Anda di halaman 1dari 20

Isolasi Bakteriofag

Amplifikasi bakteriofag dilakukan sebanyak dua kali. 5 ml LB broth 10X


dimasukkan ke erlenmeyer kemudian ditambahkan sampel air sebanyak
40 ml dan 5 ml kultur yang telah ditanam sebelumnya (overnight culture),
diinkubasi pada suhu 37˚C, selama 24 jam. Bakteriofag hasil amplifikasi
I dipipet sebanyak 10 ml, dimasukkan ke tabung sentrifus, disentrifugasi
pada kecepatan 2000 rpm, selama 5 menit. Supernatan difiltrasi dengan
membran filter 0,22 µm.

Pada wadah yang terpisah, sebanyak 50 ml LB broth 1X dimasukkan ke


dalam erlenmeyer dan ditambahkan 1 ml kultur. Diinkubasi pada shaker,
37 ˚C, overnight.

Teknik pengkayaan dilakukan dengan mengambil sebanyak 4 ml filtrat I


lalu dimasukkan ke dalam erlenmeyer ditambah dengan 1 ml kultur
Bacillus sp. dan 5 ml LB broth 10X, diinkubasi pada suhu 37 ˚C, dishaker
selama 24 jam.

Larutan hasil amplifikasi II bakteriofag dipipet, dipindahkan ke tabung


sentrifus. Sentrifugasi dilakukan pada kecepatan 2000 rpm selama 5
menit. Supernatan diambil dan di filtrasi menggunakan membran filter
0,22 µm. Hasil filtrasi disimpan dalam tabung steril.

Bakteriofage merupakan virus yang menginfeksi sel bakteri (Glazer &


Hirashi 2007). Satu partikel bakteriofage terdiri atas ekor dan kepala (kapsid)
isohedral yang tersusun dari sub unit protein (kapsomer). Bakteriofage yang terdiri
dari 500 jenis fage dan 13 famili ini setiap fagenya terdiri dari satu jenis asam
nukleat. Ukuran bakteriofage beraneka ragam, umumnya berkisar antara 20– 300
nm (Moat & Foster 2002).

Menurut Moat & Foster (2002), secara partikel bakteriofage dapat


berdasarkan inang alaminya, kisaran inang, dan karakter-karakter lain seperti
komposisi DNA atau RNA. Pembedaan fage berdasarkan spesifikasi inang ini
berfungsi untuk menentukan strain bakteri yang terinfeksi oleh bakteriofage
tersebut (Dale & Park 2004).

Sistem kerja dari bakteriofage dalam menginfeksi inangnya adalah dengan


menginjeksi seluruh isi DNA yang berada di kepala ke dalam sel bakteri (Glazer
& Hirashi 2007). Jenis infeksi bakteriofage terdiri dari dua macam, yaitu virulen
atau litik dan lisogenik. Infeksi yang bersifat virulen mengakibatkan matinya sel
inang. Adapun infeksi yang sifatnya lisogenik dicirikan dengan sel inang tidak
sampai lisis atau mati. Seluruh unit yang bersifat infeksius ini disebut dengan
virion (Moat & Foster 2002). Setiap satu sel bakteri yang terinfeksi di dalamnya
terdapat 100 atau lebih partikel bakterifage (Dale & Park 2004).

Bacillus sp
1. Ciri-ciri
Bacillus sp merupakan bakteri berbentuk batang (basil), dan tergolong dalam
bakteri gram positif yang umumnya tumbuh pada medium yang mengandung
oksigen (bersifat aerobik), Bagian kapsul kebanyakan anggota Bacillus
mengandung D atau L glutamic acid, sedangkan beberapa lainnya memiliki kapsul
yang mengandung karbohidrat. Bakteri Bacillus sp biasanya banyak ditemukan di
tanah. Bacillus sp. merupakan bakteri gram positif dengan sel batang berukuran 0,3-
22x1,27- 7 πm, sebagian bersifat motil (mampu bergerak) mobilitasnya ini
disebabkan oleh flagel, jika dipanaskan akan membentuk endospora, yaitu bentuk
dormansel vegetatif sebagai bentuk pertahanan diri yang muncul saat kondisi
ekstrim yang tidak menguntungkan bagi bakteri.
2. Morfologi
Batang dengan ukuran 1 x 3-4 µm, dapat tersusun seperti bamboo,bentuk batangnya
persegi atau cekung ujungnya, sendiri-sendiri, berpasangan atau membentuk rantai
pendek, tidak bergerak, berspora oval yang letaknya sental, kadang-kadang
berkapsul.
Gambar 2.2 Bacillus sp ( Bergey‟s 1985).
3. Klasifikasi
Adapun klasifikasi dai bakteri Bacillus sp sebagai berikut :
Kingdom : Procaryotae
Phylum : Bacteria
Classis : Schizomycetes
Ordo : Eubacteriales
Familia : Bacillaceae
Genus : Bacillus
Spesies : Bacillus spp ( Bergey‟s 1985).

Bakteriofag merupakan virus yang menyerang bakteri. Bakteriofag merupakan


salah satu alternatif untuk mengatasi masalah infeksi bakteri patogen. Penggunaan
bakteriofag dipertimbangkan lebih menguntungkan dibandingkan antibiotik.
Bakteriofag hanya menginfeksi patogen target, sehingga mikroflora normal di usus
tidak terganggu, kedua bakteriofag mereplikasi diri pada bakteri dan
menghancurkan sel bakteri inang dengan sempurna melalui proses lisis membunuh
bakteri yang menjadi inangnnya (Strydom dan Witthuhn, 2015; Connerton dan
Connerton, 2005). Keberadaan bakteriofag tersebar luas di alam. Lingkungan yang
ditempati oleh bakteri inang merupakan sumber keberadaan berbagai jenis fag yang
dapat diisolasi untuk berbagai tujuan (Shende et al., 2017). Meskipun demikian
jumlah bakteriofag yang sudah teridentifikasi di dunia masih terbatas (Casjens,
2008), sehingga penelitian terkait isolasi dan identifikasi bakteriofag terus
dilaksanakan di berbagai negara di dunia. Kelimpahannya yang sangat tinggi di
alam (Pedulla et al., 2003), keberadaannya sebagai mikroflora alami pada makanan
(Atterbury et al., 2006), kemampuan untuk menginfeksi dan membunuh sel bakteri
inang melalui proses lisis (Rao, 2006; Susianto et al., 2014; Cheng et al., 2018;
Harada et al., 2018), dan spesifitas dalam menyerang inang target (Donnison dan
Ross, 2014; Kittler et al., 2017; Harada et al., 2018; Santos et al., 2018) merupakan
potensi yang menjanjikan untuk menjadikan bakteriofag sebagai biokontrol
terhadap bakteri patogen khususnya Salmonella typhi.

Isolasi baktriofage
Isolasi bakteriofage dilakukan dengan tiga cara, yaitu daun yang bergejala yang
direndam dalam air, daun bergejala yang direndam dalam buffer PBST, dan air
persawahan. Setelah dishaker semalaman, baik dari daun maupun dari air persawahan
diambil sebanyak 1,5 ml dan kemudian diletakkan ke dalam ependorf. Kemudian,
disentrifuse dengan kecepatan 12000 rpm selama 10 menit. Hasil sentrifuse akan
menghasilkan dua bagian, yaitu supernatan dan pelet. Pelet diresuspensi, kemudian
diplatting pada sandwich). Setelah inkubasi 2-3 hari, bakteriofage yang tumbuh ditandai
dengan adanya zona bening atau phage plaque (Gambar 6).
Perbanyakan bakteriofage
Zona bening yang terbentuk kemudian dipisahkan dari media agar dan
diinokulasikan pada media cair Luria Broth (LB) yang merupakan suspensi murni
bakteri X.oryzae (Gambar 5). Selanjutnya suspensi ini diinkubasi selama lima hari.
Penghitungan jumlah partikel fage dapat dilakukan setelah masa inkubasi.
Pengujian pada bahan tanaman
Suspensi isolat murni bakteriofage yang diperoleh dapat dilakukan pengujian
pada bahan tanaman. Bahan tanaman yang digunakan dalam hal ini ialah benih padi
yang bersumber dari tanaman yang terserang penyakit hawar bakteri. Pengujian pada
benih dilakukan karena patogen penyebab penyakit hawar bakteri ini dapat terbawa
benih (seed borne).
Rancangan Percobaan dan Analisis Statistik
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL).
Data diolah dengan program SAS versi 6.12 dan dianalisis menggunakan ANOVA.
Pengaruh yang berbeda nyata akan dilakukan uji lanjut dengan uji selang berganda
Duncan dengan taraf nyata (α) = 5%.

Kebutuhan masyarakat terhadap air minum isi ulang meningkat sehingga


mendorong berkembangnya Industri air minum isi ulang. Namun permasalahan
yang terjadi adalah tidak adanya cara baku untuk mengolah air minum secara steril
dan minimnya pengawasan dari pemerintah. Hal ini menimbulkan masalah sanitasi
yaitu terbentuknya bakteri pathogen yang membentuk biofilm pada sistem air
minum isi ulang. Salah satu bakteri pathogen adalah Salmonella. Salmonella pada
air minum isi ulang dapat menimbulkan diare, karena dapat menghasilkan racun
cytotoxin dan enterotoxin. Bakteriofag merupakan virus yang menginfeksi bakteri.
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan isolat bakteriofag alami dari sampel
biofilm untuk menginfeksi bakteri Salmonella spp. pada sistem air minum isi ulang.
Isolat Salmonella spp. positif berada pada pengenceran kedua depot air minum isi
ulang. Isolasi bakteriofag dari biofilm dilakukan dengan amplifikasi bakteriofag
dan filtrat bakteriofag. Uji infeksi dilakukan menggunakan Salmonella enterica,
Salmonella 7A1 dari Teluk Ambon dan Salmonella spp. dari depot air minum isi
ulang. Platting dilakukan pada serial pengenceran fag ke-2 sampai pengenceran fag
ke-10. Hasil positif ditandai dengan terbentuknya plak yaitu pada sampel sumber
air, produk air dan depot air minum. Jumlah plak yang terbentuk dihitung Plaque
Forming Units (PFU/mL) untuk menentukan kuantifikasi atau perhitungan fag.

Kata kunci: Sistem air minum isi ulang, biofilm, Salmonella spp, bakteriofag.

Bacillus spp. digolongkan ke dalam kelas bakteri heterotrofik, yaitu protista bersifat
uniseluler, termasuk dalam golongan mikroorganisme redusen atau yang lazim disebut
sebagai dekomposer. Sebagian besar bakteri laut termasuk dalam kelompok bakteri
bersifat heterotrofik dan saprofitik (RHEINHEIMER 1980). Marga Bacillus merupakan
bakteri yang berbentuk batang dapat dijumpai di tanah dan air termasuk pada air laut.
Beberapa jenis menghasil enzim ekstraseluler yang dapat menghidrolisis protein dan
polisakarida kompleks. Bacillus spp membentuk endospora, merupakan gram positif,
bergerak dengan adanya flagel peritrikus, dapat bersifat aerobik atau fakultatif anaerobik
serta bersifat katalase positif (PELCZAR et al. 1976). Marga Bacillus merupakan salah
satu dari enam bakteri penghasil endospora. Endospora tersebut berbentuk bulat, oval,
elips atau silinder, yang terbentuk di dalam sel vegetatif. Endospora tersebut membedakan
Bacillus dari tipe-tipe bakteri pembentuk eksospora. Spora Bacillus pertama kali
dideskripsikan oleh Cohn pada tahun 1872 pada B. subtilis yang semula disebut Vibrio
subtilis oleh Ehrenberg pada 1835 (GORDON 1981). Cohn menunjukkan bahwa spora
tersebut mempunyai resistensi yang lebih dibandingkan sel vegetatifnya. Terdapat enam
marga bakteri penghasil endospora yaitu Bacillus, Sporolactobacillus, Clostridium,
Desulfotomaculum, Sporosarcina, Thermo actinomy cetes. Sebelum digolongkan menjadi
enam marga, bakteri penghasil endospora dibagi menjadi dua kelompok, yaitu termasuk
Marga Bacillus jika. merupakan gram positif, dan termasuk Marga Clostridium jika
merupakan gram negatif. Menurut DOI & McGLOUGHLIN (1992), dua sifat utama yang
membedakan Bacillus dari bakteri pembentuk endospora lainnya adalah 32
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Oseana, Volume XXV no. 1, 2000 kemampuan
Bacillus untuk hidup aerob (walaupun beberapa bersifat fakultatif anaerob) dan mayoritas
jenisnya memproduksi katalase (bersifat katalase positif). Endospora yang dihasilkan oleh
Bacillus mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap faktor kimia dan fisika, seperti suhu
ekstrim, alkohol, dan sebagainya. Jenis-jenis tersebut seluruhnya mengandung
Dipicolinic Acid (DPA) dan mereka mempunyai derajat dormansi unparalel pada bentuk
kehidupan yang lain. Spora tersebut membawa siklus perkembangan dimana sel vegetatif
dapat membentuk spora dan spora kemudian dapat tumbuh berkecambah menjadi sel
vegetatif. Proses tersebut pertama kali ditunjukkan pada tahun 1876 oleh Koch pada B.
anthracis dan oleh Cohn pada B. subtilis (KEYNAN & SANDLER 1983). Daur hidup
Bacillus dapat dilihat pada Gambar 1. Jenis Bacillus spp. menunjukkan bentuk koloni
yang berbeda-beda pada medium agar cawan Nutrien Agar. Warna koloni pada umumnya
putih sampai kekuningan atau putih suram, tepi koloni bermacam-macam namun pada
umumnya tidak rata, permukaannya kasar dan tidak berlendir, bahkan ada yang cenderung
kering berbubuk, koloni besar dan tidak mengkilat. Bentuk koloni dan ukurannya sangat
bervariasi tergantung dari jenisnya. Selain itu setiap jenis juga menunjukkan kemampuan
dan ketahanan yang berbeda-beda dalam menghadapi kondi si lingkungannya, misalnya
ketahanan terhadap panas, asam, kadar garam, dan sebagainya. Gambar 1. Daur hidup
tipe bakteri pembentuk spora (dimodifikasi dari SLEPECKY & HEMPHILL. 1992) 33
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Oseana, Volume XXV no. 1, 2000 Marga Bacillus
mampu tumbuh pada temperatus 10-50° C, merupakan saprofit ringan yang tak
berbahaya, mudah tumbuh dalam kerapatan tinggi dan mampu membentuk endospora
yang tahan panas (SALLE 1984). Letak endospora di dalam sel serta ukuran selama
pembentukannya tidak sama bagi setiap jenis Bacillus spp., artinya ada yang terletak di
sentral (di tengah sel), di terminal (di ujung sel) dan adapula yang subterminal (di bagian
dekat ujungsel). Diameter sporanya pun dapat lebih besar atau lebih kecil dari diameter
sel vegetatifnya, oleh karena itu terdapatnya endospora, letak endospora, dan ukuran
endospora dapat dipergunakan untuk mengindentifikasi marga Bacillus ini (PELCZAR &
CHAN 1986). Bentuk spora yang dihasilkan oleh Bacillus spp. pun bermacam-macam
tergantung jenisnya. Bacillus subtilis dan B. cereus memproduksi spora bentuk silinder
yang tidak membengkak. Bacillus polymixa dan B. spaericus memproduksi spora yang
membengkak (lebih besar dari sel vegetatifnya). Selain itu Bacillus spp. membentuk tidak
lebih dari satu endospora untuk tiap sel dan sporulasinya tidak tergantung pada udara
terbuka. Marga Bacillus mempunyai sifat fisiologis yang menarik karena tiap-tiap jenis
mempunyai kemampuan yang berbeda-beda, diantaranya : (1) mampu mengdegradasi
senyawa organik seperti protein, pati, selulosa, hidrokarbon dan agar, (2) mampu
menghasilkan antibiotik; (3) berperan dalam nitrifikasi dan dentrifikasi; (4) pengikat
nitrogen; (5) pengoksidasi selenium; (6) pengoksidasi dan pereduksi mangan (Mn); (7)
bersifat khemolitotrof, aerob atau fakutatif anaerob, asidofilik atau alkalifilik,
psikoprifilik, atau thermofilik (NORRIS et al. 1981; CLAUS & BARKELEY 1986).
MADIGAN et al. (1997) menyatakan bahwa Bacillus spp. termasuk marga yang bersifat
khemoautotrof yang dapat tumbuh pada metanol, metilamine atau format, tetapi tidak
dapat tumbuh pada metana. Jenis dari marga Bacillus spp. ini juga berbeda dalam sifat
pertumbuhanny a, beberapa diantaranya bersifat mesofilik misalnya B. subtilis, termofilik
fakultatif misalnya B. coagulans, bersifat termofilik misalnya B. stearothermophillus.
Selain itu juga mempunyai kemampuan enzimatik yang berbeda-beda dalam
menghasilkan enzim, diantaranya dalam menghasilkan enzim amilase, protease, dan
lipase, seperti B. licheniformis, B. cereus, B. subtilis, B. stearothermophillus, B.
amyloliquefasciens, B. alginoliticus, B. chondrotimus, B. amithii, B. thermoleovorans, B.
brevis, B. thuringiensis, B. papilliae, dan sebagainya (RAHAYU 1990). Klasifikasi dan
Jenis-jenis Bacillus spp. Klasifikasi bakteri yang sampai saat ini diapakai adalah Bergey's
Manual of Determinative Bacteriology. Tatanamanya diatur berdasarkan "International
Code of Nomenclatur of Bacteria and Viruses", yang ditetapkan tahun 1947 oleh
International Committee on Bacteriological Nomenclature. Berdasarkan aturan teresebut
maka menurut Bergey's Manual of Determinative Bacteriology, 8 th editions dalam
Hadioetomo (1985) kalsifikasi Bacillus spp. adalah sebagai berikut: Kingdom :
Procaryotae Divisi : Bacteria Kelas : Schizomycetes Bangsa : Eubacteriales Suku :
Bacillaceae Marga : Bacillus Jenis : Bacillus spp. Jenis-jenis Bacillus spp. terdiri dari
beberapa jenis dan tersebar pada beberapa habitat, namun paling banyak tanah. Jenis-jenis
ini dapat dilihat pada Tabel 1. 34 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Oseana, Volume
XXV no. 1, 2000 Tabel 1. Jenis Bacillus, habitat isolasi dan karakternya 35
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Oseana, Volume XXV no. 1, 2000 Tabel 1 (Lanjutan)
36 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Oseana, Volume XXV no. 1, 2000 Berdasarkan
Tabel 1 diatas, dapat diketahui bahwa jenis Bacillus yang berhasil diisolasi dari habitat
laut dan rawa diantaranya meliputi B. badius, B. firmus, B. marinus, B.
psychrosaccharolyticus. Keempat jenis tersebut diisolasi dari sedimen maupun air laut
atau rawa. Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan terdapatnya Bacillus jenis
lain yang dapat diisolasi dari habitat tersebut, baik pada sedimen, air, biota maupun pada
produk makanan yang berasal dari perairan tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan
diperolehnya enam jenis pada hasil penelitian dari perairan Pantai Meru Betiri
JawaTimur, yaitu B. licheniformis, B. macquariensis, B. apiarius, B. macerans, B.
marinus, dan B. circulans. Keenam jenis tersebut diisolasi dari daerah hutan, semak,
pantai berpasir, serta estuarin (HATMANTI 1998). Marga Bacillus mudah dibedakan dari
kelompok bakteri penghasil endospora lain, namun sulit untuk membedakan jenis-jenis
dalam tersebut. Organisme diklasifikasikan dalam Marga Bacillus pada umumnya karena
membentuk spora dan menunjukkan karakteristik pada beberapa tes fenotip. Pembagian
grup dalam Marga Bacillus didasarkan pada bentuk spora dan letak sporangium.
Pembagian tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Suatu variasi teknik tambahan telah
dilakukan untuk memberikan penekanan dari tes manual/tradisional klasifikasi jenis dari
Marga Bacillus. Teknik ini didasarkan pada perbedaan komposisi asam amino dan
distribusi polar lipid dari masingmasing jenis (KANEDA 1977; MINNIKIN &
GOODFELLOW 1981). Bacillus acidocaldorius dapat dikarakterisasi oleh kehadiran
menaquinon (MK9), asam lemak sikloheksil, triterpen dan cairan kompleks. Komposisi
dinding sel telah ditunjukkan untuk membedakan beberapa jenis (STACKEBRANDT et
al. 1987). Tabel 2. Penggolongan Bacillus berdasarkan morfologinya (SLEPECKLY
dalam DOI & McGLOUGHLIN 1992) 37 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Oseana,
Volume XXV no. 1, 2000 Metode taksonomi kimia seperti elektroporesis rumus protein
sel (JACKMAN 1985) ataurumusenzim (BAPTIST et al. 1978; SHARP et al. 1980) telah
digunakan untuk membedakan karakter lain. Kromatografi pirolisis gas cair
(O'DONNELL et al. 1988) dan Spektrometri curiepoint massa pirolisis (SHUTE et al.
1984) telah diaplikasikan untuk memecahkan permasalahan taksonomi dan identifikasi
Bacillus. Cara sederhana untuk mengidentifikasikan jenis-jenis dalam Marga Bacillus
dapat digunakan Gambar 2. Selain identifikasi menggunakan pendekatan fenetik seperti
di atas, telah dilakukan pula identifikasi melalui pendekatan filogenetik. Pendekatan ini
menggunakan analisis bagian 16 S rRNA bagian oligonukleotida (FOX et al. 1977;
STACKEBRANDT & WOESE 1979). Studi ini menggunakan metode ini menunjukkan
hubungan yang sangat dekat atara Bacillus, Planococcus, Staphylococcus, dan
thermoactinomycetes (STCKEBRANDT & WOES 1979). STACKEBRANDT et al.
(1987) menbandingkan beberapa jenis Bacillus yang membentuk spora elipsoidal dengan
jenis Bacillus yang membentuk spora elipsoidal dengan jenis Bacillus yang membentuk
spora bulat atau sperikal (Tabel 2). Bacillus subtilis, B. cereus, B. megaterium, dan B.
pumilus dari grup pembentuk spora sperikal, B. sphaericus, B. globisporus, dan B.
aminovorans tidak terkelompokkan. Secara filogenetik, ketiganya lebih dekat
hubungannya kepada organisme yang tidak membentuk spora, seperti: B. sphaericus
dekat kepada Carophanan latum, B. globisporus kepada Filibacter limicola, B. pasteurii
kepada B. aminovorans kepada planococcus citreus, B. stearothermophilus, yang tidak
termasuk dalam grup utama Bacillus menunjukkan hubungan dekat dengan
Thermoactinomycete vulgaris. Transfer interspesifik dan intraspesifik pada DNA di
antara beberapa jenis Bacillus telah dicapai, diantaranya pada : B. megaterium,
b.thuringiensis, B. lichenniformis, B. cereus, B. coagulans, B. brevis, B. sphaericus, dan
b. stearothermophilus. Interaksi genetik ini memberikan pengaruh pada identifikasi isolat
dari berbagai habitat. Bacillus spp seperti disebutkan di atas mempunyai banyak potensi
sebagai sumber daya hayati laut yang dapat menunjang bioteknologi bakteri laut. oleh
karena itu sebaiknya dilakukan penelitian yang lebih intensif untuk mengembangkan
bakteri ini hingga dapat menghasilkan bahan-bahan aktif bermanfaat

Plaque merupakan “jendela” pada lapisan sel inang yang hidup menyebar pada permukaan media
agar. Plaque dapat dilihat apabila partikel virus (bakteriofage) dicampur dengan lapisan tipis inang
bakteri yang ditumbuhakan dalam media agar. Sel-sel yang terinfeksi menghasilkan zona jernih yang
mengindikasikan bakteri yang lisis oleh agen virus. Setiap plaque merupakan hasil infeksi dari satu sel
per satu virus diikuti oleh replikasi dan penyebaran virus tersebut. Kelebihan metode plaque ini yaitu
lebih mudah dan sederhana yaitu dengan melihat zona jernih dari biakan bakteri yang ditumbuhkan.
Zona jernih tersebut diakibatkan lisisnya bakteri akibat virus. Kekurangannya yaitu penghitungan
jumlah virus yang menginfeksi tidak spesifik dikarenakan satu zona jernih dianggap sebagai satu
virus. Berdasarkan sifatnya dalam menginfeksi bakteri, terdapat 2 jenis bakteriofag yaitu lytic dan
lysogenic bacteriophage. Ciri virus bakteriofag yang dapat digunakan sebagai terapi adalah memiliki
kapabilitas dasar sebagai lytic phages, yaitu menginfeksi dan membunuh sel bakteri dengan
melisiskan bakteri. Lysogenic phages merupakan jenis virus yang berintegrasi dengan asam nukleat
bakteri terinfeksi. Pada saat ini jenis faga tersebut belum dapat digunakan sebagai terapi, karena
akan mengalami fase dorman di dalam sel pejamu; dapat menghambat bakteriofag jenis yang sama
masuk; serta seringkali memiliki gen toksik didalam genomnya. Penelitian untuk mengatasi hal
tersebut sedang dikembangkan, sehingga diharapkan lysogenic phages nantinya dapat digunakan
sebagai terapi. Infeksi bakteriofag pada bakteri inang umumnya ditandai dengan terbentuknya zona
bening pada medium uji. Zona bening ini merupakan zona terhambatnya pertumbuhan koloni
bakteri akibat banyaknya bakteri yang lisis. Bakteriofag yang bereplikasi pada sel bakteri inang akan
menghasilkan enzim pelisis (endolisin) yang menyebabkan bakteri mengalami lisis. @Copyright
Lasinrang Aditia Plaque dapat terbentuk pada sampel diakibatkan keberadaan bakteriofag yang
tinggi. Plaque terbentuk akibat difusi keluar oleh virion yang berkembang akibat infeksi bakteri. Akan
tetapi, perlu dilakukan konfirmasi lanjutan untuk mengetahui aktivitas litik dari bakteriofag yang ada
pada sampel dengan plaque. Konfirmasi bakteriofag dilanjutkan dengan uji kekeruhan untuk masing-
masing isolat bakteri inang yang positif terbentuk plaque. Ketidakmampuan beberapa isolat inang
untuk menjadi jernih dalam media cair tetapi mampu menunjukkan plaque pada media padat
disebabkan oleh beberapa kemungkinan diantaranya, terdapat bakteriofag yang hanya mampu
melisiskan bakteri inang pada media agar sebagai akibat perbedaan kondisi lingkungan antara media
padat dengan cair, pertumbuhan host yang terlalu cepat, dan sistem pertahanan terhadap infeksi
bakteriofag secara alami. Namun demikian, diduga kuat bahwa penyebab utama ketidakmampuan
isolat inang untuk menjadi jernih dalam media cair lebih disebabkan oleh kondisi lingkungan media
yang berbeda dan pertumbuhan host yang terlalu cepat. Alasan berupa sistem pertahanan alami dari
inangakan menyebabkan ketidakmampuan isolat inang untuk menjadi jernih di media cair dan tidak
menunjukkan plaque di media padat, sehingga alasan ini tidak dapat digunakan. Berdasarkan hasil
pengamatan pada cawan petri pertama di inokulasi dari limbah cair tanpa dilakukannya pengenceran
dan hasilnya tidak ada plaq yang terbentuk. Cawan petri kedua di inokulasi dari limbah cair dengan
pengenceran 10-1 dan hasilnya tidak ada plaq yang terbentuk. Cawan petri ketiga di inokulasi dari
limbah cair dengan pengenceran 10-2 dan hasilnya ada plaq yang terbentuk. Terakhir cawan petri
sebagai kontrol dan hasilnya tidak ada plaq yang terbentuk. Ada tidaknya plaq yang terbentuk
dikarenakan adanya aktivitas virus karena plaque merupakan hasil infeksi dari satu sel per satu virus
diikuti oleh replikasi dan penyebaran virus tersebut. Kelebihan metode plaque ini yaitu lebih mudah
dan sederhana yaitu dengan melihat zona jernih dari biakan bakteri yang ditumbuhkan. @Copyright
Lasinrang Aditia H. Kesimpulan Adapun kesimpulan dari percobaan ini adalah infeksi bakteriofag
pada bakteri inang umumnya ditandai dengan terbentuknya zona bening pada medium uji. Zona
bening ini merupakan zona terhambatnya pertumbuhan koloni bakteri akibat banyaknya bakteri
yang lisis. Bakteriofag yang bereplikasi pada sel bakteri inang akan menghasilkan enzim pelisis
(endolisin) yang menyebabkan bakteri mengalami lisis. DAFTAR PUSTAKA Addy HS. 2011. Blog Addy.
Bakteriofag untuk Pertanian. http://tophotnews.word press.com/2011/12/21/bakteriofag-untuk–
pertanian (2015). Budzik, J.M. 2003. Phage Isolation and Investigation. Dartmouth Undergraduate
Journal of Sciences Vol. III No. 1, 37 – 43. Haq, A., Irshad, U.l., W.N. Chaudhry, M.N. Akhtar., S.
Andleeb, and I. Qadri. 2012. Bacteriophages and Their Implications on Future Biotechnology: A
Review. Virology Journal. Vol. 9 (9) : 1-12. Nurizkiawan, Z. 2011. Isolasi Bakteriofag dan Aplikasinya
Dalam Mengendalikan Bakteri Patogen Untuk Meningkatkan Keamanan Pangan. Skripsi. Universitas
Brawijaya. Malang. Pelczar, M. J. and E. C. S. Chan. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jakarta: UI Press, 2008.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan bakteri Salmonella spp. pada media selektif


Indikasi bakteri Salmonella dilakukan dengan cara melihat morfologi
bakteri pada media selektif Salmonella-Shigella Agar yaitu berwarna colorless
dengan black center yang membuktikan bahwa koloni tersebut merupakan bakteri
Salmonella spp. Salmonella menghasilkan hidrogen sulfida dari natrium tiosulfat
dan karenanya tampak sebagai koloni merah dengan pusat hitam. Bakteri yang
diduga sebagai Salmonella spp. ditandai dengan warna koloni hitam mengkilat yang
selanjutnya digunakan sebagai biakan murni (Gambar 4.1). Selanjutnya,
Salmonella spp. dilakukan pewarnaan Gram. Setelah dilakukan pewarnaan Gram
ternyata Salmonella spp. termasuk bakteri Gram negatif dengan ciri menghasilkan
batang warna merah muda pada pemeriksaan mikroskopis. Menurut Joklik et al.
(1988) dalam Karsinah et al. (1994), Salmonella spp. merupakan bakteri gram
negatif yang bersifat motil, dengan panjang 1,0 sampai 3,0 µm memiliki lebar 0,8
sampai 1,0 µm. Bentuk Salmonella spp. dengan perbesaran 1000x dapat dilihat pada
Gambar 4.1. Bakteri Salmonella spp. pada media Kligler Iron Agar dapat
memfermentasi dekstrosa dan tidak dapat memfermentasi laktosa, serta mampu
memproduksi H2S. Isolat bakteri Salmonella dari depot air minum pada uji katalase
bersifat positif katalase, hal ini ditandai dengan terbentuknya gelembung gas dan
menunjukkan bahwa isolat bakteri yang diperoleh mampu menghasilkan enzim
katalase. Berdasarkan data confirm by serological tests api 20 E dapat disimpulkan
bahwa 96,6% merupakan bakteri Salmonella spp. (Gambar 4.1.e). Isolat ini siap
digunakan untuk isolat inang pada bakteriofag.
a b c d

Gambar 4.1 Bakteri Salmonella spp. pada SS Agar (a) Mikroskopis bakteri
Salmonella spp. perbesaran 1000x (b) Salmonella spp. pada media KIA (c)
Salmonella spp pada uji katalase (d) hasil uji api 20 E Salmonella spp. (e)

Isolasi Bakteriofag Salmonella spp. dari Biofilm


Isolasi bakteriofag Salmonella spp. dari biofilm dilakukan untuk
memperoleh bakteriofag Salmonella spp. di sumber air, produk air minum serta
depot air minum isi ulang wilayah Cibinong, Jawa Barat. Amplifikasi bakteriofag
dilakukan untuk mendapatkan bakteriofag yang spesifik bagi bakteri Salmonella
spp. Hal ini dilakukan dengan mencampurkan sampel biofilm, medium LB 10x dan
kultur Salmonella spp. yang telah diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37⁰C. Kultur
bakteriofag yang diperoleh kemudian disentrifuse. Supernatan yang diperoleh dari
hasil sentrifuse disaring menggunakan syringe tip steril berpori 0,2
µm. Syringe tip steril berpori 0,2 berfungsi untuk menyaring bakteriofag sehingga
hanya bakteriofag saja yang bisa melewati filter tersebut. Menurut Brown 2001,
Filter ini memiliki ukuran pori 0,2 mikron, yang memegang kembali semua bakteri,
sehingga hanya virion bakteriofag yang melewatinya. Hasil dari penyaringan
tersebut merupakan filtrat bakteriofag. Filtrat bakteriofag merupakan hasil filtrasi
yang dilakukan setelah proses amplifikasi bakteriofag. Fungsi dari amplifikasi
adalah memperbanyak jumlah bakteriofag. Semakin banyak bakteriofag yang
didapatkan, semakin mudah memperoleh bakteriofag spesifik untuk Salmonella.

Uji plaque assay


Sebelum melakukan uji plaque assay, perlu dilakukan peremajaan inang
Salmonella spp. Kultur inang ini telah diinokulasikan 3 jam sebelumnya hingga
mencapai nilai optical density 0,2. Menurut (Atlas, 1995), Nilai optical density
(OD) 0,2-0,5 merupakan kisaran bakteri dalam fase log. Pada fase logaritmik, sel
berada dalam keadaan pertumbuhan yang seimbang. Selama fase ini, masa dan
volume sel meningkat oleh faktor yang sama dalam arti rata-rata komposisi sel dan
konsentrasi relatif metabolit tetap konstan (Brock & Madigan, 1991). Inang yang
digunakan diukur menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 600
nm. Saat nilai OD Salmonella spp. sudah mencapai 0,2 maka inang ini siap
digunakan untuk uji plaque assay. Uji plaque assay merupakan metode yang
digunakan untuk mengetahui unit infeksi virus. Pada saat virus memulai infeksinya
pada sel inang maka akan terbentuk zona bening yang disebut plak. Menurut
(Kusnadi dkk., 2003 dalam Rahmawati, 2012), wilayah terang pada lapisan sel
inang dinamakan plak yang diasumsikan bahwa setiap plak berasal dari satu partikel
virus. Interpretasi positif adanya plak diperoleh dari inang Salmonella spp. pada
pengenceran fag tertentu. Hal ini menandakan bahwa bakteri Salmonella spp. dapat
diinfeksi oleh bakteriofag spesifik Salmonella. Hasil plak yang diperoleh
dikarenakan bakteriofag dan inang Salmonella berada pada satu habitat maka besar
kemungkinan memperoleh bakteriofag spesifik Salmonella. Sampel dengan bakteri
inang Salmonella spp. yang teramati memiliki plak dapat dipastikan positif
memiliki bakteriofag. Hasil isolasi bakteriofag menggunakan Salmonella spp. dapat
dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 4.1. Hasil Isolasi Bakteriofag menggunakan Salmonella spp. dari Beberapa
Sampel
No Sampel Titer
Bakteriofag
1. DAM 0,09 x 106
2. DAM 0,7 x 107
3. Produk Air 1,59 x 107
4. Sumber Air 1,26 x 108
5. Sumber Air 3,32 x 109
6. Sumber Air 1,01 x 109
7. Sumber Air 0,24 x 108
8. Sumber Air 1,3 x 106
Ket: * Plak positif bakteri Salmonella spp. pada sampel DAM

Jumlah plak yang terbentuk pada sampel DAM dengan pengenceran ke-5 yaitu 7 buah.
Penampakannya dapat dilihat pada Gambar 4.4 a.
a b c

Gambar 4.2 Penampakan plak positif Salmonella spp. (a) Hasil zoom
plak positif Salmonella spp. (b) kontrol Salmonella spp. pada media
Luria Bertani (c)

Semakin banyak jumlah plak yang teramati, maka semakin tinggi pula
konsentrasi bakteriofag di dalam sampel. Menurut (Rahaju, 2014), Interpretasi positif
yang ditandai dengan adanya bakteriofag yaitu terbentuknya zona bening (plak). Hal
ini dikarenakan virus menginjeksikan material genetiknya (DNA atau RNA) untuk
bereplikasi dan berkembang menjadi partikel virus dengan menggunakan ’mesin
reproduksi’ sel bakteria dan menyebar dengan melisis sel tersebut. Bakteriofag hanya
dapat menginfeksi satu atau beberapa strain atau spesies bakteri, dan akan menyerap
ke daerah tertentu dari selubung sel inang kemudian menembus sel inang dengan
seluruh virion masuk ke sel genom. Bakteriofag kemudian akan melanjutkan siklus
hidupnya. Setelah menembus sel, beberapa salinan bakteriofag dilepaskan. Bakteriofag
menginfeksi sebagian besar isolat Salmonella dan relatif sedikit dari genera lain
(Bennett et al. 1997 dalam Rahaju, 2014). Bakteriofag telah menginfeksi sel inang
Salmonella maka sel yang tumbuh menjadi semakin terkikis sehingga akan tampak
zona bening yang disebut plak. Menurut (Hagens and Loessner, 2007 dalam Farid dkk.,
2013) bakteriofag virus ini sangat spesifik terhadap spesies dan strain bakteri targetnya.
Plak yang muncul membuktikan bahwa bakteri Salmonella spp. dapat diinfeksi oleh
bakteriofag dari sumber air, produk air minum dan DAM wilayah Cibinong.

Plak yang terbentuk kemudian discrubbing menggunakan ose bulat dan


disentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit. Hasil supernatan kemudian
diambil dan ditambahkan chloroform setiap 1 ml supernatan. Chloroform berguna
untuk menghentikkan aktivitas sel sementara pada isolat bakteriofag. Selanjutnya, hasil
scrubbing tersebut disimpan pada suhu 40C untuk mencegah kerusakan isolat
bakteriofag akibat oksidasi dan kontaminasi.
DAFTAR PUSTAKA

Abedon, S, T, Yin, J. 2009. Bacteriophage

plaques: theory and analysis. Methods.

Mol. Biol. 501(1):161-174

Ackermann, H, W. 2007. 5500 Phages examined in the electron microscope. Archives of Virology.
152(2):227-243

Adam, MH. 1959. Bacteriophage. Interscience Publishers, Inc. New York

Alba, S, Bakker, M, I, Hatta, M, Scheelbeek, P,

F, Dwiyanti, R, Usman, R, Andi, S, M,

Tandirogang, N, Amir, M, Pastoor, R,

Beers, S, V, Smits, H, L, Yasir, Y. 2016

Risk factors of typhoid infection in the

indonesian archipelago. PloS one. 11(6)

Atterbury, R, J, Connerton, P, L, Dodd, C,

E, Rees, C, E, Connerton, I, F. 2003.

Isolation and characterization of

Campylobacter bacteriophages from

retail poultry. Appl. Environ. Microbiol.

69(8):4511-4518

Buckle, G, C, Walker, C, L, F, Black, R, E.

2012. Typhoid fever and parjensenatyphoid fever: Systematic review to estimate global morbidity and
mortality

for 2010. J. Glob. Health. 2(1)

Casjens, S, R. 2008. Diversity among the

tailed-bacteriophages that infect

the Enterobacteriaceae. Res Microbiol.

159(5):340-348
Cheng, J, H, Yang, H, Liu, M, L, Su, W, Feng,

P, M, Ding, H, Chen, W, Lin, H. 2018.

Prediction of bacteriophage proteins

located in the host cell using hybrid

features. Chemometrics and Intelligent

Laboratory Systems. 180:64-69

Crump, J, A, Luby, S, P, Mintz, E, D. 2004.

The global burden of typhoid fever.

Bull. World. Health. Organ. 82:346-353

Connerton, PL, Connerton, IF. 2005. ‘Microbial treatments to reduce pathogens in

poultry meat’. Dalam GC Mead (ed.).

Food Safety Control in the Poultry Industry. Woodhead Publishing Ltd., Cambridge

Donnison AM, Ross, CM. 2014. ‘Thermotolerant Campylobacter’. Dalam A Søren.

Microbiological Safety of Meat volume 2.

Elsevier, UK

Gallet, R, Kannoly, S, Wang, I, N. 2011. Effects of bacteriophage traits on plaque

formation. BMC microbiology. 11(1):181

Harada, L, K, Silva, E, C, Campos, W, F,

Del Fiol, F, S, Vila, M, Dabrowska, K,

Krylov, V, N, Balcão, V, M. 2018. Biotechnological applications of bacteriophages: State of the art.


Microbiological

Research. 212:38-58

Hatta, M, Ratnawati. 2008. Enteric fever in

endemic areas of indonesia: an increasing problem of resistance. J. Infect. Dev.

Ctries. 2(4):279-282

Heyse, S, Hanna, L, F, Woolston, J, Sulakvelidze, A, Charbonneau, D. 2015. Bacteriophage cocktail for


biocontrol of Salmonella in dried pet food. J Food. Prot.

78(1):97-103

Jamalludeen, N, Johnson, R, P, Friendship, R,


Kropinski, A, M, Lingohr, E, J, Gyles,

C, L. 2007. Isolation and characterization of nine bacteriophages that lyse

O149 enterotoxigenic Escherichia coli.

Veterinary Microbiology. 124(1):47-57

Jensen, K, C, Hair, B, B, Wienclaw, T, M, Murdock, M, H, Hatch, J, B, Trent, A, T,

White, T, D, Haskell, K, J, Berges, B, K.

2015. Isolation and host range of bacteriophage with lytic activity against

methicillin-resistant Staphylococcus aureus and potential use as a fomite decontaminant. PloS one.
10(7)

Kang, H, W, Kim, J, W, Jung, T, S, Woo, G,

J. 2013. Wksl3, a new biocontrol agent

for Salmonella enterica serovars Enteritidis and Typhimurium in foods:

characterization, application, sequence

analysis, and oral acute toxicity study.

Applied and Environmental Microbiology. 79(6):1956-1968

Kittler, S, Wittmann, J, Mengden, R, A, L, P,

Klein, G, Rohde, C, Lehnherr, H. 2017.

The use of bacteriophages as OneHealth approach to reduce multidrugresistant bacteria. Sustainable


Chemistry

and Pharmacy. 5:80-83

Loessner, M,J, Busse, M. 1990. Bacteriophage

typing of Listeria species. Applied and

Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 19 No. 2 [Agustus 2018] 107-116

Isolasi dan Karakterisasi Bakteriofag Spesifik Salmonella typhi [Hardanti dkk]

115

Environmental Microbiology. 56(6):1912-

1918

Malik, D, J, Sokolov, I, J, Vinner, G, K, Mancuso, F, Cinquerrui, S, Vladisavljevic,

G, T, Clokie, M, R, J, Garton, N, J, Stapley, A, G, F, Kirpichnikova, A. 2017.


Formulation, stabilisation and encapsulation of bacteriophage for phage

therapy. Advances in Colloid and Interface Science. 249:100-133

Marcó, M, B, Reinheimer, J, A, Quiberoni,

A. 2010. Phage adsorption to Lactobacillus plantarum: Influence of physiological and environmental


factors. International Journal of Food Microbiology.

138(3):270-275

McNerney, R, Kambashi, B, S, Kinkese, J,

Tembwe, R, Godfrey-Faussett, P.

2004. Development of a bacteriophage

phage replication assay for diagnosis

of pulmonary tuberculosis. Journal of

Clinical Microbiology. 42(5):2115-2120

Microbe-canvas. 2018. Salmonella typhi. Dilihat 19 Maret 2018.


<http://microbecanvas.com/Bacteria.php?p=1268>

Mogasale, V, Maskery, B, Ochiai, R, L, Lee,

J, S, Mogasale, V, V, Ramani, E, Kim,

Y, E, Park, J, K, Wierzba, T, F. 2014.

Burden of typhoid fever in low-income and middle-income countries:

a systematic, literature-based update

with risk-factor adjustment. The Lancet

Global Health. 2(10):e570-e580

Moldovan, R, Chapman-Mcquiston, E,

Wu, X, L. 2007. Biophysical Journal.

93(1):303-315

Ochiai, R, L, Acosta, C, J, Danovaro-Holliday,

M, C, Baiqing, D, Bhattacharya, S, K,

Agtini, M, D, Bhutta, Z, A, Chanh, D,

G, Ali, M, Shin, S, Page, A, L, Albert,

M, J, Farrar, J, Abu-Elyazeed, R, Pang,


T, Galindo, , C, M, Von Seidlein, L,

Clemens, J, D. 2008. A study of typhoid

fever in five asian countries: disease

burden and implications for controls.

Bulletin of the World Health Organization. 86(4):260-268

Paunikar, W, N, Sanmukh, S, G, Ghosh, T, K.

2012. Effect of metal ions and chemical

solvents on the adsorption of salmonella phage on salmonella choleraesuis

subspecies Indica. International Journal of Pharma and Bio Sciences. 3:181-190

Pedulla, M, L, Ford, M, E, Houtz, J, M,

Karthikeyan, T, Wadsworth, C, Lewis,

J, A, Jacobs-Sera, D, Falbo, J, Gross, J,

Pannunzio, N, R, Brucker, W, Kumar

V, Kandasamy, J, Keenan, L, Bardarov,

S, Kriakov J, Lawrence, J, G, Jacobs, W,

R, Jr, Hendrix, R, W, Hatfull, G, F. 2003.

Origins of highly mosaic mycobacteriophage genomes. Cell. 113(2):171-182

Rao, S, P, N. 2006 Bachteriopage. Dilihat tanggal

24 September 2016. <http://www.microrao.com/micronotes/bacteriophage.pdf>

Rattanachaikunsopon, P, Phumkhachorn,

P. 2009. Prophylactic effect of Andrographis paniculata extracts against

Streptococcus agalactiae infection in

Nile tilapia (Oreochromis niloticus).

Journal of Bioscience and Bioengineering.

107(5):579-582

Sambrook, J, Russell, D. W. 2018. Molecular

cloning: a laboratory manual. Dilihat

12 Juli 2018. < https://www.cshlpress.com/pdf/sample/2013/MC4/

MC4FM.pdf>
Sans, P, Combris, P. 2015. World meat consumption patterns: an overview of the

last fifty years (1961–2011). Meat Science. 109:106-111

Santos, S, B, Costa, A, R, Carvalho, C, Nóbrega, F, L, Azeredo, J. 2018. Exploiting

Bacteriophage Proteomes: The Hidden

Biotechnological Potential. Trends in

Biotechnology. 36(9):966-984

Shende, R, K, Hirpurkar, S, D, Sannat, C,

Rawat, N, Pandey, V. 2017. Isolation

and characterization of bacteriophages with lytic activity against common

bacterial pathogens. Veterinary World.

10(8):973-978

Storms, Z, J, Sauvageau, D. 2015. Modeling

tailed bacteriophage adsorption: Insight into mechanisms. Virology.

485:355-362

Strydom, A, Witthuhn, C, R. 2015. Listeria

monocytogenes: a target for bacteriophage biocontrol. Comprehensive Reviews in Food Science and
Food Safety.

14(6):694-704

Susianto, G, Farid, M, M, Dhany, N, R,

Addy, H, S. 2014. Host range for bacteriophages that infect bacterial blight

pathogen on soybean. Procedia Environmental Sciences. 20:760-766

Wang, N. 2006. Lysis timing and bacteriophage fitness. Genetics. 172(1):17-26

Wu, D, Alali, W, Q, Harrison, M, A, Hofacre,

C, L. 2014. Prevalence of Salmonella in

neck skin and bone of chickens. Journal

of Food Protection. 77(7):1193-1197

Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 19 No. 2 [Agustus 2018] 107-116

Isolasi dan Karakterisasi Bakteriofag Spesifik Salmonella typhi [Hardanti dkk]

116
Yang, H, Liang, L, Lin, S, Jia, S. 2010. Isolation and characterization of a virulent

bacteriophage AB1 of Acinetobacter

baumannii. BMC Microbiology. 10(1):131

Zemb, O, Manefield, M, Thomas, F, Jacquet, S.

2013. Phage adsorption to bacteria in the

light of the electrostatics: A case study using E. coli, T2 and flow cytometry. Journal

of Virological Methods. 189(2):283-289

Anda mungkin juga menyukai