Anda di halaman 1dari 12

Nilai Paraf

LAPORAN

PRAKTIKUM FARMASI FISIKA II

PENGUKURAN DAN KETIDAKPASTIAN

Nama : Hadi Nur Rijani A 151 004


Hani Yulianti A 151 024
Marliana A 151 040
Septiya Hasanah A 151 015
Siska Dewi A 151 028
Yenna Putri Wulan A 151 037
Hari/Tanggal Praktikum : Senin, 26 September 2016
Tanggal Laporan : 03 Oktober 2016
Nama Asisten : Revika Rachmaniar, M.Farm., Apt.
Wahyu Priyo Legowo, S.Farm., Apt.
Yova Amijaya Fitri. M.Si., Apt.

LABORATORIUM TEKNOLOGI FARMASI

SEKOLAH TINGGI FARMASI INDONESIA

BANDUNG

2016
MODUL 2
PENGUKURAN DAN KETIDAKPASTIAN

2.1 Tujuan
Tujuan praktikum ini adalah:
1. Mampu melakukan pengukuran dengan alat ukur yang berbeda tingkat
ketelitiannya.
2. Mampu melakukan perhitungan dengan menggunakan angka penting.

2.2 Prinsip
1. Berdasarkan pengukuran terhadap balok dengan menggunakan
penggaris dan jangka sorong.
2. Berdasarkan massa jenis balok.

2.3. Teori
Pengukuran adalah membandingkan suatu besaran dengan satuan yang
dijadikan sebagai patokan. Suatu pengamatan terhadap besaran fisis harus melalui
pengukuran. Pengukuran-pengukuran yang sangat teliti diperlukan dalam fisika,
agar gejala-gejala peristiwa yang akan terjadi dapat diprediksi dengan kuat. Namun
bagaimanapun juga ketika kita mengukur suatu besaran fisis dengan menggunakan
instrumen, tidaklah mungkin akan mendapatkan nilai benar Xo, melainkan selalu
terdapat ketidakpastian.

2.3.1. Alat ukur dasar


Alat ukur adalah perangkat untuk menentukan nilai atau besaran dari
suatu kuantitas atau variabel fisis. Pada umunya, alat ukur dasar terbagi
menjadi dua, yaitu alat ukur analog dan digital. Ada dua sistem pengukuran
yaitu sistem analog dan sistem digital. Alat ukur analog memberikan hasil
ukuran yang bernilai kontinyu, misalnya petunjuk temperatur yang
ditunjukan oleh skala, petunjuk jarum pada skala meter, atau petunjuk skala
elektronik. Alat ukur digital memberikan hasil pengukuran yamng bernilai
diskrit. Hasil pengukuran tegangan atau arus dari meter digital merupakan
sebuah nilai dengan jumlah digit tertentu yang ditunjukan pada panel
displaynya.
Suatu pengukuran selalu disertai oleh ketidakpastian. Beberapa
penyebab ketidakpastian tersebut antara lain adalah Nilai Skala Terkecil
(NST), kesalahan kalibrasi, kesalahan titik nol, kesalahan paralaks, fluktuasi
parameter pengukuran, dan lingkungan yang saling mempengaruhi serta
tingkat keterampilan pengamat yang berbeda-beda.
Beberapa alat ukur dasar yang sering digunakan dalam praktikum
adalah jangka sorong, mikrometer sekrup, barometer, neraca teknis,
penggaris, busur derajat, stopwatch, dan beberapa alat ukur besaran listrik.

2.3.2. Nilai skala terkecil


Pada setiap alat ukur terdapat suatu nilai skala yang tidak dapat
dibagi-bagi lagi, inilah yang disebut dengan Nilai Skala Terkecil (NST).
Ketelitian alat ukur bergantung pada NST ini.

2.3.3. Parameter alat ukur


Ada beberapa istilah dan definisi dalam pengukuran yang harus
dipahami, diantaranya:
1. Akurasi, kedekatan alat ukur membaca pada nilai yang
sebenarnya dari variabel yang diukur.
2. Presisi, hasil pengukuran yang dihasilkan dari proses
pengukuran, atau derajat untuk membedakan suatu pengukuran
dengan lainnya.
3. Kepekaan, ratio dari sinyal output atau tanggapan alat ukur
perubahan input atau variabel yang diukur.
4. Resolusi, perubahan terkecil dari nilai pengukuran yang mampu
ditanggapi oleh alat ukur.
5. Kesalahan, angka penyimpangan dari nilai sebenarnya variabel
yang diukur.
2.3.4. Ketidakpastian
Beberapa penyebab ketidakpastian tersebut antara lain adanya Nilai
Skala Terkecil (NST), kesalahan kalibrasi, kesalahan titik nol, kesalahan
paralaks, fluktuasi parameter pengukuran, dan lingkungan yang saling
mempengaruhi hasil pengukuran, dan karena hal-hal seperti ini pengukuran
mengalami gangguan.
Ketidakpastian dibedakan menjadi dua, yaitu ketidakpastian mutlak
dan relatif. Masing-masing ketidakpastian dapat digunakan dalam
pengukuran tunggal dan berulang.

A. Ketidakpastian mutlak
Suatu nilai ketidakpastian yang sebabkan karena keterbatasan alat
ukur itu sendiri. Pada pengukuran tunggal, ketidakpastian yang umumnya
digunakan bernilai setengah dari NST.
∆X = ½ NST hasil pengukuran X = X ± ∆X
Kesalahan ½ - Rentang merupakan salah satu cara untuk
menyatakan ketidakpastian pada pengukuran berulang.
( 𝑿𝒎𝒂𝒙−𝑿𝒎𝒊𝒏 )
∆X = hasilnya X = x̄ ± ∆X
𝟐

Kesalahan dari nilai rata-rata ini terhadap nilai sebenarnya besaran


X ( yang tidak mungkin diketahui nilai sebenarnya Xo ) dinyatakan oleh
standar deviasi.

𝟐
∑ 𝑿𝒊 𝟐 − (∑ 𝑿)
∑(𝑿𝒊−𝐱̄ )𝟐
SD = √ 𝒏
atau √
𝒏−𝟏 𝒏−𝟏

B. Ketidakpastian relatif
Ketidakpastian relatif adalah ketidakpastian yang dibandingkan
dengan hasil pengukur.
∆X
KTP Relatif = 𝑋

hasilnya X = X ± ( KTP relatif x 100% )


(Ruwanto, 2003)
Bentuk ketidakpastian pengukuran terdiri atas ketidakpastian bersistem dan
ketidakpastian acak (rambang). Ketidakpastian bersistem terdiri atas: kesalahan
kalibrasi, kesalahan titik nol, kerusakan komponen alat, gesekan, kesalahan
paralaks. Ketidakpastian rambang (acak) merupakan kesalahan yang bersumber
dari gejala yang tidak mungkin dikendalikan atau diatasi berupa perubahan yang
berlangsung sangat cepat sehingga pengontrolan dan pengaturan di luar
kemampuan. Ketidakpastian berbeda antara pengukuran tunggal dengan
pengukuran berulang.
a. Ketidakpastian pengukuran tunggal
Pengukuran tunggal adalah pengukuran yang hanya dilakukan satu kali saja.
Keterbatasan skala alat ukur dan keterbatasan kemampuan mengamati serta
banyak sumber kesalahan lain, mengakibatkan hasil pengukuran selalu
dihinggapi ketidakpastian. Nilai X sampai goresan terkhir dapat
diketahuidengan pasti, namun bacaan selebihnya adalah terkaan atau dugaan
belaka sehingga patut diragukan. Inilah yang ketidakpastian yang dimaksud
dan diberi lambang ∆X. Lambang ∆X merupakan ketidakpastian mutlak.
1
∆X = NST Alat
2

Dimana ∆X adalah ketidakpastian pengukuran tunggal. Angka 2 pada persamaan


di atas menunjukkan satu skala (nilai antar dua goresan terdekat) masih dapat dibagi
2 bagian secara jelas oleh mata. Nilai ∆X merupakan hasil pengukuran dilaporkan
dengan cara yang sudah dibakukan sebagai berikut :
X = |X ± ∆X| satuan
b. Ketidakpastian pengukuran berulang
Pengukuran berulang merupakan pengukuran yang dilakukan lebih dari
satu kali, akan tetapi dapat dibedakan anta pengukuran yang dilakukan
beberapa kali (2 atau 3 kali) dengan pengukuran yang cukup sering (10 kali atau
lebih. Nilai pengukuran rata-rata dapat dilaporkan sebagai X rata-rata sedangkan
deviasi (penyimpangan) terbesar atau deviasi rata-rata dilaporkan sebagai ∆X.
Deviasi adalah selisih antara tiap hasil pengukuran dari nilai rata-ratanya. (Halliday,
2010)
2.3.5 Angka Berarti
Angka berarti (AB) menunjukkan jumlah digit angka yang akan
dilaporkan pada hasil akhir pengukuran. Angka berarti berkaitan
dengan KTP relatif (dalam %). Semakin kecil KTP relatif maka
semakin tinggi mutu pengukuran atau semakin tinggi ketelitian hasil
pengukuran yang dilakukan. Hubungan anatara KTP relatif dan
akngka berarti adalah sebagai berikut:
AB= 1 – log (KTP relatif)
(Hermansyah, 2014)

2.4 Alat dan Bahan

2.4.1 Alat:

1. Jangka sorong
2. Penggaris

2.4.1 Bahan:

1. Balok

2.5 Prosedur

Ditentukan NST jangka sorong dan penggaris, lalu dicatat hasilnya.


Kemudian diukur panjang, lebar dan tinggi suatu balok logam dengan jangka
sorong dan penggaris, lalu dicatat hasilnya. Kemudian diulangi pengukuran
menggunakan jangka sorong dan penggaris sebanyak 3 kali pada tempat yang
berbeda. Lalu ditimbang balok sebanyak satu kali dan ditentukan massa jenis balok.
Kemudian di catat hasilnya.
2.6 Data Pengamatan

A. Pengukuran tunggal

Penggaris X NST ∆X X ± ∆X Massa Volume ρ

Panjang 25 1 mm 0,5 25 ± 0,5 21,87 3000 7,29


mm mm mm gram mm atau gram/cm3
3

3 cm3
Lebar 8mm 8 ± 0,5
mm

Tinggi 15mm 15 ± 0,5


mm

Jangka X NST ∆X X ± ∆X Massa Volume ρ


Sorong

Panjang 24,12 0,02 0,01 24,12 ± 21,87 2.737,76 7,99gr


mm mm mm 0,01 mm gram mm3 atau am/cm
3
2,737
Lebar 8,02 8,02 ± cm3
mm 0,01 mm

Tinggi 14,22 14,22 ±


mm 0,01 mm

B. Pengukuran berulang

Jangka Xi x̄ SD x̄ ± SD massa Volume ρ


sorong
(0,02 (panjang) 24,186 0,070 24,186 21,87 V1 ρ1
mm) X1 = mm mm ± 0,070 gram 2.2750, 7,9
24,12mm mm 75 mm3 5
X2 = atau gra
24,22mm 2,750 m/c
X3 = cm3 m3
24,22mm
(Lebar) 8,02 mm 0 mm 8,02 ± 0 21,87 2.801,0 ρ2
X1 = 8,02 mm gram 0 mm3 7,8
mm atau 0
X2 = 8,02 2,801 gra
mm cm3 m/c
X3 = 8,02 m3
mm
(Tinggi) 14,22 mm 0,198 14,22 ± 21,87 2,723,3 ρ3
X1 = mm 0,198 gram 0 mm3 8,0
14,22mm mm atau 3
X2 = 2,723 gra
14,42mm cm3 m/c
X3 = m3
14,02mm

penggaris Xi x̄ SD x̄ ± SD massa Volume Ρ

(1 mm) (panjang) 25 0 mm 25 ± 0 mm 21,87 V1 ρ1


3
X1 = 25 mm gram 3000 mm 7,29
mm atau 3 cm3 gra
X2 = 25 m/c
mm m3
X3 = 25
mm
(Lebar) 8 mm 0 mm 8 ± 0 mm 21,87 V2 ρ2
3
X1 = 8 gram 3000 mm 7,29
mm atau 3 cm3 gra
X2 = 8 m/c
mm m3
X3 = 8
mm
(Tinggi) 15 0 mm 15 ± 0 mm 21,87 V3 ρ3
3
X1 = 15 mm gram 3000 mm 7,29
mm atau 3 cm3 gra
X2 = 15 m/c
mm m3
X3 = 15
mm
2.7 Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan pengukuran dan
ketidakpastian, yang bertujuan untuk melakukan pengukuran dengan alat ukur yang
berbeda tingkat ketelitiannya dan melakukan perhitungan dengan menggunakan
angka penting. Dilakukan percobaan pengukuran tunggal dan pengukuran
berulang, benda yang diukur yaitu sebuah balok alat ukur yang digunakan untuk
melakukan pengukuran yaitu mistar dan jangka sorong. Digunakan mistar dengan
NST 1 mm dan jangka sorong 0,02 mm.

Perbedaan antara pengukuran dengan menggunakan mistar dan pengukuran


dengan menggunakan jangka sorong yaitu mistar memiliki ketelitian 1mm/0,1cm
mengukur dengan ketelitian terkecil 1mm, sedangkan jangka sorong mengukur
dengan ketelitian lebih teliti dapat mengukur diameter luar atau dalam, panjang,
lebar, maupun kedalaman. Jangka sorong memiliki skala utama dan skala nonius.
Presisi dan akurasi jangka sorong lebih tinggi dari pada penggaris karena memiliki
ketelitian yang lebih kecil.

Data yang didapat pada pengukuran tunggal berupa panjang, lebar, tinggi,
nilai skala terkecil, ∆x, data pengukuran, massa, volume, dan massa jenis. Pada
pengukuran tunggal nilai x merupakan angka pasti sebuah pengukuran dan ∆x
merupakan nilai ketidakpastiannya. ∆x merupakan nilai ralat yang diperoleh dari
nilai sebaran sekitar rata-rata atau standar deviasi. Pengukuran tunggal pada
penggaris dan jangka sorong tidak sama hal ini dikarenakan ketelitian jangka
sorong lebih akurat dibandingkan penggaris. Perbedaan ketelitian ini dikarenakan
mistar memiliki ketelitian 1mm/0,1cm sedangkan jangka sorong mengukur dengan
ketelitian lebih teliti, dapat mengukur diameter luar atau dalam, panjang, lebar,
maupun kedalaman.

Data yang didapat pada pengukuran berulang berupa panjang, lebar, tinggi,
xi, x̄ , standar deviasi, x̄ ± standar deviasi, massa, volume, dan massa jenis. Pada
pengukuran berulang presisi dan akurasi pada suatu data dapat dilihat karena
adanya pengukuran yang diulang atau dilakukan lebih dari satu kali. Ketepatan
suatu data bergantung pada seberapa besar presisi dan akurasi alat ukur yang
digunakan dalam pengambilan data. Dengan kata lain ada empat macam tipe alat
ukur berdasarkan hubungannya antara presisi dan akurasi, yaitu : P ↑ A ↑ , P ↑ A ↓,
P ↓ A ↑, P ↓ A ↓, dari data yang didapat dapat disimpulkan bahwa jangka sorong
memiliki presisi tinggi dan akurasi tinggi sedangkan penggaris memiliki presisi
tinggi dan akurasi rendah. Penggaris memiliki presisi tinggi karena dilihat dari data
pengukuran berulang memiliki nilai yang sama, sedangkan akurasi rendah karena
penggaris memiliki nilai skala terkecil lebih besar dari pada jangka sorong.

Pertama dilakukan percobaan pengukuran tunggal dengan menggunakan


penggaris , didapatkan hasil panjang sebesar 25mm, lebar sebesar 8mm, dan tinggi
15mm, dengan nilai skala terkecil sebesar 1mm dan ∆x sebesar 0,01. Hasil data
pengukuran dari panjang yaitu sebesar 25±0,50mm, lebar sebesar 8±0,50mm, dan
tinggi 15±0,50mm dengan massa balok sebesar 21,87 gram , volume balok sebesar
3000mm3 atau 3cm3 dan massa jenis balok sebesar 7,29 gram/cm3. Kedua
pengukuran tunggal dengan menggunakan jangka sorong , didapatkan hasil panjang
sebesar 24,12mm, lebar sebesar 8,02mm, dan tinggi 14,22mm, dengan nilai skala
terkecil sebesar 0,02mm dan ∆x sebesar 0,01mm.Hasil data pengukuran dari
panjang yaitu sebesar 24,12±0,01mm, lebar sebesar 8,02±0,01mm, dan tinggi
14,22±0,01mm dengan massa balok sebesar 21,87 gram , volume balok sebesar
2.750,75 mm3 atau 2.750 cm3 dan massa jenis balok sebesar 7,95 gram/cm3.

Kedua dilakukan percobaan pengukuran berulang dengan menggunakan


jangka sorong dengan nilai skala terkecil 0,02mm, didapatkan hasil panjang pada
pengukuran pertama sebesar 24,12mm, kedua sebesar 24,22mm dan ketiga sebesar
24,22mm dengan x̄ sebesar 24,186mm, standar deviasi sebesar 0,070mm, x̄ ±
standar deviasi sebesar 24,186±0,070mm, dengan massa balok sebesar 21,87 gram,
volume sebesar 2.750,75 mm3 atau 2,750 cm3 dan massa jenis sebesar 7,95
gram/cm3. Kemudian didapatkan hasil lebar pada pengukuran pertama sebesar
8,02mm, kedua sebesar 8,02mm dan ketiga sebesar 8,02mm dengan x̄ sebesar
8,02mm, standar deviasi sebesar 0mm, x̄ ± standar deviasi sebesar 8,02±0mm,
dengan massa balok sebesar 21,87 gram, volume sebesar 2.801,00 mm3 atau 2,801
cm3 dan massa jenis balok sebesar 7,80 gram/cm3. Kemudian didapatkan hasil
tinggi pada pengukuran pertama sebesar 14,22mm, kedua sebesar 14,42mm, dan
ketiga sebesar 14,02mm dengan x̄ sebesar 14,22mm, standar deviasi sebesar
0,198mm, x̄ ± standar deviasi sebesar 14,20±0,20mm dengan massa balok sebesar
21,87 gram, volume sebesar 2.723,30 mm3 atau 2,723 cm3 dan massa jenis sebesar
8,03 gram/cm3.
Percobaan pengukuran berulang dengan menggunakan mistar dengan nilai
skala terkecil 1mm, didapatkan hasil panjang pada pengukuran pertama sebesar
25mm, kedua sebesar 25mm, dan ketiga sebesar 25mm dengan x̄ sebesar 25mm,
standar deviasi sebesar 0mm, x̄ ±standar deviasi sebesar 25±0mm, dengan massa
balok sebesar 21,87 gram, volume sebesar 3000mm3 atau 3 cm3, dan massa jenis
sebesar 7,29 gram/cm3. Kemudian didapatkan hasil lebar pada pengukuran pertama
sebesar 8mm, kedua sebesar 8mm, dan ketiga sebesar 8mm, dengan x̄ sebesar 8mm,
standar deviasi sebesar 0mm , x̄ ± standar deviasi sebesar 8±0mm, dengan massa
balok sebesar 21,87 gram , volume sebesar 3000mm3 atau 3cm3, dan massa jenis
sebesar 7,29 gram/cm3. Kemudian didapatkan hasil tinggi pada pengukuran
pertama sebesar 15mm, kedua sebesar 15mm dan ketiga sebesar 15mm dengan x̄
sebesar 15mm , standar deviasi sebesar 0mm, x̄ ± standar deviasi sebesar 15±0mm,
dengan massa balok sebesar 21,87 gram, volume sebesar 3000mm3 atau 3cm3 dan
massa jenis sebesar 7,29 gram/cm3.

2.8 Kesimpulan

Jadi dapat disimpulkan bahwa hasil pengukuran balok dengan penggaris


yang tingkat ketelitian 1mm pada pengukuran tunggal adalah panjangnya sebesar
25mm, lebar sebesar 8mm, dan tinggi sebesar 15mm, pada pengukuran berulang
didapatkan hasil panjang sebesar 25mm, lebar sebesar 8mm, dan tinggi sebesar
15mm.Pengukuran balok dengan jangka sorong yang tingkat ketelitiannya 0,02mm
pada pengukuran tunggal adalah panjangnya sebesar 24,12mm, lebar sebesar 8,02
mm, dan tinggi sebesar 14,22mm, pada pengukuran berulang didapatkan hasil
panjang sebesar 24,22mm, lebar sebesar 8,02mm, dan tinggi sebesar 14,22mm.
DAFTAR PUSTAKA

Halliday, Resnick, Walker. 2010. Fisika Dasar Jilid 1. Ciracas: Erlangga.


Hermansyah, asisten LFD. 2014. Penuntun Praktikum Fisika Dasar 1. Makassar :
FMIPA UNM.
Ruwanto, Bambang. 2003. Asas-Asas Fisika. Jakarta : Yudistira.

Anda mungkin juga menyukai