Lapkasus Pembahasan Geriatri Sepsis
Lapkasus Pembahasan Geriatri Sepsis
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sepsis didefinisikan sebagai respons tubuh terhadap penyakit infeksi
ditandai dengan disfungsi organ yang mengancam nyawa dan merupakan
masalah kesehatan di dunia saat ini. Sepsis dimasukkan kedalam kategori
penyakit darurat karena ada gangguan dalam pemasukkan oksigen dan
nutrisi ke jaringan sehingga dibutuhkan penanganan kegawat daruratan
segera. Hal tersebut yang menjadikan sepsis sebagai penyebab tersering
perawatan pasien di unit perawatan intensif (ICU). Di Amerika insidensi
sepsis berkisar 66-132 per seratus ribu populasi. Sepsis berat hampir 25 %
dirawat di ICU , umumnya diakibatkan usia lanjut, imunocompomise, dan
penyakit berat yang mendasarinya. Sepsis merupakan penyebab kematian
kedua di ICU pada non-coronary disease.
1
1. Bagaimana penegakkan diagnosis pada pasien laporan kasus?
2. Bagaimana penanganan yang tepat pada pasien ini?
3. Bagaimana prognosis pada pasien ini?
3. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka didapatkan tujuan penulisan
sebagai berikut:
2
BAB II
STATUS PASIEN
A. Identitas
Nama : Ny. S
Umur : 60 tahun
Alamat : Dente teladas
Jenis Kelamin : Perempuan
Ruang : ICU
Diagnosis : pneumonia dan syok sepsis
Tanggal Masuk RS : 13 desember 2017
Tanggal Masuk ICU : 16 desember 2017
Medical Record : 315286
B. Anamnesis (Alloanamnesis)
Keluhan Utama
Penurunan kesadaran sejak siang hari
Keluhan Tambahan
Pucat
3
turun sejak kurang lebih 2 bulan terakhir disertai pusing kepala, badan
terasa pegal dan BAB hitam. Sebelumnya pasien sudah dibawa berobat ke
Rumah Sakit Medika Bratasena dan kemudian dirujuk ke RS
Muhammadiyah Metro dan dirawat kurang lebih selama 7 hari dan ada
perbaikan sehingga dapat pulang kerumah.
Setelah sekitar 2 minggu dirumah kemudian pasien mengalami penurunan
kesadaran dan lemas dibawa ke RS Medika Bratasena dan dirujuk ke RS
Muhammadiyah Metro disertai keluhan nyeri perut dan demam menggigil
kemudian di Rujuk ke RS Jendral Ahmad Yani dengan penurunan kesadaran
dan perut kembung.
Riwayat Anestesi
4
C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Berat badan : 65 kg
Tinggi badan : 150 cm
BMI : 29 (overweight)
keadaran : compos mentis, GCS 15
Tanda Vital
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Nadi : 70x/menit
Pernafasan : 22x/menit
Suhu : 36,9°C
SpO2 : NK 97%-100%
Status Generalis
5
• Tenggorokan : Trismus (-), arkus faring simetris, hiperemis (-),
uvula di tengah (-)
3) Leher
4) Thoraks
• Jantung
- Perkusi :
• Pulmo
6
- Perkusi : sonor di kedua lapang paru
5) Abdomen
• Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-),
massa (-)
6) Ekstremitas
b. Kesadaran : Somnolen
c. Tanda Vital
TD : 80/50 mmHg
Suhu : 36,50 C
7
Nadi : 98 x/menit, reguler, tekanan cukup
SPO2 : NK 96%
c. Tanda Vital
TD : 100/70 mmHg
Suhu : 36,30 C
SPO2 : FM 98%
Cor
Ictus cordis tidak terlihat dan teraba di ICS V linea midclavicula sinistra
8
Batas jantung kanan: ICS IV linea sternalis sinistra
Cardiomegali (-)
Pulmo
g. Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : BU (+) N
Palpasi : Nyeri tekan (-), Shifting dulness (-), hepar tidak teraba,
lien tidak teraba
h. Ekstremitas
Ekstremitas atas dan bawah lengkap. Akral hangat dan tidak ditemukan
edema.
9
a. Keluhan saat ini : nyeri seluruh tubuh dan pusing
c. Tanda Vital
TD : 100/60 mmHg
Suhu : 36 0 C
SPO2 : NK 99%
Cor
Ictus cordis tidak terlihat dan teraba di ICS V linea midclavicula sinistra
10
Gallop (-), murmur (-)
Cardiomegali (-)
Pulmo
g. Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : BU (+) N
Palpasi : Nyeri tekan (-), Shifting dulness (-), hepar tidak teraba,
lien tidak teraba
h. Ekstremitas
Ekstremitas atas dan bawah lengkap. Akral hangat dan tidak ditemukan
edema.
Pemeriksaan Penunjang
11
Hematokrit : 10,6 % (LL)
MCV : 74,6 fL (L)
MCH : 28,2 pg
MCHC : 37,7 g/dL (H)
Trombosit : 60 x 103 /uL (L)
Golda :A+
12
Kimia Darah (16 desember 2017)
13
Kimia Darah (18 desember 2017)
14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.2 Epidemiologi
15
menunjukkan bahwa angka kematian berdasarkan populasi disesuaikan
dengan peningkatan umur.
Baik bakteri gram positif maupun gram negatif dapat menimbulkan sepsis.
Pada bakteri gram negatif yang berperan adalah lipopolisakarida (LPS).
Suatu protein di dalam plasma, dikenal dengan LBP (Lipopolysacharide
binding protein) yang disintesis oleh hepatosit, diketahui berperan penting
dalam metabolisme LPS. LPS masuk ke dalam sirkulasi, sebagian akan
diikat oleh faktor inhibitor dalam serum seperti lipoprotein, kilomikron
sehingga LPS akan dimetabolisme. Sebagian LPS akan berikatan dengan
LBP sehingga mempercepat ikatan dengan CD14. Kompleks CD14-LPS
menyebabkan transduksi sinyal intraseluler melalui nuklear factor kappaB
(NFkB), tyrosin kinase(TK), protein kinase C (PKC), suatu faktor
transkripsi yang menyebabkan diproduksinya RNA sitokin oleh sel.
Kompleks LPS-CD14 terlarut juga akan menyebabkan aktivasi intrasel
melalui toll like receptor-2 (TLR2).
16
Pada bakteri gram positif, komponen dinding sel bakteri berupa
Lipoteichoic acid (LTA) dan peptidoglikan (PG) merupakan induktor
sitokin. Bakteri gram positif menyebabkan sepsis melalui 2 mekanisme:
eksotoksin sebagai superantigen dan komponen dinding sel yang
menstimulasi imun. Superantigen berikatan dengan molekul MHC kelas II
dari antigen presenting cells dan Vβ-chains dari reseptor sel T, kemudian
akan mengaktivasi sel T dalam jumlah besar untuk memproduksi sitokin
proinflamasi yang berlebih.
"
17
aktivasi mediator inflamasi yang berlebih, yang mencakup sitokin yang
bekerja lokal maupun sistemik, aktivasi netrofil, monosit, makrofag, sel
endotel, trombosit dan sel lainnya, aktivasi kaskade protein plasma
seperti komplemen, pelepasan proteinase dan mediator lipid, oksigen dan
nitrogen radikal. Selain mediator proinflamasi, dilepaskan juga mediator
antiinflamasi seperti sitokin antiinflamasi, reseptor sitokin terlarut,
protein fase akut, inhibitor proteinase dan berbagai hormon.
Pada sepsis berbagai sitokin ikut berperan dalam proses inflamasi, yang
terpenting adalah TNF-α, IL-1, IL-6, IL-8, IL-12 sebagai sitokin
proinflamasi dan IL-10 sebagai antiinflamasi. Pengaruh TNF-α dan IL-1
pada endotel menyebabkan permeabilitas endotel meningkat, ekspresi TF,
penurunan regulasi trombomodulin sehingga meningkatkan efek
prokoagulan, ekspresi molekul adhesi (ICAM-1, ELAM, V-CAM1,
PDGF, hematopoetic growth factor, uPA, PAI-1, PGE2 dan PGI2,
pembentukan NO, endothelin-1.1 TNF-α, IL-1, IL-6, IL-8 yang
merupakan mediator primer akan merangsang pelepasan mediator
sekunder seperti prostaglandin E2 (PGE2), tromboxan A2 (TXA2), Platelet
Activating Factor (PAF), peptida vasoaktif seperti bradikinin dan
angiotensin, intestinal vasoaktif peptida seperti histamin dan serotonin di
samping zat-zat lain yang dilepaskan yang berasal dari sistem
komplemen. Awal sepsis dikarakteristikkan dengan peningkatan mediator
inflamasi, tetapi pada sepsis berat pergeseran ke keadaan immunosupresi
anti-inflamasi.
18
pendek dari komplemen yaitu C3a, C4a dan C5a (anafilatoksin) akan
berikatan pada reseptor di sel menimbulkan respons inflamasi berupa:
kemotaksis dan adhesi netrofil, stimulasi pembentukan radikal oksigen,
ekosanoid, PAF, sitokin, peningkatan permeabilitas kapiler dan ekspresi
faktor jaringan.
Infeksi sistemik yang terjadi biasanya karena kuman Gram negatif yang
menyebabkan kolaps kardiovaskuler. Endotoksin basil Gram negatif ini
menyebabkan vasodilatasi kapiler dan terbukanya hubungan pintas
19
arteriovena perifer. Selain itu, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler.
Peningkatan kapasitas vaskuler karena vasodilatasi perifer meyebabkan
terjadinya hipovolemia relatif, sedangkan peningkatan permeabilitas
kapiler menyebabkan kehilangan cairan intravaskular ke interstisial yang
terlihatsebagai edema.Pada syok sepsis hipoksia, sel yang terjadi tidak
disebabkan oleh penurunan perfusi jaringan melainkan karena
ketidakmampuan sel untuk menggunakan oksigen karena toksin kuman
Berlanjutnya proses inflamasi yang maladaptive akan menhyebabkan
gangguan fungsi berbagai organ yang dikenal sebagai disfungsi/gagal
organ multiple (MODS/MOF). Proses MOF merupakan kerusakan
(injury) pada tingkat seluler (termasuk disfungsi endotel), gangguan
perfusi ke organ/jaringan sebagai akibat hipoperfusi, iskemia reperfusi,
dan mikrotrombus. Berbagai faktor lain yang ikut berperan adalah
terdapatnya faktor humoral dalam sirkulasi (myocardial depressant
substance), malnutrisi kalori-protein, translokasi toksin bakteri, gangguan
pada eritrosit, dan efek samping dari terapi yang diberikan.
• Infeksi
20
c. Laju nafas >20 kali/menit atau PaCO2<4,3 kPa (<32 Torr) / 32
mm HG
• Sepsis
• Sepsis berat
• Syok septik
Adanya perubahan fungsi organ pada pasien yang sakit akut di mana
homeostasis tidak dapat dipertahankan tanpa intervensi.
a. Anamnesis
21
b. Pemeriksaan Fisis
c. Pemeriksaan Penunjang
o Darah lengkap
o Kultur
22
dan satu diambil vascular access device, jika device <48 jam
digunakan. Darah ini dapat diambil bersamaan waktu jika diambil
dari tempat yang berbeda. Kultur dapat dari urin, cerebrospinal
fluid, luka, sekret pernafasan dan cairan tubuh lain yang mungkin
menjadi penyebab infeksi.
o Gram stain
o Biomarker
1. Variabel umum
- Demam (>38.3C)
- Hipotermia ( <36C)
- Laju nadi >90x/menit atau lebih dari 2 standar deviasi di atau nilai
normal sesuai usia
- Takipneu
23
- Gangguan status mental
- Edema secara signifikan atau balance cairan positif (>20 ml/kg selama
24 jam)
2. Variabel inflamasi
- Jumlah sel darah putih normal disertai dengan >10% bentuk imatur
3. Variabel hemodinamik
24
- Oligouria akut (output urin <0,5 ml/kg berat badan /jam selama
minimal 2 jam setelah pemberian resusitasi cairan yang adekuat)
- Hiperlaktatemia (>1mmol/L)
3. Output urin <0,5 ml/kg berat badan /jam selama minimal 2 jam setelah
pemberian resusitasi cairan yang adekuat
25
9. Koagulopati (INR>1,5)
26
imun maladaptif host terhadap infeksi dapat diberikan vasopresor dan
inotropik, terapi suportif terhadap kegagalan organ, gangguan koagulasi
dan terapi imunologi. Skrining sumber infeksi menjadi esensial dalam
penanganan pasien sepsis, diperlukan ketelitian dalam menduga
mikroorganisme patogen yang menjadi penyebab (berdasarkan
pengalaman klinis dan pola kuman di RS setempat), sebagai panduan
dalam memberikan terapi antimikroba empirik.
a. Resusitasi
a) CVP 8–12 mm Hg
b) MAP ≥ 65 mm Hg
27
Untuk mencapai cairan yang adekuat pemberian cairan inisial kristaloid,
minumun 30 ml/kg untuk dewasa dan tambahan albumin pada pasien yang
membutuhkan cukup banyak kristaloid untuk mempertahankan cukup MAP.
Sebaiknya menghindari hetactarh, karena koloid buatan tidak terbukti
menguntungkan melainkan meningkatkan resiko gagal ginjal akut.
Skrining rutin perlu dilakukan pada pasien dengan sakit berat pada severe
sepsis untuk mendapatkan terapi lebih awal. Mengurangi waktu untuk
diagnosis sepsis berat menjadi komponen penting untuk menurunkan
angka kematian akibat disfungsi multiorgan.
2. Terapi antimikroba
Patogen umum yang sering menyebabkan syok septik adalah gram positif,
diikuti gram negatidf dan mikroorganisme campuran. Kandidiasis,
sindrom syok toksik, dan patogen uncommon harus dipertimbangkan pada
pasien tertentu. Iinisial kombinasi untuk pasien neutropenia dengan sepsis
berat dan untuk pasien dengan sulit untuk disembuhkan,
28
Untuk memilih terapi empirik, klinisi harus mempertimbangkan
mengenani virulensi dan prevalensi methicillin resistant staphylococcus
aureus dan resistensi spektrum luas beta laktam dan carbapenem untuk
gram negatif bacilli di beberapa komunitas dan seting kesehatan.
29
ini sebaiknya tidak diberikan lebih dari 3-5 hari. De-eskalasi
menggunakan single-agent terapi yang tepat setelah ada profil patogen
yang kemungkinan menginfeksi teridentifikasi. Terkecuali, pada
monoterapi aminoglikosida, khususnya pada P. Aeruginosa karena
untuk mencegah endocarditis, maka prolong terapi harus dilakukan.
Durasi dari terapi antibiotik adalah 7-10 hari. Penentuhan meneruskan,
menurunkan, atau menghentukan terapi intimikrobial tergantuk pada
informasi klinis pasien.
- terapi antiviral pada pasien dengan influenza berat, dan resiko tinggi
untuk komplikasi
3. Kontrol Sumber
30
kontrol sumber dalam 12 jam pertama setelah diagnosis ditegakkan.
Misalnya infeksi jaringan lunak nekrotik, peritonitis, cholangitis).
4. Pencegahan Infeksi
5. Terapi suportif
a. Oksigenasi
Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan
penurunan kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik
segera dilakukan.
b. Terapi cairan
31
berat dan gagal napas bila disertai dengan penurunan kesadaran atau
kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik segera dilakukan.
• Albumin dalam resusitasi cairan untuk sepsis berat dan syok sepsis
c. Vasopresor
32
Dopamin dosis rendah seharusnya tidak digunakan untuk proteksi
renal.
d. Terapi Inotropik
e. Kortikosteroid
33
bahwa transfusi sel darah merah hanya dilakukan ketika konsentrasi
Hb menurun hingga <7 g/dl dan untuk mencapai target Hb 7-9 g/dl
pada orang dewasa. Tidak dianjurkan untuk menggunakan eritropoietin
sebagai terapi spesifik dari anemia terkait sepsis. FFP tidak diberikan
untuk mengkoreksi abnormalitas pembekuan pada kondisi tidak
perdarahan atau prosedur invasif terencana.
g. Imunoglobulin
h. Selenium
34
k. Renal Replacement Therapy
l. Bikarbonat
35
n. Profilaksis stress ulcer
o. Nutrisi
36
BAB IV
ANALISIS KASUS
4.1 Anamnesis
Keluhan pada Ny. SM dengan sepsis dan diabetes mellitus tipe 2 dapat
berupa demam atau hipotermia, peningkatan laju nadi, takipneu,
hiperglikemia. Keluhan tipikal tersebut didapat pada pasien Ny. SM yaitu
berupa keluhan penurunan kesadaran disertai demam tinggi yang
memburuk seiring berjalannya waktu dan sesak napas serta peningkatan
laju nadi. Terdapat faktor risiko yang didapat pada pasien tersebut, yaitu
adanya riwayat diabetes mellitus dan riwayat demam yang berulang sejak
2 bulan terakhir. Diabetes mellitus dikaitkan dengan peningkatan
kerentanan terhadap infeksi dan sepsis. Neutrofil chemotaxis, adhesi dan
intercelullar killing merupakan kelainan respon host yang dikaitkan
dengan efek hiperglikemia dan predisposisi infeksi.
Selain itu juga beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan sepsis
diantaranya yaitu usia diatas 65 tahun dengan insidensi cenderung
meningkat pada usia tersebut, jenis kelamin juga berhubungan dengan
tingkat kejadian sepsis dimana laki-laki lebih berisiko 2 kali menderita
sepsis dibandingkan wanita, penyakit komorbid, genetik, terapi
kortikosteroid, kemoterapi dan obesitas.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien didapatkan kelainan berupa
peningkatan suhu tubuh pasien yaitu 38,9oC disertai peningkatan laju nadi
yaitu 110x/menit, sesak nafas, perut kembung, lemas dan penurunan
37
kesadaran. Penurunan kesadaran pada pasien menunjukkan bahwa terjadi
perburukan keadaan pasien akibat adanya infeksi dari tubuhnya.
Dan didapatkan kadar hemoglobin yang tidak normal yaitu 4,0 g/dL (L)
menunjukkan bahwa adanya gangguan pada perfusi jaringan. Untuk
memiliki kapasitas pembawa oksigen yang cukup pasien membutuhkan
jumlah sel darah merah yang cukup. Pada pasien dengan sepsis kadar
hematokrit dan hemoglobin akan bervariasi karena pergesaran cairan
antara kompartemen dalam tubuh, dan seiring waktu nilai sel darah merah
akan lebih rendah karena produksi sel darah merah dan kelangsungan
hidupnya akan menurun selama sepsis.
Terjadi penurunan trombosit pada pasien ini yaitu 60 x 103 /uL (L) yang
menunjukkan disfungsi organ dimana respon tubuh terhadap inflamasi
sistemik adalah meningkatkan jumlah trombosit sebagai kompensasi
terhadap kebocoran vaskular akibat inflamasi sistemik tersebut yang pada
akhirnya dapat mengakibatkan penurunan jumlah trombosit secara
keseluruhan. Mediator inflamasi menyebabkan ekspresi tissue factor (TF)
yang secara langsung mengaktifkan jalur koagulasi ekstrinsik dan melalui
lengkung umpan balik secara tidak langsung juga akan mengaktifkan jalur
instrinsik. Hasil akhir aktivasi kedua jalur tersebut saling berkaitan dan
sama, yaitu protrombin diubah menjadi trombin dan fibrinogen diubah
38
menjadi fibrin. Akibat konsumsi berlebihan faktor-faktor koagulasi ini
maka sepsis sering menyebabkan komplikasi yang disebut Disseminated
Intravascular Coagulation (DIC). Trombosit akhirnya dipakai secara
berlebihan dalam proses DIC tersebut sehingga menyebabkan jumlahnya
berkurang dalam sirkulasi. Trombositopenia juga terjadi akibat proses
destruksi yang berlebihan, serta penekanan pada sumsum tulang sehingga
terjadi kegagalan produksi trombosit. Trombositopenia ini sering
merupakan petanda awal dari sepsis.
Penurunan albumin pada pasien ini yaitu 1,79 mg/dL (L) menunjukkan
bahwa kadar albumin yang abnormal merupakan faktor risiko terjadinya
sepsis. Albumin serum yang rendah merupakan penanda non spesifik
penyakit. Penyakit kritis mengubah distribusi albumin antara
kompartemen intravaskular dan ekstravaskular. Ada juga perubahan dalam
tingkat sintesis dan degradasi protein. Konsentrasi serum albumin akan
menurun sering kali dari awal perjalanan penyakit kritis.
4.3 Tatalaksana
Obat-obatan selama di ICU :
Infus RL 1000 cc/24 jam
Infus NaCl 500 cc/24 jam
Eas pfrimmer 500 cc/24 jam
Raivas 6,5 mcg dalam 50 cc (Syring pump)
PRC 2 kolf
Pantoprazole 1x40 mg
Albumin 20% 1x100 ml
Aminofluid 500 cc/24 jam
Meropenem 3x1 (antibiotik golongan beta laktam)
Citicoline 2x500 mg
39
Penatalaksanaan sepsis meliputi resusitasi inisial, terapi antimikroba yang
sesuai, mengontrol sumber infeksi dengan tindakan drainase atau bedah
bila diperlukan.
a. Resusitasi Inisial
a) CVP 8–12 mm Hg
b) MAP ≥ 65 mm Hg
Target resusitasi adalah untuk menormalkan laktat pada pasien dengan level
laktat meningkat yang merupakan marker dari hipoperfusi jaringan.
40
b. Terapi mikroba
Meropenem 3 x 1
c. Terapi suportif
1. Oksigenasi
Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan
penurunan kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik
segera dilakukan.
41
2. Terapi cairan
42