Anda di halaman 1dari 6

Berakhirnya Perang Makassar tahun 1669

2 tahun yang lalu

Dari : Yuliana, Max Havelaar 2015

Ketika Sultan Hasanuddin menjadi Karaeng Gowa tahun 1653 dan Karaeng Karunrung menjadi
Tuma’bicara-butta setahun kemudian, keduanya mewarisi sebuah kerajaan kuat dengan perdagangan
internasional yang sedang berkembang. Pada masa tersebut, perebutan kekuasaan politik di Sulawesi
Selatan berakhir dengan kemenangan Gowa atas kerajaan-kerajaan Bugis dan Makassar. Saat itu,
kelihatannya tidak ada yang dapat mengancam kedudukan Gowa sebagai pemimpin kekuatan politik dan
ekonomi di bagian timur Nusantara. Namun, supremasi Gowa tersebut segera berakhir oleh persekutuan
tak terduga antara VOC dan Arung Palakka dari Bone serta sebagian besar orang Bugis Bone dan
Soppeng.

Hubungan antara Gowa dan VOC sejak permulaan abad ke-17 telah dibayangi oleh persaingan untuk
menguasai perdagangan rempah-rempah. Sepanjang Paruh Pertama abad ke-17, Kompeni terus
memcoba meyakinkan para Karaeng Goa (Gowa) untuk membatasi perdagangan. Berbagai peristiwa atau
konflik antar kedua belah pihak tersebut telah memperkeruh suasana perpolitikan di Sulawesi Selatan.
Sepanjang pertengahan abad ke-17, kota pelabuhan Makassar di Somba Opu (Sambo Epo atau
Samboppe dalam Bahasa Belanda saat itu) berkembang dengan sejumlah kekayaan yang diperolehnya
dari hasil perdagangan internasional. Hal tersebut menjadi alat yang menjamin reputasi Gowa sebagai
penguasa yang tidak terkalahkan di Sulawesi Selatan dan di banyak wilayah di luar pulau. Kerajaan Gowa
terkenal sangat kuat, kapal dagang dan duta asing yang datang ke Makassar bersaksi atas kebesaran
Gowa. Namun, keberhasilan Gowa harus diperoleh dengan menyemai kebencian orang-orang Bugis Bone
dan Soppeng serta menciptakan kecemburuan dari pesaing ekonomi di daerah ini. Gabungan dari dua
faktor inilah yang kemudian membawa kejatuhan Kerajaan Gowa-Tallo kelak.

Pada masa inilah, sosok Arung Palakka La Tenritatta muncul dalam panggung sejarah di Sulawesi Selatan
dan bangkit memimpin orang Bugis Bone dan Soppeng yang tertindas di bawah kekuasaan Gowa. Dia
dikenal dengan panggilan Petta Malampe’e Gemme’na (Pangeran Berambut Panjang) dan Daeng Serang
ketika tumbuh sebagai pemuda di Istana Gowa. Selama Perang Makassar dan sesudahnya dia juga diberi
gelar untuk menandai pencapaiannnya, To Unru’ atau To Appaunru’, “Sang Penakluk”. Semuanya itu
diperoleh selama perlawanannya melawan Gowa dalam merebut hegemoni politik di Sulawesi Selatan.

Perang Makassar telah berlangsung dengan begitu hebatnya. Sejak tahun 1660, konflik bersenjata antara
Kerajaan Gowa-Tallo dan pihak VOC Belanda semakin memanas dengan dikuasainya Benteng
Panakkukang oleh VOC. Adanya peristiwa penggalian parit oleh para tawanan perang Bugis (termasuk
dari kalangan bangsawan) dari benteng Barombong hingga Ujung Tana pada Juli 1660 dianggap
merupakan tindakan pelecehan terhadap harga diri seluruh bangsa Bugis. Di bawah pimpinan Arung
Palakka, orang-orang Bugis tersebut kemudian melakukan pemberontakan terhadap Gowa dan menjalin
persekutuan dengan pihak VOC Belanda. Orang-orang Bugis yang ikut bersama dengan Arung Palakka ke
Batavia setelah beberapa saat berlindung di Buton kemudian disebut dengan julukan To Angke atau
Orang Angke (berasal dari Sungai Angke yang mengalir melintasi pemukiman orang-orang Bugis di
Batavia.

Tahun 1666 adalah titik balik bagi nasib Kerajaan Gowa. Memuncaknya kegelisahan Bone dan Soppeng di
bawah kekuasaan Gowa membuat dua kekuataan Bugis ini berkeinginan untuk meruntuhkan kekuasaan
Kerajaan Gowa. VOC yang memang telah lama mencari alasan dan sekutu untuk menyerang Gowa
lantaran keinginan monopoli perdagangannya terhalang oleh Raja Gowa akhirnya menemukan alasan
untuk hal tersebut. Tahun 1662, kapal Belanda De Walvis tenggelam di perairan Makassar dan enam
belas meriam serta barang lainnya diambil pengikut Karaeng Tallo dan Karaeng Sumanna, kasus lainnya
yaitu karamnya kapal Belanda Leeuwin di kepulauan Don Duango (sumber lain menyebutnya Dayang
dayangang). pada 24 Desember 1664 dimana Sultan Hasnuddin tidak memberikan izin kepada Belanda
untuk menuju ke tempat kapal itu karam. Namun meski tidak mendapat izin, Verspreet, kepala Pos
Belanda di Makassar tetap mengirim Asisten Saudagar Cornelis Kuyff dan empat belas orang lainnya yang
kemudian terbunuh di pulau itu. Masalah tersebut tidak pernah dianggap selesai oleh pihak Belanda,
lantaran pihak Gowa meski telah dikirimi pesan oleh Cornelis J. Speelman, tetap tidak ingin
bertanggungjawab atas kejadian tersebut. Pihak VOC sendiri melihat kehadiran Arung Palakka dan To
Angke-nya sebagai pihak yang sangat berguna untuk perang melawan Gowa. Faktor utama yang
menguntungkan VOC di tahun 1666 ini adalah terlibatnya pertempuran pribadi Arung Palakka dan
Laksamana Speelman ke dalam perseteruan yang melibatkan Kompeni dan seluruh Sulawesi Selatan.
Kerjasama mereka terbukti amat penting dalam membentuk keadaan dalam misi yang dijalankan dan
mempercepat perseteruan antara Kompeni/VOC, Bone-Soppeng dan Gowa dalam Perang Makassar.

Kerajaan Gowa-Tallo beserta dengan sekutu-sekutunya telah dalam keadaan terdesak oleh kekuatan VOC
di bawah komando Laksamana Cornelis J. Speelman serta Bone-Soppeng di bawah pimpinan Arung
Palakka. Kekalahan Gowa oleh pasukan koalisi tersebut di Benteng Barombong pada tahun 1667 semakin
memperlemah posisi kekuatan kerajaan tersebut dalam melawan musuh-musuhnya. Hal tersebut
semakin diperparah dengan semakin merosotnya wibawa Gowa di mata kerajaan-kerajaan bawahannya.
Wilayah-wilayah di sekitar Kerajaan Gowa kini mulai meninggalkan kerajaan tersebut satu persatu dan
menggantungkan nasib pada tuan-tuan baru. Bahkan di Somba Opu, Makassar, pembelotan menjadi
semakin sering terjadi.

Perundingan damai dimulai pada tanggal 13 November 1667 di sebuah desa kecil dekat Barombong
bernama Bungaya. Pihak VOC Belanda-Bugis yakin bahwa pihak Gowa-Tallo dan sekutunya akan setuju
untuk mengakhiri peperangan. Perundingan damai pun dilaksanakan di desa Bungaya, dekat pada 18
November 1667. Dari pihak VOC-Bone hadir Speelman, Arung Palakka, Sultan Mandarsyah dari Ternate
dan beberapa bangsawan Bugis Bone dan Soppeng yang lainnya. Adapun dari Pihak Gowa-Tallo, telah
hadir Sultan Hasanuddin dan seluruh bangsawan tinggi, kecuali Karaeng Tallo yang sedang sakit.
Perundingan antara kedua belah pihak dilakukan dalam bahasa Melayu dan Portugis. Speelman yang
mewakili VOC dan Karaeng Karunrung yang mewakili Kerajaan Gowa-Tallo, kemudian berunding dalam
bahasa Portugis. Adapun poin-poin dalam Perjanjian Bongaya (Het Bongaisch Verdrag/Cappaya ri
Bungaya) tersebut ialah:

Menghargai dua perjanjian sebelumnya (1660) yang dibuat Jacob Cau di Makassar dan Karaeng Popo di
Batavia.

Segera mengembalikan seluruh orang Belanda yang sejak dulu hingga kini melarikan diri ke Makassar.

Mengembalikan seluruh meriam, peralatan, dan lain-lainnya yang tersisa dari kapal Leuwin dan Walvisch
yang kini masih ada di Makassar.

Mengadili semua yang bertanggung jawab terhadap pembunuhan yang terjadi.

Mengamankan seluruh utang yang masih harus dibayar pada VOC

Bebaskan dan hilangkan seluruh kekuasaan Gowa atas tanah Bugis, sekutu VOC.

Serahkan kepada VOC dan sekutunya seluruh daerah yang direbut selama perang ini.

Bebaskan Turatea dari kekuasaan Kerajaan Gowa.

Bayar ganti rugi akibat kerusakan terhadap rakyat dan harta Sultan Ternate di Sula, bebaskan seluruh
wilayah yang selama ini dikuasai Yang Mulia sejak lama, dan bayar kompensasi untuk lima belas meriam
dan senjata-senjata yang lebih kecil yang diambil dari Sula.

Bayar kompensasi atas penjarahan yang dilakukan pada ekspedisi terakhir di Buton.

Lepaskan kekuasaan atas Bima dan serahkan kepada VOC.

Batasi pelayaran orang Makassar dan permintaan mereka untuk izin lewat.
Batalkan hak berdagang orang Makassar ke seluruh orang berkebangsaan Eropa untuk selama-lamanya.

Serahkan hanya kepada VOC perdagangan pakaian dan barang-barang Cina.

Hancurkan seluruh benteng Makassar kecuali Somba Opu.

Serahkan hak atas benteng utara, Ujung Pandang, kepada VOC dan tidak lagi mencampuri urusan orang-
orang yang akan tinggal di sana.

Perdagangan bebas bea bagi VOC.

Tidak membangun lagi benteng baru tanpa persetujuan VOC.

Bayar kompensasi pada VOC terhadap kerusakan barang-barang akibat perang.

Serahkan Sultan Bima dan “kaki tangan”nya.

Serahkan Karaeng Bontomarannu.

Mensyahkan koin Belanda, besar dan kecil, di Makassar.

Tidak memberi bantuan langsung ataupun tidak langsung kepada Wajo, Bulo-Bulo dan Mandar, karena
negeri-negeri ini telah melakukan kesalahan terhadap VOC.

Membayar denda kepada VOC 1.500 budak atau yang senilai dengan itu.

VOC akan memberi bantuan dan persahabatan kepada orang Makassar dan sekutunya.

Kerajaan Gowa harus mengirim orang-orang terkemuka dari pemerintahannya untuk berangkat ke
Batavia dengan Speelman untuk meminta konfirmasi atas perjanjian ini dari Gubernur Jenderal dan, jika
dia menginginkan, orang-orang ini akan tinggal di Batavia sebagai sandera.

Kemenangan Speelman dengan bantuan sekutu-sekutunya, Arung Palakka (Bone), Sultan Mandarsyah
(Ternate), Kapiten Jonker van Manipa (Ambon), dan Buton disambut dengan gembira oleh pihak VOC di
Batavia dengan berpesta pora. Mereka berkeliling kanal-kanal di Batavia di atas perahu-perahu
aroembasi yang dihias. Tetapi tidak demikian dengan keadaan yang dialami oleh Speelman dan kawan-
kawannya di Makassar. Mereka terserang wabah penyakit. Sesuai dengan isi Perjanjian Bongaya, maka
Benteng Ujung Pandang atau Jumpandang (Jou Parden) diambil alih oleh Speelman. Istana dan rumah-
rumah adat Kerajaan Gowa yang ada di dalam benteng tersebut di bumihanguskan, dan diganti dengan
bangunan bergaya Eropa. Namanya kemudian diganti menjadi Fort Rotterdam, sesuai dengan nama
tempat kelahiran Speelman yakni Rotterdam. Dengan kekalahan Sultan Hasanuddin, wilayah Makassar
terpecah ke dalam dua kekuasaan. Benteng Ujung Pandang/Fort Rotterdam dan sekitarnya sampai ke
utara di bawah kekuasaan VOC, kecuali daerah Kerajaan Tallo. Sedangkan di bagian selatan, yakni
Benteng Somba Opu dan sekitarnya masih tetap dimiliki oleh Kerajaan Gowa.
Ternyata banyak pembesar Kerajaan Gowa dan sekutu-sekutunya yang menolak isi Perjanjian Bongaya
tersebut. Tiga orang sekutu terdekat Sultan Hasanuddin, Karaeng Tallo, Karaeng Lengkese, dan Arung
Matoa Wajo To Sengngeng, tidak setuju kepada perjanjian-perjanjian tersebut. Mangkubumi Kerajaan
Gowa, Karaeng Karunrung, merupakan salah seorang pembesar istana yang menentang diadakannya
Perjanjian Bungaya. Pada 21 April 1668, pertempuran terjadi lagi di bawah pimpinan Karaeng Karunrung.
Pasukan-pasukan inti Gowa bergerak menuju Fort Rotterdam. Dalam pertempuran itu, Arung Palakka
menderita luka-luka. Tanggal 5 Agustus 1668, Karaeng Karunrung sekali lagi menyerang Fort Rotterdam.
Sayang penyerangan tersebut gagal karena VOC mendapatkan bantuan dari pasukan Bugis dan Ternate.

VOC dipimpin oleh Speelman lalu memblokade perairan Makassar secara ketat. Sementara itu pasukan
Bugis pimpinan Arung Palakka memusnahkan sawah-sawah dan ladang-ladang di sekitar Somba Opu,
sehingga persediaan pasokan makanan menjadi berkurang. Pada April 1669, Speelman membangun
meriam-meriam besar baru yang larasnya diarahkan langsung ke Benteng Somba Opu. Sementara itu,
bala bantuan dari Batavia terus bertambah. Adapun penggalian parit-parit terus berjalan sampai Juni
dan telah mendekati Istana Raja Gowa di Somba Opu. Akhirnya, setelah perang habis-habisan selama 10
hari, pada 24 Juni 1669 Benteng Somba Opu jatuh ke tangan VOC. Sebanyak 270 pucuk meriam besar,
kecil, termasuk diantaranya meriam keramat “ana’ Makassar” dirampas oleh Speelman. Setelah
penaklukkan Somba Opu, VOC memastikan bahwa benteng tersebut tidak akan pernah lagi digunakan
sebagai benteng utama. Benteng dan Istana Somba Opu kemudian dihancurkan rata dengan tanah.
Seluruh senjata yang masih ditemukan di benteng itu dibuang ke laut dan dinding benteng yang
menghadap ke utara dan ke laut Selat Makassar beserta bastion lautnya dihancurkan. Penaklukkan
Benteng Somba Opu merupakan salah satu perang tersulit yang pernah dihadapi oleh VOC di kawasan
timur Kepulauan Nusantara.

Satu-satunya benteng pertahanan Kerajaan Gowa-Tallo yang masih bertahan ialah Benteng Kale Gowa
dan Ana’ Gowa. Setelah Benteng Somba Opu dihancurkan, maka Sultan Hasanuddin mengundurkan diri
ke Kale Gowa, di Maccini Sombala. Sebagian alat-alat pertahanan yang dapat diselamatkan dari Benteng
Somba Opu, dipusatkan penempatannya di Benteng Kale Gowa. Adapun Karaeng Karunrung yang
berkedudukan di Bontoala, mengundurkan diri ke Benteng Ana’ Gowa di Taenga yang terletak di
seberang Sungai Je’ne Berang.

Sementara itu, Sultan Hasanuddin mengundurkan diri dari takhta Kerajaan Gowa. Beliau digantikan oleh
putranya, I Mappasomba yang bergelar Sultan Amir Hamzah. Usaha pertama yang dilakukannya ialah
dengan mencoba melakukan hubungan diplomatik dengan Susuhunan Amangkurat I dari Kerajaan
Mataram Islam untuk meminta bantuan, namun tidak berhasil. Sementara itu, telah terjadi keretakan di
antara kalangan pembesar Kerajaan Gowa. Pada 27 Juni 1669, terjadi perjanjian baru antara VOC dengan
Gowa. Dalam perjanjian tersebut, Kerajaan Gowa akan berdamai secara penuh kepada VOC di Batavia.
Sultan Amir Hamzah, Karaeng Tallo dan Karaeng Lengkese, mengirim surat kepada G.G.J. Maetsuycker,
dalam mana dinyatakan bahwa mereka akan datang ke Batavia untuk mengekalkan perdamaian.

Pada 20 Desember 1669, di Batavia diadakanlah upacara perdamaian yang semarak. Dari pihak Gowa,
Karaeng Lengkese dan Karaeng Tallo datang bersama 400 orang pengikutnya. Karaeng Bisei hadir sebagai
wakil dari ayahnya Sultan Amir Hamzah dengan pengikutnya sebanyak 140 orang. Karaeng Karunrung
mengirim putranya untuk mewakili dirinya. Juga hadir Kaicil Kalumata, seorang Pangeran Ternate yang
menikah dengan saudara Karaeng Tallo, dengan 150 orang pengikutnya. Arung Palakka mewakili sekutu-
sekutunya dengan 800 orang pengikut. Speelman dan Kapiten Jonker van Manipa hadir dengan
mengenakan pakaian kebesaran masing-masing.

Pada upacara itu, menurut protokol, semua karaeng menyerahkan kerisnya kepada G.G.J. Maetsuycker,
sebagai tanda penyerahan. Speelman lalu mengucapkan syukur bahwa perang yang paling besar ini dan
telah berlangsung bertahun-tahun lamanya sudah berhasil dimenangkan serta diakhiri oleh VOC. Setelah
itu, G.G.J. Maetsuycker menyerahkan kembali keris-keris para pembesar Kerajaan Gowa tersebut.
demikianlah pertempuran-pertempuran telah berakhir. VOC lalu meratakan semua benteng pertahanan
Kerajaan Gowa, baik di sepanjang pesisir pantai Makassar (kecuali Fort Rotterdam) maupun yang ada di
pedalaman. Semuanya dilakukan agar melemahkan kekuatan militer Kerajaan Gowa, terutama kekuatan
armada lautnya. Setelah berakhirnya Perang Makassar, tidak ada lagi kerajaan maritim di Kepulauan
Nusantara bagian timur yang mengganggu dominasi dan monopoli perdagangan VOC.

Anda mungkin juga menyukai