzim pengubah angiotensin


( inhibitor ACE ) sebagai terapi yang paling efektif untuk CHF kecuali ada
kontraindikasi khusus. Inhibitor ACE menurunkan afterload (TPR) dan volume
plasma ( preload ). Penyekat reseptor angiotensin dapat digunakan sebagai inhibitor
ACE.

2) Diberikan diuretik untuk menurunkan volume plasma sehingga aliran balik vena
dan peregangan serabut otot jantung berkurang.

3) Terapi oksigen mungkin digunakan untuk mengurangi kebutuhan jantung.

4) Nitrat mungkin diberikan untuk mengurangi after load dan preload.

5) Uji coba nitric oxide boosting drug (BiDil) .

6) Penyekat aldosteron ( epleronon ) telah terbukti mengobati gagal jantung kongestif


setelah serangan jantung.

7) Digoksin (digitalis) mungkin diberikan untuk meningkatkan kontraktilitas.


Digoksin bekerja secara langsung pada serabut otot jantung untuk meningkatkan
kekuatan setiap kontraksi tanpa bergantung panjang serabut otot. Hal ini akan
menyebabkan peningkatan curah jantung sehingga volume dan peregangan ruang
ventrikel berkurang. Saat ini digitalis lebih jarang digunakan untuk mengatasi CHF
dibandingkan masa sebelumnya. Menurut HFSA (2010) Penatalaksanaan CHF, yaitu :

1) Diet dan asupan cairan

a) Instruksi diet mengenai asupan natrium disarankan pada semua pasien


dengan CHF. Pasien dengan CHF dan diabetes, dislipidemia, atau obesitas
berat harus diberi instruksi diet khusus.
b) diet pembatasan sodium (2-3 g sehari) disarankan untuk pasien dengan
sindrom klinis CHF dan fraksi ejeksi ventrikel kiri menetap (LVEF).
Pembatasan lebih lanjut c) (2 g sehari) dapat dipertimbangkan dalam moderat
untuk CHF berat. d) Pembatasan asupan cairan harian kurang dari 2 L/hari,
dianjurkan pada pasien dengan hiponatremia (serum sodium 130 mEq / L) dan
harus dipertimbangkan untuk semua pasien yang menunjukkan retensi cairan
yang sulit untuk mengontrol meskipun dosis tinggi diuretik dan pembatasan
sodium telah diberikan.

2) Non Farmakologis

a) CHF Kronik

(1) Meningkatkan oksigenasi dengan pemberian oksigen dan


menurunkan konsumsi oksigen melalui istirahat atau pembatasan
aktivitas.

(2) Diet pembatasan natrium

(3) Menghentikan obat-obatan yang memperparah seperti NSAIDs


karena efek prostaglandin pada ginjal menyebabkan retensi air dan
natrium

(4) Membatasan cairan (kurang lebih 1200-1500 cc/hari)

(5) Olah raga secara teratur

b) CHF Akut

(1) Oksigenasi (ventilasi mekanik)

(2) Pembatasan cairan

3) Farmakologis Untuk mengurangi afterload dan preload

a) First line drugs ; diuretic Mengurangi afterload pada disfungsi sistolik dan
mengurangi kongesti pulmonal pada disfungsi diastolic, seperti :.thiazide
diuretics untuk CHF sedang, loop diuretic, metolazon (kombinasi dari loop
diuretic untuk meningkatkan pengeluaran cairan), Kalium-Sparing diuretic
b) Second Line drugs; ACE inhibitor Membantu meningkatkan COP dan
menurunkan kerja jantung., seperti :

(1) Digoxin; meningkatkan kontraktilitas. Obat ini tidak digunakan


untuk kegagalan diastolic yang mana dibutuhkan pengembangan
ventrikel untuk relaksasi

(2) Hidralazin; menurunkan afterload pada disfungsi sistolik.

(3) Isobarbide dinitrat; mengurangi preload dan afterload untuk


disfungsi sistolik, hindari vasodilator pada disfungsi sistolik.

(4) Calsium Channel Blocker; untuk kegagalan diastolic,


meningkatkan relaksasi dan pengisian dan pengisian ventrikel (jangan
dipakai pada CHF kronik).

(5) Blocker; sering dikontraindikasikan karena menekan respon


miokard. Digunakan pada disfungsi diastolic untuk mengurangi HR,
mencegah iskemi miocard, menurunkan TD, hipertrofi ventrikel kiri.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan konsep Evidence Based Practice di atas, dapat
disimpulkan bahwa ada 3 faktor yang seacara garis besar menenentukan tercapainya
pelaksanaan praktek keperawatan yang lebih baik yaitu, penelitian yang dilakukan
berdasarkan fenomena yang terjadi di kaitkan dengan teori yang telah ada,
pengalaman klinis terhadap sustu kasus, dan pengalaman pribadi yang bersumber dari
pasien. Dengan memperhatikan factor-faktor tersebut, maka di harapkan pelaksanaan
pemeberian pelayanan kesehatan khususnya pemberian asuhan keperawatan dapat di
tingkatkan terutama dalam hal peningkatan pelayanan kesehatan atau keperawatan,
pengurangan biaya (cost effective) dan peningkatan kepuasan pasien atas pelayanan
yang diberikan. Namun dalam pelaksanaan penerapan Evidence Based Practice ini
sendiri tidaklah mudah, hambatan utama dalam pelaksanaannya yaitu kurangnya
pemahaman dan kurangnya referensi yang dapat digunakan sebagai pedoman
pelaksanaan penerapan EBP itu sendiri.

B. Saran
Dalam pemberian pelayanan kesehatan khususnya asuhan keperawatan yang
baik, serta mengambil keputusan yang bersifat klinis hendaknya mengacu pada SPO
yang dibuat berdasarkan teori-teori dan penelitian terkini. Evidence Based Practice
dapat menjadi panduan dalam menentukan atau membuat SPO yang memiliki
landasan berdasarkan teori, penelitian, serta pengalaman klinis baik oleh petugas
kesehatan maupun pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Holleman G, Eliens A, van Vliet M, Achterberg T. Promotion of evidence-based practice by


professional nursing association: literature review. Journal of Advance Nursing
53(6), 702-709.

Ingersoll G. Evidence-based nursing: what it is and isn’t. Nurs Outlook 2000;48:151-2.

Kelee. 2011. Nursing Research & Evidence-Based Practice

Lavin MA, Krieger MM, Meyer GA, et al. Development and evaluation of evidence-based
nursing (EBN) filters and related databases. J Med Libr Assoc 93(1) January 2005.

MacGuire JM. Putting nursing research findings into practice: research utilization as an
aspect of the management of change. Journal of Advanced Nursing 1990:15, 614-
620.

Cullum N. Users’ guides to the nursing literature: an introduction. Evid Based Nurs 2000
3:71-72.

Ellen Fineout-Overholt RN, PhD and Linda Johnston RN, PhD. 2011. Teaching EBP:
Implementation of Evidence: Moving from Evidence to Action

DiCenso A, Cullum N, Ciliska D. Implementing evidence-based nursing: some


misconceptions. Evid Based Nurs 1998 1:38-39.

Wijaya, A.S. dan Putri, Y.M. 2013. KMB 1 (Keperawatan Medikal Bedah). Nuha Medika.
Yogyakarta. Wilkinson, Judith M. & Ahern Nancy R. (2011).

Buku Saku Diagnosis Keperawatan : diagnose NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC.
Edisi 9. Alih Bahasa : Esty Wahyuningsih, Editor Bahasa Indonesia : Dwi Widiarti.
EGC, Jakarta Ziaeian, Boback and Gregg C. Fonarow. (2016).
Epidemiology and etiology of Heart Failure. Nat

Anda mungkin juga menyukai