Anda di halaman 1dari 95

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gastritis atau lebih dikenal dengan istilah maag merupakan

suatu keadaan peradangan yang terjadi pada mukosa lambung.

Gejala umum pada penyakit gastritis yaitu rasa tidak nyaman pada

perut, kembung, nafsu makan hilang, bersendawa, sakit kepala, mual,

muntah, dan disertai demam (Puspadewi, 2012).

Masyarakat sering menganggap gastritis meupakan penyakit

ringan. Keluhan gejala sering dirasakan oleh banyak orang tetapi

sebagian besar hanya menganggap hal tersebut merupakan hal yang

biasa dan tidak melakukan pemeriksaan lebih lanjut sehingga tidak

terdiagnosis. Padahal jika penyakit ini terus dibiarkan akan berakibat

semakin parah dan akhirnya asam lambung akan membuat luka-luka

(ulkus) yang dikenal dengan tukak lambung bahkan bisa disertai

dengan muntah darah dan dapat merusak fungsi lambung sehingga

menyebabkan kematian (Puspadewi, 2012)

Penyakit gastritis sering dialami banyak orang. Prevelensi

penyakit gastritis tersebar di seluruh dunia bahkan diperkirakan

diderita lebih dari 1,7 milyar penduduk. Pada Negara yang sedang

berkemban, penyakit gastritis dijumpai pada usia dini dan pada

Negara maju sebagian besar dijumpai pada usia tua. Berdasarkan


2

penelitian World Health Organization (WHO) angka kematian didunia

akibat kejadian gastritis 17-21% dari kasus yang ada pada tahun 2014.

Indonesia menempati urutan ke empat dengan jumlah penderita

gastritis terbanyak setelah Negara Amerika, inggris, dan Bangladesh

Inggris, dan Bangladesh yaitu berjumlah 430 juta penderita gastritis.

Insiden gastritis di Asia Tenggara sekitar 583.635 dari jumlah

penduduk setiap tahunnya (Kemenkes RI, 2008).

Di Indonesia angka kejadian gastritis cukup tinggi dari penelitian

yang dilakukan oleh Departemen kesehatan RI angka kejadian

gastritis dibeberapa kota di Indonesia ada yang tinggi mencapai 93,3%

yaitu kota Medan, lalu di beberapa kota lainnya seperti Surabaya

30,4%, Denpasar 48%, Nusa Tenggara Barat 46%, Jakarta 50%,

Bandung 37,2%, Palembang 34,9%, Aceh 38,7% dan Pontianak

35,2%. Hal tersebut disebabkan oleh pola makan yang tidak sehat

(Riskesdas 2013).

Di NTB, pada tahun 2015 angka kejadian gastritis merupakan

10 besar penyakit terbanyak penyakit tidak menular dan menempati

urutan ke 4 penyakit terbanyak di Puskesmas. Rata-rata pasien yang

datang ke puskesmas mengalami keluhan yang berhubungan dengan

nyeri ulu hati. Sedangkan data dari dinas kota mataram tahun 2015

tercatat tercatat sebanyak 122.345 pasien gastritis yang mendatangi

puskesmas untuk melakukan pengobatan sedangkan tahun

sebelumnya yaitu tahun 2014 tercatat 62.536 kasus gastritis di


3

puskesmas kota Mataram (Profil kesehatan provinsi NTB pada tahun

2015).

Jumlah penderita gastritis di Puskesmas Tanjung Karang

merupakan daftar 1 penyakit yang paling sering dikeluhkan pasien

dengan peringkat 1 pasien rawat inap sebanyak 11 kunjungan, dan

posisi ke 5 rawat jalan sebanyak 1.694, tahun 2015 tercatat data

terakhir bulan November 360 pasien dan bulan desember meningkat

menjadi 402 pasien (Pelayanan Kesehatan Puskesmas Tanjung

Karang Tahun 2015). Kejadian penyakit gastritis bisa menyerang

semua jenis kelamin karena pola makan yang buruk, faktor stress,

kebiasaan mengkonsumsi alcohol, merokok dan penggunaan obat

antiinflamasi non steroid. Penyakit gastritis ini lebih menyerang kepada

usia remaja sampai dewasa sehingga butuh perawatan khusus karena

akan mengganggu masa tua kita semua, sehingga dibutuhkan

pengetahuan untuk mengobati dan lebih baik lagi untuk mencegah

terjadinya penyakit ini sejak dini (Riskesdas, 2013).

Secara garis besar penyebab gastritis dibedakan atas zat

internal yaitu adanya kondisi yang memicu pengeluaran asam

lambung yang berlebihan, dan zat eksternal yang menyebabkan iritasi

dan infeksi. Beberapa faktor resiko gastritis adalah menggunakan

aspirin atau obat antiinflamasi non steroid, infeksi kuman helicobacter

pylori, memiliki kebiasaan minum minuman beralkohol,

memilikmkebiasaan merokok, sering mengalami stress, pola makan


4

atau kebiasaan makan yaitu waktu makan yang tidak teratur serta

terlalu banyak makan makanan yang pedas dan asam

(Maulidiyah,2006).

Gastritis biasanya diawali oleh pola makan yang tidak teratur

sehingga lambung menjadi sensitive bila asam lambung meningkat.

Pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran

macam dan model makanan yang dikonsumsi setiap hari, pola makan

terdiri dari frekuensi makan dan jenis makan, dengan menu seimbang

perlu dimulai dan dikenal dengan baik sehingga akan berbentuk

kebiasaan makan makanan yang seimbang, pola makan yang baik

dan teratur merupakan salah satu dari penatalaksanaan gastritis dan

juga merupakan tindakan preventif dalam mencegah kekambuhan

gastritis (Misnadiarly, 2009).

Gastritis umumnya terjadi akibat asam lambung yang tinggi atau

terlalu banyak makan makanan yang bersifat merangsang diantaranya

maknanan yang pedas dan asam, pola makan tidak teratur juga dapat

menyebabkan gastritis, bila seseorang telat makan sampai 2-3 jam

maka asam lambung yang akan diproduksi semakin banyak dan

berlebih sehingga dapat mengiritasi mukosa lambung serta

menimbulkan nyeri di epigastrium (Rahmi Kurnia Gustin, 2011). Stress

memiliki efek negative melalui mekanisme terhadap saluran cerna

neuroendokrin terhadap saluran pencernaan sehingga beresiko untuk

mengalami gastritis. Produksi asam lambung akan meningkat pada


5

keadaan stres, misalnya pada keadaan beban kerja berat, panic dan

tergesa-gesa. Kadar asam lambung yang meningkat dapat mengiritasi

dinding lambung dan jika ini dibiarkan, lam-kelamaan dapat

menyebabkan gastritis (saoringsong, dkk 2014). Pemberian aspirin

dan obat antiinflamasi non steroid dapat menurunkan sekresi

karbohidrat dan mukosa lambung sehingga kemampuan faktor

defensive lambung akan terganggu. Jika pemakaian obat-obatan

tersebut hanya sekali maka kemungkinan terjadi masalah lambung

akan kecil. Tapi jika pemakaiannya dilakukan secara terus menerus

atau berlebihan dapat mengakibatkan gastritis dan ulkus eptikum.

Pemakaian setiap hari minimal 3 bulam, dapat menyebabkan gastritis

(Rosniyanti, 2010)

Jika penyakit gastritis ini tidak diatasi dengan seksama maka

akan dapat menimbulkan angka mordibilitas dan mortilitas, seperti

perdarahan saluran cerna bagian atas, ulkus, perforasi gaster, dan

anemia karena gangguan absorpsi vitamin B12 dan secara sosial

dapat memberatkan keluarga yang menderita gastritis (Kapita Selekta

Kedokteran 2005).

Mengingat besarnya dampak buruk dari penyakit gastritis, maka

perlu adanya suatu pencegahan atau penanganan yang serius

terhadap bahaya komplikasi gastritis. Upaya untuk meminimalkan

bahaya tersebut dapat dilakukan memlalui peningkatan kesadaran

masyarakat tentang hal-hal yang dapat menyebabkan gastritis,


6

misalnya pola makan tidak teratur dan makan-makanan yang pedas

dan asam, stress, mengkonsumsi alkohol, merokok, mengkonsumsi

obat penghilang nyeri atau obat antiinflamasi non steroid dalam jangka

panjang. Meskipun kekambuhan dapat dicegah dengan obat namun

dengan mengurangi faktor penyebab dapat memperkecil kemungkinan

terjadinya kekambuhan. Mengkonsumsi makanan yang kaya serat

seperti sayuran seperti sayuran dan buah-buahan membantu

memperlancar kerja pencernaan. Makan dalam jumlah kecil tetapi

sering, dan meminum air putih untuk membantu menetralkan asam

ambung. Denagn upaya tersebut diharapkan presentase gastritis

menurun (Suryono dan Ratna Dwi Meilani, 2016).

Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk

meneliti tentang Faktor-faktor resiko yang berhungan dengan kejadian

gastritis di Puskesmas Tanjung Karang.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yaitu “Apakah Faktor-Faktor Resiko Yang

Berhubungan Dengan Kejadian Gastritis Di Puskesmas Tanjung

Karang?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui faktor-faktor resiko yang berhubungan dengan

kejadian gastritis Puskesmas Tanjung Karang.


7

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi faktor resiko pola makan pasien gastritis di

Puskesmas Tanjung Karang.

b. Mengidentifikasi faktor resiko Stress pasien gastritis di

Puskesmas Tanjung Karang.

c. Mengidentifikasi faktor resiko penggunaan obat antiinflamasi

non steroid pasien gastritis di Puskesmas Tanjung Karang

d. Mengidentifikasi faktor resiko merokok pasien gastritis di

Puskesmas Tanjung Karang.

e. Mengidentifikasi faktor resiko kebiasaan mengkonsumsi

alcohol pasien gastritis di Puskesmas Tanjung Karang.

f. Menganalisa faktor-faktor resiko yang berhubungan dengan

kejadian gastritis pda penderita gastritis di Puskesmas Tanjung

Karang.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar untuk

membangun pengetahuan dalam pembangunan ilmu

keperawatan khususnya masalah pasien sehingga memiliki

wawasan yang lebih luas tentang faktor resiko yang

berhubungan dengan kejadian gastritis di Puskesmas Tanjung

Karang.
8

2. Manfaat praktis

a. Bagi Pasien dan keluarga

Diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang gastritis

dan pedoman untuk mencegah kejadian dan kekambuhan

gastritis.

b. Bagi Tenaga Kesehatan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan atau

menambah pengetahuan bagi perawat tentang tentang gastritis.

c. Bagi Peneliti Lain

Diharapkan dapat menjadi refrensi dalam penelitian faktor-faktor

yang behubungan dengan kejadian gastritis bagi peneliti

selanjutnya yang tertarik untuk meneliti tentang analisis faktor-

faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian gastritis.


9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teoritis

1. Kejadian Gastritis

a. Pengertian Kejadian

Kejadian adalah suatu peristiwa yang terjadi yang disebabkan

oleh beberapa faktor tertentu.(Kamus Besar Bahasa Indonesia.

2012)

b. Pengertian Gastritis

Gastritis merupakan iritasi lambung yang dapat disebabkan oleh

ulcus benigna atau maligna dari lambung atau lebih helicobacter

pylori. (Gastritis Autonium)(Brunner and Suddarth, 2002).

Gastritis merupakan peradangan yang mengenai mukosa

lambung. Peradangan ini dapat mengakibatkan pembengkakan

mukosa lambung samapai terlepasnya epitel mukosa superfisial

yang menjadi penyebab terpenting dalam gangguan saluran

pencernaan. Pelepasan epitel akan merangsang timbulnya proses

inflamasi pada lambung (Sukarmin, 2012).

Menurut Hirlan dalam Suyono (2009), gastritis adalah proses

inflamasi pada lapisan mukosa dan submukosa lambung, yang

berkembang bila mekanisme protektif mukosa dipenuhi dengan

bakteri atau bahan iritan lain. Secara hispatologi dapat dibuktikan

dengan adanya infiltrasi sel-sel. Gastritis atau lebih dikenal dengan


10

penyakit magh berasal dari bahasa yunani yaitu gastro, yang berarti

perut/lambung dan itis yang berarti inflamasi/peradangan. Gastritis

adalah suatu peradangan atau peradangan mukosa lambung yang

bersifat akut, kronis, difus, dan local. Ada dua jenis gastritis yang

terjadi yaitu gastritis akut dan kronik (Price dan Wilson, 2005).

Sedangkan, menurut Surantum (2010), gastritis adalah suatu

keadaan peradangan atau perdarahan mukosa lambung yang dapat

bersifat akut, kronis, difus, atau lokal. Gastritis atau yang secara

umum dikenal dengan istilah sakit “maag” atau sakit ulu hati ialah

suatu peradangan mukosa lambung paling sering diakibatkan oleh

ketidakteraturan diet, misalnya makan terlalu banyak dan cepat atau

makan makanan yang terlalu berbumbu atau terinfeksi oleh

penyebab yang lain seperti alkohol, aspirin, refluks empedu atau

terapi radiasi (Yuliarti, 2009). Dari definisi-definisi di atas, dapat

disimpulkan bahwa gastritis adalah suatu peradangan atau

perdarahan pada mukosa lambung yang disebabkan oleh faktor

iritasi, infeksi, dan ketidakteraturan dalam pola makan, misalnya

telat makan, makan terlalu banyak, cepat, makan makanan yang

terlalu banyak bumbu dan pedas. Hal tersebut dapat menyebabkan

terjadinya gastritis.
11

c. Klasifikasi gastritis

Menurut Mansjoer (2001), gastritis dibagi menjadi 2 yaitu :

1) Gastritis Akut

Gastritis akut adalah suatu peradangan permukaan

mukosa lambung yang akut dengan kerusakan erosi pada

bagian superficial. Pada gastritis ditemukan sel inflamasi akut

dan neutrofil mukosz edema, merah dan terjadi erosi kecil dan

perdarahan (Price & Wilson, 2005). Gastritis akut terdiri dari

beberapa tipe yaitu gastritisstres akut, gastritis erosive kronis,

dan gastritis eosinoilik. Semua tipe gastritis akut mempunyai

gejala yang sama. Gastritis akut yang berulang, dapat

menyebabkan gastritis kronik (Wibowo, 2007).

2) Gastritis kronik

Gastritis kronik adalah suatu peradangan permukaan

mukosa lambung yang bersifat multifactor dengan perjalanan

klinik bervariasi (Wibowo, 2007). Gastritis ronik ditandai dengan

atrofi progresif epitel kelenjar disertai hilangnya sel parietal dan

chief cell di lambung, dinding lambung menjadi tipis dan

permukaan mukosa menjadi rata. Gastritis kronik

diklasifikasikan dengan tida perbedaan yaitu gastritis superficial,

gastritis atrofi, dan gastritis hipertropi (Price & Wilson, 2005).

a) Gastritis superfisial, dengan manifestasi kemerahan, edema,

serta perdarahan dan erosi mukosa.


12

b) Gastritis atrofi, dimana peradangan terjadi pada seluruh

lapisan mukosa. Pada perkembangannya dihubungkan

dengan ulkus dan kangker lambung, serta anemia

pernisiosa. Hal ini merupakan karakteristik dari penurunan

jumlah sel parietal dan sel chief.

c) Gastritis hipertropi, suatu kondisi dengan terbentuknya

nodul-nodul pada mukosa lambung yang bersifat irregular,

tipis dan hemoragik.

d. Patofisiologi

Gastritis merupakan penyakit yang sering ditemukan, biasanya

bersifat jinak dan merupakan respon mukos alambung terhadap

berbagai iritan lokal. Patofisiologi terjadinya gastritis tukak peptic

ialah bila terdapat ketidak seimbangan faktor penyerang (ofensif)

dan faktor pertahanan (defensif) pada mukosa gastroduodenal,

yaikni peningkatan faktor ofensif dan penurunana kapasitas defensif

mukosa. Faktor ofensif tersebut meliputi asam lambung, pepsin,

asam emopedu, enzim pancreas, infeksi hecobacter pylori yang

bersifat gram-negatif, OAINS, alcohol dan radikal bebas.

Sedangkan system pertahanan atau faktor defensive mukosa

gastrodoudenal terdiir dari tiga lapis yakni elemen preepetalial,

epiteial, dan subepitelial (Pangestu, 2003).

Elemen preepielial sebagai lapis pertahanan pertama adalah

berupa lapisan mucus bicarbonate yang merupakan penghalang


13

fisikokimiawi terhadap berbagai bahan kimia termasuk ion hydrogen

(Kumar, 2005). Lapisan pertahan keduanadalah sel epitel itu sendiri.

Efektifitas pertahanannya meliputi produksi mucus, bikarbonat,

transportasi ion untuk mempertahankan pH, dan membuat ikatan

antar sel (Kumar, 2005). Lapisan pertahan ketiga adalah aliran

darah dan lekosit. Komponen terpenting lapis pertahanan ini ialah

mikrosirkulasi subepitelial yang adekuat (Pangestu, 2003).

Endotoksin bakteri setelah makan makanna terkontaminasi,

kafein, alcohol dan aspirin merupakan agen pencetus yang lazim.

Infeksi H. pylori lebih sering dianggap sebagai penyebab gastritis

akut. Organisme tersebut melekat pad aepitel lambung dan

menghancurkan lapiran mukosa pelindung, meninggalkan daera

epitel yag gundul. Obat lain juga terlibat, misalnya OAINS

(Indomestasin, Ibuprofen, naproksen), sulfonamide, steroid, dan

digitalis, asam empedu, enzim pancreas, dan etanol juga diketahui

mengganggu mukosa lambung. Apabila alcohol diminum secara

bersamaan dengan aspirin, efeknya akan lebih merusak

dibandingkan dengan efek masing-masing agen tersebut bila

diminum secara terpisah (Price dan Willson, 2005).

e. Etiologi

1) Sekresi asam lambung

Sekresi pariental mengeluarkan asam lambung (HCL)

sedangkan sel peptic mengeluarkan pepsinogen oleh HCL


14

diuba menjadi pepsin, dimana pepsin dan HCL adalah faktor

agresif, terutama pepsin mileu pH< 4 sangant agresif terhadap

mukosa lambung, keduanya merupakan produk utama yang

dapat menimbulan kerusakan mukosa lambung sehingga

disebut sebagai penyebab endogen (Aru W. Sudoyono, 2007).

Bahan iritan seperti rokok, alcohol, dan aspirin akan

menimbulkan efek mukosa barier dan terjadi difusi baik ion

histamin (H+). Histamin (H+) terangsang untuk lebih banyak

mengeluarkan asam lambung, timbul dilatasi dan meningkatkan

permeabilitas pembuluh kapiler, kerusakan mukosa lambung,

dan gastritis (Suyono, 2001).

2) Infeksi Helicobacter Pylori

Helicobacter Pylori adalah bacteri gram negative yang

berbentuk spiral atau batang bengkok dengan ukuran 2,5-5 µ,

lebar 0,5-1 µ dan memiliki 4-6 flagela yang berselaput pada

katupnya. Helicobacter Pylori bersifat mikroerofilik yaitu tumbuh

baik pada lingkungan dengan kandungan CO2 10%, O2 tidak

lebih dari 5%, suhu antara 33-440 kelembapan 100%, pH 55-85,

mati dalam suasana aneorobik, kadar O2 normal, dan suhu

dibawah 280 C. Helicobacter Pylori hidup pada bagian gastrium

antrum, lapisan mukus lambung yang menutupi mukosa

lambung dan dapat melekat pada permukaan apitel mukosa

lambung (Sudaryat Sutaatmaja, 2007).


15

Helicobacter Pylori menghasilkan enzim urease yang

akan mengubahnurea dala mucus lambung yang kuat (Suyono,

2001). Selain urease kuman itu juga menghasilkan enzim

protease dan fossoiase diduga merusak glikoprotein dan

fosfolipid yag menutupi mukosa lambung, katalase yang

melindungikuman dari dari radial reaktif yang dikeluarkan

netrofil. Disamping enzim kuman itu juga menghasilkan toksik

(VaCa/ Vaculating sitoxin ) dan (CaGa sitoksin/ cytotoxin gen)

yang berperan dalam timbulnya radang dan reaksi imun local.

Cara penularan Helicobacter Pylori yaitu dengan

keadaan alamiah reservoir kuman Helicobacter Pylori adalah

lambung penderita infeksi Helicobacter Pylori. Tidak terbukti

adanya reservoir pada binatang ataupun lingkungan. Sampai

sekarang cara penularan infeksi Helicobacter Pylori belum

dipastikan. Satu-satunya jalan infeksi melalui mulut, tetapi

bagaimna infeksi dari lambung seseorang penderita masuk ke

dalam mulut kemudian ke lambung orang lain masih belum

jelas. Teori yang dianut untuk memindahkan infeksi ke orang

lain adalah kontak fekal-oral atau oral-oral. Hal ini didukung

penelitian Kelly yang berhasil melakukan kultur feses terhadap

12 (48%)dan 25 orang yang serologis positif menderita infeksi

Helicobacter Pylori (Sudaryat,2007).


16

Pada umumnya infeksi Helicobacter Pylori lebih banyak

terjadi di Negara berkembang disbanding di Negara maju

(Sudaryat, 2007). Prevelensi infeksi Helicobacter Pylori

meningkat dengan meningkatnya umur (di Negara maju 50%

penderita terkens infeksi Helicobacter Pylori setelah usia 50

tahun). Di Negara berkembang terjadi infeksi Helicobacter Pylori

pada 80% penduduk setelah usia 30 tahun (Darmojo, 2006).

f. Faktor Risiko Gastritis

Faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian gastritis


meliputi:

1. Pola makan

Menurut Potter (2008), terjadinya gastritis dapat disebabkan


oleh pola makan yang tidak baik dan tidak teratur, yaitu frekuensi
makan, jenis, dan jumlah makanan, sehingga lambung menjadi
sensitif bila asam lambung meningkat.

Pola makan sehari-hari merupakan pola makan seseorang

yang berhubungan dengan kebiasaan makan setiap harinya.

Pengertian pola makan seperti dijelaskan diatas pada dasarnya

mendekati definisi / pengertian diet dalam ilmu gizi / nutrisi. Diet

diartikan sebagai pengaturan jumlah dan jenis makanan yang

dimakan agar seseorang tetap sehat. Untuk mencapai tujuan diet

pola makan sehat tersebut tidak terlepas dari masukan gizi yang

merupakan proses organisme menggunakan makanan yang


17

dikonsumsi melalui proses organisme menggunakan makanan

yang dikonsumsi melalui proses digesti, absorbsi, transportasi,

penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak

digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan

fungsi normal, organ-organ, serta menghasilkan energy. Adapun

beberapa factor yang mempengaruhi pola makan seseorang

yaitu:

1) Budaya

2) Agama atau kepercayaan

3) Status social ekonomi

4) Personal preference atau hal-hal yang tidak disukai

5) Rasa lapar, nafsu makan dan rasa kenyang

6) Kesehatan

Sejauh ini, salah satu penyebab utama peningkatan asam

lambung adalah pola makan yang tidak tertur. Makanan atau

minuman yang dikonsumsi dan masuk ke dalam lambung

berfungsi untuk mengurangi kepekatan asam lambung sehingga

tidak sampai menggerogoti lambung. Bila terlambat makan

sehingga terjadi kekosongan lambung, maka asam klorida

kemudian menggerogoti dinding lambung. Ketua Departemen

gizi masyarakat IPB menambahkan, secara umum pola makan

terkait dengan metabolism tubuh. Jadi ada jam-jam makan yang


18

sebaiknya dipatuhi. Bila makan secara teratur, maka asam

lambung akan mencerna makanan itu. Akan tetapi bila tidak ada

makanan, maka asam lambung yang seharusnya berfungsi

untuk mencerna makanan malah akan menggerogoti dinding

lambung. Yang paling tepat adalah, kita harus mengonsumsi

makanan atau minuman setiap tiga jam sekali. Normalnya

memang kekosongan lambung terjadi enam jam setelah makan.

Tetapi bila beraktifitas tinggi, maka kekosongan lambung bisa

terjadi lebih cepat. Maka dari itu, pola makan harus dijaga agar

tidak sampai terlambat mengonsumsi makanan atau minuman.

Cara lain adalah menghindari berbagai jenis makanan yang bisa

memicu peningkatan asam lambung, yaitu makanan yang

bersifat pedas, atau berbau tajam seperti cabai, lada, jahe, serta

minuman seperti kopi dan the. Sebenarnya, bila tubuh dalam

keadaan normal, konsumsi makanan atau minuman itu tidak

akan menyebabkan nyeri lambung (PUGS 2009),

a) Pola makan terdiri dari

(1) Frekuensi makan

Frekuensi makan adalah jumlah makan dalam

sehari-hari. Secara alamiah makanan diolah dalam tubuh

melalui alat-alat pencernaan mulai dari mulut sampai usus

halus. Lama makanan dalam lambung tergantung sifat


19

dan jenis makanan. Jika rata-rata, umumnya lambung

kosong antara 3-4 jam. Maka jadwal makan ini pun

menyesuaikan dengan kosongnya lambung (Okviani,

2011).

Orang yang memiliki pola makan tidak teratur mudah

terserang penyakit gastritis. Pada saat perut harus diisi,

tapi dibiarkan kosong, atau ditunda pengisiannya, asam

lambung akan mencerna lapisan mukosa lambung,

sehingga timbul rasa nyeri .

Secara alami lambung akan terus memproduksi

asam lambung setiap waktu dalam jumlah yang kecil,

setelah 4-6 jam sesudah makan biasanya kadar glukosa

dalam darah telah banyak terserap dan terpakai

sehingga tubuh akan merasakan lapar dan pada saat itu

jumlah asam lambung terstimulasi. Bila seseorang telat

makan sampai 2-3 jam, maka asam lambung yang

diproduksi semakin banyak dan berlebih sehingga dapat

mengiritasi mukosa lambung serta menimbulkan rasa

nyeri di sekitar epigastrium.

Kebiasaan makan tidak teratur ini akan membuat

lambung sulit untuk beradaptasi. Jika hal itu berlangsung

lama, produksi asam lambung akan berlebihan sehingga


20

dapat mengiritasi dinding mukosa pada lambung dan

dapat berlanjut menjadi tukak peptik. Hal tersebut dapat

menyebabkan rasa perih dan mual. Gejala tersebut bisa

naik ke kerongkongan yang menimbulkan rasa panas

terbakar.

Frekuensi makan adalah jumlah makan dalam

sehari-hari baik kualitatif maupun kuantitatif, secara

alamiah makan diolah dalam tubuh melalui alat-alat

pencernaan mulai dari mulut sampai usus halus, lama

makanan dalam lambung tergantung sifat dan jenis

makanan, jika dirata-ratakan, umumnya lambung kosong

antara 3-4 jam, maka jadwal makan ini pun menyesuaikan

dengan kosongnya lambung. Porsi makan pagi tidak perlu

banyak, porsi makan siang dan makan malam

secukupnya saja, untuk memenuhi energy dan sebagian

zat gizi sebelum tiba makan siang, lebih baik, jika makan-

makanan ringan sekitar 10.00 menu sarapan yang baik

harus mengandung karbohidrat, protein dan lemak. Serta

cukup air untuk mempermudah pencernaan makanan dan

penyerapan zat gizi, pilihlah menu yang praktis dan

mudah disajikan dan usahakan selalu makan pagi, karena

penting untuk mempersiapkan energy untuk beraktifitas

dalam sehari-hari (Sunita, 2009).


21

(2) Jenis makan

Jenis makan adalah variasi bahan makanan yang

kalua dimakan, dicerna, dan diserap akan menghasilkan

paling sedikit susunan menu sehat dan seimbang,

menyediakan variasi makanan merupakan salah satu

cara untuk menghilangkan rasa bosan, shingga

mengurangi selera makan. Variasi menu yang tersusun

oleh kombinasi bahan makanan yang diperhitungkan

dengan tepat akan memberikan hidangan sehat, baik

secara kualitas maupun kuantitas. Menurut persagi

(2006), sebaiknya penderita gastritis menghindari

makanan yang bersifat merangsang diantaranya

makanan berserat dan penghasil gas maupun

mengandung banyak bumbu dan rempah. Selain itu

penderita juga harus menghndari alcohol kopi dan juga

soda. Dan perlu juga memperhatikan teknik memasaknya.

Direbus, dikukus dan dipanggang adalah teknik memasak

yang dianjurkan, sebaliknya menggoreng bahan makanan

tidak dianjurkan (Persagi 2006). Jenis makanan yang

tidak dianjurkan antara lain, beras ketan, mie bihun,

jagung, ubi-ubian, cake, dodol dan yang lainya yang

bersifat terlalu manis dari sumber karbohidrat sedangkan


22

dari sumber protein sarden atau daging yang diawetkan,

dari sumber sayur,mineral dan vitamin adalah makanan

yang merangsang asam lambung diantaranya adalah kol,

dan sayuran yang tidak banyak serat juga tidak

menimbulkan gas. Dari buah yang banyak serat dan

menimbulkan gas misalnya nanas, kedondong, durian

dan nangka (Almatsier, 2009).

(3) Jumlah makan

Jumlah makan adalah banyaknya makanan yang

dikonsumsi seseorang atau kelompok pada waktu tertentu

(Yayuk, 2009). Dalam PUGS susunan makanan yang

dianjurkan adalah menjamin keseimbangan zat-zat gizi,

hal ini dapat dicapai dengan mengkonsumsi beraneka

ragam makanan setiap harinya. Untuk mencapai gizi

seimbang didasarkan pada tiga fungsi utama yaitu

sebagai: (1) sumber energy, (2) sumber zat pembangun,

(3) sumber zat pengatur, dari setiap kelompok dipilih satu

atau lebih dari jenis makanan sesuai dengan ketersediaan

bahan makanan tersebut dipasar, keadaan ekonomi, nilai

gizi dan kebiasaan makanan. Jumlah makanan yang

dapat dikonsumsi dapat terlihat pada table berikut :


23

Tabel.1. Daftar menu penukar delapan golongan bahan

makanan

Ukuran Energi Karbohidrat Lemak Protein


Golongan
Urt Gr Kkal Gram Gram Gram

Nasi %gls 100 175 40 - 4

Daging sapi 1ptg 50 95 - 6 10

Tempe 2ptg 50 80 6 3 6

Sayur-
1gls 100 50 10 - 3
sayuran

Papaya 1ptg 100 40 10 - -

Susu 1gls 200 130 9 7 7

Minyak ¼
5 45 - 8 -
goreng sdm

1
Gula 10 40 10 - -
sdm

Sumber PUGS, 2009

Jumlah makan adalah banyaknya porsi makan seseorang

atas sekelompok orang dalam mengkonsumsi makanan.

2. Rokok

Rokok adalah silinder kertas yang berisi daun tembakau

cacah.Dalam sebatang rokok, terkandung berbagai zat-zat

kimia berbahaya yang berperan seperti racun. Dalam asap

rokok yang disulut, terdapat kandungan zat-zat kimia

berbahaya seperti gas karbon monoksida, nitrogen oksida,

amonia, benzene, methanol, perylene, hidrogen sianida,


24

akrolein, asetilen, bensaldehid, arsen, benzopyrene, urethane,

coumarine, ortocresol, nitrosamin, nikotin, tar, dan lain-lain.

Selain nikotin, peningkatan paparan hidrokarbon, oksigen

radikal, dan substansi racun lainnya turut bertanggung jawab

pada berbagai dampak rokok terhadap kesehatan (Budiyanto,

2010).

Merokok adalah menghisap gulungan tembakau yang

dibungkus dengan kertas (perwitasari, 2006). Perokok

dikatagorikan menjadi 2, yaitu:

1) Perokok pasif

Perokok pasif adalahasap rikok yang dihirup oleh

seseorang yang tidak merokok (passive smoker). Asap

rokok merupakan polutan bagi manusia dan lingkungan

sekitar. Asap rokok lebih berbahaya terhadap perokok

pasif daripada perokok aktif. Asap rokok kemungkinan

besar bahaya terhadap mereka yang bukan perokok,

terutama di tempat tertutup. Asap rokok yang

dihembuskan oleh perokok aktif dan terhirup oleh perokok

pasif, lima kali lebih banyak mengandung

karbonmonoksida, empat kali lebihbanyak mengandung tar

dan nikotin (Sapphier, 2009).

2) Perokok aktif
25

Perokok aktif adalah orang yang merokok dan

langsung menghisap rokok serta bisa mengakibatkan

bahaya bagi kesehatan diri sendiri maupun lingkungan

sekitar. Menurut pendapat orang-orang yang perokok

kebanyakan perokok aktif itu tidak bisa hidup tanpa rokok

karena sudah terbisa merokok dan apabiladisuruh

berhenti ada yang mau dan ada yang tidak mau, itu

disebabkan karena kecanduan jadi bila tidak merokok

rasanya kurang enak dan itu semakin sulit untuk

dihentikan mereka merokok (Bustan, 2007).

Menurut WHO (2013), tipe perokok dibagi 3 yaitu:

1) Perokok ringan
Perokok yang merokok atau menghabiskan sekitar 1-10
batang rokok per hari.
2) Perokok sedang
Perokok yang merokok atau menghabiskan sekitar 11-20
batang rokok per hari.
3) Perokok berat

Perokok yang merokok atau menghabiskan lebih dari 20

batang rokok per hari.

Rokok mengandung ± 4000 bahan kimia, asap yang

terkandung dalam rokok mengandung berbagai macam zat

yang sangat reaktif terhadap lambung. Nikotin dan cadmium


26

adalah dua zat yang sangat reaktif yang dapat mengakibatkan

luka pada lambung. Ketika seseorang merokok, nikotin akan

mengerutkan dan melukai pembuluh darah pada dinding

lambung. Iritasi ini memicu lambung memproduksi asam lebih

banyak dan lebih sering dari biasanya. Nikotin juga

memperlambat mekanisme kerja sel pelindung dalam

mengeluarkan sekresi getah yang berguna untuk melindungi

dinding dari serangan asam lambung. Jika sel pelindung tidak

mampu lagi menjalankan fungsinya dengan baik, maka akan

timbul gejala dari penyakit gastritis (Caldwell, 2009)

Efek rokok pada saluran gastrointdstinal antara lain

melemahkan katup esofagus dan pilorus, meningkatkan

refluks, mengubah kondisi alami dalam lambung,

menghambat sekresi bikarbonat pankreas, mempercepat

pengosongan cairan lambung, dan menurunkan pH

duodenum. Sekresi asam lambung meningkat sebagai respon

atas sekresi gastrin atau asetilkolin. Selain itu, rokok juga

mempengaruhi kemampuan cimetidine (obat penghambat

asam lambung) dan obat-obatan lainnya dalam menurunkan

asam lambung pada malam hari, dimana hal tersebut

memegang peranan penting dalam proses timbulnya

peradangan pada mukosa lambung. Rokok dapat


27

mengganggu faktor defensif lambung (menurunkan sekresi

bikarbonat dan aliran darah di mukosa), memperburuk

peradangan, dan berkaitan erat dengan komplikasi tambahan

karena infeksi H. pylori.Merokok juga dapat menghambat

penyembuhan spontan dan meningkatkan risiko kekambuhan

tukak peptic (Bayer, 2004).

Kebiasaan merokok menambah sekresi asam lambung,

yang mengakibatkan bagi perokok menderita penyakit

lambung (gastritis) sampai tukak lambung (Dermawan, 2010).

3. Stress

Stress merupakan reaksi fisik, mental, dan kimia dari

tubuh terhadap situasi yang menakutkan, mengejutkan,

membingungkan, membahayakan dan merisaukan seseorang.

Definisi lain menyebutkan bahwa stress merupakan

ketidakmampuan mengatasi ancaman yang dihadapi mental,

fisik, emosional, dan spiritual manusia, yang pada suatu saat

dapat mempengaruhi kesehatan fisik manusia tersebut (Potter,

2008).

1) Stress psikis

Produksi asam lambung akan meningkat pada keadaan

stress, misalnya pada beban kerja berat, panic dan tergesa-

gesa, kadar aam lambung yang meningkat dapat

mengiritasi mukosa lambung dan jika hal ini dibiarkan,


28

lama-kelamaan akan menyababkan terjadinya gastritis.

Bagi sebagian orang, keadaan stress umumnya tidak dapat

dihindari. Oleh karena itu, maka kuncinya adalah

mengendalikannya secara efektif dengan cara diet sesuai

kebutuhan nutrisi, istirahat cukup, olah raga teraur dan

relaksasi cukup (friscaan, 2010).

2) Stress fisik

Stress fisik akibat pembedahan besar, luka trauma, refluks

empedu atau infeksi berat dapat menyebabkan gastritis

juga ulkus serta perdarahan pada lambung. Perawatan

terhadap kanker sereti kemoterapi dan radiasi dapat

mengakibatkan peradangan pada dinding lambung yang

selanjutnya akan berkembang menjadi gastritis dan ulkus

peptic. Ketika tubuh terkena sejumlah kecil radiasi,

kerusakan yang terjadi biasanya sementara, tapi dalam

dosis esar akan mengakiatka kerusakantersebut menjadi

permanen dan dapat mengikis dinding lambung serta

merusak kelenjar-kelenjar penghasil asam lambung

(Anonym, 2010).

Reluks darii empedu juga dapat menyebabkan

gastritis. Bile (empedu) adalah cairan yang membantu

mencera lemak-lemak dalam tubuh. Cairan ini diproduksi

oleh hati. Ketika dilepaskan, empedu akan melewati


29

serangkaian saluran kecil dan menuju ke usus kecil.

Dalam kondisi normal, sebuah otot spichter yang

berbentuk seperti cincin (pylori valve) akan mencega

empedu mengalir balik ke dalam lambung. Tapi jika katup

ini tidak bekerja dengan benar, maka empedu akan masuk

kedalam lambung dan mengakibatkan peradangan dan

gastritis.

Menurut (Terri dan Olga) tanda-tanda dan gejala stress

sebagai berikut:

1) Gejala fisik meliputi berdebar-debar, gangguan

pencernaan, sakit kepala, lesu, letih, sulit tidur,

berkeringat dingin, nafsu makan menurun dan sejumlah

gejala lainya.

2) Gejala mental meliputi cemas, kecewa, merasa putus asa

dan tanpa daya, tidak sabar, mudah tersinggung, marah,

tergesa-gesa, sulit berpikir jernih, berkonsentrasi, dan

membuat keputusan, gelisah dan sebagainya.

Produksi HCl yang berlebih di dalam lambung,

disebbakan terutama oleh adanya ketegangan atau stress

mental atau kejiwaan yang cukup berat. Tubuh manusia yang

menerima suatu tekanan atau ancaman dalam bentuk

apapun, akan mengadakan serangkaian reaksi penangkis

(perlawanan). Tekanan atau stressor tersebut dapat berupa


30

kesu;litan dalam hidup berkeluarga atau pekerjaan, kekalahan

atau keinginan untuk berprestasi, emosi (takut, kaget,

ketegangan batin lainnya), kedinginan, luka, atau

pergadarahan, dan sebagainya. Adanya stress tersebut,

terutama yang berupa tekanan mental dan emosi, akan

mengakibatkan timbulnya suatu “reaksi alarm”, yaitu suatu

reaksi otomatis yang mengubah seluruh tempo dalam tubuh

manusia, misalnya denyut nadi bertambah cepat, tekanan

darah naik, tangan menjadi dingin, darah dialirkan dari kulit ke

organ vital, asam lambung diproduksi untuk mempercepat

prosespencernaan yang mengubah makan menjadi energy

yang dibutuhkan, dan kelenjar adrenal akan distimulir untuk

memproduksi hormone adrenalin dan steroid yang lebih

banyak dari pada kondisi normal guna melawan stress

(Laniwaty, 2001;13).

Apabila stress mental dan emosi berlangsung dalam

jangka waktu yang cukup lama, maka tubuh akan berusaha

untuk menyesuaikan diri (beradaptasi) dengan tekanan

tersebut. Kondisi yang demikian, dapat menyebabkan

perubaha-perubahan patlogis dalam jaringan/organ tubuh

manusia, melalui system saraf otonom. Sebagai akibatnya

kan timbul penyakit adaptasi yang dapat berupa hpertensi,

jantung, gastritis, dan sebagainya (Laniwaty, 2001;15).


31

Stress dapat merangrang peingkata sam lambung dan

gerakan peristaltic lambung. Stress juga akan mendorong

gesekan antara makanan dan dinding lambung menjadi

bertambah kuat. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya

peradangan di lambung (Vera Uripi, 2001).

4. Alkohol

Alkohol sangat berperangaruh terhadap makhluk hidup,

terutama dengan kemampuannya sebagai pelarut

lipida.Kemampuannya melarutkan lipida yang terdapat dalam

membran sel memungkinkannya cepat masuk ke dalam sel-

sel dan menghancurkan struktur sel tersebut.Oleh karena itu

alkohol dianggap toksik atau racun.Alkohol yang terdapat

dalam minuman seperti bir, anggur, dan minuman keras

lainnya terdapat dalam bentuk etil alkohol atau etanol

(Almatseir, 2002).

Menurut dr. Eva Viora, SP. KJ, Direktur Bina Ksehatan

Jiwa Kemenkes RI, minuman beralkohol telah digolonga\kan

menjadi tiga jenis. Penggolongan tersebut dilakukan

berdasarkan kadar kandungan alcohol, mulai dari yang paling

rendah hingga tertinggi yang boleh dikonsumsi manusia.

Berikut 3 golongan tersebut:

1) Golongan pertama
32

Golongan pertama adalah peminum yang meninum

alkohol dengan kadar etanol 1-5%. Jenis minuman inin

adalah jenis yang paling banyak dijual di mini market atau

super market. Aneka bir adalah yang termasuk di jenis A

ini. Biasanya pada kadar 1-5% seseorang belum akan

mengalami mabuk, tetapi tetap memiliki efek kurang baik

bagi tubuh.

2) Golongan kedua

Golongan kedua atau golongan B adalah minuman dengan

kadar etanol 5-20%. Jenis minuman yang termasuk dalam

kandungan ini adalah aneka jenis anggur atau wine.

Alcohol pada kadar ini sudah cukup tinggi dan dapat

membuat mabuk terutama bila diminum dalam jumlah

banyak dan bagi yang tidak terbiasa.

3) Golongan ketiga

Golongan ketiga taau golongan C adalah minuman dengan

kadar alcohol paling tinggi yang boleh dikonsumsi oleh

manusia. Kadar etanol golongan C adalah 20-45%. Jenis

minuman dalam golongan ini adala wisky, vodka, TKW,

jhoni walker, dll.

Banyak minuman alkohol yang boleh dikonsumsi oleh

tubuh setiap golongan berbeda-beda. Untuk Bir, jumlah yang


33

boleh dikonsumsi dalam satu hari adalah tidak lebir dari

285ml, Wine tidak lebih dari 120 ml , dan golonga C seprti

Whisky adalah 30 ml per hari.

Organ tubuh yang berperan besar dalam metabolisme

alkohol adalah lambung dan hati, oleh karena itu efek dari

kebiasaan mengkonsumsi alkohol dalam jangka panjang tidak

hanya berupa kerusakan hati atau sirosis, tetapi juga

kerusakan lambung. Dalam jumlah sedikit, alkohol

merangsang produksi asam lambung berlebih, nafsu makan

berkurang, dan mual, sedangkan dalam jumlah banyak,

alkohol dapat mengiritasi mukosa lambung dan duodenum.

Konsumsi alcohol berlebihan dapat merusak mukosa

lambung, memperburuk gejala tukak peptic, dan mengganggu

penyembuhan tukak peptic. Alkohol mengakibatkan

menurunkan kesanggupan mencerna dan menyerap makanan

karena ketidakcukupan enzim pancreas dan perubahan

morfologi serta fisiologi mukosa gastrointestinal (Bayer, 2004).

5. Obat AINS (Anti Inflamasi Non Steroid)

Obat anti inflamasi (anti radang) non steroid, atau yang

lebih dikenal dengan sebutan AINS/NSAID (Non Steridal Anty-

Inflamatort Drugs) adalah suatu golongan obat yang memiliki

khasiatanalgesik (pereda nyeri, anti piretik (penurun panas),


34

dan anti inflamasi (anti radang) istilah “non steroid” digunakan

untuk membedakanjenis obat-obatan ini dengan steroid, yang

juga memiliki khasiat serupa. AINS bukan tergolong jenis

obat-obatan narkotika. Inflamasi adalah salah satu respon

utama dari system kekebalan tubuh terhadap infeksi atau

iritasi.(Suyono, 2001)

Mengonsumsi obat-obat tertentu dapat menyebabkan

gastritis, obat anti inflamasi non steroid (OAINS) merupakan

jenis obat yang memiliki efek menyebabkan gastritis. Obat anti

inflamasi non steroid bersifat analgesic, antipiretik, dan anti-

inflamasi. Sebagai anlgesik, obat anti inflamasi non steroid

hanya ehektif terhadap nyeri dengan intensitas rendah sampai

sedang. Sebagai antipiretik, obat anti inflamasi non steroid

akan menurunkan suhu badan hanya dalam keadaan demam

dan sebagai anti inflamasi hanya meringankan gejala nyeri

dan hanya dalam keadaan demam dan sebagai anti inflamasi

hanya meringankan gejala nyeri dan inflamasi yang berkaitan

dengan penyakitnya secara simtomatik (wilda, 2012)

Obat-obatan yang sering dihubungkan dengan gastritis

erosif adalah aspirin dan sebagian besar obat anti inflamasi

non steroid (Suyono, 2001).

Asam asetil silsilat lebih dikenal sebagai asetol atau

aspirin. Asam asetil silsilat merupakan obat anti inflamasi non


35

steroid (OAINS) turunan asam karboksilat derivate asam

salisilat yang dapat dipaki secara sistemik.

Obat AINS adalah satu golongan obat besar yang secara

kimia heterogen menghambat aktifitas siklooksigenase,

menyebabkan penurunan sintesis prostaglandin dari asam

arakhidonat. Prostagaglandin mukosa merupakan salah satu

daktor defensive mukosa asam lambung yang amat penting,

selain menghambat produksi prostaglandin mukosa, aspirin

dan obat antiinflamasi nonsteroid tertentu dapat merusak

mukosa secara topical, kerusakan topical terjadi karena

kandungan asam dalam obat tersebut bersifat korosif

sehingga dapat merusak sel-sel epitel mukosa. Pemberian

aspirin dan obat antiinflamsi nonsteroid juga dapat

menurunkan sekresi bikarbonat dan mucus oleh lambung,

sehingga kemampuan faktor defensive terganggu. Jika

pemakaian obat-obat tersebut hanya sesekali kemungkinan

terjadinya masalah lambung kan kecil. Tapi jika

pemakaiannya dilakukan secara terus menerus tau berlebihan

dapat mengakibatkan gastritis dan ulkus peptikum, pemakaian

setiah hari selama minimal 3 bulan dapat menyebabkan

gastritis (Rosniyanti, 2010)

Berdasarkan Badan POM RI & Pusat Informasi Obat

Nasional (2015), Obat-obatan yang tergolonga AINS, yaitu:


36

1) Asam mefenamat dan Meklofnamat

Asam mefenamat digunakan sebagai anlgesik dan

antiinflamasi, asam mefenamat kurang efektif

dibandingkan dengan aspirin. Meklofenamat digunakan

sebahai obat anti-inflamasi pada reomatid dan

osteoaritis. Asam mefenamat dan meklofenamat

digunakan sebagai obat antranilat. Asam mefenamat

terikat kuat pada protein plasma. Dengan demikian

interaksi dengan obat antikoagulan harus diperhatikan.

Efek samping terhadap saluran cernayang sering timbul

adalah dyspepsia, siare sampai diare berdarahdan

gejala iritasi terhadap mukosa lambung. Dosis asam

mefenamat adalah 2-3 kali 250-500 mg sehari.

Sedangkan dosis meklofenamat adalah 240-400 mg

sehari.

2) Diklofenak

Diklofenak merupakan derivate asam fenilasetat.

Absorbs obat ini melalui saluran cerna berlangsung

lengkap dan cepat. Obat ini terikat pada protein plasma

99% dan mengalami efek metabolism lintas pertama

(fist-fast) sebesar 40-50%. Efek samping yang lazim

adalah mual, gastritis, eritema kulit dan sakit kepala

sama seperti semua AINS, pemakaian obat ini harus


37

berhati-hatipada pasien tukak lambung. Pemakaian

selama kehamilan tidak dianjurkan. Dosis orang dewasa

100-150 mg sehari sehari terbagi 2 atau 3 dosis.

3) Ibuprofen

Ibuprofen merupakan derivate asam propionate yang

diperkenalkan pertama kali dibanyak Negara. Obat ini

bersifat analgesic dengan daya efek anti-inflamsi yang

tidak terlalu kuat. Efek analgesiknya sama seperti

aspirin, sedangkan efek anti-inflamasinya terloihat pada

dosis 1200-2400 mg sehari.

4) Salisilat

Asam asetil salisilat yang lebih dikenal dengan asetosal

atau aspirin adalahanalgesik antipiretik atau

antiinflamasi yang sangat luas digunakan. Struktur kimia

golongan salisilat. Untuk memperoleh anti-inflamasi

yang baik dalam kadar plasma perlu dipertahankan

antara 250-300 mg/ml. efek samping yang paling sering

terjadi adalah induksi tukak lambung atau tukak peptik,

efek samping lain adalah gangguan fungsi trombosit

akibat penghambatan biosintesa tromboksan.

5) Fenbufen

Fenbufe bersifat inaktif dan metabolit aktifnya adalah

asma 4-difenil-asetat. Zat ini memiliki paruh waktu 10


38

jam sehingga cukup diberikan dosis untuk reumatik

sendi adalah 2 kali 300 mg sehari dan dosis

pemeliharaan 1 kali 600 mg sebelum tidur. Adapun efek

samping obat ini sama seperti AINS lainnya.

6) Indometasin

Merupakat derivate indol-asam asetat. Obat ini sudah

dikenal sejak1963 untu pengobatan arthritis rheumatoid

dan sejenisnya. Walaupun obat ini efektif tetapi karena

toksik maka penggunaan obat ini dibatasi. Indometasi

memiliki efek anti-inflamasi sebanding dengan aspirin,

serta memiliki efek nalgesik maupun sentral. Efek

samping pada dosis terapi yaitu pada saluran cerna

yaitu berupa nyeri abdomen, diare, perdarahan lambung

dan pankreatis. Dosis lazim indometasin 2-4 kali 25 mg

sehari untuk mengurangi reumatik di malam hari 50-100

mg sebelum tidur.

7) Piroksikam dan Meloksikam

Piroksikam merupakan salah satu AINS dengan

struktur baru yaitu oksikam, derivate asam anolat.

Waktunparuh dalam plasma 45 jam sehingga diberikan

sekali sehari. Efek samping adalah gangguan saluran

cerna , dan efek lainna adalahpusing, tinnitus, nyeri

kepala, dan eritema kulit. Piroksikam tidak dianjurkan


39

pada wanita hamil, pasien tukak lambung dan yang

sedang minum antikoagulan. Dosis 10-20 mg sehari.

8) Diflunsial

Obat ini merupakan derivate difluoronefil dari asam

salisilat, bersifat anlgesik dan antiinflamasi tetapi

hamper tidak bersifat antipiretik. Indikasi untuk nyeri

sedang sampai ringan dengan sisi awal 250-500 mg tiap

8-12 jam untuk osteoarthritis dosis awal 2 kali 250-500

mg sehari. Efek samping lebih ringan dari asetosal.

6. Infeksi Helicobacter pylori

Infeksi kuman helicobacter pylori merupakan kausa

gastritis yang sangat penting. Karen ahampir 80% gastritis

kronis dihubungkan dengan infeksi H. pylori (Aru w. sudoyono,

dkk., 2006).

Sumber penularan infeksi bakteri H. pylori ditularkan dari

satu penderita ke penderita lain, kemungkinan besar elalui

oral-oral (berciuman), gastro-oral (muntahan), atau fekal-oral

(makanan/minuman yang terkontaminasi tinja penderita

secara langsung/tidak langsung memlalui perantara lalat dan

lipas). Di Negara berkembang jalurnya adalah oral-fekal

(Kunadi Tanzil, 2005).

Peningkatan prevelensi H. pylori juga berkaitan dengan

peningkatan konsumsi makanan dari pedagang kaki lima yang


40

mendukung kemungkinan terjadinya penularan yaitu

penyiapan makan dalam kondisi yang tidak higenis (Yvonne

dan Rob, 2001).

Pencegahan penularan infeksi bakteri H. pylori yang

dapat dilakukan kebiasaan mencuci tangan baik sebelum dan

sesudah makan maupun setelah buang air besar (Sudaryat

Suratmaja, 2007).

7. Kopi

Menurut Warianto (2011), kopi adalah minuman yang

terdiri dari berbagai jenis bahan dan senyawa kimia; termasuk

lemak, karbohidrat, asam amino, asam nabati yang disebut

dengan fenol, vitamin dan mineral. Kopi diketahui merangsang

lambung untuk memproduksi asam lambung sehingga

menciptakan lingkungan yang lebih asam dan dapat

mengiritasi lambung.

Jadi, gangguan pencernaan yang rentan dimiliki oleh

orang yang sering minum kopi adalah gastritis (peradangan

pada lapisan lambung). Beberapa orang yang memilliki

gangguan pencernaan dan ketidaknyamanan di perut atau

lambung biasanya disaranakan untuk menghindari atau

membatasi minum kopi agar kondisinya tidak bertambah

parah (Warianto, 2011).


41

8. Teh

Hasil penelitian Shinya. MD, dalam buku “The Miracle of

Enzyme” menemukan bahwa orang-orang Jepang yang

meminum teh kaya antioksidan lebih dari dua gelas secara

teratur, sering menderita penyakit yang disebut gastritis.

Sebagai contoh Teh Hijau, yang mengandung banyak

antioksidan dapat membunuh bakteri dan memiliki efek

antioksidan berjenis polifenol yang mencegah atau

menetralisasi efek radikal bebas yang merusak. Namun, jika

beberapa antioksidan bersatu akan membentuk suatu zat

yang disebut tannin. Tannin inilah yang menyebabkan

beberapa buah dan tumbuh-tumbuhan memiliki rasa sepat

dan mudah teroksidasi. Tannin merupakan suatu senyawa

kimia yang memiliki afinitas tinggi terhadap protein pada

mukosa dan sel epitel mukosa (selaput lendir yang melapisi

lambung). Akibatnya terjadi proses dimana membran mukosa

akan mengikat lebih kuat dan menjadi kurang permeabel.

Proses tersebut menyebabkan peningkatan proteksi mukosa

terhadap mikroorganisme dan zat kimia iritan. Dosis tinggi

tannin menyebabkan efek tersebut berlebih sehingga dapat

mengakibatkan iritasi pada membran mukosa usus

(shinya,2008).
42

Selain itu apabila Tannin terkena air panas atau udara

dapat dengan mudah berubah menjadi asam tanat.Asam

tanat ini juga berfungsi membekukan protein mukosa

lambung. Asam tanat akan mengiritasi mukosa lambung

perlahan-lahan sehingga sel-sel mukosa lambung menjadi

atrofi. Hal inilah yang menyebabkan orang tersebut menderita

berbagai masalah lambung, seperti gastritis atrofi, ulcus

peptic, hingga mengarah pada keganasan lambung.

9. Usia

Usia tua memiliki resiko yang lebih tinggi untuk menderita

gastritis dibandingkan dengan usia muda. Hal ini

menunjukkan bahwa seiring dengan bertambahnya usia

mukosa gaster cenderung menjadi tipis sehingga lebih

cenderung memiliki infeksi Helicobacter Pylory atau gangguan

autoimun daripada orang yang lebih muda. Sebaliknya,jika

mengenai usia muda biasanya lebih berhubungan dengan

pola hidup yang tidak sehat. Kejadian gastritis kronik,

terutama gastritis kronik antrum meningkat sesuai dengan

peningkatan usia.

g. Tanda dan gejala gastritis

1) Tanda dan gejala gastritis akut

Pada anamnesa biasanya didapatkan keluhan abdomen

yang tidakjeas seperti mual, muntah dan anoreksia sehingga


43

menyebabkan pemenuhan kebutuhan nutrisi harian berkurang

intake nutrisi tidak adekuat, kehilangan cairan dan elktrolit. Pada

beberapa orang didapat keluhan yang lebih berat seperti nyeri

epigastrium,muntah, perdarahan, dan hematemesis yang

menimbulkan manifestasi kecemasan secara individu (Sari dan

Muttaqin, 2011)

2) Tanda dan gejala gastritis kronis

Berikut adalah tan dan gejala gastritis kronis (Inayah, 2004):

(1) Gastritis sel plasma

(2) Penyakit miniare

(3) Nyeri yang mentap pada daerah epiastrium

(4) Nausea sampai muntah empedu

(5) Dyspepsia

(6) Anoreaksi

(7) Berat badan menurun

(8) Keluhan berhubungan denagn anemia

h. Gejala klinis

Manifestasi klinik gastritis terbagi menjadi dua yaitu gastritis akut

dan gastritis kronik (Mansjoer, 2001) :

a) Gastritis akut

Sindrom dyspepsia berupa nyeri epigastrium, mual, kembung,

muntah, merupakan salah satu keluhan yang sering muncul.

Ditemukan pula perdarahan saluran cerna berupa hematemesis


44

dan melena, kemudian disusul dengan tanda-tanda anemia

pasca perdarahan. Biasanya, jika dilakukan anamnesis lebih

dalam, terdapat riwayat penggunaan obat-obatan atau bahan

kimia tertentu.

b) Gastritis kroniik

Bagian sebagian orang gastritis kronik tidak menyebabkan

gejala apapun (Jackson, 2006). Hanya sebagian

kecilmengeluhnyeri ulu hati, anoreksia, nausea dan ada

pemeriksaan fisik tidak dijumpai kelainnan. Gastritis kronik yang

berkembang secara bertaha biasanya menimbulkan gejala

seperti sakit yang tumpul atau ringan (dull pain) pada perut

bagian atas danterasa penuh atau kehilangan selera setelah

makan beberapa gigitan.

i. Komplikasi

Komplikasi gastritis dibagi menjadi dua yaitu komplikasi gastritis akut

dan gastritis kronik. Gastritis akut komplikasinya adalah perdarahan

saluran cerna bagian atas berupa hematemesis dan melena.

Komplikasi ini dapat berakhir syok hemoragik. Gastritis kronik

komplikasinya adalah perdarahan saluran cerna bagian atas, ilkus,

perforasi dan anemia (Mansjoer, 2001)


45

B. Kerangka Konsep

Menurut Notoatmodjo (2008), kerangka konsep penelitian adalah

suatu hubungan atau kaitan antara konsep-konsep atau variabel-variabel

yang akan diamati atau di ukur melalui penelitian yang akan di lakukan.

Kerangka konsep penelitian ini mengacu pada tujuan penelitian yaitu untuk

mengetahui faktor-faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian

gastritis Di Puskesmas Tanjung Karang Tahun 2018

Skema kerangka konsep

Variable independen variabel Dependen

Faktor Risiko Gastritis :


a. Pola Makan
b. Stres Terjadi Gastritis
c. Penggunaan Obat
Anti Inflamasi Non
Steroid (OAINS)
d. Merokok
e. Mengonsumsi
Alkohol
Tidak Terjadi
f. Infeksi Helicobacter
Pylori Gastritis
g. Teh
h. Kopi
i. Usia

Keterangan : : Diteliti
: Tidak Diteliti

Sumber : modifikasi Sunita & Brunner Suddarth 2010.


46

C. Hipotesa Penelitian

Hipotesa dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Hipotesa alternative (Ha)

Ada faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian gastritid di

Puskesmas Tanjung Karang.

2. Hipotesa Nol (Ho)

Tidak ada faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian

gastritis di Puskesmas Tanjung karang.


47

BAB III
METODE PENELITIAN

Untuk meneliti analisis faktor-faktor resiko yang berhubungan dengan

kejadian gastritis di Puskesmas Tanjung Karang dapat dilihat dalam

penjelasan berikut.

A. Tempat Dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Rencana penelitian ini di laksanakan di Puskesmas Tanjung

Karang sebab Jumlah penderita gastritis di Puskesmas Tanjung

Karang merupakan daftar 1 penyakit yang paling sering dikeluhkan

pasien dengan peringkat 1 pasien rawat inap sebanyak 11

kunjungan, dan posisi ke 5 rawat jalan sebanyak 1.694, tahun 2015

tercatat data terakhir bulan November 360 pasien dan bulan

desember meningkat menjadi 402 pasien (Pelayanan Kesehatan

Puskesmas Tanjung Karang Tahun 2015).

2. Waktu penelitian

a. Penyusunan proposal dimulai pada bulan Oktober 2017 sampai

dengan Desember 2017

b. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 7-17 Mei tahun 2018


48

B. Rancang Penelitian

Rancangan penelitian adalah model atau metode yang digunakan

peneliti untuk melakukan suatu penelitian yang memberikan arah

terhadap jalannya penelitian (Dharma, 2011).

Penelitian ini menggunakan desain korelasional yaitu penelitian

yang bertujuan mengungkapkan hubungan korelatif antara variable

Hubungan korelatif mengacu pada kecendrungan bahwa variasi suatu

variable diikuti oleh variable lain. Penelitian ini menggunakan

pendekatan cross sectional yaitu jenis penelitian yang menekankan

waktu pengukuran atau observasi pada hari atau pada waktu yang

sama, akan tetapi baik variabel independen maupun variabel

dependen dinilai hanya satu kali saja. Dengan studi ini akan diperoleh

pravelensi atau efek satu fenomena (variabel dependen) dihubungkan

dengan penyebab (variabel independen), (Nursalam, 2016).

C. Populasi

Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian atau himpunan

obyek yang akan di teliti. (Notoatmodjo 2007). Yang menjadi populasi

dalam penelitian ini adalah pasien gastritis yang ada di Puskesmas

Tanjung Karang.

D. Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan obyek

yang di teliti yang di anggap mewakili seluruh populasi (Notoajmojdo


49

2007). Yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah pasien

Gastritis yang memperiksakan diri ke Puskesmas Tanjung Karang.

Semakin besar sampel dari besarnya populasi maka semakin

baik, akan tetapi ada jumlah batas minimal yang harus diambil oleh

peneliti yaitu sebanyak 30 sampel. Karena jumlah subjek pada

populasi tersebut tidak diketahui, sehingga dalam pengambilan besar

sampel penelitian, peneliti menggunakan panduan umum yang dapat

membantu dalam menentukan besar sampel.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Baley dalam Mahmud

(2011) bahwa untuk penelitian yang menggunakan analisis data

statistic, ukuran sampel paling minimum adalah 30 (Lestari, 2014).

Berdasarkan pengertian diatas, maka metode pengambilan sampel

pada penelitian ini menggunakan sampel minimal yaitu sebanyak 30

responden.

E. Sampling

Sampling adalah suatu cara yang ditetapkan peneliti untuk

menentukan atau memilih sejumlah sampel dari populasinya

(Dharma, 2011). Teknik sampling merupakan cara-cara yang

ditempuh dalam pengambilan sampel, agar memperoleh sampel

yang benar-benar sesuai dengan keseluruhan subjek penelitian

(Nursalam,2016)
50

Dalam penelitian ini tekhnik pengambilan sampel yang

digunakan adalah “Conviance sampling/Accidental sampling” yaitu

pengambilan sampel dilakukan dengan mengambil kasus atau

responden yang kebetukan ada atau tersedia di suatu tempat sesuai

konteks penelitian (Notoatmojo, 2012). Dalam penelitian ini, yang

menjadi sampel yaitu pasien gastritis yang kebetulan ada di

Puskesmas Tanjung Karang pada saat rawat jalan selama penelitian.

F. Variabel Penelitian

Variabel adalah suatu yang di gunakan sebagai ciri., sifat, atau ukuran

yang dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang suatu

konsep pengertian sesuatu (Notoatmojdo, 2012)

Variabel adalah karaktristik yang diamati yang mempunyai

variasi nilai dan merupakan operasionalisasi dari suatu konsep agar

dapat diteliti secara empiris dan di tentukan tingkatannya (Nursallam,

2010)

1. Variabel Independen

Variabel independen atau variable bebas adalah variable

mempengaruhi atau dianggap menentukan variable berikut.

Variable ini dapat merupakan variable resiko atau sebab

(Notoatmojdo, 2012) Yang menjadi variable independen dalam


51

penelitian ini adalah pola makan, stres, penggunaan obat anti

inflamasi non steroid, mengonsumsi alkohol dan merokok.

2. Variable dependen

Variable dependen atau variable terikat sering juga disebut

variable kreteria, respon dan output (hasil). Variable Dependen

merupakan variabel yang di pengaruhi atau yang menjadi akibat

karena adanya variabel independen atau bebas Notoatmojdo,

2012).

Yang menjadi variabel dependen dalam penelitian ini adalah

kejadian gastritis

G. Data Yang Dikumpulkan

1. Data Primer

Menurut Riwidikdo (2012), data primer adalah data yang

secara langsung diambil dari obyek penelian oleh peneliti

pereorangan maupun organisasi sehingga diperoleh jawaban atas

pertanyaan yang disediakan melalui pengisian kuesioner oleh

responden. Adapun data prier dalam penelitian ini adalah:

a. Data mengenai karakteristik responden terdiri dari : umur, jenis

kelamin, pendidikan, dan pekerjaan.

b. Data mengenai Data tentang faktor-faktor resiko yang

berhubungan dengan kejadian gastritis : pola makan, stress,

pengguna obat antiinflamasi nonsteroid, merokok, dan

mengonsumsi alkohol.
52

c. Data mengenai kejadian gastritis di Puskesmas Tanjung

Karang.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil

pengumpulan sumber lain atau pihak lain/kedua (Sunyoto,

2013). Data sekunder dalam penelitian ini berupa gambaran

tempat pepat penelitian yang didapatkan melalui penulusuran

profil Puskesmas Tanjung Karang di Tata Usaha

H. Cara Pengumpulan Data

Data di kumpul melalui tehnik observasi dan kuisioner dengan tahap

sebagai berikut:

1. Data Primer

a. Data mengenai karakteristik responden terdiri dari: umur, jenis

kelamin, pendidikan, dan pekerjaan diperolwh dengan cara

wawancara.

b. Data mengenai Data tentang faktor-faktor resiko yang

berhubungan dengan kejadian gastritis: pola makan, stress,

pengguna obat antiinflamasi nonsteroid, merokok, dan

mengonsumsi alkohol diperoleh dengan pengisian kuesioner.

c. Data mengenai kejadian gastritis di Puskesmas anjung Karang

dengan menggunakan lembar kuesioner


53

2. Data Sekunder

Data gambaran umum tentang Puskesmas Tanjung Karang di

peroleh melalui studi dokumentasi bagian tata usaha Puskesmas

Tanjung Karang

I. Cara Pengolahan Data

Pengolahan data pada dasarnya merupakan suatu proses untuk

memperoleh data atau data ringkasan berdasarkan suatu kelompok

data mentah dengan menggunakan rumus tertentu sehingga

menghasilkan informasi yang diperlukan (Setiadi, 2007). Adapun cara

pengolahan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Data Primer

a. Data tentang karakteristik responden meliputi umur, jenis

kelamin, pendidikan,dan pekerjaan yang dikumpulkan sesuai

variabel.

Data tentang karakteristik responden diolah dengan cara:

1) Umur

Dalam penyajian hasil penelitian ini, umur dapat

dikelompokan menjadi beberapa kelompok menurut

(Depkes, 2009) yaitu:

(a) Remaja awal ( 12-16 tahun)

(b) Remaja lanjut (17-21 tahun)

(c) Dewasa awal (22-40 tahun)

(d) Dewasa menengah (42-60 tahun)


54

2) Jenis Kelamin

Dalam penyajian hasil penelitian jenis kelamin diukur

dengan menanyakana kepada responden atau keluarga.

Kemuadian diolah seara deskriptip dan ditabulasi

menggunakan table distribusi frekuensi. Jenis kelamin

dikelompokan menjadi 2, yaitu:

a) Perempuan

b) Laki-laki

3) Pendidikan

Alam penyajian hasil penelitin ini, pendidikan dapat

dikelompokan menjadi 3 kelompok, yaitu:

a) Pendidikan Dasar

Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang

melandasijenjang pendidikan menengah. Pendidikan

dasar meliputi :

(1) Sekolah Dasar (SD) dan Madrasa Ibtidaiyah (MI) atau

sederajat

(2) Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasa

Tsanawiyah (MTs) atau sederajat

b) Pendidikan Menengah

Pendidikan menengah merupakan lanjutan dari

pendidikan dasar. Pendidikan menengah meliputi:

(1) Sekolah Menengah Atas


55

(2) Madrasa Aliyah (MA)

(3) Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

(4) Madrasa Aliyah Kejuruan (MAK), atau sederajat

c) Pendidikan Tinggi

Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan

menengah yang mencakup program pendidikan diploma,

serjana, master, spesialis, doctor yang diselenggarakan

oleh perguruan tinggi. Pendidikan tinggi dapat berbentuk:

(1) Akademik

(2) Politeknik

(3) Sekolah Tinggi

(4) Institute

(5) Universitas (UU RI No. 20 Tahun 2003)

4) Pekerjaan

Pekerjaan adalah suatu yang dilakukan oleh manusia untuk

tujuan tertentu yang dilakukan dengan cara yang baik dan

benar, manusia perlu bekerja untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya.

Menurut Notoatmojo (2010) dengan adanya pekerjaan

seseorang memerlukan banyak waktu untuk menyelesaikan

pekerjaan, waktu yang dibutuhkan sedikit untuk memperoleh

informasi, sehingga pengetahuan yang mereka miliki


56

menjadi berkurang. Pekerjaan dikelompokan menjadi 2

yaitu:

a) Bekerja

Seseorang dikatakan bekerja jika ia merupakan usia

produktif yaitu 15-64 tahun yang sudah memiliki

pekerjaan meskipun sementara tidak bekerja. Adapun

yang termasuk kedalam kelompok ini yaitu pegawai

negeri, TNI/POLRI, wiraswasta, petani, pedagang, buruh

dan nelayan.

b) Tidak bekerja

Seseorang dikatakan tidak bekerja apabila usia 10 tahun

keatas yang kahitannya hanya besekolah, mengurus

rumah tangga dan lain-lain yang tidak menghasilkan

uang.adapun yang termasuk kedalam kelompok ini yaitu

mahasisma, amak sekolah dan ibu rumah tangga

(Wikipedia, 2013)

b. Data tentang faktor-faktor resiko yang berhubungan dengan

kejadian gastritis meliputi pola makan, stress, penggunaan obat

antiinflamasi non steroid, merokok, mengkonsumsi alkohol

diolah dengan cara dideskripsikan dan ditabulasikan

berdasarkan responden.

1) Data pola makan pasien gastritis meliputi frekuensi makan,

jenis makan dan jumlah makan yang menyebabkan


57

terjadinya peningkatan asam lambung. Peneliti

menggunakan kuesioner pola makan yang merupakan

modifikasi dari kuesioner pola makan yang disusun oleh

Hirnawaty (2014) yang menggambarkan pola makan pasien

sehari-hari. Data diolah secara deskriptif dan disajikan

dalam bentuk tabel distibusi. Analisa data dalam dalam

penelitan ini mengunakan skala likert yaitu setelah data

terkumpul kemudian ditabulasi , dengan cara sebagai berikut

yaitu, selalu diberi nilai = 4, hampir selalu diberi nilai = 3,

kadang-kadang di beri nilai= 2, dan hampir tidak pernah di

beri nilai= 1 (Hawari, 2011) dengan kriteria

a. Sangat baik (66-80)

b. Baik (51-65)

c. Resiko ganguan kesehatan (36-50)

d. Resiko serius gangguan kesehatan (20-35)

(Dadang Hawari, 2012)

2) Data stres

Data stres pasien diolah menggunakan koisioner

kecemasan/stres. Adapun skala Hars tersebut terdiri dari 14

item gejala yaitu : perasaan cemas, ketegangan, ketakutan,

gangguan tidur, gangguan kecerdasan, perasaan depresi,

gejala somatic, gejala sensorik, gejala kardiovaskuler, gejala

pernapasan, gejala gastrointestinal, gejala urogenital, gejala


58

vegetative dan perilaku sewaktu wawancara. Setiap item

mempunyai rentang nilai 0 = tidak ada gejalan sama sekali, 1 =

satu dari gejala yang ada, 2 = sedang/separuh dari gejala yang

ada, 3 = berat / lebih dari setengah gejala yang ada. Dari

masing-masing skor setiap item ditabulasikan dan dijadikan

beberapa kategori tingkat kecemsan sebagai berikut : skor <6 =

tidak ada kecemasan, skor 7-14 = kecemasan ringan, skor 15-

27 = kecemasan sedang, skor >27 = kecemasan berat

(manurung, 2016).

3) Data penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid

Data penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid dikumpulkan

dengan cara pengisian kuesioner diolah secara deskriptip dan

disajikan dalam bentuk tabel distribusi. Analisa data dalam

dalam penelitan ini menggunakan pengkodean untuk setiap

variabel hal ini agar dapat memudahkan dalam menganalisa

data, adapun pengkodeannya sebai berikut: diberi kode 0 =

tidak menggunakan obat anti inflamasi non steroid dan kode 1 =

menggunakan atau pernah menggunakan obat. Pemberian skor

di lakukan dengan cara : memilih jawaban ya dan tidak.

Kemudian untuk menentuan setiap sampel nilai jawaban ya

digunakan rumus :
59

f
𝑃= x 100%
𝑁

Dimana P : Presentase jawaban

F : Frekwensi jawaban

N : Jumlah seluruh frekwensi alternatif

jawaban

100 % : Bilangan tetap

4) Data merokok

Data merokok dikumpulkan dengan cara pengisian kuesioner

diolah secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel

distribusi. Analisa data dalam dalam penelitan ini menggunakan

pengkodean untuk setiap variabel hal ini agar dapat

memudahkan dalam menganalisa data, adapun

pengkodeannya sebai berikut: diberi kode 0 = tidak merokok

dan kode 1 = merokok atau pernah merokok. Pemberian skor di

lakukan dengan cara : memilih jawaban ya dan tidak. Kemudian

untuk menentuan setiap sampel nilai jawaban ya digunakan

rumus :

f
𝑃= x 100%
𝑁

Dimana P : Presentase jawaban

F : Frekwensi jawaban

N : Jumlah seluruh frekwensi alternatif


60

jawaban

100 % : Bilangan tetap

Data mengkonsumsi alcohol dikumpulkan dengan cara

pengisian kuesioner kemudian diolah secara deskriptif dan

disajikan dalam bentuk tabel distribusi. Analisa data dalam

dalam penelitan ini menggunakan pengkodean untuk setiap

variabel hal ini agar dapat memudahkan dalam menganalisa

data, adapun pengkodeannya sebai berikut: diberi kode 0 =

tidak mengkonsumsi alkohol dan kode 1 = mengkonsumsi

alkohol atau pernah mengkonsumsi alkohol. Pemberian skor di

lakukan dengan cara : memilih jawaban ya dan tidak. Kemudian

untuk menentuan setiap sampel nilai jawaban ya digunakan

rumus :

f
𝑃= x 100%
𝑁

Dimana P : Presentase jawaban

F : Frekwensi jawaban

N : Jumlah seluruh frekwensi alternatif

jawaban

100 % : Bilangan tetap

5) Data sekunder

Data tentang gambaran umum Puskesmas Tanjung Karang

akan diolah secara deskriptif.


61

J. Analis Data

Analisa data dalam penelitian merupakan media untuk menarik

kesimpulan dari seperangkat data hasil pengumpulan (Setiawan dan

Suryono, 2011). Dalam penelitian ini menggunakan tahapan Analisa

sebagai berikut :

1. Analisis Univariat

Merupakan anlisa data yang dimulai dengan membuat

distribusi frekuensi dan statistic deskriptif dari data karakteristik

responden terdiri dari umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan

dan data faktor-faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian

gastritis. Analisa univariat digunakan untuk mendapatkan

gambaran statistik dari masing-masing variabel. Variabel

indevenden terdiri dari pola makan, stress, obat anti inflamasi non

steroid, merokok dan mengkonsumsi alkohol . Variabel dependen

yaitu kejadian gastritis.

2. Analisa Bivariat

Merupakan analisa yang dipergunakan untuk melihat

kemaknaan tiap-tiap variabel independen dan variabel devenden,

analisa data dalam penelitian menggunakan uji non parametik

dengan uji chi square karena jenis data nominal, sedangkan jika

jenis data ordinal dalam variabel independen dianalisis

menggunakan uji spearman’s Rho, dengan tingkat kemaknaan


62

alpha (α) = 0,05 atau 5 %, untuk diuji perbedaan proporsi kedua

variabel. Jika nilai (α) < 0,05 maka terdapat korelasi bermakna

antara variabel yang diuji dan jika nilai (α) > 0,05 maka terdapat

hubungan yang bermakna antar variabel yang diuji.

Tabel 2. Analisis Bivariat (Uji Statistic) Antara Dua Variabel

No Variabel Independen Variabel dependen Uji statistik


1 Pola Makan Kejadian gastritis Uji Chi Square
2 Stress Kejadian gastritis Uji Chi Square
3 Obat anti inflamasi Kejadian gastritis Uji Chi Square
non steroid
4 Merokok Kejadian gastritis Uji Chi Square
5 Mengkonsumsi Kejadian gastritis Uji Chi Square
alcohol

K. Etika Penelitian

1. Persetujuan (informed consent)

Lembar persetujuan diberikan kepada responden. Tujuannya

adalah agar responden mengetahui maksud dan tujuan penelitian

serta dampak yang diteliti selama penelitian, jika responden

bersedia diteliti maka harus menandatangani lembar persetujuan.

Jika menolak untuk diteliti maka peneliti tidak akan memaksa

dan tetap menghargai responden

a. Tanpa Nama (Anonimity)

Untuk menjaga kerahasiaan identitas responden peneliti tidak

akan mencantumkan nama responden pada lembar


63

pengumpulan data yang diisi. Lembar tersebut hanya diberi

nomor atau kode tertentu.

b. Kerahasiaan (Confidentiality)

Kerahasiaan informasi yang diberikan oleh responden dijamin

oleh peneliti
64

2. Definisi Operasional

Definisi operasional merupakan pnjelasan semua variabel dan


istilah yang akan di gunakan dalam penelitian secara operasional
sehingga akhirnya mempermudah pembaca dalam pengertian makna
penelitian (Setiadi, 2008).

No Variable Definisi parameter Skala ukur Alat ukur Kriteria


Operasional

Variable
independen,
Faktor-faktor
yang
berhubungan
dengan kejadian
gastritis

1 Pola makan pola makan 1. Frekuensi Nominal Kuesioner 1. Sangat


meliputi frekuensi makan baik (66-
makan, jenis 2. Jenis 80)
makan dan jumlah makan diberi
makan yang 3. Jumlah skor=4
menyebabkan makan 2. Baik
terjadinya
(51-65)
peningkatan asam
diberi
lambung
skor=3
3. Resiko
ganggua
n
kesehat
an (36-
50)
diberi
skor=2
4. Resiko
serius
ganggua
n
kesehat
an (20-
35)
diberi
skor=1.

2 Stress stress merupakan 1. Stress Ordinal Kuesioner 1. Skor <6


ketidakmampuan psikis : tidak
65

mengatasi 2. Stress ada


ancaman yang fisik kecema
dihadapi mental, san
fisik, diberi
skor 4
emosional, dan 2. Skor 7-
spiritual manusia, 14 :
yang pada suatu kecema
saat dapat
san
mempengaruhi
ringan
kesehatan fisik
manusia tersebut diberi
skor 3
3. Skor 25-
27 :
kecema
san
sedang
diberi
skor 2
4. Skor >
27 :
kecema
san
berat
diberi 1

3 Penggunaan Kebiasaan 1. Asam Nominal Kuesioner 1. Tidak


obat antiinflamasi responden dalam mefenam menggu
non steroid konsumsi obat at nakan
antiinflamasi non obat
2. Diklofena
steroid diberi
k
3. Ibuprofen skor 0
4. Salisilat 2. Menggu
nakan
obat
diberi
skor 1

4 Merokok Merokok adalah 1. Perokok Nominal Kuesioner 1. Tidak


menghisap aktif merokok
gulungan tembakau 2. Perokok 2. Merokok
yang dibungkus pasif atau
dengan kertas. pernah
merokok

5 Mengkonsumsi Kebiasaan 1. Golongan Nominal Kuesioner 1. Tidak


alcohol responden dalam pertama mengko
konsumsi alcohol 2. Golongan nsumsi
sebelum atau saat kedua alkohol
sakit 3. Golongan 2. Mengko
ketiga nsumsi
alcohol
66

6 Variabel Rasa sakit pada observasi Nominal Diaganosa 1. Tidak


dependen perut bagian atas di gastritis
kejadian gastritis. tandai dengan rasa diberi
perih seperti nilai 0
ditusuk-tusuk pada 2. Gastritis
uluhati, disertai diberi
mual dan muntah. nilai 1
67

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Hasil Penelitian

Pada BAB ini peneliti akan membahas tentang gambaran umum

tempat penelitian dan hasil penelitian tentang Analisis faktor-faktor

Resiko yang Berhubungan dengan Kejadian Gastritis di Puskesmas

Tanjung Karang. Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 7-17 Mei

2018 dengan jumlah sampel 30 responden di Puskesmas Tanjung

Karang, adapun secara rinci diuraikan sebagai berikut:

1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Puskesmas Tanjung Karang adalah salah satu Puskesmas di

Kota Mataram, letaknya diapit antara Puskesmas Karang Pule dan

Puskesmas Ampenan.

Wilayah Puskesmas Tanjung Karang adalah 746 Km 2, yang

termasuk dalam 2 kecamatan yaitu kecamatan Sekarbela yang terdiri

dari Kelurahan Tanjung Karang, Kelurahan Tanjung Karang Permai,

dan Kekalik Jaya, dan kecamatan Ampenan yang terdiri dari

Kelurahan Ampenen Selatan, Kelurahan Banjar dan Kelurahan

Taman sari. Puskesmas Tanjung Karang dipimpin oleh seorang

kepala puskesmas.
68

2. Visi Misi Puskesmas Tanjung Karang

a. Visi

Terwujudnya Puskesmas Tanjung Karang dengan wilayah kerja

yang sehat dan mandiri tahun 2020

b. Misi

1) Mewujudkan petugas yang sehat dan mandiri melalui upaya

peningkatan kompetensi dan pemberdayaan tenaga

berdasarkan pertanggungjawaban wilayah kerja.

2) Mewujudkan pelayanan yang sehat dan mandiri pada

pelaksanaan upaya kesehatan wajib dan pilihan melalui upaya

bimbingan program, pengawasan, dan pengendalian.

3) Mewujudkan masyarakat di wilayah kerja menjadi sehat dan

mandiri melalui upaya pemberdayaan optimal UKBM.

4) Mewujudkan manajemen yang sehat dan mandiri melalui

mekanisme perencanaan, pencatatan dan pelaporan serta

evaluasi.

3. Ketenagaan

Jumlah Sumber Daya Manusia (SDM) kesehatan di Puskesmas

Tanjung Karang sebanyak46 orang yang terdiri dari 38 orang tenaga

kesehatan dan 7 orang tenaga non kesehatan yang di antaranya

meliputi pejabat struktural dan staf administrasi. Proporsi tenaga

kesehatan menurut 8 jenis tenaga kesehatan berdasarkanPeraturan

Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan yang


69

ada di Puskesmas Tanjung Karang adalah sebagai berikut 1 kepala

puskesmas 1 dokter umum, 1 dokter gigi, 2 laboraturium, 15 tenaga

perawat 15 tenaga bidan, 3 ahli gizi, 5 tenaga administrasi, 5 tenaga

umum.

B. Karakteristik Responden

1. Distribusi Responden Berdasarkan Umur

Dari hasil pengumpulan data dapat diketahui jumlah responden

berdasarkan umur seperti pada tabel berikut:

Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Umur di


Puskesmas Tanjung Karang Pada Tanggal 7-17 Mei
2018 (n=30)

No Umur n (%)
1 12-16 1 3
2 17-21 5 17
3 22-40 14 47
4 41-60 10 33
Total 30 100

Berdasarkan tabel 4 menunjukan bahwa kelompok umur

terbanyak adalah umur 22-40 tahun sebanyak 47 responden (47%)

2. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Dari hasil pengumpulan data dapat diketahui jumlah responden

berdasarkan jenis kelamin seperti pada tabel berikut:


70

Tabel 5. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di


Puskesmas Tanjung Pada Tanggal 7-17 Mei Tahun 2018
(n=30)

No Jenis Kelamin n (%)


1 Perempuan 13 43
2 Laki-laki 17 57
Total 30 100

Berdasarkan tabel 5 menunjukan bahwa kelompok jenis

kelamin sebagian besar responden adalah laki-laki sebanyak 17

responden (30%)

3. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Dari hasil pengumpulan data dapat diketahui jumlah responden

berdasarkan tingkat pendidikan seperti pada tabel berikut:

Tabel 6. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan


di Puskesmas Tanjung Pada Tanggal 7-17 Mei Tahun
2018 (n=30)

No Pendidikan n (%)
Pendidikan Sekolah Dasar
2 10 33
(SD, SMP)
Pendidikan Menengah Atas
3 6 20
(SMA) dan sederajat
Pendidikan Tinggi
4 12 40
(PT/AKADEMIK)
Total 30 100

Berdasarkan tabel 6. Menunjukan bahwa kelompok tingkat

pendidikan terbanyak adalah perguruan tinggi sebanyak 12

responden (40%)
71

4. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan

Dari hasil pengumpulan data dapat diketahui jumlah responden

berdasarkan pekerjaan seperti pada tabel berikut:

Tabel 7. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan Di


Puskesmas Tanjung Pada Tanggal 7-17 Mei Tahun 2018
(n=30)

No Pekerjaan n (%)
1 Bekerja 12 40
2 Tidak Bekerja 18 60
Total 30 100

Berdasarkan tabel 7. Menunjukan bahwa sebagian besar

responden adalah tidak bekerja sebanyak 18 responden (60%)

C. Gambaran Umum Responden

Berikut akan dipaparkan gambaran umum responden yang

meliputi distribusi responden menurut pola makan, stress, penggunaan

obat AINS, merokok, dan mengkonsumsi akohol.

1. Distribusi Responden Berdasarkan Pola makan

Setelah dilakukan penelitian di Puskesmas Tanjung Karang pada

penderita gastritis didapatkan bahwa pola makan pada penderita

gastritis sepertiterlihat pada tabel berikut:


72

Tabel 8. Distribusi Responden Berdasarkan Pola Makan di


Puskesmas Tanjung Karang Pada Tanggal 7-17 Mei
Tahun 2018

No Pola makan n (%)


1 Sangat baik 0 0
2 Baik 1 3

3 Risiko gangguan kesehatan 29 97


4 Risiko serius gangguan kesehatan 0 0
Total 30 100

Dari tabel 8 menunjukan bahwa sebagian besar responden

adalah yang memiliki pola makan berisiko gangguan kesehatan yaitu

sebanyak 29 responden (97%).

2. Distribusi Responden Berdasarkan Stres

Setelah dilakukan penelitian di Puskesmas Tanjung Karang di dapat


Stress responden seperti te rlihat pada tabel 5. berikut ini:

Tabel 9. Distribusi Responden Berdasarkan Stres di Puskesmas

Tanjung Karang Pada Tanggal 7-17 Mei Tahun 2018

No Stres N (%)

1 Tidak ada stres 0 0


2 Stres ringan 4 13

3 Stres sedang 23 77

4 Stres berat 3 10
Total 30 100

Dari tabel 9. Menunjukan bahwa sebagian besar responden

adalah yang mengalami stres sedang sebanyak 23 responden (77%)


73

dan yang paling sedikit adalah respoden yang mengalami stres yaitu 0

responden (0%).

3. Distribusi Responden Berdasarkan Penggunaan Obat AINS

Setelah dilakukan penelitian di Puskesmas Tanjung Karang diperoleh

hasil bahwa Penggunaan Obat AINS pasien penderita gastritis seperti

terlihat pada gambar 3 dibawah ini:

Tabel 10. Distribusi Responden Berdasarkan Penggunaan Obat


AINS di Puskesmas Tanjung Karang Pada Tanggal 7-
17 Mei Tahun 2018
No Obat AINS n (%)
1 Ya 11 37
2 Tidak 19 63
Total 30 100

Dari tabel 10. menunjukan bahwa sebagian responden adalah

yang tidak menggunakan obat sebanyak 19 responden (63%) dan

tidak merokok sebanyak 11 orang (37%)

4. Distribusi Responden Berdasarkan Merokok

Setelah Setelah dilakukan penelitian di Puskesmas Tanjung

Karang pada penderita gastritis didapatkan bahwa pasien Merokok

pada penderita gastritis seperti terlihat pada Tabel berikut:


74

Tabel 11. Distribusi Responde Berdasarkan Riwayat Merokok di


Puskesmas Tanjung Karang Pada Tanggal 7-17 Mei
Tahun 2018 (n=30)
No Merokok n (%)
1 Ya 17 57
2 Tidak 13 43
Total 30 100

Dari tabel 11. Menunjukan bahwa sebagian besar responden

adalah yang merokok sebanyak 17 responden (57%) dan tidak

merokok sebanyak 13 responden (43%)

5. Distribusi Responden Berdasarkan Mengkonsumsi Alkohol

Setelah dilakukan penelitian di Puskesmas Tanjung Karang

didapatkan kejadian gastritis seperti yang terlihat pada tabel 8.

dibawah ini:

Tabel 12. Distribusi Responde Berdasarkan Riwayat


Mengkonsumsi Alkohol di Puskesmas Tanjung
Karang Pada Tanggal 7-17 Mei Tahun 2018 (n=30)
No Alkohol n (%)
1 Ya 8 27
2 Tidak 22 73
Total 30 100

Dari tabel 12. Menunjukan bahwa sebagian responden adalah

yang tidak mengkonsumsi alkohol sebanyak 22 responden (73%) dan

mengkonsumsi alkohol sebanyak 8 orang (27%)


75

D. Gambaran Khusus Hasil Penelitian

1. Data kejadian gastritis di Puskesmas Tanjung karang pada

tanggal 7-17 mei tahun 2018.

Setelah dilakukan penelitian di Puskesmas Tanjung Karang

didapatkan kejadian gastritis seperti yang terlihat pada tabel 9.

dibawah ini

Tabel 13. Distribusi Responden Berdasarkan Kejadian


Gastritis Di Puskesmas Tanjung Karang pada
tanggal 7-17 mei tahun 2018 (n=30)

No Kejadian gastritis n (%)


2 Gastritis 30 100
3 Tidak gastritis 0 0
Jumlah 30 100

Berdasarkan tabel 13. Menunjukan bahwa peneliti hanya

melakukan penelitian pada pasien gastritis sebanyak 30

responden (100%).

2. Analisis Faktor-Faktor Resiko yang Berhubungan dengan

Kejadian Gastritis di Puskesmas Tanjung Karang Pada

Tanggal 7-17 Mei Tahun 2018.

a. Hubungan Pola Makan Dengan Kejadian Gastritis

Hubungan pola makan dengan kejadian gastritis dapat

dilihat pada tabel berikut:


76

Tabel 14. Hubungan Pola Makan Dengan Kejadian Gastritis


di Puskesmas Tanjung Karang Pada Tanggal 7-17
Mei Tahun 2018 (n=30).
Kejadian Gastritis Total
No Pola Makan Tidak
Gastritis % % n %
gastritis
1. Sangat baik 0 0 0 0 0 0
2 Baik 1 3 0 0 1 3
Resiko gangguan
3 29 97 0 0 29 97
kesehatan
Resiko serius
4 gangguan 0 0 0 0 0 0
kesehatan
Jumlah 30 100 0 0 30 100
Uji Chi-Square p value = 0,000

Berdasarkan tabel 14 menunjukkan bahwa sebagian besar

responden pada kelompok pola makan dengan resiko gangguan

kesehatan sebanyak 29 responden (97%) dan paling rendah

berada pada kelompok pola makan dengan sangat baik sebanya

0 responden (0%).

Setelah dilakukan uji statistik Chi Square di dapatkan nilai

p value = 0,000 < alpha = 0,05 hal ini berarti terdapat hubungan

antara pola makan dengan kejadian gastritis di Puskesmas

Tanjung Karang tahun 2018.

b. Hubungan Stres dengan Kejadian Gastritis

Hubungan stres dengan kejadian gastritis dapat dilihat pada tabel

berikut:
77

Tabel 15. Hubungan Pola Makan Dengan Kejadian Gastritis


di Puskesmas Tanjung Karang Pada tanggal 7-17
mei tahun 2018 (n=30).
Kejadian Gastritis Total
No Stres Tidak
Gastritis % gastritis % n %
1. Tidak ada 0 0 0 0 0 0
2 Ringan 4 13 0 0 4 13
3 Sedang 23 77 0 0 23 77
4 Berat 3 10 0 0 3 10
Jumlah 30 100 0 0 30 100
Uji Chi-Square p value = 0,00

Dari tabel 15. Menunjukan bahwa responden terbanyak

adalah resonden yang menggunakan obat AINS sebanyak 23

responden (77%) dan yang terendah adalah respoden yang

tidakmengalami stres yaitu 0 responden (0%).

Setelah dilakukan uji statistik Chi Square di dapatkan nilai

p value = 0,000 < alpha = 0,05 hal ini berarti terdapat

hubungan stres dengan kejadian gastritis di Puskesmas

Tanjung Karang tahun 2018.

c. Hubungan Mengkonsumsi Obat Anti Inflamasi Non Steroid

dengan Kejadian Gastritis

Hubungan mengkonsumsi obat anti inflamasi non steroid


dengan kejadian gastritis dapat dilihat pada tabel berikut:
78

Tabel 16. Hubungan Mengkonsumsi Obat Anti Inflamasi


Non Steroid dengan Kejadian Gastritis di
Puskesmas Tanjung Karang Pada Tanggal 7-17
Mei Tahun 2018 (N=30).

Kejadian Gastritis Total


No Obat AINS Tidak
Gastritis % % n %
Gastritis
1. Ya 11 37 0 0 11 37
2. Tidak 19 63 0 0 19 63
Jumlah 30 100 0 0 30 100
Uji Chi-Square p value = 0,715

Dari tabel 16. Menunjukkan bahwa responden terbanyak

adalah responden yang tidak mengugunakan obat AINS

sebanya 19 responden (63%) dan terendah sebanyak 11

responden (37%).

Setelah dilakukan uji statistik Chi Square di dapatkan nilai

p value = 0,715 > alpha = 0,05 hal ini berarti tidak terdapat

hubungan antara penggunaan obat AINS dengan kejadian

gastritis di Puskesmas Tanjung Karang tahun 2018.

d. Hubungan Merokok dengan Kejadian Gastritis

Hubungan merokok dengan kejadian gastritis dapat dilihat


pada tabel berikut:
79

Tabel 17. Hubungan Merokok Dengan Kejadian Gastritis di


Puskesmas Tanjung Karang Pada Tanggal 7-17
Mei Tahun 2018 (n=30).
Kejadian Gastritis Total
No Merokok Tidak
Gastritis % % n %
Gastritis
1. Ya 17 57 0 0 17 37
2. Tidak 13 43 0 0 13 63
Jumlah 30 100 0 0 30 100
Uji Chi-Square p value = 0,011

Dari tabel 17. Menunjukkan bahwa responden terbanyak

berada pada kelompok yang tidak merokok sebanyak 17

responden (63%) dan terendah sebanyak 11 responden (37%).

Setelah dilakukan uji statistik Chi Square di dapatkan

nilai p value = 0,011 < alpha = 0,05 hal ini berarti terdapat

hubungan antara penggunaan obat AINS dengan kejadian

gastritis di Puskesmas Tanjung Karang tahun 2018.

e. Hubungan Mengkonsumsi Alkohol dengan Kejadian

Gastritis

Hubungan mengkonsumsi mengkonsumsi alkohol dengan


kejadian gastritis dapat dilihat dari tabel berikut:
80

Tabel 18. Hubungan Mengkonsumsi Alkohol Dengan


Kejadian Gastritis di Puskesmas Tanjung
Karang Pada Tanggal 7-17 Mei Tahun 2018
(N=30).

Kejadian Gastritis Total


No Alkohol Tidak
Gastritis % % n %
Gastritis
1. Ya 8 27 0 0 8 27
2. Tidak 22 73 0 0 22 73
Jumlah 30 100 0 0 30 100

Uji Chi-Square p value = 0.465

Dari tabel 18 menunjukkan bahwa responden terbanyak

berada pada kelompok yang tidak mengkonsumsi alcohol

sebanyak 22 responden (73%) dan terendah sebanyak 8

responden (27%).

Setelah dilakukan uji statistik Chi Square di dapatkan

nilai p value = 0,465 > alpha = 0,05 hal ini berarti tidak terdapat

hubungan antara penggunaan obat AINS dengan kejadian

gastritis di Puskesmas Tanjung Karang tahun 2018.


81

BAB V

PEMBAHASAN

Bab ini akan membahas lebih lanjut tentang analisis faktor-faktor

resiko yang berhubungan dengan kejadian gastritis di puskesmas tanjung

karang tahun 2018.

A. Faktor-Faktor Resiko Yang Berhubungan Dengan Kejadian

Gastritis di Puskesmas Tanjung Karang

1. Faktor Pola Makan

Berdasarkan hasil penelitian responden sebagian besar

berada pada kelompok resiko gangguan kesehatan sebanyak 29

responden (97%).

Pola makan sehari-hari merupakan pola makan seseorang

yang berhubungan dengan kebiasaan makan setiap harinya.

Menurut Potter (2008), terjadinya gastritis dapat disebabkan oleh

pola makan yang tidak baik dan tidak teratur, yaitu frekuensi

makan, jenis, dan jumlah makanan, sehingga lambung menjadi

sensitif bila asam lambung meningkat.

Menurut Arifin (2012) bahwa kuantitas makanan yang

dikonsumsi penderita gastritis pada umumnya kurang baik,

sehingga mengakibatkan frekuensi kekambuhan gastritis sering.


82

Jenis makanan yang dikonsumsi penderita gastritis pada umumnya

tidak sesuai sehingga mengakibatkan frekuensi kekambuhan

gastritis oleh penderita gastritis yang lebih sering makanan yang

bersifat merangsang produksi asam lambung diantaranya,

makanan penghasil gas maupun mengandung banyak bumbu dan

rempah. Jadwal makan yang tidak teratur lebih sering menimbulkan

kekambuhan penyakit gastritis. Penderita gastritis mengalami

kekambuhan gastritis sering dengan mengkonsumsi jenis makanan

yang tidak sesuai. Dari hasil food recall 24 jam dapat dilihat bahwa

penderita gastritis masih banyak yang mengkonsumsi jenis

makanan yang dapat memproduksi peningkatan asam lambung

seperti makanan yang mengandung terlalu banyak cabe, sayuran

dan buah yang mengandung gas seperti kol, nangka, kembang kol,

serta minuman yang bersoda dan mengandung kafein seperti kopi.

Hal ini menunjukkan jenis makanan yang dikonsumsi dapat

mempengaruhi frekuensi kekambuhan gastritis pada responden.

Dari hasil pengisian kuesioner 30 responden pasien gastritis

yaitu 20 pertanyaan di dapatkan hasil bahwa terdapat terdapat niai

dibawah 50% seperti : pada no. 3 dengan jumlah 45% dengan

pertanyaan apakah responden makan atau minum setiap 3 jam

sekali, pada no. 8 dengan jumlah 35% denagn pertanyaan apakah

responden seorang pecandu alkohol, pada no. 13 dengan jumlah

36% dengan pertanyaan apakah responden makan satu kali dalam


83

sehari dan pada no. 15 dengan nilai 44% dengan pertanyaan saat

merasa kenyang, apakah responden menambah porsi makan.

Dimana setiap pertanyaan dijawab dengan hampir tidak pernah

diberi skor 1.

2. Faktor Stres

Berdasarkan hasil penelitian responden sebagian besar

berada pada kelompok stres sedang sebanyak 23 responden

(77%).

Stres merupakan perasaan subjektif mengenai ketegangan

mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidak

mampuan mengatasi suatu masalah atau tidak adanya rasa aman.

Perasaan tidak menentu tersebut pada umumnya tidak

menyenangkan ang nantinya akan menimbulkan atau disertai

dengan perubahan fisiologi atau psikologi (Kholil Lur Rochman,

2010).

Didalam kuesioner dengan 14 pertanyaan responden

cendrung lebih banyak mengalami hal-hal seperti tidur tidak pulas,

nyeri sebelum dan sesudah makan, rasa penuh dan kembung,

mual, muntah, perut melilit, gangguan pencernaan, buang air besar

lembek, sering menarik nafas dan mulut kering.

3. Faktor Obat Anti Inflamasi Non Steroid (AINS)


84

Berdasarkan hasil penelitian responden sebagian besar

berada pada kelompok yang tidak menggunakan obat anti

inflamasi non steroid (AINS) sebanyak 19 orang (63%).

Mengkonsumsi obat-obatan tertentu dapat menyebabkan

gastritis, obat AINS merupakan jenis obat yang memiliki efek

menyebabkan gastritis. Obat anti inflamasi non steroid bersifat

analgesik, antipiretik, dan anti-inflamasi. Sebagai analgesik, obat

antiinflamasi hanya meringankan gejala nyeri dengan intensitas

rendah sampai sedang. Sebagai antipiretik, obat anti inflamasi non

steroid akan menurunkan suhu badan hanya dalam keadaan

demam dan sebagai anti inflamasi hana meringankan gejala nyeri

dan inflamasi yang berkaitan dengan penakitnya secara

simtomatik.

Didalam pengisian kuesioner didapatkan hasil bahwa

responden lebih banyak yang tidak menggunakan obat anti

inflamasi non steroid sebanyak 19 orang, dan menggunakan obat

antiinflamasi sebanyak 11 orang dimana responden yang

menggunakan obat anti inflamasi non steroid merupakan

responden yang sring mengalami keluhan berupa demam, nyeri,

peradangan. Obat AINS merupakan obat yang bersifat analgesik,

antipiretik dan anti inflamasi.


85

4. Faktor Merokok

Berdasarkan hasil penelitian responden sebagian besar

berada pada kelompok yang merokok sebanyak 17 responden

(57%).

Rokok mengandung ± 4000 bahan kimia, asap yang

terkandung dalam rokok mengandung berbagai macam zat yang

sangat reaktif yang dapat mengakibatkan luka pada lambung.

Ketika seseorang merokok, nikotin akan mengerutkan dan melukai

pembulu darah pada dinding lambung. Iritasi ini memicu lambung

memprodusi asam lebih banyak dan lebih sering dari biasanya.

Nikotin juga memperlambat mekanisme kerja sel pelindung dalam

mengeluarkan sekresi getah yang berguna untuk melindungi

dinding dari serangan asam lambung. Jika sel pelindung tidak

mampu lagi menjalankan fungsinya dengan baik, maka akan timbul

gejala dari penyakit gastritis (Caldwell, 2009).

Dari hasil pengisian kuesioner didapatkan hasil bahwa lebih

banyak responden merokok seabanyak 17 orang dengan rata-rata

merokok ≥ 7 batang per hari.

5. Faktor Mengkonsumsi Alkohol

Berdasarkan hasil penelitian responden sebagian besar

berada pada kelompok responden yang tidak mengkonsumsi

alkohol sebanyak 22 responden (73%).


86

Konsumsi alkohol dalam jumlah sedikit akan merangsang

produksi asam lambung berlebih, nafsu makan berkurang, dan

mual. Hal tersebut merupakan gejala dari penyakit gastritis.

Sedangkan dalam jumlah banyak, alkohol dapat merusak mukosa

lambung.

Dari hasil pengisian kuesioner didapatkan hasil bahwa

sebagian responden adalah yang tidak mengkonsumsi alkohol hal

ini disebakan karena mayoritas responden adalah beragama islam

yang mengharamkan mengkonsumsi alkohol.

B. Analisis faktor-faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian

gastritis di puskesmas tanjung kara

1. Analisis faktor pola Makan dengan kejadian gastritis di

Puskesmas Tanjung Karang

Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar

responden mengalami resiko gangguan kesehatan sedang

sebanyak 29 responden (97%). Berdasarkan uji Chi square di

dapatkan hasil yang signifikan antara faktor stres dengan kejadian

gastritis dengan p = 0,000 < alpha = 0,05. Hal ini menunjukan

bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pola makan

dengan kejadian gastritis. Hal ini sesuai dengan teori yang

dikemukakan oleh Mansyoer (2009) yang mengatakan bahwa

seorang penderita penyakit gastritis akan mengalami keluhan nyeri

lambung, mual, muntah,lemas kembung dan terasa sesak, nyeri


87

pada ulu hati, tidak ada nafsu makan, wajah pucat, suhu badan

naik, keringat dingin, pusing atau bersendawa serta dapat terjadi

perdarahan pada saluran cerna.

Menurut peneliti hasil penelitian terhadap pola makan

penderita gastritis termasuk dalam pola makan yang mengganggu

kesehatan. Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh

Arifin (2012) mengatakan bahwa Kuantitas makanan yang

dikonsumsi penderita gastritis sering. Jenis makanan yang

dikonsumsi penderita gastritis pada umumnya kurang baik

sehingga mengakibatkan frekuensi kekambuhan gastritis sering.

Jenis makanan yang dikonsumsi penderita gastritis pada umumnya

tidak sesuai sehingga mengakibatkan frekuensi kekambuhan

gastritis pada penderita gastritis yang lebih sering. Makanan yang

bersifat merangsang produksi asam lambung diantaranya makanan

penghasil gas maupun mengandung banyak bumbu dan rempah.

Jadwal makan yang tidak teratur lebih sering menimbulkan

kekambuhan penyakit gastritis.

2. Analisis faktor stres Dengan Kejadian Gastritis di Puskesmas

Tanjung Karang

Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar

responden mengalami stres sedang sebanyak 23 responden

(77%). Berdasarkan uji Chi square di dapatkan hasil yang signifikan

antara faktor stres dengan kejadian gastritis dengan p = 0,000 <


88

alpha = 0,05. Hal ini menujukan bahwa terdapat hubungan antara

faktor stres dengan kejadian gastritis.

Hasil penelitian ini mendukung penelitian terdahulu dari

Saroiinsong, dkk (2014), bahwa ada hubungan yang signifikan

antara stres dengan kejadian gastritis. Atmaja (2011) dalam

penelitiannya juga menunjukan bahwa ada hubungan stres

terhadap kekambuhan gastritis. Hal yang sama juga diungkapkan

oleh Rahmawati (2011) bahwa stres memilki hubungan dengan

kekambuhan gastritis. Handayani, dkk (2012) dalam penelitiannya

bahwa penyakit gastritis merupakan salah satu penyakit psikomatik

yang alahsatu penyebabnya adalah stres.

Stres memiliki efek negatif melalui mekanisme neuroendokrin

terhadap saluran pencernaan sehingga beresiko untuk megalami

gastritis. Hal ini diperkuat dari penelitian Saroinsong dkk (2014)

yang mengemikakan bahwa efek stres pada saluran pencernaan

antara lain menurunkan saliva sehingga menyebabkan sulit

mrnrlan, peningkatan asam lambung.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Rahma, dkk (2013) bahwa terdapat hubungan yang bermakna

antara stres dengan kejadian gastritis dimana bahwa satu lagi

penyebab maag adalah stres. Sistem dari persyarafan dari otak

berhubungan ke lambung. Jadi, jika stres tanpa disadari akan

memicu terproduksinya asam lambung secara berlebihan. Asam


89

lambung yang berlebihan akan mengakibatkan munculnya rasa

nyeri pada lambung. Sedangkan menurut Hidayat, (2010)

mengatakan bahwa stres yang dialami seseorang dapat

menimbulkan reaksi pada tubuh. Berdasarkan hasil penelitian yang

didapatkan, responden terbanyak berada pada kategori stres

sedang, hal ini berdampak pada kejadian gastritis yang dibuktikan

dengan hasil uji statistik chie square nilai p < dari α= 0,05. Reaksi

pada sistem pencernaan dapat mengalami gangguan seperti

lambung terasa kembung, mual, pedih karena peningkatan asam

lambung (gastritis.)

3. Analisis Faktor Penggunaan Obat Anti Inflamasi Non Steroid

(AINS) Dengan Kejadian Gastritis di Puskesmas Tanjung

Karang

Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar

responden adalah tidak menggunakan obat anti inflamasi non

steroid (AINS) sebanyak 19 orang (63%). Berdasarkan uji Chi

square di dapatkan hasil antara faktor stres dengan kejadian

gastritis dengan p = 0,715 > alpha = 0,05 hal ini berarti tidak

terdapat hubungan antara penggunaan obat AINS dengan kejadian

gastritis

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sebagian besar

responden tidak menggunakan obat AINS. Obat AINS adalah satu

golongan obat besar yang secara kimia heterogen menghambat


90

aktifitas siklooksigenase, menyebabkan penurunan sintesis

prostaglandin dari asam arakhidonat. Prost aglandin mukosa

merupakan salah satu daktor defensive mukosa asam lambung

yang amat penting, selain menghambat produksi prostaglandin

mukosa, aspirin dan obat antiinflamasi nonsteroid tertentu dapat

merusak mukosa secara topical, kerusakan topical terjadi karena

kandungan asam dalam obat tersebut bersifat korosif sehingga

dapat merusak sel-sel epitel mukosa. Pemberian aspirin dan obat

antiinflamsi nonsteroid juga dapat menurunkan sekresi bikarbonat

dan mucus oleh lambung, sehingga kemampuan faktor defensive

terganggu. Jika pemakaian obat-obat tersebut hanya sesekali

kemungkinan terjadinya masalah lambung kan kecil. Tapi jika

pemakaiannya dilakukan secara terus menerus atau berlebihan

dapat mengakibatkan gastritis dan ulkus peptikum, pemakaian

setiah hari selama minimal 3 bulan dapat menyebabkan gastritis

(Rosniyanti, 2010)

Hasil penelitian yang dilakukan oleh wilda, dkk (2009) yang

menunjukan bahwa penggunaan obat AINS berkaitan erat dengan

kejadian gastritis. Adapun hasil penelitian yang dilakukan oleh

yanti (2010) yang menunjukan bahwa adanya hubungan yang

bermakna antara kebiasaan responden menggunakan obat AINS

dengan kejadian gastritis.


91

Dari hasil penelitian responden pada seluruh responden dan

konsep di atas peneliti menyimpulkan bahwa terbukti adanya

hubungan antara gastritis dengan penggunaan obat AINS, sesuai

dengan teori Rosniyanti, (2010) yang menyatakan bahwa

pemakaian obat secara terus-menerus atau berlebihan dapat

mengakibatkan gastritis.

4. Analisis Faktor Merokok Dengan Kejadian Gastritis Di

Puskesmas Tanjung Karang

Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar

responden sedang sebanyak 17 responden (57%). Berdasarkan

uji Chi square didapatkan hasil yang signifikan antara faktor

merokok dengan kejadian gastritis dengan p = 0,011 < alpha =

0,05 hal ini berarti terdapat hubungan antara merokok dengan

kejadian gastritis.

Hasil penelitian ini sama dengan yang dilakukan oleh

Redden, et al (2010) yang menunjukan bahwa merokok memiliki

hubungan yang bermakna dengan kejadian gastritis. Penelitian

Dempsey (2006) bahwa infeksi pada lambung banyak dialami oleh

perokok aktif. Zat ini sangat berbahaya bagi kesehatan manusia.

Selain nikotin, peningkatan paparan hidrokarbon, oksigen radikal

dan substansi turut bertanggung jawab pada berbagai dampak

rokok bagi kesehatan. Budianto, (2010).


92

Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sebagian besar

responden adalah perokok yang diperkuat dengan hasil uji statistik

chi square p < dari nilai α= 0,05, karena kandungan dari rokok

yang dapat memicu peningkatan asam lambung, sehingga

merokok merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan

kejadian gastritis.

5. Analisis Faktor Mengkonsumsi Alkohol Dengan Kejadian

Gastritis di Puskesmas Tanjung Karang

Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar

responden tidak mengkonsumsi alkohol sebanyak 22 responden

(73%). Berdasarkan uji Chi square di dapatkan faktor

mengkonsumsi alkohol dengan kejadian gastritis dengan p =

0,465 > alpha = 0,05 hal ini menunjukan bahwa tidak ada

hubungan antara alkohol dengan kejadian gastritis. Hal ini

disebabkan sebagian responden adalah tidak mengkonsumsi

alkohol. Meskipun dalam penelitian ini konsumsi alkohol bukan

merupakan faktor resiko kejadian gastritis tetapi konsumsi alkohol

harus dapat dihindari bahkan dihilangkan. Hal ini karena konsumsi

alkohol cukup berperan terhadap kejadian gastritis, seperti yang

dikemukakan oleh Olfa (2004) yang menunjukan bahwa orang

yang mengkonsumsi alkohol lebih beresiko dibandingkan dengan

yang tidak mengkonsumsi alkohol


93

Organ yang berperan dalam metabolisme alkohol adalah

hati dan lambung sehingga kebiasaan mengkonsumsi alkohol

dalam jangka panjang tidak hanya berupa kerusakan hati atau

sirosis tetapi juga kerusakan lambung. Dalam jumlah sedikit,

alkohol merangsang produksi asam lambung berlebih

mengakibatkan nafsu makan berkurang, mual sedangkan dalam

jumlah banyak, alkohol dapat merusak mukosa lambung,

memperburuk gejala tukak peptik dan mengganggu penyembuhan

tukak peptik. Alkohol mengakibatkan menurunnya kesanggupan

mencerna dan menyerap makanan karena ketidak cukupan enzim

pankreas dan perubahan morfologi serta fisiologi mukosa

gastrointestinal (Bayer, 2004).


94

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan pada bab sebelumnya dapat penulis

simpulkan sebagai berikut:

1. Sebagian besar responden adalah yang memiliki pola makan

berisiko gangguan kesehatan.

2. Sebagian besar responden adalah yang mengalami stres sedang

3. Sebagian besar responden adalah yang tidak menggunakan obat

anti inflamasi non steroid

4. Sebagian besar responden adalah yang merokok

5. Sebagian besar responden adalah adalah yang tidak

mengkonsumsi alkohol

6. Ada hubungan antara pola makan dengan kejaian gastritis di

Puskesmas Tanjung Karang Tahun 2018

7. Ada hubungan antara stress dengan kejaian gastritis di

Puskesmas Tanjung Karang Tahun 2018

8. Tidak ada hubungan penggunaan obat anti inflamasi non steroid

dengan kejaian gastritis di Puskesmas Tanjung Karang Tahun

2018

9. Ada hubungan antara merokok dengan kejaian gastritis di

Puskesmas Tanjung Karang Tahun 2018


95

10. Tidak ada hubungan mengkonsumsi alkohol dengan kejaian

gastritis di Puskesmas Tanjung Karang Tahun 2018

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka peneliti memberikan saran-

saran sebagai berikut:

1. Bagi instansi Pendidikan D.IV Keperawatan Mataram Jurusan

Keperawatan Mataram.

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang

faktor-faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian gastritis

khususnya dalam keperawatan Kritis

2. Bagi Pasien Gastritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang

gastritis dan pedoman untuk mencegah kejadian dan kekambuhan

gastritis

3. Bagi Institusi Pelayanan ( Puskesmas Tanjung Karang)

Sebagai bahan masukan untuk pencegahan dan penanggulangan

gastritis pada penderita gastritis.

4. Bagi Peneliti Lain

Dapat menjadi refrensi dalam penelitian hubungan pola makan

dengan kejadian gastritis bagi peneliti selanjutnya yang tertarik

untuk meneliti tentang analisis faktor-faktor resiko yang

berhubungan dengan kejadian gastritis.

Anda mungkin juga menyukai