Jawab :
Sumber : Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2015. Panduan Praktik Klinik :
Diagnosis dan Penatalaksanaan Demensia. Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia
4. Lobus oksipitalis
Lobus oksipitalis berfungsi mengatur penglihatan primer, visuospasial, memori
dan bahasa
Sumber : Waxman, S.G. 2007. The limbic system in Clinical Neuroanatomy. New York : The
Macgraw-Hill Companies
3. Struktur ingatan dapat dibedakan menjadi tiga sistem, yaitu: (a) sistem ingatan sensorik
(sensory memory), (b) sistem ingatan jangka pendek atau short term memory (STM), dan (c)
sistem ingatan jangka panjang atau long term memory (LTM). Sistem ingatan tersebut dikenal
sebagai model paradigma Atkinson dan Shiffrin yang telah disempurnakan oleh Tulving dan
Madigan.
Memori sensori mencatat informasi atau stimuli yang masuk melalui salah satu atau
kombinasi dari panca indra, yaitu secara visual melalui mata, pendengaran melalui telinga, bau
melalui hidung, rasa melalui lidah, dan rabaan melalui kulit. Bila informasi atau stimuli tersebut
tidak diperhatikan akan langsung terlupakan, namun bila diperhatikan maka informasi tersebut
ditransfer ke sistem ingatan jangka pendek. Sistem ingatan jangka pendek menyimpan informasi
atau stimuli selama sekitar 30 detik, dan hanya ekitar tujuh bongkahan informasi (chunks) dapat
disimpan dan dipelihara di sistem memori jangka pendek dalam suatu saat.
Setelah berada di sistem memori jangka pendek, informasi tersebut dapat ditransfer lagi
dengan proses pengulangan ke sistem ingatan jangka panjang untuk disimpan, atau dapat juga
informasi tersebut hilang/terlupakan karena tergantikan oleh tambahan bongkahan informasi
baru (displacement). Selanjutnya setelah berada di sistem memori jangka panjang, informasi
tersebut dapat diperoleh kembali melalui strategi tertentu, atau informasi tersebut terlupakan
(gagal atau tidak dapat diperoleh kembali) karena adanya kekurangan dalam sistem
pengarsipannya.
Sumber : Bhinnety, M. 2016. Struktur dan Proses Memori. Buletin Psikologi. Vol 16 (2). Viewed
on 03 Oktober 2019. From <http://jurnal.ugm.ac.id>
4. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana yang sistematis dalam upaya memanusiakan
manusia. Pendidikan mempunyai peranan yang sangat menentukan bagi perkembangan dan
kualitas diri individu. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara
tingkat pendidikan terhadap kejadian gangguan daya ingat (demensia) pada lansia secara
statistik, hal ini dapat diketahui dari hasil analisis Pearson yang menunjukkan nilai p < 0,05.
Hasil ini sama dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa semakin rendah tingkat
pendidikan seseorang maka semakin tinggi angka prevalensi demensia Alzheimer. Para ahli juga
berpendapat bahwa semakin sering kita melatih dan menggunakan otak kita, maka kemunduran
kognitif dapat diperlambat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ngandu (2007), bahwa seseorang
yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi memiliki faktor pelindung dari risiko terkena
demensia, tetapi hanya untuk menunda onset manifestasi klinis. Faktor psikososial juga
mempengaruhi keparahan dan perjalanan demensia. Semakin tinggi intelegensia dan pendidikan
premorbid pasien, semakin baik kemampuan pasien untuk mengkompensasi defisit intelektual.
Dalam penelitian Fransisko et al. (2006), Metaanalitik study didapatkan bahwa tingkat
pendidikan seseorang, merupakan faktor risiko terjadinya demensia terutama penyakit Alzaimer.
Tingkat pendidikan yang lebih tinggi, mampu mentolerir lebih banyak penyakit di otak serta
mencegah timbulnya demensia dan yang berpendidikan tinggi tidak mempunyai risiko demensia
dimana menunjukkan tanda-tanda fungsi saraf yang lebih baik di dalam otaknya dibandingkan
dengan orang yang berpendidikan_lebih_rendah.
Sumber : Maryam, R., et al. 2015. HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN DAN ACTIVITY
DAILY LIVING DENGAN DEMENSIA PADA LANJUT USIA DI PANTI WERDHA.
Poltekkes. 1-13. Viewed on 03 Oktober 2019. From <http://googlescholar.com>
5. Terapi untuk demensia, baik demensia Alzheimer maupun jenis lainnya pada saat ini bersifat
simtomatik, artinya mengobati gejala (yang dianggap bermasalah) bukan mengatasi sumber
penyakit sehingga penyakit dapat dihilangkan dan pasien kembali ke keadaan sedia kala. Di
Indonesia ada beberapa jenis obat untuk memperbaiki fungsi memori dan aktivitas harian, yaitu
obat golongan penghambat asetil kolin esterase seperti donepezil, galantamine dan rivastigmine.
Jenis lainnya adalah obat golongan NMDA (N Methyl D Aspartat) yaitu memantine. Obat
simtomatik lainnya adalah dengan beberapa obat psikotropik (anti psikotik atau antidepresi)
dengan target memperbaiki " gangguan perilaku pada demensia" (GPPD) atau behavior and
psychological symptoms of demensia (BPSD) yang merupakan gejala perifer atau komplikasi
demensia. GPPD ini seringkali menjadi sumber stres bagi keluarga atau care giver sehingga
mendorong mereka membawa pasien ke rumah sakit atau ke panti perawatan. Untuk mengatasi
gejala BPSD/ GPPD harus diutamakan intervensi non farmakologis seperti terapi orientasi, terapi
reminiscence, stimulasi-rehabilitasi kognitif, terapi seni, terapi gerak, terapi warna, terapi pijat/
akupuntur, dan lain-lain. Bila intervensi nonfarmakologis tidak berhasil, dapat dicoba pemberian
obat psikotropik dengan pengawasan psikiater. Terapi alternatif kornplementer antara lain adalah
Taichi, musik, seni tari, seni suara, stimulasi sensorik clan lain-lain. Gerakan dalam sholat, jika
clilakukan clengan benar merupakan terapi alternatif untuk fisik dan rnentaljjiwa yang sakit.
Perawatan bagi orang demensia merupakan bagian penting yang perlu dihayati filosofinya, untuk
dipraktikan terhadap ODD dengan rnernakai prinsip person centered care.
Sumber : Laksmi, P., Marcelena, R. 2016. Tips Praktis Menangani Masalah Kesehatan Geriatri.
Jakarta : Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia Cabang Jakarta
6. Menjadi lansia atau menjadi tua tidak bisa dihindari, karena akan terjadi pada setiap orang.
Pada lansia akan mengalami proses degeneratif (kemunduran) atau terjadi perubahan baik fisik,
psikologis, dan sosial.
Perubahan Fisik.
1) Sel : jumlah berkurang, ukuran membesar, cairan tubuh menurun,dan cairan intraseluler
menurun.
2) Kardiovaskuler : katup jantung menebal dan kaku, kemampuan memompa darah menurun
(menurunnya kontraksi dan volume), elastisitas pembuluh darah menurun, serta meningkatnya
resistensi pembuluh darah perifer sehingga tekanan darah meningkat.
3) Respirasi : kekuatan otot-otot pernafasan menurun dan kaku, elastisitas paru menurun,
kapasitas residu meningkat sehingga menarik napas lebih berat, alveoli melebar dan jumlahnya
menurun, kemampuan batuk menurun, serta terjadi penyempitan pada bronkus.
4) Persarafan : saraf panca indera mengecil sehingga fungsinya menurun serta lambat dalam
merespon dan waktu bereaksi khususnya yang berhubungan dengan stres, sehingga
menyebabkan berkurangnya respons motorik dan refleks.
5) Muskuluskeletal : cairan tulang menurun sehingga mudah rapuh (osteoporosis), bugkuk
(kifosis), persendian membesar dan kaku (atrofi otot), kram, tremor, tendon mengerut, dan
mengalami sklerosis. Penurunan pada masa tulang dapat disebabkan karena ketidakaktifan fisik,
perubahan hormonal, dan resorpsi tulang efek dari penurunan tulang adalah tulang menjadi
lemah, vetebra lebih lunak dan dapat tertekan, serta tulang berbatang panjang kurang dapat
menahan sehingga mengakibatkan fraktur, massa, tonus, dan kekuatan otot menurun. Perubahan-
perubahan berkenaan dengan proses penuaan normal yang memperbesar resiko jatuh adalah
perubahan postur, penurunan reaksi waktu, penurunan kekuatan otot, kekuatan sendi, dan
terbatasnya/menurunnya penglihatan
6) Gastrointestinal : esofagus melebar, asam lambung menurun, lapar menurun, dan peristaltik
menurun sehingga daya absorsi juga ikut menurun, ukuran lambung mengecil serta fungsi organ
aksesoris menurun sehingga menyebabkan berkurangnya produksi hormon dan enzim
pencernaan.
7) Genitourinaria : ginjal: mengecil, aliran darah ke ginjal menurun, penyaringan di glumerulus
menurun, dan fungsi tubulus menurun sehingga kemampuan mengonsentrasi urine ikut menurun.
8) Vesika urinaria : otot-otot melemah, kapasitasnya menurun, dan retensi urine. Prostat:
hipertrofi pada 75% lansia.
9) Pendengaran : membran timpani atrofi sehingga terjadi gangguan pendengaran, tulang-tulang
pendengaran mengalami kekakuan.
Perubahan Psikologis
1) Keadaan fisik lemah dan tak berdaya, sehingga harus bergantung pada orang lain.
2) Status ekonominya sangat terancam, sehingga cukup beralasan untuk melakukan berbagai
perubahan besar dalam pola hidupnya.
3) Menentukan kondisi hidup sesuai dengan perubahan status ekonomi dan kondisi fisik
4) Mencari teman baru untuk menggantikan suami atau istri yang telah meninggal atau pergi jauh
atau cacat.
5) Mengembangkan kegiatan baru untuk mengisi waktu luang yang semakin bertambah.
6) Belajar untuk memperlakukan anak yang sudah besar sebagai orang dewasa.
7) Mulai terlibat dalam kegiatan masyarakat yang secara khusus direncanakan untuk orang
dewasa.
8) Mulai merasakan kebahagiaan dari kegiatan yang sesuai untuk lansia dan memiliki kemauan
untuk mengganti kegiatan lama yang berat dengan yang lebih cocok.
9) Menjadi sasaran atau dimanfaatkan oleh para penjual obat, buaya darat dan kriminalitas
karena mereka tidak sanggup lagi untuk mempertahankan diri
Sumber : Maryam, R.S. 2011. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta : Salemba
7. Rehabilitasi medik adalah pelayanan kesehatan terhadap gangguan fisik dan fungsi yang
diakibatkan oleh keadaan/kondisi sakit, penyakit ataupun cedera melalui paduan intervensi
medik, keterapian fisik, rehabilitatif, bio-psiko sosial dan edukasional untuk mencapai
kemampuan fungsional yang optimal. Mengingat berbagai kekhususan perjalanan dan
penampilan penyakit pada warga lanjut usia, maka terdapat dua prinsip utama yang harus
dipenuhi guna melaksanakan pelayanan kesehatan pada warga lanjut usia yaitu pendekatan
holistik serta tatakerja dan tatalaksana secara tim.
8. Seiring bertambahnya usia, para lansia dihadapkan dengan permasalahan kesehatan dan sosial
yang cenderung semakin kompleks. Beberapa permasalahan sosial pada lansia di antaranya
adalah: perubahan hubungan sosial karena lansia cenderung mengisolasi diri dan kurang
bersosialisasi dengan teman sebaya, sejawat lebih muda, anak, dan cucu, serta beratnya beban
pekerjaan rumah tangga yang harus dilakukan sendiri, bahkan tidak jarang untuk anggota
keluarga lainnya, seperti menjaga rumah, melakukan pekerjaan rumah, dan mengasuh cucu.
Akibatnya bisa timbul kejenuhan, kebosanan, depresi serta penurunan kualitas kesehatan mental
pada lansia. Penyakit degeneratif yang sifatnya kronis berakibat pada menurunnya kualitas hidup
para lansia. Permasalahan lainnya juga terjadi di bidang sosial, yaitu adanya kerawanan sosial
pada lansia telantar. Kualitas hidup pada lansia mempunyai definisi yang lebih spesifik. Kualitas
hidup yang positif (baik) sebanding dengan kemampuan lansia dalam menjalankan berbagai
aktivitas harian, kehidupan sosial dan hubungan dengan keluarganya, serta kondisi
perekonomiannya. Keramahtamahan serta keberadaan lingkungan sosial pada saat jam makan
bersama dapat menambah perasaan aman, nyaman, penuh kekeluargaan, serta kebahagiaan. Hal
ini berdampak pada meningkatnya kesehatan fisik dan mental lansia.
Sumber : Dewi, S., et al. 2017. Status Partisipasi dan Kualitas Hidup Peserta. Jurnal Kesehatan
Masyarakat. Vol. 11(1) : 28-40. Viewed on 03 Oktober 2019. From <http://googlescholar.com>
LEARNING OBJECTIVE
“Kakek Tersesat”
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
2019