Anda di halaman 1dari 41

REFERAT ANESTESI

“ANESTESI UMUM”

Pembimbing :
dr. Bagus Damar Ririh W., MSI Med, Sp.An

Disusun oleh :
Firza Nurul Ziana 20190420084
Florencia Audrey 20190420085

PROGRAM KEPANITERAAN KLINIK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Referat Anestesi
“ANESTESI UMUM”

Oleh :
Firza Nurul Ziana 20190420084
Florencia Audrey 20190420085

Referat “Anestesi Umum” ini telah diperiksa, disetujui, dan diterima sebagai
salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan klinik di
bagian anestesi RSAL dr. Ramelan Surabaya, untuk Fakultas Kedokteran
Universitas Hang Tuah Surabaya.

Surabaya, Desember 2019


Mengesahkan,
Dokter Pembimbing

Dr. Bagus Damar Ririh W., MSI Med, Sp.An

ii
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1


BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 3
2.1. Metode Pemberian Anestesi Umum ...................................................... 3
2.1.1. Anastetika Inhalasi .......................................................................... 4
2.1.1.1 Farmakokinetik .......................................................................... 5
2.1.1.2 Kadar Anastetik Minimum (KAM)/ Minimum Alveolar Anasthetic
Concentration (MAC) ............................................................................ 3
2.1.1.3. Enfluran .................................................................................... 8
2.1.1.4. Desflurane................................................................................. 8
2.1.1.5 Isofluran .................................................................................. 10
2.1.1.6 Sevofluran ............................................................................... 12
2.1.1.7. Nitric Oxide ............................................................................. 13
2.1.2. Anestesi Intravena ......................................................................... 14
2.1.2.1Thiopenton ............................................................................... 15
2.1.2.2 Propofol ................................................................................... 18
2.1.2.3 Ketamin ................................................................................... 21
2.1.2.4 Opioid ...................................................................................... 24
2.1.2.5 Fentanyl................................................................................... 25
2.1.2.6 Petidin ..................................................................................... 26
2.1.2.7 Morfin ...................................................................................... 28
2.5 Obat Pelumpuh Otot (Muscle Relaxant) ........................................... 30
2.5.1 Fisiologi Transmisi Syaraf Otot .................................................. 30
2.5.2 Jenis Obat Pelumpuh Otot ......................................................... 32
2.5.3 Jenis-Jenis Obat Pelumpuh Otot ................................................ 33
2.5.4 Pilihan pelumpuh otot ................................................................. 34
2.5.5 Tanda kekurangan pelumpuh otot : ............................................ 34
2.5.6 Penawar Pelumpuh Otot ............................................................ 35
2.6 Stadium Anestesi .............................................................................. 35
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 38

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Anestesi umum (general anesthesia) adalah suatu keadaan yang


didapatkan ketika agen obat-obatan anestetik mencapai konsentrasi tertentu
untuk memberikan efeknya secara reversibel pada sistem saraf pusat,
dimana keadaan tidak sadar (unconsciousness), amnesia, analgesik,
immobilisasi, dan melemahnya respon autonom pada stimulasi berbahaya
telah dicapai. (Crowder, 2014)
Anestesi berasal dari kata yunani an- “tidak, tanpa” dan aesthetos
“persepsi, kemampuan untuk untuk merasa”, secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan
berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.Istilah
anesthesia yang artinya hilangnya sensasi nyeri (rasa sakit) yang disertai
maupun yang tidak disertai hilangnya kesadaran, diperkenalkan oleh oliver
W.Holmes pada tahun 1846.
Tujuan anestesi dilakukan secara umum adalah untuk menciptakan
ketidaksadaran yang aman dan reversibel, mengoptimalisasi respon fisiologis,
dan menciptakan keadaan operasi yang kondusif. Anestesi umum memiliki
tiga komponen penting, yaitu hilangnya kesadaran, analgesik, dan relaksasi
otot. (Gardens, 2012)
Komponen anestesi yang ideal (trias anestesi) terdiri dari : hipnotik,
analgesia dan relaksasi otot. Obat yang digunakan dalam menimbulkan
anastesia disebut sebagai anestetik, dan kelompok obat ini dibedakan atas
anestetik umum dan anastetik lokal.Bergantung pada dalamnya pembiusan,
anastetik umum dapat memberikan efek analgesia yaitu hilangnya sensasi
nyeri, atau efek anastesia yaitu analgesia yang disertai hilangnya kesadaran,
sedangkan anastesia lokal hanya dapat menimbulkan efek analgesia.
Ada tiga kategori utama anestesi yaitu anestesi umum, anestesi regional
dan anestesi lokal.Anestesi umum dalam Royal College of Physicians (UK)
tahun 2011, adalah anastesi dengan melibatkan hilangnya kesadaran secara
penuh. Praktek anestesi umum juga termasuk mengendalikan pernapasan
dengan pemantauan fungsi-fungsi vital tubuh selama prosedur anestesi.

1
Tahapannya mencakup premedikasi, induksi, maintenance, dan pemulihan.
Metode anestesi umum dapat dilakukan dengan 3 cara : antara lain secara
parenteral melalui intravena dan intramuskular, perrektal (biasanya untuk
anak-anak) dan inhalasi.
Tujuan dari pembuatan referat ini adalah untuk mempelajari dan
memahami mengenai obat anestesi inhalasi, intravena, pelumpuh otot dan
mengenai stadium anestesi.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Metode Pemberian Anestesi Umum


Pemberian/induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien
dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya
anestesi dan pembedahan. Induksi anestesi dapat dikerjakan secara
intravena, inhalasi, intramuscular atau rectal. Setelah pasien tidur
akibat induksi anestesi langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan
anestesi sampai tindakan pembedahan selesai. Sebelum memulai
induksi anestesi disiapkan peralatan dan obat-obatan yang diperlukan,
sehingga jika terjadi keadaan gawat darurat dapat diatasi lebih cepat
dan lebih baik (Latief et al., 2009).

2.2 Kadar Anastetik Minimum (KAM)/ Minimum Alveolar Anasthetic


Concentration (MAC)
Hubungan antara dosis dan respons suatu anastetik sulit ditentukan
karena sulit untuk mengukur kadarnya di otak. Yang dapat diukur hanyalah
kadar anastetik yang masuk paru campuran gas yang kadar dan
kecepatannya dapat diatur. Maka dosis efektif untuk anastetik dihitung secara
tidak langsung melaui kadarnya dalam alveoli. Dikenal istilah kadar anastetik
minimum (KAM) yaitu persentase tekanan parsial anestetik terhadap tekanan
760 mmHg, yang membuat 50% orang tidak bereaksi ketika diberi suatu
rangsangan nyeri misal sayatan bedah. Inilah yang disebut sebagai 1 KAM.
Jadi KAM adalah suatu ED50 untuk anastetik dan dosis anastetik yang dapat
diberikan dapat dinyatakan dalam kelipatan KAM. Dengan parameter ini,
potensi berbagai zat anastetik dapat dibandingkan. Sebagai contoh KAM N2O
yang >100% menunjukkan potensi anestetik yang sangat rendah sebab
dengan tekanan >760mmHg masih belum dicapai 1 KAM. Umumnya orang
memerlukan 0,5-1 KAM untuk anastesia. Nilai KAM sendiri dapat turun misal
pada usai lanjut, hiptermia, dan penggunaan obat tambahan misal analgesik
opioid, simpatolitik, atau hipnotik sedatif. KAM tidak dipengaruhi oleh jenis
kelamin, berat badan, dan tinggi badan.

3
MAC menurun pada penggunaan alkohol akut karena efek obat
penenangnya, atau penggunaan amfetamin atau alpha2 agonis kronis, yang
dapat menurunkan kadar katekolamin sistem saraf pusat. Sebaliknya, MAC
meningkat akibat penggunaan alkohol kronis (kemungkinan karena
metabolisme hati yang ditingkatkan) dan oleh penggunaan terbaru baik
amfetamin, kokain, atau efedrin karena agen ini dapat meningkatkan kadar
katekolamin CNS secara akut yang meningkatkan kesadaran terfokus.
Faktor pasien yang dapat memengaruhi - nilai MAC juga
dipengaruhi oleh usia pasien dan kondisi lain. Kesadaran akan pengaruh
tersebut penting untuk menghindari anestesi yang tidak memadai atau,
sebaliknya, overdosis anestesi.
Usia - MAC berkurang pada pasien pada usia ekstrem (misalnya bayi
prematur atau pasien> 60 tahun). Secara khusus, MAC meningkat dari lahir
hingga ke tingkat puncak pada usia sekitar enam bulan dan kemudian
perlahan menurun sepanjang hidup sesudahnya.
Faktor lain - MAC sangat berkurang pada pasien dengan komorbiditas berat
(mis. Syok, anemia). Selain itu, kehamilan juga menurunkan MAC.
Selanjutnya, hipotermia, hipotiroidisme, hiperkarbia, hipoksia, asidosis
metabolik, dan kelainan elektrolit akut menurunkan MAC. Sebaliknya,
hipertermia, hipertiroidisme, kecemasan, dan kondisi lain yang berhubungan
dengan aktivasi psikomotorik meningkatkan MAC.

2.3 Anastetika Inhalasi


Obat-obat ini diberikan sebagai uap melalui saluran nafas. Obat
anestesi inhalasi yang digunakan yaitu agen volatile poten (sevoflurane,
desfluran, isofluran, [dan pada negara tertentu] halotan) dan satu gas (nitrit
oksida [N2O]) serta penggunaan setiap agen untuk menginduksi dan
mempertahankan anestesi umum. Anestesi inhalasi dapat menghasilkan efek
sedasi dan anestesi umum serta efek klinis lainnya. Dewasa ini senyawa
kuno seperti eter, kloroform, trikloroetilen dan siklopropam praktis tidak lagi
digunakan karena efek sampingnya Sebagai anastetic inhalasi digunakan gas
dan cairan yang masing-masing sangat berbeda dalam kecepatan induksi,
aktivitas, sifat melemaskan otot maupun menghilangkan rasa sakit.Untuk

4
mendapatkan reaksi yang secepat-cepatnya, obat ini pada permulaan hatus
diberikan dalam dosis tinggi, yang kemudian diturunkan sampai hanya
sekedar memelihara keseimbangan antara pemberian dan pengeluaran
(ekshalasi).
a. Indikasi:
1. Untuk tindakan yang singkat (0,5 – 1 jam) tanpa membuka rongga
perut.
2. Keadaan umum pasien cukup baik (PSA ASA 1 atau 2).
3. Lambung harus kosong.
b. Keuntungan:
1. Resorpsi yang cepat via paru dan eksresinya yang cepat melalui
ekspirasi
2. Dalam keadaan utuh.pemberiannya mudah dipantau dan bila perlu
setiap waktu dapat dihentikan.
3. Obat ini tertutama untuk memelihara atau mempertahankan
anastesi..
4. Keuntungan anestetika inhalasi dibandingkan dengan anestetika
intravena adalah kemungkinan untuk dapat lebih cepat mengubah
kedalaman anastesi dengan mengurangi konsentrasi dari gas/uap
yang diinhalasi.

c. Farmakokinetik
Dalamnya anstesia bergantung pada kadar anestetik di sistem saraf
pusatdan kadar ini ditentukan oleh berbagai faktor yang mempengaruhi
transfer anastetik dari alveoliparu ke darah dan dari darah ke jaringan ke
otak. Kecepatan induksi bergantung pada kecepatan diacpai nya kadar
efektif zat anastetik di otak. Kecepatan transfer anestetik dijarinagn otak
ditentukan oleg (1) kelarutan zat anastetik (2) kadar anasteti dalam udara
yang dihirup pasien atau tekanan parsial anastetik (3) ventilasi paru (4)aliran
darah paru, (5) perbedaan antara tekanan parsial anestetik didarah arteri dan
id darah vena.

5
2.3.1 Halotan
Halotan memiliki sediaan cairan dalam botol yang mudah
menguap pada suhu dan tekanan standar. Zat ini diberikan melalui
vaporizer yang dipasang di mesin anestesi. Stabilitas halotan
dipertahankan dengan penambahan 0,01 persen timol, yang dapat
terakumulasi dalam vaporizer sehingga akhirnya memberikan warna
kuning ke cairan yang tersisa. Pengembangan perubahan warna
tersebut menunjukkan bahwa alat penguap halotan harus dikeringkan
dan dibersihkan.
Efek terhadap Sistem dalam Tubuh yakni:
a. Kardiovaskular. Depresi miokard bergantung pada dosis, penurunan
otomatisitas sistem konduksi, penurunan aliran darah ginjal dan
splanknikus dari curah jantung yang berkurang, serta pengurangan
sensitivitas miokard terhadap aritmia yang diinduksi katekolamin
yang menyebabkan terjadinya hipotensi untuk menghindari efek
hipotensi yang berat selama anestesi, yang dalam hal ini perlu
diberikan vasokonstriktor langsung, seperti fenileprin (Munaf, 2008).
b. Pernapasan. Depresi respirasi terkait dengan dosis yang dapat
menyebabkan menurunnya volume tidal dan sensitivitas terhadap
pengaturan respirasi yang dipacu oleh CO2. Pemberian
bronkodilator poten sangat baik untuk mengurangi spasme bronkus
(Munaf, 2008).
c. Susunan Saraf Pusat. Hilangnya autoregulasi aliran darah serebral
yang menyebabkan tekanan intrakranial menurun (Munaf, 2008).
d. Ginjal. Menurunnya GFR, dan berkurangnya aliran darah ke ginjal
disebabkan oleh curah jantung yang menurun (Munaf, 2008).
e. Hati Aliran darah ke hati menurun (Munaf, 2008).
f. Uterus Menyebabkan relaksasi otot polos uterus; berguna dalam
manipulasi kasus obstetrik (misalnya penarikan plasenta) (Munaf,
2008). Metabolisme Sebanyak 80% hilang melalui gas yang
dihembuskan, 20% melalui metabolisme di hati. Metabolit berupa
bromida dan asam trifluoroasetat (Munaf, 2008).
1) Keuntungan:
 Potensi anestesi umum kuat

6
 Induksi dan penyembuhan baik
 Iritasi jalan napas tidak ada
 Merupakan bronkodilator yang sangat baik.
 Ketersediaan luas.
 Potensi sangat tinggi dengan MAC yang sangat rendah.
2) Kerugian:
 Kelarutan yang sangat tinggi dalam darah, jaringan, dan
lemak, sehingga menyebabkan pengambilan zat ke dalam
tubuh dan induksi anesesi umum yang sangat lambat, serta
kelambatan munculnya kesadaran.
 Memiliki efek inotropik dan kronotropik negatif yang
signifikan, bahkan jika diberikan pada konsentrasi yang
relatif rendah. Pada konsentrasi tinggi, halotan dapat
menyebabkan bradikardia berat atau asistol.
 Insidensi aritmia ventrikel dan disritmia yang tinggi akibat
sensitisasi miokardium terhadap katekolamin.
 Mengalami metabolisme hati yang lebih besar daripada
semua agen inhalasi lainnya, dengan risiko terkait untuk
hepatotoksisitas autoimun dan sitotoksik serta hepatitis
halotan.
1) Aliran darah serebral menurun yang dapat menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial (Munaf, 2008).

Indikasi klinik halotan digunakan secara ekstensif dalam


anestesia anak karena ketidakmampuannya menginduksi inhalasi
secara cepat dan status asmatikus yang refraktur. Obat ini
dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit intrakranial (Munaf,
2008).
Efek samping/Toksisitas:
a. Hepatitis halotan: kejadian 1/30.000 dari pemberian; pasien yang
mempunyai resiko adalah yang mengalami obesitas, wanita usia muda
lebih banyak terjadi dengan periode waktu yang singkat; ditandai
dengan nekrosis sentrilobuler; uji fungsi hati abnormal dan eosinofilia.

7
Sindrom ini dapat juga terjadi dengan isofluran dan etran (Munaf,
2008).
b. Hipertermi maligna: suatu sindrom yang ditandai dengan
peningkatan suhu tubuh secara belebihan, rigiditas otot rangka, serta
dijumpai asidosis metabolik. Secara umum, hal ini berakibat fatal
kecuali jika diobati dengan dantrolen yang merupakan pelemas otot
yang mencegah Ca dari retikulum sarkoplasmik (Munaf, 2008).

2.3.2 Enfluran
Efek terhadap Sistem dalam Tubuh yakni :
a. Kardiovaskular. Depresi miokard bergantung pada dosis, vasodilator
arterial, dan sensitisasi ringan miokard terhadap katekolamin
(Munaf, 2008).
b. Respirasi. Depresi pernapasan bergantung pada dosis; hipoksia
ablasia yang disebabkan oleh bronkodilator (Munaf, 2008).
c. Susunan Saraf Pusat. Dapat menimbulkan kejang pada kadar
enfluran tinggi dengan tekanan parsial CO2 (PCO2) menurun
(hipokarbia); vasodilatasi serebral dengan meningkatnya tekanan
intrakranial (Munaf, 2008).
d. Ginjal. Aliran darah ginjal dan GFR menurun (Munaf, 2008).
Metabolisne Sebanyak 2% enfluran dimetabolisme di hati, metabolit
utama, yaitu fluorida mempunyai potensi untuk menimbulkan
nefrotoksis (sangat jarang digunakan secara klinis) (Munaf, 2008).
Keuntungan dan kerugian Secara klinis, enfluran merupakan
bronkodilator yang baik, respons kardiovaskular stabil, kecenderungan
aritmia jantung minimal, dan tidak mengiritasi saluran
napas.Sedangkan kerugiannya adalah Enfluran mempunyai potensi
aktivitas kejang.
Kontraindikasi pada pasien dengan tekanan intrakranial yang
meningkat disertai dengan gangguan patologik intrakranial (Munaf,
2008).

2.3.3 Desflurane
Desflurane memiliki bentuk sediaan cairan tidak berwarna dalam
botol yang tidak mudah menguap pada suhu dan tekanan standar.

8
Desflurane digunakan menggunakan vaporizer listrik dipanaskan yang
dipasang pada mesin anestesi.
1) Keuntungan
a. Koefisien partisi gas darah sangat rendah, dengan konsekuensi
pengambilan dan induksi anestesi umum yang sangat cepat,
serta pembersihan zat dan pengembalian kesadaran yang
sangat cepat.
b. Koefisien partisi gas yang sangat rendah dengan penyerapan
minimal ke jaringan adiposa. Akibat tidak adanya akumulasi
dalam jaringan karena kelarutannya yang rendah dalam minyak,
desflurane sangat menguntungkan untuk pasien yang
mengalami obesitas berlebihan atau mengalami sleep apnea.
c. Menjalani proses metabolisme yang paling sedikit dari semua
agen volatil yang poten.
d. Dibandingkan dengan sevoflurane, keuntungan untuk
desflurane adalah keamanan saat digunakan dengan aliran gas
murni rendah pada sirkuit pernapasan.
2) Kekurangan dan Efek Samping
a. Berbau sangat menyengat. Desflurane adalah zat anestesi
inhalasi paling menyengat.
b. Iritasi saluran napas yang jelas (misalnya batuk, salivasi,
depresi napas, dan spasme laring), terutama dengan pemberian
pada konsentrasi ≥1,5 MAC, karena sangat menyengat.
c. Kejadian batuk yang tinggi selama proses kesadaran
dibandingkan dengan sevoflurane.
d. Untuk alasan ini, desflurane tidak cocok digunakan sebagai
agen induksi anestesi inhalasi. Juga, desflurane tidak ideal
untuk pasien yang merokok atau memiliki asma atau memiliki
penyakit saluran napas reaktif (misalnya, asma, penyakit paru
obstruktif kronik [PPOK], fibrosis kistik, defisiensi α-antitripsin,
penyakit paru kronis prematuritas, atau displasia
bronkopulmonalis [BPD]). Meskipun desflurane pada
konsentrasi yang lebih rendah (<1,5 MAC) telah digunakan
dalam pemeliharaan anestesi untuk pasien yang berisiko

9
bronkospasme, konsentrasi yang lebih tinggi dapat
meningkatkan resistensi saluran napas.
e. Takikardi dan hipertensi akibat sifat simpatomimetik, terutama
saat pemberian konsentrasi inspirasi tinggi atau meningkat
secara tiba-tiba. Dengan pemberian berkelanjutan, hipertensi
cenderung menghilang pada keadaan stabil, meskipun
takikardia mungkin menetap. Sifat-sifat ini juga membatasi
penggunaan desflurane sebagai agen utama untuk induksi
anestesi umum, karena setiap agen inhalasi harus ditingkatkan
secara cepat untuk menghasilkan konsentrasi yang cukup tinggi
untuk menginduksi ketidaksadaran pada pasien yang
sebelumnya terjaga.
f. Karena takikardi dapat menetap, desflurane tidak ideal bagi
pasien dengan penyakit jantung iskemik yang signifikan,
kardiomiopati hipertrofik obstruktif, stenosis aorta atau mitral,
atau pasien lain yang tidak diinginkan mengalami takikardia.
Jika desflurane digunakan selama menjaga keadaan untuk
pasien seperti itu, konsentrasi tinggi dan peningkatan
konsentrasi yang cepat dapat dihindari.
g. Sangat mahal, terutama selama prosedur yang panjang.
3) Penggunaan Umum
Desflurane sering dipilih untuk pemeliharaan anestesi, terutama
selama prosedur singkat, karena perubahan yang sangat cepat
kedalaman anestesi selama intervensi yang menyakitkan, dan
pemulihan yang sangat cepat dapat terjadi. Karena kemudahan
titrasi, kecepatan pemulihan, dan efek residual minimal, desflurane
sangat menguntungkan untuk pasien yang lebih tua dan mereka
yang mengalami obesitas berat atau mengalami sleep apnea.

2.3.4 Isofluran
Efek terhadap Sistem dalam Tubuh yakni:
a. Kardiovaskular. Terjadi depresi miokard yang ringan dan
bergantung pada dosis, sedangkan curah jantung biasanya normal
disebabkan sifat vasodilatasinya, sensitisasi miokard minimal

10
terhadap katekolamin, dapat menyebabkan coronary steal oleh
vasodilatasi normal pada stenosis dengan aliran yang berlebihan
(Munaf, 2008).
b. Respirasi. Depresi respons terhadap CO2 bergantung pada dosis,
hipoksia ventilasi, bronkodilator, iritasi sedang pada jalan napas
(Munaf, 2008).
c. Ginjal. Glomerular Filtration Rate (GFR) dan aliran darah ginjal
rendah disebabkan tekanan arterial menengah yang menurun
(Munaf, 2008).
d. Susunan Saraf Pusat. Efek minimal pada otoregulasi serebral,
konsumsi oksigen metabolik serebral menurun, dan merupakan obat
pilihan untuk bedah saraf (Munaf, 2008).
Metabolisme Hanya 0,2% yang dimetabolisme di hati,
selebihnya diekskresikan pada waktu ekspirasi dalam bentuk gas
(Munaf, 2008).
1) Keuntungan :
a. Potensi tinggi dengan MAC rendah.
b. Biaya yang sangat rendah, terutama penggunaan selama
prosedur panjang.
c. Sedikit efek pada autoregulasi serebral pada konsentrasi <1
MAC.
2) Kerugian :
a. Bau sangat menyengat, sehingga membatasi kegunaannya
sebagai agen utama untuk induksi anestesi inhalasi.
b. Koefisien partisi gas: darah cukup tinggi, dengan konsekuensi
pengambilan zat dan induksi anestesi umum lambat,
dibandingkan dengan sevoflurane atau desflurane. Ini semakin
membatasi penggunaan isoflurane selama induksi (kecuali
digunakan sebagai agen tambahan).
c. Kelarutan tinggi dalam lemak, terkait dengan pemanjangan
waktu kesadaran terutama setelah prosedur yang lama karena
akumulasi dalam jaringan. Sifat ini membatasi penggunaannya
dalam prosedur durasi pendek.

11
d. Memiliki efek kronotropik positif dengan takikardia terkait yang
mungkin signifikan secara klinis pada keadaan dimana
takikartdia dapat merugikan (misalnya, penyakit jantung
iskemik).
e. Memiliki sifat inotropik dan sifat vasodilatasi ringan.

(Munaf, 2008).

2.3.5 Sevofluran

Sevofluran merupakan fluorokarbon dengan bau yang tidak


begitu menyengat, dan tidak begitu mengiritasi saluran napas, serta
absorpsinya cepat. Indikasi klinik: sebagai anestesi umum untuk
melewati stadium 2 dan untuk pemeliharaan umum (Munaf, 2008).
1) Keuntungan
a. Berbau manis, kepedasan rendah. Sehingga sevoflurane
bermanfaat untuk induksi inhalasi
b. Koefisien partisi darah: gas yang rendah, sehingga
menyebabkan pengambilan dan induksi anestesi umum yang
cepat serta pembuangan dan mengembalikan kesadaran
dengan cepat.
c. Potensi tinggi yang sedang dengan MAC cukup rendah.
d. Kurangnya efek inotropik atau kronotropik negatif yang
signifikan pada konsentrasi yang mendekati MAC dengan sifat
vasodilatasi.
e. Sedikit efek pada autoregulasi serebral di berbagai konsentrasi.
2) Kekurangan dan Efek Samping
a. Biaya yang tinggi, terutama dengan penggunaan pada prosedur
yang lebih lama. Dibandingkan dengan agen anestesi volatil

12
kuat lainnya, biaya lebih tinggi disebabkan karena penggunaan
aliran gas murni yang sedikit lebih tinggi (biasanya 1 hingga 2
L/menit oksigen dan/atau udara) untuk menghindari
pembentukan senyawa A.
b. Risiko teoritis senyawa nefropati terkait senyawa A. Namun,
senyawa A tidak dihasilkan oleh zat penyerap karbon dioksida
yang lebih baru.
c. Kemungkinan peningkatan risiko munculnya delirium, terutama
pada anak-anak.
3) Penggunaan Umum
Secara keseluruhan, sevoflurane adalah anestesi inhalasi
yang mudah menguap yang paling sering digunakan di negara maju.
 Induksi - Sevoflurane adalah agen inhalasi yang paling sering
digunakan untuk induksi anestesi (karena bau minimal, kurangnya rasa
pedas, dan karakteristik bronkodilator yang kuat. Sevoflurane memiliki
banyak karakteristik agen induksi yang ideal, termasuk onset yang
relatif cepat karena rendahnya kelarutan zat pada jaringan dan darah.
Waktu untuk yang diperlukan hingga kesadaran hilang dapat dilakukan
secepat 60 detik jika sevoflurane digunakan dengan konsentrasi tinggi
(mis. 4 hingga 8 persen) yang diberikan melalui sungkup muka.
 Pemeliharaan - Sevoflurane juga sering dipilih untuk pemeliharaan
anestesi karena perubahan yang lebih cepat pada kedalaman anestesi
pada intervensi yang menyakitkan dibandingkan dengan agen yang
lebih larut seperti isoflurane, dan pemulihan yang lebih cepat pada
prosedur singkat. Prosedur yang berlangsung lebih lama dari sekitar
dua jam, waktu kesadaran serupa setelah pemberian.

2.3.6 Nitric Oxide


Gas yang berbau, berpotensi rendah, tidak mudah terbakar dan
relatif tidak larutdalam darah. Memiliki efek: Analgesik sangat kuat
setara morfin, Hipnotik sangat lemah, tidak ada sifa relaksasi sama
sekali, jarang digunakan sendirian tetapi dikombinasi dengan salah
satu cairan anestetik lain seperti halotan dan sebagainya.

13
2.4 Anestesi Intravena
Teknik anestesi intravena merupakan suatu teknik pembiusan dengan
memasukkan obat langsung ke dalam pembuluh darah secara
parenteral.Obat-obat tersebut digunakan untuk premedikasi seperti diazepam
dan analgetik narkotik.Induksi anestesi seperti misalnya tiopenton yang juga
digunakan sebagai pemeliharaan dan juga sebagai tambahan pada tindakan
analgesia regional.Dalam perkembangan selanjutnya terdapat beberapa jenis
obat – obat anestesi dan yang digunakan di Indonesia seperti, Tiopenton,
Diazepam , Dehidrobenzoperidol, Fentanil, Ketamin dan Propofol.
Teknik anestesi dengan menggunakan Intravena (TIVA) merupakan
teknik anestesi umum dengan hanya menggunakan obat-obat anestesi yang
dimasukkan lewat jalur intravena. TIVA digunakan untuk ketiga trias anestesi
yaitu hipnotik, analgetik maupun relaksasi otot.yang lengkap (Latief et al.
2002).
Kebanyakan obat-obat anestesi intravena hanya mencakup 2
komponen anestesi, akan tetapi ketamin mempunyai trias anestesi (Soenarjo,
2010).
Kelebihan TIVA adalah (Soenarjo,2010) :
1. TIVA dapat dikombinasikan atau terpisah dan dapat dititrasi dalam
dosis yang lebih akurat dalam pemakaiannya.
2. Tidak mengganggu jalan nafas pada pasien
3. TIVA mudah untuk dilakukan
Untuk indikasi TIVA sendiri antara lain digunakan sebagai berikut
(Latief,2001):
1. TIVA digunakan sebagai obat induksi anestesi mum
2. TIBA digunakan sebagai Obat tunggal untuk anestesi pembedahan
singkat
3. TIVA ebagai tambahan obat inhalasi yang kurang kuat
4. TIVA sebagai obat tambahan anestesi regional
5. TIVA dapat menghilangkan keadaan patologis akibat ransangan sistem
saraf pusat (SSP).
Cara pemberian TIVA ini sendiri diberikan dengan (Soenarjo,2010) :
1. Suntukan tunggal, untuk operasi singkat
2. Suntikan yang berulang sesuai dengan kebutuhan

14
3. TIVA diteteskan lewat infuse.

2.4.1 Thiopenton

1) Sifat –sifat fisik dan kimiawi


Berupa bubuk yang berwarna putih kekuningan, higroskopis, rasa
pahit, berbau seperti bawang putih, selalu dicampur dengan sodium karbonat
anhydrous, sehingga mudah larut dalam air. Dikemas dalam bentuk bubuk
mengandung 0,5 – 1 gram. Sebelum digunakan dilarutkan terlebih dahulu
kedalam akuades hingga konsentrasi 2,5 – 5,0%.Larutan ini bersifat alkalis
dengan pH 10,8.
2) Efek Farmakologi
a. Efek terhadap sistem saraf pusat
Obat ini sangat cepat berdifusi ke jaringan otak sehingga
menimbulkan efek dalam waktu yang singkat yaitu 30 detik. Obat ini
populer disebut sebagai “Ultra Short Acting Barbiturate”. Setelah
pemberian intravena, akan beredar keseluruh jaringan tubuh dan
bekerja di pusat kesadaran pada semua level. Derajat deperesi obat ini
bergantung pada dosisnya.Semakin tinggi dosis yang diberikan,
semakin tinggi derajat depresinya.Pentothal tidak memiliki efek
analgesia. Pada dosis yang rendah, obat ini dapat meningkatkan
sensitivitas nyeri, sehingga akan timbul efek hiperalgesia. Efek ini
disebut efek “antalgesia”.
b. Efek terhadap sistem respirasi
Pada pemberian intravena yang cepat dapat menimbulkan efek
depresi pusat nafas sehingga menyebabkan pasien henti nafas.Derajat
depresi nafas bergantung pada kecepatan dan dosis obat yang

15
diberikan.Pada bronkus, obat ini dapat memberikan efek spasme
disebabkan oleh pengaruhnya terhadap peningkatan tonus vagal.
c. Efek terhadap sistem kardiovaskuler
Efek yang segera timbul adalah penurunan tekanan darah yang
tergantung dari konsentrasinya dalam plasma sebagai akibat dari efek
depresinya terhadap otot jantung sehingga akan terjadi voasodilatasi
pembuluh darah dan penurunan curah jantung. Iritabilitas jantung tidak
berpengaruh namun dapat menimbulkan disritmia jika terdapat retensi
CO2 atau hipoksia.Pemberian obat secara cepat atau dosisnya tinggi
dapat menyebabkan hipotensi berat akibat vasodilatasi berat karena
depresi pusat vasomotor serta dapat juga disebabkan oleh efek obat
terhadap depresi pada miokard.
d. Efek terhadap otot rangka dan uterus
Pada dosis yang lazim, obat ini tidak mempunyai pengaruh
terhadap tonus otot rangka dan uterus ibu hamil.Apabila dosis yang
diberikan tinggi, bisa terjadi penurunan tonus dan bisa melewati barier
uteroplasenta.
e. Terhadap metabolisme
Menurunkan laju metabolisme sel sehingga konsumsi O 2akan
berkurang sesuai dalamnya anestesi.

3) Farmakokinetik
Waktu paruh thiopental berkisar antara 3-6 jam dengan onset
berkisar antara 30-60 detik dan durasi kerja obat 20-30 menit.Thiopental
di dalam darah 70% diikat oleh albumin, sisanya 30% dalam bentuk
bebas, sehingga pada pasien dengan albumin rendah, thiopental yang
terikat lebih sedikit dibandingkan bentuk bebas sehingga efek
hipnotiknya lebih dalam. Bergantung dosis dan kecepatan suntikan,
thiopental akan menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi,
hipnotik, anesthesia, atau depresi nafas.
Metabolisme thiopental terutama terjadi di hepar dan
ekskresinya melalui urine dan feses dalam bentuk hasil metabolit,
sehingga sangat sedikit yang dieksresikan dalam bentuk utuh. Proses
pemecahannya sangat lambat, hanya 10-15% thiopental dalam tubuh

16
akan dimetabolisme tiap jam. Pulih sadar yang cepat setelah pemberian
thiopental disebabkan oleh pemecahan dalam hepar yang cepat, dilusi
dalam darah dan redistribusi ke jaringan tubuh yang lain. Oleh karena itu
thiopental termasuk dalam obat dengan daya kerja sangat singkat (ultra
short acting barbiturate). Thiopental dalam jumlah kecil sekitar 30%
masih dapat ditemukan dalam darah 24 jam setelah pemberian
Sifat anestesi thiopentone :
a) Hipnotik kuat
b) Induksi cepat, lancar dan tidak diikuti oleh eksitasi
c) Pola respirasi tenang dan bisa hipoventilasi
d) Tidak punya khasiat analgetik
e) Tidak menimbulkan relaksasi otot
f) Pemulihan cepat, tetapi masih ada rasa ngantuk
g) Efek samping mual dan muntah jarang dijumpai
4) Indikasi pemakaian thipentone
1. Induksi anestesia
2. Obat tambahan pada analgesia regional
3. Anti kejang
4. Anestesia tunggal misalnya pada tidakan reposisi
5. Hipnotik pada pasien di ruang terapi intensif
5) Dosis Dan Cara Pemakaian
Untuk induksi, buat larutan dengan menggunakan aquades atau
NaCl 0,9% dengan konsentrasi 2,5% atau 5%.Dosis untuk induksi 4 - 5
ml / KgBB, diberikan IV pelan - pelan.Perlu modifikasi dosis pada anak -
anak, orang tua, ataupun pada pasien malnutrisi. Pada saat pemberian
obat harus dipastikan obat tersebut masuk kedalam pembuluh darah
karena apabila terjadi ekstravasasi kedalam jaringan sekitar, pasien
akan merasakan nyeri hebat akibat iritasi jaringan bahkan nekrosis
jaringan di sekitar tempat penyuntikan. Penanggulangan jika terjadi
keadaan tersebut adalah diberi anestesi lokal isobarik atau hipobarik.
6) Efek Samping
a. Hipoventilasi sampai henti nafas
b. Resiko spasme laring dan bronkus
c. Depresi kardiovaskuler

17
d. Nekrosis sentral hati

7) Kontraindikasi
a. PPOK
b. Dekompensasi kordis
c. Syok berat
d. Insufisiensi adrenokortikal
e. Status asmatikus
f. Porphyria

2.4.2 Propofol

Propofol menjadi obat pilihan induksi anestesia, khususnya


ketika bangun yang cepat dan sempurna diperlukan. Propofol (diprivan,
recofol, safol) merupakan obat induksi anastesia cepat.Obat ini didistribusi
secara cepat dan eliminasi cepat. Propofol dikemas dalam cairan emulsi
lemak berwarna putih susu bersifat isotonik, berisi 20 ml/ampul dengan
kepekatan 1% (1 ml = 10 mg), tidak larut dalam air dan bersifat asam.
Khasiatnya hipnotik murni, tidak mempunyai efek analgetik maupun
relaksasi otot.
Farmakokinetik. Waktu paruh 24-72 jam. Dosis induksi cepat
menimbulkan sedasi (30-45 detik) dengan durasi berkisar antara 20-75
menit tergantung dosis dan redistribusi dari sistem saraf pusat.Sebagian
besar propofol terikat dengan albumin (96-97%). Setelah pemberian bolus
intravena, konsentrasi dalam plasma berkurang dengan cepat dalam 10
menit pertama (waktu paruh 1-3 menit) kemudian diikuti bersihan lebih

18
lambat dalam 3-4 jam (waktu paruh 20-30 menit). Kedua fase ini
menunjukkan distribusi dari plasma dan ambilan oleh jaringan yang cepat.
Metabolisme terjadi di hepar melalui konjugasi oleh konjugasi
oleh glukoronida dan sulfat untuk membentuk metabolit inaktif yang larut
air yang kemudian diekskresi melalui urin(6). Eliminasi propofol sensitif
terhadap perubahan aliran darah hepar namun tidak dipengaruhi oleh
ikatan protein ataupun aktivitas enzim. Propofol diketahui menghambat
metabolisme obat oleh sitokrom p450 oleh karena itu dapat menyebabkan
perlambatan klirens dan durasi yang memanjang pada pemberian bersama
dengan fentanyl, alfentanil dan propanolol.
Farmakodinamik.Propofol adalah modulator selektif dari
reseptor gamma amino butiric acid (GABAA) dan tidak terlihat memodulasi
saluran ion ligand lainnya pada konsentrasi yang relevan secara klinis.
Propofol memberikan efek sedatif hipnotik melalui interaksi reseptor
GABAA.GABA adalah neurotransmiter penghambat utama dalam susunan
saraf pusat. Ketika reseptor GABAA diaktifkan, maka konduksi klorida
transmembran akan meningkat, mengakibatkan hiperpolarisasi membran
sel postsinap dan hambatan fungsional dari neuron postsinap. Interaksi
propofol dengan komponen spesifik reseptor GABAA terlihat mampu
meningkatkan laju disosiasi dari penghambat neurotransmiter, dan juga
mampu meningkatkan lama waktu dari pembukaan klorida yang diaktifkan
oleh GABA dengan menghasilkan hiperpolarisasi dari membran sel.
Pada sistem saraf pusat, dosis induksi menyebabkan pasien
kehilangan kesadaran dengan cepat akibat ambilan obat lipofilik yang
cepat oleh SSP, dimana dalam dosis yang kecil dapat menimbulkan efek
sedasi, tanpa disetai efek analgetik. Pada pemberian dosis induksi
(2mg/kgBB) pemulihan kesadaran berlangsung cepat. Dapat
menyebabkan perubahan mood tapi tidak sehebat thiopental. Propofol
dapat menyebabkan penurunan aliran darah ke otak dan konsumsi oksigen
otak sehingga dapat menurunkan tekanan intrakranial dan tekanan
intraokular sebanyak 35%.
Pada sistem kardiovaskuler, Induksi bolus 2-2,5mg/kg dapat
menyebabkan depresi pada jantung dan pembuluh darah dimana tekanan
dapat turun. Hal ini disebabkan oleh efek dari propofol yang menurunkan

19
resistensi vaskular sistemik sebanyak 30%. Namun penurunan tekanan
darah biasanya tidak disertai peningkatan denyut nadi. Pernafasan
spontan (dibanding nafas kendali) serta pemberian drip melalui infus
(dibandingkan dengan pemberian melalui bolus) mengurangi depresi
jantung. Sedangkan usia berbanding lurus dengan efek depresi jantung.
Pada Sistem pernafasa, apnoe paling banyak didapatkan pada
pemberian propofol dibanding obat intravena lainnya. Umumnya
berlangsung selama 30 detik, namun dapat memanjang dengan pemberian
opioid sebagai premedikasi atau sebelum induksi dengan propofol.Dapat
menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal.Efek ini biasanya
bersifat sementara namun dapat memanjang pada penggunaan dosis yang
melebihi dari rekomendasi atau saat digunakan bersamaan dengan
respiratory depressants.
Dosis.Dosis bolus untuk induksi 2 – 2.5 mg/kg, dosis rumatan
untuk anestesi intravena total 4 – 12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk
perawatan intensif 0.2 mg/kg. Pengenceran propofol hanya boleh dengan
dekstros 5%.Pada manula dosis harus dikurangi, pada anak <3 tahun dan
pada wanita hamil tidak dianjurkan. Pemulihan kesadaran berlangsung
cepat, pasien akan bangun setelah 4-5 menit tanpa disertai efek samping
seperti : mual, muntah, sakit kepala dan lainnya.
Efek samping. Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri,
sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2mg/kgBB
intravena. Efek samping propofol pada sistem pernafasan: depresi
pernafasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem
kardiovascular berupa: Bradikardi serta hipotensi kadang didapatkan
setelah penyuntikan propofol, namun dapat diatasi dengan penyuntikkan
obat antimuskarinik, misalnya: atropin. Pada susunan syaraf pusat
menyebabkan sakit kepala euforia, kebingungan, kejang

20
2.4.3 Ketamin

Ketamin adalah suatu "rapid acting non-barbiturate general


anesthetic". Pertama kali diperkenalkan oleh Domino and Carsen pada
tahun 1965. Batas keselamatan ketamin sangat lebar, overdosis hanya
menyebabkan tidur lebih lama tetapi tidak menambah dalamnya stadium
anastesia disosiatif. Khasiat analgesik somatik sangat baik tetapi kurang
untuk anastesia viseral.
Ketamin (ketalar) kurang digemari untuk induksi anestesi, karena
sering menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca
anestesia dapat menimbulkan mual-muntah, pandangan kabur dan mimpi
buruk.
Ketamin merupakan larutan tidak berwarna, bersifat agak asam dan
sensitive terhadap cahaya dan udara sehingga dikemas dalam vial berwarna
coklat agar terhindar dari pengaruh langsung sinar matahari.

1) Farmakokinetik
Onset kerja ketamin pada pemberian intravena lebih cepat
dibandingkan pemberian intramuskular. Onset pada pemberian intravena
adalah 30 detik sedangkan dengan pemberian intramuskular membutuhkan
waktu 3-4 menit, tetapi durasi kerja juga didapatkan lebih singkat pada
pemberian intravena (5-10 menit) dibandingkan pemberian intramuskular (12-
25 menit).
Metabolisme terjadi di hepar dengan bantuan sitokrom P450 di
reticulum endoplasma halus menjadi norketamine yang masih memiliki efek
hipnotis namun 30% lebih lemah dibanding ketamine, yang kemudian
mengalami konjugasi oleh glukoronida menjadi senyawa larut air untuk
selanjutnya diekskresikan melalui urin.

21
2) Farmakodinamik
Sistem saraf pusat.Ketamine memiliki efek analgetik yang kuat akan
tetapi efek hipnotiknya kurang (tidur ringan) disertai anestesia disosiasi.
Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik pasien akan
mengalami perubahan tingkat kesadaran yang disertai tanda khas pada mata
berupa kelopak mata terbuka spontan, dilatasi pupil dan nistagmus. Selain itu
kadang-kadang dijumpai gerakan yang tidak disadari (cataleptic appearance),
seperti gerakan mengunyah, menelan, tremor dan kejang.Pada pasien yang
diberikan ketamin juga mengalami amnesia anterograde.Itu merupakan efek
anestesi dissosiatif yang merupakan tanda khas setelah pemberian
Ketamin.Sering mengakibatkan mimpi buruk dan halusinasi pada periode
pemulihan sehingga pasien mengalami agitasi.Selain itu, ketamin
menyebabkan peningkatan aliran darah ke otak, konsumsi oksigen otak, dan
tekanan intrakranial.
Pulih sadar kira-kira tercapai dalam 10-15 menit tetapi sulit
menentukan saatnya yang tepat seperti halnya sulit menentukan permulaan
kerjanya. Kontak penuh dengan lingkungan dapat bervariasi dari beberapa
menit setelah permulaan tanda-tanda sadar sampai 1 jam.Sering
mengakibatkan mimpi buruk, disorientasi tempat dan waktu, halusinasi dan
menyebabkan gaduh, gelisah, tidak terkendali.
Sistem kardiovaskuler. Tekanan darah akan naik baik sistolik maupun
diastolik. Kenaikan rata-rata antara 20-25% dari tekanan darah semula
mencapai maksimum beberapa menit setelah suntikan dan akan turun
kembali dalam 15 menit kemudian. Denyut jantung juga meningkat.Efek ini
disebabkan adanya aktivitas saraf simpatis yang meningkat dan depresi
baroreseptor.Efek ini dapat dicegah dengan pemberian premedikasi opioid,
hiosine.Namun aritmia jarang terjadi.
Sistem pernafasan.Depresi pernafasan kecil sekali dan hanya
sementara, kecuali dosis terlalu besar dan adanya obat-obat depressan
sebagai premedikasi.Ketamin menyebabkan dilatasi bronkus dan bersifat
antagonis terhadap efek konstriksi bronkus oleh histamin, sehingga baik
untuk penderita asma dan untuk mengurangi spasme bronkus pada
anesthesia umum yang masih ringan.

22
Indikasi
Dalam penggunaan ketamine sering dikombinasi dengan diazepam oleh
karena diazepam berkhasiat menekan efek buruk ketamine. Penggunaan
ketamine adalah sebagai berikut:
1. Induksi Anestesia, pada:
Bedah sesar, oleh karena efek depresinya minimal
Anak-anak balita yang tidak kooperatif, diberikan secara intramuscular
Pasien yang menderita asma, hipotensi dan syok
2. Obat Anestesi Pokok
Digunakan untuk operasi-operasi di daerah superfisial, berlangsung
sikat dan tidak memerlukan relaksasi otot maksimal, misalnya pada
bedah mulut, untuk:
Beberapa jenis ekstarpasi tumor kecil pada bibir
Beberapa prosedur diagnostic untuk anak-anak
3. Analgetik Pasca Trauma atau Pascabedah
Untuk menanggulangi nyeri akut pasca trauma atau bedah
dikombinasikan dengan obat sedative.
3) Dosis
1. Induksi
Diberikan intravena dalam bentuk larutan 1%, dengan dosis lazim 1-2
mg/kgBB pelan-pelan.Pada sesar, dosis dikurangi yaitu 0.5-1
mg/kgBB.Pada anak-anak balita, untuk induksi diberikan secara
intramuscular (tanpa pengenceran) dengan dosis 5-10 mg/kgBB.
2. Pemeliharaan
Diberikan intravena intermiten atau tetes kontinyu.Pemberian secara
intermiten diulang setiap 10-15 menit dengan dosis setengah dari dosis
awal sampai operasi selesai.Sedangkan pemberian secara infus tetes
kontinyu hanya dilakukan pada pembedahan tertentu saja.
4) Kontraindikasi
1. Tekanan intracranial meningkat, misalnya pada trauma kepala, tumor
otak dan operasi-operasi intracranial.
2. Tekanan intraokuler meningkat, misalnya pada penyakit glaukoma dan
pada operasi intra okuler.

23
3. Pasien yang menderita penyakit sistemik yang sensitive terhadap obat-
obatan simpatomimetik, seperti: hipertensi, tirotoksikosis, diabetes
mellitus, paeokromositoma, penyakit jantung koroner dan lain-lain.
5) Efek Samping
1. Pada ssp, akibat efek disosiasinya menimbulkan halusinasi, mimpi
buruk dan kadang-kadang terjadi gaduh gelisah dan “banjir” kata-kata
2. Pada respirasi, sering timbul spasme laring akibat rangsangan pada
jalan nafas atas
3. Pada kardiovaskular, terjadi hipertensi dan takikardi
4. Pada endokrin, terjadi peningkatan kadar gula darah
5. Pada otot rangka terjadi rigiditas
6. Meningkatkan konsumsi oksigen jaringan
7. Meningkatkan jumlah perdarahan pada luka operasi

2.4.4 Opioid
Opioid bertindak sebagai suatu agonis pada sterotipik reseptor opioid
di neuron presinaptik dan postsinaptik sistem saraf pusat/SSP (terutama di
batang otak dan sumsum tulang belakang/spinal cord) serta di luar SSP
pada jaringan periferal.Efek utama aktivasi reseptor opioid adalah
menurunkan neurotransmisi.Penurunan neurotrasnmisi ini dapat terjadi
karena adanya penghambatan pelepasan neurotransmiter presinaptik
(acetylcholine, dopamine, norepinephrine, substance P), dan terkadang juga
terjadi penghambatan bangkitan aktivitas di post-synaptic.
Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi diberikan
dosis tinggi.Opioid tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga banyak
digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung.Fentanil
mempunyai potensi 1000 kali lebih kuat dibandingkan dibanding petidin dan
50-100 kali lebih kuat dari morfin.Mulai kerjanya cepat dan masa kerjanya
pendek.Untuk anestesia opioid digunakan fentanil dosis analgesia, 1-2
μg/kgBB diberikan intramuskuler. Untuk induksi anestesia 100-200 μg/kgBB
intravena. Untuk suplemen analgesia 1-2 μg/kgBB diberikan intravena.

24
2.4.5 Fentanyl
Fentanil merupakan obat dari golongan opioid yang banyak
digunakan dalam anestesi, kekuatannya 100 X morfin.Fentanil merupakan
opioid sintetik dari kelompok fenilpiperedin.Lebih larut dalam lemak dan
lebih mudah menembus sawar jaringan.Dalam dosis kecil (1µg/kgBB, IV)
fentanil memiliki onset dan durasi kerja yang singkat (20-30 menit) dan
menimbulkan efek sedasi sedang.Dalam dosis besar (50-150µg/kgBB, IV)
didapatkan sedasi yang dalam serta penurunan kesadaran, dan kadang
didapatkan kekakuan otot dada.
1) Farmakokinetik
Farmakokinetik fentanil bervariasi pada tiap individu.Setelah
pemberian melalui bolus intravena, konsentrasi plasma turun dengan cepat
(waktu paruh distribusi sekitar 13 menit). Waktu paruh berkisar antara 3-4
jam dan dapat memanjang hingga 7-8 jam pada beberapa pasien.Setelah
suntikan intravena ambilan dan distribusinya hampir sama dengan morfin
tetapi fraksi terbesar dirusak oleh paru ketika pertama kali melewatinya.
Fentanil dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilasi dan hidroksilasi,
metabolit dapat didapatkan di darah dalam 1-2 menit setelah
pemberian.Sisa metabolisme dieksresikan di urin dalam beberapa hari.
2) Farmakodinamik
Fentanil bekerja pada reseptor spesifik di otak dan medulla spinalis
untuk menurunkan rasa nyeri dan respons emosional terhadap nyeri.Sistem
kardiovaskuler cenderung tidak mengalami perubahan signifikan setelah
pemberian fentanil, namun kadang dalam dosis besar dapat menyebabkan
bradikardi yang memerlukan terapi atropin.Sistem pernafasan, seperti
analgesik opioid yang lain, fentanil mendepresi pernafasan bergantung dosis
pemberiannya.Efek depresi pernafasan berlangsung lebih lama dari efek
analgesiknya.
3) Dosis

Fentanil dosis 1-3µg/kgBB memiliki efek analgetik yang hanya


berlangsung 30 menit, karena itu hanya digunakan dalam pembedahan dan
tidak untuk pasca bedah. Dosis besar 50-150µg/kgBB digunakan untuk
induksi dan pemeliharaan anestesi dengan kombinasi dengan

25
benzodiazepine dan anestetik inhalasi dosis rendah pada bedah jantung
selain itu juga dapat mencegah peningkatan kadar gula, katekolamin
plasma, ADH, rennin, aldosteron dan kortisol.
4) Efek samping
Efek yang kurang disukai akibat pemberian fentanil adalah kekakuan
otot punggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan pemberian
pelumpuh otot.Dosis besar dapat mencegah peningkatan kadar gula,
katekolamin plasma, ADH, rennin, aldosteron dan kortisol. Obat terbaru dari
golongan fentanil adalah remifentanil, yang dimetabolisir oleh esterase
plasma nonspesifik, yang menghasilkan obat dengan waktu paruh yang
singkat, tidak seperti narkotik lain durasi efeknya relatif tidak tergantung
dengan durasi infusinya.

2.4.6 Petidin
Petidin atau meperidin merupakan derivat fenilpiperidin. Secara kimia
adalah etil-1metil-4-fenilpiperidin-4-karboksilat.

A. Farmakokinetik

Kadar puncak dalam plasma biasanya dicapai dalam 45 menit dan


kadar yang dicapai sangat bervariasi antar individu. Setelah pemberian lintas
oral, sekitar 50% obat mengalami metabolisme lintas pertama dan kadar
maksimal dalam plasma tercapai dalam 1-2 jam, setelah pemberian secara
IV, kadar dalam plasma menurun secara cepat dalam 1-2 jam pertama,
kemudian penurunan berlangsung dengan lambat. Kurang lebih 6% petidin
terikat dengan protein dalam plasma. Petidin dimetabolisme didalam hati,
dihidrolisis menjadi asam meperidinat yang selanjutnya mengalami
konjugasi.Masa paruhnya ± 3 jam.Pada pasien sirosis hati bioavaibilitasnya
meningkat menjadi 80%.Dan masa paruhnya memanjang.

B. Farmakodinamik

Petidin atau meperidin bekerja pada reseptor μ. Pada susunan saraf


pusat petidin menimbulkan analgesia, sedasi, euforia, depresi nafas, dan efek
sentral lain. Efek analgesia petidin mulai timbul 15 menit setelah pemberian

26
oral dan mencapai puncak dalam 2 jam. Efek analgetik lebih cepat timbul
dengan pemberian secara subkutan dan IM sekitar 10 menit, mencapai
puncak dalam 1 jam dan masa kerjanya 3-5 jam. Efektifitaspetidin 75-100mg
parenteral kurang lebih sama dengan 10mg morfin. Bioavaibilitas peroral 40-
60%, maka bila diberikan per parenteral diberikan setengahnya. Sedasi,
euforia dan eksitasi, pemberian petidin kepada pasien yang nyeri atau cemas
akan menimbulkan euforia. Dosis toksik petidin menimbulkan perangsangan
SSP, berupa tremor, kedutan otot, dan konvulsi.Petidin depresi nafas dengan
menurunkan kepekaan pusat nafas terhadap CO2 dan mempengaruhi pusat
yang mengatur irama nafas dalam pons.Petidin menurunkan tidal volume,
sedangkan frekuensi nafas kurang dipengaruhi.Sebaliknya morfin terutama
menimbulkan penurunan frekuensi nafas.Kardiovaskular, pemberian petidin
pada pasien berbaring tidak mempengaruhi kardiovaskular. Bila berobat jalan
dapat menyebabkan sinkop akibat penurunan tekanan darah akibat depresi
nafas yang menyebabkan peningkatan kadar CO2, mengakibatkan dilatasi
pembuluh darah otak sehingga timbul kenaikan tekanan cairan cerebrospinal.
Petidin tidak menimbulkan konstipasi sekuat morfin.Uterus, dosis terapi
petidin yang diberikan sewaktu partus tidak memperlambat kelangsungan
partus dan tidak mengubah kontraksi uterus, dan juga tidak mengganggu
kontraksi atau involusi uterus pascapersalinan dan tidak menambah frekuensi
perdarahan pasca persalinan.

C. Dosis
Meperidin HCl tersedia dalam bentuk tablet 50mg dan 100mg dan
ampul 2ml/100mg. pemberian petidin biasanya peroral atau IM.Pemberian IV
menimbulkan reaksi lebih sering dan lebih berat.Pemberian 50-100mg petidin
secara parenteral menghilangkan nyeri sedang atau hebat pada sebagian
besar pasien.

D. Efek samping
Berupa pusing, berkeringat, euforia, mulut kering, mual, muntah,
perasaan lemah, gangguan penglihatan, palpitasi, disforia, sinkop dan
sedasi.Pada pasien dengan penyakit hati dan orangtua, dosis obat harus
dikurangi karena terjadinya perubahan disposisi obat. Bila obat diberikan

27
bersama antipsikosis, hipnotik sedatif, dan obat-obat lain penekan SSP, dosis
obat juga harus dikurangi

2.4.7 Morfin
Morfin adalah alkaloid golongan fenantren.Morfin memiliki gugus OH
fenolik dan gugus OH alkoholik.Atom hidrogen pada kedua gugus itu dapat
diganti oleh berbagai gugus membentuk berbagai alkaloid opium.

A. Farmakokinetik
Morfin diabsorbsi diusus.Morfin dapat diberikan secara subkutan,
intramuscular, intravena, epidural atau intratekal.Morphine dapat diserap
dengan baik melalui pemberian intramuskuler, dengan onset efek sekitar 15
hingga 30 menit dan efek puncaknya tercapai dalam 45 hingga 90 menit.
Durasi kerja morphine dapat bertahan selama 4 jam.Setelah pemberian dosis
tunggal, sebagian morfin mengalami konjugasi dengan asam glukoronat di
hepar dan metabolitnya akan dikeluarkan oleh urine 90% dan feses 10%.
Morfin melintasi plasenta dan mempengaruhi janin.

B. Farmakodinamik
Morfin memiliki efek analgetik dan narkose terhadap susunan saraf
pusat. Efek analgetik terutama ditimbulkan akibat kerja opioid pada reseptor
μ, selain itu juga memiliki afinitas yang lemah terhadap terhadap reseptor δ
dan reseptor κ. Reseptor μ, κ, dan δ banyak didapatkan pada kornu dorsalis
medula spinalis.Reseptor didapatkan baik pada saraf yang mentransmisi
nyeri dimedula spinalis maupun pada aferen primer yang melerai nyeri.
Agonis opioid melalu reseptor μ, δ, dan κ pada ujung prasinaps aferen primer
nosiseptif mengurangi pelepasan transmiter, dan selanjutnya menghambat
saraf yang mentransmisi nyeri di kornu dorsalis medula spinalis, selain itu μ
agonis menimbulkan efek inhibisi pascasinaps melalui reseptor μ di otak.
Terjadi perubahan reaksi terhadap stimulus nyeri itu. Pasien mengatakan
bahwa nyeri masih ada tetapi ia tidak menderita lagi. Efek narkose, morfin
dosis kecil (5-10mg) menimbulkan euforia pada pasien yang menderita nyeri,
sedih, gelisah sebaliknya pada orang normal akan menimbulkan disforia
berupa perasaan kuatir atau takut. Morfin menimbulkan rasa kantuk, tidak

28
dapat berkonsentrasi sukar berfikir, apatis dan aktivitas motorik berkurang.
Miosis yang ditimbulkan morfin akibat kerjanya pada reseptor μ dan κ oleh
perangsangan pada segmen otonom inti saraf okulomotorius.Miosis dapat
dilawan dengan atropin. Pada intoksikasi morfin didapatkan pin point pupils.
Depresi nafas terjadi berdasarkan efek langsung terhadap pusat nafas
dibatang otak, terjadi penurunan frekuensi nafas, volume semenit dan tidal
exchange, akibat PCO2 dalam darah dan udara alveolar meningkat dan kadar
O2 dalam darah menurun. Kepekaaan pusat nafas terhadap CO 2 berkurang.
Kadar CO2 5% tidak lagi menimbulkan peninggiian ventilasi pulmonal.Morfin
dan derivatnya menghambat refleks batuk, tetapi tidak sekuat kodein. Mual
dan muntah, efek emetik terjadi berdasarkan stimulasi langsung pada Emetic
chemoreseptor trigger zone (CTZ) di area postrema medula oblongata bukan
oleh stimulasi pusat emetik sendiri.
Morfin berefek langsung ke saluran cerna bukan memalui SSP.
Morfin menghambat sekresi HCl secara lemah, menyebabkan pergerakan
lambung berkurang, sehingga pergerakan isi lambung ke duodenum
diperlambat. Morfin juga mengurangi sekresi empedu dan pankreas, dan
memperlambat pencernaan makanan diusus halus. Di usus besar morfin
mengurangi atau menghilangkan gerakan propulsi usus besar, meninggikan
tonus usus besar dan menyebabkan spasme usus besar akibatanya
penerusan isi kolon menjadi lambat dan tinja menjadi keras. Morfin
menyebabkan peningkatan tekanan dalam duktus koledokus daan efek ini
dapat menetap dalam 2 jam keadaan ini disertai dengan perasaan tidak enak
di epigastrium sampai nyeri kolik berat. Dosis terapi morfin tidak berpengaruh
ke kardiovaskular, perubahan kardiovaskular terjadi akibat efek depresi pada
pusat vagus dan pusat vasomotor yang baru terjadi pada dosis toksik. Yang
mungkin dialami pasien adalah hipotensi orthostatik dan dapat jatuh pingsan
akibat vasodilatasi perifer yang terjadi karena efek langsung terhadap
pembuluh darah kecil. Morfin merendahkan tonus uterus pada masa haid dan
menyebabkan uterus lebih tahan terhadap renggangan oleh karena itulah
morfin digunakan untuk obat dismenore.Karena pelepasan histamin,
menyebabkan pelebaran pembuluh darah kulit sehingga kulit tampak merah
dan terasa panas, berkeringat, dan kadang gatal-gatal.Setelah pemberian

29
morfin volume urin berkurang, disebabkan merendahnya laju filtrasi
glomerulus, alir aliran ginjal dan penglepasan ADH.

C. Dosis dan Sediaan


Yang biasa digunakan ialah garam HCl, garam sulfat, atau fosfat
alkaloid morfin, dengan sediaan 1 amp 10mg/ml. dosis yang digunakan 0,1
mg/KgBB. Efektivitas morfin peroral hanya 1/6-1/5 kali morfin subkutan.
Pemberian 60 mg morfin per oral memberi efek analgetik sedikit lebih lemah
dan masa kerja lebih panjang dari pada pemberian 8 mg morfin IM.

D. Efek samping

Morfin menyebabkan idiosinkrasi dan alergi yaitu menyebabkan mual


dan muntah terutama pada wanita, urtikaria, eksantem, dermatitis kontak,
pruritus dan bersin. Pada intoksikasi akut, pasien akan tertidur sopor atau
koma jika intoksikasi cukup berat. Frekuensi nafas terlambat, 2-4x/menit,
pernafasan Cheyne Stokes, sianotik, muka merah agak kebiruan, sampai
terjadi syok, dan pin point pupils.

2.5 Obat Pelumpuh Otot (Muscle Relaxant)


Obat pelumpuh otot merupakan obat yang di gunakan untuk
melemaskan atau merileksasikan otot. Obat pelumpuh otot bukan merupakan
obat anestesi, tetapi obat ini sangat membantu dalam membantu
pelaksanaan anestesi umum, antara lain memudahkan dan mengurangi
cedera tindakan laringoskopi dan intubasi trakea serta memberikan relaksasi
otot yang dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi kendali.

2.5.1 Fisiologi Transmisi Syaraf Otot


Transmisi rangsang syaraf ke otot terjadi melalui hubungan
syaraf otot. Daerah di antara motor neuron dan sel saraf disebut
neuromuscular junction. Membran sel neuron dan serat otot dipisahkan
oleh sebuah celah (20 nm) yang disebut sebagai celah sinaps.
Hubungan ini terdiri atas bagian ujung syaraf motor yang tidak berlapis
mielin dan membran otot. Ujung syaraf motor merupakan gudang

30
pesendian kalsium, vesikel atau asetil kolin, mitokondria, dan retikulum
endoplasmik. Pada membran otot yaitu motor end plate kaya akan
reseptor asetilkolin.
Asetilkolin merupakan bahan perangsang syaraf
(neurotransmiter) yang dibuat dalam ujung syaraf motor dan disimpan
dalam kantong atau gudang yang disebut vesikel. Ada 3 bentuk
asetilkolin, yaitu bentuk bebas, cadangan belum siap pakai, dan bentuk
siap pakai.
Faktor –faktor yang mempengaruhi pelepasan asetilkolin adalah
kalsium, magnesium, nutrisi, oksigenasi, suhu, analgetik lokal,
antibiotik golongan aminoglikosida.
Potensial membran ujung syaraf motor terjadi karena membran
bersifat permeabel terhadap ion kalium ekstrasel dari pada natrium.
Pada saat pelepasan asetilkolin (transmiter saraf) yang dipicu oleh
kalsium, membran tersebut menjadi lebih permeabel terhadap ion
natrium dan kalsium sehingga kalsium dan natrium masuk sedangkan
kalium keluar sel, maka terjadi reaksi depolarisasi. Kalsium intraseluler
ini akan memfasilitasi aktin dan myosin untuk berinteraksi yang
membentuk kontraksi otot. Bila depolarisasi ini cukup kuat maka akan
diikuti oleh kontraksi otot. Setelah itu akan terjadi repolarisasi membran
ujung syaraf motor karena kerja asetilkolin cepat di hidrolisis oleh
asetilkolin-esterase menjadi asetil dan kolin.

31
2.5.2 Jenis Obat Pelumpuh Otot
1. Depolarisasi
Terjadi karena serabut otot mendapat rangsangan depolarisasi
yang menetap sehingga akhirnya kehilangan respon berkontraksi yang
menyebabkan kelumpuhan. Pulihnya fungsi syaraf otot sangat
tergantung pada kemampuan daya hidrolisis enzim kolinesterase.
Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di
celah sinaps tidak dirusak dengan asetilkolinesterase sehingga
bertahan cukup lama menyebabkan terjadinya depolarisasi yang
ditandai dengan fasikulasi yang diikuti relaksasi otot lurik. Termasuk
golongan ini adalah suksinilkolin (diasetil-kolin) dan dekametonium.
Didalam vena, suksinil kolin dimetabolisme oleh kolinesterase plasma,
pseudokolinesterase menjadi suksinil-monokolin.
Suksinilkolin (diasetilkolin, suxamethonium) terdiri dari 2 molekul
asetilkolin yang bergabung. Obat ini memiliki onset yang cepat (30-60
detik) dan duration of action yang pendek (kurang dari 10 menit).
Ketika suksinilkolin memasuki sirkulasi, sebagian besar dimetabolisme
oleh pseudokolinesterase menjadi suksinilmonokolin. Proses ini sangat
efisien, sehingga hanya fraksi kecil dari dosis yang dinjeksikan yang
mencapaineuromuscular junction. Duration of action akan memanjang
pada dosis besar atau dengan metabolisme abnormal, seperti
hipotermia atau rendanya level pseudokolinesterase. Rendahnya level
pseudokolinesterase ini ditemukan pada kehamilan, penyakit hati,
gagal ginjal dan beberapa terapi obat. Pada beberapa orang juga
ditemukan gen pseudokolinesterase abnormal yang menyebabkan
blokade yang memanjang.

2. Hambatan Kompetisi Atau Blok Non Depolarisasi


Terjadi karena aseptor asetilkolon diduduki oleh molekul-molekul obat
pelumpuh otot non depolarisasi sehingga proses depolarisasi
membran otot tidak terjadi dan otot menjadi lumpuh (lemas).
Pemulihan fungsi syaraf otot kembali jika molekul obat yang
menduduki reseptor asetikolin telah berkurang, antara lain terjadi
karena eliminasi dan atau distribusi. Pemulihan dapat lebih cepat

32
dibantu dengan memberikan obat antikolineseterase (neostigmin) yang
menyebabkan peningkatan jumlah asetilkolin.
Berdasarkan susunan molekul maka pelumpuh otot non depolarisasi
digolongkan menjadi :
1. Bensiliso-kuinolinum : d-tubokur arin, metokurarin,atrakurium,
doksakurium, mivakurium.
2. Steroid : pankuronium, vekuronium, piekuronium, ropakuronium,
roluronium.
3. Eter-fenolik : gallamin.
4. Nortoksiferin :alkuronium.

2.5.3 Dosis dan Efek Samping Obat Pelumpuh Otot


Jenis obat Dosis awal Dosis Durasi Efek samping
(mg/kg) rumatan (menit)
(mg/kg)
Nondepol long-acting:
1. D-tubokurarin 0.40-0.60 0.10 30-60 Histamin +,
(tubarin) 0.08-0.12 0.15-0.020 30-60 hipotensi,
2. Pankuronium 0.20-0.40 0.05 40-60 natural
3. Metakurin 0.05-0.12 0.01-0.015 40-60 Vagolitik,
4. Pipekuronium 0.02-0.08 0.005- 45-60 takikardi,
5. Doksakurium 0.15-0.30 0.010 40-60 tensi >
6. Alkurium(alloferin) 0.05 Histamin -,
hipotensi
Kardiovaskuler
stabil
Vagolitik,
takikardi
Nondepolintermediate
acting:
1. Gallamin (flaxedil) 4-6 0.5 30-60 Histamin +,
2. Atrakurium 0.5-0.6 0.1 20-45 hipotensi
(tracrium) 0.1-0.2 0.015-0.02 25-45 Aman untuk

33
3. Vekuronium 0.6-1.0 0.10-0.15 30-60 hepar dan
(norcuron) 0.15-0.20 0.02 30-45 ginjal
4. Rokuroniuim
(esmeron)
5. Cistacuronium Isomer
atrakurium

Nondepol short- 0.20-0.25 0.05 10-15 Histamin +,


acting: 1.5-2.0 0.3-0.5 15-30 hipotensi
1. Mivakurium
(mivacron)
2. Repokuronium
Depol short-acting:
1. Suksinilkolin 1.0 3-10 Lihat teks
(scolin)
2. Dekametonium

2.5.4 Pilihan pelumpuh otot


a. Gangguan faal ginjal : atrakurium, vekuronium
b. Gangguan faal hati : atrakurium
c. Miastenia gravis : jika dibutuhkan dosis 1/10 atrakurium
d. Bedah singkat : atrakurium, rokkuronium, mivakuronium
e. Kasus obstetri : semua dapat digunakan kecuali gallamin

2.5.5 Tanda kekurangan pelumpuh otot :


a. Cegukan (hiccup)
b. Dinding perut kaku
c. Ada tahanan pada inflasi paru

Ciri kelumpuhan otot non depolarisasi dan depolarisasi


a. Non depolarisasi
1. Tidak ada fesikulasi otot
2. Berpotensi dengan hipokalemia, hipotermia, obat anestetik inhilasi
eter, halotan, enfluran, isofluran.

34
3. Menunjukan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan
tunggal atau tetanik.
4. Dapat diantagonis oleh antikolinesterase.
b. Depolarisasi
1. Fasikulasi otot ada.
2. Berpotensi dengan antikolinesterase.
3. Kelumpuhan berkurang dengan menberikan obat pelumpuh otot
non depolarisasi, dan asidosis.
4. Tidak menunjukan kelumpuhan bertahap pada perangsangan
tunggal maupun tetanik.
5. Belum dapat diatasi dengan obat spesifik.

2.5.6 Penawar Pelumpuh Otot


Penawar pelumpuh otot atau antikolinesterase bekerja pada
sambungan saraf-otot mencegah asetilkolin-esterase bekerja, sehingga
asetilkolin dapat bekerja. Antikolinesterase yang paling sering digunakan ialah
neostigmin (prostigmin), piridostigmin dan edrophonium.Physostigmine
(eserin) hanya untuk penggunaan per-oral.
Dosis neostigmin 0,04-0,08 mg/kg, piridostigmin 0,1-0,4 mg/kg,
edrophonium 0,5-1 mg/kg dan physostigmin 0,01-0,03 mg/kg. Penawar
pelumpuh otot bersifat muskarinik menyebabkan hipersalivasi, berkeringat,
bradikardia, kejang bronkus, hipermotilitas usus dan pandangan kabur,
sehingga pemberiannya harus disertai oleh obat vagolitik seperti atropin dosis
0,01-0,02 mg/kg atau glikopirolat 0,005-0,01 mg/kg sampai 0,2-0,3 mg pada
dewasa.

2.6 Stadium Anestesi


Gambaran klasik anestesi dinilai berdasarkan tanda dan tingkat
anestesi (tanda Guedel) yang berasal dari pengamatan atas efek pembiusan
dengan eter dengan melihat pernafasan, gerakan bola mata, tanda pada
pupil, tonus otot dan refleks pada penderita. Guedel membagi kedalaman
anestesi menjadi 4 stadium, terdiri atas :
1. Stadium I (Analgesia/Disorientasi)

35
Stadium I dimulai dari saat pemberian zat anestetik sampai hilangnya
kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah
dan terdapat analgesi. Tindakan pembedahan ringan, seperti
pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan pada stadium ini.
Stadium ini berakhir ditandai oleh hilangnya refleks bulu mata.
2. Stadium II (Eksitasi/Delirium)
Stadium II dimulai dari akhir stadium I dan ditandai dengan
pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan reflekss cahaya (+),
pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi
reflex fisiologi masih ada, dapat terjadi batuk atau muntah, kadang-
kadang kencing atau defekasi.
Stadium ini diakhiri dengan hilangnya refleks menelan dan
kelopak mata dan selanjutnya nafas menjadi teratur.Stadium ini
membahayakan penderita, karena itu harus segera diakhiri.Keadaan
ini bisa dikurangi dengan memberikan premedikasi yang adekuat,
persiapan psikologi penderita dan induksi yang halus dan
tepat.Keadaan emergency delirium juga dapat terjadi pada fase
pemulihan dari anestesi.
3. Stadium III

Disebut juga stadium operasi. Dimulai dari nafas teratur sampai


paralise otot nafas. Dibagi menjadi 4 plane:
-Plane I: Dari nafas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata.
Ditandai dengan nafas teratur, nafas torakal sama dengan abdominal.
Gerakan bola mata berhenti, pupil mengecil, refleks cahaya (+),
lakrimasi meningkat, reflex faring dan muntah menghilang, tonus otot
menurun.
-Plane II: Dari berhentinya gerakan bola mata sampai permulaan
paralisa otot interkostal. Ditandai dengan pernafasan teratur, volume
tidak menurun dan frekuensi nafas meningkat, mulai terjadi depresi
nafas torakal, bola mata berhenti, pupil mulai melebar dan refleks
cahaya menurun, refleks kornea menghilang dan tonus otot makin
menurun.

36
-Plane III: Dari permulaan paralise otot interkostal sampai paralise
seluruh otot Interkostal. Ditandai dengan pernafasan abdominal lebih
dorninan dari torakal karena terjadi paralisis otot interkostal, pupil
makin melebar dan reflex cahaya menjadi hilang, lakrimasi negafif,
reflex laring dan peritoneal menghilang, tonus otot makin menurun.
-Plane IV: Dari paralise semua otot interkostal sampai paralise
diafragma. Ditandai dengan paralise otot interkostal, pernafasan
lambat, iregular dan tidak adekuat, terjadi jerky karena terjadi paralise
diafragma.Tonus otot makin menurun sehingga terjadi flaccid, pupil
melebar, refleks cahaya negatif refleks spincter ani negative.
4. Stadium IV
Dari paralisis diafragma sampai apneu dan kematian. Juga
disebut stadium over dosis atau stadium paralysis.Ditandai dengan
hilangnya semua refleks, pupil dilatasi, terjadi respiratory failure dan
dikuti dengan circulatory failure.Pada stadium ini tekanan darah tak
dapat diukur, denyut jantung berhenti, dan akhimya terjadi
kematian.Kelumpuhan pernapasan pada stadium ini tidak dapat diatasi
dengan pernapasan buatan.

Gambar Tingkatan Stadium Anestesi Umum

37
DAFTAR PUSTAKA

Crowder, M. S. et al. 2014. Mechanism of Anesthesia and Consciousness.


Dalam Clinical Anesthesia 7th Edition, Paul G Barash et al (editor).
USA : Lipincott Williams and Wilkins.
Garden, O. James et al. 2012. Principles and Practice of Surgery: With
Student Consult. USA : Elsevier Health Sciences. Hlm. 75.
Latief SA et al. 2010. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi kedua. Jakarta:
Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. Hlm. 29-90.
Munaf, S., 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Palembang: EGC.
Latief, SA, et all. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi: edisi kedua. Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif.Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta.

Mangku, dr, Sp. An. KIC & Senapathi, dr, Sp. An, (2010), Buku Ajar Ilmu
Anestesi dan Reanimasi, PT. Indeks, Jakarta

Sadikin, Zunilda Dj 2016. Farmakologi dan Terapi Edisi 6.Departemen


Farmakologi dan teraupetik Fakultas Kedokteran-universitas Indonesia
Jakarta.

38

Anda mungkin juga menyukai