Anda di halaman 1dari 37

TUGAS MAKALAH

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

“OVORDOSIS DAN KERACUNAN OBAT”

DI SUSUN OLEH KELOMPOK 9

1. ALAWIYAH M. ABDULLAH
2. AISYAH AMAL
3. POITON KOGOYA

UNUVERSITAS PEMBANGUNAN INDONESIA MANADO

FAKULTAS KEPERAWAT

2019
KATA PENGANTAR

Puji Dan Syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, atas
berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini
dan kami juga bersyukur atas berkat rezeki dan kesehatan yang diberikan
kepada kami sehingga kami dapat mengumpulkan bahan-bahan materi
makalah ini. Kami telah berusaha semampu kami untuk mengumpulkan
berbagai macam bahan tentang mata kuliah “KEPERAWATAN KEGAWAT
DARURATAN” dan tentang pembuatan makalah kami yang berjudul
“OVORDOSIS DAN KERACUNAN OBAT”.

Kami sadar bahwa makalah kami masih jauh dari kesempurnaan, karena
itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
menyempurnakan makalah ini untuk lebih baik lagi. Oleh karena itu, kami
mohon bantuan dari dosen mata kuliah.

Demikianlah makalah ini kami buat, apabila ada kesalah dalam penulisannya,
kami mohon maaf yang sebesar-besarnya dan sebelumnya kami ucapkan
banyak terima kasih.

Manado, 07Maret 2019

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .........................................................................

DAFTAR ISI .........................................................................

BAB I PENDAHULUAN

a. Latar Belekang .........................................................................


b. Rumusan Masalah .........................................................................
c. Tujuan Penulis .........................................................................

BAB II TINJAUAN TEORI

a. Definisi Penyakit .........................................................................


b. Etiologi .........................................................................
c. Tanda Dan Gejala .........................................................................
d. Patofisiologi .........................................................................
e. Pemeriksaan Penunjang.......................................................................
f. Komplikasi .........................................................................
g. Penatalaksanaan .........................................................................
h. Identifikasi Penyebab keracunan.........................................................

BAB IV PENUTUP

a.kesimpilan .........................................................................

b. saran .........................................................................

DAFTAR PUSRAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peredaran bahan kimia semakin hari semakin pesat, hal ini


disamping memberikan manfaat yang besar juga dapat menimbulkan
masalah yang tak kalah besar terhadap manusia terutama di bidang
kesehatan. Keracunan adalah salah satu masalah kesehatan yang
semakin meningkat baik di Negara maju maupun negara berkembang.
Angka yang pasti dari kejadian keracunan di Indonesia belum diketahui
secara pasti, meskipun banyak dilaporkan kejadian keracunan di
beberapa rumah sakit, tetapi angka tersebut tidak menggambarkan
kejadian yang sebenarnya di masyarakat. Dari data statistik diketahui
bahwa penyebab keracunan yang banyak terjadi di Indonesia adalah
akibat paparan pestisida, obat obatan, hidrokarbon, bahan kimia korosif,
alkohol dan beberapa racun alamiah termasuk bisa ular, tetradotoksin,
asam jengkolat dan beberapa tanaman beracun lainnya.

Penggunaan obat secara berlebihan atau melebihi dosis yang


ditentukan tidak akan memberikan manfaat bagi kesehatan, tapi justru
memicu munculnya gangguan kesehatan yang lain.Hal ini karena obat
bisa menjadi racun jika digunakan secara tidak tepat.

Jika obat yang dikonsumsi tidak membuat penyakitnya sembuh


atau membaik setelah dikonsumsi beberapa kali, sebaiknya hentikan
penggunaannya. Dan sebaiknya tidak mencoba untuk menambahkan
dosis sendiri tanpa adanya nasihat dari dokter karena memicu terjadinya
overdosis. Jadi overdosis terjadi ketika seseorang menggunakan terlalu
banyak obat (kombinasi dari sejumlah obat). Overdosis mempengaruhi
tubuh kita khususnya otak, hati, jantung, paru-paru dan ginjal. Jika ini
terjadi maka tubuh akan kehilangan kemampuan untuk mengantisipasi
obat yang bersangkutan.

Penggunaan obat secara overdosis umumnya ditemukan pada


obat sakit kepala. Gejala yang muncul termasuk pingsan, berhenti
bernafas, atau kegagalan jantung, semuanya bisa mengakibatkan
kematian. Sedangkan jika overdosis yang terjadi pada obat antibiotik
maka bisa menyebabkan kuman menjadi kebal atau resisten sehingga
dibutuhkan obat antibiotik lainnya dengan dosis yang lebih tinggi. Tapi
kasus overdosis bisa terjadi pada obat apapun.

B. Rumusan masalah
1. Apa definisi dari keracunan dan overdosis obat ?
2. Apa penyebab dari keracunan dan overdosis obat?
3. Apa Tanda Dan Gejala Keracunan dan overdosis obat?
4. Apa saja Penatalaksanaan keracunan dan overdosis obat?
5. Apa saja Jenis-jenis Obat Napza ?
6. Apa saja Faktor Penyebab Penyalahgunaan Napza ?
7. Apa saja Dampaak Penyalaahgunaan Napza ?

C. Tujuan penulis
1. Untuk menambah pengetahuan pagi para pembaca
2. Untuk memahami pengertian, penyebab dan Tanda gejala keracunan dan
overdosis obat
3. Untuk mengetahui jenis – jenis obat Napza

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Konsep penyakit
a. Definisi/deskripsi penyakit
Keracunan adalah keadaan sakit yang ditimbulkan oleh racun.
Bahan racun yang masuk ke dalam tubuh dapat langsung mengganggu
organ tubuh tertentu, seperti paru-paru, hati, ginjal dan lainnya. Tetapi
zat tersebut dapat pula terakumulasi dalam organ tubuh, tergantung
sifatnya pada tulang, hati, darah atau organ lainnya sehingga akan
menghasilkan efek yang tidak diinginkan dalam jangka panjang.
Intoksikasi atau keracunan adalah masuknya zat atau senyawa
kimia dalam tubuh manusia yang menimbulkan efek merugikan pada
yang menggunakannya.

Keracunan atau intoksinasi adalah keadaan patologik yang


disebabkan oleh obat, serum, alkohol, bahan serta senyawa kimia toksik,
dan lain-lain.

Overdosis atau kelebihan dosis terjadi akibat tubuh mengalami


keracunan akibat obat. OD sering terjadi bila menggunakan narkoba
dalam jumlah banyak dengan rentang waktu terlalu singkat, biasanya
digunakan secara bersamaan antara putaw, pil, heroin digunakan
bersama alkohol. Atau menelan obat tidur seperti golongan barbiturat
(luminal) atau obat penenang (valium, xanax, mogadon/BK).

b.Etiologi
Keracunan obat yang disebabkan oleh salah mengombinasikan
obat biasanya terjadi pada pasien yang mengkonsumsi obat lebih dari
satu atau polifarmasi. Hal ini dapat tejadi pada pasien usia lanjut yang
mengalami beragam masalah kesehatan, sehingga memerlukan beragam
jenis obat. Keracunan obat juga dapat terjadi jika obat yang diminum di
dampingi oleh minuman atau makanan lain yang menjadi pemicunya.
Sementara, keracunan obat yang disebabkan oleh kelebihan dosis dapat
terjadi secara sengaja atu tidak sengaja.

OD ( overdosis) atau kelebihan dosis terjadi karena beberapa hal :

1) Mengkonsumsi lebih dari satu jenis narkoba misalnya mengkonsumsi


obat hampir bersamaan dengan alcohol atau obat tidur seperti valium,
megadom/ BK, dll.

2) Mengkonsumsi obat lebih dari ambang batas kemampuannya, misalnya


jika seseorang memakai narkoba walaupun hanya seminggu, tetapi
apabilah dia memakai lagi dengan takaran yang sama seperti biasanya
kemungkinan besar terjadi OD.

3) Kualitas barang dikonsumsi berbeda.

c. Tanda gejala
a. Yang paling menonjol adalah kelainan,hiperaktifitas kelenjar
ludah,keringat dan gangguan saluran pencernaan,serta kesukaran bernafas.
Gejala ringan meliputi : anoreksia, nyeri kepala, rasa lemah,rasa takut,
tremor pada lidah,kelopak mata,pupil miosis.
b. Keracunan sedang : nausea, muntah-muntah, kejang atau kram perut,
hipersaliva, hiperhidrosis,fasikulasi otot dan bradikardi.
c. Keracunan berat : diare, pupil pi- poin, reaksi cahaya negatif,sesak nafas,
sianosis, edema paru. Inkontenesia urine dan feces, kovulsi,koma, blokade
jantung akhirnya meningal.

d. Patofisiologi

Penyebab terbanyak keracunan adalah pada sistem saraf pusat


dengan akibat penurunan tingkat kesadaran dan depresi pernafasan.
Fungsi kardiovaskuler mungkin juga terganggu, sebagian karena efek
toksit langsung pada meokard dan pembuluh darah perifer, dan sebagian
lagi karna depresi pusat kardiovaskular diotak. Hipotensi yang terjadi
mungkin berat dan bila berlangsung lama dapat menyebabkan kerusakan
ginjal, hipotermia terjadi bila ada depresi mekanisme pengaturan suhu
badan. Gambaran kas syok mungkin tidak tampak karena adanya
depresi sistem saraf pusat dan hipotermia, hipotermia yang terjadi akan
memperberat syok, asidemia, dan hipoksia.

Ifo bekerja dengan cara menghambat (inaktivasi) enzim


asetikolinesterase tubuh (khe).dalam keadaan normal enzim khe bekerja
untuk menghidrolisis arachnoid (akh) dengan jalan mengikat akh –khe
yang bersifat inaktif.Bila konsentrasi racun lebih tinggi dengan ikatan
ifo- khe lebih banyak terjadi. Akibatnya akan terjadi penumpukan akh
ditempat-tempat tertentu, sehingga timbul gejala gejala ransangan akh
yang berlebihan,yang akan menimbulkan efek muscarinik, nikotinik dan
ssp (menimbulkan stimulasi kemudian depresi ssp)Pada keracunan ifo,
ikatan ikatan ifo, bersifat menetap (ireversibel),sedangkan keracunan
carbamate ikatan ini bersifat sementara (reversible). Secara
farmakologis efek akh dapat dibagi 3 golongan :
a. Muskarini,terutama pada saluran pencernaan,kelenjar ludah dan
keringat,pupil, bronkus dan jantung.
b. Nikotinik,terutama pada otot-otot skeletal,bola mata,lidah,kelopak
mata dan otot pernafasan.
c. Ssp, menimbulkan nyeri kepala,perubahan emosi,kejang-
kejang(konvulsi) sampai koma.

e.Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorik.
Pengukuran kadar khe dengan sel darah merah dan plasma, penting
untuk memastikan diagnosis keracunan ifo akut maupun kronik (menurun
sekian % dari harga normal ).
Kercunan akut :
Ringan : 40 - 70 %
Sedang : 20 - 40 %
Berat :< 20 %
Keracunan kronik bila kadar khe menurun sampai 25 - 50 % setiap individu
yang berhubungan dengan insektisida ini harus segara disingkirkan dan baru
diizinkan bekerja kemballi kadar khe telah meningkat > 75 %

b. Patologi anatomi
Pada keracunan acut,hasil pemeriksaan patologi biasanya tidak
khas.sering hanya ditemukan edema paru,dilatsi kapiler,hiperemi paru,otak
dan organ-oragan lainnya.

f. Komplikasi
a. Gagal ginjal
b. Kerusakan hati
c. Gangguan pencernaan
d. Gangguan pernafasan

g. Penatalaksanaan
a. Prinsip umum penatalaksanaan keracunan dan overdosis
Tujuan terapi keracunan dan overdosis adalah mengawasi tanda-
tanda vital mencegah absorbsi racun lebih lanjut, mempercepat
eliminasi racun, pemberian anti dot spesifik, dan mencegah
paparan ulang.
Terapi spesifik tergantung dari identifikasi racun, jalan masuk,
banyaknya racun, selang waktu timbulnya gejala, dan beratnya
derajat keracunan. Pengetahuan farmakodinamik dan
farmakokinetik substansi penyebab keracunan amatlah penting.
Selama feses pretoksik sebelum onset keracunan, prioritas
pertama adalah dekontaminasi segera berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang terarah dan singkat juga disarankan
pemasangan i.v. line dan monitoring jantung. Khususnya pada
penderita keracunan peroral serius atau penderita dengan
anamnesis yang tidak jelas. Bila anamnesis penderita tidak jelas,
dan diduga keracunan akan terjadi secara lambat atau akan terjadi
kerusakan ireversibel, sebaiknya dilakukan pemeriksaan
toksikologi darah dan urine, serta dilakukan pemeriksaan
kuantitatif bila ada indikasi. Selama absorbsi dan distribusi
berlangsung, kadar racun dalam darah akan lebih tinggi
dibandingkan kadar di jaringan, sehingga tidak berhubungan
dengan toksisitasnya. Namun bila metabolit racun tinggi kadarnya
dalam darah dan lebih toksit dibanding bentuk asalnya
(asetaminoven, etilen glikon, atau methalon), maka diperlukan
intervensi tambahan (anti dot, dialisis).
Kebanyakan pasien yang asimtomatis setelah terpapar racun per
oral dalam 4-6 jam, dapat dipulangkan dengan aman. Observasi
lebih lama dibutuhkan bila terdapat keracunan per oral yang
menyebabkan lambatnya pengosongan lambung dan motilitas usus
dimana disolusi, absorbsi, dan distribusi racun dengan sendirinya
jika lebih lambat. Pada racun yang dalam tubuh akan diubah
menjadi metabolik toksik, juga di indikasikan observasi lebih
lanjut.
Selama fase toksik, yaitu waktu antara onset keracunan sampai
dengan terjadinya efek puncak, penatalaksanaan berdasarkan
penemuan klinis dal laboratorium. Setelak overdosis, akan segera
timbul efek-efeknya lebih awal, yang kemudian memuncuk, dan
tetapi bertahan lebih lama dibandingkan bila obat tersebut
diberikan pada dosis terapi. Prioritas pertama untuk dilakukan
adalah resusitasi dan stabilisasi. Terhadap semua pasien yang
simtomatis harus dilakukan pemasangan i.v. line, penentuan
saturasi oksigen, monitoring jantung, dan observasi kontinu.
Pemeriksaan laboratorium dasar, EKG, dan x-ray dapat berguna.
Pada penderita dengan perubahan status mental, khususnya pada
kasus koma maupun kejang, harus dipertimbangkan pemberian
glukosa i.v. (kecuali bila kadarnya normal), naloksone, dan
thiamine. Dekontaminasi dapat berguna juga.
Harus difikirkan manfaat dan resikonya bila dilakukan upaya
percematan eliminasi racun. Syaratnya adalah diagnosis pasti
dengan konfirmasi laboratoris.dialisis intestinal dengan pemberian
karbon aktif berulang biasanya aman dan dapat mempercepat
eliminasi. Terapi diuresis dan khelasi hanya mempercepat
eliminasi sejumlah kecil racun, serta memiliki potensi komplikasi.
Metode ekstrakorpreal efektif untuk mengeluarkan banyak racun,
tetapi biaya dan resikonya juga besar, sehingga penggunaannya
terbatas pada keracunan berat.
Selama fase resolusi, perawatan suportif dan monitoring harus
kontinyu dilakukan sampai abnormalitas klinis, laboratoris,
maupun EKG membaik.karena bahan-bahan kimia dalam darah
leih dulu di eliminasi dibandingkan yang dari jaringan, maka
kadarnya dalam darah selalu lebih rendah dari kadarnya di jaringan
sehingga tidak berkolerasi dengan toksitasnya. Hal ini menjadi
dasar prosedur ekstra korporeal.Redistribusi dari jaringan dapat m
enyebabkan peningkatan balik racun dalam darah setelah
selesainya prosedur ini. Bila metabolit racun yang menyebabkan
efek toksitnya, maka pada penderita yang telah asimtomatis tetap
harus diberikan terapi karena masih terdapat potensi toksik
kadarnya metabolitnya dalam darah (asetaminofen, etilenglikol,
methanol).
b. Perawatan suportif
Tujuan dari terapi sufortif adalah untuk mempertahankan
homeostatis fisiologis sampai terjadi detoksifikasi lengkap, dan
untuk mencegah serta mengobati komplikasi sekunder seperti
aspirasi, ulkus dekubitus, edema otak dan paru, pneumonia,
rhabdomiolisis, gagal ginjal, sebsis, penyakit thromboembolik, dan
disfungsi organ menyeluruh akibat hipoksia atau syok
berkepanjangan. Indikasi untuk perawatan di ICU adalah sebagai
berikut :
 Penderita keracunan berat (koma, depresi napsu, hipotensi,
abnormalitas konduksi jantung, aritmia jantung, hipo/
hipertermi, kejang)
 Penderita yang perlu monitoring ketat, antidot, maupun
terapi percepatan eliminasi racun
 Penderita dengan kemunduran klinis progresif
 Penderita dengan penyakit dasar yang signifikan
Penderita keracunan ringan sampai sedang dapat dikelola pada
pelayanan kesehatan umum, intermediate care unit, diobservasi di
UGD, tergantung dari lamanya kejadian keracunan dan monitoring
yang diperlukan (observasi klinis interminiten vs kontinu,
monitoring jantung dan pernafasan).
Penderita percobaan bunuh diri membutuhkan observasi dan
pemeriksaan kontinu untuk mencegah merekan melukai diri
sendiri, sampai tidak mungkin laki melakukan upaya lebih lanjut.
c. Penatalaksanaan problem respirasi
Intubasi endotrakheal untuk mencegah aspirasi isi lambung amat
penting untuk dilakukan pada penderita : depresi SSP atau kejang,
karena komplikasi ini dapat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas. Karena penilaian klinis fungsi respirasi sering tidak
akurat, perlunya oksigenasi dan fentilasi paling baik ditentukan
dari pemeriksaan oksimetri atau analisasi gas darah. Reflek muntah
bukanlah indikator yang dapat dipercaya untuk menilai perlunya
intubasi, paling baik dilakukan intubasi profilaksis pada penderita
yang tidak mampu berespon terhadap suara, maupun yang tidak
mampu duduk atau minum dibantu.
Ventilasi mekanik diperlukan pada oenderita depresi nafas,
hipoksia, dan untuk memfasilitasi sedasi terapeutik atau peralysis
untuk mencegah hipertimia, asidosis, dan rhabdomiolisis yang
berhubungan dengan hiperaktivitas neuromuskuler.
Edema paru yang di induksi obat biasanya jenis yang non-kardiak.
Edema paru kardiak biasanya pada penderita depresi SSP dan
penderita abnormalitas konduksi jantung. Pengukuran tekanan
arteri pulmoner penting untuk mengetahui etiologi dan dapat
berlangsung sampai sebagai terapi.
Pada gagal nafas berat yang refersibel, dilakukan pengukuran
ektrakorier (oksigenasi membran, perfusi, venoarterial, bypass
kardiopulmoner), ventilasi parsiel cairan (perfluorokarbon), dan
terapi oksigen hiperbarik.
d. Terapi kardiovaskuler
Mempertahankan perfusi normal jaringan amat penting untuk
pemulihan tuntas ketika racun sudah dieliminasi. Bila terjadi
hipotensi yang tidak responsif dengan ekspasi volume, dapat
diberikan norepinefrin, epinefrin, atau dopomine dosis tinggi.
Pada gagal jantung berat yang revesibel, dapat dilakukan tindakan
intraaortic halloon pump counterpulsation, dan tehnik perfusi
venoarterial atau kardiopulmoner. Pada keracunan β-blocker dan
culcium channel blocker, efektif diberikan glukagon dan kalsium.
Terapi antibodi antidigoxin dan pemberian Mg diindikasikan untuk
kasus keracunan glikosida jantung yang berat.
SVT yang berkaitan dengan hipertensi dan eksitasi SSP hampir
selalu disebabkan karena agen yang mengakibatkan eksitasi
fisiologik secara menyeluruh. Kebanyakan kasusnya berupa
keracunan ringan atau sedang dan hanya memerlukan observasi
atau sedasi nonspesifik dengan benzodiazepin. Sedangkan SVT
tanpa hipertensi pada umumnya merupakan akibat sekunder dan
vasodilatasi atau hipovolemia, dan berespon dengan pemberian
cairan. Terapi spesifik diindikasikan untuk kasus berat atau yang
berhubungan dengan instabilitas hemodinamik, nyeri dada, atau
pada EKG dijumpai iskemia.
Untuk penderita dengan hiperaktivitas simpatik, terapi dengan
kombinasi α dan β blocker ((labetalol), calcium channel blocker
(verapamil atau diltiazem), atau kombinasi β blocker – vasodilator
(esmolol dan nitroprusside) merupakan terapi terpilih. Untuk
penerita keracunan antikolinergik, terapi terpilihnya adalah
pemberian physostigmine.
Pada VT (ventricular tachyarrhytmia) umumnya aman bila
diberikan lidokain dan fenitoin. Namun pemrian β blocker dapat
berbahaya, kecuali bila aritmia jelas disebabkan karena
hiperaktivitas simpatis. Obat antiaritmi kelas IA, IC, dan III
merupakan kontraindikasi untuk diberikan pada VT karena
antidepresan trisiklik dan karena obat-obatan membran aktif
(karena efek elektrofisiologik yang mirip), tetapi pemberian
sodium bicarbonate dapat membantu.
Penderita dengan torsade de pointes dan pemanjangan interval QT,
pemberian Mg sulfat dan overdrive pacing (dengan isoproterenol
atau pacemaker) akan membantu.
Rekaman EKG invasive (esafogel atau intracardiak), dibutuhkan
untuk menentukan dari mana takikardia kompleks lebar berasal
(ventricular atau supraventricular).
Bila penderita secara hemodinamik stabil, lebih baik diobservasi
saja daripada diterapi dengan obat yang potensial pronaritmia.
Aritmia dapat resisten terhadap terapi sampai keseimbangan asam-
basa, elektrolit, oksigenasi, dan gangguan suhu dikoreksi.
e. Terapi SSP
Hiperaktivitas neuromuskuler dan kejang dapat selanjutnya
mengarah ke hipertermia, asidosis laktat, dan rhabdomiolisis
dengan komplikasinya, dan harus diterapi secara agresif. Kejang
akibat stimulasi berlebihan reseptor ketekolamin (pada keracunan
simpatomimetik atau halusinogen dan putus obat) atau kejang
akibat menurunnya aktivitas GABA (keracunan INH) atau kejang
karena reseptor glisin (keracunan strichnin), paling baik diterapi
dengan peningkatan efek GABA seperti dengan pemberian :
benzodiazepin dan barbiturat. Terapi dengan ke-2 obat ini
sekaligus lebih efektif karena masing-masing bekerja dengan efek
yang berlainan. Benzodiazepin meningkatkan frekuensi, sedangkan
berbiturat memanjangkan lamanya waktu pembukaan saluran
klorida dalam merespon GABA.
Kejang yang disebabkan INH, yang menghambat sintesis GABA
memerlukan piridoksin dosis tinggi yang menfasilitasi sintesis
GABA, kejang yang berasal dari destabilisasi membran (keracunan
β blocker antidepresan siklik) akan memerlukan anti konvulsan
membran aktif seperti fenition sebagaimana yang meningkatkan
GABA.
Pada keracunan dopaminergik sentral (seperti phencyclidinr),
pemberian agen yang aktivitasnya berlawanan seperti haroperidol,
akan berguna. Pada keracunan antikolinergik dan sianida,
diperlukan terapi antidot spesifik. Sedangkan kejang yang terjadi
sekunder akibat iskemi, edema, atau abnormalitas metabolik, harus
dikoreksi dari penyakit dasarnya. Pada kejang refrakter
diindikasikan upaya paralisis neuromuskuler.monitoring EEG dan
terapi berkelanjutan penting untuk mencegah kerusakan neurologik
permanen. Keadaan suhu yang ekstrim, abnormalitas metabolik,
disfungsi hati & ginjal, dan komplikasi sekunder harus diterapi
sesuai standar.
f. Pencegahan absorpsi racun
1. Deontaminasi gastrointestinal
Perlu tidaknya dilakukan dekontaminasi gasrointestinal dan
prosedur mana yang akan dipakai, tergantung dari : waktu
sejak racun tertelan, toksisitas bahan yang telah & akan
terjadi kemudian, availabilitas, efikasi, dan kontraindikasi
dari prosedur, serta beratnya keracunan dan resiko
komplikasi. Study pada binatang dan sukarelawan
menunjukkan bahwa efektivitas dari karbon aktif, levase
lambung, dan sirup ipecac menurun sesuai jangka waktu
keracunan. Tidak cuckup data untuk
menunjang/mengeklusi manfaat penggunaan hal-hal tsb.
Pada keracunan yang sudah lebih dari 1 jam.
Rata-rat waktu terapi dekortaminasi gastrointestinal yang
disarankan adalah lebih dari 1 jam setelah keracunan pada
anak dan lebih dari 3 jam pada dewasa dari sejak racun
tertelan sampai timbul gejala/tanda keracunan. Sebagai
besar penderita akan sembuh dari keracunan dengan
semata-mata perawatan suportif yang baik, namun
komplikasi dari dekontaminasi gastrointestinal khususnya
aspirasi, dapat memanjangkan proses ini. Karena ini
prosedur ini dilakukan secara selektif dan bukan rutin.
Prosedur ini jelas tidak diperlukan bilamana toksisitas
diperkirakan minimal atau waktulanjut efek toksik
maksimal sudah terlewati tanpa efek signifikan.
Korban aktif lebih efektif digunakan, kontraindikasinya &
komplikasinya lebih sedikit, lebih tidak invasif, sedikit
lebih sisa, dibandingkan ipecac atau lavase lambung.
Karbonaktif merupakan metodadekontaminasi
gastrointestinal yang terpilih untuk sebagian besar kasus
keracunan. Korban aktif disiap konsebagai penangguhan
dalam udara, baik sendiri atau dengan suatu katartik.
Diberik amper lisan melalui botol susu pada
direkomwndasikan : 1 gr/kg BB dengan 8 ml pelarut untuk
setiap gram karbon aktif. Untuk memperbaiki rasa, bisa
ditambahkan pemanis (sorbitol), atau penambah rasa (ceri,
coklat, atau cola) dalam suspensinya.
Karbon menyerap racun dalam lumen usus, jadi
memungkinkan kompleks karbon toksin mati vakuasi
melalui kompleks tsb. Dapat dikeluarkan dari lambung
dengan induksi muntah atau lavase. Secara di vitro, karbon
menyerap >=90% dari sebagian besar jenis racun kapan
diberikan dalam jumlah 10x lipat berat racun.
Bahan kimia yang terionisasi (asam & basa mineral), garam
sianida yang terdisosiasi sangat cepat, flourida, W, litium,
dan senyawa anorganik lainnya, tidak diserap dengan baik
oleh orban. Pada studio binatang dan sukarelawan, karbon
rata-rata akan menyerap 73% menelan kapan
diberikan dalam 5 menit setelah pemberian ingestan,
menyerap 51% kapan diberikan dalam 30 menit, 36%
dalam 1 selai, karbon paling tidak sama efektifnya dengan
sirup ipecac atau lavase lambung. Diikuti dengan
pemberian karbon aktif lebih efektif dari karbon aktif saja,
pemberian karbon aktif sebelum dan setelah lavase lebih
efektif lagi namun kenyataannya pada penderita keracunan
yang diberikan karbon aktif saja hasil lebih baik dari
kombinasi seperti diatas.
2. Dekontaminasi pA A tempat-tempat lain
Bilasan segera dan berulang-ulang dengan udara, garam,
atau cairan jernih lainnya yang bisa diminum merupakan
terapi inisial untuk eksposur topikal (kecuali logam alk ali,
kalsium oksida, fosf or).
g. Percepatan eliminasi racun
Keputusan untuk tindakan ini harus berdasarkan pada toksisitas
yang nyata atau yang diperkirakan dan didasarkan juga pada
efektivitas, biaya, dan resiko terapi
1. Karbon aktif dosis multipel
Dosis oral karbon aktif yang berulang dapat mempercepat
eliminasi substansi yang sebelumnya diabsorbsi dengan
cara mengikatnya dalam usus lalu diekskresikan melalui
empedu, disekesikan oleh sel-sel gastrointestinal, atau
difusi pasif kedalam lumen usus (absorpsi balik atau
exsorpsi entrokapiler). Dosis yang direkomendasikan 0,5-1
gram/kgBB tiap 2-4 jam, diberikan untuk mencegah
regurgitasi pada pasien dengan motilitas gastrointestinal
yang berkurang. Secara eksperimen terapi ini mempercepat
eliminasi hampir semua substansi. Efektivitas
farmakokinetiknya mendekati seperti hemodialisis untuk
beberapa agen (misalnya fenobarbital, teofilin). Terapi
dosis multipel ini tidak efektif dalam mempercepat
eliminasi dari klorpropamid, tobramisin, atau bahan yang
tidak bisa diserap oleh karbon. Komplikasinya berupa
obstruksi usus, pseudoobstruksi, dan infrak usus
nonoklusif pada penderita-penderita dengan motilasi usus
yang rendah.
2. Diuresis paksa dan perubahan pH urin
Diuresis dan iontrapping melalui perubahan ph urin dapat
mencegah reabsorpsi renal dari racun yang mengalami
ekskresi oleh filitrasi glomenulus dan sekresi aktif tubuler.
Karena membran lebih permeable terhadap molekul yang
tidak terion dibandingkan yang dapat terion, racun-racun
yang asam (pKa rendah) akan diionisasi dan berkumpul
dalam urin yang basa. Sebaliknya racun-racun yang
sifatnya bisa akan diionisasi dan dikumpulkan dalam urin
yang asam.
Diuresis salin dapat mempercepat ekskresi renal dari
alkohol, bromida, kalsium, fluorida, lithium, meprobamat,
kalium, dan INH.
Diuresis basa (pH urin>= 7,5 dan output urin 3-6
cc/kgBB/jam) memepercepat eliminasi dari herbisida
chlorphenoxyacatic acid, klorpropamid, diflunisal,
fluorida, metotreksat, fenobarbital, sulfonamid, dan
salisilat.
Kontraindikasi diuresis paksa meliputi gagal gagal jantung
kongestif, gagal ginjal dan edema otak. Prameter asam-
basa, cairan, dan eektrolit harus dimonitor dengan cermat.
Diuresis asam mempercepat eliminasi renal dari
amfetamin, klorokuin, kokain, anestotik local,
phencyclidine, kinidin, kinin, strychinne, simpatomimetik,
antidepreson trisiklik, dan tokainid. Namun
penggunaannya banyak dilarang karena potensial terjadi
komplikasi dan efektivitas kliniknya tidak banyak.
3. Pengeluaran racun secara ekstrakorporeal
Dialisis peritoneal, hemodialisis, hemoperfusi karbon
atau resin, hemofitirasi, plasmaferesis, dan tranfusi
ganti dapat dilakukan untuk mengeluarkan toksin dari
aliran darah. Kandidat untuk terapi-terapi ini adalah :
 Penderita dengan keracunan berat yang
mengalami deteriorasi klinis walaupun sudah
diberi terapi suportif yang agresif
 Penderita yang potensial mengalami toksisitas
yang berkepanjangan, ireversibel, atau fatal
 Penderita dengan kadar racun darahnya dalam
tingkat yang berbahaya
 Penderita yang dalam tubuhnya tidak mampu
dilakukan detoksifikasi alami seperti pada
penderita gagal hati atau gagal ginjal
 Serta penderita keracunan dengan penyakit
dasar/komplikasinya yang berat
Agen yang akan dieliminasi dengan cara dialisis harus
memiliki BM rendah (<500 Da), larut dalam air,
berikatan lemah dengan protein, volume distribusi kecil
(<1 liter/kgBB). Eliminasi memanjang (waktu paruh
panjang). Dan memiliki bersihan dialisis yang tinggi
relatif terhadap bersihan total dari bahan. Berat molekul,
kelenturan dalam air, atau ikatan dengan protein, tidak
mengurangi efektivan metode ekstrakorporeal yang
lainnya.
Indikasi dialisis untuk kasus keracunan berat dengan :
barbiturat, bromida, chloral hydrate, ethanol, etilen
glikol, isopropyl alcohol, lithium, methanol,
procainamide, teofilin, salisilat, dan mungkin logam
berat.
Walaupun hemoperfusi mungkin lebih efektif dalam
mengeluarkan beberapa racun, namun metode ini tidak
sekaligus mengoneksi abnormalitas asam-basa dan
elektrolit.
Indikasi hemoperfusi pada keracunan berat yang
disebabkan : karbamazepin, kloramfenikol, disopiramid,
dan sedatif-hipnotik (barbiturat,
rthchlorvynol,glutethimide, meprobamat, methaqualone),
paraquat, fenitoin, prokainamid, teofilin, dan valproat.
Bila metode dialisis maupun metode hemoperfusi, sama-
sama memerlukan akses vera sentral dan antikoagulan
sistemik, serta dapat menyebabkan hipotensi sementara.
Hemoperfusi juga dapat mengakibatkan hemolisis,
hipokalsemia, dan trombositopenia.
Dialisis perioneal dan transfusi ganti lebih kurang
efektivitasnya, tetapi metode ini dapat digunakan bila
tidak dapat dikerjakan prosedur ekstrakorporeal lainnya,
baik karena terdapat kontraindikasi, maupun secara
tehnis sulit (misalnya pada bayi). Transfusi ganti
mengeluarkan racun-racun yang memperngaruhi eritrosit
(seperti pada methemoglobinemia, atau arsen-induced
hemolysis).
4. Tehnik eliminasi lainnya
Logam berat apat lebih cepat di eliminasi dengan
khelasi. Pengeluaran karbon monoksida dapat
ditingkatkan dengan pemberian oksigen hiperbarik.
h. Pemberian antidot
Antidot bekerja berlawanan dengan efek racun dengan :
menetralisir racun (reaksi antigen-antibodi, khelasi, atau
membentuk ikatan kimia), mengantagonis efek fisiologis racun
(mengaktivasi kerja sistem saraf berlawanan, memfasilitasi aksi
kompetisi metabolik/reseptor substrat tsb).
Kaus keracunan yang memerlukan antidot spesifik adalah
keracunan : asetaminofen, agen antikolinergik, antikoagulan,
benzodizepin, β-blocker, CCB, CO, glikosida jantung, agen
kolinergik, sianida, reaksi distonik karena induksi obat, etilen
glikol, fluorida, logam berat, hydrogen sulfida, agen hipoglikemia,
INH, metHb-emia, narkotik, simpatomimetik, vacor, dan
gigitan/bisa binatang tertentu.
Antidot mengurangi marbinitas dan mortalitas, namun sebagian
besar juga potensial toksik. Penggunaan antidot agar aman
membutuhkan identifikasi yang benar keracunan spesifik atau
sindromnya.
i. Pencegahan paparan ulang
Keracunan merupakan penyakit yang dapat dicegah. Orang dewasa
yang penuh terpapar racun karena kecelakaan harus mentaati
instruksi penggunaan obat dan bahan kimia yang aman (sesuai
yang ertera pada lebelnya). Penderita yang menurun kesadarannya
harus dibantu dalam meminum obatnya. Kesalahan dosis obat oleh
petugas kesehatan membutuhkan pendidikan khusus bagi mereka.
Penderita harus diingatkan untuk menghindari lingkungan yang
terpapar bahan kimia penyebab keracunan. Departemen kesehatan
dari instansi terkait juga harus diberi laporan bila terjadi keracunan
dilingkungan tertentu/tempat kerja.
Pada anak-anak dan penderita overdosis yang disengaja, upaya
terbaik adalah membatasi jangkauan terhadap
racun/obat/bahan/minuman tersebut.
Penderita depresi atau psikotik harus menerima penilaian
psikiatrik, disposisi, dan follow/up. Bila mereka diberi resep obat
harus dengan jumlah yang terbatas dan dimonitor kepatuhan
minum obatnya, serta dinilai respon terapinya.

h. Identifikasi penyebab keracunan


Bila mungkin lakukan identifikasi penyebab keracunan, tapi hendaknya
usaha mencari penyebab keracunan ini tidak sampai menunda usaha-usaha
penyelamatan penderita yang harus segera dilakukan.

Eliminasi racun.
Racun yang ditelan, dilakukan dengan cara:
1) Rangsang muntah akan sangat bermanfaat bila dilakukan dalam 1 jam
pertama sesudah menelanbahan beracun, bila sudah lebih dari 1 jam tidak
perlu dilakukan rangsangmuntah kecuali bila bahan beracun tersebut
mempunyai efek yang menghambat mobilitas (memperpanjang pengosongan)
lambung. Rangsang muntah dapat dilakukan secara mekanis dengan
merangsang dinding belakang faring,atau dapat dilakukan dengan pemberian
obat- obatan : sirup ipecac, diberikan sesuai dosis yang telah ditetapkan.
2) Apomorphine
Sangat efektif dengan tingkat keberhasilan hampir 100%,dapat
menyebabkanmuntah dalam 2 - 5 menit. Dapat diberikan dengan dosis 0,07
mg/kg bb secara subkutan.
Kontraindikasi rangsang muntah :
a. Keracunan hidrokarbon, kecuali bila hidrokarbon tersebut
mengandungbahan-bahan yang berbahaya seperti camphor, produk-produk
yang mengandunghalogenat atau aromatik, logam berat dan
pestisida. Keracunan bahan korosif keracunan bahan - bahan perangsang
cns ( cns stimulant, seperti strichnin)
b. Penderita kejang
c. Penderita dengan gangguan kesadaran
3) Kumbah lambung akan berguna bila dilakukan dalam 1-2 jam sesudah
menelan bahan beracun, kecuali bila menelan bahan yang dapat menghambat
pengosongan lambung. Kumbah lambung seperti pada rangsang muntah tidak
boleh dilakukan pada :
a) Keracunan bahan korosif
b) Keracunan hidrokarbon
c) Kejang pada penderita dengan gangguan kesadaran atau penderita-
penderita dengan resiko aspirasi jalan nafas harus dilindungi dengan cara
pemasangan pipa endotracheal.
Penderita diletakkan dalam posisi trendelenburg dan miring kekiri,
kemudian di masukkan pipa orogastrik dengan ukuran yang sesuai dengan
pasien, pencucian lambung dilakukan dengan cairan garam fisiologis ( normal
saline/ pz ) atau ½ normal saline 100 ml atau kurang berulang-ulang sampai
bersih
4) Pemberian norit ( activated charcoal )jangan diberikan bersama obat
muntah, pemberian norit harus menunggu paling tidak 30 - 60 menit sesudah
emesis.
Indikasi pemberian norit untuk keracunan :
a. Obat2 analgesik/ antiinflammasi : acetamenophen, salisilat,
antiinflamasi non steroid, morphine, propoxyphene.·
b. anticonvulsants/sedative: barbiturat, carbamazepine, chlordiazepoxide,
diazepam phenytoin, sodium valproate.·
c. lain-lain : amphetamine, chlorpheniramine, cocaine, digitalis,quinine,
theophylline, cyclic anti – depressants norit tidak efektif pada keracunan fe,
lithium, cyanida, asam basa kuat dan alkohol.
d. Catharsis efektivitasnya masih dipertanyakan. Jangan diberikan bila ada
gagal ginjal,diare yang berat (severe diarrhea), ileus paralitik atau trauma
abdomen.
e. Diuretika paksa (forced diuretic)diberikan pada keracunan salisilat dan
phenobarbital (alkalinisasi urine). Tujuannya adalah untuk mendapatkan
produksi urine 5,0 ml/kg/jam,hati-hatijangan sampai terjadi overload cairan.
Harus dilakukan monitor dari elektrolit serum pada pemberian diuresis
paksa.kontraindikasi : udema otak dan gagal ginjal
d. Pemberan antidotum kalau mungkin
f. Pengobatan supportif pemberian cairan dan elektrolitperhatikan nutrisi
penderita pengobatan simtomatik (kejang, hipoglikemia, kelainan
elektrolitdsb.)
Pathway
ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN PENYALAHGUNAAN
DAN KETERGANTUNGAN NAPZA

A. Pengkajian
1..Pengkajian identitas
Nama Klien : AY
Nama Ruang : Anggrek
No. RM : 02-02-77

Data
Ay (20 tahun) mahasiswa salah satu PTS di Kota Medan sudah 2 tahun
terakhir ioni menggunakan shabu-shabu. Sebelum menggunakan kokain,
klien mengkonsumsi shabu-shabu.Keluarga sudah 2 kali membawa AY ke
patni rehabilitasi untuk mendapat pengobatan.Biasanya setelah menjalani
rehabilitasi klien berhenti menggunakan kokain.Akan tetapi waktunya tidak
lama paling lama 6 bulan. Ini kali ketiga klien dirawat dip anti rehabilitasi.
Klien mengatakan sudah berusaha untuk menghentikan kebiasaan
mengkonsumsi kokain.Tetapi keinginan itu tidak bertahan lama karena dia
sering ketemu dan berkumpul bersama teman-teman pemakai
NAPZA.Klien sulit untuk menolak ajakan teman-temannya.

2. Kaji situasi kondisi penggunaan zat


 Kapan zat digunakan
 Kapan zat menjadi lebih sering digunakan/mulai menjadi masalah
 Kapan zat dikurangi/dihentikan, sekalipun hanya sementara
3. Kaji risiko yang berkaitan dengan penggunaan zat
 Berbagi peralatan suntik
 Perilaku seks yang tidak nyaman
 Menyetir sambil mabuk
 Riwayat over dosis
 Riwayat serangan (kejang) selama putus zat
4. Kaji pola penggunaan
 Waktu penggunaan dalam sehari (pada waktu menyiapkan makan malam)
 Penggunaan selama seminggu
 Tipe situasi (setelah berdebat atau bersantai di depan TV)
 Lokasi (timbul keinginan untuk menggunakan NAPZA setelah berjalan
melalui rumah Bandar)
 Kehadiran atau bertemu orang-orang tertentu (mantan pacar, teman pakai)
 Adanya pikiran-pikiran tertentu (“Ah, sekali nggak bakal ngerusak” atau
“Saya udah nggak tahan lagi nih, saya harus make”)
 Adanya emosi-emosi tertentu (cemas atau bosan)
 Adanya faktor-faktor pencetus (jika capek, labil, lapar, tidak dapat tidur
atau stress yang berkepanjangan)
5. Kaji hal baik/buruk tentang penggunaan zat maupun tentang kondisi bila
tidak menggunakan

B. Diagnosa Keperawatan
Koping Individu tidak efektif: belum mampu mengatasi keinginan
menggunakan zat.
C. Tindakan Keperawatan
Strategi Pertemuan 1- klien:
1) Mendiskusikan dampak penggunaan NAPZA bagi kesehatan, cara
meningkatkan motivasi berhenti, dan cara mengontrol keinginan.
2) Melatih cara meningkatkan motivasi dan cara mengontrol keinginan
3) Membuat jadwal latihan
Latihan SP 1-Klien
Orientasi
“Selamat pagi Dik, perkenalkan saya suster M”.“Nama adik siapan?” “Lebih
senang dipanggil apa” “Bagaimana keadaan kamu pagi ini?” “Kalau A tidak
keberatan, selama 20 menit kedepan kita akan bercakap-cakap tentang
kesehatan A?” “Bagaimana kalau kita bercakap-cakap di teras depan ruangan
A?”
Kerja
“Apa yang biasa A pakai sebelum masuk ke pusat rehabilitasi ini?”
“Kokain?””Apakah ada keluhan dengan kesehatan A?” “Bagaimkana hubungan
A dengan teman-teman A?” “Bagaimana dengan sekolah A?” “Sejak kapan A
menggunakan ganja?” “Pada situasi yang bagaimana timbul keinginan A
menghisap ganja?” “Apa saja akibat yang A rasakan kalau menghisap ganja?”
Koping individu tidak efektif: belum mampu mengatasi keinginan
menggunakan zat.
“Apakah A ingin berhenti?”“Bagus!” “Berapa kali A mencoba berhenti?”
“Bagaimana perasaan A ketika tidak menghisap ganja?” Apa yang
menyebabkan A memakai ganja lagi?” “Baiklah kalau begitu, Suster akan
jelaskan akibat kesehatan yang dapat terjadi.(Jelaskan sesuai jenis NAPZA yang
dipakai, tabel 1 dan 2). “Yang mana yang sudah A alami?” “Jadi A ingin coba
berhenti?”
“Sekarang mari kita bicarakan apa-apa saja yang masih dapat dibanggakan dari
A, kita mulai dari :
• Diri A: “Coba A lihat aspek positif yang masih A miliki.” “Betul A masih
sangat muda, punya pendidikan, sehat daan masa depan yang cerah sedang
menunggu kamu,m bagus sekali.”
• Keluarga A: “A masih punya ayah, ibu, dan saudara-saudara kamu yang begitu
perhatian dengan kami”. “Ternyata banyak sekali hal positif yang ada pada A”
“Sekarang bagaimana kalau A berlatih mensyukuri hal positif yang ada pada A”
“Katakan saya masih muda, saya harus berhenti!”
“Bagaimana kalau kita teruskan diskusi tentang cara-cara menghindari
penggunaan ganja.” “Ada beberapa cara yaitu :
1. Hindari teman-teman A yang menawarkan kokain
2. Kunjungi teman-teman yang tidak menggunakan
3. Bicara pada teman-teman yang berhasil berhenti
4. Kalau pergi keluar dari rumah sebaiknya ditemani keluarg
“Selain itu lakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat.”“Apa contohnya
A?”“Bagus!”“Mari kita buat jadwal kegiatannya.”
Terminasi
“Bagaimana perasaan A setelah bercakap-cakap?” “Baguis sekali.” “Nah, suster
mau tanya lagi:
“Coba A sebutkan kembali hal-hal positif yang masih A miliki!” “Bagus sekali”
“Yang mana yang mau dilatih?”“Saya bisa berhenti.”(Afirmasi).
“Sekarang coba sebutkan kembali cara menghindari penggunaan ganja!
“Benar” “Yang mana yang mau dilatih” “Nah, masukkan dalam jadwal
latihannya dan dicoba” “Besok pagi suster akan datang kembali, kita akan
diskusikan lagi hasil latihannya dan kita latih cara yang lain.” “Bagaimana A”
“Baiklah kalau begitu besok jam 11.00 kita ketemu ya.” “Sampai jumpa”
Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh perawat untuk membantu klien
mengatasi craving / nagih (keinginan untuk menggunakan kembali NAPZA)
adalah sebagai berikut:
1) identifikasi rasa nagih muncul
2) ingat diri sendiri, rasa nagih normal muncul saat kita berhenti
3) ingatlah rasa nagih seperti kucing lapar, semakin lapar, semakin diberi
makan semakin sering muncul
4) cari seseorang yang dapat mengalihkan dari rasa nagih, 5) coba menyibukkan
diri saat rasa nagih datang
6) tundalah penggunaan sampai beberapa saat, 6) bicaralah pada seseorang
yang dapat mendukung
7) lakukan sesuatu yang dapat membuat rileks dan nyaman
8) kunjungi teman-teman yang tidak menggunakan narkoba
9) tontonlah video, ke bioskop atau dengar musik yang dapat membuat rileks
10) dukunglah usaha anda untuk berhenti sekalipun sering berakhir dengan
menggunakan lagi
11) bicara pada teman-teman yang berhasil berhenti
12) bicaralah pada teman-teman tentang bagaimana mereka menikmati hidup
atau rilekslah untuk dapat banyak ide.
Menurut Keliat dkk. (2006). Tujuan tindakan keperawatan untuk keluarga
adalah sebagai berikut:
1) Keluarga dapat mengenal masalah ketidakmampuan anggota keluarganya
berhenti menggunakan NAPZA.
2) Keluarga dapat meningkatkan motivasi klien untuk berhenti.
3) Keluarga dapat menjelaskan cara merawat klien NAPZA.
4) Keluarga dapat mengidentifikasi kondisi pasien yang perlu dirujuk
Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan pada keluarga antara lain :
1) Diskusikan tentang masalah yang dialami keluarga dalam merawat klien.
2) Diskusikan bersama keluarga tentang penyalahgunaan/ketergantungan zat
(tanda, gejala, penyebab, akibat) dan tahapan penyembuhan klien (pencegahan,
pengobatan, dan rehabilitasi).
3) Diskusikan tentang kondisi klien yang perlu segera dirujuk seperti:
intoksikasi berat, misalnya penurunan kesadaran, jalan sempoyongan, gangguan
penglihatan (persepsi), kehilangan pengendalian diri, curiga yang berlebihan,
melakukan kekerasan sampai menyerang orang lain. Kondisi lain dari klien
yang perlu mendapat perhatian keluarga adalah gejala putus zat seperti nyeri
(Sakau), mual sampai muntah, diare, tidak dapat tidur, gelisah, tangan gemetar,
cemas yang berlebihan, depresi (murung yang berkepanjangan).
4) Diskusikan dan latih keluarga merawat klien NAPZA dengan cara:
menganjurkan keluarga meningkatkan motivasi klien untuk berhenti atau
menghindari sikap-sikap yang dapat mendorong klien untuk memakai NAPZA
lagi (misalnya menuduh klien sembarangan atau terus menerus mencurigai
klien memakai lagi); mengajarkan keluarga mengenal ciri-ciri klien memakai
NAPZA lagi (misalnya memaksa minta uang, ketahuan berbohong, ada tanda
dan gejala intoksikasi); ajarkan keluarga untuk membantu klien menghindar
atau mengannkan perhatian dari keinginan untuk memakai NAPZA lagi,
anjurkan keluarga memberikan pujian bila klien dapat berhenti walaupun 1 hari,
1 minggu atau 1 bulan; dan anjurkan keluarga mengawasi klien minum obat.
Strategi Pertemuan dengan Pasien dan Keluarga Penyalahgunaan dan
Ketergantungan NAPZA
Kemampuan Pasien dan Keluarga
A Pasien
Sp1
1. Membina hubungan saling percaya
2. Mendiskusikan dampak NAPZA
3. Mendiskusikan cara meningkatkan motivasi
4. Mendiskusikan cara mengontrol keinginan
5. Latihan cara meningkatkan motivasi
6. Latihan cara mengontrol keingan
7. Membuat jadwal aktivitas
Sp 2
1. Mendiskusikan cara menyelesaikan masalah
2. Mendiskusikan cara hidup sehat
3. Latihan cara menyelesaikan masalah
4. Latihan cara hidup sehat
5. Mendiskusikan tentang obat
B Keluarga
Sp 1
1. Mendiskusikan masalah yang dialami
2. Mendiskusikan tentang NAPZA
3. Mendiskusikan tahapan penyembuhan
4. Mendiskusikan cara merawat
5. Mendiskusikan kondisi yang perlu dirujuk
6. latihan cara merawat
Sp 2
1. Mendiskusikan cara meningkatkan motivasi
2. Mendiskusikian pengawasan dalam minum obat
(Sumber: Keliat dkk, 2006)

D. Evaluasi
Evaluasi yang diharapkan dari klien adalah sebagai berikut :
1. Klien mengetahui dampak NAPZA
2. Klien mampu melakukan cara meningkatkan motivasi untuk berhenti
menggunakan NAPZA
3. Klien mampu mengontrol kemampuan keinginan menggunakan NAPZA
kembali
4. Klien dapat menyelesaikan masalahnya dengan koping yang adaptif
5. Klien dapat menerapkan cara hidup yang sehat
6. Klien mematuhi program pengobatan
Evaluasi yang diharapkan dari keluarga adalah sebagai berikut :
1. Keluarga mengetahui masalah yang dialami klien
2. Keluarga mengetahui tentang NAPZA
3. Keluarga mengetahui tahapan proses penyembuhan klien
4. Keluarga berpartisipasi dalam merawat klien
5. Keluarga memberikan motivasi pada kilien untuk sembuh
6. Keluarga mengawasi klien dalam minum obat
TINDAKAN DAN CATATAN KEPERAWATAN

Diagnosa Keperawatan :
Koping individu tidak efektif: belum mampu mengatasi keinginan
menggunakan zat.

Tindakan Keperawatan :
1. Mendiskusikan tentang dampak penggunaan NAPZA bagi kesehatan
2. Mendiskusikan tentang cara meningkatkan motivasi untuk berhenti
3. Mendiskusikan tentang cara menghindar dari teman-teman pemakai NAPZA
4. Mendiskusikan tentang cara penyelesaian masalah secara sehat
5. Mendiskusikan tentang gaya hidup yang sehat
6. Melatih cara untuk menghindar dan mengontrol keinginan menggunakan
NAPZA kembali
7. Melatih cara menyelesaikan masalah: dicurigai/dituduh menggunakan
NAPZA kembali oleh keluarga/sekolah/pekerjaan.

Evaluasi :
S : Klien berjanji akan menghindari teman-temannya yang masih menggunakan
NAPZA.
O : Klien tampak tidak mau menemui teman kelompoknya ketika berkunjung
untuk menjenguknya di panti rehabilitasi.
A : Keinginan untuk menggunakan kembali NAPZA terkadang muncul.
P : Menganjurkan klien untuk menambah kegiatan yang bersifat positif seperti
aktif dalam kegiatan ibadah dipanti rehabilitasi, olahraga melanjutan kembali
membua jadwal kegiatan klien.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan

Overdosis atau kelebihan dosis terjadi akibat tubuh mengalami keracunan


akibat obat.Od sering terjadi bila menggunakan narkoba dalam jumlah banyak
dengan rentang waktu terlalu singkat, biasanya digunakan secara bersamaan
antara putaw, pil, heroin digunakan bersama alkohol. Atau menelan obat tidur
seperti golongan barbiturat (luminal) atau obat penenang (valium, xanax,
mogadon/bk).

Penyalahgunaan zat secara terus-menerus bahkan sampai setelah terjadi


masalah.ketergantungan zat menunjukkan kandisi yang parah dan sering
diangap sebagai penyakit. Adiksi umumnya merujuk pada perilaku psikosasial
yang berhubungan dengan ketergantungan zat.Gejala putus zat terjadi karena
kebutuhan biologik terhadap obat.Toleransi adalah peningkatan jumlah zat
untuk.memperoleh efek yang diharapkan. Gejala putus zat dan toleransi
merupakan tanda ketergantungan fisik (Stuart & Sundeen, 1998).

B. Saran

Kami sadar bahwa makalah kami masih jauh dari kesempurnaan, karena itu
kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
menyempurnakan makalah ini untuk lebih baik lagi. Oleh karena itu, kami
mohon bantuan dari dosen mata kuliah.Demikianlah makalah ini kami buat,
semoga bermanfaat bagi pembaca.
Daftar pustaka

http://www.askepkeperawatan.com/2015/09/kekurangan-volume-cairan.html
(Diakses tanggal 15 Januari 2017, pukul 12.30 WITA)

http://www.askepkeperawatan.com/2015/09/pola-nafas-tidak-efektif-nanda-
nic-noc-2010.html (Diakses tanggal 15 Januari 2017, pukul 13.00 WITA)

Anda mungkin juga menyukai