Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN

PRAKTIKUM FITOKIMIA
IDENTIFIKASI SENYAWA GOLONGAN ANTRAKINON
(Ekstrak Rheum officinale L.)

NAMA : NIA ZUARDINA


NIM/KELAS : 201510410311117/FARMASI C

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2018
IDENTIFIKASI SENYAWA GOLONGAN ANTRAKINON

(Ekstrak Rheum officinale L.)

1.1 TUJUAN

Mahasiswa mampu melakukan identifikasi senyawa golongan antrakinon dalam tanaman.

1.2 TINJAUAN PUSTAKA


1.2.1 Klasifikasi Kelembak
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Poligonales
Famili : Pologonaceae
Genus : Rheum
Spesies : Rheum officinale L.
(Kasahara,1995).

(Gambar kelembak) (Gambar kelembak)


Herba besar, tegak, bertahunan dengan tinggi lebih dari 2,5 m; rizoma dan
akarnya tebal, bercabang, hampir berdaging, kuning muda. Daun sebagian di roset yang
radikal, sebagian membentuk susunan spiral di batang tegak, helaian daun bundar,
pangkal daun menjantung, cuping menjari mendalam, cuping bundar telur-lonjong atau
melanset. Perbungaan malai, bebas, berambut. Bunga biseksual, daun tenda merah,
kadang-kadang merah muda atau keputih- putihan. Buah menyegitiga, coklat, lebih
panjang dari pada mahkota bunga, bersayap 3. Kelembak mempunyai kandungan
antranoid, khusunya glikosida antrakinon seperti rhein (semosida A dan B), aloe-
emodin, physcion. Juga mengandung asam oksalat, tanin yaitugallotanin, katekin dan
prosianidin. Sedangkan kandungannya yang lain adalah pektin, asam fenolat (Newall
et al, 1996; Bradley, 1992; Chirikdjan et al, 1983).
Tanaman kelembak (Rheum officinale) yang telah diketahui mengandung
senyawa antrakinon bersifat non polar dan berfungsi sebagai laksansia (urus-
urus/pencahar); tetapi juga mengandung senyawa tanin yang bersifat polar dan
berfungsi sebagai astringent/pengelat dan bisa menyebabkan konstipasi untuk
menghentikan diare. Lain lagi dengan buah mengkudu (Morinda citrifolia) yang pernah
populer karena disebutkan dapat untuk pengobatan berbagai macam penyakit (Katno
dan Pramono,2010).
Rheinosida bersifat sebagai pencahar (mengatasi konstipasi). Karena itu
penggunaannya sebagai pencahar akan efektif sekitar 6 jam dan terkadang bisa menjadi
tidak aktif dalam waktu 24 jam setelah pemakaian oral (Katno dan Pramono,2010).

1.2.2 Senyawa Antrakinon


Senyawa antrakinon adalah glikosida yang aglikonnya sekerabat dengan
antrasena yang memiliki gugus karbonil pada kedua atom C yang berseberangan
(atom C9 dan C10) atau hanya C9 (antron) dan C9 ada gugus hidroksil (antranol). Zat
ini berkhasiat sebagai laksativum. Di alam, terdapat sekitar 40 turunan antrakuinon
yang berbeda. Umumnya antrakinon ditemukan pada Lichenes dan Fungi tertentu.
Glikosida antrakinon bersifat mudah terhidrolisis seperti glikosida lainnya. Glikosida
ini jika terhidrolisis menghasilkan aglikon di-, tri-, atau tetrahidroksi antrakuinon atau
modifikasinya sedangkan bagian gulanya tidak menentu (Stahl,1985).

1.2.3 Identifikasi Senyawa Antrakinon


Semua antrakinon memberikan warna reaksi yang khas dengan reaksi Borntraeger jika
Amonia ditambahkan: larutan berubah menjadi merah untuk antrakinon dan kuning
untuk antron dan diantron. Antron adalah bentuk kurang teroksigenasi dari antrakinon,
sedangkan diantron terbentuk dari 2 unit antron. Antrakinon yang mengandung gugus
karboksilat (rein) dapat diekstraksi dengan penambahan basa, misalnya dengan
natrium bikarbonat. Hasil reduksi antrakinon adalah antron dan antranol, terdapat
bebas di alam atau sebagai glikosida. Antron bewarna kuning pucat, tidak
menunjukkan fluoresensi dan tidak larut dalam alkali, sedangkan isomernya, yaitu
antranol bewarna kuning kecoklatan dan dengan alkali membentuk larutan berpendar
(berfluoresensi) kuat. Oksantron merupakan zat antara (intermediate) antara
antrakinon dan antranol. Reaksi Borntraeger modifikasi Fairbairn, yaitu dengan
menambahkan hidrogen peroksida akan menujukkan reaksi positif (Stahl,1985).

1.2.4 Ekstrak dan Ekstraksi


Ekstrak adalah sediaan pekat diperoleh dengan cara ekstraksi senyawa aktif dari
simplisia nabati atau simplisia hewani dengan pelarut yang sesuai Salah satu kriteria
ekstrak yang baik yakni terdapat senyawa aktif, baik secara kuantitas dan kualitas
sehingga memiliki aktivitas biologis tinggi. Pemilihan pelarut dalam proses penyarian
adalah salah satu faktor yang berpengaruh dalam menghasilkan ekstrak yang baik.
Cairan pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang optimal untuk
ekstraksi senyawa aktif, sehingga senyawa tersebut dapat terpisahkan dari bahan dan
dari senyawanya (Stahl,1985).
Pelarut yang optimal dapat menyari senyawa aktif dengan baik dan selektif
sehingga ekstrak hasil penyarian memiliki aktivitas yang paling tinggi. Untuk
didapatkan komposisi pelarut yang optimal perlu dilakukan suatu proses optimasi.
Simplex Lattice Design (SLD) adalah salah satu metode yang umum digunakan dalam
proses optimasi di berbagai bidang, beberapa di antaranya adalah dalam bidang,
formulasi kimia, serta obat farmasi (Stahl,1985).
Ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan dari campurannya dengan
menggunakan pelarut yang sesuai. Proses ekstraksi dihentikan ketika tercapai
kesetimbangan antara konsentrasi senyawa dalam pelarut dengan konsentrasi dalam
sel tanaman. Setelah proses ekstraksi, pelarut dipisahkan dari sampel dengan
penyaringan. Ekstrak awal sulit dipisahkan melalui teknik pemisahan tunggal untuk
mengisolasi senyawa tunggal. Oleh karena itu, ekstrak awal perlu dipisahkan ke dalam
fraksi yang memiliki polaritas dan ukuran molekul yang sama (Stahl,1985).
Identifikasi golongan senyawa dilakukan dengan uji warna, penentuan kelarutan,
bilangan Rf dan ciri spectrum UV. Identifikasi yang paling penting dan digunakan
secara luas ialah pengukuran spektrum serapan dengan menggunakan
spektrofotometer (Stahl,1985).

1.2.5 KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS

I. Definisi dan prinsip KLT

Kromatografi lapis tipis ialah metode pemisahan fisikokimia. Lapisan yang


memisahkan, yang terdiri atas bahan berbutir butir (fase diam), ditempatkan pada
penyangga berupa pelat gelas, logam atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan
dipisah, berupa larutan, ditotolkan berupa bercak atau pita (awal). Setelah pelat atau
lpaisan ditaruh didalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang
cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan).
Selanjutnya, senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan. Untuk campuran yang
tidak diketahui, lapisan pemisah (sifat penjerap) dan sistem larutan pengembang harus
dipilih dengan tepat karena keduanya bekerja sama untuk mencapai pemisahan. Selain
itu hal yang paling penting adalah memilih kondisi kerja yang optimum yang meliputi
sifat pengembangan atmosfer bejana, dan lain lain. Gambar 2 menunjukkan kaitan erat
antara semua faktor tersebut (Stahl,1985).

Pada prinsipnya hidrokarbon jenuh terjerap sedikit atau tidak sam sekali, karena itu
bergerak paling cepat. Penjerapan hidrikarbon tidak jenuh meningkat dengan
meningkatnya jumlah ikatan rangkap dan ikatan rangkap terkonyugasi. Oleh karena itu
untuk pemisahan, harus digunkan suatu penjerap yang aktif dan pelarut pengembang
yang kurang polar (Stahl,1985).

II. Kondisi Baku


A. Fase diam (lapisan penjerap)
Lapisan dibuat dari salah satu penjerap yang khusus digunakan untuk KLT yang
dihasilkan oleh berbagai perusahaan. Bila dilihat dalam sinar jatuh dan sinar lewat,
lapisan yang kering mempuyai wajah yang seragam dan membentuk ikatan yang baik
dengan penyanggaa. Panjang lapisan tersebut 200 mm dan lebar 200 atau 100 mm.
Untuk analisis, tebalnya 0,1- 0,3 mm, biasnaya 0,2 mm. Sebelum digunakan, lapisan
disimpan dalam lingkungan yang tidak lembab dan bebas dari uap laboratorium
(Stahl,1985).
Penjerap yang umumnya adalah silika gel, aluminium oksida, kieselgur, selulosa
dan turunanya, poliamida dan lain-lain. Dan yang paling sering digunakan ialah silika
gel. Silika gel mengahasilkan perbedaan dalam efek pemisahan yang tergantung kepada
cara pembuatannya sehingga silika gel G merck menurut spesifikasi Stahl, yang
diperkealkan tahun 1958, telah diterima sebagai bahan standar. Selain itu harus diingat
bahawa penjerap seperti aluminium oksida dan silika gel mempunyai kadar air yang
berpengaruh nyata terhadap daya pemisahanya (Stahl,1985).
B. Fase gerak (pelarut pengembang)
Fase gerak ialah medium angkut dan terdiri atas satu atau beberapa pelarut. Ia
bergerak didalam fase diam, yaitu lapisan berpori. Karena ada gaya kapiler. Yang
digunakan hanyalah pelarut bertingkat mutu analitik dan bila diperlukan sistem pelarut
multi komponen ini harus berupa suatu campuran sesederhana mungkin yang terdiri
atas maksimum tiga komponen (Stahl,1985).

Tabel 1 : Deret eluotropi (efek elusi naik mulai dari atas ke bawah)
Pelarut Td ⁰C/760 torr Tetapan Viskositas Cp
pengembang dielektrik € pada 20⁰C
pada 20⁰C

n-Heksana 68,7 1,890 0,326


Heptana 98,4 1,924 0,409

Sikloheksana 81,4 2,023 1,02

Karbontetraklorida 76,8 2,238 0,969

Benzena 80,1 2,284 0,652

Kloroform 61,3 4,806 0,580

Eter (dietil eter) 34,6 4,34 0,233

Etil asetat 77,1 6,02+ 0,455

Piridina 115,1 12,3+ 0,974

Aseton 56,5 20,7+ 0,316+

Etanol 78,5 24,30+ 1,2

Metanol 64,6 33,62 0,597

Air 100,0 80,37 1,005

(Stahl,1985).

III. Silika gel


Silika gel merupakan penjerap yang paling sering digunakan dalam studi KLT.
Silika gel disiapkan dengan hidrolisis nitrium silikat menjadi asam polisilikat yang
mengalami kondensasi dan polimerisasi lebih lanjut menghasilkan bahan silika gel.
Sintesis silika dapat dikontrol sehingga dihasilkan silika gel dengan kemurnian yang
tinggi,serta dengan luas permukaan dan ukuran pori tertentu (Gandjar dan
Rohman,2012).
Daya pisah dan efisiensi pemisahan yang diperoleh tergantung pada ukuran dan
distribusi ukuran partikel. Daya pisah akan meningkat seiring dengan semakin
seragam dan kecilnya ukuran partikel.lempeng KLT silika gel yang beredar
dipasaran mempunyai rata-rata ukuran partikel 10µm dengan kisaran ukuran partikel
yang lebih sempit. Sementara itu, HPTLC menggunakan silika gel dengan ukuran
partikel 5-6µm (Gandjar dan Rohman,2012).

IV. Aplikasi (penotolan) sampel


Sampel harus diaplikasikan/ditotolkan pada lempeng KLT dengan sangat hati-hati
dan dengan pertimbangan bahwa gangguan yang mungkin timbul pada lempeng KLT
dikendalikan sekecil mungkin. Pada umumnya sampel secara manual ditotolkan
melalui pipa kapiler,mikropipet atau melalui penyuntik mikro kaca yang telah
dikalibrasi sedemikian rupa sehingga tetesan yang datang tepat menyentuh permukaan
lempeng, sementara ujung alat penotolan masih tetap diatas penjerap lempeng KLT
(Gandjar dan Rohman,2012).
Pemisahan pada kromatografi lapis tipis yang optimal akan diperoleh hanya jika
penotolan sampel dengan ukuran bercak sekecil dan sesempit mungkin. Sebagaimana
dalam prosedur kromatografi yang lain, jika sampel yang digunakan terlalu banyak
maka akan menurunkan resolusi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penotolan
sampel secara otomatis lebih dipilih daripada penotolan secara manual terutama jika
sampel yang akan ditotolkan lebih dari 15µm (Gandjar dan Rohman,2012).

Tabel 2 : Campuran pelarut yang digunkan dalam KLT untuk berbagai


pemidahan yang representatif

Bahan Proses Senyawa Sistem Metode Keterangan


Penjerap sorpsi yang pelarut deteksi
yang dipisahkan
dominan
Silika Adsorpsi Asam amino Butanol- Ninhidrit atau Pengembangan
asam asetat- densitometer 2 dimensi
air (4:1:1)
fenol-air
(3:1)
Asam lemak Dipropileter- Indikator pH Pengembangan
heksana(1:1) atau asam 2 dimensi,
sulfat 50% pejerap
dilengkapi
dengan
pengikat dan
AgNO3
Asam-asam Petroleum Iodium atau
lemak tidak eter-dietil ete difenilkarbazol
jenuh
Lemak- Kloroform- Iodium ata Sesuai untuk
lemak metanol-air asam sulfat fosfolipid dan
(65:25:4) 50% lipid-lipid
netral
Minyak Kloroform- Fluoresens ata
hidrokarbon benzena asam sulfat
pekat
Sterol Kloroform- Asam sulfat Penjerap
aseton (95:5) 50% dilengkapi
dengan
pengikat dan
AgNO3
Gula-gula Etil asetat- Α-naftol-asam
asam asetat- sulfat
metanil-air
(60:15:15:10)
Tabel 3 : Campuran pelarut yang digunkan dalam KLT untuk berbagai
pemidahan yang representatif.

alumina Adsorpsi Asam-asam Butanol- Ninhidrit


amino etanol-air
Vitamin Heksan- Antimon Penjerapan
aseton klorida dalam dilengkapi
asam asetat dengan
pengikat dan
AgNO3
Gula-gula Propanol-air- Α-naftol-asam
kloroform(6: sulfat
2:1)
Kaiselguhr Adsorpsi Disakarida Propanol-etil Α-naftol-asam
atau partisi asetat(65:35) sulfat
Karotenoid Propanol- Visual
petroleum
etr-dietil eter
Selulosa partisi Asam Butanol-asam Ninhidrin
amino asetat(60:15:
25)
Karbohidrat Butanol- Ρ-anisidin
piridin- ftalat
air(6:4:3)
(Gandjar dan Rohman,2012).
V. Deteksi Bercak
Cara fisika yang dapat digunakan untuk menampakkan bercah adalah dengan
pencacahan radioaktif dan fluoresensi menyebabkan ultraviolet. Fluoresensi sinar
ultraviolet terutama untuk senyawa yang dapat berfluoresensi maka bercak akan terlihat
jelas. Jika senyawa tidak dapat berfluoresensi maka bahan penyerapnya diberi indikator
yang berfluoresensi, dengan demikian bercak akan kelihatan hitam sedang latar
belakangnya akan kelihatan berfluoresensi. Berikut ini cara-cara kimiawi untuk mendeteksi
bercak:
a. Menyemprot lempeng KLT dengan reagen kromogenik yang akan bereaksi secara
kimia dengan seluruh solut yang mengandung gugus fungsional tertentu sehingga
bercak menjadi berwarna
b. Mengamati lempeng di bawah lampu untra violet yang dipasang pada panjang
gelombang emisi 254 atau 366 untuk menampakkan solut sebagai bercak yang gelap
atau bercak yang berfluoresensi terang pada dasar yang berfluoresensi seragam.
Lempeng yang diperdagangkan dapat dibeli dalam bentuk lempeng yang sudah deberi
senyawa fluoresen yang tidak larut yang dimasukkan ke dalam fase diam untuk
memberikan dasar fluoresensi atau dapat pula dengan menyemprotka lempeng dengan
reagen fluorogenik setelah dilakukan pengembangan.
c. Menyemprot lempeng dengan asam sulfat pekat atau asam nitrat pekat diikuti
pemanasan untuk mengoksidasi solut-solut organik yang akan nampak sebagai bercak
hitam sampai kecoklatan.
d. Memaparkan lempeng dengan uap iodium dalam chamber tertutup,
e. Melakukan scanning pada permukaan lempeng dengan densitometer, suatu instrumen
yang dapat mengukur intensitas radiasi yang direfleksikan dari permukaan lempeng
ketika disinari dengan lampu UV atau lampu sinar tampak (Gandjar dan
Rohman,2012).
1.3 ALAT DAN BAHAN

I. Alat
 Pipet
 Tisu dan kain lap
 Sudip
 Label
 Penjepit kayu
 Aluminium foil
 Pinset
 Vial 10 ml
 KLT
 Plat kaca
 Penangas Air
 Tabung reaksi
 Batang pengaduk
 Corong
 Corong Pisah
II. Bahan
 Ekstrak Rheum officinale
 Aquadest
 Toluena
 KOH
 H2O2
 Asam Asetat Glasial
 Amonia Pekat
 Kiesel gel GF 254
1.4 PROSEDUR KERJA

a. Reaksi warna
1. Uji Borntrager
1) Ekstrak sebanyak 0.3 gram diekstraksi dengan 10 ml aquadest, saring, lalu filtrat
diekstraksi dengan 5 ml dalam corong pisah.
2) Ekstraksi dilakukan sebanyak dua kali. kemudian fase toluena dikumpulkan dan
dibag menjadi dua bagian, disebut sebagai larutan VA dan VB.
3) Larutan VA sebagai blanko, larutan VB ditambah amonia pekat 1 ml dan
dikocok.
4) Timbulnya warna merah menunjukkan adanya senyawa antrakinon.
2. Uji Modofikasi Borntrager
1) Ekstrak sebanyak 0.3 gram ditambah dengan 5 ml KOH 0,5 N dan 1 ml H2O2
encer
2) Dipanaskan semalam 5 menit dan disaring, filtrat ditambah asam asetat glasial,
kemudian diekstraksi dengan 5 ml toluena.
3) Fase toluena diambil dan dibagi menjadi dua sebgai larutan VIA dan VIB.
4) Larutan VIA sebagai blanko, larutan VIB ditambah amonia pekat 1 ml.
Timbulnya warna merah atau merah muda pada lapisan alkalis menunjukkan
asanya antrakinon.
b. Kromatografi lapis tipis (KLT)
1. Sampel ditotolkan pada fase diam. Uji Kromatografi lapis tipis ini menggunakan :
Fase diam : Kiesel gel 254
Fase gerak : Toluena-etil asetat-asam asetat glasial (75:24:1)
Penampak noda : Larutan KOH 10% dalam metanol
2. Timbulnya noda berwarna kuning, kuning coklat, merah ungu atau hijau ungu
menunjukkan adanya senyawa antrakinon.
1.5 BAGAN ALIR

a. Reaksi Warna
1. Uji Borntrager

Ekstrak sebanyak 0.3 gram diekstraksi dengan 10 ml aquadest,


saring, lalu filtrat diekstraksi dengan 5 ml dalam corong pisah.

Ekstraksi dilakukan sebanyak dua kali. kemudian fase toluena


dikumpulkan dan dibagi menjadi dua bagian, disebut sebagai
larutan VA dan VB.

Larutan VA sebagai blanko, larutan VB ditambah amonia pekat 1


ml dan dikocok.

Timbulnya warna merah menunjukkan adanya senyawa antrakinon.

2. Uji Modifikasi Borntrager

Ekstrak sebanyak 0.3 gram ditambah dengan 5 ml KOH 0,5 N dan 1


ml H2O2 encer

Dipanaskan semalam 5 menit dan disaring, filtrat ditambah asam


asetat glasial, kemudian diekstraksi dengan 5 ml toluena.

Fase toluena diambil dan dibagi menjadi dua larutan VIA dan VIB.

Larutan VIA sebagai blanko, larutan VIB ditambah amonia pekat 1


ml. Timbulnya warna merah atau merah muda pada lapisan alkalis
menunjukkan asanya antrakinon.
b. Kromatografi lapis tipis (KLT)

Sampel ditotolkan pada fase diam.

Uji kromatografi lapis tipis ini menggunakan


Fase diam : Kiesel gel 254
Fase gerak : Toluena-etil asetat-asam asetat glasial (75:24:1)

Penampak noda : Larutan KOH 10% dalam metanol

Timbulnya noda berwarna kuning, kuning coklat, merah ungu atau


hijau ungu menunjukkan adanya senyawa antrakinon.
DAFTAR PUSTAKA
Harbone, J, B. 1987. Metode Fitokimia. Bandung : Penerbit ITB.

Tjitrosoepomo, G. 2005. Taksonomi Tumbuhan Obat-Obatan. Yogjakarta : Gadjah Mada


University Press.

Salisbury dan Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Bandung : Penerbit ITB.

Agoes, A. 2012. Tanaman Obat Indonesia. Jakarta : Salemba Medika.

Rukman, R. 1996. Jambu Biji. Yogjakarta : Penerbit Kasinius.

Gandjar dan Rohman. 2012. Analisis Obat. Yogjakarta : Pustaka Pelajar

Anda mungkin juga menyukai