Focus Group Discussion SK 4
Focus Group Discussion SK 4
TINGGINYA PREVALNCE TB
Disusun oleh:
KELOMPOK C01:
1. Roslintia Az-Zahra 15700081
2. Deo Apringga Ayu n 15700083
3. Ida Bagus Agung B 15700085
4. Putri Ummi Hanisah 15700087
5. Ni Nyoman Trianggastuti 15700089
6. Mirna Fauziah Laily 15700091
7. Desak Gede Candra H 15700093
8. Virsa Varisa Febriyanti 15700095
9. I Gede Rama Suarnanda 15700097
10. Vannisa Kurnia Angelina 15700099
11. Faishal Nur Fianto 15700101
12. I kadek Mande Dwiky 15700103
13. Anak Agung Gede Rama D 15700105
14. I Putu Yogie Mahendra P 15700107
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat-Nya
kepada kami untuk dapat menyelesaikan makalah yang berjudul "Penyakit Kusta ". Penulisan
laporan ini merupakan salah satu tugas untuk menjabarkan hasil diskusi yang telah dilakukan
sebelumnya.
Dalam menyelesaikan makalah ini, penyusun telah mendapat bantuan dari berbagai
pihak. Oleh sebab itu sudah selayaknya penyusun mengucapkan terima kasih kepada
dr.Gembong, M.kes yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan perhatian.
Juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
bantuan dan tidak sempat penyusun sebutkan satu per satu.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN DEPAN......................................................................................................... i
BAB I. PENDAHULUAN…..……………………………….......................………….…. 1
2.1 ANALISA......................................................................................................... 4
2.2 TUBERKULOSIS............................................................................................ 6
DAFTAR PUSTAKA…………….………………………………..…..………………… 26
BAB I
PENDAHULUAN
Tuberkulosis masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama di dunia.
Setiap tahun terdapat 9 juta kasus baru dan kasus kematian hampir mencapai 2 juta manusia.
Di semua negara telah terdapat penyakit ini, tetapi yang terbanyak di Afrika sebesar 30%,
Asia sebesar 55%, dan untuk China dan India secara tersendiri sebesar 35% dari semua kasus
tuberkulosis.
Laporan WHO (global reports 2010), menyatakan bahwa pada tahun 2009 angka
kejadian TB di seluruh dunia sebesar 9,4 juta (antara 8,9 juta hingga 9,9 juta jiwa) dan
meningkat terus secara perlahan pada setiap tahunnya dan menurun lambat seiring didapati
peningkatan per kapita. Prevalensi kasus TB di seluruh dunia sebesar 14 juta (berkisar 12 juta
tiga menjadi peringkat ke lima di dunia, namun hal ini dikarenakan jumlah penderita TB di
Estimasi prevalensi TB di Indonesia pada semua kasus adalah sebesar 660.000 dan
estimasi insidensi berjumlah 430.000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB
diperkirakan 61.000 kematian per tahun. Selain itu, kasus resistensi merupakan tantangan
menciptakan kasus baru penderita TB yang resistensi primer, pada akhirnya mengarah pada
kasus multi-drug resistance (MDR). Ketika dilaporkan adanya beberapa kasus resistensi obat
TB di beberapa wilayah di dunia hingga tahun 1990-an, masalah resistensi ini belum
dipandang sebagai masalah yang utama. Penyebaran TB-MDR telah meningkat oleh karena
lemahnya program pengendalian TB, kurangnya sumber dana dan isolasi yang tidak adekuat,
tindakan pemakaian ventilasi dan keterlambatan dalam menegakkan diagnosis suatu TB-
MDR.
Pada tahun 2005 penelitian di Makasar yang dilakukan Nikmawati dan kawan-kawan
mendapatkan hasil kultur sputum yang diduga tuberkulosis dari 236 sampel. Didapatkan 70
sampel (30%) terjadi pertumbuhan pada kultur, dan 166 (70%) sampel tidak terdapat
pertumbuhan. Dimana hasil uji sensitivitas terhadap obat anti tuberkulosis menunjukkan
persentase TB-MDR lebih tinggi dari pada yang sensitif terhadap OAT. Presentase yang
resisten terhadap INH dan Rifampisin sebanyak 40 (57,1%), resisten terhadap INH,
Rifampisin dan Etambutol sebanyak 25 (35,7%), resisten terhadap INH, Rifampisin dan
Streptomisin sebanyak 28 (40%) dan resisten terhadap keempat OAT (INH, Rifampisin,
Etambutol dan Streptomisin) sebanyak 20 (28,6%). Sedangkan hasil penelitian uji sensitivitas
yang dilakukan oleh Departemen Mikrobiologi FKUI tahun 2003 dengan persentase kasus
TB-MDR sebanyak 5,7% dan juga hasil penelitian TB-MDR di Bulgaria pada tahun 1989
kawan mendapatkan prevalensi kasus resistensi primer pada satu atau lebih dari satu obat
peroleh sebesar 5,4 %, isoniazid (INH) 7,6 %, Rifampisin (R) 2,2%, Etambutol (E) sebesar
1,8 % dan Pirazinamid (Z) sebesar 3,3 %. Resistensi terhadap satu jenis OAT sebesar 6,8 %,
terhadap dua jenis obat 1,5%, Terhadap tiga jenis OAT sebesar 1,8 %, empat macam OAT
sebesar (0,9 %), dan sebesar 0,3% resistensi terjadi pada kelima OAT.
resistensi primer pada penderita tuberkulosis paru kasus baru. Didapatkan dengan hasil pola
resisten sebagai berikut: resistensi terhadap Streptomisin sebanyak 13 orang (26%), Isoniazid
8 orang (16%), Etambutol 8 orang (16%), Rifampisin 4 orang (8%) dan Pirazinamid 1
(0,2%). Sedangkan di Indonesia TB-MDR telah diperoleh sebanyak 2 orang (0,4%) pasien.
Penelitian resistensi primer oleh Namaei dkk di Iran pada tahun 2005, meneliti dari
105 isolat yang diperiksa, 93 berasal dari spesimen paru, selebihnya ekstra paru. Dijumpai
BTA positif dengan pewarnaan langsung 79,6% spesimen paru dan 50% spesimen ektra paru.
Setelah dilakukan pemeriksaan kultur dan uji resistensi didapatkan resistensi primer pada satu
obat sebesar 29,5%, resisten primer lebih dari satu obat sebesar 2,9%, sedangkan MDR
untuk menetapkan kasus dengan BTA (+), dan penanganan kasus termasuk peran Pengawas
Menelan Obat (PMO) yang dapat berpengaruh pada tingkat kepatuhan penderita untuk
Penelitian TB-MDR di kota Surakarta oleh Nugroho pada tahun 2003 didapatkan
prevalensi TB-MDR primer sebesar 1,6 %, sedangkan TB-MDR sekunder 4,19 %. Risiko
relatif untuk terjadinya TB-MDR pada penderita DM sebesar 37,9 kali dibandingkan dengan
Resistensi ganda merupakan hambatan dan menjadi masalah yang paling besar
pengobatan TB-MDR relatif lebih rendah, disamping itu lebih sulit, mahal dan lebih banyak
efek samping yang akan ditimbulkannya. Masalah lain, penyebaran resistensi obat di
berbagai negara sering tidak diketahui serta penatalaksanaan penderita TB-MDR tidak
adekuat.
Semakin jelas bahwa kasus resistensi merupakan masalah besar dalam pengobatan
pada masa sekarang ini. WHO memperkirakan terdapat 50 juta orang di dunia yang telah
terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis yang telah resisten terhadap OAT dan dijumpai
273.000 (3,1%) dari 8,7 juta TB kasus baru pada tahun 2000.
I.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor yang menyebabkan tingginya angka TB di Puskesmas
Sukamandi dan mengetahui cara menurunkan prevalensi TB di Kecamatan
Sukamandi.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui penyebab kurangnya penyuluhan TB
b. Mengetahui peranan rendahnya PMO pada prevalensi TB
c. Mengetahui peranan kondisi lingkungan pada prevalensi TB
d. Mengetahui peranan kondisi kepadatan hunian pada prevalensi TB
e. Mengetahui peranan kondisi sosial ekonomi pada prevalensi TB
f. Mengetahui prioritas dalam menurunkan prevalensi TB
BAB II
ANALISA DATA
2.1 Analisa
Skenario
Dokter dari Puskesmas Sukamandi ingin melaksanakan program menekan
tingginya prevalensi diwilayahnya. Prevalensi Tb di daerahnya termasuk tertinggi di
Kabupaten. Angka prevalensi Kecamatan Sukamandi 455/100.000 penduduk
sedangkan angka prevalensi Kecamatan kesuluruhan sekitar 385/100.000 penduduk.
Dokter Puskesmas tersebut ingin membuat program yang mungkin dapat
menurunkan angka prevalensi dengan menggunakan beberapa faktor risiko terjadinya
tingginya angka prevalensi Tb tersebut. Dalam analisi odds ratio dari penelitian yang
dilakukan terlihat sebagai berikut :
Faktor risiko Odds ratio Keterangan
1. Kurangnya penyuluhan 2 OR>1
Tb
2. Rendahnya PMO 9 OR>1
3. Kondisi lingkungan 5 OR>1
4. Kepadatan hunian 6 OR>1
5. Rendahnya pengertian 0,2 OR<1
PHBS
6. Rendahnya pendidikan 1 OR=1
7. Kodisi sosial ekonomi 4 OR>1
Dari data pada skenario diatas dapat dianalisis permasalahan sebagai berikut :
a. Tingkat pengetahuan kader dan petugas tentang tugas dan fungsi PMO
b. Motivasi PMO menurun dikarenakan tidak adanya reward, misalnya tidak digaji
c. Sarana transportasi tidak menujang untuk kerumahpasien TB yang jauh
d. Pelaporan kurang memadai, biarpun pasien rajin minum obat namun PMO jarang
melaporkan maka perhitungan tempo waktu jangka sembuh pasien di puskesmas
menjadi rancu.
2.2.2 Etiologi
Mycobacterium tuberculosis merupakan penyebab dari TB paru. kuman ini
bersifat aerob sehingga sebagian besar kuman menyerang jaringan yang memiliki
konsentrasi tinggi seperti paru-paru. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai
sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, oleh karena itu disebut
sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman ini cepat mati dengan sinar matahari
langsung, tetapi dapat bertahan hidup sampai beberapa jam di tempat yang gelap
dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman (tertidur lama) selama
beberapa tahun (Depkes RI, 2002; Aditama, 2002).
2.2.3 Epidemiologi
WHO menyatakan bahwa dari sekitar 1,9 milyar manusia, sepertiga
penduduk dunia ini telah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis. Pada tahun 1993
WHO juga menyatakan bahwa TB sebagai reemerging disease. Angka penderita
TB paru di negara berkembang cukup tinggi, di Asia jumlah penderita TB paru
berkisar 110 orang penderita baru per 100.000 penduduk.
Hasil survey prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa
angka prevalensi TB BTA positif secara nasional 110 per 100.000 penduduk.
Secara regional prevalensi TB BTA positif di Indonesia dikelompokkan dalam 3
wilayah, yaitu: 1. wilayah Sumatera angka prevalensi TB adalah 160 per 100.000
penduduk, 2. wilayah Jawa dan Bali angka prevalensi TB adalah 110 per 100.000
penduduk, 3. wilayah Indonesia Timur angka prevalensi TB adalah 210 per
100.000 penduduk. Khusus untuk propinsi DIY dan Bali angka prevalensi TB
adalah 68 per 100.000 penduduk. Berdasar pada hasil survey prevalensi tahun
2004, diperkirakan penurunan insiden TB BTA positif secara Nasional 3-4 % setiap
tahunnya.
2.2.4 Patofisiologi
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang
terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi
oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit
kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB.
Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan
kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam
makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di
tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus
Primer GOHN.
Dari focus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi focus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran
limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika focus
primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat
adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika focus primer terletak di apeks
paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan
gabungan antara focus primer, kelenjar limfe regional yang membesar
(limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini
berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu
yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa
inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang
waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga
mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons
imunitas seluler.
Gejala-gejala TB Paru adalah batuk terus menerus dan berdahak selama tiga,
batuk bercampur darah, sesak napas dan nyeri dada, badan lemah, nafsu makan
berkurang, berat badan turun, rasa kurang enak badan (lemas), demam meriang
berkepanjangan, berkeringat di malam hari walaupun tidak melakukan kegiatan.
(Kementrian Kesehatan RI, 2010)
1. Agent
Agent adalah faktor esensial yang harus ada agar penyakit dapat terjadi. Agent
dapat berupa benda hidup, tidak hidup, energi, sesuatu yang abstrak, suasana
sosial, yang dalam jumlah yang berlebih atau kurang merupakan penyebab
utama/esensial dalam terjadinya penyakit ( Soemirat, 2010). Agent yang
mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis adalah kuman Mycobacterium
tuberculosis.
2. Host
Host atau pejamu adalah manusia atau hewan hidup, termasuk burung dan
arthropoda yang dapat memberikan tempat tinggal dalam kondisi alam. Manusia
merupakan reservoar untuk penularan kuman Mycobacterium tuberculosis, kuman
tuberkulosis menular melalui droplet nuclei. Seorang penderita tuberkulosis dapat
menularkan pada 10-15 orang (Depkes RI, 2002).
Host untuk kuman tuberkulosis paru adalah manusia dan hewan, tetapi host yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah manusia. Beberapa faktor host yang
mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis paru adalah :
a. Jenis kelamin Beberapa penelitian menunjukan bahwa laki-laki sering terkena
TB paru dibandingkan perempuan. Hal ini terjadi karena laki-laki memiliki
aktivitas yang lebih tinggi dibandingkan perempuan sehingga kemungkinan
terpapar lebih besar pada laki-laki (dalam Sitepu, 2009).
b. Umur Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia
produktif yaitu 15-50 tahun (Kementrian Kesehatan RI,2010). Karena Pada
usia produktif selalu dibarengi dengan aktivitas yang meningkat sehingga
banyak berinteraksi dengan kegiatan kegiatan yang banyak pengaruh terhadap
resiko tertular penyakit TB paru.
c. Kondisi sosial ekonomi WHO 2003 menyebutkan 90% penderita tuberkulosis
paru di dunia menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin
(dalam Fatimah,2008). Penurunan pendapatan dapat menyebabkan kurangnya
kemampuan daya beli dalam memenuhi konsumsi makanan sehingga akan
berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status gizi buruk maka akan
menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun sehingga memudahkan terkena
infeksi TB Paru.
d. Kekebalan dibagi menjadi dua macam, yaitu : kekebalan alamiah dan buatan.
Kekebalan alamiah didapatkan apabila seseorang pernah menderita
tuberkulosis paru dan secara alamiah tubuh membentuk antibodi, sedangkan
kekebalan buatan diperoleh sewaktu seseorang diberi vaksin BCG (Bacillis
Calmette Guerin). Tetapi bila kekebalan tubuh lemah maka kuman
tuberkulosis paru akan mudah menyebabkan penyakit tuberkulosis paru (
dalam Fatimah, 2008)
e. Status gizi Apabila kualitas dan kuantitas gizi yang masuk dalam tubuh cukup
akan berpengaruh pada daya tahan tubuh sehingga tubuh akan tahan terhadap
infeksi kuman tuberkulosis paru. Namun apabila keadaan gizi buruk maka
akan mengurangi daya tahan tubuh terhadap penyakit ini, karena kekurangan
kalori dan protein serta kekurangan zat besi, dapat meningkatkan risiko
tuberkulosis paru (dalam Sitepu, 2009).
3. Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar dari host, baik benda tidak
hidup, benda hidup, nyata atau abstrak, seperti suasana yang terbentuk akibat
interaksi semua elemen-elemen tersebut, termasuk host yang lain (Soemirat,
2010). Faktor lingkungan memegang peranan penting dalam penularan, terutama
lingkungan rumah yang tidak memenuhi syarat. Lingkungan rumah merupakan
salah satu faktor yang memberikan pengaruh besar terhadap status kesehatan
penghuninya.
Kondisi Fisik Rumah Rumah sehat menurut Departemen Kesehatan Republik
Indonesia (2005), merupakan bangunan tempat tinggal yang memenuhi syarat
kesehatan yaitu rumah yang memiliki jamban yang sehat, sarana air bersih, tempat
pembuangan sampah, sarana pembuangan air limbah, ventilasi yang baik,
kepadatan hunian rumah yang sesuai dan lantai rumah yang tidak terbuat dari
tanah. Rumah adalah salah satu persyaratan pokok bagi kehidupan manusia. Bagi
sebagian besar masyarakat, rumah merupakan tempat berkumpul bagi semua
anggota keluarga dan menghabiskan sebagian besar waktunya. Namun, yang perlu
diingat kondisi kesehatan perumahan juga sangat berperan sebagai media
penularan penyakit diantara anggota keluarga atau tetangga sekitarnya (Winarsih,
2007).
Rumah yang tidak sehat merupakan penyebab dari rendahnya taraf kesehatan
jasmani dan rohani yang memudahkan terjangkitnya penyakit dan mengurangi
daya kerja atau daya produktif seseorang. Rumah tidak sehat ini dapat menjadi
reservoir bagi seluruh lingkungan. Timbulnya permasalahn kesehatan di
lingkungan pemukiman pada dasarnya disebabkan karena tingkat kemampuan
ekonomi masyarakat yang rendah, karena rumah dibangun berdasarkan
kemampuan keuangan penghuninya.
Adapun syarat-syarat yang dipenuhi oleh rumah sehat secara fisiologis yang
berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis paru antara lain :
a.Ventilasi
Ventilasi adalah usaha untuk memenuhi kondisi atmosfer yang menyenangkan
dan menyehatkan manusia (Dalam Tobing, 2009). Jendela dan lubang ventilasi
selain sebagai tempat keluar masuknya udara juga sebagai lubang pencahayaan
dari luar, menjaga aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Rumah sehat
harus memiliki ventilasi atau lubang udara. Ventilasi berfungsi untuk menjaga
aliran udara didalam rumah tetap lancar sehingga rumah tidak pengap,
keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah juga tetap terjaga.
Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen didalam rumah yang
berarti karbon dioksida yang bersifat racun dapat meningkat (Winarsih,2007).
Ventilasi juga berfungsi untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri
terutama bakteri pathogen misalnya bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri
yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir.
b. Kelembaban Rumah
Kelembaban merupakan sarana yang baik untuk pertumbuhan
mikroorganisme, termasuk kuman tuberkulosis sehingga viabilitas lebih lama
(Dalam Sitepu, 2009). Secara umum penilaian kelembaban dalam rumah
denganmenggunakan hygrometer. Kelembaban udara dalam rumah minimal 40%
– 70. Bila kondisi suhu ruangan tidak optimal, misalnya terlalu panas akan
berdampak pada cepat lelahnya saat bekerja dan tidak cocoknya untuk istirahat.
Sebaliknya, bila kondisinya terlalu dingin akan tidak menyenangkan dan pada
orang-orang tertentu dapat menimbulkan alergi (Depkes,2007).
Hal ini perlu diperhatikan karena kelembaban dalam rumah akan
mempermudah berkembang biaknya mikroorganisme. Mikroorganisme tersebut
dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara , selain itu kelembaban yang tinggi
dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering sehingga kurang
efektif dalam menghadang mikroorganisme. Kelembaban udara yang meningkat
merupakan media yang baik untuk kuman-kuman termasuk kuman tuberkulosis.
c. Pencahayaan
Cahaya matahari selain berguna untuk menerangi ruang juga sangat baik bagi
kesehatan karena dapat membunuh bibit penyakit seperti kuman TB
(Winarsih,2007). Depkes RI,1994 mengemukakan bahwa : “Sinar matahari dapat
dimanfaatkan untuk pencegahan penyakit tuberkulosis paru, dengan
mengusahakan masuknya sinar matahari pagi ke dalam rumah. Cahaya matahari
masuk ke dalam rumah melalui jendela atau genteng kaca. Diutamakan sinar
matahari pagi mengandung sinar ultraviolet yang dapat mematikan kuman”
(dalam Fatimah, 2008). Oleh sebab itu, rumah dengan standar pencahayaan yang
buruk sangat berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis.
e. Lantai rumah
Lantai yang tidak memenuhi syarat dapat dijadikan tempat hidup dan
perkembangbiakan kuman dan vektor penyakit, menjadikan udara dalam ruangan
lembab, pada musim panas lantai menjadi kering sehingga dapat menimbulkan
debu yang berbahaya bagi penghuninya. Keadaan lantai rumah perlu dibuat dari
bahan yang kedap terhadap air seperti tegel, semen atau keramik. Secara hipotesis
jenis lantai rumah memiliki peran terhadap proses kejadian tuberkulosis, melalui
kelembaban dalam ruangan. Lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban,
dengan demikian viabilitas kuman tuberkulosis di lingkungan juga sangat
dipengaruhi.
2.2.7 Pencegahan TB
2. Pasien TB harus menutup mulutnya pada waktu bersin dan batuk karena pada
saat bersin dan batuk ribuan hingga jutaan kuman TB keluar melalui percikan
dahak. Kuman TB yang keluar bersama percikan dahak yang dikeluarkan pasien
TB saat :
b. Membuka jendela dan pintu setiap pagi agar udara dan sinar matahari masuk.
c. Aliran udara (ventilasi) yang baik dalam ruangan dapat mengurangi jumlah
kuman di udara. Sinar matahari langsung dapat mematikan kuman.
g. Mencuci peralatan makan dan minuman dengan air bersih mengalir dan
memakai sabun.
h. Mencuci tangan dengan air bersih mengalir dan memakai sabun. Tanpa
pengobatan, setelah lima tahun, 50% dari penderita Tuberkulosis Paru akan
meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi, dan
25% sebagai kasus kronik yang tetap menular (Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis, 2011).
2.2.8 Program penanggulangan TB
Proses Masukan
Rendahnya PMO
Tingginya
Kepadatan hunian Kondisi Lingkungan prevalensi TB
Lingkungan
2.5 Pembahasan
BAB III
RENCANA PROGRAM
Keterangan :
P : Prioritas jalan keluar
M : Magnitude, besarnya masalah yang bisa diatasi apabila solusi ini
dilaksanakan ( turunnya prevelensi dan besarnya masalah lain)
I : Implementasi, kelanggengan selesainya masalah
V : Vulnerability, sensitifnya dalam mengatasi masalah
C : Cost, biaya yang diperlukan
4 Promosi Warga desa Meningkat 1 kali Memberi Balai desa Tenaga 1 kali Tenaga
kesehatan di Kec. kan kan kesehata kesehat
Sukamandi pengetahu pengetah n dan an,
an tentang uan puskesm dana,
PHBS tentang as poster,
PHBS masker
dan
pencegah
an
penulara
n TB,
serta
mudahny
akses ke
puskesm
as
terdekat
5 Kerja bakti Lingkungan Meningkat 1 Gotong Di sekitar Seluruh Setiap Alat
sekitar kan minggu royong, tempat warga hari kebersi
tempat kebersihan per kali dan tinggal secara Minggu han,
tinggal lingkunga menyedi penduduk bergantia dana,
n rumah akan n alat
dan fasilitas pembua
sekitarnya untuk ngan
kebersih sampah
an
lingkung
an
1. Penyuluhan TB
Penyuluhan ini ditujukan untuk semua warga desa yang berada di Kecamatan
Sukamandi karena tingginya prevalensi TB pada daerah tersebut. Dengan adanya
penyuluhan, diharapkan agar bisa mengikuti penyuluhan tersebut dan menerapkannya
dalam kehidupan sehari-hari. Di mana pengetahuan mengenai pengertian, faktor
risiko, gejala-gejala, bahaya TB, pencegahan, pengobatan TB bisa diketahui oleh
warga desa. Agar upaya dalam penyuluhan TB ini dapat menurunkan tingginya
prevalensi TB di wilayah Puskesmas Sukamandi.
4. Promosi Kesehatan
Promosi kesehatan ini bertujuan untuk mengetahui PHBS (perilaku hidup
bersih dan sehat) melalui poster – poster, guna keluarga dapat menolong diri sendiri di
bidang kesehatan dan berperan aktif dalam kegiatan – kegiatan kesehatan masyarakat.
Selain itu juga memberikan kemudahan bagi pasien dan keluarga pasien untuk
mencegah tertularnya penyakit TB melalui pemberian masker, sehingga semua
masyarakat yang menderita TB sadar bahwa pentingnya mencegah itu lebih baik
daripada mengobati.
5. Kerja Bakti
Salah satu faktor yang meningkatkan angka prevalensi penyakit menular,
khususnya TB adalah lingkungan tempat tinggal dan lingkungan sekitar yang kotor
dan padat. Penyebab penyakit TB ini adalah bakteri yang dapat berkembang biak
didaerah yang kotor, padat, kurangnya pencahayaan dan ventilasi yang kurang.
Dengan adanya program kerja bakti ini dapat meningkatkan kebersihan lingkungan
dan mencegah berkembang biaknya bakteri sehingga upaya kerja bakti ini dapat
menurunkan angka prevalensi TB di daerah tersebut.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulaan
Saran