Anda di halaman 1dari 13

JURNAL PRAKTIKUM KIMIA ANALITIK II

Titrasi Iodometri

Standarisasi Larutan Na2S2O3 dan Aplikasi Penentuan Kadar Cl2


dalam Pemutih Bayclin

Oleh :

YAYUK PUJI LESTARI

18030234016 / KB 2018

Universitas Negeri Surabaya

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Jurusan Kimia

Prodi S-1 Kimia

2019
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Analisis kuantitatif merupakan penentuan berapa zat tertentu ada di
dalam suatu sampel. Zat yang ditentukan, sering ditunjukkan sebagai zat yang
diinginkan atau analit, dapat terdiri dari sebagian kecil atau besar sampel yang
dianalisis. Dalam analisis kimia kuantitatif, banyak sekali dilakukan analisis
dengan menggunakan metode analisis kimia. Analisis tersebut dapat dilakukan
dengan berbagai cara dalam mengalisisnya salah satunya melalui titrasi
Iodometri dan Iodimetri.
Titrasi iodometri dan iodimetri adalah salah satu metode titrasi yang
didasarkan pada reaksi oksidasi reduksi. Metode ini lebih banyak digunakan
dalam analisa jika dibandingkan dengan metode lain. Alasan dipilihnya
metode ini karena perbandingan stoikometri yang sederhana serta
pelaksanannya yang praktis dan mudah.
Iodometri atau titrasi tidak langsung dilakukan terhadap zat-zat oksidator
berupa garam-garam besi (III) dan tembaga sulfat dimana zat-zat oksidator ini
direduksi dahulu dengan KI dan iodin dalam jumlah yang setara dan
ditentukan kembali dengan larutan natrium tiosulfat baku. Titrasi Iodometri
digunakan untuk menentukan kadar dari zat-zat uji yang bersifat reduktor
dengan titrasi langsung, sedangkan untuk iodimetri adalah kebalikannya.
Iodometri dan iodimetri sendiri paling sering digunakan dalam metode
titrasi redoks karena selain larutan standar yang dipakai mudah untuk
didapatkan, dalam pengerjaanya juga tidak membutuhkan waktu yang lama,
sehingga lebih memudahkan untuk mengetahui penentuan kadar dari suatu
sampel.
Pada percobaan yang akan dilakukan yaitu titrasi Iodometri aplikasi
penentuan kadar Cl2 dalam pemutih pakaian. Pemutih pakaian digunakan
untuk menghilangkan noda membandel yang menempel pada pakaian.
Pemutih yang beredar dipasaran, umumnya mengandung senyawa hipoklorit
sebagai bahan aktifnya. Larutan pemutih mengandung senyawa natrium
hipoklorit (NaClO) dengan kadar 5,25 %, sedangkan serbuk pemutih
mengandung senyawa kalsium hipoklorit Ca(ClO)2.
Pada percobaan ini yaitu titrasi Iodometri dengan menentukan
standarisasi larutan Na2S2O3 dan aplikasinya penentuan kadar Cl2 dalam
pemutih. Sampel yang akan digunakan pada praktikum ini adalah pemutih
bermerk Bayclin.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana cara menentukan standarisasi larutan Na2S2O3?
2. Bagaimana menentukan kadar Cl2 dalam pemutih Bayclin?

1.3 Tujuan
1. Menentukan standarisasi larutan Na2S2O3
2. Menentukan kadar Cl2 dalam pemutih Bayclin
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Titrasi Iodometri


Titrasi iodo-iodimetri adalah salah satu metode titrasi yang didasarkan
pada reaksi oksidasi-reduksi. Metode titrasi langsung dinamakan iodimetri
mengacu kepada titrasi dengan suatu iod standar. Sedangkan metode titrasi
tak langsung dinamakan iodometri adalah berkenaan dengan titrasi dari iod
yang dibebaskan dalam reaksi kimia (Rohman, 2007).

Prinsip Iodo-Iodimetri
Pada titrasi iodometri, analit yang dipakai adalah oksidator yang dapat
bereaksi dengan I- (iodida) untuk menghasilkan I2, I2 yang terbentuk secara
kuantitatif dapat dititrasi dengan larutan tiosulfat. Dari pengertian diatas maka
titrasi iodometri dapat dikategorikan sebagai titrasi kembali (Bassett, 1994).
Iodida adalah reduktor lemah dan dengan mudah akan teroksidasi jika
direaksikan dengan oksidator kuat. Iodida tidak dipakai sebagai titran, hal ini
disebabkan karena faktor kecepatan reaksi dan kurangnya jenis indikator yang
dapat dipakai untuk iodida. Oleh sebab itu titrasi kembali merupakan proses
titrasi yang sangat baik untuk titrasi yang melibatkan iodida. Senyawa iodida
umumnya KI ditambahkan secara berlebih pada larutan oksidator sehingga
terbentuk I2. I2 yang terbentuk adalah ekuivalen dengan jumlah oksidator
yang akan ditentukan. Jumlah I2 ditentukan dengan menitrasi I2 dengan
larutan standar tiosulfat (umumnya yang dipakai adalah Na2S2O3) dengan
indikator amilum, jadi perubahan warnanya dari biru tua kompleks amilum-
I2 sampai warna ini tepat hilang. Reaksi yang terjadi pada titrasi iodometri
untuk penentuan iodat adalah sebagai berikut:
IO3- + 5 I- + 6H+  3I2 + H2O
I2 + 2 S2O32-  2I- + S4O62-
(Bassett, 1994).
Jadi, prinsip dasar dari titrasi iodometri adalah zat uji (oksidator) mula-mula
direaksikan dengan ion iodida berlebih, kemudian iodium yang dihasilkan
dititrasi dengan larutan tiosulfat.
Oksidator + KI  I2 + 2e
I2 + Na2S2O3  NaI + Na2S4O6
(Bassett, 1994).
Sedangkan prinsip dasar dari titrasi iodimetri adalah zat uji (reduktor)
langsung dititrasi dengan larutan iodium. dimana I2 sebagai larutan
standardnya (Bassett, 1994).
Dalam kebanyakan titrasi langsung dengan iod (iodimetri), digunakan
suatu larutan iod dalam kalium iodida, dan karena itu spesi reaktifnya adalah
ion tri-iodida, I3-. Untuk tepatnya, semua persamaan yang melibatkan reaksi-
reaksi iod seharusnya ditulis dengan I3- dan bukan dengan I2, misalnya:
I3- + 2S2O32-  3I- + S4O62-
akan lebih akurat daripada:
I2 + 2S2O32-  2I- + S4O62-
(Bassett, 1994).

Natrium Tiosulfat sebagai Titran


Larutan standar yang umum digunakan dalam proses iodometri adalah
natrium thiosulfat. Natrium tiosulfat biasanya dibeli sebagai pentahidrat,
Na2S2O3. 5H2O dan larutan-larutannya distandarisasi terhadap sebuah larutan
primer. Larutan-larutan tersebut tidak stabil dalam jangka waktu lama,
sehingga boraks atau natrium karbonat sering ditambahkan sebagai bahan
pengawet (Underwood,2002).
Iodin mengoksidasi tiosulfat menjadi ion tetrationat :
I2 + 2S2O32-  2I- + S4O62-
(Underwood,2002).
Reaksinya berjalan cepat, sampai selesai dan tidak ada reaksi sampingan.
Berat ekivalen dari Na2S2O3. 5H2O adalah berat molekularnya, 248,17; karena
satu elektron per satu molekul hilang. Jika pH dari larutan diatas 9, tiosulfat
teroksidasi secara parsial menjadi sulfat :
4I2 + S2O32- + 5H2O  8I- + 2SO42- + 10H+
(Underwood,2002).
Dalam larutan yang netral atau sedikit alkalin, oksidasi menjadi sulfat
tidak muncul, terutama jika iodin digunakan sebagai titran. Banyak agen
pengoksidasi kuat, seperti garam permanganat, garam dikromat, dan garam
serium (IV), mengoksidasi tiosulfat menjadi sulfat, namun reaksinya tidak
kuantitatif (Underwood,2002).

Standarisasi Larutan Tiosulfat


 Dengan iodin murni
Iodin murni adalah salah satu standar primer untuk larutan tiosulfat
namun jarang digunakan karena kesulitan dalam penanganan dan
penimbangannya dan yang lebih sering digunakan adalah standar yang
terbuat dari agen pengoksidasi kuat yang akan membebaskan iodin dari
iodida, sebuah proses iodometrik (Day dan Underwood, 2002).
 Dengan Kalium Iodat dan Kalium bromate
Kedua garam ini mengoksidasi iodida secara kuantitatif menjadi iodin
dalam larutan asam :
IO3- + 5I + 6H+  3I2 + 3H2O
BrO3- + 6I- + 6H+  3I2 + Br- + 3H2O
(Day dan Underwood, 2002).
Reaksi iodatnya berjalan cukup cepat, reaksi ini hanya membutuhkan
sedikit kelebihan ion hidrogen untuk menyelesaikan reaksi. Reaksi bromat
berjalan lebih lambat, namun kecepatannya dapat ditingkatkan dengan
menaikkan konsentrasi ion hidrogen. Biasanya sejumlah kecil ammonium
molibdat ditambahkan sebagai katalis (Day dan Underwood, 2002).
Kerugian utama dari kedua garam ini sebagai standar primer adalah
berat ekivalnnya yang kecil. Dalam setiap kasus berat ekivalen adalah
seperenam dari berat molekular, dimana berat ekivalen KIO3 adalah 35,67
dan KBrO3 adalah 27,84. Untuk menghindari kesalahan yang besar dalam
menimbang, petunjuk-petunjuk biasa mensyaratkan penimbangan sebuah
sampel yang besar, pengenceran di dalam labu volumetrik dan menarik
mundur alikuot. Garam kalium asam iodat, KIO3, HIO3 dapat digunakan
sebagai standar primer namun berat ekivalnnya juga kecil, seperduabelas
dari berat molekularnya, 32,49 (Day dan Underwood, 2002).

Indikator Iodo-Iodimetri
Larutan I2 dalam larutan KI encer berwarna coklat muda. Bila 1 tetes
larutan I2 0,1 N dimasukkan kedalam 100 ml aquadest akan memberikan
warna kuning muda, sehingga dapat dikatakan bahwa dalam suatu larutan
yang tidak berwarna I2 dapat berfungsi sebagai indikator. Warna dari larutan
iodin 0,1 N cukup intens sehingga iodin dapat bertindak sebagai indikator
bagi dirinya sendiri. Iodin juga memberikan warna ungu atau violet yang
intens untuk zat-zat pelarut seperti karbon tetraklorida dan kloroform dan
terkadang kondisi ini digunakan untuk mendeteksi titik akhir titrasi. Namun
demikian, suatu larutan (penyebaran koloidal) dari kanji lebih umum
digunakan, karena warna biru gelap dari kompleks iodin-kanji bertindak
sebagai tes yang sensitif untuk iodin (Day dan Underwood, 2002).
Keuntungan penggunaan kanji adalah harganya murah, sedangkan
kerugiannya adalah tidak mudah larut dalam air dingin, tidak stabil pada
suspensi dengan air, karenanya dalam proses pembuatannya harus dibantu
dengan pemanasan (Day dan Underwood, 2002).
Penambahan indikator kanji sebaiknya dilakukan pada saat medekati titik
akhir titrasi karena iod dengan kanji membentuk kompleks yang berwarna
biru yang tidak larut dalam air dingin sehingga dikhawatirkan mengganggu
penetapan titik akhir titrasi. Karena adanya kelemahan ini, dianjurkan
pemakaian kanji natrium glukonat yang mana indikator ini tidak higroskopis;
cepat larut dan stabil dalam penyimpanan; tidak membentuk kompleks yang
tidak larut dengan iodium sehingga boleh ditambahkan pada awal titrasi dan
titik akhir jelas; reprodusibel dan tidak tiba-tiba. namun indikator ini
harganya mahal (Day dan Underwood, 2002).
Mekanisme reaksi indikator kanji adalah sebagai berikut :
Iodimetri : Amilum (tak berwarna) + I2  iod-amilum (biru)
Iodometri : Iod-amilum (biru) + Na2S2O3  2NaI + Na2S4O6 + amilum (tak
berwarna)
Perbedaan dari iodometri dan iodimetri berdasarkan perbedaan warna
pada titik ekivalennya adalah : pada iodometri perubahan warna pada titik
ekivalen dari biru menjadi tak berwarna, sedangkan pada iodimetri perubahan
warna pada titik ekivalen dari tak berwarna menjadi biru (Day dan
Underwood, 2002).
Pada titrasi iodometri menggunakan amilum sebagai indikator yang
berfungsi untuk menunjukan titik akhir titrasi yang ditandai dengan
perubahan warna dari biru menjadi tidak berwarna. Larutan indikator amilum
ditambahkan pada saat akan menjelang titik akhir dititrasi, karena jika
indikator amilum ditambahkan diawal akan membentuk iod-amilum memiliki
warna biru kompleks yang sulit dititrasi oleh natrium tiosulfat (Ulfa, 2015).
Indikator amilum sebaiknya ditambahkan sesaat sebelum titik ekuivalens
terjadi, yaitu ketika larutan berubah menjadi kuning jernih, hal itu bertujuan
untuk mengurangi kesalahan titrasi, sebab kompleks iod amilum tidak larut
sempurna dengan pelarut air. Penambahan KI dilakukan karena iodium sukar
larut dalam air namun agak larut dalam larutan yang mengandung ion iodida
sehingga akan membentuk senyawa kompleks tri iodida (Samsuar, 2017).

Komposisi Serbuk Pemutih


`Bubuk pemutih terdiri dari campuran kalsium hipoklorit dan klorida
basa (CaCl2), Ca(OH)2.H2O. Kalsium hipoklorit atau yang biasa disebut
kaporit adalah senyawa kimia yang memiliki rumus kimia Ca(OCl)2. Kaporit
biasanya digunakan untuk menjernihkan air. Kalsium hipoklorit adalah
padatan putih yang siap didekomposisi di dalam air untuk kemudian
melepaskan oksigen dan klorin. Senyawa aktifnya adalah hipoklorit yang
mempunyai daya untuk memutihkan. Kalsium hipoklorit memiliki aroma
klorin yang kuat. Senyawa ini tidak terdapat di lingkungan secara bebas
(Ulfa, 2015).
Kalsium hipoklorit utamanya digunakan sebagai agen pemutih atau
disinfektan. Senyawa ini adalah komponen yang digunakan dalam pemutih
komersial, larutan pembersih, dan disinfektan untuk air minum, sistem
pemurnian air, dan kolam renang. Ketika berada di udara, kalsium hipoklorit
akan terdegradasi oleh sinar matahari dan senyawa-senyawa lain yang
terdapat di udara. Di air dan tanah, kalsium hipoklorit berpisah menjadi ion
kalsium (Ca2+) dan hipoklorit (ClO-). Ion ini dapat bereaksi dengan substansi-
substansi lain yang terdapat di air (Ulfa, 2015).
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
3.1 Alat
1. Erlenmeyer 250 mL 3 buah
2. Gelas kimia 100 mL 1 buah
3. Labu ukur 100 mL 1 buah
4. Buret 100 mL 1 buah
5. Statif dan klem 1 buah
6. Neraca analitik 1 buah
7. Pipet seukuran 5 mL 1 buah
8. Pipet tetes 5 buah
9. Corong 1 buah
10. Gelas ukur 10 mL 1 buah
11. Piknometer 1 buah

3.2 Bahan
1. Padatan KIO3 ± 0,357 gram
2. Larutan KI 20% ± 12 mL
3. Larutan HCl 4N ± 3 mL
4. Larutan Na2S2O3 0,1 N ± 200 mL
5. Larutan kanji ± 30 mL
6. Sampel Bayclin ± 2 mL
7. Larutan H2SO4 4N ± 9 mL
8. Larutan ammonium molibdat 3% ± 9 tetes
9. Aquades ± 400 mL

3.3 Prosedur
A. Penentuan (standarisasi) larutan Na2S2O3 ± 0,1 N
1. Penentuan standarisasi larutan natrium tiosulfat ± 0,1 N dengan kalium
iodidat sebagai baku
Pembuatan larutan baku kalium iodat ± 0,1 N dengan cara
menimbang dengan teliti sebanyak ± 0,357 gram kalium iodidat
kemudian dipindahkan kedalam gelas kimia dan dilarutkan dengan air
kemudian dipindahkan ke dalam labu ukur 100 mL. Kemudian gelas
kimia dibilas sampai bersih dan diencerkan dengan aquades sampai
batas miniskus, kemudian dikocok hingga tercampur sempurna.
Bilas dan isi buret dengan larutan natrium tiosulfat ± 0,1 N,
kemudian pipet dengan pipet seukuran sebanyak 10 mL larutan KIO3
± 0,1 N dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 mL, kemudian
ditambah 2 mL larutan KI 20% dan ditambah dengan 1 mL asam
klorida 4N. Iod yang dibebaskan dititrasi dengan larutan natrium
tiosulfat sampai warna menjadi kuning muda, kemudian ditambahkan
larutan kanji dan dititrasi terus sampai warna biru hilang. Kemudian
dicatat angka pada buret saat awal dan akhir titrasi. Kemudian
ditentukan dan dicatat volume larutan natrium tiosulfat yang
digunakan dalam titrasi dan dihitung konsentrasi larutan natrium
tiosulfat. Titrasi diulangi sebanyak tiga kali menggunakan volume
larutan natrium tiosulfat yang sama, kemudian dihitung konsentrasi
larutan natrium tiosulfat rata-rata.

2. Menentukan kadar Cl2 dalam pemutih Bayclin


Mula- mula timbang piknometer kosong kemudian dimasukkan
sampel pemutih Bayclin sampai terisi penuh dan dipastikan tidak ada
gelembung yang ada dalam piknometer kemudian ditimbang
piknometer dan Bayclin dan dicatat massa Bayclin.
Sampel Bayclin yang sudah ditimbang kemudian diambil sebanyak
2 mL dimasukkan kedalam labu ukur 100 ml dan diencerkan dengan
aquades sampai tanda batas kemudian dikocok sampai larutan menjadi
homogen.
Sampel Bayclin setelah pengenceran diambil sebanyak 10 mL
kemudian dimasukkan kedalam erlenmeyer 250 mL kemudian
ditambahkan dengan 2 mL larutan KI 20% dan ditambahkan 3 mL
asam sulfat dengan perbandingan 1: 6 kemudian ditambahkan dengan
3 tetes larutan ammonium molibdat 3%. Kemudian dititrasi dengan
larutan natrium tiosulfat ±0,1 N sampai warna coklat hampir hilang.
Kemudian ditambahkan dengan 5 mL larutan kanji dan dititrasi
kembali sampai warna biru hilang. Titrasi diulangi sebanyak tiga kali
kemudian dihitung kadar Cl2 dalam sampel dan ditentukan kadar Cl2
rata-rata.
DAFTAR PUSTAKA

Basset, J. dkk. 1994. Buku ajar Vogel Kimia analisis kuantitatif anorganik.
Jakarta: Kedokteran EGC.
Day & Underwood, 2002, Analisis Kimia Kuantitatif Edisi kelima, Jakarta:
Erlangga.
Rohman, Abdul. 2007. Kimia Analisis Farmasi. Digi Art Yogya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Samsuar, dkk,. 2017. Analisis Kadar Klorin (Cl2) Sebagai Pemutih pada Rumput
Laut yang Beredar di Lampung. Jurnal Farmasi Lampung. Vol 6. No 2.
Hal 13-22.
Ulfa, Ade Maria. 2015. Penetapan Kadar Klorin (Cl2) pada Beras Menggunakan
Metode Iodometri. Jurnal Kesehatan Holistik. Vol 9. No 4. Hal 197-200.

Anda mungkin juga menyukai