a. Konstitusi dalam negara adalah sebuah norma sistem politik dan hukum yang
merupakan hasil pembentukan pemerintahan pada suatu negara yang biasanya
dikodifikasikan sebagai dokumen tertulis. Dalam kasus pembentukan negara,
konstitusi memuat aturan dan prinsip-prinsip entitas politik dan hukum, istilah ini
merujuk secara khusus untuk menetapkan konstitusi nasional sebagai prinsip-prinsip
dasar politik, prinsip-prinsip dasar hukum termasuk dalam bentukan struktur,
prosedur, wewenang dan kewajiban pemerintahan negara pada umumnya. Konstitusi
umumnya merujuk pada penjaminan hak kepada warga masyarakatnya. Istilah
konstitusi dapat diterapkan kepada seluruh hukum yang mendefinisikan fungsi
pemerintahan negara.
b. Konstitusi berarti hukum dasar baik yang tertulis maupun yang tak tertulis. Hukum
dasar tertulis biasanya disebut sebagai Undang-Undang Dasar, sedangkan hukum
dasar yang tak tertulis disebut Konvensi, yaitu kebiasaan ketatanegaraan atau aturan-
aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara.
Herman Heller membagi konstitusi dalam tiga tingkatan yaitu:
1) konstitusi sebagai pengertian sosial politik;
2) konstitusi sebagai pengertian hukum;
3) konstitusi sebagai peraturan hukum.
Sementara itu Lasalle, seorang tokoh sosialisme, membagi konstitusi dalam dua
pengertian yaitu;
Fungsi Konstitusi
DAFUS :
Bakhtiar. Mahkamah Konstitusi Pada Pengujian UU Terhadap UUD. Jakarta: Raih Asa
Sukses. 2015
Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, dan Ni‟matul Huda. Teori dan Hukum Konstitusi. Raja Jakarta:
Grafindo Persada. 2012
KAITANNYA DENGAN SITUASI NAYATA
Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa negara konstitusi merupakan suatu organisasi
dari kelompok-kelompok manusia yang bersama-sama mendiami suatu wilayah tertentu dan
mengakui adanya satu pemerintahan yang mengurus tata tertib serta keselamatan sekelompok
atau beberapa kelompok manusia tersebut, yang diatur dengan aturan-aturan dasar
(fundamental) yang dibentuk di dalam mengatur hubungan antar negara dan warga negara.
Konstitusi lahir sebagai usaha untuk melaksanakan dasar negara. Dasar negara memuat
norma-norma ideal, yang penjabarannya dirumuskan dalam pasal-pasal oleh UUD
(Konstitusi)
UUD itu rumusannya tertulis dan tidak berubah. Adapun pendapat L.C.S wade dalam
bukunya contution law, UUD menurut sifat dan fungsinya adalah suatu naskah yang
memaparkan kerangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu
Negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut jadi UUD itu
mengatur mekanisme dan dasar dari setiap sistem pemerintahan.
UUD menentukan cara-cara bagaimana pusat-pusat kekuasaan ini bekerjasama dan
menyesuaikan diri satu sama lain. UUD merekam hubungan-hubungan kekuasaan
dalam satu Negara. Dalam penjelasan UUD 1945 disebutkan bahwa UUD 1945
bersifat singkat dan supel, UUD 1945 hanya memilik 37 pasal, adapun pasal-pasal
lain hanya memuat aturan peralihan dan aturan tambahan yang mengandung makna:
1. Telah cukup jikalau UUD hanya memuat aturan-aturan pokok, hanya memuat
grafis besar intruksi kepada pemerintah pusat dan semua penyelenggara Negara
untuk menyelenggarakan kehidupan Negara dan kesejahteraan social.
2. Sifatnya harus supel (elastic) dimaksudkan bahwa kita harus senantiasa ingat
bahwa masyarakat ini harus terus berkembang dan dinamis seiring perubahaan
zaman . Oleh karena itu, makin supel sifatnya aturan itu makin baik. jadi kita
harus menjaga agar sistem dalam UUD itu jangan ketinggalan zaman.
Convensi adalah hokum dasar yang tak tertulis yaitu aturan-aturan dasar yang
timbul dan terperihara dalam praktek penyelenggaraan Negara meskipun sifatnya
tidak tertulis.
Sifat-sifat Convensi
1. Merupakan kebiasaan yang berulang kali dan terpelihara dalam praktek
penyelenggaraan Negara.
2. Tak bertentangan dengan UUD dan berjalan sejajar.
3. Diterima oleh seluruh rakyat/masyarakat
4. Bersifat sebagai pelengkap sehingga memungkinkan bawa convensi bias menjadi
aturan-aturan dasar yang tidak tercantum dalam UUD 1945.
Praktek-praktek penyelenggaraan Negara yang sudah menjadi hukum dasar tidak
tertulis antara lain:
Pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah mufakat.
Menurut pasal 37 ayat(1) dan (4) UUD 1945 segala keputusan MPR diambil
berdasarkan suara terbanyak tetapi sistem ini kurang jiwa kekeluargaan sebagai
kepribadian bangsa. Oleh karena itu, dalam praktek-praktek penyelenggaraan
Negara selalu di usahakan untuk mengambil keputusan berdasarkan musyawarah
untuk mufakat dan ternyata hampir selalu berhasil. Pungutan suara baru ditempuh
jika usaha musyawarah untuk mufakat sudah tak dapat dilaksanakan.
Pidato kenegaraan presiden RI setiap 16 Agustus di dalam sidang DPR
Pidato presiden yang di ucapkan sebagai keterangan pemerintah tentang rencana
anggaran pendapatan belanja (RAPB) Negara pada minggu 1, pada bulan januari
tiap tahunnya.
Jika convensi ingin di jadikan rumusan yang bersifat tertulis maka yang
berwenang adalah MPR dan rumusannya bukan lah merupakan suatu hukum dasar
melainkan tertuang dalam ketetapan MPR dan tidak secara otomatis setingkat dengan
UUD melainkan sebagai suatu ketetapan MPR.
“… melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu
dalam suatu UndangUndang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu
susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan
kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, … ”.
Negara memainkan perannya sesuai apa yang telah digariskan dalam Pembukaan
UUD 1945 tersebut, kita harus melihat landasan konstitusionalnya dalam pasal - pasal
UUD 1945. Berdasarkan ketentuan tentang “bentuk dan kedaulatan” yang dinyatakan
dalam bab I UUD 1945, yaitu “Pasal 1 ayat (1) Negara Indonesia ialah Negara
Kesatuan, yang berbentuk Republik”.
Pada era reformasi dari awalnya banyak harapan rakyat yang ditumpukan kepada
negara agar neara mampu berperan sebagaimana diamanatkan UUD 1945, namun
demikian setelah bergulirnya reformasi selama lebih 10 tahun kepercayaan
masyarakat pada kemampuan negara mengelola berbagai permasalahan tampaknya
menipis. Dispartitas yang tinggi antara problem dan tingkat kepuasan terhadap
penanganan masalah bangsa menunjukkan komponen kenegaraan belum optimal
menangani berbagai masalah (Sultani, 5), negara terkesan tidak memiliki pijakan yang
kuat sehingga kerap tergagap dalam menghadapi problem penting yang muncul,
sering persoalan dibiarkan mengambang tanpa penyelesaian bersifat substansial,
seperti masalah korupsi dan kemiskinan adalah problem yang besar, negara bersikap
defensif dalam menghadapinya persoalan pada Bank Century, mafia pajak, mafia
hukum dan lainlainnya yang berakhir dengan antiklimaks. Dalam persoalan
kemiskinan Kompas, 114 201, negara cenderung menampilkan agregat kenaikan
pertumbuhan ekonomi nasional, tetapi menutupi jurang kaya – miskin yang semakin
mendalam.
Dilema melemahnya peran negara apabila dilihat fokus kekuasaan berada di tangan
lembaga eksekutif yang mempunyai otoritas legal dalam melakukan tindakan
langsung kepada rakyat dalam bentuk kebijakankebijakan diberbagai bidang untuk
memecahkan persoalan bangsa dan negara. Kelemahan eksekutif disamping faktor
karakter manajemen atau kepemimpinan yang dimainkan oleh personal, juga
keraguan pengambilan keputusan akibat tekanan pluralis opini secara internal dan
eksternal. Kondisi ini sebagai suau gejala saling ketergantungan dalam proses
kekuasaan politik di era globalisasi, sekalipun UUD 1945 telah memberikan landasan
yuridis kepada pemegang kekuasaan, namun sulit bagi penguasan untuk menjalankan
peranan negara itu secara maksimal. Inilah suatu dilematis peranan negara di era
global yang dipikirkan solusinya.
DAFUS
Arief Hidayat, 2009, “Politik Hukum Konstitusi dan Fenomena Absentia Voter
(Golput) Dalam Pemilu di Indonesia, Jurnal Konstitusi, Volume 1, Nomor 1, Juni,
Moh. Mahfud MD., 2007, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
Konstitusi, Jakarta: LP3ES