Anda di halaman 1dari 15

Tugas Individu

KIMIA MEDISINAL

“ANTAGONIS NARKOTIK”

OLEH

NAMA : ISMAYANI
STAMBUK : F1F1 10 074
KELAS : B

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012
1. History
Jauh sebelum Masehi (3400 SM) orang-orang Mesopotamia telah
membudidayakan tanaman poppy yang berkhasiat mengurangi nyeri dan
memberi efek nyaman (joy plant). Zat ini dalam bahasa Yunani disebut opium
atau yang kita kenal sebagai candu. Pada tahun 1803 seorang apoteker Jerman
berhasil mengisolasi bahan aktif opium yang memberi efek narkotika dan
diberi nama Morfin. Morfin berasal dari bahasa Latin Morpheus yaitu nama
dewa mimpi Yunani. Opioid merupakan alkaloid alami seperti morfin atau
kodein. Opioid adalah istilah yang digunakan secara luas untuk
menggambarkan semua senyawa yang bekerja pada reseptor opioid. Awalnya
digunakan untuk menggambarkan obat untuk tidur, maka digunakan untuk
menggambarkan opioid, tapi sekarang adalah istilah hukum untuk obat yang
disalahgunakan.
Opioid telah digunakan selama ribuan tahun untuk pengobatan nyeri.
Pada zaman dahulu Mesir papirus melaporkan penggunaan opium untuk
menghilangkan rasa sakit. Pada tahun 1973, sarjana mahasiswa, Candace Pert,
menggunakan morfin radioaktif untuk mengevaluasi dan menemukan lokasi
tempat aksi morfin,didapatkan bahwa obat melekat pada daerah yang sangat
spesifik dari otak, yang disebut dengan "Morfin reseptor". Penelitian tersebut
juga dilakukan oleh John Hughes dan Hans Kosterlitz pada tahun 1975. Sejak
saat itu, berbagai reseptor dan subtipe telah diidentifikasi. Mayoritas klinis
opioid yang relevan memiliki aktivitas utama mereka di "reseptor morfin" awal
atau "reseptor mu" dan karena itu dianggap "agonis mu." Parameter
farmakokinetik (waktu paruh, klirens, volume distribusi) opioid sudah
diketahui. Namun, metabolisme masih kurang dipahami, dan telah ada ilmuan
memilki minat baru dalam peran memodifikasi respon farmakodinamik
metabolit pada pasien.
Hubungan struktur-aktivitas morfin telah dipelajari secara ekstensif.
Rumus struktur morfin ditentukan pada tahun 1925 dan dikonfirmasi pada
tahun 1952 ketika dua metode sintesis total juga diterbitkan. Sebagai hasil dari
studi yang luas dan penggunaan molekul ini, lebih dari 200 turunan morfin
(juga menghitung obat kodein dan terkait) telah dikembangkan sejak kuartal
terakhir abad 19. Kisaran ini obat dari 25 persen kekuatan kodein atau sedikit
lebih dari 2 persen dari kekuatan morfin, beberapa ratus kali kekuatan morfin
untuk beberapa antagoinsts opioid kuat termasuk nalokson (Narcan),
naltrexone (Trexan), dan nalorphine (Nalline) untuk digunakan manusia dan
juga antara antagonis terkuat yang dikenal, seperti diprenorphine (M5050),
agen membalikkan pada hewan Immobilon besar obat penenang panah kit;.
obat penenang yang lain ultra-kuat morfin derivatif / analog struktural, yaitu,
etorphine (M99).
Morfin yang diturunkan dari agonis-antagonis obat juga telah
dikembangkan. Elemen struktur morfin telah digunakan untuk membuat obat
sepenuhnya sintetik seperti keluarga morphinan (levorphanol, dekstrometorfan
dan lainnya) dan kelompok lain yang memiliki banyak anggota dengan kualitas
seperti morfin. Modifikasi morfin dan sintetik tersebut juga telah menimbulkan
obat non-narkotika dengan menggunakan lain seperti muntah, stimulan,
antitusif, antikolinergik, relaksan otot, anestesi lokal, anestesi umum, dan lain-
lain.
Antagonis opioid telah tersedia selama beberapa dekade dan dikenal
untuk aplikasi dalam pengobatan kecanduan (naltrekson) dan sebagai
penangkal untuk overdosis opioid (nalokson). Laporan pertama dari agen yang
memiliki sifat-antagonis opioid pada tahun 1915, ketika N-allylnorkodein
diamati untuk memblokir efek depresi pernapasan dari morfin dan heroin.
Antagonis opioid nalorfin disintesis tahun 1940-an, namun juga memiliki
aktivitas agonis parsial dan efek yang dapat mengganggu fungsi hati
(menyebabkan dysphoria) yang digunakan secara luas untuk mengobati
keracunan atau overdosis opioid.

2. Definisi
Antagonis narkotik merupakan zat-zat yang dapat melawan efek-efek
samping opioida tertentu tanpa mengurangi kerja analgetisnya. Obat yang
Reseptor tempat terikatnya opioid di sel otak disebut reseptor opioid. Yang
paling terkenal adalah nalokson, naltrekson, dan nalorfin. Obat ini terutama
digunakan pada overdose atau intoksikasi. Khasiat antagonisnya diperkirakan
berdasarkan pergeseran opioida dari tempatnya direseptor-reseptor otak.
Antagonis morfin ini sendiri juga berkhasiat analgetik, tetapi tidak digunakan
dalam terapi karena khasiatnya lemah dan efek samping tertentu mirip morfin /
narkotik (depresi pernafasan, reaksi psikotis).
Berdasarkan sistem kerjanya golongan narkotik dibagi atas 2, yaitu
agonis narkotik dan antagonis narkotik. Agonis adalah obat yang berinteraksi
dengan dan mengaktifkan reseptor, mempunyai afinitas dan efikasi (aktivitas
intrinsik). Antagonis mempunyai afinitas tapi tanpa aktivitas intrinsik.
Antagonis berinteraksi dengan reseptor tapi yidak mengubah reseptor.
Ada 2 tipe antagonis :
 Antagonis kompetitif
Antagonis kompetitif berkompetisi dengan agonis untuk
menduduki reseptor. Antagonis ini dapat diatasi dengan peningkatan dosis
agonis. Antagonis menggeser kurva dosis respon agonis ke kanan,
mengurangi afinitas agonis.
 Antagonis non-kompetitif
Antagonis non-kompetitif berikatan pada reseptor dan bersifat
ireversible. Antagonis non-kompetitif menyebabkan sedikit pergeseran ke
kanan kurva dosis respon agonis pada kadar rendah. Semakin banyak
reseptor diduduki, agonis menjadi tidak mungkin mencapai efek maksimal.

3. Teori
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti
opioum. Opioum mengandung sekitar 20 jenis alkaloid diantaranya morfin,
kodein, tebain, dan papaverin. Analgesik opioid terutama digunakan untuk
meredakan atau menghilangkan rasa nyeri, meskipun juga menghilangkan
berbagai efek farmakodinamik yang lain. Klasifikasi obat golongan opioid
berdasarkan kerjanya pada reseptor, obat golongan opioid dibagi menjadi: 1.
agonis penuh (kuat), 2. agonis parsial (agonis lemah sampai sedang), 3.
campuran agonis dan antagonis, dan 4. antagonis. Opioid golongan agonis kuat
hanya mempunyai efek agonis, sedangkan agonis parsial dapat menimbulkan
efek agonis, atau sebagai antagonisdengan menggeser agonis kuat dari
ikatannya pada resptor opioid dan mengurangi efeknya.
Ada 3 jenis utama reseptor opioid yaitu mu, delta, dan kappa. Ketiga
jenis reseptor ini termasuk pada jenis reseptor yang berpasangan dengan
protein G, dan memiliki subunit tipe: mu1, mu2, delta1, delta2, kappa1 dan
kappa2 dan kappa3. Karena suatu opioid dapat berfungsi sebagai suatu agonis,
agonis parsial, atau antagonis pada lebih dari satu jenis reseptor atau subtipe
reseptor maka senyawa yang tergolong opioid dapat memiliki efek
farmakologik yang beragam.
Obat-obat yang tegolong antagonis opioid umumnya tidak
menimbulkan banyak efek kecuali bila sebelumnya telah ada efek agonis
opioid atau bila opioid endogen sedang aktif misalnya pada keadaan stres atau
syok. Nalokson merupakan prototip antagonis opioid yang relatif murni,
demikian pula naltrekson yang dapat diberikan per oral dan memperlihatkan
masa kerja yang lebih lama dari nalokson. Kedua obat ini merupakan antagonis
kompetitif pada reseptor ʋ, k dan σ, tetapi afinitasnya terhadap reseptor u jauh
lebih tinggi. Dalam dosis besar keduanya memperlihatkan beberapa efek
agonis, tetapi efek ini tidak berarti secara klinis.
Pengembangan agen-agen difasilitasi oleh fakta menarik bahwa
perubahan struktural yang relatif kecil dapat mengkonversi obat agonis opioid
menjadi satu dengan tindakan antagonis, yaitu memblokir reseptor opioid
untuk mencegah aktivasi mereka. Dengan demikian, morfin diubah menjadi
nalorfin, dan oksimorfon menjadi bentuk yang lebih baik yaitu nalokson atau
naltrekson. Perkembangan yang lebih baru, nalmefen, merupakan antagonis
reseptor mu-murni yang setidaknya equipotent dengan nalokson tetapi tidak
bekerja lama, dengan durasi tindakan antara nalokson dan naltrekson.
Antagonis tambahan yang selektif aktif pada reseptor opioid lainnya telah
dikembangkan terutama untuk tujuan eksperimental
Nalorfin, levalorfan, siklazosin dan sejenisnya disamping
memperlihatkan efek antagonis, menimbulkan efek otonomik, endokrin,
analgesik, dan depresi napas mirip efek yang ditimbulkan oleh morfin. Obat-
obat ini merupakan antagonis kompetitif pada reseptor ʋ, tetapi juga
memperlihatkan efek agonis pada reseptor-reseptor lain.
Nalorfin dan Levarolvan juga menimbulkan depresi nafas yang diduga
karena kerjanya pada reseptor K. Berbeda dengan morfin depresi napas ini
tidak bertambah dengan bertambahnya dosis. Kedua obat ini, terutama
levalorfan memperberat depresi napas oleh morfin dosis kecil, tetapi
mengantagonis depresi napas akibat dosis besar.
 Efek Dengan Pengaruh Opioid
Semua efek agonis opioid pada reseptor ʋ diantagonis oleh
nalokson dosis kecil (0,4-0,8 mg) yang diberikan IM atau IV. Frekuensi
napas meningkat dalam 1-2 menit setelah pemberian nalokson pada
penderita dengan depresi napas akibat agonis opioid, efek sedatif dan efek
terhadap tekanan darah juga seera dihilangkan. Pada dosis besar, nalokson
menyebabkan kebaikan efek dari efek psikotomimetik dan disforia akibat
agonis-antaonis. Antagonisme nalokson ini berlangsung selama 1-4 jam,
tergantung dari dosisnya.
Antagonisme nalokson terhadap efek agonis opioid sering disertai
dengan terjadinya fenomen overshoot misalnya berupa peningkatan
frekuensi napas melebihi frekuensi sebelum dihambat oleh opioid.
Fenomena ini diduga berhubungan dengan terungkapnya (unmasking)
ketergantungan fisik akut yang timbul 24 jam setelah morfin dosis besar.
Terhadap individu yang memperlihatkan ketergantungan fisik
terhadap morfin, dosis kecil nalokson SK akan menyebabkan gejala putus
obat yang dapat berat. Gejala ini mirip dengan gejala akibat penghentian
tiba-tiba pemberian morfin, hanya timbulnya beberapa menit setelah
penyuntikan dan berakhir setelah 2 jam. Berat dan lama berlangsungnya
sindrom ini tergantung dari dosis antagonis dan beratnya ketergantungan.
Hal yang sama terjadi terhadap orang dengan ketergantungan fisik
terhadap agonis parsial, tetapi diperlukan dosis lebih besar.
Karena berpengaruh lebih kuat di tingkat reseptor maka obat ini
akan menghambat semua efek opioid termasuk kenikmatan atau euforia
maupun analgesia. Dengan demikian pemakaian antagonis opioid secara
teratur selama kurun waktu tertentu akan meniadakan gejala putus opioid
sekaligus mengurangi serta meng-hilangkan ketagihan atau craving.
Misalnya 50 milligram tablet naltrekson dapat menghambat efek 25
milligram heroin murni yang setara dengan 62.5 milligram morfin.
 Toleransi dan ketergantungan fisik
Toleransi hanya terjadi terhadap efek yang ditimbulkan oleh sifat
agonis, jadi hanya timbul pada efek subyektif, sedatif dan psikotomometik
dari nalorfin. Nalokson, nalorfin dan levalorvan kecil kemungkinannya
untuk disalahgunakan sebab:
1. Tidak menyebabkan ketergantungan fisik
2. Tidak menyokong ketergantungan fisik morfin, dan
3. Dari segi subyektif dianggap sebagai obat yang kurang menyenangkan
bagi para pecandu.
 Indikasi
Antagonis opioid diindikasikan untuk mengatasi depresi napas
akibat takar lajak opioid, pada bayi yang baru dilahirkan oleh ibu yang
mendapat opioid sewaktu persalinan, atau akibat tentamen suicide dengan
suatu opioid, dalam hal ini nalokson merupakan obat terpilih. Obat ini juga
digunakan untyk mendiagnosis dan mengobati ketergantungan fisik
terhadap opioid.
 Kontraindikasi
Wanita hamil, tidak menderita hepatitis akut, tidak mengalami
gangguan jiwa berat (psikosis) atau tidak sakit parah lainnya yang berisiko
dengan anestesia seperti infeksi jantung, infeksi paru-paru atau gagal
ginjal.
4. Sintesis Obat
 Nalokson (Sintesis dari 14-hydroxydihidronormorphinone)

 Sintesis naloxone dengan enzim bioreductase

 Naltrekson (sintesis dari thebaine)


 Nalorpin (Sintesis dari N-Allyl morphine)

5. Interaksi Obat dengan yang lain


Interaksi golongan antagonis narkotik yaitu:
 Dengan Obat Lain
Golongan antagonis narkotik akan berinteraksi dengan agonis
narkotik, alkohol, hipnotik-sedatif dan antihistamin sehingga terjadinya
penurunan efek obat dan meningkatkan efek sampinya.
Golongan antagonis narkotik (nalorfin dan nalokson) juga akan
menimbulkan interaksi dengan mepridin. Takar lajak meperidin dapat
menimbulkan tremor dan konvulsi bahkan juga depresi napas, koma dan
kematian. Depresi napas oleh merepidin dapat dilawan oleh nalorfin atau
nalokson. Pada pecandu meperidin yang telah kebal akan efek depresi,
pemberian meperidin dapat menimbulkan tremor, kedutan otot, midriasis,
refleks hiperaktif dan konvulsif. Efek perangsangan SSP tersebut
disebabkan oleh akumulasi metabolit aktifnya yaitu normeperidin.
Nalokson dapat mencetuskan konvulsi pada pasien yang mendapat dosis
besar meperidin secara berulang. Bila terjadi gejala perangsangan terhadap
meperidin obat dihentikan dan diganti dengan opioid lain untuk mengatasi
nyeri. Nalorfin mengadakan anatgonisme terhadap efek depresi tetapi tidak
terhadap efek stimulasi meperidin.
 Dengan Makanan : dari berbagai referensi tidak didapatkan bahwa
golongan antagonis dapat berinteraksi dengan makanan.

6. Obat Pilihan untuk Nyeri/Peradangan


Jenis-jenis senyawa antagonis opiat (narkotik) yaitu nalokson, nalorfin,
pentazosin, Naltrekson dan buprenorfin (temgesic). Ketika digunakan sebagai
analgetikum, obat-obat ini dapat menduduki salah satu reseptor. Obat pilihan
untuk nyeri (analgetik) yang dianjurkan berdasarkan kelebihan dan
kekurangannya yaitu dalam urutan pertama naltrekson, kedua nalokson dan
yang terakhir nalorfin berikut di bawah ini akan dibahas masing-masing
senyawa tersebut.
 Naltrekson (Nalorex)

Naltrekson adalah derivat nalokson, dimana gugus alil diganti


dengan siklopropil. sifat antagonis murni yang tidak mengakibatkan
toleransi atau ketergantungan fisik dan psikis. Dalam hati, zat ini diubah
menjadi a.l. metabolit aktif 6β-naltreksol yang terutama diekskresi melalui
kemih. Naltrekson mengalami siklus enterihepatik, masa paruhnya 4-12
jam. Masa kerja dari naltrekson lebih lama dibandingkan dengan nalokson.
Naltrekson efektif setelah pemberian per oral, kadar puncaknya
dalam plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam, waktu paruhnya sekitar 3 jam
dan masa kerjanya mendekati 24 jam. Metabolitnya, 6-naltreksol,
merupakan antagonis opioid yang lemah dan dan masa kerjanya panjang.
Naltrekson lebih poten dari nalokson, pada penderita adiksi opioid
pemberian 100 mg secara oral dapat menghambat efek euforia yang
ditimbulkan oleh 25 mg heroin IV selama 48 jam.
Penggunaannya terutama untuk menghambat efek-efek opioda
berdasarkan pengikatan kompetitif pada reseptor opioida dan sebagai obat
anti-ketagihan heroin. Pada pecandu opioida menimbulkan gejala
abstinensi hebat dalam waktu 5 menit, yang bertahan dalam 48 jam. Obat
ini hanya boleh diberikan setelah penghentian heroin/morfin atau metadon
sekurang-kurangnya masing-masing 7 dan 10 hari.
Dosisnya pada permulaan25 mg, bila tidak terjadi efek abstinensi
setelah 1 jam diulang dengan 25 mg. Lalu 50 mg ehari selama 3 bulan
atau lebih lama.

 Nalokson (Narcan)

Antagonis-morfin ini memiliki rumus morfin dengan gugus alil


pada atom –N. Zat ini dapat meniadakan semua khasiat morfin dan opioida
lainnya, terutama depresi pernapasan tanpa mengurangi efek analgetisnya.
Penekanan pernapasan dari obat-obat SSP lain (barbital, siklopropan, eter)
tidak ditiadakan, tetapi juga tidak diperkuat seperti halnya dengan nalorfin.
Sendirinya tidak memiliki kerja agonitis (analgetik). Penggunaannya
sebagai antidotum pada overdose opioida (dan barbital), pasca-bedah
utnuk mengatasi depresi pernapasan oleh opioida. Atau, secara diagnostik
untuk menetukan adiksi sebelum dimulai dengan penggunaan naltrexon.
Nalokson hanya dapat diberikan parenteral dan efeknya terlihat
setelah penyuntikan IV. Secara oral nalokson juga diserap, tetapi karena
hampir seuruhnya mengalami metabolisme lintas pertama maka harus
diberikan parenteral. Obat ini dimetabolisme di hati terutama dengan
glukuronidasi. Waktu paruhnya kira-kira 1 jam dengan masa kerja 1-4 jam.
sudah memberikan efek setelah 2 menit, yang bertahan 1-4 jam. Plasma-
t1/2-nya hanya 45-90 menit, lama kerjanya lebih singkat dari opioida, maka
lazimnya perlu diulang beberapa kali.
Nalokson tidak menghasilkan dysphoria tetapi memiliki durasi
yang singkat dan bioavailabilitas oral yang buruk karena mengalami
metabolisme lintas pertama yang tinggi di hati, ini 15 kali
lebih kuat diberian dengan suntikan dibandingkan melalui mulut.
Kebutuhan untuk aksi antagonis opioid yang lebih lama sebagai
pengobatan untuk kecanduan, dengan menghalangi efek euforia opioid
terlarang untuk jangka waktu tertentu, mendorong pengembangan
naltrekson pada tahun 1963. Antagonis ini memiliki bioavailabilitas oral
cukup baik, durasi aksi yang panjang, dan dua kali potensi nalokson
Efek tanpa pengaruh opioid. Pada berbagai eksperimen
diperlihatkan bahwa nalokson:
a. Menurunkan ambang nyeri pada mereka yang biasanya ambang
nyerinya tinggi
b. Mengantagonis efek analgetik plasebo
c. Engantagonis analgesia yang terjadi akibat perangsangan lewat jarum
akupuntur
Semua efek ini diduga berdasarakan antagonisme nalokson
terhadap opioid endogen yang dalam keadaan lebih aktif. Efek subyektif
yang ditimbulkan nalorfin pada manusia tergantung dari dosis, sifat orang
yang bersangkutan dan keadaan. Pemberian 10-15 mg nalorfin atau 10 mg
morfin menimbulkan analgesia sama kuat pada penderita dengan nyeri
pascabedah. Efek tersebut diduga disebabkan oleh kerja agonis paka
reseptor K. Sehingga menimbulkan reaksi tidak menyenangkan misalnya
rasa cemas, perasaan yang aneh sampai timbulnya day dreams yang
mengganggu atau lebih berat lagi timbul halusinasi, paling sering
halusinasi visual.
Efek sampingnya dapat berupa tachycardia (setelah beda jantung),
jarang reaksi alergi dengan shock dan udema paru-paru. pada pengkalan
efek opioida terlalu pesat dapat terjadi mual, muntah, berkeringat, pusing-
pusing, hipertensi, temor, serangan epilepsi dan berhentinya jantung.
Dosis untuk nalokson yaitu pada overdose opioida, intravena
permula 0,4 mg, bila perlu diulang tiap 2-3 menit.

Perbedaan Naltrexone dan Naloxone


 Nalorfin (alilnormorfin)

Nalorfin adalah zat induk nalokson dengan khasiat sama, kecuali


juga berkhasiat analgetik lemah. Zat ini mampu meniadakan depresi
pernapasan yang hebat oleh opioida, tetapi justru memperkuat depresi
yang bersifat ringan, atau akibat opioida dengan kerja campuran (agonis-
antagonis) dan zat-zat sentral lain. Oleh karena itu, zat ini hanya
digunakan pada overdose opioida, bila nalokson tidak tersedia.
DAFTAR PUSTAKA

Anief,Moh. 2000. Prinsip Umum dan Dasar Farmakologi. Yogyakarta Gadjah


Mada University Press. Universitas

Craig, R.Craig and Robert E.Stitzel. 2007. Modern Pharmacology With Clinical
Application-6th Ed. Lippncott Williams & Wilkin. Virginia.

Goodman and Gilman. 2006. The Pharmacologic Basis of Therapeutics – 11th


Ed. McGraw-Hill Companies. New York.

Katzung, G.Bertram. 2007. Basic & Clinical Pharmacology – 10th Edition. The
McGraw-Hill Companies. New York.

Neal,J.Michael. 2002. Medical Pharmacology at a glance-4th Ed. Blackwell


science. London.

Tanu, L. 2007. Farmakologi dan Terapi. Departemen Farmakologi dan Terapi UI.
Jakarta.

Tjay, Tan Hoan, Kirana Rahardja. 2002. Obat-obat Penting. Gramedia. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai