Anda di halaman 1dari 33

Inilah Cara menentukan Harga Obat di Apotek

15 Votes

Siapa sih yang tidak sebel kalau beli obat dengan harga mahal ? apalagi kalau yang jual tidak memberikan pelayanan
yang ramah. Berikut ini beberapa hal yang penting untuk anda ketahui dalam memberikan harga obat di Apotek.
1. Apotek Akan membeli Obat di Distributor Apotek akan mengadakan obat-obatan dari distributor Obat, PBF atau
Sub distrbutor Obat (Saya rangkum jadi Distributor saja). Para distributor ini memiliki marketing/sales obat
yang datang ke Apotek secara rutin dan memberikan informasi mengenai obat baru, obat kedaluwarsa dan
yang paling penting nih *diskon* obat yang akan dibeli. Mereka mempunyai daftar harga dan bersaing
mendapatkan Apotek untuk menjual obat-obat yang dijual. Biasanya sales obat memberikan pelayanan Ekstra
misalkan : diskon, entertainment, dll. Tapi yang penting apotek bisa mendapatkan obat.
2. Bagaimana Mendapatkan Diskon Biasanya pihak distributor dan Pabrik obat memberikan diskon tertentu
kepada Apotek karena mereka biasanya di kejar target penjualan. Nah karena target penjualan ini biasanya
ada di akhir bulan, maka untuk itu apotek biasanya kudu siap-siap setiap tanggal 25-30 untuk menyiapkan obat
apa yang harus kita beli. Kalau mau membeli obat dengan jumlah besar biasanya diskonnya juga besar, tapi
apotek harus mempertimbangkan bagaimana posisi keuangannya pada akhir bulan itu, kalau kebablasan beli
biasanya saat tagihan datang kita minta sama sales untuk ditunda dulu pembayarannya.
3. Mendapatkan Diskon Jika beruntung distributor akan memberikan diskon sekitar 2,5% sampai 5 %, biasanya
kalau lebih dari itu jarang terjadi, meskipun demikian beberapa merek tertentu bisa diberikan dalam bentuk
obat misalkan : beli 10 bonus 1, diskon ini biasanya dilihat juga bagaimana rutinitas apotek membeli Obat,
karena kelangsungan pembelian obat juga berpengaruh pada pemberian diskon. Disamping itu jumlah obat
dan lokasi apotek juga berpengaruh dalam memberikan diskon obat.
4. Pemberian PPN 10% Setiap obat yang dibeli di distributor akan dijual oleh apotek dengan kenaikan 10%
karena PPN yang harus dibayar oleh Apotek. Nilai PPN ini tetap dan standar terjadi di setiap apotek, meskipun
demikian dapat juga ditemukan apotek mencantumkan harga jual apotek minus PPN.
5. Pemberian Harga Jual Apotek Dari harga yang sudah ditambahkan PPN, maka Apotek akan menambah harga
jual sesuai dengan kebijakan apotek tersebut. Misalkan : 10% sampai 80%. Ini tergantung dari : jenis apotek,
daerah/lokasi apotek, jenis Obat dll.
Misalkan : Di kota metropolitan keuntungan apotek sangat kecil, berkisar 5%-15%, Namun untuk di daerah
Kabupaten di Luar Jawa, keuntungan bisa mencapai 40%-80%. Namun harus diperhatikan bahwa di kota
metropolitan jumlah pelanggan sangat besar jika dibandingkan daerah terpencil.
6. Pemberian Uang Resep/Jasa Nilai uang resep ini sangat tergantung dari apotek yang melayani, misalkan 1
buah resep akan diberikan jasa Rp.300 , maka harga obat akan ditamba Rp.300. Uang ini biasanya di bagi
untuk Apoteker dan Asisten Apoteker di Apotek, karena mereka harus mempersiapkan obat dan harus
menghitung dosis dengan tepat. Selain itu apoteker juga dituntut untuk memberikan komunikasi,informasi dan
edukasi. Uang Jasa dokter juga kadang dilibatkan juga dalam resep obat, ini tergantung dari dokternya karena
tidak semua dokter mau menerima uang jasa apotek karena harga obatnya biasanya jadi mahal dan bikin
dokter nggak laris.
Jadi tidak perlu heran jika obat yang dibeli dengan resep tentu sedikit lebih mahal jika dibandingkan dengan obat yang
dibeli tanpa resep.
Oleh sebab itu Harga Jual Obat Di Apotek adalah =
[Harga Distributor] + [PPN 10 %] + [Harga jual Apotek atau Margin Keuntungan]+ [Uang Resep,Jasa lain]

Jadi selama ini jika anda dibuat bingung dengan harga obat di Apotek saya harap tulisan ini bermanfaat.

HNA
adalah Harga Netto Apotek, merupakan harga (modal) awal apotek dalam membeli obat dari distributor
(PBF atau PBF Cabang).
Mark Up
adalah % keuntungan, ada yang menetapkan 25% (1,25) dan ada yang menetapkan 30% (1,3).
PPN 10% (1,1)
adalah Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan untuk setiap pertambahan nilai dari proses transaksi dari
produsen sampai ke konsumen.
HJA
adalah Harga Jual Apotek, harga yang ditawarkan kepada konsumen setelah diperhitungkan HNA, PPN
10% dan Mark Up.

HJA = HNA x PPN 10% x Mark Up


Contohnya seperti pada gambar diatas
Oleh: Fauzi Btb
Label
Rahasia Mahalnya Harga Obat

Ketika mendengar kata “obat”, sebagian besar masyarakat langsung teringat dengan harganya yang mahal.
Beberapa di antaranya mungkin pernah mengalami kejadian yang tidak mengenakkan, sehingga merasa
kapok dan tidak mau lagi berurusan dengannya. Terkadang, aku berpikir bahwa paradigma seperti itu
muncul karena masyarakat masih menganggap bahwa obat yang manjur itu hanya obat paten dan obat
branded-generic yang memang harganya lebih mahal. Sementara obat generik yang harganya murah
dianggap sebagai obat kelas dua.

Jika ditelisik lebih lanjut, sebenarnya kandungan (zat aktif dan bahan pengisi) antara obat branded-generic
dan generik itu sama persis dan hanya berbeda pada bahan pengemasnya saja. Apakah wajar jika harga
obat branded-generic dan generik selisihnya sangat jauh, padahal hanya bungkusnya saja yang beda?
Sebenarnya bagaimana caranya industri farmasi menetapkan harga produknya? Faktor apa sajakah yang
berpengaruh? Seandainya masyarakat memboikot obat branded-generic, apakah industri akan gulung tikar?
Mengapa selisih harga antarapotek juga cukup tinggi?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, sebagai awalan aku akan mengemukakan tahapan dalam menentukan
harga obat (Gambar 1). Penjelasan dari gambar tersebut adalah sebagai berikut:

Gambar 1. Alur penentuan harga obat

1. Harga Pokok Produksi (HPP) atau Cost of Goods Manufacture (COGM)

HPP = Raw Material + Packaging Material + Direct Labor + Over Head + Fix Burden

Dalam industri farmasi, biaya bahan baku (zat aktif dan bahan pengisi) dan bahan pengemas sekitar 70-80
%; biaya tenaga kerja langsung sekitar 5-10 %; dan biaya tambahan (biaya penyusutan, biaya energi, biaya
bahan bakar, biaya telepon, biaya perawatan, biaya pelatihan, biaya onderdil) sekitar 15-20% dari HPP.

2. Harga Jual Pabrik (HJP) atau Cost of Goods Sales (COGS)

HJP = HPP + Biaya Pemasaran + Biaya Administrasi + Biaya Manajemen + Pajak + Keuntungan + Lisensi

3. Harga Netto Apotek (HNA)

HNA = HJP + Biaya Distribusi

HNA + PPN = Harga jual pabrik obat dan/atau PBF kepada apotek dan rumah sakit (harga patokan tertinggi)
(Kepmenkes 92/2012 tentang HET Obat Generik Tahun 2012)

4. Harga Eceran Tertinggi (HET)

HET = HNA + Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10% + Margin apotek 25% (Kepmenkes 69/2006 tentang
Pencantuman HET pada Label Obat)

HET adalah harga jual tertinggi di apotek, rumah sakit, dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya yang
berlaku untuk seluruh Indonesia (Kepmenkes 92/2012 tentang HET Obat Generik Tahun 2012).

HNA ≤ 74% HET (Kepmenkes 92/2012 tentang HET Obat Generik Tahun 2012).
5. Harga Jual Apotek (HJA)

Besarnya HJA kepada pasien tidak boleh lebih tinggi dari HET. Secara garis besar, cara untuk menentukan
HJA menggunakan rumus sebagai berikut:

HJA = {(HNA + PPN)} x I + E + T

I = Indeks (berkisar 1,1-1,25)

E = Embalase (harga barang yang tidak termasuk obat, misalnya plastik, salinan resep)

T = Tuslah

Selanjutnya, aku mencoba menjawabnya satu demi satu…

1. Apakah wajar jika harga obat branded-generic dan generik selisihnya sangat jauh, padahal
hanya bungkusnya saja yang beda?

Menurut aku wajar. Walaupun kandungannya sama persis, kedua jenis obat tersebut berbeda dalam
mekanisme pemasarannya.

Obat generik sudah dipromosikan secara langsung oleh pemerintah melalui Permenkes 85/1989 tentang
Kewajiban Menuliskan Resep dan/atau Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Pemerintah yang diperbaharui dengan Permenkes HK.02.02/068/2010 tentang Kewajiban Menggunakan
Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah.

Untuk obat branded-generic, industri farmasi harus bersaing dengan industri lain yang juga memproduksi
obat dengan zat aktif sama. Oleh karena itu, mereka menggunakan berbagai macam cara agar produknya
laku di pasaran. Di sinilah biaya pemasaran bermain. Ada yang jor-joran promosi di media massa, ada yang
mengadakan seminar atau workshop dengan mengundang tenaga kesehatan terkait, bahkan ada juga yang
menjanjikan wisata, barang berharga, dan lain sebagainya.

Biaya pemasaran itulah yang dibebankan kepada pasien dan akhirnya menjadikan obat branded-generic
mahal.

2. Sebenarnya bagaimana caranya industri farmasi menetapkan harga produknya?

3. Faktor apa sajakah yang berpengaruh?

Kedua pertanyaan sudah terjawab dari penjelasanku di atas.

4. Seandainya masyarakat memboikot obat branded-generic, apakah industri akan gulung tikar?

Industri farmasi tidak akan semudah itu gulung tikar hanya gara-gara obat branded-generic tidak laku.
Volume produksi dan margin keuntungan obat branded-generic dan generik berbeda. Obat branded-generic
volumenya kecil, tetapi marginnya besar. Sedangkan obat generik volumenya besar dengan margin yang
kecil. Jadi, secara tidak langsung, dari penjualan obat generik saja industri sudah untung.

5. Mengapa selisih harga antarapotek juga cukup tinggi?

HJA untuk setiap apotek berbeda-beda, tergantung kebijakan dari apotek tersebut. Biasanya disebabkan
perbedaan pada indeks dan besarnya HNA dari distributor untuk tiap apotek.

Apotek yang membeli obat dari distributor dalam jumlah besar akan mendapatkan harga yang lebih murah,
diskon yang lebih besar, atau bonus yang lebih banyak, sehingga dapat menjual obat dengan harga yang
lebih bersaing.
Lalu, apa yang bisa dilakukan oleh apoteker Indonesia ketika melihat kenyataan seperti ini? Menurut aku,
semuanya tergantung di manakah posisi kita (insya Allah Maret 2013 aku termasuk di dalamnya) berada.
Bagi yang mengabdi di pelayanan, berikanlah edukasi tentang kedua jenis obat tersebut kepada masyarakat
selengkap-lengkapnya. Bagi yang mengabdi di industri, silakan melakukan inovasi dan promosi seluas-
luasnya tetapi dengan cara yang baik dan benar. Bagi yang mengabdi sebagai perumus kebijakan,
rumuskanlah kebijakan yang membuat harga obat terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat. Semoga…

Obat yang mahal, belum tentu efektif… Obat yang efektif, belum tentu mahal…

Yogyakarta, 21 Desember 2012

Penjelasan istilah (Sumber: Permenkes HK.02.02/068/2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik
di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah):

1. Obat Paten adalah obat yang masih memiliki hak paten.


2. Obat Generik adalah obat dengan nama resmi International Non Propietary Names (INN) yang
ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya untuk zat berkhasiat yang
dikandungnya.
3. Obat Generik Bermerek/Bernama Dagang/Branded-Generic adalah obat generik dengan nama
dagang yang menggunakan nama milik produsen obat yang bersangkutan.
n

Link_nya Mahasiswa

Proses Pemasaran dan Penjualan Obat-obatan


PROSES PEMASARAN/PENJUALAN

1. Distribusi /Pemasaran Produk Obat-Obatan

Penjualan hasil produksi obat-obatan dari perusahaan farmasi di Indonesia pada umumnya untuk konsumsi/pasaran
dalam negeri. Namun ada juga sebagian hasil produksi yang dijual ke luar negeri/diekspor. Jalur distribusi pemasaran
obat-obatan untuk penjualan lokal dilakukan melalui distributor atau Pedagang Besar farmasi (PBF) dengan cara
penjualan putus yang didukung dengan kontrak. PBF kemudian akan menyalurkannya ke apotek-apotek dan atau
toko obat yang kemudian dijual kepada konsumen. Sedangkan untuk penjualan ekspor biasanya dikirimkan kepada
perusahaan induknya atau groupnya, disamping juga diekspor kepada pihak ketiga.

Dalam kontrak jasa perantara dengan Pedagang Besar Farmasi (PBF) pada umumnya berisi tentang hak dan
kewajiban. Ada suatu klausul tertentu yang cukup unik yaitu adanya kewajiban bagi PBF untuk mengiklankan atau
mengenalkan produk produsen obat dengan beberapa cara salah satunya berupa pemberian suatu bonus atau
imbalan kepada toko obat dan apotek bila dapat menjual produk tertentu dalam jumlah tertentu.

Proses pemasaran produk obat-obatan mempunyai karakteristik tertentu. Untuk pemasaran atau memperkenalkan
produk obat-obatan yang dijual bebas dapat dilakukan secara umum kepada publik baik melalui media cetak maupun
media elektronika. Namun pemasaran untuk obat-obatan yang termasuk dalam daftar G sesuai dengan kode etik
kedokteran, tidak boleh diiklankan secara langsung kepada umum.

Karena pemasaran atau memperkenalkan produk obat-obatan yang termasuk daftar G tidak dapat dilakukan secara
langsung, maka produsen obat dalam kegiatan pemasarannya biasanya melakukan beberapa hal sebagai berikut:

1. Menggunakan jasa PBF dalam mendistribusikan dan memasarkan produknya.


2. Membuat acara launching/peluncuran produk baru baik dengan seminar maupun acara simposium.
3. Menggunakan jasa detailer untuk memperkenalkan produknya kepada para dokter.

Selain berhubungan dengan jasa PBF, perusahaan farmasi dalam memasarkan produknya juga berhubungan dengan
rumah sakit, apotek dan toko obat. Kepada apotek, perusahaan farmasi biasanya memberikan bonus bilamana rumah
sakit atau apotek yang bersangkutan mampu menjual obat-obatan tertentu sesuai dengan target yang telah
ditentukan. Namun karena yang berhubungan langsung dengan apotek atau rumah sakit adalah PBF, maka tidak
semua bonus yang diberikan kepada Apotek/Rumah Sakit ditanggung oleh perusahaan farmasi saja. Biasanya, bonus
dibebankan juga kepada PBF sesuai perjanjian yang telah disepakati. Selain itu biasanya produsen obat juga
dibebani pengeluaran-pengeluaran tertentu yang dilakukan oleh PBF dalam rangka pemasaran produk, seperti
pemasangan umbul-umbul maupun sebagai sponsor event-event tertentu.

Penggunaan jasa detailer untuk memasarkan/memperkenalkan produk obat-obatan sudah umum dilaksanakan pada
industri farmasi. Para detailer merupakan pegawai tidak tetap perusahaan, walaupun ada juga detailer yang menjadi
pegawai tetap perusahaan produsen obat. Wilayah kerja detailer dibagi-bagi menurut suatu kebijaksaan tertentu dari
perusahaan, biasanya per propinsi atau per kota Dati II. Para detailer inilah sebagai perpanjangan tangan produsen
obat mendekati para dokter guna memperkenalkan produknya. Semua pengeluaran yang dilakukan detailer dalam
rangka memasarkan produknya dapat dibebankan kepada produsen obat. Para detailer diberikan uang muka atau
istilahnya kas kecil untuk melakukan kegiatan pemasarannya. Metode yang biasanya digunakan adalah Imprest Fund.
Dalam melakukan pendekatan kepada para dokter untuk menggunakan obat-obatan ditawarkan, adakalanya para
detailer ini menjanjikan suatu imbalan tertentu kepada para dokter tersebut dalam bentuk uang maupun
natura/kenikmatan lainnya dengan persetujuan dari manajemen produsen obat.

2. Biaya Pemasaran

Di dalam proses pemasaran obat-obatan akan timbul biaya-biaya baik yang terkait langsung maupun tidak langsung
dalam penjualan hasil produksi. Biaya pemasaran untuk produk obat-obatan yang penggunaannya dapat dibeli bebas
(obat OTC) biasanya berupa biaya iklan melalui media massa antara lain : koran, majalah, televisi, radio dan billboard.

Biaya pemasaran atas produk obat-obatan yang dipakai/dibeli berdasarkan resep dokter (obat daftar G) biasanya
meliputi antara lain:

Biaya Simposium dan Ekshibisi

Biaya ini merupakan pengeluaran untuk memperkenalkan produk perusahaan baik produk baru maupun produk lama,
seperti antara lain :

o Honor dan akomodasi para dokter yang mengikuti simposium/ekshibisi

o Sewa tempat, sewa stan dan pemasangan banner/baliho

o Biaya presentasi dan lain-lain.

Biaya promosi

Biaya ini merupakan pembayaran kepada dokter-dokter yang telah menuliskan resep obat hasil produksi perusahaan
kepada pasiennya, biaya ini dibayarkan melalui Medical Representative.

Bonus

Bonus merupakan penghargaan berupa uang (black bonus) kepada distributor yang telah berprestasi dalam
pencapaian target yang telah ditetapkan. Biaya ini tidak sesuai dengan Surat Dirjen Pajak No : SE-02/PJ.33/1998
tanggal 16 Maret 1998.

Promotion Materials

Biaya ini merupakan contoh obat yang diberikan kepada dokter-dokter dalam rangka memperkenalkan produknya.

3. Perusahaan Yang Terkait Dalam Pemasaran Obat-Obatan

Sebagaimana telah diuraikan dimuka, rantai usaha industri farmasi di Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut :

Rantai produk/obat-obatan yang dihasilkan oleh produsen obat tidak langsung didistribusikan ke konsumen akhir
(pemakai) tetapi melalui jalur pemasaran yang melibatkan unit pemasaran baik yang berasal dari internal perusahaan
maupun dari pihak lain. Khusus untuk obat-obatan daftar G, pemakaiannya harus memalui resep dokter sehingga
konsumen juga tidak bisa langsung membelinya di apotek.

Peranan dari masing-masing unit pemasaran obat-obatan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

3.1 Pedagang Besar Farmasi (PBF)

Pedagang Besar Farmasi (PBF) merupakan suatu perusahaan berbentuk badan hukum yang melakukan kegiatan
distribusi obat-obatan secara partai besar, berdasarkan ketentuan yang berlaku.

Berbagai fungsi / jenis Pedagang Besar Farmasi, antara lain:

1. PBF Biasa, yaitu PBF yang membeli obat dari pabrik/PBF lainnya dan mendistribusikan kepada Apotek/PBF
lainnya atas obat-obatan yang tergolong dalam daftar G, daftar W, dan bebas, dan kepada Toko Obat Berizin
atas obat-obatan yang tergolong dalam daftar W dan bebas.
2. PBF Penyalur Bahan Baku Obat, yaitu PBF Biasa yang juga memiliki izin khusus untuk mengimpor dan
menyalurkan bahan baku obat kepada industri farmasi atau PBF bahan baku lainnya, sebagaimana diatur
dalam Surat-Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 287/Men.Kes/SK/XI/76 Tanggal 18 November 1976.
3. PBF Penyalur Bahan Baku Obat Khusus kepada Apotek, yaitu PBF Biasa yang memiliki izin khusus untuk
menyalurkan bahan baku obat khusus kepada Apotek (Catatan : sampai saat ini yang mendapat izin baru
PBF PT. Kimia Farma).
4. PBF Penyalur Narkotika, yaitu PBF Biasa yang diberi izin khusus untuk menyalurkan obat-obat berbahaya.
5. PBF Penyalur Obat Keras Tertentu, yaitu PBF Biasa yang diberi izin khusus untuk menyalurkan Obat Keras
Tertentu sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 213/Men.Kes/Per/IV/1985 Tanggal
22 April 1985.
6. PBF Terbatas, yaitu PBF Biasa yang diberi izin hanya menyalurkan obat-obat keluaran suatu pabrik farmasi
yang ditentukan dalam izin yang bersangkutan.

3.2 Apotek
Apotek merupakan suatu perusahaan/sarana tempat pengabdian apoteker, yang melakukan distribusi obat langsung
kepada pasien/apotek lainnya/poliklinik, untuk obat-obat yang termasuk Golongan G atas resep dokter, dan obat-obat
bebas terbatas (W) maupun obat bebas. Apotek tersebut didirikan berdasarkan peraturan Pemerintah No.26/1965, jo
PP. 25 Tahun 1980, jo Permenkes No. 26/MenKes/Per/I/1981 jo Surat Keputusan Menteri Kesehatan masing-masing:
No. 278/Men.Kes/SK/V/1981, No.279/Men.Kes/SK/V/1981, dan No. 280/Men.Kes/SK/V/1981 tertanggal 30 Mei 1981.
Selanjutnya dalam Paket Kebijaksanaan Deregulasi Tanggal 28 Mei 1990 dikeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan
R.I. Nomor 244/Men.Kes /SK/V/1990.

3.3 Toko Obat

Toko Obat dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu :

a. Toko Obat Berizin, ialah suatu usaha tempat mendistribusikan obat secara eceran langsung kepada konsumen,
yaitu obat-obat yang termasuk dalam daftar W (bebas terbatas) dan obat bebas. Toko Obat Berizin tersebut
didirikan berdasarkan Permenkes No. 167/Kab/B. VII/72 Tanggal 28 Agustus 1972. Penanggung-jawab teknis
farmasi Toko Obat Berizin adalah Asisten Apoteker.

Toko Obat Biasa, ialah suatu usaha yang sebagian besar kegiatannya mendistribusikan obat secara eceran langsung
kepada para konsumen, yaitu obat-obat bebas saja.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pelayanan farmasi rumah sakit merupakan salah satu kegiatan di rumah sakit yang menunjang
pelayanan kesehatan yang bermutu. Hal tersebut diperjelas dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor :
1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit, yang menyebutkan bahwa
pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan
rumah sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu,
Salah satu upaya kesehatan yang dilakukan pemerintah adalah dengan meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan rumah sakit yang antara lain dapat dicapai dengan penggunaan obat-obatan
yang rasional dan berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu dan
terjangkau bagi semua lapisan masyarakat (Siregar, 2004).
Biaya yang diserap untuk penggunaan obat merupakan komponen terbesar dari pengeluaran
rumahsakit. Dibanyak Negara berkembang belanja obat di rumah sakit dadat menyerap sekitar 40-50%
dari biaya keseluruhan rumah sakit. Belanja perbekalan farmasi yang demikian besar tentunay harus
dikelola dengan efektif dan efisien, hal ini perlu dilakukan mengingat dana kebutuhan obat di rumah sakit
tidak selalu sesuai dengan kebutuhan.
Kondisi diatas tentunya harus disikapi dengan baik-baik. Saat ini pada tataran global telah dirintis
prongram Good Governance In Pharmaceutical Sector atau lebih di kenal dengan tata kelola obat yang
baik si Sektor Farmasi. Indonesia termasuk salah satu Negara yang berpartisipasi dalam program ini
bersama 19 negara lainnya. Pemikiran tentang perlunya tatkelola obat yang baik disektor farmasi
berkembang mengingat banyaknya praktek illegal di lingkungan kefarmasian mulai dari clinical trial, riser
dan pengadaan , registrasi, pendaftaran, paten, produksi, penetapan harga, pengadaan, seleksi, distribusi
dan trasportasi. Bentuk intransparansi dibidang farmasi antara lain : pemalsuan data keamanan dan
enyufikasi, penyuapan, kolosi, donasi, promo yang tidak etis maupun tekanan dari berbagai pihak yang
berkepentingan dengan obat.
Instalasi farmasi rumah sakit (IFRS) adalah bagian dari rumah sakit yang bertugas menyelenggarakan,
mengkooadinasikan, mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan pelayanan farmasi serta melaksanaan
pembinaan teknis kefarmasian di rumah sakit, sedangkan Komite Farmasi dan Terapi adalah bagian yang
bertanggung jawab tentang penyusunan formularium rumah sakit dapat sesuai dengan aturan yang berlaku,
maka diperlukam tenaga professional dibidang tersebut. Untuk menyiapkan tenaga professional tersebut
diperlukan berbagai masukan diantaranya adalah tersedianya pedoman yang tepat digunakan dalam
pengelolaan perbekalan farmasi di rumah IFRS.
Mengingat pentingnya pelayanan farmasi di rumah sakit, maka calon
apoteker perlu memahami dan mengenal peranan apoteker di rumah sakit, khususnya Instalasi
Farmasi. Hal ini penting sebagai bekal bagi lulusan Program Pendidikan Profesi Apoteker apabila
bekerja di rumah sakit.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengelolaan Perbekalan Farmasi Rumah Sakit


Kesehatan merupakan hak asasi manusia. Setiap orang mempunyai hak untuk hidup layak, baik
menyangkut kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk di dalamnya mendapat makanan, pakaian,
dan pelayanan kesehatan serta pelayanan sosial lain yang diperlukan.
Upaya kesehatan bertujuan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan dan tempat yang
digunakan untuk menyelenggarakannya disebut sarana kesehatan. Sarana kesehatan berfungsi untuk
melakukan upaya kesehatan dasar atau upaya kesehatan rujukan dan/atau upaya kesehatan penunjang.
Selain itu, sarana kesehatan dapat juga dipergunakan untuk kepentingan pendidikan dan pelatihan serta
penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan. Salah satu sarana
kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan adalah rumah sakit (Sheina,2010).
Pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan adalah suatu proses yang merupakan siklus kegiatan
yang dimulai dari perencanaan, pengadaan/produksi, penerimaan, pendistribusian, pengawasan,
pemeliharaan, penghapusan, pemantauan, administrasi, pelaporan, dan evaluasi yang diperlukan bagi
kegiatan pelayanan. Tujuan pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yaitu agar tersedianya sediaan
farmasi dan alat kesehatan yang bermutu dalam jumlah dan pada saat yang tepat sesuai spesifikasi dan
fungsi yang ditetapkan oleh panitia farmasi dan terapi secara berdaya guna dan berhasil guna
(Quick,1997).
Pengelolaan obat oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) mempunyai peran penting dalam
pelaksanaan pelayanan kesehatan di rumah sakit, oleh karena itu pengelolaan obat yang kurang
efisien pada tahap penyimpanan akan berpengaruh terhadap peran rumah sakit secara keseluruhan
(Sheina,2010).

2.2 Perencanaan dan seleksi


2.2.1 Anggaran obat
Menurut Gomes, anggaran merupakan dokumen yang berusaha untuk mendamaikan prioritas-prioritas
program dengan sumber-sumber pendapatan yang diproyeksikan. Anggaran menggabungkan suatu
pengumuman dari aktivitas organisasi atau tujuan untuk suatu jangka waktu yang ditentukan dengan
informasi mengenai dana yang dibutuhkan untuk aktivitas tersebut atau untuk mencapai tujuan tersebut.
Menurut Mulyadi, anggaran merupakan suatu rencana kerja yang dinyatakan secara kuantitatif yang
diukur dalam satuan moneter standar dan satuan ukuran yang lain yang mencakup jangka waktu satu
tahun.
Menurut Supriyono, penganggaran merupakan perencanaan keuangan perusahaan yang dipakai sebagai
dasar pengendalian (pengawasan) keuangan perusahaan untuk periode yang akan datang (Anonim,2012).
Jadi, anggaran obat adalah suatu perencanaan yang disusun berdasarkan kebutuhan obat yang akan
diadakan dalam suatu instalasi farmasi (Anonim,2012).
2.2.2 Sistem perencanaan
Perencanaan merupakan proses kegiatan dalam pemeliharaan jenis, jumlah dan harga sediaan farmasi
dan alat kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran dalam rangka pengadaan untuk
menghindari kekosongan obat dengan metode yang dapat dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar
pelaksanaan yang telah ditentukan. Perencanaan berpedoman pada DOEN (Daftar Obat Esensial Nasional),
formularium RS, standart terapi RS, data catatan medik, anggaran yang tersedia, penetapan prioritas, siklus
penyakit, sisa persediaan, data pemakaian periode yang lalu dan rencana pengembangan (Quick,1997).
Tujuan perencanaan perbekalan farmasi adalah untuk menetapkan jenis dan jumlah perbekalan farmasi
sesuai dengan pola penyakit dan kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah sakit.
2.2.3 Metode perencanaan
Ada tiga jenis metode perencanaan yaitu konsumsi, epidemiologi, dan kombinasi keduanya yang
disesuaikan dengan anggaran setempat. Perencanaan dengan metode konsumsi dilakukan berdasarkan data
penggunaan obat diwaktu yang lalu, sedangkan metode epidemiologi dilakukan berdasarkan data tingkat
kejadian penyakit dan standart pengobatan untuk penyakit tersebut. Data penggunaan obat waktu yang lalu
untuk metode konsumsi harus akurat. Metode konsumsi ini dapat menyebabkan penggunaan obat yang
kurang rasional akan terus terjadi berbeda dengan halnya metode epidemiologi yaitu mengambil asumsi
bahwa pengobatan disesuaikan dengan penyakit yang ada atau terjadi pada saat tertentu (Siregar,2004).

Perencanaan pengadaan sediaan farmasi dan alat kesehatan mempertimbangkan dana yang tersedia. Untuk
mencapai efisiensi dalam penyusunan daftar kebutuhan obat digunakan gabungan dua cara analisis, yaitu
analisis VEN dan ABC (Paretto). Analisis VEN mengelompokan obat berdasarkan tingkat
kegawatdaruratan untuk pengobatan pasien. Pembagian VEN adalah sebagai berikut :
a. Kategori V adalah obat vital dengan jumlah sedikit tetapi harus selalu disediakan untuk
menyelamatkan jiwa pasien
b. (life-saving drug), misalnya insulin, heparin, adrenalin, atropin sulfat, albumin dan obat-obat
pelayanan kesehatan standar, misalnya serum antibisa ular.
c. Kategori E adalah obat esensial yang umum digunakan dalam pelayanan kesehatan masyarakat,
misalnya obat jantung, obat hipertensi, obat diabetes.
d. Kategori N adalah obat non-esensial yang boleh disediakan atau boleh tidak disediakan karena tidak
membahayakan nyawa bila tidak tersedia, misalnya food suplement dan vitamin (Quick,1997).
Analisis ABC/Paretto mengelompokkan obat berdasarkan volume and value of consumption obat, yaitu
sebagai berikut:
a. Kelompok A adalah obat yang berharga mahal dan sering ditulis dengan resep dokter, menyerap dana
sebesar ± 80% dari total dana dengan jumlah item ± 20% dari total item obat yang ada.
b. Kelompok B adalah obat yang dibutuhkan dalam banyak kasus dan sering keluar, menyerap dana
sebesar ± 15% dari total dana dengan jumlah item ± 60% total item obat yang ada.
c. Kelompok C adalah kelompok obat yang hanya sebagai suplemen saja. Menyerap dana sebesar ± 5%
dari total dana dengan jumlah item ± 20% total item obat yang ada (Quick,1997).
2.3 Pengadaan
Pengadaan merupakan kegiatan untuk merelisasikan kebutuhan yang telah direncanakan dan
disetujui, melalui:
1. Pembelian
2. Produksi atau pembuatan sediaan farmasi
3. Sumbangan/drooping atau hibah
Pembelian dengan penawaran yang kompetitif( tender) merupakan suatu metode penting untuk
mencapau keseimbangan yang tepat antara mutu dan harga, apabila ada dua atau lebih pemasok, apoteker
harus mendasarkan pada criteria berikut :
mutu produk, reputasi produsen, harga, berbagai syarat, ketepatan waktu pengiriman, mutu pelayanan
pemasok, dapat dipercaya, kebijakan tentang barang yang dikembalikan, dan pengemasan.

Tujuan pengadaaan :
Mendapatkan perbekalan farmasi dengan harga yang layak, dengan mutu yang baik, pengiriman
barang terjamin dan tepat waktu, proses berjalan lancer, dan tidak memerlukan tenaga serta waktu
berlebihan.
1. Pembelian
Pembelian adalah rengakain proses pengadaan unutuk mendapatkan perbekalan farmasi. Hal ini sesuai
dengan peraturan presiden RI no 94 tahun 2007 tentang pengendalian dan pengawasan atas pengadaan dan
penyaluran bahan obat, obat spesifik dan alat kesehatan yang berfungsi sebagai obat dan peraturan
presiden RI no 95 tahun 2007 tentang perubahan ketujuh atas keputusan presiden no 80 tahun 2003 tentang
pedoman pelaksanaan pengadaan barang atau jasa pemerintah.

Ada 4 metode pada proses pembelian :


a. Tender terbuka, berlaku untuk semua rekanan yang terdaftar, dan sesuai dengan criteria yang telah
ditentukan.
b. Tender terbatas, sering disebutkan lelang tertutup. Hanya dilakukan pada rekanan tertentu yang sudah
terdaftar dan memiliki riwayat yang baik
c. Pembelian dengan tawar-menawar, dilakukan bila item tidak penting, tidak banyak, dan biasanya
dilakukan pendekatan langsung untuk item tertentu
d. Pembelian langsung, pembeli jumlah kecil, perlu segera tersedia. Harga tertentu, relative agak lebih
mahal.
2. Produksi
Produksi perbekalan farmasi di rumah sakit merupakan kegiatan membuat, merubah bentuk, dan
pengemasan kembali sediaan farmasi steril atau non-steril untuk memenuhi kebutuhan pelayanan
kesehatan di rumah sakit.
Kriteria perbekalan farmasi yang di prosuksi :
a. Sediaan farmasi dengan formula khusus
b. Sediaan farmasi dengan mutu sesuai standar dengan harga lebih murah
c. Sediaan farmasi yang memerlukan pengemasan kembali
d. Sediaan farmasi yang tidak tersedia di pasaran
e. Sedian farmasi untuk penelitian
f. Sediaan nutrisi parenteral
g. Rekonstotusi sediaan perbekalan farmasi sitostasika
h. Sediaan farmasi yang harus selalu di buat baru

3. Sumbangan /hibah/droping
Pada prinsipn pengelolaan perbekalan farmasi dari hibah/ sumbangan, mengikuti kaidah umum
pengelolaan perbekalan farmasi regular. Perbekalan farmasi yang tersisa dapat dipakai untuk menunjang
pelayanan kesehatan disaat situasi normal. (Depkes RI,2008)

2.4 Penerimaan
Penerimaan adalah kegiatan untuk menerima perbekalan farmasi yang telah diadakan sesuai aturan
kefarmasian, melalui pembelian langsung, tender, konsinyasi atau sumbangan.
Penerimaan perbekalan farmasi harus dulakukan oleh petugas yang bertanggung jawab. Petugas yang
dilibatkan dalam penerimaan harus terlatih baik dalam tanggung jawab dan tugas mereka, serta harus
mengerti sifat penting dari perbekalan farmasi. Dalam tim penerimaan harus ada tenaga farmasi.
Tujuan penerimaan adalah untuk menjamin perbekalan farmasi yang diterima sesuai kontrak baik
spesifikasi mutu, jumlah maupun waktu kedatangan
Perbekalan farmasi yang di terima harus sesuai dengan spesifikasi kontrak yang telah ditetapkan. Hal
lain yang perlu diperhatikan dalam penerimaan :
1. Harus mempunyai Material, Safety, Data, Sheet(MSDS), untuk bahan berbahaya.
2. Khusus untuk alat kesehatan harus mempunyai serticate of origin.
3. Sertifikat analisa produk (Depkes RI,2008)
2.5 Penyimpanan
Gudang merupakan tempat penyimpanan sementara sediaan farmasi dan alat kesehatan sebelum
didistribusikan. Fungsi gudang adalah mempertahankan kondisi sediaan farmasi dan alat kesehatan yang
disimpan agar tetap stabil sampai ke tangan pasien (Siregar,2004).
Tujuan penyimpanan adalah :
a. Memelihara mutu sediaan farmasi
b. Menghindari penggunaan yang tidak bertanggung jawab
c. Menjaga ketersediaan
d. Memudahkan pencarian dan pengawasan (Depkes RI,2008)

Penumpukan stok barang yang kadaluwarsa dan rusak dapat dihindari dengan pengaturan sistem
penyimpanan seperti fisrt expired fisrt out (FEFO) dan fisrt in fisrt out (FIFO). Sistem FEFO adalah
dimana obat yang memiliki waktu kadaluwarsa lebih pendek keluar terlebih dahulu, sedangkan dalam
sistem FIFO obat yang pertama kali masuk adalah obat yang pertama kali keluar (Quick,1997).
Obat-obatan sebaiknya disimpan sesuai dengan syarat kondisi penyimpanan masing-masing obat.
Kondisi penyimpanan yang dimaksud antara lain adalah temperatur/suhu sekitar 20-250C, kelembaban dan
atau paparan cahaya. Tempat penyimpanan yang digunakan dapat berupa ruang atau gedung yang terpisah,
lemari, lemari terkunci, lemari es, freezer, atau ruangan sejuk. Tempat penyimpanan tergantung pada sifat
atau karakteristik masing-masing obat (Siregar,2004).
Pengaturan obat digudang dapat dikelompokkan dengan 7 cara yaitu berdasarkan :
1) Kelompok farmakologi/terapeutik
2) Indikasi klinik
3) Kelompok alphabetis
4) Tingkat penggunaan
5) Bentuk sediaan
6) Random bin
7) Kode barang.
Selain disimpan dalam tempertur yang sesuai, barang-barang sebaiknya disimpan dalam keadaan yang
mudah terambil dan tetap terlindung dari kerusakan (Siregar,2004).
Permenkes 28/MENKES/PER/I/1978 tentang penyimpanan narkotika disebutkan bahwa RS harus
memiliki tempat khusus untuk menyimpan narkotika, dimana tempat tersebut harus seluruhnya terbuat dari
kayu atau bahan lain yang kuat, selain itu tempat penyimpanan narkotika tersebut harus mempunyai kunci
yang kuat dan tempat penyimpanan terbagi menjadi 2 bagian masing-masing dengan kunci yang berlainan.

2.6. Distribusi
2.6.1 Distribusi rawat inap
Distribusi sediaan farmasi dan alat kesehatan merupakan salah satu tugas utama pelayanan farmasi
dirumah sakit. Distribusi memegang peranan penting dalam penyerahan sediaan farmasi dan alat kesehatan
yang diperlukan ke unit-unit disetiap bagian farmasi rumah sakit termasuk kepada pasien. Hal terpenting
yang harus diperhatikan adalah berkembangnya suatu proses yang menjamin pemberian sediaan farmasi
dan alat kesehatan yang benar dan tepat kepada pasien, sesuai dengan yang tertulis pada resep atau kartu
obat atau Kartu Instruksi Obat (KIO) serta dilengkapi dengan informasi yang cukup (Quick,1997).
Tujuan pendistribusian : tersedianya perbekalan farmasi diunit-unit pelayanan secara tepat waktu tepat
jenis dan jumlah (Depkes RI,2008)
Farmasi rawat inap menjalankan kegiatan pendistribusian perbekalan farmasi untuk memenuhi
kebutuhan pasien rawat inap di RS, yang diselenggarakan secara sentralisasi dan atau desentralisasi dengan
sistem persediaan lengkap diruangan, sistem resep perorangan, sistem unit dosis dan sistem kombinasi oleh
satelit farmasi.
Ada tiga macam sistem pendistribusian rawat inap, yaitu:
a) Sistem persediaan lengkap (Floor stock system), meliputi semua persediaan obat dan alat kesehatan
yang dibutuhkan diruangan. Pelayanan dalam sistem persediaan ruangan salah satu adalah penyediaan
emergency kit (kotak obat darurat) yang digunakan untuk keperluan gawat darurat (Siregar,2004).
b) Resep perorangan (individual prescribing) merupakan cara distribusi obat dan alat kesehatan
berdasarkan permintaan dalam resep atau kartu obat pasien rawat inap. Sistem ini memiliki
keuntungan berupa adanya pengkajian resep pasien oleh apoteker adanya kesempatan interaksi
profesional penggunaan obat lebih terkendali dan mempermudah penagihan biaya obat pada pasien.
Keterbatasannya adalah adanya kemungkinan keterlambatan obat untuk dapat sampai kepada pasien
(siregar dan amalia, 2004).
c) sistem unit dose dispensing (UDD) didefinisikan sebagai obat yang disiapkan dan diberikan kepada
pasien dalam unit dosis tunggal yang berisi obat untuk sekali minum. Konsep UDD bukan merupakan
inovasi baru dalam farmasi dan pengobatan. Unit dose dispensing merupakan tanggung jawab farmasi
yang tidak dapat berjalan disituasi institusi rumah sakit tanpa kerja sama dengan perawat dan staf
kesehatan yang lain. Keuntungan UDD antara lain penderita hanya membayar obat yang digunakanya
saja,mengurangi kesalahan pengobatan,memperbesar komunikasi antara apoteker-dokter perawat,serta
apoteker dapat melakukan pengkajian penggunaan obat. Keterbatasannya adalah jumlah tenaga
farmasi yang dibutuhkan lebih tinggi (Siregar dan Amalia,2004).
Kelebihan sistem UDD dibandingkan dengan sistem yang lain diantaranya adalah:
a) Pasien mendapat pelayanan farmasi yang lebih baik selama 24 jam sehari dan hanya membayar untuk
obat-obatan yang digunakan saja,
b) Semua obat yang dibutuhkan dibagian perawatan disiapkan oleh farmasi sehingga perawat mempunyai
lebih banyak waktu merawat pasien,
c) Memberikan kesempatan farmasis menginterpretasikan dan memeriksa kopi pesanan resep, bagi
perawat mengurangi kemungkinana kesalahan obat,
d) Meniadakan duplikasi pesanan obat dan kertas kerja yang berlebihan dibagian perawat dan farmasi,
e) Menghemat ruang-ruang di pos perawatan,
f) Meniadakan kemungkinan terjadi pencurian dan pemborosan obat,
g) Mengurangi kemungkinan kesalahan obat dan juga membantu menarik kembali kemasan pada saat
obat itu ditarik dari peredaran karena kemasan dosis unit masing-masing diberi label,
h) Farmasis dapat mengunjungi pos perwatan untuk menjalankan tugasnya yang diperluas
(Siregar,2004).
2.6.2 Disribusi rawat jalan
Pedoman pelayanan farmasi untuk pasien rawat jalan (ambulatory) di RS mencakup: persyaratan
manajemen, persyaratan fasilitas dan peralatan, persyaratan pengelohan order atau resep obat, dan
pedoman operasional lainnya (siregar dan amalia, 2003).
Pelayanan farmasi untuk penderita ambulatory harus dipimpin oleh seorang apoteker yang memenuhi
syarat secara hukum dan kompeten secara professional (Anonim,2012).
Sistem distribusi obat yang digunakan untuk pasien rawat jalan adalah sistem resep perorangan yaitu
cara distribusi obat pada pasien secara individual berdasarkan resep dokter. Pasien harus diberikan
informasi mengenai obat karena pasien sendiri yang akan bertanggung jawab atas pemakaian obat tanpa
adanya pengawasan dari tenaga kesehatan. Apoteker juga harus bertindak sebagai konsultan obat bagi
pasien yang melakukan swamedikasi (Siregar dan Amalia, 2003).
2.7 Pengendalian
Pengendalian persedian adalah suatu kegiatan untuk memastikan tercapainya sasaran yang diinginkan
sesuai dengan strategi dan program yang telah ditetapkan sehingga tidak terjadi kelebihan dan kekurangan/
kekosongan obat di unit-unit pelayanan.
Tujuan pengendalian : agar tidak terjadi kelbihan dan kekosongan perbekalan farmasi di unit-unit
pelayanan (Depkes RI,2008)
Kegiatan pengendalian mencakup :
a. Memperkirakan/menghitung pemakaian rata-rata periode tertentu. Jumlah stok ini disebut stok
kerja.
b. Menentukan stok optimum adalah stok obat yang diserahkan kepada unit pelayanan agar tidak
mengalami kekurangan/ kekosongan.
c. Menentukan waktu tunggu (lead time) adalah waktu yang diperlukan dari mulai pemesanan sampai
obat diterima (Depkes RI,2008)
Pengendalian obat di RS terdiri atas:
a. Sistem satu pintu,
b. Penandaan pada wadah perbekalan farmasi yang didistribusikan,
c. Pengembalian wadah bekas,
d. Penggunaan kartu kendali,
e. Menghitung dosis obat,
f. Menghitung biaya perbekalan farmasi yang dikeluarkan dan membandingkan dengan unit cost yang
diterima (Anonim,2012)

2.8 Penghapusan/ Pemusnahan


Penghapusan merupakan kegiatan penyelesaian terhadap perbekalan farmasi yang tidak terpakai
karena kadaluwarsa, rusak, mutu tidak memenuhi standar dengan cara membuat usulan penghapusan
perbekalan farmasi kepada pihak terkait sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Tujuan penghapusan adalah untuk menjamin perbekalan farmasi yang sudah tidak memenuhi syarat
dikelola sesuai dengan standar yang berlaku. Adanya penghapusan akan mengurangi beban penyimpanan
maupun mengurangi risiko terjadi penggunaan obat yang sub standar (Depkes RI,2008)
Prosedur Tetap Pemusnahan Sediaan Farmasi dan Perbekalan Kesehatan
a. Melaksanakan inventarisasi terhadap sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan yang akan
dimusnahkan,
b. Menyiapkan adminstrasi (berupa laporan dan berita acara pemusnahan),
c. Mengkoordinasikan jadwal, metode dan tempat pemusnahan kepada pihak terkait,
d. Menyiapkan tempat pemusnahan,
e. Melakukan pemusnahan disesuaikan dengan jenis dan bentuk sediaan,
f. Membuat laporan pemusnahan obat dan perbekalan kesehatan, sekurang-kurangnya memuat:
1) Waktu dan tempat pelaksanaan pemusnahan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan,
2) Nama dan jumlah sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan,
3) Nama apoteker pelaksana pemusnahan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan,
4) Nama saksi dalam pelaksanaan pemusnahan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan,
5) Laporan pemusnahan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan ditandatangani oleh apoteker dan
saksi dalam pelaksanaan pemusnahan.
Pemusnahan Narkotika diatur dalam pasal 60 dan 61 UU No.22 Tahun 1997, yaitu:
Pasal 60:
a) Diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan atau tidak dapat digunakan
dalam proses produksi,
b) Kadarluarsa,
c) Tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan atau untuk pengembangan
ilmu pengetahuan, atau
d) Berkaitan dengan tindak pidana.
Pasal 61:
1) Pemusnahan Narkotika sebagaimana dimaksud dalam pasal 60 huruf a, b dan c dilaksanakan oleh
pemerintah, orang atau badan yang bertanggung jawab atas produksi dan atau peredaran narkotika,
sarana kesehatan tertentu, serta lembaga ilmu pengetahuan tertentu dengan disaksikan oleh pejabat
yang ditunjuk Menkes,
2) Pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dengan pembuatan berita acara yang
sekurang-kurangnya memuat:
a) Nama, jenis, sifat dan jumlah,
b) Keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan dan tahun dilakukan pemusnahan,
c) Tanda tangan dan identitas lengkap pelaksana dan pejabat yang menyaksikan pemusnahan.

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,


Pasal 75:
Dalam rangka melakukan penyidikan, penyidik BNN berwenang:
a) Melakukan penyelidikan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang adanya penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika,
b) Memeriksa orang atau korporasi yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika,
c) Memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi,
d) Memeriksa tanda pengenal diri tersangka, menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika serta,
e) Memeriksa, menggeledah, dan menyita barang bukti tindak pidana dalam penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika,
f) Memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika,
g) Menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika,
h) Melakukan interdiksi terhadap peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika di seluruh wilayah
juridiksi nasional,
i) Melakukan penyadapan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika setelah terdapat bukti awal yang cukup,
j) Melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan,
k) Memusnahkan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
l) Melakukan tes urine, tes darah, tes rambut, tes asam dioksiribonukleat (DNA), dan/atau tes bagian
tubuh lainnya,
m) Mengambil sidik jari dan memotret tersangka,
n) Melakukan pemindaian terhadap orang, barang, binatang, dan tanaman,
o) Membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui pos dan alat-alat perhubungan lainnya yang
diduga mempunyai hubungan dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika,
p) Melakukan penyegelan terhadap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang disita,
q) Melakukan uji laboratorium terhadap sampel dan barang bukti Narkotika dan Prekursor Narkotika,
r) Meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tugas penyidikan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, dan
s) Menghentikan penyidikan apabila tidak cukup bukti adanya dugaan penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 91
1) Kepala kejaksaan negeri setempat setelah menerima pemberitahuan tentang penyitaan barang
Narkotika dan Prekursor Narkotika dari penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia atau penyidik
BNN, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari wajib menetapkan status barang sitaan Narkotika dan
Prekursor Narkotika tersebut untuk kepentingan pembuktian perkara, kepentingan pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, kepentingan pendidikan dan pelatihan, dan/atau dimusnahkan.
2) Barang sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika yang berada dalam penyimpanan dan pengamanan
penyidik yang telah ditetapkan untuk dimusnahkan, wajib dimusnahkan dalam waktu paling lama 7
(tujuh) hari terhitung sejak menerima penetapan pemusnahan dari kepala kejaksaan negeri setempat.
3) Penyidik wajib membuat berita acara pemusnahan dalam waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua
puluh empat) jam sejak pemusnahan tersebut dilakukan dan menyerahkan berita acara tersebut kepada
penyidik BNN atau penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat dan tembusan berita
acaranya disampaikan kepada kepala kejaksaan negeri setempat, ketua pengadilan negeri setempat,
Menteri, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
4) Dalam keadaan tertentu, batas waktu pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu yang sama.
5) Pemusnahan barang sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan ketentuan
Pasal 75 huruf k.
6) Barang sitaan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi diserahkan kepada
Menteri dan untuk kepentingan pendidikan dan pelatihan diserahkan kepada Kepala BNN dan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam waktu paling lama 5 (lima) hari terhitung sejak
menerima penetapan dari kepala kejaksaan negeri setempat.
7) Kepala BNN dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
menyampaikan laporan kepada Menteri mengenai penggunaan barang sitaan untuk kepentingan
pendidikan dan pelatihan.

2.9 Pencatatan dan Pelaporan


2.9.1 Pencatatan
Pencatatan merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk memonitor transaksi perbekalan farmasi yang
keluar dan masuk di lingkungan IFRS. Adanya pencatatan akan memudahkan petugas untuk
melakukan penelusuran bila terjadi adanya mutu obat yang sub standar dan harus ditarik dari
peredaran. Pencatatan dapat dilakukan dengan menggunakan bentuk digital maupun manual. Kartu
yang umum digunakan untuk melakukan pencatatan adalah Kartu Stok dan Kartu Stok Induk
(Anonim,2012).
Fungsi:
1) Kartu stok digunakan untuk mencatat mutasi perbekalan farmasi (penerimaan, pengeluaran, hilang,
rusak, atau kadaluwarsa),
2) Tiap lembar kartu stok hanya diperuntukkan mencatat data mutasi 1(satu) jenis perbekalan farmasi
yang berasal dari 1 (satu) sumber anggaran,
3) Data pada kartu stok digunakan untuk menyusun laporan, perencanaan pengadaan distribusi dan
sebagai pembanding terhadap keadaan fisik perbekalan farmasi dalam tempat penyimpanan (Depkes
RI,2008)
Hal-hal yang harus diperhatikan:
1) Kartu stok diletakkan bersamaan/berdekatan dengan perbekalan farmasi bersangkutan,
2) Pencatatan dilakukan secara rutin dari hari ke hari,
3) Setiap terjadi mutasi perbekalan farmasi (penerimaan, pengeluaran, hilang, rusak/kadaluwarsa)
langsung dicatat di dalam kartu stok,
4) Penerimaan dan pengeluaran dijumlahkan pada setiap akhir bulan (Depkes RI,2008)

Informasi yang didapat:


1) Jumlah perbekalan farmasi yang tersedia (sisa stok),
2) Jumlah perbekalan farmasi yang diterima,
3) Jumlah perbekalan farmasi yang keluar,
4) Jumlah perbekalan farmasi yang hilang/ rusak/ kadaluwarsa,
5) Jangka waktu kekosongan perbekalan farmasi.

Manfaat informasi yang didapat:


1) Untuk mengetahui dengan cepat jumlah persediaan perbekalan farmasi,
2) Penyusunan laporan,
3) Perencanaan pengadaan dan distribusi,
4) Pengendalian persediaan,
5) Untuk pertanggungjawaban bagi petugas penyimpanan dan pendistribusian,
6) Sebagai alat bantu kontrol bagi Kepala IFRS.
Hal-hal yang harus Diperhatikan
1) Petugas pencatatan dan evaluasi, mencatat segala penerimaan dan pengeluaran perbekalan farmasi
di Kartu Stok Induk.
2) Kartu Stok Induk adalah :
a) Sebagai pencerminan perbekalan farmasi yang ada di gudang,
b) Alat bantu bagi petugas untuk pengeluaran perbekalan farmasi,
c) Alat bantu dalam menentukan kebutuhan.
3) Bagian judul pada kartu induk persediaan perbekalan farmasi diisi dengan :
a) Nama perbekalan farmasi tersebut,
b) Sumber/asal perbekalan farmasi,
c) Jumlah persediaan minimum yang harus ada dalam persediaan, dihitung sebesar waktu tunggu,
d) Jumlah persediaan maksimum yang harus ada dalam persediaan=sebesar stok kerja+waktu
tunggu+ stok pengaman.
4) Kolom-kolom pada Kartu Stok Induk persediaan perbekalan farmasi diisi dengan:
a) Tanggal diterima atau dikeluarkan perbekalan farmasi,
b) Nomor dan tanda bukti misalnya nomor faktur dan lain-lain,
c) Dari siapa diterima perbekalan farmasi atau kepada siapa dikirim,
d) Jumlah perbekalan farmasi yang diterima berdasarkan sumber anggaran,
e) Jumlah perbekalan farmasi yang dikeluarkan,
f) Sisa stok perbekalan farmasi dalam persediaan,
g) Keterangan yang dianggap perlu, misalnya tanggal dan tahun kadaluwarsa, nomor batch dan lain-lain.
2.9.2 Pelaporan
Pelaporan adalah kumpulan catatan dan pendataan kegiatan administrasi perbekalan farmasi, tenaga dan
perlengkapan kesehatan yang disajikan kepada pihak yang berkepentingan.
Tujuan:
a) Tersedianya data yang akurat sebagai bahan evaluasi,
b) Tersedianya informasi yang akurat,
c) Tersedianya arsip yang memudahkan penelusuran surat dan laporan,
d) Mendapat data yang lengkap untuk membuat perencanaan (Depkes RI,2008)

Jenis laporan yang sebaiknya dibuat oleh IFRS meliputi:

No Jenis Laporan Kegunaan Ket.


1. Keuangan (laporan Untuk keperluan audit,
yang telah dikeluarkan wajib dibuat
oleh IFRS)
2. Mutasi perbekalan Untuk keperluan
farmasi perencanaan, wajib dibuat
3. Penulisan resep generik Untuk keperluan
dan non generik pengadaan, wajib dibuat
4. Narkotika dan Untuk audit POM dan
Psikotropika keperluan perencanaan,
wajib dibuat
5. Stok opname Untuk keperluan audit dan
perencanaan, wajib dibuat
6. Pendistribusian, berupa Untuk keperluan audit dan
jumlah dan rupiah perencanaan, wajib dibuat
7. Penggunaan obat Untuk keperluan audit dan
program perencanaan, wajib dibuat
8. Pemakaian perbekalan Jaminan Kesehatan bagi
farmasi Masyarakat Miskin Untuk
keperluan audit dan
perencanaan, wajib dibuat
9. Jumlah resep Untuk keperluan
perencanaan
10. Kepatuhan terhadap Untuk keperluan
formularium perencanaan, informasikan
untuk KFT
11. Penggunaan obat Untuk keperluan
terbesar perencanaan, informasikan
untuk KFT
12. Penggunaan antibiotik Untuk keperluan
perencanaan, informasikan
untuk KFT
13. Kinerja Untuk audit

2.10 Monitoring dan Evaluasi


Salah satu upaya untuk terus mempertahankan mutu pengelolaan perbekalan farmasi dirumah sakit adalah
dengan melakukan kegiatan monitoring dan evaluasi. Kegiatan ini juga bermanfaat sebagai masukan guna
penyusunan perencanaandan pengambilan keputsan. Pelaksanaan evaluasi dapat dilakukan secara periodic
dan berjenjang. Keberhasilan evaluasi ditentukan oleh supervisor maupun alat yang digunakan (Depkes
RI,2008)

2.10.1 Monitoring
Monitoring adalah proses rutin pengumpulan data dan pengukuran kemajuan atas objektif
program/memantau perubahan yang fokus pada proses masuk dan keluar.

1) Monitoring melibatkan perhitungan atas apa yang kita lakukan


2) Monitoring melibatkan pengamatan atas kualitas dari layanan yang kita berikan (Depkes RI,2008)

2.10.2 Evaluasi
Evaluasi adalah penggunaan metode penelitian sosial secara sistematis menginvestigasi efektifitas
program dan menilai kontribusi program terhadap perubahan (Goal/objektif) dan menilai kebutuhan
perbaikan, kelanjutan atau perluasan program (rekomendasi)
1) Evaluasi memerlukan desain studi/penelitian,
2) Evaluasi terkadang membutuhkan kelompok kontrol atau kelompok pembanding,
3) Evaluasi melibatkan pengukuran seiring dengan berjalannya waktu,
4) Evaluasi melibatkan studi/penelitian khusus.
Kaitan antara Monitoring dan Evaluasi adalah evaluasi memerlukan hasil dari monitoring dan
digunakan untuk kontribusi program (Anonim, 2012).
Monitoring bersifat spesifik program, sedangkan Evaluasi tidak hanya dipengaruhi oleh program itu
sendiri, melainkan variabel-variabel dari luar. Tujuan dari Evaluasi adalah evalausi efektifitas dan cost
effectiveness.
Tujuan : meningkankan produktivitas para pengelola perbekalan farmasi di rumah sakit agar dapat
ditingkatkan secara optimum (Depkes RI,2008)

2.11 Pelayanan farmasi klinik


Pelayan farmasi klinik adalah pendekatan profesional yang bertangggung jawab dalam menjamin
penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan sesuai indikasi, efektif, aman dan terjangkau oleh pasien
melalui penerapan pengetahuan, keahlian, keterampilan dan prilaku tenaga farmasi serta bekerja sama
dengan profesi kesehatan yang lain. Tujuan pelayanan farmasi klinik adalah:
2) Memberikan pelayanan farmasi yang dapat menjamin efektivitas, keamanan dan efisiensi penggunaan
obat,
3) Meningkatkan kerjasama dengan pasien dan profesi kesehatan lain yang terkait dalam pelayanan
farmasi,
4) Meningkatkan mutu dan memperluas cakupan pelayanan farmasi di rumah sakit,
5) Melaksanakan kebijakan obat dirumah sakit dalam rangka meningkatkan penggunaan obat secara
rasional (Anonim.2012).
Karakteristik pelayanan farmasi klinik di rumah sakit adalah :

1) Berorientasi kepada pasien,


2) Terlibat langsung di ruang perawatan di rumah sakit (bangsal),
3) Bersifat pasif, dengan melakukan intervensi setelah pengobatan dimulai dan memberi informasi bila
diperlukan,
4) Bersifat aktif, dengan memberi masukkan kepada dokter sebelum pengobatan dimulai, atau
menerbitkan buletin informasi obat atau pengobatan,
5) Bertanggungjawab atas semua saran atau tindakan yang dilakukan,
6) Menjadi mitra dan pendamping dokter.
Sistem pelayanan kesehatan pada konteks farmasi klinik, farmasi adalah ahli pengobatan dalam terapi.
Mereka bertugas melakukan evalusi pengobatan dan memberikan rekomendasi pengobatan, baik
kepada pasien maupun tenaga kesehatan lain. Farmasis merupakan sumber utama informasi ilmiah
terkait dengan penggunaan obat yang aman, tepat dan cost effective.

Kegiatan pelayanan farmasi klinik meliputi:


b) Pengkajian resep, yaitu merupakan kegiatan dalam pelayanan kefarmasian yang dimulai dari seleksi
persyaratan administrasi, persyaratan farmasi dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap
maupun rawat jalan,
c) Dispensing, yaitu merupakan kegiatan pelayanan yang dimulai dari tahap validasi, interprestasi,
menyiapkan/meracik obat, memberikan label/tiket, penyerahan obat dengan memberikan informasi
obat yang memadai disertai sistem dokumentasi. Dispensing dibedakan berdasarkan atas sifat sediaan,
yaitu dispensing sediaan farmasi khusus (nutrisi parental dan pencampuran obat steril) dan dispensing
sediaan farmasi berbahaya (penanganan obat kanker secara aseptis),
d) Pemantauan dan pelaporan efek samping obat, yaitu merupakan pemantauan setiap respon terhadap
obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan pada
manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi,
e) Pelayanan informasi obat (PIO), yaitu kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh tenaga farmasi untuk
memberikan informasi secara akurat, tidak bias dan terkini kepada perawat, profesi kesehatan lainnya
dan pasien.
Tujuan dari PIO adalah:
1) Menyediakan informasi mengenai obat kepada pasien atau keluarganya dan tenaga kesehatan
dilingkungan rumah sakit,
2) Menyediakan inforamasi untuk kebijakan yang berhubungan dengan obat yang ditetapkan PFT,
3) Meningkatkan profesionalisme tenaga farmasi,
4) Menunjang pengolahan dan terapi obat yang rasional dan berorientasi pada pasien,
5) Konseling,adalah suatu proses sistematik untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah pasien
yang berkaitan dengan pengambilan dan penggunaan obat pasien rawat jalan dan rawat inap,
6) Pemantauan kadar obat dalam darah, yaitu melakukan pemeriksaan kadar beberapa obat tertentu atas
permintaan dokter yang merawat karena indeks terapi yang sempit,
7) Ronde/visite pasien, yaitu kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap bersama tim dokter dan tenaga
kesehatan lainnya. Hal ini bertujuan: pemilihan obat, menerapkan secara langsung pengetahuan
farmakologi terapik, menilai kemajuan pasien, bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain,
8) Pengkajian penggunaan obat, yaitu program evaluasi penggunaan obat yang terstruktur dan
berkesinambungan untuk menjamin obat-obatan yang digunakan sesuai indikasi, efektif, aman dan
terjangkau oleh pasien (Anonim,2001).

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan adalah suatu proses yang merupakan siklus kegiatan
yang dimulai dari perencanaan, pengadaan/produksi, penerimaan, pendistribusian, pengawasan,
pemeliharaan, penghapusan, pemantauan, administrasi, pelaporan, dan evaluasi yang diperlukan bagi
kegiatan pelayanan. Tujuan pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yaitu agar tersedianya sediaan
farmasi dan alat kesehatan yang bermutu dalam jumlah dan pada saat yang tepat sesuai spesifikasi dan
fungsi yang ditetapkan oleh panitia farmasi dan terapi secara berdaya guna dan berhasil guna.
Untuk menyiapkan tenaga professional tersebut diperlukan berbagai masukan diantaranya adalah
tersedianya pedoman yang tepat digunakan dalam pengelolaan perbekalan farmasi di rumah
IFRS.Mengingat pentingnya pelayanan farmasi di rumah sakit, maka calon apoteker perlu
memahami dan mengenal peranan apoteker di rumah sakit, khususnya Instalasi Farmasi. Hal ini
penting sebagai bekal bagi lulusan Program Pendidikan Profesi Apoteker apabila bekerja di rumah
sakit.
PENDAHULUAN

Apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan dalam membantu mewujudkan tercapainya
derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan
secara sendirisendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan,
mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan atau
masyarakat.

Selain itu juga sebagai salah satu tempat pengabdian dan praktek profesi apoteker dalam melaksanakan
pekerjaan kefarmasiaan. Apotek adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan
penyaluran perbekalan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. Definisi diatas ditetapkan
berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1332/Menkes/SK/X/2002 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pemberian Izin Apotek pasal 1 ayat (a).

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan


Kefarmasian di Apotek, apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan telah
mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan
kefarmasian di Indonesa sebagai Apoteker. Adapun Asisten Apoteker adalah tenaga kesehatan yang membantu
Apoteker. Asisten Apoteker menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 679/MENKES/SK/V/2003 Pasal 1,
tentang Registrasi dan Izin Kerja Asisten Apoteker menyebutkan bahwa “Asisten Apoteker adalah Tenaga
Kesehatan yang berijasah Sekolah Menengah Farmasi, Akademi Farmasi Jurusan Farmasi Politeknik Kesehatan,
Akademi Analisis Farmasi dan Makanan Jurusan Analis Farmasi dan Makanan Politeknik Kesehatan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Di Apotek, Asisten Apoteker merupakan salah satu tenaga kefarmasian yang bekerja di bawah pengawasan
seorang Apoteker yang memiliki SIA (Surat Izin Apotek). Apoteker Pengelola Apotek (APA) merupakan orang yang
bertanggung jawab di Apotek dalam melakukan pekerjaan kefarmasian. Pelayanan kefarmasian yang dilakukan
oleh Apoteker dan Asisten Apoteker di apotek haruslah sesuai dengan standar profesi yang dimilikinya. Karena
Apoteker dan Asisten Apoteker dituntut oleh masyarakat pengguna obat (pasien) untuk bersikap secara
professional.

Kewajiban Asisten Apoteker Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/MENKES/X?2002 adalah
melayani resep dokter sesuai dengan tanggung jawab dan standar profesinya yang dilandasi pada kepentingan
masyarakat serta melayani penjualan obat yang dapat dibeli tanpa resep dokter, serta memberi informasi kepada
pasien. Surat Izin Kerja Asisten Apoteker, dalam Pasal 1 KEPMENKES yaitu “bukti tertulis yang diberikan kepada
Pemegang Surat Izin Asisten Apoteker (SIAA) untuk melakukan pekerjaan kefarmasian di sarana kefarmasian”.
Dengan begitu, jelas bahwa hanya Asisten Apoteker yang telah memiliki Surat Izin Asisten Apoteker sajalah yang
dapat mengajukan permohonan perolehan Surat Izin Kerja Asisten Apoteker. Dan juga, hanya Asisten Apoteker
yang memiliki Surat Izin Kerja Asisten Apoteker sajalah yang dapat melakukan pekerjaan kefarmasian seperti
pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan
obat, bahan obat dan obat tradisional, baik itu dibawah pengawasan Apoteker, tenaga kesehatan atau dilakukan
secara mandiri sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagai contoh, pada toko obat berizin,
puskesmas atau Pedagang Besar Farmasi (PBF) dimana seorang Asisten Apoteker dapat melakukan pekerjaan
kefarmasian tanpa pengawasan. Oleh sebab itu, seorang Asisten Apoteker harus memiliki Surat Izin Kerja Asisten
Apoteker,

A. Pengertian Apotek

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Kepmenkes RI) No. 1332/MENKES/SK/X/2002,
tentang Perubahan atas Peraturan MenKes RI No. 922/MENKES/PER/X/1993 mengenai Ketentuan dan Tata Cara
Pemberian Izin Apotek, yang dimaksud dengan apotek adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan
kefarmasian penyaluran perbekalan farmasi kepada masyarakat.

Tugas dan Fungsi apotek

Tugas dan Fungsi Apotek berdasarkan Peraturan Pemerintah No.25 tahun 1980, tugas dan fungsi apotek adalah
sebagai berikut:

 Tempat pengabdian profesi apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan.


 Sarana farmasi yang telah melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, dan penyerahan
obat atau bahan obat.
 Sarana penyaluran perbekalan farmasi yang harus menyalurkan obat yang diperlukan masyarakat secara
luas dan merata.
 Sebagai sarana pelayanan informasi obat dan perbekalan farmasi lainnya kepada masyarakat.

Landasan Hukum Apotek


Apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan masyarakat yang diatur dalam:

a. Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.


b. Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
c. Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika.
d. Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 1980 tentang Perubahan atas PP No. 26 tahun 1965 mengenai
Apotek.
e. Peraturan Pemerintah No 41 tahun 1990 tentang Masa Bakti dan Izin kerja Apoteker, yang
disempurnakan dengan Peraturan Menteri kesehatan No. 184/MENKES/PER/II/1995.
f. Peraturan Menteri Kesehatan No. 695/MENKES/PER/VI/2007 tentang perubahan kedua atas
Peraturan Menteri Kesehatan No. 184 tahun 1995 tentang penyempurnaan pelaksanaan masa
bakti dan izin kerja apoteker.
g. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1332/MENKES/SK/X/2002 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan
dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek.
h. Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Apotek.
B. Manajemen Apotek

Manajemen Apotek, adalah manajemen farmasi yang diterapkan di apotek. Sekecil apapun suatu apotek,
sistem manajemEnnya akan terdiri atas setidaknya beberapa tipe manajemen, yaitu :
1. Manajemen keuangan
2. Manajemen pembelian
3. Manajemen penjualan
4. Manajemen Persediaan barang
5. Manajemen pemasaran
6. Manajemen khusus

Manajemen keuangan tentunya berkaitan dengan pengelolaan keuangan, keluar masuknya uang, penerimaan,
pengeluaran, dan perhitungan farmako ekonominya.

Manajemen pembelian meliputi pengelolaan defekta, pengelolaan vendor, pemilihan item barang yang harus
dibeli dengan memperhatikan FIFO dan FEFO, kinetika arus barang, serta pola epidemiologi masyarakat sekitar
apotek.

Manajemen penjualan meliputi pengelolaan penjualan tunai, kredit, kontraktor.

Manajemen persediaan barang meliputi pengelolaan gudang, persediaan bahan racikan, kinetika aarus
barang. Manajemen persediaan barang berhubungan langsung dengan manajemen pembelian.

Manajemen pemasaran , berkaitan dengan pengelolaan dan teknik pemasaran untuk meraih pelanggan
sebanyak-banyaknya. Manajemen pemasaran ini tampak padaapotek modern, tetapi jarang diterapkan pada
apotek-apotek konvensional.
Manajemen khusus, merupakan manajemen khas yang diterapkan apotek sesuai dengan kekhasannya, contohnya
pengelolaan untuk apotek yang dilengkapi dengan laboratorium klinik, apotek dengan swalayan, dan apotek yang
bekerjasama dengan balai pengobatan, dan lain-lain.

Prosedur Pendirian Apotek

Menurut KepMenKes RI No.1332/Menkes/SK/X/2002, disebutkan bahwa persyaratan-persyaratan apotek adalah


sebagai berikut:

1. Untuk mendapatkan izin apotek, apoteker atau apoteker yang bekerjasama dengan pemilik sarana yang
telah memenuhi persyaratan harus siap dengan tempat, perlengkapan termasuk sediaan farmasi dan
perbekalan farmasi yang lain yang merupakan milik sendiri atau milik pihak lain.
2. Sarana apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan pelayanan komoditi yang lain di luar sediaan
farmasi.
3. Apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi yang lain di luar sediaan farmasi.Beberapa
persyaratan yang harus diperhatikan dalam pendirian apotek adalah:

Lokasi dan Tempat


Jarak antara apotek tidak lagi dipersyaratkan, namun sebaiknya tetap mempertimbangkan segi penyebaran dan
pemerataan pelayanan kesehatan, jumlah penduduk, dan kemampuan daya beli penduduk di sekitar lokasi apotek,
kesehatan lingkungan, keamanan dan mudah dijangkau masyarakat dengan kendaraan.
Bangunan dan Kelengkapan

Bangunan apotek harus mempunyai luas dan memenuhi persyaratan yang cukup, serta memenuhi persyaratan
teknis sehingga dapat menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi apotek serta memelihara mutu
perbekalan kesehatan di bidang farmasi.

Bangunan apotek sekurang-kurangnya terdiri dari :

4. Ruang tunggu, ruang administrasi dan ruang kerja apoteker, ruang penyimpanan obat, ruang peracikan dan
penyerahan obat, tempat pencucian obat, kamar mandi dan toilet.
5. Bangunan apotek juga harus dilengkapi dengan : Sumber air yang memenuhi syarat kesehatan, penerangan
yang baik, Alat pemadam kebakaran yang befungsi baik, Ventilasi dan sistem sanitasi yang baik dan
memenuhi syarat higienis, Papan nama yang memuat nama apotek, nama APA, nomor SIA, alamat apotek,
nomor telepon apotek.

Perlengkapan Apotek
Apotek harus memiliki perlengkapan, antara lain:

1. Alat pembuangan, pengolahan dan peracikan seperti timbangan, mortir, gelas ukur dll. Perlengkapan dan
alat penyimpanan, dan perbekalan farmasi, seperti lemari obat dan lemari pendingin.
2. Wadah pengemas dan pembungkus, etiket dan plastik pengemas.
3. Tempat penyimpanan khusus narkotika, psikotropika dan bahan beracun.
4. Buku standar Farmakope Indonesia, ISO, MIMS, DPHO, serta kumpulan peraturan per-UU yang
berhubungan dengan apotek.
5. Alat administrasi, seperti blanko pesanan obat, faktur, kwitansi, salinan resep dan lain-lain.

Prosedur perizinan apotek


Untuk mendapatkan izin apotek, APA atau apoteker pengelola apotek yang bekerjasama dengan pemilik sarana
harus siap dengan tempat, perlengkapan, termasuk sediaan farmasi dan perbekalan lainnya. Surat izin apotek (SIA)
adalah surat yang diberikan Menteri Kesehatan RI kepada apoteker atau apoteker bekerjasama dengan pemilik
sarana untuk membuka apotek di suatu tempat tertentu.

Wewenang pemberian SIA dilimpahkan oleh Menteri Kesehatan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota wajib melaporkan pelaksanaan pemberian izin, pembekuan izin,
pencairan izin, dan pencabutan izin apotek sekali setahun kepada Menteri Kesehatan dan tembusan disampaikan
kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi.

Sesuai dengan Keputusan MenKes RI No.1332/MenKes/SK/X/2002 Pasal 7 dan 9 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pemberian Izin Apotek, yaitu:

1. Permohonan izin apotek diajukan kepada Kepala Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota selambat-lambatnya 6 hari setelah menerima permohonan dapat meminta
bantuan teknis kepada Kepala Balai POM untuk melakukan pemeriksaan setempat terhadap kesiapan
apotek untuk melakukan kegiatan.
2. Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM selambat-lambatnya 6 hari kerja setelah
permintaan bantuan teknis dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan hasil pemeriksaan.
3. Dalam hal pemerikasaan dalam ayat (2) dan (3) tidak dilaksanakan, apoteker pemohon dapat membuat
surat pernyataan siap melakukan kegiatan kepada Kepala Kantor Dinas Kesehatan setempat dengan
tembusan kepada Kepala Dinas Propinsi.
4. Dalam jangka 12 hari kerja setelah diterima laporan pemeriksaan sebagaimana ayat (3) atau persyaratan
ayat (4), Kepala Dinas Kesehatan setempat mengeluarkan surat izin apotek.
5. Dalam hasil pemerikasaan tim Dinas Kesehatan setempat atau Kepala Balai POM dimaksud (3) masih
belum memenuhi syarat Kepala Dinas Kesehatan setempat dalam waktu 12 hari kerja mengeluarkan surat
penundaan.
6. Terhadap surat penundaan sesuai dengan ayat (6), apoteker diberikan kesempatan untuk melengkapi
persyaratan yang belum dipenuhi selambat-lambatnya dalam waktu satu bulan sejak tanggal surat
penundaan.
7. Terhadap permohonan izin apotek bila tidak memenuhi persyaratan sesuai pasal (5) dan atau pasal (6),
atau lokasi apotek tidak sesuai dengan permohonan, maka Kepala Dinas Kesehatan Dinas setempat dalam
jangka waktu selambat-lambatnya 12 hari kerja wajib mengeluarkan surat penolakan disertai dengan
alasan-alasannya.

Pelayanan Apotek

1. Pelayanan Resep
1. Skrining Resep Apoteker melakukan skrining resep meliputi :

- Persyaratan Administratif :
 Nama, SIP dan alamat dokter

 Tanggal penulisan resep

 Tanda tangan/paraf dokter penulis resep

 Nama, alamat, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien

 Cara pemakaian yang jelas

 Informasi lainnya

- Kesesuaian farmasetik : bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian

- Pertimbangan klinis : adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain
lain). Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan
memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlumenggunakan persetujuan setelah
pemberitahuan.

2. Penyiapan obat.

- Peracikan merupakan kegiatan menyiapkan menimbang, mencampur, mengemas dan memberikan etiket pada
wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis,
jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar.
- Etiket harus jelas dan dapat dibaca.

- Kemasan obat yang diserahkan hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga
kualitasnya.

- Penyerahan Obat. Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap
kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi
obat dan konseling kepada pasien.

- Informasi Obat. Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak
bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi: cara pemakaian
obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus
dihindari selama terapi.

- Konseling. Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan
kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari
bahaya penyalahgunaan atau penggunaan obat yang salah. Untuk penderita penyakit tertentu seperti
kardiovaskular, diabetes, TBC, asma dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara
berkelanjutan.

- Monitoring Penggunaan Obat. Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan
pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti kardiovaskular, diabetes, TBC, asma,
dan penyakit kronis lainnya.

- Promosi dan Edukasi. Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus memberikan edukasi apabila
masyarakat ingin mengobati diri sendiri (swamedikasi) untuk penyakit ringan dengan memilihkan obat yang
sesuai dan apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu
diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet /brosur, poster, penyuluhan, dan lain lainnya.

2. Pelayanan Residensial (Home Care). Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan
kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan
pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas ini apoteker harus membuat catatan berupa catatan
pengobatan (medication record).

EVALUASI MUTU PELAYANAN


Indikator yang digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan adalah:

1. Tingkat kepuasan konsumen dilakukan dengan survei berupa angket atau wawancara langsung.
2. Dimensi waktuLama pelayanan diukur dengan waktu ( yang telah ditetapkan).
3. Prosedur Tetap ( Protap )Untuk menjamin mutu pelayanan sesuai standar yang telah ditetapkan.

Disamping itu prosedur tetap bermanfaat untuk:

1. Memastikan bahwa praktik yang baik dapat tercapai setiap saat;


2. Adanya pembagian tugas dan wewenang;
3. Memberikan pertimbangan dan panduan untuk tenaga kesehatan lain yang bekerja di apotek;
4. Dapat digunakan sebagai alat untuk melatih staf baru;
5. Membantu proses audit.

Prosedur tetap disusun dengan format sebagai berikut:

1. Tujuan merupakan tujuan protap.


2. Ruang lingkup berisi pernyataan tentang pelayanan yang dilakukan dengan kompetensi yang diharapkan.
3. Hasil yang dicapai oleh pelayanan yang diberikan dan dinyatakan dalam bentuk yang dapat diukur.
4. Persyaratan hal-hal yang diperlukan untuk menunjang pelayanan.
5. Proses berisi langkah-langkah pokok yang perlu dilkuti untuk penerapan standar. Sifat protap adalah
spesifik mengenai kefarmasian.

C. Tugas dan Tanggung Jawab Personil Apotek

Manejer Apotek Pelayanan

Apotek Rama dipimpin oleh seorang Apoteker sebagai manager pelayanan yang telah mengucapkan
sumpah apoteker yang telah memiliki Surat Izin Kerja (SIK), juga memiliki kemampuan memimpin dan bertanggung
jawab penuh terhadap pekerjaan di apotek. Selain itu juga APA harus menguasai kemampuan manajemen yaitu,
perencanaan, koordinasi, kepemimpinan dan pengawasan disamping kemampuan di bidang farmasi baik teknis
maupun non teknis.

Tugas dan Tanggung Jawab pimpinan Apotek adalah :

1. Memimpin, menentukan kebijaksanaan dan melaksanakan pengawasan dan pengendalian apotek sesuai UU
yg berlaku
2. Menyusun program kerja karyawan untuk mencapai sasaran yang ditetapkan
3. Memberikan pelayanan dan informasi obat dan perbekalan farmasi kepada pasien, dokter, dan tenaga
kesehatan lainnya
4. Melaksanakan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk perkembangan apotek
5. Menguasai dan melaksanakan peraturan perundang-undangan farmasi yang berlaku

Fungsi Administrasi

1. Membuat laporan realisasi data dan anggaran setiap bulan

2. Membuat laporan penutupan buku

3. Melakukan rekaptulasi buku penjualan tunai dihitung

berdasarkan jumlah resep dan rekaptulasi buku pembelian

Fungsi Pembelian

1. Membuat kebutuhan barang pada buku permintaan barang


2. Membuat Bon Permintaan Barang Apotek (BPBA) sesuai dengan data kebutuhan barang yang tercatat pada
buku permintaan barang dan pareto penjualan
3. Membuat retur atau pengembalian barang bila terjadi kesalahan dalam pengiriman barang
Karyawan/ Karyawati

Karyawan/Karyawati mencakup asisten apoteker dan non asisten apoteker.

1) Tugas dan tanggung jawab asisten apoteker antara lain :


a. Mengatur penyimpanan obat dan penyusunan apotek
b. Memberi harga pada setiap resep dokter yang masuk dan memeriksa kelengkapan resep
c. Melayani dan meracik obat sesuai dengan resep dokter
d. Menghitung dosis obat untuk racikan sesuai permintaan resep
e. Menimbang, menyiapkan, mengemas, dan memberi etiket obat yang akan diserahkan pada pasien
f. Memeriksa kebenaran obat sebelum diserahkan pada pasien
g. Menyerahkan obat sekaligus memberi informasi mengenai cara pemakaian dan informasi lainnya mengenai
obat tersebut kepada pasien.
h. Membuat salinan resep bila diperlukan oleh pasien, bila obat hanya ditebus sebagian atau resep diulang serta
membuat kuitansi bila diperlukan.
i. Berpartisipasi dalam pelaksaan dan pemeliharaan kebersihan di apotek.

2) Tugas dan tanggung jawab non apoteker antara lain :


a. Membantu tugas asisten apoteker dalam menyiapkan obat , mengerjakan obat racikan yang telah disiapkan
oleh asisten apoteker sesuai dengan dan jumlah yang diminta
b. Membuat obat racikan standar dibawah pengawasan asisten apoteker dan apoteker
c. Menyusun obat-obat pada rak penyimpanan obat
d. Membersihkan peralatan yang digunakan dan membersihkan ruangan diapotek.

EVALUASI

1. Bagaimana syarat menempatkan obat Narkotik san Psikotropika yang baik ?

2. Apa yang dimaksud dengan manajemen khusus ?

3. Apa perbedaan IFRS dan Apotik ?

4. Berikan contoh aliran masuk dan aliran keluar ?

Jawaban

1. Syarat menempatkan obat Narkotik dan Psikotropika, yaitu :

- Raknya harus menempel.


- Penempatan ruangan harus terpisah dari obat-obat lain.
- Lemari harus terkunci rapat sehingga tidak sembarang karyawan yang mengambilnya.
2. Yang dimaksud dengan Manajemen khusus adalah seni untuk mengatur seseorang untuk mencapai tujuan
sesuai kemampuan spesifiknya.

3. Perbedaan IFRS dan Apotik

IFRS adalah suatu institusi dan komunitas yang dipengaruhi oleh kebutuhan pengharapan permintaan anggota
masyarakat.
Apotik adalah bagian dari pelayanan rumah sakit yang mempunyai berbagai fungsi secara umum.

4. Aliran Barang Masuk :

- Tahap persiapan.
- Tahap pemesanan.
- Tahap penerimaan.
- Tahap penyimpanan barang.
- Pencatatan barang.
Aliran Barang Keluar :

- Penjualan obat bebas.


- Penjualan obat dengan resep dokter.

Anda mungkin juga menyukai