Anda di halaman 1dari 3

REVIEW FILM JOKER BERDASARKAN PERSPEKTIF TEORI KRIMINOLOGI

Sinopsis:

Tempo film ini pelan untuk membangun ruang pengembangan karakter jahat dalam diri
Joker secara utuh. Joaquin Phoenix menampilkan akting yang sangat baik di sini. Tawanya itu bisa
sampai ke penonton dalam bentuk tawa penderitaan, bukan tawa bahagia atau kegilaan, seperti
yang digambarkan Jaret Letto dalam memerankan Joker di Suicide Squad.
Rasa sakit yang membentuk karakter Joker di dalam ceritanya ini punya alasan yang kuat.
Film ini sendiri mengangkat sisi manusiawi dari karakter jahat Joker. Asal-usul kehidupannya
diceritakan sangat suram. Arthur Fleck nama asli Joker sebenarnya mengidap penyakit kejiwaan.
Ia tidak bisa mengontrol emosi dan tawanya yang aneh itu.
Arthur pun seperti salah tempat dan waktu, di mana ia tinggal di Gotham tahun 80-an, kota
yang sangat tidak aman. Banyak kejahatan, sudut-sudut gangnya kotor, tikus berseliweran,
menjadi bumbu sinematografi gelap dari lingkungan kehidupan seorang Arthur yang kacau. Arthur
sendiri selalu bercita-cita menjadi stand-up comedian. Hanya saja nasib tidak membuatnya
menjadi apa yang diimpikannya. Ia berakhir hanya menjadi badut panggilan. Kehidupan sengsara
Arthur juga semakin bertambah dengan kerapnya diabaikan secara sosial oleh lingkungannya. Ia
sering dirundung dan dipukuli penduduk Gotham. Ini jugalah yang memperburuk kondisi
kesehatan mentalnya.

Dilihat dari perspektif teori Kriminologi:

Dalam kajian kriminologi, ada beberapa teori yang menjelaskan penyebab kejahatan. Yang
pertama adalah teori yang dikemukakan oleh Cesare Lambroso. Bahwa seseorang menjadi
penjahat karena bawaan sejak lahir. Teori ini dikenal dengan ‘determinisme antropologi’,
menyatakan kriminalitas adalah ciri yang diwariskan atau dengan kata lain seseorang dapat
dilahirkan sebagai “kriminal”.
Yang kedua ada Teori Psikogenesis oleh Sigmund Freud. Teori ini menekankan sebab-
sebab tingkah laku delikuen anak-anak dari aspek psikologis atau isi kejiwaannya. Antara lain
faktor intelegensi, ciri kepribadian, motivasi, sikap-sikap yang salah, fantasi, rasionalisasi,
internalisasi diri yang keliru, konflik batin, emosi yang kontroversal, kecenderungan
psikopatologis, dll. Kurang lebih 90 % dari jumlah anak-anak berperilaku jahat berasal dari
kalangan keluarga berantakan (broken home). Kondisi keluarga yang tidak bahagian dan tidak
beruntung, jelas membuahkan masalah psikologis personal dan adjusment (penyesuaian diri) yang
terganggu pada diri anak, sehingga mereka mencari kompensasi di luar lingkungan keluarga guna
memecahkan kesulitan batinnya dalam bentuk perilaku jahat. Ringkasnya, perilaku jahat anak-
anak merupakan reaksi terhadap masalah psikis anak-anak itu sendiri.
Yang ketiga adalah Teori Sosiogenesis. Landasan berpikir teori ini menyatakan bahwa
penyebab tingkah laku jahat pada anak-anak adalah murni sosiologis atau sosial-psikologis
sifatnya. Misalnya disebabkan oleh pengaruh struktur sosial yang deviatif, tekanan kelompok,
peranan sosial, status sosial atau internalisasi simbolis yang keliru. Jadi sebab-sebab perilaku jahat
itu tidak hanya terletak pada lingkungan familial dan tetangga saja, akan tetapi terutama sekali,
disebabkan oleh konteks kulturalnya. Maka perilaku jahat anak-anak itu jelas di pupuk oleh
lingkungan sekitar yang buruk dan jahat, ditambah kondisi sekolah yang kurang menarik bagi
anak-anak bahkan adakalanya justru merugikan perkembangan pribadi anak. Karena itu, konsep-
kunci untuk dapat memahami sebab-sebab terjadinya kejahatan anak itu ialah pergaulan dengan
anak-anak muda lainnya yang sudah berperilaku jahat.
Jika dilihat dari perspektif teori Kriminologi maka film Joker sesuai dengan Teori
Sosiogenesis. Arthur Fleck, laki-laki baik yang bekerja di sebuah perusahaan penyedia jasa badut.
Arthur menjadi badut dengan mendapat bayaran untuk menghidupi dirinya dan ibunya, Peny
Fleck, yang tinggal serumah. Tiap pulang kerja, ia dengan telaten merawat Peny dan menemaninya
menonton TV.
Terpapar oleh perlakuan lingkungan, sifat baik itu berubah perlahan-lahan. Bermula ketika
sedang menjalankan profesinya sebagai badut di sebuah tempat keramaian, ia diganggu oleh
sekelompok pemuda iseng. Papan yang dipakai sebagai alat bantu penampilannya, dirampas oleh
pemuda-pemuda itu. Arthur yang berusaha mengejar mereka, dipukul dengan menggunakan
papan, hingga papan itu patah perkeping-keping.
Sampai di sini, Arthur masih tampak sebagai orang baik. Ia tidak menyimpan dendam
kepada para pelaku. Saat ditanya oleh teman-teman seprofesinya, ia menjawab santai, “Biasa,
hanya perlakuan anak-anak.” Kekecewaan mulai timbul saat ia dipanggil bos perusahaan. Alih-
alih berempati, atasannya itu malah meminta ganti rugi atas papan yang patah dengan cara potong
gaji. Arthur berusaha menjelaskan keadaan saat kejadian. Tapi atasannya bergeming.
Suatu kejadian selanjutnya membuat Arthur dipecat dari pekerjaan satu-satunya yang ia bisa itu.
Bukannya membela, temannya justru memperburuk situasi. Dan selanjutnya dan selanjutnya,
adalah paparan demi paparan yang membuat Arthur berubah menjadi Joker. Lingkunganlah yang
membuat Arthur baik berubah menjadi Joker jahat. Ini berarti sesuai teori sosial yang dikemukakan
Albert Bandura. Sampai kemudian terungkap bahwa ternyata Arthur mempunyai trauma masa
kecil. Hal ini cocok dengan teorinya Urie Brofenbenner, dengan pendekatan Bioekologis-nya.
Kondisi lingkungan masyarakat yang tidak kondusif. Sistem ekonomi yang hanya
menguntungkan si kuat modal. Penegakan hukum yang hanya tajam kepada si lemah. Politik
negeri yang kacau kan memapar jiwa-jiwa yang “bermasalah”. Maka lahirlah “joker-joker” dengan
berbagai kadar kejahatannya. Lalu pakah mereka harus dihukum? Tentu saja harus. Dengan
hukuman seadil-adilnya. Tapi juga harus memperhatikan akar permasalahannya karena tujuan
kriminologi salah satunya adalah melakukan langkah-langkah pencegahan terhadap berbagai
kejahatan dengan mengetahui penyebab dari kejahatan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai