Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masa nifas (postpartum) merupakan masa pemulihan dari sembilan bulan kehamilan
dan proses persalinan. Dengan pengertian lainnya, masa nifas yang biasa disebut juga masa
puerpurium ini dimulai setelah kelahiran plasenta dan berakhir ketika alat-alat kandungan
kembali seperti keadaan sebelum hamil.Setelah persalinan wanita akan mengalami masa
puerperium, untuk mengembalikan alat genetalia interna kedalam keadaan normal, dengan
tenggang waktu sekitar 42 hari atau enam minggu atau satu bulan tujuh hari.
Perawatan masa nifas mencakup berbagai aspek mulai dari pengaturan
dalam mobilisasi, anjuran untuk kebersihan diri , pengaturan diet, pengaturan miksi dan
defekasi, perawatan payudara (mammae) yang ditujukan terutama untuk kelancaran
pemberian air susu ibu guna pemenuhan nutrisi bayi, dan lain – lain.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Setelah praktek klinik kebidanan diharapkan mahasiswa mampu melakukan perawatan
dan asuhan kebidanan secara komprehensif kepada ibu pada masa nifas dengan
pendekatan manajemen kebidanan.
1.2.2 Tujuan Khusus
a. Dapat melakukan pengkajian kepada kasus nifas patologis
b. Dapat merumuskan diagnosa dan masalah aktual pada ibu nifas patologis
c. Dapat menyusun rencana asuhan secara menyeluruh pada ibu nifas patologis
d. Melaksanakan tindakan secara menyeluruh sesuai dengan diagnosa dan masalah
pada ibu nifas patologis
e. Dapat melakukan evaluasi dari diagnosa yang telah ditentukan sebelumnya.
1.3 Metode Pengumpulan Data
Manajemen kebidanan komprehensif ini menggunakan metode pengumpulan data sebagai
berikut :
a. Wawancara
Yaitu metode pengumpulan data wawancara langsung responden yang diteliti, metode ini
diberikan hasil secara langsung dalam metode ini dapat digunakan instrumen berupa
pedoman wawancara kemudian daftar periksa atau cheklist.
b. Observasi
c. Yaitu cara pengumpulan data dengan cara melakukan pengamatan secara langsung
kepada responden penelitian untuk mencari perubahan atau hal-hal yang telah di teliti.
Studi dokumentasi
Yaitu merupakan cara pengumpulan data dengan melihat data dan riwayat ibu direkam
medic.
d. Pemeriksaan Fisik
Yaitu pengumpulan data dengan cara melakukan pemeriksaan fisik pada klien secara
langsung meliputi inspeksi, palpasi, auskultasi dan perkusi untuk mendapatkan data yang
objektif
e. Studi Kepustakaan
Yaitu pengumpulan data dengan jalan mengambil literatur dengan buku-buku, makalah
dan dari internet.
1.4 Sistematika Penulisan
Halaman Judul
Lembar Pengesahan
Format Laporan Pendahuluan
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
1.2 Tujuan
1.2.1 Umum
1.2.2 Khusus
1.3 Metode Pengumpulan Data
1.4 Sistematika Penulisan
BAB II TINJAUAN TEORI
2.1 Konsep Teori
BAB II TINJAUAN TEORI
2.1 Konsep Teori
2.1.1 Pengertian Nifas
2.1.2 Tinjauan Khusus Tentang Sectio Cesarea
a. Pengertian Sectio Caesarea
b. Kalsifikasi operasi Sectio Caesarea
c. Indikasi Sectio Caesarea
2.1.3 Pre Eklampsia
2.1.4 Nifas dengan Preeklampsia Berat
2.2 Penatalaksanaan Konsep Manajemen Kebidanan Ibu Pada Masa Nifas
BAB III TINJAUAN KASUS
BAB IV PEMBAHASAN
Berisi analisis tentang kesenjangan antara teori dan praktik
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Teori


2.1.1 Nifas Normal
a. Pengertian Masa Nifas
Masa nifas dimulai setelah kelahiran plasenta dan berakhir ketika alat-
alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil. Masa nifas
berlangsung selama kira-kira 6 minggu. Asuhan masa nifas diperlukan dalam
periode ini karena merupakan masa kritis ibu maupun bayinya. Diperkirakan
bahwa 60% kematian ibu akibat kehamilan terjadi setelah persalinan, dan
50% kematian masa nifas terjadi dalam 24 jam pertama
(Saifuddin, 2010).
Wanita pasca persalinan harus cukup istirahat dengan tidur telentang
selama 8 jam pascapersalinan. Setelah itu, ibu boleh miring ke kanan dan ke
kiri untuk mencegah terjadinya trombosis dan tromboemboli, hari kedua ibu
diperbolehkan duduk. Pada hari ketiga ibu dianjurkan berjalan-jalan dan pada
hari keempat atau hari kelima diperbolehkan pulang. Makanan yang
dikonsumsi sebaiknya mengandung protein, sayur-sayuran, dan buah-buaan
(Mochtar, 2013).
b. Tahapan Masa Nifas
1. Peurperium dini
Masa kepulihan yakni saat ibu diperbolehkan berdiri dan jalan-jalan
2. Peurperium intermedial
Masa kepulihan menyeluruh dari organ-organ genital, kira-kira 6-8
minggu
3. Remote peurperium
Waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna.
(Sulistyawati,Ari. 2009 : 5)

c. Perubahan Fisiologis Masa Nifas


Menurut Fraser (2009), Terlepasnya plasenta dari dinding rahim
menimbulkan perubahan fisiologis pada jaringan otot dan jaringan ikat,
karena disebabkan menurunnya kadar estrogen dan progesteron dalam tubuh,
perubahan-perubahan fisiologis itu meliputi :
1) Perubahan Sistem Reproduksi
Segera setelah pengeluaran plasenta, fundus uteri yang berkontraksi
tersebut terletak sedikit di bawah umbilikus. Dua hari setelah pelahiran,
uterus mulai mengalami pengerutan hingga kembali ke ukuran sebelum
hamil yaitu 100g atau kurang (Cunningham, 2014). Perubahan uterus
dalam keseluruhannya disebut involusi uteri (Rukiyah, 2010). Selain
uterus, serviks juga mengalami involusi bersamaan dengan uterus, hingga
6 minggu setelah persalinan serviks menutup
(Trisnawati, 2012).
Pada masa nifas dari jalan lahir ibu mengeluarkan cairan
mengandung darah dan sisa jaringan desidua yang nekrotik dari dalam
uterus (Lochia). Lochia berbau amis atau anyir dengan volume yang
berbeda-beda pada setiap wanita . Pengeluaran lochia berlangsung pada
hari pertama setelah persalinan hingga 6 minggu setelah persalinan dan
mengalami perubahan warna serta jumlahnya karena proses involusi
(Mansyur, 2014).
Berdasarkan waktu dan warnanya pengeluaran lochia dibagi menjadi
4 jenis:
a) Lochia rubra, lochia ini muncul pada hari pertama sampai hari ketiga
masa postpartum, warnanya merah karena berisi darah segar dari
jaringan sisa-sisa plasenta.
b) Lochia sanguinolenta, warnanya merah kuning berisi darah dan lendir.
Ini terjadi pada hari ketiga-tujuh pasca persalinan
c) Lochia serosa, berwarna kuning dan cairan ini tidak berdarah lagi pada
hari ke 7-14 pasca persalinan.
d) lochia alba, berwarna putih dan berlangsung 2 sampai 6 minggu
postpartum
e) Lochia purulenta : ini terjadi karena infeksi, keluar cairan seperti nanah
berbau busuk.
f) Lochiotosis : lochia tidak lancar keluarnya
(Marmi, 2012).
2) Perubahan Sistem Pencernaan
Biasanya ibu mengalami obstipasi setelah persalinan. Hal ini terjadi
karena pada waktu melahirkan sistem pencernaan mendapat tekanan
menyebabkan kolon menjadi kosong, kurang makan, dan laserasi jalan
lahir
(Trisnawati, 2012).
3) Perubahan Sistem Perkemihan
Diuresis postpartum normal terjadi dalam 24 jam setelah melahirkan
sebagai respon terhadap penurunan estrogen. Kemungkinan terdapat
spasme sfingter dan edema leher buli-buli sesudah bagian ini mengalami
tekanan kepala janin selama persalinan. Protein dapat muncul di dalam
urine akibat perubahan otolitik di dalam uterus
(Rukiyah, 2010).
4) Perubahan Sistem Muskuloskeletal
Ligamen, fasia, dan diafragma pelvis yang meregang pada waktu
persalinan, setelah bayi lahir berangsur-angsur menjadi ciut dan pulih
kembali
(Mansyur, 2014).
5) Perubahan Sistem Hematologi
Selama kelahiran dan masa postpartum terjadi kehilangan darah
sekitar 200-500 ml. Penurunan volume dan peningkatan sel darah pada
kehamilan diasosiasikan dengan peningkatan hematokrit dan hemoglobin
pada hari ke 3-7 postpartum dan akan kembali normal dalam 4-5 minggu
postpartum
(Trisnawati, 2012).
6) Perubahan Sistem Endokrin
Human Choirionic Gonadotropin (HCG) menurun dengan cepat dan
menetap sampai 10 % dalam 3 jam hingga hari ke-7 postpartum
(Mansyur, 2014)
7) Perubahan Sistem Kardiovaskuler
Setelah persalinan volume darah ibu relatif akan bertambah.
Keadaan ini akan menimbulkan beban pada jantung, dapat menimbulkan
decompensation cordia pada penderita vitum cordia
(Rukiyah, 2010).

8) Perubahan Tanda-tanda Vital


Pada ibu masa nifas terjadi peerubahan tanda-tanda vital, meliputi:
a) suhu tubuh
24 jam setelah melahirkan subu badan naik sedikit (37,50C-380C)
sebagai dampak dari kerja keras waktu melahirkan, kehilangan cairan
yang berlebihan, dan kelelahan
(Trisnawati,2012)
b) nadi
Sehabis melahirkan biasanya denyut nadi akan lebih cepat dari
denyut nadi normal orang dewasa (60-80x/menit).

c) tekanan darah
Biasanya tidak berubah, kemungkinan bila tekanan darah tinggi atau
rendah karena terjadi kelainan seperti perdarahan dan preeklamsia
(Mansyur, 2014).
d) pernafasan
Frekuensi pernafasan normal orang dewasa adalah 16-24 kali per
menit. Pada ibu post partum umumnya pernafasan lambat atau normal.
Bila pernafasan pada masa post partum menjadi lebih cepat,
kemungkinan ada tanda-tanda syok
(Rukiyah, 2010)
d. Perubahan Psikologis Masa Nifas
1) Fase Talking In
Fase taking ini merupakan periode ketergantungan, periode ini
berlangsung dari hari pertama sampai hari ke dua.Pada fase ini, ibu
sedang fokus terutama pada dirinya sendiri. Ibu akan berulang kali
menceritakan proses persalinan yang dialaminya dari awal sampai akhir.
Ketidak nyamanan fisik yang dialami seorang ibu pada fase ini seperti
rasa mules, nyeri pada jahitan, kurang tidur dan kelelahan merupakan
sesuatu yang tidak dapat dihindari.Hal ini membuat ibu cenderung
menjadi pasif terhadap lingkungannya.
2) Fase Talking Hold
Yaitu periode yang berlangsung antara 3-10 hari.Pada fase ini ibu
timbul rasa khawatir akan ketidakmampuan dan rasa tanggung jawabnya
dalam merawat bayi. Ibu mempunyai perasaan sangat sensitif sehingga
mudah tersinggung dan mudah marah.Kita perlu berhati-hati menjaga
komunikasi dengan ibu. Dukungan moril sangat diperlukan untuk
menumbuhkan kepercayaan diri ibu. Bagi petugas kesehatan pada fase
ini merupakan kesempatan yang baik untuk memberikan berbagai
penyuluhan dan pendidikan kesehatan yang diperlukan ibu nifas.Tugas
kita adalah mengajarkan cara merawat bayi,cara menyusui yang
benar,cara merawat luka jahitan,senam nifas,memberikan pendidikan
kesehatan yang dibutuhkan ibu seperti gizi,istirahat,kebersihan diri dll.
3) Fase Letting Go
Yaitu periode menerima tamnggung jawab akan peran barunya.Fase
ini berlangsung 10 hari setelah melahirkan.Ibu sudah mulai
menyesuaikan diri dengan ketergantungan bayinya.Ibu memahami
bahwa bayi butuh disusui sehingga siap terjaga untuk memenuhi
kebutuhan bayinya.Keinginan untuk merawat diri dan bayinya sudah
meningkat pada fase ini.Ibu akan lebih percaya diri dalam menjalani
peran barunya.Pendidikan kesehatan yang kita berikan pada fase
sebelumnya akan sangat berguna bagi ibu.Ibu lebih mandiri dalam
memenuhu kebutuhan diri dan bayinya.Dukungan suami dan keluarga
masih sangat dibutuhkan ibu.Suami dan keluarga dapat membantu
merawat kebutuhan bayi, mengerjakan urusan rumah tangga sehingga
ibu tidak terlalu terbebani. Ibu memerlukan istirahat yang cukup
sehingga mendapatkan kondisi fisik yang bagus untuk dapat merawat
bayinya.
e. Kunjungan Masa Nifas
Kunjungan masa nifas paling sedikit 4 kali, kunjungan masa nifas
dilakukan untuk menilai status kesehatan ibu dan bayi baru lahir (Saifuddin,
2010). Berikut waktu dan kunjungan masa nifas.
1. 6-8 jam setelah persalinan
- Mencegah perdarahan masa nifas karena atonia uteri.
- Mencegah perdarahan masa nifas karena atonia uteri.
- b. Mendeteksi dan merawat penyebab lain perdarahan, rujuk bila
perdarahan berlanjut.
- c. Memberikan konseling pada ibu atau salah satu anggota
keluarga, bagaimana mencegah perdarahan masa nifaskarena
atonia uteri.
- d.Pemberian ASI awal.
- e. Melakukan hubungan kasih sayang antara ibu dan bayi baru
lahir.
- f. Menjaga bayi tetap sehat dengan mencegah hipotermi.
- Jika petugas kesehatan menolong persalinan, ia harus tinggal
dengan ibu dan bayi baru lahir 2 jam pertama setelah kelahiran atau
sampai ibu dan bayi dalam keadaan stabil.

2. 6 hari setelah persalinan


- Memastikan involusi uterus berjalan normal, uterus berkontraksi,
fundus di bawah umbilicus, tidak ada perdarahan dan tidak ada bau.
- Menilai adanya tanda-tanda demam, infeksi/perdarahan abnormal.
- Memastikan ibu mendapatkan cukup makan, cairan dan istirahat.
- Memastikan ibu menyusui dengan baik dan tidak memperlihatkan
tanda-tanda penyakit.
- Memberikan konseling pada ibu mengenai asuhan pada bayi, tali
pusat, menjaga bayi tetap hangat dan meraat bayi sehari-hari.

3. 2 minggu setelah persalinan


- Memastikan involusi uterus berjalan normal, uterus berkontraksi,
fundus di bawah umbilicus, tidak ada perdarahan dan tidak ada bau.
- Menilai adanya tanda-tanda demam, infeksi/perdarahan abnormal.
- Memastikan ibu mendapatkan cukup makan, cairan dan istirahat.
- Memastikan ibu menyusui dengan baik dan tidak memperlihatkan
tanda-tanda penyakit.
- Memberikan konseling pada ibu mengenai asuhan pada bayi, tali
pusat, menjaga bayi tetap hangat dan meraat bayi sehari-hari.
4. 6 minggu setelah persalinan
- Menanyakan pada ibu tentang penyulit-penyulit yang ia atau
bayinya alami
- Memberikan konseling untuk berKB secara dini.

2.1.2 Tinjauan Khusus Tentang Sectio Caesarea


a. Definisi
Sectio Caesarea (SC) adalah proses persalinan dengan melalui pembedahan dimana irisan
dilakukan di perut ibu (laparatomi) dan rahim (histerektomi) untuk mengeluarkan bayi. Seksio
sesarea umumnya dilakukan ketika proses persalinan normal melalui vagina tidak memungkinkan
karena beresiko kepada komplikasi medis lainnya
(Purwoastuti, Dkk, 2015)

b. Kalsifikasi operasi Sectio Caesarea (SC)


Ada beberapa jenis Seksio Sesare (SC), yaitu diantaranya :
- Jenis klasik yaitu dengan melakukan sayatan vertikan sehingga memungkinkan
ruangan yang lebih besar untuk jalan keluar bayi. Akan tetapi jenis ini sudah sangat
jarang dilakukan saat ini karena sangat beresiko terhadap terjadinya komplikasi.
- Sayatan mendatar dibagian atas dari kandung kemih sangat umum dilakukan pada
masa sekarang ini. Metode ini meminimalkan risiko terjadinya perdarahan dan
cepat penyembuhannya.
- Histerektomi Caesar yaitu bedah Caesar diikuti dengan pengangkatan Rahim. Hal
ini dilakukan dalam kasus-kasus dimana pendarahan yang sulit ditangani atau
ketikan plasenta tidak dapat dipisahkan dar Rahim.
- Bentuk lain dari Seksio Sesarean (SC) seperti extraperitoneal CS atau Porro CS
(Purwoastuti,Dkk,2015)
c. Indikasi
Dokter spesialis kebidanan akan menaraknyan Seksio Sesarea (SC) ketika proses kelahiran
melalui vagina kemungkinan akan menyebabkan risiko kepada sang ibu atau bayi. Adapun hal-
hal yang dapat mnejadi pertimbangan disarannya bedah Caesar antara lain :
- Indikasi yang berasal dari ibu
Yaitu pada plasenta previa terutama pada primigravida, ptimi para tua disertai letak
ada, disproporsi sefalo pelvic (disproporsi janin/panggul), sejarah kehamilan dan persalinan
yang buruk, terdapat kesempitan panggul, solusio plasenta tingkat I-II, komplikasi kehamilan
yaitu preeklamsia-eklamsia, atas permintaan, kehamilan yang disertai penyakit (jantung, DM,
gangguan perjalanan persalinan (kista ovarium, mioma uteri, dsb).
- Indikasi yang berasal dari janin
- Fetal distress/ gawat janin, prolapses tali pusat dengan pembukaan kecil, kegagalan
persalinan vakum atau forceps ekstraksi
(Ralph Benson, DKK, 2013)
2.1.3 Preeklamsia
a. Pengertian
Preeklamsia merupakan penyulit kehamilan yang akut dan dapat terjadi pada masa
kehamilan, persalinan, dan nifas (Saifuddin, 2010). Preeklamsia adalah peningkatan
tekanan darah dan proteinuria yang terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu Boyle (2012).
Sedangkan menurut Mochtar (2013) preeklamsia merupakan kumpulan gejala yang timbul
pada ibu hamil, bersalin, dan ibu pada masa nifas yang terdiri dari trias: hipertensi,
proteinuria , dan edema. Ibu tidak menunjukkan adanya tanda-tanda kelainan vaskular atau
hipertensi sebelumnya.
b. Klasifikasi
Preeklamsia diklasifikasikan menjadi 2 golongan, yaitu Preeklamsia Ringan dan
Preeklamsia Berat. Tidak ada kategori sedang dalam preeklamsia. Hal yang menjadi
kriteria dalam pengklasifikasian preeklamsia ringan atau berat antara lain tekanan darah,
kandungan protein dalam urin, output urin dalam cc per jam, gangguan serebral tetap, dan
sakit pada epigastrium menetap (Mochtar, 2013).

Tabel 2.2. Deferensial Diagnosis Preeklamsia Ringan dan Berat

Preeklamsia
No Temuan ringan Preeklamsia berat
1 Tekanan darah ≥ 140 mmHg ≥ 160 mmHg
Sistolik
2 Tekanan darah ≥ 90 mmHg ≥ 110 mmHg+
Diastolic
3 Proteinuria 1+ ≥ 2+
4 Oliguria Tidak ada Ada, < 400 ml per 24
Jam
5 Edema paru Tidak ada Ada
6 Nyeri Tidak ada Ada
epigastrium
7 Gangguan Tidak ada Ada
penglihatan
8 Nyeri kepala Tidak ada Ada
Hebat
9 Trombositopenia Tidak ada Ada, < 100.000
sel/mm3
10 Pertumbuhan Tidak ada Ada
janin terhambat

Sumber: Saifuddin (2014), Nugroho (2012)

2.1.4 Nifas dengan Preeklamsia Berat


a. Pengertian
Preeklamsia merupakan penyulit yang dapat terjadi oleh ibu pascanatal, meskipun tidak
memiliki masalah antenatal yang terkait dengan preeklamsia
Preeklamsia berat adalah keadaan yang ditandai dengan tekanan darah sistolik ≥160 mmHg
atau diastolik ≥110 mmHg, kandungan protein dalam urin 2+ atau 3+, oliguria (< 400 ml dalam
24 jam) peningkatan aktivitas enzim hati, nyeri kepala menetap, gangguan penglihatan, dan nyeri
ulu hati yang men-etap,
b. Etiologi
Preeklamsia masih merupakan penyakit teori dan menjadi subjek dari banyak penelitian
untuk memahami etiologinya dan memperbaiki pendeteksian serta penatalaksanaannya
( Bothamley, et al., 2012). Teori sekarang yang dipakai sebagai penyebab preeklamsia
adalah “teori iskemia plasenta” namun teori ini belum dapat menerangkan semua hal yang
berkaitan dengan penyakit ini (PPGDON, 2012). Iskemia plasenta terjadi akibat peningkatan
vasokonstriksi dan menimbulkan perubahan yang dapat mengganggu fungsi vital (Tanto, 2014).
Selain “teori iskemia plasenta” beberapa studi epidemiologi menunjukkan bahwa
plasentasi abnormal disebabkan oleh respon imun. Data tambahan yang mendukung “teori respon
imun” adalah tingginya insiden penyakit hipertensif pada primigravida, menurunnya prevalensi
setelah pajanan jangka panjang terhadap sperma paternal, meningkatnya zat inflamasi pada
sirkulasi maternal, dan indikasi patologis penolakan organ pada jaringan plasenta (Fraser, 2009).
Preeklamsia terjadi karena adanya gangguan perkembangan plasenta akibat remodelling arteri
spiralis yang tidak adekuat, juga diperkirakan memiliki komponen imun

c. Patofisiologi
Preeklamsia didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah dan proteinuria, namun
preeklamsia dapat memengaruhi sistem tubuh yang berbeda dan mengakibatkan terjadinya
berbagai macam gejala preeklamsia. Perubahan yang terjadi pada preeklamsia tampaknya
disebabkan oleh gabungan kompleks antara abnormalitas genetik, faktor imunologis, dan faktor
plasenta. Akibat plasentasi yang buruk, terjadi disfungsi organ dan terjadi gambaran klasik
preeklamsia disertai dengan gejalanya seperti sakit kepala, gangguan penglihatan, dan nyeri
epigastrik ( Bothamley, 2012).
Pada preeklamsia terjadi spasme pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan air.
Pada biopsi ginjal ditemukan spasme hebat arteriola sedemikian sempitnya sehingga hanya dapat
dilalui oleh satu sel darah merah. Jadi jika semua arteriola dalam tubuh mengalami spasme, maka
tekanan darah akan naik, sebagai usaha untuk mengatasi kenaikan tekanan perifer agar
oksigenisasi jaringan dapat dicukupi. Proteinuria dapat disebabkan oleh spasme areriola sehingga
terjadi perubahan pada glomelurus (Mochtar, 2013).
d. Faktor Predisposisi
- usia : primigravida dengan usia di bawah 20 tahun dan semua ibu dengan usia di atas 35
tahun dianggap lebih rentan,
- paritas : primigravida memiliki insiden hipertensi hampir 2 kali lipat,
- status sosial ekonomi : preeklamsia dan eklamsia lebih umum ditemui di kelompok sosial
ekonomi rendah.
- komplikasi obstetrik : kehamilan kembar, kehamilan mola atau hydrops fetalis,
- kondisi medis yang sudah ada sebelumnya : hipertensi kronis, penyakit ginjal, diabetes
mellitus, sindrom antifosfolipid antibodi (Noels,2013).

e. Faktor Risiko
Bila preeklamsia tidak tertangani dengan benar dapat meningkatkan risiko aktifitas kejang
yang diawali dengan gejala skotomata dan hiperefleksia. Kejang-kejang eklamsia terjadi sekitar
1% dari pasien preeklamsia. Tidak diketahui mekanismenya tetapi mungkin disebabkan oleh
edema serebral, vasospasme atau iskemia sementara. (Noels, 2013).
Faktor risiko lain meliputi terkenanya ginjal atau jantung, serta restriksi pertumbuhan janin
yang nyata, yang menunjukkan durasi preeklamsia berat.
f. Keluhan Subjektif
Pada kasus preeklamsia biasanya ibu mengeluhkan nyeri kepala, gangguan penglihatan
sehingga menjadi kabur,dan nyeri pada ulu hati (Varney, 2007). Selain itu dikeluhkan juga adanya
gangguan serebral, gangguan visus, dan rasa nyeri pada epigastrium (PPGDON, 2012)
Sedangkan menurut Tanto (2014) pasien preeklamsia dapat mengeluhkan sesak napas,
bengkak pada kedua kaki ataupun wajah, nyeri perut kuadran kanan atas atau epigastrium.

i. Penatalaksanaan Preeklamsia Berat


1) Penatalaksanaan Umum
Preeklamsia dapat merupakat suatu penyakit yang fatal. Deteksidini dan
penatalaksanaan yang baik merupakan hal yang sangat penting untuk memperbaiki hasil
akhir ibu, pencegahan kejang, pengobatan hipertensi, penatalaksanaan cairan dan asuhan
pendukung untuk berbagai komplikasi organ akhir
(Noels,2013).
Setelah melahirkan, wanita penderita preeklamsia biasanya dirawat di area
ketergantungan tinggi (high-dependency unit), karena eklamsia sering terjadi pada periode
ini. Pengawasan kondisi wanita secara cermat bersamaan dengan pemberian obat dan
dukungan yang sesuai akan mengurangi risiko komplikasi jangka panjang. Preeklamsia
dapat muncul pertama kalinya pada masa puerperium
(Bothamley, 2012).
Perawatan preeklamsia berat yaitu pasien harus segera masuk rumah sakit untuk
rawat inap dan dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri). Perawatan yang penting
pada preeklamsia berat ialah pengelolaan cairan karena penderita preeklamsia mempunyai
risiko tinggi terjadinya edema paru dan oligouria. Oleh karena itu, monitoring input cairan
menjadi sangat penting. Sehingga harus dilakukan pengukuran yang tepat terhadap jumlah
cairan yang dimasukkan dan dikeluarkan
(Saifuddin, 2010).
2) Pengelolaan Medisional
a) Obat Anti Hipertensi
Anti hipertensi diberikan bila tensi ≥180/110 mmHg atau MAP ≥126. Obat :
Nivedipin 10-20 mg oral, diulangi setelah 20 menit, maksimum 120 mg dalam 24 jam.
Nivedipin tidak dibenarkan sublingual karena absorbsi yang terbaik adalah melalui saluran
pencernaan makanan.
Diuretikum tidak dibenarkan secara rutin, hanya diberikan (misal furosemid 40 mg
IV) atas indikasi : edema paru, payah jantung kongestif, edema anasarka.
(Nugroho, 2012)
b) Obat Anti Kejang
Pemberian magnesium sulfat (MgSO4) merupakan obat pilihan untuk mencegah
kejang pada preeklamsia (PPGDON, 2012).
(1)Syarat pemberian MgSO4
(a) frekuensi pernafasan minimal 16x/menit
(b) refleks patella (+)
(c) urin minimal 30 ml/jam dalam 24 jam terakhir atau 0,5 ml/jam
KgBB/jam
(d) siapkan ampul Kalsium Glukonas 10% dalam 10 ml (Nugroho,2012).
(2) Dosis pemberian MgSO4
(a) Dosis awal
- MgSO4 4 gr IV sebagai larutan 20% selama 5 menit

- Diikuti dengan MgSO4 (50%) 5 gr IM dengan 1 ml lignokain


- Pasien akan merasa agak panas sewaktu pemberian MgSO4
Dosis pemeliharaan

- MgSO4 (50%) 5 gr + lignokain 2% 1 ml IM setiap 4 jam


- Lanjutkan sampai 24 jam pascapersalinan atau kejang
terakhir.
(Saifuddin, 2014).
(3) Bila MgSO4 tidak tersedia:
MgSO4 tidak tersedia dapat diberikan diazepam
Dosis awal : diazepam 10 mg IV pelan-pelan selama 2 menit, jika kejang
berulang, ulangi dosis,
Dosis pemeliharaan : diazepam 40 mg dalam 500 larutan Ringer Laktat per
infus, depresi pernafasan ibu mungkin akan terjadi jika dosis >30mg/jam,
jangan berikan > 100 mg / 24 jam
(Nugroho,2012)
3) Penatalaksanaan Oleh Bidan
Dalam keadaan darurat pasien preeklamsia segera masuk rumah
sakit, istirahat dengan tirah baring ke satu sisi dalam suasana isolasi,
pemberian obat-obatan antikejang, antihipertensi, pemberian diuretik,
pemberian infus dekstrosa 5% dan pemberian antasida. Oleh karena itu
bidan yang praktek mandiri tidak berkewenangan dalam menangani kasus
ini seperti yang tercantum dalam Permenkes RI No.
1464/Menkes/PER/X/2010 tentang izin dan penyelenggaraan praktik
bidan karena tidak tersedianya tenaga kesehatan yang lebih berwenang.
Intervensi bidan dalam menghadapi preeklamsia berat dengan
memperkirakan bahwa kondisi pasien preeklamsia berat yang dapat
sewaktu-waktu meningkat menjadi eklamsia (kejang), sehingga harus:
a) Merujuk ibu nifas dengan preeklamsia berat ke rumah sakit yang
memiliki fasilitas kesehatan untuk preeklamsia
b) Dalam proses merujuk, ada kemungkinan timbul menjadi eklamsia,
sehingga sebaiknya dipersiapkan untuk menghindari penyulitnya yaitu
memasang infus untuk rehidrasi dan nutrisi dengan glukosa 5% atau
10%. Dalam infus dapat diberikan valium sekitar 30-40 mg (dosis
maksimal valium sekitar 120 mg), MgSO4 dapat diberikan secara
intramuskular sekitar 4 gr.
(Manuaba, 2008).

2.2 Konsep Manajemen Kebidanan pada Nifas Patologis


2.2.1 Konsep Manajemen Asuhan Varney
Berikut ini akan diuraikan proses manajemen kebidanan menurut 7 langkah
Varney:
1. Langkah I. Pengumpulan Data Dasar (Pengkajian)
a. Data Subyektif
1) Anamnesa
a) Identitas Pasien
Nama pasien penting untuk membedakan antara pasien satu
dengan pasien lainnya dan agama untuk menentukan bagaimana
kita memberikan dukungan rohani kepada ibu selama memberikan
asuhan (Marmi, 2012).
Preeklamsia biasanya sering terjadi pada primigravida umur
< 20 tahun atau > 35 tahun (Trisnawati, 2012).
b) Keluhan Utama
Ibu mengeluhkan kepalanya terasa sakit, nyeri di daerah perut atas
samping, dan penglihatan kabur (Sulistyawati, 2009).
c) Riwayat Kebidanan
Riwayat keluarga berencana, adanya penyulit pada pemakaian alat
kontrasepsi hormonal sebelumnya dapat memicu terjadinya
preeklamsia berat (Nugroho, 2012).
d) Riwayat Kehamilan, persalinan, dan nifas yang lalu
Perlu dikaji ibu hamil keberapa, apa jenis persalinannya, dan
bagaimana masa nifasnya, pernahkah demam panas tinggi,
perdarahan, bendungan ASI, menyusui sampai berapa bulan, bila tidak
menyusui mengapa, untuk mengetahui riwayat kehamilan, persalinan,
dan nifas sebelumnya.
e) Riwayat Kesehatan
(1)Riwayat kesehatan sekarang, apakah pasien mengalami nyeri kepala
hebat, gangguan visus, mual muntah, nyeri epigastrium, kenaikan
progresif tekanan darah, lemah, pucat, dan mudah pingsan
(Saifuddin, 2010).
(2)Riwayat kesehatan yang lalu, riwayat penyakit seperti hipertensi
kronis, ginjal kronis, diabetes mellitus dan riwayat preeklamsia
sebelumnya berisiko terhadap preeklamsia berat
(Varney, 2007)
(3) Riwayat kesehatan keluarga, riwayat kehamilan dan penyulitnya
pada ibu dan saudara perempuannya dalam kasusu ini perlu dikaji
(Nugroho, 2012). Serta riwayat preeklamsia atau eklamsia dalam
keluarga juga menjadi salah satu faktor risiko tinggi terjadinya
preeklamsia berat
(Varney, 2007)
f) Biopsokososiokultural
(1) Pola makan dan minum
Pola nutrisi ibu seperti jenis makanan yang dikonsumsi baik
makanan pokok maupun makanan selingan (Trisnawati, 2012).
(2) Pola istirahat dan aktivitas
Istirahat sangat diperlukan oleh ibu postpartum (Sulistyawati,
2009). Serta cara paling sederhana untuk mencegah preeklamsia
bagi mereka yang mempunyai risiko tinggi yaitu dengan cara tirah
baring

b. Data Obyektif
Data obyektif yang perlu dikaji adalah keadaan umum ibu dengan
melihat ekspresi wajah ibu kelihatan menahan sakit, mata dikedip-kedipkan
supaya penglihatan lebih jelas (Sulistyawati, 2009). Selain itu perlu
dilakukan pemeriksaan khusus yaitu :
Inspeksi : edema yang tidak hilang dalam kurun waktu 24 jam
Palpasi : untuk mengetahui lokasi edema
Auskultasi : mengukur tekanan darah pasien untuk mengetahui tekanan
darah pasien ≥160/110 mmHg sebagai salah satu tanda gejala
preeklamsia berat dan auskultasi paru untuk mencari
tanda-tanda edema paru.
Perkusi : untuk mengetahu refleks patella
(Trisnawati, 2012 , Mansyur, 2014).
c. Pemeriksaan Penunjang
Pada pasien dengan preeklamsia perlu dilakukan pemeriksaan
penunjang: tanda vital yang diukur dalam posisi terbaring atau tidur, diukur
2 kali dengan interval 6 jam, pemeriksaan laboratorium protein urin dengan
kateter (biasanya meningkat hingga 0,3 gr/lt atau 2+ hingga lebih pada skala
kualitatif), kadar hematokrit menurun, dan serum kreatinin meningkat
(Trisnawati, 2012).
2. Langkah II. Interpretasi Data Dasar
Interpretasi data dasar yaitu diagnosa masalah yang ditegakkan
berdasarkan data subyektif dan data obyekrif yang dikumpulkan atau
disimpulkan.
a. Diagnosa Kebidanan
Diagnosa yang dapat ditegakkan adalah ” Ny.T P1A0 post SC dengan
preeklampsia berat”. Data dasar yang .telah dikumpulkan diinterpretasikan
sehingga dapat merumuskan diagnosa didapatkan melalui data subjektif dan
data objektif.
b. Masalah
Masalah yang sering timbul pada ibu nifas dengan preeklamsia berat.
c. Kebutuhan
Kebutuhan ibu nifas dengan preeklamsia berat.
(Rukiyah, 2014).

3. Langkah III. Identifikasi Diagnosa atau Masalah Potensial/Diagnosa


Potensial dan Antisipasi Penanganannya
Mengidentifikasi diagnosa atau masalah yang mungkin akan muncul
berdasarkan rangkaian masalah dan diagnosa yang diidentifikasi.
(Norma, 2013).
Masalah potensial yang teridentifikasi dalam kasus ini yaitu terjadinya
preeklamsia berat disertai dengan kejang diikuti koma yang biasa disebut
eklamsia dan edema paru
(Saifuddin, 2009).
Dalam kasus ini antisipasi penanganan yang bisa dilakukan oleh bidan
diantaranya mengobservasi keadaan umum ibu, mengobservasi tanda-tanda
vital setiap 4 jam sekali sampai kondisi ibu secara umum stabil dan melakukan
pemeriksaan auskultasi untuk mencari tanda-tanda edema paru
4. Langkah IV. Kebutuhan Terhadap Tindakan Segera
Tindakan segera yang dapat dilakukan oleh bidan pada ibu nifas dengan
preeklamsia berat dengan cara melakukan kolaborasi Dokter Spesialis Obsgyn
yaitu berupa pemberian obat anti hipertensi, obat anti konvulsan dan oksigen 3
liter per menit
(Saifuddin, 2009).
5. Langkah V. Perencanaan Asuhan Yang Menyeluruh
Pada langkah ini direncanakan asuhan yang menyeluruh berdasarkan
langkah sebelumnya, dalam menyusun perencanaan sebaiknya pasien dilibatkan
karena pada akhirnya pengambilan keputusan dilaksanakannya suatu rencana
asuhan ditentukan oleh pasien sendiri. Sebelumnya tentukan tujuan dan kriteria
tindakan yang akan dilakukan, meliputi sasaran dan target hasil yang akan
dicapai, serta menentukan rencana tindakan sesuai dengan masalah dan tujuan
yang akan dicapai
(Mansyur, 2014).
a. Observasi pada penderita preeklamsia berat di dalam kamar isolasi yang
tenang, dengan lampu yang redup
(Sofian, 2012).
b. Lakukan pengukuran vital sign (tensi, nadi, respirasi, suhu badan) setiap 4
jam sekali sampai kondisi ibu secara umum stabil, reflek patella, pemeriksaan
TFU, pemeriksaan laboratorium (protein urin), pengeluaran per vaginam
(Sofian, 2012).
c. Lakukan observasi cairan masuk (melalui organ atau infus) dan cairan keluar
(melalui pemasangan foley catheter)
(Saifuddin, 2009).
d. Lakukan advis dokter untuk pemberian berupa:

1) MgSO4 (20%) 4gr secara IV selama 5 menit

2) MgSO4 (50%) 5gr secara IM

3) Obat anti hipertensi 10-20 mg


4) Oksigen 3-6 liter per menit

e. Atasi cemas, kaji penyebab cemas, libatkan keluarga dalam mengkaji


penyebab cemas dan alternatif penanganannya, serta berikan dukungaan
mental dan spiritual pada pasien dan keluarga
(Sulistyawati, 2009).

f. Berikan pendidikan kesehatan mengenai gizi, higienis, istirahat, ambulasi,


KB, tanda bahaya, hubungan seksual, dan perawatan bayi
(Sulistyawati, 2009).

6. Langkah VI. Pelaksanaan Langsung Asuhan Dengan Efisien Dan Aman


Tahap ini dilakukan dengan melasksanakan rencana asuhan kebidanan

secara menyeluruh yang dibatasi oleh standar asuhan kebidanan pada masa
persalinan
(Rukiyah, 2014).

7. Langkah VII. Evaluasi

Hasil asuhan dalam bentuk konkret dari perubahan kondisi pasien dan
keluarga. Asuhan dikatakan efektif jika ibu nifas dengan preeklamsia berat
kondisinya menjadi: tekanan darah menjadi normal (120/80 mmHg) secara
menetap dan teratasinya kepala pusing sehingga nifas preeklampsia berat tidak
berlanjut ke komplikasi yaitu eklamsia
(Varney, 2007)

2.2.2. PENDOKUMENTASIAN SECARA SOAP

7 langkah Varney disarikan menjadi 4 langkah yaitu : SOAP (Subyektif,


Obyektif, Analisa, dan Penatalaksanaan). SOAP disarikan dari proses pemikiran
penatalaksanaan kebidanan sebagai perkembangan catatan kemajuan keadaan
klien. SOAP menurut Kepmenkes RI No. 938/Menkes/SK/VII/2007 yaitu :
1. S = Subyektif

Menggambarkan pendokumentasian hasil pengumuman data klien melalui


anamnesa sebagai langkah I Varney. Pada kasus ibu nifas dengan preeklamsia
berat, data subyektif yang muncul adalah sakit kepala di daerah frontal, nyeri
epigastrum, gangguan visus (penglihatan kabur, skotoma, diplopia), dan mual
muntah

2. O = Obyektif

Menggambarkan pendokumentasian hasil pemeriksaan fisik klien, hasil


laboratorium dan tes diagnostik lain yang dirumuskan dalam data fokus untuk
mendukung asuhan sebagai langkah I Varney.

Data objektif pada kasus ibu nifas dengan preeklamsia berat diperoleh
melalui pemeriksaan umum dan fisik pasien berupa: tekanan darah sistolik ≥160
mmHg, diastolik ≥110 mmHg, proteinuria ≥ 2+, oliguria < 400 cc/24 jam, kadar
kreatinin darah melebihi 1,2 mg/dl kecuali telah diketahui meningkat
sebelumnya, enzim hati yang meningkat (SGOT, SGPT, LDH), trombosit <
100.000/mm3 (Edwin, 2013).

3. A = Analisa / Assesment

Menggambarkan pendokumentasian hasil analisa dan interpretasi data


subyektif dan obyektif dalam suatu identifikasi dan masalah kebidanan serta
kebutuhan. Sebagai langkah 2 Varney.

Diagnosa kebidanan yang dapat ditegakkan berdasarkan data subyektif


dan objektif adalah Ny.T P1A0 post SC dengan preeklamsia berat. Masalah yang
dapat terjadi pada ibu nifas dengan preeklamsia berat adalah ibu takut dan cemas
dengan keadaannya. Kebutuhan yang dibutuhkan pada ibu nifas dengan pre
eklamsia berat meliputi atasi cemas dengan melibatkan keluarga untuk alternatif
penanganannya, kemudian anjurkan ibu untuk istirahat dan cara paling
sederhana yang dapat dilakukan adalah cara tirah baring
(Sulistyawati, 2009 dan Prawirohardjo, 2009).

4. P = Penatalaksanaan

Menggambarkan pendokumentasian hasil mencatat seluruh perencanaan,


penatalaksanaan, dan evaluasi yang sudah dilakukan seperti tindakan antisipatif,
tindakan segera, tindakan secara komprehensif, penyuluhan, dukungan,
kolaborasi, evaluasi/follow up dari rujukan. Sebagai langkah 3, 4, 5, 6, dan 7
Varney.
Beberapa hal yang perlu direncanakan, dilaksanakan, dan dievaluasi dalam
kasus ibu nifas dengan pre eklamsia berat antara lain seperti observasi tanda-
tanda vital, ukur keseimbangan cairan, perawatan luka bekas perineum,
pemberian antikonvulsan, pemberian antihipertensi, pemberian antianemia,
pemantauan pengeluaran urin dan proteinuria (Saifuddin, 2009). Evaluasi di
dokumentasikan sebagai pertimbangan efektifitas asuhan yang diberikan
berdasarkan hasil planning yang telah dilaksanakan pada ibu nifas dengan
preeklamsia berat . (Varney, 2007).
DAFTAR PUSTAKA

Nugroho, Taufan.,dkk. 2014. Buku Ajar Asuhan Kebidanan 3 Nifas. Yogyakarta: Nuha Medika.
Sulistyawati, Ari. 2009. Buku Ajar Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas. Yogyakarta: C.V Andi
Offset.
Varney, Helen, dkk. 2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta : EGC.
Saifudin, Abdul Bari, 2010. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawiroharjo, Jakarta:
Trisada Printer
Rukiyah, Aiyeyeh dan DKK. Asuhan Kebidanan III (nifas). Jakarta: CV. Trans Info
Media, 2010
Purwoastuti, Endang, dkk. Asuhan Kebidanan Masa Nifas & Menyusui:
Yogyakarta: Pustaka Baru Presss, 2015.
Mansyur, Nurliana, dan A.Kasrinda Dahlan. Asuhan Kebidanan Masa Nifas.
Malang: Selaksa Media, 2014
2.2.3 Bagan alur berfikir Varney dan pendokumentasian secara SOAP

Alur Pikir Bidan Pencatatan dari Asuhan Kebidanan

Proses Manajemen
Kebidanan Pendokumentasian Asuhan Kebidanan

7 Langkah Varney 5 Langkah


(Competensi Bidan) SOAP NOTES
Data Data
Subjektif dan Objektif
Masalah/Diagnosa
Antisipasi Masalah
Assesment/Diagnosa
potensial/diagnosa
lain Assasment/Diagnosa
Menetapkan
Kebutuhan segera
untuk konsultasi, Perencanaan Penatalaksanaan :
kolaborasi - Konsul
Perencanaan - Tes Diagnostik/lab
Implementasi Implementasi - Rujukan
Evaluasi Evaluasi - Pendidikan/konseling
- Follow Up

Anda mungkin juga menyukai