a. memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya
sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik
Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia;
e. membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung
jawab;
f. meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna mempercepat perwujudan
kesejahteraan umum;
g. meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan masyarakat Desa yang
mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional;
Desa terdiri atas Desa dan Desa Adat. Desa Adat adalah sebuah kesatuan masyarakat hukum adat yang
secara historis mempunyai batas wilayah dan identitas budaya yang terbentuk atas dasar teritorial yang
berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa berdasarkan hak asal usul.
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat melakukan
penataan Desa yang bertujuan:
Penataan meliputi:
a. pembentukan; merupakan tindakan mengadakan Desa baru di luar Desa yang ada, ditetapkan dengan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan prakarsa masyarakat Desa, asal usul,
adat istiadat, kondisi sosial budaya masyarakat Desa, serta kemampuan dan potensi Desa.
b. penghapusan; Desa dapat dihapus karena bencana alam dan/atau kepentingan program nasional
yang strategis.
c. penggabungan; Dua Desa atau lebih yang berbatasan dapat digabung menjadi Desa baru berdasarkan
kesepakatan Desa yang bersangkutan dengan memperhatikan persyaratan yang ditentukan Undang-
Undang.
d. perubahan status; Desa dapat berubah status menjadi kelurahan berdasarkan prakarsa Pemerintah
Desa dan Badan Permusyawaratan Desa melalui Musyawarah Desa dengan memperhatikan saran dan
pendapat masyarakat Desa.
e. penetapan Desa.
Perangkat Desa terdiri atas:
a. sekretariat Desa;
c. pelaksana teknis.
Perangkat desa bertugas membantu Kepala Desa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala
sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa.
a. pendapatan asli Desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan
lain-lain pendapatan asli Desa;
d. alokasi dana Desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota;
e. bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota;
f. hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan
Alokasi anggaran bersumber dari Belanja Pusat dengan mengefektifkan program yang berbasis Desa
secara merata dan berkeadilan. Bagian hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota paling
sedikit 10% dari pajak dan retribusi daerah. Alokasi dana Desa paling sedikit 10% dari dana perimbangan
yang diterima Kabupaten/Kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setelah dikurangi Dana
Alokasi Khusus. Dalam rangka pengelolaan Keuangan Desa, Kepala Desa melimpahkan sebagian
kewenangan kepada perangkat Desa yang ditunjuk
BLU adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari
keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. PPK-
BLU adalah Pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk
menerapkan praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
ASAS BLU
1. BLU beroperasi sebagai unit kerja kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah untuk
tujuan pemberian layanan umum yang pengelolaannya berdasarkan kewenangan yang
didelegasikan oleh instansi induk yang bersangkutan.
2. BLU merupakan bagian perangkat pencapaian tujuan kementerian negara/ lembaga/
pemerintah daerah dan karenanya status hukum BLU tidak terpisah dari kementerian
negara/lembaga/pemerintah daerah sebagai instansi induk.
3. Menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota bertanggung jawab atas pelaksanaan
kebijakan penyelenggaraan pelayanan umum yang didelegasikannya kepada BLU dari segi
manfaat layanan yang dihasilkan.
4. Pejabat yang ditunjuk mengelola BLU bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan pemberian
layanan umum yang didelegasikan kepadanya oleh menteri/pimpinan
lembaga/gubernur/bupati/ walikota.
5. BLU menyelenggarakan kegiatannya tanpa mengutamakan pencarian keuntungan.
6. Rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja BLU disusun dan disajikan
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan
dan kinerja kementerian negara/lembaga/SKPD/pemerintah daerah.
7. BLU mengelola penyelenggaraan layanan umum sejalan dengan praktek bisnis yang sehat.
PENGELOLAAN KEUANGAN
1. PENDAPATAN/BELANJA Pendapatan BLU terdiri dari:
1. Penerimaan anggaran dari APBN
2. Pendapatan operasional BLU (meliputi hasil penjualan barang/jasa, hibah, dan hasil kerja
sama dengan pihak lain)
Dalam hal terjadi kekurangan anggaran Rupiah Murni, dapat mengajukan tambahan anggaran
kepada Menkeu melalui Menteri/Pimpinan lembaga.
2. Pengelolaan Kas
1. merencanakan penerimaan dan pengeluaran kas
2. melakukan pemungutan pendapatan atau tagihan
3. menyimpan kas dan mengelola rekening bank
4. melakukan pembayaran
5. mendapatkan sumber dana untuk menutup defisit jangka pendek
6. memanfaatkan surplus kas jangka pendek untuk memperoleh pendapatan tambahan.
3. Pengelolaan Piutang dan Utang
BLU dapat memberikan piutang sehubungan dengan penyerahan barang, jasa, dan/atau
transaksi lainnya yang berhubungan langsung atau tidak langsung dengan kegiatan BLU. (Ps. 17
BLU dapat memiliki utang sehubungan dengan kegiatan operasional dan/atau perikatan
peminjaman dengan pihak lain. (Ps. 18)
4. Investasi
BLU tidak dapat melakukan investasi jangka panjang, kecuali atas persetujuan Menteri
Keuangan/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
5. Pengelolaan Barang
Pengadaan barang/jasa oleh BLU dilakukan berdasarkan prinsip efisiensi dan ekonomis, sesuai
dengan praktek bisnis yang sehat.
6. Penyelesaian Kerugian
Setiap kerugian negara/daerah pada BLU yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau
kelalaian seseorang diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai penyelesaian kerugian negara/daerah.
AKUNTANSI, PELAPORAN, DAN PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN
BLU menyelenggarakan akuntansi sesuai dengan SAK yang diterbitkan asosiasi profesi akuntan
Indonesia. Jika tidak ada stndar akuntansi, dapat menerapkan standar akuntasi industri yang spesifik
setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.
Laporan keuangan terdiri dari LRA, Neraca, LAK, dan CaLK disertai laporan kinerja
SURPLUS/DEFISIT
Surplus anggaran dapat digunakan untuk tahun anggaran berikutnya. Surplus dapat disetor sebagian/
seluruhnya ke Kas Negara/ Kas Daerah atas perintah MenKeu/ Kepala Daerah dengan
mempertimbangkan likuiditas BLU Defisit anggaran dapat diajukan pembiayaannya dalam tahun
anggaran berikutnya kepada MenKeu/ Kepala Daerah melalui menteri/ pimpinan lembaga/ kepala SKPD
Berdasarkan PP No. 23 Tahun 2005, BLU perlu menetapkan suatu pedoman akuntansi yang akan
digunakan sebagai pedoman pengembangan standar akuntansi / sistem akuntansi BLU. Pedoman
akuntansi BLU bertujuan:
- Menjadi acuan dalam pengembangan standar akuntansi BLU di bidang industry spesifik,
khususnya dalam hal belum terdapat standar akuntansi keuangan yang diterbitkan oleh asosiasi
profesi Indonesia yang dapat diterapkan oleh BLU.
- Menjadi acuan dalam pengembangan dan penerapan system akuntansi keuangan BLU sesuai
dengan jenis industrinya.
Sistem akuntansi BLU adalah serangkaian prosedur manual maupun yang terkomputerisasi mulai dari
proses pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran dan pelaporan keuangan BLU. Setiap transaksi
keuangan BLU harus diakuntansikan dan dokumen pendukungnya dikelola secara tertib.
Sistem Akuntansi BLU terdiri dari:
a. sistem akuntansi keuangan, yang menghasilkan Laporan Keuangan pokok untuk keperluan
akuntabilitas, manajemen, dan transparansi;
b. sistem akuntansi aset tetap, yang menghasilkan laporan aset tetap untuk keperluan manajemen aset
tetap; dan
c. sistem akuntansi biaya, yang menghasilkan informasi biaya satuan (unit cost) per unit layanan,
pertanggungjawaban kinerja ataupun informasi lain untuk kepentingan manajerial.
Laporan keuangan pokok disusun sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang ditetapkan
oleh asosiasi profesi akuntansi Indonesia /standar akuntansi industri spesifik dan Standar Akuntansi
Pemerintahan (SAP). Laporan keuangan sesuai dengan SAK digunakan untuk kepentingan pelaporan
kepada pengguna umum laporan keuangan BLU dalam hal ini adalah stakeholders, yaitu pihak-pihak
yang berhubungan dan memiliki kepentingan dengan BLU. Sedangkan laporan keuangan yang sesuai
dengan SAP digunakan untuk kepentingan konsolidasi laporan keuangan BLU dengan laporan keuangan
kementerian negara/lembaga.
Laporan Keuangan adalah bentuk pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara/daerah selama
suatu periode.
Kinerja adalah keluaran/hasil dari kegiatan/program yang hendak atau telah dicapai sehubungan dengan
penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas terukur.
Laporan Kinerja adalah ikhtisar yang menjelaskan secara ringkas dan lengkap tentang capaian Kinerja
yang disusun berdasarkan rencana kerja yang ditetapkan dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD.
Laporan Realisasi Anggaran adalah laporan yang menggambarkan realisasi pendapatan, belanja, dan
pembiayaan selama suatu periode
Dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD, setiap Entitas Pelaporan wajib menyusun
dan menyajikan: a. Laporan Keuangan; dan b. Laporan Kinerja.
SAKIP adalah Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan, dimana sistem ini merupakan integrasi
dari sistem perencanaan, sistem penganggaran dan sistem pelaporan kinerja, yang selaras dengan
pelaksanaan sistem akuntabilitas keuangan. Dalam hal ini, setiap organisasi diwajibkan mencatat dan
melaporkan setiap penggunaan keuangan negara serta kesesuaiannya dengan ketentuan yang berlaku
Sedangkan LAKIP adalah Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan. LAKIP merupakan produk
akhir SAKIP yang menggambarkan kinerja yang dicapai oleh suatu instansi pemerintah atas pelaksanaan
program dan kegiatan yang dibiayai APBN/APBD. Penyusunan LAKIP berdasarkan siklus anggraan yang
berjalan 1 tahun. Dalam pembuatan LAKIP suatu instansi pemerintah harus dapat menentukan besaraAn
kinerja yang dihasilkan secara kuantitatif yaitu besaran dalam satuan jumlah atau persentase. Manfaat
dari LAKIP bisa dijadikan bahan evaluasi terhadap instansi pemerintah yang bersangkutan selama 1
tahun anggaran.
Cikal bakal lahirnya SAKIP LAKIP adalah berasal dari Inpres No.7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas
Instansi Pemerintah dimana didalamnya disebutkan Mewajibkan setiap Instansi Pemerintah sebagai
unsur penyelenggara Pemerintahan untuk mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas pokok,
dipandang perlu adanya pelaporan akuntabilitas kinerja instansi Pemerintah.
Dengan adanya sistem SAKIP dan LAKIP bergeser dari pemahaman "Berapa besar dana yang telah dan
akan dihabiskan" menjadi "Berapa besar kinerja yang dihasiulkan dan kinerja tambahan yang diperlukan,
agar tujuan yang telah ditetapkan dalah akhir periode bisa tercapai".
Pemahaman SAKIP & Penyusunan LAKIP
Bagi seorang pimpinan atau kepala daerah, SAKIP akan berguna untuk bisa mengukur setiap
pembangunan atau kinerja yang dilakukan masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Selain
itu, sistem ini bisa juga dijadikan sebagai tolak ukur untuk mempertanggungjawabkan anggaran yang
telah digunakan untuk pembangunan daerah.
Sampai dengan saat ini (31/3/2015) penilaian SAKIP untuk kabupaten/kota di Indonesia tidak ada
satupun yang nilainya dapat A. Dari 500 kabupaten/kota, hanya ada 11 kabupaten/kota yang nilainya B.
Sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (SAKIP) merupakan penerapan manajemen kinerja pada
sektor publik yang sejalan dan konsisten dengan penerapan reformasi birokrasi, yang berorientasi pada
pencapaian outcomes dan upaya untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.
Dalam penilaian LAKIP, materi yang dievaluasi meliputi 5 komponen. Komponen pertama adalah
perencanaan kinerja, terdiri dari renstra, rencana kinerja tahunan, dan penetapan kinerja dengan bobot
35. Komponen kedua, yakni pengukuran kinerja, yang meliputi pemenuhan pengukuran, kualitas
pengukuran, dan implementasi pengukuran dengan bobot 20.
Pelaporan kinerja yang merupakan komponen ketiga, terdiri dari pemenuhan laporan, penyajian
informasi kinerja, serta pemanfaatan informasi kinerja, diberi bobot 15. Sedangkan evaluasi kinerja yang
terdiri dari pemenuhan evaluasi, kualitas evaluasi, dan pemanfaatan hasil evaluasi, diberi bobot 10.
Untuk pencapaian kinerja, bobotnya 20, terdiri dari kinerja yang dilaporkan (output dan outcome), dan
kinerja lainnya.
Nilai tertinggi dari evaluasi LAKIP adalah AA (memuaskan), dengan skor 85 – 100, sedangkan A (sangat
baik) skornya 75 -85, CC (cukup baik) dengan skor 50 – 65, C (agak kurang) dengan skor 30 – 50, dan nilai
D (kurang) dengan skor 0 – 30.
Bagan Hubungan LAKIP dengan Laporan Keuangan