Anda di halaman 1dari 14

BAB 1

LAPORAN PENDAHULUAN

1 Konsep Dasar UDT


1.1 Definisi
Undescendcus testis (UDT) atau disebut juga Kriptorkismus adalah gangguan
perkembangan yang ditandai dengan gagalnya penurunan salah satu atau kedua
testis ke dalam skrotum.

1.2 Epidemiologi
Undenscended testis (UDT) merupakan kelainan genitalia kongenital
yang paling sering ditemukan pada anak laki-laki. Angka kejadian pada bayi laki-
laki yang lahir cukup bulan sebesar 3 % dan meningkat menjadi 30% pada bayi
yang lahir prematur. Sepertiga kasus mengalami UDT bilateral sedangkan dua
pertiganya adalah unilateral.
Faktor predisposisi terjadinya UDT adalah prematuritas, berat bayi baru
lahir yang rendah, kecil pada masa kehamilan, kehamilan kembar dan pemberian
estrogen pada trimester pertama. Testis dapat mengalami desensus secara spontan
dengan bertambahnya usia, sehingga prevalensinya menjadi sekitar 0,7-0,9 %
pada saat umur 1 tahun. Setelah usia 1 tahun, testis yang letaknya abnormal jarang
dapat mengalami decensus secara spontan.

1.3 Embriologi dan Penurunan testis.


Menjelang akhir bulan ke-2, testis dan mesonefros, dilekatkan pada dinding
belakang perut melalui mesenterium urogenital. Dengan terjadinya degenerasi
mesonefros, pita melekat tersebut berguna sebagai mesenterium untuk gonad. Ke
arah kaudal, mesenterium ini menjadi ligamentum dan dikenal sebagai
ligamentum genitalis kaudal. Yang juga berjalan dari kutub kaudal testis adalah
suatu pemadatan mesenkim yang kaya akan matriks ekstraselluler dan dikenal
sebagai gubernaculum. Sebelum testis turun, korda mesenkim ini berujung di
daerah inguinal di antara muskulus oblikus abdominalis internus dan eksternus.
Kemudian karena testis mulai turun menuju annulus unguinalis, terbentuklah
bagian ekstraabdomen gubernaculum dan tumbuh dari daerah inguinal menuju ke
tonjolan skrotum. Pada saat testis melewati saluran inguinal, bagian
ekstraabdomen ini bersentuhan dengan lantai skrotum (gubernaculum terbentuk
juga pada wanita, tetapi pada keadaan normal korda ini tetap rudimenter).
Faktor-faktor yang mengendalikan turunnya testis tidak semuanya jelas.
Tetapi, tampaknya pertumbuhan keluar bagian ekstraabdomen gubernaculum
tersebut menimbulkan migrasi intraabdomen, bahwa bertambah besarnya tekanan
intraabdomen yang disebabkan oleh pertumbuhan organ mengakibatkan lewatnya
testis melalui kanalis ingunalis, dan bahwa regresi bagian ekstraabdomen
gubernaculum menyempurnakan pergerakan testis masuk ke dalam skrotum.
Proses ini pasti dipengaruhi oleh hormon dan mungkin melibatkan androgen dan
SPM. Sewaktu turun, suplai darah ke testis dari aorta tetap dipertahankan dan
pembuluh-pembuluh darah testis memanjang dari posisi lumbal yang aslinya ke
testis yang berada di skrotum.
Terlepas dari desensus testis, peritoneum rongga selom membentuk suatu
evaginasi pada sisi kanan dan kiri garis tengah ke dalam dinding ventral perut.
Penonjolan ini mengikuti perjalanan gubernaculum testis menuju ke tonjolan
skrotum dan dikenal sebagai prosessus vaginalis. Oleh karena itu, prosesus
vaginalis, dengan disertai lapisan otot dan fasia dinding badan, menonjol keluar
masuk ke tonjolan skrotum, sehingga membentuk kanalis inguinalis.
Testis turun melalui annulus inguinalis dan melintasi tepi atas os pubikum ke
dalam tonjolan skrotum pada saat lahir. Testis kemudian dibungkus oleh suatu
lipatan refeleksi prosesus vaginalis. Lapisan peritoneum yang membungkus testis
dikenal sebagai tunika vaginalis testis lamina viseralis; bagian lain kantong
peritoneum membentuk tunika vaginalis testis lamina parietalis. Saluran sempit
yang menghubungkan lumen prosesus vaginalis dengan rongga peritoneum,
menutup pada saat lahir atau segera sesudahnya.
Di samping dibungkus oleh lapisan-lapisan peritoneum yang berasal dari
prosesus vaginalis, testis juga terbungkus di dalam lapisan-lapisan yang berasal
dari dinding abdomen anterior yang dilewatinya. Dengan demikian, fasia
transversalis membentuk fasia spermatika interna, muskulus obliquus abdominalis
internus membentuk fasia kremasterika dan muskulus kremaster, dan muskulus
obliquus abdominalis eksternus membentuk fasia spermatika eksterna. Muskulus
abdominis transversus tidak ikut membentuk lapisan, karena otot ini melengkung
di atas daerah ini dan tidak menutup jalan migrasi.

A B
Gambar 1. A: Skema penurunan testis menurut Hutson. Antara minggu ke- 8 – 15
gubernaculum(G) berkembang pada laki-laki, mendekatkan testis (T) ke-inguinal.
Ligamentum suspensoriumcranialis (CSL) mengalami regresi. Migrasi
gubernaculum ke-skrotum terjadi pada minggu ke- 28-35.
Gambar 2. B:Peranan gubernaculum dan CSL pada diferensiasi seksual rodent.
Pada jantan CSLmengalami regresi dan gubernaculum mengalami perkembangan;
sebaliknya pada betina CSLmenetap, dan gubernaculum menipis dan memanjang.

Hubungan antara rongga perut dan prosesus vaginalis dalam kantong


skrotum biasanya menutup dalam tahun pertama setelah lahir. Apabila jalan ini
tetap terbuka, gelung usus dapat turun ke dalam skrotum, sehingga menyebabkan
suatu hernia inguinalis kongenital. Kadang-kadang, penutupan jalan ini tidak
teratur, dengan meninggalkan kista kecil di sepanjang perjalanannya. Kelak kista
ini dapat mengeluarkan cairan yang berlebihan, mengakibatkan pertumbuhan
hidrokel.
Pada sekitar saat kelahiran, tetapi terdapat variasi yang sangat besar antar
individu, testis sudah sampai ke dalam skrotum. Pada kasus-kasus tertentu satu
atau kedua testis bisa tetap berada di dalam rongga panggul ataupun dimana saja
di dalam kanalis inguinalis hingga masa pubertas dan kemudian turun atau tetap
tinggal dalam kedudukannya yang abnormal. Keadaan ini dikenal sebagai
kriptorkismus dan kemungkinan disebabkan oleh produksi hormone androgen
yang abnormal. Testis yang tidak turun, tidak dapat menghasilkan spermatozoa
matang, sangat mungkin karena suhu tinggi di dalam rongga perut.

1.4 Etiologi
Mekanisme terjadinya Undescended Testis (UDT) berhubungan dengan
banyak faktor. Segala bentuk gangguan pada proses penurunan testis akan
berpotensi menimbulkan UDT.

Tabel 1: Kemungkinan Penyebab UDT


A Defisiensi Androgen/blockade
Defisiensi Pituitary/placental gonadotropin
Disgenesis GonadAndrogen sythesis defect (jarang)
Androgen receptor defect (jarang)
B Anomali mekanis
Prune belly syndrome (bladder blocks inguinal canal)
Posterior urethral valves(bladder blocks inguinal canal)
Abdominal wall defects (low abdominal pressure/gubernacular rupture)
Chromosomal/malformation syndrome (Connective tissue defect
block migration)
C Anomali neurologis
Myelomeningocele (GNF dysplasia)GFN/CGRP anomalies
D Anomali yang didapat
Cerebral palsy (cremaster spasticity)
Ascending/retractile testes (Fibrous remnant of processus vaginalis)

UDT dapat merupakan kelainan tunggal yang berdiri sendiri


(isolated anomaly), atau kelainan yang terjadi bersamaan dengan kelainan
kromosom, endokrin, intersex, dan kelainan bawaan lainnya. Bila disertai dengan
kelainan bawaan lain seperti hipospadia, kemungkinan lebih tinggi disertai dengan
kelainan kromosom (sekitar 12–25 %). Faktor keturunan berperan pada kasus
UDT yang isolated, sekitar 4,0 % anak- anak UDT mempunyai ayah yang UDT,
dan 6,2-9,8% mempunyai saudara laki-laki UDT, atau pada laki-laki yang
mempunyai anggota keluarga UDT risiko 3,6 kali terjadi UDT dibanding dengan
populasi umum.

1.5 Klasifikasi UDT


Terdapat beberapa tipe UDT
i. UDT sesungguhnya (true undescended): testis mengalami penurunan
parsial melalui jalur yang normal, tetapi terhenti. Dibedakan menjadi
teraba (palpable) dan tidak teraba (impalpable).
ii. Testis ektopik: testis mengalami penurunan di luar jalur penurunan yang
normal.
iii. Testis retractile: testis dapat diraba/dibawa ke dasar skrotum tetapi akibat
refleks kremaster yang berlebihan dapat kembali segera ke kanalis
inguinalis, bukan termasuk UDT yang sebenarnya.

Pembagian lain membedakan true UDT menurut lokasi terhentinya testis,


menjadi: abdominal, inguinal, dan suprascrotal (gambar 2). Gliding testis atau
sliding testis adalah istilah yang dipakai pada keadaan UDT dimana testis dapat
dimanipulasi hingga bagian atas skrotum, tetapi segera kembali begitu tarikan
dilepaskan.

Gambar 2: Kemungkinan lokasi testis pada True UDT dan testis ektopik
1.6 Diagnosis
 Anamnesis
Pada anamnesis yang ditanyakan adalah tentang prematuritas penderita
(30% bayi prematur mengalami UDT), penggunaan obat-obatan saat ibu
hamil (estrogen), riwayat operasi inguinal. Harus dipastikan juga apakah
sebelumnya testis pernah teraba di skrotum pada saat lahir atau tahun
pertama kehidupan (testis retractile akibat refleks cremaster yang
berlebihan sering terjadi pada umur 4-6 tahun). Riwayat keluarga tentang
UDT, infertilitas, kelainan bawaan genitalia, dan kematian neonatal.5,11
 Pemeriksaan fisik:
Pemeriksaan sebaiknya dilakukan di ruangan yang tenang dan hangat.
Pemeriksaan secara umum harus dilakukan dengan mencari adanya tanda-
tanda sindrom tertentu, dismorfik, hipospadia, atau genitalia ambigu.
Pemeriksaan testis sebaiknya dilakukan pada posisi terlentang dengan
”frog leg position” dan jongkok. Dengan 2 tangan yang hangat dan akan
lebih baik bila menggunakan jelly atau sabun, dimulai dari SIAS
menyusuri kanalis inguinalis ke-arah medial dan skrotum (gambar 3). Bila
teraba testis harus dicoba untuk diarahkan ke-skrotum, dengan kombinasi
”menyapu” dan ”menarik” terkadang testis dapat didorong ke dalam
skrotum. Dengan mempertahankan posisi testis didalam skrotum selama 1
menit, otot-otot cremaster diharapkan akan mengalami ”fatigue”; bila
testis dapat bertahan di dalam skrotum, menunjukkan testis yang retractile
sedangkan pada UDT akan segera kembali begitu testis dilepas. Tentukan
lokasi, ukuran dan tekstur testis.
Gambar 3: (a) posisi pasien harus dalam ”frog-leg position” (b) bagian
tangan yang di atas meraba pada annulus inguinalis internus dan
membawa testis yang teraba turun ke dalam scrotum dan mencegah dari
termasuknya ke dalam abdomen. (c) tangan yg di bagian bawah digunakan
untuk mendorong ke atas untuk menstabilisasi testis, lebih mudah untuk
diraba

Gambar 4. Teknik pemeriksaan testis. A: Menyusuri kanalis inguinalis


dimulai dari SIAS. B&C: Bila teraba testis, ‘menggiring ‘ testis dengan
ujung-ujung jari. D: Memanipulasi ke-dalam skrotum.

Testis yang atropi atau vanishing testis dapat dijumpai pada jalur
penurunan yang normal. Kemungkinan etiologinya adalah iskemia masa
neonatal akibat torsi. Testis kontralateralnya biasanya mengalami
hipertrofi. Lokasi UDT tersering terdapat pada kanalis inguinalis (72%),
diikuti supraskrotal (20%), dan intra-abdomen (8%). Sehingga
pemeriksaan fisik yang baik akan dapat menentukan lokasi UDT tersebut.
Adanya UDT bilateral yang tidak teraba gonad/testis apalagi disertai
hipospadia dan virilisasi, harus dipikirkan kemungkinan intersex, individu
dengan kromosom XX yang mengalami female pseudo-hermaphroditism
yang berat; atau Anorchia kongenital sebagai akibat torsi testis in utero.
Sedangkan simple UDT merupakan hal yang seringkali dijumpai terutama
pada bayi yang prematur, akan tetapi masih dapat terjadi penurunan testis
dalam tahun pertama kehidupannya. Berikut adalah berapa petanda klinis
pada UDT bilateral tidak teraba testis yang dapat dipakai pegangan untuk
menentukan kemungkinan penyebab pada pemeriksaaan fisik (tabel 2) :

Tabel 2: Interpretasi beberapa petanda klinis yang menyertai UDT bilateral


tidak teraba testis
Tanda Klinis Penyerta Kemungkinan Penyebab
Tanpa kelainan lain Simple UDT, anorchia, female
pseudo-hermaphroditsm
Mikro penis dengan atau tanpa Gangguan sintesis androgen partial
hipospadia atau Androgen insensitivity
syndrome
Anosmia dan mikro penis Sindrom Kallmann
Gangguan intelektual atau dismorfik Sindrom tertentu

Mikro penis dan defek midline Defisiensi gonadotropin


Mikro penis dan hipoglikemi Multiple pituitary hormone
neonatal deficiency

Perawakan tinggi (testis mungkin Sindrom Klinefelter


teraba di inguinal, kecil dan padat)

 Pemeriksaan Laboratorium
Pada anak dengan UDT unilateral tidak memerlukan pemeriksaan
laboratorium lebih lanjut. Sedangkan pada UDT bilateral tidak teraba testis
dengan disertai hipospadia dan virilisasi, diperlukan pemeriksaan analisis
kromosom dan hormonal (yang terpenting adalah 17-hydroxyprogesterone)
untuk menyingkirkan kemungkinan intersex.
Setelah menyingkirkan kemungkinan intersex, pada penderita UDT
bilateral dengan usia < 3 bulan dan tidak teraba testis, pemeriksaan LH,
FSH, dan testosteron akan dapat membantu menentukan apakah terdapat
testis atau tidak. Bila umur telah mencapai di atas 3 bulan pemeriksaan
hormonal tersebut harus dilakukan dengan melakukan stimulasi test
menggunakan hCG (human chorionic gonadotropin hormone). Ketiadaan
peningkatan kadar testosteron disertai peningkatan LH/FSH setelah
dilakukan stimulasi mengindikasikan anorchia. Prinsip stimulasi test
dengan hCG atau hCG test adalah mengukur kadar hormon testosteron
pada keadaan basal dan 24-48 jam setelah stimulasi. Respon testosteron
normal pada hCG test sangat tergantung umur penderita. Pada bayi, respon
normal setelah hCG test bervariasi antara 2-10x bahkan 20x. Pada masa
kanak-kanak, peningkatannya sekitar 5-10x. Sedangkan pada masa
pubertas, dengan meningkatnya kadar testosteron basal, maka peningkatan
setelah stimulasi hCG hanya sekitar 2-3x.
Tabel 3: Beberapa macam hCG test yang bisa digunakan.
Test Age hCG regimen Timing of androgen
samples
1 Infancy and 1000 IU im daily x 3 Days 0 and 3
childhood
2 Infancy and 1000 IU im twice weekly Day 0 and 24 h after the last
childhood x6 injection
(prolonged test)
3 Adolescence 2000 IU im on days 0 Days 0, 3, and 5
and 3

 Pemeriksaan Penunjang
USG : USG hanya dapat membantu menentukan lokasi testis
terutama di daerah inguinal, di mana hal ini akan mudah sekali
dilakukan perabaan dengan tangan. Pada penelitian terhadap 66 kasus
rujukan dengan UDT tidak teraba testis, USG hanya dapat mendeteksi
37,5% (12 dari 32) testis inguinal; dan tidak dapat mendeteksi testis
intra-abdomen, hal ini tentunya sangat tergantung dari pengalaman
dan kwalitas alat yang digunakan.
CT scan dan MRI : keduanya mempunyai ketepatan yang lebih
tinggi dibandingkan USG terutama diperuntukkan testis intra-
abdomen (tak teraba testis). MRI mempunyai sensitifitas yang lebih
baik untuk digunakan pada anak-anak yang lebih besar (belasan
tahun). MRI juga dapat mendeteksi kecurigaan keganasan testis. Baik
USG, CT scan maupun MRI tidak dapat dipakai untuk mendeteksi
vanishing testis ataupun anorchia.
Laparoskopi : Metode laparoskopi pertama kali digunakan untuk
mendeteksi UDT tidak teraba testis pada tahun 1976. Metode ini
merupakan metode invasif yang cukup aman oleh ahli yang
berpengalaman. Sebaiknya dilakukan pada anak yang lebih besar dan
setelah pemeriksaan lain tidak dapat mendeteksi adanya testis di
inguinal. Beberapa hal yang dapat dievaluasi selama laparoskopi
adalah: kondisi cincin inguinalis interna, processus vaginalis (patent
atau non-patent), testis dan vaskularisasinya serta struktur wolfian-
nya. Tiga hal yang sering dijumpai saat laparoskopi adalah: blind-
ending pembuluh darah testis yang mengindikasikan anorchia (44%),
testis intra-abdomen (36%), dan struktur cord (vasa dan vas deferens)
yang keluar ke-dalam cincin inguinalis interna.

1.7 Penatalaksanaan
Tujuan terapi UDT yang utama dan dianut hingga saat ini adalah memperkecil
risiko terjadinya infertilitas dan keganasan dengan melakukan reposisi testis
kedalam skrotum baik dengan menggunakan terapi hormonal ataupun dengan cara
pembedahan (orchiopexy)
1. Terapi Hormonal
Terapi hormonal pada UDT telah dimulai semenjak tahun 1940-an, terutama
banyak digunakan di Eropa. Hal ini didasarkan fakta bahwa defisiensi aksis
hipotalamus-pituitary-gonad merupakan penyebab terbanyak UDT. Hormon yang
biasa digunakan adalah hCG, gonadotropin-releasing hormone (GnRH) atau LH-
releasing hormone (LHRH). Hormon hCG mempunyai kerja mirip LH yang
dihasilkan pituitary, yang akan merangsang sel Leydig menghasilkan androgen.
Cara kerja peningkatan androgen pada penurunan testis belum diketahui pasti, tapi
diduga mempunyai efek pada cord testis atau otot cremaster.
Berbagai regimen pemberian hCG telah direkomendasikan. Rekomendasi
yang sering digunakan adalah dari International Health Foundation dan WHO
yang merekomendasikan pemberian 250 IU untuk bayi < 12 bulan, 500 IU untuk
umur 1-6 tahun, dan 1.000 IU untuk umur > 6 tahun, masing masing kelompok
umur diberikan 2x seminggu selama 5 minggu. Faktor yang mempengaruhi
keberhasilan terapi adalah: makin distal lokasi testis makin tinggi
keberhasilannya, makin tua usia anak makin respon terhadap terapi hormonal,
UDT bilateral lebih responsif terhadap terapi hormonal daripada unilateral.

2. Terapi Pembedahan
Apabila hormonal telah gagal, terapi standar pembedahan untuk kasus UDT
adalah orchiopexy. Keputusan untuk melakukan orchiopexy harus
mempertimbangkan berbagai faktor, antara lain teknis, risiko anastesi, psikologis
anak, dan risiko bila operasi tersebut ditunda. Mengingat 75 % kasus UDT akan
mengalami penurunan testis spontan sampai umur 1 tahun, maka pembedahan
biasanya dilakukan setelah umur 1 tahun. Pertimbangan lain adalah setelah 1
tahun akan terjadi perubahan morfologis degeneratif testis yang dapat
meningkatkan risiko infertilitas. Keberhasilan orchyopexy berkisar 67-100 %
bergantung pada umur penderita, ukuran testis, contralateral testis, dan
keterampilan ahli bedah.
Prinsip dasar orchiopexy adalah :
1. Mobilisasi yang cukup dari testis
2. Ligasi kantong hernia
3. Fiksasi yang kuat testis pada skrotum

1.8 Komplikasi
1. Resiko keganasan
Terdapat hubungan antara UDT dengan keganasan testis. Insiden keganasan
testis sebesar 1-6 pada setiap 500 laki-laki UDT di Amerika. Risiko
terjadinya keganasan testis yang tidak turun pada anak dengan UDT
dilaporkan berkisar 10-20 kali dibandingkan pada anak dengan testis
normal. Suatu meta- analisis tentang keganasan testis dari 21 studi kontrol,
menunjukkan terdapat peningkatan rasio 3,5- 17,1 pada laki-laki dengan
riwayat UDT. Makin tinggi lokasi UDT makin tinggi risiko keganasannya,
testis abdominal mempunyai risiko menjadi ganas 5x lebih besar dibanding
testis inguinal. Orchiopexi sendiri tidak akan mengurangi risiko terjadinya
keganasan, tetapi akan lebih mudah melakukan deteksi dini keganasan pada
penderita yang telah dilakukan orchiopexy.
2. Infertilitas
Laki-laki yang memiliki riwayat UDT berisiko untuk mengalami
infertilitas, pada umumnya memiliki kualitas semen yang buruk dan jumlah
sperma yang rendah dibandingkan dengan laki-laki normal yang tidak
memiliki riwayat UDT. Penderita UDT bilateral mengalami penurunan
fertilitas yang lebih berat dibandingkan penderita UDT unilateral, dan
apalagi dibandingkan dengan populasi normal. Penderita UDT bilateral
mempunyai risiko infertilitas 6x lebih besar dibandingkan populasi normal
(38% infertil pada UDT bilateral dibandingkan 6% infertil pada populasi
normal), sedangkan pada UDT unilateral berisiko hanya 2x lebih besar.
Perubahan gambaran histologis yang bermakna mulai tampak setelah umur
1 tahun, semakin memburuk dengan bertambahnya umur. Fertilitas masih
dapat diperbaiki dengan pengobatan
3. Komplikasi lain
Risiko trauma testis terhadap tulang pubis, risiko torsio testis dan faktor
psikologis terhadap kantong skrotum yang kosong.

1.9 Prognosis
Tingkat keberhasilan terapi tergantung jenis tindakan yang dilakukan.
pengobatan hormonal menghasilkan tingkat keberhasilan keseluruhan kurang dari
20% untuk testis yang tidak turun. Keputusan untuk menggunakan terapi
hormonal tergantung pada lokasi pretreatment testis. Berdasarkan pendekatan
bedah, tingkat keberhasilan adalah sebagai berikut: 89% untuk orchiopexy
inguinal, 84% untuk mikrovaskuler orchiopexy, 81% untuk orchiopexy
transabdominal, 77% untuk dipentaskan Fowler-Stephens orchiopexy, dan 67%
untuk standar Fowler-Stephens orchiopexy.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dorland, Kamus Kedokteran,W.B Saunders Company, Philadelphia,


Pennsylvanis, edisi 29, 2012,
2. Muhammad Faizi, Netty EP, Penatalaksanaan UDT pada anak, journal, 2013
3. Sjamsuhidayat S, Jong WD. Buku ajar ilmu bedah, edisi 2, EGC: Jakarta; 2010.
H p747-8
4. Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattoz KL. Sabiston textbook of
surgery. 18th ed. USA: Saunders-Elsevier; 2007. P56-61
5. Sadler, TW., 2011. Embriologi Kedokteran Langman, Ed ke-7, EGC, Jakarta; p
304-8
6. Potts JM, Undescended testicles, Essential urology, a guide to clinical practice,
2nd ed, Humana press, 2012, p5-8
7. Elder JS. Disorders and anomalies of the scrotal contents, Nelson Textbook of
Pediatrics. 19th ed. Philadelphia, Saunders Elsevier; 2011:chap 539.

Anda mungkin juga menyukai