Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

FILSAFAT SEJARAH
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Sejarah
Dosen Pengampu Drs. Siswanta M.Pd

Disusun Oleh :
Rika Afrianto 19144400003
Ahmad Rizkhi Saputra 19144400008
Dhimas Tri Wicaksono 19144400020
Yogi Maulana Firdaus 19144400039
Irfan Suisdiyanto 19144400041

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI YOGYAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat, hidayah dan inayah-Nya serta yang telah memberikan saya kemudahan
sehingga dapat menyelesaikan Makalah Filsafat Sejarah. Tanpa pertolonganNya
mungkin saya tidak akan sanggup menyelesaikannya dengan baik dan tepat
waktu.

Tidak lupa penulis sampaikan terimakasih kepada dosen pengampu mata


kuliah Filsafat Sejarah, Drs. Siswanta M.Pd. Kami menyadari bahwa kelancaran
dalam penyusunan makalah ini tidak lain berkat bantuan dan dorongan dari dosen
sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi dapat teratasi.

Tujuan penulisan makalah ini adalah guna menambah wawasan serta ilmu
pengetahuan tentang Filsafat Sejarah. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi
semua pembaca dari berbagai kalangan.

Makalah ini tentu belum sempurna dan masih banyak kekurangan


terutama dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu kritik,
saran, serta masukan yang membangun dari pembaca sangat dibutuhkan untuk
terciptanya Makalah yang lebih baik lagi

Yogyakarta, 1 Oktober 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................1
C. Tujuan..........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3
A. Pengantar Filsafat Sejarah.................................................................................3
1. Istilah Filsafat............................................................................................3
2. Unsur-Unsur Filsafat Sejarah....................................................................4
3. Ruang Lingkup Filsafat Sejarah................................................................5
4. Manfaat Belajar Filsafat Sejarah...............................................................5
B. Filsafat Sejarah Spekulatif dan Filsafat Sejarah Kritis...................................6
1. Pengetahuan Aposteriori dan Apriori........................................................6
2. Motor Penggerak dalam Sejarah...............................................................7
3. Aliran Pandangan Filsafat Sejarah............................................................8
4. Kritik Terhadap Filsafat Sejarah Spekulatif............................................13
5. Filsafat Sejarah Kritis..............................................................................15
C. Sejarah Sebagai Pengetahuan Mengenai Masa Silam..................................15
1. Tugas Seorang Ahli Sejarah....................................................................15
2. Memahami Peristiwa Masa Silam...........................................................16
3. Pandangan Kaum Skeptis Terhadap Pengetahuan Sejarah.....................16
4. Mesin-mesin Waktu dan Verifikasionisme.............................................17
D. Fakta Sebagai Dasar Pengkajian Sejarah.......................................................18
1. Fakta dan Pernyataan.................................................................................18
2. Fakta Sejarah.....................................................................................................19
3. Fakta Unik dan Fakta General.........................................................................19
4. Pernyataan-pernyataan Mengenai Masa Silam.............................................19
5. Empat Teori Kebenaran Sejarah.....................................................................20
BAB III PENUTUP...............................................................................................21

iii
A. Kesimpulan........................................................................................................21
B. Saran..................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................23

iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam istilah bahasa inggris, philosophy yang berarti filsafat, juga
berasal dari kata yunani yaitu, “philosophia” yang lazim diterjemahkan ke
dalam bahasa tersebut sebagai kearifan. Menurut pengertiannya semula
dizaman yunani kuno itu, filsafat berarti cinta kearifan. Filsafat adalah
usaha untuk memahami atau mengerti semesta dalam hal makna (hakikat)
dan nilai-nilainya (esensi) yang tidak cukup dijangkau hanya dengan panca
indra manusia sekalipun. Bidang filsafat sangatlah luas dan mencakup
secara keseluruhan sejauh dapat dijangkau oleh pikiran. Filsafat berusaha
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang asal mula dari sifat dasar
alam semesta tempat manusia hidup serta apa yang merupakan tujuan
hidupnya.

Metode filsafat adalah metode bertanya. Filsafat bukanlah suatu


disiplin ilmu maka sesuia dengan definisinya, sejaran dan perkembangan
filsafat tidak akan pernah habis untuk dibahas. Dalam perkembangannya
filsafat berkembang melalui beberapa zaman yaitu diawali dari zaman
yunani kuno, zaman kegelapan (abad 12-13 M), zaman pencerahan (14-15
M), zaman awal modern dan modern (abad 15-16 M), dan zaman pas
modern (abad 18-19 M) hingga saat ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan filsafat sejarah?
2. Apa yang dimaksud dengan filsafat sejarah spekulatif dan filsafat
sejarah kritis?
3. Apa yang dimaksud dengan sejarah sebagai pengetahuan mengenai
masa silam?
4. Apa yang dimaksud dengan fakta sebagai dasar pengkajian sejarah?

1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan filsafat sejarah.
2. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan filsafat sejarah spekulatif
dan filsafat sejarah kritis.
3. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan yang dimaksud dengan
sejarah sebagai pengetahuan mengenai masa silam.
4. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan fakta sebagai dasar
pengkajian sejarah.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengantar Filsafat Sejarah
1. Istilah Filsafat
Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani philosophia. Kata
philosophia terdiri atas kata philein yang berarti cinta (love) dan
sophia yang berarti kebijaksanaan (wisdom), sehingga secara etimologi
istilah filsafat berarti cinta kebijaksanaan (love of wisdom).
Istilah filsafat (philosophia) itu sendiri menunjukkan bahwa
manusia tidak pernah secara sempurna memiliki pengertian
menyeluruh tentang segala sesuatu yang dimaksudkan kebijaksanaan,
namun terus menerus mencarinya. Berkaitan dengan apa yang
dilakukannya, filsafat adalah pengetahuan yang dimiliki rasio manusia
yang membuat dasar-dasar terakhir dari segala sesuatu. Filsafat
menggumuli seluruh realitas. Jadi, filsafat adalah upaya spekulatif
untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang
seluruh realitas.
Sedang menurut para ahli mengenai filsafat antara lain :
a. Plato, Filsafat adalah pengetahuan yang mencoba untuk mencapai
pengetahuan tentang kebenaran yang asli.
b. Aristoteles, Filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang meliputi
kebenaran yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika,
logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (filsafat
keindahan).
c. Rene Descartes, filsafat adalah kumpulan semua pengetahuan di
mana Tuhan, alam, dan manusia menjadi pokok penyelidikan.
d. Immanuel Kant filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang menjadi
pangkal semua pengetahuan yang di dalamnya tercakup masalah
epistemology (filsafat pengetahuan) yang menjawab persoalan apa
yang dapat kita ketahui.

3
Jadi, dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang menyelidiki dan memahami
segala sesuatu yang ada secara mendalam dan menyeluruh dengan
menggunakan akal pikiran sampai dengan pada hakekatnya.
2. Unsur-Unsur Filsafat Sejarah
F.R. Ankersmit (1987) mengemukakan tiga unsur filsafat
sejarah, yaitu :
a. Sejarah penulisan sejarah (historiografi), adalah bagian dari filsafat
sejarah yang mempelajari dan mempertanyakan paling tidak tiga
hal berikut: Apa yang ditulis oleh ahli sejarah terkemuka di dunia
baik yang dimasa silam maupun di masa kini. Bagaimana ciri
karya sejarah mereka pada umumnya, adakah sejarawan yang
menulis dengan maksud dan tujuan tertentu. Dapatkah kita melihat
suatu evolusi dari abad ke abad dalam para sejarawan
menggambarkan masa silam
b. Filsafat sejarah yang spekulatif, yaitu filsuf sejarah spekulatif
memandang arus sejarah factual dalam keseluruhannya dan
berusaha untuk menemukan suatu struktur dasar di dalam arus itu.
c. Filsafat sejarah yang kritis, yaitu filsuf sejarah kritis meneliti
sarana yang dipergunakan seorang ahli sejarah dalam melukiskan
masa silam dengan cara yang dapat dipertanggung jawabkan.
Patrick Gardiner (1959) mengatakan bahwa filsafat sejarah
menunjuk kepada dua jenis penyelidikan, yaitu jenis penyelidikan
yang sifatnya spekulatif (filsafat sejarah spekulatif) dan jenis
penyelidikan yang sifatnya formal (filsafat sejarah formal). Filsafat
sejarah spekulatif berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan makna dan
tujuan sejarah dan perubahan dalam jalannya sejarah.
Sedangkan filsafat sejarah formal membahas tentang hakekat
sejarah (bukan jalannya peristiwa sejarah). Filsafat ini berurusan
dengan tujuan penyelidikan sejarah dan cara sejarawan
menggambarkan dan mengklasifikasikan bahan mereka. Filsafat

4
sejarah formal bertujuan untuk menguji dan menghargai metode ilmu
sejarah dan kepastian dari kesimpulannya.
3. Ruang Lingkup Filsafat Sejarah
Menurut Prof. Rustam, ruang lingkup filsafat sejarah ada dua.
Pertama, filsafat sejarah berusaha mengetahui sebab pasti sebuah
kejadian yang berpengaruh di dalam sejarah. Kedua, filsafat sejarah
berusaha menguji kemampuan beberapa metode ilmu sejarah dan
memberi penilaian tentang hasil analisis dan kesimpulan-kesimpulan
terhadap suatu karya sejarah.
Merujuk pada ruang lingkup filsafat sejarah yang secara
mendasar bertujuan menemukan dasar metodologi dan dasar normatif
peristiwa kesejarahan atau historiografi, maka pembagian filsafat
sejarah juga bisa diasosiasikan demikian adanya. Artinya, filsafat
sejarah langsung bisa dibagi menjadi dua kecenderungan besar.
Pertama adalah filsafat sejarah yang konsern pada metodologi
historiografi dan biasa disebut sebagai filsafat sejarah kritis atau
filsafat sejarah analitik. Kedua adalah filsafat sejarah yang fokus pada
penemuan ide-ide normatif peristiwa masa lalu dan disebut dengan
filsafat sejarah spekulatif.
4. Manfaat Belajar Filsafat Sejarah
a. Manfaat utama mempelajari filsafat sejarah adalah akan
mempertajam kepekaan kritis seorang peneliti sejarah.
b. Dalam kajian modern, filsafat sejarah menjadi suatu tema yang
mengandung dua segi yang berbeda dari kajian sejarah. Pertama
berkenaan dengan kajian metodologi penelitian ilmu dari tujuan
filosofis. Dalam segi ini terkandung pengujian yang kritis atas
metode sejarawan.
c. Filsafat sejarah berupaya menemukan komposisi setiap ilmu
pengetahuan dan pengalaman manusia. Disisni lebih diarahkan
pada kesimpulan bukan pada penelitian tentang metode, saran yang
digunakan dalam metode analitis filsafat. Dalam kegiatan

5
konstruktif, filsafat sejarah dapat mencari pendapat yang paling
komprehensif yang dapat menjelaskan tentang makna hidup dan
tujuannya.

B. Filsafat Sejarah Spekulatif dan Filsafat Sejarah Kritis


1. Pengetahuan Aposteriori dan Apriori
Secara harfiah, apriori berarti dari yang lebih dulu atau
sebelum, sedangkan aposteriori berarti dari apa yang sesudah.
Pengertian tentang pengetahuan apriori dan pengetahuan aposteriori
tersebut selanjutnya dikembangkan oleh para filsuf modern, seperti
Leibniz dan Immanuel Kant. Sedangkan filsuf terdahulu, seperti
Aristoteles menjelaskan tentang pengetahuan apriori dan pengetahuan
aposteriori sebagai berikut, A lebih dulu dari B jika dan hanya jika B
tidak bisa ada tanpa A. Dengan pembedaan tersebut, berarti A lebih
dulu dari B jika dan hanya jika kita tidak bisa mengetahui B jika kita
tidak mengetahui A.
Pengetahuan Aposteriori dan Apriori menurut filsuf modern :
a. Leibniz
Menurut Leibniz, mengetahui realitas secara aposteriori
berarti mengetahuinya berdasarkan apa yang ditemukan secara
aktual di dunia ini. Sebaliknya, mengetahui realitas secara apriori
adalah mengetahuinya dengan mengenakan sebab pada realitas
tersebut. Leibniz membedakan antara kebenaran aposteriori atau
kebenaran yang berasal dari fakta, dan kebenaran apriori atau
kebenaran yang berasal dari akal budi. Kebenaran apriori dapat
dibuktikan dengan melihat keterkaitannya dengan proposisi yang
sama, sedangkan kebenaran aposteriori hanya bisa dilihat sebagai
benar berdasarkan pengalaman.
b. Immanuel Kant
Kant menganggap pembedaan antara aposteriori dan apriori
sebagai pembedaan antara apa yang berasal dari pengalaman dan
apa yang tidak berasal dari pengalaman. Pembedaan tersebut

6
selanjutnya berkembang menjadi pembedaan antara pengetahuan
empiris dan pengetahuan yang bukan empiris. Yang selanjutnya
pembedaan tersebut berkembang menjadi pembedaan antara
proposisi. Proposisi aposteriori adalah proposisi yang
kebenarannya hanya bisa diketahui dengan merujuk pada
pengalaman tertentu. Sedangkan proposisi apriori adalah proposisi
yang kebenarannya bisa diketahui lepas dari pengalaman. Tanpa
pengalaman apapun kita bisa mengetahui proposisi tersebut. Hal
ini berarti bahwa proposisi tersebut dapat dibuktikan kekeliruannya
atau dapat dibuktikan sebagai salah hanya dengan mengandalkan
akal budi, tanpa harus merujuk pada pengalaman apapun.
Kebenaran dari proposisi apriori diketahui hanya dengan mengkaji
proposisi itu sendiri atau dengan kata lain kebenarannya
dideduksikan dengan proposisi itu sendiri.
2. Motor Penggerak dalam Sejarah
Sejarah tercipta di lingkungan masyarakat. Namun masyarakat
bukan semata-mata objek sejarah. Di satu sisi, masyarakat adalah
sebab terjadinya sejarah. Dalam konteks ini, masyarakat ibarat wadah
bagi sejarah. Pada sisi yang lain, masyarakat merupakan subjek yang
mengarahkan laju sejarah. Dalam konteks inilah konsep kekuatan
rakyat (people power) menemukan relevansinya. Dengan demikian,
masyarakat juga merupakan faktor penggerak sejarah.
Menurut George Novack, ada beberapa penggerak sejarah, di
antaranya adalah:
a. Orang besar
b. Kekuatan ideal
c. Rakyat atau bangsa terpilih
d. Manusia dan lingkungan
Sedangkan menurut Carl G. Gustavson dalam karyanya a
preface of history, sebagaimana yang dikutip oleh Kuntowijoyo,

7
menjelaskan bahwa ada 13 aspek yang menjadi kekuatan sejarah,
yakni:
a. Ekonomi
b. Agama
c. Institusi
d. Teknologi
e. Ideologi
f. Militer
g. Individu
h. Seks
i. Umur
j. Golongan
k. Etnisitas
l. Mitos
m. Budaya
3. Aliran Pandangan Filsafat Sejarah
a. Idealisme
Dalam filsafat, idealisme adalah doktrin yang mengajarkan
bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipahami dalam
kebergantungannya pada jiwa (mind) dan roh (spirit). Arti falsafi
dari kata idealisme ditentukan lebih banyak oleh arti dari kata ide
daripada kata ideal. W.E. Hocking, seorang idealis mengatakan
bahwa kata idea-ism lebih tepat digunakan daripada idealism.
Secara ringkas idealisme mengatakan bahwa realitas terdiri dari
ide-ide, pikiran-pikiran, akal (mind) atau jiwa (self) dan bukan
benda material dan kekuatan. Idealisme menekankan mind sebagai
hal yang lebih dahulu (primer) daripada materi.
Pokok utama yang diajukan oleh idealisme adalah jiwa
mempunyai kedudukan yang utama dalam alam semesta.
Sebenarnya, idealisme tidak mengingkari materi. Namun, materi
adalah suatu gagasan yang tidak jelas dan bukan hakikat. Sebab,

8
seseorang akan memikirkan materi dalam hakikatnya yang
terdalam, dia harus memikirkan roh atau akal. Jika seseorang ingin
mengetahui apakah sesungguhnya materi itu, dia harus meneliti
apakah pikiran itu, apakah nilai itu, dan apakah akal budi itu,
bukannya apakah materi itu. Ada beberapa jenis idealisme: yaitu
idealisme subjektif, idealisme objektif, dan idealisme personal.
b. Materialisme
Materialisme adalah asal atau hakikat dari segala sesuatu,
dimana asal atau hakikat dari segala sesuatu ialah materi. Karena
itu materialisme mempersoalkan metafisika, namun metafisikanya
adalah metafisika materialisme. Materialisme adalah istilah dalam
filsafat ontology yang menekankan keunggulan faktor-faktor
material atas spiritual dalam metafisika, teori nilai, fisiologi,
efistemologi, atau penjelasan historis. Maksudnya, suatu keyakinan
bahwa di dunia ini tidak ada sesuatu selain materi yang sedang
bergerak.
Materi dan alam semesta sama sekali tidak memiliki
karakteristik-karakteristik pikiran dan tidak ada entitas-entitas
nonmaterial. Realitas satu-satunya adalah materi. Setiap perubahan
bersebab materi atau natura dan dunia fisik. Macam-macam
materialisme:
1) Materialisme rasionalistik. Materialisme rasionalistik
menyatakan bahwa seluruh realitas dapat dimengerti
seluruhnya berdasarkan ukuran dan bilangan (jumlah);
2) Materialisme mitis atau biologis. Materialisme mitis atau
biologis ini menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa material
terdapat misteri yang mengungguli manusia. Misteri itu tidak
berkaitan dengan prinsip immaterial.
3) Materialisme parsial Materialisme parsial ini menyatakan
bahwa pada sesuatu yang material tidak tedapat karakteristik
khusus unsur immaterial atau formal;

9
4) Materialisme antropologis. Materialisme antropologis ini
menyatakan bahwa jiwa itu tidak ada karena yang dinamakan
jiwa pada dasarnya hanyalah materi atau perubahan-perubahan
fisik-kimiawi materi;
5) Materialisme dialektik. Materialisme dialektik ini menyatakan
bahwa realitas seluruhnya terdiri dari materi. Berarti bahwa
tiap-tiap benda atau atau kejadian dapat dijabarkan kepada
materi atau salah satu proses material.
c. Eksistensialisme
Definisi eksistensialisme tidak mudah dirumuskan, bahkan
kaum eksistensialis sendiri tidak sepakat mengenai rumusan apa
sebenarnya eksistensialisme itu. Sekalipun demikian, ada sesuatu
yang disepakati, baik filsafat eksistensi maupun filsafat
eksistensialisme sama-sama menempatkan cara wujud manusia
sebagai tema sentral.
Kata dasar eksistensi (existency) adalah exist yang berasal
dari bahasa Latin ex yang berarti keluar dan sistere yang berarti
berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri
sendiri. Artinya dengan keluar dari dirinya sendiri, manusia sadar
tentang dirinya sendiri; ia berdiri sebagai aku atau pribadi. Pikiran
semacam ini dalam bahasa Jerman disebut dasein (da artinya di
sana, sein artinya berada).
Dari uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa cara
berada manusia itu menunjukkan bahwa ia merupakan kesatuan
dengan alam jasmani, ia satu susunan dengan alam jasmani,
manusia selalu mengkonstruksi dirinya, jadi ia tidak pernah selesai.
Dengan demikian, manusia selalu dalam keadaan membelum; ia
selalu sedang ini atau sedang itu.
d. Monisme
Monisme (monism) berasal dari kata Yunani yaitu monos
(sendiri, tunggal) secara istilah monisme adalah suatu paham yang

10
berpendapat bahwa unsur pokok dari segala sesuatu adalah unsur
yang bersifat tunggal/ Esa. Unsur dasariah ini bisa berupa materi,
pikiran, Allah, energi dll. Bagi kaum materialis unsur itu adalah
materi, sedang bagi kaum idealis unsur itu roh atau ide. Orang
yang mula-mula menggunakan terminologi monisme adalah
Christian Wolff (1679-1754). Dalam aliran ini tidak dibedakan
antara pikiran dan zat. Mereka hanya berbeda dalam gejala
disebabkan proses yang berlainan namun mempunyai subtansi
yang sama. Ibarat zat dan energi dalam teori relativitas Enstein,
energi hanya merupakan bentuk lain dari zat.Atau dengan kata lain
bahwa aliran monisme menyatakan bahwa hanya ada satu
kenyataan yang fundamental.
Adapun para filsuf yang menjadi tokoh dalam aliran ini
antara lain: Thales (625-545 SM), yang menyatakan bahwa
kenyataan yang terdalam adalah satu subtansi yaitu air. Pendapat
ini yang disimpulkan oleh Aristoteles (384-322 SM), yang
mengatakan bahwa semuanya itu air. Air yang cair itu merupakan
pangkal, pokok dan dasar (principle) segala-galanya. Semua
barang terjadi dari air dan semuanya kembali kepada air pula.
Bahkan bumi yang menjadi tempat tinggal manusia di dunia,
sebagaian besar terdiri dari air yang terbentang luas di lautan dan
di sungai-sungai. Bahkan dalam diri manusiapun, menurut dr
Sagiran, unsur penyusunnya sebagian besar berasal dari air. Tidak
heran jika Thales, berkonklusi bahwa segala sesuatu adalah air,
karena memang semua mahluk hidup membutuhkan air dan jika
tidak ada air maka tidak ada kehidupan.
e. Dualisme
Dualisme (dualism) berasal dari kata Latin yaitu duo (dua).
Dualisme adalah ajaran yang menyatakan realitas itu terdiri dari
dua substansi yang berlainan dan bertolak belakang. Masing-
masing substansi bersifat unik dan tidak dapat direduksi, misalnya

11
substansi adi kodrati dengan kodrati, Tuhan dengan alam semesta,
roh dengan materi, jiwa dengan badan dll. Ada pula yang
mengatakan bahwa dualisme adalah ajaran yang menggabungkan
antara idealisme dan materialisme, dengan mengatakan bahwa
alam wujud ini terdiri dari dua hakikat sebagai sumber yaitu
hakikat materi dan ruhani.
Orang yang pertama kali menggunakan konsep dualisme
adalah Thomas Hyde (1700), yang mengungkapkan bahwa antara
zat dan kesadaran (pikiran) yang berbeda secara subtantif. Jadi
adanya segala sesuatu terdiri dari dua hal yaitu zat dan pikiran.
Yang termasuk dalam aliran ini adalah Plato (427-347 SM), yang
mengatakan bahwa dunia lahir adalah dunia pengalaman yang
selalu berubah-ubah dan berwarna-warni. Semua itu adalah
bayangan dari dunia idea. Sebagai bayangan, hakikatnya hanya
tiruan dari yang asli yaitu idea. Karenanya maka dunia ini berubah-
ubah dan bermacam-macam sebab hanyalah merupakan tiruan
yang tidak sempurna dari idea yang sifatnya bagi dunia
pengalaman. Barang-barang yang ada di dunia ini semua ada
contohnya yang ideal di dunia idea sana (dunia idea).
Rene Descartes (1596-1650 M) seorang filsuf Prancis,
mengatakan bahwa pembeda antara dua substansi yaitu substansi
pikiran dan substansi luasan (badan). Jiwa dan badan merupakan
dua sebstansi terpisah meskipun didalam diri manusia mereka
berhubungan sangat erat. Leibniz (1646-1716) yang membedakan
antara dunia yang sesungguhnya dan dunia yang mungkin.
Immanuel Kant (1724-1804) yang membedakan antara dunia
gejala (fenomena) dan dunia hakiki (noumena).
f. Pluralisme
Pluralisme (Pluralism) berasal dari kata Pluralis (jamak).
Aliran ini menyatakan bahwa realitas tidak terdiri dari satu
substansi atau dua substansi tetapi banyak substansi yang bersifat

12
independen satu sama lain. Sebagai konsekuensinya alam semesta
pada dasarnya tidak memiliki kesatuan, kontinuitas, harmonis dan
tatanan yang koheren, rasional, fundamental. Di dalamnya hanya
terdapat berbagi jenis tingkatan dan dimensi yang tidak dapat
diredusir. Pandangan demikian mencangkup puluhan teori,
beberapa diantaranya teori para filosuf yunani kuno yang
menganggap kenyataan terdiri dari udara, tanah, api dan air. Dari
pemahaman di atas dapat dikemukakan bahwa aliran ini tidak
mengakui adanya satu substansi atau dua substansi melainkan
banyak substansi, karena menurutnya manusia tidak hanya terdiri
dari jasmani dan rohani tetapi juga tersusun dari api, tanah dan
udara yang merupakan unsur substansial dari segala wujud.
Para filsuf yang termasuk dalam aliran ini antara lain:
Empedakles (490-430 SM), yang menyatakan hakikat kenyataan
terdiri dari empat unsur, yaitu api, udara, air dan tanah.
Anaxogoras (500-428 SM), yang menyatakan hakikat kenyataan
terdiri dari unsur-unsur yang tidak terhitung banyaknya, sebab
jumlah sifat benda dan semuanya dikuasai oleh suatu tenaga yang
dinamakannodus yaitu suatu zat yang paling halus yang memiliki
sifat pandai bergerak dan mengatur.
4. Kritik Terhadap Filsafat Sejarah Spekulatif
Kebenaran sistem spekulatif tidak dapat dipastikan, ia tidak
dapat divonis benar atau salah sebagaimana dalam penafsiran sejarah
atau teori ilmu alam. Dikarenakan sistem-sistem spekulatif memiliki
sifat metafisik. Ciri khasnya yaitu pernyataan metafisik tidak dapat
dinyatakan salah meskipun pernyataan tersebut tidaklah masuk akal.
Sistem spekulatif tidak dapat dikatakan memenuhi kaidah ilmiah.
Filsuf sejarah spekulatif berpotensi menemukan pola universal
dari masa lalu, dan beberapa dari pola ini bisa meramalkan mengenai
masa depan. Hal ini oleh Popper disebut sebagai historisisme. Popper

13
menyebut ada empat cara aliran historisisme membuktikan kesahihan
ramalannya yaitu melalui:
a. Rumusan sebuah hukum evolusi bagi proses sejarah;
b. Dinamika sosial yang pengaruhnya terhadap sejarah seperti
pengaruh dinamika bagi obyek fisik;
c. Kecenderungan-kecenderungan tertentu dalam proses sejarah yang
kemudian diproyeksikan ke depan;
d. Hukum-hukum gerak yang membawahi perkembangan sejarah.
Filsuf sejarah spekulatif berpendapat bahwa selaras dengan
teori Darwin dapat disusun suatu hukum evolusi bagi sejarah. Namun
pada dasarnya mereka salah karena Darwin bukanlah mengemukakan
teori evolusi sebagai hukum mengenai keseluruhan jalannya evolusi.
Darwin hanya mengemukakan bagaimana evolusi dapat terjadi, bukan
hendak meramalkan seperti apa arah evolusi ke masa depan.
Filsuf sejarah menggunakan arah perkembangan atau
kecenderungan yang terjadi di masyarakat. Segala aspek masyarakat
diteliti dan disimpulkan. Namun penggunaan trend oleh Popper ditolak
karena hanya berlangsung sesaat, gaya-gaya yang mendorong
perubahan masyarakat tersebut akan senantiasa berubah. Dalam sistem
spekulatif mengatakan bahwa dalam proses historis nampaklah suatu
trend menuju kemajuan artinya pengetahuan kita semakin banyak dan
tata tertib sosial makin sempurna, namun kesimpulan ini tidak
menghiraukan kondisi awal yang berbeda-beda.
Terakhir adalah filsuf sejarah berusaha mencari hukum gerak
yang menopang proses historis sehingga berdasar hukum itu dapat
diramalkan masa depan. Filsuf sejarah mendapat ilham dari ilmu alam,
dimana hukum alam telah diketahui dan dapat memperkirakan perilaku
sistem. Namun justru ilmu alam tidak membuat hukum pada sistem
yang majemuk dan bagian-bagian sistem sementara sejarah berurusan
dengan sistem yang majemuk.

14
Hal-hal diatas menjadikan filsafat sejarah kehilangan
wibawanya, Haskell Fain menyatakan bahwa ini merugikan sejarah.
Fain menyoroti perlunya menemukan hubungan kausal dalam
penulisan sejarah, dan membantah pernyataan Hume yang
menggambarkan kausalitas seperti hubungan korelasi. Ia menyatakan
perhatian sejarawan harus menggunakan filsafat sejarah spekulatif
untuk menunjukkan peristiwa-peristiwa yang pantas diteliti, peristiwa-
peristiwa yang mirip mengenai sifat dan kategorinya, sehingga pantas
dijadikan bagian dalam suatu cerita sejarah.
5. Filsafat Sejarah Kritis
Istilah filsafat sejarah merujuk pada aspek teoretis sejarah
dalam dua pengertian. Sudah menjadi kebiasaan untuk membedakan
filsafat kritis sejarah dengan filsafat spekulatif sejarah. Filsafat kritis
sejarah adalah aspek "teori" dari disiplin ilmu sejarah akademis, dan
berkaitan dengan permasalahan seperti asal-usul bukti sejarah, sejauh
mana objektivitas dapat dilakukan, dan sebagainya.
Filsafat spekulatif sejarah adalah bidang filsafat tentang
signifikansi hasil, jika ada, dari sejarah manusia. Lebih lanjut, teori ini
berspekulasi mengenai kemungkinan akhir teologis terhadap
perkembangannya-yaitu, mempertanyakan apakah ada prinsip-prinsip
desain, tujuan, atau petunjuk; atau finalitas dalam proses sejarah
manusia. Bagian dari Marxisme, misalnya, merupakan filsafat
spekulatif sejarah. Contoh lainnya adalah "historiosofi", istilah yang
dikenalkan pada 1838 oleh August Cieszkowski untuk menjelaskan
pemahamannya atas sejarah. Meski terdapat beberapa tumpang tindih,
keduanya biasanya dapat dibedakan; sejarawan profesional modern
cenderung skeptis mengenai filsafat spekulatif sejarah.
Terkadang filsafat kritis sejarah termasuk dalam historiografi.
Filsafat sejarah jangan sampai tertukar dengan sejarah filsafat, yang
merupakan kajian mengenai perkembangan gagasan filsafat dalam
konteks sejarahnya.

15
C. Sejarah Sebagai Pengetahuan Mengenai Masa Silam
1. Tugas Seorang Ahli Sejarah
Sejarawan adalah sebutan untuk ahli sejarah. Sejarawan
umumnya mempelajari dan menulis peristiwa di masa lampau, dan
dianggap punya wewenang dalam melakukan kajian tentang masa lalu.
Seorang Sejarawan akan menunjukan pola-pola perkembangan,
konteks dan kondisi-kondisi peristiwa serta akibatnya, yang semuanya
sukar diketahui dan dipahami oleh semua orang yang tidak mengalami
sendiri peristiwa-peristiwa tersebut. Sejarawan profesional banyak
ditemui di perguruan tinggi. Selain itu, Sejarawan juga bisa bekerja di
pusat kearsipan, museum, instansi pemerintah, ataupun jadi penulis
lepas.

2. Memahami Peristiwa Masa Silam


Sejarah sebagai kisah merupakan peristiwa sejarah pada masa
lalu yang dikisahkan kembali dalam bentuk data sejarah. Data itu
berdasarkan sumber tertulis, ingatan pelaku, berita media, dan sumber
lainnya. Pengisahan sejarah terbuka terhadap unsur subjektif pihak
yang mengisahkan, meskipun unsur objektif tetap harus diperhatikan.
Salah satu contohnya, sejarah perang Korea yang dikisahkan
oleh pihak Korea Selatan tentu akan memiliki perbedaan dengan yang
dikisahkan oleh pihak Korea Utara. Masing-masing pihak memiliki
penafsiran tersendiri terhadap fakta yang sama.
Sejarah sebagai kisah muncul dalam bentuk narasi (cerita) yang
menarik. Dalam hal ini, kebenaran sejarah sebagai kisah harus berada
di tengah antara objektivitas dan subjektivitas, sehingga jangan terlalu
objektif maupun subjektif. Apabila objektivitas ditekankan maka
sejarah bukan kisah lagi melainkan laporan fakta kejadian, begitu pula
jika subjektivitas dikedepankan maka sejarah akan bergeser menjadi
legenda.

16
3. Pandangan Kaum Skeptis Terhadap Pengetahuan Sejarah
Skeptisisme sebagai sebuah pemahaman bisa di runut dari
Yunani Kuno. Pemahaman yang kira-kira secara gampangnya “Tidak
ada yang bisa kita ketahui”, “Tidak ada yang pasti”, “Saya ragu-ragu.”
Sebuah pernyataan yang akan diprotes karena memiliki paradoks. Jika
memang tidak ada yang bisa diketahui, darimana kamu
mengetahuinya. Jika memang tidak ada yang pasti, perkataan itu
sendiri sesuatu kepastian. Setidaknya dia yakin kalau dirinya ragu-
ragu.
Skeptis juga dianggap sebagai sifat. Kadang kita juga
melakukannya tanpa kita sadari. Sifat skeptis artinya sifat meragukan
sesuatu. Tidak mau menerima dengan mudah. Selalu meragukan
sesuatu jika belum ada bukti yang jelas. Jika ada cerita maka tidak
langsung mempercayainya. Sifat semacam ini penting bagi ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan memerlukan suatu kepastian yang
seakurat mungkin oleh karena itu ilmuwan diharapkan skeptis.
Ilmuwan tidak boleh langsung percaya begitu saja terhadap berita,
percobaan dan lain sebagainya. Ini karena metode dalam ilmu
pengetahuan yang ketat.
Jika seseorang menyatakan sebuah teori misalnya “Naga itu
ada!” Ilmuan kemudian bertanya. Mana buktinya? Ilmu selalu
mempertanyakan bukti. Karena ilmu tidak boleh mudah percaya.
Karena di dunia banyak penipu dan pembohong, ada yang menyatakan
melihat sesuatu padahal tidak ada di sana. Ada juga yang merasa
melihat sesuatu padahal sebenarnya tidak. Jika komunitas ilmuwan
hendak mempercayai hal semacam ini tanpa bukti dan meminta yang
lain supaya percaya, maka ilmu pengetahuan akan dipenuhi hal-hal
yang tidak bisa dipercaya kebenarannya.
4. Mesin-mesin Waktu dan Verifikasionisme
Perjalanan menjelajah dengan mesin waktu ke masa lalu dan
masa depan disebut tak akan mengubah sejarah. Hal ini berdasarkan

17
studi yang dilakukan Universitas Queensland Australia. Studi ini
dilakukan seorang mahasiswa pascasarjana dan profesor fisika kampus
itu. Mereka membedah kasus klasik soal paradoks mesin waktu.
"Proses matematika yang kami temukan menunjukkan bahwa
perjalanan waktu dengan kehendak bebas dimungkinkan secara logis
di alam semesta kita tanpa (terjadi) paradoks," jelas Germain Tobar,
penulis utama studi ini.
Verifikasionisme, atau dikenal pula dengan Prinsip Verifikasi,
adalah paham kefilsafatan yang memahami bahwa hal atau ungkapan
yang secara nalar bermakna adalah tak lain selain hal atau ungkapan
yang dapat diverifikasi secara empiris (hal yang dapat diserap oleh
indra) atau sebuah kebenaran logis. Prinsip verifikasionisme umumnya
digunakan untuk mendukung penolakan bidang ilmu yang abstrak dan
tak dapat diindra misalnya, spiritualitas, metafisika, etika, dan estetika
karena bidang ilmu tersebut mendasari argumennya pada kebenaran
dan proposisi yang tak dapat diferivikasi. Menurut verifikasionisme,
argumen yang tak dapat diverifikasi, bermakna terbatas pada
memengaruhi emosi dan sikap seseorang, akan tetapi tidak bermakna
dalam hal kebenaran faktual.
Perkembangan verifikasionisme sebagian besar dilatar
belakangi, dan secara berkesinambungan memengaruhi, geliat
empirisme dan saintisme yang kuat pada tahun 1920-an. Hal tersebut
juga mendorong upaya beberapa filsuf seperti untuk mempersatukan
ilmu kefilsafatan dan sains dalam satu sudut pandang umum.
D. Fakta Sebagai Dasar Pengkajian Sejarah
1. Fakta dan Pernyataan
Banyak para ahli sejarah condong memandang fakta (historis)
sebagai dasar pengkajian sejarah yang mutlak. Fakta dapat ditentukan
dengan kepastian yang praktis tak dapat disangsikan dan andaikata
terjadi kesangsian maka dalam praktek ini dapat dipecahkan. Kadang-
kadang fakta kurang memadai untuk menentukan sebuah peristiwa

18
dengan kepastian. Becker memandang fakta historis itu sebagai sebuah
lambang bagi segala sesuatu yang dikaitkan oleh para ahli sejarah
dengan istilah fakta historis, ada segi-seginya yang menarik tetapi juga
yang kurang menarik.
Kelemahan yang paling dicela dalam teori Becker ialah, bahwa
ia mengabaikan perbedaan antara masa silam sendiri dan uraian kita
mengenai masa silam. Sebagai akibat diskusi historis, kita memang
akan mengaitkan makin banyak hal dengan suatu fakta historis tertentu
dan sebaliknya mengaitkan fakta itu dengan fakta-fakta lain pula,
tetapi ini tidak mengubah masa silam sendiri serta fakta-fakta dari
masa silam.
Dalam filsafat sejarah, tak ada suatu kesalahan yang demikian
sering dan suka dilakukan oleh para filsuf daripada mengacaukan fakta
dengan omongan mengenai fakta itu. Kekacauan umumnya terjadi
sehingga kita kita hampir ingin bertanya apakah dalam pengkajian
sejarah ada alasan untuk menghapus perbedaan tersebut.
2. Fakta Sejarah
Ankersmit memberi contoh mengenai fakta kuat melalui
sebuah peristiwa Juliu Caesar membawa pasukannya menyeberang
Rubikon. Tidak ada yang menyaksikan terjadinya peristiwa ini. Namun
fakta kuat ini tidak berdiri sendiri. Rubikon adalah sungai yang
menjadi batas wilayah Roma dengan wilayah barbarian. Wilayah
Roma adalah jurisdiksi senat, seorang Jendral yang ditugaskan keluar
seperti Caesar tidak diperkenankan masuk begitu saja. Maka kita dapat
melihat bahwa peristiwa ini tidaklah berdiri sendiri, ia memiliki kaitan
dengan peristiwa lainnya.
Becker mengungkapkan bahwa fakta terdapat dalam benak
sejarawan. Kita memandang masa silam dengan kondisi mental kita
saat ini, dan dengan kondisi inilah timbul fakta dalam benak kita.
Namun Ankersmit menyanggah bahwa kita harus membedakan antara
fakta dengan pernyataan mengenai fakta. Fakta dapat terkandung dari

19
catatan atau sumber, dan sejarawan memberikan pernyataan mengenai
fakta tersebut.
3. Fakta Unik dan Fakta General
Fakta unik adalah fakta yang terkandung dalam suatu kejadian
yang hanya satu kali terjadi. Berbeda dengan ilmuwan pasti, sejarawan
tidak (atau amat jarang) memberikan pernyataan umum atau fakta
general. Bila seorang sejarawan memberikan suatu fakta umum, maka
ia akan membatasinya dengan batasan tempat dan waktu.

4. Pernyataan-pernyataan Mengenai Masa Silam


Yang dimaksud dengan pernyataan historis adalah pernyataan-
pernyataan mengenai fakta historis. Suatu pernyatan historis
memberikan gambaran keadaan historis yang diceritakan sejarawan.
Pernyataan yang diberikan sejarawan ini dapat tunggal bila faktanya
unik, dapat pula jamak bila faktanya general. Sejarawan tidaklah perlu
merumuskan suatu pernyataan umum sebagaimana ilmuwan, oleh
karenanya ia tidak perlu menyelidiki kesahihan pernyataan umum.

5. Empat Teori Kebenaran Sejarah


Dalam memahami fakta maka kita berusaha mendapatkan
kebenaran. Terdapat 4 teori mengenai kebenaran (theory of truth).
a. Teori tindak bahasa, teori tindak bahasa dapat diterangkan sebagai
teori mengenai pernyataan. Dalam teori tindak bahasa pernyataan
“X” tidak ada bedanya dengan “X adalah benar.” Teori ini tidak
banyak memberi perspektif dalam kajian sejarah.
b. Teori pragmatis, dalam teori ini suatu pernyataan dinyatakan benar
bilamana pernyataan tersebut memberi manfaat. Misalnya saja
penyataan “hujan terjadi setiap rabu sore” akan benar bila selama
kita dapat menyaksikan hari rabu, kita menemui hujan. Dalam
kajian sejarah ini bukanlah perspektif yang diperlukan.
c. Teori korespondensi, menurut teori ini suatu pernyataan dikatakan
benar bila ia bersesuaian dengan kenyataan.

20
d. Teori koherensi, suatu pernyataan benar bila sesuai dengan
pernyataan lainnya.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ditinjau dari sudut sejarah, filsafat Barat memiliki empat
periodisasi. Periodisasi ini didasarkan atas corak pemikiran yang dominan
pada waktu itu. Pertama, adalah zaman Yunani Kuno, ciri yang menonjol
dari filsafat Yunani kuno adalah ditujukannya perhatian terutama pada
pengamatan gejala kosmik dan fisik sebagai ikhtiar guna menemukan asal
mula (arche) yang merupakan unsur awal terjadinya gejala-gejala.
Para filosof pada masa ini mempertanyakan asal usul alam
semesta, sehingga ciri pemikiran filsafat pada zaman ini disebut
kosmosentris. Kedua, adalah zaman Abad Pertengahan, ciri pemikiran
filsafat zaman ini di sebut teosentris. Para filosof pada masa ini memakai
pemikiran filsafat untuk memperkuat dogma-dogma agama Kristiani,
akibatnya perkembangan alam pemikiran Eropa pada abad pertengahan
sangat terkendala oleh keharusan untuk disesuaikan dengan ajaran agama,
sehingga pemikiran filsafat terlalu seragam bahkan dipandang seakan-akan
tidak penting bagi sejarah pemikiran filsafat sebenarnya.

21
Ketiga, adalah zaman Abad Modern, para filosuf zaman ini
menjadikan manusia sebagai pusat analisis filsafat, maka corak filsafat
zaman ini lazim disebut antroposentris. Filsafat Barat modern dengan
demikian memiliki corak yang berbeda dengan filsafat Abad Pertengahan.
Letak perbedaan itu terutama pada otoritas kekuasaan politik dan ilmu
pengetahuan. Jika pada Abad Pertengahan otoritas kekuasaan mutlak
dipegang oleh Gereja dengan dogma-dogmanya, maka pada zaman
Modern otoritas kekuasaan itu terletak padakemampuan akal manusia itu
sendiri.
Manusia pada zaman modern tidak mau diikat oleh kekuasaan
manapun, kecuali oleh kekuasaan yang ada pada dirinya sendiri yaitu akal.
Kekuasaanyang mengikat itu adalah agama dengan gerejanya serta Raja
dengan kekuasaan politiknya yang bersifat absolut. Keempat, adalah abad
Kontemporer dengan ciri pokok pemikiran logosentris, artinya teks
menjadi tema sentral dikursus filsafat.
B. Saran
Diharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, dan
selalu ada perkembangan bagi metode sejarah filsafat hingga zaman saat
ini. Jika ada kesalahan atau kekurangan harap dimaklumi dan diberi saran
agar kami bisa memperbaiki kesalahan yang ada, dan mampu
mengembangkan lebih baik akan makalah ini.

22
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rozak, Isep Zainal Arifin, Filsafat Umum, Bandung: Gema Media
Pusakatama, 2002.
Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, Bandung: PT Pustaka Setia, 1997.
Ankersmit, F.R.. 1987. Refleksi tentang Sejarah: Pendapat-Pendapat Modern
tentang Filsafat Sejarah. Gramedia. Jakarta
Becker, Carl Lotus. “What are Historical Facts”. The Western Political Quarterly.
Vol. 8, No. 3 (Sep., 1955), pp. 327-340.
http://www.jstor.org/stable/442890
Becker, Carl Lotus. Pidato dalam pertemuan American Historian Association,
Desember 29, 1931 “Everyman His Own Historian”.
Beerling, R.F. 1966. Filsafat Dewasa Ini. Terj. Hasan Amin, Djakarta:Balai
Pustaka.
Dagun, Save M. 1990. Filsafat Eksistensialisme, Jakarta:Rineka Cipta.
Berkhofer, Robert F. Beyond the great story: history as text and discourse.
(Harvard University Press, 1995)
Berlin, Isaiah. Three critics of the Enlightenment: Vico, Hamann, Herder, (2000)
Bullock, Allan; Trombley, Stephen, ed. (1999). The New Fontana Dictionary of
Modern Thought. Harper Collins. hlm. 775.
Faisal, rasid (12). [Pasaloha "daimon free fire"] Periksa nilai |url= (bantuan).

23
http://legalstudies71.blogspot.com/2017/01/pengetahuan-apriori-dan-
pengetahuan.html
http://miftarlstni28.blogspot.com/2016/12/manfaat-mempelajari-filsafat-
sejarah.html
https://campus.quipper.com/careers/sejarawan
https://hamdani46.wordpress.com/2015/07/15/filsafat-sejarah/
https://sangkalafatamorgana.wordpress.com/2013/01/01/fakta-pernyataan-
mengenai-fakta-serta-kebenaran-dalam-pengkajian-sejarah/
https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20200929142908-199-552266/studi-
perjalanan-mesin-waktu-tak-akan-ubah-sejarah
https://www.kelaspintar.id/blog/tips-pintar/memahami-sejarah-sebagai-kisah-dan-
peristiwa-5918/"Skeptisisme dalam Ilmu". Diakses tanggal 18 Agustus
2015.
Lycan, WIlliam G. "Verificationism". … was a highly political theory of meaning.
It was motivated by, and reciprocally helped to motivate, a growing
empiricism and scientism in philosophy and in other disciplines. In
particular, it was the engine that drove the philosophical movement of
Logical Positivism, which was correctly perceived by moral philosophers,
poets, theologians and many others as directly attacking the foundations
of their respective enterprises.
Mohammad Hadi Sundoro. 2009. Teka-Teki Sejarah: Berbagai Persoalan
Tentang Filsafat Sejarah. Jember University Press. Jember.
Praja, juhaya s. 2006. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. Bandung: Yayasan PIARA
(Pengembangan Ilmu Agama dan Humaniora).
Rose, Elizabeta "The Philosophy of History" Writings of the Contemporary World
(2011)
Rustam E. Tamburaka, Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah,
Sejarah Filsafat dan Iptek, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hal.143.

24

Anda mungkin juga menyukai