Antagonis Narkotik Ismayani F1F110074 Perbaikan
Antagonis Narkotik Ismayani F1F110074 Perbaikan
KIMIA MEDISINAL
“ANTAGONIS NARKOTIK”
OLEH
NAMA : ISMAYANI
STAMBUK : F1F1 10 074
KELAS : B
JURUSAN FARMASI
2. Definisi
Antagonis narkotik merupakan zat-zat yang dapat melawan efek-efek
samping opioida tertentu tanpa mengurangi kerja analgetisnya. Obat yang
Reseptor tempat terikatnya opioid di sel otak disebut reseptor opioid. Yang
paling terkenal adalah nalokson, naltrekson, dan nalorfin. Obat ini terutama
digunakan pada overdose atau intoksikasi. Khasiat antagonisnya diperkirakan
berdasarkan pergeseran opioida dari tempatnya direseptor-reseptor otak.
Antagonis morfin ini sendiri juga berkhasiat analgetik, tetapi tidak digunakan
dalam terapi karena khasiatnya lemah dan efek samping tertentu mirip morfin /
narkotik (depresi pernafasan, reaksi psikotis).
Berdasarkan sistem kerjanya golongan narkotik dibagi atas 2, yaitu
agonis narkotik dan antagonis narkotik. Agonis adalah obat yang berinteraksi
dengan dan mengaktifkan reseptor, mempunyai afinitas dan efikasi (aktivitas
intrinsik). Antagonis mempunyai afinitas tapi tanpa aktivitas intrinsik.
Antagonis berinteraksi dengan reseptor tapi yidak mengubah reseptor.
Ada 2 tipe antagonis :
Antagonis kompetitif
Antagonis kompetitif berkompetisi dengan agonis untuk
menduduki reseptor. Antagonis ini dapat diatasi dengan peningkatan dosis
agonis. Antagonis menggeser kurva dosis respon agonis ke kanan,
mengurangi afinitas agonis.
Antagonis non-kompetitif
Antagonis non-kompetitif berikatan pada reseptor dan bersifat
ireversible. Antagonis non-kompetitif menyebabkan sedikit pergeseran ke
kanan kurva dosis respon agonis pada kadar rendah. Semakin banyak
reseptor diduduki, agonis menjadi tidak mungkin mencapai efek maksimal.
3. Teori
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti
opioum. Opioum mengandung sekitar 20 jenis alkaloid diantaranya morfin,
kodein, tebain, dan papaverin. Analgesik opioid terutama digunakan untuk
meredakan atau menghilangkan rasa nyeri, meskipun juga menghilangkan
berbagai efek farmakodinamik yang lain. Klasifikasi obat golongan opioid
berdasarkan kerjanya pada reseptor, obat golongan opioid dibagi menjadi: 1.
agonis penuh (kuat), 2. agonis parsial (agonis lemah sampai sedang), 3.
campuran agonis dan antagonis, dan 4. antagonis. Opioid golongan agonis kuat
hanya mempunyai efek agonis, sedangkan agonis parsial dapat menimbulkan
efek agonis, atau sebagai antagonisdengan menggeser agonis kuat dari
ikatannya pada resptor opioid dan mengurangi efeknya.
Ada 3 jenis utama reseptor opioid yaitu mu, delta, dan kappa. Ketiga
jenis reseptor ini termasuk pada jenis reseptor yang berpasangan dengan
protein G, dan memiliki subunit tipe: mu1, mu2, delta1, delta2, kappa1 dan
kappa2 dan kappa3. Karena suatu opioid dapat berfungsi sebagai suatu agonis,
agonis parsial, atau antagonis pada lebih dari satu jenis reseptor atau subtipe
reseptor maka senyawa yang tergolong opioid dapat memiliki efek
farmakologik yang beragam.
Obat-obat yang tegolong antagonis opioid umumnya tidak
menimbulkan banyak efek kecuali bila sebelumnya telah ada efek agonis
opioid atau bila opioid endogen sedang aktif misalnya pada keadaan stres atau
syok. Nalokson merupakan prototip antagonis opioid yang relatif murni,
demikian pula naltrekson yang dapat diberikan per oral dan memperlihatkan
masa kerja yang lebih lama dari nalokson. Kedua obat ini merupakan antagonis
kompetitif pada reseptor ʋ, k dan σ, tetapi afinitasnya terhadap reseptor u jauh
lebih tinggi. Dalam dosis besar keduanya memperlihatkan beberapa efek
agonis, tetapi efek ini tidak berarti secara klinis.
Pengembangan agen-agen difasilitasi oleh fakta menarik bahwa
perubahan struktural yang relatif kecil dapat mengkonversi obat agonis opioid
menjadi satu dengan tindakan antagonis, yaitu memblokir reseptor opioid
untuk mencegah aktivasi mereka. Dengan demikian, morfin diubah menjadi
nalorfin, dan oksimorfon menjadi bentuk yang lebih baik yaitu nalokson atau
naltrekson. Perkembangan yang lebih baru, nalmefen, merupakan antagonis
reseptor mu-murni yang setidaknya equipotent dengan nalokson tetapi tidak
bekerja lama, dengan durasi tindakan antara nalokson dan naltrekson.
Antagonis tambahan yang selektif aktif pada reseptor opioid lainnya telah
dikembangkan terutama untuk tujuan eksperimental
Nalorfin, levalorfan, siklazosin dan sejenisnya disamping
memperlihatkan efek antagonis, menimbulkan efek otonomik, endokrin,
analgesik, dan depresi napas mirip efek yang ditimbulkan oleh morfin. Obat-
obat ini merupakan antagonis kompetitif pada reseptor ʋ, tetapi juga
memperlihatkan efek agonis pada reseptor-reseptor lain.
Nalorfin dan Levarolvan juga menimbulkan depresi nafas yang diduga
karena kerjanya pada reseptor K. Berbeda dengan morfin depresi napas ini
tidak bertambah dengan bertambahnya dosis. Kedua obat ini, terutama
levalorfan memperberat depresi napas oleh morfin dosis kecil, tetapi
mengantagonis depresi napas akibat dosis besar.
Efek Dengan Pengaruh Opioid
Semua efek agonis opioid pada reseptor ʋ diantagonis oleh
nalokson dosis kecil (0,4-0,8 mg) yang diberikan IM atau IV. Frekuensi
napas meningkat dalam 1-2 menit setelah pemberian nalokson pada
penderita dengan depresi napas akibat agonis opioid, efek sedatif dan efek
terhadap tekanan darah juga seera dihilangkan. Pada dosis besar, nalokson
menyebabkan kebaikan efek dari efek psikotomimetik dan disforia akibat
agonis-antaonis. Antagonisme nalokson ini berlangsung selama 1-4 jam,
tergantung dari dosisnya.
Antagonisme nalokson terhadap efek agonis opioid sering disertai
dengan terjadinya fenomen overshoot misalnya berupa peningkatan
frekuensi napas melebihi frekuensi sebelum dihambat oleh opioid.
Fenomena ini diduga berhubungan dengan terungkapnya (unmasking)
ketergantungan fisik akut yang timbul 24 jam setelah morfin dosis besar.
Terhadap individu yang memperlihatkan ketergantungan fisik
terhadap morfin, dosis kecil nalokson SK akan menyebabkan gejala putus
obat yang dapat berat. Gejala ini mirip dengan gejala akibat penghentian
tiba-tiba pemberian morfin, hanya timbulnya beberapa menit setelah
penyuntikan dan berakhir setelah 2 jam. Berat dan lama berlangsungnya
sindrom ini tergantung dari dosis antagonis dan beratnya ketergantungan.
Hal yang sama terjadi terhadap orang dengan ketergantungan fisik
terhadap agonis parsial, tetapi diperlukan dosis lebih besar.
Karena berpengaruh lebih kuat di tingkat reseptor maka obat ini
akan menghambat semua efek opioid termasuk kenikmatan atau euforia
maupun analgesia. Dengan demikian pemakaian antagonis opioid secara
teratur selama kurun waktu tertentu akan meniadakan gejala putus opioid
sekaligus mengurangi serta meng-hilangkan ketagihan atau craving.
Misalnya 50 milligram tablet naltrekson dapat menghambat efek 25
milligram heroin murni yang setara dengan 62.5 milligram morfin.
Toleransi dan ketergantungan fisik
Toleransi hanya terjadi terhadap efek yang ditimbulkan oleh sifat
agonis, jadi hanya timbul pada efek subyektif, sedatif dan psikotomometik
dari nalorfin. Nalokson, nalorfin dan levalorvan kecil kemungkinannya
untuk disalahgunakan sebab:
1. Tidak menyebabkan ketergantungan fisik
2. Tidak menyokong ketergantungan fisik morfin, dan
3. Dari segi subyektif dianggap sebagai obat yang kurang menyenangkan
bagi para pecandu.
Indikasi
Antagonis opioid diindikasikan untuk mengatasi depresi napas
akibat takar lajak opioid, pada bayi yang baru dilahirkan oleh ibu yang
mendapat opioid sewaktu persalinan, atau akibat tentamen suicide dengan
suatu opioid, dalam hal ini nalokson merupakan obat terpilih. Obat ini juga
digunakan untyk mendiagnosis dan mengobati ketergantungan fisik
terhadap opioid.
Kontraindikasi
Wanita hamil, tidak menderita hepatitis akut, tidak mengalami
gangguan jiwa berat (psikosis) atau tidak sakit parah lainnya yang berisiko
dengan anestesia seperti infeksi jantung, infeksi paru-paru atau gagal
ginjal.
4. Sintesis Obat
Nalokson (Sintesis dari 14-hydroxydihidronormorphinone)
Nalokson (Narcan)
Craig, R.Craig and Robert E.Stitzel. 2007. Modern Pharmacology With Clinical
Application-6th Ed. Lippncott Williams & Wilkin. Virginia.
Katzung, G.Bertram. 2007. Basic & Clinical Pharmacology – 10th Edition. The
McGraw-Hill Companies. New York.
Tanu, L. 2007. Farmakologi dan Terapi. Departemen Farmakologi dan Terapi UI.
Jakarta.
Tjay, Tan Hoan, Kirana Rahardja. 2002. Obat-obat Penting. Gramedia. Jakarta.