REFERAT ANESTESI Umum
REFERAT ANESTESI Umum
“ANESTESI UMUM”
Pembimbing :
dr. Bagus Damar Ririh W., MSI Med, Sp.An
Disusun oleh :
Firza Nurul Ziana 20190420084
Florencia Audrey 20190420085
Referat Anestesi
“ANESTESI UMUM”
Oleh :
Firza Nurul Ziana 20190420084
Florencia Audrey 20190420085
Referat “Anestesi Umum” ini telah diperiksa, disetujui, dan diterima sebagai
salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan klinik di
bagian anestesi RSAL dr. Ramelan Surabaya, untuk Fakultas Kedokteran
Universitas Hang Tuah Surabaya.
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Tahapannya mencakup premedikasi, induksi, maintenance, dan pemulihan.
Metode anestesi umum dapat dilakukan dengan 3 cara : antara lain secara
parenteral melalui intravena dan intramuskular, perrektal (biasanya untuk
anak-anak) dan inhalasi.
Tujuan dari pembuatan referat ini adalah untuk mempelajari dan
memahami mengenai obat anestesi inhalasi, intravena, pelumpuh otot dan
mengenai stadium anestesi.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
3
MAC menurun pada penggunaan alkohol akut karena efek obat
penenangnya, atau penggunaan amfetamin atau alpha2 agonis kronis, yang
dapat menurunkan kadar katekolamin sistem saraf pusat. Sebaliknya, MAC
meningkat akibat penggunaan alkohol kronis (kemungkinan karena
metabolisme hati yang ditingkatkan) dan oleh penggunaan terbaru baik
amfetamin, kokain, atau efedrin karena agen ini dapat meningkatkan kadar
katekolamin CNS secara akut yang meningkatkan kesadaran terfokus.
Faktor pasien yang dapat memengaruhi - nilai MAC juga
dipengaruhi oleh usia pasien dan kondisi lain. Kesadaran akan pengaruh
tersebut penting untuk menghindari anestesi yang tidak memadai atau,
sebaliknya, overdosis anestesi.
Usia - MAC berkurang pada pasien pada usia ekstrem (misalnya bayi
prematur atau pasien> 60 tahun). Secara khusus, MAC meningkat dari lahir
hingga ke tingkat puncak pada usia sekitar enam bulan dan kemudian
perlahan menurun sepanjang hidup sesudahnya.
Faktor lain - MAC sangat berkurang pada pasien dengan komorbiditas berat
(mis. Syok, anemia). Selain itu, kehamilan juga menurunkan MAC.
Selanjutnya, hipotermia, hipotiroidisme, hiperkarbia, hipoksia, asidosis
metabolik, dan kelainan elektrolit akut menurunkan MAC. Sebaliknya,
hipertermia, hipertiroidisme, kecemasan, dan kondisi lain yang berhubungan
dengan aktivasi psikomotorik meningkatkan MAC.
4
mendapatkan reaksi yang secepat-cepatnya, obat ini pada permulaan hatus
diberikan dalam dosis tinggi, yang kemudian diturunkan sampai hanya
sekedar memelihara keseimbangan antara pemberian dan pengeluaran
(ekshalasi).
a. Indikasi:
1. Untuk tindakan yang singkat (0,5 – 1 jam) tanpa membuka rongga
perut.
2. Keadaan umum pasien cukup baik (PSA ASA 1 atau 2).
3. Lambung harus kosong.
b. Keuntungan:
1. Resorpsi yang cepat via paru dan eksresinya yang cepat melalui
ekspirasi
2. Dalam keadaan utuh.pemberiannya mudah dipantau dan bila perlu
setiap waktu dapat dihentikan.
3. Obat ini tertutama untuk memelihara atau mempertahankan
anastesi..
4. Keuntungan anestetika inhalasi dibandingkan dengan anestetika
intravena adalah kemungkinan untuk dapat lebih cepat mengubah
kedalaman anastesi dengan mengurangi konsentrasi dari gas/uap
yang diinhalasi.
c. Farmakokinetik
Dalamnya anstesia bergantung pada kadar anestetik di sistem saraf
pusatdan kadar ini ditentukan oleh berbagai faktor yang mempengaruhi
transfer anastetik dari alveoliparu ke darah dan dari darah ke jaringan ke
otak. Kecepatan induksi bergantung pada kecepatan diacpai nya kadar
efektif zat anastetik di otak. Kecepatan transfer anestetik dijarinagn otak
ditentukan oleg (1) kelarutan zat anastetik (2) kadar anasteti dalam udara
yang dihirup pasien atau tekanan parsial anastetik (3) ventilasi paru (4)aliran
darah paru, (5) perbedaan antara tekanan parsial anestetik didarah arteri dan
id darah vena.
5
2.3.1 Halotan
Halotan memiliki sediaan cairan dalam botol yang mudah
menguap pada suhu dan tekanan standar. Zat ini diberikan melalui
vaporizer yang dipasang di mesin anestesi. Stabilitas halotan
dipertahankan dengan penambahan 0,01 persen timol, yang dapat
terakumulasi dalam vaporizer sehingga akhirnya memberikan warna
kuning ke cairan yang tersisa. Pengembangan perubahan warna
tersebut menunjukkan bahwa alat penguap halotan harus dikeringkan
dan dibersihkan.
Efek terhadap Sistem dalam Tubuh yakni:
a. Kardiovaskular. Depresi miokard bergantung pada dosis, penurunan
otomatisitas sistem konduksi, penurunan aliran darah ginjal dan
splanknikus dari curah jantung yang berkurang, serta pengurangan
sensitivitas miokard terhadap aritmia yang diinduksi katekolamin
yang menyebabkan terjadinya hipotensi untuk menghindari efek
hipotensi yang berat selama anestesi, yang dalam hal ini perlu
diberikan vasokonstriktor langsung, seperti fenileprin (Munaf, 2008).
b. Pernapasan. Depresi respirasi terkait dengan dosis yang dapat
menyebabkan menurunnya volume tidal dan sensitivitas terhadap
pengaturan respirasi yang dipacu oleh CO2. Pemberian
bronkodilator poten sangat baik untuk mengurangi spasme bronkus
(Munaf, 2008).
c. Susunan Saraf Pusat. Hilangnya autoregulasi aliran darah serebral
yang menyebabkan tekanan intrakranial menurun (Munaf, 2008).
d. Ginjal. Menurunnya GFR, dan berkurangnya aliran darah ke ginjal
disebabkan oleh curah jantung yang menurun (Munaf, 2008).
e. Hati Aliran darah ke hati menurun (Munaf, 2008).
f. Uterus Menyebabkan relaksasi otot polos uterus; berguna dalam
manipulasi kasus obstetrik (misalnya penarikan plasenta) (Munaf,
2008). Metabolisme Sebanyak 80% hilang melalui gas yang
dihembuskan, 20% melalui metabolisme di hati. Metabolit berupa
bromida dan asam trifluoroasetat (Munaf, 2008).
1) Keuntungan:
Potensi anestesi umum kuat
6
Induksi dan penyembuhan baik
Iritasi jalan napas tidak ada
Merupakan bronkodilator yang sangat baik.
Ketersediaan luas.
Potensi sangat tinggi dengan MAC yang sangat rendah.
2) Kerugian:
Kelarutan yang sangat tinggi dalam darah, jaringan, dan
lemak, sehingga menyebabkan pengambilan zat ke dalam
tubuh dan induksi anesesi umum yang sangat lambat, serta
kelambatan munculnya kesadaran.
Memiliki efek inotropik dan kronotropik negatif yang
signifikan, bahkan jika diberikan pada konsentrasi yang
relatif rendah. Pada konsentrasi tinggi, halotan dapat
menyebabkan bradikardia berat atau asistol.
Insidensi aritmia ventrikel dan disritmia yang tinggi akibat
sensitisasi miokardium terhadap katekolamin.
Mengalami metabolisme hati yang lebih besar daripada
semua agen inhalasi lainnya, dengan risiko terkait untuk
hepatotoksisitas autoimun dan sitotoksik serta hepatitis
halotan.
1) Aliran darah serebral menurun yang dapat menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial (Munaf, 2008).
7
Sindrom ini dapat juga terjadi dengan isofluran dan etran (Munaf,
2008).
b. Hipertermi maligna: suatu sindrom yang ditandai dengan
peningkatan suhu tubuh secara belebihan, rigiditas otot rangka, serta
dijumpai asidosis metabolik. Secara umum, hal ini berakibat fatal
kecuali jika diobati dengan dantrolen yang merupakan pelemas otot
yang mencegah Ca dari retikulum sarkoplasmik (Munaf, 2008).
2.3.2 Enfluran
Efek terhadap Sistem dalam Tubuh yakni :
a. Kardiovaskular. Depresi miokard bergantung pada dosis, vasodilator
arterial, dan sensitisasi ringan miokard terhadap katekolamin
(Munaf, 2008).
b. Respirasi. Depresi pernapasan bergantung pada dosis; hipoksia
ablasia yang disebabkan oleh bronkodilator (Munaf, 2008).
c. Susunan Saraf Pusat. Dapat menimbulkan kejang pada kadar
enfluran tinggi dengan tekanan parsial CO2 (PCO2) menurun
(hipokarbia); vasodilatasi serebral dengan meningkatnya tekanan
intrakranial (Munaf, 2008).
d. Ginjal. Aliran darah ginjal dan GFR menurun (Munaf, 2008).
Metabolisne Sebanyak 2% enfluran dimetabolisme di hati, metabolit
utama, yaitu fluorida mempunyai potensi untuk menimbulkan
nefrotoksis (sangat jarang digunakan secara klinis) (Munaf, 2008).
Keuntungan dan kerugian Secara klinis, enfluran merupakan
bronkodilator yang baik, respons kardiovaskular stabil, kecenderungan
aritmia jantung minimal, dan tidak mengiritasi saluran
napas.Sedangkan kerugiannya adalah Enfluran mempunyai potensi
aktivitas kejang.
Kontraindikasi pada pasien dengan tekanan intrakranial yang
meningkat disertai dengan gangguan patologik intrakranial (Munaf,
2008).
2.3.3 Desflurane
Desflurane memiliki bentuk sediaan cairan tidak berwarna dalam
botol yang tidak mudah menguap pada suhu dan tekanan standar.
8
Desflurane digunakan menggunakan vaporizer listrik dipanaskan yang
dipasang pada mesin anestesi.
1) Keuntungan
a. Koefisien partisi gas darah sangat rendah, dengan konsekuensi
pengambilan dan induksi anestesi umum yang sangat cepat,
serta pembersihan zat dan pengembalian kesadaran yang
sangat cepat.
b. Koefisien partisi gas yang sangat rendah dengan penyerapan
minimal ke jaringan adiposa. Akibat tidak adanya akumulasi
dalam jaringan karena kelarutannya yang rendah dalam minyak,
desflurane sangat menguntungkan untuk pasien yang
mengalami obesitas berlebihan atau mengalami sleep apnea.
c. Menjalani proses metabolisme yang paling sedikit dari semua
agen volatil yang poten.
d. Dibandingkan dengan sevoflurane, keuntungan untuk
desflurane adalah keamanan saat digunakan dengan aliran gas
murni rendah pada sirkuit pernapasan.
2) Kekurangan dan Efek Samping
a. Berbau sangat menyengat. Desflurane adalah zat anestesi
inhalasi paling menyengat.
b. Iritasi saluran napas yang jelas (misalnya batuk, salivasi,
depresi napas, dan spasme laring), terutama dengan pemberian
pada konsentrasi ≥1,5 MAC, karena sangat menyengat.
c. Kejadian batuk yang tinggi selama proses kesadaran
dibandingkan dengan sevoflurane.
d. Untuk alasan ini, desflurane tidak cocok digunakan sebagai
agen induksi anestesi inhalasi. Juga, desflurane tidak ideal
untuk pasien yang merokok atau memiliki asma atau memiliki
penyakit saluran napas reaktif (misalnya, asma, penyakit paru
obstruktif kronik [PPOK], fibrosis kistik, defisiensi α-antitripsin,
penyakit paru kronis prematuritas, atau displasia
bronkopulmonalis [BPD]). Meskipun desflurane pada
konsentrasi yang lebih rendah (<1,5 MAC) telah digunakan
dalam pemeliharaan anestesi untuk pasien yang berisiko
9
bronkospasme, konsentrasi yang lebih tinggi dapat
meningkatkan resistensi saluran napas.
e. Takikardi dan hipertensi akibat sifat simpatomimetik, terutama
saat pemberian konsentrasi inspirasi tinggi atau meningkat
secara tiba-tiba. Dengan pemberian berkelanjutan, hipertensi
cenderung menghilang pada keadaan stabil, meskipun
takikardia mungkin menetap. Sifat-sifat ini juga membatasi
penggunaan desflurane sebagai agen utama untuk induksi
anestesi umum, karena setiap agen inhalasi harus ditingkatkan
secara cepat untuk menghasilkan konsentrasi yang cukup tinggi
untuk menginduksi ketidaksadaran pada pasien yang
sebelumnya terjaga.
f. Karena takikardi dapat menetap, desflurane tidak ideal bagi
pasien dengan penyakit jantung iskemik yang signifikan,
kardiomiopati hipertrofik obstruktif, stenosis aorta atau mitral,
atau pasien lain yang tidak diinginkan mengalami takikardia.
Jika desflurane digunakan selama menjaga keadaan untuk
pasien seperti itu, konsentrasi tinggi dan peningkatan
konsentrasi yang cepat dapat dihindari.
g. Sangat mahal, terutama selama prosedur yang panjang.
3) Penggunaan Umum
Desflurane sering dipilih untuk pemeliharaan anestesi, terutama
selama prosedur singkat, karena perubahan yang sangat cepat
kedalaman anestesi selama intervensi yang menyakitkan, dan
pemulihan yang sangat cepat dapat terjadi. Karena kemudahan
titrasi, kecepatan pemulihan, dan efek residual minimal, desflurane
sangat menguntungkan untuk pasien yang lebih tua dan mereka
yang mengalami obesitas berat atau mengalami sleep apnea.
2.3.4 Isofluran
Efek terhadap Sistem dalam Tubuh yakni:
a. Kardiovaskular. Terjadi depresi miokard yang ringan dan
bergantung pada dosis, sedangkan curah jantung biasanya normal
disebabkan sifat vasodilatasinya, sensitisasi miokard minimal
10
terhadap katekolamin, dapat menyebabkan coronary steal oleh
vasodilatasi normal pada stenosis dengan aliran yang berlebihan
(Munaf, 2008).
b. Respirasi. Depresi respons terhadap CO2 bergantung pada dosis,
hipoksia ventilasi, bronkodilator, iritasi sedang pada jalan napas
(Munaf, 2008).
c. Ginjal. Glomerular Filtration Rate (GFR) dan aliran darah ginjal
rendah disebabkan tekanan arterial menengah yang menurun
(Munaf, 2008).
d. Susunan Saraf Pusat. Efek minimal pada otoregulasi serebral,
konsumsi oksigen metabolik serebral menurun, dan merupakan obat
pilihan untuk bedah saraf (Munaf, 2008).
Metabolisme Hanya 0,2% yang dimetabolisme di hati,
selebihnya diekskresikan pada waktu ekspirasi dalam bentuk gas
(Munaf, 2008).
1) Keuntungan :
a. Potensi tinggi dengan MAC rendah.
b. Biaya yang sangat rendah, terutama penggunaan selama
prosedur panjang.
c. Sedikit efek pada autoregulasi serebral pada konsentrasi <1
MAC.
2) Kerugian :
a. Bau sangat menyengat, sehingga membatasi kegunaannya
sebagai agen utama untuk induksi anestesi inhalasi.
b. Koefisien partisi gas: darah cukup tinggi, dengan konsekuensi
pengambilan zat dan induksi anestesi umum lambat,
dibandingkan dengan sevoflurane atau desflurane. Ini semakin
membatasi penggunaan isoflurane selama induksi (kecuali
digunakan sebagai agen tambahan).
c. Kelarutan tinggi dalam lemak, terkait dengan pemanjangan
waktu kesadaran terutama setelah prosedur yang lama karena
akumulasi dalam jaringan. Sifat ini membatasi penggunaannya
dalam prosedur durasi pendek.
11
d. Memiliki efek kronotropik positif dengan takikardia terkait yang
mungkin signifikan secara klinis pada keadaan dimana
takikartdia dapat merugikan (misalnya, penyakit jantung
iskemik).
e. Memiliki sifat inotropik dan sifat vasodilatasi ringan.
(Munaf, 2008).
2.3.5 Sevofluran
12
kuat lainnya, biaya lebih tinggi disebabkan karena penggunaan
aliran gas murni yang sedikit lebih tinggi (biasanya 1 hingga 2
L/menit oksigen dan/atau udara) untuk menghindari
pembentukan senyawa A.
b. Risiko teoritis senyawa nefropati terkait senyawa A. Namun,
senyawa A tidak dihasilkan oleh zat penyerap karbon dioksida
yang lebih baru.
c. Kemungkinan peningkatan risiko munculnya delirium, terutama
pada anak-anak.
3) Penggunaan Umum
Secara keseluruhan, sevoflurane adalah anestesi inhalasi
yang mudah menguap yang paling sering digunakan di negara maju.
Induksi - Sevoflurane adalah agen inhalasi yang paling sering
digunakan untuk induksi anestesi (karena bau minimal, kurangnya rasa
pedas, dan karakteristik bronkodilator yang kuat. Sevoflurane memiliki
banyak karakteristik agen induksi yang ideal, termasuk onset yang
relatif cepat karena rendahnya kelarutan zat pada jaringan dan darah.
Waktu untuk yang diperlukan hingga kesadaran hilang dapat dilakukan
secepat 60 detik jika sevoflurane digunakan dengan konsentrasi tinggi
(mis. 4 hingga 8 persen) yang diberikan melalui sungkup muka.
Pemeliharaan - Sevoflurane juga sering dipilih untuk pemeliharaan
anestesi karena perubahan yang lebih cepat pada kedalaman anestesi
pada intervensi yang menyakitkan dibandingkan dengan agen yang
lebih larut seperti isoflurane, dan pemulihan yang lebih cepat pada
prosedur singkat. Prosedur yang berlangsung lebih lama dari sekitar
dua jam, waktu kesadaran serupa setelah pemberian.
13
2.4 Anestesi Intravena
Teknik anestesi intravena merupakan suatu teknik pembiusan dengan
memasukkan obat langsung ke dalam pembuluh darah secara
parenteral.Obat-obat tersebut digunakan untuk premedikasi seperti diazepam
dan analgetik narkotik.Induksi anestesi seperti misalnya tiopenton yang juga
digunakan sebagai pemeliharaan dan juga sebagai tambahan pada tindakan
analgesia regional.Dalam perkembangan selanjutnya terdapat beberapa jenis
obat – obat anestesi dan yang digunakan di Indonesia seperti, Tiopenton,
Diazepam , Dehidrobenzoperidol, Fentanil, Ketamin dan Propofol.
Teknik anestesi dengan menggunakan Intravena (TIVA) merupakan
teknik anestesi umum dengan hanya menggunakan obat-obat anestesi yang
dimasukkan lewat jalur intravena. TIVA digunakan untuk ketiga trias anestesi
yaitu hipnotik, analgetik maupun relaksasi otot.yang lengkap (Latief et al.
2002).
Kebanyakan obat-obat anestesi intravena hanya mencakup 2
komponen anestesi, akan tetapi ketamin mempunyai trias anestesi (Soenarjo,
2010).
Kelebihan TIVA adalah (Soenarjo,2010) :
1. TIVA dapat dikombinasikan atau terpisah dan dapat dititrasi dalam
dosis yang lebih akurat dalam pemakaiannya.
2. Tidak mengganggu jalan nafas pada pasien
3. TIVA mudah untuk dilakukan
Untuk indikasi TIVA sendiri antara lain digunakan sebagai berikut
(Latief,2001):
1. TIVA digunakan sebagai obat induksi anestesi mum
2. TIBA digunakan sebagai Obat tunggal untuk anestesi pembedahan
singkat
3. TIVA ebagai tambahan obat inhalasi yang kurang kuat
4. TIVA sebagai obat tambahan anestesi regional
5. TIVA dapat menghilangkan keadaan patologis akibat ransangan sistem
saraf pusat (SSP).
Cara pemberian TIVA ini sendiri diberikan dengan (Soenarjo,2010) :
1. Suntukan tunggal, untuk operasi singkat
2. Suntikan yang berulang sesuai dengan kebutuhan
14
3. TIVA diteteskan lewat infuse.
2.4.1 Thiopenton
15
diberikan.Pada bronkus, obat ini dapat memberikan efek spasme
disebabkan oleh pengaruhnya terhadap peningkatan tonus vagal.
c. Efek terhadap sistem kardiovaskuler
Efek yang segera timbul adalah penurunan tekanan darah yang
tergantung dari konsentrasinya dalam plasma sebagai akibat dari efek
depresinya terhadap otot jantung sehingga akan terjadi voasodilatasi
pembuluh darah dan penurunan curah jantung. Iritabilitas jantung tidak
berpengaruh namun dapat menimbulkan disritmia jika terdapat retensi
CO2 atau hipoksia.Pemberian obat secara cepat atau dosisnya tinggi
dapat menyebabkan hipotensi berat akibat vasodilatasi berat karena
depresi pusat vasomotor serta dapat juga disebabkan oleh efek obat
terhadap depresi pada miokard.
d. Efek terhadap otot rangka dan uterus
Pada dosis yang lazim, obat ini tidak mempunyai pengaruh
terhadap tonus otot rangka dan uterus ibu hamil.Apabila dosis yang
diberikan tinggi, bisa terjadi penurunan tonus dan bisa melewati barier
uteroplasenta.
e. Terhadap metabolisme
Menurunkan laju metabolisme sel sehingga konsumsi O 2akan
berkurang sesuai dalamnya anestesi.
3) Farmakokinetik
Waktu paruh thiopental berkisar antara 3-6 jam dengan onset
berkisar antara 30-60 detik dan durasi kerja obat 20-30 menit.Thiopental
di dalam darah 70% diikat oleh albumin, sisanya 30% dalam bentuk
bebas, sehingga pada pasien dengan albumin rendah, thiopental yang
terikat lebih sedikit dibandingkan bentuk bebas sehingga efek
hipnotiknya lebih dalam. Bergantung dosis dan kecepatan suntikan,
thiopental akan menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi,
hipnotik, anesthesia, atau depresi nafas.
Metabolisme thiopental terutama terjadi di hepar dan
ekskresinya melalui urine dan feses dalam bentuk hasil metabolit,
sehingga sangat sedikit yang dieksresikan dalam bentuk utuh. Proses
pemecahannya sangat lambat, hanya 10-15% thiopental dalam tubuh
16
akan dimetabolisme tiap jam. Pulih sadar yang cepat setelah pemberian
thiopental disebabkan oleh pemecahan dalam hepar yang cepat, dilusi
dalam darah dan redistribusi ke jaringan tubuh yang lain. Oleh karena itu
thiopental termasuk dalam obat dengan daya kerja sangat singkat (ultra
short acting barbiturate). Thiopental dalam jumlah kecil sekitar 30%
masih dapat ditemukan dalam darah 24 jam setelah pemberian
Sifat anestesi thiopentone :
a) Hipnotik kuat
b) Induksi cepat, lancar dan tidak diikuti oleh eksitasi
c) Pola respirasi tenang dan bisa hipoventilasi
d) Tidak punya khasiat analgetik
e) Tidak menimbulkan relaksasi otot
f) Pemulihan cepat, tetapi masih ada rasa ngantuk
g) Efek samping mual dan muntah jarang dijumpai
4) Indikasi pemakaian thipentone
1. Induksi anestesia
2. Obat tambahan pada analgesia regional
3. Anti kejang
4. Anestesia tunggal misalnya pada tidakan reposisi
5. Hipnotik pada pasien di ruang terapi intensif
5) Dosis Dan Cara Pemakaian
Untuk induksi, buat larutan dengan menggunakan aquades atau
NaCl 0,9% dengan konsentrasi 2,5% atau 5%.Dosis untuk induksi 4 - 5
ml / KgBB, diberikan IV pelan - pelan.Perlu modifikasi dosis pada anak -
anak, orang tua, ataupun pada pasien malnutrisi. Pada saat pemberian
obat harus dipastikan obat tersebut masuk kedalam pembuluh darah
karena apabila terjadi ekstravasasi kedalam jaringan sekitar, pasien
akan merasakan nyeri hebat akibat iritasi jaringan bahkan nekrosis
jaringan di sekitar tempat penyuntikan. Penanggulangan jika terjadi
keadaan tersebut adalah diberi anestesi lokal isobarik atau hipobarik.
6) Efek Samping
a. Hipoventilasi sampai henti nafas
b. Resiko spasme laring dan bronkus
c. Depresi kardiovaskuler
17
d. Nekrosis sentral hati
7) Kontraindikasi
a. PPOK
b. Dekompensasi kordis
c. Syok berat
d. Insufisiensi adrenokortikal
e. Status asmatikus
f. Porphyria
2.4.2 Propofol
18
lambat dalam 3-4 jam (waktu paruh 20-30 menit). Kedua fase ini
menunjukkan distribusi dari plasma dan ambilan oleh jaringan yang cepat.
Metabolisme terjadi di hepar melalui konjugasi oleh konjugasi
oleh glukoronida dan sulfat untuk membentuk metabolit inaktif yang larut
air yang kemudian diekskresi melalui urin(6). Eliminasi propofol sensitif
terhadap perubahan aliran darah hepar namun tidak dipengaruhi oleh
ikatan protein ataupun aktivitas enzim. Propofol diketahui menghambat
metabolisme obat oleh sitokrom p450 oleh karena itu dapat menyebabkan
perlambatan klirens dan durasi yang memanjang pada pemberian bersama
dengan fentanyl, alfentanil dan propanolol.
Farmakodinamik.Propofol adalah modulator selektif dari
reseptor gamma amino butiric acid (GABAA) dan tidak terlihat memodulasi
saluran ion ligand lainnya pada konsentrasi yang relevan secara klinis.
Propofol memberikan efek sedatif hipnotik melalui interaksi reseptor
GABAA.GABA adalah neurotransmiter penghambat utama dalam susunan
saraf pusat. Ketika reseptor GABAA diaktifkan, maka konduksi klorida
transmembran akan meningkat, mengakibatkan hiperpolarisasi membran
sel postsinap dan hambatan fungsional dari neuron postsinap. Interaksi
propofol dengan komponen spesifik reseptor GABAA terlihat mampu
meningkatkan laju disosiasi dari penghambat neurotransmiter, dan juga
mampu meningkatkan lama waktu dari pembukaan klorida yang diaktifkan
oleh GABA dengan menghasilkan hiperpolarisasi dari membran sel.
Pada sistem saraf pusat, dosis induksi menyebabkan pasien
kehilangan kesadaran dengan cepat akibat ambilan obat lipofilik yang
cepat oleh SSP, dimana dalam dosis yang kecil dapat menimbulkan efek
sedasi, tanpa disetai efek analgetik. Pada pemberian dosis induksi
(2mg/kgBB) pemulihan kesadaran berlangsung cepat. Dapat
menyebabkan perubahan mood tapi tidak sehebat thiopental. Propofol
dapat menyebabkan penurunan aliran darah ke otak dan konsumsi oksigen
otak sehingga dapat menurunkan tekanan intrakranial dan tekanan
intraokular sebanyak 35%.
Pada sistem kardiovaskuler, Induksi bolus 2-2,5mg/kg dapat
menyebabkan depresi pada jantung dan pembuluh darah dimana tekanan
dapat turun. Hal ini disebabkan oleh efek dari propofol yang menurunkan
19
resistensi vaskular sistemik sebanyak 30%. Namun penurunan tekanan
darah biasanya tidak disertai peningkatan denyut nadi. Pernafasan
spontan (dibanding nafas kendali) serta pemberian drip melalui infus
(dibandingkan dengan pemberian melalui bolus) mengurangi depresi
jantung. Sedangkan usia berbanding lurus dengan efek depresi jantung.
Pada Sistem pernafasa, apnoe paling banyak didapatkan pada
pemberian propofol dibanding obat intravena lainnya. Umumnya
berlangsung selama 30 detik, namun dapat memanjang dengan pemberian
opioid sebagai premedikasi atau sebelum induksi dengan propofol.Dapat
menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal.Efek ini biasanya
bersifat sementara namun dapat memanjang pada penggunaan dosis yang
melebihi dari rekomendasi atau saat digunakan bersamaan dengan
respiratory depressants.
Dosis.Dosis bolus untuk induksi 2 – 2.5 mg/kg, dosis rumatan
untuk anestesi intravena total 4 – 12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk
perawatan intensif 0.2 mg/kg. Pengenceran propofol hanya boleh dengan
dekstros 5%.Pada manula dosis harus dikurangi, pada anak <3 tahun dan
pada wanita hamil tidak dianjurkan. Pemulihan kesadaran berlangsung
cepat, pasien akan bangun setelah 4-5 menit tanpa disertai efek samping
seperti : mual, muntah, sakit kepala dan lainnya.
Efek samping. Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri,
sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2mg/kgBB
intravena. Efek samping propofol pada sistem pernafasan: depresi
pernafasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem
kardiovascular berupa: Bradikardi serta hipotensi kadang didapatkan
setelah penyuntikan propofol, namun dapat diatasi dengan penyuntikkan
obat antimuskarinik, misalnya: atropin. Pada susunan syaraf pusat
menyebabkan sakit kepala euforia, kebingungan, kejang
20
2.4.3 Ketamin
1) Farmakokinetik
Onset kerja ketamin pada pemberian intravena lebih cepat
dibandingkan pemberian intramuskular. Onset pada pemberian intravena
adalah 30 detik sedangkan dengan pemberian intramuskular membutuhkan
waktu 3-4 menit, tetapi durasi kerja juga didapatkan lebih singkat pada
pemberian intravena (5-10 menit) dibandingkan pemberian intramuskular (12-
25 menit).
Metabolisme terjadi di hepar dengan bantuan sitokrom P450 di
reticulum endoplasma halus menjadi norketamine yang masih memiliki efek
hipnotis namun 30% lebih lemah dibanding ketamine, yang kemudian
mengalami konjugasi oleh glukoronida menjadi senyawa larut air untuk
selanjutnya diekskresikan melalui urin.
21
2) Farmakodinamik
Sistem saraf pusat.Ketamine memiliki efek analgetik yang kuat akan
tetapi efek hipnotiknya kurang (tidur ringan) disertai anestesia disosiasi.
Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik pasien akan
mengalami perubahan tingkat kesadaran yang disertai tanda khas pada mata
berupa kelopak mata terbuka spontan, dilatasi pupil dan nistagmus. Selain itu
kadang-kadang dijumpai gerakan yang tidak disadari (cataleptic appearance),
seperti gerakan mengunyah, menelan, tremor dan kejang.Pada pasien yang
diberikan ketamin juga mengalami amnesia anterograde.Itu merupakan efek
anestesi dissosiatif yang merupakan tanda khas setelah pemberian
Ketamin.Sering mengakibatkan mimpi buruk dan halusinasi pada periode
pemulihan sehingga pasien mengalami agitasi.Selain itu, ketamin
menyebabkan peningkatan aliran darah ke otak, konsumsi oksigen otak, dan
tekanan intrakranial.
Pulih sadar kira-kira tercapai dalam 10-15 menit tetapi sulit
menentukan saatnya yang tepat seperti halnya sulit menentukan permulaan
kerjanya. Kontak penuh dengan lingkungan dapat bervariasi dari beberapa
menit setelah permulaan tanda-tanda sadar sampai 1 jam.Sering
mengakibatkan mimpi buruk, disorientasi tempat dan waktu, halusinasi dan
menyebabkan gaduh, gelisah, tidak terkendali.
Sistem kardiovaskuler. Tekanan darah akan naik baik sistolik maupun
diastolik. Kenaikan rata-rata antara 20-25% dari tekanan darah semula
mencapai maksimum beberapa menit setelah suntikan dan akan turun
kembali dalam 15 menit kemudian. Denyut jantung juga meningkat.Efek ini
disebabkan adanya aktivitas saraf simpatis yang meningkat dan depresi
baroreseptor.Efek ini dapat dicegah dengan pemberian premedikasi opioid,
hiosine.Namun aritmia jarang terjadi.
Sistem pernafasan.Depresi pernafasan kecil sekali dan hanya
sementara, kecuali dosis terlalu besar dan adanya obat-obat depressan
sebagai premedikasi.Ketamin menyebabkan dilatasi bronkus dan bersifat
antagonis terhadap efek konstriksi bronkus oleh histamin, sehingga baik
untuk penderita asma dan untuk mengurangi spasme bronkus pada
anesthesia umum yang masih ringan.
22
Indikasi
Dalam penggunaan ketamine sering dikombinasi dengan diazepam oleh
karena diazepam berkhasiat menekan efek buruk ketamine. Penggunaan
ketamine adalah sebagai berikut:
1. Induksi Anestesia, pada:
Bedah sesar, oleh karena efek depresinya minimal
Anak-anak balita yang tidak kooperatif, diberikan secara intramuscular
Pasien yang menderita asma, hipotensi dan syok
2. Obat Anestesi Pokok
Digunakan untuk operasi-operasi di daerah superfisial, berlangsung
sikat dan tidak memerlukan relaksasi otot maksimal, misalnya pada
bedah mulut, untuk:
Beberapa jenis ekstarpasi tumor kecil pada bibir
Beberapa prosedur diagnostic untuk anak-anak
3. Analgetik Pasca Trauma atau Pascabedah
Untuk menanggulangi nyeri akut pasca trauma atau bedah
dikombinasikan dengan obat sedative.
3) Dosis
1. Induksi
Diberikan intravena dalam bentuk larutan 1%, dengan dosis lazim 1-2
mg/kgBB pelan-pelan.Pada sesar, dosis dikurangi yaitu 0.5-1
mg/kgBB.Pada anak-anak balita, untuk induksi diberikan secara
intramuscular (tanpa pengenceran) dengan dosis 5-10 mg/kgBB.
2. Pemeliharaan
Diberikan intravena intermiten atau tetes kontinyu.Pemberian secara
intermiten diulang setiap 10-15 menit dengan dosis setengah dari dosis
awal sampai operasi selesai.Sedangkan pemberian secara infus tetes
kontinyu hanya dilakukan pada pembedahan tertentu saja.
4) Kontraindikasi
1. Tekanan intracranial meningkat, misalnya pada trauma kepala, tumor
otak dan operasi-operasi intracranial.
2. Tekanan intraokuler meningkat, misalnya pada penyakit glaukoma dan
pada operasi intra okuler.
23
3. Pasien yang menderita penyakit sistemik yang sensitive terhadap obat-
obatan simpatomimetik, seperti: hipertensi, tirotoksikosis, diabetes
mellitus, paeokromositoma, penyakit jantung koroner dan lain-lain.
5) Efek Samping
1. Pada ssp, akibat efek disosiasinya menimbulkan halusinasi, mimpi
buruk dan kadang-kadang terjadi gaduh gelisah dan “banjir” kata-kata
2. Pada respirasi, sering timbul spasme laring akibat rangsangan pada
jalan nafas atas
3. Pada kardiovaskular, terjadi hipertensi dan takikardi
4. Pada endokrin, terjadi peningkatan kadar gula darah
5. Pada otot rangka terjadi rigiditas
6. Meningkatkan konsumsi oksigen jaringan
7. Meningkatkan jumlah perdarahan pada luka operasi
2.4.4 Opioid
Opioid bertindak sebagai suatu agonis pada sterotipik reseptor opioid
di neuron presinaptik dan postsinaptik sistem saraf pusat/SSP (terutama di
batang otak dan sumsum tulang belakang/spinal cord) serta di luar SSP
pada jaringan periferal.Efek utama aktivasi reseptor opioid adalah
menurunkan neurotransmisi.Penurunan neurotrasnmisi ini dapat terjadi
karena adanya penghambatan pelepasan neurotransmiter presinaptik
(acetylcholine, dopamine, norepinephrine, substance P), dan terkadang juga
terjadi penghambatan bangkitan aktivitas di post-synaptic.
Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi diberikan
dosis tinggi.Opioid tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga banyak
digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung.Fentanil
mempunyai potensi 1000 kali lebih kuat dibandingkan dibanding petidin dan
50-100 kali lebih kuat dari morfin.Mulai kerjanya cepat dan masa kerjanya
pendek.Untuk anestesia opioid digunakan fentanil dosis analgesia, 1-2
μg/kgBB diberikan intramuskuler. Untuk induksi anestesia 100-200 μg/kgBB
intravena. Untuk suplemen analgesia 1-2 μg/kgBB diberikan intravena.
24
2.4.5 Fentanyl
Fentanil merupakan obat dari golongan opioid yang banyak
digunakan dalam anestesi, kekuatannya 100 X morfin.Fentanil merupakan
opioid sintetik dari kelompok fenilpiperedin.Lebih larut dalam lemak dan
lebih mudah menembus sawar jaringan.Dalam dosis kecil (1µg/kgBB, IV)
fentanil memiliki onset dan durasi kerja yang singkat (20-30 menit) dan
menimbulkan efek sedasi sedang.Dalam dosis besar (50-150µg/kgBB, IV)
didapatkan sedasi yang dalam serta penurunan kesadaran, dan kadang
didapatkan kekakuan otot dada.
1) Farmakokinetik
Farmakokinetik fentanil bervariasi pada tiap individu.Setelah
pemberian melalui bolus intravena, konsentrasi plasma turun dengan cepat
(waktu paruh distribusi sekitar 13 menit). Waktu paruh berkisar antara 3-4
jam dan dapat memanjang hingga 7-8 jam pada beberapa pasien.Setelah
suntikan intravena ambilan dan distribusinya hampir sama dengan morfin
tetapi fraksi terbesar dirusak oleh paru ketika pertama kali melewatinya.
Fentanil dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilasi dan hidroksilasi,
metabolit dapat didapatkan di darah dalam 1-2 menit setelah
pemberian.Sisa metabolisme dieksresikan di urin dalam beberapa hari.
2) Farmakodinamik
Fentanil bekerja pada reseptor spesifik di otak dan medulla spinalis
untuk menurunkan rasa nyeri dan respons emosional terhadap nyeri.Sistem
kardiovaskuler cenderung tidak mengalami perubahan signifikan setelah
pemberian fentanil, namun kadang dalam dosis besar dapat menyebabkan
bradikardi yang memerlukan terapi atropin.Sistem pernafasan, seperti
analgesik opioid yang lain, fentanil mendepresi pernafasan bergantung dosis
pemberiannya.Efek depresi pernafasan berlangsung lebih lama dari efek
analgesiknya.
3) Dosis
25
benzodiazepine dan anestetik inhalasi dosis rendah pada bedah jantung
selain itu juga dapat mencegah peningkatan kadar gula, katekolamin
plasma, ADH, rennin, aldosteron dan kortisol.
4) Efek samping
Efek yang kurang disukai akibat pemberian fentanil adalah kekakuan
otot punggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan pemberian
pelumpuh otot.Dosis besar dapat mencegah peningkatan kadar gula,
katekolamin plasma, ADH, rennin, aldosteron dan kortisol. Obat terbaru dari
golongan fentanil adalah remifentanil, yang dimetabolisir oleh esterase
plasma nonspesifik, yang menghasilkan obat dengan waktu paruh yang
singkat, tidak seperti narkotik lain durasi efeknya relatif tidak tergantung
dengan durasi infusinya.
2.4.6 Petidin
Petidin atau meperidin merupakan derivat fenilpiperidin. Secara kimia
adalah etil-1metil-4-fenilpiperidin-4-karboksilat.
A. Farmakokinetik
B. Farmakodinamik
26
oral dan mencapai puncak dalam 2 jam. Efek analgetik lebih cepat timbul
dengan pemberian secara subkutan dan IM sekitar 10 menit, mencapai
puncak dalam 1 jam dan masa kerjanya 3-5 jam. Efektifitaspetidin 75-100mg
parenteral kurang lebih sama dengan 10mg morfin. Bioavaibilitas peroral 40-
60%, maka bila diberikan per parenteral diberikan setengahnya. Sedasi,
euforia dan eksitasi, pemberian petidin kepada pasien yang nyeri atau cemas
akan menimbulkan euforia. Dosis toksik petidin menimbulkan perangsangan
SSP, berupa tremor, kedutan otot, dan konvulsi.Petidin depresi nafas dengan
menurunkan kepekaan pusat nafas terhadap CO2 dan mempengaruhi pusat
yang mengatur irama nafas dalam pons.Petidin menurunkan tidal volume,
sedangkan frekuensi nafas kurang dipengaruhi.Sebaliknya morfin terutama
menimbulkan penurunan frekuensi nafas.Kardiovaskular, pemberian petidin
pada pasien berbaring tidak mempengaruhi kardiovaskular. Bila berobat jalan
dapat menyebabkan sinkop akibat penurunan tekanan darah akibat depresi
nafas yang menyebabkan peningkatan kadar CO2, mengakibatkan dilatasi
pembuluh darah otak sehingga timbul kenaikan tekanan cairan cerebrospinal.
Petidin tidak menimbulkan konstipasi sekuat morfin.Uterus, dosis terapi
petidin yang diberikan sewaktu partus tidak memperlambat kelangsungan
partus dan tidak mengubah kontraksi uterus, dan juga tidak mengganggu
kontraksi atau involusi uterus pascapersalinan dan tidak menambah frekuensi
perdarahan pasca persalinan.
C. Dosis
Meperidin HCl tersedia dalam bentuk tablet 50mg dan 100mg dan
ampul 2ml/100mg. pemberian petidin biasanya peroral atau IM.Pemberian IV
menimbulkan reaksi lebih sering dan lebih berat.Pemberian 50-100mg petidin
secara parenteral menghilangkan nyeri sedang atau hebat pada sebagian
besar pasien.
D. Efek samping
Berupa pusing, berkeringat, euforia, mulut kering, mual, muntah,
perasaan lemah, gangguan penglihatan, palpitasi, disforia, sinkop dan
sedasi.Pada pasien dengan penyakit hati dan orangtua, dosis obat harus
dikurangi karena terjadinya perubahan disposisi obat. Bila obat diberikan
27
bersama antipsikosis, hipnotik sedatif, dan obat-obat lain penekan SSP, dosis
obat juga harus dikurangi
2.4.7 Morfin
Morfin adalah alkaloid golongan fenantren.Morfin memiliki gugus OH
fenolik dan gugus OH alkoholik.Atom hidrogen pada kedua gugus itu dapat
diganti oleh berbagai gugus membentuk berbagai alkaloid opium.
A. Farmakokinetik
Morfin diabsorbsi diusus.Morfin dapat diberikan secara subkutan,
intramuscular, intravena, epidural atau intratekal.Morphine dapat diserap
dengan baik melalui pemberian intramuskuler, dengan onset efek sekitar 15
hingga 30 menit dan efek puncaknya tercapai dalam 45 hingga 90 menit.
Durasi kerja morphine dapat bertahan selama 4 jam.Setelah pemberian dosis
tunggal, sebagian morfin mengalami konjugasi dengan asam glukoronat di
hepar dan metabolitnya akan dikeluarkan oleh urine 90% dan feses 10%.
Morfin melintasi plasenta dan mempengaruhi janin.
B. Farmakodinamik
Morfin memiliki efek analgetik dan narkose terhadap susunan saraf
pusat. Efek analgetik terutama ditimbulkan akibat kerja opioid pada reseptor
μ, selain itu juga memiliki afinitas yang lemah terhadap terhadap reseptor δ
dan reseptor κ. Reseptor μ, κ, dan δ banyak didapatkan pada kornu dorsalis
medula spinalis.Reseptor didapatkan baik pada saraf yang mentransmisi
nyeri dimedula spinalis maupun pada aferen primer yang melerai nyeri.
Agonis opioid melalu reseptor μ, δ, dan κ pada ujung prasinaps aferen primer
nosiseptif mengurangi pelepasan transmiter, dan selanjutnya menghambat
saraf yang mentransmisi nyeri di kornu dorsalis medula spinalis, selain itu μ
agonis menimbulkan efek inhibisi pascasinaps melalui reseptor μ di otak.
Terjadi perubahan reaksi terhadap stimulus nyeri itu. Pasien mengatakan
bahwa nyeri masih ada tetapi ia tidak menderita lagi. Efek narkose, morfin
dosis kecil (5-10mg) menimbulkan euforia pada pasien yang menderita nyeri,
sedih, gelisah sebaliknya pada orang normal akan menimbulkan disforia
berupa perasaan kuatir atau takut. Morfin menimbulkan rasa kantuk, tidak
28
dapat berkonsentrasi sukar berfikir, apatis dan aktivitas motorik berkurang.
Miosis yang ditimbulkan morfin akibat kerjanya pada reseptor μ dan κ oleh
perangsangan pada segmen otonom inti saraf okulomotorius.Miosis dapat
dilawan dengan atropin. Pada intoksikasi morfin didapatkan pin point pupils.
Depresi nafas terjadi berdasarkan efek langsung terhadap pusat nafas
dibatang otak, terjadi penurunan frekuensi nafas, volume semenit dan tidal
exchange, akibat PCO2 dalam darah dan udara alveolar meningkat dan kadar
O2 dalam darah menurun. Kepekaaan pusat nafas terhadap CO 2 berkurang.
Kadar CO2 5% tidak lagi menimbulkan peninggiian ventilasi pulmonal.Morfin
dan derivatnya menghambat refleks batuk, tetapi tidak sekuat kodein. Mual
dan muntah, efek emetik terjadi berdasarkan stimulasi langsung pada Emetic
chemoreseptor trigger zone (CTZ) di area postrema medula oblongata bukan
oleh stimulasi pusat emetik sendiri.
Morfin berefek langsung ke saluran cerna bukan memalui SSP.
Morfin menghambat sekresi HCl secara lemah, menyebabkan pergerakan
lambung berkurang, sehingga pergerakan isi lambung ke duodenum
diperlambat. Morfin juga mengurangi sekresi empedu dan pankreas, dan
memperlambat pencernaan makanan diusus halus. Di usus besar morfin
mengurangi atau menghilangkan gerakan propulsi usus besar, meninggikan
tonus usus besar dan menyebabkan spasme usus besar akibatanya
penerusan isi kolon menjadi lambat dan tinja menjadi keras. Morfin
menyebabkan peningkatan tekanan dalam duktus koledokus daan efek ini
dapat menetap dalam 2 jam keadaan ini disertai dengan perasaan tidak enak
di epigastrium sampai nyeri kolik berat. Dosis terapi morfin tidak berpengaruh
ke kardiovaskular, perubahan kardiovaskular terjadi akibat efek depresi pada
pusat vagus dan pusat vasomotor yang baru terjadi pada dosis toksik. Yang
mungkin dialami pasien adalah hipotensi orthostatik dan dapat jatuh pingsan
akibat vasodilatasi perifer yang terjadi karena efek langsung terhadap
pembuluh darah kecil. Morfin merendahkan tonus uterus pada masa haid dan
menyebabkan uterus lebih tahan terhadap renggangan oleh karena itulah
morfin digunakan untuk obat dismenore.Karena pelepasan histamin,
menyebabkan pelebaran pembuluh darah kulit sehingga kulit tampak merah
dan terasa panas, berkeringat, dan kadang gatal-gatal.Setelah pemberian
29
morfin volume urin berkurang, disebabkan merendahnya laju filtrasi
glomerulus, alir aliran ginjal dan penglepasan ADH.
D. Efek samping
30
pesendian kalsium, vesikel atau asetil kolin, mitokondria, dan retikulum
endoplasmik. Pada membran otot yaitu motor end plate kaya akan
reseptor asetilkolin.
Asetilkolin merupakan bahan perangsang syaraf
(neurotransmiter) yang dibuat dalam ujung syaraf motor dan disimpan
dalam kantong atau gudang yang disebut vesikel. Ada 3 bentuk
asetilkolin, yaitu bentuk bebas, cadangan belum siap pakai, dan bentuk
siap pakai.
Faktor –faktor yang mempengaruhi pelepasan asetilkolin adalah
kalsium, magnesium, nutrisi, oksigenasi, suhu, analgetik lokal,
antibiotik golongan aminoglikosida.
Potensial membran ujung syaraf motor terjadi karena membran
bersifat permeabel terhadap ion kalium ekstrasel dari pada natrium.
Pada saat pelepasan asetilkolin (transmiter saraf) yang dipicu oleh
kalsium, membran tersebut menjadi lebih permeabel terhadap ion
natrium dan kalsium sehingga kalsium dan natrium masuk sedangkan
kalium keluar sel, maka terjadi reaksi depolarisasi. Kalsium intraseluler
ini akan memfasilitasi aktin dan myosin untuk berinteraksi yang
membentuk kontraksi otot. Bila depolarisasi ini cukup kuat maka akan
diikuti oleh kontraksi otot. Setelah itu akan terjadi repolarisasi membran
ujung syaraf motor karena kerja asetilkolin cepat di hidrolisis oleh
asetilkolin-esterase menjadi asetil dan kolin.
31
2.5.2 Jenis Obat Pelumpuh Otot
1. Depolarisasi
Terjadi karena serabut otot mendapat rangsangan depolarisasi
yang menetap sehingga akhirnya kehilangan respon berkontraksi yang
menyebabkan kelumpuhan. Pulihnya fungsi syaraf otot sangat
tergantung pada kemampuan daya hidrolisis enzim kolinesterase.
Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di
celah sinaps tidak dirusak dengan asetilkolinesterase sehingga
bertahan cukup lama menyebabkan terjadinya depolarisasi yang
ditandai dengan fasikulasi yang diikuti relaksasi otot lurik. Termasuk
golongan ini adalah suksinilkolin (diasetil-kolin) dan dekametonium.
Didalam vena, suksinil kolin dimetabolisme oleh kolinesterase plasma,
pseudokolinesterase menjadi suksinil-monokolin.
Suksinilkolin (diasetilkolin, suxamethonium) terdiri dari 2 molekul
asetilkolin yang bergabung. Obat ini memiliki onset yang cepat (30-60
detik) dan duration of action yang pendek (kurang dari 10 menit).
Ketika suksinilkolin memasuki sirkulasi, sebagian besar dimetabolisme
oleh pseudokolinesterase menjadi suksinilmonokolin. Proses ini sangat
efisien, sehingga hanya fraksi kecil dari dosis yang dinjeksikan yang
mencapaineuromuscular junction. Duration of action akan memanjang
pada dosis besar atau dengan metabolisme abnormal, seperti
hipotermia atau rendanya level pseudokolinesterase. Rendahnya level
pseudokolinesterase ini ditemukan pada kehamilan, penyakit hati,
gagal ginjal dan beberapa terapi obat. Pada beberapa orang juga
ditemukan gen pseudokolinesterase abnormal yang menyebabkan
blokade yang memanjang.
32
dibantu dengan memberikan obat antikolineseterase (neostigmin) yang
menyebabkan peningkatan jumlah asetilkolin.
Berdasarkan susunan molekul maka pelumpuh otot non depolarisasi
digolongkan menjadi :
1. Bensiliso-kuinolinum : d-tubokur arin, metokurarin,atrakurium,
doksakurium, mivakurium.
2. Steroid : pankuronium, vekuronium, piekuronium, ropakuronium,
roluronium.
3. Eter-fenolik : gallamin.
4. Nortoksiferin :alkuronium.
33
3. Vekuronium 0.6-1.0 0.10-0.15 30-60 hepar dan
(norcuron) 0.15-0.20 0.02 30-45 ginjal
4. Rokuroniuim
(esmeron)
5. Cistacuronium Isomer
atrakurium
34
3. Menunjukan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan
tunggal atau tetanik.
4. Dapat diantagonis oleh antikolinesterase.
b. Depolarisasi
1. Fasikulasi otot ada.
2. Berpotensi dengan antikolinesterase.
3. Kelumpuhan berkurang dengan menberikan obat pelumpuh otot
non depolarisasi, dan asidosis.
4. Tidak menunjukan kelumpuhan bertahap pada perangsangan
tunggal maupun tetanik.
5. Belum dapat diatasi dengan obat spesifik.
35
Stadium I dimulai dari saat pemberian zat anestetik sampai hilangnya
kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah
dan terdapat analgesi. Tindakan pembedahan ringan, seperti
pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan pada stadium ini.
Stadium ini berakhir ditandai oleh hilangnya refleks bulu mata.
2. Stadium II (Eksitasi/Delirium)
Stadium II dimulai dari akhir stadium I dan ditandai dengan
pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan reflekss cahaya (+),
pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi
reflex fisiologi masih ada, dapat terjadi batuk atau muntah, kadang-
kadang kencing atau defekasi.
Stadium ini diakhiri dengan hilangnya refleks menelan dan
kelopak mata dan selanjutnya nafas menjadi teratur.Stadium ini
membahayakan penderita, karena itu harus segera diakhiri.Keadaan
ini bisa dikurangi dengan memberikan premedikasi yang adekuat,
persiapan psikologi penderita dan induksi yang halus dan
tepat.Keadaan emergency delirium juga dapat terjadi pada fase
pemulihan dari anestesi.
3. Stadium III
36
-Plane III: Dari permulaan paralise otot interkostal sampai paralise
seluruh otot Interkostal. Ditandai dengan pernafasan abdominal lebih
dorninan dari torakal karena terjadi paralisis otot interkostal, pupil
makin melebar dan reflex cahaya menjadi hilang, lakrimasi negafif,
reflex laring dan peritoneal menghilang, tonus otot makin menurun.
-Plane IV: Dari paralise semua otot interkostal sampai paralise
diafragma. Ditandai dengan paralise otot interkostal, pernafasan
lambat, iregular dan tidak adekuat, terjadi jerky karena terjadi paralise
diafragma.Tonus otot makin menurun sehingga terjadi flaccid, pupil
melebar, refleks cahaya negatif refleks spincter ani negative.
4. Stadium IV
Dari paralisis diafragma sampai apneu dan kematian. Juga
disebut stadium over dosis atau stadium paralysis.Ditandai dengan
hilangnya semua refleks, pupil dilatasi, terjadi respiratory failure dan
dikuti dengan circulatory failure.Pada stadium ini tekanan darah tak
dapat diukur, denyut jantung berhenti, dan akhimya terjadi
kematian.Kelumpuhan pernapasan pada stadium ini tidak dapat diatasi
dengan pernapasan buatan.
37
DAFTAR PUSTAKA
Mangku, dr, Sp. An. KIC & Senapathi, dr, Sp. An, (2010), Buku Ajar Ilmu
Anestesi dan Reanimasi, PT. Indeks, Jakarta
38