Anda di halaman 1dari 48

HEMATOLOGI

“ERITROSIT DAN INTERPRETASI DATA”

Dosen :

Dra. Refdanita, M.Si

Disusun Oleh :

Annisa Fikry 16330717

PROGAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur Saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat Rahmat dan
Karunia-Nya, Saya sebagai penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya
dan tepat pada waktunya.
Makalah ini berjudul “Eritrosit dan Interpretasi Data”, untuk memenuhi tugas yang diberikan
oleh Dosen mata kuliah pilihan yaitu Hematologi . Selain itu juga, makalah ini diharapkan mampu
menjadi sumber pembelajaran bagi kita semua untuk mengerti lebih jauh tentang pengertian
interpretasi data klinik dan mendalami tentang ertitrosit (sel darah merah).
Makalah ini dibuat dengan meninjau beberapa sumber dan menghimpunnya menjadi
kesatuan yang sistematis. Terimakasih Saya ucapkan kepada semua pihak yang menjadi sumber
referensi bagi Saya.
Semoga makalah ini dapat berguna bagi pembaca sekalian. Saya selaku penyusun menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari bentuk penyusunan maupun
materinya. Kritik dan saran dari pembaca sangat Saya harapkan untuk penyempurnaan makalah
selanjutnya.

Jakarta, 31 Maret 2017

Annisa Fikry
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... i


DAFTAR ISI..................................................................................................................... ii
DAFTAR TABEL ............................................................................................................ iv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................ v
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................................... 2
1.3 Tujuan ......................................................................................................................... 3
1.4 Manfaat ....................................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Hematologi .................................................................................................... 4
2.1.a Pemeriksaan Hematologi .................................................................................... 4
2.2 Darah ........................................................................................................................... 4
2.2.a Definisi Darah dan Fungsinya ............................................................................ 4
2.2.b Tempat Pembentukan Sel Darah ........................................................................ 6
2.3 Karakteristik dan Interpretasi Data ............................................................................. 7
2.3.a Hematokrit .......................................................................................................... 7
2.3.b Hemoglobin ........................................................................................................ 7
2.3.c Eritrosit (Sel Darah Merah) .............................................................................. 10
2.4 Produksi Sel Darah Merah (Eritropoesis) ................................................................. 11
2.5 Jumlah, Fungsi dan Lama Hidup Eritrosit ................................................................ 13
2.6 Susunan Sel Darah Merah ......................................................................................... 14
2.7 Proses Perombakan Eritrosit ..................................................................................... 16
2.8 Penghancuran Sel Darah Merah................................................................................ 16
2.9 Efek Samping Obat .................................................................................................. 26
2.10 Obat Yang Sering Diresepkan Pada Usia Lanjut dan Pertimbangan Pemakaian .. 27
2.11 Kepatuhan Pasien ................................................................................................... 30
2.12 Daftar Pemeriksa Dalam Peresepan ........................................................................ 33
2.13 Pedoman Penggunaan Obat Pada Lanjut Usia ....................................................... 33
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ............................................................................................................... 34
3.2 Saran ......................................................................................................................... 34

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 35


DAFTAR TABEL

1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 1


1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................................ 3
1.4 Manfaat ....................................................................................................................... 3
DAFTAR GAMBAR

2.1 Struktur Hem ............................................................................................................... 8


2.2 Eritrosit Normal ........................................................................................................ 10
2.3 Eritropoesis ............................................................................................................... 11
2.4 Skema Proses Perombakan Eritrosit ......................................................................... 16
2.5 Skema Proses Perombakan Eritrosit ......................................................................... 16
2.6 Skema Proses Perombakan Eritrosit ......................................................................... 16
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hematologi adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari darah, organ pembentuk
darah dan penyakitnya. Khususnya jumlah dan morfologi sel-sel darah, serta sumsum tulang.
Darah adalah jaringan khusus yang berbeda dengan organ lain, karena berbentuk cairan. Jumlah
darah dalam tubuh adalah 6-8% berat tubuh total. Empat puluh lima sampai 60% darah terdiri dari
sel-sel, terutama eritrosit, leukosit dan trombosit. Fungsi utama darah adalah sebagai media
transportasi, serta memelihara suhu tubuh dan keseimbangan cairan (Atul dan Victor, 2008 cit.
Arifin dkk, 2015).
Pemeriksaan panel hematologi (hemogram) terdiri dari leukosit, eritrosit, hemoglobin,
hematokrit, indeks eritrosit dan trombosit. Pemeriksaan hitung darah lengkap terdiri dari
hemogram ditambah leukosit diferensial yang terdiri dari neutrofil, basofil, eosinofil, limfosit dan
monosit (Menkes RI, 2011).
Darah merupakan bagian dari tubuh yang berperan penting dalam mempertahankan
kehidupan. Sebab, ia berfungsi sebagai pertahanan tubuh terhadap virus atau bakteri. Darah
berbentuk cairan, sehingga dapat didistribusikan ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah.
Volume dalam tubuh bervariasi, pada orang dewasa volume darah sekitar 6 liter atau sekitar 7-8
% dari berat badan. Darah terdiri dari komponen berbentuk dan komponen plasma. Komponen
berbentuk kurang lebih 45% (eritrosit, lekosit dan trombosit). Angka (45 %) ini dinyatakan dalam
nilai hermatokrit atau volume sel darah merah yang dipadatkan yang berkisar antara 40 sampai 47
(Erna dan Supriyadi, 2015).
Sekitar 44% darah terdiri dari unsur-unsur sel yang membentuk bagian terbesar adalah
eritrosit (sel darah merah). Eritrosit adalah sel yang tidak memiliki nukleus dan hidup sekitar 120
hari dan merupakan sel paling banyak dalam darah. Berfungsi untuk mengangkut oksigen dan
karbon dioksida melalui aliran darah. Sel darah merah normal berbentuk lempeng bikonkaf dengan
diameter kira-kira 7,8 mikrometer. Bentuk sel darah merah dapat berubah-ubah ketika sel berjalan
melewati kapiler. Eritrosit yang bersikulasi mempunyai masa paruh sekitar 120 hari. Pada pria,
jumlah sel darah merah normal (RBC) adalah 5.500.000 per mm3, sedang RBC normal pada wanita
adalah 4.800.000 per mm3 (Erna dan Supriyadi, 2015).
Kekurangan eritrosit secara garis besar mampu memicu keberadaan anemia dengan
beragam penyebab seperti gejala khas anemia yakni pucatnya warna tubuh disertai mata yang
cekung, gampang lelah serta mudah sakit, sistem imun semakin melemah dan terjadi kerontokan
rambut akibat kurang nutrisi, berkurangnya pasokan oksigen dapat menjadi penyebab pusing serta
susah bernafas pada beberapa kondisi tertentu. Sedangkan apabila kelebihan eritrosit bisa
menyebabkan penggumpalan darah dan kerusakan organ (Hidayat dkk, 2016).
Piliang dan Djojosoebagio (2006) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi
pembentukan eritrosit adalah kecukupan nutrisi. Pada penelitian Trubus Tri Ihwantoro yang
berjudul gambaran darah dan performa produksi ayam kampung serta ayam ras petelur pada
kandang terbuka diduga bahwa ayam kampung dan ayam ras petelur mendapatkan nutrisi yang
mengandung unsur-unsur pendukung dalam pembentukan sel darah merah. Nutrisi tersebut di
antaranya protein,zat besi, vitamin B9 dan vitamin B12. Protein dan zat besi terlibat dalam
pembentukan hemoglobin, sedangkan vitamin B9 dan vitamin B12 berperan dalam pematangan
eritosit (Ihwantoro, 2014).
Pemeriksaan laboratorium rutin dilakukan untuk mendapatkan informasi yang berguna
dalam pengambilan keputusan klinik mulai dari pemilihan obat, penggunaan obat hingga
pemantauan efektivitas dan keamanan, Apoteker memerlukan hasil pemeriksaan laboratorium.
Hasil pemeriksaan tersebut dibutuhkan sebagai pertimbangan dalam penggunaan obat, penentuan
dosis, hingga pemantauan keamanan obat. Oleh karena itu, Apoteker dituntut untuk meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan dalam interpretasi data laboratorium, khususnya yang terkait
penggunaan obat, yaitu pemahaman nilai normal dan implikasi perubahannya (Menkes RI, 2011).
Suatu uji laboratorium akan bernilai hasilnya jika mempengaruhi diagnosis, prognosis
atau terapi, memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai proses penyakit dan memberikan
rekomendasi terkait penyesuaian dosis (Menkes RI, 2011).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :

a. Bagaimana struktur dan fungsi eritrosit?


b. Bagaimana proses perombakan dan penghancuran eritrosit?
c. Berapa nilai normal eritrosit, hemoglobin dan hematokrit?
d. Penyakit apa yang ditimbulkan akibat kekurangan dan kelebihan eritrosit?
e. Apa tujuan pemeriksaan laboratorium?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk mendapatkan gambaran mengenai interpretasi
data klinik mengenai eritrosit (sel darah merah) yaitu nilai normal eritrosit, hemoglobin dan
hematokrit, penyakit yang ditimbulkan akibat kekurangan atau kelebihan eritrosit dan
pengobaatannya.

1.4 Manfaat
a. Bagi Penulis
Menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman dengan mengaplikasikan mata kuliah
kefarmasian serta dapat melatih mahasiswa berpikir kritis tentang interpretasi data mengenai
eritrosit.
b. Bagi Tenaga Kesehatan
Untuk memberikan gambaran kepada tenaga kesehatan untuk melakukan interpretasi
hasil pemeriksaan laboratorium pasien tentang eritrosit dalam pencapaian hasil terapi yang telah
ditetapkan dan meminimalkan kesalahan obat.

c. Bagi Institusi Pendidikan


Makalah ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi mahasiswa lain yang ingin
mengetahui tentang inteerpretasi data klinik mengenai eritrosit.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Hematologi

Hematologi adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari darah, organ pembentuk
darah dan penyakitnya. Khususnya jumlah dan morfologi sel-sel darah, serta sumsum tulang.
Darah adalah jaringan khusus yang berbeda dengan organ lain, karena berbentuk cairan. Jumlah
darah dalam tubuh adalah 6-8% berat tubuh total. Empat puluh lima sampai 60% darah terdiri dari
sel-sel, terutama eritrosit, leukosit dan trombosit. Fungsi utama darah adalah sebagai media
transportasi, serta memelihara suhu tubuh dan keseimbangan cairan (Atul dan Victor, 2008 cit.
Arifin dkk, 2015).

2.1.1 Pemeriksaan Hematologi


Pemeriksaan panel hematologi (hemogram) terdiri dari leukosit, eritrosit, hemoglobin,
hematokrit, indeks eritrosit dan trombosit. Pemeriksaan hitung darah lengkap terdiri dari
hemogram ditambah leukosit diferensial yang terdiri dari neutrofil (segmented dan bands), basofil,
eosinofil, limfosit dan monosit. (Menkes RI, 2011)

Rentang nilai normal hematologi bervariasi pada bayi, anak anak dan remaja, umumnya
lebih tinggi saat lahir dan menurun selama beberapa tahun kemudian. Nilai pada orang dewasa
umumnya lebih tinggi dibandingkan tiga kelompok umur di atas. Pemeriksaan hemostasis dan
koagulasi digunakan untuk mendiagnosis dan memantau pasien dengan perdarahan, gangguan
pembekuan darah, cedera vaskuler atau trauma (Darda, 2016).
2.2 Definsi darah Dan Fungsinya

Darah berasal dari kata “haima”, yang berasal dari akar kata hemo atau hemato.
Merupakan suatu cairan yang berada didalam tubuh, berfungsi mengalirkan oksigen ke seluruh
jaringan tubuh, mengirimkan nutrisi yang dibutuhkan sel-sel dan menjadi benteng pertahanan
terhaap virus dan infeksi (Haryani, 2014).

Darah selamanya beredar didalam tubuh oleh karena adanya atau pompa jantung. Selama
darah berada dalam pembuluh maka akan tetap encer, tetapi kalau ia keluar dari pembuluhnya
maka ia akan menjadi beku. Pembekuan ini dapat dicegah dengan jalan mencampurkan kedalam
darah tersebut sedikit obat anti pembekuan atau sitras natrikus (Darda, 2016).

Darah merupakan bagian dari tubuh yang berperan penting dalam mempertahankan
kehidupan. Sebab, ia berfungsi sebagai pertahanan tubuh terhadap virus atau bakteri. Darah
berbentuk cairan, sehingga dapat didistribusikan ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah.
Volume dalam tubuh bervariasi, pada orang dewasa volume darah sekitar 6 liter atau sekitar 7-8
% dari berat badan. Misalnya berat badan 50 kilogram, berarti volume darah berkisar antara 3,5,
liter sampai 4 liter.9 Darah terdiri dari komponen berbentuk dan komponen plasma. Komponen
berbentuk (yaitu beberapa jenis korpuskula) kurang lebih 45% (yang terdiri dari sel darah merah
atau disebut eritrosit, sel darah putih atau disebut lekosit dan sel pembekuan atau disebut
trombosit).10 Angka (45 %) ini dinyatakan dalam nilai hermatokrit atau volume sel darah merah
yang dipadatkan yang berkisar antara 40 sampai 47 (Menkes RI, 2011).
Menurut buku “Dinamika Obat” dari Ernst Mutschler halaman 403. Mengatakan bahwa
fungsi utama darah ialah mentranspor senyawa. Oksigen yang diambil oleh paru-paru harus
dibawa ke seluruh jaringan dengan bantuan eritrosit, karbondioksida dari jaringan harus dibawa
kembali ke paru-paru. Pada saat yang sama zat-zat seperti bahan makanan, mineral, hormone dan
lain-lain serta semua bahan obat dan produknya dibawa ke sel dan hasil metabolismenya dibawa
kembali dan dibuang. Di samping itu darah berperan penting pada pemeliharaan pH dalam tubuh,
dan dengan darah mempunyai kemampuan bertindak darah mempunyai kemampuan bertindak
sebagai system dapar yang berbeda-beda (dapar protein, dapar posfat, dapar hydrogenkarbonat).
Darah juga melakukan pengaturan suhu organisme dengan membawa energi kalor yang dibentuk
pada metabolism kepermukaan tubuh. Darah ikut berperan besar pada pertahanan tubuh terhadap
masuknya zat asing atau penyebab penyakit.
Menurut buku “Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Hematologi”
dari Ners. Wiwiik Handayani S.Kep dan dr. Andi Sulistyo Hariwibowo mengatakan bahwa
keadaan jumlah darah pada tiap-tiap orang tidak sama bergantung pada usia, pekerjaan, serta
keadaan jantung atau pembuluh darah. Farah terdiri atas 2 komponen utama, yaitu sebagai berikut:
a. Plasma Darah, bagian cair darah yang sebagia besar terdiri atas air, elektrolit dan protein
darah.
b. Butir-butir darah (blood corpuscles), yang terdiri atas komponen-komponen berikut ini :
 Eritrosit yaitu sel darah merah (SDM-red blood cell)
 Leukosit yaitu sel darah putih (SDP-white blood cell)\
 Trombosit yaitu butir pembeku darah-platelet

2.2.2 Tempat Pembentukan Sel Darah

Ada 10 tempat pembentukan sel darah yaitu :

1. Pembentukan sel darah (hemopoiesis) terjadi pada awal masa embrional, sebagian besar pada
hati dan sebagian kecil pada limpa
2. Dari kehidupan fetus hingga bayi dilahirkan, pembentukan sel darah berlangsung dalam 3
tahap, yaitu: Pembentukan di saccus vitellinus, Pembentukan di hati, kelenjar limfe, dan limpa
dan Pembentukan di sumsum tulang
3. Pembentukan sel darah mulai terjadi pada sumsum tulang setelah minggu ke-20 masa
embrionik
4. Dengan bertambahnya usia janin, produksi sel darah semakin banyak terjadi pada sumsum
tulang dan peranan hati dan limpa semakin berkurang
5. Sesudah lahir, semua sel darah dibuat pada sumsum tulang, kecuali limfosit yang jugadibentuk
di kelenjar limfe, tymus, dan lien
6. Selanjutnya pada orang dewasa pembentukan sel darah diluar sumsum tulang (extramedullary
hemopoiesis) masih dapat terjadi bila sumsum tulang mengalami kerusakan atau mengalami
fibrosis
7. Sampai dengan usia 5 tahun, pada dasarnya semua tulang dapat menjadi tempat pembentukan
sel darah. Tetapi sumsum tulang dari tulang panjang, kecuali bagian proksimal humerus dan
tibia, tidak lagi membentuk sel darah setelah usia mencapai 20 tahun
8. Setelah usia 20 tahun, sel darah diproduksi terutama pada tulang belakang, sternum, tulang
iga dan ileum
9. 75% sel pada sumsum tulang menghasilkan sel darah putih (leukosit) dan hanya 25%
menghasilkan eritrosit
10. Jumlah eritrosit dalam sirkulasi 500 kali lebih banyak dari leukosit. Hal ini disebabkan oleh
karena usia leukosit dalam sirkulasi lebih pendek (hanya beberapa hari) sedangkan erotrosit
rata-rata 110-120 hari.

2.3 Karakteristik dan Interpretasi Data

2.3.1 Hematokrit (Hct)

a. Nilai normal :

Pria : 40% - 50 % SI unit : 0,4 - 0,5


Wanita : 35% - 45% SI unit : 0.35 - 0,45
Hematokrit menunjukan persentase sel darah merah tehadap volume darah total.

b. Implikasi klinik :
• Penurunan nilai Hct merupakan indikator anemia (karena berbagai sebab), reaksi hemolitik,
leukemia, sirosis, kehilangan banyak darah dan hipertiroid. Penurunan Hct sebesar 30%
menunjukkan pasien mengalami anemia sedang hingga parah.
• Peningkatan nilai Hct dapat terjadi pada eritrositosis, dehidrasi, kerusakan paru-paru kronik,
polisitemia dan syok.
• Nilai Hct biasanya sebanding dengan jumlah sel darah merah pada ukuran eritrosit normal,
kecuali pada kasus anemia makrositik atau mikrositik.
• Pada pasien anemia karena kekurangan besi (ukuran sel darah merah lebih kecil), nilai Hct
akan terukur lebih rendah karena sel mikrositik terkumpul pada volume yang lebih kecil,
walaupun jumlah sel darah merah terlihat normal.
• Nilai normal Hct adalah sekitar 3 kali nilai hemoglobin.
• Satu unit darah akan meningkatkan Hct 2% - 4%.

c. Faktor pengganggu
• Individu yang tinggal pada dataran tinggi memiliki nilai Hct yang tinggi demikian juga Hb
dan sel darah merahnya.
• Normalnya, Hct akan sedikit menurun pada hidremia fisiologis pada kehamilan.
(Menkes RI, 2011).

2.3.2 Hemoglobin

a. Nilai normal :
Pria : 13 - 18 g/dL SI unit : 8,1 - 11,2 mmol/L
Wanita: 12 - 16 g/dL SI unit : 7,4 – 9,9 mmol/L

b. Deskripsi :

Menurut buku “Dinamika Obat” dari Ernst Mutschler yaitu sekitar 30% isi sel eritrosit terdiri atas zat

warna darah merah yaitu hemoglobin. Ini terutama berfungsi untuk transport oksigen dari paru-paru ke jaringan
serta transport karbondioksida dari jaringan ke paru-paru. Disamping iu berfungsi juga sebagai
dapar. Kandungan Hemoglobin pada pria rata-rata 16 g/100 ml darah.

Susunan molekul hemoglobin. Hemoglobin yang berbentuk hampir bulat merupakan


kromoprotein, yang terdiri atas empat rantai polipeptida dengan masing-masing satu komponen
zat warna yang disebut hem. Bobot molekulnya sekitar 64.500. Dalam hemoglobin dewasa (Hba)
terdapat 2 rantai polipeptida-α dengan masing-masing 146 asam amino dalam susunan yang
simetris.

Gambar 2.1 Struktur Hem

Hemoglobin adalah komponen yang berfungsi sebagai alat transportasi oksigen (O2) dan
karbon dioksida (CO2). Hb tersusun dari globin (empat rantai protein yang terdiri dari dua unit alfa
dan dua unit beta) dan heme (mengandung atom besi dan porphyrin: suatu pigmen merah). Pigmen
besi hemoglobin bergabung dengan oksigen. Hemoglobin yang mengangkut oksigen darah (dalam
arteri) berwarna merah terang sedangkan hemoglobin yang kehilangan oksigen (dalam vena)
berwarna merah tua. Satu gram hemoglobin mengangkut 1,34 mL oksigen. Kapasitas angkut ini
berhubungan dengan kadar Hb bukan jumlah sel darah merah (Menkes RI, 2011).
Penurunan protein Hb normal tipe A1, A2, F (fetal) dan S berhubungan dengan anemia
sel sabit. Hb juga berfungsi sebagai dapar melalui perpindahan klorida kedalam dan keluar sel
darah merah berdasarkan kadar O2 dalam plasma (untuk tiap klorida yang masuk kedalam sel darah
merah, dikeluarkan satu anion HCO3) (Menkes RI, 2011).

Penetapan anemia didasarkan pada nilai hemoglobin yang berbeda secara individual
karena berbagai adaptasi tubuh (misalnya ketinggian, penyakit paru-paru, olahraga). Secara
umum, jumlah hemoglobin kurang dari 12 g/dL menunjukkan anemia. Pada penentuan status
anemia, jumlah total hemoglobin lebih penting daripada jumlah eritrosit (Menkes RI, 2011).

c. Implikasi klinik :
 Penurunan nilai Hb dapat terjadi pada anemia (terutama anemia karena kekurangan zat besi),
sirosis, hipertiroidisme, perdarahan, peningkatan asupan cairan dan kehamilan.
 Peningkatan nilai Hb dapat terjadi pada hemokonsentrasi (polisitemia, luka bakar), penyakit
paru-paru kronik, gagal jantung kongestif dan pada orang yang hidup di daerah dataran tinggi.
 Konsentrasi Hb ber fluktuasi pada pasien yang mengalami perdarahan dan luka bakar.
 Konsentrasi Hb dapat digunakan untuk menilai tingkat keparahan anemia, respons terhadap
terapi anemia, atau perkembangan penyakit yang berhubungan dengan anemia.
d. Faktor pengganggu
 Orang yang tinggal di dataran tinggi mengalami peningkatan nilai Hb demikian juga Hct dan
sel darah merah.
 Asupan cairan yang berlebihan menyebabkan penurunan Hb
 Umumnya nilai Hb pada bayi lebih tinggi (sebelum eritropoesis mulai aktif)
 Nilai Hb umumnya menurun pada kehamilan sebagai akibat peningkatan volume plasma
 Ada banyak obat yang dapat menyebabkan penurunan Hb. Obat yang dapat meningkatkan Hb
termasuk gentamisin dan metildopa
 Olahraga ekstrim menyebabkan peningkatan Hb.
e. Hal yang harus diwaspadai
 Implikasi klinik akibat kombinasi dari penurunan Hb, Hct dan sel darah merah. Kondisi
gangguan produksi eritrosit dapat menyebabkan penurunan nilai ketiganya.
 Nilai Hb <5,0g/dL adalah kondisi yang dapat memicu gagal jantung dan kematian. Nilai
>20g/dL memicu kapiler clogging sebagai akibat hemokonsenstrasi.
f. Tatalaksana

Manajemen anemia bertujuan untuk mengatasi penyebab rendahnya nilai hemoglobin.


Dalam situasi terjadi penurunan darah yang akut, transfusi merupakan terapi pilihan. Dalam situasi
terjadi kekurangan atau penurunan nutrisi maka diperlukan penggantian besi, vitamin B12 atau
asam folat. Pada penurunan fungsi ginjal dan penggunaan sitostatika, anemia biasanya terjadi
karena menurunnya produksi eritropoetin sehingga terapi yang tepat adalah pemberian
eritropoetin, namun apabila ada kendala biaya yang mahal, dapat diganti dengan tranfusi darah.
Jika anemia terjadi akibat menurunnya produksi eritropoetin maka terapi penggantian eritropoetin
dapat mengurangi kebutuhan tranfusi.

2.3.3. Eritrosit (Sel Darah Merah)

Gambar 2.2 Eritrosit Normal

a. Nilai normal :
Pria : 4,4 - 5,6 x 106 sel/mm3 SI unit : 4,4 - 5,6 x 1012 sel/L
Wanita : 3,8-5,0 x 106 sel/mm3 SI unit : 3,5 - 5,0 x 1012 sel/L
b. Struktur Eritrosit

Eritrosit berbentuk bikonkaf dan berdiameter 7-8 mikron. Bentuk bikonkaf tersebut
menyebabkan eritrosit bersifat fleksibel sehingga dapat melewati pembuluh darah yang sangat
kecil dengan baik. Bentuk eritrosit pada mikroskop biasanya tampak bulat berwarna merah dan
dibagian tengahnya tampak lebih pucat, atau disebut (central pallor) diameter 1/3 dari keseluruhan
diameter eritrosit (Menkes RI, 2011).

Sel darah merah tidak memiliki inti sel, mitokondria dan ribosom, serta tidak dapat
bergerak. Sel ini tidak dapat melakukan mitosis, foforilasi oksidatif sel, atau pembentukan protein
(Wiwik dan Sulistyo, 2008).
Komponen eritrosit yaitu :
1. Membran eritrosit
2. Sistem enzim : enzim G6PD (Glucose 6-Phosphatedehydrgogynase)
3. Hemoglobin, komponennya terdiri atas :
 Heme yang merupakan gabungan protoporfirin dengan besi
 Globin : bagian protein yang terdiri atas 2 rantai alfa dan 2 rantai beta.
Terdapat sekitar 300 molekul hemoglobin dalam setiap sel darah merah. Hemoglobin
berfungsi untuk mengikat oksigen, satu gram hemoglobin akan bergabung dengan 1,34 ml oksigen.
Oksi hemoglobin merupakan hemoglobin yang berkombinasi/berikatan dengan oksigen. Tugas
akhir hemoglobin adalah menyerap karbondioksida dan ion hydrogen serta membawanya ke paru
tempat zat-zat tersebut dilepaskan dari hemoglobin.

2.4 Produksi Sel Darah Merah (Eritropoesis)


Gambar 2.3 Eritropoesis

Dalam keadaan normal, eritropoesis pada orang dewasa terutama terjadi di dalam sum-
sum tulang, di mana system eritrosit menempati 20-30% bagian jaringan sum-sum tulang yang
aktif membentuk sel darah. Sel eritrosit berinti berasal dari sel induk multipotensial dalam sumsum
tulang. Sel induk multipotensial ini mampu berdiferensiasi menjadi sel darah system eritrosit,
myeloid dan megakariosibila yang dirangsang oleh eritropoetin. Sel induk multipotensial akan
berdiferensiasi menjadi sel induk unipotensial. Sel induk unipotensial tidak mampu berdiferensiasi
lebih lanjut, sehingga sel induk sehinggal sel induk unipotensial seri eritrosit hanya akan
berdeferensiasi menjadi sel pronormoblas. Sel pronormoblas akan membentuk DNA yang
diperlukan untuk tiga sampai empat kali fase mitosis. Melalui empat kali mitosis dari tiap sel
pronormoblas akan terbentuk 16 eritrosit.. Eritrosit matang akan dilepaskan dalam sirkulasi. Padaa
produksi eritrosit normal sumsum tulang belakang memerlukan besi , vitamin B12, asam folat,
piridoksi (vitamin B6), kobal, asam amino, dan tembaga (Wiwik dan Sulistyo, 2008).

Proses eritropoiesis pada sumsum tulang melalui beberapa tahap, yaitu:


1. Hemocytoblast (prekursor dari seluruh sel darah)
2. Prorubrisit (sintesis Hb);
3. Rubrisit (inti menyusut, sintesa Hb meningkat);
4. Metarubrisit (disintegrasi inti,
5. sintesa Hb meningkat;
6. Retikulosit (inti diabsorbsi);
7. Eritrosit (sel dewasa tanpa inti).
Secara garis besar dapat disimpulkamn bahwa perubahan morfologi sel yang terjadi
selama proses diferensiasi sel pronormoblas sampai eritrosit matang dapat dikelompokkan ke
dalam 3 kelompok, yaitu sebagai berikut :
1. Ukuran sel semakin kecil akibat mengecilnya inti sel
2. Inti sel menjadi makin padat dan akhirnya dikeluarkan pada tingkatkan eritroblas asidosis.
3. Dalam sitoplasma dibentuk hemoglobin yang diikuti dengan hilangnya RNA dari dalam
sitoplasma sel.

2.5 Jumlah, Fungsi Dan Lama Hidup Eritrosit

a. Jumlah Eritrosit
Eritrosit berjumlah paling banyak diantara sel-sel darah lainnya. Dalam satu milliliter
darah terdapat kira-kira 4,5 – 6 juta eritrosit, oleh sebab itu darah berwarna merah. Eritrosit normal
berukuran 6 – 8 Nm atau 80 – 100 fL (femloliter). Bila MCV kurang dari 80 fL disebut (mikrositik)
dan jika lebih dari 100fL disebut (makrositik).(Menkes RI, 2011).
b. Fungsi Eritrosit
Fungsi utama eritrosit adalah untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh
dan mengangkut CO2 dari jaringan tubuh ke paru-paru oleh Hb. Eritrosit yang berbentuk cakram
bikonkaf mempunyai area permukaan yang luas sehingga jumlah oksigen yang terikat dengan Hb
dapat lebih banyak. Bentuk bikonkaf juga memungkinkan sel berubah bentuk agar lebih mudah
melewati kapiler yang kecil. Jika kadar oksigen menurun hormon eritropoetin akan menstimulasi
produksi eritrosit (Menkes RI, 2011).
c. Lama Hidup Eritrosit
Menurut buku “Dinamika Obat” dari Ernst Mutschler umur eritrosit yang yang
bersirkulasi dalam system peredaran darah rata-rata 110-120 hari. Bila kebutuhan eritrosit tinggi,
sel yang belum dewasa akan dilepaskan kedalam sirkulasi. Pada akhir masa hidupnya, eritrosit
yang lebih tua keluar dari sirkulasi melalui fagositosis di limfa, hati dan sumsum tulang (sistem
retikulo-endotelial).
d. Implikasi klinik :
 Secara umum nilai Hb dan Hct digunakan untuk memantau derajat anemia, serta respon
terhadap terapi anemia
 Jumlah sel darah merah menurun pada pasien anemia leukemia, penurunan fungsi ginjal,
talasemin, hemolisis dan lupus eritematosus.sistemik. Dapat juga terjadi karena obat (drug
induced anemia). Misalnya : sitostatika, antiretroviral.
 Sel darah merah meningkat pada polisitemia vera, polisitemia sekunder, diare/dehidrasi,
olahraga berat, luka bakar, orang yang tinggal di dataran tinggi.

2.6 Susunan Sel Darah Merah


Susunan sel darah merah terdiri dari empat bagian yaitu :
1. Mean Corpuscular Volume
(MCV) (Volume korpuskuler rata – rata)
a. Perhitungan : MCV (femtoliter) = 10 x Hct (%) : Eritrosit (106 sel/μL)
b. Nilai normal : 80 – 100 (fL)
c. Deskripsi :
MCV adalah indeks untuk menentukan ukuran sel darah merah. MCV menunjukkan
ukuran sel darah merah tunggal apakah sebagai Normositik (ukuran normal), Mikrositik (ukuran
kecil < 80 fL), atau Makrositik (ukuran kecil >100 fL).
d. Implikasi klinik :
 Penurunan nilai MCV terlihat pada pasien anemia kekurangan besi, anemia pernisiosa dan
talasemia, disebut juga anemia mikrositik.
 Peningkatan nilai MCV terlihat pada penyakit hati, alcoholism, terapi antimetabolik,
kekurangan folat/vitamin B12, dan terapi valproat, disebut juga anemia makrositik.
 Pada anemia sel sabit, nilai MCV diragukan karena bentuk eritrosit yang abnormal.
 MCV adalah nilai yang terukur karenanya memungkinkan adanya variasi berupa mikrositik
dan makrositik walaupun nilai MCV tetap normal.
 MCV pada umumnya meningkat pada pengobatan Zidovudin (AZT) dan sering digunakan
sebagi pengukur kepatuhan secara tidak langsung.
2. Mean Corpuscular Hemoglobin

(MCH) (Hemoglobin Korpuskuler rata – rata)


a. Perhitungan : MCH (picogram/sel) = hemoglobin/sel darah merah
b. Nilai normal : 28– 34 pg/ sel
c. Deskripsi :
Indeks MCH adalah nilai yang mengindikasikan berat Hb rata-rata di dalam sel darah
merah, dan oleh karenanya menentukan kuantitas warna (normokromik, hipokromik, hiperkromik)
sel darah merah. MCH dapat digunakan untuk mendiagnosa anemia.
d. Implikasi Klinik:
 Peningkatan MCH mengindikasikan anemia makrositik
 Penurunan MCH mengindikasikan anemia mikrositik.
3. Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration
(MCHC) (Konsentrasi Hemoglobin Korpuskuler rata – rata)
a. Perhitungan : MCHC = hemoglobin/hematokrit
b. Nilai normal : 32 – 36 g/dL
c. Deskripsi:
Indeks MCHC mengukur konsentrasi Hb rata-rata dalam sel darah merah; semakin kecil
sel, semakin tinggi konsentrasinya. Perhitungan MCHC tergantung pada Hb dan Hct. Indeks ini
adalah indeks Hb darah yang lebih baik, karena ukuran sel akan mempengaruhi nilai MCHC, hal
ini tidak berlaku pada MCH.
d. Implikasi Klinik :
 MCHC menurun pada pasien kekurangan besi, anemia mikrositik, anemia karena piridoksin,
talasemia dan anemia hipokromik.
 MCHC meningkat pada sferositosis, bukan anemia pernisiosa.
4. Retikulosit

Perhitungan : Retikulosit (%) = [Jumlah retikulosit / Jumlah eritrosit] X 100


Nilai normal : 0,5-2%
Deskripsi:
Retikulosit adalah sel darah yang muda, tidak berinti merupakan bagian dari rangkaian
pembentukan eritrosit di sumsum tulang. Peningkatan jumlah retikulosit mengindikasikan bahwa
produksi sel darah merah dipercepat; penurunan jumlah retikulosit mengindikasikan produksi sel
darah merah oleh sumsum tulang berkurang.|
Implikasi Klinik:
 Jumlah retikulosit dapat membedakan antara anemia karena kerusakan sumsum tulang dengan
anemia karena pendarahan atau hemolisis (kerusakan sel darah) karena pendarahan atau
hemolisis akan menstimulasi pembentukan retikulosit pada pasien dengan sumsum tulang
yang normal.
 Jumlah retikulosit akan meningkat pada pasien anemia hemolitik, penyakit sel sabit dan
metastase karsinoma.
 Jika jumlah retikulosit tidak meningkat pada pasien anemia, hal ini menandakan sumsum
tulang tidak memproduksi eritrosit yang cukup (misal anemia kekurangan besi, anemia
aplastik, anemia pernisiosa, infeksi kronik dan terapi radiasi).
 Setelah pengobatan anemia, peningkatan retikulosit menandakan efektifitas pengobatan.
Setelah pemberian dosis besi yang cukup pada anemia kekurangan besi, jumlah retikulosit
akan meningkat 20%; peningkatan secara proporsional terjadi ketika dilakukan transfusi pada
anemia pernisiosa. Peningkatan maksimum diharapkan terjadi 7-14 hari setelah pengobatan
(suplemen besi).

2.7. Proses Perombakan Eritrosit


Gambar 2.4 Skema Proses Perombakan Eritrosit

Sel-sel darah merah dirombak di dalam hati. Hemoglobin yang terkandung di dalamnya
dipecah menjadi zat besi (Fe), globin, dan heme. Zat besi dan globin didaur ulang, Zat besi diambil
dan disimpan di hati, sedangkan globin dimanfaatkan untuk pembentukan hemoglobin baru. Heme
dirombak menjadi bilirubin dan biliverdin yang berwarna hijau kebiruan. Bilirubin dioksidasi
menjadi urobilin yang mewarnai feses dan urine kekuningan, sedangkan biliverdin sebagai
pembentuk zat warna empedu yang kemudian disalurkan ke kantong empedu.

2.8 Penghancuran Sel Darah Merah

Proses penghancuran eritrosit terjadi karena proses penuaan (senescence) dan proses
patologis (hemmolisis). Hemolisis yang terjadi pada eritrosit akan mengakibatkan terurainya
komponen-komponen hemoglobin menjadi dua komponen sebagai beikut :

1. Komponen protein, yaitu globin yang akan dikembalikan pool protein dan dapat digunakan
kembali
2. Komponen heme akan dipecah menjadi dua yaitu :
 Besi yang akan dikembalikan ke pool besi yang digunakan ulang.
 Billirubin yang akan diekresikan melalui hati dan empedu.
Gambar 2.5 Skema Penghancuran Eritrosit

2.9 Kelainan Eritrosit


Kelainan eritrosit dapat digolongkan menjadi :
1. Kelainan berdasarkan ukuran eritrosit
Ukuran normal eritrosit antara 6,2 – 8,2 Nm (normosit)
Kelainan berdasarkan ukuran :

a. Makrosit
Ukuran eritrosit yang lebih dari 8,2 Nm terjadi karena pematangan inti eritrosit terganggu,
dijumpai pada defisiensi vitamin B₁₂ atau asam folat.
Penyebab lainnya adalah karena rangsangan eritropoietin yang berakibat
meningkatkatnya sintesa hemoglobin dan meningkatkan pelepasan retikulosit kedalam sirkulasi
darah. Sel ini didapatkan pada anemia megaloblastik, penyakit hati menahun berupa thin
macrocytes dan pada keadaan dengan retikulositosis, seperti anemia hemolitik atau anemia paska
pendarahan.
b. Mikrosit
Ukuran eritrosit yang kurang dari 6,2 Nm. Terjadinya karena menurunnya sintesa
hemoglobin yang disebabkan defisiensi besi, defeksintesa globulin, atau kelainan mitokondria
yang mempengaruhi unsure hem dalam molekul hemoglobin. Sel ini didapatkan pada anemia.
c. Anisositosis
Pada kelainan ini tidak ditemukan suatu kelainan hematologic yang spesifik, keadaan ini ditandai
dengan adanya eritrosit dengan ukuran yang tidak sama besar dalam sediaan apusan darah tepi
(bermacam-macam ukuran). Sel ini didapatkan pada anemia mikrositik yang ada bersamaan
anemia makrositik seperti pada anemia gizi.

2. Kelainan berdasarkan berdasarkan bentuk eritrosit


a. Ovalosit
Eritrosit yang berbentuk lonjong . Evalosit memiliki sel dengan sumbu panjang kurang
dari dua kali sumbu pendek. Evalosit ditemukan dengan kemungkinan bahwa pasien menderita
kelainan yang diturunkan yang mempengaruhi sitoskelekton eritrosit misalnya ovalositosis
herediter.
b. Sferosit
Sel yang berbentuk bulat atau mendekati bulat. Sferosit merupakan sel yang telah
kehilangan sitosol yang setara. Karena kelainan dari sitoskelekton dan membrane eritrosit.
c. Schistocyte
Merupakan fragmen eritrosit berukuran kecil dan bentuknya tak teratur, berwarna lebih
tua. Terjadi pada anemia hemolitik karena combusco reaksi penolakan pada transplantasi ginjal.

d. Teardrop cells (dacroytes)


Berbentuk seperti buah pir. Terjadi ketika ada fibrosis sumsum tulang atau diseritropoesis
berat dan juga dibeberapa anemia hemolitik, anemia megaloblastik, thalasemia mayor,
myelofibrosi idiopati karena metastatis karsinoma atau infiltrasi myelofibrosis sumsum tulang
lainnya.
e. Blister cells
Eritrosit yang terdapat lepuhan satu atau lebih berupa vakuola yang mudah pecah, bila
pecah sel tersebut bisa menjadi keratosit dan fragmentosit. Terjadi pada anemia hemolitik
mikroangiopati.
f. Acantocyte / Burr cells
Eritrosit mempunyai tonjolan satu atau lebih pada membrane dinding sel kaku. Terdapat
duri-duri di permukaan membrane yang ukurannya bervariasi dan menyebabkan sensitif terhadap
pengaruh dari dalam maupun luar sel. Terjadi pada sirosis hati yang disertai anemia hemolitik,
hemangioma hati, hepatitis pada neonatal.
g. Sickle cells (Drepanocytes)
Eritrosit yang berbentuk sabit. Terjadi pada reaksi transfusi, sferositosis congenital,
anemia sel sickle, anemia hemolitik.
h. Stomatocyte
Eritrosit bentuk central pallor seperti mulut. Tarjadi pada alkoholisme akut, sirosis
alkoholik, defisiensi glutsthione, sferosis herediter, nukleosis infeksiosa, keganasan, thallasemia.
i. Target cells
Eritrosit yang bentuknya seperti tembak atau topi orang meksiko. Terjadi pada
hemogfobinopati, anemia hemolitika, penyakit hati.

3. Kelainan berdasarkan warna eritrosit


a. Hipokromia
Penurunan warna eritrosit yaitu peningkatan diameter central pallor melebihi normal
sehingga tampak lebih pucat. Terjadi pada anemia defisiensi besi, anemia sideroblastik,
thallasemia dan pada infeksi menahun.
b. Hiperkromia
Warna tampak lebih tua biasanya jarang digunakan untuk menggambarkan ADT.

c. Anisokromasia
Adanya peningkatan variabillitas warna dari hipokrom dan normokrom. Anisokromasia
umumnya menunjukkan adanya perubahan kondisi seperti kekurangan zat besi dan anemia
penyakit kronis.
d. Polikromasia
Eritrosit berwarna merah muda sampai biru. Terjadi pada anemia hemolitik, dan
hemopoeisis ekstrameduler.

4. Kelainan berdasarkan benda inklusi eritrosit


a. Basophilic stipping
Suatu granula berbentuk ramping / bulat, berwarna biru tua. Sel ini sulit ditemukan karena
distribusinya jarang.
b. Kristal
Bentuk batang lurus atau bengkok, mengandung pollimer rantai beta Hb A, dengan
pewarnaan brilliant cresyl blue yang Nampak berwarna biru.
c. Heinz bodies
Benda inklusi berukuran 0,2 -22,0 Nm. Dapat dilihat dengan pewarnaan crystal violet /
brillian cresyl blue.
d. Howell-jouy bodies
Bentuk bulat, berwarna biru tua atau ungu, jumlahnya satu atau dua mengandung DNA.
Karena percepatan atau abnormalitas eritropoeisis. Terjadi pada anemia hemolitik, post operasi,
atrofi lien.
e. Pappenheimer bodies
Berupa bintik, warna ungu dengan pewarnaan wright. Dijumpai pada hiposplenisme,
anemia hemolitika.
2.10 Kekurangan dan Kelebihan Eritrosit

Akibat eritrosit yang berlebih dan kekurangan eritrosit :

a. Kekurangan eritrosit
 Kehilangan darah (perdarahan)
 Pasien anemia, infeksi kronis, leukemia talasemia, hemolisis dan lupus eritematosus sistemik
 Penurunan fungsi ginjal
 Dapat juga terjadi karena obat (drug induced anemia). Misalnya : sitostatika, antiretroviral.
Kekurangan eritrosit secara garis besar mampu memicu keberadaan anemia dengan
beragam penyebab seperti gejala khas anemia yakni pucatnya warna tubuh disertai mata yang
cekung, gampang lelah serta mudah sakit, sistem imun semakin melemah dan terjadi kerontokan
rambut akibat kurang nutrisi, berkurangnya pasokan oksigen dapat menjadi penyebab pusing serta
susah bernafas pada beberapa kondisi tertentu (Prakarsa dan Kurniawan, 2015).

b. Kelebihan eritrosit
 Polisitemia vena
 Hemokonsentrasi
 Dehidrasi/diare
 Penyakit kardiovaskuler
 Olahraga berat
 Luka bakar
 Orang yang tinggal di dataran tinggi.
Secara garis besar kebutuhan tubuh akan sel darah merah untu memenuhi kebutuhan
tubuh akan suplai oksigen serta nutrisi merata pada keseluruhan anggota tubuh tanpa terkecuali.
Dengan demikian tubuh akan menyesuaikan kebutuhan eritrositnya sesuai dengan keadaan yang
dibutuhkan misalnya pada penderita perokok dengan kondisi paru yang tidak fit ataupun pada
penduduk pegunungan dengan jumlah oksigen ketinggian yang rendah maka jumlah eritrositnya
akan senantiasa meningkat di dalam edaran tubuh.
Pada kondisi kelainan genetika yang sering disebut sebagai polisitemia vera maka jumlah
eritrosit yang banyak akan melampaui ambang batas normal secara drastis sehingga sangat
membahayakan jiwa, beberapa langkah harus ditempuh pasien untuk dapat bertahan dengan sehat
diantaranya dengan senantiasa membuang darah layaknya seperti teknik dalam donor ataupun
mengkonsumsi obat pengencer darah demi mengurangi produksinya yang berlebihan juga
(Prakarsa dan Kurniawan, 2015).

2.11 Golongan Darah


Eritrosit manusia mempunyai banyak struktur determinan genetic khusus yang
mempunyai sifat antigen, pada membrane selnya. Terhadap antigen ini dapat terbentuk antibody,
sehinga biasanya terjadi imun-toleran terhadap antigen sendiri.
Berbagai sifat antigen membrane eritrosit inilah yang mendasari diferensiasi golongan
darah. Sampai saat ini lebih dari 30 sistem penggolongan darah diketahui dengan lebih jelas, dari
kesemuanya itu system ABO dan system rhesus telah memperoleh arti klinis yang penting.
Antigen dari system ini merupakan glikosfingolipid khusus pada membrane eritrosit,
yang disebut aglutinogen Antigen ini disebut antigen A, B, AB dan O (Karena itu disebut system
ABO). Disaping golongan utama dapat pula dibedakan subgolongan misalnya A1 dan A2. Dalam
plasma atau serum terdapat antibodi terhadap agglutinogen yang tak terdapat dalam eritrosit
bersangkutan yaitu :
 Pada orang dengan darah golongan A terhadap aglutinogen B,
 Pada orang dengan darah golongan B terhadap aglutinogen A,
 Pada orang dengan darah golongan O terhadap aglutinogen A dan B.
Karena aglutinogen O mempunyai kerja antigen yang lemah, maka dalam darah orsng
dengan golongan darah A, B dan AB tak terdapat antibodi terhadap antigen ini.
Antigen Rh merupakan kelompok antigen utama lainnya pada sel darah merah yang juga
diwariskan sebagai gen-gen dari masing-masing orang tua. Antigen Rh utama disebut faktor Rh
(Rh+), orang yang memiliki antigen Rh dianggap positif Rh (Rh+) sedangkan orang yang tidak
memiliki antigen Rh dianggap Rh negatif (Rh-).

2.12 Pemeriksaan Laboratorium

Hasil pemeriksaan laboratorium merupakan informasi yang berharga untuk membedakan


diagnosis, mengkonfirmasi diagnosis, menilai status klinik pasien, mengevaluasi efektivitas terapi
dan munculnya reaksi obat yang tidak diinginkan. Interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium oleh
apoteker bertujuan untuk :
 Menilai kesesuaian terapi (contoh: indikasi obat, ketepatan pemilihan obat, kontraindikasi
obat, penyesuaian dosis obat, risiko interaksi obat)
 Menilai efektivitas terapi (contoh: efektivitas pemberian kalium diketahui melalui kadar
kalium dalam darah, efektivitas warfarin diketahui melalui pemeriksaan INR
 Efektifitas allopurinol di ketahui dari menurunnya kadar asam urat
 Mendeteksi dan mencegah reaksi obat yang tidak dikehendaki (contoh: penurunan dosis
siprofloksasin hingga 50% pada kondisi klirens kreatinin <30mL/menit)
 Menilai kepatuhan penggunaan obat (contoh: kepatuhan pasien dalam menggunakan obat
antidiabetik oral diketahui dari nilai HbA1c, kepatuhan penggunaan statin diketahui dari kadar
kolesterol darah)
 Mencegah interpretasi yang salah terhadap hasil pemeriksaan.
(Menkes RI, 2011)
Dalam melakukan uji laboratorium diperlukan bahan (spesimen) yang didapatkan melalui
tindakan invasif (menggunakan alat yang dimasukkan ke dalam tubuh) atau non invasif.
Contoh spesimen antara lain : darah lengkap (darah vena, darah arteri), plasma, serum, urin,
feses, sputum, keringat, saliva, sekresi saluran cerna, cairan vagina, cairan, serebrospinal dan
jaringan (Menkes RI, 2011).
Hasil pemeriksaan laboratorium dapat dinyatakan sebagai angka kuantitatif, kualitatif
atau semikuantitatif. Hasil kuantitatif berupa angka pasti atau rentang nilai, sebagai contoh nilai
hemoglobin pada wanita adalah 12 – 16 g/dL. Hasil kualitatif dinyatakan sebagai nilai positif atau
negatif tanpa menyebutkan derajat positif atau negatifnya. Hasil semikuantitatif adalah hasil
kualitatif yang menyebutkan derajat positif atau negatif tanpa menyebutkan angka pasti (contoh:
1+, 2+, 3+) (Menkes RI, 2011)
Nilai kritis suatu hasil pemeriksaan laboratorium yang mengindikasikan
kelainan/gangguan yang mengancam jiwa, memerlukan perhatian atau tindakan. Nilai abnormal
suatu hasil pemeriksaan tidak selalu bermakna secara klinik. Sebaliknya, nilai dalam rentang
normal dapat dianggap tidak normal pada kondisi klinik tertentu. Sebagai contoh hasil
pemeriksaan serum kreatinin pada pasien usia lanjut (lansia) tidak menunjukkan fungsi ginjal yang
sebenarnya. Oleh karena itu perlu diperhatikan nilai rujukan sesuai kondisi khusus pasien (Menkes
RI, 2011).
Hasil pemeriksaan laboratorium dapat dinyatakan dalam berbagai satuan. Pada tahun
1960 diupayakan adanya standar pengukuran kuantitatif yang berlaku di seluruh dunia tetapi
sampai sekarang banyak klinisi tetap menggunakan satuan konvensional, contoh : rentang nilai
normal kolesterol adalah <200mg/dL (satuan konvensional) atau <5,17 mmol/L (Satuan
Internasional) (Menkes RI, 2011)

Hasil pemeriksaan laboratorium dapat dipengaruhi oleh banyak faktor terdiri atas faktor
terkait pasien atau laboratorium. Faktor yang terkait pasien antara lain: umur, jenis kelamin, ras,
genetik, tinggi badan, berat badan, kondisi klinik, status nutrisi dan penggunaan obat. Sedangkan
yang terkait laboratorium antara lain : cara pengambilan spesimen, penanganan spesimen, waktu
pengambilan, metode analisis, kualitas spesimen, jenis alat dan teknik pengukuran. Kesalahan
terkait hasil laboratorium patut dicurigai jika ditemukan tingkat kesalahan pembacaan yang sangat
besar dari hasil pemeriksaan tidak sesuai dengan gejala dan tanda klinik pasien. Nilai klinik
pemeriksaan laboratorium tergantung pada sensitifitas, spesifisitas dan akurasi. Sensitifitas
menggambarkan kepekaan tes, spesifisitas menggambarkan kemampuan membedakan
penyakit/gangguan fungsi organ, sedangkan akurasi adalah ukuran ketepatan pemeriksaan
(Menkes RI, 2011)
Pemeriksaan laboratorium dapat dikelompokkan sebagai pemeriksaan penapisan
(screening) dan pemeriksaan diagnostik. Pemeriksaan penapisan dimaksudkan untuk mendeteksi
adanya suatu penyakit sedini mungkin agar intervensi dapat dilakukan lebih efektif. Umumnya
pemeriksaan penapisan relatif sederhana dan mempunyai kepekaan tinggi. Pemeriksaan diagnostik
dilakukan pada pasien yang memiliki gejala, tanda klinik, riwayat penyakit atau nilai pemeriksaan
penapisan yang abnormal. Pemeriksaan diagnostik ini cenderung lebih rumit dan spesifik untuk
pasien secara individual (Menkes RI, 2011).
Beberapa pemeriksaan dapat dikelompokkan menjadi satu paket yang disebut profil atau
panel, contohnya : pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan fungsi ginjal, dan pemeriksaan fungsi
hati. Tata nama, singkatan dan rentang nilai normal hasil pemeriksaan yang biasa digunakan dapat
berbeda antara satu laboratorium dengan laboratorium lainnya, sehingga perlu diperhatikan dalam
menginterpretasikan hasil pemeriksaan (Menkes RI, 2011).
Sel darah merah atau disebut juga eritrosit merupakan sel darah yang jumlahnya
terbanyak dalam tubuh manusia (Mahmood, 2012). Jumlah sel darah merah dapat memberikan
informasi yang mengindikasikan adanya gangguan hematologi. Gangguan hematologi adalah
gangguan pada pembentukan sel darah merah, meliputi penurunan dan peningkatan jumlah sel
(polisitemia). Penurunan jumlah sel darah merah ditemukan pada penyakit kronis, seperti penyakit
hati, anemia dan leukemia, sedangkan polisitemia ditemukan pada penderita diare, dehidrasi berat,
luka bakar, maupun pendarahan berat. Penghitungan sel darah merah dilakukan dalam proses
diagnosis beberapa penyakit tersebut. Penghitungan sel darah merah di laboratorium dapat
dilakukan secara manual, menggunakan hemocytometer dan mikroskop, atau menggunakan mesin
hematology analyzer (Prakarsa dan Kurniawan, 2015).
2.13. Anemia

Berdasarkan WHO (1992) cit Parulian (2016) pengertian anemia adalah suatu keadaan
dimana kadar hemoglobin lebih rendah dari batas normal untuk kelompok orang yang
bersangkutan. Anemia secara laboratorik yaitu keadaan apabila terjadi penurunan di bawah normal
kadar hemoglobin, hitung jenis eritrosit dan hemotokrit (packedredcell). Batasan normal kadar
haemoglobin menurut WHO tahun 1968 dapat digambarkan pada tabel 2.1 berikut :

No. Kriteria Kadar Hemoglobin


1. Laki-laki Dewasa >13 g/dl
2. Wanita Dewasa Tidak Hamil >11 g/dl
3. Wanita Hamil >12 g/dl
4. Anak Umur 6-14 tahun >11 g/dl
5. Anak umur 6 bulan – 6 tahun >12 g/dl
Tabel 2.1 Kriteria Kadar HB menurut WHO (1968) cit Parulian (2016)

Secara klinis kriteria anemia di Indonesia umumnya bila didapatkan hasil pemeriksaan
darah kadar Hemoglobin < 10 g/dl, Hemotokrit < 30 % dan Eritrosit < 2,8 juta/mm3. Derajat
anemia pada ibu hamil berdasarkan kadar Hemoglobin menurut WHO dikatakan ringan sekali bila
Hb 10 g/dl – batas normal, ringan Hb 8 g/dl - 9,9 g/dl, sedang Hb 6 g/dl – 7,9 g/dl dan berat pada
Hb < 6 g/dl. Departemen Kesehatan menetapkan derajat anemia sebagai berikut ringan sekali bila
Hb 11 g/dl – batas normal, ringan Hb 8 g/dl – 11 g/dl, sedang Hb 5 g/dl – 8 g/dl, dan berat Hb < 5
g/dl. Pada pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilakukan dengan menggunakan alat sahli,
dilakukan minimal 2 kali selama kehamilan yaitu trimester I dan III. (Tarwoto & Wasnidar, 2007
cit Parulian, 2016).
a. Klasifikasi

Anemia Berdasarkan penyebabnya dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu :


1. Anemia karena hilangnya sel darah merah; hal ini terjadi akibat perdarahan karena berbagai
sebab seperti perlukaan, perdarahan gastrointestinal, perdarahan uterus, perdarahan hidung,
perdarahan akibat operasi,
2. Anemia karena menurunnya produksi sel darah merah; penyebabnya karena kekurangan unsur
penyusun sel darah merah (asam folat, vitamin B12 dan zat besi), gangguan fungsi sumsum
tulang (adanya tumor, pengobatan, toksin), tidak adekuatnya stimulasi karena berkurangnya
eritropolitan (pada penyakit ginjal kronik),
3. Anemia akibat meningkatnya destruksi/kerusakan sel darah merah yang disebabkan oleh
overaktifnya Reticu Ioendhotelial System (RES); Meningkatnya destruksi sel darah merah
biasanya karena faktorfaktor kemampuan respon sumsum tulang terhadap penurunan sel darah
merah kurang karena meningkatnya jumlah retikulosit dalam sirkulasi darah, meningkatnya
sel-sel darah merah yang masih muda dalam sumsum tulang dibandingkan yang
matur/matang, dan ada atau tidaknya hasil destruksi sel darah merah dalam sirkulasi (seperti
meningkatnya kadar bilirubin) (Parulian, 2016).
b. Faktor
Beberapa faktor penyebab lain anemia adalah :
1. Genetik; yaitu beberapa penyakit kelainan darah yang dibawa sejak lahir antara lain
Hemoglobinopati, Thalasemia, abnormal enzim Glikolitik, dan Fanconi anemia,
2. Nutrisi; keadaan anemia yang disebabkan oleh defisiensi besi, defisiensi asam folat, desifiensi
vitamin B12, alkoholis, dan kekurangan nutrisi/malnutrisi,
3. Perdarahan,
4. Imunologi,
5. penyakit infeksi seperti hepatitis, Cytomegalovirus, Parvovirus, Clostridia, sepsis gram
negatif , malaria, dan Toksoplasmosis,
6. pengaruh obat-obatan dan zat kimia; antara lain agen chemoterapi, anticonvulsi, kontrasepsi,
dan zat kimia toksik,
7. Trombotik Trombositopenia Purpura dan Syndroma Uremik Hemolitik,
8. Efek fisik seperti trauma, luka bakar, dan pengaruh gigitan ular,
9. Penyakit kronis dan maligna; di antaranya adalah gangguan pada ginjal dan hati, infeksi
kronis dan Neoplasma. (Elsevier dan Saunders, 2005 cit Parulian, 2016).

c. Patofisiologi Anemia
Gambar 2.6 Patofisiologi Anemia

Untuk menentukan adanya kelainan darah, perlu dilakukan test diagnostik dan
pemeriksaan darah. Beberapa istilah yang lazim dipakai dalam pemeriksaan di antaranya:
1. Hitung sel darah yaitu jumlah sebenarnya dari unsur darah (sel darah merah, sel darah putih
dan trombosit) dalam volume darah tertentu, dinyatakan sebagai jumlah sel per millimeter
kubik (mm3)
2. Hitung jenis sel darah yaitu menentukan karakteristik morfologi darah maupun jumlah sel.
3. Pengukuran Hematokrit (Hct) atau volume sel padat, menunjukkan volume darah lengkap (sel
darah merah). Pengukuran ini menunjukkan presentasi sel darah merah dalam darah,
dinyatakan dalam mm3/100 ml.
4. Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) atau konsentrasi hemoglobin rata-rata adalah
mengukur banyaknya hemoglobin yang terdapat dalam satu sel darah merah. Nilai normalnya
kira-kira 27-31 pikogram/sel darah merah.
5. Mean Corpuscular Volume (MCV) atau volume eritrosit rata-rata merupakan pengukuran
besarnya sel yang dinyatakan dalam kilometer kubik, dengan batas normal 81-96 mm3, apabila
kurang dari 81 mm3 maka menunjukkan sel-sel mikrositik dan apabila lebih besar dari 96
mm3 menunjukkan sel-sel makrositik.
6. Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) atau konsentrasi hemoglobin eritrosit
ratarata, mengukur banyaknya hemoglobin dalam 100 ml sel darah merah padat. Normalnya
30-36 g/100 ml darah.
7. Hitung leukosit adalah jumlah leukosit dalam 1 mm3 darah.
8. Hitung trombosit adalah jumlah trombosil dalam 1 mm3 darah.
9. Pemeriksaan sumsum tulang yaitu melalui aspirasi dan biopsy pada sumsum tulang, biasanya
dalam sternum, prosesus spinosus vertebra, Krista iliaka anterior atau posterior. Pemeriksaan
sumsum tulang dilakukan jika tidak cukup data-data yang diperoleh untuk mendiagnosa
penyakit pada sistem hemotolik
10. Pemeriksaan biokimiawi, pemeriksaan untuk mengukur kadar unsur-unsur yang perlu bagi
perkembangan sel-sel darah merah seperti kadar besi (Fe) serum, vitamin B12 dan asm folat
(Parulian, 2016).
d. Zat Besi dan Tablet Tambah
Darah Zat besi merupakan komponen hemoglobin yang berfungsi mengangkut oksigen
dalam darah ke sel-sel yang membutuhkannya untuk metabolisme glukose, lemak dan protein
menjadi energi (ATP). (Waryono, 2010 cit Parulian, 2016).
Sedangkan menurut Sunririnah (2014) bahwa Zat besi adalah salah satu mineral penting
yang diperlukan selama kehamilan, bukan hanya untuk bayi tapi juga untuk ibu hamil. Bayi akan
menyerap dan mengunakan zat besi dengan cepat, sehingga jika ibu kekurangan masukan zat besi
selama hamil, bayi akan mengambil kebutuhanya dari tubuh ibu sehingga menyebabkan ibu
mengalami anemia dan merasa lelah. Zat besi juga merupakan bagian dari mioglobulin yaitu
molekul yang mirip hemoglobin yang terdapat di sel-sel otot, yang juga berfungsi mengangkut
oksigen. Mioglobulin yang berkaitan dengan oksigen inilah yang membuat daging berwarna
merah. Di samping sebagai komponen hemoglobin dan mioglobulin, besi juga merupakan
komponen dari enzim oksidasi Xanthine Oksidase, Suksinat Dehidrogenase, Katalase dan
Peroksidasi. 99% dari anemia disebabkan oleh kekurangan zat besi selain itu juga menurunkan
kekebalan tubuh sehingga sangat peka terhadap serangan bibit penyakit. Penyerapan zat besi (Fe)
asal bahan makanan hewani dapat mencapai 10-20%.
Zat besi bahan makanan hewani (heme) lebih mudah diserap dari pada zat besi nabati
(non heme). Keanekaragaman konsumsi makanan sangat penting dalam membantu meningkatkan
penyerapan Fe di dalam tubuh. Kehadiran protein hewani, vitamin C, vitamin A, zink (Zn), asam
folat, zat gizi mikro lain dapat meningkatkan penyerapan zat besi dalam tubuh. Manfaat lain
mengkonsumsi makanan sumber zat besi adalah terpenuhinya kecukupan vitamin A. Makanan
sumber zat besi umumnya merupakan sumber vitamin A. (Waryono, 2010 cit. Parulian, 2016).
Sumber zat besi yang berasal dari produk nabati di antaranya kacang bakar dan jenis
kacang polongan, sayuran hijau (bayam, brokoli, aprikot kering) dan semua roti gandum.
Sedangkan yang berasal dari produk hewani diantaranya telur, irisan daging sapi merah, babi atau
kambing. Tubuh tampaknya tidak mudah untuk menyerap zat besi pada makanan nabati, tapi
vitamin C (yang ditemukan pada buah jeruk, kismis kering, sayuran hijau) menambah penyerapan
zat besi. Sebaliknya, tanin yang ditemukan di teh dapat mengurangi penyerapan zat besi. Jadi,
mengkonsumsi makanan yang kaya zat besi dan mengandung vitamin C (misalnya segelas jus
jeruk dan semangkuk sereal) lebih baik daripada secangkir teh. (Waryono,2010 cit. Parulian, 2016)
e. Manfaat Utama dan Fungsi Zat Besi

Menurut Waryono (2010) cit Parulian (2016) manfaat utama zat besi adalah pembentukan
enzim, yang berfungsi mengubah berbagai reaksi kimia di dalam tubuh dan pembentukan
komponen utama dari sel darah merah dan sel-sel otot. Akibat kekurangan yang ditimbulkan
adalah anemia, kesulitan menelan, kuku berbentuk sendok, kelainan usus, berkurangnya kinerja,
gangguan kemampuan belajar. Sebaliknya bila kelebihan zat besi akan timbul masalah
pengendapan zat besi, kerusakan hati (sirosis), diabetes melitus, pewarnaan kulit.
Manfaat dan fungsi zat besi bagi ibu hamil yaitu :
1. Sebagai pembentukan sel darah merah, cadangan Fe pada bayi yang baru lahir. Sel darah
merah bertugas mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan dan mengangkut nutrisi dari
ibu ke janin; ikatan Fe dan protein dalam otot menyimpan oksigen yang sewaktu-waktu
digunakan oleh sel; dan reaksi enzim diberbagai jaringan tubuh.
2. Untuk pembentukan dan mempertahankan sel darah merah. Kecukupan sel darah merah akan
menjamin sirkulasi oksigen dan metabolisme zat – zat gizi yang dibutuhkan ibu hamil. Selain
itu asupun zat besi sejak awal kehamilan cukup baik, maka janin akan menggunakannya untuk
kebutuhan tumbuh kembangnya, sekaligus menyimpan dalam hati sebagai cadangan sampai
umur 6 bulan setelah dilahirkan. Sehingga pengaruh kekurangan zat besi sejak sebelum hamil
bila tidak diatasi dapat mengakibatkan ibu hamil menderita anemia. (Desi dan Dwi, 2014).
Pada ibu hamil yang menderita anemia berat dapat meningkatkan risiko morbiditas
maupun mortalitas ibu dan bayi, kemungkinan melahirkan bayi BBLR dan Prematur juga lebih
besar. Anak yang dikandung oleh ibu yang menderita anemia juga akan mengalami penurunan
kecerdasan intelejensi setelah dilahirkan. Penurunan IQ pada anak dapat turun sampai 9 poin dari
normal. Ibu hamil tergolong anemia jika kadar Haemoglobin dalam darahnya kurang dari 11 g/dl,
dan berisiko tinggi jika kurang dari 8 gr/dl. Penyebab anemia pada ibu hamil umumnya akibat
minimnya kemampuan ekonomi keluarga, sehingga makanan bergizi terabaikan. (Waryono, 2010
cit. Pauralin, 2016).
f. Anemia Pada Ibu Hamil
Menurut Manuaba (1998) cit. Pauralin (2016), Anemia hamil disebut “potensial danger
to mother and child’ anemia (potensial membahayakan ibu dan anak). Oleh karena itulah anemia
memerlukan perhatian serius dan semua pihak yang terkait dalam pelayanan kesehatan pada masa
yang akan datang. Anemia pada ibu hamil adalah kondisi dimana sel darah merah menurun atau
menurunnya hemoglobin, sehingga kapasitas daya angkut oksigen untuk kebutuhan organ-organ
vital pada ibu dan janin menjadi berkurang. Selama kehamilan, indikasi anemia adalah jika
konsentrasi hemoglobin kurang dari 10,5 sampai dengan 11,0 g/dl. Rendahnya kapasitas darah
untuk membawa oksigen memicu kompensasi tubuh dengan memacu jantung meningkatkan curah
jantung. Jantung yang terus-menerus dipacu bekerja keras dapat mengakibatkan gagal jantung dan
komplikasi lain seperti preeklampsia. (Laros dalam Tarwoto, 2015)
Dalam kehamilan terjadi peningkatan volume plasma darah sehingga terjadi
hipervolemia. Akan tetapi bertambahnya sel-sel darah merah lebih sedikit dibandingkan dengan
peningkatan volume plasma, sehingga terjadi pengenceran darah (Hemodelusi). Pertambahan
volume darah tersebut berbanding sebagai berikut: plasma 30 %, sel darah 18 % dan hemoglobin
19 % (Prawiroharjo, 1999 cit. Pauralin, 2016).
Keadaan tersebut disebut sebagai anemia fisiologis atau pseudoanemia. Pengenceran
darah yang terjadi pada wanita hamil dianggap sebagai penyesuaian fisiologis bermanfaat karena:
1. Hemodilusi meringankan beban jantung yang harus berkerja lebih berat dalam kehamilan.
Hedremia menyebabkan cardiac out meningkat dan kerja jantung diperingan bila viskositas
darah menjadi rendah, resistensi perifer berkurang sehingga tekanan darah tidak naik,
2. Mengurangi hilangnya zat besi pada waktu terjadinya kehilangan darah paska persalinan.
Bertambahnya volume darah dalam kehamilan dimulai sejak umur kehamilan 10 minggu dan
mencapai puncaknya pada kehamilan 32–36 minggu. Kebutuhan ibu hamil terhadap energi,
vitamin maupun mineral meningkat sesuai dengan perubahan fisiologis ibu terutama pada
akhir trimester kedua selama terjadi proses hemodelusi yang menyebabkan terjadinya
peningkatan volume darah dan mempengaruhi konsentrasi hemoglobin darah. Pada keadaan
normal hal tersebut dapat diatasi dengan pemberian tablet besi, akan tetapi pada keadaan gizi
kurang bukan saja membutuhkan suplemen energi juga membutuhkan suplemen vitamin dan
zat besi. Keperluan yang meningkat pada masa kehamilan, rendahnya asupan protein hewani
serta tingginya konsumsi serat / kandungan fitat dari tumbuh tumbuhan serta protein nabati
merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya anemia besi. (Chinue, 2009 cit Pauralin,
2016)
Adaptasi fisiologi sistem kardiovaskuler pada ibu hamil yaitu terjadinya perubahan
berupa, peningkatan curah jantung, meningkatnya stroke volume, aliran darah dan volume darah.
Akibat kerja jantung yang meningkat untuk memenuhi sirkulasi darah ibu dan janin, jantung
mengalami hipertropi. Keadaan ini kembali normal setelah bayi lahir. Peningkatan curah jantung
dimana volume darah yang dipompakan oleh ventrikel selama satu menit. Peningkatan curah
jantung terjadi bulan ke-3 kehamilan. Perubahan ini disebabkan karena meningkatnya kebutuhan
darah baik untuk ibu maupun untuk janinnya.
Pada kehamilan trimester ke-2 terjadi peningkatan curah jantung 40% tetapi pada
trimester ketiga terjadi penurunan curah jantung sebesar 25395, di atas curah jantung sebelum
hamil karena adanya penekanan vena kava inferior. Terjadi peningkatan stroke volume yaitu darah
yang dipompakan oleh ventrikel setiap kali denyutan
Pada primigravida terjadi peningkatan 25% di atas sebelum hamil sedangkan pada
multigravida lebih dari 38%. (Yasmin Wijaya, dkk dalam Tarwoto, 2013) Peningkatan aliran darah
dan volume darah terjadi selama kehamilan, mulai 10-12 minggu umur kehamilan dan secara
progresif sampai dengan umur kehamilan 30-34 minggu. Volume darah meningkat kira-kira 1500
ml, normal terjadi peningkatan 8,5% 9,0% dari berat badan. Penurunan darah yang cepat terjadi
pada saat persalinan dan volume darah akan kembali normal pada minggu 4-6 post partum.
Tekanan darah arteri bervariasi sesuai umur, tingkat aktivitas, ada atau tidaknya masalah
kesehatan. Pasien dengan anemia kecenderungan terjadi penurunan tekanan darah.
g. Macam-macam Penyebab Anemia pada Ibu Hamil
1. Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi Besi merupakan penyebab tersering anemia selama kehamilan dan
masa nifas adalah defisiensi besi dan kehilangan darah akut. Tidak jarang keduanya saling
berkaitan erat, karena pengeluaran darah yang berlebihan disertai hilangnya besi hemoglobin dan
terkurasnya simpanan besi pada suatu kehamilan dapat menjadi penyebab penting anemia
defisiensi besi pada kehamilan berikutnya.
Status gizi yang kurang sering berkaitan dengan anemia defisiensi besi (Scholl,1998 cit
Pauralin, 2016). Pada gestasi biasa dengan satu janin, kebutuhan ibu akan besi yang dipicu oleh
kehamilannya rata-rata mendekati 800 mg; sekitar 500 mg, bila tersedia, untuk ekspansi massa
hemoglobin ibu sekitar 200 mg atau lebih keluar melalui usus, urin dan kulit. Jumlah total ini 1000
mg jelas melebihi cadangan besi pada sebagian besar wanita. Kecuali apabila perbedaan antara
jumlah cadangan besi ibu dan kebutuhan besi selama kehamilan normal yang disebutkan diatas
dikompensasi oleh penyerapan besi dari saluran cerna, akan terjadi anemia defisiensi besi.
Dengan meningkatnya volume darah yang relatif pesat selama trimester kedua, maka
kekurangan besi sering bermanifestasi sebagai penurunan tajam konsentrasi hemoglobin.
Walaupun pada trimester ketiga laju peningkatan volume darah tidak terlalu besar, kebutuhan akan
besi tetap meningkat karena peningkatan massa hemoglobin ibu berlanjut dan banyak besi yang
sekarang disalurkan kepada janin. Karena jumlah besi tidak jauh berbeda dari jumlah yang secara
normal dialihkan, neonatus dari ibu dengan anemia berat tidak menderita anemia defisiensi besi
(Arisman, 2007 cit Pauralin, 2016).
2. Anemia Akibat Perdarahan Akut

Sering terjadi pada masa nifas. Solusio plasenta dan plasenta previa dapat menjadi sumber
perdarahan serius dan anemia sebelum atau setelah pelahiran. Pada awal kehamilan, anemia akibat
perdarahan sering terjadi pada kasus-kasus abortus, kehamilan ektopik, dan mola hidatidosa.
Perdarahan masih membutuhkan terapi segera untuk memulihkan dan mempertahankan perfusi di
organ-organ vital walaupun jumlah darah yang diganti umumnya tidak mengatasi difisit
hemoglobin akibat perdarahan secara tuntas, secara umum apabila hipovolemia yang berbahaya
telah teratasi dan hemostasis tercapai, anemia yang tersisa seyogyanya diterapi dengan besi. Untuk
wanita dengan anemia sedang yang hemoglobinnya lebih dari 7 g/dl, kondisinya stabil, tidak lagi
menghadapi kemungkinan perdarahan serius, dapat berobat jalan tanpa memperlihatkan keluhan,
dan tidak demam, terapi besi selama setidaknya 3 bulan merupakan terapi terbaik dibandingkan
dengan transfusi darah. (Sarwono, 2005 cit. Pauralin, 2016).

3. Anemia pada Penyakit Kronik


Gejala-gejala tubuh lemah, penurunan berat badan, dan pucat sudah sejak jaman dulu
dikenal sebagai ciri penyakit kronik. Berbagai penyakit terutama infeksi kronik dan neoplasma
menyebabkan anemia derajat sedang dan kadang-kadang berat, biasanya dengan eritrosit yan
sedikit hipokromik dan mikrositik. Dahulu, infeksi khususnya tuberculosis, endokarditis, atau
esteomielitis sering menjadi penyebab, tetapi terapi antimikroba telah secara bermakna
menurunkan insiden penyakit-penyakit tersebut. Saat ini, gagal ginjal kronik, kanker dan
kemoterapi, infeksi virus imunodefisiensi manusia (HIV), dan peradangan kronik merupakan
penyebab tersering anemia bentuk ini.

Selama kehamilan, sejumlah penyakit kronik dapat menyebabkan anemia. Beberapa di


antaranya adalah penyakit ginjal kronik, supurasi, penyakit peradangan usus (inf lammatory
bowel disease), lupus eritematosus sistemetik, infeksi granulomatosa, keganasan, dan arthritis
remotoid. Anemia biasanya semakin berat seiring dengan meningkatnya volume plasma melebihi
ekspansi massa sel darah merah. Wanita dengan pielonfritis akut berat sering mengalami anemia
nyata. Hal ini tampaknya terjadi akibat meningkatnya destruksi eritosit dengan produksi
eritropoietin normal (Cavenee dkk:1994 cit Pauralin, 2016).

4. Defisiensi Vitamin B12/Definisi Megaloblastik


Anemia megaloblastik yang disebabkan oleh kekurangan vitamin B12 selama kehamilan
sangat jarang terjadi, ditandai oleh kegagalan tubuh menyerap vitamin B12 karena tidak adanya
faktor intrinsik. Ini adalah suatu penyakit autoimun yang sangat jarang pada wanita dengan
kelainan ini. Defisiensi vitamin B12 pada wanita hamil lebih mungkin dijumpai pada mereka yang
menjalani reseksi lambung parsial atau total. Kausa lain adalah penyakit Crohn, reseksi ileum, dan
pertumbuhan bakteri berlebihan di usus halus.

Kadar vitamin B12 serum diukur dengan radio immunoassay. Selama kehamilan, kadar
non hamil karena berkurangnya konsentrasi protein pengangkut B12 transkobalamin (zamorano
dkk,1985 cit. Pauralin, 2016). Wanita yang telah menjalani gastrektomi total harus diberi 1000 mg
sianokobalamin (vitamin B12) intramuscular setiap bulan. Mereka yang menjalani gastrektomi
parsial biasanya tidak memerlukan terapi ini, tetapi selama kehamilan kadar vitamin B12 perlu
dipantau. Tidak ada alasan untuk menunda pemberian asam folat selama kehamilan hanya karena
kekhawatiran bahwa akan terjadi gangguan integritas saraf pada wanita yang mungkin hamil dan
secara bersamaan mengidap anemia pernisiosa Addisonian yang tidak terdeteksi (sehingga tidak
diobati).

5. Anemia Hemolitik
Anemia hemolitik disebabkan penghancuran/ pemecahan sel darah merah yang lebih
cepat dari pembuatannya. Ini dapat disebabkan oleh :
a. Faktor intra kopuskuler dijumpai pada anemia hemolitik heriditer, talasemia, anemia sel sickle
(sabit), hemoglobin, C, D, G, H, I dan paraksismal nokturnal hemoglobinuria,
b. Faktor ekstrakorpuskuler; disebabkan malaria, sepsis, keracun zat logam, dan dapat beserta
obat-obatan, leukemia, penyakit hodgkin dan lain-lain. Gejala utama anemia hemolitik adalah
anemia dengan kelainan-kelainan gambaran darah, kelelahan, kelemahan, serta gejala
komplikasi bila terjadi kelainan pada organ-organ vital. Pengobatan bergantung pada jenis
anemia hemolitik serta penyebabnya. Bila disebabkan oleh infeksi maka infeksinya di
berantas dan diberikan obat-obat penambah darah. Namun, pada beberapa jenis obatobatan,
hal ini tidak memberikan hasil. Maka transfusi darah yang berulang dapat membantu penderita
ini.
6. Anemia Aplastik dan Hipoplastik
Walaupun jarang dijumpai pada kehamilan, anemia aplastik adalah suatu penyulit yang
parah. Diagnosis ditegakkan apabila dijumpai anemia, biasanya disertai trombositopenia,
leucopenia, dan sumsum tulang yang sangat hiposeluler. Pada sekitar sepertiga kasus, anemia
dipicu oleh obat atau zat kimia lain, infeksi, radiasim, leukemia, dan gangguan imunologis.
Kelainan fungsional mendasar tampaknya adalah penurunan mencolok sel induk yang
terikat di sumsum tulang. Banyak bukti yang menyatakan bahwa penyakit ini diperantarai oleh
proses imunologis. Pada penyakit yang parah, yang didefinisikan sebagai hiposelularitas sumsum
tulang yang kurang dari 25 persen, angka kelangsungan hidup 1 tahun hanya 20 persen (Suhemi,
2015).
Setiap ibu hamil perlu mengatur intake makanan sesuai program diit ibu hamil yang
bertujuan dengan memberikan makanan yang dapat mencegah dan memperbaiki keadaan anemia.
Diit yang sesuai untuk ibu hamil yaitu harus memenuhi syarat energi sesuai kebutuhan secara
bertahap sejumlah 2200 kalori + 300-500 kalori/hari, lemak cukup 53 gr/hari, protein tinggi 75
gram/hari + 8-12 gr/hari diutamakan protein bermutu tinggi, meningkatkan konsumsi makanan
sumber pembentukan sel darah merah, serta bentuk makanan dan porsi disesuaikan dengan
keadaan kesehatan ibu hamil.
Cara meningkatkan asupan Fe dan Asam Folat yaitu dengan cara mengkosumsi:
a. protein hewani yaitu daging, unggas, seafood, telur, susu dan hasil olahannya
b. makanan sumber asam folat antara lain Asparagus, bayam, buncis, hati sapi, kapri, kacang
tanah, orange juice, almond, beras merah/tumbuk, kembang kol, telur, selada dan sereal
instant,
c. buah berwarna jingga dan merah segar lebih yaitu jeruk, pisang, kiwi, semangka atau nanas;
d. makanan fortifikasi seperti susu, keju, es krim, dan makanan berbasis tepung;
e. vitamin C, untuk meningkatkan absorbsi Fe;
f. makanan sumber vitamin B12 seperti daging, ikan, hati, makanan fermentasi, yoghurt, udang
dan susu;
g. sayuran hijau paling tidak 3 porsi/hari; konsumsi sari buah yang kaya vitamin C minimal 1
gelas/hari.
h. Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Timbulnya Anemia
Penyebab terjadinya anemia gizi pada berbagai kelompok penduduk itu beraneka ragam,
yang secara garis besar dikelompokkan dalam:
1. Sebab Langsung :
 Kecukupan makanan; Kurangnya zat besi di dalam tubuh dapat disebabkan oleh kurang
makan sumber makanan yang mengandung zat besi, makanan cukup namun yang dimakan
bioavailabilitas besinya rendah sehingga jumlah zat besi yang diserap kurang, dan makanan
yang dimakan mengandung zat penghambat absorbsi besi
 Infeksi penyakit; Beberapa infeksi penyakit memperbesar resiko menderita anemia pada
umumnya adalah cacing dan malaria.
2. Sebab Tidak Langsung :
Perhatian terhadap wanita yang masih rendah di keluarga oleh sebab itu wanita di dalam keluarga
masih kurang diperhatikan dibandingkan laki-laki. Sebagai contoh :
 Wanita mengeluarkan energi lebih banyak di dalam keluarga. Wanita yang bekerja
sesampainya di rumah tidak langsung beristirahat karena umumnya mempunyai banyak peran,
seperti memasak, menyiapkan makan, membersihkan rumah dan lain sebagainya,
 Distribusi makan di dalam keluarga umumnya tidak menguntungkan ibu dimana pada
umumnya ibu makan terakhir, sehingga pada keluarga miskin ibu mempunyai resiko lebih
tinggi,
 Kurang perhatian dan kasih sayang keluarga terhadap wanita, misalnya penyakit pada wanita
atau penyulit yang terjadi pada waktu kehamilan dianggap sebagai suatu hal yang wajar.
3. Penyebab Mendasar :
Anemia gizi lebih sering terjadi pada kelompok penduduk sebagai berikut:
a. Pendidikan yang rendah; karena pada umumnya:
 Kurang memahami kaitan anemia dengan faktor lainnya,
 Kurang mempunyai akses mengenai informasi anemia dan penanggulangannya,
 Kurang dapat memilih bahan makanan yang bergizi, khususnya yang mengandung zat besi
relatif tinggi,
 Kurang dapat menggunakan pelayanan kesehatan yang tersedia,
b. Ekonomi yang rendah, karena:
 Kurang mampu membeli makanan sumber zat besi karena harganya relatifmahal,
 Kurang mempunyai akses terhadap pelayanan kesehatan yang tersedia,
c. Status sosial wanita yang masih rendah di masyarakat;
Mempunyai beberapa akibat yang mempermudah timbulnya anemia gizi. Sebagai contoh :
 Rata-rata pendidikan wanita lebih rendah dari laki-laki. Hal ini terjadi karena anggapan bahwa
anak perempuan tidak perlu sekolah yang tinggi;
 Upah tenaga kerja wanita umumnya lebih rendah dari laki-laki pada hampir seluruh lapangan
kerja,
 Adanya kepercayaan yang merugikan, seperti pantangan makanan tertentu, mengurangi
makan setelah trimester III agar bayinya kecil,
d. Lokasi geografis yang buruk; yaitu lokasi yang menimbulkan kesulitan dari segi pendidikan
dan ekonomi, seperti daerah terpencil, dan daerah endemis dengan penyakit yang
memperberat anemia, seperti daerah endemis malaria.
Menurut Arisman (2014) bahwa nutrisi pada ibu hamil sangat menentukan status
kesehatan ibu dan janinnya. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi status gizi ibu hamil adalah:
 Keadaan sosial ekonomi keluarga ibu hamil; untuk memenuhi gizi diperlukan sumber
keuangan yang memadai,
 Keadaan kesehatan dan gizi ibu; kemampuan mengkonsumsi zat gizi berkurang ibu dalam
keadaan sakit sehingga terjadi peningkatan metabolisme tubuh. Untuk itu diperlukan asupan
yang lebih banyak,
 Jarak kelahiran; jika yang dikandung bukan anak pertama, jarak kelahiran yang pendek
mengakibatkan fungsi alat reproduksi masih belum optimal,
 Umur kehamilan pertama, umur di atas 35 tahun merupakan resiko penyulit persalinan dan
mulai terjadinya penurunan fungsi-fungsi organ reproduksi,
 Kebiasaan ibu hamil mengkonsumsi obat-obatan, alkohol, perokok dan pengguna kopi. Upaya
Penanggulangan Anemia
i. Upaya-upaya dalam penanggulangan anemia
Gizi terutama pada wanita hamil telah dilaksanakan oleh pemerintah. Salah satu caranya
adalah melalui suplementasi tablet besi. Suplementasi tablet besi dianggap merupakan cara yang
efektif karena kandungan besinya padat dan dilengkapi dengan asam folat yang sekaligus dapat
mencegah dan menanggulangi anemia akibat kekurangan asam folat. Cara ini juga efisien karena
tablet besi harganya relatif murah dan dapat dijangkau oleh masyarakat kelas bawah serta mudah
didapat (Depkes,1996 cit. Pauralin, 2016).
Departemen Kesehatan telah melaksanakan program penanggulangan Anemia Gizi Besi
(AGB) dengan membagikan tablet besi atau Tablet Tambah Darah (TTD) kepada ibu hamil
sebanyak 1 tablet setiap hari berturut-turut selama 90 hari selama masa kehamilan (Depkes
RI:1995). Agar penyerapan besi dapat maksimal, dianjurkan minum tablet zat besi dengan air
minum yang sudah dimasak. Dengan minum tablet Fe, maka tanda-tanda kurang darah akan
menghilang, bila tidak menghilang, berarti yang bersangkutan bukan menderita AGB, tetapi
menderita Anemia jenis lain. (Depkes RI,1995 cit. Pauralin, 2016)
Meskipun dibutuhkan gizi yang baik, suplemen besi menganggu saluran pencernaan pada
sebagian orang. Efek samping misalnya mual-mual, rasa panas pada perut, diare atau sembelit.
Untuk memulihkan efek samping yang tidak menyenangkan, dianjurkan untuk mengurangi setiap
dosis besi atau mengkonsumsi makanan bersama tablet besi. Makanan yang kaya akan vitamin C
memperbanyak serapan besi, (Brock, 2007 cit. Pauralin, 2016).

2.14. Contoh Kasus

Pasien wanita 50 tahun datang menemui dokter dan


mengeluhkan lelah, sesak nafas, kaki dan pergelangan
kakinya bengkak dan membran mukosanya pucat. Dari hasil
pemeriksaan fisik terlihat bahwa kuku pasien berbentuk
sendok.
Setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium diperoleh hasil sebagai berikut :

 Eritrosit (RBC) 3x109/L 3,8-5,0 x 106 sel/mm3


 Leukosit (WBC) 4x109/L 3200 – 10.000/mm3
 Hemoglobin (Hb) 7 g/dL Wanita : 12 - 16 g/dL
 MCV 70 fL Nilai normal : 80 – 100 (fL)

Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium ini, dokter mendiagnosa pasien ini


mengalami anemia difisiensi besi. Karena nilai MVC dan Hb pasien yang rendah.
Pernyataan :
1. Apa yang dimaksuda dengan anemia defisiensi besi?
2. Apa penyebab anemia defisiensi besi?
3. Apa gejala anemia defisiensi besi?
4. Bagaimana penatalaksanaan pasien ini?
5. Apa yang harus diinformasikan kepada pasien atau keluarga pasien?

Jawaban :
1. Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh berkurangnya sel dara merah
Karena komponen pembentuknya (besi) juga berkurang.
2. Penyebabnya adalah : Kehilangan darah dari saluran cerna atau urogenital, kebutuhan besi
yang meningkat pada saat kehamilan juga bisa menyebabkan anemia ini, perempuan,
pramenepaose, malabsorbsi akibat penyakit seliaka. Malabsorbsi Karena kurangnya asupan,
didaerah barat jarang terjadi.
3. Gejala : Lelah, sesak nafas, kaki dan pergelangan bengkak, membrane mukosa pucat,
stomatitis angularis, glostisis dan yang jarang terjadi koilonikia, kuku berbentuk sendok.
4. Berikan besi per oral untuk menggantikan dan memulihkan simpanan besi tubuh. Sebaiknya
diberikan sampai MVC dan Hb mencapai nilai normal, kemudian dilanjutkan selama 3 bulan
lagi untuk mencapai simpanan besi yang memadai. Untuk dosis pengobatan yang digunakan
adalah 2-4x300 mg/hari dan untuk pencegahan 300 mg/hari.
5. Informasi kepada pasien : Hindari pemakaian bersama obat gastritis dan antibiotik tetrasiklin.
Pada saat menggunakan obat hindari bersama makanan seperti sereal, serat makanan, teh,
kopi, telur dan susu karena akan menurunkan absorbsi.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hematologi adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari darah, organ pembentuk
darah dan penyakitnya. Pemeriksaan panel hematologi (hemogram) terdiri dari leukosit, eritrosit,
hemoglobin, hematokrit, indeks eritrosit dan trombosit. Sel darah merah merupakan sel darah yang
jumlahnya terbanyak dalam tubuh manusia. Jumlah sel darah merah dapat memberikan informasi
yang mengindikasikan adanya gangguan hematologi.

Gangguan hematologi adalah gangguan pada pembentukan sel darah merah, meliputi
penurunan dan peningkatan jumlah sel (polisitemia). Kelainan eritrosit digolongkan menjadi
empat yaitu berdasarkan ukuran, bentuk, warna dan benda inklusi eritrosit.

Penurunan jumlah sel darah merah ditemukan pada penyakit kronis, seperti penyakit hati,
anemia dan leukemia, sedangkan polisitemia ditemukan pada penderita diare, dehidrasi berat, luka
bakar, maupun pendarahan berat. Penghitungan sel darah merah dilakukan dalam proses diagnosis
beberapa penyakit tersebut.

Hematokrit menunjukan persentase sel darah merah tehadap volume darah total dan Sekitar
30% isi sel eritrosit terdiri atas zat warna darah merah yaitu hemoglobin. Kekurangan sel darah
merah salah satunya mengakibatkan anemia. Terjadi anemia karena Hb dan eritrosit kurang dari
nilai normalnya. Pengobatannya dengan cara memberikan suplemen zat besi atau jika anemia
parah dengan cara transfusi darah.

3.2 Saran
Dengan adanya tugas ini, penulis dapat lebih memahami tentang eritrosit dan interpretasi
data. Dengan adanya tugas ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bacaan untuk menambah
wawasan dari ilmu yang telah didapatkan dan lebih baik dari sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin,Helmi dkk.2015. Pengaruh Pemberian Jus Buah Naga Hylocereus Undatus (Haw.)
Britt&Rose Terhadap Jumlah Hemoglobin, Eritrosit Dan Hematokrit Pada Mencit Putih
Betina.Jurnal.Hal;118.Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Padang.Indonesia.
Di akses pada tanggal 31 maret 2017 :
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0ahUKEwjghd-
7loHTAhVJK48KHfxcCqYQFghGMAY&url=http%3A%2F%2Fjstf.ffarmasi.unand.ac.id%2Fin
dex.php%2Fjstf%2Farticle%2Fdownload%2F32%2F35&usg=AFQjCNFhHjzynDGv5Kploi0vr9
TiaDvkMA&sig2=7raPBCxLmgWAjF2YJjoXZg&bvm=bv.151426398,d.c2I&cad=rja
Darda,Abu.2016.Pendidikan Sains Berbasis Agama untuk Membangun Hidup
Sehat.Jurnal.Vol.1.Hal;246.Universitas Darussalam Gontor.Indonesia.
Di akses pada tanggal 1 april 2017 :
http://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/tadib/article/view/778/660
Erna,N.K,Supriyadi.2015.Penurunan Jumlah Eritrosit Darah Tepi Akibat Paparan Radiasi Sinar
X Dosis Radiografi Periapikal.Praktisi Dokter Gigi.Laboratorium Radiologi KG Fakultas
Kedokteran Gigi.Universitas Jember.Indonesia.
Di akses pada tanggal 31 maret 2017
http://jurnal.unej.ac.id/index.php/STOMA/article/viewFile/2135/1738
Handayani, Wiwik dan Sulistyo, Andi, Wibowo.2008.Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan
Gangguan Sistem Hematologi.Hal 1-6.Salemba Medika.Jagakarsa.Indonesia.
Di akses pada tanggal 2 april 2017 :
https://books.google.co.id/books?id=PwLdwyMH9K4C&pg=PT16&lpg=PT16&dq=skema+eritr
osit&source=bl&ots=-
BaE3FjQO3&sig=APxJkOxhcL0llqRATNjdKGc6BWo&hl=id&sa=X&redir_esc=y#v=onepage
&q=skema%20eritrosit&f=false
Haryani,Siti.2014. Total Sel Darah Merah (Erythrocyte)Kadar Hemoglobin Dan Nilai Hematokrit
Sapi Bali Di Kecamatan Bangkinang Seberang Kabupaten Kampar.Skripsi. Universitas Islam
Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.Pekanbaru.Indonesia.
Di akses pada tanggal 1 april 2017 :
http://repository.uin-suska.ac.id/5248/1/FM.pdf
Hidayat,Rahmat,dkk.2016. Hubungan Kejadian Anemia dengan Penyakit Ginjal Kronik pada
Pasien yang Dirawat di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP dr M Djamil Padang.Jurnal
Kesehatan.Hal;547.Universitas Andalas.Indonesia
Di akses pada tanggal 1 april 2017 :
http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/view/574/463
Ihwantoro,Trubus,Tri.2014.Gambaran Darah Dan Performa Produksi Ayam Kampung Serta
Ayam Ras Petelur Pada Kandang Terbuka.Skripsi.Hal;6.Institut Pertanian Bogor.Indonesia.
Di akses pada tanggal 1 april 2017 :
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69040/D14tti.pdf?sequence=1&isAllowe
d=y
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.2011.Pedoman Interpretasi Data Klinik.Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.Hal;7,12-15.Jakarta.Indonesia.
Di akses pada tanggal 23 maret 2017 :
https://www.researchgate.net/profile/Fauna_Herawati/publication/303523819_Pedoman_Interpre
tasi_Data_Klinik/links/5746c1db08ae298602fa0bb4/Pedoman-Interpretasi-Data-Klinik.pdf
Mallo,Pricilla,Yellana dkk.2014.Rancang Bangun Alat Ukur Kadar Hemoglobin dan Oksigen
Dalam Darah dengan Sensor Oximeter Secara Non-Invasive.Jurnal.UNSRAT.Manado. Indonesia.
Di akses pada tanggal 31 maret 2017 :
http://www.e-jurnal.com/2014/10/rancang-bangun-alat-ukur-kadar.html
Mutschler,Ernst.Dinamika Obat Farmakologi dan Toksikologi.Vol.5.Hal;403-404;407.ITB;
Bandung.Indonesia.

Parulian,Intan,Tiurma,Roosleya.2016. Strategi Dalam Penanggulangan Pencegahan Anemia


Pada Kehamilan.Jurnal.Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Binawan.Indonesia.
Di akses pada tanggal 2 april 2017 :
http://e-journal.jurwidyakop3.com/index.php/jurnal-ilmiah/article/view/255/223
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia.2009.Pekerjaan Kefarmasian.Hal;2.Jakarta.Indonesia.
Di akses pada tanggal 31 maret 2017 :
http://pelayanan.jakarta.go.id/download/regulasi/peraturan-pemerintah-nomor-51-tahun-2009-
tentang-pekerjaan-kefarmasian.pdf
Prakarsa dan Kurniawan.2015. Identifikasi Sel Darah Merah Bertumpuk Menggunakan Pohon
Keputusan Fuzzy Berbasis Gini Index.Jurnal Buana Informatika.Vol.6.Hal;51.Institut Teknologi
Sepuluh November.Surabaya.Jawa Timur.Indonesia.
Di akses pada tanggal 3 april 2017 :
https://ojs.uajy.ac.id/index.php/jbi/article/view/398/446

Anda mungkin juga menyukai