01 Makalah PBL2
01 Makalah PBL2
Kelas MPKT B 24
Home Group 1
Universitas Indonesia
2019
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
nikmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah mengenai permasalahan yang
bersumber dari Program Based Learning 2, tentang “Problematika Stunting di Indonesia”
dengan baik. Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas dari mata kuliah MPKT B
sebagai proses untuk pembelajaran dalam perkuliahan di Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Indonesia.
Makalah ini bertujuan untuk menginformasikan berbagai penyebab, dampak, dan solusi
terhadap problematika stunting yang ada di Indonesia dan melalui makalah diharapkan dapat
meningkatkan kesadaran bagi pembaca akan pentingnya pemenuhan gizi seimbang dalam rangka
pencegahan stunting. Maka dari itu, penyusunan makalah ini bertujuan untuk meningkatkan
wawasan dan pengetahuan kepada pembaca akan permasalahan yang bersumber dari Program
Based Leraning 2.
Makalah ini tidak dapat terbentuk dengan baik apabila tidak dibantu oleh beberapa pihak.
Oleh karena itu, penulis berterima kasih kepada dosen pengampu MPKT B kelas 24 Ibu Revi
Hernina S.Si., M.T. terhadap pembelajaran mengenai materi yang telah diberikan demi
terbentuknya penyusunan makalah ini.
Walaupun makalah ini telah disusun secara maksimal, namun penulis menyadari bahwa
makalah ini jauh akan kata sempurna, mengingat adanya kekurangan selama proses pembuatan
makalah. Oleh karena itu, penulis mengharapakan saran dan kritik yang membangun, demi
terbentuknya makalah yang lebih baik.
Home Grup 1
II
Daftar Isi
III
BAB I
Pendahuluan
melatarbelakangi kualitas pertumbuhan seseorang yang dipengaruhi oleh indeks gizi yang
ada. Indeks gizi merupakan suatu acuan yang digunakan sebagai tolak ukur atas
kecukupan gizi. Pemenuhan nutrisi pada pola makan merupakan faktor utama dalam
peningkatan kualitas gizi dan kuantitas pertumbuhan. Namun, asumsi gizi di Indonesia
dapat dikatakan terlampau jauh dari target dan cita-cita negara. Banyak dari ratusan
hingga ribuan anak yang tidak dapat memenuhi gizi seimbang dan kuantitas pertumbuhan
kecil pada anaknya yang terkadang keliru dan meganggap ringan suatu keadaanlah yang
Stunting bukanlah hal yang sederhana yang bisa dibiarkan tanpa tindakan. Stunting dapat
memengaruhi pertumbuhan baik secara fisik maupun psikomotoris. Anak yang menderita
stunting memiliki tinggi badan yang jauh di bawah normal. Pernyataan tersebut juga
diikuti oleh lambatnya pola pikir yang berpengaruh pada perkembangan otak anak. Anak
yang stunting cenderung terjangkit banyak penyakit yang menyerang sistem organ pada
masa dewasanya dan memilki porsi berat badan yang melebihi batas.
tercapai maksimal dan belum mampu menekan pertumbuhan stunting yang ada. Hal
1
tersebut dipengaruhi oleh adanya faktor ekonomi dan faktor sosial yang berbeda dari
setiap anggota masyarakat. Stunting menjadi pemicu yang menentukan kualitas Sumber
Daya Manusia (SDM) di masa mendatang. Kualitas SDM merupakan faktor pendukung
Kesehatan Dasar/Riskesdas 2013) dan di seluruh dunia, Indonesia adalah negara dengan
prevalensi stunting kelima terbesar. Balita/Baduta (Bayi dibawah usia Dua Tahun) yang
mengalami stunting memiliki tingkat kecerdasan tidak maksimal. Anak menjadi lebih
rentan terhadap penyakit dan di masa depan dapat beresiko terjadinya penurunan tingkat
1. Apa yang dimaksud dengan stunting dan apa yang melatarbelakangi timbulnya
stunting di Indonesia?
2. Dimana saja letak wilayah di Indonesia yang tergolong memiliki indeks gizi yang
Indonesia ?
Indonesia ?
2
6. Bagaimana pengaruh stunting terhadap perkembangan kualitas Sumber Daya
1.3 Hipotesis
pertumbuhan secara fisik dan psikomotoris yang berpengaruh terhadap kualitas Sumber
1. Mengetahui definisi stunting secara umum dan mengetahui faktor penyebab adanya
stunting di Indonesia.
2. Mengetahui letak wilayah yang darurat akan tingginya nilai gizi buruk di Indonesia.
masa mendatang.
1.5 Manfaat
diharapkan mampu menambah wawasan dan pengetahuan akan stunting di Indonesia dan
dapat meningkatkan kesadaran untuk tetap menjaga kebutuhan nutrisi yang dikonsumsi
3
BAB II
Pembahasan
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada balita (bayi di bawah lima tahun)
akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya.
Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi
lahir. Akan tetapi, kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun.
pertumbuhan karena malnutrisi jangka panjang. Stunting menurut WHO Child Growth
Standart didasarkan pada indeks tinggi badan dibanding umur (TB/U) dengan batas
(z-score) kurang dari -2 SD1. Pertumbuhan masa kanak-kanak (growth spurt I, umur 1 –
9 tahun) berlangsung dengan kecepatan lebih lambat daripada pertumbuhan bayi, tetapi
kegiatan fisiknya meningkat. Oleh karena itu, dengan perimbangan terhadap besarnya
tubuh dan kebutuhan zat gizi tetap tinggi diperlukan penyediaan pangan yang
mengandung protein, kalsium, dan fosfor. Gizi buruk, terutama pertumbuhan yang
Banyaknya balita yang terjangkit masalah stunting tidak lepas dari pengaruh asupan
nutrisi yang diperolehnya sejak dini. Ketidakcukupan asupan nutrisi yang bergizi
kedua orangtua balita menganggap stunting bukanlah suatu hal yang memiliki perhatian
4
khusus karena terkadang ciri - ciri fisik dari stunting itu sendiri sulit untuk diartikan
menyebutkan terdapat 13,8% anak usia di bawah lima tahun dengan gizi kurang dan
3,9% gizi buruk. Artinya secara nasional dari estimasi populasi balita. Sebesar 23,8 juta
jiwa yang digunakan pada kajian tersebut, terdapat 3,2 juta anak dengan gizi kurang dan
928 ribu mengalami gizi buruk. Data ini hanya mengalami sedikit sekali perbaikan
dibandingkan lima tahun sebelumnya (Riskesdas 2013) yang menyatakan ada 13,9% gizi
Di beberapa provinsi, angka gizi kurang dan gizi buruk terdapat jauh di atas rata-
rata nasional. Bahkan angkanya lebih dari 25%, di antaranya Nusa Tenggara Timur, Nusa
Tenggara Barat, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Kalimantan Barat, dan Kalimantan
Selatan. Bahkan gizi kurang dan gizi buruk juga terjadi di Jawa Tengah, Jawa Timur,
Banten, dan Daerah Istimewa Yogyakarta meski dengan angka yang lebih rendah dari
rata-rata nasional.
Pada 2010, gerakan global yang dikenal dengan Scaling-Up Nutrition (SUN)
diluncurkan dengan prinsip dasar bahwa semua penduduk berhak untuk memperoleh
akses pada makanan yang cukup dan bergizi. Pada 2012, Pemerintah Indonesia
bergabung dalam gerakan tersebut melalui perancangan dua kerangka besar Intervensi
5
berbagai macam program yang dilakukan oleh Kementerian dan Lembaga (K/L) terkait.
Kerangka Intervensi Stunting yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terbagi menjadi
Kerangka pertama adalah Intervensi Gizi Spesifik. Ini merupakan intervensi yang
ditujukan kepada anak dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dan berkontribusi
pada 30% penurunan stunting. Kerangka kegiatan intervensi gizi spesifik umumnya
dilakukan pada sektor kesehatan. Intervensi ini juga bersifat jangka pendek dimana
hasilnya dapat dicatat dalam waktu relatif pendek. Kegiatan yang idealnya dilakukan
intervensi utama yang dimulai dari masa kehamilan ibu hingga melahirkan balita:
pada ibu hamil untuk mengatasi kekurangan energi dan protein kronis, mengatasi
menanggulangi cacingan pada ibu hamil serta melindungi ibu hamil dari Malaria.
II. Intervensi Gizi Spesifik dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak
6
III. Intervensi Gizi Spesifik dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia
7-23 bulan.
ASI hingga anak/bayi berusia 23 bulan. Kemudian, setelah bayi berusia diatas
Stunting yang direncanakan oleh Pemerintah yang kedua adalah intervensi gizi
diluar sektor kesehatan dan berkontribusi pada 70% Intervensi Stunting. Sasaran
dari intervensi gizi spesifik adalah masyarakat secara umum dan tidak khusus
ibu hamil dan balita pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan/HPK. Kegiatan terkait
umumnya makro dan dilakukan secara lintas oleh Kementerian dan Lembaga.
7
6. Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal).
10. Memberikan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi, serta gizi pada
remaja.
dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia sebagai bagian dari upaya nasional untuk
Baduta adalah anak usia 0–24 bulan (under two years), pada masa usia ini masa
merupakan masa dua tahun pertama sejak kelahiran. Masa baduta juga disebut
masa emas dimana sel-sel otak sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan
yang optimal. Kurang gizi pada baduta dapat mengakibatkan gagal tumbuh dan berakibat
balita merupakan proses yang berlangsung cepat yang akan menentukan dan
8
seperti kemampuan berbahasa, emosional, kreativitas, kesadaran sosial, dan interaksi
ketersediaan pangan rumah tangga, pola asuh anak, sanitasi lingkungan, pelayanan
kesehatan, pendidikan, pekerjaan ibu, pengetahuan gizi ibu, pendapatan keluarga dan
kurang tidak hanya dengan memperbaiki aspek pola makan saja, namun juga
lingkungan balita dengan pola asuh yang baik, kesehatan lingkungan dan
tersedianya air bersih (Soekirman, 2002). Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
merupakan semua perilaku dan kegiatan kesehatan yang dilakukan atas kesadaran dirinya
sendiri atau kesadaran dari semua anggota keluarga sehingga dapat berperan aktif
dalam kegiatan kesehatan masyarakat (Depkes RI, 2007). Berperilaku hidup bersih
dan sehat diperlukan kesadaran masyarakat maupun rumah tangga terkait untuk
lingkungan masyarakat (Depkes RI, 2006). PHBS merupakan upaya rumah tangga
agar sadar, mau dan mampu meningkatkan pengaplikasian PHBS dalam kesehatannya
serta mencegah terjadinya risiko penyakit dan berperan aktif dalam gerakan
sarang nyamuk, serta terakhir pola asuh anak yaitu dari mencuci tangan
9
menggunakan air bersih dan sabun, dan menjaga kesehatan gigi dan mulut. Menurut
Slamet (2002), jika cakupan PHBS dalam suatu keluarga atau individu yang rendah
akan mudah terjangkit penyakit sesuai gaya hidupnya, sehingga dapat disimpulkan
bahwa tingkat kesehatan yang rendah dapat menyebabkan terjadinya masalah gizi
Banyak faktor yang menyebabkan stunting pada balta, namun karena mereka
sangat tergantung pada ibu/keluarga, maka kondisi keluarga dan lingkungan yang
mempengaruhi keluarga akan berdampak pada status gizinya. Pengurangan status gizi
terjadi karena asupan gizi yang kurang dan sering terjadinya infeksi. Jadi faktor
pada status gizi balita. Kecukupan energi dan protein per hari per kapita anak
Indonesia terlihat sangat kurang jika dibanding Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang
dianjurkan baik pada anak normal atau pendek. Diasumsikan secara umum,
konsumsi yang diperoleh untuk seluruh anak (pendek atau normal), kondisinya sama,
kurang dari AKG. Jika hal ini berlangsung bertahun-tahun maka terjadi masalah
kronis. Pengaruh orang tua yang merokok baik pada tingkat pengeluaran terendah
sampai yang teratas, prevalensi anak pendek dari orang tua merokok adalah 33,7%
dibanding yang tidak merokok 13,7%. Secara keseluruhan, orang tua merokok
yang tidak merokok. Salah satu studi pencemaran lingkungan yang berdampak pada
10
perbedaan proporsi penderita hipotiroidisme (berdasarkan kadar TSHs/Thyroid
Stimulating Hormons) yang nyata antara daerah terpapar dan daerah yang tidak
kejadian anak pendek pada penduduk besar kemungkinan merupakan dampak dari
kelaparan yang terjadi dalam waktu lama. Penyebab yang mendasar antara lain adalah
kemiskinan.
terakhir, ini masih banyak ditemukan anak kekurangan gizi di Indonesia. Fakta ini
sektor fisik tidak sinkron dengan perbaikan gizi masyarakat. Hanya sedikit berubah
Kekurangan gizi pada anak berdampak secara akut dan kronis. Anak-anak yang
mengalami kekurangan gizi akut akan terlihat lemah secara fisik. Anak yang mengalami
kekurangan gizi dalam jangka waktu yang lama atau kronis, terutama yang terjadi
sebelum usia dua tahun, akan terhambat pertumbuhan fisiknya, sehingga menjadi pendek
(stunted). Kondisi ini lebih berisiko jika masalah gizi sudah mulai terjadi sejak di dalam
kandungan. Data - data secara nasional di Indonesia membuktikan bahwa angka stunting
yang tinggi beriringan dengan kejadian kurang gizi. Seperti terdapat dalam laporan
Riskesdas terakhir, ada 30,8% atau 7,3 juta anak di Indonesia mengalami stunting,
dengan 19,3% atau 4,6 juta anak pendek, dan 11,5% atau 2,6 juta anak sangat pendek.
11
Dampak gizi buruk, baik langsung maupun tidak langsung, terhadap anak dan ketahanan
perkembangan kognitif dan psikomotor. Jika proporsi anak yang mengalami kurang
gizi, gizi buruk, dan stunting besar dalam suatu negara, maka akan berdampak pula pada
proporsi kualitas sumber daya manusia yang akan dihasilkan. Artinya, besarnya masalah
stunting pada anak hari ini akan berdampak pada kualitas bangsa masa depan.
Anak-anak yang tumbuh dan berkembang tidak proporsional hari ini, pada
dibandingkan anak yang tumbuh dengan baik. Generasi yang tumbuh dengan
kemampuan kognisi dan intelektual yang kurang akan lebih sulit menguasai ilmu
pengetahuan (sains) dan teknologi karena kemampuan analisis yang lebih lemah. Pada
saat yang sama, generasi yang tumbuh dengan kondisi kurang gizi dan mengalami
stunting, tidak dapat diharapkan untuk berprestasi dalam bidang olah raga dan
kemampuan fisik. Dengan demikian, proporsi kurang gizi dan stunting pada anak adalah
ancaman bagi prestasi dan kualitas bangsa di masa depan dari segala sisi.
12
3. Lebih mudah terkena penyakit degeneratif
bangsa, tapi juga menjadi faktor tidak langsung terhadap penyakit degeneratif (penyakit
yang muncul seiring bertambahnya usia). Berbagai studi membuktikan bahwa anak-anak
yang kurang gizi pada waktu balita, kemudian mengalami stunting, maka pada usia
dewasa akan lebih mudah mengalami obesitas dan terserang diabetes melitus. Seseorang
yang dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya mengalami kekurangan gizi dapat
mengalami masalah pada perkembangan sistem hormonal insulin dan glukagon pada
pankreas yang mengatur keseimbangan dan metabolisme glukosa. Sehingga, pada saat
usia dewasa jika terjadi kelebihan kalori maka keseimbangan gula darah lebih cepat
terganggu dan pembentukan jaringan lemak tubuh (lipogenesis) juga lebih mudah.
Dengan demikian, kondisi stunting juga berperan dalam meningkatkan beban gizi ganda
Kurang gizi dan stunting saat ini, menyebabkan rendahnya kualitas sumber daya
manusia usia produktif. Masalah ini selanjutnya juga berperan dalam meningkatkan
13
BAB III
Penutup
3.1. Kesimpulan
pertunbuhan tinggi badan yang jauh di bawah normal dan memiliki pola pikir
yang lambat. Stunting bukan merupakan suatu persoalan yang biasa. Oleh karena
sanitasi lingkungan juga harus diperhatikan agar dapat menekan laju pertumbuhan
3.2. Saran
Pemenuhan asupan yang baik merupakan langkah awal yang dapat menurunkan
angka stunting pada balita di Indonesia. Dengan demikian, kualitas Sumber Daya
14
Daftar Referensi
Sutarto. Mayasari, D. Indriyani, R. Stunting, Faktor Resiko dan Pencegahannya. Dikutip pada 7
Desember 2019 pukul 09.00 WIB pada https://www.cigna.co.id
Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. Dikutip pada 7 Desember 2019 pukul 09.15 WIB pada
https://osf.io > download > pdf
Nailis, A. Stunting di Indonesia. Dikutip pada 7 Desember 2019 pukul 10.15 pada
https://media.neliti.com
Hidayat, T.S. Fuada, N.Hubungan Sanitasi Lingkungan, Morbiditas dan Status Gizi Balita di
Indonesia. Dikutip pada 7 Desember 2019 pukul 09.00 pada https://siha.depkes.go.id > pdf
Dasman, H. Empat Dampat stunting Bagi Anak dan Negara Indonesia. Dikutip pada 7 Desember
2019 pukul 10.00 WIB pada https://researchgate.net
15