Kelompok 11:
1. Diah Ajeng Tri Rahayu 19405021067
2. Ummu Jauharin Fardah 19405021069
3. Dwara Andriani 19405021071
4. Fathria Satriani Putri M 19405021073
5. Aristi 19405021075
FAKULTAS FARMASI
PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
UNIVERSITAS WAHID HASYIM
SEMARANG
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt. Atas segala limpahan kekuatan dan
“Asam Salisilat”. Sholawat dan salam semoga tercurahkan pula kepada Nabi Muhammad
saw. Dan para sahabatnya. Seiring doa harap semoga Allah Swt. Meridhoi usaha yang kami
lakukan.
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah agar mahasiswa mengetahui dan
memahami tentang Metode Separasi. Penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat
Atas segala kesalahan, penulis mohon kebijaksanaan dari semua pihak untuk dapat
memaafkan kekhilafan yang penulis perbuat karena penulis masih dalam tahap
pembelajaran. Kritik dan saran kami butuhkan untuk membuat Makalah ini menjadi lebih
baik seterusnya.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
digunakan untuk meredakan nyeri ringan sampai sedang yang sebabnyaberagam, tetapi
tidak efektif untuk menghilangkan nyeri organ dalam (visceralpain), seperti infarktus
miokardium atau kolik batu ginjal atau empedu (Darsono, 2002).
Setelah ingesti asam asetil salisilat secara cepat diubah menjadi asam salisilat.
Pada dosis teraphy asam salisilat dimetabolisme oleh hati dan dieliminasi dalam waktu
2-3 jam.Keracunan salisilat dimanifestasikan dengan kerusakan beberapa sistem organ,
meliputi central nervous system (CNS), cardiovascular, paru-paru, hati dan sistem
metabolisme.Salisilat secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi sistem
organ dalam tubuh melalui phosphorilasi oksidatif tunggal, menghambat enzim siklus
krebbs, dan menghambat sintesis asam amino (Muhammad dan Timothy, 2016).
Penatalaksanaan terhadap toksisitas dari asam salisilat bertujuan untuk
menstabilisasi fungsi vital, mencegah absorbsi obat yang lebih lanjut, mengeliminasi
obat yang telah diabsorbsi, mengatasi gejala toksik spesifik yang ditimbulkan dan
disposisi.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
2.1.2 Identifikasi Bahaya
Kontak kulit : Iritasi.
Kontak mata : Iritasi.
Tertelan : Dering di telinga, mual, muntah, diare, pusing, kesulitan
bernapas, sakit kepala, mengantuk, disorientasi, gangguan
pendengaran, gangguan penglihatan, kongesti paru,
kerusakan ginjal, kejang, koma.
Terhirup : Iritasi disertai batuk, bersin dan sesak napas. Paparan berat
dapat menyebabkan keracunan sistemik; gejala meliputi
sakit kepala, pusing, nadi cepat, dan tinnitus.
2.1.3 Data Toksikologi
Data pada manusia : LDL (kulit, pria) = 57 mg/kgBB; LDL (intermittent skin,
wanita) = 111 mg/kgBB/ 10 hari.
Data pada hewan :LC50 (inhalasi, tikus) > 900 mg/m3/1 jam; LD50 (oral,
tikus) = 480 mg/kg; LD50 (intraperitional, tikus (rat) ) =
157 mg/kg; LD50 (oral, tikus = 300 mg/kg; LD60
(subkuntan, tikus) = 520 mg/kg; LD50 (iv, tikus) = 184
mg/kg; LD50 (oral, kucing) = 400 mg/kg; LD50 (oral,
kelinci) = 1300 mg/kg; LD50 (skin, kelinci) > 10 g/kg;
LD50(subkuntan, kelinci) =6 g/kg; LC50 (inhalasi,
mamalia) >300 mg/m3 (BPOM RI, 2011).
4
2.1.6 Teratogenitas
Dosis terapeutik moderat salisilat menyebabkan kerusakan janin pada manusia,
namun bayi yang lahir dari ibu yang mengkonsumsi salisilat dalam jangka waktu
lama mungkin memiliki massa yang berkurang secara signifikan pada saat lahir.
Selain itu, terjadi peningkatan kematian prenatal, anemia, perdarahan antepartum dan
postpartum.Efek ini terjadi bila salisilat diberikan selama trimester ketiga, oleh
karena itu penggunaannya selama masa kehamilan harus dihindari (BPOM RI, 2011).
5
cairan tubuh dan jaringan, serta mudah melalui sawar darah plasenta sehingga dapat
masuk ke dalam sirkulasi darah janin. Pada dosis rendah (konsentrasi dalam plasma <
10 mg/ dL), 90%salisilat terikat oleh albumin,sedangkan pada konsentrasi yang lebih
tinggi (> 40 mg/dl), hanya 75% salisilat yang terikat oleh albumin (Beckman Coulter,
2003).
Metabolisme : Aspirin dihidrolisis menjadi asam salisilat di dalam sistem
gastrointestinal dan sirkulasi darah (dengan waktu paruh aspirin 15menit) (Chyka et
al., 2007). Dalam bentuk asam salisilat, waktu paruh dalam plasma dalam dosis
terapetik menjadi 2‐4,5 jam, namun dalam dosis yang berlebihan (overdosis) waktu ini
dapat lebih panjang, antara 18 sampai 36 jam (Ijaz et al., 2003). Jadi dapat dikatakan
bahwa waktu paruh asam salisilatini terkait dengan dosis. Semakin tinggi dosis aspirin
yang diminum,makawaktu paruh asam salisilat juga semakin panjang. Pada pemberian
aspirin dosistinggi, jalur metabolisme asam salisilat menjadi jenuh; akibatnya kadar
asam salisilat dalam plasma meningkat tidak sebanding dengan dosis aspirin yang
diberikan (Beckman Coulter, 2003). Karena aspirin segera dihidrolisis sebagai salisilat
di dalam tubuh, maka salisilat inilah yang bertanggungjawab terhadap terjadinya
intoksikasi (Chyka et al., 2003). Kira‐kira 80% asam salisilat dosis kecil akan
dimetabolisir dihepar, dikonjugasikan dengan glisin membentuk asam salisil urat, dan
dengan asam glukoronat membentuk asamsalisil glukoronat, dan salisil fenolat
glukoronat. Sebagian kecil dihidroksilasi menjadi asam gentisat (Ijaz et al.,
2003).Metabolisme salisilat ini dapat mengalami saturasi (kejenuhan). Pada orang
dewasa normal,saturasi kinetika salisilat terjadi pada pemberian aspirin dosis 1‐2 g.
Apabila kapasitasmetabolisme initerlampaui,maka akan menyebabkan waktu paruh
asam salisilat dalam plasma semakin tinggi dan meningkatkan risiko timbulnya efek
samping. Kinetika saturasi salisilat inilah yang berperan besar dalam kasus‐kasus
intoksikasi salisilat (Chyka et al., 2007).
Eliminasi : Penghapusan asam salisilat mengikuti orde nol farmakokinetik;
(yaitu, tingkat eliminasi obat adalah konstan dalam kaitannya dengan konsentrasi
plasma).Ekskresi ginjal obat berubah tergantung pada pH urin. Sebagai PH urin naik di
atas 6,5, pembersihan ginjal salisilat bebas meningkat dari <5% sampai> 80%.
6
Alkalinisasi urin adalah konsep kunci dalam pengelolaan overdosis salisilat. Setelah
dosis terapi, masing-masing sekitar 10% ditemukan diekskresikan dalam urin sebagai
asam salisilat, 75% asam sebagai salicyluric, 10% dan 5% sebagai fenolik dan asil
glucuronides.
7
naik. Terhambatnya enzim COX 1 juga menghambat sntesis TX (tromboxan) yang
berperan sebagai stimulan agregasi trombosit dalam pembekuan darah. Selain itu
hambatan enzim COX menyebabkan lintasan metabolisme asam aracidonat lebih
banyak menggunakan enzim lipooksigenase menghasilkan leukotrien yang mempunyai
efek bronkokontriksi. Turunan asam salisilat juga mempunyai efek iritasi mukosa
saluran cerna sehinga menimbulkan rasa mual, muntah perdarahan saluran cerna dan
gangguan keseimbangan asam basa (Ngatijan, 2006).
8
2. Tindakan umum:
a. Periksa kadar bicarbonate, klorida, kalium, natrium, glukosa dan pH darah arteri.
b. Pemberian cairan alkali secara IV digunakan untuk membuat urin bereaksi basa
dari pada untuk mengatasi asidosis.
c. Pada keracunan ringan tanpa muntah dengan pengeluaran urin yang cukup,
penderita diberi susu dan air buah setiap jam sampai jumlah 100 ml/kg.
d. Pada keracunan berat pada jam pertama diberi cairan infus 400 ml/m3. Biasanya
digunakan larutan dextrose 5% yang mengandung natrium carbonate 75 mEq/L.
setelah jam pertama berikan cairan infus yang sama dengan kecepatan
sepertiganya sampai mulai pengeluaran urin, dehidrasi terkoreksi atau terlihat
gangguan fungsi ginjal (kadar nitrogen urea meningkat). Setelah terjadi
pengeluaran urin, tambahkan cairan yang mengandung kalium 30 mEq/L. sesuai
dengan jumlah kalium yang hilang. Hentikan pemberian larutan kalium, jika kadar
kalium dalam serum telah mencapai 5 mEq/L. Jika fungsi ginjal normal cairan
yang dibutuhkan kira-kira 3 L / m3 per 24 jam. Pemberian cairan yang berlebihan,
jika terjadi retensi cairan dapat menyebabkan edema otak dengan disk optic kabur,
edema periorbital, dan depresi system syaraf pusat. Jika terjadi retensi cairan,
berikan 5 ml/Kg larutan manitol 20% secara IV perlahan-lahan atau furosemide
0,25 – 1 mg/Kg secara oral atau IV.
e.Mengatur urine tetap alkali akan mempercepat pengeluaran salisilat, tapi sukar
dilakukan pada bayi yang keracunan kronik. Pengaturan kalium dan natrium
selanjutnya, bergantung pada hasil pemeriksaan kadar yang dilakukan.
f. Jika masih tetap koma setelah kadar salisilat kembali normal menunjukkan edema
otak. Untuk itu diatasi dengan pemberian obat diuretika manitol. Pemberian obat
golongan kortikosteroid juga dapat menolong.
g. Jika terjadi pneumonia berikan obat kemoterapi yang spesifik.
9
b. Jangan diberi obat golongan barbitural, paraldehyde, morfin dan obat depresan
system syaraf pusat.
c. Jika fungsi ginjal terganggu perlu dilakukan dialisa untuk mengeluarkan salisilat.
Jika dilakukan dialisa peritoneal, tambahkan human albumin 5% pada dialisa.
Kecuali jika kadar kalium meningkat, pada dialisa ditambahkan kalium klorida 5
mEq / L.
d. Atasi hiperpireksia yang terjadi dengan dikompres menggunakan spons. Jangan
digunakan alkohol (Drs. Sartono, 2002).
Hemodialisis mungkin diperlukan untuk menghilangkan aspirin dari darah.
Hemodialisis adalah cara pengobatan pilihan untuk keracunan salisilat berat dan
sebaiknya dipertimbangkan secara serius bila kadar salisilat plasma melebihi 700
mg/L (5,1 mmol/L) atau bila timbul asidosis metabolik yang berat, konvulsi, gagal
ginjal, udem paru atau kadar salisilat plasma tinggi terus- menerus yang tidak
memberikan respons terhadap alkalinisasi urin (IONI, 2015)
Indikasi untuk hemodialisis meliputi berikut ini:
- tingkat salisilat dlam serum lebih besar dari 120 mg / dL atau lebih besar dari
100 mg/dL 6 jam pasca konsumsi
- Coma atau kejang
- Noncardiogenic edema paru
- Membebani Gagal ginjal
10
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Kasus
Seorang pria 16 tahun dengan depresi dan diabetes mellitus tipe 1 mengalami
perubahan status mental setelah menelan 135 g (1901 mg/kg) aspirin salut enterik. Ia
mengalami kejang tonik klonik umum yang sembuh dengan pengobatan dengan
benzodiazepin. Tingkat salisilat awal adalah 90,6 mg / dl, 4 jam setelah konsumsi dan
EKG mengungkapkan QTc 550. Infus natrium bikarbonat dimulai dan ia dipindahkan
ke unit perawatan intensif (ICU). Setibanya di ICU, pasien mengantuk tetapi
bersemangat menjawab beberapa pertanyaan dan kemudian tertidur kembali dan hanya
akan sesekali mengikuti perintah.
Tabel 3.1 Tanda-tanda Vital Pasien
Tanda – Tanda Vital Pasien
Detak jantung 94 kali / menit
Tekanan Darah 124/57 mmHg
Laju Pernafasan 27 kali / menit
Saturasi Oksigen 99 % pada kanula nasal 2L
11
Kanula hidung dihentikan beberapa jam setelah kedatangan ke ICU dan pasien
tetap menghirup udara kamar sepanjang durasi rawat inapnya. Pemeriksaan fisik
penting untuk respirasi kussmaul dan dia mengeluhkan tinitus, kedinginan, sakit
kepala, perubahan penglihatan yang digambarkan sebagai "cahaya terang dan bintik
hitam."Radiograf dadanya menunjukkan pembuluh darah paru-paru, namun paru-paru
bersih untuk auskultasi. Hasil laboratorium menunjukkan kadar salisilat 92,2 mg /dl 8,5
jam setelah konsumsi, gas darah vena: pH 7,48 CO2 21 mm Hg, bikarbonat 14 meq/L,
kalsium terionisasi 0,96 mmol/L (1,12e1,32 mmol/ l), kreatinin 1,3 mg/dl enzim hati
normal, laktat 4,3 mmol/l dan pH urin 6. Tingkat salisilat diikuti setiap jam sampai hari
pertama masuk rumah sakit.
Laju aliran darah bervariasi selama HD (100e250 ml /menit). Ini karena kateter
berada di vena femoralis dan pasien berulang kali menggerakkan kaki terlepas
menyebabkan kesulitan mencapai laju aliran yang konsisten. Durasi HD adalah 5,5 jam
pada akhir HD dan sebelum memulai CRRT, kadar salisilat menurun dari 87,7 mg / dl
menjadi 37,4 mg / dl dan gas darah arteri-nya adalah: pH 7,55, pCO2 24 mm Hg,
bikarbonat 21 meq / l. Pasien kemudian dialihkan ke CVVHDF dengan mesin
Prismaflex CRRT, filter HF 1000, laju ultrafiltrasi 2,7e3,7 ml / menit, laju aliran darah
150 ml / menit, laju aliran dialisat 1000 ml / jam, dan jaring target bahkan
keseimbangan cairan. Tingkat salisilat menurun dari 30,5 mg / dl menjadi 11,3 mg / dl
setelah 9 jam dan 53 menit CVVHDF. Tingkat tindak lanjut sekitar 2,5 jam selanjutnya
adalah 25,9 mg/dl menandakan adanya peningkatan saat masih menggunakan
CVVHDF namun ketika gejala pasien telah sembuh dan QTc telah nornmal CVVHDF
dihentikan pada saat itu.
Total durasi CVVHDF adalah 12,5 jam. Gas darah arteri-nya pada akhir
CVVHDF adalah: pH 7,51, p CO2 30 mm Hg, bikarbonat 24 meq/l. Tingkat salisilat
memuncak pada 32,8 mg/dl 3 jam setelah CVVHDF dihentikan tanpa tanda atau gejala
lebih lanjut dan kemudian turun. Alkalosis pernapasannya hampir pulih 30 jam setelah
penghentian CVVHDF dengan gas darah arteri pH 7,44, pCO2 35 mm Hg, bikarbonat
24 meq / l.
12
3.2 Pembahasan
Dalam kasus ini, pasien mengalami kejang dengan EKG mengungkapkan QTc
550. Pertolongan pertama yang dilakukan pada kasus ini adalah dengan pemberian
kanula (oksigen) untuk membantu pernapasan pasien. Selanjutnya diberikan
benzodiazepin untuk menangani kejang yang dialami pasien.
Menempatkan tabung pernapasan (intubasi) dan membantu pernapasan dengan
ventilator untuk orang yang gelisah, koma, yang tidak bisa melindungi saluran udara
mereka sendiri. Diketahui kadar salisilat dalam darah adalah 90,6 mg/dl 4 jam setelah
konsumsi menunjukkan obat telah melewati fase absorpsi. Penggunaan adsorben tidak
dapat diberikan karena tidak efektif.
Obat lain yang diberikan yaitu natrium bikarbonat, yang membantu tubuh
menghilangkan aspirin yang telah dicerna. Eksresi asam salisilat tergantung pada pH
urin pemberian cairan pemeliharaan dibutuhkan untuk mempertahankan alkalisasi
kemih dengan memberikan intravena natrium bikarbonat. Alkalisasi urin harus
dilanjutkan setidaknya sampai tingkat serum salisilat menurun ke kisaran terapeutik
(<30 mg / dL).
Dalam kasus ini jumlah aspirin salut enterik yang tertelan membuatnya
berisiko untuk diserap terus menerus. Karena risiko rebound dalam pengaturan
toksisitas signifikan, rencana awal adalah untuk mengobati dengan 6 jam HD diikuti
oleh CVVHDF untuk mencapai pembersihan berkelanjutan. Tingkat salisilat berhasil
dikurangi dengan HD, namun, total waktu HD-nya lebih pendek dari yang
direncanakan. Penghapusan salisilat dicapai tanpa rebound ke tingkat toksik dengan
kombinasi HD dan CVVHDF. Pasien mencapai resolusi disfungsi organ akhir dan
pulang tanpa signifikan morbiditas dari konsumsi. Pada pasien dengan toksisitas
salisilat yang diobati dengan pengangkatan ekstrakorporeal, terdapat potensi rebound
dalam kadar serum salisilat setelah penghentian terapi untuk pengangkatan
ekstrakorporeal.
Pada konsentrasi serum terapi sekitar 90% salisilat terikat protein,
bagaimanapun, ini menurun menjadi 75% pada konsentrasi serum > 70 mg / dl.
Dengan HD atau CRRT itu adalah bagian obat yang tidak terikat dalam plasma yang
13
dihilangkan. Jadi, ketika bagian plasma bebas turun dengan cepat dengan
pengangkatan ekstrakorporeal, akan ada redistribusi obat dari jaringan ke plasma
sampai keseimbangan baru tercapai.
Jumlah aspirin salut enterik yang tertelan mengalami keterlambatan penyerapan
dari saluran usus. Level pada 9 jam dan 53 menit pada CVVHDF merupakan
kesalahan lab dan tingkat pasien sebenarnya lebih tinggi dari 11,3 mg / dl pada saat itu.
Namun, mengingat bahwa tingkat sebelumnya yang telah menurunkan 11,3 mg / dl,
ada kemungkinan bahwa jika pasien ini tidak ditempatkan secara empiris pada
CVVHDF maka rebound-nya akan lebih drastis daripada sebelumnya.
Namun, mungkin perlu mempertimbangkan bahwa pasien dengan konsumsi
dosis besar berisiko tertinggi untuk mengalami toksisitas parah dan bahkan kematian.
Berdasarkan data saat ini, tampaknya masuk akal untuk mengusulkan bahwa CVVHDF
mungkin berguna dalam situasi tertentu sebagai tambahan untuk program awal HD
untuk membantu mencegah rebound yang signifikan. Manfaat CRRT adalah dapat
diatur dan dijalankan di ICU dengan staf dan peralatan yang tersedia, dan dapat
dijalankan 24 jam sehari. Pada pasien yang mengalami efek toksik yang signifikan,
mungkin diinginkan untuk menggunakan CVVHDF dengan cara proaktif untuk
mencegah level rebound tinggi dan terus meningkatkan clearance, daripada memantau
level dan bereaksi dengan HD berulang jika rebound signifikan terjadi. Diperlukan
lebih banyak penelitian untuk mengevaluasi kemanjuran dan keamanan pendekatan ini.
14
BAB IV
KESIMPULAN
15
DAFTAR PUSTAKA
Davey, Patrick. (2005). Medicine At A Glance. Diterjemahkan Oleh: Rahmalia. A,. Jakarta:
Erlangga
Goldfrank, L. R., Flomenbaum, N. E., Hoffman, R. S., Howland, M. A., Lewin, N. A.,
Nelson, L.(1990).Goldfrank’s Toxicologic Emergencies, 4th Ed., 93- 114,291. Mc
Graw-Hill: New York.
Katzung, B.G. (2011). Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 10. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Jakarta
Lusiana, Darsono. (2002). Diagnosis dan Terapi Intoksikasi Salisilat dan Paracetamol.
Bandung : Universitas Kristen Maranatha.
Miladiyah., & Isnatin. (2012). Therapeutic Drug Monitoring (TDM) pada Penggunaan
Aspirin sebagai Antireumatik. Universitas Islam Indonesia : Yogyakarta.
Schmitz G., Lepper H., Heidrich M.,( 2009). Farmakologi dan Toksikologi. Edisi 3. Jakarta
: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Wood D.M., Dargan P.I., & Jones A.L. (2005). Measuring plasma salicylate concentrations
in all patients with drug overdose or altered consciousness: is it necessary Emerg
Med J 22: 401‐403. DOI: 10.1136/emj.2003.010298.
Yulida Nasution. (2009). Penetapan Kadar Zat Aktif Parasetamol dalam Obat Sediaan
Oral dengan Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara: Medan.
16
17
18
19
20