Anda di halaman 1dari 2

THALES

Thales hidup pada 624 SM dan meninggal pada 546 SM, semasa hidupnya ia digelari sebagai
Bapak Filsafat karena dia adalah orang yang pertama berfilsafat. Gelar ini diberikan karena dia
mengajukan pertanyaan yang amat mendasar, yang jarang diperhatikan oleh orang dimasanya dan
bahkan orang zaman sekarang yaitu : What is the nature of the world stuff? (Mayer,1950:18) Apa
sebenarnya bahan alam semesta ini? Tak pelak lagi pernyataan ini amat mendasar. Terlepas dari apapun
jawabannya, pertanyaan ini saja sudah bisa mengangkat dia sebagai filsof pertama. Ia sendiri menjawab
air. Jawaban ini sebenarnya amat sederhana dan belum tuntas. Belum tuntas karena dari apa air itu?
Thales mengambil air sebagai asal alam semesta barangkali karena ia melihatnya sebagai sesuatu yang
amat diperlukan dalam kehidupan, dan menurut pendapatnya bumi ini terapung di atas air.

Lihatlah, jawabnnya amat sederhana; pertanyaannya lebih jauh lebih berbobot ketimbang
jawabannya. Masih adakah orang yang menganggap pertanyaan itu tidak penting? Thales menjadi
filosof karena ia bertanya. Pertanyaan itu dijawabnya dengan menggunakan akal, bukan menggunakan
agama atau kepercayaan lainnya. Alasannya ialah karena air penting bagi kehidupan. Di sini akal mulai
digunakan lepas dari keyakinan.

Menurut cerita, Thales adalah seorang saudagar yang sering berlayar ke negeri Mesir. Ia
menemukan ilmu ukur dari Mesir dan membawanya ke Yunani. Diceritakan pula bahwa ia memiliki ilmu
tentang bagaimana mengukur tinggi piramid-piramid dari bayangannya; bagaimana mengukur jauhnya
kapal dari laut dari sebuah pantai; ia juga mempunyai teori tentang banjir tahunan sungai Nil di Mesir.
Bahkan ia juga berhasil meramalkan terjadinya gerhana matahari pada tanggal 28 Mei tahun 585 SM.
Karena itulah ia dikenal sebagai ahli astronomi dan metafisika.

Hal ini merupakan bukti bahwa perkembangan ilmiah nampaknya mulai menggantikan peranan
mitos-mitos yang berkembang pada masa itu. Thales tidak menuliskan ajaran-ajaran filsafatnya.
Aristhoteleslah yang merupakan sumber utama ajaran Thales. Dalam traktatnya mengenai metafisika,
Aristoteles menyatakan bahwa Thales adalah orang yang pertama kali memikirkan tentang asal mula
(asal/prinsip) terjadinya alam semesta ini.

ANAXIMANDER

Menurut Apollodorus, seorang penulis Yunani kuno, Anaximandros (610-546 SM) telah berumur
63 tahun pada saat Olimpiade ke-58 yang dilaksanakan tahun 547/546 SM. Karena itu, diperkirakan
Anaximandros lahir sekitar tahun 610 SM. Kemudian disebutkan pula bahwa Anaximandros meninggal
tidak lama setelah Olmpiade tersebut usai, sehingga waktu kematiannya diperkirakan pada tahun 546
SM. Anaximandros adalah seorang filsuf dari Mazhab Miletos dan merupakan murid dari Thales. Seperti
Thales, dirinya dan Anaximenes tergolong sebagai filsuf-filsuf dari Miletos yang menjadi perintis filsafat
Barat.

Anaximander mencoba menjelaskan bahwa To Apeiron sebagai prinsip dasar segala sesuatu
Meskipun Anaximandros merupakan murid Thales, namun ia menjadi terkenal justru karena mengkritik
pandangan gurunya mengenai air sebagai prinsip dasar (arche) segala sesuatu. Menurutnya, bila air
merupakan prinsip dasar segala sesuatu, maka seharusnya air terdapat di dalam segala sesuatu, dan
tidak ada lagi zat yang berlawanan dengannya. Namun kenyataannya, air dan api saling berlawanan
sehingga air bukanlah zat yang ada di dalam segala sesuatu. Karena itu, Anaximandros berpendapat
bahwa tidak mungkin mencari prinsip dasar tersebut dari zat yang empiris. Prinsip dasar itu haruslah
pada sesuatu yang lebih mendalam dan tidak dapat diamati oleh panca indera. Substansi pertama itu

bersifat kekal dan ada dengan sendirinya (Mayer, 1950: 19). Anaximander mengatakan itu udara. Udara
merupakan sumber dari segala kehidupan , demikian alasannya. Pembicaraan kedua filsofis ini saja telah
menunjukkan bahwa di dalam filsafat dapat terdapat lebih dari satu kebenaran tentang satu persoalan.
Sebabnya ialah bukti kebenaran teori dalam filsafat terletak pada logis atau tidaknya argument yang
digunakan, bukan terletak pada kongklusi (kesimpulan). Di sini sudah kelihatan bibit ralativisme yang
kelak berkembang pada filsafat sofisme.

Anda mungkin juga menyukai