Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

KONSEP DASAR FILSAFAT

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Humaniora

Dosen Pengampu : Sugita, S.Pd, M.Pd

Oleh:

1. Nur Puspa Arum (P27224019141)


2. Nurul insani (P27224019142)
3. Ratna Ayu Istiani (P27224019143)
4. Regita Herdiawanti (P27224019144)
5. Shafira Siti Nabila (P27224019145)
6. Shintia Nindi Claudia (P27224019146)
7. Sofia Sagita (P27224019147)
8. Sonia Sifa Utami (P27224019148)
9. Sri Lestari (P27224019149)

SARJANA TERAPAN KEBIDANAN ALIH JENJANG REGULER

POLTEKKES KEMENKES SURAKARTA

TAHUN 2019/2020

1
KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami ucapkan puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa.
Yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “KONSEP DASAR FILSAFAT ” tepat
pada waktu yang diberikan oleh dosen pengampuh.

Lewat bagian pengantar ini pula penulis mengucapkan terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, baik dalam
bentuk moril ataupun materil. Terima kasih.

Penulis sadar bahwa dalam penyusunan makalah ini ataupun dalam hasil jadi
makalah ini terdapat banyak sekali kekurangan, sehingga makalah inipun masih
sangat jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itulah, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang tentunya bersifat membangun. Dengan
tujuan dapat diadakannya perbaikan kepada makalah ini sehingga makalah ini
pun dapat menjadi lebih baik dan dapat berguna bagi siapapun yang
membacanya.

Terima kasih.

Klaten, Desember 2019

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i


DAFTAR ISI ...................................................................................................................... ii
BAB I.................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1
1. Latar Belakang ....................................................................................................... 1
2. Rumusan Masalah ................................................................................................. 2
3. Tujuan ....................................................................................................................... 2
4. Manfaat ..................................................................................................................... 2
BAB II ................................................................................................................................ 3
PEMBAHASAN ................................................................................................................ 3
A. Pengertian Filsafat ......................................................................................... 3
B. Objek Filsafat .................................................................................................. 5
C. Ciri khas filsafat .............................................................................................. 6
D. Ilmu Pengetahuan sebagai Sketsa Umum Pengantar untuk
Memahami Filsafat Ilmu ........................................................................................... 8
E. Fenomenologi Pengetahuan dan Ilmu Pengetahuan ............................. 11
1. Pengertian Ilmu Pengetahuan ...................................................................... 14
BAB III ............................................................................................................................. 16
PENUTUP ....................................................................................................................... 16
A. Kesimpulan .................................................................................................... 16
B. Saran ............................................................................................................... 16
Daftar pustaka ............................................................................................................... 17

ii
BAB I

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Berbincang mengenai filsafat baru mulai merebak di abad awal
20, namun france bacon dengan metode induksi yang ditampilkannya
pada abad 19 dapat dikatakan sebagai peletak dasar filsafat ilmu
khasanah dalam bidang filsafat secara umum. Pada awalnya yang
pertama muncul adalah filsafat dan ilmu-ilmu khusus yang merupakan
bagian dari filsafat ilmu. Sehingga filsafat dapat dikatakan induk dari ilmu-
ilmu lain. Akan tetapi, filsafat masih terlalu umum untuk menjadi sautu
ilmu yang merinci. Dengan itu filsafat mengalami peralihan yang membagi
ilmu secara sektoral. Seperti filsafat agama, filsafat hukum dan filsafat
ilmu.
Meskipun ilmu telah terbagi secara sektoral, bukan berarti ilmu-
ilmu lain terpisah dengan filsafat. Filsafat berusaha untuk menjadi
penghubung dari berbagai ilmu yang ada. Tugas filsafat adalah
mengatasi spesialisasi dan merumuskan suatu pandangan hidup yang
didasarkan atas pengalaman kemanusiaan yang luas.
Ada hubungan timbal balik antara ilmu dengan filsafat. Banyak
masalah filsafat yang memerlukan landasan pada pengetahuan ilmiah
apabila pembahasannya tidak ingin dikatakan dangkal dan keliru. Ilmu
dewasa ini dapat menyediakan bagi filsafat sejumlah besar bahan yang
berupa fakta-fakta yang sangat penting bagi perkembangan ide-ide
filsafati yang tepat sehingga sejalan dengan pengetahuan ilmiah
(Siswomihardjo, 2003).

1
2. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian filsafat?
b. Bagaimana ilmu pengetahuan sebagai sketsa umum pengantar untuk
memahami filsafat ilmu?
c. Bagaimana fenomenologi pengetahuan dan ilmu pengetahuan?

3. Tujuan
a. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Humaniora tentang Konsep
Dasar Filsafat.
b. Mempelajari sketsa umum pengantar untuk memahami filsafat ilmu.
c. Memahami fenomenologi pengetahuan dan ilmu pengetahuan.

4. Manfaat
a. Dapat mengetahui Konsep Dasar Filsafat.
b. Dapat memahami Konsep Dasar Filasafat melalui makalah ini.

2
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Filsafat
Filsafat merupakan ilmu yang sudah sangat tua. Bila kita membicarakan
filsafat maka pandangan kita akan tertuju jauh ke masa lampau di zaman
Yunani Kuno. Pada masa itu semua ilmu dinamakan filsafat. Dari Yunanilah
kata ―filsafat‖ ini berasal, yaitu dari kata ―philos‖ dan ―sophia‖. ―Philos‖
artinya cinta yang sangat mendalam, dan ―sophia‖ artinya kebijakan atau
kearifan. Istilah filsafat sering dipergunakan secara populer dalam kehidupan
sehari-hari, baik secara sadar maupun tidak sadar.
Pengertian filsafat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu
pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala
yang ada, sebab, asal, dan hukumnya. Sedangkan menurut para ahli yaitu:
1. Plato ( 428 -348 SM ) : Filsafat tidak lain dari pengetahuan tentang
segala yang ada.
2. Aristoteles ( (384 – 322 SM) : Bahwa kewajiban filsafat adalah
menyelidiki sebab dan asas segala benda. Dengan demikian filsafat
bersifat ilmu umum sekali. Tugas penyelidikan tentang sebab telah
dibagi sekarang oleh filsafat dengan ilmu.
3. Cicero ( (106 – 43 SM ) : filsafat adalah sebagai “ibu dari semua seni
“( the mother of all the arts“ ia juga mendefinisikan filsafat sebagai ars
vitae (seni kehidupan )
4. Johann Gotlich Fickte (1762-1814 ) : filsafat sebagai
Wissenschaftslehre (ilmu dari ilmu-ilmu , yakni ilmu umum, yang jadi
dasar segala ilmu. Ilmu membicarakan sesuatu bidang atau jenis
kenyataan. Filsafat memperkatakan seluruh bidang dan seluruh jenis
ilmu mencari kebenaran dari seluruh kenyataan.
5. Paul Nartorp (1854 – 1924 ) : filsafat sebagai Grunwissenschat (ilmu
dasar hendak menentukan kesatuan pengetahuan manusia dengan
menunjukan dasar akhir yang sama, yang memikul sekaliannya .
6. Imanuel Kant ( 1724 – 1804 ) : Filsafat adalah ilmu pengetahuan yange
menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang didalamnya
tercakup empat persoalan.
Apakah yang dapat kita kerjakan ? (jawabannya metafisika)

3
Apakah yang seharusnya kita kerjakan? (jawabannya Etika)

Sampai dimanakah harapan kita ?(jawabannya Agama)

Apakah yang dinamakan manusia ? (jawabannya Antropologi )

7. Notonegoro : Filsafat menelaah hal-hal yang dijadikan objeknya dari


sudut intinya yang mutlak, yang tetap tidak berubah , yang disebut
hakekat.
8. Driyakarya : filsafat sebagai perenungan yang sedalam-dalamnya
tentang sebab-sebabnya ada dan berbuat, perenungan tentang
kenyataan yang sedalam-dalamnya sampai “mengapa yang
penghabisan “.
9. Sidi Gazalba : Berfilsafat ialah mencari kebenaran dari kebenaran
untuk kebenaran , tentang segala sesuatu yang di masalahkan,
dengan berfikir radikal, sistematik dan universal.
10. Harold H. Titus (1979 ) : (1) Filsafat adalah sekumpulan sikap dan
kepecayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima
secara tidak kritis. Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran
terhadap kepercayaan dan sikap yang dijunjung tinggi; (2) Filsafat
adalah suatu usaha untuk memperoleh suatu pandangan keseluruhan;
(3) Filsafat adalah analisis logis dari bahasa dan penjelasan tentang
arti kata dan pengertian ( konsep ); Filsafat adalah kumpulan masalah
yang mendapat perhatian manusia dan yang dicirikan jawabannya oleh
para ahli filsafat.
11. Hasbullah Bakry : Ilmu Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala
sesuatu dengan mendalam mengenai Ke-Tuhanan, alam semesta dan
manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang
bagaimana sikap manusia itu sebenarnya setelah mencapai
pengetahuan itu.

4
B. Objek Filsafat
Bila kita membicarakan tentang pengetahuan yang sistematis, pasti ada
kejelasan mengenai objeknya. Objek dibedakan menjadi dua macam, yaitu
objek material dan objek formal. Setiap ilmu mempunyai objek material dan
objek formal masing-masing. Demikian pula halnya dengan filsafat. Sering
orang mengatakan bahwa salah satu perbedaan antara ilmu empiris dan
filsafat adalah karena objeknya ini. Objek material filsafat meliputi segala
sesuatu yang ada. Segala sesuatu itu adalah Tuhan, alam dan manusia.
Bandingkanlah dengan ilmu empiris dan ilmu agama. Objek ilmu empiris
hanya manusia dan alam. Ilmu empiris tidak mempermasalahkan atau
mengkaji tentang Tuhan, tetapi ilmu-ilmu agama (teologi) sebagian besar
berisi kajian tentang ketuhanan ditinjau dari perspektif dan interpretasi
manusia terhadap wahyu atau ajaran para Nabi. Ilmu filsafat mengkaji
tentang alam, manusia dan Tuhan. Sepanjang sejarah filsafat, kajian tentang
alam menempati urutan pertama, kemudian disusul kajian tentang manusia
dan Tuhan. Pada abad pertengahan di Eropa ketika filsafat menjadi abdi
teologi, banyak kajian-kajian filsafati tentang Tuhan. Setelah masuk zaman
modern, fokus kajian filsafat adalah manusia.
Objek formal (sudut pandang pendekatan) filsafat adalah dari sudut
pandang hakikatnya. Filsafat berusaha untuk membahas hakikat segala
sesuatu. Hakikat artinya kebenaran yang sesungguhnya atau yang sejati,
yang esensial, bukan yang bersifat kebetulan. Sebagai contoh dapat
dikemukakan di sini. Manusia sebagai objek kajian ilmu dan filsafat dapat
dikaji dari berbagai sudut pandang. Manusia dapat dikaji dari sudut
interaksinya dalam hidup bermasyarakat. Inilah sudut pandang sosiologi.
Manusia juga dapat ditinjau dari sisi kejiwaannya. Inilah sudut pandang
psikologi. Manusia dapat ditinjau dari perilakunya dalam memenuhi
kebutuhan hidup yang cenderung tidak terbatas dihadapkan dengan benda-
benda yang terbatas. Inilah sudut pandang ilmu ekonomi. Tetapi, manusia
dapat pula dibahas dari sudut pandang yang hakiki. Inilah sudut pandang
filsafat.
Pertanyaan mendasar adalah “Siapakah manusia itu sebenarnya?”. Ada
berbagai macam jawaban terhadap pertanyaan tersebut. Salah satu jawaban

5
yang terkenal dari Aristoteles bahwa manusia adalah animal rationale
(binatang yang berpikir).

C. Ciri khas filsafat


Filsafat cenderung mempertanyakan apa saja secara kritis.
Sebagaimana dinyatakan di atas bahwa membahas masalah manusia, alam
semesta bahkan Tuhan. Jawaban filsafat sebagaimana dicontohkan di atas
berbeda dari jawaban spontan. Perbedaannya terletak pada
pertanggungjawaban rasional jawaban filsafat. Pertanggungjawaban rasional
pada hakikatnya berarti bahwa setiap langkah harus terbuka terhadap
segala pertanyaan dan sangkalan serta harus dipertahankan secara
argumentatif, dengan argumen-argumen yang objektif, artinya yang dapat
dimengerti secara intersubjektif.
Walaupun filsafat terus mencari jawaban, tetapi jawaban yang diperoleh
tidak pernah abadi. Oleh karena itu filsafat tidak pernah selesai dan tidak
pernah sampai pada akhir sebuah masalah. Masalah-masalah filsafat adalah
masalah manusia sebagai manusia, dan karena manusia di satu pihak tetap
manusia dan di pihak lain berkembang dan berubah, maka masalah-
masalah baru filsafat sebenarnya adalah masalah-masalah lama manusia.
Perbincangan filsafat tetap menantang dan ditantang menuntut
pertanggungjawaban dan dituntut untuk mempertanggungjawabkan diri
sendiri, mengusahakan pendalaman suatu permasalahan, menggali dasar-
dasar masalah yang menjadi kesibukannya, termasuk usahanya sendiri.
Artinya, filsafat tidak pernah puas diri, tidak pernah membiarkan sesuatu
sebagai sudah selesai, selalu bersedia dan bahkan senang untuk membuka
kembali perdebatan dan secara hakiki bersifat dialektis dalam arti bahwa
setiap kebenaran menjadi lebih benar dengan setiap putaran tesis – antitesis
– tesis – antitesis, dan seterusnya.
Filsafat secara hakiki memerlukan dan menyenangi debat dan ―senang
bertengkar dalam merentangkan diri pada masalah-masalah yang paling
dasar sekalipun. Bidang kajian filsafat itu sangat luas, karena permasalahan
yang dikemukakan bersifat mendasar atau radikal. Ilmu-ilmu yang lain
seperti ilmu pasti, fisika, kimia, sosiologi, ekonomi, psikologi dan sebagainya

6
secara hakiki terbatas sifatnya. Untuk menghasilkan pengetahuan yang
setepat mungkin, semua ilmu membatasi diri pada tujuan atau bidang
tertentu. Untuk meneliti bidang itu secara optimal, ilmu-ilmu semakin
mengkhususkan metode-metodenya dan oleh karena itu ilmu-ilmu khusus itu
tidak memiliki sarana teoritis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di luar
perspektif pendekatan khusus masing-masing. Artinya, ilmu-ilmu khusus itu
membahas objeknya hanya dari satu sudut pandang tertentu yang lebih
sempit cakupannya dibandingkan ilmu filsafat. Ilmu filsafat membahas
objeknya secara lebih umum atau menyeluruh. Sebagaimana dicontohkan di
atas bahwa filsafat membahas tentang hakikat manusia; berarti manusia
secara menyeluruh, bukan hanya jiwanya (kajian psikologi) atau interaksinya
satu dengan yang lain (kajian sosiologi) atau kebutuhan hidupnya (kajian
ekonomi).
Dengan kata lain ilmu-ilmu khusus tidak menggarap pertanyaan-
pertanyaan yang menyangkut manusia sebagai keseluruhan, sebagai suatu
kesatuan yang dinamis, Padahal pertanyaan-pertanyaan itu terus-menerus
dikemukakan manusia dan sangat penting bagi praksis kehidupannya,
seperti:
1. Apa arti dan tujuan hidup saya?
2. Apa yang menjadi kewajiban saya sebagai manusia?
3. Bagaimana saya harus bertanggung jawab?
4. Bagaimana saya harus hidup agar menjadi lebih baik sebagai manusia?
5. Apa arti dan implikasi martabat saya dan martabat orang lain sebagai
manusia?
6. Apa arti transendensi yang saya rasakan dalam diri saya?
7. Apa arti keadilan dalam hidup manusia?
Pertanyaan-pertanyaan ini tidak mampu dijawab oleh ilmu-ilmu khusus,
karena keterbatasan objek formalnya. Tetapi, pertanyaan-pertanyaan
tersebut begitu penting, maka manusia berkepentingan agar pertanyaan-
pertanyaan itu ditangani secara rasional dan bertanggung jawab. Di sinilah
bidang garap filsafat dalam usaha manusia untuk memecahkan masalah-
masalah yang dihadapinya. Ringkasnya, filsafat dapat dipandang sebagai
usaha manusia untuk menangani dan menjawab pertanyaan-pertanyaan
fundamental secara bertanggung jawab. Tanpa usaha ilmiah filsafat,

7
pertanyaan-pertanyaan itu hanya akan dijawab secara spontan dan dengan
demikian selalu ada bahaya bahwa jawaban-jawaban yang diberikan
terdistorsi oleh selera subjektif dan oleh kepentingan pihak-pihak tertentu

D. Ilmu Pengetahuan sebagai Sketsa Umum Pengantar untuk


Memahami Filsafat Ilmu
Filsafat Ilmu, sebagaimana juga filsafat pengetahuan adalah cabang
filsafat.ilmu yang objek saranannya adalah ilmu. Ilmu tentang ilmu, kata
orang. Cabang filsafat inilah yang juga lahir di abad XVII di sebut sebagai
wissenchaftlehre,philosohy of science, wetenschapsleer, dan yang kita
terjemahkan menjadi Filsafat Ilmu Pengetahuan. Karena pengetahuan ilmiah
merupakan ‘a higher level of knowladge’ dalam perangkat pengetahuan kita
sehari-hari, maka filsafat ilmu tidak dapat dipisahkan dari filsafat
pengetahuan. Obje keduanya itu di sana-sini bertumpang tindih, namun perlu
dibedakan aspek formalnya, dan jangan dikaburkan sebagaimana sementara
penulis menunjukan hal itu.Hakekat ilmu merupakan objek filsafat ilmu
meliputi :

1. Ontologi, yaitu apakah ilmu itu,apakah kebenaran atau kenyataan itu


yang tidak lepas dari pandangan tentang apa dan bagaimana yang “ada”
itu.faham idealisme atau spiritualisme, materialisme, dualisme, pluralisme,
dan lain lain merupakan paham antologik yang akan menentukan
pendapat kita masing-masing tentang apa dan bagaimana ilmu yang kita
konotasikan dengan kebenaran itu sendiri.
2. Epistemologi, merupakan cara dan sarana untuk mencapai pengetahuan
tentang yang ‘ada’ tadi. Perbedaan mengenai pandangan ontologik. akan
mengakibatkan perbedaan sarana yang dipergunakan yaitu, akal,
pengalaman, venruft , instuisi atau saramna yang lain, rasionalisme, dan
lain lain merupakan faham epistemologik.
3. Aksiologi, yang menggariskan apa ukuran bagi kebenaran dan kenyataan
yang menjadi tujuan pengetahuan kita. Nilai-nilai apa yang perlu kita
jadikan pedoman dalam kita me-nerapkan pengetahuan yang kita miliki itu
kedalam praksis.

8
4. Dalam perkembangannya pada tahap sekarang ini, filsafat ilmu juga
mengrahkan pandangannya pda strategi pengembangan ilmu, dan
heuristik, bahkan sampai pada dimensi ilmu itu, melainkan juga arti dan
makna nya bagi kepentingan manusia.
Berbicara tentang strategi pengembangan ilmu, dewasa ini kita dapati
adanya tiga macam pendapat, yaitu: pertama, pendapat yang
menyatakan bahwa ilmu berkembang pada otonomi tertutup, dimana
peng aruh konteks dibatasi bahkan disingkirkan. Kedua, dan saling
mempengaruhi , sehingga memungkinkan timbulnya gagasan baru yang
selalu aktual dan relevan bagi pemenuhan kebutuhan sesuai dengan
perkembangan waktu dan keadaan. Ilmu harus merupakan releksi
daripadanya. Ketiga, pendapat yang menyatakan bahwa ilmu harus
melebur dalam konteksnya, tidak hanya merupakan refleksi, melainkan
memberikan landasan pembenaran bagi konteksnyaTidak dapat
dielakkan bahwa kini sangat dirasakan uroensinya untuk menjelaskan
perkembangan ilmu itu,tidak hanya atas dasar metodologi yang dibatasi
oleh context of discovery. Adapun yang dimaksud dengan heuristik disini
adalah faktor-faktor yang non ilmiah yang memberi pengaruh yang
menentukkan terhadap perkembangan ilmu.perkembangan industri yang
menimbulkan berbagai macam akibat sosial di abad XIX telah melahirkan
sosiologi. Penggunaan senjata nuklir sebagai sarana perang yang timbul
dari kecanggihan ‘big science’ di abad XX telah melahirkan ilmu baru
yang disebut polemologi. Juga penggunaan komputer kedalam berbagai
segi kehidupan telah melahirkan filsafat matematika.
Atas dasar itu, maka semakin jelaslah kiranya, mengapa kita akan
menghadapi kesulitan untuk mendefinisikan apakah sebenarnya ilmu itu.
Para penganut metodologi akan menyatakan sekarang bahwa definisi,
ilmu adalah sistem pernyataan-pernyataan yang dapat diuji dan dikaji
kebenaran atau kesalahannya. Sedang para penganut heuristik menyatak
bahwa ilmu adalah perkembangan lebih lanjut bakat manusia untuk
menentukan orientasi terhadap lingkungannya dan menentukkan sikap
terhadnya.
Dalam pada itu ilmu juga dapat dipshsmi dari segi dimensional yaitu dari
segi dimensi fenomenalnya, yaitu dari segi dimensi dimansional, yaitu

9
ilmu merupakan proses ,dan permukaan masyarakat, merupakan proses,
dan merupakan produk Pada ilmu juga dapat dipahami dari segi
dimensional, yaitu dari segi dimensional, yaitu dari segi dimensif
fenomenalya, ilmu merupaknan masyarakat . ilmu merupakaan
masyarakat , merupakan prosess, dan merupakan produk. Ilmu sebai
masyarakat menunjukkan adanya kelompok elite, yang dalam
kehidupannya sangat mematuhi kaidah-kaidah universalisme,
komunalisme, disserentedness, skepsisme yang teratut. Ilmu sebagai
proses menunjukkan aktivitas masyarakat ilmiah melalui penelitian,
eksperimentasi, spekulasi dan sebagainya. Sedang ilmu segi produk dari
proses yang menunjukkan adanya teori, dalil ajaran karya ilmiah dengan
anak kandungnya yang berupa teknologi.
Dari segi dimensi strukturalnya apa yang disebut struktur ilmu yang
terkandung didlamnya, adanya objek sasaran (gegenstand) ;gegenstand
ini terus-menerus dipertanyakan tanpa adanya titik henti; ada motivasi
atau alasan mengapa gegenstand terus menerus dipertanyakan; dan
hasilatau jawaban yang diperoleh disusun kembali dalam suatu
sistematika.

10
E. Fenomenologi Pengetahuan dan Ilmu Pengetahuan
Fenomenologi adalah metode falsafat dari Edmun husserl. Berdasarkan
metode ini, kita tidak melihat benda melainkan gejala-gejala, sebagai sintesis
dari obyek dan subyek. Fenomenologi ini dikembangkan Husserl
berdasarkan tesis mengenai intensionalitas dari Brentano, yang menyatakan
bahwa “mengalami tidak bisa dipisahkan dari apa yang dialami”, subyek dan
obyek bersatu, sehingga tak ada hal menyadari tanpa ada hal yang disadari.
Husserl adalah seorang failasuf antiCartesian, tetapi ia juga dalam makna
yang fundamental adalah seorang yang terobsesi oleh Cartesianisme.
Seperti halnya telah mencoba membuat pendasaran atas seluruh ilmu
pengetahuan dengan metode keraguan universal, begitu pulalah Edmund
Husserl mencoba memberi dasar terhadap ilmu-ilmu: suatu pendasaran
yang apodiktis, dan eviden, sejelas matematika yang menampakkan dirinya
dengan kenyataan langsung. Eviden di sini maksudnya menangkap hal-hal
dengan jelas secara intuitif (misalnya ada 2 + 2 = 4, ini menjadi sesuatu yang
jelas dengan sendirinya).
Husserl adalah seorang Cartesian dalam makna bahwa bila hal yang
bisa kita percaya itu adalah kesadaran manusia, maka hal penting apa yang
kita perlu pelajari adalah kesadaran. Inilah yang membawanya kepada “back
to the things themselves” (kembali kepada bendanya itu sendiri), kembali
kepada benda-benda dari pikiran, fenomena kesadaran (back to the things of
the mind, the phenomena of consciousness.) Usaha Husserl ini
membawanya kepada ide reduksi fenomenologis, yaitu menempatkan
realitas benda-benda di luar kita (epoche.) Sehingga hanya isi kesadaran
yang jelas. Transendensi dari bendanya sendiri (das Ding an Sich) tak
pernah bisa menjadi pembuktian yang nyata. Di sini Husserl meninggalkan
sikap ilmiah (sikap natural), dengan tanpa ragu-ragu melihat benda-benda
sebagai benda-benda, tidak sebagai gejala kesadaran saja (maka disebut
‘reduksi fenomenologis’ tidak seperti Descartes yang memulainya dengan
keraguan universal.)
Dalam hal “meninggalkan sikap ilmiah ini” Husserl memang menyatakan
adanya krisis dari ilmu- ilmu di eropa Barat: ilmu-ilmu positif, matematika,
dan ilmu-ilmu pasti-alam, termasuk ilmu-ilmu humanistik seperti psikologi. Di
sini Husserl berbicara mengenai hal yang sukar-dimengerti (menurut cara

11
pandang ilmiah [sikap natural]) dari subyektivitas. Ia memikirkan
fenomenologi, yang membawanya kepada gagasan reduksi fenomenologis.
Dalam hal ini—lewat proyek falsafatnya—Husserl memang ingin mengerti
mengenai masalah nilai, bahkan ia terpukau pada soal nilai ini, yang
membawanya amat perhatian kepada masalah keterkaitan subyektivitas,
nilai dan intensionalitas.
Tetapi hanya reduksi fenomenologis saja tidak memadai, sebab kita
dalam melihat gejala selalu partikular. Husserl mencoba mencari pengertian
mengenai gejala yang universal, hal-hal umum seperti kemanusiaan,
kemerdekaan dan sebagainya, yang dicarinya dengan jalan reduksi eidetis:
di mana dalam khayalan semua perbedaanperbedaan dari sejumlah hal
partikular itu disisihkan, sehingga tinggal suatu esensi saja. Husserl memang
mencari suatu dasar yang tidak bisa diragukan lagi lewat reduksi
fenomenologis, reduksi eidetis, yang sesudah itu reduksi transendental
(menggunakan ego yang transendental) untuk akhirnya dapat melihat
esensi-esensi yang umum (ego cogito cogitations.) Dari reduksireduksi ini
sampailah kita pada isi dari dunia umum (lebenswelt), sehingga semua hal
yang disadari (noemata) menjadi nyata. Di sinilah Husserl berbicara
mengenai Dasein (being-there, keberadaan manusia), yang merupakan ilmu
mengenai ada (a science of being), yang nanti konsep ini akan
dikembangkan oleh Heidegger, Sartre, dan Maerleau-ponty (namun dari sini
memang fenomenologi Husserl bisa jatuh atau dituduh solipsisme-
fenomenologis, karena mereduksi subyek menjadi suatu ego transendental
dari intersubyektivitas, yang akan dibicarakan di bawah.)
Menurut Husserl, berkaitan dengan yang di atas disebut intensionalitas,
dalam analisis pengamatan atas benda, itu tidak dapat dilihat secara
langsung, tetapi lewat sejumlah bayangan. (Di sini kita bisa bertanya pada
Husserl: Benda yang mana? Benda yang di luar kita—yang menghasilkan
aliran realisme epistemologis, atau benda dalam kesadaran saya—yang
menghasilkan aliran idealisme epistemologis.) Dalam hal ini, pandangan
Husserl memang kurang jelas, tetapi Husserl sangat menekankan adanya
dunia (urdoxa)— sebuah tema yang akan digarap tuntas oleh Maurica
Merleu-ponty.

12
Hasil dari semua usaha fenomenologis Husserl ini adalah untuk
mencapai realitas yang eviden, yang nyata dan dapat menjadi titik tolak ilmu
pengatahuan. Menjadi nyata bahwa subyek itu mengonstitusi alam.
Konstitusi adalah kesatuan subyekobyek dilihat dari sudut subyek, yaitu
bagaimana manusia menciptakan alamnya. Dalam istilah Husserl sendiri,
“reduksi dari hal mengada menjadi menyadari alam.” Kata konstitusi ini
dipakai Husserl dalam berbagai arti, seperti konstitusi obyek-obyek, kontitusi
perbuatan pikiran, konstitusi dari stream of consciousness (aliran
kesadaran), konstitusi transendental supaya terjadi egotransendental. Dalam
fenomenologi, benda-benda mengada dalam makna-makna. Benda dilihat
karena menampakkan diri dalam dan oleh pengalaman-pengalaman
sehingga terjadilah suatu ‘presentasi.’ Tugas fenomenologi bukan hanya
mendeskripsikan, tetapi juga menerangkan bagaimana obyek pengamatan
dikonstitusikan dalam perbuatan-pikiran dari yang mengamati.
Pada dasarnya setiap analisis fenomenologis memunyai dua segi, yaitu
segi noematis dan segi noetis, yang dalam suatu deskripsi sebenarnya tidak
terpisahkan. Artinya kalau subyek dan obyek menjadi satu, segala hal
memunyai segi subyek (noesis) dan obyek (noema) (band. dengan materi
dan forma dari hal yang dipikirkan.) Tugas setiap analisis noetic-noematic ini
adalah melukiskan dan menerangkan susunan (sintesis) yang secara pasif
atau aktif terjadi dalam setiap perbuatan-pikiran dari ego. Sintesis dari
noemata (unsur-unsur yang disadari) adalah yang berhubungan dengan satu
obyek menjadi satu benda (dari buku, saya lihat segi-segi lebar, ketebalan,
huruf pada sampul, dan sebagainya, sehingga saya pun kemudian secara
utuh menyadari hakikat dari buku yang menampakkan diri pada saya itu.)
Oleh karena itu analisis noetic-noematic ini melukiskan gabungan
(sintesis) dari semua perbuatan-pikiran yang berkorelasi dengan noemata,
yang masing-masing menjadi satu perbuatan-pikiran yang bulat dari
gabungan semua perbuatan-pikiran, yang kemudian menjadi satu aliran
kesadaran (stream of consciousness.)
Kembali ke soal konstitusi: persoalan konstitusi ialah persoalan tentang
kenyataan bahwa suatu obyek (benda) diberikan secara ideal sebagai suatu
eviden langsung. Setiap benda adalah obyek suatu universum pengalaman-
pengalaman yang mungkin. Sementara ego adalah instansi yang

13
terusmenerus menyadari benda-benda. Sedang kesadaran adalah instansi
yang terus menerus menyusun sistem-sistem dari intensionalitas, dan indeks
dari sistem-sistem itu—yaitu benda yang dialami. (Di sinilah menurut penulis,
persoalan utama Husserl, yaitu persoalan intersubyektivitas: Bagaimana
kita--dengan falsafat Husserl ini—bertemu dengan yang lain, karena Husserl
hanya melakukan reduksi mundur hingga ke suatu ego transendental, tanpa
suatu intersubyektivitas yang sungguh konkret) Maka sekarang menarik
melanjutkan Husserl kepada Maurice Merleau-Ponty, dan melihat
bagaimana penilaian Merleau-Ponty atas Husserl setelah itu akan dilih jejak-
jejaknya pada Peter Berger yang mempopulerkan istilah ‘Konstruksi Sosial
dari Kenyataan.

1. Pengertian Ilmu Pengetahuan


Pengetahuan atau knowledge adalah hal atau pemahaman akan
sesuatu yang bersifat spontan tanpa mengetahui seluk beluknya secara
mendalam. Cirri pengetahuan adalah tidak terbuka usaha bantahan atas
dasar pengamatan dan pemeriksaan. Sedangkan ilmu pengetahuan atau
science adalah ilmu pengetahuan yang bersifat metodis, sistematis, dan
logis. Metodis maksudnya pengetahuan tersebut di peroleh deengan
menggunakan cara kerja yang terperinci , dan telah di tentukan
sebelumnya; metode itu dapat deduktif atau induktif. Sistematis
maksudnya pengetahuan tersebut merupakan suatu keseluruhan yang
msndiri dari hal-hal yang saling berhubungan sehingga dapat di
pertanggung jawabkan. Logis maksudnya proposisi-proposisi(pernyataan)
yang satu dengan yang lainnya mempunyai hubungan rasional sehingga
dapat di tarik ke putusan yang rasional pula.Ilmu pengetahuan ini menurut
ahli ilmu pengetahuaan Karl Raimund Popper dalam The Logic of Science
Discovery (1959) mempunyai cirri khas dapat dibantah ( critizable dan
refutable) atas dasar pengamatan dan pemeriksaan; maksudnya terbuka
untuk di bantah kendati mungkin akan di tetap bertahan
Proses sistematis pengetahuan menjadi ilmu biasanya melallui tahap-
tahap sebagai berikut:
a. Tahap perumusan pertanyaan sebaik mungkin
b. Merancang hipotesis yang mendasar dan teruji

14
c. Menarik kesimpulan logis dari pengadaian-pengadaian,
d. Merancang teknik mentes pengadaian-pengadaian,
e. Menguji teknik itu sendiri apakah memadai dan dapat di andalkan
f. Tes itu sendiri di laksanakan dan hasil-hasilnya ditafsirkan,
g. Menilai tuntutan kebenaran yang di ajukan oleh pengadaian-
pengadaian itu serta menilai kekuatan teknik tadi
h. Menetapkan luas bidang berlakunya pengadaian-pengadaianserta
teknik dan merumuskan pertanyaan baru

15
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Filsafat ialah permasalahan yang menyangkut berbagai hubungan ke
luar dari kegiatan ilmiah seperti implikasi ontologik-metafisik dan citra dunia
yang bersifat ilmiah, tata susila yang menjadi patokan dalam
penyelenggaraan ilmu dan konsekuensi pragmatik-etik penyelenggara ilmu.
Dalam arti sempit, filsafat ilmu yaitu menampung permasalahan yang
bersangkutan dengan hubungan ke dalam yang terdapat di dalam ilmu, yaitu
yang menyangkut sifat dari pengetahuan ilmiah dan cara-cara
mengusahakan serta mencapai pengetahuan ilmiah.

B. Saran
a. Diharapkan filsafat ilmu selalu berkembang dalam ilmu pengetahuan yang
ada di dunia ini
b. Diharpakan setelah membaca makalah ini membantu pembaca mudah
dalam memahami konsep dasar filsafat.

16
Daftar pustaka
Budhy Munawar-Rachman. Fenomenologi Diri dan Konstruksi Sosial
Mengenai Kebudayaan: Edmund Husserl dan Jejak-Jejaknya pada
Maurice Merleau-Ponty dan Peter Berger. Sekolah Tinggi Filsafat
(STF) Driyarkara.

Sudirdja, E. R. 2010. Rangkuman Buku Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar


Populer. Bandung: Fakultas Hukum Universitas Pasundan

17

Anda mungkin juga menyukai