1
9. Struma Nodosa Non Toksika ............................................................. 140
10. Karsinoma Tiroid ............................................................................... 143
11. Limfadenopati Leher .......................................................................... 147
12 Karsinoma Rongga Mulut .................................................................. 152
13. Phlegmon Dasar Mulut ...................................................................... 157
14. Fraktur Maksilofasial ......................................................................... 159
15. Timor Parotis ..................................................................................... 163
16. Penyakit Grave’s ................................................................................ 169
17. Higroman Leher ................................................................................. 172
18. Ameloblastoma Mandibula ................................................................. 174
2
BEDAH ANAK
DAFTAR PENULIS
3
1. APPENDISITIS
2. BATASAN
Apendisitis adalah radang pada apendik.
PATOFISIOLOGI
Sumbatan apendik disebabkan oleh hiperplasi jaringan limfoid, material
feses, benda asing atau parasit. Sumbatan disertai produk mukus dan proliferasi
bakteri mengakibatkan tekanan intraluminal apendik meningkat. Keadaan tersebut
dapat menghambat drainase aliran kelenjar getah bening dan vena sampai edema
jaringan. Kongesti akan menghambat aliran darah arteri sampai iskemia, nekrosis
dan performasi. Appendisitis jarang terjadi pada neonatus dan perlu dicurigai
kemungkinan diduga penyakit Hirschsprung atau enterokolitis nekrotikans, yang
merupakan 1/3 dari kasus sakit perut pada anak yang dirawat di rumah sakit.
Penyakit ini tidak lazim pada bayi tetapi insidensinya meningkat terus setelah usia
itu, puncaknya pada usia antara 12 – 18 tahun.
GEJALA KLINIS
Didahului anoreksia dan nyeri periumbilikal. Setelah beberapa jam, nyeri
periumbilikal akan migrasi ke abdomen kanan bawah. Nyeri menetap dan
bertambah jika digerakkan. Rasa nyeri disertai mual dan muntah. Suhu badan
biasanya meningkat ringan tetapi meningkat tajam apabila terjadi perforasi
apendik. Ruptur apendik terjadi 24-48 jam setelah mulai terjadi gejala awal. Diare
atau gejala obstruksi merupakan tanda penting Appendistis perforata.
4
bebas bakteri tetapi bisa mengandung beberapa eritrosit atau lekosit jika
apendik yang meradang dekat dengan ureter atau vesika urinaria.
Pemeriksaan C-reactive protein tidak rutin; C-reactive protein dan
lekosit normal tidak menyingkirkan apendistis. Diagnosis apendisitis sistem
skoring klinis dengan kombinasi elemen klinis dan elemen laboratorium
untuk mencapai sensitivitas dan spesifitas 100% adalah sia-sia. Walaupun
demikian observasi klinis dan laboratoris selama 12-24 jam lebih berguna
untuk menentukan pasien dipulangkan atau dioperasi. Peranan diagnostik
radiologik bisa menurunkan angka apendektomi negatif dari sekitar 10%-20%
menjadi 2%. Pemeriksaan foto polos abdomen tidak rutin dikerjakan, kecuali
ada kecurigaan obstruksi usus, masa atau udara bebas. Gambaran fekolit di
daerah apendiks hanya didapatkan sekitar 10%-15% kasus performasi
apendiks. Kecurigaan appendisitis jika fekolit disertai sakit perut.
Pemeriksaan dengan ultrasonografi dianjurkan pada semua anak dengan
kecurigaan appendistis oleh karena bisa membantu membuat keputusan selain
murah dan bebas radiasi.
DIAGNOSIS BANDING
Pada 50% kasus appendik, gejalanya atipik menyerupai penyakit lain
misalnya radang di sekum, sigmoid, diverticulitis dari Meckel, kolesistitis,
pankreatitis dan keradangan pelvis. Appendisitis paling sering dikelirukan dengan
gastroenteritis. Pada wanita perlu dipertimbangkan kemungkinan kista ovarium,
ruptur folikel dan torsi ovarium. Nyeri akibat trauma tumpul abdomen mirip
apendisitis. Limfoma, tumor apendiks, keganasan usus dan ovarium menyerupai
apendisitis.
PENATALAKSANAAN TERAPI
Penderita biasa terdapat/terjadi dehidrasi, febris, asidotik. Sebelum
apendektomi, perlu pemberian cairan intra-vena dan antibiotik. Pada apendisitis
nonperforata pemilihan antibiotik adalah cofexitin, cefotetan, ampicillin /
sulbactam, ticarcilin/clavunalat. Pada apendisitis perforate digunakan kombinasi
“triple” antibiotik (ampicillin, gentamycin, clindamycin atau metronidazole).
Pemberian antibiotik untuk apendisitis non perforate cukup 24 jam, sedangkan
untuk apendisitis perforate, perlu dilanjutkan setelah 24 jam bebas panas dan
jumlah lekosit kembali normal.
Sejak lama apendektomi dilakukan dengan memisahkan otot di abdomen kuadran
kanan bawah (open appendectomy), 2 dekade terakhir apendektomi bisa dilakukan
secara laparoskopik (laparoscopic appendectomy).
5
ATRESIA ESOPHAGUS DAN FISTULA
TRAKEO-ESOFAGEAL
BATASAN
Atresia esofatus dan fistula trakeo-esofageal ialah kelainan kongenital berupa
tidak terbentuk satu segmen esofagus sehingga pada kesenjangan antara bagian
esophagus proksimal dan esophagus distal, disertai pembentukan saluran
abnormal yang menghubungkan trakea dan esofagus.
EMBRIOLOGI
Esophagus dan trakea tumbuh dan foregut primitif. Dalam minggu keempat
dan kelima perkembangan embiro, trakea terbentuk sebagai divertikulum ventral
dari faring primitif yang terdiri dari bentukan sel bersilia, berlapis dan sel
kolumnar (bagian kaudal foregut). Septum trakeoesofageal tumbuh pada tempat
lipatan longitudinal tabung laringotrakea dan bagian dorsal (esophagus), sekat ini
terdiri dari jaringan epitel. Penghentian dari proses ini dapat menyebabkan terjadi
trachea-esophageal fistula.
Atresia esophagus ditandai oleh esofagus yang tidak lengkap. Seringkali hal ini
disertai dengan fistula antara trakea dan esophagus. Terdapat banyak variasi
anatomi dari atrea esophagus, baik yang dengan ataupun tanpa fistula. Bentuk
yang paling banyak adalah ujung esophagus yang buntu dengan fistula antara
trakea dengan ujung distal esophagus yang insidennya saat ini berkisar antara
84%, fistula masuk ke trakea di dekat karina.
Atresia esofagus merupakan kelainan bawaan akibat gangguan perkembangan
jaringan pemisah antara trakea dan esofagus pada janin usia 4-6 minggu masa
kehamilan. Kelainan ini relatif sering ditemukan, sekitar 1 diantara 3000-4500
kelahiran hidup. Penyebab pasti kelainan ini belum jelas. Kelainan ini
menyebabkan hambatan aliran dari esofagus ke lambung dengan risiko aspirasi.
Fistula trakea-esofagus memungkinkan regurgitasi asam lambung ke dalam paru
dengan risiko infeksi paru. Oleh sebab itu, diperlukan diagnosis secara dini dan
penanganan yang tepat untuk atresia esofagus.
Lebih dari 50% pada neonates dengan atresia esofagus disertai kelainan
penyerta pada musculoskeletal, kardiovaskular, gastrointestinal, dan
genitourinarius. Banyak neonates yang memiliki lebih dari 1 kelainan. Kelainan
jantung mengenai kira-kira 25% dan merupakan kira-kira sepertiga dari kelainan
yang terdeteksi. Kelainan jantung tersebut adalah VSD, PDA dan tetralogi Fallot.
Untuk menggambarkan anomaly yang multiple ini digunakan akronim VATER
(vertebral dan vaskular, anal, tracheal, esophageal, radial, dan renal) atau
VACTERL (vertebral, anal, cardiac, tracheal, esophageal, renal, dan limb).
6
KLASIFIKASI
Gross (1953) membagi klasifikasi atresia esofagus menjadi 5 tipe :
A : AE tanpa TEF (7.8%)
B : AE dengan TEF proksimal (0.8%)
C : AE dengan TEF distal (85.5%)
D : AE dengan TEF proksimal-distal (1.4%)
E : TEF tanpa AE (4.2%)
PATOFISIOLOGI
Pada atresia esofagus terjadi hambatan aliran saliva atau makanan dari mulut
menuju ke lambung. Hal tersebut menyebabkan penumpukan makanan atau air
liur dalam rongga mulut yang memudahkan terjadi aspirasi terutama bila bayi
berada dalam posisi datar.
Pada atresia esofagus dengan fistula trakeoesofageal distal (pada 84% kasus)
akan terjadi aspirasi cairan lambung ke dalam traktus respiratorius yang dapat
memicu terjadinya pneumoni, gagal napas progresif dan kematian. Udara yang
masuk melalui fistula dapat menyebakan dilatasi lambung yang m akin lama akan
makin hebat dan mengakibatkan refluks isi lambung ke paru-paru. Isi lambung
yang terdiri dari udara dan asam lambung menyebabkan terjadi trakeobronkritis
yang berat (peptic trachebornchitis) dan merupakan predisposisi untuk terjadi
atelektasis dan pnemonia berat.
GEJALA KLINIS
Pada masa antenatal didapatkan riwayat hidramnion pada sekitar 60% kasus
atresia esofagus yang mempunyai diagnosis banding cukup luas seperti atresia
intestinal, hidrops fetalis, kelainan neural tube, hernia diafragmatika dan kelainan
intrathorakal.
Segera setelah lahir pada bayi dengan atresia esofagus tidak dapat menelan air
liurnya sendiri, dengan gejala klinis berupa air liur yang keluar berlebihan dari
hidung-mulut (hipersalivasi), berbuih, tampak sesak, batuk, bahkan sampai
kebiruan pada wajah (sianosis).
7
8
PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS
Diagnosis atresia esofagus biasanya tidak sulit. Secara klasik neonatus
dengan kelainan ini datang sekresi yang berlebihan pada mulutnya dan kadang-
kadang hidungnya sebagai akibat tidak mampu menelan salivanya sendiri. Sekret
tersebut dapat dibersihkan dengan penghisapan tetapi dengan cepat dan berulang
kembali. Pernafasan bayi dapat menjadi cepat dengan episode batuk, tersedak
sampai sianosis. Episode ini akan meningkat dengan pemberian minum.
Bila terdapat fistula antara trakea dan esofagus akan terlihat abdomen
semakin distensi. Abdomen akan berbentuk skafoid apabila tidak terdapat fistula.
Kelainan lain seperti anus imperforatus, kelainan pada tulang atau jantung tidak
dapat terdeteksi dalam pemeriksaan fisik, sehingga memerlukan perhatian dan
pemeriksaan yang lebih teliti.
Bila timbul kecurigaan suatu atresia esofagus dilakukan pemasangan pipa
nasogastrik yang radioopak ukuran 8F (untuk bayi pretern) atau 10F (untuk bayi
aterm) melalui hidung menuju lambung. Pada penderita atresia esofagus pipa
tersebut akan berhenti setelah masuk 10-12 cm. Letak kardia lambung pada bayi
yang normal adalah sekitar 17 cm dari ujung mulut. Apabila pipa nasogastric yang
digunakan lunak dan fleksibel maka pipa tersebut dapat melingkar pada bagian
ujung dari esofagus yang mengalami atresia sehingga dokter akan mengira bahwa
slang masuk ke dalam lambung.
Harus dilakukan pemeriksaan foto polos tampak leher, thoraks dan abdomen
untuk konfirmasi posisi pipa nasogastik yang telah dimasukkan. Pada penderita
dengan atresia esofagus, udara dalam lambung menunjukkan ada fistula di distal
dan udara dalam usus menyingkirkan diagnosis atresia duodenum. Foto thoraks
juga memberikan informasi tentang bayangan jantung, lokasi arkus aorta, anomaly
vertebra atau tulang iga serta infiltrate pada paru-paru. Foto dengan kontras
kurang dianjurkan untuk diagnosis karena bahaya ragu pembuatan esofagogram
dapat dilakukan dengan syarat : menggunakan kontras yang water soluble
(gastrografin, lipiodol), volume kontras disesuaikan dengan volume esofagus
proksimal dan harus tersedia alat hisap yang adekuat.
PENATALAKSANAAN TERAPI
Sekali diagnosis atresia ditegakkan harus dilakukan persiapan untuk
dilakukan koreksi bedah. Daerah faring dan mulut harus dibersihkan dan pipa
nasogastik 8-10F dipasang agar dapat dilakukan pengisapan secara berkala.
Kepala bayi harus dielevasikan. Cairan intravena harus diberikan. Terapi oksigen
diberikan untuk menjaga agar saturasi oksigen tetap normal. Pada bayi dengan
gagal nafas harus dilakukan bantuan intubasi endotrakea. Ventilasi dengan bag
dan masker tidak dilanjutkan karena dapat menyebabkan distensi lambung akut
yang dapat menyebakan performasi lambung. Bila dicurigai ada sepsis atau
9
infeksi paru, perlu diberikan antibiotik spektrum luas. Bayi harus dirujuk ke pusat
kesehatan yang mempunyai unit perawatan intensif untuk neonates.
Gastronomi menggunakan kateter Folety no 14-16 F untuk dekompresi
lambung dilakukan pada penderita dengan pneumonia dan atelektasis untuk
mencegah refluks isi lambung melalui fistula ke dalam trakea dan paru. Tindakan
ini dilakukan beberapa jam setelah bayi masuk rumah sakit.
Bayi yang sehat tanpa komplikasi paru atau kelainan mayor lain dapat
menjalani koreksi primer pada hari-hari pertama kehidupannya, dengan angka
ketahanan hidup mencapai 100%.
Koreksi bedah akan ditunda pada bayi dengan berat badan lahir rendah,
pneumonia atau kelainan mayor lain. Bayi berat badan lahir rendah prematur, dan
yang dengan malformasi mayor perlu perawatan khusus dengan nutrisi parenteal,
gastrostomy dan pengisapan rutin dari pipa nasogastrik sampai cukup kuat untuk
menjalani pembedahan. Angka ketahanan hidup pada kelompok ini berkisar
antara 80-95%. Kelainan jantung merupakan penyebab kematian dari kasus yang
lebih kompleks ini.
Secara umum terapi pre operasi meliputi :
1. Penentuan diagnosis dan tipe anomaly
2. Evaluasi keadaan paru-paru, mengobati masalah pada paru-paru dan
mencegah kontaminasi trakea lebih lanjut.
3. Mencari dan bila memungkinkan sekaligus mengobati kelainan penyerta yang
lain.
Ketahanan hidup bayi dengan atresia esofagus dengan atau tanpa fistula
trakeoseofageal oleh Waterston dan kawan-kawan (1962) digolongkan menjadi
tiga kelompok risiko. Kelompok A yang mempunyai kondisi baik dan dapat
menjalani koreksi bedah pada 24 jam pertama kehidupannya, sedangkan bayi
dalam kelompok B dengan resiko sedang akan menjalani terapi bedah setelah
dilakukan stabilitasi, dan bayi dalam kelompok C akan menjalani koreksi bedah
secara bertahap.
Kriteria Waterston
Group Ketahanan Hidup (%) Klasifikasi Waterston
A 100 BB > 2500 g, sehat
B 85 BB 2000-2500 g, sehat, atau BB >
2500 dengan anomaly penyerta sedang
C 65 BB < 200 g, atau
BB > 200 g dengan kelainan jantung
berat
Setelah keadaan bayi stabil baru direncanakan tindakan definitif lanjutan yang
dapat berupa :
10
1. Koreksi esofagus printer dengan atau tanpa gastrostomy
2. Gastrostomi dengan koreksi beberapa waktu kemudian
3. Gastrostomi dengan pemisahan fistula atau prosedur bertahap lainnya
11
KELAINAN REGION INGUINAL
BATASAN
Kelainan region inguinal pokok bahasan ini, meliputi :
1) Hernia ingunalis lateralis
Hernia ingunalis lateralis merupakan kelainan bawaan akibat kegagalan
obliterasi prosesus vaginalis, sehingga organ intraabdomen dapat melalui
lubang atau defek dinding abdomen melewati annulus internus menuju
kanalis inguinalis, annulus eksternus dan keluar kedalam skrotum.
2) Hidrokel
Hidrokel merupakan kelainan bawaan yang terjadi akibat penumpukan cairan
di dalam procesus vaginalis yang tidak mengalami obliterasi sempurna.
3) Undescended testis
Undescended testis merupakan kelainan bawaan akibat terjadi hambatan pada
proses penurunan testis, sehingga testis tidak berada didalam skrotum.
PATOFISIOLOGI
1) Hernia ingunalis lateralis
Kelainan kongenital akibat kegagalan obliterasi prosesus vaginalis sehingga
prosesus vaginalis tetap terbuka, menyebabkan terjadi kantong yang tetap
berhubungan dengan rongga abdomen.
Masuknya organ abdomen terutama usus yang masuk ke dalam kantong
tersebut menimbulkan terjadi hernia inguinalis lateralis.
2) Hidrokel
Kelainan kongenital akibat kegagalan obliterasi prosesus vaginalis sehingga
terjadi hubungan dengan rongga abdomen yang menyebabkan penumpukan
cairan peritoneum dalam kantong (hidrokel komunikans)
Kelainan tersebut tidak dapat berhubungan dengan patensi dan prosesus
vaginalis dan tidak potensial terjadinya hernia (hidrokel non-komunikans).
3) Undescended testis
Kelainan kongenital akibat kegagalan dalam proses penurunan testis melalui
kanalis inguinalis ke dalam skrotum, yang bisa disebabkan gangguan
hormonal atau mekanik.
GEJALA KLINIS
1) Hernia ingunalis lateralis
Riwayat benjolan intermittent (hilang-timbul) di daerah inguinal, labia
atau skrotum
12
Benjolan tampak jelas dengan penignkatan tekanan intraabdominal seperti
waktu menangis atau mengejan dan menghilang bila penderita sedang
tidur (reponibilis)
Benjolan dapat menetap dan tidak dapat masuk kembali ke
intrabadominal (iresponibilis) atau bahkan dapat menimbulkan gejala
strangulasi akibat gangguan vaskularisasi dan obstruksi usus mekanik
(inkarserasi).
2) Hidrokel
Benjolan di daerah inguinal atau skrotum yang sudah ada sejak lahir
dengan riwayat perubahan ukuran tergantung dari aktivitas (komunikans)
Benjolan di daerah inguinal atau skrotum yang sudah ada sejak lahir
dengan riwayat ukuran yang menetap atau membesar sangat lambat (non-
komunikasi).
3) Undescended testis
Testis tidak berada di skrotum
Terdapat benjolan yang mengesankan testis di region inguinal atau
bahkan tidak terdapat benjolan sama sekali (testis intraabdominal).
13
DIAGNOSIS BANDING
1. Limfadenopati
2. Abses inguinal
3. Retraktil testis
4. Orki-epidimitis
PENATALAKSANAAN TERAPI
1) Hernia ingunalis lateralis
Ligasi tinggi kandung hernia dikerjakan secara elektif apabila tidak
didapatkan keluhan dan hernia dapat terreduksi spontan
Apabila didapatkan tanda strangulasi, maka dikerjakan operasi emergensi
Apabila hernia tidak dapat tereduksi dan tidak didapatkan tanda
strangulasi, dapat dilakukan reduksi manual dengan sedasi dan operasi
dikerjakan setelah 24 jam
2) Hidrokel
Dilakukan ligasi tinggi kantong secara elektif
3) Undescended testis
Terapi hormonal
Orkidopeksi pada umur 6 bulan sampai 2 tahun
14
PENYAKIT HIRSCHSPRUNG
BATASAN
Penyakit Hirschsprung adalah suatu penyakit yang diakibatkan tidak
ada/tidak terbentuk sel-sel ganglion saraf parasimpatis mienterikus akibat migrasi
neuroblas terhenti pada usus (terserang pada rektosigmoid).
PATOFISIOLOGI
Akibat tidak terbentuk sel-sel ganglion parasimpatis mienterikus Auerbach
dan Meissner pada dinding usus, maka gelombang peristaltic daerah aganglioner
tersebut akan terganggu. Aktivitas saraf simpatis pada erah yang aganglioner akan
dominan, hal ini mengakibatkan usus menjadi spasme yang akhirnya akan
mengganggu fungsi usus tersebut. Feses tidak dapat meliwatu susu yang spasme,
dan menumpuk di proksimalnya. Usus bagian proksimal ini akan mengalami
dilatasi, hipertrofi, odematus, hingga dapat enterokolitis.
GEJALA KLINIS
1. Pada Neonatus
- Terlihat meconium terlambat ke luar. Meconium normal akan ke luar
pada 24 jam pertama kelahiran.
- Sembelit dengan perut yang membuncit serta muntah kehijauan, atau
tanda retensi cairan lambung bila sudah terpasang pipa lambung
sebelumnya.
- Pada waktu colok dubur, saat jadi ditarik ke luar maka udara beserta
feses akan keluar menyemprot. Pada segmen aganglion yang panjang,
jarang ditemui gejala ini.
2. Pada Anak
- Gangguan defikasi dan pola buang air besar tidak teratur, atau setiap kali
buang air besar harus dibantu dengan pencahar dan sering harus
memanipulasi anus agar feses keras dapat ke luar.
- Perut membuncit, kurus dan pertumbuhan yang lambat.
Komplikasi
1. Konstipasi
2. Enterokolitis
3. Malnutrisi
4. Perforasi kolon.
15
PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS
1. Colok Dubur
Teraba sfingter ani tonus normal, ampula rekti kosong dan teraba feses yang
keras di sebelah proksimalnya (rektosigmoid).
Colok dubur pada bayi, saat jari dicabut akan keluar feses dan gas yang
menyemprot dan abdomen menjadi kempis. (60% kasus).
2. Radiologis
a. Foto polos abdomen (Sebaiknya dibuat sebelum colok dubur), akan
didapatkan gambaran :
- Obstruksi mekanik dengan kolon dilatasi hebat
- Pada anak yang lebih besar didapatkan tumpukan material fekal yang
banyak.
- Tidak didapatkan udara pada sigmoid (dalam rongga pelvis).
b. Foto dengan bahan kontras (enema barium) :
- Tampak segmen aganglioner yaitu bagian yang menyempit,
sedangkan bagian yang melebar adalah bagian yang berganglion.
Bagian yang menyempit ini menyerupai ekor tikus (rat tail)
- Perbatasan antara segmen yang aganglioner dengan segmen
berganglion disebut zona transisional. Zona ini pada foto akan tampak
sebagai bagian usus yang berbentuk seperti corong, yaitu bagian yang
mungkin jumlah sel sarafnya normal tetapi immature atau sel-sel
sarafnya matur akan tetapi jumlahnya lebih banyak.
- Bila segman aganglioner ini panjang maka dapat akan terlihat
gambaran seperti bergerigi yang diakibatkan disritmia otot-otot usus.
- Pada segmen kolon yang dilatasi dapat dijumpai gambaran sarang
lebah (honey comb) yang berarti sudah terjadi entero kolitis.
- Foto post evacuasi setelah 24-48 jam akan terlihat sisa kontras dan
menyebar ke proksimal. Foto ini dibuat bila didapat keraguan pada
foto enema barium.
3. Pemeriksaan Manometri Rektum
Yaitu dilakukan pengukuran tekanan intra luminal. Pada segeman yang
aganglioner tekanan intra luminar lebih tinggi dibanding dengan kolom yang
berganglioner.
4. Pemeriksaan Biopsi
Pemeriksaan histologis dari dinding rectum yang dicurigai aganglioner.
a. Histopatologi : Yaitu pemeriksaan dengan cara melakukan eksisi dinding
rectum (cara Swenson)
16
b. Histokimia : Yaitu suatu pemeriksaan biopsy aspirasi dan mukus rectum,
kemudian dilakukan pengecatan sehingga dapat melihat Aktivitas
acethycholin esterase (cara Noblett).
DIAGNOSIS BANDING
1. Ileus meconium (pada bayi baru lahir)
2. Stenosis rectum
3. Tumor rongga pelvis yang menekan return.
4. Konstipasi akibat psikogenik atau malfeeding
PENATALAKSANAAN TERAPI
1. Bila segmen aganglionernya kurang dari satu sentimeter : terapi konservatif,
yaitu diperlukan secara periodik
2. Bila segmen aganglionernya lebih dari satu sentimeter dan kurang dari dua
sentimeter, maka diperlukan miektomi posterior.
3. Bila segmen aganglionernya panjang (lebih dari 2 sentimeter) :
- Tindakan awal : sigmoidostomi urgen, baik double barrel atau single
barrel sesuai dengan kemampuan operator. Bila tidak didapatkan
enterokolitis dan sigmoid tidak dilatasi serta belum terjadi hipertropis
maka dapat dilakukan terapi definisit satu tahap.
- Tindakan definitif : tindakan operasi reseksi dan tarik terobos (pull
trough) dengan macam teknik sesuai dengan kemampuan operator.
Adapun macam prosedur yang dapat dilakukan adalah : Teknik
retrorectal pull through (Duhamel), teknik anorectal pull through
(Swenson), dan endorectal pull through (Soave). Teknik endorectal pull
through dapat dilakukan transperitonial atau trans awal. Perawatan pasca
operasi sangat penting untuk menghindari komplikasi lanjut yaitu
stenosis rektum dan enterokolitis pasca operasi.
17
INTUSUSEPSI
BATASAN
Intususepsi (intussusception) adalah suatu keadaan ketika segmen usus
proksimal mengalami invaginasi (ke dalam usus segeman distal.
PATOFISIOLOGI
Pada sebagian besar kasus ileum dan mensenteriumnya masuk ke sekum
hingga kolon. Bagian ujung usus yang masuk disebut intususeptum, dan bagian
pangkal usus yang masuk akan terjepit dan mesenteriumnya tertarik. Keadaan ini
akan menyebabkan obstruksi usus dan gangguan aliran darah arteri, venus dan
saluran kelenjar getah bening.
Akibat obstruksi ini menyebakan mukosa edema, yang selanjutnya akan
menyebabkan strangulasi, kemudian nekrosis dan performasi. Dalam penelitian
keadaan invaginasi ini akan menyebabkan nekrosis setelah 48 jam tanpa
pengobatan.
Sebagian besar etiologi intususepsi adalah nonspesifik, hanya sebagian kecil
saja penyebabnya, yaitu divertikel Meckle, polip, duplikatur usus. Dikatakan
nonspesifik karena banyak faktor yang diduga sebagai penyebab, antara lain :
Perubahan makanan, diare, infeksi virus yang menyebabkan pembesaran kelenjar
pada mesenterium iliokolika, sehingga menyebakan gangguan peristalsis usus.
GEJALA KLINIS
1. Nyeri perut
Sifatnya mendadak pada bayi usia sekitar 3-9 bulan. Bayi menjadi rewel,
gelisah, menangis keras dan berteriak-teriak. Nyeri perut ini bersifat kolik.
2. Muntah
Muntah dapat terjadi sejak awal, pada awal tumpahan jernih makin lama
bersifat fekal.
3. Berak daerah dan lendir
Gejala ini sangat klasik akibat laserasi mukosa
4. Ada masa (sausage-shaped mass) yang lokasi biasanya di abdomen tengah
atas, sesuai dengan lokasi intususepsinya.
18
Palpasi
- Perut kanan bawah teraba kosong (dance’s sign).
- Dapat teraba masa yang lokasinya sesuai dengan lokasi intususepsi
Auskultasi
- Bising usus meningkat hingga dapat terdengar metalic sound.
Pemeriksaan colok dubur
- Didapatkan darah dan lendir pada sarung tangan
- Dapat ditemukan masa yang berbentuk seperti mulut rahim, apabila
intususeptum mencapai rectum.
2. Pemeriksaan Tambahan
1. Ultrasonografi abdomen : pemeriksaan ini harus dilakukan untuk setiap
penderita dengan dugaan intususespsi. Pada pemeriksaan ini akan
didapatkan gambaran :
- Target lesion
- Pseudokidney sign
Ultrasonografi digunakan juga sebagai tuntutan pada saat terapi dengan
enema hidrostatik atau enema pneumatic
2. Foto polos abdomen : didapatkan gambaran obstruksi usus
3. Foto kontras enema : dilakukan selama kondisi masih baik, dengan
tujuan :
- Diagnosis
- Diagnosis dan terapi
Didapatkan gambaran coiled spring atau cupping
DIAGNOSIS BANDING
Amubiasis kolon
Enterokolitis
PENATALAKSANAAN TERAPI
1. Dekompresi dengan pipa lambung
2. Koreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
3. Resposisi usus yang mengalami ivaginasi dengan cara :
- Bila intususepsi masih belum disertai tanda-tanda strangulasi maupun
performasi, maka reposisi usus dapat dierkajakn dengan cara memberi
enema hidrostatik atau enema pneumatic. Enema hidrostatik dapat
dikerjakan dengan enema barium atau dengan larutan salin normal.
Dengan memberi tekanan hidrostatik peranum ini diharapkan
intutuseptum dapat terdorong ke proksimal sehingga tereposisi. Bila
reposisi dengan enema hidrostatik gagal maka harus dilakukan operasi
19
laparatomi dengan cara milking, selanjutnya dilakukan apendektomi
untuk mencegah terjadi apendisitis akuta pasca invaginasi.
- Bila intususepsi sudah disertai dengan tanda-tanda strangulasi, maka
reposisi intususeptum hanya dikerjakan dengan laparotomy. Enema
barium dapat dikerjakan hanya sebagai diagnostik, bukan sebagai
terapeutik.
- Bila disertai tanda peritonitis, tidak ada indikasi melakukan pemeriksaan
dengan kontras enema. Lakukan segera resusitasi, dekompresi,
pemberian antibiotik dan lakukan pembedahan.
4. Bila didapatkan usus sudah nekrosis (nonviable), maka harus dilakukan
reseksi dan dibuat stoma. Untuk melakukan anastomosis primer memerlukan
pertimbangan yang sangat ketat.
20
HYPERTROPHIC PYLORIC STENOSIS
BATASAN
Hypertrophic Pyloric Stenosis ialah hipertrofi dan penebalan otot sirkuler dan
longitudinal pylorus yang mengakibatkan obstruksi gastric outlet.
PATOFISIOLOGI
Etiologi masih belum diketahui secara pasti,
Hipotesis penyebab antara lain mukosa pylorus redundant, kelainan inervasi lokal
dan penurunan level nitric oxide synthase.
Insidens 1:150 kelahiran hidup (Amerika Serikat), lebih jarang pada ras Asia dan
kulit hitam. Pada laki-laki 4 kali lebih banyak dibandingkan perempuan.
GEJALA KLINIS
Gejala timbul pada umur 2-8 minggu, dengan puncak 3-5 minggu, dan hanya
4% yang timbul setelah umur 3 bulan. Bayi dibawa ke dokter dengan keluhan
muntah proyektil sesudah minum, dengan kualitas muntahan sesuai dengan yang
diminum. Muntah berkurang dengan minum ASI atau D5%.
Bila tidak terdiagnosis, berlanjut pada dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit,
and malnutrisi.
DIAGNOSIS BANDING
Pylorospasme
Enteritis yang disebabkan oleh virus
Refluks gastroesofageal
21
PENATALAKSANAAN TERAPI
Koreksi dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit dan malnutrisi preoperative.
Operasi dapat dilakukan dengan tehnik piloromiotomi melalui laparotomy terbuka
atau melalui laparoskopik.
Pada operasi piloromiotomi Ramstedt, dilakukan insisi transversal pada
pertengahan umbilikus-sifoid, fasia anterior dan posterior m. rektus dapat dibuka
secara transversal ataupun lingutidinal. Dilakukan identifikasi gaster dan
‘benjolan’ pilorus dikeluarkan melalui lubang insisi. Serosa diinsisi 1-2 mm
proksimal v. pilorika ke proksimal sampai dengan 1,5 cm proksimal di bagian
pilorus yang hipertrofis. Otot longitudinal dan sirkuler displit secara tumpul
menggunakan gagal scalpel atau spreader tumpul dari Benson dengan hati-hati
sampai timbul penonjolan mukosa, tanpa melukai mukosa. Bila terjadi robekan
pada mukosa, dapat dilakukan penjahitan, rotasi pilorus 180 derajat dan
piloromiotomi diulang pada lokasi tersebut.
Feding dimulai 4-6 jam pasca operasi dengan D5%, dan ditingkatkan sampai
feeding penuh dalam periode 24 jam.
Bila terjadi robekan mukosa, diperlukan dekompresi dengan pipa naso-gastrik
dan penundaan feeding 24 jam.
Komplikasi pasca operasi yang dapat terjadi adalah infeksi luka operasi,
atonia gaster, refluks gastroesofageal.
22
KELAINAN ANOREKTAL BAWAAN
BATASAN
Kelainan anorektal bawaan ialah kelainan bawaan berupa malformasi anus
dan atau rectum, antara lain buntu rectum, tidak terbentuknya anus, letak muara
anus yang tidak pada tempatnya, dapat disertai ada atau tidak ada fistula.
PATOFISIOLOGI
Kelainan anorektal bawaan merupakan kelainan yang sangat bervariasi.
Penanganan yang tepat memerlukan pengertian tentang kelainan anatomi yang
dihadapi. Untuk memudahkan dapat dibuat pemisahan antara kelainan rendah
(infra levator) dan kelainan tinggi (supra levator), berdasarkan letak kelainan
terhadap otot levator ani dan dasar panggul.
1. Kelainan rendah (infra levator) : Migrasi normal rectum ke arah kaudal sudah
melewati otot dasar panggul (pubo rectal sling), tebal lapis jaringan antara
ujung buntu rectum dan kulit anus tidak lebih dari satu sentimeter.
Kelainan rendah ini dapat disertai fistula atau tanpa fistula. Pada bayi laki-
laki biasanya fistula anokutan, sedang wanita fistula anovestibular atau
anokutan.
2. Kelainan tinggi (supra levator) : Migrasi rectum tidak mencapai otot dasar
panggul, disini lapis jaringan antara ujung buntu rectum dan kulit anus (anal
dimple) berjarak cukup tebal, lebih dari satu sentimeter.
Kelainan tinggi juga dapat disertai fistula, yaitu pada bayi laki biasanya
didapatkan fistula rektouretral, pada wanita dapat terjadi fistula rektovaginal
atau rektovestibular. Kelainan letak yang sangat tinggi, yaitu ujung buntu
rectum berada intra abdominal, dapat juga disertai fistula dengan buli-buli.
GEJALA KLINIS
Kelainan tersebut didepan mengakibatkan pengeluaran meconium terhalang,
hilang bila dibiarkan akan timbul gejala ileus obstruksi dengan segala
komplikasinya.
Kelainan anorektal dengan fistula letak rendah sering kali tanpa gejala obstruksi,
akan tetapi bila fistula tidak adekuat maka harus dilakukan tindakan segera agar
meconium dapat keluar. Pada kelainan dengan fistula letak tinggi selalu
memberikan gejala obstruksi. Pada laki-laki dengan fistula rektouretal pada
urinnya akan ditemui meconium. Pada wanita dengan fistula letak tinggi
rektovaginal sering kali akan didapatkan meconium di introitus vagina, sedang
pada fistula rektovestibuler akan didapatkan fistula pada vestibulum vagina yang
selalu tidak adekuat, sehingga selalu disertai tanda obstruksi.
23
Kelainan anus malformasi ini sering disertai kelainan lain VACTERRL yaitu V-
ertebra, A-nal, C-ardiac, T-rakheoesofagial, R-adial, R-enal, dan L-imb.
24
B. Kelainan letak tinggi (supra levator) :
1. Anus atresia
- Tidak tampak lubang anus.
- Tidak didapatkan fistula
- Bentuk pantat dapat datar (flat bottom), kadang susah menentukan
anal dimple.
- Pada foto invertografi akan tampak ujung buntu rectum terletak lebih
satu sentimeter dari marker di anal dimple
- Anus atresia, yaitu ujung buntu berada intra abdominal (letak sangat
tinggi), dapat terjadi fistula rekto vesika. Pada foto invertografi dapat
dilihat ada udara dalam buli-buli.
2. Fistula rektovestibular
- Lubang fistula tampak pada vestibulum vagina, lubang tersebut bukan
anus, melainkan suatu saluran yang dilapisis oleh epitel yang
menghubungkan vestibulum vagina dengan ujung buntu rectum.
- Fistula ini biasanya tidak adekuat untuk mengeluarkan meconium,
sehingga bayi dengan kelaina ini selalu didapatkan dalam keadaan
obstruksi.
3. Fistula rektouretral
- Kelainan letak tinggi paling sering pada bayi laki-laki.
- Tidak terdapat anus
- Terdapat fistula antara ujung buntu rectum dengan uretra, sehingga
meconium akan ke luar melalui uretra.
- Urin pada penderita ini selalu bercampur dengan meconium. Kadang
terdapat meconium osteum uretra eksterna.
- Bila pada pemeriksaan sedimen urin bayi laki didapatkan keruh maka
harus dicurigai pada fistula rektouretral.
4. Kloaca (Persistent cloaca)
- Pada bayi perempuan dengan malformasi anus, yaitu anus, vagina
serta uretra mempunyai satu lubang bersama (single common
channel). Kloaca ini dapat letak rendah atau letak tinggi. Bila single
common channel kurang dari tiga sentimeter dianggap letak rendah.
- Pada pemeriksaan bila didapatkan genetalia tampak kecil dengan satu
lubang, maka harus dicurigai sebagai kloaca.
25
Pemeriksaan klinis terdiri dari : anamnesis, diagnosis fisik, terutama
pemeriksaan pada perineum penderita. Pemeriksaan disini harus cukup
penerangan, teliti dan sistematis dan kalau perlu dengan sondase.
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Invertografi dengan cara : - Foto Wagensteen-Rice.
- Prone lateral position.
Foto ini menggunakan kontras udara pada rectum, sehingga bayi baru
lahir harus ditunggu hingga 24 jam agar udara mencapai rectum.
b. USG anal (perineum) : Dapat digunakan sebagai pengganti foto
invertografi. Lebih menguntungkan, karena tidak perlu menunggu hingga
12 jam, akan tetapi pembacaannya sangat tergantung pengalaman ahli
radiologi.
c. Pemeriksaan sedimen urin : Pemeriksaan ini harus dilakukan ada bayi
laki-laki, ketika pada pemeriksaan klinis jelas tidak didapatkan fistula.
DIAGNOSIS BANDING
Kelainan anorektal bawaan umumnya segera dapat diketahui cukup dengan
inspeksi, palpasi dan sondase. Stenosis ani perlu dibedakan dengan penyakit
Hirchsprung, ileus meconium yang menyebabkan meconium terlambat keluar.
Perlu juga diperhatikan kemungkinan ada rectum atresia, walaupun sangat jarang.
PENYULIT
Bila tidak segera diketahui maka akan terjadi penyulit yaitu obstruksi
mekanik dengan segala kopmplikasinya, pneumoni aspirasi, entero colitis, perforsi
hingga sepsis.
PENATALAKSANAAN TERAPI :
1. Anus stenosis : Sondase dan dilatasi (businasi dengan businator Hegar)
2. Anus membranosa : Insisi membran kemudian dilakukan dilatasi.
3. Anus vestibularis : Kalau stenosis harus dilakukan dilatasi, bila dilatasi gagal
maka harus dilakukan insisi dengan cara cut back. Bila dengan insisi
meconium tetap tidak bisa ke luar maka harus dilakukan diversi dengan
kolostomi.
4. Anus atresia letak rendah : Dilakukan segera posterosagital anorectoplasty
terbatas (PSARP limited)
5. Anus atresia letak tinggi : Pertolongan pertama adalah diversi (harus sudah
dikerjakan dalam waktu kurang dari 48 jam pertama setelah kelahiran).
Diversi dapat berupa kolotransversostomi kanan bagi dokter yang belum
berpengalaman, dan sigmoidostomi bagi dokter yang sudah berpengalaman.
26
Tindakan definitif dikerjakan kemudian setelah usia lebih dari 10 minggu (rule of
over ten) atau setelah pengobatan kelainan bawaan lainnya selesai.
Catatan
Sebelum melakukan tindakan pembedahan harus dilakukan pemeriksaan
yang betul-betul sempurna. Buatlah foto polos abdomen untuk menyingkirkan
kemungkinan ada kelainan lain dalam intra abdominal.
Dalam menangani penderita dengan kelainan anorektal bawaan yang penting
diperhatikan yaitu : tujuan akhir adalah untuk mendapatkan anus yang kontingen.
Inkontinensia hanya akan merupakan siksaan bagi penderita seumur hidupnya.
Oleh sebab itu perlu diperhatikan :
- Jangan mencoba melakukan tindakan anoplasti perineal bila belum yakin
bahwa kelainan tersebut rendah.
- Anggaplah terdapat fistula (rekto vesika/rekto vaginal/rekto uretral) selama
hal sebaliknya belum dapat dibuktikan.
- Kolostomi adalah tindakan penyelamatan pertama yang dibenarkan, bila ada
keragu-raguan.
DIAGRAM TREE
perineal Inspection
Spine Sacrum
Kidney U/S Spinal U/S
20-24 hrs Ruinalysis Cardiac echo
R/O esophageal
etresia
Perineal fistula Rectal gas below coccyx Rectal gas above coccyx
No associated defects Associated defects
Abnormal sacrum
Flat bottom
Meconicum in urine
27
* Depnding on the experience of the surgeon and general condition of the patient
28
ATRESIA DAN STENOSIS INTESTINAL
BATASAN
Atresia intenstinal ialah kelainan bahwa berupa tidak terbentuk lumen dari
satu segmen usus kecil. Stenosis intestinal ialah kelainan bawaan berupa
penyempitan atau segmen dari usus kecil.
KLASIFIKASI
Stenosis : Terjadi bila septum disertai lubang kecil sehingga menimbulkan
obstruksi parsial. Hal ini terjadi akibat septum yang tipis sehingga
menggelembung ke distal dan terjadi performasi yang membentuk lubang kecil.
(disebut wind sock).
Atresia : Duodendum buntu total sehingga lapisan muskularnya, kadang
disertai gap yang seringkali diisi oleh jaringan pankreas. Anomali hal ini 50%
disertai dengan prematuritas dan retardasi pertumbuhan serta anomaly lain,
misalnya : kelainan jantung, urogenital, atresia esofagial, dan 40% disertai dengan
trisomy 21 (sindroma Down).
29
PATOFISIOLOGI
Gangguan kontinuitas usus akibat efek konginetal dapat beupa stenosis atau
atresia, yang keduanya sebagai penyebab utama obstruksi usus pada neonatus.
Atresia pilorus sangat jarang dan familial (defek autosomal genetic), selalu
disertai dengan epidermolisis bulosa. Hypertrophy pyloric stenosis, sebagai salah
satu penyebab obstruksi pada pilorus akan dibicarakan pada bab tersendiri.
Atresia duodenum cukup banyak terjadi, yaitu 1:2500 kelahiran hidup, yang
biasanya disertai dengan sindrom Down. Angka kejadian dapat meningkat akibat
hasil perkawinan antar keluarga.
Atresia atau stenosis jejunoileal paling sering disebakan iskemia intrauterine,
walaupun pernah dilaporkan bahwa multiple atresia dapat diturunkan secara
familial. Insidens lebih banyak dibanding atresia duodenum yaitu 1:1000
kelahiran hidup.
Walaupun letak atresia pada duodenum dapat preampular atau postampular,
tetapi sebagian besar postampular. Tergantung derajat obstruksinya, gaster dan
pilorus dapat dilatasi, sedang usus distal dari bagian yang obstruksi menjadi
kolaps. Ibu hamil dengan bayi atresia duodenum hampir selalu disertai
polihidramnion, sepertiga bagian bayi lahir prematur. Kurang nutrisi akibat
terhambat proses menelan cairan amnion ketika dalam kandungan akan
menyebabkan retardasi pertumbuhan.
30
GEJALA KLINIS
Polihidramnion akibat gangguan reabsorbsi cairan amnion disebabkan oleh
obstruksi tinggi pada gastrointestinal fetus. Dilatasi gaster dan duodendum sudah
terjadi sejak dalam kandungan sehingga dapat terlihat pada pemeriksaan
ultrasonografi antenatal. Atresia duodendum ini dapat dideteksi pada usia
kehamilan antara tujuh dan delapan bulan, tetapi ultrasonografi yang normal
belum bisa menyingkirkan kemungkinan tidak terdapat atresia duodenum.
Muntah bilius ataupun bilius mulai terjadi beberapa jam setelah lahir, dan
sering disertai gangguan buang air besar. Aspirasi cairan gaster lebih dari 20 ml
melalui selang nasogastric pada bayi baru lahir menandakan ada obstruksi usus,
sedang pada bayi normal aspirat tidak lebih dari 5 ml. Bila obstruksinya parsial
atau pada stenosis maka gejala obstruksi akan tampak di luar periode neonates.
PENATALAKSANAAN TERAPI
Bila diagnosis telah ditetapkan, maka lakukan dekompresi lambung dengan
memasang selang nasograstrik atau orogastrik serta koreksi gangguan cairan
tubuh dan elektrolit. Dianjurkan memasang infus sentral untuk keperluan
pemberian nutrisi parentral nutrisi, karena sering diperlukan puasa yang lama pada
perawatan pasca operasi. Pemeriksaan kelainan anormali lain sudah harus
dilakukan dengan pemeriksaan radiografi, ultrasonografi dan ekokardiografi
sebelum operasi. Setelah dilakukan resusitasi maka operasi dapat dilakukan secara
elektif, dan tetapi bila didapatkan tanda obstruksi duodenum disertai volvulus
maka operasi harus segera dilakukan.
Lakukan laparotomy dengan insis transversal supraumbilikal. Pertama
tentukan ada malrotasi (30% dari obstruksi duodenum) dengan cara menentukan
letak sekum, ada band dari Ladd (Ladd’s band) dan ligamentum Treitz, kemudian
sisihkan kolon asenden dan transversum ke kiri agar duodenum terpapar. Setelah
duodenum terpapar maka tentukan ada pankreas anular, atau anterior portal vein.
Duodenum distal dan jejunum tampak kolaps dengan dinding usus yang tipis beda
31
dengan sebelah proksimal atresia yang memiliki dinding usus tebal dan hipertrofi.
Lakukan mobilisasi duodendum distal, selanjutnya lakukan insisi sedistal
mungkin secara transversal pada duodendum proksimal dan insisi longitudinal
pada duodendum yang distal, kemudian lakukan anastomosis sisi ke sisi
duodenodudenostomi (side to side duodeduodenostomy diamond-shape).
Bila didapatkan septum (web) atau dengan lubang ditengahnya, maka dapat
dilakukan eksisi septum, tetapi harus dimengerti bahwa ampula Vateri dapat
terluka akibat eksesi tersebut. Dianjurkan melakukan duodenoduodenostomi tanpa
melakukan eksisi spetum, dapat ditambah dengan melakukan prosedur Ladd bila
diperlukan.
Pasang selang nasogastric untuk dekompresi. Untuk keperluan pemberian enteral
dini. Dapat dilakukan pemasangan selang gastrojejunal melewati anastomosis
(gastrojejunal feeding).
32
MALROTASI
BATASAN
Malrotasi adalah kelainan konginetal berupa posisi usus yang tidak normal
anatomi usus akibat rotasi dan fiksasi yang tidak sempurna pada pertumbuhan
fetus.
PATOFISIOLOGI
Secara normal ada dua proses penting dalam pertumbuhan usus, yaitu rotasi
secara komplit pada midgut dan setelah itu diikuti proses fiksasi kolon dan
mesenteriumnya. Akibat rotasi yang tidak komplit, sekum berada di sebelah kiri
di epigastrium, bagian duodenojejunal berada di kanan garis tengah dan
mensenteriumnya tidak terfiksir (lihat gambar). Keadaan ini menyebabkan
duodendum terjepit oleh jaringan ikat peritoneal yang mengikat sekum (Ladd’s
band) dan terjadi obstruksi duodendum akibat kompresi eksternal serta
mempermudah terjadi volvulus, dengan arteri mesentrika superior sebagai sumbu
volvulus yang menyebabkan nekrosis usus. Keadaan demikian penting sekali
diketahui, karena malrotasi dapat menimbulkan volvulus midgut yang dapat
menyebabkan nekrosis usus dari duodenum hingga kolos transversum.
GAMBARAN KLINIS
Manifestasi klinis malrotasi dapat berupa obstruksi parsial duodenum,
volvulus midgut dan keluhan abdominal yang kronis. Kumpulan gejala terebut
dapat akut, intermiten atau hilang timbul dan tergantung dengan umur penderita
(dapat dilihat pada tabel). Gejala klasik yang sering adalah muntah bilius pada
neonates yang tampak sehat. Gejala obstruksi uodendum dapat akut, subakut, atau
33
intermiten tergantung dari jaringan ikat peritoneal (Ladd’s band) yang menekan
duodendum.
Gejala lain pada anak lebih tua adalah : nyeri abdominal kronis, pancreatitis
kronis, berat badan tidak bertambah, kesulitan minum, cepat kenyang, diare
intermiten atau perdarahan perektum. Kadang gejala baru timbul setelah dewasa,
bahkan dapat terjadi pasien dengan maltorasi tanpa gejala. Gejala klasik muntah
bilius 75% timbul pada bulan pertama kelahiran dan 90% pada usia kurang dari
setahun.
Tabel
CLINICAL PRESENTATION OF PATIENTS WITH MALROTATION
RELATED TO AGE
Age < 2 mo Age > 2 mo
Symptom/Sign
% Duration* % Duration
Vomiting
Bilious 71 2 49 19
Nonbilious 25 10 49 213
Diarrhea 23 5 14 64
Abdominal pain 0 - 31 241
Constipation 6 4 23 76
Anorexia or nausea 11 14 14 35
Irritability 11 5 9 7
Apnea (intermittent) 11 2 6 75
Lethargy 9 1 9 1
Failure to thrive 6 12 23 112
Blood in stool 17 4 17 2
Fever 9 2 23 2
Diambil dari Powell D, Othersen HB, Smith CD; Malrotation of the intenstines in
children : The effect of age on presentation and theraphy. J Pediatric Surg 24:777-
780, 1989.
Keadaan volvulus midgut sangat gawat darurat, setiap keterlambatan
pembedahan membawa risiko yang sangat fatal, yaitu terjadi nekrosis usus yang
panjang, dapat berdampak short bowel syndrome hingga kematian. Muntah bilius
adalah gejala cardinal pada neonates, tetapi bila terjadi pada bayi usia kurang dari
satu tahun harus dianggap sebagai malrotasi sampai terbukti bukan malrotasi.
Walaupun muntah bilius pada bayi baru lahir dapat terjadi oleh akibat lain, tetapi
pada malrotasi disertai dengan volvulus selalu disertai tanda strangulasi. Tanda
fisik pada bayi yang mengalami volvulus bervariasi, tetapi yang khas adalah ada
dilatasi gaster dan duodenum akibat obstruksi di duodenum. Bayi biasanya
irritable, lethargis disertai tanda dehidrasi, ada iskemia usus menyebabkan tanda
syok septic, hipotensi, eritema dinding abdomen, gagal nafas, asidosis sistemik,
34
trombositopenia, lekositosis atau lekopeni. Terjadi hematemesis dan melena
akibat iskemia mukosa usus, tanda ini sangat penting untuk mendiagnosis ada
volvulus pada malrotasi dengan tanda obstruksi duodenum yang tidak jelas. Pada
obstruksi parsial, sering kali hasil foto polos abdomen dan pemeriksaan
laboratorium tampak normal, untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan foto atas
dengan kontras (upper GI contrast study). Pada penderita dengan muntah bilius
dengan usia kurang dari setahun, sebaiknya lakukan laparotomi tanpa foto dengan
kontras. Setiap keterlambatan diagnosis dan tindakan operasi dapat terjadi
volvulus dan nekrosis usus yang sangat panjang.
PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS
Setiap bayi baru lahir dan anak dengan muntah bilius, adalah tanda awal ada
obstruksi saluran cerna bagian atas, maka segera lakukan foto polos abdomen
posisi tegak dan posisi lateral dikubitus. Pada foto akan tampak gambaran dilatasi
gaster dan sebagian duodenum (double bubble) dengan adanya gambaran sedikit
udara di bagian distal. Berbeda dengan atresia duodenum, udara di usus distal
seringkali tidak tampak, gambaran ini sama dengan malrotasi dengan volvus.
Dalam keraguan perlu dipikirkan untuk melakukan foto dengan kontras.
Posisi normal duodenojejunal junction berada di sebelah kiri vertbera, sedang
pada malrotasi tanpa volvulus posisi duodenojejunal junction berada disebelah
kanan vertebra dibawah dari bulbus duodenum. Barium enema dapat juga dipakai
untuk menentukan letak sekum, sehingga dapat dipakai sebagai cara lain untuk
mendiagnosis adanya malrotasi. Letak sekum pada epigastrium sering dijumpai
juga pada bayi normal tanpa malrotasi.
PENATALAKSANAAN TERAPI
Pda bayi dan anak dengan obstruksi duodendum disertai tanda volvulus harus
segera dilakukan operasi. Lakukan resusitasi segera dengan memasang infus,
pasang pipa nasogastrik atau orogastrik dan pasang kateter Foley untuk monitor
sirkulasi. Beri antibiotik profilaksis. Selama resusitasi harus diupayakan untuk
melengkapi diagnostik untuk mencari penyebab volvulus, tidak jaring diagnostik
malrotasi dibuat pada saat laparotomi eksplorasi. Pada keadaan volvulus, setiap
keterlambatan menyebabkan usus nekrosis, maka kemungkinan hidup tinggal
50% dengan nutrisi parenteral total yang berkepanjangan, bahkan mungkin
diperlukan transplantasi usus dengan atau tanpa hepar. Jadi bila didapatkan bayi
sehat dengan muntah bilius disertai dengan tanda dilatasi akut, dinding perut
eritema, berak darah, maka segera lakukan resusitasi dan dilanjutkan dinding
perut eritema, berak darah, maka segera lakukan resusitasi dan dilanjutkan
dinding perut eritema, berak darah, maka segera lakukan resusitasi dan
dilanjutkan laparotomi tanpa pemeriksaan foto kontras yang dapat menyebabkan
keterlambatan.
Bila penderita malrotasi tanpa disertai tanda akut abdomen, maka lakukan
tindakan bedah segera. Lakukan prosedur Ladd (Ladd’s prosedure) yaitu : eksisi
35
jaringan ikat peritoneum (Ladd’s band), vertikalisasi duodenum dan apendektomi.
Malposisi sekum di kiri atas akan menyulitkan diagnosis bila terjadi apendisitis,
oleh karena itu apendektomi pada prosedur Ladd sebagai protokol.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ascraft Keith W, Holcomb George W : Pediatric Surgery : Fourth Ed;
Elsevier Saunders. Philadelphia 2006, p 416-430
2. Grsfeld Jay L, O’Neill James A. : Pediatric Surgery. Sixt Ed; Mosby Elsevier
2006. p1260-1284.
ATRESIA DAN STENOSIS JEJUNOILEUM
BATASAN
Atresia jejunoileum ialah kelainan congenital berupa tidak terbentuk satu
segmen dari jejunum atau ileum. Jejonoileum ialah kelainan congenital berupa
tidak terbentuk sebagian lumen dari jejunum atau ileum.
PATOFISIOLOGI
Atresia dan stenosis jejunoileal utama disebabkan karena proses iskemia intra
uterin. Etiologi iskemia adalah akibat gangguan vaskular saat intrauterine yang
disebabkan pada volvulus, hernia interna atau intususepsi, tromboemboli,
strangulasi usus yang menyebabkan nekrosis. Bagian yang nekrosis akan
diabsorbsi sehingga terjadilah atresia pada ujung-ujungnya. Sebagian besar atresia
pada ileosekal, sering pula disertai dengan kelainan lain, misal atresia esophagus,
gaster, duodenum dan rectum. Atresia jejunoileal ini bukan akibat kelainan
genetis.
Atresia jejunoileal dibagi menjadi empat klasifikasi, yang dapat digunakan
sebagai acuan untuk tujuan prognosis dan tindakan pembedahan. Tipe I terbanyak
jumlahnya dibanding tipe yang lain. Prognosis yang paling jelek adalah tipe IV.
Atresia jejunoileal lebih sering terjadi atresia duodenum. Atresia dapat total
atau sebagian yang menyebabkan stenosis. Atresia lebih sering dibanding
stenosis, sebagian besar di ileum.
36
GEJALA KLINIS
Diagnosis bila ditegakkan sedini mungkin akan memberikan hasil terapi yang
baik. Dalam menentukan diagnosis, yang utama adalah dapat menentukan jenis
obstruksi akibat kelainan intrinsik dan ekstrinsik, misalnya akibat volvulus, hernia
interna. Pemeriksaan prenatal dengan USG pada ibu hamil dengan polihidramnion
dapat mendiagnosis atresia jejunoileal lebih dini, sehingga penanganan dapat
dilakukan lebih dini dan terhindar dari komplikasi yang sering terjadi.
Polihidramnion disertai warna empedu (bile staining) dan peningkatan konsentrasi
asam empedu (bile acid) pada cairan amnion, menandakan adanya obstruksi
dibawah ampula Vateri.
Bayi akan muntah hijau pada hari pertama kelahirannya, 20% pada usia dua
atau tiga hari. Makin tinggi letak atresianya, maka lebih dini muntahnya dan
makin kuat pancarannya. Bila diagnosis terlambat maka timbul komplikasi
dehidrasi, febris, unconjugated hiperbilirubinemia dan pneumonia aspirasi.
Abdomen distensi, makin distal atresianya makin disensi abdomennya.
Enampuluh hingga 70% bayi tidak mengeluarkan mekonium pada usia hari
pertama kelahirannya. Walaupun mekonium tapak normal, akan tetapi sering kali
berwarna abu-abu pucat. Kadang didapatkan abdomen distensi disertai kekakuan,
edema dan eritema yang menandakan ada iskemia atau peritonitis akibat
performasi. Pada obstruksi akibat stenosis jejunoileal maka diagnosis menjadi
lebih sulit, kadang berupa obstruksi parsial yang intermiten dan disertai gejala
malabrosbsi. Pada pemeriksaan awal sering kali tidak didapatkan kelainan.
37
Bila atrsia terjadi pada usia fetus lebih tua, maka caliber usus bagian distal
dari atresia tampak seperti normal. Gambaran seperti ini sulit dibedakan dengan
total aganglionesis pada penyakit Hirschsprung.
Sepuluh persen (10%) penderita atresia jejunoileal dapat terjadi peritonitis
mekonium. Performasi terjadi pada usus proksimal yang sangat dilatasi. Bila
performasi terjadi pada saat intra uterin, maka pada pemeriksaan radiologis akan
tampak gambaran klasifikasi intraluminal atau intramural. Pada pemeriksaan
enema barium akan tampak mikrokolon akibat disused atrophy.
Gejala dan tanda klinis atresia jejunoileal dapat menyerupai atresia kolon,
volvulus midgut, ileus mekonium, hernia interna, ileus karena sepsis, trauma
kelahiran, hipotiroidisme. Pemeriksaan radiologis dengan kontras upper-GI
maupun enema barium dan biopsi dapat mendiagnosis secara baik.
PENATALAKSANAAN TERAPI
Setiap keterlambatan diagnosis akan menyebabkan komplikasi, 50% akan
terjadi nekrosis dan performasi pada bagian proksimal atresia. Selanjutnya akan
diikuti gangguan cairan dan elektrolit hingga terjadi sepsis. Pengelolaan dimulai
dengan resusitasi cairan dan elektrolit, dilanjutkan dengan pemasangan selang
nasogastrik atau orograstik untuk dekompresi serta mencegah muntah yang akan
menyebabkan pneumoni aspirasi.
Setelah optimal maka lakukan prosedur operasi, yaitu dengan melakukan
reseksi bagian usus yang dilatasi dan hipertropi dapat dilakukan anastomosis
ujung ke ujung (end to end or end to back).
Bila bayi dalam keadaan tidak optimal serta disertai peritonitis atau volvulus,
maka anastomosis primer tidak mungkin dilakukan, untuk hal demikian maka
dapat dilakukan eksteriorisasi untuk stoma sementara.
38
HIPOSPADIA
DEFINISI
Hipospadia adalah kelainan congenital pada jenis yang ditandai ada korde,
kelainan letak muara uretra dan pertumbuhan prepusium dorsal yang berlebih
(dorsal hood).
ETIOLOGI
Etiologi hipospadia tidak diketahui dengan jelas, walaupun 20-25%
dilaporkan pada hubungan dengan genetis. Beberapa penyebab lain dihubungkan
dengan endokrin dan faktor lingkungan. Pada kehamilan kembar laki-laki sering
terjadi hipospadia, ini diduga akibat kekurangan hormon korionik gonadotropin
yang diproduksi oleh satu plasenta yang dibutuhkan oleh dua fetus (Kallen et all,
1986). Bila ayah menderita hipospadia, maka 8% anak akan menderita hipospadia
juga. Kelebihan estrogen dapat juga sebagai pemicu terjadi hipospadia, hal ini
terbukti pada hewan coba.
Kelebihan estrogen dapat terjadi akibat makan buah-buahan dan sayuran yang
diberi pestisida, minum susu sapi yang diambil dari sapi yang sedang hamil.
PATOFISIOLOGI
Hipospadia terjadi karena gangguan pertumbuhan uretra di minggu ke 8
hingga minggu ke 20 usia kehamilan. Pertumbuhan genital laki-laki sangat
dipengaruhi oleh testosterone. Uretra tumbuh dari proksimal menuju ke korona
glans penis. Uretra distal akan berjalan ke arah proksimal, kemudian bagian
proksimal dan distal akan bersatu membentuk kanalisasi pada daerah koronal.
Prepusium normal terdiri dari kulit mulai dari proksimal glans penis dan
berkembang secara melingkar (circumferential) meliputi seluruh glans penis.
Kegagalan kanalisasi uretra dapat menghalangi proses pembentukan prepuisum di
ventral sehingga terjadilah dorsal hood prepusium.
Sebagian besar hipospadi disertai korde, terutama hipospadia derajat berat.
Kegagalan kanalisasi uretra serta abnormalitas fasia ventral pada batang penis,
dicurigai sebagai penyebab terbentuk korde. Menurut Devine dan Norton (1973)
terdapat tiga proses patologi pembentukan korde. Pertama oleh karena kegagalan
pembentukan korpus spongiosum pada distal penis; Kedua, disebabkan oleh
gangguan pertumbuhan fasia bagian ventral yang tidak normal. Penyebab ketiga
yang dikemukakan oleh Allen dan Spence (1984) yaitu ada gangguan
pertumbuhan fasia superfisialis (fasia Dartos). Pendapat terakhir oleh Kramel et
al. (1982) bawa korde disebabkan disporpsi pertumbuhan daerah dorsal, sehingga
menyebabkan penis menekuk ke bawah.
39
PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS
Pada hipospadia muara uretra dapat berada di sepanjang batang penis.
Kelainan muara uretra, ada korde dan dorsal hood selanjutnya disebut sebagai
trias hipospadia.
Diagnosis hipospadia cukup ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis saja
yaitu penis yang ditandai korde, lokasi muara tidak pada tempat normal tetapi
lebih ke proksimal (dapat berada di sepanjang batang penis), dan pertumbuhan
prepusium dorsal yang berlebih (dorsal hood).
PENATALAKSANAAN TERAPI
Tujuan pembedahan adalah agar penis menjadi lurus dengan cara melakukan
eksisi korde (orthoplasty), memindahkan muara uretra pada ujung penis
(urehtroplasty), dan membentuk glans penis seanatomis mungkin (glanuloplasty).
Langkah pembedahan pada hipospadia adalah : 1. Orthoplasty 2. Urethroplasty .
Meatoplasty dan glanuloplasty, 4. Scroplasty dan Skin coverage. Sebelum tahun
1980 rekonstruksi hipospadia dilakukan dua tahap dan anak usia lebih dari 3 tahun
dengan alasan secara teknik lebih mudah.
Dengan alasan psikososial, maka kini tindakan pembedahan dilakukan lebih
dini, yaitu pada usia 6-18 bulan dan diusahakan dikerjakan satu tahap (Gatti,
2006), Manley dan Epstein (1981) melakukan pada usia dibawah 18 bulan,
Belman dan Kass (1982) melakukan pada usia 2-11 bulan.
Teknik yang digunakan ada bermacam-macam, sangat tergantung pada
pengalaman yang mengerjakannya. Teknik yang sering digunakan adalah :
Hipospadia Anterior
1. MAGPI (Meatal Advancement and Glanuloplasty).
2. Extended MAGPI
3. Mathieu
4. Snodgrass and modification urethroplasty
Hipospadia tengah
1. Only island flap
2. Transverse preputial island flap urethroplasty. (Duckett procedure)
3. Snodgrass and modification urethroplasty
Hipospadia posterior :
1. Transverse preputial island flap urethroplasty (Duckett procedure)
2. Transverse preputial island flap plus perineal extension
3. Double-faced island flap
KOMPLIKASI
Komplikasi pascabedah dapat terjadi pada masa dini atau lanjut. Komplikasi
dini adalah edema lokal dan perdarahan. Perdarahan pasca operasi dini dapat
diatasi dengan kompresi hingga perdarahan akan berhenti dengan sendirinya.
40
Infeksi pada era modern ini jarang terjadi, karena penggunaan antibiotik
profilaksis yang diberikan preoperative dan dilanjutkan pasca operasi sampai stent
atau kateter dilepas.
Komplikasi lanjut adalah fistula uretrokutan, komplikasi ini cukup sering
terjadi. Secara umum fistula terjadi kurang dari 10%, namun risiko fistula pada
hipospadia yang berat kurang lebih 40% (Ganti, 2006). Fistula jarang sekali
menutup secara spontan dan terapi yang tepat adalah dilakukan flap lokal kulit.
Fistula ini dapat terjadi berulang pada 10% penderita, untuk mencegah terjadi
fistula. Dianjurkan untuk melakukan teknik pembedahan yang baik, pemilihan
benang serta penutupan kulit yang baik. Bila fistulanya kecil dapat dilakukan
eksisi dan dijahit. Bila besar dapat dilakukan onlay flap. Stenosis muara uretra,
biasanya terjadi karena tidak adekuatnya suplai daerah pada daerah distal uretra,
hal ini lebih mudah dicegah daripada melakukan terapi sesudah terjadi.
41
BEDAH DIGESTIF
PENULIS
42
APENDISITIS AKUT
BATASAN
Proses keradangan akut pada appediks. Merupakan kasus akut abdomen yang
paling sering terjadi.
PATOFISIOLOGI
Teori yang paling umum adalah sumbatan pada lumen apendiks yang diikuti
infeksi. Sumbatan diakibatkan oleh hiperplasi folikel limfoid pada submukosa,
fekolit, tumor atau kondisi patologis yang lain.
GEJALA KLINIS
1. Seringkali nyeri perut di region epigastrium atau region umbilical, setelah
beberapa jam, biasanya sekitar 6-8 jam, nyeri berpindah dan menetap ke
region kanan bawah.
2. Kemudian diikuti dengan mual muntah.
3. Suhu badan dapat sub febril sampai 38,3°C. Suhu yang lebih tinggi harus
diwaspadai terjadi apendistis performasi, abses apendiks atau penyebab yang
lain.
PENYULIT
1. Pembentukan masa periapendikular, abses periapendikular.
2. Timbul performasi sehingga terjadi peritonitis generalisata
43
c. Pemeriksaan foto polos abdomen tidak banyak membantu. Tidak jarang
dapat terlihat pelebaran sekum dan dilatasi usus halus pada kuadran
kanan bawah. Kadang-kadang terlihat bayangan opak (fekolit) di regio
iliaka kanan.
d. Pemeriksaan ultrasonografi menunjukkan ada penebalan dinding
apendiks (target sign) dengan diameter anteroposterior lebih dari 6 mm.
gambaran fekolit dan cairan periappendikular semakin memperkuat
diagnosis. Terutama berguna pada wanita usia produktif untuk
menyingkirkan kelainan ginekologik. Sensitivitas 55-96%, spesifisitas
85-98%.
e. Pemeriksaan CT scan kadang diperlukan bila pemeriksaan fisik dan USG
tidak dapat menegakkan diagnosis terutama pada pasien gemuk.
Gambaran CT scan menunjukkan penebalan dinding apendiks dan
peningkatan diameter apendiks > 6 mm disertai penebalan meso apendiks
(dirty fat).
DIAGNOSIS BANDING
1. Pada dewasa muda, diagnosis banding antara wanita dan pria berbeda
a. Pada wanita muda : KET (kehamilan ektopik terganggu), mittleschmerz,
endometriosis dan salpingitis, konstipasi kronik, enteritis.
b. Pada laki-laki muda : Gastroenteritis akuta, batu saluran kemih sisi
kanan, torsio testis dan epididimitis akut.
2. Pada penderita lebih tua : adenitis mesenterika akuta, diverticulitis,
performasi ulkus peptikum akut, pancreatitis akut, obstruksi usus, karsinoma
sekum, kolusi vaskuler mesenteric, rupture aneurisma aorta dan penyakit-
penyakit yang terdapat pada dewasa muda yang gejalanya menyerupai
apendisitis akut (lihat diatas).
PENATALAKSANAAN TERAPI
Prinsip terapi adalah apendektomi baik secara terbuka maupun laparoskopik
dengan persiapan prabedah sebagai berikut :
1. Persiapan prabedah
a. Pemberian cairan infus garam fisiologis
b. Pemberian antibiotik profilaksis sefalosporin generasi ke-2, 30 menit
sebelum operasi dan satu kali pasca bedah. Antibiotik diteruskan bila
terdapat apendisitis gangrenous atau perforasi.
2. Pasca bedah
a. Pada apendistis nonperforasi, dirawat dalam 24-48 jam pasca bedah.
b. Diberikan diet cair secepatnya dan ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan
dan toleransi penderita.
44
c. Pada apendisitis performasi, antibiotik sefalosporin generasi 2 atau 3 dan
metronidazol diteruskan sehingga gejala klinis dan hasil pemeriksaan
laboratories menunjukkan tidak ada infeksi sistemik.
45
BATU EMPEDU
BATASAN
Terdapat batu di dalam kandung empedu dan atau dalam saluran empedu.
PATOFISIOLOGI
Batu empedu terbentuk dari pemaatan larutan empedu. Bahan-bahan organik
dalam larutan empedu adalah bilirubin, garam empedu, fosfolipid dan kolesterol.
Batu empedu diklasifikasikan menjadi batu kolesterol dan batu pigmen yang
dibedakan lagi menjadi batu pigmen hitam dan batu pigmen coklat. Batu
kolesterol terbentuk akibat ketidakseimbangan konsentrasi kolesterol, garam
empedu dan fosfolipid. Batu pigmen hitam terbentuk akibat supersaturasi dari
kalsium bilirubinat karbonat dan fosfat, sering kali akibat sekunder dari penyakit
hemolitik. Batu pigmen coklat dapat terbentuk pada kandung empedu maupun
saluran empedu yang terjadi akibat presipitasi kalsium bilirubinat dan tubuh sel
bakteri.
GEJALA KLINIS
1. Pada batu kandung empedu tanpa komplikasi : nyeri kolik yang ditimbulkan
oleh batu empedu umumnya timbul akibat penyumbatan duktus sistikus oleh
Batu. Nyeri terasa pada epigastrium atau perut kuadran kanan atas menjalar
ke punggung kanan dan atas scapula, nyeri menetap dan meningkat selama
setengah jam pertama kemudian berkurang dalam 1 sampai 5 jam. Nyeri
datang mendadak terutama pada malam hari atau 15 menit hingga 2 jam
setelah makan terutama makanan berlemak, dapat disertai mual dan muntah.
2. Gejala gastrointestinal lain seperti kembung, rasa panas uluhati, sering
sendawa tanpa disertai rasa nyeri seperti tersebut diatas harus dipikirkan
berasal dari penyakit gastrointestinal lain seperti : refluks esofagitis dan ulkus
peptikum.
3. Demam bila terjadi kolesistitis akuta, nyeri perut kanan atas menetap sering
disertai menggigil.
4. Ikterus terjadi bila terdapat batu pada duktus koledokus atau obstruksi duktus
koledokus akibat inflamasi sekunder karena penekanan duktus koledokus
oleh batu di infundibulum kandung empedu (Mirizi’s syndrome). Ikterus
dapat hilang timbul bila sumbatannya lepas. Disamping itu terdapat urin yang
berwarna kuning teh tua dan feses yang pucat.
46
3. Pemeriksaan laboratories dapat menunjukkan normal atau lekositosis ringan
sampai sedang (12.000-15.000/mm3). Bila lekositosis tinggi sekali diduga
telah terjadi kolesistitis gangrenous, perforal atau kolangitis. Pada ikterus
obstruksi terjadi terdapat peningkatan kadar bilirubin direk dan total, alkali
fosfatase, transaminase dan amilasi.
4. Pemeriksaan ultrasonografi merupakan pemeriksaan pertama yang harus
selalu dilakukan pada kasus kolelitiasis. Batu dalam kandung empedu akan
memberikan gambaran acoustic shadow dan bergerak bersama gerakan nafas
pasien. Pada kolesistitis akuta akan terlihat penebalan dinding kandung
empedu, cairan perikolesistik dan pasien akan merasa nyeri di perut kanan
atas pada saat pemeriksaan (sonographic Murphy’s sign). Tingkat spesifikasi
>98% dan sensitifitas >95%.
5. Pemeriksaan CT scan : pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan karena sulit
membedakan cairan empedu dengan batu empedu kecuali bi la batu tersebut
mengandung banyak kalsium. Pemeriksaan kita lakukan bila ada kecurigaan
ada neoplasma hepar atau pankreas, abses hepar atau penyakit parenkimal
hepar.
6. Pada ikterus obstruksi, dilakukan pemeriksaan :
i) Kolangiografi perkutan transhepatik (PTC)
ii) Endoscopic rentograde cholangio pancreatography (ERCP)
iii) Magnetic resonance cholangio pancreatography (MRCP)
Kurang lebih 15% pasien batu kandung empedu disertai batu dalam duktus
koledokus oleh karena itu dalam menegakkan diagnosis batu kandung empedu
perlu dipikirkan kemungkinan batu dalam duktus koledekus.
Beberapa indikator batu duktus koledokus :
- Ikterus preoperasi dan saat operasi
- Riwayat kolesistitis akuta, kolangitis atau pancreatitis
- Koledokoliasis dan dilatasi CBD pada pemeriksaan USG
- Peningkatan kadar bilirubin, alkali phospatase, amilase
DIAGNOSIS BANDING
1. Ulkus peptikum, pancreatitis, apendisitis, hepatitis, iskemia miokard,
pneumoni, pleuritis, herpes zoster pada nervus interkostal, spasme esophagus,
refluks gastroesofageal, kolik renal, irritable bowel syndrome
2. Pada ikterus obstruksi, batu, duktus koledokus didiagnosis banding dengan
kolangio karsinoma, karsinoma pankreas dan striktura saluran biliaris.
PENATALAKSANAAN TERAPI
A. Kolelitiasis simpotamik
1. Terapi dan non pembedahan
a. Terapi cairan asam empedu / bile acid
47
Efetivitas terapi ini sekitar 50%, disolusi lengkap terjadi setelah 6-12
bulan, namun tingkat rekurensi sekitar 50%.
Kriteria pemberian terapi : batu berukuran <1 cm, keluhan ringan,
fungsi pengisian dan pengosongan kandung empedu normal.
Gambaran batu terapung pada kolesistografi oral, gambaran klasifikasi
minimal pada pemeriksaan CT scan.
Preparat yang tersedia : Chendeoxycholic acid 15 mg/kg BB/hari atau
ursodeoxycholic acid 10 mg/kg BB/hari.
b. Contact dissolution therapy
Instilasi methyl-tert-butyl perkutaneus atau per-endoskopik ke dalam
kandung empedu. Efektivitas sekitar 65%. Indikasi sama seperti terapi
cairan asam empedu. Saat ini terapi ini sudah jarang dilakukan .
c. Extracorporeal shock wave lithostrypsi (ESwL)
Hanya ideal untuk batu tunggal, efektivitas untuk batu multiple sangat
rendah. Saat ini terapi ini jarang dipakai.
2. Terapi Pembedahan
a. Kolesistektomi terbuka atau laparoskopik
b. Bila disertai kolesistitis akut yang baru berlangsung <48 jam
kolesistektomi terbuka atau laproskopik dapat dilakukan. Kolesistitis
yang telah berlangsung >48 jam diterapi dengan antibiotik
sefalosporin generasi ke-3 selama dua minggu. Kolesistektomi
dilakukan kemudian setelah 6-10 minggu.
c. Bila disertai batu saluran empedu maka dilakukan kolesistektomi dan
koledokotomi.
48
49
FISTULA PERIANAL
BATASAN
Fistula perianal adalah saluran abnormal yang menghubungkan dua
permukaan berepitel yaitu mukosa kanal anal atau rectum dengan kulit perianal.
Sinus perianal adalah saluran yang menghubungkan sumber infeksi dengan
permukaan kulit perianal.
PATOFISIOLOGI
Sebagian besar fistula perianal berasal dari abses yang terbentuk dari infeksi
interspincteric and gland. Sebagian kecil lainnya berasal dari penyakit Crohn’s,
colitis ulserativa, infeksi tuberkulosa dan keganasan rektoanal.
50
GEJALA KLINIS
Biasanya selalu didapatkan riwayat pembentukan abses anorektal yang
terdrainase dan menyembah spontan, disertai episode infeksi ulangan dan
keluarnya pus dari lubang bekan abses.
51
sedangkan external opening yang terletak anterior dari garis khayal
transversal akan berasal dari kripte terdekat.
2. Pemeriksaan Tambahan
Fistulografi, endorectal ultrasonography (ERUS), magnetic
resonance imaging (MRI), tidak rutin dilakukan. Pemeriksaan ini hanya
dilakukan untuk kasus-kasus fistula perianal kompeks (riwayat operasi
berulang kali, external opening multiple atau letaknya jauh dari anal verge,
internal opening terletak tinggi) karena risiko terjadinya kekambuhan atau
ikontinensia alvi pasca operasi sangat besar.
DIAGNOSIS BANDING
Penyakit Crohn’s, sinus pilonidal, hidradenitis supurativa, tubrekulosa,
trauma, radiasi, fissura ini.
PENATALAKSANAAN TERAPI
Prinsip operasi untuk fistula perianal adalah menghilangkan saluran fistula,
mencegah terjadi kekambuhan dan mempertahankan fungsi m.sfingter ani. Untuk
fistula perianal simpel dapat dilakukan operasi fistulotomi atau fistulektomi,
sedangkan untuk fistula perianal kompleks dapat dilakukan operasi pemasangan
seton, advancement flap, aplikasi bioprosthetic fistula plug atau fibrin glue.
52
HEMOROID
BATASAN
Jaringan hemoroid merupakan jaringan normal dalam struktur kanalis analis
yang berfungsi untuk membantu menutup kanalis analis superior dan berperan
dalam kontinensia.
Penyakit hemoroid timbul bila jaringan ini mengalami distensi secara kronis
sehingga pleksus venalis ini mengalami distensi dan prolaps ke dalam kanalis
analis karena jaringan ikat penunjang sekitarnya longgar.
PATOFISIOLOGI
Hemoroid adalah suatu pembesaran bantalan fibrovaskuler yang terdapat
dalam kanalis analis. Proses terjadi hemoroid dapat dibagi dua :
1. Pada orang tua yang sering mengejan terjadi penebalan bantalan
fibrovaskuler dan pelebaran vaskuler. Hal ini juga mengakibatkan mukosa
menjadi lebih rapuh dan vaskularisasi meningkat, selanjutnya dapat terjadi
prolaps jaringan hemoroid dan dapat menimbulkan perdarahan per rectum
yang berwarna merah segar. Hal ini terjadi berulang-ulang akan
mengakibatkan kerusakan jaringan ikat penunjang sekitar vasa hemoroidalis.
Tekanan terlalu tinggi dan lama, misalnya pada konstipasi, menyebabkan
hemoroid membesar dan dapat terdorong keluar dari posisinya oleh kotoran.
Tekanan yang berlebihan dapat disebabkan oleh keadaan : kehamilan,
mengangkat beban, obesitas, konstipasi, diet rendah serat, diare kronis, vena
varikosa. Posisi duduk tidak nyaman atau berdiri yang lama dan faktor
genetik.
2. Pada pria muda, peningkatan resting pressure dalam kanalis analis selama
proses defekasi dan menyebabkan aliran darah balik terhambat yang
selanjutnya akan mengakibatkan dilatasi dan pemanjangan vena serta
kerusakan jaringan ikat penunjang vena.
KLASIFIKASI HEMOROID
1. Berdasarkan letaknya
Hemoroid interna : berasal dari pleksus hemoroidalis superior
Hemoroid eksterna : berasal dari pleksus hemorroidalis inferior
Campuran
2. Berdasarkan gradasi prolaps
Derajat 1 : pelebaran vaskularisasi, dapat terjadi perdarahan, tetapi tidak
terjadi prolaps
Derajat 2 : dapat terjadi prolaps hemoroid saat defekasi, tetapi dapat
kembali spontan.
Derajat 3 : terjadi prolaps, tetapi masih dapat dikembalikan dengan jari
tangan.
53
Derajat 4 : terjadi prolaps, tidak dapat dikembalikan, biasanya disertai
strangulasi atau trombosis.
GEJALA KLINIS
Raja tidak nyaman, gatal dianus, keluar cairan lendir dan perdarahan, bila
berlanjut timbul prolaps dari hemoroid.
DIAGNOSIS BANDING
1. Polip rekti
2. Fisura ani
3. Penyakit crohn
4. Abses anorektal
5. Kondiloma akuminata ataupun kondiloma lata
6 Karsinoma rectum
7. Prolaps ani.
PENATALAKSANAAN TERAPI
1. Terapi suportif
i) Modifiaksi diit dan pola hidup
ii) Berendam duduk dalam air hangat selama 10 menit
iii) Menggunakan kertas basah yang mengandung witch hazel, suatu
astringen alami
iv) Terapi medikamentosa : krim analgetik atau supositori yang mengandung
anestesi lokal, astringen atau steroid.
2. Skleroterapi
Dengan menyuntikkan fenol 5% dalam almond oil 3-5 ml pada hemoroid
derajat satu dan dua.
3. Terapi Pembedahan
i) Untuk hemoroid grade III, IV atau grade I dan II yang gagal diterapi
dengan metoda non pembedahan.
ii) Eksisi thrombus, jika thrombus cukup besar dan menimbulkan nyeri
iii) Ligasi rubber band
iv) Hemoroidektomi tehnik terbuka (contoh : tehnik Miligan-Morgan)
v) Hemoroidektomi tehnik tertutup (contoh : tehnik Ferguson)
vi) Stapled hemorrhoidopexy (PPH Procedure)
54
HERNIA INGUNALIS DAN HERNIA FEMORALIS
BATASAN
Hernia adalah penonjolan abnormal sebagian atau seluruh organ intra
abdominal melalui lubang atau defek dinding abdomen, yang dilapisi oleh
peritoneum. Hernia ingunalis lateralis (indirekta) ke luar melalui annulus internus
menuju ke kanalis inguinalis-annulus eksternus dan ke luar menuju kantong zakat.
Herna inguinalis medialis, kantong hernia ke luar melalui segitiga Hasselbach-
menuju annulus eksternus.
Hernia femoralis, kantong melalui annulus femoralis menuju ke fossa avolis.
PATOFISIOLOGI
Hernia inginalis indirekta sebagian besar mempunyai dasar congenital karena
proseus vaginalis peritonei tidak menutup secara sempurna.
Hernia inguinalis direkta dan hernia femoralis merupakan hernia yang didapat
(akuisita). Hernia femoralis lebih banyak dijumpai pada wanita karena perubahan
fisik dan biokemis yang terjadi waktu hamil.
Herniasi akan terjadi ketika tekanan intraabdominal meningkat dengan cepat
secara berulang seperti pada kondisi :
1. Batuk kronis
2. Mengejan saat defekasi
3. Obstruksi uretra atau bladder neck
4. Kehamilan dan persalinan
5. Vomitus
6. Aktivitas fisik hebat
7. Asites
GEJALA KLINIS
Pemeriksaan pasien hernia hendaknya dilakukan pada posisi berdiri maupun
terlentang, pasien diminta untuk mengejan atau batuk, karena hernia berukuran
ecil kadang tidak tampak.
Beberapa karakteristik yang dapat digunakan untuk membedakan jenis hernia
inguino-femoral :
55
H. Ing. Indirekta H. ing. Direkta h. femoralis
Usia Seumur umur Orang tua Dewasa & tua
Kelamin Terutama pria Pria & wanita Terutama wanita
Lokasi Diatas ligamentum Ligamentum Ligamentum
inguinale inguinale
inguinale
Dengan menekan Tidak keluar Keluar benjolan Keluar benjolan
annulus intrenus benjolan
dan pasien
mengejan (thumb
test)
Test invaginasi Tonjolan pada Tonjolan pada sisi
dan jerawat ujung jari jari
skrotum keadaan
kanalis ingunalis.
Paien mengejan
(finger test)
Tangan kanan jari Dorongan pada Dorongan pada Dorongan pada
II menekan jari II jari III jari IV
annulus internus
kanan, jari III
menekan annulus
eksternus kanan,
jari IV menekan
fossa ovalis kanan.
Penderita
mengejan (Zieman
test)
Strangulasi Sering Jarang Sering
DIAGNOSA BANDING
1. Hidrokel funikuli
2. Limfadenopati inguinal
3. Varikokel
4. Abses inguinal
5. Orki-epidimitis
6. Lipoma funikuli
7. Tumor testis
8. Torsio testis
9. Testis ektopik
56
PENATALAKSANAAN TERAPI
Hernia ingunalis dan femoralis harus selalu dilakukan operasi kecuali ada
kontraindikasi (keadaan pasien terlalu lemah untuk menjalani operasi atau risiko
opeasi terlalu tinggi). Pada pasien yang tidak dapat dilakukan operasi atau
menolak operasi dapat disarankan untuk memakai sabuk Truss untuk menutup
defek dinding abdominal sementara waktu, hinga pasien dapat dilakukan operasi.
Sebelum dilakukan operasi faktor pencetus hernia seperti konstipasi, batuk kronis
dan obstruksi uretra-bladder neck harus diperbaiki dahulu untuk mencegah
terjadinya kekambuhan.
Prinsip operasi hernia adalah menghilangkan sakus peritonealis dan menutup
defek dasar inguinal. Tujuan tersebut dicapai dengan operasi herniotomi
memotong kandung hernia), herniografi (menutup defek dasar inguinal dengan
jaringan sekitar defek) dan hernioplasti (menutup defek atau memperkuat dasar
inguinal dengan bahan prostesa).
Prosedur operasi ini dapat dilakukan dengan :
a. Teknik operasi terbuka :
- Anterior approach:
i. Tanpa menggunakan mesh. Prosedur Bassini Halsted Mc Vay,
Shouldice. Prosedur-prosedur ini mulai banyak ditinggalkan.
ii. Dengan menggunakan mesh. Prosedur tension free dari Lichenstein.
Paling banyak digunakan dan rasa nyeri pasca operasi ringan.
- Preperitoneal approach : prosedur Nyhus, Stoppa. Prosedur ini lebih
bermanfaat pada kasus hernia bilateral atau kasus rekurensi.
b. Operasi laporoskopik :
- IPOM : Intraperitoneal only of mesh
- TAPP : Transabdominal preperitoneal mesh technique
- TEP : Total extraperitoneal mesh placement
57
IKTERUS OBSTRUKSI
BATASAN
Hambatan aliran cairan empedu yang disebabkan oleh sumbatan mekanik an
mengakibatkan terjadi kolestatis.
PATOFISIOLOGI
1. Kekuningan pada sclera terlihat ketika konsentrasi bilirubin dalam serum
melebihi 2,5 mg/dL, dan kekuningan pada kulit terlihat bila konsentrasi
bilirubin melebihi 5 mg/dL.Ikterus yang terjadi pada obstruksi saluran
empedu diakibatkan oleh refluks bilirubin direk ke dalam sinusoid hepar
melewati membran basal atau kanalikuli yang rusak.
2. Mekanisme obstruksi saluran empedu : intraluminal (batu empedu,
kolangiokarsinoma), intramural (striktura) dan ekstraluminal (pankreatistis,
tumor kaput pankreas, tumor kandung empedu, anak sebar tumor ganas di
daerah ligamentum hepatoduodenale)
GEJALA KLINIS
1. Kuning, dapat hilang timbul atau progresif tergantung pada penyebab
obstruksi saluran empedu. Pada sumbatan akibat batu empedu, ikterus
biasanya hilang timbul, sedang ikterus akibat proses keganasan cenderung
progresif.
2. Mekanisme obstruksi saluran empedu : intraluminal (batu empedu,
kolangiokarsinoma), intramural (striktural) dan ekstraluminal (pancreatitis,
tumor kaput pankreas, tumor kandung empedu, anak sebar tumor ganas di
daerah ligamentum hepatoduodenale)
GEJALA KLINIS
1. Kuning, dapat hilang timbul atau progresif tergantung pada penyebab
obstruksi saluran empedu. Pada sumbatan akibat batu empedu, ikterus
biasanya hilang timbul, sedang ikerus akibat proses keganasan cenderung
progresif.
2. Urin berwarna seperti teh dan feses berwarna seperti dempul (akolik).
3. Teraba masa tumor di perut bagian atas
4. Sindrom Courvoisier : ikterus yang disertai pembesaran kandung empedu
(hidrops kandung empedu).
5. Pruritus, karena penumpukan asam empedu dibawah kulit.
6. Nyeri pada perut kanan atas.
7. Mual dan muntah
8. Trias Charcot (nyeri perut atas, ikterus dan febris menggigil) pada kasus
kolangitis. Pada kasus yang lebih berat dapat dijumpai pentad Reynold (trias
Charcot disertai syok septic dan gangguan kesadaran).
58
PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Dicari kemungkinan penyebabnya, congenital atau herediter, infeksi,
neoplasma, kelainan darah, riwayat mengkonsumsi obat atau alkohol. Usia
penderita, jenis kelamin, diet dan status sosial ekonomi perlu dicatat.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik meliputi perabaan hati, kandung empedu, tanda asites,
kandung empedu yang membesar menunjukkan ada sumbatan pada saluran
empedu bagian distal yang disebabkan oleh tumor (sindrom Courvoisier).
3. Pemeriksaan laboratorik
a. Bilirubin direk serum meningkat lebih tinggi dari bilirubin indirek.
b. Alkali fosfatase dan -GT akan meningkat.
c. Enzim SGOT/SGPT biasanya tidak meningkat terlalu tinggi pada kasus
ikterus obstruksi.
d. Kadar serum CA 19-9 dan CEA meningkat pada mayoritas kasus
keganasan.
4. Pemeriksaan imajing
a. Ultrasonografi merupakan pemeriksaan pertama yang dilakukan untuk
melihat sumbatan saluran empedu, dapat mendeteksi pelebaran saluran
empedu intra dan ekstra hepatal, dan melihat penyebab obstruksi.
b. ERCP (endoscopic retrograde cholangio-pancreatography) : berfungsi
sebagai sarana diagnostik (memberikan gambaran anatomik saluran
bilier, biopsi tumor), sekaligus dapat berfungsi sebagai sarana terapeutik
(singterotomi dan ekstraksi batu atau pemasangan sten).
c. MRCP (magnetic resonance cholangio-pancreatography) : sarana on
invasive batu atau pemasangan sten).
d. PTC (percuntaneous transhepatic cholangiography) : memberikan
gambaran anatomi saluran empedu, terutama untuk obstruksi di bagian
proksimal saluran empedu.
59
PENATALAKSANAAN TERAPI
Pada dasarnya terapi pasien dengan ikterus obstruksi adalah menghilangkan
penyebab sumbatan atau mengalihkan aliran empedu. Tindakan tersebut berupa
tindakan pembedahan misalnya pengangkatan batu atau reseksi tumor, dapat pula
berupa upaya menghilangkan sumbatan dengan tindakan endoskopi maupun
laparoskopi.
Bila tindakan pembedahan lunak tidak mungkin dilakukan untuk
menghilangkan penyebab sumbatan, dilakukan tindakan drainase yang bertujuan
agar empedu yang terhambat dapat dialirkan. Drainase dapat dilakukan ke luar
tubuh misalnya dengan pemasangan pipa nasobilier, pipa T pada tuktus
koledokus, atau kolesistostomi. Drainase interna dapat dilakukan dengan
membuat pintasan biliodigestif, dapat berupa kolesitoyeyunostomi, koledoko-
duodenostomi, koledoko-yeyunostomi atau hepatiko yeunostomi.
60
KARSINOM KOLON DAN REKTUM
BATASAN
Neoplasma ganas jenis karsinom pada kolon dan rektum.
PATOFISIOLOGI
Penyebab karsinom kolon dan rektum merupakan interaksi antara faktor
lingkungan dan genetik.
Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi terjadinya karsinom kolon dan
rektum :
1. Diet tinggi lemak, protein dan kalori
2. Diet rendah buah dan sayur
3. Kelebihan berat badan
4. Merokok
5. Aktivitas fisik yang rendah
Berdasarkan perkembangannya terdapat 3 kelompok karsinom kolon dan rectum :
1. Kelompok yang diturunkan (inherited) : 10% dari seluruh kasus karsinom
kolon dan rectum. Termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang
dilahirkan sudah dengan mutasi sel-sel germinativum pada salah satu alel dan
terjadi mutasi somatik pada alel yang lain. Contohnya adalah : FAP (familial
adenomatous poliposis) dan HNPML (hereditary non-poliposis colorectal
cancer).
2. Kelompok sporadik : mencakup sekitar 70%.
3. Kelompok familial : mencakup 20%. Pada kelompok ini didapat keluarga
dengan penyakit keganasan namun tidak dapat dikelompokkan ke dalam FAP
maupun HNPML.
GEJALA KLINIS
Adenokarsinom kolon dan rectum mempunyai median doubling time sekitar
130 hari, sehingga dibutuhkan waktu 10-15 tahun untuk mencapai ukuran yang
menimbulkan gejala klinis. Gejala dari keganasan kolon dan rektum tergantung
pada letak dari keganasan tersebut, stadium dan komplikasi yang terjadi seperti
performasi, obstruksi, dan perdarahan.
Kolon sisi kanan mempunyai diameter yang lebih besar, dinding yang lebih
tipis dan mudah mengembang, serta berisi feses cair. Oleh karena itu tumor di
daerah ini sering terdiagnosis setelah mencapai ukuran yang besar. Pasien sering
datang dengan keluhan kelemahan akibat anemia. Keluhan berak darah jarang
dikeluhkan oleh pasien, namun pemeriksaan darah tinja tersamar sering
menunjukkan hasil yang positip. Keluhan nyeri tumpul atau ada benjolan di perut
disisi kanan dilaporkan oleh 10% pasien.
Kolon sisi kiri mempunyai diameter lumen yang lebih kecil dari berisi feses
seni solid. Tumor di daerah ini berbentuk anuler konstruksi yang dapat
61
menyebabkan penyumbatan lumen usus secara gradual sehingga menimbulkan
keluhan perubahan pola defekasi (change of bowel habit) berupa konstipasi yang
diselingi peningkatan frekwensi defekasi (bukan diare cair). Keluhan lain :
perdarahan, berak arah lendir, gejala obstruksi usus parsial atau komplit.
Keluhan utama untuk karsinom rektum adalah berak daerah yang dapat
disertai lendir dan tenesmus.
62
pT1 : Tumor menginvasi submukosa
pT2 : Tumor menginvasi lapisan muskualris propia
pT3 : Tumor menembus muskularis propia hingga lapisan serosa atau
jaringan perikolika/perirektal yang tidak berpertoneum
pT4 : Tumor menginvasi organ atau struktur disekitarnya atau menginvasi
sampai peritoneum visceral
pN – Kelenjar getah bening regional
pNx : Kelenjar getah bening regional tidak dapat dinilai
pN0 : Tidak ditemukan metastasis pada kelenjar getah bening regional
pN1 : Ditemukan anak sebar pada 1-3 kelenjar getah bening regional
pN2 : Ditemukan anak sebar pada 4 atau lebih kelenjar getah bening
pM – Metastasis jauh
pMx : Metastasis jatuh tidak dapat dinilai
pM0 : Tidak ditemukan mentastasis jauh
pM1 : ditemukan metastasis jauh
DIAGNOSIS BANDING
1. Penyakit divertikular
2. Inflammatory bowel disease
3. Amuboma
4. Tuberkuloma
PENATALAKSANAAN TERAPI
Kuratif
1. Kolon kanan : hemiloketomi kanan
2. Kolon kiri : hemiloketomi kiri
3. Kolon transversum : tranversokolektomi atau hemikolektomi kanan
diperluas
4. Kolon sigmoid : sigmoidektomi
5. Rektum :
a. 12 cm dari anal verge : reseksi anterior
63
b. 6-12 cm dari anal verge : low anterior/ultra low anterior resection
c. <6 cm dari anal verge : ultralow anterior resection / interspincteric
resection / abdominoperineal resection.
Paliatif
Untuk karsinoma kolon dan rektum yang inoperabel :
1. Kolostomi proksimal tumor
2. Pintas ileokolostomi
3. Pemasangan stenper endoskopik
Kemoterapi
Diberikan pada karsinom kolon dan rektum stadium III, IV dan stadium II dengan
risiko tinggi :
1. Derajat keganasan 3-4
2. Histopatologi invasi limfatik atau pembuluh darah
3. Obstruksi usus
4. >12 kelenjar getah bening yang diperiksa positif
5. T4, N0M0
6. T3 dengan performasi terlokalisasi
7. Tepi sayatan tidak bebas tumor
8. Tepi sayatan terlalu dekat dengan tumor atau sulit ditentukan.
Radioterapi
Radiasi pada karsinoma rekti dapat diberikan baik pada kasus resektabel
maupun yang tidak resektabel, dapat berupa radiasi preoperative maupun post
opeatif. Keberhasilan menekan angka kekambuhan lokal dana metastase jauh
lebih baik bila dikombinasikan dengan kemoterapi.
64
OBSTRUKSI USUS
BATASAN
1. Gangguan propulsi atau pasase normal isi usus ke arah rektum karena
hambatan ekstrinsik atau intrinsik, baik pada usus kecil maupun pada usus
besar.
2. Obstruksi dibedakan berdasarkan penyebab, menjadi obstruksi mekanik atau
obstruksi fungsional atau pseudo obstruksi atau ileus yang diakibatkan
motilitas usus yang inefektif. Berdasarkan waktu mulai dan durasi menjadi
obstruksi akut atau kronik, berdasarkan ekstensinya menjadi obstruksi parsial
atau komplet dan berdasarkan tipenya menjadi obstruksi simple, closed-loop
atau strangulasi.
PATOFISIOLOGI
Obstruksi usus diakibatkan kelainan pada :
(1) intraluminal (benda asing, batu empedu)
(2) intramural (tumor, Crohn’s disease, striktur akibat peradangan)
(3) ekstrinsik (adesi, hernia atau karsinomatosis).
Gas dan cairan terakumulasi dalam lumen usus proksimal obstruksi. Sebagian
besar gas berasal dari udara yang tertelan dan sebagian lagi berasal dari produksi
gas dalam usus. Cairan berasal dari produksi gastrointestinal dan sebagian dari
cairan yang ditelan. Akibat akumulasi gas dan cairan, usus mengalami distensi,
tekanan intraluminal dan menyebabkan iskemi dan akhirnya nekrosis. Kondisi ini
disebut sebagai obstruksi usus strangulasi. Pada obstruksi closed loop, strangulasi
lebih cepat terjadi.
GEJALA KLINIS
Nyeri kolik, kembung, dan obstipasi akut yang disusul dengan mual dan
muntah. Pasase feses atau flatus terganggu dalam waktu 6-12 jam setelah muncul
gejala merupakan karakteristik obstruksi parsial. Makin proksimal obstruksi,
makin dini dan makin menonjol gejala mual dan muntah, sedangkan distensi tiadk
terlalu menonjol. Mual lebih jarang pada obstruksi kolon kecuali pada kondisi
lanjut. Nyeri yang konstan dan jarang pada obstruksi kolon kecuali pada kondisi
lanjut. Nyeri yang konstan dan terlokalisir merupakan tanda telah terjadi
strangulasi. Menanyakan riwayat penyakit terdahulu harus dilakukan untuk
mengetahui penyebab seperti obstruksi usus yang terjadi sebelumnya, riwayat
operasi sebelumnya, riwayat konstipasi kronik, riwayat bowel habit changes,
riwayat kanker dan terapi sebelumnya.
65
a. Secara menyeluruh meliputi tanda vital, status hidrasi, inspeksi,
auskultasi, palpasi, abdominal, termasuk mencari kemungkinan defek
hernia, bekas insisi operasi sebelumnya dan pemeriksaan rektum.
b. Distensi abdominal pada obstruksi ileum distal, mungkin tidak ada bila
obstruksi pada usus proksimal.
c. Darm contour dan steifung.
d. Bising usus hiperaktif sampai bunyi metalik, sebaliknya obstruksi usus
fungsional (ileus) tidak terdapat bising usus.
e. Defans muskuler bila telah terjadi perforasi.
f. Takikardi, hipotensi dan oliguria merupakan tanda dehidrasi.
g. Demam bila terdapat strangulasi.
2. Pemeriksaan radiologik
Foto polos abdomen posisi supine, left lateral decubitus dan erect :
gambaran dilatasi usus dengan air-fluid level, pelebaran gas usus halus,
kolon dan sigmoid masing-masing lebih dari 3,9 dan 5 cm. Ada
pneumobilia menunjukkan ada gallstone ileus. Volvulus sekum dan
sigmoid memberikan gambaran yang patognomonis.
Foto dengan kontras, Enteroclysis dengan kontras water soluble dilakukan
pada pasien tanpa riwayat operasi yang sebelumnya atau kasus rekurensi
tumor, dan enema barium.
Pemeriksaan CT scan abdomen dilakukan bila diduga penyebab obstruksi
adalah proses keganasan.
3. Pemeriksaan laboratorik
a. Hemokonsentrasi, lekositosis ringan dan gangguan keseimbangan
elektrolit.
b. Bila terdapat strangulate : lekositosis nyata dan asidosis.
Penyebab tersering dari obstruksi :
1. Adesi : 60% kasus
2. Hernia inguinalis lateralis inkarserata : 10% kasus
3. Keganasan usus besar
4. Volvulus
5. Invaginasi
6. Penyakit Crohn’s
7. Radiasi induced stricture
PENATALAKSANAAN TERAPI
Terapi non surgical dilakukan bila penyebab obstruksi tidak jelas atau proses
adesi :
1. Dekompresi dengan pipa lambung, pasien dipuasakan
2. Infus cairan untuk koreksi keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa
4. Antibiotik profilaksis : sefalosporin generasi 2 atau 3 metronidazol
66
5. Monitoring ketat keadaan umum pasien dan tanda vital (tensi, nadi, suhu,
tubuh), keseimbangan cairan dan elektrolit.
6. Bila dalam perawatan selama 2 x 24 jam obstruksi tidak menunjukkan
kemajuan atau selama perawatan didapatkan tanda-tanda strangulasi
(peningkatan suhu tubuh, takikardia, nyeri perut hebat terus menerus,
gangguan hemodinamik, tanda-tanda peritonitis), harus dilakukan
pembedahan.
Terapi surgikal dilakukan bila penyebab obstruksi bukan suatu adesi misal :
hernia inkarserata, keganasan kolerektal. Jenis operasi sesuai dengan penyebab
obstruksi.
67
PERITONITIS GENERALISATA
BATASAN
Peritonitis adalah reaksi inflamsi akut pada peritoneum dan rongga
peritoneum.
PATIFISIOLOGI
Berdasar penyebabnya peritonitis dibedakan menjadi tiga
1. Peritonitis primer diakibatkan infeksi bakteri secara hematogenous dari
sumber infeksi ekstraabdominal. Contohnya adalah Peritonitis bacterial
spontan, peritonitis tuberkulosis atau berhubungan dengan chromic
ambulatory peritoneal dialysis (CAP).
2. Peritonitis sekunder diakibatkan infeksi yang berasal proses intraperitoneal
seperti performasi organ berongga, penyakit saluran empedu, iskemi usus dan
pelvic inflammatory disease.
3. Peritonitis tersier adalah peritonitis dan sepsis yang awalnya telah dikontrol
secara operatif, bakterinya sudah dieliminasi dengan terapi antibiotik,
kemudian berkembang lagi menjadi peritonitis tersier. Sebanyak 40%
peritonitis jenis ini disebabkan oleh apendistis akut.
Efek patologis yang timbul akibat peritonitis
1. Absopsi zat toksis dan kuman dari permukaan peritoneum dan disebarkan ke
seluruh tubuh.
2. Timbulnya ileus paralitik yang akan diikuti hilang cairan tubuh, elektrolit,
dan protein.
3. Distensi abdomen yang akan menyebabkan elevasi diafragma yang dapat
menyebabkan abdominal compartment syndrome, atelektase, dan pneumonia.
GEJALA KLINIS
1. Anamnesis lengkap harus dilakukan untuk mencari penyebab terjadi
peritonitis, mulai berapa lama sakitnya, disertai demam, menggigil, nyeri,
lokasi nyeri, sifat nyeri, perubahan lokasi , disertai anoreksia, muntah-muntah
dan ileus.
2. Riwayat penyakit terdahulu ditanyakan, termasuk perawatan di rumah sakit
sebelumnya, obat-obat yang didapat, penyakit kronis, atau operasi
sebelumnya.
PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS
1. Pemeriksaan fisik
Tanda-tanda yang ditemukan tergantung pada penyebab peritonitis.
a. Tanda vital, pemeriksaan sclera dan konjungtiva untuk melihat ikterik,
anemis. Pemeriksaan thoraks untuk menyingkirkan pneumoni yang dapat
menimbulkan gejala klinis pada pemeriksaan abdomen.
68
b. Peritonitis fase awal ditandai dengan nyeri abdomen hebat, pasien akan
terlihat berbaring diam dan menghindari pergerakan yang akan memicu
terjadi nyeri perut. Temperatur tubuh akan mengalami peningkatan
disertai takikardia. Pemeriksaan fisik pada saat ini akan menemukan
defans muskuler lokal (peritonitis lokal) atau general (peritonitis umum)
tergantung seberapa luas peritonitis yang terjadi. Bising usus akan
menurun atau hilang, pemeriksaan colok dubur dapat menimbulkan rasa
nyeri pada area kavum Douglasi. Pemeriksaan colok vaginal diperlukan
bila penyebab peritonitis diduga berasal dari organ genetalia.
c. Pada peritonitis fase lanjut, abdomen akan distensi dan timpanik disertai
tanda cairan atau udara bebas. Pasien tampak lemah disertai nadi yang
kecil dan cepat, muntah fekal, kulit yang sianosis, lembab dan dingin
(fasie Hippocratic).
d. Pemeriksaan vaginal dapat membantu menentukan asal proses
keradangan.
2. Pemeriksaan laboratorik
a. Pemeriksaan darah lengkap : Lekositosi dapat lebih dari 25.000/mm3 atau
lekopeni kurang dari 4.000/mm3
b. Pemeriksaan darah lain seperti fatal pembekuan darah, fungsi fatal hati,
fungsi ginjal, serum elektrolit, kadar gula darah diperlukan untuk
mengetahui kondisi umum pasien dan berat peritonitis yang terjadi. Pada
proses yang sudah lanjut dapat terjadi gagal organ multiple.
c. Pemeriksaan radiologik
Pada foto polos abdomen dapat terlihat pada gambaran udara bebas atau
tampak pelebaran jarak antara loop usus yang berdekatan. Pada 70%
kasus performasi gaster akan memberikan gambaran udara bebas
dibawah diafragma sedang performasi apendiks hampir tidak dijumpai
udara bebas Peritoneal fat line dan peritoneal psoas shadow menghilang
karena edema.
DIAGNOSIS BANDING
1. Obstruksi usus
2. Pneumonia basal
3. Infark mikard
4. Perdarahan intraabdomen
5. Ruptur enuerisma aorta abdominalis
PENATALAKSANAAN TERAPI
Keberhasilan dari terapi peritonitis dipengaruhi oleh berat infeksi yang
terjadi, kondisi pasien sebelum sakit dan kondisi fisiologis pasien saat sakit.
Secara umum tetapi peritonitis :
1. Persiapan prabedah :
69
Pemasangan iv line, bila perlu pada vena sentral sehingga dapat digunakan
untuk monitoring keadaan sirkulasi, resusitasi cairan untuk memperbaiki
sirkulasi; pemberian oksigen, pemasangan pipa lambung, dan kateter urin.
Antibiotik berspektrum luas seperti sefalosporin dan metronidazol diberikan
secara intravena.
2. Laparotomi :
Laparotomi bisa dilakukan secara terbuka maupun laparoskopik untuk
mencari penyebab peritonitis sekaligus melakukan terapi definitif seperti :
appendektomi, menjahit performasi gaster dan melakukan peritoneal toilet.
70
TRAUMA ABDOMEN
BATASAN
Suatu rudapaksa baik secara langsung maupun tidak langsung yang
menyebabkan kerusakan dinding abdomen dan atau organ intra-abdomen.
PATOFISIOLOGI
Mekanisme cidera
1. Trauma tumpul
Terdapat dua mekanisme trauma :
a. Kompresi, terjadi akibat tekanan atau pukulan langsung pada abdomen
yang mengakibatkan cidera tekanan atau tindasan pada isi abdomen.
Tekanan dap at merusak organ padat maupun organ berongga yang
mengakibatkan rupture.
b. Delelerasi, mengakibatkan shearing dan stretching pada bagian antara
yang menetap dan mobil. Tipe trauma ini mengakibatkan cidera pada
mesenterium, pembuluh darah besar dan kapsul organ padat seperti hepar
dan lien. Hepar dan lien merupakan organ yang paling banyak
mengalami cidera pada trauma tumpul abdomen.
2. Trauma tembus
Luka tusuk dan luka tembak kecepatan rendah menyebabkan kerusakan
jaringan karena laserasi atau terpotong. Luka tembak kecepatan tinggi
memberikan energi yang lebih besar pada organ intraabdomen dan
menimbulkan kerusakan yang lebih hebat.
71
v. Evaluasi luka tusuk, pemeriksaan dilakukan secara lokal untuk
menilai tembus tidak dan tingkat kedalaman.
vi. Menilai stabilitas pelvis, dilakukan dengan menekan tulang-tulang
iliaka untuk melihat ada tidak gerakan abnormal.
vii.Pemeriksaan rektal, vagina dan perineum penting untuk mendeteksi
perdarahan, kecurigaan cidera pada organ tersebut dan menilai tonus
saraf.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Foto thoraks, dapat memberikan informasi penting mengenai cidera dada
maupun cidera abdomen. Gambaran gas usus dalam rongga thoraks, letak
selang lambung dalam rongga thoraks, atau gambaran kontur diafragma
yang terganggu dapat terjadi para ruptur diafragma. Gambaran udara
bebas dibawah kubah diafragma (air sickle) menunjukkan ada rupture
pada organ berongga. Ruput lien atau hepar patut dicurigai bila terdapat
fraktur kosta bagian bawah.
b. Foto pelvis, bila terdapat fraktur pada elemen posterior pelvis biasa
disertai dengan perdarahan retroperitoneal, sementara fraktur pada
elemen anterior pelvis disertai dengan trauma pada genitourinaria.
4. Diagnostik khusus trauma abdomen
a. USG-FAST (Focused Assesment with Sonography for Trauma)
i. Kelebihan: cepat, tidak invasif, sensitif, dapat mendeteksi cidera organ
padat, dapat dilakukan selama resusitasi, dapat dilakukan berulang
kali dan harga terjangkau.
ii. Kekurangan : sulit untuk menilai organ berongga, organ yang berada
di balik densitas udara, perdarahan retroperitoneal dan tidak dapat
membedakan darah dengan cairan yang berasal dari organ berongga.
b. Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)
i. Indikasi :
1. Perubahan sensorium-cidera kepala, intoksikasi alkohol,
penggunaan obat terlarang
2. Perubahan perasaan-cidera saraf tulang belakang
3. Cidera struktur yang berdekatan-tulang iga bawah, panggul, tulang
lumbal
4. Pemeriksaan fisik yang meragukan
5. Antisipasi kehilangan kontak yang panjang-pembiusan umum
untuk repair cidera yang lain atau pemeriksaan radiologik yang
lama.
ii. Kontraindikasi :
1. Mutlak : ada indikasi laparotomi segera
2. Relatif : operasi abdomen sebelumnya, kehamilan, obesitas.
iii. Pemeriksaan DPL disebut positif bila :
1. RBC > 100.000/mm3
72
2. WBC > 500/mm3
3. Amilase > 200 U/L.
4. Ada cairan empedu, sisa makanan, feses.
5. RBC > 100.000/mm3 pada trauma tajam.
iv. Keuntungan dan kerugian
1. Keuntungan : sederhana, aman, murah dan akurat
2. Kerugian : tidak dapat membedakan asal perdarahan dapat melukai
organ abdomen, kemungkinan laparotomi non-terapeutik cukup
besar.
c. CT scan abdomen, dilakukan pada trauma tumpul abdomen dengan
hemodinamik yang stabil.
i. Keuntungan : dapat dengan baik untuk mendeteksi dan menilai derajat
cidera organ padat, cairan bebas dan struktur retroperitoneal.
ii. Kekurangan : ada keterbatasan dalam mengevaluasi organ berongga
dan diafragma.
PENATALAKSANAAN TERAPI
1. Hemodinamik tidak stabil
Pada ATLS (Advance Trauma Life Support) ditekankan untuk melakukan
primary survey secepatnya untuk mengidentifikasi cidera yang mengancam
jiwa. Pada penderita dengan syok perdarahan, penyebab perdarahan harus
dicari, jika tidak terdapat perdarahan eksternal, perdarahan internal harus
dipertimbangkan, paling sering pada rongga pleura, rongga abdomen,
retroperitoneal dan paha. Bila perdarahan dari rongga pleura dan paha telah
disingkirkan, maka harus diperhatikan perdarahan dari abdomen. Dalam
keadaan hemodinamik tidak stabil, hanya modalitas diagnostik DPL dan USG
FAST yang dapat di lakukan untuk menentukan ada atau tidak perdarahan di
dalam abdomen. Bila terbukti terdapat perdarahan di dalam abdomen, maka
laparotomi eksplorasi harus segera dilakukan.
2. Hemodinamik stabil
a. Setelah dilakukan primary survey seperti diatas, bila stabil dilanjutkan
dengan secondary survey. Penilaian abdomen menjadi lebih sulit bila
disertai dengan trauma multisistem, sehingga diperlukan beberapa
modalitas diagnostik untuk menilai ada trauma pada abdomen. USG
FAST dan atau DPL dapat dilakukan untuk mendeteksi ada cairan intra
abdominal. Dengan hemodinamik yang stabil, CT scan abdomen dapat
dilakukan untuk menilai asal perdarahan dan organ retroperitoneal,
namun kurang baik untuk menilai trauma organ berongga. Masing-
masing saling melengkapi satu sama lain dalam menegakkan diagnosis.
Bila hemodinamik stabil dan hasil pemeriksaan CT scan menunjukkan
73
rupture hepar dan atau lien derajat I-IV, dapat dilakukan penanganan
nonoperative management (NOM).
b. Bila pemeriksaan CT scan menunjukkan ada cairan bebas intra abdomen
namun tidak didapatkan rupture klien, hepar maupun ren maka dilakukan
laparotomi eksplorasi.
74
BEDAH ONKOLOGI
DAFTAR PENULIS
75
LESI JINAK PAYUDARA
BATASAN
Yang dimaksud dengan lesi jinak payudara adalah semua kelainan non
neoplasma maupun neoplasma tidak ganas. Yang akan dibicarakan disini
adalah kelainan-kelainan / lesi jinak yang sering ditemukan dalam praktek klinik
sehari-hari, yaitu :
Fibroadenoma mama
Tumor phyllodes
Penyakit fibrokistik
Mastitis
Ginekomastia
Tiap jenis lesi akan dibahas secara lengkap / komprehensif tersendiri.
1. FIBROADENOMA MAMMA
BATASAN
Fibroadenoma mamma adalah tumor neoplasma jinak payudara yang
terdiri dari campuran elemen kelenjar (glandular) dan elemen stroma
(mesenkhimal); yang terbanyak adalah komponen jaringan fibrous.
GEJALA KLINIS
1. Usia biasanya muda, dekade II-III atau bahkan lebih muda.
2. Benjolan yang lambat membesar.
3. Lebih sering tidak disertai rasa nyeri, hubungan dengan siklus menstruasi
sangat variatif.
4. Benjolan padat-kenyal, sangat mobile dan batas tegas.
5. Dapat tunggal atau multiple, pada satu payudara atau kedua payudara.
76
3. Pencitraan
Pada USG payudara akan terlihat masa yang homogen, terbatas tegas dengan
halo sign, dengan internal echo yang normo atau hiper.
Diagnosis cukup dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pencitraan (USG) diperlukan pada keadaan kecurigaan pada tumor kistik atau
pada keadaan jumlah lebih dari 1 (multiple).
PENATALAKSANAAN TERAPI
Eksisi dan pemeriksaan histopatologis spesimen operasi.
TINDAK LANJUT
Penting untuk mengetahui diagnosis patologis dan kemungkinan terjadi
kekambuhan atau tumbuh tumor baru.
DAFTAR PUSTAKA
1. Schwart, Principles of rugery, edisi ke-7, 1999 page 552-553.
2. Bland K.I. Copeland E.M, The Breatast, Comprehensive Management of
Benign and Malignant Disease, WB Saunders Company, Ist edition 1991,
113-134.
2. TUMOR PHYLLODES
BATASAN
Nama dahulu yang sering digunakan adalah Cystosarcoma phyllodes, suatu
tumor fibroepitelial yang jarang dan hanya didapatkan pada payudara.
Secara histologist dan perjalanan klinis dibagi dalam 3 : Jinak – Borderline –
Ganas. Diperkirakan tipe yang ganas kira-kira 25% dari kasus dengan kejadian
metastase sekitar 15%. Aspek histologist untuk membedakan ketiga tipe adalah :
Cellular atypia, mitotic activity, tumor margin, stromal overgrowth, ditambah
keadaan-keadaan : Vaskularitas, analisis flow-cytometry, pleomorphism,
karakteristik secara mikroskopi8k elektron.
PATOFISIOLOGI
Kebanyakan penulis beranggapan bahwa tumor phyllodes denovo berasal
dari parenkhim Payduara, hanya sedikit yang percaya bahwa berasal dari satu
fibroad-enoma yang telah ada bertahun-tahun.
Reseptor hormon terhadap estrogen dan progestogen ternyata sangat
bervariasi dan hanya terdapat pada komponen epielialnya, sehingga pengobatan
hormonal apda kasus metastase tidak banyak gunanya, karena yang bermetastase
hanyalah komponen stromalnya.
77
GEJALA KLINIS
1. Merupakan 2-4% dari angka keadian fibroadenoma mamma.
2. Biasanya timbul pada usia yang lebih tua dari fibroadenoma mamma (dekade
III atau lebih).
3. Benjolan dapat tumbuh lambat tetapi akhirnya tumbuh lebih cepat.
4. Benjolan dapat sangat besar (5 cm – 40 cm), kejadian bilateral hanya sekitar
kurang dari 30% baik tipe jinak maupun ganas.
5. Benjolan biasanya tidak nyeri, dapat disertai dengan ulkus.
6. Tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening aksial ipsilateral walau
tumor sudah sangat besar dan disertai ulkus.
DIAGNOSIS
- Dengan gambaran klasik dari tumor phyllodes, diagnosis dapat dengan mudah
ditegakkan secara klinis.
- Bila masih ragu-ragu dilakukan pemeriksaan histopatologis dengan biopsy
insisional.
DIAGNOSIS BANDING
- Untuk tumor yang kecil harus dibedakan dengan fibroadenoma mamma.
- Pada keadaan tertentu harus dibedakan dengan karsinom mamma.
78
PENATALAKSANAAN TERAPI
1. Prinsip terapi adalah eksisi luas, karena bila dilakukan eksisi seperti
fibroadenoma mamma maka angka kekambuhan akan sangat besar.
2. Masektomi sederhana dikerjakan pada keadaan :
a. Benjolan yang sudah menempati hampir seluruh payudara sehingga
hanya tersisa sedikit jaringan payudara yang sehat.
b. Benjolan residif dan terbukti histopatologis berupa lesi yang maligna
c. Benjolan residif pada usia tua.
3. Pada tumor phyllodes yang maligna prinsip tetapi juga sama dengan yang
bernigna kecuali pada yang residif, langsung dikerjakan mastektomi
sederhana. Pembersihan kelenjar getah bening aksial hanya bila didapatkan
metastase pada kelenjar getah bening aksial.
4. Radioterapi dan kemoterapi kurang berperan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Petrek JA, Phyllodes Tumor in Disease of the Breast, Harris JR ed,
Lippincott-Ravenh Publishers, Philadelphia-New York; 1996; 863-869.
2. Bland K.I, Copeland E.M, The Breast, Comprehensive Management of
Benign and Malignant Diseases, WB Saunders Company, 1st edition 1991,
129-131, 725-726.
3. PENYAKIT FIBROKISTIK
BATASAN
Penyakit fibrokistik adalah nama yang dipakai untuk sejumlah kelainan
berupa pembentukan kista, metaplasia apokrin, fibrosis stromal, klasifikasi,
inflamasi kronik, hyperplasia epitel, sclerosing adenosis, papilomatosis dan
lobular ductal hyperplasia.
Nama lain yang kadang-kadang digunakan adalah : Cystic disease, Cystic
matospathy, Cystic hyperplasia, Mammary dysplasia. Juga sering disebut sebagai
Fibroscysti Changes atau Fibrocystic Condition.
PATOFISIOLOGI
1. Sebagian besar etiologi tak diketahui.
2. Beberapa teori menyebutkan ada imbalance antara estrogen dan progestogen.
Entrogen mempunyai peranan poliferasi duktus dan progestogen berperanan
proliferasi lobular-alveolar.
3. Peranan diet dan vitamin, dalam hal ini golongan methyl xanthine dan vitamin
E
79
GEJALA KLINIS
1. Ditandaiu dengan penebalan jaringan payudara atau masa yang batasannya
tidak tegas.
2. Lebih sering hanya teraba sebagai hipernodularitas payudara.
3. Keadaan itu sering terjadi pada kuadran lateral atas dan tidak jarang bilateral.
4. Nyeri merupakan keluhan yang paling sering, berhubungan dengan siklus
menstruasi atau tidak ada hubungan dengan siklus menstruasi.
DIAGNOSIS BANDING
Tidak jarang bersamaan dengan suatu fibroadenoma mamma, sehingga akan
teraba tumor yang lebih padat disertai nyeri.
Pada keadaan-keadaan tertentu (dikeluhkan ada tumor) sering harus
dibedakan dengan karsinom mamma, karena batasnya yang tak tegas dan mo
bilitas terbatas.
PENATALAKSANAAN TERAPI
Konservatif-medikamentosa dan reassurance pada penderita bahwa keluhan
itu adalah keluhan yang tak ada hubungannya dengan karsinom mamma.
Obat-obat yang biasanya digunakan adalah golongan roboransia
(multivitamin-antioksidan) atau golongan vitamin-E atau preparat hormonal
Danaol-tamoxifen; serta diberi analgetik.
80
4. MASTITIS
BATASAN
Mastitis adalah keradangan pada jaringan payudara. Keradangan ini dapat
akut atau kronik (biasanya disebabkan oleh spesifik). Mastitis dapat terjadi pada
masa laktasi atau puerpuerium (terbanyak), atau tidak ada hubungannya dengan
masa puerpuerium.
PATOFISIOLOGI
Mastitis yang paling sering didapatkan adalah jenis Puerpural (Lactational)
Mastitis. Bisa didahului oleh statis air susu atau tanpa disertai statis air susu.
Biasanya disebabkan oleh kuman Staphylococcus aureus dengan strain tanah
penisilin yang ditransmisi melalui isapan bayi. Pada jenis non peurpueralis port
d’entre adalah sistemik atau lewat kerusakan epitel sekitar nipple-areola complex.
Mastitis tuberkulosa, dahulu diyakini sekitar 60% merupakan kelainan primer
namun saat ini harus benar-benar dibuktikan bahwa benar tak ada hubungannya
dengan kelainan tuberkulosa di tempat lain (tuberkulosa paru-tuberkulosa kelenjar
getah bening leher dan aksial).
GEJALA KLINIS
Payudara (terutama pada saat menyusui) terasa nyeri spontan dan nyeri tekan,
kadang disertai panas badan atau malaise, usia produktif-muda.
81
PENATALAKSANAAN TERAPI
Bila belum jelas ada fluktuasi (abses), diberi antibiotik golongan moxycilline
5-7 hari, analgetik dan antipiretik.
Bila telah terbentuk abses, maka dilakukan insisi, yang jika sering terjadi
kekambuhan maka tindakan yang dikerjakan adalah eksisi.
Pada mastisis tuberkulosa maka tindakan wedge excision atau biopsy
eksisional dilanjutkan dengan pengobatan obat-obat anti tuberkulosa kombinasi,
pada beberapa keadaan bahkan memerlukan mastektomi.
DAFTAR PUSTAKA
2. Bland K.I, Copeland E.M, The Breast, Comprehensive Management of
Benign and Malignant Diseases, WB. Saunders Company, Philadelphia,
Londo, Toronto; 1991:87-112.
5. GINEKOMASTIA
Ginekomastia adalah muncul payudara seperti wanita (female-tipe mammary
gland) pada laki-laki. Keadaan ini sering terjadi dan sering dianggap biasa.
Ginekomastia fisiologik didapatkan paling sering pada tiga masa kehidupan
yaitu masa perinatal, akil baliq, dan masa tua. Keadaan ini disebabkan karena
estrogen berlebih dibanding dengan testoteron yang beredar.
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi dari ginekomastia adalah sebagai berikut :
1. Keadaan kelebihan estrogen,
Misal : didapatkan pada true hermaphroditism – germ cell tumor – non
testicular tumor – kelainan endokrin – penyakit liver – kelainan gizi.
2. Keadaan defisiensi androgen : Klinefilter syndrome, Renal failure dll,
3. Pengaruh obat-obat.
4. Idiopatik
GEJALA KLINIS
Biasanya berupa benjolan lunak pada subareolar pada laki, sering asimetri,
kecuali pada ginekomastia yang terjadi pada masa lansia, tidak jarang bilateral.
PENATALAKSANAAN TERAPI
Terapi obat-obat sering tidak banyak gunanya kecuali bila telah jelas
penyebabnya karena defisiensi testoteron.
Obat-obat yang pernah digunakan antara lain Danazol (etil testisteron
sintetik) dan Tamoksifen.
82
Terapi terbanyak yang diberikan terutama untuk ginekomastia yang besar
adalah mastektomi transareolar.
Terapi obat-obat sering tidak banyak gunanya kecuali bila telah jelas
penyebabnya karena defiensi testosterone.
83
LESI TAK JELAS JINAK / GANAS PADA PAYUDARA
BATASAN
Adalah setiap lesi / kelainan pada payudara yang tidak memenuhi kriteria
jinak tetapi juga belum dapat digolongkan secara klinis sebagai kelainan ganas,
sehingga harus ada prosedur diagnostik berikutnya agar dapat ditentukan terapi
definitifnya.
Gejala Klinis
Gambaran klinis dari lesi tak jelas jinak / ganas pada payudara dapat berupa :
1. Tumor pada (defined mass)
- semua tumor padat yang tidak memenuhi kriteria jinak atau ganas tanpa
memandang usia pasien.
- semua tumor padat yang ditemukan pada pasien usia > 35 tahun.
2. Tumor Kistik
- kista payudara yang pada pemeriksaan sitologis, termasuk kelas III /
lebih
- kista yang pada aspirasi ke luar darah kehitaman, lebih-lebih pada
penderita usia > 35 tahun
- Tumor muncul kembali setelah 2x aspirasi
- ada tumor padat tertinggal setelah aspirasi ( residual mass )
3. Nipple discharge
- Bila hasil pemeriksaan sitologi dari discharge-nya kelas III / lebih
- Bila tetap terjadi setelah terapi konservatif selama paling sedikit 3 bulan
- Bila ada discharge yang berdarah, lebih-lebih pada usia 35 tahun
- Disertai dengan tumor padat
4. Non-palpable mass, yaitu ada masa (diketahui pada penceritaan dan secara
klinis tak dapat diraba).
84
PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Anamnesis sesuai dengan jenis lesi di atas. Kelainan disini adalah lesi yang
jinak atau bila ganas maka masih termasuk yang sangat dini, sehingga
keluhan-keluhan juga sangat minimal. Pada non-palpable mass, pasien
biasanya datang hanya untuk skrining atau dengan keluhan breast
discomfort saja.
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan yang tidak mendukung suatu
tumor / lesi jinak tetapi belum dapat dikatakan sebagai lesi ganas.
Misal : Ada tumor padat yang batasnya kurang tegas, tidak didapatkan nyeri
pada wanita usia 30 tahun.
Pasien yang termasuk dalam golongan ini kita lakukan pemeriksaan : tripe
diagnostic procedure, yang meliputi :
Pemeriksaan klinis (temuan klinis)
Mammografi dan atau USG payudara
Pemeriksaan sitilogis FNA
Penatalaksanaan Terapi
I II III IV V VI
Temuan klinis - + + + - 0
Mamografi / USG - + - - + +
FNA / sitologi - - + - + X
Terapi definitif Biopsi + VC LP
Keterangan :
- : pada temuan, didapatkan hasil tidak menunjukkan keganasan
+ : pada temuan, didapatkan hasil keganasan atau cenderung ke arah
ganas.
85
Harus hati-hati pada tumor atau lesi yang kecil atau sangat kecil karena
temuan klinis pada saat tumor masih kecil atau sangat kecil maka hasilnya
akan sangat bergantung pada pengalaman klinisi.
Terapi definitif :
Yaitu terapi pasti yang dikerjakan pada tumor / lesi yang diagnosis sudah
selesai :
Misal : terapi untuk lesi jinak adalah eksisi
Terapi untuk lesi ganas adalah sesuai stadium (lihat protokol)
Biopsi + VC :
Yaitu terapi erksisi lesi / tumor disertai pemeriksaan histopatologi durante
operasi. Tindakan ini dikerjakan pada keadaan ketika ada disconcordance
(ketidak sesuaikan pada triple diagnostic procedure.
LP = Localized Procedure :
Yaitu tindakan pengambilan spesimen / lesi/ tumor dengan bantuan
pencitraan (biasanya mamaografi) menggunakan kawat pemandu (guide –
wire)
86
TUMOR GANAS PAYUDARA
BATASAN
Tumor ganas payudara adalah keganasan dari parenkhim, stroma, areola dan
papilla mamma ( termasuk tumor phyllodes maligna, tidak termasuk tumor ganas
dari kulit payudara).
Terbanyak dari tumor ganas payudara adalah kasinom mamma. Karena itu
bila tak disebutkan apa-apa, maka yang dimaksud dengan tumor ganas mamma di
sini adalah karsionom mama.
PATOFISIOLOGI
Etiologi keganasan payudara sampai saat ini masih belum jelas benar,
diperkirakan hormon estrogen dan progestogen endogen berperan penting; namun
seberapa besar peranannya masih dalam penelitian yang terus menerus sedang
dikembangkan.
Ada beberapa faktor yang erat dengan peningkatan angka kejadian tumor ganas
payudara / karsinom mama yaitu :
1. usia
2. Menarkhe lebih dini < 13 tahun
3. Menopause lebih lambat > 52 tahun
4. Melahirkan anak pertama lebih lambat > 30 tahun
5. Tidak menyusui bayinya atau menyusui bayinya kurang dari 4 bulan
6. Tidak menikah
7. Tidak mempunyai anak
8. Penyakit dysplasia mamma sebelumnya (jenis hiperpastik)
9. Ada anamnesis keluarga yang menderita karsionom mamma atau kanker di
tempat lain.
10. Obesitas
11. Menderita kanker payudara kontralateral.
87
GEJALA KLINIS
Pada stadium dini tidak memberikan gejala yang khas. Pada stadium lanjut
dan lanjut sekali memberikan banyak keluhan.
Keluhan metastase
1. Metastase pada ketiak ipsilateral (berupa rasa mengganjal di ketiak)
2. Gejala metastase pada tempat lain (paru – liver- tulang-otak-payudara
kontralateral).
88
Pemeriksaan terhadap status regionalis, pembesaran di kelenjar getah bening
ketiak ipsilateral, masih mudah bergerak atau melekat.
Diagnosis atas dasar klinis dan atau pemeriksaan patologis. Untuk tumor yang
secara klinis sangat mengarah keganasan cukup dengan FNAB tumor primer.
Untuk tumor payudara yang secara klinis tidak jelas suatu keganasan harus
dibantu dengan triple diagnostic procedure (lihat LESI TAK JELAS JINAK /
GANAS PADA PAYUDARA).
Selanjutnya tentukan stadium, dan penyakit sekunder / penyerta.
STADIUM KARSINOM MAMMA
0 Tis NoMo
I T1NoMo
IIA ToNIMo
TINIMo
T2NoMo
IIB T2NoMo
T3NoMo
IIIA T0N2M0
T1N2M0
T2N2M0
T3N1-2M0
IIIB T0-4N0-2M0
Any T N3 M0
IV AnyT Any N M1
89
Keterangan :
Tumor = T Tis = Tumor insitu
To = tidak teraba tumor dengan cara pemeriksaan klinis yang biasa
T1 = teraba tumor dengan diameter < 2 cm
T2 = teraba tumor dengan diameter > 2 cm dan < 5 cm
T3 = Teraba tumor dengan diameter > 5 cm
Nodus =
N0 = tidak ada metastase regional
N1 = ada metastase kelenjar aksial yang mobil
N2 = ada metastase kelenjar aksial yang melekat
N3 = Metastase ke kelenjar mammaria interna
Metastase M
M0 = tidak didapatkan metastase jauh
M1 = didapatkan metastase jauh
PENATALAKSANAAN TERAPI
Protokol pengobatan untuk kanker payudara.
Lihat protokol pengobatan kanker payudara (terlampir)
2. Edema lengan
3. Peau d’orange yang melebihi ½ payudara
4. Satelit nodul yang luas, melewati daerah payudara.
5. Mastitis karsinomatosa
90
- bila letak tumor sangat dekat dengan m pektoralis atau mengifiltrasi mm.
pektroalis.
- Bila pada pemeriksaan histopatologis kelenjar getah bening aksial sudah
ada metastase dan menembus kapsul
- Bila operator merasa perlu ditambahkan radiasi eksterna oleh karena
kemungkinan terjadi seeding.
Indikasi Pemberian Kemoterapi Ajuvan Sistemik
1. Bila tumor > 3 cm
2. Bila pada pemeriksaan histopatologis spesimen mastektomi
- didapatkan metastase pada kelenjar getah bening aksial ? 3 buah
- Diferensiasi tumor poorly differentiated
- ada angio dan lymh invasion
- metastase kelenjar getah bening aksial yang sudah menembus kapsul
- ER dan atau PR negative
Pilihan lain
91
Docetaxzel / paclitaxel – gemcitabicine
MMM (Methotrexate – mitomicine C- mitoxantorne)
Tindak Lanjut
Tindak lanjut pada penderita keganasan cukup lama, bahkan boleh
dikatakan untuk sebagian penderita harus follow-up seumur hidup.
Yang di follow up
1. status penampilan / status generalis
2. keadaan penyakitnya
3. komplikasi atau akibat samping dari terapi yang diberikan
Cara
1. Anamesis dan pemeriksaan fisik, pada setiap pertemuan
2. pemeriksaan laboratorium, baik rutin maupun atas indikasi pada pertemuan-
pertemuan tertentu.
3. Pemeriksaan imaging, pada pertemuan-pertemuan tertentu dan atas indikasi
ad I dan ad 2
Jadwal :
Jadwal follow up secara umum adalah yang tertera di bawah ini, tetapi ada
modifikasi-modifikasi tergantung jenis keganasan, stadium dan terapi yang
diberikan.
Jadwal follow up :
0-1 tahun : tiap bulan sekali
1-3 tahun : tiap 3 bulan
3-5 tahun : tiap 6 bulan
> 5 tahun : tiap tahun sekali
92
TUMOR GANAS KULIT
BATASAN
Tumor ganas kulit adalah tumor ganas yang berasal dari kulit dan adneksa
kulit.
PATOFISIOLOGI
1. Faktor Eksterna
Sinar ultraviolet (UV-B dan UV-C, 250-320 nm) sebagai inisiator maupun
promotor dalam mutasi mutasi DNA, menyebabkan mekanisme replikasi
dalam reparasi kulit abonomal.
2. Faktor Interna
a. Warna kulit, makin sedikit pigmen melanin makin tinggi risiko tumor
ganas kulit
b. Imunosipresi misalnya pada penderita transplantasi
c. infeksi human papiloma virus
d. lesi pre kanker
e. Berkembang dari kelainan kronis kulit misalnya luka bakar,
osteomielitis, ulkus kronis, lupus eritematous, tuberkulosa kulit.
GEJALA KLINIS
Lesi pre kanker
1. Keratosis
2. Bowen’s disease
3. Erythorplasia of Queyrat
4. Keratoakantoma
93
b. Bentuk lesi :
i. superficial
ii. noduler
iii. eksofitik
iv. endofitik
v. ulseratif
d. prognosis
i. rekurensi tinggi pada tumor yang rekuren, luas dan dalam, perineural
invasi, serta grade patologi yang tinggi
ii. metastase tergantung dari faktor rekurensi dan lokasi. Pada daerah
wajah metastase lebih sering.
iii. pada tipe noduler berupa papula dengan berbagai ukuran, tumbuh
vertikal disertai teleangiektase, bagian tepi meninggi sedang bagian
sentral terbentuk ulkus (ulkus rednet)
iv. pada tipe morfea terbatas tegas, warna keputihan, flek jernih, tepi
sedikit meninggi, seringkali menyerupai skar pada kulit.
94
v. Pada tipe superficial tumbuh meluas horisontal daripada vertikal,
bermula sebagai flek kemerahan seperti ekzem.
b. Bentuk lesi
i. superficial
ii. noduler
iii. ulseratif
iv. noduler ulseratif
v. morfea
vi. berpigmen
95
STADIUM TUMOR GANAS KULIT
Stadium T N M Keterangan
0 Tis No Mo Tis = tumor in situ
T1 = tumor < 2 cm
I T1 No Mo T2 = tumor 2-5 cm
T3 = Tumor > 5 cm
II T2 No Mo T4 = Tumor invasi ke organ
T3 No Mo subscripts
PENATALAKSANAAN TERAPI
1. Operasi
- eksisi luas / eksisi en block, dengan jarak 1-3 cm tergantung agresifitas
dan lokasi tumor.
- diseksi kelenjar getah bening regional misalnya diseksi inguinal atau
diseksi leher bila didapatkan metastase kelenjar getah bening.
2. Radioterapi
- sebagai ajuvan untuk tumor dengan agresifitas tinggi
- operasi yang tidak radikal atau inoperable
- untuk basalioma yang eksisi atau rekonstrusinya sukar (radiosensitif)
3. Kemoterapi
- tumor ganas kulit bersifat kemoresisten
4. Topikal
- 5 fluorouracil (larutan atau krim 1-20%)
- retinoids
96
MELANOMA MALIGNA KULIT
BATASAN
Melanoma maligna kulit ialah tumor ganas yang berasal dari melanosit kulit
PATOFISIOLOGI
Kontak dengan sinar matahari (ultraviolet) dianggap sebagai faktor risiko
terbesar keturanan 8% - 12% (dysplastic nevus syndrome).
Bentuk Lesi
Superficial sprading melanoma (70%)
Noduler melanoma (15%)
Lentigo maligna melanoma (10%)
Acral lentiginous melanoma (2%)
Metastase tumor primer tidak ditemukan (3%)
GEJALA KLINIS
1. Superficial spreading melanoma tubuh superficial atau horisontal untuk
beberapa tahun sebelum tumbuh vertikal. Bervariasi dalam bentuk, tepi dan
warna tergantung lama pertumbuhannya.
2. Noduler melanoma tumbuh vertikal dari awal. Umumnya berwarna lebih
gelap sering mengalami trauma sehingga mudah berdarah, sering berupa
ulkus
3. lentigo maligna melanoma tumbuh pada orang tua (70 tahunan), terutampa
pada daerah yang tersering ekspose matahari ( wajah, telinga, tungkai
bawah) warna kecoklatan tumbuh superfisal untuk waktu yang panjang (20
tahun).
4. acral lentiginous melanoma tumbuh subungual, mukosa, daerah plantar atau
palmar.
Dapat berwarna coklat gelap, pigmen kehitaman atau bisa amelonosit.
97
d. terasa gatal
e. mudah berdarah
f. timbul ulkus
g. rambutnya rontok
2. Pemeriksaan penunjang
a. foto thoraks, USG abdomen untuk menilai metastase organ maupun
kelenjar
b. kadang diperlukan CT scan / MRI untuk menilai ekstensi tumor
3. Pemeriksaan patologis
a. biopsy tumor primer insisional atau eksisional tergantung besar tumor
b. biopsy kelenjar regional in toto
98
Stadium
1. Stadium patologi (microstaging) untuk menentukan ke dalaman invasi
tumor.
Stadium menurut Clark (lapisan kulit) dan Breslow (ketebalan dalam
milimeter)
Stadium menurut Clark
I : terbatas pada epidermis (in situ)
II : menembus membran basal
III : menembus strtum papillare
IV : menembus stratum retikulare
V : menembus sub subkutan
Secara umum stadium menurut breslow lebih akurat dibandingkan clark
2. Stadium Penyakit
Stadium T N M Keterangan
Stadium T N M T0 = tidak didapatkan tumor primer
Tis = melanoma in situ
0 Tis No Mo T1 = stratum papillare
T2 = stratum papillare – retikulare
I T1 No Mo T3 = stratum rtetikulare
T2 No Mo T4 = Subkutan / satellitosis < 2 cm
II T3 No Mo N0 = Tidak ada metastase regional
N1 = metastase regional < 3 cm
III T4 No Mo N2 = metastase regional > 3 cm
Metastase in transit
T1-4 No Mo Mo = tidak ada metastase jauh
IV T1-4 No M1 M1 = ada metastase jauh
PENATALAKSANAAN TERAPI
1. Eksisi Luas
- invasi clark I, II dan III : eksisi tumor 1-3 cm dari tepinya
- invasi Clark IV, V atau recidif : eksisi tumor 3-5 cm dari tepi sampai
fasia di bawahnya
- kalau perlu dikerjakan dasrtikulasi atau amputasi
99
2. Diseksi kelenjar getah being regional
3. Perfusi regional melanoma maligna di lengan atau tungkai dengan satelitosis
atau residif
4. Imunoterpai dengan vaksi BCG, rabies, interleukien atau interferon
5. Kemoterapi dan radioterapi resisten
PROGNOSIS
1. Tergantung ke dalaman invasi (breslow atau Clark)
2. Lentigo maligna melanoma mempunyai prognosis yang baik karena
pertumbuhannya superficial dan lambat. Lokasinya mudah diketahui
sehingga seringkali diterapi masih dalam stadium dini.
3. Acral lentiginous melanoma mempunyai prognosis paling jelek karena
seringkali diketahui terlambat dan invasinya dalam
4. Ada ulkus memperjelak prognosis
100
TUMOR GANAS JARINGAN LUNAK
BATASAN
Tumor ganas jaringan lunak ialah tumor ganas mesenkimal dari kerangka
tubuh kecuali tualng dan tulang rawan.
Termasuk tumor ganas jaringan lunak ialah tumor ganas mesenkimal yang berasal
dari :
1. otot
2. tendon
3. fasia
4. ligament
5. jaringan lemak
6. jaringan ikat
7. pembuluh darah
8. pembuluh kelenjar getah bening
9. syaraf perifer
10. syaraf autonom
11. bursa
12. sinovia
13. tulang rawan palpebra & telinga
14. diafragma, dsb
GEJALA KLINIS
Patut diwasapadai kemungkinan tumor ganas jaringan lunak bila
didapatkan tumor yang :
1. letaknya dalam, dibawah fasia
2. besar, lebih dari 5 cm
3. pertumbuhannya cepat
4. vaskularisasi bertambah / teraba panas
5. ada infiltrasi kulit atau tulang
6. timbul ulserasi
Lokasi
1. Kepala-leher 9%
2. Badan (dada, perut, pundak) 19%
3. Retroperitoneum 12%
101
4. ekstremiatas atas 13%
5. Ekstremitas bawah 46%
Hubungan Secara umum antara tipe histologist dan grade tumor ganas
jaringan lunak.
Metastase
1. Sarkoma pada umumnya mengadakan mestastase hematogen
2. Sarkoma yang juga mengadakan metastase regional seperti :
a. rabdomiosarkoma
b. sarcoma sel synovial
c. clear cell sarcoma
102
d. sarcoma epiteloid
e. hemangioma perisitoma
f. fibrous histiositoma maligna, dsb
IIA G2 T1 No Mo T1 = tumor ≤ 5 cm
IIB G2 T2 No Mo T2 = Tumor > 5 cm
103
vi. vaskularisasi
vii.ulserasi
viii. metastase
ix. stadium
x. operabilitas, dsb
d. komplikasi
e. penyakit sekunder
2. Pemeriksaan penunjang
a. laboratories : darah, urin, fungsi hati, ginjal, hemostatis, gula darah
b. radiologis : X-foto thoraks, jaringan lunak / tulang di tempat lesi, CT-
scan / MRI USG abdomen, kalau perlu arteriografi
3. Eksplorasi operasi
Waktu eksplorasi kapsul tumor jangan dibuka
Tentukan :
a. Asal tumor
b. Luas ekstensi tumor
c. Operabilitas
4. Pemeriksaan patologis
a. Biopsi dengan anestesi umum atau blok
i. tumor kecil : biopsy eksisi
ii. tumor besar : biopsy insisi atau biopsy tru cut
b. spesimen operasi :
i. besar tumor dalam cm
ii. luas ekstensi tumor
iii. tipe histologist
iv. derajat diferensiasi sel
v. radikalitas operasi
104
Daftar diagnosis
1. Klinis
a. tumor jaringan lunak subkutan yang mengadakan ulserasi atau infiltarasi
b. ada tanda metastase regional maupun jauh
2. Patologis
a. gambaran patologis yang khusus
b. pada sel yang diferensiasinya baik, perlu dipertimbangkan gambaran
klinis
PENATALAKSANAAN TERAPI
3. Kuratif
Untuk sarcoma keganasan rendah, ada metastase single di paru atau hati
tidaklah berarti inkurabel. Pada metastase paru atau hati dapat dikerjakan
lobektomi.
1. Lokasi kepala, leher dan tubuh
a. Operasi
i. Tumor primer :
Eksisi luas, 2-5 cm dari tepi tumor dengan mengikut sertakan kulit
di atas tumor dan jalannya bekas biopsy.
ii. metastase regional : diseksi kelenjar getah bening
b. radioterapi pasca bedah
c. kemoterapi juvan
2. Lokasi ekstremitas
a. ekstremitas dapat diselamatkan :
sedapat mungkin selamatkan ekstremitasnya
i. tumor primer :
tumor otot atau menginfiltrasi otot :
eksisi oto dari origo sampai insersi beserta fasia yang
membungkusnya (fasikulektomi). Kalau perlu eksisi satu atau lebih
kompertemen otot.
ii. metastase regional : diseksi kelenjar getah bening
105
b. Ekstermitas tidak dapat diselamatkan, bila tumor :
* Besar dan ujung atasnya sampai pada 1/3 bagian atas tungkai / lengan
* Menginfiltrasi tulang, arteri atau syaraf utama tungkai / lengan
i. Operasi
1. Tumor primer : Amputasi / disartikulasi
Untuk tumor di paha atau lengan atas amputasi / disartikulasi
paha/ lengan disertai diseksi enblok kelenjar getah bening.
2. metastase regional : diseksi kelenjar getah bening
ii. radiatoerapi pasca bedah untuk operasi yang radikalitasnya
diragukan.
iii. kemoterapi ajuvan
2. Paliatif
a. radioterapi
b. kemoterapi
kemoterapi untuk sarcoma
1. Cy VADIC :
- cyclophsphamide : 500 mg / m2, iv, hari ke 1
- vincristine : 2 mg / m2 iv, hari ke 1 siklus di ulang tiap
3-4 minggu
- Adrianmycin : 50 mg/m2, iv, hari ke I
- Dacarbazine (DTIC) : 250 mg / m2, iv, hari ke 1 s/d 3
2. ACM :
- adriyamycin : 600 mg / m2, iv
- cyclophosphamide : 600 mg / m2, iv, siklus diulang tiap 3
minggu
- methotrexate : 250 mg / m2, iv
106
TUMOR JINAK JARINGAN LUNAK
DAN
TUMOR NON NEOPLASMA JARINGAN LUNAK
BATASAN
Tumor jinak jaringan lunak ialah tumor jinak mesenkimal yang timbul pada
kerangka atau dinding tubuh.
Termasuk tumor jinak dari :
1. lemak
2. tendon
3. fasia
4. otot
5. jaringan ikat
6. bursa / sinovium
7. pembuluh darah
8. pembuluh kelenjar getah bening
10. dsb
Lokasi tumor
Tubuh dibagi dalam 7 regio, yaitu :
a. Kepala dan leher
b. Lengan
c. Tungkai
d. Thoraks
e. Abdomen
f. Pelvis
107
g. Lainnya
Jenis Jaringan
Jaringan yang terkena dapat :
a. Subkutan (superficial)
b. Subfasial (dalam)
c. Fasia
d. Otot
e. Lemak
f. Jaringan ikat
g. Pembuluh darah
h. Pembuluh getah bening
i. Lainnya
108
mungkin terjadi
degenerasi maligna.
2. Hemangioma yang
tidak mengadakan
involusi
1. Tumor membesar
sesuai dengan
109
pertumbuhan anak
2. Tidak mengalami
pertumbuhan cepat
110
PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS
1. Pemeriksaan klinis
a. keluhan utama dan lain-lain keluhan serta sejak kapan
b. keadaan tumor
i. lokasi
ii. batas
iii. bentuk
iv. besar
v. konsistensi
vi. warna
vii. asal
viii. banyak
ix. metastase
x. dsb
3. Pemeriksaan patologis
a. biopsy erksisi bila diagnosis klinis belum jelas
b. dari spesimen operasi, untuk konfirmasi diagnosis
Dasar diagnosis
1. gambaran klinis seperti diatas
2. hasil pemeriksaan patologis
PENATALAKSANAAN TERAPI
1. Neoplasma Jinak
a. Eksisi sederhana, kecuali untuk desmoids dikerjakan eksisi luas
b. bila eksisi sukar untuk :
i. Hemangioma
1. Radioterapi
2. Kortikosteroid dengan harapan dapat involusi
ii. Neurofibromatosis
1. Eksisi hanya tumor yang mengganggu saja
2. eksisi luas bila ada keganasan
111
2. Tumor non neoplasma
a. Ganglion : Aspriasi isi kista + intilasi 1-2 ml Triamcinolone acetonide
intra kista . bila gagal dilakukan eksisi.
b. Tofi urika : Eksisi tofi + Allopurinol 1-3x/ hari. 3 tabl. @ 100 mg
112
TUMOR JINAK KULIT DAN TUMOR NON
NEOPLASMA KULIT
BATASAN
Tumor jinak kulit ialah tumor jinak yang berasal dari kulit dan adneksa
kulit. Di sini untuk ringkas dan mudah pembahasannya dimasukkan pula tumor
jinak di kulit lainnya, tumor non neoplasma kulit dan kelainan pra kanker.
GEJALA KLINIS
1. Tumor di Epidermis-dermis
a. Epitelioma
i. Tumor kecil umumnya I cm, berasal dari epitel skwamosa, bentuk
bulat, batas tegas, warna seperti kulit normal di sekitarnya, dapat
single atau multiple.
ii. suatu epitelioma yang disebut epitelioma Bowen atau epiteliosis
Bowen, berupa flek atau nodus kecil-kecil multiple berwarna coklat
atau coklat kemerahan / kehitaman merupakan lesi pra ganas yang
sifatnya dapat berubah menjadi kanker. Bila epitelioma Bowen
terdapat pada glans penis disebut eritroplasia dari Querat.
b. Papiloma
i. Tumor kecil umumnya 1 cm di kulit berbentuk polipoid, sering
multiple. Bagian dalam lesi terdiri dari jaringan ikat yang ditutupi oleh
kulit normal hyperplasia, dengan permukaan yang papiler dan
mengeras (keratinisasai).
ii. papiloma dapat pula tumbuh di mukosa mulut, saluran pencernaan,
saluran pernafasan, kandung seni, pelvis renalis. Papiloma yang
tumbuh di mukosa hidung tumbuhnya dapat masuk ke dalam, jadi
terbalik dari biasanya dan disebut inverted papiloma.
c. Nevus Pigmentosus
i. nevus pigmentosus adalah tumor jinak kulit berbentuk papel, flek atau
nodus kecil 1 cm, berwarna hitam atau hitam kecoklatan, beraal dari
melanosit yang mengandung pigmen melanin. Ada pula nevus yang
113
tidak berwarna (nevus amelonatik). Ada pula nevus yang ukurannya
besar serta ditumbuhi rambut (nevus raksasa : giant nevus.)
ii. Umumnya nevus timbul di kulit, tetapi dapat pula di mukosa mulut,
anus, kongjungtiva
iii. Hampir semua orang mempunyai nevus, sebagian besar dari tipe
intradermal (75%), ada yang berambut ada yang tidak, dan
umumnya ada sejak kecil atau timbul sebelum pubertas.
iv. Nevus tipe junctional, compound atau yang terdapat pada kulit
yang sering mengalami iritasi seperti yang terdapat di telapak kaki /
tangan, pinggang dsb, dapat menjadi ganas, menjadi melanoma
maligna.
d. Dermatofibroma
i. Tumor kulit kecil umumnya 2 cm, keras, warna kecoklatan
menyerupai keloid. Disebut juga histiostioma atau sclerosing
angioma.
ii. Dermatofibroma ada yang tumbuh menonjol ke luar dan disebut
dermatofibroma protuberans yang bersifat tidak tentu, dapat
jinak atau ganas (dermatofibrosarkoma protuberans).
e. Verruka Vulgaris
i. Berupa tumor kecil 1 cm di kulit dengan permukaan papiler, warna
sama dengan kulit di sekitarnya, Verruka dapat single atau multiple
dan dapat menghilang dengan spontan[. Verruka yang terdapat di
telapak kaki atau tangan kelihatannya seperti klavus yang nyeri.
114
f. Kondiloma Akkuminata
i. Berupa tumor papiler kecil-kecil, multiple mengelompok di kulit
yang umumnya basah, seperti di labium, penis, dsb.
g. Kondiloma Lata
i. Berupa tumor papiler kecil-kecil multiple bergerombol seperti pada
kondiloma akkuminata.
h. Leukoplakia
i. Berupa flek berwarna putih pada kulit yang sering disertai
hyperkeratosis. Lesi ini merupakan kelainan pra-kanker.
ii. Leukoplakia dapat pula ditemukan di bibir, mukosa mulut
i. Keratoakantoma
i. berupa nodus, tumor, ulkus atau nekrose di kulit. Berbatas tegas,
ditutup oleh debris. Tumor umumnya single, dapat cepat membesar
sampai 2 cm atau lebih sehingga kelihatannya menyerupai kanker
kulit, tetapi kemudian dapat mengadakan regresi spontan dalam 1-3
bulan. Bila tidak terjadi regresi harus dipikirkan kemungkinan suatu
kanker.
j. Klavus
berupa nodus keras di kulit telapak kaki, berbatas tegas dan nyeri bila
berjalan
115
(akantosis). Permukaannya dapat mengelupas dan dasarnya nampak
kemerahan. Lesi umumnya multiple kecil-kecil tidak melebihi 2 cm.
keratosis senilis ini diduga disebabkan oleh kepekaan kulit akan sinar
UV matahari. Keratosis jenis ini banyak ditemukan orang tua (senilis)
atau orang yang sering terpapar sinar matahari (solaris). Lesi ini
merupakan lesi pra kanker.
ii. Bila pada stratum spinosum ditemukan dysplasia atau mitosis yang
abnormal disebut karisnoma intra epitelia / karsinoma in situ.
l. Keratosisi Seborroikum
Berupa papel, flek, atau nodus berbatas tegas,multiple, kecil-kecil tidak
melebihi I cm, disertai hperkeratosis dan akantosis, warna coklat atau
coklat kehitaman, sehingga sukar dibedakan dengan kertaosis senilis atau
nevus. Tumor berasal dari stratum basal, sehingga kadang disebut basal
cell papiloma. Dapat timbul di mana-mana pada kulit.
m. Seroderma Pigmentosum
i. Berupa flek, nodus atau bintik-bintik kecil multiple di seluruh tubuh
disertai pengerasan kulit. Kulit peka terhadap sinar matahari dan
mudah timbul kanker kulit yang multiple.
n. Keloid
i. Berupa tumor di kulit yang timbul pada bekas luka, berwarna coklat
atau kecoklatan, akibat deposisi / pembentukan jaringan kolagen yang
berlebihan pada masa penyembuhan luka. Konsistensi padat keras.
ii. Ada orang yang mudah mendapat keloid, walaupun hanya akibat luka
kecil.
116
2. Tumor di Subskutis
a. Kista Dermoid
i. suatu kista subkutan yang lepas dari kulit diatasnya, terletak di garis
tengah ventral atau dorsal, kantongnya dilapisi dermis, berisi masa
kental seperti bubur. Tumor umumnya terdapat sejak kecil, dengan
tempat predeleksi di alis bagian lateral dan dasar mulut.
ii. Kista dermoid dapat pula ditemukan di dasar mulut, ovarium, testis,
retroperioneum, mediastinum, intracranial.
b. Kista Epidermoid
i. berupa kista subkutan yang kantongnya ilapisi oleh epidermis, berisi
masa kental seperti bubur. Kista lepas dari kulit dan dari fasia
dibawahnya. Umumnya terdapat di telapak tangan atau kaki.
117
PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS
1. Klinis
a. keluhan utama dan lain-lain keluahan dan sejak kapan
b. keadaan umum dan penampilan
c. keadaan lokal pada kulit
i. lokasi
ii. bentuk
iii. permukaan
iv. batas
v. besar
vi. warna
vii. konsistensi
viii. temperatur
ix. dalam besi
x. nyeri / tidak
xi. invasi / mobilitas
xii. banyaknya, dsb.
2. Penunjang Klinis
Kalau perlu : laborat / x-fot / bakteriologi, dsb
3. Sitologis / Patologis
a. biopsy dari tumor : insisional atau eksisional
b. kalau perlu : sitologis dari secret atau ulkus
Dasar diagnosis
1. Tumor dengan gambaran klinis yang khas seperti di atas
2. Hasil pemeriksaan patologis
PENATALAKSANAAN TERAPI
1. Tumor neoplasma
Eksisi sederhana dengan jarak 1-5 mm dari tepi tumor
Spesimen operasi diperiksa secara hitopatologis
118
2. Tumor non neoplasma
a. operais
i. Eksisi sederhana
pada nevus eksisi 2-3 mm dari tepi lesi atas indikasi :
1. Sering mengalami iritasi
2. Berupa lesi pra ganas
3. Diduga menjadi maligna
4. Kosmetik
Spesimen operasi diperiksa patologis
b. Non Operasi
i. keratosis : salep keratolitik dengan salisil 2-4
119
120
STRUMA NODOSA NON TOKSIKA
BATASAN
Struma nodosa non toksika adalah pembesaran kelenjar tiroid yang berbatas
jelas, tanpa gejala-gejala hipertiroidi.
PATOFISOLOGI
Struma nodaosa non toksida dapat berupa satu benjolan saja (struma
uninodosa non toksika) atau beberapa benjolan (struma multinodosa non toksika)
GEJALA KLINIS
Keluhan penderita pada umumnya hanya benjolan pada leher bagian depan
bawah. Struma dapat berupa satu benjolan atau beberapa benjolan. Struma yang
besar dapat memberikan gejala penekanan pada trakea (sesak nafas), atau pada
esophagus (disfagia).
Gejala penekanan ini dapat juga oleh tiroiditis kronis karena konsitensinya
yang keras.
121
2. Pemeriksaan fisik
Inspeksi dari depan penderita, nampak suatu benjolan pada leher
bagian depan bawah yang bergerak ke atas pada waktu penderita menelan
ludah.
Palpasari dari belakang penderita dengan ibu jari kedua tangan pada tengkuk
penderita dan jari-jari lain meraba benjolan pada leher penderita.
Pada palpasi ini yang harus diperhatikan ialah :
a. lokasisasi benjolan terhadap trakea (mengenai lobus kiri, kanan atau
keduanya)
b. ukuran (diameter terbesar dari benjolan, nyatakan dalam sentimeter)
c. konsistensi
d. mobilitas terhadap jaringan sekitar
e. benjolan bergerak saat menelan
f. apakah batas bawah benjolan dapat diraba (bila tak teraba mungkin ada
bagian yang masuk ke retroternal).
3. Pemeriksaan tambahan :
a. X-foto leher AP/lat : untuk mengetahui ada klasifikasi pada struma
(kemungkinan keganasan tiroid), penyempitan atau pendorongan trakea
oleh struma yang besar.
b. X-foto thoraks AP/lat : untuk mengetahui ada bagian struma yang
tetrosternal
c. Pemeriksaan FNAB : untuk screening keganasan tiroid
d. pemeriksaan potong beku : dikerjakan intra-operatif untuk menentukan
struma tersebut jinak atau ganas.
PENATALAKSANAAN TERAPI
Indikasi operais pada struma nodosa non toksika adalah :
1. keganasan
2. penekanan
3. kosmetik
122
tindakan operasi yang dilakukan tergantung jumlah lobus tiroid yang
terkena. Bila hanya satu sisi saja dilakukan subtotal lobektomi, sedangkan
bila kedua lobus yang terkena dilakukan subtotal tiroidektomi.
123
KARSINOM TIROID
BATASAN
PATOFISIOLOGI
1. Rangsangan TSH pada sel folikel tiroid akibat kekurangan jodium, dalam
jangak panjang akan menyebabkan degenerasi keganasan.
GEJALA KLINIS
Keluhan penderita pada umumnya hanya ada benjolan pada leher bagian
depan bawah. Benjolan yang besar dan keras dapat memberikan gejala penekanan
pada trakea (sesak nafas), atau pada esophagus (disfagia). Keganasan tiroid yang
infiltrasi n. rekuresn menyebabkan terjadi suara parau.
124
PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Anamnesis mengenai usia dan jenis kelamin, apabila nodul tiroid timbul
pada usia di bawah 20 tahun atau usia di atas 50 tahun, dengan jenis
kelamin laki-laki mempunyai risiko malignansi lebih tinggi.
Riwayat mendapat radiasi di daerah kepala dan leher pada masa kanak-
kanak menyebabkan malignansi pada tiroid sekitar 30%.
Benjolan cepat membesar, bisa disertai keluhan gangguan menelan, sesak,
atau perubahan suara. Riwayat keluarga menderita penyakit serupa.
2. Pemeriksaan fisik
Inspeksi dari depan penderita nampak suatu benjolan pada leher bagian
depan bawah yang bergarak ke atas pada waktu penderita menlan ludah.
Perhatikan kulit diatasnya hiperemi, seperti kulit jeruk, ulserasi.
Palparasi dari belakang penderita dengan ibu jari ekdua tangan
pada tengkuk penderita dan jari-jari lain meraba benjolan pada leher
penderita.
Pada palpasi ini ditentukan lokalisasi benjolan terhadap takea,
ukuran, konsistensi padat keras, mobilitas terbatas terhadap jaringan
sekitar, benjolan bergerak saat menalan. Bila infiltrasi sudah luas maka
gerakan ke atas saat menalan ludah tidak terlihat dengan jelas. Harus
diraba ada tidaknya pembesaran kelenjar getah bening leher terutama pada
rantai juguler. Pemeriksaan metastase jauh berupa benjolan pada tulang
kalvaria, tulang belakang, klavikula, sternum dan lain-lain. Benjolan
metastasis pada tulang tersebut biasanya teraba adanya pulsasi. Perlu juga
dipikirkan metastase ke paru hati, dan otak.
3. pemeriksaan radiologis :
a. X-foto leher AP/Lat : untuk mengetahui ada klasifikasi yagn berbentuk
seperti pasir, penyempitan atau pendorongan trakea oleh karsinom tiroid
yang besar.
b. X-foto thoraks Ap/lat : untuk mengetahui ada metastasis dalam bentuk
coni lesion, efusi pleura, osteolitik tulang dinding thoraks.
4. Pemeriksaan Laboratorium :
a. kadar kalsitonin serum meningkat pada karsinoma tipe meduler
125
b. penanda tumor human thyroglobulin (hTG) untuk follow-up keganasan
tiroid diferensiasi baik (tipe papiler dan folikuler)
5. Biopsi
a. FNAB : untuk screening keganasan tiroid
b. Biopsi terbuka : untuk karsinoma tiroid yang inoperable
PENATALAKSANAAN TERAPI
Terapi karsinom tiroid tergantung dari jenis histopatologinya.
Pada karsinom tiroid papiler / folikuler, dievaluasi dahulu faktor prognostic
berdasar Ages / Ames score (iage grade / metastase, extention, size)
Faktor prognostic baik jika :
Age : Laki-laki < 40 th, wanit < 50 th
Grade : low grade (grade I atau II)
Metastasis : belum ada metastasis jauh
Extenton : ada infiltrasi ekstrakapsuler
Size : diameter tumor < 5 cm
Bila Ages / Ames score nya baik semua maka dilakukan lobektomi total
(hemitiroidektomi), bila salah satu ada yang buruk maka dilakukan total
tiroidektomi. Pemeriksaan potong beku dilakukan intraoperatif pada penderita
yang hasil FNAB menunjukkan keganasan tiroid, neoplasma folikuler (FNAB
126
sulit membedakan antara adenoma folikuler dan karsinom folikuler tiroid), atau
dicurigai ada nodul keganasan. Pada karsinom tiorid medulare dilakukan
tioridektomi total.
Pada karsinom anaplastik (diferensiasi buruk) diberikan radiasi eksterna.
Radioterapi
Jenis radiasi yang diberikan adalah :
1. Radioterapi internal (dengan I 131)
Terapi ajuvan untuk karsinom tiroid diferensiasi baik ( papiler / folikuler /
campuran). Dosis sebesar 100-150 mCi, dapat diulang tiap 3 bulan pada
yodium scan masih didapatkan tangkapan di tubuh
2. Radioterapi eksterna
Untuk karsinom tiroid diferensiasi jelek (karsinom anaplastik). Dosis
sebesar 5000-6000 rad dalam waktu 6 minggu.
127
LIMFADENOPATI LEHER
BATASAN
Limfadenopati leher adalah pembesaran patologis kelenjar getah bening
leher.
PATOFISIOLOGI
Ukuran normal kelenjar getah bening adalah 2-3 mm. pembesaran kelenjar getah
bening leher disebabkan oleh :
1. infeksi :
- akut
- kronis non spesifik
- kronis spesifik
2. Neoplasma
- primer : limfoma
- sekunder : metastase dari keganasan di daerah kepala leher termasuk
intra oral atau rongga thoraks dan abdomen.
128
GEJALA KLINIS
1. limfadenitis akut
pembesaran kelenjar getang bening bias satu atau multiple pada suatu kelompok yang
disertai tanda-tanda radang seperti kemerahan pada kulit diatasnya, pada perabaan hangat
dan nyeri tekan, sering didapatkan focus infeksi primer didaerah kepala leher dan ada
panas badan. Penyebabnya sering bakteri piogenik.
Kelenjar dapat mengalami nekrose pengejuan dengan demikian konsistennya dapat padat
atau kistik. Kelenjar yang nekrose tersebut dapat pecah dan menembus kulit sehingga
terjadi ulkus dengan tepi menggaung dan warnanya livide (merah ungu). Kadang-kadang
didapatkan jaringan parut disekitarnya akibat penyembuhan ulkus. Limfadenitis tbc tidak
selalu disertai oleh tbc paru. Penyebabnya ialah mycobacterium tuberculosa. Ada infeksi
karna karna mycobacterium atypical pada pasien dengan defisiensi imun pada infeksi
HIV.
4. Limfoma
Pembesaran kelenjar getah bening pada umumnya multiple, mengenai beberapa
kelompok, kelenjar yang membesar tersebut mempunyai ukuran bervariasi 1-6 cm, tidak
saling melekat, konsistensi kenyal, dan mobil
Pembesaran kelenjar getah bening ini dapat bilateral atau disertai pembesaran kelenjar
getah bening di region lain pada tubuh, pembesaran hepar atau limpa. Pada keadaan lanjut
sering disertai gejala umum seperti nafsu makan menurun, panas badan, lemah badan.
Didapatkan proses keganasan pada daerah kepala atau leher sesuai dengan asal aliran
kelenjar getah bening pada kelenjar getah bening yang membesar tersebut.
129
Untuk metastase pada kelenjar getah bening supraklavikuler kiri maka proses keganasan
primernya harus dicari juga dari tubuh ( payudara, paru, ginjal, ovarium, prostate, rectum)
1. inspeksi
Dilakukan dari depan dan samping penderita. Apakah pembesaran kelenjar getah
bening tersebut tunggal/ multiple, berapa perkiraan ukurannya, mengenai satu atau
beberapa kelompok, dan wana kulit di atasnya, ulkus atau jaringan parut di
sekitarnya.
Suatu keharusan untuk mencari lesi primer baik berupa focus infeksi atau proses
keganasan di daerah kepala leher termasuk intra oral.
2. Palpasi
Dilakukan dari belakang penderita, diraba pembesarannya tunggal atau multiple,
mengenai satu kelompok atau lebih. Berapa ukurannya, bagaimana batasnya,
konsistensinya, melekat satu sama lain atau tidak, mobilitasnya, adakah nyeri tekan
atau tidak. Dalam hal dugaan suatu limfoma maka harus diperiksa pula
kemungkinan pembesaran hepar atau limpa.
3. pemeriksaan tambahan
a. Darah Lengkap
LED meningkat pada limfadenitis, pada infeksi akut maka lekosit juga meningkat,
Hb dapat menurun pada limfoma.
b. tes mantoux
Dikerjakan pada dugaan limfadenitis tbc, akan memberikan hasil positif.
c. X-foto thoraks
Dikerjakan untuk melihat ada :
130
d. laringoskopi indirekta / direkta
untuk mencari proses primer baik infeksi atau keganasan daerah faring dan laring
e. biopsy
pada pembesaran kelenjar getah bening yang telah berlangsung lebih dari 4-8
minggu, perlu dilakukan biopsy.
PENATALAKSANA TERAPI
Pengobatan diberikan sesuai dengan proses penyebab pembesaran kelenjar getah bening
atau penyakit dasarnya.
4. metastase
bila metastase pada kelenjar getah bening tersebut masih operable dan tumor primer
telah dilakukan eradikasi (baik dengan pembedahan atau radioterapi ) atau tumor
primer tidak dapat ditentukan adalnya, maka dilakukan radical neck dissection
(RND).
131
Diberikan radioterapi paska bedah 6.000 rad.
Bila metastase tersebut inoperable, diberikan radioterapi pra bedah 5.000 rad. Dal waktu
5 minggu. Bila menjadi mobil selanjutnya dilakukan RND 4-6 minggu kemudian,
sedangkan bila tetap inoperable maka radioterapi dilanjutkan sampai 7.000
DAFTAR PUSTAKA
1. beenken SW, Urist MM. head and neck tumors.In way LW, Doherty GM (Ed
current surgical diagnosis and treatment, 11th ED, Mc Graw Hill;2003. p.282-3.
2. rao KML. Lymphatics and lymph nodes. In hai AA, shrivastava RB (Eds).
Textbook of surgery, tata McGraw hill, new delhi; 2003. p. 700-8.
3. stern EE, clinical thingking in surgery, prentice hall int inc, USA; 1988,p, 149-6
BATASAN
Karsinom rongga mulut adalah keganasan dari epitel mukosa rongga mulut, dari tepi
vermilion bibir atas bawah ke belakang sampai arkus faringeus anterior
PATOFISIOLOGI
Iritasi kronis pada awalnya menyebabkan perubahan premaligna pada mukosa mulut
berupa bercak keputihan (leukoplakia) atau bercak kemerahan (eritoplakia). Lokasi yang
paling sering adalah lidah dan dasar mulut.
Karsinom rongga mulut sering didapatkan pada usia diatas 50 tahun, danjumlah penderita
laki-laki lebih banyak dari pada wanita.
Gambaran patologinya 90% berupa karsinom sel skwamosa. Pada stadium awal berupa
erosi mukosa (tumor endofitik ulseratif) atau suatu papilomatous (tumor eksofitik).
Tumor yang ulseratif tumbuh cepat, menyebar ke struktur sekitar, seperti mandibula,
maksila, otot dasar mulut.
132
Metastase :
GEJALA KLINIS
Lesi premaligna dan karsinom stadium dini tidak memberikan keluhan. Karsinom
biasanya berupa ulkus kronis yang tidak sembuh dan jarang memberi keluhan nyeri.
Nyeri setempat menunjukan ulserasi yang lebih lanjut dan infiltrasi ke jaringan sekitar,
perineural atau tulang.
Nyeri yang menjalar ketelinga dapat terjadi pad karsinom lidah terutama bagian posterior.
Kadang penderita datang karna pembesaran kelenjar getah bening leher yang ternyata
metastase dari karsinom rongga mulut.
1. pemeriksaan klinis
a. inspeksi
inspeksi meliputi seluruh ringga mulut dengan cahaya terang, dan bila
penderita menggunakan protese maka sebelumnya harus dilepas
b. palpasi bimanual
pada palpasi didapatkan lesi dengan tepi yang meninggi dan indurasi
sekelilingnya, serta dasar yang infiltratif.
Inspeksi dan palpasi ini meliputi juga leher, ada pembesaran kelenjar getah
bening atau tidak.
2. pemeriksaan tambahan
a. X-foto
Pemeriksaan X-foto kepala AP/lateral/waters dilakukan bila klinis ada dugaan
infiltrasi tumor ke tulang mandibula atau maksila. X foto mandibula AP/lateral,
133
eisler, panoramic dikerjakan pada keganasan ginggiva mandibula. HAP foto
dibuat pada karsinom yang infiltrasi ke daerah palatum durum.
X-foto tulang untuk mengetahui metastase pada tulang yang telah memberikan
gejala klinik.
dikerjakan bila ada metastase pada kelenjar getah bening leher yang cukup
besar tetapi masih mobil, tujuannya untuk mengetahui keterlibatan a- karotis
dalam kaitannya dengan tindakan pembedahan.
c.CT scan
Untuk mengetahui luas infiltrasi tumor kejaringan sekitar yang sulit ditentukan
dengan pemeriksaan klinis dan X foto polos. Dengan demikian dapat
ditentukan. Bilamana tumor tersebut masih resektabel atau tidak. CT scan
dikerjakan juga pada tumor yang oleh karna letaknya sulit diperiksa secara
klinis dan X foto polos misalnya tumor pada daerah retromolar.
d. bone scan
Untuk mengetahui ada metastase jauh pada tulang yang belum memberikan
gejala klinis.
e. sitologis
Dengan melakukan screping permukaan tumor, diperiksa ada tidak sel ganas
pemeriksaan FNA hanya buleh dilakukan pada tumor yang eksofitik saja, oleh karna pada
karsinom yang bentuknya ulseratif maka tindakan FNA dapat membawa sel tumor masuk
lebih dalam.
134
Penentuan stadium (berdasarkan system TNM dari UICC tahun 2002)
T tumor primer
T1 tumor <=2cm
Rongga mulut : infilrasi tulang, otot lidah (ekstrinsik, dalam), sinus maksilaris,
kulit.
T4b infiltrasi masticator space, ptertgoid plates, dasar tengkorak, a karotis interna.
135
PENATALAKSANA TERAPI
1. terapi kuratif
indikasi operasi : kasus operable, usia muda, keadaan umum baik.
Eksisi luas tumor dengan batas 1-2 cm, bila menginfiltrasi tulang dilakukan reseksi
tulang. Diseksi kelenjar leher secara radikal bila terdapat metastase kelenjar getah
bening regional atau T 3/T4 tanpa pembesaran kelenjar getah bening regional.
Diseksi dikerjakan secara en blok dengan tumor primernya.
Terapi tambahan :
Radioterapi ajuvan paska bedah diberikan pada T3/ T4 setelah operasi atau
radikalitasnya diragukan.
Operasi dilakukan pada kasus residif atau paska radioterapi neo-ajuvan yang
tumornya operable.
2. terapi paliatif
terapi paliatif untuk perbaikan kualitas penderita, diberikan pada penderita
karsinom rongga mulut stadium 1V, komorbid yang berat, usia lanjut, terapi
kuratif gagal.
Tindak lanjut
Dalam 3 tahun pertama dilakukan tiap 3bulan, tahun ke-3 sampai ke-5 dilakukan setiap
6 bulan, dan setelah 5 tahun control tiap 1 tahun.
136
DAFTAR PUSTAKA
1. Watkinson JC, gaze MN, Wilson JA. Tumours of the lip and oral cavity. Stell &
maran’s head & neck surgery, 4th Ed. Oxford, butterworth-heinemann;
2000.p275-317
2. beenken SW, urist MM. head and neck tumors. In way LW, Doherty G M (Eds).
Current surgical diagnosis and treatment, 11th Ed, Mc graw hill; 2003.p.286-7
3. Edgerton MT, angel MF, Morgan RF. The mouth, tongue, jaws, and salivary
glands. In sabiston DC(Ed). Textbook of surgery, 14th Ed. WB saunders Co;
1991.p.1209-34.
137
PHLEGMON DASAR MULUT
BATASAN
Sering juga disebut dengan ludwig’s angina, merupakan penyakit infeksi pada dasar
mulut yang dengan cepat menyebar ke leher, bahkan ke mediastinum dan sering
menimbulkan ancaman jiwa bila tidak ditangani dengan adekwat.
PATOFISIOLOGI
Penyakit ini merupakan selulitis yang disebabkan beberapa macam mikroba, yang
berkembang dengan cepat mengisi jaringan longgar dasar mulut (sublingual, submental,
submandibula, pterigomandibular, faring lateral, retrofaring, infratemporal, submasseter)
dapat meluas ke leher atau mediastinum, dan berlanjut menyebabkan gangguan jalan
nafas dengan gejala berupa perasaan tercekik dan sulit bernafas (serupa dengan pada saat
terjadinya serangan jantung yang biasa dikenal dengan angina pectoris). Bakteri
penyebabnya berasal dari flora normal rongga mulut.
GEJALA KLINIS
Tampak pembengkakan pada submandibula yang dapat meluas hingga dasar mulut dan
leher, disertai tanda hiperemi pada kulit, kadang didapatkan fluktuasi, dan teraba hangat.
Trismus dapat terjadi. Keadaan umum dapat semakin memberat hingga gangguan nafas
karna edema dari glotis, sepsis.
1. anamnesis
sumber infeksi bisa dari sakit gigi atau tenggorokan sebelumnya, nyeri saat
membuka mulut, panas badan. Bila hebat bisa disertai keluhan sesak nafas.
2. pemeriksaan fisik
penderita nampak sakit dan panas badan
Pemeriksaan intra oral untuk melihat karies gigi atau sumber infeksi lain seperti
tonsillitis, bila trismus maka akan sulit melihat kelainan intra oral. Bila
penderita sesak napas biasanya nampak benjolan yang meluas ke dasar mulut
serta mendorong lidah ke arah atas dan belakang.
3. Pemeriksaan tambahan
a. X-foto thoraks AP/lat : untuk mengetahui penyebaran ke mediastimum
b. Pemeriksaan laboratorium
138
- Darah lengkap : LED meningkat, lekositosis
- Kultur pus dan sensitifitas antibiotik
PENATALAKSANAAN TERAPI
Bila terjadi obstruksi jalan nafas dilakukan trakeostomi.
Drainase dengan melakukan insisi sejajar 2 cm tepi bawah tulang mandibula
untuk menghindari cabang r marginalis mandibula n.VII dan hindari a fasialis.
Insisi hingga memotong m milohioid.
Istirahat (bedrest), tambahan cairan bila dehidrasi,d iet tinggi protein dan
karbohidrat Pemberian antibiotik intravena (Clindamycine 3x 300 mg/br +
Gentamycine 1,5 mg/kg BB/hr), dan analgesik (Metampiron 3x 500 mg/hr).
DAFTAR PUSTAKA
1. Cowpe JG. Meechan JG. Treatment of Surgical Infection in the orofacial
region Moore LU (ed) Principle of Oral and Maxilofacial Surgery, 5th ED
Blackwell Science, 2001, p. 156-74.
2. King M., Bewes PC, Cairo J. Thornton J. (eds) Primary Surgery Non Trauma
Oxford University Press : 1990, p. 52-64.
139
FRAKTUR MAKSILOFASIAL
BATASAN
Fraktrur maksilofasial adalah patah tulang muka yang disebabkan oleh ruda
paksa. Patah tulang meliputi :
1. Fraktur Mandibula tertutup/terbuka
2. Fraktur Maksila tertutup/terbuka
3. Fraktur Zigoma tertutup/terbuka
4. Fraktur nasal tertutup/terbuka
5. Fraktur alveolus tertutup/terbuka
PATOFISIOLOGI
Tulang muka mempunyai bagian-bagian yang menonjol sehingga resiko
untuk mendapatkan rudapaksa adalah benar.
Mandibula memiliki struktur yang mirip tulang panjang yaitu degan korteks yang
tebal. Patah tulang mandibula biasanya terjadi pada bagian yang lemah yaitu
foramen mentale, angulus dan kondilus.
Maksila dan zigoma dibentuk oleh tulang pipih dengan beberapa penyangga yang
stabil, dengan suatu rongga di dalamnya. Tulang tersebut sangat rentan terhadap
rudapaksa dari arah depan/samping. Bagian penyangga patah pada sepanjang
sutura sedangkan dinding yang tipis dari sius maksilaris atau dinding orbita
biasanya fraktur komutif.
GEJALA KLINIS
Fraktur biasanya ditandai dengan deformitas, oedema, nyeri, kripitasi dan
fase movement, bisa disertai luka terbuka pada kulit atau mukosa mulut.
Maloklusi merupakan tanda penting pada fraktur mandibula, maksila atau proseus
alveolaris.
Fraktur zigoma dengan displaced yang hebat atau frakktur blow out dapat
memberikan gejala diplopia.
Seringkali fraktur maksilofasial disertai trauma di tempat lain, dan trauma
penyerta yang paling banyak ialah trauma kapitis.
PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Trauma yang mengenai daerah muka. Pada penderita yang tidak sadar maka
kita mendapat kesulitan dalam anmnesis.
2. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi
Bentuk asimetri muka karena ada deformitas
Maloklusi terjadi pada fraktur maksila/mandibula/prosesus alveolooris
Enoptalmus atau letak bola mata yang lebih rendah pada fraktur blow
out zigoma
b. Palpasi
Harus dikerjakan secara sistematis dan bandingkan kanan kiri mulai dari
margo supraorbitalis-arkus zigoma-margoinfraorbitalis-nasal-korpus
zigoma-mandibula. Palpasi intra oral perlu dilakukan untuk mengetahui ada
fraktur palatum. Fraktur maksila tanpa meloklusi atau pada penderita tidak
140
bergigi naka dapat ditentukan dengan ada mobilitas maksila pada palpasi
intra oral.
3. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan X-foto yang dibuat disesuaikan dengan lokasi fraktur.
Fraktur mandibula
- Mentum /simfisis, parasimfisis, korpus: kepala AP/lateral
- Angulus, ramus, kondilus koronoideus : Eisler
- Seluruh mandibula : Waters
- Pemeriksaan tomografi/CT scan : untuk melihat fraktur dinding orbita.
DIAGNOSIS BANDING
Dislokasi gigi, keadaan ini dapat memberikan gambaran maloklusi sehingga
dapat dikacaukan dengan fraktur maksila/mandibula/prosesus alveolaris.
PENATALAKSANAAN TERAPI
Fraktur maksilofasial yang hebat selain terjadi pendarahan dapat juga terjadi
obstruksi saluran napas bagian atas. Hal ini harus secepatnya diatasi dengan
intubasi selanjutnya trakeotomi serta mengatssi perdarahan yang terjadi.
Bila terdapat trauma penyerta yang membahakan jiwa penderita maka trauma
penyerta tersebut yang harus ditangani lebih dahulu sedangkan penanganan
definitif untuk fraktur maksilofasial dikerjakan belakangan.
Penderita yang disertai gangguan kesadaran karena trauma kapitis ditunggu
sampai kesadarannya membaik dan kooperatif baru dilakukan pengobatan fraktur
maksilofasialnya agar hasil pengobatan dapat baik.
Setiap fraktur maksilofasial perlu diberikan antibiotika intravena
(Sephazolin 3x 1g/hr) selama 3 hari sebagai terapi dini karena fraktur
maksilofasial hampir selalu disertai robekan mukosa.
Fraktur maksilofasial terbuka dilakukan debrideman
Indikasi operasi fraktur maksilofasial ialah ada maloklusi, deformitas,
enoptalmus, diplopia, hiperestesia pipi, dan fraktur yang tidak stabil.
Tindakan operasi :
1. Fraktur mandibula
Reposisi terbuka dan pemasangan fiksasi interna dengan menggunakan
miniplat atau kawat. Jika melakukan fiksasi menggunakan kawat (inteosseus
wiring) maka diperlukan immobilisasi dengan interdental wiring dan
dipertahankan selama 1 bulan.
Fraktur daerah ramus, kondilus, koronoid yang maloklusinya dapat dikoreksi
dengan reposisi tertutup, cukup di-immobilisasi dengan interdental wiring.
2. Fraktur maksila
Reposisi terbuka dan fiksasi interna menggunakan miniplat atau pemasangan
suspensi menggunakan kawat (Le fort I, II dengan zygomatyco circumferential
wiring, le fort III dengan fronto circumfential wiring) dan immobilisasi
menggunakan interdental wiring. Interdental wiring dipertahankan 1 bulan
sedangkan suspensi dipertahankan selama 2 bulan.
3. Fraktur zigoma
Bila hanya ada demorfitas saja maka dilakukan reposisi tertutup dengan cara
Gillies, bila ternyata tidak stabil maka perlu reposisis terbuka dan fiksasi
menggunkan miniplat atau kawat (interosseus wiring).
141
4. Fraktur nasal
Dilakukan reposisi tertutup. Pasang tampon kavum nasi dn immobilisasi degan
splin eksterna (gips kupu-kupu).
Tampon diabil hari ke 3-4 untuk mencegah overkoreksi
Splin eksterna dipertahankan selama 2 minggu.
Diperlukan reposisi terbuka dan dilakukan fiksasi dengan miniplat atau
kawat (wiring) bila fraktur nasal menyangkut juga etmoid dan avulse
lig. Kantus medialis.
DAETAR PUSTAKA
1. Freihofer : Geeral Aspects of Diagosis and Treatments of Maxillofacial
Fractures. Proceeding Kursus Pasca Sarjana, Cidera Kapala & Leher, FK
Unair-RSUD Dr. Soetomo, Surabaya, 1986.
2. Kaufman, M.S et al.: Treatment of facial creatures in neurologically injured
patiets.J. Oral Maxillofac. Surg., 42:250-25, 1984.
3. Rowe,N.L.: Maxillofacial injuries, Trennds and thecniques. Injury, 16: 53-55,
1985.
4. Zachariades, N. and Koundouris,I.: Extra corporeal traction for the middle third
of the face. J. Oral maxiillofac. Surg.,42:131-2,1984.
142
TUMOR PAROTIS
BATASAN
Tumor parotis adalah neoplasma yang berasal dari kelenjar liur parotis yang
terletak pada pre/ infra/ retro aurikuler, sifatnya bisa jinak atau ganas.
PATOFISIOLOGI
Penyebab yang pasti belum diketahui, sedangkan faktor yang diduga ialah
radiasi atau sinar matahari yang mengalami ionisasi. Hal ini berdasar kenyataan
bahwa tumor kelenjar liur lebih bayak terjadi 10-15 tahun kemudian pada
penduduk Jepang setelah terjadi kecelakaan bom atom tahun 1945, dan penduduk
Bellarus setelah kebocoran reaktor nuklir di Chernobyl tahun 1985.
Jenis yang paling banyak ialah tumor epitel jinak (adenom) dan ganas (karsinom).
Secara keseluruhan tumor parotis menempati 80% dari semua tumor kelenjar liur,
dan 25% dari tumor parotis adalah ganas.
Pembagian histology tumor kelenjar liur menurut WHO untuk tumor epitel ialah:
1. Adenon :
a. Adenon pliomorfik (mixed tumor)
b. Adenom monomorfik :
- Adenolimfoma
- Adenoma oksifil
- Adenoma tipe lain
2. Tumor mukoepidemoid :
3. Tumor sel asinus
4. Karsinom :
a. Karsinom adenoid kistik (silindroma)
b. Adenokarsinom
c. Karsinom epidermoid
d. Karsinom tak berdiferensiasi (undifferentiated carcinoma)
e. Karsinom dalam adenoma pleiomorfik
GEJALA KLINIS
Kemungkinan untuk mendapatkan tumor parotis pada laki-laki dan wanita
adalah sama.
Cabang-cabang perifer N.VII berada dalam satu bidang sagital yang berjalan
di antara lobus uperfisialis dan profundus dari parotis, ada hubungannya dengan
gejala klinis dan penanganan bedah.
Tumor jinak parotis (75%) kebanyakan telah adenoma pleiomorfik. Keluhan
penderita hanyalah benjolan yang mudah digerakkan dan sudah berlangsung
beberapa tahun tanpa keluhan nyeri.
143
Tumor jinak yang letaknya pada lobus profundus dapat mendorong orofaring dan
tonsil ke arah medial.
Tumor jinak tersebut klinis terbatas jelas seperti berkapsul, bebas dari jaringan
sekitar dan konsistensi kenyal.
Tumor ganas parotis (25%) timbul lebih cepat (dalam beberapa bulan) sering
memberi keluhan nyeri dan konsistensi lebih padat/keras. Infiltrasi ke jaringan
sekitar menyebabkan terjadinya fiksasi, ulserasi, trismus (infiltrasi, m, masseter)
dan gangguan motorik dan otot mimik (infiltrasi N. VII).
Paresel/paralise cabang N.VII dan trismus adalah gejala pasti suatu keganasan dari
parotis.
T. tumor primer
Tx tumor primer tak dapat ditentukan
T0 tidak ada tumor primer
T1 tumor < 2 cm a/ tanpa invasi lokal
T2 tumor > 2 cm < 4 cm b/ dengan invasi lokal (kulit, jaringan lunak,
tulang, syaraf)
T3 nomor > 4 cm < 6 cm
T4 tumor > 6 cm
144
N. kelenjar getah bening (kgb) regional
Nx k.g.b regional ak dapat ditentukan
N0 tidak ada metastase k.g.b regional
N1 metastase k.g.b sebuah ipsilateral < 3 cm
N2a metastase k.g.b sebuah ipsilateral > 3 cm < 6 cm
N2b metastase k.g.b multiple, ipsilateral, tak ada yang ukuran > 6 cm
N2c metastase k.g.b bilateral / kontralateral, tak ada yang ukuran > 6 cm
N3 metastase k.g.b ukuran > 6 cm
M. metatase jauh
Mx adanya metastase jauh tak dapat ditentukan
M0 tak ada metastase jauh
M1 metastase jauh
Stadium I : T1aN0M0
T2N0M0
Stadium 2 : T1bN0M0
T2N0M0
T3N0M0
Stadium 3 : T3bN0M0
T4aN0M0
tiap T N1 M0 (selain T4b)
DIAGNOSIS BANDING :
1. Diagnosis banding tumor jinak parotis ialah :
- Aterom
- Limfadenitis kronis spesifik / non spesifik
- Lipoma
- Hemangioma
2. Diagnosis banding tumor ganas parotis adalah :
- Parotitis kronis
- Limfoma maligna
- Metastase pada Inn preaurikularis
PENATALAKSANAAN TERAPI
Tumor yang terletak pada lobus superfisialis dilakukan panotidektomi
superficial. Untuk tumor pada lobus profundus dilakukan lobektomi (dengan
sebelumya melakukan parotidektomi superficial terlebih dahulu).
145
Preparat tersebut diperiksa potong beku. Bila hasil pemeriksaan potong beku
menunjukkan jinak, maka operasi selesai. Bila hasil pemeriksaan potong beku
menunjukkan ganas maka dilakukan parotidektomi total dengan menyelamatkan
N. VII dan dilakukan eksisi Inn subdigastrikus untuk diperiksa potong beku. Bila
Inn subdigastrikus menunjukkan metastasis maka dilakukan diseksi leher radikal
(Radical Neck Dissection / RND).
DAFTAR PUSTAKA
1. De Staff van de Afdeling Hoofd-Hals Tumoren : Syllabus HoofdHals, tumoren,
3td.ed., Antoni van Leeuwenhoek Ziekenhuis, Amsterdam, 1981, pp. 26-29.
2. Hermanek. Pet al : TNM (Classification of malignant tumours, 4sh.ed., (tp),
Springer, 1987, pp. 30-32.
3. John, M.C and Kaplan, M.J. Surgical Therapy of Tumours of the Salivary
Glands. In Comprehensive Management of Head and Neck Tumours, Thawley
et Al (eds), W.B. Saunders Co. Philadelphia, 1987 pp 1042-1056.
4. Rubin P. Clinical Oncology, A Multidisciplinary Approach, 6sd. Ed., American
Society, New York, 1983, p 254-257.
5. Vermey A. Oldhoff, J., Panders, A. K., Speekselkliernumoren In Oncologie,
3sd, ed., Zwaveling, A., van Zonneveld, R.J., Schaberg, A. (eds). Samson,
Stafleu, Alphen aan den Rijn, 1985, pp. 191-200.
146
PENYAKIT GRAVES
BATASAN :
Penyakit Grave’s atau sering pula disebut morbus Basedow, adalah penyakit
autoimun yang ditandai dengan gejala-gejala hipertiroidism, goiter yang difus, dan
bisa disertai kelainan mata dan kulit.
PATOFISIOLOGI
Kelenjar tiroid dikontrol oleh Thyrotropin Stimulating Hormone (TSH),
yang berasal dari kelenjar hipofise, dan kerja dan hormon TSH dikontrol oleh
Thyrotropin-Releasing Hormone (TRH) yang berasal dari hipotalamus. TSH
merangsang terjadi hipertrofi dan hiperplasi dalamr angka produksi dan sekresi
hormon tiorid melalui aksi dari reseptor TSH yang ada pada sel folikel tiroid.
Levotiroksin and triodotironin merupakan hormon tiroid di dalam serum yang
memberikan umpan balik pada kelenjar hipfosie sehingga terjadi pengaturan
produksi TSH. Gangguan sistem umpan balik poros hormone TRH-TSH dapat
mengubah fungsi dan struktur kelenjar tiroid.
Penyebab yang pasti dari penyakit Grave’s belum diketahui, kurang lebih
15% penderita mempunyai predisposisi genetik, dengan 50% di antaranya
mempunyai autoantibody tiroid dalam sirkulasi darahnya. Antibodi terhadap
reseptor TSH (TSHAb) menyebabkan hipersekresi hormon tiorid. TSHAb juga
menyebabkan hipertrofi dan hiperplasi folikel tiroid, hingga terjadi pembesaran
kelenjar tiroid yang difus.
GEJALA KLINIS
Gejala yang dominan dari penyakit Grave’s adalah peningkatan
metabolisme sel di seluruh sistem tubuh. Peningkatan metabolisme ini
menyebabkan pula peningkatan kebutuhan kalori, yang tampak manifestasinya
dengan peningkatan nafsu makan tetapi berat badan cenderung menurun.
Hipermetabolisme pada sistem saraf akan memberikan gejala : tremor,
gelisah, emosi yang tidak stabil, ketakutan, insomnia, dan mimpi buruk.
Pada sistem kardiovaskuler akan mengakibatkan peningkatan sirkulasi darah
dengan penambahan curah jantung hingga 2-3 kali normal, juga dalam keadaan
istirahat. Pada pemeriksaan fisik didapatkan takikardia, palpitasi, aritmia, bahkan
bila berat bisa didapatkan fibrilasi atrium. Bila keadaan ini berlangsung terus,
tidak jarang ditemukan penderita dengan tanda-tanda gagal jantung.
Pada sistem saluran cerna akan didapatkan peningkatan sekresi dari rogan
saluran cerna, dan diikuti pula dengan peningkatan peristalsis usus. Hal ini
menyebabkan terjadi diare.
Bisa terjadi kelainan di mata disebabkan reaksi autoimun pada jaringan ikat
di rongga mata, berupa hipertrofi dan hiperplasi otot bola mata, jaringan ikat, dan
jaringan lemak. Akibatnya bola mata terdorong keluar (eksoptalmus) yang bisa
berakibat keratitis, dan strabismus karena otot bola mata yang terjepit.
147
PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Pada anamnesis bisa didapatkan berbagai macam keluhan seperti : gugup, gelisah,
emosi, tidak stabil, insomnia, berdebar, nafsu makan meningkat tapi berat badan
menurun, diare, gemetaran, gampang lelah, tidak tahan panas, gampang
berkeringat.
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan penderita yang tampak kurus dengan mata
yang menonjol, resting tremor, takikardi, dan pada status lokalisnya didapatkan
pembesaran kelenjar tiroid yang difus.
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium : kadar T3, T4 meningkat dan kadar TSH menurun
USG tiroid : pembesaran kelenjar tiroid yang difus
Sidikan yoidum : gambaran tangkapan yodium meningkat
DIAGNOSIS BANDING
Struma nodosa toksika
Tiroiditis subakut
Hipertiroidi karena peningkatan gonadotropin
PENATALAKSANAAN TERAPI
Diberikan obat antitiroid untuk menurunkan kadar hormon tiroid dalam
tubuh
Bisa digunakan tablet Propil Thyourasil (PTU) 3 x 100 mg, (dewasa) untuk
menurunkan produksi hormon tiroid.
Diberikan juga beta bloker (biasa dipilih Propanolol) untuk mengurangi efek
hipertiroidi pada jantung.
Diberikan juga minor tranqulizer (biasa dipilih Diazepam) untuk mengurangi efek
psikologis hipertiroidi.
Medikamentosa diberikan sampai keadaan menjadi eutiroid
Terapi pilihan lainnya adalah pembedahan dan internal radiasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Davies TF, Graves disease Pathogenesis. In Braverman LE, Utiger RD (eds),
Werner & Ingbar’s. The Thyroid. A Fundamental and Clinical Text, 8th ed.,
Philadelphia Lippincott William & Wilkins, 2000, p. 518-30.
2. Laderson PW. Diagnosis of thyroid. A Fundamental and Clinical Text, 8th ed.,
Philadelphia, Lippincott William & Wilkins ; 2000, p. 685-90.
3. Cooper DS. Treatment of thyrotoxicosis. In braverman LE, Utiger RD (eds),
Werner & Ingbar’s The Throid A Fundamental and Clinical Text, 8th ed.,
Philadelphia : Lippincott William & Wilkins ; 2000, p. 691-718.
4. Howard RJ. Tumours of the thyroid and parathyroid glands. In Watkinson JC.,
Gaze N, Wilson JA (Eds), Stell & Maran’s Head & Neck Surgery, 4th Ed,
Oxford, Butterworth – Heinemann ; 2000 p. 459-85.
148
5. Frake DI, Skarulid M. Livolsi V. Thyroid Tumors. In DeVita VT, Hellman S,
Rosenberg SA (Eds), Cancer : Principles and practice of Oncology, 6th Ed.
Philadelphia, Lippincott William & Wilkins ; 2001, p. 1740-61.
6. Clark OH. Thyroid and Parathyroid. Way LW, Doherty GM (Eds) Current
Surgical Diagnosis and Treatment, 11th Ed, Mc Graw Hill ; 2003 : p. 303-7.
149
HIGROMA LEHER
BATASAN
Higroma (Cystic hygroma; cavernous lymphangioma) leher ialah kelainan
kongetital yang dimulai di leher lateral, berupa kista multiple dengan berbagai
ukuran yang berisi cariran limfe.
PATOFISIOLOGI
Higroma leher berasal dari kelainan berikut: gagalnya koneksi anatara saluran
limfe di leher degan sistem vena, tonjolan abnormal dari saluran limfe di leher,
dan sekuesterisasi (penyimpangan) pertumbuhan saluran limfe primordial pada
ssekitar v.jugularis. Kelainan ini yang kemudian berkembang makin besar sesuai
dengan pertumbuhan anak, dapat meluas ke dasar mulut, aksial, mediastinum, dan
wajah. Kista dilapisi selapis sel endotel dan berisi cairan jernih kekuningan.
GEJALA KLINIS
Sebagian besar kasus mulai muncul pada bayi atau anak, tidak berbeda pada
laki dan perempuan.
Massa tumor bersifat kistik, multilokuler di region kolli trigonum posterior dapat
meluas ke anterior, dasar mulut, wajah, aksial, dan mediatinum.
Benjolan yang sangat besar dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas atau
gangguan menelan.
Anamnesis :
Benjoalan timbul sejak lahir
Membesar seiring pertumbuhan anak
Bisa didapatkan gangguan napas bila massa cukup besar
Didapatkan tanda radang lokal maupun sistematik bila mengalami infeksi.
Pemeriksaan fisik :
Benjolan di region kolli lateral
Batas tidak jelas, kistik, dinding tipis, multilokuler/unilokuler.
Bisa disertai gangguan pernapasan atau tanda inflamasi bila mengalami
komplikasi.
Pemeriksaan transilumasi (+)
Pemeriksaan tambahan
Diperlukan untuk higroma yang sangat besar.
USG bisa menunjukkan sifat lesi yang kistik.
150
X foto leher AP/lateral untuk mengetahui pendesakan/penyempitan trakea.
X foto thoraks untuk mengetahui ekstensi ke dalam thoraks
CT scan & MRI bisa dilakukan untuk mengetahui sifat dan ekstensi lesi.
FNAB. Bila lesi menunjukkan tanda-tanda yang khas, tidak perlu dilakukan
FNAB
PENATALAKSANAAN TERAPI
Bila tidak ada komplikasi, dilakukan ekstirpasi setelah anak memenuhi rule of ten
(umur > 10 minggu, berat badan > 10 pon, kadar Hb> 10 g/dl)
Bila ada komplikasi sebelum terpenuhi rule of ten maka komplikasi tersebut
diatasi terlebih dahulu.
- Obstruksi napas : diatasi engan melakukan trakeotomi
- Obstruksi esophagus : diatasi dengan pemasangan pipa nasogastrik
- Infeksi/abses : diatasi dengan melakukan insisi dan pemberian antibiotik
- Bila terdapat obstruksi, sementara pasien belum siap dilakukan operasi,
maka bisa dilakukan punksi berkala pada massa tumor.
DAFTAR PUSTAKA
1. De jong W, Sjamsuhidayat, Buku Ajar Ilmu bedah 2nd ed. EGC. 2005, 379-380
2. Schwartz Principle of Surgery 8th ed. Mc Graw Hill Inc. 2005, 1684-1685
3. Jason L Acevedo, Rahul K. Cystic Hygroma, available on : eMedicine
Specialties > Pediatrics: Surgery > Otolaryngology. Updated: Jul 18, 2008.
151
AMELOBLASTOMA MANDIBULA
BATASAN
Ameloblastoma atau adamation mandibula adalah tumor jinak odontogenik
pada mandibula yang mempunyai kecenderungan tumbuh ekspansif dan
progresif,hingga menimbulkan deformitas wajah.
PATOFISIOLOGI
Tumor ini berasal dari sel amelloblast atau adamantoblast, berupa sel yang
tidak berdeferensiasi membentuk email. Walaupun secara histopatologid tidak
tergolong nesi yang ganas, namun tumor ini tumbuh sangat agresif, yang
menggambarkan suatu lesi ganas yang indolent atau low-grade semacam
basalioma.
Rekurensi bisa terjadi bila tumor ini hanya dioperasi dengan cara melakukan
kuretase. Pada operasi yang dilakukan adekuat dengan cara melakukan reseksi
1cm dari tepi lesi, maka sangat jarang didapatkan rekurensi.
GEJALA KLINIS
* Biasanya terjadi pada usia 20-40 tahun,d engan distribusi sama antara laki-laki
dan perempuan.
* 80% terjadi pada mandibula, paling sering di bagian posterior
* Muncul sebagai benjolan di mandibula yang tidak nyeri, tumbuh perlahan dan
dapat mencapai ukuran yang cukup besar hingga menyebabkan perubahan
bentuk wajah.
Pemeriksaan Fisik :
* Benjolan di mandibula, bisa didapatkan ektensi ke ekstra oral atau itnra oral.
* Bejolan multikistik, bila ada dinding kista yang tipis bisa didapatkan fenomena
“bola ping-pong” pada palpasi.
Pemeriksaan tambahan :
* Pada foto polos mandibula AP/lateral atau sangat dianjurkan membuat foto
panoramic akan tampak lesi tumor yang multikistik dengan gambaran khas
soap bubble / honey comb appearance
* Bila ada dinding kista yang tipis bisa dilakukan pemeriksaan FNAB.
DIAGNOSIS BANDING :
1. Osteosarkoma mandibula
2. Kista odontogenik mandibula
3. Odontogenic keratocyst mandibula
152
PENATALAKSANAAN TERAPI
Tetap ameloblastoma mandibula ialah reseksi mandibula dengan jarak
minimal 1 cm dari batas tulang mandibula sehat yang terlihat pada foto mandibula
terbaru.
Mandibula yang direseksi dapat dilakukan rekonstruksi langsung (early
permanent reconstruction) dengan tandur tulang, atau early (emporary
reconstruction dulu dengan kawat Kirschner atau plat dan baru 6 bulan kemudian
dilakukan delayed permanent reconstruction dengan tandur tulang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bramley PA, Benign odontogenic tumours in Moore JR (ed) Surgery of the
mouth and jaws, Oxford, Blackwell Scientific Publications.
2. Regezi JA., Sciubba J : Odontogenic Tumors. In Oral pathology, Clinical-
pathologic correlations, Philadelphia, Saudners ; 1999 : 323-356.
3. Karamer IRH, Pindhorg JJ, Shear M. The World Health Organisation
Histological Typing of Odontogenic Tumours, Oral Oncol, Eur J. Cancer
1992, 29B : 169-171.
153
BEDAH THORAKS KARDIOVASKULAR
DAFTAR PENULIS
154
ATRIAL SEPTAL DEFECT (ASD)
BATASAN
Atrial Septal Defect /ASD (defek septum atrium) adalah kelainan jantung
kongenital, terdapat lubang (defek) pada sekat (septum) inter-atrium yang terjadi
oleh karena kegagalan fusi septum interatrium semasa janin.
Berdasarkan letak lubang, defek septum atrium ibagi atas 3 tipe yaitu :
1. Defek septum atrium sekundum, bila lubang terletak did aerah fossa ovalis
(ASD II)
2. Defek septum atrium primum, bila lubang terletak di daerah ostium primum
(termasuk salah satu bentukd efek septum atrioventrikuler (ASD I)
3. Defek sinus venosus, bila lubang terletak di daerah sinus venosus (dekat muara
vena kava superior atau inferior).
ASD II paling banyak dijumpai (50-70% total ASD), defek ada pada lokasi fossa
ovalis. Kelainan penyerta Anomalous Pulmonary Veins Return terjadi pada 10%
dari seluruh kasus ASD II.
PATOFISIOLOGI
1. Terjadi saluran shunting darah dari atrium kiri menuju atrium kanan melaluid
efek/lubang pada sekat atrium (left to right shunt) oleh karena compliance
ventrikel kanan yang lebih besar (bertekanan rendah) dibanding ventrikel kiri.
Besarnya shunting bergantung terhadap seberapa ebsar perbandingan
compliance (relatif) ventrikel kanan terhadap ventrikel kiri, dan jgua
bergantung pada besar kecilnya defek.
2. Akibatnya adalah terjadi kelebihan volume darah (volume-overload) pada
jantung kanan yang pada akhirnya menyebabkan pembesaran atrium dan
ventrikel kanan serta dilatasi arteri pulmonalis. Jgua terjadi peningkatan
tekanan pada vaskularisasi paru atau yang dikenal hipertensi pulmonal akibat
kelebihan volume darah pada paru (ling overflow).
155
3. Dilatasi ventrikel kanan mengakibatkan waktu depolarisasi ventrikel kanan
memanjang yang akan memberikan gambaran blok RBBB (Right Bundle
Branch Block) pada pemeriksaan elektrokardiografi (EKG).
4. Murmur yang terjadi bukan karena shunting di atrium, tetapi oleh karena
terjadi turbulensi darah saat melewati katup arteri pulmonalis (stenosis relatif
katup pulmonal). Oleh sebab itu murmur yang terjadi adalah murmur sistolik di
area muskultasi pulmonal.
5. Gagal jantung kongestif (congestive heart failure = CHF) dan hipertensi
pulmonal seringkali baru terjadi pada usia dekade III dan IV oleh karena faktor
compliance dari jantung kanan dan arteri pulmonal yang besar.
GEJALA KLINIS
Manifestasi Klinis ASD :
1. Sebagian besar penderita ASD tidak menampakkan gejala (asimptomatik) pada
masa kecilnya, kecuali pada ASD besar yang dapat menyebabkan kondisi gagal
jantung di tahun pertama kehidupan pada sekitar 5% penderita. kejadian gagal
jantung meningkat pada dekade ke-4 dan ke-5, dengan disertai gangguan
aktivitas listrik jantung (aritmia).
2. Gejala yang muncul pada masa bayi dan kanak-kanak adalah ada infeksi
saluran nafas bagian bawah berulang, yang ditandai dengan keluhan batuk, dan
panas hilang timbul (tanpa pilek). Selain itu gejala gagal jantung (pada ASD
besar) dapat berupa sesak napas, kesulitan menyusu, gagal tumbuh kembang
pada bayi atau cepat capai saat aktivitas fisik pada anak yang lebih besar.
Defek septum atrium sering tidak ditemukan pada pemeriksaan rutin karena
keluhan baru timbul pada dekade, 2-3 dan bising yang terdengar tidak keras. Pada
kasus dengan aliran pirau yang besar maka keluhan cepat lelah timbul lebih awal.
Gagal jantung pada neontus hanya dijumpai pada ± 2% kasus. Sianosis terlihat
bila telah terjadi penyakit vaskuler paru (sindrum Eisenmenger).
156
Perjalanan penyakit ASD bervariasi :
1. Bila diagnosis dapat ditegakkan sebelum usia 3 bulan
* Defek ukuran < 3 mm umumnya akan menutup spontan
* Defek > 3 dan < 8 mm menutup 80% dalam 1,5 tahun
* Defek > 8 mm jarang yang menutup spontan
2. Bayi dan anak umumnya asimtomatik ; CHF (congestive heart failure) dan PH
(pulmonary hypertension) muncul pada usia dekade III dan IV.
3. Sangat jarang terjadi endokarditis dan komplikasi serebral
Penyulit
1. Gagal jantung kongestif
2. Hipertensi Polmonal
157
pemanjangan interval PR dan deviasi sumbu QRS ke kiri mengarah pada
kemungkinan defek septum atrium primum. Bila sumbu gelombang P
negatif, maka perlu dipikirkan kemungkinand efek sinus venosus.
c. Pemeriksaan ekokardiografi
Pada ekokardiogram jelas terlihat defek septum atrium
PENATALAKSANAAN TERAPI
1. Terapi Bedah
Bedah penutupan defek septum atrium dilakukan bila pemeriksaan klinis dan
elektrokardiografi sudah dapat memastikan ada defek septum atrium dengan
aliran pirau yang bermakna.
a. Indikasi operasi adalah bila left to righ shunt dengan Qp/Qs > 1,5 : 1
Apabila terlambat dan sudah terjadi aliran Right to Left Shunt merupakan
penyulit operasi sampai kontra indikasi apabila sudah terjadi dikompensasi
cordis berat disebut Eisenmenger Syndrome.
b. Kontraindikasi operasi : PVR (> 10 U/m2, > 7 U/m2 dengan vasodilator)
c. Timing operasi : menunggu usia 3 atau 4 thn, karena masih ada
kemungkinan menutup spontan (sebelum usia sekolah)
d. Mortalitas : < 1%
e. Komplikasi : aritmia, cerebral occident
2. Terapi Non bedah
Pemasangan alat Amplotzer Septal Occluder (ASO) melalui kateterisasi
perkutamens.
Tindak lanjut
1. Kardiomegali dan pembesaran dimensi ventrikel kanan juga bunyi split lebar
suara jantung 2 masih akan menetap pada 1-2 tahun pasca operasi EKG
menunjukkan RBBB (atau gangguan sistem konduksi ventrikel kanan)
2. Aritmia atrial atau nodal dapat terjadi post-operative pada 7-20% pasien.t
erkadang muncul sick sinus syndrome, yang muncul khususnya pada repair
158
defek sinus venosus, mungkin akan memerlukan obat antiaritmia, pacemaker
atau keduanya.
3. Terkadang pasien dengan residual shunt dapat diberikan aspirin 8 mg untuk
mencegah emboli paradoksal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Carr MR, Atrial Spetal Defect, emedicine Agustus 2006, available at :
http//www.emedicine.com.
2. Park M. Atrial Spetal Defect in Pediatric Cardiology for Practitioners 5th ed,
2008.
159
EFUSI PLEURA
BATASAN
Efusi pleura merupakan akumulasi cairan secara berlebihan dalam ruang
pleura, jumlah cairan masuk ke dalam ruang pleura lebih banyak pada jumlah
cairan yang ke luar, yang menunjukkan ada keseimbangan antara pembentukan
dari pengeluaran cairan pleura.
ETIOLOGI
Penyebab efusi pleura pada anak dan dewasa memiliki perbedaan bermakna.
Pada orang dewasa, sebagian besar penyebab efusi ialah gagal jantung kongestif
(transudat), diikuti pneumonia dan keganasan (eksudat). Pada anak, sebagian
besar penyebab efusi pleura ialah pneumonia (50-70%) merupakan efusi
parapneumonik) sedangkan gagal jantung lebih jarang dijumpai (5-15% kasus)
demikian juga dengan keganasan.
PATOFISIOLOGI
Ruang pleura merupakan ruang yang potensial (lebar 10 hingga 24 mm)
yang dibatasi oleh pleura parietal dan visceral. Pleura parietal menyelimuti
seluruh aspek dalam dari dinding dada dan diafragma sedangkan pleura visceral
melekat kuat pada permukaan paru dan fisura interlobar.
Ruang pleural ini mengandung cairan yang melumasi permukaan pleura dan
memungkinkannya untuk bergerak secara halus satu dengan yang lain. Cairan
memasuki ruang pleura melalui beberapa cara ; dari kapiler pleura parietal,
melalui ruang interstitial paru dalam pleura visceral dan dari kavitas peritoneal
melalui lubang kecil pada diaftragma. Cairan berpindah dari ruang pleura melalui
kapiler dalam pleura parietal atau limfatik, misal duktus torasikus. Sekitar satu
liter cairan dapat berpindah melalui ruang pleura dalam 24 jam.
Efusi pleura atau akumulasi cairan ini timbul bila ada filtrasi yang melebihi
mekanisme pengeluaran, dengan kata lain kelebihan cairan yang masuk atau
penurunan cairan yang ke luar dari ruang pleura. Peningkatan filtrasi ini
berhubungan dengan kegagalan absorbsi atau tidak adekuatnya mekanisme
pengeluaran. Faktor non keganasan yang berhubungan dengan perkembangan
efusi pleura meliputi infeksi, reaksi obat dan terapi realisasi.
Mekanisme potensial akumulasi cairan pleura meliputi peningkatan tekanan
kapiler pulmoner (misal gagal jantung) atau permeabilitas (misal pneumonia) ;
penurunan tekanan intrapleural (misal atelektasis) ; penurunan tekanan onkotik
plasma (misal hipoalbuminemia) ; peningkatan permeabilitas membran pleura dan
obstruksi aliran limfatik (misal keganasan pleura atau infeksi) ; defek diafragma
(misal hidrothoraks hepatic) dan rupture duktus torasikus (misal chylothorax).
Cairan pleura dibentuk dan dikeluarkan perlahan pada kecepatan ekuivalen
dan memiliki kadar protein yang lebih rendah dibandingkan kelenjar getah bening
paru dan perifer. Proses akumulasi dapat terjadi melalui salah satu mekanisme
atau lebih di bawah ini :
- Peningkatan tekanan hidrostatis sirkulasi mikrovaskular (kapiler)
160
- Penurunan tekanan onkotik sirkulasi mikrovaskular (plasma) akibat
hipoalbuminemia, nefrosis, sirosis hepatis yang meningkatkan kecenderungan
pembentukan cairan
ETOLOGI
Penyebab efusi pleura pada anak dan dewasa memiliki perbedaan
bermakna. Pada orang dewasa, sebagian besar penyebab efusi ialah gagal jantung
kongestif (transudat), diikuti pneumonia (50-70% merupakan efusi
parapneumonik) sedangkan gagal jantung lebih jarang dijumpai (5-15% kasus)
demikian juga dengan keganasan.
PATOFISIOLOGI
Ruang pleura merupakan ruang yang potensial (lebar 10 hingga 24 mm)
yang dibatasi oleh pleura parietal dan visceral. Pleura parietal menyelimuti
seluruh aspek dalam dari dinding dada dan diafragma sedangkan pleura visceral
kuat pada permukaan paru dan fisura interlobar.
Ruang pleura ini mengandung cairan yang melumasi permukaan pleura
dan memungkinkannya untuk bergerak secara halus satu dengan yang lain. cairan
memasuki ruang pleura melalui beberapa cara ; dari kapiler pleura parietal,
melalui ruang interstitial paru dalam pleura visceral dan dari kavitas peritoneal
melalui lubang kecil pada diafragma. Cairan berpindah dari ruang pleura melalui
kapiler dalam pleura parietal atau limfatikk, misal duktus torasikus. Sekitar satu
liter cairan dapat berpindah melalui ruang pleura dalam 24 jam.
Efusi pleura atau akumulasi cairan ini timbul bila ada fitrasi yang melebihi
mekanisme pengeluaran, dengan kata lain kelebihan cairan yang masuk atau
penurunan cairan yang ke luar dari ruang pleura. Peningkatan filtrasi ini
berhubungan dengan kegagalan absorbsi atau tidak adekuatnya mekanisme
pengeluaran. Faktor non keganasan yang berhubungan dengan perkembangan
efusi pleura meliputi infeksi, reaksi obat dan terapi radiasi.
Mekanisme potensial akumulasi cairan pleura meliputi peningkatan
tekanan kapiler pulmoner (misal gagal jantung) atau permeabilitas (misal
pneumonia), penurunan tekanan intrapleural (misal atelektasis) ; penurunan
tekanan onkotik plasma (misal hipoalbuminemia) ; peningkatan permeabilitas
membran pleura dan obstruksi aliran limfatik (misal keganasan pleura atau
infeksi) ; defek diafragma (misal hidrothoraks hepatik) dan rupture duktus
torasikus (misal chylothorax).
Cairan pleura dibentuk dan dikeluarkan perlahan pada kecepatan ekuivalen
dan memiliki kadar protein yang lebih rendah dibandingkan kelenjar getah bening
paru dan perifer. Proses akumulasi dapat terjadi melalui salah satu mekanisme
atau lebih di bawah ini :
- Peningkatan tekanan hidrostatis sirkulasi mikrovaskualr (kapiler)
- Penurunan tekanan onkotik sirkulasi mikrovaskular (plasma) akibat
hipoalbuminemia, nefrosis, sirosis hepatis yang meningkatkan kecenderungan
pembentukan cairan interstitial pleura.
- Peningkatan tekanan negatif dalam ruang pleura yang juga meningkatkan
kecenderungan pembentukan cairan pleura dan dapat disertai atelektasis luas.
161
- Peningkatan permeabilitas sirkulasi mirkovaskular akibat pelepasan mediator
inflamasi, yang memungkinkan lebih banyak kebocoran cairan dan protein
yang melalui paru dan permukaan pleura ke dalam ruang pleura. Hal ini
biasanya terjadi pada kasus pneumonia.
- Gangguan drainase limfatik dari permukaan pleura akibat ada sumbatan oleh
tumor atau fibrosis.
GEJALA KLINIS
Efusi pleura dapat bermanifestasi asimptomatis hingga efusi menumpuk
yang memicu dispneu dan ortopneu.
Gejala respiratori akibat cairan dalamr uang pleura meliputi batuk, sesak
dan dispneu. Nyeri pleuritik yang tajam dapat terjadi saat inspirasi maupun batuk
akibat ada peregangan pleura parietal. Seiring dengan bertambahnya efusi dan
terpisahnya membran pleura, nyeri pleuritik menjadi tumpul dan kemudian
menghilang.
Penyulit
- Empiema thoraks
162
Pemeriksaan radiografi thoraks posteroanterior dan lateral standar masih
merupakan teknik yang paling penting untuk diagnosis awal efusi pleura.
Cairan pleura bebas mengalir menuju bagian dependen dalamr uang pleura.
Pada posisi kanan atas, merupakan region subpulmonik dan akumulasi
cairan menyebabkan elevasi hemithoraks, displacement lateral dari kubuh
diafragma dan penumpulan sudut kostofenikus. Sedikitnya 250 ml cairan
(pada orang dewasa) harus terakumulasi sebelum dapat terlihat pada
pemeriksaan radiografi thoraks posteroanterior.
Pemeriksaan CT Scan helical juga menjadi modal lini pertama dalam
pencitraan sirkulasi palmonal. dengan pemeriksaan ini maka identifikasi
efusi pleura dapat semakin jelas. Pemeriksaan ini juga dapat mendiagnosis
adanya deep venous thrombosis bila dikombinasi dengan CT venography
dan pelvis dan ekstremitas bawah dan dapat membedakan penyakit pelural
benigna dan maligna.
Pemeriksaan CT Scan yang menunjukkan ada keganasan ialah modal
pleural atau penebalan pleural nodular, penebalan pleura mediastinal atau
sirkumferensial atau infiltrasi dari dinding dada atau diafragma. Sedikitnya
20% kasus efusi pleura maligna memperlihatkan gambaran ini. Pemeriksaan
positron emission tomography tampak lebih menjanjikan dalam mebedakan
penyakit pleural benigna dan maligna (Sensitivitas 97% dan spesifitas
88,5% pada satu studi).
b. Biopsi pleura
Biopsi ini hanya dilakukan pada pasien dengan efusi pleura yang tidak dapat
dijelaskan. Teknik ini memiliki peranan yang terbatas pada anak tetapi dapat
memberikan manfaat penting dalam diagnosis tuberculosis atau keganasan.
Komplikasi utama tindakan ini ialan pneumothoraks dan perdarahan.
c. Pemeriksaan Laboratorium
d. Analisis Cairan Pleura
Analisis cairan pleura merupakan upaya diagnostik yang sangat penting
melalui tindakan ini maka dapat diketahui penyakit yang mendasari efusi
pleura.
Dalam praktek klinis, efusi eksudat dapat dibedakan dari efusi transudut
dengan menggunakan kriterial Light. Kriteria ini mengklasifikasikan efusi
sebagai eksudat bila satu atau lebih kriteria berikut sesuai yaitu :
- Rasio protein airan pleura terhadap protein serum lebih besar dari 5,0
- Rasio lactate dehidrogenase (LDH) dalam cairan pleural dibandingkan
LDH serum lebih besar dari 0,6.
- Kadar LDH cairan pleural lebih besar dari 2/3 batas atas normal LDH
serum
163
Tabel 1 : Kriteria Light untuk membedakan eksudat dan transudat
Light’s ciriteria for distinguishing transudative from exudative pleural fluid
Kadar LDH ini dalam cairan pleura merupakan indikator kasar akan ada
inflamasi pleura dan bermanfaat untuk menilai perbaikan yang dialami pasien
setelah mendapatkan terapi.
Tabel 1 : Kriteria Light untuk membedakan eksudat dan transudat
Light’s ciriteria for distinguishing transudative from exudative pleural fluid
164
PENATALAKSANA TERAPI
1. Torako sentesis terapeutik
2. Tube thoracostomy
3. Video-assisted thoracoscopy pada kasus efusi eksudatif untuk memungkinkan
visualisasi langsung.
KEPUSTAKAAN
1. Efrati O, Barak A. pleural effusions in pediatric population. Pediatrics in
reviews 2002;23(12):417-25
2. Porcel JM, Light RW. Diagnostic Approach to pleural effusion in adults. Am
Fam physician 20006;73:1211-20
3. Yataco JC. Dweik RA. Pleural efussions : eva;uation and managemen.
Cleveland clinic journal of medicine 2005;71(10):854-72
4. Light RW. Pleural effusion. New England journal of medicine
2002;346(25):1971-7
5. Sato T. differential diagnosis of pleural effusions. JMAJ 2006;49:315-9
165
FRAKTUR KOSTA
BATASAN
Kontinuitas jaringan kosta hilang karna rudapaksa atau penyakit tertentu
PATOFISIOLOGI
Penyebab yang sering adalah trauma tumpul diniding dada yang
mengakibatkan deformitas mendadak pada dinding dada yang semi rigid. Cedera
pada kecelakaan kendaraan bermotor dan crush injury yang parah sering
mengakibatkan fraktur kosta lebih dari 1.
Pada anak-anak lebih jarang terjadi fraktur kosta daripada dewasa karna
elastisitas dinding dada mereka. Fraktur kosta pada anak-anak yang disebabkan
selain kecelakaan kendaraan bermotor bisa karna kekerasan pada anak-anak.
Pada orang tua atau pasien dengan penyakit kronis, fraktur kosta bisa terjadi
karna batuk yang terlampau keras atau stres yang berat dan berlebihan. Yang lebih
jarang terjadi adalah fraktur kosta akibat luka tembak atau luka tembus thoraks.
Fraktur kosta bisa mengurangi ventilasi dengan nyeri yang mencegah
ventilasi yang baik dan batuk. Keadaan ini bisa berakibat atelektasis, penumpukan
secret dan pneumonia. Fraktur kosta multiple bisa menyebabkan flail chest yang
mengakibatkan insufisiensi ventilasi karna gerakan nafas yang tidak efektif.
Fragmen kosta yang patah bisa menusuk paru-paru dan pleura sehingga terjadi
pneumothoraks dan hematothoraks.
GEJALA KLINIS
Deformitas, nyeri tekan, nyeri tekan sumbu, krepitasi fragmen tulang yang
patah, gerakan dada asimetris.
Penyulit
. Rupture pleura parietalis dan empisema cutis
. Ruptur jaringan paru
. Pneumothoraks
. Perdarahan dan hematothoraks
. Osteo
DIAGNOSIS BANDING
Kontusio muskulorum
166
PENATALAKSANAAN TERAPI
Bila single tanpa penyulit tak perlu dirawat di rumah sakit.
Bila multiple dan atau bila terdapat komplikasi perlu dir awat di rumah sakit,
observasi dan terapi definitif.
DAFTAR PUSTAKA
1. Doty CI. Rib Fracture, emedicine, Februari 2008, available at :
http;//www.emedicine.com.
2. Wenberg J.A., Croce MA. Rib fracture in Trauma : Contemporary Principles
and Therapy, 1st Edition 2008, p. 358.
3. Wanek S. Mayberry JC. January 2004. “Blunt thoracic trauma : Flail chest,
pulmonary contusion, and blast injury”. Critical Care Clinics 20 (1) : 71-81.
167
HEMATOTHORAKS
BATASAN
PATOFISIOLOGI
Hematothoraks bias disebabkan oleh trauma maupun non trauma. Trauma baik
tumpul maupun tajam merupakan oenyebab terbanyak terjadi hematothoraks.
Kondisi non trauma yang menyebabkan terjadi hematothoraks meliputi antara lain
: neoplasia (baik primer maupun metastase), komplikasi penggunaan obat anti
koagulan, emboli paru dengan infark. Robekan adhesi pleura terkait
pneumothoraks spontan; emfisema bulosa, tuberkulosa, AV fistula pulmonal,
teleangiektasia hemoragik herediter, kelainan patologi pembuluh darah
intrathoraksal non pulmonal (aneurisma aorta thoraksalis, aneurisma arteri
mamaria interna), sekuestrasi intralobaris dan ekstra lobaris, serta kelainan
abdomen (pseudokist pancreas, aneurisma arteri slanknik, hemoperitoneum).
Perdarahan pada kavum plera biasanya disertai dengan kelainan jaringan pada
dinding dada, pleura, maupun struktur intrathorakal. Respons fisiologis tubuh
pada keadaan hematothoraks terutama terjadi pada 2 area yaitu : respirasi dan
hemodinamik. Derajat respons hemodinamik tergantung pada jumlah dan
kecepatan darah yang hilang. Keadaan hematothoraks menyebabkan gangguan
ventilasi dan oksigenasi.
168
GEJALA KLINIS
Gejala sangat tergantung pada jumlah pada jumlah perdarahan yang ada di
rongga thoraks. Pada penderita hematothoraks, keluhannya nyeri dan sesak nafas.
Bila ada keluhan yang progresif, curigai adanya tension pneumothorax.
Pada inspeksi biasanya tidak tampak kelainan, mungkin gerakan nafas tertinggal
atau wajah pucat karma perdarahan. Fremitus sisi yang terkena lebih keras dari
sisi yang lain. Pada perkusi didapatkan pekak dengan batas seperti garis miring
atau mungkin tidak jelas, tergantung pada jumlah darah yang ada di rongga
thoraks. Bunyi nafas mungkin tidak terdengar atau menghilang.
Penyulit
1. syok hipovolemik
2. distress nafas
3. dekompensasi jantung
4. gagal ginjal akut
5. kejang
Didapatkan anemia, syok hipovolemik, nyeri dada, sesak nafas, gerakan nafas
asimetris, pekak pada perkusi, fremitus lebih keras, suara nafas berkurang,
tekanan vena sentral tidak meninggi.
Pemeriksaan penunjang
DIAGNOSIS BANDING
1. pneumothoraks
2. efusi pleura
3. empiema pleura
169
PENATALAKSANA TERAPI
Pasien yang dating dengan renjatan harus segera diinfus dan ditransfusi dengan
cairan dan darah yang sesuai dengan menggunakan jarum infus yang besar. Jika
dianggap perlu, gunakan dua infuse sekaligus. Darah yang sesuai untuk mengatasi
renjatan adalah darah plasma, namun jika tidak tersedia gunakan cairan plasma
ekspander atau cairan kristaloid sampai keadaan perfusi membaik.
Sementara itu dengan cepat lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap,
terutama perhatikan tanda-tanda anemia, sesak nafas, takipnu, atau takikardi.
Perkusi yang pekak pada sisi yang tidak terkena mungkin disebabkan
pendorongan mediastinum pada daerah tersebut. Terkadang didapatkan pula bunyi
nafas yang melemah atau menghilang. Pada pungsi mungkin keluar darah.
Segera setelah itu lakukan WSD dan pasien dikirim ke kamar bedah untuk
dilakukan thorakotomi eksplorasi.
KEPUSTAKAAN
170
Paten Duktus Arterious (PDA)
BATASAN
Patent duktus arteriosus (PDA) adalah suatu kelainan jantung bawaan, yaitu
duktus arteriosus tidak menutup setelah bayi lahir.
PATOFISIOLOGI
Insiden penyakit ini adalah 5-10% dari keseluruhan penyakit jantung congenital
dan sering kali pada bayi premature. Peningkatan insidens penyakit ini juga
dihubungkan dengan maternal rubella. Secara anatomis duktus arterious adalah
struktur normal yang menghubungkan sirkuit peredaran darah pulmonal dan
sistemik, normalnya berasal dari lengkung aorta ke-6 dan ukurannya sama dengan
diameter aorta desenden. Dari usia fetus 6 minggu sampai saat akan lahir, duktus
ini bertanggung jawab atas sebagian besar aliran darah ke ventrikel kanan. Duktus
ini menyumbangkan 60% dari cardiac output pada waktu fetus, hanya 5-10% dari
alirannya melewati paru. Dinding duktus arterious ini berbeda dengan struktur
pembuluh darah lain pada system vascular. Perbedaan yang mendasar terletak
pada tunika medianya, pada duktus arterious didapati sel-sel elastis yang dominant
dibandingkan sel-sel otot halusnya, namun sel-sel otot ini sangat sensitive pada
perubahan kimia sekitarnya terutama pada prostaglandin (dilatasi) dan p02
(vasokonstriksi). Penutupan duktus ini sebelum lahir menyebabkan right heart
failure.
GEJALA KLINIS
Tanda dan gejala kelainan ini bergantung dari besar kecilnya duktus yang ada,
ada atau tidak right-to-left shunt, dan penyulit lainnya. Pada duktus yang kecil,
biasanya tidak ditemukan gejala yang bermakna. Pada PDA yang sudah
mengalami shunt yang besar maka seringkali gejalanya disertai dengan gejala dari
infeksi saluran nafas bagian bawah, atelektasis, dan chronic heart failure.
171
Pada pemeriksaan fisik biasanya ditemukan:
1. takipnu
2. takikardina
3. diaforesis
4. sianosis
5. wide pulse pressure
6. Hyperactive precordium
7. Systolic thrill
8. kadang-kadang, dengan peningkatan tekanan arteri pulmonal, komponen
pulmonal dari bunyi jantung dapat didengar
9. Continous atau machinery murmur, grade 1-4 of 6 (paling baik di dengar
pada batas kiri atas sternum atau daerah infraklavikula kiri).
10. Apical diastolic rumble bila didapatkan left to right shunt yang besar
11. Murmur dapat berupa systolic ejection murmur, atau crescendo /
decrescendo systolic murmur yang berlanjut sampai diastolic.
12. Clubbing dari ujung jari
Penyakit
a. Subacut bacterial endocarditis
* seringkali timbul pada anak dengan PDA yang kecil
* pengobatan dengan antibiotik yang peka menjadi pilihan
* seringkali terjadi re-infeksi
172
d. Congestive hart failure
* dapat langsung terjadi pada bayi dengan PDA yang besar
* 30% dari pasien PDA dengan CHF meninggal
* seringkali disertai dengan gejala-gejal necrotizing enterocolitis, gagal
ginjal, edema paru.
Elektrokardiogram
Pada pemeriksaan EKG mirip dengan VSD
a. Normal EKG atau LVH pada PDA yang kecil sampai sedang
b. BVH pada PDA yang besar
c. Bila terdapat bendungan paru, dapat ditemukan RVH.
X-foto polos
a. Dapat normal pada PDA yang kecil
b. Kardiomegali pada PDA yang sedang sampai besar, pembesaran atrium kiri,
ventikel kiri, dan aorta asenden.
c. Peningkatan vaskularisasi paru
d. Jika disertai penyakit vascular pumonal obstruktif maka ukuran jantung bisa
normal, dengan ditandi segmen arteri pulmonal dan pembuluh darah hilus
yang prominen.
Ekokardiografi
a. Ukuran PDA dapat ditentukan lewat two-dimensional echo pada pandangan
highs parasternal view atau suprasternal notch view.
b. pemeriksaan Doppler pada proksimal dari duktus sangat penting untuk
diagnosis
c. pemeriksaan dimensi vertikel kiri dan kanan dapat menjadi prdiktor tentang
keberadaan shut, semakin besar dilatasinya semakin besar pula shuntnya.
173
Kateterisasi Jantung
a. paling akurat untuk mengevaluasi fisiologi dan anatomis dari PDA
b. Biasanya dikerjakan pada pasien-pasien yang sudah mengalami
Eisenmenger’s syndrome
c. dapat secara langsung mengukur tekanan pulmonal dan gradien tekanan
pada duktus
DIAGNOSIS BANDING
a. Coronary arteriovenous fistula
b. Systemic arteriovenous fistula
c. pulmonary arteriovenous fistula
d. venous hum
e. Colletarals in COA
f. VSD with AR
g. Absensce of the purmonary valve
h. Perseistent truncus arteriosus
i. Aortopumonary spetal defect (aortopulmonary window)
j. peripheral PA stenosis
k. Ruputered Sinus of Valsalva Aneursym
i. Total anomalous pulmonary venous return (TAPVR) draining into the RA.
PENATALAKSANAAN TERPAI
Terapi medikamentosa
a. Indometasin tidak efektif bila diberikan pada PDA
b. Obat antikongestif seperti digoksin dan diurektik diberikan bila terdapat
CHF
c. tidak ada larangan berolahraga jika tidak ada hipertensi pumonal
d. Antibiotik priphilaksis untuk subacute bacterial endocarditis (SBE) sesuai
indikasi
174
untuk dilakukan terapi pembedahan. PDA yang kecilpun harus ditutup untuk
mencegah endokarditis.
Terapi pembedahan
Terapi pembedahan biasanya dilakukan melalui thorakotomi posterior tanpa
Cardio pulmonary By Pass (CPB). Thorakoskopi tidak dianjurkan untuk pasien
dewasa karena meningkatkan risiko terjadi rupture saat meligasi duktus, oleh
karena itu pada orang dewasa dipertimbangkan untuk melakukan ligasi melalui
sternotomi median dengan CPB. Pada saat fase pendinginan, cabang dari arteri
pulmonaris diidentifikasi dan diikat untuk mencegah steal syndrome dari aorta
desenden. Duktus dipreparasi melalui insisi pada PA, dan ditutup melalui insisi
PA dengan jahitan mataras horizontal.
Pasien dengan Eisenmenger’s syndrome dapat merupakan kandidat untuk
transplantasi paru dengan penutupan PDA.
TINDAK LANJUT
Perawatan poliklinis
Setelah PDA ditutup, tidak ada pembatasan dan perawatan khusus.
Direkomendasikan antibiotik profilaksis saat ada risiko terjadi bakterimia 6-12
bulan sesudah penutupan, bila akan dilakukan suatu tindakan pada penderita baik
pemasangan keteter atau pembedahan.
175
DAFTAR PUSTAKA
1. Neish SR, Patent Duktus Arteriosus, emedicine July 2006, available at :
http://www.emedicine.com.
2. Park M, Patent Duktus Arteriousus in pediatric cardiology for practitioners
5th ed. 2008.
176
PNEUMOTHORAKS
BATASAN
Adalah ada udara rongga pleura
PATOFISIOLOGI
Dapat terjadi pada kasus trauma maupun spontan. Pada kasus trauma
diakibatkan oleh trauma tumpul, trauma tembus, maupun trauma pada
trakeobronkial. Pada kasus spoantan sering diakibatkan oleh bleb akibat penyakit
obstruktif paru menahun (PPOM), tuberculosis, sarkoidosis, fibrosis kistik dan
keganasan. Pneumothoraks iatrogenic dapat terjadi akibat intervensi medik seperti
prosedur biopsy throask, insersi kateter vena sentral, ventilasi mekanik tekanan
positif, mediastinostomi dan pencabutan selang dada defisiensi surfactant.
Udara dapat masuk ke dalam kavum pleura dan mengakibatkan perubahan
tekanan dalam pleura yang semula menjadi lebih positif atau sama dengan tekanan
atsmofir udara luar, sehingga paru tidak dapat mengembang dan terjadi kolops
dari jaringan paru. Gangguan ventilasi perfusi terjadi karena darah menuju paru
yang kolaps tidak mengalami ventilasi sehingga tidak terjadi osigensasi (perfusi
tanpa ventilasi atau shunting)
Kebocoran yang berasal dari paru-paru atau dinding dada masuk ke dalam
rongga pleura :
1. Tension Penumothorax
Udara dari luar masuk ke dalam rongga pleura dan tidak dapat ke luar lagi
(one way valve / ventile) sehingga tekanan di intraplura meninggi, paru-paru
menjadi kolaps, mediastinum terdorong ke sisi berlawanan dan menghambat
pengembalian darah vena ke jantung (venous return), serta akan menekan
par kontralateral.
177
3. Open pneumothoraks
Diakibatkan oleh defek atau bocor yang besar pada dinding dada. Tekanan
di rongga pleura akan segera menjadi sama dengan tekanan atsmofis. Jika
defek pada dinding dada diameternya mendekati 2/3 diameter trakea maka
udara akan cenderung mengalir mallui defek karena memili tahanan yang
kurang atau lebih kecil dibandingkan trakea.
GEJALA KLINIS
- Sesak nafas,
- Gerakan hemitrhoraks berkurang (menurun)
- Perkusi hiper sonor,
- Suara nafas berkurang (menurun),
- Foto polos thoraks ada bayangan udara bebas pada hemithoraks yang
bersangkutan dan paru tampak kolaps
- Sucking wound pada pneumothoraks terbuka.
Penyulit
- Empisema subkutis
- Pneumonia
- Shunting
- Atelektasis
- Pneumothorak spontan berulang (akibat bleb).
178
didalamnya), paru ipsilateral kolaps, dan bilahebat maka gambaran jantung
terdorong ke kontralateral).
Pada kasus tension pneumothoraks, penegakan diagnosis dilakukan hanya
berdasarkan gejala klinis dan tidak dibenarkan melakukan pemeriksaan radiologis
(foto X polos thoraks) karna merupakan kegawatan yang mengancam jiwa dan
harus segera dilakukan tindakan needle thoracocentesis pada ICS 2 mid-
clavicular line dengan tujuan dekompresi (mekanisme contra-ventile) segera dan
sekaligus memastikan suatu pneumothoraks (sambung jarum dengan spuit yang
terbuka dan berisi air steril/larutan fisiologis, timbul gelembung udara).
Selanjutnya dilakukan pemasangan pipa dada dengan continuous suction atau
WSD (water sealed drainage) pada ICS 6-7 anterior axillar line.
Pada pneumothoraks spontan perlu pemeriksaan laboratorium yaitu darah
lengkap, BTA sputum untuk mencari underlying disease
PENATALAKSANA TERAPI
- jarum ukuran besar (kontra ventil) dilanjutkan dengan pipa drainase (WSD)
untuk kasus tension pneumothorax
- punksi udara kavum pleura bila paru yang kolaps minimal <30%. Dilakukan
observasi dulu ada …… kalau perlu pasang ………….
- Pipa thorakostomi dengan continous suction bila paru kolaps > 30%
- Bila pneumothoraks terbuka, penanganan sementara dengan kasa/plastic
wrap yang di plester 3 sisi, dilanjutkan dengan debrideman dan penutupan
luka/dijahit dan pasang pipa thoraks.
- Thorakotomi, bila paru yang kolaps persisten atau terdapat fistel
bronkhopleural.
DAFTAR PUSTAKA
1. Wilson, CW. Grande, C. cardiothoracic trauma in trauma critical cae vol. 1
2007;25(10):469-4888.
2. sellke, FW. Pedro, J.N. swanson, S. thoracic trauma in sabiston & spencer’s
surgery of the chest 7th ed, 2005; 117(24):117-134.
3. American college of surgeons committee on trauma. Advance trauma live
support for doctors, 1997;4:113-164.
4. tin bedah thoraks kardiovaskular. Standart penanganan penderita bedah
thoraks kardiovaskular. 2005;2:3-4
179
TETRALOGY OF FALLOT
BATASAN
Tetralogi of fallot adalah suatu kelainan jantung yang terjadi pada saat lahir
yang di tandai kobinasi empat kelainan jantung, yaitu:
1. overriding oarta pada sekat ventrikel
2. stenosis pulmonal : penyempitan katup pulmonal dan atau saluran ke luar
aliran daah dari ventrikel kanan ke arteri pulmonalis.
3. defek septum ventrikel : lubang pada dinding pemisah antara ventrikel kiri
dan kanan
4. hipertrofi ventrikel kanan : penebalan dinding venrikel yang terjadi karna
tekanan ventrikel kanan meningkat.
PATOFISIOLOGI
Tetralogi of fallot digolongkan sebagai kelainan jantung sianotik yang di
sebabkan darah dengan oksigenasi yang tidak adekuat beredar keseluruh tubuh.
Pada tetralogi of fallot, aliran darah yang meniju ke paru berkurang oleh karna
stenosis pulmonal. Defek dari ventrikel yang besar, aliran darah mengalir dari
ventrikel kanan ke ventrikel kiri. Darah yan gkuran goksigen sebagian mengalir
ke ventrikel kiri, diteruskan oleh aorta ke seluruh tubuh. Hal ini menyebabkan
penurunan saturasi oksigen arterial sehingga bayi tampak sianotik sehingga bibir
tampak sianotik sehingga bibir tampak biru. Akibat penurunan aliran darah yang
mendadak keparu, bayi dapat menjadi sangat biru, kejang atau bahkan meninggal,
biasa disebut sebagai cyanotic spell.
GEJALA KLINIS
- sianosis
- jari tubuh (clubbing finger)
- sesak saat beraktivitas
Penyulit
- cyanotic spell
- abses otak
- endocarditis
- dekompensasi jantung
PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS
Tetralogi of fallot dapat ditegakkan dengan pemeriksaan :
1. fisik
- sianosis : terlihat pada kulit dan mukosa
- jari tubuh akibat hipoksia pada jaringan yang lama
180
- bising sistolik, dari VSD dan stenosis pulmonalis
2. laboratorium
- Hb > 17g%
- Hct > 50%
- Trombositopenia
3.EKG
- Terdapat gambaran hipertrofi ventrikel kanan dengan deviasi aksis ke kanan
4. foto X thoraks
- couer en sabot (jantung seperti sepatu boot) akibat apeks jantung terangkat
akibat hipertrofi ventrikel kanan dan segmen arteri pulmonalis hilang
- corak pembuluh darah paru menurun
- pembesaran atrium kanan
- arkus aorta di kanan
5. ekokardiografi
- merupakan pencitraan yang diperlukan untuk penegakan diagnosis dan
mencari kelainan lain yang berhubungan
6. kateterisasi jantung
- diperlukan untuk menilai ukuran dan distribusi arteri pulmonal serta untuk
menjelaskan bentuk arteri koroner
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dengan kelainan congenital jantung sianosis :
- transposition great arteries
- total anomaly pulmonary venous return
- atresia tricuspid
- tetralogy of fallot dengan atresia pulmonary
- tetralogy of fallot dengan absent pulmonfaary valve
- pulmonary atresia dengan septum ventrikel intak
- eibstein`s anomaly
- persistent truncus arteriosus
- single ventricle
- double-outlet right ventricle
181
PENATALAKSANA TERAPI
Medis
- terapi cyanotic spell
. posisi squatting (jongkok/ knee to chest position) untuk meningkatkan
saturasi oksigen arteri dan membendung desaturasi darah ekstremitas inferior
. propanolol p.o 0.5-1.5mg/k.g. BB setiap 6jam sehari
- perhatikan hygiene oral dan antibiotic profolaksis untuk mencegah terjadi
SBE
- terapi anemia kurang besi
- cegah cerebrovaskular accident
Pembedahan
1. bedah paliatif
bertujuan untuk :
- meningkatkan aliran darah ke paru
- meningkatkan diameter arteri pulmonalis
- membuka corakan darah paru perifer
- melatih pompa ventrikel kiri
prosedur pembedahan :
a. blalock-taussig shunt (membuat hubungan antara a. subklavia dan a.
pulmonalis)
. klasik : dengan memotong arteri subklavia kemudian
menghubungkannya ke arteri pulmonalis
. modifikasi : dengan menggunakan bahan prostetik
b. potts shunt
anastomosis aorta asenden dengan arteri pulmonalis kanan
c. waterson shunt
anastomosis aorta asenden dengan arteri pulmonalis kanan
2. bedah koreksi total
tujuannya :
a. menutup defek sekat ventrikel
b. memperbaiki stenosis arteri pulmonal
182
TINDAK LANJUT
1. tindak lanjut jangka panjang direkomendasikan dengan pemeriksaan rutin
setiap 6-12bulan, khususnya pasien dengan residual VSD shunt, obstruksi
residual dari RVOT, obstruksi residual PA, aritmia, atau gangguan system
konduksi
2. regurgitasi katub pulmonal mungkin akan memerlukan insersi katub
pulmonal homograft dikemudian hari
3. beberapa anak dapat terjadi aritmia, takikardi ventrikel, sudden death. Pace
maker diperlukan bila terjadi complete heart block
4. pembatasan aktivitas berat dapat bermanfaat
DAFTAR BUKU
1. spektor M, tetralogy of fallot, emedicine maret 2006, available at:
http://www.emedicine.com
2. Bhimji S, tetralogy of fallot, emedicine mei 2008, availab;e at: http://
www.emedicine.com
3. park M, tetralogy of fallot in pediatric cardiology for practitioners 5th ed.
2008.
TRAUMA ARTERI
BATASAN
Trauma arteri adalah trauma pada pembuluh darah arteri yang bisa disebabkan
oleh trauma tembus atau trauma tumpul terhadap ekstremitas yang jika tidak
diketahui dan tidak dilakukan tindakan sedini mungkin akan mengakibatkan
hilang atau matinya ekstremitas tersebut atau bahkan bisa menyebabkan kematian
bagi pasien
PREVALENSI
Prevalensi terjadi trauma pada pembuluh darah pada ekstremitas atas adalah 30-
50% dari semua trauma pada pembuluh darah perifer dan 80% diantaranya adalah
trauma tembus. Trauma pada arteri brakialis adalah yang paling sering dilaporkan.
Angka kejadian adalah 15-30% dari semua trauma pada arteri perifer. Lokasi lain
adalah arteri aksilaris (5-10%),arteri radialis dan ulnaris (5-30%),sedangkan pada
183
ekstremitas bawah angka kejadiannya adalah 2/3 dari semua kasus trauma pada
pembuluh darah dengan penyebab tersering adalah trauma tembus (70-90%)
ETIOLOGI
Penyebab paling sering trauma pada pembuluh darah ekstremitas adalah luka
tembak (70-80%), luka tusuk (5-10%), luka akibat pecahan kaca. Selain itu
trauma pada pembuluh darah disebabkan oleh trauma tumpul seperti pada korban
kecelakaan atau seorang atlet yang cedera jarang (5-10%). Penyebab iatrogenic
sekitar 10% dari semua kasus yang diakibatkan oleh prosedur endovaskuler
seperti kateterisasi jantung.
Trauma tajam
Derajat 1 adalah robekan adventisia dan media, tanpa menembus tunka intima.
Derajat 11 adalah robekan parsial sehingga tunika intima arteri juga terluka dan
biasanya menyebabkan perdarahan hebat karna tidak mungkin terjadi retraksi.
Derajat 111 pembuluh darah putus total.
Trauma tumpul
Derajat 1 adalah robekan tunika intima yang luas. Pada derajat 11, terjadi
robekan tunika intima dan tunika media disertai hematoma dan trombosis dinding
arteri. Derajat 111 merupakan kerusakan seluruh tebal dinding arteri diikuti
dengan tergulungnya tunika intima dan media kedalam lumen serta pembentukan
thrombus pada tunika adventisia yan gutuh.
Trauma iatrogenic
Tindakan diagnosis maupun penanganan kedokteran dapat menimbulkan
trauma arteri derajat 1, baik berupa trauma tumpul yang merobek intima, atau
trauma tajam yang merobek sebagian dinding. Penyebab tersering adalah pungsi
arteri untuk pemeriksaan darah, dialysis darah, atau penggunaan kateter arteri
untuk diagnosis atau pengobatan.
Trauma luka tembak
Luka tembak umumnya melibatkan arteri besar. Trauma ini dapat ditolong
dengan rekonstruksi arteri. Pertolongan pertama selalu berupa bebat tekan tanpa
turnuket di daerah perlukan arteri
Pada ekstremitas atas, area yang patut dicermati dan menjadi lokasi yang
berisiko tinggi adalah aksila, bagian medial dan anterior lengan atas, fosa
antekubiti, tempat lokasi arteri aksilaris dan brakialis terletak superficial,
sedangkan pada ekstremitas bawah, area yang patut dicermati adalah anterior
ligamentum inguinalis, inferior dari lipatan gluteus, dan fossa poplitea.
184
Trauma pada arteri radialis atau ulnaris dapat dilakukan tindakan ligasi saja
asalkan arkus palmaris intak dan tidak ada trauma pada kedua arteri tersebut
sebelumnya.
GEJALA KLINIS
Anamnesis yang cermat dan pemeriksaan yang teliti terhadap tanda-tanda
trauma pada pembuluh darah adalah langkah pertama dan yang terpenting dalam
menegakan diagnosis. Pada anamnesis perlu ditanyakan mekanisme kejadian,
waktu kejadian dan lamanya sampai datang ke tempat pertolongan oleh karna
iskemia dengan temperature suhu tubuh selama 6jam menyebabkan terjadi
gangguan fungsi saraf yang irreversible dam kerusakan otot pada 10% pasien .
perlu ditanyakan juga pernahkah mengalami traumaarteri sebelumnya, dan
riwayat penggunaan obat-obat yang mengganggu fungsi koagulasi.
Tanda pasti (hard sign) trauma vascular meliputi perdarahan yang sifatnya
pulsatil, hematoma yang meluas, thill atau bruit, dan tanda-tanda terjadi iskemia
(pallor, paresthesia, paralysis, pain, pulselesness, dan poikilothermia). Jika di
temukan tanda pasti tersebut maka segera dilakukan tindakan bedah eksplorasi
dan repair.
Tanda pasti (hard sign) meliputi hematoma yang kecil dan tetap tidak
bertambah ukuran, gangguan pada saraf tepi akibat cedera langsung pada system
saraf (neuropati iskemik terjadi pada fase lanjut beberapa jam kemudian dan
bukan pada fase akut), hipotensi atau syok, atau ada cedera yang bersamaan
seperti fraktur atau dislokasi, ada cedera pada lokasi di tempat terdapat pembuluh
darah yang melintasi. Pulsasi arteri radialis teraba tidak menyingkirkan diagnosis
trauma arteri pada bagian proksimalnya oleh karna banyaknya kolateral pada
daerah bahu dan siku dengan pembuluh darah pada lengan.
185
trauma pada arteri. Johanses dkk mengungkapkan bahwa API<0.90 memiliki
95%sensitivitas dan 97% spesifitas terhadap penegakan diagnosis trauma pada
arteri. API > 0.90 memiliki angka nilai ramal negative sebesar 99%
Pemeriksaan ankle-brachial indexiekivalen (ABI) dengan arterial pressure
index dan digunakan jika didapatkan trauma multiple pada ekstremitas. Angka
ABI didapatkan dengan membagi nilai systole dari dorsalis pedis atau arteri
tibialis posterior dengan arteri brakialis ipsilateral.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan non-invasif adalah dengan menggunakan duplex sonography.
Keistimewaan alat ini adalah portable, cepat,murah, dn akurat. Selain itu alat ini
juga bisa digunakan untuk mendiagnosis cedera pada pembuluh vena. Fry dkk
melaporkan bahwa Doppler ultrasonography memiliki sensitivitas 100% dan
spesifisitas 97% untuk menegakkan diagnosis trauma pada pembuluh darah besar.
Kekurangan alat ini adalah perlu keahlian dari operator, alat tidak bisa pada luka
yang terbuka, tidak bisa dilakukan pada hematoma yang sangat luas, tidak bisa
menjangkau arteri subklavia, profunsa femoris, dan arteri brakialis profunda.
Pemeriksaan arteriografi merupakan standar untuk evaluasi pada kasus trauma
arteri , tetapi pemeriksaan ini memiliki kerugian biaya yang mahal, butuh waktu
yang cukup lama untuk mempersiapkan pemeriksaan tersebut, dibutuhkan
pemeriksaan fungsi ginjal oleh karna pemeriksaan tersebut menggunakan kontras.
Pemeriksaan non invasif yang lain adalah multidector helical CT angiography
yang memberikan pencitraan dengan resolusi tinggi terhadap vascular, tulang, dan
jaringan lunak dibandingkan dengan arteriogram konvensional. Selain itu biaya
lebih murah, tidak memerlukan kontras. Pemeriksaan ini ditubjukan pada kasus-
kasus yang tidak ada indikasi untuk dilakukan tindakan operatif segera.
DIAGNOSIS BANDING
Beberapa penyakit yeng perlu dipertimbangkan adalah penyakit emboli atau
thrombotic vaso-occlusive disease serta vasospasm.
PENATALAKSANAAN TERAPI
Terapi medikamentosa
Terapi medikamentosa pada trauma arteri dengan gambaran arteriogram yan
gpositif, non oklusif dan asimptomatik masih controversial.
186
Terapi surgical
Tindakan pertama untuk menangani trauma pada pembuluh darah (arteri)
adalah melakukan tekanan langsung pada sumber perdarahan. Melakukan torniket
pada proksimal dari luka yang berdarah akan mencederai saraf tepi, selain itu juga
tidak efektif untuk control pendarahan. Tidak dibenarkan melakukan klem pada
struktur vascular karna akan menyebakan kesulitan pada saat dilakikan repair
definitive, selain itu juga akan menyebabkan kerusakan jaringan sekitar. Jika pada
pasien didapatkan fraktur ataudislokasi maka sebelum dilakukan pemeriksaan
terhadap pembuluh darah, harus dilakukan reposisi terlebih dahulu.
Tipe repair dari pembuluh darah tergantung dari seberapa luas dan parah
kerusakan arteri. Repair primer dengan end to end anastomose dengan jahitan
continous atau interrupted menggunakan benang monofilament nonabsorbable,
ukuran benang tergantung dari diameter dari arteri yang terluka. Jika gap arteri
cukup besar, maka diperlukan rekonstruksi interposition graft yang diambil dari
vena safena magna atau vena sefalika. Meskipun polytetrafluorothylene (PTFE)
graft dapat digunakan pada kasus trauma, tetapi penggunaannya perlu dihindari
sebisa mungkin karna meningkatkan resiko terjadinya infeksi dan menyebabkan
gangguan patensi akibat trombosis terutama pada pembuluh darah yang kecil.
Trauma vasklar.
Apabila terjadi trauma pada a.v. (mis. Femorlis)
- sebelum disambung / anastomosis, dilakukan ‘flushing` dengan cairan
ringer lactate (RL) dicampur dengan larutan natrium bicarbonat1,44 meg,
gentamycin 1gr, heparin 5000 IU. Disemprotkan lewat system arteri
sampai keluar sisi vena sampai warna cairan yang keluar sama dengan
cairan yang masuk artinya tidak ada sisa thrombus lagi dalam lumen arteri
maupun vena. Setelah itu dilakukan anastomosis mulai dengan arteri
dahulu dilanjutkan system vena, hal ini untuk mengurangi ischemitime.
Perawatan post operasi
Selama prosedur dilakukan pemberian heparin intravena untuk mencegah
terjadi pembekuan darah akibat klem arteri sementara. Pemberian heparin 5000IU
secara tunggal diberikan selama operasi.
Penggunaan heparin pasca oprasi tidak rutin dilakukan, selain tidak ,memberikan
keuntungan terhadap perbaika, juga akan menyebabkan timbul komplikasi
perdarahan. Penggunaan low molecular weight dextran memberikan hasil yang
baik terhadap penyembuhan reparasi pembuluh darah vena. Pemberian aspirin
atau antiplatelet lain juga diperlukan sesaat setelah operasi selesai.
187
Komplikasi
- oklusi dan perdarahan dari trombosis sering menjadi komplikasi dini setelah
operasi dan ini membutuhkan reoperasi segera.
- Sindrom kompartemen
Hal ini perlu diwaspadai setelah repair vascular. Sindom kompartemen
disebabkan oleh peningkatan tekanan pada fasia kompartemen yang disebabkan
oleh iskemia otot dan sel saraf. Gejala kompartemen yang bisa diwaspadai adalah
nyeri yang sangat dan bertambah dengan gerakan pasif serta ada tanda-tanda
paralysis, parestesia, pucat, bengkak, dan penurunan sensasi sensorik. Jika terjadi
sindrom kompartemen maka perlu dilakukan fasiotomi. Pada ekstremitas atas
terdapat 3 tempat yang memiliki kompartemen yakni lengan atas memiliki
kompartemen anterior dan posterior, lengan bawah 3 kompartemen yaitu volar,
dorsal, dan kumpulan tendon. Sedangkan pada tangan terdapat 4 kompartemen
yakni sentral, tenar, hipotenar, dan kompartemen interossei.
. cedera pada saraf yang bisa berakibat kelumpuhan motorik atau gangguan
sensasi
. nekrosis jaringan akibat vascular compromise dalam waktu yang lama.
. infeksi
. komplikasi lanjut adalah terjadi fistula arteri vena dan pseudoaneurisma.
TINDAK LANJUT
Pada pasien dilakukan perawatan tiap 2 minggu sekali untuk melihat kondisi
luka, tiga bulan sekali pada satu tahun pertama untuk melihat aliran darah
ekstremitas. Setelah itu pasien bisa control tiap tahun. Perawatan pasca operasi
yang penting adalah pemantauan bagian distal dari ekstremitas yang terluka.
Pemantauan tersebut meliputi pemantauan temperature kulit hangat atau tidak,
warna merah atau tidak dan juga memeriksa capillary refill time. Dalam hal ini
yang terpenting adalah pemantauan pulsasi bagian distal ekstremitas. Pulsasi ini
tidak langsung muncul sesaat setelah operasi diakibatkan karna masih ada reflek
spasme dari pembuluh darah. Selain itu juga dipantau jahitan setelah operasi
timbul perdarahan yang menyebabkan hematom atau tidak, terjadi infeksi atau
tidak.
188
DAFTAR PUSTAKA
1. Dennis JW, frykberg ER, crump JM. New perspectives on the
management of penetrating trauma in proximity to major limb
arteries. J Vasc Surg. Jan 1990;11(1):84-92;discussion 92-
3.[medline]
2. espinosa GA, chiu JC, samett EJ. Clinical assessment and
arteriography for patients with penetrating extremity injuries:a
review of 500 cases with the veterans affairs west side medical
center. Mil med. Jan 1997;162(1):19-23.[medline]
3. hafez HM, Woolgar J.Robbs JV.;ower extremity arterial
injury:results of 550 cases and review of risk factors
associatedwith limb loss. J vasc surg. Jun 2001;33(6):1212-9.
[medline]
4. durham JR, yao JS, pearce WH. Arterial injuries in the thoracic
outlet syndrome. J vasc surg. Jan 1995;21(1):57-69; discussion 70.
[medline]
5. eskandari MK, yao JST. Omlupational vascular problems. In:
Rutherford RB, ed. Vascular surgery, 6th ed. Philadelphia, pa:. WB
saunders ; 2005, in press.
6. kaar G, broe PJ, bouchier-hayes DJ. Upper limb emboli. A review
of 55 patients managed surgically. J cardiovasc surg(torino). Mar-
apr 1989;30(2):165-8.[medline]
7. Mmlroskey BL, moore EE, pearce WH. Traumatic injuries of the
brachial artery. Am j surg. Dec 1988;156(6):553-5. [medline]
189
VARISES TUNGKAI
BATASAN
Varises tungkai adalah penyakit yang terjadi pada pembuluh darah (vena)
perifer yang memiliki gambaran vena yang melebar dan memanjang serta
berkelok-kelok disrtai gangguan sirkulasi darah didalamnya. Gangguan sirkulasi
darah yang terjadi merupakan hambatan aliran darah vena kembali ke proksimal
sehingga darah mencoba menembus katub-katub dari system komunikans yang
kemudian oleh penderita dikeluhkan sebagai rasa pegal, linu atau lekas lelah
setelah melakukan aktivitas dengan tungkainya seperti berdiri dan berjalan lama.
Bentukan varises yang berupa pelebaran dan pemanjangan vena yang berkelok-
kelok juga di keluhkan penderita dari segi kosmetik. Hal ini merupakan suatu
disabilitas dan menurunkan kualitas hidup.
PATOGENESIS
1. kelemahan primer yang progresif dari katub-katub komunikans, yang
menyebabkan cepat terjadi proses mata rantai tersebut.
2. varises kehamilan, yang dikatakan karna produksi progesteron menghambat
aktomiosin pada dinding vena, hingga daya kontraktilitasnya berkurang.
Hal ini secara primer menyebabkan tonus dindingvena berkurang secara
progresif.
3. kelainan biokimia dari dinding vena safena magna (truncal vein) terdapat
kekurangan kolagen, elastin dan heksosamin yang belum diketahui secara
pasti mekanismenya.
4. terdapat hubungan arterio- venosus yang congenital pada system vena ini.
Sedangkan factor risiko timbulnya varises tungkai antara lain :
- hubungan keluarga
- obesitas
- pekerjaan berdiri lama
- hormonal (menopause)
- kehamilan, obat kontrasepsi.
190
GEJALA KLINIS
Manifestasi klinis penderita varises tungkai adalah ada gambaran vena yang
melebar dan memanjang serta berkelok pada tungkai. Kemudian ada gangguan
sirkulasi darah yang terjadi memberikan keluhan berupa rasa pegal, linu atau lekas
lelah setelah melakukan aktivitas dengan tungkainya seperti berdiri dan berjalan
lama.
Penyulit
- ulkus
- infeksi
-
PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS
Diagnosis varises tungkai di tegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan klinis
(anamnesis dan pemeriksaan fisik) serta pemeriksaan penunjang (plebografi dan
venous plathysmography) sesuai pedoman dan criteria yang telah ditetapkan yaitu:
- stadium 1 : keluhan pegal dan lekas lelah
- stadium 11 : terdapat venaektasia
- stadium 111 : varises yang massif
- stadium 1V : ulkus/ kelainan trofik
pembagian berdasarkan anatomis yaitu ;
- varises trunkul (trunk varicosis, stamn varicosis bila vena yang terkena
adalah vena utama :
a. vena safena magna termasuk seluruh jalurnya
b. vena safena parva.
- varises retikularis : bila yang terkena adalah cabang-cabang dari vena
safena, umumnya kecil dan berkelok-kelok hebat, lokasinya subkutan.
- Varises kapilaris : bila yang terkena adalah vena kapiler subkutan. Tampak
sebagai kelompok serabut halus dari pembuluh darah.
-
DIAGNOSIS BANDING
- Teleangiektasis
TERAPI
Terapi medika mentosa
1. analgesic untuk mengontrol nyeri. Rasa nyeri pada penderita varises tungkai
yang dirasakan sebagai pegal dan linu perlu diatasi dengan analgesic
191
2. sediaan plebotonik diberikan untuk memberikan efek protektif terhadap
resintensi kapiler dn menunjang hemodinamik system vena. Salah satu
sediaan in adalah hidrosmil.
Terapi non operatif
Skleroteapi yaitu pemberian injeksi bahan sklerotik ke dalam varises derajat 2
sehingga pembuluh darah tersebut mengerut dan dalam beberapa minggu akan
menghilang. Contoh sediaan ini adalah sodium polidokanol 3%
Terapi operatif
1. stripping varises. Pada pembedahan ini dimasukkan alat beranama stripper
kedalam varises tungkai yang kemudian dilakukan ekstraksi varises
bersama strippernya.
2. ligasi vena-vena komunikans sehingga diharapkan vena tersebut tidak terisi
darah dan kemudian menyempit dan menghilang
3. ekstraksi multiple dari vena retikuler (babcock). Dilakukan ekstraksi vena-
vena yang mengalami pelebaran.
4. eksisi ulkus dan skin grafting bila terjadi ulkus dan diperlukan penutupan
efek yang luas.
Terapi terkini
1. laser surgeries. Diberikan laser pada pembuluh darah yang mengalami
varises dengan akibat terjadi sklerotik pada varises dan kemudian
menghilang.
2. endoscopic vein surgery. Dilakukan insisi kecil untuk memasukan kamera
kecil dan dengan bantuan kamera tersebut dilakukan pengangkatan varises
tungkai.
Terapi alat Bantu
1. digunakan stocking khusus dengan tekanan 30-40 mmHg yang membantu
memperkuat dinding pembuluh darah sehingga sirkulasi vena menjadi
lebih baik
2. menggunakan sepatu dengan hak tinggi sehingga diharapkan sudut drainase
vena menjadi lebih baik dan tidak terjadi bendungan vena yang
menyebabkan varises.
Modifikasi gaya hidup
Berusaha mengontrol factor risiko yang mengakibatkan varises tungkai
1. menghindari obat-obat yang bersifat hormonal atau tidak menggunakan obat
KB yang bersifat hormonal seperti pil
192
2. menurutkan berat badan bila terdapat tanda-tanda obesitas. Hal ini agar arus
balik pembuluh darah ke jantung tidak terlalu berat.
3. menghindari aktivitas yang berisiko seperti berdiri dan berjalan terlalu lama.
DAFTAR PUSTAKA
1. weiss R A, weiss M A, Doppler ultrasound findings in reticular veins of the
thigh subdermic lateral venous system and implications for sclerotherapy,
journal of derm surg onc, vol 19 no 10 (oct 1993) p947-951
2. goldman M. sclerotherapy, treatment of varicose and telangiectatic leg veins.
Hardcover text, 2nd ed, 1995
3. Ng M, Andrew T, spector T, Jeffery S (2005). “Linkage to the FOXC2 region
of chromosome 16 for varicose veins in otherwise healthy, unselected sibling
pairs”. J med genet 42(3): 235-9. doi: 10.1136/jmg.2004.024075. PMID
15744037
4. BMJ 2006;333:287-292 (5 august ), varicose veins and their management,
bruce Campbell (subscription)
5. curri SB et al. changes of cutaneous microcirculation from elasto-
compression in chronic venous insufficiency. In davy A and stemmer R,
editors:phlebology ’89, montrouge, france, 1989, john libbey eurotext.
6. new dietary ingredients in dietary supplement, U.S. food and drug
administration center for food safety and applied nutrition office of nutritional
products, labeling, and dietary supplements February 2001 (updated
September 10,2001)[31],memorandum[4]
7. open surgery is still the best technique to ablate the great saphenous vein”,
vascular, vol. 14(Nov. 2006), suppl. 1, p. S. 25
8. systematic review of foam sclerotherapy for varicose veins. Jia X, mowatt G,
burr JM, Cassar K, cool J, fraser C.Br J surg. 2007 aug; 94(8):925-36
193
VENTRICLE SEPTAL DEFECT (VSD)
BATASAN
Ventricle septal defect (VSD) adalah penyakit jantung bawaan berupa lubang
pada septum interventrikular yang terjadi akibat kegagalan fusi septum
interventrikular semasa janin. VSD dapat merupakan kelainan jantung bawaan
primer atau disertai dengan kelainan jantung bawaan lainnya.
PATOFISIOLOGI
Berdasarkan lokasi defek, VSD diklasifikasikan dalam 3 tipe yaitu : (1)
perimembranus, bila defek terletak didaerah septum membranus dan sekitarnya,
(2) subarterial doubly committed, bila efek terletak di daerah septum
infundibuler, dan (3) muskuler, bila defek terletak di daerah septum muskuler
(inlet, outlet dan trabecular)
Defek pada septum interventrikel menyebabkan ada hubungan antara
sirkulasi sistemik dengan sirkulasi pulmonal, akibatnya aliran darah akan
mengalir dari ruang yang bertekanan rendah(ventrikel kanan), sehingga terjadi
left to right shunt.
Left to right shunt pada tingkat ventrikel mengakibatkan 3 konsekwensi
hemodinamik, terjadi peningkatan beban volume entrikel kiri, aliran darah
pulmonal yang berlebihan dan curah jantung yang menurun.
Peningkatan tekanan pembuluh pulmonal akan menyebabkan hipertensi
pulmonal yang diikuti peningkatan tekanan pada ventrikel kanan. Bila hal ini
berlangsung terus maka pada suatu saat akan terjadi, bahwa peningkatan tekanan
ventrikel kanan sama besarnya dengan tekanan pada venrikel kiri dan dapat terus
berkembang hingga tekanan ventrikel kanan lebih besar dari ventrikel kiri,
akibatnya shunt berubah arah menjadi right to left shunt. Kondisi ini menjadi
irreversible sehingga operasi penutupan defek merupakan kontra indikasi.
GEJALA KLINIS
. keluhan : infeksi saluran napas berulang, gagal jantung kongestif (terutama pada
VSD besar), sesak napas, sulit menyusu dan gagal tumbuh kembang.
. pemeriksaan fisik :
- takipneu
194
- aktivitas ventrikel kiri meningkat
- auskultasi jantung
. bunyi jantung dua komponen pulmonal mengeras bila ada hipertensi
pulmonal
. bising pansistolik disela iga 3-4 parasternal kiri yang menyebar ke
apeks
. bising mediastolik di daerah katup mitral akibat aliran yang deras
Elektrokardiogram
. deviasi sumbu QRS kekiri
. hipertrofi ventrikel kiri
. hipertrofi pada kedua ventrikel bila sudah terjadi hipertensi pulmonal
Foto X thoraks
. kardiomegali akibat pembesaran ventrikel kiri
. penonjolan segmen pulmonal
. gambaran vaskularisasi paru yang meningkat (plethora)
. gambaran vaskularisasi paru yang berkurang di daerah tepi bila telah timbul
penyakit vascular paru akibat hipertensi pulmonal (eisenmenger syndrome)
EKOKARDIOGRAFI
Ekokardiografi M-mode
. dilatasi atrium kiri
. dilatasi ventrikel kiri
Ekokardiografi
. tipe perimembranus pada parasternal long axis view atau short axis view dan
apical view dekat katup tricuspid atau dibawah katup aorta
195
. tipe muscular pada parasternal long axis view dan apical view didaerah septum
muskuler atau pada parasternal short axis view antara katup tricuspid dan katup
pulmonal.
Tipe subarterial doubly commutitted pada parasternal short axis view
dibawah katup pulmonal. Katup aorta dan pulmanal sama tinggi dan
lubang VSD terletak di bawah kedua katup tersebut terlihat pada potonga
sagita subxipoid view.
Prolapas katup aorta ke dalam celah VSD dengan atau tanpa regurgitasi
katup aorta (tipe SADC atau perimembranus yang kecil)
Hipertrofi infundibulum vertikel kanan
Penyulit :
Bila tidak dioperasi :
Gagal jantung kongestif (VCD besar)
Sindroma Eisenmenger (hipertensi pulmonal disertai penyakit vaskular
paru)
196
Prolaps katup aorta, aorta regurgitasi
Endokarditis
PENATALAKSANAAN TERAPI
PA banding (menjerat arteri pulmonal) dilakukan pada bayi dengan VSD
mulipel atau bayi dengan berat badan yang belum mengijinkan untuk
tindakan operasi jantung terbuka (minimal 3 kg)
Penutupan lubang VSD (VSD closure) secepatnya jika tidak ada
kontraindiksi (flow ratio ≥ 1.5)
TINDAK LANJUT
1. pemeriksaan rutin harus dijadwalkan setiap 1-2 tahun
2. aktivitas tidak perlu dibatasi kecuali terdapat komplikasi pembedahan
3. Gambaran EKG menggambarkan RBBB pada 50% - 90% pasien paska
repair VSD dengan right ventriculotomy dan lebih dari 40% pasien dengan
right atrial approach.
4. meskipun jarang, pasien VSD dengan hipertensi pumonal ringan yang
dilakukan repair setelah umur 3 tahun harus di periksa untuk kemungkinan
progressive pulmonary vascular disease.
5. Pencegahan endokarditis bacterial dapat dihentikan 6 bulan setelah
pembedahan. Jika residul shunt timbul, profiklaksis endokarditis harus
dilanjutkan sesuai indikasi.
6. Pasien dengan riwayat post operasi dengan transient heart block dengan
dan tanpa terapi pacemaker memerlukan follow-up jangka panjang.
197
DAFTAR PUSTAKA
1. Horenstein S, Atrioventricular sptal defect, emidicien October 2006,
available at: http://www.emedicine.com
2. Law MA, Ventricle septal defect, emedicine October 2008, available
at:http://www.emedicine.com
3. Park M, Ventricel septal defecti in Pediatric cardiology for practitioners 5th
ed. 2008.
198