SULHU
SULHU
SULHU – FIQIH
Guru : Bunda Nur Khotimah
KELOMPOK 7:
Annisa Syakirah
Cendykia Syahputra Lubis
Isni Nadhila
Rahmad Hidayah Pulungan
Sekar Wulandari
Zikri Hamdani Adrian
X Ilmu Agama 1
MAN-1 MEDAN
T.A. 2018/2019
Kata Pengantar
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini sebatas
pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki.
Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-
kekurangan dan jauh dari apa yang saya harapkan. Untuk itu, saya berharap adanya kritik,
saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu
yang sempurna tanpa sarana yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi saya sendiri maupun orang
yang membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
kurang berkenan dan saya memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di
masa depan.
Penyusun
Daftar Isi
Kata Pengantar………………………………………………………………………….1
Daftar Isi..…………………………………………………………….………………...2
BAB I : Pendahuluan
i. Latar Belakang.........................................................................................................3
BAB II : Pembahasan
a. Pengertian Sulhu......................................................................................................4
b. Hukum Sulhu……………………………………………………………………...4
d. Macam-macam Perdamaian......................................................................................6
e. Pelaksanaan Perdamaian..........................................................................................7
Kesimpulan……………………………………………………………………………8
Daftar Pustaka………………………………………………………………………...9
BAB I
PENDAHULUAN
i. Latar Belakang
Latar belakang dibuatnya makalah ini adalah untuk mengetahui hal-hal yang ada
dalam fiqih muamalah, khususnya mengenai Ash-shulhu (perdamaian). Karena di dalam
perdamaian ini banyak hal yang dapat kita gali untuk menjadi tambahan ilmu serta wawasan,
entah itu dari rukun, syarat, macam-macam, dan hikmah Shulhu itu sendiri. Selain itu, kita
sebagai umat islam patut mengetahui bahwa di dalam islam, perdamaian diperbolehkan,
asalkan tidak merubah hukum (yang haram menjadi halal atau sebaliknya).
Dalam bahasa arab perdamaian diistilahkan dengan “As-Shulhu” , secara harfiah atau
secara etimologi mengandung pengertian “memutus pertengkaran/perselisihan”. Yang
dimaksud dengan al-Shulh adalah suatu akad yang bertujuan untuk mengakhiri perselisihan
atau persengketaan. Perdamaian dalam syariat islam memiliki dasar hukum yang kuat, yakni
terdapat di dalam Al-Quran dan Sunah Nabi SAW. Serta ijtihad para ulama. Didalam
perdamaian tidak terjadi secara begitu saja namun ada rukun dan syarat-syarat yanag harus
dipenuhi.
a. Pengertian Sulhu
b. Hukum Sulhu
d. Macam-macam Perdamaian
e. Pelaksanaan Perdamaian
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan tentang
Ash-shulhu (perdamaian) dan diharapkan bermanfaat bagi kita semua serta untuk memenuhi
nilai tugas Fiqih Muamalah.
BAB II
PEMBAHASAN
a. Pengertian Sulhu
Dalam bahasa arab perdamaian diistilahkan dengan “As-Shulhu” , secara harfiah atau
secara etimologi mengandung pengertian “memutus pertengkaran/perselisihan”. Sedangkan
menurut istilah (terminologi) didefinisikan oleh para ulama adalah sebagai berikut:
1.Menurut imam Taqiy al-Din Abi Bakr ibn Muhammad al-Husaini dalam kitab Kifayatu al-
Akhyar yang dimaksud al-Sulh adalah “akad yang memutuskan perselisihan dua pihak yang
berselisih”.
2.Hasbi Ash-Shidieqy dalam bukunya pengantar fiqh muamalah berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan Al-Shulh adalah “Akad yang disepakati dua orang yang bertengkar dalam
hak untuk melaksanakan sesuatu, dengan akad itu dapat hilang perselisihan”.
3.Sulaiman Rasyid berpendapat bahwa yang dimaksud Al-Shulh adalah akad perjanjian untuk
menghilangkan dendam, permusuhan, dan perbantahan.
4.Sayyid Sabiq berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-Shulh adalah suatu jenis akad
untuk mengakhiri perlawanan antara dua orang yang berlawanan.
Dari pengertian diatas maka dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan al-Shulh
adalah suatu akad yang bertujuan untuk mengakhiri perselisihan atau persengketaan.
b. Hukum Sulhu
Perdamaian dalam syariat Islam sangat dianjurkan. Sebab, dengan perdamaian akan
terhindarlah kehancuran silaturahmi (hubungan kasih sayang) sekaligus permusuhan di antara
pihak-pihak yang bersengketa akan dapat diakhiri.
Adapun dasar hukum anjuran diadakan perdamaian dapat dilihat dalam al-qur’an, sunah
rasul dan ijma.
Artinya : dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah
kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang
lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada
perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan
hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.
(QS. Al-Hujurat : 9)”.
Mengenai hukum shulhu diungkapkan juga dalam berbagai hadits nabi, salah satunya
yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Imam Tirmizi yang artinya “perdamaian
dibolehkan dikalangan kaum muslimin, kecuali perdamaian menghalalkan yang haram atau
mengharamkan yang haram. Dan orang-orang islam (yang mengadakan perdamaian itu)
bergantung pada syarat-syarat mereka (yang telah disepakati), selain syarat yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram (HR. Ibnu Hibban dan Turmuzi)”.
Pesan terpenting yang dapat dicermati dari hadits di atas bahwa perdamaian merupakan
sesuatu yang diizinkan selama tidak dimanfaatkan untuk hal-hal yang bertentangan dengan
ajaran dasar keislaman. Untuk pencapaian dan perwujudan perdamaian, sama sekali tidak
dibenarkan mengubah ketentuan hukum yang sudah tegas di dalam islam. Orang-orang islam
yang terlibat di dalam perdamaian mesti mencermati agar kesepakatan perdamaian tidak
berisikan hal-hal yang mengarah kepada pemutarbalikan hukum; yang halal menjadi haram
atau sebaliknya.
Dasar hukum lain yang mengemukakan di adakannya perdamaian di antara para pihak-
pihak yang bersengketa di dasarkan pada ijma.
3. Mushalih’alaihi, ialah hal-hal yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap lawannya
untuk memutuskan perselisihan. Hal ini disebut juga dengan istilah badal al-Shulh.
4. Shigat, ijab dan Qabul diantara dua pihak yang melakukan akad perdamaian. [Hendi
Suhendi,Fiqh Muamalah,
Ijab kabul dapat dilakukan dengan lafadz atau dengan apa saja yang menunjukan adanya
ijab Kabul yang menimbulkan perdamaian, seperti perkataan: “Aku berdamai denganmu,
kubayar utangku padamu yang lima puluh dengan seratus” dan pihak lain menjawab “ Telah
aku terima”.
Adapun yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian perdamaian dapat diklasifikasikan:
Tentang subyek atau orang yang melakukan perdamaian haruslah orang yang cakap
bertindak menurut hukum. Selain cakap bertindak menurut hukum, juga harus orang yang
mempunyai kekuasaan atau mempunyai wewenang untuk melepaskan haknya atas hal-hal
yang dimaksudkan dalam perdamaian tersebut.
Adapun orang yang cakap bertindak menurut hukum dan mempunyai kekuasaan atau
wewenang itu seperti :
a. Wali, atas harta benda orang yang berada di bawah perwaliannya.
b. Pengampu, atas harta benda orang yang berada di bawah pengampuannya
c. Nazir (pengawas) wakaf, atas hak milik wakaf yang berada di bawah pengawasannya.
a. Untuk harta (dapat berupa benda berwujud seperti tanah dan dapat juga benda tidak
berwujud seperti hak intelektual) yang dapat dinilai atau dihargai, dapat diserah terimakan,
dan bermanfaat.
b. Dapat diketahui secara jelas sehingga tidak melahirkan kesamaran dan ketidak jelasan,
yang pada akhirnya dapat pula melahirkan pertikaian yang baru pada objek yang sama.
Adapun persoalan atau pertikaian yang boleh atau dapat di damaikan adalah hanyalah
sebatas menyangkut hal-hal berikut :
d. Macam-macam Perdamaian
Dijelaskan dalam buku fiqh, syafiiah oleh Idris Ahamd bahwa al-Shulh dibagi
menjadi empat bagian berikut ini:
1. Perdamaian antara muslimin dengan kafir, yaitu membuat perjanjian untuk meletakkan
senjata dalam massa tertentu (gencatan senjata) secara bebas atau dengan jalan mengganti
kerugian yang diatur dalam undang-undang yang disepakati dua belah pihak.
4. Perdamaian antara pihak yang melakukan transaksi (perdamaian dalam muamalat), yaitu
membentuk perdamaian dalam masalah yang ada kaitannya dengan perselisihan yang terjadi
dalam masalah muamalat.
Dijelaskan oleh Sayyid Sabiq bahwa Al-Shulh dibagi menjadi tiga macam
[Ibid…,hlm.174-176.]:
Perdamaian tentang iqrar adalah seseorang mendakwa orang lain yang mempunyai utang,
kemudian tergugat mengakui kegagalan tersebut, kemudian mereka melakukan perdamaian.
Kemudian jika tergugat mengaku memiliki utang berupa uang, dan dia berjanji akan
membayarnya dengan uang juga, maka ini dianggap pertukaran dan syarat-syaratnya harus
dituruti. Jika ia mengaku bahwa ia berutang uang dan berdamai akan membayarnya dengan
benda-benda atau sebaliknya, maka ini dianggap sebagai jual beli yang hokum-hukumnya
harus ditaati.
Damai tentang inkar adalah bahw seseorang menggugat orang lain tantang sesuatu materi,
utang atau manfaat. Tergugat menolak gugatan atau mengingkari apa yang digugatkan
kepadanya, kemudian mereka berdamai. Damai tentang sukut adalah seseorang menggugat
orang lain, kemudian tergugat berdiam diri,dia tidak mengakui dan tidak pula mengingkari.
Para ulama membolehkan dilakukannya perdamaian tentang gugatan yang diingkari dan
didiamkan. Ibn Hazm dan Imam Syafii berpendapat bahwa sesuatu yang diingkari dan
didiamkan tidak boleh didamaikan. Damai dilakukan untuk sesuatu yang diakui karena al-
shulh adalah mengenai hak yang ada, sedangkan dalam ingkar dan sukut tidak ada
e. Pelaksanaan Perdamaian
Namun sering pula terjadi dikemudian hari sengketa yang sama mungkin timbul kembali
misalnya dalam hal sengketa tanah sawah, dimana mereka telah berjanji untuk mengadakan
perdamaian dan salah satu pihak juga telah pula menyerahkan kembali tanah itu secara
damai, namun beberapa waktu kemudian diambil/dikuasai kembali oleh pihak yang
menyerahkannya.
Untuk menghindari timbulnya persoalan yang sama dikemudian hari, maka dalam praktek
sering perjanjian perdamaian itu dilaksanakan secara tertulis, yaitu dibuat akta perjanjian
perdamaian. Agar akta perjanjian itu memilikikekuatan hokum tentuunya haruslah dibuat
secara autentik, yaitu dibuat dihadapan Notaris.
2. Melalui Sidang Pengadilan
Andaikata Hakim berhasil untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa, maka
dibuatlah akta perdamaian dan kedua belah pihak yang bersengketa dihukum untuk menaati
isi dari akta perjanjian perdamaiann tersebut. Lazimnya dalam praktek diistilahkan dengan
“Akta Dading”
Bahwa pada dasarnya perjanjian perdamaian tidak dapat dibatalkan secara sepihak, dan ia
telah memiki kekuatan hokum yang sama dengan keputusan Pengadilan Tingkat terahir,
dengan kata lain tidak dapat lagi diajukan gugatan terhadap perkara yang sama dan telah
memiliki kekuatan hokum yang tetap. Namun demikian perjanjian perdamaian tersebut masih
ada kemungkinan untuk dapat dibatalkan, yaitu apabila; (1) telah terjadi suatu kekhilafan
mengenai subyeknya (orangnya), (2) telah terjadi kekhilafan terhadap pokok perselisihan.
Bab III
Penutup
Kesimpulan
Dari uraian diatas maka dapat ditarik kesimpulan inti yakni bahwasanya Al-Sulh dalam
bahasa arab yang diartikan sebagai perdamaian yang bertujuan memutus perselisihan diantara
kedua bela pihak yang bersengketa. Dasar hokum dianjurkannya perdamaian diantara para
pihak yang bersengketa ini dapat dilihat dalam ketentuan Al-Quran, Sunnah Rasul dan Ijma.
Perdamaian disyariatkan Allah sebagaimana yang tertuang didalam Al-Quran surat Al
hujaratt ayat 9.
Adapun pelaksanaan perdamaian ada 2 jalan yakni pelaksanaan perdamaian diluar sidang
pengadilan dan perdamaian melalui persidangan pengadilan yang masing masing cara bisa
ditempuh untuk terciptanya perjanjian perdamaian.
Daftar Pustaka
Anwar, Rosihan, Ilmu Tafsir, Bandung; Pustaka Setia, 1995
Ash-Shidieqy, Hasbie,Pengantar Fiqh Muamalah,Bulan Bintang: Jakarta,1984
Departemen Agama RI, Al-quran dan Terjemahannya Al Jumanatul Ali, Bandung; Penerbit
J-ART,2004
Pasaribu, Chairuman & Suhrawardi, K. Lubis,Hukum Perjanjian dalam Islam,Jakarta: Sinar
Grafika,1996
Rasyid, Sulaiman,fiqh Islam,at-Tahairiyyah: Jakarta, 1976