Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

DELIRIUM

Oleh:
Aisya Fikritama Aditya
G99141150

Pembimbing:
Djoko Suwito, dr., SpKJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI

SURAKARTA

2015

1
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Setiap gangguan kognitif dapat menyebabkan kebingungan, misalnya
berkurangnya kejelasan dan koherensi fikiran, persepsi, pengertian, atau tindakan.
Bingung merupakan gambaran pertama dari gangguan kognitif yang diperhatikan
oleh anggota keluarga atau pemeriksa. Keadaan bingung akut adalah sindroma
umum yang terdiri dari gangguan global dari fungsi kognitif yang disertai dengan
deficit perhatian dan kesadaran. Gangguan kognitif biasanya meliputi orientasi
berubah, persepsi abnormal, penalaran yang terganggu dan ingatan yang lemah.
Delirium adalah suatu keadaan mental yang abnormal yang dicirikan oleh
adanya disorientasi, ketakutan iritabilitas, salah persepsi terhadap stimulasi
sensorik dan sering kali disertai dengan halusinasi visual. Tingkah laku yang
demikian biasanya menempatkan penderita disuatu alam yang tak berhubungan
dengan lingkunganya, bahkan kadang pasien sulit mengenali dirinya sendiri.
Biasanya delirium menimbulkan delusi seperti alam mimpi yang kompleks,
sistematis serta berlanjut sehingga taka da kontak sama sekali dengan
lingkunganya serta secara psikologis tidak mungkin dicapai oleh pemeriksaanya.
Penderita umumnya menjadi talkative, bicaranya keras, offensive, curiga,
agitatif. Keadaan ini timbulnya cepat dan jarang berlangsung lebihh dari 4-7 hari
namun salah persepsi dan halusinasinya dapat berlangsung sampai berminggu-
minggu terutama pada penderita alkoholik atau penderita yang berkaitan dengan
penyakit vaskuler kolagen. Keadaan delirium biasanya tampil pada gangguan
toksik dan metabolic susunan saraf seperti keracunan atropine yang akut,
sindroma putus obat, gagal hati akut, ensefalitis, penyakit vaskuler kolagen.
Dalam delirium seseorang individu mengalami kesulitan dalam
menggerakkan, memusatkan, mengalihkan dan mempertahankan perhatian.
Beberapa simtom yang penting untuk didiagnosis sebagai delirium yaitu

2
gangguan perseptual, pembicaraan tidak koheran, insomnia atau mengantuk pada
siang hari, aktivitas psikomotor meningkat atau menurun, dan disorientasi dan
gangguan ingatan ( Sarason & Sarason, 1993)
Delirium merupakan penyakit yang umum dan ditemukan pada lebih dari
10% pasien berusia 65 tahun yang dirujuk ke rumah sakit. Delirium dapat terjadi
sebagai akibat kondisi otak yang akut atau kronis. Ada empat penyebab delirium
yaitu penyakit otak, penyakit atau infeksi dari bagian tubuh lain yang
mempengaruhi otak, intoksikasi, putus dari zat yang menjadi ketergantungan
individu. Kejadian delirium sangat tinggi pada orang-orang yang sudah tua dan
tidak diketahui apa sebabnya mereka mengalami delirium yang sangat tinggi
selain hanya di ketahui bahwa frekuensi penyakit otak organic dan penyakit
sistemik meningkat pada usia tua.
Tanda utama dari delirium adalah suatu gangguan kesadaran, biasanya
terlihat bersamaan dengan gangguan fungsi kognitif secara global. Kelainan
mood, persepsi, dan perilaku adalah gejala psikiatrik yang umum. Tremor,
nistagmus, inkoordinasi dan inkontinensia urin merupakan gejala neurologis
yang umum. Biasanya, delirium mempunyai onset yang mendadak (beberapa jam
atau hari), perjalanan yang singkat dan berfluktuasi, dan perbaikan yang cepat jika
faktor penyebab diidentifikasi dan dihilangkan. Tetapi, masing-masing dari ciri
karakteristikk tersebut dapat bervariasi pada pasien individual. Delirium
merupakan suatu sindrom, bukan suatu penyakit. Delirium diketahui mempunyai
banyak sebab, semuanya menyebabkan pola gejala yang sama yang berhubungan
dengan tingkat kesadaran pasien dan gangguan kognitif. Sebagian besar penyebab
delirium terletak di luar sistem saraf pusat- contoh, gagal ginjal atau hati.
Delirium tetap merupakan gangguan klinis yang kurang dikenali dan
kurang didiagnosis. Bagian dari masalah adalah bahwa sindrom disebut dengan
berbagai nama lain- sebagai contoh, keadaan konfusional akut, sindrom otak akut,
ensefalopati metabolis, psikosis toksis, dan gagal otak akut.

3
Kepentingan untuk mengenali delirium adalah (1) kebutuhan klinis untuk
mengidentifiaksi dan mengobati penyebab dasar dan (2) kebutuhan untuk
mencegah perkembangan komplikasi yang berhubungan dengan delirium.
Komplikasi tersebut adalah cedera kecelakaan karena kesadaran pasien yang
berkabut atau gangguan koordinasi atau penggunaan pengekangan yang tidak di
perlukan. Kekacauan rutin bangsal adalah merupakan masalah yang terutama
mengganggu pada unit nonpsikiatrik, seperti pada unit perawatan intensif dan
bangsal medis dan bedah umum.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi
Delirium adalah sindrom neuropsikiatrik yang sering dialami oleh pasien
rawat inap paliatif. Usia lanjut adalah factor risiko untuk perkembangan delirium.
Kira-kira 30 sampai 40 persen pasien rawat di rumah sakit yang berusia lebih dari
65 tahun mempunyai suatu episode delirium. Faktor predisposisi lainnya untuk
perkembangan delirium adalah cedera otak yang telah ada sebelumnya, riwayat
delirium, ketergantungan alkohol, diabetes, kanker, gangguan sensoris dan
malnutrisi. Adanya delirium merupakan tanda prognostik yang buruk.

2.2 Definisi
Delirium adalah gangguan kognitif dan kesadaran dengan onset akut. Kata
delirium berasal dari bahasa Latin “de lira” yang berarti “keluar dari parit” atau
keluar dari jalurnya. Dalam karyanya (2), Engel dan Romano menyebut delirium
sebagai “suatu sindrom insufisiensi serebral”. Keduanya menganggap delirium
bsebagai sindrom terkait dengan insufisiensi organ lain : Ginjal, jantung, hepar
dan paru-paru. Sebagai perbandingan, Lipowsky dalam “Delirium : Acute Brain
Failure In Man”, mengemukakan bahwa berkurangnya kewaspadaan terhadap
lingkungan dapat diasosiasikan dengan gangguan memori, disorientasi, gangguan
bahasa dan gangguan kognitif tipe lainnya. Beragam pasien mempunyai
pengalaman disorientasi yang berbeda seperti salah identifikasi, ilusi, halusinasi,
dan waham. Dengan onset yang mendadak dan durasi yang pendek, delirium
terjadi dari jam sampai hari dan berfluktiatif. Kebiasaan pasien menunjukkan
variasi dengan adanya agitasi yang menonjol pada beberapa individu,
dan hipoaktif pada pasien lainnya, dan pada individu yang sama pun akan
menunjukkan variasi berbeda dari waktu ke waktu. Delirium harus dibedakan

5
dari demensia, kondisi kronis kemerosotan fungsi kognitif yang merupakan
faktor risiko terjadinya delirium.
Diagnostic Statisitical Manual of Mental Disorders (DSM-IV)
mendefinisikan delirium sebagai gangguan kesadaran dan perubahan kognitif
yang terjai secara cepat dalam waktu yang singkat (APA, 1994). Gejala awal
delirium biasanya muncul tiba-tiba dan durasinya singkat (misal 1 minggu,
jarang lebih dari 1 bulan). Gangguan ini hilang sama sekali jika pasien pulih dari
determinan penyebab. Bila kondisi yang menyebabkan delirium menetap,
delirium berubah perlahan menjadi sindrom demensia atau berkembang menjadi
koma. Kemudian individu penderita mengalami pemulihan, menjadi vegetative
kronis, atau meninggal.

Klasifikasi Delirium berdasarkan DSM-IV :


1. Delirum akibat masalah medis umum
Masalah medis tertentu, seperti infeksi sistemik, gangguan metabolic,
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, penyakit hati atau ginjal, ensefalopati,
dan trauma kepala dapat menyebabkan gejala delirium.
2. Delirium akibat zat
Gejala delirium dapat disebabkan pajanan terhadap toksin atau ingesti obat,
seperti anti konvulsan, neuroleptik, ansiolitik, anti depresan, obat kardiovaskular,
anti neoplastik, dan hormone.
3. Delirium akibat intoksikasi zat
Gejala delirium dapat terjadi sebagai respons terhadap konsumsi
kanabis,kokain, halusinogen, alcohol, ansiolitik atau narkotik dalam dosis tinggi.
4. Delirium akibat putus zat
Pengurangan atau penghentian penggunaan zat jangka panjang dan dosis tiggi
zat tertentu, seperti alcohol, sedative, hipnotik, atau ansiolitik, dapat
menyebabkan delirium akibat putus zat.
5. Delirium akibat etiologi multiple

6
Gejala delirium dapat berhubungan dengan lebih dari satu masalah medis
umum atau pengaruh kombinasi masalah medis umum dan penggunaan zat.
Selain klasifikasi di atas, delirium juga dapat dibagi menjadi sub tipe
hiperaktif dan hipoaktif, tergantung dari aktivitas psikomotornya. Keduanya dapat
terjadi bersamaan pada satu individu.
a. Delirium hiperaktif
Delirium hiperaktif merupakan delirium yang paling sering terjadi. Pada
pasien terjadi agitasi, psikosis, labilitas mood, penolakan untuk terapi medis, dan
tindakan dispruptif lainnya. Kadang diperlukan pengawas karena pasien mungkin
mencabut selang infus atau kathether, atau mencoba pergi dari tempat tidur.
Pasien delirium karena intoksikasi, obat antikolinergik, dan alkohol withdrawal
biasanya menunjukkan perilaku tersebut. Delirium hiperaktif juga didapatkan
pada pasien dengan gejala putus substansi antara lain; alkohol,amfetamin,lysergic
acid diethylamideatau LSD.
b. Delirium hipoaktif
Adalah bentuk delirium yang paling sering, tapi sedikit dikenali oleh para
klinisi. Pasien tampak bingung, lethargia, dan malas. Hal itu mungkin sulit
dibedakan dengan keadaan fatigue dan somnolen, bedanya pasien akan dengan
mudah dibangunkan dan dalam berada dalam tingkat kesadaran yang normal.
Rangsang yang kuat diperlukan untuk membangunkan , biasanya bangun tidak
komplet dan transient. Penyakit yang mendasari adalah metabolit dan
enchepalopati.

2.3 Etiologi
Factor predisposisi:
1. Demensia
2. Obat-obatan multiple
3. Umur lanjut
4. Kecelakaan otak seperti stroke, penyakit Parkinson

7
5. Gangguan penglihatan dan pendengaran
6. Ketidakmampuan fungsional
7. Hidup dalam institusi
8. Ketergantungan alcohol
9. Isolasi social
10. Kondisi ko-morbid multiple
11. Depresi
12. Riwayat delirium post-operative sebelumnya

Factor presipitasi:

A. Medikasi
B. Penyakit:
1. Infeksi
2. Metabolik
3. Kelainan SSP
4. Perubahan lingkungan
5. Penurunan rangsang sensoris
6. Lainnya: bedah, syok, demam, hipotermia, anemia

Delirium mempunyai berbagai macam penyebab. Penyebabnya bisa berasal


dari penyakit susunan saraf pusat, penyakit sistemik, intoksikasi akut (reaksi
putus obat) dan zat toksik. Penyebab delirium terbanyak terletak diluar sistem
saraf pusat, misalnya gagal ginjal dan hati. Secara lengkap dan lebih terperinci
penyebab delirium dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 1. Penyebab Delirium

Tabel 2.1 Penyebab Delirium


A. Penyebab Intrakranial :

8
Epilepsi dan keadaan paska kejang
Trauma otak (terutama gegar otak)
Infeksi
- Meningitis
- Ensefalitis
Neoplasma
Gangguan vaskular
B. Penyebab Ekstrakranial :
Obat-obatan (meggunakan atau putus obat) dan racun
- Obat antikolinergik
- Antikonvulsan
- Obat antihipertensi
- Obat antiparkinson
- Obat antipsikosis
- Glikosida jantung
- Simetidin
- Klonidin
- Disulfiram
- Insulin
- Opiat
- Fensiklidin
- Fenitoin
- Ranitidin
- Salisilat
- Sedatif (termasuk alkohol) dan hipnotik
- Steroid
Racun
- Karbon monoksida

9
- Logam berat dan racun industri lain
Disfungsi Endokrin (hipofungsi atau hiperfungsi)
- Hipofisis
- Pankreas
- Adrenal
- Paratiroid
- Tiroid
Penyakit organ non endokron
Hati
Ensefalopati hepatik
Ginjal dan saluran kemih
Ensefalopati uremikum
Paru
Narkosis karbon dioksida
Hipoksia
Sistem Kardiovaskular
Gagal jantung
Aritmia
Hipotensi
Penyakit Defisiensi
Tiamin, asam nikotinik, vit B12 atau asam folat
Infeksi sistemik dengan demam dan sepsis
Ketidakseimbangan elektrolit dengan penyebab apapun
Keadaan pascaoperatif
Trauma (kepala atau seluruh tubuh)

10
Gambar 2.1 Penyebab Delirium Intrakranial dan Ekstrakranial

2.4 Patofisiologi
Mekanisme penyebab delirium masih belum dipahami secara seutuhnya.
Delirium menyebabkan variasi yang luas terhadap gangguan structural dan
fisiologik. Neuropatologi dari delirium telah dipelajari pada pasien dengan
hepatic encephalopathy dan pada pasien dengan putus alcohol. Hipotesis
utama yaitu gangguan metabolisme oksidatif yang reversibel dan abnormalitas
dari multipel neurotransmiter.
Neurotransmiter utama yang berperan terhadap timbulnya delirium
adalah asetilkolin dan daerah neuroanatomis utama adalah formasio
retikularis. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa berbagai faktor yang
menginduksi delirium diatas menyebabkan penurunan aktivitas asetilkolin di

11
otak. Mekanisme patofisiologi lain khususnya berkenaan dengan putus
zat/alkohol adalah hiperaktivitas lokus sereleus dan neuron non
adrenergiknya. Neurotransmiter lain yang juga berperan adalah serotonin dan
glutamat.
a. Obat dan Delirium
Lansia lebih sensitif terhadap efek obat atau dosis rendah dan secara
khusus beresiko delirium pada saat lebih besardari obat yang digunakan.
Obat-obatan yang melewati sawar darah otak menyebabkan delirium.
Delirium karena toksisitas obat juga disebabkan oleh obat-obatan dengan
'indeks terapi sempit', meskipun beberapa obat seperti digoxin dilaporkan
menyebabkan delirium pada keadaan normal. Pasien dengan intoksikasi
alkohol dapat menyebabkan delirium selama perawatan meskipun
withdrawal alkohol dapat menyebabkan delirium 1-3 hari setelah dirawat,
seperti withdrawal ( reaksi putus obat) hipnotik dan sedatif.
Obat paling sering menyebabkan delirium adalah sedatif dan hipnotik,
antikolinergik dan narkotik. Penggunaan preparat ini sebaiknya berhati-hati
pada lansia, khususnya pada gangguan kognitif sebelumnya. Jika obat ini
harus dipakai sebaiknya dengan dosis rendah dan dinaikkan perlahan. Obat
hipoglikemi, khususnya kerja sedang dapat menyebabkan hipoglikemi yang
juga bermanifestasi konfusio.
(1) Asetilkolin
Data studi mendukung hipotesis bahwa asetilkolin adalah salah satu
dari neurotransmiter yang penting dari pathogenesis terjadinya delirium. Hal
yang mendukung teori ini adalah bahwa obat antikolinergik diketahui sebagai
penyebab keadaan bingung. pada pasien dengan transmisi kolinergik yang
terganggu juga muncul gejala ini. Pada pasien post operatif, delirium serum
antikolinergik juga meningkat.
(2) Dopamine

12
Pada otak,hubungan muncul antara aktivitas kolinergik dan dopaminergik.
Pada delirium muncul aktivitas berlebih dari dopaminergik. Pengobatan
simptomatis muncul pada pemberian obat antipsikosis seperti haloperidol dan
obat penghambat dopamine.
b. Neurotransmitter lainnya
Serotonin ; terdapat peningkatan serotonin pada pasien dengan
encephalopati hepatikum. GABA (Gamma-Aminobutyric acid); pada pasien
dengan hepatic encephalopati, peningkatan inhibitor GABA juga ditemukan.
Peningkatan level ammonia terjadi pada pasien hepatic encephalopati, yang
menyebabkan peningkatan pada asam amino glutamat dan glutamine (kedua
asam amino inimerupakan precursor GABA). Penurunan level GABA pada
susunan saraf pusat juga ditemukan pada pasien yang mengalami gejala putus
benzodiazepine dan alkohol.
c. Mekanisme peradangan/inflamasi
Studi terkini menyatakan bahwa peran sitokin, seperti interleukin-1 dan
interleukin-6,dapat menyebabkan delirium. Mengikuti setelah terjadinya
infeksi yang luas dan paparan toksik, bahan pirogen endogen seperti
interleukin-1 dilepaskan dari sel. Trauma kepala dan iskemia, yang sering
dihubungkan dengan delirium, terdapat hubungan respon otak yang dimediasi
oleh interleukin-1 dan interleukin 6.
d. Mekanisme reaksi stress
Stress psikososial dan gangguan tidur mempermudah terjadinya delirium.
e. Mekanisme struktural
Pada pembelajaran terhadap MRI terdapat data yang mendukung hipotesis
bahwa jalur anatomi tertentu memainkan peranan yang lebih penting daripada
anatomi yang lainnya. Formatio reticularis dan jalurnya memainkan peranan
penting dari bangkitan delirium. Jalur tegmentum dorsal diproyeksikan dari
formation retikularis mesensephalon ke tectum dan thalamus adalah struktur
yang terlibat pada delirium.

13
Kerusakan pada sawar darah otak juga dapat menyebabkan delirium,
mekanismenya karena dapat menyebabkan agen neurotoksik dan sel-sel
peradangan (sitokin) untuk menembus otak.

2. 5 Diagnosis
Perbandingan kriteria diagnosis delirium DSM-5 dan DSM-IV

Kriteria Diagnostik untuk Delirium Putus Zat


a. Gangguan kesadaran (yaitu penurunan kejernihan kesadaran tehadap
lingkungan) dengan penurunan kemampuan untuk memusatkan,
mempertahankan atau mengalihkan perhatian.
b. Perubahan kognisi (seperti defisit daya ingat, disorientasi, gangguan bahasa)
atau perkembangan gangguan persepsi yang tidak lebih baik diterangkan
demensia yang telah ada sebelumnya, yang telah ditegakkan atau yang sedang

14
timbul.
c. Gangguan timbul setelah suatu periode waktu yang singkat dan cendrung
berfluktiasi selama perjalanan hari.
d. Terdapt bukti-bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan
laboratorium bahwa gejala dalam kriteria a dan b berkembang selama, atau
segera setelah suatu sindrom pututs.

Kriteria Diagnostik untuk Delirium yang Tidak Ditentukan


Kategori ini harus digunakan untuk mendiagnosis suatu delirium yang itdak
memenuhi kriteria salah satu tipe delirium yang dijelaskan dalam bagian ini.
a. Suatu gambaran klinis delirium yang dicuriagai karena kondisi karena kondisi
media umum atau pemakaian zat tetapi di mana tidak terdapat cukup bukti
untuk menegakkan suatu penyebab spesifik
b. Delirium karena penyebab yang tidak dituliskan dalam bagian ini missal
pemutusan sensorik

Pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan adalah :


a. Anamnesa terutama riwayat medis menyeluruh, termasuk penggunaan obat-
obatan atau medikasi.
b. Pemeriksaan fisik lengkap terutama dilakukan secara rutin pada pasien yang
rawat inap.
c. Pemeriksaan neurologis, termasuk status mental, tes perasaan (sensasi),
berpikir (fungsi kognitif), dan fungsi motorik. Pemeriksaan status kognitif
mencakup :
1) Tingkat kesadaran
2) Kemampuan berbahasa
3) Memori

15
4) Apraksia
5) Agnosia dan gangguan citra tubuh
d. Pemeriksaan penunjang berupa :
1) Uji darah
Tujuannya untuk memeriksa adanya gangguan organik, memeriksa
komplikasi fisik akibat gangguan psikiatri untuk menemukan gangguan
metabolik. Uji darah serologis, biokimia, endokrin dan hematologis yang
harus dilakukan termasuk :
 Pemeriksaan darah lengkap
 Urea dan elektrolit
 Uji fungsi tiroid
 Uji fungsi hati
 Kadar vitamin B12 dan asam folat
 Serologi sifilis
2) Uji urin
Skrining obat terlarang dalam urine perlu dilaksanakan untuk memeriksa
penyalahgunaan zat psikoaktif yang samar.
3) Elektroensefalogram (EEG)
4) X-ray dada
5) CT scan kepala
6) MRI scan Kepala
7) Analisis cairan serebrospinal (CSF)
8) Kadar obat, alkohol (toksikologi)
9) Uji genetik
Penggolongan kariotipe merupakan pemeriksaan penunjang klinik kedua yang
bisa memastikan adanya gangguan akibat kelainan kromosom. Uji ini
terutama berguna untuk menyelidiki orang dengan disabilitas belajar
(retardasi mental).

16
Pemeriksaan fisik dan Laboratorium
Delirium biasanya didiagnosis pada sisi tempat tidur dan ditandai oleh onset
gejala yang tiba-tiba. Penggunaan status pemeriksaan mental bedside seperti-Mini
Mental State Examination (MMSE) pemeriksaan fisik sering kali mengungkapkan
petunjuk adanya penyebab delirium. Adanya penyakit fisik yang diketahui atau
riwayat trauma kepala atau ketergantungan alkohol atau zat lain meningkatkan
kemungkinan diagnosis.
Pemeriksaan laboratorium untuk seorang pasien dengan delirium harus
termasuk tes-tes standar dan pemeriksaan tambahan yang diindikasikan oleh situasi
klinis. EEG pada delirium secara karakteristik menunjukkan perlambatan umum pada
aktivitas dan dapat berguna dalam membedakan delirium dari depresi atau psikosis.
EEG dari seorang pasien yang delirium sering kali menunjukkan daerah fokal
hiperaktivitas. Pasa kasus yang jarang, mungkin sulit membedakan delirium yang
berhubungan dengan epilepsi dari delirium yang berhubungan dengan penyebab lain.

2. 6 Gambaran Klinis
Gambaran kunci dari delirium adalah suatu gangguan kesadaran, keadaan
delirium mungkin didahului selama beberapa hari oleh perkembangan kecemasan,
mengantuk, insomnia, halusinasi transien, mimpi menakutkan di malam hari, dan
kegelisahan. Selain itu. Pasien yang pernah mengalami episode rekuren di bawah
kondisi yang sama.
1. Kesadaran (Arousal)
Dua pola umum kelainan kesadaran telah ditemukan pada pasien
dengan delirium. Satu pola ditandai oleh hiperaktivitas yang berhubungan
dengan peningkatan kesiagaan. Pola lain ditandai oleh penurunan kesiagaan.
Pasien dengan delirium yang berhubungan dengan putus zat sering kali
mempunyai delirium yang hiperaktif, yang juga dapat disertai dengan tanda
otonomik, seperti kemerahan, kulit pucat, berkeringat, takikardia, pupil
berdilatasi, mual muntahdan hipertermia. Pasien dengan gejala hipoaktif

17
kadang-kadang diklasifikasikan sebagai depresi, katatonik, atau mengalami
demensia. Pasien dengan pola gejala campuran hipoaktivitas dan
hiperaktivitas juga ditemukan dalam klinis.
2. Orientasi
Terhadap waktu, tempat, dan orang harus diuji pada pasien dengan
delirium. Orientasi terhadap waktu seringkali hilang, bahkan pada kasus
delirium yang ringan. Orientasi terhadap tempat dan kemampuan untuk
mengenali orang lain mungkin juga terganggu pada kasus yang berat. Pasein
delirium jarang kehilangan orientasi terhadap dirinya sendiri.
3. Bahasa dan kognisi
Pasien dengan delirium sering kali mempunyai kelainan dalam bahasa.
Kelainan dapat berupa bicara yang ngelantur, tidak relevan, atau
membingungkan (inkoheren) dan gangguan untuk mengerti pembicaraan.
Fungsi kognitif lainnya yang mungkin terganggu pada pasien delirium
adah fungsi ingatan dan kognitif umum. Kemampuan untuk menyusun,
mempertahankan, dan mengingat kenangan mungkin terganggu, walaupun
ingatan kenangan yang jauh mungkin dipertahankan. Pasien delirium juga
mempunyai gangguan kemampuan memecahkan masalah dan mungkin
mempunyai waham yang tidak sistematik, kadang paranoid.
4. Persepsi
Pasien dengan delirium seringkali mempunyai ketidakmampuan
umum untuk membedakan stimuli sensorik dan untuk mengintegrasikan
persepsi sekarang dengan pengalaman masa lalu mereka, akibatnya pasien
sering kali tertarik oleh stimuli yang yang tidak relevan atau menjadi teragitasi
jika dihadapkan denga informasi baru. Halusinasi juga relative sering pada
pasein delirium. Halusinansi yang paling sering adalah visual dan auditoris,
walaupun halusinansi dapat juga taktil atau olfaktoris. Halusinasi visual dapat
terentang dari gambar geometric sederhana atau pola berwarna orang yang

18
berbentuk lengkap dengan pemandangan. Ilusi visual dan auditoris adalah
sering pada delirium.
5. Mood
Pasien dengan delirium juga mempunyai kelainan dalam pengaturan
mood. Gejala yang paling sering adalah kemarahan, kegusaran, dan rasa takut
yang tidak beralasan. Kelainan mood lain yang sering ditemukan pada pasien
delirium adalah apatis, depresi, dan euphoria. Beberapa pasien dengan cepat
berpindah di antara emosi tersebut dalam perjalanan sehari.

2. 7 Gejala Penyerta
Tidur pada pasien delirium secara karakteristik adalah terganggu. Pasien
sering kali mengantuk selama siang hari dan dapat ditemukan tertidur sekejap. Tetapi
tidur pada pasien delirium hampir selalu singkat dan terputus-putus. Sering kali
keseluruhan siklus tidur bangun pasien dengan delirium semata-mata terbalik. Pasien
sering kali mengalami eksaserbasi gejala delirium tepat sebelum tidur situasi klinis
yang dikenal luas sebagai sundowning. Kadang pasien dengan delirium mendapat
mimpi buruk yang terus berlangsung ke keadaan terjaga sebagai pengalaman
halusinasi.
Gejala neurologis. Pasien dengan delirium sering kali mempunyai gejala
neurologis yang menyertai, termasuk disfasia, tremor, asteriksis, inkoordinasi dan
inkontinensia urin. Tanda neurologis fokal juga ditemukan sebagai bagian pola gejala
pasien dengan delirium.

2. 8 Diagnosis Banding
1. Delirium vs demensia
Penting untuk membedakan delirium dari demensia, dan sejumlah gambaran
klinis membantu membedakannya. Berbeda dengan onset delirium yang tiba-tiba,
onset demensia biasanya perlahan-lahan. Walaupun kedua kondisi melibatkan
gangguan kognitif, perubahan dementia adalah lebih stabil dengan berjalannya waktu

19
dan tidak berfluktuasi selama perjalanan sehari. Sebagai contoh seorang pasien
dengan demensia biasanya siaga; seorang pasien dengan delirium mempunyai episode
penurunan kesadaran. Kadang-kadang delirium terjadi pada pasien yang menderita
demensia, suatu keadaan yang dikenal sebagai pengaburan demensia (beclouded
dementia). Suatu diagnosis delirium dapat dibuat jika terdapat riwayat definitif
tentang demensia yang ada sebelumnya.

Tabel 2.2 Frekuensi Gambaran Klinis Delirium dibandingkan Demensia

Tabel 2.2 Perbedaan klinis delirium dan Demensia


Gambaran Delirium Demensia
Riwayat Penyakit akut Penyakit kronik
Awal Cepat Lambat laun
Sebab Terdapat penyakit lain (infeksi, Biasanya penyakit otak kronik (spt
dehidrasi, guna/putus obat Alzheimer, demensia vaskular)
Lamanya Ber-hari/-minggu Ber-bulan/-tahun
Perjalanan sakit Naik turun Kronik progresif
Taraf kesadaran Naik turun Normal
Orientasi Terganggu, periodic Intak pada awalnya
Afek Cemas dan iritabel Labil tapi tak cemas
Alam pikiran Sering terganggu Turun jumlahnya
Bahasa Lamban, inkoheren, inadekuat Sulit menemukan istilah tepat
Daya ingat Jangka pendek terganggu nyata Jangka pendek & panjang terganggu
Persepsi Halusinasi (visual) Halusinasi jarang kecuali sundowning
Psikomotor Retardasi, agitasi, campuran Normal
Tidur Terganggu siklusnya Sedikit terganggu siklus tidurnya
Atensi & kesadaran Amat terganggu Sedikit terganggu
Reversibilitas Sering reversible Umumnya tak reversibel
Penanganan Segera Perlu tapi tak segera
Catatan: pasien dengan demensia amat rentan terhadap delirium, dan delirium yang bertumpang tindih
dengan demensia adalah umum.

20
2. Delirium vs Psikosis atau Depresi
Delirium juga harus dibedakan dengan skizofrenia dan gangguan depresif. Pasien
dengan gangguan buatan mungkin berusaha untuk mensimulasi gejala delirium; tetapi
mereka biasanya mengungkapkan sifat berpura-pura dari gejalanya dengan
inkonsistensi pada pemeriksaan status mentalnya, dan EEG dapat secara mudah
memisahkan kedua diagnosis. Beberapa pasien dengan gangguan psikotik, biasanya
skizofrenia, atau episode manik mungkin mempunyai episode perilaku yang sangat
terdisorganisasi yang mungkin sulit dibedakan dari delirium. Tetapi pada umumnya,
halusinasi dan waham pada skizofrenik biasanya tidak mengalami perubahan dalam
tingkat kesadaran atau orientasinya. Pasien dengan gejala hipoaktif dari delirium
mungkin tampak agak mirip dengan pasien yang depresi berat tapi dapat dibedakan
atas dasar EEG. Diagnosis psikiatrik lain yang dapat dipertimbangkan dalam
diagnosis banding delirium adalah gangguan psikotik singkat, gejala skizofreniform,
dan gangguan disosiatif.

2. 9 Perjalanan dan Prognosis


Walaupun onset delirium biasanya mendadak, gejala prodromal (sebagai
contoh, kegelisahan dan ketakutan) dapat terjadi pada hari sebelum onset gejala yang
jelas. Gejala delirium biasanya berlangsung selama faktor penyebab yang relevan
ditemukan , walaupun delirium biasanya berlangsung kurang dari satu mingggu.
Setelah identifkasi dan menghilangkan faktor penyebab, gejala delirium biasanya
menghilang dalam periode tiga sampai tujuh hari, walaupun beberapa gejala mungkin
memerlukan waktu sampai dua minggu untuk menghilang secara lengkap. Semakin
lanjut usia pasien, dan semakin lama pasien mengalami delirium, semakin lama
waktu yang diperlukan bagi delirium untuk menghilang. Ingatan tentang apa yang di
alami selama delirium, jika delirium telah berlalu, biasanya hilang timbul, dan pasien
mungkin menganggapnya sebagai mimpi buruk atau pengalaman yang mengerikan
yang hanya di ingat samar-samar. Terjadinya delirium berhubungan dengan angka

21
mortalitas yang tinggi pada tahun selanjutnya, terutama disebabkan oleh sifat serius
dari kondisi medis penyerta yang menyebabkan delirium.
Apakah delirium berkembang menjadi demensia belum ditunjukkan dalam
penelitian terkontrol yang cermat. Tetapi, suatu observasi klinis yang telah disahkan
oleh suatu penelitian, adalah bahwa periode delirium kadang-kadang diikuti oleh
depresi atau gangguan stress pasca traumatic.

2. 10 Pengobatan
Tujuan utama adalah untuk mengobati gangguan dasar yang menyebabkan
delirium. Jika kondisinya dalah toksisitas antikolinergik, penggunaan physostigmine
salicylate (Antrilirium) 1- 2 mg intravena (IV) atau intramuscular (IM) dengan dosis
ulang dalam 15 sampai 30 menit, dapat diindikasikan. Tujuan pengobatan yang
penting lainnya dalah memberikan bantuan fisik, sensorik, dan lingkungan. Bantuan
fisik adalah diperlukan sehingga pasien delirium tidak masuk ke dalam situasi dimana
mereka mungkin mengalami kecelakaan. Pasien dengan delirium tidak boleh dalam
lingkungan tanpa stimulasi sensorik atau dengan stimulasi yang berlebihan. Biasanya
pasien delirium dibantu dengan meminta teman atau sanak keluarga di dalam ruangan
atau oleh adanya penunggu yang teratur. Gambar dan dekorasi yang akrab, adanya
sebuah jam atau kalender, dan orientasi yang teratur terhadap orang, tempat, dan
waktu membantu pasien delirium menjadi nyata. Delirium kadang dapat terjadi pada
pasien lanjut usia dengan penutup mata setelah pembedahan katarak. (black-patch
delirium). Pasien tersebut dapat dibantu dengan menempatkan sebuah lubang kecil
pada penutup mata untuk membiarkan masuknya suatu stimuli atau dengan kadang-
kadang melepaskan satu penutup pada suatu waktu selama pemulihan.

2. 11 Pengobatan Farmakologis
Dua gejala utama dari delirium yang mungkin memerlukan pengobatan
farmakologis adalah psikosis dan insomnia. Obat yang terpilih dari psikosis adalah
haloperidol (Haldol), suatu obat antipsikotik golongan butyrophenone. Tergantung

22
pada usia, berat badan, dan kondisi fisik pasien, dosis awal dapat terentang antara 2
sampai 10 mg IM, dapat diulang dalam satu jam jika pasien tetap teragitasi. Segera
setelah pasien tenang, medikasi oral dalam cairan konsentrat atau bentuk tablet dapat
dimulai. Dua dosis oral harian harus mencukupi, dengan dua pertiga dosis diberikan
sebelum tidur. Untuk mencapai efek terapeutik yang sama, dosis oral harus kira-kira
1,5 kali lebih tinggi dari dosis parenteral. Dosis harian efektif total dari haloperidol
mugnkin terentang dari 5 sampai 50 mg untuk sebagian besar pasien delirium.
Droperidol (Inapsine) adalah suatu butyrophenone yang tersedia sebagai suatu
formula intravena alternatif, walaupun monitoring elektrokardiogram adalah sangat
penting dalam pengobatan ini. Golongan phenothiazine harus dihindari pada pasien
delirium, karena obat tersebut disertai dengan aktivitas antikolinergik yang bermakna.
Insomnia paling baik diobati dengan golongan benzodiazepine dengan waktu
paruh pendek atau dengan hydroxyzine 25 sampai 100 mg. Golongan benzodiazepine
dengan waktu paruh panjang dan barbiturate harus dihindari kecuali obat tersebut
telah digunakan sebagai bagian dari pengobatan untuk gangguan dasar (sebagai
contohnya, putus alkohol).

2. 12 Penatalaksanaan Klinis
Pertama, kondisi medis diperbaiki seoptimal mungkin. Sampai kondisi baik,
pemantauan harus tetap dilakukan untuk mempertahankan kesehatan dan keselamatan
pasien, termasuk observasi rutin, perawatan konsisten, menenangkan dengan
penjelasan sederhana secara berulang. Mengurangi ketegangan jiwa diperlukan oleh
pasien dengan agitasi tinggi meskipun pengalaman menunjukkan bahwa pada
beberapa pasien cenderung mengalami peningkatan agitasi. Rangsangan eksternal
diperkecil. Karena bayangan atau kegelapan mungkin menakuti mereka. Pasien
delirium sangat sensitif terhadap efek samping obat, jadi pengobatan yang tidak perlu
harus dihentikan termasuk golongan hipnotik-sedatif (contoh benzodiazepin). Pasien
dengan agitasi tinggi ditenangkan dengan dosis rendah obat antipsikotik potensi
tinggi (contoh : haloperidol, thiothixene). Obat dengan efek antikolinergik seperti

23
klorpomazine, tioridazin di hindari karena dapat memperburuk atau memperpanjang
delirium. Kenyataannya, tingkat antikolinergik plasma yang memicu delirium
ditemukan pada pasien-pasien bedah. Bila sedasi diperlukan gunakan dosis rendah
benzodiazepin dengan kerja singkat seperti oxazepam, lorazepam.

Rekomendasi untuk penatalaksanaan Delirium


Lingkungan rumah sakit yang tenang, penerangan yang baik adalah terapi
yang baik untuk pasien.

1. Pribadi yang konsisten menenangkan pasien delirium


2. Secara rutin pasien dilatih mengingat hari, tanggal, waktu dan situasi dalam
ruangan pasien
3. Pengobatan untuk penatalaksanaan tingkah laku harus di batasi
 Hanya obat-obatan yang penting diberikan pada pasien, polifarmasi
harus dihindari
 Hipnotik-sedatif dan ansiolitik harus dihindari
 Tingkah laku yang sulit dikoreksi diberikan neuroleptik dosis rendah,
benzodiazepin dengan kerja singkat

2. 12 Prognosis
Onset delirium biasanya mendadak, gejala prodromal (kegelisahan dan
ketakutan) dapat terjadi pada hari sebelum onset gejala yang jelas. Gejala delirium
biasanya berlangsung selama faktor penyebab yang relevan ditemukan, walaupun
delirium biasanya berlangsung kurang dari 1 minggu setelah menghilangnya faktor
penyebab, gejala delirium menghilang dalam periode 3 - 7 hari, walaupun beberapa
gejala mungkin memerlukan waktu 2 minggu untuk menghilang secara lengkap.
Semakin lanjut usia pasien dan semakin lama pasien mengalami delirium, semakin
lama waktu yang diperlukan bagi delirium untuk menghilang. Beberapa pada lanjut

24
usia susah untuk diobati dan bisa melanjut jadi kronik. Morbiditas dan mortalitas
lebih tinggi pada pasien yang masuk sudah dengan delirium dibandingkan dengan
pasien yang menjadi delirium setelah di Rumah Sakit. Beberapa penyebab delirium
seperti hipoglikemia, intoxikasi, infeksi, faktor iatrogenik, toxisitas obat, gangguan
keseimbangan elektrolit biasanya cepat membaik dengan pengobatan.

25
BAB III
PENUTUP

3. 1 Simpulan
Delirium adalah gangguan kognitif dan kesadaran dengan onset akut. Dengan
onset yang mendadak dan durasi yang pendek, delirium terjadi dari jam sampai hari
dan berfluktiatif. Delirium dapat disebabkan oleh berbagai penyakit susunan saraf
pusat, penyakit sistemik, intoksikasi akut (reaksi putus obat) dan zat toksik.
Delirium hampir selalu merupakan kondisi sementara yang sembuh apabila
penyebab yang mendasarinya berhasil diatasi. Akan tetapi, pada beberapa kasus yang
penyebab deliriumnya, seperti cedera kepala atau ensefalitis, dapat menyebabkan
klien mengalami gangguan kognitif, perilaku, atau emosional, bahkan setelah
penyebab yang mendasarinya diatasi.

26
DAFTAR PUSTAKA

American Psychriatric Association. Highlight of Changes from DSM IV TR to DSM


V. American Psychriatric Publishing.

Guze, Barry dkk. 1997. Buku Saku Psikiatri. Jakarta : EGC.

Kaplan. H. I, Sadock B.J. Comprehensive Textbook of Psychiatry. 8th Ed

Kurt J. Isselbacher, 1999. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam.Vol I. Edisi


13. Jakarta: EGC.

Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott. Delirium, dementia, amnestic and
cognitive disorders. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral
Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.

Satyanegara, et. al. 2010. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara Edisi V. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.

Soejono CH. Sindrom delirium. Buku ajar ilmu penyakit dalam fakultas kedokteran
Indonesia. Jilid 3 edisi 5. 2009.

Yustinus Semiun, OFM, 2006. Kesehatan Mental 3. Yogyakarta: Penerbit Kasinus.

27

Anda mungkin juga menyukai