Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH ASUHAN NEONATUS DENGAN KELAINAN BAWAAN

DAN PENATALAKSANAANNYA

Dosen pembimbing : R.D. Rahayu, S.Si.T., S.Psi., M.Si.

Disusun Oleh :

1. Dina Okta Pawitrasari


(P27224020054)
2. Intan Pramesti Kusuma Murti
(P27224020061)
3. Kursilatul Aini
(P27224020064)

D-IV ALIH JENJANG DAN PROFESI KEBIDANAN

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK


INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN SURAKARTA
JURUSAN KEBIDANAN
2020

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-
Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas
mata kuliah Asuhan Bayi Baru Lahir, Neonatal, Bayi, Anak Balita dan Anak Prasekolah.
Adapun judul dari makalah ini adalah Asuhan Neonatus dengan Kelainan Bawaan.

Penulis menyadari adanya kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran kepada pembaca untuk menyempurnakan makalah ini. Atas
perhatiannya penulis ucapkan terimakasih.

Klaten, Februari 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap manusia/pasangan tentunya ingin mempunyai anak yang sempurna baik secara
fisik maupun psikis. Namun dalam kenyatanya masih banyak kira jumpai bayi dilahirkan
dengan keadaan cacat bawaan/kelainan kongenital. Kelainan kongenital adalah kelainan
dalam pertumbuhan janin yang terjadi sejak konsepsi dan selama dalam kandungan.
Kelainan kongenital adalah kelainan dalam pertumbuhan janin yang terjadi sejak
konsepsi dan selama dalam kandungan. Diperkirakan 10-20% dari kematian janin dalam
kandungan dan kematian neonatal disebabkan oleh kelainan kongenital. Khusunya pada
bayi berat badan rendah diperkirakan kira-kira 20% diantaranya meninggal karena
kelainan kongenital dalam minggu pertama kehidupannya.

Mortalitas dan morbiditas pada bayi pada saat ini masih sangat tinggi pada bayi yang
mengalami penyakit bawaan. Diharapkan seorang bidan dapat melakukan penanganan
secara terpadu setidaknya dapat memberikan pertolongan pertama dengan dapat untuk
menekan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi, tetapi jika kondisi lebih parah kita
harus melakukan rujukan.

Berdasarkan hal-hal diatas, makalah yang berjudul “Asuhan Neonatus dengan


Kelainan Bawaan dan Penatalaksanaannya” ini disusun untuk mengkaji lebih jauh
mengenai neonatus dengan kelainan kongenital serta penatalaksanaannya sehingga
sebagai seorang bidan kita mampu memberikan asuhan neonatus dengan tujuan
meminimalisir angka kematian dan kesakitan pada neonatus sehingga tugas mutlak
seorang bidan dan terpenuhi dengan baik.

B. Tujuan
1. Mengetahui pengertian kelainan congenital/kelainan bawaan pada neonatus.
2. Mengetahui penyebab kelainan congenital/kelainan bawaan pada neonatus.
3. Mengetahui jenis kelainan congenital pada neonatus dan penatalaksanaannya.
C. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan kelainan bawaan pada neonatus ?
2. Apakah penyebab kelainan bawaan pada neonatus ?
3. Apa saja kelainan bawaan pada neonatus serta bagaimana penatalaksanaannya?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. PENGERTIAN KELAINAN KONGENITAL


Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi
yang timbul sejak kehidupan hasil konsepsi sel telur. Kelainan kongenital dapat
merupakan sebab penting terjadinya abortus, lahir mati atau kematian segera setelah
lahir. Kematian bayi dalam bulan-bulan pertama kehidupannya sering diakibatkan
oleh kelainan kongenital yang cukup berat, hal ini seakan-akan merupakan suatu
seleksi alam terhadap kelangsungan hidup bayi yang dilahirkan. Bayi yang dilahirkan
dengan kelainan kongenital besar, umumnya akan dilahirkan sebagai bayi berat lahir
rendah bahkan sering pula sebagai bayi kecil untuk masa kehamilannya. Bayi berat
lahir rendah dengan kelainan kongenital berat, kira-kira 20% meninggal dalam
minggu pertama kehidupannya. Istiah kongenital bermakna “ada saat lahir”. Perlu
dicatat bahwa sebagian penyakit kongenital tidak bersifat genetik. Di pihak lain, tidak
semua penyakit genetik bersifat kongenital.

Di samping pemeriksaan fisik, radiologik dan laboratorik digunakan untuk


menegakkan diagnosis kelainan kongenital setelah bayi lahir, dikenal pula adanya
diagnosis pre/ante-natal kelainan kongenital dengan beberapa cara pemeriksaan
tertentu misalnya pemeriksaan ultrasonografi, pemeriksaan air ketuban dan darah
janin.

B. PENYEBAB KELAINAN KONGENITAL


Beberapa faktor etiologi yang diduga dapat mempengaruhi terjadinya kelainan
kongenital antara lain:
1. Kelainan Genetik dan Kromosom

Kelainan genetik pada ayah atau ibu kemungkinan besar akan berpengaruh atas
kelainan kongenital pada anaknya. Di antara kelainan-kelainan ini ada yang
mengikuti hukum Mendel biasa, tetapi dapat pula diwarisi oleh bayi yang
bersangkutan sebagai unsur dominan ("dominant traits") atau kadang-kadang
sebagai unsur resesif. Penyelidikan daIam hal ini sering sukar, tetapi adanya
kelainan kongenital yang sama dalam satu keturunan dapat membantu langkah-
langkah selanjutya. Dengan adanya kemajuan dalam bidang teknologi kedokteran,
maka telah dapat diperiksa kemungkinan adanya kelainan kromosom selama
kehidupan fetal serta telah dapat dipertimbangkan tindakan-tindakan selanjutnya.
Beberapa contoh kelainan kromosom autosomal trisomi 21 sebagai sindroma
down. Kelainan pada kromosom kelamin sebagai sindroma turner.

2. Faktor Infeksi

Infeksi yang dapat menimbulkan kelainan kongenital ialah infeksi yang terjadi
pada periode organogenesis yakni dalam trimester pertama kehamilan. Infeksi pada
trimesrer pertama di samping dapat menimbulkan kelainan kongenital dapat pula
meningkatkan kemungkinan terjadinya abortus. Sebagai contoh infeksi virus pada
trimester pertama ialah infeksi oleb virus Rubella. Bayi yang dilahirkan oleh ibu
yang menderita infeksi Rubella pada trimester pertama dapat menderita kelainan
kongenital pada mata sebagai katarak, kelainan pada sistem pendengaran sebagai
tuli dan ditemukannya kelainan jantung bawaan.

3. Faktor Obat

Beberapa jenis obat tertentu yang diminum wanita hamil pada trimester
pertama kehamilan diduga sangat erat hubungannya dengan terjadinya kelainan
kongenital pada bayinya. Salah satu jenis obat yang telah diketahui dagat
menimbulkan kelainan kongenital ialah thalidomide yang dapat mengakibatkan
terjadinya fokomelia atau mikromelia. Beberapa jenis jamu-jamuan yang diminum
wanita hamil muda dengan tujuan yang kurang baik diduga erat pula hubungannya
dengan terjadinya kelainan kongenital, walaupun hal ini secara laboratorik belum
banyak diketahui secara pasti. Sebaiknya selama kehamilan, khususnya trimester
pertama, dihindari pemakaian obat-obatan yang tidak perlu sama sekali.

4. Faktor Hormonal

Faktor hormonal diduga mempunyai hubungan pula dengan kejadian kelainan


kongenital. Bayi yang dilahirkan oleh ibu hipotiroidisme atau ibu penderita
diabetes mellitus kemungkinan untuk mengalami gangguan pertumbuhan lebih
besar bila dibandingkan dengan bayi yang normal.

5. Faktor Gizi

Kekurangan beberapa zat yang pnting selama hamil dapat menimbulkan pada
janin. Frekuensi kelainan kongenital lebih tinggi pad ibu-ibu dengan gizi yang
kurang selama kehamilan. Salah satu zat dalam pertumbuhan janin adalah asam
folat. Kekurangan asam folat dapat meningkatkan resiko terjadinya spina bifida
atau kelainan tabung saraf lainnya.
6. Faktor-Faktor Lain

Banyak kelainan kongenital yang tidak diketahui penyebabnya. Faktor janinnya


sendiri dan faktor lingkungan hidup janin diduga dapat menjadi faktor
penyebabnya. Masalah sosial, hipoksia, hipotermia, atau hipertermia diduga dapat
menjadi faktor penyebabnya. Seringkali penyebab kelainan kongenitai tidak
diketahui

C. JENIS-JENIS KELAINAN KONGENITAL

1. Labioskizis dan Labiopalatoskizis


a. Pengertian
Labioskizis merupakan suatu bentuk kelainan sejak lahir atau cacat
bawaan berupa celah pada bibir atas yang dapat meneruskan diri sampai gusi,
rahang dan langit-langit rongga mulut yang terbentuk pada trimester pertama
karena tidak terbentuknya mesoderm pada daerah tersebut sehingga prosesus
nasalis dan maksilaris yang telah menyatu menjadi pecah lagi. Pada orang
awam sering disebut dengan istilah bibir sumbing.

Labiopalatoskizis adalah suatu kelainan kongenital dimana keadaan


terbukanya bibir dan langit –langit rongga mulut dapat melalui palatum durum
maupun palatum mole, disebabkan oleh penyebab seperti yang sudah
disebutkan di atas (Wahid,2012).

Gambar 1 : Labioskizis
b. Klasifikasi

b.1 Unilateral Incomplete : jika celah sumbing terjadi hanya disalah satu sisi
bibir dan tidak memanjang hingga ke hidung.

b.2 Unilateral Complete : jika celah sumbing yang terjadi hanya disalah satu
sisi bibir dan memanjang hingga ke hidung.

b.3 Bilateral Complete : Jika celah sumbng terjadi di kedua sisi bibir dan
memanjang hingga ke hidung. (Wahid,2012)
c. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan labioskizis dan labiopalatoskizis salah satunya adalah


pembedahan yang bertujuan untuk memulihkan struktur anatomi, mengoreksi
cacat dan memungkinkan anak mempunyai fungsi yang normal dalam
menelan, bernapas, dan berbicara. Pembedahan biasanya dilakukan ketika
anak berumur kurang dari 0 minggu sampai 18 tahun (Sodikin,2011).

Usia Tindakan

0–1 minggu Pemberian nutrisi dengan kepala miring 45 derajat

Pemsasangan obturator untuk menutup celah pada langitan agara


1-2 minggu dapat menghisap susu atau memakai dot lubang besar kearah
bawah untuk mencegah aspirasi

Labioplasty dengan memenuhi Rules of Ten


10 minggu 1. Usia 10 minggu
2. Berat 10 pounds
3. Hb > 10 gr
1,5-2 tahun Palatoplasty karena bayi mulai bicara
2-4 tahun Terapi wicara
Veropharyngopasty untuk mengembalikan fungsi katup yang
dibentuk m. tensor veli palatine dan m.levator veli palatine
4-6 tahun
sebagai pembentuk huruf konsonan dan latihan dengan cara
meniup
6-8 tahun Ortodonsi (pengaturan lengkung gigi)
8-9 tahun Alveolar bone grafting
9-17 tahun Ortodons ulang
17-18 tahun Cek kesimetrisan mandibula dan maksila
d. Penanganan Post operasi

1) Imobilisasi tangan untuk mencegah bayi menyentuh jahitan.


2) Pemberian makan dan minum untuk membantu pasien dalam memenuhi
kebutuhan cairan dan elektrolit sesuai program pengobatan. Waktu
pemberian makan dapat segera dimulai setelah bayi sadar dan refleks
menelan sudah ditegakkan.
3) Perencanaan pulang dan perawatan dirumah. Ajarkan pada orangtua
tentang perawatan area operasi,praktik pemberian makan minum, tanda
-tanda infeksi, dan pengaturan posisi anak saat menyusu. Beri semangat
dan dukungan moral untuk orangtua. Tekankan pada orangtua pentingnya
penatalaksanaan jangka panjang untuk mencegah munculnya masalah
berbicara dan bahasa,hilangnya/berkurangnya pendengaran,dan masalah
gigi. Informasikan tentang Lembaga -lembaga atau kelompok pendukung
untuk anak dengan celah palatum dan atau celah bibir.
4) Hasil yang diharapkan:
i. Luka bayi sembuh tanpa komplikasi
ii. Pertumbuhan BB
iii. TB bayi/anak sesuai dengan standar
iv. Orangtua dapat menunjukkan teknik menyusui yang benar
v. Orangtua akan memperlihatkan penerimaan terhadap kondisi anak
5) Pendidikan kesehatan
i. Cara pemasangan selang OGT.
ii. Pemberian dot khusus yang bentuknya lebih panjang dan
lubangnya
lebih lebardaripada dot biasa. Tujuannya untuk menutupi lubang langit
langit mulut sehingga susu bisa langsung masuk ke kerongkongan,
lubang lebih besar karena daya hisap bayi rendah.

Gambar 2 : Dot dengan lubang besar

iii. Bila usia anak sudah mencapai 1-4 tahun dilakukan evaluasi
berbicara
dan usia 6 tahun evaluasi gigi dan rahang.
iv. Fasilitasi tumbuh kembang anak.
v. Ajarkan cara mencegah komplikasi (menjaga kebersihan area
operasi,
meminimalisisr gerakan yang dapat menyebabkan luka operasi
terbuka).

2. Atresia Esophagus
a. Pengertian
Atresia esofagus adalah kelainan kongenital pada kontinuitas
esophagus dengan/tanpa hubungan dengan treakea atau esophagus yang tidak
terbentuk secara sempurna.

b. Klasifikasi

1) Tipe I
Atresia esofagus : Ujung esofagus terpisah jauh dan tanpa hubungan ke
trakea.
2) Tipe II
Ujung asofagus terpisah jauh dan bagian proksimal TracheaEsofagus
terdapat fistula sehingga menghubungkan proksimal TE dengan trakea.
3) Tipe III
Ujung asofagus terpisah jauh dan bagian distal TracheaEsofagus terdapat
fistula sehingga menghubungkan distal TE dengan trakea.
4) TIPE IV
Ujung asofagus terpisah jauh namun kedua segmen esophagus atas dan
bawah dihubungkan ke trakea.
5) TIPE V
Trachea Esophagus dihubungkan dengan fistula ke trakea dengan esofagus
tetap menyatu.
c. Etiologi
Tidak diketahui secara pasti, hal ini terjadi karena gangguan perkembangan
jaringan pemisah antara trakea dan oesofagus yang dibentuk selama minggu
ke 4-6 kehidupan embrional.
d. Penatalaksanaan
1) Semua pemberian makan/minum lewat mulut segera dihentikan.
2) Segera pasang kateter ke dalam esofagus.
3) Operasi perbaikan fistula dan penyambungan oesofagus.
4) Bayi dengan atresia esofagus perlu pembedahan.

e. Penanganan Post Operasi


1) Pantau jenis dan jumlah cairan yang keluar dari selang.
2) Tanda dan gejala adanya kebocoran/perforasi.
3) Toleransi terhadap gastrotomy dan pemberian makan per oral.
f. Cara Mengatasi Masalah-Masalah Yang Timbul
1) Jalan Nafas Tidak Efektif
a) Lakukan penghisapan lendir.
b) Aturlah posisi bayi elevasi, kepala tetap tinggi,
hindari posisi
hiperekstensi.
c) Berikan O2 sesuai kebutuhan.
2) Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan
a) Catat intake outputnya
b) Pemberian makan peroral biasanya dimulai 10-14 hari post operasi.
3) Kurangnya Pengetahuan Keluarga
a) Ajarkan Teknik pemberian makan
b) Diskusikan tanda-tanda kesulitan bernapas
c) Diskusikan tanda/gangguan infeksi luka.
3. Hischprung

Gambar 4 : Hischprung

a. Pengertian
Penyakit Hisprung atau Hirschsprung Disease adalah suatu kondisi langka
yang menyebabkan feses menjadi terjebak di dalam usus besar. Bayi baru lahir
yang memiliki Megacolon congenital, nama lain penyakit Hirschsprung, akan
mengalami kesulitan buang air besar, tinja banyak tertahan dalam usus besar
sehingga terlihat perutnya membuncit.

Penyakit Hirschsprung merupakan penyakit yang terjadi pada usus, dan


paling sering pada usus besar (colon). Normalnya, otot pada usus secara ritmis
akan menekan feses hingga ke rectum. Pada penyakit Hirschsprung, saraf (sel
ganglion) yang berfungsi untuk mengontrol otot pada organ usus tidak
ditemukan. Hal ini mengakibatkan feses tidak dapat terdorong, seperti fungsi
fisiologis seharusnya (Henna N, 2011).

Anak yang menderita penyakit hirschsprung sering mengalami


keterlambatan pasase mekonium. Pada bayi normal, 94% akan mengeluarkan
mekonium dalam 24 jam pertama kehidupannya, dibandingkan dengan hanya
6% bayi yang menderita penyakit hirschsprung. Penyakit hirschsprung,
penyebab tersering obstruksi kolon pada neonatus, dapat muncul pada periode
neonatus dengan muntah, anoreksia, dan kegagalan mengeluarkan feses. Anak-
anak ini dapat mengalami diare yang terjadi sekunder akibat peningkatan
sekresi cairan ke dalam proksimal usus hingga obstruksi parsial. Diare akan
berlanjut menjadi enterokolitis, menyebabkan dehidrasi hebat dan gangguan
elektrolit. Enterokolitis cenderung berulang dan dapat fatal.

b. Gejala

Berdasarkan usia penderita gejala penyakit Hirschsprung dapat dibedakan


menjadi 2, yaitu:

1) Periode neonatus
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran
mekonium yang terlambat, muntah bilious (hijau) dan distensi abdomen.
Terdapat 90% lebih kasus bayi dengan penyakit Hirchsprung tidak dapat
mengeluarkan mekonium pada 24 jam pertama, kebanyakan bayi akan
mengeluarkan mekonium setelah 24 jam pertama (24-48 jam). Muntah
bilious (hijau) dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang apabila
mekonium dapat dikeluarkan segera. Bayi yang mengonsumsi ASI lebih
jarang mengalami konstipasi, atau masih dalam derajat yang ringan karena
tingginya kadar laktosa pada payudara, yang akan mengakibatkan feses jadi
berair dan dapat dikeluarkan dengan mudah. (Kessman, 2008)
2) Periode anak-anak
Walaupun kebanyakan gejala akan muncul pada bayi, namun ada beberapa
kasus dimana gejala-gejala tersebut tidak muncul hingga usia kanak-kanak
(Lakhsmi, 2008). Gejala yang biasanya timbul pada anak-anak yakni,
konstipasi kronis, gagal tumbuh, dan malnutrisi. Pergerakan peristaltik usus
dapat terlihat pada dinding abdomen disebabkan oleh obstruksi fungsional
kolon yang berkepanjangan. Selain obstruksi usus yang komplit, perforasi
sekum, fecal impaction atau enterocolitis akut yang dapat mengancam jiwa
dan sepsis juga dapat terjadi (Kessman, 2008).

c. Tanda

i. Anemia dan tanda-tanda malnutrisi.


ii. Perut membuncit (abdomen distention) mungkin karena retensi kotoran.
iii. Terlihat gelombang peristaltic pada dinding abdomen.
iv. Pemeriksaan rectal touche (colok dubur) menunjukkan sfingter anal yang
padat/ketat, dan biasanya feses akan langsung menyemprot keluar dengan
bau feses dan gas yang busuk.

d. Penatalaksanaan

Pengobatan penyakit Hirschsprung terdiri atas pengobatan non-bedah dan


pengobatan bedah. Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mengobati
komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki keadaan
umum penderita sampai pada saat operasi definitif dapat dikerjakan. Pengobatan
non bedah diarahkan pada stabilisasi cairan, elektrolit, asam basa dan mencegah
terjadinya overdistensi sehingga akan menghindari terjadinya perforasi usus
serta mencegah terjadinya sepsis. Tindakan-tindakan nonbedah yang dapat
dikerjakan adalah pemasangan infus, pemasangan pipa nasogastrik, pemasangan
pipa rektum, pemberian antibiotik, lavase kolon dengan irigasi cairan, koreksi
elektrolit serta penjagaan nutrisi. (Kartono, 2010).

Tahap pre operasi yang harus dilakukan pada bayi adalah 1) berhenti
menyusu dan menggantikan nutrisi dengan cairan langsung melalui pemasangan
infus, 2) pemasangan pipa berupa tabung elastis melalui hidung dengan tujuan
untuk menguras cairan dan udara yang ada di lambung, 3) pembersihan feses secara
teratur melalui tabung tipis yang dimasukkan ke anus menggunakan air garam
hangat untuk melunakkan dan membersihkan feses, 4) pemberian antibiotik
apabila terjadi enterokolitis. Teknik operasi “pull-through” dimana bagian usus
yang terkena dibuang dan bagian usus yang sehat disambungkan merupakan
teknik operasi yang paling sering dilakukan pada bayi. Operasi pada bayi
biasanya dilakukan pada saat bayi berusia sekitar tiga bulan. Apabila kondisi
bayi tidak memungkinkan, maka operasi dilakukan dalam dua tahap. Tahap
pertama dengan melakukan kolostomi, dilakukan beberapa hari setelah lahir
dengan pembuatan lubang sementara (stoma) buatan di perut oleh dokter bedah
sehingga kotoran akan melewati lubang tersebut sampai kondisi bayi cukup baik
untuk menjalani operasi tahap kedua yang biasanya dilakukan di sekitar usia
tiga bulan, yaitu untuk mengambil bagian usus yang terkena, menutup lubang
dan menggabungkan usus yang sehat bersama-sama. (Muhlisin, 2016).

4. Atresia Rekti dan Ani


a. Pengertian
Atresia (tresis) berarti keadaan tidak ada atau tertutupnya lubang badan normal atau
organ tubular secara congenital, disebut juga clausura. Ani berarti anus imperforate.
Jadi Atresia Ani adalah bentuk kelainan bawaan dimana tidak adanya lubang dubur
terutama pada bayi.
b. Penyebab
Atresia dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :
1) Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi lahir
tanpa lubang dubur.
2) Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3
bulan.
3) Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik di daerah usus,
rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu ke 4
sampai minggu ke-6 usia kehamilaan. Tidak dapat atau mengalami kesulitan
mengeluarkan mekonium (mengeluarkan tinja menyerupai tinja), dan perut
membuncit.
c. Diagnosa
Anamnesis perjalanan yang khas dan gambaran klinis perut yang membuncit
seluruhnya merupakan kunci diagnosis pemeriksaan penunjang yang dapat membantu
menegakkan diagnosisialah pemeriksaan radiologik dengan enema barium. Disini
akan terlihat gambaran klasik seperti daerah transisi dari lumen sempit ke daerah
yang melebar. Pada foto 24 jam kemudiaan terlihat retensi barium dan gambaran
makrokolon pada hirschsprung segmen panjang. Pemeriksan biobsy hisap rektun
dapat digunakan untuk mencari tanda histologik yang khas yaitu tidak adanya sel
ganglion parasimpatik di lapisan muskularis mukosa dan adanya serabut saraf yang
menebal pada pemeriksaan histokimia, aktivitas kolnaterase meningkat. Atresia ani
biasanya jelas sehingga diagnosis sering dapat di tegakan segera setelah bayi lahir
dengan melakukan inspeksi secara tepat dan cermat pada daerah perinium. Diagnosis
kelainan anuerektum tipe pertama dan keempat dapat terlewatkan sampai diketahui
bayi mengalami distensi perut dan mengalami kesulitan mengeluarkan mekonium.
d. Klasifikasi
Kelainan bentuk anoerektum dapat ditemukan dalam berbagai macam tipe yang
sampai sekarang masih belum dapat di ketahui secara lengkap. Lqqd dan Gross pada
tahun 1934 mengajukan klassifikasi terdiri atas 4 tipe yang masih banyak di gunakan
oleh para ahli hingga pada saat ini adalah :
1) Tipe I: Saluran anus atau rektum bagian bawah mengalami stenosis
dalam berbagai derajat.
2) Tipe II : terdapat suatu membran tipis yang menutupi anus karena menetapnya
membrane anus.
3) Tipe III : anus tidak terbentuk dari rektum berakhir sebagai kantung yang buntu
terletak pada jarak tertentu dari klit di daerah anus seharusnya terbentuk (lekukan
anus)
4) Tipe IV : saluran anus dan rektum bagian bawah membentuk suatu kantung buntu
yang terpisah pada jarak tertentu dari ujung rektum yang berakhir sebagai suatu
kantung buntu. Jenis yang paling sering ditemukan adalah tipe III, sementara tipe
IV merupakan bentuk yang paling jarang ditemukan.
e. Penanganan
Bagi pengidap kelainan tipe I dengan stenosis yang ringan dan tidak mengalami
kesulitan mengeluarkan tinja tidak membutuhkan penanganan apapun. Sementara
pada stenosis yang berat perlu dilakukan dilatasi setiap hari dengan karakter uretra,
dilator hegar, atau speculum hidung berukuran kecil. Selanjutnya orang tua dapat
melakukan dilatasi sendiri dirumah dengan jari tangan. Dilatasi dikerjakan beberapa
hari seminggu selama kurang lebih 6 bulan sampai daerah stenosis melunak dan
fungsi defekasi mencapai keadaan normal.konstipasi dapat di hindari dengan
pengaturan diet yang baik dan pemberian laktulose. Bentuk operasi yang diperlukan
pada tipe II , baik tanpa atau dengan fistula, adalah anoplasti pcrincum, kemudian
dilanjutkan dengan dilatasi pada anus yang baru selama 23 bulan. Tindakan ini paling
baik dilakukan dengan dilator Hegar selama bayi di rumah sakit dan kemudian orang
tua penderita dapat memakai jari tangan di rumah sampai tepi anus lunak sserta
mudah di lebarkan. Pada tipe III, apabila jarak antara ujung rektum yang buntu ke
lekukan anus kurang dari 1,5 cm, pembedahan rekonstruktif dapat dilakukan melalui
anoproktoplasti pada massa neonatus. Akan tetapi, pada tipe III biasanya perlu di
lakukan kolostomi pada masa neonatus sebelum dilakukan pembedahan definitif pada
usia 12-15 bulan. Kolostomi bermanfaat untuk :
1) Mengatasi obstruksi usus, memungkinkan pembedahaan rekonstruktif dapat di
kerjakan dengan lapangan operasi yang bersih.
2) Memberikan kesempatan pada ahli bedah untuk melakukan pemeriksaan lengkap
dalam usaha menentukan letak ujung rectum yang buntu serta menemukan
kelainaan bawaan yang lain, kolostomi dapat dilakukan pada kolon transversum
atau sigmoideum. Beberapa metode pembedahan rekonstruktif yang dapat
dilakukan adalah operasi abdominoperinium terpadu pada usia 1 tahun,
anorektoplasti sagital posterior pada umur 812 bulan, dan pendekataan sakrum
menurut metode Stephen setelah bayi berumur 6-9 bulan. Dilatasi baru dapat
dimulai 10 hari setelah operasi dan selanjutnya dilakukan oleh orang tua di
rumah, mula-mula dengan jari kelingking kemudian dengan jari telunjuk selama
23 bulan setelah pembedahan definitive. Penanganan pada tipe IV dilakukan
dengan kolostomi, untuk kemudian dilanjutkan dengan operasi abdominal pull-
throgh seperti pada kassus megakolon congenital.

5. Obstruksi Biliaris
a. Pengertian
Obstruksi biliaris, yaitu timbunan kristal di dalam kandung empedu
atau di dalam saluran empedu. Pada bayi lahir tidak terjadi obstruksi biliaris,
melainkan ikterus, karena meningkatnya kadar bilirubin dalam darah. Pada
bayi baru lahir sering disebabkan inkompabilitas faktor Rh atau golongan
darah ABO antara ibu dan bayi atau karena defisiensi GGPO pada bayi.
b. Patofisiologi
Sumbatan saluran empedu dapat terjadi karena kelainan pada dinding
misalnya ada tumor atau penyempitan karena trauma (iatrogenik). Batu
empedu dan cacing askariasis sering dijumpai sebagai penyebab sambutan
didalam lumen saluran. Pankreatis,tumor caput pankreas,tumor kandung
empedu atau anak sebar tumor ganas didaerah ligamentum hepato duodenale
dapat menekan saluran empedu dari luar menimbulkan gangguan aliran
empedu.
Beberapa keadaan yang jarang dijumpai sebagai penyebab sumbatan
antara lain kista koledokus,abses amuba pada lokasi tertentu,diventrikel
duodenum dan striktur sfingter vavila vater.
Kurangnya bilirubin dalam saluran usus bertanggung jawab atas tinja
pucat,biasanya dikaitkan dengan obstruksi empedu. Penyebab gatal (pruritus)
yang berhubungan dengan obstruksi empedu tidak jelas. Sebagian percaya
mungkin berhubungan dengan akumulasi asam empedu di kulit. Lain
menyarankan mungkin berkaitan dengan pelepasan ovioid endogen.
Penyebab obstruksi billiaris adalah tersumbatnya saluran empedu
sehingga empedu tidak dapat mengalir kedalam usus untuk dikeluarkan
(sebagai strekobillin) dalam feses.
Kemungkinan penyebab saluran empedu meliputi :
1) Kista dari saluran empedu
2) Lymp node diperbesar dalam porta hepatis
3) Batu empedu
4) Peradangan dari saluran-saluran empedu
5) rauma cedera termasuk dari operasi kandung empedu
6) Tumor dari saluran-saluran empedu atau pancreas
7) Tumor yang telah menyebar ke sistem empedu

c. Gejala
 Gambaran klinis gejala mulai terlihat pada akhir minggu pertama yakni
bayi icterus
 Kemudian feses bayi berwarna putih agak keabu-abuan dan lihat seperti
dempul.
 Urine menjadi lebih tua karena mengandung urobillinogen.
 Perut sakit disisi kanan atas
 Demam
 Mual dan muntah

d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik,adanya
tanda ikterus atau kuning pada kulit,pada mata dan dibawah lidah. Pada
pemeriksaan perut,hati teraba besar kadang juga disertai limfa yang membesar.
Pemeriksaan labolatorium dan imaging.
 Pemeriksaan darah (terdapat peningkatan kadar billirubin).
 Rongten perut (tampak hati membesar)
 Kolangiogram (kolangiografi interaoperatif).
 Breath test.
 USG.
 Imaging radionuklida (radioisoto).
 CT Scan.
 MRI
 Pemeriksaan biopsi hati
 Laparotomi (biasanya dilakukan sebelum bayi berumur 2 bulan)
e. Pencegahan
Dapat mengetahui setiap faktor resiko yang dimiliki, sehingga bisa
mendapatkan diagnosis dan pengobatan jika saluran empedu
tersumbat.penyumbatan itu sendri tidak dapat di cegah. Dalam hal ini bidan
dapat memberikan pendidikan kesehatan pada orang tua untuk mengantisipasi
setiap faktor resiko terjadinya obstruksi biliaris (penyumbatan saluran
empedu),dengan keadaan fisik yang menunjukan anak tanpak ikteri,feses
pucat dan urin berwarna gelap (pekat).
f. Penatalaksanaan
Pada dasarnya penatalaksanaan pasien dengan obstruksi biliaris
bertujuan untuk menghilangkan penyebab sumbatan atau mengalihkan aliran
empedu.tindakan tersebut dapat berupa tindakan pembedahan misalnya
pengangkatan batu atau reseksi tumor.dapat pula upaya untuk menghilangkan
sumbatan dengan tindakan endoskopy baik melalui papila vater atau dengan
laparoscopy. Bila tindakan pembedahan tidak mungkin dilakukan untuk
menghilangkan penyebab sumbatan,dilakukan tindakan drenase yang
bertujuan agar empedu yang terhambat dapat dialirkan.drenase dapat
dilakukan keluar tubuh misalnya dengan pemasangan pipa naso bilier, pipa T
pada ductus koledokus atau kolesistostomi

1. Omphalokel
a. Pengertian
Omphalocele adalah defek pada dinding anterior abdomen pada dasar dari
umbilical cord dengan herniasi dari isi abdomen Omphalocele adalah salah satu
kelainan kongenital yang paling banyak ditemukan pada bedah anak. Usus pada
omphalocele dibungkus oleh membran yang terdiri dari peritoneum pada lapisan
dalam dan lapisan amnion dibagian luar. disebabkan oleh kegagalan alat dalam
untuk kembali ke rongga abdomen pada waktu janin berumur 10 minggu.
Kelainan ini dapat segera dilihat, yaitu berupa protrusi dari kantong yang berisi
usus dan visera abdomen melalui defek dinding abdomen pada umbilicus.
Angka kematian tinggi bila omphalocele besar karena kantong dapat pecah
dan terjadi infeksi.
b. Kasifikasi
Banyaknya usus dan organ perut lainnya yang menonjol pada omfalokel berikut
tergantung pada besarnya lubang di pusar. Jika lubangnya kecil mungkin hanya
usus yang menonjol, tapi jika lubangnya besar hati juga bisa menonjol melalui
lubang tersebut.
c. Etiologi
1) Faktor kehamilan dengan resiko tinggi, seperti ibu hamil sakit dan terinfeksi,
penggunaan obat-obatan, merokok dan kelainan genetik. Faktor-faktor tersebut
berperan pada timbulnya insufisiensi plasenta dan lahir pada umur kehamilan
kurang atau bayi prematur, diantaranya bayi dengan gastroschizis dan
omfalokel paling sering dijumpai.
2) Defisiensi asam folat, hipoksia dan salisilat menimbulkan defek dinding
abdomen pada percobaan dengan tikus tetapi kemaknaannya secara klinis
masih sebatas perkiraan. Secara jelas peningkatan MSAFP (Maternal Serum
Alfa Feto Protein) pada pelacakan dengan ultrasonografi memberikan suatu
kepastian telah terjadi kelainan struktural pada fetus. Bila suatu kelainan
didapati bersamaan dengan adanya omfalokel, layak untuk dilakukan
amniosintesis guna melacak kelainan genetik.
3) Polihidramnion, dapat diduga adanya atresia intestinal fetus dan kemungkinan
tersebut harus dilacak dengan USG.
d. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada penderita Omphalocel, yaitu :
 Infeksi usus
 Kematian jaringan usus yang bisa berhubungan dengan kekeringan atau
trauma oleh karena usus yang tidak dilindungi.
Pada omphalocel mempunyai resiko sebagai berikut :
1) Bereaksi dengan pengobatan atau obat anestesi
2) Masalah pernafasan atau gangguan pola nafas, karena dapat menyebabkan
menurunnya kerja organ pernafasan.
3) Pembedahan
4) Perdarahan
5) Resiko infeksi terhadap luka atau kurangnya perawatan (strerilisasi)
6) Luka pada organ vital
7) Kesulitan bernafas (mungkin terjadi akibat pertambahan tekanan pada
abdomen, ketika omphalocel ditutup).
8) Peritonitis (radang pada selaput lambung)
9) Kelumpuhan sementara pada usus halus
e. Penatalaksanaan
Operasi dilakukan setelah lahir, akan tetapi mengingat dengan memasukkan
semua usus dan alat visera sekaligus ke dalam rongga abdomen akan terjadi
tekanan yang mendadak pada paru, sehingga dapat menimbulkan gangguan
pernafasan, maka operasi biasanya dilakukan penundaan sampai kondisi bayi
benar benar sudah siap atau menunggu terjadinya penebalan selaput yang
menutupi kantong tersebut.

Pada Ompohalocel diperbaiki dengan pembedahan. Sebuah kantong


melindungi isi abdomen dan waktu yang tepat untuk masalah berat yang lain
(seperti gangguan hati) harus diberi lebih dulu, jika diperlukan. Untuk memfiksasi
omphalocel, kantung tersebut dibalut dengan benda buatan, kemudian dijahit
ditempat tersebut. Secara perlahan, lama – lama isi abdomen (Usus yang keluar)
ditekan ke dalam abdomen. Ketika omphalocel telah nyaman dalam rongga
abdomen, maka benda buatan tersebut dikeluarkan dan abdomen kemudian
ditutup.

D. Pencegahan Kelainan Kongenital/ Cacat Bawaan pada Neonatus


Beberapa kelainan bawaan tidak dapat dicegah, tetapi ada beberapa hal yang
dapat dilakukan untuk mengurangi resiko terjadinya kelainan bawaan terutama ibu
dengan kehamilan di atas usia 35 tahun:
• Tidak merokok dan menghindari asap rokok
• Menghindari alkohol
• Menghindari obat terlarang
• Memakan makanan yang bergizi dan mengkonsumsi vitamin prenatal
• Melakukan olah raga dan istirahat yang cukup
• Melakukan pemeriksaan prenatal secara rutin
• Mengkonsumsi suplemen asam folat
• Menjalani vaksinasi sebagai perlindungan terhadap infeksi
• Menghindari zat-zat yang berbahaya.
Meskipun bisa dilakukan berbagai tindakan untuk mencegah terjadinya kelainan
bawaan, ada satu hal yang perlu diingat yaitu bahwa suatu kelainan bawaan bisa saja
terjadi meskipun tidak ditemukan riwayat kelainan bawaan baik dalam keluarga ayah
ataupun ibu, atau meskipun sebelumnya telah melahirkan anak-anak yang sehat.
BAB III

PEMBAHASAN

1. Evidence Based Labioskizis dan Labiopalatoskizis

Penatalaksanaan labioskizis dan labiopalatoskizis berdasarkan pembahasan


dalam tinjauan pustaka salah satunya adalah dengan pembedahan yang bertujuan
untuk memulihkan struktur anatomi, mengoreksi cacat dan memungkinkan anak
mempunyai fungsi yang normal dalam menelan, bernapas, dan berbicara.
Pembedahan biasanya dilakukan ketika anak berumur kurang dari 0 minggu sampai
18 tahun (Sodikin,2011).

Jurnal :

Berdasarkan jurnal Jilly Natalia Loho Volume 1 nomor 1 maret 2013, penelitian ini
dilakukan di Bagian Bedah RSUP. Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Menyebutkan bahwa
penyebab dari kelainan labioskizis dan labiopalatoskizis berasal dari beberapa faktor meliputi
genetik (turunan), gangguan pada gen (tunggal), gangguan pada chromosome, akibat bahan-
bahan teratogenik, akibat trauma / Infeksi, serta akibat mutasi gen (multifactorial).

Penatalaksanaan yang telah disebutkan dalam tinjauan pustaka tersebut diatas sudah
sesuai dengan evidence based Jurnal Jilly Natalia Loho Volume 1 nomor 1 maret 2013
dengan aturan rule over ten: BB >10pon (5kg), Hb >10%, usia >10minggu dan
memperhatikan: Faktor Emergency, faktor Psychis orang tua dan anak, faktor keserasian
pertumbuhan jaringan, factor fungsi jaringan/organ, faktor estetika dan waktu operasi.
2. Evidence Based Penatalaksanaan Hischprung

Jurnal :

Berdasarkan data penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Prof. Dr. Margono
Soekarjo pada besar responden dengan penyakit hirschsprung pada kelompok umur ibu
reproduksi sehat yaitu 64,3%.
a. Umur Ibu

Sebagian besar responden dengan penyakit hirschsprung pada


kelompok reproduksi sehat yaitu 64,3%. Hasil uji chi-square menunjukkan ρ-
value 0,649 > 0,05, artinya tidak ada pengaruh antara umur ibu dengan kejadian
penyakit hirschsprung. Dengan nilai Odds Ratio 1, 231 artinya pada kelompok
umur reproduksi sehat memiliki risiko 1,231 kali lebih banyak anaknya
mengalami hirschsprung.
Penyebab terjadinya penyakit hirschsprung sebenarnya dimulai sejak
masa kehamilan dimana sel-sel krista neuralis berasal dari bagian dorsal neural
tube yang kemudian melakukan migrasi keseluruh bagian embrio untuk
membentuk bermacam-macam struktur termasuk sistim saraf perifer, sel-sel
pigmen, tulang kepala dan wajah serta saluran saluran pembuluh darah jantung.
Sel-sel yang membentuk sistim saraf intestinal berasal dari bagian vagal krista
neuralis yang kemudian melakukan migrasi ke saluran pencernaan. Sebagian
kecil sel-sel ini berasal dari sakral krista neuralis untuk ikut membentuk sel-sel
saraf dan sel-sel glial pada kolon. Selama waktu migrasi disepanjang usus, sel-
sel krista neuralis akan melakukan proliferasi untuk mencukupi kebutuhan
jumlah sel diseluruh saluran pencernaan. Sel-sel tersebut kemudian berkelompok
membentuk agregasi badan sel. Kelompok-kelompok ini disebut ganglia yang
tersusun atas sel-sel ganglion yang berhubungan dengan sel bodi saraf dan sel-
sel glial. Ganglia ini kemudian membentuk dua lingkaran cincin pada stratum
sirkularis otot polos dinding usus, yang bagian dalam disebut pleksus
submukosus Meissnerr dan bagian luar disebut pleksus mienterikus Auerbach
(Fonkalsrud,1997).

Secara embriologis sel-sel neuroenterik bermigrasi dari krista neuralis menuju


saluran gastrointestinal bagian atas dan selanjutnya meneruskan kearah distal. Pada
minggu ke lima kehamilan sel-sel saraf tersebut akan mencapai esofagus, pada
minggu ke tujuh mencapai mid-gut dan akhirnya mencapai kolon pada minggu ke
dua belas. Proses migrasi mula pertama menuju ke dalam pleksus Auerbachi dan
selanjutnya menuju ke dalam pleksus submukosa Meissneri. Apabila terjadi
gangguan pada proses migrasi sel-sel kristaneuralis ini maka akan menyebabkan
terjadinya segmen usus yang aganglionik dan terjadilah penyakit Hirschsprung.
(Fonkalsrud,1997).
b. Jenis Kelamin
Sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki yaitu 63,1%. Umur
ibu tidak mempengaruhi terjadinya penyakit hirschsprung. Hasil uji chi-square
menunjukkan ρ-value 0,042 < 0,05 berarti jenis kelamin mempengaruhi terjadinya
penyakit hirschsprung. Odds Ratio menunjukkan 2,562 berarti bahwa jenis kelamin
laki-laki mempunyai risiko 2,562 kali dibandingkan jenis kelamin perempuan.

Jenis kelamin mempengaruhi terjadinya penyakit hirschsprung dan


lebih sering terjadi pada jenis kelamin laki-laki daripada perempuan dengan
rasio perbandingan 4:1. Serabut saraf intrinsik yang berfungsi mengatur motilitas
normal saluran cerna terdiri dari pleksus Meissner, pleksus Aurbachii, dan
pleksus mukosa kecil. Ganglia ini berfungsi mengatur kontraksi dan relaksasi
otot halus (lebih dominan relaksasi). Ganglia ini juga berintegrasi dan terlibat
dalam semua kerja usus meliputi absorpsi, sekresi dan motilitas. Serabut saraf
ekstrinsik terdiri dari serabut kolinergik dan adrenergik. Serabut kolinergik
berperan dalam menghambat kontraksi usus, sedangkan serabut adrenergik
berperan dalam menghambat kontraksi usus.

Apabila inervasi serabut ekstrinsik hilang, namun fungsi usus tetap adekuat
karena yang lebih berperan dalam mengatur fungsi usus adalah serabut saraf
intrinsik. Pada penyakit Hirschprung terdapat absensi ganglion Meissner dan
Aurbach dalam lapisan dinding usus, mulai dari sfingter ani ke arah proksimal
dengan panjang yang bervariasi, 70-80% terbatas di daerah rectosigmoid, 10%
sampai seluruh kolon dan sekitar 5% dapat mengenai seluruh usus sampai pylorus.
Aganglionosis mengakibatkan usus yang bersangkutan tidak bekerja normal.
Peristaltik usus tidak mempunyai daya dorong dan tidak propulsif, sehingga usus
tidak ikut dalam evakuasi feses ataupun udara. Obstruksi yang terjadi secara kronis
akan menampilkan gejala klinis berupa gangguan pasase usus. Tiga tanda yang khas
adalah mekonium keluar >24 jam, muntah hijau dan distensi abdomen.
Penampilan makroskopik yaitu bagian kolon yang aganglionik terlihat spastik,
lumen kolon kecil, kolon tidak dapat mengembang sehingga tetap sempit dan
defekasi terganggu. Gangguan defekasi ini berakibat kolon proksimal yang normal
akan melebar oleh tinja yang tertimbun, membentuk megacolon.

3. Evidence Based Penatalaksanaan Obstruksi Biliaris


Jurnal:

Penelitian ini dilakukan di IRNA D IKA RSUP Dr. M. Djamil Padang didalam
jurnal menyebutkan Penyebab obstruksi billiaris adalah tersumbatnya saluran empedu
sehingga empedu tidak dapat mengalir kedalam usus untuk dikeluarkan (sebagai
strekobillin) dalam feses. gejala mulai terlihat mulai dari bayi terlihat tampak kuning dan
kencing terlihat pekat. Penatalaksanaan pasien dengan obstruksi billiaris yang telah
disebutkan sudah sesuai dengan evidence based bertujuan untuk menghilangkan
penyebab sumbatan atau mengalihkan aliran empedu.tindakan tersebut dapat berupa
tindakan pembedahan.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan sebelumnya, maka kesimpulan yang
dapat dikemukakan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi yang
timbul sejak kehidupan hasil konsepsi sel telur. Kelainan bawaan dapat dikenali
sebelum kelahiran, pada saat kelahiran atau beberapa tahun kemudian setelah
kelahiran.
2. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kelainan kongenital atau cacat bawaan pada
neonatus yaitu kelainan genetik dan kromosom, faktor genetik, faktor infeksi, faktor
obat, faktor hormonal, faktor gizi, dan faktor-faktor lainnya.
3. Kelainan kongenital berat dapat berupa kelainan kongenital yang memerlukan
tindakan bedah, kelainan kongenital bersifat medik, dan kelainan kongenital yang
memerlukan koreksi kosmetik.
4. Setiap ditemukannya kelainan kongenital pada bayi baru lahir, hal ini harus
dibicarakan dengan orang tuanya tentang jenis kemungkinan faktor penyebab,
langkah-langkah penanganan dan prognosisnya.
5. Kelainan congenital atau cacat bawaan tidak dapat dicegah, melainkan resiko
terjadinya dapat dikurangi dengan tidak mengkonsumsi alcohol, menghindari rokok ,
obat terlarang, makan makanan yang bergizi, olahraga teratur, menjalani vaksinasi,
melakukan pemeriksaan prenatal dengan rutin, dan menghindari zat-zat berbahaya
lainnya.
B. Saran
Adapun saran yang diajukan dalam makalah ini, yaitu:
1. Dalam mempelajari asuhan neonatus, seorang calon bidan diharapkan mengetahui
kelainan kongenital atau cacat bawaan yang biasanya terjadi pada neonatus sehingga
mampu memberikan asuhan neonatus dengan baik dan sesuai dengan kewenangan
profesi.
DAFTAR PUSTAKA

Maryam, Andi & Yuniarti. 2009. Buku Ajar Asuhan Kebidanan pada Neonatus, Bayi, dan
Balita. Makassar: Universitas Indonesia Timur.
Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis obstetric .Jakarta: EGC.
Muslihan, Nur Wafi. 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Balita. Yogyakarta: Fitramaya
Narendra,Moersintowarti, ddk. 2002. Buku Ajar Tumbuh Kembang Anak dan Remaja Edisi I.
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia Sagung Seto.
ojs.unud.ac.id
ojs.akbidylpp.ac

Anda mungkin juga menyukai